Prenatal Papua [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TRANSKULTURAL NURSING



OLEH : KELOMPOK 5 MUTIARA FITRA (1811313004) MUTIARA HARIYANTO (1811313006) HACIDIRA VICHALOVA (1811313008) RANY HARTI (1811313010) DEDI HIDAYAT (1811313012) AZZURA RISNAIRAJ (1811313014) NELVI KURNIA PUTRI (1811313016) TISYA MUTIARA RAHMADINI (1811313018) SHINDY NUR AINI OKTAFIAH (1811313020) NELFIZA SALSABILA (1811313022) ITA PURNAMA SARI (1811319002)



JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah



ini



yang



alhamdulillah



tepat



pada



waktunya



yang



berjudul



“Pembandingan budaya dalam konteks Beliefs,values dan lifeways dalam siklus kehidupan prenatal”.Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.



Padang, 16 Februari 2020



Penyusun



DAFTAR ISI



Kata Pengantar .........................................................................................i Daftar Isi ....................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.......................................................................................1 1.2 Rumusan masalah …………………………………………………….1 1.3 Tujuan Masalah......................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perkawinan dan nilai keluarga dalam berbagai budaya........................3 2.2 Kehamilan dalam konteks budaya ………………………………..…..6 2.3 Kelahiran dan budaya………………………………………………..11 2.4 Perawatan Postnatal……………………………………………….....14 2.5 Genetik dan budaya yang diturunkan …………………………….....15 2.6 Sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya …………………..16 2.7 Fertility dan Infertility dalam konteks Budaya ……………………...17 2.8 Aborsi dalam Konteks budaya ………………………………………18 2.9 Aplikasi askep peka budaya pada prental……………………………18 BAB III 3.1 Kesimpulan..........................................................................................22 3.2 Saran.....................................................................................................22 Daftar Pustaka………………………………….….................................23



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memunculkan konflik bahkan kekerasan (violence). Oleh karena itu memahami pluralitas secara dewasa dan arif merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perbedaan budaya, tradisi atau kultur seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik sosial. Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu komunitas masyarakat tidak selamanya dapat berjalan damai. Banyak asumsi bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan budaya salah satunya disebabkan oleh sikap fanatisme sempit serta kurangnya sikap tasamuh (toleran) di kalangan umat. Fanatisme dan intoleransi hanya akan memyebabkan terjadinya desintegrasi bangsa dan konflik di masyarakat.Tidak berlebihan jika pluralitas tradisi dan budaya diasumsikan



dalam masyarakat ibarat pedang



bermata dua. Di satu sisi ia merupakan kekayaan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain ia dapat menjadi faktor pemicu konflik horisontal. Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).



1.2 Rumusan Masalah 1. Mengetahui perkawinan dan nilai keluarga di budaya papua 2. Mengetahui Kehamilan dalam konteks budaya di papua 3. Mengetahui Kelahiran dan budaya di papua 4. Mengetahui perawatan postnatal di budaya papua 5. Mengetahui genetic dan budaya yang diturunkan di papua 6. Mengetahui sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya papua 7. Mengetahui fertility dan infertility dalam konteks budaya di papua 8. Mengetahui aborsi dalam konteks budaya papua 9. Mengetahui aplikasi askep peka budaya pada parenatal 1.3 Tujuan untuk mengidentifikasi, menguji, mengerti dan menggunakan pemahaman keperawatan transkultural untuk meningkatkan kebudayaan yang spesifik dalam pemberian asuhan keperawatan dan mengetahui budaya postnatal di papua.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perkawinan dan nilai keluarga dalam budaya di Papua Keunikan budaya adat istiadat marga dan sub marga di pulau Numfor menjadi daya tarik tersendiri yang tidak jauh berbeda dengan suku-suku Papua lainnya yang berada di kawasan teluk pesisir cenderawaih. Tradisi pemberian maskawin atau dalam bahasa biak iyakyaker adalah salah satu warisan budaya leluhur yang masih melekat dalam adat istiadat masyarakat di pulau Numfor. Sebagaimana suku-suku di Papua yang menempatkan maskawin sebagai harta yang sangat berharga yang memiliki nilai tersendiri dalam ritual-ritual adat tertentu. Maskawin di Papua dapat berupa, hewan babi, manik-manik, guci, piring antik, hasil kebun, hasil laut, hewan hasil buruan, serta beragam harta benda lainnya. Maskawin biasanya dapat digunakan dalam ritual adat lainnya seperti penjemputan tamu, pelantikan kepala suku, pembayaran denda, dan ritual lainnya. Piring antic (ben bepon), dan guci masih sering di jumpai dalam ritual adat terutama dalam prosesi peminangan. Harta benda berupa maskawin biasanya dipersiapkan jauh hari oleh keluarga sebagai bekal bagi anak-anak mereka yang dikandung dan dibesarkan dalam tatanan keluarga kelak menjalani masa proses peminangan dengan pihak keluarga lain melalui satu ikatan perkawinan adat yang syah. Sebagaimana yang dilakukan keluarga besar Krey dari keluarga pihak lakilaki dengan keluarga besar Marisan dari pihak perempuan yang menjalani proses tahapan perkawinan adat antara Daniel Krey dengan Marlina Marisan di Pulau



