Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan Dana Alokasi Umum (Dau) Terhadap Belanja Modal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL (Studi pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011) SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi



Oleh Taufik Akbar 084020216



PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2012



PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)



SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan



Bandung, Oktober 2012 Mengetahui, Pembimbing,



Ifa Ratifah, SE., M.Si.



Dekan,



Ketua Program Studi,



Dr. H. Abdul Maqin, SE., MP.



H.. Sasa S. Suratman, SE., M.Sc.



i



PERNYATAAN (Program Studi Strata 1)



Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.



Karya tulis saya, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Pasundan maupun di perguruan tinggi lainnya.



2.



Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Pembimbing.



3.



Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.



4.



Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku.



Bandung, Oktober 2012 Yang membuat pernyataan,



Materai Rp. 6000



(



Taufik Akbar



NRP: 084020216



ii



)



Motto: “Seseungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S : 94 Al-Insyirah : 6)



Tanpa MelupakanMu Ya Allah... Kupersembahkan karyaku ini bagi kedua orang tuaku yang selalu mendoakan keberhasilanku.



iii



ABSTRAK



Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara yang digunakan adalah studi dokumentasi, dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen Laporan Keuangan Pemerintah yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan pendekatan purposive sampling. Adapun variabel-variabel yang diuji adalah Pendapatan Asli Daerah (X1) dan Dana Alokasi Umum (X2) sebagai variabel independen dan Belanja Modal (Y) sebagai variabel dependen. Data tersebut akan dianalisis melalui uji asumsi klasik untuk memakasimalkan keakuratan dalam hasil pengolahan data. Sedangkan untuk menguji hipotesis digunakan uji signifikansi dan analisis regresi linear berganda. Hasil pengujian hipotesis secara parsial diperoleh kesimpulan bahwa PAD bepengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal begitu pula dengan DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Pengujian hipotesis secara simultan disimpulkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.



Kata kunci : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Belanja Modal



iv



ABSTRACT



This study aims to provide empirical evidence about the effect of the Local Own Revenue (PAD) and the General Allocation Fund (DAU) on the Capital Expenditure City of Bandung. The method used in this research is descriptive method. To obtain the necessary data in this study, the means used is the study documentation, done by collecting documents relating to Government Financial Statements with the necessary data in this research activity. Sampling technique used was non-probability sampling with a purposive sampling approach. The variables were tested Local Own Revenue (X1) and The General Allocation Fund (X2) as independent variables and Capital Expenditures (Y) as the dependent variable. Data will be analyzed through the classical asumption test for maximalize accuracy in the data processing. While the hypothesis used to test the significance test and multiple linear regression analysis. Partial results of hypothesis testing concluded that PAD have a positive and significant effect on capital expenditure as well as the DAU has positive and significant effect on capital expenditure. Simultaneously hypothesis testing concluded that PAD and DAU significant effect on capital expenditure.



Keywords : Local Own Revenue, General Allocation Fund, Capital Expenditure



v



KATA PENGANTAR



Assalammu’laikum Wr.Wb Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Pasundan Bandung. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.



Dr. R. Abdul Maqin, SE., MP selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.



2.



Bapak H. Sasa Suratman, SE., M.Sc selaku Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.



3.



Ibu Ifa Ratifah, SE., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini serta telah memberikan banyak masukan kepada saya.



vi



4.



Ibu Justinia Castellani, SE., Msi., Ak selaku dosen walii.



5.



Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama proses perkuliahan.



6.



Kedua orang tua tercinta (A. Kamidjo dan Yety Megawati) yang penulis sayangi. Penulis menghaturkan sembah sujud sebagai ucapan terima kasih yang tentunya penulis belum mampu menbalas pengorbanan Ayahanda dan Ibunda, yang telah membesarkan, mendidik dan akan selalu memberikan doa restu, perhatian, kasih sayang, serta dukungan yang tidak ternilai harganya demi kelancaran dan keberhasilan penulis dalam segala hal.



7.



Kakak serta Adik (Rianti Megasari dan Rahayu Wandani) yang telah memberi dukungan moral dan materiil. Terima kasih atas dukungannya.



8.



Lilis Lisnawati SE. Terima kasih untuk semangat, doa, dan motivasi yang diberikan dalam proses penyusunan skripsi hingga akhirnya skripsi terselesaikan.



9.



Teman-teman Akuntasi angkatan 2008. Moch. Zaky, Bingky Aresia Landarica SE., dan Annisa Desty, Ihwan Hari, Yusuf Nursyamsudin SE., Muhammad Ikhsan Al-fikri SE, Rachmawati Rahayu SE, Nikeu Martina Mugirahayu SE., Helena Mayer, Ferintina Rahayu SE., dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Sukses selalu untuk kalian semua.



vii



10.



Teman-teman kelembagaan, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Periode 20112012, Mutdiyanti, Anita, Anggun, Fanny, Jovi, Sammy, Reni dan yang lainnya. Terima kasih, sukses buat kalian semua.



11.



Seluruh sahabat seperjuangan Adhnan, Dadan, Reyza, Ryan Eka, Irfan, Agung, Egi, Kiki, Ardi, Indra, Dany Saddak, Abdul Rozak dan lainnya. Terima kasih atas bantuan, semangat, dan doanya. Sukses buat kalian.



12.



Seluruh karyawan SBAP yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi.



13.



Bapak dan Ibu Bagian Dokumentasi dan Data BPK RI Perwakilan Jabar, terima kasih atas bantuan datanya.



14.



Perpustakaan FE UNPAS yang telah menyediakan materi-materi yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.



15.



Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semuanya. Berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.



Semoga Alloh SWT, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta membalas segala kebaikan semua pihak yang memberikan bantuan kepada penulis. Wassalammu’alaikum Wr.Wb Bandung, Oktober 2012



Penulis



viii



DAFTAR ISI



Halaman LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………. LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. MOTTO…………………………………………………………………….... ABSTRAK………………………………………………………………….... ABSTRACK…………………………………………………......................... KATA PENGANTAR…………………………………………………......... DAFTAR ISI…………………………………………………........................ DAFTAR TABEL…………………………………………………................ DAFTAR GAMBAR…………………………………………………........... DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………........



i ii iii iv v vi ix xiv xv xvi



BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….......



1



1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………….........



1



1.2 Rumusan Masalah…………………………………………...........



11



1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……………………………….........



12



1.3.1 Maksud Penelitian…………………………………......



12



1.3.2 Tujuan Penelitian…………………………………........



12



1.4 Kegunaan Penelitian…………………………………………........



12



1.4.1 Kegunaan Teoritis…………………………………......



12



1.4.2 Kegunaan Praktis............................................................



13



BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS……………………………………………………........



14



2.1 Kajian Pustaka…………………………………………………......



14



2.1.1 Keuangan Daerah………………………………….......



14



ix



2.1.1.1 Konsep Keuangan Daerah…………………......



14



2.1.1.2 Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah……........



15



2.1.2 Anggaran Pemerintah Daerah……………………..........



18



2.1.3 Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia……………..



19



2.1.4 Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)…....



20



2.1.4.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)………………………………....



21



2.1.5 Konsep Pendapatan Daerah……………………………..



22



2.1.5.1 Pengertian Pendapatan Daerah………………....



22



2.1.5.2 Sumber Pendapatan Daerah……………………..



23



2.1.6 Kebijakan Atas Pendapatan Daerah……………………..



25



2.1.6.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)………………....



25



2.1.6.2 Dana Alokasi Umum (DAU).................................



28



2.1.7 Konsep Belanja Daerah.....................................................



30



2.1.7.1 Pengertian Belanja Daerah....................................



30



2.1.7.2 Kebijakan Belanja Daerah....................................



31



2.1.7.3 Belanja Modal......................................................



33



2.2 Kerangka Pemikiran...........................................................................



35



2.2.1 Penilitan Terdahulu..........................................................



38



2.2.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal..................................................................



x



40



2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal...............................................................................



41



2.2.4 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal.....................................................



43



BAB III METODE PENELITIAN.................................................................



44



3.1 Objek Penelitian...............................................................................



44



3.2 Metode Penelitian.............................................................................



44



3.2.1



Definisi dan Operasionalisasi Variabel..........................



45



3.2.1.1 Definisi Variabel..................................................



45



3.2.1.2 Operasionalisasi Variabel....................................



47



3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.........................................................



49



3.3.1 Populasi............................................................................



49



3.3.2 Sampel..............................................................................



49



3.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................................



50



3.4.1 Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis................



50



3.4.1.1 Teknik Analisis Data...........................................



50



3.4.2 Statistik Deskriptif...........................................................



51



3.4.3 Uji Asumsi Klasik............................................................



51



3.4.3.1 Uji Multikolinearitas............................................



51



3.4.3.2 Uji Normalitas......................................................



52



3.4.3.3 Uji Autokorelasi...................................................



53



3.4.3.4 Uji Heterokedastisitas..........................................



53



xi



3.4.4 Metdoe Regresi Linear Berganda.....................................



54



3.4.5 Pengujian Hipotesis..........................................................



55



BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................



60



4.1 Hasil Penelitian..................................................................................



60



4.1.1 Gambaran Umum Kota Bandung.....................................



60



4.1.1.1 Profil Daerah.........................................................



60



4.1.1.2 Sejarah Singkat Pemerintah Kota Bandung..........



61



4.1.1.3 Visi Pemerintah Kota Bandung............................



64



4.1.1.4 Misi Pemerintah Kota Bandung...........................



65



4.1.2 Deskripsi Data Variabel Penelitiana................................



67



4.1.2.1 Gambaran PAD, DAU dan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung...................................



67



4.1.2.1.1 Gambaran PAD Pemerintah Kota Bandung..............................................



67



4.1.2.1.2 Gambaran DAU Pemerintah Kota Bandung..............................................



73



4.1.2.1.3 Gambaran Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung....................................



77



4.1.3 Analisis Data...................................................................



83



4.1.3.1 Pengujian Asumsi Klasik.....................................



84



4.1.3.2 Pengujian Hipotesis.............................................



89



xii



4.1.3.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal.....................



94



4.1.3.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal.....................



95



4.1.3.2.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal...............................................



97



BAB V. SIMPULAN DAN SARAN........................................................... .....



99



5.1 Kesimpulan.......................................................................................



99



5.2 Saran.................................................................................................



100



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN



xiii



DAFTAR TABEL



Halaman Tabel 1.1



Ringkasan Permasalahan Belanja Modal Kota Bandung.......



5



Tabel 1.2



Ringkasan Permasalahan PAD Kota Bandung......................



8



Tabel 2.1



Ringkasan Penelitian Terdahulu……………………………..



38



Tabel 3.1



Operasionalisasi Variabel Penelitian………………………...



48



Tabel 4.1



Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Bandung………………………………………………………



Tabel 4.2



68



Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota Bandung………………………………………………………



74



Tabel 4.3



Pertumbuhan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung…....



78



Tabel 4.4



Data Pengamatan Untuk Pengujian Statistik…………………



83



Tabel 4.5



Hasil Uji Multikolinearitas……………………………………



84



Tabel 4.6



Hasil Uji Normalitas…………………………………………..



85



Tabel 4.7



Hasil Uji Autokorelasi…………………………………………



87



Tabel 4.8



Hasil Uji Statistik t…………………………………………….



90



Tabel 4.9



Hasil Uji Statistik F……………………………………………



92



Tabel 4.10



Hasil Perhitungan Koefisien Determinasi……………………..



94



xiv



DAFTAR GAMBAR



Halaman Gambar 2.1



Kerangka Pemikiran…………………………………………



38



Gambar 4.1



Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah……………….



69



Gambar 4.2



Kontribusi DAU terhadap Pendapatan Daerah……………….



75



Gambar 4.3



Kontribusi Belanja Modal terhadap Belanja Daerah…………



79



Gambar 4.4



Hasil Uji Normalitas : Normal P-Plot of Regression Standarized Residual…………………………………………..



