Pledoi Narkoba [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pembelaan perkara Narkotika “Untuk Keadilan” NOTA PEMBELAAN (PLEDOI) NOMOR REG. PERKARA : 882/Pid.Sus/2019/PN.Smg Kepada Yth, Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati. Untuk dan atas nama terdakwa, dengan ini menyampaikan pembelaan atas surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum No.Reg.Perk : PDM - 364/Semar/Epp.2/12/2019 Nama Tempat lahir Umur / tanggal lahir Jenis Kelamin Kebangsaan/kewarganegaraan Tempat tinggal Agama Pekerjaan Pendidikan



:  SUROSO alias UPIL bin Yamin : Semarang : 41 tahun / 18 Agustus 1974 : Laki - laki : Indonesia : Kp Purwosari Gang IV Rt. 05 Rw. 03 Kel. Tambak Rejo Kec. Gayamsari Kota Semarang. : Islam : Juru Parkir : SD



Dengan ini penasehat hukum terdakwa menyampaikan nota pembelaan sebagai berikut: I.       PENDAHULUAN Majelis Hakim Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum Yang Kami Hormati Pertama – tama kami tim penasehat hukum terdakwa menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi – tingginya kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana ini. Bahwa keadilan adalah salah satu kebutuhan yang terbesar bagi kehidupan manusia disamping adanya kepastian didalam proses penegakkan hukum sehingga tanpa adanya rasa keadilan maka nilai - nilai kemanusiaan akan menjadi hilang. Kami merasa bahwa Majelis Hakim yang telah bertindak adil dan bijaksana terhadap semua pihak dalam persidagan ini, karena kami telah diberi kesempatan yang sama, baik kepada penuntut umum untuk membuktikan dakwaan hingga kepada sebuah tuntutan, maupun kepada terdakwa dan penasehat hukum untuk menyanggah apa – apa yang didakwakan oleh penuntut umum sampai kepada nota pembelaan, kami merasa model peradilan seperti inilah yang dikehendaki oleh system peradilan Indonesia dan sangat bekesesuaian dengan hukum acara yang berlaku seperti yang diatur dalam Undang – undang Nomor 8 tahun1981 tentang kitab undang – undang hukum acara pidana.



II.    Tentang Dakwaan dan Tuntutan Hukum A.



Dakwaan Penuntut umum : Bahwa dalam perkara ini, terdakwa didakwa melakukan Tundak Pidana sebagaimana yang diatur dan diancam pidana sebagai berikut yaitu : - Dakwaan Pertama : Pasal 112 ayat ( 1 ) 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. -  Dakwaan Kedua : Pasal 127 UU RI No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika



B.     Tuntutan Penuntut umum : 1.  Menyatakan terdakwa SUROSO alias UPIL bin NYAMIN. Bersalah melakukan tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memiliki, menyimpan dan menguasai Narkotika sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 2.  Menjatuhkan pidana terhadap terhadap terdakwa SUROSO alias UPIL bin NYAMIN dengan pidana penjara selama 5 ( lima ) dan denda sebesarRp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsider 03 (Tiga) bulan penjara,dengan perintah tetap ditahan; 3.



Menyatakan seluruh masa tahanan sementara yang dijatuhkan terhadap diri terdakwa, dikurangkan seluruhnya terhadap pidana yang dijatuhkan.



4.     Menetapkan barang bukti berupa : 1. 1 (satu) paketpaket sabu-sabu dalam kantong plastik klip dengan berat bersih 0,059 gram 2. 2 (dua) buah potongan sedotan yang ujungnya runcing 3. 1 (satu) buah alat hisap (bong) 4. 1 (satu) buah handphone merk Maxtron warna putih berikut simcard no. 081575240100 5. 1 (satu) buah tube urin milik terdakwa Dirampas untuk dimusnahkan uang tunai sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah) Dirampas untuk Negara 5.



Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.2.500,(dua ribu lima ratus rupiah)”.



III. Tentang Fakta Yang Terungkap dipersidangan A.    Keterangan saksi-saksi: 1. MAFTUKIN,SH bin ROCHMAT Umur : 35 tahun, Lahir di : Batang, 26 Maret 1981, Jenis kelamin : Laki-Laki pekerjaan Polri, Agama : Islam, Kebangsaan : Indonesia, Pendidikan terahir : Sarjana, Alamat : Polretabes Semarang Jl Dr Sutomo No 19 Semarang, dibawah sumpah di depan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Bahwa saksi tidak kenal dengan terdawa dan tidak ada hubungan keluarga maupun pekerjaan dengan terdakwa - Bahwa benar pada hari kamis sekira pukul 16:00 Wib tanggal 4 Agustus 2016 saksi bersama saksi ABDULLAH AL GHONI dan saksi JOKO PRAYITNO melakukan pemantauan di kp Purwosari Gang IV Rt. 04 RW. 03 Kel. Tambak Rejo tepatnya dirumah Terdakwa. Bahwa benar setelah mendapat informasi lengkap selanjutnya sekira pukul 18:00 Wib saksi bersama saksi ABDULLAH GHONI dan saksi JOKO PRAYITNO melakukan penangkapan terhadap terdakwa Bahwa benar bahwa pada saat terdakwa sedang tiduran dirumah terdakwa ditangkap oleh saksi-saksi dan pada diri terdakwa ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) kantong plastik klip berisi sabu yang disimpan di saku celana sebelah kanan yang dipakai oleh terdakwa dan uang sebesar Rp.400.00,- (empat ratus ribu rupiah) Bahwa benar pada saat dilakukan penggeledahan dikamar terdakwa ditemukan 2 (dua) buah potongan sedotan plastik yang ujungnya di runcingkan dan satu buah alat penghisap sabu-sabu yang terbuat dari botol kaca yang tersimpan di bawah tempat tidur terdakwa turut serta disita 1 (satu) buah handphone merk Maxtron warna putih berikut simcard no. 081575240100 di atas kasur Bahwa benar menurut keterangan terdakwa bahwa sabu-sabu tersebut diperoleh dari sdr Pepen (DPO) seharga Rp. 400.000,Bahwa benar saksi-saksi membawa terdakwa dan barang bukti ke Polrestabes Semarang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Berdasarkan Berita Acara Laboratis Kriminalistik No.LAB : 1194/NNF/2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang dibuat dan di tandatangani oleh Ir. SAPTO SRI SUHARTONO, IBNU SUTARTO, ST dan SHINTA ANDROMEDA, ST masing-masing selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang disimpulkan bahwa 1 (satu) bungkus plastik yang berisi serbuk kristal dengan berat bersih 0,059 gram, 1 (satu) alat hisap dan serbuk kristal dengan berat bersih 0,002 gram serta 1 (satu) tube plastik bekas urin adalah positif mengandung Metamfetamina terdapat dalam Golongan I (satu) Nomor Urut 61 lampiran UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahwa pada saat di mintai keterangan oleh saksi, terdakwa mengaku bahwa sabu-sabu dipakai untuk dirinya sendiri: Atas keterangan tersebut, terdakwa tidak keberatan dan membenarkannya. 2. ABDULLAH AL GHONI Umur : 30 tahun, Lahir di : Semarang, 08 Juni 1985, Jenis kelamin : Laki-Laki pekerjaan Polri, Agama : Islam, Kebangsaan : indonesia, Pendidkan terahir : SMU Alamat : Polretabes Semarang Jl Dr Sutomo No 19 Semarang, dibawah sumpah didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Bahwa saksi tidak kenal dengan terdawa dan tidak ada hubungan keluarga maupun pekerjaan dengan terdakwa



