5 0 786 KB
PETUNJUK PRAKTIKUM FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN CAIR – SEMI PADAT
Disusun Oleh: Metha Anung Anindhita, S.Farm., M.Sc., Apt.
LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI PROGRAM STUDI S1 FARMASI FAKULTAS FARMASI - UNIVERSITAS PEKALONGAN 2021
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur akhirnya buku Petunjuk Praktikum Formulasi dan Teknologi Sediaan Cair – Semi Padat dapat terselesaikan. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan panduan mata kuliah praktikum. Praktikum ini bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa pada formulasi dan teknologi sediaan cair dan semi padat. Penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Saran untuk perbaikan sangat kami harapkan.
Pekalongan Februari 2021
2
DAFTAR ISI Hal 2 3 4 9 10 10 18 28 28 34 43 46 50 53
KATA PENGANTAR …………………………………… DAFTAR ISI …………………………………………….. TATA TERTIB PRAKTIKUM …………………………. Format cover laporan resmi ……………………………… Sediaan cair ………………………………………………. Suspensi …………………………………………………... Emulsi ……………………………………………………. Sediaan semi padat ……………………………………….. Salep (Unguenta) …………………………………………. Suppositoria ………………………………………………. Percobaan I . Derajat flokulasi …………………………… Percobaan II. Pembuatan dan evaluasi suspensi …………. Percobaan III. HLB emulsi ………………………………. Percobaan IV. Pembuatan dan uji sifat fisik salep ………. Percobaan V. Pembuatan cream minyak atsiri serai dan uji sifat fisiknya ……………………………… Percobaan VI. Pembuatan pasta gigi minyak atsiri cengkeh dan uji sifat fisiknya ……………………… Percobaan VII. Pembuatan gel minyak atsiri serai dan uji sifat fisiknya ……………………………… Percobaan VIII. Pembuatan spray gel ekstrak daun pandan wangi ……………………………………... DAFTAR PUSTAKA …………………………………….
62 64 66 68 72
3
TATA TERTIB PRAKTIKUM
A. Asistensi 1. Asistensi
dilaksanakan
sebelum
kegiatan
praktikum dimulai 2. Asistensi wajib dihadiri oleh seluruh praktikan pada hari sesuai dengan jadwal.
B. Syarat mengikuti praktikum dan pre-test 1. Praktikan
wajib
membawa
laporan
resmi
percobaan sebelumnya dan laporan sementara yang telah diisi lengkap (formula, spesifikasi, dan cara
kerja
dalam
bentuk
bagan)
dan
mengumpulkan laporan resmi yang telah ditulis rapi. Tanpa mengumpulkan laporan sementara maka
praktikan
tidak
diizinkan
mengikuti
praktikum. 2. Praktikan
melaksanakan
pre-test
sebelum
melakukan praktikum
4
C. Praktikum 1. Praktikan wajib datang 10 menit sebelum praktikum dimulai dengan membawa laporan sementara. 2. Jika berhalangan, praktikan wajib menyerahkan surat izin yang sah (surat izin dokter) 3. Tidak diperkenankan praktikum bila terlambat datang tanpa alasan jelas, toleransi keterlambatan 15 menit. 4. Praktikan wajib menggunakan jas lab, masker, dan sarung tangan (bila perlu), mengisi daftar hadir, dan bon alat. 5. Praktikan
hanya
diperkenankan
membawa
laporan sementara, alat tulis, dan kalkulator di dalam laboratorium 6. Praktikan tidak diperkenankan membawa buku petunjuk praktikum, master laporan praktikum, dan handphone. 7. Praktikan wajib bersikap sopan, tidak merokok, tidak gaduh, dan menjaga ketertiban praktikum. 8. Praktikan dilarang makan atau minum di ruang laboratorium 5
9. Wadah bahan-bahan obat yang digunakan harus dikembalikan ke tempat semula dengan tutup botol jangan sampai tertukar 10. Setelah
selesai
digunakan
harus
praktikum
alat-alat
yang
sudah
dibersihkan
dan
dikembalikan kepada laboran. 11. Praktikan yang merusakkan alat harus melapor kepada laboran, dan menjadi tanggung jawab per kelompok. D. Hasil Pengamatan dan Laporan Praktikum 1. Semua hasil pengamatan dicatat dalam laporan sementara. Saat praktikum selesai, laporan sementara dimintakan persetujuan dosen/asisten praktikum yang ada 2. Hasil praktikum wajib diberikan identitas yang jelas, dalam label tercantum nama kelompok dan hari
praktikum.
Hasil
praktikum
yang
hilang/berkurang merupakan tanggung jawab praktikan 3. Tidak diperkenankan praktikan mengulang proses praktikum (misal : penimbangan berulang karena
6
salah
dalam
menimbang)
akibat
kelalaian
praktikan 4. Setiap praktikan wajib membuat laporan resmi percobaan yang dilakukan 5. Laporan sementara wajib dilampirkan pada laporan resmi 6. Laporan resmi diserahkan saat pretes percobaan selanjutnya. 7. Laporan bersifat individu dan ditulis tangan.
E. Sistem Penilaian 1. Penilaian
dilakukan
oleh
masing-masing
dosen/asisten percobaan meliputi : a. Pretest
20%
b. Keaktifan
20%
c. Laporan resmi
30%
d. Responsi
30%
2. Dalam praktikum, yang dinilai adalah cara kerja, kerja tim, ketertiban, dan hasil praktikum 3. Penilaian laporan resmi: a. Kelengkapan administratif : cover (format cover
terlampir
dengan
warna
sesuai 7
ketentuan tiap kelompok), judul percobaan, logo UNIKAL, nama, NPM, kelompok praktikum, golongan praktikum, nama dosen dan asisten praktikum, tanggal dan hari praktikum b. Data praktikum (hasil praktikum) c. Perhitungan (jika ada) d. Pembahasan e. Kesimpulan f. Daftar pustaka (buku petunjuk praktikum tidak boleh digunakan sebagai pustaka) 4. Responsi akhir : responsi tertulis (10), praktek (10), dan lisan (10) Syarat mengikuti responsi harus mengumpulkan seluruh laporan resmi praktikum. Tata tertib dan ketentuan yang belum tercantum akan diatur kemudian.
Pekalongan, Februari 2021
Tim Pengampu Praktikum FTS Cair-Semi Padat 8
Format cover laporan resmi LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FTS CAIR – SEMI PADAT …………(JUDUL PERCOBAAN)……….
Nama NPP Kelas/Kelompok Dosen pengampu
: : : : Metha Anung A.,S.Farm.,M.Sc.Apt.
LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI PROGRAM STUDI S1 FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PEKALONGAN PEKALONGAN 2021
9
SEDIAAN CAIR SUSPENSI Suspensi
adalah
suatu
bentuk
sediaan
yang
mengandung bahan obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap. Jika digojog perlahan-lahan endapan harus segera terdispersi kembali. Suatu sediaan obat dibuat dalam bentuk suspensi karena: 1. Bahan obat tidak larut tetapi masih dikehendaki dalam bentuk cair, misalnya untuk pasien yang tidak bisa menelan tablet atau kapsul atau untuk sediaan parenteral. 2. Untuk obat tertentu, dalam bentuk suspensi lebih stabil daripada larutan, misalnya tetrasiklin HCl yang dibuat dalam bentuk larutan akan cepat rusak, sedangkan tetrasiklin base yang dibuat dalam bentuk suspensi akan lebih stabil. 3. Untuk obat tertentu, rasa dalam bentuk suspensi lebih
enak
daripada
larutan,
misalnya
kloramfenikol dalam bentuk larutan rasanya pahit,
10
sedangkan kloramfenikol palmitate/stearate dalam bentuk suspensi rasanya lebih enak. 4. Untuk tujuan depo terapi, misalnya injeksi suspensi intra muscular.
Sediaan suspensi dapat digunakan melalui oral seperti suspensi kloramfenikol palmitate dan suspensi tetrasiklin. Suspensi juga dapat diberikan secara injeksi im dengan memperhatikan sterilitas produk. Contoh sediaan suspensi steril adalah suspensi procain penisilin. Contoh sediaan suspensi yang diberikan melalui rektal adalah suspensi paranitro sulfatiazol, sedangkan yang contoh yang diaplikasikan di kuliy adalah suspensi calamine. Umumnya, suspensi dapat dibuat dengan dua cara yaitu cara dispersi cara pengendapan (presipitasi) di mana obat dilarutkan terlebih dahulu di dalam kondisi yang sesuai kemudian diendapkan. Perbedaan cara pembuatan dapat mempengaruhi stabilitas suspensi yang dihasilkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antara lain: 1. Ukuran partikel 2. Sedikit banyaknya pergerakan partikel
11
3. Tolak menolak antar partikel karena adanya muatan listrik pada partikel 4. Konsentrasi suspensoid
Kalau muatan partikel diabaikan, maka faktor yang memperngaruhi stabilitas suspensi sebenarnya dapat dilihat dari hukum Stokes:
Sistem Flokulasi dan Deflokulasi Pada pembuatan suspensi dikenal dua macam sistem yaitu sistem flokulasi dan sistem deflokulasi. Dalam sistem flokulasi partikel terflokulasi adalah terikat lemah cepat mengendap dan pada penyimpanan tidak terjadi cake dan mudah tersuspensi kembali. Sedangkan dalam sistem deflokulasi, partikel akan terdeflokulasi atau teragregasi dan mengendap perlahan hingga akhirnya membentuk cake yang keras dan sukar tersuspensi 12
kembali.
Sifat-sifat
relatif
partikel
flokulasi
dan
deflokulasi sebagai berikut.
Flokulasi
Deflokulasi
1. Partikel merupakan agregat 1. Partikel yang bebas
suspensi
keadaan
2. Sedimentasi terjadi cepat,
dalam
terpisah
satu
dengan yang lain
partikel mengendap sebagai 2. Sedimentasi terjadi lambat, flok yaitu kumpulan partikel
masing-masing
3. Sedimentasi terbentuk cepat
mengendap
4. Sedimentasi dalam keadaan
ukuran
terbungkus dan bebas, tidak
terpisah
partikel
padat,
dan
mudah
5. Wujud
adalah
terbentuk
lambat
terdispersi kembali seperti 4. Akhirnya semula
dan
minimal
membentuk cake yang keras 3. Sedimentasi dan
partikel
sedimen
akan
membentuk cake yang keras suspensi
menyenangkan
kurang sebab
dan
sukar
terdispersi
kembali
sedimintasi cepat terjadi dan 5. Wujud
suspensi
diatasnya terjadi cairan yang
menyenangkan karena zat
jernih dan nyata
tersuspensi
dalam
waktu
relatif lama
13
Peristiwa Flokulasi dan Deflokulasi Pemilihan metode pembuatan suspensi tergantung pada apakah partikel akan terdeflokulasi atau flokulasi. Cara pertama dengan menggunakan structured vehicle yang berfungsi menjaga agar partikel tetap terdeflokulasi dalam suspensi. Yang kedua adalah menggunakan sistem terflokulasi sebagai suatu cara mencegah terbentuknya cake, sedangkan yang ketiga adalah kombinasi dari keduanya yang menghasilkan suatu suspensi dengan stabilitas optimal. Elektrolit merupakan bahan pemflokulasi yang paling banyak
digunakan.
Bahan
ini
bereaksi
dengan
mengurangi kekuatan tolak menolak elektrik antar partikel
sehingga
memungkinkan
partikel-partikel
membenttuk flok. Dalam suatu suspensi yang terflokulasi, fase terdispersi akan mengendap secara cepat dan supernatannya merupakan cairan yang jernih. Untuk menilai suatu suspensi dapat menggunakan perbandingan volume endapan pada satu waktu dengan volume mulamula, sebagai harga volume pengendapan,
14
Robinson dkk., menggunakan perbandingan yang sama tetapi dengan tinggi endapan, di dalam hal ini harus diperhatikan luas penampang tempat pengamatan di mana wadah harus memiliki luas penampang yang sama.
Suatu parameter yang lebih baik untuk menilai suspensi adalah dengan mengguakan derajat flokulasi (β) yang menerangkan hubungan antara volume pengendapan suspensi terflokulasi dengan volume pengendapan suspensi yang sama jika suspensi tersebut dalam keadaan terdeflokulasi. Derajat flokulasi (β) diperoleh dengan membandingkan volume sedimentasi pada suspensi 15
flokulasi (F) dengan volume sedimentasi pada suspensi deflokulasi (F~).
Diameter rata-rata Sekumpulan partikel biasanya bersifat heterogen dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi, sehingga dalam menentukan ukuran sekumpulan partikel perlu diperkirakan interval (jarak) ukuran partikel yang ada dan fraksi jumlah atau bobot dari setiap jarak ukuran partikel. Kemudian dibuat kurva distribusi ukuran partikel dan dari kurva ini dapat ditentukan ukuran partikel rata-rata dari sekumpulan partikel tersebut. Metode mikroskpis optic ini merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menentuka ukuran partikel. Diameter rata-rata partikel dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain panjang, luas permukaan, dan volume. Beberapa parameter yang dapat digunakan adalah:
16
17
EMULSI Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang tidak tercampurkan yang satu terdispersi di dalam yang lain dalam bentuk tetes-tetes kecil yang mempunyai diameter pada umumnya berukuran 0,2-50 mikron. Umumnya emulsi terdiri dari fase minyak dan fase air, dimana suatu campuran minyak dan air, bila dikocok akan diperoleh campuran yang homogen. Sistem yang demikian mempunyai stabilitas minimal dan dalam waktu singkat akan memisah kembali. Stabilitas sistem ini dapat diperbesar, dengan bantuan bahan penolong yang disebut emulgator. Dalam sistem dispersi tersebut cairan yang terdispersi disebut fase dispers atau fase internal, sedangkan cairan yang dimana terdapat fase dispers disebut medium dispers atau fase eksternal/fase kontinyu. Kedua fase tersebut yang berair dapat terdiri dari air atau campuran sejumlah substansi hidrofil, seperti alkohol, glikol, gula, garam mineral, garam organik, dan lain-lain. Fase yang lain adalah fase organik yang pada umumnya berminyak, dapat terdiri dari substansi lipofil seperti asam lemak, alkohol, lilin, zat-zat aktif yang liposolubel, dan lain-lain. 18
Tipe Emulsi Zat cair pada umumnya digunakan dalam formulasi sediaan emulsi adalah minyak dan air, maka tipe emulsi dapat dibagi menjadi: 1. Emulsi tipe minyak/air (m/a) atau oil/water (o/w) Adalah emulsi dimana minyak terdispersi dalam bentuk tetes-tetes kecil di dalam air. 2. Emulsi tipe air/minyak (a/m) atau water/oil (w/o) Adalah emulsi di mana fase air terdispersi ke dalam fase minyak.
Penggunaan Emulsi Sediaan farmasi maupun kosmetika yang berbentuk emulsi banyak sekali dijumpai baik untuk pemakaian topikal maupun sistemik, misalnya:
Per-oral: kebanyakan adalah tipe o/w, bentuk ini mempunyai
banyak
keuntungan
selain
mudah
diabsorbsi, homogenitas dosis mudah didapat.
Topikal: dalam sediaan farmasi topikal maupun kosmetika, tipe emulsi baik o/w maupun w/o banyak sekali digunakan tergantung maksud penggunaanya
19
Pembuatan Emulsi Emulsi dapat dibuat menggunakan surfaktan atau padatan yang terdispersi. Bila menggunakan surfaktan maka dapat dilakukan dengan dua cara berikut: 1. Surfaktan yang larut dalam minyak, larutkan dalam minyak. Sedangkan surfaktan yang larut dalam air dilarutkan
dalam
air,
kemudian
fase
minyak
ditambahkan ke dalam fase air. Cara ini digunakan bila diinginkan terbentuknya sabun hasil reaksi, sebagai emulgator. 2. Fase minyak yang ditambah dengan surfaktan (misalnya Tween dan Span) dipanaskan kurang lebih 60-70oC kemudian fase air ditambahkan porsi per porsi sambil diaduk hingga terbentuk emulsi, kemudian didinginkan sampai temperatur kamar sambil dilakukan pengadukan.
20
Bila menggunakan hidrokoloid atau padatan yang terdispersi, ada beberapa metode yang dapat dilakukan: 1. Metode Anglosaxon/Metode Inggris/Gom Basah Larutan dibuat mucilago antara emulgator dengan sebagian air, kemudian minyak dan air ditambahkan sedikit demi sedikit secara bergantian sambil diaduk. 2. Metode
Continental
(4-2-1)/Metode
Gom
Kering/Metode Suspensi Empat bagian minyak ditambahkan 1 bagian gom dihomogenkan dalam mortir kering, kemudian ditambahkan 2 bagian air, diaduk hingga terbentuk korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa airnya sedikit demi sedikit sampai habis sambil diaduk. 3. Metode Botol/Botol Forbes Metode
ini
digunakan
untuk
minyak-minyak
menguap dan minyak-minyak yang kurang kental. Metode ini merupakan suatu variasi dari metode gom kering.
21
Alat untuk Membuat Emulsi Dalam
pelaksanaannya, efektifitas memperkecil
ukuran partikel atau efektifitas homogenisasi dapat berlainan tergantung jenis alat yang digunakan. Alat-alat yang biasanya digunakan dalam pembuatan emulsi antara lain: a. Pengaduk (mixer) Jenis pengaduk ini bermacam-macam tergantung dari volume cairan, kekentalan, dan sebagainya. Alat ini mempunyai sifat menghomogenkan dan sekaligus memperkecil
ukuran
partikel
walaupun
efej
homogenisasi cairan lebih dominan. Selain spesifikasi untuk tiap alatnya, harus dijaga sekali agar tidak terlalu banyak udara yang ikut terdispersi ke dalam cairan dan menjadi buih karena semua yang terdispersi akan mengkonsumsi sebagai surfaktan sehingga menjadi gelembung atau busa. Adanya busa ini akan mengganggu pembacaan volume saat dilakukan pengisian ke dalam wadah. b. Homogenizer Alat ini mempunyai karakteristik memperkecil ukuran partikel
yang
sangat
efektif
namun
tidak 22
menghomogenkan campuran. Pengecilan ukuran partikel terjadi dengan cara pemberian tekanan pada cairan. Cairan dipaksa melalui suatu celah yang sempit yang kemudian dibenturkan ke dinding wadah atau ditumbukkan pada bola-bola metal yang ada dalam celah tersebut. Cara ini sangat efektif sehingga bisa didapatkan diameter partikel rata-rata kurang dari 1 mikron
Kontrol Emulsi Kontrol emulsi dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisika dari emulsi dan dipergunakan untuk mengevaluasi kestabilan emulsi. Ada beberapa cara kontrol emulsi yang dapat dilakukan: 1. Determinasi tipe emulsi
Metode pengenceran: beberapa tetes emulsi ditambahkan dalam tabung yang berisi air, bila campuran homogen atau emulsi terencerkan oleh air maka emulsi bertipe o/w dan sebaliknya
Metode pewarnaan: emulsi tipe o/w akan terwarnai oleh zat yang larut dalam air dan
23
sebaliknya emulsi w/o dapat diwarnai oleh zat yang larut dalam minyak
Konduktibilitas elektrik: air pada umumnya merupakan dibandingkan
konduktor minyak.
yang Bila
lebih
baik
emulsi
dapat
menghantarkan listrik maka emulsi tersebut bertipe o/w
Pencucian
Percobaan cincin
2. Distribusi granulometrik Dengan mengetahui distribusi granulometrik dari partikel fase dispers dan diameter rata-ratanya maka data tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kestabilan emulsi vs waktu. Distribusi granulometrik juga menunjukkan tingkat dispersitas, yang dapat diketahui melalui pengamatan secara mikroskopik atau
mikrofotografik.
Bila
terjadi
peristiwa
koalesensi/pengapungan, diameter rata-rata partikel akan berubah menjadi besar. 3. Determinasi sifat reologi Kontrol sifat reologi sangat penting karena dapat terjadi perubahan fisik yang dapat disebabkan proses 24
fabrikasi maupun penyimpanan sehingga dapat mempengaruhi pemakaian emulsi. 4. Tes penyimpanan yang dipercepat Tes ini dimaksudkan untuk memperpendek waktu pengamatan kestabilan suatu sediaan emulsi. Dalam prakteknya agar diperoleh gambaran yang lebih mendekati keadaan yang sesungguhnya perlu dicari korelasi antara kondisi pengamatan yang dipercepat dengan pengamatan sesungguhnya dalam kondisi normal. Ada beberapa cara tes penyimpanan yang dipercepat: a. Temperatur 40-60oC Dengan penyimpanan pada suhu relatif tinggi, maka viskositasnya akan menurun dan seterusnya akan mempengaruhi stabilitas fisik emulsi. b. Sentrifugasi Pemusingan
pada
kecepatan
tertentu
akan
menaikkan gravitasi (g) pada hukum Stokes, sehingga akan terjadi pemisahan partikel yang lebih cepat pula
25
c. Shock Thermic Emulsi disimpan pada suhu tinggi dan rendah secara bergantian pada waktu tertentu, kemudian pada suhu kamar dan seterusnya diamati hasilnya.
EMULGATOR Emulgator dapat digolongkan dalam beberapa jenis: a. Surfaktan/ SAA Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai gugusan hidrofil dan lipofil sekaligus dalam molekulnya. Zat ini akan berada di permukaan cairan atau antar muka dua cairan dengan cara teradsorbsi. Gugus hidrofil akan berada pada bagian air sedangkan gugur lipofil akan berada pada bagian minyak. Berdasarkan atas muatan yang dihasilkan bila zat ini terhidrolisis dalam air, surfaktan dapat dibagi menjadi surfaktananionik, surfaktan kationik, surfaktan amfoterik, dan surfaktan non-ionik. b. Hidrokoloid Emulgator jenis ini dapat menstabilkan emulsi dengan cara membentuk lapisan yangrigid/kaku dan bersifat larut dalam air (menjadi koloid dengan adanya air) 26
dan akan membentuk emulsi tipe o/w. yang termasuk emulgator hidrokoloid:
Gom : gom arab, tragacant
Ganggang laut : agar-agar, alginate, caragen
Biji-bijian : guar gum
Selullosa : carboxi metil cellulosa (CMC), metil cellulose
Lain-lain : polimer sintetik, protein dan lain-lain
c. Zat padat halus yang terdispersi Misalnya : bentonite, magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida.
27
SEDIAAN SEMI PADAT
SALEP (UNGUENTA) Salep adalah sediaan setengah padat ditunjukkan untuk pemakaian topikal pada kulit selaput lendir. Pada umumnya salep digunakan untuk pengobatan lokal, walaupun salep dapat pula digunakan untuk pengobatan sistemik dengan bentuk sediaan berupa salep atau berupa plaster. Bahan obat atau bahan-bahan obat dapat berada dalam keadaan terlarut (salep larutan) atau tersuspensi (salep suspensi) di dalam basisnya. Peracikan air, cairan obat atau larutan bahan obat ke dalam basis mengandung emulgatr menyebabkan terbentuknya salep emulsi. Salep dengan jumlah bahan padat tinggi dinyatakan sebagai pasta. Krim adalah salep yang mengandung air (sexing dibatasi hanya yang berjenis M/A) Dalam sediaan salep, komposisi basis merupakan hal penting, karena akan mempengaruhi kecepatan pelapasan obat dari basisnya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi khasiat dari obat yang dikandungnya, karena untuk dapat berkhasiat obat harus terlepas dahulu 28
dari basis salepnya. Kecepatan pelepasan ini dipengaruhi oleh faktor kimia fisika baik dari basis maupun dari bahan obatnya, misalnya konsentrasi obat, kelarutan obat dalam basis, viskositas massa salep, ukuran partikel bahan obat, formulasi dan lain-lain. Salep dapat digunakan sebagai pelindung, pelunak kulit dan sebagai vehiculum (pembawa). Salep yang baik seharusnya memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Stabil, selama pemakaian dan penyimpanan harus stabil karena akan selalu dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti suhu, kelembaban dan lain-lain 2. Lunak, karena salep dipergunakan pada kulit yang relatif lebih lunak, terutama salep yang digunakan untuk luka yang terbuka. Untuk itu salep harus memiliki daya menyebar yang baik, namun dapat mempengaruhi persyaratan yang lain. 3. Mudah dipakai, supaya mudah dipakai konsistensi harus tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu enccer serta dapat melekat pada kulit selama waktu yang diperlukan.
29
4. Protektif, untuk salep tertentu diperlukan kemampuan melindungi kulit dari pengaruh luar baik berupa sifat asam, basa, debu, sinar matahari dan lain-lain 5. Basis yang cocok, tidak boleh menghambat kerja obat yang dikandungnya, tidak mengiritasi kulit atau memberikan effek samping yang lain. Basis harus rapat melekatkan obatnya sehingga obatnya dapat berkhasiat. 6. Homogen, bahan obat yang harus terbagi homogen agar setiap pemakaian mempunyai khasiat yang sama
Basis dan bahan pembantu salep harus memenuhi persyaratan umum. Mereka harus memiliki stabilitas yang memuaskan dan tidak tak tersatukan dengan bahan pembantu lainnya dan juga degan bahan obat yang digunakan dalam terapi salep. Basis salep sebaiknya memiliki daya sebar yang baik dan menjamin pelepasan bahan obat yang memuaskan. Daya menyerap air yang memuaskan dan sedikit atau tidak menghambat fungsifungsi fisiologis kulit (tidak terjadi akumulasi panas, tidak ada hambatan pada pemanfaatan kulit) harus juga terjamin. Hal lain yang penting adalah tersatukannya 30
secara fisiologis. Basis salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1. Dasar salep hidrokarbon, dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak (antara lain vaselin putih dan salep putih). Hanya sejumlah kecil komponen berair yang memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut/penutup. 2. Dasar salep serap, dasar salep serap ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (parafin hidrofilik dan lanolin anhidrat), kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah air tambahan (lanolin) 3. Dasar salep yang dalam air. Dasar salep ini disebut juga “dasar salep berlemak” dan terdiri dari konsistituen larut air.
Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor seperti khasiat yang diinginkan. Sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitanya dan ketahanan sediaan. Pelepasan obat dari dasar salep secara 31
“in-vitro” dapat digambarkan dengan kecepatan prlarutan obat yang dikandungnya dalam medium tertentu. Ini disebabkan karena kecepatan pelarutan merupakan langkah yang menentukan dalam proses berikutnya. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari basisnya adalah: 1. Kelarutan obat dalam basis 2. Konsetrasi obat 3. Koefisien difusi obat dalam basis 4. Medium pelepasan
Pengungkapan data kecepatan pelarutan dapat dilakukan dengan evalusai antara lain: 1. Waktu yang diperlukan sejumlah tertentu zat melarut. Misalnya T20 artinya waktu yang diperlukan agar obat larut 20% dalam media. Selain itu hasil uji disolusi dapat dinyatakan dalam : jumlah obat yang terlarut dalam media pada waktu tertentu. Misalnya C20 artinya jumlah obat yang terlarut selama waktu 20 menit. 2. Hubungan antara konstanta kecepatan dissolusi (k) vs waktu (t) 32
3. Metode
“dissolution
efficiency”
(DE)
yaitu
perbandingan luas daerah di bawah kurva kecepatan pelarutan denga luas pada waktu yang sama yang menunjukkan 100% obat terlarut
Macam-macam uji pelepasan obat dari basis salep: 1. In-vitro a. Metode difusi pada Golase b. Cara mikrobiologi c. Metode difusi dengan menggunakan membrane d. Metode difusi tanpa membran 2. In-vivo a. Metode histologi b. Metode dengan menggunakan “trace” yang dilabel dengan radio aktif c. Metode penilaian pada aspek fisiologi tertentu d. Analisa pada cairan badan atau jaringan
33
SUPPOSITORIA Suppositorian adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vaginal, atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zzat terapetik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria pada umumna yang digunakan adalah lemak coklat,
gelatin
tergliserinasi,
minyak
nabati
terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai macam bobot molekul dan ester asam lemaj polietilen glikol. Bahan dasar suppositorian yang digunakan sangat berpenagruh pada pelepasan zat terapetik. Lemak coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan cairan tubuh, oleh Karena itu menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang sesuai untuk beberapa antiseptik. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih baik menggunakan sistem ionik dari pada non-ionik agar diperoleh ketersediaan hayati yang maksimum. 34
Bahan pembawa berminyak seperti lemak coklat jarang digunakan dalam sediaan vagina (ovula), karena membentuk residu yang tidak dapat diserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang digunakan melalui rektal kerena
dissolusinya
penggantinya
(lemak
lambat. keras)
Lemak lebih
coklat baik
dan untuk
menghilangkan iritasi, seperti pada sediaan hemoroid internal.
Persyaratan bagi basis suppositoria Persyaratan berikut harus terpenuhi: 1. Secara
fisiologis
netral
(tidak
menimbulkan
rangsangan pada usus, hal ini dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis atau tengik, terlalu keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik. 2. Netral secara kimia (tidak tersatukan dengan bahan obat) 3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil) 4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (dengan demikian pembekuan massa berlangsung cepat
dalam
cetakan, kontraksibilitasnya
baik,
mencegah pendinginan mendadak dalam cetakan) 35
5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir dengan titik lebur jernih (sangat penting artinya bagi kemantapan bentuk dan juga, pada penyimpanan, khususnya pada suhu yang tinggi) 6. Viskositas yang memadai (mampu mengurangi sedimentasi bahan tersuspensi, tingginya ketepatan takaran) 7. Suppositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau melarut (persyaratan untuk kerja obat) 8. Pembebasan dan resorpsi obat yang baik. 9. Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan, pengerasan, kemantapan bentuk, daya patch yang baik dan stabilitas yang memadai dari cairan obat 10. Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil
Kecepatan Pelarutan Secara sederhana, kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dalam hal suppositoria, dapat didefinisikan sebagai transfer massa, 36
yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut dalam bahan obat dari sediaan suppositoria ke dalam medium penerima. Penelitian tentang dissolusi telah dilakukan oleh NoyesWhitney dan dalam penelitian telah diperoleh persamaan berikut:
Dalam persamaan tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan pelarutan tergantung pada perbedaan kadar jenuh (Cs) dan kadar zat dalam medium pada saat t (C), selain itu dipengaruhi pula oleh tetapan kecepatan pelarutan (k) dan luas pernukaan spesifik (S). Penggunaan suppositoria untuk sistemik mempunyai kebaikan antara lain: 1. Dapat diberikan kepada penderita yang tidak mungkin diberikan secara peroral. Misalnua pada pasien yang pingsan, mutah-muntah, dan lain-lain. 2. Obat yang dirusak oleh cairan lambung 37
3. Menghindari sebanyak mungkin sirkulasi portal 4. Menghindari obat dari aksi enzim penccernaan untuk obat-obat yang peka terhadap enzim (misalnya K atau Na-benzil penisilinat) 5. Obat-obat yang mengiritasi mukosa lambung dapat diberikan bahkan dalam konsentrasi yang tinggi, misalnya aspirin dan fenilbutazon 6. Obat yang mempunyai baru dan rasa yang tidak enak bila dipakai secara peroral, misalnya kreosot.
Sebagaimana hanya salep, suppositorian juga mempunyai basis yang larut dalam air dan basis lemak. Basis lemak kebanyakan dipakai oleum cacao yang mengandung beberapa jenis kristal didalamnya yaitu kristal gg, aa, bb, dan bb stabil. Hanya bb stabil yang menyebabkan titik lebur optimal dari oleum cacao pada suhu 34 oC sehingga perlu diperhatikan dalam pemanasannya karena pada pemanasan yang tinggi (di atas 36oC) akan terbentuk Kristal yang meleleh pada suhu yang lebih rendah dari suhu kamar. Untuk menaikkan suhu leburnya biasanya dilakukan penambahan cera flava 4-6%.
38
Cara
pengujian
kecepatan
pelepasan
obat
dari
suppositoria sama persis dengan uji pelepasan obat pada salep dengan sedikit modifikasi untuk suppositoria. Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suatu zat untuk sediaan. Selain persamaanpersamaan tersebut, cara lain untuk mengungkapkan kecepatan pelarutan yaitu: 1. Metode Klasik, menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan C10, C20, C40, C60 dan seterusnya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan satu titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu 2. Metode Khan, dikenal dengan konsep Dissolution Efficiency (DE). Beberapa peneliti menyarankan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut. Keuntungan menggunakan metode DE adalah: a. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan satu harga DE
39
b. Dapat
menggambarkan
percobaab in vitro
hubungan
antara
dan in vivo karena
penggambaran dengan cara DE ini mirip, dengan cara penggambaran percobaan In vivo. Rumuskan sebagai berikut
3. Metode Linearisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan persamaan Wagner Metode ini berdasarkan asumsi sebagai berikut: a. Kondisi percobaan harus dalam keadaan sink, yaittu Cs>>>C b. Proses pelarutan mengikuti reaksi orde 1 c. Luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial sebagai fungsi waktu d. Kondisi proses pelarutan non-reaktif 40
Sifat Alir Cairan Dibagi menjadi : 1. Sifat alir Newton 2. Sifat alir Non-Newton a. Plastik b. Pseudoplastik c. Dilatan Tipe alir dapat diketahui dengan cara memplotkan data antara tegangan geser (F) vs kecepatan geser (G). sifat ini berguna antara lain dalam hal fabrikasi/pembuatan sediaan. Sebagai contoh suatu sediaan yang bersifat dilatan, makin diaduk makin kental sehingga bila tidak diperhatikan cara pembuatannya maka dapat merusak pengaduknya. Demikian pula dengan salep bila bersifat pseudoplastik, salep yang kelihatannya kental ternyata mudah dipergunakan pada waktu digosokkan di atas kulit.
Bila hubungan antara tegangan geser dengan kecepatan geser linier maka tipe aliran Newton, tetapi bila tidak linear maka tipe alirnya adalah plastik
Bila lebih linier hubungan antara akar kuadrat tegangan geser dengan akar kuadrat kecepatan geser maka tipe alirnya plastik. 41
Bila yang lebih linier antara log tegangan geser dengan log kecepatan geser dan harga slope-nya kurang dari 1 maka tipe alirnya pseudoplastik, tapi bila slope-nya lebih dari 1 maka dilatan.
42
PERCOBAAN I. Derajat Flokulasi
I.
Tujuan : Menghitung derajat flokulasi dari sediaan suspensi
II. Alat : Alat-alat volumetri, sejumlah tabung reaksi 20 ml (minimal 20 buah) III. Bahan : Sulfadiazine; Dikotil Sodium Sulfosuksinat (DSS); AlCl3 ; Akuades IV. Percobaan ; A. Formula (replikasi 3 kali) Formula
A
B
C
D
E
Sulfadiazin (g)
2
2
2
2
2
DSS (mg)
20
20
20
20
20
-
2
4
6
10
20
20
20
20
20
AlCl3 Akuades add (ml)
43
B. Cara Kerja 1. Larutkan DSS ke dalam sebagian air 2. Haluskan serbuk sulfadiazine menggunakan mortir 3. Serbuk
sulfadiazin
didispersikan
dalam
larutan yang mengandung DSS, aduk sampai semua serbuk terbasahi. Jika perlu tambahkan sedikit akuades. 4. Tambahkan larutan AlCl3 secara seksama pada formula-formula B, C, D,dan E. aduk sampai homogen dan terbentuk dispersi terflokulasi 5. Dispersi kemudian dituang ke dalam tabung reaksi berskala dan ditambah air suling add 20 mL, kemudian digojog homogen 6. Tempatkan tabung dalam rak. Catat tinggi pengenapan pada waktu-waktu tertentu : 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 60 menit dan 3 hari. Amati supernatannya (cairan bening) 7. Tentukan
tipe
suspensi-suspensi
yang
dihasilkan, serta gambarkan grafik waktu vs harga F untuk kelima formula tersebut. 44
8. Hitunglah derajat flokulasi suspensi (dari hasil pengamatan hari ke-3)
45
PERCOBAAN II. Pembuatan dan Evaluasi Suspensi I. Tujuan : Mengenal cara, pembuatan dan evaluasi bentuk sediaan suspensi II. Alat : Alat-alat pembuatan suspensi, Alat-alat gelas, Pipet ukur 1 mL, Cawan porselen besar, 2 labu takar 25mL III. Bahan : Sulfadiazin, Sulfamerazin, Sulfadimidine, Asam sitrat, CMC Na, Metil Paraben, NaOH, Gula, Etanol IV. Percobaan ; Formula (Tiap formula buat sebanyak 250 ml) R/
Sulfadiazin Sulfamerazin Sulfadimidin Asam Sitrat CMC Na Metil Paraben NaOH Sirup Simplek Etanol Akuades
167 mg 167 mg 167 mg 200 mg 50 mg 5 mg 100 mg 1,5 ml 50 µl 5 ml 46
A. Cara Kerja 1. CMC Na dikembangkan dengan air panas sekitar 50 ml selama 15 menit dalam mortir 2. Campuran ketiga sulfa dimasukkan ke dalam CMC Na, diaduk homogen (tidak ada gumpalan) (campuran I) 3. Larutkan NaOH pada sebagian air, kemudian masukkan pada campuran I, aduk hingga larut (campuran II) 4. Larutkan asam sitrat pada sebagian air dan masukkan ke dalam campuran II sambil diaduk sampai keruh 5. Tambahkan sirup simplek dan larutan metil paraben dalam etanol, aduk hingga homogen. 6. Tambahkan
air
hingga
volume
yang
ditentukan 7. Tempatkan suspensi dalam wadah dan tabung untuk pengamatan Pembuatan dengan metode dispersi 1. Kembangkan CMC Na dalam air panas yang tersedia sekitar 50 ml (selama 15 menit) (campuran I) 47
2. Campur ketiga sulfa dalam mortir, tambahkan sedikit demi sedikit campuran I aduk hingga tidak ada lagi gumpalan 3. Tambahkan sirup simplek ke dalam campuran I aduk hingga tidak ada lagi gumpalan 4. Tambahkan campuran larutan asam sitrat dan larutan NaOH sedikit demi sedikit, aduk hingga homogen 5. Larutkan
metil
paraben
dalam
etanol,
tambahkan ke dalam campuran I 6. Tempatkan suspensi ke dalam wadah dan tabung untuk pengamatan 7. Tambahkan
air
sampai
volume
yang
ditentukan Evaluasi 1. Tentukan volume sedimentasi (nilai F) 2. Hitung diameter pada 500 partikel suspensi, dengan
menggunakan
mikroskop
yang
dilengkapi dengan micrometer. Tentukan dln dan dvs
48
3. Redispersibilitas Suspensi dimasukkan dalam tabung berskala, kemudian putar 360o dengan kecepatan 20 rpm dengan alas, catat waktu yg diperlukan hingga dasar tabung bersih dari endapan suspensi 4. Waktu tuang Suspensi dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20 ml, digojog homogen, kemudian suspensi dituang dengan sudut 45o C dan dicatat waktu yang diperlukan sampai suspensi tertuang seluruhnya. 5. Pengamatan dilakukan pada hari ke-1 dan 3 6. Bandingkan hasil yang diperoleh dengan cara A dan B
49
PERCOBAAN III. HLB Emulsi
I. Tujuan : Mengetahui pengaruh HLB terhadap stabilitas emulsi II. Alat Blender, Alat gelas III. Bahan Virgin Coconut Oil (VCO), Tween 80, Span 80, Akuades IV. Percobaan A. Formula R/
Virgin Coconut Oil Tween 80 Span 80 Akuades ad
30 g 7,5 g 7,5 g 150 g
B. Cara Kerja Optimasi Formula Buatlah 3 formula pada poin A (masing-masing formula sebanyak 150 g) dengan mempergunakan tween dan span dengan perbandingan sebagai berikut: 50
Formula
I
II
III
Tween 80 (bagian)
75
50
25
Span 80 (bagian)
25
50
75
Pembuatan emulsi 1. Hitung HLB masing-masing formula 2. VCO, tween dan span dimasukkan ke dalam beker glas kemudian panaskan sampai suhu 70oC (campuran I) 3. Sementara itu siapkan air yang telah dipanasi hingga 70oC 4. Campuran I dimasukkan dalam blender, tambahkan
air
yang
telah
dipanaskan
(campuran II), putar selama 30 detik 5. Masukkan ke dalam beker glas, tunggu hingga dingin 6. Masukkan emulsi ke dalam tabung yang berskala 20 ml sebanyak 2 tabung (1 tabung untuk pengamatan normal dan 1 tabung untuk pengamatan dipercepat/senttrifugasi)
51
7. Terhadap
sisa
sediaan
emulsi
tentukan
viskositasnya dengan viskosimeter (dengan menentukan tipe alir terlebih dulu) 8. Jelaskan hubungan antara nilai HLB dengan stabilitas
emulsi,
pertimbangkan
pula
viskositasnya.
