Pro Siding Seminar N Asional Pei 2017 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



ii



PROSIDING Seminar Nasional PEI Cabang Bandung “TANTANGAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN SERANGGA DI ERA GLOBALISASI” 25-26 OKTOBER 2017 Buku ini mengandung makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional PEI Bandung 2017. Makalah ini menunjukkan hasil karya dan pendapat dari penulis yang disajikan tanpa adanya perubahan yang merubah substansi dari hasil penelitian. TIM REVIEWER Vira Kusuma Dewi, PhD Dr. Ramadani Eka Putra Dr. Ida Kinasih Gesang Pratyadhiraksana, S.P. Yusup Hidayat, SP., M.Phil., Ph.D Ida Yusidah, SP., MP TIM EDITOR Vira Kusuma Dewi, SP., M.Sc., Ph.D Neneng Sri Widayani, SP., MP Satrio Restu Adhi, S.P., MP Intan Dwi Riandini, S.P



Sampul Depan : (Larva Coccinelidae; Foto oleh Gesang Pratyadhiraksana, S.P) (Belalang Sembah : Foto oleh Nugiarta Pratama) Sampul Belakang : (Serangga Ordo Hemiptera; Foto oleh M. Rifki Faisal)



ISBN : 978-602-439-662-6 Penerbit : Unpad Press Redaksi : Unpad Press Direktorat Sumber Daya Akademik dan Perpustakaan (DSDAP) Grha Kandaga Lt. 4, Jl. Raya Bandung – Sumedang KM 21, Jatinangor Sumedang 45363 Website : http://press.unpad.ac.id E-mail : [email protected] Cetakan pertama 10 Oktober 2019.



Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit



iii



KATA PENGANTAR



Assalamualaikum wr wb. Pertama-tama kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya yang luar biasa sehingga kami dapat menyelesaikan prosiding kegiatan Seminar Nasional ini. Seminar ini merupakan kegiatan yang masuk dalam agenda tahunan yang dapat menjadi ajang para akademisi, peneliti, stakholder, pemerintah, lembaga penelitian, serta beberapa institusi pemerintah dan swasta serta instansi lain yang terkait untuk saling bersilaturahim. Pada pelaksanaan seminar ini diharapkan adanya diseminasi informasi terkait teknologi perlindungan tanaman yang kaitannya dengan pengelolaan serangga. Perhimpunan Entomologi Indonesia memegang peran yang penting dalam memberikan sarana untk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karenanaya dalam prosiding ini kami telah sampaikan hasil penelitian dalam beberapa topik kajian sehingga diharapkan membuka wawasan kita mengenai pengembangan dunia perlindungan tanaman dalam menyambut era globalisasi. Pada era globalisasi ini, lalu lintas manusia, hewan, tanaman dan barang di dalam dan antar negara sangat tinggi sehingga secara tidak langsung tantangan yang harus dihadapi tentunya semakin besar. Dengan demikian perlunya merancang strategi pengelolaan serangga untuk mencegah atau meminimalkan dampak negatif dari kondisi tersebut. Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh panitia pelaksana, para narasumber, para sponsor dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan prosiding ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Namun, kami berharap prosiding ini dapat menjadi salah satu sumber informasi ilmiah dan menjadi pendorong perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan serangga. Kami meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan prosiding ini Wassalamualaikum wr wb Jatinangor, Juli 2017



Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung Dr. Sudarjat, Ir., MP



iv



PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERHIMPUNAN ENTOMOLOGI INDONESIA CABANG BANDUNG Jatinangor, 25-26 Oktober 2017, Bale Sawala , Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor



Susunan Panitia Seminar Nasional Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung Tahun 2017 :



Pelindung



Penanggung Jawab Steering committee



Ketua Pelaksana Tim Reviewer



Tim Editor



Panitia Pelaksana Ketua Wakil Ketua 1 Wakil ketua 2 Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara 1 Wakil Bendahara 2 Bidang Bidang Bidang Kesekretariatan



: Rektor UNPAD, (Prof. Tri Hanggono Achmad) Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Pusat (Prof. Damayanti Buchori) : Dr. H. Sudarjat, Ir., MP : Prof. Dr. Intan Ahmad Dr. Baehaki SE Prof. Dr. Wawan Hermawan Prof. Dr. Tati S Syamsudin Subahar Dr. Ridad Agoes Dr. Atik Dharmadi Dr. Danar Dono Dr. Tjandra Anggraeni : Dr. Agus Susanto : Vira Kusuma Dewi, PhD Dr. Ramadani Eka Putra Dr. Ida Kinasih Gesang Pratyadhiraksana, S.P. Yusup Hidayat, SP., M.Phil., Ph.D Ida Yusidah, SP., MP : Vira Kusuma Dewi, SP., M.Sc., Ph.D Neneng Sri Widayani, SP., M.P. Satrio Restu Adhi, S.P., M.P. Intan Dwi Riandini, S.P.



: : : : : : : :



Dr. Agus Susanto Martua Suhunan Sianipar, M.Si. Dr. Tri Cahyanto Ida Yusidah, S.P., M.P. Leli Wasliawati, S.P. Dr. Elly Roosma Ria Lindung Tri Puspasari, M.Si. Maria Wulan, M.S.



: M. Dodi Rusli, SP. Guriang Akbar, S.Si. R. Arif M. Ramadhan, S.P. Neneng Sri Widayani, S.P., M.P.



v



Bidang Acara & Persidangan



Prosiding



Workshop



Publikasi & Dokumentasi



Transportasi dan Akomodasi Logistik



Dana Usaha



Konsumsi



Kesehatan (P3K) Ketertiban



Ifa Dwi Luthfiana, S.P. : Dr. Tien Turmuktini Syarif Hidayat, M.P. Dr. N. Usyati Dr. Rahmini Dr. Endang Kantikowati Dikayani, M.P Yudhisa Henry Prabowo, S.P. Ratmaneli, S.P. Satrio Restu Adhi, S.P., M.P. : Dr. Ramadani Eka Putra Dr. Ida Kinasih Vira Kusuma Dewi, PhD Gesang Pratyadhiraksana, S.P. Intan Dwi Riandini, S.P : Yusup Hidayat, Ph.D Dr. Rini Murtiningsih Dr. Tohidin Dr. Mia Miranti Muthia Riefka Fauziati, S.P. : Ir. Lukman Nurhakim Ir. Sunanto Iman Ilahiyyat, SP : Yadi Supriyadi, M.S. Dr. Ateng Supriatna Joshua Crystovel P.S, SP : Wahyu Widayat, M.S. Dwi Arya, S.P Ilyapad, S.P : Dr. Wahyu Daradjat Natawigena Juju Rukman, M.P. Wiwin Setiawati, M.S. Soepeni Winarni, S.P. : Dr. Yenny Muliani Nenet Susniahti, Ir., M.S. Siska Rasiska, M.Si Mahasiswa Klinik Tanaman HPT Unpad :



Poli Kesehatan UNPAD Mahasiswa Klinik Tanaman HPT Unpad : Satuan Pengaman UNPAD



vi



DAFTAR ISI DAFTAR ISI



viii-ix



Laporan Kasus Serangan Rayap pada Buah Mangga: Sebuah Fleksibilitas Perilaku Makan? Bramantyo Wikantyoso, S. Khoirul Himmi dan Sulaeman Yusuf



1-6



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) Di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Kabupaten Tanggamus, Lampung Mustika Dwihandayani, Nismah Nukmal, Gina D. Pratami, dan Jani Master



7-15



Keanekaragaman Jenis Capung (Odonata) di Wilayah Cirengganis dan Cikamal Cagar Alam Pananjung Pangandaran Shalfa Hisana Wibowo, Tatang S. Erawan, Hikmat Kasmara, dan Wawan Hermawan



16-21



Serangan Hama Penggulung Daun di Persemaian Bambu Ujang W. Darmawan, Wida Darwiati dan Sutiyono



22-26



Distribusi Serangga Antara Mina Padi dan Budidaya Padi di Percut, Sumatera Utara Ameilia Zuliyanti Siregar dan Yurnaliza



27-34



Identifikasi dan Uji Coba Pengendalian Hama Kepik Yang Menyerang Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) di BKPH Purworejo Wida Darwiati



35-39



Tinjauan Bioekologi dan Pengendalian Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.) Dewi, Lincah Andadari, dan Kun Estri Maharani



40-45



Rosita



Identifikasi dan Pola Sebaran Serangan Hama di Persemaian Tanaman Trema orientalis. Wida Darwiati dan Yunita Lisnawati



46-50



Keanekaragaman dan Kelimpahan Spesies Rayap (Blattodea: Termitoidea) di Kampus IPB Dramaga Bogor pada Berbagai Tipe Habitat Nadzirum Mubin, Idham Sakti Harahap, Giyanto



51-60



Review: Hubungan Flexistyle Pada Famili Zingiberaceae Dalam Proses Polinasi Dengan Polinatornya Nurcahyo Widyodaru Saputro



61-63



Media Pengenalan Jenis Capung (Odonata) Sebagai Langkah Awal Konservasi Capung di Kawasan Wisata Air Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri Inggit Tria Prameswari, Tutut Indah Sulistiyowati, Sulistiono, Poppy Rahmatika Primandiri



64-66



Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu (Ordo Lepidoptera) di Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer , Kabupaten Serang, Banten Livia Hananti,Raihan Anshari, Rina Dwi Ananda, Dwi Putri Handayani, dan Hikmat Kasmara



67-73



Frekuensi Serangan Serangga Inger-inger (Neotermes tectonae Damm) Pada Tegakan Jati di RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH Banyuwangi Selatan Ika Nofi Hastuti, Dadang Gusyana



74-77



Korelasi Panjang Probosis Kupu-Kupu (Famili: Nymphalidae) dengan Panjang Tabung Bunga Sumber Nektar Rizka Adriana Lutfiani, Regina Diah Rachmawati, dan Adi Basukriadi



78-81



Efektivitas Fumigan Magnesium fosfida Terhadap Hama Gudang Tembakau Lasioderma sericorne Fabricus (Coleoptera: Anobiidae) Dwi Adi Sunarto, Subiyakto, dan Sujak



82-86



Teknologi Pengendaliaan Hayati Serangga menggunakan Biopestisida Potensial: Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii (Zimm.) Viegas Nining Sulastri, Tarwiyah Hafizarlutfia, dan Lutfi Afifah



87-96



Dinamika Serangan Hama Penggerek Pucuk Hypsipyla Robusta (Moore) (Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Mahoni Yeni Nuraeni dan Hani Sitti Nuroniah



97-103



vii



Pengaruh Interval Waktu Aplikasi Tepung Biji Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Susut Bobot Biji Kedelai {Glycine max (L.) Merrill} Akibat Serangan Hama Gudang Callosobruchus spp. Linn. Yenny Muliani , Dede Hidayat , Erry Mustariani, Ida Adviany , Iilis Irmawatie



104-106



Efektivitas Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas dan Daya Makan Plutella xylostella Pada Tanaman Kubis Dina Gustiana, Cecep Hidayat, Yati Setiati, Efrin Firmansyah



107-112



Pengaruh Beberapa Media Perbanyakan Cendawan Entomopatogen Cordyceps militaris L.Fri Lokal Terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. di Laboratorium Desita Salbiah, Hamzah SP



113-118



Aplikasi Kombinasi Metarhizium anisopliae dan Formula Mimba (Azadirachta indica A. Juss) 50 EC terhadap Helicoverpa armigera Hub. dan Aphis gossypii pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Arisenia Nanda Pratama, Danar Dono, Ceppy Nasahi, Yusup Hidayat, Sri Hartati, dan Rani Maharani



119-124



Ketahanan Bibit Mahoni (Swietenia macropylla) Asal Lima Sumber Benih Terhadap Serangan Hama Penggerek Batang (Xylosandrus sp) Yeni Nuraeni dan Hani Sitti Nuroniah



125-129



Pengaruh Repelen Spasial Berbahan Aktif Citronela Terhadap Perilaku Mencari Mangsa Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Strain Bandung Desy Purwanti, Intan Ahmad, dan Ramadhani Eka Putra



130-134



Efektivitas Formula Minyak Biji Mimba (Azadirachta indica) Pada Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L.) Mahsuri, Danar Dono, Luciana Djaya, Yusuf Hidayat, Rani Maharani, Sri Hartati



135-141



Kerentanan Aedes Aegypti Pradewasa Terhadap Temephos 0,02 Ppm Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan Nita Rahayu,Sri Sulasmi, Dian Eka S,Yuniarti Suryatinah



142-146



Resistensi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) terhadap Insektisida Organofosfat dan Karbamat Serta Potensi Insektisida Nabati Sebagai Solusi Pengelolaan Resistensi(Review Artikel) Neneng Sri Widayani dan Danar Dono



147-156



Bioaktivitas Formula Bitung (Barringtonia asiatica) terhadap Hama Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana) (Lepidoptera: Crambidae) Miranti Aprihilda, Danar Dono, Rika Meliansyah, Yusuf Hidayat, Sri Hartati dan Rani Maharani



157-164



Pendugaan Peristiwa Resistensi Spodoptera Litura L. Berdasarkan Survey Dan Wawancara Di Desa Mekarjaya Kecamatan Cikajang Kabupaten GarutR. Arif Malik Ramadhan dan Danar Dono



165-169



Model Prediksi Kelas Bahaya Serangan Rayap Tanah Di Provinsi Dki Jakarta Berbasis Spesies, Tanah, dan Iklim Arinana, Aunu Rauf, Dodi Nandika, Idham Sakti Harahap, I Made Sumertajaya



170-179



Kualitas Kokon bibit Hibrid Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Asal Bulgaria dan Indonesia Lincah Andadari, Desi Ekawati, Kuntandi



178-182



Entomophagy: Serangga sebagai Sumber Protein Alternatif dalam Perspektif Keamanan Pangan Lutfi Afifah



183-188



Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Besuki Terhadap Edible Insect : Kajian Awal Introduksi Berbagai Produk Olahan Berbahan Dasar Serangga Sebagai Sumber Protein Tutut Indah Sulistiyowati



189-191



Korelasi Panjang Probosis Kupu-kupu (Lepidoptera : Pieridae) dengan Panjang Tabung Bunga Penghasil Nektar di Kawasan Kampus UI Depok Regina Diah Rachmawati, Rizka Adriana, dan Adi Basukriadi



192-195



viii



Keanekaragaman Serangga: Fakta, Fiksi, dan Keterbaruan Penelitian di Indonesia Ratna Juwita, dan Lutfi Afifah



Fitri 196-203



Fluktuasi Populasi Lalat Buah Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera: Tehritidae) pada Pertanaman Salak Di Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya Agus Susanto, Yusup Hidayat, Yadi Supriyadi, Tohidin dan Muhammad Resta Nugraha



204-208



Pemanfaatan Daun Sirsak (Annona muricata L) Sebagai Pestisida Nabati



209-212



Lia Sugiarti



Identifikasi Jenis Kupu-Kupu (Ordo Lepidoptera) di Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten Yulia Mustika Sari, Sean Providana Mauleti, Alisa Nurwahidah, Lela Risma, dan Hikmat Kasmara



213-223



Senyawa Volatil Tanaman sebagai Pertahanan terhadap Serangga Herbivora dan Penarik Serangga Bermanfaat Nining Sulastri dan Lutfi Afifah



224-232



Keefektifan Kombinasi Aplikasi Formulasi Mimba 50 EC (Azadirachta indica) dan Metarhizium anisopliae Dalam Mengendalikan Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz.) Pada Tanaman Cabai Lupitasari, Danar Dono, Luciana Djaya, Yusup Hidayat, Sri Hartati, dan Rani Maharani



233-236



Parasitoid Telur Dan Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga Incertulas Walker) Pada Agroekosistem Padi Irigasi Rahmini, Jaja Suprijadi, Rusmana, dan Dewi Hastuti



237-249



ix



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Laporan khusus serangan rayap....



Laporan Kasus Serangan Rayap pada Buah Mangga: Sebuah Fleksibilitas Perilaku Makan? Bramantyo Wikantyoso*, S. Khoirul Himmi and Sulaeman Yusuf Pusat Penelitian Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI ) Jl. Raya Bogor km 46 Cibinong, Bogor, Indonesia 16911 Alamat Korespondensi: [email protected]* ABSTRAK Rayap pada umumnya dikenal sebagai serangga perusak kayu. Kayu merupakan sumber makanan bagi rayap untuk mendapatkan selulosa dan juga digunakan sebagai media bersarang dan berkoloni. Selulosa bisa didapatkan oleh rayap pada kayu dengan kondisi lapuk ataupun sehat, tanaman batang basah, rumput, serasah daun dan juga kotoran (faecal). Genus Coptotermes merupakan kelompok yang dikenal secara global sebagai hama struktural dan mengganggu beberapa kegiatan pertanian. Sebagai genus dengan jumlah koloni yang besar, serangan di area perkebunan dilaporkan banyak terjadi dan tersebar di negara-negara Asia Tenggara. Namun, kasus serangan pada buah belum pernah dilapokan sebelumnya. Studi kasus kali ini menguraikan sebuah kasus di lapangan mengenai serangan Coptotermes gestroi pada buah mangga (Mangivera indica L). Laporan ini memberikan tambahan informasi yang penting mengenai potensi fleksibilitas dan adaptabilitas perilaku makan rayap Coptotermes gestroi sebagai hama urban. Kata kunci: rayap, Coptotermes gestroi, mangga, fleksibilitas, adaptabilitas, perilaku makan ABSTRACT Termites are generally known as wood attacking insects. Termites attack wood either for nesting or foraging. Termites are known to harvest cellulosic structures of wood (either rotten dead or sound dead), living herbaceuous plants, grass, various plant debris and even dung. Genus Coptotermes is particularly considered as global economically important structural-pest, as well as agricultural nuisance. As the largest group of termite species, Coptotermes attacks on plantation has been immensely spread across Southeast Asian Countries. However Coptotermes group attacks spesifically on fruits, which is considered as anomaly, are not reported yet. The present study reported an important insight regarding Coptotermes sp. attack on mango fruits, Mangivera indica. The report may provide valuable information on feeding flexibility and adaptability of termite. Key words: termite, Coptotermes, mango fruit, flexibility, adaptability, feeding habit



PENDAHULUAN Rayap dikenal sebagai serangga selulolitik yang tersebar pada ekosistem dengan rentang distribusi yang luas. Rayap mampu membangun koloninya di area hutan, padang rumput dan bahkan di lokasi yang dekat dengan aktivitas manusia seperti perkebunan dan perumahan (Abe & Higashi, 1991). Rayap jenis Coptotermes (Rhinotermitidae) merupakan salah satu jenis rayap tanah (subterranean termite) yang bernilai ekonomi tinggi di dunia. Distribusinya dilaporkan telah menginvasi banyak negara di kawasan Asia, Amerika Utara, hingga Amerika Selatan seperti Brazil dan bahkan Eropa seperti Italia. Di Indonesia, rayap ini merupakan hama permukiman utama di area urban. Distribusi dari kelompok genus Coptotermes sangat erat hubungannya dengan keberadaan aktivitas antropogenik dan elevasi lahan pemukiman (Li et al., 2013). Inward et al., (2007) mengusulkan bahwa rayap merupakan organisme yang berevolusi dari nenek moyang lipas (Cryptocercus) yang memiliki perilaku makan omnivora. Keberadaan flagelata selulolitik yang merupakan simbion pada nenek moyang rayap dan lipas memungkinkan adanya perubahan perilaku makan. Dalam perjalanan



evolusinya rayap tidak hanya memanfaatkan selulosa pada kayu. Lee & Wood (1971) membagi rayap kedalam beberapa kelompok berdasarkan perilaku makannya seperti pemakan kayu (wood feeder) yang umumnya merupakan rayap tingkat rendah, dan pemakan rumput dan debris (grass and plant litter feeder), pemakan (humus/soil feeder), dan pemakan jamur (fungus grower), pemakan akar (special diet) yang umumnya merupakan kelompok rayap tingkat tinggi. Invasi kelompok grup fungsional rayap tanah, dalam hal ini janis Coptotermes sudah banyak dilaporkan. Seperti pada kayu komersial jenis Shorea leprosula Miq (Constantino, 2002), Hevea brasiliensis (Rahman et al., 2018) dan Pseudotsuga menziessii atau Pinus spp. (Hapukotuwa & Grace 2011), maupun pada tanaman perkebunan seperti tanaman kelapa sawit (Chan et al. 2011), tanaman buah kelapa dan mangga (Rahman et al. 2018). Namun, laporan mengenai kasus serangan pada buah tidak memiliki rekam jejak yang baik dan dalam tulisan ini penulis melaporkan serangan yang pertama kali dilaporkan pada buah mangga (Mangifera indica L.) varietas Harum Manis, di Indonesia.



1 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



METODE PENELITIAN Laporan ini dibuat melalui studi kasus dengan informasi yang didapatkan dari pemeriksaan kualitas kiriman buah dalam kemasan karton. Buah mangga dengan jenis varietas Harum Manis ini berasal dari Kota Gresik, Propinsi Jawa Timur. Kasus terjadi di Jakarta Pusat, Cipinang Utara, DKI pada bulan Juni 2017 dan spesimen rayap yang ada dibawa untuk diidentifikasi di Pusat Penelitian Biomaterial LIPI. Rayap dikoleksi dari buah dan juga dari lingkungan di sekitar buah (karton, palet, dan tanah) dan disimpan dalam alkohol 70% untuk tujuan identifikasi. Identifikasi dilakukan berdasar kunci identifikasi menurut (Ahmad, 1958) dan literatur lain (Scheffrahn & Su 2011; Krishna et al., 2013). Foto diambil menggunakan kamera digital Nikon AW100 dan morfologi rayap diamati dan diambil gambarnya menggunakan Digital USB Microscope Dino-Lite Pro AM 411T dengan perbesaran 50 – 80x. Laporan Kasus Infestasi rayap pada buah mangga (Mangifera indica L.) varietas Harum Manis ini terjadi pada Juni 2017. Kasus terjadi pada paket kiriman buah dalam kemasan karton dari Kota Gresik,



Laporan khusus serangan rayap....



Propinsi Jawa Timur. Kiriman dilakukan selama rentang waktu satu malam dan kasus infestasi termonitor pada hari ke 3 setelah paket sampai di Cipinang Utara, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Walau sebelumnya terdapat dua buah mangga yang terinfestasi, hanya satu buah mangga yang dapat di amati lebih lanjut dikarenakan cepatnya proses pembusukan buah kurang dari 3 hari setelah dilakukan pemotongan. Rayap teridentifikasi sebagai jenis Coptotermes gestroi (Wasmann) (Coptotermitinae, Rhinotermitidae) (Gambar 3). Serangan terjadi pada dua buah mangga yang berada dalam kemasan karton. Tiap bungkus karton berisi 10 kg mangga (± 20 pcs) dan terdapat tiga bungkus karton di area infestasi. Dari tiga bungkus karton yang ada terdapat satu karton yang terserang rayap dengan persentase infestasi pada 10% buah dalam satu kemasan karton. Rayap juga terlihat menyerang beberapa bagian lain di area infestasi selain buah yaitu dasar palet dan juga dasar karton pembungkus buah mangga. Termonitor jalur infestasi melalu celah yang ada di bagian persinggungan lantai dibawah palet. Posisi karton berada di ketinggian 30-40 cm di atas lantai (Gambar 1).



Gambar 1. Bagian di sekitar area infestasi yang terkena serangan rayap menjadi gambaran alur infestasi rayap di buah mangga dalam bungkusan karton. 1. Lantai bangunan dengan mudtube sebagai tanda infestasi; 2. Posisi palet yang bersebelahan dengan buah mangga dalam bungkusan karton; 3. dasar palet yang sudah terinfestasi rayap; 4. bagian karton yang terkena serangan rayap. Bagian yang terlihat dengan jelas terkena serangan secara anatomi adalah bagian exocarpium yaitu kulit buah dan mesocarpium atau daging buah. Ditemukan 7 lubang serupa di exocarpium namun hanya 3 yang menembus kedalam mesocarpium atau daging buah. Ukuran lubang bervariasi antara 2-3 mm. Serangan tidak sampai menembus lapisan endocarpium dan juga endosperm atau biji buah



(Gambar 2). Terdapat lapisan tanah kering yang melapisi meso carpium atau bagian buah yang sudah terjadi infestasi, sehingga kondisi di sekitar area infestasi cenderung sudah tidak lembek atau lebih kering bila dibandingkan dengan bagian daging buah yang baru saja terbuka.



Gambar 2. Infestasi rayap dalam buah mangga. A. Lubang infestasi terlihat di bagian exocarpium (kulit buah); B. bagian dalam mesocarpium (daging buah) yang memperlihatkan rongga pasca infestasi.



2 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



DISKUSI i. Identifikasi Dari hasil identifikasi melalui morfologi diketahui jenis rayap termasuk kedalam (morpho)spesies Coptotermes gestroi famili Rhinotermitidae. Famili Rhinotermitidae ini memiliki fontanel yang jelas di kepala dengan pronotum rata. Kepala meruncing di bagian anterior dan memiliki fontanel lebar dengan sedikit elongasi menjadi ciri dari genus Coptotermes. Ciri spesifik taksonomi kasta prajurit dari spesies C. gestroi adalah rambut jarang di bagian kepala, memiliki satu pasang rambut



Laporan khusus serangan rayap....



masing-masing terletak anterolateral di tepian fontanel dan terlihat sedikit gundukan kepala di posterior fontanel. Bagian pronotum memiliki rambut hanya di bagian anterior dan posterior sedangkan di bagian antara absen dan terdapat lekukan jelas di bagian anterior dan sedikit di bagian posterior. Antena berjumlah 15 dengan segmen ke 3 agak lebih pendek dibandingkan segmen ke 4 (Gambar 3). Pada saat dikoleksi prajurit pada jenis ini sangat agresif dan mengeluarkan cairan putih seperti mukus dari fontanel yang terlihat jelas di bagian distal kepala (Ahmad, 1958; Scheffrahn & Su 2011).



Gambar 3: Morfologi bagian caput C. gestroi. B: gundukan di bagian posterior kepala; H: Sepasang rambut di bagian anterolateral fontanel; F: Fontanel; P: Pronotum; E: Emarginasi; 1 st, 3rd, 4th, 15th: Antena.



ii. Pola kerusakan Setiap jenis rayap meninggalkan pola kerusakan yang spesifik. Pada hasil pengamatan di lapangan terlihat adanya tube tanah pada lantai yang muncul dari celah lantai. Kemudian serangan juga dilakukan pada kayu palet diteruskan ke kardus dan kemudian pada buah yang terletak di ketinggian lebih dari 30 cm di atas tanah. Natawiria (1898) dalam Fernandes dan Ngatiman (2015) menjelaskan pola serangan Coptotermes adalah ditemukannya bekas jalur tanah dan serangan dilakukan sampai beberapa meter di atas tanah. Di buah mangga yang terserang juga termonitor adanya pola galeri di salah satu ruang infestasinya dan terdapat lapisan tipis tanah yang membuat daging buah yang terbuka di ruang infestasi tidak lembek (Gambar 4). Serangan yang terjadi di tanaman kelapa sawit oleh Coptotermes curvignathus di lahan gambut juga memperlihatkan pola sama yaitu di bagian pohon muda ditemukan pola terowongan exkavasi dan dilengkapi dengan material karton yang membentuk galeri. Selain itu ditemukannya bukti palet dan karton dengan jalur infestasi rayap yang terhubung menjadi pola dan mengkonfirmasi serangan rayap pada buah mangga tersebut (Gambar 2).



Waktu 3 hari setelah paket buah sampai di tempat infestasi merupakan waktu yang cukup bagi rayap Coptotermes gestroi untuk melakukan serangan pada buah mangga bila dilihat dari potensi kadar air dan kadar gula di dalamnya. Backwell et al., (2012) melakukan pengujian mengenai preferensi pakan berupa tulang manusia terhadap Trinervitermes trinervoides dan ditemukan tanda-tanda investasi setalah 6 bulan penguburan tulang di sekitar koloni tersebut. Sedangkan Coptotermes formosanus hanya membutuhkan waktu 4 jam setelah release untuk mampu mengidentifikasi dan berkumpul pada chamber dengan persentase humidity tertinggi (98%) guna mendukung survivalitas (Gautam & Henderson 2011). Uji coba preferensi pakan Microtermes traegardhi terhadap kadar gula oleh Abushama & Kambal (1977) juga menunjukkan hampir 90% berat pakan uji dengan konten fruktosa berkurang hanya dalam waktu 3 hari. M. traegardhi juga menunjukkan > 60% peningkatan signifikan konsumsi rata rata pada persentase fruktosa 20% selama 3 hari, sedangkan kenaikan konsumsi rata rata pada persentase fruktosa di atas 20% tidak terlihat besar. i. Potensi kadar air



3 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Serangan pada bagian buah pada tanaman mangga yang terjadi oleh C. gestroi merupakan hal yang belum pernah dilaporkan. Yamono (1997) di dalam Nakayama et al., (2005) menjelaskan bahwa spesies didalam genus Coptotermes merupakan kelompok multiple nest yang memiliki perilaku mencari makan jauh dari sarang. Walaupun C. gestroi memiliki toleransi terhadap desikasi, Nakayama et al., (2005) menjelaskan pentingnya konten air didalam sumber makanan bagi kelangsungan hidup koloni. Ketiadaan konten air dalam pakan membuat C. gestroi bertahan hidup hanya 4 hari dengan humiditas lingkungan yang tinggi. Namun humiditas lingkungan yang tinggi (>75%) dan temperatur yang optimal (28 0 C) tetap penting bagi survivalitas Coptotermes formosanus (Gautam & Henderson 2011). Aak (1991) juga menjelaskan mengenai kandungan buah manga pada umumnya adalah 80% air dengan 15-20% gula. Kemungkinan C. gestroi berusaha memanfaatkan kandungan air pada buah mangga sangat dimungkinkan dengan ditemukannya tanda percobaan pembuatan lubang akses kedalam mesocarpium melalui exocarpium atau kulit mangga sebanyak 7 lubang dengan 3 lubang berhasil menembus daging buah dan melanjutkan invasi. Secara mikroanatomi, Silva & Costa-Leonardo (2017) dalam penelitiannya menyebutkan, susunan trikoma pada anatomi permukaan frontal farinx kasta pekerja rayap C. gestroi dan Heterotermes tenuis memiliki bentuk dan densitas yang sama dan mewakili spesies dalam Rhinotermitidae dengan Multiple-nest. Dengan



Laporan khusus serangan rayap....



dilengkapi struktur anatomi trikoma tersebut rayap subteran yang memiliki area makan diluar nest ini akan mengalami peningkatan kemampuan akuisisi air dari sumber pakan. Hal ini menunjukkan sangat penting tercukupinya kadar air dalam sumber pakan bagi C. gestroi. ii. Potensi kadar gula Selain mendapatkan selulosa dan sumber air, probabilitas lain adalah preferensi terhadap kadar gula yang ada dalam buah mangga. Menurut Aak (1991) kandungan karbohidrat buah mangga terdiri dari gula sederhana, tepung dan selulosa. Gula sederhana tersebut adalah sukrosa, gluktosa dan fruktosa. Abushama dan Kambal (1977) menjelaskan dalam percobaannya bahwa Microtermes traegardhi, yang merupakan hama utama di perkebunan tebu di Sudan, memiliki nafsu makan lebih tinggi ketika diberikan preferensi pakan berupa batang kering jawawut yang di rendam dalam masing-masing 20% Fruktosa, Sukrosa dan Glukosa, bila dibandingkan dengan kontrol yang direndam dalam air saja. Kenaikan persentase masing masing gula diikuti kenaikan lost weight pada batang jewawut kering. Fruktosa adalah gula yang paling diminati diikuti sukrosa dan glukosa berturut turut. Probabilitas preferensi kadar gula juga dimungkinkan terjadi pada C. gestroi. Walaupun kelompok Coptotermitinae bukan merupakan fungusgrowing termite seperti kelompok Macrotermitinae, genus Coptotermes juga merupakan hama umum bagi tanaman tebu di Afrika, India, Pakistan China, dan Asia Tenggara (Hill, 1983)



Gambar 4. Pola galeri terlihat pada ruang infestasi. Terdapat dua lubang menuju pada satu ruangan yaitu ditunjukkan oleh no. [1] dan [2]. Terlihat lapisan tanah melapisi sekeliling ruangan infestasi.



4 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



iii. Potensi Ko-evolusi Usulan lain yang menjadi dasar dalam menjelaskan perilaku makan Coptotermes gestroi pada bagian buah pada tanaman adalah proses koevolusi dengan mikroorganisme tanah di sekitar habitat spesifik yang membentuk preferensi pakan. Dalam Donovan et al (2001), digolongkan 4 grup fungsional berdasarkan analisis morfologi dan konten isi perut rayap. Walaupun dalam penjelasan pengelompokan genus Coptotermes dimasukkan kedalam grup fungsional pemakan kayu mati dan rumput bersama rayap tingkat rendah lainnya, satu hal yang spesifik dilakukan oleh kelompok Coptotermes dan tidak dilakukan kelompok genus lain dalam grup yang sama adalah memanfaatkan tanah dalam membangun sarang (Mound). Pemanfaatan tanah memungkinkan pre-adaptasi asosiasi dengan mikroorganisme tanah yang dalam proses koevolusinya menjadi sumber bakteri usus seperti yang diketahui pada rayap tingkat tinggi true-soil feeder (Termitidae). Struktur komunitas bakteria dalam usus lipas omnivora Shelfordella lateralis, pada khususnya kelompok Bacteroidetes dan Elusimicrobia, merupakan endomicrobia yang spesifik mengolonisasi permukaan atau interior flagelata usus rayap pemakan kayu (Herlemann et al., 2007, Schauer et al., 2012). Walaupun fungsi metabolik endomikrobia pada flagelata didalam usus rayap belum diketahui (IkedaOhtsubo et al., 2007). Pengamatan konten usus dan struktur komunitas dapat membantu dalam analisis preferensi pakan terhadap buah lebih lanjut. Dengan adanya potensi fleksibilitas perilaku makan yang teramati tersebut, Coptotermes gestroi memiliki landasan perilaku penting untuk dapat dianggap sebagai hama potensial di area urban yang mampu mengeksploitasi dan mengeksplorasi kemungkinan sumber makanan baru disekitarnya (Duncan et al., 2003). Kesimpulan Laporan kasus ini memberikan tambahan informasi mengenai potensi fleksibilitas dan adaptabilitas perilaku makan rayap Coptotermes gestroi terhadap bagian buah tanaman Mangga (Mangivera indica L). Perilaku ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu keberadaan kadar air dan kadar gula serta faktor ko-evolusi dengan mikroorganisme spesifik yang membentuk pola perilaku makan. Daftar Pustaka Aak. 1991. Budidaya Tanaman Mangga. Yogyakarta. Kanisius, hal: 22 Abe, T., and M. Higashi. 1991. Cellulose Centered Perspective on Terrestrial Community Structure. Oikos 60:127-133. Abushama, F. T., and M. A. Kambal. 1977. The role of sugars in the food‐selection of the termite Microtermes traegardhi (Sjost.). Zeitschrift für Angewandte Entomologie 84:250-255.



Laporan khusus serangan rayap....



Ahmad, M. 1958. Key to the Indomalayan Termites. Biologia 4:1988:1-193. Backwell, L. R., A. H. Parkinson, E. M. Roberts, F. d'Errico, and J.-B. Huchet. 2012. Criteria for identifying bone modification by termites in the fossil record. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 337338:72-87. Chan, S.-P., C.-F. J. Bong, and W.-H. Lau. 2011. Damage Pattern and Nesting Characteristic of Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in Oil Palm on Peat. American Journal of Applied Sciences 8:420-427. Constantino, R. 2002. The pest termites of South America: taxonomy, distribution and status. Journal of Applied Entomology 126:355365. Donovan, S. E., P. Eggleton, and D. E. Bignell. 2001. Gut content analysis and a new feeding group classifcation of termites. Ecological Entomology 26:356-366. Duncan, R. P., T. M. Blackburn, and D. Sol. 2003. The Ecology of Bird Introductions. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics 34:71-98. Gautam, B. K., and G. Henderson. 2011. Relative humidity preference and survival of starved Formosan subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae) at various temperature and relative humidity conditions. Environ Entomol 40:1232-1238. Hapukotuwa, N. K., and J. K. Grace. 2011. Preferences of Coptotermes formosanus Shiraki and Coptotermes gestroi (Wasmann) (Blattodea: Rhinotermitidae) among Three Commercial Wood Species. Insects 2:499508. Herlemann, D. P., O. Geissinger, and A. Brune. 2007. The termite group I phylum is highly diverse and widespread in the environment. Appl Environ Microbiol 73:6682-6685. Hill, D. S. 1983. Agricultural insect pests of the tropics and their control. Cambridge University Press, Cambridge. Ikeda-Ohtsubo, W., M. Desai, U. Stingl, and A. Brune. 2007. Phylogenetic diversity of 'Endomicrobia' and their specific affiliation with termite gut flagellates. Microbiology 153:3458-3465. Inward, D., G. Beccaloni, and P. Eggleton. 2007. Death of an order: a comprehensive molecular phylogenetic study confirms that termites are eusocial cockroaches. Biol Lett 3:331-335. Krishna, K., D. A. Grimaldi, V. Krishna, and M. S. Engel. 2013. Treatise on the Isoptera of the World. Bulletin of the American Museum of Natural History 377:1-200.



5 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Laporan khusus serangan rayap....



Lee, K. E., and T. G. Wood. 1971. Termites and Soils. Academic Press, London, UK. Li, H.-F., I. Fujisaki, and N.-Y. Su. 2013. Predicting Habitat Suitability of Coptotermes gestroi (Isoptera: Rhinotermitidae) With Species Distribution Models. Journal of Economic Entomology 106:311-321. Natawiria, D. 1989. Teknik pengenalan hama hutan tanaman industri. Informasi Teknik No.4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. dalam Fernandes, A., and Ngatiman. 2015. KnE Life Sciences 2:544. Rahman, H., K. Fernandez, and N. Arumugam. 2018. Termites Infesting Malaysian Forests: Case Study from Bornean Forest, Sabah, Malaysia. Pages 97-118 in M. A. Khan and W. Ahmad, editors. Termites and Sustainable Management: Volume 2 - Economic Losses and Management. Springer International Publishing, Cham. Schauer, C., C. L. Thompson, and A. Brune. 2012. The bacterial community in the gut of the Cockroach Shelfordella lateralis reflects the close evolutionary relatedness of cockroaches and termites. Appl Environ Microbiol 78:2758-2767. Scheffrahn, R., and N.-Y. Su. 2011. Asian Subterranean Termite, Coptotermes gestroi (=havilandi) (Wasmann) (Insecta: Isoptera: Rhinotermitidae). University of Florida. 2011:1-6. Yamano K (1997) Practical knowledge for biology of termites (1) (in Japanese). Shiroari 107:12– 21. dalam Nakayama, T., T. Yoshimura, and Y. Imamura. 2005. Journal of Wood Science 51:60-65.



6 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) Di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Kabupaten Tanggamus, Lampung Mustika Dwihandayani1*, Nismah Nukmal1, Gina D. Pratami1, dan Jani Master1 1



Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145 * Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Hutan Lindung Batutegi merupakan kawasan hutan yang digunakan sebagai salah satu lokasi pelepas liaran satwa yang dilindungi termasuk kukang sumatera (Nycticebus coucang) oleh YIARI. Kukang tergolong hewan omnivora dan serangga merupakan salah satu pakan asal hewan yang disukai kukang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga sebagai pakan alami kukang sumatera di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Lampung guna menunjang konservasi kukang sumatera. Pengambilan sampel dilakukan pada dua habitat, yaitu kebun dan hutan sekunder dengan teknik purposive sampling menggunakan metode jelajah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2016 dengan menggunakan perangkap cahaya (light trap, light sheet) untuk serangga nocturnal dan jala ayun (sweep net) untuk serangga diurnal. Jumlah serangga pakan kukang yang diperoleh sebanyak 24 famili dengan jumlah famili terbanyak yaitu famili Acrididae, Formicidae, Chrysomelidae, Tettiginidae, dan Gryllidae. Di kebun Talang Ajir didapatkan 22 famili dan di hutan sekunder 20 famili, sedangkan di kebun Talang Kadum didapatkan 19 famili dan di hutan sekunder 14 famili. Kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan serangga tertinggi ditemukan pada Talang Ajir. Indeks keanekaragaman pada kedua tipe habitat tergolong dalam kategori sedang dengan nilai indeks berkisar antara 1,94 – 2,28, dengan indeks kemerataan tergolong rendah (0,33 – 0,39) dan indeks kesamaan komunitas serangga tergolong tinggi (63,15%). Talang Ajir lebih berpotensi sebagai lokasi pelepasliaran kukang (Nycticebus coucang) dan lokasi hutan sekunder lebih baik dari pada kebun karena tidak adanya famili yang mendominasi dan penyebaran serangganya lebih merata. Kata kunci: keanekaragaman, KPHL Batutegi, kukang sumatera (Nycticebus coucang), serangga, YIARI ABSTRAK Hutan Lindung Batuegi is a forest area that is used as one of the protected wildlife release locations



including the Sumatran loris (Nycticebus coucang) by YIARI. Loris is classified as an omnivorous animal and an insect is one of the animals' preferred animal feed. This study aims to determine the diversity of insects as the natural feed of the Sumatran loris in Batutegi Protected Forest Area Tanggamus Lampung to support the conservation of loris of Sumatra. Sampling was done on two habitats, namely garden and secondary forest with purposive sampling technique using cruising method. The study was conducted from August to October 2016 using light traps, light sheets for nocturnal insects and sweep net for diurnal insects. The number of feeding loris insects obtained by 24 families with the largest number of families are Acrididae, Formicidae, Chrysomelidae, Tettiginidae, and Gryllidae. In the gardens Talang Ajir found 22 families and in the secondary forest of 20 families, whereas in the garden Talang Kadum found 19 families and in the secondary forest 14 families. The highest abundance, richness, diversity, and evenness of insects are found in Ajir Gutter. The diversity index in both habitat types was in the medium category with the index value ranging from 1,94 - 2,28, with low fairness index (0,33 - 0,39) and the insect community similarity index were high (63,15%) . Gutter Ajir is more potential as a loris slaughter site (Nycticebus coucang) and secondary forest location is better than gardens because there is no dominant family and the spread of its insects is more evenly distributed. Key words: diversity, KPHL Batuegi, Sumatran loris (Nycticebus coucang), insect, YIARI PENDAHULUAN Kelas insecta merupakan anggota terbanyak dari filum Arthropoda dan merupakan hewan yang dominan di muka bumi, diperkirakan mencapai 90% dari Arthropoda yang ada dengan 30 juta spesies (Hadi dkk., 2009). Lebih dari 800.000 spesies serangga sudah diketahui (Borror et al., 2005). Serangga dapat ditemukan di mana saja, dapat hidup di hampir semua habitat darat, perairan tawar, udara dan jarang ditemukan di habitat laut. Serangga



memiliki kemampuan bereproduksi yang tinggi, kemampuan terbangnya merupakan kunci kesuksesan serangga. Sehingga serangga memiliki keanekaragaman dan kemelimpahan yang tinggi (Campbell et al., 2012). Keberadaan serangga dapat dijadikan indikator biodiversitas, kesehatan suatu ekosistem, dan degradasi landscape. Serangga memiliki peranan penting sebagai dekomposer, polinator, predator dan parasitoid (pengendali hayati) (Untung, 2006). Selain 7 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



itu serangga juga dapat dijadikan sebagai sumber pakan (Borror et al., 1992), termasuk sebagai pakan alami kukang (Nycticebus sp.) (Nekaris dan Bearder, 2007). Menurut Sinaga dkk., (2010) serangga merupakan pakan asal hewan yang disukai kukang. Tingginya perburuan dan perdagangan kukang menimbulkan ancaman yang serius terhadap kelestarian kukang (Nursahid dan Purnama, 2007). Menurut Nekaris & Campbell (2012), meningkatnya perdagangan kukang sebagai hewan kesayangan (pet animals) menjadi penyebab menurunnya populasi kukang di alam. Bahkan kukang juga digunakan sebagai bahan obat tradisional (Starr et al., 2010). Oleh sebab itu kukang berada pada status Apendiks I (CITES, 2007) dan vulnerable (rentan) (IUCN, 2013). Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) atau yang dikenal dengan International Animal Rescue (IAR) melakukan rehabilitasi dan pelepasliaran kukang sumatera di Kawasan Hutan Lindung Batutegi guna menjaga kelestarian kukang di alam (YIARI, 2015). Hutan Lindung Batutegi merupakan tipe hutan primer dan sekunder (Dishutprov Lampung, 2013) yang termasuk tipe habitat yang disukai oleh kukang (Nekaris dan Shekelle, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis serangga pakan kukang sumatera di lokasi pelepasliaran kukang sumatera di Kawasan Hutan Lindung Batutegi, Tanggamus, Lampung sehingga dapat digunakan sebagai acuan dasar dalam pemilihan lokasi pelepasliaran kukang sumatera, guna menunjang konservasi satwa tersebut. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Provinsi Lampung. Secara geografis Hutan Lindung Batutegi terletak antara 104º27ꞌ-104º55ꞌ BT dan 05º48ꞌ-5º22ꞌ LS. Penelitian dilaksanakan di lokasi pelepasliaran kukang sumatera (Nycticebus coucang) oleh YIARI di Talang Ajir (301-430 mdpl) dan Talang Kadum (221429 mdpl) (Gambar 1) yang dilakukan pada dua tipe habitat, yaitu kebun dan hutan sekunder. Pengambilan sampel dan identifikasi Pengambilan sampel dilakukan mulai bulan Agustus - Oktober 2016 dengan teknik purposive sampling yaitu membuat titik koordinat di masingmasing lokasi berdasarkan titik dijumpainya kukang sedang makan dan mencari makan berdasarkan data observasi YIARI. Pada masing-masing lokasi terdapat 3 habitat kebun dan 3 habitat hutan sekunder, masingmasing habitat terdapat 2 titik koordinat dimana 1 titik untuk perangkap light trap dan 1 titik untuk perangkap light sheet serta membuat jalur jelajah yang menghubungkan antara masing-masing titik untuk



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



menangkap sampel menggunakan jala ayun (sweep net) (Gambar 2). Pengambilan sampel malam hari menggunakan perangkap cahaya (light trap dan light sheet) serta pagi dan sore hari menggunakan jala ayun (sweep net) (Gambar 3). Sebelum pengambilan sampel, dilakukan pengukuran suhu lingkungan dengan thermometer serta kelembaban relatif dengan hygrometer yang dilakukan dua kali, yaitu saat peletakkan perangkap dan saat pengoleksian serangga. Pengambilan sampel menggunakan light trap dengan cara menggantungkannya di atas pohon dengan tinggi ±7-9 meter untuk di hutan sekunder dan ±3-5 meter untuk kebun. Pemasangan light trap pukul 18.00 WIB-23.00 WIB pada masing-masing titik koordinat. Serangga yang terperangkap light trap dikumpulkan dan dimasukan ke dalam botol koleksi dan diberi label. Pemasangan light sheet dilakukan pada pukul 19.00-00.00 WIB pada masing-masing titik koordinat. Serangga yang terperangkap di light sheet diambil menggunakan pinset dan dibantu dengan jala ayun untuk menangkap serangga. Pengambilan sampel menggunakan sweep net dilakukan dengan mengayunkan jala kearah serangga pada pukul 07.00 WIB-11.00 WIB dan 15.00 WIB-18.00 WIB. Pengambilan sampel serangga pada masingmasing titik koordinat dilakukan sekali pengambilan. Serangga yang dikoleksi hanya jenis-jenis serangga pakan kukang yaitu kumbang (Coleoptera), semut (Hymenoptera), kepik (Hemiptera), kupu-kupu & ngengat (Lepidoptera), jangkrik & belalang (Orthoptera) (Wiens, 2002), tonggeret (Homoptera) (Octavianata, 2014). Serangga yang dikoleksi di lapangan dimasukkan kedalam stoples plastik yang telah diisi alkohol 70% dan dikelompokkan berdasarkan ordo, lokasi dan perangkap. Kemudian sampel diidentifikasi hingga tingkat famili dan dihitung jumlahnya. Proses identifikasi dilakukan berdasarkan ciri morfologi eksternal dengan menggunakan buku Borror et al., (1992) dan bantuan media online yaitu Bug Guide (Bugguide.net). Analisis data Keanekaragaman famili serangga pakan kukang dianalisis menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Hꞌ): Hꞌ = - ∑ Pi ln Pi (Magguran, 2004). Kemerataan jenis pada suatu habitat dapat dihitung menggunakan formulasi Pielou: E = (Odum, 1993). Sedangkan kesamaan komunitas serangga antar tipe habitat dianalisis dengan menggunakan Indeks similaritas atau indeks kesamaan spesies serangga antar lokasi dianalisis menggunakan rumus IS Bray-Curtis: IS = x 100 %; dengan nilai indeks ketidaksamaan atau indeks disimilaritas (ID) dapat dihitung dengan rumus : ID = 100 – IS



8 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Gambar 1. Lokasi penelitian di Talang Ajir dan Talang Kadum pada Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Lampung.



Gambar 2. Titik pengambilan sampel serangga (light sheet dan light trap) di Talang Ajir dan Talang Kadum pada Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Lampung.



(a)



(b)



(c)



Gambar 3. Perangkap. (a) Jala ayun, (b) Light trap, (c) Light sheet



9 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang Jumlah serangga pakan kukang yang didapatkan selama penelitian sebanyak 24 famili yang termasuk kedalam 6 ordo yaitu Orthoptera, Coleoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Homoptera, Lepidoptera. Famili yang paling banyak ditemukan adalah Acrididae berkisar antara 15,71% - 47,03%, disusul oleh Formicidae (8,22% - 34,03%), Chrysomelidae (1,74% - 18,70%), Gryllidae (2,62% 10,74%), dan Tettigonidae (1,57% - 10,76%). Di mana famili Acrididae, Gryllidae, dan Tettigonidae termasuk kedalam ordo Orthoptera (Tabel 1). Distribusi serangga berdasarkan tipe habitat dari 24 famili yang didapatkan, semua famili tersebut ditemukan di Talang Ajir, dan 20 famili ditemukan di Talang Kadum. Di mana pada kebun Talang Ajir didapatkan 22 famili dan pada hutan sekunder Talang Ajir didapatkan 20 famili. Sedangkan pada kebun Talang Kadum didapatkan 19 famili dan di hutan sekunder Talang Kadum didapatkan 14 famili, 4 famili (Lucanidae, Reduviidae, Achanthosomatidae, dan Arctiidae) hanya didapatkan pada Talang Ajir, di mana famili Lucanidae dan Achantosomatidae hanya ditemukan dihabitat hutan sekunder Talang Ajir dan tidak ditemukan dihabitat lainnya (Tabel 1). Kelimpahan dan keanekaragaman serangga tertinggi ditemukan pada Talang Ajir. Hasil ini sesuai dengan vegetasi pohon dan tumbuhan serta kondisi habitat di Talang Ajir yang lebih beragam dan memiliki niche yang luas. Menurut Connor dan McCoy (1979) bahwa keanekaragaman habitat akan memengaruhi keanekaragaman jenis yang ada di dalamnya yaitu habitat yang lebih heterogen mampu memberikan niche yang lebih banyak, sehingga mampu menopang jenis organisme yang lebih banyak pula, atau lebih sederhananya, habitat yang lebih beragam menyebabkan keanekaragaman jenis yang lebih beragam juga. Struktur komunitas serangga menunjukkan bahwa kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman serangga tertinggi ditemukan pada Talang Ajir. Nilai keanekaragaman dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener pada Talang Ajir sebesar 2,37 dan Talang Kadum sebesar 2,15 dengan indeks kemerataan masing-masing sebesar 0,34. Hal tersebut menunjukkan bahwa lokasi Talang Ajir memiliki keanekaragaman serangga yang lebih tinggi dibandingkan dengan Talang Kadum (Gambar 4). Nilai keanekaragaman pada kebun dan hutan sekunder Talang Ajir masing-masing sebesar 2,28 dengan kemerataan pada kebun sebesar 0,34 dan 0,38 pada hutan sekunder, sedangkan nilai keanekaragaman pada kebun Talang Kadum sebesar 1,94 dengan kemerataan sebesar 0,33 dan hutan sekunder sebesar 2,06 dengan kemerataan sebesar 0,39. Nilai indeks Shannon-Wiener pada masingmasing lokasi masih tergolong sedang dengan indeks kemerataan yang rendah (Gambar 4).



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Indeks keanekaragaman serangga pada semua lokasi berkisar antara 1,94 – 2,37 yang termasuk dalam kategori sedang, di mana hal tersebut menunjukkan terdapat tekanan yang sedang dan kestabilan ekosistemnya cukup baik (1 ≤ H ≤ 3) (Magurran, 2004) dengan nilai indeks kemerataan sebesar 0,33 – 0,39 yang termasuk dalam kategori rendah (E < 0,4) (Odum, 1993), hal tersebut menunjukkan bahwa kemerataan jenis serangga pada lokasi penelitian tidak merata (Gambar 4). Pada kebun dan hutan sekunder Talang Ajir memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi yaitu sebesar 2,28, dengan indeks kemerataan sebesar 0,34 pada kebun dan 0,38 pada hutan sekunder. Hal tersebut menunjukkan bahwa hutan sekunder di Talang Ajir memiliki keanekaragaman yang sama dengan habitat lain dan memiliki kemerataan serangga yang lebih merata dibandingkan habitat kebun. Tinggi dan rendahnya tingkat keanekaragaman famili serangga yang diperoleh tergantung dari berbagai faktor seperti faktor biotik dan abiotik. Menurut Hadi dkk., (2009) bahwa serangga tertarik pada tumbuhan, baik untuk makanan atau sebagai tempat berlindung. Berdasarkan Jumar (2000) faktor luar yang mempengaruhi keberadaan serangga yaitu suhu atau kisaran suhu, kelembaban atau hujan, cahaya, warna, bau, dan angin, serta adanya faktor makanan dan faktor hayati. Suhu rata-rata di Talang Ajir sebesar 23,4ºC dan kelembapan sebesar 78% serta tingkat curah hujan lebih sedikit dibandingkan dengan cuaca cerah. Sedangkan pada lokasi Talang Kadum memiliki ratarata suhu sebesar 22,8ºC dengan kelembapan 76,7%. Sehingga suhu di Talang Ajir lebih tinggi dan lebih mendekati suhu optimum tumbuh serangga (22,6ºC – 24,9ºC) dari pada Talang Kadum (22,5ºC – 23,3ºC). Maka hal tersebut diduga menjadi penyebab adanya perbedaan kemelimpahan serangga pada lokasi penelitian. Di mana menurut Jumar (2000) suhu optimum serangga untuk berkembang biak adalah 25ºC. Sedangkan menurut Gulo, dkk., (2014) curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan kehadiran serangga khususnya hama semakin menurun. Persentase serangga pakan kukang yang paling tinggi yaitu ordo Orthoptera (51,81% 72,52%) yang mendominasi di habitat kebun. Pada hutan sekunder Talang Ajir memiliki persentase ordo pakan kukang sebesar 1,75% - 35,66%, sedangkan di hutan sekunder Talang Kadum sebesar 1,05% 34,03% (Gambar 5). Suhu rata-rata di Talang Ajir sebesar 23,4ºC dan kelembapan sebesar 78% serta tingkat curah hujan lebih sedikit dibandingkan dengan cuaca cerah. Sedangkan pada lokasi Talang Kadum memiliki ratarata suhu sebesar 22,8ºC dengan kelembapan 76,7%. Sehingga suhu di Talang Ajir lebih tinggi dan lebih mendekati suhu optimum tumbuh serangga (22,6ºC – 24,9ºC) dari pada Talang Kadum (22,5ºC – 23,3ºC). Maka hal tersebut diduga menjadi penyebab adanya perbedaan kemelimpahan serangga pada lokasi 10 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



penelitian. Di mana menurut Jumar (2000) suhu optimum serangga untuk berkembang biak adalah 25ºC. Sedangkan menurut Gulo, dkk., (2014) curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan kehadiran serangga khususnya hama semakin menurun. Persentase serangga pakan kukang yang paling tinggi yaitu ordo Orthoptera (51,81% 72,52%) yang mendominasi di habitat kebun. Pada hutan sekunder Talang Ajir memiliki persentase ordo pakan kukang sebesar 1,75% - 35,66%, sedangkan di hutan sekunder Talang Kadum sebesar 1,05% 34,03% (Gambar 5).



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Ordo Orthoptera banyak ditemukan di lokasi penelitian diantaranya famili Acrididae, Tettigonidae dan Gryllidae yang mendominasi lokasi penelitian terutama habitat kebun. Hal tersebut disebabkan karena ordo Orthoptera lebih banyak makan rumput dan tumbuh-tumbuhan serta membutuhkan tumbuhan sebagai inangnya. Sesuai dengan pernyataan Borror et. al., (1992) bahwa famili Acrididae merupakan serangga pemakan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan Tettigonidae meletakkan telurnya kedalam jaringanjaringan tumbuhan dan kebanyakan memakan tumbuh-tumbuhan dan Gryllidae juga meletakkan telur nya di dalam tanah atau tumbuh-tumbuhan.



Tabel 1. Ordo dan famili serangga pakan kukang yang ditemukan di kebun dan hutan pada lokasi Talang Ajir dan Talang Kadum di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus. Talang Ajir Talang Kadum No. Ordo Family Kebun Hutan Kebun Hutan 1 Orthoptera 1 Acrididae 27,52% 15,71% 47,03% 20,94% 2 Gryllidae 10,74% 6,23% 8,22% 2,62% 3 Tettigonidae 7,65% 2,00% 10,76% 1,57% 4 Tetrigidae 4,30% 2,00% 6,23% 3,14% 5 Pyrgomorphidae 1,61% 0,00% 0,28% 0,00% Jumlah 5 Famili 51,81% 25,94% 72,52% 28,27% 2 Coleoptera 6 Chrysomelidae 1,74% 18,70% 1,98% 8,38% 7 Coccinelidae 8,86% 3,49% 1,13% 6,28% 8 Scarabaeidae 4,83% 4,99% 1,42% 4,19% 9 Tenebrionidae 4,30% 4,49% 2,55% 0,00% 10 Carabidae 3,62% 0,75% 0,85% 2,62% 11 Cerambycidae 0,54% 1,50% 3,97% 0,00% 12 Curculionidae 0,81% 1,50% 0,85% 0,00% 13 Oedemeridae 0,00% 0,25% 0,57% 0,00% 14 Lucanidae 0,27% 0,00% 0,00% 0,00% Jumlah 9 Famili 24,97% 35,66% 13,31% 21,47% 3 Hymenoptera 15 Formicidae 19,06% 28,43% 8,22% 34,03% Jumlah 1 Famili 19,06% 28,43% 8,22% 34,03% 4 Hemiptera 16 Miridae 1,74% 2,99% 3,68% 7,85% 17 Pentatomidae 0,54% 2,49% 0,57% 2,09% 18 Reduviidae 0,13% 0,75% 0,00% 0,00% 19 Acanthosomatidae 0,13% 0,00% 0,00% 0,00% Jumlah 4 Famili 2,55% 6,23% 4,25% 9,95% 5 Homoptera 20 Cicadidae 0,40% 1,75% 0,57% 5,24% Jumlah 1 Famili 0,40% 1,75% 0,57% 5,24% 6 Lepidoptera 21 Noctuidae 0,40% 0,75% 0,57% 0,00% 22 Arctiidae 0,40% 1,00% 0,00% 0,00% 23 Saturnidae 0,27% 0,00% 0,28% 0,52% 24 Pyralidae 0,00% 0,25% 0,00% 0,52% Jumlah 4 Famili 1,07% 2,00% 0,85% 1,05% Jumlah Persentase 100% 100% 100% 100% Total Famili 24 22 20 19 14



11 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Gambar 4. Indeks keanekaragaman (Hꞌ) dan Indeks kemerataan (E) serangga pakan kukang pada masing-masing lokasi.



Gambar 5. Persentase ordo serangga pakan kukang pada masing-masing lokasi. Keanekaragaman serangga pakan kukang pada lokasi kebun didominasi oleh ordo Orthoptera (25,94% - 72,52%) (Gambar 5) yang diduga disebabkan oleh penggunaan pestisida serta herbisida oleh petani di lokasi penelitian. Saragih (2008) menyatakan bahwa naik turunnya nilai keragaman jenis serangga berhubungan dengan penggunaan pestisida. Di mana dalam penggunaan pestisida yang secara langsung berdampak pada keseluruhan jenis serangga khususnya serangga hama. Ledakan hama ini kemungkinan adanya resistensi dan resurgensi terhadap pestisida. Tingginya keberlimpahan famili Formicidae disebabkan famili tersebut adalah kelompok yang sangat umum dan menyebar luas. Hal ini ditunjukkan dari beberapa hasil penelitian dari Patang (2011) dan Kartikasari dkk., (2015) yang menemukan famili Formicidae dalam jumlah yang banyak dan menurut Atkins (1980) famili Formicidae umumnya



mendominasi daerah sekitar hutan hujan tropik. Sedangkan famili Chrysomelidae termasuk kumbang pemakan tumbuhan (Borror et. al., 1992), sehingga famili tersebut banyak ditemukan di lokasi penelitian. Persentase kehadiran serangga pakan kukang paling tinggi ditemukan di hutan sekunder kecuali ordo Orthoptera yang hanya mendominasi kebun (Tabel 1). Di hutan sekunder Talang Ajir memiliki persentase ordo pakan kukang sebesar 1,75% 35,66% dan di hutan sekunder Talang Kadum sebesar 1,05% - 34,03% (Gambar 5), yang menunjukan bahwa kedua lokasi memiliki persentase yang tidak berbeda jauh dan tidak menunjukan adanya ordo serangga pakan kukang yang dominan. Sehingga habitat hutan sekunder Talang Ajir memiliki potensi untuk pelepasliaran Kukang Sumatera (Nycticebus coucang), ditunjukkan dengan ketersediaannya serangga pakan kukang lebih merata dan tidak adanya serangga yang mendominasi. 12 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Gambar 6. Indeks kesamaan (IS) dan indeks ketidaksamaan (ID) serangga pakan kukang pada masing-masing lokasi. diversitas akan mempengaruhi stabilitas komunitas Kesamaan serangga Kesamaan famili serangga pada Talang Ajir dengan memberikan keseimbangan faktor fisik. dan Talang Kadum tergolong tinggi yaitu dengan nilai 63,15%. Kesamaan serangga antar habitat KESIMPULAN Jumlah serangga yang diperoleh sebanyak 24 menunjukkan indeks kesamaan terbesar antara kebun famili yang didominasi oleh famili Acrididae, Talang Ajir dan kebun Talang Kadum dengan nilai Formicidae, Chrysomelidae, Tettigonidae, dan indeks kesamaan sebesar 62,04%, kemudian antara hutan sekunder Talang Ajir dan hutan sekunder Gryllidae. Di kebun Talang Ajir didapatkan 22 famili Talang Kadum sebesar 61,49%. Indeks kesamaan dan di hutan sekunder 20 famili, sedangkan di kebun serangga terkecil antara kebun Talang Ajir dan hutan Talang Kadum didapatkan 19 famili dan di hutan sekunder Talang Kadum dengan nilai 38,07% sekunder 14 famili. Kelimpahan, kekayaan, (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa komunitas keanekaragaman, dan kemerataan serangga tertinggi serangga pada Talang Ajir memiliki banyak kesamaan ditemukan pada Talang Ajir. Indeks keanekaragaman dengan Talang Kadum baik pada habitat kebun dan Shannon-Wiener (Hꞌ) pada semua habitat di Talang Ajir dan Talang Kadum termasuk dalam kategori hutan sekunder. Analisis kesamaan famili serangga sedang dengan nilai sebesar 1,94 – 2,37 (1 ≤ H ≤ 3) menunjukkan bahwa komposisi famili serangga antara dengan indeks kemerataan rendah (0,33 – 0,39) Talang Ajir dan Talang Kadum memiliki banyak dimana E < 0,4. Indeks kesamaan komunitas serangga kesamaan dengan indeks kesamaan sebesar 63,15%. pada Talang Ajir dan Talang Kadum tergolong tinggi Indeks tersebut juga menunjukkan bahwa komposisi (63,15%). Talang Ajir lebih berpotensi sebagai lokasi famili serangga yang ditemukan di kebun Talang Ajir pelepasliaran kukang (Nycticebus coucang) dan lokasi dan kebun Talang Kadum memiliki tingkat kesamaan hutan sekunder lebih baik dari pada kebun karena yang tinggi yakni sebesar 62,04 dan pada hutan tidak adanya famili yang mendominasi dan persebaran sekunder Talang Ajir dan hutan sekunder Talang serangganya lebih merata. Kadum juga memiliki kesamaan yang tinggi yakni sebesar 61,49 (Gambar 6). Hal tersebut menunjukkan UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada bahwa kesamaan famili serangga pada habitat kebun Ibu Indah Winarti, M.Si. yang telah membantu dan hutan sekunder di Talang Ajir dan Talang Kadum penulis dalam melakukan penelitian dan KPHL hampir sama. Menurut Krebs (1999) komunitas Batutegi yang telah mengizinkan penulis melakukan dikatakan berbeda apabila indeks kesamaan penelitian di Kawasan Hutan Lindung Batutegi, serta komunitas yang dibandingkan memiliki nilai dibawah terima kasih banyak kepada YIARI yang telah 50%. Tingginya indeks kesamaan serangga diduga membantu penulis selama penelitian berlangsung karena masing-masing lokasi penelitian yang hingga proses penulisan selesai. berdekatan sehingga keberadaan dan perpindahan serangga pada lokasi tersebut tidak menunjukan DAFTAR PUSTAKA perbedaan yang signifikan. Selain itu, pada kedua Atkins, M.D. 1980. Introduction To Insect Behavior. MacMillan Publishing. New York. lokasi juga memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang hampir sama. Price (1997) menyatakan bahwa



13 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Borror, D. J., C. A. Triplehorn, dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Ke-enam Cetakan Pertama. Terjemahan : An Introduction to the Study of Insects. Diterjemahkan oleh S. Partosoedjono. [Editor]. Brotowidjoyo, M. D. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Borror, D.J., D.M. Delong., C. A. Triplehorn, dan N. F. Johnson. 2005. Introduction to the Study of Insects 7th Edition. Thomson Brook/Cole. Amerika. Campbell, N.A., J.B. Reece., L.A. Urry., M.L. Cain., S.A. Wasserman., P.V. Minorsky., dan R.B. Jackson. 2012. Biologi Jilid kedua Edisi Kedelapan. Diterjemahkan oleh D.T. Wulandari. [Editor]. W. Hardani dan P. Andhika. Erlangga. Jakarta. CITES. 2007. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna. Consultation with range State on proposals to amend Appendices I and II. [internet]. Tersedia pada http://www.cites.org/esp/ app/appendices.php. Diunduh pada tanggal 28 November 2015. Connor, E. F dan E. D. McCoy. 1979. The Statistic ad Biology of the Species-area relationship. Ameri. Nat. 113:27-49. Dishutprov Lampung. 2013. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Gambaran Umum KPHL Batutegi. Lampung. Gulo, S.A., D. Bakti, dan F. Zahara. 2014. Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Beberapa Varietas Jagung Hibrida dan Jagung Transgenik. USU. Medan. Jurnal Online Agroekoteknologi. Vol. 2 (4) : 1347-1358. Hadi, H.M., U. Tarwotjo. dan R. Rahadian. 2009. Biologi Insekta : Entomologi. Graha Ilmu. Yogyakarta. IUCN. 2013. International Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources. IUCN red list of threatenedspecies version 2013.2. [internet]. Tersedia pada http://www.incnredlist.org. Diunduh pada tanggal 28 November 2015. Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. PT Rineka Cipta. Jakarta Kartikasari, H., Heddy, Y.B.S., Wicaksono, K.P. 2015. Analisis Biodiversitas Serangga Di Hutan Kota Malabar Sebagai Urban Ecosystem Services Kota Malang Pada Musim Pancaroba. Universitas Brawijaya. Malang. Jurnal Produksi Tanaman. Vol. 3 (8) : 623-631. Krebs, C. 1999. Ecological Methodology. Edisi kedua. Addison-Wesley. Menlo Park. Magurran, A. E. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Publishing Company. Australia. Nekaris, A. & Bearder, S.K. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan Mainland Africa : diversity shrouded in darkness. Di dalam :



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



Campbell C, Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor. Primates in Perspective. Oxford University Press. Oxford. Hlm 24-45. Nekaris, K.A.I. dan Shekelle. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan Mainland Afrika : Diversity shrouded in darkness. Di dalam : Campbell C, Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor. Primates in Perspective. Oxford : Oxford University Press. Hlm 24-45. Nekaris, K.A.I dan N. Campbell. 2012. Media Attention Promotes Conservation Of Threatened Asian Slow Lorises. Oryx. 46 : 169-170. Nursahid dan Purnama. 2007. Perdagangan kukang (Nycticebus coucang) di Indonesia. [internet]. Terdapat pada http://www.profauna.or.id/indo/pressrelease/ perdagangan-kukang.html. Diunduh pada tanggal 31 Agustus 2016. Octavianata, E. 2014. Perilaku Dan Daerah Jelajah Harian Kukang Sumatera (Nyticebus Coucang Boddaert, 1785) Pelepasliaran YIARI Di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung. [Skripsi]. Biologi FMIPA Universitas Lampung. Bandar Lampung. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Patang, F. 2011. Berbagai Kelompok Serangga Tanah yang Tertangkap di Hutan Koleksi Kebun Raya UNMUL Samarinda dengan Menggunakan 5 Macam Larutan. Universitas Mulawarman. Samarinda. Journal Mulawarman Scientifien. Vol.10(2):139-142. Price, P.W. 1997. Insect Ecology. Third Edition. John Willey and Sons, Inc. New York. Saragih, A. 2008. Indeks Keragaman Jenis Serangga Pada Tanaman Stroberi (Fragaria sp.) Di Lapangan. [Skripsi]. USU. Medan. Sinaga, W., D.A. Astuti, E. Iskandar, Wirdateti, J. Pamungkas. 2010. Konsumsi Pakan Asal Hewan Pada Kukang (Nycticebus coucang) di Fasilitas Penangkaran, Pusat Studi Satwa Primata (PSSD) IPB. Pusat Studi Satwa Primata. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jurnal Primatologi Indonesia. Vol. 7 (2) : 6975. Starr, C., K.A.J. Nekaris, U. Streicher dan L. Laung. 2010. Traditional Use Of Slow Loris Nycticebus bengalensis and N. pygmaeus in Cambodia. Endangered Species Research. 12 : 17-23. Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu Edisi Kedua. Universitas Gajah Mada Prees. Yogyakarta. Wiens, F. 2002. Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang): social



14 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....



organisation, infant care system and diet. [Disertasi]. Bayreuth: Faculty of Biology, Chemistry and Geosciences of Bayreuth University. YIARI. 2015. Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia. Translokasi Kukang Sumatera ke Hutan Lindung Batutegi Lampung. [internet]. Terdapat pada http://www.internationalanimalrescue.or.id/se puluh-kukang-sumatera-translokasi-ke-hutanlindung-batutegi-lampung/. Diunduh pada tanggal 28 November 2015.



15 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman jenis capung (odonata)....



Keanekaragaman Jenis Capung (Odonata) di Wilayah Cirengganis dan Cikamal Cagar Alam Pananjung Pangandaran Shalfa Hisana Wibowo1, Tatang S. Erawan2, Hikmat Kasmara3, dan Wawan Hermawan4 * 1,2,3,4



Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran * Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Daerah aliran sungai Cirengganis dan Cikamal merupakan wilayah Cagar Alam Pananjung Pangandaran yang ditumbuhi vegetasi dan menjadi habitat berbagai jenis capung (Odonata). Capung merupakan salah satu organisme yang berperan sebagai pengendali hayati sekaligus bioindikator lingkungan. Pada studi keanekaragaman ini `dilakukan pengamatan jenis capung dengan menggunakan modifikasi dari metode Visual Encounter Survey yaitu sampling spesimen di sepanjang jalur transek pengamat pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Cirengganis dan Cikamal. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode direct sweeping menggunakan jaring serangga. Parameter yang diamati yaitu jenis, jumlah individu dan koordinat penjumpaan capung. Parameter abiotik yang diukur antara lain suhu, kecepatan angin, serta intensitas cahaya. Capung yang diperoleh selanjutnya diawetkan untuk diidentifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh 15 jenis capung antara lain 9 jenis dari subordo Anisoptera dan 6 jenis dari subordo Zygoptera. Sedangkan hasil pengukuran parameter abiotik di kedua lokasi pengamatan menunjukkan nilai rerata suhu sebesar 22 ºC, intensitas cahaya sebesar 3825 lux, dan kecepatan angin sebesar 0,38 m/s. Keanekaragaman jenis capung di sekitar DAS Cirengganis dan Cikamal memiliki nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,43 atau termasuk kategori sedang. Kata kunci: Keanekaragaman, Capung, Cirengganis, Cikamal ABSTRACT Cirengganis and Cikamal watershed areas of Cagar Alam Pananjung Pangandaran are habitat of various type of dragonflies (Odonata). Dragonflies act as biological controllers as well as environmental bioindicators. These observation had done to determine the diversity of Odonata in Cirengganis and Cikamal River using modified Visual Encounter Survey Method by which done by specimens capture based on their direct encounter in sampling area. . Specimens were captured by direct sweeping method using insect net. . The parameters were kind, number and coordinate of specimens. Abiotic factor measured were temperature, wind speed, and light intensity. The specimens is then preserved to be identified. Based on the results of identification obtained 15 types of Odonata, among others, 9 species of subordo Anisoptera and 6 species of subordo Zygoptera. While the results of measurements of abiotic parameters in both locations showed the average temperatures of 22 °C, the light intensity at 3825 lux, and wind speed at 0.38 m/s. The diversity of Odonata around Cirengganis and Cikamal Rivers was included on medium category with a diversity index amount 2.43006. Keywords : Diversity, Odonata, Cirengganis, Cikamal



PENDAHULUAN Serangga adalah kelompok hewan yang paling tinggi jumlah dan keanekaragaman jenisnya sehingga hampir ditemukan di semua lingkungan. Balaban dan Bobick (2011) menyebutkan bahwa lebih dari 90% arthropoda merupakan serangga. Saat ini diperkirakan jumlah spesies serangga yang telah diidentifikasi berkisar antara 750.000 hingga satu juta spesies. Setiap tahunnya sekitar 7000 spesies serangga baru ditemukan, namun hal ini berbanding lurus dengan hilangnya berbagai spesies serangga akibat kerusakan habitat terutama di hutan tropis. Capung termasuk salah satu serangga yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Jumlah capung cukup melimpah terutama terdapat di kawasan tropis seperti Indonesia karena di kawasan ini terdapat berbagai macam habitat (Hidayah, 2008). Rhd dkk. (2013) menambahkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 700 spesies dari 5000 lebih total spesies capung yang terdapat di dunia. Jumlah ini



diperkirakan memiliki potensi untuk bertambah setiap tahunnya. Peran capung dalam ekologi termasuk memiliki bagian penting dari rantai makanan terutama pada habitat perairan. Capung dapat juga disebut sebagai bioindikator air bersih karena nimfa capung tidak akan dapat hidup di air yang sudah tercemar atau perairan yang tidak terdapat tumbuhan di dalamnya. Oleh karena itu, pelestarian capung harus disertai dengan melihara tempat hidupnya (Susanti, 2007). Studi keanekaragaman jenis capung merupakan salah satu upaya konservasi fauna yang ada di Indonesia, yaitu dengan mendokumentasi atau menyimpan database mengenai keaneakaan hayati yang ada. Cagar alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki kondisi habitat yang belum banyak mengalami pencemaran, sehingga sesuai untuk tempat tinggal capung. Salah satu cagar alam yang terletak di Provinsi Jawa Barat adalah Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Terdapat dua daerah aliran sungai utama yang melalui kawasan ini yaitu 16 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung DAS Cirengganis dan Cikamal. Daerah aliran sungai merupakan tempat yang paling sering ditemukan capung karena siklus hidup capung sebagian besar berada di sekitar tempat yang berair. Penelitian mengenai keanekaan capung terutama di kawasan konservasi Pangandaran belum banyak dilakukan, sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi terbaru mengenai keanekaragaman jenis capung yang terdapat di kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran terutama di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cirengganis dan Cikamal. BAHAN DAN METODE 2.1. Bahan dan Metode Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengukuran parameter biotik maupun abiotik antara lain alat tulis, amplop papilot, anemometer, buku identifikasi, GPS, insect net, kamera, kotak penyimpanan, label, lux meter, dan thermometer. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengawetan capung antara lain alkohol 70%, aseton, jarum pentul, kamera, kertas minyak, papan perentang, pinset, dan syringe. Metode yang digunakan pada pegamatan ini adalah modifikasi dari metode Visual Encounter Survey (VES) atau Survei Penjumpaan Langsung, yaitu sampling spesimen berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur di daerah terrestrial maupun akuatik (Heyer et al., 1994). Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan menyusuri transek bayangan yaitu sejauh ± 2000 m, yang dibagi ke dalam 4 stasiun dengan lebar 20 m ke samping kanan dan kiri sepanjang transek yang sudah ditentukan. Pemilihan stasiun ditentukan berdasarkan zonasi sungai yaitu stasiun 1 di daerah hulu, stasiun 2 di daerah tengah, stasiun 3 di daerah hilir, dan stasiun 4 di daerah muara sungai. Pengamatan dilakukan di dua lokasi berbeda yaitu DAS Cirengganis dan Cikamal Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Parameter yang diamati yaitu jenis, jumlah individu dan koordinat penjumpaan capung. Data ini digunakan untuk menganalisis keanekaragaman jenis capung pada lokasi tersebut. Parameter abiotik yang diukur antara lain suhu, kecepatan angin, serta intensitas cahaya. Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-11.00 WIB dan siang hari pukul 13.00-16.00 WIB dengan satu kali ulangan pada masing-masing lokasi selama empat hari pengamatan. Spesimen yang tertangkap selanjutnya dimasukkan ke dalam amplop papilot untuk selanjutnya dapat dilakukan proses identifikasi. Sampel capung yang telah ditangkap selanjutnya diawetkan dengan menyuntikkan alkohol 70% pada bagian thoraks capung, kemudian dimasukkan ke dalam aseton untuk mencegah warna dan tubuh spesimen rusak (Suriana dkk., 2014). Sampel capung tersebut direntangkan sayapnya pada papan perentang, dan dipining dengan cara



Keanekaragaman jenis capung (odonata)....



menusukkan jarum pentul pada bagian toraks dan sayapnya dijepit dengan kertas minyak. Spesimen capung yang telah diawetkan kemudian diidentifikasi jenisnya dengan buku identifikasi Seri Panduan Lapangan Mengenal Capung (Susanti, 2007). Identifikasi capung dilakukan dengan mengamati bentuk tubuh, warna, ukuran tubuh, serta sayap kemudian dibandingkan dengan ciri-ciri berdasarkan famili, genus, spesies kemudian dibuat deskripsinya. 2.2. Analisis Data Kelimpahan Relatif (Pi) Kelimpahan relatif atau sering juga disebut dengan relative abundance merupakan persentase dari jumlah individu dari suatu spesies terhadap jumlah total individu dalam suatu daerah tertentu (Odum, 1971).



Persebaran (Frekuensi) Analisis data frekuensi merupakan penentuan besarnya jumlah presentase setiap spesies pada masing-masing plot. Frekuensi relatif merupakan persentase kehadiran suatu individu dalam sejumlah titik sampling (Odum, 1993).



Keterangan : FR : Frekuensi Relatif FM: Frekuensi Mutlak (jumlah individu tiap jenis yang menempati plot) Indeks Shannon-Wiener Indeks Shannon-Wiener digunakan untuk menghitung nilai keanekaragaman. Keterangan : H’= Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/N Ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah seluruh individu capung Kriteria Indeks Shannon-Wiener dibagi menjadi 3 kategori (Odum, 1993) : H0 (positif). Tipe serangan hama yang berkelompok dapat disebabkan oleh faktor reproduksi serangga hama. Serangga betina dewasa akan melakukan seleksi terhadap tanaman inang sebagai tempat meletakkan telurnya. Hal ini penting karena larva serangga berbeda dengan serangga dewasa, cenderung mobilitasnya terbatas sehingga keberhasilan hidupnya sangat dipengaruhi oleh posisi dimana telur tersebut diletakkan dan menetas (Renwick & Chew, 1994). Apabila serangga betina dewasa menemukan tempat yang cocok, maka betina dewasa akan meletakkan kelompok telur di tempat tersebut. Kelompok telur kemudian menetas dan menghasilkan kelompok larva yang kemudian melakukan aktivitas makan di tempat tersebut. Aktivitas ini menyebabkan tanaman tersebut dan yang berada di sekitarnya mengalami tingkat serangan yang lebih berat dibandingkan daerah yang lainnya. Ciri visual seperti adanya naungan atau keterbukaan terhadap sinar matahari juga dapat mempengaruhi pemilihan dewasa betina dalam menempatkan telurnya. Spesies seperti Battus phylenor dan B. Polydamus cenderung menempatkan telur pada area terbuka (Rausher, 1979). Kondisi ini juga terjadi pada subjek pengamatan bahwa plot pengamatan yang terletak di bagian luar (ujung) bedeng cenderung mengalami kerusakan lebih berat dibandingkan yang berada di tengah. Selain disebabkan oleh faktor reproduksi hama, pola sebaran serangan juga dapat dipengaruhi oleh perilaku makan individu hama. Larva yang lebih tua melakukan aktivitas makan lebih intensif dibandingkan dengan larva muda. Hal ini menyebabkan intensitas serangan yang dihasilkan oleh perilaku makan larva dewasa pada tanaman lebih besar dibandingkan intensitas serangan oleh larva muda. Menurut Hutchinson (1953), pola sebaran individu dipengaruhi oleh beberapa hal termasuk faktor reproduksi dan tingkah laku organisme.



