Pengertian Traditional Costing Method [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pengertian Traditional Costing Method Semua perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur maupun jasa memerlukan suatu sistem akuntansi biaya yang tepat dan sesuai dengan kondisi perusahaan. Sistem tersebut dirancang untuk memberikan informasi biaya kepada manajemen yang berguna bagi pembuatan perencanaan, keputusan, dan pengendalian biaya serta perhitungan biaya produksi. Sistem biaya tradisional menurut Bastian dan Nurlela (2009:23) : di mana biaya bahan baku langsung, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik baik yang bersifat variabel maupun tetap, menjadi biaya produk. Sistem biaya tradisional mengasumsikan produkproduk dan volume produksi yang terkait merupakan penyebab timbulnya biaya, dengan kata lain sistem biaya tradisional membuat produk individual menjadi fokus dari sistem biaya. Sistem akuntansi biaya tradisional mengklasifikasikan biaya atas biaya langsung dan biaya tidak langsung, untuk pembebanan biaya menggunakan ukuran volume produksi, jam kerja langsung atau jam mesin. Sedangkan pengalokasian biaya overhead pabrik ke produk, dilakukan sistem pembebanan dua tahap. Dengan sistem pembebanan biaya yang selama ini dilakukan pada akuntansi biaya tradisional menimbulkan adanya distorsi biaya, ini terlihat pada penggunaan unit related, padahal pada kenyataannya ada aktivitas yang dikendalikan oleh batch related dan products sustaining related. Penyebab distrorsi lainnya adalah adanya perbedaan rasio konsumsi atau jasa yang diberikan oleh departemen jasa untuk setiap macam produk yang dihasilkan. Akibatnya akan timbul produk-produk yang pengalokasian biaya overheadnya undercosted atau overcosted. Distorsi semacam ini dapat dihilangkan dengan mendesain ulang sistem biaya menggunakan pemicu biaya aktual untuk masingmasing aktivitas, sehingga dapat menentukan biaya dengan tepat ke produk. Inilah logika yang mendasari perubahan pengembangan dari metode tradisional ke metode activity based costing Menurut Carter and Usry (2006:109) sistem perhitungan harga pokok dalam sistem akuntansi biaya tradisional dibagi menjadi dua yaitu, sistem perhitungan berdasarkan pesanan (job order cost system) sistem perhitungan berdasarkan proses (process cost system). 1. Sistem perhitungan berdasarkan pesanan Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan pesanan, biaya ditelusuri dan dialokasikan ke pekerjaan dan biaya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dibagi dengan jumlah unit yang dihasilkan untuk menghasilkan harga rata-rata per unit. Sistem perhitungan biaya berdasarkan pesanan juga digunakan secara luas dalam perusahaan jasa seperti rumah sakit, kantor konsultan hukum, studio film, kantor akuntan, agen iklan, toko reparasi. Menggunakan sistem pengumpulan biaya dengan perhitungan biaya berdasarkan pesanan untuk keperluan akuntansi dan tagihan. 2. Sistem perhitungan biaya berdasarkan proses Sistem perhitungan biaya berdasarkan proses biasanya digunakan untuk industri yang memproduksi produk yang homogen secara terus-menerus seperti batu bata, keping jagung (corn flake), atau kertas. - Persamaan antara perhitungan biaya berdasarkan pesanan dan perhitungan biaya berdasarkan proses menurut Garrison and Noreen (2006:204) adalah sebagai berikut: 1. Kedua sistem memiliki tujuan utama yang sama, yaitu membebankan biaya bahan baku, tenaga kerja, dan overhead ke produk dan memberikan mekanisme perhitungan biaya per unit.



2. Kedua sistem menggunakan manufaktur yang sama termasuk overhead pabrik, bahan baku, bahan dalam proses, dan barang jadi. 3. Aliran biaya melalui akun-akun manufaktur pada dasarnya sama untuk kedua sistem itu. - Kelebihan dan Kelemahan Traditional Costing Method Kelebihan perhitungan biaya tradisional menurut Horngern (2005:42) adalah: 1. Sistem perhitungan biaya tradisional mudah diterapkan karena sistem ini lebih sederhana maka lebih mudah dimengerti oleh pekerja sehingga mudah diterapkan. 2. Memberikan laporan manajemen dengan menunjukan biaya yang dikeluarkan. 3. Sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. - Kelemahan sistem biaya tradisional menurut Carter dan Usry (2006:513- 515) adalah sebagai berikut: 1. Oleh karena sistem akuntansi biaya tradisional didesain untuk perusahaan manufaktur, perusahaan jasa dan dagang tidak dapat memanfaatkan akuntansi biaya untuk merencanakan dan mengimplementasikan program pengurangan biaya dan perhitungan object cost secara akurat. 2. Oleh karena fokus biaya tradisional adalah hanya pada biaya produksi, biaya-biaya di luar produksi (seperti biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum) yang mulai signifikan jumlahnya tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari manajemen. 3. Oleh karena akuntansi biaya tardisional pada penyediaan informasi biaya bagi pihak luar perusahaan, manajemen tidak memperoleh informasi biaya untuk pengelolaan perusahaan dan informasi tentang biaya produk yang akurat. 4. Oleh karena pengendalian biaya melalui sistem biaya standar hanya difokuskan terhadap biaya produksi, lebih spesifik lagi terhadap biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, sistem pengendalian biaya seperti tidak baik untuk perusahaan yang memiliki biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung yang proporsinya tidak signifikan dibandingkan dengan total biaya pembuatan produk. 5. Pengaitan biaya dengan responsive manager dan pembandingan biaya sesungguhnya dengan biaya yang dianggarkan per pusat pertanggung jawaban, serta analisis terhadap penyimpangan biaya yang terjadi tidak dapat menunjukkan penyebab terjadinya penyimpangan biaya yang terjadi -.Kesimpulan Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akuntansi biaya tradisional adalah pencatatan, penggolongan, peringkasan, dan penyajian biaya pembuatan dan penjualan produk atau jasa dengan cara-cara tertentu serta penafsiran-penafsiran terhadapnya atas nilai persediaan yang dilaporkan dalam laporan laba rugi. Dalam perhitungan sistem tradisional memfokuskan pengendaliannya terhadap biaya dengan manajer yang mempunyai wewenang atas terjadinya biaya yang menyebabkan banyak biaya overhead pabrik yang tidak berhubungan dengan volume produk yang diproduksi. Akibatnya, sistem akuntansi biaya tradisional dapat menghasilkan perhitungan yang terdistorsi.



Pengertian Sistem Activity Based Costing Istilah activity costing bukanlah istilah yang baru. Staubus di tahun 1971 telah menulis buku berjudul ”Activity Cost and Input Output Accounting”. Dalam bukunya tersebut Ia menyatakan bahwa ”activity accounting is essential to cost control” (Staubus, 1971:11) dalam Basuki (2001:180). Bahkan Vater (1954) yang juga dikutip oleh Staubus (1971:11) dalam Basuki (2001:180), menyatakan ”cost must be related to things being done, and this largely a matter of setting against decisions” (huruf tebal dari penulis, Basuki). Berdasarkan situasi tersebut sebetulnya jauh di tahun 1954, Vater sudah berusaha mengkaitkan antara biaya dengan sesuatu aktivitas yang dilakukan. Kemudian pada tahun 1987, penetapan biaya berdasarkan aktivitas didefinisikan dengan jelas pertama kali oleh Robert S. Kaplan dan W. Burns dalam buku mereka akuntansi dan manajemen ”A field Study Perspective” dalam Basuki (2001:180). Fokus mereka adalah pada lingkungan manufaktur di mana peningkatan teknologi dan perbaikan produktivitas relatif telah mengurangi proporsi biaya tenaga kerja langsung dan bahan, tetapi relatif meningkatkan proporsi biaya tidak langsung. Sebagai contoh, peningkatan otomasi telah mengurangi penggunaan tenaga kerja yang merupakan biaya langsung, namun juga meningkatkan depresiasi yang merupakan biaya tidak langsung. Dalam sejarah perkembangan pemikiran akuntansi, sistem ABC merupakan sistem tercepat yang diterapkan oleh para praktisi sejak ide sistem tersebut dikemukakan pada akhir tahun 1989 oleh Robert S. Kaplan dan Robin Cooper. Survey terhadap 179 perusahaan di Inggris oleh Nicholls yang dilakukan pada Mei 1990-Januari 1991 menunjukan bahwa 10% telah menerapkan ABC secara utuh, 18% telah menerapkan sebagai pilot project, 62% mempelajari ABC dalam rangka penerapannya, 5% sedang menerapkan, dan 5% sisanya tidak berminat menerapkannya (Nicholls, 1992:22) dalam Basuki (2001:180). Survey ini memperkuat penelitian oleh Bailey (1991) yang