Numfor yang merupakan hasil film dokumentasi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua. Awal memasuki rumah tangga lewat orang tua itu yang pertama sejak anak masih dalam kandungan mempersiapkan supaya Ararem. Ararem ini dapat terkumpul melewati prosesi adat orang biak sejak kecil hingga menjelang dewasa. Antara lain mengeluarkan anak dari kamar, menggendong anak, menggunting rambut, membawa anak ke gereja semua ini harus dilakukan dengan pembayaran maskawin dari pihak marga atau ipar-ipar dalam tatanan adat suku Biak. Ararem ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang disebut arem.Dalam masa peminangan masing-masing keluarga tentu dapat memberi penilaian tentang perilaku kehidupan marga yang dalam tradisi Biak Numfor disebut fafuke. Fafuke adalah tindakan pengamatan yang dilakukan oleh orang tua terhadap marga-marga yang ada di dalam kampung berupa pola hidup, tindakan, karakter dan juga penilain terhadap wanita yang akan dijadikan anak mantu. Dalam arti mereka mencari sosok Showi yaitu seorang anak mantu yang baik terhadap keluarga mereka. Setelah menentukan calon anak mantu maka orang tua akan mengundang om dan tante dari pihak ibu untuk melakukan peminangan. Peran saudara om atau paman dalam keluarga sangatlah penting mulai dari proses peminangan, penentuan maskawin hingga pembayaran maskawin. Apabila pihak perempuan menerima lamaran pihak laki-laki maka pihak perempuan akan mengajukan besaran maskawin kepada pihak laki-laki. Adapun besarnya jumlah emas kawin biasanya ditentukan oleh status perempuan, latar belakang keluarga, keperawanan, maupun kecantikan dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah emas kawin. Biasanya yang di minta berapa banyak piring kepala (moremore/capero), resa-resa paramasi, jowi, baisus, bensarampa, benuai, ini semua merupakan bentuk maskawin yang lazim digunakan oleh suku Biak di Pulau Numfor. Tahapan berikut adalah menentukan waktu untuk pembayaran maskawin yang ditentukan.



Dalam tradisi masyarakat pulau Numfor mengenal tiga bentuk perjodohan antara lain: anembe dalam makanan pernikahan (an=makanan, embe= nikah), indakwer artinya pada saat peminangan secara terhormat di dalam keluarga bila ada saudara laki-laki yang belum menikah makan indakwer ini akan dilaksanakan. Sementara perjodohan insarmer adalah versi peminangan dengan bentuk perencanaan seorang laki-laki yang ingin membawa perempuan dengan cara yang kasar dalam arti bukan dalam kesan penculikan. Sayangnya dengan perkembangan globalisasi membuat terkikisnya budaya suku-suku yang ada di Papua termasuk tradisi budaya orang Biak di Pulau Numfor, sehingga tatanan adat tidak lagi sempurna. Namun demikian sebagaian besar masyarakat Biak Numfor masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang merupakan warisan leluhur. Perkawinan adat yang ditandai dengan simbol-simbol maskawin tentu sangat mengikat ketika proses tahapan peminangan itu berjalan sesuai dengan tatanan adat. Tidak hanya mengantar maskawin berupa piring antik dan gusi tetapi yang menarik dalam proses ini adalah adanya bendera merah putih sebagai simbol lambing Negara juga mendapat penghargaan dalam ragam kebhinekaan adat di pulau Numfor. Memang kebiasaan mengantarkan prosesi emas kawin dengan membawa bendera Merah Putih atau juga simbol bendera yang lain tidak diketahui sejak kapan berlaku. Namun yang jelas dalam budaya Papua tradisi membawa bendera memang belum ada dan baru berkembang sejak masuknya Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI). Sebaliknya pihak perempuan yang sudah menerimah pihak keluarga lakilaki juga menyiapkan sesuatu berupa barang-barang rumah tangga sehingga dalam menjalan kehidupan kelak tidak mengalami kesulitan. Selain itu juga menjadi sikap dasar pihak perempuan yang nantinya kedepannya tidak jadi penilaian yang kurang baik dari pihak laki-laki. Semua proses ini berjalan sesuai rambu-rambu adat yang sudah ditetapkan yang wajib dilaksanakan namun dalam puncaknya menuju pada wafwoker dimana



wor acara adat pimpinan adat memberikan restu kepada keduanya menjadi suami istri yang syah secara adat dibangrengi dengan nasehat dari petua-petua adat dalam keluarga dua belah pihak. Nasehat-nasehat berupa ungkapan-ungkapan yang mengadung simbol bahwa kita hidup di dunia untuk saling menopang, menunjang dalam bentuk showi ini. Tradisi perkawinan di Papua khususnya di pulau Numfor ini tentu saja menjadi cerminan budaya Papua yang tentu hasana untuk memperkaya budaya bangas Indonesia yang perlu dilestarikan



2.2 Kehamilan dalam konteks budaya di Papua Budaya Suku Kampung Yepase Terkait Perawatan Kehamilan, Nifas dan Bayi Masyarakat kampung Yepase memiiliki budaya yang mempengaruhi pola kehidupan mereka didasarkan pada ppengetahuan, tradisi dalam keluarga, kepercayaan, dan norma yang menjadi acuan dalam mengatur perilaku kehidupan masyarakat. Latar belakang budaya di kampung Yepase Distrik Depapre adalah suku Yepase. Pada masyarakat kampung Yepase perempuan harus mengikuti aturan dalam keluarga walaupun berasal dari luar suku Yepase. Suami dan keluarga mempunyai peranan dalam mengatur pola kehidupan sehari-hari. Masyarakat kampung Yepase, dukun masihbmenjadi prioritas utama dalam melakukan perawatan hal ini dikarenakan tingkat kepercayaan masyarakat bahwa dukun memiliki pengalaman, dapat menasehati dan dapat melakukan perawatan dengan baik walaupun tidak berkunjung pada petugas kesehatan. Dalam masyarakat kampung Yepase kehamilan dan kemudian kelahiran merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup manusia. Oleh karena itu keluarga akan melakukan serangkaian ritual dan tindakan-tindakan untuk menyambut kelahiran anak yang di anggap penting untuk menjaga kesehatan ibu dan anak sebagai pertambahan anggota baru bagi penduduk kampung Yepase. Keputusan untuk memilih dukun sebagai prioritas utama ditentukan keluarga karena pengalaman. Selama kehamilan ibu akan melakukan upaya agar ibu dan bayinya sehat dan dapat bersalin dengan selamat, normal dan tidak cacat.



Pengetahuan yang dimiliki ibu secara turun- temurun dan berasal dari petugas kesehatan dalam melakukan perawatan kehamilan sudah baik, namun tradisi dalam keluarga dalam merawat kehamilan masih diperhadapkan dengan pantangan-pantangan terkait anjuran perbuatan terhadap pekerjaan dan makanan. Oleh karena kepercayaan masyarakat kampung Yepase yang tinggi membuat mereka harus melakukannya. Menurut Green, masalah kesehatan seseorang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu : faktor perilaku dan faktor lingkungan yang keduanya disebut faktor resiko. peneliti hanya melihat faktor predisposisi yang berkaitan dengan budaya praktek perawatan kehamilan, nifas dan bayi yaitu pengetahuan ibu, tradisi dalam keluarga, norma, dan kepercayaan. Dalam perawatan kehamilan ibu melakukan pemijitan pada usia kandungan pertama kehamilan untuk menguatkan kandungan, kehamilan 5-6 bulan untuk mengatur letak dan posisi peranakan dan 9 bulan untuk memperlancar proses kehamilan dengan mantra “nameng tena setena tapenya wela basu mewe” (eh cepat keluar sudah jangan bikin berat mama)”. Selama kehamilan masyarakat kampung Yepase memiliki pantangan terhadap makanan tertentu seperti ikan yang berukuran besar karena dapat mengakibatkan pendarahan, buah yang banyak mengandung air karena dapat mengakibatkan vagina berair, dan ibu hamil dianjurkan lebih banyak makan sagu dari pada nasi, serta selama masa kehamilan ibu lebih sering mengkonsumsi sagu (papeda) campur kelapa tua serta kuah garam. Walaupun menurut kesehatan pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut bergizi (Lubis,2003). Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan suami misalnya : 



Ibu hamil dilarang tidur apalagi sore hari dan pada saat bulan purnama, karena rohnya dapat keluar dan berjalan. Jika ada orang yang tidak senang pada ibu atau keluarga dari ibu hamil mereka bisa membunuh rohnya dan ibu meninggal dirumah.







Ibu dianjurkan melakukan aktifitas dan pekerjaan berat supaya proses persalinannya lebih lancar.







Ibu dianjurkan tidak menggunakan pakaian yang ketat. Khususnya pada malam hari ibu mengggunakan sarung atau kain dan ibu tidur diteras sampai larut malam. Manfaatnya bagi keluarga ibu tidak kepanasan karena dapat melancarkan pernafasan. Hal ini menyebabkan ibu mudah terkena malaria.







Ibu dianjurkan tidak mandi lebih dari jam 6 sore karena dapat diikuti oleh mashe detro dan mengakibatkan anggota tubuh ibu hamil ada yang hilang atau hamil kembar air.







Suami dilarang masuk ke dalam tempat keramat milik suku lain dan memegang parang memotong tanaman milik orang lain saat ibu hamil karena anak dapat lahir cacat.



Pada masa kehamilan ibu hamil masih tetap melakukan hubungan seks dengan suaminya, kadang kondisi suami dalam keadaan mabuk atau kotor. Hal ini karenakan suami dalam tradisi masyarakat kampung yepase harus didengar dan dituruti. Masyarakat kampung Yepase tidak menggunakan obat berbahan kimia dalam mengatasi masalah atau gangguan saat hamil. Upaya pencegahan yang dilakukan dalam mengatasi keluhan-keluhan atau gangguan saat kehamilan masyarakat menggunakan ramuan tradisioanal berupa: daun meyana untuk menguatakan dan mencegah kurang darah, daun pandan hutan untuk menguatkan kandungan, minyak kelapa untuk melicinkan anak pada saat persalinan. Meskipun menurut kesehatan upaya pencegahan perlu dilakukan jika ada pemeriksaan atau diagnosa yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan ramuan yang digunakan sudah dilakukan pengujian kualitas dan khasiatnya. Perawatan nifas di mulai setelah ibu menyusui bayi pertama kali yaitu dengan memberikan sagu (papeda’ Phi’) panas-panas sekali untuk ibu makan agar memperlancar peredaran darah dari dalam perut. Dalam perawatan nifas hanya



dilakukan di rumah di dalam kamar atau satu ruangan karena masih bauh darah dan amis, dukun akan membuat air panas ibu di dudukan dengan posisi kaki terlentang ke depan kemudian handuk panas dicelupkan ke dalam air panas lalu ibu di dudukan diatas uap handuk sampai darah kotor keluar setelah itu dengan tangan dukun akan memeriksa bagian dalam apakah sudah bersih dilakukan sampai 1 bulan sampai benar-benar bersih setelah itu diberikan minuman ramuan prakepei (tali kuning yang tergantung di pohon) untuk mengatasi gatal-gatal, daun siri untuk mengeringkan luka, daun miyana untuk pendarahan dan daun turi untuk darah putih. Selama masa nifas masyarakat masih berpantangan terhadap hal-hal tertentu seperti tidak melakukan pekerjaan kehutan atau kepantai karena masih bau darah atau amis hal ini diyakini ibu tersebut dapat diikuti oleh roh-roh jahat sehingga dapat menimbulkan kelainan pada anggota tubuh seperti; kehilangan payudara atau payudara mengecil (kempes), mandi harus menggunakan pakaian, tidak boleh melaukan hubungan seks. Jika terjadi perdarahan pada masa nifas ibu lebih melakukan perawatan secara tradisional dengan meminum ramuan mencegah darah putih, perawatan badan agar tetap hangat dan kuat dengan tidur didekat tunggku api hal ini diyakini dapat memperlancar peredaran darah dan mencegah darah putih. Tradisi dalam masa perawatan nifas ini membuat masyarakat tidak memerlukan kunjungan ulang pasca melahirkan pada tenaga kesehatan. Pada masa nifas ibu dianjurkan melakukan pekerjaan rumah tangga 2 hari pasca melahirkan untuk mempercepat proses pemulihan, namun pekerjaan yang dilakukan seperti membelah kayu bakar, mencuci pakaian dan memasak yang masih merupakan pekerjaan berat. Budaya positif pada masyarakat kampung Yepase adalah melakukan perawatan payudara agar ASI tetap lancar. Selama masa nifas ibu tidak melakukan hubungan seks karena menurut masyarakat ibu masih kotor, setelah masa nifas tergantung pada keinginan suami. Namun untuk mengatur jarak kehamilan yang informasinya sudah disampaikan oleh dukun pasca melahirkan dengan melihat jarak titik hitam apabila jaraknya selebar dua jari dukun maka



hubungan seks harus diperhitungkan karena jarak anak akan sangat dekat, apabila jarak titik hitam sejengkal tangan dukun maka jarak anak akan jauh.



Perawatan bayi dilakukan langsung setelah persalinan dengan bidan maupun dukun yaitu dilakukan dengan memberikan kopi kental untuk mengeluarkan kotoran yang tertelan saat berada pada pintu rahim, Bayi diberikan air kelapa muda dan ketepeng hutan serta papeda cair sebagai penggati ASI saat ibu kekurangan air susu pasca melahirkan atau selama ibu dalam perawatan. Tradisi masyarakat kampung Yepase bayi lahir sampai dengan usia satu bulan akan dihangatkan dengan sisa bakaran bara api yang diletakan di samping bayi agar bayi tetap merasahangat. Menurut WHO (2012), polusi udara dalam ruangan sebagai akibat penggunaan bakar biomassa seperti kayu bakar, batu bara atau bakaran bahan-bahan lain dapat menyebabkan kematian 1,6 juta jiwa pertahun sebagian besar terjadi pada bayi. Memandikan bayi sudah dilakukan sejak turun-temurun berdasarkan pengalaman orang tua dari missionaris (orang belanda) yang datang, dalam memandikan bayi yang diperhatikan adalah alat kelamin, karena kelamin anak perempuan berbeda dengan kelamin anak laki-laki, sebelum pusat anak jatuh maka bayi tidak boleh dimandikan dengan cara mencelupkan ke dalam air hanya dengan menyeka pada bagian tertentu dilakukan 2 kali sehari sampai dengan pusat anak jatuh. Pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dilakukan ibu ini sama dengan prinsipmemandikan bayi yang di ungkapkan Depkes RI (2008). Perawatan tali pusat yang dilakukan secara tradisional yaitu hanya menggunakan arang tempurung bekas bakaran dengan daun-daunan dan di usapusap (rau-rau) dengan tangan yang di hangatkan di panas api di pusat dan sekitar pusat bayi sampai sudah agak kering setelah itu di ikat dengan kain kasa 2 kali sehari setelah menyeka bayi. Menurut kepercayaan mereka perawatan tali pusat yang dilakukan lebih cepat kering dan jatuh. Menurut Depkes RI (2004) Kebiasaan yang di lakukan oleh ibu sudah baik, karena ibu tidak menggunakan daun-daun, ramuan atau obat bubuk, namun ibu harus memperhatikan kebersihan



tangannya karena kematian bayi banyak disebabkan oleh Tetanus neonatrum akibat perawatan yang kurang bersih.



Namun setelah tali pusat jatuh pada usia 3 bulan bayi sudah dimandikan air dingin. Hal ini diyakini bahwa pada masa pertumbuhan bayi akan tahan terhadap perubahan iklim dan tulang menjadi kuatuntuk memikul barang yang berat. Dalam perawatan bayi masyarakat Yepase memiliki pantangan-pantangan yang dipercaya jika dilakukan oleh ibu dan ayah (suami) dapat berdampak pada kesakitan dan kematian bayi. Pantangan-pantangan tersebut seperti: - Ibu nifas tidak boleh bekerja berat sebelum pusat bayi terlepas, karena bisa memperlambat keringnya tali pusat - Suami tidak boleh memotong pohon atau tanaman di hutan sebelum tali pusat anak terlepas karena darah bisa keluar dari pusat anak. - Anak sakit akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua. - Suami tidak boleh menanam tanaman jangka panjang anak bisa terlambat jalan. - Bayi biar kuat dan tidak menangis harus di beri makan seperti; sagu, pisang, dan betatas. - Batuk pilek pada anak masih dihubungkan dengan alam, seperti musim buahbuahan akan datang.



2.3 Kelahiran dan budaya masyarakat papua Di dalam kehidupan kesehariannya, Suku Asmat memiliki adat yang menjadi pegangannya secara turun temurun. Adat istiadat ini sampai sekarang masih dijaga oleh penduduk Suku Asmat. Berikut beberapa adat istiadat yang berasal dari Suku ini:



a. Kehamilan. Masyarakat Suku Asmat sangat menjaga kehamilan seorang wanita ditengah-tengah keluarga mereka. Mereka memperlakukan wanita hamil dengan baik hingga tercapainya proses persalinan dengan selamat. b. Kelahiran. Setelah mencapai proses persalinan, keluarga tersebut akan mengadakan upacara selamatan dengan pemotongan tali pusar menggunakan sembilu. Sembilu yang digunakan untuk memotong dibuat dari bambu yang dilanjarkan. Untuk perkembangannya, si bayi akan disusui oleh ibunya selama usia 2-3 tahun. c. Pernikahan. Pernikahan dilaksanakan ketika mencapai usia 17 tahun atau lebih. Tentunya hal ini telah mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Selain itu, ada uji keberanian dari pria untuk membeli wanita menggunakan piring antik yang nilainya disesuaikan penafsiran harga perahu Johnson. d. Kematian. Pengecualian dalam mengurus orang meninggal berlaku bagi kepala adat. Kepala suku atau kepala adat yang meninggal mayatnya akan dimumikan dan dipajang di depan joglo Suku Asmat. Demikian kebudayaan Suku Asmat yang bernilai estetis klasik yang ada dalam kehidupan masyarakat Suku Asmat. Ada pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari Suku Asmat ini. Meskipun masyarakatnya religius magis, mereka sangatlah menghargai alam karena segala aktivitas dan yang terjadi adalah karena alam dan seisinya.



Upacara atau ritual kelahiran, kematian dan tradisi pemotongan jari pada suku dani (papua) : 1. Ritual Kelahiran Bayi Seorang wanita Dani akan melahirkan anaknya dalam ebe ae, yang dibantu oleh beberapa orang wanita. Kelahiran bayi ini tidak disertai upacara/ritual khusus dan ari-ari serta tali pusar yang terlepas beberapa hari akan dihanyutkan dalam sungai begitu saja. Dan beberapa hari setelah proses kelahiran, wanita tersebut



