Perencanaan Lanskap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERENCANAAN LANSKAP PASCA TAMBANG BATUBARA SEBAGAI ARBORETUM DI KAWASAN TANAH PUTIH PULAU SEBUKU KALIMANTAN SELATAN



EKA YUNIAWATININGTYAS



DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014



PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Eka Yuniawatiningtyas NIM A44090064



ABSTRAK EKA YUNIAWATININGTYAS. Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI. Eksploitasi batubara melalui sistem penambangan terbuka menyebabkan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Upaya reklamasi lahan pasca tambang adalah kewajiban setiap perusahaan tambang. Hal itu bertujuan untuk memulihkan kondisinya seperti semula. Perencanaan lanskap berperan untuk mengoptimalkan pemanfaatan selanjutnya. Penelitian ini dilaksanakan di area pasca tambang batubara seluas 223 ha yang terletak di kawasan Tanah Putih, Desa Mandin, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik dan menyusun perencanaan lanskap pasca tambang batubara sebagai arboretum sebagai wujud penerapan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati. Metode yang digunakan meliputi persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan. Konsep dasar yang diterapkan dalam perencanaan ini adalah untuk mengembangkan area tersebut sebagai arboretum yang mengonservasi tanah, air, dan keragaman hayati terutama jenis tanaman lokal. Konsep tersebut dikembangkan ke dalam konsep ruang, sirkulasi, aktivitas dan fasilitas serta vegetasi. Melalui analisis deskriptif kuantitatif dan analisis spasial, diperoleh hasil berupa gambar rencana lanskap dan pembagian pola ruang sebagai berikut: ruang penerimaan dan pelayanan 0.5%, ruang budidaya 11%, ruang konservasi 29.7%, ruang pendidikan konservasi 0.8%, ruang koleksi 40% dan ruang penyangga 18%. Kata kunci: arboretum, lanskap pasca tambang, perencanaan lanskap, reklamasi



ABSTRACT EKA YUNIAWATININGTYAS. Landscape Planning of Post-Mining Areas at Tanah Putih Mandin Village Pulau Sebuku District South Kalimantan. Supervised by SETIA HADI. Exploitation of coal through the open mining system cause negative impacts for environmental sustainability. Land reclamation efforts of post-mining area is the obligation of the mining company involved. It aims to restore the condition as previously. Landscape planning plays the role to optimize the next utilization. This study is conducted in an after coal mines which covers on 223 hectares land area at Tanah Putih, Mandin Village, Pulau Sebuku District, Kotabaru Regency, South Kalimantan. The objectives of this study are to identify the characteristics of post-coal mining and to compose a landscape planning of post-coal mining as an arboretum to implement land, water and biodiversity conservation. This study uses methods including preparation, inventory, analysis, synthesis, and planning. The basic concept of this plan is to develop the post coal mining area as an arboretum conserving land, water and biodiversity especially indigenous plants. The concept was developed into spatial, circulation, activity, facility, and also vegetation concept. Quantitative description and spatial analyze produce a



landscape plan and distribution of area as the following: welcome area and service area 0.5%, cultivation area 11%, conservation area 29.7%, education of conservation area 0.8%, collection area 40%, and buffer area 18%. Keywords: arboretum, post-mining landscape, landscape planning, reclamation



PERENCANAAN LANSKAP PASCA TAMBANG BATUBARA SEBAGAI ARBORETUM DI KAWASAN TANAH PUTIH PULAU SEBUKU KALIMANTAN SELATAN



EKA YUNIAWATININGTYAS



Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap



DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014



© Hak cipta milik IPB, tahun 2014 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB



Judul Skripsi : Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan Nama : Eka Yuniawatiningtyas NIM : A44090064



Disetujui oleh



Dr Ir Setia Hadi, MS Pembimbing



Diketahui oleh



Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen



Tanggal Lulus:



Judul Skripsi : Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan : Eka Yuniawatiningtyas Nama : A44090064 NIM



Disetujui oleh



Dr Ir Setia Hadi , MS



Pembimbing



Tanggal Lulus:



0 5 FEB ?011



PRAKATA Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Sebagai Arboretum di Kawasan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih terutama ingin penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS selaku pembimbing skripsi atas arahan, bimbingan, dukungan, saran dan masukan yang telah diberikan. 2. Bapak Dr Ir Aris Munandar, MS selaku pembimbing akademik atas arahan, saran dan masukan selama masa perkuliahan. 3. Bapak Ir Qodarian Pramukanto, Msi dan Ibu Dr Ir Afra DN Makalew selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan. 4. Bapak Joko Indratmo beserta staf divisi Enviro, Bapak Agus, Kak Rezky Khrisrahmansyah, seluruh pihak PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) serta pihak Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data. 5. Kak Andhika Galih Adi Nugraha atas motivasi, saran, masukan dan bantuan yang diberikan selama pembuatan skripsi ini. 6. Teman-teman Arsitektur Lanskap angkatan 46 dan seluruh sahabat penulis atas motivasi dan bantuannya selama pembuatan skripsi ini. 7. Ibu, bapak, adik serta seluruh keluarga tercinta atas dukungan, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.



Bogor, Januari 2014 Eka Yuniawatiningtyas



DAFTAR ISI DAFTAR TABEL



xi



DAFTAR GAMBAR



xi



DAFTAR LAMPIRAN



xii



PENDAHULUAN



1



Latar Belakang



1



Tujuan Penelitian



2



Manfaat Penelitian



2



Kerangka Pikir Penelitian



2



TINJAUAN PUSTAKA



4



Arboretum



4



Perencanaan Lanskap



5



Lanskap Pasca Tambang



5



Pertambangan dan Proses Penambangan Batubara



6



Reklamasi Lahan Bekas Tambang



8



METODE



9



Tempat dan Waktu Penelitian



9



Alat dan Bahan



9



Batasan Penelitian



10



Tahapan Penelitian



10



HASIL DAN PEMBAHASAN



13



Kondisi Umum Kawasan



13



Aspek Fisik



14



Aspek Biofisik



19



Aspek Sosial



22



Analisis



23



Sintesis



38



Konsep Dasar



44



Pengembangan Konsep



44



Perencanaan



46



SIMPULAN DAN SARAN



61



Simpulan



61



Saran



61



DAFTAR PUSTAKA



62



LAMPIRAN



64



RIWAYAT HIDUP



66



DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Jenis, sumber data, metode pengambilan dan pengolahan data Perkembangan jenis tanaman pada plot 1 Tanah Putih (tahun tanam 2008) Perkembangan jenis tanaman pada plot 2 Tanah Putih (tahun tanam 2009) Vegetasi yang direkomendasikan di Tanah Putih Satwa yang terdapat di sekitar lokasi tambang PT BCS Kepadatan penduduk Kecamatan Pulau Sebuku tahun 2011 Sumber penghasilan utama masyarakat Pulau Sebuku Hasil analisis dan sintesis Rencana pembagian ruang Rencana aktivitas dan fasilitas Rencana pengelompokan tanaman Rencana daya dukung tiap ruang



10 20 20 21 22 23 23 38 47 51 52 55



DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28



Kerangka pikir penelitian Proses penambangan batubara di Tanah Putih Lokasi penelitian Tahapan Penelitian Peta Citra Lidar Pulau Sebuku Kondisi Tanah Putih sebelum dan setelah penambangan Peta jaringan jalan Kecamatan Pulau Sebuku Peta kawasan hutan Kecamatan Pulau Sebuku Rata-rata curah hujan bulanan tahun 1998–2012 di Tanah Putih Revegetasi berumur 5 tahun (a) dan 1 tahun (b) Kondisi jalan perusahaan menuju ke tapak Peta penggunaan lahan eksisting Peta analisis penggunaan lahan Segitiga tekstur tanah (modifikasi dari image.google.com) Peta topografi Peta klasifikasi kemiringan lahan Peta analisis kemiringan lahan Cara vegetasi mengontrol radiasi matahari (Robinette, 1983) Peta penutupan vegetasi dan progres hydroseeding Peta analisis penutupan vegetasi Peta komposit Rencana Blok (Block Plan) Diagram konsep sirkulasi Diagram konsep pembagian ruang Hubungan antarruang dalam tapak Rencana ruang Rencana sirkulasi Rencana vegetasi



3 7 9 11 13 14 15 16 18 21 24 26 27 28 30 31 32 33 36 37 42 43 45 45 47 49 50 53



29 30 31 32 33 34 35



Rencana lanskap area reklamasi Tanah Putih Rencana lanskap (Blow up 1) Rencana lanskap (Blow up 2) Ilustrasi area pelayanan Ilustrasi gazebo/shelter Ilustrasi dek dan wetland Ilustrasi menara pandang



56 57 58 59 59 60 60



DAFTAR LAMPIRAN 1 2



Hasil pengujian tanah di Pit Tanah Putih Hasil analisis sifat fisik tanah di Pit Tanah Putih



64 65



PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan sumber energi juga meningkat. Salah satu cara untuk mendapatkan sumber energi adalah melalui sektor pertambangan. Pertambangan memiliki banyak manfaat, di antaranya untuk pemenuhan sumber energi dalam negeri, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan sumber devisa negara. Di sisi lain, sektor pertambangan membawa dampak buruk bagi kelestarian lingkungan. Sektor pertambangan batubara di Kalimantan diidentifikasi sebagai salah satu kegiatan ekonomi utama yang dapat menopang perekonomian Kalimantan di saat produktivitas sektor migas menurun. Sejak tahun 1996 hingga 2010, produksi batubara Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14.8% per tahun, dan pertumbuhan rata-rata ekspor batubara Indonesia adalah 15.1% per tahun. Sementara angka konsumsi batubara dalam negeri mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 13.8% per tahun dalam periode 1996–2010. Pada tahun 2010, jumlah produksi batubara mencapai 325 juta ton dengan jumlah ekspor 265 juta ton dan penggunaan domestik sebesar 60 juta ton atau 18% dari total produksi. Sektor kelistrikan merupakan pengguna batubara terbesar di dalam negeri. Negara tujuan utama ekspor batubara Indonesia adalah Jepang, Cina, India, Korea Selatan, dan beberapa negara ASEAN (Bappeda Kotabaru, 2011). Salah satu perusahaan yang melaksanakan kegiatan pertambangan batubara adalah PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS). PT BCS merupakan pemegang PKP2B No 009/PK/PTBA-BCS/1994 di Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sebelumnya, perusahaan ini telah melaksanakan penyusunan AMDAL dan telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada tanggal 24 September 1996 melalui surat No 3378.0115/SJ.T/1996 untuk melakukan kegiatan eksploitasi pada Blok Bingkuang, Kanibungan, Daeng Setuju dan Tanah Putih (AMDAL PT BCS, 2006). Umumnya, batubara terdapat pada lapisan di bawah permukaan bumi. Proses pengambilan batubara dilakukan dengan membongkar lapisan tanah. Berdasarkan laporan Rencana Penutupan Tambang (RPT) PT BCS, sistem penambangan terbuka mengakibatkan perubahan bentang alam seperti perubahan kemiringan lereng, pola hidrologi, susunan lapisan tanah, penurunan tingkat kesuburan tanah dan hilangnya vegetasi yang tumbuh di area tersebut. Selain itu, timbul masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, pencemaran air, perubahan iklim mikro, dan hilangnya habitat bagi satwa liar. Setelah kegiatan penambangan selesai, diperlukan upaya reklamasi agar lahan bekas tambang tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai peruntukannya. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu: (1) pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, (2) mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya (Direktorat Pengelolaan Lahan, 2006). Adapun tahapan detilnya meliputi penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi (penanaman kembali), dan pemeliharaan. Menurut UU Republik Indonesia No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan



2 pertambangan wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pasca tambang kepada pemerintah. Di PT BCS, kewajiban reklamasi dilaksanakan oleh divisi Enviro. Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tergantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu perencanaan lanskap untuk menata lahan pasca tambang agar tidak sekadar hijau kembali, namun juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang mendukung keberlanjutan lanskap dan kesejahteraan masyarakat sekitar daerah tambang dari segi ekologis dan ekonomi.



Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik lanskap pasca tambang batubara dan membuat perencanaan lanskap pasca tambang batubara sebagai arboretum di kawasan Tanah Putih, Desa Mandin, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.



Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PT Bahari Cakrawala Sebuku selaku pengelola untuk mengembalikan dan mengembangkan lahan pasca tambang di Pit Tanah Putih sesuai dengan karakteristik dan potensi tapaknya.



Kerangka Pikir Penelitian Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya lahan pasca tambang batubara di area reklamasi Pit Tanah Putih yang perlu segera direklamasi agar dapat digunakan untuk pemanfaatan selanjutnya. Pemanfaatan yang mengarah pada upaya konservasi akan mendukung keberlanjutan lanskap pasca tambang. Untuk itu, diperlukan pengambilan data baik dari aspek fisik, biofisik dan sosial. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh untuk mengetahui potensi dan kendala di tapak. Dari analisis tersebut, dilakukan sintesis untuk memberikan solusi permasalahan pada tapak dalam bentuk zonasi. Zonasi tersebut akan menjadi acuan untuk perencanaan lanskap pasca tambang yang berbasis konservasi sebagai arboretum sebagai upaya untuk mendukung keberlanjutan lanskap pasca tambang. Kerangka pikir penelitian dituangkan dalam diagram alir pada gambar 1.



3 Lahan pasca tambang batubara Reklamasi Pemanfaatan selanjutnya yang optimal berbasis konservasi



Aspek fisik      



Aspek biofisik



Lokasi dan aksesibilitas Tata guna lahan Karakteristik tanah Topografi dan kemiringan Iklim Hidrologi



 



Vegetasi Satwa



Aspek sosial  



Preferensi masyarakat Preferensi pengelola



Preferensi pemerintah (aspek legal)



Analisis deskriptif dan spasial Zonasi Rencana lanskap pasca tambang sebagai arboretum Gambar 1 Kerangka Pikir pikir Penelitian penelitian



4



TINJAUAN PUSTAKA Arboretum Menurut Kamus Kehutanan (1989) yang diacu dalam Ma’mur (2011), arboretum adalah kebun pepohonan yang merupakan bentuk konservasi plasma nutfah buatan manusia. Arboretum atau kebun raya merupakan suatu area yang sengaja dibuat sebagai display dan tempat menumbuhkan berbagai jenis tanaman pada strata semak, pohon, tanaman merambat maupun jenis lainnya. Perbedaan arboretum dengan kebun raya adalah arboretum merupakan tempat koleksi tanaman berkayu atau pepohonan sedangkan kebun raya lebih beragam dari segi jenis tanaman (Wyman 1960). Baskara (1998) mengemukakan arboretum merupakan kebun koleksi pepohonan atau tanaman kayu-kayuan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terutama kehutanan. Manfaat lain dari arboretum adalah sebagai pengatur tata air, pengendali erosi, pembentukan iklim mikro yang nyaman serta sebagai obyek wisata atau rekreasi alam. Manfaat arboretum bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan harus didukung dengan ketepatan memilih dan menentukan letak fasilitas pendukung arboretum. Pemilihan dan penentuan letak fasilitas pendukung yang tepat akan memberikan nilai unik dan kemudahan bagi pengunjung arboretum. Keberadaan sarana dan prasarana penunjang lainnya juga harus lengkap, baik sarana dan prasarana untuk tujuan pengelolaan, pendidikan, maupun kegiatan wisata. Pengaturan tanaman dalam kebun koleksi seperti arboretum dapat dikelompokkan menurut kekerabatan maupun manfaat tanaman. Hubungan kekerabatan tersebut didasarkan klasifikasi tanaman secara botani pada tingkat tertentu, misalnya famili. Selain itu, pengelompokan tanaman juga dapat berdasarkan ciri geografis, nilai ekonomi, kepentingan ekologi atau nilai estetika yang dimiliki tiap pepohonan tersebut (Taman 1955 dalam Ma’mur 2011). Konservasi terhadap kekayaan genetis yang mewakili flora dan fauna bertujuan untuk melestarikan dan mengamankan kekayaan biotik yang kita miliki. Menurut Dinas Kehutanan Republik Indonesia (1990) dalam Dinata (2009), konservasi flora dan fauna dapat dilaksanakan baik di dalam kawasan (in-situ), maupun di luar kawasan (ex-situ). Tujuan dari konservasi tersebut adalah untuk melindungi dan melestarikan jenis, terutama pada flora dan fauna yang tergolong langka. Konservasi in-situ dilakukan dengan membiarkan semua jenis flora dan fauna tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Konservasi tumbuhan secara ex-situ adalah upaya pelestarian, penelitian dan pemanfaatan tumbuhan secara berkelanjutan yang dilakukan di luar habitat alaminya. Salah satu alternatif bentuk aplikasi konservasi tumbuhan secara ex-situ adalah arboretum. Arboretum merupakan salah satu upaya untuk menangkar dan membudidayakan tanaman asli Indonesia. Selain itu, arboretum dapat ditata sedemikian rupa sehingga mampu menjembatani bentuk antara kebun raya dan kebun koleksi kehutanan, terutama dalam fungsinya sebagai sumber plasma nutfah.



5 Perencanaan Lanskap Lanskap menurut Simonds (2006) merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia. Suatu lanskap dikatakan alami jika area tersebut memiliki keharmonisan dan kesatuan antar elemen-elemen pembentuknya. Perencanaan adalah suatu alat sistematis yang dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut (Gold 1980). Nurisjah dan Pramukanto (2008) menyebutkan, perencanaan lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan yang berbasis lahan melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik, dan lestari. Perencanaan lanskap merupakan penataan lanskap berdasarkan potensi, amenity, kendala dan bahaya lanskap tersebut guna mewujudkan suatu bentukan lahan yang berkelanjutan, indah, fungsional dan memuaskan bagi penggunanya. Proses perencanaan meliputi proses pengumpulan dan penginterpretasian data, proyeksi ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam suatu bentang alam. Proses perencanaan yang baik dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan sumber daya, yaitu penentuan tipe cara alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya. 2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang. 3. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia. Hasil perencanaan lanskap disajikan dalam bentuk gambar pra-rencana dan gambar rencana lanskap. Gambar pra-rencana berupa gambar situasi awal dari tapak perencanaan dan gambar atau ilustrasi tahapan analisis dan sintesis, sedangkan gambar rencana lanskap berupa gambar konsep perencanaan, rencana penggunaan lahan, rencana penggunaan ruang, rencana pengembangan tapak, rencana induk lanskap, rencana tapak atau rencana lanskap, rencana penanaman, rencana atau program pengembangan, rencana anggaran biaya, dan rencana pelaksanaan (dalam skala mikro), serta berbagai bentuk gambar dan ilustrasi lainnya sesuai kebutuhan. Lanskap Pasca Tambang Menururt UU RI Nomor 4 Tahun 2009, kegiatan pasca tambang merupakan kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Kegiatan



6 penambangan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, terutama terhadap komponen lingkungan berikut: 1. Penurunan kualitas air akibat adanya erosi tanah 2. Penurunan muka air tanah dangkal karena dalamnya penggalian lubang tambang 3. Peningkatan erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup 4. Kehilangan potensi dan struktur vegetasi karena aktivitas pembersihan lahan (land clearing) sebelum pertambangan dimulai 5. Kehilangan satwa liar karena hilangnya habitat 6. Perubahan penggunaan lahan karena adanya penempatan proyek 7. Peningkatan kesempatan berusaha karena berkembangnya perekonomian lokal 8. Peningkatan potensi konflik sosial karena adanya pertentangan kepentingan dan kecemburuan sosial. Menurut Kusnoto & Kusumodihardjo (1995) dalam Adman (2012) dampak lingkungan akibat penambangan dapat berupa penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, erosi dan sedimentasi, gerakan tanah dan longsoran, gangguan terhadap flora dan fauna, gangguan terhadap keamanan dan kesehatan penduduk serta perubahan iklim mikro. Selain itu, air asam tambang dikenal sebagai masalah lingkungan utama dalam pertambangan batubara. Pencemaran air baik air permukaan maupun air tanah dalam juga dapat terjadi akibat penambangan batubara. Pertambangan dan Proses Penambangan Batubara Menurut UU RI Nomor 4 Tahun 2009, Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis. Batubara adalah endapan senyawa organik karbon yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Menurut Setyawan (2004) dalam Haris (2011) Sistem penambangan batubara di Indonesia pada umumnya adalah sistem penambangan terbuka dengan metode konvensional yang merupakan kombinasi penggunaan excavator dan truk. Urutan kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi: 1. Pembukaan lahan 2. Pengupasan dan penimbunan tanah penutup 3. Pengambilan dan pengangkutan tanah batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara Tahapan kegiatan penambangan yang dilakukan PT BCS secara umum adalah sebagai berikut: 1. Pembabatan semak dan perdu, penebangan pohon dan pemotongan kayu 2. Pembuatan kanal (untuk lokasi pit di rawa) 3. Operasi pengupasan tanah pucuk (top soil)



7 4. Pengupasan lumpur rawa (stripping mud) 5. Pengupasan overburden 6. Penambangan batubara. Untuk mengantisipasi limpasan air rawa, sebelum membongkar dan memindahkan overburden perlu dilakukan pembuatan kanal disekitar pit yang akan digali terutama pada bagian yang telah ditambang yaitu bagian Tenggara dan Selatan yang umumnya berupa endapan rawa yang ketebalan lumpurnya berkisar 1–2 m. Tujuan dari kanal ini untuk mengisolasi pit yang berada di daerah rawa, agar dapat dilakukan kegiatan penambangan. Kanal tersebut mengitari pit dengan lebar 5 m dan dalam sekitar 2 m. Limpasam air yang masih ada di dalam pit dikeluarkan ke kanal tersebut. Pengaturan air di dalam kanal akan digunakan pompa yang dapat mengeluarkan air dari kanal keluar menjauhi pit. Rencana penambangan yang dilakukan PT BCS pada tahap operasi meliputi penambangan batubara secara terbuka di daerah Tanah Putih, Kecamatan Pulau Sebuku, selama 6 tahun. Proses penambangan batubara yang dilakukan oleh PT BCS meliputi: 1. Pengupasan dan penimbunan lapisan lumpur rawa. 2. Pengupasan dan penimbunan lapisan tanah pucuk dan subsoil. 3. Pengupasan tanah penutup dengan kegiatan peledakan. 4. Penambangan batubara secara terbuka (open pit). 5. Penimbunan kembali lumpur rawa ataupun tanah penutup. 6. Pengelolaan lumpur rawa dan tanah penutup. 7. Pengangkutan batubara dari tambang sampai ke lokasi pengolahan/ pelabuhan. 8. Pencucian batubara. 9. Pemuatan batubara ke tongkang. Proses pengambilan batubara di Tanah Putih dapat dilihat pada gambar 2. Pembersihan Lahan (Land Clearing)



Pembuatan Kanal dan Bund



Pengupasan Top Soil



Pengupasan Lumpur/Stripping Mud (Daerah Rawa)



Peledakan



Pengupasan Tanah Penutup (Stripping Over Burden)



Penggalian Batubara



Gambar 2 Proses penambangan batubara di Tanah Putih Sumber: AMDAL PT BCS, 2006



8 Reklamasi Lahan Bekas Tambang Menurut UU RI No 4 Tahun 2009, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Tujuan akhir reklamasi lahan pasca penambangan adalah pilihan optimal dari berbagai keadaan dan kepentingan. Tujuan reklamasi tidak boleh ditentukan sendiri oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan karena reklamasi menyangkut kepentingan berbagai pihak termasuk masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Penetapan tujuan reklamasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Jenis mineral yang ditambang. 2. Sistem penambangan yang digunakan. 3. Keadaan lingkungan setempat. 4. Keadaan dan kebutuhan sosial-ekonomis masyarakat setempat. 5. Keekonomian investasi mineral. 6. Perencanaan tata ruang yang telah ada. Pelaksanaan reklamasi meliputi tahapan kegiatan penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi (penanaman kembali) dan pemeliharaan. Menurut Suprapto (2008), secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang adalah: 1. Dampak perubahan dari kegiatan pertambangan. Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. 2. Rekonstruksi tanah. Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. 3. Revegetasi. Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh. 4. Pencegahan air asam tambang. Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan yang mengandung sulfida pada udara bebas. 5. Pengaturan drainase. Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir. 6. Tata guna lahan pasca tambang Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tergantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut.



9



METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di area reklamasi kawasan Tanah Putih di Desa Mandin Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Oktober 2013. Pengambilan data di lapang dilaksanakan selama 2 minggu, yaitu pada tanggal 24 April–5 Mei 2013. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 3.



Gambar 3 Lokasi penelitian Sumber: image.google.com, BAPPEDA Kotabaru, PT BCS



Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS untuk menunjukkan orientasi dan lokasi tapak, kamera digital untuk mengambil gambar kondisi yang ada di tapak, software komputer grafis seperti AutoCAD, Adobe Photoshop, Google SketchUp, Microsoft Office, serta alat tulis, alat gambar, dan kertas gambar untuk pengolahan data. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari peta dan data-data baik primer maupun sekunder. Berikut adalah data yang diambil untuk penelitian.



10 Tabel 1 Jenis, sumber data, metode pengambilan dan pengolahan data Sumber data



Metode pengambilan data



Metode pengolahan data



Letak, luas, aksesibilitas dan batas tapak Aspek fisik



Tapak, P4W IPB, PT BCS



Survei lapang, studi pustaka



Deskriptif, spasial



Tata guna lahan



BAPPEDA, PT BCS Tapak, PT BCS



Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, studi pustaka



Deskriptif, spasial



Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, studi pustaka



Deskriptif, spasial



Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, studi pustaka Survei lapang, wawancara Survei lapang, wawancara



Deskriptif



Jenis data Data umum



Tanah Topografi dan kemiringan Iklim



Tapak, PT BCS



Hidrologi



Tapak, PT BCS



Tapak, PT BCS



Deskriptif Deskriptif, spasial Deskriptif Deskriptif



Aspek biofisik Vegetasi



Tapak, PT BCS



Satwa



Tapak, PT BCS



Deskriptif



Aspek sosial Demografi Perilaku masyarakat Preferensi masyarakat Preferensi perusahaan



Tapak, P4W IPB, BPS Tapak, P4W IPB, BPS Tapak Tapak, PT BCS



Deskriptif Deskriptif Deskriptif



Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan sampai tahap perencanaan lanskap sebagai arboretum di pit Tanah Putih yang meliputi cell 7, 20, 21 dan 22. Hasil dari perencanaan ini dituangkan ke dalam gambar rencana lanskap. Tahapan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti proses perencanaan menurut Gold (1980). Tahapan perencanaan dimulai dari kegiatan persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan lanskap. Tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar berikut.



11 Persiapan



Usulan penelitian, perijinan penelitian, perumusan masalah



Inventarisasi



Data umum : Letak, batas, dan luas tapak Data fisik : Lokasi dan aksesibilitas, tata guna lahan, karakteristik tanah, topografi dan kemiringan, iklim, hidrologi Data biofisik : Vegetasi, satwa Data sosial : Demografi, preferensi masyarakat, preferensi pengelola (PT BCS), preferensi pemerintah (aspek legal)



Analisis



Analisis secara deskriptif kuantitatif dan spasial menghasilkan peta kesesuaian lahan, potensi dan kendala pada tapak beserta pemanfaatan dan pemecahan masalah



Sintesis



Zonasi Konsep



Perencanaan



Rencana lanskap arboretum di lahan pasca tambang Pit Tanah Putih



Gambar 4 Tahapan Penelitian Sumber: Gold, 1980 (dimodifikasi)



Persiapan Persiapan awal meliputi perumusan masalah dan penetapan tujuan penelitian. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data-data sekunder terkait topik dan area perencanaan. Hasil pada tahap ini berupa proposal penelitian dan perizinan. Inventarisasi Inventarisasi adalah tahap pengumpulan data primer dan data sekunder. Data yang diambil pada tahap inventarisasi meliputi aspek fisik, biofisik dan sosial. Metode pengambilan data adalah melalui survei lapang, wawancara dengan penduduk setempat dan pengelola serta studi pustaka. Data terkait aspek fisik dan biofisik didapat melalui studi pustaka dari dokumen-dokumen PT BCS berupa peta, data kuantitatif dan kualitatif serta survei lapang berupa pengambilan foto kondisi lapang. Studi pustaka juga didapat dari jurnal, laporan, dan skripsi yang berkaitan dengan topik penelitian. Data terkait aspek sosial terutama yang



12 berkaitan dengan preferensi masyarakat didapat melalui wawancara secara tertutup kepada masyarakat setempat. Pertanyaan yang diajukan saat wawancara mengacu pada pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Analisis Analisis dilakukan terhadap data yang sudah didapatkan terkait aspek fisik, biofisik dan aspek sosial. Analisis terhadap aspek fisik dan biofisik dilakukan untuk mengetahui potensi dan kendala tapak terkait pengembangan tapak tersebut. Analisis sosial dilakukan untuk melihat keinginan dan preferensi pihak-pihak terkait yang meliputi masyarakat dan pengelola serta pemerintah melalui aspek legal. Analisis ini mengacu hasil wawancara dan data-data sekunder. Analisis dilakukan melalui metode spasial dan deskriptif kuantitatif. Analisis secara spasial dilakukan terhadap kemiringan lahan, penggunaan lahan dan penutupan vegetasi. Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan memberikan skor pada tiap kriteria yang telah ditentukan dari masing-masing aspek. Kemudian dilakukan overlay untuk mendapat peta komposit yang menunjukkan zonasi menurut tingkat kesesuaiannya. Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan terhadap semua aspek untuk mengetahui potensi dan kendala yang ada di tapak disertai pemanfaatan dan pemecahan solusinya. Sintesis Pada tahap sintesis diperoleh pengembangan tapak berdasarkan hasil analisis spasial maupun deskriptif. Hasil dari sintesis berupa zonasi kesesuaian lahan. Selanjutnya adalah penentuan konsep dasar dan pengembangan konsep. Pengembangan konsep meliputi konsep ruang, aksesibilitas dan sirkulasi, aktivitas serta vegetasi. Konsep akan menjadi acuan dalam perencanaan lanskap area tersebut. Perencanaan lanskap Perencanaan lanskap merupakan tahap yang mengacu pada rencana blok untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan dalam menata lahan pasca tambang sebagai arboretum. Pada tahap ini didapat hasil akhir dalam bentuk grafis berupa rencana lanskap yang mencakup rencana ruang, sirkulasi, vegetasi, aktivitas dan fasilitas beserta deskripsi masing-masing. Pada tahap ini juga dilakukan perhitungan daya dukung menurut Boulon dalam WTO dan UNEP (1992) dalam Nurisjah (2007) dengan rumus sebagai berikut. DD = A x S



T = DD x K



Keterangan: DD : Daya dukung K : Koefisien rotasi A : Area yang digunakan wisatawan N : Jam kunjungan per hari area yang diizinkan S : Standar rata-rata individu R : Rata-rata waktu kunjungan T : Total hari kunjungan yang diperkenankan



K = N/R



13



HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kawasan Kawasan Tanah Putih terletak di bagian tengah sebelah barat di Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis, kawasan ini terletak di antara 116°20'15" sampai 116°21'00" BT dan 3°31'15" sampai 3°32'15" LS. Secara administratif, Kawasan Tanah Putih termasuk ke dalam wilayah Desa Mandin. Lokasi Kawasan Tanah Putih dapat dilihat pada gambar 5.



Gambar 5 Peta Citra Lidar Pulau Sebuku Sumber: P4W IPB (2013)



Kawasan Tanah Putih dapat ditempuh melalui jalur air dengan menggunakan speed boat selama 2 jam dari Kotabaru menuju pelabuhan khusus yang dibangun BCS di daerah Tanjung Kepala. Kawasan tersebut juga dapat ditempuh melalui jalur udara dengan pesawat Twin Otter selama 55 menit dari Balikpapan menuju airstrip milik PT BCS. Kegiatan penambangan batubara oleh PT BCS dimulai tahun 1998 setelah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Departemen Kehutanan. Perjanjian Pinjam Pakai tersebut ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1998 dan diperbarui oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 29 Mei 2009. PT BCS mengeksploitasi wilayah pinjam pakai melalui aktivitas penambangan batubara dengan metode tambang terbuka (open pit).



14 Sebelum penambangan, Kawasan Tanah Putih merupakan area rawa yang didominasi lumpur yang bersifat sulfat masam. Topografi awalnya berupa dataran rendah dengan hamparan rumput kering dan sebagian rawa merupakan daerah pasang surut air laut. Setelah penambangan, kawasan ini berubah menjadi area terbuka yang gersang dan terdapat void atau lubang besar bekas galian batubara yang akan dijadikan danau. Sebagian area yang telah direklamasi berubah menjadi dataran yang lebih tinggi. Kondisi Tanah Putih sebelum dan sesudah penambangan dapat dilihat pada Gambar 6.



(a) Bentang alam sebelum penambangan



(b) Bentang alam setelah penambangan Gambar 6 Kondisi Tanah Putih sebelum dan setelah penambangan Sumber: (a) PT BCS, 2006; (b) dokumentasi lapang 2013



Kawasan bekas tambang di Tanah Putih yang dimanfaatkan sebagai lokasi penelitian memiliki luas 223 ha. Sebagian besar area perencanaan merupakan area yang telah direklamasi. Batas area lokasi penelitian adalah sebagai berikut: Utara : engineering office, area reklamasi Barat : void, Cagar Alam hutan mangrove Selatan : hutan produksi Timur : hutan produksi Aspek Fisik Lokasi dan Aksesibilitas Lokasi penelitian Jaringan jalan di Pulau Sebuku terdiri dari jalan utama dan jalan perusahaan. Jalan utama merupakan jalan kabupaten yang membujur dari arah utara-selatan di tengah pulau yang menghubungkan beberapa desa sebagai sarana transportasi utama. Jalan utama disebut Sabuk Tengah untuk menandainya. Selain jalan utama,



15 di Pulau Sebuku terdapat jalan perusahaan pertambangan yang terletak di bagian utara dan selatan pulau. Jalan perusahaan yang terletak di bagian utara disebut Sabuk Utara sedangkan yang terletak di bagian selatan disebut Sabuk Selatan. Peta jaringan jalan di Kecamatan Pulau Sebuku dapat dilihat pada Gambar 7.



Gambar 7 Peta jaringan jalan Kecamatan Pulau Sebuku Sumber: P4W IPB (2011)



Akses utama ke kawasan Tanah Putih berupa jalan tanah yang tidak dilakukan pengerasan dan hanya diperuntukkan bagi kendaraan ringan. Jalan akses di wilayah Tambang Sebuku dibangun pada tahun 1997 seiring dengan dimulainya kegiatan penambangan. Sebagian besar dari jalan tersebut mengikuti alur jalan setapak yang telah ada sebelumnya. Jalan tersebut diklasifikasikan sebagai struktur permanen karena pentingnya sebagai akses untuk keperluan pemantauan dan pemeliharaan lahan yang telah direklamasi oleh PT BCS. Sarana transportasi untuk menjangkau lokasi tersebut adalah dengan menggunakan mobil



16 perusahaan. Saat ini jalan perusahaan hanya diakses oleh perusahaan dan tidak terbuka untuk umum. Tata Guna Lahan Lokasi penambangan kawasan Tanah Putih merupakan lahan negara yang sebagian besar belum atau tidak digarap. Letaknya berada di daerah rawa dan sebelah baratnya berbatasan langsung dengan hutan cagar alam mangrove. Berdasarkan SK Menhut Nomor: 453/Kpts-II/1999 daerah tambang PT BCS di Tanah Putih berada dalam status kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Konversi (Gambar 8). Setelah masa pinjam pakai berakhir, kawasan tersebut akan dikembalikan menjadi hutan produksi atau dikembangkan untuk pemanfaatan yang lain selama tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan.



Gambar 8 Peta kawasan hutan Kecamatan Pulau Sebuku Sumber: P4W IPB (2011)



17 Sejumlah kegiatan akan diizinkan untuk dilakukan di dalam area bekas penambangan BCS apabila sesuai dengan ketentuan hukum mengenai Hutan Produksi Tetap dan Hutan Lindung/Cagar Alam, serta tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pinjam pakai. Kegiatan-kegiatan yang diizinkan tersebut antara lain: 1. Budidaya perairan dan perikanan; 2. Memanen produk-produk selain kayu, misalnya buah-buahan, buah kemiri, pisang kelapa dan lain-lain; 3. Kegiatan pendidikan dan wisata alam, seperti penelitian, kunjungan lapangan, pengamatan burung, pengamatan ikan dan lain-lain. Penutupan lahan di lokasi penelitian sebagian besar berupa area yang telah direklamasi di bagian timur. Area ini telah berubah menjadi hutan kembali. Penutupan tajuk dan densitas tanaman terpantau cukup baik. Sebagian lain penutupan lahan di tapak berupa rawa-rawa atau cekungan yang tergenang air. Penutupan lainnya berupa area terbuka denagn hamparan rumput yang gersang. Jenis dan Karakteristik Tanah Jenis tanah yang terdapat di Tanah Putih adalah entisol atau tanah rawa. Secara umum, tanah jenis entisol memiliki kejenuhan basa bervariasi, pH berkisar asam hingga basa dan KTK untuk setiap lapisan tanah bervariasi. Tanah entisol cenderung memiliki tekstur yang kasar dengan kadar bahan organik dan nitrogen rendah, mudah teroksidasi dengan udara. Kelembaban dan pH tanah entisol selalu berubah. Hal ini karena tanah entisol selalu basah dan terendam dalam cekungan. Pada tanah entisol tidak terdapat hewan-hewan seperti cacing karena keadaanya yang kurang subur. Komposisi mineralnya adalah mineral kuarsa dan oksida besi. Tanah di kawasan Tanah Putih umumnya bertekstur liat dengan kandungan fraksi liat berkisar 58–73%. Kandungan liat menurun dengan semakin dalamnya lapisan tanah. Ditinjau dari perbandingan fraksi, tanah di wilayah tersebut bukan merupakan tekstur tanah yang ideal karena daya lekat (kohesif) yang sangat tinggi. Hal itu menyebabkan tanah mudah menjadi lumpur dalam keadaan basah tetapi menjadi keras dan berbongkah dalam keadaan kering. Setelah proses penambangan selesai, struktur tanah yang ada di tapak sangat berbeda dari struktur awalnya. Tanah tidak memiliki profil karena terbolak-balik saat penggalian dan penutupan kembali. Tanah terbagi menjadi dua jenis yaitu, tanah yang diberi lapisan topsoil dan overburden atau batuan penutup yang berasal dari galian batubara. Secara umum keduanya kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Namun tanaman lebih toleran di tanah yang ditutup dengan overburden dibandingkan di tanah yang diberi lapisan topsoil. Hal itu karena lapisan topsoil yang disebar hanya setebal 5–10 cm dari ketebalan yang seharusnya yaitu 30 cm. Selain itu, tanah di bawah lapisan topsoil memiliki pH lebih rendah sehingga kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Jenis tanah entisol dapat dikembangkan apabila dilakukan pengelolaan khusus seperti misalnya melalui sistem drainase untuk mengairi tanah ketika kadar asamnya mulai rendah. Pemupukan juga perlu dilakukan untuk memperbaiki unsur hara tanah. Salah satu alternatif pemupukan adalah dengan menggunakan cendawan mikoriza arbuskular sebagai pupuk biologis. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Selain sebagai pupuk biologis, cendawan ini dapat membantu



18 pertumbuhan tanaman, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman pada lahan kritis yang tercemar logam berat seperti lahan bekas tambang. Berdasarkan analisis tersebut, sifat tanah di area yang akan direncanakan di termasuk dalam kelas yang memiliki faktor penghambat yang cukup banyak. Semakin tinggi kelas kemampuan lahan, kualitas lahannya semakin buruk, resiko kerusakan dan pilihan penggunaan lahannya semakin terbatas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Untuk itu, lahan tersebut harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dihutankan. Topografi dan Kemiringan Lahan Bentang alam Tanah Putih sebelum dilakukan penambangan merupakan areal rawa yang didominasi oleh lumpur rawa yang bersifat sulfit masam. Topografi awal areal Tanah Putih merupakan dataran rendah, dimana sebagian adalah rawa yang mengalami pasang surut. Saat kegiatan penambangan berlangsung, area tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara bagi tanah galian lubang tambang. Hal itu menyebabkan perubahan topografi lahan setelah kegiatan penambangan selesai. Kawasan bekas tambang di Tanah Putih umumnya memiliki ketinggian yang beragam setelah kegiatan penambangan. Sebelum ditambang, kawasan ini didominasi oleh topografi yang cukup datar. Adanya kegiatan penambangan membuat rona lanskap kawasan ini berubah. Kegiatan penambangan meninggalkan bekas lubang-lubang yang sangat dalam. Hal ini menyebabkan topografi di kawasan ini cukup dinamis. Lokasi penelitian didominasi topografi yang relatif datar dengan kemiringan 0–8%. Ketinggian maksimum mencapai 30 mdpl ditengah area perencanaan dan terus menurun hingga ketinggian 0 mdpl ke sebelah barat daya. Kawasan ini hanya memiliki sedikit kemiringan yang curam. Area dengan kemiringan yang curam hingga terjal perlu perhatian khusus karena lebih rawan bahaya erosi. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan meminimalisasi rencana aktivitas atau pemberian tanaman konservasi. Iklim Suhu udara pada siang hari di lokasi kegiatan PT BCS dan daerah sekitarnya berkisar antara 29–330C. Kelembapan pada siang hari berkisar antara 47.5–68%. Suhu tertinggi dan kelembapan terendah terjadi di lokasi tambang Tanah Putih. Hal ini disebabkan sebagian besar daerah tersebut merupakan daerah yang terbuka. Curah hujan (mm)



300 250 200 150 100 50 0



Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Oct Nov Des Bulan



Gambar 9 Rata-rata curah hujan bulanan tahun 1998–2012 di Tanah Putih Sumber: PT BCS (2013)



19 Berdasarkan data pengamatan yang didapatkan dari PT BCS, diketahui bahwa curah hujan di lokasi penelitian cukup tinggi dari bulan Desember hingga bulan Juli. Curah hujan yang tinggi sepanjang tahun menyebabkan ketersediaan air melimpah. Hal itu menyebabkan volume limpasan air cukup banyak dan dapat menimbulkan erosi yang membawa material tanah penutup. Untuk itu, perlu penanaman jenis vegetasi dengan keragaman vertikal mulai dari groundcover, semak, hingga pohon dengan beragam ketinggian untuk mengurangi volume limpasan air hujan yang langsung jatuh ke tanah. Tingginya suhu dan kelembaban yang rendah pada siang hari membuat kawasan tersebut kurang nyaman untuk aktivitas manusia. Penanaman vegetasi pioner merupakan solusi untuk perbaikan iklim mikro di kawasan tersebut. Vegetasi pioner seperti akasia dan sengon telah terbukti adaptif terhadap kondisi ekstrim seperti pada lahan bekas tambang. Pertumbuhannya yang cepat, sistem perakaran intensif, serta tajuk yang melebar dan berlapis membuat penutupan lahan juga cepat terjadi sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi. Hidrologi Sumber air di Tanah Putih terdiri dari air permukaan dan air tanah. Air permukaan berasal dari 2 sumber yaitu air hujan yang langsung jatuh ke permukaan tanah dan air limpasan. Air limpasan umumnya berasal dari daerah tangkapan air hujan di sekitar lokasi tambang. Secara umum, kualitas air tanah di tapak kurang baik. Hal itu ditandai dengan warna kecoklatan dan sampah yang ikut mengalir bersama air sungai terutama saat musim hujan. Berdasarkan data pengamatan yang dilakukan PT BCS, sumber air tambang per tahun di Tanah Putih adalah: air hujan langsung sebanyak 2 940 m3/hari, air limpasan sebanyak 51 492 m3/hari, dan air tanah sebanyak 0.023 m3/hari. Data kedalaman air tanah di wilayah tambang PT BCS dilakukan pada waktu pelaksanaan pengeboran batubara. Pada musim kemarau kedalaman air tanah mencapai lebih dari 10 m, sebaliknya pada musim penghujan kurang dari 5 m. Sebaran air tanah cukup merata dan terdapat pada tanah pelapukan dan lumpur rawa. Dengan demikian wilayah kajian merupakan akuifer dangkal terbuka dengan produktif sedang. Berdasarkan dokumen AMDAL, Pengukuran debit dari mata air yang airnya dimanfaatkan penduduk sebagai air bersih, didapat hasil sebesar 0.10–0.25 liter per detik.



Aspek Biofisik Vegetasi Kawasan Tanah Putih berbatasan langsung dengan hutan mangrove selebar 300 m dari Selat Sebuku yang berada di sebelah barat pulau. Sebelum penambangan, kawasan Tanah Putih merupakan hamparan rumput kering dengan sedikit vegetasi lain yang bercampur secara spot-spot seperti rumput beluntas, apiapi, genjoran, walingi, nipah, pakis rawa, rumput teki dan bati-bati. Jenis vegetasi tersebut terdapat dalam berbagai tingkat mulai dari groundcover sampai pohon. Seiring dengan proses penambangan, dilakukan revegetasi untuk mengembalikan penutupan lahan dan kesuburan tanah di kawasan Tanah Putih.



20 Berdasarkan dokumen RPT BCS (2012), jenis tanaman yang dikembangkan diantaranya Akasia, Sengon,Gmelina, Trembesi, Johar, Kemiri, Karet, Durian, Madang Bakau, Sungkai, Halaban, Rambutan, Galam, Nangka, dan Jambujambuan. Revegetasi di area perencanaan awalnya dilakukan di dua lokasi yaitu plot 1 dengan tahun tanam 2008 dan dan plot 2 dengan tahun tanam 2009 yang lokasi penanamannya relatif lebih kering. Keduanya berada di cell paling luas di area perencanaan yaitu cell 20. Berikut adalah tabel perkembangan jenis tanaman pada plot 1 dan plot 2 Tanah Putih. Parameter yang digunakan dalam pemantauan adalah besarnya diameter dan riap diameter tanaman/triwulan. Tabel 2 Perkembangan jenis tanaman pada plot 1 Tanah Putih (tahun tanam 2008) Diameter periode Diameter periode I (cm) II (cm) Akasia 4,14 4,45 Crasicarpa 7,90 8,53 Galam 8,33 9,06 Kariwaya 4,30 5,01 Mahoni 1,50 1,59 Sengon 4,68 4,80 Sumber: Dokumen Rencana Penutupan Tambang BCS, 2012 Nama jenis



Riap triwulan (cm) 0,32 0,36 0,74 0,72 0,10 0,13



Tabel 3 Perkembangan jenis tanaman pada plot 2 Tanah Putih (tahun tanam 2009) Nama jenis



Diameter Diameter periode periode I (cm) II (cm) Akasia 5,41 10,02 Gmelina 4,45 5,41 Johar 4,14 6,05 Sengon 3,98 7,45 Sungkai 3,34 5,79 Trembesi 3,18 4,84 Sumber: Dokumen Rencana Penutupan Tambang BCS, 2012



Riap triwulan (cm) 4,61 0,95 1,91 3,47 2,45 1,65



Perkembangan tanaman di lokasi tersebut terpantau cukup baik. Densitas tanaman cukup rapat dan biomassa mulai terbentuk. Serasah yang berasal dari daun-daun kering akan menjadi sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Adanya vegetasi juga dapat meningkatkan kualitas iklim mikro di area tersebut sehingga relatif lebih nyaman dibandingkan sekitarnya. Stabilitas tanah pun meningkat seiring bertambahnya usia tanaman reklamasi. Kondisi tersebut berbeda dengan bagian lain di sebelah barat yang baru dilakukan revegetasi melalui hydroseeding sejak tahun 2012. Cover crop atau tanaman penutup tanah yang ditanam melalui hydroseeding bertujuan untuk melindungi tanah dari pengikisan akibat limpasan air hujan. Selain itu, cover crop dapat menambah biomassa yang dapat meningkatkan produktivitas tanah. Pada tahap awal jenis tumbuhan yang dipilih hendaknya mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Untuk lahan bekas tambang, kondisi lingkungan yang ekstrim seperti ketersediaan unsur hara yang rendah, suhu relatif tinggi, kemasaman tanah tinggi, drainase kurang baik, kelembaban rendah, salinitas tinggi, dan intensitas cahaya tinggi merupakan faktor-faktor lingkungan



21 yang harus dipertimbangkan dalam memilih spesies yang akan digunakan untuk kegiatan restorasi (Rahmawaty, 2002).



