Peran Psikologi Hukum Dalam Lembaga Pemasyarakatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENERAPAN PSIKOLOGI HUKUM DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN Oleh: Anjar Lutfianto (201910117006) Teta Maulidina Putri Atsas (201910115387) Semester 1 A.5



PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS ILMU HUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA 2019



KATA PENGANTAR



Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat rahmat-Nya makalah yang berjudul “Penerapan Psikologi Hukum dalam Lembaga Pemasyarakatan” ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang ditentukan. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah PSIKOLOGI HUKUM yang penulis tempuh pada Semester 1 ini. Penulisan makalah ini seperti telah penulis sebutkan di atas merupakan bagian dari proses pembelajaran yang sedang kami lalui untuk meraih gelar Sarjana di Univrsitas Bhayangkara Jakarta Raya. Karenanya pasti terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan disana – sini. Masukan dan kritik yang bersifat membangun utamanya dari Yth. Ibu Widya Romasindah Aidy, S.Psi.,M.H . sangat penulis harapkan demi lebih sempurnanya panulisan karya – karya selanjutnya. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami persembahkan makalah ini. Semoga dapat menambah wawasan dalam khazanah keilmuan di bidang hukum utamanya yang berkaitan dengan Psikologi Hukum. Amin



BAB I PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat. Secara kuantitas nampak dari hampir semua lembaga pemasyarakatan overcapacity dan secara kualitas dapat dibaca dari surat kabar, antara lain pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan mutilasi, kasus pemerkosaan pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya dapat dilakukan oleh saudara, paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri; dan kasus korupsi juga makin marak melibatkan pejabat sehingga seolah tidak ada habisnya berita korupsi yang ditangani KPK. Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifactor, salah satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk teman ganknya dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian. Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan kriminal.Ketika kita mendengar kata “hukum,” apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan Lembaga, tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Dalam beberapa tahun belakangan ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia telah beralih fungsi. Jika pada awal pembentukannya bernama penjara (bui) dimaksudkan untuk menghukum orang-orang



yang melakukan kejahatan dan ketika namanya diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan, maka fungsinya tidak lagi semata - mata untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan tetapi lebih kepada upaya pemasyarakatan terpidana. Artinya tempat terpidana sungguh-sungguh dipersiapkan dengan baik agar kelak setelah masa hukumannya selesai akan kembali ke masyarakat dengan keterampilan tertentu yang sudah dilatih di Lapas B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut: 1. Penerapan psikologi dalam lembaga pemasyarakatan ? 2. Tujuan penerapan psikologi hukum dalam lembaga pemasyarakatan ?



C.  Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini : 1. Agar mahasiswa mengetahui penerapan psikologi dalam lembaga pemasyarakatan ? 2. Agar mahasiswa memahami tujuan penerapan psikologi hukum dalam lembaga pemasyarakatan ?



BAB II PEMBAHASAN Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Menengok ke belakang dalam sejarah Lapas, tanggal 27 April 1964, pada Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang Bandung merupakan momentum penting bagi lembaga pemasyarakatan atas ditetapkannya perubahan konseptual perlakuan terhadap pelanggar hukum dari Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan. Tentu saja perubahan tersebut mengandung konsekuensi logis terhadap perubahan mindset dan perubahan perilaku para petugas pemasyarakatan dari model penghukuman menjadi model yang lebih memanusiakan manusia sekalipun individu tersebut adalah pelaku tindak kriminal. Fungsi Lapas dalam kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif yang menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku, fungsi rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang salah menjadi lebih benar, dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia baru yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif secara sosial  dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih urgent untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran keilmuan maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental para petugas pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan. Walaupun nama Penjara sudah berubah menjadi lembaga pemasyarakatan, bahkan pada lapas anak ditetapkan sebagai lapas anak ramah anak, namun tetap sangat kental fungsi keamanan dibanding fungsi rehabilitatifnya. Hal pertama yang dirasakan pada saat kita menjejakkan kaki ke Lapas adalah sebuah prosedur operasional standard yang harus dipatuhi oleh pihak eksternal yang akan beraktivitas di dalamnya sebagai prosedur keamanan. Ada seperangkat prosedur yang membatasi ruang bebas dengan ruang di dalam Lapas.Bagaimanapun bagusnya bangunan sebuah Lapas secara psikologis bukan merupakan tempat yang nyaman.Tata ruang Lapas itu sendiri dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi unsur keamanan dan pengamanan.Tentu saja pintu yang berlapis-lapis itu menghadirkan suasana teralienasi bagi setiap peghuni yang ada, baik itu WBP maupun para petugas pemasyarakatan. Hal ini tidak sesuai dengan konsep rehabilitasi dari Greenbalt, yang menyatakan bahwa narapidana harus mendapatkan rehabilitasi psikologi, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi kerja, rehabilitasi komunitas. Di lembaga pemasyarakatan sudah terdapat rehabilitasi pendidikan dan rehabilitasi kerja, namun hampir tidak ada psikolog yang melakukan rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan. Bandingkan dengan lembaga pemasyarakatan di negara tetangga misal Australia. Di setiap lembaga pemasyarakatan terdapat psikiatri, psikolog dan pekerja sosial. Tidak adanya peran kesehatan psikologis di lapas menyebabkan banyaknya persoalan psikologis di lembaga pemasyarakatan.



Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang membutuhkan penanganan psikolog antara lain :  Overcapacity sel akan menimbulkan perasaan ketersesakan yang mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya baik itu WBP, petugas pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan.  Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan politik berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar yang menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara teoritis, berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah proses keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat hidup yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk meraihnya. Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela toleransi individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-respon yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai pada situasi krisis emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan depresif dan perilaku bunuh diri. Intervensi Krisis merupakan salah satu program yang sangat  di butuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terjadi tindakan bunuh diri atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas.  Pada eksekusi WBP terpidana mati Januari 2015 lalu, psikolog dilibatkan oleh Kejaksaan Negeri Cilacap untuk mendampingi beberapa terpidana. Masing-masing terpidana, meskipun memiliki kesamaan kondisi yaitu menunggu proses eksekusi yang sudah dijadwalkan, ternyata mengalami kondisi psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan dan perlakuan psikologis yang juga berbeda untuk masing-masing terpidana mati tersebut. Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi masing-masing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik menemukan insight sangat membantu terpidana dalam menghadapi situasi yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis. Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan masa pidananya di Lapas



Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perilaku kriminal terulang justru di dalam Lapas, bahkan baru-baru ini diberitakan seorang terpidana mati kasus narkoba masih menjalankan bahkan mengendalikan bisnis narkoba dari dalam Lapas. Tentunya motif personal individu pelaku sangat mempengaruhi situasi emosional lingkungannya. Banyak respon kekecewaan, kemarahan, kejengkelan karena di tengah pro kontra hukuman mati dan perjuangan untuk menghapuskan keberadaan vonis mati serta upaya terpidana mati lain untuk bisa lepas dari hukuman mati ternyata dirusak oleh perilaku WBP yang mendorong masyarakat makin marah dan menganggap hukuman mati adalah layak bagi pelaku kejahatan luar biasa. Segala problematik dan peristiwa yang terjadi di dalam Lapas berdampak baik secara personal bagi para WBP maupun Petugas Pemasyarakatan. Belum lagi anggapan bahwa Lapas merupakan sekolah bagi para pelaku kriminal untuk lebih ahli melakukan tindak kriminal. Hal ini bukanlah pernyataan omong kosong karena proses belajar sosial melalui modelling sangat mungkin terjadi. Tidak hanya berisiko pada Anak Didik Pemasyarakatan (ADP), tetapi juga pada WBP dewasapun hal ini sangat rentan. Khususnya pada ADP, perlu penanganan psikologis yang lebih khusus agar fungsi koreksi perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan solusi penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial, rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka. Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan. Diperlukan pula program yang memberi kesempatan pada ADP untuk mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Program-program untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola asuh yang penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku petugas pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu mengembangkan manifestasi pola pikir yang positif disertai kemampuan meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas dan moral. Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan. Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya sehingga tentunya akan sangat sarat dengan problem psikologis ganda, baik



bagi WBP perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya. Sudah banyak problem perilaku dan problem kesehatan mental yang terjadi di dalam Lapas, namun saat ini, kalaupun ada, psikologi dan psikolog belum menjadi bagian yang terintegrasi dalam sistem rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan. Sebuah tantangan sendiri untuk menyusun sebuah cetak biru rencana strategis pelibatan psikologi dalam sistem di Lapas, meskipun secara kasat mata dapat terlihat bahwa Lapas adalah supermarket psikologi. Psikologi individu WBP, psikologi individu petugas pemasyarakatan, psikologi sistem pemasyarakatan dan interaksi psikososial terhadap sistem yang ada merupakan sebuah kompleksitas yang perlu didampingi untuk dapat mencapai tujuan pemasyarakatan itu sendiri. Diperlukan pula campur tangan psikologi guna memelihara dan meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan emosional komunitas Lapas, mendukung keberlangsungan kesehatan mental dan perilaku agar tetap berfungsi efektif dengan memberikan jasa konseling/psikoterapi secara reguler, memfasilitasi proses belajar ketrampilan koping, serta merancang program prevensi terjadinya perilaku kriminal berulang baik di dalam lapas maupun setelah ke luar dari lapas dalam desain program psikologis yang konstruktif, rehabilitatif dan transformatif. Menjadi PR kita bersama dan organisasi profesi Psikologi untuk dimungkinkan dan diberi kesempatan untuk berperanserta secara aktif di dalamnya dan menciptakan Lapas yang bersih, dengan pendekatan rehabilitasi yang inovatif guna membantu semua pihak yang berada di dalamnya menjadi pribadi yang bermartabat. 1.



Proses Pembinaan Terhadap Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Dinamika perkembangan dunia yang pesat, kesadaran hukum masyarakat yang tinggi dan kualitas masyarakat yang semakin kritis dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan hukum, menyebabkan kualitas pembinaan terhadap narapidana dan pendekatannya juga harus meningkat ke arah yang lebih baik dan lebih manusiawi sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat akan kepastian dan pengayoman yang berintikan keadilan dan pembenaran. Beberapa fase perkembangan diawali dengan adanya faham balas dendam kepada pelaku tindak pidana. Selanjutnya berkembang ke faham pembalasan yang setimpal. Berikutnya pada kurang abad ke XVIII dan awal abad ke XIX lahir faham rehabilitasi yaitu pelaku delik diperbaiki, dibina dan bukan semata-mata mendapat pembinaan. Pada awalnya gagasan/konsepsi pemasyarakatan sebagai reformasi pembinaan narapidana, diperknalkan pertama kali oleh Dr. Sahardjo dalam pidatonya tentang konsepsi hukum nasional yang dilambangkan sebagai pohon beringin pengayoman pada tanggal 5 Juli 1963. Disini pemasyarakatan dianggap sebagai tujuan dari pemidanaan, yang membedakan dari sistem kepenjaraan. Sedang istilah pemasyarakatan baru secara resmi digunakan dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964. Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak pada asas tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan) terhadap para narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana dipandang sebagai manusia yang memiliki fitrah kemanusiaan, itikad dan potensi positif yang dapat digali



dan dikembangkan dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, jadi berlainan dengan sistem kepenjaraan yang semata-mata bersifat balas dendam dan penjelasan terhadap narapidana. Dalam sistem pemasyrakatan dimaksudkan sebagai suatu proses pembinaan narapidana yang bertujuan untuk membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang sementara tersesat hidupnya karena ada kelemahankelemahan yang dimilikinya. Disamping itu juga mereka dapat menjadi manusia seutuhnya bagaimana telah menjadi arah pembangunan nasional, hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan (Pasal 2 dan 3 Undang-undang tentang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995) yaitu : a. Dalam rangka membentuk warga binaan sistem pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. b. Menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. c. Mampu menempatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkankebahagiaan di dunia dan akhirat. Mengingat ancaman pidana untuk tindak pidana narkotika ini merupakan ancaman pidana yang tergolong cukup lama bahkan ancaman pidananya bisa seumur hidup, oleh karena itu peranan lembaga pemasyrakatan sangatlah penting dalam hal pembinaan terhadap narapidana yang hukuman pidananya cukup lama, dikarenakan sekalipun telah diusahakan berbagai hal dalam rangka pembinaan narapidana selama menjalani pidana, namun ternyata dampak psikologis akibat pidana penjara masih nampak dan memerlukan pemikiran yang tuntas. Bagaimana juga dampak psikologis akibat pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya seorang narapidana tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Pidana secara psikologis merupakan beban yang berat bagi setiap narapidana, sehingga diperlukan pemikiran untuk memecahkan. Berbagai dampak psikologis tersebut antara lain : a.       Lose of personaling adalah seorang narapidana selama dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri akibat peraturan dan tata cara di lembaga pemasyarakatan. b.      Lose of security  adalah pengawasan yang setiap saat, narapidana kan ragu dalam bertindak, kurang percaya diri, dan tidak mampu mengambil keputusan secara baik. c.       Lose of liberty adalah hilangnya berbagai kemerdekaan individual seperti kemerdekaan berpendapat dan sebagainya. d.      Lose of personal communication adalah hilangnya kebebasan untuk berkomunikasi terhadap siapapun juga. e.       Lose of good and service adalah hilangnya pelayanan menyebabkan narapidana kehilangan rasa affection, kasih sayang yang biasanya didapat di rumah.



