Pencegahan PE [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Manajemen Pre-Eklamsia



Gambar 2.2 Manajemen Ekspektatif Preeklamsia (POGI, 2016)



Manajemen aktif atau ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, dan solusio plasenta. Sebalikanya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata-rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat nafas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal, serta kematian neonatal (ACOG, 2013). 1. Perawatan ekspektatif pada pre eklampsia tanpa gejala berat (ACOG, 2013)



a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang darai 37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat b. Evaluasi yang dilakukan : 1) Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien 2) Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis 3) Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu 4) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam seminggu) 5) Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal direkomendasikan



Gambar 2.3 Tabel Manajemen Ekspektatif pada PE tanpa gejala pemberat



2. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat (ACOG, 2013)



a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil b. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preeklampsia berat, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin c. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk rawat inap untuk melakukan perawatan ekspektatif.



Gambar 2.4 Menejemen Ekspektatif pada Preeklampsia Berat (ACOG, 2013)



B. Tatalaksana Pre-Eklamsia



1. Magnesium Sulfat Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal (POGI, 2016). Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai sebagai terapi lini pertama profilaksis eklampsia. Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang. Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 gram selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 gram/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 gram bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang (RCOG, 2006).



Gambar 2.5 rekomendai pemberian MGSO4 (POGI, 2016)



2. Anti Hipertensi



European Society of Cardiology (ESC) Guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestansional (dengan atau tanpa proteiuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapapun. Pada keadaan lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥150/95 mmHg (Montan, 2004). a. Calsium Channel Blocker Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan (POGI, 2016). Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia berat 16 Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker (POGI, 2016) b. Beta blocker Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau



diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif (POGI, 2016). c. Metildopa Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg peroral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 2 gram/hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum disekresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intravena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 gram tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI (Scott, 2002). 3. Kortikosteroid Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤34 minggu untuk menurunkan risiko sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome/RDS) dan mortalitas janin serta neonatal, namun tidak bermakna apabila diberikan sebelum 28 minggu. Baik deksametason maupun betametason menurunkan bermakna kematian janin dan neonatal, RDS, dan perdarahan serebrovaskular. Pemberian betametason memberikan penurunan RDS yang lebih besar dibandingkan deksametason. Deksametason menurunkan risiko perdarahan intraventrikuler dibandingkan betametason (Brownfoot et al., 2008) C. Komplikasi Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskular, 4 kali peningkatan risiko hipertensi dan 2 kali risiko penyakit jantung iskemik, stroke dan DVT di masa yang akan datang. Risiko kematian pada wanita dengan riwayat preeklampsia lebih tinggi, termasuk yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular (POGI, 2016). Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi dibawah ini yang biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia (Wibowo, 2006) : 1. Solusio plasenta Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preeklampsia. 2. Perdarahan otak Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.



3. Edema paru-paru Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronchopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru. 4. Nekrosis hati Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklampsia merupakan akibat vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama pada enzim-enzimnya 5. Sindroma HELLP (Hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelet level) Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati SGPT dan SGOT, gejala subyektif seperti cepat lelah, mual, muntah dan nyeri epigastrium), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (