Proceeding Book BCCOG 2020 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROCEEDING BOOK: BANDUNG CONTROVERSIES AND CONSENSUS IN OBSTETRICS AND GYNAECOLOGY 2020 Editor Hartanto Bayuaji Adhi Pribadi Dini Hidayat Mulyanusa A. Ritonga Andi Rinaldi Siti Salima Windi Nurdiawan Artha Falentin Cover dan layout Richard Chandra Muhammad Mukhlis Faisal Abdulah Diterbitkan oleh Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP dr. Hasan Sadikin Jl. Pasteur no. 39 Bandung Telp.: 62 22 203 2530 © 2020 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.



The 4th Bandung Meet the Expert iii



Kata Pengantar



P



erkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang kedokteran, khususnya dalam bidang Obstetri dan Ginekologi berjalan sangat cepat. Hal ini membawa kita pada pengembangan teori, penemuan, dan konsensus baru dalam pengelolan berbagai penyakit. Pada kenyataannya, dalam praktik sehari-hari, kita banyak menemui kasuskasus yang penanganannya masih kontroversi. Jenis-jenis kasus ini mempunyai banyak pandangan dalam aspek etiopatogenesis juga banyak ditemukan variasi dalam penatalaksanaannya. Tidak jarang timbul kebingungan dalam memilih penanganan untuk pasiennya. Di sisi lain, berbagai konsesus telah dihasilkan melalui beberapa pertemuan himpunan baik dalam bidang Fetomaternal, Onkologi Ginekologi, Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi, Obstetri dan Ginekologi Sosial, serta Uroginekologi dan Rekonstruksi. Walaupun demikian, masih banyak pula sejawat yang belum terpapar konsesus tersebut. Dalam kesempatan ini, Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung mengadakan simposium Bandung Controversies & Consensus in Obstetrics & Gynecology 2020. Acara ini merupakan acara BCCOG ke-4 yang kami laksanakan. Pada simposium ini akan disampaikan hal-hal terkini mengenai berbagai topik di bidang Obstetri dan Ginekologi oleh para pakarnya. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan paara pakar/kontributor yang telah bersedia berbagi ilmu dan pengalamannya di acara workshop dan simposium serta makalahnya yang dapat dibukukan. Kami berharap materi yang dibuat dalam buku ini dapat meningkatkan pengertian dan kualitas pelayanan kita dalam bidang Obstetri dan Ginekologi sesuai perkembangan ilmu yang terkini. Akhir kata, penulis menyambut gembira setiap apresiasi dan kritik konstruktif demi perbaikan materi buku ini. Semoga buku ini mendatangkan manfaat demi kemajuan ilmu di bidang Obstetri dan Ginekologi. Terima kasih, Editor



iii



Proceeding Book iv SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/ RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh. Salam Sejahtera untuk kita semua. Pada kesempatan yang berbahagia ini kami menyambut baik terbitnya buku kegiatan Bandung Controversies & Consensus in Obstetrics & Gynecology 2020 sebagai suatu acara yang dinanti-nanti oleh rekan sejawat dokter Obstetri dan Ginekologi. Buku ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih khusus dari Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung bagi rekan sejawat di seluruh Indonesia dalam praktik sehari-hari sesuai dengan panduan tata laksana terkini sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan kontroversial dalam bekerja seharihari. Banyak sekali topik yang dikupas pada sesi-sesi simposium BCCOG 2020 ini, beberapa diantaranya mengenai deteksi preeklamsia, deteksi kelahiran prematur, konsensus infertilitas 2019, ginekologi estetika, tata laksana kanker endometrium, kehamilan dengan infeksi HIV, sifilis, dan hepatitis B, dan lain-lain. Selain itu, kami juga mengadakan workshop yang membahas tentang Manajemen Infertilitas dalam praktik sehari-hari, kolposkopi, Total Vaginal Hysterectomy, INALARM, USG Dasar berbasis kompetensi POGI, dan workshop Etikomedikolegal. Besar harapan kami, agar kerja keras panitia dalam menyusun dan mengkoordinasikan kegiatan ini bersambut dengan partisipasi dan penghargaan dari rekan sejawat sekalian. Semoga acara ini dapat menyambung tali silaturahmi kita semua dalam beraktivitas dan bekerja melayani masyarakat. Demikian yang dapat kami sampaikan. Salam hangat dari Bandung. Kepala Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Padjadjaran/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung



Dr. Wiryawan Permadi, dr., SpOG(K)



iv



The 4th Bandung Meet the Expert v



Hatur Pangjajap Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil’alamiin. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelenggarakan acara tahunan kami Bandung Controversies & Consensus in Obstetrics & Gynecology (BCCOG) 2020. Tidak terasa tahun ini sudah kali ke-4 acara BCCOG diselenggarakan, yang tentunya tidak akan terselenggara sampai sejauh ini tanpa dukungan dan respon yang positif dari teman sejawat dalam mengupdate ilmu, forum diskusi ilmiah nasional, serta menjadi ajang silaturahmi. BCCOG mengangkat tema kontroversial di bidang Obstetri dan Ginekologi yang kiranya perlu dibahas dan dikaji lebih lanjut. Selain itu, kami juga menyediakan acara workshop dan acara ilmiah yang harapannya bisa menunjang kegiatan praktik sehari-hari teman sejawat sekalian, sehingga bisa lebih maksimal dalam menangani pasien. Materi-materi simposium kami susun menjadi sebuah buku sebagai bentuk sumbangsih kami dari Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Kami berharap acara ini dapat bermanfaat untuk teman sejawat sekalian. Tentunya kami juga berusaha untuk menjadi tuan rumah terbaik bagi temanteman sejawat selama berada di kota Bandung. Wilujeng patepang deui di Bandung. Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh



Ketua Panitia Pelaksana,



dr. Dini Hidayat, SpOG(K), M.Kes.



v



Proceeding Book vi



Daftar Isi 1. PERAN VITAMIN-D PADA ‘THE GREAT OBSTETRICAL SYNDROMES’ Johanes C. Mose.......................................................................................................................................1 2. HAL-HAL BARU DARI KONSENSUS INFERTILITAS 2019 SESUAI DENGAN STANDAR INTERNASIONAL Dian Tjahyadi.............................................................................................................................................8 3. ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PEMBEDAHAN GINEKOLOGI Ali Budi Harsono...................................................................................................................................33 4. ENHANCE RECOVERY AFTER SURGERY Dodi Suardi..............................................................................................................................................43 5. PERAN ASURANSI PROFESI DALAM PENANGANAN KASUS DUGAAN MALPRAKTEK Yusmar Hendradinata........................................................................................................................62 6. VAKSINASI HPV PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA, PERLUKAH? Yudi Mulyana Hidayat.......................................................................................................................65 7. BAGAIMANA DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SPEKTRUM PLASENTA AKRETA PADA PRAKTEK SEHARI-HARI? Setyorini Irianti......................................................................................................................................79 8. APA YANG HARUS DILAKUKAN PADA KASUS GEMELI DENGAN KEMATIAN SALAH SATU JANIN? Adhi Pribadi.............................................................................................................................................98 9. EFEK BEDAH GINEKOLOGI ESTETIK TERHADAP KEHIDUPAN SEKSUAL: MITOS ATAU FAKTA? Sonny Sasotya...................................................................................................................................... 104 10. 5 HAL YANG TIDAK DIREKOMENDASIKAN PADA PENATALAKSANAAN ENDOMETRIOSIS Tono Djuwantono.............................................................................................................................. 112 11. APAKAH INFERTILITAS DIATAS TIGA TAHUN HARUS MENJALANI LAPAROSKOPI? Ruswana Anwar.................................................................................................................................. 130 12. UPAYA HOSPICE HOME CARE UNTUK PARA WANITA LANSIA Djamhoer Martaadisoebrata...................................................................................................... 144



vi



The 4th Bandung Meet the Expert vii 13. PERANAN SpOG DALAM TATALAKSANA KANKER ENDOMETRIUM STADIUM AWAL Siti Salima.............................................................................................................................................. 153 14. PERBEDAAN PRE OPERASI TUMOR JINAK DAN TUMOR GANAS OVARIUM Gatot N.A. Winarno........................................................................................................................... 167 15. SEKSIO SESAREA ATAS PERMINTAAN PASIEN BAGAIMANA MENSIKAPINYA? Zulvayanti.............................................................................................................................................. 195 16. MENANGANI PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL: MASIHKAH SEPERTI BIASA? Dian Tjahyadi....................................................................................................................................... 201 17. PERAN VITAMIN D DALAM INFERTILITAS Anita Rachmawati............................................................................................................................. 219 18. MENDETEKSI KELAHIRAN PREMATUR: PENGUKURAN PANJANG SERVIKS ATAU PEMERIKSAAN BIOMARKER SERUM? Jusuf S. Effendi.................................................................................................................................... 225 19. PERAN PEMERIKSAAN USG DOPPLER UNTUK MENILAI PROGNOSIS PADA ANCAMAN ABORTUS Budi Handono..................................................................................................................................... 235 20. PENATALAKSANAAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA KEHAMILAN Eppy Darmadi Achmad.................................................................................................................. 244 21. BAGAIMANA PENANGANAN HIDROSALPING YANG TERBAIK? Hanom Husni Syam, Mulyanusa A Ritonga, Duddy S Nataprawira....................... 252 22. PERAN GONADOTROPIN DALAM PENANGANAN INFERTILITAS DI DAERAH RURAL INDONESIA Wiryawan Permadi........................................................................................................................... 266 23. PUA SAAT PERIMENOPAUSE: TERAPI HORMONAL ATAU KURETASE SEBAGAI MANAJEMEN AWAL Supriadi Gandamihardja............................................................................................................... 275 24. TOTAL ABDOMINAL HISTEREKTOMI PADA KASUS GINEKOLOGI, APAKAH LEBIH BAIK ? Yudi Mulyana Hidayat.................................................................................................................... 284 25. HISTEREKTOMI SUPRASERVICAL VERSUS HISTEREKTOMI ABDOMINAL TOTAL DITINJAU DARI PARADIGMA UROGINEKOLOGI Benny Hasan........................................................................................................................................ 298 26. WEBSITE DOKTER ONLINE........................................................................................................... 304



vii



Proceeding Book viii



viii



The 4th Bandung Meet the Expert 1



PERAN VITAMIN-D PADA ‘THE GREAT OBSTETRICAL SYNDROMES’ Johanes C. Mose



T



he Great Obstetrical Syndromes (GOS), adalah sekumpulan komplikasi dalam kehamilan yang kejadiannya berhubungan dengan gangguan plasentasi pada awal kehamilan, termasuk didalamnya preeklamsi, PJT, persalinan preterm, PPROM, abortus spontan lanjut, dan solusio plasenta (1) Proses remodeling arteri spiralis selama kehamilan selain melibatkan tahapan perkembangan desidua dan trofoblas juga junctional zone (JZ) dari miometrium. Invasi trofoblas pada peristiwa plasentasi akan melibatkan seluruh desidua dan segmen miometrium yang memiliki sekitar 100 arteri spiralis. Gangguan proses plasentasi / invasi trofoblas ini pertama kali dikemukakan pada preeklamsi dan PJT yang ditandai dengan hilangnya atau tidak lengkapnya remodeling dari segmen JZ arteri spiralis. (2,3) Pada akhir-akhir ini gangguan plasentasi juga ditemukan berhubungan dengan prematuritas dan PPROM (4,5) serta abortus spontan lanjut (6,7) Gangguan plasentasi ini ditandai oleh 2 hal, yaitu (1) beratnya gangguan transformasi arteri spiralis, dan (2) adanya lesi arterial pada segmen JZ myometrium di tempat implantasi plasenta. Derajat dan luasnya lesi transformasi fisiologis pada arteri spiralis ini bervariasi menurut tempat/bagian dari plasenta, dimana bagian perifer akan sedikit dibandingkan dibagian tengah/sentral dari placental bed. Lesi arterial yang ditemukan bisa berupa, hyperplasia intima, atherosis akut dan trmbosis. Dibandingkan dengan kehamilan normal, dimana 90% dari segmen JZ myometrium dari arteri spiralis akan mengalami transformasi komplit.(1) Remodeling arteri spiralis merupakan proses bertingkat yang dimulai sejak awal kehamilan, terdiri dari 4 tingkat yaitu (1) Tingkat awal remodeling desidua, diikuti dengan (2) migrasi trofoblas itra-arterial, (3) invasi trofoblas intramural,



1



Proceeding Book 2 dan (4) re-endothelialization dan perubahan lainnya. (8) Terdapat 3 tipe gangguan transformasi arteri spiralis didaerah JZ miometrium, yaitu (1) gangguan transformasi sebagian; (2) hilangnya transformasi; dan (3) hilangnya transformasi disertai lesi obstruktif. Pada peeklamsi, akan terjadi hilangnya transformasi fisiologis terutama didaerah sentral dari placental bed (tipe 2). Pada preeklamsi dengan IUGR, akan ditemukan lesi obstruktif pada arteri spiralis segmen miometrium (tipe 3). Pada peralinan preterm dan IUGR tanpa hipertensi, lebih sering ditemukan gangguan transformasi sebagian (tipe 1) pada arteri spiralis di daerah JZ miometrium. (1) Iskemia yg terjadi pada saat implantasi trofoblas merupakan penyebab utama dari gangguan plasentasi ini. Faktor genetik, lingkungan, termasuk saat dan lamanya iskemia akan menentukan jenis kelainan obstetri yang terjadi. (9)



Peran vitamin-D pada saat konsepsi dan plasentasi Pada akhir-akhir ini semakin terungkap peran dari vitamin-D dalam bidang obstetri dan ginekologi. Di bidang obstetri, vitamin-D berperan sejak masa prekonsepsi, konsepsi, plasentasi, pertumbuhan janin dan ibu dalam kehamilan sampai persalinan. Pada kesempatan ini, pembahasannya akan dibatasi peranannya pada saat konsepsi dan plasentasi terkait dengan terjadinya ‘the great obstetrical syndromes’ terutama preeklampsi, IUGR dan persalinan preterm. Pada saat terjadinya konsepsi dan invasi trofoblas di desidua basalis dalam proses plasentasi , ditemukan peningkatan ekspresi dari VDR dan α-hydroxylase CYP27B1 yang membuktikan peran dari vitamin-D yang sangat penting pada saat ini. (10,11) Sudah diketahui bahwa ikatan vit-D dengan reseptornya VDR akan menginduksi gen target HoxA10 yang bertanggung jawab pada perkembangan endometrium, desidua, uterine receptivity dan implantasi.(12) Selain perannya secara langsung pada desidualisasi dan plasentasi, vitamin-D juga secara tidak langsung berperan melalui efek imunomodulator. Vitamin-D sdh lama diketahui mempunyai efek imunosupresif selasma kehamilan terutama selama proses implantasi trofoblas sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi maternal immune response pada allograft yang mengandung gen paternal. (11) Oleh sebab itu, sintesis vitamin-D selama kehamilan sangat diperlukan untuk mengatur keseimbangan sel uNK, DCs, makrofag dan sel T untuk menjamin toleransi imunologis (mencegah reaksi penolakan).(13)



2



The 4th Bandung Meet the Expert 3 Vitamin-D juga berperan pada peristiwa epigenetic, yaitu perubahan pada ekspresi gen yang tidak diturunkan oleh karena tidak disebabkan oleh perubahan/gangguan pada sekuens DNA. Perubahan epigenetik dari katabolisme vitamin-D berperan pada peningkatan bioavailabilitynya pada perbatasan fetomaternal. Hal ini akan mempengaruhi gen yang mengatur calcium transporter, mempengaruhi pertumbuhan mineral tulang janin sehingga akan berpengaruh pada pertumbuhan janin terutama tulang panjangnya. (14)



Preeklamsi Preeklamsi telah dibuktikan disertai dengan adanya gangguan invasi trofoblas pada saat plasentasi dan sering disertai dengan hipovitaminosis D , membuktikan adanya peran vitamin-D yang besar pada proses plasentasi. Suatu meta-analisis terakhir (tahun 2018) menyimpulkan peningkatan kejadian preeklamsi pada hipovitaminosis D.(15) Terjadi penurunan ekspresi 1α-Hydroxylase pada sel sinsitiotrofoblas pasien dengan preeklampsi.(16) Kadar yang sangat rendah dari vitamin-D ditemukan pada preeklampsi awitan dini (PEAD) dan suplementasi vitamin-D dapat mencegah kejadian preeklampsi berulang.(17,18) Hubungan antara polimorfisme VDR FokI dan risiko terjadinya preeklamsi juga sudah dilaporkan, yang membuktikan bahwa interaksi antara vitamin-D dan reseptornya sangat diperlukan bagi perkembangan plasenta dan fungsinya yang normal.(19) Defisiensi vitamin-D akan mengganggu keseimbangan imunologis yang mengakibatkan peningkatan kadar sitokin Th1 yang proinflamasi dan menyebabkan reaksi penolakan terhadap embrio. Tingginya ekspresi Th1 ini ditemukan pada pasien preeklamsi. Ini merupakan bukti dari peran vitamin-D sebagai imunoprotektor pada batas fetomaternal.(20) Vitamin-D juga berperan membantu terjadinya migrasi dan invasi dari sel human EVT pada kehamilan trimester pertama melalui peningkatan ekspresi MMP2 dan MMP9.(21) mengatur sitoskeleton dari sel2 termasuk sel trofoblas.(22) Vitamin-D terbukti mengatur mobilitas sel HUVEC dari pasien dengan preeklamsi dan DM.(23)Vitamin-D juga memiliki pengaruh tidak langsung pada proses invasi trofoblas dengan meningkatkan produksi hCG dan progesterone.(24)Vitamin-D terbukti mencegah terjadinya perangsangan system RAAS dan difungsi endotel yang berakibat pada peningkatan tekanan darah/hipertensi.(25)



3



Proceeding Book 4 Vitamin-D mencegah kejadian disfungsi endotel dengan menurunkan kadar sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi, termasuk TNF-α. (26,27) Oleh sebab itu, pemberian vitamin-D selama kehamilan dapat mencegah disfungsi endotel dan kenaikan tekanan darah pada preeklamsi.(28)



PERSALINAN PRETERM Persalinan preterm masih menjadi masalah besar dibidang kesehatan ibu dan anak karena merupakan penyebab kematian neonatal. Prevalensinya berkisar 10,6% kelahiran hidup. Secara epidemiologis ditemukan hubungan antara hipovitaminosis D selama kehamilan dengan kejadian kelahiran preterm.(29) Defisiensi vitamin-D akan meningkatkan risiko kelahiran preterm dan pemberian vitamin-D selama kehamilan akan menurunkan risiko ini.(30) Patogenesis persalinan preterm yang melibatkan faktor inflamasi ditandai dengan peningkatan kadar sitokin/ kemokin disertai dengan aktivasi sel T. Sel Th1 ditemukan meningkat dalam darah tali pusat persalinan preterm dibandingkan persalinan normal bersamaan dengan rendahnya kadar vitamin-D. Kadar vitamin D dalam darah berkorelasi positif dengan Treg pada persalinan normal dan preterm.(31) Suatu penelitian meta-analisis terkini yang melibatkan 15 penelitian dan 2.833 ibu hamil menyimpulkan bahwa pemberian vitamin D selama kehamilan menurunkan risiko kelahiran preterm sebesar 65%, preeklamsi 48% dan BBLR 60% dibandingkan dengan placebo.(32)



Pertumbuhan janin terhambat (PJT) Setelah plasenta mulai terbentuk pada minggu ke-4 maka nutrisi dari ibu akan dialirkan ke janin, termasuk 25(OH)D3 yang dengan mudah akan melewati plasenta mencapai kadar dalam darah janin sebesar 87% dari kadar dalam darah ibu. Oleh sebab itu, vitamin-D dalam darah janin sangat tergantung seluruhnya dari kadar vitamin-D darah ibu. Ibu dengan hipovitaminosis D akan menghasilkan janin dengan hipovitaminosis D juga.(33) Peristiwa epigentik akibat malnutrisi termasuk hipovitaminosis D akan mengganggu fetal programming yang akan mengaktifkan gen khusus yang mengontrol perkembangan janin. (14) Dengan demikian akan terjadi gangguan pertumbuhan janin (PJT).



4



The 4th Bandung Meet the Expert 5 Vitamin-D dalam darah ibu mempengaruhi ekspresi gen yang mengkode calcium transporter plasenta yang akan mengatur mineralisasi tulang janin. (34) Pemberian vitamin-D tambahan selama kehamilan secara bermakna menurunkan risiko terkena riketsia dan hopokalemia dikemudian hari.(35)



Daftar Pustaka 1. Bronsen I, Pijnenborg R, Vercruysse L, Romero R. The “Great Obstetrical Syndrome” are associated with disorders of deep placentation. Am j Obstet Gynecol 2011, 204(3):193-201. 2. Bronsen IA, Robertson WB, Dixon HG. The role of spiral arteries in the pathogenesis of preeclampsia. Obstet Gynecol Annu 1972;1:177-91 3. Bronsen JJ, Peinenborg R, Brosens I: The myometrial junctional zone spiral arteries in normal and abnormal pregnancies. Am J Obstet Gynecol 2002;187:1416-23. 4. Kim YM, Chaiworapongsa T, Gomez R, Bujold E, Yoon BH, Rotmensch S, et al. Failure of physiologic transformation of the spiral arteries in placental bed in PPROM. Am J Obstet Gynecol 2002; 187: 1137-42. 5. Kim YM, Bujold E, Chaiworapongsa T, Gomez R, Yoon BH, Thaler HT, et al. Failure of physiologic transformation of the spiral arteries in patients with preterm labor and intact membranes. Am J Obstet Gynecol 2003; 189: 106369. 6. Khong TY, De Wolf F, Robertson WB, Bronsen I. Inadequate maternal vascular response to placentation in pregnancies complicated by preeclampsia and by SGA infants. Br J Obstet Gynecol 1986; 93:1049-59. 7. Ball E, Bulmer JN, Ayis S, Lyall F, Robson SC. Late sporadic miscarriage is associated with abnormalities in spiral artery transformation and trophoblast invasion. J Pathol 2006;208:535-42. 8. Peijnenborg R, Brosens I. Deep trophoblast invasion and spiral artery remodeling. In: Peijnenborg R, Brosens I, Romero R, editors. Placental bed disorders. Cambridge University Press 2010. Pp.97-108. 9. Romero R, Kusanovic JP, Kim CJ. Placental disorders in genesis of the great obstetrical disorders. In: Peijnenborg R, Brosens I, Romero R, editors. Placental bed disorders. Cambridge University Press 2010. Pp.271-289. 10. Lambert PW, Stern PH, Avioli RC, Brackett NC, Turner RT, Greene A. Evidence for extrarenal production of 1α,25-dihydroxyvitamin D in man. J Clin Invest. 1982; 69:722–25.



5



Proceeding Book 6 11. Shin JS, Choi MY, Longtine MS, Nelson DM. Vitamin D effects on pregnancy and the placenta. Placenta. 2010; 31:1027–34. 12. Du H, Daftary GS, Lalwani SI, Taylor HS. Direct regulation of HOXA10 by 1,25-(OH)2D3 in human myelomonocytic cells and human endometrial stromal cells. Mol Endocrinol. 2005; 19:2222–33. 13. Piccinni MP, Scaletti C, Maggi E, Romagnani S. Role of hormone controlled Th1. and Th2-type cytokines in successful pregnancy. J Neuroimmunol. 2000;109:30–3. 14. Novakovic B, Sibson M, Ng HK, Manuelpillai U, Rakyan V, Down T, et al. Placentaspecific methylation of the vitamin D 24-hydroxylase gene: implications for feedback autoregulation of active vitamin D levels at the fetomaternal interface. J Biol Chem. 2009;284:14838–48. 15. Akbari S, Khodadadi B, Ahmadi SAY, Abbaszadeh S, Shahsavar F. Association of vitamin D level and vitamin D deficiency with risk of preeclampsia: a systematic review and updated meta-analysis. Taiwan J Obstet Gynecol. 2018; 57:241–247. 16. Diaz L, Arranz C, Avila E, Halhali A, Vilchis F, Larrea F. Expression and activity of 25-hydroxyvitamin D-1 alpha-hydroxylase are restricted in cultures of human syncytiotrophoblast cells from preeclamptic pregnancies. J Clin Endocrinol Metab. 2002; 87:3876–82. 17. Gala P, Dwarkanath P, Larkin HM, Kurpad A, Mehta S. The role of vitamin D in pre-eclampsia: a systematic review. BMC Pregnancy Childbirth. 2017; 17:231– 8. 18. Robinson CJ, Wagner CL, Hollis BW, Baatz JE, Johnson DD. Plasma 25-hydroxyvitamin D levels in early-onset severe preeclampsia. Am J Obstet Gynecol. 2010;203:366–72. 19. Rezavand N, Tabarok S, Rahimi Z, Vaisi-Raygani A, Mohammadi E, Rahimi Z. The effect of VDR gene polymorphisms and vitamin D level on blood pressure, risk of preeclampsia, gestational age and body mass index. J Cell Biochem. 2019;120:6441–8. 20. Dong M, He J, Wang Z, Xie X, Wand H. Placental imbalance of Th1- and Th2type cytokines in preeclampsia. Acta Obstet Gynecol Scand. 2005;84:788–93. 21. Ganguly A, Tamblyn JA, Finn-Sell S, Chan SY, Westwood M, Gupta J. Vitamin D, the placenta and early pregnancy: effects on trophoblast function. J Endocrinol. 2018;236:R93–103. 22. Chan SY, Susarla R, Canovas D, Vasilopoulou E, Ohizua O, McCabe CJ. Vitamin D promotes human extravillous trophoblast invasion in vitro. Placenta. 2015;



6



The 4th Bandung Meet the Expert 7 36:403–9. 23. von Versen-Hoynck F, Brodowski L, Dechend R, Myerski AC, Hubel CA. Vitamin D antagonizes negative effects of preeclampsia on fetal endothelial colony forming cell number and function. PLoS ONE. 2014; 9:e98990. 24. Barrera D, Avila E, Hernández G. Calcitriol affects hCG gene transcription in cultured human syncytiotrophoblasts. Reprod Biol Endocrinol. 2008;6:3. 25. Ajabshir S, Asif A, Nayer A. The effects of vitamin D on the renin-angiotensin system. J Nephropathol. 2014; 3:41–3. 26. Min B. Effects of vitamin D on blood pressure and endothelial function. Korean J Physiol Pharmacol. 2013; 17:385–92. 27. Reynolds J, Ray D, Alexander MY, Bruce I. Role of vitamin D in endothelial function and endothelial repair in clinically stable systemic lupus erythematosus. Lancet. 2015;385(Suppl. 1):S83. 28. Behjat Sasan S, Zandvakili F, Soufizadeh N, Baybordi E. The effects of vitamin D supplement on prevention of recurrence of preeclampsia in pregnant women with a history of preeclampsia. Obstet Gynecol Int. 2017;2017:8249264. 29. Bodnar LM, Platt RW, Simhan HN. Early-pregnancy vitamin D deficiency and risk of preterm birth subtypes. Obstet Gynecol. 2015;125:439–47. 30. Zhou SS, Tao YH, Huang K, Zhu BB, Tao FB. Vitamin D and risk of preterm birth: Up-to-date meta-analysis of randomized controlled trials and observational studies. J Obst Gynecol Res. 2017;43:247–56. 31. Zahran AM, Zharan KM, Hetta HF. Significant correlation between regulatory T cells and vitamin D in term and preterm labor. J Reprod Immunol. 2018:129:15– 22. 32. Palacios C, Lombardo LK, Peña-Rosas JP. Vitamin D supplementation for women during pregnancy. Cochrane Database Sustain Rev. 2016;1:CD008873. 33. Wierzejska R, Jarosz M, Sawicki W, Bachanek M, Siuba-Strzelinska M. Vitamin D concentration in maternal and umbilical cord blood by season. Int J Environ Res Public Health. 2017;14:1121–31. 34. Martin R, Harvey NC, Crozier SR, Poole JR, Javaid MK, Dennison EM, et al. Placental calcium transporter (PMCA3) gene expression predicts intrauterine bone mineral accrual. Bone. 2007;40:1203–8. 35. 171. Zhu K, Whitehouse AJ, Hart PH, Kusel M, Mountain J, Lye S. Maternal vitamin D status during pregnancy and bone mass in offspring at 20 years of age: a prospective cohort study. J Bone Miner Res. 2014;29:1088–95.



7



Proceeding Book 8



HAL-HAL BARU DARI KONSENSUS INFERTILITAS 2019 SESUAI DENGAN STANDAR INTERNASIONAL Dian Tjahyadi Divisi Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin Bandung



1. LATAR BELAKANG, DEFINISI, TUJUAN Infertilitas merupakan kondisi yang banyak ditemukan serta memberikan dampak besar bagi pasangan suami istri, baik dari segi medis dan juga ekonomi serta psikologis. Infertilitas dapat disebabkan oleh suami maupun istri, namun pada beberapa kasus, infertilitas tidak dapat diketahui penyebabnya, atau disebut dengan infertilitas idiopatik. Pasangan dengan infertilitas juga akan melewati proses panjang dalam evaluasi dan pengobatan sehingga infertilitas bukanlah masalah yang mudah untuk pasangan suami istri. Infertilitas juga tidak jarang, sebuah studi di Perancis menyebutkan bahwa dari seluruh pasangan dengan wanita berusia 25 tahun, 65% di antaranya akan mengalami kehamilan pada 6 bulan dan 85% kehamilan akan terjadi pada akhir tahun pertama pernikahan. Dari 100 pasangan yang mencoba hamil, 40 pasangan akan tidak hamil setelah enam bulan, 15 pasangan tidak hamil setelah setahun. Sedangkan pada pasangan dengan wanita berusia 35 tahun atau lebih, peluang kehamilan pada tahun pertama adalah 60%, tahun kedua 85%, dan sekitar 15% belum hamil hingga seteleh tahun ketiga. Di Indonesia, infertilitas (primer) tercatat sebesar 21,3% pada wanita usia 20-24 tahun dan 16,8% pada wanita usia 25-29 tahun. Infertilitas dibagi menjadi infertilitas primer dan sekunder. Infertilitas primer didefinisikan sebagai kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan



8



The 4th Bandung Meet the Expert 9 kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi. Infertilitas sekunder didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya setelah sebelumnya memiliki anak lahir hidup. Jenis lain dari infertilitas adalah infertilitas idiopatik, yakni pasangan infertil yang telah melewati pemeriksaan standar, yakni tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan hasil yang normal. Kemampuan seorang wanita untuk hamil disebut sebagai fekunditas.



2. ANAMNESIS PADA PASANGAN INFERTILITAS 2.1 Anamnesis Perempuan Anamnesis pada perempuan meliputi gaya hidup dan riwayat penyakit yang berikaitan dengan reproduksi, di antaranya : durasi infertilitas, pemeriksaan dan terapi yang pernah dilakukan sebelumnya, riwayat kehamilan sebelumnya, riwayat pubertas (adrenarche, thelarche, dan menarche), riwayat menstruasi (keteraturan, lama siklus, dan banyak menstruasi), riwayat operasi ginekologi atau abdomen, penggunaan kontrasepsi, frekuensi koitus dan fungsi seksual, penggunaan obat, alergi, riwayat hirsutisme, nyeri abdomen atau pelvis, dispareunia, penyakit tiroid, dan galaktorea, riwayat pekerjaan sekarang (termasuk paparan toksin di lingkungan kerja), penggunaan tembakau, alkohol, atau narkoba, riwayat olehraga dan jenis olahraga, riwayat psikiatri (stres, kecemasan, atau depresi), obat-obatan yang dikonsumsi pasangan.



2.2 Anamnesis Laki-Laki Anamnesis pada laki-laki dilakukan untuk mengindentifikasi faktor risiko dan gaya hidup yang mempengaruhi fertilitas, yang terdiri dari riwayat medis (kelainan fisik, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, kanker, dan infeksi, serta kelainan genetik seperti fibrosis kistik, sindrom Klinefelter), riwayat pembedahan (undesensus testis, hernia, mtrauma testis, torsio testis, bedah pelvis, retroperitoneum, dan kandung kemih), riwayat fertilitas (kehamilan sebelumnya, baik dengan pasangan saat ini atau sebelumnya, lama infertilitas, dan penanganan infertilitas sebelumnya), riwayat seksual (gangguan ereksi atau ejakulasi, frekuensi hubungan seksual), riwayat pengobatan (nitrofurantoin, simetidin, sulfasalazin, spironolakton, alfa bloker, metotreksat, kolkisin, amiodaron, antidepresan, kemoterapi), riwayat sosial (alkohol, rokok, kokain, penggunaan steroid), riwayat pekerjaan (paparan panas, radiasi, pestisida).



9



Proceeding Book 10 3. FAKTOR RISIKO Beberapa faktor risiko infertilitas antara lain : a. Konsumsi alkohol : mengurangi sintesis testosteron dan kerusakan membran basalis, serta gangguan hipotalamus dan hipofisis. b. Merokok : rokok mengandung zat yang berbahaya bagi oosit, sperma, dan embrio. Kebiasaan merokok pada wanita dapat menunrunkan fertilitas, pada laki-laki dpaat mengganggu kualitas semen. c. Konsumsi kafein : konsumsi kafein (teh, kopi, dan minuman bersoda) tidak mempengaruhi masalah infertilitas. Pada fertilisasi in vitro, kebiasaan konsumsi kafein pada minggu-minggu kunjungan awal > 2-50 mg/hari merupakan faktor risiko ketidakberhasilan bayi lahir hidup dibandingkan dengan konsumsi 0-2 mg/hari. d. Berat badan : kadar lemak berlebih menyebabkan ketidakseimbangan hormon reproduksi. e. Olahraga : olahraga ringan-sedang baik untuk fertilitas, namun olahraga berat menurunkan fertilitas. f. Stres : stres akan mempengaruhi keseimbangan hormon reproduksi, menyebabkan infertilitas. g. Obat-obatan : spironolakton, sulfasalazin, kolkisin, allopurinol, antibiotik tetrasiklin, gentamisin, neomisin, eritromisin, nitrofurantoin, simetidin, siklosporin terbukti menyebabkan infertilitas. Obat herbal, seperti ginkgo biloba, memperburuk sperma. h. Pekerjaan : faktor pekerjaan seperti waktu kerja, paparan panas, sinar X, gelombang elektromagnet, getaran, kimia, dapat mempengaruhi fertilitas pria dan wanita.



4. FAKTOR PENYEBAB 4.1 Penyebab pada Perempuan Faktor penyebab infertilitas pada perempuan, antara lain : gangguan ovarium (sindrom ovarium polikistik, sindrom Turner), hipotalamus (kehilangan berat badan, latihan berat, genetik, idiopatik), pubertas terhambat, hipofisis (hiperprolaktinemia, hipopituitarisme), hipotalamus/hipofisis (tumor, trauma kepala), penyebab sistemik (kehilangan berat badan, kelainan endokrin)



10



The 4th Bandung Meet the Expert 11 4.2 Penyebab pada Laki-Laki Faktor penyebab pada laki-laki dibagi menjadi 3 kelompok besar, yakni: 1) pra testikuler / gangguan spermatogenesis (gangguan hormonal-genetik: gangguan sekresi GnRH, defek reseptor GnRH, penurunan sekresi GnRH, sindrom Prader Willi, gangguan androgen; gangguan hormonal-non genetik: hiperprolaktinemia, adenoma hipofisis, testosteron endogen inadekuat), 2) Testikuler (varikokel; genetik : sindrom klinefelter, sindrom laki-laki XX, kromosom XXY, disgenesis gonadal campuran; kriptorkidismus; gonadotoksin : logam berat, kimia, panas, radiasi, obat-obatan, tembakau), 3) pasca testikuler / gangguan pada jalur ejakulasi (obstruksi; infertilitas imunologis; gangguan seksual. Walau infertilitas dapat disebabkan oleh berbagai penyebab pada laki-laki, infertilitas idiopatik merupakan kasus terbanyak.



5. PEMERIKSAAN INFERTILITAS 5.1 Pemeriksaan Infertilitas pada Perempuan Pemeriksaan fisik diawali dengan pemeriksaan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, hirsutisme atau akantosis nigran, tiroid, payudara, klasifikasi Tanner, klitoris, cincin himen, vagina, dan serviks, posisi, besar, dan mobilitas uterus, serta ligamen uterosakral dan cul de sac. Pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari : konfirmasi ovulasi yang dilakukan untuk menilai fungsi ovulasi (riwayat menstruasi, serum progesteron, USG transvaginal, temperatur basal, LH urin, biopsi endometrium) dan cadangan ovarium (kadar AMH, hitung folikel antral, FSH dan estradiol), pemeriksaan hormon, dan dilanjutkan dengan mencaritahu kelainan pada uterus (USG transvaginal atau histeroskopi), kelainan pada tuba (HyFoSy, HSG< laparoskopi kromotubasi), dan pemeriksaan lendir serviks dan uji pasca senggama.



5.2 Pemeriksaan Infertilitas pada Laki-Laki Pemeriksaan fisik dilakukan dengan memeriksa tanda defisiensi androgen (kebotakan, ginekomastia), tinggi badan, berat badan, IMT, tekanan darah, pemeriksaan genital (skrotum, testis, epididimis, prostat, serta penis). Pemeriksaan dilanjutkan dengan penunjang seperti : analisis semen



11



Proceeding Book 12 (baik makroskopik maupun mikroskopik, untuk menilai kualitas sperma), indeks fragmentasi sperma, pemeriksaan fungsi endokrin (FSH, LH, testosteron), pemeriksaan mikrobiologi, USG skrotal dan transrektal, pemeriksaan genetik, biopsi testis, pemeriksaan antibodi antisperma.



6. HISTEROSKOPI DAN LAPAROSKOPI 6.1 Histeroskopi Histeroskopi merupakan gold standard evaluasi uterus, melalui visualisasi langsung rongga uterus serta kondisi patologis yang relevan. Namun walau demikian, histeroskopi sebaiknya tidak dijadikan pilihan pemeriksaan awal karena bersifat invasif dan efektivitas perawatan bedah kelainan uterus pada peningkatan tingkat kehamilan belum ditetapkan.



6.2 Laparoskopi Laparoskopi merupakan langkah terakhir pemeriksaan infertilitas dan dilakukan untuk menghindari operasi terbuka. Laparoskopi diagnostik dilakukan sebagai tambahan salpingografi dalam identifikasi penyebab infertilitas dan tergolong aman untuk dilakukan. Wanita dengan komorbid dapat ditawarkan laparoskopi dan kromotubasi tuba dan patologi pelvis lainnya yang dapat dilakukan pada saat bersamaan. Penggunaan laparoskopi secara rutin tidak dianjurkan jika tidak terdapat kecurigaan akan adanya patologi pelvis, namun dapat dipertimbangkan pada pasangan yang sudah 3 tahun tidak mengalami kehamilan walau telah diterapi konservatif.



7. Tahapan Pemeriksaan Infertilitas



Gambar 1 – Tahapan Pemeriksaan Infertilitas



12



The 4th Bandung Meet the Expert 13 8. TATALAKSANA WANITA DENGAN INFERTILITAS 8.1 Tatalaksana Gangguan Ovulasi Tatalaksana gangguan ovulasi dibagi berdasarkan kelas WHO (kelas 1 sampai 4).



8.1.1 Gangguan Ovulasi WHO Kelas 1 Pada gangguan ovulasi kelas 1 (hipogonadotropin hipogonadisme), ditemukan tingkat gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, serta estradiol rendah. Pada gangguan ovulasi kelas I, pasien disarankan untuk meningkatkan berat badan hingga mencapai IMT normal. Pasien yang berolahraga berat disarankan untuk mengurangi aktivitas fisik. Selain itu, pasien juga dapat ditawarkan untuk menggunakan gonadotropin yang dikombinasikan dengan LH untuk menginduksi ovulasi.



8.1.2 Gangguan Ovulasi WHO Kelas 2 Gangguan ovulasi kelas 2 atau normogonadotropin-normogonadisme ditandai dengan adanya siklus menstruasi ireguler, gejala hiperandrogenisme dan hasil penunjang yang membuktikannya tanpa ada kemungkinan penyebab lain seperti kongenital adrenal hiperpolasia, tumor adrenal, atau sindrom Cushing. Gangguan ovulasi kelas 2 seringkali disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SPOK), dan ditatalaksana dengan perubahan gaya hidup (penurunan IMT menjadi ≤ 25 kg/m2), terutama pada pasien dengan obesitas. Selanjutnya, dapat dilakukan induksi ovulasi dengan obat-obatan seperti: letrozol, klomifen sitrat, metformin, gonadotropin, serta kombinasinya. Pembedahan laparoscopic ovarian drilling dapat dilakukan pada pasien gangguan ovulasi kelas 2 yang resisten terhadap klomifen sitrat (setelah dievaluasi selama maksimal 6 bulan). Tindakan ini dilakukan untuk menurunkan kadar LH dan androgen untuk meningkatkan laju kehamilan, tanpa risiko terjadinya sindrom hipertsimulasi ovarium dan kehamilan multipel.



8.1.3 Gangguan Ovulasi WHO Kelas 3 Gangguan ovulasi kelas 3 (hipergonadotropin hipogonadisme) ditandai dengan adanya gangguan cadangan ovarium, dengan kadar gonadotropin yang tinggi dan estrogen rendah. Kondisi ini menyebabkan peluang konsepsi yang sangat kecil bahkan dengan teknologi reproduksi berbantu, sehingga konseling yang baik pada pasangan menjadi kunci penatalaksanaannya.



13



Proceeding Book 14 8.1.4 Gangguan Ovulasi WHO Kelas 4 Kondisi ini ditandai dengan adanya hiperprolaktinemia. Penatalaksanaan ditentukan berdasarkan etiologi spefisiknya namun pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat menciptakan kondisi normoprolaktinemia dan memperbaiki gangguan ovulasi. Kabergolin memiliki efkektivitas yang lebih tinggi dibandingkan bromokrioptin untuk meningkatkan laju kehamilan.



8.2 Tatalaksana Gangguan Tuba Pada gangguan tuba ringan, tatalaksana pembedahan tuba akan lebih efektif dibandingkan dengan tidak sama sekali. Oleh karena itu, pembedahan tuba merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan pada fasilitas kesehatan yang memadai. Hidrotubasi pasca pembedahan tidak terbukti meningkatkan angka kehamilan, sehingga tidak dianjurkan.



8.3 Tatalaksana Endometriosis + Algoritma Penanganannya Tatalaksana endometriosis dibagi menjadi tatalaksana konservatif (hormonal, inseminasi intrauteri, dan teknologi reproduksi berbantu) serta pembedahan. American Fertility Society / AFS membagi endometriosis menjadi derajat I (minimal), derajat II (ringan), derajat III (sedang), dan derajat IV (berat) berdasarkan penilaian secara visual.



8.3.1 Terapi Hormonal Penekanan fungsi ovarium dengan terapi hormonal seperti danazol, analog GnRH, atau pil kontrasepsi oral untuk meningkatkan fertilitas pada kasus endometriosis ringan-sedang tidaklah efektif dan tidak direkomendasikan. Penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak meingkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan-sedang. Pemberian obat penekan ovulasi (medroksiprogersteron, gestrinone, pil kombinasi, dan agonis GnRH) pada perempuan yang mengalami endometriosis juga tidak ditemukan meningkatkan angka kehamilan secara signifikan. Selain itu, pemberian suplemen nutrisi atau terapi alternatif juga tidak dianjurkan.



8.3.2 Inseminasi intrauteri Inseminasi intrauteri direkomendasikan pada endometriosis derajat I dan II dan terbukti meningkatkan angka kelahiran hidup. Inseminasi



14



The 4th Bandung Meet the Expert 15 intrauteri direkomendasikan dimulai pada 6 bulan pasca penanganan operatif endometriosis.



8.3.3 Teknologi Reproduksi Berbantu Teknologi reproduksi berbantu direkomendasikan pada kasus infertilitas dengan endometriosis terutama jika terdapat gangguan pada tuba atau adanya gangguan pada laki-laki, atau jika terapi lainnya telah gagal.



8.3.4 Terapi Pembedahan Tindakan pembedahan melalui laparoskopi direkomendasikan pada endometriosis derajat I/II dan terbukti meningkatkan laju kehamilan. Tindakan laparoskopi sebaiknya bukan hanya sebagai diagnostik saja, melainkan dilakukan pula ablasi lesi endometriosis serta adesiolosis. Pada endometrioma, perlu didiskusikan dengan pasien dan pasangan mengenai kemungkinan hilangnya fungsi ovarium. Selain itu, tindakan laparoskopi juga dapat mencederai ovarium dan menurunkan cadangan ovarium sehingga memerlukan penjelasan yang adekuat pada pasien. Indikasi pembedahan, evaluasi pre-operasi, serta teknik pembedahan perlu dievaluasi secara matang. Pada kasus endometriosis yang lebih parah (derajat III/IV) laparoskopi juga dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan laju kehamilan.



8.3.5 Algoritma Penanganan Infertilitas Endometriosis



Gambar 2 – Algoritma penanganan infertilitas endometriosis



15



Proceeding Book 16 8.4 Tatalaksana Faktor Uterus Kelainan uterus yang seringkali menyebabkan infertilias adalah mioma uteri. Tatalaksana pada mioma uteri adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan pada mioma submukosa memiliki luaran yang lebih baik terhadap angka kehamilan dibandingkan dengan mioma intramural. Tidak ada perbedaan efektivitas metode pembedahan miomektomi pada laju kehamilan maupun angka keguguran. Tindakan pembedahan mioma intramural terbukti memiliki luaran yang lebih buruk dibandingkan dengan submukosa. Penyebab lain pada uterus yang lebih jarang adalah adenomiosis, namun hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan manfaat pembedahan adenomiosis terhadap fertilitas pasien.



8.5 Tatalaksana Infertilitas Idiopatik Tatalaksana infertilitas idiopatik terdiri dari ekspektatif, penggunaan obat, dan inseminasi intrauteri.



8.5.1 Tatalaksana Ekspektatif Tatalaksana ini dapat dilakukan pada infertilitas idiopatik karena kemungkinan hamil spontan cukup tinggi (mengingat tidak ada kelainan yang terdeteksi). Edukasi dapat diberikan pada pasangan mengenai masa subur hubungan seksual tanpa kontrasepsi.



8.5.2 Terapi Obat Klomifen sitrat dapat digunakan untuk mengatasi infertilitas idiopatik dengan memperbaiki disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan folikel multipel. Terapi inisial dengan dosis 50 mg sehari dimulai pada hari ke-2 hingga ke-6 siklus haid. USG transvaginal pada hari ke-12 dilakukan untuk pemantauan kemungkinan terjadinya kehamilan ganda. Pasangan disarankan berhubungan seksual terjadwal pada hari ke-12 siklus haid.



8.5.3 Inseminasi Intrauteri Inseminasi intrauteri dapat dilakukan dengan maupun tanpa stimulasi. Prinsipnya adalah peningkatan jumlah spermatozoa yang motil dalam uterus serta penempatan sperma dalam jarak yang dekat terhadap 1 atau lebih oosit. Inseminasi intrauteri dengan stimulasi ovarium merupakan penatalaksanaan yang terbukti aman dan efektif pada infertilitas idiopatik. Stimulasi ovarium dapat



16



The 4th Bandung Meet the Expert 17 dilakukan dengan menggunakan gonadotropin. Pemberian progesteron sebagai luteal phase support meingkatkan laju kehamilan pada inseminasi intrauteri. Pada beberapa studi, FIV ditemukan menghasilkan laju kehamilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan inseminasi intrauteri sehingga FIV juga dapat dijadikan alternatif pada infertilitas idiopatik.



9. FERTILISASI IN VITRO (FIV) DALAM PENANGANAN INFERTILITAS 9.1 Indikasi Indikasi untuk dilakukan FIV diantaranya: •



Faktor sperma yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan atau obat - obatan







Oklusi tuba bilateral yang tidak dapat dikoreksi







Tidak hamil pasca 3 - 4 x inseminasi intra uterin







6 bulan pasca koreksi tuba tetapi tidak terdapat kehamilan







Endometriosis derajat sedang - berat (derajat minimal - ringan pasca inseminasi intra uterin tidak terdapat kehamilan)







Infertilitas idiopatik dimana setelah 3 tahun tidak hamil (pasca inseminasi atau pengobatan)







Gangguan ovulasi dan penurunan cadangan telur (pasca induksi ovulasi / inseminasi 3 – 6 siklus)







Penurunan cadangan ovarium







Keguguran berulang idiopatik







Inherited disease yang dapat ditapis dengan Preimplantation Genetic Testing (PGT)



9.2 Definisi Stimulasi Ovarium Terkendali Stimulasi ovarium terkendali (SOT) adalah sebuah proses dimana ovarium diberikan stimulasi hingga memproduksi beberapa folikel ovulatorik bersamaan dengan menekan kadar LH endogen. Kombinasi obat-obatan yang digunakan sampai terdapat folikel yang matur adalah oral (clomiphene citrate) dan injeksi hormon reproduksi (FSH).



17



Proceeding Book 18 9.3 Jenis-jenis Protokol Protokol stimulasi ovarium dapat dibagi menjadi 3, yaitu: a. Protokol agonis (Protokol panjang/Long protocol) Penyuntikan agonis GnRH (Buserelin 0.5 mg) dimulai 10 – 14 hari sebelum dimulainya pemberian gonadotropin. Biasanya pemberian agonis GnRH dimulai pada fase luteal madya. Penyuntikan gonadotropin dimulai setelah down regulation tercapai dan dosis agonis GnRH diturunkan menjadi 0.2 mg. Stimulasi dengan gonadotropin dilanjutkan sampai diameter folikel mencapai 17 – 18 mm pada minimal 3 folikel. Petik oosit dilakukan kurang lebih 36 jam setelah maturasi oosit dengan menggunakan hCG. b. Protokol antagonis Antagonis GnRH menghambat pengeluaran gonadotropin secara cepat (hanya beberapa jam) dengan menduduki reseptor GnRH di hipofisis secara kompetitif. Pemakaian antagonis GnRH pada protokol FIV memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan agonis GnRH, seperti: •



tidak menyebabkan kondisi hipo-estrogen dan flare up







berkurangnya jumlah injeksi







rendahnya kejadian hiperstimulasi ovarium derajat berat.



Cara penyuntikan antagonis GnRH dapat dilakukan secara tetap (0.25 mg per-hari mulai hari ke- 6 atau ke-7 stimulasi), atau fleksibel (0.25 mg perhari saat folikel terbesar berukuran 14 – 15 mm). Penyuntikan dosis tunggal antagonis GnRH sebesar 3 mg juga dapat dilakukan pada hari ke-7 dan ke-8 stimulasi dengan atau tanpa penambahan pil kontrasepsi oral. c. Stimulasi ringan Stimulasi minimal ringan merupakan tindakan SOT yang dilakukan dengan memakai gonadotropin dosis rendah dengan tujuan membatasi jumlah oosit pada saat petik oosit. Beberapa kelebihan penggunaan minimal / stimulasi ringan pada program FIV diantaranya:



18







mengurangi ketidaknyamanan pasien







menurunkan risiko terjadinya sindrom hiperstimulasi ovarium







mengurangi biaya secara keseluruhan.



The 4th Bandung Meet the Expert 19 Beberapa kelemahan stimulasi minimal / ringan yang masih dijumpai saat ini adalah angka kehamilan yang lebih rendah dan lebih sedikit embrio yang dapat disimpan-beku.



9.4 Preparat Jenis-jenis preparat gonadotropin antara lain: a. Human menopausal gonadotropin (hMG) Preparat hMG memiliki aktivitas seperti FSH dan LH, namun selanjutnya preparat ini dihasilkan langsung dari komponen hCG dalam urin perempuan postmenopause. Preparat hMG konvensional dan highly-purified (HP-hMG) secara komersial tersedia dalam rasio FSH:LH = 1:1. (Level of Evidence II). b. Urinary FSH Preparat ini mengandung < 0.1 IU LH dan < 5% protein urinaria tidak teridentifikasi. Aktivitas FSH spesifik preparat ini sekitar 10.000 IU/mg protein dibandingkan dengan 100.150 IU/mg protein pada preparat hMG. Sama halnya dengan HP-hMG, HPhFSH juga memungkinkan pemberian injeksi subkutan. Rute pemberian subkutan akan meminimalisasi rasa nyeri dibandingkan injeksi muskular. (Level of Evidence II) c. Recombinant FSH (rFSH) Prosedur teknologi rekombinan menggunakan gene-coding untuk FSH subunit alfa dan beta, dimana menyatu dalam inti DNA sel host melalui vektor plasmid, menggunakan helix DNA yang mengandung gen FSH dan segmen DNA bakterial. Selanjutnya, berdiferensiasi dan memproduksi kadar rFSH yang adekuat. Tipe recombinant FSH antara lain follitropin alfa dan beta. Keduanya dihasilkan melalui proses purifikasi oleh kromatografi, diikuti dengan proses ultrafiltrasi (Level of Evidence II). d. Recombinant LH (rLH) Lutropin alfa merupakan satu-satunya bentuk rekombinan dari hormon LH manusia yang digunakan pada stimulasi ovarium terkendali. Jenis ini tersedia dalam bentuk vial 82.5 IU, perlu dilakukan pelarutan terlebih dahulu sebelum injeksi. Pemberian menggunakan syringe atau spuit dengan dosis 75 IU lutropin alfa per vial. Setelah injeksi rLH secara subkutan, proses eliminasi dari dalam tubuh akan berlangsung dalam 24 jam. Mulai tahun 2007, kombinasi rFSH dan



19



Proceeding Book 20 rLH dengan rasio 2:1 telah digunakan bagi perempuan yang membutuhkan suplementasi LH. Namun, bioekuivalens rFSH dan rLH baik pemberian tunggal maupun kombinasi tidak memberikan perbedaan hasil yang signifikan. (Level of Evidence II).



9.5 Metode pemilihan protokol Pemilihan protokol SOT dan menentukan dosis gonadotropin dapat dipertimbangkan berdasarkan hasil penilaian cadangan ovarium dan faktor predisposisi. Cadangan ovarium menggambarkan tingkat potensial fungsi reproduksi terutama jumlah dan kualitas oosit. Beberapa parameter klinis yang digunakan untuk meramalkan cadangan ovarium adalah FSH basal, inhibin B, folikel antral basal (FAB), dan volume ovarium dan anti-Mullerian hormone (AMH). Dari berbagai parameter tersebut, pemeriksaan FAB dan AMH mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tertinggi dalam memprediksi cadangan ovarium. Nilai AMH kurang dari antara 1.2 – 1.4 ng/ml dan FAB kurang dari 6 – 8 merupakan titik potong berkurangnya cadangan ovarium. Perempuan dengan kadar AMH dan FSH normal akan menghasilkan jumlah oosit yang tinggi sedangkan perempuan dengan penurunan kadar AMH meskipun kadar FSH normal akan mengalami penurunan jumlah oosit yang signifikan. (Level of Evidence IB)



9.6 Pemantauan SOT yang bertujuan untuk mendapatkan banyak folikel akan meningkatkan risiko ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS). Perhitungan folikel ovarium melalui pemeriksan ultrasonografi transvaginal dan/ pemeriksaan hormonal, terutama kadar estradiol serum seringkali digunakan untuk pemantauan SOT. Pemantauan ini dapat membantu klinisi dalam menghentikan siklus sedini mungkin jika respon ovarium tidak adekuat, menentukan waktu yang tepat untuk stimulasi pematangan folikular guna mendapatkan jumlah oosit matur yang maksimal dan menilai risiko terjadinya OHSS, yang penting untuk dipertimbangkan dalam memilih protokol tatalaksana. Hasil pemantauan SOT dengan ultrasonografi saja tidak berbeda jauh apabila dibandingkan dengan pemantauan kombinasi ultrasonografi transvaginal dan hormonal. (Level of Evidence IA)



20



The 4th Bandung Meet the Expert 21 10. SISTEM RUJUKAN Kondisi geografis yang luas dan negara yang berbentuk kepulauan menjadi tantangan dan hambatan dalam mengatasi masalah infertilitas di Indonesia. Dengan kemampuan pelayanan kesehatan yang tidak merata, kemampuan SDM yang tidak seragam dan tidak merata, alat/teknologi terbatas/tidak merata, serta kondisi sosial ekonomi, pendidikan dan budaya yang beraneka ragam juga kompleksnya manajemen infertilitas diperlukan solusi tepat dalam penanganan infertilitas. Karena itu diperlukan sistem pelayanan infertilitas yang terstruktur dan terarah, unit pelayanan infertilitas berjenjang (primer, sekunder, tersier) dan sistem rujukan, kerjasama atau jejaring antar unit pelayanan, hubungan yang harmonis antar tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dengan pasangan suami istri (pasutri), serta tenaga kesehatan dengan masyarakat. Kondisi ini membutuhkan uraian tugas yang jelas pada setiap unit pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan.



