PPK Kulit Rs Unri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU A.



Dermatologi Non Infeksi 1. Dermatitis Numularis



NAMA PENYAKIT



Dermatitis Numularis (L30.0)



DEFINISI



Suatu kelainan kulit inflamatif berupa papul dan papulovesikel yang berkonfluensi membentuk plak berbentuk koin berbatas tegas dengan oozing, krusta, dan skuama. Sangat gatal, dengan predileksi pada ekstremitas atas dan bawah.



ANAMNESIS



1. Menyerang terutama orang dewasa (50-60 tahun), jarang pada bayi dan anak-anak, puncak onset pada anak-anak, yaitu pada usia 5 tahun. 2. Keluhan subjektif sangat gatal, terutama pada fase akut 3. Pada sebagian pasien didapatkan insidensi atopi yang tinggi, tetapi pada sebagian lalin tidak. 4. Pencetus antara lain kulit kering, fokus infeksi pada gigi, saluran nafas atas, atau saluran nafas bawah. Faktor alergen lingkungan yang berperan sebagai pencetus yaitu: tungau debu rumah dan Candida albicans 5. Stres emotional, disfungsi liver atau konsumsi alkohol berlebihan dapat memperberat penyakit.



PEMERIKSAAN FISIK



1. Predileksi : ekstremitas atas termasuk punggung tangan (wanita) dan ekstremitas bawah (pria) 2. Kelainan kulit dapat bersifat subakut atau kronik 3. Lesi karakteristik berupa plak berukuran 1-3 cm berbentuk koin yang terbentuk dari konfluensi papul dan papul ovesikel 4. Pada bentuk akut terdapat vesikel, erosi, dan eksudasi membentuk lesi yang basah (oozing), serta krusta pada dasar eritema. Pada fase kering berupa plak kering, berskuama dan likenifikasi. 5. Dapat timbul komplikasi berupa infeksi bakteri sekunder 6. Lesi menyeluruh dimulai dari bagian tengah membentuk gambaran anular 7. Kelainan kulit dapat meluas ke badan, wajah, dan leher atau menjadi generalisata



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pemeriksaan penunjang tidak perlu pemeriksaan khusus 2. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesu ai diagnosis banding 3. Pada kasus berat atau rekalsitran, dilakukan uji tempel.



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis serta lokasi yang khas. 1



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DIAGNOSIS KERJA



Dermatitis Nurmularis



DIAGNOSIS BANDING



a. b. c. d.



TERAPI



a. Topikal : - kompres pada lesiakut - Anti inflamasi dan atau anti mikotik Pilihan utama: kortikosteroid topikal potensi sedang hingga kuat Pilihan lainnya: inhibitor kalsineurin seperti takrolimus dan pimekrolimus b. Sistemik : - Antihistamin oral - Pada kasus dermatitis nurmularis berat dan refrakter dapat dibe rikan: o Kortikosteroid sistemik o Pada anak dapat diberikan metotreksat dengan dosis 5-10 m g perminggu. - Pada kasus dermatitis nurmularis dengan lesi generalisata dapat ditambahkan fototerapi broad/narrow band UVB



EDUKASI



-



PROGNOSIS



Ad vitam : bonam Ad sanactionam: bonam Ad fungsionam: bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. Dalam: Fizpatrick”s Dermatology in general medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Pallerv AS, Leffell DJ, editor. Edisi ke-8. New York : Mc GrawHill, 2012.h.184-7.



Dermatitis kontak alergi Dermatitis statis Dermatitis atopik Tinea korporis



Hindari/atasi faktor pencetus Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering



2. Ingram R.J. Eczematous Disorders. Dalam: Griffiths C. Barker J. Bleiker T. Chalmers R. Creamer D. penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-9. Oxford: Blackwell;2016.h.39.9. 3. Todorova A. Eropean handbook of dermatological treatments. Katsambas AD, Lotti TM, Dessinioti C, D’Erme AM editor. Edisi ke-3. Newyork: Springer. 2015.h.671-680



2



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2.



Dermatitis Popok



NAMA PENYAKIT



Dermatitis Popok (L.22)



DEFINISI



Dermatitis popok (napkin dermatitis, diaper dermatitis) adalah derm atitis akut yang terjadi didaerah genitokrural sesuai dengan tempat k ontak popok (bagian cembung) terutama dijumpai pada bayi akibat memakai popok



ANAMNESIS



1. Riwayat perjalanan penyakit: kontak lama dengan popok basah (urin/feses). 2. Tempat predileksi: bokong, area perianal, genital, paha bagian dalam dan daerah pinggang, sesuai dengan area kontak popok. 3. Pada anak frekuensi tertinggi pada usia 9-12 bulan dan 12-24 bulan.



PEMERIKSAAN FISIK



- Makula eritematosa, berbatas agak tegas (bentuk mengikuti bentuk popok yang berkontak, mons pubis, skrotum pinggang dan perut bagian bawah), disertai papul, vesikel, pustul, erosi, maserasi ringan dan eskoriasi. - Pada stadium lanjut gambaran klinis lebih berat (Jacquet’s dermatitis) dapat menjadi erosi, nodul, infiltrat dan ulserasi. - Bila terinfeksi jamur kandida (biasanya harus dipikirkan bila sudah lebih dari 3 hari) tampak plak eritematosa (merah cerah), lesi lebih basah disertai maserasi, berbatas tegas, didaerah tepi lesi terdapat papul, pustul, kadang terdapat lesi satelit.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Tidak ada pemeriksaan khusus. Bila diduga terinfeksi jamur kandida, dilakukan pemeriksaan KOH atau jika terinfeksi bakteri, pemeriksaan Gram dari kerokan kulit



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Dermatitis Popok



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4.



TERAPI



Non medikametosa: 1. Daerah popok dibersihkan dengan hati-hati dengan air dalam mi nyak, yang diulang setiap kali sesudah buang air besar.



gejala klinis serta



Kandidosis kutis Dermatitis seboroik infantil Akrodermatitis enteropatika Sebopsoriasis



3



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2.



Sesudah dibersihkan, gunakan krim untuk mencegah penetrasi b ahan iritan. 3. Dapat digunakan zinc oxide, dimetikon, lanolin, dan petrolatum Medikametosa: Prinsip: proteksi kulit dari feses dan urin, menekan inflamasi dan me ngatasi terjadinya infeksi sekunder. Terdapat beberapa obat yang da pat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal: - Bila ringan: krim/salep yang bersifat protektif seperti seng oksi da, pantenol, lanolin, dan petrolatum jelly. - Kortikosteroid potensi lemah hingga sedang (salep hidrokortis on 1% / 2,5%) waktu singkat. - Bila terinfeksi kandida: antifungal kandida yaitu nistatin atau d erivatazol mikonazol, flukonazol, klotrimazol, atau kombinasi mikonazol nitrat dengan seng oksida dan petrolatum. - Bila terinfeksi bakteri: diberikan mupirosin 2 kali sehari. 2. Sistemik: - Bila terjadi infeksi bakteri yang berat pada bayi yang lebih tua, dapat diberikan amoksisilin klavulanat, klindamisin, sefaleksin atau trimethoprim-sulfametoksasol. EDUKASI



Edukasi cara menghindari penyebab dan menjaga higiene, serta cara penggunaan popok. 1. Daerah popok dijaga tetap bersih, kering. Hindari gesekan serta k eadaan lembab. Mengganti popok secara rutin agar daerah popok tidak lama berkontak dengan urin dan feses. Bila menggunakan p opok tradisional segera diganti bila basah. Bila memakai popok se kali pakai, popok diganti bila kapasitasnya telah penuh. Untuk ba yi baru lahir sebaiknya diganti 2 jam sekali, sedangkan bayi lebih besar 3-4 jam sekali. 2. Dianjurkan memakai popok sekali pakai jenis highly absorbent, d engan materi yang microporous sehingga terdapat ventilasi (breat hable) sehingga dapat mencegah terjadinya eksim popok, dan me nurunkan 38-50% infeksi yang disebabkan oleh Candida. 3. Membersihkan daerah popok dengan air hangat dan sabun non-ir ritating (mild) atau sabun dengan pH netral, atau minyak setiap ha bis buang air kecil dan buang air besar. Gunakan barrier creams s eperti zinc oxide, lanolin, petrolatum sesudah kulit dibersihkan.



PROGNOSIS



Ad vitam : bonam Ad sanactionam : bonam Ad fungsionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Paller AS, Mancini AJ.Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-4. Edinburgh: Elsevier Saunders, 2011.h.20-23. 2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editor. Textbook of Dermatology. Edisi 4



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU ke-3. New York: Elsevier; 2012.h.230-31. 3. Stamatas GN, Neena KT. Diaper dermatitis: Etiology, Manifestations, Prevention, and Management. Pediatr Dermatol. 2014;31:1-7. 4. TuzunY,Wolf R, Bagiam S, Engin B. Diaper (napkin) dermatitis: A fold (intertriginous) dermatosis. Dermatol Clin Dermatol 2015;33:477-82. 5. Atherton DJ. The aetiology and management of irritant diaper dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2001;15:1-4. 6. Gupta AK, Skinner AR. Management of diaper dermatitis.Int J dermatol. 2004; 43: 830-34. 7. Alonso C, Larburu I,Bon E, Gonzallez MM, et all. Efficacy of petrolatum jelly for the prevention of diaper rash: A randomized clinical trial. Journal for spesialists in Pediatric Nursing. 2013; 18:123-32. 8. Blanco D,Rossem KV.A prospective two-year assessment of Miconazole Resistance in Candida Spp.with Repeated Treatment with 0,25% Miconazole Nitrate Ointment in Neonates and Infants with Moderate to Severe Diaper Dermatitis Complicated by Cutaneous Candidiasis. Pediatric Dermatol. 2013;30:717-24. 9. Klunk C, Domingues E, Wiss K. An update on diaper dermatitis. Clin Dermatol. 2014;32:477-87. 10. Akin F,Spraker M, Aly R, Leyden J, et all. Effects of breathable disposable diaper: reduced prevalence of Candida and common diaper dermatitis. Pediatr Dermatol. 2001;18:282-90. 11. Odio M, Thaman L. Diapering, Diaper technology, and Diaper area skin health. Ped Dermatol. 2014;31(1):9-14. 3.



Dermatitis Seboroik



NAMA PENYAKIT



Dermatitis Seboroik (L21.9)



DEFINISI



Dermatitis seboroik adalah kelainan kuit papuloskuamosa kronis yang umum dijumpai pada anak dan dewasa. Penyakit ini ditemukan pada area kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas dan fleksura (inguinal, inframammae, dan aksila)



ANAMNESIS



1. Pada bayi biasa terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan sering disebut cradle cap. Keluhan berupa sisik kekuningan yang berminyak dan umumnya tidak gatal. 2. Pada anak dan dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah ke,erahan dan sisik di kulit kepala, lipatan nasolabial, alis mata, area post aurikula, dahi dan dada. Lesi lebih jarang diumbilikus, interskapula, perineum dan anogenital. Area kulit 5



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga mengeluhkan ketombe (pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika terdapat stressor atau cuaca dingin 3. Pada bayi umumnya bersifat swasirna sementara cenderung menjadi kronis pada dewasa PEMERIKSAAN FISIK



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pada bayi, dapat ditemukan skuama kekuningan atau putih yang berminyak dan tidak gatal. Skuama biasanya terbatas pada kulit kepala (skalp) dan dapat pula ditemukan di belakang telinga dan area alis mata. Lebih jarang ditemukan dilipatan fleksura, area popok, dan wajah 2. Pada anak dan dewasa dapat bervariasi mulai dari ketombe dengan skuama halus atau difus, tebal dan menempel pada kulit kepala, lesi eksematoid berupa plak eritematosa superfisial dengan skuama terutama di kulit kepala, wajah dan tubuh 3. Apabila terdapat di kelopak mata dapat disertai blefaritis 4. Dapat meluas menjadi eritroderma Tidak ada yang pemeriksaan penunjang khusus



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis serta lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Dermatitis seboroik



DIAGNOSIS BANDING



1. Pada bayi : dermatitis atopik, skabies, psoriasis 2. Pada anak dan dewasa : psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak, impetigo, tinea. 3. Dilipatan: dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis. Harus disingkirkan histiositosis sel Langerhans (pada bayi)



TERAPI



Bayi: - Skuama melekat dan tebal: asam salisilat 3% dalam minyak kelapa/zaitun atau vehikulum yang larut dalam air, kompres minyak hangat 1x/hari selama beberapa hari - Losio atau krim kortikosteroid potensi lemah (hidrokortison 1%) - Shampo/losio/krim ketoconazole 1% Dewasa: 1. Kulit kepala: shampo selenium sulfida1-2,5%, ketokonazol 2%, zinc pyrithione, benzoil peroksida, asam salisilat, tar. 2. Wajah dan badan: hidrokortison 1%, desonide 0,05%, fluosinolon asetonid krim 0,05%, tacrolimus, mikonazol. Sistemik: Antijamur sistemik Itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu kemudian 200 mg/hari selama 2 hari/bulan selama 11 bulan. Terbinafin 250 mg/hari selama 4-6 minggu (regimen kontinu) atau 6



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 250 mg/hari selama 12 hari/ bulan untuk 3 bulan. EDUKASI



Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat penyakit serta perbaiki pola hidup



PROGNOSIS



Ad vitam :bonam Ad sanactionam: bonam Ad fungsionam: bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Collins CD dan Hivnor Chad. Seborrheic Dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012:22: 259-266. 2. James WD, Berger TG, dan Elston DM.Seborrheic Dermatitis. Dalam: Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunders Elsevier, 2011: 10: 188-189. 3. Jones JB dan Holden CA. Seborrheic Dermatitis. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Blackwell publishing, 2010: 17: 10-15.



4.



Liken Simpleks Kronikus



NAMA PENYAKIT



Liken Simpleks Kronikus (L28.0)



DEFINISI



Definisi Liken simpleks kronikus (LSK) atau neurodermatitis sirkum skripta merupakan suatu peradangan kulit kronik yang sangat gatal b erupa penebalan kulit dan likenifikasi berbentuk sirkumkripta, akibat garukan atau gosokan berulang.



ANAMNESIS



Didapatkan keluhan sangat gatal, hingga dapat mengganggu tidur. G atal dapat timbul paroksismal/terus-menerus/sporadik dan mengheba t bila ada stress psikis



PEMERIKSAAN FISIK



1. Lesi likenifikasi umumnya tunggal tetapi dapat lebih dari satu dengan ukuran lentikular hingga plakat. Stadium awal berupa eritema dan edema atau papul berkelompok. Akibat garukan terus meneur timpul plak likenifikasi dengan skuama dan eskoriasi, serta hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Bagian tengah lesi menebal, kering dan berskuama, sedangkan bagian tepi hiperpigmentasi. 2. Predileksi utama yaitu daerah yang mudah dijangkau oleh tangan seperti kulit kepala, tengkuk, ekstremitas ekstensor, pergelangan tangan dan area anogenital, meskipun dapat timbul di area tubuh manapun



PEMERIKSAAN



1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang 7



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PENUNJANG



khusus. 2. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding. 3. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan bila gambaran klinis meragukan.



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis serta lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Liken Simpleks Kronikum



DIAGNOSIS BANDING



1. Dermatitis atopik dengan lesi likenifikasi 2. Psoriasis dengan lesi likenifikasi 3. Liken planus hipertrofik Untuk lesi pada area inguinal/genital/perianal: 1. Liken sklerosus 2. Infeksi human papiloma virus (HPV) 3. Tinea kruris



TERAPI



Non medikametosa: 1. Menghindari stress psikis Medikametosa: Prinsip: proteksi kulit dari feses dan urin, menekan inflamasi dan me ngatasi terjadinya infeksi sekunder. Terdapat beberapa obat yang dap at dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal:  Prinsip: memutuskan siklus gatal-garuk. Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai deng an indikasi sebagai berikut: a. Topikal - Emolien dapat diberikan sebagai kombinasi dengan korti kosteroid topical atau pada lesi di vulva dapat diberikan t erapi tunggal krim emolien. - Kortikosteroid topikal: dapat diberikan kortikosteroid pot ensi kuat seperti salep klobetasol propionat 0,05%, satu s ampai dua kali sehari. - Calcineurin inhibitor topical seperti salep takrolimus 0,1 %, atau krim pimekrolimus 0,1% dua kali sehari selama 12 minggu. - Preparat antipruritus nonsteroid yaitu: mentol, pramoxin e, 5 dan doxepin. b. Sistemik - Antihistamin sedatif - Anti depresan trisiklik c. Tindakan 8



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU - Kortikosteroid intralesi (triamsinolonasetonid) EDUKASI



1. Siklus gatal-garuk harus diputus. 2. Identifikasi riwayat psikologis yang ada sehingga pasien dapat m engurangi stres yang dialaminya. 3. Kuku sebaiknya pendek



PROGNOSIS



Ad vitam : bonam Ad sanactionam: bonam Ad fungsionam: bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Edisi ke-8. New York: Mc GrawHill, 2012.h.184-7 2. Ingram R.J. Eczematous Disorders. Dalam : Griffiths C. Barker J. Bleiker T. Chalmers R. Creamer D. penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-9. Oxford: Blackwell; 2016.h.39.7-39.9 3. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Cropley TG. Lichen simplex chronicus. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2012.h.115-16. 4. Crone AM, Stewart, EJC, Powell, Aetological factors in vulvar dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2000;14:181-6. 5. Lynch PJ. Lichen simplex chronicus (atopic/neurodermatitis) of the anogenital region. Dermatol Ther. 2004;17:8-19. 6. Stewart KMA. Clinical care of vulvar pruritus, with emphasis on one common cause, lichen simplex chronicus. Dermatol Clin. 2010;28:669-80. 7. Goldstein AT, Parneix-Spake A, McCormick CL. Pimecrolimus cream 1% for treatment of vulvar lichen simplex chronicus: an open-label, preliminary trial. Gynecol Obstet Invest. 2007;64:1806. 8. Thomson KF, Highet AS. 5% Doxepin cream to treat persistent lichenification in a child. Clinical and experimental dermatology. Blackwell; 2001.h.100-103.



5.



Miliaria 9



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



NAMA PENYAKIT



Miliaria (L74.3)



DEFINISI



Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi kelenjar keringat yang ditandai adanya vesikel milierdengan predileksi pada dahi, leher, badan, tempat tekanan/gesekan pakaian maupun ekstremitas.



ANAMNESIS



Keluhan dirasakan gatal dan muncul bintil – bintil kecil kemerahan didaerah predileksi.



PEMERIKSAAN FISIK



Terdapat 3 bentuk miliaria sehingga diklasifikasikan menjadi: 1. Miliaria kristalina Secara klinis terlihat vesikel 1-2 mm tanpa tanda inflamasi, superfisial dan sembuh dalam beberapa hari dengan deskuamasi halus. Gambaran histopatologik terlihat gelembung intra/subkorneal. 2. Miliaria rubra Gejala klinis lebih berat dari miliaria kristalina dan lebih sering dijumpai. Tampak papul eritem atau papulovesikel ekstrafolikular yang sangat gatal dan pedih. Pada gambaran histopatologik gelembung terjadi pada stratum spinosum sehingga menyebabkan peradangan pada kulit dan perifer kulit di epidermis. 3. Miliaria pustulosa Berasal dari miliaria rubra dimana vesikelnya berubah menjadi pustule. 4. Miliaria profunda Bentuk ini jarang kecuali didaerah tropis, merupakan kelanjutan dari miliaria rubra, ditandai dengan papul putih, keras, berukuran 1-3 mm, dapat disertai pustul. Letak retensi keringat lebih dalam sehingga lebih banyak papul daripada vesikel, tidak gatal dan tidak ada eritem. Gambaran histopatologik tampak kelenjar ekrin yang pecah pada dermis bagian atas dengan atau tanpa infiltrasi sel radang.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Diagnosis ditegakkan secara klinis, tidak ada pemeriksaan penunjang khusus kecuali untuk menyingkirkan diagnosis banding. Histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat parakeratotik sesuai dengan masing-masing tipe miliaria.



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis dan pemeriksaan fisik



DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING



Miliaria (L.74.3) 1. Morbili 2. Erupsi obat tipe morbiliformis 3. Eritema toksikum neonatorum 4. Folikulitis 5. Kandidiasis kutis 10



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 6. Varisela TERAPI



a. Terapi topikal atau sistemik untuk mengurangi pruritus, menekan inflamasi serta membuka retensi keringat. b. Topikal: liquor faberi, bedak kocok mengandung kalamin dapat ditambahkan antipruritus (mentol 0,25% atau kamfer), lanolin menghilangkan dan mencegah timbulnya miliaria profunda, serta resorsin 3% dalam alkohol. Miliaria rubra dengan inflamasi berat dapat diberikan kortikosteroid topikal, bila terdapat infeksi sekunder berikan antibiotik topikal. c. Sistemik: antihistamin sedatif (hidroksizin 2x25 mg) atau nonsedatif (loratadin 1x10 mg) selama 7 hari.



EDUKASI



a. Menghindari banyak keringat, panas dan kelembaban berlebihan. b. Usahakan regulasi suhu yang baik, pilih lingkungan yang sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup. c. Mandi dengan air dingin dan pakai sabun serta gunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat, juga menjaga kebersihan kulit.



PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN



6.



Dubia ad bonam 1. Freedberg IM, Fealey RD, Hebert AA. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012. 946 2. Coulson IH, Wilson NJE. Disorders of sweat glands. Dalam: Griffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmer R, Creamer D. Rook's Textbook of Dermatology. Edisi ke-9. United Kingdom: Willey Blackwell; 2016. 94-103. 3. Paller AS, ManciniAJ. Disorders of the sebaceous and sweat glands. Hurwitz Clinical pediatric Dermatology. Edisi ke-4. Canada: Elsevier; 2016. 175-92. 4. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Miliaria. Dalam: Panduan praktik kliniks bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 26-28.



Pitiriasis Alba



NAMA PENYAKIT



Ptiriasis Alba (L30.5) 11



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Pitiriasis alba adalah suatu kelainan kulit berupa makula hipopigmenta si dengan batas tidak tegas disertai skuama putih halus (powdery whit e scale) pada permukaannya, yang timbul terutama di daerah wajah, di duga berhubungan dengan riwayat pajanan sinar matahari



ANAMNESIS



1. Terutama timbul pada anak dan remaja 1-3, usia antara 3 sampai 1 6 tahun. Angka kejadian pada lelaki dan perempuan sama. 2. Umumnya asimtomatik, terdapat beberapa kasus dengan keluhan gatal atau rasa terbakar. 3. Faktor yang diduga sebagai pencetus: pajanan sinar matahari, frek uensi mandi, dan pajanan air panas. 4. Pitiriasis alba dapat menjadi gambaran klinis dari dermatitis atopi k ringan



PEMERIKSAAN FISIK



Perjalanan klinis terdiri dari tiga fase: 1. Fase pertama yaitu timbul makula berwarna merah muda1-3 dengan tepi menimbul. 2. Fase kedua timbul dalam beberapa minggu berupa makula hipopigmentasi dengan skuama putih halus (powdery white scale) pada permukaannya. 3. Fase ketiga berupa makula hipopigmentasi tanpa skuama yang dapat menetap hingga beberapa bulan/tahun. Ketiga tahap tersebut dapat ditemukan secara bersamaan. 4. Lesi umumnya berukuran 0,5-3 cm. Dapat berbentuk bulat, oval atau ireguler 5. Tempat predileksi utama yaitu daerah wajah, dapat pula ditemukan di leher, batang tubuh, dan ekstremitas



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus. 2. Apabila diagnosis meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding dengan pemeriksaan histopatologi. 3. Pemeriksaan menggunakan lampu Wood membantu untuk memperjelas lesi.



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Ptiriasis alba



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6.



gejala klinis serta



Hipopigmentasi pasca inflamasi Pitiriasis versikolor Nevus depigmentosus Nevus anemikus Vitiligo Mikosis fungoides 12



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 7. Tuberosklerosis TERAPI



Non Medikamentosa: Mengurangi/hindari pajanan sinar matahari. Medikamentosa: Prinsip secara umum, respons pitiriasis alba terhadap terapi seringkali tidak memuaskan, terutama karena lamanya waktu pemulihan pigmentasi kulit. Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal - Pelembab - Kortikosteroidpotensi ringan - Saleptakrolimus 0,1% dua kali sehari selama 8 minggu - Krim pimekrolimus 1% dua kali sehari selama 12 minggu - Salep kalsitriol 0,0003% dua kali sehari selama 8 minggu 2. Fototerapi Terapi dengan laser excimer 308 nm dua kali seminggu selama 12 minggu



EDUKASI



1. Kelainan kulit dapat berulang. 2. Hindari pajanan sinar matahari dan gunakan tabir surya



PROGNOSIS



Ad vitam : bonam Ad sanactionam: bonam Pemulihan hipopigmentasi dapat berlangsung lama dan dapat mengganggu secara estetik Ad fungsionam: bonam Penyakit dapat sembuh spontan tetapi dapat rekuren dalam beberapa tahun, dan biasanya mengilang setelah pubertas



DAFTAR RUJUKAN



1. Ortonne JP, Passeron T. Vitiligo and other disorders of hypopigmentation. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier Limited; 2012.h.1081. 2. Jones JB. Eczema, lichenification, prurigo and erythroderma. Dalam: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffith C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2010.h.23.27-8. 3. Lapeere H, Boone B, De Schepper S, dkk. Hypomelanoses and hypermelanoses. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. Mc Grew Hill: New York; 2012.h 807-8. 4. Jadotte YT, Janniger CK. Pityriasis alba revisited: perspectives on an enigmatic disorder of childhood. Cutis. 2011;87:66-72. 5. Bassaly M, Miale A Jr, Prasad AS. Studies on pityriasis alba: a common facial skin lesion in Egyptian children. Arch Dermatol. 1963;88:272-275. 13



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 6. Gonzalez Ochoa A, Vargas Ocampo F. Treatment of pityriasis alba with a combination of coal tar, diiodohydroxyquinolin and hydrocortisone [in Spanish]. Med Cutan Ibero Lat Am. 1980;8:6972. 7. Cruz BM, Alvarez BT, Blanco DH, Cazares PC. Double-blind, placebo-controlled, randomized study comparing 0,0003% calcitriol with 0,1% tacrolimus ointments for the treatment of endemic pityriasis alba. Dermatol Res Pract. 2012;1:1-6. 8. Fujita WH, McCormick CL, Parneix-Spake A. An exploratory study to evaluate the efficacy of pimecrolimus cream 1% for the treatment of pityriasis alba. Int J Dermatol. 2007;46(7):700-5. 9. Al-Mutairi N, Hadad AA. Efficacy of 308-nm xenon chloride excimer laser in pityriasis alba. Dermatol Surg. 2012;38(4):604-9.



7.



Pitiriasis Rosea



NAMA PENYAKIT



Pityriasis Rosea (L.42)



DEFINISI



Pitiriasis rosea adalah suatu kelainan kulit akut yang diwali dengan timbulnya makula/plak soliter berwarna merah muda dengan skuama halus (herald patch) kemudian dalam beberapa hari sampai beberapa minggu timbul lesi serupa dengan ukuran lebih kecil di badan dan ekstremitas proksimal yang tersusun sesuai lipatan kulit (christmas tree pattern)



ANAMNESIS



1. Timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat, 10-35 tahun. 2. Gejala subjektif biasa tidak ditemukan, dapat disertai gatal ringan maupun sedang. 3. Kelainan kulit diawali dengan lesi primer yang diikuti lesi sekunder. 4. Lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi primer dan sekunder timbul dalam waktu bersamaan. 5. Dapat ditemukan demam tidak terlalu tinggi atau lemah badan.



PEMERIKSAAN FISIK



1. Gambaran klinis diawali dengan timbulnya lesi primer berupa makula/ plak sewarna kulit/ merah muda/ salmon-colored/ hiperigmentasi yang berbatas tegas, diameter 2-4 cm dan berbentuk lonjong atau bulat. Bagian tengah skuama halus, bagian dalam tepinya terdapat skuama yang lebih jelas membentuk kolaret. 2. Lesi primer biasanya terletak dibagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang ditemukan dileher atau ekstremitas proksimal 3. Erupsi simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas proksimal. 4. Lesi sekunder berupa makula/plak merah muda, multipel, lebih kecil dari lesi primer, berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti 14



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU langer lines sehingga pada punggung membentuk gambaran christmas-tree pattern. PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan penunjang tidak perlu pemeriksaan khusus



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis serta lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Pitiriasis rosea



TERAPI



a. Topikal : larutan anti pruritus seperti calamine lotion dan kortikosteroid topikal. b. Sistemik : Apabila gatal mengganggu dapat diberikan antihistamin seperti cetirizine 1x10 mg perhari. Kortikosteroid sitemik Eritromisin oral 4x250 mg/hr selama 14 hari Asiklovir 3x400 mg selama 7 hari diindikasikan sebagai terapi pada awal perjalanan penyakit yang disertai flu-like symptoms atau keterlibatan kulit yang luas. Dapat pula dilakukan fototerapi : NB-UVB dengan dosis tetap sebesar 250 mJ/cm 23 kali seminggu selama 4 minggu.



EDUKASI



Menjelaskan perjalanan penyakit dan kesembuhannya.



PROGNOSIS



Ad vitam :bonam Ad sanactionam: bonam Ad fungsionam: bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Blauvelt Andrew. Pityriasis Rosea. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke8. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 42: 458-463. 2. James WD, Berger TG, danElston DM. Pityriasis Rosea. Dalam: Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. Edisi ke11. Saunders Elsevier, 2011: 11: 204-205. 3. Jones JB dan Holden CA. Pityriasis Rosea. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-7. Blackwell publishing, 2004: 17: 10-15.



8. Prurigo Aktinik NAMA PENYAKIT



Pruriogo Aktinik (L57.0)



DEFINISI



Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari. Kelainan ini bersifat persisten dan 15



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU jarang ANAMNESIS



Muncul bentol-bentol merah yang terasa gatal pada daerah yang terpa par sinar matahari seperti wajah dan lengan.



PEMERIKSAAN FISIK



1. Gambaran klinis: papul atau nodul disertai ekskoriasi dan krusta dapat soliter atau berkelompok, gatal. 2. Tempat predileksi: area terpajan sinar matahari seperti dahi, pipi, dagu, telinga, dan lengan.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Histopatologi: akantosis, spongiosis, eksositosis di epidermis disertai infiltrate limfohistiositik 2. Cutaneous phototesting



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Prurigo aktinik



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5.



gejala klinis serta



Polymorphic light eruption Dermatitis atopik Dermatitis seboroik Insect bites Prurigo nodularis



TERAPI



Prinsip: fotoproteksi dan antiinflamasi. Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: Topikal 1. Tabirsurya 2. Kortikosteroid potensi kuat untuk mengatasi inflamasi dan gata l 3. Fototerapi NB-UVB atau PUVA 4. Takrolimus atau pimekrolimus 2. Sistemik 1. Imunosupresif misalnya kortikosteroid, azatioprin 2. Pentoksifilin 3. Tetrasiklin dan vitamin E



EDUKASI



Menghindari pajanan sinar matahari



PROGNOSIS



Penyakit cenderung kronik dan dapat persisten hingga dewasa, namun resolusi spontan dapat terjadi saat akhir usia remaja Ad vitam : bonam Ad sanactionam: bonam Ad fungsionam: bonam



16



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DAFTAR RUJUKAN



1. Vandergriff TW, Bergstresser PR. Abnormal responses to ultraviolet radiation: idiopathic, probably immunologic, and photoexacerbated. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012.h.1053-5. 2. Lim HW, Hawk JL. Photodermatologic disorders. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2013.h.1470-1. 3. Paller AS, Mancini AJ. Photosensitivity and photoreactions. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-5. Edinburgh: Elsevier; 2016.h.452-3. 4. Hawk JL, Young AR, Fergusson J. Cutaneous photobiology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010.h.29.13-5. 5. Dawe RS. Actinic prurigo: (synonyms: hereditary polymorphic light eruption of American Indians, Hutchinson’s summer prurigo, photodermatitis in North American Indians).Dalam: Lebwohl MG, Hetmann WR, Jones JB, Coulson I, editors. Treatment of skin disease. Edisi ke4. China: Elsevier Sauders; 2014.h.18-20. 6. Lane PR, Moreland AA, Hogan DJ. Treatment of actinic prurigo with intermittent shortcourse topical 0.05% clobetasol 17-propionate: a preliminary report. Arch Dermatol 1990;126:1211–13. 7. Collins P, Ferguson J. Narrow-band UVB (TL-01) phototherapy: an effective preventative treatment for the photodermatoses. Br J Dermatol. 1995;132:956–63. 8. Ker KJ, Chong WS, Theng CS. Clinical characteristics of adultonset actinic prurigo in Asians: A case series. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2013;79:783-8. 9. Pentoxifylline in the treatment of actinic prurigo: a preliminary report of 10 patients. TorresAlvarez B,CastanedoCazares JP,Moncada B. Dermatology. 2004; 208:198–201. 10. Duran MM, Ordonez CP, Prieto JC, Bernal J. Treatment of actinic prurigo in Chimila Indians. Int J Dermatol. 1996;35:413–6.



9. Prurigo Nodularis NAMA PENYAKIT



Prurigo Nodularis (L28.1)



DEFINISI



Kelainan kronik ditandai nodus hiperkeratotik dan gatal akibat garukan berulang yang dapat terjadi pada semua usia, terutama usia 17



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 20-60 tahun. ANAMNESIS Bentol-bentol merah pada kaki dan tangan yang terasa gatal PEMERIKSAAN FISIK



1. 2. 3. 4.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, hati dan tiroid untuk mengetahui kelainan penyebab gatal 2. Rontgen thoraks 3. Tes HIV 4. Histopatologi



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Prurigo Nodularis



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5.



TERAPI



Prinsip: menghambat siklus gatal-garuk dan mengatasi kemungkinan penyakit sistemik yang mendasari pruritus. Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal - Kortikosteroid dengan oklusi (dengan pengawasan dokter) atau kortikosteroid superpoten - Kalsipotriol - Antipruritus non steroid, misalnya capsaicin, mentol, dan fenol - Emolien - Takrolimus 2. Sistemik - Antihistamin sedatif atau anti depresan trisiklik - Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) - Siklosporin 3. -



Lesi berupa nodul diameter 0,5-3 cm, permukaan hiperkeratotik Sangat gatal Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum Berhubungan dengan dermatitis atopik



gejala klinis serta



Perforating disease Liken planus hipertrofik Pemfigoid nodularis Prurigo aktinik Keratoakantoma multiple



Tindakan Triamsinolon asetonid intralesi Bedah beku Fototerapi: broad band atau narrow band ultraviolet B, psoralen dengan ultraviolet A (PUVA), dan fototerapi 18



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU EDUKASI



-



Hindari/atasi faktor pencetus Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering



PROGNOSIS



Penyakit cenderung berjalan kronik dan persisten. Eksaserbasi dapat dipicu oleh stres emosional Ad vitam : bonam Ad sanactionam: malam Ad fungsionam: bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012.h.184-7. 2. Weisshar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Croplay TG. Pruritus and dysesthesia. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier;2012.h.114-5 3. Payne CR. Prurigo nodularis. Dalam: Lebwohl MG, Hetmann WR, Jones JB, Coulson I, editor. Treatment of skin disease. Edisi ke-4. China: Elsevier Sauders, 2014.h.615-8. 4. Saraceno R, Chiricozzi A, Nistico SP, Tiberti S, Chimenti S. An occlusive dressing containing betamethasone valerate 0.1% for the treatment of prurigo nodularis. J Dermatolog Treat 2010; 21:363– 6. 5. Wong SS, Goh CL. Double-blind, right/left comparison of calcipotriol ointment and betamethasone ointment in the treatment of Prurigo nodularis. Arch Dermatol. 2000;136:807-8. 6. Stander S, Luger T, Metze D. Treatment of prurigo nodularis with topical capsaicin. J Am Acad Dermatol 2001;44:471–8. 7. Edmonds EV, Riaz SN, Francis N, Bunker CB. Nodular prurigo responding to topical tacrolimus.Br J Dermatol. 2004;150:12167. 8. Berth-Jones J, Smith SG, Graham-Brown RAC. Nodular prurigo responds to cyclosporine. Br J Dermatol. 1995;132:795-9. 9. Waldinger TP, Wong RC, Taylor WB, Voorhees JJ. Cryotherapy improves prurigo nodularis. Arch Dermatol. 1984;120:1598-600. 10. Sorenson E, Levin E, Koo J, Berger TG. Successful use of a modified Goeckerman regimen in the treatment of generalized prurigo nodularis. J Am Acad Dermatol. 2015;72(1):40-2. 11. Tamagawa-Mineoka R, Katoh N, Ueda E, Kishimoto S. Narrowband ultraviolet B phototherapy in patients with recalcitrant nodular prurigo. J Dermatol. 2007;34(10):691-5. 12. Hammes S, Hermann J, Roos S, Ockenfels HM. UVB 308-nm excimer light and bath PUVA: combination therapy is very effective in the treatment of prurigo nodularis. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2011;25(7):799-803. 19



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 13. Bruni E, Caccialanza M, Piccinno R. Phototherapy of generalized prurigo nodularis. Clin Exp Dermatol. 2010;35(5):549-50.



