Praktek Unggulan (Best Practices) Inovasi Pemenuhan Pelayanan Publik Perkotaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRAKTEK TERBAIK UNTUK INOVASI PEMENUHAN PELAYANAN PUBLIK PERKOTAAN



I.



DASAR HUKUM UNTUK PELASANAAN STANDARD PELAYANAN PERKOTAAN BERBASIS PADA RTRW KOTA. Beberapa dasar hukum Peraturan Perundang Undangan yang mendasari penyusunan RTRW Kota antara lain: 1)



Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);



2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 3)



Undang-Undang Nomor1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan KAWASAN Permukiman (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469);



4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470); 5)



Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);



6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377); 7)



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);



1



8) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4444); 9) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4722); 10) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4723); 11)



Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);



12) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4849); 13) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4849); 14) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4851); 15) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan lembaran negara Nomor 4956); 16) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956); 17) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025); 18) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059); 19) Peraturan



Pemerintah



Nomor 2



22



Tahun



1982



tentang



Tata



Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225); 20) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445); 21) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3527); 22) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 60,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3529); 23) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3516); 24) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3660); 25) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776); 26) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3174); 27) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3934); 28) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4145); 29) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4146);



3



30) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161); 31) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4242); 32) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385); 33) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4490); 34) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4532); 35) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua PP 10-1989 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4628); 36) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4655); 37) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 38) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Raperda tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 39) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan; 40) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana;



4



II. ISU-ISU STRATEGIS MENUJU PEMBANGUNAN KOTA YANG LAYAK HUNI (LIVABLE CITY ) DAN KAWASANNYA DAPAT MENDUKUNG POPULASI ( HABITABLE ). Isu Kebijakan Beberapa hal mendasar yang termuat didalam undang-undang tata ruang antara lain:  Undang-undang tentang penataan ruang tidak terfokus hanya pada perencanaan tata ruang akan tetapi juga pada pelaksaan pemanfaatan ruang bagi kegiatan pembangunan dikota dan pengendalian pemanfaatan ruangnya sesuai rencana yang telah ditetapkan..  Antara RTRWN, RTRWP dan RTRW Kabupaten/kota saling komplementer satu sama lainnya , begitu pula antara kawasan perkotaan dan perdesaan dalam pengembangan untuk pemenuhan standard minimum sarana prasarana pelayanan publiknya.  Proses pembuatan peraturan daerah harus melalui persetujuan substansi dari pemerintah pusat dan provinsi.  Muatan atau substansi yang harus ada didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagaimana diamanatkan didalam UU No. 26 Tahun 2007 adalah: a. Tujuan, Kebijakan dan Strategi penataan ruang wilayah kota. b. Rencana Struktur ruang wilayah kota, yang meliputi sistem pusat-pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana kota. c. Rencana pola ruang kota, yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. d. Penetapan kawasan strategis kota. e. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama 5 tahunan selama 20 tahun. f. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang kota yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disintensif, serta arahan sangsi. g. Rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 % dari luas wilayah dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH), prasarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi kota sebagai sebagai pusat pelayanan sosial, ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.



5



1. Isu Strategis Fisik, Lingkungan dan Tata Ruang dari kawasan perkotaan 1.



Pola pemanfaatan ruang Kota harus mengikuti struktur ruang dimana jaringan transport (marga) harus merupakan pelayan hubungan antar ousat kegiatan kota : wima ,karya , suka dan penyempurna. Perkembangan pembangunan fisik kota yang cepat terjadi secara linear/ ribbon dervelopment di sepanjang koridor jalan-jala utama, terutama di wilayah pinggiran Kota., menyebabkan lahan-lahan di belakang jalan tersebut masih banyak yang kosong, dan perkembangan secara horizontal yang menkonversi fungsi fungsi lahanperumahan, pertanian, ruang terbuka hijau, kawasan pendidikan, kuburan dlsbnya. yang pola pemanfaatanhya tidak terstruktur dan melanggar pola pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.Untuk kedepannya perencanaan detil tata ruang kota harus dilakukan secara berdisiplin dengan pendekatan blok plan sesuai zonasi pemanfaatan ruangnya.



Sebagian wilayah merupakan kawasan fungsi lindung seperti : rawa, danau, hutan mangrove dan lainnya yang membatasi pembangunan fisik. Luas rawa di Kota saat ini hampir sekitar 16% dari total wilayah kota. Adanya rawa ini membatasi pembangunan fisik. Untuk mengatasinya banyak penduduk yang menimbun rawa-rawa tersebut dan akibatnya air yang semula tertampung di rawa tersebut akan menggenangi wilayah di sekitarnya. 3. Kondisi topografi relatif datar. Kondisi ini akan memberikan keuntungan dalam pemanfaatan ruang sebagai kawasan budidaya, akan tetapi menimbulkan rawan genangan/banjir. Kondisi topografi yang datar menyebabkan aliran air menjadi lebih lambat. Apabila terjadi hujan yang lebat, maka dapat dipastikan akan terjadi genangan. 2.