86



Gambar 4.5



Hasil Uji Heterokedastisitas: Scatterplot………………………



88



Gambar 4.6



Persentase Pengaruh Variabel…………………………………



98



xv



DAFTAR LAMPIRAN



LAMPIRAN 1 SK Dosen Pembimbing........................................................................ LAMPIRAN 2 Surat Izin Penelitian.............................................................................. Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005 ………………………………………………… LAMPIRAN 3 Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2006 ………………………………………………… LAMPIRAN 4 Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2007 ………………………………………………… LAMPIRAN 5 Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2008 ………………………………………………… LAMPIRAN 6 Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2009 …………………………………………………



xvi



LAMPIRAN 7 Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2010 ………………………………………………… LAMPIRAN 8 Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2011 ………………………………………………… LAMPIRAN 9 Lembar Perbaikan …………………………………………………....... LAMPIRAN 10 Curicculum Vitae ………………………………………………….......



xvii



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi



suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi hal penting dalam pengelolaan pemerintah termasuk di bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Pengamat ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat mulai memperhatikan setiap kebijakan dalam pengelolaan keuangan. Pembiayaan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola sumber daya alam. Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah. Tiga sumber tersebut langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, melalui kerjasama dengan Pemerintah Pusat ( Halim, 2009). Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah yang 1



2



berlaku di Indonesia didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pemerintah daerah memisahkan



fungsi eksekutif dengan



fungsi legislatif.



Berdasarkan fungsinya, pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim & Abdullah, 2006). Secara implisit, peraturan perundang-undangan merupakan perjanjian antara eksekutif, legislatif, dan publik. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan publik. Di Indonesia, anggaran daerah biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan jasa pada tahun anggaran yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk. 2008). Menurut PP Nomor 58 tahun 2005 dalam Warsito Kawedar (2008), APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Menurut UU No. 32 Tahun 2004 proses penyusunan anggaran melibatkan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) dan pihak legislatif (DPRD), dimana kedua pihak tersebut melalui panitia anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana operasionalisasi daerah yang berkewajiban membuat rancangan APBD. Sedangkan legislatif bertugas mensahkan rancangan APBD dalam proses ratifikasi anggaran.



3



Proses penyusunan APBD dimulai dengan kedua belah pihak yaitu antara eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan tentang kebijakan umum APBD yang menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pihak eksekutif bertugas membuat rancangan APBD yang sesuai kebijakan tersebut, kemudian pihak legislatif menetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda) yang sebelumnya dirapatkan. Dalam teori keagenan, peraturan daerah menjadi alat legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran yang dijalankan oleh pihak eksekutif. Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan diberbagai sektor terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya pemerintah dengan memberikan berbagai fasilitas untuk investasi. Konsekuensinya, pemerintah perlu memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Desentralisasi fiskal disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda (Harianto dan Adi, 2007). Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimalisasi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan harapan konsumen (Bastian, 2006). Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan belanja modal dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah



4



Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah daerah seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat tersebut menyatakan bahwa belanja modal untuk kepentingan publik sangatlah penting. Belanja modal disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Halim & Abdullah,2006:19). Menurut Halim (2002:72) bahwa dengan melakukan belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena asset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, khususnya di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Permasalahan yang terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Bandung saat ini yaitu seiring bertambahnya anggaran belanja daerah Kota Bandung namun tidak diikuti dengan bertambahnya belanja modal. Dampak yang dialami Pemerintah Kota



5



Bandung sebagai fasilitator dan katalisator tidak berjalan dengan optimal, karena masih banyak infrastrukur, serta fasilitas pelayanan publik yang belum memadai. Pemerintah Kota Bandung lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektorsektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin, dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% anggaran belanja daerah rata-rata hanya 11,32% yang digunakan untuk belanja modal dalam rangka pengadaan asset untuk investasi dalam meningkatkan pelayanan publik (Dutakita.com, 7 Maret 2012). Adapun beberapa permasalahan mengenai belanja modal di Kota Bandung selama kurun waktu tujuh tahun terakhir dapat dilihat secara ringkas dari tabel berikut ini: Tahun 2005



Permasalahan Pembangunan



infrastruktur



Sumber jalan



serta



Tribun News



perbaikannya tidak merata di Kota Bandung. 2006



Perbaikan



jalan



secara



bertahap,



yang



Tribun News



semestinya dapat diselesaikan selama tahun 2006. 2007



Perbaikan tanggul sungai citarum 1,2M



Karawangnews



terbukti sia-sia 2008



Pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Bandung tidak diikuti perbaikan jalan.



Pikiran Rakyat Online



6



2009



Penyimpangan pembangunan selter Trans



Pikiran Rakyat Online



Metro Bandung (TMB) 2010



Dana perbaikan jalan hanya sebesar Rp.54M, Penelusurankorankaskus tak cukup. Tabel 1.1 Ringkasan Permasalahan Belanja Modal Kota Bandung



Sejalan dengan Saragih (2003) yang menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat tersebut menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik. Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap belanja modal, seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dalam pengelolaan anggaran, asas kemandirian dijadikan dasar Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan penerimaaan dari daerahnya sendiri yaitu sektor PendapatanAsli Daerah (PAD). Menurut UU No. 32 tahun 2004, Pendapatan Asli daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Pajak daerah dan retribusi daerah selama ini merupakan sumber pendapatan daerah yang dominan, oleh karena itu perlu ditingkatkan penerimaannya. Berdasarkan



7



alur pikir teori keuangan daerah, penerimaan pajak pada umumnya digunakan untuk membiayai jasa layanan yang bersifat murni publik (public goods), sedangkan penerimaan retribusi umumnya digunakan untuk membiayai jasa pelayanan yang bersifat semi publik (semi public goods) di mana komponen manfaat individunya relatif lebih besar. Anggiat (2009:4) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tetapi alokasi untuk belanja modal justru mengalami penurunan. Abdullah dan Halim (2004:10) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian angaran cukup besar. Pemerintah Kota Bandung berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak daerah, sebagai sumber pendapatan daerah dalam meningkatkan belanja modal. Kontribusi pajak daerah sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah, hal ini menyimpulkan bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah mampu meningkatkan belanja modal. Tetapi kenyataannya kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap pendapatan dan belanja daerah masih kecil, terutama belanja modal. Selama ini dominasi sumbangan pemerintah pusat kepada daerah masih besar. Oleh karenanya untuk mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat, pemerintah



8



daerah perlu berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang salah satunya dengan penggalian potensi daerah. PAD Kota Bandung sebagian besar dihasilkan dari pajak dan retribusi daerah, seperti Parkir dan Pajak Restoran. Namun kenyataanya hasil pajak dan retribusi daerah tersebut tidak mampu dikoleksi secara keseluruhan oleh Pemerintah Kota Bandung. Hal tersebut diakibatkan pengelolaan lahan parkir potensial yang banyak dikelola oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan sepihak dengan cara menggelapkan uang yang seharusnya masuk kas daerah. Penggelapanpengelapan hasil pajak dan retribusi tersebut mengakibatkan Pemerintah Kota Bandung berpotensi kehilangan PAD dari sektor pajak dan retribusi daerah sebesar Rp 1,5 Miliar/bulan (Bisnis Jabar, 5 April 2012). Adapun beberapa permasalahan mengenai PAD di Kota Bandung selama kurun waktu tujuh tahun terakhir dapat dilihat secara ringkas dari tabel berikut ini: Tahun



Permasalahan



Sumber



2005



Perpakiran di Kota Bandung dan kontribusinya



Tribun Jabar



terhadap PAD Kota Bandung. 2006



Penyimpangan



Pajak



pada



pelaksanaan



Perda



Tribun News



Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. 2007



Masalah Perparkiran kota Bandung yang tak kunjung selesai.



Pikiran Rakyat Online



9



2008



Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Bandung:



Pelita. or.id



kecurigaan, pajak yang belum disetor, terindikasi penyimpangan. 2009



Peningkatan pajak parker tidak sebanding dengan penambahan lahan parker yang terus bertambah.



2010



Pajak



parkiraan



di



Kota



Bandung



semakin



membengkak kebocorannya.



Pikiran Rakyat Online Pikiran Rakat Online



Tabel 1.2 Ringkasan Permasalahan PAD Kota Bandung



Dalam



pelaksanaan



kewenangan



Pemerintah



Daerah



dalam



upaya



pembangunan, Pemerintah Pusat akan mentransfer dan perimbangan yang tediri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah Daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada publik. Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan operasional didaerahnya masing-masing, hal tersebut menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut Pemerintah Pusat mentransfer dana perimbangan untuk masing-masing daerah. Salah satu dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Umum merupakan dana yang berasal dari pemerintah pusat yang diambil dari APBN yang dialokasikan



10



dengan tujuan pemerataan keungan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan dana tersebut pemerintah daerah menggunakannya untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada publik. Abdullah dan Halim (2004) menyatakan bahwa dana transfer jangka panjang berupa DAU berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah dana transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Peningkatan transfer Dana Alokasi Umum di Kota Bandung setiap tahunnya tidak diikuti dengan peningkatan belanja modal. Hal tersebut mencerminkan bahwa penggunaan Dana Alokasi Umum untuk belanja modal hanya sedikit sehingga tidak mampu mengoptimalkan fasilitas pelayanan publik. Meski transfer DAU dari pemerintah merupakan pendapatan daerah yang paling besar, namum alokasinya untuk belanja modal tergolong sedikit. Anggaran belanja terkonsentrasi pada belanjabelanja yang bersifat rutin, dan mengesampingkan belanja modal. Selain terkonsentrasi pada belanja rutin, disinyalir adanya penyalahgunaan dalam penggunaan DAU. Salah satu praktik yang mencurigakan adalah penyalahgunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditampung di rekening pribadi, kerabat dan bahkan diperuntukkan untuk membangun sebuah usaha. PPATK merilis data tentang 2.258 transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh para pejabat di Indonesia, dari ribuan transaksi mencurigakan itu justru didominasi oleh pejabat



11



daerah. Jumlah transaksi para pejabat daerah yang patut dicurigai itu antara lain 1.135 transaksi oleh bendahara daerah, 379 transaksi dilakukan bupati, serta 339 transaksi oleh pejabat pemda lainnya, termasuk didalamnya Kota Bandung. (Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, 17 Juni 2011). Berdasarkan uraian diatas penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan data selama 6 tahun terakhir di Pemerintah Kota Bandung yaitu tahun anggaran 20052011. Adapun judul yang akan diteliti adalah : “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011) “.



1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang akan



dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung. 2. Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung. 3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung



12



1.3



Maksud dan Tujuan Penelitian



1.3.1



Maksud Penelitian Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data, menganalisa, mengetahui, dan menjelaskan mengenai Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal



1.3.2



Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.



Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.



2.



Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.



1.4 1.4.1



Kegunaan Penelitian Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperluas pengetahuan mengenai akuntansi sektor publik dalam hal ini yaitu ilmu pemerintahan mengenai pengelolaan keuangan daerah pada Pemerintah Kota Bandung khususnya mengenai pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja modal.



13



1.4.2



Kegunaan Praktis a. Bagi Pemerintah Kota Bandung, sebagai objek penelitian, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menganalisis belanja modal dengan mempertimbangkan PAD dan DAU. b. Bagi Peneliti, memberikan pengetahuan mengenai pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja modal di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. c. Bagi Pihak Lain, khususnya akademisi, sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini.



BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS



2.1



Kajian Pustaka



2.1.1



Keuangan Daerah



2.1.1.1



Konsep Keuangan Daerah Keuangan Daerah memegang peranan yang sangat penting dalam



menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien agar tepat guna dan berhasil guna. Berkaitan dengan hal tersebut maka berbagai cara untuk memperoleh sumber keuangan dan untuk apa saja sumber keuangan tersebut digunakan menjadi perhatian utama bagi Pemerintah Daerah. Pengertian keuangan daerah menurut Penjelasan Umum Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut : “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Selanjutnya dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa :



14



15



“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah segala hak dan kewajiban daerah baik berupa uang maupun barang yang dapat dinilai dengan uang dan digunakan dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Sebagaimana keuangan negara, keuangan daerah memiliki ruang lingkup yang terdiri atas keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang inventaris milik daerah, sedangkan yang termasuk dalam keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).



