Pendekatan Diagnose Holistik Pada Penderita Kusta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA KUSTA DI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS)



ABSTRAK LATAR BELAKANG: Kusta dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang, seperti Indonesia. The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce menyatakan telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per 10.000 orang dipertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. HASIL: Tn. H, laki-laki,



umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm, datang ke



Puskesmas Cendrawasih dengan keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Dilakukan pemeriksaan dengan hasil TD 110/70 mmHg, pada status lokalis kulit ditemukan plaque yang eritematous dan berbatas tegas berukuran 2x2 cm sampai dengan 5x10 cm pada regio facia, auricula, thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior dan inferior, pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi, terdapat penebalan dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior sinistra dan dextra, terdapat gangguan fungsi sensorik setengah pada digiti IV dan digiti V kedua tangan serta kedua telapak kaki, pada pemeriksaan kerokan kulit didapatkan hasil indeks bakteri (IB) sebesar 1+. Tn. H didiagnosis menderita kusta tipe MB dengan cacat tingkat I dan reaksi kusta tipe I, kemudian ditatalaksana dengan regimen MDT 12 dosis selama 12-18 bulan dan prednison selama 12 minggu. Selama ini Tn. H tidak berobat ke dokter karena khawatir didiagnosa kusta. Tn. H tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga lainnya. Tn. H dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit kusta, anjuran untuk melakukan pengobatan kusta secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup. Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan penatalaksanana pasien dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis Evidence Based



1



Medicine. Perbaikan dapat dievaluasi setiap 2 minggu untuk melihat perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison dan setelah pengobatan dengan regimen MDT telah selesai untuk dinyatakan Release From Treatment (RFT) dengan tidak ditemukannya kelainan kulit baru tanpa memperhatikan pemeriksaan BTA. Kata Kunci: Kusta, Evidence Based Medicine, pelayanan dokter keluarga.



2



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Sampai saat ini, penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang, seperti Indonesia.1,2 The Indonesian Leprosy Elimination Taskforce menyatakan telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kusta, kurang dari 1 per 10 000 orang di pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.2 Keterlambatan diagnosis MH dapat mengakibatkan kerusakan saraf yang irreversibel, dan pada akhirnya mengalami cacat permanen. Cacat fisik yang disebabkan oleh kusta sering disalahpahami dan dianggap menakutkan oleh masyarakat. Penyakit ini masih terkait dengan stigma sosial yang tidak diinginkan yang sangat berdampak pada kemampuan fisik pasien, ekonomi, dan kehidupan sosialnya.2



1.2 Aspek disiplin ilmu yang terkait dengan judul pembahasan Untuk pengendalian permasalahan kusta pada tingkat individu dan masyarakat secara komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan berupa



pengelolaan



informasi,



landasan



ilmiah



ilmu



keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan. Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:



3



kedokteran,



a. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian kusta secara individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik moral dan peraturan perundangan. b. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis, sosial dan budaya sendiri dalam penangan kusta, melakukan rujukan bagi kasus kusta, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan. c. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian kusta. d. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik kedokteran. e. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu menyelesaikan



masalah



komprehensif baik



pengendalian



secara individu,



kusta



secara



holistik



dan



keluarga maupun komunitas



berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang optimum. f. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah kusta dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain. g. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer 1.3 Tujuan dan Manfaat Studi Kasus Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana



4



masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).



1.3.1



Tujuan Umum Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan



pelayanan



dokter



keluarga



secara



paripurna



(komprehensif) dan holistik, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine (EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta prinsip penatalaksanaan pasien.



1.3.2



Tujuan Khusus a. Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta menginterpretasikan hasilnya dalam menetukan diagnosis. b. Untuk mengidentifikasi permasalahan sosial dalam pengendalian kusta secara individu, keluarga, maupun masyarakat. c. Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level individu, keluarga, dan masyarakat dalam pengendalian kusta. d. Untuk



melakukan prosedur tatalaksana kusta sesuai Program



Pengendalian Penyakit Kusta Nasional sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.



