Penyakit Autoimun Kelompok 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT AUTOIMUN PADA ANAK



Oleh : Lilik Karlina (717620883) Rensy Friyunda Alliviah (717620884) Faizatus Shafiyah (717620885) Fadilatry Oktavia (717620887) Istiqamatul Karomah (717620888) Putri Kurniawati (717620889)



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS WIRARAJA 2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur



pada Allah Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga



penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Keperawatan anak tentang “penyakit autoimun dan Asuhan Keperawatan penyakit autoimun pada anak” Semester IV Fakultas Ilmu Kesehatan Prodi Ilmu Keperawatan Universitas Wiraraja. Makalah ini kami susun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Keperawatan anak tentang “penyakit autoimun dan Asuhan Keperawatan penyakit autoimun pada anak” dan juga untuk menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan tentang hemofilia dan asuhan keperawatan hemofilia. Dalam penyusunan makalah ini tidak akan memberikan hasil apapun tanpa bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu sri sumarni ,S.kep.,Ns.,M.kep. selaku dosen pembimbing materi mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah. 2. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Makalah ini. Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan pembuatan makalah untuk waktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.



Sumenep, 03 april 2019 Penulis



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3 BAB I....................................................................................................................................................5 PENDAHULUAN.................................................................................................................................5 1.1



Latar belakang...........................................................................................................................5



I.2. Identifikasi Masalah........................................................................................................................6 1.3



Rumusan Masalah......................................................................................................................7



1.4



Tujuan dan Manfaat...................................................................................................................7



BAB II...................................................................................................................................................8 PEMBAHASAN...................................................................................................................................8 2.1



Definisi......................................................................................................................................8



2.2



Penyebab Penyakit Autoimun....................................................................................................9



2.3 Gejala Penyakit Autoimun...............................................................................................................9 2.4 Diagnosis Penyakit Autoimun........................................................................................................11 2.5 Pengobatan Penyakit Autoimun.....................................................................................................11 BAB III................................................................................................................................................16 ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)......16 3.1



Definisi....................................................................................................................................16



3.2



Klasifikasi................................................................................................................................16



3.3



Etiologi....................................................................................................................................18



3.4 Tanda Gejala..................................................................................................................................18 3.5



Patofisiologi.............................................................................................................................19



3.6



Manifestasi Klinis....................................................................................................................20



3.7



Komplikasi..............................................................................................................................23



3.8 Pemeriksaan Diagnostik................................................................................................................25



3.9



Penatalaksanaan.......................................................................................................................27



3.10



TINJAUAN KASUS...............................................................................................................29



BAB IV...............................................................................................................................................50 PENUTUP...........................................................................................................................................50 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................51



BAB I



PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang Penyakit adalah gangguan kesehatan pada tubuh mahluk hidup yang biasanya disebabkan oleh virus, bakteri, zat-zat asing dan kelainan sistem yang ada pada tubuh. Normalnya seseorang tidak akan mudah terserang penyakit ketika sistem imun dalam tubuhnya bekerja dengan baik, juga tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan untuk menyembuhkan diri, karena sistem imun akan dengan sendirinya menetralisir penyebab penyakit-penyakit yang memperburuk kondisi tubuh. Sistem imun dapat diartikan sebagai suatu sistem yang ada dalam tubuh mahluk hidup yang berfungsi untuk mengenali, menghambat dan menghilangkan berbagai organisme dan zat-zat asing yang mengganggu fungsi tubuh. Bukan hanya sistem imun yang kehilangan fungsi saja yang dapat menyebabkan penyakit, akan tetapi sistem imun juga bisa menjadi penyebab utama dari suatu penyakit, jenis penyakit dengan gangguan yang berasal dari sistem imun itu sendiri dikenal dengan istilah penyakit Autoimun. Autoimun adalah suatu penyakit yang terjadi ketika sistem imun yang seharusnya hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh, mengalami gangguan sehingga menyerang sel, jaringan dan organ tubuh penderitanya sendiri. Penderita Autoimun harus melewati pengobatan sepanjang hidupnya karena penyakit ini belum dapat disembuhkan secara total dan hanya mengalami remisi atau kesembuhan sementara. Bila Autoimun tidak diobati, akan sangat mungkin penderita mengalami kerusakan jaringan dan organ yang berat, serta komplikasi-komplikasi penyakit lain yang tergantung pada jenis Autoimun yang diderita. Ada banyak jenis penyakit Autoimun yang bahkan tercatat lebih dari 150 jenis penyakit, karena jenisnya yang beragam tersebut maka penyakit ini termasuk penyakit yang diagnosanya sulit untuk didapat. Berdasarkan data dari Indonesia Autoimmune Campaign (IAC), yang diresmikan oleh Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA



RI) bersama Marisza Cardoba Foundation (MCF), ditahun 2014 di Indonesia terdapat 40 juta orang yang terkena penyakit Autoimun dengan 100 jenis penyakit yang berbeda, dan 75% diantaranya wanita dan anak. 59,5% kematian yang terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh penyakit Autoimun. Dalam data tersebut juga disampaikan dokter rata-rata membutuhkan waktu 3.5 tahun dalam memutuskan diagnosa karena sulit terdeteksinya penyakit ini. Dari 100.000 orang yang terkena penyakit Autoimun, penyakit yang termasuk Autoimunne Systemic, 860 orang menderita Rheumatoid Arthritis, 24 orang menderita Systemic Lupus Erythemathosus, dan kategori Autoimunne Organ Spesific, 201 orang menderita Inflammatory Bowel Disease (Crohn’s Disease & Ulcerative Colitis), 192 orang menderita Type 1 Diabetes dan 58 orang menderita Multiple Sclerosis. Winda Napitupulu pasien Autoimun Rheumatoid Arthritis (RA) dan anggota dari perkumpulan Autoimun Indonesia (IMUNESIA), mengungkapkan bahwa di Indonesia sendiri sangat sulit untuk menemukan obat-obatan serta tenaga ahli fisioterapi untuk menangani Autoimun. Sehingga kedepannya pemerintah diharapkan mulai memperhatikan dan menyiapkan segala sarana, prasarana serta tenaga ahli yang mampu memudahkan pasien Autoimun dalam proses pengobatannya. Deteksi dini dari Autoimun serta penanganan yang segera, memberikan kesempatan lebih besar pada penderita untuk dapat hidup bersahabat bersama dengan penyakit ini. Akan tetapi saat ini banyak masyarakat yang bahkan sama sekali tidak mengetahui istilah Autoimun, apalagi untuk memahami penyakit ini secara umum beserta jenis, gejala, penyebab dan penyembuhannya, terlepas dari bahayanya penyakit ini ketika tidak ditangani dengan baik. Salah satu penyebab ketidaktahuan masyarakat tentang Autoimun dikarenakan kurangnya media yang mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat tentang penyakit ini, sehingga dengan keberadaan media tersebut masyarakat akan mengubah cara pandangnya terhadap penyakit ini dan lebih memahami penting dan bahayanya Autoimun. Berdasarkan beberapa hal yang telah disampaikan diatas, maka penelitian dan perancangan media untuk Autoimun ini dinilai perlu untuk direalisasikan. Hal tersebut dikarenakan kondisi di masyarakat saat ini yang sebagian besar tidak mengetahui istilah Autoimun, padahal objek ini merupakan permasalahan yang penting untuk di ketahui khalayak luas.



I.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, diidentifikasikan beberapa masalah berikut, yaitu :



• Kurangnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penyakit Autoimun. • Kurangnya kesadaran masyarakat akan penting dan bahayanya Autoimun. • Kurangnya media yang tepat yang mampu menginformasikan berbagai hal terkait Autoimun kepada masyarakat luas. •



• Autoimun merupakan penyakit yang kompleks sehingga dibutuhkan pemahaman



lebih terkait penyakit ini.



1.3



Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalahnya yaitu, bagaimana merancang sebuah kampanye sosial yang mampu mengedukasi dan mengajak masyarakat untuk lebih memahami Autoimun?



1.4



Tujuan dan Manfaat Tujuan dan manfaat adalah sebagai berikut : • Mengedukasi mahasiswa tentang berbagai hal umum terkait Autoimun, agar masyarakat mengetahui dan memahami lebih dalam tentang penyakit ini dan memberikan kemudahan bagi mereka untuk menemukan informasi terkait Autoimun. • Dengan pemahaman baru tentang Autoimun, diharapkan mahasiswa memandang lebih serius terhadap penyakit ini, khususnya bagi keluarga, teman, serta pihak yang ada di sekitar penderita mampu memberikan dukungan moril kepada penderita untuk terus bertahan bersama dengan penyakitnya. Selain itu, kampanye sosial ini bertujuan agar masyarakat yang memiliki pemahaman lebih terkait Autoimun, menjadi berperan aktif dalam menyebarkan segala informasi terkait Autoimun untuk menambah tingkat kewaspadaan terhadap pihak lain yang masih belum mengetahui tentang penyakit ini.