2.1.1.2



Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah Mahmudi (2006:14) mengungkapkan : “Siklus pengelolaan keuangan daerah adalah tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam mengelola keuangan yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah agar pengelolaan keuangan tersebut memenuhi prinsip ekonomi, efisien, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas”. Adapun siklus pengelolaan keuangan daerah menurut Mahmudi



(2006:14-15) pada dasarnya terdiri atas tiga tahap :



16



1.



Tahap Perencanaan Tahap perencanaan merupakan tahap yang sangat krusial. Peran DPRD dan masyarakat dalam tahap perencanaan ini sangat besar. Kualitas hasil (outcome) dari pengelolaan keuangan daerah sangat dipengaruhi oleh seberapa bagus perencanaan yang dibuat. Perencanaan ini sendiri pada dasarnya juga terdapat proses yang harus dilakukan sehingga menghasilkan output perencanaan berupa dokumen perencanaan daerah. Dokumen perencanaan daerah dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu : a. Dokumen perencanaan pembangunan daerah berupa Rencana Pembagunan



Jangka



Panjang



Daerah



(RPJPD),



Rencana



Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemeritah Daerah (RKPD), Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan, kebijakan, strategi, program, dan kegiatan. b. Dokumen perencanaan keuangan daerah berupa Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan RAPBD. 2.



Tahap Pelaksanaan Output dari tahap perencanaan adalah berupa RAPBD yang telah disahkan oleh DPRD menjadi APBD. Output dari tahap perencanaan



17



tersebut akan menjadi input



bagi tahap pelaksanaan, yaitu



implementasi anggaran. Dalam tahap pelaksanaan anggaran terdapa suatu proses berupa Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD). SAPD ini sangat penting, karena bagaimana pun bagusnya perencanaan anggaran apabila dalam tahap implemantasi tidak terdapat SAPD yang memadai, maka banyak hal yang direncanakan tidak akan mencapai hasil yang diinginkan. SAPD yang buruk akan memicu terjadinya kebocoran, inefesiensi, dan inaccuracy laporan keuangan. 3.



Tahap Pelaporan, Pengawasan, dan Pengendalian. Output dari tahap pelaksanaan berupa laporan pelaksanaa anggaran akan menjadi input untuk tahap pelaporan. Input tersbut akan diproses lebih lanjut untuk menghasilkan output berupa laporan keuangan yang akan dipublikasikan. Proses pelaporan tersebut dilakukan dengan mengacu pada SAPD yang telah ditetapkan. Setelah disesuaikan dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, maka laporan keuangan tersebut siap diaudit oleh auditor independent. Selanjutnya setelah diaudit dapat didistribusikan kepada DPRD dan dipublikasikan kepada masyrakat, sebagai bahan evaluasi kinerja dan memberikan umpan balik bagi perencanaan periode berikutnya.



Perencanaan pembangunan daerah disusun berdasarkan jangka waktu perencanaan, yaitu dua puluh tahun untuk RPJPD, lima tahun untk RPJMD, dan



18



satu tahun untuk RKPD. Sedangkan untuk rencana keuangan daerah yaitu berupa RAPBD berlaku untuk satu tahun. Menurut Mahmudi (2006:15) “Output dari tahap perencanaan ini adalah RAPBD”. Alasan dari output ini berupa RAPBD, karena bagi Pemda APBD merupakan tulang punggung (outcome) atau cetak biru (blue print) pembangunan daerah. APBD memiliki fungsi penting dalam melakukan alokasi, distribusi dan stabilitas keuangan Pemda. Oleh karena itu, RAPBD menjadi sangat penting bagi daerah sebagai arah dan orientasi pembangunan.



2.1.2



Anggaran Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah merupakan organisasi sektor publik yang



kegiatannya berkaitan dengan usaha memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dituntut untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimilikinya seefektif dan seefisien mungkin serta dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk itu, maka diperlukan perencanaan yang matang terutama dalam penggunaan keuangan Pemerintah Daerah, karena pada dasarnya keuangan daerah seluruhnya adalah milik publik. Perencanaan keuangan daerah ini dituangkan dalam bentuk anggaran. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No 2 Tentang Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan bahwa : “Anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan



19



pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode.” Mardiasmo (2002:62) menyebutkan bahwa anggaran sektor publik didefinisikan menjadi : “Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktifitas. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1) Berapa biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja), dan 2) Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). “ Dari pengertian anggaran yang diungkapkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anggaran merupakan rencana keuangan yang berisi perkiraan pengeluaran dan sumber pendapatannya untuk sautu periode tertentu.



2.1.3



Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia Anggaran dapat terlaksana dengan baik apabila anggaran tersebut



disusun secara baik pula. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran merupakan rangkaian proses anggaran. Ihyaul Ulum (2008:106) mengungkapkan tujuan proses penyusunan anggaran : Proses penyusunan anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu : 1. Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan koordinasi antar bagian dalam lingkungan pemerintah. 2. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan. 3. Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja. 4. Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR/DPRD dan masyarakat luas.



20



Selain itu, Ihyaul Ulum (2008:106) mengungkapkan juga apa saja yang menjadi faktor dominan yang terdapat dalam proses anggaran yaitu : Faktor dominan yang terdapat dalam proses anggaran adalah : 1. Tujuan dan target yang hendak dicapai. 2. Kesediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimmiliki pemerintah). 3. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target. 4. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar, perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya.



2.1.4



Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pembahasan keuangan daerah tidak dapat terlepas dari pembahasan



mengenai APBD, oleh sebab itu pembahasan mengenai keuangan daerah disini bertolak belakang dari pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 menyebutkan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja daerah selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah”. “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan pemerintah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan oleh peraturan daerah” (Nordiawan, 2007:39). Sehingga produk APBD merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD. Adapun fungsi APBD adalah sebagai berikut (Halim, 2007:169-170) :



21



1. Fungsi



Otorisasi,



melaksanakan



yaitu



pendapatan



APBD dan



merupakan belanja



dasar



pada



untuk



tahunnyang



bersangkutan. 2. Fungsi Perencanaan, yaitu APBD merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi Pengawasan, yaitu APBD merupakan pedoman untuk menilai apakah penyelenggaran pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi Alokasi, yaitu APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja atau mengurangi pengeluaran dan pemborosan sumber



daya



dan



meningkatkan



efisiensi



dan



efektifitas



perekonomian. 5. Fungsi Distribusi, yaitu APBD meruupakan kebijakan anggaran daerag yang harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. 6. Fungsi Stabilisasi, yaitu APBD merupakan anggaran pemerintah daerah yang menjadi alat untuk memlihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.



2.1.4.1



Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan pengertian keuangan daerah menyebutkan bahwa dalam



menyelenggarakan pemerintahan, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Oleh



22



karena itu maka Pemerintah Daerah memerlukan suatu rencana keuangan setiap tahunnya, yaitu dengan menyusun APBD. Dalam penyusunan APBD, strukturnya mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan pemerintahan dan peraturan yang mengaturnya. Dilihat dari struktur, maka sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dibagi menjadi Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. Pendapatan berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Belanja diklasifikasikan menjadi belanja aparatur dan belanja publik. Kemudian dikelompokkan lagi menjadi belanja administrasi dan umum; belanja operasi dan pemeliharaan; belanja modal; belanja transfer; dan belanja tidak tersangka. Pembiayaan merupakan penerimaan daerah yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran daerah yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahuntahun anggaran berikutnya.



2.1.5



Konsep Pendapatan Daerah



2.1.5.1



Pengertian Pendapatan Daerah Di dalam keuangan daerah terapat hak-hak yang dapat dinilai dengan



uang yang tercermin dalam pendapatan daerah. Pendapatan daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk membiayai berbagai pengeluaran



23



pemerintah sehubungan dengan tanggung jawab sebagai pelayan publik (public service). Pendapatan daerah pada dasarnya merupakan penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurnan utang dari berbagai sumber dalam perode tahun anggaran yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas dan tepat mengenai pendapatan, di bawah ini dikemukakan beberapa definisi mengenai pendapatan daerah. Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) No. 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran, mendefinisikan : “pendapatan sebagai semua penerimaan rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perluy dibayar kembali oleh pemerintah”. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang dimaksud denga pendapatan daerah adalah “Hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.”



2.1.5.2



Sumber Pendapatan Daerah Penyelenggaraan



otonomi



daerah



membawa



dampak



dalam



pengelolaan keuangan daerah dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus keuangannya sendiri. Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan



24



daerah dapat berjalan lancar maka pemerintah mengaturnya dalam pasal 155 Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah. 2. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara. 3. Administrasi pemdanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (2). Selain itu, dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah diberikan sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan berbagai tugas dan tanggung jawabnya. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 157 dan 159, sumber-sumber pendapatan bagi daerah terdiri atas : 1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu : a. hasil pajak daerah; b. hasil retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. 2. dana perimbangan; dan 3. lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 157 huruf b terdiri atas: 1. Dana Bagi Hasil; 2. Dana Alokasi Umum; dan 3. Dana Alokasi Khusus



25



Menurut Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah pasal 5 menyebutkan bahwa : 1. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. 2. Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan. 3. Pembiayan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) bersumber dari : a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. Penerimaan pinjaman daerah; c. Dana Cadangan Daerah; d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.



2.1.6



Kebijakan Atas Pendapatan Daerah



2.1.6.1



Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber pendapatan yang harus



selalu terus menerus dipacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini kemandirian



Pemerintah



Daerah



sangat



dituntut



dalam



pembiayaan



pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Daerah sangatlah penting karena PAD menunjukkan kemampuan daerah dalam menggali sumber keuangnnya sendiri yang kemudian menjadi sebuah ukuran kinerja bagi Pemerintah Daerah dalam proses pengembangan ekonomi daerah. Menurut



26



Halim (2004:67), “Pendaptan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. Pengertian Pendapatan Asli Daerah menurut Ketentuan Umum UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan : “Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.” PAD dipungut/diperoleh berdasarkan pada ketentuan perundanganundangan Pasal 6 UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengungkapkan bahwa : 1. PAD bersumber dari : a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain PAD yang sah. 2. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi : a. Hasil penjualan kekayaan Daerah nyang tidak dipisahkan; b. Jasa giro; c. Pendapatan bunga; d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Permendagri No. 13 Tahun 2006 mengklasifikasi PAD menjadi empat jenis pendapatan sebagai berikut: 1. Pajak Daerah Pajak hotel, Pajak restoran, Pajak hiburan, Pajak reklame, Pajak Penerangan jalan, Pajak parkir, Pajak air bawah tanah, Pajak



27



sarang walet, Pajak lingkungan, Pajak pengambilan bahan galian golongan C. 2. Retribusi Daerah Retribusi jasa umum, Retribusi jasa usaha, Retribusi perizinan tertentu. 3. Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Bagian laba bank Pembangunan Daerah (BPD), bagian laba Perusahaan Daerah, dan hasil investasi pada pihak ketiga. 4. Lain-lain PAD yang sah yaitu semua pendapatan yang bukan berasal dari pajak daerah, pendapatan retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan daerah dan dipungut serta disetorkan ke kas daerah dalam tahun anggaran berjalan, antara lain : hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntuan kerugian daerah, penerimaan komisi atau potongan akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendpatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian,



28



pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran atau cicilan penjualan. Menurut undang-undang No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.



2.1.6.2 Dana Alokasi Umum (DAU) Kebijakan perimbangan keuangan membawa dampak terhadap semakin besarnya kesenjangan kemampuan antara daerah, khsusnya karena setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda. Dengan kata lain daerah yang mempunyai potensi PBB dan SDA yang besar akan memperoleh penerimaan yang besar, daerah yang potensinya kecil tentu akan mendapatkan pendapatan yang kecil juga. Pengaturan Dana Alokasi Umum (DAU) diarahkan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, yang berarti daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU yang realtif kecil demikian sebaliknya. Pasal 1 UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa :



29



“Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”. Berdasarkan UU tersebut Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurangkurangnya 26% yang kemudian disalurkan kepada provinsi sebesar 10% dan kabupaten atau kota sebesar 90% dari total DAU. Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Taun 2005 Pasal 37 yaitu : 1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto. 2. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. 3. Dalam hal penentuan proprosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen). 4. Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya dari jumlah DAU 90% yang ditujukan untuk kabupaten dan kota, maka setiap kabupaten dan kota akan mendapatkan DAU sesuai dengan hasil perhitungan “Formula DAU” yang ditetapkan berdasarkan Celah Fiskal dan Alokasi Dasar. Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Tahun 2005 Pasal 40 yaitu : 1. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. 2. Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. 3. Kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.