1.3.3



Manfaat Studi Kasus a. Bagi Institusi Pendidikan. b. Bagi Penderita (Pasien). c. Bagi Tenaga Kesehatan.



5



d. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)



1.4 Indikator Keberhasilan Pengobatan Tujuan pengobatan adalah untuk memutus mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit kusta, dan mencegah terjadinya cacat atau bila telah terjadi cacat sebelum pengobatan akan mencegah bertambahnya cacat. Indikator keberhasilan pengobatan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine adalah: 



Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah teratur.







Perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison selama 12 minggu dievaluasi setiap 2 minggu.







Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan dengan regimen MDT (multidrug therapy) selesai sesuai klasifikasi kusta yang diderita, yaitu untuk penderita kusta Pauci baciler (PB) sebanyak 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dan untuk penderita kusta Multibaciler (MB) sebanyak 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan, dengan tidak ditemukannya kelainan kulit baru.







Penderita dinyatakan release from treatment (RFT) jika pengobatan dengan regimen MDT telah selasai tanpa melihat pemeriksaan laboratorium.







Tidak terjadi relaps setelah pasien dinyatakan RFT. Pasien dikatakan relaps apabila timbul kelainan kuit baru setelah penderita dinyatakan RFT, dan hasil BTA terjadi peningkatan Index Bakteriologi 2 atau lebih dibandingkan saat diagnosis.



Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan tindakan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan BTA.



6



BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN



2.1 Kerangka Teoritis Gambaran Penyebab Kusta Imunitas



Pemaparan oleh bakteri



Invasi Jaringan



Malnutrisi



PEJAMU PEKA



Kesesakan rumah



INFEKS



KUSTA



I Hygiene



Faktor Resiko Kusta



Mekanisme Kusta



2.2 Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah: - Comprehensive care and holistic approach - Continuous care - Prevention first - Coordinative and collaborative care - Personal care as the integral part of his/her family - Family, community, and environment consideration - Ethics and law awareness - Cost effective care and quality assurance - Can be audited and accountable care Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.



7



Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat dari beberapa aspek yaitu: 



Aspek personal : Keluhan utama, harapan, kekhawatiran.







Aspek klinis: diagnose klinis dan diagnose bandingnya







Aspek faktor resiko internal: perilaku kesehatan, persepsi kesehatan







Aspek faktor resiko eksternal: psikososial dan ekonomi keluarga, keadaan lingkungan rumah dan pekerjaan.







Derajat fungsional (1 - 5)



2.3 Penyakit Kusta 2.3.1 Definisi Kusta merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat inraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1 2.3.2 Epidemiologi Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini di tiap-tiap negara maupun dalam negara berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah cara penularan, patogenesis kuman penyebab, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.1 Prevalensi global kusta 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang mempengaruhi 0,91 dari 10.000 orang pada tahun 2008, menurut Departemen Kesehatan Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga melaporkan bahwa 17.441 kasus baru yang terdeteksi di Indonesia 8



pada tahun 2008, yang menempatkan negara Indonesia sebagai insiden tertinggi ketiga kusta di seluruh dunia.2 Epidemiologi penyakit kusta dapat juga digambarkan menurut Trias Epidemiologi yaitu agent, host, dan environmet sebagai berikut : a. Agent Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 x 0,5 Um, bersifat tahan asam serta gram positif. Masa tunasnya bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.1 Cara penularan belum diketahui secara pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab Mycobacterium leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Penderita yang mengandung Mycobacterium leprae sampai 103 tiap gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang hanya mengandung 107 basil tiap gram jaringan.1 Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, air susu ibu, dan jarang ditemukan di urin. Sputum dapat mengandung banyak Mycibacterium leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi kuman tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.1 b. Host Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. Mycobacterium leprae termasuk kuman yang obligat intraselular, dan sistem kekebalan yang paling efektif adalah kekebalan selular. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta



9



faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.1 Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit.1 c. Environment Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negar-negar berkembang sebgai



akibat



keterbatasan



kemampuan



negara



itu



dalam



memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas pedesaan. Pada lingkungan biologis dapat berupa kontak langsung dan berulang-ulang dengan penderita.1 Epidemiologi penyakit kusta juga dapat digambarkan menurut Variabel Epidemiologi yaitu person (orang), place (tempat), dan time (waktu), sebagai berikut :1 a. Distribusi menurut orang 



Distribusi menurut umur Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur



pada



saat



timbulnya



penyakit



mungkin



tidak



menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.



