Lanskap Budaya Subak............ [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Lanskap Budaya



SUBAK



Universitas Mahasaraswati Press 2013



Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00- (satu juta rupiah) atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan dan barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)



Lanskap Budaya



SUBAK Belajar dari Masa Lalu Untuk membangun Masa Depan



Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS.



Universitas Mahasaraswati Press 2013



Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) LANSKAP BUDAYA SUBAK Belajar dari Masa Lalu untuk Membangun Masa Depan



Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved Penulis : Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS. Editor : Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS.



Penerbit:



UNMAS PRESS UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR Jl. Kamboja 11A Denpasar 80233 Telp/Fax. (0361) 227019 Web. www.unmas.ac.id Email. [email protected] [email protected]



ISBN: i - xv + 195 - hal, 15.5 cm x 23.5 cm



Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit



Welcome Message Sejak abad ke sembilan, sistem subak berkembang di Bali. Salah satu bukti tertulis dalam Prasasti Bebetin A1, yang intinya menjelaskan tentang peran undagi aungan (ahli pembuat bendungan), dan huma (istilah sawah dalam Bahasa Bali Kuno) pada tahun 892 Masehi. Pada tahun 2012, UNESCO memilih sistem subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Menurut UNESCO, subak mencerminkan dua nilai yg patut dihormati. Pertama, sejak awal sistem pengelolahan subak berdasarkan pada sistem demokratis, yakni melalui sangkepan (pertemuan) subak. Kedua, akar dan dasar sistem subak adalah filsafat Tri Hita Karana, yang mengutamakan hubungan antara parhyangan (spirit), pawongan (manusia) dan palemahan (alam semesta). Selain nilai-nilai tersebut, UNESCO juga melihat keindahan jagat (bumi) Bali, yang merupakan bukti dari kearifan leluhur masyarakat Bali, sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan WBD. Buku ini bertujuan membantu generasi muda untuk mengetahui dan memahami WBD tersebut. Kami pembaca mengucapkan terima kasih kepada Sang Putu Kaler Surata dan mahasiswa di Universitas Mahasaraswati, yang telah menyusun, dan mensosialisasikan buku ini kepada guru, mahasiswa calon guru, dan siswa sekolah di Bali. Sebelum mulai membaca, barangkali tepat mengingat mantram yang sering diucapkan oleh angota subak: Om sarwa prani hitangkaram (semoga semua mahluk yang bernafas memperoleh kebaikan). J. Stephen Lansing Professor of Anthropology, University of Arizona External Professor, Santa Fe Institute Senior Fellow, Stockholm Resilience Centre



~i~



Ucapan Terima Kasih Buku ini merupakan satu luaran dari hibah penelitian PEERScience, Amerika Serikat sesuai dengan surat perjanjian nomor PGA2000001985 dan AID-OAA-A-11-00012. Buku yang ditujukan pada mahasiswa calon guru, guru dan siswa jenjang pendidikan dasar dan menengah ini hanya dapat diselesaikan berkat bantuan, kemitraan, kerjasama dan kolaborasi dengan berbagai pihak. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada John Stephen Lansing (Guru besar dan peneliti dari Universitas Arizona Tucson Amerika Serikat). Lebih dari satu dasawarsa penulis bekerja sama dengan beliau dalam penelitian tentang berbagai aspek subak di Bali. Lusinan karya beliau, baik dalam bentuk buku maupun artikel bukan hanya memberikan motivasi melainkan menjadi sumber inspirasi bagi buku ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Rektor Universitas Mahasaraswati Denpasar, Ibu Tjok Istri Sri Ramaswati. Berkat izin dan terutama iklim akademik kondusif yang telah beliau kembangkan, memungkinkan penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini tidak dapat diterbitkan tanpa bantuan dari Kelly Robins dalam jabatan beliau sebagai Senior Program Officer, The National Academies Policy and Global Affairs, Amerika Serikat. Ucapan terima kasih disampaikan kepadanya. Puluhan mahasiswa, ratusan siswa dan petani dari berbagai subak turut memberikan kontribusi seiring dengan partisipasi mereka dalam penelitian yang dikoordinasikan oleh penulis. Beberapa teman, terutama Bapak I Wayan Alit Artha Wiguna (dari Balai Pengembangan Teknologi Pertanian Bali), Kevin Thompson (dari Universitas Florida Amerika Serikat), Ali Douraghy (dari USAID Indonesia), Ibu Utari Vipriyanti, Bapak Ketut Arnawa, dan Ibu Eka Martiningsih (Unmas Denpasar), serta Gungsri (dari STIBA Saraswati Denpasar) telah memberikan kontribusi dalam penyusunan dan penyuntingan buku. Penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka. Medio Juni 2013



Penulis



~iii~



Pengantar Penulis Lanskap budaya merupakan pemandangan yang dibentuk dari perpaduan antara pekerjaan alam dan perilaku manusia. Salah satu lanskap budaya paling terkenal ke berbagai negara, adalah sawah berteras milik subak di Bali. Subak merupakan organisasi tradisional para petani di Bali, yang bersifat mandiri dan demokratis untuk berbagi tanggungjawab dalam pengelolaan air irigasi dan pola tanam padi sawah. Lanskap budaya subak terkenal bukan hanya karena pemandangannya yang indah, tetapi lebih pada kekayaan kebudayaannya yang mencerminkan berbagai nilai kehidupan universal. Nilai itu berlaku bagi semua umat manusia, tanpa memandang perbedaan agama, bangsa, ras, gender dan generasi. Adanya nilai itu pula mendorong Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO), pada 12 Juni 2012 menetapkan lanskap budaya subak sebagai warisan budaya dunia. Subak dapat menjadi model yang tepat dan teruji bagi pembelajaran, karena mampu menghilangkan pembatas antara belajar di sekolah dan kehidupan nyata, antara ilmu alam dan ilmu sosial, antara sains modern dan sains tradisional, dan terutama pembatas antara generasi dan warisan kebudayaan leluhurnya. Sejarah perkembangan subak dapat memberikan fokus yang jelas tentang tantangan dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis lingkungan lokal. Pada saat ini subak menghadapi berbagai ancaman. Yang paling serius adalah minat generasi muda untuk bekerja dalam bidang pertanian sangat rendah. Kesan bekerja sebagai petani identik dengan penghasilan yang rendah, suasana kerja yang kotor, dan kurang terdidik mengakibatkan sebagian besar generasi muda Bali menjauhi budidaya bertani padi. Jika keadaan ini tetap dibiarkan, dapat dipastikan lanskap budaya subak tidak akan berkelanjutan. Konsekuensinya, kita bisa kehilangan identitas budaya sebagai aset berharga bagi generasi masa depan dalam beradaptasi secara lentur terhadap perubahan ekonomi, sosial, ekologi, dan budaya dunia. Buku ini memperkenalkan beberapa bentuk pembelajaran kontekstual dengan menggunakan lanskap budaya subak, baik sebagai model maupun “laboratorium alam.”



~v~



Daftar Isi Welcome Message .................................................................... i Ucapan Terima Kasih ........................................................... iii Pengantar Penulis .................................................................... v Daftar Isi ................................................................................ vii Daftar Gambar ....................... Error! Bookmark not defined. I Mengenal Sistem Subak ...................................................... 1 1.1 Pendahuluan ............................................................................ 1 1.2. Tujuan ...................................................................................... 2 1.3 Sejarah Sistem Subak .............................................................. 3 1.3.1 Tukad Pakerisan ................................................................ 3 1.3.2 Mata Air Sumber Irigasi Subak......................................... 3 1.4 Parhyangan .............................................................................. 8 1.4.1 Berbagai Pura Subak ......................................................... 9 1.4.2 Upacara Keagamaan Perseorangan ................................. 10 1.4.3 Upacara Keagamaan Berkelompok ................................. 13 1.4.4 Jejaring Kerja Pura Subak ............................................... 15 1.5 Pawongan .............................................................................. 16 1.5.1 Krama Subak ................................................................... 16 1.5.2 Organisasi Subak............................................................. 17 1.5.3 Awig-awig dalam Subak ................................................. 18 1.5.4 Beberapa Contoh Penataan Unsur Pawongan ................. 19 1.6 Palemahan.............................................................................. 22 1.6.1 Lanskap Subak Berteras .................................................. 23 1.6.2 Bangunan Irigasi ............................................................. 26 1.6.3 Pengalapan ...................................................................... 29 1.7 Pertanyaan ............................................................................. 31



II Subak sebagai Warisan Dunia ........................................ 33 2.1 2.2 2.2 2.3



Pendahuluan .......................................................................... 33 Tujuan .................................................................................... 34 Lanskap Budaya Subak ......................................................... 35 Pura Subak Utama: Pura Ulun Danu Batur ........................... 36 2.3.1 Pura Ulun Danu Batur ..................................................... 38 2.3.2 Sejarah Pura Ulun Danu Batur ........................................ 42 2.3.3 Pura Ulun Danu Batur dan Subak ................................... 44 2.4 Pura Subak Kuno dan Subak di Tampaksiring ...................... 46 ~vii~



2.4.1 Pura Tirtha Empul ........................................................... 46 2.4.2 Pura Pegulingan ............................................................... 50 2.4.3 Pura Mengening .............................................................. 52 2.4.4 Pura Gunung Kawi ......................................................... 55 2.4.5 Subaks Pulagan dan Kulub .............................................. 57 2.5 Subak dan Pura Subak Batukaru (Catur Angga Batukaru) ............................... Error! Bookmark not defined. 2.5.1 Pura Luhur Batukaru ....... Error! Bookmark not defined. 2.5.2 Pura Catur Angga Batukaru............................................. 63 2.5.3 Pura Luhur Pucak Petali .................................................. 64 2.5.4 Pura Luhur Besikalung .................................................... 65 2.5.5 2.5.5 Pura Tambawaras ............ Error! Bookmark not defined. 2.6 Subak dalam Catur Angga Batukaru ..................................... 70 2.6.1 Pura Subak Milik Raja: Pura Taman Ayun ..................... 72 2.6.2 Situs Taman Ayun ........... Error! Bookmark not defined. 2.6.3 Sejarah Pura Taman Ayun ............................................... 74 2.6.4 Pura Taman Ayun sebagai Pura Subak............................ 74 2.7 Pertanyaan ............................................................................. 78



III Keanekaragaman Hayati Dalam Subak ....................... 79 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8



Pendahuluan........................................................................... 79 Tujuan .................................................................................... 80 Keanekaragaman Gen ............................................................ 81 Keanekaragaman Spesies....................................................... 85 Keanekaragaman Ekosistem .................................................. 98 Manfaat Keanekaragaman Hayati Subak ............................. 108 Keanekaragaman Hayati dalam Kosmologi Orang Bali ...... 117 Pertanyaan ........................................................................... 119



IV Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak ........................... 121 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8



Pendahuluan......................................................................... 121 Tujuan .................................................................................. 122 Siklus Padi, Siklus Kehidupan ............................................. 123 Sains Modern dan Etnosains ................................................ 129 Lanskap Budaya sebagai Laboratorium Alam ..................... 138 MapPack: Paket Sains Art ................................................... 144 Integrasi Subak ke dalam Kurikulum .................................. 152 Pertanyaan ........................................................................... 168



GLOSARIUM ...................................................................... 169 DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 186



~viii~



I Mengenal Sistem Subak 1.1 Pen dah ulua n Bab 1 memperkenalkan sistem subak sebagai implementasi Tri Hita Karana (THK). Secara harfiah THK berarti tiga penyebab kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan. Manusia harus senantiasa berbakti pada Tuhan dengan cara menghormati segala ciptaan beliau. Bentuk penghormatan itu diwujudkan dengan melakukan hubungan yang harmonis antara sesama manusia, mahluk hidup lain dan lingkungan alam. Unsur THK terdiri atas parhyangan (kepercayaan terhadap Tuhan), pawongan (hubungan antarmanusia) dan palemahan (alam). Bagian pertama, sejarah subak menjelaskan kawasan yang diperkirakan merupakan tempat awal terbentuknya organisasi subak. Berbagai teknologi dalam mengatur air irigasi, bercocok tanam dan pengelolaan organisasi yang berkembang seiring dengan sejarah perkembangan subak dibahas pada bagian kedua. Bagian ketiga menguraikan unsur parhyangan terutama dalam bentuk berbagai kegiatan upacara keagamaan dalam subak. Implementasi pawongan sebagai unsur kedua dari THK dalam disajikan dalam bagian keempat. Bagian terakhir dari bab ini mengulas berbagai bangunan irigasi sebagai unsur palemahan paling penting dalam subak.



1



Pura Ulun Danu dan Kawasan Danau Batur (Gambar Stephen Lansing).



Hutan, danau, mata air, sungai, bendungan, terowongan dan saluran irigasi adalah komponen yang saling berhubungan dalam menjamin ketersediaan air di sawah. Berbagai komponen yang terintegrasi dalam melakukan satu peranan tertentu disebut dengan sistem. 1. Apakah ada hubungan antara danau dan sungai? 2. Mengapa petani di Bali membangun pura (bangunan suci) untuk setiap komponen sistem?



1.2. T uju an Selesai membaca bab ini diharapkan pembaca mampu 1. Menceritakan sejarah perkembangan subak, mulai dari sistem yang sederhana sampai menjadi sistem yang kompleks. 2. Memberikan contoh teknologi tepat guna yang berkembang dalam subak. 3. Mengidentifikasi upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak. 4. Menyusun daftar pura yang termasuk dalam jejaring kerja pura subak mulai hulu (kawasan danau) sampai hilir (kawasan pantai). 5. Mengungkapkan alasan subak sebagai organisasi yang mandiri dan demokratis. 6. Menjelaskan keunikan lanskap budaya subak. 7. Merancang gambar skema hubungan antara berbagai bangunan irigasi subak mulai dari bendungan sampai lahan sawah milik anggota subak.



{2}



Lanskap Budaya SUBAK



1.3 Se jara h Sist em Su bak Subak merupakan organisasi tradisional para petani di Bali yang terutama bertujuan untuk mengelola irigasi air dan pola tanam padi di sawah. Dahulu hanya dikenal subak sawah tetapi sekarang ada juga subak yang mencakup kawasan lahan kering. Dari situ muncul sebutan subak yeh bagi organisasi petani di lahan sawah. Sedangkan subak abian untuk organisasi petani yang mengelola tegalan, dan kebun.



1.3.1 Tukad Pakerisan Subak yeh (selanjutnya hanya disebut dengan subak) diperkirakan sudah ada lebih dari seribu tahun yang lalu. Para peneliti dari berbagai negara sejak lama telah mempelajari subak. Salah seorang adalah John Stephen Lansing. Beliau warga negara Amerika Serikat yang telah mempelajari subak selama lebih dari 40 tahun. Lansing memperkirakan subak pada awalnya terbentuk pada kawasan lembah dengan sumber mata air yang relatif besar sehingga cukup mengairi lahan persawahan yang luas. Salah satu tempat itu adalah lembah di hulu Daerah Aliran Sungai Tukad Pakerisan. Kawasan itu terletak di sisi timur Desa Tampaksiring Bali. Berbagai peninggalan purbakala yang ditemukan di sekitar kawasan itu telah memperkuat bukti bahwa kawasan tersebut sejak jaman purba sudah menjadi tempat tinggal nenek moyang orang Bali. Salah satu peninggalan budaya yang terkenal adalah Candi di Pura Gunung Kawi Tampaksiring. Gunung Kawi berasal dari kata “gunung” yang berarti pegunungan, dan “kawi” yang berarti pahatan. Dengan begitu Gunung Kawi berarti pahatan yang terletak di pegunungan. Pura Gunung Kawi merupakan situs kuno yang dibangun ada abad ke-11 oleh Raja Marakatapangkaja dan diselesaikan oleh Raja Anak Wungsu.



1.3.2 Mata Air Sumber Irigasi Subak Pada awalnya nenek moyang orang Bali belum menguasai teknologi pembuatan empelan (bendungan) dan aungan (terowongan). Mereka hanya dapat membuat telabah (saluran air) untuk mengalirkan air dari sumber mata air menuju kawasan persawahan yang terletak di sebelah bawah.



Mengenal Sistem Subak



{3}



Mata air dari Pura Tirtha Empul Tampaksiring menyediakan sumberdaya air yang sangat melimpah. Di sebelah selatan pura tersebut terdapat lembah datar yang cukup luas untuk diolah menjadi lahan sawah. Leluhur orang Bali tinggal membuat telabah (saluran air) untuk mengalirkan air menuju sawah pada kawasan lembah yang lebih rendah, di sebelah selatan Pura Tirtha Empul. Persediaan air yang melimpah, dan ditambah pula dengan masih adanya lahan yang memungkinkan diolah menjadi sawah, maka area persawahan terus bertambah luas. Bersamaan dengan itu, makin banyak pula orang yang terlibat dalam pengelolaan air, dan pertanian tanaman padi. Karena itu perlu organisasi untuk mengaturnya. Organisasi itu kemudian dikenal dengan nama subak.



Candi di Gunung Kawi Tampaksiring (kiri) dan mata air di Pura Tirtha Empul Tampaksiring (kanan).



Makin lama penguasaan teknologi oleh nenek moyang kian meningkat. Jumlah penduduk Pulau Bali juga terus bertambah sehingga sumber makanan harus terus ditingkatkan. Sawah perlu dicetak lebih banyak lagi dengan menggunakan teknolgi yang lebih baik. Salah satu teknologi yang sangat penting dikembangkan adalah teknik dalam pembuatan empelan (bendungan) dan aungan (terowongan). Pada awalnya, hanya sungai dangkal dengan air kecil yang bisa dibendung dan dialirkan airnya menuju kawasan persawahan. Saat itu baru bisa dibuat empelan kecil dengan aungan yang pendek. Makin lama teknologi dalam pembuatan empelan dan aungan terus berkembang. Hasilnya sungai curam dengan arus air yang deras bisa dibendung dengan cara membuat {4}



Lanskap Budaya SUBAK



empelan yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih kokoh. Demikian pula aungan dibangun lebih panjang, menembus tebing dan bukit untuk mengalirkan air ke sawah milik petani. Kerjasama atau gotong royong memegang peranan penting dalam pembuatan bangunan irigasi seperti itu. Berbagai bukti menunjukkan nenek moyang petani Bali bekerjasama dalam membangun empelan pada sungai yang curam dengan arus air yang deras.



Anggota subak membangun Bendungan Pejeng Gianyar satu abad lalu.



Demikian pula teknologi dalam bercocok tanam, mulai dari pengolahan lahan sampai panen juga terus disempurnakan. Sebagai bukti perkembangan teknologi di subak adalah terciptanya berbagai alat pertanian seperti uga, lampit dan pengorodan. Uga terbuat dari kayu atau bambu. Alat ini menghubungkan dua ekor sapi atau kerbau untuk membalikkan tanah sawah. Lampit sama dengan uga, tetapi fungsinya untuk meratakan tanah sebelum ditanami bibit padi. Alat untuk membersihkan gulma atau tanaman pengganggu pada waktu tanaman padi masih berusia muda disebut pengorodan. Berbagai alat yang dikembangkan oleh para petani dikenal sebagai teknologi tepat guna. Teknologi tepat guna merupakan teknologi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tertentu. Ciri teknologi tepat guna adalah sederhana, mudah dibuat dan mudah digunakan. Teknologi tepat Mengenal Sistem Subak



{5}



guna juga dikenal bersahabat dengan lingkungan. Karena alat tersebut dibuat menggunakan bahan lokal dari sekitarnya, dan penggunaannya tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan. Salah satu contoh adalah bubu, yaitu alat penangkap belut atau ikan yang terbuat dari bambu dan kayu. Untuk menangkap belut atau ikan, para petani terlebih dahulu membuat umpan atau makanan. Umpan dimasukkan ke dalam bubu.



Uga (kiri) dan lampit (kanan) yang dipamerkan di Museum Sanggulan Tabanan Bali.



Subak



Belut dan ikan yang memakan umpan terperangkap dalam bubu. Binatang tersebut tidak bisa keluar dari bubu karena lubang bubu dibuat sedemikian rupa sehingga belut dan ikan tidak bisa melarikan diri. Dengan cara demikian, jumlah dan jenis binatang yang tertangkap akan terbatas. Di samping itu, umpan yang dibuat petani tidak merusak lingkungan. Berbeda dengan cara menangkap belut dan ikan dengan menggunakan setrum listrik dan bahan kimia. Dengan setrum listrik dan zat kimia, ikan dan belut yang masih kecil akan ikut mati. Senyawa kimia yang tertinggal juga bisa menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Karena itu, cara menangkap belut dan ikan dengan setrum listrik dan senyawa kimia disebut teknologi yang tidak bersahabat dengan lingkungan.



{6}



Lanskap Budaya SUBAK



Sebagian dari teknologi tepat guna dalam subak dengan mudah kita dapat jumpai, karena masih digunakan oleh para petani kita. Sebagian yang lain tidak lagi digunakan dalam bertani di sawah sehingga sulit dapat ditemukan. Syukur masih ada Museum Subak di Sanggulan Tabanan Bali. Museum itu memamerkan berbagai alat pertanian dalam subak. Bukan itu saja, nenek moyang kita juga mengembangkan ilmu dan teknologi dalam budidaya padi untuk menghasilkan aneka ragam beras. Adanya beras merah, beras ketan, dan beras injin (hitam) merupakan hasil dari kemajuan ilmu dan teknologi mereka. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, subak di Bali juga makin berkembang. Orang Bali dikenal dapat menyerap kebudayaan bangsa lain tanpa meninggalkan kebudayaan nenekmoyang mereka. Hal itu dapat dilihat dalam perkembangan subak. Hasil penelitian para ahli menunjukkan Beberapa jenis bubu yang dipamerkan di perkembangan subak Museum Subak Tabanan (atas) dan padi tidak pernah terlepas varietas lokal bali (bawah). dari kemajuan ilmu dan teknologi. Pada bagian terdahulu telah diuraikan, kemampuan subak yang makin baik dalam membuat bendungan, dan terowongan. Pengembangan varietas padi lokal sejak dahulu kala juga menunjukkan mereka telah menguasai ilmu dan teknologi bioteknologi yang baik. Bioteknologi adalah teknologi yang digunakan untuk merekayasa mahluk hidup untuk meningkatkan



Mengenal Sistem Subak



{7}



kesejahteraan manusia. Bioteknologi yang digunakan untuk menghasilkan varietas padi yang baik sering disebut dengan pemuliaan tanaman. Nenek moyang para petani sejak dahulu kala telah menguasai teknik pemuliaan tanaman padi. Terbukti berbagai varietas padi lokal dihasilkan oleh petani dari berbagai belahan dunia, termasuk di Bali. Pada pihak lain, berbagai bukti menunjukkan bahwa sejarah perkembangan subak tidak pernah terlepas dari filsafat Tri Hita Karana. Misalnya terkait dengan unsur parhayangan, makin besar subak makin luas wilayah subak, makin banyak pula pura dan upacara keagamaan yang perlu dilakukan. Stephen Lansing menemukan adanya hubungan yang saling terkait satu pura dan pura yang lain. Aspek parhyangan akan dipaparkan pada uraian selanjutnya. Demikian pula dengan unsur pawongan. Dalam menata hubungan antara sesama manusia, subak memiliki organisasi, pengurus, peraturan dan tata cara melakukan kerjasama baik di dalam subak sendiri maupun dengan pihak lain di luar subak itu sendiri. Terakhir penataan aspek palemahan dalam subak juga terus berkembang. Salah satu perkembangan yang mudah diamati adalah dalam penataan saluran irigasi. Berbagai saluran irigasi subak dibahas secara lebih mendetail dalam pembahasan unsur palemahan subak.



1. 4 Parh yan gan Unsur pertama dari Tri Hita Karana adalah parhyangan. Parhyangan menata hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Atman atau jiwa yang dimiliki manusia merupakan percikan suci dari kebesaran Tuhan. Manusia berhutang nyawa pada Tuhan. Dengan demikian, manusia wajib berterima kasih dengan berbakti kepada Tuhan. Orang Bali meyakini bahwa setiap gejala dan kejadian selalu memiliki dua aspek, yaitu aspek skala dan niskala. Skala adalah aspek nyata yang bisa dilihat atau dibuktikan dengan indera manusia. Niskala merupakan aspek yang tidak nyata, tetapi kekuatan dan pengaruhnya bisa dirasakan oleh mereka yang meyakininya. Banyak masalah kehidupan tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan aspek skala. Parhyangan adalah aspek niskala untuk membuat hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan, sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya.



{8}



Lanskap Budaya SUBAK



1.4.1 Berbagai Pura Subak Unsur parhyangan dalam subak terdiri atas berbagai pura dan beragam upacara untuk memelihara hubungan harmonis dengan Tuhan. Nama pura bisa berbeda antara satu subak dan subak yang lain. Beberapa dari pura tersebut adalah 1. Pura Ulun Danu, berlokasi pada empat danau yang ada di Bali, yaitu Danau Batur di Kabupaten Bangli, Danau Beratan di Kabupaten Tabanan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng. 2. Pura Ulun Suwi, dibangun pada wilayah subak tertentu atau beberapa subak yang menggunakan air dari sumber air yang sama.



Sebuah pura subak dibangun di tengah rimbunan pohon pada di sebelah atas lahan persawahan (Foto Stephen Lansing).



3. Pura Masceti, yang umumnya dibangun pada bagian hilir subak, misalnya di dekat pantai. 4. Pura Empelan atau Bedugul, dibangun dekat bendungan atau tempat pembagian air. 5. Sanggah catu, bangunan yang dibuat oleh petani di dekat air irigasi masuk ke sawah mereka.



Mengenal Sistem Subak



{9}



6. Subak juga ikut mengempon berbagai pura yang lain, seperti Pura Ulun Subak Bukit jati di Kabupaten Bangli, Pura Tirtha Empul di Kabupaten Gianyar dan Pura Luhur Batukaru di Kabupaten Tabanan. Banyak subak juga memiliki pura di dalam hutan, dekat mata air, dan tebing atau jurang.



1.4.2 Upacara Keagamaan Perseorangan Upacara keagamaan atau ritual yang dilaksanakan oleh subak beraneka ragam, mulai dari yang sederhana atau kecil sampai yang kompleks atau besar. Upacara itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu upacara yang dilaksanakan secara perseorangan atau masing-masing anggota subak dan upacara yang dilaksanakan secara berkelompok atau seluruh anggota subak. Contoh upacara yang dilaksanakan oleh perseorangan, 1. Ngendagin. Upacara dilakukan pada saat petani akan mencangkul tanah sawah untuk pertama kali. Makna ngendagin adalah petani mohon keselamatan selama bekerja di sawah pada Tuhan dalam wujud beliau sebagai Dewi Uma (Dewa Sawah). 2. Ngawiwit atau ngurit, dilaksanakan pada waktu petani menyemai padi di pembibitan. Istilah ngurit hanya diberikan untuk tanaman padi, sedangkan untuk tanaman lain disebut nimuh. Hal ini mencerminkan kedudukan tanaman padi yang sangat istimewa bagi manusia. Melalui ngurit, petani mohon keselamatan atas bibit yang ditanam kepada Tuhan dalam wujud Sang Banaspati (Dewa Bibit) dan Shang Hyang Ibu Pertiwi (Dewa Bumi). 3. Nandur, dilaksanakan pada saat menanam. Makna upacara ini adalah memohon kepada Tuhan sebagai Dewi Sri agar bibit padi yang ditanam dapat tumbuh sesuai harapan. 4. Mubuhin adalah upacara yang dilaksanakan setelah beberapa hari menanam padi. Wujud ritualnya adalah bubur. Maknanya adalah tanaman padi yang baru ditanam dianggap sama dengan seorang bayi yang harus diberi makanan yang lembek-lembek atau halus, seperti bubur. 5. Ngulapin upacara yang bertujuan membersihkan atau menyucikan tanaman padi. Ngulapin bermakna sebagai sebuah tindakan untuk mengembalikan kesadaran hidup dan kesucian tanaman padi yang



{ 10 }



Lanskap Budaya SUBAK



dianggap sakit, kotor, dan tidak normal akibat terkena sabit atau terkoyak tangan/kaki petani saat menyiangi rumput. 6. Neduh dilakukan pada saat padi berumur satu bulan dengan harapan agar padi tidak diserang hama penyakit. 7. Biyukukung, dilakukan pada saat padi bunting. Banten berupa makanan dan peralatan seperti orang yang sedang mengidam dan akan melahirkan. Padi yang akan mengeluarkan buah diperlakukan seperti manusia yang sedang mengidam atau hamil. Tanaman padi perlu diberi beranekaragam rujak dan makanan yang bergizi agar buah padi yang lahir sehat dan besar-besar. 8. Mabahin dilaksanakan saat padi mulai berbuah. Maknanya, padi yang mulai berbuah seperti balita yang harus diberikan makanan bergizi, seperti ketupat (nasi), daging ayam, dan buah-buahan. 9. Nyangket dilaksanakan sebelum panen. Maknanya adalah memohon kepada Dewi Sri dan Sedan Carik agar padi yang akan dipanen selamat dan mendapat hasil yang melimpah. 10. Mantenin, dilakukan pada saat padi disimpan di lumbung atau tempat lainnya sebelum padi diolah menjadi beras untuk pertama kalinya. Maknanya untuk memohon keselamatan pada Dewi Sri (sebagai dewa padi) agar petani dapat menggunakan padi untuk kebutuhan sehari-hari. 11. Ngingu kakul adalah upacara yang bertujuan menjamu siput. Nasi disebarkan untuk makanan siput di sawah agar tidak mengganggu tanaman padi. Di samping itu, nasi yang disebar juga bermanfaat sebagai pupuk untuk kesuburan tanaman padi. 12. Panulak paksi untuk menghalau burung. Wujud ritualnya berupa patakut 'orang-orangan sawah.' Maknanya adalah sebagai sarana untuk menakut-nakuti burung sehingga tidak memakan padi. 13. Panulak bikul untuk menghalau tikus. Banten berupa nasi yang berwarna merah yang ditaruh di sudut-sudut sawah. Maksudnya sebagai suguhan atau persembahan kepada Tuhan sebagai empat penjaga penjuru, yaitu di timur laut, Sang Sri Raksa, di tenggara, Sang Aji Raksa, di barat daya, Ludra Raksa, dan di bara laut, Kala Raksa. 14. Panulak Walang Sangit, Candang, Lanas, dan Mati Muncuk untuk menghalau serangga dan penyakit padi. Sarananya memakai garam



Mengenal Sistem Subak



{ 11 }



yang ditebarkan di sawah. Garam dari laut diidentikkan dengan Dewa Baruna atau penguasa lautan, sebagai simbol bagi pembasmi atau pelebur segala macam penyakit dan hama. 15. Rsi Ghana dilaksanakan petani pada saat-saat tertentu apabila terjadi hal-hal yang aneh atau luar biasa di areal persawahan. Maknanya adalah sebagai permohonan untuk kesucian dan keselamatan sawah dan padi kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Ghanapati



Beberapa upacara yang dilakukan secara perseorangan oleh anggota subak: ngendagin (kiri atas), mamula atau nandur (kanan atas), ngulapin (kiri bawah) dan mebiyukukung (kanan bawah).



{ 12 }



Lanskap Budaya SUBAK



1.4.3 Upacara Keagamaan Berkelompok Upacara keagamaan secara perseorangan biasanya dipusatkan pada sanggah catu milik masing-masing petani. Sedangkan sebagian upacara pada pura subak yang lain, dilaksanakan secara berkelompok atau dilakukan oleh semua anggota subak. Adapun upacara tersebut antara lain 1. Mapag toya, dilakukan pada Pura Bedugul atau Pura Empelan dekat bendungan menjelang pengolahan tanah. Makna upacara ini untuk memohon kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu (Dewa Air) dan Dewi Gangga (Dewa Sungai) agar berkenan memberi anugerah sehingga air dapat mengalir ke sawah. 2. Ngusaba, dilakukan menjelang panen oleh krama subak di Pura Bedugul. Makna ritual itu adalah memohon kepada Tuhan yang bersemayam di Pura Bedugul yang disebut sebagai Dewi Uma (Tuhan dalam manifestasinya sebagai pelindung sawah) agar tanaman padi selamat sampai waktu panen tiba. 3. Magurupiduka. Ritual yang dilaksanakan di bendungan ditujukan kepada Dewa Siwa (Tuhan dalam fungsi beliau sebagai guru). Hal itu bermakna sebagai permohonan maaf atas dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukan oleh petani selama bekerja di sawah. 4. Nyepi di sawah, sebagai simbolis pembersihan buana agung (jagat raya) dan buana alit (diri manusia) yang nantinya akan menghasilkan keseimbangan di dalam kehidupan manusia. Nyepi di sawah dilakukan pada saat padi mulai ngembudin. Ngembudin merupakan saat bakal buah (putik) padi mencuat ke atas mirip ekor kadal sehingga disebut dengan kumalasan. Penyerbukan padi berlangsung dengan bantuan angin. Oleh karena itu, penyerbukan bunga padi memerlukan suasana yang tenang. Kehadiran manusia dianggap dapat mengganggu proses penyerbukan. Pada saat nyepi petani dilarang ke sawah selama tiga hari untuk memberikan kesempatan untuk melakukan penyerbukan. Menurut para petani, pada saat nyepi Dewi Sri (Dewa padi) sedang mayoga (bertapa) agar penyerbukan bunga padi dapat berhasil menjadi buah. 5. Nangluk Merana atau Mreteka Merana. Mreteka artinya upacara, sedangkan merana berarti hama. Tujuan upacara ini menyucikan roh hama dan penyakit agar kembali ke asalnya, dan tidak lagi menjelma menjadi pengganggu atau perusak tanaman. Pada beberapa kawasan



Mengenal Sistem Subak



{ 13 }



dilaksanakan ngaben bikul dengan tujuan menyucikan roh tikus agar tidak menjelma menjadi binatang yang mengganggu petani dan tanaman padi. Selain upacara di atas, krama subak juga terlibat pada kegiatan keagamaan berbagai pura dan hari-hari suci di Bali. Hampir pada setiap kegiatan keagamaan tidak pernah terlepas dari penggunaan hasil pertanian, baik yang berasal dari sawah, tegalan dan kebun. Perhatikanlah upacara keagamaan pada sebuah pura. Di sana pasti terdapat berbagai jenis pala atau hasil pertanian. Pala itu meliputi pala ubi (umbi-umbian seperti keladi, singkong dan ubi jalar), pala gantung (buah-buahan seperti kelapa, kacang panjang, pisang dan nenas), pala wija (biji-bijian seperti padi dan jagung). Semua jenis pala itu biasanya ditata sehingga nampak sangat menarik karena memiliki unsur seni yang tinggi. Hal ini sesuai dengan ajaran Agama Hindu di Bali, yang meyakini Tuhan sangat mencintai seni. Karena itu, hampir semua kegiatan keagamaan di Bali tidak pernah terlepas dari unsur seni dan kesenian.



Prosesi mengusung dangsil menuju Pura Kehen Bangli.



Contoh bentuk sesajen Umat Hindu di Bali yang sarat dengan nilai seni dan kebudayaan yang tinggi adalah sarad dan dangsil. Rangka sarad dan dangsil terbuat dari bambu dan kayu. Sarad dibentuk menyerupai daun, atau dalam istilah pewayangan kekayonan. Sedangkan dangsil



{ 14 }



Lanskap Budaya SUBAK



dibuat menyerupai pelinggih meru (bangunan suci pada pura dengan atap bertingkat-tingkat). Bentuk, bahan dan hiasan sarad serta dangsil bervariasi antara satu tempat dan tempat lain di Bali. Namun pada umumnya sarad dan dangsil dihiasi dengan jajan yang beraneka ragam rupa dan warna. Sebagian besar jajan dibuat dari beras merah, beras putih dan beras hitam hasil jerih payah bertani dari krama subak. Sarad dan dangsil simbol dari kesuburan alam semesta. Karena itu, ketika upacara di pura sudah selesai, krama subak menaburkan jajan sarad dan dangsil pada lahan sawah mereka dengan harapan memberikan kesuburan pada masa tanam berikutnya.



1.4.4 Jejaring Kerja Pura Subak Hasil penelitian Stephen Lansing selama puluhan tahun menemukan adanya hubungan bertingkat-tingkat antara pura subak yang satu dan yang lain. Hubungan itu disebut dengan jejaring kerja pura subak. Dari hulu ke arah hilir, jejaring kerja pura subak dimulai dengan Pura Ulun Danu yang terdapat pada keempat danau di Bali. Subak meyakini air yang mengairi sawah mereka merupakan pemberian Tuhan dalam wujud Dewi Danu yang beristana di Pura Ulun Danu. Hampir pada setiap upacara keagamaan di Pura Ulun Danu, puluhan atau bahkan ratusan subak menghaturkan sarin tahun sebagai bentuk bakti mereka kepada Dewi Danu (Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai pemberi kesuburan). Sarin tahun adalah sebagian kecil dari hasil pertanian yang digunakan untuk keperluan upacara keagamaan. Selanjutnya terdapat Pura Empelan di dekat bendungan. Pura ini diempon oleh subak yang menggunakan air dari bendungan yang sama. Kegiatan keagamaan di Pura Empelan ditujukan kepada Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai Bhatara Empelan. Air irigasi yang bermula dari satu bendungan dapat mencapai lahan sawah puluhan kilometer di sebelah hilir melewati tebing, jurang dan punggung bukit. Akibatnya bisa terbentuk beberapa munduk atau blok sawah dengan saluran irigasi khusus. Untuk setiap munduk terdapat Pura Ulun Swi. Pada pura ini beristana Betara Ulun Swi, atau Tuhan dalam manifestasinya sebagai kepala dari satu munduk tertentu. Pura Ulun Swi diempon oleh subak yang lahan sawahnya terletak pada munduk tersebut.



Mengenal Sistem Subak



{ 15 }



Setiap anggota subak juga memiliki pelinggih (bangunan suci) tepat di dekat air irigasi masuk ke lahan sawah mereka. Pelinggih itu disebut Sanggah Catu, sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam bentuk Dewi Sri (Dewa Padi) dan Dewi Uma (Dewa Sawah). Jika di sebelah hulu terdapat Pura Ulun Danu. Pada bagian hilir subak juga terdapat pura besar yaitu Pura Masceti. Kedua pura memiliki fungsi yang berbeda. Tirtha (air suci) dari Pura Ulun Danu berperan dalam memberi gizi atau pemberi efek kehidupan. Sebaliknya tirtha dari Pura Masceti berfungsi dalam memurnikan dan membersihkan pencemaran atau kotoran.



1. 5 Pa won gan Pawongan merupakan elemen kedua dari Tri Hita Karana. Pawongan adalah hubungan harmonis antara sesama manusia. Manusia merupakan mahluk sosial sehingga tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Manusia harus berinteraksi dengan sesama manusia dan menjadi bagian dari sistem sosial. Agar tercapai kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan, maka setiap orang perlu memelihara hubungan harmonis dengan orang lainnya.



1.5.1 Krama Subak Unsur pawongan dari subak terdiri atas krama subak, organisasi subak dan peraturan-peraturan atau awig-awig. Krama subak berarti anggota subak yang berjiwa dinamis dan aktif. Krama subak bisa berasal dari satu desa yang sama, atau dapat pula berasal dari beberapa desa yang berbedabeda. Hal itu tergantung pada luas wilayah subak. Subak berukuran kecil biasanya memiliki krama yang berasal dari satu desa di dekatnya. Sebaliknya subak dengan lahan sawah yang luas pada umumnya memiliki krama subak dari beberapa desa di sekitarnya. Secara umum anggota subak atau krama subak dibedakan menjadi tiga, yaitu 1. Krama pengayah (anggota aktif), yaitu krama subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan subak seperti upacara keagamaan, gotong royong pemeliharaan dan perbaikan fasilitas subak dan sangkepan (rapat) subak.



{ 16 }



Lanskap Budaya SUBAK



2. Krama Pengampel atau Krama Pengoot (anggota pasif) yaitu krama subak yang karena alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalam ayah-ayahan (berbagai kegiatan) subak. Sebagai gantinya anggota ini membayar dengan sejumlah beras (atau uang) yang disebut pengoot atau pengampel. 3. Krama Leluputan (anggota khusus), yaitu krama subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat seperti pemangku (pinandita di sebuah pura), bendesa adat (pimpinan desa adat), perbekel (kepala desa), ataupun sulinggih (pendeta, peranda, Sri Mpu, dan lain-lain).



1.5.2 Organisasi Subak Organisasi subak bervariasi tergantung pada ukuran subak. Subak kecil biasanya memiliki susunan organisasi yang sederhana. Sebaliknya subak yang besar mempunyai susunan organisasi yang kompleks. Unsur pengurus subak disebut prajuru subak. Prajuru subak terdiri atas pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil), penyarikan (sekretaris) dan patengen atau juru raksa (bendahara). Prajuru tersebut dipilih oleh anggota subak untuk masa jabatan tertentu (misalnya empat atau lima tahun). Saya atau juru arah atau juru uduh atau kasinoman merupakan jabatan yang dipegang secara bergilir oleh krama subak dengan masa tugas 35 hari atau 210 hari, sesuai dengan perhitungan penanggalan tradisional Bali. Kasinoman bertugas untuk mepengarah (menyampaikan atau mengumumkan) kegiatan, kewajiban yang harus dipenuhi atau diikuti oleh krama subak. Salah satu kegiatan penting dalam organisasi subak adalah sangkepan. Sangkepan atau rapat bagi krama subak dilakukan setiap 35 hari sesuai dengan kalender orang bali. Waktu penyelenggaraan sangkepan dipilih pada hari yang dipandang baik menurut kalender Bali. Misalnya Buda Umanis, Anggara kasih, atau Saniscara Kliwon. Sangkepan dipimpin oleh pekaseh dan prajuru subak lainnya. Kegiatan itu selalu diawali dengan ngaturang canang (memberikan sesajen) kepada Tuhan agar beliau berkenan memberikan bimbingan sehingga sangkepan bisa berlangsung sesuai dengan harapan krama subak. Berbagai hal dibahas dalam sangkepan, mulai dari pertanggungjawaban bidang keuangan, kegiatan upacara keagamaan, masalah dalam pertanian sampai dengan pelanggaran terhadap awigMengenal Sistem Subak



{ 17 }



awig. Sejak dahulu kala sangkepan dikenal mengutamakan dan mendorong penerapan konsep kehidupan berdemokrasi yang sehat. Sangkepan mengutamakan prinsip menyama braya (hidup rukun sebagai saudara), sagilik-saguluk salulung-sabayantaka (kebersamaan, kerjasama, tolong menolong dan berbagi bersama) dan paras-paros sarpanaya (berdinamika dalam keberagaman). Kegiatan lain dalam subak adalah gotong-royong, yaitu bekerja bersama secara sukarela dalam menyelesaikan pekerjaan tertentu. Misalnya setelah upacara mapag toya (upacara yang mengawali masuknya air ke saluran irigasi dan lahan sawah), maka krama subak secara bergotong-royong memperbaiki dan membersihkan saluran irigasi agar air mengalir dengan lancar ke sawah mereka.