52
PERCOBAAN IV. Pembuatan dan Uji Sifat Fisik Salep
I. Tujuan : Membuat salep asam salisilat dengan basis berlemak dan basis yang larut air serta evaluasi sifat fisiknya II. Alat : Alat pembuat salep III. Bahan : Asam salisilat, Vasellin, Cera flava PEG 400, PEG 4000 IV. Percobaan : A. Formulas Salep A Formula
I
II
Asam salisilat (g)
5
5
Vaselin (g)
45
42,5
Cera flava (g)
-
2,5
53
Cara Kerja A Formula I 1. Dalam mortir hangat, masukkan asam salisilat, tambahkan spiritus fortiori beberapa tetes sampai
semua
asam
salisilat
terbasahi,
kemudian gerus sampai halus 2. Tambahkan sedikit demi sedikit vaselin, aduk hingga homogen 3. Beri etiket dan simpanlah salep dalam wadah untuk percobaan selanjutnya Formula II 1. Vaselin dan cera flava dilelehkan dalam cawan porselen
dan
diaduk
hingga
homogen
(campuran I) 2. Asam salisilat dimasukkan dalam mortir hangat, tambahkan spiritus fortiori beberapa tetes hingga asam salisilat terbasahi dan gerus sampai halus. 3. Tambahkan sisa campuran I dan aduk hingga homogen 4. Beri etiket dan simpanlah salep dalam wadah untuk percobaan selanjutnya 54
B. Formula Salep B Formula
III
IV
Asam salisilat (g)
5
5
PEG 4000 (g)
25
32,5
PEG 400 (g)
20
12,5
Cara kerja B 1. Lelehkan kedua macam PEG dalam cawan porselen (campuran I) 2. Dalam mortir hangat masukkan asam salisilat, tambahkan spiritus fortiori beberapa tetes hingga asam salisilat terbasahi dan gerus sampai halus. 3. Campurkan campuran I dengan asam salisilat dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit campuran I dan aduk sampai homogen 4. Beri etiket dan simpanlah salep dalam wadah untuk percobaan selanjutnya.
55
C. Uji Sifat Fisik Pengujian fisik salep terdiri dari uji daya sebar, uji daya melekat dan kemampuan proteksi Bahan : Salep, kertas saring, larutan fenolftalein (PP), parafin, larutan KOH 0,1N Alat : Alat untuk tes daya sebar salep Alat tes untuk daya lekat salep Alat gelas lain Cara kerja : 1. Daya sebar salep a. Timbang 0,5 gram salep, letakkan di tengah alat (kaca bulat) b. Timbang dahulu kaca penutup, letakkan kaca tersebut di atas massa salep dan biarkan selama 1 menit c. Ukur berapa diameter salep yang menyebar (dengan mengambil panjang rata-rata dari beberapa sisi)
56
d. Tambahkan 150 gram beban tambahan, diamkan selama 1 menit dan catatlah diameter salep yang menyebar e. Amati perubahan diameter setiap 1 menit selama 10 menit atau ketika diameter sudah konstan (catat waktu yang dibutuhkan hingga diameter konstan) f. Gambar dalam grafik antara beban dan luas salep yang menyebar g. Ulangi masing-masing 3x untuk tiap salep yang diperiksa Hitung daya sebar dengan rumus sebagai berikut:
2. Daya lekat salep a. Letakkan salep dengan bobot tertentu di atas objek glass yang telah ditentukan luasnya b. Letakkan objek glass yang lain di atas salep tersebut, tekanlah dengan beban 1kg selama 5 menit 57
c. Pasanglah objek glas pada alat uji d. Lepaskan beban seberat 80 gram dan catat waktunya hingga kedua objek glas tersebut terlepas e. Ulangi sebanyak 3 kali 3. Kemampuan proteksi salep a. Ambil sepotong kertas saring (10x10 cm), basahilah dengan larutan PP untuk indikator. Setelah itu kertas dikeringkan b. Olesi kertas tersebut dengan salep yang akan dicoba (pada salah satu muka) seperti lazimnya orang menggunakan salep c. Sementara itu pada kertas saring yang lain, buat satu area (3x3 cm) dengan parafin padat yang
dilelehkan.
Setelah
kering
akan
didapatkan area yang dibatasi degan parafin padat. d. Tempelkan kertas tersebut (no.3) di atas dengan kertas sebelumnya (no.2) e. Teteskan area ini dengan larutan KOH 0,1N f. Lihat sebelah kertas yang dibasahi dengan larutan PP pada waktu 15, 30, 45, 60 detik, 3, 58
dan 5 menit. Amatilah noda merah yang terbentuk pada kertas tersebut g. Lakukan percobaan untuk salep yang lain. 4. Uji pelepasan salep a. Siapkan sel dissolusi dan membrane selofan porous (sebelum digunakan direndam dahulu selama 24 jam dengan akuades) b. Masukkan salep dalam sel pada alat disolusi (berat tertentu). Tutup dengan membran selofan. Jaga supaya tidak ada gelembung udara antara salep dan membran. Tutup sel dengan penutupnya. Membran dapat bebas dilalui oleh obat tetapi relatif tidak permeabel.
59
c. Tuangkan akuades 37oC sebanyak 500 ml (dengan labu takar) dalam bejana disolusi (dapat juga digunakan beker glass bertutup). Jaga agar suhu medium tetap 37oC selama percobaan. d. Masukkan sel yang telah diisi salep dalam medium. Jalankan pengaduk dan pencatat waktu e. Ambil 5 ml contoh medium pada waktu 5; 10; 15; 20; 30; 45 menit (setiap kali mengambil sampel, medium harus diganti dengan larutan media disolusi dengan volume yang sama) f. Tetapkan kadar acetaminophen dalam sampel; dengan cara 5 ml sampel medium ditambah 1 ml larutan FeCl3. Tetapkan absorban dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 525 nm (panjang gelombang maksimum) g. Hitunglah berapa acetaminophen yang terlarut dalam medium pada setiap pengambilan sampel, selanjutnya hitung DE45. h. Lakukan percobaan untuk salep dengan basis yang lain 60
i. Bandingkan pelepasan obat dari kedua jenis salep tersebut.