f.       Lose of heterosexual adalah hilangnya penyaluran nafsu sex yang terpendam, sehingga akan terjadinya abnormalitas sexual eperti homo sex. g.      Lose of prestige adalah narapidana akan kehilangan dirinya, seperti kamar tidur (sel) yang hanya berpintu terali besi. h.      Lose of believe adalah karena hukum yang dijalani narapidana cukup lama maka ia akan kehilangan rasa percaya diri, seperti kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap. i.        Lose of creativity adalah narapidana akan terampas kreativitasnya, ide-idenya, bahkan juga impian dan cita-citanya.         Pembinaan narapidana yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan ditujukan agar selama masa pembinaan dan sudah selesai menjalankan pidananya para narapidana dapat :  a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya. b. Dapat memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam egiatan pembangunan nasional. c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan erilaku yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan nasional. d. Memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.           



BAB III PENUTUP



Pembinaan narapidana tidak dapat hanya dilakukan oleh petugas pemasyarakatan saja, tetapi sangat diperlukan bantuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pembinaan narapidana. Harus disadari bahwa dalam embinaan narapidana prinsi-prinsip dasar pembinaan harus berjalan seiring, searah dan selaras untuk mencapai tujuan. Prinsip itu adalah kemauan atau hasrat narapidana untuk membina sendiri, keterlibatan keluarga dalam membina anggota keluarganya yang menjadi narapidana  dan keterlibatan masyarakat untuk ikut serta membina narapidana dan peran kelompok masyarakat serta pemerintah dalam membina narapidana. Hanya dengan peran serta semua pihak, pembinaan narapidana dapai dicapai dengan baik, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Sesuai dengan prinsip-prinsip kemasyarakatan yang dihasilkan melalui konferensi Lembang 27 April 1964, maka sebenarnya tujuan dari lembaga pemasyarakatan ini adalah untuk membina narapidana agar setelah narapidana selesai menjalani masa pidananya dapat berbaur dengan masyarakat sekitarnya serta bisa hidup mandiri dengan baik. Dengan memperhatikan pengertian pemasyarakatan adalah sebagai suatu proses pembinaan terpidana yang dengan putusan hakim untuk menjalani pidananya ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini dapat diartikan bahwa pembinaan narapidana harus merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dapat menggugah kesadaran setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha pembinaan narapidana tersebut. Lembaga pemasyarakatan yang bertugas membina para narapidana secara teratur dan terencana harus memperhatikan latar belakang narapidana itu, misalnya tingkat pendidikannya, agar tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan. Dengan demikian program pembinaan terhadap narapidana itu perlu ditangani secara khusus agar sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan narapidana itu sendiri. Narapidana sebagai bagian dari masyarakat Indonesia perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai lapisan masyarakat agar para narapidana itu dapat menikmati hidup bermasyarakat yang tenteram. Peran dari lembaga pemasyarakatan yang bertugas membina narapidana bahwa narapidana tersebut harus dibekali pengertian norma-norma kehidupan serta melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat, agar narapidana itu sanggup hidup mandiri. Narapidana itu harus mempunyai daya tahan, dalam arti bahwa narapidana itu harus mampu hidup bersaing dengan masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi.