Portugis Tugu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sepuluh tahun lalu, Arif Budiman (33), ahli penelitian kata (leksikografi) dari Universitas Indonesia, masih menjumpai beberapa penduduk keturunan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara, berkomunikasi dalam bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu. Saat kembali pada 2014, tak ada seorang pun yang bisa berbicara dalam bahasa itu. Kreol Portugis pun dikategorikan sebagai dead language atau bahasa punah. Pengajar bahasa Portugis dan Perancis di Fakultas Ilmu Budaya UI itu meneliti Kreol Portugis bersama ahli bahasa dan budaya Belanda UI, Lilie Suratminto. Salah satu narasumber penelitian adalah Fernando Quiko, putra Jacobus Quiko, tokoh di Kampung Tugu yang pernah mendokumentasikan kosakata bahasa Kreol Portugis (1976). Pada 2005, Fernando tutup usia. Anak dan cucu-cucu Fernando tidak ada yang bisa berbicara dalam bahasa Kreol Portugis. Guido Quiko (46), salah satu keturunan keluarga Quiko, misalnya, hanya mengenal sejumlah ungkapan Kreol Portugis, seperti "kumi-kumi" yang berarti "makan-makan". "Selebihnya saya tidak tahu karena tidak pernah menggunakan bahasa itu dalam percakapan sehari-hari," katanya. Rabu (21/10). Orang terakhir yang mengerti Kreol Portugis adalah Oma Mimi Abrahams, keturunan keluarga Abrahams. Dia meninggal pada 2012 dalam usia 80 tahun. "Setelah Oma Mimi meninggal, tak ada orang lain yang bisa menggunakan Kreol Portugis," tutur Arif.



Kreol Portugis Istilah kreol berasal dari bahasa Prancis Creole atau dari bahasa Portugis crioulo yang berarti membentuk bawaan dari luar. Bahasa Kreol Portugis merupakan percampuran antara bahasa etnis Melayu di Melaku, Malaysia, dan bahasa Portugis sejak jatuhnya Melaka ke tangan Portugis pada 151L Terbentuknya bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu sejak tahun 1648 ketika Belanda merebut Malaka dari Portugis. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang. Mereka dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC Sejumlah pekerja yang dibebaskan dari perbudakan (disebut Mardijkers) dipaksa memeluk agama Kristen Protestan. Mereka lalu diasingkan ke tenggara Batavia yang waktu itu sangat terpencil dan jauh dari keramaian kota. Di Kampung Tugu, orang-orang keturunan Portugis (mestizo) hidup dan berkembang. Mereka mempertahankan bahasa Kreol Portugis. Selama hampir tiga setengah abad bahasa itu bertahan sebagai bahasa vernacular atau sarana komunikasi antarwarga masyarakat di Kampung Tugu. Sistem masyarakat yang tertutup membuat bahasa ini tidak mudah dipengaruhi bahasa lain di luar Kampung Tugu. Pada akhir abad ke-20. masih ada puluhan generasi tua yang fasih berbahasa Kreol Portugis. Menginjak abad ke-21 jumlah mereka berkurang, bahkan habis sama sekali, karena proses alamiah. Generasi tua yang mula-mula menguasai bahasa Kreol Portugis secara pasif selanjutnya tidak mampu lagi menurunkan bahasa itu kepada generasi penerus. Arif menjelaskan, bahasa Kreol Tugu pada zamannya merupakan bahasa yang lebih sering digunakan kaum pria untuk berkomunikasi dengan sesama pria. Kreol Tugu berfungsi sebagai bahasa sandi atau bahasa rahasia di lingkungan orang Turu. "Karena perempuan tidak lancar berbahasa Kreol Portugis, mereka tidak menurunkan bahasa itu kepada anak-anaknya," kata lulusan Universidade Nova de Lisboa (Portugal) itu. Bahasa Kreol Tugu memasuki periode kritis pada masa kemerdekaan. Anak-anak keturunan Portugis masuk sekolah negeri dengan pengantar bahasa Indonesia Selain itu, seiring dibukanya Jalan Raya Cakung-Cilincing. Kampung Tugu yang awalnya homogen sekarang heterogen dan multikultur. Yang tersisa dari Kreol Portugis adalah kata sapaan kekerabatan, seperti tata (kakek), tata grandi (kakek buyut), nina (anak perempuan), sinyo (anak laki-laki), Bas (engkau), serta lagu-lagu berlirik bahasa Portugis, seperti "Nina Bobo", "Kafrinho", dan "Yan Kagaleti". Antropolog sekaligus Koordinator Tim Peneliti Bahasa Daerah LIPI, Abdul Rachman Patji, mengatakan, kepunahan bahasa berarti hilangnya identitas negara sebagai bangsa yang majemuk. "Bahasa adalah kekayaan bangsa yang harusnya diperhatikan negara. Kalau tidak diperhatikan, satu per satu bahasa akan hilang," kata dia. Meski Kreol Portugis punah sebagai alat komunikasi, bahasa itu tetap berfungsi untuk mempertahankan budaya dan identitas masyarakatnya. Salah satu kebudayaan yang masih bertahan adalah tradisi Rabu-rabu (perayaan Natal) sebagai ciri identitas mereka. Sebelum masuk ke dalam rumah, tamu akan mengucapkan salam "binti singku!". Binti singku berasal dari Bahasa Portugis yang artinya 25. Untuk mempertahankan identitas, masyarakat Kampung Tugu juga berusaha melestarikan peninggalan Portugis melalui kesenian Keroncong Tugu dan lagu-lagu berbahasa Portugis. (DENTY PIAWAI NASTITIE)



