Penerapan Doktrin Promissory Estopeel Dan Unjust Enrichment [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA



PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT PADA PUTUSAN PENGADILAN DI INDONESIA



SKRIPSI



CUT TALITHA AZARIA 1306451364



FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA DEPOK JANUARI 2017



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



UNIVERSITAS INDONESIA



PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT PADA PUTUSAN PENGADILAN DI INDONESIA



SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum



CUT TALITHA AZARIA 1306451364



FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA DEPOK JANUARI 2017



ii



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



PERNYATAAN ORISINALITAS Penulis dengan ini menyatakan bahwa skripsi: “Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment pada Putusan Pengadilan di Indonesia” adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.



Depok, 4 Januari 2017 Yang menyatakan



Cut Talitha Azaria 1306451364



iii



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



HALAMAN PENGESAHAN Tim Penguji mengesahkan Skripsi yang diajukan oleh: Nama : Cut Talitha Azaria NPM : 1306451364 Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment Pada Putusan Pengadilan di Indonesia dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai bagian persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.



TIM PENGUJI 1. Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. Pembimbing (



)



2. Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H.



Penguji



(



)



3. Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. Penguji



(



)



4. Afdol, S.H., M.H.



(



)



Disahkan di Tanggal



Penguji



: Depok : 4 Januari 2017



iv



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Saya, yang bertandatangan di bawah ini: Nama



: Cut Talitha Azaria



NPM



: 1306451364



Program Studi : Ilmu Hukum Fakultas



: Hukum



untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive, Royalty-Free Right) untuk memublikasikan skripsi saya yang berjudul: Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment pada Putusan Pengadilan di Indonesia Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan memublikasikan skripsi saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.



Depok, Yang menyetujui



(Cut Talitha Azaria)



v



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ABSTRAK Nama : Cut Talitha Azaria NPM : 1306451364 Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment Pada Putusan Pengadilan di Indonesia Hukum kontrak di Indonesia mengenal asas itikad baik, terutama dalam tahap pelaksanaan kontrak. Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, asas itikad baik juga dikenal dalam tahap pra kontrak sehingga dalam suatu proses negosiasi atau perundingan pun juga harus diterapkan. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum common law, yaitu mengenai itikad baik pada tahap pra kontrak dengan doktrin promissory estoppel dan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata dengan doktrin unjust enrichment. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan deskriptif komparatif. Hasil penelitian menyarankan untuk menerapkan doktrin promissory estoppel pada kondisi dimana salah satu pihak percaya bahwa sudah lahir perjanjian diantara keduanya sehingga pihak tersebut melakukan tindakan demi tercapainya janji-janji pihak lawan, dan juga doktrin unjust enrichment dalam kondisi apabila salah satu pihak memperkaya diri sendiri secara tidak sah dari pengeluaran yang dilakukan pihak lain. Asas itikad baik juga harus dijunjung tinggi mengingat tidak adanya ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai pra kontrak secara tersurat. Kata Kunci: Itikad baik, pra kontrak, promissory estoppel, unjust enrichment.



vi



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ABSTRACT Name Student Number Program Title



: Cut Talitha Azaria : 1306451364 : Legal Studies :



Contract law in Indonesia identify the principle of good faith, especially in the implementation of the contract. Along with the development contract law, the principle of good faith is also known in the pre-contractual phase so that in a negotiation process this principle must be applied. This paper compares the law of contracts in Indonesia with a common law system, which is about the good faith in the pre-contractual phase with the doctrine of promissory estoppel and Article 1359 paragraph (1) of the Indonesian Civil Code with the doctrine of unjust enrichment. This study is a normative juridical research with comparative descriptive. Results of the study were advised to apply the doctrine of promissory estoppel in circumstances where one party believes that it has been born an agreement between the two so that the parties take action in order to achieve the promises of the opposition, and also the doctrine of unjust enrichment in a state where one party is enriching himself not legitimate expenses incurred from other parties. The principle of good faith must also be upheld because of the absence of any provision in the Civil Code concerning about pre-contractual phase. Keywords: Good faith, pre-contract, promissory estoppel, unjust enrichment.



vii



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah swt. yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Tanpa kasih sayang-Nya yang melimpah dan tak terhingga ini, penulis tentu tidak mungkin mampu menyelesaikan skripsi dan studi pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dia-lah Maha Rahman dan Rahim yang selalu memberikan hidayah di saat bahagia maupun sulit. Tak lupa penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang senantiasa mendukung penulis. 1. Yang pertama dan selalu utama, kepada orang tua penulis, Teuku Sony Tjut Lidansyah dan Hilda Tyasari. Terima kasih Ayah, walaupun Ayah telah pergi, Ayah selalu menjadi motivasi dan penyemangat untuk menjadi lebih baik. Terima kasih Ibu, karena selalu menyebutkan namaku di setiap doa dan selalu mendukung tiada hentinya. Gelar ini sepenuhnya penulis persembahkan untuk Ayah dan Ibu. Kepada kakakku, Teuku Priananda Dewangga Lidansyah Budiman, terima kasih untuk dukungan dan sikap positif yang diberikan selama ini. 2. Kepada Prof. Rosa Agustina, S.H., M.H. yang senantiasa membimbing penulis dengan penuh kesabaran sampai selesai skripsi ini. Kepada para dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah menempa dan berkenan membagi ilmunya kepada penulis sejak penulis menjadi mahasiswa baru sampai saat ini. Juga kepada seluruh staf pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 5. Kepada Edwina Warman Putri, teman seperjuangan penulis selama menulis skripsi. Terima kasih telah menjalani beberapa bulan mengerjakan skripsi ini bersama-sama, telah bersedia mendengar keluh kesah penulis, susah senang bersama, saling mendoakan dan menguatkan. Semoga kita senantiasa diberi kemudahan di jalan selanjutnya dan bisan melanjutkan S2 keluar negeri. 6. Kepada sahabat-sahabat penulis yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dan memberi dukungan di saat mudah dan sulit. Terima kasih



viii



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



kepada Putri Apriyanti, Anbiya Annisa, Nuruzzhahrah Diza, Septina, dan Dionisia Widyarini. Semoga persahabatan kita tidak berhenti disini dan kita dapat mencapai cita-cita dan sukses dunia dan akhirat. 7. Kepada Achmad Farhan Ambroissi, yang senantiasa memberi dukungan kepada penulis selama menulis skripsi, yang telah sabar menghadapi penulis. Semoga kita, terutama penulis, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi dan selalu diberi kelancaran untuk kedepannya. 8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tanpa mengurangi rasa hormat, tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terakhir, penulis menyadari skripsi ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi menyempurnakan tesis ini. Terima kasih.



Jakarta, 4 Januari 2011 Penulis,



Cut Talitha Azaria



ix



Universitas Indonesia



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana perkembangan dan pengaturan Hukum Perjanjian di Indonesia? 2. Apa yang dimaksud dengan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment? 3. Bagaimana penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia? C. Tujuan Penelitian D. Kerangka Konsepsional E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Hukum Perikatan B. Pengertian Perjanjian C. Asas-Asas dalam Perjanjian D. Unsur-Unsur Perjanjian E. Macam-Macam Perjanjian F. Syarat Sah Perjanjian G. Tahapan Perjanjian H. Momentum Terjadinya Perjanjian I. Hapusnya Perikatan J. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi 2. Akibat Wanprestasi BAB 3 TINJAUAN UMUM DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT A. Promissory Estoppel dalam Sistem Common Law 1. Pengertian Promissory Estoppel 2. Sejarah Doktrin Promissory Estoppel 3. Hubungan Doktrin Promissory Estoppel dengan Consideration 4. Penerapan Doktrin Promissory Estoppel B. Unjust Enrichment dalam Sistem Common Law



i iii iv v vi vii viii ix 1 6



7 7 8 10 11 12 13 17 18 21 28 35 37 40



47 48 51 53



x Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



1. 2. 3. 4. 5.



Pengertian Unjust Enrichment Sejarah Unjust Enrichment Unjust Enrichment dan Quantum Meruit Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment Hambatan dalam Unjust Enrichment



58 60 65 66 67



BAB 4 ANALISIS A. Kasus Posisi 70 B. Analisis Kasus 1. Asas itikad baik pada tahap pra kontrak dan perbandingannya dengan doktrinpromissory estoppels 72 2. Pasal 1359KUH Perdata dan perbandingannya dengan doktrin unjust enrichment 79 BAB 5 PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran



83 85



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



86 90



xi Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017Universitas Indonesia Penerapan Doktrin...,



1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan masyarakat dalam masa pembangunan menimbulkan pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum, terutama hukum perjanjian. Perjanjian merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik yang dilakukan antar individu maupun hubungan antar perusahaan. Perjanjian-perjanjian tersebut lahir dengan adanya kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Menurut pendapat lain, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini berupa lisan atau tertulis. Dari sini timbul suatu usul dan suatu penerimaan, sehingga timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak seperti tersirat dalam pasal 1338 KUH Perdata, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerjasama dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata. Akan tetapi, dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUH Perdata, sedangkan dalam hal ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak. Dengan demikian, perjanjian kerjasama selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak.



Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 1. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 225. 1 2



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



2



Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat, yaitu timbulnya hak dan kewajiban bagi para pihak, hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban3 Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengatur akibat hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa, dimana Penyedia Jasa berkewajiban untuk menyelesaikan suatu pekerjaan konstruksi sesuai apa yang telah diperjanjikan dengan Pengguna Jasa sebelumnya, sedangkan Pengguna Jasa berhak atas suatu pekerjaan konstruksi yang telah dikerjakan oleh Penyedia Jasa. Adanya kontrak antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa ini, berfungsi untuk memberikan kepastian hukum para pihaknya dan menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai ekonomi yang lebih rendah menjadi nilai ekonomi yang lebih tinggi. 4 Hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa didasarkan atas hukum dan dituangkan dalam bentuk kontrak kerja konstruksi. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum atara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 5 Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung oleh dokumen pembuktiandari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. Dalam teori dan praktek, istilah konstruksi dan pemborongan dianggap sama, terutama jika dikaitkan dengan istilah kontrak jasa kontruksi. Sebenarnya istilah pemborongan memiliki cakupan yang lebih luas daripada istilah konstruksi. Sebab istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang di borong tersebut bukan hanya konstruksinya/pembangunannya, melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja. 6 Saat ini pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang dan jasa, termasuk pemborongan, yang seluruh biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan, yaitu Peraturan Presiden Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 5. 4 __________, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 23. 5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 596. 6 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 12 3



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



3



Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Seperti yang sudah diketahui, dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari bahasa latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Terhadap asas ini ada juga pengecualiannya, yaitu apabila oleh undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian. Atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.7 Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak yang dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh pihak lawan. Misalnya janji-janji dari developer yang tercantum dalam brosurbrosur yang diedarkan sebagai iklan, menurut teori klasik hukum kontrak tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya, karena janji-janji tersebut adalah janjijanji pra kontrak yang tidak tercantum dalam pengikatan jual beli sehingga konsumen tidak dapat menuntut ganti rugi. 8 Di negara-negara maju yang menganut sistem civil law, seperti Perancis, Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak, tetapi juga dalam tahap perundingan (the duty of good faith in negotiation) sehingga janji-janji pra kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut di ingkari. Akan tetapi, Indonesia masih menganut teori klasik, beberapa putusan Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 15-16. Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 2. 7 8



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



4



pengadilan tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses negosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang dirugikan selama proses negosiasi tidak terlindungi. Sedangkan di negara yang menganut sistem common law, seperti di Amerika Serikat, pengadilan menerapkan doktrin promissory estoppel untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan lawannya dalam tahap pra kontrak (preliminiary negotiation).9 Di Indonesia, pihak yang dirugikan karena telah melakukan perbuatan karena percaya pada janji-janji yang diberikan pada tahap sebelum terjadinya perjanjian, tidak dapat menuntut ganti rugi berdasarkan wanprestasi pada gugatannya. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan gugatan berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam hal ini perbuatan melawan hukum dalam arti luas, yang meliputi melanggar hak subyektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kaedah kesusilaan, atau bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan orang lain.10 Hubungan antara pihak yang memberikan janji (promisor) dengan pihak yang menerima janji (promisee) juga merupakan perikatan, yaitu perikatan yang bersumber dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin berupa perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang) atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hukum). 11 Dengan dilakukannya perbuatan oleh promisee pada tahap sebelum adanya perjanjian, apabila promisor menarik kembali janjinya atau tidak melaksanakan kewajiban hukumnya untuk membayar manfaat yang telah ia terima, hal ini akan



Ibid, hlm.3. Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 38-40. 11 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 8. 9



10



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



5



mengakibatkan penambahan kekayaan yang tidak sah pada pihak promisor (unjust enrichment). Doktrin unjust enrichment dikenal dalam sistem common law, di Indonesia sendiri ada istilah yang serupa tercantum dalam Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap pembayaran memperhatikan adanya suatu utang dan apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali. Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, tidak jarang terjadi pihak pengguna jasa, yaitu pemerintah, tidak melakukan pembayaran penuh ataupun sebagaian atas pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia jasa.



Karena



kedudukannya yang lebih tinggi, pengguna jasa dapat mengajukan berbagai dalih yang dapat berujung pada penagihan pengembalian uang muka secara penuh dan memasukkan penyedia barang/jasa dalam daftar hitam. Sementara itu, pihak penyedia jasa akan berusaha untuk mengajukan berbagai alasan dan pembelaan. Dengan demikian, pengadaan barang/jasa dapat menimbulkan berbagai sengketa di antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 2815K/Pdt/2014, pihak pengguna jasa konstruksi/Tergugat, yaitu dalam hal ini Pemerintah Kota Bontang khususnya Dinas Pekerjaan Umum, tidak mengakui adanya hubungan hukum dengan penyedia jasa konstruksi/Penggugat, yaitu Ungkap Simamora selaku Direktur Utama PT. Perucha dalam tahap pra kontrak karena tidak adanya kontrak kerja konstruksi dan Surat Perintah Kerja yang dibuat. Sehubungan dengan tidak adanya kepastian hukum dalam permasalahan yang terjadi pada saat sebelum terjadinya perjanjian atau pra kontrak tersebut, dilakukan kajian atau tinjauan yuridis tentang penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia. B. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan dan pengaturan Hukum Perjanjian dalam hal asas itikad baik di Indonesia?



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



6



2. Apa yang dimaksud dengan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment? 3. Bagaimana penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama dalam bidang Hukum Perjanjian terkait dengan penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment ada putusan pengadilan di Indonesia. 2. Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum di atas, terdapat juga tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: a. Memberikan gambaran mengenai perkembangan dan pengaturan Hukum Perjanjian di Indonesia. b. Memberikan gambaran mengenai doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment. c. Memberikan penjelasan mengenai penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia. D. Kerangka Konsepsional Definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjeksubjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. 12



L.C. Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, , Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. 4, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 2 12



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



7



2. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13 3. Negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan bertemu dan berbicara dengan maksud untuk mencapai suatu kesepakatan. 14 4. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.15 5. Promissory estoppel adalah salah satu doktrin hukum yang mencegah seseorang (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga dia (promise) akan menderita kerugian jika (promisor) yaitu pihak yang memberi janji diperkenankan untuk menarik janjinya (Paul Latimer, 1989: 280).16 6. Unjust Enrichment adalah memperkaya diri atas beban orang lain secara tidak sah.17 E. Metode Penelitian Dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang



yuridis



normatif



yaitu



suatu



penelitian



yang



bertujuan



untuk



menggambarkan penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment pada putusan pengadilan di Indonesia.



Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 1. Robert Heron dan Caroline Vandenabeele, Effective Negotiation, A Practical Guide, (Jenewa: International Labour Office, 1997), hlm. 5. 15 Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 16 Suharnoko, Hukum Perjanjian, hlm. 11. 17 Henk Snijders dan Jaap Hijma, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang Baru, (Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm. 23. 13 14



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



8



Tipologi penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratoris, karena pengetahuan tentang suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali. Terkadang penelitian semacam ini disebut feasibility study yang bermaksud untuk memperoleh data awal. 18 Jenis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu berseumber dari data kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari literatur serta sumber hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan-peraturan lainnya. Bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 19 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yang dipakai dalam penelitian ini ialah peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku, laporan penelitian, dan artikel ilmiah. Alat pengumpulan data yang digunakan ialah studi dokumen. Studi dokumen merupakan langkah awal dari seorang peneliti dalam melakukan penelitian untuk menjawab apakah penelitan itu layak diteliti dan sebagai bahan masukan dalam pembuatan usul dan rancangan penelitian. Studi dokumen penting untuk dilakukan untuk merumuskan kerangka teori dan konsep. 20 Selain itu, wawancara juga dapat dilakukan kepada narasumber atau informan. Metode analisis data penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang akan diteliti dan kesemuanya itu tidak dapat diukur dengan angka. 21 Metode ini digunakan untuk mengetahui secara mendalam bagaimana penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia. Pendekatan kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang



18



Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982),



hlm. 10. Ibid, hlm. 52. Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 29. 21 Sulistyo dan Basuki, Metode Penelitian (Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), hlm. 24. 19 20



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



9



bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.



22



Bentuk hasil



penelitian dari penelitian ini adalah skripsi. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, dan di setiap Bab terbagi dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya ialah sebagai berikut: BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang masalah sehingga penulis melakukan penelitian mengenai penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment pada putusan pengadilan di Indonesia. Bab ini juga berisikan pokok permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konsepsional, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian perikatan, pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, unsur-unsur perjanjian, macam-macam perjanjian, syarat sah perjanjian, tahapan perjanjian, momentum terjadinya perjanjian, hapusnya perikatan, dan wanprestasi. BAB III TINJAUAN UMUM DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT Pada bab ini akan dibahas mengenai doktrin promissory estoppels mulai dari pengertian, sejarah, hubungannya dengan consideration, dan penerapan doktrin promissory estoppel. Bab ini juga berisikan pengertian, sejarah, dan hambatan unjust enrichment serta perbandingan unjust enrichment dengan quantum meruit. BAB IV ANALISA PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT DALAM PUTUSAN NO. 2815K/PDT/2014



22



Mamudji, Metode Penelitian, hlm. 67.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



10



Dalam bab ini akan dibahas mengenai penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment pada perkara antara Ungkap Simamora dengan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang. BAB V PENUTUP Bab ini merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dari pembahasan yang dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian penulis menyertakan saran bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



11



BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Hukum Perikatan Buku III KUH Perdata berjudul van verbintenissen. Istilah verbintenis dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation. 1 Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis tampaknya lebih umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.2 Menurut Hofmann, perikatan atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Sementara itu, menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. 3 Dari



pengertian



di



atas,



perikatan



adalah



hubungan



hukum



(rechtsbetrekking) dimana oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara penghubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan (person) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian bukan merupakan suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya, akan tetapi hubungan yang tercipta R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 10 dalam Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 195. 2 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 196. 3 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. 4, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 2 1



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



12



karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. 4 Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undangundang saja atau undang-undang akibat perbuatan manusia. 5 Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum.6 B. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau kontrak, dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Ketentuan pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:7 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. 2. Kata “perbuatan” mencakup juga konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak



mengandung



suatu



consensus.



Seharusnya



dipakai



istilah



“persetujuan”. 4



M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986),



hlm. 7. Pasal 1352 KUH Perdata: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”. 6 Pasal 1353 KUH Perdata: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”. 7 Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 224. 5



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



13



3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). 4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Berdasarkan alasan-alasan diatas maka perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”. Apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1) ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang (subjek); (2) ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus); (3) ada objek yang berupa benda; (4) ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan); dan (5) ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. 8 Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract adalah: An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. (Black’s Law Dictionary, 1979: 291) C. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian Dalam hukum perjanjian, terdapat beberapa asas dan prinsip yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian sebagai pegangan dalam proses dan pelaksanaan perjanjian tersebut dan juga dalam hal terjadi permasalahan hukum. Asas-asas atau prinsip-prinsip hukum perjanjian antara lain: 1. Asas Pacta Sunt Servanda



8



Ibid, hlm. 225.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



14



Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat dari perjanjian yang mengharuskan para pihak serta hakim dan pihak ketiga untuk menghormati substansi perjanjian yang dibuat oeh para pihak selayaknya undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja yang menyebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sacral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang artinya sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Adapun mudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. 9 2. Asas Kebebasan Berkontrak Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir di Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum perjanjian, paham ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Teori laissez faire ini menganggap bahwa “the invisible hand” akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas, karenanya pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan ekonomi kuat untuk menguasai golongan ekonomi lemah. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam



9



Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak,



hlm. 3.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



15



cengkraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam “exploitation de l’homme par l’homme”.10 Pada akhir abad ke-19, paham individualisme ini mulai pudar akibat desakan-desakan paham etis dan sosialis, terlebih pada saat berakhirnya Perang Dunia II karena paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lebih lemah banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi secara mutlak, akan tetapi diberi arti relatif yang dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi perjanjian tidak sematamata dibiarkan kepada para pihak, namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan individu dan kepentingan masyarakat. Asas ini juga dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk: 1) membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan 4) menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Para pihak dapat membuat perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dengan demikian, para pihak diberi kesempatan untuk membuat klausula-klausula yang menyimpang dari ketentuan Buku III KUH Perdata. Ketentuan yang dapat disimpangi yang bersifat optional atau pilihan, sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa seperti syarat sahnya perjanjian adalah ketentuan yang tidak dapat dikesampingi oleh para pihak. 11 3. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dalam perjanjian berarti perjanjian sudah mengikat para pihak yang membuatnya sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai halhal yang diperjanjikan. Dengan demikian, perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak tanpa perlu suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Asas ini tercermin dalam Pasal 1458 KUH Perdata tentang perjanjian jual beli. Dalam pasal tersebut, Ibid, hlm. 2. Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hlm. 134-135. 10 11



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



16



jual beli dianggap telah terjadi dan mengikat secara hukum sejak tercapainya kesepakatan mengenai barang dan harga, meskipun harga belum dibayar dan barang belum diserahkan. Pengecualian terhadap asas ini yaitu dalam perjanjian formil dan perjanjian riel. Perjanjian formil ialah perjanjian yang disamping memenuhi syarat kata sepakat juga harus memenuhi formalitas tertentu. Sedangkan perjanjian riel adalah perjanjian yang harus memenuhi kata sepakat dan adanya pelaksanaan perjanjian (riel) guna melahirkan perjanjian tersebut. 12 4. Asas Kepribadian Asas kepribadian terdapat dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Yang dimaksud disini ialah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Ada beberapa pengecualian dalam asas kepribadian, yaitu dalam bentuk perjanjian untuk pihak ketiga dimana seorang membuat suatu perjanjian yang memperjanjikan hak-hak bagi orang lain (Pasal 1317 KUH Perdata). Selanjutnya dalam perjanjian garansi yang diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Pengecualian yang terakhir dalam hal mengenai kewarisan dimana suatu perjanjian meliputi juga para ahli waris dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1318 KUH Perdata). 5. Asas Itikad Baik Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini memberi wewenang kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar tidak bertentangan dengan rasa keadilan. Itikad baik dalam perjanjian mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga pelaksanaannya disyaratkan harus dengan itikad baik.



13



Dalam



prakteknya, hakim dapat mencampuri isi perjanjian yang berat sebelah yang 12



Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata,



hlm. 134. Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata Suatu Pengantar, cet. 1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2005), hlm. 146. 13



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



17



merugikan pihak yang lemah dan tidak sesuai dengan rasa keadilan. Asas ini merupakan pembatasan dari asas kebebasan berkontrak agar tidak terjadi perjanjian yang berat sebelah. 6. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak yang membuat perjanjian untuk memenuhi dan melaksanakan kewajiban dari perjanjian tersebut. Asas ini memberikan kekuatan bagi salah satu pihak untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lain namun pihak lain tersebut juga dapat menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak satunya. Dalam hal ini, apabila salah satu pihak lebih kuat posisinya dari pihak lainnya, pihak tersebut memiliki kewajiban untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kedua belah pihak menjadi seimbang. D. Unsur-Unsur Perjanjian Unsur-unsur pokok di dalam suatu perjanjian dapat dijadikan pedoman dalam hal melakukan penggolongan suatu perjanjian ke dalam salah satu jenis perikatan. Unsur-unsur tersebut ialah sebagai berikut: 1. Unsur Esensialia Unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa



keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang



dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak pada pihak. 14 2. Unsur Naturalia Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari benda yang dijual (vrijwaring).15 3. Unsur Aksidentalia



Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 86. 15 Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, hlm. 25. 14



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



18



Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.16 Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.17 E. Macam-Macam Perjanjian Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidak semata-mata merupakan



alat



pembuktian



saja,



tetapi



merupakan



syarat



adanya



(bestaanwaarde) perjanjian. Misalnya, perjanjian mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris (Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Para ahli bidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya. 18 Pada dasarnya, kontrak menurut namanya dibagi menjadi dua, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan inominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat merupakan kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. 19 Hal-hal yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. Kontrak inominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, hlm. 89-90. 17 Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, ibid. 18 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak, hlm. 27. 19 Lihat Pasal 1319 KUH Perdata dan 1355 KUH Perdata. 16



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



19



masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan. Kontrak yang termasuk dalam kontrak inominaat adalah kontrak surogasi, kontrak terapeutik, perjanjian kredit, standar kontrak, perjanjian kemitraan, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, kontrak pengadaan barang, dan lainlain.20 Disamping itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan yang agak lebih rumit. Bentuk-bentuk yang lain itu adalah:21 1. Perikatan bersyarat 2. Perikatan dengan ketepatan waktu 3. Perikatan mana suka (alternatif) 4. Perikatan tanggung-menanggung atau solider 5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi 6. Perikatan dengan ancaman hukuman Perikatan Bersyarat Suatu perikatan adalah bersyarat, apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang pertama, perikatan lahir hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu. Perikatan semacam ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat tangguh. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat batal. Perikatan dengan Ketepatan Waktu Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya Salim H. S., Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, Buku I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 1. 21 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 4-12. 20



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



20



suatu perjanjian atau perikatan. Apabila saya menyewakan rumah saya per 1 Januari 1964, ataupun menyewakan sampai tanggal 1 Januari 1969, maka perjanjian sewa mengenai rumah itu adalah suatu perjanjian dengan ketetapan waktu. Pengaksepan sebuah surat wesel yang hari bayarnya ditetapkan pada suatu tanggal tertentu atau satu bulan sesudah hari pengaksepan, adalah suatu perjanjian (antara pengaksep dan penarik wesel) dengan suatu ketetapan waktu. Perikatan Mana Suka (Alternatif) Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada si berpiutang. Misalnya, saya mempunyai suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang petani, yang sudah lama tidak dibayarnya. Sekarang saya mengadakan suatu perjanjian dengan dia bahwa ia akan saya bebaskan dari utangnya kalau ia menyerahkan kudanya kepada saya ataupun sepuluh kwintal berasnya. Perikatan Tanggung-Menanggung Dalam perikatan semacam ini, di salah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Dalam hal beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur lainnya. Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa kreditur, maka terserah kepada si berutang untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu. Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



21



Suatu perikatan, dapat atau tak dapat dibagi, adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya, tak dapat dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakekatnya. Perikatan ini hanya mempunyai arti apabila lebih dari satu orang debitur atau lebih dari satu orang kreditur yang tersangkut dalam perikatan tersebut. Perikatan dengan Ancaman Hukuman Perikatan semacam ini, adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak terpenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud: pertama, untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua, untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab, berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang. F. Syarat Sah Perjanjian Dewasa ini, banyak hal tentang perjanjian yang tidak diatur, baik dalam undang-undang maupun dalam yurisprudensi. Apabila diatur, tidak selamanya bersifat memaksa, para pihak dapat mengenyampingkan aturan tersebut sesuai dengan kesepakatan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak agar perjanjian tersebut dapat mengikat. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut: 1. Kesepakatan para pihak



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



22



Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negosiasi), pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain juga menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai suatu persetujuan yang mantap. Kadang kehendak itu dinyatakan secara tegas dan kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak itu. Menurut Hoge Raad arrest 6 Mei 1926, persetujuan kehendak itu dapat dilihat dari tingkah laku berhubung dengan kebutuhan lalu lintas masyarakat dan kepercayaan, yang diakui oleh pihak lainnya, baik secara lisan ataupun secara tertulis, misalnya telegram atau surat. 22 Pernyataan-pernyataan



secara



diam-diam



(atau



secara



tak



dikatakan) di dalam lalu lintas hukum sangat sering terjadi, dan jika dikehendaki suatu perumusan yang bersifat umum, hal ini bisa digali dari dalam sebuah arres Hoge Raad tahun 1926 (arrest H. R. 6 Mei 1926) dalam mana itu dirumuskan bahwa persetujuan (untuk mengadakan kontrak) dapat ternyata dari dalam kelakuan-kelakuan dari orang-orang yang terikat dalam hubungannya dengan apa-apa yang diminta oleh lalu lintas masyarakat dan kepercayaan yang dibangkitkan pada pihak lain oleh itu semua.23 Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian, ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu paksaan, kekhilafan, dan penipuan. a) Paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan yang telah dibuat itu. Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 229. H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 147. 22 23



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



23



Orang yang dipegang tangannya tidak memberikan persetujuannya, sedangkan



yang



dipersoalkan



disini



adalah



orang



yang



memberikan persetujuan (perizinan) tetapi secara tidak bebas. b) Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang yang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. c) Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. 24 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada beberapa teori untuk menyatakan kapan terjadinya kesepakatan pada suatu perjanjian. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran, yaitu: 25 1. Teori Kehendak (wilstheorie), dimana dalam teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. 2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirimkan oleh pihak yang menerima tawaran. 3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini pihak yang



menawarkan



seharusnya



sudah



mengetahui



bahwa



tawarannya diterima.



