Pendidikan Karakter Kajian Teori Dan Praktek Di Sekolah, Dharma Kesuma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ROSDA



،S k



Drs. Dharma Kesuma, M.Pd. Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd. Dr. H. Johar Permana, MA ٠



Pendidikan Kajian Te o ri dan Praktik di Sekolah



— "٠٠٠٠٠٠٠,..



...



„,



‫‪Drs. Dharma iküsuma. M.Pd.‬‬ ‫آمﺀ ‪€‬‬



‫؛‪J:،M،Pd‬‬ ‫‪Triatrt‬‬ ‫‪.‬؛‪B s te‬‬



‫‪.‬ه‪h ٢‬ﻫﻞ ‪٥٢. H.‬‬



‫أ' ﻫﻳؤ‪'-‬روؤ‬



‫‪Pendidikan‬‬ ‫؛؛؛»‪i li ig‬‬



‫ء؛؛| إم‬



‫||| و ؟'"‬



‫آل؟‬ ‫ظﺈ؛‪:‬؛‪|:‬؛;‬



‫إأ ؟ ق|ﻣﺣﺊءام‬



‫‪Pr؛‬ ‫آ;ﺟﻪ ؛•‬



‫؟ ء؛ا ‪*،‬‬



‫آل‪.‬‬



‫ﺻس‪>-‬‬



‫س‪،‬ءهءﻫﻣؤ‬



‫ﻣﻜﺎ‪.‬أو‪5‬ا‬ ‫وك‬



‫ص ‪ :.,‬ﺳم ‪ ,‬ة‪ ،‬م ‪ ،‬س‪/‬؛ء‬



‫ه‬



‫‪Penerbit PT REM AJA ROSDAKARYABandung‬‬



Kajian Teori dan Praktik di Sekolah



RR.PK0133-03-2012 Penulis Drs. Dharma Kesuma, M.Pd. Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd. Dr. H. Johar Permana, MA. Editor Anang Solihin Wardan Desainer sampul Guvun Slamet Layout Kuswaya Diterbitkan oleh PT REMAJA ROSDAKARYA Jin. Ibu Inggit Gamasih No. 40 Bandung 40252 Tip. (022) 5200287 Fax. (022) 5202529 e-mail: ro.sdakaiyaCrosda.eo.id www.rosda.eo.id Anggota Ikapi . •



٠



Cetakan pertama, Mei 2011 Cptakap kedua, Agustus 2011 Cetakan ketiga, Juni 2012



Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis



ISBN 978-979-692-044-0 Dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya Offset - Bandung



Kata



Pengantar



egala puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan Hidayah, Inayah, dan Karunia-Nya, buku tentang “Pendidikan Karakter” ini dapat terselesaikan. Jika saja bukan karena kehendak-Nya, sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan bagi kami untuk melakukan sesuatu. Buku ini merupakan salah satu karya yang kami susun sebagai bentuk kontribusi Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) FTP UPI dalam mengembangkan teori dan praktik pendidikan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Selain didasarkan kepada pengalaman kami dalam mengembangkan kurikulum pendidikan karakter di sekolah, buku ini pun merupakan hasil refleksi dan diskusi-diskusi panjang yang diawali sejak bulan September 2009. Karenanya penyusunan buku ini pun tidak akan terwujud manakala tidak ada kontribusi pemikiran dari sejawat kami (P3) dalam berbagai diskusi. Dalam kesempatan ini kami haturkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berpikir bersama dalam berbagai kajian bulanan kami, yaitu Prof. Dr. Ahman, M.Pd., Prof. Dr. Mustofa Kamil, MA., Dr. H. Johar Permana, MA.



Dr. Hj. Emawulan, M.Pd & Drs. Dede Somarya, M.Pd. para dosen Jurusan Pedagogik FIP UPI, para pimpinan Laboratorium yang ada di lingkungan FIP, Dr. Dadang Rahman, M.Pd. Drs. Mastur Burhanudin, M.Pd., MM.Pd., selaku Kasie $٧٨ Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, Drs. Eef $aehtl ^F., M.Pd. Drs. Eryanto, M.Pd. tim pengembang kurikulum $٧٨ Provinsi Jabar, para pengelola, kepala sekolah dan guru-guru di Medco Foundation, Perguruan ٨! Azhar $}'‫؛؛‬a Budi Padalarang, Perguruan Daarul Hikam, dan semua pihak yang telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan di P3. Semoga Allah SWT memberikan kemulyaan dan keberkahan kepada mereka semua. Melalui buku ini kami berharap, semoga kajian mengenai teori dan praktik pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ke depan, kami mengajak berbagai pihak yang terkait dengan kajian pendidikan yang lebih baik untuk bergabung dalam berbagai kegiatan di P3. $emoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan kemudahan dan keikhlasan kepada kami untuk terus menjalani pengembangan teori dan praktik pendidikan untuk membangun bangsa/umat yang lebih baik menyongsong Indonesia emas. Bandung, Mei 20i 1 Tim Penulis



Daftar Isi Bab I Memaknai Pendidikan Karakter



1



A.



Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Bangsa Indonesia 1 .



B.



Pengertian Pendidikan Karakter



: 4



C. Tujuan pendidikan Karakter dalam Seling Sekolah D. Karakter yang Perlu Bagi Bangsa‫؛‬، Indonesia



11



1. Jujur 16 2. Kerja keras 17 3. Ikhlas 20 E. Analisis Persamaan dan Perbedaan Karakter, Akhlak, dan Moral 22



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah A.



B.



Rambu-Rambu Pengembangan Pendidikan Karakter 31 Elaborasi Pengetahuan Moral dari Lickona Pengetahuan moral 71 Elaborasi Perasaan Moral dari Lickona Perasaan moral 75 Tindakan moral 78



31



71 75



Rambu-Rambu Penyusunan dan Pengembangan Silabus dan RPP untuk Pendidikan Karakter 85



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter A.



B.



C.



91



Memaknai Desain Pembelajaran untuk Pendidikan Karakter 91 1. Makna Belajar dalam Pendidikan Karakter 2. Makna Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter 108 3. Dua Bentuk Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter 113 Model Reflektif 117 1. Asumsi Dasar 117 2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Reflektif 3. Proses Pembelajaran Model Reflektif 121 4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Reflektif



91



120



Model Pembelajaran Pembangunan Rasional 125 1. Asumsi Dasar Model Pembangunan Rasional (MPR) 125 2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Pembangunan Rasional (MPR) 128 3. Proses Pembelajaran Model Pembangunan Rasional (MPR) 129 4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Pembangunan Rasional (MPR) 135



Bab 4 Evaluasi Pendidikan Karakter A. Evaluasi Pendidikan Karakter B. Evaluasi Diri Anak 142 C. Penilaian Portofolio 147 Daftar Pustaka Biodata Penulis



155 159



137 137



125



RESUME



uku tentan g “Pendidikan K arak ter di Sekolah; K ajian Teori dan Praktik Desain, Proses, dan Evaluasi Pendidikan Karakter Latar Sekolah” merupakan buku vang mengajak para dosen, peneliti, guru, kepala sekolah, pengawas, pem buat kebijakan pendidikan di kab./kota, provinsi, dan nasional untuk mencemiati mengenai permasalahan pendidikan kita saat ini. Hasil kajian kami di Pusat Pengkajian Pedagogik UPI menunjukkan teori dan praktik pendidikan masih belum bersinergi. Teori yang sering dibahas di dunia perkuliahan belum teipadu dengan praktik yang terjadi di dunia praktik pendidikan, khususnya pada pendidikan iomial pada latar sekolah. Dengan latar belakang kondisi bangsa Indonesia yang dicirikan oleh krisis multidimensi dan keterpurukan dalam berbagai dimensi sem entara sum ber daya potensial bangsa ini pun tidak terkira melimpah ruah, tetapi kondisi yang dirasakan oleh banyak orang (rakyat) adalah jauhnya kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dari kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Kompleksitas masalah tidak dimaksudkan tuduhan kami terhadap kinerja pemerintah yang rendah, tetapi lebih kepada ajakan kepada sem ua pihak untuk v ii



,bersinergi dalam pemecahan masalah bangsa ini seeara simultan berkelanjutan, dan menyeluruh menuju Indonesia emas 2020 . Buku ini kami awali dengan kajian untuk memahami pendidikan karakter yang mengkaji secara khusris mengapa pendidikan karakter perlu untuk membangun dan mengeluarkan bangsa‫؛‬٨ dari krisis ‫؛‬ m ultidim mengenai ensi, lalu m akna kami pendidikan tegaskar ‫؛‬ karakter, tujuan pendidikan karakter, berbagai karakter yang perlu bagi bangsa Indonesia saat ini, dan eksplorasi mengenai persamaan dan perbedaan istilah yang sering ‘d igunakan dalam pendidikan .karakter Balam bab 2 kami m encoba m enyuguhkan desain pendidikan karakter yang kami geluti dari Septembei 2009. Bab ini m encoba m em berikan kom parasi m engenai desaitt pendidikan karakter dilihat dari silabus dan RPP, Dalam bal ini kam i m enegaskan bahw a pendidikan karakter y'airg kam i m aksud bukan m enam bah m ata p elajaran b aru a ta u m e n a m b a h SK d an KD baitt. P endidikan karakter dalam latar sekolah yang kam i bahas adalah pendidikan yang m engem balikan desain dan proses pendidikan sebagaim ana tertuang peraturan dalam pem teori ndang-undangan pedagogik d a i ‫؛‬ yang ada. Dalam bahasa l'ektoi' DPI disebut “resureksi,1’ m enghidupkan .kembali yang sridalr mati atau tertidur lam a Bab 3 kam i isi d e n g a n m odel-m odel p em b e laja ra n dalam perspektif pendidikan karakter. Kami m encoba m engungkap ‫ا؟اآاﻣﺤﻆ‬



pembelajaran, di sekolah1‫ وا‬.‫ آأ‬.‫ﻣﺤﻦ‬.selalu dikaitkan dengan nilai y ;;،«g dirujuk sekolah n KTSPvang dan tertuang dikeml^uigkan‫؛؛‬ dalam visi d oleli sekolah, ,^emalraml akan hal ini. maka ‫ﻳﺎ‬:‫أ؛‬،‫ ﺻﺊ‬nieiigeriai model ai'atr dalam pendidikan.'‫؛‬ peiatbel،i ‫م؛ﻟﺒﺎوط‬.‫ ا‬،‫ أم‬,mengarah ' p ntuk yaitu pembelaj،an n-‫؛‬ ;‫؛ اا'ألأﻳﺨﺄأأالب‬.‫آ‬ l.aa ;"■embd ajaran rellektit I‫'؛‬ ,.‫؛'؛‬ v'■ jauh ,nagian ini akan mengeksploras! mengenai hakikat, prinsip ' roses ' ,km evaluasi rnasmgmiasma pembelajaran ، Pada bab 4 , ١٢٨١٣،.' engenai mencoba bagaimana■»'‫؛‬ membahas mendesain, melakukan, dan mengolah evaluasi terhadap kepemilikan karakter yang dikembangkan daiam pembelajaran. Evaluasi juga dilengkapi dengan instrum en yang' dapat dijadikan rttjukan oleh .para pengkaji, peneliti, praktisi untuk m engev^tasi suatu Irarakter e،mr'a keseluruhan, buku $‫؛‬٨ ,mengkaji ‫؛‬ bagaim ana desain proses, dan evaluasi pendidikan karakter dalam latar sekolah ,



Buku ini merupakan salah satu program kami (P3) yang secara keseluruhan terlihat pada desain pedagogik bangsa. Pedagogik bangsa adalah suatu grand design aplikasi pedagogik dalam konteks pem bangunan bangsa Indonesia saat ini pada berbagai wilayah pendidikan. Sasaran pembangunan melalui pendidikan ini adalah pendidikan di persekolahan, pendidikan di keluarga, dan pendidikan di tempat kerja. Pendidikan di persekolahan meliputi pedagogik di TK, SD, SMP, SM A, SMK, dan perguruan tinggi. Pedagogik di keluarga meliputi pedagogik pada keluarga di m asyarakat perkotaan, m asyarakat pinggiran kota, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat. Pedagogik di tempat kerja meliputi pedagogik pada organisasi pem erintah, pedagogik pada organisasi bisnis, dan pedagogik pada organisasi sosial nonpemerintahan. Gambaran keseluruhan pedagogik bangsa ini dapat dilihat bagan berikut ini.



IX



Gambar ٦ Road map kegiatan penyusunan desain teori dan praktik pedagogik bangsa



١



f



: i cr



—>



Pedagogik di TK



M



Pedagogik di‫| ؛‬



٢٨



Pedagogik di SMP



=‫؛‬ ٢٨ “0D CL



,



0



Pedagogik di SMA



٢٥



O ٢٥



\



Pedagogik di SMK



/



Pedagogik di PT



Pedagogik masyarakat perkotaan



0 o



H



CL



o_



o



٢٥



“00 Q 0l ٢٥ O ٢٥ 7T V



Pedagogik masyarakat pinggiran kota



Pedagogik masyarakat pedesaan y



١



m



9L 0٢٨



Pedagogik masyarakat adat



Pedagogik masyarakat organisasi pemerintah



Pedagogik masyarakat organisasi bisnis



٥.



0



٢٥



O ٢٥ 7T V



y



Pedagogik masyarakat organisasi sosial non pemerintah



kcn



Memaknai Pendidikan Karakter



A. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945 memiliki kondisi yang unik dilihat dari perkembangannya sampai saat ini. Kurang lebih sudah 65 tahun Rakyat Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara secara merdeka yang diakui oleh negara-negara lain di dunia. Keunikan ini tidak saja dilihat dari keberagaman komponen dan kekayaan yang dimiliki bangsa ini, tetapi juga dilihat dari kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini. Komponen bangsa Indonesia terdiri dari beragam konteks sosial dan budaya yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dikategorikan sangat melimpah disertai dengan letak kepulauan yang berada di lintasan khatulistiwa, tanah yang subur, air yang melimpah, udara yang segar, kekayaan sumber enegi dan mineral yang melimpah di dalam tanah dan laut, semuanya memberikan keunikan terhadap bangsa ini.



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Namun demikian, keunikan juga dapat kita lihat dari kondisi yang ada, dirasakan, dan telah menjadi ciri khas bangsa ini. Seharusnya dengan kondisi sosial budaya dan kekayaan alam yang melimpah, rakyat Indonesia dapat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dari waktu ke waktu. Kenyataan yang dialami oleh bangsa ini menunjukkan kondisi yang berbeda dengan logika kekayaan sosial, budaya dan alam. Kondisi yang dialami menunjukkan bahwa kekayaan alam tereksploitasi besar-besaran, pembangunan industri terjadi terus-menerus (walaupun kondisinya turun naik dari waktu ke waktu), dan pergantian pemerintahan terus berlangsung dari waktu ke waktu secara damai, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia belum mendapatkan dan mengalami kehidupan yang makmur dan sejahtera. Berbagai pengalaman ini menunjukkan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang dan pihak bertanyatanya, “apa yang salah dengan bangsa ini?” dalam berbagai perspektif? sudut pandang orang banyak jawaban yang menjadi hipotesis masing-masing orang dan pihak. Sejenak, mari kita melihat beberapa indikasi tentang "apa yang salah dengan bangsa ini?” 1.



2



Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja (generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Data hasil survey mengenai seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukkan 63% remaja Indonesia melakukan seks bebas, (www.wahdah.or.id/ wis/index2.php?option=com_content&do_pdf...). Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz, data itu merupakan hasil survai oleh sebuah lembaga survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2008. Sedangkan remaja korban narkoba di Indonesia ada 1,1 juta orang atau 3,9% dari total jumlah korban (http://hizbut-ta.hrir.or. id/2009/12/01/jabar-masih-darurathivaids-dan-seks-bebas/.). Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318 Memaknai Pendidikan Karakter



siswa dari total 1.64?.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa di antaranya meninggal dunia, (http://www.beritajaka.rta. com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=32527&idwil=0). Pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (Lulusan SMA, SMK dan perguruan tinggi). Data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan, lulusan SMK tertinggi yakni 17,26%,', disusul ^ a ^ S M A ( ^ o l ^ Menengah Atas) 14,31%, lulusan universitas 12,59%, serta Diploma LII/III 11,21%). Tamatan SD ke bawah justru paling sedikit menganggur yakni 4,57 persen dan SMP 9,39%, SMA 9,43 jiwa (8,46%). (sumber: http://\Wi>w.tribunjabar. co.id/read/artikeI/4317/tentangkami). Rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila, kejahatan, tindakan kriminal pada semua sektot' pembangunan, dll). Korupsi semakin bertambah merajalela. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (1PK) Indonesia tahun 2009 ini naik menjadi 2,8% dari 2,6% pada tahun 2008. Dengan skor ini, peringkat Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni berada di urutan 111 dari 180 negara (naik 15 posisi dari tahun lalu) yang disurvai IPK-nya oleh Transparancey International (Tl). (http:// www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=942). Bencana yang sering/terus berulang dialami oleh bangsa Indonesia (dapat diduga sebagai azab atau bodohnya bangsa ini dalam memecahkan masalah lingkungan, seperti banjir, longsor, kebakaran). Wilayah Indonesia dilanda 6.632 kali bencana selama kurun waktu 13 tahun (1997-2009) yang menunjukan negara ini sebagai daerah rawan bencana di dunia. Bencana paling banyak terjadi pada tahun 2008 >ang mencapai 1.302 kali. (Ridwan Yunus: programme Asociate Crisis Prevention and Rocovery Unit lembaga PBB, UNDP yang juga Koordinator Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana), (http:// www.republika.co.id/berita/104656/indonesia-dilanda-6632-bencanaselama-1997-2009). Kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah, llal ini sebagaimana dikemukakan oleh BPS (online: http://www. targetmdgs.org/index.php?option=com_content&task=view&id~734 <emid=5).



Memaknai Pendidikan Karakter



6.



Daya kompetitif yang rendah, sehingga banyak produk dalam negeri dan sumber daya manusia yang tergantikan oleh produk dan sumber daya manusia dari negeri tetangga atau luar negeri.



7.



Inefisiensi pembiayaan pendidikan. Inefisiensi biaya pendidikan ini dapat diidentifikasi dari rendahnya dampak yang dihasilkan dari biaya yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan baik mikro, messo, maupun makro. Angka pengangguran yang terus bertambah menunjukkan bahwa lulusan pendidikan persekolahan kita sampai saat ini belum mampu menjawab perubahan zaman dan kompetisi yang ketat dengan bangsa-banga lain. (Dikembangkan dari naskah Pusat Pengkajian Pedagogik, 2010: 1- 2 )



Fenomena nyata yang dialami dan terjadi pada bangsa ini sebagaimana tergambar dalam data-data tersebut menunjukkan bahwa “sungguh unik bangsa ini.” Pandangan tentang keunikan ini harus mengarahkan pandangan dan pikiran kita untuk menelaah lebih jauh mengenai apa penyebabnya, bagaimana memecahkannya, dan bagaimana bangsa ini dibangun untuk masa depan yang lebih baik, serta sukses di dunia dan bahagia di akhirat. Pembentukan Negara Indonesia bukan suatu yang kebetulan, tetapi berdasarkan pada cita-cita luhur bangsa Indonesia yang dapat kita lihat secara nyata dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan yang dideklarasikan pada 65 tahun ke belakang oleh Soekarno dan Mohamad Hatta dan juga dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945.



B. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan dilihat dari perilaku lulusan pendidikan formal saat ini, semisal korupsi, perkembangan seks bebas pada kalangan remaja, narkoba, tawuran, pembunuhan, perampokan oleh pelajar, dan pengangguran lulusan sekolah menengah dan atas. Semuanya terasa lebih kuat ketika negara ini dilanda krisis dan tidak kunjung beranjak dari krisis yang dialami. 4



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Istilah pendidikan karakter masih jarang didefinisikan oleh banyak kalangan. Kajian secara teoretis terhadap pendidikan karakter bahkan salah-salah dapat menyebabkan salah tafsir tentang makna pendidikan karakter. Beberapa masalah ketidaktepatan makna yang beredar di masyarakat mengenai makna pendidikan karakter dapat diidentifikasi di antaranya sebagai berikut. 1.



Pendidikan karakter = mata pelajaran agama dan PKn, karena itu menjadi tanggung jawab guru agama dan PKn.



2.



Pendidikan karakter = mata pelajaran pendidikan budi pekerti.



3.



Pendidikan karakter = pendidikan yang menjadi tanggung jawab keluarga, bukan tanggung jawab sekolah.



4.



Pendidikan karakter = adanya penambahan mata pelajaran baru dalam KTSP.



5.



Dan sebagainya.



Berbagai makna yang kurang tepat tentang pendidikan karakter itu bermunculan dan menempati pemikiran banyak orang tua, guru, dan masyarakat umum. Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi (2004:95), “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010:1): “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi tersebut, ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku. Dalam konteks kajian P3, kami mendefinisikan pendidikan karakter dalam seting sekolah sebagai “Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.” Definisi ini mengandung makna: 1) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran;



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



I



5



2)



diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak seeara utuh. Asumsinya anak merupakan organisme manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan diambangkan;



3)



penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah (lembaga).



C. Tujuan Pend‫؛‬dilاﻳﺊ’ا‬, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa sehamsnya memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia/bangsa Indonesia. Fungsi ini amat berat untuk dipikul oleh pendidikan nasional, terutama apabila ،،‫؛‬kaitkan dengan siapa yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan hrngsi ini. M em adai Pendidikan Karakter



“Mengembangkan kemampuan” dapat dipahami bahwa pendidikan nasional menganut aliran konstruktivisme, yang mempercayai bahwa peserta didik adalah manusia yang potensial dan dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Artinya setiap layanan pendidikan yang ada di Indonesia harus dipersepsi secara sama bahwa peserta didik itu memiliki potensi yang luar biasa dan perlu di fasilitasi melalui proses pendidikan untuk mengembangkan potensinya. Namun demikian, kemampuan apa yang harus dikembangkan oleh pendidikan itu masih belum tersirat secara jelas, apakah kemampuan watak yang perlu dikembangkan dalam pendidikan atau kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan religi, ini pun belum secara jelas dapat dipahami dari pernyataan UUSPN tersebut. Dalam konteks pendidikan karakter, kami melihat bahwa kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada konsep ketuhanan) dan mengemban amanah sebagai pemimpin di dunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik Indonesia adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Fungsi kedua, “membentuk watak” mengandung makna bahwa pendidikan nasional harus diarahkan pada pembentukan watak. Pendidikan yang berorientasi pada watak peserta didik merupakan suatu hal yang tepat, tetapi perlu diperjelas mengenai istilah perlakuan terhadap "watak”. Apakah watak itu harus "dikembangkan”, “dibentuk”, atau “difasilitasi”. Perspektif pedagogik, lebih memandang bahwa pendidikan itu mengembangkan/menguatkan/memfasilitasi watak, bukan membentuk watak. Jika watak dibentuk, maka tidak ada proses pedagogik/pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran. Perspektif pedagogik memandang dan mensyaratkan untuk terjadinya proses pendidikan harus ada kebebasan peserta didik sebagai subjek didik, bukan sebagai objek. Jika peserta didik diposisikan sebagai objek, maka hal ini tentu bertolak belakang dengan fungsi yang pertama, bahwa pendidikan itu berfungsi untuk mengembangkan kemampuan yang dilandasi oleh pandangan konstruktivisme. Memaknai Pendidikan Karakter



7



Fungsi ketiga “peradaban bangsa”. Dalam spektrum pendidikan nasional dapat dipahami bahwa pendidikan itu selalu dikaitkan dengan pembangunan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa. Apabila dikaitkan dengan indikator peradaban seperti apa yang dapat merepresentasikan pendidikan nasional dan siapa yang bertanggungjawab untuk fungsi ini maka kondisi ini menjadi samar atau tidak. Dalam persfektif pedagogik, pendidikan itu berfungsi untuk menjadikan manusia yang terdidik. Apakah manusia terdidik akan menjadikan bangsanya terdidik? Menjawab hal itu, maka ada sejumlah kondisi lain untuk dapat menjadikan bangsa yang beradab, seperti sistem kenegaraan, situasi dan kondisi negara, dan situasi serta kondisi global. Jadi tidak serta merta (otomatis) manusia yang terdidik akan menjadikan bangsa yang beradab. Analisis ini merujuk pada waktu terwujudnya sejak dimilikinya manusia terdidik sampai terwujudnya bangsa yang terdidik itu akan memerlukan waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, bangsa yang beradab merupakan dampak dari pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik. Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas mengandung filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau dilengkapi. Sebab filosofi pendidikan educare lebih cenderung mau mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan. Karena itu, filosofi pendidikan educare amat memberi penekanan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian yang baku dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses pendidikan tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya pemberian materi. Lalu bagaimana dengan karakter yang harus muncul dan menjadi pribadi anak? Apakah hal ini juga dievaluasi menjadi syarat kelulusan pada jenjang tertentu? Bukankah tujuan pendidikan lebih menekankan pada karakter bukan simplikasinya (penyederhaan) dalam bentuk skor yang tidak mencerminkan atau bertolak belakang dengan perilaku nyata peserta didik/lulusan. Singkat kata, bahwasanya tujuan pendidikan nasional mengarah pada pengembangan berbagai karakter manusia Indonesia, walaupun dalam penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksudkan dalam UU. Secara singkat, pendidikan nasional seharusnya pendidikan karakter bukan pendidikan akademik semata. Akan hal ini, Sunaryo Kartadinata (2010:3) menegaskan: Memaknai Pendidikan Karakter



Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian, seperti halnya ujian nasional, adalah sebuah kemunduran, karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini menempatkan peserta didik sebagai pelajar imitatif dan belajar dari ekspose-ekspose didaktis yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas. Lalu apa tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah? Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut: 1.



menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian? kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan;



2.



mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah;



3.



membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.



Tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam seting sekolah bukanlah sekedar suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian manusia, termasuk bagi anak. Penguatan juga mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasan yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam seting kelas maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di rumah. Berdasakan kerangka hasil/output pendidikan karakter seting sekolah pada setiap jenjang, maka lulusan sekolah akan memiliki Memaknai Pendidikan Karakter



sejumlah perilaku khas sebagaimana nilai yang dijadikan rujukan oleh sekolah tersebut. Lalu bagaimana dengan prestasi akademik peserta didik? Apakah prestasi akademik mereka juga menjadi tujuan yang harus dicapai oleh anak atau tidak? Asumsi yang terkandung dalam tujuan pendidikan karakter yang pertama ini adalah bahwa penguasaan akademik diposisikan sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan pengembangan karakter. Atau dengan kata lain sebagai tujuan perantara untuk terwujudnya suatu karakter. Hal ini berimplikasi bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara kontekstual. Tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengkoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang pedagogis, bukan suatu pemaksaan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjang sekolahnya. Apabila digambarkan sebagai berikut:



Perilaku positif/ Mengarah positif (+)



Perilaku negativ/ Mengarah negatif (-)



٠ \



\ ٠



Koreksi Pola pikir/mindset/ paradigma Keteladanan dari lingkungan Pembiasaan di kelas, sekolah,



٠



٠ ٠



٠



٢



Penguatan Pola pikir/mindset/ paradigrrla Keteladanan dari lingkungan Pembiasaan di kelas, sekolah dan



T / /



Gambar 1.1. Proses koreksi pada perilaku negatif



Tujuan ketiga dalam pendidikan karakter seting sekolah adalah membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan Memaknai Pendidikan Karakter



karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada interkasi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan sangat sulit diwujudkan. Mengapa demikian? Karena penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak. Dalam setiap menit dan detik interaksi anak dengan lingkungannya dapat dipastikan akan terjadi proses mempengaruhi perilaku anak. Pertanyaannya apakah proses yang dialami oleh anak ini menguatkan atau bahkan melemahkan karakter yang dibangun oleh sekolah?



D. Karakter yang Diperlukan Bangsa Indonesia Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku anak itulah yang disebut karakter. Jadi suatu karakter melekat dengan nilai dari perilaku tersebut. Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Hanya barangkali sejauhmana kita memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam perilaku seorang anak atau sekelompok anak memungldnkan berada dalam kondisi tidak jelas. Dalam arti bahwa apa nilai dari suatu perilaku amat sulit dipahami oleh orang lain daripada oleh dirinya sendiri. Dalam kehidupan manusia, begitu banyak nilai yang ada di dunia ini, sejak dahulu sampai saat ini. Beberapa nilai dapat kita identifikasi sebagai nilai yang penting bagi kehidupan anak baik saat ini maupun di masa yang akan datang, baik untuk dirinya maupun untuk kebaikan lingkungan hidup di mana anak hidup saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlak/perilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi Muhamad Saw, yaitu: (1) sidik, (2) amanah, (3) fatonah, (4) tablig. Tentu dipahami bahwa empat nilai ini merupakan esensi, bukan seluruhnya. Karena Nabi Muhamad Saw. juga terkenal dengan karakter kesabarannya, ketangguhannya, dan berbagai karakter lain. Sidik yang berarti benar, mencerminkan bahwa Rasulullah berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar, Memaknai Pendidikan Karakter



dan berjuang untuk menengakkan kebenaran. Amanah yang berarti jujur atau terpercaya, mencerminkan bahwa apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan Rasulullah dapat dipercaya oleh siapa pun, baik oleh kaum muslimin maupun nonmuslim. Fatonah yang berarti cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan profesional. Artinya, perilaku Rasullah dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya dalam memecahkan masalah. Tablig yang bermakna komunikatif mencerminkan bahwa siapa pun yang menjadi lawan bicara Rasullullah, maka orang tersebut akan mudah memahami apa yang dibicarakan/dimaksudkan oleh Rasulullah. Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku/karakter dari berbagai pihak. Di bawah ini berbagai nilai yang dapat kita identifikasi sebagai nilai-nilai yang ada di kehidupan saat ini. Tabel 1.1. Nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupan manusia



Nilai yang terkait dengan diri sendiri



Nilai yang terkait dengan orang/makhluk lain



Nilai yang terkait dengan ketuhanan



Jujur



Senang membantu



Ikhlas



Kerja keras



Toleransi



Ikhsan



Tegas



Murah senyum



Iman



Sabar



Pemurah



Takwa



Ulet



Kooperatif/mampu bekerjasama



Dan sebagainya



Ceria



Komunikatif



Teguh



Amar maruf (menyeru kebaikan)



Terbuka



Nahi munkar (mencegah kemunkaran)



Visioner



Peduli (manusia, alam)



Mandiri



Adil



Tegar



Dan sebagainya



Pemberani Reflektif Tanggung jawab Disiplin Dan sebagainya



12



I



Memaknai Pendidikan Karakter



Tabel 1.2. Nilai yang dikembangkan oleh Arry Ginanjar dalam 7 budi utama No



Tujuh budi (nilai) yang diusung



1.



Jujur



2.



Tanggung jawab



3.



Visioner



4.



Disiplin



5.



Kerja sama



6.



Adil



7.



Peduli



Apa yang dirumuskan oleh Ary Ginanjar Agustian di atas merupakan hasil refleksi terhadap peijalanan bangsa ini dari waktu ke waktu. Secara umum, kondisi bangsa yang dirasakan saat ini berbeda dengan apa yang menjadi karakteristik bangsa. Ary Ginanjar (2008: iv-v) mengemukakan: Kini yang utama bukanlah "budi”. Karena itu bangsa Indonesia mengalami krisis yang luar biasa karena yang utama pada bangsa ini adalah “kekuasaan”, “harta”, dan "jabatan”. Sementara itu budi, moral, etika, akhlak, tidak lagi dinomorsatukan. Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman (2005 :xvii) dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Lelaki Shalih mengemukakan sejumlah karakter lelaki salih yang secara garis besar digambarkan sebagai lelaki yang bersih jiwanya, lurus akidahnya, dan benar amalnya. Karakter lelaki saleh menurut beliau yaitu: Tabel 1.3 Karakter lelaki salih menurut Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman No 1.



Sifat dan Karakter Ikhlas dalam beramal



2. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya 3.



Program hidupnya Jihad fi Sabilillah



4.



Sangat rindu syahid fi sabilillah



5.



Sabar menghadapi ujian Allah



6.



Negeri akhirat tujuan utamanya



Memaknai Pendidikan Karakter



I



I3



7.



Sangat takut kepada Allah dan ancaman-Nya



8.



Bertobat dan mohon ampun atas dosa-dosanya



9.



Shalat malam menjadi kebiasaannya



10. Zuhud dunia dan mengutamakan akhirat



‫؛‬



‫؛‬



11. Tawakal kepada Allah 12.



Senantiasa gemar berinfak



13.



Kasih sayang sesama mukmin dan keras terhadap orang kafir



14. Senantiasa berdakwah dan amar ma'ruf nahi munkar Kuat memegang amanah, janji, dan rahasia



i



Bersikap santun menghadapi kebodohan manusia



16.



17. ‫ ؛‬Cinta kasih dan penuh pengertian terhadap keluarga



Tabel 1.4 Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan menurut Indonesia Heritage Foundation (IHF) No



Karakter



1.



Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)



2



Kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)



3.



Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)



4.



Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience)



5.



Dermawan, suka menolong dan gotong royong (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)



6



Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcarefulness, courage, determ ination and enthusiasm)



7.



Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)



8.



Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)



9



Toleransi dan kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)



Sumber: Ratna Megawangi, 2004:95



Untuk kepentingan pendidikan karakter dalam seting sekolah, sekolah perlu mengembangkan sejumlah nilai yang dianggap penting untuk dimiliki setiap lulusannya. Dalam perspektif Lickona (1991:43), nilai yang dianggap penting untuk dikembangkan menjadi karakter ada dua, yaitu respect (hormat) dan responsibility (tanggung



14



I



Memaknai Pendidikan Karakter



jawab). Lickona menganggap penting 1:) pembangunan kesehatan pribadi seseurang, (2) menjaga hubungan interpersonal, (3) sebuah masyarakat yang manusiawi dan demokratis, dan (4) dunia yang lebih adil dan damai. Nilai yang manakah yang perlu t‫؛‬ntuk kondisi bangsa ‫)اأآاا‬:«‫اﺗﺈﺑﻢ' اآ‬ saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini setiap orang dan setiap pihak akan memiliki alasan I^sing-m asing untuk memilih nilai yang dianggap penting untuk pembangunan Indonesia. Untuk memudahkan kita memilih nilai yang mana yang perlu dikembangkan oleh bangsa saat ini dan ke depan, maka perlu untuk dikaji mengenai kondisi dan pem iasalahan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan nicisyarakat vang cerdas, adil dan m akm ur sebagaimana dicita-citakan oleh pendiri negara Indonesia. Kondisi bangsa Indonesia dikatego.'ikan dalam kondisi ‫ ة؛ةل[’ آأ‬, bahkan bukan satu krisis, tetapi krisis multidimensi. Istilah krisis semakin terkenal dalam benak bangsa ini sejak tahun 1997/1998, dim ana pada saat itu terjadi resesi ekonomi yang cukup berat, tidak saja di Indonesia, tetapi juga m elanda Asia. Sejak krisis taliun 1997, krisis yang dirasakan oleh bangsa ini semakin terasa penurunan nilai rupiah terhadap m ata uang dolar, penutupan berbagai industri, korupsi, dan berbagai lenomena terasa begitu menyakitkan liati rakyat. Dalam petjalanannya, krisis ekonomi vang semakin terasa sejak tahun 1997 tidak berhenti pada tahnn tersebut, tetapi masih terasa sampai saat ini (tahun 201 ‫ أه‬. Bahkan pada sebagian sisi kehidupan, krisis ini menjadi semakin parah, seperti praktik korupsi yang .sampai tingkat paling rendah. Kenyataan lain adalah perilaku seks bebas di bilangan generasi m uda semakin tidak terbendung oleh nasihat dan didikan para orang tna di n‫؛‬nial'i masing-masing. Peredaran narkoba vang semakin menggurita di kalangan generasi muda terus rneroket dari tahun ke taliun. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, peredarannya sudah menjalar di kalangan pelajar. Banyak lagi kondisi vang semakin paral'1. Semuanya ' bahwa krisis '.,ang dialami bangsa Indonesia bukan krisis biasa tetapi krisis ‫ ﺟﻠﻘﻮ'ا‬Simpleks. Krisis yang m elibatkan sem ua sisi kehidupan ‫؛‬sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, pertahanan, dan keamanan) bangsa. Memaknai Pendidikan Karakter



Dalam kajian Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa saat ini adalah sebagai berikut.



I. Jujur M akna jujur. Jujur m erupakan sebuah karakter yang kami anggap dapat membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jujur dalam kamus Bahasa Indonesia dimaknai dengan lurus hati; tidak curang. Dalam pandangan umum, kata jujur sering dimaknai “adanya kesamaan antara realitas (kenyataan) dengan ucapan”, dengan kata lain "apa adanya”. Jujur sebagai sebuah nilai m erupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan/atau perbuatan) bahw a realitas yang ada tidak dim anipulasi dengan cara berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan dirinya. Kata jujur identik dengan “b en ar” yang lawan katanya adalah “bohong”. Makna jujur lebih jauh dikorelasikan dengan kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan memiliki makna kepentingan orang banyak, bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi semua orang yang terlibat. Dalam konteks pem bangunan karakter di sekolah, kejujuran menjadi amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia saat ini. Karakter ini dapat dilihat secara langsung dalam kehidupan di kelas, sem isal ketika anak m elaksanakan ujian. P erbuatan meneontek merupakan perbuatan yang menceiminkan anak tidak berbuat jujur kepada diri, teman, orang tua, dan gurunya. Dengan meneontek. anak menipu diri, lemari, orang tua, dan gurunva. Apa vang ditipu oleh anak. Anak memanipulasi nilai vang didapatkannya seolah-olah merupakan kondisi vang sebenarnya dan kemampuan anak, padahal nilai vang didapatnya bukan m erupakan kondisi vang sebenarnya. K ejujuran dalam penyelenggaraan sekolah saat ini d ap at kita identifikasi ketika sekolah menghadapi Ujian Nasional (UN). Banyak dugaan bahwa pelaksanaan UN banyak dimanipulasi oleh penyelenggara sekolah itu sendiri, bahkan beberapa kepala sekolah dan guru mengakui akan hal ini. Jika anak mempersepsi proses ketidakjujuran dalam UN ini sebagai hal yang biasa, maka telah Memaknai Pendidikan Karakter



terbentuk dalam diri anak karakter toleran terhadap kebohongan, bahkan menganggap “harus berbohong”. Tentu saja hal ini sangat berbahaya untuk penguatan karakter anak. Ciri-ciri orang jujur. Orang yang memiliki karakter jujur dicirikan oleh perilaku berikut: a.



jika bertekad (inisiasi keputusan) untuk melakukan sesuatu, tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan;



b.



jika berkata tidak berbohong (benar apa adanya);



c.



jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya.



Seseorang yang memiliki karakter jujur akan diminati orang lain, baik dalam konteks persahabatan, bisnis, rekan/mitra kerja, dan sebagainya. Karakter ini merupakan salah satu karakter pokok untuk menjadikan seseorang cinta kebenaran, apapun resiko yang akan diterima dirinya dengan kebenaran yang ia lakukan.