10







Distribusi menurut jenis kelamin Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang daripada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktr biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya lakilaki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.







Distribusi menurut etnik Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam suatu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta lepromatosa lebih banyak terjadi pada etnik China dibandingkan etnik Melayu dan India. Demikian pula kejadian kusta di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.



b. Distribusi menurut tempat Keadaan



berbagai



lingkungan



yang



dapat



mempengaruhi



penyebaran kusta salah satunya adalah lingkungan yang kumuh dan kotor. Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak menular kepada orang-orang yang sosial ekonominya tinggi.



11



c. Distribusi menurut waktu Terdapat 17 negara termasuk Indonesia yang melaporkan 1000 atau lebih kasus baru selama tahun 2005. 17 negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di dunia. Pada tahun 20022005 pada berbagai negara terjadi peningkatan kasus baru seperti di Republik Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Philipina. 2.3.3



Gejala Klinis Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tandatanda utama atau cardinal sign, yaitu:3 a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan



kulit/lesi



dapat



berbentuk



bercak



keputihan



(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia). b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguangangguan fungsi saraf tepi berupa: 



Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.







Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).







Gangguan fungsi otonom: kulit kering.



c. Ditemukannya Mycobacterium leprae pada pemeriksaan bakteriologis. Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap Mycobacterium leprae, yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan



12



saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf :1 a. Nervus ulnaris 



Anestesia pada ujung jari anterio kelingking dan jari manis.







Clawing kelingking dan jari manis.







Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.



b. Nervus medianus 



Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.







Tidak mampu aduksi ibu jari.







Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.







Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.



c. Nervus radialis 



Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.







Tangan gantung (wrist drop).







Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.



d. Nervus poplitea lateralis 



Anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis.







Kaki gantung (foot drop).







Kelemahan otot peroneus.



e. Nervus tibialis posterior 



Anestesia telapak kaki.







Claw toes.







Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.



f. Nervus facialis 



Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.







Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.



13



g. Nervus trigeminus 



Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer maupun sekunder.



Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya Nervus facialis yang dapat membuat paralisis Nervus orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mngakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Keadaan lagoftalmus dan ektropion yang disebabkan oleh penyakit lepra atau morbus hansen, pada umumnya disebabkan oleh adanya parese saraf fasialis yang akan menimbulkan komplikasi keratitis eksposure sampai bisa terjadi ulkus kornea.1,4 Tabel 1. Klasifikasi cacat1 Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat. Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 2 Terdapat kerusakan dan deformitas Cacat pada mata Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter) Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter Catatan : Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi, kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri dari kelenjar



keringat,



kelenjar



palit,



dan



folikel



rambut



dapat



mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat 14



timbul ginekomasti akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.1 2.3.4



Klasifikasi Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.



3



Klasifikasi bertujuan untuk:3  Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.  Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.  Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi menurut WHO.



1,3



a. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International 3



Leprosy Association di Madrid tahun 1953. b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)



Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap Mycobacterium leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah



15



dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous polar (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid polar (TT).