Identifikasi dan pola sebaran....



persentase serangan adalah 10,92%. Tingkat serangan hama tergolong sangat ringan. Sebaran serangan hama mengikuti pola berkelompok (aggregated pattern). DAFTAR PUSTAKA Costa, J. T.&N. E. Pierce. 1997. Social evolution in the Lepidoptera: ecological context and communication in larval societies, pp. 402– 422.dalamChoe, J.C.&B.J. Crespi (Eds.). Evolution of social behavior in insects and arachnids. Cambridge University Press, New York. Forestry image, 2013. Tussock moths (Dasychira spp.) Huebner 1802. Http://www.forestryimages.org/browse/detail.c fm?Imgnum=9009078. Diakses 24 maret 2016. Hagstrum, D.W. & B. Subramanyam. 2010. Immature Insects: Ecological Roles of Mobility. American Entomologist, 56(4): 230-241. Hanum I.F. 2007. Trema orientalis(L.) Blumedalam Hanum I.F. & L.J.G van der Maesen (ed.) Plant Resources of South East Asia 11: Auxiliary Plants. LIPI Press, Jakarta. Hutchinson, G.E. 1953. The concept of pattern in ecology. Proceedings of the Academy Natural Sciences of Philadelphia. 105: 1-12. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publisher, Inc. New York. Prayogo, Y., Marwoto & Suharsono. 2011. Ulat bulu yang meresahkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 33(4): 5-6. Rausher, M.D. 1979. Larval habitat suitability and oviposition preference in three related butterflies. Ecology, 60(3): 503-511. Renwick, J.A.A. & F.S. Chew. 1994. Oviposition Behavior in Lepidoptera. Annual Review of Entomology, 39: 377-400. Tempo, 2011. Ulat Bulu di Banyuwangi diduga jenis Dasychira inclusa. Rabu, 06 april 2011; 15:10 WIB. Diakses 22 maret 2016. Wati H., E.E. & F. Azwar. 2009. Gulma penting pada lokasi penanaman beberapa jenis lokal di Sumatera Selatan dalam Rostiwati, T., R. Effendi., S. Bustomi & A. Wibowo (ed). Mengenal teknik budidaya jenis-jenis pohon lokal Sumsel dan upaya pengembangannya. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan. 11 Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. p: 189-193.



KESIMPULAN Hama yang menyerang persemaian T. orientalis adalahDasychira sp (Lepidoptera : Lymantridae). Intensitas serangan pada persemaian tanaman T. orientalishanya berkisar 4,34% dengan 50 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



Keanekaragaman dan Kelimpahan Spesies Rayap (Blattodea: Termitoidea) di Kampus IPB Dramaga Bogor pada Berbagai Tipe Habitat Nadzirum Mubin*, Idham Sakti Harahap, Giyanto Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK Rayap merupakan serangga sosial yang berperan penting dalam perputaran hara di alam. Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap di beberapa tipe habitat masih banyak yang belum diteliti. Kampus IPB Dramaga merupakan salah satu lokasi yang mempunyai tipe habitat cukup beragam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap di Kampus IPB Dramaga-Bogor pada berbagai tipe habitat. Metode yang digunakan yaitu mengoleksi rayap dengan cara memasang umpan kayu pinus, transek dengan luasan 10 x 10 m, dan menghitung indeks keanekaragaman dan kelimpahannya. Rayap hasil koleksi dari lapangan ditemukan 6 spesies yang terbagi menjadi dua famili yaitu Termitidae dan Rhinotetmitidae. Empat spesies dari famili Termitidae yaitu Macrotermes gilvus, Odontotermes javanicus, Microtermes insperatus, dan Capritermes mohri, sedangkan dua spesies dari famili Rhinotermitidae yaitu Schedorhinotermes javanicus dan Coptotermes curvignathus. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H) dan indeks kelimpahan Simpson (D) diperoleh nilai tertinggi pada tipe habitat REK (Kebun Karet Percobaan Rektorat IPB) yaitu secara berurutan sebesar 1.7 dan 0.8. Indeks jumlah spesies (S) dan kekayaan spesies (E) mempunyai hubungan yang sama dengan indeks H dan D. Semakin banyak koloni rayap yang ditemukan dengan keanekaragaman spesies yang berbeda, maka nilai indeks yang dihasilkan akan semakin tinggi juga. Spesies rayap yang tergambar pada NMDS (stress 0.00435) dengan nilai P-value yang diperoleh yaitu 0.000831 (alfa 5%) menunjukkan bahwa kawasan permukiman dan perkebunan di kawasan Kampus IPB Dramaga mempunyai komposisi spesies rayap yang berbeda nyata. Kelimpahan koloni rayap di perkebunan lebih tinggi dibandingkan di permukiman. Kata kunci: Termitidae, Rhinotermitidae, indeks keanekaragaman, permukiman, perkebunan ABSTRACT Termites are social insects that play an important role in nutrient turnover in nature. The diversity and abundance of termite species in some habitat types is still largely unexplored. Campus IPB Dramaga is one location that has a variety of habitat types. The purpose of this study was to determine the diversity and abundance of termite species in Dramaga-Bogor IPB Campus in various habitat types. The method used is collecting termites by installs pine bait, transect with area 10 x 10 m, and counting index of diversity and abundance. Termites collected from the field found 6 species that are divided into two families i.e. Termitidae and Rhinotetmitidae. Four species of the Termitidae family are Macrotermes gilvus, Odontotermes javanicus, Microtermes insperatus, and Capritermes mohri, whereas two species of the Rhinotermitidae family are Schedorhinotermes javanicus and Coptotermes curvignathus. Shannon-Wienner diversity index (H) and Simpson abundance index (D) obtained the highest value in the type of REK (Field Trial of Rectorate IPB) that are 1.7 and 0.8 respectivelly. The number of species (S) and species richness (E) have the same relation as the H and D indexes. The more termite colonies are found with the diversity of different species, the resulting index value will be higher as well. The termite species depicted in NMDS (stress 0.00435) with Pvalue obtained 0.000831 (alpha 5%) showed that the settlement and plantation area in the Dramaga IPB campus area had a distinctly different species of termite composition. The abundance of termite colonies on plantations is higher than in the settlements. Key words: Termitidae, Rhinotermitidae, diversity, settlement, plantation



PENDAHULUAN Rayap (Blattodea: Termitoidea) merupakan serangga sosial yang bermanfaat dalam perputaran hara di alam. Kayu yang sudah lapuk dapat dikonsumsi oleh rayap lebih cepat dibandingkan organisme lainnya seperti cacing, cendawan, dan bakteri. Bahan-bahan selulosa yang sudah lapuk di alam membutuhkan peranan rayap sebagai dekomposer untuk mempercepat perputaran siklus hara di alam (Krishna 1969; Freymann et al., 2008).



Dekomposer seperti rayap mempunyai habitat alami seperti hutan. Keanekaragamannya di hutan lebih tinggi dibandingkan dengan tipe habitat seperti perkebunan maupun permukiman (Bignell & Eggleton, 2000). Di hutan, tanaman tumbuh lebih beragam (heterogen) dibandingkan dengan di perkebunan yang lebih cenderung homogen. Keng (2006) melakukan penelitian di hutan primer dan perkebunan kakao di Sabah dan diperoleh keanekaragaman spesies rayap di hutan primer lebih



51 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



tinggi (1.19) dibandingkan dengan perkebunan kakao (0.37). Di perkebunan, rayap cenderung menjadi bagian terpenting karena rayap berperan sebagai hama pemakan kayu. Di perkebunan Araucaria, ditemukan dominasi serangan Coptotermes curvignathus (Jasmi dan Ahmad 2011). Di perkebunan sawit di Serawak, Malaysia diperoleh hasil bahwa serangan rayap dari famili Rhinotermitidae lebih banyak dibandingkan famili lain (Bong et al., 2012). Selain di kawasan hutan dan perkebunan, daerah permukiman seperti di Jakarta juga telah dilakukan survei keanekaragam rayap dan ditemukan 4 spesies rayap yaitu Macrotermes gilvus, Microtermes insperatus, Capritermes mohri, dan C. curvignathus (Lantera & Nandika 2014, Ummah 2015; Arinana et al., 2016). Sehingga, hal ini menjadi perhatian yang sangat penting karena fungsi ekologisnya yang berubah menjadi hama potensial di permukiman di masa mendatang. Kampus IPB Dramaga merupakan kampus yang mempunyai beberapa tipe habitat. Kampus IPB mempunyai kebun-kebun percobaan yang biasa digunakan untuk praktik lapangan maupun gedunggedung yang merupakan contoh dari permukiman. Akan tetapi informasi tentang keanekaragaman dan kelimpahan rayap masih belum diteliti. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman dan kelimpahan rayap yang ada di Kampus IPB Dramaga. BAHAN DAN METODE Pengambilan Sampel dan Identifikasi Rayap Lokasi pengambilan sampel di area perkebunan dan permukiman (Tabel 1). Sampel rayap diambil dengan cara pengumpanan di masing-masing lokasi sampling menggunakan kayu pinus (Arinana et al., 2012) yang dibuat dengan ukuran 46 x 2 x 2 cm yang dibentuk seperti stik (ASTM, 2008) dan metode transek dengan luasan 10 x 10 m. Rayap yang ditemukan dari lapangan dikoleksi dan dipisahkan berdasarkan kasta pekerja dan prajurit. Proses identifikasi dilakukan pada kasta prajurit karena mempunyai karakter yang lebih mudah dibedakan dibandingkan dengan kasta pekerja. Identifikasi rayap berdasarkan buku identifikasi Ahmad (1958) dan Tho (1992). Pengamatan Tipe Habitat Lokasi penemuan rayap dicatat dan didokumentasikan untuk analisis tipe habitat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman dan penyebaran rayap (Jones 2000, Jones et al. 2003, DeBlauwe et al., 2008). Tipe habitat yang diamati



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



yaitu tipe tanah, pH tanah, tanaman penutup tanah, tipe naungan, dan persentase naungan. Analisis Indeks Keanekaragaman dan Kelimpahan Hasil rayap yang ditemukan di lapangan kemudian dianalisis indeks keanekaragaman dan kelimpahannya. Indeks keanekaragaman menggunakan indeks Shannon-Wienner (H), sedangkan indeks kelimpahan jumlah spesies dihitung dengan indeks Simpson (D), selain itu juga dihitung indeks jumlah spesies (S) dan kekayaan spesies/Evennes (E). Kemudian diuji lanjut analysis of similarity (ANOSIM), indeks kemiripan Bray-Curtis (Magurran, 2003). Hasil matrik tersebut dibuat ordinasi non- matric multidimesional scaling (NMDS) (Clarke 1993). Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software R-Statistic (R-Development Core Team, 2012). HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Spesies Rayap Rayap yang diperoleh dari lapangan diidentifikasi dan diperoleh enam spesies rayap yang terdiri dari dua famili. Famili yang ditemukan yaitu Termitidae dan Rhinotermitidae. Spesies rayap dari famili Termitidae yaitu Macrotermes gilvus, Microtermes insperatus, Capritermes mohri, dan Odontotermes javanicus (Gambar 1). Sedangkan dari famili Rhinotermitidae yaitu Schedorhinotermes. javanicus dan Coptotermes curvignathus (Gambar 2). Rayap yang ditemukan di lapangan diperoleh jumlah koloni yang berbeda-beda yaitu secara berurutan M. insperatus, O. javanicus, M. gilvus, S. javanicus, C. mohri, dan C. curvignathus (15, 14, 13, 7, 5, dan 5) (Tabel 2). Spesies Termitidae mempunyai jumlah koloni yang lebih banyak dibandingkan famili Rhinotermitidae (secara berurutan 47 dan 12) (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena rayap dari famili Termitidae mempunyai jenis yang lebih banyak (hampir 1/3 dari total rayap) dibandingkan dengan famili-famili rayap yang lain. Kemampuan mengkolonisasi habitat lebih tinggi dibandingkan dengan rayap dari famili yang lainnya (Krishna, 1969). Hubungan Antara Spesies Rayap yang Ditemukan di Beberapa Tipe Habitat Setiap spesies rayap mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Aktivitas rayap sangat tergantung pada habitat yang ditempatinya karena perilaku dasar rayap dalam mencari makan untuk koloninya. Selain itu, keberadaan rayap juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti tipe tanah, tipe vegetasi, dan persentase tajuk pohon sebagai naungan.



52 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel rayap di Kampus IPB Dramaga No Kode Lokasi Keterangan Perkebunan 1 FPI 2



KK



3



KS



4



REK



5



RES



Koordinat S: 06033.443’ E: 106043.579’ S: 06033.140’ E: 106043.060’ S: 06033.119’ E: 106043.997’ S: 06033.640’ E: 106043.476’ S: 06033.601’ E: 106043.431’



Kebun Percobaan Karet Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Kebun Percobaan Kakao Cikabayan IPB Kebun Percobaan Kelapa Sawit Cikabayan IPB Kebun Percobaan Karet Belakang Rektorat IPB Kebun Percobaan Sengon Belakang Rektorat IPB



Permukiman 6 AGR



Minimarket Agrimart IPB



7



FEM



Halaman Parkiran Fakultas Ekonomi IPB



8



FEMA



9



FKH



10



LSI



Halaman Parkiran Fakultas Ekologi Manusia IPB Halaman belakang Fakultas Kedokteran Hewan IPB Halaman Parkiran Perpustakaan IPB



11



MA



Halaman Masjid Al-Hurriyyah IPB



12



PDI



Halaman Perumahan Dosen IPB



13



ARL



Arboretrum Arsitektur Lanskap IPB



14



FAPET



Kandang Fakultas Peternakan IPB



15



GLA



Halaman Gladiator IPB



a



b



d



S: 06033.566’ E: 106043.877’ S: 06033.587’ E: 106043.680’ S: 06033.587’ E: 106043.699’ S: 06033.483’ E: 106043.183’ S: 06033.521’ E: 106043.632’ S: 06033.343’ E: 106043.496’ S: 06033.229’ E: 106043.428’ S: 06033.654’ E: 106043.726’ S: 06033.328’ E: 106043.057’ S: 06033.602’ E: 106043.801’



c



e



Gambar 1 Rayap yang ditemukan dari famili Termitidae (a) M. gilvus (mayor), (b) M. gilvus (minor), (c) M. insperatus, (d) C. mohri, dan (e) O. javanicus (perbesaran 100 kali)



53 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



b



a



c



Gambar 2 Rayap yang ditemukan dari famili Rhinotermitidae (a) S. javanicus (mayor), (b) S. javanicus (minor), dan (c) C. curvignathus (perbesaran 100 kali) Tabel 2 Jenis dan jumlah rayap yang ditemukan dari lapangan Famili Subfamili Spesies Termitidae Macrotermtinae M. gilvus Hagen M. insperatus Kemner O. javanicus Holmgren Termitinae C. mohri Kemner Rhinotermitidae



Rhinotermitinae



S. javanicus Kemner



Coptotermitinae



C. curvignathus Holmgren



Jumlah 13 15 14 5 7 total



Tabel 3 Hubungan antara spesies rayap yang ditemukan dengan karakteristik habitatnya Jenis tanah Vegetasi penutup Jenis rayap pH tanah



5 59



Persentase naungan



Termitidae M. gilvus 4, 5, 6 L 1, 3, 4, 5 1, 2, 3, 4 M. insperatus 4, 5, 6 L 1, 2, 3, 4, 5, 6 1, 2, 3, 4 O. javanicus 4, 5, 6 L, R 1, 2, 3, 4, 5, 7 1, 2, 3, 4 C. mohri 4, 5 L 1, 4, 5 2, 3, 4 Rhinotermitidae S. javanicus 5 L 1, 4, 5 1, 2, 3, 4 C. curvignathus 5 L 1, 4, 5 1, 3, 4 Keterangan: Jenis tanah (L: Latosol, R: Regosol), vegetasi penutup tanah (1: A. compressus, 2: A. gangetica, 3: S. plicata, 4: C. lappacea, 5: C. aridus, 6: D. adscendens, 7: Pannicum sp.), dan persentase naungan (1: 0-25%, 2: 25-50%, 3: 51-75%, dan 4: 76-100%. Jenis dan pH Tanah. Hasil pengamatan jenis tanah di Kampus IPB Dramaga yaitu diperoleh dua jenis tanah, regosol dan latosol. Tanah regosol dicirikan dengan warna hitam dan kasar karena tingkat porositasnya tinggi (berpasir) (Gambar 3a). Sedangkan tanah latosol dicirikan dengan tanah yang lembut dan banyak mengandung zat besi dan aluminium, berwarna merah hingga kuning sehingga sering disebut tanah merah. (Gambar 3b). Rayap yang ditemukan, umumnya ditemukan berada pada tanah latosol karena pada tanah tersebut mengandung banyak kandungan bahan organik yang tinggi (Nandika et al., 2015). Sementara tanah regosol yang umumnya berpasir, hanya ditemukan satu jenis rayap yaitu O. javanicus (Tabel 3). Meskipun kadar



bahan organiknya rendah, rayap tersebut mempunyai kemampuan dalam mengkolonisasi habitat yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies yang lainnya. Tanah yang dijadikan tempat pengambilan contoh telah diuji tingkat keasamannya, rata-rata pH tanahnya di bawah 7 (Tabel 3). Hubungan spesies rayap dengan pengamatan parameter tanah yaitu pada semua jenis rayap ditemukan pada tipe tanah latosol dan pH 5 (Tabel 3). Rayap dari famili Termitidae sebagian besar ditemukan pada tingkat keasaman tanah 4, 5, dan 6. Hanya pada jenis C. mohri yang tidak ditemukan pada pH 6. Rayap dari famili Rhinotermitidae hanya ditemukan pada pH 5 dengan jenis tanah latosol.



54 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



a



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



b



Gambar 3 Jenis tanah (a) regosol (hitam) (b) latosol (coklat kemerahan) Tanah bagi rayap merupakan tempat hidup dan dapat melindungi rayap dari suhu dan kelembaban yang sangat ekstrim. Keberadaan dari rayap tersebut dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah karena kemampuan dalam mencerna bahan organik menjadi hara yang dibutuhkan oleh makluk hidup lain seperti tumbuhan. Umumnya rayap menyukai tipe tanah yang mengandung liat seperti tanah latosol karena memiliki kandungan bahan organik yang tinggi (Sands, 1969; Nandika et al., 2015). Vegetasi Penutup Tanah. Vegetasi penutup tanah pada lokasi pengambilan sampel rayap diperoleh sebagian besar dari jenis gulma. Gulma yang menjadi vegetasi penutup tanah tersebut juga menjadi penghalang (barrier) agar tekstur tanah tidak tereduksi menjadi homogen. Vegetasi tanah juga berfungsi untuk mengurangi aliran permukaan tanah akibat hujan (Lamaourex et al., 2012). Sistem penutupan tanah akan menguntungkan terhadap perilaku rayap, yaitu akan meningkatkan siklus kelembaban dan stabilitas fisik tanah. Rayap tanah (subterranean) lebih menyukai kondisi habitat yang ideal dengan suhu dan kelembaban stabil jika dibandingkan dengan kondisi lahan terbuka dengan iklim mikro ekstrim yang akan mempengaruhi mikrohabitat di sekitarnya (Sands, 1969). Vegetasi penutup tanah yang ditemukan yaitu Axonopus compressus, Asystasia gangetica, Setaria plicata, Centhotheca lappacea, Cyslosorus aridus, Digitaria ascendens, dan Panicum repens. Hubungan antara jenis rayap yang ditemukan dengan vegetasi penutup tanah yaitu sebagian besar didominasi oleh gulma A. compressus, C. lappacea, dan C. aridus. Sebagian besar jenis rayap ditemukan pada lokasi yang mempunyai dominansi vegetasi penutup tanahnya dari ketiga gulma tersebut. Hal ini



disebabkan karena kondisi alam di daerah Kampus IPB yang mempunyai curah hujan yang tinggi menyebabkan gulma-gulma tersebut dapat tumbuh dan menyebar dengan sangat baik di lingkungan Kampus IPB Dramaga. Berdasarkan hubungan jenis rayap yang ditemukan dengan vegetasi penutup tanah, jenis rayap M. insperatus dan O. javanicus ditemukan pada jenis vegetasi yang hampir sama, hanya berbeda pada satu jenis gulmanya yaitu M. insperatus ditemukan pada gulma D. adscendens sedangkan O. javanicus ditemukan pada jenis gulma Pannicum repens (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena kemampuan jenis gulma tumbuh yang berbeda-beda. Umumnya jenis gulma P. repens yang mempuyai perawakan tinggi dan besar akan tumbuh di habitat yang terbuka (banyak terkena sinar matahari), berbeda halnya dengan jenis gulma D. ascendens dengan perawakan yang kecil akan membutuhkan tempat teduh untuk tumbuh. Dari kemampuan gulma tumbuh tersebut, hanya spesies rayap dengan daya kolonisasi tinggi yang akan dapat ditemukan di habitat gulma yang terbuka. Persentase Naungan. Persentase naungan yang semakin tinggi maka menyebabkan jumlah koloni rayap yang ditemukan juga akan semakin banyak (Gambar 4). Persentase naungan rendah (0-25%) rata-rata jumlah koloni yang ditemukan sedikit dan didominasi oleh rayap O. javanicus. Rayap jenis O. javanicus ditemukan sebanyak 6 koloni pada kondisi naungan yang rendah. Hal ini dikarenakan rayap dari spesies O. javanicus mempunyai kemampuan mengkolonisasi habitat yang tinggi pada tingkat gangguan yang tinggi. Berbeda dengan jenis rayap lain yang ditemukan yang relatif sedikit ditemukan pada naungan yang rendah.



55 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



Gambar 4 Hubungan persentase naungan dengan jumlah rayap yang ditemukan Persentase naungan sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni dan jumlah jenis rayap yang ditemukan. Semakin tinggi naungan semakin beragam rayap yang ditemukan, tetapi jumlah koloni rayap yang ditemukan relatif stabil pada naungan yang tinggi (51-75%) dibandingkan naungan yang sangat tinggi (76-100%). Hal ini disebabkan oleh kondisi naungan yang mempunyai iklim mikro relatif stabil sehingga lebih disukai oleh rayap. Iklim mikro yang stabil akan meningkatkan mikrofauna tanah yang akan mendukung kehidupan rayap (Sands, 1969). Rayap C. mohri tidak ditemukan di tingkat naungan yang rendah karena intensitas sinar matahari yang masuk ke dalam tanah sangat tinggi sehingga mikroklimat yang diberikan sangat juga tinggi, sedangkan rayap M. gilvus, M. insperatus, O. javanicus, S. javanicus ditemukan di semua tingkat naungan. Rayap C. curvignathus tidak ditemukan di tingkat naungan yang sedang (26-50%). Rata-rata semakin tinggi naungan semakin banyak koloni rayap yang ditemukan. Persentase naungan sedang (26-50%) hanya ditemukan 4 koloni rayap dan mempunyai jumlah yang berbeda pada setiap spesies rayap. Persentase naungan tinggi (5175%) dan naungan yang sangat tinggi (76-100%) ditemukan 6 koloni rayap. Lokasi dengan naungan yang tinggi dan sangat tinggi hanya berbeda pada jumlah individu rayap yang ditemukan. Namun spesies rayap yang ditemukan tetap sama. Jenis rayap yang mendominasi pada naungan sangat tinggi yaitu rayap jenis M. gilvus dan M. insperatus (Gambar 4). Tingkat gangguan habitat didasarkan pada intensitas aktivitas manusia terhadap habitat tersebut



sangat berpengaruh. Semakin intensif penggunaan lahan oleh manusia maka habitat tersebut akan semakin terganggu. Kawasan dengan celah (gap) penutup tanah, jika semakin terbuka maka lahan tersebut akan semakin terganggu sehingga menyebakan jumlah koloni rayap yang ditemukan semakin sedikit. Sebaliknya, semakin tertutup suatu lahan, maka rayap yang ditemukan akan semakin banyak. Terlihat pada gambar 4 bahwa naungan yang tinggi dan sangat tinggi mempunyai jumlah koloni yang lebih banyak dibandingkan dengan lainnya. Indeks Keanekaragaman dan Kelimpahan Spesies Rayap Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H) dan kelimpahan Simpson (D) diperoleh angka tertinggi secara berurutan 1.72 dan 0.80 pada tipe habitat REK (Kebun Percobaan Karet belakang Rektorat IPB). Sedangkan indeks terendah pada tipe habitat AGR, FEM, KK, MA, PDI, dan RES dengan angka 0 (untuk kedua indeks) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan karet di IPB mempunyai keanekaragaman dan kelimpahan yang tinggi dibandingkan dengan area permukiman seperti perumahan dosen (PDI), Masjid AL Hurriyah (HA). Pada indeks jumlah spesies (S) diperoleh angka tertinggi pada habitat FPI dan REK, sedangkan angka terendah sebesar 1 pada habitat AGR, FEM, KK, MA, PDI, dan RES (sama dengan indeks H dan D) (Tabel 4). Hal ini menyatakan bahwa area kebun karet di Fakultas Perikanan dan belakang rektorat IPB mempunyai jumlah spesies yang lebih tinggi dibandingkan area permukiman yang lainnya.



56 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



Pada indeks jumlah spesies, semakin besar angka yang diperoleh pada indeks tersebut, maka berhubungan dengan jumlah dan keanekaragaman spesies yang ditemukan. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil angka yang diperoleh maka jumlah dan keanekaragaman spesies yang ditemukan akan semakin kecil. Indeks kekayaan spesies (E) diperoleh angka tertinggi sebesar 0.83 pada habitat FPI (Kebun Percobaan Karet Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Sedangkan angka terendah pada habitat AGR, FEM, KK, MA, PDI, dan RES dengan angka yang tidak dicantumkan (NaN). Indeks kekayaan spesies (E) berkorelasi dengan indeks H, D, dan S yaitu apabila jumlah koloni dan jumlah spesies yang ditemukan pada suatu habitat tersebut tinggi maka akan menunjukkan bahwa lokasi tersebut mempunyai kekayaan spesies yang tinggi dan hal tersebut berhubungan langsung dengan parameter indeks yang lainnya juga. Struktur Komposisi Rayap pada Tipe Habitat yang Berbeda Hasil ANOSIM menunjukkan bahwa perbedaan tipe habitat di kampus IPB mempengaruhi keanekaragaman rayap (R = 0.3873, P = 0.011). Tipe habitat yang berbeda mempunyai keanekaragaman rayap yang berbeda, hal ini ditunjukkan dengan adanya pemisahan antar habitat.



Irisan antara kawasan halaman belakang Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Kebun Percobaan Arboretrum Arsitekstur Lanskap (ARL), dan Kebun Percobaan Kelapa Sawit (KS) memiliki kemiripan komposisi spesies rayap (Gambar 5). Semakin jauh titik plot menunjukkan semakin ketidakmiripan. Misalnya pada habitat Kebun Kakao (KK) dan lahan kandang Fakultas Peternakan FAPET yang menunjukkan ketidakmiripan spesies yang ada. Hal ini disebabkan karena di KK hanya ditemukan 1 spesies rayap dengan jumlah 4, sedangkan di Kandang FAPET hanya ditemukan dengan jumlah 3, tetapi memiliki spesies yang berbeda (Gambar 5). Hasil Perhitungan ANOVA pada Habitat Permukiman dan Perkebunan Dari hasil ANOVA, kelimpahan rayap yang ada di permukiman dan di perkebunan Kampus IPB Dramaga mempunyai perbedaan yang nyata. Nilai P-value yang diperoleh yaitu 0.000831 yang berarti kurang dari 0.05 (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa komposisi rayap di perkebunan yang ditemukan lebih besar dibandingkan di permukiman. Kawasan perkebunan terdapat sumber makanan yang melimpah untuk rayap dibandingkan dengan permukiman yang banyak terdapat gangguan atau aktivitas manusia. Sehingga akan memberikan kondisi yang mendukung untuk rayap dalam mengkolonisasi habitat dengan baik.



Tabel 4 Komposisi indeks H, D, S, dan E pada berbagai habitat Indeks



Habitat H



D



S



E



AGR



0.00



0.00



1



NaN



ARL



1.56



0.77



5



0.96



FAPET



1.09



0.66



3



1.00



FEM



0.00



0.00



1



NaN



FEMA FKH



0.69 1.27



0.50 0.69



2 4



1.00 0.92



FPI



1.49



0.70



GLA



0.69



0.50



6 2



0.83 1.00



KK



0.00



0.00



1



NaN



KS



1.32



0.72



4



0.95



LSI



0.69



0.50



2



1.00



MA



0.00



0.00



1



NaN



PDI



0.00



0.00



1



NaN



0.80 0.00



6 1



0.96



REK



1.72 RES 0.00 Keterangan: kode lokasi habitat sama dengan tabel 1



NaN



57 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



Gambar 5 NMDS dari komposisi rayap berdasarkan indeks ketidakmiripan Bray-Curtis di Kampus IPB



Tabel 5 Perhitungan ANOVA pada habitat permukiman dan perkebunan Sumber variasi



SS



df



MS



F



P-value



F crit



Antar Kelompok Di dalam kelompok



28.74 38.40



14 60



2.05 0.64



3.20



0.000831



1.86



Total 67.14 Keterangan: dengan besarnya alpha: 5%



74



SIMPULAN Rayap yang ditemukan di Kampus IPB Dramaga sebanyak enam spesies yaitu M. gilvus, O. javanicus, M. insperatus, dan C. mohri (famili Termitidae), dan S. javanicus dan C. curvignathus (famili Rhinotermitidae). Spesies rayap yang tergambar pada NMDS (stress 0.00435) dengan nilai P-value yang diperoleh yaitu 0.000831 (alfa 5%) menunjukkan bahwa kawasan permukiman dan perkebunan di kawasan Kampus IPB Dramaga mempunyai komposisi spesies rayap yang berbeda nyata. Kelimpahan koloni rayap di perkebunan lebih tinggi dibandingkan di permukiman. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diberikan kepada Bapak Suhata dari DHH IPB yang telah membantu dalam pembuatan stik kayu pinus, Ibu Arinana yang yang telah banyak memberikan masukan dan diskusi terkait penelitian di lapangan, dan Mbak Ratna Rubiana yang telah membantu dalam mengolah data.



DAFTAR PUSTAKA Ahmad M. 1959. Key to The Indomalayan Termites. Lahore (PK): University of The Punjabi. Arinana, Tsunoda K, Herliyana EN, Hadi YS. 2012. Termite-Susceptible species of wood for inclusion as reference in Indonesian standardized laboratory testing. Insect. 28(2): 396-401. doi: 10.3390/insects3020396. Arinana, Aldina R, Nandika N, Rauf A, Harahap IS, Sumertajaya IM, Bahtiar ET. 2016. Termite Diversity in Urban Landscape, South Jakarta, Indonesia. Insects. 7(2): 20. doi: 10.3390/insects7020020 [ASTM] American Society for Testing and Materials International. 2008. ASTM D 1758-08 Standards Test Method of Evaluating Wood Preservatives by Field Tests with Stakes. West Conshohocken, USA. Bignell DE, Eggleton P. 2000. Termites in ecosystems. In: Abe T, Bignell DE, Higashi M. (Ed.) Termites: Evolution, Sociality, Symbioses, Ecology. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. 363 - 87.



58 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Bong JCF, King PJH. Ong KH. Mahadi NM. 2012. Termites assemblage in oil palm plantation in Sarawak, Malaysia. Jour Ento. 9(2):68-78. doi:10.3923/je.2012.68.78. Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of change in community structure. Australian Journal of Ecology. 18: 117-143. DeBlauwe I, Dibog L, Missoup AD, Dupain J, Van Elsacker L, Dekoninck W, Bonte D, Hendrickx F. 2008. Spatial scales affecting termite diversity in tropical low land rainforest: a case study in southeast Cameroon. African Journal of Ecology. 46:5 - 8. Freymann BP, Buitenwerf R, Desouza O, Olff H. 2008. The importance of termites (Isoptera) for the recycling of herbivore dung in tropical Keng WM.2006. Spesies comparison of termite (Isoptera) in primary forest of Tawau Hill Park, Sabah and adjacent cocoa plantation area.[thesis]. Sabah (MY): University Malaysia Sabah. Krishna K. 1969. Introduction. Di dalam: Krishna K, Weesner FM, editor. Biology of Termites. New York (US): Academic Press Inc. hlm 1-17. Lamaourex S, O’Kane MA. 2012. Effect of termites on soil cover system performance. Mine Clousure. 432:446. Magurran AE. 2003. Ecological diversity and its measurement. New Jersey (US): Princeton University Press. Nandika D, Rismayadi Y, Diba F, Harun JP. 2015. Rayap: Biologi dan Pengendaliaannya.



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



ecosystems: a review. Eur. J. Entomol. 105(2):165-173. doi: 10.14411/eje.2008.025. Jasmi AH, Ahmad AH. 2011. Termite incidence on an araucaria plantation forest in Teluk Bahang, Penang. Insects.2(1):469-474. doi:10.3390/insects2040469. Jones DT. 2000. Termite assemblages in two distinct montane forest types at 1000m elevation in the Maliau Basin, Sabah. Journal of Tropical Ecology. 16: 271 -286. Jones DT, Susilo FX, Bignell DE, Hardiwinoto S, Gillison AN, Eggleton, P. 2003. Termite assemblage collapse along a Land-use intensification gradient in lowland central Sumatra, Indonesia. Journal of Applied Ecology. 40:380 391. Surakarta (ID), edisi 2. Mubin N, editor. Surakarta: Muhammadiyah University Press. R-Development CT. 2013. R: A language and environment for statistical computing [internet]. Vienna: R Foundation for Statistical Computing; diunduh Tersedia pada: http://cran.r-project.org/. Sands WA. 1969. The assosiation of termites and fungi. Di dalam: Krishna K, Weesner FM, editor. Biology of Termites. New York (US): Academic Press Inc. hlm 495-524. Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Kirton LG, editor. Kepong, Kuala Lumpur (MY): Malayan Forest Records.



59 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....



Lampiran Peta persebaran rayap di Kampus IPB Dramaga



60 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Review: Hubungan flexistyle pada....



Review: Hubungan Flexistyle Pada Famili Zingiberaceae Dalam Proses Polinasi Dengan Polinatornya Nurcahyo Widyodaru Saputro1* 1



Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Polinator merupakan salah satu faktor utama dalam keberhasilan proses penyerbukan pada bunga. Sejak awal proses evolusi yang terjadi dimuka bumi berlangsung polinator dengan bunga memiliki hubungan coevolusion, hubungan ini mengakibatkan adanya penyesuaian antara morfologi yang dimiliki oleh bunga dengan morfologi yang dimiliki oleh polinatornya sehingga keberhasilan penyerbukan tetap terjadi. Penelitian terakhir famili Zingiberaceae ditemukan beberapa penemuan yang cukup menarik dari morfologi alat reproduksi yang dimiliki oleh genus Alpinia, Amomum serta Globba. Organ reproduksi (style) pada beberapa genus ini dapat bergerak sehingga selanjutnya dikenal dengan istilah flexistyle. Flexistyle merupakan suatu mekanisme dari style tumbuhan untuk bergerak dikarenakan beberapa faktor seperti : suhu, kelembaban serta intensitas cahaya. Dalam mekanisme yang dimiliki oleh organ reproduksi ini terdapat dua macam bentuk flexistyle yaitu : cataflexistylous (protandrous) dan anaflexistylous (protogynous). Dengan adanya modifikasi organ reproduksi yang dimiliki beberapa genus pada famili zingiberaceae ini maka polinator pada famili ini juga akan beradaptasi sehingga proses penyerbukan tetap terjadi serta menghindari terjadinya inbreeding. Pada artikel ini, penulis ingin mereview beberapa jurnal tentang cara beberapa polinator beradaptasi dengan mekanisme ini. Kata kunci: Coevolusion, Zingiberaceae, Flexistyle, Cataflexistylous, Anaflexistylous, Inbreeding ABSTRACT Polinator is one of the main factors in the success of the pollination process on flowers. Since the beginning of the evolutionary process that takes place on earth on a pollinator with interest has a coevolutional relationship, this relationship results in an adjustment between the morphology of interest and the morphology possessed by the pollinator so that the success of pollination still occurs. A recent study of the Zingiberaceae family found some interesting discoveries of the morphology of the reproductive apparatus which belongs to the genus Alpinia, Amomum and Globba, the reproductive organs (styles) in some of these genera can move so that later known as flexistyle. Flexistyle is a mechanism of plant style to move due to several factors such as: temperature, humidity and light intensity. In the mechanism possessed by the reproductive organs there are two kinds of flexistyle form: cataflexistylous (protandrous) and anaflexistylous (protogynous). With the modification of reproductive organs owned by several genera in the family zingiberaceae this then the pollinator in this family will also adapt so that pollination process still occur and avoid the happening of inbreeding. In this article, the author wants to review some journals on how some polinators adapt to this mechanism. Keywords: Coevolence, Zingiberaceae, Flexistyle, Cataflexistylous, Anaflexistylous, Inbreeding



PENDAHULUAN Proses evolusi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Dengan adanya evolusi, maka terjadi keanekaragaman hayati yang sangat beragam di muka bumi ini. Keanekaragaman hayati terjadi dikarenakan adanya proses perkembangbiakannya yang beragam pula. Saat ini perkembangbiakan pada famili Zingiberaceae masih belum banyak diketahui (Li et al., 2002). Perkembangbiakan tanaman sangat dipengaruhi penyerbukan, apabila penyerbukan pada tanaman terganggu maka akan terganggu juga proses pembuahan. Namun beberapa tumbuhan termasuk tumbuhan dalam famili Zingiberaceae memiliki mekanisme yang disebut Autonomous self – pollination atau penyerbukan sendiri, mekanisme ini merupakan jaminan reproduksi apabila tanaman tersebut menghadapi suatu kondisi ekstrem dimana salah satunya keadaan ketidak hadirannya polinator (Cui & Li, 2015).



HASIL DAN PEMBAHASAN Famili Zingiberaceae memiliki suatu mekanisme unik untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan kehadiran akan polinatornya kurang, mekanisme ini disebut cataflexistylous (protandrous) dan anaflexistylous (protogynous) (Sun et al., 2011). Dalam mekanisme ini style dapat bergerak untuk membantu dalam proses penyerbukan pada kondisi ketidak hadiran polinator, pada famili Zingiberaceae mekanisme ini dikenal dengan istilah flexistyle (Sun et al., 2011; Cui et al., 1995; Li et al., 2001, 2002; Zhang et al., 2003; Takano et al., 2005; Ren et al., 2007). Flexistyle adalah suatu polimorfisme style yang baru saja didokumentasikan (Sun et al., 2011). Mekanisme ini banyak ditemukan pada beberapa genus Zingiberaceae, diantaranya adalah Alpinia, Amomum dan Globba (Li et al., 2002). Cataflexistylous (protandrous) dan anaflexistylous (protogynous) terjadi secara bergantian, saat tanaman mengalami Cataflexistylous (protandrous) stigma



61 | SSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



berada dalam posisi keatas (unreceptive) lalu bergerak kebawah dalam posisi receptive dimana stigma dapat berinteraksi dengan polinator ( gambar 1). Sedangkan saat tanaman dalam keadaan anaflexistylous (protogynous) stigma berlawanan arah dengan Cataflexistylous (protandrous). Selama proses perbungaan stigma pada famili Zingiberaceae akan selalu bergerak namun anthers akan tetap pada posisinya dan akan mengeluarkan pollen ketika posisi stigma berada diatas. Dengan demikian dalam proses penyerbukannya, tanaman ini sangat membutuhkan mekanisme tertentu ataupun polinator.



Review: Hubungan flexistyle pada....



tanaman Amomum subulatum (Gambar 2), didapatkan hasil bahwa ketepatan waktu penyerbukan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan Amomum subulatum untuk menghasilkan pembuahan. Pada bunga yang dikunjungi oleh polinator yang dapat pada pagi hari, tingkat keberhasilan penyerbukan menunjukan keberhasilan yang sangat tinggi, hal ini dikarenakan jarak antara anther-stigma dengan labellum yang tidak terlalu jauh sehingga pollen dapat terdepositkan dengan mudah pada saat lebah sedang mengambil nektar, sedangkan pada sore hari jarak antara anther-stigma cukup jauh sehingga ketika lebah mengambil nektar polen tidak dapat menempel pada bagian thorax lebah (Sinu et al., 2011).



Gambar 1. Bunga dari Alpinia mutica yang digunakan pada percobaan. CPD, Control Pollen Donor. Adalah bunga anaflexistylous tanpa perlakuan. LSF, Longitudinal section of flexistylous flower. MPD, Manipulated Pollen Donor, bunga anaflexistylous dengan perlakuan pemotongan pada dasar style yang dilakukan pagi hari. PR, Pollen Recipient, bunga cataflexistylous dengan pollen yang dihilangkan pada pagi hari. Tanda panah yang terputus-putus menunjukan pergerakan stigma (Sun et al., 2011). Dengan menggunakan pengamatan kunjungan polinator, dapat diperkirakan potensi kompetisi dari pollen antara kontrol dan donor bunga yang telah diberikan perlakukan (Thompson & Plowright, 1980; Thompson, 1986). Pada perkembangannya, alat reproduksi betina yang dimiliki oleh tanaman ini dapat mengganggu kemampuan alat kelamin jantan pada proses penyerbukan, gangguan ini dapat terjadi dalam dua cara : style secara fisik dapat membatasi akses polinator untuk menuju pollen atau style dapat menghilangkan pollen dari tubuh polinator pada saat meninggalkan bunga. Kedua jenis gangguan ini dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi pollen untuk terbawa oleh polinatornya (Harder & Wilson, 1998). Seiring dengan adanya gangguan pada proses penyerbukan ini, terjadi pula hubungan yang sangat erat dalam proses evolusi antara tanaman yang memiliki flexistyle dari polinatornya. Hal ini mengakibatkan adanya proses adaptasi, diantaranya adalah : labellum dari tanaman ini membentuk tabung dan luas sehingga dapat berfungsi menjadi tempat mendaratnya pollinator (Sun, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sinu et al., 2011 tentang interaksi lebah (Bombus haemorrhoidalis) dengan



Gambar 2. a. Lebah pekerja sedang menghisap nektar. Bunga A subulatum pada pagi hari; pollen yang berwarna putih terlihat pada bagian thorax dari lebah. b. Bunga A subulatum yang diambil gambarnya pada pukul 2 sore, pengambilan gambar ini ditujukan untuk menunjukan peningkatan jarak antara anther-stigma (bagian atas) dan labellum (bagian bawah). Panah putih menunjukan anther dan panah merah menunjukan stigma (Sinu et al., 2011). Kajian mengenai tanaman yang memiliki flexistyly masih sangat perlu di telaah lebih lanjut, hal ini dikarenakan masih kurangnya informasi tentang interaksi antara flexistyle dengan polinatornya KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan kunjungan Dengan demikian keberhasilan penyerbukan pada famili Zingiberaceae dipengaruhi oleh ketersediaan akan polinator, dari polinator yang berkunjung, ketepatan



pada proses sangat jumlah waktu



62 | SSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Review: Hubungan flexistyle pada....



polinator untuk melakukan penyerbukan, serta tanaman dengan flexistyle dalam keadaan Cataflexistylous (protandrous) sehingga mempemudah dalam proses penyerbukan DAFTAR PUSTAKA Cui, X.L., Wei, R.C. & Huang, R.F. 1995. A preliminary study on the genetic system of Amomum tsao-ko. J. Yunnan. Univ. (Nat.Sci.) 17: 290–297. Cui, X.L. & Li Q.J. 2015. Autonomous Selfpollination under Dominant Flexistylous Outcrossing Mechanisme in Alpinia galanga (Zingiberaceae). Plant Diversity and Resources. 37 (6): 793-800 Harder, L.D. & Wilson, W.G. 1998. A clarification of pollen discounting and its joint effects with inbreeding depression on mating-system evolution. Am. Nat. 152: 684–695. Li, Q.J., Xu, Z.F., Kress, W.J., Xia, Y.M., Zhang, L., Deng, X.B. et al. 2001. Flexible style that encourages outcrossing. Nature 410: 432. Li, Q.J., Kress, W.J., Xu, Z.F., Xia, Y.M., Zhang, L., Deng, X.B. et al. 2002. Mating system and stigmatic behaviour during flowering of Alpinia kwangsiensis (Zingiberaceae). Plant Syst. Evol. 232: 123–132. Ren, P.Y., Liu, M. & Li, Q.J. 2007. An example of flexistyly in a wild cardamom species (Amomum maximum (Zingiberaceae)). Plant Syst. Evol. 267: 147–154. Sinu, P.A., Kuriakose, G., & Shivanna, K.R. 2011. Is the bumblebee (Bombus haemorrhoidalis) the only pollinator of large cardamom in central Himalayas, India?. Springer. 42: 690-695 Sun. S., Zhang.D.Y., Ives.A.R et al., 2011. Why do stigmas move in a flexistylous plant ? (J). Journal of Evolutionary Biology, 24 (3) : 497504 Takano, A., Gisil, J., Yusoff, M. & Tachi, T. 2005. Floral and pollinator behaviour of flexistylous Bornean ginger, Alpinia nieuwenhuizii (Zingiberaceae). Plant Syst. Evol. 252: 167– 173. Thomson, J.D. 1986. Pollen transport and deposition by bumble bees in Erythronium: influences of floral nectar and bee grooming. J. Ecol. 74: 329–341. Thomson, J.D. & Plowright, R.C. 1980. Pollen carryover, nectar rewards, and pollinator behavior with special reference to Diervilla lonicera. Oecologia 46: 68–74. Zhang, L., Li, Q.J., Deng, X.B., Ren, P.Y. & Gao, J.Y. 2003. Reproductive biology of Alpinia blepharocalyx (Zingiberaceae): another example of flexistyly. Plant Syst. Evol. 241: 67–76.



63 | SSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Media pengenalan jenis capung....



Media Pengenalan Jenis Capung (Odonata) Sebagai Langkah Awal Konservasi Capung di Kawasan Wisata Air Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri Inggit Tria Prameswari, Tutut Indah Sulistiyowati, Sulistiono, Poppy Rahmatika Primandiri Fakultas Biologi, Universitas Nusantara PGRI Kediri Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK Capung merupakan salah satu fauna yang dapat ditemukan di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo. Namun keberadaannya belum banyak diketahui oleh pengunjung. Telah dilakukan penelitian tentang jenis capung di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri. Ditemukan lima jenis capung yang telah teridentifikasi yaitu Orthetrum sabina, Trithemis festiva, Tholymis tillarga, Calopteryx maculata, dan Coenagrien hastulatum. keberadaan capung perlu dikenalkan kepada pengunjung sebagai langkah awal konservasi. Agar pesan konservasi dapat tersampaikan dibutuhkan media yang dapat mengenalkan jenis capung pada pengunjung. penelitian pengembangan menggunakan model pengembangan ADDIE hingga tahap Analysis untuk menentukan media yang akan dibuat. Instrumen yang digunakan adalah angket need assessmen disertai wawancara sederhana. Dalam penelitian ini diketahui latar belakang pekerjaan pengunjung didominasi oleh pelajar (45). Mayoritas tujuannya untuk berlibur yaitu sebanyak 76 %. Sumber informasi tentang Air Terjun Ironggolo yang dipilih oleh pengunjung sebagian besar berupa media cetak yaitu sebanyak 42%. pengetahuan pengunjung tentang jenis capung tergolong rendah, mayoritas pengunjung tidak tahu nama setiap jenis capung yaitu sebanyak 58%. Rata-rata hanya dapat menyebutkan nama daerah. nama tersebut berlaku sama untuk semua jenis capung. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka media yang dapat digunakan untuk mengenalkan jenis capung pada pengunjung adalah poster. Kata kunci: Media, Capung, Ironggolo ABSTRACT Dragonfly is one of the fauna that can be found in Ironggolo waterfall. However, the presence of its place haven’t know by visitor yet. Five species of dragonfly have been identified are Orthetrum sabina, Trithemis festiva, Tholymis tilarga, Calopteryx maculata, and Coenagrion hastulatum. This research is first step from ADDIE method. 100 respondent fill the questionnaire showed 45% are students. The majority purpose of visiting is for vacation (76%). 42% visitor wonted get information by reading. The knowledge of tourist about dragonfly is relatively low, they are do not know the difference between dragonfly species (58%). Most of them only can mention by local name. Based on the result analysis, poster is proper media that can be used to introduce the dragonfly to visitors. Keywords: Dragonfly, Ironggolo, conservation, media



PENDAHULUAN Capung dapat dijumpai di daerah dataran tinggi hingga dataran rendah. Diperkirakan terdapat 5000-6000 jenis capung dan jumlah ini dapat bertambah bila ditemukan jenis baru. Telah dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 750 jenis capung (Susanti, 1998; Feriwibisono dkk, 2013). Menurut penjelasan Kalkman dkk., (2008) sebanyak 5,680 jenis capung telah diketahui spesiesnya, 2.739 termasuk dalam subordo Zygoptera (19 famili) dan 2.941 termasuk dalam subordo Anisoptera (12 famili). Meskipun jenis dan persebarannya cukup banyak, sebagian besar masyarakat belum mengetahui keberadaan capung. menurut Susanti (1998) saat ini beberapa jenis capung termasuk dalam fauna yang terancam punah, salah satu penyebabnya adalah kerusakan habitat. Kerusakan habitat tidak terlepas dari aktivitas manusia yang kurang peduli terhadap kelestarian lingkungan yang berdampak pada keberlangsungan hidup capung. Capung memiliki nilai penting terutama bagi ekosistem perairan. Telah diketahui bahwa larva capung, granite ghost (Bradinopyga geminata) dapat menekan persebaran nyamuk Aedes sebagai serangga



vektor penyebar penyakit dengue pada beberapa kota di Thailand (Andrew dkk., 2008; Suriana, dkk 2014). Pelestarian capung di Indonesia saat ini telah mulai digalakkan, terbukti dari terbentukanya suatu komunitas Indonesia Dragonfly Society merupakan sebuah komunitas yang mengupayakan terciptanya kelangsungan keanekaragaman hayati capung. Negara Jepang telah merestorasi lahan basah dengan membuat 500 kolam di sekitar sekolah yang melibatkan murid, guru,dan orang tua bertujuan untuk menyediakan habitat capung (Indrawan, 2012). Kawasan wisata Air Terjun Ironggolo merupakan tempat wisata yang berada pada ketinggian 1200 m dpl. Wilayahnya terbagi atas air terjun, sungai, ladang, taman bermain, dan hutan. area hutan yang memiliki komposisi pohon tinggi berguna untuk menjaga keberadaan sumber air. wilayah tersebut merupakan habitat yang sesuai untuk perkembangbiakan capung. Langkah awal konservasi yang dapat dilakukan yaitu mengenalkan jenis-jenis setiap capung. belum banyak langkah konservasi fauna di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo. Hasil survei lokasi menunjukkan tidak tersedia informasi-informasi yang 64 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



dapat mengenalkan flora fauna yang ada disana. Agar pesan konservasi dapat tersampaikan dengan baik, perlu didukung dengan menggunakan media. Media memiliki banyak peran dalam bidang konservasi salah satunya sebagai penyampai informasi berupa himbauan dan isu-isu konservasi. Jenis media sangat banyak serta memiliki tujuan dan sasaran masing-masing. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai media pengenalan jenis capung yang dapat diterapkan sebagai langkah awal konservasi capung di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo kabupaten Kediri.



Media pengenalan jenis capung....



keragaman capung. Pengunjung menyebutkan jenis capung sebatas menggunakan nama daerah. Hal tersebut berlaku untuk semua jenis capung. Menurut Soendjoto (2016) berdasarkan ciri morfologi, capung terbagi menjadi dua subordo berbeda yaitu Anisoptera dan Zygopeta (capung jarum). Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda.



METODE Penelitian dilakukan di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri. penelitian dilakukan selama bulan Februari hingga Maret 2017. Penelitian ini menggunakan model pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Developmen, Implementation, Evaluation) hingga tahap Analysis. Instrument penelitian menggunakan angket analisis kebutuhan (need assessment) disertai wawancara sederhana. HASIL Dalam penelitian ini dilakukan analisis kebutuhan menggunakan angket pada pengujung untuk menentukan media konservasi yang dapat dikembangkan, meliputi sumber informasi kawasan wisata, pengetahuan pengunjung tentang capung, tujuan berkunjung, dan latar belakang pengunjung. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan menggunakan angket kepada 50 pengunjung, 62% pengunjung tidak mengetahui tentang keberadaan capung di Ironggolo (Gambar 1). Konsentrasi pengunjung hanya pada keindahan pemandangan tanpa memperhatikan fauna yang ada khususnya capung. Pengunjung hanya bisa menyebutkan dari warna saja, sebab sekilas semua capung terlihat sama. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar pengunjung belum mengenal setiap jenis capung yang ada di Ironggolo.



Gambar 2. Persentase pengetahuan pengunjung tentang jenis-jenis capung. Masalah mendasar yaitu tidak tersedia sumber informasi tentang fauna khususnya capung di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan pengunjung tentang capung yang ada di Ironggolo. Hasil survei awal lokasi terlihat beberapa lokasi hanya dipasang poster-poster himbauan dan larangan tidak membuang sampah sembarangan. Air terjun Ironggolo telah banyak diketahui oleh masyarakat. wisatawan yang datang tidak hanya dari kota Kediri saja, banyak juga yang berasal dari luar kota. Hasil analisis menunjukkan mayoritas pengunjung mengetahui informasi tentang Air Terjun Ironggolo dari media cetak yaitu sebanyak 42% (Gambar 3). Hal tersebut Menandakan sebagian besar pengunjung cenderung membaca informasi dalam bentuk media visual yaitu media cetak.



Gambar 1. Persentase Pengetahuan pengunjung tentang keberadaan capung: ( ) mengetahui capung; ( ) tidak mengetahui capung. Sama halnya dengan pengetahuan pengunjung tentang keberadaan capung, pengetahuan pengunjung tentang jenis-jenis capung juga masih rendah (Gambar 2). Mayoritas pengunjung tidak mengetahui jenis dan



Gambar 3. Persentase smber informasi tentang air 65 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Media pengenalan jenis capung....



terjun Ironggolo Penentuan media selain berdasarkan jenis media yang sering digunakan, juga berdasarkan tujuan pengunjung untuk berwisata. Mayoritas pengunjung datang untuk berlibur (Gambar 4).



Berdasarkan hasil analisis media pengenalan jenis capung yang dapat dikembangkan yaitu poster. Hikmawati dkk., (2015) menjelaskan media poster adalah media grafis yang merupakan perpaduan gambar (visual) dengan warna yang menarik dan kalimat yang bertujuan sebagai penyampaian pesan. Media komunikasi visual dalam bidang konservasi telah banyak ditemui berupa media cetak yaitu poster. sebagai contoh yaitu penelitian yang dilakukan oleh Joni dkk., (2010) tentang poster dan film sebagai media pendidikan konservasi goa putih di hutan pendidikan gunung walat.



Gambar 4. Persentase tujuan pengunjung ke wisata Air Terjun Ironggolo: ( ) liburan; ( ) belajar; ( ) penelitian; ( ) lain-lain.



SIMPULAN



Menurut data tersebut, pengunjung tidak akan tertarik membaca informasi dalam media visual berupa bacaan panjang dengan banyak halaman, seperti buku, majalah, atau media lain yang sejenis. Media yang akan dikembangkan tentu disesuaikan dengan karaketristik pengunjung, dengan cara mengetahui latar belakang pekerjaan pengunjung. Latar belakang pekerjaan pengunjung didominasi oleh pelajar yaitu sebanyak 45% (Gambar 5). Tujuan mereka berlibur tentunya untuk mengurangi rasa penat belajar selama di kelas. Menurut keterangan salahsatu pengunjung yaitu seorang pelajar sekolah menengah pertama, akan membosankan apabila harus membaca buku sambil menikmati pemandangan, sedangkan di sekolah sudah bertemu buku selama berjam- jam. Data hasil analisis yang telah disebutkan menjadi dasar penentuan media. Media pengenalan jenis capung yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik pengunjung. Telah diketahui bahwa setiap jenis capung memiliki nama ilmiah, yang cukup asing didengar oleh masyarakat. Maka informasi jenis capung yang akan disampaikan tentunya dalam bentuk yang sederhana, mudah dipahami, dapat dibaca dalam waktu yang singkat, menarik perhatian dan memuat informasi yang ringan.



Media yang dapat dikembangkan guna mengenalkan jenis capung sebagai langkah awal pelestarian capung di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo yaitu berupa poster DAFTAR PUSTAKA Andrew, R.J., Subramaniam, K. A., Tiple, A. D. 2008. Common Odonates of Central India.E-book for “The 18th International Symposium of Odonatology", Hislop College, Nagpur, India. Hikmawati L, Hari S, Muhtadi I.. 2015. Pengaruh Penggunaan Media Poster dalam Menulis Karangan Narasi Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Negeri 04 Jember Kidul Kaliwates Jember.Artikel Ilmiah Mahasiswa Indrawan dkk. 2012. Biologi Konservasi. Edisi revisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Joni A, Aditia Y P, Resi N. 2010. Poster dan Film sebagai Media Pendidikan Konservasi Goa Putih di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Institut Pertanian Bogor Kalkman V. J, Viola C.. 2008. Global Diversity of Dragonflies (Odonata) in Freshwater. Hydrobiologia 595: 351-363 Soendjoto. 2016. CAPUNG: Predator Cantik Penghuni Perairan. Warta Konservasi Lahan Basah Wetlands Internasional. Vol 4 (1) Suriana, Dwi A. A, Wa O. D. H. 2014. Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Jurnal Biowallacea 1 (1): 49- 62 Susanti, S. 1998. Panduan Lapangan Mengenal Capung. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI. Feriwibisono B, Wahyu S. R, Magdalena P. N. 2013. Naga Terbang Wendit Keanekaragaman Capung Perairan Wendit, Malang, Jawa Timur. Malang: Indonesia Dragonfly Society



Gambar 5. Persentase latar belakang pekerjaan pengunjung.



66 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu (Ordo Lepidoptera) di Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer , Kabupaten Serang, Banten Livia Hananti1*,Raihan Anshari 1, Rina Dwi Ananda1, Dwi Putri Handayani1, dan Hikmat Kasmara 2 1



Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran 2 Dosen Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang merupakan kawasan yang terletak di Selat Sunda dengan potensi keanekaragaman fauna yang belum banyak diketahui diantaranya kupu-kupu. Penelitian tentang keanekaragaman kupu-kupu dilakukan di TWA Sangiang, Banten pada tanggal 4-10 Agustus 2017. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah jenis kupu-kupu (Ordo Lepidoptera) serta keanekaragamannya di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Banten. Metode penelitian menggunakan metode jelajah (survey) pada 3 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan dataran rendah, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi mangrove. Teknik pengambilan data menggunakan teknik direct swiping net yang dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-11.00 dan sore hari pukul 14.00-16.00. Hasil yang diperoleh terdapat 38 jenis dari total 49 individu, yang terbagi kedalam 3 suku yaitu suku Papilionidae (13 jenis), suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 jenis). Jenis yang dominan yaitu jenis Nymphalidae. Indeks keanekaragaman (H’) yang diperoleh sebesar 3.567 dan indeks kemerataannya adalah 0.98. Berdasarkan indeks keanekaragaman (H’) Shannon-Wiener nilai indeks keanekaragaman pada Pulau Sangiang tergolong tinggi dan nilai indeks kemerataan Evenness (E) juga tergolong tinggi. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat diperluas luas area jelajahnya. Kata kunci: Keanekaragaman, Kupu-kupu, Pulau Sangiang, Vegetasi. ABSTRACT Sangiang Island Nature Park is an area located in the Sunda Strain with unknown potential of fauna biodiversity such as butterflies. The research of butterflies biodiversity is done at Sangiang Island Nature Park, Banten on 4-10 Agustus 2017. This study aims to determine the type and number of butterflies species (order Lepidoptera) and it’s diversity in the area of Sangiang Islanda Nature Park , Banten. The research method used the survey method at 7 points of research location is Tanjung Bajo, Kedondong Muara, Legon Waru, Tembuyung, Mata Suta Beach, Tukik Beach, Green Garden Resort which generally consists of 3 types of vegetation in example lowland forest vegetation, vegetation coastal forests, and mangrove vegetation. Techniques of data collection using direct swiping net technique conducted in the morning at 08.00-11.00 and afternoon at 14.00-16.00 on the three types of vegetation. There were 38 species out of 49 individuals, divided into 3 tribes, Papilionidae (13 species), Nymphalidae (16 species), and Pieridae (9 species). The dominant tribe is Nymphalidae. The index of diversity (H ') obtained is 3.567 and its evenness index is 0.98. Based on the Shannon-Wiener's diversity index (H '), the diversity index value at Sangiang Island Nature Park (TWA) is high and the Evenness (E) evenness is also high. For further research is expected to be expanded wide roaming area. Keyword: Butterfly, Diversity, Sangiang island, vegetation.



PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversity. Keadaan alam Indonesia dengan iklim tropis menjadi habitat yang cocok bagi berbagai flora dan fauna. Salah satu fauna tersebut yaitu kupukupu, terdapat sekitar 4.000 - 5.000 jenis, namun sampai saat ini baru setengahnya yang sudah teridentifikasi jenisnya (Sutra dkk., 2012 dalam Febrita dkk, 2014). Kupu-kupu berperan penting yaitu sebagai bioindikator bagi lingkungan dengan memantau pola distribusi, kelimpahan kupu-kupu,perubahan dan gangguan dalam kualitas habitat,dan berperan penting bagi ekosistem salah satunya sebagai polinator untuk membantu proses penyerbukan tanaman (Septianella dkk, 2015). Scoble (1992) dalam Febrita dkk (2014), menyatakan bahwa kupu-kupu sangat bergantung



pada keanekaragaman tanaman inang, sehingga memberikan hubungan yang erat antara keanekaragaman kupu-kupu dengan kondisi habitatnya. Penelitian tentang keanekaragaman kupu-kupu sudah banyak dilakukan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, namun belum semua wilayah di Indonesia diperoleh data tentang keanekaragaman kupu-kupunya. Pulau Sangiang merupakan Taman Wisata Alam yang terletak di Selat Sunda. Kawasan yang memiliki luas sekitar 1.420,35 hektar ini, terdiri dari dataran seluas 700,35 hektar dan taman laut seluas 720 hektar yang menyimpan berbagai macam flora dan fauna. Oleh karena itu, Pulau Sangiang mendapat julukan Seven Wonders of Banten. Menurut Mujiburohman (2015), pulau ini memiliki empat zonasi. Pertama, hutan mangrove yang memiliki ciri 67 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



vegetasi yang tumbuh pada pasang surut. Kedua, hutan pantai yaitu hutan yang berada di daerah pantai dan biasanya tumbuh di daerah pasir pinggir pantai. Ketiga, hutan dataran rendah yaitu hutan yang berada pada ketinggian 100- 700 mdpl. Keempat, zona perairan yang dihuni oleh berbagai macam terumbu karang dan jenis ikan hias. Dari data yang ada hanya dapat diketahui jenis vegetasinya saja, sedangkan untuk data keanekaragaman faunanya masih kurang. Penelitian ini didasari karena belum terdapatnya informasi mengenai kupu-kupu di pulau ini, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah jenis kupu-kupu serta data keanekaragamannya di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Banten. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 4 Agustus 2017 sampai dengan 10 Agustus 2017 di Taman Wisata Pulau Sangiang. Pulau Sangiang terletak di Selat Sunda yang memisahkan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Secara geografis Taman Wisata Alam Pulau Sangiang terletak antara 5º56’00’’ sampai dengan 5º58’00’’ LS dan 105º49’30’’ sampai dengan 105º52’00’’ BT. Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang terletak di Selat Sunda dan menurut administratif pemerintahan terletak di wilayah Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten (Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia, 2016). Berdasarkan survei awal pada tanggal 1 Juli 2017 sampai dengan 3 Juli 2017 penentuan titik/plot penelitian ditetapkan perdaerah atau perwilayah yang ada di Pulau Sangiang. Terdapat tujuh daerah yang ditetapkan sebagai wilayah pengambilan sampel Kupu-kupu untuk mewakili data keseluruhan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, yaitu: Tanjung Bajo Pantai Matasuta Kedondong Tembuyung Pantai Tukik Legon Waru Resort Green Garden



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4 Agustus 2017sampai dengan 10 Agustus 2017 di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang. Metode penelitian menggunakan metode jelajah (survey) pada 7 Titik lokasi penelitian yaitu Tanjung Bajo, Muara Kedondong, Legon Waru, Tembuyung, Pantai Mata Suta, Pantai Tukik, dan Resort Green Garden yang secara umum terdiri dari 3 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan dataran rendah, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi mangrove. Teknik pengambilan data menggunakan teknik direct swiping net yang dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-11.00 WIB dan sore hari pukul 14.00-16.00 WIB pada ketiga tipe vegetasi. Dan dilakukan pengulangan sebanya satu kali untuk validasi data. Kupu-kupu yang tertangkap dikoleksi dan diidentifikasi di lab taksonomi Departemen Biologi menggunakan buku identifikasi Identification Guide for Butterflies of West Java, Kupu-kupu di Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Panduan praktis Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor, Precious and Protected Indonesian Butterflies, Mengenal Kupu-Kupu, Biodiversitas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Buku Identifikasi Kupu-kupu se-Jatinangor. Pengukuran faktor abiotik menggunakan alat Digital Instruments Model LM8010 untuk mengukur kelembaban udara, temperatur udara, intesitas cahaya, dan kecepatan angin. Sedangkan untuk mengukur ketinggian digunakan alat Altimeter. Analisis Data Data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan menghitung indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan (E). (1) Indeks yang digunakan adalah indeks keragaman Shannon-Wiener (Odum, 1993 dalam Florida dkk, 2015):



Ket: Pi =



Ή’= indeks keanekaragaman jenis



ni = jumlah individu jenis ke i N= jumlah individu semua jenis Dengan Kriteria (Cox 1996; Barbour et al. 1987 dalam Rahayu, 2012): Indeks ShannonPenilaian Wiener H’ < 1 Sangat rendah



Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Banten



H’ = 1-2 H’ = 2-3 H’ = 3-4 H’>4



Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi



68 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



(2) Indeks kemerataan (E) dihitung menggunakan indeks kemerataan Evenness (E) dengan rumus (Odum, 1993 dalam Florida, 2015):



Ket: E= indeks kemerataan jenis H’ = indeks keanekaragam jenis S = jumlah seluruh jenis Dengan kriteria (Cox 1996; Barbour et al. 1987 dalam Rahayu, 2012): Indeks Kemerataan Penilaian E < 0.3 E 0.3 - 0.6 E > 0.6



Rendah Sedang Tinggi



HASIL DAN PEMBAHASAN Pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang diperoleh 38 spesies dari total 49 individu yang terdiri dari 3 suku yaitu Papilionidae 13 jenis, Nymphalidae 16 jenis, dan Pieridae 9 jenis yang disampaikan dalam (Tabel 1.). Berdasarkan indeks keanekaragaman (H’) Shannon-Wiener nilai indeks keanekaragaman pada Pulau Sangiang tergolong tinggi yaitu 3.567. Sedangkan nilai indeks kemerataan Evenness (E) yang diperoleh yaitu 0.981. Berdasarkan hasil penelitian keanekaragaman jenis pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang tergolong tinggi. hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti lokasi geografis, faktor biotik dan faktor abiotik. Lokasi Geografis Keanekaragaman flora dan fauna di suatu wilayah tidak terlepas dari dukungan kondisi di wilayah itu. Pulau Sangiang merupakan pulau kecil yang berada di Selat Sunda dan diapit oleh 2 pulau besar yaitu Jawa dan Sumatra, hal ini sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman flora dan fauna di pulau ini. Pulau Sangiang dijadikan tempat singgah oleh satwa saat bermigrasi dari Pulau Jawa menuju Pulau Sumatera atau sebaliknya. Migrasi fauna antar pulau memberi peluang bercampurnya unsur dari 2 kelompok kawasan tersebut yang menyebabkan flora dan fauna di pulau ini menjadi beranekaragam. Salah satu contoh yang membuktikan bahwa satwa terutama kupu-kupu yang ada di Pulau Sangiang merupakan percampuran antara Pulau Jawa dan Sumatra yaitu kupu-kupu jenis Euploea gamelia atau biasa disebut Javan crow, kupu-kupu ini merupakan kupu-kupu endemik Pulau Jawa (Whitten et al., 1997). Kupu-kupu melakukan migrasi dalam jumlah yang banyak (berkelompok) dengan arah tertentu, untuk mencari tempat yang menyediakan cukup pakan bagi perkembangan larva (Hermawanto dkk., 2015). Islam et al (2013) menyatakan bahwa kelimpahan kupu-kupu dipengaruhi oleh faktor abiotik yaitu suhu, kelembaban relatif, curah hujan, intensitas sinar matahari, dan faktor biotik adalah vegetasi. Jumar (1997) dalam Florida (2015) menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik bagi kupu-



kupu adalah 150C hingga 450C dengan suhu optimum 250C. Connors (2002) dalam Florida (2015) menjelaskan bahwa kupu-kupu berjemur di bawah sinar matahari untuk menghangatkan tubuh sebelum terbang. Kupu-kupu paling aktif pada suhu 370C, jika suhu lebih dari 370C maka kupu-kupu akan mencari tempat berlindung. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup kupu-kupu yaitu suhu, kelembaban, serta kecepatan angina (Florida dkk., 2015). Pada penilitian ini 2 alat untuk mengukur faktor abiotik atau digunakan data fisik yaitu Digital instruments Model LM-8010 untuk mengukur kelembaban relatif, temparatur udara, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Altimeter digunakan untuk mengukur ketinggian tempat. Hasil pengukuran faktor abiotik dituliskan dalam tabel1. Ketinggian Tempat dan Kecepatan Angin Ketinggian tempat atau topografi Taman Wisata Alam Pulau Sangiang tidak terlalu tinggi (berkisar dari 0-210 mdpl) dan rata-rata termasuk ke dalam kawasan dataran rendah. Perbedaan ketinggian tempat/topografi tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan kupu-kupu, hanya menyebabkan adanya perbedaan jenis kupu-kupu yang berdiam di daerah yang tinggi dan daerah yang rendah yang berhubungan dengan suhu karena tiap jenis kupukupu memerlukan suhu yang berbeda-beda. Rerata kecepatan angin pada lokasi penelitian termasuk rendah (berkisar 0-0,4 m/s) hal ini disebabkan karena vegetasi di lokasi penelitian berupa hutan dan semak. Terdapat beberapa lokasi penelitian di daerah pantai namun angin di wilayah tersebut tidak terlalu kencang karena terdapat hutan disekitar pantai tersebut. Vegetasi penyusun hutan sekunder berupa pepohonan dapat menjadi penghalang atau pemecah gelombang angin (Sulistyani dkk., 2014). Intensitas Cahaya Rerata intensitas cahaya di Pulau Sangiang berkisar (12.300 Lux-4000 Lux) termasuk baik untuk perkembangan imago kupu-kupu, kecuali pada Lokasi II intensitas cahayanya sebesar 12.300 lux dan IV intensitas cahayanya sebesar 16.616 lux, intensitas cahaya matahari pada wilayah tersebut diatas kriteria yang baik untuk perkembangan imago. Namun di daerah tersebut masih ditemukan kupu-kupu karena di lokasi II dan IV masih ditemukan beberapa tanaman yang termasuk food plant dari beberapa jenis kupukupu. Menurut Nurjannah (2010) dalam Sulistyani (2013) intensitas cahaya antara 2.000-7.500 lux baik untuk perkembangan imago. Intensitas cahaya merupakan faktor penting dalam keberadaan kupu-kupu di suatu wilayah. Cahaya diperlukan untuk mengeringkan sayap kupukupu pada saat keluar dari kepompong. Menurut Suantoro (2000) dalam Sulistyani (2013) cahaya akan 69 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



memberikan energi panas kepada tubuh, sehingga suhu tubuh meningkat dan metabolisme menjadi lebih cepat. Peningkatan suhu tubuh akan mempercepat perkembangan larva kupu-kupu, Sayap kupu-kupu berperan dalam pengaturan panas tubuh (Suantara, 2000 dalam Sulistyani, 2013). Saat cuaca dingin kupu-kupu meningkatkan frekuensi berjemur dan pembukaan sayapnya untuk mengumpulkan energi panas dari cahaya matahari untuk meningkatkan temperatur tubuh. Bila suhu tubuh meningkat maka kupu-kupu akan mencari tempat berteduh (Sihombing, 2002 dalam Sulistyani, 2013). Kelembaban Udara Nilai kelembaban udara tertinggi terdapat pada lokasi II yaitu 80% dan nilai kelembaban terendah terdapat pada lokasi IV (60,6%). Untuk dapat beraktifitas optimal umumnya kelembaban udara lingkungan kupu-kupu berkisar antara 60-75% (Kingsolver; Suwarno, 2012 dalam Febrita dkk., 2014). Untuk berkembangbiak, kupu-kupu membutuhkan kelembaban udara yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 84-92%, namun kupu-kupu tidak mampu beradaptasi pada daerah yang memiliki kelembaban terlalu tinggi yaitu >92% (Borror dkk, 1992 dalam Febrita dkk., 2014). Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa kelembaban



Parameter Lingkungan Ketinggian (Mdpl) Kecepatan Angin (m/s) Intensitas Cahaya (Lux)



di Pulau Sangiang cocok untuk aktivitas dan perkembangbiakan kupu-kupu. Suhu Udara Rerata temperatur lokasi penelitian berkisar 28,10C -34,170C. Nilai suhu tertinggi terdapat pada lokasi IV yaitu 34,170C dan nilai terendah terendah terdapat pada lokasi II yaitu 28,10C. Jumar (1997) dalam Florida (2015) menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik bagi kupu-kupu adalah 150C hingga 450C dengan suhu optimum 250C. Berdasarkan pernyataan diatas, suhu udara di lokasi penelitian tergolong baik bagi kupu-kupu. Connors (2002) dalam Florida (2015) menjelaskan bahwa kupu-kupu berjemur di bawah sinar matahari untuk menghangatkan tubuh sebelum terbang. Kupu-kupu paling aktif pada suhu 370C, jika suhu lebih dari 370C maka kupu-kupu akan mencari tempat berlindung. Suhu berbanding terbalik dengan kelembaban. Semakin tinggi suhu lingkungan maka kelembabannya akan semakin rendah (Febrita dkk., 2014). Kupu-kupu adalah organisme poikilotermal yang suhu tubuhnya bergantung pada suhu lingkungan sekitarnya (Sulistyani, 2013). Perubahan suhu udara dapat mempengaruhi proses metabolisme tubuh serangga. Kupu-kupu memerlukan suhu yang hangat untuk dapat terbang (Landman, 2001 dalam Sulistyani, 2013).



Tabel 1. Hasil Pengukuran Faktor Abiotik Lokasi Lokasi II Lokasi III I 190 210 20 0,4 0,3 0 3400



12.300



Kelembaban udara (%) 64,3 80 Suhu udara (0C) 32,5 28.1 Keterangan: I = Muara Kedondong II= Tanjung Bajo dan Pantai Mata Suta III= Legon Waru IV=Tembuyung, Pantai Tukik, Resort Green Garden Vegetasi Salah satu faktor biotik yang mempengaruhi keanekaragaman kupu-kupu adalah vegetasi. Vegetasi sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup kupukupu sebagai pakan, pelindung, tempat meletakkan telur dan inang bagi kupu-kupu (Rahayu,2012). Secara garis besar, terdapat 3 vegetasi yang ada di Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang yang menyusun lokasi pengambilan data atau lokasi penelitian. Vegetasi tersebut adalah vegetasi hutan dataran rendah, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi mangrove. Setiap lokasi tidak hanya tersusun oleh satu vegetasi saja. Lokasi I adalah Muara Kedondong yang tersusun atas vegetasi hutan dataran rendah dan mangrove, pada wilayah yang tersusun oleh vegetasi hutan dataran rendah terdapat tanaman bunga tembelakan (Lantana camara), melinjo (Gnetum



Lokasi IV 8 0,4



7000



16.616



70 30,5



60,6 34,17



gnemon), dan tanaman jeruk (Citrus sp.) serta tanaman dari suku Casuarinaceae, Poaceae dan Fabaceae. Lantana camara merupakan food plant bagi kupu-kupu karena termasuk kedalam tanaman berbunga, tanaman Lantana camara mendominasi kawasan ini. Selain terdapat food plant, pada wilayah ini juga terdapat host plant atau tempat menaruh telur dan larva kupu-kupu yaitu tanaman jeruk (Citrus sp.) oleh karena itu pada wilayah ini ditemukan banyak jenis kupu-kupu terutama Troides sp. Dan hebomoia sp. Pada wilayah yang tersusun oleh vegetasi mangrove, jenis yang mendominasi adalah pohon bakau (Rhizophora mucronata). Lokasi II adalah Tanjung Bajo dan Pantai Mata Suta yang tersusun atas vegetasi hutan dataran rendah dan hutan pantai. Pada wilayah yang tersusun oleh hutan dataran rendah terdapat bunga tembelekan (Lantana camara), bunga 70 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



tahi ayam (Tagetes erecta), alang-alang (Imperata cylindrica), pohon beringin (Ficus sp.) dan beberapa tanaman dari suku Poaceae, Verbenaceae, serta Palmae (Arecaceae). Walaupun di wilayah ini ditemukan beberapa food plant kupu-kupu, namun hanya sedikit jenis kupu-kupu yang ditemukan pada wilayah ini seperti Danaus sp dan Euploea sp. selain dikarenakan oleh intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi, pada wilayah ini terdapat banyak burung dan merupakan habitat bagi burung-burung tersebut. Burung merupakan predator bagi larva kupukupu (Rahayu,2012). Pada wilayah yang tersusun oleh vegetasi hutan pantai terdapat tanaman pandan bidur (Pandanus bidur), waru laut (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan beberapa tanaman dari suku Lethycidaceae. Lokasi III adalah Legon Waru yang tersusun oleh vegetasi hutan pantai, pada lokasi ini ditemukan pohon ketapang (Terminalia catappa), pandan bidur (Pandanus bidur), alang-alang (Imperata cylindrica), johar (Cassia siamea), pohon kelapa (Cocos nucifera) dan beberapa tanaman dari suku Casuarinaceae dan Astreaceae. Pada lokasi ini ditemukan beberapa jenis kupu-kupu seperti Eurema sp., Neptis hylas, Catopsilia pyranthe, dan beberapa jenis dari suku Nymphalidae. Lokasi IV adalah Tembuyung, Pantai Tukik, dan Resort Green Garden, lokasi ini tersusun oleh vegetasi hutan pantai dan hutan mangrove. Pada wilayah yang tersusun vegetasi hutan pantai terdapat tanaman pohon ketapang (Terminalia catappa), alang-alang (Imperata cylindrica), sengon (Albizzia falcataria), Cyperus rotundus, bunga tembelakan (Lantana camara), dan beberapa tanaman dari suku Asteraceae dan Annonaceae. Pada wilayah yang tersusun oleh vegetasi mangrove di dominasi oleh pohon bakau (Rhizophora mucronata). Pada lokasi IV ini kupukupu yang sering ditemukan adalah dari suku Papilionidae seperti Graphium sarpedon, Papilio peranthus, Papilio memnon, serta Graphium agamamemnon. Amer et al. (2003) dalam Sulistyani dkk (2014) menyatakan bahwa kupu-kupu memiliki perbedaan kesukaan terhadap sinar matahar langsung. Walaupun intensitas cahaya matahari di area ini tinggi tetapi kupu-kupu jenis papilionidae sering ditemukan pada lokasi ini karena kupu-kupu dari suku Papilionidae mempunyai sayap yang besar. Kupukupu, khususnya dari superfamily Papilionoidea, sangat menyukai cahaya. Cahaya diperlukan untuk mengeringkan sayap kupu-kupu pada saat keluar dari kepompong. Cahaya akan memberikan energi panas kepada tubuh, sehingga suhu tubuh meningkat dan metabolisme menjadi lebih cepat. Peningkatan suhu tubuh akan mempercepat perkembangan larva kupukupu (Suantara, 2000 dalam Sulistyani, 2013). Nilai indeks keanekaragaman ShannonWiener (H’) pada Taman Wisata Alam Pulau Sangiang yaitu sebesar 3.57 tergolong ke dalam kriteria tinggi karena H’= 3-4 (Barbour et al. 1987 dalam Rahayu, 2012). Tingginya nilai H’ pada Taman Wisata Alam Pulau Sangiang berhubungan dengan



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



vegetasi di pulau ini. Semakin banyak tanaman yang menjadi food plant dan host plant, semakin beranekaragam pula kupu-kupu yang ada di wilayah tersebut. Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis menunjukkan keseimbangan lingkungan stabil dan area tersebut mampu menyediakan sumber daya yang dibutuhkan bagi kehidupan kupu-kupu (Febrita dkk., 2014). Menurut Sarma et al. (2012); Lodh dan Agarwala (2016) dalam Irni dkk (2016), Indeks keanekaragaman juga dipengaruhi faktor abiotik seperti suhu, kelembaban udara serta intensitas cahaya yang sesuai dengan aktifitas kupu-kupu serta faktor jumlah jenis, jumlah individu masing-masing jenis dan total individu sehingga dapat berubah sesuai komposisi dan sebaran serta kelimpahan masingmasing jenis. Nilai indeks kemereataan Evenness pada Taman Wisata Alam Pulau Sangiang sebesar 0.98. Menurut Barbour et al (1987) dalam Rahayu (2012), nilai kemerataan 0,6 menunjukkan tingkat kemerataan yang tinggi. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa nilai indeks kemerataan pada kawasn Taman Wisata Alam Pulau Sangiang tergolong tinggi. Indeks kemerataan spesies yang menunjukkan bahwa tidak ada satu spesies yang mendominasi spesies lainnya. Semakin tinggi nilai kemerataan spesies mengindikasikan bahwa jumlah individu setiap spesies semakin beragam (Winarni,2005 dalam Rahayu,2012). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa total kupu-kupu yang tercatat di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang sebanyak 38 jenis dari total 49 individu, yang terbagi kedalam 3 suku yaitu suku Papilionidae (13 jenis), suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 jenis). Nilai indeks keanekaragaman yang jenis yaitu sebesar 3.57 tergolong ke dalam kriteria tinggi, keanekaragaman jenis erat hubungannya denga vegetasi karena semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis maka semakin banyak tanaman yang menjadi food plant dan host plant. Nilai indeks kemerataan evenness yaitu sebesar 0.981 yang tergolong ke dalam kriteria tinggi, semakin tinggi nilai kemerataan spesies mengindikasikan bahwa jumlah individu setiap spesies semakin beragam. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diberikan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Banten atas izinnya untuk melakukan penelitian di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, kepada panitia Observasi Wahana Alam IV Himpunan Mahasiswa Biologi UNPAD yang telah mengadakan penelitian ini, kepada Tim Entomologi OWA IV yang telah membantu dalam pengambilan data, dan kepada 71 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



bapak Hikmat Kasmara , Drs., M.Si. sebagai dosen



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



pembimbing.



Tabel 2. Jenis Kupu-Kupu yang Diperoleh di Lokasi Penelitian No. Suku Jenis Jumlah 1. Papilionidae Papilio memnon ♂♀ 2 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16.



Nymphalidae



17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.



Pieridae



Pachliopta aristolochiae adamas ♀ Troides miranda neomiranda ♀ Troides helena helena ♀ Troides helena f pompeus ♂ Troides helena mannus ♂ Troides helena nereides Troides helena hephaetus ♂ Triodes helena f Jupiter Papilio polytes Graphium sarpedon Graphium Agamemnon Papilio peranthus adamantius Ideopsis juventa Euploea mulciber basilissa Elymnias kuenstleri gauroides Amathusia phidippus phidippus Amathusia taenia taenia Hypolimnas misippus misippus Danaus chrysippus bataviana Phalantha phalantha Euploea caramalzeman hypanis Euploea phaenareta Neptis hylas matula Danaus melanippus melanippus Euploea gamelia Elymnias hypermnestra hypermnestra Melanitis ledasimessa Ariadne specularia Hebomoia glaucippe javanensis Hebomoia glaucippe formosana Delias hyparete ♀♂ Catopsilia pomona Eurema blanda blanda Eurema hecabe sankapura Gandaca harina harina Eurema sari sari Catopsilia pyranthe pyranthe Total



H’ 0.130558



2



Keterangan ♂ Ditangkap dan ♀ tidak tertangkap Ditangkap



1



Ditangkap



0.079425



1 1



Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.079425



1 1 1



Ditangkap Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.079425 0.079425



1 1 1 1 2



Ditangkap Ditangkap Tidak tertangkap Tidak tertangkap Tidak tertangkap



0.079425 0.079425 0.079425 0.079425 0.130558



2 1 2



Ditangkap Ditangkap Ditangkap



0.130558 0.079425 0.130558



1



Ditangkap



0.079425



1 2



Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.130558



2



Ditangkap



0.130558



1 1



Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.079425



1 1 3



Ditangkap Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.079425 0.171013



1 1



Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.079425



1 1 1



Ditangkap Ditangkap Ditangkap



0.079425 0.079425 0.079425



1



Ditangkap



0.079425



2 1 2 1 1 1 1



Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap



0.130558 0.079425 0.130558 0.079425 0.079425 0.079425 0.079425



E’



0.130558



0,98



49



3.57



0.98



72 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



DAFTAR PUSTAKA Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia. 2016. Sangiang. http://www.ppkkp3k.kkp.go.id/direktoripulau/index.php/public _c/pulau_info/273 ( Diakses pada tanggal 8 Oktober 2017) Febrita,E., Yustina, dan Dahmania. 2014. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu (Subordo Rhopalocera) di Kawasan Wisata Hapanasan Rokan Hulu Sebagai Sumber Belajar Pada Konsep Keanekaragaman Hayati. Jurnal Biogenesis. 10(2): 49-58 Florida,M., Setyawati,T.R., and Yanti,A.H., 2015. Inventarisasi Jenis Kupu-kupu pada Hutan Kerangas di Kawasan Cagar Alam Mandor Kabupaten Landak. Protobiont. Vol. 4 (1) : 260-265 Hermawanto,R.,Panjaitan,R.,dan Fatem,S.2015. Kupu-kupu (Papilionoidea) di Pantai Utara Manokwari, Papua Barat: Jenis, keanekaragaman dan pola distribusi. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON.1 (6): 13411347 Irni, J., Masy’ud, B., and Haneda, N.F. 2016. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu Berdasarkan Tipe Tutupan Lahan dan Waktu Aktifnya di Kawasan Penyangga Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. Media Konservasi. 21(3): 225-232 Islam, M.A., Parven,N., Islam, M.S., and Bashar, M.A. 2013. Butterfly Abundance in Relation to Abiotic-Biotic Factors of Forest Ecosystem of The Butterfly Research Park, Gazipur, Bangladesh. Bangladesh J. Zool. 41(2): 247255 Mujiburohman,D.A. 2015. Potensi Dan Permasalahan Pulau Sangiang Sebagai Objek Tanah Terlantar. Bhumi. 1(2): 136-145 Rahayu,S.E. 2012. Keanekaragaman Spesies dan Distribusi Kupu-Kupu (Lepidoptera: Rhopalocera) di Beberapa Tipe Habitat di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi. TESIS. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Pascasarjana Program Studi Biologi Universitas Indonesia. Depok Septianella,G., Peggie,J., and Sasaerila,H.Y. 2013. Keanekaragaman kupu-kupu (Lepidoptera) di kawasan Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON.1 (8): 18161820 Sulistyani,T.H. 2013. Keanekaragaman Jenis KupuKupu (Lepidoptera: Rhopalocera) di Kawasan Cagar Ama Ulolanang Kecubung Kabupaten Batang. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang Sulistyani, T.H., Rahayuningsih,M., dan Partaya. 2014. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu



Keanekaragaman jenis kupu-kupu....



(Lepidoptera: Rhopalocera) di Cagar Alam Ulolanang Kecubung Kabupaten Batang. Unnes Journal of Life Science. 3(1): 9-17 Whitten,T., Soeriaatmadja,R.E., and Afiff, S.A. 1997. The Ecology of Java and Bali: The Ecology of Indonesia Series Volume II. Oxford University Press. London.



73 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Frekuensi serangan serangga inger....



Frekuensi Serangan Serangga Inger-inger (Neotermes tectonae Damm) Pada Tegakan Jati di RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH Banyuwangi Selatan Ika Nofi Hastuti¹, Dadang Gusyana² ¹Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (UNWIM) ²PT Lautan Luas TBK. *[email protected] [email protected] ABSTRAK Inger-inger (Neotermes tectonae Damm) termasuk binatang kelas Insecta dari Ordo Isoptera. Inger-inger juga disebut sebagai rayap pohon dan sering menyerang pada pohon Jati (Tectona grandis) yang masih hidup. Serangan Inger-inger terjadi pada pohon sehat serta bagian yang mati,lapuk, dan bekas luka.Inger-inger mencerna sellulosa yang pada potongan kayu maupun tanaman yang masih hidup. Akibatnya pohon tersumbat, sistem penyaluran bahan makanan dan mengalami pembengkakan ( gembol) , kulit pohon akan pecah-pecah /mengelupas dan tidak berproduksi kembali. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi serangan Inger-inger terhadap tegakan Jati (Tectona grandis) dan kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh serangan. Berdasarkan hasil penelitian ada 2 bentuk kerusakan yaitu dari luar (berupa gembol pada batang atau bagian yang terserang, keadaan kulit pohon yang pecah-pecah dan pengelupasan ) dan kerusakan dalam batang pohon , terlihat liang-liang kembara rayap secara melintang, membujur dan melingkar. Frekuensi serangan serangga Inger-inger,dari 40 petak pengamatan , terdapat 9 petak yang terserang Inger-Inger, dipetak 39c dengan Frekuensi serangan antara 19,05% sampai dengan 55,56%. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban pada daerah tersebut adalah 24,5 °C dan 81,56%. Kondisi tersebut merupakan kondisi ideal bagi perkembangan serangga Inger-inger. Berdasarkan frekuensi serangan Inger-inger, akibat serangan serangga tersebut diduga kerugiannya sebesar Rp. 81.570.000,- .Tingginya nilai kerugian tersebut diakibatkan oleh hilangnya nilai ekonomis kayu. Kata Kunci : Inger-inger, Tegakan Jati, Frekuensi Serangan, Ekonomis Kayu. ABSTRACT Inger-inger (Neotermes tectonae Damm) incluiding Arthropoda animal, calss of insecta of Isoptera ordo. Isoptera come from Greek, iso mean same and ptera mean wing, this name relate at reproduce caste because they have a couple of wing with size measure and from between front wing and behind is same. Inger-inger also often conceived of by tree white ants and in general spread over between latitude 50 °LU - 50°LS. This insect attack at teak tree (Tectona grandis) which still alive above the ground. Attack of Inger-inger happened at parts of mouldy or dead tree and also at hurt second hand, then continued at part of healthy . Inger-inger then digest cellulose found on wood cutting and also crop which above the ground. Effect of this activity of attacked tree will experience of gagging at system chanelling of food cortex will break and flake cap it all tree cannot be productive return. This research want to know attack frequency of Inger-inger at teak tree and economic loss resulted by attack of Inger-inger. Pursuant to result of research found damage from that is visible damage from outside and damage which do not see from outside. Damage of which can see from outside in the form of vision of gembol-gembol at attacked shares or bar, seen caves wander ants at visible bar athwart, circle and lengthwise. Effect of damage of attacked tree experience of growth trouble and degradation of bar quality. Attack frequency of Inger-inger at RPH Curah Jati BKPH Curah Jati KPH South Banyuwangi from result of perception an 40 check of perception , there are nine check of attacked Inger-inger with attack frequency among 19,05% up to 55,56%. Ninth check of perception spread over by group at check area 39c. At the area anticipated to have the condition of more supporting environment of life of Inger-inger . Result of measurement of dampness and temperature at the area is 24,50°C and 81,56 %. The condition represents ideal condition to growth of Inger-inger. Pursuant to attack frequency of Inger-inger that happened calculated by wood value, effect of the insect attack anticipated by loss becauese of attack of Inger-inger is Rp. 81.570.000,- . Height asses the loss resulted from the loss off economic value of wood. Keywords: Inger-inger, teak, frequency of attact, economical wood.



PENDAHULUAN Industri kehutanan berkembang di Indonesia dengan bermacam-macam jenis industri, mulai dari industri kayu gergajian, plywood, industri pul dan kertas. Salah satu primadona industri kehutanan yang telah berkembang sejak lama adalah industri pengolahan kayu jati sebagai bahan baku meubeler, kusen, pintu dan lain-lain. Tingginya minat



masyarakat akan produk olahan jati disebabkan oleh kualitas produk yang bernilai tinggi dan sangat awet, dari kerusakan yang diakibatkan oleh faktor perubak biologis. Pemilihan jenis yang baik akan sangat menunjang bagi keberhasilan budidaya jati, namun seringkali tanaman Jati yang telah tumbuh baik karena pemeliharaannya kurang baik , bisa terserang oleh



74 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



berbagai jenis faktor perusak hama. Hama Jati yang telah dikenal sejak lama adalah rayap pohon (Neotermes tectonae Damm) atau yang dikenal sebagai Inger-inger. Menurut data dari Perum Perhutani, daerah endemik serangan Inger-inger di Jawa Timur selain di KPH Cepu adalah KPH Banyuwangi dan Kebonharjo. Frekuensi serangan inger-inger pada kedua KPH tersebut sangat tinggi, namun hingga saat ini data kerusakannya belum secara rinci diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengukur frekuensi serangan Inger-inger yang dilakukan di salah satu RPH di BKPH Grajagan KPH Banyuwangi Selatan serta untuk menegtahui taksiran kerugian akibat kerusakan yang disebabkan oleh inger-inger. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada September 2016-Januari 2017 yang mengambil lokasi di kawasan hutan Jati RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH Banyuwangi Selatan. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah peta kerja, Roll meter, cat, kuas, Termometer, alat pengukur kelembaban (Hygrometer), alat tulis dan kamera. Sedangkan obyek dari penelitian ini adalah tegakan jati di RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH Banyuwangi Selatan. Metode Penelitian Pembuatan Petak Pengamatan Petak pengamatan berupa plot pengukuran dengan ukuran 20 x 20 m yang dibuat secara acak di setiap anak petak , yang berada di RPH Curah Jati . Pada masing- masing anak petak dibuat 1 (satu ) petak pengamatan sehingga total petak pengamatan sebanyak 40 petak pengamatan. Batas-batas petak pengamatan ditandai dengan menggunakan tali plastik. Pengamatan Intensitas Serangga Tingkat serangan inger-inger pada tegakan jati menurut Subyanto (1995) dapat ditentukan dengan menggunakan intensitas sampling (IS) , yang dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut : IS = (Jumlah Pohon yang diserang pada masingmasing petak contoh : Jumlah Pohon dalam seluruh petak contoh) x 100 %



Frekuensi serangan serangga inger....



menjadi dua bagian, selanjutnya diamati bentukbentuk kerusakannya terutama arah dan bentuk liang gerek. Semnetara itu pengamatan arah tangensial dilakukan dengan membelah batang menjadi dua bagian. Kerugian Ekonomis Kerugian ekonomis dihitung berdasrakan nilai kayu yang hilang akibat serangan inger-inger , dengan demikian kerugian ekonomis pada penelitian ini dihitung berdasrkan persamaan sebagai berikut : Kerugian Ekonomis (Rp) = volume kayu terserang inger-inger (m3) x Nilai Kayu (Rp)/m3 HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Kerusakan Serangan Hama Inger-inger Hasil pengamatan pada pohon Jati yang terserang inger-inger menunjukkan bahwa serangga ini seluruhnya menyerang bagian batang pohon Jati dan tidak dijumpai adanya inger-inger yang menyerang bagian cabang. Kondisi ini diduga diakibatkan oleh masih rendahnya kelas umur Jati sehingga belum ada cabang yang berukuran besar sebagai tempat inger-inger. Penampakan Kerusakan pada Permukaan Batang Inger-inger masuk ke dalam kayu melalui lubang atau celah pada bagian pohon yang mengalami gangguan seperti lapuk atau mati dan selanjutnya setelah beberapa saat akan diteruskan kebagian kayu yang sehat. Aktivitas serangan Inger-inger dengan cara menggerek ke arah samping . Pada tempat-tempat tersebut laron mencari lubang-lubang atau celah-celah yang ekmudian akan bergerak memperbesar liangnya ke bagian dalam (kayu gubal dan teras). Bentuk serangan melingkar diawali pada kayu gubal kemudian diteruskan pada kayu teras, sehingga bagian yang terserang akan terlihat menggembol secara melingkar dan berbelah-belah. Setelah beberapa lama inger-inger mendiami pohon, gejala baru akan terlihat tiga sampai empat tahun, bahkan ada yang sampai tujuh tahun. Kemungkinan gejala berupa gembol tersebut baru terlihat pada kelas umur III, dan kulit pohon kasar. Pada saat serangan semakin parah maka kulit pohon akan tampak pecah-pecah. Hal ini akan berakibat tidak baik pada tegakan, di samping pohon akan mati juga akan menurunkan mutu kayu bahkan kayu tidak dapat dimanfaatkan sama sekali.



Dengan Kriteria : Ringan, jika IS =˂ 15% Sedang, jika IS = 15 – 49 % Berat, jika IS = ˃ 50% Pengamatan Bentuk-bentuk Kerusakan Bentuk kerusakan diamati pada bagian permukaan batang dan bagian dalam batang. Pengamatan pada bagian dalam dilakukan pada arah radial dan tangensial. Cara pengamatan pada arah radial dilakukan dengan emotong batang yang terserang



Penampakan Kerusakan pada Arah Radial 75 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Penampakan pada arah radial terlihat pada bagian dalam batang, tampak apabila batang yang terserang dipotong. Inger-inger menyerang pada kayu gubal , kemudian kayu teras , arah gerekan adalah ke arah samping. Ukuran lubang gerek dari aktivitas inger-inger rata-rata 2 Cm. Bentuk kerusakan pada arah radial disajikan pada Gambar 1. Penampakan Kerusakan Pada Arah Tangensial Inger-inger tampak menggerek batang searah serat, dengan membentuk liang-liang gerek memanjang dan saling berhubungan . Pada awalnya terjadi pelebaran yang dapat mencapai kulit batang pada tempat pertama Inger-inger masuk. Akibat pelebaran liang gerek akan menghambat aliran makanan sehingga merangsang tumbuhnya tunas air. Sebagai reaksi kambium membentuk lingkaran tumbuh yang lebih lebar sehingga mengakibatkan terjadinya gembol. Frekuensi Serangan Berdasarkan hasil pengamatan terhadap frekuensi serangan inger-inger di RPH Curah Jati di 40 Petak Pengamatan, terdapat sembilan petak pengamatan yang terserang inger-inger dengan intensitas serangan antara 19,05% sampai dengan 55,56% . Data selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Kesembilan petak pengamatan tersebar secara mengelompok pada daerah petak 39°C. Pada daeran tersebut diduga memiliki kondisi lingkungan yang lebih menudukung kehidupan inger-inger. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban di daerah tertentu adlah 25,5 – 27°C dsn 81-85,56%. Kondisi tersebut merupakan kondisi ideal bagi perkembangan ingeringer. Tempat tumbuh yang lembab dan hangat akan disukai oleh Inger-inger untuk hidup dan berkembang biak . Kondisi ini serupa dengan sifat jenis rayap lainnya dari kelompok rayap pohon atatu rayap kayu basah, yang menyukai kayu –kayu dengan kadar air tinggi. Kandungan kadar air kayu ini berkorelasi dengan kelembaban lingkungan di sekitarnya. Tarumingkeng (2000) kelembaban yang cocok untuk perkembangan rayap adalah kelembaban yang tinggi , yaitu hampir mencapai 100% . Pada tegakan jati kelembaban terkait dengan kadar air pada kayu jati itu sendiri. Kerugian Ekonomis Tanaman yang terserang inger-inger pada umumnya tidak akan menyebabkan kematian, meskipun kadang kematian pucuk seringkali terjadi akibat serangan inger-inger, sehingga tumbuh pucuk baru. Pembentukantunas-tunas akan menyebabkan penurunan kualitas batang akan rendahnya tinggi bebas cabang . Selain hal di atas, serangan inger-inger akan meyebabkan rentannya pohon terhadap angin. Batang kayu Jati yang terserang inger-inger akan menurun kualitasnya bahkan pada tingkat serangan berat nilai kayu menjadi sangat rendah karena tidak diperjualbelikan. Berdasarkan kondisi ini terjadi kerugian ekonomis yang sangat berarti. Perkiraaan kerugian ekonomis akibat serangan inger-inger pada



Frekuensi serangan serangga inger....



setiap petak pengamatan yang terserang disajikan pada tabel 2. Tabel 1. Tingkat Serangan Hama Inger-inger pada Kelas Umur III. Petak Pengamatan



Σ Pohon Dalam Petak Contoh



9 10 17 16 15 14 21 22 23 Σ Ṝ



47 42 55 48 47 39 41 44 45 408 45,33



Σ Pohon yang Terserang dalam Petak Contoh 10 8 23 12 13 9 10 20 25 130 14,44



Frekuensi Serangan



21,28 19,05 41,82 25,00 27,66 23,10 24,39 45,45 55,56 273,20 30,36



Tabel 2. Kerugian Ekonomis Serangan Inger-inger pad Kelas Umur III di RPH Curah Jati. No.Petak Volume Kerugian ekonomis ( (m3) Rp) 9 1.122 6.907.400 10 1.132 6.924.400 17 3.059 10.200.300 16 1.472 7.502.400 15 1.568 7.665.600 14 1.013 6.722.210 21 1.568 7.665.600 22 2.521 6.722.210 23 2.859 9.860.300 Jumlah 16.314 80.030.720 Berdasarkan data pada tabel 2 total kerugian ekonomis akibat serangan inger-inger di RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH Bnyuwangi Selatan adalah Rp. 80.030.720,00 dengan luas petak pengamatan yang terserang sebesar 28.8575 Ha. Nilai kerugian ini tentunya sangat besar dan tidak termasuk kerugian yang dihitung dari persiapan penanaman, penyediaan bibit dan biaya pemeliharaan tegakan selama 30 tahun. Besar nilai kerugian diakibatkan hilangnya nilai ekonomis kayu jati yang terserang inger-inger. Kayu yang terserang inger-inger tidak laku dijual sehingga tidak bernilai secara ekonomis. SIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian , dapat disimpulkan sebagai berikut : Bentuk kerusakan jati yang terserang ingeringer tampak dibagian permukaan , yang membentuk gembol pada bagian batang, kulit pohon pecah-[ecah dan kasar serta pada kerusakan yang parah kulut pohon akan mengelupas. 76 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Frekuensi serangan serangga inger....



Pada arah radial dan tangensial dijumpai bahwa arah liang gerek inger-inger sejajar serat dari kayu gubal menuju kayu teras. Frekuensi serangan inger-inger pada tegakan jati di petak pengamatan yang terserang inger-inger berkisar antara 19,05% sampai 55,56% . Lokasi petak pengamatan pohon jati yang terserang inger-inger mengelompok di petak 39C yang berdekatan dengan daerah pantai. Kerugian ekonomis yang dialami oleh RPH Curah Jati akibat dari serangan inger-inger sebesar Rp. 80.030.720,00. Saran Serangan inger-inger pada tegakan jati perlu mendapat perhatian yang lebih memadai mengingat kerugian ekonominya yang cukup tinggi. Dipihak lain pengetahuan teknologi pengendalian hama perlu terus ditingkatkan, mengikuti disipiln informasi mengenai referensi habitat inger-inger , yang diamati secara detail. DAFTAR PUSTAKA Rahayu. S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia. Gejala, Penyebab dan Teknik Pegendaliannya. Yogyakarta. 61-64. Rismayadi. Y.2001. Pengendalian Inger-inger Terpadu. IPB Bogor. Purwanto. T, 1996. Beberapa Jenis Hama Penyakit yang meyerang Hutan Tanaman Industri di Pulau Jawa. Surabaya 11. Perum Perhutani. 2001. Klimatologi. Pusat Pendidikan Kehutanan Madiun. Soegianto, Agus. 1999. Studi Tingkat Kerusakan Pohon Jati Akibat Serangan Hama Inger-inger di Beberapa Kelas Umur. Skripsi. Institut Pertanian Malang.



77 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Korelasi panjang probosis kupu....



Korelasi Panjang Probosis Kupu-Kupu (Famili: Nymphalidae) dengan Panjang Tabung Bunga Sumber Nektar Rizka Adriana Lutfiani1*, Regina Diah Rachmawati1, dan Adi Basukriadi1 1



Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Probosis kupu-kupu berhubungan dengan pakannya, yaitu nektar. Panjang probosis kupu-kupu diduga berhubungan dengan panjang tabung bunga sumber pakannya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui korelasi antara panjang probosis kupu-kupu famili Nymphalidae dengan panjang tabung bunga. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2017 di tujuh titik lokasi pengamatan di Kawasan Universitas Indonesia, Depok dengan menggunakan metode jelajah bebas. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata panjang probosis kupu-kupu famili Nymphalidae berkisar 0,57—1,7cm, sedangkan rata-rata panjang tabung bunga yang dikunjungi kupu-kupu berkisar 0,45—1,69cm. Hasil analisis data menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics 22 menunjukkan angka koefisien korelasi sebesar 0,16 dengan P = 0,659. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi panjang probosis kupu-kupu famili Nymphalidae dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya di Kawasan Universitas Indonesia, Depok. Tidak adanya korelasi antara panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya lebih disebabkan karena perilakunya yang adaptif ketika ukuran panjang probosis dan tabung bunga berbeda. Kata kunci: korelasi, nektar, Nymphalidae, probosis, tabung bunga. ABSTRACT Proboscis of butterflies was associated with nectar as their food resources. The proboscis length of the butterflies is related to the length of the flowers tube of its nectar source. The aim of this research is to know the correlation between the length of butterflies’ proboscis with the length of flowers tube. Data was collected from June to August 2017 at seven points of observation location at the Universitas Indonesia, Depok by using the free roaming method. The data was analysed using Spearman correlation test. The results showed that the length of the butterflies’ proboscis (Family: Nymphalidae) ranged from 0.57 to 1.7 cm, while the average length of the flower tube ranged from 0.45 to 1.69 cm. The results showed the correlation coefficient is 0.16 with P = 0.659. Based on these results it can be concluded that there is no correlation between the Length of butterfies’ proboscis (family : Nymphalidae) and the length of flower tube in the Universitas Indonesia, Depok. The absence of a correlation between the length of the butterflies’ probosis and the length of the tube the flower is more due to its adaptive behavior when the length of the probosis and the flower tube are different. Keywords: correlation, nectar, Nymphalidae, probosis, flower tube.



PENDAHULUAN Kupu-kupu termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera dengan karakteristik memiliki sepasang sayap yang tersusun atas lipid atau dikenal sebagai sayap yang bersisik. Sisik-sisik tersebut saling bertumpuk dan menghasilan suatu pola warna yang dapat dijadikan sebagai salah satu kunci identifikasi jenis kupu-kupu (Peggie & Amir, 2006). Kupu-kupu terdiri atas dua superfamili, yaitu Hesperiodinidae dan Papilionoidea yang dapat dibedakan dari bentuk antenanya. Superfamili Hesperiodinidae meliputi famili Hesperiidae, sedangkan superfamili Papilionoidea meliputi famili Papilionidae, Pieridae, Nymphalidae, Riodinidae, dan Lycanidae (Peggie, 2011). Ciri khusus famili Nymphalidae adalah tereduksinya pasangan tungkai depan yang dimiliki kupu-kupu (kecuali pada Libytheinae), sehingga tungkai tidak berfungsi untuk berjalan. Selain itu, umumnya famili Nymphalidae memiliki corak sayap yang berwarna oranye, cokelat, kuning, dan hitam dengan ukuran yang beragam (Peggie & Amir, 2006).



Kupu-kupu memiliki probosis yang merupakan bagian mulut yang bertipe penghisap. Probosis digunakan kupu-kupu untuk mengambil nektar atau polen dari bunga yang merupakan pakannya (Utami, 2012). Menurut Faegri & Pijil (1979), karakteristik bunga yang disukai oleh kupu-kupu antara lain memiliki warna yang cerah dengan sedikit aroma yang menandakan bahwa bunga tersebut mengandung nektar yang berlimpah, warna bunga bervariasi, terdapat bantalan petal yang cukup besar, dan aroma bunga samar namun segar. Peran penting kupu-kupu dalam ekosistem yaitu sebagai polinator, bioindikator lingkungan, biokontrol hama, bagian rantai makanan, dan mengurangi tingkat karbon dioksida di udara (Ghazanfa dkk, 2016). Salah satu peran kupu-kupu sebagai polinator diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya evolusi mutualistik antara panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung yang secara spesifik dikunjunginya (Bauder et al., 2015). Dugaan tersebut berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa serangga dengan panjang mulut



78|ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



yang tidak sesuai akan sulit atau tidak dapat menjangkau nektar yang berada di dalam tabung bunga yang terlalu dalam. Sementara itu, kupu-kupu yang memiliki probosis yang panjang mendapatkan keuntungan dalam mendapatkan nektar yang tersembunyi dengan melimpah karena kurangnya pesaing yang mampu menjangkau tabung bunga yang dalam (Bauder et al., 2011; Bauder et al., 2015). Berdasarkan penelitian, ada dugaan lain bahwa beberapa kupu-kupu bersifat oportunisme, yaitu mendapatkan keuntungan dengan mengambil nektar dari bunga secara melimpah tanpa membantu dalam proses polinasi. Bahkan, hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi bunga yang dikunjung oleh kupu-kupu tersebut. Contohnya, kupu-kupu pencuri nektar dapat mengambil persediaan nektar Calathea, sehingga menyisakan sedikit nektar untuk Euglossini yang merupakan polinator Calathea (Bauder et al., 2015). Penelitian bertujuan untuk mengetahui korelasi antara panjang probosis kupu-kupu (Lepidoptera: Nymphalidae) dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya, dengan mengambil sampel di Kawasan Universitas Indonesia, Depok. BAHAN DAN METODE Alat-alat yang digunakan selama penelitian yaitu jaring serangga, alat tulis, buku identifikasi kupu-kupu, pinset, penggaris, jarum pentul, jarum suntik, kotak penyimpanan, laptop, dan kamera. Bahan yang digunakan yaitu sampel kupu-kupu, sampel bunga yang dikunjungi kupu-kupu, kertas papilot, silica gel, ziplock, dan lembar pengamatan. Penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Juni hingga Agustus 2017 di tujuh titik lokasi pengamatan yang berada di Kawasan Universitas Indonesia, Depok. Ketujuh titik lokasi pengamatan tersebut yaitu Wales Timur Hutan Kota UI, sepanjang Danau Mahoni, sekitaran PPMT, Menara Air, dan Lab Alam FMIPA UI, dan dua titik lokasi di Wales Barat Hutan Kota UI. Metode yang digunakan adalah metode jelajah bebas, yaitu berjalan menelusuri jalur pengamatan, serta mengamati lokasi bunga yang dikunjungi kupukupu. Kupu-kupu yang mengunjungi bunga yang diamati kemudian ditangkap menggunakan jaring serangga. Kupu-kupu yang mengunjungi bunga didokumentasikan dengan kamera Canon Ixus 125 HS. Kupu-kupu yang ditangkap diukur panjang probosisnya dengan menggunakan penggaris. Pengukuran panjang probosis setiap spesies dilakukan pada tiga individu. Seusai diukur, kupu-kupu dipreservasi dengan cara dikeringkan dan disimpan di kertas papilot, kemudian dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan. Selain itu, panjang tabung bunga juga diukur dengan menggunakan penggaris dan dilakukan pada tiga bunga. Data yang dikumpulkan yaitu nama spesies kupu-kupu dan bunga yang dikunjuinya, serta panjang probosis kupu-kupu dan tabung bunga tersebut.



Korelasi panjang probosis kupu....



Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Spearman menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pada tujuh lokasi penelitian menemukan sepuluh spesies kupu-kupu dari famili Nymphalidae yang memiliki perbedaan rata-rata panjang probosis, yaitu Doleschallia bisaltide (jantan dan betina), Euploea eunice, Euploea phaenarete, Hypolimnas bolina, Ideopsis juventa, Junonia hedonia, Junonia iphita, Mycalesis horsfieldi, dan Ypthima horsfieldii. Rata-rata panjang probosis kupukupu berkisar 0,57—1,7cm. Spesies kupu-kupu yang memiliki probosis paling pendek adalah Ypthima horsfieldii, yaitu sepanjang 0,57cm, sedangkan kupukupu dengan probosis paling panjang yaitu Doleschallia bisaltide (jantan), sepanjang 1,7cm. Spesies kupu-kupu yang paling banyak mengunjungi bunga dari berbagai spesies berbeda adalah Doleschallia bisaltide (betina), yaitu mengunjungi tujuh spesies bunga (Tabel 1). Menurut Levetin dan Mc Mahon (1999 lihat Bariyah, 2011), kupu-kupu akan mengunjungi suatu bunga karena adanya aroma dan nektar yang dihasilkan bunga tersebut. Selain itu, warna dan bentuk bunga juga memengaruhi dalam kunjungan kupu-kupu ke suatu bunga. Sebagian besar kupu-kupu akan mengunjungi bunga yang berwarna cerah (Sari, 2013). Kupu-kupu mengunjungi bunga terutama untuk mengambil nektar yang merupakan pakannya. Nektar yang dihasilkan kelenjar nektaria tumbuhan mengandung gula (sukrosa, glukosa, fruktosa), serta komponen lain seperti protein, asam organik, pigmen, vitamin, mineral, enzim, dan zat aroma (Situmorang & Hasanudin, 2014). Bunga yang diamati dan diukur panjang tabungnya berjumlah sembilan spesies, yaitu Asystasia gangetica, Clibadium surinamens, Lantana camara, Xanthostemon verticillatus, Bougainvillea spectabilis, Chromolaena odorata, Clerodendron serratum, Sphagneticola trilobata, dan Ageratum conyzoides. Rata-rata panjang tabung bunga yang dikunjungi kupu-kupu berkisar 0,45—1,69cm. Bunga yang paling banyak dikunjungi kupu-kupu dari famili Nymphalidae adalah Asystasia gangetica, yang dikunjungi sembilan spesies kupu-kupu. Asystasia gangetica merupakan bunga dengan tabung yang paling panjang, yaitu sepanjang 1,37cm (Tabel 1). Menurut Priwiratama (2011 lihat Huwaida, 2016), Asystasia gangetica merupakan tumbuhan herba merambat dan bercabang yang termasuk ke dalam famili Acantheceae. Tumbuhan tersebut memiliki bunga majemuk yang muncul dari ujung batang atau ketiak daun yang tidak bercabang. Mahkota bunga menyerupai lonceng yang berwarna putih, dengan bibir bawah mahkota bunga menekuk berwarna sepasang bercak ungu yang saling berhadapan (Huwaida, 2016).



79|ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Korelasi panjang probosis kupu....



Tabel 1. Data rata-rata panjang probosis kupu-kupu dan rata-rata panjang tabung bunga yang dikunjunginya. Rata-rata Panjang Rata-rata panjang Spesies Bunga yang tabung panjang Spesies kupu-kupu probosis Dikunjungi bunga tabung bunga (cm) (cm) (cm) Doleschallia bisaltide 1.53 Asystasia gangetica 1.37 0.98 (betina) Clibadium surinamens 0.48 Lantana camara 0.9 Xanthostemon verticillatus 0.84 Bougainvillea spectabilis 2 Chromolaena odorata 0.48 Clerodendron serratum 0.79 Doleschallia bisaltide (jantan)



1.7



Asystasia gangetica Clibadium surinamense Lantana camara Xanthostemon verticillatus



1.37 0.48 0.9 0.84



0.90



Euploea eunice



1.6



Asystasia gangetica Xanthostemon verticillatus Chromolaena odorata



1.37 0.84 0.48



0.88



Euploea phaenarete



1.68



Asystasia gangetica



1.37



1.37



Hypolimnas bolina



1.48



Asystasia gangetica Bougainvillea spectabili



1.37 2



1.69



Ideopsis juventa



1.23



Asystasia gangetica



1.37



1.37



Junonia hedonia



1.1



Asystasia gangetica Chromolaena odorata



1.37 0.48



0.93



Junonia iphita



1.15



Asystasia gangetica



1.37



1.37



Mycalesis horsfieldi



0.81



Lantana camara



0.9



0.9



Ypthima horsfieldii



0.57



Asystasia gangetica Sphagneticola trilobata Lantana camara Ageratum conyzoides



1.37 0.7 0.9 0.25



0.72



Ypthima horsfieldii memiliki probosis dengan panjang 0,57cm. Beberapa bunga yang dikunjungi oleh Ypthima horsfieldii adalah Asystasia gangetica, Sphagneticola trilobata dan Lantana camara, memiliki ukuran tabung lebih panjang dari panjang probosisnya, yaitu dengan masing-masing memiliki panjang tabung 1,37cm, 0,7cm dan 0,9cm. Berdasarkan data pengamatan, Ypthima horsfieldii terlihat berusaha untuk memasukkan kepalanya ke dalam tabung bunga, sehingga dapat menjangkau lokasi nektar yang berada di dalam tabung bunga tersebut. Begitu pula yang terjadi pada spesies lainnya yang memiliki probosis yang lebih pendek dari tabung bunga yang dikunjunginya, yaitu Ideopsis juventa, Junonia hedonia, dan Junonia iphita dengan panjang masing-masing probosis 1,23cm, 1,1cm, dan 1,15cm mengunjungi Asystasia gangetica, serta Doleschallia bisaltide (betina) dan Hypolimnas bolina dengan masing-masing panjang probosis 1,53cm dan 1,48cm



mengunjungi Bougainvillea spectabilis dengan panjang tabung 2cm (Bauder, 2011). Analisis data menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics 22 menunjukkan angka koefisien korelasi sebesar 0,16 dengan P = 0,659. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya. Kupu-kupu yang memiliki probosis yang panjang pada umumnya akan mengunjungi bunga yang sesuai atau lebih pendek ukuran tabungnya dibandingkan probosisnya. Hal tersebut terjadi pada Doleschallia bisaltide (jantan dan betina), Euploea Eunice, Euploea phaenarete, Hypolimnas bolina, Junonia hedonia, dan Ypthima horsfieldii yang mengunjungi bunga lain dengan ukuran tabung bunga yang lebih pendek dari panjang probosisnya. Penelitian yang dilakukan oleh Bauder (2011) menunjukkan bahwa Eurybia lycisca membutuhkan



80|ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



waktu yang lebih lama untuk mengambil nektar karena probosisnya yang panjang. Oleh karena itu, Eurybia lycisca akan lebih memaksimalkan pengambilan nektar pada jenis-jenis bunga tertentu yang mampu menyediakan nektar yang melimpah. Selain itu, morfologi bunga dapat menimbulkan kompetisi bagi serangga sebagai pemakan nektar. Ukuran probosis kupu-kupu yang panjang merupakan salah satu adaptasi untuk mendapatkan akses sumber nektar yang tersembuyi di dalam tabung bunga. Dengan adaptasi khusus itu, kupu-kupu pemilik probosis panjang akan memperoleh nektar yang melimpah tanpa ada pesaing (Bauder et al., 2011). Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa kupu-kupu yang memiliki probosis lebih panjang dari tabung bunga yang dikunjunginya tidak perlu memasukkan kepalanya ke dalam tabung bunga, bahkan tidak memasukkan semua probosisnya. Kupukupu tersebut hanya memasukkan probosisnya sesuai dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya (Bauder et al., 2015). Sementara itu, kupu-kupu dengan probosis lebih pendek daripada tabung bunga yang dikunjunginya berusaha mencapai dasar tabung bunga dengan cara memasukkan kepalanya ke dalam tabung bunga. Oleh karena itu, tidak adanya korelasi antara panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya lebih disebabkan karena perilakunya yang adaptif ketika ukuran panjang probosis dan tabung bunga berbeda. Panjang probosis yang dimiliki kupu-kupu merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk mendapatkan nektar. Beberapa jenis kupu-kupu dengan probosis panjang akan mengambil nektar di dalam tabung bunga yang pendek untuk memaksimalkan perolehan nektarnya, meskipun mampu memperolehnya dari jenis-jenis bunga lain (Bauder et al., 2011). SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat korelasi antara panjang probosis kupu-kupu (Famili: Nymphalidae) dengan panjang tabung bunga sumber nektar di Kawasan Universitas Indonesia, Depok. Tidak adanya korelasi antara panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya lebih disebabkan karena perilakunya yang adaptif ketika ukuran panjang probosis dan tabung bunga berbeda.



Korelasi panjang probosis kupu....



Biologi FMIPA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta: 87 hlm. Bauder, J.A.S., A.D. Warren & H.W. Krenn. 2015. The ecology role of extremely long-proboscid Neotropical butterflies (Lepidoptera: Hesperiidae) in plant-pollinator networks. Springer. 9: 415-424. Bauder, J.A.S., Nora R. Lieskonig & Harald W. Krenn. 2011. The extremely long tongued Neotropical butterfly Euybia lycisca (Riodinidae): probosis morphology and flower handling. Elsevier. 40: 122-127. Faegri, K. & van der Pijil L. 1979. The principles of pollination ecology. Dalam Hungston, A.D. & Peter, B.Mc.Q. 2000. Are pollination syndromes useful predictors of floral vositors in Tasmania?. Austral Ecology. 25: 600-609. Ghazanfar, Mobeen, Muhammad Faheem Malik, Mubashar Hussain, Razia Iqbal & Misbah Younas. 2016. Butterflies and their contribution in ecosystem: a review. Journal of Entomology and Zoology Studies. 4(2): 115118. Huwaida, U.N. 2016. Preferensi pakan kupu-kupu di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Skripsi S-1 Departemen Biologi FMIPA UI, Depok: xiv + 56 hlm. Moore, Aubrey. 2013. Insect Orders. University of Guam. Guam: 24 pp Peggie, Djunijanti & Mohammad Amir. 2006. Practical guide to the butterflies of Bogor Botanic Garden. Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. Jakarta: v + 126 hlm. Peggie, Djunianti. 2011. Kupu-kupu Indonesia yang bernilai dan dilindungi. PT Binamitra Megawarna. Jakarta: vi + 72 hlm. Sari, E.F.W. 2013. Keanekaragaman kupu-kupu Nymphalidae di Pulau Tegal dan Pulau Pahawang Kecil, Teluk Lampung. Skripsi. Lampung: xiv + 62 hlm. Utami, E. N. 2012. Komunitas kupu-kupu (ordo Lepidoptera: Papilionoidea) di Kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat. Skripsi S-1 Departemen Biologi FMIPA UI, Depok: xiv + 93 hlm.



UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Alexander Tianara, Bhisma Gusti Anugra, Nurul Rakhmayanti, Wendy Achmad Mustaqim, yang telah membantu dalam proses penelitian dan penyusunan naskah, serta Dr. Adi Basukriadi, M.Sc. selaku dosen pembimbing. DAFTAR PUSTAKA Bariyah, K. 2011. Hubungan panjang proboscis kupukupu dengan preferensi pakan di Areal Kampus I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi Jurusan 81|ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Efektivitas fumigant magnesium fosfida....



Efektivitas Fumigan Magnesium fosfida Terhadap Hama Gudang Tembakau Lasioderma sericorne Fabricus (Coleoptera: Anobiidae) Dwi Adi Sunarto, Subiyakto, dan Sujak Bali Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jl. Raya Karangploso Kotak Pos 199 Malang Email : [email protected] ABSTRAK Kumbang tembakau Lasioderma serricorne Fabricius (Coleoptera: Anobiidae) merupakan hama utama yang merusak tembakau di gudang penyimpanan. Pengendalian kumbang tembakau Lasioderma serricorne di gudang penyimpanan dilakukan secara kimiawi dengan cara fumigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas fumigant magnesium terhadap pengendalian hama gudang tembakau L. serricorne. Penelitian di laksanakan di Malang, Jawa Timur mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014. Perlakuan terdiri dari lima perlakuan yaitu empat dosis magnesium fosfida : 0,83 gr/m3, 1,67 gr/m3, 2,50 gr/m3, 3,33 gr/m3 dan kontrol (tanpa fumigan). Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan sebanyak 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa magnesium fosfida efektif terhadap L. serricorne stadium dewasa mulai dari dosis terendah yang diuji yaitu 0,83 gr/m3, tetapi tidak efektif terhadap stadium telur. Agar magnesium fosfida efektif menekan populasi L. serricorne digudang penyimpanan tembakau, maka disarankan waktu pemaparan fumigan dilakukan lebih dari 5 hari. Kata kunci : magnesium fosfida, Lasioderma sericorne, hama gudang, tembakau



ABSTRACT The tobacco beetle Lasioderma serricorne Fabricius (Coleoptera: Anobiidae) is the main pest that damages tobacco in storage. Control of the tobacco beetle Lasioderma serricorne in the storage storehouse is done chemically by fumigation. This study aims to examine the effectiveness of fumigant magnesium on pest control of the L. serricorne tobacco warehouse. The study was conducted in Malang, East Java from August to October 2014. The treatment consisted of five treatments, four doses of magnesium phosphide: 0.83 gr / m3, 1.67 gr / m3, 2.50 gr / m3, 3, 33 gr / m3 and control (without fumigant). The experiment was prepared using Completely Randomized Design (RAL) with 4 replications. The results showed that magnesium phosphide was effective against adult L. serricorne stage starting from the lowest tested dose of 0.83 gr / m3, but was not effective to the stage of the egg. In order for magnesium phosphide to effectively suppress the population of L. serricorne in the storehouse of tobacco, it is recommended that the fumigant exposure time be more than 5 days. Keywords: magnesium phosphide, Lasioderma sericorne, warehouse pest, tobacco



PENDAHULUAN Kumbang tembakau, Lasioderma serricorne Fabricius (Coleoptera: Anobiidae) merupakan hama utama yang merusak tembakau di gudang penyimpanan. Kumbang tembakau merusak dengan cara melubangi daun tembakau dan meninggalkan kotoran berbentuk debu tembakau, kotoran kumbang atau feaces, dan kumbang yang mati. Larva bisa hidup diberbagai makanan dengan kondisi nutrisi yang jelek. Satu generasi berlangsung selama 25-120 hari dan di tembakau berlangsung selama 42 - 63 hari (Cabrera, 2007: Jacobs, 2013). Kumbang tembakau tidak hanya merusak tembakau di gudang, tetapi juga merusak komoditas lain di gudang penyimpanan, misal beras dan biji-bijian lainnya, rempah, dan kue. Produk non pangan lain yang dirusak oleh kumbang tembakau antara lain kayu kering, herbarium, furniture, bunga hias kering, tanaman herbal, dan kertas atau buku (Subiyakto, 2008; Brigham, 2013). Informasi tingkat kerusakan tembakau yang disebabkan oleh kumbang tembakau di Indonesia belum dilaporkan dan sulit diperoleh. Di China



investasi kumbang 32-980 ekor per kg daun tembakau selama 4 tahun penyimpanan. Populasi kumbang 6439 ekor per kg daun tembakau menyebabkan kehilangan 0,14 – 4,76% (Xmgsheng et al. 1999). Penyimpanan daun tembakau dalam jangka panjang di Indonesia hampir semuanya dilakukan oleh perusahaan rokok besar. Penyimpanan daun tembakau di gudang bisa mencapai hingga 5 tahun. Perusahaan besar pada umumnya bersifat tertutup, sehingga sulit diperoleh informasi data kerusakan tembakau di gudang yang disebabkan oleh kumbang tembakau. Berdasarkan informasi dari perusahaan jasa pengendalian hama (pest control) upaya yang dilakukan oleh pabrikan dalam pengendalian hama kumbang tembakau di gudang tembakau dilaporkan sangat intensif. Daun tembakau sebelum disimpan di gudang dilakukan fumigasi terlebih dahulu. Fumigasi rata-rata dilakukan setiap 3 bulan. Dengan demikian dibutuhkan ketersediaan fumigan dan biaya yang relatif besar. Berdasarkan fakta tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hama digudang penyimpanan daun tembakau kering sangat penting. 82|ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pengendalian kumbang tembakau L. serricorne di gudang penyimpanan selama ini dilakukan secara kimiawi dengan cara fumigasi. Metil bromida banyak dipilih dibanding fumigan lain, daya bunuh yang cepat dan kemampuan penetrasi pada komoditas yang difumigasi. Namun demikian untuk komoditas pangan tidak dianjurkan, karena metil bromida dapat bereaksi secara kimia dengan beberapa komoditas pangan dan meninggalkan residu "bromida anorganik" yang berbahaya terhadap kesehatan tubuh. Fumigan yang resmi terdaftar di Kementerian Pertanian untuk daun tembakau kering sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan adalah fosfin yang terdiri dari aluminium fosfida dan magnesium fosfida (Anonim, 2016). Perlakuan Fosfin yang berulang-ulang pada komoditas yang difumigasi tidak menimbulkan residu. Ion phospine juga tidak menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon. Fosfin diformulasikan dalam bentuk tablet, pipih (plate) dan kantong (bags). Fosfin akan sangat efektif sebagai fumigan bila diaplikasikan dengan menggunakan fosfin dosis rendah dalam waktu fumigasi panjang. Suhu dan kelembaban tertentu diperlukan agar fosfin dapat menguap. Umumnya Fosfin digunakan dalam bentuk formulasi padat seperti aluminium fosfida dan magnesium fosfida. Fosfin dalam bentuk formulasi magnesium fosfida dapat melepaskan fosfin lebih cepat dan dapat digunakan pada temperatur lebih rendah, misal 50C. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas magnesium fosfida terhadap pengendalian hama gudang tembakau L. serricorne. BAHAN DAN METODE Uji efektivitas fumigan magnesium fosfida terhadap hama gudang tembakau L. sericorne dilaksanakan di gudang tembakau Malang, Jawa Timur pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014. Serangga Uji Induk L. sericorne berasal dari gudang tembakau milik perusahaan rokok yang dikumpulkan pada stadia dewasa. Selanjutnya induk tersebut dipelihara di laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat dengan menggunakan pakan kepala gandum (wheat germ) lebih dari lima generasi. L. sericorne yang digunakan sebagai serangga uji yang diperlakukan dengan fumigan magnesium fosfida adalah serangga dewasa berumur < 24 jam. Pelaksanaan Pengujian Magnesium fosfida yang digunakan sebagai bahan uji adalah formulasi plate (pipih) berukuran 5 gr yang mengandung bahan aktif 56% dan telah diuji kandungan bahan aktifnya oleh salah satu laboratorium yang telah ditunjuk oleh Menteri Pertanian yaitu laboratorium PPPTMGB LEMIGAS Jakarta. Kemasan fumigan bersegel dan belabel Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian. Perlakuan



Efektivitas fumigan magnesium fosfida....



terdiri dari empat dosis magnesium fosfida : 0,83 gr/m3, 1,67 gr/m3, 2,50 gr/m3, 3,33 gr/m3 dan kontrol (tanpa fumigan). Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan sebanyak 4 kali untuk masing-masing perlakuan. Jumlah daun tembakau untuk setiap perlakuan dalam satu ulangan sebanyak 100 kg yang dikemas dalam kardus berukuran 0,6 m3. Pelaksanaan perlakuan diawali dengan (1) menata kardus untuk tiap-tiap perlakuan sebanyak empat kardus (empat ulangan) membentuk persegi empat diatas palet kayu (flonder). Lima perlakuan ditata secara berjajar dengan jarak antar perlakuan sejauh 2 m. Jadi dalam penelitian ini dibutuhkan 20 kardus yang berisi 2.000 kg daun tembakau. (2) Sebelum fumigasi dilakukan pengambilan contoh daun tembakau untuk diamati kadar airnya. (3) Lima tabung serangga uji dimasukkan dalam setiap kardus yang berisi tumpukan tembakau yang akan difumigasi. Masing-masing tabung plastik terdiri atas 20 ekor yang ditutup dengan kawat kasa dikedua ujungnya. Didalam setiap tabung disediakan pakan berupa kepala gandum. Dengan demikian dalam setiap kardus terdapat sebanyak 100 ekor serangga uji. (4) Tumpukan daun tembakau masing-masing perlakuan disungkup plastik fumigasi/plastik PVC dengan ketebalan 150 mikron. Plate fumigan Magnesium fosfida diletakkan dalam cawan petri dan dimasukkan di bawah palet masing-masing tumpukan sesuai perlakuan, kemudian plastik sungkup dirapatkan dan ditindih dengan bantalan pasir penindih (sand snake) pada semua bagian ujung lembaran plastik PVC agar tidak bocor. (5) Fumigasi dilakukan selama 120 jam. (6) Sebagai kontrol digunakan tumpukan daun tembakau yang tidak diberi fumigan tetapi disungkup plastik. Variabel yang diamati adalah mortalitas serangga uji, jumlah kumbang dewasa yang muncul setelah proses fumigasi, konsentrasi fosfin, kadar air tembakau, dan residu pada daun yang diperlakukan. Pengamatan mortalitas dilakukan dengan menghitung mortalitas serangga uji dalam tabung plastik yang telah disisipkan diantara tumpukan daun tembakau setelah fumigasi selesai dan menginkubasikan wadah plastik tersebut untuk dilihat ada tidaknya perkembangan telur menjadi larva yang selanjutnya menjadi kumbang dewasa. Pengukuran konsentrasi fosfin masing-masing perlakuan dilakukan pada 24, 48, 96, dan 120 jam setelah fumigasi atau satu hari sebelum fumigasi selesai. Pengambilan Contoh untuk analisis kadar air dan residu fumigan dilakukan pada masing-masing perlakuan sebelum dan setelah fumigasi selesai (120 jam) dengan menggunakan spear sampler berdiameter 2 inci sebanyak 5 titik contoh secara diagonal pada setiap sisi dari permukaan tumpukan/cases (empat permukaan tumpukan). Daun tembakau contoh (100 gram/perlakuan) dikumpulkan ke dalam kantong plastik untuk dianalisis kadar air dan residunya 83 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Efektivitas fumigan magnesium fosfida....



(setelah fumigasi). Analisa residu fosfin dilakukan di Lab. PPPTMGB LEMIGAS Jakarta. Kriteria efektivitas fumigan yang diuji didasarkan pada mortalitas serangga uji dalam wadah plastik selama fumigasi dan hasil inkubasi dari pakan yang ada didalam wadah plastik dengan melihat ada tidaknya perkembangan telur menjadi larva dan akhirnya menjadi dewasa. Perlakuan fumigan yang diuji dinyatakan efektif jika mortalitas serangga uji : (1) Nyata lebih efektif dibandingkan dengan mortalitas pada kontrol. (2) Tidak adanya perkembangan telur menjadi kumbang dewasa setelah perlakuan fumigasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air daun tembakau dan suhu ruang fumigasi Kadar air komoditas yang akan difumigasi merupakan salah satu syarat keberhasilan fumigasi, karena fosfin memiliki sifat yang sangat reaktif dengan air. Gas fosfin mulai dihasilkan 30 menit setelah terjadi reaksi dengan uap air (Anonim, 2007). Hasil pengukuran kadar air daun tembakau yang difumigasi dilaksanakan sebelum fumigasi berada pada kisaran 12,1 – 13,6% (Tabel 1). Kadar air 12 13% merupakan kadar air yang ideal untuk penyimpanan daun tembakau di gudang (Tirtosastro, 2013). Sedangkan kadar air komoditas yang direkomendasikan memenuhi syarat difumigasi dengan fosfin adalah di bawah 22% (Anonim, 2007). Dengan demikian kondisi daun tembakau yang difumigasi sudah sesuai dengan syarat yang direkomendasikan. Suhu ruang fumigasi sangat berpengaruh terhadap lamanya pemaparan fumigan terhadap komoditas. Pada suhu 280C waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan mortalitas kumbang >99% adalah 9 hari dan suhu 380C membutuhkan waktu 4 hari (Coresta, 2013). Hasil pemantauan suhu pada 24 sampai dengan 120 jam setelah fumigasi dengan magnesium fosfida disajikan pada Tabel 2. Fumigasi dengan magnesium fosfida tidak nyata menyebabkan kenaikan suhu. Hasil pengamatan 24 jam setelah fumigasi suhu di semua perlakuan tidak berbeda yaitu 290C. Selanjutnya pada 48 sampai dengan 96 jam setelah fumigasi menunjukkan kenaikan suhu 10C pada semua perlakuan menjadi 300C. Tabel 1. Hasil pengukuran kadar air daun tembakau saat akan dilaksanakan fumigasi No 1 2 3 4 5



Perlakuan dosis Magnesium fosfida 0,83 gr/m3 1,67 gr/m3 2,50 gr/m3 3,33 gr/m3 Kontrol



Kadar air (%) 13,6 13,0 13,0 12,1 12,7



Hasil pemantauan konsentrasi gas fosfin selama fumigasi mulai 24 jam sampai dengan 120 jam disajikan pada Tabel 3. Pengamatan konsentrasi gas fosfin pada 12 jam dosis 1 plate atau 0,83 gr/m3 bahan daun tembakau menunjukkan 500 ppm. Semakin tinggi dosis konsentrasi gas fosfin semakin tinggi konsentrasinya. Pada perlakuan dosis 3,33 gr/m3 daun tembakau konsentrasi gas fosfin mencapai 2.000 ppm. Konsentrasi gas fosfin menurun secara linier atau proposional dengan dosis rata-rata turun 20% per 24 jam. Semakin tinggi dosis semakin tinggi pula berkurangnya gas. Penurunan gas tertinggi terjadi pada 48 jam setelah aplikasi. Penurunan konsentrasi gas relatif stabil dan rendah yang menunjukkan bahwa proses fumigasi berjalan dengan baik. Efektivitas Fumigan Magnesium fosfida Magnesium fosfida relatif cepat menyebabkan kematian pada kumbang L. sericorne. Hayata (2014) melaporkan bahwa 60 menit setelah fumigasi dengan dosis 0,98 – 2,94 gr magnesium fosfida/ m3, kumbang L. sericorne sudah tidak bergerak dan mati pada 60 menit kemudian atau 120 menit setelah fumigasi. Hasil pengamatan mortalitas kumbang dewasa pada 120 jam setelah aplikasi menunjukkan bahwa semua dosis yang dicoba mulai dari fosfin 0,83 gr/m3 sampai dengan 3,33 gr/m3 efektif membunuh kumbang L. sericorne (Tabel 2, hal 5). Semakin tinggi dosis semakin tinggi persentase mortalitasnya. Dosis terendah 0,83 gr/m3 menyebabkan mortalitas kumbang L. sericorne sebesar 86% dan pada dosis mulai dari 2,50 gr/m3 kematian mencapai 100%. Pada perlakuan kontrol tidak terjadi kematian kumbang dewasa atau 0%. Kriteria penilaian efikasi disebutkan bahwa suatu fumigan yang diuji dinyatakan efektif jika mortalitas serangga uji nyata lebih kecil dibandingkan dengan mortalitas pada kontrol. Dengan demikian pada dosis 0,83 gr/m3 dinilai efektif membunuh kumbang L. sericorne. Kriteria efikasi yang kedua adalah tidak adanya perkembangan telur menjadi larva setelah inkubasi selama 7 hari setelah perlakuan fumigasi. Inkubasi telur berpengaruh terhadap perkembangan populasi hama gudang selanjutnya. Untuk mengetahui adanya inkubasi telur, maka pengamatan dilanjutkan dengan menyimpan tabung sampel hingga 30 hari. Dalam 30 hari jika terjadi inkubasi telur akan muncul kumbang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kumbang L. sericorne muncul dari semua perlakuan dan secara statistik berbeda nyata (Tabel 5). Semakin tinggi dosis jumlah kumbang yang muncul semakin rendah. Dosis tertinggi 3,33 gr/m3, kumbang yang muncul rata-rata sebanyak 59 ekor per ulangan dan dosis terendah 0,83 gr/m3 yang tidak berbeda nyata dibanding kontrol yaitu rata-rata sebanyak 220 ekor kumbang per ulangan. Sedangkan dosis 1,67 gr/m3 dan 2,50 gr/m3 meskipun tidak berbeda dengan dosis tertinggi, tetapi juga tidak berbeda dengan kontrol. Dengan demikian magnesium fosfin sampai dengan dosis 3,33 gr/m3 84 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Efektivitas fumigan magnesium fosfida....



dengan pemaparan selama 120 jam kurang efektif mengendalikan populasi L. sericorne. Tabel 4. Mortalitas (%) kumbang L. sericorne pada beberapa perlakuan Perlakuan dosis Mortalitas Magnesium fosfida Kumbang (%) 1 0,83 gr/m3 86,0 b 2 1,67 gr/m3 98,5 c 3 2,50 gr/m3 100,0 c 4 3,33 gr/m3 100,0 c 5 Kontrol 0,0 a Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang didampingi oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan BNT 5% No



Tabel 5. Jumlah kumbang dewasa L. sericorne setelah fumigasi pada beberapa perlakuan Perlakuan dosis Jumlah kumbang Magnesium fosfida dewasa 1 0,83 gr/m3 220 b 2 1,67 gr/m3 95 ab 3 2,50 gr/m3 75 ab 4 3,33 gr/m3 59 a 5 Kontrol 197 b Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang didampingi oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan BNT 5% No



Kumbang yang muncul dari semua perlakuan yang diuji diduga sebagian besar berasal dari telur yang dihasilkan sebelum aplikasi. Hal tersebut berdasarkan terjadinya mortalitas kumbang mencapai 100% pada perlakuan dosis 2,50 gr/m3 dan 2,50 gr/m3 yang seharusnya tidak terjadi ingkubasi telur, tetapi ternyata muncul kumbang pada pengamatan 30 hari setelah aplikasi. Hayata (2014) melaporkan bahwa fosfin dengan dosis 0,25 gram/0.0816 m3 atau setara dengan 3 gr/m3 pada 60 menit menyebabkan kumbang L. serricorne tidak aktif atau tidak bergerak. dan 60 menit kemudian atau 120 menit setelah aplikasi kumbang sudah mati. Dengan demikian pada saat memasuki proses fumigasi, kesempatan kumbang untuk bertelur sangat kecil. Dengan demikian maka diperkirakan bahwa telur L. serricorne yang diletakkan sebelum apalikasi dan menetas setelah 120 jam atau setelah tabung sampel diambil dari ruang fumigasi. Penetasan telur sebelum 120 jam peluangnya sangat kecil, karena konsentrasi gas fosfin masih cukup tinggi yaitu 200 – 1.000 ppm.



Berdasarkan hal tersebut, fumigasi menggunakan magnesium fosfida harus dilaksanakan lebih dari 120 jam. Hal tersebut sesuai dengan panduan fumigasi dengan fosfin yang dibuat oleh Badan Karantina Pertanian (2007) yang menyarankan bahwa fumigasi dengan fofin sebaiknya dilakukan selama tidak kurang dari 7 hari agar kemungkinan terjadinya kegagalan fumigasi dapat dikurangi. Saran lainnya disebutkan bahwa fosfin akan sangat efektif sebagai fumigan bila diaplikasikan dengan menggunakan dosis rendah dalam waktu fumigasi panjang. Tabel 6. Hasil analisa residu fosfin pada 15 hari setelah selesai kegiatan fumigasi No



Perlakuan dosis Magnesium fosfida



Kandungan fosfin (mg/kg)



1 0,83 gr/m3 0,48 2 1,67 gr/m3 0,55 3 2,50 gr/m3 1,01 4 3,33 gr/m3 1,57 5 Kontrol 0,20 Keterangan : Dianalisa oleha Lab. PPPTMGB LEMIGAS menggunakan metode Spectophotometry. Sample dengan nomer seri: 396/P/13.5/LHU/14. Analisa residu pada daun dilakukan 15 hari setelah perlakuan. Hasil analisa residu fosfin pada 15 hari setelah selesai fumigasi dapat dilihat pada Tabel 6. Perlakuan 1 plate atau 1 gram bahan aktif/1,2m3 daun tembakau kandungan fosfin 0,48 mg/kg. Secara umum semakin tinggi perlakuan dosis fosfin akan menghasilkan residu fosfin dalam daun tembakau semakin tinggi. Dosis yang lebih tinggi lagi yakni dosis 2 plates atau 2 gram bahan aktif/1,2m3 daun tembakau menghasilkan 0,55 mg/kg. Pada kontrol ditemukan residu fosfin 0,2 mg/kg daun tembakau. Hal ini disebabkan sebelumnya daun tembakau pernah dilakukan fumigasi dengan bahan aktif fosfin. Daun tembakau sebelum disimpan di gudang dan selanjutnya setiap 3 bulan dilakukan fumigasi. Residu fosfin dalam daun tembakau akan menurun seiring berjalanan waktu penyimpanan di gudang, dan akan menurun sampai di bawah ambang ( 200 tanaman) (Greco dan Wrigth, 2015). Wilayah penyebaran hama ini meliputi beberapa bagian Afrika, Asia, Kepulauan Pasifik, Selandia Baru, Amerika Selatan, dan Amerika Utara (Rabaglia et al, 2006; Horng-Chong, 2011), kemudia terdeteksi di wilayah Florida pada tahun 1941 (Wood, 1982; Horng-Chong, 2011) dan Hawai pada tahun 1961 (Bearedsley, 1964; Horng-Chong, 2011)dilaporkan dari Texas sampai North Carolina (Rabaglia et al.2006; Horng-Chong, 2011).Kumbang ini merupakan asliAsia dan terutama di daerah subtropis dan tropis dengan lingkungan yang hangat (Hayato 2007; Greco & Wrigth, 2015).Kemudian menyebar secara luas diJepang, Vietnam, Indonesia, Malaya, Sri Lanka, Madagaskar, selatanIndia, Seychelles, Mauritius, Afrika Barat, Fiji, Kuba, dan Brasil (Venkataramaiah & Sekhar 1964; Vasquez dkk. 1996, Oliveira dkk., 2008; Greco & Wrigth, 2015). Di Amerika Serikat, hama ini pertama kali dilaporkan di Indonesia Fort Lauderdale, FL, pada tahun 1941 (Wood, 1982) dan sejak itu telah menyebardi seluruh tenggara Amerika Serikat, di sepanjang dataran pantai dariTexas ke North Carolina (Ngoan dkk., 1976; Greco & Wrigth, 2015). Xylosandrus sp. dilaporkan sebagai hama pada tanaman mahoni yaitu pada pembibitan kehutanan di wilayah Amazon pada tahun 2007(Delgado & Couturier, 2010).Di Indonesia hama ini juga menyerang tanaman mahoni pada stadia bibit di persemaian. Gejala serangan hama ini ditandai dengan daun yang layu serta berwarna kecokelatan, serangan yang parah menyebabkan daun menjadi kering (Gambar 1 kiri). Tanda serangan sangat mudah diketahui yaitu terdapat lobang gerek pada batang berukuran ± 0,8 mm (Rahmanto & Lestari, 2013) (Gambar 1 kanan), terletak ± 10 – 15 cm dari leher akar (dari permukaan tanah). Tanaman akan mudah 126 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



mengalami patah apabila tersentuh maupun terkena tiupan angina sebagai akibat dari adanya lobang gerek tersebut. Serangga menggerek batang dengan arah mendatar kemudian setelah menembus kulit batang dan mencapai empulur serangga tersebut menggerek secara tegak lurus (ke atas atau kebawah), dengan kecenderungan arah lobang gerek menuju ke atas. Di dalam empulur tersebut serangga dewasa berkembang biak dengan meletakan telurnya, kemudian telur-telur tersebut menetas menjadi larva dan tumbuh menjadi imago. Dalam satu lobang gerek dapat dihuni oleh beberapa serangga dewasa, larva dan telurnya secara bersama-sama (Gambar 2 kiri).



Gambar 1. Gejala serangan hama penggerek batang (kiri) dan lobang gerek Xylosandrus sp. (kanan) Xylosandrus sp. memiliki ciri morfologi serangga betina dewasa berwarna cokelat gelap kemudian berubah menjadi hitam mengkilap, bentuk tubuh silinder, panjang 1,4-1,8 mm dan lebar 0,7-0,8 mm (Gambar 2 kiri), serangga jantan lebih kecil dari betina berwarna cokelat gelap kemudian berubah menjadi cokelat kemerah merahan, ukuran panjang tubuh 0,8-1,3 mm dan lebar 0,42-0,46 mm. Hanya serangga dewasa betina yang menyebabkan kerusakan pada tanaman, sedangkan serangga dewasa jantan terbang (Greco & Wrigth, 2015). Telur berukuran kecil, panjang 0,5 mm dan lebar 0,3 mm, berwarna putih dan berbentuk oval. Larva memiliki panjang 2 mm, kepala berbentuk seperti kapsul berwarna cokelat pucat, warna tubuh putih krem dan berkaki (Gambar 2 kanan). Panjang pupa sama dengan serangga dewasa, berwarna putih krem (Dixon, 2014).



Ketahanan bibit mahoni (Swietenia....



Xylosandrus sp. pertama kali dilaporkan di Amerika serikat yaitu di Ft Lauderdale, Florida pada tahun 1941, kemudian pada pertengahan tahun 1970 meluas ke wilayah utara yaitu ke Tallahassee dan Savannah, Georgia. Selanjutnya ke wilayah selatan menyebar ke Carolina Utara dari Texas (Wood, 1982; Ngoan et al,, 1976; Dixon et al, 2014). Penyebaran di daerah tropis meliputi Brazil, Cuba, Indonesia, Japan dan Sri Lanka (Brigth 1968, Murayama dan Kalshoven 1962; Wood 1982; Dixon, 2014). Pola dan Persentase Serangan Hama Penggerek Batang Berdasarkan Asal Sumber Benih Bibit di persemaian mulai terkena penggerek batang pada umur 4 bulan dan berlanjut terus menerus. Bibit yang paling awal terkena yang terletak paling luar, selanjutnya hama menyerang bibit di sebelahnya, sehingga bibit yang terkena serangan penggerek batang di persemaian ditemukan bersifat mengelompok, namun kelompok bibit yang terserang tersebar secara random di persemaian (Gambar 3). Dari lima sumber benih yang dipakai, tidak ada satupun sumber benih yang tidak terkena serangan. Persentase serangan total pada bibit umur 4 bulan sebesar 3,75% dengan persentase serangan per asal benih adalah Parung Panjang 0,90%; Gunung Gedor 7,28%; Ciharuman 7,22%; Urug 4,42% dan Cipatujah 0%. Persentase serangan total pada bibit umur 6 bulan sebesar 11,92% dengan persentase serangan per asal benih adalah Parung Panjang 7,67%; Gunung Gedor 12,96%; Ciharuman 29,14%; Urug 19,88% dan Cipatujah 3,36% (Gambar 4). Tingkat serangan hama penggerek batang di persemaian sebesar 11,92% dikategorikan sebagai tingkat ringan, namun tindakan pengendalian diperlukan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar karena regenerasi kumbang berlangsung terus sehingga seranganpun akan berlangsung terus, hal ini dapat terlihat hari tingkat serangan yang terus meningkat, dalam jangka waktu dua bulan telah terjadi peningkatan serangan sebesar 8,17%. Bibit dari sumber benih Ciharuman memiliki serangan yang paling tinggi dan Cipatujah memiliki tingkat serangan yang paling rendah.



Gambar 2. Serangga dewasa dan larva Xylosandrus sp.



127 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Ketahanan bibit mahoni (Swietenia....



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26



P.18 B P.18 D P.18 B P.30 No.5 C.3 U.5 H.2 B.48 P.30 No. 11 P.30 No. 8 P.17 A B.42 P.18 B P.18 A P.30 No.6 P.18 A P.30 No. 10 P.17 C P. 30 No. 1



P.18 A P.18 C P. 18 A P.30 No. 7 B H.1 P.30 No.9 C.4 U.1 P.29 No.5 P.29 No.1 P.29 No.6 P.18 A P.18 B P.30 No.3 P.17 D P.18 B P.18 C P.18 C P.30 No.5 B.42 B.12



B.8 B.37 B.31 B.22 B.37 B.50 B.29 B.8 B.22 B.8 B.50 B.22 B.8 B.22 B.8 B.22 B.8 B.88 B.12 B.20 B.31



B.22 B.8 C.1 C.2 U.2 U.3 U.2 U.1 U.4 U.5 H.1 H.2 H.3 H.2 B.29 B.20 Blok A No.2 Blok A No.1 Blok B P.30 No.2 P.30 No.7 P.18 A P.18 B P.30 P.18 C P.20 No.8



Gambar 3. Pola serangan hama penggerek batang Xylosandrus sp.



Gambar 4. Persentase serangan hama penggerek batang di persemaian KESIMPULAN DAN SARAN Bibit mahoni dari lima sumber benih mengalami serangan hama penggerek batang Xylosandrus sp. (Coleoptera: Scolytidae), pada bibit umur 6 bulan persentase serangan tertinggi terjadi pada sumber benih asal Ciharuman dengan persentase sebesar 29,14% dan terendah pada sumber benih asal



Cipatujah dengan persentase sebesar3,36%. Persentase serangan total pada bibit umur 4 bulan sebesar 3,75% dan persentase total pada bibit umur 6 bulan sebesar 11,92%. Terjadi peninkatan persentase serangan sebesar 8,17% dalam waktu 2 bulan



128 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



DAFTAR PUSTAKA Beardsley, J. W. 1964. The black twig borer: a potentially serious pest of coffee new to Hawaii. Hawaii Farm Sci. 13: 5–6. Delgado, C., and Couturier, G. 2010. Xylosandrus compactus (Coleoptera: Curculionidae: Scolitynae), a new pest of Swietenia macrophylla in the Peruvian Amazonia. Boletin de la Sociedad Entomologica (S.E.A.), n0..47: 441-443. Dixon,W.N, Woodruff R.E.,and Foltz,J.L. 2014. Black Twig Borer, Xylosandrus compactus (Eichhoff) (Insecta: Coleoptera: Curculionidae: Scolitinae). IFAS Extension. Universitu of Florida. Greco. E.B.,and Wright,M.G. 2015. Ecology, biology and management of Xylosandrus compactus (Coleoptera: Curculionidae: Scolytinae) with emphasis on coffee in Hawai. Journal of Integrated Pest Management.6(1):7: 1-8. Hayato, M. 2007. Note on the dieback of Cornus florida caused by Xylosandrus compactus. Bull. For. For. Prod. Res. Inst.6: 59–63. Horng Chong, J, Reid, L., and Williamson, M. 2009. Distribution, host plants, and demage of the black twig borer, Xylosandrus compactus (Eichhoff), in South Carolina. J. Agric. Urban Entomol.26 (4): 199-208. Martawijaya, A, Kartasujana, I, Mandang, Y.I,Prawira,S.A.,dan Kadir,K. 2005. Atlas Kayu Indonesia jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Murayama, J.J., and Kalshoven, L.G.E. 1962. Xyleborus morstatti Hag., a synonym of X. compactus Eichh. (Col., Scolytidae). Entomologische Berichten.22: 247-250.\ Ngoan, N.D, Wilkinson, R.C, Short, D.E, Moses, C.S., and Mangold, J.R. 1976. Biology of an introduced ambrosia beetle, Xylosandrus compactus, in Florida. Annals of the Entomological Society of America.69: 872876. Oliveira, C. M, Flechtmann,C.A.H., and Frizzas, M.R.2008. First record of Xylosandrus compactus (Eichhoff) (Coleoptera: Curculionidae: Scolytinae) on soursop, Annona muricata L. (Annonaceae) in Brazil, with a list of host plants. Coleopterists Bull.62: 45–48. Rabaglia, R.J, Dole,S.A.,and Cognato,A.I. 2006. Review of American Xyleborina (Coleoptera: Curculionidae: Scolytinae) occurring north of Mexico, with an illustrated key. Ann. Entomol. Soc. Am.99: 1034–1056. Rahmanto, B.,and Lestari,F. 2013. Diagnosis Hama dan Penyakit Tanaman Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.



Ketahanan bibit mahoni (Swietenia....



Vasquez, L.L, Tur,N., and Monteagudo,S.1996. Insectos de la familia Scolytidae (Coleoptera) que atacan al cafeto en Cuba. Revista de Protección Vegetal.11: 5–7. Venkataramaiah, G., and Sekhar,P. 1964. Preliminary studies on the control of the shot hole borer, Xylosandrus compactus (Eichhoff) Xyleborus mor- statti (HGDN). Indian Coffee.28: 208– 210. Wood, S.L. 1982. The bark and ambrosia beetles of North and Central America (Coleoptera: Scolytidae), a taxonomic monograph. Great Basin Naturalist Memoirs No. 6. Brigham Young University.



129 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pengaruh repelen spasial berbahan ....



Pengaruh Repelen Spasial Berbahan Aktif Citronela Terhadap Perilaku Mencari Mangsa Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Strain Bandung Desy Purwanti1*, Intan Ahmad2 dan Ramadhani Eka Putra2 1



Alumni Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung 2 Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Salah satu upaya untuk melindungi manusia dari Aedes aegypti sebagai vektor deman berdarah adalah dengan menggunakan repelen. Citronela diketahui sebagai repelen yang aman dan digunakan sebagai bahan aktif repelen komersial (topikal maupun spasial/diuapkan), namun repelen jenis ini belum banyak diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela terhadap perilaku mencari mangsa nyamuk Ae. aegypti Strain Bandung. Penelitian menggunakan alat tes modular untuk melihat respon perilaku nyamuk dewasa terhadap bahan kimia yang dibuat berdasarkan model WHO. Ae. aegypti dipaparkan pada empat konsentrasi citronela yaitu 0; 0,025; 0,5 dan 0,1 ug/ml. Pengamatan perilaku mencari mangsa dilakukan dengan metode arm in cage. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan perilaku mencari mangsa Ae. aegypti yang bermakna antara citronela konsentrasi 0 ug/ml dan 0,025 ug/ml, 0 ug/ml dan 0,05 ug/ml serta 0 ug/ml dan 0,1 ug/ml. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela terhadap perilaku mencari mangsa nyamuk Ae. aegypti Strain Bandung. Semua konsentrasi repelen spasial berbahan aktif citronela dapat menyebabkan terganggunya kemampuan mencari mangsa nyamuk Ae.aegypti, dengan jumlah gangguan tertinggi pada konsentrasi 0,1 ug/ml. Kata kunci: Aedes aegypti, perilaku mencari mangsa, repelen spasial, citronela. ABSTRACT Efforts that can be used to protect human being from Aedes aegypti as a vector of dengue fever disease is by using repellent. Citronella is known as savety repellent and used as active ingredient to comercial repellent (topical and spatial), but this repellent is rarely analyzed. The purpose of this research is to study the effect of citronella as spatial repellent toward host seeking behaviour of Ae.aegypti (Diptera: Culicidae) strain Bandung. A vehicle is developed based on WHO model applied in this research. Ae.aegypti is exposed to four concentrations of citronella at 0; 0,025; 0,5 and 0,1 ug/ml. Host-seeking behaviour is observed by using arm in cage method. Data collected from observation are then analyzed with ANOVA, followed by Duncan test. Result shows that there is significant difference of host-seeking behaviour between Ae. aegypti that exposed to citronella 0 ug/ml and 0,025 ug/ml; 0 ug/ml and 0,05 ug/ml; 0 ug/ml and 0,1 ug/ml. Research concludes that there is effect of citronella as spatial repellent toward host seeking behaviour of Ae.aegypti (Diptera: Culicidae) strain Bandung. Host seeking behaviour of Ae.aegypti is distrubed by all of concentration of citronella as spatial repellent especially in concentration 0,1 ug/ml. Kata kunci: Aedes aegypti, host-seeking behaviour, spatial repellent, citronella.



PENDAHULUAN Aedes aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah yang berbahaya bagi manusia. Selain menyebabkan Demam Berdarah Dengue (DBD), virus Dengue juga merupakan penyebab penyakit Demam Dengue (DB) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Di Indonesia penyakit demam berdarah masih termasuk masalah kesehatan utama. Soepardi (2010) mengatakan bahwa jumlah penderita dan luas daerah penyebaran demam berdarah di Indonesia semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Demam Berdarah di Indonesia pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968. Sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia, dengan demikian Angka Kematian (AK) pada saat itu mencapai 41,3%. Selanjutnya, penyakit demam berdarah mulai menyebar luas ke seluruh Indonesia sejak saat itu.



Berbagai strategi telah dilakukan untuk mengendalikan nyamuk Ae. aegypti, namun hingga saat ini jumlah kasus DB/DBD di Indonesia masih tergolong tinggi. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat jumlah kasus DBD pada tahun 2009 mencapai 150.000 kasus. Pada tahun 2010 jumlah kasus DBD cenderung stabil akan tetapi masih belum berkurang. Angka kematian akibat DBD juga tidak mengalami perubahan yang signifikan, pada tahun 2009 kematian yang terjadi akibat DBD sebanyak 1.420, selanjutnya tahun 2010 sekitar 1.317 dan pada tahun 2011 sebanyak 595 orang namun angka kejadian demam berdarah pada tahun 2011 tercatat masih tinggi yaitu, 65.432 kasus. Angka kejadian DBD tahun 2012 mengalami peningkatan hingga mencapai 90.245 kasus. Kasus DBD pada tahun 2013 tercatat kembali meningkat mencapai 112.511 dengan angka kematian 871 orang sedangkan pada tahun 2014 kasus DBD kembali mengalami 130 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



penurunan meskipun angka kejadian masih tergolong tinggi, yaitu sebanyak 71.668 dengan angka kematian sebanyak 641 orang (Kemenkes, 2012; Kemenkes, 2013; Kemenkes, 2015). Salah satu provinsi dengan angka kejadian DBD yang tinggi di Indonesia adalah Jawa Barat. Kota Bandung merupakan ibu kota provinsi Jawa Barat yang tercatat memiliki rekam jejak angka kejadian DBD tinggi. Pada tahun 2014 dilaporkan angka kejadian DBD di kota bandung adalah 3.132 dengan angka kematian 9 orang. Sedangkan pada tahun 2015 diketahui angka kejadia DBD mengalami peningkatan 3.640 dengan angka kematian 7 orang (Dinkes, 2015; Dinkes, 2016 ). Vaksin maupun obat yang efektif untuk mencegah ataupun mengobati penyakit demam berdarah belum ditemukan hingga saat ini. Berdasarkan informasi tersebut, tindakan yang paling efektif dalam menekan dan mengurangi angka kejadian DB/DBD adalah dengan mengendalikan vektornya, yaitu nyamuk Ae. aegypti. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan repelen atau penolak nyamuk yang dapat mencegah manusia dari gigitan nyamuk. Repelen atau penolak nyamuk dapat berupa topikal atau spasial (diuapkan). Repelen topikal dapat berbentuk lotion atau krim yang dapat dioleskan di bagian tubuh untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Sedangkan repelen spasial dapat berupa cairan atau padatan yang diuapkan pada suatu ruang agar nyamuk tidak mau mendekati ruangan tersebut. Menurut Nolen et al. (dalam Hao et al., 2008) repelen spasial merupakan suatu zat yang terevaporasi dalam suatu ruang tiga dimensi yang dapat menghambat kemampuan nyamuk dalam melacak dan menemukan inangnya. Salah satu jenis repelen yang belum banyak diteliti adalah repelen spasial yang mengandung citronela. Citronela merupakan ekstrak tumbuhan genus Cymbopogon yang diketahui memiliki kemampuan menolak kehadiran nyamuk, aman digunakan bagi manusia dan lingkungan (Debboun et al., 2006). Environtmental Protection Agency (1999) menyatakan bahwa citronela merupakan repelen yang aman dan efektif bagi manusia. Selain itu, citronela juga aman bagi lingkungan karena merupakan bahan alam yang dapat terurai dengan cepat. Hal tersebut membuat citronela banyak digunakan sebagai bahan aktif berbagai repelen komersial baik topikal maupun spasial. Namun demikian, repelen jenis ini belum banyak diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela terhadap perilaku mencari mangsa nyamuk Ae. aegypti Strain Bandung. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penggunaan repelen spasial berbahan aktif citronela sebagai upaya pengendalian



Pengaruh repelen spasial berbahan ....



nyamuk Ae. aegypti dalam menularkan penyakit demam berdarah di kota Bandung. BAHAN DAN METODE Citronela yang digunakan merupakan repelen spasial yang telah dikomersialkan dengan kadar 7,16%. Alat yang digunakan untuk uji hayati dibuat sesuai dengan model alat pengujian nyamuk pada repelen spasial yaitu, HITSS (High-Troughtput Screening System) yang dikeluarkan oleh WHO (2013) berdasarkan Grieco et al.,. (2005). Ae. aegypti strain Bandung diperoleh dengan memasang ovitrap (perangkap telur) yang dibuat menggunakan 3-4 buah stik es krim yang disusun berjajar kemudian dijepit menggunakan klip kertas. Stik es krim tersebut selanjutnya diletakan dalam gelas plastik 250 ml yang telah dicat hitam di permukaan luarnya dan diisi dengan air hingga ¾ bagian gelas. Ovitrap di tempatkan di dekat pemukiman penduduk terutama pada tempat yang redup dan tidak terkena matahari secara langsung. Ovitrap diamati setiap satu minggu sekali hingga mendapatkan telur nyamuk, yaitu berupa bulatan oval berwana hitam. Hasil sampling berupa jentik maupun telur nyamuk, selanjutnya dipelihara di laboratorium dan diidentifikasi untuk memastikan sampel yang diperoleh merupakan spesies Ae. aegypti. Perbanyakan masal dilakukan apabila spesies yang dikoleksi dari lapangan adalah Ae. aegypti. Perbanyakan Ae. aegypti dilakukan dengan merendam telur dalam air pada baki plastik berukuran 27cm x 17cm x 5cm. Setiap baki berisi ±200 larva yang diberi makan pelet ikan sebanyak 0,2 g yang ditambahkan setiap tiga hari bersamaan dengan penggantian air. Air dalam baki peliharaan diganti setiap tiga hari sekali agar selalu dalam keadaan bersih. Larva yang telah berubah menjadi pupa dikoleksi dan ditempatkan pada kandang kasa berukuran 30 x 30 x 30 cm. Pupa tersebut selanjutnya akan tumbuh menjadi nyamuk Ae. aegypti dewasa. Ae. aegypti dewasa selanjutnya diberikan pakan larutan gula 10% yang dituangkan pada bola kapas (Porter et al.., dalam Gerberg, 1970). Nyamuk dewasa yang telah berusia dua hari diberikan pakan darah tikus selama dua jam. Tikus yang akan digunakan terlebih dahulu dicukur pada bagian punggungnya, agar mempermudah nyamuk untuk menghisap darah. Tikus dimasukan dalam kandang kecil berlubang (di daerah punggung, sisi pinggang dan ekor) lalu dimasukan ke dalam kandang nyamuk. Pemberian pakan dengan darah tikus dilakukan setiap tiga hari. Ovitrap diletakan setelah nyamuk dua hari menghisap darah. Telur dikumpulkan dalam ovitrap yang terbuat dari gelas plastik berukuran 50 mL, berisi air 15 mL, dilapisi kertas saring berlabel sebagai tempat untuk nyamuk meletakkan telurnya. Kertas saring yang telah berisi 131 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



telur dikumpulkan jika telah penuh berisi telur, lalu digantikan dengan yang baru. Telur dibiarkan dalam keadaan lembab selama dua hari, lalu dikeringkan dalam suhu kamar dan disimpan dalam wadah tertutup sampai telur akan digunakan (Gerberg, 1970). Pemeliharaan nyamuk dilakukan pada suhu ruang antara 24 - 29 0C, kelembaban nisbi udara 75 – 77% dan fotoperioda 12:12, yaitu 12 jam peroide terang, dan 12 jam periode gelap. Telur yang telah dikoleksi selanjutnya ditetaskan dengan cara dilembapkan selama 5 menit, dikeringkan selama 24 jam lalu direndam dalam air berisi ragi kering 0,3% (b/v) untuk merangsang penetasan telur. Perendaman dilakukan selama 24 jam. Setelah 24 jam larva ditempatkan pada baki pemeliharaan dan dipelihara hingga dewasa. Nyamuk betina berumur 5 hingga 10 hari digunakan untuk melakukan uji repelen. Nyamuk tersebut dipilih dengan cara sebagai berikut: Nyamuk dimasukan ke dalam kadang kasa (30 x 30 x 30 cm) yang berfungsi sebagai kandang uji. Tangan dan lengan atas kemudian dimasukan ke dalam kandang uji. Nyamuk yang menuju tangan dan lengan dalam waktu 2 menit akan digunakan dalam penelitian ini. Metode penelitian dilakukan berdasarkan Hao et al., (2008). Perilaku nyamuk yang diamati adalah perilaku mencari mangsa. Penelitian terdiri dari dua bagian sebagai berikut: bagian pertama adalah uji hayati nyamuk pada repelen spasial dengan dosis 0 ug/ml; 0,025 ug/ml; 0,05 ug/ml dan 0,1 ug/ml (dosis ditentukan berdasarkan ED50 hasil uji pendahuluan), dilanjutkan dengan bagian kedua yaitu pengamatan perilaku mencari mangsa setelah nyamuk terpapar repelen spasial. Hewan uji yang digunakan adalah hewan uji yang berbeda dengan strain yang sama. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari faktor pengaruh kelelahan neuron olfaktori nyamuk pada data yang dihasilkan. Nyamuk betina berumur 5 hingga 10 hari digunakan untuk melakukan uji repelen. Metode uji hayati dilakukan berdasarkan Grieco et al. (2005) dengan menggunakan HITSS. Tabung transparan pada HITSS dihubungkan dengan tabung uji dengan katup kupu-kupu tertutup. Rangka tabung uji berserta saringan yang sudah berisi repelen spasial dengan konsentrasi tertentu dimasukan dalam tabung uji. HITSS selanjutnya didiamkan selama 24 hingga 48 jam untuk memastikan semua repelen spasial telah terevaporasi. Sepuluh nyamuk uji dimasukan dalam tabung transparan dan dibiarkan beraklimatisasi selama 30 detik sebelum uji hayati dimulai. Nyamuk yang mengalami gangguan fisik, mati, tidak bisa terbang dihitung dan diganti dengan nyamuk baru. Uji hayati dimulai dengan membuka perlahan katup kupukupu hingga terbuka penuh selama 1 jam. Pengamatan perilaku mencari mangsa dan perilaku menghisap darah diamati setelah uji hayati dilakukan.



Pengaruh repelen spasial berbahan ....



Uji hayati dilakukan dalam laboratorium dengan suhu 25 ± 1oC, 4500 lux dan ±77% RH. Laboratorium dibuka setiap sebelum dan sesudah uji. Methanol digunakan sebagai pelarut bahan kimia karena methanol tidak berpengaruh pada indra pembau nyamuk (Bennier et al. dalam Hao dkk., 2008). Hal tersebut yang menyebabkan methanol menjadi bahan kontrol dalam penelitian. Pengamatan perilaku mencari mangsa dilakukan dengan metode arm-in-cage yaitu menggunakan tangan volunteer yang dimasukan dalam kandang nyamuk. Nyamuk yang telah mengalami uji hayati selama 1 jam dipindahkan secara individu ke kandang kasa bersih (30 x 30 x 30 cm) dan diberi makan dengan larutan gula 10%. Selanjutnya, 3 menit setelah uji hayati nyamuk dibiarkan menyerang tangan dan lengan selama 2 menit untuk mendapatkan data respon perilaku nyamuk setelah dipaparkan citronela. Perilaku mencari mangsa Ae.aegypti ditetapkan sebagai kemampuan nyamuk untuk menemukan inang, mendarat dan mencari tempat yang cocok untuk menusukan stilet hingga menusuk lengan dengan stiletnya. Parameter yang digunakan dalam pengamatan perilaku mencari mangsa adalah jumlah individu yang berhasil mendarat hingga menusukan stilet setelah dipaparkan citronela pada konsentrasi tertentu dalam waktu dua menit pengamatan. Pengamatan dilakukan 3 menit setelah uji hayati. Pengukuran parameter perilaku mencari mangsa menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) (Yitnosumarto, 1993). Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, setiap ulangan menggunakan sepuluh individu nyamuk Ae.aegypti betina. Data hasil pengamatan perilaku mencari mangsa dan menghisap darah masing-masing strain dianalisis dengan analisis sidik ragam (Analysis of varian) dengan menggunakan program statistik SPSS. 20, yang dilanjutkan dengan uji perbandingan ganda Duncan jika berbeda nyata pada taraf signifikansi α = 5% (Siregar, 2013). HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu perilaku nyamuk Ae. aegypti yang penting untuk diketahui adalah perilaku mencari mangsa. Perilaku mencari mangsa merupakan kemampuan nyamuk untuk menemukan inang, mendarat dan mencari tempat yang cocok untuk menusukan stilet hingga menusuk lengan dengan stiletnya (Hao et al., 2008). Perilaku tersebut merupakan aktifitas nyamuk untuk menemukan mangsa yang selanjutnya mengarah pada perilaku menghisap darah. Perilaku mencari mangsa berperan penting dalam penyebaran penyakit DB dan DBD yang disebabkan oleh virus Dengue (Hao et al., 2008). Hasil penelitian menunjukan bahwa respon mencari mangsa Ae.aegypti strain Bandung bervariasi 132 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pengaruh repelen spasial berbahan ....



setelah dipaparkan citronela pada berbagai konsentrasi. Jika dibandingkan dengan data awal perilaku mencari mangsa sebelum dipaparkan citronela (0 ug/ml) maka dapat diketahui bahwa respon perilaku mencari mangsa strain Bandung setelah dipaparkan citronela 0,025 ug/ml mengalami penurunan respon sebesar 23,33% ± 0,882. Selanjutnya, pada saat dipaparkan citronela 0,05 ug/ml Ae.aegypti menunjukan penurunan respon perilaku 36,67% ± 0,667. Sedangkan pada aplikasi citronela 0,1 ug/ml Ae.aegypti menunjukan penurunan respon perilaku mencari mangsa sebanyak 46,67% ± 0,882. Data hasil pengamatan respon perilaku mencari mangsa Ae.aegypti strain Bandung secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Pengaruh Repelen Spasial Berbahan Aktif Citronela Terhadap Perilaku Mencari Mangsa Ae.aegypti Strain Bandung. Respon Perilaku Mencari Mangsa (n) Konsentrasi ug/ml



1



2



3



0,000



10



10



10



0,025



9



6



8



0,050



5



7



7



0,100 5 7 4 Keterangan: Jumlah individu Ae.aegypti strain Bandung yang menunjukan perilaku mencari mangsa setelah dipaparkan spasial repelen citronela dengan berbagai konsentrasi (n=10). Selanjutnya, hasil uji anova menunjukan bahwa strain Bandung yang pada konsentrasi citronela 0 ug/ml memiliki kemampuan mencari mangsa 100%(n=10), saat mendapat penambahan konsentrasi citronela menunjukan penurunan kemampuan mencari mangsa yang signifikan. Hasil uji lanjut menunjukan bahwa terdapat perbedaan perilaku mencari mangsa Ae. aegypti yang bermakna antara citronela konsentrasi 0 ug/ml dan 0,025 ug/ml, 0 ug/ml dan 0,05 ug/ml serta 0 ug/ml dan 0,1 ug/ml. Pola penurunan respon perilaku mencari mangsa Ae.aegypti strain Bandung seiring dengan penambahan konsentrasi citronela secara lebih jelas dapat diketahui melalui Tabel 2. Tabel 2. Penurunan Respon Perilaku Mencari Mangsa Ae.aegypti Strain Bandung Seiring Dengan Penambahan Konsentrasi Citronela Konsentrasi Rerata ± standar eror persentase perilaku mencari mangsa strain Bandung 0 ug/ml 100 ± 0,00b 0,025 ug/ml 76,7 ± 0,882a 0,05 ug/ml 63,3 ± 0,667a 0,1 ug/ml 53,3 ± 0,882a Keterangan: Rerata ± standar eror persentase perilaku mencari mangsa strain Bandung setelah dipaparkan



spasial repelen citronela dengan berbagai konsentrasi (n=10). Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf abjad berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda nyata secara signifikan pada uji Duncan taraf kepercayaan 95%. Terganggunya kemampuan nyamuk untuk mendeteksi mangsa diduga disebabkan oleh kemampuan citronela yang mampu menolak nyamuk atau repelen. Mode of action repelen menurut Dickens dan Bohbot (2013) adalah memblok neuron olfaktori nyamuk sehingga odorant atau bau yang bersifat atraktan pada nyamuk tidak bisa dideteksi. Neuron olfaktori merupakan sensori yang sangat penting bagi nyamuk untuk mendeteksi bau (Bowen, 1991). Hao et al. (2008) menyebutkan bahwa repelen spasial seperti eugenol, geraniol, anisaldhehyd, citral dan citronelal dapat menginduksi perubahan respon reseptor olfaktori terutama grooved peg sensilar dan sensila trichodea dalam mengenali kairomon (amonia, protein, asam laktat dan CO 2). Hal tersebut didukung oleh pendapat Davis (1985) yang menyebutkan bahwa DEET (repelen sintetik yang efektif dalam menolak nyamuk) bekerja dengan cara memodifikasi atau membloking respon ORNs yang sebelumnya sensitif terhadap atraktan. DEET terbukti mengurangi sensitifitas ORNs yang peka terhadap asam laktat dan ORNs yang sensitif terhadap atraktan pada oviposisi yaitu, ethyl proprionat. Penelitian tentang pengaruh citronela pada olfaktori serangga juga dilakukan oleh Kwon (2010). Penelitian tersebut terutama membahas mengenai interaksi citronelal dengan olfactory co-receptor (orco) dan TPRA1 channel (Transient Receptor Potential Ankyrin) pada Anopheles gambiae dan Drosophila melanogaster. Hasilnya, interaksi citronelal dengan TRPA1 pada D. melanogaster dapat berpengaruh pada regulasi aktifitas ion Ca2+ yang mengaktifasi channel ion K+. Reduksi aktifitas ion Ca2+ yang mengaktifasi channel ion K+ (BK channel) mengakibatkan meningkatnya frekuensi potensial aksi dan membuat D. melanogaster menjauhi citronelal. Sedangkan pada A. gambiae, TRPA1 channel yang terletak di antena langsung diaktifasi oleh citronelal dan mengakibatkan nyamuk menjauhi citronelal. Kim (2013) menjelaskan bahwa TRP merupakan channel kation non-selektif yang terdapat pada cacing, lalat, nyamuk hingga mamalia. Selanjutnya, fungsi TRPA1 pada serangga yaitu sebagai pendeteksi rasa sakit dan mendeteksi temperatur panas. Berdasarkan penjelasan tersebut, aktivasi TRPA1 pada serangga membuat intepretasi yang tidak nyaman (rasa sakit atau temperatur panas) sehingga menstimulasi reaksi menjauh atau repelen. Berdasarkan penjelasan tersebut, nampaknya penurunan respon perilaku mencari mangsa Ae. aegypti strain Bandung setelah dipaparkan pada beberapa konsentrasi citronela diduga berhubungan dengan terganggunya TRPA1 akibat pengaruh 133 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



citronela. Terganggunya TRPA1 diduga menyebabkan interpretasi tidak nyaman pada nyamuk sehingga mengganggu kemampuan nyamuk untuk mendeteksi mangsa. SIMPULAN Penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela terhadap perilaku mencari mangsa nyamuk Ae. aegypti Strain Bandung. Semua konsentrasi repelen spasial berbahan aktif citronela dapat menyebabkan terganggunya kemampuan mencari mangsa nyamuk Ae.aegypti, dengan jumlah gangguan tertinggi pada konsentrasi 0,1 ug/ml. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Intan Ahmad dan Dr. Rachmadani Eka Putra dari SITH, Institut Teknologi Bandung serta semua pihak yang telah memberikan masukan dan arahan yang baik dalam penelitian maupun penulisan hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA Bowen, M.F.1991. The Sensory Physiology of HostSeeking Behaviour in Mosquitoes. Annual Reveiw Entomology, 36, 139-158. Davis, E.E. 1985. Insect Repellents: Concept of Their Mode of action Relative to Potential Sensory Mechanisms in Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Medical Entomologi, 22(3), 237-243. Debboun, M., Frances, Stephen.P., dan Strickman, D. 2006. Insect Repellent: Principles, Methods and Uses. CRC Press Taylor and Francis Group. United States of America. Dickens dan Bohbot. 2013. Mini Review: Mode of Action of Mosquito Repellents. Pesticide Biochemistry and Physiology, http://dx.doi.org/10.1016/j.pestbp. 2013. 02. 006 (diakses 2 Desember 2014). Dinkes. 2015. Profil Kesehatan 2014. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php/ arsip/categories/MTEz/profile-kesehatan (diakses 15 Oktober 2017). Dinkes. 2016. Profil Kesehatan 2015. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php/ arsip/categories/MTEz/profile-kesehatan (diakses 15 Oktober 2017). Gerberg, E.J. 1970. Mosquito Rearing and Experimental Techniques. American Mosquito Control Association Bulletin No.3. AMCA inc. California. Grieco, J.P., Achee, N.L., Sardelis, M.R., Chauhan, K.R., dan Roberts, D.R. 2005. A Novel High-Throughput Screening System to



Pengaruh repelen spasial berbahan ....



Evaluate The Behavioural Response of Adult Mosquiotos to Chemicals. Journal of the American Mosquito Control Association, 21(4), 4004-411. Hao, H., Wei, J., Dai, J., dan Du, J. 2008. Hostseeking and Blood-Feeding Behaviour of Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) Exposed to Vapor of Geraniol, Citral, Citronelal, Eugenol, or Anisaldehyde. Journal Medical Entomology, 45(3), 533539(2008). Kemenkes. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Indonesia Tahun 2011. Dinas Kesehatan RI. website://www.depkes.go.id. (diakses 14 September 2014). Kemenkes. 2014. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Dinas Kesehatan RI. website://www.depkes.go.id. (diakses 21 Februari 2015). Kemenkes. 2015. Demam Berdarah Biasanya Mulai Meningkat di Januari. Dinas Kesehatan RI. website://www.depkes.go.id. (diakses 30 April 2015). Kim, S.H. 2013. Insect GPRs and TRP Channel: Putative Target for Insect Repellents. Interdisciplinary Bio Central, 5(3), 1-7. Kwon, Y. 2010. Drosophila TRPA1 Channel is Required to Avoid the Naturally Occuring Insect Repellent Citronelal. Current Biology, 20, 1672-1678. Siregar, S. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. PT Fajar Interpratama Mandiri. Jakarta. Soepardi, J. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, 2, 1-20. Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. World Health Organization. 2013. Guidelines for Efficacy Testing of Spatial Repellents. WHO Press. Geneva.



134 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Efektivitas formula minyak biji ....



Efektivitas Formula Minyak Biji Mimba (Azadirachta indica) Pada Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L.) Mahsuri2, Danar Dono1*, Luciana Djaya1, Yusuf Hidayat1, Rani Maharani3, Sri Hartati1 1



Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran ²Alumni Departemen HPT, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 3 Departemen Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia. *Alamat Korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan formula minyak biji mimba pada ulat daun kubis Plutella xylostella. Percobaan dilaksanakan di kebun percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor. percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri dari enam perlakuan yaitu formula minyak biji mimba 1%, 1,25%, 1,5%, 1,75%, 2% dan 0% (kontrol) yang diulang lima kali. Hasil percobaan menunjukkan bahwa formula minyak biji mimba konsentrasi 2% efektif menekan populasi P. xylostella di pertanaman kubis. kata kunci : Plutella xylostella, Azadirachta indica, pestisida nabati, kubis.



ABSTRACT This experiment aims to determine the effectiveness of neem seed oil formula on cabbage moth Plutella xylostella. The experiment was conducted in Ciparanje experimental garden, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University, Jatinangor. The experiment used a randomized block design consisting of six treatments ie 1%, 1.25%, 1.5%, 1.75%, 2% and 0% (control), with five replication. The experimental results showed that the Neem seed oil formula 2% was effective in suppressing P. xylostella populations in cabbage crops. keywords: Plutella xylostella, Azadirachta indica, vegetable pesticide, cabbage.



PENDAHULUAN Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu komoditas sayuran yang memunyai nilai ekonomi tinggi sebagai sumber pendapatan petani dan sumber gizi (Vitamin A dan C) bagi masyarakat (Sastrosiswojo dkk., 2000). Pada tahun 2013 produksi kubis mencapai 1.480.625, sedangkan pada tahun 2014 produksi kubis mengalami penurunan yaitu sebesar 1.435.833 ton (Indonesia Horticulture Statistic, 2014). Peningkatan produksi kubis mengalami banyak kendala, salah satu kendala tersebut yaitu hama dan penyakit pada tanaman kubis, sehingga dapat mengakibatkan produksi kubis dan pendapatan petani menurun. Oleh karena itu, peningkatan produksi kubis senantiasa harus diupayakan. Ulat daun kubis P. xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) merupakan salah satu hama utama pada tanaman kubis. P. xylostella adalah serangga hama dari kelas Lepidoptera yang perkembangan hidupnya memiliki tipe perkembangan holometabola (metamorfosis sempurna). Akibat serangan hama ini, kehilangan hasil dapat mencapai 58% - 100%, terutama pada saat musim kemarau (Sastrosiswojo, 1995). Salah satu konsep utama dari Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu menjaga populasi jenis serangga hama agar tidak melebihi nilai ambang



ekonomi dan menjaga fauna lainnya agar tidak terganggu, sehingga keseimbangan ekosistem dapat tetap terpelihara (Sumartono, 1994). Sedangkan, pemakaian pestisida yang tidak bijaksana dapat berdampak negatif sehingga perlu adanya usaha pengendalian dengan mengembangkan insektisida yang berasal dari tumbuhan. Tanaman yang dapat dipakai sebagai insektisida nabati salah satunya adalah mimba (Azadirachta indica), bagian tanaman yang umum digunakan adalah bijinya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Konsentrasi Formula Minyak Biji Mimba (A. indica) 50 EC pada ulat daun kubis P. xylostella. Percobaan ini dapat memengaruhi perkembangan dan penurunaan populasi P. xylostella pada tanaman kubis dengan tindakan pengendalian yang ramah lingkungan yaitu dengan memanfaatkan Ekstrak Biji Mimba, sehingga secara kualitas dan kuantitas pada tanaman kubis dapat meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menentukan konsentrasi Formula Minyak Biji Mimba 50 EC yang efektif terhadap ulat daun kubis P. xylostella BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Desa 135 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Ciparanje, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, dengan ketinggian tempat sekitar 753 mdpl. Rancangan yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan enam perlakuan dan diulang sebanyak lima ulangan. Aplikasi Fomula Minyak Biji Mimba 50 EC dengan konsentrasi 0% (kontrol), 1%, 1,25%, 1,5%, 1,75%, dan 2%. Perlakuan terdiri dari 30 petak lahan berukuran panjang lima meter dan lebar empat meter, jarak tanam 50 cm x 50 cm, jarak antar petak 50 cm. Pada satuan percobaan terdapat 12 tanaman sampel dari total 48 tanaman kubis per petak. Pola pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sistematis. Tanaman kubis pada bagian terluar (border) pada satuan percobaan tidak dijadikan tanaman sampel, karena untuk meminimalisir adanya kontaminasi antar petak perlakuan, kemudian memberi tanda/label pada tanaman sampel. Aplikasi formula mimba pertama dilakukan satu hari setelah pengamatan pendahuluan, yaitu apabila terdapat populasi hama P. xylostella pada seluruh petak percobaan. Interval aplikasi penyemprotan adalah satu minggu dua kali aplikasi. Cara aplikasi insektisida menggunakan knapsack sprayer. Penyemprotan diawali dengan penyemprotan petak perlakuan kontrol (kalibrasi) untuk menentukan banyaknya air yang akan digunakan, kemudian dilanjutkan dengan aplikasi pada perlakuan konsentrasi terendah sampai konsentrasi tertinggi. Rata-rata volume penyemprotan adalah 600-700 l/ha. Variabel pengamatan yang diamati diantaranya populasi hama dan kerusakan tanaman. Populasi hama P. xylostella di lapangan diamati dengan cara menghitung jumlah hama pada umur tujuh hari setelah tanam, dengan interval satu minggu, sampai populasi hama merata. Pengamatan selanjutnya dilakukan satu hari sebelum aplikasi dan dua hari setelah aplikasi insektisida mimba dengan interval satu minggu. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah hama P. xylostella pada 12 tanaman sampel/petak perlakuan. Hama P. xylostella berada di bawah daun yang terlihat dari gejala daun yang berlubang. Gejala kerusakan tanaman diamati di lapangan, dan intensitas kerusakan dihitung dengan rumus: I = ∑n1 x v x 100% ZxN Keterangan : I = Intensitas serangan (%) n1 = Jumlah skor daun yang terserang v = Skor dari tiap kategori serangan Z = Nilai skala tertinggi pada skor N = Jumlah tanaman yang diamati Skala Kerusakan: 0 = tidak ada kerusakan daun 1 = kerusakan daun 0< x ≤ 20% 2 = kerusakan daun 20 x ≤ 40%



Efektivitas formula minyak biji ....



3 = kerusakan daun 40 x ≤ 60% 4 = kerusakan daun 60< x ≤ 80% 5 = kerusakan daun 80< x % Data dianalisis dengan menggunakan program spss versi 20. Jika terdapat nilai beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf 5%. Jika pada pengamatan pertama populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkan tidak berbeda nyata antar petak perlakuan, maka efikasi insektisida yang diuji dihitung dengan rumus Abbott (Ciba-geigy, 1981 dikutip Gatot, 2012): EI = ( EI = Efikasi insektisida yang diuji (%). Ta = Jumlah hama atau persentase kerusakan tanaman pada petak perlakuan insektisida yang diuji setelah penyemprotan insektisida. Ca = Jumlah hama atau kerusakan tanaman pada kontrol setelah penyemprotan insektisida. Formulasi insektisida dikatakan efektif bila pada setiap aplikasi kali pengamatan (n= jumlah total pengamatan setelah aplikasi). Tingkat efikasi insektisida (EI) ≥70% dengan syarat: 1. Jumlah hama sasaran pada petak perlakuan insektisida yang diuji lebih rendah atau tidak berbeda nyata dengan jumlah hama atau tingkat kerusakan tanaman pada petak perlakuan insektisida pembanding (taraf 5%). 2. Jumlah hama pada petak perlakuan insektisida yang diuji nyata lebih rendah dibandingkan dengan jumlah hama atau tingkat kerusakan tanaman pada petak kontrol (taraf 5%). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi pada lahan percobaan ditemukan beberapa hama lain selain P. xylostella pada tanaman kubis diantaranya ulat krop (Crocidolomia pavonana), ulat grayak (Spodoptera litura sp.), ulat bulu, belalang (Valanga sp.). Pengamatan pada saat di lapangan ditemukan banyaknya populasi ulat krop (C. pavonana) dibandingkan ulat kubis P. xylostella. Ulat krop (C. pavonana) ini memberikan kontribusi tinggi terhadap kerusakan tanaman kubis, sehingga intensitas kerusakan tanaman kubis pada lahan percobaan lebih disebabkan oleh hama C. Pavonana dibandingkan P. xylostella. Intensitas kerusakan pada tanaman kubis yang disebabkan oleh ulat krop (C. pavonana) yaitu sekitar 60%. Hasil pengamatan pada populasi P. xylostella dapat dilihat pada (Tabel 1). Pada penyemprotan ke-3 (4 MST) menunjukkan bahwa perlakuan A (Kontrol) jumlah P. xylostella 9,0 ekor/tanaman sampel berbeda nyata dengan perlakuan F (FM 2%) dengan jumlah P. xylostella 3,0 ekor/tanaman sampel, sedangkan pada 136 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



perlakuan B (1%); C (1,25%); D (1,5%); dan E (1,75%) jumlah P. xylostella tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Hal serupa terjadi pada aplikasi ke 5, 6, 7 dan 8 MST dimana populasi P. xylostella



Efektivitas formula minyak biji ....



terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC (Tabel 1).



Tabel 1. Rata-rata jumlah larva P. xylostella (ekor/tanaman sampel) formula minyak biji mimba 50 EC.



Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. PBA : Pengamatan Sebelum Aplikasi. FM: Formula mimba 50 EC. Faktor penyebab rendahnya populasi hama P. xylostella yaitu pengaruh formula minyak biji mimba 50 EC pada konsentrasi 1,5 %, 1,75 % dan 2 % yang dapat menekan populasi P. xylostella. Hal tersebut terjadi karena pengaruh bahan aktif azadirachtin yang terkandung di dalam formula minyak biji mimba 50 EC sebagai penolak hama (Orwa, et al., 2009). Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (antifeedant) yang dapat mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati. Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga hama tidak mendekati zat tersebut. Mimba mengandung metabolit sekunder yang dapat menggangu kopulasi (perkawinan) dan komunikasi seksual serangga (Wijiastuti, 2013). Azadirachta akan bekerja efektif jika masuk ke dalam tubuh serangga dalam jumlah sedikit hanya akan mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan



(Samsudin, 2011). Hal tersebut berkaitan dengan tipe mulut mengunyah yang dimiliki P. xylostella, sehingga senyawa azadirachtin yang menempel pada tanaman kubis masuk ke dalam tubuh P. xylostella. Semakin tinggi konsentrasi formula minyak biji mimba 50 EC yang diberikan maka akan semakin tinggi residu azadirachtin dari biji mimba yang ditinggalkan pada tanaman kubis, sehingga keefektifan formulasi akan semakin cepat terlihat. Semakin tinggi konsentrasi formula minyak biji mimba 50 EC yang diberikan pada tanaman kubis maka akan semakin tidak disukai oleh larva P. xylostella. Senyawa azadirachtin ini berfungsi sebagai antifeedant (mencegah makan) dan sebagai repellent (Widayat, 1994). Pada perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 1,5; 1,75; dan 2% Efektif dalam menekan populasi hama P. xylostella pada tanaman kubis varietas Green Nova (Tabel 2).



Tabel 2. Rata-rata Efikasi Insektisida Formula Minyak Biji Mimba 50 EC



Keterangan: FM: Formula Minyak Biji Mimba 50 EC 137 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Suatu formula insektisida dikatakan efektif bila pada setiap aplikasi kali pengamatan (n=jumlah total pengamatan setelah aplikasi), tingkat efikasi insektisida (EI) 70%. Perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC konsentrasi 2% paling efektif dalam menekan populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis. Nilai efikasi insektisida (EI) perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC konsentrasi 2% dimulai pada penyemprotan ke-3 di 4 MST setelah aplikasi insektisida mencapai 70,37% sampai 100%. Hal tersebut terjadi karena pengaruh bahan aktif azadirachtin yang terkandung di dalam formula minyak biji mimba 50 EC sebagai penolak hama.



Efektivitas formula minyak biji ....



Menurut Isroi (2008), selain azadirachtin, tanaman mimba juga mengandung senyawa aktif meliantriol dan salanin dari daun atau cairan minyak dari biji mimba, efektif mencegah makan (antifeedant) bagi serangga, mencegah serangga mendekati tanaman (repellent), dan bersifat sistemik. Mimba dapat membuat serangga mandul karena dapat mengganggu produksi hormon dan pertumbuhan serangga. Azadirachtin akan bekerja efektif jika masuk ke dalam tubuh serangga dalam jumlah sedikit hanya akan mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan (Samsudin, 2011).



Tabel 3. Rata-rata intensitas kerusakan tanaman kubis pada aplikasi formula minyak biji mimba 50 EC.



Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Tabel 4. Efikasi Insektisida Formula Minyak Biji Mimba 50 EC Terhadap Intensitas Kerusakan



Keterangan : Formula Minyak Biji Mimba 50 EC Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa aplikasi formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap intensitas kerusakan tanaman kubis pada pengamatan 3 MST sampai 8 MST. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ratarata kerusakan tanaman kubis pada aplikasi formula minyak biji mimba 50 EC pada penyemprotan ke-2 mulai berbeda antara kontrol dengan yang diberi formula minyak biji mimba 50 EC. Akan tetapi yang diberi perlakuan tidak berbeda nyata antar petak perlakuan. Pada penyemprotan ke-6 pada 6 MST berbeda nyata antara intensitas kerusakan kontrol (3,43%) dengan intensitas kerusakan yang diberi



perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC 1%; 1,25%; 1,5%,1,75%; dan 2%. Rata-rata intensitas kerusakan tanaman terendah dijumpai pada penyemprotan ke-6 dengan perlakuan fomula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 2% yaitu 3,09%. Pada 7 MST penyemprotan ke-8, perlakuan minyak mimba 2% memiliki intensitas kerusakan terendah, sebesar 3,71%, dibandingkan dengan kontrol (4,13%). Perlakuan minyak biji mimba 1%; 1,25%; 1,5%; 1,75% dan 2% menunjukkan berbeda nyata dengan kontrol (4,90%) pada penyemprotan ke-10 di 8 MST. Akan tetapi pada perlakuan C (1,25%) dan D (1,5%) 138 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Dari Tabel 4, perlakuan konsentrasi 2% (4,25%) menunjukkan hasil intensitas kerusakan tanaman terendah dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 1,75%; 1,5%; 1,25% dan 1%. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, maka semakin tinggi kandungan insektisida formula minyak biji mimba 50 EC tersebut (azadirachtin, meliantriol dan salanin) di dalam tanaman kubis meningkat. Senyawa azadirachtin ini berfungsi sebagai antifeedant (mencegah makan) dan sebagai repellent (penolak makanan), menghambat proses pergantian kulit serta dapat mematikan serangga (Samsudin, 2011). Peristiwa tersebut disebabkan oleh susunan senyawa kimia yang dapat mengacaukan sistem indera (efek antifeedant primer), atau memengaruhi syaraf pusat serangga yang memengaruhi proses makan (efek antifeedant sekunder), sehingga perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 2% dapat menyebabkan rendahnya populasi P. xylostella pada tanaman kubis. Rendahnya intensitas kerusakan pada perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 2% (F) disebabkan karena semakin tingginya residu yang menempel pada tanaman kubis Tingginya intensitas kerusakan pada perlakuan kontrol (A) disebabkan tanaman kubis pada perlakuan kontrol (A) tidak diberi perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC atau zat toksik lainnya, sehingga larva P. xylostella dapat berkembang dengan baik. Intensitas kerusakan tanaman kubis pada perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 2% lebih rendah daripada perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 1,75%, 1,5%, 1,25% maupun 1%. Hal ini menunjukkan bahwa formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 2% dapat menurunkan intensitas kerusakan larva P. xylostella. Semakin tinggi kadar azadirachtin dalam tanaman kubis semakin tidak disukai oleh larva P. xylostella. Biji mimba bersifat ramah lingkungan karena mudah diperoleh, tidak toksik terhadap manusia dan jasad bukan sasaran serta mudah terurai. Akan tetapi formula minyak biji mimba 50 EC ini tidak efektif terhadap hama ulat krop (Crocidolomia pavonana) dimana ulat ini memberikan kontribusi tinggi terhadap intensitas kerusakan tanaman kubis pada lahan penelitian. Sehingga intensitas kerusakan tanaman kubis pada lahan penelitian lebih disebabkan oleh hama ulat krop (C. Pavonana) dimana populasi hama ulat krop (C. pavonana) pada lahan penelitian lebih banyak dibandingkan populasi hama ulat P. xylostella. Pada Tabel 4 hasil uji efikasi insektisida terhadap intensitas kerusakan menunjukkan hasil yang berbeda dibandingkan hasil uji efikasi insektisida populasi P. xylostella (Tabel 2). Karena pengamatan pada intensitas kerusakan yang dilakukan kurang tepat. Kerusakan pada tanaman kubis yang diamati



Efektivitas formula minyak biji ....



bukan hanya kerusakan oleh P. xylostella yaitu kerusakan secara keseluruhan. Sehingga nilai tingkat efikasi insektisida (EI) ≤70% tidak ditemukan pada hasil uji efikasi insektisida (EI) intensitas kerusakan (Tabel 4). Pengamatan terhadap jumlah telur P. xylostella pada tanaman kubis menunjukkan ditemukannya telur pada masing-masing perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC saat di lapangan. Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur P. xylostella pada perlakuan konsentrasi formula minyak biji mimba 50 EC 1,75% (E) dan 2% (F) nyata terlihat lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 1% (B), 1,25% (C), 1,5% (D) dan kontrol/tanpa aplikasi (A). Rendahnya jumlah telur P. xylostella yang muncul pada perlakuan konsentrasi formula minyak biji mimba 50 EC 1,75% dan 2%, diduga karena rendahnya jumlah larva P. xylostella yang ditemukan pada petak perlakuan konsentrasi 1,75% (E) dan 2% (F) akibat peningkatan konsentrasi aplikasi formula minyak biji mimba 50 EC, karena kandungan insektisida tersebut (azadirachtin, salanin, dan meliantriol) di dalam tanaman meningkat. (Sastrodihardjo dkk, (1992) menyatakan bahwa azadirachtin dapat memengaruhi beberapa sistem fisiologis yang mengatur pertumbuhan serangga, dimana senyawa ini secara struktural menyerupai hormon ecdysone pada serangga yang berfungsi mengontrol proses metamorfosis pada serangga. Azadirachtin akan bekerja efektif jika masuk kedalam tubuh serangga (Wijiastuti, 2013) dalam jumlah sedikit hanya akan mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan (Samsudin, 2011). Herlinda dkk, (2004) Imago P. xylostella akan meletakkan telurnya secara tunggal dengan 20-25 butir telur yang berada di permukaan bawah daun (Gambar 1).



Gambar 1. Telur P. xylostella



139 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Efektivitas formula minyak biji ....



Tabel 5. Jumlah telur ulat kubis P. xylostella (butir/tanaman) yang ditemukan di lapangan Jumlah Butir Pada Aplikasi (n) Minggu Setelah Tanam (MST) Perlakuan 3 4 5 6 7 8 A (Kontrol) 24 16 14 B (FM 1%) 19 23 20 C (FM 1,25%) 17 21 24 D (FM 1,5%) 22 19 23 E (FM 1,75%) 24 25 F (FM 2%) 22 10 17 Hashmat I., Azad H., Ahmed A. 2012. Neem (Azadirachta indica A. Juss) - A Nature's Kesimpulan Aplikasi Formula Minyak Biji Mimba (Azadirachta Drugstore: An overview. Review paper : indica) 50 EC dengan konsentrasi 2% efektif menekan International Research Journal of Biological populasi P. xylostella pada tanaman kubis. Nilai Sciences Vol. 1(6), 76-79, October 2012. efikasi insektisida (EI) perlakuan konsentrasi 2% Herlinda, S., Rosdah Thalib, & R. M. Saleh. 2004. dimulai pada penyemprotan ke-3 di 4 MST setelah Perkembangan dan Preferensi Plutella aplikasi insektisida mencapai 70,37% sampai 100%. xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) pada Lima Jenis Tumbuhan Brassicaceae. Hayati 11(4):130-134. DAFTAR PUSTAKA Anonim. A, 2009. Teknologi Budi Daya Tanaman Herminanto, 2010. Hama Ulat Daun Kubis (Plutella Pangan. http://www.iptek.net.id/ind/ xylostella L.) dan upaya pengendaliannnya. teknologi_pangan/index.phd?id=203. Diakses www.gerbangpertanian.com/2010/08/hamapada tanggal 15-07-2017. ulat-daun-kubis-plutella.html. Vol. 2, No. 3, Ashari, S. 1995. Hortikultura aspek budidaya 203-206. Diakses pada tanggal 17 Febuari Universitas Indonesia. Jakarta. 485 halaman. 2016. Barus, I., Dono, D., Hidayat, Y., Puspasari, L.T., Indonesia Horticulture Statistics. 2014. Harvest area, Meliansyah, R., Maharani, R. (2015). Pengaruh production and yield of cabbages year 2014. Formula Insektisida Minyak Mimba Available online at: (Azadirachta indica JUSS) Terhadap Populasi http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table/s/h Beberapa Serangga Hama dan Arthropoda tml. Diakses pada tanggal 17 Febuari 2016. Musuh Alami Pada Tanaman Kedelai (Glycine 315 halaman . max (L) Merril) Dalam Prosiding Seminar Isroi. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan Nasional Agroteknologi Indonesia. Surakarta. Pestisida Nabati. Available from 21 Juli 2016. 513 halaman. http://www.isroi.wordpress.com/2008/06/02/pe Cahyono, B. 2001. Kubis Bunga dan Broccoli. ngendalian-hama-penyakit-dengan-pestisidaKanisius. Yogyakarta. 63 halaman . nabati Capinera JL. 2000. Diamondback Moth, Plutella Jenifer, A. and Alasdair J. 2000. Azadiracthin from xylostella (Linnaeus) (Insecta: Lepidoptera: the Neen Tree Azadiractha indiaca: its Action Plutellidae). Against Insects. University of Aberdeen. http://edis.ifas.ufl.edu/,pdffiles/IN/IN27600.pd Scotland. 29(4): 615-632. f. Diakses pada tanggal 05-03-2017. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Darwiati, W. 2009. Uji Efikasi Ekstrak Tanaman Aplikasi. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya, Suren (Toona sinensis Merr.) sebagai Jakarta. 80 halaman insektisida nabati dalam pengendalian hama Kardinan, A., dan Ruhnayat, A., 2003, Mimba daun (Eurema spp. dan Spodoptera litura F.). Budidaya dan Pemanfaatan, Penebar Swadaya, [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vol. Jakarta. Hal. 8-9, 12. 2, No.3, 203-206 Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan dan Gatot I. S. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. Insektisida T.A. 2012. Kementrian pertanian. Halaman 1-20. Jakarta. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Gomez, K. dan Gomez. Arturo. 2007. Prosedur Revisid and Translated by P.A. Van Der Laan. Statistik untuk Penelitian Pertanian edisi Ichtiar Baru. Jakarta. 627p. Kedua. Universitas Indonesia. Jakarta. Khana A. 1992. Neem compounds commercialized. Grace-Sierra Crop Protection Co. 1990. Margosan-O Biotechnology and Development Monitor, No. technical bulletin. Grace-Sierra Crop 13, December 1992. Vol. 6, No. 1, 42-52. Protection Co., Milpitas, CA. Halaman 41-54. Kraees H, Cullen EM. 2008. Insect growth regulator effects of azadirachtin and neem oil in 140 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



survivorship, development and fecundity of Aphis glycine (Homoptera: Aphididae) nd its predator, Harmoniaaxyridis (Coleoptera: Coccinellidae). Pest Management Science, 64: 660 – 668. Mordue (Luntz), A.J., M.S.J. Simmonds, S.V.Ley,W.M. Blaney, W. Mordue, M. Nasiruddin & A.J. Nisbet. 1998. Actions of azadirachtin, a plant allelochemical, against insects. Pestic. Sci. 54: 277-284. Mujiono, A; Suryanto dan W. Prihayana. 1994. Kemempanan insektisida nabati mikrobia dan kimia sintesis terhadap ulat Plutella xylostella. Halaman . 86-90 Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. D. Soetopo (editor). Bogor. Orwa C, A Mutua, Kindt R , Jamnadass R, S Anthony. 2009 Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version 4.0 (http://www.worldagroforestry.org/sites/treedb s/treedatabases.asp). Partopuro, F.P. 1989. Ekstraksi daun Nimba. Pusat Antar Universitas Ilmu hayati. Institut Teknologi Bandung. 9 halaman . Pracaya, 2000. Kol alias kubis. Penebar swadaya. Jakarta. Halaman 1-63. Ramadhan, R. A. M., Puspasari, L. T., Meliansyah, R., Maharani, R., Hidayat, Y., & Dono, D. (2016). Bioaktivitas Formulasi Minyak Biji Azadirachta indica (A. Juss) terhadap Spodoptera litura F. Jurnal Agrikultura, 27(1). Rukmana, R. 1994. Budidaya Kubis Bunga dan Broccoli. Kanisius. Yogyakarta. Vol. 3, No. 2, 112-116. Ruskin, F.R., 1993. Neem : A Tree For Solving Global Problems. National Academy Press, Washington, D.C. 141 pp. Samsudin. 2011. Biosintesa dan Cara Kerja Azadirachtin sebagai Bahan Aktif Insektisida Nabati. Seminar Nasional IV Pestisida Nabati. Jakarta. Tersedia http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/image s/publikasi/prosiding/pesnabiv/5.samsudin%20 Azadirachtin%2061-70p.pdf 9-2-17. 8 halaman . Sastrodihardjo, S., Adianto dan M. Yusuf. 1992. The Impact of several Insecticides on Ground and Water Communities. Proceedings South-east Asian Workshop on Pestiside Management 7: 117-125. Sastrosiwojo, S. 1987. Perpaduan Secara Hayati dan Kimia Hama Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L.; Lepidoptera : Yponomeutidae) pada Tanaman Kubis. Disertasi, UNPAD, bandung. 388 halaman . Sastrosiswojo, S. 1995. Sistem pengendalian hama terpadu dalam menunjang agribisnis sayuran dalam Prosiding Seminar Ilmiah Nasional



Efektivitas formula minyak biji ....



Komoditas Sayuran. Balitsa. 24 Oktober 1995. Halaman 69-81. Sastrosiswojo, S, TS, Uhan, dan R Sutarya. 2000. Penerapan Teknologi PHT Pada Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Monografi No. 21. Halaman 78. Sastrosiswojo, 2005. Tanaman Kubis. Balai penelitian tanaman sayuran pusat penelitian. Bandung. 11 halaman . Sembel, 2012. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado. Andi. Yogyakarta. 11 halaman . Subiyakto. 2009. Ekstrak biji mimba sebagai pestisida nabati: potensi, kendala, dan strategi pengembangannya. Perspektif 8(2): 108-116. Sudarmadji, D. 1994. Prospek dan kendala dalam pemanfaatan nimba sebagai insektisida nabati. Halaman . 222-229. Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. D. Soetopo (editor). Bogor Sumartono, S. 1994. Dasar-Dasar Pengendalian Hama Terpadu, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 27 halaman . Sunarto, D. A., Nurindah. 2009. Peran Insektisida Botani Ekstrak Biji Mimba untuk Konservasi Musuh Alami dalam Pengelolaan Serangga Hama Kapas. Jurnal Entomologi Indonesia, April 2009, Vol. 6, No. 1, 42-52. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Sonyaratri, D. 2006. Kajian Daya Insektisida Ekstrak Mimba (Azadirachta indica A.juss) dan Ekstrak Daun mindi (Meliaazedarach L.) Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang. IPB. Bogor. 68 halaman . Untung, K. 1996. Pengantar Pengendalian Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 273 halaman . Widayat, W. 1994. Pengaruh lamanya waktu perendaman serbuk daun dan biji nimba (Azadirachta indica) terhadap ulat jengkal. Halaman . 208-212. Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. D. Soetopo (editor). Bogor. Wijiastuti, Sri. 2013. Manfaat Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss). http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/ detail/8427. Diakses pada 12-08-2016.



141 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....



Kerentanan Aedes aegypti pradewasa terhadap temephos 0,02 ppm di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan Nita Rahayu1,Sri Sulasmi1, Dian Eka S1,Yuniarti Suryatinah1 1



Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I. *Alamat korespondensi : [email protected] ABSTRAK



Temephos sudah lama digunakan sebagai larvasida. Sejak tahun 1976 ditetapkan sebagai bagian dari program pengendaliaan larva Ae.aegypti di Indonesia. Penggunaan jangka panjang insektisida ini dapat menyebabkan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentananAe.Aegypti terhadap insektisida Temephos di 3 (tiga) daerah endemis demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni yang dilaksanakan dengan metode uji kerentanan standar WHO (Suceptibility Test). Desain penelitian adalah post test only control group design dengan pendekatan rancangan acak lengkap. Telur dan larva didapatkan dari lapangan dikolonisasi di Laboratorium Entomologi Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu sampai menjadi nyamuk. Generasi F2 dijadikan larva instar III dan IV awal untuk dilakukan uji kerentanan terhadap Temephos 0,02 pp atau 0,02 mg/lt. Hasil uji kerentanan menunjukkan angka kematian larva terhadap dosis 0.02mg/lt sebesar 97,5% untuk KabupatenHulu Sungai Utara dengan status toleran, sedangkan untuk Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tabalong dengan kematian sebesar 100% dengan status rentan. Kesimpulan penggunaan temephos masih relevan untuk digunakan sebagai larvasida dalam program pengendaliaan DBD di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan dan Tabalong. Dalam mengoptimalisasi pengendalian vektor terpadu perlu juga dilakukan metode pengendalian fisik dan mekanis melalui modifiksi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan yaitu dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk tetap meningkatkan 3M+. Kegiatan 3M+ masih merupakan program yang paling efektif dalam penanggulangan DBD. Kata kunci: Larva Ae. aegypti, temephos, kerentanan ABSTRACT Temephos has been long used as a larvicida. Since 1976 it has been established as part of the Ae.aegypti larvae control program in Indonesia. Long-term use of this insecticide may cause resistance. This study aims to determine the susceptibility Ae. Aegypti against Temephos insecticide in endemic areas of dengue hemorrhagic fever (DHF) in Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara and Tabalong of South Kalimantan Province. This type of research is a pure experiment conducted by the susceptibility test method according to WHO standard (Suceptibility Test). The study design was post test only control group design with complete randomized design approach. Eggs and larvae were obtained from the field at the colonization at the research and development centers . laboratory at Tanah Bumbu until it became a mosquito. Generation F2 was made in instar instar larvae III and IV for susceptibility test of Temephos 0.020 mg / lt. The test result shows mortality from larvae with dose of 0.02mg / lt of 97,5% for Hulu Sungai Utara with tolerant status, while for Hulu Sungai Selatan and Tabalong Regency with 100% mortality with Vulnerable status. The suggestion should be that temephos use is still relevant for use as a larvasida in DHF control program in district Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan and Tabalong, and for the program should always give counseling to society to keep increasing 3 M +. 3M + activities are still the most effective programs in the prevention of DHF. Keywords: Larvae Ae. Aegypti, Temephos, Susceptibility



PENDAHULUAN Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit tular vector yang menular melalui hewan perantara (vektor) penyakit (Kemkes, 2012). Dari tahun ke tahun kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) meningkat dan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data WHO antara tahun 1991 sampai dengan 1995, Indonesia menempati peringkat ke tiga (110043 kasus) dalam hal insidensi infeksi virus dengue. Penyakit ini menempati peringkat pertama penyakit menular yang membahayakan dengan jumlah kematian 2861 kasus.



Angka kematian tersebut menempati peringkat ke empat (2,6%) di antara negara-negara seperti Vietnam, Thailand, India, Myanmar, Amerika, Kampuchea, Malaysia, Singapore, Philippines, Srilanka, Laos dan negara-negara di Kepulauan Pasifik (Djunaedi, 2006). DBD disebabkan oleh virus dengue dengan nyamuk/vektor utama adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Suroso, 2004). Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aedes aegypti merupakan vektor efisien bagi arbovirus. Nyamuk dewasa menyukai tempat gelap yang 142 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



tersembunyi di dalam rumah sebagai tempat beristirahat. Ae aegypti mempunyai kebiasaan menggigit manusia untuk dihisap darahnya sepanjang hari terutama antara jam 08.00-13.00 dan antara jam 15.00-17.00. Sebagai nyamuk domestik di daerah urban, Ae aeypti merupakan vektor utama (95%) bagi penyebaran penyakit DBD (Djunaedi, 2006). Kasus DBD sampai dengan tahun 2013 telah terjadi di 411 kabupaten/kota dari 440 kab/kota (93,4%) yang melaporkan kejadian DBD di Indonesia. Penderita DBD pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 65.725 kasus dengan angka insidens 27,67‰ dengan jumlah meninggal sebanyak 597 orang, dan tersebar di 31 provinsi. Pada tahun 2012 meningkat menjadi 90.245 kasus, angka insidens 37,11‰ dengan jumlah meninggal sebanyak 816 orang tersebar di 33 provinsi dan pada tahun 2013 dilaporkan sebanyak 86.547 kasus, angka insidens 35,27‰ dengan jumlah meninggal sebanyak 647 orang tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia. Kasus DBD di Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan kecenderungan kenaikan dan penurunan yang fluktuatif, hal ini terlihat dari nilai Incidence Rate per 100.000 penduduk dan CFR dari tahun 20092014 untuk tiap-tiap kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2014, diketahui bahwa Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki angka insiden (IR) sebesar 30,27 ‰ dan CFR 4,4%, Kabupaten Hulu Sungai Utara memilik angka insiden (IR) sebesar 58,08‰ dan CFR 1,57% dan Kabupaten Tabalong memiliki angka insiden (IR) 80 ‰ dan CFR 1,62% (Dinkes, 2014). Upaya program pencegahan dan pengendalian yang sudah dilakukan selama 43 tahun, belum berhasil menurunkan angka kesakitan dan angka kematian. Pencegahan dan pengendalian DBD dilakukan dengan case management (case supportif) dan pengendalian vektor. Tujuan pengendalian vektor utama adalah untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Ae aegypti sampai serendah mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang. Ada 4 (empat) cara pengendalian vektor yaitu dengan kimiawi, biologis, radiasi, dan mekanik atau pengelolaaan lingkungan (Soegijanto, 2008). Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, penggunaan agen biotic, kimiawi, baik terhadap vector maupun tempat perkembangbiakannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal (Ditjen P2PL, 2012). Salah satu cara pengendalian vektor dengan kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida baik untuk nyamuk dewasa maupun larva (Soegijanto, 2008). Pengendalian vektor dengan insektisida adalah salah satu cara yang dianggap efektif untuk menurunkan kasus dan menekan penyebarannya, karena obat dan vaksin DBD sampai saat ini belum ada.



Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....



Cara kerja insektisida yang digunakan dalam pengendalian vector terbagi dalam 5 (lima) kelompok yaitu kelompok insektida yang mempengaruhi sistem saraf, kelompok insektida yang menghambat produksi energi, kelompok insektida yang mempengaruhi sistem endokrin, kelompok insektida yang menghambat produksi kutikula dan kelompok insektida yang menghambat keseimbangan air. Cara insektisida masuk ke dalam tubuh serangga dapat melalui kutikula atau racun kontak, alat pencernaan atau racun perut, dan melalui lubang pernafasan atau racun pernafasan. Suatu insektisida dapat mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam tubuh serangga (Kemkes, 2012). Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum ada 2 (dua) jenis insektisida yaitu yang bersifat residual dan non residual. Insektisida residual adalah insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu tempat dengan harapan serangga yang lewat atau hinggap pada permukaan tersebut akan terpapar dan akhirnya mati. Sedangkan insektisida non residual adalah insektisida yang langsung berkontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan (Kemkes, 2012). Insektisida yang dapat digunakan terhadap nyamuk antara dari golongan organochlorine, organophosphor, carbamate dan pyrethroid. Bahanbahan insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Sedangkan insektisida yang dapat digunakan terhadap larva yaitu dari golongan organophosphor (temephos) dalam bentuk sand granules yang dilaurutkan dalam air di tempat perindukannya (Soegijanto, 2008). Insektisida golongan organofosfat yaitu temefos bekerja dengan menghambat enzim kholinesterase (Kemkes, 2012). Penggunaan insektisida dilakukan untuk mengendalikan Ae. aegypty/Ae. albopictus sebagai vektor DBD. Pengendalian dapat dilakukan pada fase larva. Pengendalian pada fase larva menggunakan larvasida Themephos (Ditjen P2PL, 2012). Pada kondisi tersebut timbul pertanyaan, apakah telah terjadi resistensi pada vektor DBD terhadap insektisida temephos 1% yang selama ini dipakai oleh program dalam pengendalian vektor DBD di Indonesia khususnya Provinsi Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian untuk mengetahui status kerentanan vektor DBD terhadap larvasida (Temephos 0,02 ppm) di daerah endemis DBD di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini adalah penelitian eksperimen murni (true experiment). Dilaksanakan dengan metode uji kerentanan menurut standar WHO (suceptability Test). Desain penelitian adalah post test 143 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



only control group design dengan pendekatan rancangan acak lengkap (Notoatmodjo, 2002). Sampel dalam penelitian ini adalah larva Ae.aegypti instar III dan IV awal yang merupakan hasil rearing nyamuk di Laboratorium Entomologi P2B2 Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu yang berasaldari pengumplan telur dan larva dari 3 kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan. Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan dari Bulan April s/d Mei Tahun 2015. Pengumpulan spesimen uji dilakukan di KabupatenHulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan TabalongPropinsi Kalimantan Selatanberupa koleksi larva/pupa di daerah endemis DBD yang sering dilakukan upaya pengendalian vektror. Dari setiap kabupaten/kota akan dikumpulkan sampel dari tiga lokasi yang diduga vektornya sudah mengalami mekanisme resistensi terhadap insektisida yang digunakan. Untuk menduga terjadinya resistensi vektor DBD maka dicari daerah yang paling sering dilakukan upaya pengendalian vektor atau daerah paling endemis. Uji kerentanan vektor di lakukan di laboratorium entomologi Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Dilaksanakan dengan metode uji kerentanan menurut standar WHO (Suceptability Test). Hasil uji kerentanan dikelompokkan dengan kriteria; rentan, toleran dan resisten. Kerentanan yang akan di lihat adalah kerentanan Ae. aegypti sebagai vektor DBD di Indonesia pada fase larva. Larva yang digunakan untuk uji larvasida adalah instar III dan atau IV awal. Uji kerentanan dilakukan berdasarkan metodologi yang diusulkan oleh WHO (WHO, 1981). Jumlah larva yang diperlukan sebanyak 25 larva dengan ulangan sebanyak 4 kali dan 1 kontrol sehingga jumlah larva keseluruhan sebanyak 125. Konsentrasi temephos yang diuji adalah 0,02 ppm dalam pelarut aquades, sedangkan untuk kontrol digunakan aquades. Untuk mendapatkan temephos0,02 ppm dengan konsentrasi yang diinginkan maka terlebih dahulu dibuat larutan stok dengan konsentrasi 0,5 ppm. Sehinggauntuk membuat konsentrasi selanjutkan dilakukan pengenceran dengan memakai persamaan : C1V1 = C2 V2 Di mana : C1 = Konsentrasi larutan (ppm) sebelum pengenceran V1 = Volume larutan (ppm) sebelum pengenceran C2 = Konsentrasi larutan (ppm) sesudah pengenceran V2 = Volume larutan (ppm) sesudah pengenceran Sebanyak 25 larva dimasukkan ke dalam gelas/kontainer yang telah berisi temephos dengan konsentrasi 0,02 ppm. Kemudian larva dibiarkan kontak dengan larutan insektisida temephos selama satu jam.Setelah satu jam larva dipindahkan ke dalam saringan dan dibilas dalam kontainer pembilasan



Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....



berisi 250 ml aquadest. Untuk setiap satu perlakuan konsentrasi insektisida yang diuji digunakan satu saringan. Larva disimpan dalam kontainer penyimpanan yang berisi 250 ml aquadest selama 24 jam, dan diberi makan. Pada jam 0, 1 dan 24 dilakukan pengamatan. Dihitung dan dicatat jumlah larva yang pingsan, mati, dan jumlah larva yang masih hidup. Dalam pengujian ini apabila kematian larva pada kontrol > 10%, maka dianggap gagal dan harus diulang. Jika kurang dari 10% maka digunakan faktor koreksi rumus Abbots. Pengukuran temperatur dicatat selama percobaan. Sebagai panduan untuk menafsirkan hasil uji bioassay WHO adalah sebagai berikut :  Kematian lebih besar dari 98% menunjukkan spesies rentan,  Kematian di kisaran 80- 98% menunjukkan spesies toleran  Kematian kurang dari 80% menunjukkan spesies resisten HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji kerentanan larva yang telah dilakukan didapatkan persentase kematian pada konsentrasi diagnosa yang ditetapkan WHO terhadap temephos 0,02 ppm, di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tabalong menunjukkan masih rentan, sedangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara jentik Aedes aegypti menunjukkan toleran. Hasil uji resistensi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti pradewasa terhadap Temephos 0,02 ppm 3 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan, Tahun 2015 Kabupaten/Kota Persentase Status Kematian Ae. Aegypti Hulu Sungai 100 Rentan Selatan Hulu Sungai 97.5 Toleran Utara Tabalong 100 Rentan Sumber : Data Primer Kematian nyamuk pada tiap uji dan pada tiap kabupaten berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya imunitas nyamuk dari setiap daerah tidak sama. Hasil uji kerentanan larva di Kabupaten Hulu Sungai Utara tergolong status toleran terhadap larvasida Temephos. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nisa, Hargono, Ridha, 2012 bahwa persentase kematian larva Ae. Aegypti dari Kelurahan Sekumpul terhadap temephos dalam tahap toleran. Penelitian Ridha dan Nisa di Kota Banjarbaru juga menunjukkan bahwa status resistensi Ae. Aegypti terhadap temephos dalam status toleran. Hasil uji sampel dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tabalong didapatkan persentase kematian pada 144 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



(0.020mg/lt) sebesar 100 %, tergolong ke dalam status rentan. Hasil ini sejalan dengan penelitian di Kelurahan Tembalang Semarang yang mengatakan bahwa larva Ae. aegypti dari Jipang dan Kali Panjur, Semarang masih rentan terhadap larvasida Temephos dengan konsentarsi kematian 100% (Boewono dan Windarti, 2007). Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah endemis di Kota Sukabumi menunjukkan bahwa temephos masih layak digunakan sebagai larvasida, dengan status uji laboratorium menunjukkan rentan (H. Fuadzy, et all. 2015) Penelitian yang dilakukan oleh h. Fuadzy dan J. Hendri, 2015 mengatakan bahwa ada indikasi resistensi terhadap temephos pada sampel yang diambil di Tasikmalaya. Hasil penelitian Istiana, Heriyani, dan Isnaini, 2012 di Kota Banjarmasin menyatakan bahwa Ae. Aegypti sudah resisten terhadap temephos. Banyak faktor yang mempengaruhi laju perkembangaan ketahanan serangga terhadap insektisida. Berdasarkan kenyataan tersebut kemungkinan perubahan status kerentanan terjadi karena penggunaan insektisida dari golongan yang sama secara terus menerus terutama dari insektisida rumah tangga yang penggunaannya hampir setiap hari. Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya perubahan status kerentanan atau resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yang digunakan sebelumnya, frekuensi, jumlah maupun cara aplikasi, stadium sasaran, dosis, bentuk aplikasi dan lain-lain. Selain penggunaan insektisida baik dari program maupun rumah tangga untuk penanggulangan nyamuk dewasa, keberadaan jentik nyamuk di lingkungan masyarakat juga turut mempengaruhi peningkatan kasus DBD ataupun status di Kabupaten/Kota tersebut. Faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk di 3 Kabupaten/Kota secara keseluruhan tidak jauh berbeda yaitu faktor demografi wilayah, ketersediaan air dan karakteristik serta peran serta masyarakat setempat. Optimalisasi pengendalian vektor terpadu selain dengan larvasida juga harus dilakukan dengan pemberdayaan masyakat dalam pemberantasan sarang nyamuk. SIMPULAN Hasil uji terhadap jentik Aedes aegypti terhadap temephos 0,02 ppm, di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tabalong menunjukkan masih rentan, sedangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara jentik Aedes aegypti menunjukkan toleran.



Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....



UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan yang telah memberikan dana untuk melakukan penelitian, Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu yang telah memberikan kepercayaan untuk melakukan penelitian, staf peneliti dan litkayasa yang membantu pelaksanaan penelitian ini, Kepada Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang dijadikan sampel Penelitian yaitu: Dinas Kesehatan Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara serta puskesmas yang mewakili Kabupaten /Kota atas izin bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian ini berlangsung, semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indomesia Nomor : 374/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. Jakarta : Kemterian Kesehatan RI. Hal 7 dan 94. Djunaedi, D. 2006. Demam Berdarah Dengue DBD Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press. Hal 4-12. Fuadzy, H dan Hendri, J. 2015. Indeks entomologi dan kerentanan larva Ae. Aegypti terhadap temephos di Kel. Karsamenak Kec. Kawalu Kota Tasikmalaya. Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit. Vol 7, No 2, Oktober. Fuadzy, H. et all. 2015. Kerentanan larva Ae. Aegypti terhadap temephos di tiga kelurahan endemis demam berdarah dengue Kota Sukabumi. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 43, No 1. Istiana. Heriyani, F. Isnaini. 2012. Resistance status of Ae. Aegypti larvae to temephose in West Banjarmasin. Jurnal Buski. Vol.4 No.2. K. Nisa, K. Hargono, A, dan Ridha, M.R. 2012. Ae. Aegypti in Sekumpul Village, Martapura – Banjar is tolerant to temephose. Jurnal Buski. Vol.4 No.2 Des. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam Pengendalian Vektor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Hal 1-9. Notoatmodjo. S, Metodologi Penelitian Kesehatan, RinekaCipta, Jakarta, 2002. Ridha, M. R dan Nisa, K. 2011. Larva Ae. Aegypti sudah toleran terhadap temephos di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit. Vol 3, No 2. 145 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....



Soegijanto, S. 2008. Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press. Hal 264-266. Soroso,T. 2004. Situasi Epidemiologi dan Program Pemberantaran DBD di Indonesia. Makalah Seminar Kedokteran Tropis Kajian KLB Demam Berdarah Dengue dari Biologi Molekuler Sampai Pemberantasannya. Pusat Kedokteran Tropis. Fakultas Kedokteran UGM.hal 9. WHO. 1981. Instructions for determining the susceptibility or resistance of adult mosquitoes or resistance of adult mosquitoes to organochlorine orgnophosphate and carbamat insecticides. Diagnostic Test WHO/VBC/81.806.7p. Widiarti, Damar Tri Boewono, Triwibowo Ambar Garjito, Rima Tanjungsari, Puji BS Asih dan Din Syaifruddin. Identifikasi Point Mutasi pada Gen “ voltage gated Sodium channel” Aedes aegypti Resisten Terhadap Insektisida Pirethroid di Semarang Jawa Tengah, Makalah Simposium Nasional V, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balai Kartini, 7-9 Desember 2009 di Jakarta, hal12



146 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....



Resistensi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) terhadap Insektisida Organofosfat dan Karbamat Serta Potensi Insektisida Nabati Sebagai Solusi Pengelolaan Resistensi (Review Artikel) Neneng Sri Widayani1* dan Danar Dono2 1



Mahasiswa Magister Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. 2 Dosen Pengajar Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK Resistensi merupakan kondisi saat dosis rekomendasi insektisida tidak efektif untuk pengendalian hama (Baehaki dkk., 2016). Gejala hopperburn merupakan kerusakan akibat aktivitas makan wereng coklat yang mengganggu proses translokasi asimilasi tanaman (Watabe & Kitagawa, 2000). Kasus resistensi sudah terjadi pada wereng coklat. Resistensi terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu ketahanan metabolik, ketahanan penetrasi, resistensi perilaku, dan ketahanan pada bagian target (IRAC, 2007). Pada resistensi akibat OP (Organofosfat) dan CB (Karbamat), paparan insektisida secara terus menerus menyebabkan modifikasi bagian aktif asetilkolinesterase (target insektisida OP dan CB) (Fournier & Mutero, 1994). Pengelolaan resistensi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Insektisida nabati merupakan salah satu pengelolaan resistensi yang ramah lingkungan. Kata kunci : Karbamat, Insektisida nabati, Nilaparvata lugens, Organophosphat, Resistensi, Wereng Coklat ABSTRACT Resistance is a condition of insecticide recommendation doses not effective for pest control (Baehaki et al., 2016). The hopperburn symptom is a breakdown of brown planthopper activites that interfere with the process of translocation of plant assimilation (Watabe & Kitagawa, 2000). Cases of resistance have occurred on brown planthopper. Resistance occurs through several mechanisms: metabolic resistance, penetration resistance, behavioral resistance, and resistance to the target-site (IRAC, 2007). In resistance to OP (Organophosphate) and CB (Carbamate), continuous exposure to insecticides causes modification of the active part of Acetylcholinesterase (OP and CB insecticide target) (Fournier & Mutero, 1994). Resistance management can be done in various ways. Botanical insecticide is one of the environmentally friendly management of resistance. Keywords: Botanical insecticides, Brown Planthopper, Carbamate, Nilaparvata Lugens, Organophosphat, Resistance



PENDAHULUAN Resistensi merupakan suatu keadaan tidak efektifnya insektisida pada dosis rekomendasi (Baehaki dkk., 2016). Penurunan dan peningkatan resistensi ditentukan oleh gen resesif yang membentuk individu resisten. Jika alel resesif dalam frekuensi yang rendah maka individu resisten yang homozigot tidak akan terbentuk (Georghiu & Taylor, 1986). Resistensi disebabkan oleh pemakaian insektisida dengan jenis yang sama dan dilakukan secara terus menerus (Melhannah, 2002), serta intensitas pemakaian insektisida yang meningkat tidak sesuai rekomendasi (Putra dkk., 2002). Kasus resistensi sudah terjadi pada wereng coklat yang merupakan hama utama pada tanaman padi. Wereng coklat dapat menyebabkan insektisida yang telah digunakan sebelumnya menjadi tidak efektif dengan munculnya populasi baru yang dapat mematahkan ketahanan terhadap insektisida (Baehaki, 2012). Kerusakan yang ditimbulkan wereng coklat berupa gejala hopperburn yang diakibatkan oleh terganggunya translokasi asimilasi akibat aktivitas



makannya (Watabe & Kitagawa, 2000). Tanaman padi menjadi menguning dan mengering dengan cepat (Baehaki & Widiarto, 2011). Serangan wereng coklat juga mengakibatkan pelukaan pada jaringan tanaman sehingga tanaman akan mudah terinfeksi oleh jamur dan bakteri (Rahmini dkk., 2012). Selain itu, tanaman padi yang terinfestasi oleh wereng coklat mengalami penurunan luas daun, penurunan laju fotosintesis daun, dan penurunan kandungan nitrogen pada tunas yang terinfestasi (Rubia-Sanchez et al., 1999). Kemampuan wereng coklat dalam beradaptasi, bereproduksi, dan menyebar pada habitat yang baru adalah baik dan cepat (Baehaki dkk., 2016). Perubahan keganasan yang terjadi pada wereng coklat berupa perubahan biotipe terjadi karena ketidaseimbangan genetik (Baehaki & Widiarto, 2011). Perkembangan sistem detoksifikasi pada tubuh serangga juga dapat membentuk serangga resisten (Dono dkk., 2010). Ketika terjadi seleksi salah satunya menggunakan insektisida maka akan menghasilkan wereng coklat yang sama seperti populasi asal namun dapat juga menyimpang dan



147 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



membentuk populasi baru (Baehaki & Widiarto, 2011). Ketika wereng coklat terseleksi dan wereng coklat resisten semakin banyak, maka peningkatan populasi wereng resisten juga akan semakin banyak. Upaya penanganan resistensi dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian terpadu, penggunaan insektisida berspektrum luas, dan penggunaan insektisida secara tepat (IRAC, 2007). Insektisida nabati merupakan insektisida yang memiliki campuran beberapa metabolit sekunder dengan berbagai cara kerja (Miresmaili & Isman, 2013). Insektisida nabati merupakan alternatif pengendalian yang ramah lingkungan. Review ini kan membahas mengenai resistensi wereng coklat terhadap insektisida, mekanisme terjadinya resistensi, dan penanganan resistensi serta potensi insektisida nabati untuk penanganan resitensi. RESISTENSI WERENG COKLAT Resistensi terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu ketahanan metabolik, ketahanan penetrasi, resistensi perilaku, dan ketahanan pada bagian target (IRAC, 2007). Resistensi penetrasi terjadi ketika kutikula luar serangga mengembangkan hambatan yang dapat memperlambat penyerapan bahan kimia kedalam tubuh serangga atau secara genetik dimodifikasi untuk mencegah insektisida mengikat atau berinteraksi di bagian kerjanya (IRAC, 2016). Serangga mengurangi penetrasi dan mempercepat proses eksresi insektisida saat terpapar (Nan-nan et al., 2006). Hal tersebut sama seperti ketahanan pada bagian target, serangga dapat memodifikasi secara genetis untuk mencegah insektisida mengikat atau berinteraksi di lokasi target sasarannya dan dapat mengurangi atau menghilangkan efek insektisida (IRAC, 2007). Pada resistensi perilaku, serangga melakukan suatu perilaku evolusi serangga yang mengurangi paparan senyawa toksik atau keadaan yang memungkinkan serangga untuk bertahan pada kondisi beracun dan lingkungan yang beracun (Sparks et al., 1989). Georghiou (1972) menjelaskan peningkatan kemampuan untuk mendeteksi zat beracun akan mengisyaratkan sesuatu yang mengiritasi atau menolak zat toksik setelah terdeteksi yang menyebabkan respon penghindaran. Contohnya pada kasus DDT, serangga memberikan efek iritan dan serangga mampu bertahan hidup dengan menghentikan kontak sebelum mencapai letal dosis. Mekanisme perilaku juga dapat dengan meningkatnya pemilihan habitat lain selain yang biasanya terpapar insektisida (Sparks et al., 1989). Resistensi metabolik terjadi ketika serangga menggunakan tingkat metabolisme yang disempurnakan oleh enzim yang tahan sehingga serangga dapat mendetoksifikasi insektisida tertentu lebih cepat dari serangga yang rentan (IRAC, 2007). Penggunaan insektisida secara instensif untuk



Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....



mengendalikan hama telah menyebabkan enzim resisten, kurang terhambat seperti enzim pada tipe liar. Hal ini terjadi karena adanya mutasi untuk resistensi sehingga menghasilkan protein hasil mutasi yang memiliki sifat katalitik baru terhadap substrat dan inhibitor (Fournier & Mutero, 1994). Serangga resisten terhadap insektisida memiliki banyak mekanisme peningkatan detoksifikasi insektisida (Yu et al., 2003). Modifikasi asetilkolinesterase akan menyebabkan resistensi pada insektisida (Fournier & Mutero, 1994). Aktivitas enzim asetilkolinesterase pada strain resisten akan lebih tinggi dibandingkan strain peka (Taskin et al., 2007). Peningkatan aktivitas enzim Glutathione STransferase (GST) terjadi setelah paparan insektisida karbamat (Maran et al., 2009) dan sistem glutation akan melindungi kerusakan sel pada paparan insektisida karbamat (Maran et al., 2010). Adapun mekanisme resistensi wereng coklat terhadap insektisida dapat berupa penurunan sensitivitas enzim asetilkolinesterase, peningkatan enzim aliesterase, glutation s-transferase, dan oksidase mikosom (Heong et al., 2011). Ketersediaan pakan tidak sebanding dengan populasi juga akan menyebabkan preferensi pakan, dimana serangga monofag akan lebih cepat resisten dibandingkan serangga polifag karena tidak ada perpindahan atau migrasi yang menyebabkan sedikitnya serangga yang tidak terpapar insektisida (Georghiu & Taylor, 1986). Pada wereng coklat yang bersifat monopag dan hanya menyerang tanaman padi, kemungkinan resisten lebih tinggi ditambah dengan kemampuannya dapat beradaptasi yang tinggi seperti yang dipaparkan oleh Baehaki (2012). Hasil pengujian terhadap resistensi wereng coklat disajikan pada Tabel 1. Kasus resistensi yang terjadi pada wereng coklat sejalan dengan dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 dan Permentan Nomor 39 Tahun 2015. Dalam INPRES tersebut berisikan 57 jenis insektisida yang dilarang penggunaannya untuk tanaman padi dan pada Permentan disebutkan bahan aktif pestisida yang dilarang digunakan pada tanaman padi. Pada Permentan dan INPRES tersebut bahan aktif yang dilarang kebanyakan merupakan bahan aktif dari golongan organofosfat yaitu fenitrotion, diazinon, klorpirifos, triklorfon, azinfosmetil, ometoat, malation, monokrotofos, triazofos, metamidofos, piridafention, metil klorpirifos, asefat, fentoat, fenofos, fention, mefosfolan, fosfamidon, kuinalfos, etrimfos, isasofos, sianofenfos, karbofenontion dan profenofos. Pada golongan karbamat bahan aktif yang dilarang diantaranya karbaril. metomil, kartap hidroklorida. Selain itu golongan piretroid turunan piretrin juga dilarang. Hingga saat ini berdasarkan Buku Pestisida Pertanian dan Kehutanan Tahun 2016 banyak jenis insektisida yang terdaptar untuk pengendalian wereng 148 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



coklat. Insektisida yang terdaftar yaitu dengan bahan aktif fenobucarb/BPMC (karbamat), karbofuran (karbamat), karbosulfan (karbamat), propoxur (karbamat), imidakloprid (necotinoid), tiametoksam (necotinoid), nitenpiram (nicotinoid), fipronil (phenylpyrazzol), bisultap/dimehipo/thiosultapsodium (nereistoxin analogue), abamectin (avermectin), bufrofezin (bufrofezin), etiprol (phenylpyrazol), siromazin (cyromazin), flubendamida (diamides), pimetrozin (pyrridine), dan etofenpoks (piretroid). MEKANISME RESISTENSI INSEKTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT (OP) DAN KARBAMAT (CB) Berdasarkan IRAC (Insecticide Resistance Action Committee), OP dan CB termasuk pada Golongan 1 dengan mekanisme kerja penghambat acetylcholinesterase (AChE). OP merupakan ester dari asam fosfat dan turunananya. Struktur umum dari OP terdiri dari atom fosfor sentral (P) dan ikatan fosforik (P=) atau triofosfat (P=S) (Gambar 1) (Kazemi et al., 2012). OP merupakan insektisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman padi di Asia (Hemingway et al., 1999). OP termasuk pada insektisida generasi tua yang sudah dipakai dalam jangka lama (Baehaki dkk., 2016). Insektisida OP diperkenalkan pada Tahun 1950an (Casida & Durkin, 2013). CB merupakan pestisida organik dari asam CB dengan rumus umum R1 dan R2 adalah hydrogen, methyl, ethyl, propyl, atau alkil rantai pendek lainnya, adapun R3 adalah phenol, napthelene, atau cincin hidrokarbon siklik lainnya (Gambar 1) (Matsumura, 1975). Nitrogen basa pada CB merupakan bagian yang berinteraksi dengan asetilkolinesterase bagian ionik yang berfungsi untuk mencegah ionisasi karena ionisasi menghambat kemampuan penetrasi insektisida (Tarumingkeng, 1972).



Gambar 1. komposisis senyawa kimia umum pada pestisida OP dan struktur kimia umum CB (Kazemi et al., 2012; Matsumura, 1975) OP dan CB memiliki target yang sama yaitu asetilkolinesterase. Namun, ada perbedaan reaktivitas kimia antara keduanya. Reaktivitas kimia OP penting untuk aktivitas tinggi asetilkolinesterase, sedangkan kecocokan yang tepat pada CB terhadap tempat aktif enzim menjadi penting untuk aktivitas tinggi asetilkolinesterase (Futuko, 1990). Kepekaan enzim



Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....



asetilkolinesterase dan karboksilesterasi sama terhadap CB, sedangkan karboksilesterase lebih sensitif terhadap OP dibandingkan asetilkolinesterase (Barata et al., 2004). Mekanisme penghambatan asetilkolin oleh CB dijelaskan oleh Yu et al., (1972), bahwa proses hidrolisis asetilkolin merupakan mekanisme penghambatan asetilkolinesterase oleh CB. Tahap pertama terjadi inhibisi yaitu peniruan dari CB mirip dengan enzim (reaksi reversible) dan seluruh enzim terhidrolisis. Kemudian terjadi proses karbamilasi dan menghasilkan enzim terkabamilasi yaitu EH-CX dan E-C. Selanjutnya terjadi proses dekarbamilasi untuk membentuk enzim semula. Proses tersebut seperti skema yang diuraikan sebagai berikut:



Ket: EH adalah enzim bebas; CX, karbamat; EH --CX, enzyme-inhibitor complex, E-C enzim karbamilat. Asetilkolinesterase ditemukan pada membrane sinaptik. Asetilkolin neurotransmitter memproduksi kolin dan asetat untuk pengaturan aktivitas sinaptik pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf perifer Eleršek & Filipi (2011). Penghambatan asetilkolinesterase oleh insektisida yang dijelaskan oleh Futuko (1990) mengakibatkan asetilkolin terakumulasi dan pada konsentrasi yang terlalu tinggi untuk dijalankan sebagai sinyal. Reseptor kolin kemudian jenuh dengan akumulasi asetilkolin sehingga sistem syaraf tidak berfungsi dan terjadi rangsangan terus menerus. Rangsangan seperti ini akan menyebabkan gangguan pada tubuh seperti kejang, tremor, dan lain sebagainya jika tidak dihentikan. Secara biokimia, CB menghambat kolinesterase dan karboksilesterase dengan penghambatan pada bagian aktif melalui proses karbamilasi (Barata et al., 2004). Toksisitas CB dapat berbeda/bervariasi terhadap serangga yang sama atau CB yang sama untuk beberapa spesies. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat pentrasi melalui kutikula, laju metabolisme pada tubuh serangga, laju konjugasi metabolit primer dan tingkat eksresi CB pada tubuh serangga (Kuhr, 1970). Insektisida OP didetoksifikasi oleh enzim karboksilesterase, transferase, dan oksidase dengan mekanisme kerja hidrolisis atau pengurangan jumlah molekul OP pada tubuh serangga (Pereira et al., 2014). Fournier & Mutero (1994) menyebutkan bahwa penggunaan insektisida terus menerus mengakibatkan enzim resisten yang disebabkan oleh mutasi sehingga protein hasil mutasi akan memiliki



149 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....