(a) (b) Gambar 10 Revegetasi berumur 5 tahun (a) dan 1 tahun (b) Sumber: Dokumentasi lapang (2013)



Setelah dilakukan revegetasi dengan tanaman pioner fast growth, area yang direncanakan akan ditanami beragam spesies lokal Sebuku dan Kalimantan. Menurut studi AMDAL 2006 disebutkan bahwa tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi antara lain Akasia (Acacia mangium), Sengon (Paraserianthes falcataria), Sungkai (Peronema canescens) serta bila memungkinkan bisa ditanam tanaman lokal seperti Kelapa (Cocos nucifera) dan Kasturi (Mangifera casturi). Selain lebih mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada, pemilihan spesies lokal juga dimaksudkan untuk mengundang satwa lokal yang ada di sekitar tapak. Tabel 4 Vegetasi yang direkomendasikan di Tanah Putih Spesies Acacia mangium Paraserianthes falcataria Peronema canescens Cocus nucifera Mangifera casturi Havea brasiliensis Aleurites moluccana Paraserianthes sp Nephelium lappaceum Mangifera indica Glerisidia maculate Anacardium occidentale Litsea monopelata Alstonia scholaris Sumber: AMDAL PT BCS (2006)



Nama Lokal Akasia Sengon Sungkai Kelapa Kasturi Karet Kemiri Sengon buto Rambutan Mangga Gamal Jambu Mete Madang Bakau Pulantan



Satwa Berdasarkan dokumen AMDAL BCS (2006), satwa liar di kawasan cagar alam sekitar wilayah penambangan PT BCS didominasi oleh jenis aves, kemudian disusul mamalia, reptil, dan amfibi. Kehadiran jenis aves didominasi oleh burung-



22 burung yang memiliki habitat terbuka dan burung air. Terdapat 35 ( jenis burung pada lokasi pengamatan. b Satwa liar jenis mamalia, reptil dan amfibi hanya sesekali) terlihat. Yang sering ditemui langsung di lapangan di antaranya monyet ekor panjang, tupai, kadal tanah, biawak, timpakul/glodok dan katak. Selain itu, terdapat satwa yang dilindungi seperti elang bondol, cekakak kecil, bangau, menjangan, kukang, dan bekantan. Satwa yang terdapat di sekitar lokasi tambang PT BCS dapat dilihat pada Tabel 5. Saat ini di tapak masih belum banyak dijumpai satwa liar. Seiring dengan meningkatnya kualitas lingkungan di tapak, satwa yang ada di sekitar kawasan tersebut akan datang dengan sendirinya apabila tersedia habitat dan sumber makanan yang disukai satwa tersebut. Untuk itu, diperlukan waktu dan perencanaan untuk mendatangkan satwa liar di tapak. Tabel 5 Satwa yang terdapat di sekitar lokasi tambang PT BCS No Nama Lokal 1 Mamalia Tikus besar lembah Babi hutan Menjangan * Owa-owa* Monyet ekor panjang Berang-berang Musang Tupai Bajing Kukang* Bekantan* 2 Reptil Kadal tanah Biawak Kadal hijau Ular tadung Ular air Ular hijau Ular sawah 3 Amfibi Katak Katak hijau Katak sawah Timpakul/Glodok



Nama Ilmiah



Sumber



Sundamys muelleri Sus barbatus Cervus unicolor Hylobates muelleri Macaca fascicularis Cynogale bennetti Paradoxurus hermaphroditus Sundasciurus lowii Callosciunus orates Nycticebus coucang Nasalis larvatus



Jejak, wawancara Jejak, wawancara Jejak, wawancara Terlihat Wawancara Wawancara Wawancara Terlihat, wawancara Wawancara Wawancara Wawancara



Calotus jubatus Veranus salvator Mabuia multifasciata Ophiophagus hannak Hemalophagus hannak Leptophis ahaetulla Bangarus fasciatus



Terlihat Terlihat Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara



Rana sp Rana limnocharis Rana erythraea Periopthalmus novemradiatus



Wawancara Terlihat, wawancara Terlihat, wawancara Terlihat, wawancara



Keterangan: * = dilindungi UURI (AMDAL PT BCS, 2006)



Aspek Sosial Berdasarkan data dari PPLKB Kecamatan Pulau Sebuku, jumlah penduduk Kecamatan Pulau Sebuku tahun 2011 mencapai 7 832 jiwa dengan kepadatan total sekitar 30 jiwa/km2. Tabel berikut menunjukkan jumlah dan kepadatan penduduk Kecamatan Pulau Sebuku tahun 2011.



23 Tabel 6 Kepadatan penduduk Kecamatan Pulau Sebuku tahun 2011 Desa Sekapung Kanibungan Mandin Belambus Sarakaman Sungai Bali Rampa Tanjung Mangkuk Total



Luas (km2) 37 46 29 12 34 34 17 36,5 245,5



Jumlah Penduduk 1495 674 533 329 809 1354 1493 695 7832



Kepadatan (Jiwa/km2) 40 15 18 27 24 40 88 19 30



Sumber: PPLKB Kecamatan Pulau Sebuku (2012)



Aktivitas utama yang dilakukan sebagian besar masyarakat Pulau Sebuku selain adalah kegiatan pertanian. Komoditas utama yang dihasilkan adalah tanaman karet. Masyarakat cenderung menghabiskan waktu luangnya untuk kegiatan yang bersifat produktif dan menghasilkan uang. Kegiatan yang bersifat rekreatif jarang dilakukan. Hal itu karena tidak adanya tempat rekreasi di kawasan tersebut. Jika ingin berlibur, masyarakat harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk sampai ke tempat rekreasi terdekat di Kotabaru yang berada di luar Pulau Sebuku. Kegiatan rekreatif yang sering dilakukan masyarakat adalah memancing dan piknik. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Pembakal (Kepala Desa) Belambus dan Mandin, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan lahan pasca tambang dihutankan kembali. Masyarakat setuju kawasan tersebut dijadikan kebun koleksi. Hal ini sejalan dengan rencana yang dilakukan oleh PT BCS. Tabel 7 Sumber penghasilan utama masyarakat Pulau Sebuku Desa Sekapung Kanibungan Mandin Belambus Sarakaman Sungai Bali Rampa Tanjung Mangkuk



Sumber Penghasilan Pertambangan Pertambangan Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian



Komoditas Utama Perikanan Tangkap Karet Karet Karet Karet Karet Perikanan Karet



Sumber: P4W IPB (2011)



Analisis Lokasi dan aksesibilitas Lokasi penelitian merupakan lahan tempat menyimpan material penutup tanah yang sebagian besar telah kembali menjadi hutan produksi. Pemilihan lokasi penelitian dilatarbelakangi oleh potensi pemanfaatan lahan yang belum



24 direncanakan secara optimal karena tapak masih dalam tahap rehabilitasi. Kawasan Tanah Putih berbatasan langsung dengan cagar alam hutan mangrove. Selain itu, di dalam kawasan tersebut terdapat void atau danau bekas galian tambang dan kegiatan penambangan yang masih aktif. Hal itu menjadi potensi daya tarik bagi pengunjung melalui pemandangan alam, keunikan vegetasi yang terdapat di cagar alam hutan mangrove, serta edukasi tentang proses penambangan batubara. Permukiman terdekat dari lokasi penelitian yaitu Desa Mandin dan Belambus yang berjarak 1.5–3 m dari tapak. Wilayah Tanah Putih termasuk ke dalam kawasan pinjam pakai PT BCS dan saat ini masih tertutup untuk masyarakat umum. Wilayah tersebut dapat diakses dari pelabuhan khusus yang dibangun PT BCS Tanjung Kepala melalui jalan perusahaan pertambangan milik PT BCS yang berjarak sekitar 15 km. Untuk saat ini jalan tersebut hanya boleh diakses oleh perusahaan untuk keperluan pengangkutan batubara. Aksesibilitas menuju lokasi penelitian tidak didukung kondisi jalan yang baik. Jalan masih berupa tanah yang dipadatkan dengan kombinasi batuan dan kerikil (Gambar 11). Jalan tersebut cukup berbahaya karena licin saat hujan turun sehingga perlu dilakukan perbaikan jalan. Saat musim panas jalan tersebut berdebu sehingga sering dilakukan penyiraman.