Portugis mencapai India pada tahun 1498 dengan melalui jalur pantai Barat Afrika dan melewati Tanjung Pengharapan yang terletak di selatan benua Afrika. Tujuan Portugis adalah menguasai daerah-daerah penghasil rempah-rempah, sehingga Portugis tidak segansegan menyerang dan menaklukkan kota-kota pelabuhan yang tidak mau tunduk. Setelah menaklukkan dan mendirikan kantor dagang di Goa India, Portugis melanjutkan ekspedisinya yang berhasil merebut Malaka pada tahun 1511 dan Maluku tahun 1512. Portugis mendirikan benteng-benteng untuk mempertahankan kekuasaan di daerahdaerah yang sudah didudukinya. Daerah-dareah tersebut kemudian dijadikan sebagai bagian kerajaan Portugis yang berada di seberang lautan yang menandai dilaksanakannya politik imperialisme. Pertemuan antara Portugis dengan orang Indonesia sudah terjadi sejak Portugis menguasai Goa, India. Ketika Portugis menyerang Malaka, keadaan di Malaka tidak siap untuk melawan serangan Portugis. Ketidaksiapan dalam menghadapi serangan Portugis dikarena faktor kekuatan militer dan persenjataan yang tidak seimbang. Penguasaan terhadap Maluku terjadi ketika sedang adanya persaingan antara kerajaan Ternate dan Tidore. Dalam hal ini Ternate meminta bantuan kepada Portugis untuk membantu mendirikan benteng pertahanan. Portugis memanfaatkan dengan baik situasi ini dengan memberikan bantuan kepada Ternate dengan meminta imbalan hak monopoli rempahrempah.



Kampung Tugu merupakan sebuah kampung yang dulunya dihuni oleh masyarakat keturunan Portugis. Namun karena perkembangan zaman, sekarang dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Masyarakat mengenalnya sebagai Kampung Tugu. Terletak di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Kini lokasi kampung ini dikelilingi sejumlah bangunan industri. Letaknya hanya sekira empat kilometer arah barat laut dari Pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu kampung ini dikenal sebagai kampung Kristen tertua di Indonesia bagian barat. Arthur Michiel, salah seorang warga yang merupakan anggota Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT) menjelaskan, “Nenek moyang orang Tugu adalah orang Portugis dari Malaka. Mereka dibawa ke Batavia sebagai tawanan perang, setelah pasukan VOC merebut kota pelabuhan di Semenanjung Melayu itu dari tangan Portugis pada 1641." Tawanan perang yang diangkut ke Batavia dari Malaka ketika itu berjumlah 25 keluarga atau 150 jiwa. Sebagian besar merupakan orang-orang berdarah campuran, hasil perkawinan lelaki Portugis dengan perempuan asal berbagai daerah koloni Portugis di Asia. Seperti Malabar, Kalkuta, Surat, Pantai Koromandel, Goa, dan Ceylon (Sri Lanka), serta dari Malaka sendiri. Jadi mereka sebenarnya blasteran atau campuran, bukan Portugis asli.



Tradisi Rabo-rabo Sebagai tawanan perang di Batavia, orang-orang portugis ini ditempatkan di sekitar Kampung Bandan, Jakarta Utara. Kemudian pada 1953 mereka dibebaskan sebagai tawanan perang dengan syarat merubah agama mereka dari katolik ke protestan. Sejak saat itu orang-orang tugu diberi julukan oleh Belanda sebagai kaum Mardijkers (kaum merdeka). Dulunya, orang biasa naik sampan dari Pasar Ikan lalu menyusur pantai Cilincing. Kemudian masuk ke Marunda dan belok melalui Kali Cakung hingga sampai ke Kampung Tugu. Sekarang, bingung arah rasanya jika harus melalui jalan air itu, apalagi sampan-sampan yang memasuki Kali Cakung tak berfungsi lagi sejak tahun 1942, ketika kedatangan Jepang. Di Kampung Tugu, saat ini masih tersisa orang keturunan Portugis. Beberapa rumah bergaya Betawi dengan sentuhan Portugis masih berdiri. Termasuk rumah yang pada tahun 1661 digunakan sebagai tempat berkumpul untuk berlatih Keroncong Tugu. Karena tempat bermukimnya warga Portugis, dulunya semua orang masih menggunakan bahasa Portugis dalam waktu cukup lama, diselingi bahasa Melayu kasar. Ada Pendeta Leideckers yang berdiam di Tugu tahun 1978. Dialah yang memperkenalkan bahasa Indonesia. Mereka yang yang masih berdiam di kampung Tugu masih menjalankan sejumlah tradisi Portugis. Salah satunya adalah Rabo-rabo. Tradisi ini digelar setiap tahun baru, berupa silaturahmi antar keluarga. Satu keluarga datang ke keluarga yang lain, kemudian dua keluarga ini bersama-sama mendatangi keluarga lain. Demikian seterusnya hingga seluruh keluarga Tugu berkumpul di rumah keluarga tertua. Tinggal Enam Marga Arthur mengatakan masyarakat tugu sendiri sudah banyak yang menyebar di berbagai daerah Jabodetabek. Jumlah populasi keluarga tugu yang tercatat dalam organisasi ada sekitar 300 KK yang tersebar di Jabodetabek. Sedangkan yang menetap di kampung Tugu ini ada 150 KK atau sekitar 1.200 orang. Nama marga keluarga yang ada disini pun mulai berkurang. Dari 25 marga kini hanya tinggal 6 marga yaitu Abrahams (Portugis + Ambon), Andries, Cornelis, Michiels, Broune (Portugis + Jerman) dan Quiko. Di Kampung Tugu dikenal beberapa makanan khas, seperti gado-gado tugu, dendeng tugu, dan pindang serani Tugu. Terkenal pula Keroncong Tugu (ejaan saat awal berdiri Keroncong Toegoe).