10.



Pruritic Urticaria Papulae and Plaque in Pregnancy (PUPP)



NAMA PENYAKIT



Pruritic Urticaria Papule and Plaque In Pregnancy (O26.8)



DEFINISI



Dermatosis dengan gejala pruritus yang terjadi terutama pada primigravida dalam trimester akhir kehamilan. Sinonim: polymorphic eruption of pregnancy (PEP)



ANAMNESIS



1. Terutama pada primigravida 1, dan terjadi dalam trimester ketiga k ehamilan 2. Dapat pula terjadi pada awal kehamilan atau segera setelah melahi rkan. 3. Erupsi dimulai di abdomen yaitu di dalam area striae gravidarum 4. Pruritus biasanya timbul pararel dengan timbulnya erupsi, gatal ya ng berat dapat mengganggu tidur. 5. Kelainan kulit dapat meluas kepaha, bokong, payudara dan lengan atas



PEMERIKSAAN FISIK



1. Predileksi pada abdomen, secara klasik lesi terdapat di dalam area striae gravidarum (pada kulit yang teregang). Dapat ditemukan perluasan lesi di paha, bokong, payudara dan lengan atas. Daerah periumbilikal biasanya tidak terdapat lesi.1 2. Lesi bersifat polimorfik, berupa lesi urtikaria, vesikular, purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa. 3. Lesi tipikal berupa papula urtikarial berukuran 1-2 mm di kelilingi halo pucat yang dapat menyatu membentuk plak.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan abnormalitas. 2. Pemeriksaan histopatologis dilakukan bila diagnosis meragukan, dan dapat ditemukan gambaran parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang eksositosis eosinofil.



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lokasi yang khas.



gejala klinis serta



DIAGNOSIS KERJA



Pruritic Urticaria Papule and Plaque In Pregnancy



DIAGNOSIS BANDING



1. Paling sering: pemfigoid gestasionis, atopic eruption of pregnancy, dermatitis kontak 2. Pertimbangkan: erupsi obat, eksantem viral, pitiriasis rosea, dermatitis eksfoliativa atau ekzematosa 20



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 3. Singkirkan: scabies TERAPI



Non Medikametosa: Untuk mengurangi gejala diberikan pelembap Medikamentosa Prinsip: Terapi bersifat simtomatis, walaupun dapat terjadi remisi dalam beberapa hari atau minggu. Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal - Kortikosteroid topical potensi rendah sampai dengan medium. 2. Sistemik - Antihistamin anti H1 generasi pertama. Pada kasus PUPPP yang tidak ada respon dengan terapi topikal: kortikosteroid sistemik (prednisolon 20-60 mg/hari selama beberapa hari, kemudian tapering off)



EDUKASI



Edukasi bahwa penyakit ini tidak membahayakan ibu maupun bayi da n dapat sembuh sendiri dalam beberapa minggu setelah melahirkan ta npa meninggalkan gejala sisa



PROGNOSIS



Quo ad vitam : ad bonam PUPPP tidak memengaruhi morbiditas atau mortalitas bayi dan ibu. Quo ad functionam : ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam Dapat terjadi remisi spontan dalam beberapa hari setelah melahirkan. Rekurensi jarang terjadi pada kehamilan berikutnya, tapi apabila terjadi cenderung tidak parah dibandingkan episode pertama.



DAFTAR RUJUKAN



1. Karen JK, Pomeranz MK. Skin changes and diseases in pregnancy. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. ed. 8. editor. Mc Grew Hill: New York, 2012.h.1204-12. 2. Regnier S, Fermand V, Levy P, Uzan S, Aractingi S. A casecontrol of polymorphic eruption of pregnancy. J Am Acad Dermatol. 2008;58:63-7. 3. Brandao P, Sousa-Faria B, Marinho C, Vieira-Enes P, Melo A, et al. Polymorphic eruption of pregnancy: review of literature. J ObstetGynaecol. 2016:1-4. 4. Ahmadi S, Powell FC. Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy: current status. The Australasian Journal of Dermatology. 2005;46:53-58. 5. Rudolph CM, Al-Fares S, Vaughan-Jones SA, Mullegger RR, Kerl H, Black MM. Polymorphic eruption of pregnancy: clinicopathology and potential trigger factors in 181 patients. The British Journal of Dermatology. 2006;154:54-60. 6. Teixeira V, Coutinho I, Gameiro R, Vieira R, Gonc¸alo M. [Specific dermatoses of pregnancy]. Acta M_edica Portuguesa. 21



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2013;26:593-600. 7. Scheinfeld N. Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy wholly abated with one week twice daily application of fluticasone propionate lotion: a case report and review of the literature. Dermatology Online Journal. 2008;14(4).



11. Pemfigoid Bullosa NAMA PENYAKIT



Pemfigoid Bullosa (L.12.0)



DEFINISI



Suatu kelainan kulit autoimun yang ditandai dengan lepuhan kulit pada pasien dewasa, disertai keluhan gatal dan bulla yang tegang.



ANAMNESIS



1. Menyerang terutama orang dewasa (>60 tahun), jarang pada dewasa muda, bayi dan anak-anak, puncak onset pada usia 70an. 2. Sebagian pasien mengeluhkan gatal yang hebat, sabagian lainnya mengeluhkan gatal ringan 3. Sering dipicu oleh ultraviolet, terutama post terapi UVB / PUVA dan terapi radiasi 4. Obat – obat tertentu juga dapat memicu lesi seperti : penisilamin, efalizumab, etanercept dan furosemide



PEMERIKSAAN FISIK



1. Predileksi : paling sering di daerah fleksural, abdomen bagian baw ah, paha, tungkai dan dapat juga dijumpai pada bagian tubuh mana pun. Kadang –kadang dijumpai erosi membran mukosa oral. Pada anak – anak sering dijumpai di daerah akral, vulvar atau periv ulvar. Lesi kulit dijumpai bulla yang tegang dengan dasar kulit nor mal, makula eritematosa atau urtika 2. Bulla dapat dijumpai berisi carian serous tetapi kadang – kadang d apat dijumpai hemoragi 3. Nikolsky sign (-) 4. Bulla yang pecah sembuh spontan tanpa meninggalkan skar, kadan g – kadang meninggalkan bekas HPI 5. Sering koeksistensi dengan lichen planus



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Histopatologi : subepidermal blister, dengan infiltrat dermal yang berisi eosinophil, neutrophil, limfosit, monosit dan makrofag 2. Direct immunofluorescence (IF) : Linear IgG, IgE dan C3 di basement membrane, Indirect IF : Autoantibodi IgG yang terikat di BMZ, anti-BMZ autoantibodies 3. ELISA : deteksi antibody IgG dan IgE anti BP-180 dan anti BP230 22



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 4. Sering dijumpai eosinophilia KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis serta lokasi yang khas.



DIAGNOSIS KERJA



Pemfigoid bullosa



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



TERAPI



a. Topikal : Kortikosteroid topikal (Klobetasol propionat 0.05% oles 2x sehari) b. Sistemik : - Kortikosteroid (prednison 0,75 – 1 mg/KgBB/hari), lesi membai k, tappering off - Agen imunosupresif : MTX, Azathioprine, Mikofenolat mofetil - Modulator antibodi : IV gammaglobulin, Plasmapheresis - Lainnya : Tetrasiklin atau eritromisin dan nikotinamid, Dapson, Omalizumab, Rituximab



EDUKASI



-



PROGNOSIS



Ad vitam : ad bonam Ad sanactionam: Dubia Ad fungsionam: Dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Culton DA, Liu Z, Diaz LA. Bullous pemphigoid. Dalam: Fizpatrick”s Dermatology in general medicine. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, editor. Edisi ke-9. New York : Mc Graw-Hill, 2019.h.945-59.



Linear IgA Dermatitis herpetiformis EBA Pemfigus Dermatitis kontak Dishidrosis Gigitan serangga tipe bullosa



Hindari/atasi faktor pencetus Cegah garukan



12. Pemfigus Vulgaris NAMA PENYAKIT DEFINISI



Pemfigus Vulgaris (L.10.0) Suatu penyakit autoimun kronik akibat autoantibodi IgG terhadap desmoglein di intraepidermal. Penyakit ini menyebabkan terbentuknya bula pada kulit dan membran mukosa. 23



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU ANAMNESIS



1. Umumnya terjadi pada usia 40 – 60 tahun 2. Umumnya diawali lesi pada membran mukosa mulut berupa erosi yang terasa nyeri 3. Perjalanan klinis dapat berulang, sering diperlukan terapi seumur hidup 4. Paparan matahari dapat memicu PV 5. Dapat dipicu obat – obatan seperti penisilamin, kaptopril



PEMERIKSAAN FISIK



1. Keadaan umum buruk 2. Erupsi kulit berupa bula kendur yang mudah pecah sehingga cepat menjadi erosi dan dapat meluas ke seluruh tubuh 3. Predileksi terdapat bula kendur, lentikular sampai numular, di atas dasar kulit normal atau eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi keruh 4. Lesi kulit PV gatal hingga nyeri 5. Tanda Nikolsky positif



PEMERIKSAAN PENUNJANG



KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA



1. Pemeriksaan histopatologik HE: terdapat bula intraepidermal suprabasal, akantolisis, row of tombstones 2. Pemeriksaan imunofluoresens direk : didapatkan deposit IgG dan C3 di interselular, epidermis baik pada lesi kulit maupun perilesi (chicken wire appearance). 3. Pemeriksaan imunofluoresens indirek : IgG di permukaan sel hingga epidermis 4. Pemeriksaan serologik: kadar IgG di dalam serum meningkat (titer IgG, autoantibodi terhadap desmoglein 3, biasanya berkorelasi dengan aktivitas penyakit; oleh karenanya respon klinis dapat dimonitor dengan titer antibodi). 5. ELISA 6. Pemeriksaan darah, urin feses rutin dilakukan. Pada pemberian kortikosteroid jangka panjang perlu diperiksa fungsi ginjal dan fungsi hati, kadar gula darah, reduksi urin dan kadar kortisol. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis serta pemeriksaan fisik yang mendukung. Pemfigus Vulgaris



DIAGNOSIS BANDING



a. b. c. d.



Dermatitis herpetiformis Duhring Pemfigoid bulosa Penyakit Linear IgA Bullous Lupus Erythematosus



TERAPI



a. Topikal : Kortikosteroid topikal 24



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU b. Sistemik : - Kortikosteroid sistemik, dimulai dengan dosis 1 mg/KgBB/hari. Tapering dapat dilakukan bila telah terdapat respon klinis yang baik. - Pada keadaaan klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid t erapi denyut. Cara pemberian kortikosteroid secara terpai denyu t (pulsed therapy): metilprednisolon sodium suksinat i.v selama 2-3 jam, 500-1000 mg. Atau injeksi deksametason atau metil pr ednisolon i.v 1g/hari selama 4-5 hari. - Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan sebagai steroid sp aring agent. Mikofenolat mofetil 2-2,5 g/hari 2 kali sehari, azath ioprin 1-3 mg/KgBB/hari atau 50 mg setiap 12 jam. Siklofosfam id (50-200 mg/hari), dapson 100 mg/hari, imunoglobulin intrave na 1,2-2 g/KgBB terbagi dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 24 minggu untuk 1-34 siklus, Rituximab (0,4 g/KgBB/hari selam a 5 hari dan dapat diulang sebagai monoterapi setiap 21 hari), M TX (1 kali seminggu). - IVIg - Siklophosphamid - Plasmapheresis EDUKASI



-



Menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai penyeba b, terapi dan prognosis penyakit. Memberi edukasi cara merawat lesi kulit yang lepuh. Menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter. Meminimalisir trauma pada kulit karena dapat memperluas lesi. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyakit kronis dan mudah sekali kambuh Menjelaskan kepada pasien mengenai dosis obat dan gejala toksisi tas obat sehingga mereka dapat melaporkan kepada dokter dengan segera Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya perawatan lesi y ang eksudatif



PROGNOSIS



Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanactionam: dubia ad malam Ad fungsionam: ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



a. Payne AS, Stanley JR. vesicobullous disorders. Dalam: Fizpatrick”s Dermatology in general medicine. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, editor. Edisi ke-9. New York : Mc Graw-Hill, 2019.h.909-33. b. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan Praktik Klinis. Jakarta, 2017.h.221-4 25



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



B.



Dermatologi Infeksi 1. Creeping Eruption (Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans)



NAMA PENYAKIT



Creeping eruption (Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans) (B76.9)



DEFINISI



Penyakit yang disebabkan cacing tambang yang seharusnya hidup pada hewa n, contohnya Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, Uncinaria sten ocephala, Bunostronum phlebotornum.



ANAMNESIS



Gatal disertai lesi berbentuk papul yang linier atau berkelok kelok yang terus memanjang. Riwayat berjalan tanpa alas kaki atau sering kontak dengan tana h dan pasir



PEMERIKSAAN FISIK



1. Lesi kulit biasanya muncul dalam 1-5 hari setlah pajanan berupa plak erite matosa, vesikuler berbentuk linier dan serpiginosa. Lebar lesi kira-kira 3 mm dengan panjang 15-20 cm. Lesi dapat tunggal atau multipel yang bera sa gatal bahkan nyeri. 2. Predileksi kelainan ini pada kaki dan bokong. 3. Karena infeksi ini memicu reaksi inflamasi eosinofilik, pada beberapa pasi en dapat disertai dengan wheezing, urtikaria, dan batuk kering.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Tidak ada



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang didapat



DIAGNOSIS KERJA



Creeping eruption



DIAGNOSIS BANDING



Gnathostomiasis, dracunliasis, skabies, tinea corporis, herpes zoster, dermatiti s venenata.



TERAPI



1. Topikal Salep albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari Salep thiabendazol 10-15% dioleskan 3 kali sehari selama 5-7 hari. Dapat diberikan pada anak berusia kurang dari 2 tahun atau berat badan kurang d ari 15 kg 2. Sistemik Albendzole 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau >10 kg selama 3-7 hari berturut-turut. Thiabendazole 50 mg/kg/hari selama 2-4 hari Ivermektin 200µg/kg dosis tunggal, dosis kedua diberikan bila gagal. Seba iknya tidak diberikan pada anak berusia kurang dari 5 tahun atau berat bad an kurang dari 15 kg. 26



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 3. Kombinasi Bedah beku dengan nitrogen cair atau etil klorida dapat dikombinasi alben dazole. EDUKASI



1. 2. 3.



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Pada tempat endemik, gunakan peindung berupa sepatu atau sandal. Tidak langsung duduk diatas pasir/tanah atau alas yang tebuat dari baha n yang tipis. Gunakan matras atau kursi sebagai alas duduk.



Qua ad vitam :bonam Qua ad functionam: bonam Qua ad sanactionam: bonam 1. Suh KN, Keystone JS. Helmintic infection. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks d ermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2 012.2544-69. 2. Nelsen SA, Warschaw KE. Protozoa and Worm. Dalam:Bolognia, JL, J orizzo J L, Schaferr Julie V editors. Dermatology. Edisi ke-3.New Yor k: Mosby; 2012. 1406-8.



2. Dermatofitosis (B35) a. Tinea Korporis NAMA PENYAKIT



Tinea korporis (ICD 10: B35.4).



DEFINISI



Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp) mengenai kulit berambut halus di badan, ekstremitas atau wajah.



ANAMNESIS



Ruam yang gatal terutama bila berkeringat



PEMERIKSAAN FISIK



tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, normal di tengah (central healing).



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit menggunakan mikroskop dan KOH 20% : tampak hifa panjang dan atau artrospora. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280 C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu 27



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU dikerjakan). KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea Korporis



DIAGNOSIS BANDING



Psoriasis, pitiriasis rosea, Morbus Hansen tipe PB/MB, eritema anulare centrifugum, tinea imbrikata, dermatitis numularis



TERAPI



Non Medikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut. 1. Topikal:  Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu.  Alternatif Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu. 2. Sistemik: Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi  Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu  Alternatif: o Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu o Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu o Ketokonazol 200 mg/hari Catatan:  Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis  Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol  Griseofulvin dan terbinafin hanya untuk anak usia di atas 4 tahun



EDUKASI



1. Menjaga kebersihan diri. 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat. 4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area 28



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU yang rentan terinfeksi jamur. 5. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 6. Skrining keluarga 7. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain. PROGNOSIS



Prognosis  Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : bonam  Quo ad fungsionam : bonam Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.



DAFTAR RUJUKAN



1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.3247-3264 2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD. 2014;171:454-63. 3. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis: Recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203-13. 4. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20. 5. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and management of tinea infections. Am Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10. 6. Karimzadegan-Nia M, Mir-Amin-Mohammandi A, Bouzari N, Firooz A. Comparison of Direct Smear, Culture, and Histology for The Diagnosis of Onychomycosis. Australian Journal of Dermatology. 2007;48:18-21. 7. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy, and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease.2017;17(166):1-11.



b. Tinea Kruris NAMA PENYAKIT



Tinea Kruris (ICD 10: B35.6) 29



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp) pada daerah paha bagian atas dan inguinal dapat meluas ke suprapubis, perineum, perianal dan bokong. Area genital dan skrotum dapat terkena pada pasien tertentu.



ANAMNESIS



Ruam kemerahan yang gatal dapat disertai dengan maserasi atau infeksi sekunder.



PEMERIKSAAN FISIK



Lesi serupa tinea korporis berupa plak anular berbatas tegas dengan tepi meninggi yang dapat pula disertai papul dan vesikel.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit menggunakan mikroskop dan KOH 20% : tampak hifa panjang dan atau artrospora. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280 C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan).



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea Kruris



DIAGNOSIS BANDING



Er



TERAPI



Non Medikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan



itrasma, kandidosis, dermatitis intertriginosa, dermatitis seboroik, dermatitis kontak, psoriasis, liken simpleks kronis



Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut. 1. Topikal:  Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu.  Alternatif Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu. 2. Sistemik: Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi  Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif) 30



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 



selama 2 minggu Alternatif: - Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu - Griseofulvin oral 500 mg/hari atau mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu - Ketokonazol 200 mg/hari



10-25



Catatan:  Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis  Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol  Griseofulvin dan terbinafin hanya untuk anak usia di atas 4 tahun EDUKASI



1. Menjaga kebersihan diri. 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat. 4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur. 5. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 6. Skrining keluarga 7. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain.



PROGNOSIS



  



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad fungsionam : bonam



Prognosis Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. DAFTAR RUJUKAN



1. Rotta I, Ziegelmann PK, Otuki MF, Riveros BS, Bernardo NLMC, Correr CJ. Efficacy of Topical Antifungals in The Treatment of Dermatophytosis: A Mixed-Treatment Comparison Meta- analysis Involving 14 Treatments. JAMA Dermatol. 2013;149(3):341-9. 2. Rotta I, Sanchez A, Goncalves PR, Otuki MF, Correr CJ. Efficacy and safety of topical antifungals in the treatment of dermatomycosis: A systematic review. BJD.2012;166:927-33. 3. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A 4. Comprehensive review. Indian dermatology online journal. 31



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2016 Mar;7(2):77



c.



Tinea Manum



NAMA PENYAKIT



Tinea Manum (ICD 10: B35.2)



DEFINISI



Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp) di tangan/ telapak tangan, biasanya sebelah tangan saja.



ANAMNESIS



Ruam yang gatal di tangan 



PEMERIKSAAN FISIK



Biasanya unilateral  Dishidrotik: lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi pada telapak tangan,jari tangan, dan tepi lateral tangan.  Hiperkeratotik: vesikel mengering dan membentuk lesi sirkular atau iregular, eritematosa, dengan skuama difus. Garis garis tangan menjadi semakin jelas. Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur. 1.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit menggunakan mikroskop dan KOH 20% : tampak hifa panjang dan atau artrospora. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan).



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea Manus



DIAGNOSIS BANDING



De rmatitis kontak, psoriasis, keratoderma, skabies, pomfoliks (eksema dishidrotik)



TERAPI



Nonmedikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi 32



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU sebagai berikut. 1. Topikal:  Obat pilihan : golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu.  Alternatif :  Golonganazol : misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu.  Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim1%) 2 kali sehari selama 4 minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis 2. Sistemik:  Obat pilihan: terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5mg/kgBB/hari selama 2 minggu.  Alternatif : itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100mg/hari selama 4 minggu. Catatan:  Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis  Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol EDUKASI



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



1. Menjaga kebersihan diri. 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Pastikan kulit dalam keadaan kering. 4. Keringkan jari tangan setelah mandi. 5. Hindari penggunaan handuk/lap tangan bergantian dengan orang lain. 6. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 7. Skrining keluarga. 8. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain. Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad fungsionam : bonam Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. Tinea manus menjadi kronik dan rekuren bila sumber penularan terus menerus ada. 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: 33



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU McGraw-Hill; 2012.h.3247-3264 2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD. 2014;171:454-63. 3. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis: Recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203-13. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20. 4. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and management of tinea infections. Am Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10. Karimzadegan-Nia M, Mir-AminMohammandi A, Bouzari N, Firooz A. Comparison of Direct Smear, Culture, and Histology for The Diagnosis of Onychomycosis. Australian Journal of Dermatology. 2007;48:18-21. 5. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy, and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease. 2017;17(166):1-11. d. Tinea Unguium NAMA PENYAKIT



Tinea unguium (ICD 10: B35.1)



DEFINISI



Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur non dermatofita, atau ragi (yeasts). Dapat mengenai kuku tangan maupun kuku kaki, dengan bentuk klinis:  Onikomikosis subungual proksimal (OSP)  Onikomikosis subungual distal lateral (OSDL)  Onikomikosis superfisial putih (OSP)  Onikomikosis endoniks (OE)  Onikomikosis distrofik totalis (ODT)



ANAMNESIS



Kuku berubah warna, buram, rapuh, dan dapat menebal



PEMERIKSAAN FISIK



Tampak kuku distrofi, hyperkeratosis, onikolisis, subungual, diskromia dengan lokasi sesuai bentuk klinis



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kuku dan skuama. Pengambilan sampel terbaik dibagian tepi lesi/tepi kuku.



debris



34



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (mycosel, mycobiotik) : pada suhu 280C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur harus selalu dikerjakan pada tinea unguium). KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea Unguium



DIAGNOSIS BANDING



Kandidosis kuku, onikomikosis dengan penyebab lain, onikolisis, 20-nail dystrophy (trachyonychia), brittle nail, dermatitis kronis, psoriasis, lichen planus



TERAPI



Non Medikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Obat pilihan : terbinafin 1x250 mg/hari selama 6 minggu untuk kuku tangan dan 12-16 minggu untuk kuku kaki. 2. Alternatif : itrakonazol dosis denyut (2x200mg/hari selama 1 minggu, istirahat 3 minggu) sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki atau 200 mg/hari selama 2 bulan untuk kuku tangan dan minimal 3 bulan untuk kuku kaki. Catatan:  Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis  Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol  Griseofulvin dan terbinafin hanya untuk anak usia di atas 4 tahun



EDUKASI



1. Menjaga kebersihan diri. 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Keringkan kuku jari tangan dan kaki setelah terkena air. 4. Skrining keluarga.



PROGNOSIS



Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat.



DAFTAR RUJUKAN



1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.3247-3264 35



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD. 2014;171:454-63. 3. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis: Recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203-13. 4. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and management of tinea infections. Am Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10. 5. Karimzadegan-Nia M, Mir-Amin-Mohammandi A, Bouzari N, Firooz A. Comparison of Direct Smear, Culture, and Histology for The Diagnosis of Onychomycosis. Australian Journal of Dermatology. 2007;48:18-21. 6. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy, and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease. 2017;17(166):1-11.



e.



Tinea Imbrikata



NAMA PENYAKIT



Tinea Imbrikata (ICD 10: B35.5)



DEFINISI



Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp) pada kulit namun tidak pernah mengenai rambut.



ANAMNESIS



Kulit terkelupas membentuk susunan genting.



PEMERIKSAAN FISIK



Penyakit ditandai dengan lapisan stratum korneum terlepas dengan bagian bebasnya menghadap sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris tersusun seperti susunan genting. Bila kronis, peradangan sangat ringan dan asimtomatik.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit menggunakan mikroskop dan KOH 20% : tampak hifa panjang dan atau artrospora. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280 C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan). 36



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea imbrikata



DIAGNOSIS BANDING



Tinea korporis



TERAPI



 



EDUKASI



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung berat badan) selama 4-6 minggu. Griseofulvin microsize 10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.



1. Menjaga kebersihan diri. 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat. 4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur. 5. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 6. Skrining keluarga 7. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain. Prognosis  Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : bonam  Quo ad fungsionam : bonam Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.3247-3264 2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD.2014;171:454-63. 3. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis: Recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203-13. 4. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20. 5. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and 37



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU management of tinea infections. Am Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10. 6. Karimzadegan-Nia M, Mir-Amin-Mohammandi A, Bouzari N, Firooz A. Comparison of Direct Smear, Culture, and Histology for The Diagnosis of Onychomycosis. Australian Journal of Dermatology. 2007;48:18-21. 7. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy, and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease. 2017;17(166):1-11. f.



Tinea Pedis



NAMA PENYAKIT



Tinea pedis (ICD 10: B35.3)



DEFINISI



Gatal di kaki terutama sela-sela jari. Kulit kaki bersisik, basah dan mengelupas.



ANAMNESIS



Ruam yang terasa gatal pada sela-sela jari kaki dan mengelupas.



PEMERIKSAAN FISIK



Tipe interdigital (chronic intertriginous type) Bentuk klinis yang paling banyak dijumpai. Terdapat skuama, maserasi dan eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari lateral. Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian dorsum pedis. Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri dapat menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks atau athlete’s foot). Tipe hiperkeratotik kronik Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang tebal (telapak kaki, lateral dan medial kaki), dikenal sebagai “moccasin-type.” Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dari 2 mm. Tinea manum unilateral umumnya berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik sehingga terjadi “two feet-one hand syndrome”. Tipe vesikobulosa Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm, vesikopustul, atau bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. Jarang dilaporkan pada anak-anak. Tipe ulseratif akut Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif menyebabkan vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis, 38



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU limfadenopati, dan demam. PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit menggunakan mikroskop dan KOH 20% : tampak hifa panjang dan atau artrospora. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280 C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan).



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea Pedis



DIAGNOSIS BANDING



Dermatitis kontak, psoriasis, keratoderma, skabies, pompoliks (eksema dishidrotik)



TERAPI



Nonmedikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut. 1. Topikal: Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu. Alternatif: G olongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu. Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari selama 4 minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis 2. Sistemik: Obat pilihan: terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari selama 4 minggu.



EDUKASI



1. Menjaga kebersihan diri. 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur. 4. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah terkena air. 39



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



PROGNOSIS



5. Hindari penggunaan handuk atau kaus kaki bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 6. Skrining keluarga 7. Tatalaksana linen infeksius direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain. Quo ad vitam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad fungsionam : bonam Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.



DAFTAR RUJUKAN



1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.3247-3264 2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD. 2014;171:454-63. 3. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis: Recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203-13. 4. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20. 5. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and management of tinea infections. Am Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10. 6. Karimzadegan-Nia M, Mir-Amin-Mohammandi A, Bouzari N, Firooz A. Comparison of Direct Smear, Culture, and Histology for The Diagnosis of Onychomycosis. Australian Journal of Dermatology. 2007;48:18-21. 7. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy, and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease. 2017;17(166):1-11.



g. Tinea Kapitis NAMA PENYAKIT



Tinea Kapitis (ICD 10: B35.0)



40



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp) pada rambut.



ANAMNESIS



Rasa gatal, kulit kepala berisisik, alopesia. Terdapat tanda cardinal untuk menegakkan diagnosis yaitu: - Populasi risiko tinggi - Terdapat kerion atau gejala klinis yang berupa skuama tipikal, alopesia dan pembesaran kelenjar getah bening. Tanda cardinal tersebut merupakan factor prediksi kuat untuk tinea kapitis.



PEMERIKSAAN FISIK



Pemeriksaan fisik: bergantung pada etiologinya. Noninflammatory, human, atau epidemic type (“grey patch”) I nflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abu- abu dan tidak berkilat, rambut mudah patah di atas permukaan skalp. Lesi tampak berskuama, hiperkeratosis, dan berbatas tegas karena rambut yang patah. Berfluoresensi hijau dengan lampu Wood. Inflammatory type, kerion Biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau geofilik. Spektrum klinis mulai dari folikulitis pustular hingga furunkel atau kerion. Sering terjadi alopesia sikatrisial. Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri dan limfadenopati servikalis posterior. Fluoresensi lampu Wood dapat positif pada spesies tertentu “Black dot” Disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik. Rambut mudah patah pada permukaan skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia (black dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia. Skuama difus juga umum ditemui. Favus Bentuk yang berat dan kronis berupa plak eritematosa perifolikular dengan skuama. Awalnya berbentuk papul kuning kemerahan yang kemudian membentuk krusta tebal berwarna kekuningan (skutula). Skutula dapat berkonfluens membentuk plak besar dengan mousy odor. Plak dapat meluas dan meninggalkan area sentral yang atrofi dan alopesia.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan Penunjang 1. Pengambilan spesimen pada tinea kapitis dapat dilakukan dengan mencabut rambut, menggunakan skalpel untuk mengambil rambut dan skuama, menggunakan swab (untuk kerion) atau menggunakan cytobrush. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, 41



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Mycobiotic): pada suhu 280C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan). 3. Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium). KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Tinea Kapitis



DIAGNOSIS BANDING



Dermatitis seboroik, psoriasis, dermatitis atopik, liken simpleks kronik, alopesia areata, trikotilomania, liken plano pilaris



TERAPI



Nonmedikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut. 1. Topikal: tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja. Rambut dicuci dengan sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2-4 kali/minggu atau sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu 2. Sistemik Spesies Microsporum Obat pilihan: griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari dan ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8 minggu Alternatif: o Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu. o Terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4 minggu. o Spesies Trichophyton: o Obat pilihan: terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4 minggu o Alternatif : o Griseofulvin 8 minggu o Itrakonazol 2 minggu o Flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu



EDUKASI



1. Menjaga kebersihan diri. 42



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat. 3. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur. 4. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 5. Skrining keluarga 6. Tatalaksana linen infeksius direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain. PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad fungsionam : bonam Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.



DAFTAR RUJUKAN



1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke8. New York: McGraw-Hill; 2012;h2312. 2. Vásquez-del-Mercado E, Arenas R, Padilla-Desgarenes C. Sporotrichosis. Clin Dermatol. 2012 Jul;30(4):437-43. 3. Queiroz Telles F. Chromoblastomycosis: A Neglected Tropical Disease. Rev Inst Med Trop Sao Paulo. Sep 2015;57(19):46-50. 4. Barros MB, de Almeida Paes R, Schubach AO. Sporothrix schenckii and Sporotrichosis. Clin Microbiol Rev. 2011 Oct;24(4):633-54 5. Kauffman CA, Bustamante B, Chapman SW, Pappas PG. Clinical practice guidelines for the management of sporotrichosis: 2007 update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases. 2007 Nov 15;45(10):1255-65. 6. Song Y, Zhong SX, Yao L, Cai Q, Zhou JF, Liu YY, et al. Efficacy and safety of itraconazole pulses vs continous regimen in cutaneous sporotrichosis. JEADV. 2011;25:3025. 7. Chapman SW, Pappas P, Kauffman C, et al. Comparative evaluation of the efficacy and safety of two doses of terbinafine (500 and 1000mg day-1) in the treatment of cutaneous or lymphocutaneous sporotrichosis. Mycoses. 2004;47:62–8. 8. Sandhu K, Gupta S. Potassium iodide remains the most effective therapy for cutaneous sporotrichosis. Journal of 43



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Dermatology Treatment. 2003;14;200-2. 9. Macedo PM, Lopes-Bezerna LM, Bernandes-Engemann AR, Orofino-Costa R. New pasology of potassium iodide for the treatment of cutaneous sporotrichosis: study of efficacy and safety in 102 patients. JEADV.2014;1-6. 10. Diaz M, Negroni R, Montero-Gei F, et al. A Pan-American 5-year study of fluconazole therapy for deep mycoses in the immunocompetent host. Pan-American Study Group. Clin Infect Dis. 1992;14(Suppl 1):68–76. 11. Kauffman CA, Pappas PG, McKinsey DS, et al. Treatment of lymphocutaneous and visceral sporotrichosis with fluconazole. Clin Infect Dis. 1996;22:46–50.



3. Herpes Zoster NAMA PENYAKIT



Herpes Zoster (B02)



DEFINISI



Herpes Zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus variceela zozter yang laten endogen di gangloin sensoris radiks dorsalis setelah infeksi primer.



ANAMNESIS



1. Stadium prodromal Dimulai dengan adanya rasa nyeri dan parestesia pada daerah kulit yang terkena dengan gejala prodromal sistemik (seperti demam, pusing, malaise) dan gejala prodromal lokal (seperti rasa terbakar, nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya). 2. Stadium erupsi Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari akan timbul kelompok vesikel di atas kulit yang eritematosa sedangkan kulit di antara kelompok vesikel tetap normal, usia satu pada satu kelompok adalah sama sedangkan usia lesi dengan kelompok lain adalah tidak sama. Lokasi sesuai dengan dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah tubuh. 3. Stadium krustasi Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2 minggu. Sering terjadi neuralgia pasca herpetika, terutama pada orang tua yang dapat berlangsung berbulan-bulan dengan parestesi yang bersifat sementara.



PEMERIKSAAN FISIK



Kelainan diawali denagn lesi makulopapular eritematosa yang dalam 12 – 48 jam menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta dalam 44



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 7 – 10 hari. Krusta biasa nya bertahan hingga 2 – 3 minggu. Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persyarafan. PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Identifikasi antigen/asam nuklaet dengan metode PCR 2. Tzank Test pada fase erupsi vesikel (tidak spesifik) menunjukkan gambaran multinucleated giant cells



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis dan atau pemeriksaan fisik lainnya.



DIAGNOSIS KERJA



Herpes Zoster



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5.



Impetigo bulosa Dermatitis kontak alergika Pemfigus vulgaris Dermatitis herpetiformis Dermatitis venenata



TERAPI



1. Sistemik - Asiklovir oral5 x 800 mg/hari selama 7-10 hari - Dosis asiklovir anak < 12 tahun 30 mg/kg/bb/hari selama 7 hari, anak >12 tahun 60 mg/kg/hari selama 7 hari - Valaksiklovir 3 x 1000 mg/hari selama 7 hari - Famsiklovir 3x 250 mg/hari selama 7 hari - Simtomatik : Nyeri ringan : paracetamol 3 x 500 mg/hari atau NSAID Nyeri sedang – berat : kombinasi tramadol dan opiod ringan Jika terjadi neuralgia pasca herpes zoster Amitriptilin dosis awal 10 mg/hari ditingkatkan 20 mg/hari setiap 7 hari hingga 150 mg Gabapentin 300 mg/hari 4-6 minggu Pregabalin 2 x 75 mg/hari selama 2-4 minggu 2. Topikal - Stadium vesikular : bedak salisil 2% untuk mencegah vesikel pecah atau bedak kocok kelamin untuk mengurangi nyeri dan gatal - Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik dan krim antiseptik/antibiotik - Jika timbul luka dengan tanda infeksi skunder dapat diberikan krim/salap antibiotik



EDUKASI



-



Memulai pengobatan sesegera mungkin Istirahat hingga stadium krustasi Tidak menggaruk lesi Tidak ada pantangan makanan 45



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU - Tetap mandi - Mengurangi kecemasan dan ketidakpahaman pasien PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Prognosis tergantung usia 1. Usia < 50 tahun Ad vitam bonam Ad functionam bonam Ad sanactionam bonam 2. Usia > 50 tahun dan imunokompromais Ad vitam bonam Ad functionam dubia ad bonam Ad sanactionam dubia ad bonam 1.