-



Bahwa benar saksi bersama dengan saksi MAFTUKIN bin ROCHMAT dan saksi JOKO PRAYITNO dari Polrestabes Semarang mendapat informasi bahwa di kp. Purwosari Gang IV Rt. 05 RW. 03 Kel. Tambak Rejo ada seseorang yang menguasai, menyimpan narkotika jenis sabu-sabu. Bahwa benar pada hari kamis sekira pukul 16:00 Wib tanggal 4 Agustus 2016 saksi bersama saksi MAFTUKIN bin ROCHMAT dan saksi JOKO PRAYITNO melakukan pemantauan di kp Purwosari Gang IV Rt. 04 RW. 03 Kel. Tambak Rejo tepatnya dirumah Terdakwa. Bahwa benar setelah mendapat informasi lengkap selanjutnya sekira pukul 18:00 Wib saksi bersama saksi MAFTUKIN bin ROCHMAT dan saksi JOKO PRAYITNO melakukan penangkapan terhadap terdakwa Bahwa benar bahwa pada saat terdakwa sedang tiduran dirumah terdakwa ditangkap oleh saksi-saksi dan pada diri terdakwa ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) kantong plastik klip berisi sabu yang disimpan di saku celana sebelah kanan yang dipakai oleh terdakwa dan uang sebesar Rp.400.00,(empat ratus ribu rupiah) Bahwa benar pada saat dilakukan penggeledahan dikamar terdakwa ditemukan 2 (dua) buah potongan sedotan plastik yang ujungnya di runcingkan dan satu buah alat penghisap sabu-sabu yang terbuat dari botol kaca yang tersimpan di bahwa tempat tidur terdakwa turut serta disita 1 (satu) buah handphone merk Maxtron warna putih berikut simcard no. 081575240100 di atas kasur Bahwa benar menurut keterangan terdakwa bahwa sabu-sabu tersebut diperoleh dari sdr Pepen (DPO) seharga Rp. 400.000,Bahwa benar saksi-saksi membawa terdakwa dan barang bukti ke Polrestabes Semarang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Berdasarkan Berita Acara Laboratis Kriminalistik No.LAB : 1194/NNF/2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang dibuat dan di tandatangani oleh Ir. SAPTO SRI SUHARTONO, IBNU SUTARTO, ST dan SHINTA ANDROMEDA, ST masing-masing selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang disimpulkan bahwa 1 (satu) bungkus plastik yang berisi serbuk kristal dengan berat bersih 0,059 gram, 1 (satu) alat hisap dan serbuk kristal dengan berat bersih 0,002 gram serta 1 (satu) tube plastik bekas urin adalah positif mengandung Metamfetamina terdapat dalam Golongan I (satu) Nomor Urut 61 lampiran UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahwa pada saat dimintai keterangan oleh saksi terdakwa mengaku bahwa abu-sabu dipakai untuk dirinya sendiri: Atas keterangan tersebut, terdakwa tidak keberatan dan membenarkannya.



3.



JOKO PRAYITNO Umur : 30 tahun, Lahir di : Semarang, 04 September 1989, Jenis kelamin : Laki-Laki pekerjaan Polri, Agama : Islam, Kebangsaan : indonesia, Pendidikan: SMU, Alamat : Polretabes Semarang Jl Dr Sutomo No 19 Semarang, dibawah sumpah didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : - Bahwa benar saksi bersama dengan saksi MAFTUKIN bin ROCHMAT dan saksi ABDULLAH AL GHONI dari Polrestabes Semarang mendapat informasi bahwa di kp. Purwosari Gang IV Rt. 05 RW. 03 Kel. Tambak Rejo ada seseorang yang menguasai, menyimpan narkotika jenis sabu-sabu. Bahwa benar pada hari kamis sekira pukul 16:00 Wib tanggal 4 Agustus 2016 saksi bersama saksi MAFTUKIN bin ROCHMAT dan saksi ABDULLAH AL GHONI melakukan pemantauan di kp Purwosari Gang IV Rt. 04 RW. 03 Kel. Tambak Rejo tepatnya dirumah Terdakwa.



-



Bahwa benar setelah mendapat informasi lengkap selanjutnya sekira pukul 18:00 Wib saksi bersama saksi MAFTUKIN bin ROCHMAT dan saksi ABDULLAH AL GHONI melakukan penangkapan terhadap terdakwa Bahwa benar bahwa pada saat terdakwa sedang tiduran dirumah terdakwa ditangkap oleh saksi-saksi dan pada diri terdakwa ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) kantong plastik klip berisi sabu yang disimpan di saku celana sebelah kanan yang dipakai oleh terdakwa dan uang sebesar Rp.400.00,(empat ratus ribu rupiah) Bahwa benar pada saat dilakukan penggeledahan dikamar terdakwa ditemukan 2 (dua) buah potongan sedotan plastik yang ujungnya di runcingkan dan satu buah alat penghisap sabu-sabu yang terbuat dari botol kaca yang tersimpan di bahwa tempat tidur terdakwa turut serta disita 1 (satu) buah handphone merk Maxtron warna putih berikut simcard no. 081575240100 di atas kasur Bahwa benar menurut keterangan terdakwa bahwa sabu-sabu tersebut diperoleh dari sdr Pepen (DPO) seharga Rp. 400.000,Bahwa benar saksi-saksi membawa terdakwa dan barang bukti ke Polrestabes Semarang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Berdasarkan Berita Acara Laboratis Kriminalistik No.LAB : 1194/NNF/2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang dibuat dan di tandatangani oleh Ir. SAPTO SRI SUHARTONO, IBNU SUTARTO, ST dan SHINTA ANDROMEDA, ST masing-masing selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang disimpulkan bahwa 1 (satu) bungkus plastik yang berisi serbuk kristal dengan berat bersih 0,059 gram, 1 (satu) alat hisap dan serbuk kristal dengan berat bersih 0,002 gram serta 1 (satu) tube plastik bekas urin adalah positif mengandung Metamfetamina terdapat dalam Golongan I (satu) Nomor Urut 61 lampiran UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahwa pada saat dimintai keterangan oleh saksi terdakwa mengaku bahwa abu-sabu dipakai untuk dirinya sendiri: Atas keterangan tersebut, terdakwa tidak keberatan dan membenarkannya. B. Keterangan terdakwa : .      Keterangan Terdakwa  dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : -



Bahwa benar pada tanggal 03 Agustus 2016 terdakwa menemui PEPEN (DPO) Kp. Tanggungrejo Kel Tambakrejo Kec. Gayam sari Kota Semarang dengan maksud untuk membeli sabu-sabu sebanyak 2 (dua) paket dengan harga Rp. 300.000,bahwa benar setealah terdakwa membeli sabu-sabu dari Pepen selanjutnya 2 (dua) paket sabu-sabu tersebut kemudian terdakwa pergi untukkembali ke rumah terdakwa di Kp. Purwosori Gang IV Rt. 05 Rw. Kel. Tambakrejo kec. Gayamsari Kota Semarang, sesampingnya dirumah kemudian terdakwa membagi 2 (dua) paket sabusabu tersebut menjadi 3 (tiga) paket sabu-sabu yang dimasukkan dalam kantong plastik klip dan menyimpanya dikamarnya; bahwa benar terdakwa mengambil sebagian sabu-sabu tersebut untuk terdakwa digunakan Pada tanggal 04 Agustus 2016 sekira pukul 18.00 Wib saat terdakwa sedang berada di rumah terdakwa di Kp.Purwosari Gang IV Rt.05 Rw.03 Kel. Tambakrejo, Kec. Gayamsari kota Semarang terdakwa telah ditangkap oleh saksi MAFTUKIN, saksi ABDULLAH AL GHONI dan saksi JOKO PRAYITNO dari Polrestabes Semarang yang sebelumnya sudah melakukan pemantauan terhadap terdakwa dan saat



dilakukan penggeledahan pada diri terdakwa ditemukan barang bukti berupa 1(satu) paket sabu-sabu dalam kantong plastik klip yang disimpan di saku celana sebelah kanan yang digunakan terdakwa dan uang sebesar Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah), selain itu juga ditemukan 2 (dua) buah potong sedotan yang ujungnya diruncing dan 1 (satu) buat alat hisap (bong) dibawah tempat tidur terdakwa serta 1 (satu) buah hanphone merk Maxtron warna putih berikut simcard no. 081575240100 diatas kasur, selanjutnya terdakwa dan barang bukti di bawa ke Polrestabes guna pemeriksaan lebih lanjut; bahwa benar Rp. 400.000,-yang disita oleh penyidik pada saat penangkapan adalah uang dari Sdr. Keong (DPO) untuk membeli sabu-sabu kepada saudara Pepen (DPO) bahwa benar terdakwa tidak pernah berobat ke dokter atas ketergantungan narkotika Bedasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik NO. LAB 1194/NNF/2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang dibuat ditandatangani oleh Ir.SAPTO SRI SUHARTONO, IBNU SUTARTO, ST masing-masing selaku Pemeriksa pada Laboratorium Forensik cabang Semarang disimpulkan bahwa sisa serbuk kristal dengan berat bersih 0,059 gram adalah positif mengandung Metamfetamina terdaftar dalam golongan I (satu) Nomor urut 61 lampiran UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang untuk memiliki, menyimpan atau menguasai Narkotika Golongan I jenis sabu-sabu tersebut. C. Surat : Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminslistik NO.LAB ; 1194/NNF/2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang dibuat dan ditandatangani oleh Ir SAPTO SRI SUHARTONO, IBNU SUTARTO, ST dan SHINTA ANDROMEDA, ST masing-masing selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik cabang Semarang di simpulkan bahwa 1 (satu), bungkus plastik yang berisi serbuk Kristal dengan berat bersih 0,059 gram serta 1 (satu) tube plastik bekas urin adalah positif mengandung Metamfetamina terdaftar dalam Golongan 1 (satu) Nomor urut 61 lampiran UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. D. Barang Bukti 1. 1 (satu) paket sabu-sabu delam kantong plastik klip dengan berat bersih 0,059 gram 2. 2 (dua) buah potongan sedotan yang ujungnya di runcing 3. 1 (satu) buah alat hisab (bong) 4. 1 (satu) buah handphone merk Maxtron warna putih berikut sim card no 081575240100 5. 1 (satu) buah tube urin milik terdakwa 6. Uang tunai sebesar Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) Barang bukti yang diajukan dalam persidangan ini telah disita secara sah menurut hukum, karena itu dapat di pergunakan untuk memperkuat pembuktian. Ketua Majelis Hakim telah memperlihatkan barang bukti tersebut kepada saksi-saksi dan Terdakwa, oleh yang bersangkutan telah dibenarkannya. IV.    ANALISA YURIDIS Majelis Hakim Yang Mulia; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat; Serta Hadirin Sidang Sekalian;



Proses peradilan pidana adalah suatu proses persidangan yang sangat berbeda dengan proses persidangan lainnya, karena dalam suatu proses persidangan pidana haruslah dapat diukur seberapa jauh kesalahan (schuld) yang terdapat pada diri seorang terdakwa pada dugaan tindak pidana yang didakwakan tanpa ada sedikitpun keraguan pada Majelis Hakim pemeriksa suatu perkara tentang hal tersebut. Untuk kemudian, berdasarkan hal ini, dapat pula diukur dan dimintakan seberapa besar pertanggungjawaban pidana yang bisa dilekatkan pada seorang terdakwa. Hal ini pulang yang disampaikan Curzon LB Curzon dalam bukunya “Criminal Law” (London; M & E Pitman Publishing ; 1997) yang menjelaskan : “Bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri hakim tentang kesalahan terdakwa” Hal ini pula disampaikan Prof. Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta; Bina Aksara; 1987) dengan menerangkan : “Orang tidak mungkin mempertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana” Karakteristik perkara pidana Indonesia telah menempatkan unsur yang esensial dalam suatu perumusan delik, baik yang ujud perumusannya secara tersirat maupun tersurat, yaitu apa yang dinamakan unsur melawan hukum atau “wedderechttelijk”. Sebagai suatu delik formil, unsur melawan hukum dalam suatu perumusan delik kerap menempatkannya sebagai suatu perbuatan yang primaritas untuk menentukan dipidananya seseorang atau tidak atau dikenal dengan istilah “strafbarehandeling”. Perbuatan terdakwa yang dapat dipidana (strafbarehandeling) terletak pada wujud suatu perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan/pasal yang mengaturnya, bukan pada akibat dari perbuatannya sebagai bentuk dari delik materil. Sebagai delik formil, konsekuensi hukumnya adalah bahwa seorang penuntut umum wajib membuktikan unsur esensial dari “strafbarehandeling” atau perumusan ketentuan yang didakwakan tersebut, begitu pula pembuktian terhadap unsur yang merupakan “sarana” penggunaan dari strafbarehandeling tersebut. Kata Delik atau delictum atau delict sendiri memiliki arti sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Dimana dalam hal hukum pidana sendiri kita mengenal adanya dua jenis yaitu delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undangundang serta delik materil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dan, pada delik ini sendiri Van Hattum menyebutkan antara perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. Sementara itu, Prof. Satochid Kartenegara sehubungan dengan pengertian delik ini sendiri menyebutkan, unsur delik terdiri atas unsur obyektif dan unsur subyektif, dimana unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu : - Suatu tindakan - Suatu akibat, dan - Keadaan (omstandigheid)



Dimana kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa : - Kemampuan dapat dipertanggung jawabkan (toerekenings vatbaarheid) - Kesalahan (schuld) Untuk melihat suatu tindak pidana (delik) tersebut tidaklah bisa berdiri sendiri-sendiri karena baru akan bermakna apabila ada suatu proses pertanggung jawaban pidana. Artinya, setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana (delik) tidak dengan sendirinya harus dipidana atau dijatuhkan hukuman pada dirnya, karena agar dapat dijatuhi suatu pemidaan atau hukuman terhadap diri seseorang maka pada diri orang tersebut harus ada unsur dapat dipertanggung jawabkan secara pidana yang dapat dimintakan ataupun dijatuhkan kepadanya sesuai dengan unsur-unsur perbuatan sebagaimana ditegaskan dalam suatu pertauran perundang-undangan yang berlaku. Herman Kontorowich, yang ajarannya diperkenalkan Prof Moeljatno menyebutkan : “Untuk adanya suatu penjatuhan pidana terhadap pembuat (strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (strafbarehandlung), lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya ‘schuld’ atau kesalahan subyektif pembuat. ‘Schuld’ baru ada sesudah ada ‘unrecht’ atau sifat melawan hukum suatu perbuatan” Pertanggung jawaban pidana sendiri lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan diteruskannya celaan yang subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana karena perbuatannya. (Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 30) Bahwa rumusan delik dalam Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA, pembuktiannya tidak hanya sekedar melihat pertanggungjawaban pidana berdasarkan “materiele feit” sebagai delik campuran saja, tetapi tetap harus berpegang pada asas pertanggung jawaban pidana yang berlaku secara universal yang dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan), apakah schuld (kesalahan) tersebut berupa opzet (kesengajaan) maupun berupa culpa (kelalaian) dengan mengaitkan adanya suatu prinsip “formeele wedderechtelijkheid” dan adanya suatu alasan penghapusan pidana berdasarkan fungsi negatif. Kesalahan itu sendiri adalah unsur, bahkan merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana kepada seseorang. Kesalahan juga merupakan suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Sesuai dengan pandangan dualistis, yang juga dianut Prof. Moeljatno menegaskan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya dan menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini pada dasarnya untuk mempermudah dalam melakukan sistematisasi unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya dapat menggolongkan mengenai unsur mana yang masuk dalam perbuatannya dan unsur mana yang termasuk dalam unsur kesalahannya. Unsur-unsur kesalahan itu sendiri dalam arti luas adalah :  Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal  Hubungan bathin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan / dolus atau kelalaian / culpa







Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 36-41)



Sistem



Majelis Hakim Yang Mulia; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat; Serta hadirin Sidang sekalian; Sebagaimana diungkapkan diatas, dalam rangka membuktikan semua unsur tindak , terlebih dahulu harus dipahami adalah sistem pertanggungjawaban pidana karena hal ini erat kaitannya dengan penentuan terjadinya suatu tindak pidana serta penentuan siapa sebenarnya yang bertanggungjawab dalam tindak pidana tersebut. Dan, tak kalah pentingnya adalah dalam menentukan kesalahan dan/atau kesengajaan tersebut harus ada atau mempunyai kehendak dan niat untuk berbuat dari si pembuat/pelaku itu sendiri. Selanjutnya, sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, pembuktian akan kehendak untuk berbuat tersebut berkait berat dengan syarat yang merupakan kekhususan dari kealpaan yaitu : 1.  Tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum 2.   Tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Pembuktian terhadap syarat pertama dari kealpaan tersebut diletakkan pada hubungan bathin terdakwa dengan akibat yang timbul dari perbuatan atau keadaan yang menyertainya. Dalam hal ini, perbuatan yang telah dilakukan terdakwa itu seharusnya dapat dihindarinya karena seharusnya dapat menduga lebih dahulu bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Memorie Van Toelichting, maka kata “dengan sengaja” (opzettelijk) adalah sama dengan “willens en wetens” (dikehendaki dan diketahui). Mengenai pengertian pada Memorie van Toelichting tersebut, Prof Satochid Kartanegara mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah : “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu” (Leden Marpaung; Asas-Teori-Praktik HUKUM PIDANA; Sinar Grafika; Jakarta; 2005; hal 13) Majelis Hakim Yang Mulia; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat; Serta hadirin Sidang sekalian; Kita semua, pernah mendengar dan membaca tentang adanya “MISCARRIAGE OF JUSTICE” (kegagalan penegakan keadilan). Moj merupakan suatu persoalan universal dan actual yang dihadapi oleh hamper semua negara dalam penegakan system peradilan pidananya. Seorang pejabat yang mempunyai kuasa dan wewenang yang ada padanya justru memberikan ketidakadilan. Sejak ribuan tahun lalu hingga hari ini, kondisi ketidakadilan masih dirasakan meskipun berbagai aturan hukum sudah dicoba untuk disempurnakan oleh para pemikir hukum dan para legislator. Demikian parahnya ketidakadilan yang dipertontonkan kepada kita semua, sehingga situasi hukum di Indonesia digambarkan dalam kondisi disperate (diartikan sebagai kondisi atau keadaan yang sangat menyedihkan, keputusasaan), berada pada titik paling rendah (titik nadir), kacau balau (chaos). Ketidakadilan, yang dengan mudah ditemukan dalam kasus-kasus hukum,