24 25



Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 23-24. Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, hlm. 24.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



24



4. Teori



Kepercayaan



(vertrouwenstheorie),



dalam



teori



ini



kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak untuk mencapai kesepakatan adalah secara tertulis. Tujuan diadakan kesepakatan secara tertulis ini agar memberikan kepastian hukum apabila di kemudian hari terjadi sengketa. 2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian (capacity) Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undangundang. Orang yang cakap dan berwenang adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun dan/atau sudah kawin. Orang yang tidak cakap atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum ialah:26 a) Anak di bawah umur (minderjarigheid) b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan c) Istri. Pengaturan Pasal 1330 KUH Perdata mengenai orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian masih kurang jelas sehingga harus merujuk ke pasal-pasal lain. Untuk pengaturan mengenai orang yang sudah dianggap dewasa, secara tegas diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa orang yang dewasa adalah setiap orang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Terhadap mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, pengaturan lebih lanjut terdapat dalam Pasal 433 KUH Perdata yang menyebutkan



26



Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak, hlm.



33-34.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



25



bahwa orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap, atau boros terhadap hartanya. Mengenai perempuan yang oleh Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini karena pengaturan tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dimana sudah tidak mengenal lagi adanya pembedaan antar gender. Vollmar berpendapat bahwa undang-undang menyamakan dua bentuk



yang



seharusnya



dibedakan,



yaitu



ketidakcakapan



dan



ketidakwenangan. Ketidakcakapan ada, apabila orang pada umumnya berdasarkan



ketentuan



undang-undang,



tidak



dapat



mengadakan



perjanjian-perjanjian sendiri dengan akibat hukum yang lengkap, seperti para belum dewasa, orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan dan para isteri. Ketidakwenangan ada, apabila seorang yang pada umumnya memang cakap untuk mengikatkan diri, namun tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu atau tidak dapat melakukan itu tanpa kuasa dari seorang ketiga. Itu bukanlah hanya merupakan soal peristilahan, tetapi juga penting untuk akibat-akibatnya.27 3. Suatu hal tertentu (objek) Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit sudah ditentukan jenisnya. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian tidak diharuskan sudah ada dan juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. 28 Dengan demikian, suatu hal tertentu yang dapat



27 28



H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi, hlm. 155. Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 19.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



26



dijadikan objek dalam suatu perjanjian harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: a) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa: “hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok



persetujuan-persetujuan”.



Ketentuan



pasal



ini



menegaskan kembali bahwa yang dapat menjadi objek dalam perjanjian adalah kebendaan yang termasuk dalam lapangan harta kekayaan. Dengan demikian, kebendaan yang berada diluar lapangan harta kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, tidak dapat menjadi pokok perjanjian. b) Barang yang akan ada Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1334 KUH Perdata mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat dengan rumusan: “kebendaan yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. c) Barang tersebut dapat ditentukan jenisnya Hal ini diatur dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya sah dan mengikat jika objeknya yang berupa kebendaan paling sedikit telah ditentukan jenisnya. 4. Sebab yang halal (causa) Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan



sebab



dalam



arti



“isi



perjanjian



itu



sendiri”



yang



menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak (Pasal 1337 KUHPerdata). Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah batal



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



27



(nietig, void). Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab), ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata).29 Sahnya causa dari suatu persetujuan (perjanjian) ditentukan pada saat persetujuan dibuat. Hal ini ternyata dari arrest Hoge Raad 6 Januari 1922, dimana setelah terjadi penjualan pohon-pohon, keluar suatu larangan penebangan pohon; kenyataan ini yang timbul kemudian tidak dapat mengganggu causa dari persetujuan. Persetujuan tanpa causa yang halal adalah batal, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kebatalan ini bersifat mutlak. Dari sini Hoge Raad menarik kesimpulan bahwa juga para pihak sendiri dalam persetujuan dapat mengemukakan batalnya persetujuan.30 Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihakpihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, kendatipun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya sehingga menimbulkan sengketa, maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal. Dengan kata



29 30



Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 232-233. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, hlm. 62-63.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



28



lain, para pihak tidak mendapatkan perlindungan hukum apabila perjanjian tersebut dikemudian hari menimbulkan sengketa. G. Tahapan Perjanjian Dalam mempersiapkan perjanjian atau kontrak, ada dua prinsip hukum yang harus diperhatikan. Pertama, beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kedua, pacta sunt servanda, yaitu kepastian hukum. 31 Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus dirancang dengan benar. Dalam perancangan kontrak tersebut, harus diperhatikan berbagai tahap dalam perancangannya. Para ahli berbeda pandangan tentang tahap-tahap dalam perancangan kontrak. Hikmahanto Juwana mengemukakan ada tujuh tahap dalam perancangan kontrak, khususnya kontrak bisnis. Ketujuh tahap itu meliputi kesepakatan para pihak, pembuatan kontrak, penelaahan kontrak, negosiasi rancangan kontrak, penandatangan



kontrak, pelaksanaan, dan sengketa.



Pandangan ini kurang lengkap, karena tidak menganalisis tahap perancangan kontrak pada tahap prakontraktual. Oleh karena itu, tahapan dalam perancangan kontrak ada 8 (delapan), antara lain: 32 1. Penawaran dan penerimaan Dalam sistem Anglo Amerika, tahap penawaran dan penerimaan disebut offer dan acceptance. Offer (penawaran) adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Acceptance adalah kesepakatan antara pihak penerima dan penawar tawaran terhadap persyaratan yang diajukan penawar. Penerimaan itu harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan tawaran. Akan tetapi, dalam perundingan yang dilakukan dengan 31



Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak, hlm.



32



_________, Perancangan Kontrak, hlm. 83-85.



123.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



29



korespondensi, penerimaan yang dikirim dengan media yang sama dianggap sudah disampaikan. Dalam pelelangan umum, penawaran dan penerimaan diatur dengan prosedur khusus. Bilamana memungkinkan, baik tawaran maupun penerimaan tawaran sebaiknya dinyatakan secara tertulis dan jelas. Lagi pula, suatu penerimaan kalau dapat harus diterima sendiri, serta jangan sampai membuat atau memberikan penawaran yang belum dapat diketahui tindakannya. 2. Kesepakatan para pihak Kesepakatan para pihak merupakan tahap persesuaian pernyataan kehendak para pihak tentang objek perjanjian. Dalam sistem Anglo Amerika, kesepakatan para pihak disebut dengan meeting of minds (persesuaian kehendak). Meeting of minds yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (duress), dan penyalahgunaan keadaan (undue influence), maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan (Jesse S. Raphael, 1962: 15). 3. Pembuatan kontrak Pembuatan kontrak merupakan tahap untuk menyusun dan merancang substansi kontrak yang akan disetujui dan ditandatangani para pihak. Penyusunan dan pembuatan kontrak ini dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dengan menyiapkan rancangan kontrak yang diinginkan oleh para pihak. 4. Penelaahan kontrak Tahap penelaahan kontrak merupakan tahap untuk mempelajari, menyelidiki, dan memeriksa substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Hal-hal yang ditelaah meliputi judul kontraknya, tanggal mulai berlakunya kontrak, komparisinya, pengaturan hak dan kewajiban para pihak, serta cara penyelesaian sengketa. Biasanya, yang menjadi fokus pada tahap ini adalah berkaitan dengan pengaturan hak dan kewajiban para pihak.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



30



5. Negosiasi rancangan kontrak Negosiasi merupakan tahap untuk melakukan perundingan terhadap naskah rancangan kontrak yang telah disusun oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal-hal yang dirunding meliputi pengaturan hak-hak dan kewajiban para pihak, pilihan hukum, dan penyelesaian sengketa. Salah satu pihak selalu menginginkan agar substansi kontrak yang dirancangnya harus menguntungkan yang bersangkutan. Apabila salah satu pihak dirugikan dalam naskah kontrak, maka pihak yang dirugikan dapat meminta kepada pihak lainnya untuk mengubah naskah kontrak yang telah dirancangnya. 6. Penandatanganan kontrak Tanda tangan kontrak merupakan tahap untuk menyetujui dan menandatangani kontrak yang telah disusun oleh para pihak. Sejak ditandatanganinya kontrak, maka sejak saat itu timbullah hak dan kewajiban para pihak. 7. Pelaksanaan Tahap pelaksanaan kontrak disebut dengan tahap postcontractual. Pelaksanaan kontrak merupakan tahap implementasi kontrak yang dibuat oleh para pihak, seperti para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam kontrak. Misalnya, dalam kontrak telah ditentukan bahwa Pihak Kedua menyetorkan saham sebesar 3% dari total investasi atau Pihak Kedua berkewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada Pihak Pertama. Pelaksanaan kewajiban itu merupakan implementasi dari substansi kontrak yang telah disepakati bersama oleh para pihak. 8. Sengketa Tidak dilaksanakannya substansi kontrak dengan baik oleh salah satu pihak akan menimbulkan sengketa bagi para pihak. Penyelesaian sengketa merupakan tahap untuk mengakhiri pertentangan, konflik, sengketa yang timbul antara kedua belah pihak. Timbulnya sengketa ini karena



salah satu



pihak tidak



melaksanakan



substansi



kontrak



sebagaimana yang telah disepakatinya walaupun mereka telah diberikan



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



31



somasi sebanyak tiga kali berturut-turut. Ada dua cara yang akan ditempuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, yaitu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui litigasi (pengadilan). Salim H. S. menyebutkan bahwa ada tiga tahap dalam perancangan kontrak di Indonesia, yaitu: 1. Praperancangan kontrak Tahap



praperancangan



merupakan



tahap



sebelum



kontrak



dirancang dan disusun. Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut: a. Identifikasi para pihak Tahap identifikasi para pihak merupakan tahap untuk menentukan dan menetapkan identitas para pihak yang akan mengadakan kontrak. Identitas para pihak harus jelas dan para pihak harus mempunyai kewenangan hukum untuk membuat kontrak. Orang yang berwenang untuk membuat kontrak adalah orang yang sudah dewasa/sudah kawin. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah (1) anak di bawah umur (minderjarigheid), (2) orang yang di taruh di bawah pengampuan, dan (3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963. 33 b. Penelitian awal aspek terkait Pada dasarnya, pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani dapat menampung semua keinginannya sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak benar-benar terperinci secara jelas. Perancangan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternative lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada 33



Ibid, hlm. 86.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



32



akhirnya, penyusunan kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan. 34 c. Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) Memorandum of Understanding (MoU) merupakan nota kesepahaman yang dibuat oleh para pihak sebelum kontrak itu dibuat secara rinci. MoU ini memuat berbagai kesepakatan para pihak dalam berbagai bidang, seperti di bidang investasi, pasar modal, pengembangan pendidikan, kesepakatan dalam bidang ekonomi, dan lain-lain.35 d. Negosiasi Hoge Raad Belanda memutus bahwa proses negosiasi perjanjian dapat dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut: 36 1) Tahap pertama (initial stage) dimana pada tahap ini penentuan negosiasi tidak akan menimbulkan hak untuk menuntut atas kerugian yang terjadi selama proses negosiasi. Disini para pihak bebas untuk menghentikan negosiasi dan tidak ada kewajiban untuk memberikan ganti rugi. 2) Tahap kedua (continuing stage) dimana negosiasi dapat dihentikan oleh salah satu pihak, walaupun dengan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang telah mengeluarkan biaya. 3) Tahap ketiga (final stage) adalah tahap dimana salah satu pihak tidak diperbolehkan lagi menghentikan negosiasi yang bertentangan dengan itikad baik. Pelanggaran terhadap kewajiban ini melahirkan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak lain atas segala biaya yang telah dikeluarkan dan juga kehilangan keuntungan yang diharapkannya. 2. Perancangan kontrak 34



Ibid.



35



Ibid.



Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 256. 36



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



33



Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan kontrak, yaitu tahap perancangan kontrak. Perancangan kontrak ini memerlukan ketelitian dan kejelian dari para pihak maupun notaris. Karena, apabila terjadi kekeliruan di dalam pembuatan kontrak, akan timbul persoalan dalam pelaksanaannya. Ada lima tahap dalam perancangan kontrak di Indonesia, sebagaimana dikemukakan berikut ini: 37 a. Pembuatan draf kontrak Draf kontrak merupakan naskah atau konsep kontrak yang dirancang para pihak. Masing-masing pihak nantinya akan menyodorkan konsepnya kepada pihak lainnya untuk dikaji secara mendalam. Draf kontrak meliputi judul kontrak, pembukaan kontrak, pihak-pihak dalam kontrak, recital, substansi kontrak, dan penutup. b. Saling menukar draf kontrak Setelah draf kontrak yang dibuat masing-masing pihak telah selesai, maka tahap selanjutnya adalah saling menukar draf kontrak yang telah dibuatnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mempelajari isi draf kontrak yang telah disusunnya. Apabila salah satu pihak tidak menyetujui tentang draf kontrak tersebut, maka salah satu pihak dapat mengusulkan atau merundingkan tentang apa-apa yang tidak disetujuinya. Apabila dari hasil perundingan itu telah tercapai kesepakatan, maka usulan tadi dimasukkan dalam draf kontrak. c. Perlu diadakan revisi Apabila naskah kontrak telah selesai dirancang, maka salah satu naskah tersebut harus diserahkan kepada pihak lainnya, apakah pihak pertama atau pihak kedua. Penyerahan kepada salah satu pihak mempunyai arti yang sangat penting, yaitu salah satu pihak bisa melakukan revisi terhadap rancangan naskah.revisi adalah suatu upaya melakukan perubahan-perubahan terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 37



Ibid, hlm. 90-91.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



34



d. Penyelesaian akhir Penyelesaian akhir merupakan upaya untuk membereskan atau menyudahi naskah kontrak yang dibuat oleh para pihak dan para pihak telah menyetujui naskah kontrak yang telah dirancang, baik oleh salah satu pihak maupun dirancang secara bersama oleh kedua belah pihak. e. Penutup Bagian penutup merupakan bagian akhir dari tahap perancangan



kontrak.



penandatanganan



Bagian



kontrak



oleh



ini



merupakan



masing-masing



tahap pihak.



Penandatanganan kontrak merupakan wujud persetujuan atas segala substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 3. Pascaperancangan kontrak Apabila kontrak telah dibuat dan ditandatangani para pihak, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu penafsiran terhadap kontrak dan penyelesaian sengketa. a. Pelaksanaan dan Penafsiran Setelah kontrak disusun barulah dapat dilaksanakan. Kadang-kadang kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak lengkap sehingga masih diperlukan adanya penafsiran. Penafsiran tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342 s.d. Pasal 1351 KUH Perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak. Di dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini berarti bahwa para pihak haruslah melaksanakan isi kontrak dengan itikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, dapat dilakukan penafsiran terhadap isi kontrak yang di buat para pihak. 38 b. Alternatif Penyelesaian Sengketa 38



Ibid, hlm. 92.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



35



Dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa di kemudian hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. Para pihak dapat memilih melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Setiap cara yang dipilih mempunyai kelebihan



dan



kekurangan



masing-masing



yang



harus



dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk diterapkan. Jika memilih melalui pengadilan, perlu dipertimbangkan, menyelesaikan



misalnya sengketa



apakah tersebut,



pengadilan



berwenang



kemungkinan



dapat



dilaksanakannya secara penuh, juga waktu dan biaya yang diperlukan selama proses pengadilan. 39 H. Momentum Terjadinya Perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum terjadinya kontrak. Pada Pasal 1320 KUHPerdata hanya disebutkan cukup dengan adanya konsensus para pihak. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. 40 Dalam berbagai literatur disebutkan empat teori yang membahas momentum terjadinya kontrak, antara lain: 41 1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah



Ibid, hlm. 93. Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 15. 41 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak, hlm. 25-26. 39 40



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



36



terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie) Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal itu bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya. 4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Momentum terjadinya perjanjian yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara para pihak. Namun, ada kalanya tidak ada persesuaian antara pernyataan dan kehendak. Ada tiga teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, yaitu: 42 1. Teori Kehendak (wilstheorie) Menurut teori kehendak bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. 2. Teori Pernyataan (verklaringtheorie) Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya 42



Ibid, hlm. 42.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



37



perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya, teori ini menimbulkan berbagai kesulitan seperti bahwa apa yang dinyatakan



berbeda



dengan



yang



dikehendaki.



Misalnya,



A



menyatakan Rp500.000,00 tetapi yang dikehendaki Rp50.000,00. 3. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie) Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang



menimbulkan kepercayaan saja



yang



menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai. I. Hapusnya Perikatan Dalam Pasal 1381 KUH Perdata, terdapat 10 (sepuluh) cara hapusnya suatu perikatan, yaitu sebagai berikut: 1. Pembayaran Pembayaran yang dimaksudkan disini ialah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Dalam arti yang luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan barang yang dijualnya. Pengertian pembayaran tidak boleh diartikan secara sempit. 43 Ditinjau dari segi yuridis teknis, pembayaran tidak selamanya mesti berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dengan bentuk tak berwujud atau yang immaterial. 44 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan Perbuatan ini merupakan suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila kreditur menolak pembayaran. Barang atau uang yang akan dibayarkan itu dibuat perinciannya dan ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau jurusita pengadilan kepada kreditur. Apabila kreditur menolak, notaris atau jurusita akan mempersilakan kreditur menandatangani proses-



43 44



Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 64. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 107.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



38



perbal dan apabila kreditur tidak bersedia menandatangani maka hal itu akan dicatat oleh notaris atau jurusita di atas surat tesebut. Dengan demikian, terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa kreditur menolak pembayaran. Langkah selanjutnya, debitur mengajukan permohonan ke pengadilan agar mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukannya. Setelah disahkan, uang atau barang yang akan dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang debitur.45 3. Pembaharuan utang atau novasi Novasi lahir atas dasar perjanjian, para pihak membuat perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama, dan pada saat yang bersamaan dengan penghapusan tadi, perjanjian diganti dengan perjanjian baru. Dengan hakikat, jiwa perjanjian baru serupa dengan perjanjian terdahulu. 46 Ada 3 (tiga) macam cara untuk melaksanakan pembaharuan utang atau novasi menurut Pasal 1413 KUH Perdata, yaitu:47 a) Novasi obyektif, apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. b) Novasi subyektif pasif, apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. c) Novasi subyektif aktif, apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi Pasal 1424 KUH Perdata menerangkan jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Perlu diketahui bahwa perjumpaan atau kompensasi ini tidak terjadi secara otomatis, tetapi harus diajukan atau diminta oleh pihak yang berkepentingan. Agar dua utang dapat Subekti, , Hukum Perjanjian, hlm. 69. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 142. 47 Subekti, , Hukum Perjanjian, hlm. 70. 45 46



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



39



diperjumpakan, perlulah dua orang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlah utangnya dan seketika dapat ditagih. 48 5. Percampuran utang Apabila kedudukan sebagai orang yang berpiutang dan orang berutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam percampuran ini terjadi demi hukum, dalam arti secara otomatis.49 6. Pembebasan utang Apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – hubungan utang piutang – hapus. Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur merupakan bukti pembebasan utang. 50 7. Musnahnya barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian msnah, tidak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. 51 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian hapus dengan musnah atau hilangnya barang tertentu yang menjadi



pokok



prestasi



yang



diwajibkan



kepada



debitur



untuk



menyerahkannya kepada kreditur. 8. Pembatalan Pembatalan perjanjian dapat dimintakan apabila perjanjiannya tidak memenuhi syarat obyektif sesuai Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1454 KUH Perdata untuk menuntut pembatalan secara aktif ditetapkan batas Ibid, hlm. 72. Ibid, hlm. 73. 50 Ibid, hlm. 74. 51 Ibid. 48 49



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



40



waktu 5 tahun. Suatu perjanjian yang batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak bisa dihapus.52 9. Berlakunya suatu syarat batal Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hukum perjanjian, suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah tidak pernah terjadi perjanjian. Syarat batal itu mewajibkan deditur mengembalikan apayang diterimanya apabila peristiwa tersebut terjadi.53 10. Lewat waktu Pasal 1946 KUH Perdata menyatakan bahwa yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa extinctif.54 J. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk, 55 artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena



Ibid, hlm. 75. Ibid, hlm. 76. 54 Ibid, hlm. 77. 55 Ibid, hlm. 45. 52 53



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



41



undang-undang. 56 Menurut Prof. Subekti, wanprestasi seorang debitur adalah berupa kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu: 57 a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. melaksanakan apa



yang dijanjikannya,



tetapi



tidak sebagaimana



dijanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; dan d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Apabila seseorang tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak atau perjanjian, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidak dengan sendirinya ia dianggap telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam perjanjian atau dalam undang-undang, maka wanprestasi debitur



resmi



terjadi



setelah



debitur



dinyatakan



lalai



oleh



kreditur



(ingebrehstelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa debitur dinyatakan wanprestsi apabila sudah ada somasi (akta lalai). Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa debitur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu. Bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata adalah: a. Surat perintah yang berasal dari hakim, biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini, juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya ia harus melaksanakan prestasinya. b. Akta sejenis, akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.



56 57



Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 20. Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 45.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



42



c. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri, maksudnya sejak pembuatan perjanjian kreditur, sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, somasi biasanya diajukan oleh kreditur secara lisan. Akan tetapi, untuk mempermudah pembuktian di depan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan, somasi biasanya diajukan secara tertulis. Somasi tidak diperlukan dalam keadaan tertentu, misalnya dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian atau perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu. 2. Akibat Wanprestasi Wanprestasi



memberikan



akibat



hukum



terhadap



pihak



yang



melakukannya sehingga ia diharuskan untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan oleh perbuatannya. Terhadap kelalaian atau kealpaan debitur, dapat dikenakan sanksi atau hukuman sebagai berikut: a. Membayar ganti kerugian b. Pembatalan perjanjian c. Peralihan risiko d. Membayar biaya perkara Ad. a Membayar ganti kerugian Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata mengatur lebih lanjut mengenai masalah ganti rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi, dan lain-lain. Istilah rugi dalam hal ini adalah kerugian karena kerusakan barangbarang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur, misalnya rumah yang baru diserahkan pemborong ambruk karena salah konstruksinya sehingga merusak segala perabot rumah. Sedangkan yang dimaksud dengan



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



43



bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (winstderving) yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam jual beli barang, barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.58 Pada dasarnya, besarnya ganti kerugian adalah sebesar kerugian yang diderita. Namun, Pasal 1249 KUH Perdata memberikan pengecualian, yaitu kecuali antara para pihak telah ada suatu kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi yang harus dibayar dalam hal debitur wanprestasi. Dalam hal demikian, maka – terlepas dari berapa jumlah kerugian yang sebenarnya – kepada kreditur harus diberikan jumlah sebagai yang diperjanjikan atau menurut ketentuan Pasal 1249: tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang daripada jumlah itu. Janji seperti itu dalam suatu perjanjian disebut “janji ganti rugi/denda” atau “schadevergoedings/boete beding”.59 Ganti rugi sebagai yang dikatakan dalam Pasal 1236 dan Pasal 1243 bisa berupa ganti rugi dalam arti:60 1) sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya: untuk mudahnya dapat kita sebut “prestasi pokok” perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan, atau 2) sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau ada prestasi yang tidak sebagaimana mestinya, tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai penggantian kerugian – sudah tentu dengan didahului protes – atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi 3) sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena keterlambatan prestasi dari debitur, jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh kreditur disamping kewajiban perikatannya 4) kedua-duanya sekaligus; jadi disini dituntut baik penggantian kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.



Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 47. J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 145. 60 Ibid, hlm. 146-147. 58 59



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



44



Menurut J. Satrio, ganti rugi adalah mengembalikan kreditur ke dalam keadaan seandainya debitur tidak wanprestasi. Untuk itu berarti kita harus mengembalikan apa yang telah menjadi berkurang dari kekayaan kreditur karena wanprestasi dari pihak debitur dan harus menambahkan apa yang seharusnya diterima oleh kreditur, kalau debitur tidak wanprestasi (Pasal 1246 KUH Perdata). Jadi, kerugian bisa terdiri dari:61 1) Kerugian yang diderita a) kerugian prestasi yang diperjanjikan, kalau debitur tidak berprestasi b) biaya c) kerugian keterlambatan d) kerugian yang diakibatkan karena prestasi debitur yang tidak baik 2) Keuntungan yang diharapkan a) yang bagi seorang penjual adalah selisih antara harga yang telah disepakati dengan pembelinya, dengan harga yang ia – setelah adanya wanprestasi dari pihak pembeli – peroleh dari pihak lain, sedang bagi seorang pembeli – jadi pada wanprestasi dari pihak penjual – keuntungan yang diharapkan pembeli adalah selisih antara harga yang sebenarnya bisa jual kepada orang lain dengan harga yang ia (benarbenar) bayar untuk mendapatkan barang itu b) kehilangan penghasilan yang seharusnya diperoleh. Pasal 1247 memberikan pembatasan mengenai tuntutan ganti rugi dengan mengatakan bahwa debitur hanya diwajibkan memberikan ganti rugi atas kerugian yang nyata telah atau seharusnya dapat diduga pada waktu perikatan dilahirkan, kecuali kalau tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya yang dilakukan olehnya. Dalam hal terhadap timbulnya kerugian ada unsur kesalahan, baik pada kreditur maupun debitur, undang-undang tinggal diam, tetapi pengadilan – dalam perkara-perkara mengenai onrechtmatige daad – berpendapat bahwa kerugian itu harus ditanggung oleh kedua belah pihak menurut perbandingan kesalahan masing-masing.62 Pembatasan lainnya dalam pembayaran



61 62



Ibid, hlm. 177-178. Ibid, hlm. 204.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



45



ganti kerugian terdapat dalam pengaturan mengenai bunga moratoir. Istilah moratoir berasal dari bahasa latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi, bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur alpa atau lalai membayar utangnya. Menurut ketentuan Pasal 1250 KUH Perdata, bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi persenan yang ditetapkan dalam Lembaran Negara Tahun 1848 No. 22, yaitu 6 (enam) persen. Serangkaian Pasal 1247, Pasal 1248, dan Pasal 1250 bertujuan untuk membatasi ganti rugi yang dapat dituntut terhadap seorang debitur yang lalai. 63 Ad. b Pembatalan perjanjian64 Pembatalan perjanjian atau disebut juga pemecahan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudahh menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena wanprestasi pihak debitur dapat dilihat dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat. Pembatalan ini harus diminta kepada hakim, bukan batal secara otomatis pada saat debitur secara nyata melalaikan kewajibannya. Perjanjian itu tidak batal demi hukum. Dalam hal ini, kesulitan ditemui pada sengketa mengenai perjanjian sewa menyewa. Pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian dan apa yang sudah diterima oleh satu pihak harus dikembalikan kepada pihak lainnya. Menurut Prof. Subekti, berlaku surutnya pembatalan itu adalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan. Dalam sewa menyewa, kenikmatan itu tidak mungkin dikembalikan sehingga pemilik barang dapat tetap memiliki uang sewa yang sudah diterimanya. Begitu pula dalam suatu perjanjian perburuhan. Ad. c Peralihan risiko65 Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 49. Ibid, hlm. 49-51. 65 Ibid, hlm. 52 63 64



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



46



risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Persoalan risiko ini merupakan masalah yang erat kaitannya dengan keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, risiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Apabila si penjual terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya penjual, risiko dapat beralih kepadanya. Ad. d Membayar biaya perkara66 Pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi dari wanprestasi, tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat (1) HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata, kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut:67 1) Pemenuhan perjanjian 2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3) Ganti rugi saja 4) Pembatalan perjanjian 5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.



