Perkembangan Arsi. Maros [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR 2



ARSITEKTUR MAROS



KELOMPOK 9 REZQI AULIA RAKHMANI 03420140044 HUSAYN 03420140040 MEDITASARI PELUPESSY 03420140016 MUH. IQRAWAN MANSUR 03420140051 ARIANI AMONGPRADJA 03420140001 UMMUL KHAIR J. IDRIS 03420140034 A. MUH. HAEKAL MAHDI 03420140053 MUH. ASWIN JAELANI 03420140005 NURUL HIKMAH 03420140006 ALI AKBAR AKIB 03420140002 ADENANTHERA H. ILYAS 03420140041



FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR UMI 2016 0



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa perpaduan antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang dilatarbelakangi dan diwarnai dua etnis besar Makassar dan Bugis. Kedua etnis ini telah membentuk



watak



dan



karakteristik



masyarakat



Kabupaten Maros yang mudah berinteraksi terhadap masyarakat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari sejarah Kabupaten Maros yang termasuk keturunan dari kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar melalui suatu kaitan perkawinan. Hal inilah yang melahirkan suatu nilai-nilai budaya dan tradisi yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh kalangan masyarakatnya.



Sebagai



tanda-tanda



tersebut



dapat



dilihat dari nama-nama kegiatan budaya yang pada dasarnya berasal dari bahasa Makassar dan/atau Bugis. Kekayaan budaya Kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian dari kegiatan pariwisata karena budaya dan pariwisata adalah suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan. B. Rumusan Masalah Untuk mengkaji dan



mengulas



tentang



bangunan



Arsitektur Maros maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1



1. Apakah pengertian Arsitektur Maros? 2. Apakah sejarah Arsitektur Maros? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan disusunnya makalah



ini



adalah



untuk



menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah. Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang bangunan berlantai medium/ menengah. 1. Untuk mengetahui Arsitektur Maros. 2. Untuk mengetahui sejarah Arsitektur Maros.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Maros



Kabupaten Maros adalah salah satu bekas daerah kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam konteks sejarah pada abad ke XV di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yaitu kerajaan Marusu dengan raja pertama bergelar Karaeng Loe Ripakere. Kerajaan ini cukup berpengaruh karena terletak di antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone, selain itu kerajaan Maros tidak memiliki memiliki ambisi dalam melebarkan sayap kekuasaan karena di pengaruhi prinsip dalam menjalan tata politik pemerintahannya. Hal ini karena, ia memiliki keadaan hidup yang sederhana yang bersumber dari kerja keras para rakyatnya.



3



Kerajaan maros, di huni oleh suku bugis-makassar, tetapi pada hakikatnya, kerajaan ini didominasi oleh suku bugis. Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dahulunya merupakan wilayah sebuah kerajaan yg cukup besar bernama Kerajaan Marusu



dengan



batas



batas



meliputi:



bagian



selatan



berbatasan dgn kerajaan Gowa/Tallo,bagian utara berbatasan dengan Binanga Sangkara’ ( batas kerajaan Siang),bagian timur berbatsan dengan daerah pegunungan ( Lebbo’ Tangngae ) dan pada bagian baratnya berbatasan dengan Tallang Battanga ( Selat Makassar ). Kerajaan Marusu hidup berdampingan dengan damai dengan kerajaan tetangga seperti Gowa, Bone, Luwu dll. Keadaan berubah ketika masuknya intervensi kolonial kompeni belanda. Seiring kekalahan kerajaan Gowa/Tallo dibawah pemerintahan I mallombassi dg mattawang karaeng bonto mangngape’ Sultan Hasanuddin oleh kompeni belanda dibawah pimpinan Admiral Speelman. Atas



kekalahannya



Hasanuddin



terpaksa



tersebut



maka



Raja



menandatangani



Gowa,



suatu



Sultan



perjanjian



perdamaian pada tgl 18 november 1667 yg dinamakan ” Cappaya Ri Bungaya ” atau ” perjanjian bungaya “.yg terdiri atas beberapa pasal, dan salah satunya mengatakan ” bahwa semua



negeri



yang



telah



ditaklukan



oleh



kompeni



dan



sekutunya, harus menjadi tanah milik kompeni sebagai hak penaklukan “.



4



Oleh karena itu, kerajaan marusu yg merupakan sekutu kerajaan Gowa yang berhasil ditaklukkan oleh kerajaan bone di bawah pimpinan Arung Bakke, Arung Appanang dan Arung Bila atas nama



Arung



Palakka yang merupakan



sekutu



dari



kompeni, secara otomatis ikut pula dikuasai oleh kompeni belanda. Penguasaan itu terjadi pada awal tahun 1700, tepatnya pada masa pemerintahan Kare Yunusu Sultan Muhammad Yunus Karaeng Marusu VII. Saat itu kerajaan Marusu tidak lagi menjadi suatu kerajaan independen telah menjadi daerah jajahan kompeni Belanda dalam bentuk ” regentschap” dimana raja Marusu



hanyalah



merupakan



raja



tanpa



mahkota( onttrondevorsteen) Pengangkatan raja harus mendapat persetujuan dari pihak belanda. Selain itu , wilayah kerajaan Marusu yang cukup luas terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil, seperti : kerajaan Bontoa, Tanralili, Turikale, Simbang, Raya dan Lau’. Melihat keadaan yg demikian, maka Kare Yunusu lalu menyerahkan tahta kepada La mamma dg marewa diwettae mattinroe



ri



samanggi



yg



merupakan



keturunan



dari



I



maemuna dala marusu adik kandung dari karaengta barasa sultan muhammad ali raja marusu VI ayahanda beliau yg diperisterikan oleh La patau matanna tikka sultan alimuddin idris raja bone mattinroe ri nagauleng.



5



Di masa pemerintahan La mamma dg marewa ini, semua raja kerajaan tetangga yg baru berdiri itu membentuk suatu wadah



persatuan



guna



mengantisipasi



segala



macam



gangguan / intervensi dari pihak pihak lain terutama dari pihak belanda. Pada awalnya ,ajakan dari La mamma dg marewa ini ,ditolak karena



menganggap



rencana



La



mamma



hanya



untuk



menguasai kembali wilayah kerajaan Marusu yang sudah terpecah pecah itu. Namun,berkat diplomasi yg baik .akhirnya terbentuklah suatu wadah persatuan yg bernama ” TODDO LIMAYYA RI MARUSU ” ( persatuan adat lima kerajaan ). terdiri atas; Marusu,Simbang, Bontoa, Tanralili, Turikale,dan Raya. ASAL KATA MARUSU 1. Marusu berasal dari kata A’maru atau Appa Maru yang artinya di madu atau memadu. Hal ini di karenakan pada zaman dahulu ada seorang putri Maros yang di madu oleh Raja dari daerah lain atau raja marusu itu sendiri. Berdasarkan Lontara bilang raja gowa dan tallo, di ceritakan bahwa raja Tallo I Mangngayoang Berang Karaeng Pasi Tunipasuru memadu salah satu dari putri Karaeng Loe Ri Marusu, Raja Marusu III yaitu Pasilemba yang kemudian melahirakan Raja Tallo IV, Karaeng Barampatola (Istri Raja Gowa XI), Karaeng Langkanaya, Karaeng Sinjai, Karaeng Tidung, Karaeng bonto kappo,



6



daeng, palengu, daeng maddaeng, karaeng mangara bombing, dan karaeng ujung tanah. 2. Berasal dari kata Rusung yang artinya suatu keadaan sederhana baik sebagai individu maupun kelompok masyrakat. 3. Dari kata Ma’rusu berasal dari nama seseorang yaitu Maroso yang tempatnya seringa dijadikan persinggahan oleh



para



musafir



dari



bone



ke



gowa



tau



sebaliknya.Zaman Kerajaan Hingga Kemerdekaan RI tahun 1945. Dalam lontara patturioloanga ri gowa, tercatat



adanya



sebuah



kerajaan



yang



bernama



Kerajaan



Marusu.



Kapan berdirinya tidak diketahui pasti, raja pertamanya yaitu Karaeng Loe Ri Pakere, pada saat yang bersamaan di kerjaaan gowa telah terjadi pergantiaan dari Raja gowa ke VIII ke Raja Gowa IX atau sekitar 1463. Letak gegrafis kerajaan marusu : a. Sebelah utara berbatasan dengan binanga sangkara/ kerajaan siang b. Sebelah timur berbatasan dengan pegunungan Lobbo dari kerajaan Bone c. Sebelah selatan dengan denag kerajaan gowa-tallo d. Sebelah barat denagn selat Makassar/ talang batanga Agama Islam menjadi agama resmi karajaan marusu, ketika raja Gowa XIV Sultan Alauddin dan Raja Tallo VI Sultan



7



Abdullah Awallul Islam, resmi memeluk agama islam, hal ini di pengaruhi oleh hubungan baik anatara 3 kerajaan ini. Setelah belanda menguasai kerajaan di Sulawesi selatan termasuk marusu, maka bentuk pemerintahannya pun di ubah menjadi sebuah kerajaan kecil yang berbentuk adat dengan kepala pemerintahan bergelar karaeng yang merupakan raja tak bermahkota, setelah itu MUrusu pun terpecah menjadi beberapa kerjaan kecil yang kemudian hanya menyisahkan 36 kampung, ada pun kerajaannya yaitu: Kerajaan simbang, kerajaan bontoa, kerajaan tanralili, kerajaan raya, kerajaan Lau,dan kerajaan Turikale, kemudian raja dari kerjaan marusu besar, La mamma daeng marewa, mengadakan pertemuaan untuk menyatukan kembali kerajaan mauru yang di kenal denag Toddo Limaya ri Marusu Setelah peraturan



Indonesia



No.



34



1952



resmi



merdeka,



juncto



PP



No.



maka



keluarlah



2/1952



tentang



pembentukan afdeling Makassar yang di dalamnya tercakup maros sebagai onderfdelling denag 16 distrik, yaitu : Distrik tirikale, Distrik marusu, Distrik simbang, Distrik bontoa, Distrik lau, Distrik tanralili yang dipimpin oleh karaeng. Distrik sudiang, Distrik moncoloe, Distrik bira, Distrik biring kanaya, yang di pimpin oleh Gelarang. Distrik malawa, Distrik camba, Distrik cenrana, Distrik wanua warua, Distrik gantarang matinggi oleh Arung. Adapun pembagian kasta pada kerjaan marusu yaitu : 1. Ana’ karaeng/ ana’ arung yaitu golongan bangsawan 8



2. Tumaradeka yaitu golongan rakyat biasa 3. Ata yaitu golongan budak/ hamba sahaya Kelompok ini terbagi lagi menjadi beberpa bagian 1. Ana’ karaeng/ ana’ arung a. Ana’ pattola/ mattola yaitu anak yang terlahir dari raja dan ibunya permaisuri, yang nantinya kan menggantikan kedudukan sang ayah b. Ana’ manrapi yaitu anak dari saudara kandung raja yang ibu juga dari kalangan sederajatnya c. Ana’ sipuwe yang berdarah setengah bangsawan d. Ana cera yaitu anak yang lahir dari pernikahan ayahnya seorang ana raja sedangkan ibunya dari golongan tu merdeka e. Ana kereng sala, yaitu anak yang terlahir dari ayah setenga h bangsawan dan ibu ata/budak 2. Tu merdeka a. Tu baji/ madeceng yaitu golongan rakyat biasa yang tidak dip perhambakan atau terhormat yang bergelar daeng. b. To samara yaitu rakyat kebanyakan yang tidak menggunakan deang trerkecuali di peristrikan oleh kaum bangsawan. 3. Ata a. Ata sossorang yaitu budak yang di wariskan turun temurun b. Ata nibuang yaitu golongan budak yang berasal dari tawanan perang. KERAJAAN MARUSU Berdiri pada sekitar abad ke 15 oleh seorang raja yg diyakini sebagai seorang Tumanurung bergelar ” Karaeng Loe Ri Pakere “. 9



Berdasarkan lontara patturioloanna tu marusuka ,beliau ini tidak mempunyai keturunan dan nama isterinya juga tdk diketahui,namun dlm lontara tersebut menyebutkan ,bahwa beliau mempunyai seorang putri angkat yg juga merupakan seorang tumanurung bergelar tumanurunga ri pasandang.yg lalu dikawinkan dengan seoarang tumanurung dari daerah luwu bergelar” Tumanurung Ri Asa’ang dan melahirkan seorang putra yg bernama I Sangaji Ga’dong yg setelah dewasa naik tahta menjadi karaeng Marusu II menggantikan karaeng loe ri pakere. ketika karaeng tumapa’risika kallonna raja gowa IX yg memerintah sekitar tahun 1510-1546 melakukan eksvansi perluasan



wilayah



menyerang



dan



menguasai



negeri



sekitarnya, kerajaan marusu pun tak luput dari serangan tersebut. Dalam serangan pertama berhasil di bendung oleh laskar kerajaan Marusu sehingga Gowa harus pulang dgn tangan hampa. Kerajaan Marusu kewalahan ketika terjadi serbuan kedua yang mana pada akhirnya terjadi traktat persahabatan antara karaeng Loe Ri Pakere raja Marusu I dgn karaeng Tumapa’risi Kallonna raja Gowa IX. Masa pemerintahan I Mappasomba Dg Nguraga Karaeng Patanna Langkana Tumenanga Ribuluduayya raja Marusu IV, Kerajaan marusu mengangkat senjata melawan kerajaan gowa. Perang ini disebabkan karena berpihaknya mereka di pihak kerajaan Tallo. Peperangan ini berakhir dengan damai dan melahirkan suatu sumpah yaitu ” iya iyanamo ampasiewai gowa na tallo iyamo ricalla dewata ” artinya ” barang siapa yg 10



memperselisihkan Gowa dan Tallo maka akan dikutuk oleh yg maha pencipta ” 1. KERAJAAN TANRALILI Tanralili berasal dari kata ” Tenri dan Lili ” yg berarti tidak dapat ditundukkan, dikatakan demikian karena daerah ini terkenal akan wataknya yang keras dan pemberani. Didirikan pertama kali oleh bangsawan bone bernama la mappaware dg ngirate batara tanralili bulu’ ara’na bulu YG MERUPAKAN KETURUNAN DARI lA PATAU MATANNA TIKKA SULTAN ALIMUDDIN IDRIS MATTINROE RI NAGA ULENG RAJA BONE XVI. pada sekitar tahun 1700. 2. KERAJAAN TURIKALE Berdiri pd sekitar tahn 1700 oleh I Mappiare Dg Mangngiri putra raja Gowa/Tallo, I Mappau’rangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin. Dikatakan Turikale ( orang dekat/kerabat dekat )sebab, bangswan yg pertama kali membuka derah ini adalah putra raja Gowa sendiri. Namun pendapat kedua mengatakan bahwa penamaan Turikale karena raja yang memerintah di Turikale menjalin hubungan yang dekat dengan pihak belanda. Banyak pendapat yang menentang sejarah ini. 3. KERAJAAN SIMBANG



11



Dikatakan Simbang ( batas ) sebab terletak antara kerajaan Gowa dan Bone. Menurut A fachri makkasau dlm bukunya berjudul ” kerajaan kerajan di Maros dalam lintasan sejarah ” mengatakan bhwa ” simbang berasal dari kata ” sembang ” yg artinya ” menggantungkan di bahu. Hal ini berdasarkan pertama



dari



kali



riwayat



datang



karaeng



Ammallia



membuka



daerah



Butta ini,



yang beliau



menggantungkan regelia/kalompoang yang dibawanya dari Gowa di bahunya sehingga rakyat setempat memberinya gelar karaeng Sembang yang lalu berubah bunyi menjadi ” Simbang ” Kerajaan ini berdiri pada sekitar awal tahn 1700 oleh La Pajonjongi Petta Sanrimana Belo Karaeng Ammallia Butta Ri Marusu yang merupakan bangsawan Gowa Bone putra dari La Pareppa Tosappewali Sultan Ismail Tumenanga Ri Somba Opu. 4. KERAJAAN BONTOA Berdiri pada tahun 1700 oleh I Mannyarrang seorang bangsawan dari daerah bangkala putra dari I pasairi dg Mangngasi Karaeng Labbua Tali Bannangna dari isterinya I Daeng



Takammu



monriwagau



Karaeng



daeng



bonto



Bili’



Tangngayya



karaeng



lakiung



putri



dari



I



tunipallangga



ulaweng raja gowa X ( 1546-1565) Muh aspar dalam artikelnya berjudul ” Riwayat Gallarang Bontoa ” menulis bahwa , daerah ini sebelumnya merupakan wilayah yg dikusai oleh karaeng marusu,sebagaimana yg diriwayatkan pleh J.A.B. Van De Broor tentang Randji silsilah 12



regent Van bontoa ( 1928 ). Diriwayatkan I mannyarrang sebagai utusan dari raja Gowa untuk memperluas wilayah kekuasaan



kerajaan



Gowa



sehingga,



karaeng



Marusu



mempersilahkan I manyarrang membuka daerah baru yg mnjadi



kekuasaan



Gowa.



namun,



dalam



lontara



sejarah



karaeng Loe Ri Pakere yang di tulis Andi Syahban Masikki, (1889) oleh W. Cumming Reppaading the histoies of Maros choronicle, tidak menempatkan Bontoa sebagai wilayah yang dikuasai Marusu. 5. KERAJAAN LAU’ Berdiri pd sekitar tahun 1800 oleh La abdul wahab pagelipue dg mamangung mattinroe ri laleng tedong putra dari La mauraga dg malliungang datu mario ri wawo , cucu dari WE tenri leleang sultanah aisyah datu tanete pajung luwu XXVI mangattinroe ri soreang. Diperisterikan oleh La malliongang datu limattinroe ru sapirie. Wilayah kerajaan yang dikenal itu merupakan cikal bakal dari Kerajaan Marusu yang kemudian bernama Kabupaten Maros sampai saat ini. Selain nama Maros, masih terdapat nama lain daerah ini, yakni Marusu dan/atau Buttasalewangan. Ketiga nama tersebut oleh sebagian masyarakat Kabupaten Maros sangat melekat dan menjadikan sebagai lambang kebanggaan tersendiri dalam mengisi pembangunan daerah. Arti Logo



13



1. Dasar



dari



lambang



yang



berbentuk



PERISAI



menggambarkan keuletan,ketangkasan dan kejujuran. 2. BAJAK (Rikkala atau Pajeko) menggambarkan kehidupan masyarakat yang berorientasi pada bidang pertanian. 3. KERIS TERHUNUS yang pangkalnya bertuliskan MAROS menggambarkan sifat patriotik rakyat. 4. GUNUNG melambangkan keagungan



dan



air



melambangkan pengairan serta daerah wisata. 5. RANTAI MELINGKAR BERMATA 29 menggambarkan kekuatan dan persatuan rakyat. 6. 17 BUAH PADI dan 4 KUNTUM BUNGA KEMIRI dan 5 HELAI DAUNNYA berada diatas sayap berbulu delapan mengingatkan kita terhadap detik proklamasi 17-8-1945. 7. HURUF LONTARA’ menggambarkan dari tiga persekutuan masyarakat hukum adat. Nilai Budaya Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa perpaduan antara nilai-nilai agama dan lingkungan 14



alamnya yang dilatarbelakangi dan diwarnai dua etnis besar Makassar dan Bugis. Kedua etnis ini telah membentuk watak dan karakteristik masyarakat Kabupaten Maros yang mudah berinteraksi terhadap masyarakat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari sejarah Kabupaten Maros yang termasuk keturunan dari kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar melalui suatu kaitan perkawinan. Hal inilah yang melahirkan suatu nilai-nilai budaya dan tradisi yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh kalangan masyarakatnya. Sebagai tandatanda tersebut dapat dilihat dari nama-nama kegiatan budaya yang pada dasarnya berasal dari bahasa Makassar dan/atau Bugis.



Kekayaan budaya Kabupaten Maros juga memiliki



potensi dan bahkan menjadi bagian dari kegiatan pariwisata karena budaya dan pariwisata adalah suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan. Berikut ini beberapa ekspresi budaya yang dituangkan



dalam



suatu



bentuk



kegiatan-kegiatan



yang



mencerminkan kehidupa manusia masa lampau di Kabupaten Maros sebagaimana hal berikut: 1. Upacara Adat Appalili Appalili



adalah



suatu



rangakaian



upacara



adat



sebelum memasuki musim tanam padi.(bulan November). Para petani sebelum turun ke sawah mengambil perkakas kerajaan Karaengga yang disimpan di dalam sebuah loteng rumah adat yang disebut Balla Lompoa ke tempat khusus



yang



sudah



tersedia.



Peralatan



tersebut



diantaranya adalah Batang Pajjejko yang akan dipakai 15



untuk



membajak



sawah.



Batang



Pajjejko



yang



kedatangannya memiliki sejarah tertentu juga merupakan lambang kebesaran bagi Kabupaten Maros. Setelah semua perkakas



lengkap,



Gandrang



Kalompoang



dibunyikan



sebagai pertanda acara adat sudah dimulai dan dimulai pula proses penjahitan kelambu Kalompoangnga setelah itu



hasil



jahitan



pembungkus



dan



yang alas



terdiri



dari



disiapkan



kelambu,



yang



sprei,



dilaksanakan



setelah shalat Ashar. Pada malam harinya diadakan



perjamuan adat atau paempo adat yang dihadiri oleh Pemangku adat, Penasehat adat dan Gallarang Tujua (Kepala Dusun), tokoh tani dan pemerintah yang bertujuan untuk membicarakan masalah pertanian. Sekitar Pukul 05.00 barang-barang kerajaan tersebut diarak menuju sawah milik Kerajaan Marusu yang bergelar Torannu. Prosesi bajak sawah menggunakan Batang Pajjejko yang dibantu oleh Tedong (sapi atau kerbau) sebanyak dua ekor, kemudian mengelilingi sawah sebanyak 3 kali dan selesailah upacara adat ini. Rombongan inipun pulang kembali ke Balla Lompoa. Empat bulan kemudian diadakan persiapanacara adat Katto Bokko 16



2. Upacara Adat Katto Bokko Upacara



adat



Angngalle Ulu



Katto



Bokko



atau



biasa



disebut



Ase sebagai kelanjutan dari upacara



Appalili. Acara ini adalah rangkaian acara adat sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan hasil panen yang telah diraih, khususnya pada tanah Arajang yang diberi gelar Torannu. Acara Katto Bokko dimulaipagi hari dengan mengetam padi dan hasilnya diikat sesuai kebiasaan. Dengan ikatan khusus menggunakan alat tersendiri yang terdiri dari 12 ikatan kecil dan 2 buah ikatan besar. Kemudian diarak keliling kampung menuju Balla Lompoa. Setelah itu, dilakukan penjemputan sesuai adat Kerajaan Marusu oleh Pemangku Adat, para Dewan Adat, Penasehat Adat, Pemerintah setempat, para petani serta



para



undangan.



Dengan



berakhirnya



acara



penyambutan ini berakhir pulalah acara adat Katto Bokko. Pada malam harinya diadakan acara Mappa Dendang. 3. Upacara Mappa Dendang Mappa Dendang adalah pagelaran atraksi kesenian tradisional, seperti tarian tradisional, pencak silat dan lainlain.



Untuk



memberikan



hiburan



bagi



masyarakat,



khususnya petani setelah lelah bekerja. Dahulu acara ini biasanya dijadikan momen gadis-gadis dan pemuda untuk mencari jodoh. Besarnya pengaruh kebudayaan di daerah ini



melahirkan



berbagai



bentuk



seni



budaya



17



tradisional.yang



sarat



dengan



nuansa



agraris



dan



bahari.



4. Bias Muharram Acara ini adalah suatu cara yang dilaksanakan untuk menyambut tahun baru Islam dengan melibatkan berbagai acara kesenian yang bersifat Islami, seperti; qasidah, membaca puisi Islami, dan lagu/ musik Islami. Alat musik yang digunakan baik alat musik tradisional maupun modern. Acara ini dilaksanakan di Lingkungan Kassi Kelurahan Pettuadae Kecamatan Maros Baru. 5. Maulid Rasulullah Saw. Untuk menyatakan rasa syukur kehadirat Allah Swt. atas diutusnya Nabi Muhammad Saw. membawa ajaran Islam sebagai berkah kepada seluruh alam raya. Acara ini adalah pembacaan sejarah kelahiran Nabi Muhammad 18



Saw. (membaca Barzanji) secara bergantian dan setelah itu dibagi-bagikanlah ember mauled yang berisi makanan dan telur. Alat musik pengiringnya adalah rebana. Acara mauled ini dilaksanakan di seluruh Kabupaten Maros dengan pusat kegiatan adalah Desa Patte’ne yang dikenal dengan nama Khawaltiah Sammang.



6. Lomba Perahu Hias Setelah semua perahu peserta bahkan kappa motor dihias dengan meriah berkumpul di depan dermaga, maka mulailah para penumpangnya melakukan atraksi kesenian seperti Mappadendang dan ganrang bulu bahkan pencak silat. Setelah pelepsan secara resmi oleh pejabat maka lombapun dimulai. Tibanya di finish para penumpang yang berpakaian



adat/tradisional



melakukan



atraksi



di



turun



depan



satu



pejabat.



persatu Kegiatan



dan ini



dilaksanakan di jembatan Sungai Maros, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia. 7. Mallangiri



19



Mallangiri



merupakan



suatu



prosesi



pencucian



benda-benda pusaka dan prapanen sekaligus menjadi penanda panen. Benda pusaka berupa batu mulia,konon mempunyai empat buah anakan yang bila pada proses pencuciannya bertambah maka dipercaya panen akan melimpah demikian pula sebaliknya. Upacara ini juga diiringi oleh alat musik tradisional dan upacara ini dilaksanakan di Masale Kecamatan Tanralili.



8. Dengka Ase Lolo Kegiatan ini berlangsung 3 (tiga) hari berturur-turut dengan



kegiatan



Mappadendang.



pagelaran Kegiatan



musik ini



tradisional



dilaksanakan



yaitu untuk



menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen. Alat musik pengiring selama kegiatan ini adalah



antang kayu dan alu. Pesertanya memakai baju bodo. Acara ini dilaksanakan di Tanah Didi Kelurahan Batu Bassi Kecamatan Bantimurung.



20



9. Ma’royong Acara ini menampilkan tarian tradisional dengan nyanyian yang memberi nasehat atau petuah. Acara ini dapat dijumpai di Masale Kecamatan Tanralili. Acara ini didukung oleh 5 orang pemain yang menggunakan alat musik Anak Baccing dan alat tradisional lainnya dengan menggunakan baju bodo 10.



Tari Salonreng Tarian ini dilaksanakan untuk melepas hajat seperti



berhasilnya



panen



atau



sembuh



dari



penyakit



dan



terhindar dari malapetaka. Tarian ini dilaksanakan dengan mengelilingi



satu



ekor



kerbau



yang



akan



dijadikan



persembahan dengan berbagai gerakan sambil menabur beras



kemudian



bermain



pencak



silat



dengan



menggunakan tombak dan dikahiri dengan Mangaru yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemotongan kerbau sebagai rasa syukur dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk keselamatan. Tari ini dimainkan oleh 6 wanita dengan mengenakan baju



bodo



dan



6



pria



menggunakan



passapu



dan



dilengkapi dengan tombak, keris serta bakul yang berisi padi, gula merah, pinang, daun sirih dan beras. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini adalah dua buah gendang dan sebuah suling dengan lagu-lagu yang membangkitkan semangat. Tarian ini dapat dijumpai di Dusun Tanete Desa Bonto Somba Kecamatan Tompobulu. 21



11.



Tari Mappadendang Tarian ini dilakukan dalam upacara Mappadendang



dalam rangka menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena keberhasilan panen. Tarian ini dilakukan dengan mengelilingi lesung sambil memegang alu/antan. Setelah beberapa gerakan tarian maka dimulailah acara “Mappadendang” yaitu dengan memukulkan ujung alu pada pinggiran lesung secara bergiliran dengan irama tertentu,



bergembira



dan



bersemangat.



Tarian



ini



dimainkan oleh 4 pria dengan 6 wanita yang memakai pakaian



adat,



Passapu



Baju



Bodo.



Adapun



musik



pengiringnya dimainkan dengan alu dan lesung berisi padi yang ditumbuk. Tempat tujuan obyek wisata seni ini di lingkungan Kassi Kebo Kecamatan Maros Baru. 12.



Tari Mapeepe-pepe Tarian ini bersifat sakral dan dilaksanakan untuk



memperlihatkan



kesaktian/kekebalan



terhadap



api.



Setelah melakukan tarian dengan gerakan pencak silat diiringi gendang Pammancak, gong dan Pui-pui yang bersemangat, maka para pemain mulai membakar tubuh mereka (tangan dan bagian lainnya) dengan obor, tetapi tidak terbakar (kebal api). Tarian ini dilakukan oleh 5 lakilaki dengan berpakaian Passapu. Obyek tujuan seni ini di Cenrana Batu Bassi. 13.



Tari Kalabbirang 22



Tarian ini sesuai dengan namanya Kalabbirang yang berarti



keanggunan/anggun/mulia.



Tarian



ini



diiringi



nyanyian di persembahkan di kalangan Raja/Bangsawan tinggi kerajaan. Melambangkan keanggunan Putra-putri raja yang ikut menari. Tari Kalabbirang dimainkan oleh 7 orang putri dan 6 orang putra. Alat musik pengiring antara lain gendang, suling dan katto-katto. Di Lingkungan Kassi Kebo Kecamatan Maros Baru dapat di nikmati kesenian tari ini. 14.



Tari Mamuri-muri Tarian ini untuk mengekspresikan rasa kegembiraan



dan rasa syukur kepada Allah Swt. Atas tibanya tahun baru Islam setiap tanggal 1 Muharram tahun Hijriah. Tarian ini dimainkan oleh 7 (tujuh orang perempuan). Alat musik yang digunakan yaitu; gong, pui’-pui’ kecapi dan gendang. Tarian ini dilakukan tersebar di Kabupaten Maros.



15.



Tarian Kalubampa Tarian ini menceritakan tentang beberapa ekor kupu-



kupu



yang



sedang



terbang



kesana-kemari



dengan



riangnya sambil mencari makanan dna pada saat itulah ada seorang laki-laki yang mencoba menangkap-nya. Setelah usaha yang keras akhirnya laki-laki itu berhasil menangkap seekor kupu-kupu. Tapi karena kecerdikannya, kupu-kupu itu berhasil meloloskan diri lagi dan kembali ke alamnya. Tarian ini dimainkan oleh 3 (tiga) orang laki-laki 23



dan 6 (enam) orang perempuan. Perempuan berpakaian baju bodo berwarna yang dilengkapi dengan sepasang sayap. Pria berpakaian adat passapu. Alat musik yang digunakan; gendang, gong, pui’pui’-kecapi.



Tarian ini



dapat dijumpai di Kecamatan Bantimurung, tujuannya untuk menggugah hati manusia agar menyayangi dan bahkan



melestarikan



habitat



kupu-kupu



yang



mulai



terancam punah. 16.



Tari Bunting Berua Sebuah tradisi seni tari yang diciptakan untuk



menyema-rakkan suatu pesta adat perkawinan BugisMakassar maknanya adalah memberi suasana gembira dan bahagia bagi kedua mempelai dan segenap keluarga. Karena



itu,



tari



Bunting



Berua



ini



hanya



khusus



dipersembahkan didalam acara-acara pesta perkawinan adat Bugis-Makassar, lebih khusus perkawinan sebuah keluarga terpandang (bangsawan). Tarian ini dimainkan oleh 5 – 7 orang putri, alat musik yang digunakan; kecapi, suling, gendang, gong, katto-katto dan Anak Baccing. Seni tari



ini



dapat



dijumpai



di



lingkungan



Kassi



Kebo



Kecamatan Maros baru.



17.



Tari Makkampiri Tarian ini sebagai pernyataan rasa syukur kepada



Tuhan Yang Maha Kuasa karena berhasilnya panen kemiri. Gadis



belia



menari-nari



dengan



gerakan



seperti



memungut buah kemiri. Tarian ini dimainkan oleh 3 (tiga) 24



orang laki-laki dan 7 (tujuh) orang perempuan. Alat musik yang digunakan. Keranjang bambu, gendang, kecapi, pui’pui’ dan gong. Taraian ini dapat dijumpai di Kecamatan Camba. 18.



Tari Tubaranina Marusu Pemain tampil dengan gerakan-gerakan heroik dan



bersemangat dan diiringi dengan bunyi gendang dan gemuruh. Tarian ini dimainkan oleh 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan dengan pakaian adat. Alat musik yang digunakan; gendang Bugis. Tarian ini bertujuan untuk menggambarkan sikap kepahlawanan dan gagah berani dalam



menghadapi



musuh.



Tarian



ini



tersebar



di



Kabupaten Maros. 19.



Tarian Ma’Raga Tarian



ini



menggambarkan



keterampilan



dalam



mempermainkan bola raga, dengan gerakan atau atraksi yang beragam termasuk pada saat seorang atau dua orang pemain yang menaiki pundak temannya sambil tetap memainkan raga, atau memasukkan raga ke dalam passapu-nya melalui tendangan kaki. Tarian ini dimainkan olehg 6 (enam) orang laki-laki dengan berpakaian adat passapu. Alat yang digunakan; gendang, gong, pui’-pui’ dan sebagainya. Tersebar di Kabupaten Maros. Tujuan dari tarian ini untuk menyambut acara tertentu seperti; pesta panen, menyambut tamu, dan lain-lain. 20.



Kesong-kesong 25



Penampilan



Pakesong-kesong



dengan



penyanyi



Sinrilik duduk berdampingan, dimulai dengan pengantar dari



sang



penyanyi



tentang



lagu



yang



akan



didendangkannya. Setelah itu maka dimulailah Pakesongkesong



memainkan



kesong-kesongnya



lalu



menyusul



penyanyi melagukan Sinrilik-nya yang biasanya berkisah tentang sikap kepahlawanan dan kejantanan. Kesenian ini dimainkan oleh 2 (dua) orang laki-laki berpakain adat passapu, sedangkan alat musiknya adalah sebuah kesongkesong dan penggeseknya. Kesenian tradisional ini dapat dijumpai di Bonto kapetta Kelurahan Allepolea untuk memeriahkan acara-acara tertentu yang dianggap sesuai dengan semangat lagu-lagu kepahlawanan. Asal-usul Rumah Panggung Kayu adalah salah satu rumah tradisional



Bugis



yang



berbentuk



persegi



empat



memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami



alam



semesta



secara



universal.



Dalam



falsafah dan pandangan hidup mereka terdapat istilah sulapa’ èppa, yang berarti persegi empat, yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang tertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan



manusia



(Elizabeth



Morrell,



2005:



240).



Menurut mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna 26



dan lengkap jika memiliki sulapa’ èppa. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah, yaitu sebuah rumah akan dikatakan bola gènnè atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan (http://www.sabahforum.com). Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang dapat mempengaruhi bentuk rumah mereka, yang ditandai



dengan



simbol-simbol



khusus.



Berdasarkan



pelapisan sosial tersebut, maka bentuk rumah tradisional orang Bugis dikenal dengan istilah Saoraja (Sallasa) dan Bola. Saoraja berarti rumah besar, yakni rumah yang ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan, sedangkan bola berarti rumah biasa, yakni rumah tempat tinggal bagi rakyat biasa (Izarwisma Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 24). Dari segi struktur dan konstruksi bangunan, kedua jenis rumah tersebut tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran rumah dan status sosial penghuninya. Pada umumnya, Saoraja lebih besar dan luas daripada Bola yang biasanya ditandai oleh jumlah tiangnya. Saoraja memiliki 40 – 48 tiang, sedangkan Bola hanya memiliki 20 – 30 tiang. Sementara perbedaan status sosial penghuninya dapat dilihat pada bentuk tutup bubungan atap rumah yang disebut dengan timpak laja. Bangunan Saoraja memiliki timpak laja yang bertingkat-tingkat yaitu antara 3 - 5 tingkat, sedangkan timpak laja pada bangunan Bola tidak bertingkat alias 27



polos (Izarwisma, dkk., [ed.], 1985: 27). Semakin banyak jumlah tingkat timpak laja sebuah Saoraja, semakin tinggi pula status sosial penghuninya.



Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil yang indah dan menyenangkan. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pendirian rumah tradisional Bugis



lebih



diarahkan



kepada



kelangsungan



hidup



manusia secara kosmis. Oleh karena itu, konstruksi rumah tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos. Menurut pandangan hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya (makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan, yaitu alam atas (botting langik), alam tengah (lino), dan alam bawah (uriliyu). Alam atas adalah tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama Dewata SeuwaE (Dewa Tunggal). Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil dewa tertinggi untuk



mengatur



hubungan



manusia



dengan



dewa



tertinggi, serta mengatur jalannya tata tertib kosmos. Alam bawah adalah tempat yang paling dalam yaitu berada di bawah air. Berdasarkan pandangan hidup tersebut, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan, yaitu rakkeang (alam atas), alè bola (alam



tengah),



awa



keseluruhan bagian



bola



(alam



bawah),



di



mana



tersebut masing-masing memiliki



fungsi. 28



Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro Bola atau dukun rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, mulai dari pemilihan lokasi dan waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemenelemen atau ornamen bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya. Selain itu, Sanro Bola



juga



mengetahui



cara-rara



mengusir



makhluk-



makhluk halus melalui doa dan mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk tiang dan tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh jahat. Oleh



karena



itu,



penghuni



rumah



harus



meminta



bimbingan kepada seorang Sanro Bola. Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan ditimpa penyakit, malapetaka, atau meninggal dunia (Nurhayati Djamas, 1998: 74). Tradisi mendirikan



masyarakat rumah



Bugis



senantiasa



di



Sulawesi



Selatan



mempertimbangkan



keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmoni



dengan



mendatangkan



tatanan ketenangan,



kehidupan



alam



akan



kesejahteraan,



dan



kedamaian. Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut niscaya akan mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah, mereka senantiasa menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau simbol, yaitu berupa mitos asal dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson (dalam Robinson,



2005:



273),



praktik-pratik



ritual



tersebut 29



menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk lainnya. Bahan-bahan dan Tenaga a. Bahan-bahan Ketika hendak mendirikan rumah, orang Bugis selalu selektif dalam memilih bahan atau kayu yang bermutu dan bernilai filosofi. Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membangun Rumah Panggung Kayu di antaranya:  Aju panasa (kayu nangka). Kayu ini biasanya khusus digunakan untuk tiang pusat rumah (posi bola).  Aju bitti, aju amara, dan aju jati. Ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk keseluruhan tiang, selain tiang pusat rumah. Namun jika menggunakan kayu jati, jumlahnya harus lebih dari satu, karena kata jati oleh orang Bugis ditafsirkan sebagai maja ati (berhati jelek atau jahat). Selain itu, banyak orang yang akan iri dan dengki kepada si pemilik rumah jika menggunakan kayu jati.  Aju ipi, aju seppu, dan batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini digunakan untuk arateng, yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang yang berfungsi mengikat tiang pada bagian tengah rumah. Ketiga jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo riawa, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi mengikat deretan tiang bagian tengah dari arah kanan ke kiri; dan aju lekke, yaitu balok panjang yang terletak paling atas dan berfungsi untuk menyangga atau menahan kerangka atap.  Aju tippulu dan batang lontar. Kedua jenis kayu ini digunakan untuk membuat pare’, yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang sejajar dengan arateng yang berfungsi mengikat tiang-tiang sebelah atas. 30



Panjangnya sama dengan panjang aju lekke. Selain itu, jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo riase/padongko, yaitu balok pipih panjang yang mengikat ujung tiang bagian atas sejajar dengan pattolo riawa; dan tanebba’, yaitu balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan berfungsi menahan papan yang akan menjadi lantai rumah.  Aju cendana. Jenis kayu ini digunakan untuk membuat barakkapu, yaitu balok kecil yang merupakan dasar dari lantai rakkeang (loteng).  Bambu, digunakan untuk membuat addeneng (tangga), salima (lantai), dan rènring (dinding).  Daun rumbia, ijuk, nipah, ilalang, digunakan untuk membuat atap. Ijuk dan nipah biasanya digunakan khusus untuk Saoraja, sedangkan daun rumbia dan ilalang digunakan untuk Bola. Dalam perkembangannya, saat ini sudah banyak yang menggunakan seng, sirap, dan genteng. b. Tenaga Sebelumnya tradisional



Bugis



disebutkan senantiasa



bahwa



masyarakat



mempertimbangkan



keselamatan ketika akan mendirikan rumah. Oleh karena itu, mereka harus memilih tenaga ahli yang mengerti seluk-beluk adat istiadat mendirikan rumah agar terhindar dari malapetaka. Secara garis besar, tenaga yang terlibat dalam kegiatan mendirikan Rumah Panggung Kayu dibagi atas tiga macam (Mardanas, dkk. [ed.], 1985: 53), yaitu:  Sanro Bola (dukun rumah), yaitu orang yang dianggap ahli tentang tipe-tipe bangunan, nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan itu, serta mengetahui jenis-jenis kayu yang cocok untuk digunakan. Keahlian Sanro Bola tersebut diperoleh melalui pengalaman yang 31



ditopang oleh ilmu yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang. Pewarisannya bisa melalui praktek langsung ataupun secara tertulis berupa naskah Lontarak khusus mengenai rumah. Sanro Bola bertugas mempimpin pendirian rumah dari awal hingga selesai. Secara rinci, tugasnya adalah mengetahui jumlah bahan, biaya, dan tukang yang dibutuhkan, tipe-tipe kayu yang cocok, serta waktu dan tempat yang baik.  Panre Bola (tukang), yaitu orang yang terampil dan mengetahui teknik membuat rumah, yang biasanya tanpa menggunakan gambar. Namun, ia bekerja berdasarkan petunjuk Sanro Bola.  Tenaga pembantu umum, yaitu tenaga pembantu yang terdiri dari keluarga dekat pemilik rumah, baik dari pihak suami maupun istri, dan tetangga terdekat. Tenaga pembantu umum ini hanya bekerja pada waktuwaktu tertentu, yaitu ketika ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang banyak, seperti mappakkatang (menyerut), mappatama arateng dan pattolo (mamasang kerangka rumah), dan mappatettong bola (mendirikan kerangka rumah). Tenaga pembantu ini bekerja secara sukarela sebagai bentuk solidaritas tanpa mengharapkan balasan, yang dalam bahasa Bugis disebut dengan situru-turungi. Tahapan Mendirikan Rumah Panggung Kayu a. Tahap Persiapan Tahap persiapan mendirikan Rumah Panggung Kayu



dimulai



dari



musyawarah



keluarga.



Dalam



pertemuan ini dibicarakan mulai dari tipe dan ukuran rumah, waktu dan tempat mendirikan rumah, bahan dan biaya yang dibutuhkan, hingga ke pembagian tugas (baik tugas individu maupun berkelompok). Persoalan pertama yang dibicarakan adalah status sosial calon penghuni rumah, sebab status sosial 32



tersebut sangat menentukan tipe dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kedua, menentukan ukuran rumah. Sedikitnya ada dua cara untuk menentukan ukuran rumah, yaitu diukur secara spasial vertikal (tinggi bagian bawah, tengah, dan atas), dan spasial horizontal (panjang dan lebar). Secara spasial vertikal, ukuran tinggi bagian bawah (kolong) dan bagian tengah (alè bola/badan rumah) diambil dari ukuran tinggi suami penghuni rumah, yaitu diukur dari ujung kaki hingga telinga dalam posisi berdiri, kemudian diukur dari lantai sampai mata dalam posisi duduk. Hasil dari kedua pengukuran tersebut kemudian



dijumlahkan.



Sementara



untuk



ukuran



bagian atas (puncak rumah) diambil dari seperdua panjang pattolo riase, lalu ditambah dua jari dari istri penghuni rumah. Misalnya, panjang pattolo riase 7 m, maka tinggi puncak rumah itu 7/2 + 2 jari istri penghuni rumah. Secara spasial horizontal, ukuran panjang dan lebar rumah biasanya menggunakan rèppa (depa) dan jakka (jengkal) penghuni rumah. Ketiga, menentukan waktu. Orang Bugis meyakini bahwa terdapat waktu yang baik dan buruk dalam memulai sesuatu pekerjaan. Oleh karena itu, pemilihan waktu sangat penting untuk memastikan hasil positif suatu usaha (Robinson, 2005: 282). Ketika hendak mendirikan rumah, orang Bugis selalu mencari waktu yang baik, dengan harapan si penghuni rumah akan 33



selamat, murah rezeki, dan segala yang dicita-citakan akan tercapai. Waktu-waktu yang dianggap baik, di antaranya mappongngi Arabae (hari Rabu pertama pada setiap bulan), cappu Kammisi (setiap hari Kamis terakhir setiap bulan). Adapun waktu-waktu yang dianggap buruk, yaitu mula Kammisi (hari Kamis pertama pada setiap bulan), cappu Araba (hari Rabu terakhir setiap bulan), hari Senin yang bertepatan hari ke-13 sampai ke-16 setiap bulan, dan uleng taccipi atau bulan terjepit (bulan yang diapit oleh Hari Raya Idul Fitri dan



Idul



Adha,



yaitu



bulan



Zulkaidah).



Menurut



Robinson, bulan-bulan yang dianggap buruk dalam penanggalan Islam adalah Muharram, Raibi’ul-awal, Jumadil-akhir, dan Syawal (Robinson, 2005: 282). Keempat, menentukan tempat dan arah rumah. Tanda-tanda



tanah



yang



dianggap



baik



untuk



mendirikan rumah di antaranya memiliki kemiringan (di mana air bisa mengalir), rasanya kemanis-manisan, dan tidak ditemukan sarang ani-ani (rayap). Setelah itu, tanah tersebut harus diuji kecocokannya dengan si penghuni rumah, yaitu dengan cara meletakkan sebuah bila (buah maja) yang berisi air pada tempat di mana akan diletakkannya posi bola selama satu malam. Jika volume air dalam bila tersebut tidak bertambah, maka itu pertanda baik. Tetapi jika airnya tetap, maka hal itu berarti tidak baik. Untuk arah rumah, topografi tanah juga sangat menentukan. Bila tanahnya miring ke utara, maka rumah harus menghadap ke timur dengan 34



pertimbangan ketentuan adat bahwa air limbah harus mengalir ke kiri. Setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, arah rumah yang paling baik adalah menghadap ke selatan dengan anggapan bahwa Ka–bah yang berada di sebelah barat tidak boleh searah dengan kaki pada waktu tidur (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 73). b. Tahap Pengumpulan Bahan Bahan-bahan yang diperlukan untuk mendirikan rumah Bugis biasanya diperoleh dengan cara ditebang sendiri oleh penghuni rumah, atau dibeli melalui pedagang berdasarkan petunjuk seorang Sanro Bola. Bahan yang pertama kali dicari adalah kayu untuk tiang posi bola (tiang rumah). Bagi masyarakat Bugis, posi bola merupakan soko guru bagi sebuah rumah. Oleh karena itu, bahannya harus dipilih dari pohon atau kayu yang kuat, buahnya enak dimakan, mudah didapatkan, dan memiliki nilai filosofi yang tinggi, misalnya aju panasa (kayu nangka). Panasa dalam bahasa Bugis ditafsirkan sebagai ripomanasai, yaitu –dicita-citakan–. Hal ini mengandung harapan agar apa yang dicitacitakan oleh si penghuni rumah dapat tercapai. Namun, jika kayu untuk tiang pusat ini dibeli dari pedagang, maka yang dipilih adalah kayu nangka yang disebut kalole, yaitu kayu yang masih utuh (belum pernah dibelah). Hal ini juga mengandung harapan agar si penghuni rumah senantiasa dalam keadaan utuh atau



35



sempurna



dan



tidak



pernah



kekurangan



selama



menempati rumah itu (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 41). Setelah tiang untuk posi bola diperoleh, barulah dimulai



mencari



kayu



untuk



tiang-tiang



lainnya,



kemudian dilanjutkan dengan pembuatan arateng, pattolo, dan lain-lain. Namun yang perlu diperhatikan ketika memilih bahan-bahan tersebut adalah harus kayu



yang



berkulitas



tinggi



dan



bernilai



filosifis,



misalnya kayu yang tidak pernah kena petir, ujung atau dahannya tidak bergesekan dengan dahan pohon lain, tidak menindih makhluk hidup (apalagi manusia) saat kayu itu ditebang, tidak dililit oleh tumbuhan lain, dan tidak dilobangi oleh kumbang. c. Tahap Pembangunan Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan kerangka rumah, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu awa bola (bagian



bawah),



alè



bola



(bagian



tengah),



dan



rakkeang (loteng). Kerangka rumah merupakan bagian terpenting karena merupakan bagian yang menentukan kokoh atau tidaknya sebuah Rumah Panggung Kayu. Bahan untuk bagian bawah meliputi aliri, aratèng, pattolo riawa; bagian tengah meliputi parè, tanebba, pattolo riase; dan bagian atas meliputi aju lekkè, barakkapu, patteppo barakkapu, dan aju te. Untuk itu, sebelum dilicinkan dengan menggunakan serut, bahanbahan untuk kerangka ini biasanya direndam dalam air 36



sungai



atau



rawa-rawa



dalam



waktu



berminggu-



minggu, yang dalam istilah Bugis disebut ibellang. Hal ini bertujuan agar bahan-bahan tersebut menjadi kuat dan padat sehingga tidak mudah dimakan rayap atau serangga lainnya selama rumah tersebut ditempati. 1. Pembuatan Aliri (Tiang) Pembuatan aliri dimulai dari membuat aliri posi bola (tiang pusat rumah). Posisi tiang pusat rumah ini terletak pada baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kiri. Posi bola ini menyimbolkan wanita, yaitu sebagai pemegang kendali dalam rumah tangga. Oleh karena itu, kayu yang digunakan tidak boleh asal pilih. Bagian penting



lain



yang



perlu



diperhatikan



ketika



memilih kayu untuk posi bola adalah pasu, yaitu bekas cabang dari pohon itu. Dalam keyakinan orang Bugis, pasu tersebut dapat mendatangkan manfaat ataupun malapetaka bagi penghuninya. Menurut Robinson (2005: 294), sebagian besar pasu mengarah kepada hal-hal negatif yang dapat mendatangkan malapeta. Di antara pasu yang mendatangkan manfaat adalah pasu parekkuseng, yang berarti gadis-gadis di rumah itu mudah mendapat jodoh, dan pasu cabberu (tersenyum), yaitu membuat penghuni senantiasa



bergembira.



Adapun



pasu



yang



membawa malapetaka di antaranya: pasu wuju 37



(mayat), rumah tersebut sering menyebabkan kematian;



pasu



menyebabkan garèppu



tomalasa



penghuni



(orang



sering



(menghancurkan),



sakit),



sakit;



pasu



menyebabkan tuan



rumah sakit-sakitan; dan pasu panga (pencuri), menyebabkan rumah tersebut dimasuki pencuri (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 42). 2. Pembuatan Tiang Pakka (Cabang) Tiang pakka atau cabang adalah tiang yang berfungsi sebagai penyangga tangga depan. Tiang ini menyimbolkan laki-laki, yaitu sebagai pencari nafkah yang setiap hari harus melewati tangga dan pintu depan. Setelah kedua tiang tersebut selesai,



maka



dilanjutkan



dengan



pembuatan



tiang-tiang lainnya yang berjumlah sekitar 20 buah untuk



bangunan



Deretan



tiang



ke



Bola



(rumah



samping



dan



orang ke



biasa).



belakang



masing-masing berjumlah lima buah. Jarak deretan tiang ke belakang harus lebih besar daripada deretan tiang yang ke samping. Itulah sebabnya, meskipun jumlah tiang ke samping dan ke kanan sama, rumah ini tetap berbentuk persegi empat panjang. 3. Pembuatan Parewa Mallepang Parewa mallepang adalah bahan-bahan yang berbentuk pipih, misalnya arateng, parè, pattolo, aju lekkè, pattepo barakkapu, tanèbba, aju te, dan 38



termasuk pula balok-balok kecil. Oleh karena membuat parewa mallepang memerlukan tenaga yang banyak, maka si pemilik rumah biasanya mengundang sanak saudara atau tetangga dalam acara dengan



mappakkatang, menggunakan



yaitu



melicinkan



serut.



Namun,



kayu



dengan



perkembangan teknologi yang semakin canggih, kini pekerjaan ini hanya dilakukan oleh para tukang dengan menggunakan mesin serut. 4. Mappattama Aratèng dan Patttolo Mappattama merangkai



aratèng



kerangka



dan



rumah



patttolo,



yaitu



dengan



cara



memasukkan aratèng dan pattolo pada tiang-tiang yang telah dilubangi, dan semuanya harus dimulai dari posi bola. Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah semua pangkal kayu untuk aratèng harus berada di depan, sedangkan untuk pangkal kayu pattolo harus berada di samping kanan. 5. Mappatettong Bola (Mendirikan Kerangka Rumah) Untuk mendirikan kerangka rumah, si pemilik rumah harus mengundang sanak keluarga dan tetangga karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang banyak. Mendirikan kerangka rumah harus dimulai dari deretan tiang di mana terdapat posi bola yang dipimpin oleh Sanro Bola, dan kemudian 39



disusul oleh deretan tiang-tiang lainnya. Setelah itu, mulailah dipasang pattolo riawa dan pattolo riase untuk menahan deretan tiang agar tidak rebah. Setelah kerangka rumah berdiri, maka dipasanglah yang



barakkapu, yaitu balok kecil-kecil



merupakan



lantai



rakkeang.



Kemudian



disusul dengan pemasangan kerangka tempat meletakkan atap, dan atap rumah. 6. Pemasangan Pelengkap Rumah Setelah kerangka rumah berdiri, maka proses pembuatan rumah dilanjutkan dengan pemasangan pelengkap rumah dan ornamen-ornamen lainnya agar menjadi sebuah rumah yang layak dan aman untuk ditempati, di antaranya:  Addeneng, yaitu tangga sebagai jalan untuk masuk ke rumah. Menurut tempatnya, addeneng dibagi menjadi tiga, yaitu addeneng pangolo (tangga depan) sebagai jalan utama masuk ke dalam rumah; addeneng monri (tangga belakang) sebagai jalan alternatif bagi penghuni rumah jika ada urusan di belakang rumah; dan addeneng rakkeang (tangga loteng) sebagai jalan naik ke loteng untuk menyimpan hasil panen. Addeneng rumah bangsawan (Saoraja) biasanya menggunakan luccureng, yaitu tempat berpegang ketika akan naik atau turun dari rumah. Bagi orang Bugis, kayu cendana tidak boleh dijadikan tangga, karena dianggap rajanya kayu yang tidak boleh diinjak.  Tanèbba, yaitu balok kecil-kecil yang disusun sejajar dengan pattolo dan berfungsi sebagai dasar lantai.



40



 Dapara, yaitu lantai rumah yang biasanya terbuat dari kayu (papan) dan bambu yang biasa disebut salima (bambu yang telah dibelah kecil-kecil).  Rènring, yaitu dinding yang biasanya terbuat dari kayu atau papan (katabang), bambu (dèdde), dan daun kelapa atau nipah (addada). Menurut tempatnya, rènring dibagi menjadi empat bagian, yaitu rènring pangolo (dinding depan), rènring uluang (dinding hulu, terletak di bagian kepala saat tidur), rènring monri (dinding belakang), dan rènring tamping (dinding hilir, terletak di bagian kaki saat tidur).  Tangè, yaitu pintu yang digunakan sebagai jalan masuk/keluar rumah. Pintu ini menurut tempatnya terdiri dari dua, yaitu pintu depan dan pintu belakang.  Tellongèng, yaitu jendela yang digunakan untuk melihat keluar rumah dan sebagai ventilasi rumah. Jendela ini terletak pada dinding dan diapit dua buah tiang. 4. Bagian-Bagian Rumah Panggung Kayu Secara garis besar, Rumah Panggung Kayu dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu secara spasial vertikal dan spasial horizontal. Secara spasial vertikal, Rumah Panggung Kayu digolongkan menjadi:  Rakkeang, yaitu bagian atas rumah yang berada di bawah atap atau langit-langit (eternit). Bagian atau ruang ini biasanya digunakan untuk menyimpan hasil panen dan benda-benda pusaka.  Alè bola, yaitu badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding, yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini dibuat sekat-sekat sehingga terbentuk ruang-ruang khusus seperti ruang tamu, ruang tidur, dapur, dan lain-lain.



41



 Awa bola atau kolong rumah, yaitu bagian rumah yang berada di antara lantai dengan tanah. Bagian ini biasanya digunakan untuk menyimpan alat-alat mata pencaharian dan untuk berternak unggas, seperti ayam dan itik. Dari ketiga bagian rumah tersebut, alè bola atau badan rumah merupakan bagian yang terpenting dari Rumah Panggung Kayu, karena bagian ini merupakan tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari. Maka secara spasial horizontal, bagian alè bola ini dibagi berdasarkan lontang atau lattè (petak) menjadi tiga bagian, yaitu:  Lontang risaliwèng, yaitu bagian depan yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu (biasanya dibuatkan sebuah kamar khusus), tempat bermusyawarah, dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Sebagai tempat berkomunikasi dengan orang luar, biasanya ruang ini dilengkapi dengan kursi atau sofa dan perabot rumah tangga. Foto-foto keluarga juga dipajang di ruangan untuk menambah keindahan dan kenyamanan tamu.  Lontang ritèngngah, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Ruang ini sifatnya sangat kekeluargaan karena di ruangan inilah terjadi hubungan sosial antara sesama anggota keluarga.  Lontang rilalèng, yaitu ruang belakang yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis, nenek/kakek, atau anggota keluarga yang dianggap perlu perlindungan atau perawatan dari seluruh keluarga.



42



Selain ketiga bagian atau ruang-ruang tersebut, rumah tradisional Bugis biasanya ditambahkan ruang khusus,



seperti



jongke/dapurang



(dapur),



tamping



(serambi), dan lego-lego (teras). Jongke adalah ruang tambahan khusus yang dibuat untuk tempat memasak, dan penyimpanan peralatan rumah tangga. Di ruangan ini biasanya juga dibuat sebuah kamar kecil untuk keluarga. Ruangan ini terletak di bagian belakang rumah induk. Tamping adalah ruang tambahan di bagian samping kiri dan kanan rumah induk dengan bentuk



memanjang



ke



belakang,



yang



berfungsi



sebagai tempat penyimpanan barang-barang atau hasil panen. Sedangkan lego-lego adalah ruang tambahan yang dibuat di depan rumah induk. Ruang tambahan ini berfungsi sebagai tempat keluarga bersenda gurau dan tempat duduk tamu sebelum dipersilakan masuk ke dalam rumah. 5. Ragam Hias dan Ornamen Ragam hias pada Rumah Panggung Kayu tidak hanya



sebagai



perhiasan,



tetapi



juga



mempunyai



simbol status sosial bagi pemiliknya dan mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi. Seperti halnya rumahrumah tradisional pada umumnya, ragam hias rumah tradisional ini mengambil pola dasar dari corak alam, flora, dan fauna. Ragam hias flora yang paling menonjol pada rumah tradisional Bugis adalah bunga parenreng, artinya bunga yang menarik. Jenis bunga ini hidup dengan cara melata dan menjalar ke mana-mana bagai 43



tak ada putus-putusnya. Hal ini mengandung makna bahwa si penghuni rumah akan mendapat rezeki yang tidak ada putus-putusnya. Ragam hias ini biasanya ditempatkan pada jendela, induk tangga, dan tutup bubung (timpak laja). Penempatan ragam hias ini pada tempat-tempat



yang



mudah



dilihat



dimaksudkan



sebagai penguat keyakinan bagi si penghuni rumah, bahwa



rezeki



akan



terus



mengalir



jika



mereka



senantiasa berusaha (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 5556). Ragam hias fauna yang menonjol pada rumah tradisional Bugis terdapat tiga macam, yaitu ragam hias ayam jantan, kepala kerbau, dan naga. Ragam hias ayam



jantan



merupakan



simbol



keuletan



dan



keberanian, sedangkan kepala kerbau adalah simbol kekayaan dan ketinggian status sosial pemiliknya. Ragam hias kepala kerbau ini biasanya terdapat pada rumah raja/bangsawan (Saoraja). Adapun ragam hias bentuk naga merupakan simbol wanita yang lemah lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat. Bentuk ragam hias fauna ini pada umumnya ditempatkan pada bubungan atap rumah atau timpak laja. 6. Nilai-Nilai Nilai-nilai



yang



terkandung



dalam



arsitektur



Rumah Panggung Kayu di antaranya adalah nilai falsafah, status sosial, estetika, dan kesatuan hidup keluarga. Nilai yang paling mendasar pada konstruksi 44



rumah ini adalah kosmologi



orang



nilai falsafah, Bugis



yang



yaitu



pandangan



menganggap



bahwa



makrokosmos terdiri atas tiga tingkat. Perwujudan dari pandangan ini dapat dilihat pada konstruksi bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos, yang terdiri dari tiga tingkat yaitu rakkeang, alè bola, dan awa



bola.



Mereka



keharmonisan niscaya



beranggapan



makrokosmos



akan



bahwa



dengan



menjaga



mikrokosmos



mendatangkan



ketenangan,



kesejahteraan, dan kedamaian. Nilai



status



sosial



pada



bangunan



Rumah



Panggung Kayu dapat dilihat pada bentuk timpak laja atau



tutup



bubungan



bubungan



rumah



rumahnya.



bangsawan



Bentuk



(Saoraja)



tutup



bertingkat-



tingkat, sedangkan bubungan rumah rakyat biasa (Bola) bentuknya polos. Perbedaan lain juga dapat dilihat dari bentuk tangga, di mana tangga rumah bangsawan memiliki luccureng (tempat berpegang), sedangkan tangga rumah orang biasa tidak ada. Demikian pula pada



ukuran



rumah,



di



mana



rumah



bangsawan



umumnya lebih besar daripada rumah orang biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat orang Bugis terdapat perbedaan status sosial. Nilai yang tak kalah menariknya dari bangunan Rumah Panggung Kayu ini adalah nilai estetikanya. Bentuknya persegi empat panjang dan ditopang oleh 45



tiang-tiang yang diatur rapi. Seluruh sisi-sisinya dibalut dinding-dinding dan dilengkapi dengan jendela, dan bagian atasnya ditutup dengan atap yang berbentuk prisma. Nilai estetika lainnya terdapat pada kesatuan dan keserasian pelengkapnya. Hal ini terlihat pada keserasian antara besar tiang dengan tebal pattolo dan aratèng, antara tinggi kolong dengan tinggi dindingnya, maupun keserasian antara besar badan rumah dengan tinggi puncaknya. Selain itu, rumah tradisional Bugis juga dilengkapi dengan ragam hias yang meliputi corak alam, flora, dan fauna, yang semuanya memiliki nilai estetika dan arti simbolik. Bangunan mengandung



rumah nilai



tradisional



kesatuan



hidup



Bugis



ini



juga



keluarga,



yaitu



kesatuan hidup suami istri dalam berumah tangga. Bagi orang Bugis, sebuah rumah akan dianggap sempurna jika memiliki dua tiang utama, yaitu tiang posi bola dan tiang pakka. Tiang posi bola menyimbolkan wanita (ibu rumah



tangga)



yang



bertugas



menyimpan



dan



mengelola semua nafkah yang diperoleh suami, serta menjaga



keharmonisan



keluarga.



Sementara



tiang



pakka sebagai sandaran tangga menyimbolkan laki-laki (kepala



rumah



tangga)



yang



bertugas



memikul



tanggung jawab keluarga, yakni mencari nafkah. Oleh karena itu, jika kepala rumah tangga ingin menaikkan atau memasukkan bahan kebutuhan rumah tangga ke dalam rumah, maka ia harus melalui tangga depan.



46



Istana Balla Lompoa Marusu Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Istana Balla Lompoa Marusu Jalan Taqwa No. 9 Kelurahan Baju Bodoa Kecamatan Maros Baru Kabupaten Maros. Secara astronomis terletak pada titik 5° 00’22.14″ LS dan 119°34’4.12″ BT, tepatnya di sebelah barat pusat Kota Maros.