khususnya dalam perkara-perkara pidana, telah hamper sampai pada titik puncak, sehingga makna keadilan (justice) yang seyogyanya dicapai dan ditemukan pada proses peradilan pidana dipandang telah gagal (miscarriage). Persoalan MoJ ini merupakan isu sangat penting ditengah upaya memajukan dan menegakkan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting dari penegakan pemerintah yang baik (good goverence). Hal ini dapat dibuktikan dengan gagalnya penegakan keadilan dalam kasus-kasus besar (high profile cases) di beberapa negara, contohnya di Indonesia yaitu kasus Sengkon dan Karta, di mana Sengkon dan Karta dituduh telah membunuh dan selanjutnya telah menjalani pidana hukuman penjara, padahal pelakunya adalah orang lain. Dan pada kasus yang lain yaitu kasus Philippus Kia Ledjab dkk, di mana dalam kasus ini, Philipus, isteri, anak-anak serta keponakannya dihukum karena tuduhan membunuh anak-anak dan isteri Rohadi, dengan mengesampingkan budaya masyarakat Flores yang pantang membunuh wanita dan anak-anak, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam pertimbangannya mengatakan bahwa budaya tersebut dapat luntur di sebuah Kota metropolitan seperti Jakarta. Menurut Clive Walker, terdapat 4 (empat)hal penting yang terkandung dalam makna kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of justice), yaitu : Kegagalan penegakan keadilan tidak hanya terbatas pada produk Pengadilan atau dalam system Hukum Pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar Pengadilan, dapat terbentuk seluruh kekuasaan dari penegak hukum yang bersifat memaksa (coercive powers);   



Kegagalan penegakan keadilan dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya tidak resmi; Kegagalan penegakan keadilan harus pula mencakup kelemahan negara ketika menjalankan tanggung-jawabnya; Kegagalan oenegakan keadilan harus ditrgaskan pada hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia.



Istilah miscarriageof justice terus berkembang dan dipergunakan untuk menggambarkan bahwa dalam system hukum negara-negara di dunia terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam putusan Pengadilan yang menyebabkan seseorang harus menjalani hukuman atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Berdasarkan hal tersebut, dalam pemeriksaan perkara terdakwam patutlah kita semua, baik Rekan Penuntut Umum, Majelis Hakim ataupun kami sendiri selaku Penasihat Hukum, harus berpegang teguh pada asas-asas yang terkandung dalam penegakan keadilan dan harus menghindari tindakan-tindakan ataupun proses-proses yang dapat merusak integritas system sebagai upaya menghindari Moj pada perkara aquo. Putusan yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim haruslah putusan yang benar-benar didasari pada “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan janganlah penghukuman itu berdasarkan ketidakjujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum pembuktian serta tidak menghormati hak-hak individu, apalagi penghukuman itu untuk memenuhi keinginan pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga tertentu guna menutupi kesalahannya.



Majelis Hakim Yang Mulia; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat; Serta hadirin Sidang sekalian; Dihubungkan dengan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada awal persidangan ini, untuk dapat menyatakan Terdakwa terbukti atau tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana pada Dakwaan, maka secara minimal yang harus diperhatikan adalah mengenai penerapan dari “fakta” dengan “strafbarehandeling” yang antara lain dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut : 1. Apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum sehubungan dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dikaitkan dengan unsur Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA? 2. Apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan dalam kategori memiliki, meyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I untuk dirnya sendiri? Dan apakah sebab-musabab-akibat dari fakta peristiwa hukum ini? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dihubungkan dengan keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan? Selain itu, untuk menentukan apakah Terdakwa terbukti secara syah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dihubungan dengan Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA sebagaimana didakwakan Rekan Jaksa Penuntut Umum kepada dirinya, maka semua unsur dari pasal yang didakwakan kepadanya harus dapat dibuktikan dengan alat bukti yang sah yang dihadapkan di depan persidangan serta bukan berdasarkan asumsi dan rekaan semata. Majelis Hakim Yang Mulia, Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat, Serta Hadirin Sidang Sekalian; Dr. Chairul Huda, SH, MH, dalam bukunya “Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan” (tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana) pada hal 64 menyebutkan : Mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggung jawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggung jawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggung jawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggung jawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat factual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua pertanggung jawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat-syarat factual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. “It is this condition between conditioning facts and conditioned legal consequences whichs is expressed in the statement about responsibility”. Jadi, dalam hal ini selain harus dikaji fakta dengan unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal yang telah didakwakan kepada seorang terdakwa, maka juga harus dikaji pula mengenai tepat ataukah tidak pertanggung jawaban dimintakan kepada seseorang tersebut sebagaimana yang



telah didakwakan oleh Penuntut Umum. Jangalah sampai, kita melakukan suatu dakwaan dan atau tuntutan kepada seseorang yang sebenarnya tidak bersalah dan seharusnya tidak dimintakan pertanggung jawaban pidana pada drinya karena dengan melakukan tindakan ini maka pada dasarnya telah terjadi suatu “pemerkosaan” terhadap hukum dan keadilan. Bahwa, untuk menentukan apakah terhadap terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, haruslah terbukti semua unsur-unsur dari pasal yang didakwakan kepadanya sebaliknya apabila salah satu unsur delik tidak terbukti maka tidak ada perbuatan yang dapat dianggap sebagai strafbarehandeling. Selanjutnya, apabila semua unsur delik dapat dibuktikan, maka yang kemudian harus dikaji adalah patutkah pertanggung jawaban pidana ditujukan kepada terdakwa dengan menjatuhkan pemidaan (celaan) kepada dirinya atau adakah alasan pembenar atau alasan pemaaf yang dapat melepaskan Terdakwa dari dakwaan penuntut umum yang dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah Strafuitsluitingsgronden. Dalam hal straftuitsluitingsgronden ini, Prof. Satochid Kartanegara memberi pengertian sebagai hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (delik) tidak dapat dihukum. Tidak dapat dihukum dimaksud karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Syarat yang kemudian membuat seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana dalam melakukan perbuatannya menurut Prof. Mr. G. A. van Hammel adalah sebagai berikut : Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga ia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya Majelis Hakim Yang Mulia, Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat, Serta Hadirin Sidang Sekalian; Sebelum kami sampai pada pembahasan mengenai analisis terhadap unsur-unsur yang didakwakan dan dituntut oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa, maka dada beberapa hal yang patut kami sampaikan sehubungan dengan perkara yang sedang dihadapi Terdakwa. Bahwa Ketika para Pengguna Narkoba berhadapan dengan Hukum, mau tidak mau, mereka harus menerima perlakuan yang sama dengan mereka yang berlaku sebagai pengedar dan atau bandar Narkoba. Para penegak hukum akan memandang bahwasanya para pengguna Narkoba tidak lebih pelanggar hukum yang harus dijerat oleh ketentuan hukum yang berlaku. Adilkah ini ? Bahwa, pada dasarnya penindakan bagi para pelanggar hukum adalah sangat diperlukan mengingat bahwa tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan dalam kehidupan sosial yang dicederai oleh pelaku tindak pidana namun demikian hukum juga tidak bertujuan sebagai instrumen balas dendam terhadap akibat yang telah dilanggar oleh pelanggar tersebut. Dalam konteks demikian maka dalam masalah penindakan bagi para pecandu Narkoba sudah seharusnya para aparatur penegak hukum dapat memilah - milah apakah pecandu narkoba tersebut dapat tergolong sebagai "korban" atau memang harus dianggap sebagai pelaku tindak pidana.