66 67



Ibid. Ibid, hlm. 53.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



47



BAB III TINJAUAN UMUM DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT A. Promissory Estoppel 1. Pengertian Promissory Estoppel Doktrin promissory estoppels merupakan doktrin yang lahir untuk mengatasi kekakuan doktrin consideration yang ada di sistem hukum common law. Promissory estoppel mencegah seseorang (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga dia (promisee) akan menderita kerugian jika promisor diperkenankan untuk menarik kembali janjinya (Paul Latimer, 1989: 280).1 Doktrin ini merupakan doktrin yang dihasilkan oleh equity courts, dimana pengadilan (courts) ini merupakan pengadilan yang dibentuk untuk memperbaiki keadaan yang diakibatkan oleh akibat hukum atas suatu perbuatan maupun putusan yang dianggap tidak memenuhi unsur keadilan salah satu pihak yang bersengketa. 2 Doktrin promissory estoppel lahir pada kondisi-kondisi tertentu disaat salah satu pihak secara beralasan meyakini bahwa dirinya telah terikat dalam suatu kontrak, walaupun dalam kenyataannya kontrak tersebut belum dibentuk atau dilahirkan. 3 Keadaan tersebut bisa muncul apabila salah satu pihak (promisee) menaruh pengharapan yang besar dari janji-janji yang diucapkan oleh pihak lain (promisor) sehingga ia melakukan suatu perbuatan demi terpenuhinya janji-janji tersebut. Menurut sistem common law, hal ini bukan merupakan hubungan kontraktual, walaupun pada awalnya terkesan bahwa promisor akan membuat kontrak di masa yang akan datang. Apabila perbuatan yang dilakukan promisee atas dasar janji yang diberikan promisor itu menimbulkan kerugian dikarenakan promisor tidak menepati apa yang telah dikatakannya sebelumnya, maka perbuatan promisor Suharnoko, Hukum Perjanjian, hlm. 11. Jeffrey A. Helewitz, Basic Contract Law for Paralegals, ed.5, (New York: Aspen Publishers, 2007), hlm. 91. 3 Ibid. 1 2



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



48



tersebut dapat dituntut atau dimintakan kompensasi berdasarkan hukum. 4 Hal itu dapat dilakukan selama dapat dibuktikan bahwa perbuatan promisee benar-benar didasarkan atas janji promisor, sehingga pada akhirnya promisor bertanggung jawab dengan memberikan kompensasi atas kerugian yang dialami oleh promisee.5 Persyaratan untuk dapat diterapkannya doktrin promissory estoppel ini adalah adanya perbuatan yang dilakukan oleh promisee berdasarkan atas janji dari promisor sehingga promisee dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan kerugian nyata karena janji dari promisor tersebut. Doktrin promissory estoppel tidak mengakibatkan pelaksanaan suatu kontrak, tetapi sebagai dasar untuk pelaksanaan janji yang bersifat alternatif dan mandiri. Dengan demikian, doktrin ini bukan berasal dari sebuah tawar menawar, melainkan berasal dari suatu perbuatan yang menimbulkan ketergantungan dan kepercayaan.6 2. Sejarah Doktrin Promissory Estoppel Doktrin ini awalnya muncul pada akhir abad ke-19 dengan nama equitable estoppel. Pengadilan mengembangkan suatu doktrin yang digunakan untuk mengantisipasi situasi dimana suatu perjanjian tidak mengandung consideration antara para pihak yang berjanji. 7 Hal ini mengingat semakin banyaknya perjanjian yang tidak mengandung consideration sehingga banyak perjanjian yang dianggap tidak berlaku dan tidak dapat dilaksanakan. Untuk menghindari hal tersebut, pengadilan membentuk doktrin yang bernama equitable estoppel. doktrin ini digunakan dalam salah satu kasus ternama yakni kasus antara Hughes v. Metropolitan Railway Co. pada tahun 1877. Dalam kasus ini, terjadi perundingan kerja sama sewa beli terkait alat yang digunakan untuk memperbaiki properti milik Metropolitan. Proses negosiasi berlangsung hingga dua bulan sampai akhirnya menemukan permasalahan dimana Hughes mengklaim bahwa properti yang disewakan tersebut masih miliknya karena Metropolitan gagal untuk Ibid. Ibid. 6 Brian A. Blum, Contracts, ed. 4, (New York: Aspen Publishers, 2007), hlm. 4 5



207. T. Antony Downes, A Textbook on Contract, ed. 5, (London: Blackstore Press Limited, 1997), hlm. 126. 7



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



49



memperbaikinya dalam jangka waktu enam bulan yang diberikan. Sedangkan Metropolitan menganggap bahwa perbaikan tersebut tidak perlu dilakukan apabila negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak berhasil dan selanjutnya masa peringatan akan perbaikan itu pun tidak akan lagi dilaksanakan. Anggapan terhadap suatu janji yang secara implisit disebutkan tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya consideration diantara kedua belah pihak, sehingga menurut konsep common law kesepakatan yang mereka buat pun tidak dapat



dilaksanakan.



Namun,



dalam



kasus



tersebut,



Lord



Cairns



LC



mengemukakan pendapatnya yang terkenal sebagai berikut: “Its is the first principle upon which all Courts of Equity proceed, that if parties who have entered into definite and distinct terms involving certain legal results… afterwards by their own act or with their own consenct enter upon a course of negotiations which has the effect of leading one of the parties to suppose that the strict rights arising under the contract will not be enforced or will be kept in suspense or held in abeyance, the person who might otherwise have enforced those rights will not be allowed to enforce them where it would be inequitable having regard to the dealings which have thus taken place between the parties.”8 Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terdapat pihak yang berjanji atau melakukan kesepakatan melalui tindakannya dan persetujuan mereka sendiri atas suatu hal dalam suatu proses negosiasi, yang mana dalam persetujuan tersebut menimbulkan asumsi salah satu pihak bahwa perjanjian tersebut belum akan dilaksanakan selama proses penundaan, maka dalam kondisi seperti itu pihak lain yang dianggap dapat melaksanakan perjanjian untuk mendapatkan hak tersebut, tidak dapat melaksanakannya karena akan menimbulkan kondisi yang tidak adil dan tidak sesuai dengan apa yang sudah disepakati para pihak sejak awal. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa doktrin ini mengedepankan prinsip keadilan para pihak yang telah melakukan perjanjian, tanpa harus perjanjian tersebut mengandung consideration.9 Salah satu yurisprudensi yang paling berpengaruh dalam munculnya doktrin promissory estoppel adalah kasus antara Central London Property Trust



8 9



Ibid, hlm. 127. Ibid.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



50



Ltd. v. High Trees House Ltd.10 Kasus ini merupakan kasus yang membuktikan bahwa dapat muncul suatu perjanjian atau kontrak yang tidak memerlukan suatu consideration namun tetap dianggap mengikat para pihak. Kasus ini bermula dari hubungan sewa menyewa antara penggugat yang merupakan pemilik sebuah blok rumah susun (flats) di London yang disewakan kepada tergugat seharga 2.500 poundsterling per tahun. Pada tahun 1939 setelah Perang Dunia II terjadi, tergugat tidak dapat menemukan rumah susun yang dapat disewakan kembali karena begitu banyak masyarakat yang meninggalkan kota London. Oleh karena itu, penggugat setuju untuk menurunkan harga sewanya sebesar 50% (lima puluh persen) menjadi 1.250 poundsterling per tahun. Pengaturan mengenai pembayaran ini berlanjut hingga setelah perang berakhir pada tahun 1945 dan kondisi sulit untuk mencari rumah susun pun sudah tidak terjadi lagi. Lalu, penggugat pun meminta tergugat untuk membayar kembali biaya sewanya seperti harga awal serta mempertanyakan apakah mereka tidak berhak untuk mengklaim setengah dari harga yang dibayarkan selama waktu perang, mengingat janji untuk menerima harga tersebut (1.250 poundsterling) tidak didukung oleh adanya consideration. Dalam kasus ini, hakim Denning J menyatakan bahwa penggugat dalam hal ini tidak berhak untuk meminta tambahan uang untuk menutupi kerugiannya pada masa-masa perang tersebut karena di dalamnya terdapat general equitable principle yang bermakna “a promise intended to be binding, intended to be acted upon, and in fact acted on, is binding so far as its terms properly apply.” Hal ini berarti bahwa selama suatu kondisi ataupun persyaratan sudah ditentukan untuk perjanjian dapat berlaku, maka janji tersebut dapat dianggap mengikat dan dapat dilakukan. Pendapat dari Lord Denning tersebut menggambarkan bahwa yang dibutuhkan dalam suatu perjanjian untuk dapat dianggap mengikat ataupun dapat dilaksanakan atau tidak adalah dengan melihat apakah pihak yang menerima janji tersebut telah melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan atau dilakukan atas kepercayaan atau ketergantungan promisee terhadap janji yang telah diberikan kepadanya itu (has acted in reliance on it). Dengan kata lain, hal



D. G. Cracknell, 150 Leading Cases-Obligations: Contract Law, ed. 2, (London: Old Bailey Press, 2002), hlm. 16-18. 10



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



51



tersebut mengadopsi teori ketergantungan atau kepercayaan dari pemberlakuan kontrak (reliance-based theory of the enforceability of contracts). Pendapatnya ini tidak sejalan dengan doktrin consideration yang mengharuskan adanya hubungan timbal balik yang harus diberikan oleh promisee atas janji dari promisor demi keuntungan yang didapatkan promisor dari janjinya tersebut. Sebagai contoh, apabila pernyataan Denning digunakan maka jika A berjanji untuk memberikan B uang sebesar 10.000 poundsterling, dan berdasarkan janji tersebut B akan memutuskan untuk pergi dan membeli mobil, maka A sudah terikat dengan janji tersebut. Namun, apabila yang digunakan adalah doktrin consideration maka A tidak terikat dengan janji tersebut dan tidak dapat dibebankan untuk memberikan uang sebesar 10.000 poundsterling dikarenakan B tidak dibebankan dengan kewajiban apapun yang bersifat timbal balik untuk A, sehingga dianggap tidak memenuhi adanya unsur consideration. Berdasarkan kasus tersebut diketahui adanya penerapan doktrin equitable estoppel yang dalam perkembangannya dikenal dengan promissory estoppel. Perubahan terminologi ini terjadi akibat adanya perkembangan hukum dalam sistem common law pada tahun 1947.11 3. Hubungan Promissory Estoppel dengan Consideration Dalam sistem common law, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau kontrak harus memenuhi enam elemen (the six element of a contract), yaitu: 1) Offer, 2) Acceptance, 3) Mutual Assent, 4) Capacity, 5) Consideration, dan 6) Legality. Jika dijelaskan lebih lanjut keenam elemen tersebut ialah sebagai berikut: a. Pihak pertama, selaku orang yang mempunyai prakarsa dan disebut sebagai pihak yang menawarkan (the offeror) menyampaikan usul (proposal) yang menunjukkan keinginan (willingness) untuk membuat kontrak kepada pihak lain. b. Pihak kedua, sebagai pihak yang ditawari (the offeree) yang menerima (acceptance) dan setuju (agrees) diikat dengan persyaratan yang termuat dalam penawaran. Penawaran disini sebenarnya merupakan langkah awal dalam mewujudkan hubungan kontraktual antara kedua belah pihak. 11



Downes, A Textbook, hlm. 127.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



52



Begitu pentingnya, penawaran harus sungguh-sungguh diinginkan (intended), jelas (clear), dan pasti (definite) serta secara bebas (freely) dikomunikasikan kepada yang ditawarkan. Kemudian bergantung kepada yang ditawarkan, akan menerima ataukah menolak. c. Penawaran dan penerimaan ini mewujudkan kesepakatan timbal balik (mutual assent) atau disebut juga perjumpaan keinginan. Namun, kesepakatan tersebut dapat dibuyarkan atau dirusak (destroyed) oleh penipuan (fraud), salah menjelaskan (misinterpretation), kekeliruan (mistake), paksaan (dures), atau hubungan yang berat sebelah (undue influence)



sehingga



mengakibatkan



“defective



agreement”,



jadi



kesepakatan itu harus bebas.12 d. Para pihak yang membuat perjanjian, menurut hukum dianggap bahwa masing-masing pihak mempunyai kecakapan (has the legal capacity) untuk berbuat demikian. e. Sesuatu yang bernilai yang diperjanjikan terhadap pihak lain sebagai pertukaran untuk sesuatu yang bernilai lainnya yang diperjanjikan dalam kontrak mengikat para pihak bersama disebut consideration. f. Para pihak dilarang melangsungkan kontrak yang melibatkan sesuatu tindakan yang tidak legal/ illegal (element legality). Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, doktrin promissory estoppel sangat erat kaitannya dengan doktrin consideration sehingga perlu terlebih dahulu menjelaskan mengenai consideration. Pada sistem common law, suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Menurut Paul Latimer, “consideration is something be given in return, consideration can be viewed as counter promise, price or action”. 13 Berdasarkan pernyataan tersebut, consideration dapat diartikan sebagai suatu kontra prestasi yang berupa harga atau perbuatan. Penerapan doktrin ini dapat mengakibatkan suatu kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum Lihat juga S. B. Marsh and J. Soulsby, diterjemahkan oleh Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 122-138. 13 Paul Latimer, Australian Business Law, (Sydney: CCH Australia Limited, 1998), hlm. 271. 12



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



53



karena alasan yang bersifat teknis. Dalam perkembangannya, untuk mengatasi kekauan doktrin consideration, maka pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat membuat doktrin promissory estoppel.14 Doktrin ini merupakan jalan keluar untuk menentukan mengikatnya suatu perjanjian yang tidak mengandung consideration di dalamnya. 4. Pembatasan Doktrin Promissory Estoppel Dalam menerapkan doktrin promissory estoppel, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan karena tidak semua perbuatan dapat diterapkan doktrin ini. Menurut Richard Stone, terdapat lima batasan atau syarat yang harus diterapkan dalam menggunakan doktrin promissory estoppel, antara lain sebagai berikut:15 a. Promissory estoppel hanya dapat diterapkan apabila ada hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak Hal ini berarti bahwa doktrin ini tidak dapat dilaksanakan dalam kondisi yang vacuum dimana tidak ada hubungan hukum yang terjadi. Hubungan hukum merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki, seperti yang ada pada kasus High Trees dimana terdapat hubungan sewa menyewa yang memang terjadi di antara keduanya. 16 Sejalan dengan kasus High Trees, dalam kasus lain yaitu Combe v. Combe juga memperlihatkan hubungan hukum antara para pihak. Kasus ini merupakan persoalan antara suami istri yang bercerai, dimana pada awalnya sang suami berjanji untuk membayar tunjangan untuk istrinya sejumlah 100 poundsterling per tahunnya. Namun, kenyataannya sang suami tidak pernah membayarkan uang tersebut. Sang istri menuntut hal tersebut didasarkan pada janji yang telah diberikan suaminya. Hakim Byrne J mengungkapkan bahwa dalam hal tidak terdapat consideration di dalam perjanjian tersebut, sang istri dapat menuntut haknya merujuk pada yurisprudensi pada kasus High Suharnoko, Hukum Perjanjian, hlm. 12-13. Richard Stone, The Modern Law of Contract, 6th ed, (London: Cavendish Publishing Limited, 2005), hlm. 98-103 https://books.google.co.id/books?id=uLd4qy7LJJYC&pg=PA105&dq=promissory+e stoppel&hl=id&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwjo_eXk17jQAhVBq48KHV15AM0Q6AEI KTAC#v=onepage&q=promissory%20estoppel&f=false diakses 9 November 2016 16 Lihat kasus Central London Property Ltd v. High Trees hlm. 49-51. 14 15



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



54



Trees, yakni menggunakan doktrin promissory estoppel. hal ini menunjukkan bahwa dengan tidak adanya consideration (mengandung hubungan timbal balik) maka dapat diterapkan doktrin ini. Adanya hubungan hukum di antara para pihak memang penting, karena apabila tidak ada, tentu saja tidak ada yang dapat mendasari mengapa mereka bersengketa atas janji yang telah diberikan salah satu pihak. b. Harus ada suatu kepercayaan, ketergantungan, atau pengharapan (reliance) terhadap janji yang diberikan Dalam membuat perjanjian pada umumnya, tanggung jawab para pihak baru muncul ketika terdapat pertukaran janji diantara kedua belah pihak, yang mana tidak diperlukan suatu pengharapan maupun ketergantungan satu pihak terhadap pihak lain atas janji yang diberikan. Hal ini berbeda dengan apa yang diterapkan dalam doktrin promissory estoppel, dimana pihak yang ingin melaksanakan janji tersebut harus melakukan suatu perbuatan yang didasarkan kepada janji tersebut. Sebagai contoh, dalam kasus High Trees telah ada perbuatan yang dilakukan oleh tergugat yakni membayar uang sewa kepada Central London dengan harga setengah lebih murah. Perbuatan membayar itu lah yang termasuk dalam kategori melakukan suatu perbuatan yang didasarkan pada janji. Dalam kasus lain, dapat juga dikatakan bahwa kepercayaan atau ketergantungan tersebut dibuktikan dengan dialaminya sejumlah kerugian oleh promisee yang disebabkan oleh dilakukannya suatu perbuatan berdasarkan janji promisor, walaupun menurut Lord Denning kerugian ini bukanlah hal mutlak yang harus selalu ada. c. Doktrin ini hanya dapat digunakan sebagai perisai, bukan pedang (as a shield not a sword) Istilah ini memiliki makna bahwa doktrin promissory estoppel hanya dapat digunakan sebagai pertahanan untuk membela hak yang telah dilanggar sebelumnya oleh salah satu pihak atas dasar kepercayaan terhadap janji yang diberikan tersebut, bukan sebagai alasan untuk



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



55



menuntut sesuatu yang terdapat pada masa yang akan datang. Hal ini mendukung syarat sebelumnya yakni penggunaan doktrin promissory estoppel hanya dapat diterapkan pada hubungan hukum yang sudah atau sedang terdapat pada para pihak, bukan untuk membuat suatu hubungan hukum baru. d. Harus terdapat kondisi yang membuat keadaan tidak adil apabila promisor melanggar janji yang telah diberikannya Perlu diketahui sebelumnya bahwa doktrin promissory estoppel merupakan perkembangan dari konsep persamaan (equitable estoppel). Oleh karena itu, doktrin ini digunakan berdasarkan diskresi hakim pengadilan karena walaupun unsur-unsur lain terpenuhi, tetapi dengan adanya pelanggaran janji dari promisor membuat keadaan yang tidak adil, maka doktrin ini akan tetap diterapkan. Salah satu aspek yang dikedepankan oleh doktrin ini adalah aspek keadilan. e. Doktrin ini bersifat hanya menunda akibat yang akan terjadi di masa mendatang (suspensory in its effect) Pembatasan yang kelima ini masih diragukan dan tergantung pada kondisi kasus masing-masing. Dalam beberapa, bahkan mayoritas, kondisi dimana promissory estoppel diterapkan, sifat yang muncul adalah menunda akibat-akibat dari pelanggaran janji tersebut yang dapat terjadi di masa mendatang. Dengan kata lain, janji tersebut hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu. 17 Selain itu, promissory estoppel juga dapat membuat suatu hak salah satu pihak terpenuhi dan menunda hak dari pihak lainnya. Hal ini seperti yang terjadi dalam kasus High Trees dimana hak untuk menerima bayaran sewa seharga penuh selama perang terjadi tidak dapat dipenuhi karena diterapkannya doktrin promissory estoppel. namun, Richard Stone, Contract Law, 5th ed, (London: Cavendish Publishing Limited, 2003), hlm. 34 https://books.google.co.id/books?id=HXsvJKb0bqkC&pg=PA34&dq=limitation+pro missory+estoppel&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj6pJS8tfbQAhVHNo8KHXPaCzAQ6A EIGTAA#v=onepage&q=limitation%20promissory%20estoppel&f=false diakses 14 Desember 2016 17



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



56



karena janji tersebut di interpretasikan sebagai janji yang hanya berlaku selama perang saja, maka dianggap bahwa setelah perang kondisi akan kembali seperti semula, yakni pembayaran kembali sejumlah 2500 poundsterling. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kasus tersebut maka promissory estoppel memiliki sifat menunda saja pemenuhan hak yang seharusnya didapatkan oleh promisee. Proses pembuatan kontrak seringkali diawali dengan adanya proses negosiasi, dimana para pihak yang ingin melakukan kerjasama menyamakan persepsinya tentang apa yang ingin mereka lakukan. Sebagai bentuk penerapan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas menentukan bagaimana struktur dari proses negosiasi yang akan mereka lakukan, yang nantinya akan menghasilkan sejumlah kewajiban-kewajiban pra kontraktual. Para pihak dapat pula mengatur hal-hal yang dianggap perlu, seperti misalnya kewajiban untuk menjaga kerahasiaan, kewajiban memberikan informasi maupun hal-hal yang menyangkut biaya negosiasi yang akan mereka lakukan. 18 Kewajiban pra kontraktual ini akan muncul ketika telah ditentukan dan disepakati para pihak dengan didasari oleh adanya asas itikad baik. Asas ini pada dasarnya dikenal dalam sistem civil law yang kemudian berkembang dan dikenal pula dalam sistem common law. Dalam civil law, asas itikad baik memegang peranan yang sangat penting dan mendasar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 242 German Civil Code yang mengatur mengenai pelaksanaan perjanjian itikad baik.19 Hal tersebut sejalan dengan asas itikad baik di Indonesia yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Subekti



menjelaskan



bahwa



itikad



baik



menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan satu dari beberapa sendi yang terpenting dari hukum kontrak yang memberikan kekuasaan kepada Ingeborg Schwenzer, Pascal Hachem, dan Cristopher Kee, Global Sale and Contract Law, (New York: Oxford University Press Inc, 2012), hlm. 276. 19 Section 242 (Performance in good faith): An obligor has a duty to perform according to the requirements of good faith, taking customary practice into consideration. German Civil Code, Bundesministerium der Justiz and fur Verbraucherschutz, http://gesetze-iminternet.de/englisch_bgb/englisch_bgb.html#p0725 diakses 31 Oktober 2016 18



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



57



hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu kontrak agar kepatutan



dan



keadilan.



Ini



berarti



bahwa



hakim



tidak



melanggar



berwenang



untuk



menyimpang dari kontrak jika pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan keadilan (recht gevoel) satu diantara dua pihak. Asas itikad baik menuntut adanya kepatutan dan keadilan, dalam arti tuntutan adanya kepastian hukum yang



berupa



pelaksanaan



kontrak tidak boleh melanggar norma-norma



kepatutan dan nilai-nilai keadilan.20 Dalam sistem common law, terutama sistem hukum Inggris, asas itikad baik tidak menjadi sebuah asas yang mendasar dan harus diterapkan dalam pembuatan suatu perjanjian. Para pihak diberikan kebebasan untuk mengambil resiko atas apa yang diperjanjikannya sendiri serta mengatur dan menjaga apa yang



menjadi



kepentingannya



dalam



perjanjian



tersebut.



21



Dalam



perkembangannya, asas itikad baik menjadi dikenal dan diterapkan dalam sistem common law walaupun tidak mendasar dan cara penerapannya berbeda dengan dalam sistem civil law. Asas itikad baik juga berkaitan dengan penerapan doktrin promissory estoppel. Keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan hukum para pihak, terutama promisee. Kaitan diantara keduanya adalah doktrin promissory estoppel dapat diterapkan pada janji yang didasari oleh itikad baik. Dengan adanya suatu proses negosiasi oleh para pihak, maka dapat diketahui dari hubungan tersebut, terdapat suatu pihak yang telah memberikan janji (promisor) baik secara terang-terangan (eksplisit) maupun secara diam-diam (implisit) yang mana ia harus memiliki itikad baik untuk dapat mencapai kesepakatan dengan pihak lain yang terkait (promisee). 22 Apabila terjadi pelanggaran terhadap janji tersebut, pihak lain dapat menuntut pihak yang memberikan janji berdasarkan doktrin promissory estoppel.



20



Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012),



hlm. 94 21 Giuditta Cordero Moss, “The Function of Letters of Intent and their Recognition in Modern Legal Systems” dalam New Features in Contract Law, (Munchen: Sellier, European Law Publishers, 2007), hlm. 147. 22 Steven L. Emanuel, Contracts, ed. 8, (New York: Aspen Publisher Inc, 2010), hlm. 143.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



58



B. Unjust Enrichment 1. Pengertian Unjust Enrichment Dalam beberapa literatur, istilah unjust enrichment dipersamakan dengan restitution. Kedua istilah ini memiliki perbedaan dalam pengertian dan penggunaannya. Sebuah gugatan berdasarkan unjust enrichment dikenal sebagai gugatan restitution atau ganti kerugian. Penggugat meminta pengadilan untuk mengembalikan manfaat yang telah diperoleh tergugat atas pengeluaran penggugat. Gugatan ini dikenal dengan gugatan ganti kerugian yang berdasarkan atas doktrin unjust enrichment. Namun, restitution dan unjust enrichment berada dalam satu bidang hukum disampinng contract dan tort. Dengan kata lain, unjust enrichment merupakan sebab dan restitution merupakan akibat. Doktrin unjust enrichment menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya sendiri karena pengeluaran pihak lain secara tidak adil 23 . Dalam Black’s Law Dictionary, unjust enrichment merupakan “doctrine is general principle that one person should not be permited unjustly to enrich himself at ekspense of another but should be required to make restitution of or property or benefits received, retained or appropriated, where it is just and equitable that such restitution be made, and where such action violation or frustration of law or opposition to publik policy, either directly or indirectly”. Artinya, suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya secara tidak adil yaitu dengan biaya dari pihak lain dan karena itu harus mengembalikan harta atau manfaat keuntungan yang telah diterimanya, ditahannya atau diambilnya, dan pengambilan ini dirasakan adil dan layak serta tidak bertentangan atau menghalangi hukum atau berlawanan dengan kepentingan umum baik secara langsung maupun tidak langsung. Doktrin ini biasanya berlaku dalam kasus antara owner dan kontraktor. Tidak semua perbuatan hukum dapat dikatakan unjust enrichment, hal ini bergantung pada 3 (tiga) keadaan:24 a. Kontraktor telah menyediakan barang atau jasa untuk kepentingan pemilik



Richard J. Long dan Andrew Avalon, The Doctrine of Unjust Enrichment, (Colorado: Long International, Inc., 2016), hlm. 1. 24 Ibid, hlm. 3. 23



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



59



b. Pemilik mendapatkan keuntungan dari barang atau jasa yang diberikan oleh kontraktor c. Ada pengharapan yang wajar akan bayaran atas barang atau jasa yang disediakan oleh kontraktor. Hal serupa juga diungkapkan oleh Philip Davenport dan Christina Harris yang menyatakan bahwa gugatan ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment harus memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:25 a. Benefit or enrichment. Tergugat memperkaya diri sendiri dengan menerima suatu manfaat, seperti pembangunan gedung. b. At the plaintiff’s expense. Penggugat melakukan pekerjaan yang menguntungkan tergugat tanpa dibayar. c. Unjust factor. Tidak adil untuk memperkenankan tergugat memperoleh manfaat tersebut. d. No bars to the restitutionary claim. Tidak ada pertimbangan lain yang dapat membatasi gugatan, sepeerti kontrak diantara para pihak. Pada dasarnya, ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment tidak dapat dilakukan terhadap kontrak yang nyata/eksplisit atau (contracts implied in fact). Apabila kontraktor ingin mengajukan gugatan ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment karena ada perubahan dalam pekerjaan, maka kontraktor harus membuktikan bahwa tidak ada ketentuan yang secara tegas tertuang dalam kontrak mengenai ganti rugi akibat perubahan pekerjaan. Jika ketentuan tersebut ada, maka ganti rugi berdasarkan unjust enrichment tidak dapat diterapkan. 26 Dalam kasus Arcadis U.S., Inc v. Department of The Interior tanggal 4 Maret 2008, pengadilan menolak dalil kontraktor yang menyatakan bahwa pemerintah telah memperkaya diri sendiri secara tidak sah karena menerima sebuah lahan untuk proyek rehabilitasi lingkungan tanpa membayar untuk itu karena terdapat kontrak yang menyatakan bahwa kontraktor harus mengerjakan lahan tersebut dengan bayaran tertentu.