1.5.3 Awig-awig dalam Subak Subak merupakan organisasi yang mempunyai otonomi, artinya dapat mengatur rumah tangga sendiri. Subak memiliki peraturan dalam bentuk awig-awig, paswara (perarem) dan kerta sima. Awig-awig adalah produk hukum dari subak yang disusun berdasarkan hasil musyawarah mufakat oleh krama subak. Subak merupakan salah satu dari organisasi adat. Oleh karena awig-awig merupakan produk hukum dari subak, maka awig-awig merupakan hukum adat. Awig-awig dibuat secara tertulis dan menjadi pedoman bertingkah laku bagi krama subak. Awig-awig disusun berdasarkan filsafat Tri Hita Karana. Isi awig-awig mengatur hubungan antara krama subak dan Tuhan, antara sesama krama subak, dan antara krama subak dan lingkungannya. Unsur parhyangan dalam awig-awig biasanya mencakup tentang kahyangan (pura) dan pengaci (upacara keagamaan) yang menjadi tanggungjawab sebuah subak. Pawongan mengatur tentang krama (anggota), prajuru (pimpinan), sangkepan (rapat), kulkul (kentongan), padruweyan (hak milik) dan bhaya (bencana). Unsur palemahan meliputi wates (batas wilayah), tetanduran (tanaman), wewangunan (bangunan), toya (air) dan merana (hama dan penyakit) tanaman. Di samping itu dalam awig-awig juga dimuat tentang pihak yang berwenang menyelesaikan permasalahan dan denda atau sangsi bagi yang melanggar awig-awig. Paswara atau perarem merupakan aturan pelaksanan awig-awig. Misalnya dalam perarem diatur kesepakatan tentang berat atau ringanya { 18 }



Lanskap Budaya SUBAK



hukuman atau denda bagi yang melanggar awig-awig. Perarem dapat berubah sesuai dengan keadaan atau keputusan dalam sangkepan. Kerta sima adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah diadatkan secara turun temurun dan diakui kebenarannya sehingga menjadi kesepakatan krama subak. Misalnya kerta sima tentang megaleng ke hulu atau nulud ke teben yang akan dibahas pada ulasan berikutnya.



1.5.4 Beberapa Contoh Penataan Unsur Pawongan Jika kamu berjalan-jalan ke areal persawahan milik subak, maka dengan mudah dapat ditemukan berbagai bangunan, tanda dan perilaku krama subak dalam menata unsur pawongan subak. Beberapa di antaranya adalah: 1. Sawen atau rambu-rambu adalah sebatang kayu atau bambu yang ditancapkan ke dalam tanah. Sawen dihiasi dengan janur, plastik atau apa saja yang berumbaiumbai jika ditiup angin. Sawen ditaruh sengaja pada tempat yang menjolok sehingga mudah mendapat perhatian orang lain. Tujuannya bermacammacam. Sawen bisa bersifat pemberitahuan tetapi bisa pula bermaksud pelarangan. Sawen yang ditancapkan pada pematang sawah yang baru diperbaiki bertujuan memberi tahu



Suasana sangkepan sebuah subak (atas) dan sawen untuk mengingatkan orang lain agar jangan mengganggu sawah yang segera akan ditanami padi (bawah).



Mengenal Sistem Subak



{ 19 }



orang lain agar tidak melewati pematang tersebut. Sebaliknya sawen yang ditaruh pada pematang sawah dengan rumput yang tumbuh rimbun bermaksud melarang orang lain menyabit rumput tersebut. Para petani juga memberi sawen pada tanaman padi yang baru ditanam. Tujuannya padi yang baru ditanam tidak boleh diganggu, misalnya dilepasi itik yang dapat merusak tanaman padi yang masih kecil. 2. Bale timbang, merupakan sebuah bangunan kecil dengan dua buah tiang yang terletak di pinggir jalan atau pada pematang sawah yang agak lebar. Bale timbang adalah tempat dari beberapa petani melakukan diskusi guna mencari solusi terhadap sengketa atau permasalahan di antara mereka. Tiang bangunan yang berjumlah dua bermakna agar kesepakatan atau solusi yang berhasil dicapai hendaknya memberikan manfaat yang seimbang bagi kedua belah pihak yang bertikai. Kesepakatan itu tidak boleh hanya memberikan manfaat pada salah satu pihak, sebaliknya pihak lain dirugikan.



Bale timbang.



3. Megaleng ke teben. Makna istilah ini menjadi aneh kalau diterjemahkan secara harfiah atau menurut asal-katanya. Megaleng artinya menggunakan bantal. Teben artinya hilir atau kaki. Apakah megaleng ke teben berarti menggunakan bantal pada kaki? Tentu maknanya tidak demikian. Megaleng ke teben berarti pematang sawah yang menjadi pembatas sawah antara dua atau lebih petani dimiliki oleh petani yang posisi lahan sawahnya di sebelah hulu



{ 20 }



Lanskap Budaya SUBAK



(atas). Dengan begitu petani di teben (hilir) tidak diperkenankan mengubah pematang tersebut. Dia hanya bisa membersihkan rumput pada bagian di sebelah bawah dari pematang. Alat yang digunakan tidak boleh mengakibatkan lebar pematang berkurang. Bayangkan jika tidak ada aturan megaleng ke teben, bisa jadi pada setiap masa olah lahan, petani di sebelah hilir membersihkan pematang dengan memakai alat yang dapat mengurangi lebar pematang. Akibatnya petani di sebelah hulu akan memprotes karena lahan sawahnya makin lama makin berkurang. 4. Nulud ke teben. Nulud berarti mendorong ke teben berarti ke hilir, sehingga nulud ke teben berarti mendorong ke hilir. Aturan ini memberikan kesempatan bagi petani yang ada di sebelah hilir untuk bertanam padi terlebih dahulu. Satu atau dua minggu kemudian baru diikuti dengan petani di sebelah hulu. Lahan sawah di sebelah hilir biasanya lebih sulit memperoleh air. Karena itu masa pertumbuhan padi mereka lebih lambat. Sebaliknya lahan di sebelah hulu lebih mudah memperoleh air karena lebih dekat dengan sumber air. Padi pada sawah di sebelah hulu juga tumbuh lebih cepat. Dengan begitu, nulud ke teben menjamin adanya kesempatan yang relatif sama bagi petani di hulu maupun hilir untuk panen padi pada waktu yang kurang-lebih bersamaan. Hasil penelitian Stephen Lansing menunjukkan petani di sebelah hulu bersedia berbagai air dengan petani di sebelah hilir, karena mereka menginginkan tidak terjadi kegagalan panen padi bagi petani di sebelah hilir. Sebab jika petani di sebelah hilir gagal menanam padi, maka hama dan penyakit akan menyerbu tanaman padi yang ada di sebelah hulu. Akibatnya baik petani di hulu maupun hilir sama-sama mengalami gagal panen. 5. Sekaa. Sekaa adalah grup atau kelompok petani yang bekerja pada satu bidang kegiatan tertentu. Dahulu dalam subak terdapat berbagai sekaa. Misalnya sekaa jelinling (kelompok menata saluran air), sekaa numbeg (kelompok mengolah tanah), sekaa mejukut (menyiangi tanaman), sekaa memula (menanam padi), sekaa manyi (panen padi) dan sekaa mebleseng (mengangkut padi dari sawah ke lumbung). Pada saat ini, kalau kita berjalan-jalan pada lahan subak dengan mudah bisa menemukan sekaa memula dan sekaa manyi.



Mengenal Sistem Subak



{ 21 }



Sekaa manyi.



6. Tempek atau munduk. Banyak subak di Bali memiliki lahan sawah yang terpisah oleh jurang, tebing, bukit dan kawasan pemukiman. Karena itu krama subak yang bersangkutan dibagi lagi menjadi kelompok yang lebih kecil. Kelompok itu disebut dengan tempek atau munduk. Semua krama tempek selalu bekerjasama baik dalam melaksanakan upacara keagamaan, pengelolaan air irigasi maupun dalam penentuan musim tanam. 7. Subak Gde. Kerjasama krama subak bukan hanya berlangsung antaranggota dalam satu subak tertentu, melainkan dapat pula berlangsung dengan krama subak yang lain. Beberapa subak yang menggunakan air dari satu bendungan atau sumber air yang sama bergabung menjadi Subak Gde. Krama berbagai subak yang tergabung dalam Subak Gde selalu bekerjasama dalam berbagai hal. Misalnya dalam membangun pura, perbaikan saluran irigasi, dan penentuan musim tanam.



1. 6 Pal em ahan Palemahan berasal dari kata “lemah” yang berarti nyata. Palemahan dalam konsep Tri Hita Karana adalah hubungan harmonis antara manusia dan alam lingkungannya. Unsur palemahan dalam subak mencakup benda mati, mahkluk hidup dan lanskap subak. Sesuai dengan



{ 22 }



Lanskap Budaya SUBAK



konsep Hindu di Bali, benda mati disebut Panca Mahabutha, yaitu lima unsur dasar pembentuk kehidupan. Sedangkan keanekaragaman mahluk hidup dikenal sebagai Sarwa Prani atau segala jenis bentuk kehidupan. Panca Mahabutha dan Sarwa Prani dalam subak dibahas pada bab berikutnya.



1.6.1 Lanskap Subak Berteras Lanskap subak atau panorama subak di Bali telah terkenal ke seluruh dunia. Lanskap tersebut pada umumnya tersusun atas petak sawah yang bertingkat-tingkat atau berundak-undak menyerupai anak tangga dengan ukuran yang tidak beraturan. Keadaan sawah seperti itu disebut sawah berteras. Sawah berteras terbentang hampir di seluruh pelosok Pulau Bali, mulai dari pegunungan, jurang, lembah, sisi kanan dan kiri sungai. Sawah tersebut dibangun mengikuti kontur kawasan sekitarnya. Kontur adalah semacam garis mendatar atau horisontal yang melengkung mengikuti ketinggian dan kemiringan daerah sekitarnya. Sawah berteras yang tersusun dari puluhan atau bahkan ratusan petak sawah, nampak seperti kumpulan garis yang tersusun rapi, berundakundak dan berkelak-kelok menyerupai lukisan atau ukiran. Beberapa pengamat menyatakan nenek moyang orang Bali bukan hanya mengukir kayu dan batu tetapi juga tebing, jurang dan tanah. Pernyataan itu mempertegas pendapat bahwa sawah berteras juga sebagai karya seni orang Bali. Tidak heran jika banyak wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara menjadikan lanskap sawah berteras sebagai salah satu tujuan kunjungan mereka ke Bali. Perlu diketahui sawah berteras tidak saja terdapat di Pulau Bali, tetapi bisa pula ditemukan pada berbagai daerah lainnya. Misalnya sawah berteras di Indonesia dapat dijumpai di Kabupaten Manggarai Tengah di Pulau Flores, kawasan sekitar Toraja di Sulawesi Selatan dan berbagai propinsi di Pulau Jawa. Sawah berteras juga terdapat di luar negeri. Salah satu yang terkenal adalah sawah berteras di Filipina. Bahkan kawasan sawah tersebut sudah diakui sebagai warisan dunia oleh Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO). Tentu saja keindahan panorama sawah berteras pada kawasan yang telah disebutkan di atas tidak kalah menarik dengan lanskap subak di Bali. Para petani di sana juga mempraktekkan budidaya atau bercocok Mengenal Sistem Subak



{ 23 }



tanam padi dengan berbagai teknologi tepat guna. Tetapi lanskap subak di Bali memiliki keunikan yang tidak ditemukan pada kawasan lanskap sawah di daerah lainnya. Apa keunikan itu? Para petani di Bali bukan hanya melakukan kegiatan “budidaya” bertani. Mereka juga melaksanakan aktivitas “budaya” yang senantiasa berjalan seiring dengan kegiatan budidaya. Pada bagian awal dari bab ini telah diuraikan, berbagai aktivitas budaya krama subak yang merupakan implementasi dari filsafat Tri Hita Karana. Aktivitas yang paling menonjol dan sekaligus paling menarik bagi wisatawan adalah kegiatan keagamaan, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun berkelompok. Kegiatan keagamaan di subak juga termasuk kegiatan budaya, karena di samping terkait dengan hubungan antara manusia dan Tuhan, juga melibatkan berbagai aspek budaya seperti adat-istiadat, tata cara berpakaian, bentuk dan jenis banten.



Satu keluarga petani melintasi pematang sawah untuk mengikuti kegiatan budaya: upacara keagamaan (Foto Novi Udayanti).



Perhatikanlah gambar di atas. Siapa yang tidak tertarik menikmati aktivitas budaya pada lanskap subak seperti itu? Lanskap subak yang banyak dikunjungi wisatawan di Bali tersebar hampir pada semua kabupaten/kota, misalnya 1. Kabupaten Tabanan. Kabupaten ini dikenal sebagai “lumbung beras” Pulau Bali karena menghasilkan beras paling banyak dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali. Lanskap subak berteras tersebar { 24 }



Lanskap Budaya SUBAK



hampir merata pada semua kecamatan di Kabupaten Tabanan. Beberapa lanskap subak di Tabanan yang banyak dikunjungi wisatawan adalah Jatiluwih, Pupuan dan Antosari. 2. Kabupaten Gianyar. Gianyar juga memiliki lanskap subak yang banyak diminati oleh wisatawan, seperti teras sawah di Tegalalang, sekitar Ubud, Payangan dan Tulikup. 3. Kabupaten Karangasem. Lanskap subak di sekitar Pura Tirtha Gangga menyajikan panorama indah dengan latar belakang Gunung Lempuyang. Selain itu lanskap subak sekitar Kecamatan Sidemen juga banyak dikunjungi wisatawan karena memiliki panorama menarik dengan latar belakang Tukad Unda yang meliak-liuk bagaikan ular yang tengah tidur melingkar. 4. Kabupaten Buleleng. Lanskap subak yang indah terdapat di Kecamatan Busungbiu. Jika dilihat dari arah ketinggian, di sebelah bawah nampak bentangan petak-petak sawah berselang-seling dengan vegetasi pohon dan pemukiman penduduk.



Lanskap Lembah Pantunan di Bangli.



5. Kabupaten Bangli. Salah satu lanskap subak yang indah adalah Lembah Pantunan yang terletak di Kecamatan Tembuku. Yang menarik dari kabupaten ini, adalah pembentukan subak baru di kawasan pegunungan, tepatnya di bagian barat kecamatan Kintamani. Pada beberapa desa seperti Bunutin dan Mengani, lahan yang Mengenal Sistem Subak



{ 25 }



sebelumnya berfungsi sebagai tegalan kini telah berubah menjadi lahan sawah. 6. Kabupaten Badung. Lanskap subak berteras terutama dapat ditemukan sepanjang sisi barat Tukad Ayung, mulai dari Desa Belok Kecamatan Petang sampai Desa Bongkasa Kecamatan Blahkiuh. Lanskap subak yang relatif datar namun dengan panorama indah dapat pula dijumpai di sekitar Kecamatan Mengwi dan Kuta Utara.



Jalur pejalan kaki di Desa Budaya Kertalangu Denpasar.



7. Kota Madya Denpasar memiliki lanskap subak yang banyak mendatangkan pengunjung. Lanskap ini dikenal sebagai Desa Budaya Kerta Langu. Kawasan yang terletak tepat di sisi timur kota telah dikembangkan menjadi kawasan wisata dengan beraneka ragam fungsi seperti untuk pertemuan, pusat penjualan cindera mata, olahraga dan restoran. Lahan persawahan tetap dipelihara dan berbagai kegiatan budidaya dan budaya subak tetap dilestarikan.



1.6.2 Bangunan Irigasi Bangunan utama yang ada dalam subak adalah bangunan saluran irigasi. Hal ini sesuai dengan sejarah subak. Nama subak berasal dari { 26 }



Lanskap Budaya SUBAK



kata kasuwakan atau saluran air. Bangunan irigasi subak terdiri atas empelan (bendungan), telabah (saluran air), tembuku (bangunan bagi air) dan bangunan pelengkap.



Empelen (Bendungan) Subak Tampuagan Tembuku Bangli.



Empelan atau bendungan dibangun untuk membendung air sungai dan mengalirkannya ke areal persawahan. Ukuran bendungan bervariasi, ada bendungan kecil yang hanya digunakan oleh satu subak, sebaliknya ada pula bendungan besar yang digunakan oleh beberapa subak. Dahulu nenek moyang orang Bali membuat bendungan secara bergotong-royong,



dengan menggunakan batang tanaman dan bebatuan yang ada di sekitarnya. Berkat ketekunan dalam bergotong royong mereka berhasil membangunan bendungan berukuran besar, seperti Bendungan Pejeng Gianyar. Pada saat ini sebagian besar bendungan sudah terbuat dari beton (campuran dari semen, besi, batu dan pasir). Saluran yang menyalurkan air langsung dari Aungan (terowongan air) Subak bendungan disebut telabah aya Pulagan dan Kumba Tampaksiring (saluran air primer). Banyak Gianyar. bendungan terletak di dasar



Mengenal Sistem Subak



{ 27 }



jurang yang curam. Oleh karena itu air dari telabah aya harus dialirkan melalui aungan (terowongan air) di pinggir jurang atau di bawah punggung bukit. Hasil penelitian menunjukkan banyak aungan sudah berusia sangat tua. Hal itu membuktikan nenek moyang orang Bali sudah memiliki teknologi pembuatan aungan sejak dahulu kala. Berbagai alat yang digunakan dalam membuat aungan pada saat ini dipamerkan di Museum Subak Sanggulan Tabanan. Abangan (talang air) di Desa Jehem Tembuku Bangli.



Jika saluran air dibuat menyeberang di atas jalan raya, saluran itu disebut dengan abangan (talang air). Sebaliknya jengkawung (gorong-gorong) adalah saluran air yang dibuat melintas di bawah badan jalan. Sepanjang saluran air ada pula bangunan untuk membuang air. Misalnya pada saat musim hujan, jika air mengalir melebihi kapasitas telabah aya Air irigasi dari tembuku aya (saluran primer) terbagi menuju telabah gde maka air tersebut akan (saluran sekunder). terbuang melalui saluran pembuangan. Demikian pula jika sedang ada perbaikan saluran irigasi atau petani tidak memerlukan air, air dalam saluran irigasi bisa dibuang melalui saluran pembuangan. Air dari telabah aya dibagi ke dalam saluran air yang lebih kecil disebut telabah gede (saluran sekunder). Telabah Gede dibagi lagi menjadi telabah cerik (saluran tertier). Air dari telabah cerik mengalir menuju sawah milik petani melalui saluran air yang disebut dengan nama



{ 28 }



Lanskap Budaya SUBAK



telabah pemaron atau telabah penyahcah. Telabah penyacah diberi nama sesuai dengan jumlah petani yang menggunakan air dari telabah tersebut. Misalnya telabah peliman (untuk lima orang petani), telabah pedasan (untuk 10 orang petani) dan telabah penyatusan (100 orang petani). Air dari telabah peliman atau telabah pedasan masuk ke areal persawahan petani melalui petak sawah yang disebut dengan nama pengalapan. Beberapa petani memiliki lahan sawah di sebelah dalam atau terletak agak jauh dari telabah peliman atau telabah pedasan atau telabah penyatusan (tergantung dari jumlah petani yang menggunakan sumber air dari saluran tersebut). Karena itu dari telabah penyahcah dibuat saluran khusus melewati lahan sawah milik orang lain. Saluran itu disebut tali kunda, yang berarti saluran kecil menyerupai tali untuk tempat mengunda (memindahkan) air irigasi. Pada waktu tertentu para petani perlu membuang air dari lahan sawahnya. Misalnya pada saat mengeringkan lahan sawah menjelang panen atau ketika air hujan meluap melewati daya tampung petak sawah. Air tersebut tidak boleh langsung dibuang menuju sawah petani di sebelah hilir. Sebab hal tersebut bisa menimbulkan kerusakan pada tanaman padi atau pematang sawah tetangga. Kelebihan air dibuang melalui saluran yang disebut dengan telabah pangutangan atau telabah palepasan. Tembuku atau bangunan bagi air diberikan nama sesuai dengan nama saluran air di sebelah hulunya. Misalnya tembuku aya untuk bangunan yang membagi air dari telabah aya ke telabah gede. Sedangkan tembuku gede, membagi air dari telabah gede ke telabah cerik. Demikian seterusnya dikenal nama tembuku peliman (membagi air menuju sawah milik lima petani), tembuku pedasan (membagi air menuju sawah milik sepuluh petani), tembuku penyatusan (membagi air menuju sawah milik seratus petani) dan tembuku pengalapan.



1.6.3 Pengalapan Pada bagian terdahulu sudah diuraikan, air irigasi masuk ke sawah petani melalui petak sawah yang disebut dengan pengalapan. Pengalapan berasal dari kata ngalap atau memanen. Pengalapan adalah lahan sawah tempat petani ngalap (memanen) air irigasi. Oleh karena itu, pengalapan merupakan lahan sawah yang paling utama. Pada setiap pengalapan terdapat sebuah pelinggih atau bangunan suci yang disebut Sanggah Satu. Hal ini sesuai dengan konsep Tri Angga menurut ajaran Hindu di Bali. Tri



Mengenal Sistem Subak



{ 29 }



Angga berarti tiga nilai fisik menurut keyakinan orang Hindu Bali, yaitu utama angga (kepala), madya angga (badan) dan nista angga (kaki). Masyarakat luas mengenal Tri Angga sebagai pendekatan yang bersifat antroposentris, yaitu berpusat pada manusia. Maksudnya para petani pemeluk Agama Hindu di Bali memperlakukan segala sesuatu seperti tubuhnya, yang terdiri atas tiga bagian: kepala, badan dan kaki. Setiap petani krama subak juga membagi sawah mereka menjadi tiga bagian, yaitu utama, madya dan nista. Pengalapan adalah utama angga atau kepala dari lahan sawah petani. Pengalapan merupakan bagian yang paling suci dari lahan sawah. Petak sawah yang lain merupakan madya angga, dan saluran pembuangan menjadi nista angga dari lahan sawah milik setiap petani.



Berbagai bentuk sanggah catu pada pengalapan (petak sawah) petani anggota subak di Bali.



{ 30 }



Lanskap Budaya SUBAK



1.7 Pert an yaa n 1. Apa yang dimaksud dengan sistem subak?. 2. Ceritakan sejarah perkembangan subak, mulai dari sistem yang sederhana sampai menjadi sistem yang kompleks. 3. Mengapa kawasan di sekitar Tukad Pakerisan Tampaksiring Gianyar dipilih sebagai tempat tinggal oleh nenek moyang orang Bali?. 4. Berikanlah contoh minimal berkembang dalam subak.



teknologi



tepat



guna



yang



5. Apa ciri khas dari teknologi tepat guna? 6. Uraiankan minimal tiga jenis upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak. 7. Mengapa upacara keagamaan yang berkaitan dengan kesuburan pada umumnya dipersembahkan untuk Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewi (perempuan)? 8. Susun daftar pura yang termasuk dalam jejaring kerja pura subak mulai hulu (kawasan danau) sampai hilir (kawasan pantai). 9. Apakah perbedaan fungsi tirtha (air suci) antara Pura Ulun Danu dan Pura Masceti? 10. Mengapa subak disebut sebagai organisasi yang mandiri dan demokratis? 11. Jelaskan keunikan lanskap budaya subak dibandingkan dengan kawasan persawahan yang terdapat di luar Pulau Bali. 12. Buat gambar skema hubungan antara berbagai bangunan irigasi subak mulai dari bendungan sampai lahan sawah milik anggota subak.



Mengenal Sistem Subak



{ 31 }



II Subak sebagai Warisan Dunia 2.1 Pen dah ulua n Bab 2 membahas empat kelompok atau klaster kawasan subak di Bali yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Warisan dunia adalah tinggalan budaya milik masyarakat dunia yang dimanfaatakan untuk pariwisata, pendidikan, penelitian, dan manfaat lain dalam kerangka pelestarian warisan tersebut. Bagian pertama bab ini mengungkapkan pengertian lanskap budaya subak. Pura Ulun Danu Batur dan kawasan Danau Batur di Kabupaten Bangli sebagai klaster pertama warisan dunia diuraikan pada bagian kedua. Bagian ketiga memaparkan Daerah Aliran Sungai Tukad Pakerisan di Kabupaten Gianyar dengan berbagai pura, dan areal subak di sekitarnya sebagai warisan dunia. Kawasan Catur Angga Batukaru merupakan klaster warisan dunia paling luas di antara klaster yang lain. Kawasan Catur Angga yang terbentang mulai dari Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng sampai puluhan subak di Kabupaten Tabanan, diuraikan pada bagian ketiga. Bagian terakhir mengungkapkan Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung sebagai warisan dunia.



33



Lanskap Budaya Subak Jatiluwih



Lanskap sawah berteras yang meliuk-liuk mengikuti kontur punggung bukit dan lembah, merupakan perpaduan dari hasil pekerjaan manusia dan alam. Tinggalan budaya yang dibentuk dari perpaduan antara pekerjaan manusia dan pekerjaan alam disebut lanskap budaya. 1. Perhatikan gambar di atas, yang mana merupakan pekerjaan manusia, dan yang mana pula merupakan pekerjaan alam? 2. Untuk apa petak sawah dibuat bertingkat-tingkat mengikuti kontur punggung bukit dan lembah?



2.2 T uju an Selesai membaca bab ini diharapkan pembaca mampu 1. Mendefinisian pengertian lanskap budaya. 2. Menyebutkan empat kawasan lanskap budaya subak di Bali 3. Menjelaskan Pura Ulun Danu Batur sebagai pura subak utama. 4. Menyimpulkan peranan penting kawasan Kaldera Batur bagi kelestarian sistem subak. 5. Mengidentifikasi bukti sejarah yang menunjukkan empat pura dalam lanskap budaya Tukad Pakerisan termasuk pura kuno. 6. Menyebutkan alasan tiga subak di sekitar Tukad Pakerisan dimasukkan dalam kawasan lanskap budaya. 7. Mendefinisikan pengertian Catur Angga Batukaru. 8. Mendiskusikan peranan Pura Luhur Batukaru dalam melestarikan lanskap budaya Catur Angga Batukaru.



{ 34 }



Lanskap Budaya SUBAK



9. Menjelaskan bahwa sistem subak di kawasan Catur Angga Batukaru memberikan gambaran yang paling lengkap dibanding dengan tiga situs lanskap budaya lainnya. 10. Menunjukkan bukti Pura Taman Ayun termasuk pura subak.



2. 2 La nskap Bu da ya Sub ak UNESCO pada Jumat 29 Juni 2012 di Saint Petersburg Rusia, telah menetapkan subak sebagai warisan dunia. Nama yang diberikan oleh UNESCO untuk warisan tersebut adalah “Warisan Budaya Orang Bali: Subak sebagai Manifestasi dari Tri Hita Karana ”. Nama tersebut sangat tepat, karena subak pada kenyataanya sejak dahulu kala telah mengimplementasikan Tri Hita Karana. Pada bab terdahulu sudah diuraikan berbagai implementasi unsur parhyangan, pawongan dan palemahan dari Tri Hita Karana dalam subak. UNESCO mengategorikan subak sebagai lanskap budaya karena dibentuk dari perpaduan antara perilaku manusia dan alam. Berdasarkan kategori itu, warisan dunia tentang subak populer disebut lanskap budaya subak. Selain lanskap budaya, UNESCO juga mengategorikan warisan dunia sebagai benda dan bukan benda. Contoh warisan dunia kategori benda di Indonesia adalah Candi Borobudur di Kabupaten Magelang Jawa Tengah dan Candi Prambanan di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Wayang dan keris oleh UNESCO dikategorikan sebagai warisan bukan benda, karena lebih ditekankan pada nilai-nilai kemanusiaan di balik keberadaan wayang dan keris itu. Lanskap budaya yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia terdiri atas empat kelompok atau klaster. Keempat kelompok tersebut adalah (1) Pura Ulun Danu Batur di Kabupaten Bangli, (2) Kawasan Daerah Aliran Sungai Tukad Pakerisan di Kabupaten Gianyar, (3) Kawasan Catur Angga Batukaru yang meliputi Kabupaten Buleleng dan Tabanan, (4) Pura Taman Ayung di Kabupaten Badung.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 35 }



Peta lokasi empat situs Lanskap Budaya di Bali (Sumber The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia & The Goverment of Bali Province, 2009:I-3).



2.3 Pura Subak Utama: Pura Ulun Danu Batur Situs atau kawasan pertama lanskap budaya adalah Pura Ulun Danu Batur. Luas situs pertama 2778,68 hektar, yang terdiri atas wilayah inti (1,54 hektar) dan wilayah penyangga (2777,14 hektar). Wilayah inti merupakan kawasan yang mutlak harus dilindungi dan tidak boleh dilakukan perubahan apapun. Wilayah inti dari situs pertama adalah Pura Ulun Danu Batur sendiri. Wilayah penyangga adalah kawasan di sekitar areal inti, yang berfungsi untuk mendukung pelestarian zone inti. Wilayah penyangga Pura Ulun Danu Batur terdiri atas dua kawasan. Wilayah penyangga pertama adalah Desa Batur Utara, Batur Tengah dan Batur Selatan. Penduduk ketiga desa bertanggungjawab langsung dalam pengelolaan Pura Ulun Danu Batur. Wilayah penyangga kedua meliputi bagian bawah atau lantai dari kaldera Gunung Batur. Wilayah penyangga kedua mencakup Pura Ulun Danu Songan, Pura Jati, kawasan hutan, kawasan pedesaan dan Danau Batur.



{ 36 }



Lanskap Budaya SUBAK



Peta situs pura subak utama: Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur (Sumber The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia & The Government of Bali Province, 2009, I-8).



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 37 }



2.3.1 Pura Ulun Danu Batur Pura Ulun Danu Batur berlokasi di Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, sekitar 70 kilometer sebelah utara Kota Denpasar. Pura ini berada pada ketinggian 900 meter dari permukaan laut, dan dibangun pada tebing barat kaldera Gunung Batur. Kaldera merupakan kawah gunung berapi yang sangat besar. Kaldera Gunung Batur terjadi karena Gunung Batur purba meletus sangat dahsyat. Setelah meletus gunung tersebut ambruk dan menyisakan kawasan lembah yang sangat luas. Danau Batur adalah bagian kawah dari Gunung Batur purba. Karena itu Danau Batur dikenal pula sebagai danau kawah. Sedangkan Gunung Batur yang ada pada saat ini merupakan anakan dari Gunung Batur purba. Pura Ulun Danu Batur berbatasan dengan lembah kaldera dengan Gunung Batur dan Danau Batur berada di sebelah bawah, dikelilingi dengan perumahan penduduk, dan jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Bangli dan Buleleng.



Pohon beringin yang disakralkan di Pura Ulun Danu Batur.



{ 38 }



Lanskap Budaya SUBAK



Keberadaan Pura Ulun Danu Batur disebutkan dalam beberapa lontar, seperti lontar Kusuma Dewa, Lontar Usana Bali, Lontar Raja Purana Batur dan Lontar Babad Kayu Selem. Lontar Usana Bali memuat mitos terbentuknya Pura Ulun Danu Batur. Mitos merupakan cerita rakyat tentang dewa atau mahluk setengah dewa yang dianggap benarbenar terjadi oleh pengarang maupun penganutnya. Mitos berlatar belakang masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan mahluk hidup yang ada di dalamnya. Dalam lontar Usana Bali diceritakan tentang Gunung Mahameru di India yang menjulang tinggi hampir menyentuh langit. Jika puncak gunung itu sampai menyentuh langit, maka alam ini akan hancur. Sang Hyang Pasupati (Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa) lalu mengambil puncak Gunung Mahameru dengan kedua tangannya dan membawa ke Pulau Bali. Tangan kanan Beliau membawa bongkahan yang lebih besar, sedangkan tangan kiri Beliau membawa bongkahan yang lebih kecil. Bongkahan yang lebih besar menjadi Gunung Agung, sebagai tempat beristana putra beliau Sang Hyang Putra Jaya (Sang Hyang Mahadewa). Bongkahan yang lebih kecil menjadi Gunung Batur, sebagai tempat berstana putri beliau, Dewi Danuh. Umat Hindu lalu membangun Pura Besakih pada lereng Gunung Agung, sebagai tempat pemujaan bagi Sang Hyang Putra Jaya. Sedangkan pada lereng Gunung Batur dibangun Pura Ulun Danu Batur, sebagai istana Dewi Danuh. Sesuai dengan ajaran Hindu di Bali, Gunung Agung dan Gunung Batur adalah hulu dari pulau Bali. Kedua gunung merupakan unsur purusa (laki-laki) dan pradana (perempuan) dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Konsep purusa-pradana merupakan filsafat Hindu yang meyakini bahwa kehidupan dalam jagat raya dan segala isinya terjadi melalui penyatuan kedua unsur tersebut. Konsep purusa-pradana bukan hanya mencakup kelahiran mahluk hidup tetapi juga alam dan segala isinya. Penyatuan purusa-pradana senantiasa diperlukan dalam memelihara keseimbangan, keharmonian dan keberlanjutan jagat raya tanpa kecuali Pulau Bali. Sesuai dengan konsep tersebut, maka Pura Besakih yang merupakan istana Dewa Mahajaya merupakan unsur purusa. Sedangkan Pura Ulun Danu Batur sebagai istana Dewi Danuh adalah unsur pradana. Unsur purusa-pradana dari Pura Besakih dan Pura Ulun Danu Batur berperan dalam menjaga keutuhan, keharmonian dan keberlanjutan Pulau Bali dengan segala isi yang ada di dalamnya. Subak sebagai Warisan Dunia



{ 39 }



Dengan demikian, Pura Ulun Danu Batur merupakan kayangan jagat, yaitu tempat bagi semua umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Danuh atau lambang kesuburan. Pura yang termasuk kayangan jagat terdiri atas empat jenis, yaitu berdasarkan konsep Rwa Bhineda, Sad Kahyangan, Catur Loka Pala dan Padma Bhuana. Pura yang dibangun berdasarkan konsep Rwa Bhineda adalah Pura Besakih dan Pura Ulun Danu Batur. Kedua pura berfungsi untuk memuja Tuhan sebagai unsur purusa (unsur laki-laki) dan pradana (unsur perempuan). Persembahyangan di Pura Rwa Bhineda bertujuan untuk memotivasi manusia agar berusaha membangun keseimbangan hidupnya antara jiwa dan raga, mental dan fisik atau rohani dan jasmani. Pura Catur Loka Pala adalah pura yang berada pada empat penjuru mata angin. Pura yang termasuk Catur Loka Pala adalah Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem (timur), Pura Andakasa di Kabupaten Karangasem (selatan), Pura Batukaru (barat) dan Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung (utara). Tujuan pemujaan Tuhan di Pura Catur Loka Pala untuk membina rasa aman raksanam atas perlindungan Tuhan dari semua arah. Pura Sad Kahyangan adalah enam pura yang diyakini sebagai sendi-sendi spiritual Pulau Bali. Pura yang termasud Sad Kahyangan bisa berbeda-beda tergantung pada lontar yang memuatnya. Hal itu disebabkan di Pulau Bali sempat berkuasa sembilan kerajaan yang masing-masing memiliki otonomi, termasuk dalam menentukan pura yang termasuk Sad Kahyangan. Menurut lontar Kusuma Dewa (ditulis pada tahun 1005 Masehi, ketika Bali masih merupakan satu kerajaan yang berpusat di Gelgel Klungkung), Sad Kahyangan terdiri atas Pura Besakih dan Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem, Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung, Pura Pusering Jagat atau Pura Pusering Tasik di Kabupaten Gianyar, Pura Uluwatu di Kabupaten Badung dan Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan. Tujuan pemujaan Tuhan Yang Maha Esa di Pura Sad Kahyangan adalah untuk menguatkan komitmen umat Hindu di Bali menegakan Sad Kertih sebagai dasar membangun Bali yang aman dan makmur atau sejahtera dan adil. Sad kertih berarti enam kewajiban atau perilaku positif yang harus dilakukan untuk menjaga kehidupan yang seimbang dan berkelanjutan. Keenam kewajiban itu adalah (1) jagat kertih, menjaga keharmonian hubungan dengan Tuhan, { 40 }



Lanskap Budaya SUBAK



antar sesama manusia dan lingkungan. (2) atma kertih memelihara kesucian atma atau jiwa, (3) samudra kertih, menjaga kelestarian laut, (4) wana kertih, melestarikan hutan, (5) danu kertih melestarikan danau dan air, (6) janu kertih meningkatkan kualitas manusia. Padma Bhuana adalah pura yang terdapat pada sembilan penjuru mata angin. Adapun pura tersebut adalah Pura Besakih (di timur laut), Pura Lempuhyang Luhur (timur), Pura Goa Lawah (tenggara), Pura Andakasa (selatan), Pura Luhur Uluwatu (barat daya), Pura Luhur Batukaru (barat), Pura Puncak Mangu (barat laut), Pura Ulun Danu Batur (utara) dan Pura Pusering Jagat (tengah). Pemujaan pada pura Padma Bhuana bertujuan memotivasi manusia untuk menjaga dan memelihara alam serta kehidupan di dalamnya secara utuh dan bulat pada sembilan penjuru alam (terdiri atas 8 penjuru mata angin dan 1 di tengah sebagai titik sentral). Berdasarkan uraian di atas, maka Pura Ulun Danu Batur merupakan kahyangan jagat yang termasuk dalam konsep Rwa Bhineda maupun Padma Bhuana. Karena itu, tidak mengherankan jika setiap hari pura ini tidak pernah sepi dari Umat Hindu yang melakukan persembahyangan. Terlebih-lebih pada saat pujawali, ribuan umat Hindu berdatangan dari seluruh pelosok tanah air. Selama beberapa hari Pura Ulun Danu Batur selalu dipenuhi dengan umat yang ingin melakukan persembahyangan, mulai pagi, siang, sore, tengah malam dan subuh dini hari. Pujawali berasal dari kata puja (berarti pemujaan) dan walin (berarti hari persembahan). Dengan begitu, pujawali berarti pemujaan bertepatan dengan hari ulang tahun. Sekilas nampak makna pujawali hampir sama dengan peringatan hari ulang tahun dalam kehidupan modern. Tetapi ulang tahun dalam konsep pujawali bukan ulang tahun untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ulang tahun yang dimaksud di sini adalah upacara keagamaan besar yang dilakukan pertama kali pada sebuah pura. Upacara besar merupakan rangkaian upacara keagamaan yang kompleks, yang biasanya terdiri atas karya mamungkah (pemugaran), pamelaspas (penyucian), mapulang pedagingan (menanam upakara) dan pangenteg linggih (mengukuhkan bangunan dalam kompleks pura bersangkutan). Dengan begitu pujawali mengandung makna pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dilakukan bertepatan dengan ulang tahun sebuah pura. Subak sebagai Warisan Dunia



{ 41 }



Pujawali juga sering disebut dengan piodalan, petirthaan atau petoyaan. Semua istilah tersebut mengacu pada upacara keagamaan yang dilakukan bertepatan dengan hari ulang tahun pura bersangkutan. Pujawali pada setiap pura berbeda-beda, ada yang menggunakan patokan wuku dan ada pula sasih (bulan). Wuku adalah siklus waktu yang berlangsung selama 30 minggu. Satu minggu terdiri atas tujuh hari, sehingga setiap wuku akan datang setiap 210 hari. Pada pura yang menggunakan patokan wuku, maka pujawali pada pura tersebut berlangsung setiap 210 hari. Sasih atau bulan merupakan siklus waktu yang berlangsung selama 12 bulan. Satu sasih terdiri atas 35 hari. Dalam kalender tradisional Bali terdapat 12 sasih, sehingga setiap sasih tertentu akan datang setiap 420 hari. Dengan demikian, pujawali pada pura yang berpatokan pada sasih berlangsung setiap 420 hari. Pujawali di Pura Ulun Danu Batur menggunakan perhitungan sasih. Pujawali di pura itu berlangsung setiap purnama kedasa atau saat bulan penuh pada bulan kesepuluh menurut perhitungan kalender tradisional Bali. Pujawali di Pura Ulun Danu Batur lebih dikenal sebagai pangusaban. Pangusaban berasal dari kata usabha yang berarti upacara keagamaan untuk memuliakan Dewi Danuh sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menurunkan anugerah kesuburan bagi alam semesta.



2.3.2 Sejarah Pura Ulun Danu Batur Pada masa lalu Pura Ulun Danu Batur berlokasi di bagian bawah kaldera, atau pada lereng barat daya Gunung Batur. Nama pura pada saat itu adalah Pura Tampurhyang. Sedangkan desa yang terletak di sebelah bawah pura disebut Desa Sinarata. Pada tahun 1917 Gunung Batur meletus dengan sangat dahsyat. Awan hitam bercampur debu dan pasir membumbung ke angkasa. Suara gemuruh diselingi dentuman keras terdengar dari dasar kawah. Tak berselang lama lahar panas berwarna merah meluncur deras dari bibir kawah menuju bagian gunung yang lebih rendah. Lahar atau lava adalah campuran dari air, bebatuan dan pasir yang mengalir dari gunung berapi. Ajaibnya gelombang lahar panas yang bergerak ibarat bukit yang sedang berpindah berhenti tepat di depan kori gelung (pintu gerbang) Pura Tampurhyang. Penduduk Sinarata menganggap kejadian tersebut sebagai pertanda baik untuk tetap bermukim di bagian bawah kaldera.



{ 42 }



Lanskap Budaya SUBAK



Pentas tari baris gde pada waktu Pura Ulun Danu Batur masih berlokasi di dasar kaldera Batur.