BAB II



PEMBAHASAN



2.1



Definisi Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang mengalami gangguan sehingga menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh. Dari segi bahasa auto artinya diri sendiri, dan imun artinya sistem pertahanan tubuh, jadi pengertian autoimun adalah sistem pertahanan tubuh mengalami gangguan sehingga menyerang sel-sel tubuh itu sendiri. Sistem kekebalan tubuh adalah kumpulan sel-sel khusus dan zat kimia yang berfungsi melawan agen penyebab infeksi seperti bakteri dan virus serta membersihkan sel-sel tubuh yang menyimpang (non-self) misalnya pada kanker. Gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang keliru menyerang jaringan tubuh sendiri. Gangguan autoimun dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu organ spesifik dan non-organ spesifik. Organ-spesifik berarti satu organ tertentu yang terkena, sedangkan non-organ spesifik artinya sistem imun menyerang beberapa organ atau sistem tubuh yang lebih luas. Ada sekitar 80 gangguan autoimun yang berbeda mulai dari yang ringan sampai yang berat, tergantung pada sistem tubuh mana yang diserang dan seberapa besar fungsinya bagi tubuh. Belum diketahui secara pasti, kenapa perempuan lebih rentan daripada laki-laki, terutama selama usia reproduktif. Diperkirakan bahwa hormon seks memiliki pengaruh yang kuat. Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuh sendiri. Normalnya, sistem kekebalan tubuh menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus. Namun, pada seseorang yang menderita penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuhnya melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing. Sehingga sistem kekebalan tubuh akan melepaskan protein yang disebut autoantibodi untuk menyerang sel-sel tubuh yang sehat.



2.2



Penyebab Penyakit Autoimun Belum diketahui apa penyebab penyakit autoimun, namun beberapa faktor di bawah ini dapat meningkatkan risiko seseorang untuk menderita penyakit ini: 



Etnis. Beberapa penyakit autoimun umumnya menyerang etnis tertentu. Misalnya, diabetes tipe 1 umumnya menimpa orang Eropa, sedangkan lupus rentan terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Amerika Latin.







Gender. Wanita lebih rentan terserang penyakit autoimun dibanding pria. Biasanya penyakit ini dimulai pada masa kehamilan.







Lingkungan. Paparan dari lingkungan, seperti cahaya matahari, bahan kimia, serta infeksi virus dan bakteri, bisa menyebabkan seseorang terserang penyakit autoimun dan memperparah keadaannya.







Riwayat keluarga. Umumnya penyakit autoimun juga menyerang anggota keluarga yang lain. Meski tidak selalu terserang penyakit autoimun yang sama, mereka rentan terkena penyakit autoimun yang lain.



2.3 Gejala Penyakit Autoimun Ada lebih dari 80 penyakit yang digolongkan penyakit autoimun. Beberapa di antaranya memiliki gejala yang sama. Pada umumnya, gejala-gejala awal penyakit autoimun adalah: 



Kelelahan.







Pegal otot.







Ruam kulit.







Demam ringan.







Rambut rontok.







Sulit berkonsentrasi.







Kesemutan di tangan dan kaki. Masing-masing penyakit autoimun memiliki gejala yang spesifik, misalnya sering



merasa haus, lemas, dan penurunan berat badan pada penderita diabetes tipe 1. Beberapa contoh dari penyakit autoimun beserta gejalanya, adalah: 1.



Lupus; dapat memengaruhi hampir semua sistem organ dan menimbulkan gejala seperti demam, nyeri sendi, ruam kulit, kulit sensitif, sariawan, bengkak pada tungkai, sakit kepala, kejang, nyeri dada, sesak napas, pucat, dan perdarahan.



2.



Penyakit Graves; dapat mengakibatkan kehilangan berat badan, mata menonjol, gelisah, rambut rontok, jantung berdebar.



3.



Psoriasis; kulit bersisik.



4.



Multiple sclerosis; nyeri, lelah, otot tegang, gangguan penglihatan, dan kurangnya koordinasi tubuh.



5.



Myasthenia gravis; kelelahan yang semakin parah seiring aktivitas yang dilakukan.



6.



Tiroiditis Hashimoto; kelelahan, depresi, sembelit, peningkatan berat badan, kulit kering, dan sensitif pada udara dingin.



7.



Kolitis ulseratif dan Crohn’s disease; nyeri perut, diare, BAB berdarah, demam, dan penurunan berat badan.



8.



Rheumatoid arthritis; menimbulkan gejala nyeri sendi, radang sendi, dan pembengkakan.



9.



Sindrom Guillain-Barre; kelelahan sampai kelumpuhan.



10.



Penyakit radang usus - termasuk ulcerative colitis dan mungkin, penyakit Crohn. Gejalanya meliputi diare dan sakit perut.



11.



Rheumatoid arthritis atau Rematik - mempengaruhi sendi. Gejala termasuk sendi bengkak dan sakit. Mata, paru-paru dan jantung juga dapat terlibat.



12.



Scleroderma - mempengaruhi kulit dan struktur lainnya, menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Fitur termasuk penebalan kulit, borok kulit dan sendi kaku.



13.



Sistemik lupus eritematosus atau SLE (Penyakit Lupus) - mempengaruhi jaringan ikat dan dapat menyerang sistem organ tubuh. Gejala termasuk peradangan sendi, demam, penurunan berat badan dan ruam wajah yang khas.



Gejala penyakit autoimun dapat mengalami flare, yaitu timbulnya gejala secara tiba-tiba dengan derajat yang berat. Flare timbul karena dipicu oleh suatu hal, misalnya paparan sinar matahari atau stres.



2.4 Diagnosis Penyakit Autoimun Tidak mudah bagi dokter untuk mendiagnosis penyakit autoimun. Meski setiap penyakit autoimun memiliki ciri khas, namun gejala yang muncul bisa sama. Dokter akan menjalankan beberapa tes untuk mengetahui apakah seseorang terserang penyakit autoimun, di antaranya dengan tes ANA (antinuclear antibody) dan tes untuk mengetahui peradangan yang mungkin ditimbulkan penyakit autoimun.



2.5 Pengobatan Penyakit Autoimun Kebanyakan dari penyakit autoimun belum dapat disembuhkan, namun gejala yang timbul dapat ditekan dan dijaga agar tidak timbul flare. Pengobatan untuk menangani penyakit autoimun tergantung pada jenis penyakit yang diderita, gejala yang dirasakan, dan tingkat keparahannya. Untuk mengatasi nyeri, penderita bisa mengkonsumsi aspirin atau ibuprofen. Pasien juga bisa menjalani terapi pengganti hormon jika menderita penyakit autoimun yang menghambat produksi hormon dalam tubuh. Misalnya, untuk penderita diabetes tipe 1, dibutuhkan suntikan insulin untuk mengatur kadar gula darah, atau bagi penderita tiroiditis diberikan hormon tiroid. Beberapa obat penekan sistem kekebalan tubuh, seperti kortikosteroid digunakan untuk membantu menghambat perkembangan penyakit dan memelihara



fungsi organ tubuh. Obat jenis anti TNF, seperti infliximab, dapat mencegah peradangan yang diakibatkan penyakit autoimun rheumatoid arthritis dan psoriasis. Gangguan autoimun pada umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi gejala yang menimbulkan penderitaan sebagian besar dapat dikendalikan dengan perawatan sebagai berikut: 



Obat anti-inflamasi - untuk mengurangi peradangan dan nyeri







Kortikosteroid - untuk mengurangi peradangan dan menekan sistem imun







Obat imunosupresan - untuk menghambat aktivitas sistem kekebalan tubuh







Terapi fisik - untuk mendorong mobilitas







Terapi sulih - misalnya, suntikan insulin dalam kasus diabetes melitus.







Operasi - misalnya, untuk mengobati penyumbatan usus pada kasus penyakit Crohn Dengan menekan sistem imun atau pertahanan tubuh, maka gejala penyakit



autoimun dapat ditekan sehingga memberikan kenyamanan, namun sayangnya belum ditemukan obat yang benar-benar bisa menyembuhkan gangguan imun ini. JawaPos.com – Jumlah anak penderita autoimun meningkat sekitar 10 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Di RSUD dr Soetomo, setidaknya selalu ada dua hingga tiga pasien baru yang datang untuk berobat. ”Satu di antaranya adalah lupus,” ucap dokter spesialis anak Zahrah Hikmah. Jenis penyakit autoimun itu pun menyerang lebih banyak anak perempuan yang berada dalam usia prapubertas. Yakni 8–12 tahun. Gejala yang dialami tidak jauh berbeda dengan mereka yang dewasa. Antara lain, muncul ruam kupu di bawah mata. Penderita pun sensitif terhadap cahaya, mengalami kerontokan rambut, merasakan nyeri sendi, hingga mengalami perubahan kepribadian. Dari yang sebelumnya ceria menjadi pribadi yang mudah emosional. ”Itu kalau sudah komplikasi. Gejala awal yang harus diwaspadai adalah anak demam hingga lebih dari dua minggu,” jelas dokter yang berpraktik di RSIA Kendangsari tersebut. Selain itu, berat badan yang turun dengan cepat serta mudah lelah dan malas bermain bisa menjadi gejala awal yang perlu diwaspadai. Segera konsultasikan kepada dokter anak jika tiga gejala tersebut mulai muncul.



Hal itu pula yang dialami Felicia Yohanna Restiarti. Sebelum diketahui mengidap lupus, Felis –sapaan akrabnya– mengalami demam tinggi berhari-hari. Setiap diberi obat penurun demam, dia sembuh. Tapi kemudian kambuh lagi. ”Sendinya nyeri, terus melepuh. Sampai akhirnya nggak bisa jalan,” tutur Iche Yessy Rahmawati, sang ibu. Yessy shock begitu mengetahui bahwa putri sulungnya itu didiagnosis mengidap lupus serebral. Informasi yang dia dapat dari internet justru membuatnya semakin ketakutan. Untung, penjelasan dari dokter yang menangani anaknya membuatnya lebih paham. ”Tapi, teman-teman sekolah Felis nggak paham. Dikiranya ini penyakit menular,” lanjutnya. Karena itu, tak banyak sahabat putrinya. Baru setelah lupus yang diidap Felis kambuh, teman sekolah mendapat penjelasan yang benar dari dokter. ”Sejak itu, teman-teman jadi sering ngingetin. Sampai kadang sebel, nggak boleh makan ini-itu,” ungkap Felis. Ya, sebagai anak-anak, tentu Felis masih memiliki keinginan untuk mencoba berbagai hal. Namun, kondisinya sebagai penyandang lupus membuat dia tak bisa bebas menikmati makanan. Termasuk tidak boleh lelah dan terkena sinar matahari secara langsung. ”Dia (Felis, Red) paling ngeyel soal makanan. Terkadang merengek, pengin mi goreng instan. Itu kan makanan favoritnya,” imbuh Yessy. Tentu saja Yessy tak langsung memberikannya. Dia berusaha memberikan pemahaman kepada putrinya tentang akibat jika makanan itu dikonsumsi. Yessy juga tak pernah menuntut putrinya untuk berprestasi di sekolah. Yang penting, putrinya bisa tetap bersekolah dengan kondisi sehat. Itu sudah cukup. ”Meski begitu, saya dan suami tidak pernah memperlakukannya istimewa. Kalau salah, ya tetap ditegur,” lanjutnya. Mereka pun tak selalu menuruti Felis jika keinginan si anak justru bisa membuatnya drop. Misalnya mengonsumsi makanan cepat saji atau yang mengandung bahan pengawet dan pewarna. Hal tersebut dibenarkan dr Zahrah yang sejak tahun lalu menangani Felis. ”Jangan diistimewakan. Perlakukan mereka seperti anak normal lainnya,” tegasnya. Orang tua boleh mengawasi, tetapi jangan sampai melarang atau mengekang anak. Cukup jelaskan kondisi mereka, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.



Bermain di luar rumah pun bukan masalah. Yang perlu diperhatikan adalah sinar matahari pada pukul 10.00–14.00. Dengan tidak mengekang mereka, faktor stres akan menurun. Kekambuhan pun bisa diminimalkan. (dwi/c11/jan) Editor : Suryo Eko Prasetyo



BAB III



ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)



3.1



Definisi “Lupus” adalah nama latin untuk “srigala”, dan dikenal luas dalam ilmu kedokteran bahwa “ruam kupu-kupu” yang dilihat di pipi sebagai penderita lupus serupa dengan wajah srigala sehingga disebut lupus-erythematosus kali pertama untuk menyebut kelainan kulit oleh orang Prancis, (Pierre Cazenave, 1851). SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri (Djauzi, 2009). SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003). Secara sederhana, lupus erythemetosus terjadi karena tubuh menjadi alergi terhadap dirinya sendiri. Dalam istilah immunologi dapat dikatakan, lupus adalah kebalikan apa yang terjadi kanker maupun AIDS. Pada Lupus, tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan memproduksi banyak antibodi atau proteinprotein yang melawan jaringan tubuh sendiri. Karena itu, lupus disebut dengan penyakit autoimun (auto berarti dengan sendirinya) (Wallace, 2007).



3.2



Klasifikasi Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu: 1. Discoid Lupus Yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat



menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005). 2. Systemics Lupus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). 3. Drug-Induced Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan. Tabel I.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).



Definitely *tinggi* Hidralazin



Possible *sedang* Antikonvulsan



Prokainamid



Metimazol



Isoniazid



Penisilinamin



Klorpromazin



Sulfasalazin



Metildopa



Sulfonamid



Fenitoin



Nitrofurantoin



Kaptropil



Simetidin



Lisinopril Enalapril



Unlikely *rendah* Propitiourasil



3.3



Etiologi Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLADR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gengen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) . Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).