2. Kerja keras M akna kerja keras. Kerja keras adalah suatu istilah yang melingkupi suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan/yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Kerja keras bukan berarti bekerja sampai tuntas lalu berhenti, istilah yang kami maksud adalah mengarah pada visi besar yang harus dicapai untuk kebaikan/kemaslahatan manusia (umat) dan lingkungannya. Mengingat arah dari istilah kerja keras, maka upaya untuk memaslahatkan manusia dan lingkungannya merupakan upaya yang tidak ada hentinya sampai kiamat tiba. Dalam skala mikro, kerja keras terjadi untuk kemaslahatan diri, keluarga, RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan, kab./kota, provinsi, bangsa/negara, atau dunia dan akhirat. Melihat skalanya, kerja keras memiliki kondisi yang variatif. Pada sebagian orang kerja keras dilakukan dengan menghabiskan waktu untuk membuat ide baru dan menyisakan waktu hanya 2 jam untuk tidur. Pada sebagian orang, kerja keras dilakukan dengan menghabiskan uang yang dimiliki untuk membangun suatu sekolah (fisik, layanan maupun manajerial). Pada sebagian orang kerja keras dilakukan dengan cara pergi pagi pulang sore untuk mencari nafkah menghidupi Memaknai Pendidikan Karakter



I



17



keluarganya, dan sebagainya. Kondisi variatif ini memiliki satu esensi yang sama, yaitu bagaimana memberikan kebaikan/kemaslahatan kepada manusia dan lingkungannya. Artinya tidak dikategorikan sebagai kerja keras orang yang menghabiskan waktunya untuk mengedarkan narkoba atau membuat ide untuk merampok bank. Karena keduanya dilakukan bukan untuk memberikan kebaikan kepada manusia. Barangkali perlu untuk menjadi catatan bagi kita semua bahwa kerja keras amat penting bagi pembangunan bangsa ini melalui pendidikan di sekolah karena kronisnya masalah yang dihadapi bangsa. Bekerja yang seadanya atau sebatas jam kerja akan menghasilkan perubahan yang seadanya. Padahal pembahan dalam konteks pembahan bangsa ini akan sangat menuntut banyak pengorbanan. Pengorbanan inilah yang kemudian perlu untuk dikelola menjadi kerja keras. Tidak semua pengorbanan tepat mewakili kerja keras. Seperti halnya seorang pekerja kesehatan di puskesmas memberikan layanan kesehatan seharian, dengan mengorbankan/ mengabaikan kewajibannya untuk mendidik keluarganya. Karena itu, kerja keras selalu dikaitkan dengan nilai kebaikan. Itulah yang diperlukan oleh bangsa ini. Saat ini begitu banyak pemuda yang mempakan penduduk produktif lebih memilih bekerja ringan walaupun tidak halal dari pada bekerja keras yang halal. Tengoklah berapa banyak pemuda yang pekerjaannya meminta-minta di terminal atau di perempatan jalan, padahal bersamaan dengan keberadaan mereka, para kakek dan nenek masih terus bekerja keras, semisal dengan berjualan keliling.



Hanya mencari nafkah dengan mengamen



Seorang kakek bekerja keras berjualan



Sumber; http://w ww .m ediaindonesia.com / read/2010/06/01 /146358/37/5/Polda*Metrodan-Pemprov-DKI-Tertibkan-Gepeng-Pemalak



Sumber: http://okefar‫؛‬d.wordpress. com/2009/09/02/penjual-pisang-dan-ironi-bankcentury/



Gambar 1.2 Ilustrasi ketimpangan moral bangsa Memaknai Pendidikan Karakter



Mafia pajak merugikan negara triliunan rupiah per tahun Sumber: http://hm inew s. com/news/mafia



Seseorang bekerja keras menjual jasa sol sepatu Sumber: http://aiim oet.net/category/iife/



Gambar 1.3 Ilustrasi rusaknya moral generasi bangsa



Gambar-gambar mengilustrasikan perilaku masyarakat kita saat ini banyak yang tidak mau bekeija keras, dengan taat aturan dan norma untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka banyak memilih untuk melakukan hal yang mudah dan mendapat untung banyak sehingga korupsi, pemalakan, perampokan menjadi hal-hal yang lumrah terjadi dan semakin menggejala di semua lapisan. “Kondisi ini sangat menghawatirkan...!” Bukan saja terlihat secara kasat mata, tetapi lemahnya kerja keras juga banyak dilakukan oleh banyak orang yang dikategorikan masyarakat berkedudukan mulia seperti guru, dokter, polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya. Dosen dan guru yang memberikan layanan tanpa desain pembelajaran mencerminkan rendahnya kerja keras bagi yang bersangkutan. Menghindarnya polisi dari keadaan jalanan yang macet di tengah hari yang terik juga menunjukkan rendahnya kerja keras. Tidak mempelajari kasus secara seksama yang dilakukan oleh hakim dan jaksa pada kasus rakyat miskin juga menunjukkan mereka tidak mau bekerja keras. Dan bahkan kondisi ini merasuk kepada perilaku banyak orang. “Sungguh menghawatirkan masa depan bangsa yang kita cintai ini....” Karakteristik kerja keras yang dimaksud dalam buku ini adalah perilaku seseorang yang dicirikan oleh kecenderungan berikut: a.



Merasa risau jika pekerjaannya belum terselesaikan sampai tuntas; Memaknai Pendidikan Karakter



I



19



b.



mengecek/memeriksa terhadap apa yang harus dilakukan/apa yang menjadi tanggungjawabnya dalam suatu jabatan/posisi;



c.



mampu mengelola waktu yang dimilikinya;



d.



Mampu mengorganisasi sumber daya yang ada untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.



3. Ikhlas Ikhlas dalam bahasa Arab memiliki arti “mumi”, “suci”, “tidak bercampur”, “bebas” atau “pengabdian yang tulus”. Dalam kamus bahasa Indonesia, ikhlas memiliki arti tulus hati; (dengan) hati yg bersih dan jujur). Sedangkan ikhlas menurut Islam adalah setiap kegiatan yang kita kerjakan semata-mata hanya karena mengharapkan ridha Allah SWT. Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Ada yang mendefenisikan ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah, (sumber: http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-ikhlas-danbahaya-riya-.html). Ciri-ciri orang ikhlas: (1). Terjaga dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang bersama dengan manusia atau sendiri. (2) Senantiasa beramal di jalan Allah SWT baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang lain, baik ada pujian ataupun celaan. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan



20



Memaknai Pendidikan Karakter



semakin berkurang jika dicela. (3) Selalu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. (4) Mudah memaalkan kesalahan orang lain, (sumber: http://sites.google.com/site/otoehkasela/ikhlas-menumt-isla). Nilai ikhlas perlu untuk dikuatkan pada lulusan-lulusan sekolah (SD-SMA/K) supaya anak dapat berkontribusi untuk kemaslahatan kehidupan anak dan dunia dimana anak berada, serta akhirat yang akan ditempuhnya/dijalaninya. Ketika anak melakukan sesuatu dengan ikhlas, maka perilaku yang dilakukan akan memiliki karakteristik mutu. Mengapa demikian? Dengan “ikhlas” anak akan melakukan segala sesuatu secara bermutu. Orientasi kerja atau apa yang dilakukan bukan untuk mendapatkan penghargaan dari temanteman atau lingkungannya, tetapi untuk mendapatkan keridaan dari Tuhannya. Tuhan menjadi orientasi hidupnya. Karena orientasi inilah maka sikap dan tindakan yang dilakukan oleh anak akan memiliki karakteristik kesugguhan/kebermutuan. Perilaku yang mencerminkan ikhlas memiliki sejumlah karakter, vaitu: a.



Konsistensi yang kuat dari w aktu ke waktu dan daii satu kondisi ke kondisi lainnya. Konsistensi sebagai ciri ikhlasnya seseorang bukan dari cara pemecahan masalah yang dihadapi, tetapi perilaku seseorang yang m em ihak kepada yang benar tidak berubah dan terus m elakukan apapun yang dihadapi yang bersangkutan sebagai konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. b. Pengharapan dan kepuasan bagi pelaku adalah keridaan dari Tuhannya, bukan dari siapa pun. Hal ini sangat berguna untuk evaluasi diri kita dalam mengidentifikasi perilaku yang kita lakukan, apakah karena Allah atau karena makhluknya. c. ،Memiliki karakteristik keb erm u tu an yang lebih baik dari waktu ke waktu. Artinya, perilaku yang diperbuat oleh yang bersangkutan selalu diperbaiki dari waktu ke waktu. Dengan demikian jika perilaku seseorang tidak ada perbaikan seiring dengan bertambahnya waktu, maka perilaku tersebut kemungkinan besar bukan didasari oleh keikhlasan atau mengharap Rihda Allah Swt.



Memaknai Pendidikan Karakter



21



E.



Persamaan dan Perbedaan Karakter, Akhlak; dan Morai



A n a lis is



Analisis bahasa ‫ ﺳﺎﺳﺎ‬. Judul bagian ini melibatkan sejumlah istilah yang dapat membuat pembaca bingung: Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Afeksi, dan Moral. Apakah istilah-istilah ini memiliki penamaan atar] perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya sekaligus juga ada perbedaannya? Istilah-istilah ini akan kita kaji dari segi bahasa harian dengan merujuk pada kamus umum. Setelah pengkajian bahasa harian ini, kita akan coba meyelami substansi dari masing-masing istilah tereebut. “Budi pekerti” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 1.50) diletakkan dalam masukan "budi”, artinya: (!) alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2) tabiat, akhlak, watak; (3) perbuatan baik, kebaikan; (4) daya upaya, ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya). Dan budi pekerti diartikannya sebagai tingkah laku, perangai, akhlak, watak. Dalam kamus umum ‫ ﻟﻂ‬kita menemukan bahwa budi pekerti sama dengan akhlak, watak, tabiat, perbuatan baik, kebaikan. Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata “susila”. Perlu dicatat di sini bahwa arti pada nomor (5) jarang digunakan orang dewasa: tidak pernah orang yang berbudi pekerti dikaitkan dengan kelak]،an cerdik menipu. “Moral”, masih dari kamus yang sama (1996: 665), didefinisikan sebagai: (I) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Definisi moral ini menyatakan bah^'a moral adalah ajaran tentang moral. Definisinya pada nomor (2) menurut penulis menyatakan sebuah kondisi mental yang sudah menyerap suatu ajaran moral. Ringkasnya, berbagai pengertian di atas dapat kita petakan dalam formulasi berikut ‫ﻟﻂ‬.



22



‫ا‬



Memaknai Pendidikan Karakter



Orang yang berakhlak, bermoral, bersusila, bertabiat, berwatak, berkarakter, berafeksi, atau berbudi pekertii Gambar 1.4. Peta istilah moral



Kata “karakter” belum muncul dalam paparan di atas. Karakter adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character. Encarta Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2008.) menyatakan (terjemahan penulis) bahwa "karakter” adalah kata benda yang memiliki arti: (1) kualitas-kualitas pembeda; (2) kualitas-kualitas positif; (3) reputasi; (4) seseorang dalam buku atau film; (5) orang yang luar biasa; (6) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan; (7) huruf atau simbol; dan (8) unit data komputer. Arti pada nomor (7) dan (8) ini tidak relevan dengan kajian pendidikan karakter. Di samping itu terdapat kata karakteristik (characteristic) yang masih juga kata benda yang artinya: fitur (ciri) pembatas (defining feature), sebuah fitur atau kualitas yang membuat seseorang atau suatu hal dapat dikenali. Kata sifat untuk karakter adalah "khas" (typical), artinya pembeda atau mewakili seseorang atau hal tertentu. Tentang "karakter” dan "karakteristik" ini dapat disimpulkan melalui kalimat berikut: “Ia memiliki karakter herois” dan “Karakteristiknya yang herois telah membuatnya memiliki nasib yang menyedihkan tersebut.” Karakter, berdasarkan kajian kamus umum di atas, merujuk pada beberapa hal berikut. Pertama, karakter dikenakan pada orang atau bukan orang. Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini terutama berkenaan dengan orang. Kedua, ia berkenaan dengan kualitas (bukan kuantitas) dan reputasi orang. Ketiga, ia berkenaan dengan daya pembeda atau pembatas, membedakan atau membatasi yang satu dari yang lainnya, membedakan orang/masyarakat yang satu dengan orang/masyarakat yang lainnya. Keempat, karakter dapat merujuk pada kualitas negatif atau positif: orang dengan karakter mulia atau orang berkarakter flamboyan. Keempat hal tentang



Memaknai Pendidikan Karakter



karakter dari kam us um um tersebut relevan dengan kajian ‫ﻫﺎ؛>ا‬ tentang karakter dalam pendidikan karakter. Simpulannya, bahwa karakter adalah sebuah kata yang m erujuk pada kualitas orang dengan karakteristik ‫اااال ' ا؛' ا ' اا‬. Demikianlah, ،‫ائ)آئاالا‬yang diatur oleh upaya dan keinginan. Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang diterim a secara sosial. Definisi karakter dari Hurlock, untuk sementara ini, bersifat cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih jauh apa itu karakter dan implikasi-implikasinya.



24



I



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Ajaran Moral. Ajaran moral atau moralitas dipelajari oleh filsafat moral atau etika. Urusan utama etika adalah studi tentang kebaikan/ hal yang baik/hal yang bemilai/moralitas/nilai dan studi tentang tindakan yang baik (Audi, 1999: 284). Pada kesempatan ini, akan dikaji secara ringkas studi tentang kebaikan/nilai, dan studi tentang tindakan yang baik tidak akan dikaji di sini. Studi tentang nilai. Studi tentang nilai/kebaikan tertuju untuk menjawab: (1) apa komponen-komponen esensial untuk kehidupan vang baik, dan (2) apa jenis-jenis vang baik pada dirinya sendiri. Yang pertama, menghasilkan teori-teori eudaimonia!human well /;،A?y/kesejahteraan manusia (kebahagiaan//z،zppz>?ess dan bertumbuh subur/flourishing). Perasaan senang/bahagia adalah komponen esensial kehidupan, dan karena itu hams menjadi tujuan kehidupan, dianut oleh hedonisme, tokoh klasiknya Epicurus. Epicurus mengajarkan bahwa berbuat baik pengerahan daya intelektual seseorang dan kebajikan-kebajikan moral dengan cara-cara teladan dan berguna, misalnya sarana yang terbukti baik dan benar untuk mengalami kesenangan yang paling memuaskan dari kehidupan. Hedonisme ini terbagi dua, hedonisme egoistik yang tertuju pada kesenangan pribadi, dan hedonisme universal yang tertuju pada kesenangan bersama atau semua orang. Sejak modernisasi diluncurkan oleh peradaban Barat, hedonisme egoistik ini menjadi dominan dan merusak banyak nilai-nilai kehidupan Timur yang luhur. Hedonisme abad modem ini berbeda dari ajaran Epicurus. Bukan perasaan senang sebagai komponen esensial kehidupan yang baik, tetapi adalah perbuatan baik; perbuatan baik membuat kita senang/bahagia, ini dianut oleh perfeksionisme. Tokohnya antara lain: Plato, Aristoteles, kaum Stoik, Nietcsche, dan Muhammad Iqbal.



esensial



Gambar 1.5. Teori komponen esensial



Teori komponen esensial ini bertumpu pada asumsi (anggapan dasar yang menjadi titik tolak) bahwa manusia secara alami mencari kehidupan yang baik. Teori ini disajikan karena menurut penulis bersifat praktis bagi mereka yang tidak belajar filsafat untuk berfilsafat etika. Caranya dengan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan: apa komponen esensial kehidupan yang baik dan apa perbuatan baik itu? Jawaban-jawaban yang diberikan harus juga mempertimbangkan konsekuensi logis atau isyaratnya untuk bidang-bidang kehidupan tertentu. Apapun dapat kita ajukan sebagai jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut, namun jawaban hendaknya disertai dengan penjelasan yang merupakan pertanggungjawaban kita secara rasional. “Saling menghargai antarmanusia”, contohnya, adalah sebuah jawaban yang dapat kita pilih. Alasannya, kehidupan yang damai sepanjang masa dan di manapun adalah tujuan penting umat manusia. Tanpa kedamaian kehidupan akan sulit diarungi. Lalu, apa "saling menghargai antarmanusia itu?” atau "Bagaimana kita mempraktikkannya dalam kehidupan kita?” Salah satu jawabannya, yaitu: “perbuatan menghormati orang lain, tidak merendahkannya”. Di samping teori komponen esensial yang bertumpu pada asumsi metafisika bahwa manusia secara alami mencari kebaikan, terdapat teori nilai intrinsik. Teori nilai intrinsik mengandung tesistesis metafisika. Yang menjadi isu dalam teori ini adalah apa yang baik pada dirinya sendiri, dan seseorang dapat mengambil sebuah posisi terhadap isu ini tanpa terikat pada tesis apapun tentang realitas atau bukan-realitas dari kebaikan atau tentang transendensi atau imanensinya. Sejumlah hal yang dianggap baik pada dirinya sendiri oleh para filsuf akan mencakup kehidupan, kebahagiaan, kesenangan, pengetahuan, kebajikan, persahabatan, keindahan, dan harmoni. Daftar cakupan ini dapat diperpanjang dengan mudah. Gambaran sederhana pandangan penganut teori nilai intrinsik ini dapat dilukiskan melalui kalimat berikut. "Persahabatan adalah baik, karena persahabatan itu baik”. "Kesenangan adalah baik, karena kesenangan itu baik”. Kebaikan yang intrinsik, dan bukan kebaikan instrumental atau kebaikan dalam rangka mencapai tujuan yang lainnya. Kebaikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lainnya dianut oleh teori nilai instrumental. Perspektif teori nilai intrinsik dan lawannya, teori nilai instrumental sering kita butuhkan dalam rangka memahami sebuah nilai. Contoh, 26



I



Memaknai Pendidikan Karakter



“ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang/' adalah sikap instrumentalisme yang sering ditolak masyarakat. Dan sikap ini didampingi oleh instrumentalisme yang sama: “Selagi muda dan cantik adalah kesayangan abang, dan ketika tua dan keriput bukan lagi kesayangan abang/' Instrumentalisme yang demikian ini menimbulkan masalah keadilan dan kemanusiaan. Teori komponen esensial T eorinilai Teori nilai intrinsik dan instruk mental



Gambar 1.6 Teori Nilai



Ajaran moral yang dianut oleh individu atau kelompok, pada langkah berikutnya dijadikan standar moral oleh individu dan kelompok tersebut untuk mengukur suatu perbuatan moral. Ajaran moral yang dianut oleh seseorang atau oleh suatu kelompok sosial dapat kita kaji dengan menerapkan pemahaman kita tentang berbagai teori nilai yang dipaparkan di atas. Ada banyak pola untuk memetakan nilai-nilai. Paparan di atas adalah sebuah pola dari studi filsafat moral yang dikemukakan dalam The Cambridge Dictionary o f Philosophy (Audi, 1999). Lickona (1991) memiliki peta konsep filosofis sistem nilai yang tampaknya lebih sederhana. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai terdiri atas obligatory values dan non-obligatory values. Nilai-nilai >ang non-obligato^ adalah nilai-nilai seni atau keindahan. Nilai seni tidak m ^ajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi membuat orang menjadi apresiatif terhadapnya. Nilai-nilai yang obligatory atau mewajibkan adalah nilai-nilai moral. Liekona merinci lebih lanjut nilai-nilai moral ini sebagai (1) respect ‫ س‬responsibility to man dan (2) respect and responsibility ‫؛‬٠ nature. Penulis kira, orang Indonesia dengan Pancasilanya akan senang menambahinya dengan yang ke-(3) respect and resposibility to God. Karakter. Ada ajaran moral dan standar moral, dan ada juga pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen-komponen Memaknai Pendidikan Karakter



27



karakter sebagaim ana diungkapkan oleh Hurlock. Pertim bangan nilai adalah sebuah pertimbangan tentang baik atau buruk sesuatu b erd asark an pan d an g an p rib ad i ten tan g m oralitas. K arakter, selanjutnya, berkaitan dengan tingkah laku yang yang diatur oleh upaya dan keinginan. Jika dem ikian halnya, karakter berkaitan dengan tingkah laku yang tidak otomatis dimiliki seseoiang: ketika dilahirkan ia otomatis memilikinya dan ketika ia memerlukannya karakter muncul secara otomatis. Karakter diatur oleh upaya dan keinginan. Pernyataan ini mengasumsikan kebebasan manusia. Karena itu, upaya dan keinginan ini muncul dari dalam batin individu. Upaya dan keinginan ini dicurahkan secara suka rela. diri sendiri Menghargai dan bertanggung jawab terhadap manisia orang lain Nilai-nilai moral



r



Menghargai dan bertanggung jawab atas aiam



Menghargai dan bertanggung jawab terhadap Tuhan



Gambar 1.7 Nilai-nilai moral



Selanjutnya, jika upaya dan keinginan tersebut tidak secara otomatis dimiliki manusia, dari m ana mereka berasal. Mereka berasal dari pengalaman dan pendidikan individu. Karakter adalah aspek tingkah laku hasil belajar, bukan tersedia secara genetik. Unsur esensial karakter adalah hati nurani. Banyak pakar pendidikan karakter bersepakat atas hal ini. Hanya atas definisi yang disediakan oleh Hurlock, orang dapat tidak bersepakat. Hurlock mengungkapkan karakter sebagai a pcittem o f inhibitoiy conditicming (sebuah pola kebiasaan perlarangan). Di sini Hurlock menunjukkan bahwa hati Memaknai Pendidikan Karakter



nurani sebagai produk dari pem biasaan larangan-larangan, ia behavioristis. Ada filsuf yang mengungkapkan bahwa hati nurani adalah bawaanUnherent manusia, begitu dilahirkan ia memiliki hati nurani. Asumsi teori komponen esensial di atas yang berbunyi “m anusia secara alam iah m encari kebaikan” m engim pliksikan adanya hati nurani baw aan ini. Yang berikutnya, hati nurani bukan hanya terbentuk oleh larangan-larangan, tetapi juga berisi kerisauan, kegelisahan atau panggilan batin, kecintaan akan kebaikan. Seseorang melakukan kebaikan bukan hanya karena larangan atau sum han/perintah, tetapi juga karena kecintaannya akan kebaikan. Yang terakhir tentang karakter, masih dalam rangka menganalisis definisi karakter dari Hurlock, yaitu keselarasan individu dengan pola-pola kelompok sosial tempat individu itu hidup sebagai hasil dari kontrol hati nurani terhadap tingkah laku individu. Pola-pola kelompok dapat mencakup pola-pola tingkah laku overt dan coveii. Pola tingkah laku oven (terbuka bagi observasi) utamanya meliputi kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk perbuatan-perbuatan yang dapat diobservasi dengan m ata telanjang. Contohnya kebiasaan makan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan berbicara, dan gerakangerakan jasm aniah seseorang. Adapun pola tingkah laku covert (tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku kognitif dan afektif, tingkah laku mental atau kesadaran. Tingkah laku ini tidak dapat diobservasi secara langsung. Mereka dapat diketahui melalui penyimpulan atas tingkah laku overt-nya, in lem u, angket/kuesioner, observasi partisipatif, dan laporan-diri. Bentuknya sam a dengan tingkah laku yang oven, meliputi kecenderungan, kebiasaan, dan kesiapan berbuat. Pola-pola kelompok atau pola-pola tingkah laku kelompok dipelajari oleh bidang studi antropologi budaya. X



Kom ponen-komponen karakter (Hurlock): ٠ ٠ ٠ ٠ ٠ ٠ ٠



Aspek kepribadian Standar moral danajaran moral Pertimbangan nilai Upaya dan keinginanindividu Hati nurani Pola-pola kelompok Tingkah laku individu dan kelompok



Memaknai Pendidikan Karakter



‫؛‬



29



Afeksi. Di samping karakter, terdapat istilah afeksi, berasal dari affect. Dalam Encarta Dictionaries terdapat tiga kata affect dengan arti yang berbeda-beda. Yang relevan di sini adalah yang ketiga. Affect di sini adalah sebuah kata benda, artinya perasaan yang berkaitan dengan tindakan: sebuah emosi atau mood yang berkaitan dengan sebuah ide atau tindakan, atau ekspresi eksternal dari perasaan tersebut. Kata jadiannya adalah affective, kata sifat atau ajektiva, artinya hal yang berkenaan dengan ekspresi emosi: berkaitan dengan ekspresi eksternal dari emosi yang terkait dengan sebuah ide atau tindakan. Dengan demikian jika kita berbicara tentang pendidikan afektif, maka yang dimaksud adalah pendidikan emosi, bukan pendidikan pikiran, rasio, atau kognisi. Dalam Merriam-Webster’s l l t h Collegiate Dictionary, affect diartikan sebagai sehimpunan manifestasi dari suatu emosi yang dialami secara subjektif. Dalam wacana praktik dan studi pendidikan, afektif sering diungkapkan dengan sikap (attitude). Memang salah satu komponen dari afeksi adalah sikap.



Memaknai Pendidikan Karakter



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



A. Rambu-Rambu Pengembangan Pendidikan Karakter Rambu-rambu yang dapat membantu kita mengembangkan silabus pendidikan karakter di sekolah sekurang-kurangnya mencakup: teori kurikulum dan teori pendidikan karakter. Teori kurikulum. Kurikulum adalah sekumpulan pelajaran dan kegiatan yang ditawarkan di sekolah. Secara menyeluruh, kurikulum sekolah dapat digambarkan melalui grafis vektor kurikulum di berikut ini.



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



3 I



Kurikulum sehimpunan pengalaman (transformatif) (2) di sekolah Pengalamanpengalaman di sekolah yang adalah bagian dari "pengalaman belajar" yang membuat orang ter-(transformasi), tetapi bukan bagian dari pengalaman terarah atau kurikulum programatik sekolah



(3) terarah Pengalaman terarah, ; tetapi tidak di sekolah (tempat Kurikulum Sekolah : ibadah, pramuka, Programatik (mata ‫ ؛‬perkumpulan pelajaran, kegiatan sepakbola, kursus ekstrakurikuler yang ‫ ؛‬musik atau tari didukung sekolah, pelatiah kerja, dan lain-lain) belajar dan orang ٠ dewasa bagaimana berenang, memasak, atau menyukai buku dan membaca atau senjata dan berburu, dan lainnya). (٦ )



Pengalaman (trans-) formatif di sekolah



Pengalaman (trans-) formatif terarah



(4) Termasuk pengalaman tak-terarah dan terjadi di luar sekolah (Disadur dari: School Curricula. Tersedia di: H ttp ://u p lo a d . w ‫؛‬kipedia/com m ons/F//W Com cuium Com cept. svg 27.07.10)



Gambar 2.1 Ilustrasi kurikulum sebagai garis vektor



Dari diagram di atas diketahui bahwa kurikulum adalah sehimpunan pengalaman yang bukan hanya fomiatife, tapi juga transformatife (diindonesiakan: formatif dan transformatif). Pengalaman formatif adalah pengalaman yang penting khususnya untuk pembentukan atau perkembangan individu. Ringkasnya, pengalaman formatif adalah pengalaman yang membuat individu mengalami perkembangan. Adapun pengalaman transformatif adalah pengalaman yang membuat perkembangan individu dalam hal pola atau strukturnya, biasanya struktur kepribadian. Ini lebih rincinya, perubahan pola afektif, pola kognitif, dan/atau pola psikomotor atau perbuatan. Pengalaman (trans-)formatif dapat terjadi di kelas (kurikulum sekolah programatik), di sekolah, dan di lingkungan yang berada Memaknai Pendidikan Karakter



di luar ‘wilayah’ sekolah. Di samping itu, terdapat juga pengalaman yang tanpa arah (tak terarah) dan di luar sekolah juga. Kurikulum sekolah programatik. Kurikulum sekolah programatik sudah kita pahami, yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) masing-masing sekolah. KTSP memang programatik, segala sesuatunya serba terencana, bahkan kalau bisa terukur juga. Tetapi ini jangan dipahami sebagai semata-mata perekayasaan sosial (.social engineering), karena sekolah tidak berurusan dengan bendabenda yang dapat direkayasa secara teknis belaka. Akan lebih baik jika kita memandang sekolah sebagai organisme, bahkan manusia boleh dipandang sebagai organisme spiritual. Sehubungan dengan hal ini, sifat programatik kurikulum sekolah tersebut juga dilandasi oleh paham organisme tersebut, bukan mekanisme semata-mata. KTSP sebagai kurikulum sekolah, menurut penilaian penulis, tidak eksklusif pendidikan kognitif, atau pendidikan sains yang kering dari nuansa nilai-nilai. Bahkan pendidikan keterampilan inquiri yang sering dituntut dalam mata pelajaran IPA mulai dari SD hingga SMA, tidak secara eksklusif hanya pendidikan keterampilan belaka. Gairah, rasa senang, ketekunan, kegigihan, perhatian anak ketika melakukan observasi atau percobaan akan turut meningkatkan capaian kognitifnya. Dan ketika ini tercapai, pola psikomotornya dan pola emosinya terbentuk menjadi kebiasaan (habit), siswa setelah dewasa akan menjadi dan dapat turut partisipatif sebagai ilmuwan yang turut membangun bangsanya. Pekerjaan apapun yang ia pangku di kemudian hari, akan disertai dengan kegiatannya untuk melakukan pengembangan-pengembangan pekerjaan itu melalui pola tingkah laku ilmuwan yang sudah dimilikinya. Karakter ilmuwan sudah menjadi miliknya. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri dari: a. b



kelompok kelompok kelompok kelompok kelompok



mata pelajaran agama dan akhlak mulia; mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; mata pelajaran ilmu pengetahuan danteknologi; mata pelajaran estetika; mata pelajaran jasmani, olahraga, dankesehatan.



Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah



Kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, dan kepribadian jelas sekali berkaitan atau bahkan identik dengan pendidikan karakter. Tabel berikut ini merupakan kutipan tentang cakupan kedua kelompok mata pelajaran tersebut, dan hasil identifikasinya sebagai pendidikan karakter. Tabel 2.1



Identifikasi tujuan pendidikan karakter pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kewarganegaraan dan kepribadian Kelompok Mata Pelajaran dan Cakupannya*)



Identifikasi Tujuan Pendidikan Karakter



Agama dan Akhlak Mulia Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.



Kata dan frasa yang dicetak miring di kolom kiri yang merupakan rumusan tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas menunjukkan kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak mulia adalah merupakan pendidikan karakter; dan tidak mungkin pendidikan kognitif semata-mata.



Kewarganegaraan dan Kepribadian Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.



Kata dan frasa yang dicetak miring di ;!blbm، kiri'yang merupakan rumusan tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas menunjukkan kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian merupakan pendidikan karakter; dan tidak mungkin pendidi kan kognitif semata-mata



Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi dan nepotisme. *) Dikutip dari Peraturan Pemerintah N om o r 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.



Sisanya—kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; dan jasmani, olahraga dan kesehatan sekalipun tekanan kuatnya pada pendidikan kognitif dan psikomotor, muatan karakter terpadu di dalamnya. 34



I



Memaknai Pendidikan Karakter



Tabel 2.2 Identifikasi tujuan pendidikan karakter pada kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Estetika; Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelompok Mata Pelajaran dan Cakupannya*)



Identifikasi Tujuan Pendidikan Karakter



Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kelompok mata pelajaran ilmu penge­ tahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Kelompok mata pelajaran ilmu penge­ tahuan dan teknologi pada SMP/MTs/ SMPLB dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif, dan mandiri. Kelompok mata pelajaran ilmu penge­ tahuan dan teknologi pada SMA/MA/ SMALB dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri. Kelom pok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/ MAK dimaksudkan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, membentuk kompetensi, kecakapan, dan kemandirian kerja. '.Estetika Kelompok mata pelajaran estetika dimak­ sudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan ke­ mampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.



Kata dan frasa yang dicetak miring di kolom kiri yang merupakan rumusan tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas menunjukkan kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah bermuatan pendidikan karakter; dan tidak mungkin pendidikan kognitif semata-mata.



Kata dan frasa yang dicetak miring di kolom kiri yang merupakan rumusan tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas menunjuten kelompok mata pelajaran ; Estetika ;adalah bermuatan; pendidikan: ;kateter; dan tidak mungkin pendidikan، kognitif semata-mata،



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



35



Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan K e lo m p o k m ata



Kata dan frasa yang dicetak m ir‫؛‬ng di kolom kiri yang m erupakan rumusan tujuan pendidikan, secara jelas dan tegas menunjukkan kelom pok mata pelajaran Jasm a ni, O la h ra g a , da n K esehatan adalah berm uatan pendidikan karakter‫؛‬ dan tidak m ungkin pendidikan kognitif semata-mata.



p e la ja ra n Jasm ani,



Olahraga dan Kesehatan pada S D /M I/ SDLB dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup sehat. K e lo m p o k



m ata



p e la ja ra n



Jasm ani,



Olahraga dan Kesehatan pada SMP/MTs/ SMPLB dimaksudkan untuk meningkatkan i p o te n s i fis ik



serta



m em budayakan



j



sportivitas dan kesadaran hidup sehat. \ K e lo m p o k



m a ta



p e la ja ra n ja s m a n i,



i



olahraga dan kesehatan pada S M A / i M A /S M A L B /S M K /M A K d im a k s u d k a n i untuk meningkatkan potensi fisik serta



j



m em budayakan sikap sportif, disiplin, ‫؛‬ kerja sama, dan hidup sehat.



i



Budaya hidup sehat termasuk kesadaran,



j



sikap, dan perilaku hidup sehat yang b e r s ifa t



in d iv id u a l



a ta u p u n



yang



bersifat kolektif kemasyarakatan seperti keterbebasan dari perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, dem am berdarah, m untaber, dan penyakit lain yang potensial untuk mewabah.



*) D ikutip dari Peraturan Pemerintah N om or 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional



Pendidikan,



Demikianlah kelom pok-kelom pok mata pelajaran dengan cakupannya yang menjadi bagian dari Standar Isi dan KTSP, yang merupakan kurikulum sekolah programatik, merupakan atau memadukan pendidikan karakter, dan tidak hanya merupakan pendidikan kognitif dan afektif secara eksklusif. Pendidikan karakter, di samping melalui mata pelajaran yang ada, juga dapat disediakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan diri. Beberapa contohnya: pendidikan kewirausahaan, pendidikan karya ilmiah dan teknologi, pendidikan keagamaan, pendidikan kesenian, pengabdian masyarakat, gerakan lingkungan hidup, pramuka, pendidikan olah raga. Guru harus mampu memahami, memilih, dan memilah karakter apa yang mau dibidiknya? Bagaimana pelaksanaannya agar karakter-karakter tertentu tumbuh? Bagaimana evaluasinya? Bagaimana pengayaannya sebagai sarana penguatan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh sekolah?



Memaknai Pendidikan Karakter



Kurikulum dalam-sekolah. Jika kurikulum sekolah programatik atau KTSP lebih dipraktikkan pada tataran ruang kelas, termasuk laboratorium atau bengkel, terdapat juga kurikulum yang dipraktikkan pada tataran sekolah. Ini adalah pengalaman-pengalaman di sekolah yang adalah bagian dari “pengalaman belajar” yang membuat orang ter-(trans-)formasi, tetapi bukan bagian dari pengalaman terarah atau kurikulum programatik sekolah (Pengalaman formatif dalam-sekolah yang takterarah dapat mencakup perhubungan siswa dengan pihak pemangku wewenang lembaga, kelompok-kelompok sebaya, dan lainnya; tetapi juga pembentukan intelektual serius dapat termasuk di sini, jika hal ini terjadi tetapi bukan sebagai bagian program sekolah yang terencana atau terarah). Pengalaman dalam-sekolah dapat dikelompokkan menjadi yang berwaktu pendek dan yang berwaktu panjang. Yang berwaktu pendek terjadi ketika jam istirahat, menjelang jam awal masuk sekolah, dan setelah kelas usai. Yang berwaktu cukup panjang dapat tersedia pada hari-hari setelah ulangan sekolah menjelang libur semester atau akhir tahun sebelum pembagian buku rapor. Bagaimana semua ini menjadi sebuah seting natural/sewajarnya dan mendidik. Perancangan jelas perlu. Model tenggang rasa ( ١ considerate model o f moral developmeut) dapat diberlakukan pada semua waktu sekolah. Dengan model ini setiap orang dalam lingkungan sekolah dituntut untuk berbuat baik. Dengan model ini, lingkungan sekolah menjadi tempat interaksi sosial yang menyenangkan, setiap orang bahagia dan tulus. Setiap siswa dapat diminta untuk membuat catatan harian dan refleksinya tentang perbuatan baik yang sudah ia lakukan. Kemudian secara berkala diselenggarakan diskusi kelompok kecil atau pleno tentang catatan dan refleksi tersebut. Diskusi-diskusi ini dapat menghasilkan tindak-lanjut tertentu. Sebuah contoh nyata tentang bagaimana anak Sekolah Dasar (SD) kelas IV yang belum terbiasa shalat subuh. Berdasarkan infonnasi dari anak- melalui diskusi dengan anak-anak di kelas, diketahui sejumlah anak belum memiliki kebiasaan untuk melakukan shalat subuh. Kebanyakan mereka diketahui alasannya masih ngantuk. Kemudian guru mencatat anak-anak tersebut. Pada suatu hari guru mencoba mengkondisikan anak dengan cara menelpon pada pagi had pukul 05.00 ke rumah anak-anak yang bersangkutan. Pada awalnya telepon guru diterima oleh orang Desain Pendidikan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah



!



37



tua siswa, kemudian guru bertanya kepada siswa tersebut, “apakah ananda sudah shalat shubuh hari ini?” anak tersebut kemudian menjawab "belum.” Guru lebih lanjut berdiskusi dengan siswa, “ayo sekarang ananda segera berwudu dan segera shalat subuh, biar nanti disayang Allah, papa dan mama, disayang Bu Guru, juga disayang teman-teman." Pada saat itu anak merasa senang, gurunya menelpon dirinya untuk mengingatkan apakah dia sudah shalat atau belum. Perilaku ini dilakukan oleh guru secara berulang karena dianggap dapat memberikan pengalaman yang berharga pada proses penguatan kebiasaan shalat, khususnya pada waktu-waktu yang sulit dijalani oleh anak (waktu shalat subuh). Di samping model tenggang rasa, sekolah dapat merancang program lainnya. Misalnya, program senyum-sapa-salam antar orang dalam lingkungan sekolah. Pemantauan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Siswa yang belum mampu melakukan senvum-sapa-salam dibimbing secara pedagogis. Program lainnya, khususnya di sekolah yang siswanya banyak muslim, jam shalat dhuhur mewajibkan semua siswa shalat. Pemantauan diperlukan. Siswa yang tidak shalat dibimbing secara pedagogis. Program ini sudah banyak dilakukan sekolah-sekolah. Sebuah contoh program yang sudah dilakukan pada beberapa sekolah adalah ketika anak-anak SMP sedang menghadapi ujian nasional (UN), banyak pihak merasakan kecemasan, karena ada kekhawatiran anak-anak ada yang tidak lulus. Mereka yang khawatir ini adalah para orang tua, kepala sekolah, guru, dan sudah barang tentu anak-anak itu sendiri. Menghadapi keresahan tersebut, salah satu kepala SMP mencoba untuk menguatkan diri anak (khususnya) untuk selalu bergantung kepada Allah Swt manakala ia diterpa kecemasan. Pada suatu waktu penulis datang ke sekolah untuk melakukan penelitian dan bertemu dengan kepala sekolah, kebetulan pada saat itu jam pulang sekolah dan kepala sekolah berada di pintu gerbang keluar sekolah. Keberadaan kepala sekolah ternyata bukan karena kebetulan, tetapi sudah menjadi program rutin yang bersangkutan untuk menyalami anak-anak yang akan pulang (sungguh luar biasa). Yang lebih mengagetkan adalah ketika kepala sekolah mengucapkan



38



I



Memaknai Pendidikan Karakter



“Ananda, nanti malam ponselnya dinyalakan ya!” Ternyata apa yang diucapkan oleh kepala sekolah tersebut bukan hanya kepada satu anak, tetapi hampir ke semua anak kelas EX. Mereka adalah anak-anak yang akan menghadapi UN. Setelah selesai menyalami anak-anak, penulis berkesempatan untuk menanyakan lebih jauh mengenai apa yang dikomunikasi antara kepala sekolah dengan anak-anak kelas IX ketika mereka akan melalui gerbang keluar sekolah, lalu kepala sekolah menjawab, “Saya sudah biasa mengajak anak-anak untuk berdoa kepada Allah ketika menghadapi kesulitan dan kecemasan. Nah saya mengajak anak-anak untuk shalat tahajud pada pukul 03.00 pagi, saya akan miscall mereka atau saya kirim pesan (SMS) untuk mengajak mereka shalat tahajud sekaligus mereka meminta kemudahan dalam menghadapi UN.” Mungkin saja dalam lingkungan dalam-sekolah ini dilakukan kegiatan insidental tertentu. Misalnya, kegiatan dalam rangka merespon musibah yang dialami orang lain. Ketika Gaza diserbu secara brutal oleh Israel, ada sekolah yang mengadakan doa bersama para siswa dan penggalangan dana untuk korban di Jalur Gaza. Pada jenjang SMA/K, dapat saja dibangun forum diskusi dadakan berkenaan dengan isu politik atau sosial dan yang lainnya yang membutuhkan public pressure (tekanan sosial). Kejadian yang baru saja terjadi adalah ketika Gunung Merapi meletus (Yogyakarta), banyak sekolah yang menjadikan ini sebagai momentum untuk menguatkan “rasa kemurahan hati” anak-anak untuk membantu sesamanya. Banyak sekolah yang menyediakan “kencleng Merapi” selama beberapa pekan untuk mengumpulkan segala bentuk bantuan, apakah uang, barang, ataupun barang lainnya yang dibutuhkan untuk dikirimkan kepada masyarakat yang terkena korban Merapi. Ada baiknya juga sekolah mengidentifikasi masalah-masalah apa dari segi karakter yang terdapat di sekolah. Umumnya, suka terdapat siswa-siswa dari kalangan kaya bersifat sombong dan membangun pergaulan yang eksklusif dan sebaliknya siswa-siswa dari kalangan miskin memiliki sifat rendah-diri, tidak percaya diri, terasing, menarik diri, mengucilkan diri. Ini membutuhkan program khusus untuk mengatasinya. Banyak sekolah seakan buta mata hati tak mampu melihat masalah-masalah ini dan juga karena mempersepsi diri bahwa tugasnya hanyalah mengajar. Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



39



Pendidikan karakter dalam-sekolah dapat berorientasi proses, yaitu asal para siswa mengalami kegiatan tertentu yang dirancang sekolah, dan dapat pula berorientasi hasil atau produk belajar. Para siswa yang hasil belajarnya belum sesuai standar yang ditetapkan harus dibimbing secara khusus. Perancangannya harus sedemikian rupa agar intensitas/kualitas proses dapat dicapai hingga semua siswa diharapkan mengalami perubahan tingkah laku. Pengalaman terarah di luar sekolah. Pengalaman terarah, tetapi tidak di sekolah (tempat ibadah, pramuka, perkumpulan sepakbola, kursus sosial atau tari, pelatihan kerja, belajar dari orang dewasa bagaimana berenang, memasak, atau menyukai buku dan membaca, atau senjata dan berburu, dan lainnya). Pengalaman jenis ini turut membentuk karakter siswa. Guru perlu mengetahuinya, siapa tahu sekolah harus turut memperkuatnya atau menolaknya. Di Amerika, banyak anak dan remaja mengikuti perkumpulan-perkumpulan olahraga, ketika orientasinya kemenangan dengan cara apapun, maka anak terlibat dalam apa yang disebut demagogi Machiavelian. Demagogi adalah bukan pedagogi, karena mengembangkan nilainilai yang ditolak oleh kemanusiaan universal. Niccolo Machiavelli adalah filsuf politik Itali yang mengajarkan hakikat jahat praktik politik. Dalam Encarta Dictionary (Microsoft® Encarta® 2009.) terdapat istilah Machiavellian intelligence, kecerdasan Machiavellian, istilah yang ditemukan dalam psikologi, artinya kecerdasan sosial untuk melakukan penyesatan dan pembentukan koalisi. Pengalaman tak terarah dan terjadi di luar sekolah. Ini berada di luar tiga lingkungan sebagaimana terdapat dalam grafis sosial kurikulum di atas, sebagai lingkungan yang keempat. Jika lingkungan sosial kesatu, kedua, ketiga tersebut disediakan untuk mendidik siswa atau anak, lingkungan yang keempat ini berada bukan untuk mendidik anak atau generasi muda. Dari segi ini, ia dinamai sebagai pengalaman tak-terarah. Untuk memahami lingkungan keempat ini akan disajikan sosial universalia budaya. Kehidupan masyarakat dapat dikatakan terdiri atas sejumlah kebutuhan universal dan respon-respon kelompok untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Respon kelompok ini nama lainnya adalah pranata sosial (social institutions).