47



Istana Balla Lompoa menempati lahan seluas 30m x 20m dengan arah hadap rumah ke utara dengan batasbatas lahan berupa pagar kawat di sisi barat, lorong selebar satu meter di sisi selatan dan timur dan jalanan di sisi utara. Kepemilikan lahan asli istana sebelumnya cukup



luas karena sisi barat mencapai Kompleks Makam Kassi Kebo dan sisi timur mencapai beberapa blok rumah. Namun seiring perkembangan waktu, lahan luas tersebut dibagi dan/atau dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, terutama keturunan keluarga istana. Rumah-rumah di sebelah barat dan timur istana masih merupakan keluarga inti. Adapun penduduk dari golongan biasa, dibebaskan memanfaatkan lahan seperti membangun rumah sendiri sebagai imbalan atas jasanya membantu keluarga istana. Ruang penyimpanan benda-benda Pusaka Kerajaan



48



Balla Lompoa Maros Balla Lompoa Maros



Sisi kanan istana terdapat bangunan tambahan berupa baruga yang dimanfaatkan sebagai Sekretariat 49



Lembaga



Seni



Budaya



“Barasa”



Kabupaten



Maros.



Bangunan ini terhubung dengan bangunan Balla Lompoa Marusu oleh sebuah “lorong” yang mengarah ke teras Balla Lompoa Marusu. Bangunan lain yang berada di dalam lahan inti Balla Lompoa adalah sebuah rumah yang terletak di sisi timur namun terpisah secara fisik dengan istana. Rumah tersebut dibangun oleh salah seorang keluarga inti istana. Di antara kedua bangunan tersebut, terdapat sebuah sumur yang merupakan bagian atau sumber air untuk istana Balla Lompoa. Sisi barat juga terdapat



sebuah



lumbung



padi



mengalami



bangunan



istana.



perubahan



yang



Lumbung bentuk



berfungsi



padi



sebagai



tersebut



maupun



bahan



telah yang



digunakan. Istana sebagai sebuah pusat kekuasaan pada masanya tentunya akan dikelilingi oleh sarana pendukung dan sumber-sumber kehidupan dalam keberlangsungan suatu pemerintahan. Objek yang masih tersisa sebagai bagian dari istana atau bangunan yang relevan dengan keberadaan dengan istana yakni, Masjid Kassi Kebo, Kompleks Makam Kassi Kebo dan sawah.



50



Gambar Denah Istana Balla Lompoa Marusu



51



Konsep Kosmogoni Orang Bugis Mengenai Budaya Bugis dalam La Galigo : Alur Teks Dalam Epik La Galigo terdapat 3 tempat yang menjadi cerita utama pada epos la galigo ini. Ketiga tempat tersebut mencakup :  Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)  Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)  Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut) Ternyata tempat tersebut bukan hanya sekedar menjadi dekor termpat berlangsungnya para tokoh didalam epos la galigo. Tetapi tempat-tempat tersebut juga mempunyai fungsi-fungsi indeksikal bagi aktifitas kehidupan manusia bugis



52



Dunia Makro-Mikrokosmos Orang Bugis. Dari bagan diatas terlihat bagaimana posisi ketiga dunia makro-mikrokosmos diatas tertata dalam bentuk bersusun tiga. Itu berarti eksistensi keberadaan mikrokosmos berada ditengah-tengah yang diatur dan di Kontrol oleh dunia atas dan dunia bawah. Agar dunia atas dan dunia bawah dapat memberikan kemakmuran



bagi



dunia



tengah,



maka



manusia



yang



menghuni dunia tersebut harus tunduk dan patuh terhadap tatanan Dari



yang



sinilah



ada



berpangkal



dalam



dunia



pandangan



makrokosmos.



makro-mikrokosmos



orang bugis yang memandang dunia ini menjadi 3 lapiran. Konsep tersebut berada dalam kesatuan kosmos yang stukturan dan fungsional.



Konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji Orang Bugis Pandangan kosmogoni orang bugis ini dengan apa yang disebut konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji (Segi Empat Belah Ketupat). Konsep Sulapaq Eppaq adalah filsafat tertinggi



orang



bugis



yang



menjadi



seluruh



wujud



kebudayaan dan sosialnya. Wujud Konsep Sulapaq Eppaq juga



dapat



dilihat



dalam



bentuk



manusia



Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego – lego.



53



Dalam pandangan kosmologis Bugis, rumah tradisional mereka adalah 'mikro kosmos' dan juga merupakan refleksi dari 'makro kosmos' dan 'wujud manusia'. Tradisi Bugis menganggap bahwa Jagad Raya (makro kosmos) bersusun tiga, yaitu Boting langi (dunia atas), Ale-kawa (dunia tengah), dan Buri-liung (dunia bawah). Ketiga susun dunia itu tercermin pada bentuk rumah tradisional Bugis, yaitu: 1. Rakkeang: loteng di atas badan rumah merupakan simbol 'dunia atas', tempat bersemayam Sange-Serri (Dewi Padi). Ruangan ini digunakan khusus untuk menyimpan padi. 2. Watang-pola (badan rumah) simbol 'dunia tengah'. Ruangan ini merupakan tempat tinggal. Terdiri atas tiga daerah, yaitu: (a) Ruang Depan: untuk menerima tamu, tempat tidur tamu, dan tempat acara adat dan keluarga; (b) Ruang Tengah: untuk ruang tidur kepala keluarga, isteri dan anak-anak yang belum dewasa, tempat bersalin, dan ruang makan keluarga; (c) Ruang Dalam: untuk ruang tidur anak gadis dan nenek-kakek. Ada bilik tidur untuk puteri, ruang yang paling aman dan terlindung dibanding ruang luar dan ruang tengah. 3. Awa-bola: kolong rumah tidak berdinding, simbol 'dunia bawah'. Tempat menaruh alat pertanian, kuda atau kerbau, atau tempat menenun kain sarung, bercanda, dan anak-anak bermain. Ukuran panjang, lebar dan tinggi rumah ditentukan berdasarkan ukuran anggota tubuh - tinggi badan, 54



depa dan siku - suami-isteri pemilik rumah. Dengan demikian, proporsi bentuk rumah merupakan refleksi kesatuan wujud fisik suami-isteri pemilik rumah. Pola Stilistika 



Atap



Seperti pada bangunan arsitektur tradisional Bugis di daerah asal, pola penampakan bangunan di Kamal Muara tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang), terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja. Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada umumnya penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah. Selain karena keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan masyarakatnya.



Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang). 55







Bukaan



Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang horisontal dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan seng gelombang yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu (babang/tange). Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan berjumlah 5 (lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding pembatas setinggi lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian bertujuan untuk melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar lokasi rumah menempati daerah rawa. Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah. Peletakannya pada dinding di antara dua tiang. Pada bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan menjaga keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5 buah, hal ini sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untuk menunjukkan rumah rakyat biasa. Pada bagian samping terdapat bukaan yang berupa lobang ventilasi dan pemasangan papan kayu secara longgar untuk mengalirkan udara silang dari arah berbeda dari bukaan jendela depan. Bukaan ini sangat sederhana namun tepat guna dan memiliki corak yang sama berupa bentuk geometri segi enam sebanyak tiga buah. 



Ragam Hias



Ragam hias rumah di lokasi ini tidak begitu menonjol. Di bagian depan pada timpak laja terdapat motif kayu tempel 56



yang menyerupai motif sinar matahari. Maksudnya adalah sebagai lambang pencerahan yang diilhami oleh elemenelemen bentuk yang banyak digunakan oleh simbol-simbol organisasi Islam. Selain itu pada dinding samping lubang ventilasi dengan bentuk segi enam dan penyusunan kayu yang tidak rapat memberikan efek pencahayaan yang cukup menarik bila dilihat dari sisi dalam rumah. Lubang ini pada umumnya terletak di sisi Timur dan Barat. Sinar matahari yang masuk secara tidak langsung juga menjadi alat pemandu waktu. Pagi sebagai pertanda untuk bangun dan sore pertanda malam akan tiba.



A. Pola Penataan Struktur Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.



57



Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:



1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (limalima) untuk sao-raja dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola) 2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa. 3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan. 4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:  Dipasang di ale bola atau di lego-lego.  Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah. 5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah. 6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah papan atau bamboo. 7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu. 8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan. 9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut: 58



 Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap. Sebuah kampong lama dipimpin seorang motowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampong dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis pa’rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut (arung palili) untuk suku Bugis, Makassar sendiri yakni(karaeng) .



Bentuk rumah dan masjid, dibangun diatas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu : a. rakaeng dalam bahas Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah dibawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-benda pusaka b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian dibawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia.



Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu pangggung di depan pintu masih dibagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sbeleum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk keruang tamu. Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada 59



tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelak kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.



KONSEP RUMAH TRADISIONAL



DAN



RUANG



DALAM



ARSITEKTUR



Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya). Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbedabeda, yaitu: 1. Sao-raja (sallasa) è Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih, 2. Sao-piti è Bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua. 3. Bola è Merupakan rumah bagi masyarakat umumnya Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut: A. Pola Penataan Spatial Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekatsekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di 60



bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah. Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut: 1. Rakeang è bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan. 2. Alo-bola (alle bola) : terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan, 3. Awaso : kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.



Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut : 1. Lontang risaliweng (ruang depan)



61



Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping). 2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah. Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol. 3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga. Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi: 1. Lego-lego Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah. 2. Dapureng (jonghe) Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak.



62