Pengantar Ilmu Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGANTAR ILMU HUKUM A. Pengertian Hukum Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab yaitu ‫ ح ك م‬yang mendapat imbuhan ‫ ا‬dan ‫ ل‬sehingga menjadi ‫ الحكم‬bentuk masdar dari ‫ يحكم‬, ‫حكم‬. selain itu ‫الحكم‬ merupakan bentuk mufrad dan bentuk jamaknya adalah ‫االحكم‬. Berdasarkan akar kata tersebut, melahirkan kata ‫ الحكمة‬artinya “kebijaksanaan”. Maksudnya, orang yang memahami hukum lalu mengamalkannya dalam kehidupan shari-harinya dianggap sebagai orang bijaksana. Selain itu, Abu al Husain Ahmad bin Faris mengemukakan sebagaimana dikutip oleh H. Hamka Haq: Kata “hukum” yang berakar dari kata ‫ح ك م‬, ‫ الحكمة‬mengandung makna mencegah atau menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kedhaliman, mencegah penganiayaan dan menolak bentuk-bentuk kemafsadatan lainnya. Di samping itu, Hans Wehr mengemukakan bahwa kata hukum dimaksud, asal katanya “Hukm”, kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan (judgement, verdice, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government), dan kekuasaan (athority, power). Perspektif hukum sebagai suatu kaidah atau norma, dalam pikiran seseorang itu, hukum akan memberikan segala-galanya, dan menyangka bahwa satu-satunya sarana untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya. Namun ternyata dalam realitasnya, hukum merupakan suatu kata yang bermakna atau bernilai sangat luas sehingga ada orang mempersepsikan bahwa hukum sama dengan undang-undang, padahal sebenarnya undang-undang merupakan salah satu unsur dari hukum itu sendiri. Karena itu, pada prinsipnya tidak mudah menarik batasan mengenai pengertian “hukum”, karena pada hakikatnya sebuah pengertian harus dapat dijabarkan dalam sebuah bentuk konkrit, misalnya pengertian kursi. Kursi tersebut dari kayu, paku, karet dan bentuknya ada yang segi empat dan lain-lain. Kesukaran menarik pengertian/definisi hukum tersebut telah dikemukakan oleh para para pakar hukum, misalnya seorang Sarjana Hukum Belanda bernama Immanuel Kant (Tahun 1800) mengatakan bahwa “Noch suchen die Juristen eine Definition zuihren Begriffe von Recht”, yang artinya kurang lebih: Para juris masih mencari suatu definisi mengenai pengertian tentang hukum. Berdasarkan pendapat Immanuel Kant di atas, penulis berpendapat, hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Karena itu, pertanyaan tentang apakah sebenarnya hukum itu? Pertanyaan itu memerlukan jawaban yang panjang. Perkataan lain, persepsi orang tentang hukum beraneka ragam, tergantung dari sudut mana orang itu memandangnya. Kalangan hakim memandang hukum itu dari sudut pandang sebagai hukum, kalangan ilmuan hukum akan dipandang dari



sudut pandang profesi keilmuannya, rakyat kecil memandang hukum dari sudut pandang mereka. Pendapat Immanuel Kant tersebut, pada dasarnya tidak semua sarjana sependapat, misalnya Paton seperti yang dikutip aoleh Ahmad Ali, memandang bahwa hukum dapat didefinisikan dari satu di antara 5 (lima) kemungkinan di bawah ini, yaitu: 1. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, religius atau etis; 2. Menurut sumbernya yaitu: kebiasaan, preseden atauundang-undang; 3. Menurut efeknya didalam kehidupan masyarakat; 4. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya; 5. Menurut tujuan yang ingin dicapai. Hukum itu berhubungan dengan manusia. Kalau tidak ada manusia, maka tidak akan ada hukum. Karena adanya manusia maka ada hukum. Rasio adanya hukum adalah Conflict of human interest. Hukum mempunyai sumber hukum. Adapun yang disebut sumber hukum adalah tempat untuk dapat menemukan hukumnya. Hukumnya atau kaedah hukumnya terdapat di dalam undang-undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau putusan, traktat atau perjanjian internasional, doktrin dan perlakuan atau perbuatan manusia. Perlu diketahui bahwa sumber hukum mengenal hierarkhi, yang berarti sumber mengenal tingkatan-tingkatan: ada yang tinggi kedudukannya, ada yang lebih rendah dan yang lebih rendah lagi dan seterusnya. Kalau terjadi konflik antara dua sumber hukum maka asalnya adalah sumber hukum yang lebih tinggi yang harus dimenangka atau didahulukan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, ada tiga lembaga yang mengaturnya, yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing mempunyai tugasnya sendirisendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga legislatif bertugas membuat peraturan; sedangkan lembaga yudikatif yang menyelenggarakan penegakan hukum apabila peraturan-peraturan tadi dilanggar. B. Penggunaan Istilah Hukum Penggunakan kata hukum sering ditemukan pemaknaannya dari berbagai bahasa, yakni bahasa Arab, bahasa Latin, bahasa Belanda, bahasa Inggeris dan lain-lain. Dalam bahasa Latin kata hukum terdapat tiga kata, yakni “Recht” dan “Ius” dan “Lex” yang memiliki makna sama dengan pengertian Hukum; Sedangkan perkataan hukum dalam bahsa Inggeris lazim disebut “Law”; dalam bahasa Jerman kata hukum sama dengan “droit”. Berdasarkan pengertian hukum dalam berbagai bahasa tersebut, maka pada hakikatnya hukum itu memiliki pengertian sebagai berikut 1. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan keadilan;