30



4. Kapasitas fiskal sebagimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan Pendaptan Asli Daerah dan DBH. 5. Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdsarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Ketentuan perolehan DAU untuk Kabupaten/Kota menurut PP No. 55 Tahun 2005 pasal 45 yaitu : 1. Daerah yang memiliki celah fiskal lebih dari 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal. 2. Daerah yang memiliki celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar. 3. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima Dau sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai celah fiskal. 4. Daerah yang memeiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU.



2.1.7



Konsep Belanja Daerah



2.1.7.1



Pengertian Belanja Daerah Di dalam keuangan daerah juga terdapat kewajiban-kewajiban daerah



yang dapat dinilai dengan uang yang tercermin dalam pengeluaran daerah. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa pembangunan berbagai fasilitas publik dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Kewajibankewajiban



Pemerintah



daerah



tersbeut



dapat



terpenuhi



melalui



pengeluaran/belanja daerah. Pengertian belanja daerah menurut UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah



31



adalah : ” Semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersngkutan”.



2.1.7.2



Kebijakan Belanja Daerah Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004



tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organsisasi, fungsi, program dan kegiatan, dan jenis belanja. Selanjutnya dijelaskan dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 bahwa : 1. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. 2. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari : a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan b. Klasifikasi fungsi pengeloalaan keuangan negara. 3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 4. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari : a. Belanja pegawai b. Belanja barang dan jasa c. Belanja modal d. Bunga e. Subsidi f. Hibah g. Bantuan sosial h. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan i. Belanja tidak terduga. Sedangkan di dalam Permendagri no. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah sebagaimana dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan kegiatan, dan kelompok.



32



1. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. a. Belanja menurut urusan wajib mencakup : pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkugan hidup,



pertanahan,



kependudukan



dan



catatan



sipil,



pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan olahraga,



kesatuan



bangsa



dan



politik



dalam



negeri,



pemerintahan umum kepegawaian; pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, arsip, dan komunikasi dan informatika. b. Belanja



menurut



urusan



pilihan



mencakup:



pertanian,



kehutanan, energidan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdangangan, perindustrian, dan transmigrasi. 2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan. 3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 4. Klasifikasi belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung.



33



a. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. b. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.



2.1.7.3



Belanja Modal Sejalan dengan diselenggarakannya otonomi daerah, daerah harus



dapat mengembangkan daerahnya sendiri agar apa yang menjadi tujuan diselenggarakannya otonomi daerah dapat terlaksana. Untuk itu diperlukan banyak



dana



yang



harus



dikeluarkan



Pemerintah



Daerah



dalam



menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah, yang salah satunya adalah belanja modal. Dengan demikian belanja modal merupakan faktor penting dalam menyelenggarakan pembangunan daerah. Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa : “Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk



34



digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya”. Dalam PSAP No.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah “Pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi”. Berdasarkan beberapa pengertian belanja modal diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran pemerintah yang ditujukan untuk kelancaran pembangunan di daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah kekayaan daerah serta selanjutnya akan menambah belanja operasional dan pemeliharaan. Belanja modal yang dikeluarkan Pemerintah Daerah merupakan investasi daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang manfaatnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam mengelola belanja modal ini Pemerintah daerah harus didasarkan



pada



prinsip



dipertanggungjawabkan



efektifitas,



dengan



efisien,



transparan



mempertimbangkan



skala



dan



dapat prioritas



pembangunan daerah. Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh



daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah



mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja



35



modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Adapun jenis belanja modal menurut PSAP No.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 terbagai ke dalam enam pos, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Belanja Jalan, Irigasi, dan lainnya Belanja aset tetap lainnya Belanja aset lainnya Belanja Tanah Belanja Mesin Belanja Gedung dan Bangunan.



2.2



Kerangka Pemikiran Mengingat masih lemahnya kemampuan daerah dalam menggali



sumber pendapatan yang berasal dari daerahnya sendiri maka penggunaan belanja



modal



harus



difokuskan



pada



program-program



yang



secara



berkesinambungan yang dapat mendukung peningkatan, penyempurnaan maupun memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan pembangunan, kesejahteraan masyrakat, dan merangsang terciptanya sumber pendapatan baru.



36



Untuk itu, maka perlu dilakukan pengkajian sejauh mana pemerintah daerah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk membiayai pengeluaran modal ini. Hal ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya agar dapat tepat guna dan berhasil guna. Faktor keuangan merupakan salah satu faktor yang penting dalam setiap kegiatan pemerintahan. Karena, semakin besar jumlah uang yang tersedia, semakin banyak pula kemungkinan



kegiatan atau pekerjaan yang dapat



dilaksanakan. Maka, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah berpengaruh terhadap belanja modal, karena semakin besar kebutuhan daerah untuk kegiatan pembangunan maka akan semakin besar pula alokasi belanja modal yang bersumber dari pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah yang berhasil dipungut oleh pemerintah daerah maka akan semakin besar pula alokasi belanja modal yang akan dianggarkan oleh pemerintah daerah. Dengan asumsi bahwa pada dasarnya belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah ditetapkan setelah belanja/pengeluaran daerah yang bersifat rutin sudah tertutupi. Dengan demikian, apabila pendapatan daerah yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah mengalami kenaikan, dimana pengeluaran pemerintah yang bersifat rutin seperti belanja administrasi dan umum sudah tertutupi, maka kelebihannya itu akan dialokasikan kepada belanja modal. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan



37



pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan publik. Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam APBD tentu sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut. Dalam rangka menjalankan tugasnya pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup memadai, karena untuk melaksanakan pembangunan daerah diperlukan biaya yang tidak sedikit. Pendapatan daerah merupakan sarana pemerintah daerah untuk melaksanakan tujuan maksimalisasi kemakmuran rakyat. Sumber pendapatan daerah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerahnya dan pendapatan daerah yang bersumber bukan dari pendapatan asli daerahnya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan daerah yang bukan berasal dari pendapatan asli daerah diantaranya dana perimbangan dari pemerintah pusat. Salah satu dana perimbangan yang bersumber dari pemerintah pusat yaitu Dana Alokasi Umum. DAU diarahkan untuk mengatasi ketimpangan fiskal yang terjadi di daerah. DAU merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan luar daerah atau dana hibah murni, dimana kewenangan penggunaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah setempat.



38



Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat sebuah model penelitian yang dapat tergambarkan sebagai berikut :



Pendapatan Asli Daerah (PAD) Belanja Modal Dana Alokasi Umum (DAU)



Gambar 2.1 Model Penelitian



2.2.1 Penelitian Terdahulu Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali Tahun 2004-2005 dengan alasan ketersediaan data. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Belanja Modal. Anggiat Situngkir (2009) meneliti pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, dan DAK terhadap Belanja Modal dengan mengambil sampel



39



penelitian di Pemkab Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut variabel Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan variabel PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Oleh karena itu, dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa sumber pendapatan secara keseluruhan baik berupa Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Belanja Modal. Penelitian terdahulu di atas kemudian diringkas dalam Tabel 2.1 berikut ini : Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu Ringkasan penelitian terdahulu Peneliti (tahun) Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007)



Variabel yang Digunakan



Hasil Penelitian



Variabel dependen : belanja modal Variabel independen : pertumbuhan ekonomi, PAD, DAU



Anggiat Situngkir (2009)



Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, Belanja Modal



Variabel PAD dan DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal. Sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, sedangkan PAD, DAU, DAK berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.



Sumber: Review dari jurnal dan artikel



40



2.2.2



Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya



sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk kepentingan yang direalisasikan melalui belanja modal . Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (Halim, 2004). Abdullah dan Halim (2004:10) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian angaran cukup besar. Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Berdasarkan bukti empiris tersebut, peningkatan PAD dapat mempengaruhi pemerintah dalam pengalokasian belanja modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor dalam pengalokasian belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan



41



kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyrakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya. Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut : H1 :



Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal



2.2.3



Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan



keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerntah daerah (UU No. 33/2004). Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian,



42



terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan Dana Alokasi Umum untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja modal. Abdullah dan Halim (2004) menyatakan bahwa dana transfer jangka panjang berupa DAU berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah dana transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Prakoso (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU. Berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan daerah berupa DAU yang besar maka belanja modal akan meningkat. Hipotesis kedua adalah sebagai berikut : H2 :



Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Modal



43



2.2.4



Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap



belanja modal (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Berdasarkan bukti empiris tersebut, peningkatan PAD dapat mempengaruhi pemerintah dalam pengalokasian belanja modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor dalam pengalokasian belanja modal. Prakoso (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU. Hipotesis ketiga adalah sebagai berikut : H3 :



Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Modal



BAB III METODE PENELITIAN



4.1



Objek Penelitian Objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian



suatu peneliti, sedangkan subjek penelitian adalah tempat dimana variabel melekat (Arikunto 2002:15). Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen.



4.2



Metode Penelitian Berdasarkan variabel-variabel yang diteliti maka metode yang



digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan verifikatif. Menurut Sugiyono (2012:21) menyatakan bahwa “Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas”. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. 44



45



Sedangkan verifikatif menurut Hasan (2006: 22) adalah menguji kebenaran sesuatu dalam bidang yang telah ada dan digunakan untuk menguji hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistik. Dalam hal ini penelitian verifikatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap alokasi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



4.2.1



Definisi dan Operasionalisasi Variabel



3.2.1.1



Definisi Variabel Variabel independen (bebas) yang digunakan dalam penelitian ini



adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai variabel X1 dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai variabel X2 serta Variabel Dependen (terikat) adalah Belanja Modal sebagai variabel Y. Pengertian dari masing-masing variabel di atas adalah sebagai berikut : 1. Variabel Pendapatan Asli Daerah Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan



46



usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Variabel Pendapatan Asli Daerah diukur dengan rumus : PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah



2. Variabel Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan



horizontal



dengan



tujuan



utama



pemerataan



kemampuan keuangan antar daerah. Dana Alokasi umum untuk masing-masing Kabupaten /



Kota dapat dilihat dari pos dana



perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD. Dana Alokasi Umum untuk daerah dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar



Dimana. Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal



47



3. Variabel Belanja Modal Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Variabel belanja modal dapat diukur dengan : Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya



3.2.1.2



Operasionalisasi Variabel Operasionalisasi dibutuhkan untuk menjadi acuan dalam penggunaan



instrumen penelitian untuk pengolahan data selanjutnya. Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini diuraikan dalam tabel berikut ini :



48



Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian Variabel



Sub Variabel/Dimensi



Indikator



Realisasi PAD di dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA)



Besarnya jumlah realisasi PAD yang diperoleh daerah yang berasal dari :  Pajak Daerah  Retribusi Daerah  Hasil Pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan  Lain-lain PAD yang sah Besarnya jumlah DAU yang diberikan pemerintah pusat berdasarkan PP RI No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.



Skala



Independen (X)



Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X1)



Dana Alokasi Umum (DAU) (X2)



Realisasi DAU di dalam LRA



Rasio



Rasio



Dependen (Y)



Belanja Modal



Realisasi belanja modal di dalam LRA



Besarnya jumlah belanja modal yang ditetapkan setiap tahunnya.



Rasio



49



3.3



Populasi dan Sampel Penelitian



3.3.1



Populasi Sugiyono (2012:115) mengemukakan bahwa “Populasi adalah wilayah



generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Populasi dari penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemerintah Kota Bandung.



3.3.2



Sampel Menurut Sugiyono (2012:116), “sampel adalah bagian dari jumlah dan



karakterisktik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Adapun teknik yang digunakan adalah Non Probability Sampling dengan pendekatan Purposive Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan objek penelitian. Sampel dari penelitian ini adalah LRA Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011. Tujuan penentuan sampel ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja modal. Pertimbangan pemilihan sampel tersebut adalah sebagai berikut: 1.



Kemudahan dalam memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian.



2.



Laporan keuangan tujuh tahun terakhir akan memberikan gambaran terbaru mengenai perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi



50



Umum (DAU) dan belanja modal sehingga dapat terlihat pertumbuhan dari masing-masing variabel tersebut. 3.



