Pengantar Ilmu Hukum 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ISIP4130-3



BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 3



Nama Mahasiswa



: MUHAMMAD NAUFAL



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM



: 042764608



Kode/Nama Mata Kuliah



: ISIP 4130/ PENGANTAR ILMU HUKUM



Kode/Nama UPBJJ



: 11017 ACEH BARAT DAYA/ BANDA ACEH



Masa Ujian



: 2021/22.1 (2021.2)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA 1 dari 3



ISIP4130-3



NASKAH TUGAS MATA KULIAH UNIVERSITAS TERBUKA SEMESTER: 2021/22.1 (2021.2) Fakultas Kode/Nama MK Tugas



: FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : ISIP4130/Pengantar Ilmu Hukum/ PTHI 3



No. Soal Januari-April 2020 Terjadi 22 Peristiwa Kekerasan Menimpa Pembela HAM 1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyatakan perlindungan terhadap pembela atau pejuang hak asasi manusia (HAM) masih menjadi persoalan yang belum tersentuh penuh secara hukum. Tahun ini misalnya, Elsam mencatat ada 22 peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM yang terjadi dalam kurun Januari-April 2020. "Dari identifikasi 22 kasus terhadap pembela HAM atas lingkungan, sebanyak 69 korban individu dan 4 kelompok komunitas masyarakat adat," papar Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020). Peristiwa tersebut terjadi di 10 wilayah. Para korban umumnya merupakan masyarakat adat, petani, termasuk jurnalis. Adapun pelaku yang paling banyak dilaporkan melakukan pelanggaran adalah aktor negara yaitu kepolisian dan pihak perusahaan atau korporasi. "Baru 4 bulan, sudah terjadi 69 korban. Kalau ini tidak ditangani segera, bisa jadi catatan ini akan meningkat pada bulan-bulan berikutnya," celetuknya. Jumlah itu menambah catatan pelanggaran HAM yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, Elsam mencatat adanya 127 individu dan 50 kelompok pembela HAM atas lingkungan yang menjadi korban kekerasan. Tahun sebelumnya, data Komisi Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras) tercatat 156 peristiwa penyerangan yang ditujukan



pada



pembela



HAM.



Sementara,



Yayasan



Perlindungan



Insani



Indonesia



juga



mendokumentasikan ada 131 pembela HAM yang menjadi korban penyerangan. "Bahkan, LBH Pers juga menyatakan adanya laporan kasus kekerasan itu tidak hanya menimpa aktivis, tapi juga menimpa jurnalis, khususnya yang meliput isu-isu lingkungan," ujar dia. Melihat masih tingginya pelanggaran tersebut, Wahyu menagih komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap aktivis pembela HAM, masyarakat, maupun jurnalis. salah satunya, mendorong agar DPR melakukan revisi terhadap UU HAM dan memasukkan substansi yang menjamin perlindungan terhadap pembela HAM, seperti menambah pengertian mengenai pembela HAM dan perlindungannya serta menambah tugas dan fungsi Komnas HAM. Selain itu, meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mengesahkan rancangan peraturan menteri (Rapermen) Anti-SLAPP yang diharapkan mampu melindungi aktivis dan pembela HAM atas lingkungan. Begitu juga meminta agar adanya institusi nasional seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman membangun mekanisme perlindungan pembela HAM.



2 dari 3



ISIP4130 Telaah oleh saudara berdasarkan kasus di atas, Bagaimana agar sistem hukum di Indonesia dapat bekerja dengan baik dalam penegakan HAM!



2.