2. Pengertian hukum itu bertalian dengan kewibawaan; 3. Pengertian hukum itu dengan ketaatan/orde yang selanjutnya menimbulkan kedamaian; 4. Pengertian hukum itu bertalian erat dengan peraturan yang berisi norma. Pada sisi lain, pengertian hukum itu berkaitan dengan ketaatan seseorang atau sekelompak orang untuk menimbulkan kedamaian. Kehadiran hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis keberadaannya untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, misalnya hukum lingkungan. Keberadaan hukum lingkungan merupakan salah satu hukum tertulis yang diharapkan agar masyarakat mengelolah lingkungan dengan baik. Oleh karena itu, salah satu masalah yang sangat rumit penyelesaiannya dalam masyarakat, yaitu seringkali hukum tidak ditaati oleh masyarakat, sebagai akibat dari faktor-faktor hukum itu sendiri atau budaya masyarakat yang memang tidak menjadikan hukum itu sebagai budaya. Jika hukum telah menjadi budaya dalam masyarakat, maka dalam masyarakat tersebut akan tercipta suatu suasana yang kondusif, maka dalam masyarakat tersebut akan tercipta suatu suasana yang kondusif, yaitu masyarakat merasa tentram, sejahtera dan damai. Sementara itu, pengertian hukum bertalian dengan peraturan yang berisi norma, maka peranan hukum disini dapat terlihat dari adanya peraturan perundang-undangan yang didalamnya berisi norma-norma tertentu yang mengatur kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintahan atau kepentingan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Keberadaan peraturan perundangundangan yang berisi norma yang substansinya paling tidak berisi atas hak dan kewajiban, perintah dan larangan dan sebagainya. C. Pengertian Hukum Menurut Ahli Hukum Pada bagian terdahulu dikemukakan bahwa sangat sulit untuk memberikan sebuah definisi mengenai hukum, karena abstrak sifatnya. Namun demikian, pada kesempatan ini, akan dikemukakan definisi hukum yang diberikan oleh ahli hukum sebagai berikut. 1. Borst mengemukakan bahwa Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalamnya masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan keadilan. Berkaitan dengan defini hukum yang diberikan oleh Brost tersebut, menurut R. Soeroso definisi hukum yang diberikan oleh Brost dapat diuraikan sebagai brikut : (1) Hukum ialah peraturan atau norma, petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian hukum bukan kewajiban; (2) norma hukum diadakan guna ditujukan pada kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat, dengan demikian pengertian hukum adalah pengertian sosial. Di mana terdapat masyarakat, di situ terdapat hukum, sebaliknya bilamana tidak ada masyarakat,



hukum pun tidak ada; (3) pelaksanaan peraturan hukum itu dapat dipaksakan. Artinya hukum mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan hukum terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-rugi bagi yang menderita. 2. L.J. Van Apeldoorn mengemukakan dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tor de studie van het Nederlandse recht” Apeldoorn, memberikan pengertian hukum sebagai berikut:



“memberikan



definisi/batasan



hukum,



sebenarnya



hanya



bersifat



menyamaratakan saja, dan itupun tergantung siapa yang memberikan”. Oleh karena itu, tinjauan hukum Apeldoorn dilihat dari dua sudut, yaitu: (a) De ontwikkelde Leek (ontwikkelde = orang terpelajar, leek = awam). Orang terpelajar tapi awam yang tidak ada habisnya, seperti yang dimuat dalam undang-undang. (b) The man in the street. Termasuk dalam kelompok the man in the street, adalah orang-orang di jalanan atau kebanyakan orang yang tidak terpelajar, misalnya tukang becak, pedagang dll. Bagi “The man in the street” apabila mendengar kata/istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa, gedung pengadilan dll. Ia tidak perna melihat undang-undang, tetapi ia pernah kepengadilan dan teringat pada suatu perkara. Hukum itu konkrit dan menyangkut kehidupan manusia sehari-hari, karena bagi mereka hukum dapat dilihat dan diraba. Sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh para pakar di atas, maka menurut Munir Fuady, bahwa dalam pandangan masyarakat di sepanjang sejarah, ada dua pengertian yang sering kali diberikan kepada hukum, yaitu sebagai berikut: (1) hukum diartikan sebagai “hak” yang dalam hal ini merupakan pengertian yang lebih mengarah kepada pengaturan moral yang dalam bahasa sering disebut dengan istilah right, recht, ius, droit, diritto, derecho. (2) Hukum diartikan sebagai undang-undang, yang dalam hal ini hanya merupakan pengertian yang mengarah kepada aturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang (legislasi), yang berbagai bahasa disebut dengan istialh law, lex, gesets legge, ley. D. Obyek dan Ruang Lingkup Pengantar Ilmu Hukum Berbicara mengenai obyek kajian Ilmu Hukum, adalah ilmu hukum itu sendiri. Obyek ilmu hukum dimaksud, memandang hukum dalam bentuk dan segala manifestasinya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, “obyek kajian Ilmu Hukum itu tidak hanya bisa berbicara tentang adanya ilmu hukum (positif), saja melainkan tentang adanya ilmu-ilmu hukum yang kesemuanya mempelajari hukum sebagai obyek telaahan (studi) dalam segala bentuk perwujudannya. Dengan demikian, untuk membicarakan mengenai obyek dan ruang lingkup mengenai Pengantar Ilmu Hukum, maka hal ini tetap dikaitkan dengan pemaknaan hukum tersebut dapat dapat dikategorikan sebagai ilmu atau bukan. Menurut Marwan Mas, bahwa



membicarakan hukum sebagai ilmu (ilmu hukum), secara umum terfokus pada tiga bidang otau obyek kajian, yaitu sebagai berikut: (1) ilmu tentang kaidah hukum (normwissenschaft), mempelajari dan menganalisis peraturan hukum (UU) secara “das sollen” atau apa yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya, ilmu hukum pidana, ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara, dan sebagainya; (2) ilmu tentang sosiologi hukum atau kenyataan hukun (law of fact) atau “sein”, dan apakah hukum mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat? Demikian pula sebaliknya. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian tentang benar-salahnya suatu peristiwa atau gejalah hukum yang terjadi, dan hanya menggambarkan sebagaimana kenyataannya; (3) ilmu tentang pengertianpengertian pokok hukum (begriffenwissenchaft), mempelajari dan menganalisis pengertianpengertian dasar hukum, asas hukum, sistem hukum, dan sebagainya. Sehubungan hal di atas, Marwan Mas mengemukakan bahwa obyek ilmu hukum itu cukup luas cakupannya dan bukan hanya hukum normatif atau hukum tertulis saja, melainkan akan lebih tampak bila melihat dan memahami pengertian ilmu hukum itu berdasarkan pemaknaan juris. Hal dimaksud, dalam kepustakaan hukum, “ilmu hukum” itu dikenal dengan sebutan dalam bahasa Inggeris jurisprudence. Berasal dari kata “jus atau juris yang artinya “hukum atau hak”, kata prudence berarti “melihat ke depan atau mempunyai keahlian”. Arti harfiah secara umum dari kata jurisprudence adalah “ilmu yang mempelajari hukum”. Untuk memberikan gambaran dan pemahaman tentang arti sesungguhnya dari ilmu hukum, oleh sejumlah juris mengemukakan pendapatnya. Hal ini sesuai degan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut. a. Ulpian menyebutkan sebagai pengetahuan mengenai masalah yang bersifat surgawi dan manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar; b. Stone mengatakan ilmu hukum merupakan penyelidikan oleh para ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-teknik hukum dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutakhir; c. Fitsgerald mengatakan nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari hukum, suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teoritis, yang berusaha untuk mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan sistem hukum; d. E. Bodenheimer menjelaskan ilmu yang membahas obyeknya secara luas sekali, meliputi hal-hal yang filsafati, sosiologis, historis, maupun komponen-komponen analitis dari teori hukum; e. Llewellyn menyebut ilmu hukum adalah pemikiran yang diteliti, dan bobot mengenai senua tingkat kehidupan hukum, dan pemikiran itu menjangkau ke luar batas pemecahan