1,3



c. Klasfikasi menurut WHO (1981) Pada tahun 1981, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Multibasiler berarti mengandung banyak basil, yaitu tipe LL, BL, dan BB. Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT, dan I. Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi. Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Pausibasiler (PB)1 Sifat Lesi Bentuk



Jumlah Distribusi Permukaan Batas



Tuberkuloid polar (TT)



Borderline tuberculoid (BT)



Makula saja; makula dibatasi infiltrat Satu, dapat beberapa Asimetris Kering bersisik Jelas



Makula dibatasi infiltrat; infiltrat saja Beberapa atau satu dengan satelit Masih asimetris Kering bersisik Jelas



16



Indeterminate (I)



Hanya infiltrat



Satu atau beberapa Variasi Halus, agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas



Anestesia BTA Lesi kulit Tes lepromin



Jelas



Jelas



Tidak jelas sampai tidak ada



Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif negatif 1+ Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negatif



Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Multibasiler (MB)1 Sifat Lesi Bentuk



Jumlah



Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes lepromin



Lepromatosa polar (LL) Makula Infiltrat Papul Nodus Tidak terhitung, hampir tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat



Borderline lepromatosa (BL) Makula Plakat Papul



Mid bordeline (BB)



Plakat Dome-shaped (kubah) Punched-out dihitung, Dapat dihitung, ada kulit kulit sehat jelas ada



Sukar masih sehat Hampir simetris Halus berkilat



Tidak jelas Agak jelas Biasanya tidak jelas Tidak jelas Banyak (globus) Banyak Banyak (ada Biasanya negatif globus) Negatif Negatif



Asismetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Agak banyak Negatif Biasanya negatif



Tabel 4. Pedoman dalam menentukan klasifikasi kusta menurut WHO (1981)3 Tanda Utama Bercak kusta Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi Pemeriksaan bakteriologi



Pausibasiler (PB) 1 sampai dengan 5 Hanya 1 saraf



Multibasiler (MB) Lebih dari 5 Lebih dari 1 saraf



Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan asam (BTA) asam (BTA)



17



tahan



Tabel 5. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi kusta menurut WHO3 Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan Bercak mati rasa Ukuran Distribusi Permukaan Batas Kehilangan bercak



rasa



Pausibasiler (PB)



Kecil dan besar Unilateral atau bilateral asimetris Kering dan kasar Tegas pada Selalu ada dan jelas



Kehilangan kemampuan Selalu ada dan jelas berkeringat, rambut rontok pada bercak Infiltrat Kulit Tidak ada Membran mukosa



Tidak pernah ada



Ciri-ciri



Central healing



Nodulus Deformitas



Tidak ada Terjadi dini



2.3.5



Multibasiler (MB)



Kecil-kecil Bilateral simetris Halus, berkilat Kurang tegas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut Ada, kadang-kadang tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada Punched out lesion Madarosis Ginekomasti Hidung pelana Suara sengau Kadang-kadang ada Biasanya asimetris



Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Bakterioskopik Pemeriksaan bakteroskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif 18



pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil Mycobacterium leprae.1 Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi didesinfeksi kemudian dijepit diantara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang diambil harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil Mycobacterium leprae. Kerokan jaringan dioleskan pada gelas objek, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.1 Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil atau bahan olesan dengan kapas lidi. Selanjutnya diambil dari daerah septum nasi, dan dikerjakan seperti kerokan kulit lainnya.1 Kepadatan BTA tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuh sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai dengan 6+ menurut Ridley.indeks Bakteri tersebut adalah:1  0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).  1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP  2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP  3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP  4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP  5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP  6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP



b. Pemeriksaan Histopatologik Adanya proses imunologik mengakibatkan sel histiosit ke tempat Mycobacterium leprae untuk difagosit. Jika makrofag yang



19



datang berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan Sistem Imunitas Seluler (SIS) rendah, histiosit tidak dapat menghancurkan Mycobacterium leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.1 Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivatderivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.1 c. Pemeriksaan Serologik Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh Mycobacterium leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik tehadap Mycobacterium leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kDserta 35 kD. Sedangkan antibodi



yang



tidak



spesifik



antara



lain



antibodi



anti-



lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.1 Macam-macam pemeriksan serologik kusta ialah:1  Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)  Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)  ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick)



20



2.3.6



Pengobatan a. Kusta tipe PB5 Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa  Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)  2 Kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)  1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)  Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)  1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 6 Blister di minum selama 6-9 bulan b. Kusta tipe MB5 Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa  Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)  2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)  3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)  1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)  Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28  1 tablet Lampren 50 mg  1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) 1 blister untuk 1 bulan Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan



Tabel 6. Dosis MDT menurut umur pada penderita kusta tipe PB5 Nama Obat



< 5 tahun



5-9 tahun



21



10-14 tahun



> 15 tahun



Keterangan



Rifampisin



DDS



10-15 mg/ kgBB



300 mg/bulan



450 mg/bulan



600 mg/bulan



1-2 mg/kgBB



25 mg/hari



50 mg/hari



100 mg/hari



1-2 mg/kgBB



25 mg/hari



50 mg/hari



100 mg/hari



Minum di depan petugas Minum di depan petugas Minum di rumah



Tabel 7. Dosis MDT menurut umur pada penderita kusta tipe MB5 Nama Obat



< 5 tahun



5-9 tahun



10-14 tahun



> 15 tahun



Rifampisin



10-15 mg/ kgBB



300 mg/bulan



450 mg/bulan



600 mg/bulan



1-2 mg/kgBB



25 mg/hari



50 mg/hari



100 mg/hari



1-2 mg/kgBB



25 mg/hari



50 mg/hari



100 mg/hari



1 mg/kgBB



100 mg/bln



150 mg/bln



300 mg/bln



1 mg/kgBB



50 mg 2 kali seminggu



50 mg setiap 2 hari



50 mg/hari



DDS



Clofazimin



2.3.7



Keterangan Minum di depan petugas Minum di depan petugas Minum di rumah Minum di depan petugas Minum di rumah



Evaluasi Pengobatan Evaluasi pengobatan pada penderita kusta adalah sebagai berikut :5 a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT (Release From Tretment) tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT (Release From Tretment) tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.



22



c. RFT (Release From Tretment) dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta. d. Masa pengamatan. Pengamatan setelah RFT (Release From Tretment) dilakukan secara pasif: 



Tipe PB selama 2 tahun







Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium



e. Hilang/Out of Control (OOC) Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register pasien. f. Relaps (kambuh) Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT (Release From Tretment).



23



BAB III METODOLOGI STUDI KASUS



3.1 Waktu dan Lokasi Melakukan Studi Kasus 3.1.1 Waktu Studi Kasus Studi kasus dilakukan pada tanggal 22 Juni 2015 sampai dengan 11 Juli 2015. 3.1.2 Lokasi Studi Kasus Jln. Bulu Kumba 3 blok 3 /386, Kelurahan Sudiang Raya, Kecamatan Biring Kanaya.



3.2 Pengumpulan data dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when, dan how.



3.3 Pengumpulan data/informasi tentang penyakit atau permasalahan kesehatan dengan melakukan komunikasi personal dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.



24



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Hasil Studi Kasus 4.1.1



Anamnesis Tn. H, laki-laki, umur 33 tahun, BB 49 kg, TB 168 cm, datang ke poliklinik Puskesmas Sudiang Raya dengan keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Awalnya bercak kemerahan muncul di dada sebelah kiri, kemudian 3 bulan yang lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh. 1 bulan terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah dan daun telinga. Riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, dan debu tidak ada. Riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang sama tidak ada. Riwayat kontak terhadap penderita dengan keluhan yang sama ada, yaitu tetangga pasien. Selama ini Tn. H enggan berobat ke dokter karena khawatir didiagnosa kusta. Tn. H tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga lainnya. Tn. H dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit kusta, anjuran untuk melakukan pengobatan kusta secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup. Tn. H bekerja sebagai buruh di sebuah toko bahan bangunan, dan masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun. a. Pemeriksaan fisis 



BB 49 kg, TB 168 cm







TD 110/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, pernafasan 18 kali/menit, suhu 36,7º C







Status lokalis kulit ditemukan : pada regio facia, auricula, thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior dan inferior tampak plaque yang eritematous dan berbatas tegas yang berukuran 2x2 cm sampai dengan 5x10 cm, serta pada regio facia dan auricula tampak edema dan eritema.