Keroncong sendiri sebenarnya adalah alat bermain musik semacam gitar berdawai. Keroncong pertama didatangkan ke Tugu yang dibuat di Portugis dengan bahan dari kayu Ahorn. Bentuknya mirip gitar, namun lebih kecil. Ada sebuah lagu sederhana yang kerap dimainkan saat terang bulan dan diberi nama Lagu Kroncong, dalam bahasa Portugis dinamakan Moresco. Ada lima jenis Keroncong Tugu, baik yang berdawai lima atau enam. Lambat laun, nama Keroncong Tugu dikaitkan dengan sebuah grup menyanyi. Tempat orang-orang Tugu zaman dulu bermain kini dijadikan tempat untuk menyimpan jenis-jenis alat musik keroncong. Tempat itu ditinggali oleh seseorang yang juga masih keturunan Portugis.



Kampung Tugu secara administratif termasuk Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta. Kampung yang merupakan peninggalan sejarah Kota Batavia ini sejak dulu memang dikenal sebagai kampung yang dihuni oleh tawanan portugis yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Belanda. Menurut riwayat, sejak VOC menaklukkan kekuasaan Bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1641 M, para tawanan dan budak Portugis diboyong oleh Belanda ke pusat kota dagang baru di Batavia. Para budak dan tawanan tersebut terdiri dari orang-orang Portugis dan orang-orang dari daerah yang diduduki oleh Portugis kala itu seperti Goa, Malabar, Bengal, dan Colomander. Rata-rata mereka beragama Katolik dan menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa percakapan. Namun semenjak berada di Batavia para budak dan tawanan Portugis ini dimerdekakan oleh Belanda, dengan syarat berpindah agama menjadi Protestan dan mengganti bahasa mereka dengan bahasa Belanda. Istilah untuk menyebut para tawanan dan budak yang dimerdekakan itu dikenal dengan nama “kaum Mardjiker”, yang berarti kaum yang dimerdekakan (dekat dengan kata mardika atau merdeka). Sampai akhir abad ke-18, Pemerintah Belanda di Batavia melarang agama Katolik dipeluk oleh masyarakat Batavia. Baru semenjak penaklukan Perancis atas Batavia pada masa Daendels (tahun 1808 M), Gubernur Batavia saat itu, agama Katolik diperbolehkan. Setelah memerdekakan para tahanan dan budak Portugis (kaum Mardjiker), pengurus Gereja Batavia dengan persetujuan VOC memindahkan kaum Mardjiker ke sebuah kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer sebelah tenggara Batavia pada tahun 1661 M. Kampung inilah



yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Tugu (Kampung Toegoe). Tidak kurang ada sekitar 22 kepala keluarga—terdiri 150 jiwa—dipindahkan ke Kampung Tugu. Sejak itu, para Mardjiker menetap di Kampung Tugu dan melakukan perkawinan dengan suku-suku lain yang beragama Kristen. Orang Belanda pada saat itu lebih suka menyebut para peranakan kaum Mardjiker ini dengan nama ‘Mustisa‘ (Mestiezen), yang berarti campuran (mestizo). Namun oleh masyarakat sekitar, penduduk yang menempati Kampung Tugu disebut ‘orang Tugu‘ atau juga disebut ‘orang Serani‘, dengan identifikasi agama Nasrani (Kristen) yang dipeluk oleh mayoritas penduduknya. Ada beberapa versi tentang asal-usul nama Kampung Tugu. Sejarawan Belanda, De Graff, menyebut nama Tugu berasal dari kata por tugu ese (Portugis), sebutan orang Portugis yang tinggal di kampung itu. Namun, ada juga versi lain yang mengatakan nama Tugu dikaitkan dengan penemuan sebuah prasasti (tugu) batu bertuliskan huruf Pallawa dari masa kekuasaan Raja Purnawarman, Kerajaan Taruma Negara, di sekitar perkampungan tersebut. ‘Tugu‘ sendiri berarti ‘tiang‘, ‘batu bersurat‘, atau ‘batu peringatan‘. Prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Tugu. Sejak tahun 1911 M, Prasasti Tugu dipindahkan ke Museum Nasional (Museum Sejarah Jakarta). Kampung Tugu dikenal oleh masyarakat Batavia salah satunya karena keberadaan Gereja Tugu di kampung ini. Konon gereja ini didirikan seiring dipindahkannya para Mardjiker dari Kota Batavia. Saat di Batavia para Mardjiker biasanya beribadah di Gereja Sion—dikenal dengan sebutan gereja Portugis Luar Kota (di luar benteng Kota Batavia) atau Gereja Portugis. Namun semenjak pindah ke Kampung Tugu para Mardjiker menggunakan Gereja Tugu sebagai sarana ibadahnya. Ada yang menaksir, Gereja Tugu didirikan antara tahun 1676 —1678 M bersamaan dengan pendirian sekolah rakyat pertama kali di Hindia Belanda oleh Melchior Leydekker, seorang doktor ilmu kedokteran dan teologi dari Belanda yang ditempatkan di Kota Batavia. Gereja inilah yang hingga sampai sekarang menjadi landmark Kampung Tugu. Gereja yang dapat menampung sekitar 300 jemaat ini terbilang unik, tidak seperti bangunan lain yang biasanya menghadap jalan, gereja ini justru menghadap sungai Cakung. Hal Ini semakin mengukuhkan bahwa dulu, Cakung merupakan jalur lalu-lintas transportasi air utama untuk menuju gereja. Sejak tahun 1970 daerah Kampung Tugu berusaha dijaga kelestariannya oleh pemerintah DKI Jakarta melalui SK Gubernur tahun 1970, yakni radius 600 meter dari Gereja Tugu.