Januari-April 2020 Terjadi 22 Peristiwa Kekerasan Menimpa Pembela HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyatakan perlindungan terhadap pembela atau pejuang hak asasi manusia (HAM) masih menjadi persoalan yang belum tersentuh penuh secara hukum. Tahun ini misalnya, Elsam mencatat ada 22 peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM yang terjadi dalam kurun Januari-April 2020. "Dari identifikasi 22 kasus terhadap pembela HAM atas lingkungan, sebanyak 69 korban individu dan 4 kelompok komunitas masyarakat adat," papar Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020). Peristiwa tersebut terjadi di 10 wilayah. Para korban umumnya merupakan masyarakat adat, petani, termasuk jurnalis. Adapun pelaku yang paling banyak dilaporkan melakukan pelanggaran adalah aktor negara yaitu kepolisian dan pihak perusahaan atau korporasi. "Baru 4 bulan, sudah terjadi 69 korban. Kalau ini tidak ditangani segera, bisa jadi catatan ini akan meningkat pada bulan-bulan berikutnya," celetuknya. Jumlah itu menambah catatan pelanggaran HAM yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, Elsam mencatat adanya 127 individu dan 50 kelompok pembela HAM atas lingkungan yang menjadi korban kekerasan. Tahun sebelumnya, data Komisi Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras) tercatat 156 peristiwa penyerangan yang ditujukan



pada



pembela



HAM.



Sementara,



Yayasan



Perlindungan



Insani



Indonesia



juga



mendokumentasikan ada 131 pembela HAM yang menjadi korban penyerangan. "Bahkan, LBH Pers juga menyatakan adanya laporan kasus kekerasan itu tidak hanya menimpa aktivis, tapi juga menimpa jurnalis, khususnya yang meliput isu-isu lingkungan," ujar dia. Melihat masih tingginya pelanggaran tersebut, Wahyu menagih komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap aktivis pembela HAM, masyarakat, maupun jurnalis. salah satunya, mendorong agar DPR melakukan revisi terhadap UU HAM dan memasukkan substansi yang menjamin perlindungan terhadap pembela HAM, seperti menambah pengertian mengenai pembela HAM dan perlindungannya serta menambah tugas dan fungsi Komnas HAM. Selain itu, meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mengesahkan rancangan peraturan menteri (Rapermen) Anti-SLAPP yang diharapkan mampu melindungi aktivis dan pembela HAM atas lingkungan. Begitu juga meminta agar adanya institusi nasional seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman membangun mekanisme perlindungan pembela HAM. Bagaimana jaminan Hak Asasi Manusia ditinjau dari sudut pandang Hukum Tata Negara?



2 dari 3



ISIP4130-3



3.



Januari-April 2020 Terjadi 22 Peristiwa Kekerasan Menimpa Pembela HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyatakan perlindungan terhadap pembela atau pejuang hak asasi manusia (HAM) masih menjadi persoalan yang belum tersentuh penuh secara hukum. Tahun ini misalnya, Elsam mencatat ada 22 peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM yang terjadi dalam kurun Januari-April 2020. "Dari identifikasi 22 kasus terhadap pembela HAM atas lingkungan, sebanyak 69 korban individu dan 4 kelompok komunitas masyarakat adat," papar Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020). Peristiwa tersebut terjadi di 10 wilayah. Para korban umumnya merupakan masyarakat adat, petani, termasuk jurnalis. Adapun pelaku yang paling banyak dilaporkan melakukan pelanggaran adalah aktor negara yaitu kepolisian dan pihak perusahaan atau korporasi. "Baru 4 bulan, sudah terjadi 69 korban. Kalau ini tidak ditangani segera, bisa jadi catatan ini akan meningkat pada bulan-bulan berikutnya," celetuknya. Jumlah itu menambah catatan pelanggaran HAM yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, Elsam mencatat adanya 127 individu dan 50 kelompok pembela HAM atas lingkungan yang menjadi korban kekerasan. Tahun sebelumnya, data Komisi Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras) tercatat 156 peristiwa penyerangan yang ditujukan



pada



pembela



HAM.