25







Pemeriksaan rasa raba terhadap lesi : dengan menggunakan kapas yang ujungnya diruncingkan di dapatkan hasil bahwa pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi.







Pemeriksaan saraf: ditemukan bahwa terdapat penebalan saraf dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior sinistra dan dextra.







Pemeriksaan gangguan fungsi saraf yaitu pada pemeriksaan fungsi sensorik : pemeriksaan rasa raba pada tangan kanan ditemukan rasa raba setengah digiti IV dan digiti V kehilangan rasa, serta pada pemeriksaan rasa raba telapak kaki kanan dan kiri, ditemukan rasa raba pada kedua telapak kaki kehilangan rasa.



b. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan kerokan kulit yang dilakukan pada kedua daun telinga dan beberapa lesi yang aktif didapatkan hasil indeks bakteri (IB) sebesar 1+. 4.1.2



Keluarga  Tn. H tinggal serumah dengan ayah mertua, ibu mertua, 1 saudara ipar, istri, dan 1 orang anaknya, di rumah sederhana dengan ventilasi yang kurang memadai.  Tn. H tidak ingin anggota keluarganya mengetahui bahwa dirinya menderita kusta.



 Tn. H takut dipecat dari pekerjaannya jika benar dirinya menderita kusta. 4.1.3 Pemeriksaan Fisis  BB 49 kg, TB 168 cm  TD 110/70 mmHg, nadi 78 kali/menit, pernafasan 18 kali/menit, suhu 36,7º C  Status lokalis kulit ditemukan : pada regio thoraks, abdomen, punggung, ekstremitas superior dan inferior tampak plaque yang eritematous dan berbatas tegas yang berukuran 2x2 cm sampai



26



dengan 5x10 cm, serta pada regio facia dan auricula tampak edema dan eritema.  Pemeriksaan rasa raba terhadap lesi : dengan menggunakan kapas yang ujungnya diruncingkan di dapatkan hasil bahwa pasien tidak merasakan sentuhan kapas pada lesi.  Pemeriksaan saraf: ditemukan bahwa terdapat penebalan saraf dan nyeri raba pada nervus ulnaris dextra, nervus tibialis posterior sinistra dan dextra.  Pemeriksaan gangguan fungsi saraf yaitu pada pemeriksaan fungsi sensorik : pemeriksaan rasa raba pada tangan kanan ditemukan rasa raba setengah digiti IV dan digiti V kehilangan rasa, serta pada pemeriksaan rasa raba telapak kaki kanan dan kiri, ditemukan rasa raba pada kedua telapak kaki kehilangan rasa. 4.1.4 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan kerokan kulit yang dilakukan pada kedua daun telinga dan beberapa lesi yang aktif didapatkan hasil indeks bakteri (IB) sebesar 1+. 4.1.5 Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial) a. Diagnosa Klinis : Kusta tipe MB, dengan cacat tingkat I dan reaksi kusta tipe I b. Diagnosa Psikososial : kekhawatiran menderita kusta, takut diketahui oleh anggota kelurga lainnya bahwa dirinya menderita kusta, takut dipecat dari tempat kerja.



4.2 Aspek sosial c. Aspek Personal 



Tn. H, laki-laki, 33 tahun







Datang ke poliklinik Puskesmas Sudiang Raya dengan keluhan bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir. Awalnya bercak kemerahan muncul di dada sebelah kiri, kemudian 3 bulan yang



27



lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh. 1 bulan terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah dan daun telinga. Riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, dan debu tidak ada. Riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang sama tidak ada. Riwayat kontak terhadap penderita dengan keluhan yang sama ada, yaitu tetangga pasien. 