2. 3.



Schmader KE, OOxman MN, Varricella and Herpes Zoster. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2383-401. James WL, Berger TG, Elston DM. Viral Diseases. : Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.379-84. Sterling JC. Virus Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Willey-Blackwell;2010.3325-6.



4. Kandidiasis/Kandidosis NAMA PENYAKIT



Kandidiasis/Kandidosis (B37)



DEFINISI



Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan kelompok penyakit infeksi akut dan kronik di kulit atau diseminata yang disebabkan oleh ragi, yang tersering adalah Candida albicans. Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran cerna, tetapi dapat juga menyebabkan penyakit sistemik. Klasifikasi: 1. Kandidiasis kutis (ICD 10: B37.2) 2. Kandidiasis oral (ICD 10: B37.0) 3. Kandidiasis vulvovaginal (ICD 10: B37.3) 4. Kandida balanitis/balanopostitis (ICD 10: B37.4) 5. Kandidiasis kuku (ICD 10: B37.2) 6. Kandidiasis mukokutan kronik (ICD 10: P37.5) 7. Kandidiasis diseminata (ICD 10: B37.8)



46



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU ANAMNESIS



Kandidiasis kutis dapat ditemukan pada semua usia, mengenai daerah intertriginosa yang lembab dan mudah mengalami maserasi, misalnya sela paha, ketiak, sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga dapat meluas ke bagian tubuh lainnya. Kandidiasis mukosa merupakan infeksi oportunistik dapat berupa keluhan sariawan atau luka di mulut atau bercak merah atau putih di mulut Kandidiasis area genitalia, Kandidiasis vulvovaginal dengan keluhan duh vagina berwarna putih susu, disertai rasa gatal dan panas di vulva, kadang terjadi disuria. Balanitis dan balanopostitis kandida dengan keluhan kulit penis tampak merah, panas yang bersifat transien dan muncul setelah hubungan seksual. Kandidiasis kuku tampak perubahan kuku sekunder, tebal mengeras, hancur, dengan diskolorisasi kuku berwarna coklat atau hijau sepanjang sisi kuku, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat debris di bawah kuku. Paronikia kandida tampak kemerahan, bengkak, dan nyeri pada kuku disertai retraksi kuku proksimal, dapat disertai pus. Kandidiasis mukokutan kronik merupakan suatu sindrom kandidosis kronik rekuren pada pasien yang ditandai dengan infeksi resisten terhadap terapi. Merupakan manifestasi akibat defek sistem imunologi, umumnya defek imunitas selular. Berupa infeksi yang luas, merah atau granulomatosa, pada membran mukosa, kulit dan kuku. Kandidiasis diseminata Infeksi kandida yang meluas secara hematogen dari orofaring atau saluran cerna, dan melibatkan banyak organ, kadang ke kulit. Lokasi lesi pada badan, ekstremitas. Gejala sistemik berupa demam dan mialgia.



PEMERIKSAAN FISIK



Klinis Kandidiasis kutis, pada daerah intertriginosa yang lembab dan mudah mengalami maserasi, misalnya sela paha, ketiak, sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga dapat meluas ke bagian tubuh lainnya. Kulit tampak bercak eritematosa berbatas tegas, bersisik, basah, dikelilingi oleh lesi satelit berupa papul, vesikel dan pustul kecil di sekitarnya. Kandidiasis mukosa Kandidiasis oral: - Kandidiasis pseudomembran akut (thrush) Bercak berwarna putih (pseudomembran) tebal, diskret atau dapat berkonfluen pada mukosa bukal, lidah, palatum, dan gusi. - Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa) 47



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Papilla lidah menipis tertutup oleh pseudomembran tipis pada permukaan dorsal lidah dan dapat disertai rasa panas atau nyeri. - Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis): Mukosa palatum yang kontak dengan gigi tiruan tampak edematosa dan eritematosa, bersifat kronik, dan dapat dijumpai keilitis angularis. - Kandidiasis hiperplastik kronik (leukoplakia) Plak putih atau translusen yang tidak dapat dilepaskan, biasanya di mukosa bukal. - Keilosis kandidal (keilitis angularis/perleche) Pada sudut mulut tampak eritema, fisura, maserasi yang terasa nyeri. Kandidiasis area genitalia - Kandidiasis vulvovaginal, tampak plak berwarna putih, dasar eritematosa, pada dinding vagina disertai edema di sekitarnya yang dapat meluas sampai ke labia dan perineum. - Balanitis dan balanopostitis, tampak kandida papul atau papulo pustul rapuh pada glans penis atau sulkus koronarius penis. Kandidiasis kuku Tampak onikolisis, Beau’s line dengan diskolorisasi kuku sepanjang sisi lateral kuku, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat debris di bawah kuku. Paronikia kandida: tampak eritema, udem pada kuku disertai retraksi kutikula sampai lipat kuku proksimal, dapat disertai pus. Kandidiasis mukokutan kronik Merupakan infeksi yang luas, eritematosa atau granulomatosa, pada membran mukosa, kulit dan kuku. Kandidiasis diseminata Karakteristik lesi kulit: papul-papul eritematosa berdiameter 0,5-1 cm, bagian tengah tampak hemoragik atau pustular, kadang nekrotik. Lokasi lesi pada badan, ekstremitas. PEMERIKSAAN PENUNJANG



Diperlukan jika klinis tidak khas, dilakukan di tingkat pelayanan lanjut. Kandidiasis superfisialis: 1. Pewarnaan sediaan langsung kerokan kulit dengan KOH 20% atau Gram: ditemukan pseudohifa. 2. Kultur dengan agar Saboraud: tampak koloni berwarna putih, tumbuh dalam 25 hari 3. Kandidiasis sistemik Jika ada lesi kulit; dari kerokan kulit dapat dilakukan pemeriksan histopatologi dan kultur jaringan kulit.



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang 48



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DIAGNOSIS KERJA



Kandidiasis/Kandidosis



DIAGNOSIS BANDING



1. Kandidiasis kutis: eritrasma, dermatitis intertriginosa, dermatofitosis, dermatitis seboroik, psoriasis 2. Kandidiasis kuku: tinea unguium, brittle nail, trachyonychia, dermatitis kronis 3. Kandidiasis oral: oral hairy leukoplakia, kheilitis angular, liken planus, infeksi herpes, eritema multiforme, anemia pernisiosa, stomatitis aftosa 4. Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis vaginalis, gonore akut, infeksi genital non spesifik, vaginosis bakterial 5. Kandida balanitis/balonopostitis: infeksi bakteri, herpes simpleks, psoriaris, liken planus



TERAPI



Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Kandidiasis kutis Topikal - Krim imidazol (mikonazol 2%, klotrimazol 1%) selama 14-28 hari. - Bedak nistatin atau mikonazol selanjutnya dapat untuk pencegahan. Sistemik Flukonazol 50 mg/hari atau 150 mg/minggu. Itrakonazol 100-200 mg/hari 2. Kandidiasis oral Infeksi ringan: Suspensi nistatin 400.000-600.000 U 4 kali sehari. Infeksi sedang sampai berat: Flukonazol 1x100-200 mg/hari selama 7-14 hari. 3. Kandidiasis vulvovagina: (lihat PPK kandidasis vulvovaginalis) - Tanpa penyulit Topikal  Krim imidazol: mikonazol, klotrimazol, dan butoconazol, selama 3-7 hari.  Nistatin intravagina, 1 kali/hari, selama 10-14 hari. Aman untuk wanita hamil. Sistemik Flukonazol 150 mg dosis tunggal. Infeksi berat akut Flukonazol 150 mg diberikan setiap 72 jam dengan total 2 hingga 3 dosis. Untuk kandidiasis vulvovaginal rekuren (kambuh ≥4x/tahun ) Flukonazol topikal atau oral selama 10-14 hari dilanjutkan dengan flukonazol 150 mg/minggu 49



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU selama 6 bulan. 4. Glabrata vulvovaginitis Untuk yang tidak berespon dengan terapi oral golongan azol, berikan nistatin intravaginal supp 100.000 unit/hari selama 14 hari. 5. Balanitis/balanopostitis kandida : Topikal - Klotrimazol krim 1% 2 kali/hari selama 2-4 minggu. - Mikonazol krim 2% 2 kali/hari selama 2-4 minggu. - Nistatin krim 100.000 unit/gram bila ada kemungkinan resisten atau alergi dengan Imidazol. Sistemik Flukonazol 150 mg dosis tunggal. 6. Paronikia kandida Topikal, Solusio imidazol: timol 4% dalam alkohol absolut atau kloroform. Sistemik, Ketokonazol 1x200 mg/hari sampai sembuh. Flukonazol 150 mg/minggu sampai sembuh. 7. Kandidiasis kuku - Itrakonazol dosis denyut (2x200 mg/hari selama 1 minggu, istirahat 3 minggu) sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki atau 200 mg/hari selama 2 bulan untuk kuku tangan dan minimal 3 bulan untuk kuku kaki. - Flukonazol dosis denyut 1x150 mg 1 kali/minggu hingga klinis membaik, biasanya 6-9 minggu. 8. Kandidiasis mukokutan kronik - Flukonazol 100-400 mg/hari hingga sembuh. - Itrakonazol 200-600 mg/hari hingga sembuh. Dilanjutkan terapi maintenance dengan obat yang sama selama hidup. 9. Kandidiasis diseminata - Echinocandin (caspofungin loading dose 70 mg/kgBB, loading dose dilanjutkan dengan 50 mg/kgBB per hari, micafungin 100 mg/hari, anidulafungin 200 mg loading dose dilanjutkan dengan 100 mg/hari). - Alternatif:  Flukonazol IV atau oral 800 mg (12 mg/kgBB) loading dose dilanjutan dengan 400 mg (6 mg/kgBB) per hari  Lipid amphoterisin B 3-5 mg/kgBB/hari. EDUKASI



1. Menjaga higiene tubuh. 2. Menjaga agar kulit area infeksi tidak lembab. 3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat. 4. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian 50



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. 5. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi. PROGNOSIS



Prognosis bergantung pada keparahan penyakit dan ada atau tidaknya penyakit sistemik yang mendasari. Prognosis secara umum baik, namun relaps dapat terjadi pada kepatuhan berobat yang buruk, faktor risiko yang tidak diatasi dan adanya faktor predisposisi. Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Roopal V. Kundu & Amit Grag. Yeast infections: candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012. 2298-2311. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Miliaria. Dalam: Panduan praktik kliniks bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 70-74.



5. Kusta NAMA PENYAKIT



Kusta (A30)  Infection diseases other/NOS, ( ICPC II : A78)  Leprosy / Hansen diseases, (ICD X : A30)



DEFINISI



Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang obligat bersifat obligat intraseluler. Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit selanjutnya dapat menyebar ke organ lain (mukosa mulut, traktus respiratorius bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis) kecuali susunan saraf pusat.



ANAMNESIS



       



Bercak di kulit disertai mati rasa Penebalan cuping telinga Bulu alis mata rontok Kulit kering Kelemahan otot Riwayat kontak penderita Riwayat tinggal di daerah endemis dan keadaan sosial ekonomi Riwayat pengobatan 51



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN FISIK



1. Inspeksi Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi dan morfologi) harus diperhatikan. 2. Palpasi  Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.  Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri tekan dan nyeri spontan). 3. Tes fungsi saraf  Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu  Tes otonom  Tes motoris: voluntary muscle test (VMT)



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Bakterioskopik: sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. 2. Bila diagnosis meragukan, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi dan histopatologi, serta pemeriksaan serologi (PGL-1) atau PCR.



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut WHO, yaitu: 1. Bercak kulit yang mati rasa. Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri. 2. Penebalan saraf tepi Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:  Gangguan fungsi sensoris: mati rasa  Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis  Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu. 3. Ditemukan kuman tahan asam. Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.



KLASIFIKASI



Jenis klasifikasi yang umum: 1. Klasifikasi untuk kepentingan riset menggunakan klasifikasi Ridley-Jopling (1962):  Tuberculoid (TT)  Borderline Tuberculoid (BT)  Borderline-borderline Mid-borderline (BB) 52



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU  Borderline-lepromatous (BL)  Lepromatosa (LL) Ada tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi ini, yaitu tipe indeterminate. Lesi biasanya hanya berbentuk makula hipopigmentasi berbatas tidak tegas dengan sedikit sisik, jumlah sedikit, dan kulit disekitarnya normal. Kadang-kadang ditemukan hipoestesi. 2. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta berkaitan dengan pengobatan (WHO 1988):  Pausibasilar (PB) Kusta tipe TT, dan BT sesuai klasifikasi Ridley dan Jopling dan tipe I dengan BTA negatif.  Multibasilar (MB) Kusta tipe BB, BL, LL menurut klasifikasi Ridley dan Jopling dan semua tipe kusta dengan BTA positif. 3. Bentuk kusta lain:  Kusta neural Kusta tipe neural murni atau disebut juga pure neural leprosy atau primary neuritic leprosy merupakan infeksi M. leprae yang menyerang saraf perifer disertai hilangnya fungsi saraf sensoris pada area distribusi dermatomal saraf tersebut, dengan atau tanpa keterlibatan fungsi motoris, dan tidak ditemukan lesi pada kulit. Kusta histoid.  Merupakan bentuk kusta lepromatosa dengan karakteristik klinis, histopatologis, bakterioskopis, dan imunologis yang berbeda. Faktor yang berpengaruh antara lain: pengobatan ireguler dan inadekuat, resistensi dapson, relaps setelah release from treatment (RFT), atau adanya organisme mutan Histoid bacillus serta dapat juga merupakan kasus denovo. DIAGNOSIS KERJA



1. 2.



Morbus hansen tipe PB Morbus hansen tipe MB



DIAGNOSIS BANDING



Lesi kulit 1. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor, pitiriasis alba, morfea dan parut 2. Plak eritema: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus, granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoidosis, leukemia kutis dan mikosis fungoides 3. Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, dan penyakit Raynaud & Buerger Gangguan saraf Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf dan trauma



TERAPI



Nonmedikamentosa 1. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terapi okupasi. 53



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2. Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial. 3. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan penggunaan obat. 4. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan disabilitas. Morbus hansen tipe PB : (terapi diberikan selama 6 bulan) :  Rifampisin 600 mg setiap bulan  DDS 100 mg setiap hari Morbus hansen tipe MB : ( terapi diberikan selama 12 bulan) :  Rifampisin 600 setiap bulan  DDS 100 mg setiap hari  Clofazimin 300 mg setiap bulan  Clofazimin 50 mg setiap hari EDUKASI



1. Saat mulai MDT  Kusta disebabkan oleh kuman kusta dan dapat disembuhkan dengan MDT, bila diminum teratur tiap hari sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.  Penjelasan tentang efek samping obat MDT seperti urin berwarna merah, bercak kulit gatal, berwarna kekuningan dan perubahan warna kulit.  Penjelasan tentang gejala dan tanda reaksi kusta.  Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan dapat diobati.  Penyembuhan cacat yang sudah ada sebelumnya, tergantung pada lamanya cacat diderita.  Cari dan periksa kontak untuk konfirmasi dan pengobatan.  Perawatan diri harus dilakukan tiap hari secara teratur. 2. Saat RFT  Beri selamat karena telah menyelesaikan pengobatan dan berarti telah sembuh sehingga tidak memerlukan MDT lagi.  Bercak kulit yang masih tersisa memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang sebagian menetap selamanya.  Mati rasa, kelemahan otot karena kerusakan saraf akan menetap.  Lapor segera apabila timbul gejala dan tanda reaksi kusta.  Walaupun sangat jarang terjadi, beri penjelasan tentang gejala dan tanda relaps.  Tetap melaksanakan kegiatan rawat-diri seperti biasanya.



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam



DAFTAR RUJUKAN



1.



Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Dalam:Menaldi SL 54



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU SW, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7 Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.h.87-102. 2. Bryceson A, Pfaltzzgraff RE. Introduction. In Bryceson A, Pfaltzgraff RE, editor. Leprosy. Edisi ke-3. Edinburg: Churchill Livingstone; 1990.h.1. 3. WHO. A Guide to Leprosy Control. 2nd ed. Geneva: WHO. 1988. 4. Kumar B, Dogra S. Case definition and clinical type, In Kar HK, Kumar B, editors IAL Textbook of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (PP) Ltd; 2010.h.164. 5. Sehgal VN, Srivastava G, Singh N, Prasad PVS. Histoid leprosy: the impact of the entity on the postglobal leprosy elimination era. International Journal of Dermatology 2009; 48:603-10. 6. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta, 2014. 7. WHO. Model Prescribing Information. Drug use in leprosy. Geneva: WHO. 1998. 8. WHO Expert Committee on leprosy, eighth report. Technical Report Series. 2012;369:1-61. 9. WHO Seventh Expert Committee on leprosy. WHO Geneva 26 May-7 June 1997 10. Villahermosa LG,. Fajardo TT Jr, Abalos RM, Cellona RV, Balagon V, Cruz ECD,Tan EV,. Walsh GP,.Walsh DS Parallel assessment of 24 monthly doses of Rifampicin, Ofloxacin, and Minocycline versus two years of World Organization MultidrugTherapy for Multibacllary Leprosy Am. J. Trop. Med. Hyg. 2004;70(2):2004.h197–200. 11. Kroger A, Pannikar V,Htoon MT, Jamesh A, Katoch K, Krishnamurthy P, Ramalingam K, Jianping S, Jadhav V, Gupte MD, Manickam P. International open trial of uniform multidrug therapy regimen for 6 months for all types of leprosy patients rationale, design and preliminary results. Tropical Medicine and International Health 2008;13(5):594-602. 12. Information Education Communication (IEC) and Counseling. Training manual for medical officers. Chapter 11. Pp 119-124. National Leprosy Eradication Programme Directorate General of Health Services Ministry of Health & Family Welfare Nirman Bhawan. New Delhi; 2009 6. Kusta : Reaksi NAMA PENYAKIT



Reaksi Kusta (A30) 55



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis.



ANAMNESIS







PEMERIKSAAN FISIK



KRITERIA DIAGNOSTIK



Muncul bercak merah meradang, bengkak, berkilat dan hangat atau nodul eritematus multipel disertai rasa nyeri Riwayat kusta sebelumnyan dan riwayat pengobatan Riwayat demam dan kelemahan umum



    Reaksi tipe 1  Dapat terjadi pada pada kusta tipe PB maupun MB  Biasanya dalam 6 bulan pertama pengobatan.  Keadaan umum baik, demam ringan (sub- febris) atau tanpa demam  Bercak kulit lama menjadi lebih meradang ( merah), bengkak, berkilat, hangat.  Nyeri stekan pada saraf dan gangguan fungsi saraf, silent neuritis (-).  Udem pada extremitas  Peradangan pada mata ( anestesi kornea dan lagoftalmus karena keterlibatan N.V dan N. VII)  Peradangan pada organ lain hampir tidak ada



Reaksi tipe 2  Hanya pada kusta tipe MB  Biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan.  Keadaan umum ringan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam tinggi  Timbul nodul kemerahan, lunak dan nyeri tekan biasanya pada lengan dan tungkai, nodus dapat pecah  Nyeri saraf dan gangguan fungsi saraf  Tidak dijumpai udem pada extremitas  Peradangan pada mata ( iritis, iridosiklitis, glaucoma, katarak dll)  Peradangan pada organ lain ( testis , sendi, ginjal, kelenjar getah bening dll)   Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut yaitu adanya: 1. Lagoftalmus baru terjadi dalam 3 bulan terakhir 2. Nyeri pada saraf tepi 3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir 4. Makula pecah atau nodul pecah 5. Makula aktif ( meradang ) , diatas lokasi saraf tepi 6. Gangguan pada organ lain. 56



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DIAGNOSIS KERJA



 



Reaksi kusta tipe 1 Reaksi kusta tipe 2



DIAGNOSIS BANDING







Reaksi kusta tipe 1 : urtikaria akut, erisipelas, selulitis dan erupsi obat Reaksi kusta tipe 2 : eritema nodusum yang disebabkan antara lain oleh tuberculosis, infeksi streptokokus dan obat, infeksi kulit karena Streptococcus β hemolyticus, pioderma gangrenosum







TERAPI



Prinsip pengobatan reaksi ringan:  Berobat jalan, istirahat di rumah  Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu  Menghindari/menghilangkan faktor pencetus. Prinsip pengobatan reaksi berat:  Imbolisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/istirahat di rumah  Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu  Menghindari/menghilangkan faktor pencetus  Memberikan obat anti reaksi: prednison, lamprene, talidomid (bila tersedia)  Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit  Reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednison dan klofazimin. Terapi reaksi reversal ringan - Reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau parasetamol - selama beberapa minggu. Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut - Kortikosteroid (prednisolon) masih merupakan terapi utama dan terapi pilihan pada reaksi reversal Bila diperlukan dapat digunakan kortikosteroid jenis lain dengan dosis yang setara dan penurunan dosis secara bertahap juga. Tatalaksana reaksi tipe 2 sesuai dengan berbagai tingkat keparahan penyakit, maka pilihan pengobatan untuk reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut: Terapi reaksi tipe 2 ringan Reaksi tipe 2 ringan dapat diterapi dengan obat analgetik dan obat antiinflamasi, misalnya aspirin dan OAINS lainnya. Aspirin diberikan dengan dosis 600 mg setiap 6 jam setelah makan. Terapi reaksi tipe 2 sedang Antimalaria (klorokuin), antimonial, (stibophen) dan kolkisin. Terapi reaksi tipe 2 berat 57



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Pasien dengan ENL berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan pustular/nekrotik, neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis, orkitis, atau nyeri tulang hebat, dan lain-lain) harus dirawat inap untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut. Terapi reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat Pilihan pertama: prednison Pemberian prednisolon jangka pendek, tetapi dengan dosis awal tinggi, 40-60 mg sampai ada perbaikan klinis kemudian taper 5-10 mg setiap minggu selama 6-8 minggu atau lebih. Dosis rumatan 5-10 mg diperlukan selama beberapa minggu untuk mencegah rekurensi ENL. Pilihan kedua: kombinasi prednisolon dan klofazimin. Kombinasi prednisolon (dosis seperti di atas) dan klofazimin diberikan dengan dosis sebagai berikut: - 300 mg/hari selama 1 bulan - 200 mg/hari selama 3-6 bulan - 100 mg/hari selama gejala masih ada Penggunaan klofamizin dengan dosis tinggi dan periode yang cukup lama dapat mengurangi dosis atau bahkan menghentikan pemberian steroid. Selain itu dapat mencegah atau mengurangi rekurensi reaksi. Sebaiknya pemberian klofazimin tidak melebihi 12 bulan. Pilihan ketiga: talidomid Talidomid diberikan sebagai pilihan terakhir, dengan dosis awal 400 mg atau 4x100 mg selama 3-7 hari atau sampai reaksi terkontrol, diikuti penurunan dosis dalam 3-4 minggu atau diturunkan perlahan-lahan jika rekurensi terjadi, yaitu: - 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu - 1x200 mg malam hari selama 4 minggu - 1x100 mg malam hari selama 4 minggu - 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, malam hari, selama 8-12 minggu. Terapi reaksi tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik Pilihan pertama: prednisolon + klofazimin Kombinasi klofazimin dan prednisolon lebih dianjurkan. Dosis klofazimin adalah sebagai berikut: - 300 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan - 200 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan - 100 mg selama gejala dan tanda masih ada. ditambah Prednisolon 30 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan: - 25 mg/hari selama 2 minggu - 20 mg/hari selama 2 minggu - 15 mg/hari selama 2 minggu - 10 mg/hari selama 2 minggu - 5 mg/hari selama 2 minggu kemudian dihentikan. Pengobatan alternatif/second-line treatment 58



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Reaksi tipe 1: beberapa obat dipakai untuk RR, antara lain azatioprin, siklosporin, metotreksat. Reaksi tipe 2: Beberapa terapi alternatif yang pernah dilaporkan adalah pentoksifilin, siklosporin, mofetil mikofenolat, metotreksat. EDUKASI



  



PROGNOSIS



Prognosis untuk vitam umumnya bonam namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi.



DAFTAR RUJUKAN



1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Dalam:Menaldi SL SW, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7 Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.h.87-102. 2. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta, 2014. 3. Kar HK, Sharma P. Leprosy reaction. In Kar HK,KumarB, editors. IAL Textbook of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (PP) Ltd; 2010.h.269-89. 4. Sehgal VN, Srivastava G, Singh N, Prasad PVS. Histoid leprosy: the impact of the entity on the postglobal leprosy elimination era. International Journal of Dermatology 2009; 48:603-10. 5. Kar HK, Sharma P. Management of leprosy reaction. In Kar HK, Kumar B. IAL. Textbook of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (PP) Ltd 2010.h.386-99. 6. Rao PSS, Sugamaran DST, Ricahard J, Smith WCS. Multicentre, double blind, randomized trial of three steroid steroid regimens in the treatmenof type-1 reactions in leprosy. Lepr Rev. 2006;77(1):25–33. 7. Marlowe SNS, Hawksbirworth RA, Butlin CR, Nicholls PG, Lockwood DNJ. Clinical outcome in randomized control study comparing azathioprine and prednisolone versus prednisolone alone in the treatment of severe leprosy reaction type 1 in Nepal. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2004;98:602-9. 8. Lambert SM, Alembo DT, Nigusse SD, Yamuah LK, Walker SL, Lockwood DNJ. A randomized Controlled Double Blind Trial of Ciclosporin versus Prednisolone in the Management of Leprosy Patients with New Type 1 Reaction, in Ethiopia. Plos Negl Trop. 2016;1-29. 9. Biosca G, Casallo S, Lopez-Velez. Methotrexate Treatment fo Type 1 (Reversal) Leprosy Reactions. CID. 2007;45:7-9.



Pasien dianjurkan beristirahat Imobilisasi lokal jika ada tanda reaksi berat Menghindari faktor pencetus



59



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 10. Sales AM, de Matos HJ, Nery JAC, Duppre NR, Sampaio EP, Sarno EN. Double-blind trial of the efficacy of pentoxiffyline vs thalidomide for the treatment of type II leprosy. Braz J Med Biol Res. 2006;1-6. 11. Lambert SM, Nigusse SD, Alembo DT, Walker SL, Nicholls PG, Idriss MH, Yamuah LK Lockwood DNJ. Comparison of Efficacy and Safety of Ciclosporine to Prednisolone in The Treatment of Erythema Nodosum Leprosum: Two Randomises Double Blind Controlled Pilot Studies in Ethiopia. PLoS Negl Trop Dis. 2016;1-18. 12. Benerjee K, Benerjee R. Management of erythema nodosum leprosum by mycopheno late mofetil. Ind J Dermatol 2008;53(3):142-143. 13. Kar BR, Babu R. Methotrexate in Resistant ENL.Case report. Int J Lepr. 2004;72(4):480- 482 7. Kusta : Fenomena Lusio NAMA PENYAKIT



Fenomena Lucio



DEFINISI



Fenomena Lucio merupakan varian reaksi kusta yang jarang ditemukan, dengan gambaran klinis “necrotizing erythema”, pada pasien kusta lepromatosa yang belum mendapatkan terapi atau tidak menyelesaikan terapinya, khususnya pasien dengan Diffuse Lepromatouse Leprosy (DLL). Pada tahun 2008 ditemukan organisme yang serupa secara genetik dengan kuman kusta dan disebut sebagai M. lepromatosis, yang secara mikrobiologis sangat mirip dengan M. leprae.



ANAMNESIS



   



PEMERIKSAAN FISIK



Awalnya berupa bercak eritematosa di kaki yang kemudian menjalar ke tungkai bawah, paha, tangan, batang tubuh dan kemudian wajah. Lesi berupa bercak eritematosa dalam berbagai bentuk, ukuran, yang terasa nyeri. Dalam 24 jam hingga 48 jam akan timbul infiltrasi, kemudian pada hari ketiga atau keempat, lesi akan menjadi lebih gelap dan tampak purpura diikuti nekrosis sentral berupa vesikel kecil. Akhirnya terbentuk eskar merah gelap dan akan lepas beberapa hari kemudian meninggalkan jaringan parut atrofik berwarna putih “pearl white”. Proses patologi ini terjadi selama 15 hari. Gejala biasanya muncul bersamaan dengan keluhan lainnya yaitu demam, menggigil, nyeri sendi, dan keadaan umum yang buruk.



Bercak merah berubah menjadi merah gelap Bercak merah terasa nyeri Riwayat demam, menggigil, nyeri sendi Keadaan umum buruk



60



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU KRITERIA DIAGNOSTIK



DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING PEMERIKSAAN PENUNJANG TERAPI



Penegakan diagnosis fenomena Lucio dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: 1. Distribusi geografis pasien dengan fenomena Lucio umumnya di Meksiko, namun beberapa kasus dilaporkan juga di India 2. Terjadi pada pasien dengan kusta Lucio yang tidak diobati dalam waktu lama 3. Gambaran klinis klasik 4. Tidak ada gejala konstitusional 5. Gambran histopatologis spesifik 6. Kondisi membaik dengan dimulainya MDT Fenomena Lucio Reaksi kusta tipe 2 dengan fenomena vaskulonekrotikan ( ENL nekrotikans ) 1. Pemeriksaan BTA 2. Pemeriksaan histopatologi 3. Pemeriksaan imunopatologi Nonmedikamentosa Terapi suportif: 1. Memperbaiki keadaan umum 2. Mengatasi infeksi sekunder (bila ada) 3. Perbaikan gizi dan asupan cairan yang adekuat 4. Perawatan diri. Medikamentosa 1. Terapi kusta dengan MDT  Segera dimulai (bila pasien belum mendapatkan terapi kusta)  Tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta  Tidak perlu diberikan lagi (bila pasien sudah selesai terapi (RFT)) 2. Selain itu, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (mulai dari 1 mg/kgBB) juga perlu dimulai dan diturunkan secara perlahan dalam hitungan bulan. 3. Talidomid dosis rendah menyebabkan kegagalan terapi pada fenomena Lucio, tetapi Kementerian Kesehatan Meksiko masih menganggap talidomid (dengan dosis tinggi dan waktu yang lama) sebagai terapi pilihan karena efek anti TNF-α yang dimiliki.



EDUKASI



Reaksi kusta tidak dapat diprediksi atau dicegah, tetapi terdapat berbagai langkah yang dapat dilakukan agar kecacatan tidak 61



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU terjadi, yaitu diagnos is dan memberikan terapi reaksi kusta sedini mungkin. Langkah-langkah tersebut adalah:  Membangun kerjasama yang baik dengan pelayanan kesehatan primer/perifer dengan melatih stafnya untuk dapat mengenali tanda dan gejala reaksi kusta secara dini, sehingga dapat merujuk pasien dengan kecurigaan reaksi kusta ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi untuk diagnosis dan ditatalaksana dengan baik.  Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya keteraturan pengobatan dan menyelesaikannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.  Memberikan edukasi mengenai tanda dan gejala awal reaksi kusta serta neuritis.  Mengenal tanda dan gejala awal sugestif penyakit kusta.  Pasien dengan risiko tinggi mengalami reaksi kusta harus diperiksa secara berkala, minimal sebulan sekali.  Memulai terapi reaksi sedini mungkin. PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam



DAFTAR RUJUKAN



1. Jurado F, Rodrigues O, Novales J, Navarrete G, Rodrigues M. Lucio’s leprosy:a clinical and therapeutic challenge. Clin Dermatol. 2015;33:66-78. 2. Sehgal VN. Lucio’s phenomenon/erythema necroticans. Int J Dermatol. 2005;44:602-5. 3. Scollard DM. Infection with Mycobacterium lepromatosis, Editorial. American Society of Tropical Medcine and Hygiene. Tersedia di http://ajtmh.org/cgi/doi/10.4269/ajtmh.16-0473 4. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Dalam:Menaldi SL SW, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7 Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.h.87-102. 5. Vargas-Ocampo F. Analysis of 6000 skin biopsies of the National Leprosy Control Program in Mexico. Int J Lepr. 2004;72:427-36. 6. Latapi, Chevez-Zamora A. The “spotted” leprosy of Lucio: an introduction to its clinical and histological study. Int J Lepr. 1948;16:421-30. 7. Kar HK, Sharma P. Management of leprosy reaction. In Kar HK, Kumar B. IAL. Textbook of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (PP) Ltd 2010.h.386-99.



62



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



8. Kusta : Relaps NAMA PENYAKIT DEFINISI



Kusta Relaps Relaps adalah timbulnya tanda dan gejala kusta pada pasien yang telah menyelesaikan pengobatan yang adekuat, baik selama masa pengawasan maupun setelahnya. Pengobatan harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan dan dihentikan oleh petugas yang berwenang. Faktor Predisposisi Organisme persisters yang terdiri atas organisme dormant parsial atau permanen akan menjadi aktif kembali akibat pengobatan yang tidak adekuat. Pada pasien MB jumlahnya sekitar 10%. Faktor Presipitasi 1. Terapi inadekuat 2. Terapi ireguler 3. Monoterapi DDS 4. BI awal tinggi 5. Jumlah lesi kulit ˃5 dan mengenai 3 area tubuh



ANAMNESIS



  



KRITERIA DIAGNOSTIK











Riwayat pengobatan MH sebelumnya: pernah mendapat terapi MDT dan dinyatakan telah RFT yang ditentukan oleh wasor atau dokter kusta yang berwenang. Terdapat lesi baru dan atau gangguan sensibilitas baru dan atau perluasan gangguan yang sudah ada sebelumnya, dan atau pembesaran saraf baru. Telaah hasil pemeriksaan laboratorium sebelumnya (slit skin smear, histopatologi, dan serologi). Kriteria klinis (peningkatan ukuran dan perluasan lesi yang sudah ada, timbul lesi baru, timbul eritema dan infiltrasi kembali pada lesi yang sudah membaik, enebalan atau nyeri saraf). Kriteria bakteriologis: dua kali pemeriksaan BTA positif (selama periode pengobatan) pada pasien yang sebelumnya BTA negatif pada lokasi mana saja. Atau jika terdapat peningkatan BI 2+ atau lebih dibandingkan dengan pemeriksaan BI sebelumnya pada 2 lokasi, dan tetap positif pada pemeriksaan ulang. Hal ini dikatakan relaps apabila pasien sudah menyelesaikan terapi MDT sebelumnya (WHO). 63



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 







 



Kriteria terapeutik: untuk membedakan dengan RR, dapat dilakukan tindakan sebagai berikut: pasien diterapi dengan prednison (1 mg/kgBB). Jika RR, maka akan terdapat perbaikan klinis secara berangsur dalam 2 bulan. Jika tidak ada perbaikan gejala atau hanya sebagian membaik atau justru lebih ertambah, dapat dikatakan tersangka relaps. Kriteria histopatologis: muncul kembali granuloma pada kasus PB dan meningkatnya infiltrasi makrofag disertai dengan ditemukannya basil solid serta eningkatan BI pada kasus MB. Kriteria serologis: pada kasus LL, pengukuran antibodi IgM PGL-1 merupakan indikator yang bagus untuk terjadinya relaps. Catatan: 3 kriteria pertama sudah cukup untuk menegakkan diagnosis relaps. . Bakteriologi Histopatologi Imunohistopatologi Serologis Inokulasi kaki mencit



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. 2. 3. 4. 5.



DIAGNOSIS KERJA



Kusta Relaps



DIAGNOSIS BANDING



1. Eritema nodosum leprosum. Sebagai diagnosis banding dari relaps bentuk papul dan nodul. 2. Resistensi obat 3. Reaktivasi 4. Reinfeksi 5. Reaksi reversal. Terkadang RR terjadi setelah RFT, biasanya dalam 2 tahun pertama setelah RFT. 6. Reaksi tersebut biasanya terjadi pada pasien yang mengalami RR berulang sebelum dan selama pengobatan MDT. Kondisi ini dikenal sebagai late reversal reaction (LRR). Kondisi tersebut biasanya seringkali membingungkan dan harus dibedakan dengan relaps.



TERAPI



Pengobatan relaps kusta sesuai dengan tipe kustanya. Pada kasus yang masih sensitif terhadap MDT WHO, relaps kusta PB diobati dengan regimen MDT PB WHO dan relaps kusta MB diobati dengan MDT MB WHO. Pada kusta PB yang relaps menjadi kusta MB diobati dengan MDT MB WHO, sedangkan kusta MB yang relaps menjadi kusta PB tetap diobati dengan MDT MB WHO. 64



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU EDUKASI



Kekambuhan penyakit sangat jarang terjadi, tetapi apabila ada reaktivasi pada bercak kulit atau timbul bercak baru, hubungi fasilitas kesehatan setempat.