terhadap suatu problem yang konkret. Jadi, ilmu hukum itu meliputi semua macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak-masak di bidang hukum; f. Jolowic mengartikan ilmu hukum adalah suatu diskusi teoritis yang umum mengenai peraturan-peraturan hukam yang konkret. Selain itu, John Austin mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, ilmu hukum (jurisprudence) dalam tiga aspek sebagai berikut. 1) Ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencakup dirinya sendiri; 2) Ilmu hukum tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukumhukum lain yang secara tegas diterima, tanpa memperhatikan kebaikan ataupun kejelekannya; 3) Tugas dari ilmu hukum hanya untuk menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur yang bersifat historis di dalamnya, tetapi unsur-unsur tersebut tidak perhatikan. E. Pengantar Ilmu Hukum sebagai Ilmu Bila memberi pengertian Ilmu Hukum, maka perlu dikemukakan dua pendapat, yaitu: (a) Pendapat pertama, mengatakan bahwa tidak mungkin membuat definisi ilmu hukum yang memuaskan, karena hukum itu abstrak, banyak seginya dan luas sekali cakrawalanya (pendapat Imanuel Kant, Lemaire, Gustav Radbruch, Walter Burckhardt); (b) Pendapat kedua, walaupun tidak memuaskan definisi hukum tetap harus di berikan karena bagi pemula yang mempelajari hukum tetap ada manfaatnya paling tidak sebagai pegangan sementara (pendapat Aristoteles, Hugo de Groot/Grotius, Thomas Hobbes, Van Volen Hoven, Bellefroid, Hans Kelsen dan Utrecht). Berdasarkan dari berbagai ahli yang mengemukakan pendapat berkenaan pengertian ilmu hukum, penulis menyimpulkan bahwa hukum meliputi berbagai unsur, yaitu: (a) peraturan tingkah laku manusia; (b) di buat oleh badan berwenang; (c) bersifat memaksa walaupun tak dapat di paksakan; (d) di sertai sanksi yang tegas. Pengantar Ilmu Hukum (selanjutnya disebut PIH) adalah mata kuliah dasar yang bertujuan untuk memperkenalkan ilmu hukum secara keseluruhan dalam garis besar mengenai hakikat Pengantar Ilmu Hukum sebagai dasar dari pengetahuan hukum yang mengandung pengertian dasar yang menjadi akar dari ilmu hukum itu sendiri. Hal dimaksud, dapat dikemukakan bahwa ciri-ciri hukum meliputi: (a) ada unsur pemerintah, larangan dan kebolehan; (b) ada sanksi yang tegas; (c) adanya perintah dan larangan, dan (d) perintah dan larangan harus ditaati.



Bila memperhatikan pertanyaan yang mengatakan bahwa apakah benar ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu?. Pertanyaan dimaksud, perlu dijelaskan secara tuntas, karena sampai saat ini, masih banyak kalangan khususnya kalangan orang di luar hukum memberikan suatu komentar bahwa ilmu hukum bukanlah suatu ilmu. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum sebagai ilmu “sui generis”, artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri. Dikatakan ilmu jenis sendiri karena ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalah salah satu cabang pohoh ilmu. Apakah ilmu hukum masuk cabang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), apakah ilmu hukum masuk dalam cabang IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), apakah ilmu hukum masuk cabang humoniora. Jawaban yang pasti atas pertanyaan tersebut tidak akan final. Menelaah sifat khas ilmu hukum dalam tulisan ini ditelaah 4 (empat) hal yang menggambarkan ilmu hukum sebagai ilmu sui generasi, yaitu: “karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis hukum dan lapisan ilmu hukum. 1. Karakter Normatif Ilmu Hukum Ilmu hukum mempunyai karakter tersendiri yang hampir dipastikan berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum memiliki karakter khas. Ciri khas dimaksud, adalah sifatnya yang normatif. Cir yang demikin menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu mulai meragukan hakikat keilmuan hukum, bukanlah ilmu emperis. Berdasarkan hal di atas, Philipus M. Hadjon, et al, mengatakan bahwa, penulisan mengenai metode penelitian hukum di Indonesia tampaknya tidak beranjak dari hakikat keilmuan hukum melainkan berangkat dari sudut pandang ilmu sosial, yaitu bagaimana suatu metode penelitian dapat digunakan dalam penelitian hukum. Langkah demikian akan sangat menyulitkan dan dapat mengaburkan ilmu hukum itu sendiri. Menetapkan metode penelitian hukum atau dalam cakupan luas dikatakan sebagai pengkajian ilmu hukum, seharusnya beranjak dari hak ikat keilmuan hukum. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan hakikat keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya. Dua pendekatan dimaksud, sebagai berikut. a. Pendekatan dari sudut filsafah ilmu. Filsafah ilmu membedakan ilmu dari sudut pandang, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu normatif. Dari sudut pandang dimaksud, ilmu hukum memiliki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter aslinya sebagi ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segi empiris. Sisi empiris itulah yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurispridence, dan sociolegal jurisprudente. Dengan demikin dari sudut pandang ini,