sudah bisa kembali untuk bekerja. Mereka juga tidak melakukan upacara dalam pemberian nama, nama yang mereka anggap baik, itulah yang akan menjadi nama dari anak tersebut. Setelah seorang anak berusia 2-3 tahun, jika dia seorang wanita, ia sudah harus mulai menggunakan rok jerami (sale), sedangkan untuk anak pria, dia baru memakai alat penutup alat kelamin pada usia 5-6 tahun. Pada suku Dani, mereka mengenal satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan anak pria Dani yaitu upacara Waya hagat-abin, yaitu suatu upacara Inisiasi, upacara ini dilakukan ketika seorang anak berusia antara 5-10 tahun. Upacara inisiasi ini biasanya diadakan bersamaan dengan pesta ebe-ako atau pesta babi. Dan upacara ini biasanya berlangsung selama 9 hari atau lebih. Sedangkan untuk anak-anak wanita, mereka tidak menjalani upacara Waya-hagat abin, tetapi mereka menjalani upacara dalam pesta hotale, yaitu pada waktu ia mendapat haid pertama (eket-web).



2. Ritual Kematian Pada upacara pembakaran jenazah, tubuh orang yang meninggal dihias dan didudukkan diatas suatu singgasana ( bea). Upacara ini dilakukan disuatu lapangan dipusat perkampungan. Para kerabat dan orang-orang yang datang untuk melayat akan duduk mengelilingi bea dan menangis sekeras-kerasnya. Tubuh para wanita dilumuri dengan lumpur putih tanda berkabung dengan nyanyian-nyanyian kematian dan ratapan. Dan pada siang harinya beberapa orang dukun melakukan upacara memotong satu ruas jari dari tiap anggota keluarga inti orang yang meninggal dengan menggunakan kapak batu tetapi ada juga yang menggunakan bambu. Biasanya jari-jari yang dipotong, bukan hanya sekali saja, tetapi tergantung berapa banyak kerabat terdekat yang meninggal. Dan apabila jari-jari mereka telah dipotong habis, mereka akan memotong lagi sebagian dari telinga mereka.



Setelah itu, mereka akan melakukan upacara pembakaran jenazah dan para kerabat orang yang meninggal membakar daging babi di dalam lubang-lubang yang mereka gali di dalam tanah dan sebagian akan disajikan untuk ruh ( ame), orang yang meninggal.



Sore harinya daging yang telah masak itu dimakan



bersama dan menjelang senja semua perhiasan yang dikenakan pada jenazah diambil dan tubuh jenazah itu digosok dengan minyak babi. Setelah itu dimulai pembakaran jenazah, yang diiringi dengan jerit tangis orang-orang yang datang melayat. Selain pembakaran jenazah ada pula upacara pemotongan jari kepada perwakilan keluarga, pemotongan jari ini udah menjadi tradisi orang papua termasuk suku dani. 3. Tradisi Potong Jari Akibat kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yg berduka.



2.4 Perawatan Postnatal Angka kematian ibu di Indonesia menurut SDKI 2002- 2003 masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab kematian adalah akibat perdarahan yang terjadi setelah persalinan. Periode postpartum dimulai setelah plasenta keluar hingga 6 minggu. Masa kritis akan terjadi pada dua hari pasca persalinan oleh sebab itu masa postpartum sangatlah perlu diperhatikan untuk mencegah komplikasi.



Di Papua dan Kabupaten Nabire yang mendapat perawatan dalam 2 jam postpartum terdapat 56,1 persen dan 43,6 persen. Kebiasaan persalinan yang dilakukan di rumah atau pondok yang tidak jauh dari rumah, mengakibatkan perawatan postpartum dilakukan secara tradisional. Persalinan mereka juga di tolong oleh dukun, sehingga menyebabkan ibu post partum tidak melakukan kunjungan ulang ke Puskesmas. Perawatan tradisional lebih disukai oleh ibu-ibu postpartum karena sangat praktis dan mudah, sehingga prosedur pelaksanaan cepat dimengerti. Proses perawatan tradisional dianggap lebih cepat dalam pemulihan kesehatan dan biaya relatif lebih murah. Sedangkan perawatan modern dipilih karena adanya kelainan yang dirasakan pada kehamilan, keluarga yang bekerja di rumah sakit, telah mengerti tentang proses persalinan di RS/Nakes mengurangi resiko dalam persalinan. kuatnya kepercayaan akan tradisi persalinan mengakibatkan ibu-ibu masih melakukan perawatan secara tradisional. Sementara perawatan modern lebih banyak dimanfaatkan untuk pemeriksaan kehamilan, persalinan dan perawatan pasca persalinan dengan menggunakan oabat-obatan dan suntik. Perawatan modern telah di terima oleh masyarakat setempat dan tidak mendapat tantangan dari masyarakat, sedangkan perawatan tradisional pun tidak menjadi masalah bagi tenaga kesehatan, dimana kedua perawatan tersebut berjalan bersamaan. 2.5 Genetik dan budaya yang diturunkan Wamena yang mer upakan ibu kota Jayawijaya terletak di Lembah Baliem dan dialiri Sungai Baliem serta diapit Pegunungan Jayawijaya di sekitarnya. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2012, jumlah penduduk Jayawijaya sebanyak 223.443 dengan komposisi laki-laki 114.566



orang dan perempuan 108.877



orang. Berbagai referensi yang berbeda mengemukakan sejarah dan keberadaan suku asli yang mendiami Jay-awijaya. Namun, satu fakta popular yang diketahui masyarakat global mengenai Suku Dani adalah bahwa Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil yang telah menggunakan alat/perkakas sejak dahulu.