Philip Davenport dan Christina Harris, Unjust Enrichment, (New South Wales: The Federation Press, 1997), hlm. 34. 26 Ibid. 25



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



60



“… an argument that the government was unjustly enriched by accepting soil without paying for it was rejected because a valid contract required the contractor to perform the work for a fixed price. The dispute arose from a contract to provide environmental remediation sevices. The contractor sought additional payment for the cost of fill required by a task order modification. The doctrine of unjust enrichment applies when the rights and remedies of the parties are not defined in a valid contract. Here, there was a valid contract and, therefore, the theory of unjust enrichment did not apply.” 27 Dengan demikian, keadaan yang paling tepat untuk menerapkan ganti kerugian berdasarkan doktrin unjust enrichment ialah melalui quasi contracts atau contracts implied in law. Quasi contracts bukanlah sebuah kontrak karena syaratsyarat terjadinya kontrak tidak terpenuhi. Quasi kontrak ialah suatu kewajiban karena hukum pada seseorang atas keuntunngan dari orang lain. Hal ini berasal dari prinsip equity yan artinya tidak ada seorang pun yang dapat memperkaya dirinya sendiri secara tidak adil atas pengeluaran orang lain. Keadaan ini disebut quasi kontrak karena akibat hukumnya sama dengan apabila terjadi kontrak. Persyaratan dari quasi kontrak ialah: 1) karena hukum, bukan berdasarkan perjanjian; 2) yang menjadi dasar ialah kewajiban para pihak, bukan janji; 3) haknya selalu hak atas uang/pembayaran, meskipun tidak selalu, juga likuidasi sejumlah uang; 4) hak untuk menuntutnya terhadap seorang yang spesifik, bukan terhadap semua pihak; 5) gugatan atas pelanggarannya dapat dilakukan seperti dalam pelanggaran kontrak biasa. 28 2. Sejarah Unjust Enrichment Doktrin unjust enrichment terkadang dikatakan sebagai suatu bidang hukum yang relatif baru. Pada kenyataannya, Roman Law menyatakan bahwa doktrin ini sudah ada sejak lama berdampingan dengan munculnya hukum kontrak dan delik. Pada zaman klasik, unjust enrichment digambarkan sebagai suatu kewajiban quasi ex contractu: ‘obligations which cannot strictly be seen as Ibid, hlm. 4. P. C. Tulsian, Business Law, 2nd ed, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, 2000), hlm. 173 https://books.google.co.id/books?id=DbbneyBacdcC&pg=SA11PA1&dq=quasi+contract&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwju1ejW0bjQAhUBNY8KHZcICi EQ6AEISDAE#v=onepage&q=quasi%20contract&f=false diakses 21 November 2016 27 28



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



61



arising from contract but which, because they do not owe their existence to wrongdoing, are said to arise as though from a contract’ 29 yang berarti suatu kewajiban yang mana tidak bisa semata-mata dilihat timbul dari kontrak, karena ia tidak menggantungkan keberadaannya berdasarkan adanya suatu kesalahan, meskipun demikian dapat dikatakan timbul berdasarkan kontrak. Hal ini yang kemudian menyadarkan bahwa quasi-contract bukanlah nama yang tepat untuk bidang hukum ini. Perkembangan unjust enrichment di Inggris memiliki pola yang sama dengan Roman Law. Pada awalnya, sistem common law menyatakan bahwa unjust enrichment berkaitan dengan utang piutang. Misalnya, utang piutang melawan kepala biara dimana seorang biarawan membeli sebuah barang yang digunakan untuk biara. Asal muasal keadaan ini menunjuk kepada quasi kontrak di Roman Law.30 Setelah tahun 1648, pengadilan dalam sistem common law mulai membolehkan seseorang mengajukan gugatan dengan mendalilkan unjust enrichment yang dikenal dengan indebitatus assumpsit, daripada dengan utang piutang. Gugatan ini berisi tentang dugaan penggugat bahwa tergugat berhutang (indebitatus) dan menjanjikan untuk membayar (assumpsit) tapi gagal untuk membayar utang tersebut. Salah satu anggapan yang paling umum mengenai indebitatus assumpsit ialah mengenai ‘money had and recieved’ yang berasal dari janji yang sungguh-sungguh (genuine promises). Tergugat memiliki dan menerima uang (money had and recieved) untuk penggunaan kepentingan penggugat dan harus membayarnya kembali karena demikianlah yang dijanjikan. Keadaan ini kemudian mengarah pada janji-janji palsu (fictional promises) yang selanjutnya termasuk juga gugatan ganti kerugian yang dikenal dengan unjust enrichment.31 Pada tahun 1802 dalam essay Sir William Evans, On the Action for



29



P. Birks dan McLeod, Justinian’s Institutes, (London: Duckworth, 1987),



hlm. 117. D. J. Ibbetson, A Historical Introduction to the Law of Obligations, (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 266. 31 James Edelman dan Elise Bant, Unjust Enrichment, (Australia: Hart Publishing, 2006), hlm. 98 https://books.google.co.id/books?id=3gqGDAAAQBAJ&pg=PT97&dq=history+of+un just+enrichment&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjW65X6la_QAhVMOo8KHQo30



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



62



Money Had and Received, on the Law of Insurances, and on the Law of Bills of Exchange and Promissory Notes. Sir William Evans mengidentifikasi bahwa suatu tindakan memiliki dan menerima uang (action for money had and received) merupakan unjust enrichment.32 Pada pertengahan abad ke-18, Lord Mansfield menjelaskan mengenai unjust factor atau faktor tidak adil dalam kasus Moses v. Macferlan sebagai berikut: “If the defendant be under an obligation, from the ties of natural justice, to refund; the law implies a debt, and gives this action, founded in the equity of the plaintiff’s case, as it were upon a contract (quasi ex contractu, as the Roman Law expresses it). This species of assumpsit, (for money had and received to the plaintiff’s use) lies in numberless instances…”33 Dari pernyataan Lord Mansfield tersebut, dapat diartikan bahwa apabila tergugat berada dalam sebuah kewajiban, berdasarkan keadilan, untuk mengembalikan uang maka hukum menyatakannya sebagai utang, dan keadaan ini, jika dilihat dari keadilan bagi penggugat, seolah-olah berdasarkan kontrak (dalam Romman Law dinyatakan sebagai quasi ex contractu). Salah satu pengaruh yang paling penting dalam perkembangan unjust enrichment modern di Anglo-Australian Law ialah tulisan dari Professor James Barr Ames. Ames mengajarkan bahwa “the equitable principle which lies at the foundation of the great bulk of quasi contracts, namely, that one person shall not unjustly enrich himself at the expense of another”. Dalam sebuah artikel di tahun 1888, Ames menyebutkan 3 (tiga) kategori dari quasi kontrak: (1) judgment debts; (2) statutory (and customary) dues; (3) the fundamental principle of justice that no one ought unjustly to enrich himself at the expense of another.34 Di Amerika Serikat, James Barr Ames dikenal sebagai founding father doktrin unjust enrichment. Ames dikenal sebagai seorang sejarawan hukum dan



BggQ6AEIGTAA#v=onepage&q=history%20of%20unjust%20enrichment&f=false diakses 17 November 2016 32 W Swain,’ Unjust Enrichment and the Role of Legal History in England and Australia’ dalam University of New South Wales Law Journal Research Paper No. 1402, hlm. 1033. 33 James Edelman dan Elise Bant, Unjust Enrichment, hlm. 99. 34 Ibid, hlm. 101.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



63



jelas bahwa keahliannya mempengaruhi pandangannya mengenai unjust enrichment. Dalam sebuah artikel, Ames mengambil kesimpulan bahwa: “Once is often bound by those same ties of justice and equity to pay for an unjust enrichment enjoyed at the expense of another, although no money has been received. The quasi-contractual liability to make restitution is the same in reason, whether, for example, one who has converted another’s goods turns them into money or consumes them.”35 Dari pernyataan tersebut, Ames menyatakan bahwa setiap orang terikat kewajiban untuk membayar apabila ia menikmati pengeluaran orang lain demi memperkaya diri sendiri berdasarkan keadilan dan kesetaraan, meskipun ia tidak menerima uang. Tanggung jawab quasi-kontrak untuk memberi ganti kerugian adalah sama alasannya baik yang menjual barang tersebut maupun yang mengkonsumsinya. Pemikiran Ames juga bermula pada kasus Moses v. Macferlan pada tahun 1760. Kasus ini berkaitan dengan sengketa mengenai promissory notes. Kasus Penulis-penulis berikutnya memperdebatkan apakah kasus ini termasuk dalam unjust enrichment atau tidak. Namun, Ames berpendapat bahwa kasus tersebut jika dikombinasikan dengan Roman Law maka termasuk dalam doktrin unjust enrichment. Sejak awal doktrin unjust enrichment sebagian besar merupakan ciptaan law school di Amerika Serikat. Doktrin ini bermula di Harvard dan karena muncul berbagai badan literatur, unjust enrichment mulai dikenal di tempat lain. 36 Seorang kolega Ames, Professor Keener, menggambarkan berdasarkan tulisan Ames bahwa contoh pertanggungjawaban dalam quasi kontrak disandarkan pada doktrin bahwa seseorang tidak dibolehkan memperkaya dirinya sendiri secara tidak adil karena pengeluaran orang lain. Dalam konteks quasi kontrak, pada tahun 1913, dua kategori pertama Ames diabaikan dan quasi kontrak disamakan artinya dengan unjust enrichment. Setengah abad kemudian, pandangan ini dikonfirmasi dengan munculnya United States Restatement of the Law of Restitution. Selanjutnya termasuk juga gugatan ganti kerugian yang dikenal dengan unjust enrichment.37



James Edelman dan Elise Bant, Unjust Enrichment, hlm. 101. Ibid. 37 Ibid, hlm. 102. 35 36



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



64



Diikuti dengan ketidakpuasan akademis dan yudisial dengan gagasan mengenai quasi kontrak, titik balik dari perkembangan unjust enrichment



di



Inggris datang dari pidato Lord Wright dalam House of Lords Fibrosa Spolka Akcyjna v. Fairbairn Lawson Combe Barbour Ltd. Lord Wright mengetahui isi Restatement of the Law of Restitution dengan baik dilihat dari ulasannya pada tahun 1938. Kasus Fibrosa merupakan kasus pertama di Inggris mengenai unjust enrichment. Penggugatnya adalah sebuah perusahaan cat yang telah memberikan uang muka untuk mendapatkan pengiriman mesin-mesin dari Britain pada tahun 1941. Lalu terjadilah perang. House of Lords berpendapat bahwa kontrak tersebut telah gagal dan penggugat berhak atas pembayaran uang muka tersebut dalam indebitatus assumpsit. Lord Wright mengatakan bahwa hal ini, seperti halnya perkataan Lord Mansfield, menjelaskan bahwa sebab dari pemberian ganti kerugian dalam konteks gugatan berdasarkan kegagalan suatu consideration atau kontra prestasi adalah kewajiban untuk membayar yang timbul dari suatu keadaan.38 Terpisah dari pemikiran Lord Wright, pada tahun 1966 Goff (kemudian dikenal dengan Lord Goff) dan Jones (kemudian dikenal dengan Professor Jones) mengeluarkan karya tulis yang menentang teori kontrak tersirat atau quasi kontrak. Pada waktu yang sama, telah terjadi penolakan terhadap teori yang sama oleh hakim-hakim di Australia. Pada tahun 1987 di Australia dan tahun 1991 di Inggris, doktrin unjust enrichment barulah dikenal secara meyakinkan oleh pengadilan-pengadilan tinggi sebagai suatu konsep hukum. Pada tahun 1995, tulisan pertama mengenai ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment dan juga ganti kerugian berdasarkan kesalahan baru muncul di Australia. 39 Pengakuan doktrin unjust enrichment sebagai suatu bidang hukum memerlukan pemahaman dalam hal definisi dan penerapan. Ada dua kemungkinan yang luas, antara lain:40 a. Pendekatan pertama, unjust enrichment dilihat sebagai suatu prinsip keadilan yang samar. Mayoritas tulisan dan putusan mengenai unjust enrichment di Amerika Serikat memiliki karakteristik ide bahwa Ibid, hlm. 103. Ibid, hlm. 103-104. 40 Ibid. 38 39



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



65



doktrin ini merupakan gagasan yang tidak dapat dilukiskan, sama seperti keadilan yang tidak dapat dilukiskan. b. Pendekatan kedua, diadaptasi dari Inggris dan Australia, pendekatan ini menjelaskan bahwa unjust enrichment merupakan suatu bidang hukum, seperti konsep tort yang menyediakan berbagai contoh pertanggungjawaban.



3. Unjust Enrichment dan Quantum Meruit Sering kali doktrin unjust enrichment dipersamakan dengan quantum meruit. Quantum meruit adalah:41 A certain action of the case, brought where one employs a person to do a piece of work for him, without making any agreement about the same; in this case it is by law implied, that he must pay for the work as much as shall be reasonably demanded; that is to say, so much as he has deserved. Dengan kata lain berarti “mendapat kompensasi atau ganti kerugian sebanyak yang sepantasnya diterima”. Quantum meruit dirancang untuk mengimbangi kurangnya ketentuan yang spesifik mengenai pembayaran dalam suatu perjanjian kerja. Apabila ada kesepakatan untuk melakukan pekerjaan, dan dapat dipahami bahwa pekerjaan tersebut harus dibayar, pengadilan akan menyimpulkan suatu jumlah pembayaran yang masuk akal. Misalnya, A menyewa B untuk mengecat rumahnya, tetapi sebelum A dan B sepakat mengenai ketentuan pembayaran, B muncul dan melakukan pekerjaan. Disini jelas bahwa B telah melakukan pekerjaan yang A inginkan dan A telah menerima manfaat, sehingga B berhak mendapat pembayaran yang sesuai. Quantum meruit akan memberikan jumlah yang sewajarnya, misalnya biaya cat dan biaya jasa B. Jumlah tersebut mungkin akan lebih sedikit dari yang akan B dapatkan jika disepakati dalam perjanjian, tetapi dalam hal ini B tidak akan pergi dengan tangan kosong. Berbeda dengan unjust enrichment,



quantum meruit dapat timbul meskipun suatu pekerjaan



sama sekali tidak memberi keuntungan.42 Tariq A Baloch, Unjust Enrichment and Contract, (Oregon: Hart Publishing, 2009), hlm. 129. 42 Jason W. Neyers, Mitchell McInnes, dan Stephen G. A. Pitel, Understanding Unjust Enrichment, (North America: Hart Publishing, 2004), hlm. 155 41



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



66



Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, unjust enrichment muncul dalam situasi dimana salah satu pihak mendapat keuntungan dari pengeluaran pihak lain dan keberadaannya untuk memastikan bahwa pihak yang mendapat keuntungan tersebut tidak memanfaatkan hal tersebut. Tidak harus ada kontrak dalam unjust enrichment. Misalnya, 4. Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment Amerika Serikat memiliki peran yang penting dalam perkembangan doktrin unjust enrichment di negara-negara common law, terutama dengan diterbitkannya The Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment pada tahun 2011. Restatement ini menyatakan ada 2 (dua) macam tanggung jawab berdasarkan manfaat (benefit-based liability). Pertama, yaitu manfaat yang dinikmati oleh salah satu pihak atas kerugian yang di alami pihak lain, misalnya dalam hal terjadi kesalahan transfer uang (direct transfer). Pihak yang mengirim tersebut dapat menuntut ganti kerugian karena ia salah mengirim uang ke pihak lain. Jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut ialah sejumlah uang yang telah di transfer sehingga dengan kata lain pihak yang menerima uang tersebut harus “mengembalikan” uang yang diterimanya itu (disgorgement). Kedua, yaitu dalam fiduciary obligation dimana Tergugat mendapatkan manfaat bukan dari Penggugat, melainkan perjanjian yang dibuatnya dengan pihak ketiga. Penggugat dapat meminta kembali keuntungan yang seharusnya tidak diperoleh oleh Tergugat karena menurut restatement ini hal tersebut merupakan unjust enrichment. Dalam bagian pemulihan hak (remedies), ditekankan bahwa pemulihan hak dalam unjust enrichment lebih menekankan pada apa yang diperoleh atau dimanfaatkan oleh Tergugat, bukan pada kerugian dari Penggugat. Bagian ini menjelaskan mengenai perbedaan penting antara penerima yang tidak bersalah, penerima yang sadar akan kesalahannya, dan kreditur pihak ketiga. Bagian terakhir dalam restatement mengatur mengenai pembelaan terhadap unjust https://books.google.co.id/books?id=0_A8BzUQo7YC&pg=PA155&dq=quantum+me ruit+and+unjust+enrichment&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiCvJqo2bjQAhXGQY8KHf TxBQsQ6AEIMDAD diakses 21 November 2016



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



67



enrichment,



yaitu



the recipient



was



not unjustly



enriched,



equitable



disqualification (unclean hands), passing on and rights of third persons, change of position, bona fide purchaser, bona fide payee, value, notice, and limitation of actions and laches. Bagian ini akan memberikan panduan Penggugat yang mencari pertanggung jawaban alternatif dimana gugatan perbuatan hukum dan wanprestasi tidak dapat dilakukan dan panduan bagi Tergugat yang ingin menegaskan adanya batasan dalam undang-undang, pembelaan dalam hal keterlambatan yang tidak masuk akal, dan prasangka yang disebabkan perubahan intervensi keadaan. 5. Hambatan dalam Doktrin Unjust Enrichment Hambatan atau persoalan penting yang menghalangi seseorang dari mendapat ganti kerugian melalui unjust enrichment dalam quasi kontrak meliputi officiousness, acceptance, reasonable expectation, tortuous conduct, and authority.43 a. Officiousness. Apabila seseorang melakukan suatu pekerjaan secara sukarela tanpa permintaan dari owner, kompensasi atau kompensasi terhadap pekerjaan tersebut tidak dapat dimintakan. Hal ini untuk melindungi pihak yang memberi manfaat kepada orang lain dan menghukum pihak yang memanfaatkan oran lain. Jika owner tidak memina dilakukan pekerjaan tersebut maka dapat dikatakan sebagai sukarela. Apabila kontraktor melakukan pekerjaan tersebut dengan itikad baik karena terhadap harta kekayaan, barang-barang, atau investasi owner terancam mengalami kerugian, maka dalam hal ini kontraktor dapat memina kompensasi atas pekerjaannya. b. Acceptance. Penerimaan pekerjaan atau penyediaan jasa oleh kontraktor harus ada sebelum owner dikatakan memperkaya dirinya sendiri. Hal ini akan memberikan kebebasan kepada owner untuk menolak atau menerima pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor. Apabila owner menolak pekerjaan tersebut, tidak mungkin terjadi memperkaya diri sendiri. Hal ini melindungi owner dari membayar kompensasi atas kesalahan atau 43



Richard J. Long dan Andrew Avalon, The Doctrine, hlm. 7.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



68



pekerjaan kontraktor yang tidak selesai. Kontraktor, dalam hal ingin mengajukan gugatan berdasarkan unjust enrichment tanpa penerimaan, harus membuktikan bahwa owner menahan penerimaan tanpa sebab yang jelas. c. Reasonable expectation. Perkiraan yang wajar akan jumlah ganti kerugian juga



harus



diperhatikan.



Apabila



kontraktor



telah



melakukan



pekerjaannya, ia harus menjelaskan maksudnya dan owner juga harus mengerti bahwa ia berkewajiban untuk membayar jasa kontraktor tersebut. Jika maksud para pihak tidak terlihat, maka hal tersebut dapat dibuktikan dengan memperkirakan bahwa orang pada umumnya akan melakukan sesuatu pada situasi yang sama. Jika perkiraan yang wajar akan jumlah ganti kerugian tidak dapat dilakukan, maka pekerjaan yang dilakukan kontraktor tersebut dapat dikatakan tidak beralasan. d. Tortuous conduct. Pemenuhan ganti kerugian secara penuh terhadap pekerjaan yang dilakukan kontraktor mungkin tidak dapat diberikan apabila perilaku owner tidak jujur. Jika owner tidak melakukan kesalahan dan telah melakukan perbuatan yang beralasan, dan jika owner akan menderita kerugian jika membayar secara penuh, maka ganti kerugian secara penuh tidak dapat diberikan. Begitu pula jika kontraktor melakukan kesalahan maka ganti kerugian tidak dapat diberikan. Jika kesalahan kontraktor lebih sedikit daripada owner atau kesalahan kontraktor tidak berhubungan dengan permasalahan yang ada, maka ganti kerugian dapat dikabulkan. Bagaimanapun juga, jika owner tidak jujur, telah mengetahui manfaat yang diterimanya dari pekerjaan kontraktor dan memiliki kesempatan



untuk



mengganti



kerugian,



maka



kontraktor



dapat



mengajukan gugatan ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment. e. Authority. Hal terakhir yang harus diperhatikan ialah mengenai kewenangan pihak yang menggunakan jasa. Misalnya, sebuah perusahaan kontraktor diminta untuk melakukan perbaikan jalan oleh dua orang karyawan pemerintah. Setelah perbaikan selesai, pemerintah tidak mau melakukan pembayaran terhadap kontraktor tersebut karena dua orang karyawan tersebut tidak berwenang untuk memerintahkan perbaikan jalan.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



69



Dalam contoh kasus ini, hal penting yang harus diperhatikan bagi kontraktor ialah untuk membuktikan bahwa dua orang karyawan tersebut bertindak atas nama pemerintah dan pemerintah mendapatkan manfaat dari pekerjaan yang dilakukan kontraktor. Agar ganti kerugian dapat terpenuhi, kontraktor harus membuktikan bahwa karyawan tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk memerintahkan perbaikan jalan.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



70



BAB IV ANALISA PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST ENRICHMENT PADA PUTUSAN NO. 2815K/PDT/2014 ANTARA UNGKAP SIMAMORA MELAWAN DINAS PEKERJAAN UMUM KOTA BONTANG A. Kasus Posisi Perkara bermula dari penunjukan langsung untuk proyek Pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Bontang Barat yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang (Tergugat) kepada Ungkap Simamora selaku Direktur Utama PT. Perucha (Penggugat) dengan nilai Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah). Dalam dalil gugatannya, Penggugat menyatakan bahwa pelaksanaan proyek tersebut pernah diawasi oleh pegawai Tergugat dan setelah proyek selesai dikerjakan, Penggugat menagih pembayaran proyek tersebut kepada Tergugat. Namun, Tergugat menolak untuk membayar, bahkan meragukan dengan berbagai dalih dan menyangkal kesepakatan dengan cara penunjukan langsung. Berdasarkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) pelaksanaan proyek dinyatakan bahwa Penggugat merupakan Direktur Utama PT. Perucha yang sah sesuai kesepakatan secara penunjukan oleh Tergugat. Dengan tidak dikeluarkannya Surat Perintah Kerja (SPK) oleh Tergugat mengakibatkan Penggugat mengalami kerugian karena telah mengeluarkan banyak biaya untuk mengerjakan proyek tersebut. Tindakan Tergugat yang tidak mau membayar nilai proyek yang telah Penggugat kerjakan adalah tindakan melawan hukum, sehingga berdasarkan hukum Penggugat memohon agar Tergugat dihukum untuk mengerjakan nilai proyek yang telah Penggugat kerjakan. Dalam petitumnya, Penggugat memohon untuk menyatakan Penggugat adalah pelaksana proyek yang sah dari Tergugat dan menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah perbuatan wanprestasi. Berdasarkan gugatan tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan bahwa gugatan Penggugat obscuur libel dan error in



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



71



persona. Gugatan Penggugat adalah gugatan mengenai perbuatan melawan hukum, tetapi dalam gugatan sama sekali tidak menguraikan ketentuan mana yang dilanggar oleh Tergugat. Gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona karena Tergugat tidak memiliki persona standi in judisio di depan Pengadilan dan tidak mempunyai kapasitas atau kedudukan hukum untuk digugat dan seharusnya yang ditarik sebagai Tergugat adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Pengadilan



Negeri



Bontang



memberikan



Putusan



Nomor



13/Pdt.G/2013/PN.BTG tanggal 5 September 2013 dengan amar mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pada tingkat banding, Tergugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda dengan Putusan Nomor 107/PDT/2014/PT.KT-SMDA tanggal 8 April 2014 dengan amar membatalkan Putusan Nomor 13/Pdt.G/2013/PN.BTG. Setelah putusan terakhir diberitahukan kepada Penggugat pada tanggal 1 Juni 2014, Penggugat melalui kuasanya mengajukan kasasi pada tanggal 20 Juni 2014. Terhadap alasan-alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya perbuatan ingkar janji adalah perbuatan yang telah melanggar hak subjektif pihak lain yang esensinya juga merupakan perbuatan melawan hukum. Secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis (SPK) yang mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon Kasasi, namun faktanya selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada keberatan dari pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat maka menjadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam pekerjaan proyek tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat. B. Analisis Kasus



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



72



1. Asas itikad baik pada tahap pra kontrak dan perbandingannya dengan doktrin promissory estoppel Pengadaan barang/jasa Pemerintah diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang ini menjelaskan terdapat dua pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi, yaitu Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Pengguna Jasa adalah orang perseorangan atau badan hukum sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.1 Dalam perkara ini, pengguna jasa adalah Pemerintah Kota Bontang. Sedangkan Penyedia Jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi, yaitu Ungkap Simamora selaku Direktur Utama PT. Perucha Dalam hal ini, Ungkap Simamora sebagai Pemohon Kasasi/Terbanding/Penggugat merupakan Penyedia Jasa berdasarkan penunjukan langsung



oleh



Pemerintah



Kota



Bontang



sebagai



Termohon



Kasasi/Pembanding/Tergugat. Pasal 3 ayat (1) PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa: “Pemilihan penyedia jasa yang meliputi perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi oleh pengguna jasa dapat dilakukan dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, atau penunjukan langsung.” Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa pemilihan Penyedia Jasa salah satunya dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Sesuai dengan syarat yang berlaku, 2 penunjukan langsung dapat dilakukan dalam perkara ini karena proyek yang dikerjakan oleh Penggugat merupakan keadaan darurat dalam hal penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik Perlu juga diperhatikan Pasal 20 ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah



Pasal 14 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 8 ayat (1) PP No. 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan Pasal 38 ayat (4) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 1 2



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



73



mengenai tata cara pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan



metode



penunjukan



langsung



yang



tahap



terakhirnya



ialah



penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya pada suatu hubungan pekerjaan konstruksi, dibuat suatu kontrak yang berisi hal-hal yang diatur dalam Keppres ini. 3 Akan tetapi, dalam perakara ini tidak ada kontrak atau perjanjian yang dibuat. Ketiadaan suatu kontrak tertulis antara para pihak tidak berarti bahwa tidak ada hubungan hukum diantara keduanya. Penggugat dan Tergugat baru sampai pada tahap perundingan dimana tercapai persesuaian kehendak bahwa Tergugat berhak atas pekerjaan konstruksi dan berkewajiban untuk membayar biaya yang sesuai, sedangkan Penggugat berkewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi dan berhak atas sejumlah pembayaran. Dengan kata lain, telah terjadi kesepakatan antara para pihak, yaitu pada tahap pra kontrak. Apabila dikaitkan dengan tahapan kontrak, tahap dalam perancangan kontrak di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu praperancangan kontrak, perancangan kontrak, dan pascaperancangan kontrak. Kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat tercapai pada tahap praperancangan kontrak dimana pada tahap ini Penggugat dan Tergugat telah mencapai tahap akhir dari negosiasi. Tahap terakhir negosiasi merupakan tahap dimana salah satu pihak tidak diperbolehkan lagi menghentikan negosiasi yang bertentangan dengan itikad baik. Jika kewajiban ini dilanggar, maka akan melahirkan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak lain atas segala biaya yang telah dikeluarkan dan juga kehilangan keuntungan yang diharapkannya. Hal ini membuktikan bahwa pada tahap ini pun telah terjadi hubungan hukum diantara kedua belah pihak. Hukum kontrak di Indonesia sendiri masih belum menerapkan asas itikad baik pada tahap pra kontrak. Dengan kata lain, pengadilan masih menerapkan teori klasik hukum kontrak dimana asas itikad baik tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu. 4 Teori ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan 3 Pasal 29 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 4 Suharnoko, Op. Cit., hlm. 5.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



74



itikad baik. Ketentuan ini menyebutkan penerapan asas itikad baik hanya pada pelaksanaan kontrak saja, bukan pada tahap pra kontrak. Berbeda dengan negaranegara maju dalam sistem civil law, seperti Perancis, Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak tetapi juga dalam tahap perundingan (the duty of good faith in negotiation), sehingga janji-janji pra kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari.5 Pengaturan itikad baik dalam KUH Perdata tidak hanya terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) saja, melainkan juga dalam Pasal 530, 531, 548, 1965, 1966, dan 1977 ayat (1) yang disebut dengan itikad baik subjektif. Itikad baik dalam pasal-pasal tersebut berbeda maknanya dengan Pasal 1338 ayat (3), yaitu itikad baik objektif. Wirjono Prodjodikoro memahami itikad baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut. 6 Jika diperhatikan secara seksama, konsep itikad baik subjektif atau itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum ini merupakan itikad baik pada tahap pra kontrak. Dengan demikian, hukum kontrak di Indonesia pun mengenal itikad baik pada tahap pra kontrak meskipun tidak ada pasal yang menyatakannya secara tersurat. Dalam yurisprudensi di Indonesia sendiri sudah banyak perkara yang menerapkan asas itikad baik pada tahap pra kontrak, terutama dalam perjanjian jual beli. Salah satunya dalam kasus Fatimah cs v. M. Saleh,7 itikad baik pada tahap pra kontrak harus ditunjukan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini penjual



Ibid, hlm. 3. Wijono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, cet. 11, (Bandung: Sumur, 1992), hlm. 61-62. 7 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No 4340/K/Pdt 1986. 5 6



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



75



dan pembeli. Selain membebankan kepada penjual untuk menjelaskan fakta material, Mahkamah Agung juga mengharuskan pembeli untuk menilai fakta material yang berkaitan dengan transaksi tersebut. Kasus ini berawal ketika H. Ahmad menghibahkan sebidang tanah beserta rumah kepada anak dari istri pertamanya, yang bernama M. Saleh. Di samping itu, ia juga menghibahkan tanah sawah kepada Fatimah, Hamisah, dan Mustamin, anak-anaknya yang lain dari istri keduanya. Akan tetapi, karena anak-anaknya ini masih belum dewasa, maka tanah pertanian itu untuk sementara waktu dititipkan kepada anak tertuanya, M. Saleh, agar di kemudian hari diserahkan kepada adik-adiknya ketika mereka sudah dewasa. Setelah H. Ahmad wafat, tanah sawah itu justru dijual-gadai oleh M. Saleh kepada Mansyur Samlun dan Abd. Wahab. Bahkan, kemudian tanah tersebut juga telah dijual-lepas kepada H. Abd. Rahman Abu Landa yang hak garapnya tetap pada Mansyur Samlun dan Abd. Wahab. Ketika dewasa, adik-adiknya meminta kembali tanah sawah pemberian almarhum ayah mereka tersebut. Akan tetapi, M. Saleh menolak permintaan mereka karena tanah itu memang sudah dijual sehingga Fatimah cs mengajukan gugatan ke pengadilan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat fakta dalam Surat Jual Beli tanah tersebut keterangan bahwa M. Saleh, selaku penjual, bertindak untuk dan atas nama ayahnya, tetapi tidak pernah terdapat kuasa untuk menual. Di samping itu, terdapat keterangan yang justru bertolak belakang, yang menyatakan M. Saleh adalah pemilik sah atas tanah tersebut. Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertentangan-pertentangan ini sepatutnya menimbulkan kecurigaan bagi pembeli, sehingga pembeli seharusnya meneliti terlebih dahulu siapakah sebenarnya pemilik tanah ini. Oleh karena pembeli tidak berbuat sesuatu untuk menelitinya, maka pembeli dinilai sebagai pembeli yang beritikad buruk. Dengan melihat kasus tersebut, dapat dilihat bahwa pada prakteknya itikad baik pada tahap pra kontrak sudah diterapkan dalam hukum kontrak di Indonesia,. Sehubungan dengan itikad baik tersebut, Tergugat seharusnya tidak diperbolehkan untuk melanggar apa yang telah disepakati pada tahap pra kontrak karena bertentangan dengan asas itikad baik, terutama karena Penggugat telah menaruh kepercayaan atas perkataan dan janji-janji Tergugat sehingga telah mengeluarkan segala biaya demi terselesaikannya pekerjaan yang diminta. Oleh