Menyusuri serpih-serpih sejarah di Kampung Tugu seolah membawa ke suasana Kota Batavia zaman dulu. Saat mulai masuk perkampungan akan disuguhi suasana perkampungan dengan lanskap bangunan-bagunan kuno, jalan, dan sungai/ kali. Kali ini oleh masyarakat Tugu dan sekitar disebut Kali Cakung. Dulu, hingga tahun 1960 kali ini masih dipakai untuk jalur transportasi dan masih dimanfaatkan untuk mandi. Namun sekarang sungai ini tak lagi menjadi jalan transportasi, karena telah mendangkal dan berlumpur. Meskipun begitu tetap saja sungai ini memberi nuansa tersendiri bagi Kampung Tugu. Selain menikmati arsitektur gereja, di Kampung Tugu juga dapat menikmati peringatan Ritual



Mandi-mandi. Meski bernama “mandi”, tak ada kegiatan mandi yang dilakukan dalam acara ini. Ritual Mandi-mandi lebih merujuk pada upacara saling memaafkan di antara warga Kampung Tugu yang dibumbui kegiatan mencorengkan bedak di antara para warga. Ritual ini merupakan warisan kaum Mardjiker dan diselenggarakan setiap perayaan tahun baru. Tak hanya itu, wisatawan yang berkunjung ke Kampung Tugu juga dapat menikmati kesenian musik khas bernama Keroncong Tugu. Kesenian ini sering dipentaskan pada berbagai tempat dan kesempatan, seperti pesta perkawinan, ulang tahun, peresmian, jamuan makan, menyambut tamu asing, perayaan Natal, dan perayaan tahun baru. Konon, keroncong ini telah dimainkan sejak tahun 1661 M, tahun kedatangan para Mardjiker di Kampung Tugu. Pada saat itu, kesenian ini masih disebut keroncong asli, karena jenis irama yang masih dipengaruhi Keroncong Portugis. Namun, seiring perkembangan zaman, keroncong ini telah banyak mengadopsi beberapa elemen yang membuatnya berbeda. Hal ini misalnya dapat dilihat pada jenis iramanya yang lebih cepat dan rancak, dikarenakan suara ukulele yang dimainkan dengan cara menggaruk keseluruhan senar secara cepat. Selain itu di Kampung Tugu juga masih bisa melihat beberapa deretan rumah khas Batavia yang berusia ratusan tahun, atau juga beberapa kuburan kuno peninggalan zaman Belanda. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3795/Kampung-Tugu Contoh kalimat sehari-hari bahasa kreol Portugis Tugu di kampung Tugu. 



Yo kere ning kere. ‘Saya suka atau tidak suka.’







Santai! ‘Duduklah!’







Parki bas cura? ‘Mengapa engkau menangis?’







Anda undi bas? ‘Akan ke mana engkau?’







Yo nungku catu ‘Saya tidak bingung.’







Yo ja sabe. ‘Saya belum tahu.’



http://sastra33.blogspot.co.id/2010/05/bahasa-pidgin-dan-kreol.html Munculnya bahasa Kreol Portugis di Kampung Tugu Kecamatan Semper Jakarta Utara erat hubungannya dengan sejarah direbutnya kota Melaka dari tangan bangsa Portugis oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC) berkat bantuan Sultan Johor pada tahun 1641 yang pada waktu itu VOC di bawah Gubernur Jenderal Van Diemen. Perebutan kota Melaka ini dimaksudkan untuk memutus jalur perdagangan rempahrempah Maluku-Malaka. Serdadu-serdadu Portugis yang menjadi tawanan perang diangkut ke Batavia untuk dipekerjakan sebagai serdadu Kompeni (VOC). Komunitas Portugis yang tersisa sekarang tinggal di wilayah Kampung Portugis atau Medan Portugis di pantai barat Melaka, Malaysia, tepatnya di jalan Albuquerque. Komunitas mereka disebut komunitas Krestang. Setiap tanggal 29-30 Juni warga