ilmu hukum dibedakan atas ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris. Ilmu hukum normatif metode kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kualitatif dan kuantitatif, tergantung sifat datanya. b. Pendekatan dari sudut pandang teori hukum. Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu: dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut dan juga pratik hukum masingmasing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yag khas. Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti sempit). Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut diatas, dapat ditetapkan metode yang paling tepat dalam pengkajian ilmu hukum. Sikap yang mengumpulkan penelitian hukum empiris dan meremehkan penelitian hukum normatif adalah sikap yang tidak benar. Sikap demikian menutup mata pada pola kerja ilmu hukum dan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu hukum normatif. Adalah suatu temuan maha besar dalam ilmu hukum normatif antara lain tentang badan hukum sebagai subyek hukum. 2. Terminologi Ilmu Hukum Pengistilahan ilmu hukum dalam kamus bahasa Indonesia hampir dipastikan tidak akan ditemui secara konkret, sehingga terminologi ilmu hukum dimaksud, hanya meminjam dari terminologi bahasa-bahasa dari negara lain. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati mengatakan bahwa, dalam bahasa Belanda, dan bahsa Inggeris digunakan istilah: (a) Rechtswetenschap (Belanda); (b) Rechstheori (Belanda); (c) Jurisprudent (Jerman). Kepustakaan bahasa Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum tampaknya begitu saja disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing seperti dalam bahasa Belanda: Rechtswetenschap, rechs theorie, dan dalam kepustakaan bahasa Inggeris dikenal istilah-istilah seperti: jurisprudence, legal scince. Istilah Belanda Rechtswetenschap dalam arti sempit adalah dogmatik hukum atau ajaran hukum (de rechtsleer) yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum positif dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatik hukum tidak bebas nilai tetapi syarat nilai. Rechtswetenschap dalam arti luas meliputi: dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Rechtswetenschap juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit Rechtswetenschap adalah lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dimaksud, merupakan ilmu eksplanasi hukum (een verklarende wetenschap van het recht). Teori hukum merupakan ilmu yang sifatnya



interdisipliner. Dalam arti luas rechtstheorie digunakan dalam arti sama dengan rechtswetwnschap dalam arti luas. Berdasarkan berbagai pengertian di atas, penulis berpendapat bahwa Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum meliputi hal-hal sebagai berikut. a. Mempelajari seluk beluk hukum, asal mula, wujud, asas, sistem pembagian, sumber, perkembangan, fungsi, kedudukan hukum dalam masyarakat; b. Menelaah hukum sebagai gejala, fenomena, kehidupan manusia dimana pun dan kapan pun (universal); c. Metode mempelajari hukum sebagai berikut. 1) Metode idealis : perwujudan nilai-nilai tertentu = keadilan 2) Metode normatif : analisis hukum sebagai sistem abstrak otonom dan bebas nilai 3) Metode sosiologis : hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat, faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum. 4) Metode histories : melipat sejarah hukum = masa lampau dan sekarang 5) Metode sistematis : hukum sebagai sistem 6) Metode komparatif, membandingkan antara tata hukum yang berlaku disuatu Negara. 3. Jenis Ilmu Hukum Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati mengemukakan jenis ilmu hukum dari segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas: (a) Ilmu Hukum Normatif; (b) Ilmu Hukum Empiris. Tahan studi ilmu hukum empiris sampai saat ini meliputi: a. Realis: factual patterns of behavior. Fokus studinya adalah perilaku, misalnya perilaku hakim. Dalam kasus perkosaan aliran ini lebih memfokuskan pada perilaku hakim dalam memutuskan kasus perkosaan. Salah satu fokusnya adalah apakah terdapat perbedaan menyangkut berat ringannya hukuman terhadap pelaku gender yaitu: bagaimanakah perilaku hakim pria dan perilaku hakim wanita dalam meberikan hukuman perkosaan. b. Sociological jurisprudence: law in action & law in books. Kritik: the gap is descibed but is rarely explained. Aliran sociological jurisprudence memfokuskan diri pada problema kesenjangan, yaitu kesenjangan antara law in books dan law in action. Namun kritik yang pedas terhadap aliran ini adalah mereka hanya memaparkan kesenjangan tetapi tidak menjelaskan kenapa terjadi pengaruh masyarakat terhadap hukum. c. Socio legal studies. Aliran ini melihat hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat, yang disatu sisi pengaruh hukum terhadap masyarakat dan di sisi lain pengaruh masyarakat terhadap hukum. Atas dasar itu kualitas sarjana hukum dibedakan: (a) Jurist normatif menguasai ars; (b) Legal scintist empiris. Hanya kelompok



yurislahyang kompeten untuk menduduki profesi hukum seperti hakim, jaksa dan advokat. Di belanda kualitas yuris mereka gelar Mr (Mester in de rechten), dalam sistem anglo-Amerika karakter itu melekat pada gelar LL.M (Master of Laws atau Legium Master). Lulusan pendidikan tinggi hukum di Indonesia dengan gelar yang tidak langsung menunjuk pada karakter yuris, seperti lulusan S1 bergelar Sarjana Hukum (S.H.), lulusan S2 awalnya bergelar M.S. (Magister Sains), kemudian M.Hum (Magister Humaniora), tidak jelas menunjukkan karakter yuris.