PROGNOSIS



Pro ad vitam : bonam Pro ad fungsionam : dubia ad bonam sampai dubia ad malam Pro ad sanactionam : dubia ad bonam sampai dubia ad malam Relaps mungkin masih dapat terjadi dalam waktu yang sangat lama, hingga 13 tahun setelah RFT. Paket kedua MDT masih memberikan respon yang baik.



DAFTAR RUJUKAN



1. Thappa DM, Kaimal S, Relapse in leprosy. Dalam Kar HK, Kumar B, penyunting. IAL Textbook of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (PP) Ltd; 2010.h.483-91. 2. Ramu G. Clinical features and diagnosis of relapses in leprosy. Indian Journal of Leprosy. 1995;67(1):45-59. 3. Pannikar V, Jesudasan K, Vijayakumaran P. Relapse or late reversal reation? International Journal of Leprosy. 1995;67(1):526-8. 4. Desikan KV. Relapse, reactivation or reinfection? Indian Journal of Leprosy. 1995;67(1):3-11. 5. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Dalam: Menaldi SL SW, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.h.87-102. 6. World Health Organization. A Guide to Leprosy Control. Edisi ke-2. Geneva: WHO; 1988. 7. Jacobson RR. Treatment of relapsed leprosy. Indian Journal of leprosy. 1995;67(1):99-102. 8. Kar HK, Sharma P. Leprosy Reaction. Dalam: Kar HK, Kumar B, ediotr. IAL Textbook of Leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (PP) Ltd; 2010.h.269-89. 9. National Leprosy Eradication Programme Directorate General of Health Services of Health Services Ministry of Health & Family Welfare Nirman Bhawan. Information Education Communication (IEC) and Counseling Training Manual for Medical Officers. New Delhi; 2009.h.119-24.



9. Moluskum Kontagiosum NAMA PENYAKIT



Moluskum kontangiosum (B08.1)



DEFINISI



Moluskum kontangiosum adalah penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh poxvirus 65



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU ANAMNESIS



- Terutama menyerang anak dan kadang juga orang dewasa sebagai infeksi menular seksual - Tidak ada keluhan subyektif



PEMERIKSAAN FISIK



- Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk kubah milier, di tengahnya terdapat delle. Jika dipijat akan tambah keluar massa berwarna putih seperti nasi yang lentikuler dan berwarna putih seperti lilin - Dapat terjadi infeksi sekunder sehingga timbul supurasi - Lokasi : wajah, badan dan ektremitas



PEMERIKSAAN PENUNJANG



- Biasanya tidak diperlukan. - Pemeriksaan giemsa terhadap massa warna putih dari bagian tengan papul menunjukkan badan inklusi moluskum di dalam sitoplasma. - Pemeriksaan histopatologik dilakukan apabila gambaran lesi tidak khas moluskum kontangiosum. Tampak gambaran epidermis hipertropi dan hiperplasia. Di atas lapisan sel basal didapatkan sel membesar yang mengandung partikel virus di sebut badan moluskum atau henderson-patersom bodies



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis dan atau pemeriksaan fisik lainnya



DIAGNOSIS KERJA



Moluskum kontangiosum



DIAGNOSIS BANDING



-



TERAPI



Veruka vulgaris Granuloma piogenikum Melanoma amelanotik Karsinoma sel basal Papiloma Epitelioma Varisela Miliaria Kista epidermoid Prinsip : mengeluarkan badan moluskum. Terdapat beberapa obat/ tindakan yang dapat di pilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: a. Tindakan : - Bedah kuretase/enukleasi. Setelah tindakan diberikan antibiotik topikal - Tindakan bedah beku/nitrogen cair - 2. Terapi topikal - Kantaridin (0,7% atau 0,9%) - Podofilin (10% -25% dalam bentuk resin atau 0,3% atau 66



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



b.



EDUKASI



1. 2. 3. 4. 5.



0,5% dalam bentuk krim - Krim imikuimod 5% - 3-5 kali/minggu - Gel retinoid 0,1% - Pasta perak nitrat - Asam trikoloroasetat (25% - 35%) - Sidovar topikal (gel 1%, 3% atau krim 1%, 3%) - Kalium hidroksida (10%) - Campuran asam salisilat dan laktat topical - Krem adapalen 1% selama 1 bulan - Pulse dye laser Terapi sitemik Terapi sistemik hanya diberikan untuk imunokompromimais yaitu interferon-α sub kutan.



pasien



Menghingdari kontak langsung Tetapi dalam kurun waktu tersebut dapat meluas ke seluruh tubuh dan menularkan ke orang lain, timbul infeksi sekunder, serta menimbulkan gangguan kosmetik. Moluskum dapat diobati dengan obat topikal, tetapi memerlukan ketekunan dan kesabaran serta memakan waktu lama Garukan dapat menyebabkan infeksi skunder Keluarga pasien yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien harus ikut diobati juga



PROGNOSIS



Pada pasien imunokompeten dapat swasirna dalam 6 – 9 bulan tampa meninggalkan parut, kecuali jika mengalami infeksi. Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam



DAFTRAR RUJUKAN



1. Sterling JC.Virus Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke-8.Willey-Blackwell;2010.3311-4. 2. James WL, Berger TG, Elston DM. Viral Diseases.Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.394-7. 3. Piggott C, Friedlander SF, Tom W.Poxvirus Infections.: Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8.New York: McGraw Hill;2012.2417-20.



10. Pioderma (L08.0) Pioderma Superfisialis a. Impetigo 67



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU NAMA PENYAKIT



Penyakit infeksi piogenik pada kulit yang disebabkan oleh staphylococcus dan/atau streptococcus superfisial pada epidermis (impetigo) dan jika sudah sampai ke dermis (ektima). Ada 2 bentuk : 1. Impetigo non bulosa (Impetigo kontagiosa) disebabkan oleh staphyloccus aureus dan/atau streptococcus pyogenes (streptococcus beta-hemolytic group A). 2. Impetigo bulosa disebabkan oleh staphylococcus aureus.



DEFINISI



Penyakit infeksi piogenik pada kulit yang disebabkan oleh staphylococcus dan/atau streptococcus superfisial pada epidermis (impetigo) dan jika sudah sampai ke dermis (ektima). Ada 2 bentuk : 1. Impetigo non bulosa (Impetigo kontagiosa) disebabkan oleh staphyloccus aureus dan/atau streptococcus pyogenes (streptococcus beta-hemolytic group A). 2. Impetigo bulosa disebabkan oleh staphylococcus aureus.



ANAMNESIS



Muncul nya lentingan berisi cairan jernih Terasa sangat gatal sehingga di garuk, lentingan menjadi pecah dan sebagian dari lentingan menjadi keruh.



PEMERIKSAAN FISIK



Lesi awal berupa makula atau papul eritematosa yang secara cepat berkembang menjadi vesikel atau pustul yang kemudian pecah membentuk krusta kuning madu (honey colour) dikelilingi eritema. Predileksi daerah wajah, terutama di sekitar nares dan mulut.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Bila diperlukan : 1. Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan gram 2. Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris. 3. Kultur dengan resistensi darah, darah ferifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia 4. Biopsi apabila lesi tidak spesifik



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis



DIAGNOSIS KERJA



Impetigo



DIAGNOSIS BANDING



-



Ektima Dermatitis atopik 68



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU -



Dermatitis seboroik Dermatitis kontak alergik Skabies



TERAPI



1.



Topikal - Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan permangas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, larutan povidon iodine 1% - Bila tidak tertutup pus atau krusta : salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2% 2. Sistemik Lini pertama : - Kloksasilin/dikloksasilin : dewasa 4 x 250500mg/hari PO, anak-anak 25 -50 mg/KgBB/hari dalam 4 dosis - Amoksisilin dan asam klavulanat : dewasa 3x 250500 mg/hari, anak-anak 25 mg/kgBB/hari di bagi dalam 3 dosis - Sefaleksin : 25 -50 mg/kgBb/hari terbagi dalam 4 dosis Lini ke dua: - Azitromisisn 1 x 500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1 x 250mg (hari 2-5) - Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis - Eritromisin dewasa 4 x 250-500 mg/hari, anak-anak 20-50 mg/kg BB/hari terbagi 4 dosis.



EDUKASI



- Jangan menggaruk lesi hingga pecah dan menjadi luka - Menjaga kebersihan badan (hieginitas pasien) dan lingkungan sekitar anak supaya tidak mudah terinfeksi bakteri, contoh mandi dengan sabun dan air - Menjelaskan bagaimana penyakitnya dan penatalaksanaannya - Pentingnya menjaga kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanactionam : bonam Quo ad functionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Craft N. Superficial infections and pyodermas. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2141-2. 2. James WL, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infections. Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.255-9. 69



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 3. Brown J , Shiriner DL, Janniger CK. Impetigo :an update International Journal of Dermatology;2003:42. 251–255. 4. Hay RJ, Adriaans M.Bacterial Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke8.Willey-Blackwell;2010. 3014-6.



b. Furunkel dan Karbunkel NAMA PENYAKIT



Furunkel dan karbunkel (L08.0)



DEFINISI



-



ANAMNESIS



Furunkel adalah infeksi akut dari satu folikel rambut yang biasanya mengalami nekrosis disebabkan oleh staphylococcus aureus. Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel rambut yang terinfeksi oleh staphylococcus aureus, yang disertai oleh keradangan daerah sekitarnya dan juga jaringan dibawahnya termasuk lemak di bawah kulit.



1. Furunkel - Mula - mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada folikel rambut, kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh setelah pus keluar dan meninggalkan sikatrik. - Nyeri terutama pada yang akut, besar, di hidung, lubang telinga luar - Gejala konstitusioanal yang sedang (panas, malaise, mual) - Dapat satu atau banyak dan dapat kambuh kambuh - Tempat predikleksi : muka, leher, pergelangan tangan, jari jari tangan, pantat dan daerah anogenital 2. Karbunkel - Pada permulaan infeksi terasa sangat nyeri dan tampak benjolan merah, permukaaan halus, bentuk seperti kubah dan lunak - Ukuran dapat membesar 3-10 cm - Supurasi terjadi setelah 5-7 hari dan pus keluar dari banyak lubang fistel - Setelah nekrosis tampak nodul yang menggaung atau luka yang dalam dengan dasar yang purulen



70



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN FISIK



-



-



Lesi berupa nodus eritematus, awalnya keras, nyeri tekan, dapat membesar 1-3 cm, setelah beberapa hari terdapat fluktuasi, bila pecah keluar pus. Predileksi : daerah berambutyang mengalami gesekan, oklusif, berkeringat, misalnya leher, wajah,aksila dan bokong.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Bila diperlukan : 1. Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan gram 2. Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris. 3. Kultur dengan resistensi darah, darah ferifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia 4. Biopsi apabila lesi tidak spesifik



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis.



DIAGNOSIS KERJA



Furunkel dan karbunkel



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



1. Akne kistik 2. Kerion 3. Hidradenitis supurativa 1. Topikal - Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan permangas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, larutan povidon iodine 1% - Bila tidak tertutup pus atau krusta : salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2% 2. Sistemik Lini pertama : - Kloksasilin/dikloksasilin : dewasa 4 x 250500mg/hari PO, anak-anak 25 -50 mg/KgBB/hari dalam 4 dosis - Amoksisilin dan asam klavulanat : dewasa 3x 250500 mg/hari, anak-anak 25 mg/kgBB/hari di bagi dalam 3 dosis - Sefaleksin : 25 -50 mg/kgBb/hari terbagi dalam 4 dosis Lini ke dua: - Azitromisisn 1 x 500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1 x 250mg (hari 2-5) - Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis - Eritromisin dewasa 4 x 250-500 mg/hari, anakanak 20-50 mg/kg BB/hari terbagi 4 dosis. 3. Tindakan 71



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Apabila lesi abses besar, nyeri, disertai fluktuasi dilakukan insisi dan drainase EDUKASI



-



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Menjaga kebersihan lingkungan Cuci tangan dengan sabun anti bakteri Potong kuku untuk mencegah sumber infeksi Quo ad vitam : bonam Quo ad sanactionam : bonam Quo ad functionam : bonam



1.



2.



3.



Craft N. Superficial infections and pyodermas. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2134-36. Hay RJ, Adriaans M.Bacterial Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke8.Willey-Blackwell;2010.3021-6. James WL, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infections. Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.2523



c. Ektima NAMA PENYAKIT



Ektima (Impetigo Ulseartive) (L08.0)



DEFINISI



Ektima merupakan bentuk pioderma ulseratif yang disebabkan oleh S. Aureus dan atau Streptococcus grup A



ANAMNESIS



Keluhan adanya luka. luka yang tidak sembuh – sembuh akibat trauma yang berulang. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya diambetes meliltus dapat menyebabkan penyembuhan luka yang lama. Predileksi : ektremitas bawah atau daerah terbuka



PEMERIKSAAN FISIK



PEMERIKSAAN



Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lengket, berwarna kuning keabuan kotor. - Apabila krusta di angkat, tampak ulkus berbentuk punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi, berwarna keunguan Bila diperlukan : 72



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PENUNJANG



1. Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan gram 1. Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris. 2. Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris. 3. Kultur dengan resistensi darah, darah ferifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia 4. Biopsi apabila lesi tidak spesifik



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis yang berulang



DIAGNOSIS KERJA



Ektima (Impetigo Ulseratif)



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 1.



TERAPI



2.



EDUKASI



-



-



Folikulitis Impetigo krustosa Insict bite Topikal - Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan permangas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, larutan povidon iodine 1% - Bila tidak tertutup pus atau krusta : salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2% Sistemik Lini pertama : - Kloksasilin/dikloksasilin : dewasa 4 x 250500mg/hari PO, anak-anak 25 -50 mg/KgBB/hari dalam 4 dosis - Amoksisilin dan asam klavulanat : dewasa 3x 250500 mg/hari, anak-anak 25 mg/kgBB/hari di bagi dalam 3 dosis - Sefaleksin : 25 -50 mg/kgBb/hari terbagi dalam 4 dosis Lini ke dua: - Azitromisisn 1 x 500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1 x 250mg (hari 2-5) - Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis Eritromisin dewasa 4 x 250-500 mg/hari, anak-anak 2050 mg/kg BB/hari terbagi 4 dosis. Jangan menggaruk lesi hingga pecah dan menjadi luka Menjaga kebersihan badan ( hieginitas pasien) dan lingkungan sekitar anak supaya tidak mudah terinfeksi bakteri, contoh mandi dengan sabun dan air Menjelaskan bagaimana penyakitnya dan penatalaksanaannya Pentingnya menjaga kebersihan badan dan lingkungan 73



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanactionam : bonam Quo ad functionam : bonam 1. Craft N. Superficial infections and pyodermas. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2141-2. 2. James WL, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infections. Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.255-9. 3. Brown J , Shiriner DL, Janniger CK. Impetigo :an updateInternational Journal of Dermatology;2003:42. 251–255. 4. Hay RJ, Adriaans M.Bacterial Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke8.Willey-Blackwell;2010. 3014-6.



Pioderma Profunda a. Hidradenitis Suppurativa NAMA PENYAKIT



Hidradenitis Suppurativa



DEFINISI



Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit kulit kronik dan rekuren akibat infeksi kelenjar apokrin yang biasanya mengenai usia pubertas dan lebih sering pada wanita.



ANAMNESIS



Penyakit ini dapat disertai gejala konstitusi seperti demam, malese dan nyeri intermiten. faktor predisposisi HS adalah faktor genetik, penyakit Crohn perianal, pioderma gangrenosum, sindrom nefrotik, amiloidosis dan arthropati. Pengaruh hormon androgen, merokok dan obesitas. 74



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN FISIK



Lesi kulit dapat berupa nodul dengan kelima tanda radang, biasanya terdapat pada aksila, perineum, inguinal, inframamma, bokong, daerah pubis, dada, kulit kepala dan retroaurikular.Nodul yang ada dapat melunak menjadi abses dan memecah membentuk fistel.Pada infeksi yang kronis, abses, fistel dan sinus dapat terjadi secara multipel.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Diagnosis HS ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan gram dan histopatologi



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Hidradenitis suppurativa



DIAGNOSIS BANDING



1. Furunkel 2. Karbunkel 3. Limfadenitis 4. Skrofuloderma 5. Aktinomikosis



TERAPI



Terapi HS adalah pemakaian antibiotik sistemik seperti klindamisin 2-3x300mg, minosiklin 100mg/hari, dan rifampisin 600mg/hari. Pada wanita dapat diberikan preparat hormonal anti androgen (siproteron asetat 100mg/hari). Injeksi glukokortikoid intralesi, pembedahan, dan isotretinoin oral juga dapat diberikan. Jika telah terbentuk abses maka harus diinsisi dan bila belum melunak dapat diberikan kompres terbuka. Pada kasus kronik dan residif biasanya dilakukan eksisi kelenjar apokrin.



EDUKASI



Hindari trauma dan koreksi faktor predisposisi



PROGNOSIS



Dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Zouboulis CC dan Tsatsou F. Hidradenitis Suppurativa. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 85: 947-959. 2. Nemesha Desai, Hessel HVDZ, Gregor BEJ. Hidradenitis Suppurativa. Dalam: Christopher G, Jonathan B, Tanya | B, Robert C, Daniel C. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. Wiley Blackwell. 2016: 92.1-11.



b. Erisipelas dan Selulitis 75



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU NAMA PENYAKIT



Erisepelas dan selulitis (L08.0)



DEFINISI



- Erisepelas adalah infeksi bakteria, akut pada dermis dan jaringan subkutan bagian atas.disebabkan oleh streptococcus beta hemolyticus group A. Kadang juga di sebabkan oleh grup B, C dan G dan beberapa varian dari bakteri, khusus untuk streptococcus group B seringkali mengenai bayi baru lahir. - Selulitis adalah inflamasi jaringan subkutan di mana proses inflamasi, yang umumnya dianggap sebagai penyebab adalah bakteri staphylococcus aureus dan atau streptococcus.



ANAMNESIS



- Biasanya didahului gejala prodromal malaise, bisa disertai reaksi konstitusional yang hebat berupa panas tinggi, sakit kepala, menggigil, muntah, nyeri sendi. - Lesi kulit berupa kemerahan atau eritema lokal berbatas jelas dengan tepi meninggi, teraba panas, terasa nyeri. - Diatasnya dapat ada cairan yang mengandung cairanseropurulen.Terdapat leukositosis.Sering terdapat di wajah dan kaki.



PEMERIKSAAN FISIK



Erisepelas : merah cerah, infiltrat di bagian pinggir, edema, vesikel dan bula di atas lesi Selulitis : infiltrat eritematus difus



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Bila diperlukan : 1. Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan gram 2. Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris. 3. Kultur dengan resistensi darah, darah ferifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia 4. Biopsi apabila lesi tidak spesifik



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis atau pemeriksaan fisik yang positif.



DIAGNOSIS KERJA



Erisepelas dan selulitis



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5.



TERAPI



1. Topikal - Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan



Dermatitis kontak alergika Dermatitis kontak iritan Selulitis Ektima gangrenosum Insect bite



76



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU permangas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, larutan povidon iodine 1% - Bila tidak tertutup pus atau krusta : salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2% 2. Sistemik Lini pertama : - Kloksasilin/dikloksasilin : dewasa 4 x 250-500mg/hari PO, anak-anak 25 -50 mg/KgBB/hari dalam 4 dosis - Amoksisilin dan asam klavulanat : dewasa 3x 250-500 mg/hari, anak-anak 25 mg/kgBB/hari di bagi dalam 3 dosis - Sefaleksin : 25 -50 mg/kgBb/hari terbagi dalam 4 dosis Lini ke dua: - Azitromisisn 1 x 500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1 x 250mg (hari 2-5) - Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis - Eritromisin dewasa 4 x 250-500 mg/hari, anak-anak 20-50 mg/kg BB/hari terbagi 4 dosis. 3. Tindakan - Apabila lesi abses besar, nyeri, disertai fluktuasi dilakukan insisi dan drainase EDUKASI



-



Jangan menggaruk lesi Potong kuku untuk mencegah sumber infeksi Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul Menjaga kebersihan kulit dan lingkungan



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanactionam : bonam Quo ad functionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Lipwoth AD, Saavedra AP, Weinberg AN, Johnson AR. Non-Necrotizing Infections of the Dermas and Subcutaneous Fat: Cellulitis and Erysipelas. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.216077. 2. James WL, Berger TG, Elston DM. Bacterial InfectionsDalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011. 260-1. 3. Celestin R, Brown J, Kihiczak, Schwartz RA.Erysipelas: a common potentiallydangerous infection. Acta Dermatoven APA Vol 16, 2007, No.3. 4. Hays RJ, Adriaans M.Bacterial Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke-8.Willey77



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Blackwell;2010.3017-2.



11. Pitiriasis Versikolor NAMA PENYAKIT



Pitiriasis versikolor (B36.0)



DEFINISI



Penyakit infeksi oportunistik kulit epidermomikosis, disebabkan oleh jamur Malassezia sp. (Pitryrosporum orbiculare/P.ovale) yang ditandai dengan makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan kadang eritematosa.



ANAMNESIS



Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, terutama pada usia 20-40 tahun, lesi terutama pada daerah seboroik; tidak menular, serta ada kecenderungan genetik. Anamnesis: bercak di kulit, yang kadang menimbulkan rasa gatal terutama bila berkeringat. Rasa gatal umumnya ringan atau tidak ada sama sekali. Warna dari bercak bervariasi dari putih, merah muda hingga coklat kemerahan



PEMERIKSAAN FISIK



Predileksi lesi terutama di daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas; berupa bercak hipopigmentasi, eritema hingga kecoklatan, konfluen dengan skuama halus.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan dengan lampu Wood: terlihat fluoresensi berwana kuning keemasan. Pemeriksaan langsung dari bahan kerokan kulit dengan mikroskop dan larutan KOH 20%: tampak spora berkelompok dan hifa pendek. Spora berkelompok merupakan tanda kolonisasi, sedangkan hifa menunjukkan adanya infeksi. Kultur: tidak diperlukan



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.



DIAGNOSIS KERJA



Pitiriasis versikolor (B36.0)



DIAGNOSIS BANDING



Sering: 1. Pitiriasis alba 2. Pitiriasis rosea 3. Dermatitis seboroik 4. Infeksi dermatomikosis 5. Leukoderma 78



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Jarang: 1. Vitiligo 2. Psoriasis gutata 3. Pitiriasis rubra pilaris 4. Morbus Hansen TERAPI Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: Topikal -  Sampo ketokonazol 2% dioleskan pada daerah yang terinfeksi/seluruh badan, 5 menit sebelum mandi, sekali/hari selama 3 hari berturut-turut. - Sampo selenium sulfida 2,5% sekali/hari 15-20 menit selama 3 hari dan diulangi seminggu kemudian. Terapi rumatan sekali setiap 3 bulan. - Sampo zinc pyrithione 1% dioleskan di seluruh daerah yang terinfeksi/seluruh badan, 7-10 menit sebelum mandi, sekali/hari atau 3-4 kali seminggu. - Khusus untuk daerah wajah dan genital digunakan vehikulum solutio atau golongan azol topikal (krim mikonazol 2 kali/hari). - Krim terbinafin 1% dioleskan pada daerah yang terinfeksi, 2 kali/hari selama 7 hari. Sistemik Untuk lesi luas atau jika sulit disembuhkan dapat digunakan terapi sistemik ketokonazol 200 mg/hari selama 10 hari. Alternatif: - Itrakonazol 200 mg/hari selama 7 hari atau 100 mg/hari selama 2 minggu Flukonazol 400 mg dosis tunggal atau 300 mg/minggu selama 2- 3 minggu. Obat dihentikan bila pemeriksaan klinis, lampu Wood, dan pemeriksaan mikologis langsung berturut-turut selang seminggu telah negatif. Pada kasus kronik berulang terapi pemeliharaan dengan topikal tiap 1-2 minggu atau sistemik ketokonazol 2x200 mg/hari sekali sebulan. EDUKASI - Memberitahu pasien bahwa repigmentasi memerlukan waktu yang lama bahkan sampai setelah sembuh. - Menjaga agar kulit tetapkering. - Mengurangi aktivitas yang membuat keringat berlebihan - Hindari penggunaan handuk atau pakaian bersama dengan orang lain. - Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat. 79



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Prognosis baik. Rekurensi dapat terjadi, dilaporkan 60% dalam 1 tahun pertama. Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : dubia 1. Roopal V. Kundu & Amit Grag. Yeast infections: candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012. 22982311. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Hiperhidrosis. Dalam: Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 127-130.



12. Skabies NAMA PENYAKIT



DEFINISI



ANAMNESIS



Skabies (B86) Penyakit kulit yang sangat menular, disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei varian hominis. 1 Penyakit ini ditandai dengan keluhan subyektif yang sangat gatal terutama pada malam hari, disertai erupsi kulit dengan derajat keparahan yang bervariasi. Onset gejala klinis terjadi seiring dengan berkembangnya respon imun terhadap keberadaan tungau dan produk - produknya pada epidermis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas. Pemeriksaan laboratorium dengan mikroskop ditemukan adanya terowongan dan tungau di dalam terowongan tersebut. Gatal terutama pada malam hari sehingga dapat mengganggu penderita yang akan dirasakan oleh penderita 4-6 minggu setelah tertular.



PEMERIKSAAN FISIK Diagnosis perkiraan (presumtif)1-3,apabila ditemukan trias: 1. Lesi kulit pada daerah predileksi. Lesi kulit: terowongan (kunikulus) berbentuk garis lurus atau berkelok, warna putih atau abu-abu dengan ujung papul atau vesikel. Apabila terjadi infeksi sekunder timbul pustul atau nodul. Daerah predileksi pada tempat dengan stratum korneum tipis, yaitu: sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak, areola mamae, umbilikus, bokong, 80



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



2. 3.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



- Beberapa cara untuk menemukan terowongan (kanalikuli): 1. Kerokan kulit kanalikuli utuh ditetesi minyak mineral atau KOH10%, lalu dilakukan kerokan dengan skalpel steril. Bahan pemeriksaan diletakkan di gelas objek, ditutup kaca penutup lalu diperiksa dibawah mikroskop 2. Mengambil tungau dengan jarum Bila menemukan terowongan, jarum suntik ditusukkan kedalam terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial keujung lainnya kemudian dikeluarkan, bila positif, tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit yag kecil dan transparan. 3. Pemeriksaan dengan tinta parker (Burrow ink test) Kanalikuli skabies dilapisi tinta cina, biarkan 20-30 menit. Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut terlihat lebih gelap karena akumulasi tinta didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbentuk gambaran kanalikuli yang khas berupa garis zigzag. 4. Dermatoskop (Epiluminescence microscopy) 5. Uji tetrasiklin -



KRITERIA DIAGNOSIS



DIAGNOSIS KERJA



genitalia eksterna, dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat mengenai wajah, skalp, telapak tangan dan telapak kaki. Gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturnal). Terdapat riwayat sakit serupa dalam satu rumah/kontak.



Beberapa cara untuk menemukan tungau : 1. Kerokan kulit Papul utuh ditetesi minyak mineral atau KOH10%, lalu dilakukan kerokan dengan skalpel steril. Bahan pemeriksaan diletakkan di gelas objek, ditutup kaca penutup lalu diperiksa dibawah mikroskop. 2. Epidermal shave biopsy Lesi dijepit dengan ibu jari telunjuk kemudian dilakukan irisan superfisial dengan hati-hati agar tidak berdarah. Kerokan diletakkan diatas kaca objek, tetesi minyak mineral, periksa dibawah mikroskop.



1. Pruritus nokturna (gatal malam hari, karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu lembab) 2. Menyerang sekelompok manusia 3. Predileksi dan morfologi lesi yang khas 4. Identifikasi mikroskopik adanya tungau, telur, fecal pellet (skibala) Skabies 81



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



EDUKASI



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Dermatitis atopik Dermatitis kontak Urtikaria papular Insect bite Dishidrosis Pioderma



Prinsip: tata laksana menyeluruh meliputi penggunaan skabisida yang efektif untuk semua stadium Sarcoptes scabiei untuk pasien dan nara kontak secara serempak, menjaga higiene, serta penanganan fomites yang tepat Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: a. Topikal  Krim permetrin 5% dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8 jam. Dapat diulang setelah satu pekan.  Krim lindane 1% dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8 jam. Cukup sekali pemakaian, dapat diulang bila belum sembuh setelah satu pekan. Tidak boleh digunakan pada bayi, anak kecil, dan ibu hamil.  Salep sulfur 5-10%, dioleskan selama 8 jam, 3 malam berturut-turut.  Krim krotamiton 10% dioleskan selama 8 jam pada hari ke1,2,3, dan 8.  Emulsi benzil benzoat 10% dioleskan selama 24 jam penuh. b. Sistemik  Antihistamin sedatif (oral) untuk mengurangi gatal.  Bila infeksi sekunder dapat ditambah antibiotik sistemik.  Pada skabies krustosa diberikan ivermektin (oral) 0,2 mg/kg dosis tunggal, 2-3 dosis setiap 8-10 hari. Tidak boleh pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg, wanita hamil dan menyusui. 1. Menjaga higiene perorangan dan lingkungan. 2. Pemakaian obat secara benar dan kepada seluruh orang yang kontak secara serempak. Prognosis sangat baik bila dilakukan tata laksana dengan tepat. Pruritus dapat bertahan beberapa minggu setelah pengobatan akibat reaksi hipersensitif terhadap antigen tungau. Skabies nodular dapat bertahan beberapa bulan setelah pengobatan. Skabies krustosa relatif sulit diobati.3,4 Quo ad vitam : bonam Quo ad funtionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : bonam 1. Burkhart CN, Burkhart CG. Scabies, other mites, and pediculosis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, 82



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York:McGraw-Hill; 2012.h.2569-72. 2. Shimose L, Munoz-Price LS. Diagnosis, prevention, and treatment of scabies. Curr Infect Dis Rep. 2013;15: 426-31. 3. Sungkar S. Skabies etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. 4. 4. Chouela E, Abeldano A, Pellerano G, Hernandez MI. Diagnosis and treatment of scabies: a practical guide. Am J Clin Dermatol. 2002; 3(1):9-18. 5. Woodley D, Saurat JH. The burrow ink test and the scabies mite. J Am Acad Dermatol 1981; 4(6):715. 6. Gupta LK, Singhi MK. Wood’s lamp. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2004; 70(2):131. 7. Dupuy A, Dehen L, Bourrat E, Lacroix C, Benderdouche M, Dubertret L, dkk. Accuracy of standard dermoscopy for diagnosing scabies.J Am Acad Dermatol. 2007; 56: 53-62. 8. Talukder K, Talukder MQ, Farooque MG, Khairul M, Sharmin F, Jerin I, dkk. Controlling scabies in madrasahs (Islamic religious schools) in Bangladesh. Public health 2012; 127:83-91. 9. Heukelbach J, Feldmeier H. Scabies. Lancet. 2006;367:1767-74. 10. Tucker WF, Powell JB. Scabies. Dalam: Lebwohl MG, Hetmann WR, Jones JB, Coulson I, editor. Treatment of skin disease. Edisi ke-4. China: Elsevier Sauders, 2014.h.697-9. 11. Strong M, Johnstone P. Interventions for treating scabies. Cochrane Database Syst Rev. 2007. doi: 10.1002/14651858.CD000320.pub2. 12. Alipour H, Goldust M. The efficacy of oral ivermectin vs. sulfur 10% ointment for the treatment of scabies. Anna Parasitol. 2015;61(2):79-84. 13. Taplin D, Meinking TL, Chen JA, Sanchez R. Comparison of crotamiton 10% cream (Eurax) and permethrin 5% cream (Elimite) for the treatment of scabies in children. Pediatr Dermatol 1990;7(1):67-73. 14. Bachewar NP, Thawani VR, Mali SN, Gharpure KJ, Shingade VP, Dakhale GN. Comparison of safety, efficacy, and cost effectiveness of benzyl benzoate, permethrin, and ivermectin in patients of scabies. Indian J Pharmacol. 2009; 41: 9–1 13. Pedikulosis NAMA PENYAKIT



Pedikulosis



DEFINISI



  Infeksi kulit/rambut pada manusia yang disebabkan oleh Pediculosis (family Pediculidae) dan menyerang manusia adalah 83



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Pediculus humanus bersifat parasit obligat ( menghisap darah manusia untuk mempertahankan hidup). ANAMNESIS



  Gatal yang berulang beberapa hari sampai beberapa minggu, dapat asimtomatik, lokasi lesi kulit sering di badan.



PEMERIKSAAN FISIK



1. Pedikulosis kapitis: Ekskoriasi, eritema, krusta, dan skuama pada kulit kepala dan tengkuk sering ditemukan. 2. Pedikulosis korporis: gatal dan bekas garukan pada badan (punggung, leher, dan bahu). Klinis berupa pinpoint red macule, papula eritematosa, krusta, dan ekskoriasi.3. Pedikulosis pubis :gatal di daerah pubis dan sekitarnya. Gatal dapat meluas sampai ke daerah abdomen dan dada, yang ditemukan bercak-bercak yang berwarna abu-abu kebiruan yang disebut macula serulae, adanya black dot (bercakbercak hitam tampak jelas pada celana dalam berwarna cerah (atau putih) setelah bangun tidur.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Mikroskop, 2. Menemukan kutu dewasa, telur abu-abu dan mengkilat,



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan lokasi kelainan



DIAGNOSIS KERJA



 Pedikulosis



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



EDUKASI



Pedikulosis kapitis: 1. Tinea kapitis, impetigo krustosa, dermatitis seboroik. 2. Pedikulosis korporis: alergi obat, dermatitis atopik, dermatitis kontak, skabies, viral eksantem. 3. Pedikulosis pubis: dermatitis seboroik, dermatitis kontak, piedra, dermatomikosis, skabies, antropoda bites, trichomycosis pubis.   1. Permetrin 1 % lotion/ Permetrin 5% krim, 2. Pyrethrin sinergized 0,33% , 3. Malathion 0,5-1% dalam bentuk lotion atau gel, 4. Carbaryl shampoo 0,5%, 5. Lindan shampoo 1%, 6. Spinosad krim, rinse,g. Ivermection topikal, krim gama benzene heksaklorida (gameksan)1%. 1. Higiene yang baik. 2. Sebaiknya rambut pubis dicukur dan pakaian dalam direbus dan disetrika untuk membunuh telur dan kutu. Mitra seksual juga harus diperiksa dan jika perlu diobati



84



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PROGNOSIS



1. Ad vitam : bonam, 2. Ad sanationam: bonam, Ad fungsionam: bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Burkhart CN, Burkhart CG. Scabies,other Mites, and Pediculosis. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012. 2573-78. 2. Morel SD, Burkhart CN, Burkhart CG. Infestation. Dalam:.Bolognia, JL, Jorizzo J L, Schaferr Julie V editors. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Mosby; 2012. 142629. 3. Habif P Thomas, Campbell J L, Dinulos JGH, Zug KA. Infestation and bites. Dalam: Habif P Thomas, Campbell J L, Dinulos JGH, Zug KA, editors. Skin disease : diagnosis & treatment. Edisi ke-3. Edinburg: Elsevier; 2011. 334-38. 4. James WD, Berger TG, Elston DM. Parasitic infestation, stings, and bites. Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.414-47. 5. Stough D, Shellabarger S, Quiring J, at al. Efficacy and safety of spinosad and permethrin cream rinses for pediculosis capitis (head lice). Pediatric.2009;124:389-95.



