Penatalaksanaan Eklapmsia Antepartum Dan HELLP Sindrom [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Hipertensi merupakan komplikasi medis yang paling sering ditemukan selama



kehamilan.



Sebagai



penyumbang



yang



bermakna



terhadap



morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal, hipertensi diperkirakan telah menjadi komplikasi pada sekitar 7% sampai 10% dari seluruh kehamilan. Sampai saat ini preeklampsia masih merupakan penyulit dalam kehamilan yang menjadi penyebab utama pula mortalitas dan morbiditas maternal maupun perinatal.(Byne 2005) Di AS sekitar 5 % dari kehamilan mengalami preeklampsia dan 0,5 – 2 % dari pasien tersebut berlanjut menjadi eklampsia. Tingginya angka kematian dan kesakitan ibu akibat preeklampsia-eklampsia membutuhkan penanganan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait terutama pada pasien eklampsia yang membutuhkan monitoring hemodinamik yang invasif. (Cuningham FG,et al, 2014) Preeklampsia adalah suatu sindroma penyakit yang bersifat polimorfik sehingga semua organ dapat terlibat Sedangkan Eklampsia di sertai kejang pada preeklampsia tanpa adanya penyebab lain. (Cunningham FG, et al 2014) Sindroma HELLP, suatu penyakit yang melibatkan berbagai sistem organ, merupakan suatu bentuk dari preeklamsia berat dimana wanita-wanita penderita dilaporkan mengalami berbagai keluhan dan memperlihatkan marker-marker laboratorium berupa sindroma hemolisis (H), peningkatan enzim-enzim hepar (EL), dan rendahnya platelet (LP). Hal ini menjadi bagian dari perkembangan wanita penderita dari preeklampsia ke perkembangan gangguan yang melibatkan berbagai sistem organ. Penundaan terhadap pengobatan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Karena itu penilaian dan penatalaksanaan segera pada wanita penderita sindroma HELLP sangat penting untuk diketahui dan dipahami.



1



Berikut dibahas kasus pasien 23 tahun, dengan diagnosa Penurunan kesadaran pada G2P1A0H1 Gravid preterm 34-36 mg + eklampsia antepartum dalam regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom. Janin mati tunggal intrauterine presentasi kepala



2



BAB II LAPORAN KASUS Nama



: Ny Yayuk P



Umur



: 23Tahun



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



Alamat



: Bengkulu



MR



: 89 14 26



ANAMNESIS Seorang pasien wanita umur 23 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil, Padang tanggal 24 Februari 2015 jam 01.06 WIB kiriman RSUD MukoMuko dengan diagnosa G2P1A0H1 gravid preterm 34-36 minggu + eklampsia antepatum + HELLP Syndrom Riwayat Penyakit Sekarang :  Sebelumnya pasien kontrol kehamilan ke posyandu, setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 200/100, pasien kemudian dirujuk ke puskesmas. Dipuskesmas pasien kejang 1x lamanya ± 1 menit., tidak sadar selama kejang, sadar kembali setelah kejang. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Muko-muko dan direncanakan untuk operasi tetapi setelah Lab keluar didapatkan trombosit (40.000/mm3) Kemudian pasien dirujuk ke RS. M. Djamil Padang dengan terpasang regimen MgSO4 dan urin kateter. Didalam perjalanan pasien kejang 1x, setelah kejang kesadaran mulai turun  Nyeri pinggang menjalar keari-ari tidak ada  Keluar lendir campur darah dari kemaluan tidak ada.  Keluar air-air yang banyak dari kemaluan tidak ada  Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada  Tidak haid sejak lebih kurang 8 ½ bulan yang lalu.



3



 HPHT : lupa



Taksiran Persalinan : sulit ditentukan



 Riwayat hamil muda: mual (-), muntah (-), perdarahan (-)  Antenatal Care : ANC : kontrol ke bidan mulai usia kehamilan 2 bulan dan terakhir control kehamilan



ke posyandu dan didapatkan tekanan



darah 200mmHg  Riwayat hamil tua: mual (-), muntah(-), perdarahan (-) Riwayat Penyakit Dahulu : 



Tidak pernah menderita penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, penyakit hepar, penyakit diabetes melitus dan alergi



Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, penyakit menular dan penyakit kejiwaan. Riwayat perkawinan : 1 x tahun 2007 Riwayat kehamilan / abortus / persalinan :2/0/1 1 2008,



perempuan,



BB



2900



gr,



cukup



bulan,



spontan,puskesmas,dokter,hidup 2 sekarang Riwayat pemakaian kontrasepsi : (-) Riwayat Imunisasi : (-) PEMERIKSAAN FISIK : Keadaan umum



: sedang



Kesadaran



: sopor



Tekanan darah



: 200/110 mmHg



Frekuensi nadi



: 124 x / menit



Frekuensi nafas



: 28 x / menit



Suhu



: 36,80 C



TB



: 150 cm



4



LILA



: 24 cm



BB sebelum hamil : 53 kg BB sesudah hamil : 65 kg : 23,55 kg/m2



BMI



Ekstremitas : edema +/+, refleks patella +/+ meningkat Lab



: Protein (+++) (dibakar), Jumlah urin 200cc/ sewaktu



PEMERIKSAAN SISTEMIK Mata



: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik



Telinga



: tidak ditemukan kelainan



Hidung



: tidak ditemukan kelainan



Tenggorokan : tidak ditemukan kelainan Leher



: JVP 5 – 2 cmH2O, Kelenjer tiroid tidak membesar



Thorak



: Jantung Inspeksi



: iktus tidak terlihat



Palpasi



: iktus tampak 2 jari medial LMCS RIC V



Perkusi



: batas jantung dalam batas normal



Auskultasi



: Irama teratur, bising (-)



Inspeksi



: simetris kiri= kanan



Palpasi



: fremitus kiri=kanan



Perkusi



: sonor



Auskultasi



: vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-



Paru



Abdomen



: Status Obstetri



Genitalia



: Status Obstetri



Ekstremitas : edema +/+ , reflek fisiologis +/+ (refleks Patella +/+ normal) , reflek patologis -/-, akral hangat, terpasang infus regimen MgSO 4pada tangan kanan



5



STATUS OBSTETRI Abdomen



:



Inspeksi : tampak membuncit sesuai usia kehamilan preterm 34-36 minggu, linea mediana hiperpigmentasi, striae gravidarum (+), sikatrik (-) Palpasi : Pa : L I



: Teraba FUT 4 jari BPX Teraba massa besar lunak noduler



L II



: Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri Teraba bagian-bagian kecil di sebelah kanan



L III



: Teraba massa bulat, keras, Tidk terfiksir



L IV



: Konvergen TFU :26cm



Perkusi



: Tymphani



Auskultasi



: BU (+)/N



Genitalia



TBA : 2015 gr



His : -



BJA : (-)



: Inspeksi U/V tenang, PPV(-) VT : 1 jari longgar Portio tebal 1,5 cm,eff 30 %, medial,sedang Ketuban + Teraba kepala H1



Diagnosis : •



Penurunan keadaran e.c eklampsia antepartum dalam regimen MgSO4 dosis maintenance dari luar pada G 2P1A0H1 gravid preterm 3436 minggu







Janin mati tunggal intrauterine presentasi kepala



SIKAP : •



Kontrol KU,VS, His, DJJ, Jumlah urin, refleks patella







Lanjut regimen MgSO4 dosis maintanance



6







Inform consent







Cek laboratorium lengkap, kimia klinik, faal hepar, faal ginjal, faal hemostatic, D-dimer, PT,APTT







EKG







Lapor tim Eklamsia (Penyakit Dalam, Jantung, Mata, Neurologi)







