PPDH Myasis Domba [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KEGIATAN PPDH ROTASI INTERNA HEWAN BESAR YANG DILAKSANAKAN DI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA “Myasis pada Domba”



Oleh: Sarah Arnestia Yudandi, S.KH NIM. 170130100011013



PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019



LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN PPDH ROTASI INTERNA HEWAN BESAR YANG DILAKSANAKAN DI PETERNAKAN DRH RIBUT HARTONO DAN KAMPUNG SAPI ADVENTURE (25 Februari – 22 Maret 2019) Oleh:



Sarah Arnestia Yudandi, S.KH 170130100011013



Menyetujui,



Koordinator rotasi



Penguji



drh. Analis Wisnu Wardhana, M.Biomed NIP. 19800904 200812 1 001



drh. M. Arfan Lesmana, M.Sc NIK.2013098410041001



Mengetahui, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya



Dr. Ir. Sudarminto Setyo Yuwono, M.App.Sc NIP. 19631216 198803 1 002



ii



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada penulis, karena berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan koasistensi rotasi interna hewan besar dan menuliskan laporan kegiatan dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak di antaranya: 1. Drh. Arfan Lesmana, M.Sc selaku dosen pembimbing maupun dosen penguji pada kegiatan PPDH rotasi Interna Hewan Besar 2. Drh. Ribut Hartono sebagai dosen pembimbing lapang yang telah bersedia untuk berbagi ilmu selama kegiatan koasistensi 3. Teman sejawat PPDH Gelombang X Kelompok 3 atas kerjasama, dorongan, semangat, inspirasi, keceriaan, dan kebersamaannya. Akhir kata, penulis berharap semogaTuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan yang telah diberikan dan penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi masa mendatang yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.



Maret 2019



Penulis



iii



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1



Latar Belakang .................................................................................................. 1



1.2



Rumusan Masalah ............................................................................................ 1



1.3



Tujuan ................................................................................................................ 1



BAB II STUDI KASUS ..........................................................................................2 2.1



Signalement......................................................................................................... 2



2.2



Anamnesa ............................................................................................................ 2



2.3



Temuan Klinis ..................................................................................................... 2



2.4



Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................... 3



2.5



Diagnosa Banding ............................................................................................... 3



2.6



Diagnosa ............................................................................................................. 3



2.7



Prognosis ............................................................................................................. 3



2.8



Penanganan dan Terapi ....................................................................................... 3



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................4 BAB IV PENUTUP ..............................................................................................10 4.1



Kesimpulan ...................................................................................................... 10



4.2



Saran ................................................................................................................ 10



DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11



iv



DAFTAR GAMBAR Gambar



Halaman



3.1 Domba yang Mengalami Myasis ............................................................ 2 3.2 Diagram Alir Patogenesa Myasis ............................................................ 4 3.3 Obat yang Digunakan.............................................................................. 6



v



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu usaha peternakan domba di Indonesia dalam menjalankan produksi tidaklah selalu lancar karena berbagai masalah dapat terjadi termasuk penyakit pada ternak yang dimiliki usaha tersebut. Keadaan ini diperburuk dengan manajemen peternakan rakyat yang masih sederhana sehingga menyebabkan ternak rentan terhadap berbagai penyakit.Penyakit tersebut dapat berasal dari berbagai macam penyebab baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Salah satu penyakit infeksius yang menjadi masalah serius pada sapi dan juga ternak lain adalah myasis. Miasis adalah penyakit atau kelainan karena investasi lalat pada jaringan tubuh hewan hidup. Proses terjadinya miasis didahului oleh adanya luka traumatik pada kulit inang. Luka dapat berasal dari gigitan caplak atau benda-benda di sekitar sapi. Awal infeksi larva terjadi pada kulit yang terluka, selanjutnya larva bergerak lebih dalam menuju jaringan otot sehingga luka semakin lebar. Meskipun penyakit myiasis jarang menyebabkan kematian tetapi kerugian ekonomi yang ditimbulkannya cukup besar. Kasus myiasis pada ternak sering ditemukan di sekitar mata, mulut, vulva, tanduk yang dipotong, luka kastrasi dan pusar hewan yang baru lahir. Kondisi ini menyebabkan tubuh sapi menjadi lemah, kurang nafsu makan, demam, dan anemia sehingga sapi menjadi kurus dan produktivitasnya menurun yang secara langsung berdampak pada harga jualnya. Sebenarnya kasus miasis masih sering terjadi, terutama di daerah endemik, akan tetapi sering kali dilupakan. Langkah-langkah pengendalian masih harus terus dilakukan, yaitu pengobatan luka secara dini, pemantauan terhadap populasi lalat miasis dan pengawasan lalu lintas ternak. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana peneguhan diagnosa myasis pada domba? 2. Bagaimana pencegahan dan penanganan myasis pada domba? 1.3 Tujuan 3. Mengetahui peneguhan diagnosa myasis pada domba 4. Mengetahui pencegahan dan penanganan myasis pada domba