14. Tuberkulosis Kutis NAMA PENYAKIT DEFINISI ANAMNESIS



Tuberkulosis Kutis (A18.4) Infeksi kronis pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (jenis human) atau Mycobacterium atipik. Scrofuloderma  Pembengkakan kelenjar getah bening  Pembengkakan berubah menjadi benjolan bernanah kemudian pecah dan luka  Riwayat penyakit TBC sebelumnya Tuberculosis kutis verukosa  Bercak berbentuk bulan sabit  Bercak semakin melebar  Riwayat trauma sebelumnya Lupus vulgaris  Bercak merah berubah menjadi kuning saat penekanan  Luka atau ulkus 85



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU     PEMERIKSAAN FISIK



Tuberculosis chancre Bercak atau nodul dengan diding meninggi Riwayat trauma sebelumnya Tuberkulosis kutis orifisialis Bercak merah atau benjolan bernanah, dinding meninggi kemudian pecah menjadi luka Riwayat TBC sebelumnya



1. Skrofuloderma Merupakan infeksi mikobakterium (M. Tuberculosis atau M. Bovis atau M. Atypic) pada kulit akibat penjalaran langsung organ di bawah kulit yang telah terkena tuberkulosis, tersering berasal dari KGB, tulang atau sendi.  Predileksi adalah tempat yang banyak kelenjar getah bening: leher, ketiak, paling jarang lipat paha, kadang ketiganya diserang sekaligus.  Mulai sebagai limfadenitis, mula-mula beberapa kelenjar, kemudian makin banyak dan berkonfluensi.  Terdapat periadenitis, menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya.  Kelenjar mengalami perlunakan tidak serentak hingga konsistensi bermacam-macam: keras, kenyal, dan lunak (abses dingin).  Abses akan memecah membentuk fistel yang kemudian menjadi ulkus khas: bentuk memanjang dan tidak teratur, sekitarnya livid, dinding bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen atau kaseosa yang mengandung M. tuberculosis.  Ulkus dapat sembuh spontan menjadi sikatriks/parut memanjang dan tidak teratur (cord like cicatrices), dapat ditemukan jembatan kulit (skin bridge) di atas sikatrik. 2. Tuberkulosis kutis verukosa Merupakan infeksi M. tuberculosis, yang terjadi akibat inokulasi langsung ke kulit.  Tempat predileksi: tungkai bawah dan kaki, bokong, tempat yang sering terkena trauma.  Lesi biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran serpiginosa.  Terdiri atas ”wart like” papul/plak dengan halo violaseous di atas kulit eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks. 3. Lupus vulgaris Merupakan infeksi M. tuberculosis yang disebarkan secara hematogen, limfogen atau penjalaran langsung dari fokus tuberkulosis ekstrakutan (endogen maupun eksogen). 86



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU  



4.



5.



6.     PEMERIKSAAN PENUNJANG



Tempat predileksi: muka, badan, ekstremitas, bokong. Kelompok papul/nodus merah yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour).  Bila nodus berkonfluensi terbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus.  Pada involusi terjadi sikatriks. Tuberculosis chancre (Tuberkulosis kompleks primer) Merupakan inokulasi langsung mikobakterium pada kulit.  Predileksi wajah, ekstremitas, dan daerah yang mudah terkena trauma.  Dapat berupa papul, nodus, pustul, atau ulkus indolen, indurasi positif, dan dinding bergaung. Tuberkulosis miliar kutis Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit dengan penyebaran hematogen dari fokus yang biasanya di paru.  Fokus infeksi pada paru atau selaput otak.  Pada individu yang mengalami imunosupresif.  Lesi diseminata seluruh tubuh berupa papul, vesikel, pustul hemoragik atau ulkus.  Prognosis buruk. Tuberkulosis kutis orifisialis Merupakan infeksi mikobakterium yang terjadi secara autoinokulasi pada periorifisial dan membran mukosa. Terjadi pada pasien dengan tuberkulosis organ dalam yang progresif seperti paru, genitalia, kandung kemih dan usus. Predileksi sekitar mulut, orifisium uretra eksternum, perianal. Lesi berupa papulonodular yang membentuk ulkus hemoragik/purulen, dinding bergaung dan nyeri. Prognosis buruk. Utama: 1. Pemeriksaan histopatologi jaringan kulit (biopsi kulit) 2. Pemeriksaan bakteriologik: identifikasi mikobakterium melalui pewarnaan Ziehl Nielsen, kultur dan PCR dari dasar ulkus atau jaringan kulit. Tambahan: 1. Pemeriksaan darah tepi dan LED yang meningkat 2. Tes tuberkulin: PPD-5TU hasil positif >10 mm. Skrofuloderma  Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat  Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat  Pemeriksaan bekteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih kurang delapan minggu)  Histopatologis bagian tengah lesi tampak nekrosis masif dan gambaran tepi abses/dermis terdiri atas 87



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU granuloma tuberkuloid Tuberkulosis kutis verukosa Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat Pemeriksaan bakteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih kurang delapan minggu)  Histopatologis: hiperplasia pseudoepiteliomatosa, dengan infiltrat inflamasi neutrofil dan limfosit serta sel datia Langhans Lupus vulgaris  Pemeriksaan darah tepi: LED meningkat  Pemeriksaan tuberkulin: PPD-5TU positif kuat  Pemeriksaan bekteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih kurang delapan minggu)  Histopatologis: granuloma tuberkuloid berupa sel epiteloid, sel datia Langhans, dan sebukan limfosit. Dijumpai juga BTA. Tuberculosis chancre (Tuberkulosis kompleks primer)  Tes tuberkulin awalnya negatif yang kemudian menjadi positif seiring perjalanan penyakitnya  Pemeriksaan bakteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih kurang delapan minggu)  Histopatologi menunjukkan reaksi inflamasi neutrofilik akut dan area nekrosis. Setelah 3-6 minggu ditemukan gambaran granuloma dengan giant cells dan penurunan jumlah BTA. Dermatologi Infeksi Tuberkulosis milier kutis  Tes tuberkulin umumnya negatif  Pemeriksaan bakteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih kurang delapan minggu)  Histopatologis: granuloma tuberkuloid dengan nekrosis dan ulserasi dengan banyak ditemukan basil BTA Tuberkulosis kutis orifisialis  Kultur biasanya positif walaupun tes tuberkulin negatif  Pemeriksaan bakteriologik: BTA, PCR, atau kultur (hasilnya baru selesai lebih kurang delapan minggu)  Histopatologis: granuloma tuberkuloid dengan nekrosis dan ulserasi dengan banyak ditemukan BTA   



KRITERIA DIAGNOSIS DIAGNOSIS KERJA DIAGNOSIS BANDING



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Tuberkulosis kutis Lupus vulgaris: 1. Morbus Hansen 2. Granuloma fasiale 88



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 3. Sarkoidosis 4. Kromomikosis Tuberkulosis kutis verukosa: 1. Mikosis profunda (kromoblastomikosis dan sporotrikosis) 2. Veruka vulgaris 3. Karsinoma sel skuamosa 4. Liken planus hipertrofik Skrofuloderma: 1. Hidradenitis supurativa 2. Limfogranuloma venereum 3. Limfadenitis lain 4. Limfoma Tuberkulosis miliar kutis: 1. Erupsi obat tipe papuler 2. Akne korporis Tuberkulosis kutis orifisialis: 1. Noma 2. Stomatitis aptosa TERAPI



1. Topikal: pada bentuk ulkus: kompres dengan larutan antiseptik (povidon iodin 1%) 2. Sistemik Rekomendasi WHO (1993) dengan directly observed treatment, short term (DOTS) strategy yang menjadi pedoman terapi di seluruh dunia (2006).  Tahap intensif (dua bulan) Dosis lepasan: o INH Dewasa: 5 mg/kgBB/hari, oral, dosis tunggal Anak



EDUKASI



1. Keteraturan minum obat 2. Melakukan pemantauan respons pengobatan (perbaikan lesi kulit)



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam, kecuali pada lupus vulgaris karena dapat meninggalkan jaringan parut Quo ad sanactionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Sethi A. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill. 2012.h.222537. 2. Dias MFRG, Quaresma MV, da Costa Nery JA, Filho FB, do 89



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Nascimento LV, et al. Update on cutaneous tuberculosis. An Bras Dermatol. 2014;89(6):925-38. 3. Van Zyl L, du Plessis J, Viljoen J. Cutaneous tuberculosis overview and current treatment regimens. Tuberculosis. 2015;95:629-38 4. Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kemenkes RI dan IDI. Jakarta; 2012. 5. Pasipanodya JG, Gumbo T. A Meta-Analysis of SelfAdministered vs Directly Observed Therapy Effect on Microbiologic Failure, Relapse, and Acquired Drug Resistance in Tuberculosis Patients. CID. 2013;57:21-30.



15. Varisela NAMA PENYAKIT



Varisela (B01)



DEFINISI



Infeksi akut oleh virus varisela zoster yang bersifat swasirna, mengenai kulit dan mukosa, yang ditandai dengan gejala konstitusi (demam, malaise) dan kelainan kulit polimorfik (vesikel generalisata terutama berlokasi di bagian sentral tubuh)



ANAMNESIS



- Pada anak – anak terdapat gejala prodromal yang ringan, terdiri dari malaise, nyeri kepala, sumer, mual dan muntah, sakit tenggorokan, dan batuk ringan yang timbul sebelum erupsi keluar. - Pada orang dewasa gejala prodromal lebih berat dan lebih lama.Pada anamnesis ada kontak dengan penderita varisela atau zoster. Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul.Nyeri kepala, mialgia, dan anoreksia sering menyertai demam dan lebih berat pada anak besar dan orang dewasa. - Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium vesikuler.



PEMERIKSAAN FISIK



- Lesi kulit mula-mula timbul di muka dan kulit kepala, kemudian menyebar secara cepat ke badan, ektremitas, distribusi bersifat sentripetal. - Awalnya berupa makula eritematus yang cepat berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. - Mula-mula vesikel dikelilingi daerah eritematosa sehingga terlihat seperti embun di atas daun bunga mawar (tear drops). - Cairan vesikel cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang sehingga menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula-mula di 90



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi (delle), dan menjadi krusta. PEMERIKSAAN PENUNJANG



Jarang dilakukan pada varisela tampa komplikasi 1. Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah leukosit dapat sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun beberapa hari pertama 2. Enzim hepatik kadang meningkat 3. Pada tzank test ditemukan sel datia berinti banyak, tetapi tidak spesifik untuk varisela 4. Kultur virus dari cairan vesikel seringkali positif pada 3 hari pertama, tetapi tidak dilakukan karena sulit dan mahal 5. Deteksi antigen virus dengan PCR untuk kasus varisela yang berat atau tidak khas



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis dan atau pemeriksaan fisik lainnya.



DIAGNOSIS KERJA



Varisela



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Hand, foot and mouth disease Reaksi vaskular terhadap gigitan serangga Erupsi obat variseliformis Dermatitis kontak Skabies impetigenesata Dermatitis herpetiformis Impetigo



TERAPI



1. Topikal - Lesi vesikuler : diberi bedak agar vesikel tidak pecah, dapat ditambahkan mentol 2% atau antipruritus lain - Vesikel yang sudah pecah /krusta : salep antibiotik 2. Antivirus - Asiklovir : dosis bayi/anak 4x 10-20 mg/kg (maksimal 8000 mg/hari) - Valaksiklovir : untuk dewasa 3 x 1 gram/hari selama 7 hari 3. Simtomatik - Antipiretik : diberikan bila demam - Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif



EDUKASI



1. Bila mandi, harus hati – hati agar vesikel tidak pecah 2. Jangan menggaruk dan di jaga agar kulit tidak pecah, biarkan mengering dan lepas sendiri 3. Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah sampai stadium krustasi 4. Rawat bila berat, usia lanjut dan dengan komplikasi 5. Makanan lunak, terutama bila terdapat lesi di mulut. 91



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam 1.



2. 3.



Schmader KE, OOxman MN, Varricella and Herpes Zoster. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2383-401. James WL, Berger TG, Elston DM. Viral Diseases. :Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke11. Saunder Elsevier; 2011.379-84. Sterling JC.Virus Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke-8.Willey-Blackwell;2010.3325-6.



16. Veruka Vulgaris NAMA PENYAKIT



Veruka Vulgaris



DEFINISI



Veruka vulgaris atau kutil merupakan infeksi virus human papilloma humanus yang bermanifestasi pada kulit dan bersifat jinak.



ANAMNESIS



- Virus ini dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung, namun penularan meningkat jika virus berkontak dengan kulit yag mengalami luka. - Ditemukan lesi kulit tunggal atau berkelompok, bersisik, memiliki permukaan kasar berupa papulatau nodul yang seperti duri. Lesi muncul secara berlahandan dapat bertahan dengan ukuran kecil, atau mebesar. Lesi dapat menyebar ke bagian tubuh lain. - Penyakit biasa terjadi pada anak- anak, dewasa muda, dan pasien imunosupresi.



PEMERIKSAAN FISIK



- Predileksi pada jari, punggung tangan maupun kaki - Berbentuk papul verukosa yang keratotik, kasar, dan bersisik. Lesi dapat berdiameter kurang dari 1 mm hingga lebih dari 1 cm dan dapaat berkonfluens menjadi lesi yang lebih besar.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Dermoskopi Dengan gambaran red-black (hemorragic) dot dikelilingi white halo yang dihubungkan dengan papilomatosis, red-black (hemorragic) streaks pada weight bearing area palmoplantar, 92



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU dan hairpin vessels. 2. Histopatologi Gambaran epidermal akantosis dengan papilomatosis, hiperkeratosis, parakeratosis, terdapat pemanjangan rete ridges ke arah tengah veruka, dan penonjolan pembuluh darah dermis yang memungkinkan terjadinya trombus. KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis dan atau pemeriksaan fisik lainnya



DIAGNOSIS KERJA



Veruka vulgaris



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Moluskum kontangiosum Nevus melanositik Keratosis aktinik Focal palmoplantar keratoderma Keratosis seboroik Fibroma mole/skin tag Karsinoma sel skuamosa Amelanotik melanoma Nevus epidermals



TERAPI



1. Agen destruktif - Asam salisilat - Fenol liquefakum 80% - Kantaridin - Asam trikloroasetat dan asam monokloroasetat - Perak nitrat - Asam format 2. Agen virusidal - Glutaraldehyde 3. Agen antiproliferasi - Krim 5-florourasil 5% - Topical retinoid 4. Terapi imunologi - Imiquimod 5. Terapi intra lesi Antiproliferasi agens - Lima-florourasil, lidokain, dan epinefrin - Bleomycin - Interferon beta 6. Terapi oral - Zinc oral - Antagonis reseptor histamin Tindakan 1. Bedah beku 2. Bedah laser 93



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 3. Bedah pisau 4. Photodynamic therapy EDUKASI



Pencegahan : 1. Penjelasan tentang penyakit dan penyebabnya - Umum nya kutil dapat hilang spontan tampa pengobatan - Kutil dapat menagalami rekurensi - Kurangi kontak dengan lesi karena dapat meningkatkan resiko penularan ke bagian tubuh lain - Jangan mencoba untuk mencabut lesi 2. Cara pencegahan - Mengurangi resiko transmisi, seperti menutup kutil dengan bahan tahan air ketika berenang, menghindari pemakaian barang pribadi secara bersama-sama dan menggunakan alas kaki ketika menggunakan toilet umum - Mengurangi resiko auto-inokulasi, seperti tidak menggaruk lesi, tidak menggigit kuku, dan tidak mencukur di daerah yang terdapat kutil 3. Pilihan terapi dan efek samping



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Androphy EJ, Kirnbauer R.Human Papiloma Virus Infections. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2421-33. 2. Sterling JC.Virus Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke-8.Willey-Blackwell;2010.3329-46. 3. James WL, Berger TG, Elston DM. Viral Diseases. Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.403-7.



17. Folikulitis Superfisialis NAMA PENYAKIT



Folikulitis Superfisialis (Impetigo Bochart/Impetigo Folicular)



DEFINISI



Folikulitis superfiasial merupakan salah satu bentuk pioderma pada folikel rambut dan jaringan sekitarnya.



ANAMNESIS



Terdapat rasa gatal dan panas.



94



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN FISIK



Kelainan berupa pustul kecil dome-shapped, mudah pecah, pada folikel rambut, multipel. Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila, ektremitas bawah, bokong (dewasa)



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Bila diperlukan : 1. Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan gram 2. Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap pengobatan empiris. 3. Kultur dengan resistensi darah, darah ferifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia 4. Biopsi apabila lesi tidak spesifik



KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis serta pemeriksaan fisik lainnya.



DIAGNOSIS KERJA



Folikulitis superfisial



DIAGNOSIS BANDING



e. f. g. h. i.



TERAPI



1. Topikal - Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan permangas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, larutan povidon iodine 1% - Bila tidak tertutup pus atau krusta : salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2% 2. Sistemik Lini pertama : - Kloksasilin/dikloksasilin : dewasa 4 x 250-500mg/hari PO, anak-anak 25 -50 mg/KgBB/hari dalam 4 dosis - Amoksisilin dan asam klavulanat : dewasa 3x 250-500 mg/hari, anak-anak 25 mg/kgBB/hari di bagi dalam 3 dosis



Tinea barbae Tinea capitis Folikulitis keloidal Folikulitis pitisporum Folikulitis kandida



- Sefaleksin : 25 -50 mg/kgBb/hari terbagi dalam 4 dosis Lini ke dua: - Azitromisisn 1 x 500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1 x 250mg (hari 2-5) - Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis - Eritromisin dewasa 4 x 250-500 mg/hari, anak-anak 20-50 mg/kg BB/hari terbagi 4 dosis. EDUKASI



- Jangan menggaruk lesi hingga pecah dan menjadi luka - Menjaga kebersihan badan ( hieginitas pasien) dan lingkungan sekitar anak supaya tidak mudah terinfeksi bakteri, contoh 95



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU mandi dengan sabun dan air - Menjelaskanbagaimana penyakitnya dan penatalaksanaannya - Pentingnya menjaga kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



C.



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanactionam : bonam Quo ad functionam : bonam 1. Craft N. Superficial infections and pyodermas. Dalam: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.2134-36. 2. Hay RJ, Adriaans M.Bacterial Infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox NN, Griffiths C, editors.Rook’sTextbook of Dermatology.Edisi ke-8.Willey-Blackwell;2010.3021-6. 3. James WL, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infections. Dalam: Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunder Elsevier; 2011.252-3.



Genodermatosis 1. Akrodermatitis Enteropatika



NAMA PENYAKIT



Akrodermatitis Enteropatika (E83.2)



DEFINISI



Akrodermatitis enteropatika (AE, MIM 201100) adalah salah satu penyakit genodermatosis yang bersifat autosomal resesif, jarang terjadi, disebabkan gangguan penyerapan seng, dan umumnya muncul pada usia bayi. Penyebab pasti belum diketahui, diduga karena mutasi gen SLC39A4 pada kromosom 8q24.3 yang mengode transporter seng ZIP4 dan menyebabkan defek absorpsi seng di usus halus.



ANAMNESIS



Terdapat lesi kulit di daerah akral, periorifisial, diare, alopesia, terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu setelah lahir.



PEMERIKSAAN FISIK



1. Terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu setelah lahir pada bayi yang diberi susu formula, atau segera setelah disapih pada bayi yang diberi air susu ibu. 2. Gejala khas terdapat “trias”: lesi kulit pada daerah akral dan periorifisial, diare, serta alopesia. 3. Predileksi: periokular, perioral, anogenital, akral, jari tangan dan kaki, serta intertriginosa 4. Kelainan kulit: distribusi simetris berupa bercak eritematosa yang berskuama, berbatas tegas, dapat menjadi lesi vesikobulosa, pustulosa, psoriasiformis, dan erosi. 96



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 5. Dapat disertai gejala sistemik lainnya akibat defisiensi seng berupa gangguan pertumbuhan, sistem imun, penyembuhan luka, dan emosi PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Pengukuran kadar seng plasma: 10% atau PASI > 10 atau DLQI > 10 atau psoriasis dengan komorbiditas atau recalcitrant psoriasis atau difficult to treat psoriasis (nail, palmoplantar, dan scalp psoriasis) Psoriasis vulgaris 134



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



1. Dermatitis seboroik 2. Tinea korporis 3. Pytiriasis rosea 4. Sifilis stadium II 5. Morbus Hansen Nonmedikamentosa o Tentukan tipe, luas area, PASI o Pengukuran QOL o Pemilihan pengobatan o Identifikasi faktor pencetus o Identifikasi penyakit penyerta o Konsultasi psikiatri, reumatologi, gigi mulut, THT, dan radiologi untuk mencari fokal infeksi Medikamentosa  Psoriasis ringan: Terapi topikal dan fototerapi Topikal: psoriasis ringan dapat diberikan emolien, salep campuran asidum salisikum dan tar (LCD 5%), krim/salap antralin 0,2-0,8%, kortikosteroid poten/super poten atau salep kalsipotriol. Pada psoriasis pustulosa lokalisata terkadang dapat diatasi dengan kortikosteroid poten. Psoriasis ringan sangat responsif terhadap kortikosteroid topikal. Fototerapi/fotokemoterapi: pada pasien yang resisten terhadap terapi topikal atau psoriasis derajat sedang/berat. Fototerapi dapat menggunakan Narrow Band UVB atau Broad Band UVB. Fotokemoterapi memakai psoralen oral atau topikal dengan UVA (PUVA).  Psoriasis sedang: Terapi topikal dan fototerapi, dengan terapi alternatif berupa sistemik non-biologik dan biologik.  Psoriasis berat: Terapi topikal, fototerapi, terapi sistemik nonbiologik dan biologik. Sistemik: diberikan pada psoriasis yang berat seperti psoriasis pustulosa generalisata dengan obat pilihan berupa retinoid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil atau turunannya, sulfasalazin, dan agen biologik. Metotreksat:  Mulai dengan dosis inisial 7,5 mg/minggu dan secara bertahap dinaikkan sampai tercapai respons terapi (dosis maksimum 25mg/minggu).  Pemberian asam folat 5 mg/minggu paling cepat 24 jam setelah pemberian metotreksat.  Penilaian respons terapi dan efek samping pengobatan. Lakukan pemeriksaan DPL dan enzim hati secara berkala (2-4 minggu).  Bila tidak tercapai Δ PASI 75 pada minggu ke-12 atau terdapat efek samping bermakna, ganti dengan pengobatan lain. 135



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Siklosporin:  Dosis inisial 2,5 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis, dinaikkan bertahap bila tidak ada efek samping selama 2-4 minggu sampai tercapai respons terapi (dosis maksimal: 5 mg/kg/hari).  Lakukan pemeriksaan DPL, fungsi ginjal, dan profil lipid secara berkala.  Bila tidak tercapai Δ PASI 75 pada minggu ke-12 atau terdapat efek samping bermakna, ganti dengan pengobatan lain. Secukinumab  Injeksi subkutan setiap minggu pada minggu ke 0, 1, 2, 3 dan 4 kemudian dilanjutkan dengan injeksi subkutan setiap 4 minggu pada minggu ke 8, 12, dan seterusnya dengan dosis 300 mg per kali pemberian. EDUKASI



1. Penjelasan bahwa psoriasis adalah penyakit autoimun, kronik residif bukan penyakit menular dan merupakan penyakit sistemik dan dapat menjadi artritis psoriatik. 2. Menghindari faktor pencetus (infeksi, obat-obatan, stres dan merokok) 3. Kontrol secara teratur dan patuh terhadap pengobatan



PROGNOSIS



Ad vitam :dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam Ad sanactionam: dubia ad malam 1. James WD, Berger TG, Elston DM. Psoriasis. Dalam: Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Saunders Elsevier, 2011: 10: 190-198. 2. Elder JT dan Gudjonsson JE.Psoriasis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 18:197231. 3. Griffiths CEM, Camp RDR dan Barker JNWN. Psoriasis. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N dan Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Blackwell publishing, 2010: 35: 147.



DAFTAR RUJUKAN



6.



Psoriasis Pustulosa



NAMA PENYAKIT



Psoriasis Pustulosa 136



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Psoriasis pustulosa adalah salah satu bentuk klinis dari psoriasis yang ditandai adanya erupsi pustul yang bersifat steril (non infectious pus) dengan dasar eritematosa.



ANAMNESIS



        



PEMERIKSAAN FISIK



       



Bercak merah pada kulit disertai nyeri dengan pustule di atasnya Keadaan umum berupa demam, malaise, anoreksia Riwayat menderita psoriasis sebelumnya Riwayat pengunaan obat-obatan sebelumnya Kehamilan Kebiasaan merokok dan minum alcohol Riwayat terpapar sinar matahari Stres psikis Infeksi fokal Plak psoriasis yang telah ada makin eritematosa. Plak eitematus disertai pustul miliar Pustul superfisial berdiameter 2-3 mm. Pustul akan berkonfluensi membentuk “lake of pus” berukuran beberapa cm. Pustul pada lidah menyebabkan disfagia Pustul pada kuku menyebabkan onikodistrofi, onikolisis dan defluvium unguium Arthritis Telogen efluvium



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Laboratorium  Darah rutin: leukositosis  Peningkatan laju endap darah.  Lipid profile, asam urat  Elektrolit  Jika pasien menderita oligemik akan terjadi peningkatan BUN (blood urea nitrogen) dan kreatinin.  Histopatologi



KRITERIA DIAGNOSIS



Diagnosis ditegakkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium



DIAGNOSIS KERJA



Psoriasis pustulosa



DIAGNOSIS BANDING







TERAPI



Topikal  Preparat tar  Kortikosteroid



Subcorneal pustular dermatosa



137



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU    



Antralin (ditranol) Kalsipotriol Tazaroten Emolien



Sistemik  Metotreksat  Asitretin  Siklosporin  Kortikosteroid  Antibiotik  Fototerapi EDUKASI



 



PROGNOSIS



Baik tetapi pada pasien dengan usia tua angka mortalitas lebih tinggi



DAFTAR RUJUKAN



1. Gudjonsson JE, Elder J. Psoriasis Vulgaris. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012:186:197-231. 2. Lebwohl MG, et.al. Treatment of Skin Disease : Comprehensive Therapeutic Strategies. 3rd edition. USA: Saunders Elsevier;2010. 3. Hunter J et.al.Clinical Dermatology. 3rd edition. Oxford: Blackwell Publishing;2003.



Penyakit bersifat kronik dan residif Hindari faktor pencetus



7. Urtikaria Dan Angioedema NAMA PENYAKIT



Urtikaria Dan Angioedema (L50)



DEFINISI



Urtikaria adalah suatu penyakit kulit yang ditandai dengan adanya urtika berbatas tegas, dikelilingi oleh daerah berwarna kemerahan, dan terasa gatal.1 Urtikaria dapat terjadi dengan atau tanpa angioedema. Berdasarkan European Academy of Allergy and Clinical Immunolgy (EAACI), The Global Allergy and Asthma European Network (GA2LEN), The European Dermatology Forum (EDF), dan The World Allergy Organization (WAO) pada tahun 2014, urtikaria diklasifikasikan menjadi 3 grup 1. Urtikaria spontan  Urtikaria akut : Wheal spontan 6 minggu  Urtikaruia kronik : Wheal spontan >6 minggu 2. Urtikaria fisik 138



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU  Urtikaria kontak dingin (cold contact urticaria) Faktor pencetus: udara/air/angin dingin  Delayed pressure urticarial Faktor pencetus: tekanan vertikal (wheal arising with a 3-8 latency)  Urtikaria kontak panas (hot contact urticaria). Faktor pencetus: panas yang terlokalisir  Urtikaria solaris. Faktor pencetus: UV dan atau sinar tampak  Urtikaria factitia/ Urtikaria dermografik. Faktor pencetus: kekuatan mekanis (wheal muncul setelah 1-5 menit)  Urtikaria/ angioedema fibratori Faktor pencetus: misal pneumatic hammer 3. Kelainan urtikaria lain  Urtikaria angiogenik. Faktor pencetus: air  Urtikaria kolinergik. Dicetuskan oleh naiknya temperatur tubuh  Urtikaria kontak. Dicetuskan oleh kontak dengan bahan yang bersifat urtikariogenik  Urtikaria yang diinduksi oleh latihan fisik (exercise). Faktor pencetus: latihan fisik ANAMNESIS



Anamnesis meliputi:  Waktu mulai munculnya urtikaria (onset)  Frekuensi dan durasi wheals  Variasi diurnal  Bentuk, ukuran, dan distribusi wheals  Apakah disertai angioedema  Gejala subjektif yang dirasakan pada lesi, misal gatal dan nyeri  Riwayat keluarga terkait urtikaria dan atopiAlergi di masa lampau atau saat ini, infeksi, penyakit internal, atau penyebab lain yang mungkin  Induksi oleh bahan fisik atau latihan fisik (exercise)  Penggunaan obat (NSAID, injeksi, imunisasi, hormon, obat pencahar (laxatives), suppositoria, tetes mata atau telinga, dan obat-obat alternatif)  Makanan  Kebiasaan merokok  Jenis pekerjaan  Hobi  Kejadian berkaitan dengan akhir pekan, liburan, dan perjalanan ke daerah lain  Implantasi bedah  Reaksi terhadap sengatan serangga  Hubungan dengan siklus menstruasi  Respon terhadap terapi  Stres  Kualitas hidup terkait urtikaria 139



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN FISIK



Urtikaria ditandai secara khas oleh timbulnya urtika dan atau angioedema secara cepat. Urtika terdiri atas tiga gambaran klinis khas, yaitu: (i) edema di bagian sentral dengan ukuran bervariasi, hampir selalu dikelilingi oleh eritema, (ii) disertai oleh gatal atau kadang sensasi seperti terbakar, dan (iii) berakhir cepat, kulit kembali ke kondisi normal biasanya dalam waktu 1-24 jam



PEMERIKSAAN PENUNJANG



o Mencari fokal infeksi dengan : 1. Pemeriksaan laboratorium rutin: darah, urine, feses untuk mencari infeksi tersembunyi 2. Konsultasi gigi,THT, IMS 3. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan alergi lanjutan misalnya IgE, jumlah eosinofil, kadar komplemen o Uji kulit : 1. Kecurigaan urtikaria dingin diperiksa dengan ice tube test, krioglobulin, cold hemolysin 2. Kecurigaan urtikaria fisik dilakukan tes dermografisme, tes fisik (exercise) 3. Prick test dilakukan bila tidak ada erupsi kulit dan memeuhi syarat uji kulit 4. Dilakukan di tahap lanjut : uji dermographism, uji ice tube,uji serum autolog o Uji eliminasi makananbila diduga alergi terhadap makanan o Gambaran histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan udem pada dermis atas dan tengah, disertai dilatasi venula postkapiler dan pembuluh limfatik dermis atas.



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan anamnesis, pemerksaan fisik, dan Tes dermografisme (terapi antihistamin harus dihentikan setidaknya 2-3 hari dan terapi immunosupresi untuk 1 minggu). Langkah diagnostik selanjutnya bergantung pada subtipe urtikaria,



DIAGNOSIS KERJA



Urtikaria Dan Angioedema



DIAGNOSIS BANDING



Urtikaria akut 1. Reaksi karena obat (Drug eruption) o Diperantarai IgE (urtikaria karena obat) o Idiosinkrasi o Imunitas seluler 2. Reaksi karena makanan (Food reaction) a. Diperantarai IgE b. Tidak diperantarai IgE 3. Pemberian melalui Intravenous 4. Infeksi: virus (viral exanthem) 5. Bites: papular urticaria - Urtikaria kronis -



140



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 1. Autoimun 2. Idiopatik 3. Urticarial vasculitis - Urtikaria Fisik 1. Lesi kurang dari 2 jam : a. Cold urticaria b. Cholinergic urticaria c. Dermographism d. Local heat urticaria e. Aquagenic urticaria 2. Lesi lebih dari 2 jam 3. Delayed pressure urticaria 4. Vibratory angioedema 5. Familial cold induced syndrome TERAPI



1. Prinsip Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dapat dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan/atau dikonsulkan ke Spesialis THT. 2. Topikal Bedak kocok dibubuhi antipruritus mentol dan kamfer. 3. Sistemik Urtikaria akut  Antihistamin (AH-1) generasi dua (non-sedatif).  Bila dengan AH nonsedatif tidak berhasil maka diberikan AH-1 generasi satu (sedatif).  Urtikaria kronik  Terapi lini pertama: Antihistamin H1 generasi kedua (nonsedatif)  Terapi lini kedua: Jika gejala menetap setelah 2 minggu, antihistamin H1 generasi kedua (non sedatif) dapat dinaikkan dosisnya 2-4 kali.  Terapi lini ketiga: Bila gejala masih menetap sampai 1-4 minggu, ditambahkan: o Antagonis leukotrien (montelukast), atau siklosporin atau omalizumab. o Jika terjadi eksaserbasi gejala dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari, tidak boleh lebih dari 10 hari.



EDUKASI



Identifikasi dan menghindari kemungkinan penyebab



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Ad vitam : ad bonam Ad sanationam : ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam 1. Powell RJ, Leech SC, Till S, Huber PAJ, Nasser SM, Clark AT. BSACI guideline for the management of chronic urticaria and 141



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU angioedema. Clin. Exp. Allergy. 2015;45:547-65. 2. Zuberbier T, Asero R, Jensen BC, Canonica GW, Church MK, et al. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO Guideline: definition, classification and diagnosis of urticaria. Allergy. 2014;64:141726. 3. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick‟s dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill 2012;414-430. 4. Chow S. Management of chronic urticaria in Asia: 2010 AADV consensus guidelines. Asia Pac Allergy 2012;2:149-160. 5. Peroni A, Colato C, Schena D, Girolomoni G. Urticarial lesions: If not urticaria, what else? The differential diagnosis of urticaria. Part I. Cutaneous diseases. J Am Acad Dermatol 2010;62:541-55. 6. Kaplan AP. Angioedema. WAO Journal 2008;1:103-113 7. Monroe E, Finn A, Patel P, Guerrero R, Ratner P, Berstein D, et al. Efficacy and safety of desloratadine 5 mg once daily in the treatment of chronic idiopathic urticaria: A double-blind, randomized, placebocontrolled trial. J Am Acad Dermatol. 2003;48:535-41. 8. Weller K, Ardelean E, Scholz E, Martus P, Zuberbier T, Maurer M. Can On-demand Nonsedating Antihistamines Improve Urticaria Symptoms? A Double-blind, Randomized, Singledose Study. Acta Derm Venereol. 2013;93:168-74. 9. Zuberbier T, Munzberger C, Haustein U, Trippas E, burtin B, Mariz SD, et al. Double-blind crossover study of high-dose cetirizine in cholinergic urticaria. Dermatology. 1996;193:324-7 10. Banerji A, Long AA, Camargi CA. Diphenhydramine versus nonsedating antihistamines for acute allergic reactions: A literature review. Allergy and Asthma Proceeding. 2007;28(4):418- 26. 11. Cicardi M, Aberer W, Banerji A, Bas M, Bernstein JA, Bork K, et al. Classification, diagnosis, and approach to treatment for angioedema: consensus report from the Hereditary Angioedema International Working Group. European Journal of Allergy.2014:1-15. 12. Weller K, Ziege C, Staubach P, Brockow K, Siebenhaar F, Krause K, et al. H1-Antihistamine Up-Dosing in Chronic Spontaneous Urticaria: Patients‟ Perspective of Effectiveness and Side Effects – A Retrospective Survey Study. Plos One. 2011;6(9):1-6 13. Staevska M, Popov TA, Kralimarkova T, Lazarova C, Kraeva S, Popova D, et al. The effectiveness of levocetirizine and desloratadine in up to 4 times conventional doses in difficulttotreat urticaria. J Alergy Clin Immunol. 2010;125(6):676-82. 14. Mitchell S, Balp MM, Samuel M, McBride D, Maurer M. Systematic review of treatments for chronic spontaneous urticaria with inadequate response to licensed first-line treatments. International Journal of Dermatology. 2014;1-17. 142



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 15. Di Lorenzo G, Pacor ML, Mansueto P, Pelliteri ME, Lo Bianco C, Ditta V, et al. Randomized placebo-controlled trial comparing desloratadine and montelukast in monotherapy and desloratadine plus montelukast in combined therapy for chronic idiopathic urticaria. J Allergy Immunol. 2004;114(3):619-25. 16. Wan KS. Efficacy of leukotriene receptor antagonist with an antiH1 receptor antagonist for treatment of chronic idiopathic urticaria. Journal of Dermatological Treatment. 2009;20:194-7. 17. Vena GA, Cassano N, Colombo D, Peruzzi E, Pigatto P, et al. Cyclosporine in chronic idiopathic urticaria: A double-blind, randomized, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol. 2006;55:705-9. 18. Grattan CEH, O‟Donnell BF, Francis DM, Niimi N, Barlow RJ, Seed PT, et al. Randomized double-blind study of cyclosporin in chronic `idiopathic' urticaria. BJD. 2000;143:365-72. 19. Saini S, Rosen KE, Hsieh HJ, Wong DA, Conner E, Kaplan A, et al. A randomized, placebocontrolled, dose-ranging study of single-dose omalizumab in patients with H1-antihistamine– refractory chronic idiopathic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2011;128(3):567-74. 20. 20. Kulthanan K, Tuchinda P, Chularojanamontri L, likittwatananurak C, Ungaksornpairote. Omalizumab therapy for treatment of recalcitrant chronic spontaneous urticaria in an Asian population. Journal of Dermatological Treatment. 2016:1-7. 8. Eritroderma NAMA PENYAKIT



Eritroderma



DEFINISI



Inflamasi pada kulit, menyerang hampir seluruh tubuh (90% atau lebih), dan biasanya disertai skuama. Eritroderma merupakan perluasan klinis beberapa penyakit, sehingga untuk memberikan tatalaksana dengan tepat, harus dicari penyakit yang mendasari (underlying disease) terjadinya eritroderma.



