Post Op Fraktur Tulang Belakang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST OP FRAKTUR LUMBAL



DEPARTEMEN KEPERAWATAN GERONTIK



OLEH: APRISANDY DWINENSEVI NIM: 202020461011052



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021



LEMBAR PENGESAHAN



ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST OP FRAKTUR LUMBAL



DEPARTEMEN KEPERAWATAN GERONTIK



KELOMPOK 2



NAMA: APRISANDY DWINENSEVI NIM: 202020461011052 PERIODE PRAKTEK/ MINGGU KE : 16 s/d 22 Juni 2021/Minggu Ke-3



Malang, 27 Agustus 2021 Mahasiswa



Aprisandy Dwinensevi



Pembimbing



(



CI Lahan



)



(………………………………..)



2



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................2 DAFTAR ISI..............................................................................................................................3 BAB I LAPORAN PENDAHULUAN.....................................................................................4 A. Definisi..............................................................................................................................4 C. Etiologi..............................................................................................................................4 D. Tanda dan Gejala..............................................................................................................5 E. Patofisiologi......................................................................................................................7 F.



Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................10



G. Penatalaksanaan kegawatdaruratan.................................................................................10 H. Konsep Asuhan Keperawatan.........................................................................................13 I.



Diagnosa Keperawatan...................................................................................................14



J.



SLKI dan SIKI................................................................................................................15



DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18



3



BAB I LAPORAN PENDAHULUAN 1.1 Lansia 1.1.1 Definisi Lansia merupakan orang dengan usia lebih dari 60 tahun, pada usia lansia secara normal tubuh akan mengalami beberapa kemunduran baik secara fungsi fisiologis, psikologis maupun fisik (Dahroni et al., 2019). Penurunan kemampuan fisiologis tersebut dapat menyebabkan mereka tidak mampu diberikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang berat dan beresiko tinggi. Pada usia lanjut daya tahan fisik sudah mengalami kemunduran fungsi sehingga mudah terserang beragam jenis penyakit, masalah yang terjadi disebabkan karena imunitas dan kekuatan fisik ikut melemah begitu juga dengan kemampuan tubuh dalam menangkal serangan penyakit yang semakin melemah, sehingga lebih sering mengalami masalah kesehatan (Siregar, 2018). 1.1.2 Batasan lanjut usia Lansia dapat digolongkan menjadi empat kategori menurut (Pratiwi, 2017) yaitu: a. Pertengahan (midle age ) :ialah batas usia 45-59 tahun. b. Lansia (eldeny) :ialah batas usia 60-75 tahun 6 c. Lansia tua (old) :ialah batas usia 75-90 tahun d. Sangat tua (very old) :ialah usia lebih dari 90 tahun. Undang-Undang yang membahas tentang lansia yaitu pasal 1 ayat 2,3,4 UU No.13 tahun 1998 tentang kesehatan menyatakan lansia merupakan golongan dengan usia lebih dari 60 tahun (Prayogi, 2017). 1.1.3 Masalah yang terjadi pada lansia Masalah yang terjadi pada lansia menurut Afnuhazi (2019) adalah: a. Perilaku



4



Perubahan perilaku yang sering dialami usia lanjut adalah kemampuan ingatan yang mengalami kemunduran fungsi, memiliki kecenderungan penurunan merawat diri, serta terkadang usia yang sudah lanjut memiliki kecenderungan sensitifitas emosional, baik pada dirinya sendiri dan orang lain yang dapat menimbulkan banyak masalah. b. Perubahan psikososial Perubahan psikososial ini lebih mengarah tentang sikap lansia menyesuaikan diri antara bekerja pada masa muda dengan menikmati masa pensiun pada masa tua, mereka akan berasumsi bahwa mereka tidak lagi menjalin hubungan yang dekat dengan lingkungan serta kerabat. c. Pengurangan aktivitas fisik Seiring bertambahnya umur maka wajar akan terjadi penurunan aktifitas fisik yang dapat dilakukan, sehingga cenderung ketergantungan kepada orang lain. d. Kesehatan mental Lansia yang mempunyai masalah penurunan fungsi psikomotor dan kognitif akan mengalami perubahan kesehatan mental yang berkaitan dengan perubahan fisik yang berpengaruh terhadap interaksi dengan lingkungan nya. 1.2 Fraktur 1.2.1 Definisi Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan, terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2015). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2014).



5



Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2014). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2014). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2012). Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.Suddarth (2012:2353) Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Santoso Herman (2013:144) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43) Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625) 1.2.2 Klasifikasi



6



Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627) Menurut Carpenito (2014:47) adapun penyebab fraktur antara lain: 1. Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. 1.2.3 Etiologi Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. Fraktur dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya



7



1. Trauma 2. Langsung (kecelakaan lalu lintas) 3. Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/ duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang ) / gerakan pintir mendadak 4. Patologis: Metastase dari tulang / osteoporosis 5. Degenerasi: usia tua 6. Spontan: terjadi tarikan otot yang sangat kuat. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Doenges, 2013:627). Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain: 1) Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3) Kekerasan akibat tarikan otot



8



Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain: 1) Trauma Langsung Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur 2) Trauma Tak Langsung Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan. 3) Fraktur Patologik Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital, peradangan, neuplastik dan metabolik). 1.2.4 Tanda dan Gejala 1. Deformitas Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : a. Rotasi pemendekan tulang. b. Penekanan tulang. 2. Bengkak: Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur. 3. Echimosis dari perdarahan Subculaneous. 4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur. 5. Tenderness / keempukan. 6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur didaerah yang berdekatan.