Tabel PERBEDAAN ILMU HUKUM EMPIRIS DAN NORMATIF Pandangan positivistik: Ilmu



Pandangan normatif: Ilmu



hukum empirik



hukum normatif



Hubungan dasar



Subyek-obyek



Subyek-subyek



Sikap ilmuan



Penonton (toeschouwer)



Partisipan (doelnemer)



Perspektif



Eksterrn



Intern



Teori kebenaran



Korespondensi



Pragmatik



Proporsi



Hanya informasi atau empiris Normatif dan evaluatif



Metode



Hanya metode yang bisa



Juga metode lain



diamati panca indera Moral



Non kongnitif



Kongnitif



Hubungan antara moral dan



Pemisahan tegas



Tidak ada pemisahan



Hanya sosiologi hukum



Ilmu hukum dalam arti luas



hukum Ilmu



empiris dan teori hukum empiris Dari paparan tersebut, beberapa perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris, pertama-tama dari hubungan dasar sikap ilmuan, dan yang sangat penting adalah teori kebenaran. Dalam ilmu hukum empiris sikap ilmuan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gajala obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma, sehingga peranan subyek sangat menonjol. Dari segi kebenaran ilmiah, kebenaran hukum empiris adalah didukung oleh fakta (correspond to reality). Dalam ilmu hukum normatif dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Di Belanda,



hal-hal yang merupakan konsensus sejawat sekeahlian dikenal sebagai ajaran yang berpengaruh (heersende leer). 4. Lapisan Ilmu Hukum Lapisan ilmu hukum tidak terlepas dari konsep yang dikemukakan oleh J. Gijssels dan Mark van Hoecke yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon et al, yang mengemukakan lapisan ilmu hukum seperti yang diperlihatkan dalam gambar di bawah ini. Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat dan disusul dogmatif hukum (ilmu hukum positif). Dua disiplin tersebut memiliki perbedaan yang sangat extrem. Filsafat hukum sangat spekulatif, sedangkan hukum positif sangat teknis. Dalam hubungan dengan itu dibutuhkan disiplin tengah yang menjembatani filsafat hukum dan ilmu hukum positif. Disiplin tengah tersebut mula-mula berbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer) yang berisi ciri-ciri umum seperti asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum. Dari ajaran hukum umum berkembang menjadi teori hukum. Disiplin baru ini hsnys berfokus ciri-ciri yang sama tetapi juga permasalahan yang sama dari berbagai sistem hukum. Lapisan Ilmu Hukum Filsafat Hukum



Teori Hukum



Dogmatik Hukum



Praktis Hukum Gambar Lapisan Ilmu Hukum Menurut J. Gijssels



Dogmatik hukum, teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum Praktik hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu pembentuk hukum dan penerapan hukum. Permesalahan penerapan hukum antara lain: interpretasi hukum, kekosongan hukum (leementen in het recht), antinomi dan norma yang kabur (vage normen). Hubungan antara filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum dapat digambarkan dalam gambar 3. Gambar 3 dimaksud, menunjukkan bahwa hukum positif didukung oleh ilmu



hukum positif, teori hukum dan filsafat hukum. Namun lapisan ilmu hukum memiliki karakteristik khusus mengenai: konsep, eksplanasi dan sifat atau hakikat keilmuannya. Hal tersebut dapat diuraikan dalam ilustrasi, dalam Pasal 1, 2 UU No. 5 Tahun 1986 dirumuskan keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, yang merupakan tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Gambar 3. Hubungan Filsafat hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum. Gambar – 3 Hubungan Filsafat Hukum Teori Dan Dogmatik Hukum Lapisan ilmu hukum



Konsep



Eksplanasi



Sifat



Filsafat Hukum (FH)



Grondbegrippen



Reflektif



Spekulatif



Teori Hukum (TH)



Algemene begrippen



Analitis



Dogmatik Hukum



Technischjuridis ch



Teknis Yuridis



(DH)



begrippen



>Normatif Empiris Normatif



Gambar karakteristik Lapisan Ilmu Hukum



Keputusan Tata Usaha Negara merupakan konsep teknis, namun unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara harus ditelusuri dalam ranah teori hukum, dalam hal ini teori Hukum Administrasi Negara. Contoh: untuk menjelaskan unsur tindakan Hukum Tata Usaha Negara haruslah pertama-tama menjawab pertanyaan apakah yang dimaksud Hukum Tata Usaha Negara. Konsep Hukum Tata Usaha Negara adalah konsep teori, jadi merupakan konsep umum (alegemene begrippen). Filsafat Hukum (Rechts Filosofie)



Teori Hukum (Rechts Theorie)



Ilmu Hukum Praktis (Practische) rechtswetenschap



Ilmu-Ilmu Hukum Lain (Andere) rechtswetenschapen



Gambar Lapisan Ilmu Hukum Menurut H.P.H. Visser Thoof.