ANAMNESIS



Kulit kemerahan seluruh tubuh



PEMERIKSAAN FISIK











Berupa eritem generalisata disertai dengan skuama, tanpa menyerang mukosa, pembentukan skuama dimulai beberapa hari setelah eritem, biasanya diawali di fleksural dengan skuama putih, kuning dan halus. Pada stadium akut skuama pada telapak tangan dan telapak kaki melebar seperti lepengan tipis (plate like), lebih lanjut skuama menjadi lebih kering, abu-abu, sedangkan lesi kulit berwarna merah terang. Pada eritroderma kronis kulit menebal, kombinasi edema dan likenifikasi, rambut rontok, kuku menebal, subungual hiperketarosis, onikolisis, beau line of the nail. 143



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. 2. 3. 4.



Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan ASTO Pemeriksaan foto toraks Pemeriksaan histopatologi



KRITERIA DIAGNOSIS







Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Eritroderma



DIAGNOSIS BANDING



Eritroderma karena penyakit lain (AIDS, graft versus host disease)



TERAPI



TOPIKAL  Setiap pagi seluruh tubuh diolesi oleum coccos atau emolien lainnya. Ataupun hidrokortison 1% cream SISTEMIK  Pemberian kortikosteroid secara sistemik (jika diagnosis psoriasis disingkirkan) dengan cara “Tappering off”  Eritroderma idiopatik : prednison dengan dosis 1-3 mg/kg bb/hari dan IVIG (intravenous immunoglobulin)  Deksametason 3 x 1 mg, 2 x 1 mg, dst  Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder: eritromicin 3-4 x 250-500 mg/hari selama 7-10 hari.  Antihistamin/antipruritus: Cetirizine 2x1 tablet  Bila eritroderma disebabkan oleh psoriasis (eritroderma psoriantika): metroteksat, asitretin, atau siklosporin (refraktory cases)



EDUKASI



Menjelaskan bahwa penyakit bisa disebabkan oleh beberapa penyakit lain seperti psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, alergi obat dan CTCL. Perjalanan penyakit kronik dan residif.



PROGNOSIS



Dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Kels J, fedels T. Exfoliatif dermatitis. In: Goldsmith LA, Kats SI, Gilcherst AB, leffel JD, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 8th ed. New York : Mc Graw Hill Book CO;2012.p.266-78 2. James WD, berger TG, Elston DM. Seborrheic dermatitis, psoriasis, recalsitrans palmoplantar eruptions, pustular dermatitis, and erythroderma In: James WD, berger TG, Elston DM, editors. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology, 11 th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. P.188-202 3. Sterry W, Paus R, Burgdorf. Erythroderma. In: Bolognia LJ, Jorizzo Lj, Schaffer VJ, editors. Dermatology, 3 rd ed. New York: elsevier; 2012. P.171-82 144



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 4. Sterry W, Paus R, Burgdorf. Erythroderma. In: Sterry W, Paus R, Burgdorf. Erythroderma, editors. Thieme Clinical Companions Dermatology. German: George Thieme Verlag KG;2006.p.28285 5. Maryam A, Zahra SG, Siavash T, Dabbaghian. Research articel: Erithroderma: A clinical study of 97 cases. BMJ Dermatology 2005;5:5. Available from: URL: http://www.biomedcentral.com/1471-5945/5/5. accessed on July 2008 E.



Dermatologi Kosmetik 1. Akne



NAMA PENYAKIT



Akne Vulgaris (L.70.0)



DEFINISI



Akne adalah penyakit peradangan kronis pada folikel pilosebasea, terutama mengenai usia remaja, namun dapat juga terjadi pada usia prepubertal (neonatus, bayi, anak) atau pasca pubertas (dewasa). Gejala subjektif dapat disertai rasa gatal ringan dan manifestasi klinis ditandai dengan adanya lesi polimorfik berupa komedo, papul, pustul, nodus, dan kista di tempat predileksi. Akne yang sembuh dapat meninggalkan sekuele berupa makula hiper/hipopigmentasi atau jaringan parut hiper/hipotrofi.



ANAMNESIS



Lesi yang muncul umumnya tidak gatal atau sedikit gatal yang awalnya berupa bentol-bentol kecil sewarna kulit dan dapat membesar berwarna kemerahan pada daerah predileksi seperti wajah, leher, bahu, dada, lengan atas, dan punggung atas, meskipun dapat muncul di daerah kulit lain yang mengandung kelenjar sebasea seperti paha dan bokong.



PEMERIKSAAN FISIK



Lesi berupa komedo tertutup (white comedones) dan komedo terbuka (blackhead comedones), jika terjadi peradangan maka akan terdapat lesi berupa papul eritematus, pustul bahkan nodulokistik. Klasifikasi akne berdasarkan Lehman, 2003: 1. Akne derajat ringan: komedo < 20 atau lesi inflamasi < 15, total lesi < 30 2. Akne derajat sedang: komedo 20-100, pustul 15-20, kista < 5, total lesi 30-125 3. Akne derajat berat: komedo > 100, atau lesi inflamasi > 50, kista > 5, total lesi > 125



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Tidak di butuhkan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan ekskohleasi/ ekstraksi komedo untuk membuktikan adanya sebum. Pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan diagnosis banding 145



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis dan pemeriksaan fisik



DIAGNOSIS KERJA



Akne vulgaris



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6.



TERAPI



Rosasea Dermatitis perioral Folikulitis gram negatif Erupsi akneiformis Milia Hiperplasia sebasea Umum 1. Hindari pemencetan lesi terutama secara non higienis. 2. Pilih kosmetik nonkomedogenik 3. Hindari faktor pencetus dan jaga kebersihan wajah Medikamentosa a. Derajat ringan Hanya obat topikal tanpa obat oral. Lini 1: asam retinoat 0,01-0,1%atau benzoil peroksidaatau kombinasi. Ibu hamil atau menyusui: benzoil peroksida. Lini 2: asam azelaik 20%. Lini 3: asam retinoat + benzoil peroksidaatau asam retinoat + antibiotik topikal. Evaluasi: setiap 6-8 minggu. b. Derajat sedang Obat topikal dan oral. Lini 1: Topikal: asam retinoat dan benzoil peroksidaatau bila perlu antibiotik,Ibu hamil/menyusui tetap benzoil peroksida. Oral: doksisiklin 50-100 mg, Ibu hamil atau menyusui eritromisin 500-1000 mg/hari. Lini 2/3: Topikal: asam azelaik,asam salisilat atau kortikosteroid intralesi (KIL), dapson gel. Oral: antibiotik lainnyaIbu hamil/menyusui eritromisin 500-1000 mg/hari. Evaluasi setiap 6-8 minggu. Tambah kombinasi oral kontrasepsiatau spironolakton (untuk perempuan) atau oral isotretinoin. c. Derajat berat Lini 1: 146



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Topikal: antibiotik Ibu hamil/menyusui tetap benzoil peroksida. Oral: azitromisin pulse dose (hari pertama 500 mg dilanjutkan hari ke 2-4 250 mg). Ibu hamil: eritromisin 500-1000 mg/hari. Lini 2: Topikal: asam azelaik, asam salisilat, kortikosteroid intralesi. Ibu hamil/menyusui tetap benzoil peroksida. Oral: Wanita: anti androgenLaki-laki: isotretinoin oral 0,5-1 mg/kgBB/hari. Ibu hamil: eritromisin 500-1000 mg/hari. Lini 3: Topikal: asam azelaik, asam salisilat, kortikosteroid intralesi. Ibu hamil/menyusui tetap benzoil peroksida. Oral: Wanita: isotretinoin oral. Ibu hamil/menyusui: eritromisin 500-1000 mg/hari. Pemberian asam azelaik dan Isotretinoin oral harus mengikuti standar operasional prosedur (SOP) masing-masing. Catatan:Terapi dengan Isotreinoin oral disertai dengan surat persetujuan pengobatan (informed consent). Terapi ajuvan (tambahan)adalah terapi tambahan yang dapat dilakukan bersamaan dengan terapi utama diatas dengan tujuan untuk mempercepat penyembuhan atau memperbaiki kondisi kulit saat terapi utama berlangsung. Jenis terapi ajuvan: 1. Perawatan kulit termasuk ekstraksi komedo dan penggunaan kosmetik. 2. Skin peeling. 3. Kortikosteroid oral jangka pendek ( pria 3. Ras: Kaukasian > Negroid 4. Diet: karbohidrat dan lemak > 5. Olahraga: minim gerak 6. Hormonal: estrogen, prolaktin, Insulin Stadium: - Stadium 0 : permukaan kulit rata, tes cubit (-) - Stadium I : permukaan kulit masih rata saat berdiri atau berbaring, tes cubit (+) - Stadium II : permukaan kulit rata waktu berbaring namun tampak berbenjol waktu berdiri, tes cubit ++ - Stadium III : permukaan kulit tampak berbenjol saat tidur maupun berdiri, tes cubit +++



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Biopsi



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis dan pemeriksaan fisik, jika meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang.



DIAGNOSIS KERJA



Deposit lemak dan selulit (L.99)



DIAGNOSIS BANDING



1. Obesitas 2. Lipodistrofi



TERAPI



1. Massage 2. Body wrapping 3. Krim topikal 152



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU - Kafein: kadar kafein 5% selama 3 minggu dapat menurunkan lemak adipose sebanyak 15% - Visnadin, ruskogenin, escin, troxerutin - Retinoid topikal: retinol selama 6 bulan - AHA (alpha hidroxy acids) 4. Subsisi 5. Liposuction 6. Lainnya: infrared, diode laser, radiofrekuensi, mesotherapy EDUKASI



Menjelaskan: olahraga secukupnya, diet rendah karbohidrat, lemak dan kalori



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad fungsionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad malam Quo ad kosmetikum : dubia ad malam



DAFTAR RUJUKAN



1.



Vessabhinanta V, Obagi S, Singh A, Baumann L. Fat and the subcutaneous layer. Dalam: Leslie Baumann. Cosmetic Dermatology. Principles and Practice. New York: McGraw-Hill C. 2008. 14-21. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Deposit lemak dan selulit. Dalam: Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 263-268.



5. Freckles NAMA PENYAKIT



Freckles (L.81.2)



DEFINISI



Freckles merupakan hipermelanosis superfisial berupa bercak miliar sampai lentikular, tersebar di wajah. Penyebab pasti tidak diketahui, kemungkinan memiliki predisposisi genetik dan pencetus pajanan sinar matahari



ANAMNESIS



Timbul bercak-bercak kecoklatan ukuran kecil-kecil yang timbul tidak sejak lahir. Tidak ada gejala subjektif, dapat dijumpai pada anggota keluarga yang lain



PEMERIKSAAN FISIK



Bercak kecoklatan miliar sampai lentikular batas tegas, ireguler, tersebar, predileksi di wajah



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Lampu wood 2. Biopsi 153



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.



DIAGNOSIS KERJA



Freckles (L.81.2)



DIAGNOSIS BANDING



1. Hiperpigmentasi pasca inflamasi 2. Melasma 3. Lentigo senilis



TERAPI



Terapi perlu waktu lama. Tidak dianjurkan pada ibu hamil dan menyusui. 1. Topikal: Tretinoin 0,025-0,1%, Hidroquinon 2-5 %, Asam azelaik 20%, Asam kojik 4%, Tabir surya: SPF minimal 15 2. Tindakan: - Bedah listrik - Bedah kimia (peeling): alpha hydroxy acid, Jessner, trichloroacetic acid - Bedah Laser: Q switched Alexandrite, Q switched Nd:Yag dengan panjang gelombang 532 nm



EDUKASI



Menjelaskan: - Hindari pajanan langsung sinar mataharit erutama antara pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. - Gunakan tabir surya berspektrum luas dengan SPF minimal 30 bila keluar rumah. - Menghilangkan faktor pencetus.



PROGNOSIS



Quo ad vitam : ad bonam Quo ad fungsionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad malam Quo ad kosmetikum : dubia ad malam



DAFTAR RUJUKAN



1. Park HY, Yaar M. Disorder of melanocytes: biology of melanocytes. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th edition. New York: McGraw Hill. 2012. 847-849. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Freckles. Dalam: Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 266-268.



6.



Hiperhidrosis 154



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU NAMA PENYAKIT



Hiperhidrosis (L.74.8)



DEFINISI



Produk keringat dari kelenjar ekrin yang berlebihan selama minimal 6 bulan. Jenis: 1. Hiperhidrosis primer: tanpa sebab yang jelas dan tidak dihubungkan dengan penyakit sistemik 2. Hiperhidrosis sekunder: kelainan produksi keringat disebabkan penyakit sistemik, dapat bersifat lokal atau umum



ANAMNESIS



-



-



Keluhan banyak keringat berlangsung lebih dari 6 bulan Tidak/dapat dijumpai adanya penyakit sistemik Setidaknya dua dari hal berikut: 1. Bilateral simetris 2. Berkeringat mengganggu kegiatan sehari-hari 3. Paling sedikit terjadi satu episode per pecan 4. Awitan usia < 25 tahun 5. Terdapat riwayat keluarga 6. Berhenti berkeringat selama tidur Predileksi: telapak tangan dan kaki, tumit, aksila, sedikit pada area kraniofasial dan paha, sering terjadi akibat suhu, stres, atau gembira



PEMERIKSAAN FISIK



Pada area predileksi dijumpai keringat berlebihan



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Kolorimetri dan gravimetri 2. Termografi 3. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, ureum, kreatinin, fungsi tiroid, dan lain-lain 4. Pemeriksaan radiologi 5. Biopsi/histopatologi 6. Starch iodine test



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.



DIAGNOSIS KERJA



Hiperhidrosis (L.74.8)



DIAGNOSIS BANDING



1. Burning feet syndrome 2. Blue rubber bleb nevus syndrome 3. Demam (febrile illnesses) 155



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 4. Diabetes mellitus 5. Eccrine angiomatous hamartoma 6. Eccrine nevus 7. Gout 8. Hipoglikemia 9. Hodgkin disease 10.Menopause TERAPI



Lini Pertama Topikal: - Aluminium klorida hexahydrate 6,25%, 15%, 20% untuk hiperhidrosis sedang. - Aluminium klorida 12% diaplikasikan sebelum tidur dan dibersihkan setelah 6-8 jam penggunaan. Aplikasi diulang setiap 24-48 jam. Perbaikan terlihat setelah 3 minggu. - Garam zirconium - Aldehid Obat topikal ini digunakan setiap malam selama 3-5 malam, kemudian setiap beberapa hari sesuai kebutuhan. Lini Kedua - Iontophoresis 2-3 kali - Injeksi toksin botulinum A setiap 4-6 bulan, pada palmar sebanyak 2 unit diinjeksikan intradermal, axilla sebanyak 50200 unit. - Terapi oral: Oxybutynin 7,5-10 mg/hari - Glycopyrrolate (antikolinergik) 1-2 mg 2-3 kali sehari - Clonidine 0,1-0,3 mg - Propranolol 10-40 mg - Clonazepam 0,25-0,5 mg Lini Ketiga -



Liposuction dengan kuretase



- Terapi laser - Eksisi lokal - Simpatektomi EDUKASI



Menjelaskan:  Diet lemak dan pedas  Baju katun tipis  Kebersihan kulit/mandi



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad fungsionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam Quo ad kosmetikum : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1.



Robert 156



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU D, Fealey & Adelaide A, Hebert. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill. 2012. 1743-1761. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Hiperhidrosis. Dalam: Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 269-272.



7.



Melasma



NAMA PENYAKIT



Melasma (L.81.1)



DEFINISI



Hipermelanosis didapat terutama di wajah dan leher berwarna coklat muda sampai dengan coklat tua, dipengaruhi oleh faktor hormonal, pajanan sinar matahari, kehamilan, genetik, pemakaian kontrasepsi oral, obat-obatan dan kosmetik.



ANAMNESIS



Predisposisi: 1. Genetik. 2. Wanita. Pencetus: 1. Pajanan sinar ultraviolet. 2. Hormon seks perempuan (estrogen dan progesteron). 3. Kontrasepsi (estradiol dietilstilbestrol). 4. Terapi sulih hormone pada perempuan postmenopouse. 5. Kehamilan. 6. Kosmetik. 7. Disfungsi tiroid dan ovarium. 8. Obat: klorpromazin, hidantoin, minosiklin.



PEMERIKSAAN FISIK



Bercak numular/plakat kecoklatan, hiperpigmentasi, simetris, ireguler, batas tegas. 3 Pola distribusi lesi: 1. Pola sentro fasial: meliputi pipi, dahi, bibir atas, hidung dan dagu (63%) 2. Pola malar: meliputi pipi dan hidung (21%) 3. Pola mandibular: meliputi ramus mandibula (16%) Tipe letak pigmen (dengan menggunakan lampu Wood):  Melasma tipe epidermal: warna lesi tampak lebih kontras dan jelas dibandingkan dengan kulit sekitarnya.  Melasma tipe dermal: warna lesi tidak bertambah kontras.  Melasma tipe campuran: lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak. 157



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN PENUNJANG



Lampu Wood Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat membedakan hiperpigmentasi epidermal dengan dermal. Biopsi untuk DD/ okronosis eksogen, di kolagen dermis didapatkan deposit menyerupai bentuk pisang berwarna kuning kecoklatan akibat akumulasi homogentisic acid (HGA).



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.



DIAGNOSIS KERJA



Melasma (L.81.1)



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



TERAPI



Hiperpigmentasi pasca inflamasi. Freckles. Lentigo senilis. Okronosis eksogen. Drug-induced hyperpigmentation. Lichen planus pigmentosus. Dermatitis kontak.



Non medikamentosa: tabir surya SPF ≥30. Medikamentosa Karena durasi pengobatan panjang maka diperlukan pertimbangan terhadap efektifitas dan efek samping setiap obat. 1. Pengobatan topikal: - Hidroquinon 2-5% (krim, gel, losio). - Asam retinoat 0,05%-0,1% (krim dan gel). - Asam azelaik 20% (krim). - Asam glikolat 8-15% (krim, gel, losio). - Asam kojik 4%. 2. Pengobatan oral: Dianjurkan bila pigmentasi meliputi daerah yang lebih luas dan sampai ke dermis: - Asam askorbat - Glutation - Pycnogenol - Proanthocyanidin-rich 3. Bedah kimia - Larutan asam glikolat 20-70% - Larutan asam trikloroasetat 10-30% - Larutan Jessner 4. Dermabrasi 5. Kamuflase kosmetik 6. Bedah laser: Q switched Nd: Yag dengan panjang gelombang 532 nm(epidermal) dan low-dose 1064 nm (dermal) Cara lain: HF, LED, mesoterapi, skin needling. Pengobatan dilakukan secara kombinasi dan simultan. 158



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU EDUKASI



 Hindari pajanan langsung sinar matahari terutama antara pukul08.00s/d16.00 WIB.  Gunakan tabir surya berspektrum luas dengan SPF minimal 30 bila keluar rumah.  Menghilangkan faktor pencetus.



PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN



8.



Dubia ad bonam 1. Zouboulis CC dan Tsatsou F. Hidradenitis Suppurativa. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw-Hill, 2012: 85: 947-959. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Melasma. Dalam: Panduan praktik kliniks bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 273-276.



Pruritus senilis



NAMA PENYAKIT



Pruritus Senilis (L29.8)



DEFINISI



Pruritus adalah sensasi yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk dan merupakan keluhan tersering pada usia diatas 60 tahun. Faktor yang menyebabkan pruritus pada lansia yaitu kulit kering,dermatitis, skabies, penyakit sistemik serta penggunaan obat tertentu, tetapi seringkali penyebab pruritus tidak diketahui.



ANAMNESIS



Dijumpai rasa gatal dan tidak dijumpai penyakit kulit primer



PEMERIKSAAN FISIK



   



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Tidak didapatkan kelainan



KRITERIA DIAGNOSIS



Klinis 1. Anamnesis:gatal 2. Pemeriksaan fisik:  Tidak ada penyakit kulit primer  Tidak ditemukan xerotic skin  Dapat ditemukan bekas garukan dan lesi sekunder lain  Tidak didapatkan penyakit sistemik



Tidak ada penyakit kulit primer Tidak ditemukan xerotic skin Dapat ditemukan bekas garukan dan lesi sekunder lain Tidak didapatkan penyakit sistemik



159



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DIAGNOSIS KERJA



Pruritus Senilis



DIAGNOSIS BANDING



1. Pruritus akibat xerotic skin 2. Pruritus akibat penyakit kulit lain 3. Pruritus akibat penyakit sistemik,seperti gagal ginjal kronik, kolestasis, hipertiroid,kelainan hematologik dan keganasan 4. Neuropathic itch



TERAPI



Topikal  Emolien untuk memperbaiki sawar kulit  Keratolitik topikal, contoh asam salisilat meningkatkan hidrasi dan melembutkan stratum kimus orneum dengan menurunkan pH kulit  Imunomodulator:takrolimus,pimekrolimus terbukti secara langsung mempegaruhi serabut saraf C yang berperan pada patofisiologi pruritus  Bahan pendingin: mentol  Capsaicin Sistemik Antihistamin Tindakan Bila penyakit luas:fototerapi narrow band UVB



EDUKASI



Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering



PROGNOSIS



Tidak mengancam nyawa namun mempengaruhi kualitas hidup pasien Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Yosipovitch G, Patel TS. Pathophysiology and clinical aspects of pruritus. Dalam :Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA,Paller as, Leffell DJ, editor ke-8. New York : Mc Graw –Hill,2012.h. 1146-57. 2. Turan E, Gurel MS, Erdemir AT, Usta M, Kultu NS, Yurt N. Effectiveness and safety of topical Emmolients in the Treatment of PUVA-Induced pruritus. Adv Clin Exp Med. 2013;22(5):715-20. 3. Brooks J, Cowdell F, Ersser SJ, Gardiner ED. Skin cleansing and emolliating for older people: A Quasi-experimental pilot study. Int J Older People Nurs. 2017. 1-9.



160



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 9.



Vitiligo



NAMA PENYAKIT



Vitiligo (L80)



DEFINISI



Vitiligo merupakan penyakit depigmentasi didapat pada kulit, membran mukosa, dan rambut yang memiliki karakteristik lesi khas berupa makula berwarna putih susu (depigmentasi) dengan batas jelas dan bertambah besar secara progresif akibat hilangnya melanosit fungsional.



ANAMNESIS



Timbul bercak putih seperti susu/kapur onset tidak sejak lahir. Tidak ada gejala subjektif, kadang sedikit terasa gatal. Progresivitas lesi: dapat bertambah luas/menyebar, atau lambat/menetap, kadang timbul bercak sewarna putih pada lesi tanpa diberikan pengobatan (repigmentasi spontan). Bisa didapatkan riwayat vitiligo pada keluarga (10-20%). Bisa didapatkan riwayat penyakit autoimun lain pada pasien atau keluarga(10-25%).



PEMERIKSAAN FISIK



Terdapat makula depigmentasi berbatas tegas dengan distribusi sesuai klasifikasi sebagai berikut:  Vitiligo nonsegmental (VNS)/generalisata/vulgaris - Merupakan bentuk vitiligo paling umum. Lesi karakteristik berupa makula berwarna putih susu yang berbatas jelas, asimtomatik, melibatkan beberapa regio tubuh, biasanya simetris. - VNS terdiri dari vitiligo akrofasial, vitiligo mukosal, vitiligo universalis, dan vitiligo tipe campuran yang berhubungan dengan vitiligo segmental.  Vitiligo segmental (VS) Pada tipe ini lesi biasanya muncul pada anak-anak, berkembang dengan cepat (dalam waktu beberapa minggu atau bulan), kemudian menjadi stabil dan biasanya lebih resisten terhadap terapi. Vitiligo tipe ini sering dihubungkan dengan hipotesis neurokimia.  Undetermined/unclassified - Vitiligo fokal merupakan lesi patch yang tidak memenuhi kriteria ditribusi segmental, dan tidak meluas/berkembang dalam waktu 2 tahun. Vitiligo tipe ini dapat berkembang menjadi tipe VS maupun VNS. - Mukosal: hanya lesi di mukosa tanpa lesi di kulit. Dikenal istilah vitiligo stabil, yaitu bila memenuhi kritferia: - Lesi lama tidak berkembang atau bertambah luas selama 2 tahun terakhir. - Tidak ada lesi baru yang timbul pada periode yang sama. - Tidak ada riwayat fenomena Koebner baik berdasarkan anamnesis maupun tampak secara klinis. 161



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU - Tidak ada repigmentasi spontan atau repigmentasi setelah terapi. - Tes minigrafting positif dan tidak tampak fenomena Koebnerisasi pada lokasi donor. Vitiligo stabil ini tidak efektif diterapi dengan berbagai modalitas terapi, sehingga merupakan indikasi utama pembedahan (melanocyte grafting). PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Perhitungan Vitiligo Area Scoring Index (VASI) atau Vitiligo European Task Force (VETF) untuk menentukan derajat keparahan, serta pemilihan dan follow up terapi, yang dievaluasi ulang secara berkala setiap 3 bulan. 2. Pemeriksaan menggunakan lampu Wood untuk mendapatkan gambaran depigmentasi yang jelas. 3. Pemeriksaan laboratorium untuk penapisan penyakit autoimun lain sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti anti-nuclear antibody (ANA), thyroid- stimulating hormone (TSH), free T4 (FT4), glukosa darah, dan hemoglobin.



KRITERIA DIAGNOSIS



Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.



DIAGNOSIS KERJA



Vitiligo (L.80)



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Tinea versikolor Nevus anemikus Nevus depigmentosus Piebaldisme Hipomelanosis gutata idiopatik Hipomelanosis makular progresif



Di tingkat pelayanan dasar (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 1): Jenis Terapi: topikal Di tingkat pelayanan lanjut (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 2 atau 3): Jenis Terapi: topikal, fototerapi, fotokemoterapi, pembedahan Non-medikamentosa 1. Menghindari trauma fisik baik luka tajam, tumpul, ataupun tekanan repetitif yang menyebabkan fenomena Koebner, yaitu lesi depigmentasi baru pada lokasi trauma. Trauma ini terjadi umumnya pada aktivitas sehari-hari, misalnya pemakaian jam tangan, celana yang terlalu ketat, menyisir rambut terlalu keras, atau menggosok handuk di punggung. 2. Menghindari stres. 3. Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan. Medikamentosa Lini pertama 162



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 1. Topikal - Kortikosteroid topical - Calcineurin inhibitor (takrolimus, pimekrolimus) 2. Fototerapi - Narrowband ultraviolet B (NBUVB, 311 nm) - Excimer lamp atau laser 308 nm 3. FotokemoterapiKombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA) Lini kedua 1. Topikal Kombinasi kortikosteroid topikal dengan analog vitamin D3 topikal 2. Sistemik (untuk menahan penyebaran lesi aktif dan progresif pada VNS yang akut/aktif) berupa pemberian betametason 5 mg dosis tunggal, dua hari berturut-turut per minggu selama 16 minggu 3. Excimer lamp atau laser 308 nm 4. Fotokemoterapi - Kombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA). - Kombinasi NBUVB dengan calcineurin inhibitor topikal. - Kombinasi NBUVB dengan kortikosteroid sistemik. Lini Ketiga Terapi intervensi/pembedahan: untuk vitiligo stabil, segmental, rekalsitran, dan yang memberikan respons parsial terhadap terapi non-bedah. Terapi pembedahan dapat berupa: 1. Minipunch grafting. 2. Split-skin graft 3. Suction blister epidermal grafts (SBEG) Teknik graft melanosit atau epidermis baik dalam suspensi epidermis atau spesifik kultur sel primer dari melanosit. EDUKASI



Menjelaskan bahwa:  Vitiligo merupakan penyakit kulit kronis, progresif, sulit ditebak perjalanan penyakitnya, tetapi dapat diobati dan tidak menular.  Lesi baru dapat timbul akibat gesekan, garukan, atau trauma tajam dan trauma tumpul repetitif.  Respon terapi setiap pasien berbeda-beda, dan membutuhkan waktu serta tenaga yang tidak sedikit untuk mengetahui terapi yang paling efektif untuk setiap pasien.  Terapi vitiligo membutuhkan kesabaran karena respons terapi bisa cepat maupun lambat.  Vitiligo dapat pula disertai kelainan autoimun lain (20-25%), sehingga bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat diperlukan pemeriksaan laboratorium tambahan.  Kelainan vitiligo dapat diturunkan (10-15%) baik berupa vitiligo atau manifestasi autoimun lainnya. 163



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PROGNOSIS



Vitiligo tidak mengancam nyawa, tetapi mengganggu secara estetika dan menimbulkan beban psikososial.Respons terapi berbeda-beda, terutama bergantung pada jenis vitiligo,tetapi terapi VNS memberikan respons yang lebih baik dibandingkan pada VS. Quo ad vitam : ad bonam Quo ad fungsionam : dubia ad malam Quo ad sanationam : dubia ad malam



DAFTAR RUJUKAN



1. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke8. New York: McGraw Hill; 2012.h.792-803. 2. Sandra W, Hardyanto S, Hanny N, Yulianto L, Agnes SS, dkk. Vitiligo. Dalam: Panduan praktik kliniks bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. 282-288.



10.



Xerosis Kutis Pada Geriatri



NAMA PENYAKIT



Xerosis Kutis Pada Geriatri (L85.3)



DEFINISI



Kondisi kekeringan kulit disertai gangguan fungsi sawar kulityang diakibatkan hilang atau berkurangnnya kandungan air dalam stratum korneum yang ditandai dengan garis halus,skuama halus dan kadang disertai rasa gatal.



ANAMNESIS



 Kulit terasa seperti kering tertatrik terutama sesudah mandi  Dapat disertai sensasi gatal atau nyeri



PEMERIKSAAN FISIK



1. Kulit teraba kasar dan kering, dapat dijumpai skuama halus dan bila lebih berat dapat dijumpa iktiotik atau gambaran skuama menyerupai sisik ikan, keretakan kulit (erythema craquele/crazy paving appearance), eritema dan inflamasi serta fisura. 2. Predileksi daerah lengan, tungkai bawah dan sisi lateral abdomen



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang khusus 2. Pengukuran derajat kekeringan dapat dilakukan secara objektif dengan alat pengukuran trans epidermal water loss guna follow up terapi



KRITERIA DIAGNOSIS



Tanda, gejala dan perjalanan penyakit xerosis kutis tergantung pada usia dan status kesehatan pasien serta faktor eksternal misalnya kelembaban udara sekitar (faktor penuaan instrinsik, genetik dan lingkungan)



DIAGNOSIS KERJA



Xerosis Kutis Pada Geriatri 164



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DIAGNOSIS BANDING



Ichtyosis vulgaris



TERAPI



Tubuh : 1. Emolien/moisturizer dengan atau tanpa keratolitik 2. Klasifikasi xerosis ringan-sedang humektan ringan : urea (510%), asam glikolat (AG) (4-8%), asam laktat (AL) (5%), asam salisilat (AS) (1-3%). 3. Xerosis sedang: humektan sedang: urea (20%), AG 10%, AL 12%, AS 5%. Wajah: 1. Emolien atatu moisturizer non komedogenik dan non aknegenik. 2. Humektan: urea 5% (5-10%), AG 4%, AL 5 %



EDUKASI



1. Mencegah robekan kulit, karena kulit kering rentan mengalami robekan akibat gaya tarikan 2. Penggunaan produk bebas pengharum 3. Mandi tidak terlalu lama,dibatasi maksimum 10 menit 4. Mandi dengan aie suhu ruang atau suhu tubuh 5. Hindari pengharum pelicin pakaian, sabun cuci tangan cair dan produk pembersih antimikroba.



PROGNOSIS



Kondisi kekeringan kulit umumnya akan semakin berat jika berkepanjangan



DAFTAR RUJUKAN



1. 2. 3.



F.



Norman RA, Xerosis and pruritus in the elderly: recognition and management. Dermatol Ther. 2003;16(3):254-9 Fleckman P. Management of the ichtyoses. Skin Therapy Lett. 2003;8(6):3-7 Jennings MB, loGAN l, Alfieri DM, Ross CF, Goodwin S, Lesczcynski C. A Comparative Study of Lactic Acid 10 % and Ammonium Lactate 12% Lotion in the Treatment of Xerosis. J Am Podiatr Med Assoc. 2002;92(3):143-8.



Tumor dan Bedah Kulit 1. Keratosis seboroik



NAMA PENYAKIT



Keratosis Seboroik (l82.1)



DEFINISI



Tumor jinak epidermal yang paling sering terjadi. Lesi umumnya terjadi pada usia pertengahan, namun dapat muncul pada awal masa remaja



ANAMNESIS



Lesi awal bintil berkembang menjadi benjolan kecil, batas yang tegas, permukaan rata, dan berwarna kecoklatan. 165



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN FISIK



Papul hiperpigmentasi, permukaannya mengkilat, dan terdapat kista pseudohorn



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Dermoskopi 2. Histopatologi Tampak akantosis, papillomatosis, kista pseudohorn, dan hiperkeratosis



KRITERIA DIAGNOSIS



Papul hiperpigmentasi, permukaannya mengkilat, dan terdapat kista pseudohorn



DIAGNOSIS KERJA



Keratosis seboroik



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4.



verukosa,



verukosa,



stuck-on,



stuck-on,



Lentigo senilis/solaris Nevus melanositik Melanoma maligna Karsinoma sel basal



TERAPI



1. Kuretase, krioterapi 2. Bedah listrik (elektrodesikasi) memiliki efektivitas yang sama dibanding laser CO2 3. Laser CO2 ablatif Laser CO2 ablatif memiliki efikasi yang hampir sama seperti tindakan bedah listrik (elektrodesikasi) dan memiliki outcome yang memuaskan. Potassium-titanyl-phosphate (KTP) laser 4. QS Nd: YAG 1064 mm (long pulsed)



EDUKASI



1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping 3. Prognosis



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : bonam-dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-8. Philadelphia: Lippincott-Roven; 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill, 2008. 3. M. Bohm, T.A. Luger, H. Traupe, Successful treatment of inflammatory linear verrucous epidermal naevus with topical natural vitamin D3 (calcitriol). British Journal of Dermatology. 2003;148(4):824. 4. Osman MAR, Kassab AN. Carbon dioxide laser versus erbium: YAG laser in treatment of epidermal verrocous nevus: 166



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU a comparative randomized clinical Dermatological Treatment. 2016:1-6. 2. Fibroma mole NAMA PENYAKIT DEFINISI ANAMNESIS



study.



Journal



of



Fibroma Mole (D21.9) Tumor lunak jaringan ikat Benjolan yang lunak bertangkai, permukaan licin atau tidak teratur, letak di kelopak mata, leher, aksila.



PEMERIKSAAN FISIK



Tumor lunak bertangkai, permukaan licin atau tidak teratur, letak di kelopak mata, leher, aksila.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Histopatologi



KRITERIA DIAGNOSIS



Tumor lunak bertangkai, permukaan licin atau tidak teratur, letak di kelopak mata, leher, aksila.



DIAGNOSIS KERJA



Fibroma Mole



DIAGNOSIS BANDING



Neurofibroma



TERAPI



1. 2. 3.



Bedah listrik Bedah pisau Bedah laser



EDUKASI



1. 2. 3.



Penyakit dan penyebabnya Pilihan terapi dan efek samping Prognosis



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-8. Philadelphia: Lippincott- Roven, 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. F



DAFTAR RUJUKAN



3. Keloid NAMA PENYAKIT



Keloid (D21.9)



167



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Salah satu manifestasi penyembuhan luka abnormal berupa jaringan parut timbul atau tumbuh melebihi batas luka. Pada keloid terjadi ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen.



ANAMNESIS



Benjolan berwarna merah muda, keunguan, hiperpigmentasi, mucul setelah terjadinya luka.