6



4. Perkembangan fisik cenderung dipacu dengan perkembangan jaringan jalan, prasarana dan sarana kota lainnya yang pesat di kawasan tersebut. 5. Masih adanya lingkungan permukiman kumuh. Di beberapa wilayah kota terutaman di tepi sungai masih banyak ditemukan permukiman kumuh. 6. Terpusatnya kegiatan-kegiatan ekonomi utama di pusat kota. Kondisi ini menyebabkan kawasan pusat kota menjadi sangat padat, terutama di siang hari. Para penduduk yang tinggal di pinggiran kota bahkan luar kota yang bekerja di pusat kota menyebabkan arus pergerakan penduduk semakin meningkat. Isu Strategis Infrastruktur SEBAGAI SUBSISTEM TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN 2.



1.



Kemacetan lalulintas di Kota terutama disebabkan pertumbuhan kendaraan yang jauh melebihi pertumbuhan jalan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan upaya yang komprehensif, tidak hanya dengan pembuatan jalan baru akan tetapi dengan memperbaiki manajemen transportasi secara menyeluruh ANTAR MODA TRANSPORT DAN TERSTRUKTUR baik didalam internal kawasan perkotaan maupun antar kawasan termasuk dengan kawasan perdesaan sebagai subsistem daslam satu kesatuan wilayan pembangunan. 2. Masih adanya wilayah di Kota yang belum mendapatkan layanan air bersih. Tingkat layanan air bersih oleh PDAM umumnya mengalami permasalahan dalam rangka keberlanjutannya untuk melayani publik karena keterbatasan pengelolaan air baku, masalah manajeman , serta harga jual.Di beberapa wilayah PUSAT KOTA terutama di pinggiran kota masih belum terjangkau oleh layanan air bersih tersebut, dan masih banyak menggunan air sumur atau air tanah dalam (_+ 60 %). 3. Masih adanya lokasi genangan dan banjir di beberapa wilayah. Kondisi ini disebabkan karena kurangnya kapasitas jaringan drainase kota, disamping topografi wilayah yang memang datar. Untuk mengatasi hal ini perlu dikembangkan jaringan drainase yang memadai, pembangunan polder/kolam retensi serta pengelolaan rawa yang baik. 4. Perkembangkan sistem transportasi masal untuk mengatasi gejala kemacetan lalu lintas sekaligus memberikan pelayanan angkutan umum yang berkualitas jauh tertinggal dibandingkan dengan pertambahan penduduk sejalan dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor pribadi baik roda empat maupun roda dua yang melebihi pula daya dukiung jalannya dikawasan 7



perkotaan. Disamping pembangunan pusat pusat pelayanan ekonomi dan jasa serta sarana pelanan publiknya tidak terstruktur mengakibatkan kawasan perkotaan tidak layak huni (LIVABLE ) atau bahkan menjadi tidak menjamin kehidupn yang harmomis (HABITABLE) 3.



Isu Strategis Ekonomi.



1. Struktur ekonomi didominasi oleh sektor industri non pertanian, serta pusatjasa dan distribusi barang produk namun sayangnya banyak produk import. Sehingga produ dari kawasan perdesaan semakin jauh tertinggal dan kesempatan kerja menjadi sangat terbatas. Dan tiada pilihan akhirnbya berurbanisi atau menjadi TKI dan atau TKW’ Keberadaan industri memang memberikan manfaat yang besar terhadap perekonomian Kota akan tetapi disisi lain harus diperhatikan mengenai penyediaan ruang yang cukup besar untuk perkembangan sektor industri. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan industri seperti polusi udara, polusi air, sampah dan limbah cair industri. 2. Ketergantungan kehidupan kota terutama sektor transportasi terhadap sektor industri migas cukup besar. 3. Masih tingginya angka kemiskinan atau penduduk miskin karena penciptaan kegiatan ekonomi yang kurang mengangkat potensi yang menggerakan produk masyarakat setempat yang akhirnya hanya terpasarkan secara on street (PKL ) mengakibatkan kekumuhan disegala tempat karena tidak adanya pembinaan untuk mengangkat kualitas keberadaanya di kawasan perkotaan. . 4. Berkembangnya pariwisata MICE sebagai potensi ekonomi baru dari perkotaan akhir-akhir ini, namun sayangnya tidak mengangkat potensi budaya, pasar pangan, papan ,obat-obatan, arsitektur bangunan setempat 5.



Isu Strategis Kependudukan. Dan sosial budaya. 1. Pertumbuhan



penduduk DIKAWASAN PERKOTAAN RATA2 diatas 4%. Pertumbuhan penduduk ini disamping disebabkan adanya kelahiran juga adanya migrasi dari daerah luar kota umumnya dari kawasan perdesaan ke dalam wilayah Kota . Adanya pertumbuhan penduduk tersebut menuntuk peningkatan penyediaan ruang untuk permukiman dan ruang untuk menampung perkembangan kegiatan ekonomi penduduk dan infrastruktur pendukung kehidupan lainnya.