Harus diakui sesungguhnya dalam pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan Narkoba selalu ada pihak "korban". Pemahaman yang sulit adalah bagaimana membuktikan bahwa pencandu tersebut adalah sebagai 'korban" mengingat perbuatan penyalahguna itu sendiri sudah merupakan perbuatan pidana. Pecandu adalah korban karena sesungguhnya negara melalui peraturan hukumnya telah mengatur dan mengupayakan adanya vonis rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA Jo PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Hal ini masih ditambah lagi pemahaman, bahwa pada dasarnya, pengguna narkoba memiliki penyakit yang disebut dengan adiksi, yakni ketergantungan pada narkoba. Singkatnya, mereka menuntut, supaya dalam perkara penyalahgunaan narkoba dimana terdakwanya adalah seorang pecandu, vonis rehabilitasi lebih diutamakan dibandingkan vonis penjara. Alasan dan pemahaman tersebut banyak di-amin-in oleh pakar-pakar hukum maupun mereka yang berempati terhadap kasus-kasus narkoba dimasyarakat. Faktanya, penjara memang bukan tempat yang tepat bagi para pecandu. Pemenjaraan yang bersifat mengurung, mengungkung dan menjauhkan para pecandu dari asimilasi kehidupan sosial malah lebih menjatuhkan mental mereka sebagai “kriminal” yang pada akhirnya, kemungkinan besar, dalam kehidupan penjara itulah para pecandu akan menjadi lebih “parah”. Pemahaman serta issue diatas tampaknya harus berbenturan dengan sistem hukum pidana yang bersifat mengatur dan pemahaman para pelaksana penegak hukum di negeri ini yang berdasarkan prinsip penegakkan hukum dan keadilan. Atas dasar pandangan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) maka negara wajib mengembalikan keseimbangan hukum atas pelanggaran hukum yang ada dengan menindak tegas bagi pelanggarnya guna menegakkan keadilan. Artinya, hukuman merupakan suatu hal yang mutlak bagi si pelanggar hukum guna mencegah, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama. Hakim, dalam konteks tugasnya, menjalankan keadilan demi hasrat dari para pencari keadilan tampaknya tidak mengenal bahwa “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban”. Hakim lebih memposisikan dirinya dalam “Formalistis Legal Thinking” sehingga rasanya sulit memahami issue yang dikembangkan aktivis dan mereka yang berempati pada masalah Narkotika, yang jelas – jelas dalam issue tersebut memposisikan 2 subjek hukum berbeda yakni antara “pelanggar” dan “korban”. Karena dalam hukum pidana pada hakekatnya adalah mencari kebenaran materiel maka putusan hakim pun kelak didasarkan pada hukum materiel. Inilah masalahnya, bagaimana mungkin menghukum pelanggar hukum yang sebenarnya si pelanggar tersebut adalah korban dari kejahatan itu sendiri ? Bagaimana caranya meng-“giring” agar hakim dapat menjatuhkan putusan rehabilitasi bagi pengguna Napza ? Bahwasanya, prinsip pengambilan keputusan oleh hakim harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti : v  Menghukum yang bersalah membebaskan yang tidak bersalah; v  Kebebasan hakim; v  Mengadili secara kasuistik; v  Indubioproreo, dalam menjatuhkan putusan hakim harus disertai keyakinan (dalam kesangsian demi tertuduh). Dari beberapa prinsip-prinsip di atas, keyakinan hakim merupakan prinsip yang paling dominan, bahkan dapat dikatakan, merupakan kekuasaan absolut dari hakim itu sendiri. Hal ini sebagaimana didukung Pasal 6 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4



TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Berdasarkan prinsip mengadili secara kasuistik, jika seorang terdakwa pecandu NAPZA menghendaki putusan dalam bentuk rehabilitasi maka sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti ia harus membuktikan dan meyakinkan hakim bahwasanya memang patut diberikan putusan rehabilitasi (pasal 183 KUHAP). Bagi pecandu NAPZA yang sedang dalam atau telah menjalanin perawatan dan pengobatan namun mengulangi perbuatannya tersebut tentunya tidak terlalu bermasalah. Dengan bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah maka keyakinan hakim akan timbul bahwasanya memang si pecandu tersebut patut divonis (hukuman) masuk ke panti rehabilitasi. Bagaimana pecandu NAPZA yang memperoleh NAPZA tersebut secara tidak sah ? Tidak adanya pedoman pemidanaan dalam UU Narkotika maupun Psikotropika, mau tidak mau, selalu memposisikan pecandu sama dengan terdakwa penjual dan atau bandar. Padahal dalam hitungan perkara, pecandu dan pengedar sangat jauh perbedaannya. Pecandu lebih mengkonsumsikan NAPZA untuk dirinya sendiri sedangkan pengedar tentunya ada motif ekonomis mengapa dia menjadi pengedar. Hakim seharusnya memahami perbedaan tersebut. Apakah ada motif ekonomis dari terdakwa pecandu NAPZA tersebut. Jika tidak ada motif ekonomis maka sudah seharusnya vonis yang dijatuhkan adalah vonis rehabilitas bukan vonis penjara. Majelis Hakim Yang Mulia, Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat, Serta Hadirin Sidang Sekalian; Mengenai pembuktian dalam suatu proses persidangan perkara pidana, merupakan tugas dari Rekan Jaksa Penuntut Umumlah untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti yang diatur dalam KUHAP guna membuktikan kebenaran yang sebenar-benarnya dan selangkap-lengkapnya tentang :  Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh Terdakwa?  Apakah perbuatan Terdakwa itu benar-benar sesuai dengan dakwaannya atau tidak?  Apakah perbuatan terdakwa itu merupakan perbuatan pidana dan dapat dibuktikan sesuai dengan syarat-syarat dari hukum pembuktian ata tidak atau bukan merupakan perbuatan pidana?  Apakah perbuatan terdakwa itu telah memenuhi unsur-unsur dari suatu peraturan pidana atau tidak, perbuatan itu sesuai dengan suatu peraturan atau Undang-Undang atau tidak sesuai, atau perbuatan itu belum diatur oleh suatu Undan-Undang dan lain-lain ketentuan yang tentunya diperoleh dari alat-alat bukti yang diajukannya? Mengenai pembuktian sendiri atau bewijs, menurut pengetahuan kami ada 4 (empat) teori yaitu : Negatief Wettelijk Bewijs Theorie Positief Wettelijk Bewijs Theorie