Kampung Portugis Melaka merayakan Pesta San Pedro. Di Batavia para tawanan tersebut oleh Belanda mula-mula ditempatkan di luar tembok kota Batavia tepatnya di daerah sekitar Gereja Portugis atau Gereja Sion sekarang. Mereka kemudian dipindahkan ke Kampung Tugu yang letaknya sangat jauh dari Batavia yang pada waktu itu sulit dijangkau karena kampung tersebut dikelilingi oleh rawa-rawa. Mereka kemudian membentuk sebuah kelompok masyarakat Tugu yang terisolir dari daerah sekitarnya yang dihuni oleh orang Betawi, oleh karena itu masyarakat Tugu ini dapat mempertahankan adat istiadat mereka selama ratusan tahun. Dalam pergaulan sehari-hari di antara mereka mempergunakan bahasa Kreol Portugis atau lebih dikenal dengan nama bahasa Kreol Tugu. Sejak masa kemerdekaan pemakai bahasa Kreol Tugu semakin berkurang karena berbagai faktor dan akhirnya pada awal abad 21 bahasa Kreol Tugu benar-benar punah karena tidak ada lagi penuturnya. Menurut Gobard (1976) secara umum bahasa mempunyai empat kemungkinan fungsi, yaitu fungsi vernacular, vehicular, referensi kultural dan fungsi mitis. Meskipun bahasa Kreol Tugu sudah punah tetapi kosakata bahasa tersebut masih dipergunakan dalam kehidupan sosial budaya mereka. Penelitian ini memusatkan perhatian mengenai proses perkembangan bahasa kreol Portugis menjadi bahasa Kreol Tugu dan fungsi bahasa tersebut yang kini sudah punah dalam pemertahanan budaya masyarakat kampung Tugu berbasis pada senarai kosakata bahasa Kreol Tugu yang pernah dikumpulkan dalam penelitian terdahulu (Suratminto, 2004) dan telah direvisi pada penelitian terakhir (2014). Kata kunci: Kreol Portugis, Kreol Tugu, bahasa punah, sosial budaya, Melaka Bahasa Kampung Tugu Sebagai Bahasa Kreol Portugis Bahasa secara keseluruhan dapat berubah. Sering perubahan itu terjadi akibat kontak antar dua bahasa dengan latar belakang bahasa yang berbeda. Dalam hal ini antara bahasa setempat di Melaka dengan bahasa Portugis sejak jatuhnya Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Di sana bahasa campuran tersebut berkembang menjadi bahasa kampung Portugis yang kemudian dikenal sebagai bahasa Krestang. Kondisi perubahan bahasa yang demikian dapat muncul yang dalam istilah linguistik disebut bahasa pidgin. Bahasa pidgin biasanya memiliki tatabahasa sederhana dengan kosakata dari percampuran kedua bahasa tersebut. Sebuah bahasa pidgin tidak memiliki penutur bahasa ibu. Jika bahasa tersebut berkembang menjadi bahasa ibu oleh generasi berikutnya maka bahasa itu disebut bahasa kreol. Jadi bahasa kreol adalah hasil proses perkembangan dari bahasa pidgin menjadi bahasa ibu. Mengenai asal terciptanya bahasa pidgin Cor. van Bree ( 1990: 272) berpendapat: Struktur bahasa kreol masih seperti bahasa pidgin, tetapi disebut bahasa kreol karena bahasa ini secara konvensional telah berfungsi sebagai bahasa ibu. Bahasa pidgin dapat menjadi bahasa kreol ketika adanya penutur asing dan kemudian digunakan oleh keturunannya yang kemudian dibakukan sebagai bahasa pertama mereka dan berlangsung secara turun temurun. Istilah kreol berasal dari bahasa Prancis creole atau dari bahasa Spanyol criollo. Bahasa Portugis Kampung Tugu dengan demikian termasuk bahasa kreol (Suratminto 2010) (Harimurti 2008:137). Beberapa contoh kalimat dalam bahasa Kreol Tugu:



Bahasa Indonesia | Bahasa Kreol Tugu Kemari, cepat! — Biaki, gas! Saya tidak mau — Joning kéré. Dia tidak mau — Elè ning kéré Saya mau — Jo konti ènti Kamu mau apa tidak? — Bos kéré ning kéré? Silakan duduk! — Santa! Engkau mau ke mana? — Bos anda undi? Tunggu sebentar! — Ispra mas sianti! Kamu dari mana? — Bos dari undi? Engkau menanyakan apa? — Bos frunta gi? Saya mau membeli ayam — Jo kéré kompra ung gali Mengapa kamu menangis? — Parki bos cura? Sao di pasa (bong pasa) Fungsi Bahasa Sebenarnya bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja melainkan masih ada fungsi-fungsi lain. Gobard (1976) membagi bahasa menjadi empat fungsi, yaitu: 1. Fungsi vernacular, sebagai alat komunikasi dalam satu kelompok, misalnya kelompok etnis Jawa, Sunda, Bugis, dan sebagainya. 2. Fungsi vehicular, sebagai alat komunikasi dalam bidang administrasi, hukum, politik, atau komunikasi antar kelompok yang berbeda bahasa, misalnya antarkelompok etnis atau antarnegara. Sebagai contoh Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Republik Indonesia atau bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. 3. Fungsi referensi kultural, sebagai referensi pada kebudayaan suatu kelompok masyarakat atau kelompok etnis misalnya sebagai bahasa dalam kehidupan sosial atau bahasa upacara tradisional. 4. Fungsi mitis atau religius, sebagai bahasa yang digunakan dalam ranah agama atau kepercayaan , misalnya dalam upacara religius, mitologi atau penyebaran agama. Misalnya bahasa Arab dalam ritual keagamaan, dalam dakwah dan lain-lain. Padanan Nomina Bahasa Indonesia, Kreol Tugu dan Portugis Bahasa Indonesia | Bahasa Kreol Tugu | Bahasa Portugis air mata | olu sulager | rasgalo badan | korpo | corpo batok kepala | miolu | crânio belakang | kosta | costas betis | perna piklino | bezerro bibir | besu | labio, borda berak | kaga/boprago | defecação bulu badan | kabelu | penas do corpo buah pelir | kote | testículo buah pinggang | nier* | rim butuh/pelir | kote/cuni | penis dagu | barba | parente dahi | testa | testa