Suku Dani pada saat ditemukan, diketahui telah



mengenal teknologi



penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Salah satu referensi menyatakan lembah Baliem ditemukan secara kebetulan pada tanggal 23 Juni 1938 oleh seorang peneliti asal Amerika, Richard Archbold, saat melakukan penerbangan di atas lembah dengan pesawat terbang airnya PBY Catalina 2 bernama Guba II pada saat menjalankan ekspedisi penelitian vegetasi untuk tumbuh-tumbuhan di atas ketinggian lebih dari 4000 meter di sisi utara Pegunungan Nassau (kini Pegunungan Jayawi-jaya) di pegunungan tengah di antara Baliem vallei vanuit de lucht.



Kontak antara Suku Dani dengan dunia luar belum terjadi sampai setelah tahun 1938, setelah beberapa ekspedisi sporadis yang dilakukan di beberapa puncak daerah di Pu-lau Nieuw-Guinea Selatan (1909-1910) dan Nieuw-Guinea bagian Tengah (1921-1922) dibawah pimpinan Overste J. Kremer. Pada tanggal 4 Desember 1921, setelah melakukan perjalanan yang sangat berat sepanjang 90 kilometer melalui pegunungan tinggi, akh-irnya puncak Wilhelmina berhasil ditaklukkan oleh Overste Kremer, Dr. Hubrecht, Kapten van Arkel, Letnan Drost, seorang pandu dari Ambon bernama Mairuku. Tulisan Paul Wirz, seorang ahli antropologi budaya yang menjadi salah satu peserta ekspedisi pimpinan Kremer, tentang kehidupan penduduk Papua di lembah pegunungan tinggi merupakan studi pertama tentang budaya kawasan pegunungan tengah Papua. Suku Dani memiliki hubungan persauda-raan dengan suku-suku yang tinggal di daerah pegunungan di sebelah barat lembah yang bernama Suku Dani bagian barat atau Suku Lani dan Suku Yali, yang mendiami daerah berpenghuni tipis di lereng-lereng pegunungan tinggi Jayawijaya bagian tenggara. Berbagai sumber di masyarakat Baliem menyebutkan bahwa istilah “Ndani” merupakan suatu ejekan yang pernah dilontarkan oleh klan di sebelah barat Baliem kepada klan di sebelah timur (Suku Parim). (Astrid Susanto peny1994). Orang Parim biasa menyebut diri mereka den-gan istilah “nit apuni Baliem make” yang arti harfiahnya adalah kami orang Baliem. Kata itu juga mengandung makna “manusia



sejati dan asli”. Mereka adalah satu kesatuan etnik yang membedakan diri dari kesatuan etnik lainnya berdasarkan kesadaran identitas, perbedaan ke-budayaan, dan kesadaran biologisnya. Manusia Baliem hidup dalam suatu kesatuan sistem yang saling terkait dan terintegrasi. Sistem-sistem tersebut antara lain adalah sistem religi, sosial lingkungan dan budaya serta politik.



2.6 Sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya Di Indonesia, intervensi terhadap variabel-variabel yang berpengaruh langsung terhadap fertilitas lebih banyak dilakukan. Salah satunya adalah melalui program pengendalian penduduk yang dikenal dengan program keluarga berencana (KB). Fokus utama KB terletak pada penurunan angka laju pertumbuhan penduduk melalui pemakaian alat kontrasepsi. Di Indonesia, tren angka TFR dan pemakaian alat kontrasepsi tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan yang berlangsung. Berdasarkan sistem pemerintahan yang pernah ada, setidaknya kebijakan pemerintah terkait program KB dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, di era orde lama yang dikenal dengan kebijakan pro natalis sebagai bentuk langkah menjawab banyaknya penduduk atau pahlawan yang mati dalam peperangan. Kedua, kebijakan Presiden Soeharto yang cenderung antinatalis di era Orde Baru. Salah satu implikasinya adalah perubahan kelembagaan penyelenggaraan program KB di daerah. Misalnya, tidak adanya institusi BKKBN di tingkat kabupaten/kota dan perubahan nomenklatur BKKBN. Fungsi koordinasi lembaga BKKBN juga hilang. Di Indonesia, tren penggunaan kontrasepsi, baik modern maupun tradisional, cukup menarik untuk dikaji lebih jauh. Dalam kurun waktu 1991 hingga 1997, penggunaan kontrasepsi modern di sebagian besar provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Peningkatan tertinggi terjadi Provinsi Papua (19,4 persen). Mulai 2002/2003-2012, tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Sebagian besar provinsi hanya mengalami peningkatan 1 persen dan beberapa provinsi di luar Jawa Bali mengalami penurunan.