Tabel 1. Resistensi wereng coklat di Indonesia terhadap insektisida Jenis insektisida Fenoat, fenitro, fention, diasinon, dan klorfirifos (Organofosfat)



Hasil uji resistensi Hasil penelitian Sutrisno (1989) yang dikutib Sutrisno (2014) menunjukkan resistesi dari golongan organofosfat terhadap N. lugens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida fenoat menyebabkan resistensi 17 kali, fenitro 14 kali, fention, diasinon dan klorfirifos sebesar 5 kali



Sumber (Sutrisno, 2014)



fipronil (Phenylpyrazoles)



Pada sleksi ke tiga dan kempat terjadi peningkatan dan menunjukkan terjadinya resistensi yaitu 13,7 kali pada seleksi ke tiga dan 27,3 kali pada seleksi ke empat. Dan menunjukkan semakin banyak dilakukan seleksi semakin meningkatkan tingkat reistensi wereng coklat. Adapun konsentrasi yang digunakan saat awal adalah 50 ppm dan ditingkatkan setiap generasi hingga pada generasi pengujian terakhir mencapai 250 ppm. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa jika insektisida yang digunakan adalah sama secara terus menerus, hal tersebut akan mengakibatkan resistensi yang juga terus meningkat.



(Melhannah, 2002)



Imidakroprid (Necotinoid)



Tingkat resistensi 4,8-108,1 kali terhadap wereng rentan asal Bppadi dari lkasi Serang, Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, dan Pasuruan dengan dosis yang menyebabkan LC50 adalah 150,392-455,595 ppm ba. sedangkan dosis anjuran 20-25 ppm ba.



Surahmat dkk (2016)



BPMC (Karbamat)



Tingkat resistensi 6,6 di Indramayu dan lokasi karawang, subang, Purbalingga, dan pasuruan memiliki nilai NR 2.53.00 dengan dosis yang menyebabkan LC50 adaah 104,793-382,304 ppm ba. sedangkan dosis anjuran 250300 ppm ba.



Surahmat dkk (2016)



Pimetrozin (Pyridine azomethine derivatives)



hasil masih rentan dengan NR4 masih peka terhadap insektisida nabati esktrak metanol biji Baringtonia asiatica dengan nisbah resistensi 1 terhdap profenofos memiliki kerentanan terhadap insektisida nabati ektstrak tembakau dengan nisbah resitensi 50 kali lebih tahan) pada sebagian besar populasi S. litura dari provinsi Hunan. Peristiwa resistensi S. litura terhadap insektisida dari golongan organofosfat telah banyak dilaporkan di berbagai negara di Asia. Serangga hama dapat menjadi resisten akibat terjadinya proses seleksi lingkungan yang salah satu faktornya dipengaruhi oleh penggunaan senyawasenyawa toksik seperti insektisida kimia sintetik. Enzim-enzim seperti esterase, Glutation STransferase, Cytochrome P-450 dan Asetilkolinesterase memegang peranan dalam pengembangan tingkat resistensi terhadap insektisida golongan piretroid (Martin et al., 2003) dan golongan organofosfat (Tsagkkarakou et al., 2001).



Pendugaan peristiwa resistensi Spodoptera ....



Gambar 3. Bahan aktif insektisida yang digunakan oleh responden Desa Mekarjaya. Dosis dan konsentrasi yang digunakan Petani responden diwawancarai dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai dosis dan konsentrasi. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan kategori penggunaan dosis dan konsentrasi insektisida oleh petani responden dapat digolongkan ke dalam tiga golongan diantaranya (1) menggunakan dosis dan konsentrasi sesuai dengan petunjuk penggunaan pada label, (2) memperbasar jumlah dosis dan konsentrasi insektisida atau meningkatkan interval pengaplikasian insektisida, dan (3) tidak mengetahui besaran dosis dan konsentrasi yang digunakan (Gambar 4). Berdasarkan hasil wawancara mengenai dosis dan konsentrasi insektisida sebagian besar petani responden tidak mengetahui persis berapa besaran dosis dan konsentrasi yang digunakan untuk mengendalikan hama. Pada beberapa kasus petani responden sengaja meningkatkan dosis dan konsentrasi karena hama telah mengindikasikan terjadinya peristiwa resistensi. Beberapa petani responden menyampaikan keluhan yang mengarah kepada penurunan tingkat keefektifan insektisida. Penurunan efektifitas insektisida terhadap S. litura mengindikasikan terjadinya peristiwa resistensi di daerah tersebut. Pengetahuan petani mengenai peristiwa resistensi hama Pengetahuan petani responden yang diwawancarai mengenai peristiwa resistensi hama di Desa Mekarjaya dinilai masih sangat terbatas. Hal tersebut dibuktikan dari hasil pengisian kuisioner mengenai peristiwa resistensi. Satu dari 20 orang petani responden yang dapat menjelaskan mengenai peristiwa resistensi hama, sedangkan 19 orang lainnya menyatakan baru mendengar istilah resistensi.



167 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pendugaan peristiwa resistensi Spodoptera ....



Penelitian ini dapat dikembangkan dengan cara melakukakan pengujian biokimia yang bertujuan untuk mengetahui tingkatan dan status resistensi S. litura di desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut.



Gambar 4. Kategori penggunaan dosis dan konsentrasi insektisida yang diaplikasikan oleh petani responden Desa Mekarjaya.



KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya: 1) Komoditas yang banyak diusahakan oleh petani responden di desa Mekarjaya ialah komoditas kubis dan cabai. Komoditas tersebut merupakan salah satu inang dari hama S. litura. 2) Keberadaan hama utama yang dilaporkan oleh petani responden ialah S. litura. 3) Cara pengendalian yang diterapkan oleh petani responden seluruhnya menggunakan insektisida sintetik dengan interval penyemprotan satu hingga tiga kali dalam satu minggu. 4) Bahan aktif yang sering digunakan oleh petani responden ialah profenofos 500 g/l (organofosfat), klorpirifos 200 g/l (organofosfat), dan λ-sihalotrin 25 g/l (piretroid). 5) Sebagian besar petani responden tidak mengetahui besaran dan dosis insektisida yang digunakan, sebagian lainnya meningkatkan dosis dan konsentrasi anjuran dengan alasan penurunan efektifitas insektisida terhadap hama sasaran. Penurunan efektifitas insektisida terhadap S. litura mengindikasikan terjadinya peristiwa resistensi di daerah tersebut. 6) Pengetahuan petani responden mengenai peristiwa resistensi dinilai masih sangat rendah. Saran Penggunaan bahan aktif dari golongan insektisida yang berbeda dan penggunaan insektisida nabati dapat memperlambat terjadinya peristiwa resistensi S, litura.



UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada bapak Dr. Danar Dono, Ir., M.Si., bapak Yusup Hidayat, S.P., M.Phill., Ph.D, dan bapak Dr. Safri Ismayana, M.Sc. yang telah membimbing dan memberikan arahan terkait penelitian ini. Terima kasih disampaikan kepada keluarga besar bapak Yedi Ridwan, S.Pd. yang telah banyak membantu kegiatan survey dan wawancara di desa Mekarjaya. DAFTAR PUSTAKA Abbas N., Samiullah, Shad, Sarfraz A. S., Muhammad W., & Muhammad A. 2014. Resistance of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to Profenofoes: Relative fitness and Cross Resistance. Journal Elsevier Crop Protection vol. 58 page 49-54. Ahmad M., Sayyed, A. H., & Saleem, M. 2008. Evidence for fieldevolved Resistance to Newer Insecticides in Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) from Pakistan. Crop Protect. Vol. 27 (10) page 1367-1372. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2016. Produksi Hortikultura Tanaman Sayuran dan Buah Semusim Jawa Barat 2015. Statistik Pertanian, Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 46 Halaman. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) dalam Pengendalian Vektor. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 126 Halaman. Laoh, J. H., Fitri P., & Hendra. 2003. Kerentanan Larva Spodoptera litura F. terhadap Virus Nuklear Polyhedrosis. Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekan Baru, Riau. Jurnal Natura Indonesia Vol. 5 (2) Halaman 145151. Martin, T., Ochou G. O., Maurice V., & Didier F. 2003. Oxidases Responsible for Resistance to Pyrethroids Seinsitize Helicoperva armigera (Hubner) to Triazophos in West Africa. Journal Insect Biochemistry and Molecular Biology 33 page 883-337 Marwoto & Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. Jurnal Litbang Pertanian, Vol.27 (4) Halaman 131-136. Razak, T.A., T. Santhakumar, K. Mageswari, & S. Santhi. 2014. Studies on efficacy of certain neem products against Spodoptera litura (Fab.). 168 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pendugaan peristiwa resistensi Spodoptera ....



Management of Spodoptera litura, JBiopest. page 160-163. Saleem, M., Dilbar H., Ghulam G., Muneer A., & Susan W. F. 2015. Monitoring of Insecticide Resistence in Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) from Four Districts of Punjab, Pakistan to Conventional and New Chemistry Insecticide. Journal Elsevier Crop Protection Vol. 79 page 177-184. Suharsono & M. Muchlish A. 2010. Identifikasi Sumber Ketahanan Aksesi Plasma Nutfah Kedelai untuk Ulat Grayak Spodoptera litura F. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. Buletin Plasma Nutfah Vol.16 (1) Halaman 29-37. Tong, H., Qi S., Xiaomao Z., & Lianyang B. 2013. Field Resistance of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to Organophospates, Pyrethroids, Carbamates, and Four Newer Chemistry Insecticides in Hunan, China. Journal of Pesticide Science Vol. 86 page 599-609. Tsagkarakou, A., N. Pasteur, A. Cuany, C. Chevillon, & M. Navajas. Mechanism of Resistance to Organophospates in Tetranychus urticae (Acari: Tetranychidae) from Greece. Journal Insect Biochemistry and Molecular Biology 32 page 417424.



169 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Mode prediksi kelas bahaya ....



Model Prediksi Kelas Bahaya Serangan Rayap Tanah Di Provinsi Dki Jakarta Berbasis Spesies, Tanah, Dan Iklim Arinana, Aunu Rauf, Dodi Nandika, Idham Sakti Harahap, I Made Sumertajaya Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680 Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini mengidentifikasi spesies rayap bawah tanah, pengukuran struktur komunitasnya, dan memformulasikan model untuk memperkirakan kelas bahaya rayap di provinsi DKI Jakarta. Dua kecamatan di setiap kabupaten dipilih secara acak untuk pengukuran, pengambilan sampel tanah, dan pengukuran iklim. Frekuensi serangan rayap di setiap kecamatan ditentukan, dan ASTM D1758-06 diterapkan untuk mengevaluasi kondisi. Rayap diidentifikasi, dan formula dari Margalef, Shannon-Weiner dan Pielou diadopsi untuk mengukur struktur komunitasnya. Frekuensi serangan dan kombinasi intensitas kerusakan digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat bahaya rayap. Kelas bahaya rayap (variable dependen) adalah ordinal, sementara karakteristik tanah (ph, C- organic, rasio pasir/liat) dan sifat-sifat iklim (suhu, kelembaban), bersifat kontinu, dan penemuan spesies rayap dikategorikan. Sebelum melakukan regresi logistic ordinal, korelasi antar variable dihitung. Korelasi Spearman menunjukkan korelasi tinggi antara pH dengan rasio pasir/tanah liat dan kelembaban, dan suhu dengan kelembaban, sehingga variable yang layak unutk digunakan dalam model adalah pH, C-organik, suhu dan spesies rayap. Model ini dapat diandalkan untuk menetukan kelas bahaya rayap dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (lebih dari 95%) dan secara akurat mengklasifikasikan 62 sampel (78,8%) ke dalam tiga kelas. Kata kunci: frekuensi, intensitas, regresi logistik ordinal, rayap bawah tanah, keanekaragaman rayap ABSTRACT This research identifies the subterranean termite species, measures its community structure, and formulates a model for estimating the termite hazard class in the province of DKI Jakarta. Two sub-districts in each district are randomly chosen for stakes burying, soil sampling, and climate measuring. The termite attack frequency in each sub-district is determined, and ASTM D1758-06 is applied for evaluating the stakes condition. The termite is identified, and the formula of Margalef, Shannon-Weiner, and Pielou are addopted to measure its community structure. The attack frequency and the stakes deterioration intensity combination are used to classify the termite hazard level. The termite hazard class (dependent variable) is ordinal, while soil characteristics (pH, organic-C, sand/clay ratio) and climate properties (temperature, humidity) are continuous, and the termite species finding is categorical. Before conducting the ordinal logistic regression, the correlation between variables is calculated. The Spearman correlation exhibits high correlations between pH with sand/clay ratio and humidity, and temperature with humidity, thus the feasible variable to be used in the model are pH, organic-C, temperature, and termite species. The models are reliable for determining the termite hazard class with high confidence level (more than 95%) and accurately classify the 62 samples (73.8%) into three classes. Keywords: frequency, intensity, ordinal logistic regression, subterranean termite, termite diversity



PENDAHULUAN Serangan rayap menimbulkan kerugian sebesar 8.7 trilyun rupiah di Indonesia pada tahun 2015 (Nandika et al., 2015). Pesatnya pembangunan fisik di wilayah DKI Jakarta mengakibatkan perubahan ekosistem yang memicu peningkatan serangan rayap di berbagai bangunan dan gedung di DKI Jakarta. Rayap memiliki daya adaptasi yang sangat baik di lingkungan perkotaan sehingga menjadi hama bangunan yang sangat mendesak untuk dikendalikan. Rayap merupakan hama yang sangat penting sebagai perusak kayu di lingkungan perkotaan (urban environment) (Robinson, 1996). Untuk mengendalikan serangan rayap pada bangunan gedung milik Pemerintah Provinsi, Gubernur DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur No. 35 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanggulangan Bahaya Rayap



pada Bangunan Gedung Milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk mendukung implementasi Peraturan Gubernur tersebut penelitian komprehensif mengenai tingkat bahaya serangan rayap (termite hazard class) di Provinsi DKI Jakarta perlu dilakukan. Penelitian ini mengumpulkan informasi keanekaragaman rayap perusak bangunan, frekuensi dan intensitas serangan, serta klasifikasi tingkat bahaya serangan rayap di setiap kelurahan yang berada dalam wilayah administratif di Provinsi DKI Jakarta. Tingkat bahaya serangan rayap menggambarkan risiko terjadinya serangan rayap tanah secara geo-spasial, sehingga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pengembang (developer), perencana (arsitek), dan masyarakat dapat melakukan langkah-langkah antisipatif menghadapi serangan rayap yang mungkin terjadi pada bangunan yang dikelolanya. Penyusunan kelas bahaya serangan rayap berguna untuk menilai risiko 170 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



serangan rayap pada bangunan di daerah tertentu sehingga pengelola dapat merekomendasikan konsep rancang bangun yang tahan serangan rayap. Konsep tersebut meliputi aplikasi pencegahan serangan rayap secara pra dan paska konstruksi, tindakan perawatan dan pemeliharaan bangunan di setiap kelas bahaya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk penyusunan standar operasional pengendalian serangan rayap pada bangunan di berbagai wilayah di Indonesia berdasarkan kelas bahaya serangan rayapnya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi keanekaragaman spesies rayap tanah di Provinsi DKI Jakarta dan mempelajari struktur komunitasnya 2. Mengklasifikasikan kelas bahaya serangan rayap di Provinsi DKI Jakarta dan membangun model penduga berdasar karakteristik tanah (pH, C organik, dan rasio pasir/liat), iklim (suhu dan kelembaban), dan spesies rayap tanah yang menyerangnya. METODOLOGI Analisis Kondisi Lingkungan Penelitian dilakukan di 42 kecamatan di Provinsi DKI Jakarta pada Maret 2016 – Januari 2017. Dua kelurahan contoh diambil secara acak dari setiap kecamatan. Di setiap kelurahan dipilih satu Rukun Tetangga sebagai lokasi penanaman kayu umpan dan pengambilan contoh uji tanah. Pengambilan sampel contoh uji tanah dilakukan di setiap kelurahan pada kedalaman 0-20 cm (White, 2006). Karakteristik tanah yang dianalisis berupa pH tanah, kandungan C-organik, dan tekstur tanah (persentase pasir, debu, liat). Analisis karakteristik tanah dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Data suhu dan kelembaban diperoleh dengan cara meletakkan Digital Temperature-Humidity Data Logger di salah satu rumah warga di setiap kota administratif di DKI Jakarta. Data suhu udara dan kelembaban (RH) direkam setiap jam selama 3 bulan dalam memori alat tersebut.



Identifikasi Spesies dan Struktur Komunitas Rayap Rayap tanah dikoleksi dengan cara mengumpankan kayu yang disukai oleh rayap tanah yaitu Tusam (Pinus merkusii Jungh. & de vriese) (Arinana et al. 2012) yang telah dikeringudarakan (kadar air sekitar 20%). Ukuran kayu umpan adalah 2 cm  2 cm  46 cm sesuai ASTM D1758-6 (2006). Salah satu ujung kayu dicat agar mudah dikenali. Kayu umpan ditanam vertikal ke dalam tanah selama tiga bulan, 1/2 bagian di bawah permukaan tanah dan



Mode prediksi kelas bahaya ....



1/2 bagian di atasnya. Penempatan umpan dipilih di halaman rumah tinggal dan fasilitas umum (taman dan tempat bermain) yang tidak dilapisi beton atau material lain yang menghalangi penanaman kayu. Di setiap kelurahan ditanam sebanyak 15 – 25 batang. Setelah tiga bulan, kayu umpan dicabut dan diperiksa tingkat serangan rayapnya. Kayu umpan dinilai sesuai klasifikasi penilaian kerusakan kayu (ASTM D175806). Spesimen rayap direndam alkohol 70% di dalam botol koleksi. Rayap yang menyerang satu kayu umpan diletakkan dalam satu botol koleksi agar spesies yang menyerang setiap kayu umpan dapat diidentifikasi. Identifikasi spesies rayap dilakukan di Divisi Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Taksonomi dan Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Spesimen difoto menggunakan mikroskop digital. Bentuk dan panjang seluruh tubuh rayap, panjang kepala dengan mandibel, dan bentuk mandibel secara utuh diukur. Identifikasi spesies dilakukan berdasarkan morfologi kasta prajurit mengacu pada kunci identifikasi rayap Tho (1992) dan Akhmad (1958). Struktur komunitas rayap tanah di DKI Jakarta didekati dengan parameter indeks kekayaan (Index of spesies Richness), indeks keanekaragaman (Index of Heterogenity), dan indeks kemerataan (Index of Evennes). Rumus Margalef diadaptasi untuk menghitung kekayaan spesies rayap tanah (Ri) di setiap kota. Keanekaragaman spesies (H’) dihitung dengan mengadaptasi rumus Shannon-Weiner, dan kemerataan spesies (E1) dihitung dengan rumus Pielou. S 1 Ri  ln N  s ni H '   pi ln  pi  , dimana pi  N i 1



H' ln S  Keterangan: S = jumlah spesies N = jumlah seluruh kayu umpan terserang ni = jumlah kayu umpan yang terserang spesies ke-i E1 



Frekuensi Serangan dan Intensitas Kerusakan Frekuensi serangan adalah nisbah antara jumlah kayu umpan yang terserang rayap tanah dengan jumlah kayu umpan yang ditanam. Frekuensi dinyatakan dalam persentase. Data frekuensi serangan dirata-ratakan per kelurahan contoh dan diklasifikasikan menjadi 6 kelas (Cookson dan Trajstman 2002) (Tabel 1). Kerusakan kayu umpan dievaluasi sesuai ASTM-D 1758-06, dan diklasifikasikan (Tabel 2). Intensitas kerusakan kayu akibat serangan rayap tanah yang tinggi dinyatakan 171 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Mode prediksi kelas bahaya ....



dengan kondisi kayu umpan yang rusak parah (nilai 0), sebaliknya kondisi kayu yang baik (nilai 10)



menunjukkan intensitas kerusakan yang rendah.



Tabel 1. Klasifikasi frekuensi serangan rayap (Cookson & Trajstman, 2002) No 1 2 3 4 5 6



Frekuensi 0 1 – 10 10 – 20 20 – 30 30 – 40 > 40



Keterangan Nil (Tidak ada serangan) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi



Tabel 2. Klasifikasi penilaian kerusakan kayu terhadap serangan rayap (ASTM D 1758-06) Nilai 10 9 8 7 6 4 0



Kondisi Serangan Tidak ada serangan; 1-2% kerusakan kecil diperbolehkan Penetrasi mencapai 3% dari penampang melintang Penetrasi 3-10% dari penampang melintangnya Penetrasi 10-30% dari penampang melintangnya Penetrasi 30-50% dari penampang melintangnya Penetrasi 50-75% dari penampang melintangnya Rusak



Kelas Bahaya Serangan Rayap Tanah Kombinasi antara frekuensi serangan dan intensitas kerusakan kayu menunjukkan tingkat bahaya serangan rayap di lokasi tersebut. Frekuensi dan intensitas berbanding lurus dengan tingkat bahaya. Frekuensi tinggi menunjukkan tingkat bahaya yang tinggi, demikian pula dengan intensitas. Tiga kelas bahaya disusun dengan mengklasifikasikan 36



logit PY  j xi    j 



kombinasi frekuensi serangan dan intensitas kerusakan kayu (Tabel 3). Kelas bahaya serangan rayap di suatu wilayah diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (karakteristik tanah dan iklim) dan spesies rayap yang menyerang. Untuk menganalisisnya, regresi logistik ordinal diaplikasikan dengan model:



5



 k 1



Keterangan: Y



: θj xik



xir



k r



 k xik 



  m



r 6



r , if xir  0 0,if xir 1



kelas bahaya serangan rayap (1=rendah, 2=sedang, 3=tinggi) : intersep untuk kelas bahaya ke-j (1=rendah, 2=sedang) : variabel ke-k untuk pengukuran ke-i (peubah kontinyu) xi1 : pH tanah xi2 : kandungan C organik dalam tanah (%) xi3 : rasio pasir/liat xi4 : suhu (C) xi5 : kelembaban (%) : variabel ke-r untuk pengukuran ke-i (peubah kategorik) xi6 : C. curvignatus (0=tidak ditemukan, 1=ditemukan) xi7 : M. insperatus (0=tidak ditemukan, 1=ditemukan) xi8 : M. gilvus (0=tidak ditemukan, 1=ditemukan) xi9 : S. javanicus (0=tidak ditemukan, 1=ditemukan) … xim : spesies rayap tanah ke-m (0=tidak ditemukan, 1=ditemukan) : koefisien regresi untuk variabel kontinyu ke-k : konstanta regresi untuk variabel kategori ke-r



172 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Mode prediksi kelas bahaya ....



Tabel 3. Klasifikasi kelas bahaya serangan rayap Intensitas Frekuensi Serangan Rayap (%) 0 1 – 10 10 – 20 20 – 30 10 1 (rendah) 1 (rendah) 1 (rendah) 1 (rendah) 9 1 (rendah) 2 (sedang) 2 (sedang) 8 1 (rendah) 2 (sedang) 2 (sedang) 7 2 (sedang) 2 (sedang) 2 (sedang) 6 2 (sedang) 2 (sedang) 3 (Tinggi) 4 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 0 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) Kelas bahaya serangan rayap bersifat ordinal, karakteristik tanah (pH, C-organik, rasio pasir/liat) dan iklim (suhu dan kelembaban) merupakan data kontinyu, sedangkan ditemukannya spesies rayap merupakan data kategorik. Sebelum analisis regresi logistik ordinal dilakukan, hubungan antar peubah dihitung dengan korelasi Spearman. Peubah bebas yang tidak berkorelasi erat dengan peubah bebas lainnya saja yang dipilih masuk ke dalam model regresi logistik ordinal untuk menghindari autokorelasi dan multikolinearitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Hasil pengujian tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah di DKI Jakarta umumnya liat (terdapat di 54 kelurahan), diikuti dengan lempung berliat (9 kelurahan), lempung liat berpasir (5 kelurahan), lempung berpasir (5 kelurahan), dan tekstur lainnya terdapat di beberapa kelurahan. Mahaney (1999) menyatakan bahwa rayap memiliki peran dalam meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah yang mereka gunakan untuk membangun sarang dan juga memodifikasi komposisi mineral tanah. Rayap tanah memiliki preferensi habitat yang dipengaruhi oleh tekstur tanah. Secara umum rayap tidak menyukai tanah berpasir dan memilih tipe tanah yang banyak mengandung liat (Lee and Wood 1971). Tekstur tanah penting di dalam menentukan stabilisasi liang-liang kembara rayap di atas atau di bawah permukaan tanah yang menghubungkan sarang utama dengan sumber makanannya (Robinson 1996). Jaringan liang kembara dibangun lebih baik pada tanah dengan komposisi campuran pasir, debu, dan liat yang seimbang dibandingkan tanah dengan kandungan liat atau pasir yang terlalu tinggi. Rata-rata kandungan C organik pada penelitian ini adalah 1.32%-2.51%. Hasil penelitian Lee and Wood (1971) menunjukkan bahwa kandungan C organik liang kembara rayap tanah Odontotermes sp. adalah 0.576% sementara itu kandungan C organik tanah sekitarnya lebih kecil sedikit yaitu 0.536%. Pada hasil penelitian ini kandungan C organik tanah di DKI Jakarta lebih tinggi dibanding kandungan C organik hasil penelitian



30 – 40 1 (rendah) 2 (sedang) 2 (sedang) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi)



> 40 2 (sedang) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi) 3 (Tinggi)



Lee and Wood (1971). Menurut Lee and Wood (1971) bahwa tanah yang di dalamnya terdapat aktivitas rayap memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Foth (1994) bahwa bahan organik dipengaruhi oleh arus akumulasi bahan asli dan arus dekomposisi serta humifikasi yang sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pH tanah di DKI Jakarta merupakan nilai netral berkisar 6.67-7.34, sehingga tidak menghambat aktivitas rayap tanah. Lee and Wood (1971) melaporkan kandungan liat pada sarang berbagai spesies rayap, yaitu C. acinaciformis, C. lacteus, Amitermes laurensis, A. meridionalis, dan Nasutitermes triodiae lebih dari 20%, dan pada dua sarang A. merisionalis yang lain kandungan liatnya adalah 13% dan 27%. Penelitian ini memperlihatkan bahwa tanah di DKI Jakarta ratarata memiliki kandungan liat yang tinggi (39.62%60.13%), sehingga sebagian besar tekstur tanahnya masuk dalam kategori adalah liat. Suhu dan RH mempengaruhi kondisi vegetasi dan perilaku rayap tanah di sekitarnya. Di tempat terbuka sinar matahari langsung menembus permukaan tanah pada tengah hari hingga awal sore hari ketika suhu berada pada puncaknya, sehingga rayap sering berada di bawah tanah. Sedangkan rayap tanah berada di permukaan tanah bila terdapat naungan yang besar yang menciptakan suhu optimum. Rata-rata suhu lingkungan di lokasi penelitian ini berkisar 29.3 oC – 30.1 oC, suhu minimum 21.9 oC – 26.1 oC, dan suhu maksimum 35.3 oC – 38.8 oC. Suhu lingkungan tersebut sangat mendukung kehidupan rayap tanah. Penelitian sebelumnya oleh Arinana et al. (2016) menunjukkan bahwa suhu rata-rata di dalam sarang rayap tanah C. curvignathus adalah 31.4 o C (29.4 oC – 33.8 oC), 1.3 oC lebih hangat dibanding di luar sarang. Rata-rata RH selama penelitian ini berkisar 68.2%-72.3%, nilai minimum sebesar 35.4% pada siang hari, dan nilai maksimum sebesar 91.9% di dini hari. RH optimum bagi kehidupan rayap tanah adalah 75-90% (Nandika et al. 2015). Untuk menciptakan kelembaban optimum, rayap tanah mengisolasi dirinya dalam sarang dan liang kembara sehingga lebih tahan terhadap perubahan suhu dan kelembaban 173 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Mode prediksi kelas bahaya ....



lingkungan. Arinana et al. (2016a) melaporkan iklim mikro di dalam sarang menjadi lebih stabil yang digambarkan dengan wilayah fluktuasi suhu dan kelembaban yang lebih sempit daripada di luar sarang. Karakteristik tanah (pH, C organik, rasio pasir/liat) dan iklim (suhu dan kelembaban) diuji keeratan hubungannya menggunakan non parametrik. Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang erat antara pH dengan rasio pasir/liat dan kelembaban, dan suhu berkorelasi erat dengan kelembaban. Wilayah yang lembab dan berasio pasir/liat tinggi maka pH-nya cenderung tinggi karena berkorelasi positif. Suhu berkorelasi negatif sangat erat terhadap kelembaban. Wilayah yang bersuhu tinggi umumnya kelembabannya rendah. Identifikasi Spesies dan Struktur Komunitas Rayap Kayu umpan sebanyak 1645 batang telah ditanam di seluruh kelurahan contoh. Sebanyak 1204 batang diamati serta dinilai intensitas kerusakannya sedangkan 441 kayu umpan hilang. Dari 1204 batang kayu umpan, terdapat 249 batang terserang (20.7%), dan rayap tanah ditemukan masih aktif menyerang 168 batang di antaranya. Serangan rayap tanah yang masih aktif tersebut ditemukan pada kayu umpan di 38 kelurahan contoh. Kasta prajurit setiap spesies rayap (Gambar 1) serta bentuk dan ukuran mandiblenya digunakan sebagai variabel pengidentifikasi spesies. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa di DKI Jakarta sekurang-kurangnya ditemukan empat spesies rayap tanah yang merupakan anggota dari dua famili, yaitu Rhinotermitidae dan Termitidae. Coptotermes curvignathus (ditemukan di 43 kayu umpan) dan Schedorhinotermes javanicus (1 kayu umpan) merupakan anggota famili Rhinotermitidae, sedangkan dua spesies lainnya yaitu Microtermes insperatus (111 kayu umpan) dan Macrotermes gilvus (13 kayu umpan) merupakan anggota famili Termitidae. a



b



c



d



Sesuai data pada Tabel 4, di Jakarta Utara ditemukan dua spesies yaitu C. curvignathus dan S. javanicus. S. javanicus hanya ditemukan di Jakarta Utara yaitu di Kecamatan Cilincing. Kecamatan Cilincing berbatasan dengan wilayah Bekasi dimana ditemukan dua spesies yang sama dengan penelitian ini yaitu C. curvignathus dan S. javanicus (Arinana et al. 2015). Frekuensi serangan C. curvignathus di Jakarta Utara lebih tinggi daripada S. javanicus, yaitu berturut-turut ditemukan di 3 dan 1 kelurahan contoh. Di Jakarta Pusat ditemukan dua spesies yaitu C. curvignathus dan M. insperatus yang frekuensi serangannya hampir sama besar yaitu masing-masing di tiga kelurahan contoh. Serupa dengan di Jakarta Pusat, di Jakarta Barat ditemukan juga dua spesies tersebut yaitu masing-masing di lima kelurahan contoh. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Lantera dan Nandika (2014) yang menemukan dua spesies yaitu M. insperatus dan M. gilvus di Jakarta Barat. Tiga spesies ditemukan di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, yaitu C. curvignathus, M. insperatus, dan M. gilvus. C. curvignathus menyerang 5 kelurahan di Jakarta Timur dan enam kelurahan di Jakarta Selatan. M. insperatus menyerang 11 kelurahan di Jakarta Timur dan 10 kelurahan di Jakarta Selatan. Sedangkan M. gilvus menyerang dua kelurahan di Jakarta Timur dan empat kelurahan di Jakarta Selatan. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian Arinana et al. (2016b) yang menemukan tiga spesies rayap yang sama di Jakarta Selatan dengan frekuensi serangan tertinggi oleh M. insperatus. Jakarta Selatan dan Jakarta Timur berbatasan dengan wilayah Bogor, Jawa Barat. Arinana et al. (2016c) telah melakukan penelitian yang sama di Bogor dan melaporkan bahwa Odontotermes javanicus merupakan spesies rayap tanah yang lebih sering ditemukan di Bogor. Kekayaan spesies rayap tanah di Bogor juga lebih tinggi dengan ditemukannya lima spesies rayap yaitu C. curvignathus, M. gilvus, S. javanicus, S. sarawakensis, dan O. javanicus. e



f



g



Gambar 1 Foto mikroskopi kasta prajurit rayap tanah yang ditemukan menyerang kayu umpan di DKI Jakarta, yaitu C. curvignathus (a); M. insperatus prajurit mayor (b); M. insperatus prajurit minor (c); M. 174 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Mode prediksi kelas bahaya ....



gilvus prajurit mayor (d); M. gilvus prajurit minor (e); S. javanicus prajurit mayor (f); S. javanicus prajurit minor (g) Tabel 4. Rangkuman hasil identifikasi spesies rayap tanah yang menyerang di DKI Jakarta Kota Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Selatan



Jumlah kelurahan ditemukannya spesies rayap C. curvignathus M. insperatus 3 0 3 3 5 5 5 11 6 10



Hasil identifikasi menunjukkan bahwa famili Termitidae (M. insperatus dan M. gilvus) dominan menyerang kayu umpan yaitu 73.8% dibandingkan Rhinotermitidae (C. curvignathus dan S. javanicus). Termitidae dominan pada daerah tropis (Eggleton 2011). Tarumingkeng (2000) melaporkan famili Termitidae dan Rhinotermitidae merupakan hama perusak kayu bangunan yang terpenting di Indonesia terutama dari genus Coptotermes, Schedorhinotermes, Macrotermes, Microtermes, dan Odontotermes. Pada penelitian ini, keempat genus tersebut ditemukan menyerang kayu umpan di DKI Jakarta, kecuali Odontotermes. Rhinotermitidae dan Termitidae sering dijumpai di luar kawasan hutan alam atau kawasan yang sudah dialihfungsikan menjadi areal perkebunan maupun permukiman (Wang et al. 2003), sehingga serangannya memberikan dampak ekonomi yang cukup besar. Nandika melaporkan C. curvignathus menimbulkan kerugian puluhan milyar per tahun akibat serangannya pada bangunan gedung di Indonesia (Nandika et al. 2015). Penelitian Rilatupa (2006) menunjukkan bahwa C.curvignathus menyerang bangunan apartemen di Jakarta Selatan hingga lantai teratas (Lantai 33) Tower 3, sedangkan di Tower 1 dan 4 yang memiliki 31 lantai serangan rayap telah mencapai lantai 25 dan 10.



M. gilvus 0 0 0 2 4



S. javanicus 1 0 0 0 0



Struktur komunitas rayap tanah digambarkan dengan indeks kekayaan Margalef (Ri), indeks keanekaragaman Shannon Weinner (H’), dan kemerataan Pielou (E1) (Tabel 5). Kekayaan spesies tertinggi berada di Jakarta Utara. Kekayaan spesies adalah jumlah spesies dalam suatu komunitas. Semakin banyak jumlah spesies yang ditemukan maka indeks kekayaannya juga semakin besar. Indeks kekayaan Margalef membagi jumlah spesies dengan fungsi logaritma natural yang mengindikasikan bahwa pertambahan jumlah spesies berbanding terbalik dengan pertambahan jumlah kayu umpan yang terserang rayap. Di Jakarta Utara, jumlah umpan yang terserang rayap lebih sedikit dibanding Jakarta Pusat dan Jakarta Barat yang sama-sama ditemukan 2 spesies rayap tanah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa di Jakarta Utara, waktu 3 bulan pengumpanan rayap tanah baru datang untuk memakan kayu umpan, atau dengan kata lain bahwa rayap di Jakarta Utara lebih lambat menemukan kayu umpan dibanding dengan di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Sementara itu kekayaan spesies di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan yang sama-sama ditemukan 3 spesies, memiliki nilai yang lebih tinggi di Jakarta Selatan. Hal tersebut berarti bahwa di Jakarta Selatan lebih sedikit ditemukan kayu umpan yang terserang rayap dibanding di Jakarta Timur.



Tabel 5. Struktur komunitas rayap tanah di DKI Jakarta Kota Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Selatan



Jumlah kelurahan ditemukannya spesies rayap Ri H’ 0.5581 0.4506 0.3693 0.6909 0.2912 0.6288 0.4774 0.7377 0.5139 0.8806



Nilai keanekaragam rayap tanah tertinggi ditemukan di Jakarta Selatan, yaitu nilai H’ adalah 0.8806 sedangkan terendah di Jakarta Utara yaitu 0.4506. Keanekaragaman di Jakarta Selatan memiliki indeks tertinggi karena ditemukan spesies rayap lebih banyak, yaitu sama dengan di Jakarta Timur, akan



E1 0.6500 0.9968 0.9072 0.6715 0.8015



tetapi jumlah kayu umpan yang terserang tiap spesies rayap tanah lebih seragam di Jakarta Selatan yaitu dapat dilihat pada nilai kemerataan yang lebih tinggi (0.8015) dibandingkan dengan Jakarta Timur. Indeks kemerataan menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. 175 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai evenness maksimum. Sebaliknya, jika nilai kemerataan kecil, maka dalam komunitas tersebut terdapat jenis dominan, sub-dominan dan jenis yang terdominasi, maka komunitas itu memiliki evenness minimum. Nilai kemerataan memiliki rentang antara 0-1, jika nilai indeks yang diperoleh mendekati satu berarti penyebarannya semakin merata, hal tersebut dapat dilihat di Jakarta Pusat, nilai indeks kemerataannya mendekati 1. Frekuensi Serangan dan Intensitas Kerusakan Kayu Frekuensi serangan rayap di setiap kelurahan bervariasi antara 0% hingga 67%. Ada 63 kelurahan contoh yang terserang sedangkan sisanya (21 kelurahan) tidak terserang. DKI Jakarta memiliki wilayah bahaya serangan rayap yang sangat lebar berdasarkan klasifikasi Cookson dan Trajstman 2002, yaitu dari Nil (tidak terserang) hingga sangat berbahaya (frekuensi > 40%). Intensitas serangan rayap diukur sesuai dengan prosedur ASTM D1758-06. Sesuai dengan standar tersebut intensitas serangan rayap diklasifikasikan berdasarkan kerusakan kayu umpan



Mode prediksi kelas bahaya ....



yaitu dari 0 (sangat rusak) sampai dengan 10 (sedikit rusak). Pada penelitian ini ditemukan bahwa kerusakan kayu umpan berkisar pada nilai 0 hingga 10. Kerusakan parah (0) terjadi pada kayu umpan yang ditanam di beberapa kelurahan contoh di semua kota. Intensitas kerusakan kayu dirata-ratakan untuk setiap kelurahan. Data frekuensi serangan dan intensitas kerusakan kayu umpan pada setiap kelurahan contoh dijadikan data dasar dalam penentuan kelas bahaya rayap. Kelas Bahaya Serangan Rayap Berdasarkan frekuensi serangan dan intensitas kerusakan kayu, tingkat bahaya serangan rayap di setiap kelurahan contoh diklasifikasikan ke dalam tiga kelas yaitu rendah (1), sedang (2), dan tinggi (3). Bangunan-bangunan di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan perlu didesain sedemikian rupa untuk mengantisipasi serangan rayap karena wilayah tersebut diduga memiliki kelas bahaya serangan rayap tinggi (3). Sementara itu serangan rayap di Jakarta Utara relatif lebih rendah karena hampir seluruh kelurahan contoh termasuk dalam kelas bahaya dalam klasifikasi rendah (1) dan hanya 1 kelurahan yang masuk dalam kelas bahaya sedang (2). Selengkapnya tersaji pada Tabel 6.



Tabel 6 Rangkuman kelas bahaya serangan rayap di DKI Jakarta Kota Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Selatan



Jumlah kelurahan dalam kelas bahaya serangan rayap: Rendah (1) Sedang (2) 11 1 10 5 7 4 7 8 10 6



Setiap pembangunan gedung baru di wilayah yang termasuk dalam kelas bahaya serangan rayap sedang (2) dan tinggi (3) perlu melakukan pengendalian serangan rayap pada masa pra konstruksi sesuai dengan SNI 2404-2015. Sedangkan bangunan yang sudah berdiri di wilayah tersebut perlu disurvei lebih lanjut untuk menerapkan pengendalian rayap paska konstruksi sesuai dengan ketentuan SNI 2405-2015. Kondisi lingkungan yang meliputi karakteristik tanah (pH, C organik, rasio pasir/liat) diukur di setiap kelurahan, sedangkan iklim (suhu dan kelembaban) diukur di setiap kota. Uji Korelasi Spearman memperlihatkan bahwa kondisi lingkungan berkorelasi kurang erat dengan kelas bahaya serangan rayap. Pengukuran salah satu dari variabel-variabel tersebut tidak dapat digunakan untuk menduga kelas bahaya serangan rayap di DKI Jakarta. Variabel karakteristik tanah dan iklim harus digunakan secara simultan.



Tinggi (3) 0 1 5 5 4



Meskipun pH, C organik, rasio pasir/liat, suhu, dan kelembaban secara parsial tidak berkorelasi erat dengan kelas bahaya serangan rayap, namun pengaruh kombinasinya diduga dapat terjadi. Analisis regresi logistik ordinal dilakukan untuk membuktikan hal tersebut. Regresi logistik ordinal dipilih dalam penelitian ini karena variabel respon yaitu kelas bahaya disusun berdasarkan skala ordinal [berurutan dari rendah (Nilai 1), sedang (2), dan tinggi (3)] sedangkan variabel penduga kondisi lingkungan (pH, C organik, rasio pasir/liat, suhu, dan kelembaban) merupakan skala yang kontinyu dan spesies rayap merupakan skala kategorik. Nilai pH berkorelasi erat secara nyata dengan rasio pasir liat dan kelembaban, sehingga variabel penduga yang terpilih digunakan dalam model adalah pH (xi1), C organik (xi2), dan suhu (xi4). Ada 4 jenis rayap yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu C. curvignathus (xi6), M. insperatus (xi7), M. gilvus (xi8), dan S. javanicus (xi9). Hanya satu 176 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



kelurahan yang teridentifikasi diserang S. javanicus (xi9) sehingga variabel xi9 harus dikeluarkan dari



Mode prediksi kelas bahaya ....



model. Rumus regresi logistik ordinal yang digunakan adalah:



logit PY  j xi    j  1xi1   2 xi 2   4 xi 4  Pengujian parameter secara parsial untuk memeriksa peranan koefisien regresi dari masingmasing peubah prediktor (kondisi tanah, iklim, dan spesies yang ditemukan) secara individu di dalam model dilakukan dengan Wald Test berdasarkan hipotesis H0:k=0 vs H1:k0 ; k=1, 2, 4, 6, 7, dan 8. Sesuai dengan hasil uji Wald test, pH tanah, suhu, dan spesies merupakan faktor penting yang dapat menjadi indikator kelas bahaya serangan rayap di suatu wilayah. Ketiga faktor tersebut (pH, suhu, dan spesies yang ditemukan) secara parsial berpengaruh nyata terhadap kelas bahaya serangan rayap di DKI Jakarta. Peluang suatu wilayah berada dalam kelas bahaya yang lebih tinggi menjadi lebih besar ketika pH tinggi, suhu hangat, dan ditemukan spesies rayap







 6 ,if xi 6  0 0,if xi 6 1







 7 ,if xi 7  0 0,if xi 7 1











 8 ,if xi 8  0 0,if xi 8 1



tanah (C. curvignathus, M. inspiratus, atau M. gilvus). Oleh karena pH berkorelasi positif secara signifikan dengan rasio pasir/liat, dapat dikatakan bahwa rasio pasir/liat juga berpengaruh secara signifikan terhadap kelas bahaya serangan rayap. Semakin tinggi kandungan pasir dibanding liat maka wilayah tersebut memiliki kelas bahaya serangan rayap yang lebih tinggi. Demikian pula suhu berkorelasi erat dengan kelembaban sehingga juga berpengaruh terhadap kelas bahaya serangan rayap. Rasio pasir/liat dan kelembaban tidak dimasukkan dalam model kelas bahaya serangan rayap hanya karena berkorelasi erat dengan variabel penduga yang telah berada dalam model. Rangkuman fungsi kelas bahaya serangan rayap dapat disusun sebagai berikut:



Model Kategori 1: logit PY  j 1  74.92  1.25 xi1  0.18 xi 2  2.14 xi 4  Model Kategori 2:







1.45, if xi 6  0 0, if xi 6 1



logit PY  j 2  71.86  1.25 xi1  0.18 xi 2  2.14 xi 4 



Regresi logistik ordinal menghasilkan dua persamaan penduga kelas bahaya serangan rayap. Sebagai pembanding adalah kelas bahaya tertinggi yaitu 3 sehingga apabila nilai variabel dimasukkan dalam Model Kategori 1, dan nilai logit P-nya lebih kecil dari 1 maka masuk dalam kelas bahaya 3 dan apabila nilai logit P-nya lebih dari 1 maka masuk dalam kelas bahaya 1. Begitu pula dengan persamaan pada Model Kategori 2. Uji kelayakan model pada regresi logistik ordinal tersebut dilakukan menggunakan uji Pearson dan uji Deviance berdasarkan hipotesis: H0: Model sesuai vs H1: Model tidak sesuai. Hasil uji kelayakan model memperlihatkan bahwa berdasarkan uji Pearson Chi2, dan uji Deviance model sesuai untuk menduga kelas bahaya serangan rayap dengan kepercayaan lebih dari 95%. Model kelas bahaya serangan rayap yang diduga melalui regresi logistik ordinal, telah mampu mengklasifikasikan 62 kelurahan contoh dengan tepat sehingga tingkat akurasi model adalah 73.8%. Model berhasil memprediksi kelas bahaya rendah (kelas 1) sebesar 84.44%, kelas 2 (62.50%), dan kelas 3 (60%),















1.45,if xi 6  0 0, if xi 6 1







2.20, if xi 7  0 0, if xi 7 1















2.20,if xi 7  0 0,if xi 7 1







1.66, if xi 8  0 0, if xi 8 1











1.66,if xi 8  0 0,if xi 8 1



sehingga model cukup baik digunakan sebagai penduga kelas bahaya rayap di DKI Jakarta. Simpulan 1. Sekurang-kurangnya di DKI Jakarta ditemukan empat spesies rayap yaitu Coptotermes curvignathus, Schedorhinotermes javanicus, Microtermes insperatus, dan Macrotermes gilvus serta keanekaragam rayap tanah tertinggi berada di Jakarta Selatan. 2. Karakteristik tanah yaitu meliputi pH dan rasio pasir/liat, dan kondisi iklim (suhu dan kelembaban), serta spesies rayap tanah yang ditemukan berpengaruh nyata terhadap kelas bahaya serangan rayap di DKI Jakarta. Berdasarkan karakteristik tanah, iklim, dan spesies yang ditemukan, kelas bahaya serangan rayap tanah di DKI Jakarta diklasifikasikan ke dalam tiga kelas dengan model sebagai berikut:



Model Kategori 1: logit PY  j 1  74.92  1.25 xi1  0.18 xi 2  2.14 xi 4 























Model Kategori 2:























logit PY  j 2  71.86  1.25 xi1  0.18 xi 2  2.14 xi 4 



1.45, if xi 6  0 0, if xi 6 1 1.45,if xi 6  0 0, if xi 6 1



2.20, if xi 7  0 0, if xi 7 1 2.20,if xi 7  0 0,if xi 7 1



1.66, if xi 8  0 0, if xi 8 1



1.66,if xi 8  0 0,if xi 8 1



177 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



DAFTAR PUSTAKA Ahmad M. 1958. Key to the Indomalayan Termite. Biologia. Vol. 4. Department of Zoology. University of the Panjab. Lahore. Arinana, Philippines I, Bahtiar ET, Koesmaryono Y, Nandika D, Rauf A, Harahap IS, Sumertajaya IM. 2016a. Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) Capability to Maintain the Temperature Fluctuation Inside its Nests. J Entomology, 13 (5-6): 199-202. Arinana A, Aldina R, Nandika D, Rauf A, Harahap IS, Sumertajaya IM, Bahtiar ET. 2016b. Termite Diversity in Urban Landscape, South Jakarta, Indonesia. Insects, 7, 20 Arinana, Haneda NF, Nandika D, Lestari SDW, Bahtiar ET, Harahap IS, Rauf A, Sumertajaya IM. 2016c. Termite Biodiversity and Intensity of Residential Houses Deterioration in Taman Darmaga Permai I Ciampea Bogor. In: Subyakto et al., editor. Role Acceleration and Synergy of Wood Research Society to Support Sustainable Forest Industry Based on Science and Technology. Proceedings of the 7th International Symposium of Indonesian Wood Research Society (IWoRS); 2015 November 56; Bandung, Indonesia. Bogor (ID): IWoRS. hlm 281-289. Arinana, Haneda NF, Nandika D, Prawitasari WA. 2015. Damage intensity of house building and termite diversity in Perumahan Nasional Bumi Bekasi Baru, Rawalumbu Bekasi. In: Hartono R et al., editor. The Utilization of Biomass from Forest and Plantation for Environment Conservation Efforts. Proceedings of the 6th International Symposium of Indonesian Wood Research Society (IWoRS); 2014 November 17-21; Medan, Indonesia. Bogor (ID): IWoRS. hlm 134-142. Arinana, Tsunoda K, Herliyana EN, Hadi YS. 2012. Termite Susceptible spesies of Wood for Inclusion as Reference in Indonesian Standardized Laboratory Testing. Insects 2012, 3, 396-401 [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2006. Standard Test Method of Efaluating Wood Preservatives by Field Test with Stakes. American Society for Testing and Material. United Stated: ASTM D 1758-06. Cookson LJ, Trajstman AC. 2002. Termite Survey and Hazard Mapping. Technical Report Nomor 137. CSIRO Forestry and Forest Products. Clayton, Victoria. Eggleton P. 2011. Biology of Termites: A Modern Synthesis. Dordrecht, Heidelberg, London, and New York (NL): Springer.



Mode prediksi kelas bahaya ....



Foth



HD. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Soenartono Adisumarto. Jakarta (ID): Erlangga. Hillel D. 2004. Introduction to Environmental Soil Physics. London (GB): Elsevier Science Academic Press. Lantera KG, Nandika D. 2014. Keanekaragaman spesies rayap tanah di Jakarta Barat dan Jakarta Timur. J Ilmu dan Teknologi Hutan. 7(1): 1824. Lee KE, Wood TG. 1971. Termite and Soil. London (GB): London Academic Press. Mahaney WC, Zippin J, Milner MW, Sanmugadas K, Kancock RGV, Aufreiter S. 1999. Chemistry, mineralogy and microbiology of termite mound soil eaten by champanzees of the Mahal mountains, Western Tanzania. J Tropical Ecology 15: 565-588. Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2015. Rayap Biologi dan Pengendaliannya Edisi 2. Surakarta (ID): Muhammadiyah University Press. Rilatupa J. 2006. Kondisi komponen konstruksi bangunan tinggi dan hubungannya dengan karakteristik serangan rayap. J Sains Teknologi EMAS, 16(4): 71–86. Robinson WH. 1996. Urban Entomology: Insect and mite pests in the human environment. Chapman & Hall, New York Tarumingkeng RC. 2000. Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan. Ukrida Press. Jakarta. pp101 Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Kualalumpur: Forest Research Institute Malaysia, Kepong. Wang C, Powell JE, Scheffrahn RH. 2003. Abundance and distribution of subtetrranean termites in Southern Mississippi Forests (Isoptera: Rhinotermitidae). Sociobiology. 42: 2. White RE. 2006. Principles and Practice of Soil Sciences Fourth Edition. Oxford (GB): Blackwell Publishing.



178 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Kualitas kokon bibit hibrid ....



Kualitas Kokon bibit Hibrid Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Asal Bulgaria dan Indonesia Lincah Andadari1*, Desi Ekawati2, Kuntandi1 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim *Alamat korespondensi: [email protected]



2



ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk membandingkan kualitas kokon dua hibrid ulat sutra asal Bulgaria dan Indonesia untuk mengetahui potensi pengembangannya di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di Desa Cijedil, Kab. Cianjur dengan ketinggian tempat 700 meter dari permukaan laut. Eksperimen dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan bibit dari 2 hibrid ulat sutra. Hasil uji kualitas menunjukkan masa larva hibrid Bulgaria lebih pendek 1,5 hari dibandingkan hibrid dari Indonesia. Persentase penetasan dan rendemen pemeliharaan kedua hibrid menunjukkan hasil yang tinggi rata-rata lebih dari 90%. Kualitas kokon hibrid Indonesia menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan hibrid dari Bulgaria. Kata kunci : bibit, hibrid, kokon, kualitas ABSTRACT The main objective of the study is to compare two F1 silkworm hybrids of Bulgaria and Indonesia to look for their potentiality to develop in the district of Cianjur, West Java. The experiment was carried out in Cijedil Village, Cianjur, West Java, at the elevation of about 700 m above sea level. Randomized Complete Block Design was used in the experiment with 2 treatments of silkworm hybrid and six replications. The result showed that Bulgarian silkworm hybrid has shorten larval period compare to Indonesian hybrid. Both hybrids have hatching percentage and harvesting yield quite high with an average greater than 90%. The Indonesian hybrid has higher cocoon quality than Bulgarian hybrid. Keywords: cocoon, hybrid, silkworm



PENDAHULUAN Latar Belakang Persutraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan dan waktu pengerjaannya relatif singkat. Karena sifatnya yang padat karya, maka budidaya ini mampu menciptakan lapangan kerja, menambah penghasilan masyarakat, meningkatkan taraf hidup masyarakat serta ikut serta dalam kegiatan produksi sandang. Kegiatan persuteraan alam merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai dari penanaman murbei (produksi daun), pembibitan ulat sutera (produksi telur), pemeliharaan ulat sutera (produksi kokon), pengolahan kokon (produksi benang sutera) dan penenunan. Keberhasilan usaha pemeliharaan ulat sutera tergantung kepada beberapa faktor, yaitu pakan, bibit ulat, kondisi pemeliharaan dan sistem pemeliharaan. Meskipun kokon dapat dihasilkan sepanjang tahun, namun sampai saat ini besarnya produksi masih fluktuatif. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah masih rendahnya produksi persatuan luas sehingga penghasilan yang didapat belum optimal (Santoso. 2012). Disamping itu banyak petani yang belum dapat menghasilkan kualitas kokon sebagaimana diinginkan oleh pengrajin sehingga import benang masih berlangsung di beberapa daerah. Sehubungan dengan itu, usaha untuk meningkatkan produksi dan kualitas kokon perlu terus dilakukan,



diantaranya melalui perbaikan jenis bibit ulat sutera (Kaomini dan Andadari, 2009), karena selama ini pemeliharaan ulat dengan kondisi lingkungan yang beragam hanya mengunakan jenis ulat yang sama, hal ini menghasilkan produksi kokon yang berfluktuatif (Andadari & Kuntadi. 2014). Usaha industri persuteraan, kualitas bibit merupakan aspek penting karena sering menjadi penyebab kehilangan produksi atau kegagalan. Kriteria bibit yang baik adalah bibit yang bebas penyakit, mempunyai penetasan yang tinggi dan seragam, pertumbuhan ulat seragam, mortalitas rendah dan menghasilkan kokon yang stabil (Nursita, 2011) Kualitas kokon yang meliputi bobot kokon, rasio kulit kokon dan rasio kokon cacat, sangat berpengaruh dalam penentuan perdagangan kokon. Kondisi pemeliharaan akan berpengaruh terhadap bobot kokon dan rasio kokon cacat, sedangkan rasio kulit kokon oleh jenis bibit ulat. Faktor penting yang berhubungan erat dengan hasil benang sutera adalah rasio kulit kokon, sehingga perlu didapatkan bibit ulat sutera yang mempunyai rasio kulit kokon tinggi agar dapat meningkatkan harga jual dari kokon tersebut (Andadari. 2016), sehingga yang perlu didapatkan untuk keberhasilan pengembangan sutera adalah hibrid ulat yang mempuyai kualitas kokon yang baik Tujuan Kegiatan 179 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Mengetahui daya adaptasi hibrid baru ulat sutera dari Bulgaria untuk potensi pengembangannya di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. METODOLOGI Lokasi Kegiatan Pemeliharaan ulat dilakukan di Desa Cijedil, Cianjur dengan ketinggian tempat 700 meter dari permukaan laut (mdpl), sebelum pelaksanaan dilakukan survei awal lokasi dan kondisi lapangan. Survei awal bertujuan untuk memeriksa kondisi daun murbei sebagai pakan dan ketersediaan ruang pemeliharaan ulat untuk menentukan desain dan metode pemeliharaan pada saat pelaksanaan kegiatan ujiadaptasi. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan berupa telur ulat sutera dari 2 jenis hibrid yang terdiri dari Bugaria dan dari Indonesia serta daun murbei (Morus sp.) sebagai pakannya. Peralatan berupa cold strorage, inkubator, rak pemeliharaan, sasag, alat pengokonan dan lainlain. Teknik Pelaksanaan Pemeliharaan ulat kecil: Jumlah ulat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12000 ekor ulat. Pada instar I – III dipelihara pada enam sasag yang terpisah dan belum dilakukan penghitungan jumlah ulat, kemudian pada awal instar IV ulat mulai dihitung yang dibagi dalam 12 sasag dengan dua perlakuan berupa hibrid ulat sutera dan masing – masing diulang sebanyak enam kali yang terdiri 1000 ekor ulat sutera. Pakan yang digunakan adalah daun murbei (Morus cathyana) dan diberikan 3 kali sehari untuk ulat kecil yaitu pukul 07.00, 12.00 dan 16.00 sedangkan ulat besar frekuensi pemberian pakan ditambahkan pada jam 21.00, hal ini disesuaikan dengan meningkatnya pertumbuhan. Jumlah daun yang diberikan sesuai dengan jumlah ulat dan instar. Untuk instar 1 diberi daun muda yaitu 4 – 5 lembar daun dari ujung, instar II dipetik 6-7 lembar dari ujung, instar III diberi daun 7-8 lembar daun dari ujung. Untuk instar I-III pemberian pakan dalam bentuk irisan yang ukurannya disesuaikan perkembangan ulat. Sedangkan untuk ulat besar (Instar IV dan V) diberi daun murbei utuh dan segar. Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan dua perlakuan berupa hibrid ulat sutera dan enam ulangan Parameter yang diamati 1. Persentase penetasan, yaitu banyaknya telur yang menetas dengan jumlah total telur per induk dikali 100% 2. Masa larva, yaitu menghitung jumlah jam dan hari pada setiap instar. 3. Rendemen pemeliharaan, didapatkan dengan cara membandingkan antara jumlah ulat yang



Kualitas kokon bibit hibrid ....



mengokon dengan jumlah ulat keseluruhan, kemudian dikalikan 100% Jumlah ulat yang masuk kea lat pengokonan X 100% Jumlah ulat pada awal instar V 4.



5. 6.



Persentase kokon normal, didapatkan dengan cara membandingkan jumlah kokon normal dengan jumlah kokon keseluruhan kemudian dikalikan dengan 100% Bobot kokon, merupakan bobot kokon rata-rata dari 30 butir sampel, dalam satuan gram Persentase kulit kokon, merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon utuh kemudian dikalikan 100%



HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas ulat Parameter yang digunakan untuk menunjukkan kualitas ulat dalam penelitian ini adalah persentasi penetasan, masa larva dan rendemen pemeliharaan yang disajikan pada Tabel 1. a. Persentase penetasan Persentase penetasan yang tinggi merupakan hal yang sangat utama dalam usaha budidaya ulat sutera (Andadari & Kuntadi, 2014). Daya tetas dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas dibagi dengan total telur masing-masing induk dikali seratus persen. Telur yang menetas memiliki kulit telur berwarna putih, seangkan yelur yang tidak menetas berwarna abu-abu kehitaman dan kuning. Rataan daya tetas telur disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan persentase tetas telur, masa larva, dan rendemen pemeliharaan ulat sutera hibrid Bulgaria dan hibrid Indonesia di Cijedil, Cianjur Perlakuan Persentase Masa Rendemen tetas larva pemeliharaan Bulgaria 97,38 a 24 hari 95 a Indonesia 96,99 a 25 hari 96 a 12 jam Keterangan Nilai dalam kolom yang diikuti : dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan persentase penetasan antara kedua hibrid tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, persentase penetasan kedua hibrid sangat tinggi, semuanya di atas 95%, menurut Andadari dan Kuntadi (2014) daya tetas telur yang dianggap cukup baik adalah 90%, hal ini berlaku untuk hibrid dari Indonesia dan hibrid dari Bulgaria. Rendemen pemeliharaan adalah perbandingan antara ulat yang mengokon dengan jumlah ulat yang dipelihara, rendemen pemeliharaan sangat berpengaruh pada jumlah benang yang dihasilkan. Hasil penelitian menyatakan tidak adanya 180 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



perbedaan yang nyata pada kedua hibrid, hal ini mengindikasikan bahwa kedua hibrid tidak mempengaruhi rendemen pemeliharaan. Rendemen pemeliharaan kedua hibrid sama mencapai sekitar 95%, hal ini juga merupakan salah satu indikasi bahwa kesehatan ulat cukup baik, karena ulat yang kurang sehat umumnya menghasilkan rendemen pemeliharaan yang rendah. b. Masa larva Umur ulat selama penelitian yang terhitung mulai dari pemberian pakan pertama sampai dengan ulat besar (instar V), berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa hibrid Bulgaria lebih pendek 1 hari 12 jam, hasil ini menunjukkan jenis hibrid berpengaruh terhadap lamanya periode larva. Lamanya periode hidup mulai dari lahir sampai membuat kokon kurang lebih satu bulan, tetapi hal ini biasanya dipengaruhi oleh lingkungan yaitu iklim dan temperatur setempat. c. Rendemen Pemeliharaan Keunggulan dari ulat sutera dapat dilihat dari dua segi yaitu kekuatan ulat yang berupa rendemen pemeliharaan dan kualitas kokon yang dihasilkan. Rendemen pemeliharaan dipengaruhi oleh sifat keturunan dari jenis ulat, keadaan lingkungan selama pemeliharaan (Andadari et al., 2013), ketrampilan pemeliharaan serta kualitas daun murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera. Rendemen pemeliharaan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil sidik ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata untuk kedua hybrid yang digunakan. Kisaran nilai rendemen pemeliharaan kedua hibrid yang digunakan sebesar 95%, hal ini menunjukkan larva kedua hibrid tersebut memiliki kekuatan atau daya tahan hidup atad daya adaptasi yang sama terhadap kondisi lingkungan tempat pemeliharaan. Rendemen pemeliharaan kedua hibrid tersebut sudah memenuhi nilai komersial dengan nilai di atas 90%. Kualitas kokon Kokon merupakan hasil akhir dari pemeliharaan ulat dan kualitasnya ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutera dan kondisi lingkungan seperti keadaan selama pemeliharaan, pengokonan, dan lain-lain. Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih), bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon (lapisan serat-serat sutera) keras dan jika ditekan sedikit berat. Beberapa parameter kualitas kokon seperti persentase kokon normal, bobot kokon, dan persentase kulit kokon, adalah parameter penentu yang secara ekonomi paling penting dalam budidaya ulat sutera, karena merupakan bahanpertimbangan bagi para pemintal sebab berkaitan langsung dengan harga yang akan dibayarkan dan biaya untuk memproduksi benang. Hasil kualitas kokon hasil uji adaptasi disajikan dalam Tabel 2. a. Persentase Kokon Normal



Kualitas kokon bibit hibrid ....



Kokon yang dihasilkan dari pemeliharaan ulat sutera tidak seluruhnya normal dan terdapat beberapa bagian yang merupakan kokon cacat, sehingga pada saat panen harus dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kokon normal dan kokon tidak norma (cacat). Persentase kokon normal mempengaruhi jumlah kokon yang dapat digunakan untuk proses selanjutnya. Semakin tinggi persentase kokon normal yang dihasilkan semakin banyak jumlah kokon yang dapat dimanfaatkan. Kokon yang dihasilkan dari pemeliharaan ulat sutera tidak seluruhnya mulus dan terdapat beberapa bagian yang merupakan kokon cacat. Kokon yang cacat harus dipisahkan dari yang normal dan baik, karena tidak baik untuk proses reeling. Beberapa contoh kokon cacat, yaitu kokon ganda, kokon berlubang, kokon bernoda dalam, kokon tergencet, bentuk kokon yang abnormal, kokon berserabut, kokon berlapis ganda, dan kokon yang tipis bagian tengahnya (Andadari et al., 2013). Hasil analisis pada parameter persentase kokon normal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kedua hibrid, namun ada kecenderungan hibrid Indonesia menunjukkan persentase kokon normal yang tinggi, hal ini dikarenakan hibrid Indonesia sudah lebih lama beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Kisaran nilai persentase kokon normal dari kedua hibrid yang digunakan sebesar 90.30%, semakin besar persentase kokon normal maka akan semakin besar pula raw silk yang dihasilkan. Tabel 2. Kualitas kokon hibrid Bulgaria dan hibrid Indonesia di Cianjur Perlakuan Persentase Bobot Ratio kokon normal kokon kulit (%) (g) kokon (%) Bulgaria 88,67 a 1,63 b 19,26 b Indonesia 91,92 a 1,82 a 20,52 a Keterangan: Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan b. Bobot Kokon Segar Bobot kokon merupakan salah satu parameter yang harus diketahui pada setiap pemeliharaan ulat sutera, bobot kokon berkorelasi positif dengan hasil kokon per boksnya dan hasil benang yang dihasilkan (Muin et al., 2006; Kaomini & Andadari (2009)). Bobot kokon dipengaruhi oleh jenis ulat, jenis kelamin dan penyediaan daun murbei sebagai pakan (Muin et al., 2015). Daun murbei yang sehat (normal) serta pemberiannya disesuaikan dengan umur ulat, daun murbei yang memiliki kualitas baik akan meningkatkan bobot kokon. Hasil sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kedua hibrid, hibrid Indonesia 181 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



menunjukkan bobot kokon yang lebih tinggi dibandingkan dengan hibrid dari Bulgaria., berdasarkan data yang telah diperoleh hibrid Indonesia menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan hibrid dari Bulgaria. c. Rasio Kulit Kokon Rasio kulit kokon merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas kokon, nilai dari rasio kulit kokon erat hubungannya dengan persentase filament yang akan dihasilkan, terdapat korelasi yang potisif antara bobot kokon dengan rasio kulit kokon (Andadari. 2016; Nuraeni & Baharudin, 2009). Hasil sidik ragam rasio kulit kokon kedua hibrid menunjukkan perbedaan yang nyata, antara kedua hibrid tersebut, rasio kulit kokon hibrid Indonesia lebih tinggi dibandingkan hibrid dari Bulgaria, yaitu 20,52%. Andadari et al., (2013) menyatakan nilai dari rasio kuli kokon hibrid (F1) di daerah tropis antara 18 – 22%. Kisaran nilai ratio kulit kokon kedua hibrid tersebut memiliki kisaran 19,89%, sudah sesuai standar daerah tropis. Diduga penyebabnya adalah hybrid Indonesia lebih tahan terhadap kondisi tropis, karena menurut Nursita (2011) dan Kumar & Singh (2012) adanya perbedaan kemampuan kelenjar sutera dalam menghasilkan benang terhadap kondisi lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah, dan ulat sutera yang lebih tahan berproduksi lebih baik.



Kualitas kokon bibit hibrid ....



Produktivitas dan kualitas Produk Ulat sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Tidak diterbitkan. Kumar, S,N., Singh, H., Saha, A.K. & Bindroo, B.B. (2011). Development of bivoltine double hybrid of the silkworm, Bombyx Mori L. tolerant to high temperature and high humidity conditions of the tropics. Universal Journal of Environmental Research and Technology. eISSN 2249 0256, 1(4), 423-434. Muin, Suryanto, N. & Minarningsih. (2015). Uji coba hibrid Morus khunpai dan M. indica sebagai pakan ulat sutera ( Bombyx mori Linn.). Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 4(2), 137-145. Nursita, I,W. (2011). Perbandingan produktivitas ulat Sutera dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan, 21(3), 10-17. Nuraeni, S., & Baharudin. (2009). Perbandingan karakteristik dan produktivitas ulat sutera (Bombyx mori L.) dari dua sumber bibit di Sulawesi Selatan. Jurnal Perennial, 6(1), 3943.



KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Masa larva hibrid Bulgaria relatif lebih pendek 1,5 hari dibandingkan hibrid dari Indonesia. 2. Persentase penetasan dan rendemen pemeliharaan kedua hibrid menunjukkan hasil yang tinggi rata-rata lebih dari 90%. 3. Kualitas kokon hibrid Indonesia menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan hibrid dari Bulgaria. Saran Sebelum dikembangkan lebih luas, maka kedua hibrid tersebut perlu diuji pada kondisi agroklimat dan musim yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Andadari. 2016. Pemilihan jenis hybrid ulat sutera yang optimal untuk dikembangkan di Dataran Tinggi dan/atau Dataran Rendah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 13(1), 13 - 21 Andadari & Kuntadi. (2014). Perbandingan hibrid ulat sutera (Bombyx mori L.) asal Cina dengan hibrid lokal di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 11(3), 173-183. Andadari, L, S. Pudjiono, Suwandi, and T. Rahmawati. 2013. Budidaya Murbei dan Ulat Sutera. dited by M.Kaomini, NF Haneda, and T.Herawati. Bogor: FORDA Press. Kaomini, M., & Andadari, L. (2009). Sintesis Hasil Penelitian Teknologi Peningkatan 182 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Entomophagy: serangga sebagai sumber ....



Entomophagy: Serangga sebagai Sumber Protein Alternatif dalam Perspektif Keamanan Pangan Lutfi Afifah Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang Jl. HS Ronngowaluyo, Teluk Jambe Timur, Kab. Karawang 41361 *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK Pada negara yang berkembang, kenaikan populasi penduduk yang semakin meningkat dan keterbatasan lahan pertanian menjadi masalah serius terhadap keamanan pangan. Saat ini permintaan konsumen terhadap protein hewani juga meningkat. Baru-baru ini terdapat ketertarikan terhadap serangga sabagai bahan pangan pada kalangan akademisi, industri pangan dan pertanian, dan publik pada umumnya. Untuk alasan ini, upaya baru harus ditemukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan yang berkualitas, terutama perlunya sumber protein alternatif yang baru. Tujuan dari penulisan review adalah untuk menjelaskan mengenai keterbaruan data-data penelitian dalam konteks penggunaan serangga sebagai bahan pangan yang potensial sebagai alternatif sumber protein. Saat ini penggunaan serangga sebagai salah satu bahan pangan semakin berkembang pada negara tropis maupun subtropis. Serangga bisa menjadi alternatif sebagai bahan pangan karena (1) serangga mempunyai kandungan protein dan nutrisi lain yang tinggi selain itu juga (2) penggunaan serangga sebagai bahan pangan mempunyai keuntungan secara ekologis dibandingkan dengan daging konvensional. Terdapat sekitar 2000 spesies serangga yang dapat digunakan sebagai sumber protein alternatif sebagai bahan pangan. Kebanyakan spesies tersebut berada pada negara tropis. Serangga yang paling banyak dikonsumsi antara lain dari Ordo: Coleoptera (31%), Lepidoptera (18%), Hymenoptera (14%), Orthoptera (13%), Hemiptera (10%), Isoptera (3%), Odonata (3%), Diptera (2%), Ordo lain (5%). Serangga mempunyai kandungan protein dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan mempunyai kandungan asam lemak dan mineral seperti iron dan zinc. Penggunaan serangga sebagai bahan pangan dan pakan akan memerlukan usaha perbanyakan massal/peternakan. Masalah dalam keamanan pangan berhubungan erat dengan kontaminasi mikroorganisme, kimia, dan kontaminasi fisik. Kontaminan tersebut diharapkan tidak ada dalam bahan pangan, selain itu juga diperlukan higinis dalam produksi pangan berbasis serangga. Di Indonesia, penggunaan serangga sebagai bahan pangan masih diperlukan banyak kajian dan penelitian. Sehingga di masa yang akan datang akan dapat dibuat sumber alternatif pangan baru berbasis serangga. Kata kunci: Entomophagy, alternatif sumber protein, serangga sebagai bahan pangan, nutrisi, keamanan pangan ABSTRACT In developing countries, an increasing population increase and limited agricultural land are becoming serious problems with food security. Currently, consumer demand for animal protein is also increasing. Recently there has been an interest in insects as food ingredients in academia, the food and agriculture industry, and the public at large. For this reason, new efforts must be found to improve the availability of quality food, especially the need for new alternative sources of protein. The purpose of the review is to explain the updated data of research in the context of the use of insects as potential food as an alternative source of protein. Currently, the use of insects as one food material is growing in tropical and subtropical countries. Insects can be an alternative to food because (1) insects have high protein and other nutrients as well (2) the use of insects as food has an ecological advantage compared to conventional meat. There are about 2000 species of insects that can be used as an alternative source of protein as food. Most of these species are in tropical countries. The most widely consumed insects are from the Order: Coleoptera (31%), Lepidoptera (18%), Hymenoptera (14%), Orthoptera (13%), Hemiptera (10%), Isoptera (3%), Odonata (3% ), Diptera (2%), Other Orders (5%). Insects have protein content with good quality and quantity and have fatty acids and minerals such as iron and zinc. The use of insects as food and feed will require a mass propagation effort/livestock. Problems in food security are closely related to the microorganism, chemical, and physical contamination. The contaminants are expected to be absent in foodstuffs, as well as hygiene in insect-based food production. In Indonesia, the use of insects as food is still needed in many studies and research. So that in the future will be made the alternative food source of new insect-based. Keywords: Entomophagy, alternative sources of protein, insects as food, nutrition, food security



PENDAHULUAN Pada negara yang berkembang, kenaikan populasi penduduk yang semakin meningkat dan keterbatasan lahan pertanian menjadi masalah serius



terhadap keamanan pangan. Saat ini permintaan konsumen terhadap protein hewani juga meningkat. Produksi dari protein hewani membutuhkan konsumsi sumber daya yang tinggi, membutuhkan lahan 183 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Entomophagy: serangga sebagai sumber ....



pertanian yang luas, air, dan juga energi. Saat ini, peternakan tradisonal dan produksi dari daging masih menjadi tantangan besar dan menjadi pertanyaan. Ketertarikan pada alternatif sumber protein baru yang mempergunakan lebih sedikit sumber daya menjadi daya tarik sendiri di kalangan akademisi, industri pangan dan pertanian, dan publik pada umumnya (Hartmann & Siegrist 2017) Serangga bisa menjadi sumber alternatif protein yang baik karena mengandung asam amino esensial, vitamin, dan mineral, bergantung dari jenis spesies, stadia perkembangan, dan pola makan dari serangga tersebut. Keunggulan lain dari bahan makan dari serangga ini adalah proses produksinya relatif aman terhadap lingkungan (environmentally-friendly). Terdapat sekitar 2000 spesies serangga yang bisa dimakan (edible insects) dan telah teridentifikasi. Kebudayaan beberapa negara seperti Asia Timur, Afrika, dan Amerika Selatan, mereka memanen serangga dari alam dan merupakan bagian dari diet tradisional. Pada banyak negara lain pun seperti Negara Barat masih menjadi polemik antara serangga sebagai bahan pangan atau sesuatu yang menjijikan untuk dimakan. Namun masih banyak polemik yang menjadi perdebatan di kalangan akademisi, peneliti, dan juga masyarakat luas. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang namun juga pada negara maju. Walaupun secara nutrisional serangga mempunyai aspek gizi yang tinggi yang tidak kalah dengan protein hewani lainnya namun isu kesehatan masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Aspek kesehatan dari mengkonsumsi serangga bisa dilihat pada gambar dimana masih terdapat beberapa bahaya seperti bahaya alergi, bahaya terkontaminasi mikroba, bahaya parasit, dan bahaya kimiawi. Hal ini patut untuk menjadi perhatian bagi semuanya, pengetahuan masyarakat secara luas mengenai paradigma mengkonsumsi serangga juga harus dibuka. Penelitian mengenai edible insects juga harus lebih banyak lagi, sehingga suatu saat nanti akan bisa menjadi sesuatu yang umum untuk mengkonsumsi protein hewani dari serangga.



disebutkan istilah entomophagy (Evans et al. 2015). Baru pada tahun 1871, Riley mengutarakan mengenai istilah entomophagy melalui tulisannya yang berjudul ‘Sixth annual report on the noxious, beneficial, and other insects of the state of Missouri’(Evans et al. 2015). Jumlah dari spesies serangga yang bisa dimakan atau biasa disebut edible insects terdapat sekitar 2000 spesies serangga. Menghimpun data dari edible insects tersebut pada dasarnya masih dirasa sulit karena masih banyak yang mempergunakan nama lokal (ethnospecies) bahkan pada spesies yang sama. Dengan mempergunakan nama latin, Yde Jongema peneliti dari Wageningen University and Research (WUR) mendapatkan informasi mengenai jumlah spesies serangga yang dapat di konsumsi. Penelitian tersebut berdasarkan studi literatur pada Negara Barat dan negara beriklim sedang / temperate. Pada tahun 2002 terdapat sekitar 1900 spesies serangga yang teridentifikasi sebagai edible insects (Van Huis et al. 2013). Perkiraan jumlah edible insects di Africa yaitu 250 spesies; Meksiko terdapat 177 spesies; Cina terdapat 170 spesies; Thailand terdapat 164 spesies; dan 428 spesies serangga di Amazon (Gambar 1). Namun untuk penelitian mengenai edible insects ini di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga data kurang terinformasi secara baik (Van Huis et al. 2013).



Entomophagy di Dunia Istilah ‘Entomophagy’berdasarkan kamus Oxford menyatakan bahwa Entomofagi adalah suatu praktek dari memakan serangga yang dilakukan oleh manusia. Kegiatan mengonsumsi serangga sampai saat ini masih menjadi perdebatan apalagi soal normalitas. Penggunaan istilah entomophagy menggunakan Bahasa Inggris dan juga di negara Eropa merupakan istilah yang baru. Pada awal abad ke 17, Aldrovandi’s ‘De animalibus Insects’ mengemukakan informasi mengenai penggunaan serangga sebagai bahan pangan dan hal tersebut menjadi sinyal permulaan dari era baru entomologi ‘new age of entomology’, namun pada saat itu tidak



Serangga yang paling banyak dikonsumsi antara lain dari Ordo: Coleoptera (31%), Lepidoptera (18%), Hymenoptera (14%), Orthoptera (13%), Hemiptera (10%), Isoptera (3%), Odonata (3%), Diptera (2%), Ordo lain (5%) (Gambar 2) (Jongema 2012). Secara global yang paling banyak dikonsumsi adalah golongan kumbang, hal ini menjadi sesuatu yang tidak mengherankan lagi karena Coleoptera mempunyai proporsi sekitar 40% diantara Ordo lainnya. Konsumsi dari larva Lepidoptera sangat popular di sub-sahara Afrika. Lebah, tawon, dan semut dari Ordo Hymenoptera sangat popular di Amerika Latin. Orthoptera yang banyak dikonsumsi adalah jenis belalang dan jangkrik. Serangga Lepidoptera yang paling banyak dikonsumsi adalah



Gambar 1



Gambaran jumlah serangga yang dapat dikonsumsi (edible insects) di seluruh dunia (Jongema 2012)



184 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



pada fase larva, sedangkan Hymenoptera dikonsumsi sebagian besar pada fase larva atau pupa. Coleoptera banyak dikonsumsi baik pada fase imago maupun larva. Selain itu, Orthoptera, Hemiptera, Isoptera sebagian besar dikonsumsi pada fase dewasa (Cerritos 2009).



Gambar 2



Jumlah spesies serangga yang dapat dikonsumsi berdasrkan Ordo. Jumlah keseluruhan= 1909 (Jongema 2012).



Kandungan Nutrisi Serangga Serangga dapat memenuhi kebutuhan nutrisional dari manusia dan kebanyakan mengandung asam amino penting penting yang diperlukan oleh



Entomophagy: serangga sebagai sumber ....



tubuh (Belluco et al. 2013). Salah satu serangga yang banyak di makan di Negara China adalah pupa ulat sutra, dimana protein ulat sutra dapat dibandingkan dengan protein hewan lain (Tabel 1). Protein pada serangga bisa dicerna oleh tubuh (highly digestible) antara 77-98%, meskipun serangga dengan eksoskeleton mempunyai nilai yang lebih rendah karena adanya kitin (Longvah et al. 2011). Penghilangan kitin akan meningkatkan kualitas dari protein serangga jika dibandingkan dengan produk dari vertebrata lainnya (De Foliart, 2002). Selain itu, manusia masih bisa mencerna beberapa kitin, 2 kitinase katalitik aktif telah ditemukan: AMCase dan chitotriosidase (De Foliart 2002). Serangga sangat bervariasi dalam kandungan lemak dan energi. Kandungan lemak serangga berkisar antara 7-77 g/100g berat kering dan kalori serangga bervariasi antara 293-762 kcal/100 g berat kering (Belluco et al., 2013). Nilai ini tergantung pada pola makan serangga dan spesies serangga. Misalnya ulat dan rayap diketahui mengandung lebih banyak lemak (Bukkens, 2005) dan menurut (De Foliart, 2002) beberapa serangga mengandung lebih penting asam lemak, seperti asam linoleat dan / atau linolenat, dibandingkan dengan daging.



Tabel 1 Perbandingan komposisi asam amino esensial antara pupa ulat sutra segar (silkworm pupae) dan daging lainnya (Longvah et al., 2011) Pupa Ulat Komponen (g/100 g) Daging Sapi Daging Babi Daging Ayam Sutra Protein g% 15.8 21.35 21.3 19.4 Aspartic acid 1.54 2.07 1.13 1.91 Threonine 0.75 0.87 0.94 0.95 Serine 0.82 0.86 0.9 0.88 Glutamic acid 2.03 3.61 3.26 2.85 Proline 1.02 0.89 0.85 0.73 Glycine 0.78 1.08 1.02 0.9 Alanine 0.97 1.32 1.25 1.15 Cystine 0.08 0.23 0.29 0.25 Valine 0.84 1.02 1.21 1.04 Methionine 0.36 0.61 0.59 0.62 Isoleucine 0.69 0.92 1.14 0.98 Leucine 1.04 1.82 1.74 1.64 Phenylalanine 0.82 0.86 0.83 0.82 Histidine 0.42 0.82 0.82 0.69 Lysine 1.03 1.94 1.8 1.79 Arginine 0.69 1.3 1.33 1.34 Tantangan Edible Insects dalam Keamanan Pangan Masih banyak polemik mengenai serangga sebagai alternatif sumber protein, hal ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang namun juga pada negara maju. Walaupun secara nutrisional serangga mempunyai aspek gizi yang tinggi yang tidak kalah dengan protein hewani lainnya namun isu kesehatan masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Aspek kesehatan dari mengkonsumsi serangga bisa dilihat pada gambar dimana masih terdapat beberapa bahaya



seperti bahaya alergi, bahaya terkontaminasi mikroba, bahaya parasit, dan bahaya kimiawi (Gambar 3). Halhal tersebut yang hingga kini masih menjadi bahasan di dunia Internasional (Belluco et al., 2013). Bahaya alergi didefinisikan reaksi negatif dari respon spesifik imun tubuh sebagai akibat dari terpaparnya pada suatu makanan tertentu. Berdasarkan penelitian oleh (Belluco et al., 2013) sampai saat ini masih sedikit publikasi mengenai reaksi alergi karena mengkonsumsi serangga. Perbedaan tradisi makanan secara geografi dapat menjadi perbedaan pada alergi 185 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



makanan. Di China serangga yang sering dimakan adalah pupa ulat sutra. Mereka memakan baik di goring, rebus, atau dalam bentuk tepung. Pupa ulat sutra menimbulkan potensi alergi (allergenic). Diperkirakan setiap tahun lebih dari 1000 pasien di China mengalami reaksi anaphylactic setelah mengkonsumsi pupa ulat sutra (Belluco et al. 2013). Bahaya terkontaminasi mikroba juga menjadi sorotan penting dalam edible insects. Sedikit literatur yang bisa didapatkan dalam hal ini. Mengevaluasi bagaimana serangga dapat menjadi vektor yang mampu mentranmisikan pathogen. Penelitian pada 4 spesies (Zoophobas morio, Tenebrio molitor, Galleria mellonella, and Acheta domesticus) menunjukkan bahwa terdapat kontaminasi mikroba yang tinggi pada serangga tersebut (105 - 106 cfu/g). Bakteri gram positif yang dapat ditemukan antara lain yaitu Micrococcus spp., Lactobacillus spp. (105 cfu/g), and Staphylococcus spp. (sekitar 103 cfu/g). Pada penelitian lain Salmonella juga banyak ditemukan pada lalat (Giaccone, 2005). Parasit merupakan ancaman lain yang berhubungan dengan konsumsi serangga. Pada hasil penelitian (Chai et al., 2009) ditemukan bahwa terdapat 6 dari 65 spesies dari cacing pita dari sampel serangga. Salah satunya Phaneropsolus bonnei (Lecithodendriid) ditemukan pada otopsi manusia pada tahun 1951 di Jakarta, Indonesia. Selain itu ditemukan juga Protozoa seperti Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia yang ditemukan pada kecoak. Serangga ini juga dapat membawa Toxoplasma spp. dan Sarcocystis spp. Kontaminasi kimia pada serangga bisa membahaykan konsumen, terlebih jika serangga tersebut didapatkan dari alam (wild harvesting) daripada serangga yang memang diternak sendiri (farming). Di Indonesia sendiri tantangan jika menjadikan serangga sebagai sumber alternatif protein salah satunya adalah usaha perbanyakan massal (rearing). Sampai saat ini belum ada produsen yang mampu memproduksi dan menyediakan serangga secara kontinu dan dalam produksi besar. Padahal jika menjadikan serangga sebagai bahan pangan haruslah dalam jumlah yang mencukupi.



Entomophagy: serangga sebagai sumber ....



Gambar 3 Diagram alir serangga sebagai makanan (edible insects) dalam perspektif keamanan pangan (Belluco et al. 2013) Penerimaan Masyarakat terhadap Serangga sebagai Alternatif Sumber Protein Berdasarkan hasil survey (Hartmann & Siegrist 2017) menyebutkan bahwa keinginan masyarakat Eropa untuk memakan serangga sangat rendah. Studi pada masyarakat Belgia menyebutkan bahwa hanya 19% masyarakat yang disurvey berkeinginan mengganti protein mereka dengan serangga sebagai subtitusi pengganti daging (Verbeke, 2015). Hal yang sama juga ditemukan pada survey masyarakat Jerman dimana keinginan mengganti serangga sebagai sumber alternative protein juga rendah (Hartmann et al. 2015). Jika responden bisa memilih, mereka akan cenderung lebih menyukai produk makanan yang bebas dari serangga (de Boer et al. 2013). Sebagai contoh pada survey di Belanda hanya 4% yang memilih makanan ringan berbahan dasar serangga. Laki-laki cenderung bereaksi positif terhadap serangga sebagai pangan daripada wanita. Terlepas dari masalah gender, tidak ada faktor sosiodemografik yang telah diidentifikasi berpengaruh dalam penerimaan serangga sebagai pangan (de Boer et al. 2013). Dalam kebudayaan di mana kita tinggal dan hidup mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam hal apa yang kita bisa terima sebagai makanan dan apa yang tidak kita bisa terima. Pada gambar 4 menunjukkan bahwa adanya perbedaan penerimaan masyarakat Jerman dan China dalam hal serangga sebagai bahan pangan terutama pada konsumsi pupa goreng (fried silkworms). Secara garis besar penerimaan masyarakat tentang mengonsumsi pupa goreng di China lebih besar daripada di Jerman. China 186 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



lebih familiar dengan ide memakan pupa goring. Terdapat perbedaan yang signifikan jika dibandingkan di Jerman. China lebih familiar dan menganggap mengonsumsi pupa goreng lebih bernutrisi (nutritious). Pada kebudayaan barat, serangga sering diasosiasikan dengan kontaminasi makanan, mempunyai resiko kesehatan, dan bahkan dikategorikan sebagai primitive diet. Reaksi masyarakat yang menjijikan terhadap serangga sebagai pangan menjadi halangan terhadap pengenalan serangga di pasar pangan eropa (western food market). Sebuah studi di Amerika, 57% dari responden yang berjumlah 200 orang menolak serangga sebagai pangan karena berfikir bahwa serangga adalah menjijikkan dan emosional negatif terhadap serangga, selain itu ekspektasi negatif dari rasa serangga, ketidaktauan serangga sebagai salah satu alternatif bahan pangan, dsb. Kesemua hal tersebut dapat mendorong penolakan serangga sebagai sumber alternatif protein (Ruby et al., 2015). Di Indonesia sendiri banyak yang telah mengkonsumsi serangga sebagai pangan mereka. Serangga yang sering dikonsumsi di Indonesia antara lain: belalang, kepompong ulat daun jati, rayap dan ulat sagu. Belalang goreng adalah oleh-oleh khas Gunungkidul, Yogyakarta. Jenis yang dimanfaatkan untuk konsumsi biasanya belalang kayu. Camilan ini bertekstur renyah di luar dan sedikit kenyal di dalam. Kepompong ulat yang disebut enthung dalam Bahasa Jawa ternyata juga dikonsumsi di Blora, Jawa Tengah, dan Gunungkidul, Yogyakarta. Biasanya kepompong daun jati (ungker) dimasak dengan garam dan bawang putih dan menjadi lauk pauk. 'Perburuan' kepompong dilakukan sekitar bulan November-Desember. Masyarakat menganggap rasanya seperti udang. Selain itu rayap bisa dikonsumsi dan dijadikan rempeyek yang renyah. Bisa juga dicampurkan dengan kelapa parut dan bumbu, dibungkus daun pisang, lalu dikukus menjadi botok. Ulat sagu dikonsumsi di Papua dan Maluku. Ulat gemuk berwarna putih dengan kepala hitam kemerahan ini diambil dari dalam batang pohon sagu yang telah tumbang. Saat dimakan mentah, ada rasa asam dan cairan yang keluar dari tubuhnya. Setelah disatai dan dibakar, rasanya lebih gurih dengan kulit yang sedikit renyah. Mentah maupun matang, teksturnya tetap kenyal. Berdasarkan (Durst et al. 2010) menyatakan bahwa Rhynchophorus bilineatus merupakan serangga yang sering dikonsumsi di Papua. Larva digunakan sebagai makanan subsisten dan dijual di pasar tradisional (Gambar 5). Di Papua terdapat kearifan lokal (indigenous knowledge) dari serangga (edible insects). dimana serangga tersebut dinamakan berdasarkan bahasa lokal, tradisi, dan habitat serangga. Di dataran rendah, populasi edible insects berkurang karena hilangnya hutan sagu. Di daerah pegunungan, masih banyak terdapat serangga yang dapat dikonsumsi (edible insects).



Entomophagy: serangga sebagai sumber ....



Gambar 4 (a) Pupa goreng (fried silkworms) dan (b) Hasil survey penerimaan masyarakat Jerman dan China pada pupa goreng (fried silkworms) sebagai makanan. Jumlah responden di Jerman (N= 502) dan jumlah responden di China (N=443) (Ruby et al. 2015).



Gambar 5 Larva ulat sagu yang dijual di Pasar Sentani, Jayapura. Gambar diambil oleh E. Ramendey.(Durst et al,. 2010). SIMPULAN Masih banyak polemik yang menjadi perdebatan di kalangan akademisi, peneliti, dan juga masyarakat luas. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang namun juga pada negara maju. Walaupun secara nutrisional serangga mempunyai aspek gizi yang tinggi yang tidak kalah dengan protein hewani lainnya namun isu kesehatan masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Aspek kesehatan 187 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



dari mengkonsumsi serangga bisa dilihat pada gambar dimana masih terdapat beberapa bahaya seperti bahaya alergi, bahaya terkontaminasi mikroba, bahaya parasit, dan bahaya kimiawi. Hal ini patut untuk menjadi perhatian bagi semuanya, pengetahuan masyarakat secara luas mengenai paradigma mengkonsumsi serangga juga harus dibuka. Penelitian mengenai edible insects juga harus lebih banyak lagi, sehingga suatu saat nanti akan bisa menjadi sesuatu yang umum untuk mengkonsumsi protein hewani dari serangga. DAFTAR PUSTAKA Belluco S, Losasso C, Maggioletti M, Alonzi CC, Paoletti MG, Ricci A. 2013. Edible insects in a food safety and nutritional perspective: a critical review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 12(3):296313. Bukkens SG. 2005. Insects in the human diet: nutritional aspects. Ecological implications of minilivestock:545-577. Cerritos R. 2009. Insects as food: an ecological, social and economical approach. CAB Reviews: Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 4(027):1-10. de Boer J, Schösler H, Boersema JJ. 2013. Motivational differences in food orientation and the choice of snacks made from lentils, locusts, seaweed or “hybrid” meat. Food Quality and Preference 28(1):32-35. De Foliart GR. 2002. The human use of insects as a food resource: a bibliographic account in progress. University of Wisconsin. Durst PB, Johnson DV, Leslie RN, Shono K. 2010. Forest insects as food: humans bite back. RAP publication. Evans J, Alemu M, Flore R, Frøst M, Halloran A, Jensen A, Maciel-Vergara G, Meyer-Rochow V, Münke-Svendsen C, Olsen S. 2015. ‘Entomophagy’: an evolving terminology in need of review. Journal of Insects as Food and Feed 1(4):293-305. Giaccone V. 2005. Hygiene and health features of mini livestock. Ecological implications of minilivestock: role of rodents, frogs, snails and insects for sustainable development. Science Publisher:579-598. Hartmann C, Shi J, Giusto A, Siegrist M. 2015. The psychology of eating insects: A crosscultural comparison between Germany and China. Food quality and preference 44:148156. Hartmann C, Siegrist M. 2017. Insects as food: perception and acceptance. Findings from current research. Ernahrungs Umschau 64(3):44-50.



Entomophagy: serangga sebagai sumber ....



Jongema Y. 2012. List of edible insect species of the world. Wageningen, Laboratory of Entomology, Wageningen University.(available atwww. ent. wur. nl/UK/Edible+ insects/Worldwide+ species+ list/). Longvah T, Mangthya K, Ramulu P. 2011. Nutrient composition and protein quality evaluation of eri silkworm (Samia ricinii) prepupae and pupae. Food Chemistry 128(2):400-403. Ruby MB, Rozin P, Chan C. 2015. Determinants of willingness to eat insects in the USA and India. Journal of Insects as Food and Feed 1(3):215-225. Van Huis A, Van Itterbeeck J, Klunder H, Mertens E, Halloran A, Muir G, Vantomme P. 2013. Edible insects: future prospects for food and feed security. BioOne. Verbeke W. 2015. Profiling consumers who are ready to adopt insects as a meat substitute in a Western society. Food Quality and Preference 39:147-155.



188 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Tingkat pemahaman masyarakat desa ....



Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Besuki Terhadap Edible Insect : Kajian Awal Introduksi Berbagai Produk Olahan Berbahan Dasar Serangga Sebagai Sumber Protein Tutut Indah Sulistiyowati* Universitas Nusantara PGRI Kediri Alamat Korespondensi: [email protected]



*



ABSTRAK Penelitian mengenai tingkat pemahaman masyarakat Desa Besuki terhadap edible insect ini dilatar belakangi oleh hasil observasi mudahnya ditemui serangga yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan pangan, serta semakin mahalnya daging sapi yang menjadi salah satu sumber protein. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui tingkat pemahaman masyarakat mengenai edible insect yang ada di sekitar mereka, sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan yang menghasilkan produk laku jual dan dapat sekaligus mencukupi kebutuhan nutrisi. Metode yang digunakan adalah wawancara dan pembagian angket. Sebanyak 100 orang dipilih secara acak, dan dijadikan sebagai subjek penelitian. Hasil dari tahap ini diketahui sebanyak 68% responden tidak mengetahui kebutuhan protein tubuh. Mayoritas responden yang mengetahui kebutuhan protein tubuh menggunakan daging sapi dan telur ayam sebagai sumber protein utama (72%), sisanya memenuhi kebutuhan tersebut melalui protein nabati. Dari keseluruhan responden, sebanyak 37% mengetahui bahwa ada serangga yang dapat dimakan, dan pernah mengkonsumsinya. Dengan demikian, tingkat pengetahuan masyarakat tentang edible insec masih rendah. Hasil wawancara menunjukkan bahwa serangga yang lazim dikonsumsi adalah belalang. Kata kunci: pemahaman masyarakat, edible insect, sumber protein ABSTRACT Research on understanding edible insect of Besuki villagers based on beef price which getting expensive. On the other hand, many potential insect to be an edible insect found but people people are not accustomed to eating insects. The main purpose of this research is to know the level of public understanding about edible insect. 100 people were selected randomly to be interviewed and fill out a questionnaire. Results showed that 68% of respondents did not know the importance of protein. Almost all respondents who understand about protein requirements use beef and eggs (72%). However, only 37% who understand about edible insect. Thus, the level of public knowledge about edible insect is still low. Interviews showed that the commonly consumed insects were grasshoppers. Key words: public knowladge, protein needs, sumber protein



PENDAHULUAN Telah diketahui bahwa serangga merupakan spesies yang pertama berhasil berkolonisasi dan menempati hampir di seluruh permukaan bumi, kecuali daerah kutub (Borror dkk., 1992). Sebanyak 72% serangga telah mendominasi spesies yang ada di muka bumi (Ewusie, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa serangga memiliki jumlah anggota terbesar dari keseluruhan kingdom hewan. Serangga memiliki beraneka nilai penting bagi kahidupan. Di bidang ekosistem serangga telah disebut sebagai spesies kunci (D Vedler dkk, 2008; Fellows, 2013). Di bidang pertanian, serangga berperan sebagai penyerbuk berbagai tanaman berbunga (Satta, 1998; Roubik, 2002; Klein dkk, 2003; Rianti dkk, 2010; Putra & Sulistiyowati, 2015., Sulistiyowati dan Putra, 2016). Di bidang pangan, serangga telah menghasilkan berbagai produk jadi ataupun setengah jadi untuk kemudian dapat diolah menjadi bahan makanan (Borror, 1992., Belluco dkk, 2013., Huis, 2015). Isu krisis sumber pangan dunia telah disampaikan oleh FAO (http://fao.org/forestry/edibleinsects/en/). Oleh sebab itu, dipandang perlu adanya pembaharuan



sumber pangan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia yang makin meningkat populasinya. Komite keamanan pangan dunia (CFS) menegaskan tentang adanya empat pilar ketahanan pangan, yaitu (1) tersedia cukup melimpah jumlahnya, artinya mudah dibudidayakan. (2) mudah didapat, tidak memerlukan akses perjalanan yang jauh. (3) mudah memanfaatkannya, dan (4) memiliki kandungan nutrisi yang baik (CFS, 2009). Salah satu manfaat serangga bagi kehidupan adalah sebagai sumber bahan makanan yang potensial karena mengandung sumber energi, nilai gizi, vitamin, mineral dan protein tinggi. Beberapa jenis serangga dapat dimakan dalam kondisi mentah, setengah matang dan matang dalam berbagai fase mulai dari telur, larva, maupun dewasanya. Jenis serangga yang cukup umum dikonsumsi di Indonesia adalah belalang, jangkrik, ulat sagu dan laron (Metcalf & William, 1975). Desa Besuki merupakan salah satu desa yang memiliki potensi untuk pengembangan sumberpangan baru yang berbahan dasar serangga, karena adanya berbagai spesies serangga yang telah diinventaris dan diteliti (Sa’diyah & Sulistiyowati, 189 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



2016; Prameswari & Sulistiyowati, 2016). Namun belum pernah diketahui respon masyarakat terhadap serangga yang dapat dikonsumsi, kegunaan, dan pengolahannya. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di desa Besuki yang berlokasi ± 15 km dari pusat kota Kediri (Gambar 1), selama bulan April hingga Juli 2017. Penelitian ini melibatkan sebanyak 100 responden dari berbagai kalangan masyarakat yang berdomisili di Desa Besuki. Masing-masing responden menjawab 10 pertanyaan pada angket. Pertanyaan tersebut meliputi pengetahuan dasar masyarakat tentang serangga yang dapat dikonsumsi. Beberapa responden diwawancara untuk memperjelas jawaban agar memudahkan peneliti dalam pengelompokan jawaban.



Tingkat pemahaman masyarakat desa ....



tanah, baik sebagai petani, pekerja perkebunan, penjual tanaman hias sehingga masyarakat lebih mengenal variasi makanan berbahan dasar tumbuhan dari pada hewan.



Gambar 2. Hasil penelitian: persentase sumber makanan untuk pemenuh protein Pada pertanyaan tentang wawasan mengenai edible insect, sebanyak 51% tidak tahu tentang adanya serangga yang dapat dimakan (Gambar. 3), bahkan 12% responden baru mendengar bahwa ada serangga yang dapat dimakan. Responden yang baru mendengar tentang edible insect adalah pelajar dan pasangan muda. Sedangkan sisanya, 37% responden mengetahui adanya serangga yang dapat dikonsumsi dan pernah mengkonsumsinya. Serangga yang pernah diolah adalah belalang. Cara pengolahannya yaitu dengan dibakar. Kegiatan ini dilakukan di sawah atau kebun sambil menunggu domba yang sedang digembalakan.



Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian: jarak antara tempat penelitian dengan kampus HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 68% responden tidak mengetahui adanya kebutuhan protein tubuh pada manusia, namun dari hasil wawancara diketahui bahwa mereka mengerti tentang makanan sehat. Responden yang menjawab tahu tentang adanya kebutuhan protein tubuh menyatakan pemenuhan protein terbesar mereka adalah berasal dari telur ayam (47%) dan daging sapi (25%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya pada umumnya masyaratkat memenuhi kebutuhan protein dari telur daging hewan ruminansia (Nidjam dkk,, 2012; Tilman dkk, 2014). Responden lain menyatakan pemenuh kebutuhan protein mereka bersumber dari kacang dan sayuran (16%), dan sisanya sebanyak 13% memenuhi kebutuhan proteinnya dari ikan laut dan air tawar (Gambar 2). Melalui wawancara, diketahui bahwa menurut pemahaman mereka, protein adalah lauk yang bersumber dari hewan. Sehingga hampir semua jawaban responden adalah berkaitan dengan protein hewani. Kondisi geografis lokasi penelitian ini tergolong perbukitan, sehingga mata pencaharian terbanyak dari warganya adalah sebagai pengolah



Gambar 3. Hasil penelitian: persentase pengetahuan masyarakat tentang edible insect KESIMPULAN DAN SARAN Dari 100 responden, hanya sebanyak 37% pernah mengkonsumsi serangga. Meskipun begitu, responden tidak mengetahui bahwa beberapa jenis serangga adalah alternative protein yang dibutuhkan tubuh. Studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa hasil penelitian harus dapat disampaikan kepada masyarakat, terutama penelitian yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



190 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



DAFTAR PUSTAKA Belluco, Simone., Losasso, Carmen., Maggioletti, Michela., Alonzi, Cristiana C., Paoletti, Maurizio G., dan Antonia Ricci. 2013. Edible Insects in a Food Safety and Nutritional Perspective: A Critical Review. Comprehensive Reviews in Food Science and FoodSafety. Vol.12,2013 Borror, D. J., Triplehorn, C. A. dan Jhonson, N. F. 1990. An Introduction to The Sudy of Insect. 6th d. Saunders College Publishing, Philadelphia CFS. 35th Session, Agenda Item III, Reform of the Committee on World Food Security (CFS). Final Version. Rome: FAO; 2009. D, Veddeler., Olschewski, R., Tscharntke, T., and Klein, A.M. 2008. The contribution on nonmanaged social bees to cofee production. New Economic Insights Based on FarmScale Yield Data. Agroforestry system 73(2): 109-114. Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB Press. Bandung Fellows, K. 2013. Pollinator Patch-Wild pollinators for Food Crops: Pollinator Canada. Huis, A.V. 2015. Edible Insect Contributing to Food Security?. Agriculture and Food Security. 4:20: 1-9. Klein, A.M., Dewenter, S., and Tscharntke, T. 2003. Bee pollination and fruit set of Coffea arabica and C. canephora (Rubiaceae). American Journal Botany. 90: 153-157. Metcalf, R. L. dan William, H. L. 1975. Introduction to Insect Pest Management. Wiley. New York. Nijdam D, Rood T, Westhoek H. The price of protein: review of land use and carbon footprints from life cycle assessments of animal food products and their substitutes. Food Policy. 2012;37(6):760–70. Prameswari, I.T dan Sulistiyowati, T.I. 2016. Inventarisasi Capung (Odonata) di Kawasan Air Terjun Irenggolo Kediri Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional IV Hayati. Universitas Nusantara PGRI Kediri Putra, R.E, Sulistiyowati, T.I. 2015, Potency of Local Insects Pollinators of Dragon Fruit (Hylocereus undatus), Proceeding of The 5th Annual Basic Science International Conference: Vol 5: 99-101 Rianti, P., Bambang, S., dan Tri, A. 2010. Diversity and effectiveness of insect pollinators of Jatropha curcas L (Euphorbiaceae). Hayati J Biosci. 17: 38-42. Roubik, D.W. 2002 . Feral African Bees Augment Neotropical Coffee Yield, in : Kevan P & Imperatriz Fonseca VL (eds) – Pollinating Bees – The Conservation Link Between



Tingkat pemahaman masyarakat desa ....



Agriculture and Nature – Ministry of Environment/Brasilia, 222-226. Sa’diyah, K dan Sulistiyowati, T.I. 2016. Inventarisasi Kupu-Kupu (Lepidoptera diurnal) di Kawasan Wisata Air Terjun Irenggolo Kabupaten Kediri. Prosiding Seminar Nasional IV Hayati. Universitas Nusantara PGRI Kediri Satta, A., Acciaro, M., Floris, I., Lentini, A. and Sulas, L. 1998. Insect Pollination of Sulla(H edysarum coronarium L.) and Its Effect on Seed Production in a Mediterranean Environment. Ciheam. Mediterraneennes Sulistiyowati, T.I, dan Putra, E.P. 2016. Perilaku Serangga Pengunjung Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus), Prosiding Seminar Nasional from Basic Science to Comprehensive Education: 205-212 Tilman D, Clark M. Global diets link environmental sustainability and human health. Nature. 2014;515(7528):518–22.



191 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Korelasi panjang proboscis kupu ....



Korelasi Panjang Probosis Kupu-kupu (Lepidoptera : Pieridae) dengan Panjang Tabung Bunga Penghasil Nektar di Kawasan Kampus UI Depok Regina Diah Rachmawati1*, Rizka Adriana1, dan Adi Basukriadi1 1



Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Kupu – kupu termasuk serangga yang dapat membantu polinasi bunga. Kupu – kupu menghisap nektar dari bunga menggunakan probosis. Panjang probosis kupu – kupu berkaitan dengan panjang tabung bunga penghasil nektar yang dikunjunginya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara panjang probosis kupu - kupu dengan panjang tabung bunga. Penelitian telah dilaksanakan di tujuh titik pengamatan yang terdapat di Kampus UI Depok, pada bulan Juli hingga Agustus 2017. Penelitian dilakukan secara bertahap, diawali dengan survei lokasi yang menjadi titik pengamatan kupu - kupu serta pendataan kupu kupu dan bunga yang dikunjunginya dengan metode jelajah bebas. Selanjutnya, pengambilan sampel kupu kupu dan bunga yang dikunjunginya dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Pengamatan dilakukan terhadap enam spesies kupu - kupu dari famili Pieridae. Rata - rata panjang probosis kupu - kupu berkisar 0.92 - 1.63 cm, dengan rata - rata panjang tabung bunga yang dikunjungi berkisar 0.92 - 1.37 cm. Analisis data dilakukan menggunakan software IBM SPSS Statistics 22, nilai korelasi Spearman yang diperoleh adalah - 0.176, dengan nilai signifikasi sebesar P = 0.738. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara panjang probosis kupu - kupu Pieridae dengan panjang tabung bunga. Cara kupu - kupu yang berbeda ketika mengambil nektar dari bunga diduga sebagai penyebab korelasi tersebut bernilai negatif. Kata kunci: Pieridae, probosis, kupu – kupu, korelasi Spearman, tabung bunga.



ABSTRACT Butterflies is one of insects that can help flower pollination. Butterflies are sucking nectar from flowers using proboscis. The length of the butterfly proboscis accord to the length of the tube of the nectar-producing flower it visits. This study aims to determine the correlation between the length of the butterfly proboscis with the length of the flower tube. The study was conducted at seven observation points located at UI Depok Campus, July to August 2017. The study was conducted in stages, beginning with the survey location which became the observation point of the butterfly and the data collection of butterflies and flowers visited by the method of free roaming. Furthermore, the sampling of the butterflies and flowers visited by three repetitions. Observations were made on six species of butterflies of Family Pieridae. The average length of the butterfly proboscis ranges from 0.92 - 1.63 cm, with the average length of the visited flower tube ranging from 0.92 1.37 cm. Data analysis was done using IBM SPSS Statistics 22 software, Spearman correlation value obtained was - 0.176, with the significance value of P = 0.738. These results indicate that there is a negative correlation between the probable length of the Pieridae butterfly with the length of the flower tube. Different butterflies when taking the nectar from the flower is thought to be the cause of the correlation is negative. Keywords: Pieridae, proboscis, butterfly, Spearman correlation, flower tube.



PENDAHULUAN Kupu-kupu (Lepidoptera) merupakan serangga yang mudah dikenali karena memiliki sepasang sayap yang tersusun atas sisik-sisik yang menghasilkan suatu pola warna (Peggie & Amir 2006: 14). Ordo Lepidoptera terbagi menjadi 47 Superfamili dan 124 Famili. Salah satu superfamili Lepidoptera yaitu Papilionoidea, yang terdiri dari Famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Nymphalidae (Kristensen et al. 2007). Famili Pieridae memiliki ciri khas yaitu sayapnya yang berwarna terang seperti putih, kuning atau oranye dengan bintik hitam. Warna berbeda pada sayap kupu-kupu dihasilkan oleh pigmen yang berasal dari produk limbah di dalam tubuh (Mal et al. 2014: 164). Terdapat dua tujuan utama kupu – kupu mengunjungi tanaman, yaitu mengambil makan



berupa nektar dan meletakkan telur pada bagian tanaman. Peranan kupu - kupu bagi tanaman adalah sebagai polinator. Kupu – kupu juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, karena kupu - kupu menjadi bagian dari rantai makanan dan bioindikator perubahan suatu lingkungan (Efendi 2009: 19). Simbiosis antara kupu – kupu dan bunga telah banyak dipelajari. Kupu – kupu membutuhkan nektar dari bunga sebagai sumber pakan untuk keberlangsungan hidupnya. Sebaliknya, kupu-kupu sangat membantu bunga dalam menyebarkan serbuk sari sehingga dapat menyentuh putik dan terjadi penyerbukan yang akan menghasilkan biji (Saraf & Murali 2017: 48). 192 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Kupu – kupu mengambil nektar dengan menggunakan probosis. Probosis merupakan alat penghisap yang berbentuk belahan tabung panjang dan tipis yang bersatu. Ukuran panjang probosis kupu – kupu bervariasi, berkaitan dengan panjang tabung bunga yang menjadi preferensi pakannya. Pengambilan nektar oleh kupu-kupu umumnya dibatasi panjang mahkota (corolla) bunga suatu tumbuhan (Rusman 2015: 3). Kupu – kupu dengan probosis pendek cenderung mengunjungi bunga dengan tabung mahkota pendek, sedangkan kupu – kupu dengan probosis panjang cenderung mengunjungi bunga dengan tabung mahkota panjang (Bariyah 2011: 8). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara panjang probosis kupu – kupu dengan panjang tabung bunga penghasil nektar. BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilakukan di lingkungan kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat. Lima lokasi di Universitas Indonesia yang dijadikan titik pengamatan yaitu Walace Timur, Walace Barat (Hutan Kota UI), Sabda Widya, Mahoni, PPMT, Menara Air, dan Lab Alam FMIPA UI. Penelitian dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 – 11.00 WIB selama 4 bulan, yaitu pada bulan Juli hingga Agustus 2017. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk penelitian antara lain insect net, kaliper, penggaris, jarum pentul, pinset, kotak plastik, alat tulis dan buku catatan.



Korelasi panjang proboscis kupu ....



Bahan yang digunakan untuk penelitian antara lain spesimen kupu – kupu dan bunga yang telah diambil, papilot, ziplock dan silica gel. Metode Pendataan kupu-kupu dan bunga yang dikunjunguinya Penelitian diawali dengan survei lokasi titik pengamatan, mengamati serta mendata kupu – kupu dan bunga yang dikunjunginya dengan metode jelajah bebas. Metode jelajah bebas adalah metode pengamatan dengan cara berjalan sepanjang jalur pengamatan. Pengambilan sampel dan identifikasi Metode penangkapan kupu – kupu yang digunakan adalah metode sweeping, yaitu metode penangkapan dengan menggunakan jaring serangga (insect net). Kupu – kupu yang diambil sebanyak tiga individu tiap spesies. Spesimen yang diperoleh dimasukkan ke dalam kertas minyak yang berbentuk segitiga (papilot) dengan tujuan agar spesimen tidak mengalami kerusakan. Bunga yang dikunjungi kupu – kupu juga diambil dan dimasukkan ke dalam ziplock. Selanjutnya, dilakukan proses identifikasi dengan menggunakan buku literatur, website ataupun kunci identifikasi. Perhitungan korelasi Probosis kupu – kupu direntangkan di bidang datar dengan bantuan pinset dan jarum pentul, kemudian panjangnya diukur dengan penggaris. Panjang tabung bunga diukur dengan kalipter. Analisis data dilakukan menggunakan software SPSS untuk mengetahui nilai korelasi Spearman antara panjang probosis kupu – kupu dan panjang tabung bunga.



Gambar 1. Lokasi penelitian di lingkungan kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat. 193 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Korelasi panjang proboscis kupu ....



HASIL DAN PEMBAHASAN Kupu – kupu Pieridae yang berhasil diamati sebanyak enam spesies, yaitu Appias olferna (betina), Appias olferna (jantan), Catopsilia pomona (jantan), Eurema alitha, Eurema hecabe dan Leptosia nina. Jenis bunga yang sering dikunjungi oleh kupu – kupu Pieridae yaitu bunga rumput Israel (Asystasia gangetica), maman ungu (Cleome rutidosperma), dan bunga putihan (Clibadium surinamense). Ketertarikan tiap famili kupu - kupu terhadap tumbuhan berbeda – beda. Familia Pieridae cenderung memiliki pakan pada tumbuhan famili Capparaceae dan Asteraceae.



No 1 2 3 4 5 6.



Preferensi kupu-kupu pada tumbuhan dilakukan karena pada kupu-kupu memiliki kemoreseptor, terdiri dari olfaktoreseptor (organ penciuman) yang terletak pada antena. Faktor yang menyebabkan kupukupu tertarik pada tumbuhan yaitu adanya atraktan pada tumbuhan. Jenis atraktan ada dua yaitu atraktan primer yang berupa polen, nektar, minyak, dan substansi lain yang terkandung pada tumbuhan tersebut, sedangkan atraktan sekunder berupa warna dan bentuk bunga pada tumbuhan tersebut (Ratih dkk, 2014: 2 -- 5).



Tabel 1. Daftar kupu – kupu Pieridae yang ditemukan beserta bunga yang dikunjunginya Nama Spesies Bunga Bunga Bunga Maman Bunga Rumput Putihan ungu tridax Nama Spesies kupu-kupu Israel (Clibadium (Cleome (Tridax (Asystasia surinamens rutidosperm procumbens gangetica) e) a) ) Appias olferna (betina)   Appias olferna (jantan)    Catopsilia pomona (jantan)   Eurema alitha   Eurema hecabe    Leptosia nina 



Rata - rata panjang probosis kupu - kupu Pieridae yang diamati berkisar 0.92 - 1.63 cm. Kupu – kupu dengan rata – rata panjang probosis paling pendek yaitu Appias olferna (betina), sedangkan yang paling panjang yaitu Catopsilia pomona (jantan). Rata - rata panjang tabung bunga yang dikunjungi Pieridae berkisar 0.92 - 1.37 cm. Bunga putihan (Clibadium surinamense) memiliki rata – rata panjang tabung bunga paling pendek, sedangkan bunga rumput Israel (Asystasia gangetica) memiliki rata – rata panjang tabung bunga paling besar. Kupu – kupu dengan probosis panjang lebih memungkinkan mengunjungi beragam bunga, baik dengan ukuran tabung bunga panjang maupun pendek



(Scott, 2014). Bunga yang dikunjungi oleh kupu – kupu dipengaruhi banyak faktor, antara lain panjang probosis kupu – kupu, batas maksimal probosis menjangkau nektar, warna bunga, ukuran tabung bunga, jumlah kelompok bunga (inflorescence floral), ketinggian bunga, aroma bunga, konsentrasi gula dalam nektar bunga, serta pengaruh lingkungan (habitat, ketinggian, dan jumlah tutupan kanopi). Famili Papilionidae menyukai bunga tipe sparsa (kuntum bunga tersebar), Pieridae menyukai bunga tipe sparsa moderat, sedangkan Hesperiidae dan Nymphalidae menyukai bunga bertumpuk (Tiple et al., 2009).



Tabel 2. Rata – rata panjang probosis kupu – kupu Pieridae dan rata – rata panjang tabung bunga No 1 2 3 4 5 6



Nama Spesies Appias olferna (betina) Appias olferna (jantan) Catopsilia pomona (jantan) Eurema alitha Eurema hecabe Leptosia nina



Rata – rata panjang probosis 0.92 1.1 1.63 1.1 1.17 0.95



Rata – rata panjang tabung bunga 1.14 0.97 1.37 0.92 1.37 0.925



194 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Gambar 2. Hasil analisis korelasi Spearman menggunakan software IBM SPSS Statistics 22. Berdasarkan hasil perhitungan analisis korelasi Spearman menggunakan software Statistical Product and Service Solutions (SPSS), diperoleh nilai - 0.176 dengan signifikasi p = 0.738, yang artinya ada korelasi negatif di antara keduanya. Hal tersebut dapat dikarenakan perbedaan cara kupu – kupu mengambil nektar, dengan mempertimbangkan energi yang didapat dan dikeluarkannya. Nektar pada bunga dengan tabung pendek mudah diambil oleh kupu – kupu probosis pendek dan kupu – kupu probosis panjang, sehingga menimbulkan kompetisi. Kupu – kupu dengan probosis yang lebih panjang dari tabung bunga tidak butuh memaksakan kepalanya masuk ke dalam korola bunga. Kupu – kupu tersebut lebih leluasa mengambil nektar dari bunga dengan tabung panjang, tidak perlu berkompetisi dengan kupu – kupu probosis pendek yang tidak mampu mencapai ke dasar tabung (Bauder et al., 2015: 418 -- 422). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara panjang probosis kupu – kupu Pieridae dengan panjang tabung bunga penghasil nektar, meskipun hasil analisis tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara keduanya. Kupu – kupu yang dapat mengambil nektar dari bunga dengan tabung lebih panjang dari probosisnya diduga melakukan cara tertentu untuk dapat meraih nektar dari dasar bunga. Namun perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai cara yang dilakukan atau posisi kupu - kupu ketika mengambil nektar dari bunga. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada kedua orang tua, Bapak Dr. Adi Basukriadi selaku dosen pembimbing, serta keluarga dan teman – teman yang telah membantu Saya dalam menyusun jurnal ini.



Korelasi panjang proboscis kupu ....



pollinator networks. Arthropod-Plant Interactions 9: 415 -- 424. Efendi, M. A. 2009. Keragaman kupu-kupu (Lepidoptera: Ditrysia) di kawasan ”hutan koridor” Taman Nasional Gunung HalimunSalak Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kristensen N.P., Scoble M.J., & Karsholt O. 2007. Lepidoptera phylogeny and systematics: the state of inventorying moth and butterfly diversity. Zootaxa. 1688: 699 -- 747. Mal, B., Nasreen M., & Shakeel A.M. 2014. Diversity of pierid butterflies (lepidoptera: pieridae) in Jamshoro district, Sindh, Pakistan. Journal of Entomology and Zoology Studies 2 (5): 164 - 170. Peggie D. & Amir M. 2006. Practical guide to the butterflies of Bogor Botanic Garden. Cibinong (ID): Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. Ratih, K.K., Sofia E.R. & Sulisetijono. 2014. Preferensi kupu – kupu Familia Papilionidae dan Pieridae pada tumbuhan di Wisata Air Terjun Coban Rais Kota Batu, Jawa Timur. Universitas Negeri Malang : 7. Rusman, R. 2015. Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) di Gunung Sago, Sumatera Barat: Keanekaragaman dan Preferensi Kunjungan pada Bunga [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Saraf, K.K. & Murali. 2017. An attempt of understanding butterfly monitoring methods. International Journal of Entomology Research 2 (2): 48 -- 54. Scott, J.A. 2014. Lepidoptera of North America : 13. Flower visitation by Colorado butterflies (40,615 Records) with a review of the literature on pollination of Colorado plants and butterfly attraction (Lepidoptera: Hesperioidea and Papilionoidea). Colorado State University: 190. Tiple AD, Khurada AM, Roger L.H. Dennis RLH. 2009. Adult butterfly feeding–nectar flower associations: constraints of taxonomic affiliation, butterfly, and nectar flower morphology. J Natural History. 43:855-884.



DAFTAR PUSTAKA Bariyah, K. 2011. Hubungan panjang probosis kupu – kupu dengan preferensi pakan di areal kampus I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri. Bauder, J.A.S., Warren A.D,. & Krenn H.W. 2015. The ecological role of extremely long proboscid Neotropical butterflies (Lepidoptera: Hesperiidae) in plant-



195 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



Keanekaragaman Serangga: Fakta, Fiksi, dan Keterbaruan Penelitian di Indonesia Fitri Ratna Juwita1, dan Lutfi Afifah2 2



1 Mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang Jl. HS Ronggowaluyo, Teluk Jambe Timur, Kab. Karawang 41361 *Alamat korespondensi : [email protected]



ABSTRAK Hutan hujan tropis dipercaya memegang peranan penting dalam keanekaragaman serangga. Pada banyak penelitian di daerah tropis seperti Indonesia, banyak digunakan insektisida knock down untuk mengetahui sampling keanekaragaman serangga. Saat ini, keanekaragaman serangga pada pertanian khususnya dalam hal ketidakseimbangan ekosistem juga menjadi sorotan. Hal ini didukung dengan banyaknya kasus ledakan hama yang terjadi, seperti ledakan hama pada belalang kembara Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) di Sumba dan ledakan hama ulat bulu Lymantria marganita dan Arctornis submarginata (Lepidoptera: Erebidae) di Probolinggo. Masyarakat pada umumnya mengetahui serangga dari sisi negatifnya yakni sebagai hama pada tanaman pertanian, vektor penyakit, dsb. Padahal menurut para ahli, spesies kelimpahan serangga hama tidak lebih dari 5%. Jasa ekologi dari serangga menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomi tinggi seperti madu, wax, sutera, dan hasil pertanian lainnya. Selain itu, serangga dapat menjadi bioindikator kesehatan lingkungan. Beberapa spesies serangga dari ordo Trichoptera, Ephemeroptera, dan Plecoptera digunakan menjadi bioindikator pencemaran air. Serangga memiliki peran fundamental terhadap siklus karbon global melalui perannya sebagai dekomposer yang handal seperti spesies rayap Nasutitermes javanicus (Isoptera: Rhinotermitidae) dan Macrotermes glivus (Isoptera: Termitadae). Serangga juga menjadi model bioinspiration perkembangan teknologi seperti pembuatan lensa kamera yang terinspirasi dari mata serangga serta pembuatan robot yang terinspirasi dari teknik terbang dan berjalannya serangga. Selain itu, di Indonesia banyak ditemukannya spesies-spesies serangga baru pada tanaman cengkeh seperti ngengat C. kwerbaensis, C. watungi (Lepidoptera: Oecophoridae). Spesies tersebut masing-masing ditemukan di Sulawesi Utara, Halmahera, dan Papua. Hama baru lain pada tanaman kedelai yaitu Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) dan Caloptilia sp. (Lepidoptera: Gracillariidae) di Ngawi, Jawa Timur. Penelitian mengenai keanekaragaman serangga masih perlu dikembangkan lagi sehingga nantinya dapat digali potensi serangga lainnya yang dapat bermanfaat bagi manusia, ekosistem, keilmuan, teknologi, dan ekonomi secara global. Kata kunci: keanekaragaman serangga, pertanian, ekologis, ekonomis, bioindikator ABSTRACT Tropical rain forests play an important role in insects species diversity. Many studies of insect species diversity in tropical country such Indonesia used knock down insecticides to determine the insect species diversity. In the last decade, imbalances of insects in agricultural ecosystem become highlight. This is supported by the number of pest explosion cases, such as pest explosions on Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) in Sumba and caterpillar pests of Lymantria marganita and Arctornis submarginata (Lepidoptera: Erebidae) in Probolinggo. Insects are known as a pest or vector-borne diseases in agricultural crops. But, according to the experts, the number of harmful insect species are no more than 5%. The ecological services of insects produce variety of high value economic products such as honey, wax, silk, and other agricultural products. Besides, insects can become bioindicator of enviromental health. Several species of insects from the Trichoptera, Ephemeroptera, and Plecoptera are used as a bioindicators of water pollution. Furthermore, Insects have a fundamental role to the global carbon cycle since its role as a reliable decomposer such as the termite species Nasutitermes javanicus (Isoptera: Rhinotermitidae) and Macrotermes glivus (Isoptera: Termitadae). Insects also become bioinspiration models of technological developments such as manufacture of camera lenses inspired from the eyes of insects and the manufacture of robots that are inspired by flying techniques and the walking of insects. In addition, in Indonesia many new species of insects are found such as C. kwerbaensis moths, C. watungi (Lepidoptera: Oecophoridae) in clove plants. The species are found in North Sulawesi, Halmahera and Papua respectively. Other potential new pest in soybean plants are Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) and Caloptilia sp. (Lepidoptera: Gracillariidae) in Ngawi, East Java. More research in insect species diversity are required for developing its concept. By continuous research in this field, we expect the potential of insects can be explored furthermore to give benefits for humans, ecosystems, technology, and the economy. Key words: insects species diversity, agriculture, ecology, economy, bioindicator.



PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi



di dunia atau dikenal mega biodiversity (Mittermeier & Mittermeier, 2003). Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di kawasan tropik yang mempunyai



196 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



iklim yang stabil dan secara geografi adalah negara kepulauan yang terletak diantara dua benua yaitu Asia dan Australia (Primack et al., 1998). Salah satu keanekaragaman hayati tertinggi di indonesia adalah serangga. Serangga merupakan kelompok binatang dengan jumlah spesies yang telah diketahui dan diidentifikasikan yakni sekitar 1 juta spesies (Gullan & Cranston, 2010). Menurut para ahli jumlah spesies serangga akan terus bertambah seiring masih banyaknya yang belum teridentifikasi. Serangga tidak hanya sebagai kelas terbesar dari filum artropoda, tetapi juga memiliki kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan ekosistem yang dinamis dan kurang stabil. Serangga merupakan komponen penting bagi ekosistem. Banyak fungsi utama serangga didalam ekosistem yang berhubungan dengan interaksi antara serangga dengan vegetasi. Hubungan yang saling menguntungkan antara tumbuhan dan serangga dimana serangga berperan pada proses persilangan (polinasi) dan penyebaran biji (Qin & Wang 2001). Hubungan ini memberikan keuntungan bagi tumbuhan, karena memberi peluang bagi tumbuhan untuk pertukaran gen dengan individu yang jauh pada jenis yang sama tanpa kehilangan banyak serbuk sari (polen). Selain itu, serangga tidak hanya sebagai spesies yang paling kaya jumlahnya di dunia ini, serangga juga memegang peranan penting dalam ekonomi global (Naeem et al., 1994; Tilman and Downing, 1994; McCann, 2000). Serangga mendukung dan menyediakan mata pencaharian bagi banyak orang, dimulai dari perdagangan sutra, perternakan lebah yang menghasilkan madu, wax, dan membantu penyerbukan sebagian besar tanaman budidaya buah dan berbagai hasil pertanian lainnya. Serangga dan pola tubuh mereka yang berwarnawarni telah memprakarsai kontribusi penting untuk seni, sastra serta budaya (Pyle et al., 1981), juga menjadi model bioinspiration perkembangan teknologi seperti pembuatan lensa kamera yang terinspirasi dari mata serangga serta pembuatan robot yang terinspirasi dari teknik terbang dan berjalannya serangga. Selain itu, serangga dapat menjadi bioindikator kesehatan lingkungan. Beberapa spesies serangga dari ordo Trichoptera, Ephemeroptera, dan Plecoptera digunakan menjadi bioindikator pencemaran air. Serangga memiliki peran fundamental terhadap siklus karbon global melalui perannya sebagai dekomposer yang handal. Dalam tulisan ini akan disampaikan mengenai perkembangan penelitian keanekaragaman serangga di indonesia dan pentingnya terus dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman serangga. Dengan banyak informasi yang didapat maka dapat digali potensi serangga lainnya yang bisa dimanfaatkan bagi manusia, ekosistem, keilmuan, teknologi, dan ekonomi secara global di indonesia.



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



Keanekaragaman Serangga di Indonesia Keanekaragaman hayati adalah dasar kelangsungan hidup manusia, dimana komposisi dan kekayaan kumpulan spesies juga sangat mempengaruhi fungsi stabilitas ekosistem (Naeem et al., 1994; Tilman & Downing 1994; McCann, 2000). Sebagian besar keanekaragaman di Indonesia didominasi oleh serangga jika dibandingkan dengan hewan lainnya. Menurut Bappenas (2015) jumlah insekta dan Hymentoptera di indonesia yakni masingmasing sebanyak 151.847 jenis atau sekitar 15% dari jumlah jenis biota dan 30.000 jenis Hymemenoptera. Kemudian jika dibandingkan dengan jenis yang ada didunia, Indonesia memiliki sekitar 20% jenis Hymenoptera serta 25% capung yang ada diseluruh dunia (Bappenas, 2015). Hutan hujan tropis dipercaya memegang peranan penting didalam keanekaragaman serangga. Pada banyak penelitian di daerah tropis seperti Indonesia, tanaman menyediakan parameter habitat kunci untuk banyak spesies serangga mulai dari tempat berlindung hingga tempat berkembang biak. Interaksi serangga tanaman memiliki efek langsung, misalnya pada penyimpanan dan siklus karbon dan nutrisi, serta sangat mempengaruhi suksesi dan pola persaingan di komunitas tumbuhan dan interaksi jaringan makanan (Swank et al., 1981; Weisser & Siemann 2004). Selain itu terdapat hubungan yang saling menguntungkan diantara tumbuhan dan serangga. Serangga membantu tumbuhan didalam proses persilangan (polinasi) dan penyebaran biji (Qin & Wang 2001). Hubungan ini memberikan keuntungan bagi tumbuhan, karena memberi peluang bagi tumbuhan didalam pertukaran gen dengan individu yang jauh pada jenis yang sama tanpa kehilangan banyak serbuk sari (polen). Fragmentasi habitat dapat mempengaruhi susunan ekologi hutan dalam banyak hal, seperti mengubah keanekaragaman dan komposisi biota. Lebih jauh dijelaskan dalam teori Biogeografi Pulau yang dikemukakan oleh MacArthur & Wilson (1967) bahwa terjadinya peningkatan fragmentasi habitat berpotensi mempengaruhi kelimpahan atau komposisi jenis pada bagian habitat tersebut. Fenomena ini diduga didasari oleh terjadinya perubahan dalam komposisi dan kekayaan jenis vegetasi. Hasil penelitian Pajunen et al., (1995), Pearce et al., (2004) dan Varady-Szabo & Buddle (2006) mengemukakan bahwa karakterisasi habitat yang terfragmentasi seperti tutupan kanopi, jumlah seresah dan iklim mikro menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan serangga. Galle (2008) dan Miyasitha (1998) mengamati kepekaan serangga terhadap ukuran habitat dan habitat yang terisolasi. Peningkatan keragaman tanaman akan memiliki efek positif yang lebih kuat pada kekayaan spesies pada tingkat tropis yang lebih tinggi. Namun, review baru-baru ini ditemukan bahwa spesies trofik yang lebih rendah merespons dengan lebih kuat peningkatan keragaman tanaman dari pada tingkat 197 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



trofik yang lebih tinggi di padang rumput (Scherber et al., 2010). Peningkatan keanekaragaman tanaman akan mengurangi efek invasi biologis, patogen dan hiperparasitisme (Scherber et al., 2010). Ini berarti bahwa peningkatan keanekaragaman tanaman bisa terjadi berpotensi meningkatkan stabilitas ekosistem (Tilman et al., 2006). Predator lebih efektif dalam mengendalikan herbivora/hama di ekosistem dengan habitat yang rendah (Southwood & Comins 1976). Metode Insektisida Knockdown di Dalam Pengambilan Sampel Kebanyakan kehidupan tumbuhan dan hewan di hutan hujan tropis tidak ditemukan di permukaan tanah (forest floor), melainkan di atas tanah atau di kanopi pohon. Para peneliti memperkirakan bahwa 70-90% dari kehidupan di hutan hujan tropis ditemukan dipepohonan, sehingga membuatnya menjadi habitat terkaya bagi kehidupan tumbuhan dan hewan khususnya serangga. Kanopi biasanya berada diketinggian 100 kaki (30 m) dari atas tanah (Stork, 1988) Didalam pengambilan sampel serangga di hutan hujan tropis terdapat berbagai macam metode yang dapat digunakan didalam pengambilan sampel serangga. Salah satu metode yang dapat digunakan didalam pengambilan sampel serangga yakni dengan menggunakan metode insekstisida knock down. Metode yang digunakan meliputi pengasapan (fogging), dan penyemprotan (spraying). Teknik ini telah digunakan dengan sukses besar di Inggris dan Afrika Selatan (Southwood et al., 1982) Penggunaan insektisida knockdown menghasilkan sampel yang sebagian besar tidak bergantung pada aktivitas serangga, dan dapat berhubungan langsung dengan pohon tertentu, bagian pohon atau volume kanopi yang diketahui. Teknik ini sebagian besar tidak terpengaruh oleh perubahan kondisi iklim. Semprotan halus yang dihasilkan dengan menyuntikkan larutan insektisida ke dalam mesin fogging. Mesin fogging diarahkan sekitar 5-10 m ke kanopi. Fogging menghasilkan tetesan yang jauh lebih kecil saat insektisida dipecah dengan injeksi ke asap knalpot yang dihasilkan oleh mesin. Oleh karena asap knalpot yang panas, kabut yang dihasilkan hangat dan naik melalui kanopi. Semakin lama membuang kabut dan mobilitasnya yang lebih besar, membuat teknik ini lebih sesuai daripada penyemprotan untuk mempelajari pohon yang lebih tinggi. Perlu dibantu penggunaan tali dan katrol tambahan untuk mengangkat mesin fogging ke kanopi. Pengambilan sampel di pohon dapat sampai ketinggian 70 meter Kesenjangan Penelitian Keanekaragaman Serangga Serangga merupakan kelompok taksonomi yang jumlah spesiesnya kaya di bumi dengan jumlah spesies yang telah diketahui dan diidentifikasikan yakni sekitar 1 juta spesies (Gullan dan Cranston,



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



2010). Menurut para ahli jumlah spesies serangga akan terus bertambah seiring masih banyaknya yang belum teridentifikasi. Kelompok serangga diperkirakan mencapai lebih dari setengah dari semua spesies di bumi dan diantara kelompok tersebut kumbang (Coleoptera) menjadi kelompok terbesar yang menyusun sekitar 40% dari seluruh jenis serangga (Borror et.al., 1989). Namun, berdasarkan hal diatas penelitian tentang keanekaragaman serangga masih terbatas. Keanekaragaman serangga masih mendapat sedikit perhatian dikarenakan banyaknya kendala. Ukuran tubuh yang kecil dan variabilitas dalam pola warna membuat kesulitan didalam mengidentifikasi serangga. Ini membutuhkan banyak waktu, energi dan dana didalam menyelidiki kelompok taksonomi terbesar di bumi ini. Berdasarkan pengetahuan yang masih sangat terbatas tentang keanekaragaman serangga, hanya sejumlah kecil spesies telah terdaftar dalam daftar konservasi regional dan global. Diperkirakan 44.000 kepunahan spesies serangga telah terjadi dalam 600 tahun terakhir, namun hanya 70 peristiwa semacam itu yang telah didokumentasikan (Dunn, 2005). Dari sekitar 29.000 jenis serangga yang terancam punah di Amerika Utara, namun hanya 37 spesies serangga yang disertakan dalam daftar merah regional (Redak 2000; Dunn, 2005). Di Indonesia juga masih terbatas didalam penelitian mengenai keanekaragaman serangga di Indonesia. Padahal Indonesia diprediksi memiliki keanekaragaman serangga tertinggi karena berada di daerah khatulistiwa dan memiliki wilayah hutan tropis yang besar. Ledakan Hama di Indonesia Pada dasarnya populasi serangga di alam selalu dikendalikan oleh berbagai faktor yang menyebabkan tidak terjadinya ledakan populasi serangga spesies tertentu. Berbagai faktor tersebut secara alami mengendalikan populasi serangga yakni dengan keseimbangan keberadaan antara serangga predator, parasit, dan patogen. Namun, seiring kebutuhan manusia terhadap kebutuhan pangan. Manusia merubah ekosistem alami untuk menciptakan suatu ekosistem baru yang khusus dibuat untuk kepentingan pertanian atau disebut agroekosistem. Dalam suatu agroekosistem, komponen ekosistem menjadi lebih sederhana yang terdiri dari populasi tumbuhan pertanian yang sering dibuat seragam (monokultur). Oleh karena itu, menyebabkan keseimbangan ekosistem dapat terganggu. Keadaan ini dapat membuat semakin bertambahnya populasi serangga tertentu dan mampu menurunkan populasi musuh alaminya sehingga sulit untuk mengendalikan serangga tersebut dan ledakan hama pun terjadi. Beberapa kasus ledakan hama yang terjadi, seperti ledakan hama pada belalang kembara Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) di Sumba dan ledakan hama ulat bulu Lymantria marganita dan Arctornis submarginata (Lepidoptera: Erebidae) di Probolinggo. Kasus ledakan hama belalang kembara Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) di Sumba 198 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



terjadi pada bulan Juni 2017. Serangan hama belalang membuat terganggunya penerbangan pada sebuah bandara setempat akibat rendahnya jarak pandangan disekitar bandara tersebut (Kompas, 2017). Belalang menghabiskan semua tanaman di kebun, semak, dan pohon .Ini diperkirakan disebabkan oleh dampak kekeringan akibat El-Nino. Dampak El-Nino sering



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



kali mengakibatkan musim kering yang panjang dengan besaran dan skala yang tidak dapat ditolerir sehingga musuh alami dari belalang berkurang dan menyebabkan belalang mampu menggandakan diri tanpa kendali (Roffey & Popov, 1968) khususnya ketika musim hujan tiba (Magor et al., 2008).



Gambar 2.Landasan Bandara Waingapu ditempati jutaan belalang Sumber:http://regional.kompas.com/read/2017/06/12/11460031/jutaanbelalang.ser ang.bandara.waingapu.di.sumba.timur Selain itu, beberapa tahun yang lalu terjadi juga ledakan hama ulat bulu yang menyerang tanaman mangga di Probolinggo. Hama ulat bulu Lymantria marganita dan Arctornis submarginata (Lepidoptera: Erebidae) menyerang secara massif dan invasif serta kemampuan migrasi yang tinggi membuat ribuan tanaman mangga rusak dengan cepat di Probolinggo. Serangga Yang Berpotensi Menjadi Hama Penting di Indonesia Status hama pada suatu spesies tertentu lebih banyak disebabkan oleh perubahan stabilitas ekologi yang dicirikan dengan menurunnya tingkat keragaman flora dan fauna termasuk musuh alami terutama jenis predator generalis akibat gerakan manalaginisme kearah monokultur, input kimia tinggi (pestisida: insektisida, fungisida, herbisida), dan perubahan kondisi alam. Salah satu hama baru yang berpotensi menjadi hama penting yaitu Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) dan Caloptilia sp. (Lepidoptera: Gracillariidae) pada tanaman kedelai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Afifah et al., (2015) pada musim tanam tahun 2013 dan 2014 di Ngawi, Jawa Timur menyatakan bahwa didalam pengamatan lapangan pada tanaman kedelai populasi kumbang daun yang teramati cukup tinggi kelimpahannya adalah Diabrotica sp. Kumbang Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) merupakan hama penting pada tanaman jagung (Zea mays L.) di Amerika. Serangga Betina Diabrotica sp. yang resisten terhadap rotasi tanaman, meninggalkan inang utama nya pada jagung dan mulai bertelur pada



lahan lain seperti kedelai (Kang and Krupke 2009). Di Indonesia Diabrotica sp. tidak termasuk ke dalam kelompok hama penting pada tanaman kedelai (Deptan 2014). Namun dengan tingginya populasi di lapangan, hama ini sangat potensial untuk menjadi hama penting pada tanaman kedelai. Kerusakan yang ditimbulkan oleh kumbang daun ini adalah pada bagian akar, batang, maupun daun. Selain itu kumbang Diabrotica sp. ini dapat menjadi vektor virus Cowpea Severe Mosaic Virus (CSMV) dan Cowpea Chlorotic Mottle Virus (CCMV) pada tanaman kedelai (Krysan & Miller 2012; Shurtleff & Aoyagi, 2009). Rayap Sebagai Dekomposer Handal Didalam Siklus Karbon Global Rayap memainkan peranan penting didalam siklus karbon global melalui perannya sebagai dekomposer yang handal didalam penguraian bahanbahan organik dan mempercepat kembalinya bahan organik ke dalam tanah. Rayap merupakan salah satu serangga (fauna tanah) yang sangat melimpah di semua jenis hutan (Miyashita, 1998). Rayap adalah organisme tanah yang cocok digunakan sebagai indikator untuk melihat tingkat kerusakan habitat karena struktur komunitas dan distribusi rayap sangat dipengaruhi oleh tingkat penutupan vegetasi, struktur fisik, dan kondisi iklim mikro pada suatu habitat (Genet et al., 2001). Selain rayap berperan sebagai dekomposer bahan organik, rayap juga merupakan mediator penting dalam proses ekosistem dan siklus hara (Genet et al., 2001), serta merupakan organisme



199 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



tanah yang paling merespon terjadinya perubahan kondisi lahan. Rayap menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap kondisi lingkungan, biotik dan abiotik disekitar mereka, dan juga pada proses ekosistem (Jones & Eggleton 2000). Hal ini didasarkan oleh beberapa peneliti yang menyatakan bahwa keragaman dan kerapatan rayap berkurang seiring dengan meningkatnya kegiatan konversi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya (Jones et al., 2003). Rayap menjadi serangga dekomposer yang berperan penting didalam daur ulang nutrisi tanaman melalui proses disentegrasi dekomposisi material organik dari kayu dan serasah tanaman pada ekosistem hutan tropis (Bignell & Eggleton 2000). Melalui kegiatan-kegiatan mereka juga turut membantu meningkatkan struktur tanah dan kandungan hara (Jones et al., 1994; Lavelle et al., 1997). Beberapa contoh spesies rayap yakni Nasutitermes javanicus (Isoptera: Rhinotermitidae) dan Macrotermes glivus (Isoptera: Termitadae). Serangga Dapat Menjadi Bioindikator Kesehatan Lingkungan Bioindikator merupakan komponen penting dalam pengelolaan ekosistem dan konservasi



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



keanekaragaman hayati (Andersen, 1999). Dasar pemikiran keberadaan bioindikator adalah hubungan erat antara kehadiran organisme indikator ini dengan parameter biotik dan abiotik suatu ekosistem (McGeoch et al., 2002). Secara umum, organisme yang dipromosikan untuk digunakan sebagai bioindikator dalam ekosistem terestrial adalah serangga (Andersen, 1999; McGeoch, 2007). Penggunaan serangga sebagai bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik lingkungan (Speight et al., 1999). Serangga mempengaruhi terjadinya keseimbangan dalam ekosistem, sehingga sering digunakan sebagai bioindikator dalam suatu ekosistem. Hal ini dipertegas oleh Altieri (1999) yang menyatakan bahwa serangga selain berperan menjaga keseimbangan ekosistem juga sebagai bioindikator. Beberapa spesies serangga dari ordo Trichoptera, Ephemeroptera, dan Plecoptera digunakan sebagai bioindikator pencemaran air. Beberapa kelompok serangga yang digunakan menjadi bioindikator pencemaran air sebagai berikut.



Tabel 1. Kelompok ordo serangga yang digunakan menjadi bioindikator pencemaran air. No. Tingkat Cemaran Makroinvertebrata Indikator 1. Tidak Tercemar Trichoptera (Sericosmatidae, Lepidosmatidae, Glossomatidae) ; Planaria 2.



Tercemar Ringan



Plecoptera (Perlidae, Peleodidae); Ephemenoptera (Leptophlebiidae, Pseudocloeon, Ecdyonuridae, Caebidae); Tricoptera (Hydropschydae, Psychomydae) ; Odonata (Gophidae, Plarycnematidae, Agriidae, Aeshnidae); Coleoptera (Elminthidae) 3. Tercemar Sedang Mollusca (Pulmonata, Bivalvia); Crustaceae ; Odonata (Libellulidae, Cordulidae) 4. Tercemar Hirudinea (Glossiphonidae, Hirudidae) ; Hemiptera 5. Tercemar agak berat Oligochaeta (ubificidae) ; Diptera (Chironomus Thummi-plumosus) 6. Sangat Tercemar Tidak terdapat makroinventebrata Sumber : Trihadiningrum dan Tjondronegoro, 1998 Spesies Serangga Terbaru Di Indonesia Cryptophasa Lewin, 1805 adalah genus terbesar di dalam Xyloryctidae, yang terdiri dari lebih dari 60 spesies yang dijelaskan. (McMillan, 2013). Di antara ngengat xyloryctine, genus ini paling beragam di Australia dengan 55 spesies yang dijelaskan dicatat (Common, 1990). Sayangnya, belum ada laporan lengkap tentang spesies Cryptophasa yang ada di Indonesia meskipun subfamili Xyloryctinae tampaknya beragam di Malaysia dan New Guinea, seperti yang telah dilaporkan oleh Holloway dkk. (2001). Kemudian pada tahun 2015 telah diidentifikasikan tiga spesies baru Cryptophasa choliki sp. nov., C. watungi sp. nov. (Lepidoptera: Oecophoridae), dan Cryptophasa kwerbaensis sp. nov. Spesies tersebut masing-masing ditemukan di Halmahera, Sulawesi Utara, dan Papua . Spesies C. watungi sp. nov. (Lepidoptera: Oecophoridae) merupakan hama pada tanaman



cengkeh. Larva spesies ini makan di kulit kayu dan melubangi batang pohon cengkeh (Syzygium aromaticum: Myrtaceae) serta membentuk terowongan dangkal (2-3 cm dalam) untuk menggali. Larva selalu aktif membangun tempat berlindung/barikade dari frass atau campuran dari frass dan daun untuk melindungi liang dari air dan predator. Mereka keluar pada malam hari dan menggigit seluruh daun, kemudian mereka tarik daundaun tersebut kedalam liang mereka untuk makanan. Barikade bertindak sebagai benteng melawan semut, yang merupakan musuh terburuk dari semua larva. Saat ini, spesies ini menyebabkan kerusakan serius pada ribuan pohon cengkeh di Sulawesi Utara Pemberian nama Cryptophasa kwerbaensis sp. nov. diambil dari desa di Kwerba, Membramo Raya, Papua. Informasi tentang distribusi dan biologi terbatas pada holotype, yang ditangkap dengan menggunakan perangkap ringan selama kunjungan 200 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



lapangan di Desa Kwerba, Membramo Raya, Papua (Sutrisno et al., 2015). Spesies Cryptophasa choliki sp. nov., diambil dari nama kolektornya, E. Cholik. Informasi tentang distribusi dan biologi C. choliki sp. nov. terbatas karena hanya serangga dewasa dari spesies yang



Gambar 2. Cryptophasa watungi sp. nov. Jantan



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



tertangkap dengan menggunakan perangkap cahaya selama tujuh hari. Spesies ini dikumpulkan dari hutan dataran rendah Akejira Utara, Halmahera Tengah. Belum ada informasi biologis yang tersedia dari spesies ini (Sutrisno et al., 2015).



Gambar 3. Cryptophasa watungi sp. nov. Betina



Gambar 4. Cryptophasa kwerbaensis sp. nov. Gambar 5. Cryptophasa choliki sp. nov. Betina Jantan (Sumber : https://www.researchgate.net/publication/280910921) KESIMPULAN Penelitian mengenai keanekaragaman serangga di Indonesia perlu terus dilakukan dan dipelajari. Serangga menjadi komponen utama dalam suatu ekosistem. Jika keseimbangan ekosistem terganggu maka dapat membuat semakin bertambahnya populasi serangga tertentu dan mampu menurunkan populasi musuh alaminya. Ini dapat menyebabkan ledakan hama karena musuh alami sulit untuk mengendalikan hama tersebut. Kasus ledakan hama yang pernah terjadi, seperti ledakan hama pada belalang kembara Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) di Sumba dan ledakan hama ulat bulu Lymantria marganita dan Arctornis submarginata (Lepidoptera: Erebidae) di Probolinggo. Selain itu, dapat juga memunculkan hama baru yang berpotensi menjadi hama penting pada suatu tanaman. Salah satu hama baru yang berpotensi menjadi hama penting tersebut antara lain Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) dan Caloptilia sp. (Lepidoptera: Gracillariidae) pada tanaman kedelai. Padahal spesiesspesies tersebut menjadi hama penting pada tanaman jagung di Amerika. Selain itu, penelitian keanekaragaman mampu mencegah terjadinya kondisi buruk (ledakan hama, vektor penyakit, dll) dan memanfaatkan potensi serangga lainnya yang dapat bermanfaat bagi



manusia, ekosistem, keilmuan, teknologi, dan ekonomi secara global. Misalnya pemanfaatan serangga penyerbuk yang membantu penyerbukan bunga untuk menghasilkan buah. Kemudian rayap yang berperan penting didalam siklus karbon global melalui perananya sebagai dekomposer didalam penguraian bahan-bahan organik dan mempercepat kembalinya bahan organik ke dalam tanah. Serta pemanfaatan serangga sebagai bioindikator lingkungan.Oleh karena itu, pentingnya untuk melakukan banyak penelitian tentang keanekaragaman serangga. Namun, penelitian mengenai keanekaragaman serangga di Indonesia masih terbatas karena didalam mengidentifikasi serangga membutuhkan banyak waktu, energi dan dana. Beberapa spesies baru yang telah diidentifikasikan pada tahun 2015 yakni Cryptophasa choliki sp. nov., C. watungi sp. nov. (Lepidoptera: Oecophoridae), dan Cryptophasa kwerbaensis sp. nov. dimana spesies-spesies tersebut masing-masing ditemukan di Halmahera, Sulawesi Utara, dan Papua. DAFTAR PUSTAKA Afifah Lutfi, Hidayat Purnama, Yusup Ciptadi Achmad.2015. Catatan hama baru, Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) pada pertanaman kedelai di Ngale, Kabupaten Ngawi, 201 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Provinsi Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Malang.173 – 180. Andersen AN.1999. My bioindicator or your? making the selection. J Insect Cons 3: 61-64. Alteieri, M.A. 1999.The Ecologycal Role Of Biodiversity In Agroecosystems. Agricult Ecosys Enviro.74 : 19-31. Bappenas.2015. Indonesia Biodiversity Strategy Action Plan 2015-2020.Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta Bignell DE, Eggleton P. 2000 . Termites in ecosystems. Kluwer, Dordrecht. Borror, D.J., C.A. Triplehorn, and N.F. Johnson. 1989. An Introduction to the Study of Insects. 7th edition. New York: Saunders College Publishing. Common, I.F.B. (1990) Moths of Australia. Melbourne. Melbourne University Press. Dunn R R. 2005. Modern insect extinctions, the neglected majority.Conservation Biology, 19(4): 1030–1036. Gallé, R., Torma, A. & Körmöczi, L. (2007): Epigeic invertebrate assemblages (Araneae,Heteroptera) of natural forest edges. Proceedings of the 8th Central European Workshop on Soil Zoology, Ceske Budejovice Aplil 20-22 2005: 47-52 Gullan, P. J. and Cranston, P.S. 2010. The Insects an Outline of Entomology (4th Edition). Malaysia: Graphicraft Limited Hongkong. 584 pp. Holloway, J.D., Kibby, G. & Peggie, D. (2001) The families of Malaysian moths and butterflies. Brill, Leiden, 455 pp. Jones CG, Lawton JH, Shachak M (1994) Organisms as ecosystem engineers. Oikos 69: 373-386. Jones DT, Eggleton P (2000) Sampling termite assemblages in tropical forest: testing a rapid biodiversity assessment protocol. J Appl Ecol 37: 191-203. Jones DT, Susilo FX, Bignell DE, Hardiwinoto S, Gillison AN, Eggleton P (2003) termite assemblage collapse along a land-use intensification gradient in lowland central Sumatra, Indonesia. J Appl Eco 40: 380-391. Kang J, Krupke CH. 2009. Likelihood of multiple mating in Diabrotica virgivera virgivera (Coleoptera: Chrysomelidae). Field and Forage Crops. 102(6): 2096-2100. Krysan JL. Miller TA. 2012. Methods for the Study of Pest Diabrotica. USA: Springer Sciences & Business Media. Lavelle P, Bignell D, Lepage M, Wolters V, Roger P, Ineson P, Heal OW,Dhillion S (1997) Soil function in changing world: the role of invertebrate ecosystem engineers. Eur J Soil Biol 33: 159-193. Magor, JI., Lecoq, M. and Hunter, D.M. 2008.Preventive control and Desert Locust plagues. Crop Protection 27(12):1527-1533



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



McCann K S. 2000. The diversity-stability debate. Nature, 405(6783): 228–233. McGeoch MA, van Rensburg BJ, Botes A (2002) The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in savanna ecosystem. J Appl Ecol 39: 661-672. McGeoch MA (2007) Insects and bioindication: theory and progress. In: Stewart AJA, New TR, Lewis OT (eds). Insect conservation biology. CABI, Amsterdam. McMillan, I. (2013) Xyloryctine moths of Australia. Genera and Species. Diakses dari: http://Xyloryctinemothsofaustralia.blogspot.com (24 agustus 2017) Mittermeier RA, Mittermeier CG, Brooks TM, Pilgrim JD, Konstant WR,da Fonseca GAB, Kormos C. 2003. Wilderness and biodiversity conservation. Proceedings of the National Academy of Sciences 100: 10309–10313. Miyashita, T., Shinkai, A., Chida, T. (1998): The effects of forest fragmentation on web spider communities in urban areas. Biological Conservation 86: 357-364 Naeem S, L J Thompson, S P Lawler, et al. 1994. Declining biodiversity can alter the performance of ecosystems. Nature, 368(6473): 734–737. Pajunen T, Haila Y, Halme E, Niemela ¨ J, Punttila P (1995) Ground-dwelling spiders (Arachnida, Araneae) in fragmented old forests and surrounding managed forests in southern Finland. Ecography 18:62–72. Pearce JL, Venier LA, Eccles G, Pedlar J, McKenney D (2004) Influence of habitat and microhabitat on epigeal spider (Araneae) assemblages in four stand types. Biodivers Conserv 13:1305–1334 Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata, 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pyle R, M Bentzien, and P Opler. 1981. Insect conservation. Annual Review of Entomology, 26(1): 233–258. Qin J D and Wang C Z. 2001. The relation of interaction between insects and plants to evolution. Acta Ecological Sinica, 44(3): 360– 365. Redak R A. 2000. Arthropods and multispecies habitat conservation plans: Are we missing something? Environmental Management, 26: 97–107. R.H. MacArthur and E.O. Wilson [1967], The Theory of Island Biogeography, Monographs in Population Biol.Princeton. Princeton Univ. Press. Roffey, J and Popov, G. 1968. Environmental and Behavioural Processes in a Desert Locust Outbreak. Nature 219(5153):446-450. Scherber C, N Eisenhauer, W W Weisser, et al. 2010. Bottom-up effects of plant diversity on multitrophic interactions in a biodiversity experiment. Nature, 468(7323): 553–556. 202 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Shurtleff W. Aoyagi A. 2009. History of Soybean and Soyfood in South America (1882-2009).USA: Soyinfo Center. Southwood T. R. E., and H N Comins. 1976. A synoptic population model. The Journal of Animal Ecology, 45(3): 949–965. Southwood, T. R. E., Moran, V. C. & Kennedy, C. E.J,, 1982a. The assessment of arboreal insect fauna-comparisons of knockdown sampling and faunal lists. Ecological Entomology, 7: 331-340. Speight MR, Hunter MD, Watt AD (1999) Ecology of Insects concepts and applications. Blackwell, Oxford. Sutrisno, Hari., Watung, Jackson F., & Suwito, Awit.2015. Discovery Of Cryptophasa Lewin, 1805 (Lepidoptera: Xyloryctidae) From Indonesia With The Descriptions Of Three New Species. Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/280910 921 ( 5 September 2017) Swank W. T., J. B .Waide, D. A. Crossley. 1981. Insect defoliation enhances nitrate export from forest ecosystems. Oecologia, 51(3): 297–299. Stork, N. E., 1987. Guild structure of arthropods from Bornean rain forest trees. London. Ecological Entomology



Keanekaragaman serangga: fakta, fiksi....



Tilman D., and J. A. Downing. 1994. Biodiversity and stability in grasslands. Nature, 367: 363–365. Tilman D., P B Reich, and J M H Knops. 2006. Biodiversity and ecosystem stability in a decadelong grassland experiment. Nature, 441(7093): 629–632. Trihadiningrum, Y. Dan I. Tjondronegoro. 1998. Makroinvertebrata Sebagai Bioindikator Pencemaran Badan Air Tawar di Indonesia: siapakah kita?. Lingkungan & Pembangunan 18 (1). Varady-Szabo, H. & Buddle, C.M. (2006): On the Relationships between Ground-dwelling Spider (Araneae) Assemblages and Dead Wood in a Northern Sugar Maple Forest. Biodiversity and Conservation, 15, 4119-4141. Weisser W W., and E. Siemann. 2004. Insects and ecosystem function. Berlin; London: Springer. [Deptan] Departemen Pertanian. 2014. Hama Tanaman Kedelai. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/hamatanaman-kedelai. [http://regional.kompas.com/read/2017/06/12/114600 31/jutaanbelalang.serang.bandara.waingapu.di. sumba.timur] ( diakses 12 juni 2017).



203 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Fluktuasi populasi lalat buah....



Fluktuasi Populasi Lalat Buah Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera: Tehritidae) pada Pertanaman Salak Di Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya Agus Susanto1, Yusup Hidayat1, Yadi Supriyadi1, Tohidin1 dan Muhammad Resta Nugraha2 1



Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 2 Alumni Departemen HPT, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran *Alamat korespondensi: [email protected]



ABSTRAK Salah satu kendala dalam upaya meningkatkan produksi dan mutu buah salak diduga adalah adanya serangan hama lalat buah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor abiotik (curah hujan, jumlah hari hujan, suhu, dan kelembaban) serta faktor biotik (ketersediaan buah) terhadap fluktuasi populasi lalat buah pada pertanaman salak. Penelitian dilakukan di Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, dengan menggunakan metode survei dengan memasang perangkap lalat buah pada pertanaman salak sebanyak 10 buah di bagian tepi/luar kebun dan 10 buah pada bagian dalam, dengan jarak antar perangkap sekitar ±5 meter. Hasil tangkapan lalat buah dikumpulkan dan dihitung setiap minggunya. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor abiotik seperti curah hujan, jumlah hari hujan, suhu, dan kelembapan tidak menunjukan korelasi yang nyata terhadap peningkatan populasi lalat buah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis regresi masing-masing pada curah hujan (Y = 414,21 + 4,8562x ; R2 = 0,169 ; Sig. > 0,05), jumlah hari hujan (Y = 394,21 + 50,331x ; R2 = 0,232 ; Sig, > 0,05), suhu (Y = -296,97 + 32,93x ; R2 = 0,139 ; Sig. > 0,05), dan kelembaban (Y = -954 + 17, 467x ; R2 = 0,161 ; Sig. > 0,05). Faktor biotik berupa ketersediaan buah menunjukkan korelasi positif terhadap kenaikan populasi lalat buah berdasarkan hasil analisis regresi (Y = 139,15 + 115,63x ; R2 = 0,642 ; Sig. < 0,05). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa Bactrocera papayae mendominasi spesies yang menyerang tanaman pepaya dengan proporsi sebesar 80%. Kata kunci: Bactrocera dorsalis Kompleks, Fluktuasi populasi, Lalat buah, Salak. ABSTRACT One of the obstacles increasing the production and quality of snakefruit is allegedly a fruit fly pest. This study aims to determine the influence of abiotic factors (rainfall, the number of rainy days, temperature, and humidity) and biotic factors (fruit availability) to the fluctuation of fruit fly population in snakefruit cultivation. The research was conducted in Margaluyu Village, Manonjaya District, Tasikmalaya Regency, using survey method by installing fruit fly trap on the snakefruit crop as much as 10 pieces at the edge/outside of the garden and 10 pieces on the inside, with the distance between traps about ± 5 meters. The catch of fruit flies was collected and calculated on a weekly. The results showed that abiotic factors such as rainfall, the number of rainy days, temperature, and humidity did not show a significant correlation to the increase in fruit fly population. This is indicated by the result of regression analysis of each on rainfall (Y = 414.21 + 4.8562x; R2 = 0.169; Sig.> 0.05), number of rainy days (Y = 394.21 + 50.331x; R2 = 0.232; Sig,> 0.05), temperature (Y = -296.97 + 32.93x; R2 = 0.139; Sig.> 0.05), and humidity (Y = -954 + 17.467x; R2 = 0.161; Sig.> 0.05). The biotic factors such as availability of fruit showed a positive correlation to population growth of fruit fly based on regression analysis (Y = 139.15 + 115.63x; R2 = 0.642; Sig. 0,05) dan memiliki korelasi yang rendah hingga sedang terhadap fluktuasi populasi lalat buah jantan. Hubungan Ketersediaan Buah Salak dengan Fluktuasi Populasi Lalat Buah Jantan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ketersediaan buah memberikan pengaruh secara nyata atau signifikan terhadap fluktuasi populasi lalat buah jantan (Tabel 3). Hal ini ditunjukan dengan nilai Sig. sebesar 0,017 (Sig. < 0,05). Hasil analisis juga menunjukkan pengaruh ketersediaan buah salak terhadap fluktuasi populasi lalat buah jantan memiliki korelasi yang tinggi yaitu sebesar 0,801 (R = 0,61-0,80). Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara populasi lalat buah dengan ketersediaan buah, artinya setiap peningkatan ketersediaan buah di lapangan akan selalu diikuti oleh kenaikan jumlah populasi juga. Tinggi rendahnya jumlah tangkapan lalat buah di sandingkan dengan ketersediaan buah setiap minggunya bisa dilihat pada Gambar 2. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingginya jumlah populasi lalat buah berada pada 2 pengamatan awal dari masa penelitian. Puncak populasi tertinggi berada pada pengamatan ke 1 yaitu dengan tangkapan 891 ekor. Hal ini sesuai dengan skoring pada minggu tersebut yaitu berada pada angka 5 dan 4 dimana buah berlimpah di lapangan sehingga selaras dengan kenaikan jumlah populasi lalat buah tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Ye & Liu (2007) yaitu ketersediaan buah dan periode pembuahan menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap fluktuasi populasi, yang mana menjadi faktor utama lainnya yang mempengaruhi populasi lalat buah pada suatu area. 206 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Gambar 2 menunjukkan bahwa populasi terendah berada pada pengamatan ke 3 dengan jumlah tangkapan 237 ekor, hal ini terjadi karena adanya kegiatan panen sehingga menurunkan kelimpahan buah, terbukti dengan skor kelimpahan pengamtan ke 3 adalah sebesar 1 yang berarti buah di lapangan berjumlah sangat sedikit. Pada saat ketersediaan buah tanaman salak sedang berlimpah maka memberikan peluang bagi lalat buah untuk tempat berkembangbiak. Begitu pula sebaliknya,



Fluktuasi populasi lalat buah....



apabila ketersediaan buah berkurang maka akan mengecilkan peluang lalat buah untuk berkembangbiak. Puncak populasi lalat buah di desa Margaluyu terjadi pada pengamatan ke-1 yaitu pada bulan mei, karena pada bulan Mei ketersediaan buah salak sedang berada pada jumlah maksimum dan kondisi yang matang (Gambar 2). Ketersediaan buah salak mempunyai korelasi yang positif dengan hasil tangkapan lalat buah.