kepala | kabesa | cabeça keringat | suit | suor kulit | peli | pele kumis | bril | bigode lambung/pinggang | bras,kadera | lado lender (reak) | salober | os credores lubang hidung | burako nares | narina mulut | boka | boca paha | perna | coxa pantat | oldiko | fundo, traserio lobang pantat | burako oldika | cu pelir | kote | testículos penis | cuni | pênis pipi | nostu | bochecha, discaramento pundak | fetu | ombro pusar | imbigo | umbigo rambut | kabelu | cabelo rambut kemaluan | – | pêlos pubianos rongga mulut | denter boka | gaita senggama (manusia) | tomomarido | coito senggama (hewan) | intofa | intercurso seni | miyah | xixi air seni | miyuh | urina suara | tuada | saudavel Punahnya Bahasa Kreol Portugis di Kampung Tugu Pada akhir abad 20 di Kampung Tugu kita masih dapat jumpai beberapa puluh generasi tua yang masih fasih berbahasa Kreol Portugis. Menginjak abad ke 21 jumlah mereka terus berkurang dan bahkan habis sama sekali karena proses alamiah, sedangkan generasi muda yang mula-mula menguasai secara pasif bahasa Kreol Portugis dalam generasi berikutnya mereka sudah tidak mampu lagi menurunkan bahasa tersebut kepada generasi penerusnya. Pada saat ini masyarakat Kampung Tugu benar-benar sudah kehilangan jejak karena bahasa Kreol Portugis sebagai bahasa ibu sudah digantikan dengan bahasa Indonesia. Inilah kisah tragis sebuah bahasa yang pernah eksis di Indonesia. Pada masa kolonial, bahasa Kreol Portugis dan Bahasa Belanda serta bahasa–bahasa etnis termasuk bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca antaretnis dapat hidup berdampingan. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial orang yang menguasai bahasa Belanda akan naik status sosialnya. Rupanya dalam alam kemerdekaan pun demikian, hanya saja pengaruh bahasa Indonesia lebih besar dibandingkan dengan pengaruh bahasa Belanda pada masa kolonial. Fungsi Bahasa Kreol Tugu sebagai Pemertahanan Budaya Dari keempat fungsi bahasa menurut Gobart (1976) dalam perkembangannya bahasa Kreol Tugu pernah berfungsi sebagai bahasa venacular artinya bahwa bahasa Kreol Tugu pernah berkembang menjadi bahasa pengantar antarwarga masyarakat Kampung Tugu. Dengan kata lain bahasa Kreol Tugu selama hampir empat abad sejak kedatangan mereka di Batavia (1641) bahasa ini menjadi alat komunikasi antar



sesama mereka. Bahasa Kreol Tugu dalam hal ini berfungsi sebagai bahasa etnik di samping bahasa-bahasa etnik lain di Indonesia. Bahasa Tugu tidak pernah berfungsi sebagai bahasa vehicular artinya bahasa ini tidak pernah dipakai secara resmi dalam berbagai bidang resmi dalam pemerintahan. Bahasa Kreol Tugu walaupun sudah mati tetapi bahasa itu masih dapat berfungsi yaitu fungsi referensial atau dengan kata lain fungsi sosial budaya. Mengenai apakah masih mempunyai fungsi mitis atau fungsi religius diperlukan penelitian khusus. Penelitian ini tidak membahas mengenai fungsi mitis dari bahasa Kreol Tugu. Penelitian dilakukan dengan cek langsung di lapangan dan membandingkannya dengan senarai kosakata bahasa Kreol Tugu. Secara universal dalam memperingati siklus kehidupan, seseorang tidak terlepas dengan upacara-upacara ritual misalnya peristiwa kelahiran, pernikahan dan kematian. Hampir semua kegiatan tersebut selalu ada korelasinya dengan kegiatan sosial budaya. Gereja di samping sebagai tempat beribadah, gereja juga menjadi pusat interaksi sosial budaya masyarakat. Gereja Tugu didirikan pada tahun 1747. Gereja tertua di Tanjung Priok ini merupakan Gereja yang ketiga. Gereja pertama dan Kedua hancur karena terbuat dari papan dan bilik yang tidak tahan cuaca. Lokasi Gereja I dan II sekarang jadi Gereja Katholik “Salib Suci”. Pada tahun 1678 di Tugu telah ada bangunan Gereja darurat kemudian pada tahun 1737 oleh Pendeta Dirk Jan Van der Tydt didirikan Gereja yang kedua kalinya. Kemudian pada tahun 1740 sewaktu pemberontakan Cina di Batavia Gereja tersebut hancur di bakar habis. Gereja yang ketiga dibangun pada tahun 1744 dan ditahbiskan pada tanggal 29 Juli 1747 oleh Pendeta Mohn. Lahan bangunan Gereja tersebut adalah pemberian dari seorang dermawan bernama Justinus de Vinck yang pada waktu itu menjadi tuan tanah di Cilincing. Atas izin dari Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhoff sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia, maka berdirilah sebuah gereja Protestan yang sampai sekarang ini dikenal dengan nama Gereja Tugu. Pada saat perayaan Natal masyarakat Kampung Tugu mempunyai sebuah kebiasaan yang sampai saat ini masih tetap mereka pertahankan sebagai ciri identitas mereka sebagai berikut: Sebelum tamu masuk ke dalam rumah dan berjabatan tangan dengan tuan rumah, tamu tersebut terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat ini: Bi singku dia Desember, nasedu di nos sior, nos sior jabina mundu. Libra nos pekador, unga anti di kinta ferra assi klar kuma dia unga anju di nos sior assi grandi di allegria. ashi mes ku bosso ter. dies Lobu sua da bida kompredu lo-dapang kria so podeer, santu justru (Pada tanggal 25 Desember, Allah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Juruselamat , barang siapa percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan hidup yang kekal, sekiranya kami diizinkan untuk beriman kepada-Nya). Setelah itu tamu dipersilakan masuk, berjabat tangan dan saling memaafkan dengan tuan rumah dan tuan berkata: “Santa!” ‘silakan duduk’. Kemudian mereka duduk berbincang-bincang sambil mencicipi makanan dan minuman yang dihidangkan khusus untuk Perayaan Natal. Dari tatacara penyambutan tamu dalam acara perayaan Natal tersebut menunjukkan bahwa kosakata bahasa Kreol Tugu masih berfungsi dalam kehidupan sosial budaya