PEMERIKSAAN FISIK



Nodul maupun plak yang keras, berwarna merah muda, keunguan, maupun hiperpigmentasi, memiliki permukaan yang umumnya halus dan mengkilat, dapat terjadi ulkus, pinggir yang tidak rata, dapat disertai telangiektasia



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Histopatologi: gambaran histopatologi didapatkan kumpulan kolagen I dan kolagen III hiposeluler yang tebal, eosinophilic, berukuran besar, dan disorganisasi. Terdapat juga matriks mukoid yang banyak dan fibroblas pada dermis



KRITERIA DIAGNOSIS



Nodul/plak berwarna merah muda, keunguan, maupun hiperpigmentasi, permukaan halus dan mengkilat, dapat terjadi ulkus, pinggir yang tidak rata, dapat disertai telangiektasia



DIAGNOSIS KERJA



Keloid



maupun



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Karsinoma sel basal tipe morfeaformis Dermatofibrosarcoma protuberans Foreign body granuloma Trichilemmal carcinoma Apocrine cystadenoma Adult-onset juvenile xanthogranuloma Follikulitis kronik



TERAPI



1. Triamcinolone acetonide injeksi 2. Pilihan terapi baik tunggal maupun kombinasi dengan terapi lainnya. 3. Injeksi intralesi lainnya Lima-fluorourasil (5-FU) Bleomycin Botulinum toxin A Interferon Krim imiquimod 5% 4. Tindakan: Bedah pisau Bedah pisau dengan graft dikombinasi dengan injeksitriamcinolone acetonide. 5. Terapi laser 168



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Pulse dye laser 6. Merupakan terapi kombinasi dengan lainnya. Laser CO2 7. Bedah beku EDUKASI



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



1. Menjelaskan mengenai penyakit dan penyebabnya. 2. Menjelaskan cara pencegahan. 3. Menjelaskan mengenai pilihan terapi dan kemungkinan efek samping serta hasilnya. 4. Menjelaskan mengenai prognosis. Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : dubia ad malam 1. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic/myofibroblastic tumors. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.707-17. 2. Endrizzi B. Benign tumors and vascular lesions. Dalam: Soutor C, Hordinsky MK, editor. A Lange medical book clinical dermatology. Edisi ke-1. Minnesota: McGraw-Hill Education; 2013.h.141-52. 3. Juckett G, Hartman-Adams H. Management of keloids and hypertrophic scars. Am Fam Physician. 2009;80(3):253-60. 4. Arno AI, Gauglitz GG, Barret JP, Jeschke MG. Up-to-date approach to manage keloids and hypertrophic scars: A useful guide. Burns. 2014;40(7):1255-66. 5. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG. Hypertrophic scarring and keloids: Pathomechanisms and current and emerging treatment strategies. Mol Med. 2011;17(1-2):113-25. 6. Ogawa R, Akaishi S, Hyakusoku H. Differential and exclusive diagnosis of diseases that resemble keloids and hypertrophic scars. Ann Plast Surg. 2009;62:660–4. 7. O’Brien L, Jones DJ. Silicone gel sheeting for preventing and treating hypertrophic and keloid scars. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 9.



4. Granuloma piogenikum NAMA PENYAKIT



Granuloma Piogenikum (l98.0)



DEFINISI



Tumor vaskular yang sering ditemukan, bisa timbul spontan atau setelah trauma.



ANAMNESIS



Benjolan merah bertangkai, mudah berdarah. Bisa bertangkai 169



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU berwarna merah, permukaan lembut, mudah berdarah. Lokasi sering pada intraoral: marginal gingiva, palatum, mukosa bukal, lidah, dan bibir. Lokasi di kulit di wajah, leher, ekstremitas atas dan bawah, mukosa membran di hidung, dan kelopak mata. PEMERIKSAAN FISIK



Papul/nodus eritema bertangkai, mudah berdarah. Nodul, bisa berbentuk pedunculated berwarna merah, permukaan lembut atau sessile, mudah berdarah, krusta atau ulserasi.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Histopatologi



KRITERIA DIAGNOSIS



Papul/nodus eritema bertangkai, mudah berdarah. Nodul, bisa berbentuk pedunculated berwarna merah, permukaan lembut atau sessile, mudah berdarah, krusta atau ulserasi.



DIAGNOSIS KERJA



Granuloma Piogenikum



DIAGNOSIS BANDING



Jaringan granulasi, hemangioma, peripheral giant cell granuloma, peripheral ossifying fibroma, metastatic carcinoma dan amelanotic melanoma



TERAPI



1. 2. 3. 4.



EDUKASI



1. Edukasi mengenai penyakitnya 2. Edukasi mengenai rekurensi granuloma piogenikum 3. Edukasi mengenai kebersihan dari luka, karena infeksi berperan terhadap tumor vaskular (infeksi Streptococcus, Staphylococcus, Bartonella henselae, B. Quintana, dan HHV 8)



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Bedah pisau Bedah listrik Bedah laser CO2, Er: YAG, Diode, Nd:YAG Kriotererapi



Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke 8. Philadelphia: LippincottRoven; 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill; 2008. 3. Hon KLE, Shen PCH, Li X, Chow CM, Luk DC. Pediatric Vascular Anomalies: An Overview of Management. Clinical Medicine Insights. Dermatology. 2014; 7:1–7. 4. Zonungsangan. Pyogenic granuloma treated with continuous 170



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU wave CO2 laser followed by ultrapulsed CO2 laser ablation. Our Dermatol Online. 2014; 6(2):160-2. 5. Feurazad, Khoei, Hanieh. Pyogenic granuloma: Surgical treatment with Er: YAG laser. J laser Med Sci. 2014:5(4):199205. 6. Rai S, Kaur M, Bhatnagar P. Laser: a powerful tool for treatment of pyogenic granuloma. J Cutan Aesthet Surg. 2011; 4(2):144–147



5. Hemangioma Infantile NAMA PENYAKIT



Hemangioma Infantil (D18.0)



DEFINISI



Tumor jinak pembuluh darah, berupa proliferasi endotelial. Terdiri dari tiga fase, yaitu fase proliferasi, stabil, dan involusi. Lesi ini didapatkan kurang lebih pada 4% anak usia 1 tahun. Lesi ini lebih sering terjadi pada perempuan, bayi prematur, ras kaukasia, kehamilan yang multipel, dan usia ibu di atas 30 tahun. Nama lain lesi ini antara lain vascular tumor, vascular birthmark, strawberry birthmark, strawberry hemangioma dan juvenile hemangioma.



ANAMNESIS



Lesi biasanya muncul pada usia 1-8 minggu, pertumbuhan yang cepat selama 6-12 bulan, dilanjutkan dengan fase involusi selama 5-9 tahun.



PEMERIKSAAN FISIK



Makula eritem, Plak eritem/nodul eritem dengan permukaan rata



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Dermoskopi Red lacunas, reddish homogenous areas. 2. Radiologi Beberapa modalitas yang dapat digunakan antara lain ultrasonography dengan doppler, magnetic resonance imaging (MRI), dan computed tomography (CT) scan. Pemeriksaan MRI dan CT-scan dilakukan pada lesi yang ekstensif (dicurigai terkait pembuluh darah besar) atau bila direncanakan terapi reseksi operasi pada tahap proliferasi. 3. Tes darah Bila hemangioma terkait sindrom PHACE, atau terdapat kecurigaan hemangioma hepar maka pemeriksaan darah yang berhubungan dengan penyakit endokrin harus dilakukan contoh pemeriksaan hormon tiroid maupun hormon pertumbuhan. Pemeriksaan darah terkait pemberian terapi sistemik. 4. Histopatologi Gambaran berupa lobular architecture dengan sel endotel yang tampak bulat (plump) dan gambaran proliferasi endotel yang signifikan pada fase proliferasi. Hasil pewarnaan imunohistokimia pada glucose transporter 1 protein (GLUT-1) 171



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU positif. KRITERIA DIAGNOSIS



Terdapat plak, papul,makula atau nodul eritem/keunguan/sewarna kulit. Jenis dari hemangioma dibedakan menjadi: 1. Bentuk (fokal, multifokal, segmental, indeterminate) 2. Tipe (superfisial, dalam, kombinasi, retikular/abortif/ perkembangan minimal) o Lesi superfisial: makula eritematosa yang terang, papul, maupun plak muncul pada usia 1-4 minggu. Lesi dalam: berwarna ungu, biru, maupun sewarna kulit muncul pada usia 2-3 bulan



DIAGNOSIS KERJA



Hemangioma Infantil



DIAGNOSIS BANDING



Lesi vaskular: Tumor vaskular 1. Tufted angioma 2. Spindle-cell hemangioma 3. Hemangioma epiteloid 4. Kaposiform hemangioendothelioma 5. Sarkoma kaposi 6. Retiform hemangioendothelioma 7. Papillary intralymphatic angioendothelioma 8. Composite hemangioendothelioma 9. Angiosarkoma 10. Epithelioid hemangioendothelioma 11. Malformasi vaskular 12. Malformasi kapiler 13. Malformasi limfatik 14. Malformasi vena 15. Malformasi arterio-vena Lesi nonvaskular: 1. Miofibroma 2. Spitz nevus 3. Juvenile xanthogranuloma 4. Kista dermoid 5. Encephalocele 6. Rhabdomiosarkoma 7. Fibrosarkoma infantil 8. Histiositosis sel Langerhans 9. Neuroblastoma 10. Leukemia kutis kongenital



TERAPI



Medikamentosa 1. Propanolol Pengobatan hemangioma infantil pada fase proliferasi dengan menggunakan propanolol dosis 3 172



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



2.



3. 4. 5. 6.



mg/kgBB/hari selama 6 bulan terbukti aman dan efektif. Pengobatan hemangioma infantil dengan propanolol dosis 2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 bulan terbukti dapat mengurangi ukuran, ketebalan, dan warna kemerahan pada lesi. Topikal ß blockers Timolol maleat topikal 0,5% dapat mengurangi volume dan warna kemerahan pada hemangioma infantil tipe superfisial.10 (B,2) Timolol maleat topikal 0,5% dapat mengurangi ukuran hemangioma infantil tipe superfisial maupun campuran. Kortikosteroid Prednison oral dilaporkan dapat mengurangi pertumbuhan hemangioma infantil. Imiquimod 5% topikal Interferon-α Terapi yang efektif untuk hemangioma yang resisten terhadap steroid, yang dapat membahayakan fungsi organ tubuh seperti mata, dan dapat mengancam hidup. Kemoterapi  Vincristine  Siklofosfamid



Tindakan 1. Operasi Eksisi sirkular dengan penutupan purse-string mengurangi ukuran luka pascaoperasi hemangioma infantil. Reseksi satu tahap dilaporkan sukses menghilangkan lesi hemangioma infantil pada telinga. 2. Pulse dye laser Pulse dye laser tidak efektif dalam mengobati lesi awal hemangioma dan dihubungkan dengan atrofi kulit dan hipopigmentasi. EDUKASI



1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam-dubia ad bonam Quo ad functionam : bonam-dubia ad bonam Quo ad sanactionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Mathes EF, Frieden IJ. Vascular tumors. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1456-65. 2. Liang MG, Frieden IJ. Infantile and congenital hemangiomas. Semin Pediat Surg. 2014;23(4):162-7. 3. Ballah D, Cahill AM, Fontalvo L, Yan A, Treat J, Low D, et al. Vascular anomalies: What they are, how to diagnose them, and how to treat them. Curr Probl Diagn Radiol. 2011;40(6):23347. 4. George A, Mani V, Noufal A. Update on the classification of hemangioma. J Oral Maxillofac Pathol. 2014;18(supplement 1):117-20. 5. ISSVA classification for vascular anomalies. International society for the study of vascular anomalies 2014. Diakses pada 11 Maret 2017. Tersedia di 173



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU http://www.issva.org/classification. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, et al. Dermoscopy of pigmented skin lesions: results of a concensus meeting via the internet. J Am Acad Dermatol. 2003;48:679-93. 5. Püttgen KB. Diagnosis and management of infantile hemangiomas. Pediatr Clin North Am. 2014;61(2):383-402. 6. Leaute-Labreze C, Hoeger P, Mazereeuw-Hautier J, Guibaud L, Baselga E, Posiunas G, dkk. A randomized, controlled trial of oral propranolol in infantile hemangioma. N Engl J Med. 2015;372:735-46. 8. Hongeling M, Adams S, Wargon O. A randomized controlled trial of propranolol for infantile hemangiomas. J Pediatr. 2011;128:e259-e266. 7. Chan H, McKay C, Adams S, Wargon O. RCT of timolol maleate gel for superficial infantile hemangiomas in 5 to 24week-olds. Pediatrics. 2013;131:1739-47. 8. Chambers CB, Katowitz WR, Katowitz JA, Binenbaum G. A controlled study of topical 0.25% timolol maleate gel for the treatment of cutaneous infantile capillary hemangiomas. Ophthal Plast Reconstr Surg. 2012;28:103-6. 9. Grrene AK, Couto RA. Oral prednisolone for infantile hemangioma: Efficacy and safety using a standardized treatment protocol. Plast Reconstr Surg. 2011;128:743-52. 10. Jiang CH, Hu XJ, Ma G, Chen D, Jin Y, Chen H. A prospective self-controlled phase II study of imiquimod 5% cream in the treatment of infantile hemangioma. Pediatr Dermatol. 2011;28(3):259-66. 11. Jimenez-Hernandez E, Duenas-Gonzalez MT, Quintero-Cuiel JL, Velasquez-Ortega J, Magana-Perez JA, Berges-Garcia A, et al. Treatment with interferon-α-2b in children with lifethreatening hemangiomas. Dermatol Surg. 2008;34:640-47. 14. Glade RS. Vinson K, Becton D, Bhutta S, Buckmiller LM. Management of complicated hemangiomas with vincristine/vinblastine: Quantitative response to therapy using MRI. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2010;74:1221-1225. 12. Sovinz P, Urban C. Life-threatening hemangiomatosis of the liver in an infant: Multimodal therapy including cyclophosphamide and secondary acute myeloid leukemia. Pediatr Blood Cancer. 2006;47:972-3. 13. Mulliken JB, Rogers GF, Marler JJ. Circular excision with purse-string closure: The smallest possible scar. Plast Reconstr Surg. 2002;109(5):1544-54. 14. Daramola OO, Chun RH, Kerschner Je. Surgical management of auricular infantile hemangiomas. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;138(1):72-75. 15. Batta K, Goodyear HM, Moss C, Williams HC, Hiller L, Waters R. Randomised controlled study of early pulsed dye laser treatment of uncomplicated childhood haemangiomas: Results of a 1year analysis. Lancet. 2002;360:521-27. 174



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



6.Limfangioma NAMA PENYAKIT



Limfangioma (D18.1)



DEFINISI



Hiperplasia dan dilatasi pembuluh limfe akibat kelainan kongenital malformasi sistem limfatik. Kelainan dapat bermanifestasi berbentuk vesikel yang berisikan cairan limfe, biasanya terdapat pada daerah wajah dan ditemukan pada usia kurang dari dua tahun. Nama lainnya adalah lymphangioma circumscriptum.



ANAMNESIS



Lesi berupa kumpulan vesikel yang berisikan cairan bening maupun cairan serohemoragik. Lesi mempunyai batas difus dan dapat menyerang struktur disekitarnya.



PEMERIKSAAN FISIK



Vesikel yang berisikan cairan bening maupun cairan serohemoragik. Lesi mempunyai batas difus dan dapat menyerang struktur disekitarnya.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Histopatologi Pada sediaan terlihat dilatasi dari pembuluh limfe dengan endotelium yang datar dan tidak ditemukan sel darah. 2. Ultrasonography (USG) Menyingkirkan malformasi arteriovenosa (highflow). Pada limfangioma didapatkan jenis slow-no flow dan dapat dinilai ekstensi dan luas malformasi. 3. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila terdapat kecurigaan kelainan melibatkan pembuluh besar dan memerlukan tindakan berbeda. 4. Dermoskopi Red-blue lacunas, red-bluish to red black homogenous areas.



KRITERIA DIAGNOSIS



Vesikel yang berisikan cairan bening maupun cairan serohemoragik. Lesi mempunyai batas difus dan dapat menyerang struktur disekitarnya



DIAGNOSIS KERJA



Limfangioma



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4.



Angiokeratoma Hemangioma Malformasi vena Limfangiektasia/limfangioma akuisita



TERAPI



1. Bedah pisau 2. Skleroterapi  Dengan menggunakan OK-4327  Dengan menggunakan bleomisin A58 175



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 3. Prosedur destruktif  Radiofrequency ablation  Bedah laser CO210 EDUKASI



1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping 3. Prognosis



PROGNOSIS



Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam-dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Boon LM, Vikkula M. Vascular malformations. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,Leffell DJ,Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: McGraw-Hill; 2012.h.2076-94. 2. Ibrahim M, Hammoud K, Maheshwari M, Pandya A. Congenital cystic lesions of the head and neck. Neuroimaging Clin N Am. 2011;21(3):621-39. 3. Ballah D, Cahill AM, Fontalvo L, Yan A, Treat J, Low D, dkk. Vascular anomalies: What they are, how to diagnose them, and how to treat them. Curr Probl Diagn Radiol. 2011;40(6):233-47. 4. Tracy TF Jr, Muratore CS. Management of common head and neck masses. Semin Pediatr Surg. 2007;16(1):3-13. 5. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, et al. Dermoscopy of pigmented skin lesions: results of a concensus meeting via the internet. J Am Acad Dermatol. 2003;48:679-93. 6. Okazaki T, Iwatani S, Yanai T, Kobayashi H, Kato Y, Marusasa T. Treatment of lymphangioma in children: Our experience of 128 cases. J Pediatr Surg. 2007;42:386-389. 7. Giguere CM, Bauman NM, Sato Y, Burke DK, Greinwald JH, Pransky S, dkk. Treatment of lymphangiomas with OK-432 (picibanil) sclerotherapy: A prospective multi-institutional trial. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;128(10):1137-44. 8. Yang Y, Sun M, Ma Q, Cheng X, Ao J, Tian L, dkk. Bleomycin A5 sclerotherapy for cervicofacial lymphatic malformations. J Vasc Surg. 2011;53(1):15-5. 9. Kim SW, Kavanagh K, Orbach DB, Alomari AL, Mulliken JB, Rahbar R. Long-term outcome of radiofrequency ablation for intraoral microcystic lymphatic malformation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;137(12):1247-50. 10. Savas JA, Ledon J, Franca K, Chacon A, Zaiac M, Nouri K. Carbon dioxide laser for the treatment of microcystic lymphatic malformations (lymphangioma circumscriptum): A systematic review. Dermatol Surg. 2013;39(8):1147-57.



176



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



7. Nevus Melanositik NAMA PENYAKIT



Nevus Melanositik (D22.9)



DEFINISI



Spektrum neoplasia nevomelanositik yang berkembang pada waktu anakanak/dewasa muda.



ANAMNESIS



Tahi lalat warna kecoklatan, permukaan datar atau tidak, bertangkai



PEMERIKSAAN FISIK



Makula/papul (papilomatosa, papul berbentuk kubah/dome shape, bertangkai/pedunculated, atas datar/flat-topped). Warna: sewarna kulit, merah jambu, kecoklatan



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Dermoskopi: umumnya pola retikular, pigment network regular, globular dan homogen 4 2. Histopatologi1:  Nevus junctional Kumpulan sel nevus setinggi dermoepidermal junction  Nevus compound Kumpulan sel nevus terdapat di dermis dan epidermis  Nevus intradermal Kumpulan sel nevus terletak di dermis



KRITERIA DIAGNOSIS



Makula/papul (papilomatosa, papul berbentuk kubah/dome shape, bertangkai/pedunculated, atas datar/flat-topped). Warna: sewarna kulit, merah jambu, kecoklatan



DIAGNOSIS KERJA



Nevus melanositik



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5. 6.



TERAPI



1. Bedah pisau 2. Bedah listrik 3. Bedah laser



Lentigo solaris Keratosis seboroik Fibroma mole Neurofibroma Karsinoma sel basal Melanoma maligna



177



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU EDUKASI



1. Edukasi mengenai penyakit 2. Proteksi dari paparan sinar UV, dengan menggunakan tabir surya 3. Pasien di edukasi mengenai risiko keganasan, apabila bentuk tidak simetris, permukaan kasar, mudah berdarah, warna tidak lagi homogen. 4. Pasien dengan lesi nevus melanositik yang besar berisiko lebih besar terhadap keganasan.



PROGNOSIS



Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Elder D, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X. Benign pigmented lesions and malignant melanoma. Dalam: Elder D, Elenitsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2009.h.699-790. 2. Grichnick JM, Rhodes AR, Sober AJ. Benign neoplasia and Hyperplasia of Melanocytes. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012.h.1377-1416. 3. Vourc’h-Jourdan M, Martin M, Barbarot S. Large congenital melanocytic nevi: Therapeutic management and melanoma risk. A systematic review. J Am Acad Dermatol. 2013;68:4938. 4. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, McCarthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia; 2009.h.189-91. 5. Zaludeck C. Classifiying Melanocytic Nevi. Dalam: Longo, Argenziano, Zalaudeck editor. Nevogenesis. Berlin: Springer; 2012.h.25-40.



8. Karsinoma sel basal NAMA PENYAKIT



Karsinoma Sel Basal (C44)



DEFINISI



Tumor ganas yang berasal dari lapisan epidermis, tumbuh secara lambat, dan lokal invasif. Merupakan kanker kulit tipe nonmelanoma yang paling sering terjadi. Penyakit ini berhubungan dengan pajanan sinar matahari dan jarang terjadi metastasis.



ANAMNESIS



Benjolan kecoklatan/hitam/biru, yang cepat membesar atau luka yang tidak sembuh sembuh yang muncul didareah yang sering terpapar matahari.



PEMERIKSAAN FISIK



1. Nodular Paling sering terjadi dan muncul di daerah yang 178



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 2. 3. 4. 5. 6.



sering terpajan sinar matahari. Berpigmen Mempunyai kemiripan dengan tipe nodular namun berwarna (biru, hitam, dan kecoklatan) karena mengandung melanin. Superfisial Tipe lesi yang paling tidak agresif, namun sering multifokal, dan biasanya muncul di badan maupun ekstremitas. Morfeaformis Lesi yang paling jarang terjadi dan sering ditemukan pada wajah. Menyerupai skar atau keloid berbatas difus, merupakan tipe risiko tinggi. Ulseratif Termasuk ulkus rodens dan ulkus terebrans, berhubungan dengan destruksi lokal. Varian lain Yaitu: basoskuamosa, keratotik, dan fibroepitelioma pinkus.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Dermoskopi Gambaran blue-black globules, leaf like structures, spoke wheels, ulcers, dan arborizing vessel. 2. Histopatologi Dilakukan jika secara klinis masih terdapat diagnosis banding, lesi kulit berada pada daerah risiko tinggi seperti daerah tengah wajah (sekitar mulut, mata, telinga, dan hidung), dan pada kasus yang memerlukan gambaran histopatologi lesi untuk menentukan pilihan terapi dan prognosis. 3. Computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) Bila ditemukan tanda dan gejala menunjukkan keterlibatan tulang, saraf yang besar, mata, dan kelenjar parotis.



KRITERIA DIAGNOSIS



1. Nodular Paling sering terjadi dan muncul di daerah yang sering terpajan sinar matahari. 2. Berpigmen Mempunyai kemiripan dengan tipe nodular namun berwarna (biru, hitam, dan kecoklatan) karena mengandung melanin. 3. Superfisial Tipe lesi yang paling tidak agresif, namun sering multifokal, dan biasanya muncul di badan maupun ekstremitas. 4. Morfeaformis Lesi yang paling jarang terjadi dan sering ditemukan pada wajah. Menyerupai skar atau keloid berbatas difus, merupakan tipe risiko tinggi. 5. Ulseratif Termasuk ulkus rodens dan ulkus terebrans, berhubungan dengan destruksi lokal. 6. Varian lain Yaitu: basoskuamosa, keratotik, dan fibroepitelioma pinkus.



DIAGNOSIS KERJA



Karsinoma Sel Basal



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4.



Keratosis aktinik Karsinoma sel skuamosa Penyakit Bowen Keratoacanthoma 179



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 5. Melanoma 6. Dermatitis 7. Psoriasis 8. Tinea korporis 9. Keratosis seboroik 10. Moluskum kontagiosum 11. Angiokeratoma 12. Karsinoma sebasea 13. Morphea/skleroderma lokalisata TERAPI



Medikamentosa 1. Imiquimod** Dihubungkan dengan perbaikan pada gambaran histopatologi. Namun, pada penelitian yang lain disebutkan penggunaan krim imiquimod memiliki tingkat keberhasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan operasi. 2. Sonidegib 3. Vismodegib 4. 5-fluorouracil (5-FU) 5. Topical tazarotene 0.1% 6. Zycure** (0.005% mixture of solasodine glycosides) Tindakan 1. Bedah eksisi 2. Mohs micrographic surgery 3. Destructive surgical techniques 4. Kauter dan kuret Pilihan yang baik untuk low-risk karsinoma sel basal. 5. Cryosurgery Aman dan efektif pada kanker kulit nonmelanoma. 6. Carbon dioxide laser ablation Dapat digunakan pada lowrisk karsinoma sel basal. 7. Photodynamic therapy (PDT) 8. Terapi kombinasi dengan ALA** atau MAL** ** menunggu persetujuan Badan pengawas obat dan makanan ((BPOM)



EDUKASI



1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pencegahan: o Proteksi terhadap sinar matahari. Dengan penggunaan tabir surya SPF 15 menunjukkan pengurangan insidens karsinoma sel skuamosa berikutnya namun tidak tidak terdapat proteksi yang signifikan pada karsinoma sel basal.  Celecoxib Dapat mengurangi berkembangnya karsinoma sel basal. o Strategi pencegahan pada pasien dengan risiko tinggi: 180



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU - Obat anti inflamasi non-steroid dihubungkan dengan berkurangnya risiko karsinoma sel basal pada pasien dengan risiko tinggi. - Penggunaan nikotinamid oral aman dan efektif dalam mengurangi kemunculan kanker kulit non-melanoma dan keratosis aktinik pada pasien dengan risiko tinggi. 3. Pilihan terapi dan efek samping 4. Prognosis PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad fuctionam : dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad malam. Pasien dengan kanker non-melanoma mempunyai angka 30-50% untuk mendapatkan lesi yang kedua dalam waktu 5 tahun. 1. Carucci JA, Leffell DJ, Pettersen J. Basal cell carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: McGraw-Hill. 2012;h.1294-1303. 2. Telfer NR, Colver GB, Morton CA. Guidelines for the management of basal cell carcinoma. Br J Dermatol. 2008;159(1):35-48. 3. Rubin AI, Chen EH, Ratner D. Basal-cell carcinoma. N Engl J Med. 2005;353(21):2262-2269. 4. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, et al. Dermoscopy of pigmented skin lesions: result of concensus meeting via internet. J Am Acad Dermatol. 2013;48:679-93. 5. Buljan M, Bulat V, Situm M, Mihić LL, Stanić-Duktaj S. Variations in clinical presentation of basal cell carcinoma. Acta Clin Croat. 2008;47(1):25-30. 6. Bichakjian CL, Olencki T, Aasi SZ. Basal cell skin cancer. [diakses pada 21 Februari 2017]. Tersedia di https://www.nccn.org/professionals/physician_gls/f_guidelines. asp. 7. Prevent Skin Cancer. American Academy of Dermatology. [Diakses pada 21 Februari 2017] Tersedia di https://www.aad.org/public/spot-skin-cancer/learn-about-skincancer/prevent. 8. Van Der Pols J, Williams G, Pandeya N, Logan V, Adele G. Prolonged prevention of squamous cell carcinoma of the skin by regular sunscreen use. Cancer Epidemiol Biomarkers. 2006;15(12):2546-8. 9. Sanchez G, Nova J, Rodriguez-Hernandez AE, Medina RD, Solorzano-Restrepo C, Gonzalez J, dkk. Sun protection for preventing basal cell and squamous cell skin cancers. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2016;7. 181



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 10. Green A, Williams G, Neale R, Hart V, Leslie D, Parsons P, dkk. Daily sunscreen application and betacarotene supplementation in prevention of basal-cell and squamous-cell carcinomas of the skin: A randomized controlled trial. The Lancet. 1999;354:723-9. 11. Frieling UM, Schaumberg DA, Kupper TS, Muntwyler J, Hennekens C. A randomized, 12-year primary-prevention trial of beta carotene supplementation for nonmelanoma skin cancer in the physicians health study. Arch Dermatol. 2000;136:17984. 12. Elmets CA, Viner JL, Pentland AP, Cantrell W, Lin HY, Bailey H, dkk. Chemoprevention of nonmelanoma skin cancer with celecoxib: A randomized, double-blind, placebocontrolled trial. J Natl Cancer Inst. 2010;102:1835-1844. 13. Muranushi C, Olsen CM, Green A, Pandeya N. Can oral nonsteroidal antiinflammatory drugs play a role in the prevention of basal cell carcinoma? A systematic review and metaanalysis. J Am Acad Dermatol. 2015:1-13. 14. Chen AC, Martin AJ, Choy B, Fernandez-Penas P, Dalziell RA, Mckenzie CA, dkk. A phase 3 randomized trial of nicotinamide for skin-cancer chemoprevention. N Engl J Med. 2015;373:1618-26. 15. Weinstock MA, Bingham SF, DiGiovanna JJ, Rizzo AE, Marcolivio K, Hall R, ET AL. Tretinoin and the prevention of keratinocyte carcinoma (basal and squamous cell carcinoma of the skin): A veterans affairs randomized chemoprevention trial. J Invest Dermatolog. 2012;132:1583-90. 9. Karsinoma Sel Skuamosa NAMA PENYAKIT



Karsinoma Sel Skuamosa (C44)



DEFINISI



Tumor ganas non-melanoma yang berasal dari keratosit epidermis supra-basal. Umumnya timbul pada bagian tubuh yang terpajan matahari dan sebagian besar timbul dari lesi prekursor seperti keratosis aktinik, penyakit Bowen, luka bakar dan penyakit kulit kronis lain.



ANAMNESIS



Tumor kulit yang cepat berkembang pada populasi kulit putih lesi kulit biasanya ditemukan pada daerah yang terpajan sinar matahari seperti kepala, leher, dan punggung tangan. Pada populasi kulit berwarna terdapat distribusi yang sama baik ditempat yang sering terpajan matahari maupun tidak. Tumor biasanya soliter, merupakan kelanjutan dari lesi prekursor.



PEMERIKSAAN FISIK



Tumor yang cepat membesar dan dapat metastase ke jaringan sekitarnya. 182



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Gambaran Tumor Risiko Tinggi (NCCN 2012) 1. Area M ≥10 mm 2. Area H ≥6 mm 3. Poorly defined 4. Rekurensi 5. Imunosupresi 6. Site of prior RT atau proses inflamasi kronis 7. Tumor yang berkembang dengan cepat 8. Gejala neurologi 9. Patologi a. Moderately or poorly differentiated histology b. Subtipe akantolitik, adenoskuamosa atau desmoplastik 10. Kedalaman: ≥2 mm atau Clark levels IV,V 11. Keterlibatan perineural atau vaskular PEMERIKSAAN PENUNJANG



1.



Dermoskopi Struktur vaskular polimorfik berupa linear ireguler/serpentine, hairpin/looped, glomerular/coiled dan dotted. Sedangkan struktur keratin berupa white circle, white pearl/clod central keratin, dan central keratin with blood spot. 2. Biopsi Spesimen diambil pada bagian lesi yang dicurigai infiltrasi lebih dari superfisial (NCCN kategori 2A). 3. Histopatologi Pada pemeriksaan harus mencantumkan subtipe perubahan morfologi pada sel, derajat diferensiasi, dalamnya tumor dalam millimeter, kedalaman invasi, dan pemeriksaan keterlibatan saraf, vaskular, dan kelenjar getah bening. (NCCN kategori 2A). 4. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) Dilakukan bila terdapat kecurigaan perluasan penyakit pada tulang, saraf maupun jaringan lunak lain (NCCN kategori 2A). Pemeriksaan kelenjar getah bening (NCCN kategori2A).



KRITERIA DIAGNOSIS



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Keratosis aktinik Penyakit Bowen Karsinoma sel basal Melanoma tipe amelanotik nodular Keratoakantoma Karsinoma sebasea Pioderma gangrenosum atipikal



DIAGNOSIS KERJA



Karsinoma Sel Skuamosa



DIAGNOSIS BANDING



1. 2. 3. 4. 5.



Keratosis aktinik Karsinoma sel skuamosa Penyakit Bowen Keratoacanthoma Melanoma 183



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 6. Dermatitis 7. Psoriasis 8. Tinea korporis 9. Keratosis seboroik 10. Moluskum kontagiosum 11. Angiokeratoma 12. Karsinoma sebasea 13. Morphea/skleroderma lokalisata TERAPI



Medikamentosa Tindakan o Bedah pisau Angka rekurensi sebesar 5% pada yang belum metastasis. Merupakan terapi pilihan pada sebagian besar kasus karsinoma sel skuamosa. o Mohs micrographic surgery (MMS) o Superficial ablative techniques o Kuret dan bedah listrik (BL) Sekitar 1,7% pasien mengalami rekurensi setelah dilakukan kuret dan BL pada karsinoma sel skuamosa tipe risiko rendah. o Bedah beku Sekitar 0,8% pasien dilaporkan mengalami rekurensi setelah dilakukan cryotherapy pada karsinoma sel skuamosa risiko rendah.



EDUKASI



Penyakit dan penyebabnya Pengobatan



PROGNOSIS



Quo ad vitam : dubia Quo ad fuctionam : dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad malam Pasien karsinoma sel skuamosa mempunyai risiko tinggi untuk mengalami karsinoma sel basal, melanoma, dan rekurensi karsinoma sel skuamosa.



DAFTAR RUJUKAN



1. Grossman D, Leffell DJ. Squamous cell carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1283-94. 2. Firnhaber JM. Diagnosis and treatment of basal cell and squamous cell carcinoma. Am Fam Physician. 2012;86(2):161-8. 3. Madan V, Lear JT, Szeimies RM. Non-melanoma skin cancer. Lancet. 2010;375(9715):673-85. 4. British Association of Dermatologists (BAD). Multi-professional guidelines for the management of the patient with primary cutaneous squamous cell carcinoma. 5. Cancer Council Australia and Australian Cancer Network (CCA/ACN). Basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma and 184



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU related lesions - a guide to clinical management in Australia. CCA/ACN, 2008. 6. Zalaudek I, Cameron A, Rosendahl C. Actinic keratosis, Bowen’s disease, keratoacanthoma, and squamous cell carcinoma. Dalam: Marghoob AA, Malvehy J, Braun R P. Atlas of dermoscopy, Edisi ke-2. USA: CRC Press Book; 2012.h.4857. 7. Rosendahl C, Cameron A, Argenziano G, Zalaudek I, Tschandl P, Kittler H. Dermoscopy of squamous cell carcinoma and keratoakanthoma. Arch Dermatol. 2012; 148(2):1386-92. 8. Moyer V. Behavioral counseling to prevent skin cancer: U.S. Preventive Services Task Force recommendation statement. Annals of Internal Medicine.2012; 157(1):59-65. 9. Green A, Williams G, Neake R, Hart V, Leslie D, Parsons P, et al. Daily sunscreen application and betacarotene supplementation in prevention of basal-cell and squamous-cell carcinomas of the skin: a randomised controlled trial. Lancet.1999;354:723-29. 10. Van Der Pols J, Williams G, Pandeya N, Logan V, Green A. Prolonged prevention of squamous cell carcinoma of the skin by regular sunscreen use. Cancer Epidemiol Biomarkers. 2006;15(12):2546-8. 11. Bath-Hextall F, Leonardi-Bee J, Somchand N, Webster A, Delitt J, Perkins W. Interventions for preventing non-melanoma skin cancers in high-risk groups. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007;4. 12. Weinstock M, Bingham S, DiGiovanna J, Rizzo A, Marcolivio K, Hall R, dkk Tretinoin and the prevention of keratinocyte carcinoma (basal and squamous cell carcinoma of the skin): A veterans affairs randomized chemoprevention trial. J Invest Dermatol. 2012;132:1583-90. 13. Chen A, Martin A, Choy B, Fernandez-Penas P, Dalziell R, Mckenzie C, dkk. Phase 3 randomized trial of nicotinamide for skin-cancer chemoprevention. N Engl J Med. 2015;373:1618-26. 14. Muranushi C, Olsen C, Pandeya N, Green A. Aspirin and nonsteroidal anti-inflammatory drugs can prevent cutaneous squamous cell carcinoma: A systematic review and metaanalysis. J Invest Dermatol. 2015;135:975-83. 15. Elmets CA, Viner JL, Pentland AP, Cantrell W, Lin HY, Bailey H, dkk. Chemoprevention of nonmelanoma skin cancer with celecoxib: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. J Natl Cancer Inst. 2010;102:1835-44.