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Tabel 2.3 Universalia budaya dan respon kelompok Respon Kelompok {Pranata/ Institusi Sosial) •



Respon Kelompok (Pranata/ Institusi Sosial)



Adaptasi terhadap lingkungan, makanan, perm ukiman







Pemeliharaan tatanan; penegakan ocia; penyelesaian perselisihan; perlindungan dan pertahanan







٠



R eproduksi secara bertatanan dan rekruitasi anggota baru















Aktivitas ekonomi: produksi dan distribusi barang dan



Lingkungan ke



4



T in g k a h la k u p o lit ik ; penyediaan ocia; perpolisian; pertahanan; kehakiman



4







Perkawinan dan ketertiban keluarga



4



Pendidikan anggota baru sesuai dengan pola kehidupan kelompok







Sosialisasi dan pendidikan



P e m b a n g u n a n k e p e rc a y a a n kepercayaan yang menghilangkan kecemasan dan m em buat para a n g g o ta k e lo m p o k m e ra sa bertanggung jaw ab antara yang satu dengan yang lainnya.







, Sistem-sistem kepercayaan



4



(Diterjemahkan dan Cultural Universals, Hess dkk., 1988: 64)



Pranata pendidikan, sebetulnya tidak hanya berada di sekolah, tetapi juga di lembaga-lembaga lainnya. Misalnya, di kehakiman atau pertahanan, terdapat juga sosialisasi dan pendidikan; tetapi fungsi utamanya bukan pendidikan. Penggambaran melalui tabel di atas untuk memudahkan analisis belaka. Lingkungan atau pengalaman keempat, dapat memberikan pengaruh yang mendidik atau tidakmendidik. Lembaga-lembaga yang “sehat” dapat memberikan pengaruh yang mendidik, dan sebaliknya. Masyarakat yang “sehat” turut membantu pranata pendidikan dalam mendidik anak-anak dan generasi muda. Dewasa ini, Indonesia sebagai masyarakat-bangsa, kesehatannya sedang tumbuh dan dapat dikatakan menghadapi kendala-kendala berat. Indikasi-indikasi "ketidaksehatannya” cukup kuat: seks bebas, hedonisme, korupsi, “markus” atau mafia hukum, politik uang dan kekuasaan dan Machiavellian bukan politik pengabdian/kebangsaan/ kenegaraan/ibadah, ketidakmandirian ilmu/teknologi, kemiskinan, pengangguran, ketidakjujuran guru sekaitan dengan UN, aristokrasi Desain Pendidikan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah



j



4 1



gaya baru yang mementingkan gelar akademis dan gelar lainnya dan mengabaikan kinerja yang terkait dengan gelar tersebut, inefisiensi birokrasi dan korup bahkan di kampus-kampus perguruan tinggi. Jika begini keadaannya, Indonesia tidak mendidik anak-anak dan generasi mudanya; atau bahkan sedang melakukan demagogi agar orang-orang merasa legitimatif ketika melakukan korupsi. Demikianlah, dapat saja pengalaman ke empat tersebut tidak menjadi mitra pengalaman kesatu, kedua, dan ketiga dalam mendidik anak-anak dan generasi muda. Pengalaman keempat tersebut dapat saja menjadi counterculture yang buruk bagi sekolah. Lingkungan ke satu, kurikulum sekolah yang programatik, dapat saja melibatkan para siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan keempat. Ini dicontohkan melalui kegiatan sensitifisasi masyarakat terhadap korupsi yang dimotori oleh anak-anak sekolah di Maroko dalam rangka memerangi korupsi yang akut. Kegiatan-kegiatannya antara lain lomba menulis surat untuk para pejabat publik atau anggota parlemen tentang korupsi; penjualan stiker, gantungan kunci anti-korupsi dan lain-lain; lomba pidato anti-korupsi (Kesuma dkk. 2009: 122). Contoh lainnya, seorang guru SD di Amesville, Ohio, Amerika Serikat, Ibu Elaski, yang skeptis terhadap badan perlindungan lingkungan setempat dalam bertindak menghadapi pencemaran lingkungan oleh sebuah industri yang menumpahkan cairan kimia (solvent) ke sungai yang mengalir dekat sekolah, lingkungan permukiman para siswa, dan peternakan/pertanian setempat. Dalam rangka pendidikan lingkungan hidup di SD tersebut, ia berbicara pada para siswanya. Para siswa ini kemudian menamai diri mereka sebagai “para pakar kimia air kelas enam Amesville”. Inilah beberapa cerita tentang mereka. Para siswa mengunjungi Universitas Ohio, pejabat-pejabat badan perlindungan lingkungan lokal dan pusat, dan Departemen Kesehatan untuk mendapatkan informasi tentang hasil tes. Dalam pertemuan-pertemuan kelas, Elasky dan para siswa memutuskan bahwa kelompok-kelompok siswa harus menginvestigasi sumber-sumber dan pengaruh-pengaruh polutan yang sedang mereka tes dan menyajikan temuantemuan mereka di dalam kelas; mewawancara orang-orang



42



I



Memaknai Pendidikan Karakter



yang mengetahui tentang polusi air dan ekologi anak sungai; mengembangkan sebuah tabel besar untuk tabulasi hasilhasil tes; dan meluncurkan sebuah kampanye iklan untuk memasarkan layanan pengetesan mereka kepada individuindividu dalam komunitas Amesville (hasilnya digunakan untuk mengganti pengeluaran kelas). “Kami mencurahkan banyak waktu mendiskusikan terjadinya banyak hal tentang pencemaran ini”, Elasky berkata, "tetapi ini tidak sia-sia”. Hal ini menciptakan pemahaman atas proses-proses demokratis dan banyak peluang untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kecakapan berdiskusi”. Selama beberapa bulan, para siswa menginterviu para pakar di Universitas Ohio tentang polutan; berbicara dengan para pejabat tentang perairan lokal dan pembuangan kotoran pabrik melalui sungai, menyelusuri sejarah wilayah mereka; membuat jurnal; menggunakan komputer untuk membuat tabel-tabel polutan; membuat peta; mengambil gambar foto dan mencetaknya; menulis kepada para pejabat pemerintah; dan mengetes sumur-sumur, tangki-tangki air bawah tanah, dan saluran-saluran air di Amesville. Di penghujung tahun ajaran mereka dengan bangga menyajikan proyek mereka di sebuah konferensi tentang pendidikan umum dalam sebuah masyarakat demokratis di Universitas Ohio. Ini cakapan mereka tentang pengalaman mereka. Belajar tanpa buku lebih menyenangkan ketimbang mencurahkan waktu sehari penuh dengan buku. Kami belajar berkooperasi antarteman. Kami berpikir proyek jenis ini penting karena kami belajar banyak hal, termasuk pertanggungjawaban. Hal ini juga membantu pelajaran kami dalam IPA, kesehatan, bahasa, berbicara, menulis, dan membaca. Kami juga menikmati hal ini karena proyek ini menyenangkan, dan kami merasa kami cukup dewasa untuk bekerja dengan bahan-bahan kimia dan mampu melakukannya. Alasan lainnya adalah kami menganggap penting untuk mengetahui apa minuman anda setiap hari. Sumber: Lickona, Thomas (1991). Educating for Character. How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books. H. 161-162



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



43



Teori Pendidikan Karakter. Untuk memahami pendidikan karakter, lebih mudah rasanya jika kita memulainya dengan memahami ranahranah kepribadian yang ingin dikembangkan melalui pendidikan. Sejak kerja besar Bloom dan kawan-kawan mengembangkan taksonomi tujuan-tujuan pendidikan pada akhir tahun 1950-an, dan masuk ke Indonesia sekitar pertengahan tahun 1970-an melalui Kurikulum ’75, kita mengenal tiga ranah kepribadian yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebetulnya, jika sekedar pengenalan tentang ranah ini, penemuannya sudah lama jauh sebelum Bloom dan kawan-kawan mengemukakannya, yaitu dengan istilah: kepala, hati, dan tangan atau dalam bahasa Inggris head, heart, and hand. Yang istimewa dari Bloom dan kawan-kawan adalah elaborasi ranah kognitif ini secara saintifik. Ranah kognitif dikembangkan melalui pengajaran pengetahuan dan utamanya sains. Sejak Kurikulum ’75 hingga saat ini, banyak kalau bukan seluruh sekolah Indonesia membuat pendidikan menjadi pengajaran pengetahuan secara eksklusif, mengabaikan pendidikan afe ktif/ n i1ai/s ikap/mo ra1/ akhlak/budi pekerti. Kementerian Pendidikan Nasional, melalui UN-nya, menyediakan tagihan untuk pengajaran pengetahuan; dan pendidikan karakter belum menjadi tagihannya sekalipun Standar Isi menghendaki penyelenggaraan pendidikan karakter. Keadaan ini diperparah oleh Badan Akreditasi Sekolah yang juga menyediakan tagihan-tagihan administratif ketimbang pendidikan atau pedagogi. Pengajaran di abad ke-20 Indonesia menjadi bias, berkenaan secara eksklusif dengan sains. Dalam KBBI (Moeliono, 1996: 14-15), mengajar berarti (1) member pelajaran (misalnya, berhitung), (2) melatih, dan (3) memarahi (memukuli, menghukum, dan sebagainya) supaya kapok. Arti yang ketiga, memarahi, menunjukkan “mengajar” tidak eksklusif kognitif, tetapi juga afektif. Adapun ajaran diartikan sebagai ( ١) segala sesuatu yang diajarkan, (2) nasihat, (3) petuah, (4) petunjuk, dan (5) paham (misalnya, paham Mahatma Gandhi). Di sini kata ajaran juga tidak eksklusif kognitif, ada unsur afektifnya. Berdasarkan hal ini, mengajar bersifat komprehensif, sama dengan pendidikan. Sehubungan dengan biasnya pengajaran orang-orang saat ini, barangkali memberi tekanan pada pendidikan (dibedakan dari



44



Memaknai Pendidikan Karakter



pengajaran!teaching) dan pendidikan karakter, untuk menandingi pengajaran. Pengajaran menjadi bias tersebut ada hubungannya dengan peradaban Barat yang mengutamakan ilmu-teknologi, berlangsung melalui zaman modernisme. Modernisme mevakini ilmu, bukan yang lainnya termasuk agama, akan memajukan peradaban. Jika kita bertumpu pada skema kognitif, afektif, psikomotor, pendidikan karakter identik dengan pendidikan afektif; dan seakan terpisah secara saling menolak-serta (mutually exclusive) dengan pendidikan kognitif dan psikomotor. Sesungguhnya tidak demikian halnya, sering terdapat persinggungan atau irisan antara ketiganya. Pengajaran yang eksklusif, seperti yang teijadi dewasa ini, mengeksklusi (menolak-serta) khususnya pendidikan afektif untuk bergabung.



Gambar 2.2 Irisan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dalam pendidikan karakter



Banyak guru terlibat dalam suatu bentuk pendidikan sikap, meskipun mereka tidak selalu menyadarinya. Dalam beberapa kasus, pembelajaran sikap merupakan tujuan utama dari pengajaran. Kampanye-kampanye anti-narkoba, anti-korupsi, dan keluarga berencana adalah contoh dari tipe pengajaran yang berfokus sikap. Pembelajaran sikap dapat menjadi sebuah komponen utama, sebagaimana kampanye-kampanye tersebut, dan dapat pula menjadi sebuah komponen di antara komponen-komponen pembelajaran lainnya (kognitif dan psikomotor). Strategi-strategi pengajaran yang spesifik dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran afektif, apakah ia sebagai sebuah komponen utama ataupun ia sebagai sebuah komponen pembelajaran diantara pembelajaran jenis-jenis lainnya. Hasil-hasil belajar dan perubahan atau perkembangannya. Hasil-hasil belajar afektif melibatkan sikap, motivasi, dan nilai-nilai.



Desain Pend‫؛‬d ‫؛‬kan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah



!



45



Ekspresi dari hal-hal ‫ ﻟﻂ‬melibatkan pernyataan-pernyataan tentang pendapat, kepercayaan/keyakinan, atau penilaian terhadap harga dari sesuatu (Smith ‫ ظ‬Ragan, 1999, dalam Miller, 2005). Sikap diperoleh melalui belajar/pengalainan atau merupakan predisposition (kecenderungan) yang terbangun pada diri seseorang untuk merespon sesuatu (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Dewasa ini, banyak peneliti bersepakat bahwa sikap diperoleh (bukan bawaan) dan karena itu “dapat dikenai pernbahan yang cukup prediktif "(Simmons ‫ ه‬Maushak, 2001, p. 84 dalam Miller, 2005), meskipun beberapa peneliti meyakini bahwa beberapa sikap bisa jadi bawaan atau bisa jadi memiliki asal-usul biologis (Eagly & Chaiken, 1993 dalam Miller, 2005). Sikap-sikap adalah sistem-sistem atau konstruk-konstruk yang terdiri atas empat kualitas yang saling berhubungan: respon-respon afektif, kognisi-kognisi, intensi-intensi perilaku, dan perlaku-perlaku. Sikap-sikap bervariasi dalam arah (positif atau negatif), derajat (jumlah perasaan positif atau negatif), dan intensitas (tingkat komitmen yang dimiliki individu terhadap ‫ﻫﺎ ؛‬،‫ ال‬posisi). Sikap-sikap tidak secara langsung dapat diobservasi, tetapi tindakan-tindakan ‫ ﺳﻞ‬perilaku-perilaku yang disumbang oleh sikap dapat diobse^asi (Bednar ‫ ه‬Eerie, 1993 dalam Miller, 2005). Meskipun "ranah kognitif ‫ ﺳﻚ‬afektif berinteraksi secara signifikan dalam pengajaran ‫ ﺳﻚ‬pembelajaran" (Martin ‫ ه‬Briggs, 1986, p. 3 dalam Miller, 2005), perilaku apapnn yang memiliki suatu komponen emosi terletak dalam ranah afektif. Perubahan sikap. Pembahan sikap adalah suatu J^rkembangan dalam arah, derajat, atau intensitasnya. Sebuah ‫ آل ﻟﻢ‬1‫ اض‬dalam sebuah komponen dari sebuah sikap dapat menghasilkan pembahan pada komponen-komponen lainnya. Lagi pula, sikap-sikap terhadap sebuah objek dapat berkaitan dengan sikap-sikap terhadap objek lainnva, dan pembahan dalam sebuah sikap dapat menggiring pembahan sikap yang lainnya (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Teori-teori pembentukan dan pembahan sikap. Ringkasnya, ‫ ﻟﻂ‬adalah teori-teori belajar tentang pembahan sikap, fokus pada penguatan perilaku sebagai faktor primer penentu perkembangan sikap. Teori disonansi kognitif. Riset awal tentang pembahan sikap berasal ‫ﻣﺤﻚ‬teori disonansi kognitif Eestinger, yang mengemukakan 46 ‫ا‬



Memaknai Pendidikan Karakter



bahwa, ketika seseorang terpersuasi untuk bertindak dengan suatu cara yang tidak sejalan dengan sebuah sikap yang sudah ada sebelumnya, ia bisa jadi m engubah sikapnya untuk mengurangi disonansi tersebut (Sm ith & Ragan, 1999 dalam Miller, 2005). (disonansi artinya suara yang tidak menyenangkan, inkonsistensi). P em anfaatan disonansi u n tu k m enghasilkan p eru b ah an sikap, pendidik pertama-tama harus menciptakan disonansi, dan kemudian menyediakan sebuah metode untuk mengurangi disonansi tersebut. Idealnya, hal ini akan melibatkan pem buatan alternatif terpilih yang menarik, mempertunjukkan sebuah kelompok sosial dengan sikap yang diharapkan, m em buktikan pentingnya isu yang dimaksud, menyediakan pemilihan bebas, dan penyediaan ruang luas untuk penerimaan melalui penghampiran bertahap (Martin & Briggs, 1986 dalam Miller, 2005 ). Teori-teori konsistensi. Sam a halnya, teori-teori konsistensi mengasumsikan bahwa individu-individu m embutuhkan pengalaman konsistensi antara di kalangan sikap dan perilaku akan memodifikasi satu atau keduanya untuk mencapai keseimbangan ini (Zimbardo & Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Teori konsistensi afektif-kognitif mengkaji perhubungan antara sikap-sikap dan kepercayaan-kepercayaan dan mengungkapkan bahwa individu-individu berada dalam suatu keadaan tidak stabil ketika sikap-sikap m ereka terhadap sebuah objek, peristiwa atau orang dan pengetahuan mereka tentang objek, peristiwa atau orang tersebut bersifat tidak konsisten (Simonson & Maushak, 2001 dalam Miller, 2005). Teori ini menyarankan bahwa komponen afektif dari sistem sikap dapat diubah dengan menyediakan informasi baru (pengubahan komponen kognitif) melalui sebuah pesan yang persuasif. Ketika individu selesai memproses informasi baru, ia akan mengalami perubahan sikap yang membuat pengetahuan dan perasaan m engalam i harm oni. Pem rosesan pesan tersebut mempersyaratkan orang mencurahkan perhatiannya dan memahami pesan tersebut, kem udian m enerim a dan m em pertahankannya (Zimbardo & Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Teori konsistensi afektif-kognitif menyarankan bahwa komponen afektif dari sistem sikap dapat diubah dengan pertama-tama pengubahan komponen kognitif melalui penyediaan informasi baru. Meskipun faktanya bahwa sikap-sikap disimpan secara terpisah dari kognisi-kognisinya yang terkait, yang berarti bahwa seseorang Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



47



dapat mengalami sebuah perasaan tanpa mengingat informasi atau kejadian yang memieu perasaan tersebut, sikap-sikap pada umumnya akan lebih kuat ketika kaitan antara kom ^nen-kom ponen kognitif dan afektif dimunculkan secara sadar (Zimbardo & fcippe, 1991 dalam Miller, 2005). Agar hal ini berhasil, tentunya, si penerima harus memperhatikan terhadap pesan yang menyediakan informasi tersebut. Sebuah kecenderungan untuk m em andang secara pasif terhadap pesan dapat dikurangi dengan memberi petunjuk pada siswa untuk m em perhatikan dan memihki kesiapan sehubungan isi pesan akan diteskan (Wetzel c't al., 1994 dalam Miller, 2005). Menurut Zimbardo and Leippe (1991 dalam Miller, 2005), “sebuah pesan persuasif sangat mungkin menyebabkan sikap dan tingkah laku berubah jika ia dapat membentuk keyakinan tentang suatu topik dan keyakinan tentang apa yang dipikirkan individu dan kelompok sosial yang penting dan bagaim ana m ereka berbuat terhadapnya" (p. 188). Pesan persuasif yang sangat efektif adalah yang “m em buat indh'idu berpikir tentang sebuah isu atau objek dalam gam baran yang konkret, hidup y ‫؛‬mg memiliki implikasiimplikasi yang jelas bagi perilaku” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. )94 dalam Miller, 2005). Teori-teori pertimbangan sosial. Teori-teori ‫]؛؛‬٦ menekankan peranan sikap-sikap sebelumnya dalam pembentukan dan perubahan sikap. Mereka mendeskripsikan sikap sebagai sebuah jenis dari spektrum dengan sebuah “ruang penerimaan” yang mengelilingi sebuah sikap yang ada. Sebuah posisi baru lebih mungkin untuk diterima jika ia termasuk ke dalam ruang penerimaan tersebut dan kurang mungkin diterima jika ia tidak dem‫؛‬k‫؛‬an (Smith & Ragan, 1999 dalam Miller, 2005). Teori ‫؛؛‬١٦ menyarankan bahwa pem bahan dalam posisi sikap dapat lebih besar ،:‫أاااا‬،‫ ﻟﻞ؛‬merespon terhadap presentasi dari sebuah posisi persuasif yang moderat ketimbang dalam merespon terhadap sebuah pesan yang lebih ekstrem. Sebagaim ana ‫ا‬-‫ اآآ[ ا؛ا‬-‫ ل؛‬dengan teori disonansi, teori pertimbangan sosial menyampaikan pem bahan sikap sebagai sebuah respon terhadap penerim aan sebuah pesan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan sikap yang dianut seseorang. Penerimaan posisi ‫ ااآل؛ت؛‬bergantung atas termasuk tidaknya posisi bam tersebut ke dalam m ang penerimaan si penerima. “Penggunaan penghampiran bertahap dapat memperluas m ang penerimaan dan dengan dem ikian m em ungkinkan p em b ah an sikap yang lebih



M em adai Pendidikan Karakter



besar” (Bednar & Levie, 1993, p. 295 dalam Miller, 2005). Ruang penerimaan ini beranalogi dengan zona proximal development dalam teori perkembangan sosial sebagaimana dibahas dalam bab tentang “Konstnrksionisme Vygotsky”. Teori pembelajaran sosial. Teori ‫؛؛ ؛‬٦ fokus pada perkembangan kognisi-kognisi yang berkaitan dengan dampak perilaku yang diharapkan. Teori ‫؛ ؛‬٢١ menyarankan bahwa seorang individu belajar sikap-sikap dengan mengamati perilaku-perilaku orang lain dan menjadikannya model atau mengimitasinya (McDonald & Kielsmeier, 1970 dalam Miller, 2005). Suatu perilaku yang diamati tidak harus diperkuat untuk dipelajari (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller, 200.5), dan modelnya "dapat disajikan dalam film, oleh televisi, dalam sebuah novel, atau oleh sarana-sarana pengalaman tidak langsung lainnya” (Martin ‫ ه‬Briggs, 1986, p 28 dalam Miller, 2005). Si model harus kredibel bagi pemirsa sasaran (Bednar & Levie, 1993 dalam Miller, 2005). Kredibilitas utamanya sebuah fungsi dari kepakaran dan kejujuran. Pembelajaran observasional meningkat ketika modelmodel dipersepsi sebagai berpengaruh (poweiful) dan/atau hangat d an m endukung, d an “perilaku im itatif lebih m ungkin ketika terdapat beragam model mengeijakan hal yang sam a” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 51 dalam Miller, 200.5). Sementara “sikap-sikap yang terbentuk melalui pengalaman langsung dengan objek atau isu sikap adalah lebih prediktif ketimbang sikap-sikap yang terbentuk melalui pengalaman tak langsung” (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991, p. 193 dalam Miller, 200.5), “media dapat menggantikan banyak pengalaman langsung” (Wetzel et al., 1994, p. 26 dalam Miller, 2005). Dengan demikian, mengamati sebuah model melalui video adalah sebuah metode yang bermanfaat dalam pembelajaran sebuah sikap ‫؛‬١٤١١٧. Bagi pan، pembelajar pasif, pengajaran yang disampaikan melalui m edia dapat m emfasilitasi pem erolehan cepat ^rilak u -p erilak u afektif yang kompleks secara lebih efektif ketimbang demonstrasi langsung (M cDonald ‫ ه‬Kielsmeier, 1970 dalam Miller, 2005). Bagaimanapun, para penerima dapat memperhatikan pesan-pesan vang termediasi secara kurang erat ketimbang yang disajikan secara langsung (Bednar & Lerie, 1993 dalam Miller, 2005). Teori-teori pembelajaran sosial tentang pem bahan sikap terkait erat dengan teori-teori yang m enekankan peranan ^ m b ela jarau sosial dalam perkembangan kognitif. Pahamilah bab-bab tentang Konstruktivisme Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah



Sosial dan Pem agangan Kognitif, misalnya, untuk pem bahasan^ m b ah asan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Teori pembelajaran sosial juga sam a dengan pemagangan kognitif yang m enekankan pada pem odelan sebagai sebuah eara berbagi pengetahuan. Teori-teori fungsional. Teori-teori ini menyarankan bahwa sikapsikap bertugas melayani beragam kebutuhan psikologis ‫ ﺳﻞ‬bahwa perubahan sebuah sikap m em persyaratkan sebuah pem aham an mengenai tujuannya dalam ketfeh^tan individu yang ■™ n^ntanya. K em anfaatan teori ini dib atasi oleh fakta bahw a riset sikap dalam wilayah ini belum m en^asilkan sehimpunan kategori yang konsisten vang menghubungkan sikap dengan kebutuftan-kebutuhan psikologis (Bednar ‫ ه‬Levie, 1993 dalam Miller, 2005). Riset telah memperlihatkan bahwa sikap-sikap yang berkaitan dengan konsepdiri sering melaksanakan fungsi ego-defensif dan sikap-sikap egodefensif khususnya sulit untuk diubah (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991 dalam Miller. 2005). T a kso n o m i K rathw ohl. T e rd a p a t b e b e ra p a u p ay a u n tu k ro^gklasiiikasi tipe-tipe dan tingkat-tingkat pem belajaran dalam ran ah afektif. Barangkali klasifikasi yang paling dikenal orang adalah yang dikem bangkan oleh Ki'athwohl, Bloom, and Masia in 1964 (Atherton, 2010). Taksonomi Krathwohl memiliki lim a kategori utama. • • ٠



Receiving/Attending/menerimaJmengikuti - keinginan untuk menjadi sadar. Responding/merespon - mengapresiasi atau menginternalisasi. Valuing/menilai - menerima, memilih, menjadi berkom itm en im trik



٠







Conceptualizing/Oi'ganizing - ?uemadukan ke dalam sebuah sistem nilai. Characterizing by va/zi،7karakterisasi oleh nilai - orientasi terhadap/ identifikasi dengan.



Pembelajaran pada sebuah ‫ س^ﻫﻄﺊ‬bergantung pada keberhasilan pembelajaran pada tahapan sebelumnya. Tabel berikut ini menyediakan pandangan yang menyeluruh tentang asum si-asum si dasarlah d an inrplikari-lm phkasi kunci instruksional dari teori-teori di atas. Memaknai Pendidikan Karakter



Tabel 2.3 Pandangan menye^ruh tentang teori-teori pembentukan dan perubahan $‫^؛‬ap Teori



Asumsi dasariah



Behavioral



Pembelajaran terjadi ketika perilaku diperkuat secara positif



Saran pengajaran







• Disonansi kognitif



Keadaan goyah tercipta ketika • sikap-sikap inkonsisten dengan ٠ tingkah laku



Mengupayakan siswa berbuat sesuai dengan sikap yang diharapkan Menyediakan penguatan positif Ciptakan disosansi Sediakan sarana pengurang disonansi bebas untuk membuat pilihan menarik



konsistensi afektif- Keadaan goyah tercipta ketika Ubah komponen kognitif kognitif sikap-sikap inkonsisten dengan pertama-tama dengan pengetahuan menyediakan informasi baru Pertimbangan Sikap-sikap yang ada Penyiapan bertahap sosial pesan-pesan dalam mang dikelilingi oleh ruang penerimaan -: ‫؛‬ penerimaan Pembelajaran sosial



Individu: belajar sikap;dengari, • mengamati ^nfmengirnitasf 1 perilaku orang lain •



Fungsional



Taksonomi Krathwohl



Diterjemahkan (Miller; 2005)



Tujuan sikap memenuhi kebutuhan seseorang yang menganutnya menentukan metode terbaik untuk mengubahnya



Intensitas sikap yang ada dibangun melalui tahap-tahap beruntun



Sediakan model yang berpengaruh (powerful)



Beragam model mengerjakan hal yang sama



Acknowledge egodefensive role of attitudes related to self-concept. (peranan



ego-defensif dari sikap berkaitan dengan konsep diri). Pembelajaran pada sebuah tahapan bergantung pada pembelajaran sebelumnya pada tahapan yang lebih rendah



٢١‫ ظ‬sedikit adaptas‫ ؛‬dari: OverView o f t^ e théories o f aptitude form ation and change



Desain Pendidikan Karakter di 5ekolah



‫ا‬



5 ‫ا‬



Beberapa temuan tentang desatn instruksional untuk pem bahan sikap. Desain efektif pengajaran afektif, sebagaimana hasil studi Simonson and Maushak (2001 dalam Miller, 2005), yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



buatlah pengajaran realistik, relevan, dan menstimulasi secara teknis; sajikan informasi baru; sajikan pesan-pesan persuasif dengan cara kredibel; bangkitkan keterlibatan emosional bertujuan; libatkan siswa dalam perencanaan, produksi, atau penyampaian pesan sediakan diskusi pasca-pengajaran atau peluang-peluang kritik.



Smith dan Ragtur (1999 dalam Miller, 2005) memusatkan diri pada aspek behavioral dari pembelajaran sikap dan menekankan pentingnya tiga pendekatan instruksional kunci: • ٠







demonstrasikan perilaku yang diharapkan oleh seorang model peranan yang dihargai; praktikkan perilaku yang diharapkan, sering melalui permainan peranan; perkuat perilaku yang diharapkan.



Bednar & Levie (١993 dalam Miller, 2005) mengajukan rekomendasi yang sama. Ketika mendesain pengajaran untuk pem bahan sikap, "tiga pendekatan berkem bang dari literatur teoretis: penyediaan sebuah pesan persuasif; pemodelan dan pemerkuatan tingkah laku yang sesuai; dan munculkan disonansi antara komponen-komponen kognitif, afektif, dan behavioral dari suatu sikap. Pendekatanpendekatan ini idealnya digunakan secara tandem” (p. 286). Dewasa ini, tidak terdapat kesepakatan yang bulat tentang tatanan optimal untuk menyajikan berbagai pesan kognitif dan afektif yang terkandung dalam sebuah unit pengajaran. Sejumlah peneliti m enem ukan bahw a “pengetahuan tentang sebuah topik sering menjadi sebuah prasvarat untuk sebuah posisi sikap positif terhadap suatu ide” (Simonson ‫ ظ‬Maushak, 2001, p. 1010 dalam Miller, 2005). Para peneliti lainnya m enyanm kan bahw a ”orang yang lebih terdidik memiliki kesiapan yang baik untuk beradu argumentasi dan karena itu kurang mungkin untuk menerima atau dipersuasi oleh informasi batu” (Ansolabehere et al., 1993, p. 151



M em aknai Pendidikan K ara kter



dalam Miller, 200.‫) ؟‬. Teori yang pertam a ini akan m enyarankan bahw a para pem belajar akan mengalam i perubahan sikap yang lebih jika aspek-aspek kognitif dari sebuah pelajaran disajikan sebelum aspek-aspek afektif diintroduksikan, sementara teori yang kedua menyarankan pengaruh yang sebaliknya. Kemampuan sebuah pesan persuasif untuk memproduksi perubahan sikap terkait erat dengan kekuatannya, dan "informasi statistik yang kering memilhvi pengaruh yang kurang ketimbang contoh-contoh yang hidup dan konkret” (Zimbardo ‫ ه‬l.e‫؛‬ppc, 1991, p. 337 dalam Mille،', 2005). Bagaimanapun, studi-studi tentang penontonan televisi di rum ah telah memperlihatkan bahwa cerita-cerita yang “berkaitan dengan topik-topik yang berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki para pemirsa cenderung untuk diingat dengan lebih baik” (Wetzel et al., 1994, p. 53 dalam Miller, 2005). Pertama sajikan yang ،١٨١٧٨٦ dan kemudian yang khusus, pertama yang abstrak dan kemudian yang konkret, tam paknya m erupakan desain instm ksional yang sesuai haik ‫ ا‬،‫ < ااااآا‬ranah kognitif m aupun afektif. K arena penyajian pesan-pesan yang kredibel dan persnasif merupakan sebuah komponen kunci dari pengajaran sikap, eksplorasi lebih lanjut terhadap pengajaran kredibel dan persuasif bisa jadi akan bermanfaat. Penerimaan sebual) pesan adalah ”tidak terlalu berkenaan dengan Isi pesan sebagai kognisi-kognisi, tetapi dalam bentuk respon-respon evaluatif” (Zim bardo & Leippe, 1991, p. 150 dalam Miller 2005). Efektivitas dari sebuah pesan persuasif bergantung pada persepsi si penerima tentang sumber kredibilitas, dan lmedibilitas adalah fungsi kepakaran dan kejujuran. Ketika informasi yang disajikan penting bagi si penerima dan ^ ^ a b a n n y a rendah, sebuah pesan intelektual akan mungkin lebih persuasif, dan peningkatan objektivitas dapat membantu mengatasi resistensi terhadap perubahan sikap. Sebaliknya, ketika pentingnya pesan adalah relatif rendab dan keakrabannya tinggi, im bauan emosional adalah lebih berhasil. “Citra-citra emosional membutuhkan penglihatan, suara, dan kualitas gerakan yang >‫؛‬ ‫ا؛ ا؛ ااا؛اا‬ oleh TV” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 149 dalam Miller 200.5). “Trick yang m enyertai desain pesan persuasif ideal adalah bahvva ia harus berupa kualitas agar respon-respon kognitif si penerima sendiri terhadapnya bersifat banyak dan sesuai dengan yang diharapkan” (Zimbardo ‫ ه‬Leippe, 1991, p. 182 dalam Miller Desain Pendidikan Karakter d ‫ ؛‬Sekolah



2005). Contohnya, studi-studi (e.g., Allison, 1966; Wade and Pool, 1983; Bage, 1997 dalam Miller 2005) menemukan bahwa video-video persuasif lebih mungkin untuk menghasilkan perubahan sikap ketika diskusi-diskusi pasea menonton dilaksanakan. Jika unit pengajaiun dim ulai dengan sebuah tekanan pada dam pak-dam pak kognitif, dilanjutkan dengan pesan m edia persuasif, dan ditutup dengan sebuah bagian diskusi, maka para siswa akan ،«‫س‬ ^ dengan beberapa peluang untuk m engem bangkan dan mengekspresikan respon-respon kognitif mereka terhadap ‫؛ﺳﺎم‬ yang disajikan. M asing-masing tahap pengajaran hendaknya menyajikan pesanpesan penting, persuasif dengan informasi baru (dalam rangka) memprovokasi kognisi-kognisi yang lebih dan karena itu meningkatkan perkem bangan sikap" (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 150 dalam Miller 2005). K arena itu, kom ponen persuasif hendaknya tidak hanya menyatakan ulang informasi yang tereedia sebelumnya, tetapi harus mengelaborasi dan memperluasnya. Sebuah keuntungan dari pengajaran bermedia adalah kemampuannya m elakukan repliltasi seeara ek sak pengajaran sikap yang sam a dapat disampaikan secara eksak pada banyak kelompok (McDonald & Kielsmeier, 1970 dalam Miller 2005). ?engajaran komponenkomponen kognitif dan afektif yang ditutup dengan sebuah diskusi dapat m em bantu m enciptakan perubahan sikap lebih permanen, karena pesan-pesan yang dihasilkan sendiri bersifat lebih dapat diingat ketimbang yang hanya diterima dari pihak lain (Zimbardo ‫ه‬ Leippe, 1991 dalam Miller 2005). “Orang-orang menjadi lebih penuh kesadaran ketika mereka m enjum pai stim ulus baru yang tidak sesuai dengan kategori-kategori (konsep) yang sudah terbangun dan ketika mereka termotivasi untuk terlibat dalam berpikir secara sistematik, ketimbang tergelincir ke dalam proses tanpa berpikir” (Zimbardo and Leippe, 1991, p. 259 dalam Miller 2005). Pentingnya keterlibatan kognitif ini untuk perubahan sikap hendaknya jangan dianggap sepele. “Perubahan-perubahan sikap yang m etupakan hasil dari proses mental aktif dan sistematik adaiah paling bertahan lama, penrbahan-petubahan yang tak lekang oleh waktu” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 181 clalam Miller 2005). Sebagaim ana dibahas di atas, kom ponen-kom ponen afektif sering hadir dalam banyak perencanaan pelajaran. Penam bahan tujuan-tujuan objektif pada pengajaran lainnya tidak perlu menyita 54



‫ا‬



Memaknai Pendidikan Karakter



banyak waktu. Sebuah meta-analisis tentang studi-studi perubahan sikap berkaitan dengan bias dan prasangka telah memperlihatkan b ahw a p e rla k u an -p erla k u an singkat u m u m n y a m en g h asilk an pelubahan sikap yang lebih ketimbang perlakuan yang lebih lama. Dengan kata lain, “waktu perlakuan yang singkat secara jelas lebih kondusif untuk pengurangan prasangka (McGregor, 1993, p. 222 dalam Miller 2005). Implikasi-implikasi dari temuan ini sangat luar biasa untuk intervensi-intervensi ketika perubahan sikap merupakan tujuan utamanya. Jika seorang guru mentpet'sepsi bahwa sikap para siswanya sudah menyertai peneapaian tujuan yang ada, ia bisa jadi tidak tergoda untuk menangani komponen afektif dari pelajaran. Bagaimanapun, penguatan tetap penting. “Kurangnya resistensi (terhadap persuasi) adalah dimungkinkan ketika sikap dan kepercayaan masih dalam tahap-tahap pem bentukan atau ketika individu memasuki sebuah lingkungan sosial baru dan sangat berbeda” (Zimbardo & Leippe, 1991, p. 225 dalam Miller, 2005). Dengan dem ikian pentingnya pengkonfirm asian dan penguatan sikap-sikap positif yang ada hendaknya jangan dianggap sepele. Semakin mendalam pemikiran yang menyertai sebuah sikap, maka semakin resisten ia terhadap perubahan (Zimbardo & Leippe, 1991 dalam Miller, 2005). Dengan m em otivasi p a ra sisw a u n tu k m erefleksi sikap-sikap m ereka, pengajaran dapat menggiring ke meningkatnya intensitas sikap-sikap dan pemranensi. Sementara sikap-sikap um um adalah prediktor yang baik dari p e rila h yang umum, dan sikap-sikap spesifik adalah prediktor yang baik dari perilaku-perilaku spesifik, yang um um tidak memprediksi yang khusus secara a‫؛‬eg, juga yang spesifik tidak meprediksi yang um um secara ajeg (Sim onson ‫ ه‬M aushak, 2000 dalam Miller, 2005). K arena itu, dalam penilaian pem belajaran sikap, skalaskala tipe I.ikert atau pengukuran-pengukuran tertutup yang sama hendaknya ‫دﻟﻮه‬ secara tandem dengan instrumen-instrumen yang lebih terbuka. Pendidikan Afektif Krathwohl. Taksouomi ranah afektif Krathwohl, disusun bersama Bloom dan Maria (1973), barangkali taksonomi yang paling dikenal orang dalam bidang afektif. “Taksononri ini ditata sesuai dengan prinsip internalisasi. Internalisasi m erujuk pada proses perasaan/sikap terhadap sebuah objek yang berkisar Desain Pendidikan Karakter di Sekoiah



dari sebuah tingkatan kesadaran yang um um /hanya m enyadari sesuatu/menjadi melek nilai, ke tingkatan dim ana perasaan tersebut ‘terinternalisasi’ dan secara konsisten membimbing atau mengontrol tingkah laku seseorang” (Seels & Glasgow, 1990, p. 28). Demikianlah, bahwa afeksi adalah proses mental atau kesadaran pada sisi emosi utamanya, berkenaan dengan perasaan atau sikap positif-negatif. "Taksonomi” artinya adalah “klasifikasi”, maka taksonomi tujuantujuan belajar adalah sebuah upaya (dalam paradigma behavioral) untuk mengklasifikasi bentuk-bentuk dan tingkat-tingkat belajar. Taksonomi mengidentifikasi tiga “ranah" belajar, masing-masing ranah ini diorganisasikan sebagai serangkaian tingkatan atau secara pre-requisites. ٢!‫؛‬ ١ m en ^ran k an bahwa seseorang tidak dapat secara ”’ mencoba untuk—menguasai tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi sebelum tingkatan yang lebih rendah dikuasai. Taksonomi ’ topik-topik dalam kurikulum disajikan secara runtunan, juga m enyarankan suatu cara kategorisasi tingkatan-tingkatan belajar. K arena itu, misalnya, dalam ranah kognitif, pendidikan untuk teknisi bisa jadi mencakup pengingatan, pem aham an dan penerapan, tetapi tidak berkepentingan dengan analisis dan yang di atasnya, sedangkan untuk pendidikan profesional bisa jadi mencakup analisis, evaluasi, dan kreasi. Adapun susunan taksonomi afektif Krathwohl (Krathwohl dkk., 1964, tersedia di :http://mvw.Iean7ingandteachmg.info/leaming/bloomtax. htm. 01.08.10) sebagaimana disajikan pada diagram 2.4.