BAB II STUDI KASUS 2.1



Signalement Berikut ini merupakan signalement dari pasien kasus myasis yang



meliputi: Jenis Hewan



: Domba



Ras Hewan



: Merino Mix



Jenis Kelamin



: Betina



Umur



: ± 3 tahun



Ciri khusus



: Warna coklat, disekitar kepala terdapat corak hitam.



Gambar 2.1 Domba yang Mengalami Myiasis (Sumber : Dokumentasi Pribadi) 2.2



Anamnesa Berdasarkan hasil anamnesa dengan pemilik domba tersebut, diperoleh



infomasi bahwa domba betina ini baru melahirkan 1 bulan lalu, domba terlihat lemas dan sering berbaring sejak 15 hari yang lalu, awal dikira oleh pemilik karena digigit tikus pada bagian ekornya. Nafsu makan dan minum menurun sejak 3 hari yang lalu. 2.3



Temuan Klinis Dari hasil pemeriksaan klinis diketahui bahwa temperatur tubuh: 39°C,



respirasi : 32 x/ menit dan bagian ekor domba terdapat kerusakan jaringan yang cukup parah. Kemudian luka tersebut dibersihkan menggunakan air bersih, digunting bulu disekitar luka, diamati dan diperiksa bagian luka tersebut dengan menggunakan pinset lalu ditemukan luka yang berisi larva lalat didalamnya.



2



2.4



Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang



2.5



Diagnosa Banding Diagnosa banding untuk kasus ini adalah :



2.6







Abcess







Celullitis







Furunculosis



Diagnosa Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang



telah dilakukan, maka domba tersebut mengalami Myiasis pada bagian ekor. 2.7



Prognosis Prognosis dari kasus myiasis ini adalah Fausta.



2.8



Penanganan dan Terapi Bulu disekitar luka digunting, agar lebih mudah untuk membersihkan dan



mengobati luka. Luka kemudian dibersihkan menggunakan air bersih. Selanjutnya luka dikuret untuk menghilangkan jaringan mati dengan menggunakan hemostatik forcep, lalu larva dikeluarkan dari dalam jaringan satu persatu sambil sesekali diberi air tembakau untuk memicu larva keluar. Setelah luka sudah bersih, luka disemprot dengan Dicodine® untuk mencegah lalat datang kembali. Untuk mempercepat proses kesembuhan luka, domba diinjeksi Sulpidon® dan Vetstrep® secara IM dan Wormectin® secara SC.



3



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Domba Merino, betina, usia ± 3 tahun dilaporkan oleh pemilik dengan keluhan lemas, tidak aktif bergerak, sering berbaring sejak 15 hari yang lalu dan terdapat luka pada bagian ekor yang diduga akibat gigitan tikus. Nafsu makan dan minum menurun sejak 3 hari yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa bagian ekor domba terdapat kerusakan jaringan yang cukup parah. Kemudian luka tersebut dibersihkan menggunakan air bersih, digunting bulu disekitar luka, diamati dan diperiksa bagian luka tersebut dengan menggunakan pinset lalu ditemukan luka yang berisi larva lalat didalamnya. Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka domba tersebut mengalami Myiasis pada bagian ekor.