Tabel 1. Pengaruh faktor iklim (curah hujan dan jumlah hari hujan) dan kelimpahan buah terhadap hasil tangkapan lalat buah di Desa Margaluyu, Kec. Manonjaya, Kab. Tasikmalaya Hari Pengamatan Perangkap Perangkap Jumlah Curah Hujan Ketersediaan Hujan KeLuar (ekor) Dalam (ekor) Tangkapan (ekor) (mm) (hari) Buah (skoring) 1 568 323 891 3,6 1 5 2 395 265 660 53 6 4 3 134 103 237 0 0 1 4 218 139 357 9,5 1 2 5 271 106 377 0 0 3 6 242 182 424 4,6 2 1 7 163 135 298 0 0 2 8 259 154 413 0 0 4 Tabel 2. Hubungan Antara Fluktuasi Lalat Buah Dengan Faktor Iklim di Desa Margaluyu, Kec. Manonjaya, Kab. Tasikmalaya Faktor Abiotik Persamaan Regresi Df R2 Koefisien Sig. Korelasi (R) Curah Hujan Y = 414,21 + 4,8562x 7 0,169 0,411 0,312 Hari Hujan Y = 394,21 + 50,331x 7 0,232 0,481 0,227 Suhu Y = -296,97 + 32,93x 7 0,139 0,373 0,363 Kelembapan Y = -954 + 17, 467x 7 0,161 0,401 0,325



Tabel 4. Hasil analisis regresi antara fluktuasi populasi lalat buah dengan faktor biotik di Desa Margaluyu, Kec. Manonjaya, Kab. Tasikmalaya Faktor Abiotik Persamaan Regresi df R2 Koefisien Korelasi (R) Sig. Y = 139,15 + 115,63x 7 0,642 0,801 0,017 Ketersediaan Buah



Gambar 2. Pengaruh ketersediaan buah salak terhadap fluktuasi populasi lalat buah. Identifikasi Lalat Buah. Berdasarkan data Tabel 2 terdapat dua spesies lalat buah yang terpikat metil eugenol. Dua spesies lalat tersebut dapat diidentifikasi



menggunakan kunci identifikasi lalat buah (Drew & Hancock, 1994) serta software “delta intkey”. Hasil identifikasi lalat buah pada pertanaman salak 207 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



menunjukkan bahwa populasi lalat buah pada pertanaman tersebut didominasi oleh spesies B. papayae yang merupakan sibling dari spesies B. dorsalis Kompleks. Dari 80 spesimen yang diamati, 80% diantaranya merupakan spesies B. papayae, sedangkan 20% merupakan spesies B. carambolae. SIMPULAN Bedasarkan hasil survei yang dilakukan, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa faktor iklim berupa curah hujan, hari hujan, suhu, dan kelembapan tidak menunjukan pengaruh yang nyata atau signifikan terhadap fluktuasi populasi lalat jantan. Akan tetapi, ketersediaan buah menunjukan pengaruh yang nyata terhadap fluktuasi populasi lalat buah jantan. Hal ini ditunjukan dengan hasil analisis regresi sederhana (Y = 139,15 + 115,63x ; R2 = 0,642 ; Sig. < 0,05). Pada hasil identifikasi menunjukan bahwa spesies lalat buah pada pertanaman salak sebagian besar adalah B. papayae dengan proporsi sebesar 80% dan 20% adalah B. carambolae. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Penggunaan Perangkap dalam Pengendalian Lalat Buah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Buah-buahan Tahun 2014. Badan Pusat Statistik. Jakarta Bateman, 1972. The Ecology of Fruit Flies. Ann. Rev. Entomol., 17: 493 – 519. Chen P and Ye H. 2006. Population dynamics of Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae) and analysis of factors influencing populations in Baoshanba, Yunnan, China. China. Dhillon, M.K., Singh, R., Naresh, J.S., and Sharma, H.C. 2005. The melon fruit fly, Bactrocera cucurbitae: A review of its biology and management. J. Insect Sci. 5: 1-16. Drew, R.A.I., and Hancock, D.L. (1994). The Bactrocera dorsalis Complex of Fruit Flies (Diptera: Tephritidae: Dacinae) in Asia. Cabinternasional. United Kingdom. 98 p. Dinas Pertanian Tanaman Hortikutura, 2007. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengelolaan Tanaman Salak. Dinas Pertanian. Jawa Barat. Herlinda, Mayasari, R., Adam, T., dan Pujiastuti, Y. 2007. Populasi dan Serangan Lalat Buah Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera : Tephritidae) Serta Potensi Parasitoidnya Pada Pertanaman Cabai (Capsicum annuumL.) Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengendali Lalat Buah. Agromedia Pustaka. Depok. Manurung, B. Puji, P. Emmi, E.T. 2012. Pola aktivitas harian dan dinamika populasi lalat buah Bactrocera dorsalis kompleks pada pertanaman jeruk di dataran tinggi Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara. J. HPT Tropika. 12(2): 103 – 110.



Fluktuasi populasi lalat buah....



Muryati, Hasyim, A., dan de Kogel, W.J. 2007. Distribusi spesies lalat buah di Sumatera Barat dan Riau. Jurnal Hortikultura 17(1): 61-68. Price, PW. (1997). Insect Ecology. Third Edition. John Willey dan Sons, Inc. New York. 874 p. Pundf, L. 2001. Managing Fungus Gnats and Shore Files in the Greenhouse. Sarjan M, Yulistiono Hendro, Haryanto Hery. 2010. Kelimpahan dan Komposisi Spesies Lalat Buah pada Lahan kering di Kabupaten Lombok Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hotikultura. NTB. Schowalter, Timothy. 2006. Insect Ecology and Ecosistem approach. Second edition.Elsevier Science and Technology Rights Department. Oxford, UK. Susanto, A. 2010. Estimasi dan Dinamika Populasi Lalat Buah, Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera: Tephritidae) Pada Pertanaman Mangga. Disertasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Tanaman Terpadu. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Ye, H., and Liu, J. 2007. Population dynamics of oriental fruit fly Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae) in Xishuangbanna, Yunnan Province, China. Front. Agric. China 200. 1(1): 76-80.



209 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pemanfaatan daun sirsak sebagai....



Pemanfaatan Daun Sirsak (Annona muricata L) Sebagai Pestisida Nabati Lia Sugiarti Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Winaya Mukti, Bandung Email : [email protected] ABSTRAK Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh efektivitas pestisida nabati daun sirsak (Anonna muricata L) terhadap ketahanan hidup berbagai serangga hama. Ekstrak daun sirsak mengandung senyawa acimin, bulatacin dan squamocin. Acetogenin bersifat anti feedant dan bersifat racun perut yang engakibatkan kematian. Jumlah konsentrasi dan waktu pemberian ekstrak daun sirsak berpengaruh nyata terhadap mortalitas hidup berbagai macam serangga hama pada berbagai macam jenis tanaman. Kata Kunci : Pestisida nabati, Daun Sirsak (Anonna muricata L), serangga hama ABSTRACT The ressearch was to identify off effectivity organic pesticide from soursop leaves (Anonna muricata L) for survival of insect live. Soursop leaves was contain acetogenin, acimicin, bulatacin and squamocin. In high concentration of acetogenin as to be antifeedant and stomach poison until to die. Amount of concetration and the time of delivery the extract of soursop leaves can be the real effect of mortality the other pest of the many plants. Keywords : Organic pesticide, Soursop leaves (Anonna muricata L), pest.



PENDAHULUAN Pestisida merupakan sarana untuk membunuh hama-hama tanaman, dalam konsep Pengendalian hama Terpadu, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian. Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida mengenai sasaran, kurang lebihnya 20 % pestisida mengenai sasaran sedangkan 80 % lainnya jatuh ke tanah (Hernayanti, 2017). Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia mendorong dibuat kesepakatan internasional untuk memberlakukan pembatasan penggunaan bahan-bahan kimia pada proses produksi terutama pestisida kimia sintetik dalam pengendalian hama dan penyakit di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan dan mulai mengalihkan kepada pemanfaatan jenis-jenis pestisida yang aman bagi lingkungan (Asmaliyah dkk, 2010). Menurut Hidayanti (2016) konsep pertanian ramah lingkungan adalah konsep pertanian yang mengedepankan keamanan seluruh komponen yang ada pada lingkungan ekosistem dimana pertanian ramah lingkungan mengutamakan untuk meninggalkan dampak yang negatif bagi lingkungan. Bahan alami yang bisa dijadikan untuk pestisida alami diantaranya dari bahan alami, bahan hewani dan bahan nabati. Untuk bahan nabati sudah banyak diketahui berasal dari tanaman yang dapat digunakan baik itu dari akar, batang dan daunnya. Tanaman yang mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri dapat berpotensi sebagai insektisida (Robinson, 1995). Salah satu tanaman yang memiliki senyawa untuk digunakan sebagai insektisida nabati yaitu daun



sirsak. Menurut Mulyawan dkk (2000) dalam Tenrirawe (2011), daun sirsak mengandung senyawa acetogenin, antara lain acimicin, bulatacin dan squamocin. Pada konsentrasi tinggi senyawa acetogenin memiliki keistimewaan sebagai antifeedant. Dalam hal ini serangga hama tidak lagi memakan bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan pada konsetrasi rendah bersifat racun perut yang mengakibatkan serangan hama menyebabkan kematian. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji pengaruh keefektivan penggunaan pestisida nabati dari daun sirsak terhadap ketahanan hidup berbagai serangga hama. BAHAN DAN METODE Metode dan bahan penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka berdasarkan studi literatur jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penggunaan pestisida nabati dari daun sirsak terhadap ketahanan hidup berbagai serangga hama. Variabel yang diamati adalah ketahanan hidup (mortalitas) berbagai serangga hama dari berbagai macam tanaman yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman Sirsak (Annona muricata L) Klasifikasi Tanaman Sirsak (Sunarjono, 2005 dalam Setiyadi, 2014) adalah : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Ordo : Polycarpiceae Famili : Annonaceae Genus : Annona 209 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung Spesies : Annona muricata L Sirsak, nangka Belanda, durian Belanda (Annona muricata L) adalah tumbuhan yang berasal dari Karibia Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Septarina, 2017). Daun sirsak berbentuk bulat dan panjang dengan bentuk daun menyirip dengan ujung meruncing, permukaan hijau tua. Terdapat banyak putik di dalam satu bunga sehingga diberi nama bunga berpistil majemuk. Sebagian bunga terdapat dalam lingkaran, dan sebagian lagi membentuk spiral atau terpencar, tersusun secara hemisiklis. Mahkota bunga yang berjumlah enam sepalum yang terdiri dari dua lingkaran, bentuknya hampir segitiga, tebal dan kaku, berwarna kuning keputih-putihan, dan setelah tua mekar dan lepas dari dasar bunganya. Bunga umumnya keluar dari ketiak daun, cabang, ranting atau pohon bentuknya sempurna atau hermaprodit Sunarjono, 2005 dalam Setiyadi, 2014). Kandungan Bahan Aktif di Dalam Daun Sirsak Daun sirsak merupakan bagian dari tanaman sirsak yang memiliki manfaat lebih yaitu daun sirsak mengandung acetogenin yang biasa digunakan sebagai senyawa toksik dan racun. Daun sirsak merupakan daun yang kaya minyak dan protein serta toksisitas (tanin, fitat dan sianida) dan oleh karena itu dapat dimanfaatkan pada manusia dan hewan. Daun sirsak adalah tanaman yang mengandung senyawa flavonoid, tanin, fitosterol, kalsium dan oksalat dan alkaloid. Antioksidan yang terkandung dalam daun sirsak antara lain adalah vitamin C (Wulan, 2012 dalam Rokhmah, 2016). Daun sirsak mengandung senyawa kimia antara lain: flavonoid, saponin, dan steroid yang pada konsentrasi tinggi memiliki keistimewaan sebagai racun perut sehingga menyebabkan hama mengalami kematian (Farnsworth 1996 dalam Desiyanti 2016). Kandungan flavonoid inilah yang mempunyai sifat insektisida dan dapat dijadikan sebagai bahan biopestisida. Flavonoid juga bersifat menghambat nafsu makan serangga, saponin dapat menghambat kerja enzim proteolitik yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim pencernaan dan penggunaan protein dan tanin dapat menurunkan kemampuan mencerna makanan pada serangga dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan (Mardiani, 2011 dalam Rokhmah 2016). Menurut Mulyawan dkk (2000) dalam Tenrirawe (2011), daun sirsak mengandung senyawa acetogenin, antara lain acimicin, bulatacin dan squamocin. Pada konsentrasi tinggi senyawa acetogenin memiliki keistimewaan sebagai antifeedant. Dalam hal ini serangga hama tidak lagi memakan bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan pada konsetrasi rendah bersifat racun perut yang mengakibatkan serangan hama menyebabkan kematian.



Pemanfaatan daun sirsak sebagai....



Efektivitas Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L) Terhadap Mortalitas Berbagai Serangga Hama Pada Beberapa Tanaman Budidaya Pada penelitian Tasirilotik (2015) bahwa secara umum ekstrak daun sirsak (Annona muricata L) yang telah diuji berpengaruh terhadap mortalitas walang sangit. Pengamatan pada jam ke-12 menunjukkan bahwa tingkat mortalitas walang sangit pada perlakuan P4 mencapai 10%, P1 mencapai 6,67%, P2 dan P3 mencapai 3,33 % dan kontrol (P0) 0%. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak daun sirsak dengan konsentrasi tinggi lebih cepat daya bunuhnya terhadap walang sangit. Penelitian Lebang dkk. (2016) menjelaskan bahwa ekstrak daun sirsak (Annona muricata L) berpengaruh terhadap mortalitas hama walang sangit pada tanaman padi. Konsentrasi yang paling efektif adalah konsentrasi 20% dengan tingkat mortalitas 83,00%. Tenrirawe (2011) penelitiannya menjelaskan bahwa ekstrak daun sirsak (Annona muricata L) berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva H. armigera instar III pada tanaman jagung, konsentrasi daun sirsak (Annona muricata L) yang berpengaruh terhadap mortalitas larva H. armigera instar III adalah pada konsentrasi 40% dengan mortalitas 65%. Desiyanti (2016) menyatakan bahwa hasil uji mortalitas menunjukkan bahwa isolat daun sirsak (Annona muricata L) bersifat toksik terhadap kutu daun persik (Myzus persicae) pada tanaman cabai merah. Hasil uji fitokimia, identifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis dan spektrofotometer Inframerah menunjukkan bahwa isolat toksik tersebut merupakan golongan senyawa flavonoid. Penelitian Ningsih dkk., (2012) perlakuan kontrol(pestisida kima kanon 1 ml/L air dan perlakuan konsentrasi daun sirsak 250 ml/L air merupakan perlakuan yang paling efektif dalam mengendalikan hama Thrips sp pada tanaman kacang hijau (Vigna radiata L). Pembahasan Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, dan bersifat mudah terdegradasi di alam (bio-degredable), sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan (Balitbang, 2012). Pestisida nabati memiliki keunggulan mudah terurai karena bahan aktifnya berasal dari alam sehingga relatif aman bagi kehidupan, memiliki pengaruh cepat dalam menghambat nafsu makan serangga sehingga dapat menekan kerusakan tanaman, serta memiliki spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah resisten terhadap isnektisida sintetis. Sebagai insektisida nabati, bahan aktif tanaman diuji efektifitasnya terhadap toksisitas , daya tolak, daya tarik, daya hambat makan, dan daya hambat reproduksi serangga hama (Wiranto dkk, 2013). 210 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung Akan tetapi pestisida nabati juga memiliki kelemahan diantaranya tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang pendek jadi harus segera dipergunakan, tidak bersifat langsung mematikan hama, sehingga membutuhkan aplikasi yang berulang. Beberapa pestisida nabati diantaranya bersifat membunuh, menarik (attractant) menolak (repellent) anti makan (antifeedant), racun (toxicant) dan menghambat pertumbuhan (Santi, 2011 dalam Tasirilotik, 2015). Pestisida nabati bisa berasal dari bagianbagian tumbuhan baik itu berupa akar daun dan biji. Banyak sekali jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati, salah satunya adalah tanaman sirsak dan bagian yang paling efektif sebagai insekstisida nabati adalah daunnya. Menurut Mulyawan dkk., (2000) dalam Tenrirawe (2011), daun sirsak mengandung senyawa acetogenin, antara lain acimicin, bulatacin dan squamocin. Pada konsentrasi tinggi senyawa acetogenin memiliki keistimewaan sebagai antifeedant. Dalam hal ini serangga hama tidak lagi memakan bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan pada konsetrasi rendah bersifat racun perut yang mengakibatkan serangan hama menyebabkan kematian. Dari beberapa penelitian di atas maka ekstrak daun sirsak sangat efektif untuk mengendalikan serangga hama, ekstrak daun sirsak tersebut masuk atau diserap oleh jaringan tanaman, sehingga apabila serangga yang memakan daun tersebut akan mengalami keracunan bahkan kematian. Hal ini sesuai dengan Tasirilotik (2015) bahwa ekstrak daun sirsak yang disemprotkan ke tanaman akan diserap oleh jaringan tumbuhan dan residu pestisida akan diedarkan ke semua organ tanaman. Ekstrak daun sirsak bisa bersifat racun perut dalam hal ini serangga uji aktif makan, akhirnya mengalami kematian dan bersifat antifeedant, menyebabkan larva H. armigera instar III menolak makan sehingga mengakibatkan kematian (Tanrirawe, 2011). Senyawa squamosin dan asimisin yang terkandung dalam biopestisida daun sirsak, selain dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan serangga hama, menghambat makan, juga dapat mematikan. Selain itu daun sirsak juga mengandung senyawa tamin dalam kadar yang tinggi. Senyawa tamin merupakan suatu senyawa yang dapat memblokir ketersediaan protein dengan membentuk kompleks yang kurang bisa dicerna oleh serangga atau dapat menurunkan kemampuan mencerna serangga. Senyawa tersebut dapat menghambat atau memblokir aktivitas enzim pada saluran pencernaan sehingga akan merobek pencernaan serangga, dan akhirnya menimbulkan efek kematian bagi serangga (Pabbage & Tenrirawe, 2012).



Pemanfaatan daun sirsak sebagai....



KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas, jumlah konsentrasi dan waktu pemberian ekstrak daun sirsak berpengaruh nyata terhadap mortalitas hidup berbagai macam serangga hama pada berbagai macam jenis tanaman. Ekstrak daun sirsak dengan konsentrasi yang tinggi mampu mengendalikan mortalitas serangga hama. Terdapat kelompok senyawa kimia yang bersifat racun pada daun sirsak yaitu flavonoid, saponin, steroid, fitosterol, squamosin, asimin dan tamin. DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah , E.E.H. Wati S Utami. K. Mulyadi. Yudishtira dan F.W Sari. 2010. Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya Secara Tradisional. Kementrian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan. http://www.fordamoff.org/files/Booklet_Pestisida_Nabati.pdf (diaakses tanggal 10 Oktober 2017) Balai Pengkajiana Teknologi NTB. 2011. Pembuatan Pestisida Nabati. http://www.ntb.litbang.pertanian.go.id/indinde x.php. (Diakses tanggal 10 Oktober 17 Balitbang. 2012. Pestisida Nabati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Bogor. 36 Hal. http://www.perkebunan.litbang.pertanian.go.id (Diakses tanggal 10 Oktober 17) Desiyanti, N.M.D, Swantara, I.M.D, Sudiarta, I.P. 2016. Uji Efektivitas dan Identifikasi Seyawa Aktif Ekstrak Daun Sirsak Sebagai Pestisida Nabati Terhadap Mortalitas Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L). Jurnal Kimia 10 (1), Januari 2016: 1-6. Hernayanti. 2017. Bahaya Pestisida Terhadap Lingkungan. http://www.bio.unsoed.ac.id (diakses tanggal 10 Oktober 2017) Lebang, M.S dkk. 2016. Efektifitas Daun Sirsak (Annona muricata L) dan Daun Gamal (Gliricidia sepium) Dalam Pengendalian Hama Walang Sangit (Leptocorisa acuta T) Pada Tanaman Padi. Jurnal Biologi. Agustus 2016. Volume 6 Nomor 2 : 9 hal. (Diakses tanggal 10 Oktober 2017) Ningssih, D.H. Sucipto. Wasonowati. 2012. Efektiffitas Daun Sirsak (Annona muricata L) Sebagai Biopestisida Terhadap hama Thrips Pada Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L). Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. http://www.pertanian.trunojoyo.ac.id (Diakses tanggal 13 Oktober 2017) Rokhmah,S.N.2016.http://www.repository.unpas.ac.id /12537/5/BAB%2011.pdf (Diakses tanggal 10 Oktober 2017) 211 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Pemanfaatan daun sirsak sebagai....



Septarina.2017.http://www.media.aceh.gp.id/uploads/ manfaat_pohon_sirsak.pdf (Diakses tanggal 10 Oktober 2017) Setiyadi,B.2014.http://digilibunila.ac.id/2323/9/BAB %2011.pdf (Diakses tanggal 11 Oktober 2017) Tasirilotik, F.C E. N. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L) Sebagai Bahan Pestisida Organik Terhadap Mortalitas Hama Walang Sangit. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Matematika dan IPA, FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. http://www.repository.usd.ac.id (Diakses Tanggal 11 Oktober 2017) Tenrirawe, A. 2011. Pengaruh Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L) Terhadap Mortalitas Larva Helicoverpa armigera Pada Jagung. Seminar Nasional Serealia: 521-529. http://www.balitsereal.litbangpertanian.go.id (Diakses Tanggal 10 Oktober 2017) Wiranto, Siswanto, Trisawa, I.M. 2013. Perkembangan Penelitian Formulasi dan Pemanfaatan Pestisida Nabati. Jurnal Litbang Pertanian Vol 32 No.4 Desember 2013 : 150155. http://www.media.neliti.com (Diakses tanggal 13 Oktober 2017)



212 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Identifikasi Jenis Kupu-Kupu (Ordo Lepidoptera) di Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten Yulia Mustika Sari1*, Sean Providana Mauleti1, Alisa Nurwahidah1, Lela Risma1, dan Hikmat Kasmara 1



Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran 2 Dosen Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Taman Wisata Alam Pulau Sangiang merupakan salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki potensi keanekaragaman flora dan fauna. Salah satu fauna yang terdapat di Taman Wisata Alam Pulau Sangiang adalah kupu-kupu, namun informasi mengenai jenis kupu-kupu tersebut masih kurang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendata jenis kupu-kupu yang ada di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang dengan cara melakukan identifikasi terhadap kupu-kupu yang diperoleh. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4-10 Agustus 2017 di tujuh lokasi penelitian berbeda di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, yaitu Muara Kedongdong, Pantai Matasuta, Tanjung Bajo, Legon Waru, Tembuyung, Pantai Tukik, dan Resort Green Garden. Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan metode jelajah yakni menjelajahi rute di tujuh lokasi penelitian pada pagi hari pukul 08.00-11.00 WIB dan dilanjutkan pada sore hari pukul 14.00-16.00 WIB dengan teknik direct sweeping menggunakan jaring serangga (insect net). Selain itu, pada penelitian ini dilakukan pula pendataan faktor biotik, pengukuran factor abiotik meliputi kelembaban, temperatur udara, kecepatan angin, dan cuaca, serta pengukuran ketinggian lokasi penelitian. Total kupu-kupu yang dijumpai pada seluruh lokasi penelitian adalah 38 jenis yang berasal dari 3 Suku dalam Bangsa Lepidoptera, yaitu suku Papilionidae (13 jenis), suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 jenis). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data primer bagi penelitian selanjutnya. Kata kunci: Data Primer, Identifikasi, Kupu-Kupu, Pulau Sangiang. ABSTRACT Sangiang Island Nature Park is one of many place in Indonesia that has diversity of flora and fauna. One of the fauna that found in Sangiang Island Nature Park is butterflies, but less information acquired about the butterfly species. This study aims to determined the species of butterfly on Sangiang Island Nature Park by identifying the obtained butterflies. The research conducted on 4-10 August 2017 at seven different research sites in Sangiang Island Nature Park, such as Kedongdong Estuary, Matasuta Beach, Tanjung Bajo, Legon Waru, Tembuyung, Tukik Beach and Green Garden Resort. Butterfly collected by field survey method, that explored seven research sites in the morning at 08.00-11.00 WIB and continued in the afternoon at 14.0016.00 WIB with direct sweeping technique using insect net. The measurement of abiotic factors include humidity, air temperature, wind speed, weather, and altitude of each research sites, also data collection of biotic factors was conducted. The total of butterflies found on each research sites were 38 species from 3 families in Lepidoptera Order, such as Family Papilionidae (13 species), Family Nymphalidae (16 species), and Family Pieridae (9 species). The results of this study aim to be the primary data for further research. Keyword: Butterflies, Identification, Primary Data, Sangiang Island.



PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang memiliki kekayaan biodiversitas terbesar. Kekayaan biodiversitas Indonesia meliputi kekayaan flora, fauna, dan mikrobia. Secara geografis dan geologis, Indonesia berada di suatu wilayah daratan dan lautan yang sangat beragam tipologinya sehingga potensi kekayaan biodiversitasnya sangat bervariasi (Yuwono, 2016). Salah satu fauna yang terdapat di Indonesia yaitu kupu-kupu. Kupu-kupu adalah salah satu jenis serangga yang berasal dari bangsa Lepidotera. Di Indonesia ditemukan sekitar 1.600 jenis, beberapa diantaranya termasuk dalam daftar merah (redlist) International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai jenis yang dilindungi (Peggie dan Amir,2006 dalam Irni, 2016). Kupu-kupu



(Lepidoptera) adalah kelompok serangga holometabola sejati dengan siklus hidup melalui stadium telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (dewasa) (New 1997; Mastrigt dan Rosariyanto 2005; Peggie dan Amir 2006 dalam Rahayu, 2012). Kupu-kupu merupakan salah satu jenis serangga yang paling banyak diketahui karena terdapat dimana-mana dengan bentuk dan warna yang menarik. Serangga ini dapat dengan mudah dibedakan dengan serangga lain dilihat dari bagian tubuh yang ditutupi oleh sisik (scales) (Sembel, 2012 dalam Gosal, 2016). Kupu-kupu adalah bagian dari ekosistem yang fungsinya mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati, dilihat dari perannya sebagai penyerbuk yang memungkinkan terjadinya regenerasi tumbuhan. Selain itu, kupu-kupu juga peka terhadap perubahan lingkungan, baik itu dari segi vegetasi maupun dari 213 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan. Secara ekologis, kupu-kupu dapat dijadikan bioindikator kesehatan suatu lingkungan (Rahayu, 2012). Populasi kupu-kupu yang banyak pada suatu tempat mencerminkan lingkungan tersebut masih baik (Shalihah,dkk., 2012 dalam Gosal, 2016). Kupu-kupu juga membantu penyerbukan tanaman berbunga, sehingga proses perbanyakan tumbuhan secara alamiah dapat berlangsung (Borror et.al, 1992 dalam Rahayu, 2012) Di beberapa daerah, kupu-kupu pada tahap larva dimanfaatkan sebagai sumber makanan (Borror et.al, 1992; Gullan & Crasto, 2005 dalam Rahayu, 2012). Kupu-kupu dapat pula menjadi bahan pelajaran untuk kepentingan studi ilmiah (Subahar & Yuliana, 2010). Penelitian ini di lakukan di salah satu Pulau di Indonesia yaitu Pulau Sangiang Banten. Pulau Sangiang merupakan taman wisata alam yang terletak di Selat Sunda. Kawasan ini memiliki luas sekitar 1.420,35 hektar yang terdiri dari dataran seluas 700,35 hektar dan taman laut seluas 720 hektar. Pulau ini menyimpan berbagai macam flora dan fauna. Oleh karena itu, Pulau Sangiang mendapat julukan Seven Wonders of Banten. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel dan pembuatan koleksi di antaranya alat tulis, altimeter, field guide kupu-kupu, GPS, peta lokasi, digital instrument model LM-8010, insect net, jarum paku dan pentul, kamera digital Nikon D3100, kertas minyak, kontainer, kotak plastik, label, lembar kerja, papan perentang, papilot, styrofom, dan suntikan 1 ml. Bahan yang digunakan dalam pembuatan koleksi di antaranya alcohol 70%, aseton, kapur barus, dan kapus anti serangga. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus 2017 sampai dengan 10 Agustus 2017. Pulau Sangiang berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Secara geografis Taman Wisata Alam Pulau Sangiang ini terletak antara 5º56’00’’ sampai dengan 5º58’00’’ LS dan 105º49’30’’ sampai dengan 105º52’00’’ BT. Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang terletak di Selat Sunda dan menurut administratif pemerintahan terletak di wilayah Desa Pembuatan Koleksi atau Mounting Spesimen yang terkumpul dimasukkan kedalam papilot untuk penyimpanan sementara. Kupu-kupu yang telah ditangkap dan disimpan dalam papilot kemudian dikeluarkan dan diawetkan. Pertama, kupu-kupu diawetkan dengan disuntikkan alkohol 70% pada bagian dada bawah. Spesimen yang telah diawetkan kemudian ditusuk bagian dada atasnya dengan jarum secara tegak lurus lalu diletakkan pada papan perentang untuk disejajarkan



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten (PPK-K3PK, 2016). Berdasarkan hasil survei pada tanggal 1 Juli 2017 sampai dengan 3 Juli 2017 terdapat tujuh daerah yang ditetapkan sebagai wilayah pengambilan sampel Lepidoptera, yaitu: 1. Muara Kedondong 2. Pantai Matasuta 3. Tanjung Bajo 4. Legon Waru 5. Tembuyung 6. Pantai Tukik 7. Resort Green Garden



Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Banten Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4 sampai dengan 10 Agustus 2017 di tujuh lokasi penelitian berbeda di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, yaitu Muara Kedongdong, Pantai Matasuta, Tanjung Bajo, Legon Waru, Tembuyung, Pantai Tukik, dan Resort Green Garden. Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan metode jelajah yakni menjelajahi rute di tujuh lokasi penelitian pada pagi hari pukul 08.00-11.00 WIB dan dilanjutkan pada sore hari pukul 14.00-16.00 WIB dengan teknik direct sweeping net menggunakan jaring serangga (insect net). Selain itu, pada penelitian ini dilakukan pula pendataan faktor biotik, pengukuran faktor abiotik seperti kelembaban, temperatur udara, kecepatan angin, dan cuaca dengan menggunakan Digital Instruments Model LM-8010 serta pengukuran ketinggian lokasi dengan menggunakan altimeter.



posisi sayap kanan dan kirinya dengan sudut rentang sayap 90° tegak lurus dari posisi tubuhnya. Spesimen didiamkan dan ditahan dengan lapisan kertas minyak hingga sayap-sayapnya kaku. Kupu-kupu tersebut kemudian diberi label dengan keterangan tanggal dan waktu pengambilan serta tempat ditemukan. Untuk menghindari kerusakan spesimen akibat serangga kecil lainnya, di sekeliling papan perentang diberikan kapur anti serangga dan kamper. 214 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi Sampel Ciri-ciri kupu-kupu yang telah diidentifikasi dengan buku identifikasi Identification Guide for Butterflies of West Java, Kupu-kupu di Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor, Panduan praktis Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor, Precious and Protected Indonesian Butterflies, Mengenal Kupu-Kupu, Biodiversitas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Buku Identifikasi Kupu-kupu se-Jatinangor. Pengukuran Morfometrik Pengukuran morfometrik merupakan metode yang karakter morfologinya dideskripsikan melalui pengukuran, perhitungan, atau permberian skor. Pengukuran standar yang biasa dilakukan untuk kupukupu meliputi pengukuran panjang kepala, panjang dada, panjang perut, panjang antena, panjang sayap dan lebar sayap (Lemauk, 2003). Analisis Data Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis dilakukan dengan mendeskripsikan keanekaan jenis capung dan kupu-kupu pada lokasi pengamatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Pulau Sangiang merupakan satu dari banyak pulau di Indonesia yang memiliki Keanekaragaman Hayati yang cukup tinggi, entah itu ditinjau dari biotik maupun dari abiotiknya. Kekayaan biotiknya disampaikan dalam (Tabel 5.1), dan juga abiotiknya disampaikan dalam (Tabel 5.2). Berdasarkan letak pengambilan data, dibagi dalam 4 tempat utama, yaitu Muara Kedondong, Tanjung Bajo, Legon Waru, dan Pantai Tukik. Secara garis besar, terdapat 3 vegetasi yang ada di Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang yang menyusun lokasi pengambilan data atau lokasi penelitian. Vegetasi tersebut adalah vegetasi hutan dataran rendah, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi mangrove. Setiap lokasi tidak hanya tersusun oleh



Identifikasi jenis kupu-kupu....



satu vegetasi saja. Lokasi I adalah Muara Kedondong yang tersusun atas vegetasi hutan dataran rendah dan mangrove, pada wilayah yang tersusun oleh vegetasi hutan dataran rendah terdapat tanaman bunga tembelakan (Lantana camara), melinjo (Gnetum gnemon), dan pohon jeruk (Citrus sp.) serta tanaman dari suku Casuarinaceae, Poaceae dan Fabaceae. Lokasi II adalah Tanjung Bajo dan Pantai Mata Suta yang tersusun atas vegetasi hutan dataran rendah dan hutan pantai. Pada wilayah yang tersusun oleh hutan dataran rendah terdapat Pohon kelapa (Cocos nucifera), bunga tembelekan (Lantana camara), bunga tahi ayam (Tagetes erecta), alang-alang (Imperata cylindrica), pohon beringin (Ficus sp.) dan beberapa tanaman dari suku Poaceae, Verbenaceae, serta Palmaceae. Lokasi III adalah Legon Waru yang tersusun oleh vegetasi hutan pantai, pada lokasi ini ditemukan pohon ketapang (Terminalia catappa), pandan wangi (Pandanus dubicus), alang-alang (Imperata cylindrica), johar (Cassia siamea), pohon kelapa (Cocos nucifera) dan beberapa tanaman dari suku Casuarinaceae dan Astreaceae. Lokasi terakhir yaitu Lokasi IV adalah Tembuyung, Pantai Tukik, dan Resort Green Garden, lokasi ini tersusun oleh vegetasi hutan pantai dan hutan mangrove. Pada wilayah yang tersusun vegetasi hutan pantai terdapat tanaman pohon ketapang (Terminalia catappa), alang-alang (Imperata cylindrica), sengon (Albizzia falcataria), Cyperus rotundus, bunga tembelakan (Lantana camara), dan beberapa tanaman dari suku Asteraceae lainnya. Jenis Serangga yang Diperoleh di Lokasi Penelitian Pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang diperoleh 38 spesies dari total 49 individu yang terdiri atas 3 suku yaitu Papilionidae 13 jenis, Nymphalidae 16 jenis, dan Pieridae 9 jenis yang disampaikan dalam (Tabel 5.3).



Tabel 5.1 Data Kondisi Abiotik di Stasiun Lokasi Penelitian Komponen Faktor Lingkungan Lokasi I Lokasi II Ketinggian (mdpl) 190 210 Kecepatan Angin (m/s) 0,4 0,3 Intensitas Cahaya (lux) 3400 12.300 Kelembapan Udara (%) 64,3 80 Temperatur Udara (°C) 32,5 28,1 Abiotik 5° 56`56.26``S- 5° 56`59.33``STitik Koordinat 105° 105° 51`23.89``T 50`20.47``T Ketinggian (mdpl) 190 210



Lokasi III 20 0 7000 70 30,5 5° 57`20.34``S105° 51`8.87``T 20



Lokasi IV 8 0,4 1661,6 60,6 34,17 5° 57`48.94``S105° 51`48.02``T 8



215 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Tabel 5.2 Data Kondisi Biotik di Stasiun Lokasi Penelitian Anjing (Canis lupus), Anjing (Canis Elang perut putih lupus), (Haliaetus Wallet sapi leucogaster), Kadal (Collocalia Hewan (Eutropis rudis), Ikan esculenta), Lainnya (Labridae), Semut Elang bondol hitam, Kepiting bakau (Haliastur Biotik ungu (Scylla indus), Kodok tranquebarica) (Bufo sp.) Lantana Lantana camara, camara, Tumbuhan Cocos nucifera, Cocos nucifera, Poaceae Poaceae Tabel 5.3 Jenis Kupu-Kupu yang Diperoleh di Lokasi Penelitian No. Familia Spesies 1 Papilio memnon ♂ 2 Papilio memnon ♀ 3 Pachliopta aristolochiae adamas ♀ 4 Troides miranda neomiranda ♀ 5 Troides helena helena ♀ 6 Troides helena f pompeus ♂ 7 Troides helena mannus ♂ Papilionidae 8 Troides helena nereides 9 Troides helena hephaetus ♂ 10 Triodes helena f jupiter 11 Papilio polytes 12 Graphium sarpedon 13 Graphium agamemnon 14 Papilio peranthus adamantius 15 Ideopsis juventa juventa 16 Euploea mulciber basilissa 17 Elymnias kuenstleri gauroides 18 Amathusia phidippus phidippus 19 Amathusia taenia taenia 20 Hypolimnas misippus misippus 21 Danaus chrysippus bataviana 22 Phalantha phalantha Nymphalidae 23 Euploea caramalzeman hypanis 24 Euploea phaenareta 25 Neptis hylas matula 26 Danaus melanippus melanippus 27 Euploea gamelia 28 Elymnias hypermnestra hypermnestra 29 Melanitis ledasimessa 30 Ariadne specularia 31 Hebomoia glaucippe javanensis 32 Hebomoia glaucippe formosana 33 Delias hyparete ♀ 34 Delias hyparete ♂ 35 Catopsilia pomona Pieridae 36 Eurema blanda blanda 37 Eurema hecabe sankapura 38 Gandaca harina harina 39 Eurema sari sari 40 Catopsilia pyranthe pyranthe



Jumlah 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1



Elang perut putih (Haliaetus leucogaster), Kelomang (Pagurus sp.), Kepiting pasir, Lutung (Trachypithecus auratus) Lantana camara, Cocos nucifera, Poaceae



Anjing (Canis lupus), Wallet sapi (Collocalia esculenta), Elang bondol (Haliastur indus), Kodok (Bufo sp.) Lantana camara, Casuarinaceae, Poaceae, Fabaceae



Keterangan Ditangkap Tidak tertangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Tidak tertangkap Tidak tertangkap Tidak tertangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap Ditangkap



216 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Pembahasan dan Data Morfometrik Spesimen Kupu-Kupu 1. PAPILIONIDAE 1.1 Papilio memnon



Jantan Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antenna



Lebar sayap atas : 6,5 Tinggi sayap bawah :4 Lebar sayap bawah : 2,8 Panjang proboscis :2 Panjang kepala : 0,3 Panjang tubuh :4 Panjang antena : 2,3 1.4 Troides helena f pompeus jantan



Betina



: 7,5 : 11 : 3,9 : 5,2 : 3,5 : 2,3 : 2,2 : 0,2 : 2,9 : 2,3



1.2 Pachliopta aristolochiae adamas betina



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 5,2 : 14,1 : 4 : 6,7 : 4,5 : 3,3 : 2,8 : 0,5 :4 : 2.2



1.5 Troides helena mannus jantan



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 5,7 : 7,8 : 2,3 : 3,7 : 3,6 : 1,7 : 1,2 : 0,3 : 2,3 : 1,2



1.3 Troides helena helena betina



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 9,5 : 12,5 : 4,5 : 7,5 : 3,7 :3 : 2,5 : 0,5 :4 : 2,5



1.6 Troides helena nereides



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas



:9 : 14 :5 217 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:3 : 0,4 : 4,5 : 2,5



1.9 Troides miranda neomiranda betina



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:8 : 11 : 5,5 :6 :3 : 3,2 :2 : 0,4 :4 : 2,5



1.7 Troides helena hephaetus jantan



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 8,5 : 13 : 5 :6 :3 :3 :2 : 0,3 :4 : 2,3



2. NYMPHALIDAE 2.1 Ideopsis juventa juventa



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 9,6 : 13,5 : 5,5 :7 : 3,1 :3 : 2,5 : 0,3 : 4,8 : 2,8



1.8 Troides helena f jupiter



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah



:9 : 13 :5 :7 : 9,8 :3



Data morfologis (cm) Panjang total : 4,5 Lebar total : 8,2 Tinggi sayap atas : 2,2 Lebar sayap atas :4 Tinggi sayap bawah : 2,5 Lebar sayap bawah : 2,5 Panjang proboscis : 1,7 Panjang kepala : 0,3 Panjang tubuh :2 Panjang antenna : 1,6 2.2 Euploea mulciber basilissa



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas



: 5,5 :8 : 2,8



218 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:4 : 2,1 :3 :1 : 0,2 :2 : 1,6



2.3 Elymnias kuenstleri gauroides



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antenna



: 5,6 : 9,1 :3 :4,1 : 2,9 : 3,2 : 1,2 : 0,4 : 2,7 : 1,2



2.4 Amathusia phidippus phidippus



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



Identifikasi jenis kupu-kupu....



: 8,9 : 8,8 : 3,5 : 3,3 : 4,9 : 3,4 : 1,2 : 0,2 : 2,9 : 2,2



2.5 Amathusia thaenia thaenia



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:9 : 8,5 : 3,5 : 4,1 : 4,1 : 3,6 : 0,6 : 0,2 :3 : 2,2



2.6 Hypolimnas misippus misippus



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah : 2,8 Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:6 :9 : 2,8 : 4,2 : 2,9 : 0,7 : 0,2 : 2,6 : 1,9



2.7 Danaus chrysippus bataviana



DATA MORFOLOGI (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala



: 3,6 : 8,1 :2 : 3,9 : 1,6 : 2,9 : 1,2 : 0,2



219 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Panjang tubuh Panjang antena 2.8 Phalanta phalantha



Identifikasi jenis kupu-kupu....



: 2,3 : 1,3



Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:1 : 0,2 :2 : 1,5



2.11 Danaus melanippus melanippus



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:4 : 5,6 : 1,9 : 2,5 : 2,1 :2 : 0,5 : 0,2 : 1,5 : 1,3



2.9 Euploea caramalzeman hypanis



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 4,5 : 6,7 : 2,3 : 3,5 : 2,2 : 2,1 : 0,5 : 0,2 :2 : 0,8



2.12 Euploea gamelia betina



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:5 :8 : 2,7 : 3,8 : 2,5 : 2,5 : 1,2 : 0,1 : 2,8 : 1,5



2.10 Neptis hylas matula



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 6,1 : 8 : 3,4 :4 :3 : 3,2 : 1,2 : 0,2 : 2,8 : 1,7



2.13 Elymnias hypermnestra hypermnestra



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah



: 3,7 :8 : 2,5 :3,5 : 2,2 : 2,5 220 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Data morfologis (cm) Panjang total : 3,6 Lebar total : 6,5 Tinggi sayap atas : 1,9 Lebar sayap atas : 3,1 Tinggi sayap bawah : 2,2 Lebar sayap bawah : 2,5 Panjang proboscis : 0,5 Panjang kepala : 0,3 Panjang tubuh : 1,9 Panjang antena :-



Data morfologis (cm) Panjang total :3 Lebar total : 3,5 Tinggi sayap atas : 1,8 Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



2.14 Melanitis ledasimessa



: 2,1 : 1,6 :2 : 0,5 : 0,1 : 1,8 : 1,8



3.2 Hebomoia glaucippe javanensis Data morfologis (cm) Panjang total : 4,6 Lebar total : 6,4 Tinggi sayap atas :2 Lebar sayap atas : 3,1 Tinggi sayap bawah : 2,4 Lebar sayap bawah : 2,4 Panjang proboscis : 0,5 Panjang kepala : 0,3 Panjang tubuh : 1,5 Panjang antena : 1,4 2.15 Ariadne specularia specularia



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 5,3 : 8,7 :2 :2,2 : 3,5 : 2,8 : 2,6 : 0,6 : 2,6 : 1,7



3.3 Delias hyparete Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena 3. PIERIDAE 3.1 Eurema hecabe amlapura



:3 : 3,5 : 1,5 : 1,8 : 1,8 : 1,2 :1 : 0,1 : 1,3 : 0,3



Delias hyparete hyparete D.hyparete metarete Data morfologis (cm) Panjang total : 4,5 Lebar total : 8,8 Tinggi sayap atas : 2,5 Lebar sayap atas : 3,5 Tinggi sayap bawah : 2,3 Lebar sayap bawah : 2,6 Panjang proboscis : 0,9 Panjang kepala : 0,3 Panjang tubuh : 2,7 Panjang antena : 1,5 221 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Identifikasi jenis kupu-kupu....



Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



3.4 Catopsilia pomona



: 1,8 : 1,8 : 0,5 : 0,1 : 1,4 :-



3.7 Eurema sari sari



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang Antena



:5 : 5,7 : 2,3 : 2,5 : 2,6 : 2,3 : 1,2 : 0,3 : 1,9 :1



3.5 Eurema blanda Banda



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 2,9 : 2,2 : 0.9 : 2,2 :2 : 1,9 : 1,4 : 0,2 : 1,2 : 0,6



3.7 Catopsilia phyranthe phyranthe Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



: 2,9 : 4,5 : 1,3 : 2,2 : 1,6 : 1,3 : 1,8 : 0,1 : 1,7 : 0,3



3.6 Gandaca harina harian



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas



: 2,9 :4 : 1,8 :2



Data morfologis (cm) Panjang total Lebar total Tinggi sayap atas Lebar sayap atas Tinggi sayap bawah Lebar sayap bawah Panjang proboscis Panjang kepala Panjang tubuh Panjang antena



:4 : 5,5 :2 : 2,8 :3 : 3,2 : 0,2 : 0,2 : 1,8 :-



Perbedaan morfologi mencolok terlihat dari 3 suku tersebut. Kupu-kupu dari suku Nymphalidae berwarna coklat, oranye, jingga, kuning, dan hitam, berukuran beragam mulai yang berukuran kecil sampai besar. Biasanya pada kupu-kupu jantan, pasangan tungkai depan ini mereduksi dan tertutup oleh kumpulan sisik yang padat menyerupai sikat, sehingga kupu-kupu ini juga dikenal sebagai kupukupu bertungkai sikat. Pada saat hinggap, kupu-kupu 222 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



ini hanya menggunakan empat dari enam tungkai karena pasangan tungkai depan terlipat pada tubuh (Peggi dan Amir, 2006). Kupu-kupu dari suku kedua yaitu suku Papilionidae. Kupu-kupu dari suku ini umumnya memiliki tubuh berukuran sedang sampai besar, memiliki sayap belakang yang berekor, memiliki sayap yang berwarna hitam dengan corak jelas berwarna putih atau warna cerah dan terbang lambat mirip burung layang-layang (sehingga sering disebut kupu-kupu sayap burung birdwing atau swallow tails) (Shalihah,dkk.,2011). Banyak jenis Papilionidae bersifat seksual dimorfisme, yaitu berbeda pola sayap jantan dan betinanya. Pada beberapa kupu-kupu betina ada yang bersifat polimorfisme, yaitu terdapat beberapa pola sayap. Pada jenis-jenis dimana jantan dan betina tampak sama maka biasanya betina berukuran lebih besar dengan sayap lebih membulat (Peggie dan Amir, 2006). Suku terakhir adalah suku Pieridae. Kupu-kupu dari suku ini umumnya memiliki tubuh berwarna putih, kuning atau jingga-kuning (lebih banyak yang berwana putih), memiliki bagian bawah sayap belakang yang berwarna terang dan umumnya terbang dalam kelompok dan berjumlah banyak (Shalihah,dkk.,2011). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa total kupu-kupu yang tercatat di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang sebanyak 38 jenis dari total 49 individu, yang terbagi kedalam 3 suku yaitu suku Papilionidae (13 jenis), suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 jenis). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Banten atas izin untuk melakukan penelitian di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, kepada panitia Observasi Wahana Alam IV Himpunan Mahasiswa Biologi UNPAD yang telah



Identifikasi jenis kupu-kupu....



mengadakan penelitian ini, kepada Tim Entomologi OWA IV yang telah membantu dalam pengambilan data, dan kepada bapak Hikmat Kasmara, Drs., M.Si. sebagai dosen pembimbing. DAFTAR PUSTAKA Gosal, L.M., Ventje, M., and Jimmy, R. 2016. Diversity and differences type of butterfly species (Order Lepidoptera) based on the topography of the three forest location in North Sulawesi. Jurnal Bioslogos. 6(2). Irni, J., Burhanudin, M., dan Noor, F. 2016. Keanekaragaman jenis kupu-kupu berdasarkan tipe tutupan lahan dan waktu aktifnya di Kawasan Penyangga Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. Media Konservasi. 21(3): 225-230. Lemauk, M. 2003. Hubungan antara ukuran vital statistic kepompong dan kupu-kupu sayap burung (Ornithopthera priamus poseidon Doubleday). Skripsi. Fakultas Pertanian, Peternakan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Papua, Manokwari. Rahayu, S.E., dan Basukriadi, A. 2012. Kelimpahan dan keanekaragaman spesies kupu-kupu (Lepidoptera: Rhopalocera) pada berbagai tipe habitat di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi. Jurnal of Biospecies 5(2): 40- 48. Subahar, T.S.S., dan Yuliana, A. 2010. Butterfly diversity as a data base for the development plant of Butterfly Garden at Bosscha Observatory, Lembang, West Java. Biodiversitas 11(1): 24-28. Yuwono, Triwibowo. 2016. Eksplorasi dan pemanfaatan biodiversitas mikrobia Indonesia untuk pengembangan bioteknologi. Seminar Nasional Biodiversitas V. Departemen Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



223 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Senyawa volatil tanaman sebagai....



Senyawa Volatil Tanaman sebagai Pertahanan terhadap Serangga Herbivora dan Penarik Serangga Bermanfaat Nining Sulastri1 dan Lutfi Afifah2 1



Mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang 2 Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang Jl. HS Ronggowaluyo, Teluk Jambe Timur, Kab. Karawang 41361 *Alamat korespondensi: [email protected] ABSTRAK



Interaksi tiga jenjang trofik antara tanaman, serangga herbivora dan musuh alaminya sangat kompleks dan melibatkan senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan tidak hanya oleh tanaman tetapi juga serangga herbivora. Volatile Organic Compound (VOC) tanaman berfungsi mempengaruhi serangga herbivora dalam menentukan inangnya dan keputusan dalam pencarian inang oleh musuh alami serangga herbivora. Bunga dan organ vegetatif merupakan tempat dihasilkannya senyawa volatil. Volatil pada bunga berfungsi sebagai atraktan serangga polinator sedangkan pada bagian vegetatif sebagai pertahanan tanaman untuk melindunginya dari serangga herbivora. Biosintesa dan emisi VOC meliputi produk jalur lipoksigenase (LOX), seperti oxylipin, Green Leaf Volatile (GLVs), serta banyak terpenoid, termasuk isoprena, beberapa turunan karotenoid, indol dan fenolat, termasuk metil salisilat (MeSA), dan VOC aromatik. GLVs adalah molekul multiguna yang diproduksi pada berbagai gangguan sistem tanaman dan membantu tanaman bertahan di lingkungan yang tidak menguntungkan. Pertahanan tanaman melibatkan hormon Etilen (ET) digunakan sebagai pertahanan tanaman yang mempengaruhi GLVs. Pelepasan GLVs setelah adanya tekanan abiotik dan biotik. Tanggapan serangga terhadap GLVs bervariasi tergantung pada komposisi volatil, jenis kelamin serangga atau spesies, serangga tertarik atau ditolak oleh GLVs. Sintesis GLVs melalui cabang hidroperoksida lyase (HPL) dari jalur oxylipin. GLVs tidak hanya mengaktifkan pertahanan tanaman tapi juga sebagai priming. Talking tree hypothesis menjelaskan bahwa volatil yang dilepaskan dari tanaman mempengaruhi tanaman tetangga yang tidak terinfeksi dari spesies yang sama. Ada dua jenis penerima dalam plant communication yaitu tanaman tetangga dan bagian tanaman yang terluka. Sampai saat ini mekanisme mengenai interplant communication belum diketahui secara pasti oleh peneliti-peneliti, oleh sebab itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Kata kunci: VOC (Volatile Organic Compound), Green Leaf Volatile (GLVs), talking tree hypothesis, serangga herbivora ABSTRACT The interaction of three trophic levels between plants, herbivorous insects and natural enemies is very complex and involves chemical compounds produced not only by plants but also herbivorous insects. Volatile Organic Compound (VOC) crops affect the herbivorous insects in determining its host and decision in the search of host by natural enemies of herbivorous insects. Flowers and vegetative organs are the place to produce volatile compounds. Volatile in flower serves as an attractant of pollinant insects while in the vegetative part as a plant defense to protect it from herbivorous insects. Biosynthesis and VOC emissions include products of lipoxygenase (LOX) pathways, such as oxylipin, Green Leaf Volatile (GLVs), as well as many terpenoids, including isoprene, some carotenoid, indole and phenolic derivatives, including methyl salicylate (MeSA), and aromatic VOCs. GLVs are multipurpose molecules that are produced on a variety of plant system disorders and help plants survive in unfavorable environments. Plant defense involves the hormone Ethylene (ET) used as a plant defense that affects GLVs. Release of GLVs after abiotic and biotic pressure. Insect responses to GLVs vary depending on volatile composition, sex of insects or species, insects attracted or rejected by GLVs. Synthesis of GLVs through the lyase hydroperoxide branch (HPL) of the oxylipine pathway. GLVs not only activate plant defense but also as priming. Talking tree hypothesis explains that volatiles released from plants affect neighboring uninfected plants of the same species. There are two types of recipients in plant communication: neighboring plants and injured plant parts. Until now the mechanism of interplant communication is not known for certain by the researchers, therefore need more research on it. Key words: VOC (Volatile Organic Compound), Green Leaf Volatile (GLVs), talking tree hypothesis, herbivorous insects.



PENDAHULUAN Interaksi tiga jenjang trofik antara tanaman, herbivora dan musuh alaminya (parasitoid dan predator) sangat kompleks dan melibatkan senyawasenyawa kimia yang dihasilkan tidak hanya oleh tanaman tetapi juga serangga herbivora. Senyawa yang terlibat dalam interaksi organisme pada tiga



jenjang trofik adalah alelokimia. Tanaman sebagai produsen pada tingkat trofik pertama berperan mengubah energi matahari melalui fotosintesis menjadi senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas lain sebagai organisme heterotrof. Organisme lain seperti serangga herbivora memakan tanaman untuk memenuhi kebutuhan nutrisi



224 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung sedangkan organisme diatasnya terdiri dari parasitoid dan predator memanfaatkan serangga herbivora demi kelangsungan hidupnya. Serangga herbivora dan musuh alaminya dapat dipengaruhi oleh tanaman. Tanaman menghasilkan senyawa volatil yang mempengaruhi serangga herbivora dalam menentukan inangnya dan keputusan dalam pencarian inang oleh musuh alami serangga herbivora (Puspitarini, 2009). Senyawa volatil mengarahkan serangga menuju sumber makanan, pasangan kawin, dan oviposisi inang. Khusus untuk serangga herbivora, volatil tanaman memberikan isyarat penting untuk menemukan dan mengidentifikasi tanaman inang yang sesuai untuk keturunan mereka. Setelah herbivora datang, tanaman merespon dengan meningkatkan pelepasan dan sintesis dimulai untuk beberapa senyawa volatil dari jaringan vegetatif mereka (Mumm & Dicke, 2010). Parasitoid mengandalkan bau (aroma) yang dihasilkan tanaman dalam menangkap mangsanya. Bau tersebut merupakan sinyal yang digunakan tanaman dalam menghadapi serangan serangga herbivora (Howe & Jander, 2008). Interaksi tritrofik antara tanaman dengan serangga herbivora dan musuh alaminya perlu dipelajari agar dapat dibuat suatu tindakan dalam mengendalikan populasi serangga herbivora agar berada dibawah ambang ekonomi. Serangga herbivora dapat mengurangi tingkat produktivitas dari tanaman yang dibudidayakan oleh manusia. Sehingga dalam makalah ini menjelaskan interaksi tanaman dan serangga herbivora dan musuh alaminya, serta cara pertahanan tanaman dalam menghadapi serangan serangga herbivora dengan menggunakan senyawa kimia yaitu senyawa volatil. Mekanisme Pertahanan Tanaman Mekanisme pertahanan tanaman dapat digeneralisasi menjadi dua kategori yaitu pertahanan konstitutif dan pertahanan yang dapat diinduksi. Pertahanan konstitutif mencakup hambatan fisik dan kimia yang ada sebelum serangan serangga, sedangkan pertahanan yang dapat diinduksi meliputi mekanisme pertahanan yang menjadi aktif pada serangan serangga. Pertahanan yang dapat diinduksi spesifik telah menjadi fokus penelitian selama beberapa dekade terakhir. Secara umum, pertahanan yang dapat diinduksi terdiri dari tiga tahap yaitu surveillance (pengawasan), transduksi sinyal, dan produksi bahan kimia pertahanan (Dangl & McDowell, 2006; Ferry et al., 2004; Kessler & Baldwin, 2002; Walling, 2000). Pada langkah pertama, sistem surveillance tanaman mendeteksi serangan serangga herbivora dengan pengenalan sinyal tertentu. Sinyal yang terdeteksi kemudian ditransduksi melalui jalur transduksi sinyal jaringan, yang akhirnya mengarah pada produksi bahan kimia pertahanan (Smith & Boyko, 2007; Kaloshian, 2004).



Senyawa volatil tanaman sebagai....



Dua jenis pertahanan yang dapat diinduksi telah diamati pada tanaman yaitu pertahanan langsung dan pertahanan tidak langsung. Tanaman menghadapi herbivora baik secara langsung (direct defense) dengan mempengaruhi preferensi tanaman inang atau kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi, dan secara tidak langsung (indirect defense) melalui spesies lain seperti menarik musuh alami hama serangga herbivora (War et al., 2012). Musuh alami menekan populasi serangga herbivora, dan akibatnya, mengurangi kerusakan tanaman akibat serangga herbivora (Chen, 2008). Pertahanan langsung dimediasi oleh karakteristik tanaman yang mempengaruhi biologi serangga herbivora meliputi perlindungan mekanis pada permukaan tanaman (misalnya rambut, trikoma, duri, dan daun yang lebih tebal) atau produksi bahan kimia beracun seperti terpenoid, alkaloid, antosianin, fenol, dan quinon yang membunuh atau menghambat perkembangan serangga herbivora. Sedangkan pertahanan tidak langsung terhadap serangga herbivora melalui pelepasan campuran volatil yang secara khusus menarik musuh alami serangga herbivora dan dengan menyediakan makanan (misalnya, extrafloral nectar) dan tempat tinggal untuk meningkatkan keefektifan musuh alami (War et al., 2012). Ciri campuran volatil yang diinduksi serangga herbivora adalah kompleksitasnya, namun sampai saat ini sulit menentukan komponen mana dari campuran yang dibutuhkan untuk menarik musuh serangga herbivora (Unsicker, 2009). Perubahan campuran volatil yang diinduksi pada tanaman oleh serangan serangga herbivora yang banyak dan bersamaan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kebiasaan cara makan serangga (mengunyah, menusuk atau mengisap), organ tanaman yang diserang (di atas atau di bawah permukaan) atau kekuatan kerusakan herbivora (kepadatan herbivora, waktu dan lokasi penyerangan yang berbeda) (de Rijk et al., 2013). Jumlah optimum senyawa volatil biasanya dilepaskan oleh tumbuhan ke atmosfir, sedangkan campuran volatil yang berbeda dihasilkan sebagai respon terhadap herbivora. Campuran volatil yang dilepaskan oleh tanaman sebagai respon terhadap serangan serangga sangat spesifik untuk sistem tanaman serangga tertentu, termasuk musuh alami dan tanaman tetangga (War, et al.,2012). Dua unsur yang paling umum dari campuran volatil ini terpen (C10 monoterpen dan C15 sesquiterpen) dan Green Leaf Volatile (GLVs) (aldehida C6, alkohol dan ester yang berasal dari pembelahan lipoksigenase asam lemak yang mewujudkan bau yang khas pada daun yang rusak) (Unsicker, et al., 2009). Kemampuan Tanaman dalam Mengenali Serangan Serangga Herbivora Tanaman memiliki kemampuan untuk membedakan antara kerusakan serangga herbivora dan mekanis, seperti hujan es dan angin, dan juga 225 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung untuk mengenali oviposisi. Hal ini berguna dalam efisiensi pengeluaran emisi VOC dari sistem pertahanan tanaman. Tanaman memiliki kemampuan untuk mengenal serangga herbivora dengan feeding guilds, mengetahui sekresi oral serangga, dan cairan oviposisi yang dihasilkannya. Kemampuan tanaman dalam feeding guilds melalui evaluasi kualitas dan kuantitas kerusakan dari bagian tanaman seperti kerusakan yang disebabkan ulat yang ketika makan mengikuti pola khusus dengan mengeluarkan potongan jaringan daun yang berukuran sama dengan cara yang sangat koreografi dan dapat diprediksi oleh tanaman. Tanaman juga mampu mengenali senyawa dalam sekresi oral serangga, yang menghasilkan respon volatil lebih intens daripada kerusakan mekanis saja. Salah satu contoh, tanaman dapat mengenali sekresi oral serangga yaitu pada oral Spodoptera exigua yang mengeluarkan N-17hydroxylinolenoyl-L-glutamine (volicitin) yang merupakan sekresi oral serangga yang pertama kali didentifikasi. Ada beberapa elisitor yang berasal dari sekresi oral yang benar-benar menekan respon pertahanan tanaman. Misalnya, saliva glukosa oksidase (GOX) dikeluarkan oleh Helicoverpa zea dan protein yang diidentifikasi di kelenjar saliva Myzus persicae menambah sifat oksidatif dan mengurangi respon pertahanan tanaman. Tanaman dapat mengenal cairan oviposisi serangga yang dapat menimbulkan respon pertahanan pada tanaman, membuat tanaman menarik predator telur atau memperkuat pertahanannya jika terjadi serangan serangga herbivora pada masa yang akan datang seperti pada oviposisi Pieris brassicae pada daun Brassica oleracea mengubah kimia permukaan daun yang menyebabkan parasitoid telur Trichogramma brassicae tertarik datang (Hagg et al., 2013). Pertahanan Tanaman dengan menggunakan VOC (Volatile Organic Compound) Biosintesa dan emisi VOC meliputi produk jalur lipoksigenase (LOX), seperti oxylipin, Green Leaf Volatile (GLVs), serta banyak terpenoid, termasuk isoprena, beberapa turunan karotenoid, indol dan fenolat, termasuk metil salisilat (MeSA), dan VOC aromatik (Maffei, 2010). Biosintesis ini bergantung pada ketersediaan karbon, nitrogen dan sulfur serta energi yang disediakan oleh metabolisme primer (Dudareva et al., 2013). Volatil dihasilkan tanaman dari organ vegetatif dan generatif. Bunga merupakan tempat dihasilkannya volatil paling banyak dan beragam dibandingkan dengan organ vegetatif (Knudsen et al., 2006). Pada semua organ tanaman, produksi dan emisi VOC diatur secara progresif dan menunjukkan perkembangan yang serupa, meningkat pada tahap awal perkembangan (ketika daun muda dan tidak sepenuhnya berkembang, buah belum matang, atau sebelum bunga siap untuk penyerbukan) dan menurun atau tetap relatif konstan



Senyawa volatil tanaman sebagai....



sesudahnya (Dudareva et al., 2000; Vassao et al., 2006). Secara umum, VOC dapat membawa berbagai jenis informasi: (I) informasi kepada serangga herbivora untuk melokalisasi tanaman inang mereka, (II) pertahanan tidak langsung dengan menggunakan tingkat trofik ketiga dengan menarik musuh alami, dan (III) untuk tanaman tetangga serta (IV) bagian yang jauh dari tanaman yang sama, untuk menyesuaikan fenotipe pertahanan mereka yang sesuai (Heil & Bueno, 2007). VOC dilepaskan dari daun, bunga dan buah ke atmosfer dan dari akar ke dalam tanah (Maffei, 2010). Fungsi utama VOC di udara adalah untuk mempertahankan tanaman melawan herbivora dan patogen, untuk menarik polinator, penyebar biji, dan hewan dan mikroorganisme bermanfaat lainnya, serta berfungsi sebagai sinyal dalam komunikasi antar tanaman (Dudareva & Pichersky, 2008). Produksi VOC diaktifkan oleh elicitors dari sekresi oral serangga herbivora yang menyerang (Truitt et al., 2004; Truitt & Pare, 2004). Volatil pada bunga berfungsi sebagai atraktan serangga polinator. Cara VOC menarik polinator dengan memberikan informasi mengenai pendaratan dan makanan dengan jarak pendek maupun jarak jauh (Dobson, 1994) dan menyediakan penyerbuk dengan informasi spasial berskala baik tentang peluang pendaratan dan makanan. Informasi ini tergantung pada jaringan spesifik dan pengaturan perkembangan produksi aroma dan emisi di dalam bunga (Dotterl & Jurgens, 2005; Kessler & Baldwin, 2007). Emisi VOC sering berkorelasi dengan aktivitas mencari makan polinator terkait dan menampilkan pola diurnal atau nokturnal (Kolosova et al., 2001). Selain itu, polinator juga mampu membedakan antara profil volatil kompleks yang beragam dengan rasio dan intensitas senyawa yang unik (Wright et al., 2005) serta mengembangkan preferensi terhadap profil spesifik (Ashman, 2000). Preferensi ini memodulasi perilaku mencari makanan dan meningkatkan kecenderungan untuk berulang kali mengunjungi bunga dengan profil volatil yang spesifik, sehingga meningkatkan transfer serbuk sari ke tanaman yang spesifik dan mencegah stigma tersumbat dengan serbuk sari heterospesifik (Gruter & Ratnieks, 2011). Selain itu, VOC yang dipancarkan dari bunga yang diserbuki juga dapat menolak polinator dan mengarahkannya ke bunga yang belum diserbuki (Schiestl & Ayasse, 2001). Peran volatil pada bagian vegetatif adalah sebagai pertahanan tanaman terhadap patogen, perlindungan terhadap panas dan tekanan oksidatif, sebagai sinyal di antara organ tanaman, komunikasi antar tanaman, allelopati, menolak serangga herbivora, menarik musuh alami serangga herbivora (Gambar 1). Sebagai contoh, volatil monoterpen dari Chrysanthemum morifolium baru-baru ini dilaporkan menolak ovipositing betina dari diamondback moth (Plutella xylostella). Lepidoptera ini biasanya tidak 226 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung bertelur di atas C. morifolium. Namun, betina diamondback moth memiliki pengalaman sebelumnya dengan volatil ini tidak harus ditolak (Unsicker et al., 2009). Sampai saat ini, sedikit informasi yang tersedia mengenai bagaimana volatil tanaman benar-benar dapat menolak atau menghambat makan serangga herbivora. Selain itu, volatil yang disebabkan oleh serangga herbivora dapat menjadi sinyal yang diandalkan untuk serangga herbivora lainnya terkait dengan adanya pesaing atau bahaya musuh alami. Senyawa ini juga bisa menunjukkan bahwa calon inang telah meningkatkan pertahanannya akibat serangan serangga herbivora sebelumnya. Selanjutnya, volatil dapat memiliki tindakan toksik langsung pada herbivora, namun kemungkinan ini perlu diuji dengan kondisi yang realistis secara biologis dengan konsentrasi senyawa kimia yang sesuai, yang sebagian besar dipancarkan pada tingkat nanogram atau mikrogram per jam per gram jaringan daun (Unsicker et al., 2009).



Gambar 1. Peran volatil dalam kehidupan tanaman (Unsicker, 2009) Senyawa VOC dapat disimpan pada glandural trikoma pada famili dari Lamiaceae, Asteraceae, Geraniaceae, Solanaceae dan Cannabinaceae; saluran dan rongga tersembunyi yang terdiri dari ruang interselular yang relatif besar yang dilapisi oleh epitel sel sekretori (Fahn, 1988). VOC bioaktif disimpan dan mewakili pertahanan konstitutif yang siap dikirim jika terjadi pemecahan jaringan; saluran tersembunyi terdapat pada beberapa famili dari Pinaceae, Myrtaceae, Asteraceae, Umbelliferae dan Leguminosae sedangkan rongga tersembunyi pada famili Rutaceae, Clusiaceae, Myrtaceae dan beberapa lainnya; sel sekretori pada bunga dan akar; Extrafloral nectar memegang peranan penting dalam pertahanan tidak langsung bagi tanaman Acacia di Amerika tengah karena Extrafloral nectar menarik dan memberi makan semut untuk mempertahankan tanaman inang dari serangga herbivora, tanaman lima bean (Phaseolus lunatus L.) juga mengeluarkan Extrafloral nectar untuk menarik predator terutama semut (Maffei, 2010).



Senyawa volatil tanaman sebagai....



Faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Emisi VOC Faktor abiotik Emisi VOC dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, konsentrasi CO 2 di atmosfer, suhu, kelembaban relatif, dan keadaan nutrisi (Staudt & Bertin, 1998; Gouinguene & Turlings, 2002). Emisi VOC dari tanaman sangat bervariasi tergantung pada spesies, organ, stadia perkembangan dan kondisi lingkungan. Faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik memiliki dampak yang sangat besar pada volatil yang dilepaskan dari bagian vegetatif tanaman. Faktor tekanan abiotik mengubah tingkat metabolit yang berbeda pada tanaman sehingga VOC juga terpengaruh. Peningkatan emisi sebagian merupakan proses fisik karena kenaikan tekanan uap VOC pada suhu yang lebih tinggi. Namun, emisi VOC sering meningkat lebih banyak daripada yang dapat dijelaskan oleh perubahan tekanan uap, menunjukkan tingkat biosintesis yang lebih tinggi pada suhu tinggi. Di antara tekanan abiotik lainnya, intensitas cahaya yang tinggi juga merangsang emisi VOC dalam berbagai tipe tanaman dan bentuk pertumbuhan yang berbeda (Holopainen & Gershenzon, 2010). Faktor biotik Tekanan biotik juga menginduksi emisi volatil tanaman. Kerusakan oleh serangga herbivora pada bagian vegetatif telah berulang kali terbukti menyebabkan peningkatan pelepasan VOC yang dapat diinduksi. Aktivitas serangga herbivora dapat menyebabkan induksi senyawa volatil organik atau deposisi telur (Oviposition-Induced Plant Volatiles, OIPVs) (Gambar 2) (Hilker & Fatouros 2015; Pashalidou et al., 2015). Emisi VOC merupakan respon tanaman akibat serangan serangga herbivora yang mengundang musuh alami merupakan strategi pertahanan tanaman tidak langsung karena volatil ini tidak berdampak langsung pada serangga herbivora yang menyerang (Martorana et al., 2017). Secara khusus, OIPVs mampu menarik parasitoid telur yang dapat meningkatkan kemampuan tanaman, karena serangga herbivora dapat dibunuh sebelum terjadi kerusakan tanaman (Pierik et al., 2014; Fatouros et al., 2016). Tekanan pada tanaman biasanya tidak secara tunggal melainkan bersamaan. Semakin banyak tekanan yang diberikan pada tanaman maka semakin besar pula emisi VOC yang dilepaskan. Hal tersebut didukung dari kasus pada tanaman jagung yang diberi tekanan berupa serangga herbivora dari ordo Lepidoptera dan suhu yang tinggi di laboratorium menyebabkan pelepasan VOC lebih besar ketimbang diberi tekanan tunggal (Holopainen & Gershenzon, 2010).



227 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Gambar 2.Respon tanaman terhadap deposisi telur serangga herbivora dan pengaruhnya terhadap interaksi antara tanaman, herbivora, dan parasitoid. (Hilker & Fatouros 2015) Peranan GLVs (Green Leaf Volatile) GLVs (Green Leaf Volatile) adalah molekul multiguna yang diproduksi pada berbagai gangguan sistem tanaman dan membantu tanaman bertahan di lingkungan yang tidak menguntungkan (Scala et al., 2013). GLVs terdiri dari C6-aldehida [(Z)-3-heksenal, n-heksanal] dan turunannya masing-masing seperti (Z)-3-heksenol, (Z)-3-heksen-1-yl asetat, dan isomer E yang sesuai (War, et al., 2012). Pelepasannya dalam jumlah kecil dari jaringan tanaman yang sehat namun dengan cepat dilepaskan dalam jumlah besar setelah adanya tekanan (Scala et al., 2013). GLVs berfungsi pada pertahanan tanaman secara tidak langsung dengan menarik predator dan parasitoid untuk mencari inang pada tanaman dan serangga herbivora (Kessler & Baldwin, 2001). Sintesis GLVs melalui cabang Hidroperoksida lyase (HPL) dari jalur oxylipin. Oxylipin adalah produk oksidasi asam lemak dan mengatur banyak jalur pertahanan dan perkembangan pada tanaman. Pertahanan tanaman melibatkan hormon Etilen (ET) digunakan sebagai pertahanan tanaman yang mempengaruhi GLVs. Suatu hipotesis menjelaskan bahwa GLVs dan ET saling mempengaruhi berdasarkan penelitian Ruther dan Kleier yang menemukan bahwa etilen mensinergikan emisi volatil yang diinduksi oleh E-2-Heksenol. Selain itu, gen yang terlibat dalam biosintesis etilen dapat diinduksi oleh GLVs pada Phaseolus lunatus dan induksi dari beberapa gen oleh aldehida C6 yang tergantung etr1 pada Arabidobsis. Selain etilen, hormon asam jasmonat (JA) juga mempengaruhi produksi GLVs karena Allene Oxide Synthase (AOS) merupakan enzim yang dibutuhkan dalam sintesis JA membutuhkan substrat yang sama dengan HPL (Hidroperoksida liase) yaitu 13-lipoxygenases (LOX) (Scala, 2013). Herbivore Induced Plant Volatiles (HIPVs) adalah volatil yang dihasilkan oleh suatu tanaman



Senyawa volatil tanaman sebagai....



dalam merespon serangga herbivora (Dicke & Baldwin, 2010). HIPVs diproduksi bervariasi sesuai dengan spesies tanaman dan serangga herbivora, tahap perkembangan dan kondisi tanaman dan serangga herbivora (War et al., 2012). HIPVs dapat memberikan informasi penting bagi lingkungan sekitarnya karena komposisi dan kelimpahannya mencerminkan beberapa faktor biotik dan abiotik (Takabayashi et al., 1995; Hare, 2010). Selain itu, HIVs dapat memediasi pertahanan tidak langsung, yaitu dengan menarik predator dan parasitoid yang membunuh serangga herbivora (Scala et al.,2013). HIPVs juga dapat menurunkan tingkat oviposisi dari serangga herbivora yang menyerang dan dengan demikian dapat dianggap sebagai sistem pertahanan langsung dan tidak langsung (Dicke dan Van Loon, 2000). Sebagai komponen utama dari HIPVs, GLVs terlibat dalam pertahanan tidak langsung melalui interaksi dan priming tritrofik, sebuah proses dimana HIPVs dari tanaman yang rusak mempersiapkan tanaman tetangga untuk mempertahankan diri dari serangan serangga herbivora selanjutnya (Frost et al., 2008). Dinamika serangga herbivora dapat dipengaruhi oleh pertahanan priming antiherbivora dengan aktivasi mekanisme pertahanan langsung dan tidak langsung melalui interaksi tritrofik (Kaplan, 2012). Namun, jumlah volatil yang dilepaskan dari dedaunan tanaman merupakan respon terhadap tekanan serangga herbivora berhubungan langsung dengan tingkat keparahan serangan (Niinemets et al., 2013). Tekanan abiotik dan biotik mempengaruhi pelepasan GLVs oleh tanaman. GLVs berperan dalam komunikasi tanaman, pertahanan secara tidak langsung oleh tanaman, dan juga sebagai priming yang merupakan suatu keadaan dimana tanaman siap mempertahankan pertahanan mereka sebagai respon terhadap sinyal atau tantangan sebelumnya sehingga mereka dapat merespon dengan meningkatnya kekuatan jika mereka kemudian diserang oleh serangga herbivora (Holopainen & Blande, 2012). Serangga menanggapi GLVs dapat bervariasi tergantung pada komposisi volatil, jenis kelamin serangga atau spesies, serangga tertarik atau ditolak oleh GLVs. Serangga herbivora juga dapat tertarik pada GLVs seperti pada kasus Manduca Sexta yang tertarik memakan daun tembakau lebih banyak karena adanya GLVs yang melimpah pada daun tembakau tersebut. Selain menarik serangga untuk menemukan tanaman inang, GLVs dapat membantu menemukan pasangan kawin seperti pada cockchafer jantan (Melolontha sp.) berkerumun di senja hari, dengan menggunakan GLVs yang berasal dari tanaman sebagai penarik utama untuk menemukan pasangan. Sehingga GLVs dapat memiliki efek sinergis pada serangga yang merespon feromon seks (Scala et al.,2013). 228 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung Interplant communication(komunikasi antar tanaman) melalui sinyal di udara merupakan fenomena dalam ilmu tanaman, namun tetap menjadi topik yang kontroversial selama bertahun-tahun. Perdebatan mengenai talking tree dimulai pada tahun 1980an, dan selama tiga dekade terakhir, para peneliti telah mengumpulkan bukti signifikan untuk mendukung hipotesis ini (Hasan et al., 2015). Talking tree hypothesis menjelaskan bahwa volatil yang dilepaskan dari tanaman mempengaruhi tanaman tetangga yang tidak terinfeksi dari spesies yang sama. Selain serangga yang mampu mendeteksi GLVs, tanaman lain juga dapat mengetahui adanya GLVs. Namun mekanisme tanaman lain mengetahui adanya GLVs yang berasal dari tanaman yang terserang serangga herbivora belum diketahui sampai saat ini. Ada dua jenis penerima dalam plant communication yaitu tanaman tetangga dan bagian tanaman yang terluka. Bila sinyal GLVs telah sampai pada tanaman tetangga, maka tanaman tetangga meningkatkan pertahanan mereka atau menjadi priming. Sehingga pertahanan tanaman tetangga tersebut sulit diatasi oleh serangga herbivora (Gambar 3) (Holopainen & Gershenzon, 2010).