menyatakan bahwa sejak November 1988-Juli 1990 sudah 10 perusahaan besar di Inggris menerapkan sistem ABC, walaupun beberapa di antaranya adalah perusahaan Amerika Serikat, seperti IBM dan Hewlett-Packard (Basuki, 2001:180). Kondisi saat dan tempat lahirnya sistem activity based costing mengakibatkan sistem tersebut hanya akan memberikan manfaat optimum bila diterapkan pada kondisinya. Kondisi ini disebut dengan ”conventional wisdom” yaitu keadaan yang menyebabkan lahirnya ABC dan merupakan keadaan yang paling cocok untuk ABC diterapkan (Basuki, 2001:182). The conventional wisdom tersebut adalah sebagai berikut: 1. Operasi perusahaan mempunyai upah langsung antara 5-10% dari total biaya produksi. 2. Tenaga kerja langsung rendah, variasi dan kompleksitas produk tinggi. 3. Diversitas volume produksi tinggi, dan terdapat diversitas ukuran bahan dan set up. 4. Biaya overhead sangat tinggi karena adanya otomatisasi dan proses produksi yang dipandu komputer (computer-aided production). Berbeda dengan kondisi conventional wisdom, perusahaan di Indonesia mempunyai kondisi yang berbeda dengan yang disyaratkan ABC. Kondisi yang akan sering ditemukan di banyak perusahaan di Indonesia adalah tenaga kerja langsung tinggi, overhead rendah sampai menengah, dan penggunaan komputer teknologi dalam proses belum banyak digunakan. Walaupun terdapat perbedaan situasi antara kondisi perusahaan di Indonesia dengan conventional wisdom, penerapan sistem ABC di Indonesia diharapkan mampu memberikan informasi biaya yang lebih akurat, dapat dipercaya, dan lebih relevan sehingga mampu memberikan informasi biaya bagi manajemen untuk pengambilan keputusan. Perlu diingat, bahwa sistem ABC bukan hanya sekedar sistem biaya, melainkan juga sistem manajemen. Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak sumber daya manusia dan industrinya sedang



bergerak ke arah teknologi tinggi. Oleh karena itu, akan sangat beruntung bagi Indonesia bila dapat menikmati keunggulan sistem ABC yang sudah dinikmati negara-negara maju, sehingga Indonesia akan dapat bersaing dengan mereka, atau paling tidak untuk survive dalam pasar global. Inilah alasan mengapa peneliti memilih sistem activity based costing untuk penelitiannya. Menurut Bastian dan Nurlela (2009:24) activity based costing adalah metode membebankan biaya aktivitas-aktivitas berdasarkan besarnya pemakaian sumber daya, dan membebankan biaya pada objek biaya, seperti produk atau pelanggan, berdasarkan besarnya pemakaian aktivitas, serta untuk mengukur biaya dan kinerja dari aktivitas yang terkait dengan proses dan objek biaya. Menurut Carter dan William (2009:528) perhitungan biaya berdasarkan aktivitas didefinisikan sebagai suatu sistem perhitungan biaya di mana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang mencakup satu atau lebih faktor yang berkaitan dengan volume. Dibandingkan dengan akuntansi biaya tradisional, activity based costing mencerminkan penerapan penelusuran biaya yang lebih menyeluruh. Menurut Amin Widjaja (2009:80) perhitungan biaya berdasar aktivitas adalah pendekatan perhitungan biaya yang membebankan biaya sumber daya ke objek biaya seperti produk, jasa, atau pelanggan berdasarkan aktivitas yang dilakukan untuk objek biaya tersebut. Dasar pemikiran pendekatan perhitungan biaya ini adalah bahwa produk atau jasa perusahaan merupakan hasil dari aktivitas dan aktivitas tersebut menggunakan sumber daya yang menyebabkan timbulnya biaya. Biaya dari sumber daya dibebankan ke aktivitas berdasarkan aktivitas yang menggunakan sumber daya (penggerak konsumsi sumber daya) dan biaya dari aktivitas dibebankan ke objek biaya berdasarkan aktivitas yang dilakukan untuk objek biaya (penggerak konsumsi aktivitas). Activity based costing membebankan biaya overhead pabrik ke