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



76



karena itu, pelanggaran terhadapnya akan melahirkan kewajiban untuk memberikan ganti rugi atas segala biaya yang telah dikeluarkan Penggugat. Dalam dalil gugatan, Penggugat menyebutkan bahwa selama berjalannya pelaksanaan proyek, Penggugat pernah di awasi oleh pegawai Tergugat dan sampai proyek tersebut selesai, Tergugat tidak pernah menghentikan jalannya proyek tersebut padahal Tergugat menyadari bahwa proyek tersebut tidak ada dalam APBD Kota Bontang. Hal ini berarti Tergugat telah melakukan pembiaran yang dapat merugikan Penggugat. Saat Penggugat menagih pembayaran, Tergugat mengingkari adanya penunjukan langsung terhadap Penggugat untuk proyek tersebut karena tidak adanya kontrak. Selain itu, Penggugat juga telah mengajukan bukti dimana dana untuk pekerjaan bagi program percepatan pembangunan sudah pernah dianggarkan, tetapi oleh Tergugat dikembalikan ke Negara dengan alasna yang tidak rasional. Berdasarkan tindakan-tindakan tersebut, dapat dilihat bahwa Tergugat telah menunjukan itikad buruk. Untuk menguatkan dalil gugatannya, Penggugat juga mengajukan saksi ahli yang menyatakan bahwa Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek pekerjaan pembangunan jembatan tersebut adalah valid dan dapat dipastikan dibuat oleh konsultan yang professional dengan mengikuti kaidah-kaidah atau norma standar penyusunan Rencana Anggaran Biaya Proyek Pemerintah dan tidak mungkin dibuat oleh kontraktor biasa. Di samping itu, tidak mungkin RAB tersebut dibuat tanpa berkoordinasi dengan pihak Pengguna Jasa dilihat dari data-data yang dituangkan dalam RAB tersebut karena RAB termasuk dalam tahap perencanaan dan harus melakukan verifikasi dengan Tergugat. Sehingga pernyataan Tergugat yang mengingkari adanya hubungan dengan Penggugat tidak beralasan. Kondisi lainnya yang dapat membuktikan Tergugat beritikad buruk dapat dilihat dari pernyataan saksi yang diajukan Penggugat pada pengadilan tingkat pertama, yaitu Barnabas, salah satu team delegasi Musrenbang Kecamatan Bontang Barat sejak dari tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan sampai dengan Musrenbang tingkat Kota Bontang pada tahun 2005-2006. Karena pekerjaannya, saksi dapat mengetahui keberadaan proyek-proyek sejak diusulkan oleh masyarakat sehingga disetujuinya usulan-usulan tersebut oleh Pemerintah Kota Bontang yang ditandai dengan masuknya usulan proyek tersebut ke dalam Daftar



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



77



Isian Proyek (DIP) Kota Bontang Tahun Anggaran (TA) 2005/2006 yang pelaksanaannya pada tahun 2007. Perjanjian tertulis antara kontraktor dengan Pemerintah Kota Bontang memang tidak ada, namun 85% proyek-proyek pada periode sebelum tahun 2005 dikerjakan tanpa SPK (Surat Perintah Kerja) dan setelah proyek selesai dikerjakan oleh kontraktor, baru dibuatkan SPK. SPK adalah surat resmi yang berisi perintah untuk mengerjakan proyek. Dari keterangan tersebut, terlihat bahwa Tergugat tidak beritikad baik dalam menjalankan



kewajibannya



untuk



mengeluarkan



SPK



yang



seharusnya



dikeluarkan sebelum proyek dikerjakan. Itikad buruk dari Tergugat juga dapat dilihat dari sisi perolehan manfaat yang didapat oleh Tergugat atas pekerjaan yang dilakukan Penggugat. Pekerjaan konstruksi yang telah selesai dilakukan Penggugat memberikan keuntungan bagi Tergugat karena Tergugat tidak perlu mengerjakan proyek tersebut untuk kepentingan umum yang seharusnya menjadi tanggung jawab Tergugat. Di samping itu, dengan selesainya pembangunan jembatan yang menjadi proyek dalam perkara ini, manfaatnya sangat dirasakan juga oleh masyarakat sekitar karena sangat mempengaruhi kelancaran lalu lintas dan masalah banjir sehingga keluhan terhadap Tergugat pun akan berkurang. Seharusnya dengan hal yang demikian, Tergugat melakukan pembayaran kepada Penggugat atas pekerjaannya meskipun tidak ada kontrak diantara keduanya, tetapi berdasarkan itikad baik. Oleh karena itu, itikad baik merupakan asas yang paling penting dalam suatu hubungan hukum. Suatu kondisi dimana Tergugat tidak menunjukan itikad baik pada tahap pra kontrak dengan Penggugat, dalam sistem common law serupa dengan doktrin promissory estoppel. Pada hakekatnya, doktrin ini lahir pada kondisi-kondisi tertentu disaat salah satu pihak secara beralasan meyakini bahwa dirinya telah terikat dalam suatu kontrak, walaupun dalam kenyataannya kontrak tersebut belum dibentuk atau dilahirkan sehingga doktrin ini sangat erat kaitannya dengan itikad baik pada tahap pra kontrak seperti pada hukum kontrak di Indonesia. Keadaan tersebut bisa muncul apabila salah satu pihak (promisee) menaruh pengharapan yang besar dari janji-janji yang diucapkan oleh pihak lain (promisor) sehingga ia melakukan suatu perbuatan demi terpenuhinya janji-janji tersebut.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



78



Pada intinya konsep ini merupakan larangan untuk mengingkari janji dengan



menggugurkan atau mencegah segala bentuk argumentasi yang



bertentangan dengan apa yang telah dilakukan atau dikatakan seseorang walaupun tidak secara tegas diperjanjikan karena berdasarkan tindakan tersebut pihak lain mebuat suatu asumsi atau meyakini akan adanya suatu perjanjian. Sederhananya, suatu gugatan wanprestasi hanya dapat di buat apabila telah ada perjanjian sebelumnya, namun karena ada kemungkinan salah satu pihak dapat dirugikan pada saat perjanjian itu belum terjadi, maka doktrin promissory estoppel ini akan menjadi argumen pembantu bagi pihak yang dirugikan. Penggugat dan Tergugat memiliki hubungan hukum dimana keduanya telah mencapai kesepakatan pada tahap pra kontrak dan memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Penggugat berkewajiban untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi dan berhak atas pembayaran, sedangkan Tergugat berhak atas penyelesaian pekerjaan konstruksi dan berkewajiban untuk melakukan pembayaran. Karena Penggugat percaya akan janji-janji yang diucapkan Tergugat bahwa apabila proyek tersebut selesai akan dibayar sebesar Rp1.624.295.000,00, Penggugat mengerjakan proyek yang diminta Tergugat dengan harapan akan mendapat pembayaran yang sesuai. Dengan tindakan Tergugat yang ingkar janji, akan membawa ketidakadilan bagi Penggugat karena ia sudah mengeluarkan biaya untuk menyelesaikan pekerjaan yang diminta Penggugat. Sejalan



dengan



fakta-fakta



tersebut,



Mahkamah



Agung



dalam



pertimbangannya menyatakan bahwa: “Secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis (SPK) yang mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon Kasasi, namun faktanya selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada keberatan dari pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat maka menjadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam pekerjaan pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat yang telah dikeluarkan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat.” Berdasarkan pertimbangan tersebut, hubungan hukum antara kedua pihak tetap ada meskipun tidak ada dasar hukum tertulis yang mendasarinya. Majelis hakim melihat fakta yang terjadi dimana tindakan atau perbuatan yang dilakukan para pihaklah yang melahirkan hubungan hukum diantara keduanya sehingga terhadap



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



79



satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun bersedia dibebankan dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Seperti dalam ketentuan doktrin promissory estoppel, pertimbangan majelis



hakim



tersebut



mencegah



timbulnya



kerugian



bagi



Pemohon



Kasasi/Penggugat apabila Termohon Kasasi/Tergugat diperkenankan untuk menarik kembali janjinya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, doktrin promissory estoppel ini relevan dan dapat diterapkan pada perkara ini. 2. Pasal 1359 KUH Perdata dan perbandingannya dengan doktrin unjust enrichment Selain asas itikad baik pada tahap pra kontrak, Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata juga dapat diterapkan pada perkara ini. Ketentuan dalam pasal ini menyatakan bahwa “tiap-tiap pembayaran memperhatikan adanya suatu utang dan apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali”. Dalam hal ini, biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat untuk pembangunan jembatan bukan merupakan kewajibannya, biaya tersebut terjadi karena permintaan dari Tergugat untuk menjadi Penyedia Jasa bagi pekerjaan pembangunan jembatan di kota tersebut sehingga biaya tersebut seharusnya merupakan tanggung jawab Tergugat. Oleh karena itu, segala biaya yang telah dikeluarkan Penggugat merupakan utang bagi Tergugat sehingga Penggugat seharusnya dapat menuntut kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan demi kepentingan Tergugat dan Tergugat berkewajiban untuk membayarnya terlepas dari adanya kontrak atau tidak. Dalam sistem common law, kondisi yang serupa dengan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata ialah doktrin unjust enrichment, yaitu suatu perolehan manfaat yang diberikan orang lain tanpa melakukan pembayaran, dalam keadaan dimana seharusnya orang tersebut melakukan pembayaran. Dengan kata lain, seseorang memperoleh manfaat dari pekerjaan yang dilakukan orang lain tanpa mengeluarkan biaya yang seharusnya. Persamaan dari kedua ketentuan dari dua sistem hukum yang berbeda ini ialah bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh memperkaya diri sendiri secara tidak sah/tidak adil. Pada Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata, apabila seseorang yang memperoleh suatu pembayaran atas suatu



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



80



hal yang bukan haknya, orang tersebut dikatakan telah memperkaya diri sendiri secara tidak sah dan diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran tersebut. Sementara itu, dalam doktrin unjust enrichment, seseorang memperkaya dirinya sendiri karena tidak membayar suatu hal yang seharusnya menjadi kewajibannya sehingga ia memperoleh keuntungan/manfaat dari biaya yang dikeluarkan orang lain. Sama halnya dengan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata yang termasuk dalam perikatan berdasarkan undang-undang, doktrin ini tidak dapat dilakukan terhadap kontrak yang nyata/eksplisit atau contracts implied in fact. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kesepakatan di antara Penggugat dan Tergugat tercapai pada tahap pra kontrak, yaitu tahap sebelum lahirnya suatu kontrak yang nyata. Pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur Kota Samarinda, putusan PN Bontang dibatalkan. Hal yang menarik dalam putusan tingkat banding ini ialah adanya dissenting opinion dari salah satu Hakim Anggota. Hakim Anggota mendasarkan pertimbangannya pada yurisprudensi putusan Mahkamah Agung terdahulu bahwa dasar gugatan Penggugat apakah merupakan



perbuatan



melawan



hukum



atau



wanprestasi



tidak



perlu



dipertentangkan dalam kasus ini. Bahwa di dalam perkara ini terdapat kenyataan hukum yang tidak dapat dibantah oleh Tergugat, yaitu: a. bahwa Penggugat telah selesai mengerjakan pekerjaan proyeknya b. bahwa dengan selesainya pekerjaan ternyata telah memberi manfaat bagi masyarakat sekitar c. bahwa semua pihak tahu bahwa Penggugat telah mengerjakan pekerjaan dan menyelesaikan pekerjaannya d. bahwa Penggugat dari mulai sampai dengan selesai mengerjakan pekerjaan adalah tanpa Surat Perintah Kerja (SPK) dan/atau tanpa membuat ikatan dengan pihak Tergugat. Selain itu, Hakim Anggota tersebut juga menyatakan bahwa terlepas apakah pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam proyek APBD atau tidak, jenis pekerjaan yang dikerjakan adalah tanggung jawab Pemerintah dan dirasa tidak adil jika Penggugat tidak diberikan pembayaran atas pekerjaan yang dilakukannya dengan



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



81



biaya sendiri, sedangkan pekerjaan tersebut adalah demi kepentingan umum dan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hakim Anggota menekankan segi “manfaat” yang diperoleh dari hasil pekerjaan yang dilakukan Penggugat dan “ketidakadilan” bagi Penggugat jika Tergugat tidak membayar ganti kerugiannya. Dalam sistem common law, kondisi tersebut seperti penekanan yang ada dalam doktrin



unjust



enrichment.



Penggugat



telah



menyelesaikan



pekerjaan



pembangunan jembatan yang diminta oleh Tergugat dimana Tergugat jelas mendapatkan keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan Penggugat. Dengan selesainya pembangunan jembatan tersebut sangat memberikan manfaat bagi masyarakat Bontang, lalu lintas menjadi lancar dan masalah banjir dapat teratasi. Karena sifat dari pekerjaan ini pada dasarnya merupakan tanggung jawab Tergugat, sudah sewajarnya Penggugat mengharapkan pembayaran atas biayabiaya yang telah dikeluarkannya unuk pembangunan jembatan tersebut. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Pemohon Kasasi/Penggugat dengan alasan bahwa Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya perbuatan ingkar janji adalah perbuatan yang telah melanggar hak subjektif pihak lain yang esensinya juga merupakan perbuatan melawan hukum. Secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis (SPK) yang mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon Kasasi, namun faktanya selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada keberatan dari pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat maka menjadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam pekerjaan proyek tersebut. Dari pertimbangan hakim tersebut, majelis hakim juga memberi penekanan pada manfaat yang telah diperoleh Termohon Kasasi/Tergugat. Pemohon Kasasi/Penggugat telah mengerjakan pekerjaan Pembangunan Jembatan di Kelurahan Kanaan, Bontang Barat, dengan biaya sendiri, yang oleh Tergugat tidak mau dibayar karena Penggugat dalam mengerjakan pekerjaan tersebut adalah tanpa ada ikatan atau hubungan hukum antara keduanya. Faktanya,



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



82



Termohon Kasasi/Tergugat telah memperoleh keuntungan atas pekerjaan yang dilakukan Pemohon Kasasi/Penggugat dan karena pekerjaan tersebut pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah, sudah seharusnya Termohon Kasasi/Tergugat membayar segala biaya yang telah dikeluarkan Pemohon Kasasi/Penggugat untuk kepentingannya. Jika Termohon Kasasi/Tergugat tidak melakukan kewajibannya untuk membayar biaya yang dikeluarkan Pemohon Kasasi/Penggugat, dapat dikatakan bahwa ia telah memperkaya dirinya sendiri secara tidak adil. Dengan demikian, pada dasarnya doktrin unjust enrichment juga relevan untuk diterapkan dalam perkara ini.



Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam perancangan kontrak di Indonesia, dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pra perancangan, perancangan, dan pasca perancangan kontrak. Permasalahan sering terjadi apabila kesepakatan telah tercapai pada tahap pra perancangan kontrak dimana kontrak tertulis belum dibuat. Hukum perjanjian di Indonesia menganut teori klasik hukum kontrak dimana asas itikad baik tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu. Ketentuan mengenai itikad baik terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini menyebutkan penerapan asas itikad baik hanya pada pelaksanaan kontrak saja, bukan pada tahap pra kontrak. Selain dalam Pasal 1338 ayat (3), itikad baik juga diatur dalam Pasal 530, 531, 548, 1965, 1966, dan 1977 ayat (1) yang disebut dengan itikad baik subjektif. Itikad baik dalam pasal-pasal tersebut berbeda maknanya dengan Pasal 1338 ayat (3), yaitu itikad baik objektif. Itikad baik subjektif merupakan itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum, biasanya berupa perkiraan dalam diri yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Jika diperhatikan dengan baik, konsep itikad baik subjektif atau itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum ini merupakan itikad baik pada tahap pra kontrak. Dengan demikian, dalam perkembangannya hukum kontrak di Indonesia pun mengenal itikad baik pada tahap pra kontrak meskipun tidak ada pasal yang menyatakannya secara tersurat. Selain itu, itikad baik pada tahap pra kontrak juga banyak diterapkan dalam putusanputusan hakim terdahulu dimana hakim lebih menjunjung tinggi keadilan daripada kepastian hukum. 2. Doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment merupakan doktrin yang lahir dari perkembangan hukum kontrak di sistem hukum common law. Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



84 Doktrin promissory estoppel muncul dengan nama equitable estoppel, yaitu suatu doktrin yang digunakan untuk mengantisipasi jika tidak ada consideration dalam perjanjian sehingga banyak perjanjian yang dianggap tidak berlaku dan tidak dapat dilaksanakan. Situasi tersebut bisa muncul apabila salah satu pihak (promisee) menaruh pengharapan yang besar dari janji-janji yang diucapkan oleh pihak lain (promisor) sehingga ia melakukan suatu perbuatan demi terpenuhinya janji-janji tersebut. Menurut Richard Stone, terdapat 5 (lima) batasan yang harus diterapkan dalam menggunakan doktrin promissory estoppel, yaitu: 1) promissory estoppel hanya dapat diterapkan apabila ada hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak; 2) harus ada suatu kepercayaan, ketergantungan, atau pengharapan (reliance) terhadap janji yang diberikan; 3) doktrin ini hanya dapat digunakan sebagai perisai, bukan pedang; 4) harus terdapat kondisi yang membuat keadaan tidak adil apabila promisor melanggar janji yang diberikannya; dan 5) doktrin ini hanya bersifat menunda akibat yang akan terjadi di masa mendatang. Sementara itu, doktrin unjust enrichment merupakan suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya secara tidak adil yaitu dengan biaya dari pihak lain dan karena itu harus mengembalikan harta atau manfaat keuntungan yang telah diterimanya, ditahannya atau diambilnya, dan pengambilan ini dirasakan adil dan layak serta tidak bertentangan atau menghalangi hukum atau berlawanan dengan kepentingan umum baik secara langsung maupun tidak langsung. Doktrin ini tidak dapat diterapkan pada semua perbuatan hukum, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain: 1) benefit or enrichment, tergugat memperkaya diri sendiri dengan menerima suatu manfaat, seperti pembangunan gedung; 2) at the plaintiff’s expense, penggugat melakukan pekerjaan yang menguntungkan tergugat tanpa dibayar; 3) unjust factor, tidak adil untuk memperkenankan tergugat memperoleh manfaat tersebut; 4) no bars to the restitutionary claim, tidak ada pertimbangan lain yang dapat membatasi gugatan, sepeerti kontrak diantara para pihak. 3. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim di tingkat kasasi menyatakan bahwa tidak adanya dasar hukum tertulis (kontrak) yang mendasari hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat tidak menghilangkan kewajiban Tergugat untuk mengganti kerugian Penggugat. Faktanya selama proses pengerjaan Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



85 proyek tersebut tidak ada bantahan dari pihak Tergugat dan pekerjaan tersebut yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Tergugat telah selesai dan memberi manfaat bagi masyarakat, maka menjadi kewajiban Tergugat untuk membayar segala biaya dalam pekerjaan pembangunan jembatan yang dikeluarkan oleh Penggugat. Dalam hal ini, majelis hakim menerapkan asas itikad baik dimana asas ini tidak hanya diterapkan pada tahap pelaksanaan kontrak saja, tetapi juga pada tahap pra kontrak. Dalam sistem common law, itikad baik pada tahap kontrak ini erat kaitannya dengan doktrin promissory estoppel. Selain itu, majelis hakim juga menekankan manfaat yang diperoleh Tergugat karena pekerjaan yang dilakukan Penggugat sehingga tidak menghilangkan kewajibannya membayar ganti rugi meskipun tidak ada kontrak tertulis. Aspek perolehan manfaat atau keuntungan tersebut berkaitan dengan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata yang dalam sistem common law dapat dibandingkan dengan doktrin unjust enrichment. Persamaan dari kedua ketentuan dari dua sistem hukum yang berbeda ini ialah bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh memperkaya diri sendiri secara tidak sah/tidak adil. Berdasarkan pertimbangan tersebut, doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment relevan untuk diterapkan dalam perkara ini. B. Saran 1. Pada hakikatnya, proses beracara dalam sistem hukum di Indonesia masih bersifat formal. Seperti negara-negara yang menganut teori hukum modern, ada baiknya sistem hukum di Indonesia cenderung untuk menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan pada keadilan. Apabila tidak ada peraturan yang mengatur mengenai tahap pra kontrak, hakim diharapkan dapat mengedepankan asas-asas dalam hukum perjanjian, salah satunya itikad baik pada tahap pra kontrak. Terlepas dari ada tidaknya suatu kontrak, pihak yang sudah mengeluarkan biaya karena percaya dan menaruh harapan terhadap janji-janji yang telah diberikan dalam proses perundingan lebih mudah untuk menuntut ganti kerugian yang dideritanya atas perbuatan pihak lain seperti dalam perkara ini. Selain itu, pemanfaatan yurisprudensi yang sudah ada juga memberikan peran penting. Putusan hakim yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan tanggung jawab pemerintah. Universitas Indonesia Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



86



DAFTAR PUSTAKA Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994. Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996. Baloch, Tariq A. Unjust Enrichment and Contract. Oregon: Hart Publishing, 2009. Birks, P. dan McLeod, Justinian’s Institutes, London: Duckworth, 1987. Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008. Cracknell. D. G.. 150 Leading Cases-Obligations: Contract Law. London: Old Bailey Press, 2002. Davenport, Philip dan Christina Harris. Unjust Enrichment. New South Wales: The Federation Press, 1997 Emanuel, Steven L. Contracts. New York: Aspen Publisher Inc, 2010. Fuady, Munir. Kontrak Pemborongan Mega Proyek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010. H. S., Salim, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. __________. Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika, 2007. __________. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata. Buku I. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986. Helewitz. Jeffrey A. Basic Contract Law for Paralegals. New York: Aspen Publishers, 2007.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



87



Heron, Robert dan Caroline Vandenabeele. Effective Negotiation. A Practical Guide. Jenewa: International Labour Office. 1997. Ibbetson, D. J. A Historical Introduction to the Law of Obligations. Oxford: Oxford University Press, 1999. Khairandy. Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003. Long, Richard J. dan Andrew Avalon. The Doctrine of Unjust Enrichment. Colorado: Long International Inc, 2016. Mahdi. Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum Perdata Suatu Pengantar. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2005. Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Muljadi. Kartini Dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. Neyers, Jason W, Mitchell McInnes dan Stephen G. A. Pitel. Understanding Unjust Enrichment. North America: Hart Publishing, 2004. Paul Latimer. Australian Business Law. Sydney: CCH Australia Limited, 1998. Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Perikatan. Surabaya: Bina Ilmu, 1979. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung: Sumur, 1992. Satrio. J. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1999. Schwenzer, Ingeborg. Pascal Hachem. dan Cristopher Kee. Global Sale and Contract Law. New York: Oxford University Press Inc, 2012. Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1987. Snijders, Henk dan Jaap Hijma. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang Baru. Jakarta: National Legal Reform Program, 2010. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1982. Stone, Richard. The Modern Law of Contract. London: Cavendish Publishing Limited, 2005. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2002. Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004. Sulistyo dan Basuki. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



88



Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 2006. Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju, 2012. Vollmar. H. F. A.. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995. JURNAL Moss, Giuditta Cordero. “The Function of Letters of Intent and their Recognition in Modern Legal Systems” dalam New Features in Contract Law. Munchen: Sellier. European Law Publishers, 2007. Swain, W. “Unjust Enrichment and the Role of Legal History in England and Australia”, University of New South Wales Law Journal Research Paper No. 14-02. Hlm. 1033. PERATURANAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramitha, 2008. Indonesia. Undang-Undang Jasa Konstruksi, UU No. 18 Tahun 1999. TLN No. 3833 Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, PP No. 59 Tahun 2010. LN No. 95. Indonesia. Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 t Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Keppres No. 80 Tahun 2003. LN No. 120. INTERNET Edelman, James dan Elise Bant. Unjust Enrichment. Australia: Hart Publishing, 2006. https://books.google.co.id/books?id=3gqGDAAAQBAJ&pg=PT97&dq=history+



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



89



of+unjust+enrichment&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjW65X6la_QAhVMOo8K HQoBggQ6AEIGTAA#v=onepage&q=history%20of%20unjust%20enrichment&f=fal sehttps://books.google.co.id/books?id=3gqGDAAAQBAJ&pg=PT97&dq=history +of+unjust+enrichment&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjW65X6la_QAhVMOo8 KHQoBggQ6AEIGTAA#v=onepage&q=history%20of%20unjust%20enrichment&f=fal se diakses 17 November 2016 Stone, Richard. Contract Law. 5th ed. (London: Cavendish Publishing Limited. 2003). hlm. 34 https://books.google.co.id/books?id=HXsvJKb0bqkC&pg=PA34&dq=limitation+ promissory+estoppel&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj6pJS8tfbQAhVHNo8KHXP aCzAQ6AEIGTAA#v=onepage&q=limitation%20promissory%20estoppel&f=fal se diakses 14 Desember 2016 Tulsian, P. C. Business Law. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, 2000. https://books.google.co.id/books?id=DbbneyBacdcC&pg=SA11PA1&dq=quasi+contract&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwju1ejW0bjQAhUBNY8K HZcICiEQ6AEISDAE#v=onepage&q=quasi%20contract&f=false



diakses



21



November 2016



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



PUTUSAN



A gu ng



Nomor 2815 K/Pdt/2014



DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG



memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:



UNGKAP SIMAMORA, bertempat tinggal di Jalan Awang Long, Gang Adhyaksa, Nomor 24, RT. 11, Kelurahan Bontang Baru,



ah



Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, dalam hal ini memberi



ik



kuasa kepada: ROSTAN, S.H., M.H., Advokad, beralamat di Jalan



ep ub l



Pelabuhan RT. 10 Nomor 13, Kelurahan Tanjung Laut Indah,



m



Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2012;



ka



Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding; Melawan



R



(PU) KOTA BONTANG, berkedudukan di Jalan Moh. Roem, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota



ng



ne



Bontang;



si



ah



PEMERINTAH KOTA BONTANG Cq. DINAS PEKERJAAN UMUM



Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding;



gu



do



Mahkamah Agung tersebut; Membaca surat-surat yang bersangkutan;



Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang



A



In



Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat/Terbanding telah menggugat



lik



Pengadilan Negeri Bontan pada pokoknya atas dalil-dalil:



1. Bahwa Ungkap Simamora, Direktur Utama PT. Perucha, Penggugat adalah Kanaan, Kecamatan Bontang Barat dengan nilai Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat juta dua ratus sembilan puluh lima ribu



ep



rupiah);



2. Bahwa selama proyek tersebut berjalan pernah diawasi oleh Pegawai dari



ah



R



Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang dan kemudian setelah proyek selesai dikerjakan, Penggugat menagih pembayaran proyek yang telah dikerjakan



ng



M



oleh Penggugat tersebut ke Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan



on



In d



Hal. 1 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



Umum Kota Bontang dimana proyek itu dikeluarkan, namun saat ditagih



es



ka



ub



mempunyai paket Pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan



m



ah



sekarang Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dimuka persidangan



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 1



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



kepada Tergugat agar membayar kewajibannya, Tergugat menolak membayar, bahkan meragukan dengan berbagai dalih dan menyangkal



A gu ng



kesepakatan dengan cara penunjukan langsung dan tindakan Tergugat yang tidak mau menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) terhadap Penggugat



yang



telah



melaksanakan



proyek



Tergugat



tersebut



mengakibatkan Penggugat mengalami kerugian karena telah banyak uang



yang Penggugat keluarkan untuk mengerjakan proyek tersebut, tindakan Tergugat yang tidak mau membayar nilai proyek yang telah Penggugat kerjakan adalah tindakan melawan hukum karena telah mengakibatkan



ah



Penggugat mengalami kerugian, sehingga berdasar hukum jika Penggugat



ik



memohon agar Tergugat dihukum untuk membayar nilai proyek yang telah



ep ub l



Penggugat kerjakan;



m



3. Bahwa berdasarkan RAB pelaksana proyek dinyatakan sebagai Direktur Utama



PT. Perucha



yang sah sesuai kesepakatan secara penunjukan



ka



yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang sesuai paket yang dikerjakan oleh Penggugat yakni



R



Barat;



4. Bahwa akibat perbuatan tersebut maka menimbulkan kerugian bagi



ng



ne



Penggugat dimana uang yang dipinjam dari Bank dengan bunga 5%



si



ah



Pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan Bontang



tersendat selama kurang lebih sejak tahun 2007 sampai sekarang diperinci



gu



do



sebagai berikut:



a. Kerugian Materil lebih kurang Rp1.624.295.000,00 X 5% X 60 bulan = delapan ratus delapan puluh delapan rupiah);



In



A



Rp4.872.888.000,00 (empat miliar delapan ratus tujuh puluh dua juta



lik



sekarang ditaksir Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); 5. Bahwa untuk menjamin Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan



Jaminan (Conservatoir Beslag);



ep



6. Bahwa gugatan ini sesuai dengan Pasal 191 Rbg/180 HiR maka putusan verset dan kasasi;



7. Bahwa untuk menjamin terlaksananya putusan dalam perkara ini maka berdasar



jika



Tergugat



dibebani



membayar



uang



on



paksa



In d



Hal. 2 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



hukum



es



dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu sekalipun ada banding,



R



ka



bergerak maupun tidak bergerak, maka berdasar hukum jika diletakan Sita



M



ah



ub



Umum Kota Bontang tidak mengalihkan aset-aset yang dimiliki baik benda



m



ah



b. Kerugian Immateril lebih kurang mulai dana tersebut tidak dibayar sampai



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 2



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



(dwangsom) sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan ini;



A gu ng



8. Bahwa kebijakan Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan Umum



Kota Bontang mengeluarkan proyek dengan cara penunjukan telah



merugikan Penggugat dan beberapa Direktur Pelaksana Proyek yang lain.



Untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan bertambahnya orangorang Direktur PT yang tertipu akibat perbuatan Tergugat tersebut, maka beralasan hukum jika segala hal ini yang mengeluarkan proyek secara penunjukan dihentikan sekarang;



ah



9. Bahwa Penggugat telah berupaya untuk menyelesaikan perkara ini secara



ik



kekeluargaan akan tetapi Tergugat tidak mengindahkan dan selalu



ep ub l



berusaha menghindari kewajibannya, sehingga berdasar hukum jika



m



Tergugat dihukum untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini;



ka



Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat mohon



ah



I.



Dalam Provisi:



R



1. Memerintahkan kepada Tergugat dan atau siapa saja atas kuasa atau perintah Tergugat untuk menghentikan segala macam aktifitas yang



ng



ne



mengatas namakan Tergugat dan atau untuk atas nama Dinas Pekerjaan



si



kepada Pengadilan Negeri Bontang untuk memberikan putusan sebagai berikut:



Umum secara penunjukan kepada Pelaksana Proyek;



do



gu



2. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada upaya banding, verset dan atau kasasi;



Dalam Pokok Perkara :



A



1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;



In



II.



lik



Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang; 3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah perbuatan Cedera Janji (Wanprestasi);



ub



m



ah



2. Menyatakan Penggugat adalah Pelaksana Proyek yang sah dari



4. Menyatakan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diletakan oleh Juru



ka



Sita Pengadilan Negeri Bontang adalah sah dan berharga;



ep



5. Menghukum Tergugat untuk membayar dan atau mengembalikan dana-



ah



dana Penguggat yang telah dipergunakan atas pelaksanaan proyek Rp4.872.888.000,00 (empat miliar delapan ratus tujuh puluh dua juta



on



In d



Hal. 3 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



M



delapan ratus delapan puluh delapan rupiah);



es



R



tersebut beserta bunganya yakni Rp1.624.295.000,00 X 5% X 60 bulan =



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 3



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



6. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian immateril yang dialami oleh Penggugat sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);



A gu ng



7. Menghukum Tergugat menyerahkan seluruh asset milik Tergugat baik bergerak maupun tidak bergerak;



8. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap hari keterlambatan, terhitung sejak perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum yang sah;



9. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini;



ah



Dan atau;



ik



Jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya



ep ub l



(Ex Aquo Et Bono);



m



Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:



ka



1. Gugatan Penggugat merupakan gugatan kabur (Obscuur Libel); -



Gugatan Penggugat adalah gugatan mengenai perbuatan melawan



-



Bahkan



R



ketentuan mana yang dilanggar oleh Tergugat; Penggugat



dalam



posita



gugatan



sama



sekali



tidak



merupakan ketentuan hukum yang telah dilanggar oleh Tergugat;



do



Uraian di atas menunjukkan bahwa gugatan yang diajukan oleh



gu



-



ne



ng



mencantumkan satu pasal pun dari ketentuan hukum yang berlaku yang



si



ah



hukum, sekalipun demikian isi gugatan sama sekali tidak menguraikan



Penggugat merupakan gugatan kabur (obscuur libel), karena gugatan



In



Tergugat;



Berdasarkan alasan hukum tersebut di atas, jelas dan tegas bahwa



lik



-



menunjukkan ketentuan hukum mana yang telah dilanggar oleh



gugatan Penggugat adalah kabur (obscuur libel). Oleh karena itu cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan Penggugat tidak



ub



m



ah



A



tersebut mendalilkan adanya perbuatan melawan hukum tetapi tidak



dapat diterima;



ka



2. Gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona;



ep



Bahwa gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona karena



ah



Tergugat tidak memiliki persona standi in judisio di depan Pengadilan dan semestinya yang ditarik sebagai Tergugat adalah Kepala Dinas Pekerjaan



ng



M



Umum bukan Dinas Pekerjaan Umum sebagaimana termuat dalam



on



In d



Hal. 4 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



gugatan Penggugat;



es



R



tidak mempunyai kapasitas atau kedudukan hukum untuk digugat dan



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 4



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Bontang telah



memberikan Putusan Nomor 13/Pdt.G/2013/PN.BTG. tanggal 5 September



A gu ng



2013, dengan amar sebagai berikut: I.



Dalam Eksepsi: -



Menyatakan Eksepsi Tergugat seluruhnya tidak dapat diterima;



II. Dalam Provisi:



- Menyatakan tuntutan provisi Penggugat tidak dapat diterima;



III. Dalam Pokok Perkara: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;



ah



2. Menyatakan Penggugat adalah Pelaksana Proyek dari Pemerintah Kota



ik



Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;



ep ub l



3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah Perbuatan



m



Melawan Hukum;



4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat



ka



sebesar Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) ditambah bunga sebesar perbulan,



selama



60



bulan



sehingga



totalnya



sebesar



R



Rp3.573.449.000,00 (tiga miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta empat



ng



5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;



ne



ratus empat puluh sembilan ribu rupiah);



si



ah



2%



6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar



gu



do



Rp1.146.000.000,00 (satu juta seratus empat puluh enam ribu rupiah);



Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat



putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi



Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding tersebut;



-



Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 13/PDT.G/2013/



lik



-



PN.Btg, tanggal 5 September 2013 yang dimohonkan banding tersebut;



ub



m



ah



SMDA, tanggal 8 April 2014 dengan amar sebagai berikut:



In



A



Kalimantan Timur di Samarinda dengan Putusan Nomor 107/PDT/2013/PT.KT-



MENGADILI SENDIRI



ka



Dalam Eksepsi:



diterima;



tuntutan



provisi



Penggugat/Terbanding



tidak



dapat



es



- Menyatakan



R



ah



Dalam provisi:



ep



- Mengabulkan eksepsi Tergugat/Pembanding;



on



In d



Hal. 5 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



M



Dalam Pokok Perkara:



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 5



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



- Menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);



A gu ng



- Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara



dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);



Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada



Penggugat/Terbanding pada tanggal 1 Juni 2014 kemudian terhadapnya oleh



Penggugat/Terbanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 2 April 2012 diajukan permohonan kasasi sebagaimana



ah



ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 20 Juni 2014 yang dibuat oleh



ik



Panitera Pengadilan Negeri Bontang, permohonan tersebut diikuti dengan



ep ub l



memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan



m



Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 4 Juli 2014;



Bahwa memori kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat/Terbanding



ka



tersebut telah diberitahukan kepada Tergugat/Pembanding pada tanggal 8 Juli 2014;



R



jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bontang pada tanggal 21Juli 2014;



ng



ne



Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya



si



ah



Bahwa kemudian Termohon Kasasi/Tergugat/Pembanding mengajukan



telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam karena itu permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima;



do



gu



tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/



A



In



Penggugat/Terbanding dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya



lik



1. Bahwa pada halaman 6 alenia ke 4 (empat) Putusan Pengadilan Tinggi menyatakan: Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama karena menurut



pendapat



Pengadilan



ub



m



ah



sebagai berikut:



Tinggi



sebelum



mempertimbangkan



mempertimbangkan



terlebih



dahulu



mengenai



ep



ka



mengenai pokok perkara a quo seharusnya Hakim tingkat pertama eksepsi



Tergugat/



ah



Pembanding soal gugatan kabur tersebut, karena hal itu berkaitan erat persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka surat gugatan tersebut dapat



ng



M



dikualifikasikan sebagai gugatan yang kabur (obsduur libel) dan patut untuk



on



In d



Hal. 6 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);



es



R



dengan syarat formalitas dari suatu surat gugatan, dimana apabila



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 6



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Menanggapi hal ini bahwa tampak dengan jelas sikap Pengadilan Tinggi



Samarinda yang membuat keputusan dengan lebih mengedepankan segi



A gu ng



formalitasnya ketimbang menemukan substansi permasalahan penyebab



timbulnya sengketa lalu berupaya menegakkan keadilan dan kebenaran dengan mengedepankan argumentasi hukum dan kondisi wajar yang berkembang dimasyarakat. serta hati nuraninya;



Bahwa M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan (halaman 456) berpendapat bahwa dalam putusan tersebut posita gugatan



ah



didasarkan atas perjanjian, namun dalam petitum dituntut agar tergugat



ik



dinyatakan melakukan PMH (perbuatan melawan hukum). Apabila hal ini



ep ub l



dianggap menimbulkan kontradiksi (obscuur libel) berarti terlalu bersifat



m



formalitas karena jika petitum itu dihubungkan dengan posita, Hakim dapat meluruskannya sesuai denga maksud posita;



ka



Bahwa demikian pula dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 194 K/ Pdt/1996 tanggal 28 Desember 1998 dipertimbangkan sebagai berikut:



R



dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima atas dasar dalil gugatan telah mencampur aduk antara wanprestasi dengan Perbuatan



ng



ne



Melawan Hukum yang berakibat gugatan mengandung cacat obscuur



si



ah



• Bahwa Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengabulkan eksepsi



libel;



gu



do



• Bahwa pendapat dan kesimpulan Pengadilan Tinggi tersebut berpijak pada



pendekatan hukum yang sangat kaku (stric law) dan dianggap pendapat ini bersifat formalistik (Formalistic Legal Thingking). Menghadapi dalil



A



In



demikian semestinya Hakim menyesuaikan dengan peristiwa atau fakta



lik



2. Bahwa alat bukti surat dan keterangan saksi yang dijadikan bahan pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi Kalimantan-Timur Samarinda) dalam mengambil kesimpulan adalah alat bukti dan keterangan saksi yang



ub



m



ah



kejadian yang sebenarnya;



hanya menguntungkan pihak Termohon Kasasi/Pembanding/Tergugat saja



ka



sedangkan alat bukti dan keterangan saksi yang sangat penting yang



ep



muncul dipersidangan Pengadilan Negeri Bontang, tidak digunakan oleh



ah



Judex Facti dalam pertimbangannya sehingga sudah barang tentu tersebut, yakni tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh



on



In d



Hal. 7 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



M



Peraturan Perundang-undangan dimana kelalaian tersebut mengancam



es



R



kesimpulan serta keputusannyapun adalah lemah oleh karena kelalaian



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 7



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



batalnya putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi Kalimantan-Timur Samarinda);



A gu ng



Bahwa disamping kelalaian yang telah dilakukan oleh Judex Facti sebagaimana uraian tersebut di atas, yang dengan demikian itu pula Judex Facti juga telah melanggar Asas Audi et Alteram Partem dimana Hakim harus mendengarkan kedua pihak. Hakim tidak memihak, para pihak diperlakukan sama;



Bahwa adalah tidak mungkin Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bontang



melakukan kecerobohan sebagaimana yang disinyalir oleh Judex Facti



ah



dalam statement atau pernyataannya serta pertimbangannya;



ik



Bahwa yang sebenarnya dan senyatanya adalah bahwa Majelis Hakim



ep ub l



Pengadilan Negeri Bontang "tidak mungkin tidak" dan "bisa dipastikan"



m



sudah melakukan atau membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum membuat putusan dimana pertimbangan maupun Putusan Majelis Hakim



ka



Pengadilan Negeri Bontang tersebut adalah sudah tepat dan benar karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bontang dalam membuat pertimbangan



R



meneliti, melakukan pengecekan terhadap kebenaran dari fakta-fakta pendukungnya yang diajukan dipersidangan, bahkan dengan melihat secara



ng



ne



langsung objek perkara pada acara Pemeriksaan Setempat (PS) sesuai



si



ah



dan putusannya sudah melalui tahapan-tahapan proses; mempelajari,



dengan peran dan wewenangnya. Sehingga sekali lagi dalam hal ini Majelis adalah



sudah



tepat dan



benar karena



didasari oleh



do



gu



Hakim Pengadilan Negeri Bontang dalam pertimbangan dan keputusannya peran



dan



wewenangnya dalam menilai kebenaran fakta-fakta gugatan Penggugat,



A



In



Jawaban Tergugat, bukti-bukti, dan keterangan saksi-saksi dibawah



lik



(PS) dan tentu saja atas dasar keyakinan yang muncul dari hati nurani Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bontang akan kebenaran dan keadilan serta merupakan bentuk konkret pengejawantahan pada rasa dukanya para



ub



m



ah



sumpah yang diajukan dipersidangan serta hasil Pemeriksaan Setempat



26 warga anggota masyarakat Kota Bontang beserta keluarganya [dalam



ka



kasus yang sama) yang sudah mengorbankan apa yang mereka miliki guna



ep



turut mendukung program pembangunan kotanya dengan penantian yang



ah



panjang dari mereka yang masih hidup akan munculnya keajaiban dalam mereka,... karena salah satu dari mereka sudah tak sanggup lagi menunggu menunggu



hingga



datangnya



panggilan



Ilahi



Robbi,



ng



M



dan



Allah



on



In d



Hal. 8 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



Subhanahuwataala, dan telah berpulang ke Rakhmatullah (meninggalkan



es



R



bentuk kebijakan dari pemimpin kotanya untuk membayar hak-hak



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 8



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



dunia) ..Innalillahi Wainna llaihi Roojiun, (datangnya dari Allah kembali ke Rakhmatullah),.. selamat jalan kawan.. dan rasa dan sentuhan jiwa akan



A gu ng



hal-hal ini justru tidak dimiliki dan dirasakan oleh Judex Facti (Pengadilan Tinggi Kalimantan-Timur Samarinda Kecuali Hakim Aanggota I yang telah melakukan Dissenting Opinion);



Bahwa adapun alat-alat bukti/keterangan saksi yang nyata-nyata ada yang muncul dipersidangan dan sudah dijadikan bahan pertimbangan dimaksud antara lain adalah:



a. Bahwa saksi Barnabas, dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Musrenbang



Kecamatan



Bontang



Barat



sejak



dari



ik



ah



- Bahwa pada tahun 2005-2006 saksi adalah salah satu team delegasi tingkat



ep ub l



RT,Kelurahan, Kecamatan sampai dengan Musrenbang tingkat Kota



m



Bontang, sehingga saksi dapat mengetahui keberadaan proyek-proyek sejak dari diusulkannya oleh masyarakat hingga disetujuinya usulan



ka



proyek-proyek tersebut oleh Pemerintah Kota Bontang yang ditandai dengan masuknya usulan proyek tersebut ke dalam DIP (Daftar Isian



R



pelaksanaannya pada tahun 2007;



- Bahwa perjanjian tertulis antara kontraktor dengan Pemerintah Kota



ng



ne



Bontang memang tidak ada, namun 85% proyek-proyek pada priode



si



ah



Proyek) Kota Bontang TA (Tahun Anggaran) 2005/2006 yang



sebelum tahun 2005 dikerjakan tanpa SPK (Surat Perintah Kerja) dan



gu



do



setelah proyek selesai dikerjakan oleh kontraktor, baru dibuatkan SPK;



- Bahwa adalah omong kosong apabila pihak pemerintah kota Bontang



In



karena disamping sudah tertuang dalam DIP Kota Bontang TA 2005/2006 juga sudah di rekomendir oleh DPRD Kota Bontang serta



lik



adanya surat H. Nurdin, Kepala Dinas PU Kota Bontang tertanggal 24 September 2009 dan pernyataan/pengakuannya bahwa untuk proyekproyek dengan skala prioritas tersebut dananya sudah ada. Dalam hal



ub



m



ah



A



mengatakan tidak tahu tentang keberadaan proyek-proyek tersebut



ini saksi mengatakan bahwa H. Nurdin adalah seorang pejabat yang



ka



paling jujur yang telah berani mengatakan yang sebenar-benarnya;



ep



- Bahwa saksi juga menerangkan diantara proyek-proyek tersebut ada



ah



yang sudah dibayar oleh Pemerintah yakni proyek pembangunan bernama H. Rusdi dimana proyek tersebut dikerjakan terlebih dahulu



ng



M



dan setelah itu baru dibuatkan SPK. Bahwa H. Rusdi sudah pernah



on



In d



Hal. 9 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



dihubungi dan diminta untuk menjadi saksi dipersidangan ini namun



es



R



jembatan yang berlokasi dibelakang Bank Dhanarta yang kontraktornya



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 9



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



yang bersangkutan tidak mau dengan alasan "takut". Disamping proyek



pembangunan jembatan di belakang Bank Dhanarta tersebut menurut



A gu ng



sepengetahuan saksi ada proyek lain yang juga sudah dibayar oleh Pemerintah yakni proyek Expo;



- Bahwa untuk proyek lainnya (yang saat ini sedang disidangkan) sebenarnya juga pada waktu itu sudah akan dibuatkan SPKnya karena



semua pekerjaan proyeknya sudah selesai dikerjakan yang ditandai dengan adanya opname oleh Dinas PU, namun karena adanya



keributan yang dimotori oleh oknum pengusaha kontraktor sendiri



ah



dengan mengatasnamakan masyarakat sehingga pihak Kejaksaan



ik



sempat melakukan pemeriksaan. Dampak dari kejadian tersebut adalah



ep ub l



munculnya surat pemberhentian pekerjaan proyek dari Dinas PU Kota



m



Bontang dalam kondisi dimana proyek-proyek terebut saudah selesai dikerjakan oleh para kontraktor. Bahwa saksi juga menerangkan



ka



Pemerintah Kota Bontang bekerjasama dengan DPRD Kota Bontang pernah menawarkan untuk melakukan approach/pendekatan dengan



ah



pihak BAPPENAS di Jakarta dalam rangka untuk mendapatkan payung



si



R



hukum guna menyelesaikan proyek bermasalah ini dengan syarat agar pihak kontraktor harus menyediakan/menyiapkan dana sejumlah



ng



ne



Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Namun karena pihak kontraktor hanya mampu menyediakan dan sebesar Rp200.000.000,00



gu



do



maka opsi untuk mendapatkan payung hukum melalui jalur BAPPENAS ini gagal dilaksanakan;



In



Walikota Bontang pernah membentuk team kecil yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur: Dinas PU Kota Bontang, Bagian Hukum



lik



Sekwilda Kota Bontang, dan Inspektorat (dulu BAWASDA) yang menawarkan 3 (tiga) pilihan alternative solusinya yakni: 1. Diberi proyek baru; 2. Dicarikan payung hukum;



ub



m



ah



A



Bahwa untuk mencari solusi lain terhadap proyek-proyek ini maka



ka



3. Ajukan gugatan ke Pengadilan Negeri;



ep



Saksi menerangkan bahwa untuk opsi pertama yakni "diberikan proyek



ah



baru" adalah tidak dapat disetujui oleh para kontraktor karena nilai yang sudah di keluarkan/di investasikan. Untuk opsi kedua juga gagal



ng



M



dilaksanakan karena guna pengurusannya ke BAPPENAS di Jakarta



on



In d



Hal. 10 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



team membutuhkan dana sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta



es



R



proyeknya tidak dapat menutupi atau mengembalikan dana mereka



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 10



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



rupiah) sedangkan kemampuan para kontraktor hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



A gu ng



Sedangkan opsi ke tiga adalah bahwa team menyarankan kepada para



kontraktor untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri guna



mendapatkan payung hukum untuk membayar dana para kontraktor



dimaksud (sebagaimana sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim ini) Bahwa saksi juga menerangkan ada pertemuan di Hotel Sintuk



Bontang pada detik-detik kemenangan Adi Darma menjadi Walikota Bontang dimana para kontraktor diminta untuk segera melengkapi



ah



dokumen dalam rangka pembayaran dana mereka. Bahwa saksi juga



ik



menerangkan tentang adanya pertemuan antara Pemerintah Kota



ep ub l



Bontang yang dalam hal ini diwakili oleh Bapak Asmudin Hamzah



m



selaku Sekretaris Daerah Kota Bontang dan difasilitasi oleh Bapak KAJARI (Kejaksaan Negeri) Kota Bontang, bertempat diruang kerja



ka



Sekda



Kota



Bontang



dalam



rangka



mencarikan



solusi



dari



permasalahan para kontraktor. Bahwa saksi memohon kepada Majelis



ah



Hakim agar kepada pihak-pihak yang telah saksi sebutkan namanya



si



R



dalam kesaksian ini agar diberi kesempatan untuk diperiksa dan dikonfirmasikan guna membuktikan kebenaran kesaksiannya. Dan



ng



ne



saksi juga memohon kepada Majelis Hakim agar diberi izin untuk



mengambil hak miliknya dalam bentuk bangunan jembatan dll yang



gu



do



sudah dibangun oleh para kontraktor sejak tahun 2007 apabila pengorbanan dan niat baik yang mereka telah lakukan dalam



In



lebih dari 7 tahun ini, tidak mendapat penghargaan dan perhatian serta penyelesaian yang baik oleh Pemerintah Kota Bontang karena



lik



perkerjaan proyek yang telah dibangun dan dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut oleh Pemerintah dianggap "barang haram". Hal ini akan saksi berserta kontraktor lainnya lakukan agar kiranya masyarakat



ub



m



ah



A



mendukung program pembangunan Pemerintah Kota Bontang selama



Kota Bontang tidak terkena dampak atau imbasnya menggunakan



ka



barang haram;



Sukarno, di bawah sumpah



ep



a. Keterangan saksi ahli



sebagai



Rencana



Anggaran



Biaya



(RAB)



proyek



pekerjaan



pembangunan pembuatan jembatan Jin Perjuangan Kelurahan Kecamatan



Bontang



Barat



dengan



ng



M



Kanaan,



nilai



on



In d



Hal. 11 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh emapt juta



es



Bahwa



R



ah



konsultan independen memberikan keterangan sebagai berikut:



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 11



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



dua ratus Sembilan puluh lima ribu rupiah) yang telah dibaca dan



dipelajari dengan saksama serta dapat disimpulkan bahwa adalah



A gu ng



RAB dimaksud valid dan dapat dipastikan dibuat oleh konsultan



yang profesional dengan mengikuti kaidah-kaidah atau norma standar penyusunan Rencana Anggaran Biaya Proyek Pemerintah



yang benar dan tidak mungkin dibuat oleh kontraktor biasa. Disamping itu saksi ahli berkeyakinan pula bahwa konsultan tidak mungkin membuat RAB tersebut tanpa berkoordinasi dengan pihak



Pemberi Pekerjaan, dalam hal ini pihak Tergugat karena data-data



ah



dan fakta-fakta yang dituangkan kedalam RAB sangat dipastikan



ik



bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;



ep ub l



Adapun data dan fakta dimaksud antara lain adalah:



m



- Nama paket pekerjaan, - Lokasi pekerjaan;



ka



- Format penyusunan RAB;



- Koefisien perhitungan penyusunan RAB;



ah



- Daftar harga satuan bahan; - dll.



si



R



- Daftar harga satuan upah;



di applikasikan



dilapangan



dalam



ne



ng



Bahwa saksi menyakini bahwa RAB tersebut dapat diterapkan atau



proses proyek pekerjaan



Kanaan,



Kecamatan



Bontang



Barat



do



gu



pembangunan pembuatan jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan dengan



nilai



Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh emapt juta ratus



sembilan



puluh



lima



ribu



rupiah)



dengan



In



A



dua



nilai



Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh emapt juta



lik



ah



dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah);



Hasil Pemeriksaan Setempat (PS) membuktikan bahwa pekerjaan pekerjaan



pembangunan



pembuatan



jembatan



Jalan



ub



m



proyek



Perjuangan Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat dengan



ka



nilai Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat



ep



juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) telah dikerjakan



ah



dengan baik oleh kontraktor pelaksana yang dibuktikan bahwa tersebut masih berfungsi dengan baik melancarkan arus lalu lintas



on



In d



Hal. 12 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



M



Kota Bontang;



es



R



hingga saat Pemeriksaan Setempat (PS) dilaksanakan, jembatan



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 12



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



b. Bahwa saksi Umar Tanatta, Ketua DPRD Kota Bontang Tahun



2004-2009, di bawah sumpah memberikan keterangan sebagai



A gu ng



berikut:



- Bahwa Dewan pada Tahun 2006-2007 menyerap aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan dengan Skala Prioritas;



- Bahwa Dewan menganggap penting usulan masyarakat dengan Skala Prioritas tersebut dan diajukan dalam Rapat Pleno DPRD Kota Bontang;



ah



- Bahwa hasil Rapat Pleno pada dasarnya menyetujui usulan



ik



proyek dengan Skala Prioritas tersebut dan mengusulkannya



ep ub l



kepada Walikota Bontang;



m



- Bahwa jawaban lisan dari Walikota Bontang atas usulan Dewan tersebut adalah : "... akan diselesaikan".



ka



- Bahwa saksi berpendapat bahwa proyek Skala Prioritas tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat karena itu harus dibayar



ah



oleh Pemerintah apalagi sudah dimanfaatkan;



si



R



- Bahwa saksi meyakini bahwa proyek tersebut kalau tidak ada perintah tidak ada yang mau mengerjakan;



ng



ne



- Bahwa saksi juga meyakini pasti proyek Pemerintah yang dikerjakan oleh kotraktor;



gu



do



3. Bahwa pertimbangan Judex Facti pada halaman 5, dalam eksepsi, alenia ke 2 (dua), (Menimbang, bahwa Tergugat dalam jawabannya telah mengajukan eksepsi yaitu pada pokoknya sebagai berikut :1. Gugatan Penggugat



A



In



merupakan gugatan Kabur (obscuur libel) dst...);



lik



menerapkan hukum;



Bahwa menyangkut hal ini M.Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara



ub



Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan (halaman 456) menyatakan; Bahwa dalam prakteknya masalah penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan juga



ep



ditolehkan. Hal ini dapat dilihat dari yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987. Yahya Harahap dikemukakan dalam gugatan adalah PMH sedangkan peristiwa hukum yang



on



In d



Hal. 13 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



sebenarnya adalah wanprestasi, gugatan itu tidak obscuur libel, karena



es



menjelaskan bahwa dalam putusan tersebut meskipun dalil gugatan yang



R



ka



m



ah



Bahwa dalam hal ini Judex Facti telah melakukan kesalahan dalam



ah



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



M



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



Halaman 13



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Hakim dapat mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap wanprestasi;



A gu ng



Hal yang serupa juga dapat ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 886K/Pdt/2007



tanggal



24



Oktober



2007



Majelis



pertimbangannya menyatakan:



Hakim



dalam



Bahwa sesungguhnya dalam gugatan terdapat posita wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum akan tetapi dengan tegas diuraikan secara



terpisah, maka gugatan demikian yang berupa kumulasi objektif dapat dibenarkan;



ah



Bahwa dalam buku yang sama M. Yahya Harahap berpendapat; bahwa



ik



dalam putusan tersebut posita gugatan didasarkan atas perjanjian, namun



ep ub l



dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan PMH (perbuatan



m



melawan hukum). Apabila hal ini dianggap menimbulkan kontradiksi (obscuur libel) berarti terlalu bersifat formalitas karena jika petitum itu dihubungkan



ka



dengan posita, Hakim dapat meluruskannya sesuai denga maksud posita; Bahwa demikian juga dengan Keterangan Saksi ahli Prof. DR. Herawati



ah



Poesoko S.H., M.H., Guru Besar dan Dekan Fakultan Hukum Universitas



si



R



Jember (Saksi Ahli pihak Tergugat) dibawah sumpah di persidangan, antara lain menerangkan sebagai berikut: BW, Pasal 1337 BW, 1243-1365 BW;



do



gu



- Perikatan lahir karena adanya perjanjian sepakat lahirlah suatu perjanjian;



ne



ng



- Bahwa perjanjian lahir karena adanya kesepakatan menurut Pasal 1330



- Bahwa mengenai wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum boleh digabung dan tidak melanggar tata tertib hukum acara;



A



In



- Bahwa kumulasi gugatan dapat dibenarkan asalkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:



b. Subjek hukum para pihak sama; d. Prinsip beracara yang murah;



ub



m



c. Memudahkan proses dan menghindarkan putusan yang kontradiksi;



ka



Sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan hukum acara



ep



(Bandingkan Putusan Raad Van Justitie, kamar ketiga, Jakarta tanggal 20 Juni 1939, T.150 halaman 192);



tidaklah bertentangan dengan Tata Tertib Hukum Acara (Vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor l652.K/Sip/1975 karena gugatan wanprestasi



ng



on



In d



Hal. 14 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



dan Perbuatan Melawan Hukum dalam perkara ini adalah korelasi antara



es



R



- Bahwa kumulasi gugatan yang diajukan oleh Penggugat dalam perkara ini



M



ah



lik



ah



a. Adanya hubungan hukum yang erat;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 14



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia satu perbuatan dengan perbuatan lainnya , yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Koneksitas) sehingga penggabungan gugatan



A gu ng



dapat dibenarkan sebab ketentuan acara yang dianut dalam perkara ini adalah Hukum Acara yang bersifat umum. Sedangkan perkara yang lainnya



tunduk pada Hukum Acara yang bersipat umum (Vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 677 K/SI P/1972, tanggal 20 Desember 1972;



4. Bahwa pada Putusan Pengadilan Tinggi Dalam Eksepsi angka 2 menyatakan



bahwa gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona, karena Penggugat tidak memiliki Persona standi in judisia didepan Pengadilan dan



ah



tidak mempunyai kapasitas atau kedudukan hukum untuk digugat dan



ik



semestinya yang ditarik sebagai Tergugat adalah Kepala Dinas Pekerjaan



ep ub l



Umum bukan Dinas Pekerjaan Umum sebagaimana termuat dalam gugatan



m



Penggugat;



Menanggapi hal ini untuk diketahui bahwa yang benar yang digugat dalam



ka



gugatan Penggugat adalah Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan Umum (Pu) Kota Bontang;



ah



Bahwa yang dimaksud Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor



si



R



32 Tahun 2004 Pasal 1 adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai urusan penyelenggara Pemerintahan Daerah;



ng



ne



Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang



Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Bupati, Walikota, dan lain-lain adalah " Pejabat Negara"; Maka



berdasarkan



ketentuan-ketentuan



tersebut



tampak



do



gu



Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahwa Menteri, Gubernur, jelas



pada



A



In



Pemerintah Daerah automatically (secara otomatis) melekat jabatan seorang



lik



gamblang (eksplisit);



Berkenaan dengan hal hal tersebut diatas maka tentu adalah tidak beralasan



ub



mengatakan Gugatan Penggugat Kabur (Obcscuur Libel);



5. Bahwa sesuai dengan pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pada Putusan Halaman 8 alenia l (satu) sampai dengan halaman 23 (dua puluh



ep



tiga), "...Menimbang, bahwa walaupun demikian, putusan dalam perkara tingkat banding tidak diperoleh dengan musyawarah/mufakat bulat dimana dan sesuai dengan peraturan, pendapat tersebut harus dimuat dalam



on



In d



Hal. 15 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



putusan ini selengkapnya sebagai berikut :...dst



es



Hakim Anggota I Eduard Manalip., S.H., M.H., mengajukan disenting opinion



R



ka



m



ah



Pejabat Negara pada jabatan itu, meskipun tidak disebutkan secara



ah



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



M



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Halaman 15



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



6. Bahwa Hakim Anggota I Eduard Manalip., S.H., M.H., telah menguraikan disenting opinionnya dalam pertimbangan-pertimbangan tentang:



Formalitas pengajuan gugatan oleh Penggugat/Terbanding dan



A gu ng



I.