1. Melanoma Maligna NAMA PENYAKIT



Melanoma Maligna (C43) 185



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Tumor ganas melanosit yaitu sel yang menghasilkan melanin dan berasal dari neural crest. Sebagian besar melanoma maligna (MM) muncul pada kulit tapi dapat juga timbul di permukaan mukosa, misalnya uvea.



ANAMNESIS



Tumor kehitaman yang cepat membesar, mudah berdarah, nyeri atau gatal dan warna tidak rata.



PEMERIKSAAN FISIK



1. 2. 3. 4.



Superficial spreading melanoma (SSM) Nodular melanoma (NM) Lentigo malignant melanoma (LLM) Acral lentigo melanoma (ALM)



Gambaran MM dini/ABCD (Tidak berlaku untuk NM) A = asimetris B = border/tepi yang tidak teratur C = color/warna yang bermacam-macam D = diameter sama atau lebih dari 6 mm, atau terdapat perbedaan penampilan, misal “ugly duckling” E = elevasi PEMERIKSAAN PENUNJANG



1. Dermoskopi: umumnya pola asimetris dengan warna yang bermacam-macam. Dicurigai melanoma bila didapatkan paling sedikit satu gambaran sebagai berikut: blue white veil, broadened network, irregular streaks/radial streaming, pseudopods, scar like depigmentation/regression structures, peripheral black dots and globules, multiple brown dots, multiple blue gray dots dan atypical vessels. 2. Histopatologi  Radial (horizontal) growth phase  Vertical growth phase 3. Pulasan (pewarnaan) khusus untuk diagnostik  S 100  HMB 45  Melan-A (apabila fasilitas tersedia) 4. Pulasan (pewarnaan) khusus untuk prognostik apabila fasilitas tersedia  BRAF  P16 5. Pemeriksaan radiodiagnostik  Foto thoraks  USG/CT scan abdomen  Bone scan  CT scan kepala (bila ada indikasi)  CT scan lesi Tumor Kulit 186



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 6. Sentinel lymph indikasi/fasilitas)



node



biopsy



(bergantung



pada



adanya



KRITERIA DIAGNOSIS



Superficial spreading melanoma (SSM) 2. Nodular melanoma (NM) 3. Lentigo malignant melanoma (LLM) 4. Acral lentigo melanoma (ALM) Gambaran MM dini/ABCD (Tidak berlaku untuk NM) A = asimetris B = border/tepi yang tidak teratur C = color/warna yang bermacam-macam D = diameter sama atau lebih dari 6 mm, atau terdapat perbedaan penampilan, misal “ugly duckling” E = elevasi



DIAGNOSIS KERJA



Melanoma Maligna



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



1. SSM  Nevus atipik  Nevus melanositik  Keratosis seboroik  Tumor Kulit  Karsinoma sel basal 2. NM Berpigmen  Nevus melanositik  Nevus biru  Nevus Spitz berpigmen  Karsinoma sel basal berpigmen Amelanotik  KSB  Hemangioma  Granuloma piogenik  Karsinoma sel Merkel 3. LLM  Lentigo solaris  Keratosis aktinik berpigmen  Keratosis seboroik datar  KSB superfisialis berpigmen 4. ALM termasuk ALM subungual  Veruka plantaris  Hematoma  Nevus palmoplantar  Melanokhia longitudinal  Onikomikosis  Granuloma piogenik Sesuai dengan stadium 1. Tindakan bedah: 187



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU 



Eksisi dengan evaluasi tepi lesi (A,1)  Mohs micrographic surgery (stadium I dan II) (B,1) 2. Terapi sistemik (A,1) Stadium I dan II:  Interferon-alpha dosis rendah: 3 mU s.c 3x seminggu selama 18-24 bulan Interferon-alpha dosis tinggi: 15-20 mU/m2 i.v (atau i.m) 5 hari/minggu selama 4 minggu atau 10 mU/m2 s.c 3x/minggu  Injeksi BCG subkutan 0,375mg, diulang setiap 1-3 bulan Stadium III dan IV sesuai dengan performance status (ECOG 0-4)  Hasil kurang baik cukup diberikan kemoterapi single: dacarbazine dosis 1000 mg/m2 (hari 1, intravena) atau dacarbazine dosis 250 mg/m2 (hari 1-5, intravena)  Hasil baik diberikan kombinasi kemoterapi (CVD) o Cisplatin dosis 20 mg/m2 (hari 1-4, intravena) o Vinblastin dosis 1,2-4 mg/m2 (hari 1-4, intravena) o Dacarbazine dosis 20 mg/m2 (hari 1, intravena) Bila terdapat metastasis ke otak, diberikan temozolamide dosis 200 mg/m2 (hari 1-5, oral) 3. Terapi radiasi (B,2) Tindak lanjut: Setiap 3 bulan dalam 1 tahun pertama. Selanjutnya setiap 6 bulan seumur hidup. EDUKASI



PROGNOSIS



1. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit melanoma, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya. 2. Edukasi tentang manfaat dan efek samping pengobatan (eksisi luas, diseksi KGB, kemoterapi, radioterapi, terapi lokal). 3. Monitoring respon pengobatan:  Setidaknya pemeriksaan kulit tahunan seumur hidup  Edukasi pasien untuk pemeriksaan kulit mandiri secara berkala serta pemeriksaan KGB untuk stadium IA-IV NED  Pemeriksaan darah rutin tidak direkomendasikan  Pencitraan radiologis diindikasikan untuk menginvestigasi tanda atau gejala spesifik USG KGB regional dapat dipertimbangkan pada pasien dengan pemeriksaan fisik KGB tidak jelas, pasien yang ditawarkan namun tidak menjalani SLNB, atau pasien dengan SLNB positif yang tidak menjalani diseksi KGB lengkap.  Ultrasonografi KGB basin bukan merupakan penganti SLNB.  Jadwal tindak-lanjut dipengaruhi oleh risiko rekurensi, melanoma primer sebelumnya, dan riwayat keluarga melanoma, dan meliputi faktor-faktor lain, seperti moles atipik/nevi displastik, dan kepentingan pasien/dokter. Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam 188



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DAFTAR RUJUKAN



G.



1. Bailey EC, Sober AJ, Tsao H, Mihm MC, Jr., Johnson TM. Cutaneous melanoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1417-44. 2. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, McCarthy WH. Dermoscopy. An atlas. Edisi ketiga. Sydney: McGraw-Hill; 2009. 3. Goulard JM, Halpern AC. Management of the patient with melanoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW, dkk. Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: Elsevier-Saunders; 2011.h.318-26 4. NCCN.org. Melanoma. NCCN clinical practice guidelines in oncology (NCCN Guidelines®). Version 4, 2014. 5. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Melanoma Treatment (PDQ®): Health professional version. Modifikasi terakhir 11 Juli 2014 [Diunduh tgl 27 April 2017]. Tersedia di: http://www.Cancer.gov/templates/page_print.aspx. 6. Balch CM, dkk. Melanoma of the skin. Dalam: Edge SE, Byrd DR, Carducci MA, Compton CC. AJCC cancer staging manual. Edisi ke-7. New York: Springer; 2010. 7. 7. Berrocal A, Arrance A, Espinoza E, Castano AG, Cao MG, Larriba JLG, dkk. SEOM guidelines for management of malignant melanoma 2015. Clin Trans Oncol. 2015;17:1030-35.



Venerelogi (Infeksi Menular Seksual) 1. Herpes Simpleks Genitalis (HG)



NAMA PENYAKIT



Herpes Genetalis (A60)



DEFINISI



Suatu penyakit infeksi virus yang menyerang genetalia akibat reaktivasi oleh herpes simplex virus (HSV-2). Ada 2 tipe, HSV-1, menyerang orofacial dan HSV-2 dapat menimbulkan infeksi pada genetalia.



ANAMNESIS



   



PEMERIKSAAN FISIK



 Infeksi HSV-1 bisa menimbulkan ginggivostomatitis dan pharingitis



HSV-1 sering terjadi pada anak-anak. HSV-2 termasuk penyakit menular seksual. Masa inkubasi 3-7 hari Muncul luka yang terasa nyeri, dapat disertai demam dan malaise.  Infeksi dapat berulang, dengan gejala yang lebih ringan



189



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU  Infeksi HSV-2 muncul vesikel bergerombol yang pecah dapat menjadi ulcus yang dangkal, dasar erithem  Dapat disertai duh vagina atau uretra PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Kultur virus  Serologi IgM dan IgG anti-HSV1 dan 2  Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA HSV



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Herpes Genetalis



DIAGNOSIS BANDING



   



TERAPI



 Infeksi primer: a. Asiklovir 5x200 mg/hr atau 3x400 mg/hr scr oral, selama 710 hari atau b. Valasiklovir, 2x1000mg/hr selama 7-10 hari atau c. Famciclovir 3x250mg/hr selama 7-10 hr  Infeksi rekuren:dapat diberikan dengan dosis yang sama, selama 5-10 hari  Supresif, bila rekuren lebih dari 6x dalam setahun:Asiklovir, 2x400 mg/hr atau 800mg/hr, secara terus menerus selama 1 thn  Simptomatik: analgetik, antipiretik



EDUKASI



    



PROGNOSIS



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : dubia ad bonam  Quo ad fungsionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Corey L, Wald A. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 399-437 2. R Adriana, Marques, Cohen JI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2367-382



2.



Sifilis primer (ulcus durum) Chancroid Erithema multiforme Scabies



Penyakit dapat berulang, terutama pada wanita hamil Penyakit dapat menular melalui hub seksual Dapat muncul komplikasi pada bayi Resiko terinfeksi HIV Minum obat secara teratur untuk menghambat replikasi virus.



Infeksi Genital Non Spesifik (IGNS) 190



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU a.



Infeksi Chlamydia



NAMA PENYAKIT



Infeksi Chlamydia (Non-Gonore)



DEFINISI



Infeksi chlamidia merupakan peradangan pada selaput lendir saluran kencing yang di sebabkan oleh Chlamydia trachomatis.



ANAMNESIS



 Pria: discharge encer, nyeri saat BAK, riwayat kontak seksual, dengan masa inkubasi 1-5 minggu.  Wanita: duh tubuh berwarna putih encer, kadang disertai nyeri saat BAK, gatal, polakisuria



PEMERIKSAAN FISIK



 Pria: OUE eritem, oedem, kadang normal  Wanita: sering asimptomatik, cervisitis. Bartolinitis dan PID merupakan komplikasi yang paling sering. Dapat ditularkan pada bayi



PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Kultur  Pemeriksaan mikroskopis apusan sekret uretra atau cervix: A. Pewarnaan Gram: tidak dijumpai diplokokus Gram negatif, lekosit >5 pada hapusan sekret uretra dan >30 pada hapusan sekret servix B. Sediaan basah: tidak ditemukan diplococcus Gram negatif  Metode penentuan antigen A. Pewarnaan imunofluoresen B. ELISA  Polymerase Chain Reaction  Ligase Chain Reaction



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Infeksi Chlamydia (Non-Gonore)



DIAGNOSIS BANDING



 Pria: Infeksi gonore, ISK, orchitis, Epididymitis  Wanita: Cervisitis, Endometriosis, Trichomoniasis, Bacterial Vaginosis, Candidiasis vulvovaginalis, Pelvic Inflammatory Disease



TERAPI



      



Azitromisin, 1 g single dose Doksisiklin tablet 2x100 mg 2x sehari selama 7 hari Eritromisin 4x500 mg selama 7 hari Eritromisin etilsuksinat 4x800 mg selama 7 hari Ofloksasin 2x300 mg selama 7 hari Levofloxacin 1x500 mg selama 7 hari Azitromisin 1 g single dose dan amoxicillin 3x500 mg selama 7 hari dapat diberikan untuk ibu hamil 191



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU  Eritromisin saja atau eritromisin etilsuksinat 4x50 mg/kg/hari selama 14 hari untuk opthalmia neonatorum EDUKASI



 Menjelaskan tentang penyakit dan penyebabnya, kemungkinan komplikasi jangka panjang, cara penularan, pentingnya mematuhi pengobatan serta penanganan terhadap pasangan seksualnya  Penjelasan tentang kemungkinan tertular HIV  Anjuran untuk menggunakan kondom bila berhubungan



PROGNOSIS



  



DAFTAR RUJUKAN



3.



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad fungsionam : bonam 1. Stamm WE. Sexually Transmitted. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 575-90 2. Rosen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2519-21



Infeksi Gonore



NAMA PENYAKIT



Infeksi Gonore (A54.9)



DEFINISI



Suatu penyakit menular seksual yang bersifat akut, disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, termasuk kuman gram negatif berbentuk biji kopi, terletak intra atau ekstra seluler.



ANAMNESIS



 Pria: kencing bernanah, nyeri saat BAK, riwayat kontak seksual, dengan masa inkubasi 1-14 hari.  Wanita: duh tubuh berwarna putih encer, kadang disertai nyeri saat BAK.



PEMERIKSAAN FISIK



 Pria: OUE eritem, oedem, ektopion, bull headclap  Wanita: sering asimptomatik, cervisitis. Bartolinitis dan PID merupakan komplikasi yang paling sering. Dapat ditularkan pada bayi



PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Kultur (gold standard) menggunakan meia Thayer-Martin  Sediaan langsung, sediaan diwarnai dengan pewarnaan Gram untuk melihat adanya kuman diplococcusGram negatif, berbentuk biji kopi yang terletak intra dan ekstra seluler. Bahan pemeriksaan diambil dari pus di uretra yang keluar spontan ataupun melalui pemijatan, sedimen urin, sekret dari masage prostat (pada pria), muara uretra, muara kelenjar bartolin, servik, rectum (pada wanita) dan sekret mata. 192



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Infeksi Gonore



DIAGNOSIS BANDING



 Pria: Infeksi non gonore, ISK, orchitis, Epididymitis  Wanita: Infeksi Chlamydia, Endometriosis, Trichomoniasis, Bacterial Vaginosis, Candidiasis vulvovaginalis, Pelvic Inflammatory Disease



TERAPI



 Obat pilihan: Cefixim, 400 mgPO  Obat alternatif: a. Ceftriaxone 250 mg IM dosis tunggal b. Kanamisin 2 g IM dosis tunggal  Bila sudah terjadi komplikasi seperti bartolinitis, prostatitis dapat di berikan cefixim 400 mg/ hari selama 5 hari  Alternatif lain: levofloxacin 500 mg oral/hari, atau kanamisin 2g IM selama 3 hari atau Ceftriaxone 250 mg IM selama 3 hari  Karena infeksi GO dan infeksi Chlamydia trachomatis hampir selalu bersamaan maka dalam pengobatan sebaiknya di beri juga pengobatan untuk infeksi Chlamydia  Gonore pada bayi dan anak a. Ceftriaxone, 25-50 mg/kg/hari IV atau IM sehari sekali selama 7 hari b. Cefotaxime, 25 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam selama 7 hari



EDUKASI



 Tidak berganti-ganti pasangan  Pasangan harus diobati  Minum obat secara teratur, agar tidak terjadi komplikasi



PROGNOSIS



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : bonam  Quo ad fungsionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Hillier S, Marrazzo J, Holmes KK. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 737-762 2. Rosen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2524-26 3. CDC, 2015 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR, 2015; 64(3)



4. Kandidosis Vulvovaginalis (KVV) NAMA PENYAKIT



Kandidiasis Vulvovaginalis (B37.3) 193



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Infeksi pada vulva dan vagina yang disebabkan oleh Candida albicans, atau kadang oleh Candida sp, Torulopsis sp, atau jamur lainnya



ANAMNESIS



Duh tubuh vagina, putih seperti susu, dapat bergumpal dan tidak berbau, gatal, lecet dan kadang bengkak



PEMERIKSAAN FISIK



 Vulva erithem, edema dengan fisura dan maserasi, disertai duh tubuh yang menggumpal seperti susu pecah atau keju (cottage cheese)  Dapat terjadi dyspareunia



PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Pewarnaan Gram dan sediaan basah, dapat di temukan pseudohifa dan budding yeast



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Kandidiasis Vulvovaginalis



DIAGNOSIS BANDING



   



TERAPI



 Mikonazol atau Klotrimazol 200 mg intravaginal, setiap hari selama 3 hari  Klotrimazol 500 mg intravaginal dosis tunggal  Flukonazol 150 mg po dosis tunggal  Itrakonazol 100 mg po 2 kali sehari selama 3hari  Nistatin 100.000 IU intravaginal setiap hari selama 14 h  Bila rekurent ≥4x/tahun, flukonazol oral 10-14 hari dilanjutkan 150mg/minggu selama 6 bulan



EDUKASI



 Hindari bahan iritan lokal, seperti produk berparfum  Hindari pakaian ketat atau bahan sintesis  Hilangkan faktor predisposisi: hormonal, pemakaian kortikosteroid dan antibiotik yang terlalu lama, kelembaban, dll.



PROGNOSIS



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : dubia ad bonam  Quo ad fungsionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



Gonore Infeksi genital non spesifik Trikomoniasis Bakterial vaginosis



1. Sobel JD. Sexually Transmitted Diseases. 4 th ed. New York: Mc Graw Hill, 2008; 823-835 2. Garg A, Kundu RV. Fitzpatrick’s Dermatology in General 194



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2306



5. Kutil Anogenital NAMA PENYAKIT



Kondyloma Acuminata (A63.0)



DEFINISI



Kelainan kulit berupa vegetasi bertangkai dengan permukaan berjonjot yang disebabkan oleh virus Human Papiloma Virus (HPV)



ANAMNESIS



     



PEMERIKSAAN FISIK



    



PEMERIKSAAN PENUNJANG



  



Benjolan di kelamin yang tidak nyeri Ada riwayat kontak seksual Sering disebabkan oleh HPV 6, 11, 16 dan 18 Masa inkubasi: 3 minggu- 8 bulan Fase laten: tanpa gejala, kadang baru muncul sebulan sampai setahun Infeksi dapat berulang, dengan gejala yang lebih ringan Awal, papul yang papilomatosa , seperti bunga kol Jika mendapat tekanan bilateral menjadi pipih seperti jengger ayam. Disertai Fluor albus Hamil, estrogen tinggi, kelembaban tinggi dan vaskularisasi meningkat sehingga pertumbuhan cepat Kadang disertai: panas, gatal, nyeri dan mudah berdarah Tes Asam Asetat (acetowhite), sensitifitasnya tinggi. Cara: As. Asetat 3-5% dioleskan pada lesi dengan lidi kapas, tunggu 5-10 menit, perubahan warna putih. Pemeriksaan Histopatologi PCR, dapat mengetahui tipe virus penyebab



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Kondyloma Akuminata



DIAGNOSIS BANDING



 Veruka vulgaris  Kondiloma lata: sifilis stadium II  Karsinoma sel skuamosa



TERAPI



 Kemoterapi: podofilin 25% (kontra indikasi pada kehamilan), TCA 80-90%, %-Fluorourasil 1-5%  Imunoterapi: Interferon, Imiquimod krim 5%.  Pembedahan: bedah scalpel, bedah beku, Bedah laser, bedah eksisi, elektrokauterisasi 195



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU EDUKASI



PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



6.



   



Penyakit dapat berulang, terutama pada wanita hamil Dapat muncul komplikasi pada bayi Resiko terinfeksi HIV Tidak berganti-ganti pasangan



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : dubia ad bonam  Quo ad fungsionam : bonam 1. Winer RL, Koutsky LA. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 489-508 2. Androphy EJ, Kirnbauer R. Human Papilloma Virus Infections. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2421-433



Sifillis



NAMA PENYAKIT



Sifilis (Lues) (A51)



DEFINISI



Penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum (Spirochaeta). Sifilis dapat diklasifikasikan atas sifilis di dapat dan sifilis congenital. Sifilis di dapat terdiri atas stadium primer, sekunder dan tersier, priode laten di antara stadium sekunder dan tersier.



ANAMNESIS



 Sifilis primer: luka di kelamin yang tidak nyeri, sembuh tanpa diobati. Mempunyai riwayat kontak seksual  Sifilis sekunder: muncul lesi sistemik dan lesi kulit terutama di telapak tangan dan kaki dan tidak gatal, lesi di mukosa mulut dan kadang disertai kebotakan rambut, sering disertai limfadenopati generalisata  Sifilis tersier: terdapat gumma, yaitu infiltrate sirkumskrip kronis yang cenderung mengalami perlunakan dan bersifat destruktif, dapat mengenai kulit, mukosa dan tulang  Sifilis laten: tidak ditemukan gejala klinis pada pasien, namun tes serologi sifilis (TSS) reaktif, baik serologi treponema maupun nontreponema



PEMERIKSAAN FISIK



 Sifilis primer: ulkus tunggal, tepi teratur, dasar bersih, terdapat indurasi, tidak nyeri; terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional  Sifilis sekunder: terdapat pacth erithem dengan skuama halus di atasnya, berbentuk lonjong, di regio telapak tangan, kaki dan seluruh tubuh, kadang sering di sertai dengan pembesaran kelenjar getah bening generalisata 196



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Pemeriksaan Mikroskop Lapangan Gelap (Dark Field), untuk sifilis primer  Penentuan antibodi dalam serum: VDRL, TPHA, RPR, untuk semua stadium sifilis



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



 Sifilis primer/lues primer/ulcus durum  Sifilis sekunder



DIAGNOSIS BANDING



 Sifilis primer: ulcus molle, ulcus non spesifik, erithema multiforme, scabies, herpes simplek  Sifilis sekunder: pityriasis rosea, pompholix, dermatitis seboroik, dermatophytosis



TERAPI



 Benzatin Penicillin G (BBPG) dengan dosis: 1. Stadium primer dan sekunder: 2,4 juta unit IM single dose 2. Stadium laten: 2,4 juta unit IM, setiap minggu, pada hari ke 1, 8 dan 15  Bila alergi dengan penicillin dapat diberikan doksisiklin 2x100 mg selama 14 hari atau eritromisin 4x500 mg 14 hari



EDUKASI



 Penanganan terhadap pasangan seksual  Tidak berganti-ganti pasangan  Konseling: kemungkinan resiko tertular HIV dan pencegahan, penularan serta pengobatan penyakit syphilis



cara



PROGNOSIS



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : dubia ad bonam  Quo ad fungsionam : bonam



DAFTAR RUJUKAN



1. Sparling PF, Swartz MN, Musher DM, Healy BP. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 661-84 2. Marrouche N, Ghosn SH. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2493-500



7.



Trikomoniasis



NAMA PENYAKIT



Trichomoniasis (A59.0) 197



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DEFINISI



Trichomoniasis merupakan salah satu infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis. Infeksi trichomoniasis lebih sering ditemukan pada wanita, dan pada pria bersifat asimptomatik.



ANAMNESIS



 Discharge berwarna kuning kehijauan yang berbau dan berbusa, gatal, dispareunia, nyeri di perut bagian bawah dan dysuria.  Pada laki-laki sering asimptomatik, meskipun bisa terdapat discharge uretra dan sering buang air kecil.  Infeksi pada bayi bisa menular dari ibunya melalui jalan lahir.



PEMERIKSAAN FISIK



 Bengkak dan merah pada vulva  Tampak adanya “punctata hemoragis” pada dinding vagina dan cervix, yang di kenal dengan istilah “colpitis macularis” atau “strawberry cervix”. Ini merupakan tanda spesifik untuk diagnosis trichomoniasis.



PEMERIKSAAN PENUNJANG  PH vagina >4,5  Mikroskopis: sediaan basah, tampak trichomonas dengan pergerakan yang khas dan peningkatan jumlah leukosit KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Trikhomoniasis



DIAGNOSIS BANDING



   



TERAPI



 Metronidazole 2 g PO single dose atau tinidazole 2 g PO single dose  Terapi alternatif: Metronidazol 2x500 mg sehari selama 7 hari.



EDUKASI



 Infeksi T. vaginalis bisa menimbulkan komplikasi pada kehamilan, antara lain bayi lahir dengan berat badan rendah dan prematur.  Pasangan seksual juga harus diobati untuk mencegah kambuhnya infeksi.



PROGNOSIS



Cervisitis Bakterial vaginosis Infeksi Chlamydia Candidiasis Vulvo vaginalis



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : dubia ad bonam  Quo ad fungsionam : bonam 198



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU DAFTAR RUJUKAN



1. Hobbs MM, Sena AC, Schwebke JR. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 771-787 2. Rosen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2523-24



8. Ulkus Mole NAMA PENYAKIT



Ulcus Molle (Chancroid) (A57)



DEFINISI



Suatu penyakit infeksi genital akut, setempat , auto-inoculable, disebabkan Haemophilus ducreyi, seringkali disertai supurasi KGB regional



ANAMNESIS



 Riwayat kontak seksual, dengan masa inkubasi 1-5 hari  Luka dengan lokasi di kelamin dan terasa nyeri serta mudah berdarah



PEMERIKSAAN FISIK



 Ulcus multipel, lunak, nyeri tekan, dasarnya kotor dan mudah berdarah, tepi ulkus menggaung, kulit sekitar ulkus berwarna merah  Lesi pada laki-laki: frenulum, sulkus koronarius, preputium  Lesi pada perempuan: vagina atau introitus vagina



PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Pewarnaan gram, hasil positif jika ditemukan kelompok basil yang tersusun seperti barisan ikan (school of fish)  Tes serologis  ELISA



KRITERIA DIAGNOSIS



Berdasarkan klinis dan penunjang



DIAGNOSIS KERJA



Ulcus Molle (Chancroid)



DIAGNOSIS BANDING



    



Sifilis primer (ulcus durum) Ulcus non spesifik Erithema multiforme Scabies, Herpes simplex



TERAPI



   



Azithromycin 1 gr, oral, single dose Seftriakson 250 mg, IM, dosis tunggal Siprofloksasin 2 x 500 mg selama 3 hari Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari



EDUKASI



 Penanganan terhadap pasangan seksual 199



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU  Tidak berganti-ganti pasangan  Menjelaskan resiko terinfeksi HIV PROGNOSIS



DAFTAR RUJUKAN



9.



 Quo ad vitam : bonam  Quo ad sanationam : dubia ad bonam  Quo ad fungsionam : bonam 1. Sparling PF, Swartz MN, Musher DM, Healy BP. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 66184 2. Marrouche N, Ghosn SH. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2493-500



Vaginosis Bakterial



NAMA PENYAKIT



Bakterial Vaginosis (N76)



DEFINISI



Salah satu penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Gardnerella vaginalis



ANAMNESIS



Keputihan berbau amis, terutama setelah senggama, kadang gatal



PEMERIKSAAN FISIK



Duh tubuh vagina warna putih homogen, melekat, berbau amis pada dinding vagina dan vestibulum



PEMERIKSAAN PENUNJANG



   



TestWhiff (bau amis bertambah setelah di tetesi KOH 10%) pH vagina >4,5 Pemeriksaan sediaan basah terhadap cairan vagina, ditemukan clue cells, yang jumlahnya paling sedikit 20% dari jumlah sel epitel vagina Duh vagina sesuai klinis



KRITERIA DIAGNOSIS



Kriteria Amsel (3 dari 4 tanda di bawah ini):  Cairan vagina putih homogen  Tes Whiff positif: cairan vagina dicampur dengan potassium hidroksida 10% menimbulkan bau amis  pH vagina >4,5  Mikroskopis: ditemukan clue cells meningkat ≥20% dari jumlah sel epitel, leukosit normal



DIAGNOSIS KERJA



Bakterial Vaginosis



DIAGNOSIS BANDING



  



Trichomoniasis Kandidiasis vulvovaginalis Cervicitis GO 200



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



TERAPI







Infeksi Genital Nonspesifik







Sistemik: a. Metronidazol tablet 2x500 mg selama 7 hari b. Khusus wanita hamil dapat diberikan metronidazol tablet 3x500 mg selama 7 hari atau metronidazol 2g single dose c. Terapi alternative: Tinidazole 2 g, diminum satu kali sehari selama 3 hari; Tinidazole 1 g, diminum satu kali sehari selama 5 hari; Clindamisin tablet 2x300 mg selama 7 hari; Clindamisin ovula, 100 g intravagina, satu kali sehari, selama 3 hari Topikal: a. Metronidazol gel 0,75%, 5 g, intravagina, satukali sehari selama 5 hari b. Clindamisin cream 5%, 5 g, intravagina, satu kali sehari, selama 7 hari







EDUKASI



  



Edukasi untuk menghindari pemakaian bilas vagina atau antisept ik Memakai celana dalam longgar Menjelaskan penyebab dan kemungkinan komplikasi obstretik d an ginekologik tertentu, misalnya korioamnionitis, infeksi masa nifas, kelahiran premature, bayi berat badan lahir rendah, dan pe nyakit radang panggul.



PROGNOSIS



  



DAFTAR RUJUKAN



1. Hillier S, Marrazzo J, Holmes KK. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York Mc Graw Hill, 2008; 737-762 2. Rosen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8 th ed. Mc Graw Hill, 2010; 2524-26 3. CDC, 2015 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR, 2015; 64(3)



H.



Quo ad vitam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad fungsionam : bonam



KEDARURATAN KULIT 1. Nekrolisis Epidermal (Sindrom Stevens-Johnson/SSJ dan Nekrolisis Epidermal Toksik/NET)



NAMA PENYAKIT



Nekrolisis Epidermal (Sindrom Stevens-Johnson/SSJ dan Nekrolisis Epidermal 201



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU Toksik/NET) (L51.1 – L51.3) DEFINISI



Nekrolisis epidermal, mencakup sindrom stevens-johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang ekstensif. Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan histopatologis. Perbedaan terdapat pada keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area permukaan kulit yang terkena. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ (30%).



ANAMNESIS



 Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.  Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.  Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit (segera beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).  Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus) imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang



PEMERIKSAAN FISIK



 SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.  Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda Nikolsky positif.  Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).  Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



- Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan diagnosis, tetapi untuk evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana keadaan yang mengancam jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi hematologi rutin, urea serum, analisis gas darah, dan gula darah sewaktu. - Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada fase akut. - Pemeriksaan histopatologis dilakukan apabila diagnosis meragukan. 202



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU - Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang dengan:  Uji tempel tertutup  Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays (LPA) dapat digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat yang diduga menjadi pencetus. 6 Catatan: Uji provokasi peroral tidak dianjurkan. KRITERIA DIAGNOSIS



Kelompok Studi Perdoski



DIAGNOSIS KERJA



Nekrolisis Epidermal (Sindrom Stevens-Johnson/SSJ dan Nekrolisis Epidermal Toksik/NET)



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



1. Eritema multiforme major (EEM) 2. Pemfigus vulgaris 3. Mucous membrane pemphigoid 4. Pemfigoid bulosa 5. Pemfigus paraneoplastik 6. Bullous lupus erythematosus 7. Linear IgA dermatosis 8. Generalized bullous fixed drug eruption 9. Bullous acute graft-versus-host disease 10. Staphylococcal scalded skin syndrome 11. Acute generalized exanthematous pustulosis Non Medikamentosa 1. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 2. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan mencegah infeksi sekunder. 3. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun nasogastrik. Medikamentosa 1. Prinsip  Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.  Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated infections (HAIs).  Atasi keadaan yang mengancam jiwa. 2. Topikal Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi. Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif maupun pembedahan (debrideman).  Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum 203



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU dengan Kedaruratan Kulit 400 50% cairan parafin.  Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis mata. 3. Sistemik  Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk NET.  Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based seperti tramadol. Pilihan lain:  Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan segera setelah pasien didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3 hari  Siklosporin dapat diberikan  Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat waktu penyembuhan, tetapi tidak menurunkan angka mortalitas. Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi. EDUKASI



Prinsip 1. Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga menjadi penyebab. 2. Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang diduga menjadi pencetus dan memberikan edukasi pada pasien untuk menghindari obatobatan tersebut.



PROGNOSIS



Ditentukan berdasarkan SCORTEN, yaitu suatu perhitungan untuk memperkirakan mortalitas pasien dengan nekrolisis epidermal. Masingmasing dinilai 1 dan setelah dijumlahkan mengarah pada prognosis angka mortalitas penyakit. 1. Usia >40 tahun 2. Denyut jantung >120 kali/menit 3. Ada keganasan 4. Luas epidermolisis >10% luas permukaan tubuh 5. Serum urea >28 mg/dL 6. Glukosa >252 mg/dL 7. Bikarbonat Nilai SCORTEN akan menentukan persentase angka mortalitas pada pasien SSJ atau NET, yaitu sebagai berikut: 0-1: 3,2% 2 : 12,1% 3 : 35,8% 4 : 58,3% 5 : 90% Penilaian SCORTEN, paling baik dilakukan pada 24 jam pertama dan 204



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU hari ke5. Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad fungsionam : ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam DAFTAR RUJUKAN



1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors. Fitzpatrick‟s dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill 2012.h.439- 448. 2. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Steven-Johnson syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010;5:39. 3. Creamer D, Walsh SA, Dziewulski P, et al. UK guidelines for the management of StevensJohnson syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. Br J Dermatol. 2016;174:pp1194- 1227. 4. Barbaud A, Collet E, Milpied B et al. A multicentre study to determine the value and safety of drug patch tests for the three main classes of severe cutaneous adverse drug reactions. Br J Dermatol 2013; 168:555–62



2. Staphylococcal Scalded Skin Sydrome (SSSS)



NAMA PENYAKIT



Staphylococcal Scalded Skin Sydrome (SSSS)



DEFINISI



Staphylococcal Scalded Skin Sydrome (SSSS) atau disebut juga penyakit Roitter merupakan kelainan kulit yang disebabkan eksotoksin yng dihasilkan oleh bakteri staphylococcus aureus strain tertentu.



ANAMNESIS



Gejala awal dapat berupa demam dengan adanya ruam berwarna merah orange, pucat, terbatas di kepala dan menyebar ke bagian tubuh lain dalam beberapa jam. Keluhan disertai iritabilitas, malaise, pruritus dan sulit makan.



PEMERIKSAAN FISIK



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Lesi awal berupa eritema pada kulit yang kemudian akan berkembang menjadi bula, lesi eksfoliasi yang kemudian berkembang menjadi deskuamasi. Nikolsky sign positif. Cara melakukan pemeriksaan nikolsky adalah dengan melakukan tekanan secra ringan pada daerah sekitar bula dan akan didapatkan penyebaran bula. 1. Kultur dari resistensi spesimen lesi, meski umumnya hasil steril 2. Kultur dan resistensi darah



205



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU KRITERIA DIAGNOSIS



Satu atau lebih keluhan dari anamnesis atau pemeriksaan fisik yang positif.



DIAGNOSIS KERJA



Staphylococcal Scalded Skin Sydrome (SSSS) 1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) 2. Impetigo bulosa 3. Penyakit Kawasaki



DIAGNOSIS BANDING



TERAPI



EDUKASI



PROGNOSIS DAFTAR RUJUKAN



Prinsip : Pasien biasanya harus dirawat inap selama 6 -7 hari dan mendapatkan antibiotik sistemik dan terapi suportif lainnya yang diperlukan. Terdapat beberapa obat yang dapat diberikan susuai dengan indikasi sebagai berikut : 1. Antibiotik antistafilokokal - Penicillin – resistant penicillin, misalnya dikloksasillin, nafcillin dan oksilin. Dapat juga sefalosporin generasi 1 atau 2 atau klindamisin. - Apabila curiga adanya methycillin resistent staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat : diberikan vancomisin 1-2 gram/ hari dalam dosis terbagi, intravena, selama 7 hari. 2. Pada kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi. 3. Terapi tambahan \; - Daerah yang lembab atau yang mengalami erosi dapat dilubrikasi dengan menggunakan emolien untuk meringankan rasa gatal dan nyeri tekan. - Untuk mengurangi nyeri tekan pada kulit dapat diberikan analgesik, misal nya asetaminofen. Sebagai tindakan pencegahan, dapat dilakukan hal sebagai berikut ; 1. Menggunakan sabun antibakterial/ antiseptik pada saat mencuci tangan 2. Kuku harus pendek untuk mencegah kontaminasi 3. Mencuci tangan sebelum menyentuh luka Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungsionam : dubia ad bonam 1.



2.



Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,Gilchrest BA, paller AS, Leffelt DJ, edotor. Dalam : Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke – 8. New York : Mc. Graw – Hill;2012.h.2148 -2152 Handler MZ and Schwartz RA. 2014. Staphylococcal scalded skin syndrome : diagnosis and management in children and adults. 206



PANDUAN PRAKTIK KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU UNIVERSITAS RIAU



3.



Journal of the European Academy of dermatology and venerreology, 28 (11) : 1418-1423 Lueng AK, Barankin B, and Leong KF, 2018. Staphylococcal – Scalded Skin Syndrome : Evaluation, Diagnosis, and Management. World J Pediatr, 14(2):116-120



207