8



2. Jumlah penduduk yang cukup besar menghasilkan potensi sumber daya manusia da permintaa pasar yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup. 3. Struktur penduduk juga didominasi oleh penduduk usia muda atau usia produktif. Komposisi penduduk yang merupakan angkatan kerja menimbulkan konsekwensi keharusan menyediakan lepangan kerja bagi penduduk usia produktif tersebut, bila tidak maka akan meningkatkan penganngguran dikota dan kerawanan sosial.. 4. Angka kepadatan penduduk yang tidak merata. Di wilayah pusat kota, kepadatan penduduk sangat tinggi, sebaliknya di beberapa wilayah di pinggiran kota terdapat wilayah-wilayah yang berkepadatan penduduk rendah mendorong pertumbuhan kota yang dapat menyebar tak terkendali. Dan apabila aksses terhadap tanah dan tempat hunia tidak tersedia menjyebabkan terus tumbuhnya permukiman kumuh. 5. Heterogenitas/cosmopolitan penduduk kota yang cukup tinggi. Sebagai kota besar, dan berkembang menjadi kota raya atau metropolitan tak terstruktur maka terkumpul penduduk dari berbagai suku di kota yang tidak jelas pribadi, budaya dan cenderung kehilangan jati diri kota dan hanya menjadi kumpulan bangunan yang meniru kehidupan dan fisik pembangunan kota dinegara barat.. Heterogenitas ini bisa menjadi modal sosial yang kuat apabila bisa mengelolanya, akan tetapi bisa menjadi timbul permasalahan apabila tidak bisa dikelola dengan baik. KOMPONEN KOMPONEN PEMBENTUK KELAYAKAN HUNIAN KAWASAN PER KOTAAN. 1. a.



KEPENDUDUKAN. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk.



Jumlah penduduk KoTA dengan pertumbuhan rata-rata 4 % per tahun. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini disamping adanya pertumbuhan penduduk alami (kelahiran-kematian0 juga disebabkan adanya urbanisasi. Dari hasil proyeksi penduduk didapat kesimpulan bahwa penduduk Kota mempunyai jumlah penduduk yang beragam, terutama pada beberapa kecamatan mempunyai jumlah penduduk yang besar dibanding dengan kecamatan lainnya.9 Pusat kota, tengah kota , dan pinggiran kota ) Hal ini dapat dimengerti karena beberapa kecamatan tersebut mempunyai tingkat mobilitas yang tinggi karena adanya kagiatan seperti perdagangan dan jasa, pemerintahan atau karena kelengkapan fasilitas baik pendidikan, kesehatan, peribadatan dan lain-lain. Tapi pada beberapa kecamatan lain menunjukan 9



pertumbuhan penduduk yang kurang tinggi, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kurangnya fasilitas atau kondisi alam yang kurang mendukung (daerah banjir, rawa) sehingga sebagian penduduk lebih memilih tempat tinggal yang mempunyai kelengkapan fasilitas guna mendukung aktifitasnya. b. Kepadatan Penduduk Faktor jumlah penduduk, pertumbuhan dan perkembangannya ini dapat mempengaruhi : • Luas kebutuhan ruang • Kebutuhan akan jenis fasilitas, pelayananya dan besaranbesarannya • Klasifikasi Kota : Megalopolitan, Metropolitan, Kota besar, kota menengah, kota kecil. Berdasarkan besaran tapi juga ada berdasarkan fungsional seperti : Kota industri, Kota pertambangan, Kota perdagangan, kota pemerintahan, kota pelabuhan, kota agropolitan, kota minapolitan, kota pariwisata, kota pendidikan, dan lainnya • Pertumbuhan kotanya sendiri • Pola Pengaturan Kota dan Kemungkinan perluasan • kemungkinan penyediaan lapangan pekerjaan. Untuk mencapai salah satu tujuan penataan ruang yaitu terciptanya keseimbangan perkembangan wilayah antar kawasan, maka kebijakan pemerataan jumlah dan kepadatan penduduk harus dilaksanakan. Faktor jumlah penduduk merupakan faktor utama dalam mendorong perkembangan wilayah. Dengan kenaikan jumlah penduduk, maka akan mendorong perkembangan kegiatan sosial ekonomi penduduk dan perkembangan fisik Wilayah-wilayah kecamatan yang mempunyai kepadatan sangat tinggi harus bisa dikurangi kepadatannya, karena kalau hal ini dibiarkan maka akan berpengaruh pada menurunnya daya dukung lingkungan di wilayah-wilayah tersebut. Arahan kepadatan penduduk, dirumuskan sebagai pedoman dalam memberikan alokasi dan distribusi penduduk di wilayah perencanaan. Arahan kepadatan penduduk, dikelompokkan menjadi kepadatan sangat tinggi (>250 jiwa/Ha), tinggi (150-250 jiwa/Ha), sedang (50 —150 jiwa/Ha) dan rendah (