objek biaya seperti produk atau jasa dengan mengidentifikasi sumber daya dan aktivitas juga biayanya serta jumlah yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Penggunaan penggerak biaya konsumsi sumber daya dapat membantu perusahaan menentukan biaya sumber daya yang dikonsumsi oleh aktivitas dan menghitung biaya dari suatu unit aktivitas. Kemudian perusahaan membebankan biaya dari suatu aktivitas ke produk atau jasa dengan mengalikan biaya dari setiap aktivitas dengan junlah aktivitas yang dikonsumsi oleh setiap objek biaya. Menurut Garrison and Noreen (2006:440) perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing) adalah metode perhitungan biaya (costing) yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategis dan keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap. Dari keempat definisi di atas, dapat disimpulkan yang dimaksud dengan activity based costing adalah suatu sistem perhitungan biaya dengan penjumlahan seluruh biaya yang dari hasil memproduksi barang dan jasa yang jumlahnya lebih dari satu biaya overhead untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer dalam pengambilan keputusan. Tujuan dari sistem perhitungan biaya tradisional adalah untuk menilai secara tepat persediaan dan harga pokok penjualan untuk pelaporan eksternal, sedangkan tujuan dari perhitungan biaya berdasarkan aktivitas adalah untuk memahami overhead dan profitabilitas produk dan konsumen. Menurut Bastian dan Nurlela (2009:25) komponen utama yang membentuk activity based costing adalah sumber daya (resources); pemicu konsumsi sumber daya (resources driver); aktivitas (activity); pemicu aktivitas (activity driver); objek biaya (cost objects). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Sumber daya (resources), adalah segala unit ekonomi yang digunakan perusahaan untuk mengadakan aktivitas, seperti: bahan baku, tenaga kerja, perlengkapan yang digunakan dan faktor produksi lainnya.



2. Pemicu konsumsi sumber daya (resources driver), dasar yang digunakan untuk melacak sumber daya yang digunakan di dalam setiap aktivitas. Atau ukuran kuantitas dari sumber daya yang dikonsumsi oleh suatu aktivitas, contoh luas ruangan yang disewa untuk setiap aktivitas, jumlah jam kerja yang dihabiskan untuk setiap aktivitas. 3. Aktivitas (activity), suatu unit dasar pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan membantu perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan bagi manajemen. Jumlah biaya aktivitas ditentukan dengan melacak sumber daya yang dipakai oleh aktivitas dengan pemicu konsumsi sumber daya. Aktivitas sangat dibutuhkan untuk membebankan biaya ke objek biaya, dikenal dengan aktivitas biaya yang dihubungkan dengan faktor pemicu biaya (cost driver). 4. Pemicu aktivitas (activity driver), suatu ukuran frekuensi dan intensitas dari permintaan akan suatu aktivitas oleh suatu produk atau jasa layanan. Pemicu aktivitas ini sama seperti pemicu sumber daya guna melacak biaya aktivitas ke objek biaya, yang dipakai untuk membebankan biaya ke produk atau jasa layanan. 5. Objek biaya (cost objects), adalah tempat biaya di mana biaya atau aktivitas diakumulasikan atau diukur. Objek biaya dapat berupa pelanggan, produk, jasa layanan, kontrak, proyek, atau unit kerja lain yang memerlukan pengukuran biaya tersendiri. Ada beberapa tahapan penerapan activity based costing menurut Bastian dan Nurlela (2009:26), yaitu: 1. Mengidentifikasi, mendefinisikan aktivitas dan pool aktivitas. a. Aktivitas tingkat unit. b. Aktivitas tingkat batch. c. Aktivitas tingkat produk. d. Aktivitas tingkat pelanggan. e. Aktivitas pemeliharaan organisasi.



2. Menelusuri biaya overhead secara langsung ke aktivitas dan objek biaya. 3. Membebankan biaya ke pool biaya aktivitas. 4. Menghitung tarif aktivitas. 5. Membebankan biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas. 6. Menyiapkan laporan untuk manajemen. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi, mendefinisikan aktivitas dan pool aktivitas. Tahapan utama dan pertama dalam menerapkan activity based costing (ABC) adalah mengidentifikasi aktivitas yang menjadi dasar sistem tersebut. Tahapan ini mungkin sulit dilakukan, karena memakan waktu dan membutuhkan pertimbangan yang cukup rumit. Prosedur umum yang dilakukan pada tahap ini, dengan melakukan wawancara terhadap semua orang yang terlibat atau semua tingkat supervisi atau semua manajer yang menimbulkan overhead dan meminta mereka untuk menggambarkan aktivitas utama yang mereka lakukan, biasanya akan diperoleh catatan aktivitas yang cukup beragam dan rumit. Adapun aktivitas yang cukup beragam tersebut, dapat digabungkan menjadi lima tingkat aktivitas, yaitu aktivitas tingkat unit; batch; produk; pelanggan; dan pemeliharaan organisasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Aktivitas tingkat unit. Dilakukan oleh setiap unit produksi. Biaya aktivitas unit bersifat proporsional dengan jumlah unit yang diproduksi. Contoh: biaya pekerja untuk operator peralatan produksi, ini menjadi aktivitas tingkat unit, karena pekerja tersebut cenderung dikonsumsi secara proporsional dengan jumlah unit produksi. b. Aktivitas tingkat batch. Dilakukan setiap batch yang diproses, tanpa memperhatikan berapa unit yang terdapat dalam batch tersebut. Contoh: membuat pesanan