56



‫ا‬



Memaknai Pendidikan Karakter



R anah afektif (K rathw ohl, Bloom, Masia, 1973) cara kita m enghadapi suatu hal secara emosional, seperti perasaan, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap. Lima kategorinya dimulai dari perilaku yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks: Tabel 2.4 tima kategori afektif menurut Krathwhol



Kategori



Contoh dan Kata Kunci (Verba)



Contoh: Mendengarkan orang lain dengan hormat. Memperhatikan dan mengingat nama orang yang baru diperkenalkan. Receiwng/menerima fenomena: • Individu mulai sadar secara Kata Kunci: bertanya, memilih, mendeskripsikan, mengikuti, memberi, mengidentifikasi, menunjukkan positif akan fenomena tempat, menyebutkan nama, menunjukkan, memilih, duduk, berdiri, menjawab, menggunakan. Respondirtg jmerespon terhadap fenomena: ٠ Berpartisipasi aktif mempelajari sesuatu. Memperhatikan dan mereaksi terhadap fenomena tertentu. • Hasil-hasil belajar dapat me­ nekankan keinginan untuk merespon, kepatuhan dalam merespon, atau kepuasan dalam merespon.



Contoh: Berpartisipasi dalam diskusi kelas. Memberikan sebuah presentasi. Mengajukan pertanyaan tentang cita-cita, konsep-konsep, model-model baru, dan lain-lain dalam rangka memahami secara penuh. Mengetahui peraturan keamanan dan mempraktikkannya. Kata Kunci: menjawab, membantu, menyediakan bantuan, mematuhi, menyesuaikan diri, mendiskusikan, menyambut, memberi label, melaksanakan, mempraktikkan, menyajikan, membaca, melaporkan, memilih, mengatakan, menulis.



Va/u‫؛‬ng/menilai: Contoh: Mendemonstrasikan keyakinan terhadap • Harga, nilai atau anggapan proses demokratis. Peka terhadap perbedaan penting yang seseorang individual dan kultural (keanekaragaman nilai). berikan pada sebuah fenomena tertentu. ٠



٠



٠



Ini berkisar dari persetujuan sederhana hingga keadaan komitmen yang lebih kompleks terhadap nilai. Penilaian didasarkan atas internalisasi sehimpunan nilai spesifik Keping-keping petunjuk untuk nilai-nilai ini terekspresikan dalam perilaku terbuka (overt) si pembelajar dan sering dapat didentifikasi.



Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah. Mengajukan sebuah rencana untuk pembaikan sosial dan melaksanakannya dengan komitmen. Memberitahukan kepada manajer hal-hal yang dirasakan dengan kuat. Kata Kunci: menyelesaikan, mendemonstrasikan, membedakan, menjelaskan, mengikuti, membentuk, ^^rakarea, mengundang, l^rgabung, menju^fikasi, mengusulkan, membaca, melaporkan, memilih, berbagi, melakukan studi, bekerja.



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



57



Organization/mengorganisasi: ٠ Mengorganisasi nilai-nilai menjadi prioritas-prioritas melalui: mempertentangkan berbagai nilai, memecahkan konflik di antara nilai-nilai ini, dan menciptakan sebuah sistem nilai yang unik.



Contoh: Mengenali kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kebebasan dan perilaku bertanggung jawab. Menerima tanggung jawab atas perbuatan sendiri. Menjelaskan peranan dari perencanaan sistematis dalam memecahkan masalah. Menyetujui standar etis profesional. Menciptakan sebuah rencana kehidupan yang harmoni dengan kemampuan, minat, dan keya­ kinan. Memprioritaskan waktu secara efektif untuk memenuhi kebutuhan organisasi, keluarga, dan diri sendiri. Kata kunci: menganut, mengubah, menyusun, mengkombinasikan, membandingkan, menye­ lesaikan, mempertahankan, menjelaskan, mem­ formulasikan, mengeneralisasi, mengidentifikasi, memadukan, memodifikasi, menata, mengorga­ nisasi, mempersiapkan, menghubungkan, mensintesis.



Characterizat/on/karakterisasi/ internalisasi nilai: • Memiliki sebuah sistem nilai yang mengontrol perilaku. • Perilaku adalah pervasive (hadir dirnana-mana, selalu ada), konsisten, prediktif, dan yang paling penting, merupakan karakteristik seseorang.



Contoh: Memperlihatkan kebergantungan pada diri sendiri ketika bekerja secara mandiri. Bekerja sama dalam aktivitas kelompok (memperlihatkan kerjatim). Menggunakan sebuah pendekatan objektif dalam memecahkan masalah. Memperlihatkan komitmen profesional pada praktik etis secara harian. Memperbaiki pertimbangan-pertimbangan dan mengubah perilaku berdasarkan evidensi baru. Menghargai orang sebagaimana adanya, bukan sebagaimana tampakannya. Kata Kunci: bertindak, membedakan, mem­ perlihatkan, mempengaruhi, mendengarkan memo­ difikasi, mengerjakan, mempraktikkan, mengusulkan, mengkualrfikasi, bertanya, memperbaiki, melayani/ bertugas, memecahkan, memverifikasi.



Catatan penulis: Utamakan untuk memahami kategori/konsepnya, jangan hanya menggunakan katakata kuncinya sementara tidak memahami konsepnya.



Kita dapat bayangkan posisi siswa sebelum diperkenalkan dengan nilai-nilai baru adalah nol, tidak tahu, netral, atau mungkin negatif atau menolak. Ini harus dipersiapkan oleh guru sebelum memulai pengajarannya. Karena itu, m enurut penulis, tingkatan-tingkatan afektif Krathwohl ini ketika dim anfaatkan oleh guru dalam pengajaran, lengkapnya adalah sebagaimana berikut ini:



Memaknai Pendidikan Karakter



Karakterisasi diri oleh nilai j j



٢



Pengorganisasian nilai Pemberian nilai



j



Merespon



1



Menerima



j



Netral atau negatif



j



Gambar 2.4 Tingkatan-tingkatan afektif Krathwohl



Aplikasi Krathwohl. Sebagaim ana disebutkan di atas, bahw a taksonomi ini berkenaan dengan perasaan/sikap terhadap sesuatu, misalnya, perasaan individu siswa terhadap ide demokrasi, konsep gotong royong (PKn), atau ide shalat (PAI). Perasaan ini harus tum buh natural/sewajarnya pada diri siswa. Sangat mungkin adanya perasaan ini tum buh dalam waktu yang lama, khususnya untuk pencapaian tingkatan tertinggi: karakterisasi oleh nilai. Perasaan yang sudah tum buh hendaknya relatif ajeg (reliahle) dan dengan frekuensi yang cukup atau muncul berkali-kali. Jika perasaan negatif saling berganti dengan perasaan positif, apalagi hanya perasaan negatif yang sering muncul (dalam bentuk penolakan, skeptis, tidak acuh/peduli, menghindar, antipati, benci), ini pertanda tingkatan yang pertam a saja (receiving/menehma) belum tercapai oleh siswa. B arangkali tidak sem ua SK-KD (stan d ar kom petensi dan kompetensi dasar), misalnya, dalam mata pelajaran IPA m enuntut dilaksanakannya pendidikan karakter ini. Tetapi SK-KD yang mana saja yang m enuntut pelaksanaan pendidikan karakter? Ini sebuah pertanyaan yang belum banyak terjawab oleh para guru. Kurikulum IPA SD internasional Cambridge, sejak kelas tiga hingga kelas enam, menghendaki para siswa menguasai kompetensi keterampilan proses inquiri, di samping isi IPA (konsep dan fakta IPA). Dapat dibayangkan para siswa ini selam a em pat tahun pelajaran IPA in Pendidikan Karakter di Sekolah



belajar keterampilan inquiri, dan ini tidak mungkin hanya berupa keteram pilan m ekanis belaka. Akan lebih baik jika pendidikan karakter menyertai pendidikan keterampilan ini, yaitu dalam rangka pengembangan karakter ilmuwan/saintis. Dalam hal ini guru dapat menerapkan taksonomi Krathwohl. Puncak keberhasilannya adalah siswa yang dikarakterisasi oleh nilai-nilai metode inquiri, antara lain: menolak mengambil simpulan jika tidak ada datanya, menghindari pengambilan putusan berdasarkan perasaan belaka, meminta temantemannya untuk turut meninjau apa yang dikerjakannya, m enuntut pengujian empiris atas suatu ide, memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Tugas guru IPA SD internasional Cambridge yang baik, tidak hanya m engajar isi IPA dan m etode inquiri, tetapi juga memfasilitasi agar karakter ilmuwan tum buh pada para siswanya. Fasilitasnya adalah dalam bentuk penyediaan pengalaman belajar yang sesuai. Tabel 2.5 Ilustrasi pengalaman belajar siswa untuk berbagai ranah pendidikan



J e n i s I s i



P e n d .



P e n g a l a m



a n



B e l a ja r



I lu s t r a s i



P e n d i d i k a n



Pendidikan kognitif



Isi ilmu (konsep dan fakta)



Pendidikan psikomotor



Keterampilan Pengalaman empiris metode inquiri dan konseptualisasi/ pemahaman logika inquiri, dan berlatih menggunakannya.



Eksperimen pemuaian logam melalui pemanasan dan berupaya memahami logika eksperimen.



Pendidikan afektif



Karakter ilmuwan



Upaya pengembangan respon-respon perasaan /sikap (positif) siswa selama mempraktikkan metode inguiri.



Pengalaman empiris dan konseptualisasinya



Belajar menyukai metode inquri, atau perkembangan sikap positif siswa selama mempraktikkan metode inquiri



Memaknai Pendidikan Karakter



Eksperimen pemuaian logam melalui pemanasan dan berupaya memahami hukum pemuaian logam



Memperhatikan rum usan pengalaman belajar pendidikan afektif di atas, dan menghubungkannya dengan pengalaman belajar pendidikan psikom otor dan kognitif, dapat disim pulkan bahw a pendidikan afektif harus menyertai pendidikan psikomotor dan kognitif, dan jika tidak demikian, diduga kuat pendidikan afektif ini akan gagal. Hasil-hasil belajar, kognitif, psikomotor, dan afektif, ada yang dicapai dalam jangka panjang (satu semester, satu tahun, atau selama bersekolah) dan ada yang dicapai dalam jangka pendek dalam satu atau dua pertemuan. Kebiasaan para guru dewasa ini adalah berorientasi pada hasil-hasil jangka pendek pembelajaran, melalui sebuah RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) diharapkan seperangkat tujuan pembelajaran selesai dicapai oleh para siswa di kelas. Akan tetapi, sebetulnya, ada tujuan-tujuan pembelajaran yang pencapaiannya dilakukan dalam jangka panjang. Tujuan pem belajaran dalam pendidikan afektif sebagaim ana dideskripsikan di atas, cenderung dicapai dalam jangka panjang. Dalam kasus SD internasional Cambridge tersebut, tujuan afektif karakter ilm uw an dicapai m elalui m ata pelajaran IPA m ereka mulai dari kelas tiga hingga kelas enam. Dalam kasus ini, guru IPA kelas tiga hingga kelas enam sebaiknya bekerja sama dalam rangka m engorganisasi pendidikan k arak ter ilm uw an ini dan bagaimana pembagiannnya di tiap jenjang kelas. Untuk memenuhi hal ini, langkah pertam a yang hendak m ereka lakukan adalah m erum uskan indikator-indikator karakter ilmuwan ini, kemudian mendistribusikannya untuk setiap jenjang kelas. Untuk menutup taksonomi Krathwohl ini, penulis menyajikan saran indikator-indikator karakter ilmuwan tersebut berdasarkan taksonomi tersebut. Tabel 2.6 Indikator-indikator karakter ilmuwan



T a k s o n o m



Menerima



i



B



e b e r a p a



I n d ik a t o r



K



a r a k t e r



I lm



u w



a n



• Berupaya mendengarkan dengan baik penjelasan guru tentang metode inquiri. ٠ Merespon dengan perkataan rencana guru untuk penugasan pelaksanaan inguiri.



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



Merespon



• Menggunakan waktu luang untuk bertanya-tanya tentang metode inquiri. • Memuji incjuiri sebagai cara belajar penemuan. • Mengikuti proses inquiri secara antusias.



Menilai



• Aktif dalam perancangan inquiri bersama anggota-anggota kelompok. ٠ Berdebat (mendukung) tentang metode inquiri. ٠ Mempunyai usul-usul untuk dilakukannya inquiri.



Mengorganisasi



• Mendiskusikan metode inquiri dalam hubungannya dengan hal lain (membandingkan nilai-nilai). • Menentukan prioritas nilai-nilai inquiri di tengah sistem nilai lainnya. • Memilah-milah inquiri dan cara lainnya



Karakterisasi diri oleh nilai



٠ Menghendaki dilakukannya inquiri • Memiliki proyek inquiri pribadi



Pendidikan Karakter Lickona. Dr. Thom as Lickona, seorang psikologiwan perkembangan dan pendidik, memiliki otoritas yang dihargai secara internasional dalam perkem bangan m oral dan pendidikan nilai. Ia adalah profesor pendidikan di the State University of New York at Cortland, tempat ia mengeijakan karya pemenang penghargaan dalam pendidikan guru dan saat ini (1992) memimpin The Teachers for the 21st Century Project. Ia pernah menjadi presiden dari The Association for Moral Education, juga pernah mengajar di universitas Boston dan Harvard dan sering menjadi pembicara di konferensi-konferensi dan lokakarya-lokakarya untuk para guru, orang tua, pendidik agama, dan kelompok-kelompok lainnya mengenai nilai-nilai dan karakter para pemuda. Ia telah memberikan kuliah di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Irlandia, dan Amerika Latin. Kerja dua puluh tahun Dr. Lickona dalam pendidikan guru dan orang tua term asuk konsultasi dengan sekolah-sekolah di banyak kota tentang implementasi pendidikan nilai dan karakter. Ia menyandang Ph.D. dalam psikologi dari The State University of New York di Albany dan telah mengerjakan riset tentang pertum buhan pem aham an moral anak-anak. Tulisannya Moral Development and Behavior digunakan luas di studi pascasarjana dan bukunya Raising Good Children (lebih dari 150.000 eksemplar) m endapat pujian karena m enerjem ahkan riset tentang perkem bangan m oral ke dalam bahasa dan pengalaman orang tua. Ia menjadi pembicara M em aknai P endidikan K ara kter



di banyak pertunjukan wacana radio dan televisi, termasuk Good Morning America, Larry King Live, dan Latenight America. Pada 1984 ia dianugrahi a State University o f New York Exchange Scholar. Bagian tulisan ini akan menyajikan karya Lickona yang berjudul Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (1992), secara ringkas. K aryanya ini fokus pada pendidikan sekolah secara komprehensif. Isi bukunya dapat dikatakan terdiri dari tiga bagian: konsep nilai moral, kompetensi-kompetensi karakter, dan strategi-strategi pendidikan karakter. Nilai-nilai yang harus diajarkan sekolah. Lickona (1992) memulai uraiannya tentang pendidikan karakter di sekolah dengan dua prinsip berikut ini: 1.



2.



terdapat nilai-nilai yang bermanfaat secara objektif, disepakati secara universal yang harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah masyarakat yang plural; dan sekolah-sekolah hendaknya tidak hanya memapari para siswa dengan nilai-nilai tersebut, tetapi ju g a m em b an tu m ereka memahami, menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilainilai tersebut.



Adapun yang dim aksudkannya dengan nilai, ada dua jenis yaitu m oral dan nonm oral. Nilai-nilai m oral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketidakmemihakan m engandung kewajiban. Kita merasa wajib memenuhi janji, membayar hutang, menyayangi anak, dan tidak memihak dalam menangani suatu perkara. Nilai moral mengatakan apa yang harus dilakukan. Kita harus terikat pada nilai-nilai moral bahkan ketika kita tidak menyukainya. Nilai-nilai nonmoral tidak mengandung kewajiban yang demikian. Nilai-nilai ini mengekspresikan apa yang kita inginkan atau sukai untuk kita lakukan. Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan mendengarkan musik klasik, misalnya, atau membaca sebuah novel yang bagus. Tapi jelas adanya saya tidak terkena kewajiban untuk melakukannya. Nilai-nilai moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut menjadi dua kategori: universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal— seperti memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai penghidupan mereka, kebebasan, dan kesetaraan—mengikat semua orang dim anapun karena nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



dan m artabat m anusia. K ita m emiliki hak dan b ahkan suatu kewajiban untuk m enuntut sem ua orang berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral universal tersebut. Pada 1948 PBB mengakui validitas universal nilai-nilai moral dasariah dengan mengadopsi The Universal Declaration o f Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Manusia). Dokumen bermakna historis ini m enegaskan bahw a setiap w arga dari setiap bangsa memiliki hak untuk: kehidupan, kebebasan, dan bebas dari serangan pribadi; bebas dari perbudakan; diakui di depan hukum dan praduga tak bersalah hingga terbukti bersalah; bebas dari penganiayaan; kebebasan nurani dan religi; kebebasan berekspresi; kehidupan pribadi, keluarga, dan berkorespondensi; kebebasan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas; pendidikan; dan standar penghidupan yang cukup untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan. Memang tidak semua bangsa secara konsisten menghargai hak-hak ini secara aktual dalam m em perlakukan w arga mereka, tetapi kegagalankegagalan menegakkan Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia ini tentunya menolak secara telak validitas universal nilai-nilai moral yang mendasari dokumen tersebut. Nilai-nilai moral nonuniversal, berbeda halnya, tidak mengandung kewajiban moral universal. Ini adalah nilai-nilai—seperti kewajiban spesifik pada sebuah religi (yakni, bersem bahyang, berpuasa, mengikuti hari suci)—yang dirasakan sebagai kewajiban pribadi serius bagi seseorang, tetapi saya tidak memberlakukan kewajiban yang dirasakan pribadi ini pada orang lain. D em ikianlah p andangan Lickona tentang nilai-nilai moral. Namun, penulis merasakan ada yang kurang, terdapat nilai-nilai lainnya yang belum tercakup dalam sistem nilai Lickona tersebut, misalnya membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Ini dapat dipandang sebagai wajib dilakukan dalam suatu kelompok sosial, tetapi yang tidak melakukannya rasanya tidak pantas untuk disebut tidak bermoral. Hal tersebut berkenaan dengan sopan santun pergaulan. Penulis menduga, etiket ini masih bagian dari nilai moral, dan statusnya m endukung nilai moral tersebut. Etiket, sopan santun, seperti membungkukkan badan, menganggukkan kepala, senyum, turut mendukung moralitas yang sifatnya lebih fundamental. Sehubungan dengan hal tersebut ada yang membedakan nilai etik atau etis dan etiket. Nilai etik sama dengan nilai moral, dan 64



I



Memaknai Pendidikan Karakter



etiket adalah nilai-nilai sopan-santun dalam suatu kelompok sosial. Karena itu, m enurut penulis, kita harus m em bedakan nilai-nilai demi survival kem anusiaan dan m asyarakat secara menyeluruh, yaitu nilai moral; dan yang kurang berkenaan dengan hal ini tetapi mendukungnya, yakni etiket.



Gambar 2.5 kategorisasi nilai menurut Lickona



Pilihan nilai Lickona. Hukum moral natural yang mendefinisikan agenda moral sekolah publik dapat diekspresikan sebagai berikut: respect and responsibility (menghargai dan pertanggungjawaban). Nilai-nilai ini membentuk inti dari moralitas publika, dan universal. Nilai-nilai ini memiliki m anfaat yang objektif, dapat dibuktikan dengan mempromosikan kebaikan individu dan kebaikan masyarakat secara menyeluruh. Nilai-nilai ini niscaya berguna untuk. ٠



٠



• ٠



Perkembangan pribadi yang sehat. Menjaga perhubungan antarpribadi. Sebuah masyarakat manusia dan demokratik. Sebuah dunia yang adil dan damai.



Respect and responsibility adalah “R keempat dan kelima” yang sekolah-sekolah tidak hanya dapat, tetapi juga harus mengajarkan agar sekolah-sekolah mengembangkan pribadi-pribadi yang melek etis yang dapat menempati posisi sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab.



Pendidikan Karakter di Sekolah



Reading



Writing



School vital business (FiveR.s)



Arithmetic



Respect



Responsibility



Gambar 2.6 School vital business (Five R's)



Respect berarti memperlihatkan rasa menghargai terhadap nilai/ harga dari seseorang atau sesuatu, la memiliki tiga bentuk utama: menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, dan menghargai semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang membuat kehidupan berkelanjutan. Menghargai diri mempersyaratkan kita memperlakukan kehidupan dan pribadi sendiri sebagai memiliki nilai baw aan (dari Sang Pencipta). Karena itu, terlibat dalam perilaku perusakan diri seperti penyalahgunaan “narkoba” dan alkohol adalah salah. Menghargai orang lain mempersyaratkan kita memperlakukan semua manusia lain—bahkan mereka yang tidak kita sukai—sebagai memiliki martabat dan hak-hak yang sam a dengan kita. Inilah inti dari the Golden Rule (“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana anda berharap orang lain berbuat kepada Anda”). Menghaigai keseluruhan jaringan kompleks kehidupan melarang kita menganiaya hewan dan menuntut kita bertindak dengan peduli terhadap lingkungan alam, ekosistem rapuh tempat semua kehidupan bergantung. Bentuk-bentuk penghargaan yang lainnya berasal tersebut. Menghargai hak milik, misalnya, berasal dari bahwa hak milik adalah suatu perpanjangan dari suatu suatu komunitas pribadi-pribadi. Menghargai otoritas 66



I



Memaknai Pendidikan Karakter



dari hal-hal pem ahaman pribadi atau berasal dari



pem aham an bahw a figur-figur otoritas legitimatif diberi am anah untuk menjaga/mengurus orang-orang lain. Tanpa figur-figur ini, Anda tidak dapat menjalankan keluarga, sekolah, atau negara. Jika orang-orang tidak menghargai otoritas, maka akan banyak hal tidak berjalan dengan baik dan setiap orang menderita. “Tenggang rasa”, adalah salah satu bentuk dari etiket, juga berasal dari penghargaan terhadap orang. Contohnya antara lain, m em inta m aaf jika akan m emotong pem bicaraan, mengucapkan permisi ketika akan m em inta jalan, m engucapkan terim a kasih atas pujian orang lain. Menghargai manusia tidak hanya untuk kehidupan harian dalam lingkungan terbatas, nilai-nilai ini bahkan mendasari prinsip-prinsip demokrasi. K arena saling menghargai, orang-orang m enciptakan konstitusi yang m enuntut pemerintah melindungi, bukan menzalimi, hak-hak dari orang-orang yang diperintah. Responsibility, atau pertanggungjawaban adalah perpanjangan dari penghargaan terhadap manusia. Jika kita menghargai orang lain, kita menganggapnya bernilai. Jika kita menganggapnya bernilai, kita merasakan suatu ukuran pertanggungjawaban atas kesejahteraannya. P ertanggungjaw aban (responsibility) secara h arfiah b erarti “kem ampuan merespon”. Ini berarti berorientasi terhadap orang-orang lain, m encurahkan perhatian terhadap mereka, m erespon secara aktif terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka. Pertanggungjawaban m enekankan kew ajiban-kew ajiban positif untuk saling m enjaga antarorang. Arti lain dari pertanggungjawaban, yakni dapat dipercaya, tidak membiarkan orang lain mengalami kekecewaan. Kita menolong orang dengan cara memenuhi komitmen kita, dan kita menciptakan masalah bagi mereka ketika kita tidak memenuhinya. Pertanggungjawaban berarti pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas—dalam keluarga, di sekolah, di tempat kerja—sebaik-baiknya sesuai dengan kem ampuan kita. Nilai-nilai moral lainnya seperti kejujuran, ketidakmemihakan, toleransi, kehati-hatian, disiplin-diri, penolong, berbelas-kasih, kerja sama, keberanian, dan sehim punan nilai dem okratis. Nilai-nilai spesifik ini adalah bentuk-bentuk dari menghargai orang dan/atau pertanggungjawaban atau mem bantu dalam berbuat secara berharga dan bertanggung jawab. Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



67



M enghadapi orang lain dengan jujur, tidak m enipu mereka, tidak meliciki mereka, atau mencuri dari mereka adalah cara yang dasariah untuk menghargai mereka. Demikian juga halnya dengan ketidakmemihakan, yang menuntut kita memperlakukan orang lain secara tidak memihak dan tidak menerapkan cara pilih kasih. Toleransi juga mengekspresikan penghargaan terhadap orang lain. Meskipun toleransi dapat tergelincir menjadi suatu relativisme netral yang terarah untuk menghindar dari pertimbangan etis. Akar makna toleransi adalah salah satu marka penting dari peradaban. Toleransi adalah sikap tidak memihak dan objektif terhadap mereka yang memiliki ide, ras, dan ajaran yang berbeda dari kita. Toleransi adalah pencipta rasa am an bagi dunia yang beraneka ragam. Kehati-hatian berarti tidak membiarkan diri kita berada dalam bahaya fisik dan moral. Disiplin-diri berarti tidak m engizinkan diri untuk terlibat dalam kesenangan yang meruntuhkan martabat diri dan m erusak diri, tetapi berjuang untuk kebaikan kita, dan m engupayakan kesenangan yang sehat secara tidak berlebihan. Disiplin diri juga m em bantu kita untuk m enunda kesenangan, m engem bangkan bakat-bakat kita, bekerja untuk tujuan jangka panjang, dan membuat sesuatu untuk penghidupan kita. Ini semua adalah bentuk-bentuk dari penghargaan terhadap diri sendiri. Sama halnya, nilai-nilai seperti penolong, berbelas-kasih, dan keija sam a m em bantu kita dalam melaksanakan nilai etis yang lebih luas pertanggungjaw abannya. Spirit penolong m em buat orang merasa senang dalam mengerjakan kebaikan. Berbelas-kasih (berarti "ikut merasa menderita”) mem bantu kita tidak hanya untuk m engetahui pertanggungjawaban kita, tetapi juga merasakannya. Kerja sam a dimulai dengan pengetahuan bahw a m anusia hidup bersama manusia lainnya dan bahwa, di dunia yang orang-orang dan m asyarakat semakin saling bergantung, kita harus bekerja sama ke arah tujuan-tujuan yang dasariah untuk survival manusia. Keberanian moral bersifat m em bantu bagi penghargaan dan pertanggungjawaban. Keberanian membantu anak-anak m uda untuk menghargai diri mereka sendiri dengan menolak tekanan tem an sebaya untuk melakukan hal-hal yang merugikan kesejahteraan mereka. Keberanian membantu kita untuk menghargai hak-hak orang lain ketika kita menghadapi tekanan untuk bergabung dalam gerombolan



Memaknai Pendidikan Karakter



yang akan melakukan kejahatan. Keberanian juga m embantu kita melakukan tindakan tegas, positif atas nam a orang lain. Nilai-nilai demokrasi m embantu menciptakan sebuah masyarakat yang berdasark an atas penghargaan dan pertanggungjaw aban. Kekuasaan berdasarkan hukum, kesempatan yang sama, hak warga akan keadilan, argum entasi bernalar, pem erintahan perwakilan, checks and halances, pem buatan putusan dem okratis—■semuanya adalah "nilai-nilai prosedural” yang membentuk demokrasi. Demokrasi pada giliran berikutnya adalah cara terbaik yang kita ketahui hingga saat ini untuk m enjam in hak-hak individu (penghargaan terhadap orang) dan mempromosikan kesejahteraan bersama (bertindak secara bertanggung jawab untuk kebaikan semua orang). Mengajarkan pem aham an dan apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis ini—dan bagaimana nilai-nilai ini dibuat menjadi realitas melalui hukum —adalah peranan sentral sekolah. Nilai-nilai ini juga membantu kita mendefinisikan jenis “patriotisme” yang harus diajarkan sekolah. Dalam masyarakat demokratis, patriotisme tidak berarti "benar atau salah adalah negaraku”; patriotism e berarti kesetiaan pada nilai-nilai demokrasi yang luhur yang menjadi dasar dari pendirian negara. U ntuk kita, bangsa Indonesia, jenis-jenis nilai m oral yang dikemukakan oleh Lickona bersifat kurang, ada satu tam bahan yang kita perlukan, yaitu; respect and respomibility to God. Karena itu lengkapnya jenis nilai moral fundamental ini lengkapnya tergambar pada bagan berikut ini.



Diri sendiri



Tuhan Nilai-nilai moral: Penghargaan dan pertanggungjawaban terhadap/atas:



Manusia



:------------ Individu lain



Lingkungan alam



Masyarakat



Gambar 2.7 Pembagian nilai-nilai moral Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



Kompetensi-kompetensi karakter Lickona. Bagian berikut ini merupakan teori tentang sebuah sistem karakter Lickona, dengan tiga ranah: pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Ketiga ranah ini saling berhubungan, saling berinteraksi, dan saling merembesi. Lickona berbeda dari Krathwohl, dalam hal sistem, Lickona, pengetahuan, perasaan, dan tindakan terpisah secara tajam pada tataran analitik, sedangkan dalam sistem Krathwohl, pemisahan yang demikian tidak terdapat. Keduanya wajib dipelajari agar repertoire (perbendaharaan kinerja) guru bertambah kaya. Berikut ini akan dipaparkan sistem karakter Lickona ini, penulis menambahinya dengan interpretasi penulis dengan tujuan agar lebih m udah dipahami, juga pengalaman belajar yang relevan untuk masing-masing subkomponen dari setiap ranah m erupakan tam bahan penulis. Pengembangannya oleh guru, dapat dilakukan dengan cara memahami setiap subkomponen pendidikan karakter ini, kemudian memadamkannya dengan SK-KD-Indikator yang terdapat dalam KTSP atau tujuan-tujuan pendidikan karakter yang menjadi visi-misi sekolah.



Tindakan m ora ) ٦‫؛‬: ) kom petensi, (2) keinginan, dan (3) kebiasaan



Perasaan moral: ( ٦) nurani. (2) harga d‫؛‬ri (3) e m pa t4) .‫)؛‬ cinta kebaikan, (5) kontroi-airi, dan {‫ رق‬rendah hati



Gambar 2.8. Tiga ranah moraI menurut Lickona



70



Memaknai Pendidikan Karakter



Elaborasi Pengetahuan Moral dari Lickona Pengetahuan moral 1.



Kesadaran moral Definisi: Melek moral atau ketajaman (dalam menangkap/melihat) moral, antonimnya adalah buta moral. Ini adalah kemampuan menangkap isu moral, yang sering implisit, dari suatu objek/ peristiwa. Kompetensi ini m enurut hem at penulis sama dengan kemampuan C2 (memahami, khususnya interpretasi) dari Taksonomi Tujuan-Tujuan Kognitif Bloom. Dalam bahasa Lickona sendiri, kesadaran moral adalah kemampuan: “... to use their intelligence to see when a situation requires moral judgment—and then to think carefully about what the right course o f action is." (... menggunakan kecerdasan mereka untuk melihat kapan sebuah situasi m em persyaratkan pertim bangan moral dan kemudian berpikir secara cermat tentang apa tindakan yang sebaiknya.) Orang dapat menangkap secara intuitif sebuah isu moral dari sebuah objek/peristiwa; dan sebaliknya, buta moral. Contoh orang yang buta moral yaitu orang yang menganggap martabat diri bergantung pada tampilan fisik atau harta. Ketersinggungan kita ketika menyaksikan orang kaya menganiaya orang miskin adalah contoh ketajaman moral kita. Rasa haru yang muncul ketika kita menyaksikan perbuatan luhur tertentu adalah juga contoh ketajaman moral. Kesadaran moral terjadi sebelum kita melakukan pertimbangan moral dan pembuatan-putusan moral. Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang penting bagi para pelajar agar melek moral adalah dengan hidup dalam lingkungan orang-orang yang melek moral (conditioning). Pendidik harus menjadi teladan dalam ketajaman moral ini. Selain conditioning,



Yambuatnya menjadi jelas/ eksplisit (menginterpretasi) isu moral tersebut Menangkap secara intuitif (merasakan) isu moral dari peristiwa



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



7



pengalam an-tak-langsung pun penting. Ini dapat dilakukan dengan mempelajari peristiwa-peristiwa historis yang relevan dan biografi tokoh yang memiliki ketajaman penglihatan moral. Kasus impresif pada remaja kita m enuntut pendidik mendidik para pelajar untuk memiliki ketajaman dalam menangkap nilainilai yang penting dalam sebuah budaya dan nilai-nilai yang dapat m enghancurkan jati diri para remaja. Banyak rem aja merasa gaul jika bergaya hidup westem (kebarat-baratan) yang negatif, antara lain mengkonsumsi NAPZA, ber-dugem secara tidak proporsional, mengikuti tren budaya pop secara membabi buta. Kebalikan dari remaja kita, banyak orang tua buta moral dalam hal korupsi yang mewabahi negeri kita. Pendidik PLS dalam hal ini harus segera bekerja. Hasil belajar: Dapat mengidentifikasi isu moral dari sebuah objek/peristiwa. Dapat mengeksplisitkan isu moral dari sebuah objek/peristiwa. Pengetahuan nilai moral Definisi: Ini adalah ethical literacy, literasi etis, kemampuan hasil belajar teori-teori tentang berbagai nilai etis, seperti: menghargai kehidupan dan kebebasan, bertanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, ketidakm em ihakan, toleransi, sopan-santun/ tenggang rasa, disiplin diri, integritas (teguh pada prinsip moral), kebaikan hati, berbelas-kasih, dan keberanian. Literasi etis termasuk pem ahaman tentang bagaimana menerapkannya dalam berbagai situasi. Ini berarti kem ampuan menerjemahkan/ mengalihbahasakan (translasi) nilai-nilai abstrak menjadi perilaku moral konkret. M enurut penulis, beda antara kesadaran moral dan pengetahuan nilai moral adalah bahwa kesadaran moral mempersyaratkan kemampuan menangkap langsung (ketajaman) nilai moral dari sebuah objek atau peristiw a konkret; adapun pengetahuan nilai moral adalah kem ampuan yang terbentuk setelah orang belajar teori-teori nilai (bukan peristiwa konkret), dalam rangka m em aham i teori-teori tersebut term asuk m em aham i aplikasi mereka. Pengalam an belajar: Pengalam an belajarnya adalah melalui belajar kognitif, C1-C2-C3 (mengingat, memahami, menerapkan), tentang teori-teori nilai; dapat disebut sebagai pengajaran nilaiMemaknai Pendidikan Karakter



nilai (teaching o f values). Juga, diskusi-diskusi peristiwa konkret yang melibatkan isu nilai dapat meningkatkan kognisi nilai-nilai pada tataran aplikasi. Hasil belajar: Menyebutkan nilai moral tertentu. Menginterpretasi nilai moral dari sebuah peristiwa atau komunikasi. Menerjemahkan nilai moral tertentu. Melakukan ekstrapolasi berdasarkan sebuah nilai tertentu. M enerapkan nilai m oral tertentu pada suatu situasi (baru). Memahami sudut pandang lain Definisi: M emahami sudut pandang lain adalah kem am puan menerima sudut pandang orang lain, memahami sebuah situasi sebagaim ana orang lain m em aham inya, m engim ajinasikan bagaim ana orang lain berpikir, mereaksi, dan berperasaan. Kemampuan ini sebuah prasyarat penting untuk perilaku moral sosial, menghargai dan bertanggung jawab terhadap orang lain. Pengalaman belajar: Pengalaman belajar yang otentik untuk kem am puan ini adalah dengan mempraktikkan pengambilan p ersp ek tif (su d u t p an d an g ) o ran g lain p ad a p a ra siswa. Pengalam an belajar yang kognitif dapat dilakukan dengan menganalisis sudut pandang orang lain atau budaya lain. Hasil belajar: M enginterpretasi secara objektif perasaan dan pikiran orang lain. Meneijemahkan perasaan dan pikiran orang lain. Mengekstrapolasi perasaan dan pikiran orang lain (Bloom: C2: inteipretasi, translasi, ekstrapolasi). Penalaran moral Definisi: M emahami m akna apa itu berm oral dan mengapa harus bermoral? Mengapa memenuhi janji itu penting? Mengapa harus kerja dengan sebaik-baiknya? Mengapa harus berbagi dengan orang yang m em butuhkan? Ini adalah kem am puan analisis hubungan (C4) dari Bloom. Penalaran moral anak-anak berkembang, mereka belajar apa yang dapat dianggap sebagai alasan m oral yang baik dan alasan moral yang buruk. Pengalam an belajar: Pengalam an belajarnya adalah melalui belajar kognitif, C4 (analisis), tentang perbuatan bermoral. Hasil belajar: Menyediakan alasan atas suatu perbuatan moral.