9



7. Kehilangan sensasi ( mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/ perdarahan ). 8. Pergerakan abnormal. 9. Krepitasi (Black, 1993 : 199 ). 1.2.5 Patofisiologi Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan. Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler. Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur. .



10



11



Trauma langsung



Trauma tidak langsung



Kondisi patologis



Fraktur



Diskontibuitas tulang



Pergeseran fragmen tulang



Perubahan jaringan sekitar



Pergeseran fragmen tulang



Deformitas



Laserasi kulit



Putus vena/ arteri



Nyeri akut



Kerusakan fragmen tulang



Spasme otot



Peningkatan tekanan kapiler



Tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler Reaksi stress klien



Melepaskan katekolamin Gangguan fungsi



Gangguan mobilitas fisik



Perdarahan Kehilangan volume cairan



Resiko hipovolemia



Pelepasan histamin Memobilisasi asam lemak Protein plasma hilang



Bergabung dengan trombosit



Edema Emboli



Gangguan integritas kulit



Penekanan pembuluh darah



Penurunan perfusi jaringan Gangguan perfusi perifer



Andra & Yessie, 2013



Menyumbat pembuluh darah



1.2.6 Komplikasi 1.



Komplikasi Awal



a. Kerusakan Artery Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. b. Kompartement Syndrom Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna). c. Fat Embolism Syndrom Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie. d. Infeksi



13



System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. e. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban f. Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. g. Osteomyelitis Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur



14



dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar 2.



Komplikasi Dalam Waktu Lama



a. Delayed Union (Penyatuan tertunda) Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang. b. Non union (tak menyatu) Penyatuan tulang tidak terjadi,  cacat diisi  oleh  jaringan  fibrosa. Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.. c. Malunion Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran. 1.2.7 Pemeriksaan Penunjang 1.



X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.



2.



Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans



3.



Arteriogram: dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.



4.



CCT kalau banyak kerusakan otot.



5.



Pemeriksaan Darah Lengkap



Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot



15



meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati. 1.2.8 Penatalaksanaan 1. Untuk menghilangkan rasa nyeri. Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips. a.   Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang b.   Pemasangan gips Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah : A. Immobilisasi dan penyangga fraktur B. Istirahatkan dan stabilisasi C. Koreksi deformitas D. Mengurangi aktifitas E. Membuat cetakan tubuh orthotik Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah : a) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan b) Gips patah tidak bisa digunakan c) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien d) Jangan merusak / menekan gips e) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk



16



f) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama 2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri. h.



Penarikan (traksi):



Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain : 1. Traksi manual Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency 2. Traksi mekanik, ada 2 macam : a) Traksi kulit (skin traction) Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg. b) Traksi skeletal Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal. 1.2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat



17



memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas: 1.      Pengumpulan Data a.       Anamnesa 1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. 2) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.



18



3) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain 4) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang 5) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic 6) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehariharinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat 7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan a. Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan



19



tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan



obat



steroid



yang



dapat



mengganggu



metabolisme



kalsium,



pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak b. Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien c. Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur. d. Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal



20



lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain e. Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap f. Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) g. Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur h. Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya i. Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif. j. Pola Tata Nilai dan Keyakinan



21



Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien 1.2.10



Pemeriksaan Fisik



Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. 1)      Gambaran Umum Perlu menyebutkan: Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: 1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. 2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. 3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.     Secara sistemik dari kepala sampai kelamin a. Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. b. Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. c. Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.



22



d. Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. e. Mata Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan) f. Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. g. Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. h. Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. i. Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. j. Paru 1. Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. 2. Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. 3. Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. 4. Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. k. Jantung



23



(a)



Inspeksi Tidak tampak iktus jantung.



(b) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (c)



Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.



l. Abdomen (a)



Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.



(b) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (c)



Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.