Periode tersebut lebih relevan dengan keadaan atau situasi sekarang untuk dilakukannya penelitian, sehingga hasil penelitian yang didapat lebih akurat.



4.



Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada periode tersebut teah diaudit.



3.4



Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara



yang



digunakan



adalah



studi



dokumentasi,



dilakukan



dengan



cara



mengumpulkan dokumen-dokumen Laporan Keuangan Pemerintah yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini. Data yang digunakan oleh penulis diperoleh dari website resmi Badan Pemeriksa Keuangan RI di http://www.bpk.go.id dan dari Badan Pemeriksaan Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat Jl. Moh. Toha No. 164.



3.4.1



Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis



3.4.1.1



Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data dalam bentuk yang



lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk itu, data yang dihimpun dari hasil penelitian di lapangan akan disusun dan dibandingkan dengan data kepustakaan, kemudian dilakukan analisis untuk ditarik kesimpulan. Analisis



51



dalam penelitian ini menggunakan statistik parametrik dengan menggunakan model Regresi Linear Berganda. Untuk masuk ke model regresi tersebut, data harus diuji asumsi klasik terlebih dahulu. Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar memenuhi syarat, sebagai asumsi dasar dalam analisis regresi. Uji asumsi klasik terdiri dari uji multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan Heterokedastisitas. Perhitungan analisis data seluruhnya akan dibantu dengan menggunakan software statistika yaitu program SPSS 17 for Windows.



3.4.2



Statistik Deskriptif Penyajian statistik deskriptif bertujuan untuk melihat profil dari data



penelitian tersebut dengan hubungan yang ada antar variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Belanja Modal.



3.4.3



Uji Asumsi Klasik



3.4.3.1



Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas diperlukan unuk mengetahui apakah ada tidaknya



variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model (Nugroho, 2005: 58). Selain itu deteksi terhadap multikolinearitas juga bertujuan untuk menghindari bias dalam proses pengambilan keputusan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing



52



variabel independen terhadap variabel dependen. Deteksi multikolinearitas pada suatu model dapat dilihat jika nilai Variance Inflation Tolerance (VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai Tolerance tidak kurang 0,1, maka model tersebut dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas. VIF = 1/Tolerance, jika VIF = 10 maka Tolerance = 1/10 = 0,1.



3.4.3.2



Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam



variabel yang digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal (Nugroho, 2005: 18). Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak, dapat dilihat melalui normal probability plot dengan membandingkan distribusi kumulatif dan distribusi normal. Data normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya (Ghozali, 2005: 10). Selain itu untuk menguji normalitas residual dengan menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S). Jika hasil Kolmogrov-Smirnov menunjukkan nilai signifikan diatas 0,05 maka data residual terdistribusi dengan normal. Sedangkan jika hasil KolmogrovSmirnov menunjukkan nilai signifikan di bawah 0,05 maka data residual terdistribusi tidak normal (Ghozali, 2005: 113).



53



3.4.3.3



Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya



korelasi dalam hal variabel independen. Uji Autokorelasi dapat dilakukan dengan cara uji Durbin Watson (DW test). Adapun cara mendeteksi terjadinya Autokorelasi secara umum dapat diambil patokan sebagai berikut : a.



Angka DW di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif.



b.



Angka DW diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi.



c.



Angka DW di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.



3.4.3.4



Uji Heteroskedastisitas Heterokedastisitas



merupakan



pelanggaran



dari



asumsi



homokedastisitas yang dapat menyebabkan bias dalam perhitungan koefisien parameter.



Heteroskedastisitas



berarti



variabel-variabel



penjelas



dalam



persamaan regresi memiliki varians eror yang tidak konstan, sehingga mengakibatkan estimator menjadi tidak efisien (baik pada sampel ukuran kecil atau ukuran besar). Kondisi ini sering muncul dari data time series (data yang dikumpulkan dari satu individu dan banyak waktu). Pengujian situasi Heterokedastisitas dilakukan dengan pendekatan grafik dan uji statistik. Deteksi melalui grafik dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik tertentu, dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah residual (Y- Prediksi-Y sesungguhnya). Dasar pengambilan keputusan Gujarati (2003:402) :



54







Jika pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka terdapat situasi heteroskedastis.







Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi situasi heterokedastis.



3.4.4



Metode Regresi Linear Berganda Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis



regresi berganda bertujuan untuk memprediksi kekuatan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hubungan antar variabel tersebut dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut : Y = α + β1PAD + β2DAU + e Dimana : Y



= Belanja Modal



α



= Konstanta



β



= Koefisien Regresi



PAD



= Pendapatan Asli Daerah (PAD)



DAU



= Dana Alokasi Umum (DAU)



e



= error



55



3.4.5



Pengujian Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dan dibuktikan dalam penelitian ini



berkaitan dengan pengaruh variabel-variabel bebas yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Pengujian hipotesis akan dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05 (α=0,05) atau tingkat keyakinan sebesar 0,95 karena tingkat signifikansi tersebut umum digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan dinggap cukup tepat untuk mewakili hubungan antar variabel yang diteliti. Hipotesis yang akan diuji berkaitan dengan ada tidaknya pengaruh antara variabel yang diteliti. Hipotesis Nol (Ho) adalah hipotesis yang akan diuji sedangkan hipotesis Alternatif (Ha) merupakan hipotesis pembanding dari hipotesis Nol. Dalam penelitian ini pengujian hipotesis akan dilakukan secara parsial dan secara simultan. Komposisi perumusan hipotesis pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Hipotesis Pertama : H01



=



Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



Ha1



=



Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



56



Hipotesis Kedua : H01



=



Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



Ha1



=



Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



Hipotesis Ketiga : H01



=



Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh negatif dan



tidak



signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Ha1



=



Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



Selanjutnya untuk pengujian masing-masing hipotesis dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :



57



1.



Uji t Pengujian hipotesis secara parsial dengan uji t bertujuan untuk



mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel terikat Y. uji hipotesis parsial yaitu dengan mengunakan rumus :



=



√ −2 √1 −



Dimana : t



= Nilai uji t



r



= Koefisien korelasi



r2



= Koefisien determinasi



Kriteria uji t adalah : 1. Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima (variabel bebas X berpengaruh terhadap variabel terikat Y). 2. Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak (variabel bebas X tidak berpengaruh terhadap variabel terikat Y).



2.



Uji F Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas



(independen) terhadap variabel terikat (dependen) secara simultan atau bersamasama ketentuannya yaitu jika F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel maka tidak terdapat pengaruh antara variabel bebas secara keseluruhan terhadap



58



variabel terikat. Sebelum menghitung nilai F statistik maka terlebih dahulu harus menghitung nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dengan membagi jumlah kuadrat regresi (ESS) dengan jumlah kuadrat total (TS) nilai R2 ini selanjutnya akan digunakan dalam menguji kedekatan variabel bebas dan variabel terikat Uji F hitung atau f statistik dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :



=



/ (1 −



)/( − − 1)



Dimana : F



= Fhitung yang selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel



R2 = Koefisien korelasi yang telah ditentukan k



= Jumlah variabel independen



n



= Jumlah anggota sampel



3.



Koefisien Determinasi Pengukuran koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui



persentase pengaruh variabel independen terhadap perubahan variabel dependen. Dari ini diketahui seberapa besar variabel dependen mampu dijelaskan oleh



59



variabel independennya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model. Rumus yang digunakan yaitu : =



Dimana : KD = Koefisien determinasi r



= Koefisien regresi



100%



BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



4.3



Hasil Penelitian



6.1.1



Gambaran Umum Pemerintah Kota Bandung



6.1.1.1



Profil Daerah Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang tepatnya



terletak di wilayah Jawa Barat. Secara geografis Kota bandung terletak pada 107○ Bujur Timur dan 6 ○55 Lintang Selatan. Dilihat dari lokasinya, kedudukan Kota Bandung sangat strategis, baik bagi komunikasi, perekonomian maupun keamanan, sebab : 1.



Kota Bandung terletak pada titik pertemuan poros jalan raya Barat-Timur yang memudahkan hubungan dengan daerah Jakarta, sedangkan Ke Utara dan Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan).



2.



Dengan komunikasi yang baik dan tidak terisolir memudahkan geraknya aparat keamanan ke segala penjuru. Secara topografis, Kota Bandung terletak pada ketinggian 768 meter di



atas permukaan air laut, titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1050 meter dan terendah di sebelah Selatan adalah 675 meter di atas permukaan air



60



61



laut. Dengan keadaan seperti ini Kota Bandung menjadi suatu kota yang sejuk dengan temperatur rata-rata 23.2 ○C.



6.1.1.2



Sejarah Singkat Pemerintah Kota Bandung Sejak tanggal 1 April 1906, yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi



Kota Bandung, Dayeuh Bandung ditetapkan menjadi Geimmeente oleh J.B Van Heutz sesuai dengan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 29 februari 1906, yang menerangkan bahwa Kota Bandung dibentuk sebagai suatu daerah otonom yaitu daerah yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun isi pokok dari ordonansi pembentukan Geimeente Bandung adalah sebagai berikut : 1. Bandung dinyatakan sebagai Geimeente yang berpemerintahan sendiri. 2. Untuk menjalankan tugas dan kewajiban pemerintah Geimeente diberikan modal pertama sebesar F. 46.775,- yang disisihkan dari Anggaran Belanja Pemerintahan Kolonial. 3. Tugas dan kewajiban yang harus dijalankan berupa : a) Pembentukan pemeliharaan sarana kota seperti jalan umum, jembatan, saluran air hujan, dan lain-lain. b) Pembuangan sampah dari pekarangan, pertamanan, dan jalan. c) Pencegahan kebakaran termasuk pemeliharaan kuburan-kuburan umum di dalam atau di luar Geimeente.



62



d) Perangkat pemerintahan Geimeente secara ex officio diketahui oleh assistant. e) Cara penyelenggaraan tugas dan kewajiban adalah dengan jlan pemberitahuan kewajiban dan wewenang dengan membuat peraturanperaturan. f) Wewenang yang diberikan kepada pemerintahan Geimeente disertai dengan retrikasi (pembatasan), yaitu tidak boleh mengatur apa-apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan tidak bertentangan dengan yang telah ditetapkan. Pada waktu itu luas Kota Bandung baru sekitar 1900 Ha dengan dua ondredistrick (setingkat dengan kecamatan) yang meliputi 14 desa, yaitu : 1. Ondredistrick Bandoeng Koelon meliputi desa Andir, Citepus, Pasar, Cicendo, Soenaradja, Karanganyar, Astanaanyar dan Regol. 2. Ondredistrick Bandung Wetan terdiri dari desa Baloeboer, Kejaksaan, lengkong, Kosambi, Cikawao, dan Goemoeroeh. Sejak dibentuknya Geimeente hingga saat ini Kota Bandung telah mengalami beberapa kali perubahan dalam status/sebutan, yaitu : 1. Geimeente Bandung (1906-1926). 2. Stadegemeente (mulai 1 Oktober 1926 dengan awal pemerintahan Jepang. Berdasarkan Keputusan Jenderal tanggal 26 Agustus 1926 No. 3.5.1926 No. 369). 3. Bandung Si (Jaman Pemerintahan Jepang).



63



4. Haminte Kota Bandung (dari tanggal 24 April 1948 sampai dengan 11 Maret 1950 berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 pada masa berlakunya Negara Pasundan). 5. Kota Besar Bandung (mulai berlaku tanggal 15 Agustus 1950 berdasarkan UU No. 16 Tahun 1950). 6. Kota Praja Bandung (sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokokpokok Pemerintahan daerah di Indonesia). 7. Kotamadya Bandung (Sebagai pelaksana UU No. 1 Tahun 1957, Walikota Kepala Daerah Bandung dengan surat edaran No. 637 tanggal 11 Maret 1966, sebutan Kotapraja Bandung secara resmi berubah menjadi Kotamadya Bandung). 8. Kotamadya Daerah Tingkat II (UU No. 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah). 9. Kota Bandung (UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004). Landasan pembentukan Pemerintah Kota Bandung di Indonesia pada dasarnya semenjak tahun 1945, dibentuk atas dasar Pasal 28 Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai realisasi dari pasal tersebut, maka semenjak itu undang-undang yang mengatur tentang Kota Bandung secara berturut-turut adalah sebagai berikut : 1. UU RI No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.