Convention Intime Convention Raissonee Dalam hal ini kami tidak perlu membahas satu persatu pengertian dari keempat teori hukum tersebut, karena kami sangat yakin Majelis Hakim Yang Muli tentu telah mengetahuinya secara jelas dan gambling, namun kami menyatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP menganut system pembuktian “Negatief Wettelijk Bewijs Theorie” yaitu pembuktian yang harus didasarkan pada 2 (dua) syarat yaitu : Harus didasari kepada alat bukti yang diakui oleh undang-undang atau sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu : 1)       Keterangan Saksi 2)       Keterangan Ahli 3)       Surat 4)       Petunjuk 5)       Keterangan Terdakwa Negatief Bewijs. Pengertian Negatief Bewijs yang dimaksud oleh undang-undang adalah bahwa keyakinan hakim saja tidak cukup untuk menyatakan seseorang bersalah, keyakinan hakim harus dibentuk dari paling kurang dua alat bukti yang sah dan saling mendukung. Majelis Hakim Yang Mulia; Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat; Serta hadirin Sidang sekalian; Selanjutnya, disini kami selaku penasihat hukum dari Terdakwa akan membahas mengenai unsur-unsur pasal yang didakwakan dan dituntut kepada Terdakwa berupa Dakwaan Kumulatif yaitu Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA yang terdiri atas hal-hal sebagai berikut : Unsur pertama : Setiap orang Bahwa unsur Barang siapa atau setiap orang ini merupakan elemen delict dan bukan bestandeel delict dalam suatu ketentuan yang terdapat pada Pasal perundang-undangan yang tentunya harus dibuktikan oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan. Menurut hemat kami, unsur Barang Siapa atau Setiap Orang haruslah dihubungkan dengan perbuatan yang telah didakwakan untuk selanjutnya dibuktikan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal perundang-undangan yang megaturnya. Kalau unsur perbuatan tersebut terpenuhi atau terbukti secara syah dan menyakinkan, maka barulah unsur barang siapa atau setiap orang dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti apabila memang unsur barang siapa atau setiap orang tersebut dapat ditujukan pada diri Terdakwa. Dalam hal ini, menurut pendapat kami yang dimaksud setiap orang dalam surat dakwaan Rekan Jaksa Penuntut Umum jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subyek hukum yang berfungsi sebagai hoofdader, dader, mededader atau uitlokker dari perbuatan pidana (delik) yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik sebagaimana tertulisa dan tercantum



pada dakwaan dan kemudian kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang sendiri, pada dasarnya bukanlah unsur akan tetapi dalam perkembangan praktek peradilan, kata barang siapa atau setiap orang menjadi bahasan serta ulasan baik oleh Penuntut Umum maupun Pengadilan. Setiap orang atau barang siapa pada dasarnya mengandung prinsip persamaan kedudukan di muka hukum (equality befor the law) sebagai suatu asas hukum yang berlaku secara universal. Dan, dalam melihat unsur setiap orang ini sendiri tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari konsep serta prinsip ajaran tentang prosedur pertanggungjawaban pidana kepada seseorang atau korporasi. Untuk hal ini, mengikuti dari pembahasan yang diberikan Rekan Jaksa Penuntut Umum dalam requisitornya (tuntutan) kepada Terdakwa SUROSO alias UPIL bin NYAMIN, pada pokoknya kami sependapat bahwa unsur barang siapa atau setiap orang ini telah terpenuhi karena Terdakwa SUROSO alias UPIL bin NYAMIN merupakan subyek hukum yang mampu bertanggung jawab dalam setiap tindakan hukum yang dilakukannya. Unsur kedua : Tanpa Hak atau Melawan Hukum Bahwa kami selaku penasihat hukum dari Terdakwa, melihat setiap perbuatan pidana/tindak pidana atau delik tentunya haruslah memenuhi unsur dengan melawan hukum baik itu dinyatakan secara tegas pada pasal perundang-undangan ataupun tidak disebutkan dengan tegas. Oleh karena itu, maka baik Rekan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya, Penasihat Hukum pada pledooinya dan Majelis Hakim pada putusannya haruslah mengkaji dan mebahas mengenai terpenuhi atau tidak terpenuhi unsur dengan melawan hukum sehingga seroang terdakwa dapat dijatuhi atau tidak dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan peaturan perundangundangan yang berlaku. Kemudian, agar terpenuhinya unsur melawan hukum ini sendiri haruslah dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dikaitkan dengan ketarangan saksi-saksi, keterangan ahli-ahli serta alat bukti lain yang diajukan secara syah dan sesuai hukum yang berlaku. Sehubungan dengan perkara yang didakwakan kepada Terdakwa SUROSO alias UPIL bin NYAMIN oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa sependapat dengan Rekan Jaksa Penuntut Umum. Unsur ketiga : Memiliki, Menyimpan, Menguasai atau Menyediakan Bahwa rangkaian perbuatan terdakwa dalam memiliki, menyimpan dan menguasai paket sabu seberat 0,059 gram kemudian menggunakannya dengan niat untuk suatu kenikmatan dan kesenangan sesaat, maka penasehat hukum berpendapat bahwa penegertian memiliki, menyimpan, dan menguasai sabu- sabu harus dikaitkan dengan tujuannya yaitu penggunaan/konsumsi diri sendiri. Hal ini wajar sebab secara logika hukum pelaku yang akan menggunakan sabu-sabu otomatis membeli, setelah membeli pastilah memiliki dan menguasai, setelah dipakai ada sisa kemudian disimpan. Hal ini dikuatkan dengan Putusan MA No. 1071 K/Pid.Sus/2012 “Bahwa ketentuan Pasal 112 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 merupakan ketentuan keranjang sampah atau pasal karet. Perbuatan para pengguna atau percandu yang menguasai atau memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam menerapkan