Sementara,



Yayasan



Perlindungan



Insani



Indonesia



juga



mendokumentasikan ada 131 pembela HAM yang menjadi korban penyerangan. "Bahkan, LBH Pers juga menyatakan adanya laporan kasus kekerasan itu tidak hanya menimpa aktivis, tapi juga menimpa jurnalis, khususnya yang meliput isu-isu lingkungan," ujar dia. Melihat masih tingginya pelanggaran tersebut, Wahyu menagih komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap aktivis pembela HAM, masyarakat, maupun jurnalis. salah satunya, mendorong agar DPR melakukan revisi terhadap UU HAM dan memasukkan substansi yang menjamin perlindungan terhadap pembela HAM, seperti menambah pengertian mengenai pembela HAM dan perlindungannya serta menambah tugas dan fungsi Komnas HAM. Selain itu, meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mengesahkan rancangan peraturan menteri (Rapermen) Anti-SLAPP yang diharapkan mampu melindungi aktivis dan pembela HAM atas lingkungan. Begitu juga meminta agar adanya institusi nasional seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman membangun mekanisme perlindungan pembela HAM. Analisis oleh saudara terkait konflik agraria yang terjadi di Indonesia yang beririsan dengan HAM. Serta bagaimana upaya yang perlu dilakukan dalam menyelesaikan konflik tersebut.



3 dari 3



ISIP4130-3



Jawab 1. Saya menyimpulkan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia belum mengalami kemajuan yang berarti. Berbagai komitmen dan agenda perbaikan kondisi HAM yang dimandatkan Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) belum menunjukkan pencapaian yang signifikan. Pernyataan ini disampaikan oleh Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam Webinar “Masa Depan HAM dan Demokrasi di Era Normal Baru (Perspektif Nasional, Regional dan Internasional)”, Kamis (09/07/2020). Dalam diskusi yang digagas oleh Human Rights Working Group (HRWG) tersebut, Beka menyampaikan banyak faktor yang menjadi pendorong persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. “Banyaknya peraturan yang tidak diimbangi dengan penguatan kebijakan perlindungan HAM dan sosial; eksisnya regulasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia; lemahnya kemampuan institusi negara dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM; rendahnya kepatuhan hukum dan budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan HAM; serta minimnya pemahaman aparat negara pada pendekatan dan prinsip hak asasi manusia,” jelas Beka. Beka juga mengungkapkan catatan penegakan hak asasi manusia pada 2019 yang diterima oleh Komnas HAM. Sepanjang 2019, Komnas HAM menerima 2.757 (dua ribu tujuh ratus lima puluh tujuh) aduan yang datang dari seluruh Indonesia. Wilayah terbanyak pengadu datang dari DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Timur dengan isu yang paling banyak diadukan adalah hak atas kesejahteraan terkait sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan, serta kepegawaian. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, lembaga yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM adalah kepolisian. Namun, jumlah aduan terkait kepolisian dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Komnas HAM juga memberikan perhatian khusus untuk isu-isu yang dianggap penting bagi masa depan demokrasi dan hak asasi manusia seperti penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, konflik agraria, intoleransi, dan lain-lain. Ketika membahas persoalan covid-19, Beka menyampaikan bahwa situasi penegakan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia belum banyak berubah. Komnas HAM masih banyak menerima aduan terkait pelanggaran hak asasi manusia, juga kebebasan sipil dalam berpendapat dan berekspresi selama masa pandemi covid-19. “Selain penanganan covid-19 yang pendekatannya kurang berperspektif hak asasi manusia, rendahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga juga menimbulkan kerugian di masyarakat. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda menggembirakan dari penanganan covid-19, bahkan beberapa hari terakhir penambahan kasus masih tinggi,” ujar Beka. Di akhir pemaparannya, Beka menyampaikan bahwa di samping hak atas kesehatan, pelayanan publik dan penyelesaian keadilan yang berkaitan dengan pengaduan, sengketa dan konflik antara lembaga pemerintah dengan masyarakat juga terdampak. Pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka menghormati kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dengan begitu, ketika ada kritik, masukan dan partisipasi tidak direspon negatif dan bahkan berujung pada proses hukum.