21



Proceeding Book 22 10.1 Pelayanan infertilitas tingkat primer Kriteria pasien : •



Lama infertilitas kurang dari 24 bulan







Umur pasangan perempuan < 30 tahun







Tidak ada faktor risiko patologi pelvis dan kelainan sistem reproduksi laki-laki







Pasangan telah menjalani terapi kurang dari 4 bulan tanpa keberhasilan terapi



Kompetensi: •



Kompeten dalam memberikan konsultasi dan edukasi pada pasangan dengan infertilitas



Kegiatan: •



Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasangan dengan infertilitas







Melakukan interpretasi analisis semen dan mengkonfirmasi adanya ovulasi







Merujuk pasangan infertil dengan komplikasi







Modifikasi faktor risiko



10.2 Pelayanan infertilitas tingkat sekunder Kriteria pasien :



22







Umur di atas 35 tahun, namun lamanya infertilitas < 36 bulan







Adanya gangguan siklus haid (amenorrhea atau oligomenorrhea)







Adanya galaktorea







Adanya kecurigaan gangguan fungsi tiroid







Adanya kecurigaan penyakit radang panggul







Adanya kecurigaan ke arah endometriosis







Adanya riwayat operasi pada daerah panggul







Adanya gejala-gejala hirsutisme







Adanya gejala obesitas (IMT > 30) atau gizi kurang (IMT < 20)







Adanya gangguan ovulasi (kadar progesteron < 30 nmol/l)



The 4th Bandung Meet the Expert 23 •



Adanya kelainan pada genitalia eksterna maupun interna







Adanya kelainan pada hasil analisis sperma (jumlah, gerakan maupun bentuk)  kalau azoospermia langsung level III







Adanya riwayat infeksi pada genitalia maupun infeksi sistemik yang dapat mempengaruhi fertilitas







Adanya riwayat pembedahan urogenital



Kompetensi: •



Mempunyai kompetensi pelayanan level I







Mempunyai sertifikasi atau pengalaman melakukan prosedur yang diperlukan dalam







bidang endokrinologi reproduksi, ginekologi atau urologi







Mempunyai pengetahuan tentang efektifitas, efek samping dan biaya yang dibutuhkan







dalam melakukan diagnosis dan terapi infertilitas



Kegiatan: •



Melakukan penilaian patensi tuba







Menangani masalah anovulasi, endometriosis, dan tuba tanpa komplikasi







Menangani masalah infertilitas laki-laki tanpa komplikasi







Mempunyai akses terhadap layanan laboratorium 7 hari dalam seminggu







Merujuk pasangan infertil dengan masalah yang kompleks



*pemberi layanan yang kompeten pada level II juga dapat memberikan layanan level I



10.3 Pelayanan infertilitas tingkat tersier Kriteria pasien: •



Pasangan suami istri yang tidak memenuhi kriteria inklusi pelayanan level I dan II







Bila dibutuhkan teknologi reproduksi berbantu (TRB) dalam penanganan pasangan







dengan infertilitas



23



Proceeding Book 24 Kompetensi: •



Memenuhi kriteria kompetensi level I dan II







Mempunyai sertifikasi atau pengalaman melakukan prosedur TRB, endokrinologi reproduksi atau urologi / andrologi







Mampu melakukan konseling pada pasangan infertilitas



Kegiatan: •



Melakukan penanganan pasien anovulasi, endometriosis dan kelainan tuba dengan komplikasi







Melakukan penanganan masalah infertilitas laki-laki dengan komplikasi







Mempunyai akses untuk melakukan pelayanan bedah mikro baik laki-laki maupun perempuan serta TRB



** pemberi layanan yang kompeten pada level III juga dapat memberikan layanan level I dan II



11. ALGORITMA PENANGANAN INFERTILITAS



24



The 4th Bandung Meet the Expert 25 12. DAFTAR REKOMENDASI •



Frekuensi dan keteraturan menstruasi harus ditanyakan kepada seorang perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi (Rekomendasi B)







Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi dengan cara mengukur kadar progesterone serum fase luteal madya (hari ke 21-28) (Rekomendasi B)







Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan yang memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan pada akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai siklus haid berikutnya terjadi (Rekomendasi C)







Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (Rekomendasi B)







Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin (FSH dan LH) (Rekomendasi C)







Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis (Rekomendasi C)







Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika pasien memiliki gejala (Rekomendasi C)







Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan (Rekomendasi B)







Pemeriksaan AMH direkomendasikan untuk melihat cadangan ovarium. (Rekomendasi C)







Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi, karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan (Rekomendasi B)



25



Proceeding Book 26



26







Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID), kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi (Rekomendasi B)







Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif (Rekomendasi A)100







Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat penyakit radang panggul (Rekomendasi B)







Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif (Rekomendasi B)







Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan (Rekomendasi C)







Antibiotika profilaksis dengan doksisiklin 2x100 mg atau azitromisin 1x1000 mg sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum dilakukan (Rekomendasi C)







Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah fertilitas tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya kehamilan (Rekomendasi A)







Jika pemeriksaan analisis sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang untuk konfirmasi sebaiknya dilakukan (Rekomendasi B)







Penapisan antibodi antisperma tidak dianjurkan karena tidak ada bukti pengobatan yang dapat meningkatkan fertilitas (Rekomendasi C)







Analisis sperma ulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya sehingga proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara sempurna. Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berat pemeriksaan untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya (Rekomendasi C)



The 4th Bandung Meet the Expert 27 •



Perempuan seharusnya tidak ditawarkan histeroskopi sebagai bagian dari penyelidikan awal kecuali secara klinis diindikasikan karena efektivitas pada perawatan bedah kelainan uterus pada peningkatan tingkat kehamilan belum ditetapkan (Rekomendasi C)







Perempuan yang dianggap memiliki komorbiditas harus ditawarkan laparoskopi dan kromotubasi sehingga tuba dan patologi pelvis lainnya dapat dinilai pada saat yang bersamaan (Rekomendasi C)







Laparoskopi diagnostik dapat digunakan dengan aman pada pasien perempuan dengan infertilitas (Rekomendasi B)







Laparoskopi diagnostik rutin tidak dianjurkan apabila tidak terdapat faktor risiko patologi pelvis yang berhubungan dengan infertilitas, namun pada pasangan yang telah melakukan terapi konservatif selama 3 tahun dan tidak ada kehamilan, laparoskopi diagnostik dapat dipertimbangkan (Rekomendasi C)101







Pada pasien infertilitas akibat gangguan ovulasi WHO kelas 1 dapat disarankan untuk meningkatkan berat badan hingga mencapai IMT normal. (Rekomendasi A)







Pada pasien yang melakukan olahraga berlebih dapat disarankan untuk mengurangi level aktivitas fisiknya. (Rekomendasi A)







Pada pasien infertilitas akibat gangguan ovulasi WHO kelas 1 dapat ditawarkan penggunaan gonadotropin yang dikombinasikan dengan luteinizing hormone untuk menginduksi ovulasi. (Rekomendasi C)







Penanganan pertama pada perempuan SOPK dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 adalah penurunan berat badan dan pada perempuan SOPK dengan IMT ≤25kg/m2 disarankan untuk menjaga berat badan agar tidak berlebih. (Rekomendasi C)







Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6 bulan. (Rekomendasi A)







Letrozol dapat direkomendasikan sebagai tatalaksana farmakologis lini pertama untuk induksi ovulasi pada perempuan dengan anovulasi. (Rekomendasi A)







Klomifen sitrat dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada pasien SOPK dengan gangguan ovulasi. (Rekomendasi A)



27



Proceeding Book 28 •



Klomifen sitrat dapat digunakan sebagai pilihan utama pada pasien obesitas dengan IMT > 30 kg/m2 yang akan menjalani induksi ovulasi. (Rekomendasi A)







Metfomin dapat digunakan secara tunggal pada perempuan SOPK dengan anovulasi infertilitas untuk meningkatkan laju ovulasi, kehamilan dan angka kelahiran hidup, namun pasien harus diinfomasikan bahwa terdapat terapi induksi ovulasi yang lebih efektif (Rekomendasi A)







Jika metformin digunakan sebagai agen induksi ovulasi pada perempuan obesitas, maka dapat diberikan kombinasi dengan klomifen sitrat untuk meningkatkan laju ovulasi, kehamilan dan laju kehamilan hidup. (Rekomendasi B)



28







Pada kasus-kasus resisten klomifen sitrat, kombinasi klomifen dan metformin dapat direkomendasikan untuk meningkatkan laju ovulasi dan angka kehamilan. (Rekomendasi A)







Klomifen sitrat meningkatkan angka kehamilan multipel, sehingga pada pemberiannya perlu dipikirkan monitoring secara berkala. (Rekomendasi B)







Gonadotropin dapat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama dengan pemantauan ovulasi secara ketat melalui pemeriksaan ultrasonografi transvaginal. Pasien yang mendapatkan gonadotropin sebagai terapi lini pertama perlu diinformasikan mengenai biaya pengobatan hingga risiko kehamilan multipel. (Rekomendasi B)







Gonadotropin dapat digunakan sebagai terapi lini kedua pada pasien dengan SOPK yang tidak merespon obat-obatan induksi ovulasi oral. (Rekomendasi A)







Gonadotropin apabila tersedia sebaiknya digunakan sebagai pilihan selain klomifen sitrat + metformin untuk induksi ovulasi, pada pasien dengan SOPK dengan anovulasi infertilitas, resistensi klomifen sitrat dan tidak ada faktor infertilitas lainnya. (Rekomendasi A)







Pemberian kombinasi gonadotropin dan metformin lebih direkomendasikan dibandingkan pemberian gonadotropin tunggal untuk meningkatkan laju ovulasi, kehamilan dan angka kehamilan hidup. (Rekomendasi A)







LOD adalah suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi perempuan



The 4th Bandung Meet the Expert 29 SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat (Rekomendasi A) •



Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pembedahan laparoskopi ovarium dan terapi medikamentosa lainnya untuk induksi ovulasi terhadap laju kelahiran hidup, kehamilan, keguguran, atau sindrom hiperstimulasi ovarium namun terdapat penurunan risiko terjadinya kehamilan multipel. (Rekomendasi A)







Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas 3 karena peluang konsepsi sangat kecil bahkan dengan teknologi reproduksi berbantu. (Rekomendasi C)







Pada pasien dengan gangguan ovulasi WHO kelas 4 dapat ditawarkan terapi dengan obat-obat golongan agonis dopamin seperti kabergolin dan bromokriptin. Perlu dipertimbangkan keamanan penggunaan pada kehamilan dan efesiensi biayanya. (Rekomendasi B)







Kabergolin memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan bromokriptin dalam meningkatkan laju kehamilan. (Rekomendasi A)







Pada gangguan tuba ringan, tatalaksana pembedahan tuba akan lebih efektif dibandingkan jika tidak dilakukan terapi apapun. Pada fasilitas kesehatan yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai, terapi pembedahan tuba dapat dijadikan salah satu pertimbangan terapi infertilitas. (Rekomendasi B)







Pada kasus infertilitas dengan hidrosalping sebelum melakukan FIV dapat ditawarkan tindakan salpingektomi melalui laparoskopi karena dapat meningkatkan peluang kelahiran hidup. (Rekomendasi C)







Tidak disarankan untuk melakukan hidrotubasi meningkatkan angka kehamilan (Rekomendasi A)103







Penekanan fungsi ovarium dengan terapi hormonal seperti danazol, analog GnRH, ataupun pil kontrasepsi oral untuk meningkatkan fertilitas pada kasus endometriosis ringan sampai sedang tidak efektif dan sebaiknya tidak direkomendasikan. (Rekomendasi A)







Penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang. (Rekomendasi A)







Pemberian obat-obatan penekan ovulasi (medroksi-progesteron, gestrinone, pil kombinasi oral, dan agonis GnRH) pada perempuan



karena



tidak



29



Proceeding Book 30 infertilitas yang mengalami endometriosis tidak meningkatkan angka kehamilan yang signifikan. (Rekomendasi A) •



Pemberian suplemen nutrisi ataupun terapi alternatif tidak direkomendasikan karena belum terdapat keuntungan maupun kerugian yang jelas mengenai pemakaiannya. (GPP)







Pada kasus endometriosis derajat I/II (sistem klasifikasi AFS/ASRM), direkomendasikan kepada klinisi untuk melakukan inseminasi intrauterin (IIU) dengan stimulasi ovarium terkendali dibandingkan tatalaksana ekspektatif ataupun IIU saja (tanpa stimulasi ovarium) karena dapat meningkatkan angka kelahiran hidup. (Rekomendasi C)



30







Pada kasus endometriosis derajat I/II (sistem klasifikasi AFS/ASRM), dapat dipertimbangkan oleh klinisi untuk melakukan inseminasi intrauterin (IIU) dengan stimulasi ovarium terkendali setelah enam bulan pasca tatalaksana operatif endometriosis karena angka kelahiran hidup tidak jauh berbeda dibandingkan pada kasus unexplained infertility. (Rekomendasi C)







Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) direkomendasikan pada kasus infertilitas dengan endometriosis terlebih lagi jika ada gangguan faktor tuba atau jika diakibatkan faktor laki-laki dan/atau jika terapi lainnya telah gagal. (GPP) EFI merupakan alat prediktor kehamilan pasca tindakan pembedahan endometriosis yang cukup baik dan dapat digunakan pada populasi yang luas. (Rekomendasi A)







Pada kasus endometriosis derajat I/II (sistem klasifikasi AFS/ASRM), untuk meningkatkan laju kehamilan, tindakan eksisi atau ablasi lesi endometriosis serta adesiolisis lebih direkomendasikan dibandingkan dengan tindakan laparoskopi diagnostik saja. (Rekomendasi A)







Pada kasus infertilitas dengan endometrioma, direkomendasikan kepada klinisi untuk mendiskusikan pada pasien mengenai risiko pembedahan terhadap kemungkinan hilangnya fungsi ovarium. (GPP) Tindakan laparoskopi dapat mencederai jaringan ovarium dan menyebabkan penurunan cadangan ovarium. (Rekomendasi A)104







Tatalaksana pembedahan pada endometriosis sebaiknya mempertimbangkan indikasi pembedahan, evaluasi pre-operasi (meliputi target pembedahan dan waktu intraoperatif yang tepat), teknik pembedahan serta pengalaman ahli bedah. (Rekomendasi A)



The 4th Bandung Meet the Expert 31 •



Pada kasus endometriosis derajat III/IV (sistem klasifikasi AFS/ASRM) dapat dipertimbangkan tindakan laparoskopi untuk meningkatkan laju kehamilan spontan. (Rekomendasi B)







Tindakan pembedahan pada mioma submukosa memiliki luaran yang lebih baik terhadap angka kehamilan dibandingkan pada kasus mioma intramural. (Rekomendasi C)







Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada metode pembedahan miomektomi (per abdominal maupun per laparoskopi) terhadap laju kehamilan maupun angka keguguran. (Rekomendasi C)







Tindakan pembedahan pada mioma intramural memiliki luaran yang lebih buruk terhadap angka kehamilan dibandingkan pada kasus mioma submukosum. (Rekomendasi C)







Dibutuhkan penelitian uji acak terkendali lebih banyak untuk mengevaluasi keuntungan tindakan pembedahan pada leiomioma dalam meningkatkan angka kelahiran hidup. (Rekomandasi C)







Belum cukup bukti yang menunjukkan manfaat dari pembedahan adenomiosis terhadap fertilitas pasien (Rekomendasi A)







IIU dengan stimulasi ovarium merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif pada infertilitas idiopatik. (Rekomendasi A)







Dokter sebaiknya memberikan konseling yang sesuai mengenai sifat empiris dari pilihan pengobatan pada infertilitas idiopatik, saat ini termasuk FIV sampai terdapat data lebih lanjut. (Rekomendasi A)







Luteal phase support pada IIU dengan stimulasi ovarium menggunakan gonadotropin dapat meningkatkan laju kehamilan dan angka kelahiran hidup secara signifikan. (Rekomendasi A)







Pemilihan protokol stimulasi ovarium terkendali dan menentukan dosis gonadotropin dapat dipertimbangkan berdasarkan hasil penilaian cadangan ovarium dan faktor predisposisi. (Rekomendasi A)







Anti-Mullerian hormone (AMH) mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tertinggi dalam memprediksi cadangan ovarium. (Rekomendasi A)







Pemeriksaan tunggal ultrasonografi transvaginal dapat dijadikan alternatif dalam pemantauan stimulasi ovarium terkendali pada FIV. (Rekomendasi A)







Luteal Phase Support direkomendasikan untuk meningkatkan implantasi



31



Proceeding Book 32 dan laju kehamilan dengan menggunakan supplementasi progesterone (Rekomendasi A)5 •



Dydrogesterone 30 mg perhari dapat diberikan sebagai obat support fase luteal pada siklus FIV (Rekomendasi A)







Vaginal progesterone dapat diberikan sebagai obat support fase luteal pada siklus FIV (Rekomendasi A)



References : 1. Konsensus Penanganan Infertilitas – Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI), Perhimpunan Fertlisasi in Vitro (PERFITRI), Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi (POGI), edisi 2019.



32



The 4th Bandung Meet the Expert 33



ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PEMBEDAHAN GINEKOLOGI Ali Budi Harsono Divisi Ginekologi Onkologi Departemen/KSM Obstetri Ginekologi FK Unpad/RSUP dr. Hasan Sadikin



I. PENDAHULUAN Penggunaan antibotik saat ini menjadi masalah besar di dunia termasuk juga di Indonesia. Data penelitian pada Rumah sakit Umum Daerah Dr Soetomo dan Rumah Sakit Umum Dr Kariadi tahun 2008 menunjukkan bahwa 84 % pasien di rumah sakit mendapatkan resep antibiotik, 53 % sebagai terapi, 15 % sebagai propfilaksis dan 32 % untuk indikasi yang tidak diketahui dengan jelas. Selain itu juga ditemukan beberapa bakteri patogen yang telah resisten terhadap antibiotik yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien selama dirawat di Rumah Sakit. Data yang di himpun dari surveilans KPRA pada tahun 2013, 2015, hingga 2019 terjadi kenaikan angka bakteri resisten antibiotik, dari 40 persen menjadi 60 persen dan terakhir 60,4 persen. Dari dari data studi tahun 2014, tahun 2050 diperkirakan lebih dari 4,7 juta orang di Asia Pasifik meninggal setiap tahunnya karena infeksi bakteri yang seharusnya bisa disembuhkan oleh antibiotik, angka tersebut cukup fantastis yang merupakan angka tertinggi dari proyeksi global. Penggunaan antibiotik dalam pembedahan merupakan suatu keharusan untuk mencegah terjadinya infeksi pasca operasi terutama terkait infeksi pada luka operasi, akan tetapi bagaimana penggunaan antibiotik tersebut kita gunakan secara bijak. Banyak panduan penggunaan antibiotik profilaksis yang diberikan pada pembedahan termasuk di bidang Obstetri dan Ginekologi saat ini, akan tetapi masih menjadi semacam keraguan di kalangan para dokter dan pemangku kebijakan bidang kesehatan tentang jenis antibiotik yang digunakan, dosis, kapan diberikan, bagaimana dengan faktor risikonya, penggunaan antibiotik ulangan, juga risiko infeksi daerah operasi (IDO) serta penatalaksanaan pasca operasinya.



33



Proceeding Book 34 II. KLASIFIKASI OPERASI Menurut Tietjen, Bossemeyer dan Noel (2011), Klasifikasi luka operasi terdiri dari empat kategori sebagai berikut : 1. Kelas I – Bersih •



Operasi yang dilakukan pada daerah tanpa radang







Operasi yang dilakukan tanpa membuka saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih atau saluran bilier







Operasi elektif ( terencana) dengan penutupan kulit primer dengan atau tanpa drain tertutup







Contoh : Craniotomy, Herniotomy, Myomectomy, Salpingo-oophorectomy



2. Kelas II - Bersih Terkontaminasi •



Operasi dilakukan dengan membuka saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran kemih, saluran bilier atau saluran reproduksi (kecuali ovarium)







Operasi tanpa pencemaran nyata







Operasi pada luka kecelakaan yang bersih dan belum melampaui waktu “Golden Period”







Contoh : Gastrectomy, reseksi usus,histerektomi, seksio sesarea, tuboplasty.



3. Kelas III – Terkontaminasi •



Operasi yang dilakukan dengan membuka saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih, saluran bilier atau saluran reproduksi ( kecuali ovarium ) dengan pencemaran nyata







Contoh : Apendektomi perforasi, Operasi fistula rektovagina, Operasi fistula vesikovagina



4. Kelas IV – Kotor



34







Operasi dengan adanya perforasi membuka saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih,atau saluran bilier yang terinfeksi.







Operasi melalui daerah purulen/inflamasi bakteri







Operasi pada luka terbuka yang telah melampaui “ Golden Period”



The 4th Bandung Meet the Expert 35 III. INFEKSI DAERAH OPERASI (IDO) Infeksi daerah operasi adalah infeksi pada tempat operasi yang merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pasca operasi dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas dan biaya perawatan penderita di Rumah sakit. Angka kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) pada suatu institusi kesehatan menggambarkan kualitas pelayanan pelayanan kesehatan ditempat tersebut. Kejadian IDO secara global bervariasi antara 0,9 % angka IDO di Amerika, 2,6 % di Italia, 2,8 % di Australia dan 6,1 % di negara-negara dengan pendapatan menengah hingga rendah. Di Indonesia di laporkan oleh Pusponegoro-Mozart (1996) angka IDO sebesar 12 % untuk operasi akut abdomen bersih dan bersih terkontaminasi. Infeksi Daerah Operasi (IDO) dibagi dalam 3 kategori : •



IDO Superfisial meliputi kulit dan jaringan subkutan







IDO Deep (dalam) meliputi fascia, otot , serta organ space yang meliputi organ dan rongga tubuh.



Faktor Risiko IDO : Faktor risiko Pra-Operasi : 1. Tidak dapat dimodifikasi •



Pertambahan usia sampai 65 tahun







Radioterapi yang baru dijalani dan riwayat infeksi pada kulit atau jaringan lunak



2. Dapat dimodifikasi •



Diabetes yang tidak terkontrol







Status gizi : Obesitas, malnutrisi







Kebiasaan merokok







Immunosupresi







Kadar albumin pra operasi < 3,5 mg/dl







Bilirubin total > 1,0 mg/d







Menjalani rawat inap pra operasi > 2 hari



35



Proceeding Book 36 Faktor risiko Peri-operasi 1. Terkait Prosedur •



Pembedaan darurat atau kompleks







Klasifikasi luka jenis tinggi







Pembedahan terbuka



2. Faktor risiko fasilitas •



Ventilasi yang tidak memadai







Peningkatan lalu lintas ruang operasi







Sterilisasi instrument/peralatan yang tidak tepat



3. Terkait persiapan pasien •



Infeksi yang sudah ada







Persiapan antiseptik kulit yang tidak memadai







Pencukuran rambut pra-operasi







Pemilihan, pemberian, dan atau durasi antibiotik yang tidak tepat



4. Faktor risiko Intra operasi •



Durasi operasi yang lama







Transfusi darah







Asepsis dan teknik pembedahan







Antisepsis tangan (lengan bawah) dan teknik pemakaian sarung tangan







Hipoksia







Hipotermia







Pengendalian kadar gula darah yang buruk



Faktor Risiko Pasca Operasi 1. Hiperglikemia dan diabetes 2. Perawatan Luka operasi 3. Transfusi



36



The 4th Bandung Meet the Expert 37 Bakteri Penyebab IDO Bakteri yang sering menyebabkan IDO adalah sebagai berikut : •



Staphylococus aureus







Staphylococus epidermidis







Anaerobic cocci







Aerobic streptocci







Lain-lain (cutibacterium acnes)



IV. ANTIBIOTIK PROPHYLAKSIS PREOPERATIF Antibiotik Profilaksis merupakan upaya pemberian terapi antibiotik yang digunakan bagi pasien yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkan infeksi akibat suatu tindakan atau prosedur pembedahan. Antibiotik Profilaksis pada pembedahan adalah antibiotik yang diberikan pada pasien penderita yang akan menjalani pembedahan sebelum adanya infeksi, tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan yaitu Infeksi daerah operasi (IDO). Antibiotik yang digunakan untuk tujuan ini adalah antibiotik yang dapat membunuh jenis organisme yang mempunyai kemungkinan besar dapat menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh organisme patogen. Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan sebelum operasi atau segera pada kasus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda– tanda infeksi. Diharapkan pada saat operasi jaringan, target sudah mengandung kadar antibiiotik tertentu yang efektif untuk menghambat pertumbuhan kuman atau membunuh kuman.



Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakan prosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik sebaiknya dapat menutupi organisme yang paling mungkin akan mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat dilakukan insisi awal. Profilaksis yang tidak tepat dapat disebabkan oleh pemakaian spektrum luas (broad spectrum) dan sebagai terapi lanjutan tanpa rekomendasi periode waktu. Cara ini dapat meningkatkan risiko efek samping dan akan menyebabkan organisme menjadi resisten.



37



Proceeding Book 38 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pembedahan Ginekologi Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung.



Dasar Pemilihan Jenis Antibiotik untuk Tujuan Profilaksis Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis adalah sebagai berikut : 1. Sesuai dengan peta mikroba patogen terbanyak pada kasus yang bersangkutan 2. Antibiotik yang dipilih memiliki spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi kuman 3. Memiliki toksisitas rendah 4. Memiliki potensi sebagai bakterisida 5. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi 6. Harga terjangkau



Pedoman Pemberian Antibiotika Profilaksis Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip. Waktu pemberian antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Pedoman pemberian antibiotik profilaksis pada pembedahan adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2011) :



38



The 4th Bandung Meet the Expert 39 1. Mempunyai risiko untuk infeksi apabila tidak mempunyai agen profilaktik. 2. Harus ada pengetahuan mengenai kemungkinan flora yang berhubungan dengan luka operasi. 3. Antibiotik profilaksis harus dapat memotong aktifitas patogen terhadap luka yang terkontaminasi atau pada lapangan operasi. 4. Bila menggunakan lebih dari satu antibiotik, maka antibiotik terpilih harus berdasarkan mikroorganisme terbanyak. 5. Antibiotik profilaksis diberikan dalam dosis yang menunjukkan konsentrasi efektif sebelum kontaminasi bakteri intraoperatif. Pemberian yang dianjurkan adalah 30-45 menit sebelum insisi kulit (biasanya bersamaan dengan induksi anestesia). 6. Berikan sesuai dengan dosis efektif. Untuk sefalosporin pada pasien dengan BB >70 kg, dosis sebaiknya dua kali lipat (contoh, 70 kg: cefazolin 1 g IV, >70kg: cefazolin 2 g IV). 7. Pelaksanaan pembedahan sampai tiga jam atau kurang, cukup diberikan dosis tunggal. Apabila pembedahan lebih dari tiga jam, maka memerlukan dosis efektif tambahan. 8. Vancomycin dapat diberikan untuk pasien dengan alergi penisilin/ sefalosporin. Dilihat dari waktu saat pemberian antibiotik profilaksis pada umumnya 3060 menit sebelum operasi, secara praktis umumnya diberikan pada saat induksi anestesi. Lama pengunaan antibiotik yang digunakan untuk keperluan profilkasis pada umumnya memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 1-2 jam. Oleh karena itu pemakaian antibiotik harus diulang apabila operasi telah berlangsung 1 jam atau lebih. Namun, beberapa antibiotik seperti sefuroksim yang memiliki waktu paruh 1 - 2 jam, dapat bertahan sampai 2 - 4 jam, sehingga dengan pemberian tunggal tampaknya konsentrasi antibiotik dalam jaringan masih tetap terpelihara. Pemberian antibiotik pasca operasi untuk kepentingan profilaksis tidak memberikan arti yang bermakna. Dosis tambahan pasca operasi akan menimbulkan banyak kerugian seperti resiko efek samping yang meningkat, merangsang timbulnya kuman resisten dan beban biaya tambahan untuk pasien.



39



Proceeding Book 40 V. TINJAUAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA KASUS PEMBEDAHAN GINEKOLOGI DI RSHS Prosedur Antibiotik Profilaksis yang dilakukan di RSHS Adalah Penggunaan antibiotik sebelum, selama dan paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak memperhatikan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi. Antibiotik profilaksis hanya dipergunakan untuk kelas operasi bersih (clean) dan bersih terkontaminasi (clean contaminated). Jenis antibiotik profilaksis yang dipergunakan adalah golongan sefalosforin generasi I-II, atau sesuai dengan pertimbangan Tim PPRA. Pada kasus yang melibatkan bakteri anaerob dapat ditambah metronidazole. Antibiotik yang dipergunakan sebagai profilaksis, tidak digunakan untuk antibiotik terapi.



Gambar 1. Alur Penggunaan Antibiotik Profilaksis di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung



40



The 4th Bandung Meet the Expert 41 Sebagai contoh data yang diperoleh dalam 3 bulan terakhir pada pasien yang menjalani operasi Ginekologi dan Operasi Onkologi Ginekologi di RSHS pada oktober 2019 sebanyak 93 pasien, November 2019 sebanyak 89 pasien, dan Desember 2019 sebanyak 91 pasien dengan total 273 pasien. Jumlah Penggunaan Antibiotik Profilaksis Ginekologi Onkologi pada oktober 2019 sebanyak 93 pasien, November 89 pasien, dan Desember 91 pasien dengan Total: 273, maka pencapaiannya 100%. Didapatkan Jumlah Infeksi daerah operasi pada bulan Oktober sebanyak 3 pasien (3,2%) November 3 pasien(3,3%),dan Desember: 3 (3,2%).



VI. KESIMPULAN Antibiotik profilaksis digunakan untuk mengurangi kejadian infeksi luka pasca operasi. Pasien yang menjalani prosedur ini terkait dengan kemungkinan tingkat infeksi yang tinggi, contohnya pada operasi kasus obstetri dan ginekologi. Sefalosporin (seperti cefazolin) adalah agen lini pertama yang tepat untuk sebagian besar prosedur bedah, menargetkan organisme yang paling mungkin dan menghindari terapi antimikroba spektrum luas yang dapat menyebabkan resistensi antibiotik.



Pustaka Acuan 1. Pellegrini JE, Toledo P, Soper DE, Bradford WC, Cruz DA, Levy BS, et al. Consensus Bundle on Prevention of Surgical Site Infections After Major Gynecologic Surgery. Obstet Gynecol. 2017;129(1). 2. Ayeleke RO, Mourad SM, Marjoribanks J, Calis KA, Jordan V. Antibiotic prophylaxis for elective hysterectomy. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2017(6). 3. Brummer THI, Heikkinen AM, Jalkanen J, Fraser J, Mäkinen J, Tomás E, et al. Antibiotic prophylaxis for hysterectomy, a prospective cohort study: cefuroxime, metronidazole, or both? BJOG: An International Journal of Obstetrics & Gynaecology. 2013;120(10):1269-76. 4. Department of Surgical Education, Orlando Regional Medical Center. Antibiotic prophylaxis in surgery. 2006. 1-4



41



Proceeding Book 42 5. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, et al. Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:195–283. 6. Eyk NV, Schalkwyk JV. Antibiotic Prophylaxis in Gynaecologic Procedures. J Obstet Gynaecol Can 2012;34(4):382–391 7. Terry Green SG. Current International Evidence and Recommendations for Antibiotic Prophylaxis in Gynecological Procedures. Jordan: Ministry of Health, Royal Medical Services, and Jordan Food and Drug Administration in collaboration with SPS and SIAPS, 2012. 8. Soule BM. Evidence-Based Principles and Practices for Preventing Surgical Site Infections. US: Joint Commission International; 2018. 9. Kremer K, Hyde K, Joyce JS, Drobnis E, Foster R, Brennaman L. 17: Inappropriate use of prophylactic antibiotics in gynecologic surgery at an academic tertiary medical center. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2016;214:S475-S6. 10. Kittur ND MK, Russo AJ, Ruhl L, Kay HH, Warren DK. Prophylactic antibiotics in obstetrics and gynaecology. Australian and New Zealand Journal of Obstetrics and Gynaecology. 2012:412-9. 11. Jansson M, Cao Y, Nilsson K, Larsson P-G, Hagberg L. Cost-effectiveness of antibiotic prophylaxis in elective cesarean section. Cost Effectiveness and Resource Allocation. 2018:16. 12. WHO Department of Service Delivery and Safety (SDS). Antibiotics of choice for surgical antibiotic prophylaxis. Available from; https://www.who.int/selection_medicines/committees/expert/22/applications/s6.2_surgical-antibiotic-prophylaxis.pdf.Surgical Antimicrobial Prophylaxis Clinical Guideline. 2017:1-28



42



The 4th Bandung Meet the Expert 43



ENHANCE RECOVERY AFTER SURGERY Dodi Suardi Divisi Onkologi Ginekologi-Departemen Obstetri Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin/FK UNPAD



Abstrak Enhance Recovery After Surgery (ERAS) merupakan penatalaksanaan perioperasi yang berbasis multimodal untuk mendapatkan pemulihan segera kondisi pasien setelah dilakukan operasi dengan cara menjaga fungsi organ preoperasi dan menurunkan respon stress selama operasi. Kunci utama pada protokol ERAS meliputi konseling preoperasi, optimalisasi nutrisi, penggunaan obat anestesi dan analgesi sesuai standard, serta mobilisasi dini. Secara umum ERAS bertujuan untuk mengoptimalkan persiapan operasi, mencegah/ menghindari cedera iatrogenik intraoperative, meminimalkan respon stress setelah pembedahan, mengurangi atau mengatasi perubahan metabolik yang terjadi, mempercepat penyembuhan dan kembalinya fungsi normal, mendeteksi sedini mungkin adanya proses penyembuhan yang tidak normal dan melakukan intervensi sedini mungkin jika diperlukan.



I. PENDAHULUAN Waktu rawat inap yang berkepanjangan serta peningkatan morbiditas pasca operasi pada pembedahan besar selalu menjadi hal yang menarik untuk di bahas bagi dokter – dokter yang terlibat dalam penanganan pasien. Terlepas dari setiap kemajuan dalam manajemen pasien, memberikan pelayanan yang baik dengan hasil yang baik pada operasi besar tetap hal yang sangat sulit untuk di capai. 1



43



Proceeding Book 44



Gambar 1 Efek Pembedahan Mayor terhadap perbaikan kondisi Dikutip dari : Moningi S, Patki A, Padhy N, Ramachandran G. Enhanced recovery after surgery: An anesthesiologist’s perspective. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2019;35(Suppl 1):S5-S13.2



II. TINJAUAN PUSTAKA Enhance Recovery After Surgery (ERAS) merupakan penatalaksanaan perioperasi yang berbasis multimodal untuk mendapatkan pemulihan segera kondisi pasien setelah dilakukan operasi dengan cara menjaga fungsi organ preoperasi dan menurunkan respon stress selama operasi. 3 Kunci utama pada protokol ERAS meliputi konseling preoperasi, optimalisasi nutrisi, penggunaan obat anestesi dan analgesi sesuai standard, serta mobilisasi dini. 6 Pertama kali diinisiasi oleh Prof Henrik Kehlet pada tahun 1990an,4, 5 ERAS atau saat itu disebut Enchance Recovery Program atau Fast Track program telah menjadi fokus yang penting dalam manajemen selama operasi. ERAS ini memiliki misi untuk mengembangkan pelayanan pre operasi dan meningkatan proses penyembuhan pasca operasi melalui, penelitian, edukasi, audit dan implementasi praktek berdasarkan evidence-based. Program ini memodifikasi respon fisiologi



44



The 4th Bandung Meet the Expert 45 dan psikologi pada operasi mayor, dan program ini dapat menunjukan penurunan angka komplikasi, lama rawat inap, peningkatan respon kardiopulmonari, respon yang lebih cepat dalam kembalinya fungsi saluran cerna dan berfungsinya aktivitas pasien lebih cepat.7 Pada awalnya protokol ERAS ini digunakan untuk kasus pembedahan kolorektal karena keterlambatan proses penyembuhan dan lamanya rawat inap karena berbagai macam alasan. 8 Salah satu yang menjadi keterlambatan dalam proses penyembuhan adalah kembalinya fungsi dari saluran pencernaan. 8 Pada sekitaran tahun-tahun itu banyak penelitian yang juga membahas ERAS dalam berbagai macam bidang seperti kolorektal,9 vaskular,9 thoraks,10 urologi,11 spinal,12 bedah syaraf,13 orthopedik,14 liver,15 pankreas,16 dan pembedahan jatung.13



A. Definisi ERAS ERAS ialah pendekatan yang berbasis multimodal dan melibatkan banyak profesi dalam pemberian penatalaksanaan pada pasien – pasien bedah. ERAS berkaitan dengan banyak profesi terkait yaitu, dokter bedah, dokter anestesi, Koordinator ERAS yang merupakan (perawat anestesi atau dokter umum), dan seluruh staff yang berkaitan dalam memberikan pelayanan pada pasien bedah.3



B. Tujuan ERAS Secara umum ERAS bertujuan untuk mengoptimalkan persiapan operasi, mencegah/ menghindari cedera iatrogenik intraoperative, meminimalkan respon stress setelah pembedahan, mengurangi atau mengatasi perubahan metabolik yang terjadi, mempercepat penyembuhan dan kembalinya fungsi normal, mendeteksi sedini mungkin adanya proses penyembuhan yang tidak normal dan melakukan intervensi sedini mungkin jika diperlukan. 3



45



Proceeding Book 46 C. Alur ERAS Tabel 1. Alur ERAS Dikutip dari Ljundqvist O, Scott M, Fearon KC. 2017. Enhanced Recovery After Surgery: A Review. No



Elemen



Efek Positif



Preadmisi 1



Menghentikan rokok dan konsumsi alcohol



2



Skrining preoperative, jika diperlukan Mengurangi komplikasi dilakukan asesmen dan support nutrisi



3



Mengoptimalkan medikasi penyakit kronis Mengurangi komplikasi yang diderita pasien



Mengurangi komplikasi



Preoperatif 1.



Konseling dan edukasi preoperatif pada Mengurangi kecemasan pasien dan keluarga pasien melibatkan keluarga untuk meningkatkan kepatuhan terhadap protokol Perawatan



2.



Terapi karbohidrat preoperative



Mengurasi resistensi insulin, improve well-being, percepatan pemulihan



3.



Profilaksis antitrombosis preoperatif



Mengurangi tromboemboli



4.



Profilaksis antibiotik preoperative



Mengurangi angka infeksi



5.



Profilaksis mual muntah perioperatif



Mengurangi keluhan mual muntah postoperatif Intraoperatif



komplikasi



Intraoperatif



46



1.



Tehnik pembedahan yang invasive



Mengurangi komplikasi, pemulihan yang cepat, mengurangi nyeri.



2.



Anestesi yang tersetandar, menghindari penggunaan opioid yang long acting



Menghindari atau mengurangi risiko ileus postoperatif.



The 4th Bandung Meet the Expert 47 3.



Menjaga keseimbangan cairan untuk menghindari terjadinya over/ underhydration, mengadministrasikan vasopressor untuk mensupport tekanan darah



Mengurangi komplikasi, mengurangi ileus postoperative



4.



Anestesi epidural untuk pembedahan terbuka



Mengurangi respon stress, insulin resisten, dan manajemen dasar postoperatif



5.



Merestriksi penggunaan drain



Mensupport mobilisasi, mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan, tidak ada manfaat yang terbukti



6.



Melepas NGT sebelum pasien dibangunkan



Mengurangi risiko pneumonia, mensupport intake oral padat



7.



Mengontrol suhu tubuh menggunakan selimut aliran-udara-hangat dan cairan intravena yang dihangatkan



Mengurangi komplikasi



Postoperatif 1.



Mobilisasi dini (hari operasi)



Mensupport pemulihan pergerakan normal



2.



Intake cair dan padat secara oral sedini mungkin (ditawarkan di hari operasi)



Mensupport suplai energi dan protein, mengurangi resistensi insulin yang disebabkan kelaparan.



3.



Pelepasan kateter urin sedini mungkin dan Mensupport ambulasi dan cairan intravena (pagi setelah operasi) mobilisasi



4.



Menggunakan permen karet dan agen laksatif dan agent penghambat opioid (jika menggunakan opioid)



5.



Intake suplemen nutrisi kaya protein dan Meningkatkan energi dan energi intake protein sebagai tambahan makanan normal



6.



Pendekatan multimodal untuk kontrol nyeri hemat opioid



Kontrol nyeri, mengurangi resistensi insulin, support mobilisasi



7.



Pendekatan multimodal untuk mengontrol mual muntah



Meminimalkan mual muntah postoperatif dan support energi dan intake protein



Mensupport fungsi usus



pemulihan



47



Proceeding Book 48 8.



Melakukan perencanaan pemulangan pasien



9.



Mengaudit proses luaran tim Memonitor dan evaluasi multiprofesional dan multidisiplin secara pelayanan (kunci perbaikan teratur luaran)



Menghindari penundaan pemulangan karena sebab yang tidak perlu



1. Menghentikan rokok dan konsumsi alkohol Perokok dan penyalahguna alkohol adalah gaya hidup yang paling berisiko dalam mempengaruhi hasil pasca operasi.17 Pada penyalaguna alkohol dan perokok akan mengalami peningkatan dua sampai tiga kali lipat dalam meningkatkan morbiditas pasca operasi. 18 Insiden pada perokok adalah sekitar 30% dan penyalahguna alkohol ialah 7-49% pada populasi bedah umum yang menjalani operasi elektif, sedangkan pada operasi emergensi insidensinya ialah 14-38%. Namun insidensi ini bisa saja lebih tinggi mengingat tingginya populasi umum, pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan alkohol dan merokok.17 Merokok dan konsumsi alkohol baiknya dihentikan 1 bulan sebelum dilakukan operasi untuk menigkatkan fungsi organ. 18 Efek jangka panjang alkohol pada organ hati, pankreas, dan sistem syaraf sudah diketahui khalayak pada umumnya. Pada masa sebelum dilakukan tindangan pebedahan akan terjadi perubahan pada fungsi jantung, pembekuan darah, imunitas, dan respon terhadap stress pada saat dilakukan pembedahan yang akan mengakibatkan peningkatan morbiditas. Angka komplikasi pada penyalahguna alkolohol akan meningkat sebanyak 50% ketika minum 3-4 minuman per hari dibandingkan dengan 0-2 perhari, dan perbedaan ini signifikan pada beberapa penelitian.19, 20 Angka komplikasi ini akan meningkat hingga 200-400% ketika minum 5 minuman perhari. Penelitian tentang perubahan patologi pada perokok yang menjalani proses pembedahan di tujukan bahwa pada perokok memiliki perubahan banyak organ yang akan mempengaruhi proses pembedahan.17 Perokok akan mengalami peningkatan karbon monoksida pada darah mereka hingga 15% dibandingkan ikatan oksigen dengan hemoglobin, hal inilah yang akan menurunkan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses seluler.17 Pemberhentian alkohol dan merokok dalam beberapa minggu dapa menyebabkan perbaikan yang berbedabeda. Perbedaan setiap perubahannya akan di tampilkan pada tabel dibawah ini.



48



The 4th Bandung Meet the Expert 49 Tabel 2. Lama pemberhentian alkohol dan merokok serta efeknya Lama Waktu berhenti Alkohol



Lama waktu berhenti merokok



Kekebalan tubuh



2-8 minggu



Kekebalan tubuh



2-6 minggu



Penyembuhan luka



5% se- Penyakit kronis, fraktur >70 lama 3 bulan atau masu- pinggul, kanker, pembedakan makanan 5% se- Pembedahan mayor, infrak lama 2 bulan atau masu- miokard, peneumonia, limkan makanan 5% se- Trauma kepala, transplanlama 1 bulan atau masu- tasi, pasien perawatan inkan makanan 1



10 (4-22)



>2



19 (10-32)



>3



33 (22-47)



>4



51 (36-66)



>5



69 (50-83)



>6



83 (63-93)



>7



91 (73-97)



>8



96 (81-99)



Tabel 3. Karakteristik demografi berdasarkan temuan histopatologi invasi plasenta20 Karakteristik



Invasi plasenta (n=10)



Bukan invasi plasenta



P



(n=11)



Usia



33.6



33.09



0.642



Usia Kehamilan



34.3



31.54



0.000



Riwayat seksio sesarea n(%)



1.000



1



7(70)



7(63.6)



2



3(30)



4(36.4)



≥3



0



0



Riwayat kuretase n(%)



0.926



1



2(20)



3(27.3)



≥2



1(10)



1(9.1)







89



Proceeding Book 90 Tabel 3 memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok yang terbukti invasi plasenta dengan yang bukan invasi plasenta berdasarkan karakteristik usia ataupun usia kehamilan saat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Jumlah seksio sesarea maupun kuretase juga tidak menunjukkan adanya perbedaan pada kelompok invasi plasenta dan bukan invasi plasenta. Hal ini berbeda dari hasil penelitian Twickler, dkk yang menyatakan jumlah seksio sesarea secara signifikan meningkatkan risiko invasi plasenta. Demikian juga menurut Silver, dkk. yang mengemukakan bahwa risiko akreta pada plasenta previa meningkat sebanding dengan jumlah seksio sesarea yakni 11%, 40%, dan >60 % pada pasien dengan bekas seksio sesarea 1 kali, 2 kali, dan ≥ 3 kali8. Sedangkan karekteristik pasien dengan SPA di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada 1 tahun terakhir adalah 70% memiliki riwayat seksio sesarea 1x dan sisanya 30% dengan riwayat seksio sesarea 2x.11 Hasil temuan ultrasonografi disajikan pada tabel 4. Plasenta previa yang berinsersi pada dinding anterior secara signifikan menunjukkan keterkaitannya dengan risiko invasi plasenta. Sepuluh gravida yang terbukti secara histopatologi sebagai SPA 100% merupakan plasenta previa yang melibatkan dinding anterior uterus, dengan nilai p < 0.05. Parameter pemeriksaan ultrasonografi lainnya, yakni lakuna intraplasenta, bridging vessels dan ketebalan miometrium retroplasenta terkecil juga memberikan hasil nilai p < 0.05. Tabel 4. Temuan ultrasonografi antara kelompok invasi plasenta dan bukan invasi plasenta



Parameter Plasenta previa anterior n(%) Lakuna intraplasenta n(%) Grade 0



0(0)



6(54.5)



Grade 1



0(0)



4(36.4)



Grade 2



4(40)



1(9.1)



Grade 3



6(60)



0(0)



7(70) 2.79 [0.0,4.5]



0(0) 4.91[3.5,5.5]



Bridging vessels Ketebalan miometrium plasenta terkecil, mm



90



Invasi plasenta Bukan invasi (n=10) plasenta (n=11) 10(100) 3(27.3)



P 0.001 0.000



0.001 0.000



The 4th Bandung Meet the Expert 91 Hasil analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) antara skor plasenta akreta indeks dan hasil histopatologi dapat dilihat pada gambar 1.



Area Under the Curve Asymptotic 95% Confidence Interval



Area .900



Std.



Asymptotic



Errora



Sig.b



.067



Lower Bound .002



.769



Upper Bound 1.031



Gambar 1. Analisis kurva receiver operating characteristic dan area under the curve skor plasenta akreta indeks



Berdasarkan hasil analisis kurva ROC di atas, ditemukan bahwa area under the curve skor plasenta akreta indeks adalah 0.9 (95% interval kepercayaan 0.7691.031). Pada penelitian ini didapatkan cut-off point total skor plasenta akreta indeks terbaik adalah pada nilai 3.125 sesuai hasil koordinat sensitivitas dan spesifitas yang paling optimal pada kurva ROC.



91



Proceeding Book 92



Gambar 2. Penentuan cut-off point skor plasenta akreta indeks



Hasil pemeriksaan skor plasenta akreta indeks berdasarkan cut-off point pada nilai 3.125 dibandingkan dengan baku emas hasil histopatologi dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Hasil pemeriksaan skor plasenta akreta indeks dibandingkan hasil histopatologi Invasi Plasenta



Histopatologi



Total



Bukan Invasi Plasenta Skor plasenta ≥ 3.125 akreta indeks



7



2



9



< 3.125



3



9



12



10



11



21



Total



Berdasarkan data-data pada tabel 5, didapatkan hasil uji diagnostik skor plasenta akreta indeks yaitu sensitivitas 70%, spesifitas 81.8%, nilai duga positif 77.8%, nilai duga negatif 75%, dan akurasi 0.762 (baik).



92



The 4th Bandung Meet the Expert 93 Tatalaksana Trimester 1 Kehamilan Skar Operasi Identifikasi kasus yang berisiko menjadi CSP sangat penting untuk mencegah risiko Morbiditas dan mortalitas maternal. Pada umumnya CSP datang dengan kondisi kegawatdaruratan menyerupai kehamilan ektopik terganggu atau rupture uteri yang membutuhkan tindakan emergensi. Beberapa pilihan tatalaksana CSP adalah sebagai berikut: 1. Eksisi surgical jaringan trofoblas (laparotomy atau laparoskopi) 2. Pemberian MTX local atau sistemik. 3. Kombinasi: selective uterine artery embolization dikombinasi dengan kuretase dan atau pemberian MTX; Kombinsi Baloon Bakri dengan MTX Para klinisi disarankan memilih metode yang paling sesuai dengan kompetensi dan sarana yang dimiliki. Timor Trich pada tahun 2012 melaporkan 1 kasus diterapi kombinasi MTZ intramuskuler dan intragestasional dengan hasil baik.12 Saat follow up CSP 6-8 minggu dilakukan pemasang kateter double balloon intrauterine menghasilkan luaran yang baik.. Metode ini mempunyai keuntungan utama yaitu menghentikan pulsasi jantung embryo, mencegah kompikasi perdarahan dan tidak membutuhkan terapi tambahan, dapat dilakukan dengan alat yang sederhana di poliklinik. Dr. Aditiawarman di RS Dr. Sutomo melaporkan 1 kasus G2P1A0 bekas sc, CSP 7 minggu.13 Pada pemeriksaan USG didapatkan GS di dekat Skar SC dengan adanya Niche. Sebagian GS sudah bulging dikelilingi daerah yang hipervaskuler pada pemeriksaan Doppler. Diputuskan untuk melakukan laparatomi dan melakukan incise CSP dan jaringan patologisnya. Perdarahan minimal. Hasil PA menunjukkan gambaran jaringan trofoblas yang telah menembuh myometrium.



Trimester 2 dan 3 Pertimbangan Umum (plasenta accreta minded) Sangat penting bahwa dokter kandungan memahami faktor risiko dan modalitas diagnostik untuk plasenta akreta. Jika pada saat anamnesa terdapat



93



Proceeding Book 94 faktor2 risiko SPA, ditambah dengan ada kecurigaan kelainan implantasi plasenta yang abnormal berdasarkan pemeriksaan USG, harus ditindak lanjuti dengan konfirmasi diagnostic ke fasilitas yang mampu untuk mendiagnosis . Selanjutnya harus dipersiapkan tempat persalinan dan saat terminasi kehamilan yang tepat. Penyedia layanan kesehatan di rumah sakit kecil atau lembaga dengan pasokan bank darah yang tidak mencukupi atau ketersediaan yang tidak memadai dari keahlian dan dukungan personil harus mempertimbangkan pemindahan pasien ke pusat perawatan perinatal tersier. Hasil yang lebih baik telah ditunjukkan ketika pasien melahirkan di pusat-pusat tersier khusus. Perencanaan persalinan melibatkan dokter anestesi, dokter kandungan, dokter ginekologi onkologi, intensivist, kedokteran fetomaternal, ahli neonatologi, ahli urologi, ahli hematologi, dan ahli radiologi intervensi untuk mengoptimalkan hasil luaran pada pasien. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, penting bahwa persalinan dilakukan oleh tim obstetri berpengalaman yang mencakup seorang ahli bedah obstetri, dengan spesialis bedah lainnya, seperti urolog, ahli bedah umum, dan ahli onkologi ginekologi, jika tersedia. Karena terdapat risiko kehilangan darah cukup tinggi, nilai hemoglobin ibu sebelum operasi harus diperhatikan sebelum operasi jika mungkin. Banyak pasien dengan plasenta akreta membutuhkan kelahiran prematur darurat karena perdarahan masif secara tiba-tiba. Perangkat penyelamatan darah autolog telah terbukti aman, dan penggunaan perangkat ini mungkin menjadi tambahan yang berharga selama operasi.



Perencanaan Kelahiran Waktu persalinan dalam kasus dugaan plasenta akreta harus diberikan perhatian khusus. Meskipun tujuannya adalah persalinan elektif, rencana tambahan untuk persalinan darurat harus dipersiapkan untuk setiap pasien, yang mungkin mencakup protokol untuk pengelolaan perdarahan ibu. Waktu persalinan harus diperhatikan, tergantung pada keadaan dan preferensi setiap pasien. Pertimbangan menentukan saat persalinan adalah: 1. Persalinan dilakukan saat bayi sudah viable untuk meningkatkan angka harapan hidup bayi, dan menghidari perawatan NICU. 2. Menghindari perdarahan massif pada ibu.



94



The 4th Bandung Meet the Expert 95 3. Menghindari risiko kematian janin karena perdarahan antepartum banyak dengan risiko operasi emergensi yang kurang lengkap sarana dan prasarana maupun SDM nya. Salah satu pilihan adalah dengan melakukan persalinan setelah diberikan pematangan paru janin yang telah dibuktikan dengan amniosentesis. Risiko perdarahan antepartum akibat lokasi plasenta di segmen bawah Rahim akan meningkat dengan penambahan usia kehamilan. Perdarahan yang terjadi akan menyebabkan perlunya operasi sesar emergensi. Perkiraan perdarahan antepartum pada usia kehamilan 35 mg sebesar 4,7%, meningkat menjadi 15% pada usia kehamilan 36 minggu, hingga mencapai 30% pada usia kehamilan 37 minggu dan 59% pada usia kehamilan 38 minggu. Berdasarkan pertimbangan2 tersebut, saat terminasi kehamilan untuk kasus SPA sebaiknya diantara 34-36 minggu untuk kepentingan ibu dan bayi. Akhir2 ini sudah dilaporkan bahwa bila pasien stabil dengan persalinan pada 34 minggu hasilnya optimal baik pada ibu maupun bayinya walaupun tanpa pemeriksaan amniosentesis (23). Persalinan harus dilakukan di ruang operasi dengan personil dan dukungan yang memadai untuk mengelola potensi komplikasi. Penilaian oleh ahli anestesi harus dilakukan sedini mungkin sebelum operasi. Baik anestesi umum dan regional telah terbukti aman di situasi seperti ini; pengambilan keputusan jenis teknik yang akan digunakan harus dibuat secara sesuai karakteristik individu.



Pendekatan Bedah Kontroversi terapi konservatif dan histerektomi Secara umum, manajemen yang direkomendasikan pada suspek plasenta akreta adalah prematur sesarean histerektomi elektif dengan plasenta ditinggalkan in situ karena pelepasan plasenta dikaitkan dengan morbiditas pendarahan yang signifikan. Namun, pendekatan ini mungkin tidak dipertimbangkan sebagai lini pertama untuk wanita yang memiliki keinginan yang kuat untuk kesuburan di masa depan. Oleh karena itu, manajemen bedah pada plasenta akreta harus betul2 ditentukan erdasarkan hasil pemeriksaan USG, usia ibu, paritas, komplikasi yang mungkin terjadi dan apakah ibu masih membutuhkan fungsi reproduksi atau tidak. Berdasarkan Mapping USG harus ditentukan:



95



Proceeding Book 96 1. Seberapa luas invasi plasenta 2. Sejauh mana hubungan plasenta dengan vaskuler serviks dan jaringan adneksa Berdasarkan luasnya perlengketan plasenta ke dinding Rahim, SAP dibagi menjadi fokal, diffuse. Disebut fokal bila bagian plasenta yang invasif tidak melebihi ½ dinding uterus. Disebutt difus bila plasenta yang invasive > ½ luas dinding uterus. Berdasarkan transmisi plasenta dan vaskuler ke servik, dibagi 2 kelompok yaitu S1 dan S2 S1 bila mencapai bagian atas garis sejajar ostium uteri interna dan disebut S2 bila mencapai di bawah garis parallel OUI. Tindakan Operasi Konservasi Uterus terdiri dari: (1) ekstirpasi plasenta, (2) meninggalkan plasenta insitu 3) One step conservative surgery and modification. (SUMPUC)



Referensi 1. Hughes EC, editor. Obstetric-gynecologic terminology: with section on neonatology and glossary on congenital anomalies. Philadelphia (PA): F.A. Davis; 1972. 2. Hudon L, Belfort MA, Broome DR. Diagnosis and management of placenta percreta: a review. Obstet Gynecol Surv 1998;53:509–17. 3. O’Brien JM, Barton JR, Donaldson ES. The management of placenta percreta: conservative and operative strategies. Am J Obstet Gynecol 1996;175:1632–8. 4. Shellhaas CS, Gilbert S, Landon MB, Varner MW, Leveno KJ, Hauth JC, et al. The frequency and complication rates of hysterectomy accompanying cesarean delivery. Eunice Kennedy Shriver National Institutes of Health and Human Development Maternal-Fetal Medicine Units Network. Obstet Gynecol 2009;114:224–9. 5. Wu S, Kocherginsky M, Hibbard JU. Abnormal placentation: twenty-year analysis. Am J Obstet Gynecol 2005;192: 1458–61. 6. Read JA, Cotton DB, Miller FC. Placenta accreta: changing clinical aspects and outcome. Obstet Gynecol 1980;56:31–4.



96



The 4th Bandung Meet the Expert 97 7. Miller DA, Chollet JA, Goodwin TM. Clinical risk factors for placenta previaplacenta accreta. Am J Obstet Gynecol 1997;177:210–4. 8. Silver RM, Landon MB, Rouse DJ, Leveno KJ, Spong CY, Thom EA, et al. Maternal morbidity associated with multiple repeat cesarean deliveries. National Institute of Child Health and Human Development Maternal-Fetal Medicine Units Network. Obstet Gynecol 2006;107:1226–32. 9. Comstock CH. Antenatal diagnosis of placenta accreta: a review. Ultrasound Obstet Gynecol 2005;26:89–96. 10. Warshak CR, Eskander R, Hull AD, Scioscia AL, Mattrey RF, Benirschke K, et al. Accuracy of ultrasonography and magnetic resonance imaging in the diagnosis of placenta accreta. Obstet Gynecol 2006;108:573–81. [PubMed] [Obstetrics & Gynecology] 11. Samosir SM, Irianti S, Tjahyadi D. Diagnostic tests of placenta accreta index score (PAIS) as supporting prenatal diagnosis and outcomes of maternal neonatal in abnormally invasive placenta management at general hospital of Hasan Sadikin Bandung. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2017; 6(9): 3756-9. 12. Timor-Tritsch IE, Monteagudo A, Santos R, Tsymbal T, Pineda G, Arslan AA. The diagnosis, treatment, and follow-up cesarean scar pregnancy. American Journal of obstetrics and gynecology. 2012;207(1).44.e1-13. 13. Aryanada RA, Aditiawarman, Sulistiyono A, Cininta NI. Cesarean Scar Pregnancy. Placenta Accreta Spectrum Disorder: The Review. Proceeding Book of International Symposium on Invasive and Adherent Placenta, 2019. 14. Comstock CH, Love JJ Jr, Bronsteen RA, Lee W, Vettraino IM, Huang RR, et al. Sonographic detection of placenta accreta in the second and third trimesters of pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2004;190:1135–40. 15. Chou MM, Ho ES, Lee YH. Prenatal diagnosis of placenta previa accreta by transabdominal color Doppler ultrasound. Ultrasound Obstet Gynecol 2000;15:28–35. 16. Baughmann WC, Corteville JE, Rajiv RS. Placenta Accreta: spectrum of US and MRI findings , RG. Vol.28,7, 2008. 17. Palacios Jaraquemada JM, Bruno CH. Magnetic resonance imaging in 300 cases of placenta accreta: surgical correlation of new findings. Acta Obstet Gynecol Scand 2005;84:716– 24.



97



Proceeding Book 98



APA YANG HARUS DILAKUKAN PADA KASUS GEMELI DENGAN KEMATIAN SALAH SATU JANIN? Adhi Pribadi Divisi Fetomaternal Dept Obstetri & Ginekologi FK Unpad/RS Hasan Sadikin



Pendahuluan Beberapa laporan menunjukan bahwa kematian intrauterin tunggal terjadi pada 5% dari semua kehamilan kembar. Etiologi tidak diketahui pada sebagian besar kasus, namun sindrom transfusi antar kembar (twin to twin transfusion syndrome), inkompatibilitas Rh, kelainan kromosom dan kongenital, preeklampsia, trombosis vena umbilikalis, arteri umbilikalis tunggal, kelainan yang timbul dari lokasi plasenta, dan malformasi tali pusat dan malformasi uterus adalah penyebab utama kematian janin. Kematian intrauterin tunggal dapat menyebabkan hasil yang buruk bagi janin yang masih hidup, terutama pada kehamilan kembar monokorionik. Komplikasi seperti kerusakan otak, persalinan prematur dan gejala sisa terkait, dan kematian janin yang bertahan hidup dapat terjadi dalam kasuskasus ini. Penatalaksanaan yang ideal tidak pasti pada kehamilan kembar yang dipersulit oleh kematian intrauterin tunggal. Waktu terbaik untuk persalinan, frekuensi tes antenatal, dan efek ibu masih dalam perdebatan. Diagnosis sindrom TTTS didasarkan pada visualisasi membran pemisah, urutan polihidramnion-oligohidramnion tanpa adanya penyebab lain volume cairan ketuban abnormal, ketidaksesuaian ukuran, kelainan ukuran janin, lingkar perut, atau perbedaan berat lebih besar daripada 20%. Nonvisualisasi kandung kemih donor, studi Doppler janin abnormal, hidrops atau bukti gagal jantung kongestif adalah temuan lain yang mengindikasikan adanya TTTS. Kematian intrauterin tunggal pada kehamilan kembar adalah komplikasi serius yang terjadi pada 2,6-5% dari semua kasus. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Turki, insiden komplikasi ini dilaporkan 3,3%. Diketahui bahwa risiko



98



The 4th Bandung Meet the Expert 99 kelahiran prematur meningkat pada kehamilan kembar yang dipersulit oleh kematian intrauterin tunggal. Hilmann dkk, melaporkan bahwa frekuensi kelahiran prematur adalah 68% pada kehamilan kembar monokorionik dan 54% pada kehamilan kembar dikorionik. Demikian pula, Ong dkk, melaporkan frekuensi ini sebagai 68% pada kehamilan kembar monokorionik dan 57% pada kehamilan kembar dikorionik. Perbedaan antara kedua kelompok tidak ditemukan signifikan secara statistik. Dalam perjanjian dengan literatur, dalam penelitian ini frekuensi kelahiran prematur adalah 46% pada kehamilan kembar monokorionik dan 43% pada kehamilan kembar dikorionik. Cara persalinan harus dipilih sesuai dengan kondisi keadaan umum ibu pada kehamilan kembar yang dipersulit oleh kematian intrauterin tunggal. Keputusan awal untuk melakukan operasi sesar karena kekhawatiran koagulopati ibu harus dihindari karena dapat menyebabkan masalah terkait prematur untuk janin dan peningkatan morbiditas untuk ibu. Operasi caesar hanya dilakukan pada pasien dengan indikasi obstetric. Beberapa kasus dalam literatur dengan koagulopati intravascular, terjadi setelah kematian intrauterin satu janin pada kehamilan kembar. Meskipun beberapa dokter memberikan heparin jangka pendek untuk mengobati pasien dengan hipofibronogenemia, diketahui bahwa obat tersebut dapat sembuh secara spontan tanpa harus upaya pengobatan khusus. Perbedaan kadar fibrinogen saat melahirkan dan selama kehamilan tidak signifikan secara statistik. Penentuan korionisitas penting dalam kehamilan kembar diperumit oleh kematian intrauterin tunggal. Studi menunjukkan usia kehamilan saat melahirkan 33,3 ± 3,4 minggu. Prognosis lebih baik pada kehamilan kembar dikorionik dibandingkan dengan kehamilan kembar monokorionik. Penatalaksanaan optimal kehamilan kembar yang rumit dengan kematian intrauterin tunggal masih belum pasti. Banyak penelitian menyajikan data yang tidak memadai mengenai strategi manajemen dalam kasus-kasus seperti itu. Ada data yang terbatas dalam literatur tentang frekuensi pengiriman mendesak setelah kematian intrauterin tunggal. Kontrol tindak lanjut dilakukan setiap dua minggu setelah minggu kehamilan 24 minggu pada kehamilan kembar yang dipersulit oleh kematian intrauterin tunggal, dan Doppler, tes non-stres, dan penilaian biofisik digunakan untuk mengevaluasi kondisi pasien.



99



Proceeding Book 100 Tipe Kehamilan multipel berdasarkan korioamnion



1. Dikorionik Diamnionik (Heterozigot) 2. Dikorionik Diamnionik (Monozigot) 3. Monokorionik Diamnionik 4. Monokorionik Monoamnionik Sindrom transfusi kembar-ke-kembar (TTTS) adalah hasil dari transfusi darah intrauterin dari satu kembar (donor) ke kembar lain (penerima). TTTS hanya terjadi pada kembar monozigot (identik) dengan plasenta monokorionik. Kembar donor seringkali lebih kecil dengan berat lahir 20% lebih rendah dari berat lahir penerima. Kembar donor sering anemia dan kembar penerima sering kebanyakan dengan perbedaan hemoglobin lebih besar dari 5 g / dL. Penyebab morbiditas paling sering disebabkan oleh anastomosis vasokuler. Anastomosis vaskuler lebih sering terjadi pada plasenta monokorionik dan dapat menyebabkan TTTS, yang



100



The 4th Bandung Meet the Expert 101 mempengaruhi kembar lain dalam kematian janin tunggal, tetapi komplikasi ini jarang terjadi pada plasenta dikorionik. Pada kembar dikorionik, prognosis untuk kembar yang bertahan relatif baik dan imaturitas adalah faktor risiko utama. Dalam kasus kembar monokorionik, prognosis buruk dan terkait dengan kerusakan neurologis pada janin yang selamat. Kematian satu janin dapat menyebabkan kerusakan otak iskemik kembar lainnya dengan menyebabkan hipotensi tiba-tiba dan melumpuhkan suplai darah ke bayi kembar lainnya. Pada kembar diamniotik, kematian satu bayi dapat menyebabkan pecahnya tiba-tiba membran tipis di antara janin yang menyebabkan hipotensi dan kematian kembar lainnya. Kehamilan yang mengalami kematian janin pada usia kehamilan 33 minggu dan memiliki peluang hidup yang lebih baik untuk saudara kembar lainnya. Jarang, kematian janin tunggal menyebabkan pelepasan fibrin dan tromboplastin dalam sirkulasi, menyebabkan DIC. Meskipun hal ini adalah komplikasi yang sangat jarang, bila terjadi dapat berakibat fatal bagi ibu dan janin. Efek buruk lain dari kematian janin adalah embolisasi transkorionik, yang menyebabkan kematian janin lainnya.



Pemantauan Maternal 1. Semua investigasi antenatal rutin dilakukan (ABO,Rh, Hb, urin rutin dan mikroskopis, hepatitis B,C, dan HIV) . 2. Profil koagulasi mingguan (jumlah trombosit, PT aPTT, BT, dan CT) . 3. Fibrinogen Degradation Product (FDP) dan D-Dimer



Pemantauan Janin 1. Gerakan janin harian dihitung. 2. Setiap minggu NST pada kehamilan lebih dari 32 minggu. 3. Setiap minggu USG dengan profil biofisik dan warna Doppler dilakukan. Semua kehamilan dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu diberikan steroid untuk kematangan paru janin.



101



Proceeding Book 102 Pustaka Acuan: 1. Kilby MD, Govind A, O’Brien PM. Outcome of twin pregnancies complicated by a single intrauterine death : a comparison with viable twin pregnancies. Obstet Gynecol 1994;84:107-9. 2. Peterson IR, Nyholm HCJ. Multiple pregnancies with single intrauterine demise: description of twenty-eight pregnancies. Acta Obstet Gynecol Scand 1999;78:202-6. 3. Baxi LV, Daftary A, Loucopoulos A. Single fetal demise in a twin gestation: Umbilical vein thrombosis. Gynecol Obstet Invest 1998;46:266-67. 4. Enbom JA. Twin pregnancy with intrauterine death of one twin. Am J Obstet Gynecol 1985;152:424-9. 5. Pharoah PO, Adi Y. Consequences of in-utero death in a twin pregnancy. Lancet 2000;355:1597-602. 6. Deveer R, Engin-Ustun Y, Mert I, Sarikaya E, Bozkurt S, Deveer M, et al. Twin pregnancies with single fetal death: Analysis of 38 cases. Fetal Pediatr Pathol 2013;31:71-5. 7. Carlson NI, Towers CV. Multiple gestation complicated by the death of one fetus. Obstet Gynecol 1989;73:685-9. 8. Aslan H, Gul A, Cebeci A, Polat I, Ceylan Y. The outcome of twin pregnancies complicated by single fetal death after 20 weeks of gestation. Twin Res 2004;7:1-4. 9. Hillman SC, Morris RK, Kilby MD. Co-twin prognosis after single fetal death: a systematic review and meta-analysis. Obstet Gynecol 2011;118:928-40. 10. Ong SCC, Zamora J, Khan KS, Kilby MD. Prognosis for the co- twin following single-twin death: a systematic review. BJOG 2006;113:992-8. 11. Cattanach SA, Wedel M, White S, Young M. Single intrauterine fetal death in a suspected monozygotic twin pregnancy. Aust N Z J Obstet Gynaecol 1990;30:13740. 12. Mitra AG, Chescheir NC, Cefalo RC, Tatum BS. Spontaneous resolution of hypofibrinogenemia in a triplet gestation associated with second trimester in utero death of two fetuses. Am J Perinatol 1993;10:448-9.Romero R, Duffy TP, Berkowitz RL, Chang E, Hobbins JC. Prolongation of a preterm pregnancy complicated by death of a single twin in utero and disseminated intravascular



102



The 4th Bandung Meet the Expert 103 coagulation. Effects of treatment with heparin. New Eng J Med 1984;310:772-4. 13. Skelly H, Marivate M, Norman R, Kenoyer G, Martin R. Consumptive coagulopathy following fetal death in a triplet pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1982;142:595-6. 14. Jain D, Purohit RC. Review of Twin Pregnancies with Single Fetal Death: Management, Maternal and Fetal Outcome. J Obstet Gynaecol India 2014;64:180-3.



103



Proceeding Book 104



EFEK BEDAH GINEKOLOGI ESTETIK TERHADAP KEHIDUPAN SEKSUAL: MITOS ATAU FAKTA? dr RM Sonny Sasotya, SpOG(K)



PENDAHULUAN Bedah ginekologi estetik, atau female genital cosmetic surgery (FGCS), adalah serangkaian prosedur pembedahan ginekologis yang bertujuan untuk merekonstruksi genitalia wanita1. Terdapat tiga alasan utama pembedahan: perbaikan kosmetik regio vulva/vagina, mengurangi gangguan akibat variasi anatomi yang dirasakan oleh pasien, dan perbaikan fungsi seksual setelah persalinan atau akibat penuaan1. Semenjak tahun 2015, popularitas bedah ginekologi estetik mulai meningkat: permintaan prosedur labiaplasty meningkat dari 9.138 ke 10.046 dari tahun 2015 ke tahun 2018, sebagaimana tercatat oleh American Society of Plastic Surgeons. Sementara itu, prosedur vaginal rejuvenation – yang mencakup vaginoplasty, perioneoplasty, dan clitoral hood reduction – meningkat sebesar 30%2. Kendati permintaan pasar terhadap prosedur ini meningkat tajam, prosedur bedah ginekologi estetis masih bersifat kontroversial. Para wanita yang telah menjalaninya mengklaim bahwa mereka merasakan peningkatan kualitas kehidupan seksual, serta peningkatan sensasi di area genitalia pada saat koitus. Di sisi lain, penelitian mengenai efek dan efek samping hingga kini masih belum cukup banyak ataupun cukup kuat untuk merekomendasikan rangkaian prosedur ini secara rutin untuk keluhan spesifik tertentu. Sifat FGCS yang bersifat estetik dibanding rekonstruktif menimbulkan perdebatan dari segala sisi. Baik dari segi etika tentang intervensi medis tanpa indikasi, segi ilmiah yang mempertanyakan bukti efektivitas dan keamanan prosedur ini, serta segi moralitas di masyarakat



104



The 4th Bandung Meet the Expert 105 yang mempertanyakan apakah popularitas FGCS akan mendorong wanita untuk berpikir bahwa bentuk vulva-vagina yang ‘normal’ harus seragam, ketika terdapat variasi bentuk normal vulva dan vagina. Tetapi, bagaimana dengan para wanita yang mengaku kehidupan seksualnya membaik setelah menjalani FGCS? Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai beragam prosedur bedah ginekologi estetik, fungsi dan disfungsi seksual wanita, dan apakah bedah ginekologi estetik dapat meningkatkan kualitas kehidupan seksual wanita berdasarkan data yang telah ada hingga kini.



PROSEDUR BEDAH GINEKOLOGI ESTETIK Labiaplasty Labiaplasty termasuk prosedur FGCS yang paling sering dilakukan, yang bertujuan mengeliminasi kulit berlebih pada labia mayora atau minora3. Teknik yang biasa dilakukan adalah Wedge resection, yaitu membuat insisi berbentuk V atau Y pada labia minora tergantung pada jumlah jaringan yang ingin dibuang. Teknik lain yaitu z-plasty, dengan membuat insisi bergerigi berbentuk z untuk meringankan tekanan pada garis jahitan, agar hasil tampak lebih natural.3 (Gambar 2).



Gambar 2. Teknik V-wedge dan Z-plasty. Diambil dari Goodman et al (2009); sebagaimana disadur dari Miklos and Moore.



105



Proceeding Book 106 Vaginoplasty/Perineoplasty Vaginoplasti adalah prosedur yang bertujuan untuk “memperketat” vagina yang terasa longgar dengan eksisi bagian mukosa vagina dari forniks, dan dapat pula dicapai dengan colporrhaphy anterior, posterior, atau lateral serta seringkali diiringi dengan perineoplasti (Gambar 3).3,4 Vaginoplasti juga dikenal sebagai rejuvenasi vagina, sebuah prosedur yang juga dapat dilakukan dengan teknologi laser untuk menstimulasi produksi kolagen dengan tujuan yang sama dengan vaginoplasty surgical.



Gambar 3. Perineoplasty. Diambil dari Goodman et al (2009); disadur dari Miklos and Moore.