Namun hanya berselang delapan tahun kemudian (yaitu pada tahun 1926), Gunung Batur kembali meletus dengan dahsyat. Kali ini aliran lahar menimbun hampir seluruh bangunan pura dan pemukiman penduduk yang ada di dasar kaldera. Penduduk Desa Sinarata terpaksa mengungsi dibantu oleh penduduk berbagai desa yang tinggal pada bagian atas kaldera. Pratima, prasasti dan berbagai benda-benda sakral milik pura yang berhasil diselamatkan, untuk sementara waktu ditempatkan di Desa Bayung Gede. Desa ini terletak beberapa kilometer di sebelah selatan kaldera. Pratima berarti arca atau patung sebagai simbol atau perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada batu, logam, kertas atau daun lontar. Segera setelah pura di dasar kaldera lenyap tertimbun lava Gunung Batur, para penduduk dibantu pemerintah kolonial Belanda memilih lokasi baru. Lokasi itu berada pada dataran yang tinggi yaitu pada bagian atas kaldera, di sebelah barat Gunung Batur. Lokasi itu dikenal sebagai Karang anyar atau sebagai tempat yang baru. Penduduk yang semula bermukim di bagian bawah kaldera, pindah dan membangun pemukiman di sekitar lokasi pura yang baru. Pura itu disebut Pura Batur atau Pura Ulun Danu



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 43 }



Batur. Desa yang ada di sekitarnya diberi nama Desa Batur (Pada saat ini desa tersebut terdiri atas Desa Batur Utara, Batur Tengah dan Batur Selatan).



2.3.3 Pura Ulun Danu Batur dan Subak Lokasi Pura Ulun Danu Batur yang berada pada ketinggian, dan ditambah pula dengan struktur pura yang unik, menciptakan nuansa bahwa pura tersebut merupakan pura subak yang paling utama. Kaldera Gunung Batur adalah sumber air yang kaya dengan mineral sehingga mampu memberikan kesuburan bagi ribuan hektar sawah yang berada di sebelah hilir. Ida Bethara Dewi Danuh yang dipuja di pura merupakan manifestasi Tuhan dalam wujudnya sebagai pelindung danau, mata air dan sungai. Orang Bali meyakini sebagian besar mata air yang mengalir ke sungai di pulau ini berasal dari Danau Batur. Jro Gde Alitan, sulinggih dari Pura Ulun Danu Batur, pernah menyampaikan dalam sebuah seminar, bahwa kendati tidak ada sungai yang nampak berhulu di Danau Batur, tetapi sesungguhnya terdapat sungai bawah tanah yang mengalir ke empat penjuru angin. Beliau mengutip tulisan dalam lontar yang disimpan di Pura Ulun Danu Batur. Lontar itu menyebutkan ke arah timur laut Danau Batur terdapat sungai bawah tanah yang mengalir sampai Desa Les di Buleleng, tenggara sampai Tukad Telaga Waja di Karangasem, barat daya sampai Tukad Yeh Sungi di perbatasan Kabupaten Badung dan Tabanan, dan barat laut sampai kawasan sekitar Seririt Kabupaten Buleleng. Tidak mengherankan jika Pura Ulun Danu Batur menjadi mata rantai utama dari jejaring kerja pura subak, seperti yang sudah diuraikan pada bab terdahulu. Tidak kurang 250 subak dari berbagai kabupaten di Bali senantiasa mengaturkan suwinih dalam berbagai bentuk seperti beras, babi dan daun kelapa pada waktu pujawali di Pura Ulun Danu Batur. Demikian pula jika subak-subak tersebut melangsungkan upacara keagamaan, mereka senantiasa memohon tirtha atau air suci dari Pura Ulun Danu Batur. Bagi subak, Pura Ulun Danu Batur bukan saja berfungsi dalam ritual keagamaan, tetapi juga memiliki peranan praktis dalam mengoordinasikan kegiatan musim bertanam, pengaturan irigasi dan pengendalian hama penyakit. Seringkali jika masalah antar subak satu dan subak lain tidak bisa diselesaikan, mereka meminta saran kepada dua sulinggih utama di Pura Ulun Danu Batur (yaitu Jro Gde Duuran dan Jro Gde Alitan) dalam mencari solusi terhadap permasalahan tersebut.



{ 44 }



Lanskap Budaya SUBAK



Pura subak kuno dan beberapa subak di Tampaksiring Gianyar (Sumber The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia & The Government of Bali Province, 2009, I-15).



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 45 }



2. 4 Pura Subak Kuno dan Subak di Tampaksiring Luas situs kedua 884,88 hektar yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs ini meliputi beberapa pura peninggalan para raja jaman Bali Kuno yang terkait dengan kawasan subak di sebelah hilirnya. Yang dimaksud dengan jaman Bali Kuno adalah era kerajaan sebelum Pulau Bali dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa. Keempat pura yang tergolong kuno adalah Pura Tirtha Empul dengan sumber mata air yang sangat besar, Pura Pegulingan dengan stupa buda dan Pura Mangening yang memiliki mata air dan sumber dari air irigasi Subak Kulub. Sedangkan salah satu pura peninggalan raja adalah Pura Gunung Kawi dengan ornamen yang unik dan berbeda dengan pura lainnya. Subak yang termasuk dalam situs lanskap budaya kedua adalah Subak Pulagan, Subak Kulub Atas dan Subak Kulub Bawah. Pura Tirtha Empul dengan mata air yang besar dikenal sebagai simbol dari sumber air Tukad Pakerisan. Salah satu prasasti bertahun 962 Masehi mencantumkan tentang pembangunan bendungan di kawasan ini. Hal itu menandakan sejak ribuan tahun lalu sampai sekarang, sistem irigasi yang bersumber dari mata air di Pura Tirtha Empul masih tetap mensuplai air bagi Subak Pulagan dan Subak Kumba.



2.4.1 Pura Tirtha Empul Lanskap budaya untuk Pura Tirtha Empul terdiri atas zona inti (2,73 hektar) dan zona penyangga (24,23 hektar). Zona inti adalah Pura Tirtha Empul itu sendiri, yang berlokasi di Desa Manukaya, atau sekitar 30 kilometer sebelah utara Kota Denpasar. Pura ini terletak pada lembah di sebelah hulu Daerah Aliran Sungai Tukad Pakerisan, dengan latar belakang bukit kecil yang ditutupi oleh rimbunan berbagai pohon upakara di sebelah utaranya. Pada sisi timur berbatasan dengan sawah berteras dengan jalan setapak menuju Pura Pegulingan. Jalan raya menuju kawasan wisata Kintamani membentang sepanjang sisi selatan pura. Panorama yang paling menarik adalah Istana Presiden, yang terletak pada sisi barat Pura Tirtha Empul. Istana tersebut seringkali digunakan sebagai tempat peristirahatan oleh Presiden Republik Indonesia dan pejabat penting dari negara sahabat bilamana mereka sedang berkunjung ke Bali. Adanya jembatan yang menghubungkan dua



{ 46 }



Lanskap Budaya SUBAK



bangunan utama istana, rumput yang senantiasa tercukur rapi, dan letak istana pada ketinggian tebing menciptakan pemandangan yang indah jika dilihat dari halaman pura.



Umat Hindu bersiap sembahyang di depan pelinggih prasada di Pura Tirta Empul Tampaksiring.



Pura Tirtha Empul terdiri atas tiga zona atau Tri Mandala sesuai dengan kosmologi orang Bali. Kosmologi adalah pandangan atau keyakinan tentang alam semesta. Umat Hindu di Bali meyakini alam semesta ini terbentuk dari tiga dunia atau Tri Bhuana. Ketiga unsur Tri Bhuana adalah bhur, bwah dan swah. Bhur merupakan dunia bagi mahluk yang memiliki tingkatan lebih rendah dibanding manusia, misalnya tumbuhan dan binatang; Bwah dunia untuk manusia, dan Swah dunia untuk Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai dewa sebagai sinar suci beliau. Kalau dirunut lebih mendalam, konsep Tri Bhuana sebenarnya berasal dari filsafat dasar orang Bali, yaitu Tri Hita Karana



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 47 }



(palemahan, pawongan dan parhyangan). Sesuai dengan konsep Tri Hita Karana manusia harus senantiasa merawat unsur bhur, bwah dan swah dari Tri Bhuana agar kehidupan dalam alam semesta ini tetap berjalan harmonis dan seimbang. Dengan begitu Tri Mandala sebagai implementasi dari Tri Bhuana sesungguhnya merupakan aktualisasi dari konsep Tri Hita Karana. Aktualisasi adalah upaya membuat konsep atau pemikiran yang abstrak menjadi konkrit atau nyata dapat dirasakan oleh indra manusia. Unsur Tri Mandala di Pura Tirtha Empul terdiri atas Nista Mandala (jaba sisi) atau halaman yang paling luar, Madya Mandala (jaba tengah) atau halaman tengah dan Utama Mandala (jeroan) atau halaman utama. Pada jaba sisi Pura Tirta Empul terdapat pertamanan, permandian umum, kolam dan wantilan. Pada jaba tengah terdapat dua buah kolam besar berbentuk persegi panjang. Air mengalir ke kolam dari 33 pancoran yang berjejer dari barat ke timur. Setiap pancoran memiliki nama masing-masing seperti pancoran penglukatan, pancoran pembersihan, pancoran sudamala dan pancoran cetik. Pancoran mulai nomor 2 sampai 10 oleh umat Hindu digunakan untuk melukat. Melukat merupakan upacara keagamaan untuk menyucikan tubuh manusia dari segala kotoran. Terdapat lima jenis kotoran yang melekat dalam tubuh manusia, yaitu merasa paling pintar (awidya), mementingkan diri sendiri (aswita), mengutamakan kepentingan indera (raga), rasa benci atau dendam (dwesa) dan rasa takut (abhiniwesa). Melukat bertujuan membersihkan diri terhadap lima jenis kotoran untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pancoran di Pura Tirtha Empul merupakan tempat melukat yang paling banyak dikunjungi oleh Umat Hindu. Hampir setiap hari kita bisa menjumpai puluhan Umat Hindu yang melakukan upacara melukat di pura ini. Pada bagian barat dari 33 pancoran yang telah diuraikan, terdapat pancoran cetik yang terkurung dalam tembok. Nama pancoran cetik terkait erat dengan mitologi peperangan Betara Indra dengan Raja Mayadenawa. Diceritakan Raja Mayadenawa memerintah dengan sewenang-wenang sehingga banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat Bali. Betara Indra diutus oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa memerangi raja tersebut. Raja Mayadenawa lari ke lembah Tukad Pakerisan dan menciptakan mata air yang beracun. Banyak prajurit Betara Indra mengalami keracunan (bahkan kematian) setelah minum air beracun tersebut. Betara Indra segera menancapkan tongkat ke dalam tanah, lalu muncul mata air yang besar. Prajurit yang mengalami { 48 }



Lanskap Budaya SUBAK



keracunan atau mati, hidup kembali setelah meminum air yang menyembur ke luar dari dalam tanah. Mayadenawa akhirnya dapat dikalahkan. Mata air yang diciptakan oleh Mayadenawa mengalir melalui pancoran cetik dan ditampung dalam kolam di sebelah barat. Sebaliknya air puluhan pancoran yang berada pada kolam sebelah timur berasal dari mata air besar ciptaan Ida Betara Indra.



Umat Hindu berdesak-desakan untuk melakukan ritual melukat di pancoran Pura Tirta Empul Tampaksiring.



Begitu memasuki jaba tengah dari sisi barat pura, para pengunjung akan menjumpai patung lingga-yoni, ganesca dan nandini. Arca yang dikeramatkan ini termasuk peninggalan purbakala yang berasal dari jaman batu (era megalitik). Lokasi arca merupakan tempat awal pura sebelum diperluas seperti keadaan pura pada saat ini. Adanya peninggalan sejarah menunjukkan Pura Tirtha Empul merupakan pura kuno. Diperkirakan pura itu dibangun pada tahun 960 Masehi, yaitu pada jaman Raja Chandra Bhayangsingha dari Dinasti Warmadewa.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 49 }



Pada halaman utama atau jeroan terdapat berbagai bangunan suci (pelinggih) dengan arsitektur tradisional Bali yang sangat indah. Pelinggih itu terbuat dari batu cadas, bata dan kayu berhiaskan ukiran yang didominansi warna kuning keemasan. Pelinggih utama di jeroan adalah bangunan besar dari batus cadas, berbentuk persegi empat. Pelinggih itu disebut Prasada sebagai istana Dewa Indra. Masih di jeroan, di sebelah selatan pelinggih prasada terdapat kolam besar yang menampung air dari mata air besar sebelum mengalir menuju puluhan pancoran yang telah diuraikan sebelumnya. Air yang ke luar dari mata air di jeroan adalah air suci atau tirtha. Tirtha Empul berarti air suci yang menyembur dari air di dalam tanah. Pada bab pertama, sekilas telah diuraikan bahwa kawasan sekitar Pura Tirtha Empul merupakan awal dari perkembangan subak. Seorang ahli arkeologi, bernama John Schoefelder dari Amerika Serikat telah meneliti tanah pada telabah aya (saluran irigasi utama subak) di sebelah selatan Pura Tirtha Empul. Berdasarkan hasil penelitiannya, dia menyimpulkan telabah aya yang menyalurkan air dari Pura Tirtha Empul menuju Subak Pulagan dan Subak Kumba berusia tua. Sebagai rasa bakti terhadap Ida Bethara yang berstana di Pura Tirtha Empul, maka setiap pujawali, krama (anggota) Subak Pulagan dan Kumba senantiasa menghaturkan suwinih dalam bentuk beras, kelapa dan berbagai jenis bebantenan. Berbeda dengan kebanyakan subak yang lain, Subak Pulagan dan Kumba merasa tidak bertanggungjawab terhadap Pura Ulun Danu Batur. Krama kedua subak berpandangan sumber air yang mereka gunakan berasal dari mata air di Pura Tirtha Empul, bukan dari Danau Batur. Kepercayaan ini juga menandakan bahwa Pura Tirtha Empul, Subak Pulagan dan Kumba berusia tua. Artinya semua situs tinggalan sejarah itu sudah ada sebelum jejaring kerja pura subak (yang berpuncak pada Pura Ulun Danu sebagai pura subak tertinggi) terbentuk. Pujawali di Pura Tampaksiring setiap Purnama Kapat (bulan penuh keempat dan pada setiap Tumpek Wayang sesuai dengan kalender tradisional Bali.



2.4.2 Pura Pegulingan Lanskap budaya Pura Pegulingan terdiri atas 1,17 hektar zona inti dan 10,65 hektar zona penyangga.



{ 50 }



Lanskap Budaya SUBAK



Stupa Budha di Pura Pegulingan: Bukti kerukunan beragama sejak Jaman Bali Kuno.



Pura Pegulingan terletak di Desa Adat Basangambu, sekitar 200 meter timur laut Pura Tirtha Empul. Sekitar 100 meter di sebelah timur Pura Pegulingan terbentang jalan raya yang menghubungkan Kecamatan Tampaksiring Gianyar dan Kecamatan Kintamani Bangli. Lingkungan sekitar pura merupakan kawasan persawahan. Istana Presiden Tampaksiring terlihat indah di sebelah barat pura. Pura Pegulingan merupakan suaka peninggalan purbakala yang dilindungi oleh undang-undang karena memiliki nilai sejarah yang tinggi. Pelinggih yang paling unik di Pura Pegulingan adalah Stupa Budha dengan tinggi 12 meter dan garis tengah 3 meter. Stupa ditemukan pada tahun 1983. Berawal dari kerja bakti Krama Banjar Adat Basangambu membersihkan tumpukan batu padas untuk dibangun Padmasana Agung (pelinggih atau bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Ketika runtuhan batu padas dipindahkan, ditemukan beberapa arca Budha dan berbagai pecahan benda-benda purbakala. Penggalian lebih dalam menemukan struktur pondasi stupa Budha berbentuk persegi delapan. Subak sebagai Warisan Dunia



{ 51 }



Sejak tahun 1984 dilakukan penelitian intensif oleh Balai Suaka Sejarah dan Peninggalan Purbakala Bali. Hasil penelitian menemukan miniatur stupa (stupa berukuran kecil) yang kemudian dijadikan model dalam pembangunan kembali stupa yang besar. Temuan penting lainnya adalah kotak batu padas berisi material dari tanah liat, yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf pranagari berbahasa Sanskerta. Tulisan itu menguraikan mantra-mantra Budha. Diperkirakan mantra tersebut ditulis pada abad ke-9 sampai abad ke-10 Masehi, yang merupakan periode dari Raja Udayana dan istrinya Gunaprya Dharmapadmi. Nampaknya pada saat itu Pura Pegulingan digunakan sebagai tempat persembahyangan umat Budha. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti kapan pura tersebut berubah fungsi dari tempat persembahyangan Umat Budha menjadi tempat persembahyangan Umat Hindu. Seorang ahli arkeologi Indonesia, Soekomo berpendapat bahwa pada waktu stupa di Pura Pegulingan dibangun telah berlangsung kerukunan beragama antara Umat Hindu dan Umat Budha. Hal ini didasarkan pada tinggalan purbakala di pura tersebut. Selain ditemukan stupa dan arca sebagai simbol Budha, juga ditemukan panca datu dan arca yoni sebagai simbol Hindu. Panca datu adalah lima jenis logam mulia (emas, perak, besi, tembaga dan timah) yang ditanam ke dalam tanah pada saat akan membangun pelinggih atau bangunan suci. Panca datu adalah simbol isi bumi, yaitu logam dan batu mulia yang paling pertama diciptakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebelum mahluk hidup dan isi bumi lainnya.



2.4.3 Pura Mengening Lanskap budaya Pura Mengening terdiri atas 2,45 hektar zona inti dan 13,43 hektar zona penyangga. Pada sisi utara terdapat jalan raya menghubungkan Tampaksiring dan Kintamani, sebelah timur Desa Adat Mancingan, selatan areal persawahan Subak Pulagan dan barat pemukiman Desa Adat Saraseda. Pura Mengening terletak di Banjar Saraseda, sekitar satu kilometer di sebelah selatan Pura Tirtha Empul. Pura Mengening dibangun di atas sebuah bukit kecil pada lembah di sisi barat Tukad Pakerisan. Pada sisi timur pura, terbentang tebing dan jurang Tukad Pakerisan. Sawah berteras dari Subak Pulagan membentang di sisi selatan. Berbagai spesies tumbuhan upakara tumbuh rimbun, terutama di sebelah utara pura.



{ 52 }



Lanskap Budaya SUBAK



Sedangkan di sebelah barat agak ke bawah terdapat mata air dengan air ditampung dalam sebuah kolam sebelum mengalir menuju saluran irigasi Subak Kulub Tampaksiring. Lokasi pura nampaknya dipilih dengan sangat cermat, bukan saja dari sisi religiusnya, melainkan juga dari segi keindahan dan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Bukit kecil sebagai lokasi utama pura ditata bertingkat-tingkat dengan beberapa kolam dan pancuran air di sebelah bawah. Semuanya tertata dengan rapi sehingga dapat memanjakan mata yang memandang, menimbulkan suasana hening dan damai.



Prasada Agung di Pura Mengening menyerupai candi di Jawa.



Pura Mengening memiliki tiga halaman utama (Tri Mandala). Pada nista mandala terdapat sebuah Taman Pancaka Tirtha. Sesuai dengan namanya (panca yang berarti lima dan tirtha adalah air suci) pada areal Taman Pancaka Tirtha terdapat lima sumber air suci, yaitu tirtha parisuda, tirtha pengelukatan, tirtha pengulapan, tirtha keris dan tirtha kamaning. Masih di kawasan nista mandala juga terdapat beberapa mata Subak sebagai Warisan Dunia



{ 53 }



air yang digunakan sebagai tirtha untuk keperluan upacara keagamaan oleh masyarakat. Nama dari tirtha itu adalah tirtha keben, tirtha sudamala, tirtha melela, tirtha soka, tirtha megelung, tirtha tunggang dan tirtha telaga waja. Pada Madya Mandala terdapat beberapa bangunan seperti Bale Gong (tempat gambelan) dan Bale Kulkul (tempat kentongan). Bangunan suci utama pada utama mandala adalah meru tumpang tiga atau prasada agung. Meru tumpang tiga merupakan pelinggih atau bangunan suci yang memiliki atap bertingkat tiga. Pada umumnya struktur atap bangunan meru pada kebanyakan pura di Bali terbuat dari kayu dan ijuk. Tetapi prasada agung atau meru tumpang tiga di Pura Mengening seluruhnya dibangun dengan batu padas sehingga nampak mirip dengan bangunan candi di Jawa. Sampai abad ke-20, belum ditemukan catatan yang menguraikan sejarah Pura Mengening. Berdasarkan cerita lisan dari penduduk lokal, ketika terjadi gempa dahsyat pada tahun 1917 banyak pelinggih pura yang mengalami kerusakan. Sejarah kerusakan diulas oleh A.J. BernetKempers dalam bukunya yang berjudul “Bali Kuno (1960)”. Pada buku itu disebutkan hanya beberapa pura dan patung yang masih dapat dijumpai di sekitar Tampaksiring setelah gempa bumi yang dahsyat. Pura Mengening kemungkinan juga mengalami kerusakan berat akibat bencana alam tersebut. Namun sejak lama di jeroan (halaman utama) pura terdapat gundukan yang oleh masyarakat disebut prasada agung. Baru pada tahun 1982 dilakukan penelitian. Hasil penggalian terhadap gundukan menemukan adanya lubang atau bilik candi. Penggalian selanjutnya menemukan arca berbentuk lingga-yoni. Pada bekas gundukan itu lalu dibangun meru tumpang tiga atau prasada agung. Pelinggih itu selesai dibangun pada tahun 1983. Dengan ditemukannya pelinggih dalam bentuk prasada, maka diperkirakan Pura Mengening telah ada pada abad ke-11 yaitu pada jaman kerajaan Anak Wungsu. Ada juga yang memperkirakan Pura Mengening dibangun pada masa Raja MasulaMasuli yang beristana di Pejeng Gianyar. Pura Mengening dimasukkan dalam lanskap budaya karena di sekitar kawasan pura terdapat puluhan mata air yang menjadi sumber irigasi bagi Subak Kulub yang terletak beberapa kilometer di selatan pura. Air yang dialirkan ke pancoran ditampung di kolam dan air luapan dari kolam tersebut dialirkan melalui selokan dan aungan menuju saluran irigasi Subak Kulub. Pujawali di Pura Mengening purnama karo atau bulan penuh kedua sesuai kalender Bali. { 54 }



Lanskap Budaya SUBAK



2.4.4 Pura Gunung Kawi Lanskap Pura Gunung Kawi terdiri atas 5,38 hektar sebagai zona inti dan 14,87 hektar zona penyangga. Pada bagian utara pura terbentang lembah Tukad Pakerisan dengan sawah berteras yang sempit, di sebelah timur pemukiman Desa Adat Mancingan. Sedangkan di sebelah selatan dan barat terhampar areal sawah berteras milik Subak Pulagan.



Candi Gunung Kawi Tampaksiring berdiri megah dalam keasrian jurang Tukad Pakerisan.



Pura Gunung Kawi terletak di Banjar Penaka Desa Manukaya Tampaksiring, sekitar tiga kilometer di sebelah selatan Pura Tirtha Empul. Pura Gunung Kawi berlokasi di dasar jurang yang dalam dari Tukad Pakerisan. Untuk mencapai lokasi pura, para mengunjung harus melewati ratusan tangga dengan panorama sawah bertingkat-tingkat di kanan-kiri jalan dan lembah Tukad Pakerisan di sebelah timur. Sepanjang



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 55 }



jalan setapak juga terdapat puluhan warung seni yang menawarkan beraneka ragam cindera mata. Pura Gunung Kawi memiliki arsitektur yang unik. Bangunan utama pura berupa candi yang langsung dipahat dari bebatuan tebing sehingga nampak mencekuk ke dalam tebing. Pada bagian atas dari setiap candi yang dipahat beratap tiga, terdapat lambang lingga-yoni sebagai simbol dari kesuburan. Cara membuat candi seperti ini berbeda dengan membangun candi pada umumnya. Berbagai candi yang tersebar di Pulau Jawa dibangun dengan menyusun bongkahan bebatuan. Setelah bangunan candi terwujud baru kemudian bebatuan candi dipahat. Berdasarkan tulisan yang terdapat pada candi, fungsi candi ditafsirkan sebagai tempat untuk menyucikan arwah dari Raja Udayana dan keluarganya yang telah terbebas dari keduniawian. Dengan begitu maka candi bukan makam (tempat menguburkan jenazah) melainkan tempat untuk menstanakan roh yang telah disucikan. Sebagai gambaran Candi Margarana yang dibangun di Desa Marga Tabanan Bali merupakan bangunan suci untuk memuliakan roh Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan ratusan pahlawan lainnya yang gugur dalam Perang Margarana pada 20 Nopember 1946. Tidak ada jasad pahlawan yang dimakamkan di situ. Bahkan para pahlawan beragama Hindu yang gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negara, telah diaben (dikremasi) untuk mengembalikan rohnya agar bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pahlawan yang memeluk agama bukan Hindu sebagian besar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pancaka Tirtha Tabanan. Arsitektur Pura Gunung Kawi dengan saluran irigasi kuno dan tata kelola air di sekitarnya, memberikan gambaran tentang kemakmuran yang telah dicapai pada masa itu. Pura ini menjadi saksi sejak jaman kuno tentang penghormatan Umat Hindu terhadap air dan ketergantungan pada lanskap irigasi. Pura Gunung Kawi adalah bukti dari keterampilan nenek moyang orang dalam pembuatan saluran air, seni dan teknologi dalam memahat bebatuan. Struktur candi selain menggambarkan kekuasaan raja juga mencerminkan adanya hubungan yang kuat dengan kerajaan di Pulau Jawa Sejarah pembangunan Pura Gunung Kawi diketahui dari tulisan yang terdapat candi. Berdasarkan tulisan tersebut ditafsirkan bahwa Pasraman Amarawati dibangun pada saat Raja Udayana bertahta (989-1021 Masehi). Pasraman Amarawati berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi



{ 56 }



Lanskap Budaya SUBAK



Umat Hindu. Pasraman itu terletak di sisi timur tebing, sedikit di sebelah selatan Candi Gunung Kawi. Candi Gunung Kawi dibangun pada masa kerajaan kedua putra Raja Udayana, yaitu Raja Marakata (1022-1026 Masehi) dan Raja Anak Wungsu (1050-1078 Masehi). Dengan begitu diperkirakan Pura Gunung Kawi dibangun pada abad ke-11. Pada tahun 1970-an banyak gua ditemukan di sebelah selatan Pura Gunung Kawi. Gua itu berbentuk ceruk atau biara untuk melakukan pertapaan. Jadi Pura Gunung Kawi selain tempat pemujaan, juga menjadi lokasi yang nyaman untuk menenangkan pikiran. Pujawali di Pura Gunung Kawi berlangsung pada purnama ketiga atau bulan penuh ketiga menurut penanggalan tradisional Bali



2.4.5 Subak Pulagan dan Kulub Subak Pulagan, Kulub Atas dan Kulub Bawah terletak sepanjang sisi barat Tukad Pakerisan. Lokasi Subak Pulagan sekitar satu kilometer sebelah selatan Pura Tirtha Empul, atau berada di sisi selatan Pura Mengening, dan sebelah barat Pura Gunung Kawi. Sedangkan Subak Kulub Atas dan Subak Kulub Bawah berlokasi di sebelah hilir Subak Pulagan. Ketiga subak dimasukkan dalam warisan dunia karena beberapa alasan. Pertama, air irigasi subak bersumber dari mata air yang berada dalam kawasan pura kuno. Seperti telah diuraikan sebelumnya, sumber air dari Subak Pulagan berasal dari Pura Tirtha Empul, sedangkan sumber air dari Subak Kulub Atas dan Kulub Bawah berasal dari mata air sekitar Pura Mengening. Kedua, berbagai candi dan tinggalan budaya yang terdapat sepanjang hulu Tukad Pakerisan menunjukkan kawasan tersebut sejak jaman purba telah dijadikan tempat tinggal oleh nenek moyang orang Bali. Tentu saja Subak Pulagan, Kulub Atas dan Kulub Bawah, yang juga terletak pada bagian hulu DAS Tukad Pakerisan menjadi lahan pertanian padi sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Lembah subur yang terbentuk dari lapisan abu gunung berapi dan ditambah pula dengan sumberdaya air yang melimpah merupakan tempat yang ideal bagi nenek-moyang orang Bali untuk bercocok tanam padi. Ketiga, dilihat dari bangunan irigasi terutama struktur bendungan dan terowongan. Bendungan dan terowongan subak tersebut relatif kecil dan sederhana. Pembangunan bendungan sederhana merupakan teknologi awal yang telah dikuasai oleh nenek-moyang orang Bali, sebelum keturunan mereka mampu mengembangkan teknologi pembuatan bendungan dan terowongan yang besar dan rumit. Hal ini Subak sebagai Warisan Dunia



{ 57 }



menjadi tanda bahwa Subak Pulagan, Kulub Atas dan Kulub Bawah menempati posisi awal dari sejarah perkembangan subak di Bali. Keempat, ketiga subak, terutama Subak Pulagan masih melestarikan berbagai tradisi budaya dan keagamaan sebagai bentuk nyata implementasi dari Tri Hita Karana. Kelima, berbagai adat-istiadat dalam sistem subak masih lestari, memiliki panorama yang indah dengan sawah berteras, dan latar belakang Gunung Agung. Air yang mengalir sepanjang saluran irigasi subak masih nampak jernih meskipun pada beberapa tempat ditemukan sampah plastik dan beberapa sampah lainnya.



Tanaman padi varietas lokal di dekat Pura Gunung Kawi Tampaksiring.



{ 58 }



Lanskap Budaya SUBAK



2.5 Sub ak da n Pur a Sub ak Bat uka ru (C atur A n gga Bat ukaru ) Situs ketiga merupakan kawasan lanskap budaya yang paling luas dibandingkan dengan lanskap budaya sebelumnya. Luas situs ketiga mencapai 17.106,58 hektar, mencakup zona konservasi Batukaru, Pura Luhur Batukaru dan empat pura yang termasuk Catur Angga Batukaru. Zona konservasi terdiri atas Danau Buyan dan Danau Tamblingan (1029,53 hektar) di Kecamatan Sukasada Buleleng, kawasan hutan mulai Danau Tamblingan sampai Gunung Batukaru (9386,63 hektar), berbagai pura subak dan 14 subak di sekitar Gunung Batukaru dengan luas 6690,42 hektar. Danau dan hutan di pegunungan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, yang berperan dalam menyerap dan menyelinapkan air hujan ke dalam tanah untuk kemudian dialirkan secara teratur melalui mata air dan sungai di sebelah bawahnya. Kawasan ini memberikan gambaran ideal tentang keterkaitan antara lanskap budaya dan ekologi Pulau Bali, karena terdapat kawasan tangkapan air, panorama sawah berteras, lembaga subak yang masih utuh, tradisi subak yang tetap dipertahankan, dan jejaring kerja pura subak.



2.5.1 Pura Luhur Batukaru Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan atau sekitar 42 kilometer sebelah barat laut Denpasar. Pura Luhur Batukaru berlokasi dilereng selatan, dan berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Nama Batukaru atau Batukau berarti batok kelapa. Nama itu kemungkinan diberikan karena bentuk gunung menyerupai belahan batok kelapa yang tertelungkup. Gunung Batukaru merupakan gunung tertinggi kedua (2278 meter dari permukaan laut) di Bali setelah Gunung Agung. Pura yang berlokasi di lereng Gunung Batukaru ini terdiri atas zona inti 0,66 hektar dan zona penyangga 37,40 hektar. Zona inti adalah mandala pura sedangkan kawasan berbentuk trapesium yang mengelilingi mandala pura merupakan zona penyangga. Hampir sebagian besar dari zona penyangga Pura Luhur Batukaru adalah kawasan hutan dan kebun campuran (lahan yang oleh pemiliknya ditanami dengan berbagai spesies tanaman).



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 59 }



Peta LanskapBudaya Catur Angga Batukaru Sumber: The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia & The Government of Bali Province, 2009, I-23).



Pada utama mandala terdapat puluhan pelinggih atau bangunan suci. Pelinggih utama adalah candi dengan bentuk sangat mirip dengan candi



{ 60 }



Lanskap Budaya SUBAK



di Jawa Timur. Pada bagian timur pura terdapat sumber mata air yang terbagi menjadi dua kompleks. Sumber air yang berlokasi di jeroan, khusus digunakan sebagai sumber air suci atau tirtha. Sedangkan sumber air yang berlokasi pada kompleks kedua digunakan untuk cuci muka atau pembersihan sebelum umat melakukan persembahyangan. Masih di utama mandala, pada pojok barat daya berjejer dua bangunan gedong. Kedua gedong itu sebagai Pedharman Raja Badung dan Raja Tabanan. Pedharman adalah pura atau bangunan suci yang digunakan untuk mengistanakan arwah dari leluhur soroh (klan) tertentu. Kedua raja ini berasal satu klan atau satu garis keturunan yang sama. Pada madya mandala terdapat dua bangunan besar memanjang. Pada sisi barat terdapat Balai Agung sebagai tempat berkumpulnya semua simbol sakral terutama saat Melasti. Melasti merupakan prosesi keagamaan menuju mata air atau tempat lain yang dianggap suci untuk menyucikan arca, pratima dan benda-benda sakral lainnya. Sedangkan pada sisi timur terdapat Balai Pegat. Fungsi dari balai pegat adalah untuk memutuskan ikatan keduniawian dan berkonsentrasi memusatkan pikiran untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa. Pura Luhur Batukaru merupakan pura untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Mahadewa atau dewa tumbuh-tumbuhan. Pada pura ini, Dewa Mahadewa sering pula dipuja sebagai Sang Hyang Tumuwuh karena peranan beliau melindungi Tri Chandra atau tiga sumber kehidupan yaitu tumbuh-tumbuhan, air dan udara. Seorang ahli Agama Hindu, Wiana (2007) menjelaskan pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru merupakan pemujaan untuk memotivasi umat manusia untuk secara nyata melakukan langkah melindungi Tri Chandra. Pada bagian awal bab sudah dipaparkan Pura Luhur Batukaru termasuk pura kahyangan jagad. Hal itu sesuai dengan konsep Sad Kahyangan, Catur Loka Pala, dan Padma Bhuana. Dengan begitu, persembahyangan di Pura Luhur Batukaru juga bertujuan memotivasi umat manusia untuk melakukan enam kewajiban suci (Sad Kertih), melindungi alam semesta dalam empat penjuru mata angin (Catur Loka Pala) maupun dalam sembilan penjuru mata angin (Padma Bhuana). Dengan begitu, tidak ada satu tempat pun di jagat raya ini tanpa kehadiran Tuhan. Beliau selalu ada dalam segala arah penjuru mata angin.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 61 }



Pura Luhur Batukaru juga berfungsi sebagai pura subak. Pemujaan dan seluruh upacara di pura ini berkaitan erat dengan kemakmuran dalam bidang pertanian. Pada halaman utama, di samping terdapat pelinggih berupa candi memuja Dewa Mahadewa atau Sang Hyang Tumuwuh, juga terdapat pelinggih untuk memuja Dewi Danuh Danau Tamblingan. Dewi Danuh adalah manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelindung danau, air dan mata air. Masyarakat meyakini air yang ke luar dari mata air dan sungai di sekitar Gunung Batukaru, berasal dari Danau Tamblingan. Dengan begitu, Dewi Danuh Danau Tamblingan juga distanakan di Pura Luhur Batukaru. Seorang ahli arkeologi yang berasal dari Amerika Serikat Clifford Geertz, pada masa penjajahan sampai era kemerdekaan Indonesia, melakukan penelitian di sekitar Tabanan. Dia mengamati setiap awal musim bertanam sawah di Tabanan, selalu dimulai dengan upacara mendak tirtha (memohon air suci) di Pura Luhur Batukaru. Pada saat itu, semua pekaseh (kepala atau klian subak), pemangku (orang yang disucikan) pura subak di sekitar Tabanan melakukan persembahyangan dengan didampingi oleh kerabat dari Raja Tabanan. Tirtha dari Pura Luhur Batukaru lalu dibawa ke masing-masing pura subak. Dari situ kemudian dibagikan kepada setiap anggota subak, untuk diminum maupun dipercikkan pada lahan sawah petani. Sampai sekarang upacara untuk subak di Pura Luhur Batukaru dilaksanakan secara rutin mulai purnama kapat (bulan keempat menurut kalender tradisional Bali). Pada saat itu dilakukan upacara pakelem di puncak Gunung Batukaru atau Danau Tamblingan. Sebulan kemudian, pada purnama kelima (bulan kelima), dilaksanakan upacara mendak toya ulun yeh uma (menjemput air yang terletak di sebelah hulu lahan sawah) yang berada di sekitar lereng Batukaru. Para petani kemudian melakukan pembenihan bibit padi atau mewinih. Pada tilem kanem (bulan keenam), krama subak menggelar ritual nangluk merana atau mengendalikan hama dan penyakit. Pujawali di Pura Luhur Batukaru berlangsung setiap 210 hari, yaitu pada Budha Umanis Dungulan sesuai dengan kalender tradisional Bali. Jadi pujawali di pura tersebut bertepatan dengan perayaan Hari Raya Galungan, yaitu hari untuk merayakan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan). Persembahyangan di Pura Luhur Batukaru bukan hanya berlangsung saat pujawali atau hari-hari besar



{ 62 }



Lanskap Budaya SUBAK



menurut kalender Bali. Hampir setiap hari pura ini tidak pernah sepi dari pengunjung, baik untuk sembahyang maupun berwisata.



Pelinggih Berbentuk Candi di Pura Luhur Batukaru.



2.5.2 Pura Catur Angga Batukaru Pura yang termasuk Catur Angga Batukaru adalah Pura Luhur Pucak Petali, Pura Besikalung, Pura Muncaksari dan Pura Tambawaras. Keempat pura itu sering pula disebut sebagai jajar kemiri dari Pura Luhur Batukaru. Jajar kemiri adalah juringan-juringan dari biji kemiri yang harus menyatu untuk menjaga keutuhan biji kemiri. Pura Catur Angga Batukaru sebagai jajar kemiri berperanan dalam memperkuat keutamaan fungsi Dewa Mahadewa atau Sang Hyang Tumuwuh yang diistanakan di Pura Luhur Batukaru. Sang Hyang Tumuwuh merupakan bentuk Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai pelindung sarwa prani (segala macam kehidupan) yang menganugerahkan kehidupan di alam semesta.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 63 }



2.5.3 Pura Luhur Pucak Petali Pura Luhur Pucak Petali terletak di Desa Jatiluwih Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Pura yang berlokasi di timur laut Pura Luhur Batukaru terdiri atas 0,09 hektar zona inti dan 4,81 hektar zona penyangga. Zona inti adalah mandala pura, sedangkan zona penyangga adalah daerah sekeliling pura yang berbentuk trapesium dari arah barat daya ke tenggara. Terdapat puluhan bangunan suci atau pelinggih pada Tri Mandala Pura Luhur Pucak Petali. Bangunan suci utama pada utama mandala (jeroan) adalah Pelinggih Ageng Luhur Pucak Petali sebagai istana Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai Ida Bethara Luhur Pucak Petali. Selain itu pada utama mandala juga terdapat beberapa pelinggih lainnya. Demikian pula pada madya mandala dan nista mandala terdapat berbagai pelinggih. Yang unik di Pura Luhur Petali adalah adanya dua pewaregan (dapur suci) yang mengapit pura, yaitu pewaregan kangin (sisi timur) dan pewaregan kauh (sisi barat).



Pura Luhur Pucak Petali.



{ 64 }



Lanskap Budaya SUBAK



Pertemuan tersebut selalu diawali dengan persembahyangan bersama. Hal itu berarti Pura Luhur Pucak Petali memiliki peranan praktis maupun spiritual terhadap subak. Selain itu, pura ini juga merupakan manifestasi fisik dan spiritual dari keterkaitan antara hutan dan lahan budidaya masyarakat. Pada saat upacara, sulinggih mempersembahkan banten sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan dalam manifestasi beluau sebagai pelindung hutan. Penghormatan kepada Tuhan sebagai pelindung hutan sangat unik di Bali Barat dan jarang ditemukan pada wilayah Bali yang lain. Pura Luhur Pucak Petali, baik secara fisik maupun metafisik memiliki hubungan dengan empat pura subak atau Pura Ulun Swi (kepala dari lahan sawah). Keempat pura tersebut adalah Pura Cantik Kuning di Subak Gunung Sari, Pura Pajenengan di Subak Umadui, Pura Jung Kook dan Pura Penaringan di Subak Wangaya Betan. Setiap pura ulun swi memiliki hubungan dengan pura subak yang lebih kecil (Bedugul), yang menghiasi lanskap subak dan menjadi pertanda sebagai kawasan sakral dalam mana Dewi Padi dihormati pada setiap lahan petani. Pujawali di Pura Luhur Petali berlangsung setiap 210 hari, yaitu pada Budha Kliwon Ugu menurut kalender tradisional Bali.



2.5.4 Pura Luhur Besikalung Pura Luhur Besikalung berlokasi di sebelah tenggara Pura Luhur Batukaru, dan berada dalam wilayah di Desa Adat Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Lanskap budaya Pura Luhur Besikalung terdiri atas 0,33 hektar zona inti dan 13,17 hektar zona penyangga. Zona inti adalah mandala pura. Zona penyangga Pura Luhur Besikalung berbentuk persegi empat panjang yang memanjang dari arah barat daya menuju tenggara sesuai dengan kontur lereng sisi selatan Gunung Batukaru. Hampir 80 persen kawasan penyangga berada di sebelah hulu atau barat daya dari mandala. Hal ini agak berbeda dengan zona penyangga pura lain, yang biasanya luas kawasan penyangga hampir sama pada keempat sisi pura. Nama besi kalung kemungkinan berasal dari lingga (atau simbol suci untuk Sang Hyang Widhi) yang berbentuk bulat panjang. Bagian atas lingga dihiasi dengan lingkaran berbentuk seperti kalung. Jika lingga dipukul akan mengeluarkan suara nyaring seperti suara besi yang dipukul. Berdasarkan peninggalan sejarah, Pura Luhur Besikalung diperkirakan



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 65 }



dibangun antara abad ke-9. Hal itu terlihat dari struktur bangunan yang berupa bebaturan (bangunan suci yang polos dan belum ada ukir-ukiran) yang menandakan peninggalan jaman batu atau megalitikum. Pura Luhur Besikalung merupakan tempat persembahyangan dan koordinasi dalam pengaturan jadwal irigasi bagi Subak Jambelangu, Subak Umadui, Subak Umautuh, Subak Kedamaian dan Subak Besikalung. Masyarakat atau kerama Desa Adat Utu, Desa Adat Babahan dan Desa Adat Bolangan juga menjadi pengemong Pura Luhur Besikalung.