64



2. UU RI No. 52 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok pemerintahan Daerah. 3. UU RI No. 44 Tahun 1950 tentang Undang-undang atau Peraturan Pokok Pemerintahan Daerah. 4. UU RI No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. 5. Ketetapan Presiden No. 6 Tahun 1956 tentang Pemerintah Daerah. 6. UU RI No. 1 Tahun 1965 tentang Praja Daerah.



6.1.1.3



Visi Pemerintah Kota Bandung Visi Kota Bandung adalah “Terwujudnya Kota Bandung sebagai kota



jasa yang bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat).” Untuk merealisasikan keinginan, harapan serta tujuan sebagaimana tertuang dalam visi yang telah ditetapkan, maka pemerintah bersama elemen seluruh Kota Bandung harus memahami makna dari visi tersebut, yaitu : 1. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus bersih dari sampah dan bersih praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), penyakit masyrakat (judi, pelacuran, narkoba, premanisme), dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang bertentangan dengan moral, agama, dan budaya masyarakat atau bangsa. 2. Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang memberikan kemakmuran bagi warganya.



65



3. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang taat kepada agama, hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban Kota. 4. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang bersahabat, santun, akrab dan dapat menyenangkan bagi orang yang berkunjung serta menjadikan Kota yang bersahabat dalam pemahaman Kota yang ramah lingkungan. Dengan demikian Kota Jasa yang bermartabat adalah kota yang menyediakan jasa pelayanan yang didukung dengan terwujudnya kebersihan, kemakmuran, ketaatan, ketakwaan dan kedisiplinan masyrakat. Berdasarkan pemahaman tersebut, sangatlah rasional pada kurun lima tahun kedepan diperlukan langkah dan tindakan pemantapan (revitalisasi, reaktualisasi, reorientasi dan refungsionalisasi) yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung bersama masyarakatnya serta didukung secara politis oleh pihak legislatif melalui upaya-upaya yang lebih keras, cerdas dan terarah namun tetap raman dalam meningkatkan akselerasi pembangunan guna tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.



6.1.1.4



Misi Pemerintah Kota Bandung Misi adalah tugas yang diemban Pemerintah Kota Bandung meliputi :



1. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal yang religius, yang mencakup pendidikan, kesehatan dan moral keagamaan.



66



2. Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan perekonomian yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. 3. Mengembangkan Sosial Budaya Kota yang ramah dan berkesadaran tinggi, serta berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga, pemuda dan olahraga serta kesetaraan gender. 4. Meningkatkan kesetaraan kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan daya dukung lingkungan kota. 5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat. 6. Mengembangkan sistem keuangan kota, mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan komitmen di atas, maka diperlukan faktorfaktor pendukung yang menjadi faktor kunci keberhasilan. Adapun faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut meliputi : 1. Komitmen yang kuat dari seluruh pelaku pembangunan baik unsur eksekutif, legislatif, maupun komponen masyarakat, termasuk perguruan tinggi dan



67



lembaga-lembaga atau pusat-pusat penelitian dan pembangunan IPTEK untuk membangun Kota Bandung. 2. Susunan dan situasi keamanan Kota Bandung yang kondusif, baik untuk aktivitas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat serta meningkatkan daya tarik investasi kota. 3. Adanya komitmen untuk menegakkan supremasi hukum. 4. Situasi dan kondisi perekonomian di tingkat regional dan nasional yang cukup baik berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kota.



6.1.2



Deskripsi Data Variabel Penelitian



6.1.2.1



Gambaran PAD, DAU dan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung



6.1.2.1.1 Gambaran PAD Pemerintah Kota Bandung Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, maka pelaksanaan pemerintahan di daerah arus lebih meningkatkan kemandiriannya dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian Pemerintah Daerah memegang peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah ini mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sampai pada pembiayaan dan evaluasi. Untuk melaksanakan tugas pemerintahan tersebut diperlukan sarana penunjang yang sangat memadai, dalam hal ini keuangan. Keuangan merupakan



68



salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Gambaran mengenai jumlah realisasi Pendapatan Asli Daerah yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :



Tabel 4.1 Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 (dalam rupiah) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber



Pendapatan Asli Daerah 225.596.438.613,00 253.882.919.542,87 263.249.534.044,93 274.627.155.412,00 361.712.964.143,00 441.871.140.944,00 834.595.864.970,00



Total Pendapatan Kota Bandung 1.123.097.156.370,00 1.397.711.614.415,87 1.685.638.878.892,93 2.018.841.349.189,00 2.403.470.674.178,00 2.440.168.433.364,00 3.115.296.523.907,00 Rata-rata



% Kontribusi 20,09 18,16 15,62 13,60 15,05 18,10 26,79 18,20



: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)



Untuk mengetahui gambaran PAD pada Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada gambar 4.1 sebagai berikut :



69



Gambar 4.1 Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011 30 25 20 15 10 5 0 TA2005



TA2006



TA2007



TA2008



TA2009



TA2010



TA2011



PAD



Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data realisasi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami kenaikan, sedangkan menurut gambar 4.1 kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah mengalami penurunan di tahun anggaran 2005-2008 dan mengalami kenaikan kembali di tahun anggaran 2009-2011. Persentasi kontribusi tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2011 yaitu 26,79% dengan jumlah realisasi sebesar Rp. 834.595.864.970,00. Sedangkan persentase terendah terjadi pada tahun anggaran



2008



yaitu



274.627.155.412,00.



13,60%



dengan



jumlah



realisasi



sebesar



Rp.



70



Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp. 225.596.438.613. Dari jumlah tersebut pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp. 143.107.822.781, retribusi daerah sebesar Rp. 66.280.333.390, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 2.552.953.482 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 13.655.328.960. Pada tahun anggaran 2006, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 253.882.919.542,87. Dari jumlah tersebut,



pendapatan



yang



berasal



dari



pajak



daerah



sebesar



Rp.



164.781.409.646, retribusi daerah sebesar Rp 76.015.059.933, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 3.155.367.154 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 9.931.082.809,87. Pada tahun anggaran 2007, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 287.249.534.044,93. Dari jumlah tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 190.496.238.611, retribusi daerah sebesar Rp 76.099.329.030, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 3.763.745.190 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 16.890.226.213,93. Pada tahun anggaran 2008, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 314.617.155.412. Dari jumlah



71



tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 214.397.508.439, retribusi daerah sebesar Rp 72.901.342.103, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 5.447.893.079 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 21.880.411.791. Pada tahun anggaran 2009, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 374.712.964.143. Dari jumlah tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 250.613.823.937, retribusi daerah Rp 82.518.741.347, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 7.100.658.109 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 34.479.740.750. Pada tahun anggaran 2010, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 441.871.140.944. Dari jumlah tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 301.781.987.749, retribusi daerah sebesar Rp 86.471.546.547, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 15.298.098.935 dan yang diperoleh dari pos lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 38.319.509.713. Pada tahun anggaran 2011, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 834.595.864.970. Dari jumlah tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 667.106.811.687, retribusi daerah sebesar Rp 71684.532.455, hasil perusahaan milik daerah dan



72



hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 10.328.428.076, dan lainlain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 85.476.092.752. Dalam struktur Pendapatan Daerah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011, dapat dilihat kontribusi realisasi PAD terhadap jumlah Pendapatan Daerah masih kecil denga rata-rata 18,20%. Hal ini mencerminkan ketergantungan Pemerintah Kota Bandung terhadap pemerintah pusat masih cukup besar. Namun kenaikan yang dialami pada tahun anggaran 2009-2011 tiga tahun berturut-turut telah menunjukkan adanya peningkatan kemampuan penggalian sumber-sumber pendapatan daerah. Namun di samping itu, mengingat kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah yang masih kecil dapat dikatakan kemampuan keuangan Kota Bandung masih kurang dimana kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih banyak dibiayai dari dana APBN. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi di ukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap total APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat sehingga otonomi daerah dapat terwujud. Dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah yang semakin tinggi Pemerintah Kota Bandung memiliki arah kebijakan dalam mengelola pendapatannya. Salah satu arah kebijakannya adalah menginvestasikan sebagian



73



pendapatannya terhadap aset-aset pemerintah. Pada akhirnya investasi terhadap aset-aset pemerintah tersebut mampu meningkatkan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta dapat merangsang terciptanya sumber pendapatan baru



6.1.2.1.2 Gambaran DAU Pemerintah Kota Bandung Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersifat hibah murni (grants) yang kewenangan penggunaan diserahkan penuh kepada Pemda penerima. UU no. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberikan pengertian bahwa : “Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Dana ini juga telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan dengan Keputusan Presiden. Sehingga setiap Pemda dapat memasukan nilai dari dana ini dengan tepat pada RAPBD. Gambaran mengenai jumlah realisasi Dana Alokasi Umum yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :



74



Tabel 4.2 Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 (dalam rupiah) Tahun



Dana Alokasi Umum



Total Pendapatan Kota Bandung



% Kontribusi



2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011



458.072.000.000,00 632.379.000.000,00 828.294.700.000,00 965.518.566.800,00 1.026.745.545.000,00 912.571.834.000,00 1.005.982.541.000,00



1.123.097.156.370,00 1.397.711.614.415,87 1.685.638.878.892,93 2.018.841.349.189,00 2.403.470.674.178,00 2.440.168.433.364,00 3.115.296.523.907,00 Rata-rata



40,79% 45,24% 49,14% 47,84% 42,72% 37,40% 32,31% 42,19%



Sumber



: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)



Untuk melihat gambaran DAU pada Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada grafik 4.2 sebagai berikut :



75



Gambar 4.2 Kontribusi DAU terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011 60 50 40 30 20 10 0 TA2005



TA2006



TA2007



TA2008



TA2009



TA2010



TA2011



DAU



Dari tabel 4.2 data realisasi Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami kondisi yang fluktuatif, menurut gambar 4.2 kontribusi DAU terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami penurunan. Persentase kontribusi tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2007, yaitu 49,14% dengan jumlah realisasi sebesar Rp 828.294.700,00 dan persentase kontribusi Dana Alokasi Umum terendah terjadi pada tahun 2011, yaitu 32,31% dengan jumlah realisasi sebesar Rp 1.005.982.541.000,00. Pada tahun anggaran 2005 jumlah Dana Alokasi Umum yang berhasil dihimpun oleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 458.072.000.000,



76



kontribusinya sebesar 40,79%,. Kemudian di tahun anggaran 2006, jumlah Dana Alokasi Umum yang berhasil dihimpun adalah sebesar Rp 632.379.000.000. Persentase pada tahun anggaran 2007 yaitu sebesar 49,14% dengan jumlah Dana Alokasi Umum sebesar Rp 828.294.700. Persentase kontribusi Dana Alokasi Umum pada tahun anggaran 2008 yaitu sebesar 47,84% dengan Jumlah Dana Alokasi Umum sebesar Rp 965.518.566.800,00. Pada tahun anggaran 2009, jumlah Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar



1.026.745.545.000,00 dengan



persentase sebesar 42,72%. Dan mengalami penurunan di tahun anggaran 2010 dengan persentase sebesar 37,40% dengan perolehan Dana Alokasi Umum sebesar Rp 912.571.834.000,00. Di tahun anggaran 2011 kontribusi Dana Alokasi Umum kembali mengalami penurunan dengan persentase sebesar 32,31% dengan Dana Alokasi Umum yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp 1.005.982.541.000,00. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting.



77



Sumber pendapatan kabupaten dan kota di Indonesia sebagian besar berasal dari Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Perimbangan sebagian besar menunjukan kapasitas fiskal suatu daerah. Peningkatan pendapatan daerah yang signifikan adalah berasal dari proporsi dana alokasi umum. DAU yang diterima Pemerintah Kota Bandung semakin menurun dari tahun ketahun, ini membuktikan bahwa telah ada kemandirian dalam pengelolaan pendapatan. Ketergantungan terhadap pemerintah pusat semakin menurun. Menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) digunakan untuk kepentingan pengeluaran



rutin



maupun



pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas, responsible, dan akuntabel.