Antihipertensi Dopamet 3 x500 mg



Laboratorium: Parameter



Result



Normal Value



Unit



Haemoglobin



14,2



13.00-14.00



g/dl



Leucocyte



23100



5.00-10.00



103/mm3



Thrombocyte



49.000



150.00-400.00



103/mm3



Hematocrit



42



37.00-43.00



%



APTT



33,1



29-39



Second



PT



9,3



10-13



Second



D dimer



7,157



< 0,5



Parameter LDH Kalium Natrium Calcium Klorida Random



Result 6774 3,7 134 6,7 107



Normal Value < 480 3.5-5.1 136-145 8,1-10,4 97-111



159



160 mmhg



Hasil Konsul Mata: •



Kesan : Saat ini ditemukan fundus eklamsi ringan ODS







Terapi : Sesuai TS Obgin



Hasil Konsul Interne: •



Kesan :



G2P1A0H1 gravid preterm 34-36 minggu + Eklampsia



antepartum dalam reg SM + HELLP Syndrom •



Therapy :



Methyldopa 3x500 mg Curcuma 3x1 Transfusi trombosit 10 u Transfusi albumin 20 % 1 fls Hematuria ec trombositopeni Inj ca glukonas



Untuk dilakukan tindakan dalam narkose : •



Resiko metabolik : sedang- berat







Resiko Cardiovascular : ringan







Resiko Pulmoner : ringan







Resiko Hemostatic : ringan-sedang



Rawat bersama bagian ginjal hipertensi, Gastro dan Hipertensi Hasil Konsul Neuro : 



Saat ini secara klinis tak ditemukan deficit fokal neurologis akut atas pasien



8



 



Diagnosis klinis untuk stroke hemoragik belum dapat disingkirkan Eklampsia prepartum dg HELLP Syndrom



Therapi : - Diazepam 10 mg (IV) bolus lambat bila kejang -



Citicholin 2x500 mg (iv) Alinamin F 1x25 mg (iv)



Saran : Brain CT scan tanpa kontras Rawat bersama dg Neurologi Diagnosis : •



Penurunan keadaran e.c eklampsia antepartum dalam regimen MgSO4 dosis maintenance dari luar pada G 2P1A0H1 gravid preterm 3436 minggu + HELLP syndrome







Janin mati tunggal intrauterine presentasi kepala



SIKAP : •



Kontrol KU,VS, His, DJJ, refleks patella, balance cairan







Lanjut regimen MgSO4 dosis maintanance



RENCANA : •



Terminasi kehamilan



Sikap : Pematangan Serviks Rawat HCU kebidanan Dexamethason 2x2 mg Pukul 05.00 wib



: Dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol 50



mcg Pukul 11.00 wib



:



A/ Penurunan kesadaran (+)



9



Tanda2 inpartu (-) PF :



KU



Kes



TD



ND



NF



T



Buruk



suppor



170/110



108



24x



37



Jumlah urin 100 cc/4 jam, kehitaman Abdomen : His : 1x/10”/L



DJJ : (-)



Genitalia : I : V/U tenang



PPV : (-)



VT : Ø 1 jari longgar Portio tebal 1,5 cm, eff 30 %, medial,sedang Ketuban (+) Teraba kepala H1 PS : 3 •



D/



Penurunan keadaran e.c eklampsia antepartum dalam regimen



MgSO4 dosis maintenance dari luar pada G 2P1A0H1 gravid preterm 3436 minggu + HELLP syndrome •



Janin mati tunggal intrauterine presentasi kepala



Lapor DPJP



: Konsul Resti



Lapor Konsulen Resti : - Terminasi perabdominan - Konsul Neuro - Konsul Anastesi Hasil Konsul Neuro : adv : Brain CT scan cito Hasil Konsul Anastesi : K/ ASA III + HELLP Syndrom S/ - Acc anastesi - Sedia darah sesuai TS - Perawatan persiapan ICU - Informed consent Lapor Konsulen Resti : SC cito sekarang ( tidak perlu CT scan)



10



Pukul 12.35 wib : Dilakukan SCTPP Lahir seorang bayi laki-laki dengan: BB



: 1900 gr



PB



: 43 cm



A/S



: 0/0



Plasenta lahir dengan sedikit tarikan ringan pada tali pusat lengkap 1 buah, ukuran 16x15x2,5 cm berat 450 gram, pajang tali pusat 45 cm, insersi parasentralis. Perdarahan selama tindakan 250 cc D/ P2A0H1 Post SCTPP a.i eklampsia antepartum + HELLP Syndrom Anak meninggal ibu dalam perawatan Sikap : Rawat ICU FOLLOW UP Post Tindakan Post Op. tgl 24 Februari 2015 pukul 14.00 WIB Anamnesis : -



Pasien sampai di ICU Pasien dalam pengaruh obat



Pemeriksaan Fisik : KU



Kes



berat Mata



TD



DPO



108/56



Nd



Nfs



66x



Vent



T 36.6



: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik



Abdomen:



I



: tampak sedikit membuncit, luka op tertutup



Pa



: FUT 2 jari dibawah pusat



verban kontraksi baik Pe



: tymphani



11



A



: BU (+) Normal



Genitalia : I : v/u tenang, PPV (-), ∑ urin 200 cc dari OK (2 jam) Ekstremitas : refleks patella (+/+) Diagnosis : P2A0H1 post SCTPP a.i Eklampsia dalam regimen SM dosis maintenance + HELLP Syndrom Anak mati ibu dalam perawatan Sikap :



kontrol KU, VS, PPV, ∑ urin, balance cairan, refleks patella lanjut regimen SM dosis maintenance Transfusi 10 u trombosit Cek Lab lengkap Informed consent Transfusi Albumin



Therapi :



Transamin 3x1



Ceftriaxon 2x1 gr



Vitk 3x1



Metronidazol 3x500 mg



Vit C 3x1



Dopamet 3x250 mg



Gastrul 2 tab/rectal



Pronalges k/p



Pukul 18.00 wib Hasil Lab : Parameter



Result



Normal Value



Unit



Haemoglobin



11,5



12.00-14.00



g/dl



Leucocyte



24400



5.60-16.90



103/mm3



Thrombocyte



53.000



150.00-400.00



103/mm3



Hematocrit



35



37.00-43.00



%



APTT



36,5



29-39



Second



PT



8,9



10-13



Second



LDH Kalium



3282 4,3



< 480 3.5-5.1 12



Natrium Calcium Klorida Random



Blood



Glucose Total Protein Albumin Globulin Total Bilirubin SGOT SGPT Ureum Creatinine Ddimer



134 6,8 108



139-145 8,1-10,4 97-111



143



5 persentil



1. Pedoman Untuk Penatalaksanaan Ekspektatif



Setelah masuk rumah sakit, pasien diobservasi pada kamar bersalin selama 24 jam untuk menentukan syarat-syarat untuk penatalaksanaan ekspektatif. Selama waktu ini diberikan magnesium sulfat intra vena untuk



profilaksis



kejang,



dan



glukokortikoid



diberikan



untuk



meningkatkan luaran janin, pemberian kortikosteroid pada keadaan preterm secara tunggal betamethasone (12 mg intramuscularly [IM], dua dosis tiap 24 jam) atau dexamethasone (6 mg IM, empat dosis tiap 12 jam) Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita resiko tinggi dapat mencegah terjadinya janin immature preterm dan merupakan salah satu interverensi obstetrik yang efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Kortikosteroid antenatal akan menurunkan resiko RDS, perdarahan intraventrikular, dan kematian perinatal dan terlihat 25



memberikan



keuntungan



pada



perkembangan



neurologik



pada



kehamilan lebih lanjut jika diberikan sebelum kelahiran preterm Obat antihipertensi diberikan sesuai kebutuhan untuk mengontrol tekanan darah, termasuk hidralazin intra vena atau labelatol, atau nifedipin oral, atau labelatol. Hitung darah komplet dengan platelet, kadar kreatinin serum, asam urat, dan asparatat transaaminase (AST), dan laktat dehidrogenase (LDH), dan urin 24 jam untuk melihat protein total dan klirens kreatinin. Selama masa observasi, diberikan Ringer Laktat dan Dextrose 5% intravena sebanyak 100-125 ml/jam, dan asupan oral dibatasi. Jika ibu dan janin dinilai memenuhi syarat untuk penatalaksanaan ekspektatif berdasarkan kriteria diatas, magnesium sulfat diberhentikan, dan pasien dirawat pada ruang rawat. Tekanan darah diukur 4 jam sekali, platelet setiap hari, dan serum AST, LDH dan kadar kreatinin setiap dua hari sekali. Begitu preeklampsia berat terjadi, tidak dilakukan pengulangan pemeriksaan protein urin 24 jam karena, wanita dengan peningkatan protein urin mempunyai luaran kehamilan yang sama dengan wanita dengan protein urine yang stabil atau berkurang. (Cunningham FG et all, 2014) Obat