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



73



Menjelaskan alasan atas suatu perbuatan moral. Menginterpretasi alasan dari suatu perbuatan moral (Bloom: C2, interpretasi dan C6, kreasi). 5.



Pembuatan putusan Definisi: Proses orang menjadi memiliki putusan. Biasanya orang m enghadapi m asalah atau dilem a moral. Apa pilihan saya? Apa konsekuensi yang mungkin dari berbagai tindakan bagi orang yang terkena pengaruh putusan saya? Apa tindakan yang memaksimalkan konsekuensi yang baik dan diyakini penting untuk nilai yang pertaruhkan? Pengalaman belajar: Mengalami secara simulatif konflik atau dilema nilai, dapat juga konflik nilai yang dialami orang lain, kemudian membuat putusan nilai, dan mengkajinya. Menurut Lickona, pendekatan apa-pilihan saya dan apa-konsekuensikonsekuensinya untuk m em buat putusan-putusan moral telah diajarkan bahkan sejak pada anak prasekolah. Hasil Belajar: Memiliki putusan nilai lengkap dengan konsekuensinya yang sudah terkaji secara baik, atas konflik nilai yang tersedia (Bloom: C6, kreasi).



6.



Pengetahuan-diri: Kemampuan melihat-kembali perilaku sendiri dan mengevaluasinya. Pengembangan pengetahuan-diri termasuk kekuatan dan kelemahan karakter diri sendiri dan bagaimana mengkompensasi kelemahan tersebut, di antaranya yang ham pir universal merupakan tendensi manusia, yaitu melakukan apa yang kita inginkan dan kemudian membelanya dengan cara yang tidak adil. Pengalaman belajar: Ini dapat dilakukan dengan meminta siswa m em buat “ju rn al etis/akhlak/budi pekerti “-d en g an m encatat kejadian-kejadian moral dalam penghidupan mereka, responrespon m ereka dalam kejadian moral tersebut, dan adakah respon ini dapat dipertanggungjawabkan secara etis. Hasil belajar: Perkembangan kejujuran individu dalam melihat diri sendiri. Perkembangan upaya-upaya mengatasi kelemahan diri. Iklim sosial kejujuran dalam kelompok (dam pak sosial yang mungkin, misalnya jika masing-masing jurnal tersebut didiskusikan dalam kelompok).



74



I



Memaknai Pendidikan Karakter



Elaborasi Perasaan Moral dari Lickona Perasaan moral 1.



Hati nurani/nurani Definisi: Nurani memiliki dua sisi: sisi kognitif—pengetahuan tentang apa yang baik—dan sisi em osional—m erasa wajib melakukan apa yang baik. N urani yang m atang m encakup juga kapasitas untuk rasa bersalah konstruktif di samping merasakan kewajiban moral. Jika nurani anda m erasa wajib untuk berbuat sesuatu, maka Anda akan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Ini berbeda dari rasa bersalah destruktif, yang menyebabkan seseorang berpikir, “Saya orang jahat”. Orang dengan rasa bersalah konstruktif akan berkata, “Saya tidak dapat memenuhi standar saya sendiri. Saya merasakan ini sebagai keburukan, tetapi saya akan lebih baik pada waktu yang akan datang”. Kapasitas untuk rasa bersalah konstruktif juga mem bantu kita dalam menolak godaan. Pengalam an belajar: Berlatih m enghadapi kasus-kasus yang m enuntut individu mengekspresikan nuraninya adalah sebuah pengalaman belajar yang penting. Latihan ini akan terbentuk salah satunya m elalui stim ulasi yang m endorong individu mengekspresikan nuraninya. Perbuatan dan ucapan yang sesuai nurani perlu m endapat penghargaan atau “dirayakan” untuk m enunjukkan bahw a m asyarakat atau kelom pok m enuntut individu untuk berbuat sesuai dengan nurani. Diskusi kasus-kasus penggunaan atau pengabaian nurani adalah juga pengalaman belajar yang penting. Hasil belajar: Hasil belajar yang otentik adalah kapasitas untuk m erasa bersalah dan m erasa wajib untuk perbuatan moral. Pada tataran lebih rendah, ekspresi-ekspresi nurani ini melalui kata-kata.



2.



Harga diri Definisi: Ini adalah kem am puan m erasa berm artabat karena memiliki kebaikan atau nilai luhur. Studi-studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan harga diri yang tinggi lebih resisten terhadap tekanan dari teman-teman Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



75



sebaya dan lebih m am pu mengikuti putusan mereka sendiri ketimbang mereka dengan harga-diri rendah. Ketika kita menilai secara positif diri kita sendiri, kita lebih mungkin memperlakukan orang lain dengan cara positif. Jika kita menilai rendah diri sendiri atau tidak memiliki harga-diri, maka akan sulit untuk memperpanjang penghargaan untuk orang-orang lain. Hargadiri yang tinggi pada dirinya sendiri tidak menjamin karakter yang baik. Sangat mungkin adanya untuk memiliki harga-diri yang didasarkan atas hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan karakter baik—seperti harta, tampilan bagus, popularitas, atau kekuasaan. Bagian dari tantangan kita sebagai pendidik adalah m embantu anak-anak mengembangkan harga-diri positif yang didasarkan atas nilai-nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan hati dan keyakinan pada kapasitas sendiri untuk kebaikan. Pengalaman belajar: Perbuatan baik yang dilakukan seseorang sering m em buat orang m erasa senang atau bahagia karena melakukannya. Refleksi dan diskusi-diskusi mengenai peristiwa ini barangkali merupakan suatu pengalaman belajar yang penting. Hasil belajar: Individu yang puas dengan dirinya sendiri dalam perbuatan baik, dan sebaliknya, merasa tidak senang atau tidak bahagia dalam perilaku buruk. Empati Definisi: Em pati adalah identifikasi diri pada keadaan orang lain, atau pengalaman tidak langsung. Empati m embantu kita keluar dari diri sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain. Ini adalah sisi emosional dari pengambilan-perspektif. Pengalaman belajar: Para peserta didik dapat berlatih melakukan empati di bawah bimbingan guru. Setelah berlatih, guru dapat membimbing mereka untuk mendiskusikannya. Hasil belajar: Mengungkapkan apa yang dirasakan orang lain. Bertoleransi. Menghargai perbedaan sikap. Cinta kebaikan Definisi: Bentuk tertinggi dari karakter mencakup ketertarikan sejati/tulus pada kebaikan. Psikologiwan Boston College Kirk Kilpatrick menulis: “Dalam pendidikan untuk kebajikan, hati dilatih sebagaim ana juga Memaknai Pendidikan Karakter



kesadaran. O rang bijak b elajar tidak hanya m em bedakan kebaikan dan keburukan, tetapi juga mencintai kebaikan dan membenci keburukan”. Pengalaman belajar: Para guru dapat berpaling pada sastra sebagai cara m ananam kan perasaan tentang kebaikan dan kejahatan. Ketika anak-anak m enjum pai para penjahat dan pahlaw an dalam halaman-halaman dari sebuah buku yang baik, mereka merasa tertolak oleh kejahatan dan tertarik pada kebaikan tanpa kuasa menahannya. Ketika orang mencintai kebaikan, mereka mendapatkan rasa senang dalam melakukan kebaikan. Mereka memiliki hasrat moral, bukan hanya kewajiban moral. Potensi ini dikembangkan melalui program-program peer tutoring dan pelayanan masyarakat di sekolah-sekolah. Hasil belajar: Upaya-upaya pribadi dan dalam kelompok untuk berbuat baik. Kontrol diri Definisi: Emosi dapat menenggelamkan penalaran. Inilah mengapa kontrol-diri merupakan sebuah kebajikan moral yang niscaya. Kontrol-diri mem bantu kita bermoral bahkan ketika kita tidak ingin bermoral, ketika sedang m arah pada sesuatu, misalnya. Kontrol-diri juga niscaya untuk mengekang kesukaan-diri. Pengalam an belajar: Pengalam an-pengalam an belajar dalam bentuk menolak kesenangan atau kebencian demi kebaikan. Hasil belajar: Tekun belajar/bekerja, m enunda kesenangan. Tugas-tugas belajar diselesaikan dengan baik. Memiliki kegiatan harian yang baik untuk pengembangan diri dan lingkungannya. Rendah hati Definisi: Rendah hati adalah sisi afektif dari pengetahuan-diri. Rendah hati terdiri dari keterbukaan yang sejati pada kebenaran dan kemauan untuk bertindak memperbaiki kesalahan-kesalahan kita. R endah hati juga m em bantu kita m engatasi rasa bangga. Rasa bangga adalah sum ber dari arogansi, prasangka, dan merendahkan orang lain. Rasa bangga yang terluka membuka kem arahan dan menutup munculnya sikap memaafkan. Rendah hati adalah penjaga terbaik melawan perbuatan jahat.



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



77



Pengalaman belajar: Berlatih terbuka terhadap kebenaran, dari m anapun sumbernya, dan mau memperbaiki kesalahan-kesalahan diri sendiri. Hasil belajar: Mengakui kebenaran pendapat orang lain. Mengaku bersalah jika melakukan kesalahan. Memberikan penghargaan terhadap pendapat orang lain.



Tindakan moral 1.



Kompetensi Definisi: K om petensi m oral adalah kem am puan m engubah putusan dan perasaan moral menjadi tindakan m oral yang efektif. Pengalam an belajar: Psikologiwan Ervin Staub m enem ukan bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman yang terbimbing dalam rok-playing. Dalam serangkaian situasi bermasalah, yang di dalamnya seorang anak membantu anak lainnya pada waktu berikutnya lebih mungkin (dibandingkan dengan anak-anak tanpa pengalaman yang demikian) untuk menyelidiki suara tangisan seorang anak dalam sebuah ruangan. Sebuah studi baru-baru ini atas 400 orang yang m em bantu orang-orang Yahudi lari dari Nazi m enem ukan bahw a para penyelamat ini memiliki pem ahaman yang kuat tentang kompetensi personal, di samping nilai-nilai simpati. Kompetensi moral sering merupakan suatu tantangan pribadi bagi seseorang. Seseorang bisa jadi sudah m emaham i m akna shalat wajib dan ingin melaksanakannya, tetapi ia tetap saja tidak melaksanakannya. Ini adalah tantangan bagi pendidik ketika menghadapi peserta didik yang demikian. Pendidik harus mengerahkan berbagai cara untuk menumbuhkan kompetensi moral ini. Pengalaman individual secara mandiri, pengalaman terbimbing, pengalaman dalam kelompok, pemodelan, dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkannya. Hasil belajar: K em am puan m elaksanakan tindakan moral. Berbuat baik. M embantu orang lain berbuat baik.



2.



Keinginan moral Definisi: Menjadi baik sering mempersyaratkan sebuah tindakan nyata dari kem auan, suatu m obilisasi energi m oral un tu k



78



I



Memaknai Pendidikan Karakter



melakukan apa yang m enurut kita harus dilakukan. Kemauan memerlukan emosi berada di bawah kontrol nalar. Kemauan memerlukan penglihatan dan pemikiran tentang semua dimensi moral dari sebuah .situasi. Kemauan dipei'lukan agar kewajiban diletakkan m endahului kesenangan. K em auan m em butuhkan kemampuan untuk menolak godaan, teguh menghadapi tekanan teman sebaya, dan melawan arus. Kemauan adalah inti dari keberanian morai. Pengalaman belajar: Kemauan sebagai sebuah potensi diri perlu dipahami dan disadari oleh peserta didik melalui bantuan guru. Langkah berikutnya peserta didik diminta mencatat kemauankemauan moral apa saja yang tidak dipenuhinya; setelah ini adalah praktik-praktik mewujudkan kemauan ini. H asil belajar: Individu yang b eru p ay a m em iliki kem auan melakukan tindakan moral. Konsisten melaksanakan kewajiban m oral. B erbuat adil sekalipun terhadap orang yang tidak disukainya. Berdisiplin melakukan suatu tindakan moral. 3.



Kebiasaan (‫)ﺀ' أﻇﺴﺎ‬ Dclinisi: Dalam banyak situasi tingkah ‫ أا>اةﺋﻞ‬moral diuntungkan oleh habit. Orang yang memiliki karakter yang baik, sebagaimana ditunjukkan William Bennctt, “bertindak benar, setia, berani, simpati, dan adil tanpa banyak tergoda oleh hal yang sebaliknya”. M ereka bahkan sering tidak berpikir secara sad ar tentang “pilihan yang baik”. Mereka melakukan hal yang baik oleh kekuatan kebiasaan. Pengalaman belajar: Auak-auak men>brituhkan, sebagai bagian dari pendidikan m oral m ereka, banyak kesem patan u n tuk mengembangkan kebiasaan yang baik, banyak praktik menjadi orang yang baik. Hasil belajar: Kebiasaan dalam hal tertentu. Biasa sopan-santun tertentu. Biasa menolong. Biasa adil.



Pendekatan komprehensif untuk pendidikan nilai dan karakter. Lickona menyarankan suatu pendekatan pendidikan karakter yang komprehensif, melibatkan berbagai komponen terka‫؛‬، dan berbagai latar (.setting). Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide besar" berikut.



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



79‫ا‬



Sepanjang sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membantu orang-orang menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi baik. “Baik” d ap at didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai m oral yang memiliki kemanfaatan objektif—nilai-nilai yang mengakui m artabat manusia dan mempromosikan kebaikan individu dan masyarakat. Dua nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik yang dapat diajarkan: respect and responsibility (penghargaan dan pertanggungjawaban). Penghargaan berarti menunjukkan rasa hormat terhadap nilai seseorang atau sesuatu. Ini mencakup menghargai diri sendiri, menghargai hak-hak dan m artabat semua orang, dan menghargai lingkungan yang m em buat sem ua kehidupan berkelanjutan. Penghargaan adalah sisi pelarangan dari moralitas; ia menjaga kita untuk tidak menyakiti apa yang seharusnya kita hargai. Pertanggungjawaban adalah sisi aktif dari moralitas, ia mencakup m elaksanakan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kontributif terhadap komunitas kita, mengurangi penderitaan, dan membangun dunia yang lebih baik. M endidik penghargaan dan pertanggungjaw aban—m em buat hal-hal ini menjadi nilai-nilai operatif dalam penghidupan para siswa—adalah mendidikkan karakter. Karakter terdiri dari: • pengetahuan moral (kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, melihat dengan sudut pandang orang lain, penalaran moral, pem buatan putusan, dan pengetahuan diri); ٠ perasaan moral (hati-nurani, harga-diri, empati, mencintai kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati); ٠ tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan kebiasaan). Dihadapkan dengan struktur sosial yang memburuk, sekolahsekolah yang berharap membangun karakter harus menyediakan pendekatan yang komprehensif, yang merangkul banyak hal, terhadap pendidikan nilai yang m enggunakan sem ua tahap kehidupan sekolah untuk m em bantu perkembangan karakter. Ini m encakup 12 strategi ru an g kelas dan sekolah, yang tertuju pada penciptaan nilai-nilai penghidupan penghargaan dan pertanggungjawaban dalam karakter para siswa. Memaknai Pendidikan Karakter



Dalam ruang kelas, suatu pendekatan kom prehensif m enuntut guru untuk: 1. Bertindak sebagai pem erduli (caregiver, pem beri kepedulian, perawat), model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan cinta dan penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku prososial, dan mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti. 2.



Menciptakan sebuah komunitas moral di kelas, m embantu para siswa untuk saling kenal, menghargai dan peduli antara siswa yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan keanggotaan yang berharga dalam kelompok.



3.



M em praktikkan disiplin m oral, m enggunakan p en cip taan dan penegakan aturan-aturan sebagai peluang-peluang untuk menumbuhkan penalaran moral, kontrol-diri, dan penghargaan terhadap orang lain.



4.



Menciptakan sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis, melibatkan para siswa dalam pembuatan-putusan dan berbagi tanggung jawab untuk membuat ruang kelas menjadi tempat yang baik untuk berada dan belajar.



5.



Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan matam ata pelajaran sebagai w ahana untuk mengkaji isu-isu etis. (Ini secara serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika kurikulum menangani kepedulian lintas-jenjang kelas seperti pendidikan seks, antinarkoba, alkohol, dan kekerasan remaja.)



6.



Menggunakan pembelajaran kooperatif untuk mengajari anakanak dengan w atak dan keteram pilan tolong-menolong dan bekerja sama.



7.



Mengembangkan the “conscience o f craft" dengan menumbuhkan tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka terhadap nilai dari belajar dan kerja. (The "conscience o f craft", nurani tentang kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan dorongan untuk kerja sebaik-baiknya.)



8.



Mendorong refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis, diskusi, pembuatan-putusan, dan debat.



9.



Ajarkan pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk memecahkan konflik dengan cara yang tidak memihak dan tanpa kekerasan.



Desain Pendidikan Karakter d) Sekolah



Suatu pendekatan yang komprehensif m enuntut sekolah untuk: 1.



2.



3.



m enumbuhkan kepedulian ke luar ruang kelas, menggunakan model-model peranan yang memberi inspirasi dan peluang-peluang untuk sekolah dan pengabdian kom unitas untuk m em bantu para siswa belajar peduli dengan memberi kepedulian; menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan seluruh lingkungan sekolah (melalui kepem im pinan kepala sekolah, disiplin pada tataran sekolah, suatu kepekaan sekolah terhadap komunitas, pemerintahan siswa yang demokratik, suatu komunitas moral di kalangan orang dewasa, dan waktu untuk m enangani kepentingan-kepentingan moral) yang m endukung dan m eningkatkan nilai-nilai yang diajarkan di ruang-ruang kelas; rekruitasi orang tua dan anggota kom unitas sebagai m itra dalam pendidikan nilai, dukung orang tua sebagai guru moral pertama anak; mendorong orang tua untuk mendukung sekolah dalam upaya-upaya m enum buhkan nilai-nilai yang baik; dan m engupayakan b a n tu a n kom u n itas (m asjid, gereja, biara, perusahaan, dan media) dalam m em perkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan untuk diajarkan oleh sekolah.



Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) Universitas Pendidikan Indonesia sejak tahun 2009 sudah mengembangkan sebuah model pendidikan karakter. Model ini sudah ditawarkan kepada sejumlah sekolah di Jakarta untuk diterapkan. Melalui buku ini P3 ingin berbagi pengalaman dan pemikiran tentang hal ini. Untuk itu, di sini disajikan cup lik an silabus u n tu k Pendidikan Agama Islam jenjang SMA dan sedikit penjelasannya.



Gambar 2.8 Tiga strategi sekolah dan delapan strategi guru M em aknai Pendidikan K ara kter



Tabel 2.9. Analisis Penjabaran SK-KD dan Indikator menjadi pengalaman dan penilaian S t a n d a r



k o m K



p e t e n s i : o m



p e t e n s i



B



e r im



a n



d a s a r :



d a n B



e r im



b e r t a q w a n



a



k e p a d a



k e p a d a



m



T u h a n



Y



M



E



a l a ik a t .



Indikator



Pengalaman belajar:



Penilaian:



1.



D a p a t m e n d e fin is ik a n secara luas dan mendalam ko n s e p im a n m e n u ru t ajaran Islam.



Pembelajaran kognitif.



Tes esai dan kinerja individual diskusi kelom pok kecil dan diskusi kelas.



2.



Dapat menganalisis ber­ bagai argum entasi yang mendasari keimanan dan ketidak berimanan



idem



idem



3.



Dapat menjelaskan tandata n d a o ra n g b e rim a n kepada malaikat.



idem



idem



4.



D a p a t m e m p ra k tik k a n perilaku beriman kepada malaikat.



Kegiatan Pengembangan Diri



Jurnal siswa



5.



D a pa t m en jad i tela da n d a la m p ra k tik p e rila ku beriman kepada malaikat dalam kehidupan harian.



idem



idem



6.



Dapat sabar dalam praktik beriman kepada malaikat dalam kehidupan harian.



idem



idem



7.



D apat m endakw ahkan kehidupan beriman kepada malaikat dalam kehidupan harian



idem



idem



Indikator-indikator itu mengikuti pola berikut ini; dan dibandingkan dengan pola-pola yang lainnya yang disajikan dalam buku ini:



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



Tabel 2.10 Analisis perbandingan taksonomi pembelajaran P u s a t



P e n g k a ji a n



T a k s o n o m



i T a k s o n o m



P e d a g o g i k



K



r a t h w



i



B



l o o m



L i c k o n a



o h l



Tindakan moral



Dakwah Sabar



Teladan



Praktik



Karakterisasi-diri Organisasi Penilaian



Responsi



Perasaan moral



Menerima Kompetensi Kognitif



Kreasi



Pengetahuan moral



Evaluasi Analisis Aplikasi Pemahaman Pengingatan



P 3 m em pertim bangkan teladan, sabar, dan dakwah sebagai perincian secara khusus tingkat karakterisasi-diri Krathwohl atau tingkat tindakan Lickona.



Contoh-contoh silabus yang mengandung karakter tertentu dapat dilihat pada lampiran buku ini.



M em aknai Pendidikan K ara kter



B. Rambu-Rambu Penyusunan dan Pengembangan Silabus dan RPP untuk Pendidikan Karakter Terdapat sejum lah hal yang sekurang-kurangnya harus menjadi rambu-rambu bagi guru untuk mengembangkan silabus dan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran): (1) dokumen-dokumen resmi kurikulum yang tercakup dalam Peraturan M enteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (2) pedoman penyusunan silabus dan RPP, dan (3) teori-teori pendidikan karakter. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada bagian sebelumnya ada disimpulkan bahwa kelompok m ata pelajaran dan cakupannya tidak lepas dari misi pendidikan karakter. Ini berarti pembelajaran yang semata-mata kognitif, adalah tidak sejalan dengan misi ini. Juga, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan rincian lanjutan dari kelompok mata pelajaran tersebut sudah sewajarnya tidak menolakserta (to exclude) keberadaan nilai-nilai. Di samping itu, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) mulai dari jenjang pendidikan dasar, m enengah, dan menengah kejuruan, juga mempertegas misi pendidikan karakter. B egitupun halnya dengan S tandar Kompetensi M ata Pelajaran, konsisten dengan misi pendidikan karakter. Perm endiknas N om or 22 T ahun 2006 tersebut m engartikan kompetensi sebagai kem ampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik. Kata “bersikap” dan “bertindak” pada rum usan kompetensi ini, jelas m em uat esensi karakter. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tidak ada sesuatu yang baru yang harus dikerjakan guru dalam m enyusun silabus dan RPP ketika guru akan m engem bangkan p endidikan k arak ter dalam m ata p elajaran yang diam punya, kecuali ham s memahami SK-KD secara lebih cermat dan dengan menggunakan perspektif pendidikan karakter. Masalahnya, perspektif pendidikan karakter ini merupakan barang bam bagi banyak guru



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



yang selama ini dibelenggu oleh perspektif pendidikan kognitif. Bagian bacaan di atas tentang pendidikan karakter, diharapkan dapat m em b an tu guru u n tu k m em iliki perspektif p endidikan karakter ketika memahami SK-KD. Dengan perspektif ini, SK-KD yang memuat pendidikan karakter atau memang fokus utamanya pendidikan karakter, akan diperlakukan sebagai pendidikan karakter, dan bukan pengajaran pengetahuan secara eksklusif. Berikut ini disajikan beberapa contoh silabus pendidikan karakter dengan harapan para guru terbantu dalam mengembangkan silabus dan RPP yang menerapkan pendidikan karakter. Contoh 1 Standar isi



S t a n d a r



K



o m



K



p e t e n s i



T a r ik h



3.



A



Menceritakan kisah Nabi



k h l a k



4,



Membiasaka n peri laku terpuji



o m



p e t e n s i



D



a s a r



3.1 3.2 3.3



Menceritakan kisah Nabi Ayyub as. Menceritakan kisah Nabi Musa as. Menceritakan kisah Nabi Isa as.



4.1 4.2 4.3



M eneladani perilaku Nabi A yyub as. Meneladani perilaku Nabi Musa as. M eneladani perilaku N abi Isa as.



Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (Ml), Kelas V semester ‫؛‬.



S ilabus



1



S t a n d a r



K



o m



p e t e n s i



d a s a r



Materi pokok



k o m



p e t e n s i :



3 .



: 3 .1



M



M



e n c e r i t a k a n



k i s a h



e n c e r i t a k a n



k i s a h



N



a b i



N



a b i



A



y y u b



as.



Kisah Nabi Ayyub as: 1. Jalan cerita kisah Nabi A yyub as. 2.



Latar (sett/ng) kejadian kisah Nabi Ayyub



3.



Tokoh-tokoh dan karakter dalam kisah Nabi Ayyub as.



4.



Pesan yang te rka n d u n g dalam Nabi Ayyub as. Perilaku teladan Nabi Ayyub as.



M em aknai P endidikan K ara kter



kisah



Kegiatan pembelajaran



Indikator



Penilaian



1.



M em baca secara in divid u kisah Nabi A y y u b AS sesuai p a n d u a n y a n g disediakan g u ru (dalam rangka para siswa membacanya secara intensif melalui pencapaian indikator-indikator di bawah)



2.



Diskusi ke lo m p o k kecil te n ta n g hasil membaca secara individual tersebut.



3.



B eb e ra p a anak te rp ilih secara acak membacakan kisah tersebut di depan kelas (guru dapat m emberikan contoh cara membaca cerita secara baik)



4.



Diskusi kelas d a lam rangka koreksi, penguatan, dan pe ng em ba ng an hasil belajar siswa.



1.



Menemutunjukkan jalan/alur cerita kisah Nabi Ayyub AS



2.



M endeskripsikan latar kejadian kisah Nabi Ayyub AS



3.



Mendeskripsikan tokoh-tokoh dan karakter/ perbuatan dari mereka yang terda pa t dalam kisah Nabi Ayyub AS



4.



M enginterpretasi pesan yang terkandung dalam kisah Nabi Ayyub AS



5.



M e n d e s k rip s ik a n secara u tu h (niat, perilaku, konsekuensi) perilaku teladan Nabi Ayyub AS



6.



M em iliki apresiasi yang baik terhadap kisah Nabi Ayyub AS



Laporan in d iv id u a l hasil tu g a s baca dan diskusi kelas



Alokasi waktu



Sum ber belajar



Buku:



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



I



87



Silabus 2



S t a n d a r



K



o m



p e t e n s i



k o m



p e t e n s i :



4 .



4 .1



d a s a r



M



e m



b i a s a k a n



M



e n e l a d a n i



p e r il a k u



p e r il a k u



t e r p u j i



N



a b i



A



y y u b



a s .



Meneladani perilaku Nabi A yyub AS 1 Perilaku teladan (niat, perilaku, konsekuensi) Nabi Ayyub AS



Materi pokok



Kegiatan Pembelajaran



Indikator



2.



Pentingnya perilaku teladan Nabi Ayyub AS.



3.



Bagaimana meneladaninya



1.



M emotivasi siswa: pentingnya perilaku teladan N abi A yyub AS (misalnya, kontraskan dengan perilaku orang atau kelom pok yang bertentangan)



2.



Pemodelan di kelas agar siswa m am pu melakukan role playing di kelas



3.



Role playing di kelas



4.



Praktik perilaku teladan Nabi A yyub AS dalam kehidupan harian dan mencatat dan merefleksinya dalam jurnal siswa.



5.



M engajak orang lain untuk m eneladani N a b ‫؛‬ Ayyub AS.



6.



Diskusi ke lo m p o k te n ta n g ju rnal siswa, atau konsultasi dengan guru tentang jurnal siswa



1.



Memerankan keteladanan Nabi A yyub AS dalam latar kelas



2.



Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub AS |



3.



M enaaiak orar‫؛‬q lain untuk m eneladani N abi Ayyub as.



j Evaluasi jurnal siswa



Penilaian



i‫ ؛‬Alokasi waktu



-



| Sumber belajar



*) Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang mampu menyusunnya secara canggih berkat pengalamannya dalam materi pelajaran, pergaulan dengan siswa, dan lain-lain. Catatan: Silabus yang pertam a adalah bagian dari pelajaran tarikh biasanya (barangkali) diajarkan semata-semata sebagai pelajaran kognitif). Kisah atau cerita sering menjadi sarana untuk pendidikan karakter. Karena itu penting adanya siswa m em bacanya secara



88



I



Memaknai Pendidikan Karakter



intensif/mendalam, dengan disediakan panduan/LKS. Juga, puncak dari pelajaran kisah ini adalah kem am puan siswa mengapresiasi kisah tersebut. Apresiasi dalam hal ini jelas sebuah fasilitas penting untuk penum buhan karakter siswa. Dalam taksonomi Krathwohl, apresiasi termasuk ke dalam kemampuan valuing (menilai). Adapun dalam sistem Lickona, apresiasi dapat memfasilitasi berkembangnya kemampuan cinta kebaikan. Silabus yang kedua adalah bagian dari p elajaran akhlak. Berperilaku sebagaimana disarankan Nabi Ayyub as. adalah bagian dari tindakan moral (kompetensi), yang harus dibiasakan dalam kehidupan harian. Pembuatan jurnal jika dikerjakan sungguh-sungguh dan pendidik m enyediakan um pan-baliknva, dapat m em perkuat perilaku siswa. Adapun diskusi dan konsultasi jurnal, di samping memperkuat perilaku yang sudah ada, dapat juga berfungsi koreksi terhadap kelemahan yang ditemukan, atau juga mengembangkan/ meningkatkan perilaku yang ada. Dengan pendidikan karakter, latar tem pat terjadinya pem belajaran tidak hanya di kelas. Kegiatan pem belajaran n om or 4 dan 5 silabus SK-KD akhlak di atas, m engim plikasikan pem belajaran terjadi juga di luar kelas, dan semua hal ini di bawah manajemen guru. Contoh 2 Standar Isi S t a n d a r



8.



K



o m



p e t e n s i



K



Mem ahami pentingnya penghem atan energi



8.1



o m



p e t e n s i



D



a s a r



M engidentifikasi kegunaan energi listrik dan b e rp a rtisip a si dalam penghematannya dalam kehidupan sehari-hari



Cuplikan Standar Isi Mata Pelajaran IPA untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Kelas VI semester 2.



S t a n d a r



k o m



p e t e n s i :



8 .



M



e m



a h a m



i



p e n t i n g n y a



8.1 Kompetensi dasar



p e n g h e m



a t a n



e n e r g i



M engidentifikasi kegunaan energi listrik dan be rpa rtisipa si dalam penghematannya dalam kehidupan sehari-hari



Desain Pendidikan Karakter di Sekolah



Materi pokok Kegiatan pembelajaran Indikator



Penilaian Alokasi waktu



-



Sumber belajar



-



*) Silabus ini dikembangkan secara sederhana. Gurulah yang m am pu menyusunnya secara lengkap berkat pengalamannya dalam materi pelajaran, pergaulan dengan siswa, dan lain-lain. Untuk kepentingan latihan, para pembaca dapat melihat contoh RPP yang kami buat pada lampiran buku ini.



Memaknai Pendidikan Karakter



aib 3



Hodsl-Model •٠-



‫؛‬.‫؟‬



Pendidikan Karakter



A. Memaknai Desain Pembelajaran untuk Pendidikan Karakter I. Makna Belajar dalam Pendidikan Karakter Sebelum memasuki apa dan bagaimana desain pembelajaran dalam pendidikan karakter, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah belajar dalam konteks pendidikan karakter. Pemahaman akan hal ini am at penting untuk memberikan dasar pem ikiran mengenai bagaimana seharusnya pembelajaran didesain. Tinjauan terhadap berbagai teori belajar akan menyampaikan kita pada suatu gambaran tentang apa sebenarnya makna belajar dalam berbagai perspektif. Mari kita kaji beberapa teori belajar vang ada saat ini lalu nanti kita bandingkan dengan makna belajar menurut pusat kajian p'xlagogik. U ntuk m em aham i m akna belajar, H ergenhahn dan Olson (2009:2-3) mengemukakan lima rambu-rambu sebagai berikut.



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



(1) Belajar diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku. Hasil belajar harus selalu diterjem ahkan ke dalam perilaku atau tindakan yang dapat diamati. (2) P erubahan behavioral ini relatif perm anen. Artinya hanya sementara dan tidak menetap (relatif). (3) Perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung setelah proses belajar selesai. Potensi u n tuk bertindak ini mungkin tidak akan diterjemahkan ke dalam bentuk perilaku secara langsung. (4) P erubahan perilaku (atau potensi behavioral) berasal dari pengalaman atau praktik (latihan). (5) Pengalaman atau praktik harus diperkuat. Hanya respon-repson yang menyebabkan penguatanlah yang akan dipelajari. A sum si-asum si di atas m en g h an tark an kita kepada suatu pem aham an bahw a belajar m erupakan suatu pengalam an yang mendahului perubahan perilaku seseorang. Dengan kata lain, jika seorang anak belajar maka sangat memungkinkan terjadi perubahan perilaku pada anak tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pandangan banyak ahli psikologi tentang belajar, kecuali pendapat B.F Skinner yang berpendapat bahw a perubahan perilaku m erupakan proses belajar itu sendiri dan tak perlu lagi ada proses lain yang harus disimpulkan. Hergenhahn dan Olson (2009:4) menggambarkannya sebagai berikut:



Variabel Independen



H



Pengalaman



J------- >



Variabel Perantara



Belajar



H



Variabel Dependen



H



Perubahan Perilaku



Gambar 3.1. Pengaruh belajar terhadap perubahan perilaku



Pemahaman tentang teori belajar menjadi am at penting dalam pendidikan karakter, karena perilaku yang berkarakter itu terbangun melalui proses belajar, bukan suatu yang kebetulan.



Memaknai Pendidikan Karakter



Berikut beberapa pandangan tentang belajar dari ‫اأه'اا‬



ke waktu:‫؛‬



Tabel 3.1 Lima Sudut Pandangan tentang Belajar S u d u t P a n d a n g N



o .



P a r a d i g m



K



T o k o h



a



o n s e p



T e o r i t i s



U



t a m



a



t e r h a d a p B e l a ja r



1.



Fungsionalistik



Menekankan



Edward







hubungan antara belajar dengan penyesuaian diri dengan lingkungan. Banyak dipengaruhi oleh pemikiran Darwinisme.



^ o m d ik e (1871194?)



٠



• • •



Burrhus Frederick Skinner (19041990)



٠



٠



Bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial and error learning (belajar dengan uji coba). Belajar adalah incremental, bukan langsung ke pengertian mendalam ( insightful). Belajar tidak dimediasi oleh ide. Semua mamalia belajar dengan cara yang sama. Law o f readiness, law o f exercise, dan law o f effect. M em bedakan dua jenis perilaktt: respondent behavior (perilaku resp on ded yang ditim bnlkan oleh suatu stimulus yang dikenali, dan operant behavior (perilaku operan), yang tidak diakibatkan oleh stimulus yang dikenal tetapi dilakukan sendiri oleh organisme. Ada dua jenis pengkondisian (Tipe Pengkondisian Tipe S yang menekankan arti penting stimulus dalam menimbulkan respons yang diinginkan. Tipe R: kondisi yang m enyangkut perilaku operan yang penekanannya pada respons.



١



; j j



‫؛‬ ‫؛‬



‫ﺳﺺ‬. _



— Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



٠



Clark Leonard Hull (18841952)



٠



٠



94



Memaknai Pendidikan Karakter



Dua prinsip pengkondisian operan: 1) setiap respon yang diikuti dengan stimulus yang menguatkan cenderung akan diulang, dan 2) stimulus yang menguatkan adalah segala sesuatu yang mem perbesar rata-rata terjadinya respon operan. Belajar akan sangat efektif apabila: 1) informasi yang akan dipelajari disajikan secara bertahap, 2) j pem belajar segera diberi | umpan balik (feedback) mengenai akurasi pembelajaran mereka, dan 3) pem belajar m am pu belajar dengan caranya sendiri. Ada tiga macam variabel dalam teori Hull: 1) variabel bebas (independen) yang merupakan kejadian stimulus yang secara sistematis dimanipulasi oleh eksperimenter. 2) variabel pengintervensi (.intervening ), yakni proses yang dianggap terjadi di dalam organisme tetapi tidak dapat diam ati secara langsung. 3) variabel terikat (dependen), yakni beberapa aspek dari perilaku yang diukur oleh eksperim enter dalam rangka menentukan apakah variable punya efek atau tidak. Teori belajar Hull adalah teori reduksi dorongan atau reduksi stimulus dorongan. Belajar melibatkan dorongan yang dapat direduksi.



2.



Asosiasinistik



Mempelajari proses belajar dalam term hukum asosiasi. Berasal dari Aristoteles dan dipertahankan dan dielaborasi oleh focke, Barkeley, dan Hume.



Ivan



‫إ‬



Petrovich ; Pavlop (18491936)



Ada dua proses dasar yang m engatur semua aktivitas sistem syaraf sentral adalah excitation (eksitasi) dan inhibition (hambatan). Prinsip Pavplovian sulit diaplikasikan ke pendidikan kelas. Setiap kali kejadian netral dipasangkan dengan kejadian bermakna, akan terjadi pengkondisian klasik. Prinsip pengkondisian klasik dapat dipakai dalam program pendidikan, khususnya dipakai untuk memodifikasi perilaku, situasinya tam pak menyerupai brainwashing ketim bang pendidikan. Asosiasi antara stimulus dan respons terjadi hanya karena keduanya terjadi bersama-sama. Law o f contiguity (hukum kontiguitas): "kom binasi stimuli yang m engiringi suatu gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika kejadiannya berulang" yang direvisi menjadi "Apa-apa yang dilihat akan m enjadi sinyal untuk ; apa-apa yang dilakukan." Dengan kata lain: jika Anda melakukan sesuatu dalam situasi tertentu, pada waktu lain saat Anda dalam situasi itu Anda cenderung akan melakukan hal yang sama.



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter







٠







W illiam Kay Estes (1919-...)



K ognitif



Menekankan sifat kognitif dari belajar. Berasal dari Plato dan sampai kepada kita melalui Descartes. Teori Gestalt



٠



Mengemukakan teori



stimulus sampling theory ٠



٠











Memaknai Pendidikan Karakter



Pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respon apa yang harus d ibuat untuk stimuli. Sekolah seharusnya menyerupai situasi kehidupan nyata semirip mungkin. Hukuman terkadang da pa t mengatasi perilaku yang m engganggu dan hukuman mesti dipakai saat perilaku disruptif itu sedang terjadi.



(SST). Dengan lingkungan belajar yang kompleks, proses belajar berlangsung dengan cara sekaligus atau tidak sama sekali (all o r none), hanya saja ia berjalan sedikit dem i sedikit pada suatu waktu. Mengaplikasikan field theory (teori medan) dari fisika ke problem psikologi. Secara umum dideskripsikan sebagai system yang saling terkait secara dinamis, di mana setiap bagiannya saling m em pengaruhi satu sama lain. Psikologi gestalt percaya bahwa apapun yang terjadi pada seseorang akan m em pengaruhi segala sesuatu yang lain di dalam diri orang itu. Belajar adalah memuaskan secara personal dan tidak perlu didorong-dorong oleh penguatan eksternal.



3.



K ognitif



Mengaplikasikan field theory (teori medan) dari fisika ke problem psikologi. Secara umum dideskripsikan sebagai sistem yang saling terkait secara dinamis, di mana setiap bagiannya saling m em pengaruhi satu sama lain.



Menekankan sifat kognitif dari belajar. Berasal dari Plato dan sampai kepada kita melalui Descartes. Teori Gestalt



Psikologi Gestalt percaya bahwa apa pun yang terjadi pada seseorang akan m em pengaruhi segala sesuatu yang lain di dalam diri orang itu. Belajar adalah memuaskan secara personal dan tidak perlu d idoro ng -doro ng oleh penguatan eksternal. Belajar da pa t dimulai dengan sesuatu yang familiar dan setiap langkah dalam pendidikan didasarkan pada hal-hal yang sudah dikuasai. Ketika hal-hal yang dipelajari telah dipahami, bukan hanya diingat, maka ia da pa t dengan mudah diaplikasikan ke situasi yang baru dan dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.