6.1.2.1.3 Gambaran Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung Pendapatan Daerah yang berhasil diperoleh Pemerintah digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya, salah satunya untuk membiayai pembangunan daerah, yaitu berupa belanja modal. Gambaran mengenai jumlah realisasi belanja modal Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini :



78



Tabel 4.3 Pertumbuhan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 (dalam rupiah) Tahun



Belanja Modal



2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011



106.350.309.401,00 81.087.735.651,00 232.007.682.250,00 345.160.822.373,00 390.988.308.073,00 405.699.482.843,00 612.081.890.549,00



Sumber



Total Belanja Kota Bandung 1.096.592.281.568,00 1.266.047.202.038,00 1,552.886.614.168,00 2.058.920.582.037,00 2.240.317.269.997,00 2.522.680.816.553,00 3.080.355.751.653,00 Rata-rata



% Kontribusi 9,7% 6,4% 14,94% 16,76% 21,92% 16,08% 19,87% 15,09%



: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)



Untuk melihat gambaran belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada grafik 4.3 sebagai berikut :



79



Gambar 4.3 Kontribusi Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011 25 20 15 10 5 0 TA2005



TA2006



TA2007



TA2008



TA2009



TA2010



TA2011



DAU



Berdasarkan tabel 4.3 data realisasi belanja modal Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami kenaikan dan penurunan begitupun menurut gambar 4.3 kontribusi belanja modal terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami kenaikan dan penurunan. Persentase kontribusi tertinggi terjadi pada tahun anggaran



2009,



yaitu



21.92%



dengan



jumlah



realisasi



sebesar



Rp



390.988.308.073,00 dan persentase kontribusi belanja modal terendah terjadi pada tahun 2006 dengan persentase sebesar 6,4% denga jumlah realisasi sebesar Rp 81.087.735.651,00.



80



Pada tahun anggaran 2005 persentase kontribusi untuk belanja modal yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung sebesar 9,7% dengan jumlah realisasi sebesar Rp 106.350.309.401. Namun pada tahun anggaran 2006 kontribusi untuk belanja modal pemerintah mengalami penurunan, yaitu sebesar 6,4% dengan jumlah realisasi yang menurun juga dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 81.087.735.651. Kemudian pada tahun anggaran 2007-2009 kontribusi untuk belanja modal Pemerintah Kota Bandung mengalami kenaikan sebesar 14,94%, 16,76% dan 21,92%. Pada tahun anggaran 2010 kontribusi belanja modal Pemerintah Kota Bandung kembali mengalami penurunan, yaitu sebesar 16,08% dengan jumlah realisasi belanja modal sebesar 405.699.482.843,00. Kemudian di tahun anggaran 2011 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu dengan persentase sebesar 19,87% dengan jumlah realisasi sebesar Rp 612.081.890.549,00. Pada tahun anggaran 2006, Pemerintah Kota Bandung hanya sedikit mengalokasikan dananya untuk pembangunan daerah dalam bentuk investasi. Sebab, kecilnya alokasi untuk belanja modal yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, jumlah belanja modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp 81.087.735.651 atau mengalami penurunan dari tahun anggaran sebelumnya. Pada tahun anggaran 2007-2001, Pemerintah Kota Bandung mulai menaikan kembali alokasi untuk belanja modalnya. Hal ini merupakan tindakan yang sangat tepat, mengingat dengan meningkatnya pembangunan daerah maka



81



akan meningkatkan juga perekonomian masyarakat sehingga kesejahteraan masyrakat juga ikut meningkat. Namun pada tahun 2010 belanja modal kembali menurun, dan di tahun anggaran 2011 anggaran untuk belanja modal kembali naik demi meningkatkan pembangunan di daerah. Dilihat dari rata-rata persentase belanja modal tahun anggaran 20052011 yaitu sebesar 15,09% hal ini menunjukkan masih kecilnya alokasi belanja modal. Untuk itu, kedepannya Pemerintah Kota Bandung diharapkan dapat menambah dana alokasi belanja modalnya. Mengingat belanja modal ini merupakan pengeluaran penting dalam melaksanakan pembangunan daerah dan manfaatnya dapat dirasakan selama beberapa tahun kedepan. Dengan melihat masih kecilnya alokasi belanja modal maka dalam penggunaannya harus dilakukan seefektif dan seefisien mungkin dengan memperhatikan prioritas pembangunan daerah. Pengelolaan belanja modal sangat erat kaitannya dengan sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem penganggaran maupun akutansi. Sesuai dengan reformasi dibidang keuangan, masyarakat semakin menuntut adanya pengelolaan keuangan publik secara transparan dalam rangka mewujudkan akuntabilitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja yaitu belanja modal yang berorentasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Anggaran tersebut mencemarkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Berdasarkan Belanja Modal di Kota Bandung, dapat diperkirakan kebutuhan Belanja Langsung dari Tahun 2005-2011. Bila kebutuhan Belanja



82



Langsung tersebut dipersentasekan terhadap perkiraan APBD Kota Bandung Tahun 2012-2015, maka adanya kecenderungan persentase Belanja Modal semakin meningkat. Artinya perhatian Pemerintah Kota Bandung terhadap Pembangunan Kota semakin meningkat. Kebutuhan Belanja Modal di atas bersifat indikatif dan mensyaratkan beberapa hal yang penting untuk dipenuhi. Arah kebijakan Pengelolaan Belanja Modal Kota Bandung adalah sebagai berikut : 1.



Meningkatkan efektifitas dan efisiensi Belanja Tidak Langsung melalui perencanaan anggaran dan sistem akuntansi yang baik. Belanja Tidak Langsung harus sebaik mungkin dapat diprediksi dan dilakukan secara konsisten sehingga mengurangi percampuran alokasinya dengan Belanja Langsung ;



2.



Optimalisasi Belanja Langsung. Dilakukan dengan memastikan lokasi dan sasaran pembangunan, satuan biaya yang tepat, dan secara umum meningkatkan peran perencanaan, pemantauan program dan kegiatan.



3.



Menetapkan program prioritas dan menggunakan tolak ukur kinerja yang jelas;



4.



Secara umum dalam setiap aspek selalu berpegang pada prinsip akuntabilitas transparansi dan upaya yang sungguh-sungguh.



83



6.1.3



Analisis Data Setelah data diperoleh dan dideskripsikan, diperlukan adanya



pengujian atas data tersebut agar dapat dianalisa lebih lanjut dan dapat digunakan dalam pengujian hipotesis. Adapun uji yang dilakukan meliputi uji asumsi klasik (multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, heterokedastisitas) dan uji hipotesis yang mencakup di dalamnya analisis regresi dan uji koefisien determinasi. Kedua hasil pengujian tersebut akan dipaparkan pada sub bab selanjutnya. Berikut disajikan data Pendapatan Asli Daerah (X1), Dana Alokasi Umum (X2) dan Belanja Modal (Y) pada Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011.



Tabel 4.4 Data Pengamatan Untuk Pengujian Statistik PAD, DAU, dan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011



X1 225.596.438.613,00 253.882.919.542,87 263.249.534.044,93 274.627.155.412,00 361.712.964.143,00 441.871.140.944,00 834.595.864.970,00



X2 458.072.000.000,00 632.379.000.000,00 828.294.700.000,00 965.518.566.800,00 1.026.745.545.000,00 912.571.834.000,00 1.005.982.541.000,00



Y 106.350.309.401,00 81.087.735.651,00 232.007.682.250,00 345.160.822.373,00 390.988.308.073,00 405.699.482.843,00 612.081.890.549,00



84



4.1.3.1



Pengujian Asumsi Klasik



1.



Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas betujuan untuk mengetahui apakah diantara



beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi terjadi hubungan linear yang sempurna atau pasti. Pendeteksian dilakukan dengan melihat nilai tolerance (TOL) dan faktor inflasi varians (Variance Inflation Factor, VIF). Berikut ini disajikan tabel hasil penghitungan TOL dan VIF dengan menggunkan Software SPSS 17 for Windows. Tabel 4.5 Coefficients



a



Unstandardized



Standardized



Collinearity



Coefficients



Coefficients



Statistics Toleranc



Model



B



1 (Constant)



Std. Error



-2.684E11



8.064E10



PAD



.496



.111



DAU



.469



.112



Beta



t



Sig.



e



VIF



-3.329



.029



.572



4.461



.011



.696 1.437



.537



4.184



.014



.696 1.437



a. Dependent Variable: BelanjaModal



Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat disimpulkan bahwa dari model tidak mengalami gejala multikolinearitas karena memiliki tolerance yang lebih besar dari 0,01 dan VIF yang lebih kecil dari 10. Ghozali dalam bukunya Aplikasi



85



Analisis Multivariate dengan Program SPSS, menyatakan bahwa model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel-variabel bebas.



2.



Uji Normalitas Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah data sampel yang diambil



mengikuti sebaran distribusi normal atau tidak. Pengujian dilakukan berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang ditunjukkan pada tabel 4.6 berikut :



Tabel 4.6 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test



PAD N



DAU 7



a,,b



Normal Parameters



Mean



BelanjaModal 7



7



3.7879E11 8.3279E11



3.1048E11



Std. Deviation 2.14686E11 2.12992E11 1.86263E11 Most Extreme Differences Absolute



.258



.217



.162



Positive



.258



.181



.162



Negative



-.232



-.217



-.145



Kolmogorov-Smirnov Z



.682



.575



.428



Asymp. Sig. (2-tailed)



.741



.895



.993



a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.



86



Dari perhitungan pada tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa nilai PAD, DAU, dan Belanja Modal masing-masing sebesar 0.741, 0.895 dan 0.993 (Asymp.Sig.(2-tailed)). Ketiga nilai tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga data yang digunakan dapat dikatakan berdistribusi normal serta dapat disimpulkan bahwa PAD, DAU, dan Belanja Modal dapat memenuhi uji normalitas. Untuk menegaskan hasil dari perhitungan Tes Kolmogorov-Smirnov Sampel Tunggal diatas, digunakan juga grafik P- Plot of Regression Standardized Residual



Gambar 4.4



87



3.



Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah di dalam model



regresi terdapat korelasi antar variabel-variabel independen itu sendiri atau berkorelasi sendiri. Pendeteksian gejala autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson (DW). Berikut adalah hasil pengujian autokorelasi DurbinWatson menggunakan Software SPSS 17 for Windows.



Tabel 4.7 Model Summaryb Model



R .977a



1



R Square



Adjusted R Square



.954



.931



Std. Error of the Estimate 4.88252E10



Durbin-Watson 2.361



a. Predictors: (Constant), DAU, PAD b. Dependent Variable: BelanjaModal



Dari hasil pengujian autokorelasi D-W di atas diperoleh angka D-W sebesar 2,361 yang terletak di antara -2 sampai +2. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa model penelitian ini bebas dari autokorelasi.



4.



Uji Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah prediktor dalam



penelitian mempunyai kekonsistenan dan memiliki standar error yang tidak



88



terlalu besar. Untuk menguji ada tidaknya gejala heterokedastisitas dilakukan dengan melihat grafik scatter plot. Berikut ini disajikan grafik scatter plot.



Gambar 4.5



Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala heterokedastisitas karena titik menyebar secara tidak teratur atau tidak membentuk suatu pola tertentu serta titik menyebar di atas dan di bawah angka nol. Setelah semua asumsi klasik dipenuhi maka dilakukan pemodelan atas koefisein regresi yang diperoleh. Pemodelan ditentukan dengan persamaan regresi seperti yang dibawah ini : Y = α + β1PAD + β2DAU + e



89



Dimana : Y



= Belanja Modal



α



= Konstanta



β



= Koefisien Regresi



PAD



= Pendapatan Asli Daerah (PAD)



DAU



= Dana Alokasi Umum (DAU)



e



= error Untuk menentukan persamaan regresi maka terlebih dahulu dilakukan



pengujian hipotesis.



4.1.3.2



Pengujian Hipotesis



1.



Uji t Pengujian hipotesis secara parsial dengan uji t bertujuan untuk



mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel terikat Y. Pengujian dilakukan dengan membandingkan thitung dengan ttabel. Penghitungan nilai thitung dilakukan dengan menggunakan Software SPSS 17 for Windows. Hasil t hitung disajikan dalam tabel 4.8



90



Tabel 4.8 Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1



B (Constant)



Std. Error



-2.684E11



8.064E10



PAD



.496



.111



DAU



.469



.112



Coefficients Beta



t



Sig.



-3.329



.029



.572



4.461



.011



.537



4.184



.014



a. Dependent Variable: BelanjaModal



Berdasarkan tabel 4.8 diatas maka dapat dibentuk persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memprediksi belanja modal Pemerintah Kota Bandung sebagai berikut : Ŷ = -2.684E11 + 0,496X1 + 0.469X2 + e Model persamaan regresi berganda di atas bermakna : 1.



Y = Nilai konstanta sebesar -2.684E11 artinya apabila variabel Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum bernilai nol, maka Belanja Modal sebesar -2.684E11 (Rp. -268.400.000,00) .



2.



X1 = Variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal dengan nilai koefisien 0,496, artinya setiap pertambahan 1% variabel PAD akan menaikkan belanja modal sebesar 0,496 satuan dengan asumsi variabel lain dalam kondisi konstan.



91



3.



X2 = Variabel Dana Alokasi umum berpengaruh positif terhadap belanja modal dengan nilai koefisien 0,469, artinya setiap pertambahan 1% variabel DAU akan menaikkan belanja modal sebesar 0,469 satuan dengan asumsi variabel lain dalam kondisi konstan.



1.



Hipotesis Pertama Tabel 4.8 menunjukkan thitung untuk PAD sebesar 4,461. Besarnya ttabel



pada α = 0,05 adalah sebesar 1,895. Besarnya thitung untuk Pendapatan Asli Daerah sebesar 4,461 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,011 < 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Ha1



=



Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



2.



Hipotesis Kedua Dari hasil penelitian pada tabel 4.8, Dana Alokasi Umum (X2)



memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hasil ini dapat dilihat pada uji t yang memiliki thitung = 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi 0,014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial



92



Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Ha1



=



Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



2.



Uji F Pengujian hipotesis secara simultan dengan uji F bertujuan untuk



mengetahui pengaruh secara simultan dari variabel bebas X1, dan X2 terhadap variabel



terikat



Y.



Pada



penelitian



ini



pengujian



dilakukan



dengan



membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Hasil Fhitung disajikan dalam tabel 4.9 dibawah ini : Tabel 4.9 ANOVAb Model



Sum of Squares



df



Mean Square



1 Regression



1.986E23



2



9.931E22



Residual



9.536E21



4



2.384E21



Total



2.082E23



6



a. Predictors: (Constant), DAU, PAD b. Dependent Variable: BelanjaModal



F 41.660



Sig. .002



a



93



3.



Hipotesis Ketiga Berdasarkan tabel 4.9 diatas diperoleh Fhitung sebesar 41,660 > Ftabel



sebesar 6,940 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena itu tingkat signifikansi 0,002 < 0,05, maka model regresi pada penelitian ini dapat dipakai untuk memprediksi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal. Ha1



=



Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



3.



Koefisien Determinasi Pengujian koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur garis



regresi atau secara verbal mengukur proporsi total varians dalam Y yang dijelaskan oleh regresi. Sebelum mengukur koefisien determinasi terlebih dahulu harus menghitung koefisien korelasi (R). Penghitungan koefisien korelasi pada penelitian ini menggunakan Software SPSS 17 for Windows Hasil penghitungan disajikan dalam tabel berikut ini :



94



Tabel 4.10 Model Summary



Model



R .977a



1



R Square .954



Adjusted R



Std. Error of the



Square



Estimate .931



4.88252E10



a. Predictors: (Constant), DAU, PAD



Tabel 4.10 di atas menunjukkan koefisien korelasi antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal sebesar 0,977. Artinya terdapat pengaruh yang sangat kuat antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal, dan koefisien determinasi sebesar 0,954. Angka-angka ini berarti PAD dan DAU memberikan pengaruh terhadap Belanja Modal sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dihitung dalam penelitian ini.



4.1.3.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal Koefisien regresi PAD sebesar 0,496 menunjukkan bahwa setiap peningkatan nilai variabel PAD sebesar satu satuan sedangkan nilai variabel lain tetap, maka akan mengakibatkan naiknya nilai variabel belanja modal sebesar 0,496 satuan. Penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal yaitu pada penelitian yang



95



dilakukan oleh Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) dan Anggiat Situngkir (2009). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar Pendapatan Asli Daerah maka akan semakin besar pula belanja modalnya. Namun, hasil penelititan ini tidak dapat begitu saja digeneralisasikan dengan penelitianpenelitian di atas karena penelitian ini difokuskan khusus kepada Pemerintah Kota Bandung. Sedangkan pada penelitian-penelitian sebelumnya berfokus kepada Pemerintah Daerah dalam satu provinsi. Jadi, hasil penelitian ini dapat dikatakan masih tergolong baru apabila dilihat dari subyek penelitian yang diambil. Tabel 4.8 menunjukkan thitung untuk PAD sebesar 4,461. Besarnya ttabel pada α = 0,05 adalah sebesar 1,895. Besarnya thitung untuk Pendapatan Asli Daerah sebesar 4,461 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,011 < 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



4.1.3.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal Berdasarkan persamaan regresi pada tabel 4.8 di atas diperoleh koefisien regresi DAU sebesar 0,469. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan nilai DAU sebesar satu satuan sedangkan nilai variabel lain tetap, maka akan mengakibatkan naiknya nilai varibel belanja modal sebesar 0,469



96



satuan. Hal ini berarti semakin tinggi Dana Alokasi Umum tahun berjalan maka semakin besar pula kontribusinya terhadap Belanja Modal di Pemerintah Kota Bandung. Besarnya t hitung untuk Dana Alokasi Umum sebesar 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,014 < 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah Dana Alokasi Umum, maka akan semakin besar pula belanja modalnya. Hal ini dapat kita lihat pada koefisien regresi variabel Dana Alokasi umum dalam persamaan regresi sebesar 0,469 yang berarti bahwa setiap peningkatan DAU sebesar satu satuan akan mengakibatkan perubahan pada belanja modal sebesar 0,469. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggiat Situngkir (2009) yang menyatakan bahwa variabel DAU memiliki pengaruh signifikan terhadap belanja modal. Dari hasil penelitian pada tabel 4.8, Dana Alokasi Umum (X2) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hasil ini dapat dilihat pada uji t yang memiliki thitung = 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi 0,014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Artinya semakin besar Dana Alokasi Umum maka semakin besar pula alokasi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.



97



Begitupun sebaliknya, semakin kecil Dana Alokasi Umum maka semakin kecil alokasi belanja modal Pemerintah Kota Bandung. Karena pengaruh Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, artinya pengaruh tersebut besar dan berarti.



4.1.3.2.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal Berdasarkan tabel 4.9 diatas diperoleh Fhitung sebesar 41,660 > Ftabel sebesar 6,940 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena itu tingkat signifikansi 0,002 < 0,05, maka model regresi pada penelitian ini dapat dipakai untuk memprediksi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal. Tabel 4.10 di atas menunjukkan koefisien korelasi antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal sebesar 0,977. Artinya terdapat pengaruh yang sangat kuat antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal, dan koefisien determinasi sebesar 0,954. Angka-angka ini berarti PAD dan DAU memberikan pengaruh terhadap Belanja Modal sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dihitung dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada tabel 4.8 di atas, maka dapat digambarkan pengaruh dari masing-masing variabel independen (X1 dan X2) terhadap variabel Y sebagai berikut :



98



Pendapatan Asli Daerah



49,6%



95,4%



Belanja Modal



Dana Alokasi Umum



46,9%



Gambar 4.6 Persentase Pengaruh Variabel



BAB V SIMPULAN DAN SARAN



6.2



Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada Pemerintah Kota Bandung mengenai



Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja modal tahun anggaran 2005-2011, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.



Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Pendapatan Asli Daerah terhadap



terhadap



Belanja



Modal.



Berdasarkan



hasil



perhitungan



menunjukkan variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal. Akan tetapi pada kenyataannya PAD Pemerintah Bandung tidak dapat dipungut sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Bandung, hal ini disebabkan karena kebocoran-kebocoran yang terjadi pada pemungutan PAD. Kebocoran-kebocoran PAD tersebut mengakibatkan kontribusi PAD terhadap belanja modal tidak optimal. 2.



Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Dana Alokasi Umum terhadap



terhadap



Belanja



Modal.



Berdasarkan



hasil



perhitungan



menunjukkan variabel Dana Alokasi umum berpengaruh positif terhadap modal. Akan tetapi pada kenyataanya DAU yang diterima Pemerintah Kota Bandung disalahgunakan pemakaiannya, DAU cenderung digunakan untuk



99



100



kepentingan-kepentingan pribadi pejabat daerah. Hal ini menyebabkan kontribusi DAU terhadap belanja modal tidak optimal. 3.



Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011.



6.3



Saran Adapun saran yang penulis ajukan dalam penelitian ini antara lain :



1.



Sebaiknya Pemerintah Kota Bandung lebih mengoptimalkan usaha dalam meningkatkan pendapatan daerahnya dan memperketat pengawasan agar tidak terjadi kebocoran terutama pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah. Karena PAD merupakan gambaran dalam kemandirian daerah.



2.



Pemerintah Kota Bandung diharapkan dapat mengalokasikan belanja modalnya pada program/kegiatan yang dapat meningkatkan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta dapat merangsang terciptanya sumber pendapatan baru.



3.



Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan sampel yang digunakan dan memperluas periode pengamatan.



DAFTAR PUSTAKA



Abdul Halim. (2007). Seri Bunga Rampai Manajmenen Keuangan daerah Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Abdullah Syukriy dan Abdul Halim (2006). “Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeilharaan dan Sumber Pendapatan’. Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol.2No.2 Hal 17-32 Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. (2004). “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi VI, hal. 1140-1159. Darwanto dan Yulia Yustikasari. (2007). “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal”. Simposium Nasional Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, Vol 08 No. 01. February 2007. BPFE UGM. Yogyakarta Ghozali, Imam. (2006). Statistik Multivariat SPSS. Penerbit BP Universitas Diponegoro. Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25. Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. (2006). Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64. Hari Adi, Priyo. 2006. ”Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi IX. Ihyaul Ulum. (2008). Akuntansi Sektor Publik. Malang: UMM Press



Iqbal Hasan. (2004). Analisis Data Penelitian dan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara Kesit Bambang Prakosa. (2004). Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan pendapatan Asli Daerah (Study Empirik di Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY). Desember: Yogyakarta Mahmudi. (2006). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Andi Nugroho, Bhuono, Agung. (2005). Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian Dengan SPSS, Edisi I. Yogyakarta: Andi Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah republic Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah Saragih, Juli Panglima. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Stungkir, Anggiat (2009). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal (Studi Empiris Pada pemkot/Pemkab Sumatera Utara. Juli. Medan Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Bandung Alfabeta Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta _____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta. _____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.



_______________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta. _______________. (2010). Penelusuran Koran Kaskus. Dana perbaikan jalan hanya sebesar Rp.54M tak cukup. http://penelusurankornkaskus.com/index.php/berita/data-bisnis-dana-perbaikanjalan-hanya-sebesar-Rp.54M-tak-cukup __________. (2012). Bisnis Jabar. PAD Kota Bandung Berasal dari Pajak Hiburan. http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/data-bisnis-pendapatan-asli-daerahkota-bandung-dari-pajak-hiburan _______________. (2012). Bisnis Jabar. Belanja Daerah ditargetkan Konsisten dari Pajak. http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/belanja-daerah-kota-bandungditargetkan-konsisten-dari-pajak _______________. (2011). Kementerian Dalam Negeri. Mendagri Segera Sisir Rekening Pejabat Daerah. http://www.depdagri.go.id/news/2011/06/17/mendagri-segera-sisir-rekeningpejabat-daerah Website BPK RI www.bpk.go.id Website Departemen Keuangan RI http://www.djpk.depkeu.go.id Website Tibun Jabar www.tribunnews.com Website Surat Kabar Karawang www.karawangnews.com Website Pikiran Rakyat Online www.pikran-rakyat.com