masyarakat kampung tersebut. Meskipun bahasa Kreol Tugu sudah boleh dikatakan mati karena tidak ada lagi pendukungnya yang aktif berkomunikasi dengan bahasa tersebut, namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih banyak ungkapan dalam bahasa tersebut. Tatacara dalam perayaan Natal tersebut hanya salah satu contoh pemertahanan budaya masyarakat Kampung Tugu dalam kehidupan sosial. Contoh tersebut menunjukkan bahwa mereka masih berusaha mempertahankan ciri budaya mereka yang berbeda dengan budaya etnis lain. Sampai saat ini di Kampung Tugu setiap tahun sehabis perayaan Tahun Baru mereka menyelenggarakan pesta mandi-mandi yaitu pesta mengoleskan bedak di antara peserta. Pesta yang sebenarnya diperuntukkan bagi Vila-vila atau ‘muda-mudi’ dalam mencari jodoh diikuti juga oleh orang-orang tua. Jadi pesta itu bersifat massal sehingga suasana menjadi sangat meriah. Pesta mandi-mandi yang kemudian dimaknai juga sebagai upacara penyucian diri diselenggarakan pada minggu pertama bulan Januari. Kegembiraan anak-anak dalam bermain sehari-hari terutama pada waktu terang bulan purnama sebelum ada televisi dan penerangan listrik yang cukup seperti saat ini, selalu diselingi dengan nyanyian-nyanyian khas dalam bahasa Kreol Tugu. Nyanyian yang mereka peroleh secara lisan dari nenek moyang mereka misalnya lagu Kafrinyu. Lagu ini dan juga lagu-lagu tradisional Tugu lain saat ini masih dikuasai oleh warga Kampung Tugu, bahkan beberapa sudah direkam dalam bentuk lempeng cakram (VCD atau DVD) untuk nyanyian keroncong. Kampung Tugu juga dikenal sebagai tempat asal musik keroncong di seluruh Indonesia. Sampai saat ini di kampung tersebut masih terdapat beberapa perkumpulan musik keroncong anatara lain grup Krontjong Toegoe. Selain lagu keroncong Moritsco dan lain-lain syair lagu Kafrinyu yang terdiri atas empat baik merupakan lagu pavorit vilu-vila Kampung Tugu. Keempat syair dalam lagu KAFRINYU adalah sebagai berikut: Bahasa Kreol Tugu 1. Kafrinyu kiteng santadu Lanta pie bate-bate Kaprinyu kire anda kayu Tira terban naji sake 2. Pasa-pasa na berdumar Ola nobiu kere nabiga Vilu-vilu nangkorsang mal Nungku aca dijustisa 3. Dong ali didendang Belu kordong barla bongbong Ung mekas munte ni mau Kere bala unjeng jifrau 4. Kartapa saily vula Morsegu supesta



Krunci teng na kabesa Su vilu teng nabariga Bahasa Indonesia 1. Kafrinyu sedang duduk bermain Angkat kaki sambil berdnsa Kafrinyu mau permisi pulang Angkat topi beri selamat 2. Jalan-jalan pantai laut Lihat kapal sedang berlayar Anak-anak jangan berpikir jahat Akan tersangkut perkara polisi 3. Hanya berbicara tidak artinya Menari berdansa sambil bergaya Uang sesen pun tidak di tangan Tapi berani untuk meminang 4. Ketapang sedang berbunga Kalong punya pesta Anak muda di dalam perut Sleyer baru ada di kepala Berikut ini adalah salah satu contoh syair nyanyian anak-anak yang masih dikuasai oleh warga Kampung Tugu asli. Mereka tidak mengetahui judulnya tetapi mereka paham di luar kepala dan melisankannya dalam bentuk nyanyian. Bahasa Kreol | Tugu Bahasa Indonesia Yan Kagè léti | Yan buang air susu Trees pedra keenti | tiga batu panas Ladang busi kampu | siapa jahatkan mantu Boi thing picadu | maling ganggu di tanah lapang Tróng ku thing èbèrtu | bui ada tertutup Eru éru sinyo kaber jèru | penjara ada terbuka Cirmel isté tèra | ayo ayo kami bersorak Tambur labe géra | ciremai ini negri Ja bira bandè | tambur bikin rusuh Ja tokka piloor | kalau kena pelor Isa pusa naris di | terbalik bandera justisa | tarik-tarik hidung di hukuman Di dèra di dèra | Lihat tetamu lagi datang Taflak fól figèra | buka taplak daun pisang Unga rabana unga gitèra | satu rebana satu gitar Unga alfada unga istèra | satu bantal satu tikar (Sumber: Ikatan Keluarga Besar Tugu 1995:21)