Pura Luhur Besi Kalung.



Pujawali di Pura Luhur Besi Kalung berlangsung setiap 210 hari, yaitu pada Budha Kliwon Shinta menurut penanggalan tradisional Bali. Umat Hindu memperingati hari itu sebagai Hari Pagerwesi untuk memuja Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Pramesti Guru atau guru sejati. Pagerwesi berasal dari pagar dan besi yang bermakna untuk menguatkan diri atau melindungi diri dengan cara memuja Tuhan sebagai guru sejati di alam semesta. Menurut seorang ahli agama (agamawan) Hindu, Ketut Wiana, memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Dengan begitu pemujaan pada padi Hari Pagerwesi bertujuan memotivasi manusia untuk manggehan



{ 66 }



Lanskap Budaya SUBAK



dewek (menguatkan diri) dengan berguru kepada alam semesta dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan. 2.5.5



Pura Luhur Muncaksari



Pura Muncak Sari terletak sebelah barat laut Pura Luhur Batukaru dan berada dalam wilayah Desa Adat Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Lanskap budaya Pura Luhur Muncaksari terdiri atas mandala pura seluas 0,35 hektar sebagai zona inti dan 21,41 hektar sebagai kawasan penyangga. Zona penyangga berbentuk persegi panjang arah utara-selatan dengan bagian terluas berada di sebelah utara pura. Hampir seluruh zona penyangga ditutupi dengan hutan yang lebat sehingga menciptakan suasana yang sejuk, segar dan asri. Mandala pura berbentuk memanjang utara-selatan. Hal itu disebabkan di kanan-kiri pura terbentang jurang yang curam sehingga perluasan pura hanya dimungkinkan pada arah utara dan selatan. Terdapat lebih dari 30 bangunan suci atau pelinggih di pura ini. Pada utama mandala (jeroan) terdapat pelinggih agung berupa Padmatiga untuk memuja Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai kesatuan dari tiga kekuatan utama, yaitu pencipta (Ida Bethara Brahma), pemelihara (Ida Bethara Wisnu) dan pemerelina atau pelebur (Ida Bethara Siwa). Selain itu pada jeroan juga terdapat pelinggih Luhur Jatiluwih, pelinggih Pura Luhur Pucak Kedaton, pelinggih Suralaya, pelinggih Sri Sedana, Gedong Pesimpenan, Bale Piyasan dan Taman Beji. Pada Madya Mandala selain terdapat Jineng, Bale Pegat dan Bale Gong juga ada taman biji lain yang disebut dengan Amerta Sebuana. Pada Nista Madala terdapat berbagai bangunan suci dalam beberapa halaman yang saling terpisah. Pengemong Pura Muncaksari adalah Desa Pakraman Puluk-Puluk, Kayu Puring, Bengkel Anyar dan Tingkih Kerep. Keempat desa pakraman ini tergabung dalam satu wadah yang disebut Desa Adat Gabungan Muncaksari. Pura Muncaksari sebagai jajar kemiri dari Pura Luhur Batukaru berfungsi sebagai pelindung sarwa prani. Selain itu, pura ini juga berfungsi sebagai sedahan agung sebagai pengatur cara bertanam baik di tegalan maupun sawah. Pura Muncaksari juga berfungsi sebagai Saren Loji yang berfungsi memberi petunjuk atau tuntunan kehidupan umat.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 67 }



Pura Luhur Muncaksari beberapa kali mengalami pemugaran, namun tidak menambah pelinggih pokok. Pura ditata sesuai dengan keadaan aslinya. Penataan bertujuan memberikan keleluasaan bagi umat yang ingin ngaturan bhakti (sembahyang) dan ngayah (bekerja sukarela tanpa pamrih). Pujawali di Pura Luhur Muncak sari berlangsung setiap 210 hari, yaitu pada Budha Umanis Medangsia sesuai dengan kalender tradisional Bali.



Pura Luhur Muncak Sari.



2.5.6 Pura Tambawaras Pura Tambawaras berlokasi di sebelah selatan Pura Luhur Muncaksari atau di sebelah barat daya Pura Luhur Batukaru. Pura Tambawaras termasuk wilayah Desa Adat Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Mandala Pura Tambawaras sebagai zona inti lanskap budaya memiliki luas 0,25 hektar, yang dikelilingi dengan zona penyangga seluas 5,61 hektar. Zona penyangga Pura Luhur Tambawaras berbentuk segitiga, uniknya sebagian besar kawasan penyangga berada di sebelah hilir atau selatan pura. Tambawaras berasal dari kata tamba yang berarti obat-obatan dan waras yang berarti sembuh atau normal. Pura Tambawaras merupakan { 68 }



Lanskap Budaya SUBAK



tempat pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi beliau sebagai pelindung dan penyedia obat-obatan di alam semesta. Umat yang memuja di pura ini bertujuan memohon kerahayuan, kesehatan dan kebijaksanaan untuk mencapai kesejahteraan.



Pura Luhur Tamba Waras.



Pura ini diperkirakan dibangun pada abad ke-12. Menurut cerita lisan, pada saat itu raja yang berkuasa di Tabanan yaitu Cokorde Tabanan berada dalam kondisi sakit. Berbagai pengobatan telah diupayakan tetapi kesehatan raja belum juga bertambah baik. Melalui pendekatan supranatural diperoleh petunjuk obat untuk raja tersedia di sebelah utara pusat kerajaan, yakni pada kawasan yang mengeluarkan asap. Setelah dicari di sekitar Hutan Batukaru ditemukan sebuah kelapa di bawah pohon bambu mengeluarkan asap. Pada tempat itu lalu diperoleh obat yang dapat mengembalikan kesehatan raja. Lalu pada tempat itu pula dibangun pura yang disebut dengan nama Pura Tambawaras.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 69 }



Pujawali di Pura Tambawaras berlangsung setiap 210 hari, yaitu pada Budha Umanis Wuku Perangbakat sesuai dengan penanggalan tradisional Bali.



2.6 Sub ak dala m Catur An gga B atu karu Sebanyak 14 subak yang semuanya terletak di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan termasuk ke dalam kawasan lanskap budaya Catur Angga Batukaru. Semua areal persawahan tersebut termasuk zona inti, yang berarti tidak boleh dilakukan perubahan atau alih fungsi lahan sawah. Subak tersebut adalah Subak Bedugul di Desa Gunung Sari seluas 102,85 hektar, Subak Jatiliwuh (305,80 hektar) di Desa Jatiluwih, Subak Kedampal (139,34 hektar) dan Subak Keloncing (104,26 hektar) di Desa Kedampal, Subak Penatahan (192,81 hektar) di Desa Penatahan, Subak Pesagi (130,02 hektar) di Desa Pesagi, Subak Piak (156,52 hektar) di Desa Piak, Subak Piling (173,18 hektar) di Desa Piling dan Subak Puakan (169,51 hektar) di Desa Piling, Subak Rejasa (262,31 hektar) di Desa Rejasa, Subak Sangketan (175,18 hektar) di Desa Sangketan, Subak Tegalinggah (64,90 hektar) di Desa Tegalinggah, Subak Tengkudak (161,84 hektar) di Desa Tengkudak dan Subak Wongaya Betan (38,97 hektar) di Desa Mangesta. Subak tersebut ditetapkan sebagai warisan dunia budaya lanskap karena relatif masih utuh dalam menunjukkan ciri-ciri penting dari sistem subak. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, implementasi Tri Hita Karana merupakan ciri terpenting dalam sistem subak. Setiap subak yang masuk dalam lanskap budaya masih mempraktekkan hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan (parhyangan), antar sesama manusia (pawongan), antar manusia dan lingkungan (palemahan). Petak-petak sawah yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kontur lingkungan dan saluran irigasi pada semua subak di atas masih nampak jelas dan lestari. Para petani juga masih mempraktekkan cara-cara bertani yang berkelanjutan, misalnya dengan menggunakan pupuk kandang dan mengikuti sistem kertamasa atau bercocok tanam padi sesuai dengan musim. Sumberdaya air dikelola berdasarkan berbagai prinsip demokrasi. Setiap keputusan ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan anggota subak dalam sangkepan (pertemuan) yang secara rutin dilaksanakan. Selain itu, rangkaian pura subak memegang peranan penting dalam sistem subak. Di { 70 }



Lanskap Budaya SUBAK



samping sebagai tempat persembahyangan, pura subak menjadi pusat koordinasi subak karena digunakan sebagai lokasi untuk menyelenggarakan sangkepan sebelum mengambil keputusan bersama, misalnya dalam menentukan jadwal tanam, pengaturan air irigasi dan jenis padi yang ditanam.



Lanskap budaya subak di sekitar Catur Angga Batukaru.



Secara keseluruhan, walaupun belum ada komponen sistem yang terancam tetapi lanskap sawah pada semua subak di atas sangat rentan terhadap perubahan ekonomi dan sosial. Contoh ancaman adalah alih fungsi lahan sawah menjadi vila, restoran, toko seni dan berbagai akomodasi wisata lainnya. Penggunaan pupuk dan pestisida anorganik merupakan contoh dari praktek bertani yang bisa pula mengancam keberlanjutan sistem subak. Penetapan kawasan di atas sebagai warisan dunia, dimaksudkan pula agar kita melakukan langkah nyata dalam melestarikan sistem subak dari berbagai ancaman tersebut.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 71 }



2.6.1 Pura Subak Milik Raja: Pura Taman Ayun Situs DAS Pakerisan di Tampaksiring dan Catur Angga Batukaru sebagai lokasi awal dari sejarah pembentukan sistem subak berlokasi di daerah pegunungan. Makin lama sistem bercocok tanam padi di sawah makin menyebar ke dataran yang lebih rendah. Kerajaan baru juga terbentuk seiring dengan pertambahan populasi dan perluasan wilayah subak. Hal ini mendorong terbentuknya hubungan yang makin kompleks antara pura subak dan subak pada satu pihak, dengan para raja pada pihak yang lain. Pura besar dengan arsitektur indah yang mencerminkan kekomplekan hubungan itu adalah Pura Taman Ayun. Pura ini berlokasi di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, sekitar 20 kilometer di sebelah barat Kota Denpasar.



2.6.2 Situs Taman Ayun Lanskap budaya Pura Taman Ayun terdiri atas zona inti seluas 8,44 hektar dan zona penyangga seluas 37,05 hektar. Zona inti adalah mandala Pura Taman Ayun, yang dikelilingi oleh sungai dan kolam besar. Sebagian besar kawasan penyangga berada pada sisi tenggara dari mandala pura, terdiri atas kawasan pemukiman dan persawahan. Tri Mandala Pura Taman Ayun berbentuk persegi empat panjang yang diapit oleh sungai dan kolam. Terdapat sekitar 60 pelinggih pada Tri Mandala pura ini. Pada jeroan atau utama mandala pura terdapat “Gedong Paibon” untuk memuja para leluhur atau nenek moyang Raja Mengwi. Masih di jeroan juga terdapat berbagai pelinggih penyawangan untuk berbagai pura-pura utama di Bali. Pelinggih penyawangan atau persimpangan itu antara lain Persimpangan Pucak Padang Dawa, Gunung Batukaru, Uluwatu, Pura Sakenan, Pura Sada, Gunung Batur, Gunung Agung dan Gunung Beratan. Pelinggih tersebut dibangun oleh raja dengan tujuan agar kerajaan dan masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan serta kesuburan. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan persembahyangan untuk pura-pura utama di Bali melalui pelinggih penyawangan di Pura Taman Ayun tanpa perlu pergi langsung ke lokasi pura yang pada saat itu relatif jauh dari wilayah Kerajaan Mengwi. Pelinggih penyawangan juga digunakan untuk memohon tirtha suci dan melaksanakan upacara nangluk merana atau pengendalian hama dan penyakit tanaman. Selain itu di jeroan terdapat Pelinggih Ratu Pasek



{ 72 }



Lanskap Budaya SUBAK



Badak untuk menghormati seorang tokoh masyarakat yang bersedia gugur demi kejayaan Kerajaan Mengwi.



Peta Situs Lanskap Taman Ayun Sumber The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia & The Government of Bali Province, 2009, I-29).



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 73 }



2.6.3 Sejarah Pura Taman Ayun Pura Taman Ayun didirikan pada tahun 1634 Masehi oleh Raja Mengwi, I Gusti Agung Ngurah Agung yang kemudian dikenal sebagai Ida Cokorda Sakti Blambangan. Ketika kerajaan Mengwi dikalahkan oleh Kerajaan Badung, Pura Taman Ayun sempat terlantar selama puluhan tahun. Baru pada tahun 1911 pura ini direhabilitasi oleh keturunan dan Kerajaan Mengwi. Gempa bumi dahsyat yang terjadi pada 20 Januari 1917 telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah pada berbagai bangunan dan pura di Bali, termasuk Pura Taman Ayun. Perbaikan telah dilakukan sehingga pada saat ini Pura Taman Ayun berdiri megah dengan arsitektur yang sangat indah. Hal itu sesuai dengan nama pura itu sendiri. Taman Ayun berasal dari kata “taman” dan “ahyun”. Taman Ayun berarti kolam yang indah dan suci. Pura Taman Ayun ditata sangat indah, dikelilingi oleh sungai dan kolam yang luas, pelinggih atau bangunan suci ditata dalam halaman yang luas dengan bangunan meru yang menjulang tinggi. Tata ruang mandala pura disesuaikan dengan cerita kuno Adiparwa, sehingga secara keseluruhan Pura Taman Ayun mirip dengan Gunung Mahameru yang mengapung di atas kolam susu. Pujawali di Pura Taman Ayun berlangsung setiap 210 hari, yaitu pada Anggara Kasih Medangsia, sesuai dengan kalender tradisional Bali.



2.6.4 Pura Taman Ayun sebagai Pura Subak Setiap tahun, delegasi yang terdiri atas pekaseh (kepala subak), sulinggih pura-pura subak dan keluarga dari keturunan Raja Mengwi melakukan upacara “mendak tirta” di Danau Beratan (terletak di sebelah timur laut situs Catur Angga). Setelah itu siklus irigasi dan penanaman padi dimulai secara bertahap. Subak dikelompokkan menjadi tiga kawasan berdasarkan lokasi geografinya. Subak yang berlokasi di hulu atau dataran tinggi menanam padi paling pertama, diikuti dengan subak yang berada pada bagian tengah, dan terakhir subak yang berlokasi di sebelah hilir yang nota bena berada pada dataran rendah. Subak hilir memiliki areal sawah paling luas sehingga memerlukan air irigasi paling banyak. Model kerjasama seperti ini berjalan dengan sangat baik, karena subak yang berada di sebelah hilir memperoleh kesempatan “meminjam air” dari subak yang berada di sebelah hulu. Peranan Pura Taman Ayun dalam sistem ini bisa diringkas sebagai berikut. Pertama, jarak antara kawasan sawah yang paling luas di dataran { 74 }



Lanskap Budaya SUBAK



rendah berada jauh dari lokasi danau di pegunungan. Hal itu menyulitkan bagi semua krama subak melakukan upacara mendak tirtha (mohon air suci) setiap tahun. Solusi untuk masalah ini adalah dengan membangun pura yang berfungsi semacam “stasiun pemacar” atau penyawagan di Pura Taman Ayun sehingga memungkinkan krama subak membuat bebantenan untuk Dewi Danuh (Tuhan dalam manifestasi sebagai pelindung danau, mata air dan sungai). Oleh karenanya, hanya delegasi kecil yang melakukan persembahyangan di Pura Ulundanu. Keluarga dari keturunan raja senantiasa menyertai delegasi subak tersebut. Setelah dilakukan persembahyangan di Pura Ulundanu, tirtha dibawa ke Pura Taman Ayun. Selama tiga hari dilakukan persembahyangan di Pura Taman Ayun sebagai ucapan terima kasih kepada Dewi Danuh dan leluhur keluarga raja yang telah menganugerahkan kesuburan. Sebanyak 21 subak di sekitar Mengwi kemudian membawa tirtha dari Pura Taman Ayun untuk dipercikkan di lahan sawah pada anggota subak.



Pura Taman Ayun.



Kedua, peranan raja dalam mengontrol hama dan penyakit tanaman. Sesuai dengan uraian pada bab pertama, solusi secara tradisional dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman adalah melakukan koordinasi untuk melibatkan kawasan sawah yang luas untuk memotong habitat hama dalam jangka waktu yang singkat. Pada masa Subak sebagai Warisan Dunia



{ 75 }



lalu, kerajaan Mengwi bertanggungjawab dalam menyelenggarakan nangkluk merana (upacara keagamaan yang bertujuan mengendalikan hama dan penyakit) di wilayah kerajaan tersebut. Hal itu diuraikan secara mendetail oleh seorah ahli etnografi Belanda, V.E. Korn. Sampai sekarang, keluarga raja dari Puri Mengwi masih melakukan upacara tersebut. Ketiga, Pura Taman Ayun memiliki hubungan erat dengan Subak Batan Badung (62 hektar). Sumber air subak ini berasal dari bendungan di sebelah selatan Pura Taman Ayun. Subak ini juga menjadi pengemong Pura Taman Ayun bersama keluarga keturunan raja Mengwi. Dalam konteks ini, Pura Taman Ayun berfungsi sebagai Pura Bedugul dari Subak Batan Badung. Keempat, selain pelinggih utama untuk memuja Dewi Danuh Danau Beratan, di Pura Taman Ayun juga terdapat pelinggih untuk memuja Ida Bethara Tengahing Segara (Tuhan dalam manifestasi sebagai pelindung lautan) dan pelinggih Ulun Swi untuk memuja Dewi Sri atau Tuhan dalam manifestasinya sebagai pelindung lahan sawah. Sama seperti pelinggih untuk Dewi Danuh, kedua pelinggih terakhir merupakan penyawangan atau semacam statisiun penyiaran. Pelinggih Ida Bethara Tengahin Segara merupakan penyawangan untuk Pura Petitenget, sedangkan pelinggih Ulun Swi merupakan penyawangan Pura di Jimbaran. Melalui konsep penyawangan memungkinkan krama subak melakukan ritual keagamaan untuk pura yang berlokasi jauh dari tempat tinggal mereka. Ketika subak di sekitar Mengwi menyelenggarakan upacara keagamaan di pura subak, mereka juga memohon tirtha dari pura leluhur Kerajaan Mengwi. Hal ini mencerminkan keluarga raja membantu dan menyertai subak dalam melakukan ritual keagamaan baik di pura maupun pelinggih subak. Pura Taman Ayun memberikan bukti tentang peranan keluarga raja dalam mengembangkan sistem subak. Seorang ahli sejarah Schulte Nordholt melaporkan peranan keluarga raja dalam memperluas areal persawahan subak, melalui pembangun bendungan yang lebih besar dibanding bendungan yang dibangun di Tampaksiring maupun Batukaru. Diperkirakan pada tahun 1750 masehi, raja pertama Mengwi memimpin pembangunan bendungan di Tukad Sungi yang terletak di sebelah barat Mengwi. Pada saat itu sebagian besar wilayah Mengwi masih ditumbuhi dengan hutan belantara. Setelah bendungan selesai dibangun, dilanjutkan { 76 }



Lanskap Budaya SUBAK



dengan pembuatan saluran irigasi, pencetakan lahan persawahan dan pembukaan pemukiman baru. Raja memegang peranan penting dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi. Tetapi raja Bali berikutnya tidak menggantikan sistem demokrasi dalam subak dengan sistem kerajaan. Sebaliknya mereka justru mendukung kegiatan ritual maupun praktek subak, terutama dalam mengembangkan kehidupan yang demokratis. Masih menurut Nordholt, mobilisasi pekerja untuk memperluas irigasi pada kawasan hutan di Bali selatan bagian barat, diikuti dengan pembentukan kerajaan kecil sebagai penguasa dalam wilayah tertentu. Berbagai pura subak yang dibangun seiring dengan perluasan sistem subak, bergabung dalam ritual sistem pengaturan air regional yang setiap tahun diselenggarakan di Pura Taman Ayun. Dengan begitu, Pura Taman Ayun menjadi pusat dari jejaring kerja pura-pura subak untuk kawasan sekitar Mengwi. Sesuai dengan pemaparan sebelumnya, jejaring kerja pura subak bukan saja untuk kegiatan ritual, melainkan juga memiliki manfaat praktis dalam mengkoordinasikan air irigasi, mengendalikan hama dan penyakit tanaman, serta penentuan musim bercocok tanam padi. Uraian tentang jejaring kerja pura subak dapat dibaca kembali pada Bab I.



Subak sebagai Warisan Dunia



{ 77 }



2.7 Pert an yaa n 1. 2. 3. 4.



5. 6. 7. 8. 9.



10.



{ 78 }



Apa yang dimaksud dengan lanskap budaya? Sebutkan empat kawasan lanskap budaya subak di Bali. Mengapa Pura Ulun Danu Batur sebagai pura subak yang utama? Dengan menggunakan kalimat sendiri susun kesimpulan tentang peranan penting kawasan Kaldera Batur bagi kelestarian sistem subak. Sebutkan bukti sejarah yang menunjukkan empat pura dalam lanskap budaya Tukad Pakerisan termasuk pura kuno. Mengapa tiga subak di sekitar Tukad Pakerisan dimasukkan dalam kawasan lanskap budaya?. Apa yang dimaksud dengan Catur Angga Batukaru? Bagaimana peranan Pura Luhur Batukaru dalam melestarikan lanskap budaya Catur Angga Batukaru? Jelaskan bahwa kawasan Catur Angga Batukaru memberikan gambaran tentang sistem subak yang paling lengkap dibanding dengan tiga situs lanskap budaya lainnya. Tunjukkan minimal tiga bukti yang menunjukkan Pura Taman Ayun sebagai pura subak.



Lanskap Budaya SUBAK



III Keanekaragaman Hayati dalam Subak 3.1 Pen dah ulua n Bab tiga membahas keanekaragaman hayati dalam subak – keseluruhan variasi gen, spesies dan ekosistem di dalam subak. Bagian pertama menguraikan keanekaragaman gen. Contoh keanekaragaman gen dalam subak adalah varietas padi lokal yang menghasilkan beras merah, ketan dan injin (ketan hitam). Bagian kedua memaparkan keanekaragaman spesies. Di dalam kawasan lanskap budaya subak terdapat berbagai spesies flora maupun fauna. Sayangnya beberapa spesies mengalami ancaman kepunahan. Keanekaragaman ekosistem diuraikan dalam bagian ketiga. Hutan, danau, sawah dan daerah aliran sungai merupakan contoh ekosistem dalam lanskap budaya subak. Manfaat dari keanekaragaman hayati dipaparkan dalam bagian keempat. Keanekaragaman bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi. Manfaat tersebut ada yang bersifat kasat mata, dan ada pula yang bersifat tidak kasat mata.



79



Pengembala itik



Pada gambar di atas nampak seorang laki-laki sedang mengembalakan sekelompok itik melewati pematang sawah. Bulu tubuh itik yang digembalakannya berwarna-warni. 1. Mengapa warna bulu itik bisa beraneka ragam? 2. Apa manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari itik?



3.2 T uju an Selesai membaca bab ini diharapkan pembaca mampu 1. Mendefinisikan pengertian keanekaragaman hayati. 2. Menceritakan hubungan antara keaneragaman hayati dan keanekaragaman budaya. 3. Memberikan contoh keanekaragaman gen dalam ekosistem sawah. 4. Menguraikan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melestarikan spesies yang terancam punah di kawasan subak . 5. Mengidentifikasi keanekaragaman ekosistem dalam lanskap budaya subak. 6. Mengungkapkan alasan teknologi tepat guna dalam pengendalian hama burung dikembangkan sesuai azas manfaat dan azas lestari. 7. Menjelaskan bahwa praktek bertani secara organik dapat menjaga keseimbangan siklus biogeokimia. 8. Membedakan antara manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari lanskap budaya subak.



{ 80 }



Lanskap Budaya SUBAK



3.3 K ean ekara ga ma n Ge n Materi terkecil dalam sel tubuh mahluk hidup yang masih menunjukkan ciri-ciri kehidupan disebut asam deoksiribo nukleat atau Deoxyribo nucleic acid (DNA). Ciri kehidupan yang paling menonjol dari DNA adalah kemampuan dalam menggandakan diri atau replikasi yang dapat diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Unit atau kesatuan dari DNA yang menyandi karakter atau sifat tertentu disebut dengan gen. Karakter atau sifat yang disandi oleh gen diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Gen dapat menimbulkan keanekaragaman karakter. Istilah ras mengacu pada keanekaragaman gen untuk binatang, sedangkan varietas sebutan variasi gen untuk tanaman. Keragaman ras atau varietas terjadi dalam satu spesies yang sama. Karena itu, meskipun ras atau varietas organisme tertentu berbeda, namun kalau terjadi perkawinan dapat menghasilkan keturunan yang bersifat subur. Contoh yang paling mudah adalah keanekaragaman ras manusia. Ras Eurasia (sebagian besar tinggal di Eropa dan Amerika Utara) memiliki kulit putih dan tubuh berukuran besar. Sebaliknya, kulit orang yang termasuk Ras Negroid cenderung berwarna gelap dengan ukuran tubuh sedikit lebih kecil dibanding Ras Eurasia. Sedangkan di Benua Asia (terutama Asia Timur dan Asia Tenggara) hidup Ras Mongoloid dengan kulit kuning, mata agak sipit dan ukuran tubuh paling kecil. Meskipun bervariasi, tetapi hasil perkawinan antara ras manusia satu dan yang lain dapat menghasilkan keturunan yang subur. Maksudnya keturunan yang dihasilkan bisa melahirkan keturunan lagi. Hal itu disebabkan semua ras manusia masih termasuk dalam spesies yang sama, yaitu Homo sapiens. Contoh keanekaragaman gen yang paling menonjol di sawah adalah varietas padi. Secara umum dikenal dua kelompok varietas padi, yaitu varietas padi lokal dan varietas padi unggul. Kedua kelompok varietas padi tersebut memiliki sifat yang saling bertolak-belakang. Perbedaan yang paling mudah diamati adalah dari tinggi tanaman padi. Batang tanaman padi varietas unggul lebih pendek dibanding padi lokal. Dengan begitu, padi varietas unggul dipanen dengan sebagian batangnya dengan memakai sabit, sedangkan padi lokal dipanen dengan memakai anai-anai. Padi lokal dibudidayakan oleh petani secara turun temurun sehingga hanya cocok tumbuh dalam wilayah yang relatif terbatas. Sebaliknya padi unggul dikembangkan melalui mekanisme penelitian berskala nasional dan bahkan internasional. Karena itu, padi unggul dapat Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 81 }



beradaptasi pada kawasan yang sangat luas. Produksi padi lokal cenderung lebih rendah dibanding padi unggul. Demikian pula usia (dari mulai menanam sampai panen) padi lokal lebih panjang dibanding padi unggul. Jika petani menanam padi lokal, dalam dua tahun mereka hanya bisa memanen padi maksimum tiga kali. Sedangkan kalau petani menanam padi unggul, mereka dapat panen padi sampai lima kali dalam dua tahun. Akan tetapi, padi lokal mampu tumbuh tanpa pupuk kimia, sebaliknya untuk pertumbuhan padi unggul memerlukan pupuk kimia buatan pabrik. Karena sudah beradaptasi terhadap lingkungan sekitar, padi lokal cenderung tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. Pada pihak lain, padi unggul tidak tahan terhadap hama dan penyakit tanaman. Jika menanam padi unggul, para petani perlu menggunakan senyawa kimia buatan (insektisida dan pestisida) untuk mengurangi risiko gagal panen akibat serangan hama dan penyakit tanaman. Dengan begitu, kendati produksi padi lokal lebih rendah dibanding padi unggul, tetapi penanaman padi lokal dapat mengurangi atau menghindari risiko pencemaran air dan tanah oleh pemakaian pupuk, insektisida, pestisida dan senyawa kimia lainnya



Padi varietas unggul dipanen dengan sabit (kiri), sedang padi varietas lokal dipanen dengan anai-anai (kanan).



{ 82 }



Lanskap Budaya SUBAK



Padi lokal terdiri atas berbagai varietas. Beras, beras merah, ketan dan injin (ketan hitam) merupakan contoh dari varietas padi lokal yang sudah dibudidayakan oleh para petani anggota subak sejak dahulu kala. Yang unik, keempat beras tersebut memiliki kaitan erat dengan konsep catur wija dalam Agama Hindu. Wija atau bija adalah beras yang ditempelkan di antara dua kening, di ulu hati dan ditelan setelah Umat Hindu nunas tirtha (air suci) pada waktu selesai sembahyang. Wija berbentuk bulat lonjong melambangkan lingga atau unsur laki-laki sebagai pemberi kesuburan. Wija juga merupakan simbol Dewa Kumara sebagai manifestasi kesucian dan kemuliaan Tuhan. Dengan begitu, mewija (memasang dan menelan beras wija) berati upaya untuk menanamkan benih kesucian dan kemuliaan dalam pikiran serta dalam hati nurani. Bibit kesucian dan kemulian baru dapat tumbuh jika jiwa dan raga manusia dalam keadaan suci. Karena itu wija digunakan Wija yang dikenakan pada kening bertujuan untuk menanamkan bibit kemuliaan dalam pikiran.



setelah umat memperoleh percikan dan



minum air suci atau tirtha. Kembali kepada konsep catur wija. Catur wija berarti empat jenis beras yaitu injin (ketan hitam), ketan, beras merah dan beras putih. Umat Hindu dalam menyelenggarakan upacara keagamaan besar biasanya didahului dengan nunas atau memohon catur wija ke Pura Dalem Sidakarya, yang berlokasi di Kota Denpasar. Hal itu terkait erat dengan riwayat Dalem Sidakarya, seperti yang diuraikan oleh Kantun dan Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 83 }



Yadnya (2003) dalam buku mereka tentang Babad Sidakarya. Diceritakan pada awal abad ke-16 Masehi, raja yang berkuasa di Bali saat itu Dalem Waturenggong tengah meminpin persiapan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Upacara keagamaan ini dilangsungkan setiap 100 tahun sekali. Pada saat itu datang seorang brahmana yang diberi sebutan Brahmana Keling ke Pura Besakih. Beliau meminta kepada Dalem Waturenggong agar diakui sebagai saudara. Karena penampilannya yang kumuh dan ditambah pula dengan perilakunya yang aneh, Brahmana Keling diusir Penari topeng Sidakarya menaburkan wija dari Pura Besakih. Akan untuk memberikan kemakmuran kepada masyarakat. tetapi sebelum pergi beliau mengeluarkan kutukan agar upacara Eka Dasa Rudra gagal, wabah penyakit menyerang masyarakat, dan hama penyakit tanaman menggagalkan panen. Ternyata kutukan beliau menjadi kenyataan. Dalem Waturenggong akhirnya mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya. Brahmana Keling diminta menjadi penasehat dalam upacara Eka Dasa Rudra. Atas jasanya, Brahmana Keling diberi gelar “Dalem Sidakarya”. Sidakarya berarti keberhasilan dalam melakukan upacara atau pekerjaan. Raja Waturenggong bersabda, setiap umat Hindu yang melaksanakan upacara keagamaan wajib nunas tirtha dan catur wija (mohon air suci dan empat jenis beras) serta mementaskan topeng Sidhakarya. Catur wija dan tirtha dimohon di Pura Sidakarya Denpasar sebagai pesraman Brahmana Keling pada masa lalu. Tarian topeng Sidakarya dipentaskan menjelang akhir upacara. Penari menaburkan wija sebagai simbol pemberian kemakmuran kepada masyarakat yang telah berhasil melaksanakan upacara keagamaan.



{ 84 }



Lanskap Budaya SUBAK



3.4 K ean ekara ga ma n Sp esie s . Keanekaragaman spesies adalah berbagai spesies yang hidup dalam satu wilayah tertentu. Makin banyak spesies yang terdapat dalam sebuah kawasan, maka makin tinggi pula nilai keanekaragaman spesies kawasan tersebut. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, salah satu ciri organisme yang termasuk dalam satu spesies adalah jika terjadi perkawinan dapat menghasilkan keturunan yang subur. Lanskap budaya subak memiliki keanekaragaman spesies yang sangat tinggi. Keanekaragaman spesies tersebut mencakup berbagai spesies binatang dan tumbuhan, baik yang sudah dibudidayakan oleh manusia maupun yang masih hidup liar di alam bebas. Beberapa dari spesies bersifat endemik. Artinya organisme tersebut secara alami hanya hidup pada satu kawasan tertentu dan tidak ditemukan dalam wilayah yang lain. Misalnya nyalian beratan merupakan ikan endemik yang hidup di Danau Beratan. Sebaliknya kuyuh batur adalah spesies ikan endemik yang hidup di Danau Batur. Masih dari kawasan Danau Batur. Salah satu kekayaan spesies dari kawasan itu yang dikenal oleh masyarakat luas adalah Anjing Kintamani atau Cintami (Cicing Kintamani). Cintami adalah anjing ras asli Indonesia yang telah populer, bukan saja di tanah air tetapi juga di berbagai negara lain. Anjing yang berasal dari daerah pegunungan Kintamani ini memiliki ciri dan sifat khusus yang menyebabkan banyak memperoleh penggemar dari masyarakat manca negara. Ciri cintami yang paling mudah dikenali adalah ekor yang mirip dengan ikuh barong (ekor dari barong), yaitu tegak melengkung ke arah depan dengan rambut yang lebat dan panjang. Ciri menonjol lainnya adalah rambut badong dan rambut gumba. Rambut badong merupakan rambut yang berbentuk seperti kerah baju di sekitar leher, sedangkan rambut yang lebih panjang mulai bagian belakang kepala sampai punggung disebut rambut gumba. Warna rambut cintami dikelompokkan menjadi empat. Yang paling banyak digemari adalah anjing dengan warna rambut putih dengan sedikit warna coklat-kemerahan pada telinga, bulu di bagian belakang paha dan ujung ekornya. Cintami yang berwarna bang-bungkem (coklat tua dengan moncong hitam) memilik nilai jual yang relatif mahal karena banyak digunakan untuk upacara keagamaan di Bali. Cintami poleng atau anggrek (warna dominan coklat dan garis berwarna hitam) dan hitam mulus juga dipelihara oleh masyarakat di berbagai daerah, terutama di kawasan pedesaan Bali. Cintami merupakan anjing pekerja dengan sifat



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 85 }



cerdas, lembut, pemberani, tangkas, waspada dan setia kepada keluarga pemeliharanya sehingga digemari sebagai binatang peliharaan.



Anjing Kintamani dengan warna rambut coklat.



Pada lantai Kaldera Batur juga tumbuh tanaman dengan bunga berwarna putih seperti salju. Tanaman itu adalah edelweis atau di Bali sering disebut sebagai “padang kasna.” Tanaman yang memiliki nama ilmiah Anaphalis javanica merupakan tumbuhan endemik yang tumbuh pada berbagai daerah pegunungan di Jawa dan Bali. Selain di Kaldera Batur, edelweis juga dapat ditemukan di sekitar Gunung Agung (Bali), Taman Nasional Gunung Bromo (Jawa Tengah) dan Taman Nasional Gunung Pangrango (Jawa Barat). Edelweis mampu tumbuh pada tanah vulkanik muda dan tahan terhadap tanah yang tandus dan kering karena akarnya bersimbiosis dengan jamur. Simbiosis itu bersifat saling menguntungkan (mutualisme). Jamur membantu merombak bebatuan dan serasah di dalam tanah sehingga memudahkan bagi akar edelweis untuk tumbuh dan menyerap nutrisi tanah. Sebaliknya tanaman edelweis memberikan sebagian senyawa organik hasil fotosintesis sebagai sumber pangan bagi jamur. Bunga edelweis dijuluki sebagai bunga abadi sebagai simbol dari keabadian cinta. Pada kenyataannya edelweis merupakan bunga yang bisa bertahan berhari-hari. Oleh Umat Hindu di Bali, edelweis atau padang kasna biasanya digunakan sebagai sebagai sarana membuat canang { 86 }



Lanskap Budaya SUBAK



menjelang Hari Raya Galungan. Canang atau canang sari merupakan sarana upacara Umat Hindu yang tersusun atas berbagai unsur. Salah satu unsur itu adalah bunga sebagai simbol kesucian dan keikhlasan. Galungan merupakan hari untuk merayakan kemenangan dharma (sifat baik) atas adharma (sifat buruk), terutama yang terdapat dalam diri setiap manusia.



Padang kasna atau edelweis tumbuh di antara bebatuan vulkanik Kaldera Batur.



Padang kasna atau edelweis menjadi pilihan dalam menyiapkan sarana sesajen karena bunga tersebut mampu bertahan atau tetap segar pada saat hari pelaksanaan upacara. Beberapa hari menjelang Galungan dan Kuningan padang kasna banyak diperjual-belikan pada berbagai pasar tradisional di Bali. Bunga tersebut biasanya didatangkan dari kawasan Gunung Batur dan Gunung Agung. Sebagian besar edelweis yang diperdagangkan merupakan hasil budidaya petani, namun sebagian lagi diambil langsung dari alam. Berbagai spesies burung yang hidup dalam kawasan persawahan menarik untuk dibahas. Lihatlah kawanan burung berbulu putih seperti



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 87 }



pada gambar di bawah, yang tentu tidak asing lagi bagi sebagian besar pembaca. Secara umum burung itu di Bali dikenal sebagai burung kokokan. Warna dominan kokokan adalah putih dengan paruh dan kaki yang panjang sebagai ciri khas binatang pemakan ikan dan satwa air lainnya. Namun, jika diamati dengan lebih cermat, kokokan sesungguhnya terdiri atas beberapa spesies. Paling tidak dalam kawanan burung kokokan terdapat antara lain kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul perak (Egretta intermedia), kuntul kecil (Egretta garzetta) dan blekok sawah (Ardeola spesiosa).



Kawanan burung yang di Bali dikenal sebagai kokokan dapat terdiri atas lebih dari satu spesies.



Sekilas kumpulan spesies burung tersebut mirip antara satu dan yang lain. Namun, kalau dilihat lebih cermat setiap spesies memiliki ciri khas masing-masing. Kuntul kerbau mempunyai paruh berwarna kuning dengan ukuran paling besar dibanding spesies yang lain, leher paling pendek dan kaki berwarna hitam. Pada musim berbiak, warna bulu kuntul



{ 88 }



Lanskap Budaya SUBAK



kerbau kuning sampai coklat, mulai dari kepala, leher dan bagian belakang sayap. Ukuran tubuh blekok sawah hampir sama dengan kuntul kerbau, tetapi sebagian besar bulu blekok sawah berwarna coklat bercoret-coret di luar musim berbiak. Pada waktu musim berbiak, kepala dan dada spesies ini berwarna kuning tua, punggung merah tua kehitamhitaman, ekor dan sayap berwarna putih. Seluruh bulu pada tubuh kuntul perak berwarna putih dengan paruh dan kaki berwarna kuning kecoklatan pada saat berbiak. Di luar musim berbiak paruh kuntul perak berwarna kuning dengan ujung yang berwarna hitam. Kuntul kecil memiliki ukuran tubuh paling kecil. Bulu tubuh kuntul kecil berwarna putih dengan paruh dan kaki berwarna hitam. Pada musim berbiak, pada bagian belakang kepala kuntul kecil tumbuh bulu yang panjang dan ramping. Masih tentang keanekaragaman burung. Tanaman utama di sawah adalah padi. Sebagai tanaman yang memiliki zat hijau daun atau klorofil, padi termasuk produsen. Produsen atau seringpula disebut autotrof merupakan organisme yang mampu mensintesis senyawa anorganik menjadi senyawa organik. Dalam klorofil berlangsung sintesis senyawa karbon dioksida (CO2) yang diisap melalui stomata (mulut daun) dari udara dan air yang diisap melalui sistem perakaran menjadi senyawa karbohidrat, terutama glukosa (C6H12O6). Melalui proses kompleks, glukosa dapat diubah menjadi berbagai bentuk karbohidrat lain, protein dan lemak. Tanaman dapat menyimpan karbohidrat, protein dan lemak dalam daun, buah, biji, batang dan akar. Hasil sintesis lainnya adalah oksigen (O2) yang dilepaskan ke udara. Sintesis dalam klorofil dibantu oleh cahaya matahari. Sintesis yang berlangsung karena pengaruh cahaya matahari disebut dengan fotosintesis. Selain fotosintesis, berbagai spesies bakteri dan organisme tingkat rendah lainnya juga mampu bertindak sebagai produsen dengan menggunakan bantuan senyawa kimia tertentu. Proses ini disebut kemosintesis. Kembali kepada tanaman padi. Sebagai produsen tanaman padi dijadikan sumber pangan oleh organisme lainnya. Organisme yang mengkonsumsi produsen disebut konsumen atau heterotrof. Kedua istilah ini mengacu kepada pengertian sebagai organisme yang mengkonsumsi produsen atau autotrof sebagai sumber makanannya. Heterotrof tidak mampu mengubah senyawa anorganik menjadi senyawa organik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, kelangsungan hidup konsumen sepenuhnya tergantung pada produsen.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 89 }



Konsumen yang mengkonsumsi produsen disebut herbivora. Konsumen padi beranekaragam. mulai dari bakteri, jamur, insekta, tikus, burung sampai manusia. Granivora merupakan sebutan bagi burung-burung yang mengkonsumsi biji-bijian, termasuk biji padi. Ciri khas burung granivora adalah paruh yang tebal, pendek, dan berbentuk segitiga. Berbagai spesies burung granivora dengan mudah dapat dijumpai di lahan persawahan. Kegiatan untuk mengamati dan mengidentifikasi keanekaragaman burung granivora dapat menjadi aktivitas yang menarik dalam mengenali keanekaragaman spesies. Selain mudah diamati, burung granivora juga memiliki bentuk dan warna bulu yang beranekaragam. Beberapa buku panduan dalam mengenali ciri khas burung dapat dijadikan acuan. Salah satu buku berjudul “Panduan Lapangan Pengenalan Burung di Jawa dan Bali” yang disusun oleh MacKinnon dan beberapa kawannya. Buku tersebut menyediakan gambar berwarna dan ciri khas setiap spesies burung di Pulau Jawa dan Bali. Tentu saja buku panduan dan sumber pustaka lain juga dapat digunakan untuk sebagai acuan dalam mempelajari keanekaragaman spesies. Burung granivora dikategorikan sebagai burung hama, karena memakan biji padi sehingga merugikan petani. Akan tetapi, para petani di Bali menyadari bahwa tindakan memusnahkan mahluk hidup lain demi untuk keuntungan sendiri bukan merupakan langkah yang bijaksana, di samping tidak dibenarkan oleh ajaran agama. Secara ekologi juga tidak mungkin petani dapat memusnahkan semua hama yang menyerang lahan pertanian mereka. Jika populasi organisme hama tertentu bisa dimusnahkan maka populasi organisme yang lain dapat meningkat dengan sangat pesat. Sebab ketika kedua organisme hama tersebut masih hidup berdampingan, salah satu populasi organisme hama kalah berkompetisi dalam memperebutkan makanan. Akibatnya populasi organisme tersebut tertekan atau tidak dapat berkembang dengan baik. Begitu populasi organisme hama yang menang berkompetisi musnah (akibat pemakaian insektisida), maka populasi hama yang pada mulanya tertekan, tidak lagi memiliki pesaing dalam memperebutkan sumberdaya makanan. Populasi organisme tersebut akan tumbuh dengan cepat, menyerang lahan persawahan secara serentak sehingga dapat menimbulkan kerugian besar bagi petani. Para petani di Bali sejak dahulu kala sudah menyadari risiko tersebut. Konsep nangluk merana dan kerta massa yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya merupakan strategi mereka dalam { 90 }



Lanskap Budaya SUBAK



mengendalikan populasi hama dan penyakit tanaman, tanpa harus memusnahkan organisme pengganggu petani.