antihipertensi



oral



diberikan



sesuai



kebutuhan



untuk



mengontrol tekanan darah pada rentang sistolik 130-150 mmHg dan diastolik 80-100 mmHg. Dosis maksimal untuk nifedipin oral 20 mg setiap 4 jam ditambah labetalol 600 mg tiap 6 jam. Sakit kepala (pada wanita tanpa riwayat migrain) diobati dengan asetaminofen dan bed rest. Jika tidak terdapat perbaikan dalam 6 jam dan sakit kepala bertambah berat, tekanan darah dikontrol lebih ketat, dan dimulai magnesium sulfat intravena. Jika sakit kepala menetap disiapkan untuk melahirkan. Pemeriksaan antenatal setiap hari dengan preeklampsia berat yang ditatalaksana secara ekspektatif mengurangi atau meniadakan stillbirth 26



atau kegawatan janin pada saat melahirkan. Awalnya, dilakukan pemeriksaan profil biofisik setiap hari; saat kondisi pasien sudah terlihat stabil, dilakukan non stress test setiap hari dan profil biofisik setiap minggu. Penaksiran berat janin dengan USG dilakukan setiap 2 minggu. Pengukuran serial indeks cairan ketuban tidak berguna sebagai prediksi pada fetal distress, walaupun AFI ( Amnion Fluid Index) tidak memprediksikan IUGR (pada AFI 5 cm ). Pasien tetap dirawat sampai melahirkan. Jika persalinan preterm mengancam, tidak diberikan tokolitik spesifik. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis biasa untuk profilaksis kejang intrapartum, dan dosis ini sering kali mencegah persalinan preterm. Pada kehamilan sebelum 34 minggu, adanya kontraindikasi untuk penatalaksanaan ekspektatif, seperti tersebut pada tabel 1 dan 2, janin harus dilahirkan secepatnya. Persalinan bisa dengan pervaginam atau perabdominan, tergantung pada beberapa faktor. Janin dengan paru yang matang segera dilahirkan, dan untuk janin yang paru-parunya belum matang dilahirkan 24 jam setelah dosis terakhir pemberian glukokortikoid. Amniosentesis dapat dilakukan wanita yang dirawat dengan preeklampsia berat antara kehamilan 32 dan 34 minggu. Wanita yang telah dirawat di rumah sakit dan mencapai usia



kehamilan



33-34



minggu



tidak



di



anjurkan



melakukan



amniosentesis karena telah mendapat glukokortikoid sebelumnya.



(Evruke



2004)



Perawatan konservatif dianggap gagal jika :  Setelah 6 jam sejak dimulainya pengobatan medisinal terjadi kenaikan tekanan darah 



Setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada perbaikan 27



2.



Pedoman Untuk Penatalaksanaan di lahirkan segera Preeklampsia berpengruh terhadap ibu dan anak. Karena tidak ada



pengobatan yang



efektif untuk preeklampsi selain melahirkan anak,



melahirkan adalah merupakan penanganan pilihan untuk ibu. Untuk janin yang jauh dari aterm, perpanjangan kehamilan mungkin lebih tepat untuk kasus – kasus tertentu. Terdapat perubahan fungsi pada beberapa organ dan sistem, akibat dari vasospame, yang telah diidentifikasi pada preeklampsia berat dan eklampsia. Efek yang terjadi dibagi menjadi efek pada maternal dan janin. Walaupun begitu perubahan ini dapat terjadi secara simultan. Pedoman Maternal untuk penatalsanaa segera apabila di temukan 1 atau lebih keadaan berikut: 1. Hipertensi yang tidak terkontrol,yaitu sistolik  160 mmHg atau diastolik  110 mmHg maksimal dengan 2 kali pemberian antihipertensi yang di anjurkan 2. Eklampsia adalah suatu keadaan gawat dan akut pada kehamilan, persalinan dan nifas dini yang di tandai timbulnya kejang – kajang atau koma, di mana sebelumnya wanita hamil itu menunjukan gejala preeklampsia, kejang – kejang yang timbul bukanlah akibat kelainan neurologik 3. Penurunan trombosit berdasarkan



jumlah di klasifikasikan menurut



Mississippi 



Klas 1. Trombosit , 50.000 / mm3







Kals 2. Trombosit antara 50.000 – 100.000 / mm3







Klas 3. Trombosit antara 100.000 – 150.000 / mm3



4. Edema paru pada preeklampsi telah di laporkan terjadi pada 2,9% dari kasus PEB. Faktor resikonya adalah tuanya usia ibu , multiparitas, dan hipertensi yang ada sebelumnya . Angka kematian maternal yang



28



berhubungan dengan edema paru pada preeklampsi sekitar 10% kematian perinatal mencapai 50%. 5. SGOT atau SCPT . 2x nilai normal tertinggi dengan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas. Serum SGOT,SGPT dan LDH



akan



meninggkat pada preeklampsi dan merupakan bagian dari tanda HELLP sindrome. Peningkatan fungsi liver ini merupakan petunjuk adanya



subkapsuler



dan



ruptur



hepar



imminens.



Lactat



dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan



terjadinya



kerusakan



sel



hepar.



Walaupun



peningkatan kadar LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. 6. Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi kelainan berupa endotelisasi glomerulus, yaitu pembengkakan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya, Kelainan lain yang dapat terjadi adalah anuria sampai gagal ginjal, juga terdapat kadar kreatinin > 1 mg % 7. Solusio plasenta, biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preklampsia, yang merupakan tindakan akut yang harus segera ditindak. 8. Sakit kepala berat yang menetap atau gangguan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat juga terjadi perdarahan kadang – kadang pada retina, hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri. Pedoman Janin untuk penatalsanaa segera apabila di temukan 1 atau lebih keadaan berikut : 1. Bila ditemukan hasil : deselerasi lambat yaitu bradikardia lebih dari 15 dpm dari frekuensi dasar dan terjadi 20 detik setelah kontraksi maka hasil itu disebut positif, artinya mungkin terdapat insufisiensi plasenta. 29



Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebebkan janin mengalami hipoksia



Pada deselerasi variabel terdapat gambaran



dengan ciri – ciri gambaran deselerasi yang bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya , amplitudo dan bentuknya . Deselerasi variabel di anggap berat apabila memenuhi rule of sixty yaitu deselerasi mencapai 60 dpm atau lebih di bawah frekuensi dasar denyut jantung janin dan lamanya deselerasi lebih dari 60 detik 2. Profil Biofisik  4 pada dua pemeriksaan dengan jarak 4 jam. Konsep dasar Profil biofisik adalah penilaian beberapa variabel dari kegiatan biofisik fetus lebih sensitif dan lebih dapat di andalalkan daripada pemeriksaan satu parameter saja.Pemantauan kegiatan biofisik fetus, memainkan peranan dalam mengidentifikasi fetus yang mengalami asfiksia. 3. Indek cairan amnion  2 cm. Bila diameter cairan amnion kurang dari 2 cm maka terdapat keadaan yang oligohidramnion.dan apalagi pada kehamilan yang jauh dari aterm. 4. Taksiran berat anak dengan USG  5 persentil



Persalinan pada preeklampsia dapat di lakukan pervaginam atau perabdominam. Keputusan terminasi kehamilan di tentukan oleh 1. Usia kehamilan 2. Kondisi ibu dan janin 3. Presentasi janin 4. Kematangan serviks Pada keadaan servik belum matang dan usia kehamilan < 32 minggu seksio sesaria merupakan pilihan cara persalinan yang lebih baik. Pada dasarnya penanganan preeklampsia dan eklampsia yang definitif adalah segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam penatalaksaannya kita harus mempertimbangkan keadaan



30



ibu dan janinnya, antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan seberapa jauh keterlibatan organ.