(d) Auskultasi Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit. m. Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. 1.2.11



Diagnosa Keperawatan



Diagnosis keperawatan adalah pernyataan mengenai masalah kesehatan klien yang aktual atau potensial yang dapat dikelola melalui intervensi keperawatan mandiri. Diagnosis keperawatan adalah pernyaataan yang ringkas, jelas, berpusat pada klien dan spesifik pada klien (Rosdahl & Kowalski, 2014): A. Gangguan perfusi perifer B. Resiko hipovolemia C. Gangguan mobilitas fisik D. Nyeri akut E. Gangguan integritas kulit



24



Sumber: (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) 1.2.12 No 1



SLKI dan SIKI



SDKI Gangguan perfusi perifer



SLKI Setelah



SIKI dilakukan Perawatan sirkulasi tindakan keperawatan 3 x Observasi - Periksa sirkulasi perifer 24 jam maka perfusi - Identifikasi faktor risiko gangguan perifer membaik dengan sirkulasi - Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau kriteria hasil : bengkak pada ekstremitas - Warna kulit pucat Terapeutik menurun (5) - Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan - Edema perifer perfusi menurun (5) - Hindari pengukuran tekanan darah pada - Kelemahan otot ekstremitas dengan keterbatasan perfusi - Hindari penekanan dan pemasangan menurun (5) ourniquet pada area yang cedera - Lakukan pencegahan infeksi - Lakukan hidrasi Edukasi - Anjurkan berhenti merokok - Anjurkan berolahraga rutin - Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun kolestrol, jika perlu - Anjurkan untuk melakukan perawatan kulit yang tepat - Anjurkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi - Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan



25



2



Resiko hipovolemia



Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia (I.03116) tindakan keperawatan 3 x Observasi 24 jam maka status cairan - Periksa tanda dan gejala hypovolemia pasien membaik (mis.fruekensi nadi meningkat, nadi (L.03028) dengan kriteria teraba lemah, tekanan darah menurun, hasil : turgor kulit menurun, membrane - Turgor kulit mukosa kering, volume urin menurun, haus, lemah) meningkat (5) - Edema perifer menurun (5)



-



Monitor intake dan output cairan



Terapeutik -



Hitung kebutuham cairan



Edukasi - Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral Kolaborasi - Kolaborasi pemberian isotonis (mis. NaCl, RL) -



4



Gangguan mobilitas fisik



Mobilitas fisik meningkat (L.05042) - Pergerakan ekstremitas meningkat - Kekuatan otot meningkat - Rentang gerak (ROM) meningkat - Kaku sendi menurun - Gerakan tidak terkoordinasi menurun - Gerakan terbatas menurun Kelemahan fisik menurun



cairan



IV



Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCl monitor 0,4%)



Dukungan mobilisasi Observasi: - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya - Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan - Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi - Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi Terapeutik: - Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu - Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu - Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi - Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi - Anjurkan melakukan mobilisasi dini



26



3



Nyeri akut



Setelah



dilakukan



tindakan keperawatan 3 x 24 jam maka tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil : - Frekuensi



nadi



membaik (5) - Pola nafas membaik (5) - Keluhan



nyeri



menurun (5) - Meringis menurun (5) - Gelisah menurun (5) - Kesulitan menurun (5)



tidur



- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur) Manajemen nyeri (I.08238) Observasi - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri - Identifikasi skala nyeri - Identifikasi respons nyeri non verbal - Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup - Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik - Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri - Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri - Fasilitasi istirahat dan tidur - Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi - Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri - Jelaskan strategi meredakan nyeri - Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi - Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu



27



4



Gangguan integritas kulit



Setelah



dilakukan Perawatan luka: Observasi: tindakan keperawatan 3 x - Monitor karakteristik luka 24 jam maka Integritas - Monitor tanda-tanda infeksi Kulit dan Jaringan Terapeutik: - Berikan salep yang sesuai ke kulit/ lesi, jika membaik dengan kriteria perlu



hasil : -



Edukasi: kerusakan jaringan - Jelaskan tanda dan gejala infeksi - Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi menurun (5) kalori dan protein kerusakan lapisan kulit - Ajarkan prosedur perawatan luka mandiri Kolaborasi menurun (5) - Kolaborasi pemberian antibiotik, jika kemerahan menurun (5) perlu suhu kulit membaik (5)



Sumber: (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018; Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)



28



DAFTAR PUSTAKA



Afnuhazi, R. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asam Urat Pada Lansia (45 – 70 TAHUN). Human Care Journal, 4(1), 34. https://doi.org/10.32883/hcj.v4i1.242 Andra F.S & Yessie M.P. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. Brunner, Suddarth. (2015). Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta Carpenito, LJ. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6. Jakarta: EGC Dahroni, D., Arisdiani, T., & Widiastuti, Y. P. (2019). Hubungan Antara Stres Emosi Dengan Kualitas Tidur Lansia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 5(2), 68. https://doi.org/10.26714/jkj.5.2.2017.68-71 Doengoes, M.E., (2010). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta. Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan. Johnson, M., et all. (2014). Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mansjoer, A dkk. (2013). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Pratiwi, T. A. (2017). Pemeriksaan Asam Urat Pada Usia Lanjut [KTI, Universitas Setia Budi]. Http/:repository.setiabudi.ac.id Prayogi, G. H. (2017). Kadar Asam Urat Pada Wanita Menopause [KTI, STIKes ICME]. Http://repo.stikesicme-jbg.ac.id Santosa, Budi. (2013). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika Siregar, G. P. H. (2018). Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah Pada Lansia Dengan Metode Stick Di Puskesmas Tanjung Rejo Kecamatan Percut Seituan. 1(2), 9. Smeltzer, S.C., (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.



29



30