Keanekaragaman spesies burung pemakan biji-bijian di lahan persawahan (Sumber MacKinnon dkk., tanpa tahun).



Pada beberapa subak di Bali, para petani sejak dulu mengembangkan teknologi tepat guna yang dikenal dengan istilah kungkungan. Kungkungan berarti mengurung namun bukan dalam sangkar seperti yang dilakukan oleh kebanyakan para penggemar burung pada saat ini. Para petani membuat kungkungan sebagai tempat beristirahat dan bersarang. Burung yang menghuni kungkungan masih tetap hidup bebas mencari Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 91 }



makanan, berpasangan, berkelompok, termasuk untuk pergi atau kembali ke dalam kungkungan. Berbeda dengan burung dalam sangkar. Kebebasan burung dalam sangkar mendekati titik nihil atau tidak ada sama sekali. Sebagian besar burung yang hidup dalam sangkar tinggal menunggu kematian karena hidup sampai usia tua tanpa ada peluang untuk hidup bebas, kawin dan menghasilkan keturunan. Apa manfaat petani membuat kungkungan? Sebagai teknologi tepat guna, kungkungan merupakan satu contoh kearifan tradisional di dalam subak. Kearifan tradisional adalah kebijaksanaan dalam mengelola lingkungan yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Ciri khas dari kebijaksanaan dalam kearifan tradisional adalah keseimbangan antara “azas manfaat dan azas lestari” Maksudnya, pada satu pihak teknologi berguna bagi kepentingan manusia, dan pada pihak lain teknologi tidak menimbulkan gangguan terhadap alam dan lingkungan. Uraian berikut memaparkan azas manfaat dan azas letari dari kungkungan. Spesies burung yang menyukai kungkungan sebagai tempat bersarang adalah burung peking atau di Bali lebih dikenal sebagai petingan. Burung dengan nama ilmiah Lonchura punctulata ini memiliki ciri khas bentuk bulu dada menyerupai sisik. Dibanding dengan burung hama yang lain, populasi petingan termasuk paling besar populasinya. Petingan dapat berkembang biak sepanjang tahun, dengan jumlah anak bisa mencapai puluhan dalam sekali berbiak. Selain itu, burung dengan ukuran tubuh relatif kecil ini mampu bersarang pada berbagai tempat. Hal ini menyebabkan populasi petingan dapat berkembang dengan cepat. Kalau Anda kebetulan berada di lahan persawahan dengan tanaman padi yang mulai berbuah, lalu di angkasa nampak ribuan burung kecil yang terbang menyerupai gelombang awan, dapat dipastikan sebagian besar kawanan burung tersebut adalah petingan. Meskipun belum ada laporan akurat tentang tingkat kerugian petani oleh hama burung, tetapi diperkirakan serangan burung hama dapat menimbulkan kerugian panen sampai 30 persen. Berarti, petani yang seharusnya dapat panen padi 1000 kilogram, namun hasil yang mereka peroleh hanya 700 kilogram, akibat 300 kilogram padi telah dipanen lebih dulu oleh burung hama, terutama petingan. Para leluhur petani di Bali menyadari memusnahkan burung hama terutama petingan tidak mungkin. Kungkungan merupakan satu strategi yang mereka kembangkan. Burung hama dibiarkan bersarang, bertelur { 92 }



Lanskap Budaya SUBAK



dan beranak dalam kungkungan. Petingan sangat menyukai kungkungan sebagai habitat untuk berkembang biak. Sepintas nampak pembuatan kungkungan malah dapat mendorong peningkatan populasi petingan. Tunggu dulu! Dari puluhan butir telur atau anak burung yang ada di dalam kungkungan, sekitar separuhnya diambil oleh petani. Sisanya dibiarkan hidup bebas agar dapat berkembang biak kembali. Lalu dibawa ke mana telor dan anak burung yang diambil dari kungkungan?. Jawabannya “dikonsumsi” sebagai sumber pangan hewani yang kaya unsur protein. Dengan begitu kungkungan bukan saja untuk mengendalikan populasi burung hama, namun sekaligus juga menambah sumber gizi keluarga.



Kungkungan, teknologi tepat guna berbasis azas manfaat dan lestari.



Pada saat ini, banyak penduduk yang membuat kungkungan. Sayangnya kungkungan dibuat hanya untuk hiasan atau kesenangan saja. Burung hama dibiarkan berkembang biak tanpa pernah dipanen atau dikendalikan populasinya. Pemilik merasa senang karena kungkungan yang dimilikinya dijadikan tempat bersarang oleh puluhan pasang petingan. Mereka tidak menyadari tindakan seperti itu makin



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 93 }



menyengsarakan petani. Populasi burung hama yang meningkat menimbulkan kerugian makin besar bagi petani. Nampaknya pemahaman konsep kehidupan berkelanjutan, berbagai kearifan tradisional sangat perlu dibelajarkan kepada generasi muda. Kungkungan menunjukkan keunggulan seni, teknologi dan desain masa lalu yang perlu dilestarikan. Yang lebih penting lagi, konsep keseimbangan antara azas manfaat dan lestari dalam pemanfaatan sumberdaya alam dari teknologi kungkungan patut dibelajarkan kepada generasi berikutnya.



Gelatik terancam punah karena kecantikannya.



Sayangnya keanekaragaman spesies burung granivora makin menurun. Salah satu spesies yang telah dinyatakan terancam punah adalah gelatik jawa atau di Bali seringkali disebut gelatik subeng (Padda oryzivora). Dibandingkan dengan spesies yang lain, gelatik memang nampak paling cantik dengan paruh dan kaki berwarna merah dan sebagian besar bulu tubuh berwarna biru. Gelatik digemari banyak orang karena keelokan bentuk tubuh, keindahan warna bulu, kemerduan suara dan kelincahan gerak-geriknya Pada saat ini, predikat gelatik telah berubah dari “burung hama” menjadi “burung hias”. Burung tersebut tidak lagi dimusuhi sebagai binatang yang merugikan, tetapi sebaliknya { 94 }



Lanskap Budaya SUBAK



makin disayangi sebagai satwa peliharaan. Peningkatan permintaan pasar terhadap gelatik bukan saja berasal dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Akan tetapi sejak 20 tahun terakhir jumlah ekspor burung tersebut diperkirakan menurun bersamaan dengan menurunnya populasi burung di alam. Sebagian besar kebutuhan gelatik untuk memenuhi permintaan pasar masih mengandalkan pada penangkapan dari alam. Perburuan yang terus berlangsung secara besar-besaran (terutama di Pulau Jawa dan Pulau Bali) mengakibatkan populasi gelatik menurun drastis. Hal ini dapat dibuktikan dengan makin langkanya keberadaan gelatik pada daerahdaerah yang sebelumnya dilaporkan banyak ditemukan burung tersebut. Pada masa lalu, gelatik dalam kelompok-kelompok besar (bisa terdiri atas ratusan individu) dengan mudah didapati hampir pada semua wilayah persawahan di Pulau Bali sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Penurunan populasi gelatik sejak 20 tahun terakhir ini mengakibatkan burung tersebut semakin jarang dijumpai, baik di Pulau Jawa maupun Pulau Bali. Adanya penurunan populasi yang sangat drastis mendorong Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumberdaya Alam (International Union of Concervation Nature and Natural Resources atau IUCN) menggolongkan gelatik dalam kategori “rentan” (Collar et al., 1994). Kategori itu mencakup kriteria tentang kemungkinan terjadi penurunan populasi lebih dari 50 persen dalam waktu 20 tahun (sekitar lima generasi), atau peluang punahnya 10 persen dalam kurun waktu 100 tahun (IUCN Spesies Survival Commission, 1994). Apabila fenomena di atas tidak segera diperhatikan, dikhawatirkan Indonesia akan kehilangan sumber pendapatan dari ekspor gelatik, karena kalah bersaing dengan ekspor serupa asal negara lain. Salah satu negara yang berpotensi menyaingi ekspor gelatik Indonesia adalah Amerika Serikat. Hal itu disebabkan populasi gelatik di Kepulauan Hawai meningkat pesat dalam 30 tahun terakhir. Ironisnya lagi, gelatik albino yang banyak memenuhi pasar burung di Indonesia sebagian besar diimpor dari Jepang. Gelatik albino dikembangbiakkan dalam penangkaran dengan menggunakan gelatik yang berasal dari Indonesia sebagai induknya. Belum lagi gelatik dengan warna bulu perak yang berasal dari negara-negara Eropa. Upaya konservasi, baik secara ex situ (di luar habitat alami) dan in situ (dalam habitat alami), harus segera dilakukan untuk menghindarkan Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 95 }



gelatik dari ancaman kepunahan. Gelatik relatif mudah beradaptasi dan berkembangbiak. Terbukti pada berbagai tempat penangkaran (seperti kebun binatang dan taman burung) berhasil mengembangbiakkan gelatik secara ex situ. Namun, salah satu kelemahan penangkaran secara ex situ adalah kemungkinan terjadi penurunan keragaman genetik. Hal itu terjadi karena biasanya populasi dikembangkan dengan mengawinkan beberapa pasang induk burung. Perkawinan keluarga dekat antara anak burung dan keturunannya tidak terhindarkan, karena pilihan pasangan dalam sangkar sangat terbatas. Berbagai penelitian menunjukkan perkawinan antara keluarga dekat cenderung menurunkan keragaman genetik sehingga menghasilkan keturunan yang kurang mampu beradaptasi terhadap lingkungan. Faktor ini kemungkinan yang merupakan salah satu penyebab kegagalan burung atau satwa lain hasil penangkaran beradaptasi dengan lingkungan ketika binatang tersebut dilepaskan (diliarkan) ke alam bebas. Berbeda dengan satwa yang dikonservasikan secara in situ. Pilihan untuk berpasangan, makanan dan tempat bersarang lebih bervariasi. Hal ini dapat mendorong peningkatan keanekaragaman genetik, kekuatan berkompetisi dalam memperebutkan sumber makanan, keterampilan menghindari pemangsa, dan ketahanan fisik dalam menghadapi perubahan lingkungan. Karena itu, konservasi gelatik secara in situ perlu memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Selain memberikan peluang bagi populasi gelatik untuk tumbuh dan berkembangbiak secara bebas dalam habitat alaminya, konservasi secara in situ juga dapat meningkatkan keanekaragaman genetik populasi, memperkaya rantai dan piramida makanan. Kawasan subak yang telah ditetapkan sebagai bagian dari lanskap budaya seyogianya juga dijadikan areal konservasi in situ bagi gelatik. Kegiatan tersebut memiliki berbagai manfaat. Gelatik sebagai sumberdaya hayati nasional dapat diselamatkan dari ancaman kepunahan. Kehadiran populasi gelatik di areal persawahan menambah atraksi wisata terutama bagi wisatawan yang menyukai kegiatan pengamatan burung (birdwatching). Keberhasilan konservasi gelatik secara in situ membuktikan bahwa masyarakat di sekitar lanskap budaya benar-benar dapat mengimplementasikan filsafat Tri Hita Karana. Keberhasilan itu sekaligus juga akan meningkatkan penghargaan masyarakat internasional



{ 96 }



Lanskap Budaya SUBAK



terhadap Indonesia, mengingat gelatik dan satwa lain yang masuk dalam kategori terancam punah menjadi pusat perhatian dunia. Keanekaragaman spesies di kawasan subak tidak hanya terbatas pada keanekaragaman satwa atau binatang, tetapi juga keanekaragaman tanaman. Selain padi yang merupakan tanaman utama di sawah, para petani juga menanam berbagai spesies tanaman yang lain seperti kelapa, pisang, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, yang menempatkan unsur ke-Tuhan-an sebagai sumber dari segala kehidupan dan isi jagat raya, maka sebagian hasil pertanian tersebut senantiasa dipersembahkan dalam berbagai upacara keagamaan. Bentuk sesajen atau banten yang terbuat dari hasil bumi terdiri atas pala wija (biji-bijian), pala gantung (buah-buahan) dan pala bungkah (umbi-umbian). Sesuai pula dengan kepercayaan Umat Hindu yang meyakini Tuhan mencintai keindahan, maka hasil pertanian itu senantiasa disusun dan ditata dalam bentuk yang unik, indah dan memiliki nilai seni yang tinggi. Salah satu bentuk persembahan itu dibuat menyerupai bentuk barong ket atau barong yang bentuknya menyerupai binatang singa.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 97 }



Pala bungkah, pala gantung dan pala wija ditata menyerupai bentuk barong ket.



3. 5 K ean ekara ga ma n E kosis te m Kehidupan di permukaan bumi dimulai dari laut dalam sampai beberapa kilometer di atas permukaan tanah. Para ahli ekologi menyebut bagian bumi yang dihuni oleh mahluk hidup sebagai biosfir. Biosfir merupakan sistem yang sangat kompleks dan sulit dipelajari. Untuk membuka misteri kehidupan berbagai spesies dalam biosfir, ahli ekologi membagi biosfir menjadi unit lebih kecil agar lebih mudah dipelajari. Unit itu disebut ekosistem. Ekosistem merupakan unit interaksi antara organisme dan lingkungan sekitarnya. Ekosistem memiliki batas fisik yang jelas. Misalnya batas fisik ekosistem subak adalah kawasan yang ditumbuhi pohon sehingga tidak ada lagi lahan sawah. Subak bersifat mandiri karena tanaman padi sebagai tumbuhan utama dalam subak, mengubah energi matahari menjadi energi kimia, yakni menjadi padi atau beras. Binatang lain, seperti tikus, burung dan manusia memakan padi. Akibatnya terjadi { 98 }



Lanskap Budaya SUBAK



pemindahan atau transfer energi dari satu organisme menuju organisme lainnya. Tubuh organisme yang telah mati diuraikan oleh mikroorganisme. Proses penguraian dikenal sebagai dekomposisi. Organisme yang melakukan dekomposisi disebut dekomposer. Senyawa kimia yang dilepaskan dalam proses dekomposisi digunakan kembali oleh makhluk hidup yang lain. Melalui empat proses produksi energi kimia dari sinar matahari, transfer energi, dekomposisi, dan penggunaan kembali nutrisi, ekosistem dapat terus berkelanjutan atau lestari, dari tahun ke tahun. Subak memiliki ciri fisik khas dan merupakan bagian biosfir yang bersifat mandiri. Dengan demikian, subak merupakan ekosistem.



Ekosistem subak dan ekosistem kebun campuran memiliki batas yang jelas (Foto Kevin Thompson).



Berbagai ekosistem terdapat di permukaan bumi. Ukuran dan unsur pembentuk ekosistem yang bervariasi. Ekosistem bisa berukuran besar dan kompleks seperti hutan atau danau. Sebaliknya ekosistem juga dapat berukuran kecil dan sederhana seperti kebun dan kolam. Di dalam sebuah ekosistem yang besar bisa pula terdapat ekosistem lain yang lebih kecil. Misalnya di dalam ekosistem subak, terdapat ekosistem daerah Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 99 }



aliran sungai, kolam dan kebun. Apalagi dalam kawasan yang sangat luas, seperti lanskap budaya subak yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Di dalam kawasan tersebut terdapat berbagai ragam ekosistem. Pada kawasan pegunungan di sekitar Gunung Batukaru dan Gunung Batur terdapat ekosistem hutan hujan tropis. Hutan jenis ini memiliki keanekaragaman spesies tanaman yang tinggi, dengan tajuk yang bertingkat-tingkat, mulai tumbuhan pohon yang menjulang tinggi ke angkasa untuk meraih cahaya matahari sebanyak-banyaknya, familia liliaceae (tanaman yang tumbuh dengan melilitkan tubuh pada batang tanaman lain), epifit (yang hidup menumpang pada tumbuhan inang) sampai tumbuhan yang hidup di lantai hutan dengan penetrasi sinar matahari yang sangat rendah. Ciri lain dari hutan hujan tropis adalah didominasi oleh tumbuhan berdaun lebar dan menghijau sepanjang tahun. Mangga (Mangifera indica) dan cempaka (Michelia champaca) merupakan contoh tumbuhan berdaun lebar. Pada kawasan pegunungan Batukaru dan Kintamani juga tumbuh tanaman pembentuk ekosistem hutan dua musim (hutan gugur) dan ekosistem hutan kornifera (hutan berdaun jarum). Hutan gugur pada umumnya ditemukan pada kawasan atau negara yang mengalami empat pergantian musim (musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur). Sebagian besar tanaman hutan jenis ini menggugurkan daunnya pada musim gugur dan musim dingin. Mulai awal musim semi daun tanaman tumbuh berwarna-warni membentuk panorama yang sangat indah. Ciri tanaman dua musim yang hidup di kawasan tropika seperti Indonesia juga menunjukkan pergantian daun pada awal musim hujan. Salah satu tumbuhan itu adalah jati (Tectona grandis), yang banyak ditanam di Indonesia. Jika kita naik ke arah puncak Gunung Batukaru dan Gunung Batur dapat pula ditemui tanaman pembentuk ekosistem hutan berdaun jarum. Tanaman ini memiliki daun berbentuk bulat, berukuran kecil dengan bagian luar diselimuti lapisan lilin. Ini merupakan cara tumbuhan dalam menghadapi lingkungan yang relatif kering dan hembusan angin yang kencang. Bentuk daun yang menyerupai jarum dapat mengurangi luas permukaan, ditambah pula dengan adanya lapisan lilin di sebelah luar, maka pemuaian air yang terjadi melalui daun dapat dikurangi. Cemara pandak (Podocarpus indricatus) merupakan tanaman khas pembentuk hutan berdaun jarum yang banyak ditemukan di kawasan pegunungan



{ 100 }



Lanskap Budaya SUBAK



Batukaru maupun Kintamani. Tanaman berdaun jarum tumbuh sangat lambat tetapi dapat tumbuh dalam kondisi tanah yang kering, berpasir dan miskin unsur hara. Jika kita berkunjung ke lantai dasar kaldera Gunung Batur, maka kita akan menemukan kombinasi hutan tropika dan hutan berdaun jarum yang tumbuh di antara bebatuan di atas tanah berpasir. Sayang sekali hutan yang mulai tumbuh dengan susah payah itu terganggu akibat pengambilan batu dan pasir serta alih fungsi lahan hutan untuk kebun dan ladang. Padahal ekosistem hutan yang tumbuh di kawasan pegunungan memiliki fungsi ekologi yang sangat penting. Menurut Undang-undang tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya (1990), ekosistem hutan di pegunungan digolongkan sebagai suaka alam dan cagar alam. Masih menurut undang-undang tersebut, yang dimaksud suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Terdapat beberapa istilah penting dalam kedua definisi di atas, yaitu sistem penyangga kehidupan, kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistem. Sistem penyangga kehidupan adalah sistem atau proses yang mutlak ada agar kehidupan di permukaan bumi ini dapat tetap berkelanjutan. Ulasan tentang sistem penyangga kehidupan disajikan pada halaman berikutnya. Kawasan hutan baik di sekitar Catur Angga Batukaru maupun Gunung Batur memiliki kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistem.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 101 }



Pohon dan tanaman lain tumbuh sangat lambat di atas lahan pasir dan bebatuan di Kaldera Batur.



Pada kawasan Cagar Alam Batukaru terdapat puluhan spesies pohon. Istilah pohon mengacu pada tumbuhan dengan batang yang keras dan berkayu yang kalau sudah dewasa cabang terendahnya mencapai lima meter di atas permukaan tanah. Pohon yang hidup di Cagar Alam Batukaru antara lain bunut (Ficus indica), sompang (Laplaceae sp.), seming (Engelhardia spicata), cemara geseng (Casuarina junghuniana), udu (Litsea velutina), belantih (Homalanthus giganteus), lateng (Laportea sp.), dan kedukduk (Astronia spectabilis). Beberapa spesies pohon tergolong langka, yaitu cemara pandak (Podocarpus indricatus) dan kepelan (Manglitia glouca). Satwa liar dilindungi yang hidup di Cagar Alam Batukaru adalah kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus vitatus), kucing hutan (Felis bengalensis), rase (Vivericula malacensis), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix branchura), budeng/lutung (Trachypitecus auratus), kera abu (Macaca fascicularis), bajing tanah (Lariscus insignis), musang (Paradoxurus hermaproditus), ayam hutan (Gallus varius), burung kipas (Rhipidura javanica), burung hantu (Pypte { 102 }



Lanskap Budaya SUBAK



alba javanica), srigunting (Dicrurus renifer), kalong (Pteropus edulis), dan elang (Haliaestur indus). Selain ekosistem hutan juga terdapat keanekaragaman ekosistem danau. Di Pulau Bali terdapat empat buah danau, yaitu Danau Batur (Kabupaten Bangli), Danau Buyan dan Danau Tamblingan (Kabupaten Buleleng) dan Danau Beratan di Kabupaten Tabanan. Keempat danau itu merupakan danau kawah, yang terbentuk setelah gunung berapi purba mengalami letusan sangat hebat. Sisa gunung ambruk ke dalam bumi membentuk lembah dan danau yang dikelilingi oleh gunung dan pegunungan di sekitarnya. Keempat danau di Bali berfungsi sebagai bak penampung atau reservoar air tawar terutama air hujan. Air yang meresap melewati dasar danau mengalir melalui berbagai mata air dan sungai menuju dataran rendah di sebelah utara maupun selatan Pulau Bali. Kelangsungan persediaan air tawar pada sebagian besar kota dan desa di Bali tergantung pada kelestarian keempat danau tersebut. Nenek moyang Orang Bali secara bijaksana membangun Pura Ulun Danu setiap danau untuk menstanakan Ida Bethara Dewi Danuh sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai pemberi kesuburan. Dengan begitu persembahyangan di Pura Ulun Danu bertujuan memberi motivasi agar kita melakukan langkah nyata dalam konservasi sumberdaya air, terutama melalui pelestarian danau dan kawasan tangkapan air di sekitarnya. Kawasan tangkapan air adalah wilayah di pegunungan, danau dan DAS yang dapat menyerap dan menyimpan air hujan untuk kemudian secara teratur dialirkan ke berbagai wilayah yang lebih rendah.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 103 }



Bangunan meru tumpang solas sebagai stana Ida Bethara Dewi Danu di Danau Beratan.



Dapat dipastikan nenek moyang Orang Bali sudah sejak dahulu kala menyadari peranan penting dari kawasan pegunungan dengan gunung dan danaunya sebagai sistem penyangga kehidupan. Terbukti sesuai dengan konsep hulu-teben (kepala dan kaki) daerah pegunungan yang memanjang mulai dari ujung barat sampai ujung timur Pulau Bali dipandang sebagai hulu atau kawasan utama. Penduduk yang tinggal di bagian utara Pulau Bali sering menyebut hulu dengan istilah kaja. Tentu saja kaja dalam konteks ini adalah kawasan pegunungan, bukan utara sebagaimana pengertian umum kata kaja jika dipadankan ke dalam Bahasa Indonesia. Oleh para leluhur, daerah pegunungan dengan Gunung Agung dan Gunung Batur sebagai unsur purusa-pradana (laki dan perempuan), dipandang sebagai kawasan sakral. Pura Sad Kahyangan dan pura besar yang dibangun pada kawasan ini berperan untuk menstanakan Tuhan dalam manifestasi beliau sebagai pelindung air, sungai dan kesuburuan. Sesuai dengan konsep catur loka pala (empat arah mata angin), manifestasi Tuhan yang berada pada arah hulu atau kaja adalah Dewa Wisnu atau Ida Bethara Wisnu. Persembahyangan yang ditujukan



{ 104 }



Lanskap Budaya SUBAK



kepada Dewa Wisnu berfungsi untuk mendorong kita melakukan tindakan nyata dalam pelestarian sumberdaya air. Nenek moyang orang Bali telah memberikan teladan dengan cara mempersepsikan daerah tangkapan air sebagai kawasan sakral dengan membiarkan sebagian besar kawasan tersebut ditutupi dengan hutan alam. Beberapa pohon besar yang telah berusia tua dikeramatkan karena dipandang sebagai “pesimpangan” atau tempat persinggahan Ida Bethara atau manifestasi Tuhan yang distanakan pada pura yang berlokasi dekat pohon tersebut. Biasanya pada bagian bawah pohon diberi saput Seorang pria sedang menghaturkan sesajen di poleng (kain dengan bawah pohon beringin. dua warna berbeda), dibangun pelinggih untuk tempat meletakkan banten atau sesajen. Saput poleng adalah simbol dari rwa bhineda (dua hal yang saling bertolak belakang namun senantiasa) tetap berada bersama-sama. Pohon besar jika dilestarikan memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan manusia. Sebaliknya jika diabaikan apalagi ditebang, bisa berpotensi merugikan lingkungan dan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia. Kesulitan sumber air bersih yang terjadi pada musim kemarau, sebaliknya banjir dan longsor yang melanda berbagai kawasan di tanah air pada waktu musim hujan, sebagian disebabkan oleh penebangan berbagai pohon besar pada hutan dan kawasan tangkapan air. Karena itu, menghaturkan sesajen pada pelinggih di dekat pohon bertujuan menguatkan tekad untuk melakukan langkah nyata dalam pelestarian tanaman. Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 105 }



Diskusi tentang keanekaragaman ekosistem tentu tidak lengkap jika kita tidak membahas ekosistem subak. Pada bagian terdahulu subak disebut sebagai lanskap budaya karena terbentuk dari perpaduan antara alam dan perilaku manusia. Implementasi Tri Hita Karana dalam subak telah diakui sebagai nilai-nilai luar biasa (outstanding values) yang telah diakui oleh masyarakat internasional. Tentu saja termasuk dalam nilai luar biasa adalah kemampuan subak dalam mengembangkan konsep keanekaragaman ekosistem. Jika kita pergi ke areal persawahan subak, bukan saja kita menemukan berbagai spesies tumbuhan dan binatang tetapi juga berbagai ekosistem. Sebagian besar ekosistem itu dibuat meniru ekosistem alam, namun dengan ukuran yang lebih kecil. Karena ukurannya yang lebih kecil maka sering pula disebut sebagai ekosistem kecil (micro-ecosystem). Para petani menanam kelapa dan berbagai tanaman pohon lain di kanan kiri pangkung (sungai kecil yang berfungsi sebagai saluran irigasi atau saluran pembuangan air subak. Mereka sengaja membiarkan beraneka ragam tanaman tumbuh liar di sekitar pangkung. Konsep ini disebut sebagai ubah uga. Uga adalah alat terbuat dari kayu atau bambu untuk menghubungkan dua ekor sapi yang digunakan pada saat membajak atau meratakan tanah sawah.



Konsep ubah uga (kanan-kiri saluran irigasi yang ditanami pepohonan) berperan dalam konservasi keanekaragaman hayati subak. { 106 }



Lanskap Budaya SUBAK



Ubah uga berarti membiarkan kira-kira dua kali panjang uga pada kanan dan kiri saluran air untuk ditumbuhi beranekaragam tanaman, termasuk tanaman liar. Kumpulan tanaman itu berperan dalam meresapkan air ke dalam tanah, yang dapat muncul dalam bentuk tetesan air atau mata air di sebelah hilir. Ubah uga juga berfungsi sebagai habitat atau tempat bagi binatang untuk bersarang dan mencari makan. Konsep ubah uga nampaknya dibuat meniru ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Pada bab sebelumnya sudah diuraikan DAS merupakan kawasan punggung bukit yang aliran airnya menuju sungai tertentu. Kawasan DAS dengan tanah yang tertutup oleh beranekaragam tanaman berfungsi dalam konservasi keanekaragaman hayati genetik, spesies dan ekosistem. Keanekaragaman ekosistem lain yang juga dikembangkan oleh leluhur para petani dikenal sebagai pulau isogeobiografi. Istilah isogeobiografi mengacu pada kawasan yang secara geologi dan biologi berbeda atau terisolasi dengan kawasan luas yang ada di sekitarnya. Pondok, kandang ternak dan pura di tengah persawahan, yang dikelilingi dengan beranekaragam pepohonan merupakan pulau-pulau isogeobiografi. Kawasan semacam itu ibaratkan pulau di tengah “lautan persawahan.” Keadaan fisik (abiotik) dan keanekaragaman hayati (biotik) pulau isogeobiografi berbeda dibanding lahan sawah di sekitarnya. Pulau isogeobiografi mempunyai manfaat ekologi, ekonomi dan sosial. Secara ekologi pulau isogeobiografi berperan dalam melestarikan aneka ragam tanaman, menjadi habitat hidup satwa peliharaan dan satwa liar, peresapan air hujan dan pelestarian tanah. Tumbuhan yang ditanam di kawasan seperti itu terdiri atas pisang, kelapa, kacang-kacang dan spesies tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi bagi petani. Demikian pula dengan sapi, babi dan itik yang dikandangkan di dalam pondok dapat menjadi sumber ekonomi keluarga petani. Bangunan pura dengan pohon yang rindang di tengah hamparan sawah, selain mampu memberikan suasana kesejukan, keheningan, dan kesunyian pada saat melakukan persembahyangan, juga menjadi tempat yang sering digunakan oleh para petani untuk beristirahat, berdiskusi dan berbagai kegiatan sosial lainnya.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 107 }



Pondok yang dikelilingi dengan berbagai tanaman pohon di tengah lahan sawah merupakan pulau isogeobiografi.



3.6 Man faat Ke ane kar a gam an H a yati Sub ak Pada pembahasan tentang pulau isogeobiografi telah diulas sekilas tentang manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari keanekaragaman hayati subak. Secara ekologi keanekaragaman hayati bermanfaat sebagai sistem penunjang kehidupan, yaitu sistem yang harus tetap ada agar kehidupan di permukaan bumi ini tetap berlangsung. Sistem penunjang kehidupan terdiri atas aliran energi, siklus makanan dan siklus biogeokimia. Aliran energi dalam ekosistem subak sepenuhnya meniru aliran energi dalam ekosistem alam, yakni menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi utama dalam memproduksi biji padi. Dengan begitu subak memakai sumber energi yang bersahabat dengan lingkungan sehingga terbebas dari risiko pencemaran. Hal ini sangat berbeda dengan ekosistem kota atau ekosistem urban yang terus berkembang di seluruh permukaan planet bumi. Ekosistem urban lebih banyak menggunakan sumber energi dari bahan bakar fosil yang banyak menimbulkan berbagai polusi lingkungan. Akibatnya seiring dengan perkembangan ekosistem urban, pencemaran udara, air dan tanah juga kian meningkat.



{ 108 }



Lanskap Budaya SUBAK



Para anggota subak dan Umat Hindu sangat menghormati matahari sebagai sumber energi utama jagad raya. Bentuk penghormatan itu ditunjukkan melalui panca sembah atau lima ritual pemujaan menurut Agama Hindu. Pada panca sembah terdapat persembahyangan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi beliau sebagai Ida Bethara Surya (Dewa Surya). Persembahyangan terhadap Ida Bethara Surya atau Surya Raditya seyogyanya dimaknai sebagai motivasi bagi manusia untuk senantiasa memanfaatkan energi matahari dalam kehidupan sehariharinya. Tuhan telah menyediakan energi bersih di seluruh permukaan planet bumi ini. Bagi penduduk yang tinggal di sekitar garis katulistiwa (seperti Indonesia), energi surya tersedia sepanjang tahun. Para petani telah memberikan teladan dalam memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber utama aliran energi dalam ekosistem sawah mereka. Pada saat ini teknologi bersih yang memanfaatkan energi surya sudah tersedia dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu contohnya adalah penggunaan energi surya dalam menyedot air dari sungai bawah tanah di Pegunungan Kidul Yogyakarta.



Panel surya dalam sistem penyediaan air minum di Gunung Kidul Yogyakarta.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 109 }



Yang diperlukan sekarang adalah keinginan, tekad dan langkah nyata untuk kembali memakai sumber energi bersih ketimbang energi fosil yang jorok terhadap lingkungan. Tindakan kecil, lokal tetapi nyata bisa dimulai saat ini juga. Misalnya, lebih memilih menjemur pakaian dalam terik matahari dibanding menggunakan mesin pengering. Atau membuka jendela lebar-lebar agar sinar matahari bisa menerangi ruangan dibanding menutupnya rapat-rapat, kemudian menerangi ruangan dengan lampu listrik. Sistem penunjang kehidupan lain dalam ekosistem subak adalah siklus makanan. Siklus ini merupakan hubungan saling memakan antara organisme satu dan organisme lain. Siklus makanan dalam bentuk sederhana disebut rantai makanan. Contoh rantai makanan yang paling populer pada lahan sawah adalah padi dimakan tikus, tikus dimakan ular dimakan elang. Lalu bangkai elang dirombak oleh mikroorganisme menjadi unsur hara dalam tanah. Unsur itu kemudian diserap kembali oleh tanaman padi. Pada kenyataannya hubungan saling memakan tidak sederhana, melainkan rumit dan kompleks. Sebagai contoh padi bukan hanya dikonsumsi oleh tikus, tetapi juga oleh hama wereng belalang dan keong emas. Demikian pula dengan tikus yang dapat dimangsa oleh biawak, kucing atau burung elang. Siklus makanan yang kompleks dan rumit itu disebut jaring-jaring makanan, karena kalau digambarkan mirip dengan jaring laba-laba. Siklus biogeokimia adalah siklus berbagai unsur yang melalui tubuh mahluk hidup, dalam air, tanah dan udara. Siklus ini terutama terdiri atas unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), belerang atau sulfur (S), fosfor (P) dan kalsium (Ca). Unsur itu bisa membentuk senyawa anorganik dalam bentuk gas di udara, berupa larutan dan campuran dalam air, atau garam dan mineral di dalam tanah. Sebaliknya dalam tubuh mahluk hidup sebagian besar unsur itu terdapat dalam bentuk senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein. Dengan begitu unsur yang terlibat dalam siklus biogeokimia bisa berubah dari bentuk senyawa anorganik menjadi organik, demikian sebaliknya. Para petani memanfaatkan siklus biogeokimia dalam bercocok tanam padi di sawah. Dahulu para petani biasanya mencacah dan menanam jerami padi ke dalam tanah untuk memperkaya unsur nutrisi tanah. Bahkan mereka tidak jarang membawa



{ 110 }



Lanskap Budaya SUBAK



daun tanaman dan abu dapur sebelum masa olah tanah. Pada saat ini tidak banyak lagi petani yang mempraktekkan cara bertani demikian. Mereka cenderung membakar jerami dan menggantikan pupuk organik dengan pupuk anorganik. Cara baru ini memang lebih mudah, lebih praktis dan lebih cepat dalam menyiapkan lahan sawah untuk ditanami padi kembali. Tetapi banyak hasil penelitian membuktikan cara bertani yang cepat, mudah dan praktis seperti itu menimbulkan kerusakan tanah, penurunan keanekaragaman hayati dan polusi air. Pembakaran jerami hanya menyisakan abu yang miskin akan unsur hara. Padahal terdapat berbagai unsur hara dalam jerami yang seharusnya dapat dimanfaatkan dalam memperkaya nutrisi tanah.



Menaburkan pupuk anorganik lebih mudah tetapi dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.



Pemakaian pupuk dan pestisida anorganik secara terus-menerus berpotensi menyebabkan tanah sawah menjadi padat, membunuh organisme yang bermanfaat dalam budidaya padi dan mencemari aliran air. Indikator atau tanda ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah sawah adalah “peledakan” atau pertumbuhan populasi tanaman gulma Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 111 }



(tanaman pengganggu) di lahan sawah. Salah satu tanaman tersebut adalah kayu apu atau kapu-kapu (Pistia stratiotes). Para petani menganggap kapu-kapu sebagai gulma karena akar tanaman itu berkompetisi dengan akar padi dalam memperebutkan unsur hara di dalam tanah. Tidak mengherankan berbagai cara dilakukan untuk membasmi kapu-kapu, termasuk menyemprot dengan memakai senyawa kimia tertentu.



Lahan sawah yang tertutup oleh kapu-kapu dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi.



Kesadaran untuk kembali pada praktik bertani yang bersahabat dengan lingkungan mulai tumbuh pada berbagai tempat. Kesadaran ini tidak berarti harus kembali sepenuhnya pada praktik bertani jaman dahulu. Pada masa lalu, untuk menunggu jerami dan pupuk organik terurai menjadi unsur hara di dalam tanah diperlukan waktu sampai dua bulan. Jika kebiasaan demikian diterapkan pada saat ini, maka akan dapat memperlambat produksi beras. Padahal kian hari makin banyak beras yang dibutuhkan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Demikian pula dengan kotoran sapi sebagai sumber pupuk organik. Pada masa lalu, kotoran itu dibiarkan begitu saja di udara terbuka selama berbulan-bulan sebelum digunakan pada lahan persawahan. Tentu saja kebiasaan seperti ini jika dilakukan sekarang bisa memperlambat penanaman padi di sawah.



{ 112 }



Lanskap Budaya SUBAK



Kini telah dikembangkan berbagai teknologi tepat guna dalam mengolah jerami dan kotoran sapi. Teknologi itu bukan saja memungkinkan petani kembali mempraktekkan cara bertani organik tetapi juga dapat memberikan berbagai keuntungan tambahan, selain dari tanaman padi. Salah satu yayasan yang sejak beberapa tahun aktif bergerak dalam bidang pertanian organik adalah Yayasan Somya Pertiwi yang berlokasi di Banjar Adat Wangaya Betan Desa Mangesta Tabanan atau sekitar 60 kilometer barat laut Kota Denpasar. Yayasan ini mendampingi petani subak Wangaya Betan dalam menerapkan sistem “tumpang sari” di lahan sawah mereka. Tumpang sari adalah teknik bertani dengan cara membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman, atau mengkombinasikan tanaman dan ternak tertentu. Praktik tumpang sari yang dilakukan di Wangaya Betan adalah dengan cara menjadikan jerami sebagai pakan utama ternak sapi. Kotoran dan air seni sapi dimanfaatkan sebagai pupuk dan pestisida organik. Sebelum diberikan pada sapi, jerami diolah melalui fermentasi dengan menggunakan jasa mikroorganisme dalam mempercepat proses tersebut. Jerami yang telah difermentasi memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dan lebih cepat diserap oleh saluran pencernaan sapi. Lagi pula jerami dapat diberikan kepada sapi sampai enam bulan sejak difermentasi sehingga bisa disimpan sebagai cadangan pada saat kesulitan memperoleh pakan sapi. Sama seperti jerami, kotoran dan air seni sapi diolah terlebih dahulu dengan mempekerjakan mikroorganisme tertentu. Sekitar satu bulan limbah sapi tersebut sudah dapat digunakan sebagai pupuk dan pestisida organik. Yayasan Somya Pertiwi secara berkesinambungan melakukan pemberdayaan dan pendampingan terhadap petani sehingga kini sebagian besar petani Subak Wangaya Betan telah mengimplementasikan sistem bertani secara organik. Para petani memperoleh berbagai manfaat, yang tidak mereka peroleh ketika masih melakukan cara bertani yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Lahan sawah yang diolah dengan memakai pupuk dan pestisida organik telah meningkatkan hasil padi mereka tanpa harus membeli pupuk dan pestisida buatan pabrik. Mereka menanam padi lokal dengan harga jual beras lebih tinggi dibanding beras padi unggul. Mereka telah mendapat pengakuan internasional sebagai petani organik. Sertifikat yang diperoleh dari pengakuan tersebut, menyebabkan beras mereka sangat laris di pasaran, meskipun dengan



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 113 }



harga dua kali lebih mahal dibanding beras jenis lainnya. Hal itu disebabkan makin hari makin banyak kelompok masyarakat yang memilih mengkonsumsi makanan organik. Kini makin banyak anggota masyarakat yang menyadari pilihan terhadap makanan organik dapat menghindarkan tubuh dari resiko gangguan kesehatan. Mereka telah mengetahui bahwa beras yang diproduksi dengan memakai pupuk dan pestisida anorganik dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.



Lokasi Yayasan Somya Pertiwi di Banjar Wangaya Betan Desa Mangesta Tabanan.



Populasi belut sawah (Monopterus albus), siput air (Lymnea truncata) dan beberapa spesies hewan yang meningkat sejak beberapa tahun terakhir, memberikan manfaat ekonomi tambahan bagi para petani di Wangaya Betan. Keberhasilan Subak Wangaya Betan dalam mengimplementasikan pertanian organik menarik perhatian banyak pihak. Apalagi Yayasan Somya Pertiwi juga menyediakan sekolah lapangan (field school) yang berfungsi sebagai pusat pendidikan, pelatihan, pendampingan dan praktek bagi berbagai pihak yang berminat mempelajari teknik pertanian organik. Berdasarkan catatan dalam buku tamu, kita dapat mengetahui sekolah lapangan itu telah memperoleh kunjungan dari berbagai pihak, bukan saja tamu dari nusantara melainkan juga dari manca negara. Mereka yang berkunjung ke Wangaya Betan { 114 }



Lanskap Budaya SUBAK



bukan saja petani, tetapi juga pengusaha, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan pelajar. Puluhan mahasiswa dari perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri melakukan penelitian di Wangaya Betan untuk menyelesaikan tugas akhir mereka, dalam bentuk skripsi (mahasiswa S1), tesis (mahasiswa S2) maupun disertasi (mahasiswa S3).



Seorang fasilitator Yayasan Somya Pertiwi memberikan penjelasan kepada sekelompok mahasiswa Universitas Mahasaraswati Denpasar.



Berkat keberhasilan tersebut, Pak Arisa sebagai ketua kelompok petani, sekitar dua tahun lalu diundang oleh pemerintah Thailand untuk memperoleh penghargaan langsung dari Raja Bhumibol Adulyadej. Penghargaan raja tersebut menunjukkan kepedulian yang sangat tinggi dari negara Thailand terhadap kegiatan bertani bersahabat dengan lingkungan (yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan petani). Sayang sekali Pemerintah Indonesia belum menunjukkan perhatian serupa. Demikian pula Pemerintah Provinsi Bali dengan slogan go clean and green atau “menuju bersih dan hijau” perlu meningkatkan kepeduliannya pada kelompok masyarakat yang telah menunjukkan prestasi nyata dalam mengimplementasikan cara bertani secara berkelanjutan. Selain manfaat ekologi dan ekonomi, pengelolaan keanekaragaman hayati juga memberikan manfaat sosial bagi anggota subak. Uraian dalam



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 115 }



bab sebelumnya telah banyak mengungkap manfaat sosial dari keanekaragaman hayati, baik dalam bentuk keanekaragaman gen, keanekaragaman spesies maupun keanekaragaman ekosistem. Salah satu manfaat sosial yang akan dibahas dalam bab berikutnya adalah peranan subak sebagai model pembelajaran yang berbasis pada lingkungan lokal atau dikenal sebagai place based-learning. Manfaat keanekaragaman hayati sering pula dikelompokkan menjadi manfaat langsung (tangible) dan tidak langsung (intangible). Manfaat langsung atau kasat mata adalah manfaat yang diperoleh dari barang yang dapat diperjual-belikan di pasar. Padi, gabah, sekam, belut, pupuk organik merupakan contoh dari keanekaragaman hayati subak yang memiliki nilai kasat mata. Semua produk pertanian itu dapat kita jumpai pada berbagai toko, warung dan pasar kendati pun berada relatif jauh dari lahan sawah yang menjadi pusat produksinya. Manfaat tidak langsung atau tidak kasat mata adalah manfaat yang hanya diperoleh kalau kita mengunjungi atau berada di sekitar kawasan tertentu. Manfaat tidak langsung tidak dapat kita jumpai sebagaimana dengan barang yang memiliki manfaat langsung. Akan tetapi, nilai ekonomi dan sosial dari manfaat tidak langsung tidak kalah dengan barang yang termasuk dapat memberikan manfaat langsung. Kawasan persawahan memberikan manfaat tidak langsung bagi akomodasi wisata, rekreasi dan sarana olahraga. Dikatakan manfaat tidak langsung karena siapa saja yang ingin menikmati panorama kawasan tersebut harus berkunjung langsung ke sana, sebab panorama serupa tidak dapat diperoleh di kawasan yang lain. Kepariwisataan di Bali banyak menggunakan manfaat tidak langsung dari lahan persawahan subak untuk menarik kedatangan wisatawan. Sayang Biji padi merupakan manfaat langsung dari subak karena dapat diperjualbelikan di pasaran, yang dapat berlokasi jauh dari lahan sawah sebagai sumber produksinya.



{ 116 }



Lanskap Budaya SUBAK



sekali sawah berteras di berbagai wilayah di pulau ini juga terancam oleh alih fungsi lahan, termasuk untuk pembangunan restoran, hotel dan sarana wisata lainnya. Jika alih fungsi lahan sawah tidak segera dikendalikan, dikhawatirkan manfaat tidak langsung dari subak makin berkurang. Hal itu bukan hanya dapat merugikan kepariwisataan Bali, tetapi bisa mengancam berbagai nilai kehidupan masyarakat lokal Bali. Karena berbagai nilai universal luar biasa (seperti semangat berdemokrasi dan hidup harmonis dengan alam serta lingkungan) bersumber pada budaya dan budidaya bertani di subak.



Lahan sawah milik subak dapat berfungsi sebagai sarana oleh raga (kanan) dan pariwisata (kiri).



3.7 Keanekaragaman Orang Bali



Hayati



dalam



Kosmologi



Kosmologi adalah cara pandang terhadap jagat raya atau alam dengan segala isinya. Keanekaragaman hayati sebagai unsur palemahan dalam kosmologi Orang Bali senantiasa terintegrasi dengan unsur parhyangan dan palemahan. Salah satu simbol dari integrasi itu adalah sarad. Sarad merupakan sarana upakara yang dibuat pada waktu Umat Hindu melangsungkan upacara berskala besar (utama). Sarad dibentuk menyerupai gunung dengan nilai seni dan filosofi yang tinggi. Bahan yang digunakan terdiri atas aneka ragam jajan, buah-buahan dan daging. Sarad adalah simbol dari jagad raya dengan segala isinya termasuk keanekaragaman hayati. Sarad menggambarkan isi dunia, yang terdiri Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 117 }



atas dunia tumbuhan dan binatang (bhur loka), dunia manusia (buah loka) dan dunia Tuhan dngan sinar (swah loka). Berbagai isi alam terwakili dalam sarad, seperti simbol air, binatang, tumbuhan, langit, bintang, bidadari dan dewa. Sarad menggambarkan ketulusan Umat Hindu untuk mempersembahkan isi alam ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sarad seharusnya juga dimaknai sebagai sumber motivasi dan inspirasi bagi umat manusia untuk melestarikan alam dan segala isinya, termasuk keanekaragaman hayati.



Sarad merupakan manifestasi dari cara pandang orang Hindu di Bali terhadap jagat raya, termasuk keanekaragaman hayati yang terdapat di permukaan bumi.



{ 118 }



Lanskap Budaya SUBAK



3.8 Pert an yaa n 1. Apa yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati?. 2. Ceritakanlah hubungan antara keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya. 3. Berikanlah sebuah contoh keanekaragaman gen yang berasal dari lahan sawah. 4. Uraikan minimal tiga langkah yang dapat dilakukan untuk melestarikan satwa yang terancam punah di kawasan persawahan. 5. Identifikasi beberapa ekosistem yang terdapat dalam lanskap budaya subak. 6. Apa tujuan petani meniru ekosistem alam dengan membuat ekosistem berskala kecil di lahan sawah mereka, seperti ekosistem kolam, ubah uga dan pulau isobiogeografi. 7. Mengapa teknologi tepat guna “kungkungan” untuk mengendalikan hama burung dikembangkan berdasarkan azas manfaat dan azas lestari? 8. Jelaskan hubungan antara pertanian organik dan keseimbangan siklus biogeokimia dalam lahan sawah. 9. Berikan alasan, mengapa matahari disebut sebagai sumber energi utama dalam lahan persawahan. 10. Apa perbedaan antara manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari subak.



Keanekaragaman Hayati Dalam Subak



{ 119 }



IV Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak 4.1 Pen dah ulua n Bab empat membahas ekoliterasi lanskap budaya subak. Ekoliterasi adalah kemampuan untuk bertindak nyata berdasarkan atas kepedulian, sikap, keterampilan dan pemahaman tentang berbagai prinsip kehidupan berkelanjutan subak. Bagian pertama, mengulas buku yang berjudul Cycle of Rice, Cycle of Life. Buku itu memuat kisah dua kakak-beradik asal Bali dalam membantu kakek mereka mengolah lahan sawahnya di Bali. Bagian kedua mendiskusikan sains modern dan etnosains. Etnosains (sains milik etnis tertentu), yang dapat digunakan untuk membelajarkan sains sebagai proses. Potensi subak sebagai laboratorium alami dibahas dalam bagian ketiga. Subak menyediakan berbagai contoh dan praktek nyata dalam mempelajari sains dan sistem pengetahuan di luar sains. Bagian keempat, mengulas upaya Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar dalam mengembangkan ekopedagogi dengan memakai subak sebagai laboratorium alami. Ekopedagogi merupakan ekoliterasi tentang konsep penting dalam ekologi, nilai budaya lokal dan penggunaan teknologi secara kritis.



121



Sekelompok siswa SMP berdiskusi di alam terbuka.



Gambar di atas memperlihatkan beberapa siswa SMP tengah serius mendengarkan penjelasan dari satu orang temannya dalam diskusi kelompok di lahan persawahan. 1. Bagaimana cara mengelola agar diskusi kelompok dapat berlangsung dengan baik? 2. Berikan contoh topik pelajaran yang bisa diperoleh dalam diskusi kelompok yang berlangsung pada lanskap budaya.



4.2 T uju an Selesai membaca bab ini diharapkan pembaca mampu 1. Menjelaskan bahwa cara bertanam padi oleh subak di Bali bisa menjadi contoh dari praktek kehidupan yang berkelanjutan. 2. Menyebutkan berbagai faktor yang menyebabkan anak-anak dan generasi muda di Bali saat ini tidak lagi berminat bekerja dalam sektor pertanian. 3. Meramalkan dampak negatif yang timbul pada masa depan, jika generasi muda tidak peduli lagi pada kelestarian lanskap budaya subak. 4. Membedakan antara antara sains modern dan etnosains. 5. Memberi contoh etnosains yang terdapat di dalam subak. 6. Menyebutkan ciri-ciri pembelajaran berkelanjutan. { 122 }



Lanskap Budaya SUBAK



7. Mengungkapkan alasan bahwa subak tepat digunakan sebagai laboratorium dalam pembelajaran berkelanjutan. 8. Menguraikan kegiatan pembelajaran berkelompok yang dapat berlangsung dalam suasana menyenangkan.



4.3 Si klu s Padi , Si kl us Keh idu pan



Sampul buku siklus padi, siklus kehidupan (Sumber Amazon Join Prime, 2013).



Sekitar tiga tahun lalu, di Amerika Serikat telah terbit sebuah buku yang berjudul Cycle of Rice, Cycle of Life atau Siklus Padi, Siklus Kehidupan. Buku tipis dengan bahasa sederhana dan disertai dengan berbagai foto indah disusun oleh Jan Reynolds (2009), seorang juru potret kawakan yang telah memperoleh berbagai penghargaan. Buku itu menggunakan ilustrasi kehidupan dua anak asal Bali, yaitu Putu (laki-laki) dan adiknya Kadek (perempuan). Mereka adalah anak petani yang terlibat dalam berbagai kegiatan di subak seperti menghaturkan banten untuk Dewi Sri (manifestasi Tuhan dalam fungsi Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 123 }



beliau sebagai pelindung tanaman padi), menggembalakan itik dan membantu kakek mereka memanen padi. Fokus buku adalah nilai penting kehidupan hidup berkelanjutan yang diimplementasikan dalam siklus bertani di Bali. Jan Reynold menguraikan bahwa bertani padi merupakan pola hidup Orang Bali. Menurut dia, Orang Bali hidup mengikuti ritme alam, dengan menyesuaikan diri terhadap siklus dari air dan tanah. Terintegrasi dengan kehidupan bermasyarakat dan budaya, pertanian padi menghubungkan Orang Bali dengan tanah sebagaimana juga antar sesama mereka. Para petani di Bali menanam padi dalam bentuk sistem pembagian air yang rumit, yang diwariskan dari nenek moyang kepada generasi petani berikutnya selama lebih dari seribu tahun. Sistem demikian menjadikan Bali pada masa lalu sebagai salah satu penghasil padi utama di tanah air. Menurut penulis buku, cara bercocok tanam padi di Bali merupakan contoh pertanian berkelanjutan. Salah satu aspek pertanian yang menarik perhatiannya adalah ternak bebek yang berfungsi sebagai pestisida alami (karena itik memakan cacing, insekta dan berbagai hama), dan pupuk alami (kotorannya dapat meningkatkan kesuburan tanah). Adanya kawanan itik yang diternakkan di lahan persawahan adalah contoh sederhana dan menarik tentang pertanian organik, yang tidak merusak lingkungan. Berbagai contoh lain (telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya), menunjukan subak menyediakan kasus yang sangat tepat untuk mempelajari bukan saja siklus padi, tetapi juga siklus kehidupan. Terbukti lebih dari satu milenium (1000 tahun), subak di Bali mampu menghasilkan beras (sebagai sumber makanan utama) bagi ratusan generasi petani (mulai dari para leluhur petani yang hidup lebih dari 1000 tahun lalu sampai petani yang hidup sekarang) tanpa menimbulkan kerusakan tanah dan lingkungan. Jika praktek bertani seperti itu tetap dilakukan, maka lahan sawah dipastikan akan tetap bisa mendukung kehidupan manusia pada masa depan. Demikian makna siklus bertani sebagai siklus kehidupan. Pada masa lalu, hampir semua anak-anak di Bali memperoleh pengalaman langsung praktek bertani di subak. Akan tetapi, sejak empat dekade terakhir makin banyak generasi muda Bali kehilangan pemahaman, keterampilan, dan kepedulian terhadap subak seiiring dengan berkurangnya keterlibatan orang tua mereka dalam organisasi tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh alih fungsi lahan sawah { 124 }



Lanskap Budaya SUBAK



menjadi kawasan lain seperti untuk perumahan, pertokoan dan hotel. Pendapatan petani yang rendah (jika dibandingkan dengan pekerjaan lain) mengakibatkan generasi muda tidak tertarik bekerja dalam bidang pertanian. Kesan sebagai pekerjaan yang kotor, berat dan tidak memberikan harapan untuk kehidupan yang layak, nampaknya makin menjauhkan anak-anak Bali dari sektor pertanian lahan sawah. Hasil penelitian Wiguna dan Surata (2008) menunjukkan hampir tidak ada anak-anak Bali yang bercita-cita menjadi petani. Demikian pula dengan para orang tua, sebagian besar dari mereka berharap agar anak cucunya bekerja bukan sebagai petani. Kini petani bukan lagi sebagai pekerjaan utama, tetapi cenderung dianggap sebagai pekerjaan sambilan. Sehari-hari yang bekerja di lahan sawah hanya para orang tua, yang tidak mampu lagi bekerja secara maksimum, sementara anak dan cucu mereka memilih bidang pekerjaan lain.



Seorang kakek tua bekerja sendirian di sawah.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 125 }



Kesan bekerja sebagai petani identik dengan penghasilan yang rendah, suasana kerja yang kotor, dan kurang terdidik, mengakibatkan sebagian besar generasi muda Bali kurang berminat bekerja dalam sektor pertanian, terutama pada lahan subak. Padahal subak bukan sekedar budidaya, tetapi juga menjadi salah satu inti dari “budaya” Bali. Budidaya pertanian merupakan proses, cara atau teknik untuk menghasilkan bahan pangan dari berbagai spesies tanaman. Pengertian budaya jauh lebih luas dibanding budidaya. Budaya atau kebudayaan dalam subak mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat serta kebiasaan sekelompok masyarakat Bali. Selain itu, sebagai kebudayaan subak merupakan hasil karya, rasa dan cipta nenek moyang kita. Hasil karya itu terabadikan dalam bentuk berbagai teknologi bertani yang bersahabat dengan alam. Hasil karya para leluhur petani Bali juga diwariskan dalam bentuk kebendaan, seperti lanskap sawah bertingkat-tingkat dan bangunan irigasi. Rasa adalah kebijaksanaan manusia yang sangat tinggi sehingga dapat mewujudkan berbagai nilai kehidupan bermasyarakat. Cipta terwujud berkat kemampuan manusia menggunakan akal dan pikirannya. Melalui cipta, rasa dan karya, nenek moyang petani Bali telah mengembangkan subak menjadi organisasi tradisional yang memiliki nilai-nilai luar biasa, melewati batas etnis, bangsa, agama dan kepercayaan. Berbagai nilai kemanusiaan yang luhur itu diimplementasikan dalam bentuk Tri Hita Karana. Tujuannya bukan hanya dalam mengelola siklus tanaman padi. Namun yang jauh lebih penting, implementasi Tri Hita Karana bertujuan mengatur siklus kehidupan, agar manusia dapat hidup di bumi ini secara berkelanjutan. Jika generasi muda tidak dilibatkan dalam mengatasi berbagai permasalahan (terutama peningkatan keterampilan untuk menggunakan pengetahuan mereka dalam mengembangkan sistem subak), maka dapat dipastikan warisan lanskap budaya subak menjadi tidak berkelanjutan pada masa yang akan datang. Hal itu dapat berdampak negatif pada identitas budaya Bali. Identitas budaya merupakan karakter yang melekat pada sebuah kebudayaan, yang membedakan dengan kebudayaan yang lain. Subak memberikan identitas pada keunikan kebudayaan Bali sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan antara Tuhan, manusia dan alam sekitarnya. Bertani sesuai dengan konsep subak bukan sekedar menanam padi, tetapi yang lebih penting adalah



{ 126 }



Lanskap Budaya SUBAK



menata kehidupan bermasyarakat dengan meniru prinsip keberlanjutan dalam ekosistem alam. Pada bab terdahulu telah diungkapkan berbagai prinsip berkelanjutan yang diimplementasikan dalam subak, seperti mengembalikan unsur hara tanah, memelihara air irigasi, dan mengutamakan matahari sebagai sumber energi yang ramah lingkungan. Budaya subak memberikan identitas pada budaya Bali. Contohnya arsitektur rumah tradisional Bali yang mencerminkan pengaruh kuat dari budaya agraris atau budaya bertani. Lihatlah model penataan pekarangan dan rumah tradisional di Museum Subak Tabanan. Hampir seluruh material bangunan memakai bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Rumah tradisional Bali dengan atap dari alang-alang dan tembok dari tanah nampak menyatu dengan alam sekitar. Sayang rumah seperti itu sangat jarang bisa dijumpai pada saat ini. Bali hampir kehilangan identitas rumah tradisional, yang menyatu dengan alam dan dibuat dari bahan ramah lingkungan.



Rumah tradisional Bali menyatu dengan alam dan lingkungan sekitarnya.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 127 }



Budaya subak sangat penting dilestarikan agar kita tidak kehilangan identitas budaya. Jika identitas budaya sampai hilang, maka kita akan kehilangan aset berharga bagi generasi masa depan untuk menggunakannya sebagai inspirasi dan kekuatan dalam mengarahkan mereka menuju pola hidup yang berkelanjutan. Berbagai cara harus segera dilakukan untuk meningkatkan kepedulian, sikap, keterampilan dan pengetahuan mereka tentang subak. Buku Cycle of Rice, Cycle of Life telah mampu menambah khazanah pengetahuan anak-anak Amerika Serikat tentang sebuah kebudayaan adiluhung bertani yang berbasis pada masyarakat. Sebuah kebudayaan yang sangat berbeda dengan kehidupan mereka, yang sehari-hari berada dalam lingkungan yang dikelilingi oleh mesin industri dan produk digital. Berbagai penghargaan yang telah diterima oleh Jan Reynolds dalam menulis buku itu, menunjukkan ketertarikan, penghargaan dan kepedulian masyarakat internasional terhadap budaya subak. Anak-anak kita seharusnya didorong jauh melebihi kepedulian mereka. Kerinduan bagi kita, jika suatu saat makin banyak anak-anak Indonesia yang mau terlibat langsung dalam bercocok tanam padi, sebagaimana dilakukan seorang gadis kecil seperti dalam gambar di bawah ini. .



Gadis kecil ini belajar membangun masa depannya.



{ 128 }



Lanskap Budaya SUBAK



Ngelawang merupakan tradisi yang dilestarikan oleh anak-anak. Mereka sebaiknya dilibatkan pula dalam melestarikan tradisi bertani model subak, sebagai sumber dari berbagai seni dan budaya Bali.



Gambar di atas memperlihatkan sekelompok anak-anak Bali sedang ngelawang. Ngelawang merupakan kegiatan sosial keagamaan dengan mengusung barong dan menarikannya keliling desa. Ngelawang dilakukan pada Hari Raya Galungan atau beberapa hari setelah hari raya tersebut. Tradisi ngelawang merupakan salah satu kebudayaan agraris yang diwariskan oleh nenek moyang Orang Bali. Sekelompok anak yang terlibat dalam ngelawang menunjukkan mereka telah merangkul masa lalu. Diharapkan lebih banyak lagi anak muda yang bersedia merangkul tradisi masa lalu. Tentu bukan hanya dalam tradisi ngelawang, melainkan pada tradisi subak yang merupakan sumber dari berbagai seni dan budaya Bali.



4.4 Sai ns Mod ern d an Etn osai ns Ilmu atau sains adalah cara untuk mempelajari aspek-aspek tertentu dari alam semesta yang dapat dipahami dengan menggunakan indera manusia (penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan dan penciuman). Pada masa lalu, hanya rumpun ilmu alam (seperti kimia, fisika dan biologi) yang diakui sebagai sains. Sekarang, rumpun ilmu Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 129 }



sosial (ilmu yang terkait dengan perilaku manusia sebagai komunitas atau masyarakat), seperti ekonomi, hukum dan politik, juga termasuk ke dalam sains. Baik ilmu alam maupun ilmu sosial menggunakan langkahlangkah sistematis dalam memperoleh kesimpulan yang dapat dipahami oleh indera manusia. Cara sistematis itu disebut metode keilmuan, yang terdiri atas merumuskan permasalahan, mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data untuk menguji hipotesis, dan menyusun kesimpulan untuk menerima atau menolak hipotesis. Metode keilmuan diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu pertanian. Misalnya dalam memberikan takaran pupuk yang tepat untuk tanaman padi. Sebelum pupuk ditaburkan, terlebih dahulu kandungan pupuk dalam tanah sawah diperiksa. Hal itu dapat dilakukan dengan cara sederhana, yakni membandingkan warna daun padi dengan warna standar yang dibuat berdasarkan hasil penelitian para peneliti. Dengan cara demikian, petani segera bisa mengetahui jumlah pupuk yang diperlukan untuk tanaman padi mereka. Lalu penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan.



Menguji unsur hara tanah merupakan proses dan sekaligus produk sains (Foto Stephen Lansing).



Sains sangat penting dipelajari oleh anak-anak sekolah, karena masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh keberhasilannya dalam



{ 130 }



Lanskap Budaya SUBAK



mengembangkan sains dan teknologi. Beberapa negara seperti Jepang, Korea, dan Taiwan berhasil menjadi negara maju berkat penguasaan sains dan teknologi, meskipun mereka miskin sumberdaya alam. Sebaliknya berbagai negara meskipun memiliki sumberdaya alam melimpah (seperti Indonesia dan Brasilia), tetapi belum berhasil mengejar ketertinggalan mereka dalam bidang sains dan teknologi. Negara maju sukses menguasai sains dan teknologi karena pembelajaran sains dilakukan secara tepat. Mereka mendidik generasi mudanya dengan sains sebagai proses bukan hanya produk. Melalui sains sebagai proses, anak-anak diajarkan dengan metode “menemukan sendiri” melalui percobaan, diskusi dan pemaparan hasil temuan. Dengan begitu, mereka terdidik menjadi generasi yang kritis dan kreatif. Berbeda dengan pembelajaran sains di tanah air. Sains lebih banyak dipandang sebagai produk atau barang jadi yang harus dihafalkan oleh siswa. Parahnya lagi, prestasi siswa dalam menguasai sains diukur hanya dari kemampuan siswa menjawab soal, yang didominansi materi hafalan. Tidak heran, jika pengajaran sains di Indonesia seringkali disebut pengajaran sastra sains. Sastra sains berarti pengajaran sains hanya diekspresikan dalam bentuk bahasa tulis atau lisan untuk menuturkan pengalaman, pemikiran atau hasil sains tanpa disertai dengan membelajarkan sains sebagai proses. Padahal pembelajaran sains seharusnya lebih mengarah pada implementasi metode keilmuan untuk membentuk kepribadian yang kritis dan kreatif, misalnya melalui pengamatan langsung, penemuan sendiri, dan berdiskusi. Model sains yang telah dipaparkan di atas kerapkali disebut sebagai sains modern, yang berasal dari negara-negara barat (sebutan untuk negara-negara di Benua Amerika Utara dan Eropa). Beberapa negara timur (sebutan negara-negara di Benua Asia) mengalami ketertinggalan dalam penguasaan sains modern. Ini kemungkinan disebabkan oleh pola berpikir orang barat yang berbeda dengan orang timur. Perbedaan pola berpikir menyebabkan kualitas penguasaan sains pada berbagai negara rendah. Kenyataan demikian menghadapkan kita pada keperluan mengembangkan model pendidikan sains alternatif. Model yang dimaksud adalah sains yang berakar pada kebudayaan dan masyarakat setempat. Model sains itu dikenal sebagai etnosains.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 131 }



Membelajarkan siswa untuk “menemukan sendiri” dapat membentuk karakter mereka.



Istilah etnosains berasal dari kata “ethnos” yang berarti bangsa dan “scientia” yang berarti pengetahuan. Etnosains merupakan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dalam mengklasifikasikan objek, kegiatan dan kejadian di alam semesta. Menurut UNESCO (2005) etnosains adalah ekspresi dinamis masyarakat lokal yang mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang dunia, dan memungkinkan mereka memberikan kontribusi pada sains dan teknologi. Etnosains suatu kelompok masyarakat bersifat unik yang menjadi ciri masyarakat tertentu, dan sekaligus membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya. Misalnya etnosains tentang bercocok tanam padi Suku Bali berbeda dengan Suku Dayak. Para petani di Bali menanam padi (baik pada lahan kering maupun lahan basah) secara menetap pada sebuah kawasan atau lahan pertanian tertentu. Sebaliknya petani Suku Dayak, hanya bertani pada lahan tertentu untuk beberapa musim tanam padi saja, kemudian mereka berpindah pada lahan yang lain. Oleh karena cara bertani di lahan kering yang berpindah-pindah, maka disebut sistem ladang bergilir.



{ 132 }



Lanskap Budaya SUBAK



Sebagian besar tanah di Bali merupakan tanah vulkanik yang kaya dengan unsur hara sehingga memungkinkan penduduknya bertani secara menetap pada sebuah kawasan. Pada pihak lain, petani suku dayak di Kalimantan dihadapkan pada permasalahan lahan pertanian yang miskin akan unsur hara. Mereka hanya dapat menghasilkan padi dalam beberapa kali musim tanam saja pada sebuah kawasan tertentu. Ketika hasil padi mulai menurun, petani suku dayak akan berpindah menanam padi pada lahan yang baru. Lahan bekas ladang dibiarkan ditumbuhi berbagai tanaman liar. Pada waktu kesuburan lahan tersebut sudah pulih, mereka kembali menggunakannya untuk bercocok tanam padi. Karena pola bertani mereka yang menggilir lahan dari satu lahan ke lahan yang lain, maka pola itu disebut sistem ladang bergilir. Sistem ladang bergilir dimungkinkan di Kalimantan, karena lahan yang luas dan jumlah penduduk relatif sedikit. Berbeda dengan di Bali, para petani dihadapkan dengan lahan sempit dan jumlah penduduk yang padat. Pertanian secara ekstensif (upaya meningkatkan hasil pertanian dengan membuka lahan baru) sulit dilakukan di Bali. Cara yang bisa dilakukan mengatasi permasalahan demikian adalah dengan mengembangkan pertanian itensif (upaya meningkatkan hasil pertanian pada lahan yang sudah ada). Kendatipun sistem ladang bergilir dan subak merupakan etnosains yang berbeda, tetapi kedua etnosains tetap memiliki ciri persamaan sebagaimana sains modern. Ciri tersebut antara lain, terdapat permasalahan dan solusi atau cara pemecahan terhadap permasalahan. Baik permasalahan maupun solusi dalam etnosains bisa dipahami dengan memakai indera manusia. Karena itu, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa etnosains adalah sains. Kedua sistem pengetahuan (sains modern dan etnosains) memiliki ciri dapat dipahami oleh indera manusia. Para leluhur nenek moyang petani di Bali mengimplementasikan Tri Hita Karana dalam subak sebagai cara yang efektif dalam mengintensifkan pertanian lahan sawah di Bali. Pengakuan internasional terhadap nilai-nilai luar biasa yang terdapat dalam subak, menunjukkan sistem subak merupakan puncak dari etnosains. Sistem subak bukan hanya berhasil menggabungkan antara berbagai rumpun sains alam dan sains sosial, melainkan juga mengintegrasikan sistem pengetahuan di luar sains, seperti agama, mitologi dan filsafat. Sains alam adalah sains yang mempelajari fenomena dan berbagai masalah alam. Yang termasuk Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 133 }



sains alam adalah kimia, fisika, biologi, geologi dan astronomi. Sains sosial merupakan sains yang mempelajari fenomena dan berbagai masalah sosial (interaksi antara manusia dan manusia yang lain sebagai masyarakat). Yang termasuk sains sosial adalah ekonomi, sosiologi, dan geografi. Agama adalah sistem pengetahuan yang kebenarannya dipahami berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Mitologi merupakan sistem pengetahuan yang kebenarannya diyakini berdasarkan sistem kepercayaan, takhayul atau mitos. Filsafat juga bagian dari sistem pengetahuan manusia yang kebenarannya dipahami dengan menggunakan rasio atau akal. Sebagai puncak dari etnosains, sistem pengetahuan (sains maupun bukan sains) digabung menjadi satu kesatuan yang utuh dalam subak. Misalnya dalam pengelolaan air irigasi. Untuk membagi air secara adil kepada setiap anggota petani diterapkan konsep fisika. Coba amati tembuku (bangunan bagi air) yang berbentuk menyerupai tombak dengan bagian hilir lebih lebar dibanding bagian di sebelah hulu. Dengan bentuk tembuku seperti tombak memungkinkan air mengalir dalam kecepatan yang sama dari satu saluran air menuju dua atau lebih saluran air berikutnya. Hal ini bisa dibuktikan secara sederhana. Ambil dua lembar helai daun padi yang berukuran relatif sama, taruh beberapa meter di sebelah hulu tembuku, kemudian amati kecepatan kedua daun tersebut hanyut melalui tembuku menuju saluran irigasi di sebelah hilirnya. Kecepatan daun hanyut dalam waktu yang relatif sama menunjukkan kesamaan aliran air menuju saluran air di sebelah hilir. Walaupun kecepatan air sama, tetapi volume air yang masuk ke saluran irigasi di sebelah hilir dapat berbeda, karena tergantung pada lebar tembuku.



{ 134 }



Lanskap Budaya SUBAK



Tembuku (saluran bagi air) yang berbentuk seperti tombak bertujuan untuk menyamakan laju air menuju saluran irigasi di sebelah hilir.



Pada beberapa saluran irigasi, bagian lebar di depan tembuku berukuran relatif besar. Bagian ini disebut sambuk kundan atau sekundan. Sambuk kundan bermanfaat dalam mengendapkan lumpur, tanah, dan kotoran sehingga tidak terbawa oleh air ke areal persawahan. Aliran air yang dibuat melambat di sekitar sekundan, membuat lumpur dan kotoran lain mengendap di bagian dasar saluran air. Ini adalah konsep fisika. Lumpur dan kotoran tersebut biasanya dibersihkan oleh anggota subak secara bergotong royong. Tata cara bergotong royong dengan aturan, etika dan nilai-nilainya termasuk rumpun sains sosial. Petani biasanya melakukan gotong-royong membersihkan saluran air sebelum upacara mapag toyo. Kegiatan ritual mapag toya yang telah diuraikan di depan, termasuk dalam bidang agama. Para petani membuang lumpur dan kotoran menuju pangkung, yakni sungai kecil untuk menyalurkan air menuju sungai. Daerah di kanan-kiri pangkung dibiarkan liar untuk ditumbuhi tanaman dan tempat hidup berbagai spesies binatang. Pada bab sebelumnya telah diuraikan, daerah seperti itu disebut ubah uga yang memiliki fungsi untuk konservasi keanekaragaman hayati. Dengan begitu ubah uga merupakan implementasi dari berbagai konsep biologi.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 135 }



Masyarakat sekitar menganggap pangkung sebagai kawasan yang angker sebagai tempat hidup berbagai mahluk halus seperti tonya, memedi dan gamang. Mereka tidak berani menebang pohon, berburu binatang atau melakukan kegiatan lain yang dianggap dapat mengganggu kehidupan mahluk halus tersebut. Ini bagian dari mitologi atau kepercayaan terhadap mitos. Bidang keagamaan dalam pengelolaan pangkung, terwakili dengan adanya pelinggih (bangunan suci) pada tempat tertentu sebagai sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai pelindung kawasan sekitar pangkung. Uraian di atas memaparkan bahwa dalam pengelolaan saluran irigasi saja, subak sudah mengintegrasikan sains dan nonsains menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Nenek moyang kita mengembangkan etnosains senantiasa berpedoman pada azas manfaat dan azas lestari. Ilmu dan teknologi produk etnosains, selain bermanfaat bagi kesejahteraan manusia juga bermanfaat bagi keseimbangan ekosistem. Karena itu, etnosains sering disebut sebagai sains yang bersahabat dengan lingkungan. Hal ini kontras dengan berbagai produk sains modern yang seringkali menimbulkan masalah lingkungan.



Para petani gotong royong membuang lumpur dan kotoran dari saluran irigasi (Foto Ratna Partami). { 136 }



Lanskap Budaya SUBAK



Mari kita lihat perbandingan potensi dampak negatif terhadap lingkungan, antara pengolahan tanah dengan traktor dan tenggala. Traktor merupakan teknologi yang diproduksi berkat kemajuan sains modern. Tenggala adalah teknologi tepat guna dalam membajak sawah dengan bantuan ternak sapi atau kerbau. Tenggala membantu petani dalam mempercepat olah tanah. Sedangkan kotoran sapi dapat memperkaya unsur hara tanah. Di samping itu, sapi memiliki nilai ekonomi karena dapat meningkatkan pendapatan petani. Olah tanah dengan menggunakan tenggala membalikkan tanah menjadi bongkahbongkahan tanah yang berukuran besar. Pada sela-sela bongkahan tanah akan terbentuk lubang besar dan kecil yang memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah. Oksigen tersebut sangat diperlukan oleh berbagai mikroorganisme tanah, terutama dalam menguraikan sisa tanaman padi (dan bangkai organisme lainnya) menjadi unsur hara yang dapat diserap kembali oleh akar tanaman. Tidak ada pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh teknologi produk etnosains. Berbeda jika sawah diolah menggunakan traktor. Traktor merupakan teknologi produk sains modern. Traktor dapat mengolah lahan sawah lebih cepat dibanding memakai sapi. Tetapi teknologi traktor menimbulkan resiko terhadap lingkungan udara, air dan tanah. Asap yang ditimbulkan dari pembakaran premium, solar atau minyak tanah mengakibatkan polusi udara. Bahan bakar yang menetes ke dalam air dan tanah bisa mengakibatkan kematian flora dan fauna, yang terdapat di dalam air maupun tanah. Tanah yang diolah dengan traktor menjadi hancur. Akibatnya, selain tanah cepat padat, oksigen juga sulit menyelinap ke dalam tanah. Padahal keberadaan oksigen di dalam tanah diperlukan untuk kehidupan mikroorganisme tanah dan juga membantu akar dalam menyerap unsur hara tanah. Sayangnya, kebanyakan petani sekarang lebih memilih traktor yang mampu mengolah lahan dengan cepat tetapi merusak lingkungan, dibanding tenggala yang lebih lambat namun bersahabat dengan lingkungan. Tentu saja teknologi tenggala hanya bisa diterapkan jika petani memelihara sapi atau kerbau. Uraian sebelumnya, melalui sistem bertanam tumpang-sari seperti yang dilakukan petani di Wangaya Betan dapat memberikan banyak keuntungan bagi petani, di samping lingkungan sekitar akan tetap lestari. Pemakaian pupuk dan pestisida kimia dalam bidang pertanian adalah contoh lain dari hasil teknologi sains modern yang tidak



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 137 }



memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Selain tenggala, berbagai teknologi etnosains pertanian senantiasa memperhatikan keseimbangan lingkungan, seperti teknologi kungkungan, kerta massa dan pembuatan pupuk dan pestisida organik



Traktor yang menimbulkan masalah lingkungan (kiri), dan tenggala yang ramah lingkungan (kanan).



4.5 La nskap Bu da ya s eba ga i Labo rat oriu m A la m Pengertian laboratorium adalah tempat atau ruangan yang dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan praktek pembelajaran, percobaan ilmiah, dan produksi barang tertentu. Laboratorium bahasa biasanya memiliki alat pengajaran bahasa seperti alat perekam suara dan perekam gambar. Laboratorium biologi dilengkapi dengan fasilitas penelitian untuk mahluk hidup, misalnya pisau bedah dan mikroskop. Alat dan bahan yang terkait teknik kultur jaringan (mengembangbiakkan tanaman dengan menggunakan sel tanaman tersebut) tersedia dalam laboratorium pertanian. Tidak ada keraguan lagi bahwa lanskap budaya dengan subaknya merupakan laboratorium alami, yang ditata, dipelihara dan dikembangkan sejak ribuan tahun lalu oleh ratusan generasi petani. Uraian sebelumnya { 138 }



Lanskap Budaya SUBAK



menunjukkan bahwa subak menyediakan model, alat, bahan dan contoh sistem pengetahuan untuk berbagai bidang sains maupun non sains. Subak dapat menjadi model yang tepat dan teruji bagi pembelajaran terpadu. Pembelajaran berbasis subak mampu menghilangkan pembatas antara sains dan nonsains, antara belajar di dalam kelas dan kehidupan nyata dalam masyarakat, pekerjaan, profesi, dan terutama pembatas antara generasi dan warisan kebudayaan leluhurnya. Pada berbagai kawasan wisata budaya dapat dijumpai beberapa anak muda Bali berupaya membelajarkan diri mereka bukan hanya dalam bahasa asing, tetapi juga untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan mereka.



Kadek Mira menjual kartu pos pada wisatawan yang singgah dan menikmati keindahan lanskap subak di Kawasan Ceking Tegalalang Gianyar (Foto Kevin Thompson).



Sayangnya, sejauh ini kekayaan nilai-nilai sejarah dan informasi sains subak tidak tercakup dalam sistem pendidikan formal di Indonesia, terutama di Bali. Padahal sebagai etnosains, subak mampu memberikan kontribusi bagi sains dan teknologi modern. Pada bab pertama, telah dibahas teori tentang jejaring kerja pura subak yang dikembangkan oleh Stephen Lansing. Berbagai ahli mengakui teori tersebut merupakan



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 139 }



sumbangan penting dari etnosains subak terhadap sains modern. Teori jejaring kerja pura subak membuka pemahaman masyarakat internasional, bahwa upacara keagamaan yang dilaksanakan pada berbagai pura subak bukan hanya berfungsi untuk ritual, melainkan memiliki nilai-nilai praktis dalam mengkoordinasikan air irigasi dan waktu bertanam padi secara demokratis. Pada saat ini Subak di Bali menghadapi berbagai permasalahan. Jika generasi muda tidak dilibatkan dalam mengatasi permasalahan, besar kemungkinan warisan lanskap budaya subak akan lenyap dalam waktu yang singkat. Tentu saja hal itu berarti kita akan kehilangan identitas budaya. Kehilangan identitas berarti kehilangan aset berharga bagi generasi masa depan untuk menggunakannya sebagai inspirasi dan motivasi dalam menghadapi masalah ekonomi, sosial, ekologi, dan budaya.



Semangat anak-anak dalam melestarikan seni-budaya patut disyukuri, tetapi pemakaian bahan yang jorok lingkungan harus mereka sadari.



{ 140 }



Lanskap Budaya SUBAK



Tanda-tanda generasi muda kehilangan identitas budaya bertani mulai nampak. Contoh yang paling populer dalam pembuatan ogoh-ogoh, yaitu patung yang dibuat menyerupai berbagai mahluk berwajah seram untuk kemudian diusung beramai-ramai mulai sore hari sebelum Hari Raya Nyepi. Sejak beberapa bulan sebelum perayaan Nyepi, di seluruh wilayah Pulau Bali dengan mudah kita bisa menemukan anak-anak dan para pemuda mulai sibuk membuat ogoh-ogoh. Berhari-hari pikiran, waktu dan tenaga dicurahkan untuk menghasilkan ogoh-ogoh dengan nilai seni yang tinggi. Sebagian besar dari mereka tidak menerima upah. Bahkan sebaliknya tidak sedikit dari mereka justru ikut mengeluarkan uang dalam pembuatan ogoh-ogoh. Anak-anak dan para pemuda saling bekerjasama, saling-belajar antara satu dengan yang lain membentuk model pembelajaran sosial. Ini merupakan contoh model pembelajaran ideal karena berlangsung dalam suasana menyenangkan dan demokratis, mendorong pemikiran kritis, kreatif, dan dapat menghasilkan kompetensi. Seorang pemuda bisa menjadi guru bagi temannya, tetapi pada kesempatan lain dia bisa pula belajar dari temannya. Pembuatan ogoh-ogoh memerlukan pemikiran yang kritis, baik dalam merencanakan proporsi tubuh agar memiliki ukuran kepala, badan serta anggota tubuh yang sesuai, maupun dalam kontruksi ogoh-ogoh agar karya seni itu tidak rusak ketika diusung beramai-ramai. Para pembuat ogoh-ogoh dituntut pula untuk mengembangkan kreativitas mereka agar bisa menghasilkan karya dengan nilai seni tinggi. Generasi muda yang terlibat dalam pembuatan ogoh-ogoh juga bisa mengembangkan kompetensi yakni pengetahuan, ketrampilan, sikap dan kepeduliaan. Sekali lagi pembuatan ogoh-ogoh merupakan model pembelajaran sosial yang efektif, karena mampu mendorong seseorang untuk belajar secara mendalam, berpikir kritis dan kreatif, serta berlangsung dalam suasana menyenangkan. Lalu mengapa dalam pembuatan ogoh-ogoh dan berbagai karya seni lain, terutama hasil karya anak muda dikatakan mulai kehilangan identitas budaya bertani? Kehilangan yang dimaksudkan bukan terletak pada proses maupun hasil karya seni, melainkan pada bahan yang digunakan. Kebudayaan agraris merupakan kebudayaan yang bersahabat dengan alam. Tanpa kecuali dalam menghasilkan seni budaya. Kedekatan dengan alam ditunjukkan dengan menggunakan bahan yang gampang diperoleh dari lingkungan sekitar, dan yang paling penting bahan tersebut mudah didaur-ulang oleh alam. Identitas budaya agraris yang Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 141 }



mengutamakan bahan “lokal” dan “bersahabat” dengan alam inilah yang mulai menghilang dari seni-budaya di Bali. Meskipun belum sebanyak saat ini, dahulu ogoh-ogoh juga dibuat dalam beberapa kegiatan keagamaan upacara pengabenan (upacara kreasi jenasah). Material yang digunakan adalah kayu, bambu, jerami dengan sedikit kain sebagai pakaiannya. Sebagian besar bahan tidak sulit didapat dari lingkungan sekitar, di samping juga mudah dihancurkan oleh berbagai mikroorganisme tanah ketika tidak digunakan lagi. Berbeda dengan ogohogoh saat ini, yang sebagian besar dibuat dari styrofoam, busa, plastik,



Styrofoam dan sampah jorok lingkungan lain bisa terapung-apung selama bertahun-tahun pada saluran irigasi subak.



kain dan besi. Bahan tersebut selain termasuk material “asing” juga “jorok” terhadap lingkungan. Misalnya styrofoam sebagai bahan paling disukai dalam pembuatan ogoh-ogoh karena bersifat ringan dan mudah dibentuk sesuai keinginan. Styrofoam merupakan produksi pabrik sehingga tidak mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Yang lebih memprihatinkan, mikroorganisme tanah memerlukan waktu ratusan tahun untuk menghancurkan styrofoam. Kalau sampai masuk ke perairan



{ 142 }



Lanskap Budaya SUBAK



terutama ke laut, benda tersebut akan terapung-apung selama lebih dari seribu tahun sebelum terurai menjadi unsur yang lebih kecil. Demikian pula cat, kain dan plastik merupakan contoh dari bahan “asing” dan “jorok” lingkungan yang kian hari makin mendominasi seni-budaya karya anak-anak muda. Coba amati penjor (sarana upacara Agama Hindu yang terbuat dari bambu dan dilengkapi dengan sanggah atau pelinggih di bagian bawahnya), atau pepenjoran atau penjor hiasan (tidak ada sanggah pada bagian bawahnya). Pada masa lalu, penjor dan pepenjoran dihias dengan bahan yang mudah didaur ulang. Bahan yang digunakan terutama berbagai jenis daun-daunan seperti daun muda enau (Arenga pinnata), cemara, paku-pakuan, kelapa dan andong. Penjor dilengkapi dengan palawija (biji-bijian), pala bungkah (buah-buahan) dan pala gantung (buah-buahan). Sayangnya beberapa bahan penjor yang bersahabat dengan lingkungan diganti dengan kain, plastik dan styrofoam. Jika pergeseran dari kebudayaan yang berbasis pada penggunaan bahan lokal dan bersahabat dengan lingkungan dibiarkan menuju kebudayaan berbahan asing dan jorok lingkungan, maka identitas budaya Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana juga akan hilang. Pemakaian bahan jorok lingkungan mengakibatkan keseimbangan, keselarasan dan keharmonian hubungan antara Tuhan, manusia dan lingkungan sebagai konsep utama dalam Tri Hita Karana tidak tercapai. Tatkala Tri Hita Karana tidak lagi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka siklus kehidupan akan terancam. Hal itu menimbulkan konsekuensi pada keberlanjutan kehidupan di bumi ini. Manusia dan mahluk hidup yang lain tidak akan dapat melanjutkan kehidupannya,



Lomba penjor perlu mempersyaratkan pemakaian bahan yang bersahabat dengan lingkungan.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 143 }



jika tanah dan air dipenuhi oleh sampah styrofoam, busa, karet dan plastik. Masa depan kehidupan manusia, tergantung pada kemampuan generasi muda untuk menghormati alam lingkungan. Rasa hormat itu harus ditunjukkan dengan tindakan nyata melindungi alam lingkungan, termasuk dalam membuat sarana keagamaan maupun karya seni-budaya. Lanskap budaya dengan subaknya merupakan laboratorium raksasa, yang dapat mendorong generasi muda untuk memahami berbagai praktek nyata dalam menghormati tanah, menghormati air dan menghormati kehidupan. Buku Cycle of Rice, Cycle of Life dari Jan Reynold memaparkan bahwa subak dapat digunakan sebagai model pembelajaran berbasis lingkungan lokal. Berdasarkan model pembelajaran seperti ini, bisa dikembangkan berbagai konsep dan teori, baik dalam sains alam maupun sains sosial. Konsep merupakan persamaan atau ciri-ciri umum dari gejala atau fenomena di alam. Misalnya dalam biologi ada konsep mamalia, yakni penggolongan untuk semua jenis binatang yang memiliki kelenjar susu dan tubuh ditumbuhi rambut. Rangkaian konsep tentang gejala alam yang disusun secara teratur disebut teori. Teori Darwin dikenal luas sebagai teori tentang asalmula kehidupan. Salah satu model pembelajaran yang menggunakan lingkungan lokal sebagai media pengembangan konsep dan teori disebut ekopedagogi. Ekopedagogi merupakan pembelajaran berupaya meningkatkan kemampuan, keterampilan, sikap, dan kepedulian siswa dalam berbagai prinsip ekologi, kebudayaan dan penggunaan teknologi modern secara kritis. Universitas Mahasaraswati Denpasar (Unmas Denpasar) bekerjasama dengan berbagai institusi dari dalam maupun luar negeri, sejak lima tahun terakhir mengembangkan ekopedagogi dengan menggunakan lanskap budaya subak sebagai model. Uraian berikut memaparkan beberapa hasil dari kerjasama tersebut.



4.6 Map Pa ck: Pa ket Sa ins A rt MapPack berasal dari kata “map” yang berarti peta dan “pack” yang berarti kemasan. MapPack merupakan kegiatan pembelajaran yang terfokus pada lingkungan dengan menggunakan berbagai metode berpartisipasi dalam memetakan dan menginventarisasi lanskap budaya. Istilah MapPack mulai diperkenalkan di Bangli, Bali pada Juli 2011 { 144 }



Lanskap Budaya SUBAK



melalui kerjasama antara SMPN 1 Bangli, Unmas Denpasar, dan Universitas Florida (Amerika Serikat). Berbagai kegiatan pendahuluan telah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya. Kegiatan itu dipimpin oleh Kevin Thompson dari Universitas Florida, dan penulis sendiri dari Unmas Denpasar.



MapPack menyediakan kesempatan bagi siswa untuk secara aktif memetakan lanskap budaya.



MapPack dapat digunakan sebagai strategi untuk melibatkan siswa, mentransfer pengetahuan lokal, mendokumentasikan dan memberikan makna pada aspek-aspek penting dari lanskap subak. MapPack dapat mengidentifikasi konflik dengan lingkungan, melatih cara pandang terhadap lanskap melalui lensa lanskap, membangun kapasitas individu dan kolektif dalam proses pengambilan keputusan lokal. MapPack bermanfaat pula dalam melibatkan siswa dalam proses pembangunan, misalnya untuk mengetahui pendapat siswa terhadap alih fungsi lahan, pembangunan gedung bertingkat dan sarana rekreasi. Siswa melakukan berbagai kegiatan dengan memakai alat dan bahan yang tersedia dalam MapPack. Kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain membuat peta sketsa lanskap, peta dan cerita lanskap, video lanskap, bunyi lanskap dan suara lanskap. MapPack menyediakan kesempatan kepada siswa untuk sepenuhnya terlibat aktif dalam



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 145 }



memetakan lanskap budaya, dan mendokumentasikan ciri khas atau keunikan dari lanskap budaya tersebut. Pada tahap awal pengembangan MapPack, siswa SMPN I Bangli diajak mengunjungi Subak Mandi, yang terletak di sebelah barat daya Kota Bangli. Areal persawahan Subak Mandi relatif masih baik walaupun alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan pemukiman terus meningkat. Para siswa dan mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan MapPack dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing grup memiliki tugas yang berbeda-beda. Grup pertama bertugas membuat peta sketsa lanskap. Grup kedua bertugas merekam suara yang ada di sekitar subak. Grup ketiga terfokus pada pembuatan jurnal lanskap. Grup keempat melakukan wawancara dengan petani atau orang lain yang kebetulan mereka jumpai di subak. Grup kelima membuat film atau video lanskap. Kegiatan di luar kelas selanjutnya dilakukan di Subak Aya, yang terletak di bagian selatan Kota Bangli. Berbeda dengan Subak Mandi, sebagian besar areal sawah di Subak Aya sudah berubah fungsi menjadi jalan raya, kompleks perkantoran, pertokoan dan pemukiman. Pada kegiatan kedua, setiap grup memiliki tugas masing-masing sesuai dengan tugas yang telah mereka lakukan di Subak Mandi Peta sketsa lanskap subak dibuat menggunakan kertas dan pensil berwarna.



Peta sketsa lanskap Subak Mandi (kiri) dan Subak Aya (kanan) karya siswa SMPN 1 Bangli.



{ 146 }



Lanskap Budaya SUBAK



Pembuatan peta lanskap merupakan perpaduan antara sains dan seni. Perpaduan demikian disebut sains art. Peta sketsa mencakup konsep dasar peta, skala geografi, ciri khas lanskap dan konsistensi dalam menggunakan tanda dan warna, dan arah utara-selatan. Untuk dapat menghasilkan peta sketsa yang baik diperlukan ketekunan dalam melakukan pengamatan terhadap objek yang akan dipetakan. Hanya melalui pengamatan secara seksama dapat dihasilkan peta sketsa yang mencerminkan keadaan sesungguhnya. Setiap komponen dalam peta dibuat sesuai dengan proporsinya. Dengan begitu tidak sampai terjadi kelinci digambarkan lebih besar dibanding kerbau. Simbol juga harus digunakan secara konsisten dalam peta. Sebuah simbol tidak boleh digunakan untuk menggambarkan dua hal yang berbeda. Aspek keindahan perlu pula diperhatikan untuk menjamin peta sketsa yang dihasilkan selain mampu memberikan informasi secara tepat, juga indah dipandang mata. Kegiatan lain MapPack adalah mendengarkan dan merekam bunyi atau suara di sekitar subak. Berbagai bunyi yang ada dalam lingkungan subak dikenal sebagai bagian dari “suara alam.” Suara alam di subak bersifat khas sebagaimana juga pada kawasan yang lain. Kicauan berbagai burung pemakan biji-bijian di pagi hari, suara jangkrik pada malam, gemericik air yang mengalir dalam saluran irigasi, atau bunyi angin yang berembus kencang merupakan sebagian dari berbagai suara yang menjadi ciri khas lanskap subak.



Ketekunan dalam mendengarkan bunyi gemericik air bisa menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan seni-budaya. Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 147 }



Suara alam sangat penting dikenali oleh para siswa, bukan hanya untuk menumbuhkan rasa kepeduliaan dan kepekaan terhadap alam sekitar. Yang juga tidak kalah penting, suara alam dari lingkungan subak dan pedesaan berhubungan langsung dengan keberlanjutan kehidupan masa depan. Pada masa lalu, para seniman di Bali menggunakan suara alam untuk mengembangkan inspirasi dan imaginasi mereka dalam menghasilkan karya seni. Salah satu seni budaya Bali yang nampaknya banyak memperoleh inspirasi dari suara alam adalah seni tradisional gamelan atau kerawitan. Sampai saat ini puluhan gamelan Bali, seperti gong kebyar, semaran dana, angklung, semar peguliangan dan baleganjur telah berkembang ke manca negara. Masyarakat berbagai negara sangat menikmati konser gamelan Bali sehingga mendorong mereka untuk mempelajarinya. Pada Pesta Kesenian Bali yang dilangsungkan setiap tahun, kita bisa menyaksikan atraksi musik tradisional Bali yang dimainkan bukan saja oleh Orang Bali, tetapi masyarakat manca negara. Musik tradisional Bali hidup dan tumbuh berdampingan dengan berbagai musik global yang berkembang tanpa batas. Bali sangat beruntung memiliki warisan seni tradisional gamelan yang elegan dan berbobot. Gamelan tradisional Bali telah memberikan identitas Bali sebagai kawasan yang unik. Warisan seni-budaya gamelan tidak muncul begitu saja, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Warisan gamelan (dan berbagai senibudaya lain) tercipta dari rasa hormat terhadap alam dan lingkungan, yang diimplentasikan dalam bentuk Tri Hita Karana. Identitas budaya seperti itu bukan hanya memberikan kebanggaan, melainkan juga bermanfaat sebagai sumber pendapatan. Ribuan generasi muda di Bali maupun luar Bali hidup dan memperoleh penghasilan dari keterlibatan mereka dalam bidang seni budaya Bali. Mereka harus terus memiliki motivasi dan kerja keras menciptakan karya-karya baru. Mereka juga harus terus memotivasi dan kerja keras melestarikan alam dan lingkungan sebagai sumber inspirasi dalam berkarya. Keberlanjutan seni gamelan Bali tergantung pada kemampuan generasi muda untuk melestarikan alam dan lingkungan pulau ini. Kegiatan mendengarkan suara alam yang dilakukan secara berkelanjutan dapat menumbuhkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Generasi muda harus menyadari, bahwa kini suara alam dari lanskap subak mulai { 148 }



Lanskap Budaya SUBAK



menghilang dan digantikan dengan suara deru kendaraan bermotor, radio dan televisi. Perubahan suara alam terjadi seiring dengan makin banyak lahan sawah yang berubah fungsi menjadi jalan raya dan kompleks pemukiman penduduk. Jika generasi muda tidak peduli pada perubahan demikian, bukan mustahil pada masa yang akan datang mereka akan kehilangan sumber informasi dan inspirasi dalam mengembangkan kreativitas seni dan budaya.



Jurnal lanskap dapat mengintegrasikan beberapa mata pelajaran.



Jurnal lanskap merupakan kegiatan untuk merekam lanskap dalam bentuk gambar dan kemudian menuliskan narasi untuk menjelaskan maksud atau makna gambar tersebut. Dengan begitu jurnal lanskap juga merupakan sains art, karena memadukan antara kemampuan berpikir dan kreativitas seni. Hal tersebut ditunjukkan melalui kemampuan melakukan pengamatan terhadap objek tertentu dan kemudian “merekam” dalam bentuk gambar dan tulisan. Jurnal lanskap, sebagaimana berbagai jenis sains art yang lain, bisa diintegrasikan dengan berbagai bidang studi. Program MapPack untuk pertama kalinya diintegrasikan dengan bidang studi Bahasa Inggris. Dengan demikian, selain siswa mendalami berbagai Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 149 }



prinsip sains dan seni yang terdapat dalam subak, mereka juga bisa mengasah kemampuan menulis, dan berbicara dalam Bahasa Inggris. Tentu saja bidang studi yang lain, seperti biologi, fisika, kimia dan matematika berpeluang diintegrasikan dalam kegiatan terpadu berbasis MapPack. Sesuai dengan uraian sebelumnya, sebagai laboratorium alami lanskap subak menyediakan berbagai contoh bidang ilmu dan penerapannya dalam kehidupan nyata.



Wawancara, baik dengan alat perekam (kanan) maupun tanpa alat perekam (kiri ) menjawab rasa ingin tahu, sekaligus menimbulkan rasa senang pada siswa.



Narasi lanskap merupakan kegiatan untuk memperoleh keterangan, penjelasan atau komentar dari para petani atau orang lain yang ditemukan di sekitar kawasan persawahan. Kegiatan merekam narasi lanskap memberikan berbagai pembelajaran kepada siswa. Pertama, mereka dapat melatih kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Keterampilan berkomunikasi dengan orang yang berbeda usia diperlukan dalam kehidupan di dalam masyarakat. Keterampilan seperti itu hanya diperoleh secara terbatas di dalam kelas. Kedua, siswa memperoleh informasi langsung tentang berbagai masalah, keadaan dan praktek bertani dari para petani. Bagi siswa informasi yang diberikan langsung oleh petani memiliki makna berbeda dibanding penjelasan tentang praktek bertani yang diberikan oleh guru di dalam kelas. Ketiga, tantangan mencari informasi menumbuhkan rasa senang, dan rasa ingin tahu. Ini sesuai dengan teori pedagogi (ilmu tentang mengajar), yang { 150 }



Lanskap Budaya SUBAK



menyatakan pembelajaran terjadi jika berlangsung dalam suasana menyenangkan sehingga mampu mengembangkan rasa ingin tahu. Hasil wawancara yang direkam memungkinkan siswa mendengarkannya kembali setiap saat. Keinginan dari sendiri untuk mendengarkan kembali hasil wawancara (atau hasil pembelajaran lain), merupakan tanda dari keberhasilan proses pembelajaran.



Rasa ingin tahu terhadap hasil teknologi modern dapat digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran siswa aktif seperti melalui pembuatan video secara berpartisipasi (Foto Kevin Thompson).



MapPack juga memperkenalkan kegiatan pembuatan film atau video secara berpartisipasi. Kegiatan video secara berpartisipasi mendorong siswa untuk merekam berbagai aspek penting atau kejadian unik yang menurut mereka perlu didokumentasikan dalam bentuk gambar bergerak. Istilah berpartisipasi digunakan karena siswa terlibat langsung mulai dari



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 151 }



pembagian tugas, penyusunan skenario (alur cerita), pengambilan gambar dan suara, pengisian ulang suara, penyuntingan, sampai diperoleh hasil akhir dari video yang siap ditayangkan. Secara singkat, kegiatan video berpartisipasi meniru proses pembuatan film atau video yang sesungguhnya. Setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing. Seorang anggota menjadi sutradara, yang lain bertugas mengambil gambar, dan sisanya menjadi pemain peran (aktor atau artis) sesuai dengan alur cerita yang telah disepakati. Akan tetapi, berbeda dengan pembuatan video secara profesional yang menekankan pada hasil karya, kegiatan video berpartisipasi lebih menekankan pada proses dibanding dengan hasil. Hal itu tidak terlepas dari latar belakang video berpartisipasi sebagai media pembelajaran. Melalui video berpartisipasi siswa didorong untuk secara aktif memilih, menentukan dan mempublikasikan hal-hal unik atau istimewa dari lanskap subak yang menurut kelompok mereka penting untuk dikenali, didokumentasikan, dan disebarluaskan. Kegiatan belajar melalui video berpartisipasi juga dapat menumbuhkan rasa senang, rasa ingin tahu, dan rasa kebersamaan dalam kelompok. Suasana belajar yang menyenangkan, menumbuhkan rasa kebersaman, dan mengundang rasa ingin tahu siswa merupakan tanda bahwa proses pembelajaran telah berhasil.



4.7 Int e grasi Suba k ke d ala m K uri kulu m Sejak tahun 2009 Unmas Denpasar telah terlibat dalam pengembangan model pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran berkelanjutan merupakan istilah lain dari pendidikan karakter atau pendidikan sepanjang hidup. Ketiga model pembelajaran tersebut mengutamakan terbentuknya empat kemampuan dasar siswa, yaitu kepedulian (learning to live together), sikap (learning to be), keterampilan (learning to do) dan kecerdasan (learning to know). Ketahanan pangan merupakan tema yang dipilih dalam program awal Unmas Denpasar. Pendekatan yang digunakan dalam pelaksaan tema adalah ekoliterasi ketahanan pangan, yaitu penerapan berbagai konsep ekologi untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran diri, keterampilan sosial, pemikiran kritis dan kreatif dalam mengelola isu-isu yang terkait dengan ketersediaan, distribusi, dan keamanan pangan. Ketahanan pangan berkaitan erat dengan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup, { 152 }



Lanskap Budaya SUBAK



dan bermutu, mustahil dapat dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu. Tidak ada satu negara yang dapat mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketahanan pangannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika isu ketahanan pangan telah menjadi salah satu fokus utama dalam kebijakan nasional, termasuk Indonesia.



Berkebun tanaman pangan lokal dapat menumbuhkan kepedulian, sikap, keterampilan, dan pengetahuan pada siswa.



Ketahanan pangan seharusnya bukan hanya menjadi kepedulian pemerintah, melainkan konmitmen bersama antara pemerintah, pengusaha, organisasi swadaya masyarakat, dan berbagai institusi lain yang terdapat di dalam masyarakat. Bidang pendidikan formal (mulai jenjang rendah, menengah, sampai tinggi) nampaknya belum banyak terlibat dalam pengelolaan isuisu ketahanan pangan. Bahkan tingkat keamanan jajanan sekolah (yang cukup penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak–anak usia sekolah) masih memprihatinkan. Hal itu disebabkan oleh penyalahgunaan zat pewarna, pengawet, maupun kontaminasi mikroorganisme yang merugikan. Pada pihak lain, ada kecenderungan



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 153 }



siswa di tanah air makin menyukai pangan non lokal. Jika fenomena ini dibiarkan, maka sasaran menuju kemandirian dan kedaulatan pangan tidak akan tercapai. Malah sebaliknya generasi muda makin tergantung pada pangan impor. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas ekonomi, stabilitas politik, ketahanan sosial, dan ketahanan nasional pada masa yang akan datang. Mahasiswa dan siswa adalah pelaku, dan calon peminpin bagi masa depan bangsa. Keberhasilan mereka memperjuangkan agar bangsa, dan negara sejajar dengan negara maju lainnya, ditentukan oleh tingkat keberpihakannya terhadap sistem pangan lokal.



Pangan lokal terkait dengan identitas sosialbudaya. Makin banyak buah impor yang dipakai membuat banten, makin menurun pula nilai identitas Budaya Bali.



Sistem pangan lokal adalah pengelolaan pangan yang memprioritaskan produksi, dan konsumsi pangan untuk wilayah sekitarnya. Keberpihakan pada pangan lokal menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Upaya menganekaragamkan, mengembangkan, dan meningkatkan persediaan dan distrubusi pangan lokal, berpotensi { 154 }



Lanskap Budaya SUBAK



menaikkan pendapatan masyarakat, menyehatkan ekosistem sekitar, dan melestarikan nilai-nilai sosial-budaya. Dengan demikian, pembelajaran berbasis pangan lokal merupakan media pengembangan olah rasa (karakter), olah hati (budi-pekerti), olah fisik (keterampilan), dan olah otak (pengetahuan). Kegiatan Unmas Denpasar dalam mempromosikan ketahanan pangan sekolah disebut pembelajaran lintas-generasi. Artinya, mahasiswa yang telah memahami konsep ekoliterasi, dan mempunyai pengalaman dalam pembelajaran kooperatif, bertindak sebagai fasilitator dalam membelajarkan guru, siswa sekolah dasar, dan masyarakat di sekitar sekolah tentang pendidikan lingkungan. Hal itu diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata, kecil, dan lokal melalui penganekaragaman tanaman pangan lokal (tanaman yang telah ditanam, dan dikembangkan oleh penduduk sekitar secara turun-temurun) di kebun sekolah, dan pekarangan rumah, mengunakan teknologi yang ramah lingkungan. Tindakan tersebut bertujuan mempromosikan konsep “berpikir global, bertindak lokal”. Maksudnya setiap orang harus melakukan tindakan nyata dalam mengatasi permasalahan lingkungan dunia. Program ini sesuai dengan visi dari Dasawarsa Pendidikan untuk Pembangunan yang Berkelanjutan, yang menggunakan pendidikan (formal, nonformal, dan informal), sebagai perantara efektif dalam membawa perubahan nilai, sikap, dan pola hidup untuk menjamin masa depan yang berkelanjutan. Pembelajaran lintas generasi ketahanan pangan mencakup bidang pendidikan, ekonomi dan lingkungan. Ketiga bidang tersebut saling berhubungan satu dan yang lain. Kegiatan dalam bidang pendidikan antara lain pembentukan dan pembinaan kelompok siswa peduli terhadap lingkungan, mempromosikan pembelajaran berbasis siswa. Kegiatan dalam bidang ekonomi adalah melatih siswa mengolah, mengemas dan menjual pangan lokal di sekolah. Kegiatan lingkungan yang paling menonjol adalah pembuatan kebun sekolah, yang ditanami dengan pangan lokal dengan menggunakan pupuk organik. Pupuk organik dibuat dari sampah yang terdapat di halaman sekolah dengan cara memasukkannya ke dalam lubang biopori. Biopori merupakan lubang-lubang kecil berdiameter sekitar 10-15 sentimeter yang dibuat sampai ke dalaman satu meter ke dalam tanah. Ke dalam lubang biopori dimasukkan berbagai daun tanaman, limbah dapur Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 155 }



dan berbagai sampah organik lainnya. Berbagai flora dan fauna tanah akan merombak sampah organik menjadi humus atau pupuk organik. Pada waktu merombak sampah, organisme tanah (seperti cacing tanah dan jamur) membuat lubang-lubang kecil di sekitar sampah yang dirombaknya. Istilah biopori sebetulnya berasal dari kegiatan organisme tanah dalam membuat lubang-lubang kecil, karena “bio” berarti mahluk hidup, dan “pori” berarti lubang-lubang kecil.



Lubang biopori berfungsi menyerap air hujan dan mengolah sampah organik menjadi kompos.



Kebun sekolah tidak harus memerlukan lahan yang luas. Sekolah dengan halaman yang sempit masih bisa membuat kebun sekolah, yakni dengan teknik menanam bertingkat-tingkat atau vertikultur. Vertikultur dapat dibuat dari bambu atau pipa dengan bentuk atau desain yang dapat dirancang sesuai selera masing-masing. Sayur mayur dan berbagai spesies tanaman perdu dapat ditanam dalam vertikultur. Dengan begitu, vertikultur yang ditanami pangan lokal selain menambah keindahan halaman sekolah, juga dapat mempromosikan kepada siswa bahwa pangan lokal bukan hanya berfungsi bagi kesehatan ekosistem, melainkan juga berperan bagi kesehatan tubuh mereka. Kebiasaan mengkonsumsi pangan dari tanaman lokal yang ditanam sendiri, menjamin makanan { 156 }



Lanskap Budaya SUBAK



yang dikonsumsi lebih aman, dan lebih sehat untuk tubuh, dibanding mengkonsumsi pangan import yang cara menanam dan proses pengemasannya tidak kita ketahui.



Vertikultur dengan berbagai bahan dan desain.



Pada tahun 2012, Unmas Denpasar memperoleh hibah (bantuan dana) penelitian dari Pemerintah Amerika Serikat. Adanya hibah itu, telah mendorong Unmas Denpasar mengarahkan pembelajaran berkelanjutan pada dua hal. Pertama, mengintegrasikan model pembelajaran berkelanjutan ke dalam kurikulum pendidikan formal, baik melalui kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstra-kurikuler. Kedua, menggunakan lanskap budaya subak sebagai laboratorium, dan sekaligus model pembelajaran. Tidak perlu dikemukakan lagi di sini mengenai alasan pemilihan subak sebagai model pembelajaran, karena sudah dipaparkan pada hampir semua bab terdahulu. Untuk mencapai kedua sasaran tersebut, lebih dari 40 mahasiswa calon guru dilibatkan dalam rekontekstualisasi kurikulum pendidikan



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 157 }



tinggi (universitas), pendidikan menengah (SMA) dan pendidikan dasar (SMP). Rekontekstualisasi berarti menyesuaikan topik pembelajaran dengan konteks permasalahan yang terjadi dalam lanskap budaya subak, mempertukarkan pengalaman antara para pelajar, dan melibatkan mereka dalam perbaikan kurikulum. Rekontekstualisasi dilakukan berdasarkan hasil survei dan lokakarya dengan para guru, yang menunjukkan bahwa subak tepat dijadikan model atau laboratorium dalam rekontekstualisasi kurikulum. Menurut mereka, paling tidak subak dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial, pendidikan jasmani, teknologi informasi komputer dan seni-budaya.



Subak dapat diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran.



Rekontekstualisasi dilakukan, karena kurikulum pendidikan formal di tanah air masih cenderung berorientasi pada isi atau materi. Kurikulum sekolah selama ini belum mampu mendorong siswa berpikir yang kritis, tidak berorientasi pada konsep pembelajaran berkelanjutan, dan sebagian besar pembelajaran berlangsung dalam suasana kurang menyenangkan. Padahal untuk menghadapi ketidakpastian kehidupan pada masa depan, diperlukan model pembelajaran yang fleksibel, yang mampu mendorong siswa mencapai empat kompetensi atau kemampuan dasar (peduli, jujur, trampil, dan cerdas). Terlebih-lebih bagi mahasiswa calon guru. Mereka bukan hanya menjadi calon peminpin pada masa depan, tetapi juga peminpin bagi calon peminpin generasi masa depan. Karena para guru berperan penting dalam mendidik siswa (yang sebagian di antara mereka { 158 }



Lanskap Budaya SUBAK



akan menjadi pemimpin) baik dalam bidang pemerintahan, lembaga swasta, maupun di tengah-tengah masyarakat. Tantangan lain adalah desakan bagi sektor pendidikan untuk memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi tercapainya kehidupan yang berkelanjutan. Selama ini pendidikan dinilai belum mampu memberikan kontribusi yang maksimum bagi keberlanjutan kehidupan pada masa depan. Bahkan berbagai pihak menilai justru pendidikan turut menjadi pemicu bagi ketidakberlanjutan. Salah satu contoh yang sering digunakan, adalah makin tinggi pendidikan seseorang, biasanya makin baik pekerjaan yang diperoleh. Selanjutnya makin baik pekerjaan seseorang, makin tinggi pula penghasilannya, dan makin banyak pula barang yang dibeli. Sayangnya sampah yang dihasilkan juga kian banyak, sebab sebagian besar barang yang dibeli memakai kemasan plastik, busa dan styrofoam. Sumberdaya alam yang digunakan juga makin boros, ketika semula mengendarai sepeda motor berganti dengan mobil. Demikian pula dengan ruangan yang sebelumnya lebih banyak mengandalkan pada sinar matahari dan sirkulasi udara luar, diganti dengan pendingin ruangan, dan lampu listrik siang dan malam. Tantangan ini harus dijawab dengan mengembangkan model pendidikan, yang mampu mengimplementasikan berbagai konsep kehidupan berkelanjutan dalam bentuk tindakan nyata, bukan sekedar pengetahuan dan pemahaman. Bagi mahasiswa calon guru, mereka harus sanggup memfasilitasi pembelajaran berkelanjutan, dengan cara mengimplementasikan konsep dasar ekologi, seperti persahabatan, bebas limbah, jaring-jaring kehidupan dan energi bersih. Unmas Denpasar merintis rekontekstualisasi kurikulum pendidikan guru dengan cara mengembangkan ekopedagogi dengan menggunakan lanskap subak sebagai media, model, dan laboratorium. Kegiatan awal dalam ekopedagogi adalah mempromosikan lanskap budaya subak sebagai model ekopedagogi. Mahasiswa didorong meningkatkan kepedulian, sikap, keterampilan dan pengetahuan mereka tentang ekopedagogi melalui pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas. Yang bertindak sebagai “guru” dalam pembelajaran, bukan hanya dosen dan ahli dalam bidang pertanian dan pendidikan, melainkan juga pekaseh (ketua subak), prajuru (unsur pimpinan subak) dan para petani anggota subak. Pembelajaran di luar kelas dilakukan melalui wawancara dan



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 159 }



diskusi dengan petani, pengamatan dan praktek bertani langsung di lahan persawahan. Kegiatan selanjutnya, mahasiswa menyusun modul dan rencana penelitian di sekolah dengan menggunakan subak sebagai contoh, ilustrasi, model atau laboratorium. Modul merupakan bahan ajar yang disusun sedemikian rupa sehingga para pelajar bisa belajar sendiri. Modul disusun disesuaikan dengan kurikulum bidang studi IPA untuk SMP, dan biologi untuk SMA. Rencana penelitian yang disusun oleh mahasiswa terkait dengan tugas akhir mereka dalam menyusun karya tulis (skripsi) sebagai persyaratan bagi dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di perguruan tinggi. Rencana penelitian mencakup upaya mahasiswa melibatkan siswa SMA atau SMP dalam pembelajaran aktif dengan menggunakan lanskap budaya sebagai tempat, contoh, model atau laboratorium.



Petani sebagai “guru”untuk belajar lanskap budaya subak.



Setiap minggu, antara 4 sampai 6 mahasiswa melaporkan kemajuan dalam penyusunan modul dan rencana penelitian mereka melalui presentasi dan diskusi di dalam kelas. Dosen dan mahasiswa lain { 160 }



Lanskap Budaya SUBAK



melakukan penilaian, secara lisan maupun tertulis. Evaluasi secara lisan dilakukan pada akhir diskusi dengan memberikan kritik dan saran oleh mahasiswa dan dosen. Evaluasi tertulis menggunakan format pengamatan sehingga diperoleh penilaian dalam bentuk angka. Melalui mekanisme seperti ini, mahasiswa yang tampil pada minggu berikutnya, diharapkan dapat mempresentasikan modul maupun rencana penelitiannya dengan lebih baik. Pada pertengahan semester, semua mahasiswa menggunggah naskah modul dan rencana penelitian mereka melalui surat elektronik atau e-mail. Mahasiswa menilai naskah modul dan rencana penelitian diri sendiri maupun mahasiswa lain dengan menggunakan format yang sudah disediakan. Hasil penilaian mereka diunggah melalui email untuk diunduh dan dievaluasi oleh mahasiswa maupun dosen.



Modul dapat mengintegrasikan budaya lanskap ke dalam kurikulum pendidikan.



Setelah ujian tengah semester, siklus pembelajaran diulang kembali. Setiap minggu mahasiswa mempresentasikan modul dan rencana penelitian mereka untuk dievaluasi secara lisan dan tertulis, baik oleh mahasiswa lain maupun dosen. Menjelang akhir semester mahasiswa menggunggah modul dan rencana penelitian yang sudah diperbaiki



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 161 }



melalui email (surat elektronik). Semua mahasiswa dan dosen melakukan penilaian dan mengunggah hasil penilaian melalui email. Perlu ditegaskan, modul dan rencana penelitian tidak dicetak memakai kertas, tetapi diunggah dan diunduh melalui internet. Dengan begitu mengurangi pemakaian kertas. Pengurangan pemakaian kertas merupakan target pembelajaran berkelanjutan. Sampai sekarang sebagian besar bahan baku kertas adalah tanaman pohon. Beberapa jenis kertas telah berhasil dibuat menggunakan bahan sisa (seperti dari jerami dan rumput-rumputan), tetapi kualitas kertas yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kegiatan tulis-menulis. Agar kertas berwarna putih (apalagi berkilat) diperlukan berbagai senyawa kimia dalam proses pembuatannya. Sebagian kecil kertas memang digunakan kembali atau didaur-ulang menjadi barang lain yang berguna. Namun sebagian besar kertas bekas masih dibuang menjadi sampah yang mengancam kelestarian lingkungan. Makin banyak kertas digunakan, makin banyak pohon dikorbankan, dan lingkungan menjadi kian tercemar oleh sampah kertas. Upaya mengintegrasikan teknologi modern seperti internet dalam pembelajaran, di samping mengurangi biaya pendidikan, juga lebih bersahabat dengan lingkungan. Kegiatan selanjutnya adalah mahasiswa bersama-sama dengan guru membelajarkan ekopedagogi pada siswa SMA dan SMP. Sesuai dengan uraian sebelumnya, membelajarkan ekopedagogi berarti membelajarkan siswa tentang konsep ekologi, kebudayaan lokal, dan penggunaan teknologi modern. Adapun sekolah yang terlibat dalam kegiatan ini adalah SMAN 1 Kintamani Bangli, SMA Amarawati Tampaksiring Gianyar, SMA Mengwi Badung, SMP Amarawati Tampaksiring Gianyar, SMP Wisata Sanur Denpasar, dan SMAN 1 Susut Bangli. Konsep ekologi yang dibahas disesuaikan dengan silabus bidang studi biologi untuk SMA dan IPA untuk SMP. Kebudayaan lokal di sini terutama meliputi kawasan lanskap budaya, termasuk Geopark (Taman Bumi) Batur. Mahasiswa melakukan kegiatan bersama siswa selama 3 sampai 5 bulan. Secara umum mahasiswa mengimplementasikan model pembelajaran siswa aktif dengan teknik pengelolaan kelas yang berbedabeda. Sebanyak lima mahasiswa yang melakukan pembelajaran di SMAN 1 Kintamani menggunakan teknik pengelolaan kelas penyelidikan berkelompok. Para siswa didampingi oleh mahasiswa, guru dan dosen { 162 }



Lanskap Budaya SUBAK



beberapa kali melakukan pengamatan, pencatatan, wawancara dan diskusi tentang keanekaragaman hayati kawasan Geopark Batur langsung di lapangan.



Kegiatan bersama mahasiswa dan siswa di lapangan merupakan pembelajaran.



Kelompok mahasiswa lain menggunakan media photovoice dalam pembelajaran bersama siswa. Photovoice berasal dari kata ”photo” yang berarti foto atau gambar dan ”voice” yang berarti suara atau pesan. Photovoice merupakan teknik pembelajaran yang menggabungkan antara



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 163 }



teknik pengambilan foto (fotografi) dan penyampaian pesan berdasarkan atas foto yang sudah diambil. Untuk kegiatan berbasis photovoice, siswa dibentuk menjadi kelompok yang terdiri atas 4 sampai 5 orang. Setiap kelompok diberikan topik yang sesuai dengan kurikulum. Secara berkelompok mereka mengambil foto tumbuhan, binatang atau objek lain yang ada pada lanskap subak. Foto yang didapat perlu dipilih agar sesuai dengan topik. Langkah selanjutnya adalah menulis narasi berdasarkan atas serangkaian foto yang telah disusun, dan mempresentasikan rangkaian foto di depan kelas.



Rasa senang dalam pembelajaran bermedia photovoice mendorong siswa sekolah bersedia melakukan diskusi di sembarang tempat.



Photovoice memiliki banyak manfaat sebagai media pembelajaran. Hampir setiap orang tertarik pada foto atau gambar. Karena itu pembelajaran dengan media foto dapat berlangsung dalam suasana menyenangkan. Berbagai produk teknologi modern pada saat ini dapat digunakan merekam gambar. Salah satu yang populer adalah hand phone atau HP. Pemanfaatan HP atau barang elektronik lain dalam pembelajaran dapat mengoptimalkan fungsi barang tersebut sebagai media pembelajaran, di samping sebagai alat berkomunikasi. Foto yang { 164 }



Lanskap Budaya SUBAK



terekam dalam HP memungkinkan siswa untuk melihat dan mempelajarinya secara fleksibel termasuk di rumah atau di luar kelas. Photovoice juga memungkinkan kita dapat mempelajari persepsi atau cara pandang para siswa terhadap lingkungan sekitar, khususnya lanskap subak. Cara pandang mereka perlu diketahui, karena masa depan subak berada di tangan mereka. Keunggulan lain dari photovoice dapat digunakan sebagai media pembelajaran lintas batas. Disebut lintas-batas, karena photovoice dapat digunakan sebagai media pembelajaran di seluruh dunia. Foto atau gambar yang diunggah melalui internet memungkinkan para pelajar di berbagai negara memberikan pesan dan komentar. Lintas-batas juga berarti lintas generasi karena pembelajaran berbasis photovoice dapat dilakukan pada berbagai jenjang usia, mulai dari anak kecil sampai orang tua. Photovoice melintasi keterbatasan bahasa. Sebuah foto bisa dipahami oleh setiap bangsa, walaupun mereka memiliki bahasa yang berbeda-beda. Oleh karena itu foto merupakan media pendidikan dunia yang dapat digunakan untuk membelajarkan setiap orang tanpa dibatasi oleh perbedaan usia, bahasa dan negara.



Diskusi dengan photovoice bisa dilaksanakan melewati batas bangsa dan batas negara.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 165 }



Kelompok mahasiswa lain menggunakan teknik video berpartisipasi sebagai media pembelajaran. Pada halaman sebelumnya telah diuraikan teknik video berpartisipasi tidak menekankan pada hasil video yang harus baik, melainkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Video berpartisipasi dapat mendorong siswa mengembangkan kemampuan kerja secara berkelompok, perasaan saling tergantung satu dengan yang lain, tanggung jawab individu, keterampilan sosial dalam berkomunikasi, mengemukakan ide atau pendapat, dan berdiskusi. Video berpartisipasi merupakan salah satu jenis sains art, atau seni dan sains. Karena itu, di samping mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mendalam, video berpartisipasi juga bisa mengembangkan kreativitas siswa. Tidak mustahil, siswa dapat mengembangkan bakat mereka yang selama ini terpendam oleh pembelajaran konvensional. Misalnya bakat menjadi penulis cerita, pengambil gambar foto atau video, penyunting video dan pemain peran.



Story board dalam pembuatan video berpartisipasi dapat mengembangkan berbagai kompetensi siswa (Foto Kevin Thompson).



Sebagai media pembelajaran, pembuatan video perlu menyesuaian dengan kurikulum mata pelajaran. Karena itu, sebelum dilakukan pengambilan gambar di lapang, terlebih dahulu dibuat alur cerita dalam bentuk gambar yang diberikan keterangan singkat. Alur cerita atau



{ 166 }



Lanskap Budaya SUBAK



dikenal sebagai story board berfungsi untuk panduan atau pedoman agar proses pembuatan video sesuai dengan tujuan pembelajaran. Fungsi lain dari story board adalah menguatkan interaksi sosial di antara para siswa melalui diskusi kelompok dan pengambilan keputusan secara bersamasama. Tentu saja proses pembuatan story board bisa pula dikombinasikan dengan beberapa mata pelajaran, misalnya Bahasa Inggris atau Bahasa Bali. Dengan begitu, pembelajaran dengan video berpartisipasi makin membuka peluang bagi pencapaian kompetensi dasar belajar: peduli, jujur, terampil, dan cerdas.



Pembelajaran video berpartisipasi dapat meningkatkan berbagai kemampuan siwa, seperti kepedulian terhadap lingkungan, kerjasama kelompok, dan pemahaman terhadap konsep ekologi dalam subak.