(Gabbe2007)



E. Pencegahan Preeklampsia Morbiditas dan mortalitas penderita preeklampsia sangat ditentukan umur kehamilan saat ditemukan, beratnya penyakit, kualitas penanganan, dan adanya penyakit penyerta lainnya. Preeklampsia ringan yang ditemukan pada kehamilan > 36 minggu biasanya tidak bermasalah dan prognosisnya baik, sebaliknya preeklampsia berat yang ditemukan pada usia kehamilan < 34 minggu akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu, apalagi jika dijumpai penyakit penyerta lainnya. Untuk itu dibutuhkan pencegahan sejak dini. (Gohil 2011, Cunningham FG et all, 2014)



Tabel 4. Metode Pencegahan Preeklampsia (dikutip dari Cunningham FG et al 2014) Algoritme Penatalaksanaan Preeklampsia Preterm PREEKLAMPSI BERAT PRETERM Anamnesa Pemeriksaa Fisik







TD 160/110 mmHg







Proteinuria 300 mg/24 jam







Rasio Kreatinin > 0,3







Proteinuria ≥ 1+ pada dipstik persisten







Kreatinin serum > 1,1 mg/dl kecuali diketahui telah meningkat sebelumnya, atau dua kali lipat dari normal.







Trombosit < 100.000/mm3 PENATALAKSANAAN 24 JAM Peningkatan ALT/AST dua kali lipat MgSO4 Dexametason Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan lainnya Anthipertensi Konsul Interna Konsul Peny. Mata Pemeriksaan labor lengkap



 



-



Konsul Penyakit Jantung



31



STABIL



TIDAK STABIL



Maternal - Hipertensi terkontrol - SGOT/SGPT > 2x nilai normal, nyeri epigastrium (-) - Oliguri yang membaik



Maternal -Hipertensi yg tdk terkontrol - platelet < 100.000 - edema paru - ggn fs ginjal - Solusio plasenta - Gangguan penglihatan - SGOT/SGPT > 2x nilai normal , nyeri epigastrium(+)



Janin - Profil biofisik  6 -KONSERVATIF AFI > 2 cm - TBA dgn USG > 5 persentil - TD. Tiap 4 jam - CTG tiap hari Janin - USG tiap 2 minggu - Deselerasi lambat berulang TERMINASI - Profil bio fisik/hari stabil tiap minggu - Deselerasi Variabel berat terminasi pemberian - LaborPada darah kehamilan ≤ 34 minggu yang akan dilakukan - Profil biofisik 4 - Trombosi / hari - AFI  2 cm - AST dan LDH / 2 hari kortikosteroid seperti dexametason atau betametason untuk pematangan - TBA dgn USG  5 percentil - Kreatinin / 2 hari



paru harus dilakukan. (Cunningham FG et all, 2014) Pada penderita preeklampsia berat, obat-obat yang dapat diberi untuk memperbaiki keadaan ibu dan janinnya adalah : 



Magnesium sulfat







Antihipertensi







Kortikosteroid



1. Anti konvulsan Tujuan utama pemberian Magnesium sulfat adalah untuk mencegah dan



mengurangi



terjadinya



kejang.



Disamping



itu



juga



untuk



mengurangi komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini tidak seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-metil D aspartat (NDMA) reseptor inhibitor, untuk menghambat masuknya kalsium ke dalam neuron pada neuromuscular



32



junction ataupun pada susunan saraf pusat. Dengan menurunnya kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan menurun dan kontraksi dicegah . (Cunningham FG et all, 2014)



Tabel 5. Pemberian Magnesium Sulfat Pada Preeklampsia dan Eklampsia (Dikutip dari Cunningham FG et al 2014) Magnesium sulfat dapat diberikan menurut Regim Prichart. Awalnya diberikan 4 gram secara intravena selama 4-5 menit dan 10 gram secara intramuskuler. Sedangkan menurut Regim Zuspan, magnesium sulfat seluruhnya diberikan secara intravena dengan dosis sebagai berikut : awalnya diberikan 6 gram secara intravena selama 5-10 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 gram/jam melalui



33



infus. Pada pemberian m,agnesium sulfat kita harus berhati-hati terhadap gejala keracunan yang ditandai dengan munculnya : 



Refleks patella yang menurun atau menghilang







Pernapasan < 16x/mnt







Rasa panas pada muka, sulit bicara, kesadaran menurun, dan







Cardiac arrest Antidotum pada keracunan magnesium sulfat adalah kalsium glukonas 10% dalam 10 cc diberikan secara intravena.



(Grundy 2008,Cunningham



FG et all, 2014)



Tabel 6. Selektive versus Universal Magnesium Sulfas Profilaksis (Dikuti dari Cunningham FG et al 2014) 2. . Anti Hipertensi Penatalaksanaan eklampsia meliputi hospitalisasi untuk bed rest, control tekanan darah, pencegahan kejang apabila ada tanda-tanda 34



impending eklampsi, serta persalinan tepat pada waktunya. Wanita dengan



preeklampsia



banyak



dengan



normotensi



sebelumnya,



sehingga peningkatan tiba-tiba tekanan darah hingga 150/100 mmHg dapat menyebabkan gejala klinis yang bermakna dan membutuhkan perawatan.



Pengobatan



tidak



mengubah



patofisiologi



dasar



penyakitnya, tetapi dapat memperlambat perkembangan penyakit dan menyediakan cukup waktu untuk kematangan janin. Preeklampsia jarang remisi secara spontan dan pada beberapa kasus memburuk dengan bertambahnya waktu. (Hubbel 2009) Pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau wanita hamil yang sebelumnya membutuhkan antihipertensi multiple dalam mengontrol tensinya, antihipertensi dilanjutkan sesuai kebutuhan untuk mengontrol tekanan darah. Pada semua kasus, pengobatan harus dimulai jika tekanan darah sistolik 150-160 mmHg atau tekanan darah diastolic 100-110 mmHg supaya mencegah peningkatan tekanan darah yang terlalu tinggi selama kehamilan. Pengobatan yang agresif untuk hipertensi kronis pada trimester pertama penting, mengingat fetal loss rate 50% dan angka kematian ibu yang signifikan pada pasien tersebut. Outcome



yang



buruk



ditemukan



pada



penderita



superimposed



preeklampsia. Wanita dengan hipertensi kronis berisiko tinggi untuk outcome yang buruk apabila proteinuria ditemukan pada awal kehamilan. Fetal loss dan kelainan renal dan ibu meningkat jika kadar kreatinin serum 1,4 mg/dl saat konsepsi. (Cunningham FG et all, 2014) Tujuan



utama



mengobati



hipertensi



kronis



adalah



untuk



menurunkan risiko ibu, tetapi pilhan obat anti hipertensi ditentukan oleh aman tidaknya untuk fetus. Metildopa banyak disarankan sebagai terapi hipertensi lini pertama karena aliran darah uteroplasental dan hemodinamik fetus yang stabil dan tidak adanya efek berlawanan jangka panjang pada janin yang terekspose dengan metal dopa in utero. 35



Methyldopa bekerja sentral, bersifat agonis adrenergik. Obat akan dimetabolisme



menjadi



methyl



menggantikan norepinephrine



norepinephrine pada



dan



kemudian



neurosecretory vesicles of



adrenergic nerve terminals. Tekanan darah



akan terkontrol secara



bertahap dalam 6-8 jam, karena aksinya yang tidak langsung. Obat ini dianggap tidak teratogenik karena keterbatasan data dan pengalaman 40 tahun penggunannya sebagai anti hipertensi. Penggunaannya berdasarkan beberapa studi prospektif dibandingkan dengan placebo. Terapi dengan



methyldopa



pernah



dilaporkan dapat mencegah



progresifits menjadi hipertensi berat dan tidak mempengaruhi sirkulasi uteroplasenta atau hemodinamik janin. (Cunningham FG et all, 2014) Pada preeklampsia berat antihipertensi diberikan jika tekanan darah 180/110



mmHg.