Jean : Piaget



Anak dilahirkan dengan beberapa schemata sensorimotor, yang m em beri kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman pendidikan harus dibangun di seputar struktur kognitif pembelajar.



i



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



97



Materi pendidikan yang tidak dapat diasimilasikan ‫؛‬ ke struktur kognitif anak tidak akan bermakna bagi si anak. A ga r belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan sebagian belum. Bagian yang sudah diketahui akan diasimilasi dan bagian yang I belum diketahui akan menim bulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini disebut akomodasi yang dapat disamakan dengan belajar. Pendidikan yang optim al mem butuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar, sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan ‫؛‬ pertum buhan intelektual. —



Edward Chace Tolman ( 1886 -



1959)



U Belajar bukan hanya soal m em beri respon atau strategi yang benar, tetapi juga menghilangkan resoon atau strateai vana salah. Yang penting untuk anak (murid) adalah ada kesempatan, secara individual atau anggota kelom pok, untuk menguji ide-idenya secara memadai. Guru bertindak sebagai konsultan yang m em bantu siswa dalam menjelaskan dan m engkonformasi atau menolak hipotesis.



Memaknai Pendidikan Karakter



Siswa semestinya dihadapkan pada to p ik dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Proses ini memungkinkan siswa untuk m em bangun proses kognitif, yang akan dipakai siswa untuk menjawab pertanyaan tentang to p ik tertentu dan to p ik lainnya. Penguatan ekstrinsik dianggap tidak perlu untuk m emicu proses belajar. Belajar terjadi secara konstan. A lbert Bandura (1925-...)



1



Belajar bersifat terus menerus dan tidak bergantung pada penguatan. Proses belajar manusia biasanya terjadi dengan mengam ati konsekuensi dari perilaku model. Empat proses utama yang dianggap mem pengaruhi jalannya belajar observasional: 1) proses atensional, yang menentukan aspek mana dari situasi m odeling yang akan diperhatikan; 2) proses retensional, yang melibatkan pengkodean informasi secara imajinal dan verbal sehingga bisa disimpan dan dipakai di waktu m endatang; 3) proses pem bentukan perilaku, yang melibatkan kemampuan untuk m em beri respon yang dibutuhkan untuk menerjemahkan hal-hal yang sudah dipelajari ke dalam perilaku; 4) proses motivasional, yang menentukan aspek mana dari respon yang telah dipelajari sebelumnya yang akan diterjemahkan ke dalam tindakan.



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



Ada interaksi resiprokal (interaksi konstan antara lingkungan, perilaku dan orang). Perilaku m em pengaruhi lingkungan sebagaimana lingkungan m em engaruhi perilaku. Selain itu, orang m em engaruhi perilaku dan linkungan. Melalui belajar langsung dan observasional, muncul standar performa yang bertindak sebagai pedom an dalam mengevaluasi seseorang. Jika perilaku seseorang sesuai atau melebihi standar, ia dinilai positif; jika tidak, ia akan dinilai negatif. Proses kog nitif yang salah dapat muncul dari persepsi yang tida k akurat, generalisasi berlebihan atau informasi yang tidak lengkap (keliru). Teori kognitif sosial menekankan fakta bahwa ham pir semua informasi kita peroleh dari interaksi kita dengan orang lain. Segala sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalam an langsung juga bisa dipelajari secara tak langsung lewat observasi.



4.



Neurofisiologis



Berusaha mengisolasi korelasi neurofisiologis dari hal-hal seperti belajar, persepsi, pemikiran, dan kecerdasan. Diawali dari rangkaian penelitian



Donald O lding H ebb (1904



Memaknai Pendidikan Karakter



M enurut H ebb ada dua jenis belajar: 1) berkaitan dengan pem bentukan kumpulan sel dan sekuensi fase secara gradual selama masa bayi dan kanakkanak. Proses belajar awal ini representasi neurologis atas objek dan lingkungan.



Semakin kompleks suatu lingkungan, semakin banyak yang akan direpresentasikan dalam level neurologis. Semakin banyak yang direpresentasikan di level neural, semakin besar kemampuan anak untuk berpikir. Untuk itu guru bertugas untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang bervariasi. • setelah sekumpulan sel dan sekuensi fase berkem bang pada masa kecil, proses belajar selanjutnya biasanya berupa penataan ulang. Setelah blok bangunan terbentuk, blok itu dapat diatur kembali menjadi berbagai macam bentuk. Proses belajar di tingkat selanjutnya berbentuk perceptual, cepat, dan berwawasan. Tugas guru adalah m em bantu mereka memahami apa yang sudah mereka pelajari dengan cara yang kreatif. • Karakteristik fisik dari lingkungan belajar adalah sangat penting. • Belahan otak kiri dan kanan tidak belajar atau berperilaku secara sendirisendiri dan perbedaannya bukan bersifat dikotom i. ٠ Fungsi otak normal adalah saling terkait secara keseluruhan, dan dianggap mustahil untuk m enciptakan pengalaman pendidikan yang dikhususkan pada satu belahan otak saja.



Descartes yang memisahkan antara tubuh dengan pikiran. Tujuan Neurofisiologis saat ini menyatukan kembali proses fisiologis dan mental.



■1,



■ ٠١١



H '/ //» /







.٠ . .. ، '



; ٠ "•



_____ -



______



______



______



______



—‫؛‬



1،v 'Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



101



Menekankan ! Robert pada sejarah C. Bolles ‫؛‬ evolusi proses belajar organisme. Paradigma ini berfokus pada cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi m em buat jenis belajar lain menjadi sulit atau mustahil.



Sumber: Diringkas dari buku The Theories Matthew H. Oison (Edisi ketujuh tahun 200



Learning



Psikologi evolusioner tidak memiliki implikasi untuk teknik pengajaran secara khusus, tetapi berimplikasi banyak terhadap kurikulum pendidikan. Manusia memiliki kecenderungan untuk m em entingkan diri sendiri, xenophobia, dan agresi. Kurikulum dan aktivitas sekolah, bersama dengan pengaruh budaya lainnya, seperti praktik pengasuhan anak, harus disusun sedemikian rupa sehingga bisa melemahkan tendensi alamiah itu. Manusia secara biologis siap untuk belajar hal-hal yang dinilai positif oleh suatu kultur. Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai bahasa, maka sekolah harus menekankan pada belajar bilingual di tahap awai pendidikan. Pandangan psikologi evolusioner m engingatkan pendidik untuk menghindari "nothingbutism", yakni asumsi bahwa perilaku ditentukan oleh gen atau oleh kultur saja. M enurut mereka, perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari keduanya.



belajar)



B.R. Hergenhahn dan



Menurut kami, untuk memahami makna belajar dalam pendidikan karakter perlu dipahami terlebih dahulu mengenai esensi manusia. Manusia dapat dipandang sebagai tmnsmitter, yaitu organisme yang menerima energi dari lingkungannya dan menyalurkan energi dari dirinya kepada lingkungannya. Energi dari suatu benda dalam dunia fisika adalah ukuran dari kesanggupan benda tersebut untuk Memaknai Pendidikan Karakter



melakukan suatu usaha. Energi terdiri dari atom, elektron dan proton. Jenis energi ini banyak, di antaranya energi potensial, energi kinetik/kinetis, energi panas, energi air, energi batu bara, energi minyak bumi, energi listrik, energi matahari, energi angin, energi kimia, energi nuklir, energi gas bumi, energi ombak dan gelombang, energi minyak bumi, energi mekanik/mekanis, energi cahaya, energi listrik, dan sebagainya. Energi yang dimaksud dalam kajian pendidikan karakter adalah suatu hal, situasi, dan kondisi yang mempengaruhi terhadap organisme/individu manusia sehingga melakukan sesuatu. Energi ini dapat berupa energi positif (+) atau energi negatif (-). Energi positif adalah potensi yang mempengaruhi dan mengarahkan perilaku individu atau kelompok untuk berperilaku baik/benar/memperbaiki. Energi negatif adalah potensi yang mengarahkan perilaku individu kepada perilaku yang jahat/salah/merusak. Jadi dapat dikatakan bahwa anak menerima pengaruh dari suatu hal, situasi dan kondisi lingkungannya dan juga menyalurkan pengaruh berupa hal, situasi, dan kondisi kepada lingkungannya. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:



٠•



Gambar 3.2.



Student



Proses transmisi energi pada manusia



Berdasarkan asumsi di atas, dipahami bahwa belajar dalam konteks pendidikan karakter menurut Pusat Penkajian Pedagogik adalah proses menerima atau menolak dan menyalurkan nilai untuk diadopsi atau diabaikan dalam perilaku keseharian anak yang dipengaruhi oleh kondisi/potensi awal yang dimiliki anak. Belajar dideskripsikan sebagai proses yang memunculkan analisis Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



kognisi, afeksi dan psikomotor secara terpadu dan menghasilkan keputusan apakah suatu hal akan dilakukan/di terima atau tidak dilakukan/diterima. Proses ini tidak dapat dilihat secara langsung, karena terjadi dalam diri manusia dan merupakan proses gaib. Proses belajar dalam konteks pendidikan karakter ini dapat digambarkan sebagai berikut:



+ + Potensi awal



J 1



1 K



Proses Belajar



+ ;



+



+



+



Hasil Belajar



"TTMU•' 'C A S ‫؛‬ Gambar 3.3. Proses belajar dalam konteks pendidikan karakter



Proses belajar pada Gambar 3.3. menunjukkan banyak dipengaruhi oleh energi negatif dan energi positif. Berdasarkan gambaran proses belajar seperti dapat dipahami lebih jauh mengenai bagaimana peran guru dalam menetralisasi energi negatif menjadi energi positif. Mari kita lihat analisis berikut. Pada suatu interaksi antara guru dengan siswa di suatu kelas, guru mengawali pertemuannya dengan anak melalui ucapan salam yang khas ketika masuk kekelas. Kekhasan salam inidilakukan dengan cara diam tepat di pintu lalu mengucapkan salam sambil menatap kelas. Guru tidak mengucapkan salam sambil berjalan menuju kursi. Kemudian guru melihat ada beberapa sampah kertas dan bekas minuman di bawah meja para siswa. Sebelum menyimpan peralatan pembelajaran yang dibawa, guru mengambil kertas yang terjangkau olehnya kemudian menyimpannya di tong sampah. Setelah itu guru mengajak anak-anak berdoa sebelum memulai pelajaran. Dalam proses tersebut (berdoa) guru mendoakan anak-anak yang berada di kelas 10 4



I



Memaknai Pendidikan Karakter



supaya m en d ap atk an m an faat d an m em berikan m anfaat dari proses belajar dengan guru. Apabila kita analisis kasus ini, dapat dipaham i beberapa energi negatif yang terlihat langsung secara kasat m ata, yaitu: (1) konsentrasi anak yang belum fokus ketika guru m asuk, (2) banyak sam pah di kelas. Analisis terhadap proses penefralan energi negatif dilakukan oleh guru dengan cara: (1) m engucapkan salam secara khas kepada kelas, (2) m em andang ke kelas ketika akan m asuk kelas, (3) anak berdoa, dan (4) guru m erdoakan anak-anak. Dalam proses inilah terjadi proses anak belajar suatu nilai. Ketika proses ini berulang d an terasa nyam an dalam diri anak, m aka dapat dipastikan bahw a anak akan memiliki karakter dari nilai yang diperkuat melalui proses belajar. ?roses belajar itu bersifat gaib. Dalam konteks proses yang gaib, pendidik perlu mengkaji secara khusus pengaruh dari setan sebagai pihak yang m em pengaruhi m an u sia m elalui (transfer) pengaruh energi negatif kepada diri m anusia. G am baran pengaruh ini dapat dikaji dalam Sur’at An-Nas [114] 1:6 sebagai berikut.



1. ‫اﻗﻠﻲ‬



‫ﻗﻦ أﻓﻮف‬



‫ﺑﺮب‬



Katakanlah: “ Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.



Raja manusia.



W



‫ أﺋﺌﺶ اﺗﻪ‬3, . -



r



Sembahan manusia.



4,



-‫ص‬



‫ﻧﻢﺀ[ﻣﻤﺎ‬ ‫ﻧم‬-



‫ﻣﻦ ﺳﺮ‬



dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi.



‫س‬ ‫ ﻗﺄ اس‬5‫ أ‬. ‫ﻓﻲ ﺻﺪور‬



‫ﻳﻮﻫﻨﻮس ي‬ ‫اﺋﺘﻲ‬



yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.



Modei-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



،J■* dari (golongan) jin dan manusia.



Pada ayat 5 S urat An Nas tersebut dengan jelas Allah Swt. m enjelaskan bahw a m anusia harus berlindung dari bisikan kejahatan setan ke dalam dada (hati) m anusia. Ayat 6 m enjelaskan bahw a energi negatif m anusia itu ada yang datang dari jin dan m anusia. B erdasarkan kajian terh a d ap su ra t An-Nas ini m aka pendidikan perlu untuk m em bentengi perilaku diri dan anak didiknya melalui doa kepada Allah Swt. untuk selalu dilindungi dari godaan sietan yang terkutuk. Dengan dem ikian dapat dipaham i bahw a doa dalam proses belajar m enjadi suatu hal yang m utlak untuk dilakukan oleh pendidikan dan anak didik. B erdasarkan kajian di atas, kam i m em andang b ah w a KBM dalam pendidikan karakter bukan m em berikan w arna kepada anak ten tan g su a tu nilai, tetap i m eru p a k an proses interaksi alam iah yang selalu didasarkan/dirujuk kepada suatu nilai. Dan tidak ada perilaku yang bebas dari nilai. Sem ua perilaku didasari/m erujuk pada suatu nilai. Persoalannya adalah, apakah guru m em aham i nilai apa yang ada di balik setiap perilaku yang dilakukan guru selam a berinteraksi dengan peserta didik. Jika saja dalam kasus tertentu guru tidak m engakui bahw a “selam a proses interaksi dia dengan peserta didiknya, tidak ada nilai khusus yang dirujuk”, m aka guru tidak m em aham i hakikat nilai.



1



Gambar 3.4 Perumpamaan pendidikan karakter bukan mewarnai jiwa anak



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Jika proses yang terjadi dalam p em b elajaran di kelas-kelas sebagaim ana G am bar 3.4, m aka anak dipaksa u n tu k m enerim a su atu nilai dengan cara dogm atis dan an ak diposisikan sebagai p ih ak yang tidak m em iliki potensi. Inilah yang sering m uncul dalam persepsi para guru ketika m engahadapi anak-anak di kelas. T entu saja ini tidak d ap at disebut sebagai pendidikan karakter, tetap i m endekati p a d a p rak tik dem agogi. Di m an a anak, m au tidak m au harus m enerim a suatu nilai secara paksa dari gurunya. Pendidikan karakter bukan m em aksa anak untuk m enerim a suatu nilai dan m enjadi perilaku, tetapi layanan yang m engarahkan dan m enguatkan anak pada suatu nilai. Tentu saja proses belajar an tara "m ewarnai” dan “m engarahkan dan “m enguatkan” m erupakan dua proses belajar yang berbeda. Di m ana letak perbedaannya? M ari kita analisis lebih lanjut! Jika anak diposisikan sebagai pihak yang diwarnai oleh gurunya, m aka posisi anak dalam proses belajar adalah objek atau individu yang m enjadi sasaran ajar. Sedangkan dalam proses "diarahkan dan dikuatkan” oleh guru, m aka anak tidak saja sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Anak diposisikan sebagai pihak yang memiliki keterkaitan satu sam a lain, baik dengan anak didik lainnya m aupun dengan berbagai hal yang a d a di sekitarnya. B ukan saja anak itu m em pelajari dan m eresapi suatu nilai, tetapi juga m enularkan nilai kepada lingkungannya yang dirasakan oleh anak secara sadar. Dengan kata lain, anak didik tidak saja orang yang m enerim a, tetapi juga m erupakan pihak yang m em berikan arah an dan penguatan nilai kepada lingkungannya. Lalu siapa sebenarnya yang disebut lingkungan itu? Apakah guru term asuk pada lingkungan? Interaksi anak didik dengan lingkungan memiliki m akna yang luas, m akna lingkungan bukan saja kelas dalam arti ruangan kelas beserta aiiifact di dalam kelas tersebut. Lingkungan anak dalam konteks pendidikan karakter dipaham i sebagai segala sesuatu yang terlihat, terdengar, terpikir, dan terasakan oleh anak. Lingkungan tidak m engarah p ad a sesuatu objek fisik sem ata, tetapi juga apa vang didengar, dilihat, dipikirkan dan dirasakan oleh anak. K arena itu hal-hal (objek) yang dipelajari anak dapat m enem bus keterbatasan ruang dan w aktu dan hal itu diasum sikan m em pengaruhi perilaku anak.



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



I



10 7



2. Makna Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter Istilah pem belajaran m enjadi sem akin kerap terdengar dalam kajian p en didikan persekolahan saat ini. Istilah ini m eru p ak an p e n g e m b a n g a n istila h d a ri “p ro se s b e la ja r m e n g a ja r” (PBM ). Pengem bangan istilah ini disertai penekanan m akna dalam praktik kegiatan belajar m engajar (KBM) di sekolah. Penekanan m akna ini utam anya ditujukan pada "proses” atau hal-hal yang dilakukan oleh guru dan anak dalam PBM. Dalam istilah PBM, m akna yang fam iliar bagi guru-guru saat ini adalah guru m elakukan pengajaran dalam berbagai m ateri ajar kepada peserta didik. Dalam proses ini guru memiliki peran yang d o m in a n d alam proses, sed angkan sisw a b erp eran lebih pasif, a ta u lebih b anyak m en e rim a inform asi d a ri guru. P eran g u ru dalam PBM lebih banyak dim aknai sebagai pengajar. Sedangkan istilah “pem belajaran” yang saat ini m enjadi lebih aktual, dim aknai sebagai proses interaksi peserta didik dengan lingkungan belajarnya. Dalam proses ini anak m enjadi objek dan sekaligus subjek belajar, sedangkan guru dan lingkungan belajar lainnya m enjadi kondisi penting yang m enyertai dalam proses pem belajaran. P eran guru dalam proses pem belajaran lebih banyak dim aknai sebagai fasilitator supaya anak m engalam i proses belajar. D alam k ajian p e n u lis, p e ris tila h a n k ed u a n y a b u k a n s u a tu persoalan, tetapi substansi yang m enyertainyalah yang m enjadi kajian lebih lanjut. M engapa dem ikian? Sebagian praktisi dan akademisi ada juga yang m endefinisikan PBM sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan belajar. Artinya istilah PBM dan pem belajaran m enjadi am bigu (sam ar) dalam penggunaan keseharian pada pihak-pihak tertentu. Selanjutnya dalam penulisan buku ini, peristilahan PBM dan pem belajaran akan digunakan saling berganti dengan m akna yang sam a yaitu suatu proses untuk memfasilitasi anak m engalam i proses belajar. A p ak ah p e m b e la ja ra n y a n g s e la m a in i d ila k u k a n d a p a t dik ateg o rik an sebagai proses p en d id ik a n k a ra k te r a ta u bukan? Jaw aban akan hal ini cukup berat, karena harus dijawab setelah m elakukan riset besar. N am un demikian, berdasarkan pengalam an kami dalam m elakukan pem binaan kepada guru-guru di berbagai w ilayah Indonesia, pengalam an ketika m enjadi asesor sertifikasi 10 8



I



Memaknai Pendidikan Karakter



guru SD, instruktur dalam kegiatan PLPG guru SD, dan interaksi dengan p a ra m ahasisw a PGSD yang berasal dari guru-guru (kelas kerjasam a), faktanya m en u n ju k k an b ahw a k ecenderungan KBM yang terjadi di kelas-kelas tidak m enunjukkan pendidikan karakter. Tetapi lebih m enunjukkan sebagai pengajaran. Indikasi yang dapat m encirikan hal tersebut yakni: 1. 2.



3.



4.



5.



desain silabus dan RPP yang dibuat guru-guru saat ini cenderung berpusat pada guru, bukan pada anak; hirarki perilaku yang dirancang dalam silabus dan RPP cenderung b erad a p ad a perilaku tingkat ren d ah (C l), b ah k an sebagian guru m enganggap bahw a hirarki perilaku dalam kategori Cl itu m em ang d ip eru n tu k k an u n tu k p eserta didik yang tidak berkategori cerdas istim ew a, sedangkan hirarki perilaku C2C4 diperuntukkan untuk anak-anak yang dikategorikan cerdas istimewa. Akan hal ini, penulis berbeda pemikiran. Apa bedanya? Kami m elihat bahw a ketika anak dikondisikan untuk m enguasai su a tu k o m p eten si p a d a level C l s.d C3, m ak a a n a k ak a n disiksa untuk m engingat banyak fakta, bahkan m inim dengan pem aham an dan aplikasi konsep. KBM yang terjadi sering tidak kontekstual dengan kehidupan anak, bahkan verbalism e banyak m enjadi keunggulan para guru saat ini. m e to d e p e m b e la ja ra n y a n g b a n y a k d ila k u k a n c e n d e ru n g ceram ah tunggal. Anak yang baik dipersepsi sebagai anak yang m endengarkan dan m am pu m engulang apa yang diceram ahkan oleh gurunya. Sungguh keterlaluan! Jik a g uru m enganggap anak sebagai m esin perekam atau m esin fotokopi yang harus m erekam segala apa yang dikatakan dan dilakukan oleh guru; Evaluasi akhir jarang dilakukan. Ketika dilakukan, inform asi dari hasil evaluasi jarang ditindaklanjuti. Terkait dengan penyebab hal ini ada faktor utam a yang harus m enjadi perhatian bersam a (sekolah, o ran g tu a, d a n p em erin tah ) yang kam i tem ukan, yaitu ju m lah siswa yang cukup besar (40 anak/kelas) dalam setiap kelasnya. S ecara s a d a r kam i m elih at b ah w a hal ini sangat m em ungkinkan terjadinya penghalang bagi guru untuk m em b erik an c a ta ta n k h u su s te rh a d a p p ek erjaan an ak baik yang dikerjakan di kelas m au p u n di rum ah. Di sam ping itu a d a fak to r b irokrasi yang h a ru s diadvokasi bagi guru-guru teru tam a terkait dengan persoalan pertanggungjaw aban dana Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



BOS yang diterim a oleh sekolah. Hal ini perlu kajian khusus. N am un kam i ingin m enekankan bahw a indikasi poin kelima ini begitu rum it. Perlu ditegaskan kembali, bahw a tem uan penulis di atas bukan hasil riset pada lingkup yang besar, tetapi berdasarkan pada hasil pengam atan dan pengalam an berinteraksi dengan guru-guru, yang kebanyakan adalah guru SD. Lalu yang b a g a im a n a k a h p e m b e la ja ra n u n tu k p e n d id ik a n karakter? Di baw ah ini kam i ak an m engem ukakan ide-ide dari P usat Pengkajian Pedagogik terkait dengan desain pem belajaran dalam pendidikan karakter. P em belajaran dalam pendidikan karak ter penulis definisikan sebagai Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan



perilaku anak secara utu h yang didasarkan/dirujuk pada suatu nilai. Peguatan adalah upaya untuk melapisi suatu perilaku anak sehingga berlapis (kuat). Pengem bangan perilaku adalah proses adaptasi perilaku an ak terh ad ap situasi d an kondisi b aru yang dihadapi berdasarkan pengalam an anak. K egiatan penguatan dan pengem bangan didasarkan pada suatu nilai yang dirujuk. Artinya, proses p e n d id ik a n k a ra k te r a d a la h proses yang terjad i k a re n a didesain secara sadar, bukan suatu kebetulan. G am baran pem belajaran dalam pendidikan karakter dapat dilihat pada gam bar berikut. Stakeholders



Nilai KTSP—



b•‫>—؛‬ Silabus Pengalaman Belajar Anak



RPP



Rumah



-ri



Karakter



1



Indikator ' ‫؛‬ ‫؛‬.Pembelajaran; Evaluasi Layanan KBM



(X !



G uru



l



^l _ Sekolah



‫؛‬



Hirarkhi Kompetensi Karakter



Gambar 3.5. Seting pembelajaran dalam pendidikan karakter Memaknai Pendidikan Karakter



٦



Visi Sekolah L-



M elalui G a m b a r 3.1, kam i b e rm a k su d m en jelask an b ahw a pem belajaran dalam pendidikan karakter diawali dari dirujuknya suatu nilai oleh sekolah berdasarkan diskusi antara sekolah dengan stakeholder. Nilai yang dirujuk ini kem udian m enjadi nilai sekolah yang m endasari penyusunan suatu visi sekolah. Visi sekolah ini kem udian dijabarkan ke dalam kurikulum yang dibuat pada level sekolah yang dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam hal ini, silabus dan RPP yang dikem bangkan oleh g uru tentu berbeda dengan silabus d an RPP yang bukan untuk pem b elajaran karakter. Hal ini d ap at dikaji ulang p a d a B ab II buku ini. P engalam an belajar an a k d alam seting pendidikan karak ter dilakukan dalam tiga tem pat, yaitu kelas, sekolah, dan rum ah. Hal ini m engim plikasikan bahw a guru harus m erancang dalam silabus dan RPP nya m engenai pengalam an apa yang h am s dilalui oleh anak dalam upaya penguatan suatu nilai di sekolah dan di rum ah. Jadi yang harus dipikirkan oleh guru bukan lingkup kelas lagi, tetapi lingkup sekolah dan rum ah, bahkan m asyarakat di suatu daerah. Desain pem belajaran yang dikem bangkan oleh guru kem udian m enjadi layanan KBM bagi peserta didik. Layanan KBM dalam pendidikan karakter h am s m em enuhi tiga kunci berikut:



٠ •



٠



Dasar pendidikan = kasih sayang Syarat teknis = saling percaya Syarat mutlak = Kewajiban



D asar Pendidikan adalah kasih sayang m aksudnya bahw a KBM yang difasilitasi oleh guru m erupakan bentuk/w ujud kasih sayang g u ru terh ad ap anak, bukan dipersepsi dan diasum sikan sebagai pelaksanaan tugas/keija sebagai PNS/guru honorer di suatu sekolah. D asar ini m enjadi am at penting dalam proses pem belajaran, karena asum si guru tentang KBM akan m elandasi perilaku guru dalam melayani anak dalam KBM. Jika seorang guru m endasarkan KBM nya pada kasih sayang, m aka transm isi nilai yang dirujuk m enjadi suatu perilaku khas p ad a anak akan m udah untuk terwujud. Akan tetapi, jika ap a yang dilakukan oleh g uru tidak dilandasi kasih sayang, semisal sebagai pelaksanaan tugas sem ata, m aka transm isi m akna/pem aham an yang ditangkap oleh anak bukan “suatu nilai Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



itu penting bagi diri dan lingkungannya, tetapi KBM adalah proses yang h a ru s dilalui oleh an a k d a la m k e h id u p a n kesehariannya, seb ag aim an a m ak an , m in u m , d a n b erm ain ." K ondisi ini telah m enghilangkan esensi belajar pada diri anak. Syarat teknis adalah saling percaya m aksudnya bahw a interaksi pem belajaran dalam pendidikan karakter yang dibangun oleh guru m ensyaratkan adanya saling percaya an tara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, dan lingkungan pendidikan dengan peserta didik. Hal ini m enunjukkan bahw a guru memiliki peran yang besar u ntuk m em berikan keteladanan dalam m em percapai bahw a setiap an ak adalah individu yang m em iliki potensi yang h a ru s difasilitasi oleh guru d an lingkungannya. Jika KBM tidak disertai adanya kepercayaan g u ru terh a d ap peserta didik, m aka guru akan m engkondisikan anak untuk selalu MENDENGAR bukan BELAJAR. M akna saling percaya juga adalah adanya hubungan yang erat an tara peserta didik dengan guru dan peserta didik dengan peserta didik lainnya. Transform asi suatu nilai m enjadi perilaku adalah suatu proses yang kom pleks dan berdim ensi w aktu yang cukup lama, terlebih jika peserta didik tidak memiliki kepercayaan kepada guru dan lingkungannya. "Syarat m utlak adalah kewibawaan” m aksudnya bahw a proses p en d id ik a n k a ra k te r tidak ak a n terw u ju d (tidak m en g h asilk an kepemilikan karakter oleh anak) m anakala guru diasum sikan tidak berw ibaw a di m ata peserta didik. Kewibawaan adalah suatu kondisi di m an a anak m engasum sikan bahw a guru m em iliki kelayakan sebagai seo ran g g u ru . K ew ibaw aan m e ru p a k a n su a tu kondisi yang lah ir secara alam iah b e rd a sa rk a n interaksi a n a k dengan lingkungannya, bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh guru, semisal dengan m em arahi anak yang tidak m enghorm ati guiu tersebut atau dengan m enegakkan aturan yang sangat keras/ketat sebagaim ana pengkondisian di instansi militer. B e rd a s a rk a n p a p a r a n di a ta s , d a p a t d im a k n a i leb ih khusus bahw a p em belajaran dalam p en didikan karakter adalah pem belajaran yang m engarah pada penguatan dan pengem bangan perilaku anak secara u tu h yang didasarkan pada suatu nilai. Pengalam an belajar anak dalam pendidikan karakter m erupakan suatu proses yang terpadu antara proses di kelas, sekolah, dan rum ah. 112



I



Memaknai Pendidikan Karakter



3. Dua Bentuk Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter Pusat Pengkajian Pedagogik UPI sebagai salah satu institusi yang m encoba m engem bangkan teori d an praktik pendidikan m enuju pendidikan yang lebih baik, m encoba m engem bangkan dua jenis pem belajaran yang m en g arah pada pendidikan karakter. Artinya d engan d u a b e n tu k p em b e laja ra n ini d a p a t dib ed ak an ap ak ah suatu pem belajaran dikategorikan sebagai pendidikan karakter atau pengajaran semata. Dua bentuk yang dim aksud adalah pem belajaran substantif dan pem belajaran reflektif. H arus diakui, bahw a pendidikan karakter bukan sem ata-m ata tugas dari guru agam a, guru PKn, atau guru BP sem ata, tetapi tanggung jaw ab sem ua guru, bahkan kepala sekolah, sem ua w arga sekolah dan orang tua, serta m asyarakat. Pembelajaran Substantif. Pembelajaran substantif adalah pembelajaran yang su b stan si m aterin y a terk a it langsung d en g an su atu nilai. Seperti pada m ata pelajaran agam a dan PKn. Proses pem belajaran substantif dilakukan dengan m engkaji su atu nilai yang dibahas, m engkaitkannya dengan kem aslahatan (untuk kebaikan) kehidupan anak d an kehidupan m anusia, baik di du n ia (saat ini) m au p u n di akhirat (setelah m eninggal). Dengan ini, pendidikan agam a di sekolah, sem isal pendidikan agam a Islam, tidak saja m enjadikan anak teram pil dalam bacaan dan gerakan shalat, tetapi juga anak memiliki kebiasaan, kem auan yang kuat dan m erasakan m anfaat shalat bagi dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Proses pem belajaran selalu dikaitkan dengan nilai yang ingin diperkuat pada anak. Misal nilai yang terkandung dalam shalat adalah pengham baan, keteraturan/ketertiban, kerendahan hati, keikhlasan, kebersam aan, am ar m a ’m f nahi m unkar (m enyuruh pada kebaikan dan m encegah kejelekan), d a n sebagainya. Nilai m an a yang akan dirujuk dalam pem belajaran terlebih dahulu didesain oleh guru atau kelom pok guru m ata pelajaran yang m engarah p ad a risi sekolah. Dem ikian halnya dengan m ata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Analisis lebih lanjut dapat kita perbandingkan perbedaan antara pem belajaran Agama Islam yang m engarah pada pendidikan karakter d an yang tidak, terletak pada rujukan terhadap nilai yang m elekat



Model-Mode! Pembelajaran Pendidikan Karakter



I



113



pada m ateri tersebut. MisaJnva jika guru dan anak sedang mengkaji tentang sebuah kom petensi “anak m am p u m elaksanakan shalat”. Proses belajar yang m enunjukkan pendidikan karakter adalah ketika guru dan siswa m em pertanyakan m engapa m anusia harus shalat dan apa m anfaat shalat bagi dirinya (lebih luas bagi m anusia). Itulah yang disebut proses refleksi, yaitu m em pertanyakan apa hakikat di balik m ateri. Perbandingan analisis pem belajaran yang m engarah kepada pendidikan karakter atau bukan pendidikan karakter dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut. ama Islam dari



Tabel 3.2 Analsis perbedaan pembelajaran pendidikan sudut pendidikan karakter dan bukan karakter



P r o s e s



d a n



P e n d i d i k a n M



a te r i



d a n



A



H a s i l A



g a m



T i d a k



M K



e n g u a t k a n



٠



I



A



g a m



a



d a n M



H



a s i l



P e n d i d i k a n



e n g u a t k a n



K



a r a k t e r



a r a k t e r



■ S halat w a jib d a la m ‫ ؛‬Proses: ‫ ؛‬keadaan darurat ‫ ؛‬٠ Anak-anak berdiskusi dengan fasilitasi guru tentang shalat wajib dalam keadaan da rura t Jenis-jenis keadaan darurat dibahas tuntas dalam diskusi tersebut.



I 14



P r o s e s



a



n a l is i s



Anak mempraktikkan shalat w ajib dalam keadaan darurat.



Memaknai Pendidikan Karakter



Anak melakukan refleksi/ mengaitkan pengalaman shalat wajib dalam keadaan darurat dengan alasan mengapa hal itu boleh dilakukan. Atau menjawab apa makna shalat wajib dalam keadaan darurat dalam bahasa anak. Anak mempraktikkan shalat wajib dalam keadaan darurat Guru meminta anak untuk melakukan wawancara kepada orang-orang ter­ dekatnya untuk menuliskan pengalaman mereka m engenai shalat wajib dalam keadaan darurat. Khususnya mengenai alasan mereka tetap melakukan shalat dalam keadaan darurat, (sebagai tugas terstruktur).



Anak m am pu m e­ lakukan praktik shalat wajib dalam keadaan darurat (kendaraan, bepergian, perang, dll)



Analisis



Pada proses ini, guru tidak mengaitkan materi yang dibahas dengan suatu nilai berada di belakang ‫ ؛‬materi shalat wajib | dalam keadaan darurat.



Hasil: ٠ Anak merasa yakin tentang perlunya shalat bagi dirinya dalam segala kondisi. k



Anak merasa butuh untuk melakukan shalat wajib dalam setiap kondisi (santai maupun darurat).



٠



Anak m am pu pempraktikkan shalat wajib dalam keadaan darurat.



Pada proses ini, guru m e­ lakukan refleksi terhadap mengapa shalat wajib te ta p j j harus dilakukan walupun dalam j keadaan darurat. ‫؛‬ j Guru pun menguatkan nilai (misal keyakinan tentang hidupan manusia) dengan cara memberikan tugas terstruktur.



Analisis perbedaan itu d ap at dipaham i bahw a pem belajaran s u b s ta n tif d a la m p e n d id ik a n k a ra k te r d ila k u k a n d e n g a n c a ra m endalam i substansi m ateri yang dibahas Penibalcuaran Reflektif. Pem belajaran reflektif adalah pendidikan karakter yang terintegrasi/m elekat pada sem ua m ata pelajaran/bidang studi di sem ua jenjang dan jenis pendidikan. Proses pem belajaran dilakukan oleh sem ua guru m ata pelajaran/bidang studi, seperti guru M atem atika, IPS, IPA, Bahasa Indonesia, dan m ata pelajaran lainnya. Proses pem belajaran reflektif dilakukan melalui pengaitan m ateri-m ateri yang dibahas dalam pem belajaran dengan m akna di belak an g m ate ri terse b u t. D engan k a ta lain, d alam proses pem belajaran guru m enjaw ab pertanyaan m engapa suatu m ateri itu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan. Misalnya guru M atem atika m elakukan pem belajaran pada m ateri tentang kesebangunan pada RPP sebagai berikut:



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



1 1 1 5



| Contoh |



| |



Rencana Pelaksanaan Pembelajaran



| Mata pelajaran | Kelas/ semester | Pertemuan ke | Alokasi waktu j Standar kompetensi ^ Kompetensi dasar | | Indikator f | | | | | | | |



Matematika | IX / Ganjil 4 1, 2, 3, 4, dan 5 | 10 Jam Pelajaran (5 kali pertemuan) | Memahami kesebangunan bangun datar dan | penggunaannya dalam pemecahan masalah | : Menentukan perbandingan kesebangunan dua | bangun datar | : Mengenali dua bangun datar yang kongruen | atau tidak kongruen pada objek/benda yang | terkait dengan keseharian anak. ^ M em bedakan dua bangun d a ta r yang | sebangun atau tidak sebangun pada objek/ | benda yang terkait dengan keseharian anak. | M e n g h itu n g panjang sisi yang belum | diketahui dari dua bangun yang kongruen | atau sebangun pada objek/benda yang | terkait dengan keseharian anak. |



11.



Tujuan Pembelajaran



|



1.



|



M engenali dua bangun datar yang kongruen atau tidak |



|



kongruen yang terkait dengan keseharian anak dengan cara |



|



menyebutkan syarat-syaratnya.



|



2.



|



Membedakan dua bangun datar sebangun atau tidak sebangun |



|



pada objek/benda yang terkait dengan keseharian anak dengan |



|



cara menyebutkan syarat-syaratnya.



| | I



3.



|



M enghitung panjang sisi yang belum diketahui dari dua | bangun yang sebangun pada objek/benda yang terkait dengan | keseharian anak.



I



| II. Materi Ajar (Materi Pokok)



|



|



J



Kesebangunan



Im p le m e n ta s i p e m b e la ja ra n d e n g a n R P P di a ta s m ela lu i pem belajaran reflektif dilakukan oleh guru pada kegiatan apersepsi, proses, atau penutup, dengan cara m enanyakan m engapa kesebangunan itu perlu dikaji oleh anak (lebih jau h oleh m anusia). Dalam hal ini g uru m erefleksi k eseb an g u n an ke dalam b e n tu k keh id u p an keseharian anak. K hususnya m en g aitk an k eseb an g u n an dengan Memaknai Pendidikan Karakter



kehidupan m anusia. Ketika m ateri kesebangunan ini direfleksikan kepada kehidupan m anusia, m aka ada nilai yang dapat dikuatkan bagi anak, seperti nilai saling m enghorm ati terh ad ap perbedaan dan m enghargai atas kesam aan secara tepat. Proses m engkaitkan m ateri dengan su atu nilai yang terk an d u n g di belakang m ateri te rs e b u t in ila h y a n g d is e b u t se b ag a i p e m b e la ja ra n reflek tif. M aksudnya adalah m ateri yang dibahas oleh guru (dalam sem ua m a ta pelajaran) selalu direfleksi terh a d ap seb u ah nilai di balik m ateri dan kem udian dikaitkan dengan kem aslahatan kehidupan anak (lebih luas kehidupan m anusia).



B. Model Reflektif I. Asumsi Dasar Anak (peserta didik) adalah individu m anusia yang memiliki k em am p u an u n tu k m elihat jau h ke belakang d an m eneraw ang suatu kondisi vang diinginkan di m asa yang akan datang. Hal ini m erupakan su atu yang m enjadi fitrah m anusia, bahw a m anusia dapat m eneraw ang terhadap apa yang telah dilakukannya dan apa yang ingin dilakukannya. M anusia d ap at m eneraw ang terh ad ap m asa lalu yang telah d ialam in y a d an m am p u m em b ay an g k an tentang m asa depan yang diinginkannya. Selain itu, setiap m anusia p ada dasarnya memiliki kata hati/hati nurani. Hati nurani/kata hati adalah suatu anugrah yang diberikan Allah Yang M aha R ahm an dan M aha R ahim kepada m anusia. Dengan asum si inilah m aka kehidupan m anusia tidak akan pernah lepas dari proses refleksi. Asumsi di atas m engungkapkan bahw a m anusia memiliki sisi religi/keagam aan yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Setiap m anusia dim anapun akan m em pertanyakan m engapa dia ada dan u n tu k ap a dia ada. P ertanyaan inilah yang m enjadi salah satu kajian filsafat (ontologi-hakikat sesuatu). Ketika m anusia dilahirkan ke dunia d an m ulai berkem bang kem am puan berpikirnya, akan m uncul pertanyaan dalam dirinya, untuk apa ia lahir atau untuk apa ia hidup di dunia? Pertanyaan tersebut m enunjukkan bahw a m anusia akan selalu berpikir m engenai kondisi spiritual/batiniah di balik m ateri/keduniaan. Dalam Agama Islam, pem enuhan kebutuhan b a tin ia h b anyak terp e n u h i m elalui p ra k tik ib a d a h ritu al, baik Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



I



117



ib a d a h yang langsung b e rh u b u n g a n d engan Allah Swt. seperti shalat, shaum , ibadah haji, dan sebagainya, m aupun ibadah yang berhubungan dengan m ahkluk Allah seperti zakat, sodaqah, infaq, dan lain sebagainya. M ari kita pelajari bagaim ana pengalam an Nabi Ibrahim a.s. dalam proses pencarian Tuhannya yang diceritakan secara langsung oleh Allah Swt pada Surat Al Anam ayat 76-78.



Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “ inilah Tuhanku” . Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “ Saya tidak suka kepada yang tenggelam” . (76 )



Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “ Inilah Tuhanku” . Tetapi setelah bulan ‫؛؛‬٧ terbenam dia berkata: “ Sesungguhnya /‫ ﻫطﺎ‬Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” . (77)



Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “ Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar” , maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “ Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (78 )



Ayat itu m enunjukkan secara nyata, bahw a m anusia m em ang dik aru n iai rasa u n tu k m engabdi k epada T uhan. T u h an dengan m akna Dzat yang M aha K uasa yang m enciptakan segala sesuatu.



Memaknai Pendidikan Karakter



Refleksi m erupakan proses seseorang u n tu k m em aham i m akna di balik suatu fakta, fenom ena, inform asi, atau benda. Model reflektif



dalam bagian ini adalah model pembelajaran pendidikan karakter yang diarahkan pada pemahaman terhadap makna dan nilai yang terkandung di balik teori, fakta, fenomena, informasi, atau benda yang menjadi bahan ajar dalam suatu mata pelajaran. P e m a h a m a n s e s e o ra n g t e r h a d a p m a k n a d a n n ila i y a n g terkandung dalam suatu hal m em iliki hirarki/tingkatan. Tingkatan yang paling rendah dicirikan oleh kem am puan untuk m enjelaskan m engenai apa kaitan an tara m ateri dengan m akna. H irarki yang lebih tinggi adalah m enyadari m engenai adanya kekuasaan di luar m anusia atau m enyadari bahw a m anusia itu kecil dan bukanlah p em ilik k e k u a sa a n yang sejati. Level p e m a h a m a n yang ketiga adalah seseorang/anak term otivasi u n tu k m elakukan sesuatu dari hasil pem aham annya terh ad ap m akna/nilai yang dipelajari. Level keem pat adalah seseorang/anak m au m em praktikan nilai/m akna yang dia paham i dalam kehidupan kesehariannya. Level kelim a adalah anak m enjadi teladan bagi orang-orang di lingkungan terdekatnya. Level keenam adalah anak m au m engajak orang-orang terdekatnya u ntuk m elakukan m akna/nilai yang dia pelajari. Mengajak orang terdekat untuk berbuat/melakukan sesuatu yang baik atau menghindari yang jelek



T Menjadi teladan bagi lingkungan terdekat anak (di kelas, sekolah, rumah, masyarakat



Mempraktikkan nilai



Memotivasi dirinya sendiri untuk terus konsisten berperilaku terbaik



٢ Menyadari keberadaan adanya yang Maha Kuasa



Menjelaskan/menguraikan fakta/fenomena/benda



Gambar 3.6 Hirarki perilaku berkarakter



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



I l'



Pem belajaran reflektif bertujuan u n tu k m enguatkan d an m engem ­ bangkan nilai-nilai yang akan diperkuat melalui pem belajaran pada berbagai m ata pelajaran yang secara substansi tidak terkait langsung dengan nilai sam pai pada level paling atas, yaitu m engajak orangorang di lingkungan terdekatnya u n tu k m em praktikan nilai/m akna yang dipelajarinya dalam kehidupan keseharian. Pem belajaran reflektif ini dapat dipaham i sebagai praktik dari hidden curriculum secara nyata dalam bentuk layanan pem belajaran. N am u n dem ikian, jika guru tidak m em aham i m engenai hakikat d an asum si m engenai proses refleksi, m aka hidden curriculum ini tidak akan terim plem entasi dengan benar, bahkan m uncul proses dem agogi (salah ajar). Yang ak a n m u n cu l p a d a perilak u an a k bukan nilai kebaikan, tetapi nilai kejelekan atau nilai syaitaniyah (bersifat seperti setan).



2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Reflektif Prinsip pem belajaran adalah d asar atau asas yang dijadikan landasan dalam m elaksanakan pem belajaran. Prinsip pem belajaran m odel reflektif d ib a n g u n b e rd a sa rk a n p a d a p e m ik ira n ten ta n g hakikat berpikir reflektif. Prinsip-prinsip yang harus ditem puh untuk m engim plem entasikan pem belajaran reflektif adalah sebagai berikut. a.



b.



12 0



D asar interaksi pem belajaran a n ta ra guru dan peserta didik adalah kasih sayang. Kasih sayang m erupakan d asar pertam a yang h a ru s d itu m b u h k an p a d a guru d a n a n a k ketika akan m elan g su n g k an proses p em b elajaran . A rtinya jik a kegiatan belajar m engajar tidak didasarkan p ad a kasih sayang, m aka tidak akan terjadi proses reflektif. Dengan kata lain tidak akan terjadi proses transform asi nilai m enjadi suatu perilaku jika dasar interaksi bukan kasih sayang. Sikap d a n p e rilak u g u ru h a ru s m e n c e rm in k a n nilai yang dianut atau dirujuk oleh sekolah. Dasar interaksi yang kedua adalah keteladanan guru. Apa yang dilakukan oleh guru harus m encerm inkan/sesuai dengan nilai yang ingin diperkuat pada diri anak. Landasan yang kedua ini bukanlah hal yang m udah, karena seorang guru harus m enegaskan kediriannya secara tegas, santun, dan rendah hati. Barangkali landasan ini perlu untuk diperkuat sem enjak seseorang m enjalani proses kuliah sebagai pendidik di LPTK. I



Memaknai Pendidikan Karakter



c.



Pada hakikatnya proses belajar tidak hanya terjadi ketika anak m erekontruksi (m em ikirkan) lingkungannya, tetapi juga terjadi ketika anak m engalam i atau m erasakan suatu keadaan pada lingkungannya. A rtinya proses belajar d a p a t terjadi dengan lingkungan yang transendental/gaib. Semisal ketika anak m elihat rau t m uka yang sedih karena guru tersebut sedang diuji dengan kem atian salah satu anggota keluarganya. T iba-tiba m uncul dalam diri anak-anak peneraw angan terhadap bagaim ana jika hal tersebut terjadi pada dirinya atau keluarganya. Proses inilah yang disebut dengan lingkungan gaib/tidak dialam i secara nyata oleh anak, tetapi sebagai hasil pem ikiran anak yang m endalam , P andangan g uru terh a d ap peserta didik ad alah subjek yang se d an g tu m b u h d a n b e rk e m b a n g y an g p e rtu m b u h a n d a n perkem bangannya terkait dengan peran guru. Dalam hal ini, guru perlu untuk berpikir dan m erasa bahw a apa pun kondisi yang dimiliki dan dialam i dalam proses KBM, dia m em iliki p e n g a ru h yang cu k u p k u a t te rh a d a p tu m b u h kem b an g n y a perilaku anak. Jika saja guru tidak m em iliki rasa ini, m aka yang ak an m uncul adalah transm isi nilai/m akna negatif dari guru kepada anak, seperti sikap tidak peduli an ak terhadap sesam a m anusia, dan sebagainya.



3. Proses Pembelajaran Model Reflektif Proses p em b e laja ra n m odel reflektif d ilakukan oleh sem ua guru m ata pelajaran melalui integrasi m ateri-m ateri di setiap m ata pelajaran dengan nilai-nilai tertentu yang akan diperkuat m enjadi sikap anak. Pelaksanaan pem belajaran reflektif dapat terjadi pada setiap tahap dari tahapan proses pem belajaran. Misal ketika guru m em biasakan untuk m enyapa anak sebelum pem belajaran dimulai, secara reflektif guru tersebut m em belajarkan nilai keram ahan kepada peserta didiknya. T ahapan yang harus dilakukan oleh guru untuk m elaksanakan pem belajaran reflektif sebagai berikut. a. b.



M enyusun RP P berbasis karakter. Silahkan kaji kembali ram buram bu pengem bangan RPP pada Bab II. G uru m elakukan apersepsi yang kontekstual dengan kehidupan anak dan terkait dengan m ateri yang akan dibahas. Yang lebih tepat apersepsi bu k an u n tu k m engaitkan m ateri yang akan Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



i



121



dipelajari dengan m ateri yang sudah dipelajari sebelum nya, tetapi lebih pada m enyiapkan anak siap untuk belajar. Oleh karena itu, proses apersepsi tidak cukup hanya dengan m enanyakan k ep ad a a n a k m engenai m ate ri yang s u d a h dikaji b e rsa m a pada m inggu sebelumnya. Apersepsi yang lebih tepat dilakukan dengan m em fokuskan pikiran dan konsentrasi anak untuk siap m em asuki kajian yang lebih m endalam dari m ateri yang akan dibahas. c.



M elakukan pem belajaran sebagaim ana didesain dalam RPP. Dalam pelaksanaan kegiatan inti pem belajaran, guru m elakukan elaborasi terhadap berbagai m akna dari m ateri yang dibahas/ dikaji. Sem isal ketika m em b ah as m ateri "p ertu m b u h an d an perkem bangan p ad a m ahkluk hidup” pada m ata pelajaran Biologi kelas 8 sem ester 1. Setelah anak m engkaji m engenai m ateri, guru bertanya kepada anak, "apakah (anak-anak) m engetahui siapa yang m enghidupkan dan m engem bangkan m akhluk hidup? T erm asuk diri kita sem ua?” Pertanyaan tersebut m eru p ak an refleksi terhadap nilai ketauhidan (ketuhanan) yang terkandung di balik m ateri m engenai pertum buhan dan perkem bangan pada m akhluk hidup.



d.



M elakukan evaluasi yang dilakukan melalui pengam atan terhadap sejauhm ana nilai-nilai yang akan dikuatkan atau dikem bangkan m u n cu l d alam p e rilak u anak. B e n tu k perilak u itu a p a k ah perkataan, perbuatan, rau t m uka, karya, dan sebagainya. Lebih khusus m ateri tentang evaluasi ini akan dibahas p ad a Bab IV.



e.



M em berikan catatan khusus (anekdot) jika ada anak yang secara khusus memiliki perkem bangan perilaku yang berbeda dengan kelom poknya atau tidak sesuai dengan tahapan perkem bangnya, a p a k a h b e rs ifa t p o s itif m a u p u n n eg atif. C a ta ta n a n e k d o t m erupakan su atu hal yang penting bagi perkem bangan dan tin d a k a n (treatm ent) terh a d ap p erk em b an g an perilaku anak. Sebaiknya c a ta ta n an ek d o t d ib u k u k an dalam b e n tu k b u k u penghubung atau buku harian anak.



f.



M em berikan referensi/rujukan kepada guru lain, apakah guru BP a ta u wali kelas, o ran g tu a, a ta u b erb ag ai p ih ak yang berkepentingan yang dianggap layak untuk m enangani anak-anak yang dikategorikan memiliki kekhususan dalam perkem bangan nilai dan karakter. Memaknai Pendidikan Karakter



B erikut, contoh-contoh proses refleksi dalam berbagai m a ta pelajaran. Tabel 3.3 Contoh proses refleksi pada berbagai mata pelajaran



Mata Petajaran/Kelas/SK-KD/ Tujuan Pembelajaran/Materi



Corrtoh Refleksi



1.



Matematika/Kelas VII



Ketika guru selesai melakukan proses







SK: Memaham i sifat-sifat



inti pembelajaran, selanjutnya guru mengajukan pertanyaan kepada peserta didik sebagai b e riku t



operasi hitung bilangan dan penggunaannya dalam pemecahan masalah



"Anak-anak, siapakah yang dapat menghubungkan kegunaan antara materi operasi hitung dengan kehidupan keseharian kita?" Atau "Siapakah di antara kalian yang



• •



KD: Melakukan operasi hitung



m engetahui manfaat kita mepelajari



bilangan bulat dan pecahan. Salah satu contoh indikator:



materi operasi hitung untuk kehidupan kita?" Atau guru mengajukan suatu



Melakukan operasi pen­



kasus tentang bagaimana operasi



jumlahan, pengurangan,



hitung dapat memberikan manfaat bagi



perkalian, dan pem bagian



kehidupan anak. Contoh kasus:



bilangan bulat termasuk Salah satu contoh tujuan pem ­



Dalam 'suatu permainan, bila m enang diberi nilai 3, bila kalah diberi nilai



belajaran: setelah melakukan



-2, dan bila seri diberi nilai -1. Suatu



praktik langsung, peserta didik



operasi campuran •



dapat melakukan operasi



regu telah berm ain sebanyak 47 kali, 21 menang, dan 3 kali seri. Nilai yang



penjumlahan, pengurangan,



diperoleh regu itu adalah ....



perkalian, dan pem bagian bilangan bulat termasuk



guru menanyakan m engapa jika menang



operasi campuran.



ditam bah (+) dan jika kalah dikurangi



Setelah anak selesai m enjawab kasus ini,



(-)? Apakah hal ini berlaku juga untuk pekerjaan yang kita lakukan, semisal jika kita berbuat baik, maka kita akan m endapatkan tambahan (+) pahala dan jika kita berbuat baik, maka pahala kita akan dikurangi (-)?



Model-Mode! Pembelajaran Pendidikan Karakter



2.



IPA/Kelas V /



٠



Mata pelajaran: Biologi



SK :



M engidentifikasi fungsi



٠



organ tubuh manusia



٠



Materi: darah/sel darah Kegiatan pembelajaran: Siswa



dan hewan KD : 1.4 M engidentifikasi



menganalisis siapa yang m em buat darah manusia berfungsi atau tidak.



organ peredaran darah manusia 1.5 M engidentifikasi gangguan pada organ peredaran darah manusia



Contoh yang pem belajaran refleksi ini dilakukan oleh guru sebagai berikut: Setelah siswa-siswa di kelas m engelaborasi m ateri tentang darah (kom ponen, fungsi, dan karakteristik lainnya) kem udian di akhir sesi pem belajaran guru bertanya kepada anak. “Anakanak m enurut kam u siapakah sebenarnya yang m engatur darah di dalam diri m anusia dan m akhluk hidup lainnya yang m em iliki d a ra h ? ” K ebanyakan an a k -a n a k d e n g a n sp o n tan m enjaw ab "A llah...” n a m u n dem ikian beb erap a anak lain tidak m enjawab. Kondisi ini dipahm i oleh guru sebaga suatu kondisi yang m em erlukan penguatan karakter anak, yaitu karakter tentang berserah diri terhadap Allah Swt. yang M aha K uasa. K em udian guru m em in ta p ad a kelas (anak-anak) u n tu k m enjelaskan lebih lanjut, “coba siapa yang akan m enjelaskan bagaim ana kita m engetahui b ahw a Allah lah yang m en g atu r d a ra h yang b e ra d a di dalam tu b u h kita?” P ada saat itu belum ad a anak yang m am p u m enjaw ab pertanyaan guru. K em udian guru m em berikan pertanyaan pancingan lagi supaya anak-anak dapat merefleksi m engenai m ateri tentang “darah” ini m enjadi bagian dari penguatan k a ra k te r bagi anak. “N ah anak-anak, siap a seb en arn y a yang m enciptakan m anusia dan alam semesta?” Anak-anak kem udian m enjaw ab dengan spontan “A llah...” lalu guru kem udian bertanya lagi, “jika Allah yang m enciptakan sem ua m akhluknya, apakah Allah juga yang m engatur d arah di dalam diri m an u sia?” kem udian m erek a m enjaw ab lagi secara spontan “y a ...”. 12 4



I



Memaknai Pendidikan Karakter



Pada saat itu guru m em aham i bahw a suatu hal yang sulit untuk m em buktikan bagaim ana keterlibatan Allah Swt. dalam p e n g a tu ra n d a ra h m an u sia. K em u d ian dia m enjelaskan tentang proses penciptaan m anusia m ulai dari pertem uan sperm a dengan ovum. Dalam penjelasannya guru m engutip Q uran Surat Al-Alaq ayat 2:



“ Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah”



B erdasarkan refleksi tersebut kem udian guru m em inta anakanak di kelas untuk m encari pengetahuan atau w aw ancara kepada keluarga terdekat tentang “kaitan an tara darah dengan kesehatan dan kondisi darah dengan psikologi seseorang.”



4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Reflektif Evaluasi pem belajaran reflektif adalah evaluasi yang ditujukan u n tu k m elih a t se ja u h m a n a b e rb a g a i k a ra k te r d a n nilai yang dikem bangkan d ap at dim iliki oleh anak. Evaluasi ini dilakukan m elalui observasi te rh a d a p p erilak u anak. O bservasi dilakukan m elalui lisan, perbuatan, ra u t m uka, gerak badan, d a n berbagai hal lainnya. E v alu asi y an g p a lin g te p a t d a la m p ro se s reflek tif a d a la h observasi terhadap pem ikiran dan sikap anak. Lebih jauh m engenai pem bahasan evaluasi dalam pendidikan karakter ini dapat dipelajari pada "Bab IV Evaluasi Pendidikan K arakter”.



C. Model Pembelajaran Pembangunan Rasional I. Asumsi Dasar Model Pembangunan Rasional (MPR) Pada hakikatnya m anusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan m akhluk T uhan lainnya, salah satunya karena m anusia diberikan akal pikiran. Dengan akal pikirannya ia m enjalani kehidupan yang Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



lebih baik. Akal pikiran m erupakan karunia yang patu t disyukuri keberadaannya dengan cara digunakan sebaik-baiknya untuk m enjalani kehidupan ini m enjadi lebih baik, baik saat ini di dunia, m aupun nanti di akhirat. Asumsi ini juga berarti bahw a jika m anusia tidak m enggunakan akal pikirannya untuk m endapatkan kehidupan yang lebih baik, m isal perilaku m anusia m alah seperti binatang, m aka m anusia tidak lebih baik dari binatang. M engapa demikian? Binatang berbuat berbagai hal yang diluar akal-pikiran karena m ereka m em ang tidak dikaruniai akal pikiran. Lalu bagaim ana dengan m anusia? B ukankah ia dibekali dengan akal pikiran? Dengan asum si tersebut, m aka akal pikiran memiliki tugas yang cukup berat u n tu k m em berikan pertim bangan dalam m engam bil keputusan dari setiap keputusan yang harus dibuat oleh seseorang dalam m enjalani proses kehidupannya. Kelogisan (dapat dipaham i) d a n kerasionalan (m asuk akal) m enjadi sebuah u k u ra n penting u n tu k m en g h asilk an k e p u tu sa n -k e p u tu sa n seseorang. D em ikian h aln y a ketika seseo ran g b elajar u n tu k m e m u tu sk a n a p a k ah ia akan m em ilih “perilaku A” atau “perilaku B” m aka akal pikiran orang tersebut m elakukan proses pem ikiran. Proses inilah yang kem udian dijadikan kebiasaan dan kekuatan/kelem ahan seseorang d alam u k u ra n k em atan g an perilaku. A rtinya m an u sia diberikan kesem patan untuk belajar m em ilih d an m em ilah yang terbaik dari segala kondisi yang dihadapinya. Model Pem bangunan Rasional (MPR) dinam ai dem ikian karena fokus u tam a pem belajaran adalah kom petensi pem bangunan rasional, argum entasi, atau alasan atas pilihan nilai yang dibuat anak. Dalam hal ini, kita harus m engasum sikan bahw a anak didik adalah anak yang sedang berk em b an g proses berpikirnya. M em iliki rasional yang kokoh dan selalu diuji sepanjang penghidupan seseorang jelas penting u n tu k keberfungsian akal d an pik iran m anusia. Sistem karakter yang lengkap harus m engikutsertakan aspek rasional atau kognitif ini, di sam ping aspek em osi atau perasaan dan perbuatan. Kondisi kehidupan m asyarakat Indonesia yang plural, yang an tar sistem ideologinya sangat m em ungkinkan terjadinya benturan nilai sehingga d ap at m engacaukan sistem nilai yang d ian u t seseorang atau sebuah kelom pok sosial, jelas-jelas akan sangat m em butuhkan k em am p u an u n tu k m em b an g u n b erpikir rasional dalam rangka Memaknai Pendidikan Karakter



m engisi, m enyelam atkan dan m engem bangkan jati diri individu d an kelom pok sosial. Selain itu, individu m anusia h aru s hidup dalam lingkungan m akna-m akna dan nilai-nilai kehidupan yang dibangunnya sendiri, di sam ping yang diperolehnya dari kitab suci (seperti Ai-Quran) secara dogm atis, agar kehidupannya lebih berarti d an produktif. Seseorang yang m em baca Al-Quran, tetapi tidak m em aham i apa yang dibacanya sangat m em ungkinkan perilakunya bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Situasi ini m enuntut individu untuk dapat m am pu m engem bangkan kem am puan rasionalnya. Yang berm akna adalah m anakala akal pikiran m anusia ini dijadikan sebagai alat untuk m encari kehidupan yang lebih baik berdasarkan logika dan rasionalitas yang dilandasi prinsip K etuhanan. Disamping memiliki keunggulan dalam m em bangun kesadaran m o ral seseo ran g , m o d el p e n g e m b a n g a n ra sio n a l ini m em iliki kelem ahan. Hal ini harus diwaspadai dan diantisipasi oleh pendidik. K elem ahan utam anya adalah sehubungan dengan tum puannya yang terlalu berat pada aspek kognitif atau rasionalitas m anusia. Dalam konteks itu, m a n u sia d a p a t m en ja d ik a n d irinya sebagai tu h a n sebagaim ana yang telah dilakukan oleh Firaun. Ketika keim anan tipis a ta u ru sa k m ak a individu d a p a t m endew a-dew akan akal, m enuntut segala hal harus m asuk akal. Fenom ena akan hal ini telah banyak m enggejala pada kalangan generasi m uda saat ini, di m ana orientasi pekeija baik pada pegawai negeri (PNS) m au p u n pegawai sw asta bukan lagi kem uliaan dan ketaqw aan, tetapi lebih kepada harta, kehorm atan, dan kekayaan. Tentu saja akal pikirannya dijadikan dirinya berpikir bahw a segala sesuatu yang telah terjadi tidak atas cam pur tangan Tuhan, tetapi m erupakan kekuasaan dirinya atau m ajikannya. Sungguh sangat berbahaya pikiran-pikiran sem acam ini karena m enjadikan m anusia yang serba lem ah sebagai pusat berpikir. Artinya, dia m enggantungkan diri (pikirannya) k e p a d a se su a tu yang lem ah. D isinilah posisi bahayanya seseorang yang m enggantungkan diri kepada dirinya bukan kepada Tuhannya. Semisal, “kawin antara sesam a jenis pun m enjadi boleh/legal.” Yang begini suatu saat kawin dengan ibunya/ bapaknya atau dengan binatang sekalipun m enjadi boleh selam a pikirannya m enganggap hal tersebut suatu hal yang menyenangkan. Modei-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



I



127



M anusia ak an tenggelam dalam kesenangan tan p a m elihat lagi norm a/nilai yang m engikat keharm onisan alam /kehidupan dunia. Model ini dapat diberlakukan pada sem ua tingkat perkem bangan anak, baik a n a k usia TK, SD, SM P, m a u p u n SMA/K. N am u n dem ikian, jika pem b an g u n an rasional ini hendak dikem bangkan pada anak-anak tingkat rendah (TK dan SD), m aka perlu dipaham i bahw a perkem bangan berpikir anak tingkat rendah m asih berpikir konkret. K arena itu diperlukan kepandaian guru untuk m eneraw ang proses berpikir anak. K em ana arah berpikirnya? Apakah m enyalahi nilai atau konsisten dengan nilai yang dianutnya.



2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Model Pembangunan Rasional (MPR) Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pem bangunan rasional anak adalah sebagai berikut. a.



Logis b erarti d ap at dipaham i. Artinya proses pengem bangan rasional anak harus dibaw a kepada tahapan kem am puan berpikir anak yang dapat dipaham i oleh anak. M engajak berpikir tentang m engapa seorang anak SD h aru s berinfaq atau bershadaqah dengan alasan bahw a infaq atau shadaqah itu diperintahkan d a la m A l-Q uran, m e ru p a k a n c o n to h p ro ses p e m b a n g u n a n rasional yang tidak dilandaskan pada prinsip kelogisan. Artinya tidak logis m engajak anak SD untuk berpikir m enganalisis ayat Al-Quran untuk dijadikan referensi pikirannya dalam memilih “m elakukan shadaqah” atau “tidak akan m elakukan shadaqah."



b.



Rasional berarti m asuk akal. Dalam konteks pem bangunan rasional anak didik perlu untuk diajak m em aham i suatu perkara dari sisi rasionalitas. W alaupun dem ikian, dalam konteks tertentu, ra sio n a lita s ini tid a k m en jad i m u tlak , k a re n a a d a b anyak k e te rb a ta sa n potensi b e rp ik ir m a n u sia u n tu k m em e ca h k a n m asalah. Yang karena keterbatasan tersebut, m an u sia h a m s m enjadi bersyukur. K arena k eterbatasan tersebut m erupakan kasih sayang T uhan Yang M aha Esa terhadap m anusia. Semisal, m anusia tidak m em iliki inform asi m engenai kapan dia akan meninggal. Jika saja seseorang hidup dan dia m engetahui dengan pasti kapan, di m ana dan bagaim ana ia akan meninggal, m aka



sudah barang tentu, selam a hidupnya ia akan berada dalam kondisi stres, terlebih m endekati w aktu m eninggalnya, ia akan sangat stres. Dengan dem ikian, m erupakan suatu keuntungan bahw a m anusia tidak m engetahui kapan dan di m ana ia akan m eninggal. K eterbatasan ini m eru p ak an su atu k aru n ia yang m em ang perlu si paham i secara arif bahw a m anusia adalah m anusia yang serba terbatas. c.



Sistem atis m em iliki arti bahw a pengem bangan rasional an ak h a ru s d ib aw a u n tu k b e rp ik ir sistem atis, seh in g g a ia a k a n lebih m u d ah m encari pem ecahan m asalah, baik bagi dirinya, keluarganya, m au p u n m anusia pada um um nya.



d.



Sistemik memiliki arti bahw a pengem bangan rasionalitas berpikir an ak h a ru s dibaw a p a d a b erpikir secara m enyeluruh, tidak parsial. Dengan berpikir m enyeleuruh, m aka anak akan dibaw a u ntuk berpikir kom prehensif, sehingga hal-hal yang dim ungkinkan terjadi d ap at terprediksi lebih awal. Dalam kondisi ini, anak akan m enjadi antisipator yang andal.



3. Proses Pembelajaran Model Pembangunan Rasional (M PR) Proses pem bangunan rasional dilakukan dengan m em perhatikan proses sebagaim ana dikem ukakan oleh Shaver (Hersh, Miller, & Fielding, 1980:38), yaitu: 1) identifikasi nilai dan klarifikasi nilai, generalisasi label/nama, 2) analisis konflik nilai, dan 3) pem buatan keputusan yang tepat. Identifikasi Nilai dan Klarifikasi Nilai. Asumsi yang dikem ukakan Shaver bahw a “nilai akan m em bantu m em bentuk perilaku.” Proses ini adalah proses kognitif, yakni proses individu berupaya m enem ukan dan m em aham i nilai-nilai yang berada di lu ar dirinya atau yang sudah dimilikinya. D alam konteks interaksi M PR di kelas, anak difasilitasi u n tu k m enem ukan nilai-nilai yang dianut/diyakini oleh dirinya sendiri, tem an-tem annya, guru-gurunya, m asyarakat, dan orang tua. Proses kognitif yang d im aksud m eru p a k an up ay a m em b u at nilai-nilai m enjadi eksplisit (jelas) bagi individu (anak). D engan Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



m enjadi eksplisit, nilai-nilai berfungsi sebagai arah dan pem bentuk karakter individu, ?roses ini dilakukan dengan m em pertanyakan segala sesuatu yang dialam i oleh anak. Misal, apa nilai-nilai, apa cita-eita, atau apa kewajiban? Contoh bentuk pertanyaan ini secara konkret adalah, apa itu m enghargai orang lain? Siapa T uhan itu? Di m ana T uhan berada? M engapa harus m elaksanakan perintahperintah Tuhan? Apa itu berim an? M engapa harus berim an? Apa itu dem okrasi? M engapa dem okrasi m enjadi sebuah pilihan? Pertanyaan penting lainnya, di san^ping pertanyaan-pertanyaan di atas, seberapa jau h nilai-nilai tertentu berfungsi dalam kehidupan saya atau m asyarakat? A ntara n.‫؛‬lai yang satu dengan yang lainnya dapat berkonflik. Sebagaim ana nilai yang terkandung dalam kata “jihad” saat ini ‫ ه‬Indonesia. Selain adanya upaya pelem ahan terhadap nilai “jihad,” nilai ‫ ﻟﻂ‬dapat dikonflikkan dengan nikri-nilai lain, seperti “indahnya k ebersam aan”. Akibatnya, sebuah nilai yang dianggap lebih b e r h a l a dapat ‫س‬ berlaku sam a sekah atau keberlakuannya berlaw anan atau bahkan kekacauan nilai. Identifikasi dan klarifikasi nilai-nilai tersebut akan m em bantu individu m em perjelas situasi ini. Generalisasi Label. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah generalisasi label. A sum sinya a d a la h b a h w a an a k itu h id u p di tengah m asyarakat yang terbangrrn oleh sebuah sistem nilai tertentu, m isalnya nilai-nilai dem okrasi d a n nilai-nilai religius. Nilai-nilai yang dianut anak perlu dikaitkan dengan nilai-nilai dasar tersebut. D alam pro sesn y a a n a k m em u n g k in k an b e rp e n d a p a t sam a a ta u bertentangan dengan nilai-nilai, yang dianut m asyarakat tersebut. Dalam proses terseb u t gur'u p erlu m em b an tu an a k m em andang dan berpikir secara jernih d an te{~>at m engapa nilai-nilai tersebut a d a d a n d ip erlu k an u n tu k k eh id u p an yang lebih baik. D engan dem ikian generalisasi label adalah proses m em adukan a n ta r label atau antarnilai yang ada. Dalam proses yang nyata, sebetulnya bukan hanya penghubungan antarnilai yang dianut anak dengan nilai yang dianut m asyarakat, tetapi m erupakan suatu pengujian sistem nilai mdividu atau siswa dengan sistem nilai yang sudah berkem bang dalam m asyarakat atau dengan sistem nilai yang terkandung dalam kitab suci. Misal, anak dibaw a u ntuk m enganalisis nilai “jihad” apakah perlu untuk dianut atau harus dihindari karena bertentangan dengan nilai yang ada di m asyarakat, seperti nilai dem okratis. Apakah kedua nilai tersebut



‫ا ه?ا‬



Memaknai Pendidikan



bertentangan atau saling m enguatkan satu sam a lain m erupakan proses yang harus dijawab dalam proses generalisasi label. A nalisis K onflik N ilai. A sum sinya a d a la h b a h w a p u tu sa n putusan m oral m elibatkan konflik antarnilai. Proes ini dilakukan dengan m engkaji konsekuensi-konsekuensi dari sebuah perb u atan atas sebuah nilai m oral, sehingga anak m enem ukan cita m oral yang dikom prom ikan. Misal, anak ingin m enolong orang lain yang kelaparan sem entara dia sendiri m em iliki uang yang jum lahnya hanya cukup u ntuk ongkos adalah situasi konflik. B agaim ana proses ini harus dilalui anak? Dalam situasi ini, keseim bangan an tar nilai banyak disarankan orang. N am un m enjadi m enarik dalam proses ini jika kita m em pelajari sejarah/tarikh para sahabat, di m ana m ereka m em ikirkan untuk tidak seim bang antarnilai. Seperti ketika sahabat Abu B akar Shidik yang m enginfakkan sem ua h a rta n y a u n tu k keperluan perang dan tid ak m enyisakan u n tu k keperluan diri dan keluarganya. Analisis konflik nilai dalam konteks pengalam an p ara sahabat Nabi M uham ad Saw. didasarkan pada keutuhan nilai K etuhanan. Jika individu m em belanjakan hartanya di jalan Allah Swt., m aka ia akan m endapatkan pengganti yang berlipat-lipat. Dalam konteks terentu, sangat m em ungkinkan seorang guru berhadapan dengan anak-anak yang memiliki keutuhan nilai K etuhanan, sehingga konflik nilai m enjadi kurang logis pada sebagian orang tetapi m enjadi logis bagi dirinya. K etika p a ra sisw a m enilai im plikasi-im plikasi, konsekuensikonsekuensi yang m ungkin, dari p u tu san m oral m ereka, m ereka perlu m em andang konsep-konsep m oral sebagai konstruk-konstruk yang dim ensional ketim bang kategoris. Yakni, m ereka harus belajar m em perlakukan nilai-nilai m oral sebagai derajat-derajat dari kondisi yang diharapkan sepanjang sebuah kontinuum , ketim bang ajaran yang bersifat sepenuhnya atau tidak sam a sekali. Inilah ilustrasi yang disebut bahw a anak sebagai "subjek" belajar bukan “objek” sem ata. Anak dibim bing u n tu k m am pu m em ikirkan secara tepat d an benar m engenai ap a yang harus dan tidak harus dilakukan. Jika kita m em bayangkan tentang bagaim ana proses konflik nilai yang teijadi ketika seorang Amrozi m em utuskan untuk m elakukan bom bunuh diri. M aka kita dapat m enganalisis lebih lanjut, m engenai perlunya kem am puan individu untuk m am p u m em ikirkan untuk Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



m em ilih m an a yang tepat dan b en ar dan m an a yang tepat tapi tidak benar atau m ana yang tidak tepat tapi benar. Pikiran-pikiran akan hal tersebut m erupakan konflik nilai yang cukup m endasar bagi kalangan m uslim . B ahkan, saat ini cenderung m erebak di kalangan pem uda muslim. K om itm en-kom itm en nilai jarang bersifat m u m i d an absolut. K om itm en nilai yang ab solut b anyak d itu n tu t oleh kitab suci. K arena keabsolutan inilah, sebagian pihak m enjadikan kitab suci sebagai alat untuk m endogm a pengikutnya untuk m elakukan atau tid a k m elakukan sesuatu. P e rjin a h an d a n yang sejenis absolut dih aram k an m en u m t kaum m uslim yang sum bernya adalah AlQ uran. D alam situ asi ini kom p ro m i a n ta rn ila i tid a k terd a p at. Salah satu bentuk “kom prom i” (sebetulnya bukan kom prom i) yang sering terd en g ar dalam kalangan m uslim bunyinya kurang-lebih sebagai berikut: "bagimu agam am u dan bagiku adalah agam aku”. Ini adalah situasi koeksistensi an tara dua sistem nilai yang tidak dap at dikom prom ikan. K ulm inasi konflik nilai ini m erujuk pada pem berlakuan syariat agam a dalam tatanan negara. Akan hal ini perlu diskusi panjang, nam un tidak m enjadi kajian khusus dalam buku ini. K am i m enekankan bahw a p ara guru harus m enyadari berbagai konflik nilai yang berkem bang saat ini d a n diprediksi akan terus berkem bang di m asa yang akan datang. Pengambilan P utusan. A sum sinya b ahw a sebuah nilai d ap at m enjadi prioritas bagi individu/anak terten tu d a n tidak m enjadi prioritas bagi individu/anak lainnya. M ari kita analisis kembali cerita anak yang konflik nilai a n ta ra m enolong orang yang kelaparan dengan pulang jalan kaki? Pada akhir analisis situasi dan kondisi, individu/anak harus m em buat putusan. M ana yang harus diam bil oleh anak akan sangat dipengaruhi m an a prioritas nilai yang dimiliki anak. Dalam konteks tersebut guru sebaiknya m em berikan penguatan u n tu k m em pertim bangkan secara m atang m engenai konsekuensikonsekuensi dari suatu putusan. Adalah hal yang kurang tepat jika gurulah yang m em utuskan untuk anak m engenai apa yang harus dilakukan oleh anak, karena an ak tidak ak an belajar m engenai b agaim ana sebuah k eputusan terb aik h a ru s diam bil selain juga m enguatkan ketergantungan anak kepada gurunya.



Memaknai Pendidikan Karakter



Putusan ada yang sifatnya m erupakan tradeoff, tidak ada rotan akar p u n jadi. H ari ini saya akan pulang jalan kaki, besok saya bisa naik bus lagi, dan hari ini saya sudah dapat m enolong orang yang kelaparan. Kom pleksitas sebuah keputusan yang diam bil anak dapat dianalisis dari nilai apa yang m enjadi prioritas bagi anak. Atau sebaliknya, jika kita ingin m engetahui nilai apa yang m enjadi prioritas anak, m aka lihatlah kaitan an tara p u tusan yang dibuat a n a k d engan nilai yang terk a n d u n g di balik p u tu sa n tersebut. Barangkali putusan “daripada m engalam i konflik lebih baik hidup b erd a m p in g a n dengan d a m a i” p u n m eru p a k an seb u ah tradeoff. Dalam konteks tersebut, selam a tidak terkait dengan nilai absolut yang tertuang dalam kitab suci, m aka guru harus memfasilitasi anak u n tu k m enim bang secara m atang m engenai putusan yang harus diam bil. N am un jika terkait dengan nilai absolut, seperti apakah anak harus ikhlas atau tidak (ikhlas=m endasarkan sem ua tindakan kepada Tuhan, bukan kepada yang lainnya), m aka sudah barang tentu tidak ada kom prom i akan hal itu, karena ikhlas m erupakan bagian dari ajaran dalam kitab suci. C ontoh p ro ses p e m b e la ja ra n d e n g a n m e n g g u n a k a n m odel pem bangunan rasional. Pada suatu har i guru agam a m erasa kebingungan untuk m encapai suatu kondisi di m ana anak-anak m enjadi terbiasa m elakukan shalat wajib. Berdasarkan pengalam an yang telah lalu (tahun sebelumnya), biasanya anak-anak ketika diuji dengan bacaan dan gerakan shalat m ereka sangat terampil. N am un, ketika ditanyakan apakah m ereka terb iasa sh alat w ajib? Atau “a p a k ah an ak -an ak a m erasa b u tu h dengan shalat?” Hal ini berbeda hasilnya dengan hasil tes bacaan dan gerakan shalat, bahkan berbanding terbalik. M engatasi hal tersebut, penulis m encoba berdiskusi dengan guru agam a dan guru PKn. U ntuk m engetahui apa kira-kira pengalam an yang harus dialam i oleh anak u n tu k dapat m em iliki rasa butuh terhadap shalat atau terbiasa m elakukan shalat wajib lim a waktu. P a d a s a a t itu p e n u lis m e n c o b a m erev iu a p a yang s u d a h dilakukan oleh guru agam a dalam pem belajaran m engenai shalat. Kem udian guiu m enjelaskan secara detil. Dari penjelasan tersebut, penulis m em aham i bahw a apa yang dilakukan guru sebenarnya belum m em berikan pengalam an kepada anak m engenai bagaim ana anak m erasakan keindahan shalat. Jika itu terlalu sulit, barangkali



Model-Mc



١Pembelajaran Pendidikan Karakter



A



anak perlu m engelaborasi bagaim ana pengalam an orang lain yang sudah m erasakan nikm atnya shalat. Proses pem belajaran dilakukan dengan cara anak m em bangun secara rasio n al m engenai "m engapa shalat itu d ip erlu k an bagi m an u sia ? ” U ntuk m en d a p a tk a n jaw a b an ini, an ak -n ak d im in ta u n tu k m elakukan observasi dan w aw ancara kepada orang yang shalat dan dinilai oleh anak itu shalatnva berm akna (orang tersebut m erasa butuh). Hal itu k em udian d ipraktikan oleh guru agam a, prosesnya sebagai berikut. "Nah anak-anak, kita sudah belajar tentang bagaim ana shalat (bacaan dan gerakan), sekarang kita m encoba m em pelajari m engapa shalat itu diperlukan oleh m anusia yang beragam a Islam. Adakah di an tara anak-anak yang m engetahui m engapa kita (um at islam) diw ajibkan u n tu k m elakukan shalat lim a w aktu?” P ada saat itu banyak anak-anak memiliki pandangan yang sam a seperti ilustrasi orang yang m em bersihkan dosa-dosanya selam a lim a kali sehari, tentu akan m endapati dirinya lebih bersih dari dosa-dosa. Hal ini belum m em bangun rasional lebih dalam dari anak-anak. G uru k em udian m em berikan ilustrasi m engenai pengalam annya ketika m endapati sahabatnya yang sungguh-sungguh dalam shalat, dilihat dari persiapan dan proses vang dilakukan sahabat tersebut ketika shalat. Setelah elaborasi itu, guru kem udian bertanya kepada anak, “ap akah ad a di an tara kalian yang pernah m elihat orang yang shalat sambil m enangis?” Beberapa orang m enjaw ab pernah, tetapi kebanyakannya belum pernah. Melihat hal tersebut, m aka guru memiliki peluang untuk m em bangun rasional anak secara nyata, m engapa shalat itu dibutuhkan oleh seorang muslim. K em udian guna m em inta kepada anak-anak yang sudah pernah m elihat u ntuk m engem ukakan pendapatnya, kira-kira m engapa orang tersebut shalat sam bil m enangis? Apakah karena sedang d iru n d u n g m usibah? A pakah k a re n a sedang m enikm ati pengakuan dosa dan dia m em in ta am p u n a n dari Aliah m elalui sh alat terseb u t? A pakah dia m era sak a n b a h w a dirin y a sedang berkom unikasi dengan Allah swt.? Pada dasarnya anak-anak yang pernah m elihat tersebut belum dapat m engem ukakan hal-hal rasional terkait dengan alasan m ereka shalat sam bil m enangis (m encucurkan air m ata). i 34



I



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Di akhir pem belajaran guru m em berikan tugas kepada anakanak u n tu k m elakukan observasi dan w aw ancara kepada orang yang terdekat dengan dirinya m engenai pengalam an m ereka dalam m enjalankan shalat. Atau m ereka m engobsenasi dan m ew aw ancara orang lain yang berad a di m asjid. K ebetulan sekolah m em iliki m asjid yang cukup besar dan sering digunakan oleh m asyarakat um um pada waktu-w aktu shalat wajib.