II. tentang substansi Pokok Gugatan Penggugat/Terbanding yang terinci pada



Putusan Nomor 107/PDT/2013/PT.KT.SMDA, dari halaman 8 (delapan) sampai dengan halaman 25 (dua puluh lima) dan yang kesimpulannya



sebagaimana tertuang pada halaman 25 alenia 3 serta halaman 26 sebagai berikut:



Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Tinggi



melakukan



berpendapat



perbuatan



melawan



bahwa hukum



Tergugat/Pembanding yang



telah



Penggugat/



ep ub l



Terbanding;



merugikan



ik



ah



Pengadilan



m



Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Putusan Pengadilan Negeri Bontang tanggal 5



ka



September 2013 Perdata Nomor 13/Pdt.G/2013/PN.Btg, dapat dikuatkan dengan perbaikan-perbaikan sebagaimana tersebut di atas maupun pada



Eksepsi



Tergugat/Pembanding



seluruhnya



tidak



dapat



ng



diterima;



II. Dalam Provisi



do



Menyatakan tuntutan provisi Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima;



gu



si



Menyatakan



ne



I. Dalam Eksepsi:



R



ah



amar putusan sebagaimana tersebut di bawah ini:



III. Dalam Pokok Perkara: Penggugat/Terbanding



adalah



Pelaksana



Proyek



In



2. Menyatakan



Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;



lik



3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah Perbuatan Melawan Hukum;



4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat



ub



m



ah



A



1. Mengabulkan Gugatan Penggugat/Terbanding untuk sebagian;



sebesar Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat



ka



juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) ditambah dengan



ep



bunga sebesar 2 % perbulan, selama 60 bulan sehingga total sebesar



ah



Rp3.573.449.000,00 (tiga miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta empat 5. Menolak gugatan Penggugat/Terbanding selain dan selebihnya;



ng



M



6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar



on



In d



Hal. 16 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



Rp1.146.000,00 (satu juta seratus empat puluh enam ribu rupiah);



es



R



ratus empat puluh sembilan ribu rupiah;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 16



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Bahwa adapun pointers materi disenting opinion Hakim Anggota I Bpk. Eduard Manalif., S.H., M.H., kiranya dapat dirangkum sebagai berikut:



A gu ng



a. Bahwa apa yang telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama



tentang eksepsi menurut Hakim Anggota I sudah tepat dan dapat dibenarkan;



b. Bahwa tentang dalil Penggugat/Terbanding yang merupakan dasar Penggugat/Terbanding



dalam



mengajukan



gugatannya



kepada



Tergugat/Pembanding apakah merupakan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi menurut Hakim Anggota I tidak perlu dipertentangkan



ah



in casu dapat di konstatir;



ik



Untuk hal ini Hakim Anggota I mengajak untuk membandingkan dan



ep ub l



menghubungkannya dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 194



m



K/Pdt/1996 tanggal 26 Desember 1998 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 204K/Pdt/1998 Tanggal 30 Juni 1999;



ka



c. Bahwa dalam perkara in casu didapat kenyataan hukum yang tak dibantah dan diakui oleh Tergugat/Pembanding maupun oleh Tergugat/



ah



Pembanding yaitu:



si



R



a) Bahwa Tergugat/Terbanding telah selesai mengerjakan pekerjaan pekerjaan proyeknya ;



ng



ne



b) Bahwa dengan selesainya pekerjaan a quo ternyata telah memberi manfaat bagi masyarakat disekitar pekerjaan;



gu



do



c) Bahwa semua pihak termasuk Tergugat/Pembanding tahu bahwa



Penggugat/Terbanding mengerjakan pekerjaan a quo dan telah



In



d) Bahwa Pengugat/Terbanding dari mulai sampai dengan selesai



mengerjakan pekerjaan a quo adalah tanpa Surat Perintah Kerja Tergugat/Pembanding;



d. Bahwa



semua



perkerjaan-perkerjaan



lik



(SPK) dan atau tanpa membuat ikatan tertulis dengan pihak in



casu



yang



dikerjakan



ub



m



ah



A



selesai dikerjakan;



Penggugat/Terbanding apabila telah tertata atau telah masuk dalam



ka



DIPA APBD, otomatis dan mutlak menurut hukum mekanismenya harus



ep



tunduk pada Kepres Nomor 80 Tahun 2003 dengan segala perubahan



ah



dan peraturan pelaksanaannya;



dimaksud yang telah dikerjakan oleh Penggugat/Terbanding, sama



ng



M



sekali tidak masuk sebagai proyek APBD dan otomatis tidak tertata



on



In d



Hal. 17 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



dalam DIPA Kota Bontang maka mekanisme pekerjaannya tidak harus



es



R



e. Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap ternyata pekerjaan proyek



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 17



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



dilakukan menurut Kepres Nomor 80 Tahun 2003 dengan segala



perubahan dan peraturan pelaksanaannya, in casu tidak mungkin



A gu ng



kepada Penggugat/Terbanding diberikan SPK dan atau tidak mungkin



antara Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding dibuat surat perjanjian kerja secara tertulis;



f. Bahwa, terlepas apakah pekerjaaan dimaksud tertata atau telah masuk dalam DIPA APBD Kota Bontang akan tetapi menurut Hakim Anggota I



pekerjaan a quo adalah jenis pekerjaan yang karaktetristiknya adalah



menjadi tanggung jawab Pemerintah in casu Pemerintah dalam hal ini



ah



Dinas Pekerjaan Umum/Tergugat/Terbanding harus bertanggung jawab



ik



untuk membuat pekerjaan a quo jika Penggugat/Terbanding tidak



ep ub l



mengerjakan;



m



g. Bahwa pertentangan antara Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/ Pembanding akan tetap merupakan sengketa yang sepertinya sulit,



ka



sebab dari satu sisi apa yang merupakan alasan Tergugat/Pembanding untuk tidak membayar kepada Penggugat/Terbanding adalah bisa saja



R



Penggugat/Terbanding



dengan



Tergugat/Pembanding



Bahwa



si



ah



dibenarkan karena tidak ada ikatan hukum atau perjanjian tertulis antara Penggugat/Terbanding diperintahkan untuk mengerjakan pekerjaan



ng



ne



a quo, akan tetapi dari rasa keadilan adalah sangat tidak adil kepada Tergugat/Pembanding tidak diberikan pembayaran atas pekerjaan yang



gu



do



telah Penggugat/Terbanding kerjakan dengan biaya sendiri sedangkan



pekerjaan a quo adalah untuk kepentingan umum in casu kepentingan



In



lagi terjadi banjir, transportasi berjalan lancar dan masyarakat telah meniktinya in casu sangat bermanfaat bagi masyarakat;



lik



h. Bahwa selama pekerjaan pembangunan pihak pemerintah dalam hal ini Tergugat/Pembanding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan Pemerintah termasuk pekerjaan yang dikerjakan



ub



m



ah



A



umum terlayani, dimana dengan adanya pekerjaan a quo sudah tidak



oleh Penggugat/Terbanding yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan



ka



yang demikian in casu ada 26 (dua puluh enam) jenis pekerjaan yang



ep



dikerjakan sama dengan Penggugat/Terbanding (tanpa melalui suatu



ah



mekanisme yang diatur) dan Tergugat/Pembanding sangat tahu bahwa oleh APBD Kota Bontang, in casu belum tertata dalam DIPA Kota



ng



M



Bontang. Dan untuk itu jelas-jelas tidak ada dana yang tersedia dan lalu



on



In d



Hal. 18 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



Terggugat/Pembanding melakukan pembiaran kepada Penggugat/



es



R



pekerjaan a quo sama sekali belum merupakan proyek yang dibiayai



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 18



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Terbanding untuk mengerjakan pekerjakan tersebut, maka menurut



hukum dan harus demikian Tergugat/Pembanding (sebagai pihak



A gu ng



Pemerintah) yang bertanggung jawab



akan



pekerjaan-pekerjaan



Pemerintah dipandang telah melakukan persetujuan secara diam-diam dan untuknya Tergugat/Pembanding terikat atas persetujuan secara diam-diam



tersebut



dan



resikonya



Tergugat/Pembanding



harus



membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat/Terbanding untuk mengerjakan pekerjaan dimaksud;



Bahwa disamping apa yang telah dipertimbangkan oleh Hakim tingkat •



Bahwa



Penggugat/Terbanding



dalam



mengerjakan



pekerjaan



ik



ah



pertama, Pengadilan Tinggi memberikan pertimbangan sebagai berikut:



ep ub l



pembangunan, diketahui oleh Pemerintah dalam hal ini tentu



m



Tergugat/Pembanding



akan



tetapi



Tergugat/Pembanding



membiarkan terus sampai pekerjaan a quo selesai dikerjakan oleh



ka



Penggugat/Terbanding kendati Tergugat/Pembanding tahu persis dan menyadari bahwa pekerjaan a quo tidak ada anggaran karena pembiaran



oleh



Tergugat/Pembanding



yang



dapat



si



sebagai



R



ah



belum tertata dalam APBD/DIPA Kota Bontang. Hal mana dianggap merugikan Penggugat/Terbanding;



ne



Bahwa disamping itu pula dengan tidak dialokasikannya dana untuk



ng







pekerjaan a quo selama + 7 (terhitung sejak tahun 2006 sampai berkompeten)



untuk



itu,



kiranya



dapat



do



gu



sekarang) oleh Tergugat/Pembanding (sebagai Instansi yang dikatakan



bahwa



Tergugat/Pembanding telah lalai dalam mewujudkan kepentingan



In



A



umum, in casu pembangunan pekerjaan pembangunan pembuatan



parit pas batu jalan Bung Karno I, IV dan Londorundu Kelurahan



lik



ah



Gunung Telihan Kecamatan Bontang Barat adalah pekerjaan untuk kepentingan umum yang harus diprioritaskan dalam mengatasi



ub



m



banjir;



Berdasarkan dalil-dalil yang kami uraikan di atas, kiranya dapat



ka



disimpulkan:



ep



1. Bahwa seluruh pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan



ah



Negeri Bontang sudah tepat dan benar dalam melakukan Kalimantan-Timur Samarinda) yang melakukan kesalahan dalam



on



In d



Hal. 19 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



M



menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;



es



R



pertimbangkan hukum. Justru Judex Facti (Pengadilan Tinggi



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 19



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2. Bahwa



seluruh pertimbangan



Putusan



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Pengadilan Negeri



Bontang sudah tepat dan benar di dalam menerapkan hukum.



A gu ng



Yang dengan demikian justru Judex Facti (Pengadilan Tinggi



Kalimantan-Timur) yang melakukan kelalaian yang mengancam dibatalkannya



putusan



Kalimantan-Timur)



Judex



(Pengadilan



Facti



Nomor



Tinggi



106/PDT/2013/PT.KT.SMDA



tertanggal 8 April 2014;



3. Bahwa Hakim Anggota I (Bpk. Eduard Manalif, S.H., M.H.,) Majelis



Pengadilan



ah



Opinionnya



Tinggi



Samarinda



menyimpulkan



dan



dalam



berpendapat



Disenting



bahwa



dari



ik



pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada halaman



ep ub l



8 sampai dengan halaman 26 Putusan Pengadilan Tinggi



m



Samarinda



Nomor



107/PDT/2013/PT.KT.SMDA,



Tergugat/



Pembanding, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang



ka



merugikan Penggugat/Terbanding;



4. Bahwa sesungguhnya adalah benar apa yang disinyalir oleh dengan



terjadi



diam-diam



kesepakatan



Penggugat/Terbanding dan



jika



hal



telah



si



Tergugat/Pembanding



R



ah



Hakim Anggota I dalam Disenting Opinionnya bahwa antara tersebut



program



gu



dianggarkan



percepatan akan



pembangunan



tetapi



oleh



sudah



ne



bagi



pernah



Tergugat/Pembanding



do



ng



dihubungkan dengan bukti P-7 dimana dana untuk pekerjaan



dikembalikan ke Negara dengan alasan yang tidak rasional dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Hal ini sungguh merupakan dan



menunjukkan



iktikat



buruk



Pembanding; putusan



Pengadilan



Negeri



Bontang



lik



ah



5. Bahwa



dari



Tergugat/



In



A



kelalaian



Nomor



13/Pdt.G/2013/PN.BTG, tertanggal 5 September 2013 sudah



ub



m



tepat dan benar menurut hukum, sehingga adalah berdasarkan hukum untuk dikuatkan oleh Mahkamah Agung Republik



ka



Indonesia;



ep



6. Bahwa, sekiranya pada saatnya nanti pada akhir perjalanan



ah



proses hukum ini argumentasi hukum yang demikian kuat dan baik Termohon Kasasi/Pembanding/Tergugat atau Para Majelis



ng



M



Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda



on



In d



Hal. 20 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



(kecuali Hakim Anggota I yang disenting opinion) yang



es



R



ilmiahnya yang telah dipaparkan dan diajukan oleh para pihak



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 20



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia berdampak pada kalah/lemahnya argumentasi hukum dari



Pemohon Kasasi/Terbanding/Penggugat serta kalah/lemahnya



A gu ng



pertimbangan hati nurani Majelis Hakim Yang Mulia maka tentunya secara hukum kekalahan itu dapat dimaknai/diartikan



sebagai alasan pembenar bagi Pemohon Kasasi/Terbanding/ Penggugat untuk membatalkan investasi yang sudah tertanam



selama lebih dari 6 (enam) tahun dan menarik/mengambil kembali asset-asset baik dalam bentuk fisik atau lainnya)



bersama 26 (dua puluh enam proyek lainnya) yang tersebar



ah



Kota Bontang;



ik



Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung



m



Bahwa



alasan



Facti/Pengadilan



ep ub l



berpendapat: tersebut



Tinggi



dapat



Kalimantan



dibenarkan,



Timur



di



oleh



karena



Samarinda



Judex



telah



salah



ka



menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa pada dasarnya perbuatan ingkar janji adalah perbuatan yang



ah



telah melanggar hak subjektif pihak lain yang esensinya juga merupakan



si



R



perbuatan melawan hukum atau melawan hak;



Bahwa terbukti pihak Pemohon Kasasi telah menyelesaikan pekerjaan



ng



ne



pembangunan jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat sedangkan pihak Termohon Kasasi tidak membayar biaya yang



do



gu



telah dikeluarkan oleh pihak Pemohon Kasasi dengan alasan tidak adanya Surat Perintah Kerja (SPK) atau perjanjian antara keduanya;



Bahwa secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis (SPK) yang



A



In



mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon Kasasi namun



lik



pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat maka



ub



mejadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam pekerjaan pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat yang telah dikeluarkan oleh Pemohon Kasasi;



ep



Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagipula ternyata putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) dalam perkara ini telah bertentangan bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Kasasi



UNGKAP



SIMAMORA



dan



membatalkan



ng



Pemohon



Putusan



on



In d



Hal. 21 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda Nomor 107/PDT/2013/PT-



es



dengan hukum dan/atau undang-undang, maka Mahkamah Agung berpendapat



R



ka



m



ah



faktanya, selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada keberatan dari



ah



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



M



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Halaman 21



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia KT-SMDA, tanggal 8 April yang



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



membatalkan Putusan Pengadilan Negeri



Bontang Nomor 13/PDT.G/2013/PN.Btg, tanggal 5 September 2013 serta Agung



mengadili



sendiri



perkara



ini dengan amar putusan



A gu ng



Mahkamah



sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;



Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi berada di pihak yang



kalah, maka dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;



Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang



Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang



ah



Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-



ik



Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang



ep ub l



Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangan lain yang bersangkutan;



m



MENGADILI:



1. Mengabulkan



permohonan



ka



SIMAMORA tersebut; 2. Membatalkan Putusan



kasasi



dari



Pemohon



Kasasi



Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda



Nomor 107/PDT/2013/PT-KT-SMDA tanggal 8 April yang



ah



UNGKAP



membatalkan



si



R



Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 13/PDT.G/2013/ PN.Btg tanggal MENGADILI SENDIRI:



ne



ng



05 September 2013;



Menyatakan Eksepsi Tergugat tidak dapat diterima;



gu



-



II. Dalam Provisi:



A



III. Dalam Pokok Perkara:



lik



2. Menyatakan Penggugat adalah Pelaksana Proyek dari Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;



3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah Perbuatan



ub



m



ah



1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;



In



Menyatakan tuntutan Provisi Penggugat tidak dapat diterima;



-



do



I. Dalam Eksepsi:



Melawan Hukum;



ka



4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat



ep



sebesar Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat perbulan,



selama



60



bulan



sehingga



totalnya



sebesar



R



2%



Rp3.573.449.000,00 (tiga miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta empat



ng



M



ratus empat puluh sembilan ribu rupiah);



on



In d



Hal. 22 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;



es



ah



juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) ditambah bunga sebesar



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 22



R ep ub



hk am



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia



In do ne si a



putusan.mahkamahagung.go.id



Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat/Pembanding untuk membayar



biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini



A gu ng



ditetapkan sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);



Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah



Agung pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2015 oleh H. Mahdi Soroinda Nasution,



S.H., M.Hum, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung



sebagai Ketua Majelis, Dr. Yakup Ginting, S.H., C.N., M.Kn. dan Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H. Hakim-Hakim Agung sebagai anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan



ah



dihadiri para anggota tersebut dan dibantu oleh Liliek Prisbawono Adi,



ep ub l



ik



S.H.,M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak. Ketua Majelis



ttd./ Dr. Yakup Ginting, S.H., C.N., M.Kn.



H. Mahdi Soroinda Nasution, S.H., M.Hum, Panitera Pengganti ttd./ Liliek Prisbawono Adi, S.H.,M.H.,



do In



Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI. a.n. Panitera Panitera Muda Perdata



lik



ah



A



gu



ng



R



ah



Biaya – biaya : 1. M e t e r a i……………… Rp6.000,00 2. R e d a k s i ................... Rp5.000,00 3. Administrasi perkara kasasi perdata …………. Rp489.000,00 J u m l a h……………….. Rp500.000,00



ne



ka



ttd./ Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.



ttd./



si



m



Hakim-hakim Anggota



es on



In d



Hal. 23 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014



A



gu



ng



M



R



ah



ep



ka



ub



m



DR. PRI PAMBUDI TEGUH, SH.,MH. Nip. 19610313 198803 1003



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



ik



h



Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)



Halaman 23



UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :



a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan



makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional; c. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c diperlukan Undangundang tentang Jasa Konstruksi; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI.



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1



1. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



2. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,



layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi; 3. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain; 4. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi; 5. Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi; 6. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; 7. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa; 8. Forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri; 9. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat; 10. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain; 11. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain; 12. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal 3 Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :



a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan



kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi. BAB III USAHA JASA KONSTRUKSI Bagian Pertama Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha Pasal 4 (1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. (2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi. (3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. (4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi. Pasal 5 (1) Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha. (2) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. (3) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya. (4) Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Pasal 6 Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya. Pasal 7



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Persyaratan Usaha, Keahlian, dan Keterampilan Pasal 8 Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus :



a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi; b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Pasal 9 (1) Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian. (2) Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja. (3) Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian. (4) Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja. Pasal 10 Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Profesional Pasal 11 (1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum. (3) Untuk mewujudkan terpenuhinya tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditempuh melalui mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Bagian Keempat Pengembangan Usaha Pasal 12 (1) Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu. (2) Usaha perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi dikembangkan ke arah usaha yang bersifat umum dan spesialis. (3) Usaha pelaksanaan konstruksi dikembangkan ke arah :



a. usaha yang bersifat umum dan spesialis; b. usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja. Pasal 13 Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui :



a. perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan,



b. pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan



tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan. BAB IV PENGIKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI Bagian Pertama Para Pihak Pasal 14



Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari :



a. pengguna jasa; b. penyedia jasa. Pasal 15 (1) Pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi. (2) Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. (3) Bukti kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



biaya, dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa. (4) Jika pengguna jasa adalah Pemerintah, pembuktian kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran. (5) Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pasal 16 (1) Penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b terdiri dari:



a. perencana konstruksi; b. pelaksana konstruksi; c. pengawas konstruksi. (2) Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tiap-tiap penyedia jasa secara terpisah dalam pekerjaan konstruksi. (3) Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan teknologi canggih, serta risiko besar bagi para pihak ataupun kepentingan umum dalam satu pekerjaan konstruksi. Bagian Kedua Pengikatan Para Pihak Pasal 17 (1) Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. (2) Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi. (3) Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. (4) Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. (5) Pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. (6) Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Pasal 18 (1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup :



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuanketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan.



(2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi. (4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 19 Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum. Pasal 20 Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas. Pasal 21 (1) Ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berlaku juga dalam pengikatan antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, penerbitan dokumen dan penetapan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Kontrak Kerja Konstruksi Pasal 22 (1) Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. (2) Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai :



a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai c. d. e.



f. g. h. i. j. k. l. m.



pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan; masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.



(3) Kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. (4) Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif. (5) Kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang sub-penyedia jasa serta pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku. (6) Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. (7) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa. (8) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan mengenai pemasok dan/atau komponen bahan bangunan dan/atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pasal 23 (1) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. (2) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. (3) Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 (1) Penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai dengan masing-masing tahapan pekerjaan konstruksi. (2) Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. (3) Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi hak-hak subpenyedia jasa sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. (4) Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi kewajibankewajibannya sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. BAB VI KEGAGALAN BANGUNAN Pasal 25 (1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. (2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli. Pasal 26 (1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. (2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi. Pasal 27 Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi. Pasal 28 Ketentuan mengenai jangka waktu dan penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 serta tanggung jawab pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PERAN MASYARAKAT Bagian Pertama Hak dan Kewajiban Pasal 29 Masyarakat berhak untuk :



a. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 30 Masyarakat berkewajiban :



a. menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi;



b. turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.



Bagian Kedua Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 31 (1) Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



(2) Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi. (3) Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Pasal 32 (1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) terdiri atas unsur-unsur : asosiasi perusahaan jasa konstruksi; asosiasi profesi jasa konstruksi; asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi; masyarakat intelektual; organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi dan/atau yang mewakili konsumen jasa konstruksi; f. instansi Pemerintah; dan g. unsur-unsur lain yang dianggap perlu.



a. b. c. d. e.



(2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi nasional yang berfungsi untuk :



a. b. c. d.



menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan jasa konstruksi nasional; tumbuh dan berkembangnya peran pengawasan masyarakat; memberi masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Pasal 33



(1) Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari:



a. b. c. d.



asosiasi perusahaan jasa konstruksi; asosiasi profesi jasa konstruksi; pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; dan instansi Pemerintah yang terkait.



(2) Tugas lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :



a. melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi; b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi; c. melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja;



d. melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi; e. mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



(3) Untuk mendukung kegiatannya, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengusahakan perolehan dana dari masyarakat jasa konstruksi yang berkepentingan. Pasal 34 Ketentuan mengenai forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII PEMBINAAN Pasal 35 (1) Pemerintah melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. (2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan peraturan perundang-undangan dan standar-standar teknis. (3) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi. (4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamasama dengan masyarakat jasa konstruksi. (6) Sebagian tugas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Pertama Umum Pasal 36 (1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (3) Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Pasal 37 (1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalahmasalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. (2) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak. (3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi. Bagian Ketiga Gugatan Masyarakat Pasal 38 (1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara :



a. orang perseorangan; b. kelompok orang dengan pemberian kuasa; c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan. (2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat, Pemerintah wajib berpihak pada dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Pasal 39 Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 40 Tata cara pengajuan gugatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diajukan oleh orang perseorangan, kelompok orang, atau lembaga kemasyarakatan dengan mengacu kepada Hukum Acara Perdata. BAB X SANKSI Pasal 41 Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pasal 42 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa:



a. b. c. d. e.



peringatan tertulis; penghentian sementara pekerjaan konstruksi; pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; pembekuan izin usaha dan/atau profesi; pencabutan izin usaha dan/atau profesi.



(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa :



a. b. c. d. e. f.



peringatan tertulis; penghentian sementara pekerjaan konstruksi; pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi; pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi; pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi.



(3) Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43 (1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. (2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak. (3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 (1) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan jasa konstruksi yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



(2) Penyedia jasa yang telah memperoleh perizinan sesuai dengan bidang usahanya dalam waktu 1 (satu) tahun menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, terhitung sejak diundangkannya. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama dan bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 46 Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini, dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. AKBAR TANDJUNG



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 54



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



PENJELASAN ATAS UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI I. U M U M



1. Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan



strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 2. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan efektif, sedangkan struktur usaha yang kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis, dan terampil, serta perlu diwujudkan pula ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban.



3. Dewasa ini, jasa konstruksi merupakan bidang usaha yang banyak diminati oleh anggota masyarakat di berbagai tingkatan sebagaimana terlihat dari makin besarnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi.



Peningkatan jumlah perusahaan ini ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualifikasi dan kinerjanya, yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk, ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal, dan teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan keterampilan belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang profesional. Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan konstruksi yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa konstruksi nasional. Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan, termasuk kepatuhan para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa, dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan manfaat dan arti penting jasa konstruksi masih perlu ditumbuhkembangkan agar mampu mendukung terwujudnya ketertiban dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara optimal. Kondisi jasa konstruksi nasional dewasa ini sebagaimana tercermin dalam uraian tersebut di atas disebabkan oleh dua faktor:



a. faktor internal, yakni: 1) pada umumnya jasa konstruksi nasional masih mempunyai kelemahan dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan permodalan, serta keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil; 2) struktur usaha jasa konstruksi nasional belum tertata secara utuh dan kokoh yang tercermin dalam kenyataan belum terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa dalam berbagai klasifikasi dan/atau kualifikasi;



b. faktor eksternal, yakni; 1) kekurangsetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa; 2) belum mantapnya dukungan berbagai sektor secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi nasional, antara lain akses kepada permodalan, pengembangan profesi keahlian dan profesi keterampilan, ketersediaan bahan dan komponen bangunan yang standar; 3). belum tertatanya pembinaan jasa konstruksi secara nasional, masih bersifat parsial dan sektoral. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya, dalam dua dasa warsa terakhir, jasa konstruksi nasional telah menjadi salah satu potensi Pembangunan Nasional dalam mendukung perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja serta peningkatan penerimaan negara. Dengan demikian potensi jasa konstruksi nasional ini perlu ditumbuhkembangkan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional.



4. Sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan perluasan cakupan, kualitas



hasil maupun tertib pembangunan, telah membawa konsekuensi meningkatnya kompleksitas pekerjaan konstruksi, tuntutan efisiensi, tertib penyelenggaraan, dan kualitas hasil pekerjaan konstruksi. Selain itu, tata ekonomi dunia telah mengamanatkan hubungan kerja sama ekonomi internasional yang semakin terbuka dan memberikan peluang yang semakin luas bagi jasa konstruksi nasional.



Kedua fenomena tersebut merupakan tantangan bagi jasa konstruksi nasional untuk meningkatkan kinerjanya agar mampu bersaing secara profesional dan mampu menghadapi dinamika perkembangan pasar dalam dan luar negeri.



5. Peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional memerlukan iklim usaha yang kondusif, yakni :



a. terbentuknya kepranataan usaha, meliputi : 1) persyaratan usaha yang mengatur klasifikasi dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



2) standard klasifikasi dan kualifikasi keahlian dan keterampilan yang mengatur bidang dan tingkat kemampuan orang perseorangan yang bekerja pada perusahaan jasa konstruksi ataupun yang melakukan usaha orang perseorangan; 3) tanggung jawab profesional yakni penegasan atas tanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya; 4) terwujudnya perlindungan bagi pekerja konstruksi yang meliputi: kesehatan dan keselamatan kerja, serta jaminan sosial; 5) terselenggaranya proses pengikatan yang terbuka dan adil, yang dilandasi oleh persaingan yang sehat; 6) pemenuhan kontrak kerja konstruksi yang dilandasi prinsip kesetaraan kedudukan antarpihak dalam hak dan kewajiban dalam suasana hubungan kerja yang bersifat terbuka, timbal balik, dan sinergis yang memungkinkan para pihak untuk mendudukkan diri pada fungsi masing-masing secara konsisten;



b. dukungan pengembangan usaha, meliputi: 1) tersedianya permodalan termasuk pertanggungan yang sesuai dengan karakteristik usaha jasa konstruksi; 2) terpenuhinya ketentuan tentang jaminan mutu; 3) berfungsinya asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi dalam memenuhi kepentingan anggotanya termasuk memperjuangkan ketentuan imbal jasa yang adil;



c. berkembangnya partisipasi masyarakat, yakni: timbulnya kesadaran masyarakat akan mendorong terwujudnya tertib jasa konstruksi serta mampu untuk mengaktualisasikan hak dan kewajibannya;



d. terselenggaranya pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan yang dilakukan oleh



Pemerintah dan/atau Masyarakat Jasa Konstruksi bagi para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi agar mampu memenuhi berbagai ketentuan yang dipersyaratkan ataupun kewajiban-kewajiban yang diperjanjikan; e. perlunya Masyarakat Jasa Konstruksi dengan unsur asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi membentuk lembaga untuk pengembangan jasa konstruksi.



f. Untuk meningkatkan pemberdayaan potensi nasional secara optimal dalam



penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa perlu mengutamakan penggunaan jasa dan barang produksi nasional/dalam negeri sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang mengenai usaha kecil. g. Untuk mengembangkan jasa konstruksi sebagaimana telah diuraikan di atas memerlukan pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, terpadu, dan menyeluruh dalam bentuk Undang-undang sebagai landasan hukum. h. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi mengatur tentang ketentuan umum, usaha jasa konstruksi, pengikatan pekerjaan konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, kegagalan bangunan, peran masyarakat, pembinaan, penyelesaian sengketa, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



i. Pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian,



keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, serta keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. j. Dengan Undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang tentang Jasa Konstruksi. k. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini menjadi landasan untuk menyesuaikan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait yang tidak sesuai. Undang-undang ini mempunyai hubungan komplementaritas dengan peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain: 1) Undang-undang yang mengatur tentang wajib daftar perusahaan; 2) Undang-undang yang mengatur tentang perindustrian; 3) Undang-undang yang mengatur tentang ketenagalistrikan; 4) Undang-undang yang mengatur tentang kamar dagang dan industri; 5) Undang-undang yang mengatur tentang kesehatan kerja; 6) Undang-undang yang mengatur tentang usaha perasuransian; 7) Undang-undang yang mengatur tentang jaminan sosial tenaga kerja; 8) Undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas; 9) Undang-undang yang mengatur tentang usaha kecil; 10)Undang-undang yang mengatur tentang hak cipta; 11)Undang-undang yang mengatur tentang paten; 12)Undang-undang yang mengatur tentang merek; 13)Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup; 14)Undang-undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan; 15)Undang-undang yang mengatur tentang perbankan; 16)Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen; 17)Undang-undang yang mengatur tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; 18)Undang-undang yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa; 19)Undang-undang yang mengatur tentang penataan ruang. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Dalam jasa konstruksi terdapat 2 (dua) pihak yang mengadakan hubungan kerja berdasarkan hukum yakni pengguna jasa dan penyedia jasa. Angka 2 Pekerjaan arsitektural mencakup antara lain : pengolahan bentuk dan masa bangunan berdasarkan fungsi serta persyaratan yang diperlukan setiap pekerjaan konstruksi. Pekerjaan sipil mencakup antara lain : pembangunan pelabuhan, bandar udara, jalan kereta api, pengamanan pantai, saluran irigasi/kanal, bendungan, terowongan, gedung, jalan dan jembatan, reklamasi rawa, pekerjaan pemasangan perpipaan, pekerjaan pemboran, dan pembukaan lahan. Pekerjaan mekanikal dan elektrikal merupakan pekerjaan pemasangan produk-produk rekayasa industri.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pekerjaan mekanikal mencakup antara lain : pemasangan turbin, pendirian dan pemasangan instalasi pabrik, kelengkapan instalasi bangunan, pekerjaan pemasangan perpipaan air, minyak, dan gas. Pekerjaan elektrikal mencakup antara lain: pembangunan jaringan transmisi dan distribusi kelistrikan, pemasangan instalasi kelistrikan, telekomunikasi beserta kelengkapannya. Pekerjaan tata lingkungan mencakup antara lain: pekerjaan pengolahan dan penataan akhir bangunan maupun lingkungannya. Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan baik yang ada di atas, di bawah tanah dan/atau air. Dalam pengertian menyatu dengan tempat kedudukan terkandung makna bahwa proses penyatuannya dilakukan melalui penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pengertian menyatu dengan tempat kedudukan tersebut dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan adanya asas pemisahan horisontal dalam pemilikan hak atas tanah terhadap bangunan yang ada di atasnya, sebagaimana asas hukum yang dianut dalam Undang-undang mengenai agraria. Hasil pekerjaan konstruksi ini dapat juga dalam bentuk fisik lain, antara lain : dokumen, gambar rencana, gambar teknis, tata ruang dalam (interior), dan tata ruang luar (exterior), atau penghancuran bangunan (demolition). Angka 3 Pengertian orang perseorangan adalah warga negara, baik Indonesia maupun asing. Pengertian badan adalah badan usaha dan bukan badan usaha, baik Indonesia maupun asing. Badan usaha dapat berbentuk badan hukum, antara lain, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau bukan badan hukum, antara lain: CV, Firma. Badan yang bukan badan usaha berbentuk badan hukum, antara lain instansi dan lembagalembaga Pemerintah. Pemilik pekerjaan/proyek adalah orang perseorangan atau badan yang memiliki pekerjaan/proyek yang menyediakan dana dan bertanggung jawab di bidang dana. Angka 4 Pengertian orang perseorangan dan badan usaha, penjelasannya sama dengan penjelasan pada angka 3. Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi penyedia jasa dapat berfungsi sebagai subpenyedia jasa dari penyedia jasa lainnya yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama. Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Kesalahan penyedia jasa adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar dan direncanakan atau akibat ketidaktahuan atau kealpaan yang menyimpang dari kontrak kerja konstruksi sehingga menimbulkan kerugian.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Kesalahan pengguna jasa adalah perbuatan yang disebabkan karena pengelolaan bangunan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Cukup jelas Pasal 2 Asas Kejujuran dan Keadilan Asas Kejujuran dan Keadilan mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya. Asas Manfaat Asas Manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional. Asas Keserasian Asas Keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi. Asas Keseimbangan Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa. Asas Kemandirian Asas Kemandirian mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional. Asas Keterbukaan Asas Keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan. Asas Kemitraan Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis. Asas Keamanan dan Keselamatan Asas Keamanan dan Keselamatan mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum. Pasal 3 Huruf a Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam sistem pembangunan nasional, untuk mendukung berbagai bidang kehidupan masyarakat dan menumbuhkembangkan berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Huruf b Cukup jelas Huruf c. Peran masyarakat meliputi baik peran yang bersifat langsung sebagai penyedia jasa, pengguna jasa, dan pemanfaat hasil pekerjaan konstruksi, maupun peran sebagai warganegara yang berkewajiban turut melaksanakan pengawasan untuk menegakkan ketertiban penyelenggaraan pembangunan jasa konstruksi dan melindungi kepentingan umum. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pekerjaan perencanaan konstruksi dapat dilakukan dalam satu paket kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi atau perbagian dari kegiatan. Studi pengembangan mencakup studi insepsion, studi fasibilitas, penyusunan kerangka usulan. Ayat (3) Pekerjaan pelaksanaan konstruksi dapat diadakan dalam satu paket kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan hasil akhir pekerjaan atau per bagian kegiatan. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Ayat (2) Pembatasan pekerjaan yang boleh dilakukan oleh orang perseorangan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap para pihak maupun masyarakat atas risiko pekerjaan konstruksi. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8



a. Fungsi perizinan yang mempunyai fungsi publik, dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dalam usaha dan/atau pekerjaan jasa konstruksi.



b. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat



keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi, yang meliputi : klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.



Penyelenggaraan jasa konstruksi berskala kecil pada dasarnya melibatkan pengguna jasa dan penyedia jasa orang perseorangan atau usaha kecil. Untuk tertib penyelenggaraan jasa konstruksi ketentuan yang menyangkut keteknikan misalnya sertifikasi tenaga ahli harus tetap dipenuhi secara bertahap tergantung kondisi setempat. Namun penerapan ketentuan perikatan dapat disederhanakan dan pemilihan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (3). Pasal 9 (ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4)



a. Standar klasifikasi dan kualifikasi keterampilan kerja dan keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keterampilan kerja dan keahlian kerja setiap orang yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi ataupun yang bekerja orang perseorangan.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi yang meliputi : klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi. Dengan demikian hanya orang perseorangan yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.



b. Standardisasi klasifikasi dan kualifikasi keterampilan dan keahlian kerja



bertujuan untuk terwujudnya standar produktivitas kerja dan mutu hasil kerja dengan memperhatikan standard imbal jasa, serta kode etik profesi untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya tanggung jawab profesional.



c. Pelaksanaan ketentuan sertifikasi khususnya ayat (4) dilaksanakan secara



bertahap sesuai dengan kondisi tenaga kerja konstruksi nasional dan tingkat kemampuan upaya pemberdayaannya. Pasal 10



Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mekanisme pertanggungan dimaksud dapat dilakukan melalui antara lain sistem asuransi. Di samping itu untuk memenuhi pertanggungjawaban kepada pengguna jasa, dikenakan sanksi administratif yang menyangkut profesi. Pasal 12 Ayat (1) Dengan pendekatan ini diharapkan terwujud restrukturisasi bidang usaha jasa konstruksi yang menunjang efisiensi usaha, karena kemampuan penyedia jasa baik dalam skala usaha maupun kualifikasi usaha akan saling mengisi dalam kemitraan yang sinergis dan komplementer, karena saling memerlukan, yang dalam hubungan transaksionalnya dilandasi oleh kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Ayat (2) Dalam pengembangan usaha tersebut, dimungkinkan tumbuhnya jasa antara lain dalam bentuk manajemen proyek, manajemen konstruksi, serta bentuk jasa lain sesuai dengan tuntutan dan pertumbuhan dunia jasa konstruksi. Ayat (3) Sama dengan penjelasan ayat (2). Pasal 13



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pendanaan berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha. Untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dapat ditempuh melalui pertanggungan dengan mitra usaha antara lain : Jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka, jaminan sosial tenaga kerja, Construction All Risk Insurance, Professional Liability Insurance, Professional Indemnity Insurance. Di samping itu jasa konstruksi juga memerlukan dukungan sumber informasi mengenai ketersediaan peralatan, bahan dan komponen bangunan. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "wakil" adalah orang perseorangan atau badan yang diberi kuasa secara hukum untuk bertindak mewakili kepentingan pengguna jasa secara penuh atau terbatas dalam hubungannya dengan penyedia jasa. Penunjukan wakil tersebut tidak melepaskan tanggung jawab pengguna jasa atas semua kewajiban dalam pekerjaan konstruksi yang harus dipenuhi kepada penyedia jasa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan "bukti kemampuan membayar dalam bentuk lain" antara lain jaminan dalam bentuk barang bergerak dan/atau tidak bergerak. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan "kelengkapan yang dipersyaratkan" adalah berbagai surat keterangan dan izin yang harus dimiliki oleh pengguna jasa yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penggabungan ketiga fungsi tersebut dikenal antara lain dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement, and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build) dengan tetap menjamin terwujudnya efisiensi.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan pada umumnya bersifat kompleks, memerlukan teknologi canggih serta berisiko besar seperti: pembangunan kilang minyak, pembangkit tenaga listrik, dan reaktor nuklir. Dalam pemilihan penyedia jasa untuk pekerjaan tersebut di atas, tetap diwajibkan mengikuti ketentuan pengikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Pasal 17 Ayat (1) Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan penyedia jasa pada kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Dalam setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang adil dan serasi yang disertai dengan sanksi. Prinsip persaingan yang sehat mengandung pengertian, antara lain:



a. diakuinya kedudukan yang sejajar antara pengguna jasa dan penyedia jasa; b. terpenuhinya ketentuan asas keterbukaan dalam proses pemilihan dan



penetapan; c. adanya peluang keikutsertaan dalam setiap tahapan persaingan yang sehat bagi penyedia jasa sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan; d. keseluruhan pengertian tentang prinsip persaingan yang sehat tersebut dalam huruf a, b, dan c dituangkan dalam dokumen yang jelas, lengkap, dan diketahui dengan baik oleh semua pihak serta bersifat mengikat. Dengan pemilihan atas dasar prinsip persaingan yang sehat, pengguna jasa mendapatkan penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Di sisi lain merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing. Pemilihan yang didasarkan atas persaingan yang sehat dilakukan secara umum, terbatas, ataupun langsung. Dalam pelelangan umum setiap penyedia jasa yang memenuhi kualifikasi yang diminta dapat mengikutinya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Keadaan tertentu antara lain meliputi :



1. penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat; 2. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;



3. pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara;



4. pekerjaan yang berskala kecil. Ayat (4) Pertimbangan antarkesesuaian bidang serta keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja serta kinerja penyedia jasa dimaksudkan agar penyedia jasa yang terpilih betul-betul memiliki



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



kualifikasi dan klasifikasi sebagaimana yang diminta serta memiliki kemampuan nyata untuk melaksanakan pekerjaan. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 18



Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan "prinsip keahlian dalam menyusun dokumen penawaran" adalah dengan mengindahkan prinsip profesionalisme, kesesuaian, dan pemenuhan ketentuan sebagaimana tersebut dalam dokumen pemilihan dan dokumen tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "mengikat", adalah bahwa materi yang tercantum dalam dokumen penawaran yang disampaikan penyedia jasa, atau dokumen pemilihan yang diterbitkan oleh pengguna jasa tidak diperkenankan diubah secara sepihak sejak penyampaian dokumen penawaran sampai dengan penetapan secara tertulis. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Yang dimaksud dengan "perusahaan terafiliasi" adalah perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh satu perusahaan induk. Pemberian pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi dengan pengguna jasa tersebut dapat dibenarkan apabila pemilihannya didasarkan pada proses pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 21 Ayat (1) Pada dasarnya subpenyedia jasa adalah penyedia jasa. Oleh karena itu sebagaimana perlakuan terhadap penyedia jasa yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama, subpenyedia jasa mempunyai kewajiban yang sama dalam keikutsertaan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi melalui persaingan yang sehat sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "identitas para pihak" adalah nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang penandatanganan, dan domisili. Huruf b Lingkup kerja meliputi hal-hal berikut.



1. Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan termasuk volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan perubahan volume pekerjaan, perlu ditetapkan besaran perubahan volume yang tidak memerlukan persetujuan para pihak terlebih dahulu.



Bagi pekerjaan perencanaan dan pengawasan, lingkup pekerjaan dapat berupa laporan hasil pekerjaan konstruksi yang wajib dipertanggungjawabkan yang merupakan hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis.



2. Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi.



3. Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa.



4. Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain



untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat. Perlindungan tersebut dapat berupa antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan bank.



5. Laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis.



Nilai pekerjaan, yakni jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan. Huruf c dan d Cukup jelas



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Huruf e Yang dimaksud dengan "informasi" adalah dokumen yang lengkap dan benar yang harus disediakan pengguna jasa bagi penyedia jasa agar dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Dokumen tersebut, antara lain, meliputi izin mendirikan bangunan dan dokumen penyerahan penggunaan lapangan untuk bangunan beserta fasilitasnya. Huruf f Pembayaran dapat dilaksanakan secara berkala, atau atas dasar persentase tingkat kemajuan pelaksanaan pekerjaan, atau cara pembayaran yang dilakukan sekaligus setelah proyek selesai. Huruf g Cidera janji adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak dalam kontrak kerja konstruksi:



1. tidak melakukan apa yang diperjanjikan; dan/atau 2. melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; dan/atau



3. melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat; dan/atau 4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Yang dimaksud dengan tanggung jawab, antara lain, berupa pemberian kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, atau pemberian ganti rugi. Huruf h Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tatacara penyelesaian perselisihan yang diakibatkan antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan tentang tempat dan cara penyelesaian. Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun pengadilan. Huruf i Cukup jelas Huruf j Keadaan memaksa mencakup:



1. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya;



2. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya;



Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain, melalui lembaga pertanggungan (asuransi). Huruf l Perlindungan pekerja disesuaikan dengan ketentuan undang-undang mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, serta undang-undang mengenai jaminan sosial tenaga kerja.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Huruf m Aspek lingkungan mengikuti ketentuan undang-undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (3) Kekayaan intelektual adalah hasil inovasi perencana konstruksi dalam suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang kepemilikannya dapat diperjanjikan. Penggunaan hak atas kekayaan intelektual yang sudah dipatenkan harus dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "insentif" adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai dengan yang dipersyaratkan. Insentif dapat berupa uang ataupun bentuk lainnya. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Tahapan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi adalah perencanaan yang meliputi : prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik; serta pelaksanaan beserta pengawasannya yang meliputi : pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba, dan penyerahan bangunan. Kegiatan dalam setiap tahap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi:



a. penyiapan, yaitu kegiatan awal penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk memenuhi berbagai persyaratan yang diperlukan dalam memulai pekerjaan perencanaan atau pelaksanaan fisik dan pengawasan;



b. pengerjaan, yaitu ; 1) dalam tahap perencanaan, merupakan serangkaian kegiatan yang menghasilkan berbagai laporan tentang tingkat kelayakan, rencana umum/induk, dan rencana teknis; 2) dalam tahap pelaksanaan, merupakan serangkaian kegiatan pelaksanaan fisik beserta pengawasannya yang menghasilkan bangunan;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



1. pengakhiran, yaitu kegiatan untuk menyelesaikan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.



1) dalam tahap perencanaan, dengan disetujuinya laporan akhir dan dilaksanakannya pembayaran akhir; 2) dalam tahap pelaksanaan dan pengawasan, dengan dilakukannya penyerahan akhir bangunan dan dilaksanakannya pembayaran akhir. Ayat (2) Ketentuan tentang keteknikan meliputi : standar konstruksi bangunan, standar mutu hasil pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan standar mutu peralatan. Ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi : persyaratan standar keahlian dan keterampilan yang meliputi bidang dan tingkat keahlian serta keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Ayat (3) Kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi : a. Dalam kegiatan penyiapan :



1. pengguna jasa, antara lain : a. menyerahkan dokumen lapangan untuk pelaksanaan konstruksi, dan fasilitas sebagaimana ditentukan dalam kontrak kerja konstruksi;



b. membayar uang muka atas penyerahan jaminan uang muka dari penyedia jasa apabila diperjanjikan.



2. penyedia jasa, antara lain : a) menyampaikan usul rencana kerja dan penanggung jawab pekerjaan untuk mendapatkan persetujuan pengguna jasa; b) memberikan jaminan uang muka kepada pengguna jasa apabila diperjanjikan; c) mengusulkan calon subpenyedia jasa dan pemasok untuk mendapatkan persetujuan pengguna jasa apabila diperjanjikan.



b. Dalam kegiatan pengerjaan : 1. pengguna jasa, antara lain : memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan kontrak kerja dan menanggung semua risiko atas ketidakbenaran permintaan, ketetapan yang dimintanya/ditetapkannya yang tertuang dalam kontrak kerja;



1. penyedia jasa, antara lain: mempelajari, meneliti kontrak kerja, dan melaksanakan sepenuhnya semua materi kontrak kerja baik teknik dan administrasi, dan menanggung segala risiko akibat/kelalaiannya.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



c. Dalam kegiatan pengakhiran : 1. pengguna jasa, antara lain : memenuhi tanggung jawabnya sesuai kontrak kerja kepada penyedia jasa yang telah berhasil mengakhiri dan melaksanakan serah terima akhir secara teknis dan administratif kepada pengguna jasa sesuai kontrak kerja.



1. penyedia jasa, antara lain : meneliti secara seksama keseluruhan pekerjaan yang dilaksanakannya serta menyelesaikannya dengan baik sebelum mengajukan serah terima akhir kepada pengguna jasa. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Pengikutsertaan subpenyedia jasa dibatasi oleh adanya tuntutan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan ditempuh melalui mekanisme subkontrak, dengan tidak mengurangi tanggung jawab penyedia jasa terhadap seluruh hasil pekerjaannya. Bagian pekerjaan yang akan dilaksanakan subpenyedia jasa harus mendapat persetujuan pengguna jasa. Pengikutsertaan subpenyedia jasa bertujuan memberikan peluang bagi subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian spesifik melalui mekanisme keterkaitan dengan penyedia jasa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Hak-hak subpenyedia jasa, antara lain adalah hak untuk menerima pembayaran secara tepat waktu dan tepat jumlah yang harus dijamin oleh penyedia jasa. Dalam hal ini pengguna jasa mempunyai kewajiban untuk memantau pelaksanaan pemenuhan hak subpenyedia jasa oleh penyedia jasa. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga selaku penilai ahli



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan penetapan suatu kegagalan hasil pekerjaan konstruksi. Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang atau lembaga yang disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif dan profesional. Pasal 26 Ayat (1) Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi perencana dan pengawas konstruksi. Ayat (2) Pertanggungjawaban pelaksana konstruksi di bidang usaha dikenakan kepada pelaksana konstruksi maupun sub pelaksana konstruksi dalam bentuk sanksi administrasi sesuai tingkat kesalahan. Besaran ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaksana konstruksi dalam hal terjadi kegagalan hasil pekerjaan konstruksi diperhitungkan dengan mempertimbangkan antara lain tingkat kegagalannya. Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi pelaksana konstruksi. Pasal 27 Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (3). Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Hak masyarakat dalam melakukan pengawasan, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pekerjaan, maupun pemanfaatan hasil-hasilnya. Penggantian yang layak diberikan kepada yang dirugikan sepanjang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pekerjaan konstruksi didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Kewajiban dimaksud mengandung makna bahwa setiap orang turut berperan serta dalam menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang jasa konstruksi. Pasal 31 Cukup jelas



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pasal 32 Ayat (1) Asosiasi perusahaan jasa konstruksi, merupakan satu atau lebih wadah organisasi dan atau himpunan para pengusaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi para anggotanya. Asosiasi profesi jasa konstruksi, merupakan satu atau lebih wadah organisasi atau himpunan perorangan, atas dasar kesamaan disiplin keilmuan di bidang konstruksi atau kesamaan profesi di bidang jasa konstruksi, dalam usaha mengembangkan keahlian dan memperjuangkan aspirasi anggota. Asosiasi bersifat independen, mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi. Mitra usaha asosiasi perusahaan barang dan jasa adalah orang perseorangan atau badan usaha yang kegiatan usahanya di bidang penyediaan barang atau jasa baik langsung maupun tidak langsung mendukung usaha jasa konstruksi. Wakil-wakil instansi Pemerintah yang duduk dalam forum jasa konstruksi adalah pejabat yang ditunjuk oleh instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi pembinaan dalam bentuk pemberdayaan dan pengawasan di bidang jasa konstruksi. Peran Pemerintah dalam pembinaan jasa konstruksi masih dominan, dengan Undang-Undang ini, pengembangan usaha jasa konstruksi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat jasa konstruksi. Dalam tahap awal pelaksanaan Undang-Undang ini peran Pemerintah masih diperlukan untuk:



a. mengambil inisiatif/prakarsa dalam mewujudkan peran forum; b. memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan untuk memungkinkan



terwujud dan berfungsinya peran masyarakat jasa konstruksi (wadah organisasi pengembangan jasa konstruksi) berikut lembaga-lembaga pelaksanaannya.



Ayat (2) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Wakil instansi Pemerintah yang duduk dalam lembaga adalah yang ditunjuk oleh instansi yang mempunyai tugas dan fungsi pembinaan di bidang jasa konstruksi.Dalam mewujudkan peran lembaga, pada tahap awal Pemerintah dapat mengambil inisiatif dalam menetapkan pembentukan lembaga, serta memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan operasionalnya. Ayat (2) Huruf a Pengembangan jasa konstruksi yang dilakukan oleh lembaga dimaksudkan, antara lain: 1) agar penyedia jasa mampu memenuhi standar-standar nasional, regional, dan internasional;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



2) mendorong penyedia jasa untuk mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional; 3) mengembangkan sistem informasi jasa konstruksi. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 (ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6)



a. Mengingat peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional, maupun dalam mendukung perluasan kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta mengingat kewajiban Pemerintah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional pada umumnya, maka Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap jasa konstruksi. b. Pembinaan yang meliputi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan, dilakukan oleh Pemerintah terhadap: (1) jasa konstruksi, dengan tujuan:



a. menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan peran strategisnya dalam



pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa konsekuensi timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya; b. mendorong terwujudnya penyedia jasa untuk meningkatkan kemampuannya, baik secara langsung maupun melalui asosiasi, agar mampu memenuhi hak dan kewajibannya; c. menjamin terpenuhinya kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga mendorong terwujudnya tertib usaha jasa konstruksi maupun tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 2) pengguna jasa, dengan tujuan:



a. menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsinya serta hak dan kewajibannya dalam pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



b. menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga mendorong terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.



3) masyarakat, dengan tujuan:



a. menumbuhkan pemahaman akan peran strategis jasa konstruksi dalam pelaksanaan pembangunan nasional;



b. menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam mewujudkan tertib usaha



jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam memanfaatkan hasil pekerjaan konstruksi; c. dalam pelaksanaannya, pembinaan dapat dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu kegiatan dalam bentuk forum dan lembaga. d. Forum merupakan fasilitas dan/atau sarana untuk mendorong terciptanya pemanfaatan dan pengawasan secara optimal terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi nasional bagi masyarakat pada umumnya dan atau masyarakat jasa konstruksi pada khususnya. e. Lembaga merupakan wadah pembinaan pelaksanaan pengembangan jasa konstruksi. f. Sebagian pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Pasal 36 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai suatu sengketa jasa konstruksi untuk menjamin kepastian hukum. Pasal 37 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini untuk mempertegas bahwa sengketa jasa konstruksi dapat terjadi pada kegiatan para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ayat (2) Sejalan dengan ketentuan tentang kontrak kerja konstruksi para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka dapat diselesaikan dengan menggunakan jasa pihak ketiga sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa. Penunjukan pihak ketiga tersebut dapat dilakukan sebelum sesuatu sengketa terjadi, yaitu dengan menyepakatinya dan mencantumkannya dalam kontrak kerja konstruksi. Dalam hal penunjukan pihak ketiga dilakukan setelah sengketa terjadi, maka hal itu harus disepakati dalam suatu akta tertulis yang ditandatangani para pihak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jasa pihak ketiga yang dimaksud di atas antara lain: arbitrase baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Ayat (3) Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "hak mengajukan gugatan perwakilan" pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu:



a. memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan



konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi; b. menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi; c. memerintahkan seseorang (salah satu pihak) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi. Yang dimaksud dengan "biaya atau pengeluaran riil" adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan sudah dikeluarkan oleh masyarakat dalam kaitan dengan akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017



Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3833



Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017