Ekoliterasi Lanskap Budaya Subak



{ 167 }



4.8 Pert an yaa n 1. Jelaskan bahwa cara bertanam padi oleh subak di Bali bisa menjadi contoh dari praktek kehidupan yang berkelanjutan. 2. Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak dan generasi muda di Bali saat ini tidak lagi berminat bekerja dalam sektor pertanian. 3. Dampak negatif apa yang kemungkinan timbul pada masa depan, jika generasi muda tidak peduli lagi pada kelestarian lanskap budaya subak?. 4. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh generasi muda untuk mencegah timbulnya dampak negatif akibat kerusakan lanskap budaya subak? 5. Apa berpedaan antara antara sains modern dan etnosains? 6. Berikan beberapa contoh etnosains yang terdapat di dalam subak. 7. Apa ciri-ciri pembelajaran berkelanjutan? 8. Mengapa subak tepat digunakan sebagai laboratorium dalam pembelajaran berkelanjutan?. 9. Uraikan beberapa model kegiatan pembelajaran berkelompok yang dapat berlangsung dalam suasana menyenangkan. 10. Mengapa photovoice bisa digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa? 11. Apa manfaat pembelajaran video berpartisipasi bagi siswa?



{ 168 }



Lanskap Budaya SUBAK



GLOSARIUM A Agama: sistem pengetahuan yang kebenarannya dipahami berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Autotrof: organisme yang mampu menyusun senyawa organik dari senyawa anorganik. Contoh autotrof adalah tumbuhan dengan daun hijau yang mampu mengubah senyawa anorganik (air dan gas karbon dioksida) menjadi senyawa organik (karbohidrat, lemak dan protein) (lihat fotosintesis, heterotrof dan kemotrof). Azas manfaat dan lestari: perilaku manusia atau hasil perilaku manusia yang pada satu pihak bermanfaat bagi manusia, namun pada pihak lain tidak mengganggu fungsi lingkungan (lihat kungkungan dan teknologi tepat guna). Awig-awig: aturan tertulis sebagai produk hukum dari subak yang disusun berdasarkan hasil musyawarah krama subak.



B Bale timbang: bangunan bertiang dua, difungsikan untuk pertemuan kecil dua atau beberapa petani guna mencari solusi terhadap sengketa atau permasalahan di antara mereka. Bale pegat: bangunan panjang, terletak pada Madya Mandala Pura (halaman tengah pura), yang berfungsi sebagai tempat umat beristirahat sejenak sebelum sembahyang, guna memutuskan pikiran keduniawian, dan berkonsentrasi memusatkan pikirannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bebaturan: bangunan suci Umat Hindu, yang polos dan belum ada ukirukiran, yang menandakan peninggalan jaman batu atau megalitikum. Biopori: lubang kecil dengan diameter 10-15 sentimeter yang dibuat sampai kedalaman satu meter ke dalam tanah. Sampah organik yang dimasukkan ke dalam lubang tersebut, dapat mendorong organisme pengurai sampah membuat lubang-lubang kecil di dalam tanah. Lubang itu disebut biopori (bio = mahluk hidup, dan porus = lubang kecil). Biosfir: bagian dari bumi yang ditempati oleh mahluk hidup (lihat ekosistem). 169



Bioteknologi: teknologi yang digunakan untuk merekayasa mahluk hidup untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Biyukukung: upacara dilakukan pada saat padi bunting. Banten berupa makanan dan peralatan melahirkan seperti orang yang sedang mengidam dan akan melahirkan. Padi yang akan mengeluarkan buah diperlakukan seperti manusia yang sedang mengidam atau hamil. Tanaman itu perlu diberi beranekaragam rujak dan makanan yang bergizi agar buah padi yang lahir sehat dan besar-besar. Budidaya: pertanian merupakan proses, cara atau teknik untuk menghasilkan bahan pangan dari berbagai spesies tanaman. Budaya: atau kebudayaan dalam subak mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat serta kebiasaan sekelompok masyarakat



C Cagar alam: kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami (lihat sistem penangga kehidupan dan suaka alam). Catur wija: empat jenis beras yaitu injin (ketan hitam), ketan, beras merah dan beras. Injin melambangkan Dewa Wisnu yang menempati arah utara mata angin, ketan lambang Dewa Iswara (timur), beras merah lambang Dewa Brahma (selatan) dan beras lambang Dewa Maheswara (barat).



D Dalem Sidakarya: gelar yang diberikan oleh Raja Gelgel, Dalem Waturenggong kepada Brahmana Keling atas jasanya dalam menyukseskan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Daerah Aliran Sungai (DAS): kawasan punggung bukit yang terletak di kanan-kiri sungai dengan arah aliran air menuju satu sungai tertentu. Contoh DAS Tukad Pakerisan, berarti kawasan hutan, kebun, desa dan sawah yang ada di sekitarnya, yang airnya (terutama jika hujan) mengalir menuju Tukad Pakerisan. Desa adat: kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa), yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Perda Bali Nomor 06 Tahun 1986). { 170 }



Lanskap Budaya SUBAK



Desa mawa cara: kearifan tradisional di Bali yang mengakui setiap desa memiliki cara tersendiri dalam mengambil kebijakan, menyelesaikan permasalahan, mengambil tindakan, melakukan kegiatan dsbnya.



E Ekoliterasi Ketahanan Pangan: penerapan berbagai konsep ekologi untuk mempromosikan pemahaman yang mendalam, berbagai bentuk kesadaran diri, kemampuan melakukan refleksi kritis, pengembangan pemikiran kreatif, dan keterampilan sosial dalam mengelola isu-isu yang terkait dengan ketersediaan, akses, distribusi, dan keamanan pangan. Ekopedagogi: model pendidikan atau pembelajaran yang menggunakan lingkungan lokal sebagai fokus untuk membelajarkan berbagai konsep ekologi tentang kehidupan berkelanjutan, pemahaman kebudayaan lokal dan penggunaan teknologi modern secara kritis. Ekosistem: unit kecil dari biosfir yang memiliki batas yang jelas. Contoh ekosistem hutan, danau dan sawah (lihat biosfir). Endemik: organisme (tumbuhan dan binatang) yang secara alami hanya ditemukan dalam suatu kawasan atau habitat tertentu. Misalnya gelatik (Padda oryzivora) merupakan burung endemik di lahan persawahan. Etnosains: sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dalam mengklasifikasikan objek, kegiatan dan kejadian di alam semesta. Ex situ: konservasi binatang atau tumbuhan yang dilakukan di luar habitat alaminya. Misalnya konservasi gelatik (Padda oryzivora) di dalam kebun binatang dan taman burung (lihat in situ dan konservasi).



F Filsafat: sistem pengetahuan manusia yang kebenarannya dipahami dengan menggunakan rasio atau akal. Fotosintesis: proses penyusunan senyawa organik dari senyawa anorganik dengan bantuan sinar matahari (lihat kemosintesis, autotrof dan heterotrof).



G Granivora: binatang yang memakan biji-bijian sebagai sumber makanannya. Contoh berbagai burung yang hidup di sawah seperti petingan (Lonchura punctulata) dan gelatik (Padda oryzivora). Daftar Pustaka



{ 171 }



H Hulu-Teben atau luan-teben: hulu merupakan arah yang dirasa bernilai tinggi (utama) sedang teben adalah arah yang rendah nilainya (Kaler, 1983b, hal. 92). Orientasi hulu-teben berdasarkan sumbu bumi, yaitu kaja-kelod (gunung dan laut), arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah),berdasarkan sumbu matahari, yaitu: timur-barat (Matahari terbit dan terbenam) (Artadharma, 2011). Herbivora: organisme yang mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan untuk keperluan hidupnya. Contoh sapi, kerbau dan gajah. Heterotrof: organisme yang menggunakan senyawa organik yang dihasilkan oleh autotrof atau heterotrof lain untuk keperluan hidupnya. Contohnya manusia yang mengkonsumsi beras untuk makanan sehari-hari.



I Identitas budaya: karakter yang melekat pada sebuah kebudayaan yang membedakan dengan kebudayaan yang lain. Ilmu: lihat sains. In situ: konservasi tumbuhan atau binatang di dalam habitat alaminya. Contoh konservasi gelatik di areal persawahan.



J Jaman Bali Kuno: era kerajaan sebelum Pulau Bali dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa. Jaring-jaring makanan: hubungan saling memakan antara organisme satu dan yang lain, dalam bentuk yang kompleks sehingga kalau dibuat gambar bagan alir akan menyerupai jaring laba-laba. Jaringjaring makanan terdiri atas kumpulan rantai makanan (lihat rantai makanan). Jejaring kerja pura subak: hubungan yang bertingkat-tingkat antara pura subak yang selain berfungsi untuk upacara keagamaan, juga memiliki peranan praktis dalam mengkoordinasikan berbagai kegiatan bertani seperti mengatur air irigasi, dan musim bercocok tanam. Jurnal lanskap: merupakan kegiatan untuk merekam lanskap dalam bentuk gambar dan kemudian menuliskan narasi tentang maksud atau makna gambar tersebut.



{ 172 }



Lanskap Budaya SUBAK



K Kaldera: kawah gunung berapi yang luas. Kaldera terbentuk setelah gunung meletus secara dahsyat lalu ambruk sehingga menyisakan dataran lembah yang luas. Karang Bengang atau Karang Embang: suatu areal kosong antar dua desa yan berfungsi selain sebagai pemisah kedua desa, juga sebagai jalur hijau yang tidak boleh dibangun sehingga dapat memberi kesejukan (Paturusi & Diartika, 2010). Keanekaragaman spesies: berbagai spesies yang hidup dalam satu wilayah tertentu. Kemosintesis: organisme yang mampu membentuk senyawa organik dari senyawa anorganik dengan bantuan senyawa kimia tertentu. Misalnya bakteri yang hidup dalam sumber air mengandung belerang, mampu menggunakan belerang untuk membentuk senyawa organik. Kerta masa: peraturan tentang penertiban (Kerta) bertanam padi, menurut musim (masa) yang ditetapkan dan berlaku dalam suatu subak (Kaler, 1983b, hal. 13). Kerta sima: kebiasaan-kebiasaan yang sudah sejak lama di laksanakan dalam aktivitas subak yang mirip sebagai suatu konvensi Kokokan: nama lokal Bali untuk berbagai spesies burung yang memiliki bulu berwarna putih, kaki dan paruh panjang, yang hidup dan mencari makan di areal persawahan. Konsep: persamaan atau ciri-ciri umum dari gejala atau fenomena di alam. Misalnya dalam biologi ada konsep mamalia, yakni penggolongan untuk semua jenis binatang yang memiliki kelenjar susu dan tubuh ditumbuhi rambut Konservasi: upaya mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan dengan memperhatikan kelestarian dari sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk makna budaya (lihat ex situ dan in situ); Kosmologi: pandangan atau keyakinan tentang alam semesta. Krama Leluputan: krama subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat, misalnya sebagai kepala desa. Krama Pengampel atau Krama Pengoot: yaitu krama subak yang karena alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalam kegiatankegiatan (ayahan subak). Sebagai gantinya anggota ini membayar Daftar Pustaka



{ 173 }



dengan sejumlah beras (atau uang) yang disebut pengoot atau pengampel Krama pengayah: krama subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan subak seperti upacara keagamaan, gotong royong pemeliharaan dan perbaikan fasilitas subak dan sangkepan (rapat) subak. Krama subak: anggota subak yang bisa berasal dari satu desa atau gabungan dari beberapa desa yang terletak di sekitar kawasan subak. Krama subak terdiri atas krama leluputan, krama pengampel dan krama pengayah. Kungkungan: bangunan kecil yang terbuat dari bambu, kayu dan beberapa bahan lokal lain yang biasanya digantung di atas pohon. Kungkungan dibuat untuk mengundang agar burung bersarang di dalamnya, namun burung tersebut tetap dapat hidup bebas di alam liar.



L Lanskap budaya: lanskap yang dibentuk dari perpaduan antara perilaku manusia dan alam.



M Mabahin: dilaksanakan saat padi mulai berbuah. Maknanya, padi yang mulai berbuah seperti balita yang harus diberikan makanan bergizi, seperti ketupat (nasi), daging ayam, dan buah-buahan. Magurupiduka: upacara yang dilaksanakan di bendungan sebagai permohonan maaf atas dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukan oleh petani selama bekerja di sawah. Manfaat langsung: manfaat yang diperoleh dari barang yang dapat diperjual-belikan di pasar bebas. Contoh beras adalah manfaat langsung dari bertani di sawah, karena bisa dilihat dan diperdagangkan dalam berbagai pasar dan toko. Manfaat tidak langsung: manfaat yang diperoleh dari sumberdaya dan lingkungan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang dan tidak diperdagangkan di pasar bebas. Contoh keindahan panorama sawah berteras di Jatiluwih Tabanan hanya bisa dinikmati jika kita berkunjung ke kawasan tersebut. Mantenin: upacara yang dilakukan pada saat padi disimpan di lumbung atau tempat lainnya sebelum padi diolah menjadi beras untuk pertama kalinya. Maknanya untuk memohon keselamatan pada



{ 174 }



Lanskap Budaya SUBAK



Dewi Sri (sebagai dewa padi) agar petani dapat menggunakan padi untuk kebutuhan sehari-hari. Mapag toya: upacara yang dilakukan pada Pura Bedugul atau Pura Empelan dekat bendungan menjelang pengolahan tanah untuk memohon kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu (Dewa Air) dan Dewi Gangga (Dewa Sungai) agar berkenan memberi anugerah sehingga air dapat mengalir ke sawah. MapPack: kegiatan pembelajaran yang terfokus pada lingkungan dengan menggunakan berbagai metode berpartisipasi dalam memetakan dan menginventarisasi lanskap budaya Megaleng ke teben: pematang sawah yang menjadi pembatas sawah antara dua atau lebih petani dimiliki oleh petani yang posisi lahan sawahnya di sebelah hulu (atas). Dengan begitu petani di teben (hilir) tidak diperkenankan mengubah pematang tersebut. Melasti: prosesi keagamaan menuju mata air atau tempat lain (misalnya sungai dan laut) yang dianggap suci untuk menyucikan arca, pratima dan benda-benda sakral lainnya. Melukat: upacara untuk menyucikan diri atau menghilangkan kotoran yang melekat dalam tubuh manusia untuk mencapai keselamatan dan kerahayuan (Wilatri, 2012). Memuja: menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri (Wiana, 2013). Menyama braya: hidup rukun dengan orang lain dan masyarakat sebagaimana layaknya kita hidup bersaudara kandung. Metode keilmuan: langkah-langkah sistematis dalam memperoleh kesimpulan yang dapat dipahami oleh indera manusia. Metode keilmuan terdiri atas merumuskan permasalahan, mengajukan dugaan atau hipotesis, mengumpulkan data untuk menguji hipotesis, dan menyusun kesimpulan untuk menerima atau menolak hipotesis (lihat sains). Modul: bahan ajar yang disusun sedemikian rupa sehingga para pelajar bisa belajar sendiri. Mikroekosistem: ekosistem kecil yang terdapat dalam ekosistem yang lebih besar. Pada subak petani banyak membuat mikroekositem (lihat ubah uga dan pulau isogeobiografi). Mitologi: sistem pengetahuan yang kebenarannya diyakini berdasarkan sistem kepercayaan, takhayul atau mitos Mitos: cerita rakyat tentang dewa atau mahluk setengah dewa yang dianggap benar-benar terjadi oleh pengarang maupun penganutnya.



Daftar Pustaka



{ 175 }



Mubuhin: upacara yang dilaksanakan setelah beberapa hari menanam padi. Maknanya adalah tanaman padi yang baru ditanam dianggap sama dengan seorang bayi yang harus diberi makanan yang lembeklembek atau halus, seperti bubur.



N Nandur: upacara dilaksanakan pada saat menanam untuk memohon kepada Tuhan sebagai Dewi Sri agar bibit padi yang ditanam dapat tumbuh sesuai harapan. Nangluk Merana: upacara menyucikan roh hama dan penyakit agar kembali ke asalnya dan tidak lagi menjelma menjadi pengganggu atau perusak tanaman. Narasi lanskap: kegiatan untuk memperoleh keterangan, penjelasan atau komentar dari para petani atau orang lain yang ditemukan di sekitar kawasan persawahan Neduh: upacara dilakukan pada saat padi berumur satu bulan dengan harapan agar padi tidak diserang hama penyakit. Ngaben bikul: upacara dengan tujuan menyucikan roh tikus agar tidak menjelma menjadi binatang yang mengganggu petani dan tanaman padi Ngelawang merupakan kegiatan sosial keagamaan dengan mengusung barong dan menarikannya keliling desa. Ngawiwit atau ngurit, upacara yang dilaksanakan pada waktu petani menyemai padi di pembibitan, untuk mohon keselamatan atas bibit yang ditanam kepada Tuhan dalam wujud Sang Banaspati (Dewa Bibit) dan Shang Hyang Ibu Pertiwi (Dewa Bumi). Ngelawang: kegiatan sosial keagamaan dengan mengusung barong dan menarikannya keliling desa. Ngembudin: merupakan saat bakal buah (putik) padi mencuat ke atas mirip ekor kadal sehingga disebut dengan kumalasan Ngendagin; upacara dilakukan pada saat petani akan mencangkul tanah sawah untuk pertama kali, untuk mohon keselamatan selama bekerja di sawah pada Tuhan dalam wujud beliau sebagai Dewi Uma (Dewa Sawah). Ngingu kakul: upacara yang bertujuan menjamu siput. Nasi disebarkan untuk makanan siput di sawah agar tidak mengganggu tanaman padi. Di samping itu, nasi yang disebar juga bermanfaat sebagai pupuk untuk kesuburan tanaman padi. Ngulapin: upacara yang bertujuan membersihkan atau menyucikan tanaman padi yang yang dianggap sakit, kotor, dan tidak normal { 176 }



Lanskap Budaya SUBAK



akibat terkena sabit atau terkoyak tangan/kaki petani saat menyiangi rumput. Ngusaba; upacara yang dilakukan menjelang panen oleh krama subak di Pura Bedugul. Makna ritual itu adalah memohon kepada Tuhan yang bersemayam di Pura Bedugul yang disebut sebagai Dewi Uma dan Sedan Carik agar tanaman padi selamat sampai tiba waktu panen. Nilai universal luar biasa (outstanding values): nilai-nilai yang melewati batas negara, bangsa dan agama. Contoh implementasi Tri Hita Karana, demokrasi dan gotong royong di dalam subak. Nulud ke teben. Nulud berarti mendorong ke teben berarti ke hilir sehingga nulud ke teben berarti mendorong ke hilir. Aturan ini memberikan kesempatan bagi petani yang ada di sebelah hilir untuk bertanam padi terlebih dahulu. Satu atau dua minggu kemudian baru diikuti dengan petani di sebelah hulu. Lahan sawah di sebelah hilir biasanya lebih sulit memperoleh air. Karena itu masa pertumbuhan padi mereka lebih lambat. Sebaliknya lahan di sebelah hulu lebih mudah memperoleh air karena lebih dekat dengan sumber air. Nyangket: upacara yang dilaksanakan sebelum panen. Maknanya adalah memohon kepada Dewi Sri dan Sedan Carik agar padi yang akan dipanen selamat dan mendapat hasil yang melimpah. Nyepi di sawah: aturan tentang perilaku dalam subak yang dipagari dengan pantangan-pantangan tertentu. Selama nyepi orang tidak boleh masuk ke dalam wilayah subak (Kaler, 1983b).



P Pala gantung: buah-buahan seperti kelapa, kacang panjang, pisang dan nenas. Pala ubi: umbi-umbian seperti keladi, singkong dan ubi jalar. Pala wija: biji-bijian seperti padi, gandum dan jagung. Panca datu: lima jenis logam mulia (emas, perak, besi, tembaga dan timah) yang ditanam ke dalam tanah pada saat akan membangun pelinggih atau bangunan suci. Panca datu adalah simbol isi bumi, yaitu logam dan batu mulia yang paling pertama diciptakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebelum mahluk hidup dan isi bumi lainnya. Panca Mahabutha: lima unsur dasar pembentuk kehidupan, yaitu bayu (angin), teja (sinar matahari), apah (air), akasa (atmosfir) dan pertiwi (tanah). Panca Sembah: lima rangkaian persembahyangan menurut Umat Hindu.



Daftar Pustaka



{ 177 }



Pengalapan: petak sawah milik anggota subak yang merupakan tempat untuk mengambil (untuk ngalap) air yang didistribusikan oleh subaknya (Kaler, 1983b, hal. 147). Pangkung: sungai kecil yang digunakan sebagai saluran irigasi atau saluran pembuangan air sawah, yang biasanya dibiarkan liar menjadi habitat hidup berbagai binatang dan tumbuhan. Panulak bikul: upacara untuk menghalau tikus. Panulak paksi: upacara menghalau burung. Wujud ritualnya berupa patakut 'orang-orangan sawah.' Maknanya adalah sebagai sarana untuk menakut-nakuti burung sehingga tidak memakan padi. Panulak Walang Sangit, Candang, Lanas, dan Mati Muncuk: upacara untuk menghalau serangga dan penyakit padi. Sarananya memakai garam yang ditebarkan di sawah. Garam dari laut diidentikkan dengan Dewa Baruna atau penguasa lautan sebagai pembasmi ata pelebur segala macam penyakit dan hama. Palemahan: unsur Tri Hita Karana yang menata hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan. Pangusaban: upacara keagamaan untuk memuliakan Dewi Danuh sebagai manifestasi Ida Shang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa yang telah menurunkan anugerah kesuburan bagi alam semesta Paras-paros sarpanaya: atau berdinamika dalam kebersamaan, maksudnya kehidupan para anggota subak yang boleh berbeda pendapat tetapi tetap dalam satu kesatuan. Parhyangan: unsur Tri Hita Karana yang menata hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan. Paswara atau perarem: aturan pelaksanan dari awig-awig. Misalnya dalam perarem diatur kesepakatan tentang berat atau ringanya hukuman atau denda bagi yang melanggar awig-awig. Perarem dapat berubah sesuai dengan keadaan atau keputusan dalam sangkepan. Pawongan: unsur Tri Hita Karana yang menata hubungan harmonis antara sesama manusia Pedharman: pura atau bangunan suci yang digunakan untuk mengistanakan arwah dari leluhur soroh (klan) tertentu. Penjor: sarana upacara Agama Hindu yang terbuat dari bambu dan dilengkapi dengan sanggah atau pelinggih di bagian bawahnya. Penyakap: orang yang mengerjakan tanah bukan miliknya, yang dari tanah bersangkutan ia mendapat sebagai hasil selaku upahnya (Kaler, 1983a, hal. 77). { 178 }



Lanskap Budaya SUBAK



Pepenjoran: penjor untuk hiasan sehingga tidak dilengkapi dengan sanggah pada bagian bawahnya. Pembelajaran lintas-generasi: mahasiswa yang telah memahami konsep ekoliterasi, dan mempunyai pengalaman dalam pembelajaran kooperatif, bertindak sebagai fasilitator dalam membelajarkan guru, siswa sekolah dasar, dan masyarakat di sekitar sekolah tentang pendidikan lingkungan. Photovoice: teknik pembelajaran yang menggabungkan antara teknik pengambilan foto (fotografi) dan penyampaian pesan berdasarkan atas foto yang sudah diambil. Prajuru subak: unsur pengurus atau pimpinan subak, terdiri atas pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil), penyarikan (sekretaris) dan patengen atau juru raksa (bendahara). Prasasti: piagam atau dokumen yang ditulis pada batu, logam, kertas atau daun lontar. Pratima: arca atau patung sebagai simbol atau perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Preservasi: pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran. Hal ini banyak berkaitan dengan disiplin arkeologi khususnya dalam mengelola candi-candi dan peninggalan Zaman Prasejarah (Runa, 2010) Pujawali, Petirtaan, Petoyaan: pelaksanaan pemujaan kepada Ida Bhatara (Tuhan Yang Maha Esa yang diistanakan pada pura tertentu) pada saat pawedalan di pura tersebut, yang biasanya diambil sesuai dengan hari upacara besar pertama kali dilakukan di pura tersebut. Pulau Isogeobiografi: kawasan sempit yang berdasarkan keadaan biotik (tanah, iklim dsbnya) dan biotik (mahluk hidup) berbeda dibanding kawasan luas yang mengelilinginya. Contoh pondok petani di tengah sawah yang dipagari dengan aneka ragam tanaman. Pura Catur Angga Batukaru: empat pura (Pura Pucak Petali, Pura Luhur Besikalung, Pura Muncak Sari dan Pura Tamba Waras) yang merupakan satu kesatuan dalam memperkuat fungsi Pura Luhur Batukaru (lihat pura jajar kemiri). Pura Catur Loka Pala: pura yang berada pada empat penjuru mata angin. Pura yang termasuk Catur Loka Pala adalah Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem (timur), Pura Andakasa di Kabupaten Karangasem (selatan), Pura Batukaru (barat) dan Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung (utara).



Daftar Pustaka



{ 179 }



Pura Jajar Kemiri: pura yang berfungsi memperkuat peranan pura lain. Misalnya pura catur angga Batukaru berungsi sebagai satu kesatuan dalam memperkuat fungsi Pura Luhur Batukaru. Pura Kahyangan jagat: pura bagi semua umat Hindu untuk melakukan persembahyangan. Pura Masceti: pura yang biasanya dibangun pada bagian hilir kawasan beberapa subak. Pura Masceti diempon oleh beberapa subak untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Baruna (Dewa pelindung lautan). Air suci atau tirtha dari Pura Masceti berfungsi memurnikan atau membersihkan pencemaran atau kotoran. Pura Padma Bhuana: pura yang terdapat pada sembilan penjuru mata angin. Adapun pura tersebut adalah Pura Besakih (di timur laut), Pura Lempuhyang Luhur (timur), Pura Goa Lawah (tenggara), Pura Andakasa (selatan), Pura Luhur Uluwatu (barat daya), Pura Luhur Batukaru (barat), Pura Puncak Mangu (barat laut), Pura Ulun Danu Batur (utara) dan Pura Pusering Jagat (tengah). Pura Sad Kahyangan: enam pura yang diyakini sebagai sendi-sendi spiritual Pulau Bali. Yang termasuk Pura Sad Kahyangan adalah Pura Besakih dan Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem, Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung, Pura Pusering Jagat atau Pura Pusering Tasik di Kabupaten Gianyar, Pura Uluwatu di Kabupaten Badung dan Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan Pura Ulun Danu: pura yang dibangun sebagai hulu atau kepala danau untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Danuh (Dewa pemberi kesuburan). Pura Ulun Swi: pura yang dibangun dalam satu munduk atau blok sawah. Pura Ulun Suwi diempon oleh anggota subak yang memiliki lahan sawah pada munduk tersebut. Purusa-pradana: filsafat Hindu yang meyakini bahwa kehidupan dalam jagat raya dan segala isinya terjadi melalui penyatuan unsur laki-laki (purusa) dan perempuan (pradana).



R Rantai makanan: hubungan saling memakan dalam bentuk sederhana antara organisme satu dan yang lain sehingga menyerupai sebuah rantai. Contoh padi dimakan tikus, tikus dimakan ular, ular dimakan burung, burung yang mati diuraikan menjadi unsur hara, unsur hara diserap oleh tanaman padi (lihat jaring-jaring makanan). Rasa: kebijaksanaan manusia yang sangat tinggi sehingga dapat mewujudkan berbagai nilai kehidupan bermasyarakat. { 180 }



Lanskap Budaya SUBAK



Rekontekstualisasi: menyesuaikan topik pembelajaran dengan konteks permasalahan yang terjadi dalam lanskap budaya subak, mempertukarkan pengalaman antara para pelajar, dan melibatkan mereka dalam perbaikan kurikulum. Rentan: istilah yang diberikan oleh Lembaga Dunia untuk Konservasi Alam dan Sumberdaya Alam, untuk organisme yang terancam punah akibat 50 persen dari populasi organisme tersebut punah dalam 20 tahun terakhir. Contoh organisme yang tergolong rentan adalah gelatik (Padda oryzivora). Restorasi atau Rehabilitasi: mengembalikan suatu tempat ke keadaan semula dengan tanpa menghilangkan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru (Runa, 2010). Rekonstruksi: mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru (2010) Revitalisasi: merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi yang lebih sesuai menitikberatkan pada kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis, atau hanya memerlukan sedikit dampak minimal (Runa, 2010) Rsi Ghana: upacara yang dilaksanakan petani pada saat-saat tertentu apabila terjadi hal-hal yang aneh atau luar biasa di areal persawahan. Maknanya adalah sebagai permohonan untuk kesucian dan keselamatan sawah dan padi kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Ghanapati. Rwa Bhineda: dua hal yang bertolang belakang tetapi senantiasa terdapat bersama-sama sehingga merupakan satu kesatuan. Contoh laki-lakiperempuan, siang-malam dan baik-buruk (lihat purusa-pradana).



S Sambuk kundan atau sekundan: bagian hulu dari bangunan bagi air dalam sistem irigasi subak yang dibuat lebar dan dalam dengan tujuan untuk mengendapkan lumpur serta kotoran agar tidak terbawa air menuju lahan persawahan. Sad kertih: enam kewajiban atau perilaku positif yang harus dilakukan untuk menjaga kehidupan yang seimbang dan berkelanjutan. Keenam kewajiban itu adalah (1) jagat kertih, menjaga hubungan keharmonian hubungan dengan Tuhan, antar sesama manusia dan lingkungan. (2) atma kertih memelihara kesucian atma atau jiwa, (3) samudra kertih, menjaga kelestarian laut, (4) wana kertih,



Daftar Pustaka



{ 181 }



melestarikan hutan, (5) danu kertih melestarikan danau dan air, (6) janu kertih meningkatkan kualitas manusia. Sains: cara untuk mempelajari aspek-aspek tertentu dari alam semesta yang dapat dipahami dengan menggunakan indra manusia (penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan dan penciuman) (lihat metode keilmuan). Sains Art: kegiatan atau hasil kegiatan dalam pembelajaran yang memadukan antara kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif. Sains alam: sains yang mempelajari fenomena dan berbagai masalah alam. Yang termasuk sains alam adalah kimia, fisika, biologi, geologi dan astronomi. Sains sosial: sains yang mempelajari fenomena dan berbagai masalah sosial (interaksi antara manusia dan manusia yang lain sebagai masyarakat). Yang termasuk sains sosial adalah ekonomi, sosiologi, dan geografi. Sagilik-saguluk salulung-sabayantaka: tolong menolong dan berbagi bersama.



kebersamaan, kerjasama,



Sanggah catu: pelinggih (bangunan suci) yang dibuat oleh setiap anggota subak di dekat air dari saluran irigasi masuk menuju sawah mereka. Saput poleng: kain dengan dua warna berselang-seling (biasanya hitam dan putih) sebagai adalah simbol dari rwa bhineda. Sarad: sarana upakara yang dibuat pada waktu Umat Hindu melangsungkan upacara berskala besar (utama). Sarad dibentuk menyerupai gunung dengan nilai seni dan filosofi yang tinggi Sarin tahun: persembahan setiap anggota subak setara jumlah benih padi yang dipergunakan serta penghasilan lain yang syah (Sub Dinas Pengairan Dinas PU Propinsi Bali, t.t.). Sastra sains: pengajaran sains hanya diekspresikan dalam bentuk bahasa tulis atau lisan untuk menuturkan pengalaman, pemikiran atau hasil sains tanpa disertai dengan membelajarkan sains sebagai proses (lihat sains dan metode keilmuan). Sarwa Prani atau segala jenis bentuk kehidupan. Sasih: siklus waktu yang berlangsung selama 12 bulan. Satu bulan berlangsung selama 35 hari sehingga setiap sasih tertentu akan datang setiap 420 hari. Sawen: batang atau tongkat yang dihiasi oleh janur atau benda lain dengan rumbai-rumbai, yang ditancapkan pada tempat menjolok, bagaikan sengaja mengundang pandangan orang yang lewat (Kaler, 1983b, hal. 15). { 182 }



Lanskap Budaya SUBAK



Sekaa: grup atau kelompok petani yang bekerja pada satu bidang kegiatan tertentu. Siklus biogeokimia: peredaran unsur tertentu yang melewati tubuh mahluk hidup (terdapat dalam bentuk senyawa organik), di dalam tanah (bisa senyawa organik atau anorganik) dan di udara (senyawa anorganik). Contoh siklus karbon atau C, di dalam tubuh mahluk hidup air membentuk berbagai senyawa organik (karbohidrat, lemak dan protein), demikian pula di dalam tanah, sedangkan di udara terdapat dalam bentuk gas CO2. Sima: kebiasaan yang telah diadatkan secara turun-temurun dan diakui kebenarannya (Sub Dinas Pengairan Dinas PU Bali, t.t). Sistem ladang bergilir: dulu sering disebut sistem ladang berpindah, cara bertani yang menanami lahan pertanian untuk beberapa kali masa bercocok tanam, kemudian pindah lagi pada lahan yang lain. Demikian perpindahan terus dilakukan, dan pada akhirnya kembali lagi bertani pada lahan yang sebelumnya telah pernah digarap menjadi lahan pertanian. Sistem pangan lokal: pengelolaan pangan yang memprioritaskan produksi, dan konsumsi pangan untuk wilayah sekitarnya. Sistem penyangga (penunjang) kehidupan: sistem atau proses yang mutlak ada agar kehidupan di permukaan bumi ini dapat tetap berkelanjutan. Contoh siklus air dan siklus oksigen. Sistem tumpang sari: sistem bertani yang membudidayakan lebih dari satu tanaman atau ternak. Contoh di sawah, selain menanam padi, juga memelihara sapi dan ikan. Skala dan niskala: skala adalah aspek nyata yang bisa dilihat atau dibuktikan dengan indera manusia. Niskala merupakan aspek yang tidak nyata tetapi kekuatan dan pengaruhnya bisa dirasakan oleh mereka yang meyakininya Suaka alam: kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Subak: masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius, yang secara historis didirikan sejak dahulu kala, dan berkembang terus sebagai organisasi pengairan di suatu daerah (Perda Bali Nomor 2 Tahun 1972); organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia (Wikipedia Ensiklopedia Bebas, 2012). Sistem pengairan terartur yang dilaksanakan oleh rakyat di Bali (Artiarta.com, 2012). Daftar Pustaka



{ 183 }



Subak abian: organisasi petani di Bali yang mengelola tegalan, kebun dan lahan kering lainnya Subak Gde: Beberapa subak yang menggunakan air dari satu bendungan atau sumber air yang sama bergabung menjadi Subak yeh: organisasi petani Bali yang mengelola lahan sawah.



T Teknologi tepat guna: merupakan teknologi sederhana untuk mengatasi permasalahan tertentu, yang mudah digunakan, dan bersahabat dengan lingkungan. Tenggala: alat yang dibuat dari kayu dan besi, yang digunakan untuk mengolah lahan pertanian dengan bantuan sapi atau kerbau (lihat teknologi tepat guna). Teori: rangkaian konsep tentang gejala alam yang disusun secara teratur disebut teori. Teori Darwin dikenal luas sebagai teori tentang asalmula kehidupan. Tri Angga: susunan badan yang menunjukkan nilai tinggi-rendah, sekaligus merupakan dasar dalam tata kesusilaan masing-masing dengan : a. utama, b.madya dan c.nista (Kaler, 1983b, hal. 90); Tri Bhuana: keyakinan Umat Hindu bahwa alam semesta terdiri atas tiga dunia: bhur (dunia untuk tumbuhan dan binatang), bhuah (dunia untuk manusia), dan swah (dunia untuk para Dewa dan Tuhan Yang Maha Esa). Tri masa: tiga dimensi waktu yang timbul sebagai akibat kosmos (makrokosmos dan mikrokosmos) selalu mengalami proses karena ketidakseimbangan. Tri masa mencakup atita (masa lalu), nagata (masa kini) dan wartamana (masa yang akan datang) (Artadharma, 2011). Tulak sumur: kembali menanam padi lagi bagi sepetak sawah, bila padi terdahulu telah sampai umur/telah panen (Kaler, 1983b, hal. 15). Tali Kunda atau kali kunda: saluran air khusus dari tlabah pahdasan (mungkin tlabah umum jenis lain, pah petang dasan dan sebagainya) untuk petak sawah milik satu petani tertentu (Kaler, 1983b, hal. 50). Tri Hita Karana: tiga buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan (Kaler, 1983b, hal. 86); tiga sebab atau unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1) Atma (zat penghidup, jiwa atau roh), 2) Prana (tenaga), dan 3). Angga (jasad/fisik) (Suluh Kehidupan, 2011).



{ 184 }



Lanskap Budaya SUBAK



U Ubah uga: daerah kanan-kiri saluran irigasi yang dibiarkan ditumbuhi tanaman liar sehingga memiliki berbagai fungsi, misalnya untuk konservasi tanaman, habitat hidup satwa liar dan daerah tangkapan air hujan.



V Video berpartisipasi: merupakan model pembelajaran aktif, berbasis pembuatan video untuk mendorong siswa aktif memilih, menentukan dan mempublikasikan hal-hal unik atau istimewa dari lanskap subak. Vertikultur: teknik bertanam secara bertingkat-tingkat atau vertikal.



W Wija atau bija: beras yang ditempelkan di antara dua kening, di ulu hati dan ditelan setelah Umat Hindu nunas tirtha (air suci) pada waktu selesai sembahyang. Wija juga merupakan simbol Dewa Kumara sebagai manifestasi kesucian dan kemuliaan Tuhan. Dengan begitu, mewija (memasang dan menelan beras wija) berati upaya untuk menanamkan benih kesucian dan kemuliaan dalam pikiran serta dalam hati nurani Wuku: siklus waktu yang berlangsung selama 30 minggu. Satu minggu terdiri atas tujuh hari, sehingga setiap wuku akan datang setiap 210 hari.



Daftar Pustaka



{ 185 }



DAFTAR PUSTAKA Amazon Join Prime. (2013). Cycle of rice, cycle of life: A story of sustainable farming [hardcover]. Diunduh pada 6 Maret 2013 dari http://www.amazon.com. Astiti, T.I.P., Windia, W., Sudantra, I K., Wijaatmaja, I.G.M., Dewi, A.A.I.A.A. (2011). Implementasi Tri Hita Karana dalam Awig-Awig. The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011, Diunduh pada 2 Desember 2012 dari http://lppm.unud.ac.id Artadharma. (2011). Suluh Kehidupan (Ways of life). Journey of my soul, mind, voice & act. (2011). Konsep luan-teben (hulu-muara): Konsep harmoni menurut Hindu. Selasa 12 April 2011. Diunduh pada 6 Desember 2012 dari http://artadharma.blogspot.com/ Artikata.com. Definisi subak. Indonesian to Indonesian. Diunduh pada 6 Desember 2012 dari http://www.artikata.com. Bali Post, 26 Desember 2010. Jagad Bali. Pura Luhur Muncaksari sebagai sedahan agung. Diunduh pada 12 Januari 2013 dari http://www.balipost.co.id Gobyah, I K. (2007). Sang Hyang Timuwuh di Pura Batukaru. Bali Post, Rabu Pon 12 Desember 2007. Diunduh pada 5 Januari 2013 dari http://www.balipost.co.id International Council of Monuments and Sites (ICOMOS) (2008). The World Heritage List. What is OUV?.Defining the Outstanding Universal Value of Cultural World Heritage Properties. An ICOMOS study compiled by Jukka Jokilehto. An ICOMOS study compiled by Jukka Jokilehto,with contributions from Christina Cameron, Michel Parent and Michael Petzet. Diunduh pada 29 Januari 2013 dari http://www.international.icomos.org Jovi, E. (2012). Pura di Jatiluwih. Jatiluwih Files. Diunduh pada 5 Januari 2013 dari http://jatiluwih-village.blogspot.com Kaler, I.G.K. (1983a). Butir tercecer tentang adat bali 1. Bali Agung Kaler, I G.K. (1983b). Butir tercecer tentang adat bali 2. Bali Agung Kantun, I.N., Yadnya I K. (2003). Babad Sidakarya. Denpasar: PT Upada Sastra. MacKinnon, J., Phillipps, K., van Balen, B. (tanpa tahun). Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (terjemahan). LIPI/BirdLifeIndonesia Programme. Peraturan Pemerintah Daerah Bali Nomor 2 Tahun 1972 tentang Irigasi Daerah



{ 186 }



Lanskap Budaya SUBAK



Paturusi, S.A., Diartika I W. (2010). Menuju Kota Hijau, Melalui Kearifan Lokal (Memberdayakan Potensi Terpendam Tri Kahayangan di Denpasar. Sebagai Hijauan Kota Yang Abadi. Local Wisdom 2(1), 38-44. Diunduh 25 Nopember 2012 dari http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/11_2nd5-jolw-patu.pdf. Pitana, I.G. (1992). Subak sistem irigasi tradisional di Bali. Di dalam I G. Pitana (ed). Subak Sistem Tradisional di Bali.Sebuah Canangsari, hlm 1-27. Runa, I W. (2010). Konserasi tempat suci peninggalan Dinasti Warmadewa di Bali. Orasi ilmiah disampaikan pada pengukuhan Guru Besar Konservasi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Warmadewa, Sabtu 28 Agustus 2010. Diunduh pada 6 Januari 2013 dari http://www.warmadewa.ac.id Sub Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Dati I Bali. (t.t). Mengenal subak. Sucipta, W. (2007). Leluhur Bali Kuno di Gunung Kawi. Sarad Bali Edisi 86/Tahun VIII Juni 2007. Diunduh dari http://www.parisada.org pada 3 Januari 2013. Surpi. 9 Agustus 2006. Pura Luhur Tamba Waras. Tempat memohon kesehatan lahir batin. Bali Post, Rabu 9 Agustus 2016. Diunduh pada 5 Januari 2013 dari http://www.balipost.co.id The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia & The Government of Bali Province. (2009). Cultural Landscape of Bali Province. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Diunduh pada 2 Januari 2013 dari http://bk.menlh.go.id Wiana. (2007). Melindungi “Tri Chandra” di Pura Luhur Batukaru. Bali Post, Rabu Pon 12 Desember 2007. Diunduh pada 5 Januari 2013 dari http://www.balipost.co.id Wiana, K. (2013). Hari Raya Pagerwesi. Parisadha Hindu Dharma. Sumber Buku, Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni. Diunduh pada 12 Januari 2013 dari http://www.parisada.org Wilatri, S. (2012). Tirta Empul pinaka genah melukat anggen ngicalang kaletehan. Bali Post 12 April 2012. Diunduh pada 2 Januari 2013 dari http://www.balipost.co.id/ Wikipedia Ensiklopedia Bebas. (2012). Subak (Irigasi). Diunduh pada 6 Desember 2012 dari http://id.wikipedia.org/



Daftar Pustaka



{ 187 }