4. Evaluasi dalam Pembelajaran Model Pembangunan Rasional (M PR) Evaluasi dalam m odel p em bangunan rasional p ad a akhirnya ditujukan untuk m engetahui tingkat ketepatan dan kebenaran putusan vang dibuat oleh anak. Sem entara putusan belum m uncul, evaluasi ditujukan untuk m engetahui ketepatan dan kebenaran m engenai apa saja yang dipertim bangkan oleh anak dalam m enganalisis konflik antarn ilai. P en g g u n aan M PR dalam pen d id ik an nilai m em b u a t pendidikan m enjadi situasi pengajaran yang khasnya adalah pengajaran kognitif. Situasi intinya adalah situasi siswa m em buat jelas nilainilai yang ada dan yang harus m enjadi m iliknya sendiri. Situasi ini adalah situasi siswa memiliki argum entasi atau pertanggungjaw aban rasional atas nilai-nilai yang dimilikinya. Evaluasi dalam M PR b e ru p a evaluasi kinerja sisw a dalam m e m p e rta n g g u n g ja w a b k a n n ila i-n ila i y an g d ia n u t a ta u h a ru s dianutnya. Alasan-alasan vang m uncul ketika anak m engem ukakan suatu gagasan, kritik, sanggahan m erupakan kom ponen yang menjadi penilaian proses. Sedangkan penilaian akhir dilakukan melalui evaluasi kinerja siswa. K ineija siswa dapat tam pak dalam situasi diskusi, atau dalam bentuk karya tulis yang dibuat siswa yang kem udian didiskusikan dengan tem an-tem annya di baw ah bim bingan guru. Bentuk evaluasi lainnya adalah melalui tes kognitif.



Model-Model Pembelajaran Pendidikan Karakter



Langkah-langkah menjabarkan indikator karakter. 1. Mendefinisikan atau memberi makna secara khusus kepada karakter yang dimaksud.



y | I |



2. Mengelaborasi terhadap substansi makna yang terkandung dalam karakter tersebut melalui suatu hirarki perilaku.



| |



3.



Menyusun indikator karakter ke dalam bentuk rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai oleh anak sesuai tahap perkembangannya.



| | |



4. Menyusun indikator dari karakter tersebut ke dalam bentuk rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang harus dikuasai oleh anak sesuai tahap perkembangannya



| |



Memaknai Pendidikan Karakter



J



Evaluasi



Pendidikan Karakter



A. Evaluasi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter sebagai suatu proses interaksi peserta didik dengan lingkungan pendidikan akan sulit diketahui tingkat keberhasilannya apabila tidak dikaitkan dengan evaluasi hasil. Apakah anak sudah memiliki karakter “ju ju r” atau belum , m em erlukan suatu evaluasi. Jadi evaluasi u n tu k p en didikan k arak ter m em iliki m ak n a su atu proses untuk m enilai kepem ilikan suatu karakter oleh anak yang dilakukan secara terencana, sistematis, sistemik, dan terarah pada tujuan yang jelas. D alam konteks terten tu , k ata “evaluasi” m enjadi kata yang banyak dikhaw atirkan oleh para guru, khususnya guru yang m engajar p ad a m ata pelajaran yang di UN-kan. Evaluasi secara nasional yang saat ini dilakukan melalui proses “Ujian Nasional” memiliki dam pak psikologis yang m eresahkan bagi p ara guru, kepala sekolah, orang tua, dan juga anak yang bersangkutan. Dalam kajian bab ini, kam i tidak akan m engulas secara khusus m engenai evaluasi dalam konteks pendidikan nasional, tetapi akan lebih fokus pada evaluasi dalam pem belajaran. Evaluasi Pendidikan Karakter



I



137



Terkait dengan evaluasi, ada beberapa kata yang sering digunakan secara silih berganti, tum pang tindih, bahkan tidak jarang salah m akna. Beberapa kata yang dim aksud adalah evaluasi, pengukuran (m easurem ent), d an tes. K etiga istilah ini m em iliki kaitan yang erat, nam un berbeda satu sam a lain. Evaluasi m erupakan upaya u n tu k m en g e tah u i k ead aan su a tu obyek d en g an m en g g u n ak an alat (instru m en ) te rte n tu d a n m em b an d in g k an hasilnya dengan standar tertentu untuk m em peroleh kesim pulan. Kegiatan evaluasi m em erlu k an pen g g u n aan inform asi dari hasil p en g u k u ran atau tes. Pengukuran adalah upaya u n tu k m engetahui keadaan/kondisi sesuatu. Dalam pengukuran tidak ada proses m em bandingkan hasil pengukuran dengan standar tertentu. Inform asi hasil pengukuran belum memiliki m akna yang m endalam , tetapi baru m endeskripsikan hasil dari suatu tes/instrum ent. Sedangkan tes m erupakan upaya u n tu k m enggunakan suatu alat pada suatu objek, dalam hal ini peserta didik. Ketiga istilah tersebut memiliki m akna yang berbeda dalam konteks pendidikan karakter, sebagaim ana uraian di atas. Evaluasi untuk pendidikan karakter dilakukan untuk m engukur apakah anak sudah memiliki satu atau sekelompok karakter yang ditetapkan oleh sekolah dalam kurun waktu tertentu. Karena itu, substansi evaluasi dalam konteks pendidikan karakter adalah upaya m em bandingkan perilaku anak dengan standar (indikator) karakter yang ditetapkan oleh guru dan/atau sekolah. Proses m em bandingkan an tara perilaku anak dengan indikator karakter dilakukan melalui suatu proses pengukuran. Proses pengukuran dapat dilakukan melalui tes tertentu atau tidak melalui tes (nontes). Tujuan evaluasi pendidikan karakter. Evaluasi pendidikan karakter ditujukan untuk: 1.



2. 3.



m engetahui kem ajuan hasil belajar dalam bentuk kepemilikan sejum lah indikator karakter tertentu pada anak dalam kurun waktu tertentu; m engetahui kekurangan d an kelebihan desain pem belajaran yang dibuat oleh guru; dan m engetahui tingkat efektivitas proses pem belajaran yang dialami oleh anak, baik pada seting kelas, sekolah, m aupun rum ah.



Berdasarkan tujuan pendidikan karakter di atas, dapat dipaham i b ah w asan n y a evaluasi p e n d id ik an k arak ter tidak terb atas p ad a Memaknai Pendidikan Karakter



pengalam an anak di kelas, tetapi juga pengalam an anak di sekolah dan di rum ah. Tentu saja hal ini terbatas pada pengalam an belajar anak yang didesain secara khusus oleh guru. Dalam hal ini, desain RPP yang d ib u at oleh guru m em a n g betu l-b etu l m eru m u sk a n pengalam an belajar anak di rum ah. Artinya evaluasi belajar anak di rum ah tidak dilakukan jika m em ang guna tidak m endesain adanya pem belajaran di rum ah. Fungsi evaluasi pendidikan karakter. Hasil evaluasi tidak akan memiliki dam pak yang baik jika tidak difungsikan semestinya. Ada tiga hal penting yang m enjadi fungsi evaluasi pendidikan karakter, yaitu: 1. berfungsi untuk m engidentifikasi dan m engem bangkan sistem pengajaran (instnictional) yang didesain oleh guru; 2. berfungsi untuk m enjadi alat kendali dalam konteks m anajem en sekolah; dan 3. berfungsi untuk m enjadi bahan pem binaan lebih lanjut (remedial, pendalam an, atau perluasan) bagi guru kepada peserta didik. Langkah-langkah m enjabarkan indikator karakter. B agaim ana kita m engetahui isi suatu karakter secara lebih detail? Kajian ini m encoba m engupas hal tersebut. Sebagaim ana diketahui bahw a k a ra k te r itu sifat seseo ran g yang p erlu d itu m b u h k e m b a n g k a n melalui proses pendidikan, m aka pendidik h am s m engetahui secara lebih m endalam m engenai substansi su atu karakter, bagaim ana memfasilitasi tum buhkem bangnya, dan bagaim ana mengevaluasinya. Untuk m enjabarkan suatu karakter, m aka perlu dikaji definisi isi karakter tersebut. Misal karakter yang ingin dikem bangkan oleh sekolah/orang tua adalah “pribadi unggul”. Langkah pertam a yang ham s dilakukan adalah m endefinisikan atau m em beri m akna secara khusus yang dim aksud dengan “pribadi unggul” itu apa? Sem akin jelas m akna yang terkandung di dalam k arakter tersebut, m aka sem akin m udah untuk m enjabarkan indikatornya. Langkah kedua adalah m elakukan elaborasi terhadap substansi m akna yang terkandung dalam karak ter tersebut m elalui suatu hirarki perilaku. Semisal kita m enguraikan karakter tersebut dengan m enggunakan form at dari T. Lickona, yaitu m oral knowing, m oral feeling, dan m oral action atau m enggunakan hirarkhi perilaku yang dikem bangkan oleh Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan psikom otor, atau hirarki yang lainnya.



Setelah merefleksi suatu karakter m enjadi suatu hirarkhi perilaku, m aka langkah ketiga adalah m enyusun indikator dari karakter tersebut ke dalam bentuk rincian khusus suatu indikator hasil belajar yang h aru s dikuasai oleh an ak sesuai tah ap perkem bangannya. Perlu m enjadi catatan, bahw a yang dinam akan kom petensi m encakup suatu yang utuh, yakni m eliputi cipta, rasa, dan karsa atau pengetahuan perasaan d an tindakan m enurut Lickona, atau dalam pandangan Bloom m encakup kognitif, apektif, dan psikom otor. Selain itu, akan sangat banyak indikator dalam suatu karakter, bahkan tum pang tindih satu sam a lain, karenanya perlu u n tu k m encari indikator yang esensi. P e n c a rian m a n a in d ik a to r yang esensi sebaiknya dilakukan m elalui diskusi pihak sekolah (kepala sekolah dan guru) dengan stakeholder-nya (komite sekolah dan orang tua), khususnya orang tua siswa. Jika langkah ketiga selesai, langkah keem pat adalah m enjabarkan indikator karakter m enjadi indikator penilaian. Indikator penilaian adalah rum usan m engenai pokok-pokok perilaku yang dapat dijadikan rujukan untuk m enilai ketercapaian suatu karakter. Langkah-langkah tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut: T a b e l 4.1



Langkah-langkah penjabaran indikator suatu karakter



Langkah-langkah penjabaran karakter menjadi indikator



Contoh



Langkah I mendefinisikan atau mem beri makna secara khusus terhadap karakter yang akan diwujudkan menjadi perilaku anak.



Sekolah menentukan "pribadi Unggul" sebagai karakter bagi setiap peserta didik di sekolah yang bersangkutan.



Langkah I! melakukan elaborasi terhadap substansi makna yang terkandung dalam karakter terseb ut melalui suatu hirarki perilaku.



Pribadi unggul memiliki arti seseorang yang mem iliki kualitas/keunggulan dari sisi agama, pribadi, dan sosial.



Langkah III m enyusun in d ik a to r dari k a ra kte r te rs e b u t ke d a la m b e n tu k rincian khusus suatu kom petensi yang harus dikuasai oleh anak sesuai tahap perkembangannya.



Berdasarkan langkah II kemudian dibuat rincian sebagai berikut: A. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa B. M am pu berperilaku jujur C. Memiliki sifat-sifat kepem im pinan D. Memiliki citra diri positif



I40



I



Memaknai Pend‫؛‬dikan Karakter



Langkah IV menjabarkan indikator menjadi indikator penilaian Contoh Indikator karakter:



Contoh Indikator Penilaian: Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ١. Beriman kepada Allah 2.



Beriman kepada



Malaikat



3.



Beriman kepada



Rasul



4.



Beriman kepada



Kita Suci



5.



Beriman kepada



hari kiamat



6.



Beriman kepada



qada dan qadar



7.



Mem iliki pola kehidupan yang sama d e n g a n rukun Islam (shadataen, shalat, zakat, shaum, haji)



E valuasi te rh a d a p tu m b u h k e m b a n g s u a tu k a ra k te r p a d a anak bukanlah suatu hal yang m udah, tetapi tidak berarti hal ini suatu yang m ustahil untuk dilakukan oleh guru. Evaluasi karakter m erupakan upaya untuk m engidentifikasi perkem bangan capaian hirarki perilaku (berkarakter) dari w aktu ke waktu melalui suatu identifikasi dan/atau pengam atan terhadap perilaku yang m uncul dalam keseharian anak. Perlu m enjadi c a ta ta n penting, b ahw a suatu k arak ter tidak dapat dinilai dalam satu waktu (one shot evalucition), tetapi harus diobservasi dan diidentifikasi secara terus m enerus dalam keseharian anak, baik di kelas, sekolah, m aupun rum ah. K arena itu, penilaian terhadap karakter harus m elibatkan tiga kom penen tersebut. Evaluasi di kelas m elibatkan guru, peserta didik sendiri dan peserta didik lainnya. Evaluasi di sekolah m elibatkan peserta didik itu sendiri, tem an-tem annya, guru lainnya (term asuk Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah), pustakaw an, laboran, tenaga adm inistrasi sekolah, penjaga sekolah, dan teknisi jika ada. Di ru m ah m elibatkan peserta didik, orang tuanya (jika m asih ada) atau w alinya, kakak, dan adiknya (jika ada). Lalu bagaim ana kerangka evaluasi yang harus dibangun untuk mengevaluasi karakter anak ini?



Evaluasi Pendidikan Karakter



141



Evaluasi d i



Anak Orangtua/wali Kakak/adik



R um ah



G u ru



G--



Anak Teman Guru



Evaluasi d i



Kelas



G a m b a r 4.1



‫—؛‬



Anak Temannya Guru Pustkawan Laboran Tenaga administrasi sekolah Penjaga sekolah



Evaluasi d i S ekolah



K e ra n g ka s e tin g evaluasi ka ra kte r



Alat evaluasi vang dapat digunakan yaitu. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Evaluasi diri oleh anak. Penilaian tem an. Catatan anekdot guru. Catatan anekdot orang tua. Catatan perkem bangan aktivitas anak Lem bar observasi guru. Lem bar Kerja Siswa (LKS). Dan lain-lain.



(psikolog).



Dalam buku ini akan dijelaskan dua bentuk penilaian karakter, yaitu evaluasi diri anak dan penilaian portofolio.



B. Evaluasi D iri Anak M akna evaluasi diri. Lem bar evaluasi diri anak m erupakan instrum en evaluasi yang mengidentifikasi perkem bangan perilaku anak berdasarkan apa yang dialam i anak m elalui suatu proses refleksi terhadap apa yang dialam i oleh anak. Proses refleksi m erupakan suatu proses di m ana anak m encurahkan pengalam annya berupa proses yang dialami, kesan (keberm aknaan bagi anak) yang dirasakan, respon 142



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



dirinya terhadap proses yang dialami, dan rencana ke depan (jika ada/m em ungkinkan) baik bagi dirinya m aupun bagi lingkungannya. In stru m e n evaluasi diri d ap at berupa: lem b ar evaluasi diri dan buku harian anak. L em bar evaluasi diri. L em bar evaluasi diri adalah instrum en evaluasi perilaku b erk arak ter b eru p a lem bar-lem bar yang berisi m engenai identifikasi proses, kesan, respon, dan rencana ke depan anak dari pengalam an yang baru dialam inya dalam proses pem belajaran. Misal, ketika an ak m elakukan/dikondisikan dalam pem b elajaran melalui m enonton film/video, m aka setelah m enonton tersebut, anak dim inta untuk mengisi lem baran evaluasi diri m engenai bagaim ana proses selam a ia m enonton, bagaim ana kesan film/video tersebut bagi anak, bagaim ana respon anak terh adap film/video tersebut, dan terakhir apakah ada rencana tindak lanjut dalam pikiran anak setelah m enonton film/video tersebut. Table 4.2 Contoh instrumen evaluasi diri anak ^



FORMAT LEMBAR EVALUASI DIRI ANAK j



Nama : ..... Kelas : ............................................................................ NIS: Mata Pelajaran : ..... Hari/tgl/jam : ..... Deskripsi : ..... KBM : ..... No



Aspek Evaluasi Diri Anak



Pengalamanku



‫؛‬1(



(2)



(3)



Aku mengalami 2.



‫؛‬



Kesanku Pandanganku terhadap kegiatan



A



Rencanaku



‫؛‬



Evaluasi Pendidikan Karakter



14 3



‫؛‬



F orm at lem bar evaluasi diri juga d ap at berupa intrum en yang bebas dari klasifikasi “aspek evaluasi diri anak.” Dalam form at ini yang ad a hanya deskripsi pengalam an an ak berdasarkan apa yang dialam i anak, tanpa ada strukturisasi intrum en evaluasi oleh guru. Perbedaannya dengan form at p ad a Tabel adalah tidak adanya kolom (1) dan (2), tetapi yang ada hanyalah adalah kolom (3). Contoh form at evaluasi diri yang bebas dari aspek evaluasi diri adalah sebagai berikut ini. Tabel 4.3 Contoh format evaluasi diri anak FORMAT LEMBAR EVALUASI DIRI ANAK Nama :.... Kelas :...............................................................................NIS: Mata Pelajaran :.............................................................................. Hari/tgl/jam :.... Deskripsi :.... KBM :.... Deskripsi Pengalamanku



P en g isian le m b a r evaluasi diri ini d ila k u k a n setelah an a k m elakukan suatu kegiatan dalam KBM. Sebaiknya tidak ada jeda w aktu antara kegiatan yang dilakukan dengan pengisian instrum en. Hal ini ditujukan untuk m endapatkan inform asi secara lebih orisinal m engenai apa yang dialam i oleh anak. Memaknai Pendidikan Karakter



Buku harian anak. Dalam proses mengevaluasi perkem bangan perilaku berkarakter anak, guru dapat m enggunakan buku harian anak. B uku harian anak adalah buku yang berisi curahan perasaan anak dari proses yang dialam i oleh anak selam a ia m enjalani proses kehidupannya selam a 24 jam . Bedanya dengan lem bar evaluasi diri, buku harian an ak tidak terbatas pada KBM yang didesain oleh guru di kelas, tetapi m eliputi sem ua pengalam an anak selam a 24 jam , bahkan m em ungkinkan m engidentifikasi visualisasi pem ikiran anak tentang m asa depan diri dan lingkungannya. B uku harian anak ini bukanlah buku harian yang dibeli oleh anak kem udian dim inta oleh sekolah, tetapi buku yang disediakan oleh sekolah secara khusus u n tu k kepentingan evaluasi perilaku berkarakter anak. B agaim ana kedua jenis evaluasi diri ini diolah? Arah pengolah evaluasi diri anak. P en golahan evaluasi diri dilak u k an dengan m elihat kecenderungan perilaku "m enetap” atau “tidak m en etap ” p ad a an ak dari sejum lah indikator yang terlebih dahulu dibuat oleh guru. “Evaluasi diri an ak ” kurang tepat apabila dipandang sebagai cara khusus untuk mengevaluasi suatu indikator perilaku berkarakter, tetapi lebih tepat dipandang fungsinya sebagai upaya untuk m engidentifikasi “m enetap” atau “tidak m enetapnya” perilaku anak dalam suatu indikator perilaku berdasarkan kehidupan anak d alam k u ru n w aktu terten tu . K arena itu, p e n a fsira n te rh a d a p hasil evaluasi diri anak ini bukanlah deskripsi tentang anak itu berkarakter atau tidak berkarakter, tetapi lebih pada prediksi terhadap kepem ilikan suatu karakter dengan kriteria "cenderung m enetap,” “sewaktu-waktu,” “inisiasi awal,” dan "belum m uncul.” Tindak lanjut hasil evaluasi. Jika anak dikategorikan perilakunya “cenderung m enetap” dalam sutau indikator perilaku berkarakter, m aka guru dan orang tua harus terus m eraw at perilaku ini untuk terus m enetap m elalui penegakan reward dan pimishment secara konsisten. Jika hasil penilaian berupa “sewaktu-waktu,” m aka guru dan orang tua perlu untuk m em berikan penguatan perilaku anak untuk m enjadi m enetap. Hal ini m em ungkinkan dilakukan dengan cara pen g u atan p e m a h a m a n an ak terh a d ap m an faat d ari su atu karakter. Selain itu, perlu untuk penegakkan reward dan pimishment secara konsisten. Jika hasil penilaian berupa "inisiasi awal,” m aka upaya yang m em ungkinkan untuk dilakukan guru dan orang tua tvaluasi Pendidikan Karakter



adalah: 1) m engelaborasi perasaan ‫ اآااا;ج‬dan orang ‫اأ‬،‫ ا؛‬kepada anak, ‫ز‬،‫ ةاا‬anak memiliki atau tidak memiliki suatu karakter tcricmm; 2) p enguatan p em ah am an anak ten tan g pentingnya su atu karakter dimiliki oleh anak dan lingkungannya, baik untuk saat ini m aupun ‫أا’آ؛’اع‬ -‫ﺀ‬ punishm / dan ent untuk m asa depan anak; 3) m enegakkan secara konsisten. Jika liusil penilaian m enunjukkan ‘Joelttm m uncul,” m aka hal yang m em ungkinkan untuk dilakukan oleh guru dan orang tua adalah: 1) nrengidentihkasi penolakan anak terhadap suatu nilai (karakter), 2) m engelaborasi perasaan guru dan orang tua kepada anak, jika anak memiliki atau tidak memiliki suatu karakte‫ '؛‬tertentu; 3) pengrratan pem aham an anak tentang pentingnya suatu karakter dimiliki oleh anak dan lingkungannya, baik untuk saat ini m aupun r،ntuk m asa depan anak; 4) m enegakkan reward dan punishm ent secara konsisten. Upaya-upaya tindaklanjut tersebut bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan dalam Iritungan satu l‫؛‬ali kegiatan, tetapi kegiatan yang secara terus m enerus dilakukan sehingga m uncul perilaku anak yang cendem ng m enetap. 4 .4



Klasifikasi Hasil evaluasi d a n T in d a k



Hasil Pengolahan Evaluasi diri



la n ju tn ya



Tindak Lanjut (peran orang tua



‫أﺳﻤﺎو‬



Cenderung menetap



Tegakkan reward dan punishment



Sewaktu-waktu



1. Kuatkan pem aham an anak te n ta n g pentingnya suatu karakter bagi anak dan lingkungannya 2. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten



Inisiasi awal



1. Sampaikan harapan guru dan orang tua kepada anak untuk memiliki suatu karakter tertentu 2. Kuatkan pem aham an anak te n ta n g pentingnya suatu karakter bagi anak dan lingkungannya 3. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten



Belum muncul



secara konsisten



1. Identifikasi penolakan anak te rha da p suatu nilai (karakter) 2. Sampaikan harapan guru dan orang tua kepada ‫؛‬ anak untuk memiliki suatu karakter tertentu I 3. Kuatkan pem aham an anak te n ta n g p e ntin gnya ‫؛‬ suatu karakter bagi anak dan iingkungannya i 4. Tegakkan reward dan punishment secara konsisten



M em aknai P endidikan K ara kter



C. Penilaian Portofolio Pendekatan evaluasi. Evaluasi terhadap berkarakter atau tindakan



seorang anak, berkaitan dengan usaha guru m engem bangkan keteram pilan mengobservasi dan m elakukan pertim bangan segi kuantitas dan kualitas perilaku termasuk pekerjaan peserta didik yang melingkupi dan memenuhi tujuan aktivitas belajar peserta didik. Dalam konteks tersebut, Roberts dan Klleough (1996: 128), menyarankan seorang guru dalam menilai pekeijaan dan perilaku peserta didik dituntut melalui proses yang berkelanjutan dan informal. Untuk pelaksanaan tugas penilaian tersebut, sejumlah teknik penilaian dapat dipilih dan dilakukan guru. Teknik itu bukan sekedar tes berupa paper peucil test, m elainkan dapat bersifat alternatif (altemative assessm cnt ) atau nontes seperti catatan anekdot, rekam an audio dan video, d aftar cek, buku harian, term asuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio. Teknik penilaian portofolio sebenarnya esensial dalam penilaian karakter. Amatlah sulit memaham i dan mengidentilikasi suatu karakter itu tercapai tanpa gum mengerti, menguasai, dan melaksanakan penilaian dengan bentuk portofolio.



Lingkungan operasional memperlihatkan bahwa peserta didik dalam praktek pendidikan mesti dipahami dengan baik. Dalam setiap pembelajaran, peserta didik itu unik. Mereka memiliki perbedaan satu sama lain. Latar belakang sosial dan ekonomi keluarganya, minat, harapan, motivasi, kemampuan, perasaan, kreativitas, dan penampilan dalam kegiatan belajarnya berbeda-beda. Tidaklah mungkin mereka diperlakukan atau dilayani dengan cara disamaratakan. Dalam penilaian pun, peserta didik itu sangat m em erlukan perlakuan individual. Mereka penting dinilai kegiatan dan hasil belajarnya berdasarkan kem am puan dirinya. Orientasi penilaian berbasis kom petensi mesti berubah. Prakteknya tidak banyak membandingkan kem am puan hasil belajar seorang peserta didik dengan kemampuan hasil belajar teman-temannya, melainkan hal itu dibandingkan dengan kem am puan sebelumnya. Inilah teknik penilaian m utak h ir atau inovatif dan lebih otentik. Penilaian demikian akan mengandalkan teknik nontes atau tes perbuatan dalam bentuk portofolio. Penilaian portofolio inilah sebenarnya yang lebih Evdiua‫ ؛؛‬Pendidikin Karakter



١



14 7



mewarnai konsep Penilaian Berbasis Kompetensi daripada cara-cara tes (tertulis) yang telah biasa guru-guru lakukan. Apakah suatu kompetensi itu dapat dimengerti dengan cara diberikan suatu soal tes tertulis pada peserta didik? Penilaian portofolio menjadi bagian integral sekaligus mensiasati suasana belajar yang menyenangkan dan lebih bermakna bagi peserta didik. Konsep Dasar Penilaian Portofolio. Penilaian portofolio mendasarkan p ad a teori b elajar konstruktivistik (ingat tokoh-tokoh Piaget, Vygotsky dan Bruneur) yang mengasumsikan bahwa peserta didik selain unik, mereka itu active leamers, bahkan a scientist. Mereka memiliki kepekaan, sensitif; they constmct their own knowledge by themselves. Sekali lagi, berdasarkan asumsi ini, pencapaian hasil belajar peserta didik tidaklah patut untuk dibandingkan dengan prestasi kelompoknya (nonn reference assessment). Prestasi peserta didik itu selayaknya dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya atau kriteria pencapaian kompetensi (Balitbang, Depdiknas, 2002). Perhatikan pula peran guru sebagai bagian dari lingkungan belajar peserta didik. Guru-guru menjadi objek observasi peserta didik sehingga penilaian yang dilakukan guru harus benar-benar adil dan otentik (auihentic assessment). Penilaian tidak cukup mencakup cara-cara formal, tetapi juga mencakup cara-cara informal. Penilaian portofolio merupakan penilaian yang berusaha menggali, m engum pulkan, m elaporkan dan m enggunakan otentisitas dari penam pilan atau kinerja kegiatan belajar peserta didik. Penilaian demikian akan meliputi keseimbangan ranah kegiatan belajar yang komprehensif. Jelas, portofolio menjadi esensial untuk penilaian yang m endasarkan pada kompetensi. Melalui portofolio, peserta didik didorong untuk menilai dan mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri sehingga mereka benar-benar aktif, merasa senang belajar dan kaya akan makna sekaligus bertanggung jawab atas apa yang dipelajarinya. Penilaian poitofolio mesti menempuh prosedur yang bervariasi dan jelas memerlukan perhatian dan kreativitas dari guru. Secara konkret, portofolio merupakan koleksi bahan. Koleksi ini merupakan kumpulan bahan atau pekerjaan yang sengaja dibuat dan benar-benar terpilih (relevan) dari serentetan pengalaman belajar/ pekerjaan peserta didik. Portofolio artinya tas surat atau dompet. Sebagai suatu koleksi, portofolio dapat mencakup banyak komponen, misalnya catatan pelajaran, daftar istilah atau kata-kata penting, Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



daftar sumhc'[- belajar, resume bagian buku, daftar pertanyaan kritis, komentar ٤٧٤١٠١ cerita, puisi, karangan/jumal, cacatan harian (,diaries), pekerjaan rumah, tugas-tugas baik individual atau kelompok, basil pretes dan postes, hasil obervasi/wawancara, laporan percobaan, laporan praktik kerja, hasil penelitian, gambar, peta, grafik dan penjelasannya, rekaman kaset dan keterangannya, (oto-kopi suatu bahan dengan refleksinya, lem bar kerja, foto-kopi, dan lain-lain. Untuk kepentingan koleksi ini sering digunakan file folder atau map penyimpanan catatan, ring binder atau ‫؛‬c^itan arsip bercincin, atau kantong plastik persegi transparan. Jadi, sejumlah kegiatan dan hasil belajar peserta didik itu diorganisasikan; dan yang lebih penting lagi koleksi itu selayaknya menunjukkan pertum buhan peserta didik. ?ortofolio m enyangkut usaha-usaha yang dilakukan peserta didik, kemajuan dan prestasi yang ‫اآئ'ا؛اآ‬ ‫ اأاآا؛ﻟﻘآل‬untuk ‫ا؛الح‬،‫ﺟﺂﻟﺪاا؛أا اا‬ studi/tema/topik tertentu dalam ‫؛‬angka waktu totcmtu. Koleksi juga m enunjukkan cakupan dan tingkat partisipasi (keaktifan belajar), adanya bahan-bahan yang henar-benar bermanfaat ‫ أاا؛‬،‫ﺀااﻛﺮ‬/‫ﺑﻤﺎا‬/ ‫ اا‬/) dan merupakan bukti-bukti refleksi bahwa peserta didik bertanggungjawab atas bahan-bahan kegiatan ‫ ■[اﺋﺰأأا'اط‬yang patut dikuasai sekaligus terpupuk kesadarannyauntukmelakukan perbaikan dan penyempurnaan atas cara-cara/kegiatan belajar yang ditempulinya. ‫ااﻏﺄح‬-‫ اا؛اا‬Johnston (Miscellaneous: 1995) menyatakan portofolio sebagai proses koleksi, seleksi, refleksi. Dalam kerangka Implementasi KBK, portofolio m encerm inkan pencapaian tingkat kom petensi-kom petensi yang disyaratkan, yaitu kompetensi dasar m ata ’ ’ mata pelajaran, kompetensi lintas kurikulum dan kompetensi tam atan suatu lembaga pendidikan. Swann dan Bickley-Green (1993), juga Waack (1991), merangkum karakteristik portofolio sebagai berikut: (a) kesempatan ‫ أ'ةاﺗﺪا‬peserta didik ‫ص‬، ‫ﻗﺎث‬ ‫ﺻﺎالد‬ ‫ آا‬self-evalualion, (b) proses 1‫ آﺟﻠﻘﺪ‬kegiatan ‫آلا‬€‫ئ؛اأا‬ ،‫ 'آ‬dan program evaluasi, (e) metode untuk m em onitor dan mendorong kemajuan belajar, (d) kumpulan dolurmen otentik yang ' kemampuan ‫اائ؛اةا'اط‬ ', (e) suatu pertanggungjawaban peserta didik atas kegiatan belajarnya, (f) catatan tentang proses kreatif peserta didik, historis ^ n ^ ta h u a n n y a , pemikiran kritisnya, ' estetikanya dan hasil-hasil (seni) peke^aannya, (g) ‫ اا؛اﻟﺊ‬belajar-mengajar yang memfasilitasi dialog antara peserta didik dengan guru, (h) bukti perkembangan nyata yang menunjukkan hubungan antara proses Evaluasi Pendidikan Karakter



kreatif peserta didik, hasil pekerjaannya dan refleksi dalam periode waktu tertentu, (i) suatu perkem bangan yang mencakup cultuml literacy dan gender imderstcmding (bagaimana mensikapi perubahan atau perbedaan), dan (j) kontainer yang menampung fakta/pekerjaan (karya seni) dan refleksi tertulis atas suatu makna yang dibangun antara guru dan peserta didik. Suatu Prosedur dan Teknik Penilaian Portofolio. Biasanya guru mensyaratkan silabi atau rum usan tujuan pembelajaran (dan tentu pula untuk tujuan portofolio) dikopi dan disimpan pada tempat penyimpanan portofolio milik setiap peserta didik. Hal ini untuk m engikat relevansi dokum en yang disim pan dalam portofolio berkaitan erat dengan silabi dan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Jadi, dokum en yang dikum pulkan itu sifatnya menjadi terpilih/terseleksi. Untuk m em ulai portofolio, guru berusaha mengidentifikasi karakteristik pengalaman belajar (leaming experiencies) yang dapat dialami peserta didik. Karakteristik pengalaman belajar ini sebenarnya berkaitan dengan sejumlah kompetensi yang patut dikuasai mereka, baik untuk suatu standar kompetensi, kompetensi dasar, untuk suatu unit/tem a/topik m ata (rum pun m ata) pelajaran, bahkan lintas kurikulum ataupun untuk tamatan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Contoh berikut dihubungkan dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas 10 SMU semester genap dengan Standar Kompetensi mewujudkan persatuan bangsa dan negara. Secara tentatif, penilaian portofolio dikembangkan berbasis kompetensi dapat dipelajari dari skema silabi penilaian berikut. Tabel 4.5 Skema Silabi dalam Konteks Penilaian P ortofolio | Kompetensi



Kemampuan untuk me­ mahami hakekat bangsa dan negara



M ateri Pokok (dan uraiannya)



Pengalaman Belajar



Pengertian bangsa dan negara: 1. Pengertian bangsa 2. Pengertian negara



Menganalisis bangsa dan negara. Kecakapan hidup: Menggali informasi Mengiden­ tifikasi variabel



Memakna‫ ؛‬Pendidikan Karakter



Indikator Pencapaian



‫؛‬ ;



Tagihan Portofolio



Menjelaskan | 1. Kumpulkan pengertian 4 (empat) pengertian tentang negara. Mengiden­ bangsa dan coba tifikasi unsur-unsur I identifikasi apa terbentuknya menurut negara. pengertianpengertian itu.



i Sumber



Buku koran



. Unsur-unsur menu-rut



S : : ro„,، Hans Kohn Ernest Renan . Unsur-unsur terbentuknya negara: Rakyat Wilayah Pemerintahan yang berdaulat Pemerintahan yang berdaulat Pengakuan dari negara lain.



T,



Kumpulkan 4 (empat) pengertian tentang negara identifikasi apa arti negara menurut pengertianpengertian itu. Tuliskan istilahistilah penting berkaitan dengan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mester ini. Coba kau gambar peta Indonesia sebagai sebuah negara. Cari sebuah artikel dari koran tentang bangsa & negara Indonesia.



Sebenarnya tidak sulit mengembangkan portofolio untuk penilaian kurikulum berbasis kompetensi ini. Untuk terbentuknya kompetensi dasar pada diri siswa diperlukan m ateri pokok dan uraiannya, sejum lah pengalam an belajar dan indikator pencapaian. Semua ini biasanya dituangkan dalam pengembangan silabi KBK. Satu langkah lagi untuk mengembangkan penilaian, khususnya dalam bentuk portofolio, guru m enam bahkan kolom silabi itu dengan tagihan portofolio. Lim a tagihan portofolio yang dicoba dikem bangkan guru untuk m ew ujudkan kom petensi dan pengalam an belajar yang sudah dirumuskan sebelumnya di atas. Sangat mungkin guru bisa mengemas tagihan portofolio itu untuk jangka waktu belajar 4 x 45 menit, atau untuk sepanjang semester genap. Dengan demikian, guru harus mempertimbangkan semua pengalaman belajar siswa dengan semua materi yang terkait dengan tema pengertian bangsa dan negara, yaitu asal mula terjadinya negara; fungsi dan tujuan



negara; bentuk-bentuk negara; negara kesatuan dan serikat (federasi); dan kelebihan dan kekurangan negara kesatuan sistem sentralisasi dan desentralisasi; persam aan dan perbedaan negara serikat dan negara kesatuan sistem desentralisasi. Tagihan port()l()‫؛؛‬o itu bisa jadi lebih banyak lagi. M enim ba pelajaran dari Sw ann dan Bickley-Green (1993) prosedur tentatif pelaksanaan portofolio dalam rangka KBK, meliputi instruksi-instruksi berikut. a. R um uskan tu ju an um um portofolio yang d idasarkan atas kompetensi yang disyaratkan. b.



Rumuskan tujuan portofolio bagi setiap peserta didik secara individual u n tu k m elih at p en cap aian dan p erk em b an g an kompetensi yang mereka kuasai dalam suatu periode tertentu (satu semester).



c.



Tentukan kegiatan-kegiatan portofolio (portfolio projects) atau unit-unit kegiatan pelajaran secara bervariasi untuk menjelaskan segi-segi kompetensi yang harus dikuasai.



d.



Secara teknis sejumlah pertanyaan patut dijawab guru untuk memahami bahan (koleksi) yang tercakup cla)a‫؛‬n penggunaan portofolio, yaitu. •



Bahan (koleksi) manakah yang menunjukkan bahwa peserta 1'[ ‫< ل؛إﺀ‬itu memperoleh informasi yang relevan ‫س‬ ‫ﺳﺎ‬ dengan p e n g u a s a kompetensi dalam topik yang dipelajarinya?



٠



B ah an (koleksi) m an ak ah yang m e n u n ju k k an bahw a peserta didik itu mengembangkan proses berpikir seperti mengobservasi, mengklasifikasi, membandingkan, menguraikan, menilai, m enyim pulkan, dan seterusnya yang berkaitan dengan penguasaan kompetesi yang dipelajarinya?







Bahan (koleksi) manakali yang sepatutnya tereakup dalam portofolio yang m enunjukkan bahw a peserta didik itu menggunakan sumber-sumber belajar yang bervariasi?







Baca kembali mm usan kompetensi yang disyaratkan melalui pembelajaran dalam tema atau topik yang ditetapkan; dan tentnkan bahan (koleksi) apakah atau manakah yang akan dihasilkan dari ^iM tas-aktivitas belajar itu sebagai bahanbahan yang akan ditempatkan dalam portofolio?



Memaknai Pendidikan Karal