61
PERCOBAAN V. Pembuatan Cream Minyak Atsiri Dan Uji Sifat Fisiknya
I. Tujuan
: mahasiswa dapat memahami dan mampu
membuat cream minyak atsiri serai dan uji sifat fisiknya. II. Alat
:
a. Glassware b. Timbangan III. Bahan
:
A. Formula R/
Asam stearate Minyak serai Cera alba Vaselin putih TEA Propilenglikol Akuades B. Cara Kerja
15 g 0,5 ml 2g 8g 1,5 g 8g 65,5 g
1. Timbang semua bahan yang digunakan sebanyak setengah formula
62
2. Leburkan asam stearate da cera alba di atas waterbath pada suhu 75oC 3. Masukkan propilen glikol, trietanolamin, dan akuades dalam cawan porselen, hangatkan diatas waterbath pada suhu 75oC 4. Hangatkan mortir dengan air panas, kemudian campurkan semua bahan dalam kondisi hangay hingga terbentuk vanishing cream 5. Dinginkan
vanishing
cream,
kemudian
tambahkan minyak atsiri ke dalam basis dan campur hingga homogen 6. Masukkan dalam wadah dan berilah etiket 7. Lakukan uji sifat fisik cream meliputi daya lekat dan daya sebar (cara uji sama dengan uji sifat fisik salep)
63
PERCOBAAN VI. Pembuatan Pasta Gigi Minyak Atsiri Cengkeh dan Uji Sifat Fisiknya
I. Tujuan
: mahasiswa dapat memahami serta
mampu membuat dan melakukan uji sifat fisik pasta gigi minyak atsiri cengkeh II. Alat
:
Glassware, timbangan III. Bahan
:
Minyak Atsiri cengkeh
dikalsium fosfat
CMC Na
Na lauril sulfat
Gliserin
akuades
IV. Percobaan : A. Formula Pasta gigi minyak atsiri cengkeh 50 g R/
minyak atsiri cengkeh CMC Na Gliserin Dikalsium fosfat Na lauril sulfat Akuades Catatan : Buat setengah formula
2g 0,25 g 16 g 23,5 g 1g 5g
64
B. Cara Kerja 1. Campurkan gliserin dan air dalam mortir hingga homogen, kemudian masukkan CMC Na yang telah dihaluskan (gliserin dan air berguna untuk membasahi CMC Na) 2. Tambahkan diklasium fosfat sedikit demi sedikit, campur hingga homogen 3. Tambahkan natrium lauril sulfat sedikit demi sedikit, agak perlahan dan jaga supaya tidak timbul busa 4. Masukkan minyak atsiri cengkeh, aduk sampai homogen 5. Masukkan dalam wadah dan berilah etiket C. Evaluasi 1. Lakukan pemeriksaan terhadap warna, aroma, dan rasa 2. Lakukan uji kemampuan menyebar dan melekat
65
PERCOBAAN VII. Pembuatan Gel Minyak Atsiri Serai dan Uji Sifat Fisiknya
I. Tujuan
: mahasiswa dapat memahami serta
mampu membuat dan melakukan uji sifat fisik gel minyak atsiri serai. II. Alat
:
Glassware, timbangan III. Bahan
:
Minyak atsiri serai, carbool 940, trietanolamin, metil paraben, akuades IV. Percobaan : A. Formula R/
Minyak atsiri serai Carbopol 940 Trietanolamin Metil paraben Akuades B. Cara Kerja
0,5 g 0,10 g 4 ml 0,01 g 5g
1. Siapkan sebagian air dan panaskan. Larutkan metil
paraben
dengan
air
panas,
lalu
dinginkan. 66
2. Siapkan air di dalam mortir, masukkan carbopol sedikit demi sedikit sambil terus diaduk 3. Tambahkan metil paraben ke dalam dispersi carbopol, aduk hingga homogen 4. Masukkan
trietanolamin,
aduk
hingga
terbentuk gel 5. Masukkan minyak atsiri serai sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen 6. Cek pH gel 7. Masukkan dalam wadah dan berilah label C. Evaluasi 1. Lakukan pemeriksaan warna dan bau 2. Lakukan uji kemampuan menyebar dan melekat
67
PERCOBAAN VIII. Pembuatan Spray Gel Ekstrak Daun Pandan Wangi dan Uji Sifat Fisiknya
I. Tujuan
: mahasiswa dapat memahami serta
mampu membuat dan melakukan uji sifat fisik spray gel ekstrak daun pandan wangi. II. Alat
: Glassware, timbangan
III. Bahan
: Ekstrak daun pandan wangi, HPMC,
Propilen glikol, gliserin, metil paraben, propil paraben, etanol 70%, akuades IV. Percobaan : a. Formula spray gel ekstrak daun pandan wangi (Anindhita, 2019) R/
Ekstrak daun pandan wangi HPMC Propilenglikol Gliserin Metil paraben Propil paraben Etanol Akuades ad Formula dibuat untuk 50 mL
10% 0,5% 15% 0,2% 0,18% 0,2% 25% 100%
68
b. Cara Kerja 1. Timbang semua bahan yang dibutuhkan dalam gram (b/b dan v/b) formula. 2. HPMC didipersikan ke dalam sebagian air dingin dan campur hingga homogen hingga terbentuk
massa
gel
yang
transparan
(dikembangkan 24 jam pada suhu 4oC). 3. HPMC yang sudah mengembang sempurna ditambahkan propilenglikol sambil diaduk hingga homogen (campuran A) 4. Pada wadah terpisah metil paraben dan propil paraben dilarutkan dalam etanol kemudian ditambahkan ekstrak daun pandan wangi diaduk hingga larut, ditambahkan gliserin dan campurkan hingga homogen (campuran B) 5. Campuran B ditambahkan ke dalam campuran A, keduanya dihomogenkan dan ditambahkan akuades hingga batas 50 mL c. Evaluasi 1.Lakukan uji organoleptis dengan melihat tampilan fisik dengan melakukan pengamatan warna, aroma, dan tekstur dari sediaan. 69
2.Lakukan uji homogenitas pada spray gel dengan cara menyemprotkan sediaan pada sekeping kaca preparat transparan. Dilihat ada atau tidaknya partikel atau zat yang belum tercampur secara merata. 3.Lakukan pengukuran viskositas sediaan spray gel menggunakan viskosimeter. 4.Pengujian pH dilakukan dengan pH meter. Sebelum melakukan pengujian dilakukan kaliberasi dengan dapar standar pH4 dan pH7. 5.Pengujian
pola
penyemprotan
dilakukan
dengan cara menyemprotkan sediaan pada selembar plastik yang sudah ditimbang beratnya dan sudah diberi nomor dengan jarak penyemprotan 3, 5, 10, 15, dan 20 cm. setelah disemprotkan dihitung waktu mengering dengan
menggunakan
stopwatch
dan
ditimbang. Pengujian direplikasi 3x. diamati pola pembentukan semprotan, diameter pola semprot yang terbentuk, dan banyaknya sediaan yang disemprotkan (gram).
70
6.Pengujian daya sebar lekat dilakukan di kulit dengan cara disemprotkan pada bagian lengan atas pada jarak 3 cm. setelah disemprot dihitung selama 10 detik untuk melihat apakah sediaan menempel atau tetesan dari hasil semprot menetes ke bawah.
71
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ansel, H.C, 1999, Pengantar Benluk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh F. Ibrahim, Edisi IV, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Banker, G.S. and Rhodes, C.T.,2002, Modern Pharmaceutic, 4th ed., Marcel Dekker Inc., New York. Fassihi, A.R., and Kanfer, 1986, Effect of Compressibility and Powder Flow Properties on Tablet Weight Variation in Drug evelopment and Industrial Pharmacy, 12th Ed., 1947-1966, Khaidir S. Murrukmihadi, M. Kusuma, A.P. 2015. Formulasi Tablet Ekstrak Kangkung Air (Ipomoea aquatic F.) dengan Variasi kadar Amilum Manihot sebagai Bahan Penghancur, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol.11 No.1, pp 1-8 Marcel D. Africa.Fonner, E., Anderson, N.R., Barker, G.S., 1981, Granulation and Tablet Characteristics in Pharmaceutical Dosage Forms Tablet, Lieberman, H.A., and Lachman, L (editor), Volume II, 226-231, Marsel Dekker Inc, New York. Novianti, P., 2007, Optimasi campuran Aerosil-Avicel PH 101 pada Formula Tablet Ekstrak Etanol Daun pepaya (Carica papaya, L)dengan Metode Factorial Design, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan Voigt, R., 1984, Buku Pelajaran Teknologi Industri, diterjemahkan oleh S.N. Soewandi, Edisi V, 171, 223. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 72
Wadke, H.A., Jacobson, H., 1980, Preformulasi Testing in Pharmaceutical Dosage Forms: Tablets, Lieberman, H.A. and Lachman, L (editor), Volume 1, 45. Marcell Dekker Inc, New York.
73