4 dari 3



ISIP4130-3



2. Hak asasi manusia merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia karena martabatnya sebagai manusia yang dimilikinya sejak lahir. Pada dasarnya, hak asasi manusia itu merupakan hak yang inherent dimiliki oleh setiap manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan begitu hak asasi manusia dimiliki oleh siapapun, tidak terkecuali oleh anak. Bahkan di dalam terminologi hukum perdata, hak keperdataan seseorang itu telah diakui semenjak ia masih berada dalam kandungan Mendasarkan pada pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri, berarti juga meliputi jaminan perlindungan atas hakhak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights), yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan lain sebagainya. Dalam konteks Indonesia, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang demikian itu tidak lain merupakan konsekuensi dari corak negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah menggariskan bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum. Dalam penjelasannya dengan tegas disebutkan bahwa, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat) tidak atas kekuasaan belaka (machtstaat).” Ketentuan tersebut, mengandung arti bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Sebagaimana yang dipahami;[2] “Bahwa syarat-syarat rechtstaat utamanya terdiri dari: (1) Asas legalitas, yaitu setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan; (2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan; (3) Hak-hak dasar, yaitu hak dasar merupakan sarana perlindungan hukum bagi rakyat, dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang-undang; (4) Tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah. Demikian dapatlah dipahami bahwa di dalam negara hukum itu selain dianut asas legalitas[3] yang berarti bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan pada hukum, juga terdapat prinsip jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selaras dengan itu, Pembukaan UUD 1945 juga menggariskan bahwa segala bentuk penjajahan[4] di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Tinjauan secara historis maupun filosofis, munculnya pemikiran tentang negara hukum memang demikian erat kaitannya dengan negara berkonstitusi. Di dalam negara hukum, “konstitusi” memiliki kedudukan fundamental sebagai hukum tertinggi (supreme law) dan sekaligus hukum dasar (grondwet). Dengan hal itu, maka segala tindakan pemerintahan berikut juga tindakan warga negaranya harus diarahkan/tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam konstitusi. Oleh karenanya, ketidaktaatan dan/atau penyimpangan terhadap hal tersebut menyebabkan tindakannya itu dapat dinilai tidak konstitusional (inkonstitusional), yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban hukum. Sri Soemantri dalam bukunya berjudul “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”menyatakan bahwa di dalam konstitusi setidaknya terdapat 3 (tiga) kelompok materi muatan yang diatur, yakni sebagai berikut Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara; Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Adanya jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia (HAM) tersebut, berarti menunjukkan bahwa setiap penguasa dalam negara dilarang dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya, serta wajib menggambarkan adanya keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara. Lebih jauh dikatakan, bahwa masalah keadilan dan hak asasi manusia juga merupakan wujud pengejawantahan nilai-nilai Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat yang sangat penting sebagai perwujudan dari 5 dari 3



ISIP4130-3



Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua Sila dari Pancasila tersebut seyogyanya menjadi acuan bagi para penegak hukum (sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang yudisial dalam kerangka penegakan hukum/law enforcement) dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, sehingga memenuhi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab dan dapat mewujudkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pancasila tersebut.