Membandingkan gambar dari Visser dengan gambar dari J.J.H. Bruggink, yang merujuk pada pendapat J. Gijssels dan Marc Van Hoecke, penulis menyimpulkan bahwa dogmatik hukum (ilmu hukum positif) adalah ilmu hukum praktis. Fungsi ilmu hukum dimaksud, adalah problem solving. Karena itu, dogmatik hukum sebagai ilmu hukum praktis tujuannya adalah legal problem solving. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan ars, yang merupakan keterampilan ilmiah. Ars itu dibutuhkan para yuris untuk menyusun legal opinion sebagai output dari langkah legal problem solving. Ars yang dimaksud adalah legal reasoning atau legal argumentation, yang hakekatnya adalah giving reason. Selain 4 (empat) ciri khas ilmu hukum, maka tidak ada salahnya mengemukakan perbedaan pengantar ilmu hukum dengan pengantar tata hukum Indonesia. Pengantar ilmu hukum di Perguruan Tinggi, setidaknya dikenal dua macam bahasa yang harus dipelajari, yaitu Pengantar Ilmu Hukum (selanjutnya disebut PIH) dan Pengantar Tata Hukum Indonesia (selanjutnya disebut PTHI). Pengantar ilmu hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan hukum, di samping pengantar Tata hukum Indonesia. Ke dua cabang ilmu hukum dimaksud, mempunyai obyek penyelidikan sendiri. Obyek Pengantar Tata Hukum Indonesia itu adalah hukum positif Indonesia (hukum positif/Ius Constitutum); Sedang Pengantar Ilmu Hukum menyelidiki hukum tidak terbatas pada hukum yang berlaku ditempat atau negara lain pada waktu dan kapan saja. Dengan demikian penyelidikannya tidak terlepas pada Ius Constitutum saja tetapi juga menyelidiki Ius Constituendumnya. 5. Hukum dan Logika Kata hukum dan logika merupakan dua kosa kata yang berbeda, akan tetapi jika disimak dengan baik-baik, maka keduanya merupakan dua kata yang sangat baik dan serasi. Sebab, jika orang mengatakan secara logika maka apa yang dikemukakan oleh orang lain, maka seketika itu pun orang yang mendengarnya perkataan orang itu yang mengungkapkan sesuatu berdasarkan logika dianggap benar. Oleh karenanya, kata logika seringkali orang mempersepsikan sebagai suatu kata yang mengandung nilai kebenaran. Sementara itu, salah satu esensi dari adanya hukum adalah membela kebenaran, sehingga dengan adanya suatu logika, maka disitu pula orang yang menyetarakan antara hukum dan logika. Hans Kalsen mengatakan bahwa, suatu pandangan yang cukup banyak penganutnya dikalangan para yuris adalah adanya suatu relasi yang erat antara hukum dan logika (dalam arti tradisional, dari dua nilai, benar atau salah), bahwa “sifat logis” adalah suatu sifat khusus dari hukum; yang berarti dalam relasi-relasi timbal-balik mereka, norma-norma dari hukum sesuai dengan asas-asas dari logika. Hal dimaksud, mengandalkan asas-asas itu, khususnya hukum non-kontradiksi



dan aturan inferensi, yaitu diterapkan (aplikabel) norma-norma pada umumnya dan normanorma hukum pada khususnya. Namun demikian pada dasarnyaterdapat kalangan yang berpendapat bahwa, logika adalah bagian penting dari suatu pernyataan argumentasi, sehingga logika dapat juga dikatakan sebagai argumentasi hukum. Hai ini sesuai yang dikatakan E.T. Feteris, sebagaimana yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon et al, menyatakan bahwa teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Karena ity, isu utama adalah kriteria universal dan kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi hukum?. Menurut Philipus M. Hadjono, di antarapara penulis memang ada perbedaan pendapat mengenai peran logika formal dalam argumentasi hukum, seperti contoh Mac Cormick, logika hanya mempunyai peran terbatas, bahkan ada yang berpendapat logika tidak penting, seperti Perelman dan Toulmin. E.T. Feteris menyatakan bahwa: (a) kesalah pahaman terhadap peran logika terutama berkaitan dengan kebenaran terhadap penggunaan logika silogostik (sylogistische logica). Terjadi kesalahpahaman karena pendekatan tradisional dalam argumentasi hukum yang mengandalkan model sillogisme; (b) kesalahpahaman yang kedua berkaitan dengan peran logika dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbanganpertimbangan yang melandasi keputusan. Menurut mereka proses pengambilan keputusan tidak selalu logis; sedangkan bagi mereka yang mendukung logika berpendirian bahwa antara proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab suatu keputusan tidak dapat dipisahkan. Bagi proses logika tidak penting, tapi bagi pertimbangan logika keputusan sangat penting. Pertanyan tentang bagaimanakah merumuskan argumentasi, bukanlah pertanyaan logika, tapi pertanyaan: de jurisdische methodenleer en rechtsvinding theorieen (ajara metode dan teori penemuan hukum); (c) kesalahpahaman yang ke tiga berkaitan dengan alur logika formal dalam menarik suatu kesimpulan; (d) kesalahpahaman yang ke empat, logika tidak berkaitan dengan aspek substansi dalam argumentasi hukum; (e) kesalahpahaman yang kelima, menyangkut tidak adanya kriteria formal yang jelas tentang hakekat rasionalitas nilai di dalam hukum. Menurut A. Soeteman dan A.W. Brouwer, bahwa pentingnya makna logika bagi hukum adalah memberikan suatu dalil yang kuat: suatu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain adalah “Conditio sine qua non” agar suatu keputusan dapat diterima bila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam argumentasi.