Tujuan



pemberian



antihipertensi



adalah



untuk



mencegah terjadinya cardiovascular atau cerebrovaskuler accident. Obat antihipertensi yang juga banyak digunakan adalah labetolol, obat ini termasuk beta bloker, dapat diberikan peroral dan intravena. Kalau diberi intravena efeknya sudh terlihat dalam 2-5 menit dan mencapai puncaknya setelah 15 menit. Kerja obat ini berlangsung 4 jam. Bekerja menurunkan tahanan perifer dan tidak menurunkan aliran darah ke otak, jantung, dan ginjal.(Jie Lu 2011) Obat anti hipertensi yang juga banyak digunakan adalah nifedipin (Brown, 2002). Obat ini mudah didapat, harganya murah, dan penggunaannya, nifedipin termasuk calcium channel antagonis, hanya diberikan peroral dengan dosis 10-20 mg, dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping obat ini adalah sakit kepala, rasa panas, sesak nafas, dan sakit di dada. Tidak mengganggu aliran darah uteroplasenta. Kalau diberi peroral efek kerjanya sudah terlihat dalam 510 menit dan mencapai puncaknya setelah 60 menit dan dapat bekerja



36



sampai 6 jam. Mekanisme kerja nifedipin adalah dengan vasodilatasi arteriol. (Cunningham FG et all, 2014) 3. Kortikosteroid Pada preeklampsia berat kortikosteroid hanya diberikan pada kehamilan preterm < 34 minggu dengan tujuan untuk mematangkan paru janin. Semua kehamilan ≤ 34 minggu yang akan diakhiri diberikan kortikosteroid dalam bentuk dexametason atau betametason. National Institute of Health (NIH, 2000) menganjurkan pemberian kortikosteroid pada semua wanita dengan usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan preterm termasuk penderita preeklampsia berat. Pemberian betametason 12 mg intramuskuler dua dosis dengan interval 24 jam, atau pemberian dexametason 6 mg intravena empat dosis dengan interval 12 jam. (Longo 2012) Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil. Penundaan persalinan meningkatkan resiko untuk ibu dan janin. Terminasi



kehamilan



merupakan



satu-satunya



terapi



untuk



preeclampsia. Nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri ulu hati mengindikasikan



kemungkinan



terjadinya



kejang,



serta



oliguria



merupakan tanda lainnya. Pada preeclampsia sedang dan berat yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan, terminasi kehamilan merupakan pilihan untuk kesejahteraan ibu dan janin. Induksi persalinan dilakukan, biasanya didahului oleh pematangan serviks dengan prostaglandin atau dilator osmotic. Namun jika induksi kemungkinan tidak berhasil, atau gagal, section cesaria lebih dipilih, terutama untuk kasus yang berat. (Cunningham FG et all, 2014)



37



Kondisi ini sejalan dengan meningkatnya aliran arteri spiralis. Perubahan ini akan merubah seluruh panjang arteri spiralis dari arteri muskularis kecil menjadi arteri yang berdilatasi. Pada kehamilan cukup bulan akan tampak pada diameter distal arteri radialis dimana rata-rata diameternya 500 μm, dibandingkan dengan keadaan diluar kehamilan yang rata-rata diameternya hanya 200-300 μm. Perubahan terjadi pada 100-150 arteri spiralis diseluruh tempat penanaman plasenta. Arteri spiralis dalam kehamilan juga cenderung tidak respon terhadap agenagen vasoaktif. Keadaan ini akan meningkatkan aliran uteroplasenta dari 100 ml/menit menjadi 500-800 ml/menit. (Cunningham FG et all, 2014) F. SINDROMA HELLP Beberapa abnormalitas pada fungsi hepar merupakan komponenkomponen yang diketahu dari suatu sindroma dari anemia hemolitik, peningkatan hasil uji fungsi hepar, dan rendahnya penghitungan platelet. Keadaan ini dikenal sebagai sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count) yang menjadi komplikasi pada < 10% preeklamsia



berat.(Cohen



WR,2003)



Istilah



sindroma



HELLP pertama



kali



diperkenalkan oleh Weinstein pada tahun 1982 untuk menggambarkan suatu keadaan yang terdiri dari hemolisis, peningkatan fungsi hepar, dan trombositopenia. (Cunningham FG et all, 2014) 1 Etiologi dan Patogenesis Patogenesis sindroma HELLP masih belum begitu dipahami. Penemuan-penemuan dari penyakit multi sistem ini terkait dengan suatu tonus vaskuler abnormal, vasospasme dan defek-defek koagulasi. Sampai saat ini, tak ada faktor presipitasi umum yang berhasil ditemukan. Sindroma ini sepertinya menjadi manifestasi akhir dari beberapa



kelainan



yang



mengarah



pada



kerusakan



endotelial 38



mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler. Dengan aktivasi platelet, tromboksan A dan seretonin yang dilepaskan, menyebabkan vasospasme, agglutinasi dan aggregasi platelet, dan lebih jauh lagi kerusakan endotelial. Rentetan peristiwa ini hanya akan diakhiri dengan persalinan. Hemolisis pada sindroma HELLP merupakan suatu anemia hemolitik mikroangiopati. Sel-sel darah merah menjadi terpecah ketika mereka melewati pembuluh-pembuluh darah kecil dengan kerusakan endotelial dan deposit-deposit fibrin. Hasil apusan darah perifer akan mendapatkan bentuk sferosit, skistosit, sel-sel trianguler dan sel burr. Kadar-kadar enzim hati yang meningkat pada sindroma tersebut dianggap sebagai penyebab kedua terhadap obstruksi dari aliran darah hepatik oleh deposit-deposit fibrin dalam sinusoid. Obstruksi tersebut mengarah pada nekrosis periportal dan pada kasus-kasus yang berat, hemoragi intrahepatik, pembentukan hematoma subskapsular atau ruptur hepar. Trombositopenia telah dikaitkan dengan suatu peningkatan penggunaan dan atau destruksi platelet-platelet. Meskipun beberapa peneliti beranggapan bahwa penyakit kuagulasi intravaskuler disseminata (DIC) merupakan proses utama pada sindroma HELLP, namun pasien-pasien tersebut tidak memperlihatkan adanya abnormalitas koagulasi. Pasien-pasien penderita sindroma HELLP dapat mengalami koagulopati tersembunyi yang biasanya tidak dapat teredeteksi. (Cunningham FG et all, 2014, Masuyama 2012) Klasifikasi sindroma HELLP yang umum digunakan adalah:



(Cunningham



FG et all, 2014)



1.



Klasifikasi Missisippi Klas I : Trombosit ≤ 50.000/ml, Serum LDH ≥ 600.000 IU/l dan AST dan atau ALT ≥ 40 IU/l Klas II : Trombosit > 50.000/ml sampai ≤ 100.000/ml, Serum LDH ≥ 600.000 IU/l, AST dan atau ALT ≥ 40 IU/l 39



Klas III : Trombosit > 100.000/ml sampai ≤ 150.000/ml, Serum LDH ≥ 600.000 IU/l, AST dan atau ALT ≥ 40 IU/l 2. Klasifikasi Tennesse Klas Lengkap: Trombosit < 100.000/ml, LDH ≥ 600.000 IU/l AST ≥ 70 IU/l Klas Tidak Lengkap Bila ditemukan hanya satu atau dua tanda-tanda di atas 2 Diagnosis Gambaran yang tidak jelas dari keluhan-keluhan yang dapat mengarahkan pada diagnosis sindroma HELLP sering menyulitkan para ahli medis. Sekitar 90 persen pasien muncul dengan malaise, 65 persen dengan nyeri epigastrium, 30 persen dengan nausea dan vomitus, dan 31 persen dengan sakit kepala. Karena diagnosis dini sangat penting pada sindroma ini, setiap wanita hamil yang muncul dengan malaise atau penyakit menyerupai gejala penyakit virus pada trimester ketiga kehamilan harus dinilai dengan penghitungan sel darah lengkap dan pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan fisik pada pasien-pasien sindroma HELLP dapat saja normal. Namun, kekakuan kuadran atas kanan didapatkan pada 90 persen wanita yang terkena. Edema bukanlah penanda yang bermanfaat pada sindroma ini karena pembengkakan merupakan suatu faktor pada lebih dari 30 persen kehamilan-kehamilan normal. Hipertensi dan proteinuria dapat tidak muncul atau kalaupun ada dalam bentuk ringan.



(Robbert 2006)



Tiga abnormalitas utama yang ditemukan pada sindroma HELLP adalah hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan rendahnya hitung platelet. Hematokrit dapat menurun atau normal. Penemuan dari suatu penurunan



kadar



haptoglobin



serum



dapat



mengkonfirmasikan



hemolisis yang sedang terjadi jika hematokrit didapatkan normal. Kadarkadar transaminase serum dapat meningkat sampai setinggi 4.000 U/l 40



namun peningkatan ringan lebih sering dijumpai. Penghitungan platelet dapat turun sampai 6.000 per mm 3 namun tiap penghitungan platelet yang kurang dari 150 per mm 3 membutuhkan perhatian. Kecuali jika DIC terjadi, waktu protrombin, waktu parsial tromboplastin dan kadar fibrinogen didapatkan normal pada pasien-pasien penderita sindroma HELLP. Pada pasien dengan kadar fibrinogen plasma kurang dari 300 mg per dL, DIC harus dicurigai terjadi, terutama jika abnormalitasabnormalitas laboratorium lainnya juga terjadi. Proteinuria dan suatu peningkatan konsentrasi asam urat adalah bermanfaat dalam mendiagnosa preeklamsia namun tidak untuk sindroma HELLP. Penghitungan platelet merupakan indikator terbaik yang dapat dilakukan kemudian. Karena itu sindroma HELLP harus dicurigai telah terjadi jika terdapat pasien yang memperlihatkan suatu penurunan bermakna dari penghitungan platelet selama periode ante natal. Suatu uji dimer-D positif dalam preeklamsia saat ini telah dilaporkan dapat meramalkan pasien-pasien yang akan mengalami sindroma HELLP. Dimer-D merupakan indikator yang lebih sensitif dari koagulopati subklinis dan dapat menjadi positif sebelum penelitianpenelitian koagulasi didapatkan abnormal. (Cunningham FG et all, 2014) 3 Penatalaksanaan Ketika diagnosis sindroma HELLP telah ditegakkan, marker-marker terbaik yang harus didapatkan adalah kadar dehidrogenase laktat maternal



dan



penghitungan



platelet



maternal.



Abnormalitas-



abnormalitas laboratorium secara umum akan memburuk setelah persalinan dan mencapai puncak pada 24 sampai 48 jam postpartum. Puncak kadar laktat dehidrogenase menandai permulaan masa penyembuhan dan normalisasi berikutnya dari penghitungan platelet. Penghitungan platelet tersebut walau bagaimanapun dapat sebagai prediksi untuk mengetahui komplikasi-komplikasi perdarahan. Insiden komplikasi-komplikasi



perdarahan



didapatkan



lebih



tinggi



jika 41



penghitungan platelet lebih kecil dari 40.000 per mm 3. Namun, pencitraan hepar dan biopsi hepar telah memperlihatkan bahwa abnormalitas-abnormalitas laboratorium tidak berhubungan dengan derajat beratnya sindroma HELLP. Karena itu, pasien-pasien penderita sindroma HELLP yang mengeluhkan nyeri kuadran atas kanan yang hebat, nyeri leher atau nyeri bahu harus dipertimbangkan untuk pencitraan



hepar



tanpa



memandang



beratnya



abnormalitas



laboratorium untuk menilai hematoma subskapsular atau ruptur yang mungkin terjadi Pengenalan cepat terhadap sindroma HELLP dan inisiasi terapi yang tepat waktu adalah sangat penting untuk memastikan hasil akhir pada ibu dan fetus. Ketika sindroma tersebut pertama kali diketahui, persalinan segera direkomendasikan. Penelitian terbaru menerangkan bahwa morbiditas dan mortalitas pada sindroma ini tidak meningkat jika pasien-pasien



tersebut



diobati



secara



konservatif.



Pendekatan



pengobatan harus berdasarkan perkiraan usia gestasi dan kondisi ibu serta bayinya. (Cunningham FG et all, 2014) 1. Persalinan sebagai Penatalaksanaan Jika sindroma HELLP terjadi pada usia kehamilan lebih 34 minggu atau lebih atau jika bukti adanya pematangan atau bahaya terhadap maternal muncul sebelum saat ini, maka persalinan adalah terapi yang tepat untuk dilakukan. Jika tidak munculnya bukti laboratorium berupa DIC dan dengan tidak adanya pematangan paru fetal, pasien tersebut dapat diberikan dua dosis steroid untuk mempercepat pematangan paru fetal dan fetus tersebut dapat dilahirkan 48 jam setelah pemberian dosis kedua. Kondisi fetal dan maternal harus dinilai terus menerus selama periode ini. (Cunningham FG et all, 2014) a. Persalinan seksio sesarea



42



Adanya sindroma HELLP bukan merupakan indikasi segera untuk dilaksanakannya persalinan seksio sesarea, yang akan dapat mengganggu kesehatan baik untuk ibu maupun janinnya. Wanita yang memperlihatkan keadaan persalinan normal dapat diijinkan melahirkan pervaginam jika mereka memang tidak memiliki kontraindikasi obstetrik. Persalinan dapat diawali dengan pemberian infus oksitosin pada wanita dengan servik yang dapat dibantu dengan induksi. Pada wanita dengan servik yang tidak matang, pematangan servik dapat dilengkapi dengan memberikan obat-obat farmakologi seperti gel prostaglandin dan dilator-dilator higroskopis (misalnya Dilapan, Laminaria digitata), secara mekanis dengan dilator-dilator seperti kateter Foley, atau dengan suatu infus saline ekstra alveolar. Persalinan seksio sesarea hatus dilaksanakan hanya apabila wanita penderita sindroma HELLP juga memiliki indikasi-indikasi obstetrik. b. Penatalaksanaan postpartum Setelah persalinan, ibu harus diawasi dengan ketat untuk paling tidak 48 jam. Kebanyakan wanita memperlihatkan resolusi proses penyakit ini dalam 48 jam persalinan. Beberapa wanita, terutama yang mengalami DIC, dapat memperlihatkan resolusi yang lambat terjadi atau bahkan perburukan. Wanita-wanita ini membutuhkan pengawasan intensif selama beberapa hari. Selain itu, wanitawanita ini berisiko terhadap terjadinya edema pulmo dari transfusi darah dan produk-produk darah, mobilisasi cairan, dan fungsi ginjal yang memburuk. 2. Terapi Cairan Dalam perawatan pasien sindroma HELLP, salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan adalah mobilisasi cairan. Sindroma HELLP merupakan komplikasi dari preeklamsia, karena 43



itu pengetahuan patofisiologi pada preeklamsia digunakan sebagai dasar pemberian cairan pada sindroma HELLP. Dalam hal terapi cairan ini, para ahli obstetri harus terlebih dahulu menilai kondisi organ kardiovaskuler, ginjal, hepar, kemungkinan adanya kelainan metabolik dan kelainan pembekuan darah. Pemberian cairan yang tidak tepat pada penderita dengan kelainan pada organ-organ tersebut