3. Menyikapi banyaknya pengaduan mengenai konflik agraria dan sumber daya alam, pada September lalu (14/09) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus Penyelesaian Konflk Agraria Berbasis HAM di Indonesia. Diskusi yang dilaksanakan di ruang pleno Komnas HAM ini digagas oleh dua Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi bersama dengan Sandrayati Moniaga. Kementerian/Lembaga—stakeholders yang hadir dalam diskusi ini diantaranya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Lingkungan hdup dan kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Sekretaris Kabinet, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Bappenas, Perwakilan staf Kepresidenan, dan sejumlah lembaga non pemerintah yang mengadvokasi konflik agraria dan sumber daya alam. Diskusi terfokus yang dmoderatori oleh staf Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono ini bertujuan untuk menginventarisasi langkah-langkah yang telah dilakukan kementerian dan lembaga terkait dalam menangani konflk agraria. Selanjutnya juga melihat peluang-peluang baru guna menyamakan persepsi yangkemudian ditingkatkanuntukdidialogkandenganPresidenJokoWidodo. Diskusi diawali dengan sambutan pembukaan oleh Dianto Bachriadi. Inti dari sambutan tersebut adalah mengenai pentingnya untuk segera menyelesaikan konflik agraria secara nasional karena konflik agraria terjadi secara masif di berbagai sektor dan Komnas HAM menyambut baik bahwa rezim saat ini mencanangkan penyelesaian masalah agraria. “Sekitar 6000 hingga 7000 kasus yang masuk ke Komnas HAM, 15 hingga 20% - nya adalah pengaduan tentang konflik agraria. Kasus-kasus tersebut di antaranya mengenai sengketa pertanahan, perebutan akses terhadap Sumber Daya Alam di berbagai sektor, baik di kehutanan maupun di non-kehutanan, seperti perkotaan, pedesaan, bahkan di pesisir,”ungkap Dianto. “...Bila melihat kepemimpinan saat ini, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan untuk menyelesaikan permasalahan agrarian dan Komnas HAM merasa telah dibukakan kembali pintu untuk kembali memikirkan jalan keluar dari persoalan tersebut secara bersama-sama, di mana jumlah kasus semakin hari semakin bertambah,” lanjut Dianto. Sandrayati Moniaga dalam kesempatan tersebut juga mengapresiasi KPK yang memfasiltasi Gerakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam. Gerakan ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman dua belas Kementerian/Lembaga untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan. Gerakan ini tidak hanya mengenai pengelolaan sumber daya di kehutanan tapi juga di berbagai sektor. Sebab persoalan yang satu (kehutanan) terkait dengan yang lain (agraria) tidak hanya dselesaikan oleh Kementerian Lngkungan hdup dan kehutanan ataupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang namun perlu juga didukung oleh kementerian lainnya. Diharapkan pertemuan ini dapat menjadi titik awal untuk melangkah bersama agar lebih solid. Masing-masing Kementerian/Lembaga memaparkan berbagai program kerja dan kebijakan terkait dengan agraria. Pemerintahan saat ini melalui Nawacita No.5 memang mendorong land reform dan program peningkatan lahan untuk para petani seluas 9jt ha. Selain itu pemerintah juga memiliki program percepatan economic growth; percepatan proyek-proyek infrastruktur; percepatan pengentasan kemiskinan. Keseluruhan dari program ini dipastikan berkaitan dengan lahan. Dan dapat dipastikan pula dalam program pembangunan tersebut terdapat potensi konflik agraria. 6 dari 3



ISIP4130-3



Diakhir diskusi dua komisioner yang hadir memberikan beberapa pernyataan penutup. Keduanya sepakat sudah adanya semangat dan komitmen tapi masih berjalan sendiri-sendiri. Penting untuk mendorong peran Setkab, Kepala Staf Kepresidenan dan BAPPENAS. Terdapat persoalan terkait penataan ulang kebijakan (bermasalah dalam hal koordinasi). Salah satu hal yang menarik dari diskusi adalah proses penerbitan alas hak dari UUPA menjadi aset negara, baik yang dikuasai langsung maupun tidak langsung. Keberadaan hal tersebut menunjukkan harus adanya koordinasi lintas sektoral yang baik guna menyamakan persepsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada permasalahan di masa lalu yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum masuk ke rencana masa depan dikarenakan kebijakan yang ada berdasar pada permasalahan yang belum selesai



https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/7/13/1480/penegakan-ham-di-indonesia-belum-mengalami-kemajuan.html https://www.kompasiana.com/widhasinulingga/58a957ef1cafbdd53920a706/hak-asasi-manusia-dalam-negara-hukum-indonesia https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2015/10/13/215/penyelesaian-konflik-agraria-berbasis-ham.html



7 dari 3