Kekhawatiran -



Takut menderita penyakit kusta



-



Takut anggota keluarga lainnya mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit kusta



-



Takut dipecat dari pekerjaannya jika benar dirinya menderita kusta







Harapan -



Tidak menderita kusta



d. Aspek Klinik  Bercak merah pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 3 bulan terakhir.  Awalnya bercak kemerahan muncul di dada sebelah kiri, kemudian 3 bulan yang lalu bercak menyebar ke seluruh tubuh. 1 bulan terakhir bercak kemerahan timbul pada wajah dan daun telinga c. Aspek Faktor Resiko Internal  Kurangnya pengetahuan tentang kusta  Kepatuhan dalam berobat kurang  Perilaku terhadap bercak kemerahan pada tubuh yang buruk  Gizi buruk d. Aspek Faktor Resiko Eksternal  Tinggal di rumah dengan ayah mertu, ibu mertua, 1 saudara ipar, isteri, dan 1 orang anak.  Tempat tinggal : Rumah susun sederhana, padat dan ventilasi kurang memadai.



28



 Pekerjaan sebagai buruh di sebuah toko bahan bangunan. e. Derajat Fungsional Tn. H masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun (derajat 1 minimal)



4.2.1 Genogram (Pohon keluarga) Pohon Keluarga



Keterangan : = Ayah mertua = Ibu mertua = Saudara ipar = Isteri = Tn. H, menderita penyakit kusta = Anak



4.3 komunikasi Promosi kesehatan dengan pendekatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). 1.



Perbaikan kondisi ventilasi rumah



2.



Meningkatkan status gizi



29



3.



Memperbaiki perilaku terhadap bercak kemerahan, misalnya tetap menjaga kebersihan diri.



4.4 tatalaksana  Terapi untuk Pasien  Medikamentosa : dengan regimen MDT 12 dosis selama 12-18 bulan. 1 blister (1 dosis) untuk 1 bulan. Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas) - 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) - 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) - 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28 - 1 tablet Lampren 50 mg - 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Sedangkan untuk reaksi kusta diberikan obat kortikosteroid berupa prednison dengan skema pemberian:  2 minggu I : 40 mg/hari (1x8 tablet) pagi hari sesudah makan.  2 minggu II : 30 mg/hari (1x6 tablet) pagi hari sesudah makan.  2 minggu III : 20 mg/hari (1x4 tablet) pagi hari sesudah makan.  2 minggu IV : 15 mg/hari (1x3 tablet) pagi hari sesudah makan.  2 minggu V : 10 mg/hari (1x2 tablet) pagi hari sesudah makan. 2 minggu VI : 5 mg/hari (1x1 tablet) pagi hari sesudah makan  Perbaikan status gizi (diet TKTP) yang disesuaikan dengan berat badan ideal dan istirahat di rumah agar tidak menular ke orang lain



30



 Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan tentang kusta, menyampaikan agar tetap menjaga kebersihan diri.  Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (dengan membuka pintu dan jendela khususnya pada pagi hari).  Motivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan pasien  Terapi untuk Keluarga  Proteksi diri dan edukasi untuk anggota keluarga yang tinggal serumah dengan Tn. H.



31



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil studi kasus kusta yang dilakukan di layanan primer (PUSKESMAS) mengenai penatalaksanaan kusta dengan pendekatan diagnosa holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang Tn. H didiagnosa menderita kusta tipe MB (multibasiler) dengan derajat cacat tingkat 1 dan reaksi kusta tipe 1 Trias epidemiologi pada kasus ini, Agent : Mycobacterium leprae, host : pasien Tn. H, environment : lingkungan rumah yang kumuh dan ventilasi rumah yang tidak memadai. Transmisi terjadi karena kontak yang lama dan erat terhadap penderita dengan keluhan yang sama (tetangga pasien). b. Permasalahan sosial : Tn. H takut diketahui oleh anggota kelurga lainnya jika benar dirinya menderita kusta, dan takut dipecat dari tempat kerja. c. Pemberian informasi untuk memperbaiki pengetahuan tentang kusta, edukasi tentang pengobatan secara teratur, modifikasi gaya hidup, dan memotivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan pasien. d. Tatalaksana medikamentosa kusta tipe MB yaitu pemberian regimen MDT 12 dosis selama 12-18 bulan, dan pemberian prednison selama 12 minggu untuk reaksi kusta. Evaluasi pengobatan setiap 2 minggu untuk melihat perbaikan reaksi kusta dengan pemberian prednison selama 12 minggu, dan setelah pengobatan dengan regimen MDT selesai untuk dinyatakan Relese From Treatment (RFT).