Selanjutnya, A. Soeteman et al, mengatakan argumentasi yuridis merupakan suatu model argumentasi khusus. Apakah kekhususan argumentasi hukum?. Ada 2 (dua) hal yang menjadi dasar: (a) tidak ada hakim ataupun pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, melainkan satu perkembangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menetukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif



untuk mengambil keputusan-



keputusan baru; (2) kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum berkaitan dengan kerangka prosedural, yang didalamnya berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasional, Sementara itu, E.T. Feteris et al, mengatakan tiga lapisan argumentasi hukum yang rational (Drie niveaous van rationele juridische argumentatie) meliputi: (1) lapisan logika (logische niveau); (2) lapisan dialektik (dialectische niveau); (3) lapisan prosedural (procedurele niveau). Lapisan dialektik dan lapisan prosedural menentukan kualitas suatu argumentasi. (a) lapisan logika: lapisan ini untuk struktur intern dari suatu argumentasi. Lapisan ini merupakan bagian dari logika tradisional. Isu yang muncul disini berkaitan dengan premies-premies yang digunakan dalam menarik kesimpulan. Misalnya deduksi, analogi; (b) lapisan dialektik: lapisan ini membandingkan argumentasi baik pro maupun kontrak. Ada 2 pihak yang berdialog ataupun berdebat yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan jawaban, karena sama-sama kekuatannya; (c) lapisan prosedural (struktur, acara penyelesaian sengketa). Prosedural tidak hanya mengatur perdebatan, tetapi perdebatan itu pun menentukan prosedural. Suatu aturan dialog harus berdasarkan pada aturan main yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syarat penyelesaian sengketa yang jelas. Dengan demikian terdapat saling ketertarikan antara lapisan dialektik dan lapisan prosedural. 6. Metode Pendekatan Metode Pendekatan Pengantar Ilmu Hukum (PIH) sebagai mata pelajaran dasar memerlukan metode pendekatan yang memberikan gambaran mengenai ilmu hukum itu sendiri. Pengantar Ilmu Hukum (PIH) mempelajari hukum dari segi ilmiahnya secara sentral dan universal. Hal dimaksud, hukum yang berlaku kapan saja dan dimana saja, tidak dibatasi oleh negara (wilayah). Dalam mempelajari ilmu hukum dapat digunakan beberapa metode sebagai berikut: 1. Metode idealis, adalah metode yang bertitik tolak dari suatu pandangan bahwa hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Metode ini selalu menguji apakah yang dilakukan oleh hukum untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan.



2. Metode normatif analitis, adalah metode yang melihat hukum sebagai suatu sistem aturan yang abstrak. Metode ini melihat hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom dan dapat dibicarakan sebagai subyek tersendiri yang terlepas dari hal-hal lain yang berkaitan dengan peraturan-peraturan. 3. Metode sosiologis, adalah metode yang bertitik tolak dari pandangan yang melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Perhatian metode ini berada pada faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan, wujud, dan perkembangan hukum serta efektifitas hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat. 4. Metode historis, adalah metode yang mempelajari hukum berdasarkan sejarah pembentukan hukum itu sendiri. Dengan menggunakan metode ini orang yang mempelajari hukum dapat mengetahui bagaimana hukum yang berlaku dimasa lampau dan dimasa sekarang, dapat mengetahui pula bagaimana perbedaan hukum yang berlaku dimasa lampau dan di masa sekarang. Dari sejarah hukum orang dapat mengetahui bagaimana lahir, berkembang dan lenyapnya hukum dan dapat melihat pula tentang perkembangan lembaga-lembaga hukum. 5. Metode sistematis, adalah metode yang mempelajari hukum dengan cara melihat hukum sebagai satu sistem yang terdiri atas berbagai sub-sistem seperti hukum perdata, pidana, hukum acara, hukum tata negara. Ilmu pengetahuan hukum yang melihat hukum dengan cara demikian ini dinamakan systematiche rechtswetschap. 6. Metode komparatif, adalah metode yang mempelajari hukum perbadingan antara tata hukum yangberlaku di suatu negara tertentu dengan tata hukum yang berlaku di negara lain, bak dimasa lampau maupun dimasa sekarang ini. Dari perbandingan hukum dimaksud, dapat diketahui perbedaan atau persamaan antara tata hukum yangberlaku di negara yang satu dengan yang lain baik yang di waktu lampau maupun sekarang.