Simpulan Kontak pertama bangsa Portugis dengan warga Melaka sejak direbutnya kota Melaka dari wilayah Johor oleh bangsa Portugis hampir lima abad yang lalu menciptakan sebuah bahasa pidgin. Bahasa pidgin ini kemudian oleh warga pribumi melalui proses kreolisasi menjadi bahasa ibu mereka maka tercipta bahasa Kreol Portugis yang kemudian disebut bahasa Krestang. Proses kreolisasi ini berlangsung selama berpuluh tahun. Sejak direbutnya Melaka dari tangan Portugis oleh orang Belanda maka sebagian penduduk Melaka diangkut ke Batavia sebagai tawanan perang dan kemudian dimerdekakan dan mereka tinggal di Kampung Tugu. Bahasa Kreol Tugu dalam perkembangannya pernah berfungsi sebagai bahasa vernacular yakni sebagai bahasa pengantar dalam kelompok masyarakat Kampung Tugu. Bahasa Tugu tidak pernah berfungsi sebagai bahasa vehicular karena tidak pernah dibakukan dalam bentuk tulis apalagi dipakai dalam bidang-bidang tertentu dalam pemerintahan sejak masa kolonial sampai dengan masa kemerdekaan. Dengan dibukanya jalan raya Cakung-Cilincing dan semakin majunya sarana komunikasi, maka Kampung Tugu tidak lagi terisolir dari penduduk sekitarnya. Karena semakin kuatnya pengaruh bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari baik formal maupun informal, dan keengganan kaum muda untuk mempelajari dan menguasai bahasa mereka, sedangkan jumlah generasi tua yang menguasai bahasa ini berkurang secara alamiah, maka secara pelan dan pasti bahasa Kreol Tugu mengalami kepunahan karena tidak ada lagi penutur sebagai pendukung kelangsungan bahasa tersebut. Penelitian ini membuktikan bahwa masih ada usaha pemertahanan budaya masyarakat Tugu dengan masih dipergunakannya kosakata bahasa Kreol Tugu misalnya dalam bentuk kalimat dalam tatacara menerima tamu pada perayaan Natal, dan dalam pesta mandi-mandi oleh vilu-vila. Di samping itu kosakata yang diabadikan dalam tembang-tembang keroncong seperti Kafrinyu, Moritsco, Nina Bobo dan lain-lain memberikan ciri pemertahanan identitas budaya masyarakat Tugu. Bahasa sama dengan kosakata yang mengalami proses ‘lahir’ kemudian ‘hidup dan berkembang’ dan ‘mati ’ seperti yang dialami oleh bahasa Kreol Tugu. Kata punah sebenarnya masih kurang tepat karena dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya masih tersisa kosakata untuk mengungkapkan istilah-istilah dalam pelbagai peristiwa budaya. Penelitian ini baru sebagian kecil dari aspek kebahasaan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Kampung Tugu. Selanjutnya bahasa Kreol Tugu masih terbuka untuk diteliti misalnya fungsi mitis atau religius dan aspek-aspek kebahasaan yang lain yang belum tersentuh dalam penelitianpenelitian yang pernah dilakukan terdahulu. Sejak kemerdekaan penutur bahasa Kreol Tugu semakin berkurangan kerana berbagai faktor dan akhirnya pada awal abad 21, bahasa Kreol Tugu benar-benar punah kerana tidak ada lagi penuturnya. Walaupun bahasa Kreol Tugu telah punah tetapi kosa kata bahasa tersebut masih terus digunakan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Potugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Makalah ini bertujuan membincangkan proses perkembangan bahasa kreol Portugis yang menjadi bahasa Kreol Tugu dan fungsi bahasa tersebut yang kini telah punah. Perbincangan dilakukan berasaskan kepada senarai kosa kata bahasa Kreol Tugu yang pernah dikumpulkan pada tahun 2004 dan 2014. Kosa kata ini akan dibincangkan menggunakan pendekatan Gobard (1976) yang menyatakan bahasa mempunyai empat kemungkinan fungsi, iaitu fungsi vernacular, vehicular, referensi kultural fungsi mitis. Hasil kajian ini mendapati bahawa pengguna bahasa ini semakin berkurangan secara perlahan dan akhirnya bahasa Kreol Tugu mengalami kepunahan kerana tidak ada lagi penutur yang menuturkan bahasa tersebut. Walaupun bahasa Kreol Tugu tidak lagi dituturkan, tetapi terdapat juga usaha mempertahankan budaya masyarakat Tugu dengan terus menggunakan kosa kata bahasa Kreol Tugu dalam upacara menerima tamu pada perayaan Natal, pesta



mandi-mandi dan juga diabadikan dalam lagu-lagu keroncong. Justeru kata punah sebenarnya masih kurang tepat kerana dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya masih juga terdapat kosa kata untuk mengungkapkan istilah-istilah dalam pelbagai peristiwa budaya.