5.2 Saran Dari beberapa masalah yang ditemukan pada Tn. H berupa: penyakit kusta, pola hidup dan kebersihan rumah, serta gizi kurang, maka disarankan untuk: a. Melakukan screening kepada orang yang terkontak, yaitu anggota keluarga yang tinggal serumah dan teman kerja



32



b. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit kusta c. Memberikan penatalaksanaan kepada pasien dengan modifikasi gaya hidup berupa: -



Mengkonsumsi makanan yang seimbang dan penuh dengan vitamin



-



Menjaga kebersihan, kelembaban, dan pencahayaan di dalam rumah



-



Latihan fisik atau olahraga teratur



-



Berobat secara teratur.



DAFTAR PUSTAKA



33



1. Djuanda, Adhi, Prof. DR. dr. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Dalam : Kusta. 2011. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman : 64-72. 2. Widodo, Arini Astari, & Menaldi, Sri Linuwah. Characteristic of Leprosy Patient



in



Jakarta.



2012.



[cited



5



Juli



2015].



Available



at:



http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/1261/ 1237 3. Lubis, SR. Penyakit Kusta. 2013. [cited 5 Juli 2015]. Available at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37321/4/Chapter%20II.pdf. 4. Doemilah Ratna, Faradis Hani, Witjaksana Nugraha. Management of Paralitic Lagophthalmos caused by Leprosy Reaction. 2012. [cited 5 April 2015]. Available



at:



http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Lap%20Kas.%20dr.%20Hani%20F.pdf. 5. Makaminan,



A.



Morbus



hansen.



2012



.



[cited



5



Juli



2015].



http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-811408003-bab213082012035518.pdf 6. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977overview, 21 Februari 2011. 7. Menaldi,S. repository reaksi kusta. Dept. I.K. Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2010 8. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. 2012. Diunduh dari :http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf . 9. Dinkes Prov NTB. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instan Pemerintah (LAKIP) Tahun2012. 2012. Diunduh dari :http://dinkes.ntbprov.go.id/sistem/datadinkes/uploads/2013/10/LAKIP-Dinkes-Prov.-NTB-2012.pdf . 10. WHO, editor. Diagnosis of Leprosy. Available at :http://www.who.int/lep/dia gnosis/en/. Accessed on 5 Juni , 2014. 11. Pardenas Kelvin. Eritematous Nodus Leprosum. 2013. Diunduh dari :http://www.scribd.com/document_downloads/direct/120085024?extension=p df&ft=1399782214<=1399785824&user_id=78808612&uahk=pgsTREC1 EZBfIWHlM7wqD8NEyQA



34



12. Directorate General of Health Services Ministry of Health & Family Welfare. TrainingManual for Medical Officers. Nirman Bhawan : New Delhi. 2010. 13. Doerr S, Davis CP, editor. Leprosy Symptoms and Signs. Available at :http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page3_em.htm. Accessed



onJune



11 Th ,2015. 14. Donohue M, Krucik G, editor. Leprosy. Available at :http://www.healthline.c om/health/leprosy#Overview1. Accessed on June11th, 2015. 15. CDC, editor. Hansen’s Disease : Risk of Exsposure. Available at :http://www.cdc.gov/leprosy/exposure/index.html. Accessed on June 11 th ,2015



LAMPIRAN



35



1. Gambaran klinis sebelum pemberian regimen MDT dan prednison



Regio facia



Regio auricula



Regio thorax



Regio Abdomen



36



Regio punggung



Regio ekstremitas



2. Evaluasi perbaikan reaksi kusta setelah pemberian prednison 40 mg/hari selama 2 minggu:



37



Regio facia



Regio auricula



Regio thorax



Regio abdomen



38



Regio punggung



Regio ekstremitas



3. Tempat tinggal pasien 39



40