pelanggan, penataan peralatan, pengaturan pengiriman pesanan pelanggan, ini merupakan aktivitas tingkat batch. Biaya tingkat batch lebih tergantung pada jumlah batch yang dihasilkan, bukan jumlah unit yang diproduksi, jumlah unit yang dijual atau ukuran lainnya. c. Aktivitas tingkat produk. Aktivitas ini berkaitan dengan produk yang spesifik dan umumnya dikerjakan tanpa memperhatikan berapapun unit yang diproduksi atau berapapun batch yang dihasilkan atau dijual. Contoh: biaya perancangan produk, biaya untuk mengiklan produk, biaya gaji staf dan manajer produksi. d. Aktivitas tingkat pelanggan. Aktivitas ini berkaitan dengan pelanggan yang spesifik meliputi aktivitas menelepon pelanggan dalam rangka penjualan, pengiriman katalog, dukungan teknis purna jual yang untuk semua produk e. Aktivitas pemeliharaan organisasi. Aktivitas ini dilakukan tanpa memperhatikan produk apa yang diproduksi, berapa unit yang dibuat, berapa batch yang dihasilkan dan pelanggan mana yang dilayani. Contoh: aktivitas kebersihan kantor, pengadaan jaringan komputer, pengaturan pinjaman dan penyusunan laporan keuangan untuk internal maupun eksternal. Penggabungan aktivitas dalam sistem ABC, setiap aktivitas harus dikelompokkan dalam tingkatan yang sesuai, dengan memperhatikan aktivitas-aktivitas yang mempunyai korelasi yang tinggi dalam satu tingkat. Contoh: jumlah pesanan pelanggan yang diterima akan memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah pengiriman berdasarkan pesanan pelanggan, sehingga kedua aktivitas tingkat batch ini dapat digabung, tanpa mengurangi keakuratannya. Gabungan dari biaya overhead yang berhubungan dengan aktivitas yang sama dikenal dengan cost pool, yang akan digunakan untuk menghitung tarif pembebanan ke setiap aktivitas.



2. Menelusuri biaya overhead secara langsung ke aktivitas dan objek biaya. Tahap kedua dalam menerapkan sistem ABC adalah sejauh mungkin menelusuri biaya overhead secara langsung ke objek biaya, yang menyebabkan timbulnya biaya, kemudian menentukan pemicu biayanya, seperti produk, pesanan pelanggan, dan pelanggan. 3. Membebankan biaya ke pool biaya aktivitas. Pada umumnya biaya overhead diklasifikasikan dalam sistem akuntansi perusahaan berdasarkan departemen atau divisi, di mana biaya tersebut terjadi. Tetapi pada beberapa kasus ada beberapa atau semua biaya bisa ditelusuri langsung ke pool biaya aktivitas, seperti: pemrosesan pesanan, di mana semua departemen pembelian dapat ditelusuri ke aktivitas ini. Dalam sistem ABC sangat umum overhead terkait dengan beberapa aktivitas. Untuk kondisi seperti tersebut, biaya departemen dapat dibagi ke beberapa kelompok atau pool aktivitas dengan menggunakan proses alokasi tahap pertama, yaitu membebankan overhead ke pool biaya aktivitas. 4. Menghitung tarif aktivitas. Tarif aktivitas yang akan digunakan untuk pembebanan biaya overhead ke produk dihitung, dengan menentukan total aktivitas sesungguhnya yang diperlukan untuk mmeproduksi bauran produk dan untuk melayani pelanggan yang saat ini. Kemudian menentukan tarif aktivitas dengan membagi total biaya pool aktivitas masing-masing aktivitas dengan total pemicu aktivitas. 5. Membebankan biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas. Langkah berikut dalam penerapan sistem ABC disebut alokasi tahap kedua, di mana tarif aktivitas digunakan untuk membebankan biaya ke produk atau pelanggan dengan cara mengalikan tarif pool aktivitas dengan ukuran aktivitas yang dikonsumsi masing-masing produk atau jasa