dapat membahayakan



ibu



dan



janin. Berdasarkan



pertimbangan patofisiologi pada preeklamsia, kristaloid lebih banyak menimbulkan edema daripada koloid karena pada keadaan ini cairan akan merembes ke dalam ruang interstisial, sedangkan koloid akan meninggikan tekanan onkotik plasma sehingga dapat menghambat kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi. Untuk berhasilnya terapi, kombinasi larutan kristaloid dan koloid perlu dipertimbangkan. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan hairan yaitu sebanyak 2000-2500 ml 3. Penatalaksanaan Gangguan Koagulopati Koagulasi intravaskuler disseminata (DIC) pada sindroma HELLP terjadi pada sekitar 15-39%. Terdapat hubungan yang erat antara derajat beratnya sindroma HELLP dengan gangguan koagulasi. Sekitar sepertiga pasien sindroma HELLP klas I mengalami DIC, sedangkan klas II sebanyak 8,6%, klas III sebanyak 5,8%, dan preeklamsia tanpa sindroma HELLP 1%. Angka kejadian DIC meningkat pada wanita dengan jumlah trombosit < 50.000 mm3. Kebanyakan komplikasi ini berhubungan dengan solusio plasenta, kematian janin, dan hematoma hepar. Pada pasien sindroma HELLP dengan DIC, menunda persalinan tidak boleh dilakukan karena kondisi ibu dan janin dapat memburuk dengan cepat. Pasien harus ditangani dengan cepat dan agresif dan diawasi terus menerus di ruang perawatan intensif. Pasien dengan 44



penurunan trombosit yang cepat atau terdapat gangguan pada parameter koagulasi, memerlukan pemeriksaan setiap 2-3 jam sampai keadaan stabil. Gangguan koagulasi dikoreksi dengan pertukaran plasmaferis dengan fresh frozen plasma. Transfusi trombosit diberikan jika jumlah trombosit < 50.000 mm 3 pada pasien yang menjalani seksio sesarea, dan < 20.000 mm 3 pada pasien yang melahirkan pervaginam. (Cunningham FG et all, 2014, Gabbe 2007) 4. Penatalaksanaan Sindroma HELLP Postpartum Sindroma HELLP dapat terjadi selama periode postpartum. Pada suatu tinjauan 442 wanita penderita sindroma HELLP, Sibai dkk mencatat bahwa 133 wanita (30%) hanya mengalami manifestasi postpartum sindroma ini. Pada pasien-pasien ini, onset manifestasi klinis mempunyai r ange dari beberapa jam sampai 7 hari, kebanyakan manifestasi klinis berkembang dalam 48 jam pertama setelah postpartum. Dua puluh tujuh wanita (20%) tidak memiliki bukti preeklamsia sebelum dan selama melahirkan. Wanitawanita ini mengalami peningkatan tekanan darah, proteinuria, dan abnormalitas-abnormalitas laboratorium setelah persalinan. Wanitawanita dengan gejala ini lebih berisiko terhadap edema paru dan gagal ginjal akut. Penatalaksanaan pasien-pasien dengan sindroma HELLP postpartum adalah serupa dengan penatalaksanaan wanita dengan sindroma HELLP antepartum, termasuk kebutuhan untuk profilaksis anti kejang. Usaha-usaha untuk mengontrol hipertensi dapat lebih agresif pada pasien-pasien penderita sindroma HELLP postpartum karena kecurigaan terhadap sirkulasi uteroplasenta tidak menjadi perhatian utama. Tanda-tanda dan gejala sindroma HELLP postpartum dapat serupa dengan karakteristik-karakteristik dan



terkadang



bertindih



dengan



beberapa



kelainan-kelainan



obstetrik lainnya. (Cunningham FG et all, 2014, Jie Lu 2011) 45



5. Prognosis Angka kematian dan kesakitan ibu dan anak meningkat pada sindroma HELLP. Dilaporkan angka kematian ibu pada sindroma HELLP adalah 1-24%, sedangkan angka kematian perinatal lebih tinggi lagi yaitu 7,7-60%. Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk mengalami sindroma yang sama pada kehamilan berikutnya. Resiko untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya adalah 43 %.(Cunningham FG et all, 2014)



46



BAB IV DISKUSI



Bagaimana penegakkan diagnosa pada kasus ini? Pada makalah ini, dibahas kasus seorang wanita usia 23 tahun yang didiagnosa dengan G2P1A0H1 gravid preterm 34-35 minggu + Eklampsia antepartum dalam regimen SM dosis maintenance dari luar + HELLP syndrom + IUFD Sebelumnya pasien kontrol kehamilan ke posyandu, setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 200/100, os kemudian dirujuk ke puskesmas. Dipuskesmas pasien kejang 1x lamanya ± 1 menit., tidak sadar selama kejang, sadar kembali setelah kejang. Os kemudian dirujuk ke RSUD Muko-muko dan direncanakan untuk operasi tetapi setelah Lab keluar didapatkan trombosit (40.000/mm3) Kemudian pasien dirujuk ke RS. M. Djamil Padang dengan terpasang regimen MgSO4 dan urin kateter. Didalam perjalanan pasien kejang 1x, setelah kejang kesadaran mulai turun. Dari



hasil



pemeriksaan



darah



rutin



didapat



Hemoglobin



14,2,



lekosit



23.100/mm3, trombosit 49.000/mm3. Dari pemeriksaan kimia klinik didapat Natrium 134 mmol/L, LDH 6774 u/l, SGOT 317 mg/dl, SGPT 105 mg/dl dan D-dimer 7,157. Dari urinalisa didapat protein (+++). Hasil konsul mata kesan fundus eklampsia ringan ODS, anjuran terminasi kehamilan. Hasil konsul bagian jantung kesan G2P1A0H1 gravid 34-36 minggu +eklampsia antepartum+IUFD+HELLP Syndrom, terapi : Metildopa 3x500 jika TD≥160 mmHg. Hasil konsul penyakit dalam G2P1A0H1 gravid 34-36 minggu +eklampsia antepartum+IUFD+HELLP Syndrom. Hematuria e.c trombositopenia ,



Anjuran dari



Interne lanjutkan regimen SM, curcuma tablet 3 x 1, Metildopa 3x500, transfuse trombosit 10 unit, transfuse albumin 20% 1 fls. sistenol (bila demam), pantau ulang Hb, leukosit, hematokrit, trombosit, SGOT, SGPT, bilirubin post partum dan faal hemostasis bila terjadi perdarahan hebat, serta rawat bersama dengan subbagian ginjal dan hipertensi.



47



Saat itu ditegakkan diagnosa G2P1A0H1 gravid preterm 34-35 minggu + Eklampsia antepartum dalam regimen SM dosis maintenance dari luar + HELLP syndrom + IUFD. Bagaimana penatalaksanaan kasus ini? Kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Edema menyeluruh, proteinuria atau kedua-keduanya dapat menyertai hipertensi yang diinduksi atau diperberat oleh kehamilan. Keadaan ini disebut pre-eklampsia. Bila preeklampsia disertai kejang, maka keadaan ini disebut eklampsia. (Cunningham FG et all, 2014)



Eklampsia adalah suatu keadaan akut pada kehamilan, persalinan dan masa nifas dini yang ditandai oleh timbulnya kejang-kejang dan atau koma, dimana sebelumnya wanita hamil itu menunjukkan gejala pre-eklampsia. Kejang-kejang yang timbul bukanlah akibat kelainan neurologik. Terjadinya kejang pada eklampsia sampai saat ini masih belum dapat diterangkan. Diketahui pada eklampsia terjadi kekacauan fungsi pada banyak organ tubuh seperti susunan syaraf pusat, darah, hati, ginjal dan sistem kardiovaskuler. Kekacauan tersebut di atas tidak saja disebabkan oleh faktorfaktor medis obstetri tapi juga oleh keterlambatan penangan penyakit lain yang menyertainya atau menyulitkannya. Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low Platelet counts pertama sekali dilaporkan oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita preeklampsia berat. Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). Sindroma HELLP dikatakan merupakan varian yang unik preeklampsia. Sekali berkembang dengan cepat dapat menyebabkan penderita menjadi gawat, berakhir dengan kegagalan fungsi hati dan ginjal, respiratory distress syndrome pada penderita dan kematian ibu dan janin. (Cunningham FG et all, 2014, Longo 2012) Sampai saat ini penangan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia 48



kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru-paru janin dan memperbaiki gejala klinis ibu . Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi definitif. Penanganan sindroma HELLP lebih sulit bila dibandingkan dengan penanganan preeklampsia, disamping itu perlu penanganan multidisiplin. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap tekanan darah, balans cairan dan abnormalitas pembekuan darah.



