Doktrin Keagamaan Persis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Doktrin keagamaan persis Sejak awal didirikan, PERSIS merupkan jamaah/kelompok tadarrus yang prihatin dengan kondisi keberagamaan masyarakat pada saat itu yang tenggelam dalam berbagai bid’ah, syirik, dan munkarat lainnya. Oleh karena itu di bawah pimpinan H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus PERSIS menegaskan doktrin utamanya, yakni “Al-ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah, dan berperan aktif dalam menunaikan tugas tajdid dalam arti islahu Al-Islam, I’adatu Al-Islam ila Asliha, dan Ibanah. Dalam merumuskan dan memutuskan hukum dibentuklah Dewan Hisbah Persatuan Islam, yang sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis pada tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung1. Dewan Hisbah telah menentukan manhaj dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum dengan rumusan – rumusan sebagai berikut. 2Asas utama adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang sahih. 1.



Beristidlal dengan al-Qur’an



Adapun dalam beristidlâl dengan al-Qur'an ditempuh langkah – langkah berikut: a.



Mendahulukan zahir ayat al-Qur'an daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwid dalam hal-hal



b.



yang menyangkut masalah i'ti-qadiyah Menerima dan meyakini isi kandungan al-Qur'an sekalipun tampaknya bertentangan dengan



c.



‘aqli dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi'raj. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi kecuali jika ada alasan (qarinah), seperti



d.



kalimat: "Au lamastum al-Nisa’a" dengan pengertian bersetubuh. Apabila ayat al-Qur'an bertentangan dengan al-Hadith, maka didahulukan ayat al-Qur'an sekalipun Hadith tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti dalam hal menghajikan



d.



orang lain. Apabila ayat al-Qur'an bertentangan dengan al-Hadith, maka didahulukan ayat al-Qur'an sekalipun Hadith tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti dalam hal menghajikan



e.



orang lain. Menerima adanya nasikh dalam al-Qur'an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskh al-kulli). Pernyatan ini ternyata senada dengan pendapat A. Hasan dalam Tafsir Al-



f.



Furqan Ini menunjukkan bahwa betapa pengaruh pemikiran beliau masih sangat kuat di PERSIS. Menerima tafsir  dari para  sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an (tidak hanya penafsiran ahlu al-bait), dan mengambil penafsiran shahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan



g. h.



penafsiran di kalangan para sahabat. Mengutamakan tafsir bi al-Ma'tsur dari pada bi al-Ra'yi. Menerima Hadith-hadith sebagai bayan terhadap al-Qur'an, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan sighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.



1 2



1. Beristidlal dengan al-Hadith3



Dalam beristidlal dengan al-Hadith ditempuh langkah – langkah berkut. a.



Menggunakan Hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan



b.



hukum. Menerima Kaidah: Al-ahadithu al-da'ifatu yaqwa ba'd}uha ba'dan. Jika keda'ifan Hadis tersebut dari segi hafalan perawi (d}abt}) dan tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau Hadits lain yang sahih. Adapun jika keda'ifan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawy), maka kaidah



c.



tersebut tidak dipakai. Tidak menerima kaidah: Al-hadithu al-da'ifu ya'malu fî fadai al-'amali. Karena yang menunjukkan fad}ai al-‘amal dalam Hadis sahih pun



d.



cukup banyak. Menerima Hadith sahih sebagai tasyrî' yang mandiri, sekalipun bukan



e.



merupakan bayan dari al-Qur'an. Menerima Hadith Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas Hadis



f.



tersebut sahih. Hadis Mursal Sahabi dan Mauquf bi Hukm al-Marfu' dipakai sebagai hujah selama sanad Hadis



g.



tersebut sahih dan tidak bertentangan



dengan Hadis lain yang sahih. Hadis Mursal Tabî'i dijadikan hujah apabila Hadis tersebut disertai qarînah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittisal) Hadith



h.



tersebut. Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta'dîl dengan ketentuan sebagai berikut:  1) Jika yang men-jarh menjelaskan jarh nya (mubayyan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta'dil.  2) Jika yang men jarh tidak menjelaskan sebab jarh -nya, maka ta'dil didahulukan  dari pada jarh.  3) Bila yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarh} nya, tapi tidak adaa seorangpun yang menyatakan thiqat, maka jarh nya bisa



i. j.



diterima. Menerima kaidah tentang shahabat: Al-sahabatu kuluhum ‘udul. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima, jika menerangkan bahwa apa yang riwayatkannya itu jelas shighat tahamulnya menunjukkan ittisal, seperti menggunakan kata: haddathani. Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang tegas



(sharîh) dalam al-Qur'an dan al-Hadis , ditempuh dengan cara ijtihâd jama'i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:  3



a.



Tidak menerima ijmâ' secara mutlak dalam urusan ibadah kecuali ijm’a'



b.



shahabat. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdah, sedangkan dalam masalah ibadah ghair mahdah, qiyas diterima selama memenuhi



c.



persyaratan qiyas. Dalam memecahkan ta'arudal-'adilah diupayakan dengan cara: 1) 2)



Thariqat al-jam'i, selama masih mungkin dijam'u. Tariqah al-tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya: a) Mendahulukan al-Muthbit daripada al-Nafi. b) Mendahulukan Hadis -Hadis riwayat sahihain daripada di luar sahihain. c) Dalam masalah-masalah tertentu, Hadis yang diriwayatkan oleh muslim lebih didahulukan daripada riwayat Bukhâri, seperti dalam hal pernikahan Nabi dengan Maemunah. c) Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hakum bid}'ah lebih didahlukan daripada mengamalkan sesuatu  yang



d.



diragukan sunnahnya. 3) Thariqat al-Naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian. Dalam membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah menggunakan kaidahkaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para Fuqaha. Seperti praktik mengartikan bahasa Hadith, tidak merubah arti kalimat yang asal kepada arti yang lain kecuali kalau ada qarinah yang memungkinkan berubah arti, sebagaimana kaidah Usul Fiqh menyatakan: ‫اَلنَّبَا ُد ُر َعالَ َمةُ ْال َحقِ ْيقَ ِة‬ "Kalimat yang lekas terpaham itulah tanda arti yang sebenarnya". Kalau ditemukan kalimat: "jalasa", itu artinya duduk. Di mana saja kalimat itu ada tetap artinya duduk, jangan berubah arti kecuali kalau ada qarinah yang mengharuskan rubah pada arti yang lain.



e.



Demikian pula mengartikan Hadith -Hadith Rasul dan yang lainnya. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madhhab, tapi pendapat



imam



madzhab



menjadi



bahan



pertimbangan



dalam



mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur'an dan al-Sunnah.