layanan. 6. Menyiapkan laporan untuk manajemen. Tahap ini adalah tahap laporan yang disusun, dengan menggabungkan bahan baku langsung, tenaga kerja langsung dan overhead yang ke produk atau jasa layanan berdasarkan aktivitas. Activity based costing merupakan suatu sistem perhitungan biaya dengan penjumlahan seluruh biaya akuntansi yang memproduksi barang dan jasa yang Pembebanan = pool rate x jumlah aktivitas yang dikonsumsi Tarif pembebanan / pool rate = total biaya pool aktivitas Total pemicu aktivitas jumlahnya lebih dari satu biaya overhead untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer dalam pengambilam keputusan. ABC dapat dijadikan salah satu alternatif referensi oleh pengelola perusahaan untuk dapat mengidentifikasi berbagai biaya yang terserap pada produk. Sistem ABC berusaha menelusuri seluruh biaya yang terserap dalam pelaksanaan produksi sampai produk dapat dipasarkan. Pada intinya sistem ABC menguraikan berbagai biaya yang belum jelas pengalokasiannya yang dalam hal ini penekanannya pada biaya overhead yang biasanya sangat sulit mengidentifikasikannya dan dengan teridentifikasinya seluruh biaya maka diharapkan biaya per produk telah dapat mencerminkan seluruh biaya yang terserap pada produk tersebut. E. Kelebihan dan Kelemahan Activity Based Costing Walaupun activity based costing (ABC) terlihat lebih unggul dari sistem biaya tradisional, ABC tetap memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan ABC menurut Bastian dan Nurlela (2009:29), yaitu para manajemen puncak akan setuju menerapkan suatu sistem yang baru di lingkungan organisasi mereka, jika mereka percaya bahwa mereka akan memproleh manfaat yang lebih, jika dibandingkan dengan sistem yang lama. Manfaat yang diperoleh dalam penerapan activity based costing menurut Bastian dan Nurlela (2009:29) adalah ABC menyajikan pengukuran yang lebih akurat,



dapat memperbaiki pengambilan keputusan, dan memungkinkan manajemen melakukan perbaikan secara terus menerus. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Activity based costing (ABC) menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang timbul karena dipicu oleh aktivitas, membantu manajemen untuk menigkatkan nilai produk dan nilai proses dengan membuat keputusan yang lebi baik tentang desain produk, mengendalikan biaya secara lebih akurat dan membantu perkembangan proyek-proyek yang meningkatkan nilai. 2. Memperbaiki kualitas pengambilan keputusan. Para manajemen puncak yang telah menerapkan activity based costing, percaya bahwa semakin akurat perhitungan biaya atau jasa layanan yang digunakan activity based costing, akan mengurangi kemungkinan kesalahan dalam pengambilan keputusan. 3. Memungkinkan manajemen melakukan perbaikan secara terus menerus. Banyak perushaan berusaha untuk mengurangi biaya, guna menawarkan produk atau jasa layanan beraneka akan meningkatkan biaya. Dengan menggunakan activity based costing, biaya yang dikeluarkan akan terlihat dengan jelas pada setiap aktivitas di mana biaya yang tidak mempunyai nilai tambah bagi pelanggan dapat dieliminasi lebih cepat. Kelebihan activity based costing menurut William dan Carter (2009:545) adalah sebagai berikut: 1. Activity based costing (ABC) mengharuskan manajer melakukan perubahan radikal dalam cara berfikir mereka mengenai biaya 2. ABC mengharuskan manajer melakukan perubahan radikal dalam cara berfikir mereka mengenai biaya. Misal, pada awalnya sulit bagi manajer untuk memahami bagaimana ABC dapat menunjukan bahwa produk bervolume tinggi ternyata merugi padahal analisis margin kontribusi menunjukkan bahwa harga jual melebihi biaya produksi variabel.



3. ABC berusaha untuk menunjukkan konsumsi sumber daya jangka panjang dari setiap produk, namun tidak memprediksikan berapa banyak pengeluaran yang akan dipengaruhi oleh keputusan tertentu. 4. ABC menunjukkan seberapa banyak aktivitas tingkat batch dan tingkat produk yang didedikasikan untuk setiap produk dan bukan seberapa banyak penghematan yang akan terjadi jika lebih sedikit produk atau batch diproduksi. Kelebihan sistem ABC menurut Blocher (2006:232) adalah sebagai berikut: 1. Pengukuran profitabilitas yang lebih baik. Activity based costing menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif, mengarahkan pada pengukuran profitabilitas produk yang lebih akurat dan keputusan strategis yang diinformasikan dengan lebih baik tentang penetapan harga jual, lini produk, dan segmen pasar. 2. Keputusan dan kendali yang lebih baik. Activity based costing menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang timbul karena dipicu oleh aktivitas. 3. Informasi yang lebih baik untuk mengendalikan biaya kapasitas. Activity based costing membantu manajer mengidentifikasi dan mengendalikan biaya kapasitas yang tidak terpakai. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai kelebihan activity based costing (ABC), maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menerapkan ABC akan mampu memperbaiki mutu pengambilan keputusan, memungkinkan manajemen melakukan perbaikan terus menerus terhadap aktivitas untuk mengurangi biaya overhead, serta memberikan kemudahan dalam penentuan biaya relevan. Pada akhirnya ABC mampu menyediakan informasi biaya berdasarkan aktivitas untuk memungkinkan manajemen dan karyawan melakukan manajemen berbasis aktivitas (activity based management-ABM).