2.7 Fertility dan Infertility dalam konteks budaya Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan setelah menikah 1 tahun atau lebih dengan catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa adanya pemakaian kontrasepsi. Mengingat faktor usia merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun. Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk datang ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar. Pada tingkat sosial, dalam banyak kebudayaan infertilitas berhubungan dengan stigma sosial dan merupakan sesuatu hal tabu untuk dibicarakan, pasangan yang tidak bisa mempunyai anak, dianggap melanggar norma-norma sosial yang dapat mengakibatkan perceraian, sehingga pasangan yang subur kemungkinan memiliki anak dengan pasangan barunya



Berdasarkan beberapa penelitian mengungkapkan bahwa infertilitas yang dialami oleh seorang istri akan menimbulkan dampak psikologis yang cukup berat. Dampak psikologis yang dialami yaitu munculnya perasaan frustasi, depresi, isolasi, marah, dan rasa bersalah perasaan tidak sempurna dan kurang berarti. Selain itu infertilitas berdampak buruk terhadap hubungan suami istri. Mereka menjadi jauh satu sama lainnya, hubungan menjadi kurang harmonis, kehidupan seks antara suami tidak lagi hangat dan mesra



2.8 Aborsi dalam Konteks Budaya Aborsi merupakan kehendak yang dengan sengaja menggugurkan bayi yang berada dalam kandungan seorang perempuan karena alas an tertentu. Di wilayah pegunungan tengah Papua bagi pelaku praktik aborsi janin



berupa denda atau membayarkan ternak babi kepada pihak yang dirugikan. Praktik aborsi janin tidak diterima oleh masyarakat adat sehingga ada kesepakatan dan akan diberlakukan khusus bagi masyarakat adat setempat. Aborsi nyawa anak manusia dan atau dengan tindakan lainnya, denda lima ekor babi.



Dewan adat juga minta pemerintah, khususnya dinas kesehatan dan keluarga berencana untuk memberikan pemahaman tentang program Keluarga Berencana (KB) agar masyarakat paham tentang ilmu biologinya supaya tingkat kelahiran itu dapat diatur jaraknya. Ini bertujuan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.



2.9 Aplikasi Askep peka budaya pada prenatal Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). a.



Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi



masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu : a. Faktor teknologi (tecnological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini. b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya



sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.



c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin,status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga. d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas seharihari dan kebiasaan membersihkan diri. e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors) Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. f. Faktor ekonomi (economical factors) yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan,



tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. g. Faktor pendidikan (educational factors) Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti- bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenispendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.



b. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. c.



Perencanaan dan Pelaksanaan



Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien



kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.



d. Evaluasi Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.



BAB III PENUTUP 3.1 kesimpulan Papua memiliki beragam suku yang memiliki ciri khas masing-masing. Tiap-tiap suku memiliki adat dan budaya yang berbeda pula. Suku papua masih mempertahankan budaya tradisional dalam pengobatannya, sehingga mereka tidak mengetahui sebagian budaya tersebut memberi pengaruh buruk bagi kesehatan. Meskipun layanan kesehatan sudah ada didaerah tersebut, namun dukun masih menjadi prioritas utama dalam melakukan perawatan hal ini dikarenakan tingkat kepercayaan masyarakat bahwa dukun memiliki pengalaman, dapat menasehati dan dapat melakukan perawatan dengan baik walaupun tidak berkunjung pada petugas kesehatan.



Menurut Green, masalah kesehatan seseorang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu : faktor perilaku dan faktor lingkungan yang keduanya disebut faktor resiko.



3.2 Saran Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masingmasing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya-budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dan klien terganggu. Jika budaya yang di anut klien tidak sesuai atau akan menganggu kesehatan klien, maka perawat harus mengedukasi klien dengan cara tepat tanpa menyinggung klien.



DAFTAR PUSTAKA https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/download/17727/12596 diakses tanggal 17 februari 2020 pukul 17.00 wib https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbpapua/tradisi-iyakyaker-suku-biaknumfor/ diakses 17 februari 2020 pukul 17.00 wib Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed, Philadelphia, JB Lippincot Company Cultural Diversity in Nursing, (1997), Transcultural Nursing ; Basic Concepts and Case



Studies,



Ditelusuri



tanggal



15



http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing



February



2020



dari



Perawatan Post Partum di daerah Papua :: Studi kasus di Kabupaten Nabire . POPANG,



Christina Tien, dr. Siswanto A. Wilopo, SU.,MSc.,Sc.D . 2007 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (Kes. Ibu dan Anak-Ke)



http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/3969/3093 di akses tanggal 17 februari 2020 pukul 20.00 wib http://eprints.ums.ac.id/27537/3/BAB_I.pdf diakses tanggal 17 februari 2020 pukul 20.00 wib http://staff.ui.ac.id/system/files/users/afifah/material/transkulturalnursing.pdf dialses tanggal 17 februari 2020 pukul 20.00 wib