Gambar 3.1 Luka pada Bagian Ekor Domba (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Myiasis merupakan peyakit yang disebabkan infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada hewan dan manusia. Larva tersebut memakan jaringan mati atau hidup serta cairan tubuh atau makanan yang ditelan hospesnya. Myiasis merupakan satu di antara penyakit parasitik yang masih menjadi kendala bagi peternak di Indonesia. Myiasis yang disebabkan oleh lalat Chrysomya bezziana (beberapa bercampur dengan Sarcophaga sp.) telah tersebar luas di kepulauan Indonesia dan beberapa pulau di antaranya merupakan daerah endemik. Tercatat kejadian myiasis pada ternak dan manusia di daerah endemik mencapai 95%. Oleh karena itu, Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International de Epizootica (OIE) menggolongkan penyakit ini ke dalam daftar B, yaitu penyakit



4



menular yang memiliki dampak sosial ekonomi atau memiliki nilai kepentingan kesehatan pada suatu negara dalam perdagangan internasional terkait dengan produk produk asal hewan. Penyakit myiasis sering menyerang hewan ternak, seperti domba, kambing, sapi dan vertebrae lainnya. Larva lalat yang dapat menyebabkan myasis tergolong dalam genus Chrysomia. Genus Chrysomia yang memegang peranan penting dalam kasus myasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia bezziana. Lalat Chrysomia bezziana dilaporkan sebagai lalat penyebab utama penyakit miasis di Indonesia terutama pada daerah-daerah yang ternaknya dipelihara secara semi intensif dan ekstensif. Myasis selalu diawali dari adanya luka di kulit hewan yang terkontaminasi kotoran, yang memicu terjadinya infeksi oleh bakteri oportunistik. Bakteri yang berkembang biak menyebabkan bau yang disukai oleh lalat dan mengundang lalat untuk bertelur di luka yang terkontaminasi tersebut. Larva lalat akan memakan sel-sel mati, eksudat dan debris dari hewan. Larva dapat menembus lapisan kulit paling atas dan mencapai daerah bawah kulit, sehingga dapat terbentuk rongga di bawah kulit dengan diameter yang cukup besar. Infestasi larva lalat ini ke dalam tubuh ternak dapat menyebabkan terjadinya penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan, penurunan produksi susu, anemia, dan kerusakan kulit (Wardhana 2006). Patogenesis myasis pada hewan dimulai saat ternak mengalami luka alami seperti akibat berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan pasca partus atau terputusnya tali pusar/umbilikus atau luka lain yang disebabkan oleh manusia, misalnya pada kasus pemotongan tanduk (de-horning), kastrasi, pencukuran bulu dan lain-lain. Bau darah segar yang mengalir akan menarik lalat betina Chrysomia bezziana untuk meletakkan telurnya ditepi luka tersebut. Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh ke tanah oleh gerakkan hewan, sehingga dalam waktu kurang dari 12 jam, telur akan menjadi larva dan bergerak masuk kedalam jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain (lalat sekunder dan tersier) untuk hinggap dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri (Wardhana dan Muharsini,2005)



5



LUKA



Lalat Betina Chrysomia bezziana



Telur



Larva



Masuk kedalam jaringan



Kerusakan jaringan yang parah Gambar 3.2 Diagram Alir Patogenesa Myasis Siklus hidup lalat Chrysomia bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat . Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan L3 memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan membentuk pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari, kemudian menjadi lalat yang akan bertelur setelah enam hingga tujuh hari . Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu sekitar 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur) (Spradbery, 2002). Terapi rekomendasi pada kasus myasis menurut Rahman et al (2009) yaitu dapat dilakukan dengan menghilangkan larva menggunakan minyak terpentin. Manfaat minyak terpentin dalam pengobatan myasis telah terbukti membantu menghilangkan larva penyebab myasis. Minyak terpentin membuat kondisi anaerob pada luka sehingga larva akan merangkak keluar dari luka dalam waktu 3-5 menit. Selain itu, minyak terpentin mengandung antioksidan sehingga dapat menghambat proses inflamasi. Terpentin juga terbukti dapat meningkatkan fibrinogen plasma sehingga dapat mempercepat



proses penyembuhan luka.