Kelemahan activity based costing (ABC) menurut Bastian dan Nurlela (2009:30), adalah penerapan ABC yang lebih mahal; sulitnya merubah pola kebiasaan manajer; mudahnya data ABC disalah artikan; dan bentuk laporan yang kurang sesuai. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Dibandingkan sistem biaya tradisional yang hanya membebankan biaya cukup satu pemicu biaya seperti jam kerja langsung, ABC membutuhkan berbagai ukuran aktivitas yang harus dikumpulkan, diperiksa, dan dimasukkan dalam sistem, mungkin kurang sebanding dengan tingkat keakuratan yang didapat yang pada akhirnya mengakibatkan biaya yang tinggi. 2. Sulitnya merubah pola kebiasaan manajer. Merubah pola kebiasaan manajer membutuhkan waktu penyesuaian, karena para manajer sudah terbiasa menggunakan sistem biaya tradisional dalam operasinya dan juga digunakan sebagai evaluasi kinerja, maka dengan perubahan pola ini kadangkala mendapat perlawanan dari para karyawan. Jika hal ini terjadi maka penerapan sistem ABC akan mengalami kegagalan. 3. Mudahnya data activity based costing disalah artikan. Dalam praktek, data ABC dengan mudah disalah artikan dan harus digunakan secara hati-hati, ketika pengambilan keputusan. Biaya yang dibebankan ke produk, pelanggan dan objek biaya lainnya hanya dilakukan bilamana secara potensial relevan. Sebelum mengambil keputusan yang signifikan dengan menggunakan data ABC, para pengambil keputusan harus dapat mengidentifikasi biaya mana yang betulbetul relevan dengan keputusan saat itu. 4. Bentuk laporan kurang sesuai. Umumnya laporan yang disusun dengan menggunakan ABC tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum. Konsekuensi



perusahaan yang menerapkan ABC harus menyusun laporan biaya yang berlainan satu untuk internal dan satu lagi untuk pelaporan eksternal, hal ini membutuhkan waktu biaya tambahan. Kelemahan activity based costing menurut Blocher (2006:233), adalah alokasi; mengabaikan biaya; mahal dan menghabiskan waktu. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tidak semua biaya memiliki penggerak biaya konsumsi sumber daya atu aktivitas yang tepat atau tidak ganda. Beberapa biaya mungkin membutuhkan alokasi ke departemen atau produk berdasarkan ukuran volume yang arbitrer sebab secara praktis tidak dapat ditemukan aktivitas yang dapat menyebabkan biaya tersebut. Contohnya adalah biaya pendukung fasilitas seperti biaya sistem informasi, gaji manajer pabrik, asuransi pabrik, dan pajak bumi dan bangunan untuk pabrik. 2. Mengabaikan biaya. Biaya produk atau jasa yang diidentifikasi sistem ABC cenderung tidak mencakup seluruh biaya yang berhubungan dengan produk atau jasa tersebut. Biaya produk atau jasa biasanya tidak termasuk biaya untuk aktivitas seperti pemasaran, pengiklanan, penelitian, dan pengembangan, dan rekayasa produk, meski sebagian dari biaya-biaya ini dapat ditelusuri ke suatu produk atau jasa. Biaya produk tidak termasuk biaya-biaya ini karena prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk pelaporan keuangan mengharuskan biaya-biaya tersebut diperlakukan sebagai biaya periodik. 3. Mahal dan menghabiskan waktu. Perhitungan biaya berdasar aktivitas tidak murah dan membutuhkan waktu yang banyak untuk dikembangkan dan dilaksanakan. Untuk perusahaan dan organisasi yang telah menggunakan system perhitungan biaya tradisional berdasarkan volume, pelaksanaan suatu sistem baru cenderung sangat mahal. Lagipula, seperti sebagian besar sistem akuntansi dan manajemen yang inovatif, biasanya diperlukan waktu setahun atau lebih