hukum sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang mendasar Terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau maksud Terdakwa”  “memang benar para pengguna sebelum menggunakan harus terlebih dahulu membeli kemudian menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa narkotika tersebut sehingga tidak selamanya harus diterapkan ketentuan Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, melainkan harus dipertimbangkan apa yang menjadi niat atau tujuan Terdakwa memiliki atau menguasai narkotika tersebut”.“Bahwa niat atau maksud seseorang adalah merupakan bagian dari ajaran tentang kesalahan yang menyatakan bahwa ‘tiada pidana tanpa ada kesalahan’. Seseorang tidak dapat dihukum tanpa dibuktikan adanya kesalahan, sehingga menghukum seseorang yang tidak mempunyai niat untuk suatu kejahatan dimaksud, merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius” Bahwa dalam konteks ini meskipun pengertian secara melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai dan menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, merupakan representasi dari unsur-unsur pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, namun mengingat penguasaan dan penyimpanan dimaksud adalah untuk tujuan penggunaan sendiri, hal ini di kuatkan dengan saksi MAFTUKIN,SH bin ROCHMAT, saksi ABDUL AL GHONI, keterangan terdakwa dan surat keterangan hasil urin, No.LAB : 1194/NNF/2016 tanggal 18 Agustus 2016 yang dibuat dan di tandatangani oleh Ir. SAPTO SRI SUHARTONO, IBNU SUTARTO, ST dan SHINTA ANDROMEDA, ST masing-masing selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang disimpulkan bahwa 1 (satu) tube plastik bekas urin adalah positif mengandung Metamfetamina maka penasehat hukum berpendapat bahwa dakwaan yang lebih tepat dikenakan terdakwa adalah dakwaa ke dua, pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 sesuai dengan pasal dalam dakwaan kedua sebab telah memenuhi unsur penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri, sehingga patut dijatuhi pidana berdasarkan dakwaan kedua tersebut. Bahwa pemberantasan tindak pidana narkotika dan obat terlarang memang patut di kenakan ganjaran pidana maksimal, yang berfungsi sebagai efek jera. Akan tetapi penasehat hukum berpendapat, bahwa setiap pemidanaan yang berat kepada pelaku harus dikaji secara kasuistis, dengan memperhatikan posisi/peran dan tingkat kesalahan terdakwa. Fakta hukum dalam perkara ini terdakwa hanyalah seorang pengguna, bukan bandar narkoba atau kurir yang terlibat dalam peredaran gelap atau pelaku produksi atau jual beli dalam skala yang berdampak luas dan membahayakan masyarakat. Selain itu sabu yang di konsumsi terdakwa baru sebagian kecil dari 0,059 gram yang menjadi barang bukti dari perkara ini.



Unsur keempat : Penyalahgunaan Narkotika Golongan I untuk diri sendiri Bahwa ketentuan yang terdapat pada unsur ini adalah suatu ketentuan yang tidak dapat berdiri sendiri karena jelas dan tegas ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) ini terhubung dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 127 ayat (2) yang menjelaskan ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) harus mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana terdapat pada



Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang kemudian ketentuan pasal ini pun kemudian terhubung dengan PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu narkotika. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, keterangan saksi Mhanya satu alat bukti yang mampu memberikan penjelasan atas adanya penyalahgunaan narkotika gologan I untuk diri sendiri yaitu KETERANGAN TERDAKWA saja. Tidak ada alat-alat bukti lain yang dapat menjelaskan dan menegaskan terpenuhinya unsur ini dilakukan oleh TERDAKWA. Keterangan saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum dihadapan persidangan (ARI SETIYANTO,SH; IRCHAMUDIN; YAN HADI SOFYAN dan NANA SURYANA) sama sekali tidak dapat membuktikannya. Selain itu, barang bukti berupa paket sabu yang diajukan ke persidangan pun bukan merupakan barang bukti yang pernah dipakai oleh TERDAKWA dalam penggunaan sabu-sabu bagi dirinya sendiri. Majelis Hakim Yang Mulia; Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat; Hadirin Sidang Yang Berbahagia;



Kesimpulan : Karena dakwaan primer Pasal 132 ayat ( 1 ) jo pasal 114 ayat ( 1 ) Undang – undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika unsur ke – 1 dan unsur ke – 2 tidak terbukti maka terdakwa tidak dapat dikenakan dengan dakwaan Primer. Kesimpulan : Karena dakwaan Subsidair Pasal 112 ayat (1) Undang – undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika unsur V.    PENUTUP Majelis Hakim Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum Yang Kami Hormati Berdasarkan alasan – alasan tersebut diatas, mohon Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksan dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan: 1.Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Narkotika sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Primer dan dakwaan Subsider Membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan dan tuntutan hukum. 3.Menyatakan memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Memerintahkan membebaskan Terdakwa dari dalam tahanan Rutan



Membebankan biaya perkara kepada Negara Pepatah mengatakan “ lebih baik membebaskan 1 orang yang tidak bersalah dari pada membebaskan 1000 orang yang jelas - jelas bersalah “ Demikian Nota pembelaan ini kami sampaikan, atas perkenan Ketua / Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara ini, saya selaku Penasehat Hukum Terdakwa mengucapkan Terimakasih. Semarang, 21 februari 2018 Hormat Penasehat Hukum Terdakwa



Agung Ariyanto Pribadi,SH



Atas dasar mana saya selaku Penasehat Hukum Terdakwa  mohon kepada Bapak  Ketua Majelis Hakim berserta Anggota agar dapat memberikan hukuman  yang seringan-ringannya kepada terdakwa, karena terdakwa masih bisa untuk disadari dan menyadari akan perbuatan yang telah dilakukannya adalah tidak benar dan dilarang oleh Pemerintah. Adapun sebagai dasar pertimbangan hal-hal yang dapat merinngankan  terhadap diri Terdakwa  adalah sebagai berikut : –                     Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya ; –                     Terdakwa masih muda, dan masih punya masa depan ; –                     Terdakwa tidak pernah dihukum ; –                     Terdakwa  berkelurga dan mempunyai tanggung jawab. apabila Majelis Hakim herpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.