Penggunaan antibiotik dapat diaplikasikan untuk mencegah infeksi sekunder



6



selama proses penyembuhan luka. Antibiotik yang dapat digunakan seperti kombinasi penisilin dan streptomisin. Penisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri dan streptomisin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein. Pengobatan myasis dapat diawali dengan pengambilan larva dari daerah luka. Pada peternak komersial, umumnya dilakukan dipping menggunakan insektisida golongan organophospat dengan dosis maksimal untuk pemberantasan parasit eksternal. Pengobatan myasis juga dapat dilakukan menggunakan insektisida sistemik, seperti ivermectin pada dosis 200mg/KgBB. Pencegahan agar luka tidak mendapat serangan lalat dapat digunakan doramectin (200mg/KgBB) yang dilaporkan efektif sampai 12-14 pasca pengobatan. Spinosad (formula dari produk fermentasi bakteri) dapat digunakan untuk pengobatan umum yang digunakan oleh peternak adalah penyemprotan luka dengan Gusanex® (Wardhana dan Muharsini, 2005). Pasien myasis pada kasus ini ditangani oleh dokter hewan dengan cara bulu disekitar luka digunting terlebih dahulu, agar lebih mudah untuk membersihkan dan mengobati luka. Luka kemudian dibersihkan menggunakan air bersih, selanjutnya luka dikuret untuk menghilangkan jaringan mati dengan menggunakan hemostatik forcep, lalu larva dikeluarkan dari dalam jaringan satu persatu sambil sesekali diberi air tembakau untuk memicu larva keluar. Menurut Zaidi et al (2004) Tembakau dipilih karena mengandung zat alkaloid, minyak atsiri, nikotin dan flavonoid yang berfungsi sebagai insektisida. Menurut Mungenge et al (2014) senyawa flavonoid mempunyai efek toksik pada serangga melalui beberapa mekanisme di antaranya sebagai antiproliferatif, yaitu dengan cara menghambat transduksi signal ke nukleus sel. Mekanisme kedua, menginduksi fragmentasi DNA sehingga menyebabkan apoptosis sel. Mekanisme ketiga, menghambat aktivasi protein kinase pada daerah pengikatan ATP sehingga pertumbuhan sel menjadi terhambat. Ketiga mekanisme tersebut diduga menyebabkan kematian sel pada larva melalui mekanisme racun pencernaan. Kandungan nikotin pada tembakau merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat dan dapat bertindak sebagai racun kontak pada serangga.



7



Luka yang sudah bersih disemprot dengan Dicodine® untuk mencegah lalat datang kembali. Dicodine® mengandung Dichlofention 1% yang berkhasiat untuk mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya myasis. Sulpidon® mengandung dipyrone dan lidocaine yang digunakan sebagai analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Dipyrone bekerja dengan cara menghambat prostaglandin dalam menyebabkan reaksi peradangan berupa rasa nyeri, bengkak, dan demam. Pada domba diberikan volume pemberian 5-10 ml (untuk 30-60 kg) secara IM. Antibiotik Vetstrep® digunakan untuk membunuh bakteri yang terdapat pada luka atau juga dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri yang dapat memperparah kerusakan jaringan dan menghambat proses kesembuhan luka. Setiap gram Vetstrep® mengandung streptomycin 50% dan dihydrostreptomycin 50%. Larutkan 25 gram Vetstrep® kedalam 80 ml aquadest. Pada domba diberikan volume pemberian 0,5-1 ml/kgBB secara IM. Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesis protein. Antibiotik streptomisin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein secara reversibel. Antibiotik ini berikatan pada subunit 30S ribosom bakteri, beberapa juga pada subunit 59S ribosom dan menghambat translokasi peptidil-tRNA dari situs A ke situs P, dan menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA dan mengakibatkan bakteri tidak mampu mensintesis protein vital untuk pertumbuhannya (Pratiwi, 2008). Pemberian



Wormectin®



(Dihydroavermectin/ivermectin)



merupakan



antiparasit spektrum luas. Menurut Cassie et al (2008) obat ini mengikat dan mengaktifkan saluran klorida glutamate-gated (GluCls) yang ada di neuron dan miosit. Ivermectin berikatan secara selektif pada reseptor di sinaps motor perifer, menghambat transmisi kimia dari asam γ aminobutirat (GABA / Gamma Aminobutyric Acid) yang berada di sistim saraf pusat. GABA merupakan neurotransmitter pada otak yang menghambat reaksi neurologis yang tidak menguntungkan. Hal tersebut merangsang pelepasan GABA pada ujung saraf endoparasit, meningkatkan afinitas GABA pada reseptor di sinaps dan menyebabkan gangguan impuls saraf, menimbulkan paralisis dan kematian pada larva.



8



Gambar 3.2 Obat yang Digunakan (Sumber : Dokumentasi Pribadi) Pengendalian penyakit miasis masih mengandalkan preparat insektisida seperti senyawa organofosfat dan senyawa ivermectin. Ivermectin adalah obat miasis yang paling baik yang dapat memberikan perlindungan sampai 10 hari pada sekali suntik. Pengendalian dengan preparat insektisida banyak dilakukan dengan cara disemprot, namun apabila luka sudah terlalu dalam, maka aplikasi menjadi tidak efektif. Pengobatan miasis secara tradisional dengan tembakau, bensin dan batu baterai pernah dilakukan peternak, namun cara ini hanya mengusir larva dan tidak menyembuhkan luka. Tindakan pencegahan agar luka tidak mendapat serangan larva lalat, dapat digunakan doramectin (200 mg/kg) yang dilaporkan efektif untuk melindungi luka dari serangan lalat miasis. Kasus miasis masih sering terjadi, terutama di daerah endemik, akan tetapi sering kali dilupakan. Langkah-langkah pengendalian masih harus terus dilakukan, yaitu pengobatan luka secara dini, pemantauan terhadap populasi lalat miasis dan pengawasan lalu lintas ternak (Wardhana, 2006). Prognosa dari kasus penyakit myiasis pada domba ini adalah fausta (dapat disembuhkan) dengan penanganan yang baik jika ditangani dengan cepat dan dalam kondisi lingkungan yang baik untuk menghindari populasi lalat dan mempercepat kesembuhan luka serta didukung dengan manajemen perawatan luka yang benar (Hartutiek dkk, 2014).



9



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Domba Merino, betina, usia ± 3 tahun dilaporkan oleh pemilik dengan keluhan lemas, tidak aktif bergerak, sering berbaring sejak 15 hari yang lalu dan terdapat luka pada bagian ekor yang diduga akibat gigitan tikus. Nafsu makan dan minum menurun sejak 3 hari yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa bagian ekor domba terdapat kerusakan jaringan yang cukup parah. Kemudian luka tersebut dibersihkan menggunakan air bersih, digunting bulu disekitar luka, diamati dan diperiksa bagian luka tersebut dengan menggunakan pinset lalu ditemukan luka yang berisi larva lalat didalamnya. Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka domba tersebut mengalami Myiasis pada bagian ekor. Pengobatan yang diberikan untuk domba tersebut luka disemprot dengan Dicodine® untuk mencegah lalat datang kembali. Untuk mempercepat proses kesembuhan luka, domba diinjeksi Sulpidon® (analgesik, antiinflamasi dan antipiretik) dan Vetstrep® (antibiotik) secara IM dan Wormectin® (insektisida) secara SC. 4.2 Saran Peternak harus memperbaiki manajemen pemeliharaan domba yang baik agar menghindari terjadinya gangguan pada saluran pencernaan.



10



DAFTAR PUSTAKA Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry P. 2008. Cutaneous Myiasis: Diagnosis, Treatment, and Prevention. J Oral Maxillofac Surg 66:560568. Hartutiek, P., R. Sasmita, A. Sunarso, dan M. Yunus. 2014. Ilmu Penyakit Artropoda Veteriner. Mungenge C, Zimudzi C, Zimba M, Nhiwatiwa T. 2014. Phytochemical screening, cytotoxicity and insecticidal activity of the fish poison plant Synaptolepis alternifolia Oliv. (Thymelaeaceae). Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 2(5): 15- 19 Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 154, 158, Jakarta, Erlangga Medikal Series. Rahman M.A., M. A. Hossain and M. R. Alam. 2009. Clinical Evaluation Of Different Treatment Regimes For Management Of Myiasis In Cattle. Bangl. J. Vet. Med. 7(2) : 348 – 352 Spradbery, J.P . 2002 . The screwworm fly problem : A background briefing. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference Canberra . Canbera, 12 - 15 November 2001 . Departement of Agric. Wardhana AH and Muharsini S .2005. Kasus Myasis yang disebabkan oleh Chrysomia bezziana di Pulau Jawa. Dalam, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 12-13 September 2005, 1078-1084 Wardhana AH. 2006. Chrysomya bezziana, the cause of myasis on animal and human: problem and control. Wartazoa. 16(3):146-159 Zaidi, M. I., Gul, A. & Khattak, R. A. 2004. Antibacterial Activity of Nicotine and It’s Mercury Complex. Sarhad J. Agric, 20 (4): 619 – 622



11