untuk mengembangkan dan melaksanakan activity based costing dengan sukses. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan sistem ABC memerlukan biaya yang mahal, oleh karena itu perusahaan yang akan menerapkan sistem ini perlu mempertimbangkan biaya dan manfaatnya (cost and benefit). Di samping itu seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ABC diperlukan oleh perusahaan yang memiliki diversifikasi produk yang tinggi. Jadi jika menghasilkan produk tunggal penggunaan ABC ini tidak efisien, karena semua biaya dalam hubungannya dengan produk merupakan biaya langsung. F. Perbedaan Traditional Costing Method dengan Activity Based Costing Terdapat perbedaan mendasar antara traditional costing method dengan activity based costing menurut Carter & Usry (2006:499) antara lain: 1. Activity based costing (ABC) menggunakan cost driver lebih banyak dibandingkan traditional costing method yang hanya menggunakan satu atau dua cost driver berdasarkan unit, sehingga ABC mempunyai tingkat ketelitian lebih tinggi dalam penentuan harga pokok produk bila dibandingkan dengan sistem tradisional. 2. ABC menggunakan aktivitas-aktivitas sebagai pemacu untuk menentukan berapa besar overhead pabrik yang akan dialokasikan pada suatu produk tertentu. Traditional costing method mengalokasikan biaya overhead berdasarkan satu atau dua basis alokasi saja. 3. Fokus ABC adalah pada biaya, mutu, dan faktor waktu, sedangkan traditional costing concept lebih mengutamakan pada kinerja keuangan jangka pendek, seperti laba. Sistem tradisional dapat mengukurnya dengan cukup akurat. Tetapi apabila traditional costing method digunakan untuk penetapan harga pokok dan untuk mengidentifikasikan produk yang menguntungkan, angka-angkanya tidak dapat dipercaya dan diandalkan. 4. ABC membagi konsumsi overhead dalam 4 (empat) kategori yaitu: unit,



batch, produk, dan fasilitas. Traditional costing method membagi biaya overhead dalam unit yang lain. Perbedaan antara perhitungan traditional costing method dengan activity based costing menurut Amin Widjaja (2009:100) antara lain: 1. Activity based costing mengunakan penggerak biaya berdasarkan aktivitas (termasuk yang berdasarkan volume maupun yang tidak berdasarkan volume), sedangkan traditional costing method menggunakan penggerak biaya berdasarkan volume. 2. ABC membebankan biaya overhead pertama ke pusat biaya aktivitas dan kedua ke sebelum produk atau jasa, sedangkan traditional costing method membebankan biaya overhead pertama ke departemen dan kedua ke produk atau jasa. 3. ABC fokus pada pengelolaan proses dan aktivitas serta pemecahan masalah lintas fungsional, sedangkan traditional costing method fokus pada pengelolaan biaya departemen fungsional atau pusat pertanggungjawaban. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai perbedaan sistem activity based costing dengan traditional costing method maka dapat disimpulkan bahwa ABC memiliki beberapa keunggulan yaitu ABC membagi konsumsi overhead ke dalam empat kategori yaitu unit, batch, produk, dan fasilitas. Fokus ABC adalah pada biaya, mutu, dan faktor waktu, sedangkan traditional costing method lebih mengutamakan pada kinerja keuangan jangka pendek, seperti laba.



DAFTAR PUSTAKA Abdul, Hamid, “Buku Panduan Penulisan Skripsi”, Juni, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007. Amin, Widjaja Tunggal, ”Strategic Management Accounting. Analisis Strategik Atas Informasi Manajemen Biaya”, Harvarindo, 2009. Aristanti, Widyaningsih, ”Peranan dan Kendala Penerapan Activity Based Costing (ABC) Dalam Industri Jasa”, Percikan, Vol 103, Edisi Agustus, 2009. Armanto, Witjaksono, ”Akuntansi Biaya”, Jilid 1, Edisi 1, Graha Ilmu, Jakarta, 2006. Bastian, Bustami & Nurlela, ”Akuntansi Biaya Melalui Pendekatan Manajerial”, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2009. Bastian, Bustami & Nurlela, ”Akuntansi Biaya”, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2009. Basuki, ”Sistem ABC: Apakah Manfaatnya Relevan?”, Majalah Ekonomi, Tahun XI, No. 3, Desember, 2001. Blocher, Chen, Cokins, Lin, ”Cost Management. Manajemen Biaya Penekanan Strategis”, Buku 1, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2006.