Gambar 3. Contoh keterlibatan senyawa volatil di atas tanah dan di bawah tanah tanaman dalam komunikasi tanaman A) within‑plant signalling melalui VOC dan (B) komunikasi intraspesifik dan interspesifik melalui VOC. Panah yang melengkung dengan warna gradien menggambarkan sinyal yang dilaporkan dan panah yang melengkung yang tidak diisi mengindikasikan rute pensinyalan yang diduga (Holopainen & Blande, 2012). Within plant signaling merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanaman yang menerima sinyal VOC yang ditujukan untuk penerima yang berbeda, dengan dimaksud penerima menjadi musuh alami dari serangga herbivora. Namun, bukti yang telah terkumpul untuk menjelaskan komunikasi dalam tanaman (within plant communication) pada berbagai jenis tumbuhan menunjukkan bahwa 'penerima yang dimaksud' kemungkinan adalah tanaman yang melepaskan VOC itu sendiri. Setelah



Senyawa volatil tanaman sebagai....



mendeteksi molekul sinyal volatil oleh sel penerima, kemudian sinyal akan diaktifkan pada bagian tanaman. Sel penerima dapat ditempatkan pada organ lain atau ruang lain dari tanaman yang melepaskan volatil atau sel penerima sinyal jarak jauh yang lebih jauh bisa berada pada tanaman spesifik atau heterospesifik yang berdekatan dengan tanaman (Holopainen & Blande, 2012). Senyawa kimia yang terlibat dalam Within plant signaling antara lain: GLVs (E)-2-heksenal, (Z)3-hexen-1-ol, dan cis-3 -heksenyl asetat, terpene myrcene dan blended ocimene volatiles ((E)-βocimene, (Z)-β-ocimene dan allo-ocimene) serta fitohormon yaitu metil jasmonat, metil salisilat dan etilen. Senyawa kimia lain yang terlibat dalam Within plant signaling: GLVs meliputi berbagai senyawa C6 termasuk aldehid, alkohol dan ester. Dibentuk melalui jalur lipoxygenase, senyawa ini dilepaskan dengan cepat pada gangguan tanaman, oleh kerusakan mekanis dan juga adanya serangga herbivora. Senyawa ini menunjukkan adanya kerusakan mekanis dan dapat memberi sinyal awal untuk tanaman penerima. Terpenoid adalah kelompok senyawa sekunder terbesar, yang terdiri dari sekitar 40.000 senyawa, termasuk setidaknya 1.000 monoterpen dan 6.500 seskuiterpen. Adanya kerusakan oleh herbivora menyebabkan struktur ini rusak dan senyawa dilepaskan. Biosintesis terpenoid dimulai dan dapat diinduksi secara lokal dan sistemik oleh serangan herbivora. Oleh karena itu, terpenoid sebagai kelompok dapat memberikan sinyal terkait yang cepat, tetapi juga terkait dengan serangga herbivora untuk menerima tanaman. Metil jasmonat adalah turunan volatil asam jasmonat, yang merupakan komponen integral respon pertahanan tanaman terhadap serangga herbivora. Metil salisilat disintesis dari asam salisilat, merupakan senyawa fenolik dan berperan penting dalam pertahanan tanaman. Hal ini dilepaskan dalam jumlah yang signifikan dari tanaman sebagai respon terhadap kerusakan oleh aphid yang dilepaskan oleh tembakau dan respon terhadap infeksi virus mosaik tembakau. Tanaman tembakau yang terpapar metil salisilat telah terbukti meningkatkan ketahanan terhadap virus mosaik tembakau. Selain senyawa-senyawa kimia yang telah dipaparkan, etilen juga terlibat dalam pertahanan tanaman. Etilen terlibat dalam pertahanan tanaman karena etilen mensinergikan efek GLVs (Holopainen & Blande, 2012). Pengetahuan tentang komunikasi volatil di rhizosfer terbatas. Interaksi volatilitas potensial dan dilaporkan di atas dan di bawah tanah dirangkum dalam Gambar 3. Beberapa senyawa volatil seperti sesquiterpene (E)-β-caryophyllene diinduksi pada akar tanaman oleh tekanan abiotik seperti tekanan panas dan oleh tekanan biotik yang disebabkan oleh 229 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung kerusakan aktivitas makan serangga herbivora. Salah satu spesies tanaman yang kaya sesquiterpene seperti Copaifera officinalis dimana beberapa sesquiterpene ditemukan dari akar, namun dua pertiga jumlahnya adalah (E)-β-caryophyllene, yang mengindikasikan peran spesifik akar untuk senyawa volatil ini. Larva Maize root worm (Diabrotica virgifera virgifera) makan pada akar jagung juga menginduksi (E)-βcaryophyllene produksi di akar dan menarik nematoda tanah entomopatogen. Ini merupakan indikasi bahwa senyawa volatil yang dilepaskan dari sistem akar dapat dengan cepat mencapai akar tetangga dan berpotensi mentransmisikan informasi antara sistem akar sendiri dan tetangga di dalam tanah (Holopainen & Blande, 2012). SIMPULAN Penelitian mengenai volatil sampai saat ini masih terbatas. Sebab banyak informasi yang masih kurang tersedia. Informasi yang masih terbatas itu antara lain: keterbatasan pengetahuan tentang mekanisme interplant communication belum diketahui secara pasti, sedikitnya informasi yang tersedia mengenai bagaimana volatil tanaman benarbenar dapat menolak atau menghambat makan serangga herbivora, mekanisme tanaman lain mengetahui adanya GLVs yang berasal dari tanaman yang terserang serangga herbivora belum diketahui sampai saat ini, dan pengetahuan tentang komunikasi volatil di rhizosfer terbatas. Dari keterbatasan informasi-informasi tersebut, maka perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. DAFTAR PUSATAKA Ashman, T. L. 2000. Pollinator selectivity and its implications for the evolution of dioecy and sexual dimorphism. Ecology, 81(9), 25772591. Chen, M. S. 2008. Inducible direct plant defense against insect herbivores: a review. Insect science, 15(2), 101-114. Dangl, J. L, McDowell, J. M. 2006. Two modes of pathogen recognition by plants. Proceedings of the National Academy of Sciences, 103(23), 8575-8576. de Rijk, M, Dicke, M, & Poelman, E. H. 2013. Foraging behaviour by parasitoids in multiherbivore communities. Animal Behaviour, 85(6), 1517-1528. Dicke, M, Baldwin, I. T. 2010. The evolutionary context for herbivore-induced plant volatiles: beyond the ‘cry for help’. Trends in plant science, 15(3), 167-175. Dicke, M, Loon, J. J. 2000. Multitrophic effects of herbivore‐induced plant volatiles in an evolutionary context. Entomologia experimentalis et applicata, 97(3), 237249.



Senyawa volatil tanaman sebagai....



Dobson H. E. M. 1994. Floral volatiles in insect biology. In: Bernays E. A. (ed.) Insectplant interactions, Vol. V. CRC Press, Boca Raton, pp. 47 81. Dötterl, S, Jürgens, A. 2005. Spatial fragrance patterns in flowers of Silene latifolia: lilac compounds as olfactory nectar guides?. Plant Systematics and Evolution, 255(1-2), 99-109. Dudareva, N, Klempien, A, Muhlemann, J. K, Kaplan, I. 2013. Biosynthesis, function and metabolic engineering of plant volatile organic compounds. New Phytologist, 198(1), 16-32. Dudareva, N, Murfitt, L. M, Mann, C. J, Gorenstein, N, Kolosova, N, Kish, C. M, Bonham, C, Wood, K. 2000. Developmental regulation of methyl benzoate biosynthesis and emission in snapdragon flowers. The Plant Cell, 12(6), 949-961. Dudareva, N, Pichersky, E. 2008. Metabolic engineering of plant volatiles. Current opinion in biotechnology, 19(2), 181-189. Fahn, A. 1988. Secretory tissues in vascular plants. New phytologist, 108(3), 229-257. Fatouros, N. E, Cusumano, A, Danchin, E. G, & Colazza, S. 2016. Prospects of herbivore egg‐killing plant defenses for sustainable crop protection. Ecology and Evolution, 6(19), 6906-6918. Ferry, N, Edwards, M. G, Gatehouse, J. A, Gatehouse, A. M. 2004. Plant–insect interactions: molecular approaches to insect resistance. Current opinion in Biotechnology, 15(2), 155-161. Frost, C. J, Mescher, M. C, Carlson, J. E, De Moraes, C. M. 2008. Plant defense priming against herbivores: getting ready for a different battle. Plant Physiology, 146(3), 818-824. Fürstenberg-Hägg, J, Zagrobelny, M, & Bak, S. 2013. Plant defense against insect herbivores. International journal of molecular sciences, 14(5), 10242-10297. Gouinguené, S. P, Turlings, T. C. 2002. The effects of abiotic factors on induced volatile emissions in corn plants. Plant Physiology, 129(3), 1296-1307. Grüter, C, Ratnieks, F. L. 2011. Flower constancy in insect pollinators: Adaptive foraging behaviour or cognitive limitation?. Communicative & integrative biology, 4(6), 633-636. Hare, J. D. 2010. Ontogeny and season constrain the production of herbivore-inducible plant volatiles in the field. Journal of chemical ecology, 36(12), 1363-1374. Hassan, M. N, Zainal, Z, Ismail, I. 2015. Green leaf volatiles: biosynthesis, biological functions and their applications in biotechnology. 230 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung Plant biotechnology journal, 13(6), 727739. Heil, M, Bueno, J. C. S. 2007. Within-plant signaling by volatiles leads to induction and priming of an indirect plant defense in nature. Proceedings of the National Academy of Sciences, 104(13), 5467-5472. Hilker, M., & Fatouros, N. E. 2015. Plant responses to insect egg deposition. Annual Review of Entomology, 60, 493-515. Holopainen, J. K, Blande, J. D. 2012. Molecular plant volatile communication. Adv Exp Med Biol, 739, 17-31. Holopainen, J. K, Gershenzon, J. 2010. Multiple stress factors and the emission of plant VOCs. Trends in plant science, 15(3), 176184. Howe, G. A, Jander, G. 2008. Plant immunity to insect herbivores. Annu. Rev. Plant Biol., 59, 41-66. Kaloshian, I. 2004. Gene-for-gene disease resistance: bridging insect pest and pathogen defense. Journal of chemical ecology, 30(12), 24192438. Kaplan, I. 2012. Attracting carnivorous arthropods with plant volatiles: the future of biocontrol or playing with fire?. Biological control, 60(2), 77-89. Kessler, A, Baldwin, I. T. 2001. Defensive function of herbivore-induced plant volatile emissions in nature. Science, 291(5511), 2141-2144. Kessler, D, Baldwin, I. T. 2007. Making sense of nectar scents: the effects of nectar secondary metabolites on floral visitors of Nicotiana attenuata. The Plant Journal, 49(5), 840-854. Kessler, A, Baldwin, I. T. 2002. Plant responses to insect herbivory: the emerging molecular analysis. Annual review of plant biology, 53(1), 299-328. Knudsen, J. T, Eriksson, R, Gershenzon, J, Ståhl, B. 2006. Diversity and distribution of floral scent. The botanical review, 72(1), 1-120. Kolosova, N, Gorenstein, N, Kish, C. M, Dudareva, N. 2001. Regulation of circadian methyl benzoate emission in diurnally and nocturnally emitting plants. The Plant Cell, 13(10), 2333-2347. Maffei, M. E. 2010. Sites of synthesis, biochemistry and functional role of plant volatiles. South African Journal of Botany, 76(4), 612-631. Martorana, L, Foti, M. C, Rondoni, G, Conti, E, Colazza, S, Peri, E. 2017. An invasive insect herbivore disrupts plant volatilemediated tritrophic signalling. Journal of Pest Science, 1-7. Mumm, R, Dicke, M. 2010. Variation in natural plant products and the attraction of bodyguards involved in indirect plant defense The



Senyawa volatil tanaman sebagai....



present review is one in the special series of reviews on animal–plant interactions. Canadian journal of zoology, 88(7), 628667. Niinemets, Ü, Kännaste, A, Copolovici, L. 2013. Quantitative patterns between plant volatile emissions induced by biotic stresses and the degree of damage. Frontiers in Plant Science, 4. Pashalidou, F. G, Gols, R, Berkhout, B. W, Weldegergis, B. T, van Loon, J. J, Dicke, M., Fatouros, N. E. 2015. To be in time: egg deposition enhances plant-mediated detection of young caterpillars by parasitoids. Oecologia, 177(2), 477-486. Pierik, R, Ballare, C. L, & Dicke, M. 2014. Ecology of plant volatiles: taking a plant community perspective. Plant, cell & environment, 37(8), 1845-1853. Puspitarini, Retno Dyah. 2009. Peranan Alelokimia dalam Interaksi Tiga Jenjang Trofik : Pemandu Parasitoid dan Arthropoda Predator dalam Menemukan Inang atau Mangsanya. Jurnal MAPETA. 1-12. Scala, A, Allmann, S, Mirabella, R, Haring, M. A, Schuurink, R. C. 2013. Green leaf volatiles: a plant’s multifunctional weapon against herbivores and pathogens. International journal of molecular sciences, 14(9), 17781-17811. Schiestl, F. P, Ayasse, M. 2001. Post-pollination emission of a repellent compound in a sexually deceptive orchid: a new mechanism for maximising reproductive success?. Oecologia, 126(4), 531-534. Smith, C. M, Boyko, E. V. 2007. The molecular bases of plant resistance and defense responses to aphid feeding: current status. Entomologia experimentalis et applicata, 122(1), 1-16. Staudt, M, Bertin, N. 1998. Light and temperature dependence of the emission of cyclic and acyclic monoterpenes from holm oak (Quercus ilex L.) leaves. Plant, Cell & Environment, 21(4), 385-395. Takabayashi, J, Takahashi, S, Dicke, M, Posthumus, M. A. 1995. Developmental stage of herbivore Pseudaletia separata affects production of herbivore-induced synomone by corn plants. Journal of Chemical Ecology, 21(3), 273-287. Truitt, C. L, Pare, P. W. 2004. In situ translocation of volicitin by beet armyworm larvae to maize and systemic immobility of the herbivore elicitor in planta. Planta, 218(6), 999-1007. Truitt, C. L, Wei, H. X, Paré, P. W. 2004. A plasma membrane protein from Zea mays binds with the herbivore elicitor volicitin. The Plant Cell, 16(2), 523-532. 231 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung Unsicker, S. B, Kunert, G, Gershenzon, J. 2009. Protective perfumes: the role of vegetative volatiles in plant defense against herbivores. Current opinion in plant biology, 12(4), 479-485. Vassão, D. G, Gang, D. R, Koeduka, T, Jackson, B, Pichersky, E, Davin, L. B, Lewis, N. G. 2006. Chavicol formation in sweet basil (Ocimum basilicum): cleavage of an esterified C9 hydroxyl group with NAD (P) H-dependent reduction. Organic & biomolecular chemistry, 4(14), 2733-2744. Walling, L. L. 2000. The myriad plant responses to herbivores. Journal of Plant Growth Regulation, 19(2), 195-216.



Senyawa volatil tanaman sebagai....



War, A. R, Paulraj, M. G, Ahmad, T, Buhroo, A. A, Hussain, B, Ignacimuthu, S, Sharma, H. C. 2012. Mechanisms of plant defense against insect herbivores. Plant signaling & behavior, 7(10), 1306-1320. Wright, G. A, Lutmerding, A, Dudareva, N, Smith, B. H. 2005. Intensity and the ratios of compounds in the scent of snapdragon flowers affect scent discrimination by honeybees (Apis mellifera). Journal of Comparative Physiology A, 191(2), 105114.



232 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keefektifan kombinasi aplikasi formula....



Keefektifan Kombinasi Aplikasi Formulasi Mimba 50 EC (Azadirachta indica) dan Metarhizium anisopliae Dalam Mengendalikan Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz.) Pada Tanaman Cabai Lupitasari1, Danar Dono1*, Luciana Djaya1, Yusup Hidayat1, Sri Hartati1, dan Rani Maharani2 1



Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 2 Departemen Kimia, FMIPA Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 40600 *Penulis korespondensi: [email protected]



ABSTRAK Penggunaan insektisida sintetik yang intensif dalam pengendalian hama perlu dikurangi karena dapat membunuh organisme non sasaran. Alternatif pengendalian yang dapat dikembangkan adalah penggunaan insektisida ramah lingkungan seperti formulasi minyak biji mimba (Azadirachta indica) yang dikombinasikan dengan Metarhizium anisopliae. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan kombinasi M. anisopliae dan formulasi minyak biji mimba 50 EC terhadap kutu Myzus persicae. Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Ciparanje, Jatinangor. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 6 perlakuan dan 5 ulangan. Konsentrasi kombinasi M. anisopliae dengan formulasi minyak biji mimba 50 EC yang diuji yaitu 0% (sebagai kontrol), 1%, 1,25%, 1,5%, 1,75%, dan 2%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa formulasi biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 1,5%, 1,75%, dan 2% cenderung dapat menurunkan populasi hama M. Persicae di pertanaman cabai. Kata Kunci : Azadirachta indica, Cabai, Metarhizium anisopliae, Mizus Persicae ABSTRACT Intensive use of synthetic insecticides in pest control needs to be reduced because it can kill non-target organisms. Alternative controls that can be developed are the use of environmentally friendly insecticides such as the neem seed oil formulation (Azadirachta indica) in combination with Metarhizium anisopliae. This experiment aims to determine the effectiveness of the combination of M. anisopliae and the neem seed oil formulation 50 EC on Myzus persicae. The experiment was conducted at Ciparanje Experiment Garden, Jatinangor. The experiment used a randomized block design using 6 treatments and 5 replications. The concentration of the combination of M. anisopliae with the Neem seed oil formulation tested was 0% (as control), 1%, 1.25%, 1.5%, 1.75%, and 2%. The experimental results show that the formulation of 50 EC neem with the concentration of 1.5%, 1.75% and 2% tend to decrease the population of M. Persicae pests in chilli plan. Keywords: Azadirachta indica, Chili, Metarhizium anisopliae, Myzus persicae.



PENDAHULUAN Penggunaan insektisida sintetik merupakan cara yang paling praktis, mudah didapatkan, dan memberikan efek yang cepat dalam mengendalikan hama dan penyakit. Insektisida sintetik pada umumnya memiliki sifat non spesifik, tidak hanya membunuh jasad sasaran tetapi juga membunuh jasad non sasaaran. Insektisida sintetik dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, dan keracunan terhadap manusia dan hewan peliharaan (Thamrin dkk., 2007). Penggunaan insektisida sintetik yang intensif perlu dikurangi sehingga perlu dikembangkan insektisida yang ramah lingkungan, salah satunya adalah insektisida dari bahan nabati karena sifatnya yang mudah terurai dan relatif aman terhadap musuh alami. Tanaman yang dapat dipakai sebagai insektisida nabati salah satunya adalah mimba (Azadirachta indica). Mimba (A. indica) merupakan tumbuhan yang umum ditanam sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini mempunyai potensi yang tinggi sebagai insektisida botani, karena mengandung zat toksik bagi serangga hama. Mimba (A. indica) memiliki kandungan senyawa yang bisa digunakan sebagai insektisida yaitu azadirachtin, salannin,



nimbinen, dan meliantriol. Senyawa tersebut, yang paling sering digunakan sebagai insektisida adalah azadirachtin. Senyawa tersebut terdapat pada daun dan biji mimba (Sudarmadji, 1994). Dalam mengendalikan hama dapat juga dilakukan secara hayati, yaitu dengan penggunaan M. anisopliae (Sumartini et al. 2001). M. anisopliae termasuk dalam divisi Amastigomycotina atau biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agens hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. Jamur ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia (Gabriel & Riyanto 1989). Pada awal pertumbuhan, koloni jamur berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung, dan beras. (Prayogo dkk., 2005). Jamur M. anisopliae mampu menginfeksi Riptortus linearis baik nimfa maupun imago



233 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



(Sumartini et al., 2001). Dengan demikian terbuka peluang yang sangat luas untuk memanfaatkan jamur M. anisopliae sebagai salah satu agens hayati dalam program pengelolaan hama tanaman cabai. Beberapa kelebihan pemanfaatan jamur entomopatogen dalam pengendalian hama adalah mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo et al., 2005). Salah satu hama penting yang menyerang tanaman cabai adalah kutu daun persik atau M. persicae Sulz. (Meilin, 2014). Kutu daun persik menyerang tanaman cabai dengan cara menghisap cairan daun secara langsung. Akibatnya, daun menjadi keriput, berwarna kekuningan, dan terpuntir. Selain itu, pertumbuhan jaringan daun juga terhambat sehingga menyebabkan tanaman layu dan mati (Ditlin, 2013). Berbagai tindakan pengendalian hama tersebut telah dilakukan, diantaranya pengendalian secara kimia, kultur teknis, mekanis, dan hayati. Menurut Kardinan (2005) bahwa penggunaan insektisida sintetik lebih disukai oleh petani dengan alasan mudah didapat, praktis dalam aplikasi, tersedia dalam jumlah yang banyak, dan hasilnya relatif cepat terlihat. Selain masih kurangnya minat petani untuk melakukan cara-cara pengendalian non-kimia yang lebih ramah lingkungan, pemilihan cara pengendalian tersebut dilakukan karena insektisida sintetik dianggap lebih efektif dan efisien dalam penggunaannya. Namun, pengaplikasian insektisida sintetik yang intensif dan berlebihan dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya serta bagi pengguna insektisida. Belakangan ini telah dikembangkan pengendalian dengan menggunakan insektisida nabati (Meilin, 2014). Pemanfaatan formulasi minyak mimba (A. indica) dan M. anisopliae dapat menjadi alternatif insektisida nabati untuk mengendalikan hama kutu daun persik pada tanaman cabai. Cara kerja insektisida nabati dapat dimaksimalkan agar terhindar dari resistensi, salah satunya dengan managemen resistensi insektisida berupa multiple attack. Multiple attack adalah pengaplikasian insektisida dengan mengkombinasikan beberapa insektisida atau dengan menggunakan bahan aktif yang memiliki cara kerja yang berbeda (Sarwar & Salman, 2015). Untuk itu diperlukan penelitian mengenai uji kombinasi insektisida nabati dengan insektisida mikroba untuk mengendalikan hama pada tanaman cabai. BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Desa Ciparanje, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok. Perlakuan yang akan



Keefektifan kombinasi aplikasi formula....



diujikan yaitu perbedaan konsentrasi formula mimba 50 EC yang dikombinasikan dengan jamur M. anisopliae. Perlakuan terdiri dari 6 perlakuan yang diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Pada setiap unit terdapat 10 sampel tanaman. Perlakuan yang diuji terdiri dari enam perlakuan yaitu A (kontrol), B (Jamur M. anisopliae + Formula Mimba 1%), C (Jamur M. anisopliae + Formula Mimba 1,25%), D (Jamur M. anisopliae + Formula Mimba 1,5%), E (Jamur M. anisopliae + Formula Mimba 1,75%), F (Jamur M. anisopliae + Formula Mimba 2% ). Konsentrasi M. anisopliae yang digunakan adalah 108 spora/ml. Pengaplikasian diawali dengan menggunakan formula mimba 50 EC, kemudian pada minggu selanjutnya penyemprotan menggunakan jamur M. anisopliae. Penyemprotan dilakukan setiap minggu pada waktu pagi atau sore hari dengan waku aplikasi yang berbeda yaitu selang satu minggu. HASIL DAN PEMBAHASAN Serangan hama M. persicae pada tanaman cabai terjadi pada saat fase vegetatif. Pada pengamatan pendahuluan sudah ditemukan adanya populasi hama M. persicae sehingga aplikasi formulasi minyak mimba 50 EC dilakukan pada hari berikutnya. Kepadatan populasi M. persicae berbeda pada tiap petak perlakuan, rata-rata kepadatan populasi M. persicae tertinggi sebelum aplikasi formulasi minyak biji mimba 50 EC pada saat pengaplikasian ke-1 terdapat pada perlakuan C (FM 1,25%) sebanyak 15,7 ekor/tanaman sampel, Sedangkan rata-rata kepadatan populasi M. persicae terendah terdapat pada perlakuan D (FM 1,5%) sebanyak 4,4 ekor/tanaman sampel. Pada pengamatan ke-1 setelah aplikasi rata-rata kepadatan populasi M. persicae tertinggi terdapat pada perlakuan C (FM 1,25%) sebanyak 11,5 ekor/tanaman sampel, sedangkan rata-rata jumlah M. persicae terendah terdapat pada perlakuan D (FM 1,5%) sebanyak 2,4 ekor/tanaman sampel. Pada pengaplikasian ke-2 setelah aplikasi menunjukan bahwa perlakuan A (Kontrol) jumlah M. persicae 17,5 ekor/tanaman sampel berbeda nyata dengan perlakuan F (FM 2%) jumlah M. persicae 0,6 ekor/tanaman sampel, sama halnya pada aplikasi ke 3, 4, 5, dan 6 populasi M. persicae berbeda nyata dengan kontrol dan perlakuan Formula Biji Mimba yang dikombinasikan dengan M. anisoplae. Rendahnya populasi hama M. persicae disebabkan oleh pengaruh formulasi minyak biji mimba 50 EC yang dikombinasikan dengan jamur M. anisoplae. Pada konsentrsi 1,5 %, 1,75%, dan 2 % yang dapat menekan populasi M. persicae. Diduga hal tersebut terjadi karena pengaruh bahan aktif azadirachtin yang terkandung didalam formulasi minyak mimba 50 EC sebagai penolak hama (Orwa, et al., 2009). Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-feedant) yang dapat mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun 234 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Keefektifan kombinasi aplikasi formula....



serangganya sendiri belum mati. Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga hama tidak mendekati zat tersebut. Azadirachtin dapat menggangu kopulasi (perkawinan) dan komunikasi seksual serangga. Azadirachtin akan bekerja efektif jika masuk ke dalam tubuh serangga (Wijiastuti, 2013), dalam jumlah sedikit hanya akan mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan (Samsudin, 2011). Salah satu cara untuk meningkatkan keefektifan M. anisopliae dalam pengendalian hama adalah mengombinasikan jamur entomopatogen M. anisopliae dengan insektisida kimia. (Hasyim, 2016). Jamur M. anisopliae dapat melakukan penetrasi ke



dalam tubuh inang dengan adanya tekanan mekanik dan bantuan toksin yang dikeluarkan oleh jamur. Serangga dapat terinfeksi konidia melalui kutikula, atau melalui celah di antara segmen-segmen tubuhnya, kemudian jamur berkecambah dengan membentuk tabung kecambah sehingga jamur dapat masuk ke tubuh inang dan menyebar ke jaringan haemocel (Feng et al. 2004). Selanjutnya jamur menginfeksi saluran makanan dan sistem pernafasan. Akibatnya serangga mati. Konidia jamur yang infektif segera terbentuk pada bagian luar tubuh inang dan siap untuk disebarkan oleh angin, air dan bahkan serangga (Shahid et al. 2012)



Tabel 2. Rata-rata jumlah M. persicae (ekor/tanaman sampel) formulasi minyak biji mimba 50 EC Jumlah M. persicae Pada Minggu Setelah Aplikasi Ke-



Perlakuan PBA



1



2



3



4



5



6



7



8



9



10



11



A (Kontrol)



12,1a



10,6a



17,5b



27,9c



40,2b



54,9b



17,0b



17,3c



16,2c



16,7c



4,2c



1,8b



B (M. anisopliae+FM 1%)



14,3a



8,8a



13,2ab



12,1bc



16,0ab



13,7a



9,2a



7,5b



3,5b



3,2ab



1,6b



0,4a



C (M. anisopliae+FM 1,25%)



15,7a



11,5a



1,7ab



1,6ab



5,8a



6,2a



0,7a



1,0ab



1,4ab



1,2a



0,6a



0,3ab



D (M. anisopliae+FM 1,5%)



4,4a



2,4a



0,8a



0,3ab



0,9a



0,3a



1,5a



0,5ab



0,4a



0,2a



0,1a



0,0a



E (M. anisopliae+FM 1,75%)



14,0a



10,6a



3,8ab



0,7ab



2,4a



1,3a



0,9a



0,2a



0,1a



0,0a



0,0a



0,0a



F (M. anisopliae+FM 2%)



14,7a



6,1a



0,6a



2,2a



1,2a



0,0a



0,2a



0,0a



0,1a



0,0a



0,0a



0,0a



Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. PBA = Pengamatan Sebelum Aplikasi



Tabel 3. Rata-rata Indeks Efikasi Formulasi Minyak Biji Mimba 50 EC dan M. anisopliae Indeks Efikasi Formula Biji Mimba 50 EC (%) dan M. anisopliae Pada Minggu Setelah Tanam Perlakuan PBA



1



2



3



4



5



6



7



8



9



10



11



A (kontrol)



-



0



0



0



0



0



0



0



0



0



0



0



B (M. anisopliae+FM 1%)



-



14,29



14,23



72,51



44,76



58,66



43,36



81,73



84,81



80,68



85,77



90,24



C (M. anisopliae+FM 1,25%)



-



50,44



48,6



63,83



53,19



65,51



68,47



89,03



87,8



84,66



87,41



88,53



D (M. anisopliae+FM 1,5%)



-



51,43



61,91



95,22



87,35



92,85



80,62



95,5



95,63



94,9



95,32



95,8



E (M. anisopliae+FM 1,75%)



-



54,85



43,1



89,68



87,34



80,17



89,06



92,85



93,03



91,96



91,38



91,96



F (M. anisopliae+FM 2%)



-



66,32



69,22



84,41



76,37



81,29



77,56



94,15



93,48



92,29



92,29



92,29



Keterangan: FM = Formulasi Mimba 50 EC (%) Suatu formulasi insektisida dikatakan efektif bila tingkat efikasi insektisida (EI) ≥70%. Berdasarkan tabel di atas dapat dinyatakan bahwa perlakuan 1,5%, 1,75%, dan 2% dimulai pada penyemprotan ke-3 dikatakan efektif mengendalikan populasi M. Persicae.. Perlakuan 1% dan 1,25% dikatakan efektif Kombinasi formulasi minyak biji mimba 50 EC dengan jamur M. anisopliae dapat menyebabkan penurunan kepadatan populasi M. persicae. Purwar & Sachan (2006) mengatakan bahwa sifat interaksi insektisida majemuk yang bersifat sinergistik dapat disebabkan oleh gabungan toksisitas intrinsik dari kedua bahan aktif yang setiap bahan aktif memiliki cara kerja berbeda dan tidak saling



memengaruhi. Jamur entomopatogen dapat dicampurkan dengan insektisida bersifat kompatibel sehingga dapat menurunkan populasi serangga, meminimalkan pencemaran lingkungan, dan meningkatkan keamanan bagi manusia. Dan kombinasi insektisida selektif dan jamur entomopatogen lebih efektif mengendalikan hama sasaran dibandingkan dengan insektisida dan jamur entomopatogen yang diaplikasikan secara tunggal menurut hasil indeks efikasi (EI) pada penyemprotan ke-7. Semakin tinggi konsentrasi formula biji mimba yang diberikan maka akan semakin tinggi residu Azadirachtin dari biji mimba yang ditinggalkan pada tanaman cabai, sehingga keefektifan formulasi akan 235 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



semakin cepat terlihat. Semakin tinggi konsentrasi formula biji mimba yang diberikan pada tanaman kubis maka akan semakin tidak disukai oleh M. persicae. Senyawa azadirachtin ini berfungsi sebagai antifeedant (mencegah makan) dan sebagai repellent (Widayat, 1994). SIMPULAN Aplikasi Formulasi Minyak Biji Azadirachta indica 50 EC yang dikombinasikan dengan jamur M. anisopliae pada tanaman cabai dengan konsentrasi 1,5%, 1,75% dan 2% mampu menekan populasi kutu daun cabai M. persicae setelah aplikasi ke-3. Menurut analisis Efikasi Insektisida Formulasi Minyak Biji Mimba 50 EC yang dikombinasikan dengan M. anisopliae pada konsentrasi 1,5%, 1,75% dan 2% memenuhi kriteria efikasi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Danar Dono, Ir., M.Si., Dr. Luciana Djaya, Ir., M.Si. yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Perlindungan Hortikultira (Ditlin). 2013. Kutu Daun Persik. http://ditlin.hortikultura.pertanian.go.id. [24 April 2016] Feng, M, Chen, GB & Ying, SH 2004, ‘Trials of Beauveria bassiana, Paecilomyces fumosoroseus, and imidacloprid for management of Trialeurodes vaporariorum (Homoptera: Aleurodidae) on greenhouse grown lettuce’, Biocontr. Sci & Technol. 14: 531-44. Gabriel, B.P. dan Riyanto. 1989. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sor. Taksonomi, patologi, produksi, dan aplikasinya. Proyek Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 25 halaman. Hasyim, Ashol, Wiwin S., Abdi H., Luthfy. 2016. Sinergisme Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae dengan Insektisida Kimia untuk Meningkatkan Mortalitas Ulat Bawang Spodoptera exigua. J. Hort. 26 (2): 257-266. Kardinan, A., dan Ruhnayat, A., 2003, Mimba Budidaya dan Pemanfaatan, Penebar Swadaya, Jakarta. Halaman 8-9, 12. Meilin, Araz. 2014. Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai Serta Pengendaliannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi. Halaman 7-8. Orwa C, A Mutua, Kindt R , Jamnadass R, S Anthony. 2009 Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version 4.0 (http://www.worldagroforestry.org/sites/tree dbs/treedatabases.asp). [24 April 2016]



Keefektifan kombinasi aplikasi formula....



Prayogo, Y. Wedanimbi Tengkano & Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae Untuk MengendalikanUlat Grayak Spodoptera Litura Pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 24(1): 19-25. Purwar, JP & Sachan, GC 2006. Synergistic effect of entomogenous fungi on some insecticides against Bihar hairy caterpillas Spilarctia obliqua (Lepidoptera: Arctiidae). Microbiol Res. 161 (1):38-42. Samsudin. 2011. Biosintesa dan Cara Kerja Azadirachtin sebagai Bahan Aktif Insektisida Nabati. Seminar Nasional IV Insektisida Nabati. Jakarta. Tersedia http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/ima ges/publikasi/prosiding/pesnabiv/5.samsudin %20Azadirachtin%2061-70p.pdf 9-2-17. 8 halaman. Sarwar, Muhammad., Muhammad Salman. 2015. Insecticides Resistance in Insect Pest or Vectors and Development of Novel Strategies to Combat Its Evolution. International Journal of Bioinformatics and Biomedical Engineering. 1(3): 344-351. Shahid, AA, Rao, AQ, Bakhsh, A & Husnain, T 2012, Entomopathogenic fungi as biological controller: New insights into their virulence and pathogenicity. Arch. Biol. Sci., Belgrade, 64(1): 21-42. Sudarmadji, D. 1994. Prospek dan kendala dalam pemanfaatan nimba sebagaiinsektisida nabati.. Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Insektisida Nabati. D. Soetopo (editor). Bogor. Halama 222-229. Sumartini, Y. Prayogo, S.W. Indiati, dan S. Hardaningsih. 2001. Pemanfaatan jamur Metarhizium anisopliae untuk pengendalian pengisap polong (Riptortus linearis) pada kedelai. Simposium Pengendalian Hayati Serangga. Sukamandi, 14- 15 Maret 2001. 10 halaman. Thamrin, M, Asikin. S,dan Budiman. A. 2007. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai insektisida nabati. Monograf: Keanekaragaman Flora dan Buah-buahan Eksotik Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Wijiastuti, Sri. 2013. Manfaat Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss). Tersedia di http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluh an/detail/8427(04-08-2017). Widayat, W. 1994. Pengaruh lamanya waktu perendaman serbuk daun dan biji nimba (Azadirachta indica) terhadap ulat jengkal. Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Insektisida Nabati. Bogor. Halaman 208-212.



236 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Parasitoid telur dan intensitas....



Parasitoid Telur Dan Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga Incertulas Walker) Pada Agroekosistem Padi Irigasi Rahmini1*, Jaja Suprijadi, Rusmana, dan Dewi Hastuti 1



2



Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl.Raya Jakarta Km. 4, Pakupatan, Serang, Banten *Penulis korespondensi : [email protected] ABSTRAK



Hama penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas W) merupakan salah satu hama utama tanaman padi. Hama ini menyerang semua stadia pertumbuhan padi. Musuh alami penggerek batang padi yang paling potensial adalah parasitoid telur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan parasitoid telur dan intensitas serangan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas Walker) serta menganalisis hubungan antara parasitasi telur dengan larva yang keluar dari kelompok telur terparasit. Penelitian ini menggunakan metode survei pada bulan November 2013 sampai Februari 2014 di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi-Subang, Jawa Barat. Penelitian ini terdiri dari lima plot dalam hamparan ±250 hektar, untuk diamati intensitas serangan pengerek batang padi dengan melihat 20 rumpun padi dan mengambil sebanyak 4-6 kelompok telur tiap plot, juga berdasarkan jumlah tangkapan pada pernagkap lampu. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tangkapan selama penelitian di light trap populasi penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas W) sebanyak 1574,81 ekor (99,89%), sedangkan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens) hanya 1,68 ekor (0,11%). Intensitas serangan penggerek batang padi pada stadia vegetatif 1,06%, reproduktif 2,76%, dan stadia pemasakan 1,35%. Tingkat parasitasi tertinggi ditunjukkan oleh Telenomus rowani Gahan (24,30%), diikuti Tetrastichus schoenobii Ferriere (6,19%) dan paling rendah Trichogramma japonicum Ashmead (1,21%). Terdapat hubungan yang negatif antara tingkat parasitasi telur dengan larva yang keluar dari kelompok telur penggerek batang padi. Kata kunci: padi, lampu perangkap, hama, musuh alami ABSTRACT Yellow rice stemborer (Scirpophaga incertulas W) is one of the major pests of rice plants. These pests invade all stage rice growth. The most potential natural enemies of rice stemborer is egg parasitoid. This research aimed to determine the egg parasitoid abundance and attack intensity of yellow rice stemborer (Scirpophaga incertulas Walker) and analyzed the relationship between egg parasitized by the larvae that out of a masses of parasitized egg. This research was conducted by survey method in November 2013 to February 2014 at Indonesian Center for Rice Research (ICRR) Sukamandi - Subang, West Java. The research placed on five plots in a large area ± 250 hectares, damage intensity of the rice stemborer was observed on 20 hills of rice and 4-6 stemborer eggs was collected each plot, and based on the number of stemborrer captured on the light trap. During the study (90 trapping nights), the number of yellow stemborer (Scirpophaga incertulas) moth captured were 1574.81 (99.89%), and only 1.68 (0.11%) pink stemborer (Sesamia inferens) caught. The damage intensity by the rice stemborer at vegetative stage was 1.06%, 2.76% at reproductive stage, and maturation stage 1.35 %. The highest level of parasitized shown by Telenomus rowani Gahan (24.30 %), followed Tetrastichus schoenobii Ferriere (6.19 %) and the lowest Trichogramma japonicum Ashmead (1.21%). There was a negative relationship between the level of egg parasitized by the larvae out of the rice stemborer egg masses. Key words: rice, light traps, rice pests, natural enemies



PENDAHULUAN Penggerek batang menyerang tanaman padi sejak di persemaian hingga tanaman pada stadia matang. Gejala serangan pada tanaman stadia vegetatif disebut sundep, larva memotong bagian tengah anakan sehingga aliran hara ke bagian atas tanaman terganggu yang menyebabkan pucuk layu dan kemudian mati. Sedangkan gejala serangan pada tanaman stadia generatif disebut beluk, larva menggerek tanaman yang akan bermalai sehingga aliran hasil asimilasi tidak sampai ke dalam bulir padi (Hendarsih dan Usyati, 2008). Pathak dan Khan (1994) dalam Hendarsih dan Usyati (2008) mengatakan kerugian hasil yang disebabkan oleh



setiap persen gejala beluk berkisar antara 1– 3%. Pengurangan hasil oleh penggerek batang padi kuning di Asia berkisar antara 2-5% (Chen, 2008 dalam Hendarsih dan Usyati, 2008). Para petani umumnya masih menggunakan insektisida. Sementara itu menurut laporan Deciyanto dan Igaa (2007) pengendalian serangga hama dengan insektisida kimia banyak menimbulkan masalah, antara lain: meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida kimia, terjadinya ledakan populasi serangga hama sekunder, meningkatnya risiko keracunan pada manusia dan hewan ternak, terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan bahaya-bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan. Hal yang sama juga diungkapkan



237 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



oleh Hamid dkk. (2003), bahwa penggunaan pestisida berpengaruh negatif terhadap keberadaan dan keanekaragaman parasitoid. Musuh alami adalah organisme yang ditemukan di alam yang dapat membunuh serangga sekaligus, melemahkan serangga, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada serangga, dan mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh alami dapat berupa patogen, predator, dan parasitoid. Menurut Kasumbogo (2007) parasitoid adalah serangga yang hidup pada inang dan akhirnya mematikan inangnya. Kartohardjono (2011) menjelaskan bahwa parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit selama masa pradewasa (larva) hidup menumpang pada inang tetapi pada fase dewasa (imago) hidup bebas di luar inang penggerek Berdasarkan cara parasitasinya parasitoid yang menyerang bagian luar serangga disebut ektoparasitoid, dan jika menyerang bagian dalam serangga disebut endoparasitoid (Kartohardjono, 2011). Parasitoid dapat memarasit telur, larva, atau pupa. Parasitoid telur dapat menekan pertumbuhan serangga hama sejak stadia telur. Hal ini disebabkan parasitoid telur mampu mengendalikan hama sebelum hama tersebut merusak pertanaman padi (Kusdiaman dan Kurniawati, 2007). Ada tiga jenis spesies parasitoid telur penggerek batang padi yaitu Tetrastichus schoenobii Ferriere, Telenomus rowani Gahan, dan Trichogramma japonicum Ashmead (Rauf, 2000; Hamid dkk., 2003; Ardjanhar dkk., 2004, Hamijaya dkk., 2004; Kusdiaman dan Kurniawati, 2007; Wilyus, 2012). Menurut Soehardjan (1976) dalam Kusdiaman dan Kurniawati (2007) tingkat parasitasi atau kemampuan ketiga parasitoid tersebut untuk menurunkan populasi penggerek bervariasi, tergantung dari tempat dan lingkungannya. Penekanan populasi larva penggerek sangat ditentukan oleh spesies parasitoid yang dominan serta keefektifan dari masing-masing spesies (Rauf, 2000). Penelitian tentang kelimpahan parasitoid telur telah banyak dilakukan diantaranya oleh Kusdiaman dan Kurniawati pada tahun (2007). Hasil pengamatan menunjukkan terdapat tiga parasitoid telur penggerek kuning di Sukamandi yaitu Trichogramma japonicum, Telenomus rowani, Tetrastichus schoenobii. Pada stadia vegetatif diketahui presentase kelompok telur terparasit oleh masing-masing parasitoid berturutturut sebanyak 1,77%, 19,83%, dan 3,24%, sedangkan pada stadia generatif adalah 3,41%, 15,66%, dan 3,88. Sementara untuk tingkat serangan penggerek batang padi pada awal pertanaman (3 dan 4 MST) menunjukkan diatas ambang kendali (tinggi) yaitu 6,62% sampai dengan 20,6% dan menurun pada pengamatan berikutnya. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai kelimpahan parasitoid dan intensitas serangan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas Walker) di lapangan/pertanaman padi.



Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan parasitoid telur dan intensitas serangan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas Walker), serta menganalisis hubungan antara parasitasi telur dengan larva yang keluar dari kelompok telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas Walker) di pertanaman padi sawah Sukamandi pada musim tanam 2013/2014. Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Maret 2014 (musim tanam 2013/2014) di area persawahan dan laboratorium Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi-Subang. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah KOH 10 gram dan Aquades 1 liter (untuk membuat larutan KOH 10%), serta tanaman padi varietas mekongga dan logawa (namun menurut Hendarsih dan Usyati (2008) sampai saat ini belum ada varietas padi yang tahan terhadap penggerek batang padi kuning karena terbatasnya sumber gen ketahanan). Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lampu perangkap (light trap), mikroskop, petridish, wadah plastik, kapas, tabung reaksi, pinset, kain kasa dan alat tulis. Cara Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei pada lima tempat/lokasi/plot percobaan yang telah ditetapkan untuk diamati intensitas serangan dan pengambilan 4-6 kelompok telur penggerek batang padi. Kelima plot percobaan tersebut berada dalam satu hamparan luas (± 300 hektare) dengan jarak antar plot 300 meter dan ukuran luas tiap plot 10 X 5 meter (Gambar 1). (Sebagai informasi kondisi persawahan yang digunakan dalam penelitian ini sepenuhnya dikendalikan oleh petani sebagai pemilik sawah termasuk di dalamnya pengaplikasian insektisida, dan riwayat penggunaan lahan ini selalu ditanami padi). Kelompok telur yang telah diambil dari lapangan dimasukan kedalam tabung reaksi dan ditunggu beberapa hari di laboratorium, tujuannya untuk menumbuhkan telur sampai menetas, sehingga akan muncul parasitoid dan larva yang terdapat di telur tersebut selanjutnya dilakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk melihat jenis dan jumlah parasitoid yang muncul, larva yang berhasi keluar, serta telur yang tidak menetas. Sementara untuk melihat telur yang tidak menetas dilakukan sebagai berikut: kelompok telur yang dipenuhi bulu-bulu halus direndam dalam larutan KOH 10% selama 24 jam (tujuannya untuk memudahkan saat membuka kelompok telur). Setelah direndam, kelompok telur diletakkan ke dalam petridish untuk dibuka dan dilihat di bawah mikroskop, telur yang tidak menetas dipisah, sehingga mudah untuk dihitung. Pengamatan dimulai ketika ada peningkatan populasi penerbangan penggerek batang padi, maka untuk mengetahui itu, yaitu dengan melihat populasi tangkapan dari lampu 238 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



perangkap (light trap) yang paling dekat dengan petak percobaan yakni di jalan 3 dan di jalan 7 (Gambar 1). Pengamatan dilapangan (intensitas serangan dan pengambilan kelompok telur) dilakukan dengan urutan 3, 6, 12, 24 hari setelah ada peningkatan penerbangan penggerek batang padi di light trap. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menghitung rerata populasi tangkapan penggerek batang padi di light trap, intensitas serangan penggerek batang padi dengan menggunakan formula



Kusdiaman dan Kurniawati (2007), menghitung keanekaragaman spesies parasitoid menggunakan uji indeks shannon (Wilyus dkk.,2012), menghitung tingkat parasitasi oleh masing-masing parasitoid menggunakan modifikasi formula Baehaki (1991), dan menganalisis hubungan parasitasi parasitoid telur dengan larva penggerek batang padi yang berhasil keluar menggunakan analisis regresi-korelasi.



Kantor



Area persawahan Sang Hyang Seri



BB Padi



Lightrap Jl. 7 Area persawahan Sang Hyang Seri



Lightrap Jl. 3



10 m Plot 1 5m Pak Bonin Mekongga, 25 Nov 13 300 m



Plot 2



300 m



Plot 3



Pak Kamad



Pak Ayim



Mekongga, 29 Nov 13 Plot 4



Logawa, 26 Nov 13 Plot 5



Pak Anim



Pak Enca



Mekongga, 29 Nov 13



Mekongga, 24 Nov



 Ukuran Plot: 10X5 m = 50 m  Jarak antar plot: 300 m.  Rumpun yang diamati tiap plot: 20 rumpun  Kelompok telur yang diambil tiap plot: 5 kelompok telur



Gambar 1. Denah lokasi Parameter Pengamatan: Populasi Penggerek Batang Pengamatan populasi penggerek batang padi didasarkan pada rerata tangkapan lampu perangkap



(light trap) di jalan 7 & 3 dengan menggunakan lampu merkuri dengan daya lampu 160 watt. Intensitas Tingkat Serangan Penggerek Batang Pengamatan tingkat serangan penggerek batang padi caranya dengan melihat 20 titik dimana 1 titik 239 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



terdapat 5 sampel rumpun, sehingga dalam satu plot terdapat sebanyak 100 rumpun sampel. Perhitungan intensitas serangan yaitu dengan menghitung jumlah Intensitas Anakan yang terserang serangan (I) = Total anakan



X 100 %



Keanekaragaman Spesies Parasitoid Data hasil pengamatan kelompok telur dari laboratorium mengenai jumlah dan jenis parasitoid telur penggerek batang padi yang diperoleh, kemudian



Σ( S



H’ = ’ Σi = 1



ni N



anakan yang rusak oleh serangan penggerek batang padi dibagi jumlah keseluruhan anakan dikali 100% (Kusdiaman dan Kurniawati, 2007), rumusnya sbb:



dianalisis keanekaragaman spesies parasitoid tersebut menggunakan indeks keanekaragaman Shannon dengan rumus sebagai berikut (Wilyus dkk., 2012):



) ( ) ni



ln



N



Keterangan: H’ = Indeks Shannon, S = Jumlah spesies parasitod pada telur penggerek batang padi, ni = Jumlah individu spesies ke-I, N = Total individu semua spesies. Tingkat Parasitasi oleh Masing-Masing Parasitoid Data yang diperoleh dari hasil pengamatan kelompok telur di laboratorium mengenai jenis parasitoid telur, larva, dan telur penggerek batang padi yang tidak menetas, kemudian dihitung tingkat persentase parasitasi masing-masing parasitoid



P (Tetrastichus schoenobii ) =



dengan menggunakan modifikasi formula Baehaki (1991) sebagai berikut; Tetrastichus schoenobii memarasit 3 butir telur, sehingga tingkat parasitisasinya ditentukan sebagai berikut:



3a 3a+0,5b+c+e+f



X 100%



Trichogramma japonicum memarasit 1/2 butir telur, sehingga tingkat parasitisasinya ditentukan sebagai berikut:



P (Trichogramma japonicum) =



0,5b 3a+0,5b+c+e+f



X 100%



Telenomus rowani memarasit 1 butir telur, sehingga tingkat parasitisasinya ditentukan sebagai berikut:



P (Telenomus rowani) = Keterangan: P



= a b c e f



c 3a+0,5b+c+e+f



X 100%



Parasitasi = Tetrastichus schoenobii = Trichogramma japonicum = Telenomus rowani = larva penggerek = telur yang tidak menetas.



Hubungan Parasitasi Parasitoid telur terhadap Larva yang Keluar Data ini menyajikan hubungan antara parasitasi parasitoid telur dengan banyaknya larva :



yang berhasil keluar dari kelompok telur penggerek batang padi. Data diolah dengan menggunakan analisis Regresi-Korelasi (Sudjana, 2005) dengan rumus persamaan



240 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Ŷ=a+bX



Dimana:



a = konstanta



(



(ΣY) (ΣX2) – (ΣX) (ΣXY)



b = koefisien korelasi Keterangan:



n ΣX2 – (ΣX)2



(



) )



n ΣYX – (ΣX) (ΣY) n ΣX2 – (ΣX)2



Y = variabel terikat (larva yang berhasil keluar dari kelompok penggerek batang padi) X = variabel bebas (tingkat parasitasi parasitoid)



HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Penggerek Batang Padi Berdasarkan tangkapan pada light trap yang terdekat dengan plot percobaan (light trap jalan 7 & 3) selama Desember 2013 sampai Februari 2014 (90 malam) atau selama penelitian bahwa hanya ditemukan dua spesies ngengat penggerek batang padi yaitu penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens). Ngengat penggerek batang padi



kuning sangat mendominasi baik di light trap jalan 7 maupun jalan 3 dengan rerata tangkapan sebanyak 1995,72 ekor dan 1153,90 ekor, sementara ngengat penggerek batang merah jambu sangat sedikit yaitu sebanyak 1,80 ekor dan 1,56 ekor. Berdasarkan akumulasi rerata tangkapan di light trap jalan 7 & 3, populasi penggerek batang padi kuning sebanyak 1574,81 ekor dengan persentase 99,89%, sedangkan penggerek batang padi merah jambu hanya 1,68 ekor dengan persentase 0,11% (Tabel 1).



Tabel 1. Persentase rerata tangkapan penggerek batang padi di light trap jalan 7&3 Penggerek batang padi



Kuning



Merah jambu



Light trap



Populasi (ekor)



Jalan 7



1995,72



Jalan 3



1153,90



Jalan 7



1,80



Jalan 3



1,56



Dominasi tangkapan penggerek batang padi kuning di light trap jalan 7 maupun jalan 3 diduga karena sifat dari ngengat penggerek batang padi kuning yang tertarik cahaya (Baehaki, 1992), sedangkan ngengat penggerek batang padi merah jambu kurang tertarik pada cahaya (Hendarsih dan Usyati, 2008). Hal ini yang menyebabkan populasi penggerek batang padi kuning banyak ditemukan atau tertangkap pada perangkap lampu (light trap) sementara penggerek batang padi merah jambu hanya sedikit. Selain itu, ada kemungkinan karena dilapangan yang selalu ditanami sawah secara terus menerus sehingga penggerek batang padi kuning yang makanan utamanya padi, akhirnya mampu berkembang sepanjang tahun. Hal ini seperti yang di jelaskan oleh Hendarsih dan Usyati (2008) bahwa di daerah tropik penanaman tanaman padi secara terus menerus sepanjang tahun menyebabkan penggerek batang padi kuning akan terus berkembang, sehingga dalam satu tahun terdapat 7-8 generasi. Namun, tidak menutup kemungkinan pula adanya perubahan pergeseran komposisi penggerek batang padi di Pulau Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Hendarsih dkk.



Rerata (ekor)



Persentase (%)



1574,81



99,89



1,68



0,11



(2002) bahwa sejak tahun 1995 secara bertahap dominasi penggerek batang padi putih digeser oleh penggerek batang padi kuning. Pada tahun 2007 dilaporkan bahwa di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur hampir semua di kabupaten didominasi oleh spesies penggerek batang padi kuning yang mencapai lebih dari 90%. Sementara penggerek batang padi putih hanya di temukan di Indramayu dan sisanya penggerek batang merah jambu mendominasi di wilayah Tegal dan Klaten, Jawa Tengah (Hendarsih dkk., 2007) Perbedaan jumlah populasi penggerek batang padi kuning yang tertangkap di light trap dipengaruhi oleh keberadaan tempat/tata letak dan ketersediaan makanan bagi penggerek batang padi di sekitar light trap tersebut. Hasil tangkapan penggerek batang padi kuning baik saat terjadi puncak penerbangan pertama maupun penerbangan kedua menunjukkan populasi lebih banyak di light trap jalan 7 dibandingkan di light trap jalan 3, hal ini diduga karena tempat/letak light trap jalan 3 lebih dekat dengan jalan raya sehingga lampu light trap menjadi bias oleh lampulampu jalan raya yang akhirnya penggerek batang 241 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



padi kuning tertarik pula dengan lampu-lampu jalan raya tersebut. Hal ini yang membuat tangkapan penggerek batang padi kuning di sekitar light trap jalan 3 menjadi lebih sedikit karena terbagi dengan lampu-lampu jalan raya. Sedangkan tempat/letak light trap di jalan 7 lebih kedalam area persawahan BB Padi Sukamandi dan jauh dari jalan raya sehingga penggerek batang padi kuning hanya tertarik ke lampu light trap tersebut. Ketersediaan sumber makanan (tanaman padi) di sekitar light trap juga berpengaruh terhadap tangkapan penggerek batang padi kuning, misalnya pada saat terjadi puncak pertama (5 MST) tangkapan di light trap jalan 7 terbanyak (7404,86 ekor) dibandingkan jalan 3 (5728,14 ekor) (Gambar 2). Hal ini diduga karena letak light trap jalan 3 lebih berdekatan dengan area persawahan milik P.T. Sang Hyang Seri yang umur tanamannya lebih tua sehinggga penggerek batang padi mencari tanaman padi yang lebih muda dengan ketersediaannya yang



banyak. Sedangkan tempat/letak light trap jalan 7 lebih ke dalam area persawahan BB Padi Sukamandi yang umur tanamannya masih muda dan ketersediaannya cukup banyak. Kemungkinan yang terjadi adalah penggerek dari sekitar light trap jalan 3 bermigrasi ke sekitar area persawahan light trap jalan 7. Begitu pula pada saat terjadi puncak populasi kedua, di light trap jalan 7 puncak tangkapan terjadi pada umur tanaman 12 MST, sedangkan puncak tangkapan di light trap jalan 3 terjadi pada umur tanaman 11 MST dan pada minggu berikutnya (12 MST) terjadi penurunan. Hal ini dikarenakan area persawahan milik P.T. Sang Hyang Seri yang sedang dipanen dimana letak light trap jalan 3 lebih berdekatan dengan area persawahan tersebut. Kemungkinan besar penggerek batang padi mencari sumber makanan baru. Sehingga populasi tangkapan penggerek batang padi kuning di light trap jalan 7 lebih banyak dari light trap jalan 3..



Gambar 2. Populasi tangkapan penggerek batang di light trap jalan 7 dan 3 Tabel 2. Waktu pengamatan Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8



3 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 1 6 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 1 12 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 1 24 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 1 3 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 2 6 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 2 12 hari setelah terjadi peningkatan penerbangan 2 24 hari setelah terjadi peningkatan



Tanggal pengamatan



MST



Stadia tanaman



21/12/2013



4



Vegetatif



24/12/2013



4



Vegetatif



30/12/2013



5



Vegetatif



11/01/2014



7



Reproduktif



03/02/2014



10



Reproduktif



06/02/2014



10



Reproduktif



12/02/2014



11



Pematangan



24/02/2014



13



Pematangan



242 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



penerbangan 2 Tangkapan populasi penggerek batang padi di light trap merupakan cerminan populasi penerbangan penggerek batang padi di lapangan. Penerbangan penggerek batang padi selama penelitian terjadi peningkatan sebanyak dua kali yaitu dimulai pada 23 HST/4 MST (tahap pembentukan anakan), dan 67 HST/10 MST (tahap pembungaan) yang sekaligus menjadi awal pengamatan penelitian ini. Oleh karena itu, maka pengamatan dilakukan sebanyak 8 kali, seperti yang disajikan pada Tabel 2Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Berdasarkan hasil pengamatan serangan pengerek batang padi menunjukkan serangan terbanyak terjadi pada stadia reproduktif sebesar 2,76%, sedangkan pada stadia vegetatif dan generatif berturut-turut hanya 1,06% dan 1,35%, dengan rerata serangan semua stadia sebesar 1,72%. Pengamatan lebih seksama menunjukkan rerata persentase serangan penggerek batang padi pada pengamatan ke4 merupakan persentase tertinggi yang mencapai



3,49%, dan persentase terendah yaitu pada pengamatan ke-3 yang hanya 0,71% (Tabel 3) Rendahnya persentase serangan penggerek batang padi di persawahan padi menunjukkan adanya pengaruh parasitoid yang memparasitasi kelompok telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), namun tidak menutup kemungkinan pula adanya faktor lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Maramis dkk. (2011) yang menjelaskan bahwa faktor lain yang dapat menekan hama penggerek batang padi adalah predator dan pathogen. Selain itu, penggunaan pestisida/insektisida oleh petani (berbahan aktif dimehipo, karbofuran dan abamektin) yang intens dilakukan ketika penerbangan penggerek batang padi semakin tinggi dengan interval tiga hari sekali juga turut mempengaruhi tingkat serangan penggerek batang padi. Hal ini sesuai dengan penelitian Ardjanhar dkk. (2004) yang melaporkan bahwa peranan parasitoid telur cenderung dipengaruhi oleh perlakuan insektisida kimia. .



Tabel 3. Intensitas serangan penggerek batang padi V



Rerata (%)



Rerata Serangan Per Stadia tanaman (%)



0,73 0,46 0,15



2,43 1,32 1,38



1,55 0,91 0,71



1,06



2,34 1,43 0,67



5,33 9,07 2,68



3,15 0,73 1,13



3,49 3,41 1,38



2,76



0,22 0,24



0,41 1,70



0,84 1,19



1,41 1,29



1,35



Plot



Pengamatan ke



Stadia tanaman



I



II



III



IV



1 2 3



V V V



1,79 1,20 0,86



0,09 0,07 0,04



2,72 1,50 1,14



4 5 6



R R R



2,70 1,01 1,05



3,92 4,8 1,35



7 8



P P



4,87 2,98



0,72 0,36



Rerata (%) Ket: V: Vegetatif, R: Reproduktif, P: Pematangan



Keanekaragaman Spesies Parasitoid Hasil penelitian yang telah dilakukan pada Musim Tanam (MT) 2013/2014 atau pada bulan November 2013 sampai Maret 2014 bahwa di persawahan Desa Sukamandi ditemukan tiga spesies parasitoid telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) yaitu Tetrastichus schoenobii, Trichogrmma japonicum, dan Telenomus rowani (Gambar 3). Ketiga jenis parasitoid ini



1,72



sebelumnya juga telah dilaporkan memarasit telur penggerek bartang padi kuning (Schirpophaga incertulas) (Ardjanhar dkk., 2004; Kusdiaman dan Kurniawati, 2007; Wilyus dkk., 2012). Hasil penelitian Rauf (2000) dalam Wilyus dkk. (2012) bahwa ketiga jenis parasitoid tersebut juga dilaporkan memarasit telur penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata).



243 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Gambar 3. Parasitoid telur pengerek batang padi kuning: (A) Tetrastichus schoenobii, (B) Trichogramma japonicum dan (C) Telenomus rowani Keanekaragaman spesies parasitoid telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) paling tinggi yaitu terjadi pada saat tanaman memasuki stadia pematangan sebesar 0,104, sementara stadia vegetatif dan reproduktif berturutturut hanya 0,018 dan 0,060. Pengamatan lebih seksama, keanekaragaman spesies parasitoid telur pada pengamatan ke-4 tanggal 11/01/2014 dan pengamatan ke-8 tanggal 24/02/2014 menunjukkan keanekaragaman tertinggi dengan nilai indeks keanekaragaman Shannon sebesar 0,150 dan 0,149. Namun, hal ini berbeda dengan pengamatan ke-2, 3, dan 6 menunjukkan nilai indeks keanekaragaman Shannon sebesar 0,00, yang artinya tidak terjadi keanekaragaman pada pengamatan tersebut (Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4 tersebut terlihat bahwa baik pada penerbangan pertama maupun kedua terjadi kecenderungan yang sama yakni; pada awal penerbangan penggerek batang (pengamatan ke 1 dan 5) terjadi keanekaragaman parasitoid yang cukup tinggi, kemudian pada pertengahan penerbangan penggerek batang padi (pengamatan ke 2 - 3 dan 6 - 7) terjadi penurunan bahkan tidak terjadi keanekaragaman, namun pada akhir penerbangan penggerek batang padi, keanekaragaman parasitoid kembali tinggi. Rendahnya keanekaragaman parasitoid sejak awal sampai pertengahan Tabel 4. Indeks keanekaragaman spesies parasitoid PenerbStadia Pengamatan angan tanaman penggerek padi ke: ke: tanggal I



Ket:



penerbangan penggerek dapat diduga oleh perilaku petani yang melakukan pengendalian menggunakan insektisida, terlebih pada saat populasi penerbangan penggerek batang padi semakin tinggi. Hasil wawancara langsung kepada petani dapat diketahui bahwa aplikasi insektisida/pestisida (berbahan aktif dimehipo, karbofuran dan abamektin) menjadi lebih intens dilakukan ketika penerbangan penggerek semakin tinggi dengan interval tiga hari sekali. Hal ini sesuai dengan pernyataan Croft (1990) dalam Kusdiaman dan Kurniawati (2007) yang menjelaskan bahwa penggunaan insektisida kimia akan menyebabkan terbunuhnya serangga bukan sasaran melalui kontak langsung, residu, dan rantai makanan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hamid dkk. (2003) bahwa penggunaan pestisida berpengaruh negatif terhadap keberadaan dan keanekaragaman parasitoid. Namun, pada pengamatan akhir penerbangan yang pertama maupun akhir penerbangan yang kedua (pengamatan ke 4 dan 8) keanekaragaman parasitoid kembali menjadi lebih tinggi. Hal ini dikarenakan penerbangan ngengat penggerek batang padi sudah mengalami penurunan sehingga penyemprotan atau aplikasi insektisida/pestisida petani sudah sangat jarang dilakukan.



II



III



IV



V



Rerata Per pengamatan



Plot



Rerata per stadia tanaman



1 2 3



21/12/2013 24/12/2013 30/12/2013



1 1 1



V V V



0,161 0,000 0,000



0,000 0,000 0,000



0,000 0,000 0,000



0,000 0,000 0,000



0,113 0,000 0,000



0,055 0,000 0,000



0,018



4 5 6



11/01/2014 03/02/2014 06/02/2014



1 2 2



R R R



0,082 0,000 0,000



0,099 0,000 0,000



0,194 0,156 0,000



0,262 0,000 0,000



0,113 0,000 0,000



0,150 0,031 0,000



0,060



7 8



12/02/2014 2 P 0,000 24/02/2014 2 P 0,156 V: Vegetatif, R: Reproduktif, P: Pematangan



0,000 0,000



0,292 0,019



0,000 0,448



0,000 0,123



0,058 0,149



0,104



Tingkat Parasitasi oleh masing-masing parasitoid 244 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa rerata persentase kelompok telur yang terparasit bervariasi antara 0 hingga 92,31% dengan rerata 42,60% (Tabel 5). Persentase berdasarkan pada kelompok telur terparasit terhadap total jumlah kelompok telur yang dikumpulkan tidak bisa dijadikan ukuran, karena meskipun kelompok telur berhasil terparasit, namun sebagian larva penggerek batang instar 1 masih dapat keluar. Hal ini sesuai pernyataan Rauf (2000) yang menjelaskan bahwa tingginya tingkat parasitasi berdasarkan kelompok telur (seperti yang telah disebutkan diatas) tidak menjamin pertanaman padi terbebas dari serangan sundep maupun beluk. Oleh karena itu, analisis sebaiknya didasarkan pada banyaknya persentase butir telur yang terparasit oleh masing-masing parasitoid terhadap kelompok telur yang terparasit. Hasil pengamatan terhadap tingkat parasitasi oleh masing-masing parasitoid telur penggerek batang padi didominasi Telenomus rowani diikuti oleh Tetrastichus schoenobii, dan paling rendah yaitu Trichogramma japonicum, berturut-turut sebanyak 24,30%, 6,19 % dan 1,21% (Tabel 5). Hasil ini hampir sama dengan yang pernah dilakukan di Sukamandi sebelumnya yaitu pada tahun 2007 (Kusdiaman dan Kurniawati, 2007) yang juga didominasi oleh parasitoid Telenomus rowani diikuti Tetrastichus schoenobii, dan paling rendah yaitu Trichogramma japonicum baik pada stadia vegetatif 19, 83%, 3,24%, dan 1,77%, maupun pada stadia generatif 15,66%, 3,88%, dan 3,41%. Tingkat parasitasi berdasarkan stadia tanaman menunjukkan bahwa disemua stadia (vegetatif, reproduktif, dan pematangan) didominasi oleh Telenomus rowani dengan tingkat parasitasinya masing-masing sebesar 14,31%, 26,98%, dan 35,27%. Dominasi ini diduga karena pada penelitian ini parasitoid Telenomus rowani mampu memarasit telur bersama dengan Trichogramma japonicum maupun Tetrastichus schoenobii. Sedangkan Trichogramma tidak terjadi parasitasi bersama Tetrastichus schoenobii dan sebaliknya (Lampiran 4). Hal ini sesuai Kartohardjono (2011) yang menjelaskan bahwa parasitoid Telenomus bersifat superparasitisme, yaitu terdapat lebih dari satu parasitoid yang dapat tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa pada lingkungan satu jenis inangnya. Dominasi parasitasi oleh Telenomus rowani juga terjadi dibeberapa daerah seperti di Kalimantan Selatan (Hamijaya dkk., 2004); Provinsi Jambi (Wilyus dkk., 2012); Sumatra Barat (Susiawan dan Netti, 2005). Bahkan pada saat terjadi ledakan penggerek batang padi putih (Scirpophaga inotata) di Karawang, parasitoid telur penggerek batang padi juga didominasi Telenomus rowani (Rauf, 2000). Oleh karena kecenderungan dominasi ini beberapa peneliti menjelaskan beberapa kemungkinan atau alasan parasitoid telur didominasi oleh Telenomus



rowani, diantaranya Susiawan dan Netti (2005) yang berpendapat bahwa nampaknya parasitoid Telenomus sp. mampu beradaptasi pada berbagai ekosistem pertanian sehingga mudah tersebar di beberapa wilayah serta potensial sebagai agens hayati di Jawa dan Sumatera. Wilyus dkk. (2012) juga menjelaskan bahwa Telenomus rowani memiliki kemampuan untuk tetap ada pada suatu wilayah lebih tinggi. Sementara untuk parasitoid Trichogramma japonicum, Kusdiaman dan Kurniawati (2007) menjelaskan tingkat parasitasi Trichogramma japonicum lebih rendah dibandingkan dengan Telenomus rowani dan Tetrastichus schoenobii dikarenakan sifat biologi dari parasitoid tersebut yang ukuran telurnya lebih kecil dari telur penggerek batang padi, selain itu lama hidup dari imago paling lama hanya dua hari. Rauf (2000) menambahkan bahwa tekstur telur juga mempengaruhi tingkat parasitisasi. Trichogramma kurang menyukai kelompok telur yang ditutupi sisik. Hal itu pula tampaknya yang menyebabkan upaya pengendalian hayati penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) dengan pelepasan Trichogramma kurang berhasil. Menurut Soehardjan (1976) dalam Kusdiaman dan Kurniawati (2007) kemampuan parasitoid memarasit telur penggerek batang padi tergantung pada tempat dan lingkungannya. Rendahnya tingkat parasitasi dari ketiga parasitoid kemungkinan di pengaruhi pengendalian oleh petani diantaranya pengendalian mekanis (pengambilan telur) dan pengendalian dengan aplikasi insektisida. Ardjanhar dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan insektisida cenderung menurunkan peranan parasitoid telur penggerek batang padi. Kartohardjono (2011) juga menjelaskan bahwa aplikasi insektisida efektif mengendalikan hama secara parsial, tetapi secara bersamaan juga membunuh predator-parasitoid yang sebenarnya berpotensi sebagai pengendali hama secara hayati. Hubungan parasitoid telur terhadap larva penggerek padi kuning yang menetas Hasil analisis (Lampiran 3) diperoleh persamaan regresi linear Y atas X yaitu Ŷ= 85,39 0,86 X. Nilai konstanta (a) sebesar 85,39 dan dapat diartikan pada saat parasitasi sebesar 0, maka larva yang keluar sebesar 85,39. Nilai koefisien regresi (b) sebesar -0,86 berarti tingkat parasitasi mempunyai hubungan negatif terhadap larva yang keluar (Gambar 3), dan dapat diartikan setiap peningkatan 1 satuan parasitasi maka akan berpengaruh terhadap penurunan larva yang keluar sebesar - 0,86 satuan. Nilai koefisien korelasi (R) diperoleh sebesar - 0,88, hal ini berarti hubungan negatif antara parasitasi parasitoid dengan larva yang keluar cukup tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,77, hal ini menunjukkan kemampuan parasitasi parasitoid dalam mempengaruhi larva yang keluar sebesar 77%, sedangkan sisanya sebesar 23% dipengaruhi oleh faktor lain.



245 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Tabel 5. Persentase kelompok telur terparasit dan tingkat parasitasi penggerek batang padi kuning oleh masingmasing parasitoid Parasitasi berdasarkan butir telur dari StaBanyaknya Banyaknya Peng%Kelompok kelompok telur yang terpasit (%) dia kelompok kelompok amatelur tanatelur yang telur yang Parasitasi tan terparasit T.s. T.j. T.r. man dikumpulkan terparasit semua 1



V



23



8



34,78



12,02



0,10



22,18



34,30



2



V



23



3



13,04



0,00



0,00



20,74



20,74



3



V



25



0



0



0,00



0,00



0,00



0,00



15,94



4,01



0,03



14,31



18,35



Rerata stadia vegetatif 4



R



26



24



92,31



4,28



7,76



21,90



33,94



5



R



28



16



57,14



24,24



0,00



32,67



56,90



6



R



28



8



28,57



0,00



0,00



26,36



26,36



59,34



9,51



2,59



26,98



39,98



Rerata stadia Reproduktif 7



P



25



13



52,00



4,80



0,00



27,62



32,42



8



P



27



17



62,96



4,15



1,82



42,92



48,90



57,48



4,48



0,91



35,27



40,66



42,60



6,19



1,21



24,30



31,70



Rerata stadia pematangan Rerata total



Ket: V; stadia vegetatif. R; stadia reproduktif. P; stadia pematangan. T.s.; Tetrastichus schoenobii. T.j.; Trichogramma japonicum. T.r.;Telenomus rowani



Ŷ= 85,39 - 0,86 X



Gambar 3.



Grafik hubungan tingkat parasitasi telur terhadap larva yang keluar.



246 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Tabel 6. Proporsi parasitoid, larva yang keluar, dan telur yang tidak menetas



Ket:



parasitoid



Penga matan



Jumlah kelompok telur terparasit



Tingkat Parasitasi Semua (%)



Larva yang keluar (%)



Telur tidak mnetas (%)



1



8



10,53



0,88



88,60



34,30



65,15



0,55



2



3



0,00



0,00



100,00



20,74



51,28



27,98



3



0



0,00



0,00



0,00



0,00



94,22



5,78



4



24



3,09



48,92



47,98



33,94



55,50



10,56



5



16



32,16



0,00



67,84



56,90



37,62



5,47



6



8



0,00



0,00



100,00



26,36



57,25



16,40



7



13



5,31



0,00



94,69



32,42



60,15



7,43



8



17



3,43



19,24



77,33



48,90



44,89



6,22



Proporsi/dominasi jumlah spesies (%) T.s. T.j. T.r.



Rerata 6,81 8,63 72,06 31,70 58,26 T.s.; Tetrastichus schoenobii. T.j.; Trichogramma japonicum. T.r.;Telenomus rowani



Hubungan tingkat parasitasi telur penggerek dalam menurunkan larva penggerek batang padi yang keluar secara perhitungan analisis regresi-korelasi menunjukkan hubungan yang kuat (koefisien determinasi, R2 = 77%), namun berdasarkan Tabel 6 parasitasi penggerek masih rendah dalam menurunkan larva penggerek batang padi. Berdasarkan Tabel 6 tersebut diketahui bahwa rerata persentase tingkat parasitasi parasitoid telur sebesar 31,70%, hasil ini masih lebih rendah dibandingkan larva yang keluar sebesar 58,26%, adapun telur yang tidak menetas hanya sebesar 10,05%. Artinya walaupun dalam satu kelompok telur penggerek terparasit, namun lebih dari setengah jumlah butir telur berhasil menetas/hidup menjadi larva instar 1, maka pada penelitian ini parasitasi telur dapat dikatakan kurang efektif. Nickel (1964) dalam Rauf (2000) mengatakan bahwa spesies parasitoid yang hanya memarasit sebagian butir telur dalam kelompok telur kurang efektif dibandingkan spesies yang memarasit keseluruhan butir telur. Persentase larva yang keluar memang lebih besar dari tingkat parasitasi, namun hasil pengamatan serangan penggerek batang padi di lapangan/pertanaman padi menunjukkan persentase sangat kecil yaitu berkisar 0,71- 3,49% dengan rerata 1,77% (Tabel 2), hal ini diduga karena larva yang keluar masih dihadapkan berbagai keadaan. Menurut Nickel (1964) dalam Rauf (2000) larva yang baru keluar dari telur secara alami banyak mengalami kematian akibat ketatnya persaingan antar larva untuk mendapatkan sumberdaya makanan dan ruang. Selain itu, sifat kanibal dari larva itu sendiri, dan yang lebih berpengaruh adalah aplikasi pestisida/insektisida oleh petani yang telah disebutkan sebelumnya, yang kesemuanya turut mempengaruhi sedikitnya intensitas serangan penggerek batang padi di lapangan/pertanaman padi sawah.



10,05



KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan  Spesies penggerek batang padi berdasarkan tangkapan di light trap didominasi oleh penggerek batang padi kuning dengan populasinya sebanyak 1574,81 ekor (99,89%), dan sisanya penggerek batang padi merah jambu dengan populasi hanya 1,68 ekor (0,11%).  Intensitas serangan penggerek batang padi pada stadia vegetatif 1,06%, reproduktif 2,67%, dan pematangan 1,35%, dengan rerata 1,72%. Keanekaragaman spesies parasitoid tertinggi yaitu pada stadia pematangan yang ditunjukkan dengan Indeks Shannon sebesar 0,104, sedangkan stadia vegetatif dan reproduktif masing-masing sebesar 0,018 dan 0,060.  Tingkat parasitisasi telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas Walker) didominasi oleh Telenomus rowani (24,30%), diikuti oleh Tetrastichus schoenobii (6,19 %), dan paling rendah yaitu Trichogramma japonicum (1,21%).  Terdapat hubungan yang negatif antara tingkat parasitasi telur penggerek terhadap larva yang keluar dari kelompok telur penggerek batang padi kuning dan kemampuan parasitasinya dalam mempengaruhi larva yang keluar tersebut sebesar 77% (R2 = 0,77).



247 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Saran Keberadaan parasitoid telur dapat menurunkan jumlah larva yang keluar dari kelompok telur. Akan tetapi, penggunaan insektisida oleh petani menjadikan populasi parasitoid semakin sedikit sehingga tingkat parasitasinya pun menjadi lebih rendah, maka oleh karena itu perlu adanya sosialisasi kepada petani bahwa di alam (agroekositem persawahan padi) terdapat musuh alami yang mengendalikan hama penggerek batang padi secara hayati yaitu parasitoid telur penggerek batang padi. DAFTAR PUSTAKA Ardjanhar A, Siwi SS & Mahrub E. 2004. Peranan parasitoid telur penggerek batang padi pada lahan yang diaplikasi insektisida kimia di daerah Indramayu. Hlm 471-484. Dalam “Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan Sosial”. Bogor, 5 Oktober 2004. Ardjanhar, A. dan Abdi N. 2011. Tingkat Parasitasi dan Jenis Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Putih di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Dalam Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Tanggal 7 Juni 2011 di Hotel Singgasana Makassar. Baehaki S. E. 1991. The Role of Egg Parasitoids of White Stem Borer in Rice Crops Along The North Coastal of West Java. BB Padi. Sukamandi. Dalam Baehaki S.E. 1994. Evaluasi Potensi dan Komposisi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Putih di Pertanaman Padi pada Agroekosistem yang Berbeda. Dalam Prosiding Seminar Nasional VI “Peranan Entomologi dalam Mendukung Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat”. hal. 233-249. Baehaki S. E. 1992. Berbagai Hama Serangga Tanaman Padi. Angkasa: Bandung. Baehaki S.E. 1994. Evaluasi Potensi dan Komposisi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Putih di Pertanaman Padi pada Agroekosistem yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional VI “Peranan Entomologi dalam Mendukung Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat”. hal. 233-249. Baehaki S.E. 2002. Kelimpahan dan Karakteristik Komunitas Arthropoda pada berbagai Agroekologi. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011“inovasi teknologi padi mengantisipasi cekaman lingkungan biotik dan abiotik”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Hal. 285-303. Baehaki S.E. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam Perspektif Praktek Pertanian Yang Baik (Good



Agricultural Practices). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi-Subang. Pengembangan inovasi pertanian 2(1).2009: 65-78. Catling HD. 1979. Egg Parasitism of The Yellow Rice Borer, Tryporyza incertulas (Walker), at Joydevpur, Bangladesh. Bangladesh J Zoo1 7(1): 3 1-40. Dalam Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang pada Awal 1990-an. Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia Chen, Y. 2008. The Unsung Heroesof the Rice Field. Rice today January-March 2008. IRRI. p. 3031. Dalam Hendarsih S. dan N. Usyati, 2008. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Padi Inovasi Teknologi Produksi 2008. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi: SukamandiSubang. 323-341 hal. Croft, A.B. 1990. Arthropoda biological control agents and pesticides. Dalam Asni Ardjanhar, Siwi SS & Mahrub E. Peranan parasitoid telur penggerek batang padi pada lahan yang diaplikasi insektisida kimia di daerah Indramayu. Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan Sosial. Bogor, 5 Oktober 2004. Deciyanto S. dan Igaa I. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang Hamid H, Buchori D, dan Triwidodo H. 2003. Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. 10(3): 85-90. Hamijaya MZ, Tamrin M & Asikin S. 2004. Dominasi Spesies Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi pada Tipelogi Lahan Basah di Kalimantan Selatan. Hlm 467-474. Dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan Sosial. Bogor. 5 Oktober 2004. Hasibuan, S. 2009. Kajian Ketahanan Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L.) Terhadap Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata WLK) (Lepidoptera ; Pyralidae) di Rumah Kasa. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Hendarsih S, Usyati N. dan Kertoseputro D. 2002. Analisis Perubahan Status Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata Walker) di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Purwokerto, 7 September 2002. Purwokerto: Universitas 248 | ISSN 978-602-439-662-6



Prosiding Seminar Nasional PEI Cabang Bandung



Jendral Soedirman, PFI Komda Porwokerto, PEI Komda Purokerto. 12p. Hendarsih S., N. Kurniawati, dan D. kertoseputro. 2007. Penyebaran Spesies Penggerek Batang Padi di Pulau Jawa. Laporan tahunan DIPA 2007. BB Padi: Sukamandi-Subang. Hendarsih S. dan H. Sembiring. 2007. Status Hama Penggerek Batang Padi di Indonesia. Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi: Sukamandi-Subang. Hendarsih S. dan N. Usyati, 2008. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Padi Inovasi Teknologi Produksi 2008. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi: Sukamandi-Subang. 323-341 hal. Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan Musuh Alami sebagai Komponen Pengendalian Hama Padi Berbasis Ekologi. Pengembangan Inovasi Pertanian. 4(1): 29-46. Kasumbogo, U. 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Kusdiaman, D. dan N. Kurniawati. 2007. Kajian Pengendalian Penggerek Batang Padi dengan Monotoring Lampu Perangkap dan Pelepasan Telur. Dalam Jurnal Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007. hal. 383-392. Maramis, R.T.D., E. Senewe dan V.V. Memah. 2011. Kelimpahan Populasi Parasitoid Trichogramma sp dan Serangan Hama Penggerek Batang Padi Sawah di Kabupaten Minahasa. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsrat Manado. manado. Dalam Eugenia volume 17 no. 1 april 2011. paNickel JL. 1964. The possible Role of Biotic Factors In An Integrated Program For Rice Stem Borer Control. In: The major insect pests of the rice plant. Baltimore: John Hopkills Pr. p 443-452. Dalam Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang



pada Awal 1990-an. Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia. Pathak M.D. dan Z.R. Khan. 1994. “Insect Pests of Rice”. IRRN. ICIPE. Dalam Hendarsih S. dan N. Usyati, 2008. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Padi Inovasi Teknologi Produksi 2008. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi: Sukamandi-Subang. 323-341 hal. Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang pada Awal 1990-an. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1): 1-10 (2000). Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia. Rothschild GHL. 1970. Parasites of Rice Stemborers in Sarawak (Malaysian Borneo). Entomophaga 15: 2 1 - 5 1. Dalam Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Penggerek Batang Padi Putih, (Scirpophaga innotata Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang pada Awal 1990-an. Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia Soehardjan, M.M. 1976. Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi Kuning (Tryporyza incertulas Walker). Disertasi ITB. Bandung. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Edisi ke 6. Tarsito: Bandung. Susiawan, E. dan Netti Y. 2005. Distribusi dan Kelimpahan Parasitoid Telur Telenomus spp. di Sumatera Barat: Status dan Potensinya Sebagai Agens Pengendali Hayati. Politeknik Pertanian Universitas Andalas. Dalam J. Entomol. Indon., September 2006, Vol. 3, No. 2, 104-113 Wilyus, Fuad N., S. Herlinda, Chandra I., dan Yulia P. 2012. Potensi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas Walker) pada Beberapa Tipologi Lahan Di Provinsi Jambi. J. HPT Tropika. ISSN 14117525 Vol. 12, No. 1: 56 – 63, Maret 2012.



249 | ISSN 978-602-439-662-6