Gambar 11 Kondisi jalan perusahaan menuju ke tapak Sumber: Dokumentasi lapang (2013)



Tata guna lahan Tata guna lahan pasca penambangan di Tanah Putih termasuk dalam status kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Konversi. Berdasarkan dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) PT BCS (2012), lahan yang telah selesai ditambang akan dikembalikan sebagai hutan produksi. namun tidak menutup kemungkinan lahan tersebut dikembangkan untuk kegiatan lain. Sejumlah kegiatan yang diizinkan untuk dilakukan di area pasca tambang sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian pinjam pakai antara lain: (1) budidaya perairan dan perikanan, (2) memanen produk-produk selain kayu, (3) kegiatan pendidikan dan wisata alam. Berdasarkan ketentuan tersebut, pengembangan lahan yang mengarah pada pelestarian plasma nutfah, pendidikan, dan budidaya tanaman kehutanan termasuk kegiatan yang diizinkan. Penutupan lahan di lokasi penelitian didominasi vegetasi yang ditanam untuk keperluan reklamasi. Selain itu, terdapat cekungan menyerupai rawa yang dibiarkan alami serta area terbuka yang belum ditanami vegetasi. Penutupan lahan berupa vegetasi atau area reklamasi cukup stabil dibanding area rawa dan area terbuka. Hal itu karena usia tanaman reklamasi yang ditanam sejak tahun 2008



25 sudah mengalami penutupan tajuk yang cukup rapat dan serasah sudah mulai terbentuk. Kondisi tersebut menyebabkan iklim mikro di area tersebut lebih nyaman dan tersedianya lingkungan tumbuh yang lebih baik bagi tanaman. Analisis spasial terhadap penutupan lahan dibagi ke dalam 3 klasifikasi yaitu sesuai, cukup sesuai dan kurang sesuai untuk pemanfaatan tapak. Area yang sesuai meliputi area reklamasi yang telah ditanami vegetasi. Area yang cukup sesuai merupakan area yang berupa lahan terbuka karena belum atau tidak ditanami vegetasi. Area yang kurang sesuai meliputi area berupa rawa eksisting yang dibiarkan alami. Peta analisis penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 13. Jenis dan karakteristik tanah Jenis tanah di wilayah Tanah Putih adalah tanah entisol. Tanah entisol termasuk tanah muda yang belum mengalami diferensiasi horizon. Proses pembentukan tanah berupa proses pelapukan bahan organik dan mineral, pencampuran bahan organik dan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur tanah karena pengaruh bahan organik tersebut. Sifat tanah muda masih didominasi oleh sifat bahan induknya. Status kesuburan tanah di wilayah Tanah Putih umumnya rendah. Revegetasi yang telah dilakukan belum mampu meningkatkan kesuburan tanah. rendahnya biomassa yang dihasilkan, pengelolaan lahan yang belum optimal serta lamanya waktu yang diperlukan untuk pemulihan lahan mempengaruhi tingkat kesuburan di wilayah ini. Selain itu, bentang alam lokasi penelitian sebelum penambangan yang didominasi rawa dan lahan yang selalu tergenang air menyebabkan kurang tersedianya top soil. Hasil analisis yang dibandingkan dengan segitiga tekstur tanah (Gambar 14) menunjukkan tanah di wilayah Tanah Putih umumnya bertekstur liat dengan kandungan fraksi liat berkisar 5863%. Tanah yang bertekstur liat tinggi mudah menjadi lumpur saat dalam keadaan basah sedangkan saat dalam keadaan kering menjadi keras dan berbongkah. Selain itu, tanah bertekstur liat memiliki laju infiltrasi rendah, kemampuan menahan air tinggi, potensial aliran permukaan (run off) tinggi pada lahan miring, serta kemampuan mengikat fosfor (P) tinggi. Langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemupukan dengan dosis P tinggi, penerapan teknik drainase khusus, dan penggunaan tanaman yang toleran.



Gambar 12 Peta penggunaan lahan eksisting



26



Gambar 13 Peta analisis penggunaan lahan



27



28



Gambar 14 Segitiga tekstur tanah (modifikasi dari image.google.com) Wilayah Tanah Putih umumnya memiliki tanah yang bersifat asam baik di lapisan top soil maupun sub soil. Tanah yang optimal bagi perumbuhan tanaman memiliki pH yang berkisar 6.5–7. Berdasarkan hasil analisis yang dibandingkan dengan, pH tanah di lokasi penelitian berkisar 4 (sangat masam) hingga 6 (agak masam). Untuk itu, diperlukan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah. Berdasarkan kriteria kesuburan tanah, KTK di lokasi penelitian umumnya rendah yaitu sekitar 12 cmol/kg. KTK yang rendah menunjukkan tingkat pencucian tanah relatif tinggi dan kation yang dapat ditukar terdapat dalam jumlah rendah. Ketersediaan kation basa tergolong rendah hingga sangat tinggi. Tingginya kation basa pada tanah masam disebabkan kation-kation tersebut terdapat dalam bentuk garam bebas. Pada tanah masam, tanaman sangat peka terhadap gejala keracunan aluminium (Al) dan logam berat karena rendahnya kation basa yang terikat dalam koloid tanah. Topografi dan kemiringan lahan Lokasi penelitian merupakan dataran rendah dengan topografi yang relatif datar. Variasi ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0–30 m dpl. Titik tertinggi terletak di tengah lokasi penelitian dan menurun ke sebelah timur dan barat. Topografi di bagian barat lebih berombak daripada di bagian timur. Di bagian barat yang menghadap jalan, permukaan tanahnya relatif datar sehingga berpotensi untuk penempatan area penerimaan dan pelayanan. Bagian tenggara terdapat cekungan yang tergenang air yang sebaiknya dibiarkan alami sedangkan di bagian timur didominasi area yang telah direklamasi yang sebagian telah kembali menjadi hutan. Area tersebut berpotensi untuk pemusatan koleksi tanaman. Selain karena umur tanaman reklamasi yang telah dewasa, topografinya yang datar memudahkan untuk pengembangan tapak dan memungkinkan adanya aktivitas manusia tanpa potensi bahaya terutama longsor. Kondisi topografi tapak beserta kemiringan lerengnya setelah penambangan disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16.



29 Analisis terhadap topografi dan kemiringan lahan secara spasial menghasilkan peta analisis kemiringan lahan yang dibagi menjadi 3 klasifikasi (Gambar 17). Klasifikasi tersebut meliputi area yang sesuai, cukup sesuai dan kurang sesuai. Area yang sesuai merupakan area yang memiliki kemiringan 0–8% atau tergolong datar hingga landai. Tingkat kemiringan tersebut memungkinkan pemanfaatan tapak untuk kegiatan yang lebih intensif. Area yang cukup sesuai merupakan area yang memiliki tingkat kemiringan 8–30%. Area dengan tingkat kemiringan tersebut masih bisa digunakan untuk aktifitas manusia namun sangat terbatas dan perlu diperhatikan aspek keamanannya. Area yang kurang sesuai merupakan area yang memiliki tingkat kemiringan > 30%. Area tersebut sebaiknya dibiarkan alami dan tidak digunakan untuk aktivitas manusia. Iklim Berdasarkan laporan pemantauan curah hujan bulanan rata-rata tahun 1998 hingga 2012, diketahui bahwa sepanjang tahun di Tanah Putih memiliki curah hujan >100 mm. Menurut sistem klasifikasi SchmidthFerguson yang banyak digunakan dalam bidang kehutanan dan perkebunan di Indonesia, bulan basah adalah bulan yang memiliki curah hujan >100 mm, bulan lembab memiliki curah hujan antara 60100 mm sedangkan bulan kering memiliki curah hujan