3.4 Tanda Gejala Tanda dan gejala umum dari penyakit lupus antara lain: 1. Demam 2. Lelah 3. Merasa tidak enak badan 4. Penurunan berat badan 5. Ruam kulit 6. Ruam kupu-kupu 7. Ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari 8. Sensitif terhadap sinar matahari 9. Pembengkakan dan nyeri persendian 10. Pembengkakan kelenjar 11. Nyeri otot



12. Mual dan muntah 13. Nyeri dada pleuritik 14. Kejang 15. Psikosa. 16. Hematuria (air kemih mengandung darah) 17. Batuk darah 18. Mimisan 19. Gangguan menelan 20. Bercak kulit 21. Bintik merah di kulit 22. Perubahan warna jari tangan bila ditekan 23. Mati rasa dan kesemutan 24. Luka di mulut 25. Kerontokan rambut 26. Nyeri perut 27. Gangguan penglihatan. (Albar, 2003)



3.5



Patofisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak.



Pada



SLE,



sel



tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada SLE adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Kerusakan organ disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk 4 istamin yang menyebabkan peningkatan



permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ tersebut. Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE tergantung dari organ mana yang terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. (Djauzi, 2009).



3.6



Manifestasi Klinis Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda. Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya. Manifestasi SLE adalah sebagai berikut: 1. Manifestasi Umum a. Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. b. Demam pada SLE dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya tidak disertai dengan menggigil. c. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu makan. d. Gejala konstitusional lain yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit kepala. Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering pada penderita SLE. 2. Manifestasi Khusus a. Manifestasi Muskuloskeletal Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari



tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. b. Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. c. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. d. Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. e. Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. f. Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. g. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas. h. Manifestasi Gastrointestinal Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. i. Manifestasi Okuler



Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Manifestasi okuler pada SLE disebabkan oleh pelbagai mekanisme. Antaranya adalah deposit kompleks imun, vaskulitis dan thrombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan penyakit vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain adalah pada: 1) Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung. 2) Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva. 3) Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan sampai dihentikan dengan pengobatan. 4) Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia. 5) Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting. Keluhan nyeri pada mata atau gangguan penglihatan pada pasien SLE memerlukan tindakan yang segera dan specialistik (Djauzi, 2009).



3.7



Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri ataukomplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling seringterjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised.Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatanantiphospholidip antibody. Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapiimunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokardprematur Komplikasi lupus eritematosus sistemik antara lain : 1. Serangan pada Ginjal a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal) b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal) c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin) 2. Serangan pada Jantung dan Paru a. Pleuritis b. Pericarditis c. Efusi pleura d. Efusi pericard e. Radang otot jantung atau Miocarditis f. Gagal jantung g. Perdarahan paru (batuk darah) 3. Serangan Sistem Saraf a. Sistem saraf pusat 1) Cognitive dysfunction 2) Sakit kepala pada lupus 3) Sindrom anti-phospholipid 4) Sindrom otak 5) Fibromyalgia (kondisi kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, dan kepekaan dari otot-otot, tendon-tendon, dan sendi-sendi.). b. Sistem saraf tepi Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki c. Sistem saraf otonom



gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom 4. Serangan pada Kulit Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70an: a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin. b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh c. Lesi non spesifik d. Rambut rontok (alopecia) e. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok f. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing. 5. Serangan pada Sendi dan Otot a. Radang sendi pada lupus b. Radang otot pada lupus 6. Serangan pada Darah a. Anemia b. Trombositopenia c. Gangguan pembekuan d. Limfositopenia 7. Serangan pada Hati a. Hepatosplenomegali non spesifik b. Hepatitis lupoid (Djauzi, 2009).



3.8 Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan urin, darah lengkap ( Hb, lekosit, trombosit, LED=laju endap darah ) Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin. 2. ANA test, antidsDNA. a. ANA test = Anti Nuclear Antibody test. Nuclear adalah inti sel (nukleus). Antibodi adalah protein yang dikeluarkan oleh sel-sel kekebalan tubuh kita (limfosit) untuk memerangi kuman-kuman yang menyerang kita. Nah, pada Lupus, antibodi ini justru menyerang sel-sel kita sendiri terutama inti dan struktur di dalam inti. Antibodi jahat ini secara umum dinamakan sebagai autoantibodi. Jadi, ANA adalah autoantibodi yang menyerang inti sel kita. ANA test termasuk dalam salah satu kriteria penting untuk mendiagnosa lupus. ANA test positif tidak selalu terkena lupus. Karena ANA test positif bisa terjadi pada beberapa penyakit lain. b. AntidsDNA = anti double stranded DNA. DNA (deoxyribonucleic acid) adalah pembentuk gen kita, yang tersusun dalam rantai ganda (double stranded/ double helix). Gen ada di dalam inti sel kita. Jadi antidsDNA ini merupakan bagian dari ANA, yang menyerang DNA. AntidsDNA ini cukup spesifik untuk Lupus. Artinya, pada penyakit lain, jarang didapatkan. c. Antibodi terhadap DNA, antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double strandedDNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. d. Ada 11 item kriteria, dan untuk mendiagnosa Lupus, minimal ditemukan 4 kriteria yang positif. Inilah kesebelas item kriteria itu: 1) Ruam malar/ ruam kupu-kupu (malar rash/ butterfly rash). Kulit pada kedua pipi dan batang hidung menjadi berwarna kemerahan, kalau menyembuh akan berwarna gelap. Jika dilihat, bentuknya seperti kupu-kupu. Ruam ini menjadi



signature sign dari Lupus, meskipun tidak selalu terdapat pada semua penyandang Lupus. 2) Ruam diskoid. Ruam ini berbentuk bundar, kemerahan, kalau menyembuh akan berwarna kehitaman. 3) Luka pada mulut (oral ulcer). Luka kecil-kecil seperti sariawan, yang berulang di mulut, kadang juga di lidah. 4) Fotosensitivitas. Foto: sinar/ cahaya. Jadi maksudnya peka terhadap cahaya matahari, atau lebih spesifik lagi sinar ultra violet. Kalau terkena sinar, maka kulit penyandang Lupus akan menjadi kemerahan, dan bahkan gejala Lupusnya bisa kambuh atau memberat. 5) Radang sendi (arthritis). Sendi-sendi akan terasa nyeri, bahkan kemerahan dan kadang juga bengkak. 6) Gangguan ginjal. Gangguan ginjal disini bukan batu ginjal atau infeksi ginjal, melainkan keradangan ginjal. Lebih tepatnya lagi keradangan pada filter ginjal (glomerulus). Gangguan ini mudah diperiksa dengan pemeriksaan urin lengkap pada saat tidak mens. Disini akan didapatkan protein dan sel darah merah pada urin yang normalnya tidak ada, atau kalau ada, dalam jumlah yang sangat sedikit. 7) Radang pada selaput serosa. Selaput serosa adalah selaput yang membungkus beberapa organ tertentu dari tubuh kita. Yang paling sering adalah radang selaput pembungkus jantung (pericarditis, pericard= selaput pembungkus jantung, itis = radang), radang selaput paru (pleuritis). Keadaan ini dapat langsung ditemukan oleh dokter saat pemeriksaan, tetapi kadang perlu konfirmasi dengan foto ronsen dan echo cardiography (semacam USG khusus untuk memeriksa jantung). 8) Gangguan pada sistem syaraf. Dapat terjadi penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Kejang-kejang yang kadang dikira ayan (epilepsi). Bahkan bisa terjadi gangguan ingatan. Nyeri kepala (nyeri yang bukan pusing, pusing = rasa berputar) tidak termasuk salah satu kriteria ini. 9) Gangguan pada sistem darah. Gangguan ini bisa pada sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) atau trombosit (keping-keping darah yang berfungsi untuk pembekuan darah). Anemia hemolitik adalah hancurnya selsel darah merah sebelum waktunya (sel darah merah yang normal akan dihancurkan setelah 120 hari) dikarenakan faktor autoimun. Lekosit jumlahnya akan menurun, trombosit juga akan menurun.



10) Pemeriksaan imunologi yang positif. Maksudnya disini adalah pemeriksaan autoantibodi khusus. Yang paling sering diperiksa adalah antidsDNA. Bila anti dsDNA negatif, biasanya akan diperiksa antiSm. Pada ANA test positif Lupus dapat didiagnosa jika minimal 4 dari 11 kriteria diatas. (Djauzi, 2009).



3.9



Penatalaksanaan Tidak ada obat untuk SLE. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala. 1. Penatalaksanaan untuk SLE dengan gejala ringan: a. NSAID : untuk mengatasi gejala reumatik, radang selaput dada dan radang lainnya b. Krim kortikosteroid : untuk mengatasi gejala ruam pada kulit c. Obat anti malaria (hydroxychloroquine) : untuk mengatasi gejala di kulit dan artritis d. Pembatasan diet 1) Rendah garam 2) Tinggi asam folat : Alpukat, daging, kuning telur 3) Omega 3 : minyak ikan, ikan tuna, salmon 4) Cukup kalsium : susu, keju, bayam, brokoli 5) Rendah lemak : hindari gorengan, jeroan, daging berlemak tinggi, santan 2. Penatalaksanaan untuk SLE dengan gejala berat a. Glukokortikoid sistemik b. Sitotoksik imunosupresif Contoh obat: Cyclophosphamide i. Mychophenolate Mofetil ii. Azathioprine 3. Pendidikan Kesehatan a. Penjelasan tentang lupus dan etiologinya b. Klasifikasi dan gejalanya masing-masing c. Masalah fisik d. Masalah psikis e. Pemakaian obat dan efek samping f. Pemaparan pada yayasan lupus (YLI (Yayasan Lupus Indonesia))



Pendidikan Kesehatan ke keluarga dan pasien untuk perawatan di rumah a. Pasien dianjurkan untuk cukup istirahat dan menghindari kelelahan. Namun tidak terlalu membatasi aktifitas. b. Pasien dianjurkan memakai baju tertutup, topi, payung dan anti UV spf 30 bila pergi ke luar ruangan. c. Pasien dianjurkan untuk menghangatkan sendi yang sakit dengan cara kompres lembab. d. Pasien dianjurkan untuk berolahraga namun juga memperhatikan tingkat kelelahan. e. Pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan menghindari paparan asap rokok. Keluarga pasien dijelaskan mengenai dampak sosial yang akan dialami pasien. (Wallace, 2007).



3.10



TINJAUAN KASUS



A. Pengkajian



Hari, tanggal Jam Tempat Oleh Sumber data Metode pengumpulan data



: Selasa, 17 September 2013 : 11.00 WIB : Bangsal Melati 4 RSUP Dr Sardjito : Kelompok 3 : Pasien, keluarga pasien, status pasien : Observasi, anamnesa, studi dokumen



1. Identitas Klien Nama : An.”L” Tempat, tanggal lahir :Bantul, 15 April 2010 Umur : 3 tahun 4 bulan 20 hari Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku/kebangsaan : Jawa/Indonesia Tanggal masuk RS : 5 September 2013 Dx Medis : Systemic Lupus Eritematosus Alamat :Niten Tirtonirmolo Kasihan Bantul No.RM : 1.55.96.04



Identitas Penanggung jawab Nama :Tn.”N” Pendidikan : SLTP Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Niten Tirtonirmolo Kasihan Bantul Hub.dengan pasien : Ayah kandung 2. Riwayat Kesehatan a. Riwayat Kesehatan Pasien 1) Keluhan Utama Ibu klien mengatakan klien masih sedikit pucat dan malas beraktivitas karena nyeri di persendian 2) Riwayat Kesehatan Sekarang 10 hari SMRS anak batuk pilek demam tidak tinggi. 7 hari SMRS terdapat nyeri pada kedua tungkai dan menolak berjalan, anak belum terlalu pucat, tidak mau makan minum demam dan batuk pilek menetap. 4 hari SMRS anak demam tinggi, suhu tidak diukur, tidak dapat berjalan, muncul bercak merah dari perut hingga tungkai, anak pucat. HMRS anak pucat, demam nglemeng, batuk pilek. Hasil pemeriksaan darah AL 33.500/uL, Hb 4,6 gr/dL. 3. Riwayat Kesehatan Dahulu a. Antenatal Selama kehamilan ibu klien memeriksakan diri rutin di bidan. Usia 6-7 bulan plasenta menutup jalan lahir,ibu klien minum penambah darah dan vitamin selama hamil, tidak ada riwayat penyakit selama kehamilan. b. Intranatal Anak lahir spontan dengan VE, UK 36 minggu, BBL 2800 gram, PB 49 cm di PKU Bantul. Anak tidak langsung menangis, diberikan resusitasi tahap awal. c. Postnatal Tidak ada trauma lahir, imunisasi lengkap di bidan d. Penyakit yang pernah diderita Klien menderita kekurangan zat kapur di usia 6 bulan, ISK diusia 8 bulan, flek/ TB paru di usia < 1 tahun. e. Riwayat Hospitalisasi Klien sebelumnya pernah dirawat di PKU Bantul dengan ISK f. Riwayat Injury Klien tidak mempunyai riwayat injury atau kecelakaan g. Riwayat Alergi



Ibu klien mengatakan anak hanya alergi dingin, tidak ada alergi obat dan makanan h. Riwayat Imunisasi Imunisasi dasar : Hepatitis : 3 kali (lahir, 1 bulan, 3 bulan) BCG : 1 kali (2 minggu) DPT : 3 kali Polio : 3 kali Campak : 1 kali i. Riwayat pengobatan Riwayat pengobatan ISK usia 8 bulan, terapi pijat dan ekstra zat kapur usia 6 bulan, TB paru usia