Gb.1. Algoritme Penatalaksanaan Preeklampsia (dikutip dari Cunningham FG et al 2014) Pada pasien ini, Regimen SM dosis maintenance dilanjutkan, saat datang tekanan darah 200/110 mmHg. Pemeriksaan dada di dapat jantung dan paru dalam batas normal, yang lain-lain pemeriksaan fisik dalam batas normal. Denyut jantung janin tidak ada. Tanda-tanda inpartu tidak ada. Pasien direncanakan terminasi kehamilan dengan pematangan servik dengan misoprostol 50 mcg untuk partus pervaginam. Setelah itu dilakukan penilaian ulang 6 jam kemudian, namun tidak ada



49



kemajuan persalinan. Selanjutnya pasien diputuskan untuk terminasi perabdominam. (Cunningham FG et all, 2014)



Tabel 7. Indikasi untuk Persalinan pada wanita dengan usia kehamilan < 34 minggu pada pasien Preeklampsia. (dikutip dari Cunningham FG et al 2014) Etiologi dan patogenesis sindroma HELLP selalu dihubungkan dengan Preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Tompkins dan Thigarajah (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid baik Betametason



maupun



Deksametason



untuk



meningkatkan



pematangan



paru,



meningkatkan jumlah platelet, mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta memungkinkan untuk pemberian anastesia regional. Adanya sindroma HELLP tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan anak. Ibu yang 50



telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan  32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan.



(Cunningham FG et all, 2014)



Pada akhirnya pasien dilakukan terminasi secara perabdominam, dilakukan SCTPP pada pasien ini. Lahir seorang bayi laki-laki dengan: BB: 1900 gr, PB: 43 cm, A/S: 0/0. Plasenta lahir dengan sedikit tarikan ringan pada tali pusat lengkap 1 buah, ukuran 16x15x2,5 cm berat 450 gram, pajang tali pusat 45 cm, insersi parasentralis. Perdarahan selama tindakan 250 cc. Apa Penyebab Kematian Pada Kasus Ini?



Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian meternal utama disamping perdarahn dan infeksi. Di ICU keadaan penderita bertambah berat ditandai dengan penurunan tekanan darah, peningkatan nadi, penurunan pernafasan, penurunan saturasi O 2 serta peningkatan suhu, pada saat itu ditatalaksana dengan pemasangan ventilator dan pemberian dopamin dengan menggunakan seryng pump, 4 hari di rawat di ICU penderita meninggal. Pada penderita ini didapatkan adanya penurunan kesadaran sehingga di rawat di ICU. Gangguan kesadaran pada penderita dengan preeklampsia/eklampsia terjadi antara lain adanya hipertensi ensefalopati, cerebro vaskular accident (CVA), hilangnya autoiregulasi serrbral ataupun peningkatan tekanan intrakranial. Kadang-kadang



sindroma



ini



disertai



pula



dengan



hipoglikemia



yang



menyebabkan koma, hiponatremia hebat, buta kortikal. Kehamilan dengan sindroma ini seringkali berhubungan dengan komplikasi yang mengancam jiwa seperti koagulasi intravaskular diseminata (DIC), edema paru, sindroma gawat nafas, gagal ginjal akut, ruptur hati dan berbagai kelainan darah. (Cunningham FG et all, 2014) 51



Preeklampsia dapat menyebabkan komplikasi berupa gagl ginjal akut, yang secara laboratorium ditunjukkan dengan meningkatnya sisa metabolisme protein berupa ureum, kreatinin, asam urat serta gangguan keseimbangan elektrolit natrium dan kalium. Di sisi lain pada penderita terjadi reaksi sistemik dini yang ditandai dengan sirkulasi yang hiperdinamis yaitu dijumpai takikardia, yang pada hari berikutnya didapat gejala sirkulasi yang hipodinamik seperti kesadaran yang menurun, terjadi penurunan tekanan darah. Pada pasien ini telah terjadi keterlambatan penanganan dari awal, pasien tidak mendapatkan terapi yang optimal ditingkat primer dan sekunder, ditingkat primer pasien tidak mendapatkan pelayanan dari bidan setempat setelah di rujuk ke RSUD Muko-Muko barulah pasien mendapatkan regimen MgSO4. Saat pasien tiba di rumah sakit M. Djamil pasien dalam keadaan tidak sadar, tekanan darah yang tinggi dan protein urin positif dengan Kriteria Eden > 1, ini sudah menandakan prognosa yang buruk bagi pasien. Kehamilan pada pasien ini diterminasi dengan seksio sesarea karena servik yang belum matang



sehingga membutuhkan waktu yang lama jika



persalinan dilakukan pervaginam. Pada pasien ini penyebab kematian yang paling mungkin adalah kegagalan fungsi paru, jantung, gangguan koagulasi, dan HELLP sindrom. (Cunningham FG et all, 2014, Byne 2005) Kesimpulannya kematian pasien disebabkan multifaktorial akibat dari beratnya eklampsi yang terjadi pada pasien ini serta komplikasi HELLP memperburuk keadaan pasien ini.



BAB V KESIMPULAN 1.



Diagnosis pada kasus ini sudah tepat 52



2.



Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini cukup adekuat tetapi pada perkembangan selanjutnya penatalaksanaan yang diberikan kurang adekuat karena proses perkembangan perjalanan penyakit berlangsung cepat.



3.



Penyebab kematian yang paling mungkin pada penderita ini adalah multiorgan failure yaitu kegagalan fungsi paru, jantung, gangguan koagulasi, dan HELLP sindrom.



DAFTAR PUSTAKA Byrne CD, Wild SH. The Metabolic Syndrome. Wiley, England. 2005 Cunningham GF, et al. Pregnancy Hypertension. In Williams Obstetrics 23rd Edition. Mc Graw Hill Companies, New York. 2014 Dekker G. Hypertension. In High Risk Pregnancy 4 th Edition. Elsevier Saunders, Philadelphia. 2011 Drobny J. Clinical Study. Metabolic Syndrome and The Risk of Preeclampsia. Bratisl Lek Listy 2009 ;110(7): 401-403 53



Eiland E, Nzerue C, Faulkner M. Preeclampsia 2012. Journal of Pregnancy Volume 2012 Evruke C, et al. Comparison of lipid profile in normal and hypertensive women. Ann Saudi Med 2004; 24(5) : 382-385 Gabbe S , et al. Hypertension. In Obstetrics Normal and Problems Pregnancy 5 th Edition. Mosby Elsevier, Philadelphia. 2007 Gohil JT, Patel PK, Priyanka G. Estimation of Lipid Profile in Subjects of Preeclampsia. The Journal of Obstetrics and Gynecology of India (July–August 2011) 61(4):399–403 Grundy SM et al. Definition of metabolic syndrome: Report of the National Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association Conference on Scientific Issues Related to Definition. Circulation. 2004;109:433-438 Hubbel CA, Roberts JM, 2009. Metabolic Syndrome and Preeclampsia. In Chesley Hypertensive Disorders In Pregnancy 3rd Edition. Elsevier, Philadelphia. 2009 Jie Lu, et al. A follow-up study of women with a history of severe preeclampsia: relationship between metabolic syndrome and preeclampsia. Chinese Medical Journal 2011; 124(5): 775-779 Longo, et al. The Metabolic Syndrome : Introduction. In Harrisons’s Principles of Internal Medicine 18th Edition. The Mc Graw Hill Company, New York. 2012 Masuyama H, et al. Severe Superimposed Preeclampsia with Obesity, Diabetes and a Mild Imbalance of Angiogenic Factors. Acta Med Okayama 2012; Vol 66 No 2 : 171-175 Roberts JM, Gammil H. Insulin resistence in preeclampsia. Hypertension. 2006;47:341342



54