Alasan wanita meminta prosedur Bedah Ginekologi Estetik Penelitian terbesar mengenai bedah ginekologi estetik sejauh ini dilakukan oleh Goodman et al (2010), yang melakukan studi cross-sectional di 10 pusat bedah ginekologi estetis di Amerika Serikat dan melibatkan 258 wanita. Dari 34 wanita yang meminta labiaplasty dengan vaginoplasty/perineoplasty dengan atau tanpa clitoral hood reduction, 38.2% menyebutkan “untuk meningkatkan kepuasan seksual diri” sebagai alasannya. Sebelas persen menyebutkan untuk meningkatkan kepuasan seksual pasangan”; 55.8% menyebutkan “vagina terlalu longgar” sementara 26.5% menyebutkan “agar terlihat/merasa ‘normal’.”4



106



The 4th Bandung Meet the Expert 107 Fungsi dan disfungsi seksual wanita Respon seksual fisiologis dipengaruhi oleh sistem neurovaskular yang kompleks. Berdasarkan model respon seksual Masters and Johnson terdapat empat fase respon seksual: excitement, plateau, orgasm, dan resolution; masingmasing fase ini dipengaruhi oleh gabungan sistem yang berbeda (Figur 1).



Gambar 4. Model siklus respon seksual wanita (Diambil dari Chen et al, 2012)



Dapat disimpulkan bahwa disfungsi seksual wanita adalah suatu gangguan multietiologi yang melibatkan komponen neurovaskuler, endokrin, anatomis, psikologis, serta sosial-interpersonal. Disfungsi seksual pada wanita melibatkan penurunan keinginan atau gairah seksual, ketidakmampuan mencapai orgasme, serta rasa nyeri saat koitus5. Ahli berpendapat bahwa bedah ginekologi estetis tidak dapat menyembuhkan disfungsi seksual, namun dapat memperbaiki ketidakpuasan seksual. Ketidakpuasan seksual dapat disebabkan oleh beragam hal, seperti rasa tidak percaya diri atas persepsi normalitas anatomi vulva dan vagina karena kulit labia minora yang menggelambir, ataupun sensasi vagina yang ‘longgar.’ Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa, sebagaimana telah disebutkan oleh Miklos dan Moore (2014), pada pasien yang datang dengan keluhan vagina yang longgar setelah persalinan per vaginal, semestinya dilakukan dulu penapisan untuk mengetahui apakah gejala kelonggaran vagina tersebut adalah pengejawantahan dari prolapsus organ panggul atau sistokel/



107



Proceeding Book 108 rektokel6. Data yang terkumpul sejauh ini telah memperlihatkan bahwa POP berdampak negatif terhadap fungsi seksual wanita, dan kolporrhaphy posterior yang dilakukan pada wanita dengan prolapse dapat memperbaiki fungsi seksual melalui perbaikan ukuran vagina (vaginal caliber)6. Miklos dan Moore menyebutkan bahwa dalam pengalaman klinis mereka, mereka menemukan hingga 75% dari wanita yang datang untuk rejuvenasi vagina sebetulnya memiliki prolaps pada pemeriksaan – baik sistokel, rektokel, prolaps uteri, atau kombinasi ketiganya dan seharusnya menjalani bedah rekonstruksi sungguhan6. Pada populasi wanita ini, klaim Miklos dan Moore, gejala kelonggaran vagina yang membuat mereka meminta dilakukan rejuvenasi sesungguhnya adalah gejala awal prolaps organ panggul, dan merupakan patologi utama yang menyebabkan disfungsi seksual6.



Efek Bedah Ginekologi Estetik terhadap Kepuasan Seksual Wanita Pada wanita tanpa komorbiditas prolaps organ panggul dan keluhan sensasi vagina longgar, prosedur bedah ginekologi estetik tetap dapat memperbaiki kepuasan seksual paskaprosedur. Hal ini diperlihatkan oleh penelitian Goodman (2010): 83% wanita yang menjalani vaginoplasty dan perineoplasty serta 91.2% dari wanita yang menjalani labiaplasty disertai vaginoplasty dan perineoplasty mengaku puas secara keseluruhan dengan hasil operasi, dan 86.6% mengaku mengalami perbaikan yang signifikan4. Penelitian Pardo (2010) pada wanita dengan ketidakmampuan mencapai orgasme dan keluhan vagina longgar tanpa komorbiditas prolapse organ panggul, anorgasmia primer, dispareuni, gangguan tulang belakang, gangguan psikiatrik, dan disfungsi seksual pasangan memperlihatkan bahwa setelah dilakukan colporrhaphy dan perineoplasty, 94% merasakan vagina lebih kencang dan dapat mencapai orgasme7. Penelitian lanjutan Moore, Miklos, dan Chinthakhanan (2014) mendukung data-data ini dengan memperlihatkan kenaikan skor Pelvic Organ Prolapse/Urinary Incontinence Sexual Questionnaire-12 (PISQ-12) pada wanita yang mengeluhkan vagina longgar tanpa gejala gangguan panggul lainnya, yang lalu menjalani colpoperineorraphy dan vaginoplasty. Dalam penelitian mereka, 34.4% wanita melaporkan peningkatan intensitas orgasme dan 76.6% melaporkan peningkatan libido (Tabel 1).



108







Moore RD, Miklos JR, Chinthakhanan O (2014)6



78 wanita dengan keluhan vagina longgar • • Kriteria inklusi: vagina longgar dan sensasi berkurang • • Kriteria eksklusi: Riwayat anorgasmia primer, gangguan psikologis, dyspareunia klinis, vaginismus, nyeri pelvis, atau gangguan spinal. •



Case series: 40 wanita dengan keluhan sensasi vagina berkurang • dan vagina longgar. Prosedur: Vaginoplasti.



Prosedur: Kolpoperineoraphy/Vaginoplasti



Hasil



95% melaporkan peningkatan sensasi



Peningkatan PISQ-12 secara signifikan setelah prosedur 34.5% melaporkan peningkatan intensitas orgasme setelah prosedur 76.7% melaporkan peningkatan libido



94% merasakan vagina lebih kencang dan dapat mencapai orgasme 74% merasa ekspektasi terpenuhi 5% merasa ekspektasi tidak terpenuhi



Perbaikan signifikan pada kepuasan seksual o VP/PP: 43 (86.6%)







53 Wanita dengan keluhan vagina longgar • • Kriteria inklusi: keluhan vagina longgar + ketidakmampuan mencapai orgasme • Kriteria eksklusi: prolaps organ panggul, • anorgasmia primer, dispareuni, gangguan spinal, • komorbiditas psikiatrik, disfungsi seksual pasangan Prosedur: Kolpoperineoplasti







Adamo C, Corvi M (2009)8



Sampel/Prosedur



258 wanita; • 177 Labiaplasti • 47 VP/PP • 34 Labiaplasti + VP/PP



Pardo et al (2006)7



Goodman et al (2010)4



Studi



The 4th Bandung Meet the Expert 109



109



Proceeding Book 110 Kesimpulan Disfungsi seksual wanita adalah gangguan kompleks yang melibatkan sistem neurovaskular, endokrin, anatomis, dan psikologis. Pada wanita dengan gangguan panggul ataupun sensasi vagina longgar tanpa komorbiditas POP, prosedur bedah ginekologi estetik dapat membantu memperbaiki ketidakpuasan seksual dengan meningkatkan sensasi pada vagina dan mempermudah wanita mencapai orgasme. Meskipun demikian, dokter bedah ginekologi estetik perlu melakukan wawancara menyeluruh tentang alasan pasien meminta dilakukan operasi, ekspektasi pasien terhadap hasil operasi dan disusul dengan pemeriksaan untuk menapis kemungkinan adanya POP yang menyebabkan disfungsi seksual.



Take Home Message •



Bedah ginekologi estetika tidak akan memperbaiki disfungsi seksual, tapi dapat memperbaiki ketidakpuasan seksual







Disfungsi memiliki beragam etiologi : psikologis, endokrinologis, neurologis, vaskuler, anatomis (pelvis)







Ketidakpuasan:











Karena persepsi pasien terhadap vagina yang longgar?







Karena komentar pasangan terhadap kehidupan seksual yang berbeda sejak memiliki anak?



Karena perubahan persepsi publik terhadap bentuk vagina yang “normal” akibat pengaruh media dan pornografi sehingga membuat wanita merasa tidak percaya diri dengan bentuk vagina sendiri?



Maka dari itu, ahli bedah ginekologi estetika harus memperhatikan pasien secara keseluruhan, baik dari aspek biologis, sosial, dan psikologis



Referensi 1. Vegas L. Cosmetic Gynecology. 2011;28–30. 2. Barbara G, Facchin F, Buggio L, Alberico D, Frattaruolo MP, Kustermann A. Vaginal rejuvenation: Current perspectives. Vol. 9, International Journal of Women’s Health. Dove Medical Press Ltd; 2017. p. 513–9.



110



The 4th Bandung Meet the Expert 111 3. Wilkie G, Bartz D. Vaginal Rejuvenation: A Review of Female Genital Cosmetic Surgery. Vol. 73, Obstetrical and Gynecological Survey. Lippincott Williams and Wilkins; 2018. p. 287–92. 4. Goodman MP, Placik OJ, Benson RH, Miklos JR, Moore RD, Jason RA, et al. A large multicenter outcome study of female genital plastic surgery. J Sex Med. 2010;7(4 PART 1):1565–77. 5. Allahdadi K, Tostes R, Webb R. Female Sexual Dysfunction: Therapeutic Options and Experimental Challenges. Cardiovasc Hematol Agents Med Chem. 2009 Oct 4;7(4):260–9. 6. Moore RD, Miklos JR, Chinthakanan O. Vaginal reconstruction/rejuvenation: is there data to support improved sexual function? An update and review of the literature. Surg Technol Int. 2014 Nov;25:179–90. 7. Pardo JS, Solà VD, Ricci PA, Guiloff EF, Freundlich OK. Colpoperineoplasty in women with a sensation of a wide vagina. Acta Obstet Gynecol Scand. 2006 Jan;85(9):1125–7. 8. Adamo C, Corvi M. Cosmetic Mucosal Vaginal Tightening (Lateral Colporrhaphy): Improving Sexual Sensitivity in Women with a Sensation of Wide Vagina. Plast Reconstr Surg. 2009 Jun;123(6):212e-213e.



111



Proceeding Book 112



5 HAL YANG TIDAK DIREKOMENDASIKAN PADA PENATALAKSANAAN ENDOMETRIOSIS Tono Djuwantono1,2 1



Divisi Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin- FK UNPAD Bandung Klinik Fertilitas ASTER



Bandung Fertility Center (BFC), Rumah Sakit Ibu dan Anak Limijati, Bandung



2



P



enatalaksanaan endometriosis cenderung dilakukan hanya berdasarkan keyakinan, pengalaman, atau rekomendasi yang ditetapkan secara turuntemurun dari seorang klinisi yang berpengaruh atau berpengalaman tanpa meninjau kembali hasil penelitian terkait yang memiliki data yang kuat, yakni penelitian yang dirancang secara adekuat, acak, dan terkontrol/ randomized controlled trial (RCT). Akibatnya, terdapat variasi penegakkan diagnosis dan modalitas terapi untuk suatu kondisi klinis terkait endometriosis yang selanjutnya dapat menimbulkan risiko yang berbahaya bagi pasien endometriosis. Penggunaan obat-obatan secara berlebihan dan tidak terkelola dengan baik dan juga tindakan bedah yang tidak tepat merupakan beberapa contoh dari penatalaksanaan endometriosis yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Penatalakasanaan endometriosis harus dapat memberi keuntungan bagi pasien, memiliki sedikit mungkin potensi bahaya bagi pasien, dan biaya yang dikeluarkan oleh pasien sebanding dengan tingkat keuntungan yang akan didapatkan oleh pasien. Penatalaksanaan endometriosis sebaiknya memperhatikan usia pasien karena setiap pasien dengan rentang usia berbeda akan memiliki kebutuhan



112



The 4th Bandung Meet the Expert 113 terapi endometriosis yang berbeda. Terapi endometriosis pada remaja mungkin lebih difokuskan pada penatalaksanaan nyeri, sedangkan terapi endometriosis pada wanita dewasa akan lebih difokuskan untuk memperbaiki fertilitas atau meningkatkan peluang terjadinya kehamilan disamping mengurangi rasa nyeri. Perlu diperhatikan juga risiko efek samping atau kerugian yang mungkin ditimbulkan dari setiap pilihan terapi, baik itu terapi obat—obatan untuk mengurangi rasa nyeri ataupun terapi bedah lesi endometriosis. Berikut ini disajikan beberapa saran yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang klinisi ahli kebidanan dan kandungan dalam melakukan penatalaksanaan endometriosis, yang dicuplik dari berbagai sumber publikasi ilmiah terbaru. Penulis berharap, tulisan ini dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan mengenai penatalaksanaan endometriosis sehingga klinisi dapat memberikan terapi pengobatan endometriosis yang paling baik bagi pasiennya. Adapun beberapa HAL YANG TIDAK DIREKOMENDASIKAN atau SEBAIKNYA TIDAK DILAKUKAN untuk pentalaksanaan endometriosis, antara lain:



1. JANGAN MELAKUKAN LAPAROSKOPI PADA REMAJA ATAU PEREMPUAN BERUSIA < 20 TAHUN DENGAN KELUHAN DISMENORE MODERAT-BERAT DENGAN DUGAAN KLINIS ENDOMETRIOSIS BILA BELUM PERNAH DILAKUKAN USAHA-USAHA UNTUK MERINGANKAN GEJALA NYERI MENGGUNAKAN ESTROGEN-PROGESTIN ATAU PROGESTIN Dismenore pada wanita dewasa muda atau remaja (usia < 20 tahun) umumnya disebabkan oleh endometriosis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa sebanyak lebih dari 60% wanita dewasa muda atau remaja yang mengalami dismenore dipastikan menderita endometriosis, setelah dipastikan melalui pemeriksaan diagnostik visualisasi (1, 2). Endometriosis yang diderita oleh wanita dewasa muda atau remaja biasanya adalah endometriosis tahap awal, yang memiliki karakteristik lesi endometriosis berupa vesikula berwarna kemerahan berukuran kecil dan perlengketan (adhesi) pada panggul yang tipis antara ovarium dan peritoneum (3, 4). Karakteristik lesi yang demikian tidak dapat dideteksi melalui pemeriksaan ultrasonografi transvaginal (TVS) atau MRI dan hanya dapat dipastikan melalui tindakan laparoskopi. Kecurigaan akan adanya endometriosis tahap awal harus selalu ditetapkan pada wanita dewasa muda atau remaja dengan keluhan dismenore moderatberat tanpa harus melakukan pemeriksaan visualisasi secara langsung. Harus



113



Proceeding Book 114 dilakukan diagnosis non bedah pada kelompok pasien tersebut dan segera melakukan pemberian terapi obat-obatan, bahkan ketika hasil pemeriksaan TVS negatif dan hasil pemeriksaan fisik kurang meyakinkan. Bila terdapat kecurigaan endometriosis pada wanita dewasa muda atau remaja, langkah selanjutnya yang harus dilakukan seorang klinisi adalah SEGERA dan tidak menunda pemberian terapi obat-obatan anti-inflamasi non steroid dan kontrasepsi oral dengan dosis rendah, sama seperti rekomendasi terapi pada wanita dewasa penderita endometriosis (3, 5-7). Adanya respon terhadap penggunaan kontrasepsi oral dapat digunakan untuk mendukung dugaan atau kecurigaan akan adanya endometriosis tahap awal. Penggunaan kontrasepsi oral dosis rendah sebaiknya digunakan dalam jangka panjang untuk kasus demikian. Penggunaan kontrasepsi oral dosis rendah dalam jangka panjang juga dapat digunakan untuk membatasi progresivitas penyakit (8). Laparoskopi dapat direkomendasikan pada wanita dewasa muda atau remaja penderita endometriosis yang tidak merespon terhadap pemberian terapi obat (1, 5) atau ketika pemeriksaan lanjut terhadap rongga panggul dan TVS atau sonografi transrectal menunjukkan kecenderungan perkembangan progresif penyakit. Jika tindakan operasi menjadi pilihan terapi yang dipilih, klinisi harus menyampaikan bahwa tindakan operasi tidak dapat secara pasti menyembuhkan endometriosis (8).



2. JANGAN MELAKUKAN BEDAH LAPAROSKOPI SEBAGAI MODALITAS TERAPI PADA SEMUA KASUS ENDOMETRIOSIS Tindakan bedah laparoskopi dapat digunakan untuk diagnosis endometriosis sekaligus terapi endometriosis. Namun demikian, tidak semua kasus endometriosis memerlukan tindakan bedah laparoskopi. Beberapa indikasi untuk melakukan bedah laparoskopi pada kasus endometriosis, antara lain: 1. Gejala nyeri yang hebat (tidak bisa ditoleransi) disertai dengan melemahnya fungsi organ secara signifikan; 2. Endometriosis berat atau dengan derajat lanjut (III/IV), keluhan nyeri hebat, dan kerusakan anatomi organ yang signifikan (misal: distorsi organ-organ panggul atau endometrioma);



114



The 4th Bandung Meet the Expert 115 3. Terapi obat-obatan atau terapi konvensional gagal mengatasi keluhan terkait gejala endometriosis; 4. Pasien tidak dapat mentoleransi terapi obat-obatan; 5. Kegawatdaruratan endometriosis, seperti rupture endometrioma atau torsi endometrioma, uropati obstruktif, atau obstruksi pada usus (9). Terdapat beberapa kondisi pada kasus endometriosis yang TIDAK DISARANKAN untuk dilakukan terapi bedah laparoskopik, antara lain: 1. Jangan merekomendasikan bedah laparoskopi untuk mendeteksi dan mengatasi superficial peritoneal endometriosis pada wanita infertil tanpa keluhan nyeri panggul (kualitas bukti: kuat; sangat disarankan); 2. Jangan melakukan prosedur operasi pada endometrioma berukuran kecil (diameter endometrioma < 4 cm) pada pasien infertil yang menjalani program IVF dengan tujuan meningkatkan peluang kehamilan (kualitas bukti kuat; sangat disarankan); 3. Jangan melakukan prosedur operasi pada wanita asimptomatik dan simptomatik dengan lesi endometriosis susukan dalam (deep endometriotic lesion) yang sedang tidak merencanakan kehamilan,dan pemberian terapi obat-obatan telah cukup efektif untuk mengatasi keluhan dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien (10).



Berikut ini adalah penjelasan dari setiap point yang disebutkan terkait dengan larangan untuk tidak melakukan bedah laparoskopik pada kasus endometriosis:



1)



Jangan merekomendasikan bedah laparoskopi untuk mendeteksi dan mengatasi superficial peritoneal endometriosis pada wanita infertil tanpa keluhan nyeri panggul



Berdasarkan dua buah kajian meta-analisis Cochrane diketahui bahwa tindakan bedah laparoskopi untuk mendeteksi dan mengatasi superficial peritoneal endometriosis pada wanita infertil tanpa keluhan nyeri panggul tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap angka kehamilan ( OR 1.64; 95% CI, 1.05-2.57) dan kelahiran hidup ( OR 1.94 ; 95% CI, 1.20-3.16) (11, 12).



115



Proceeding Book 116 Sebagian besar panduan yang dikeluarkan oleh asosiasi profesi internasional menyatakan bahwa mereka tidak mendukung dilakukakannya laparoskopi rutin pada pasien unexplained infertility (5, 13). Bedah laparoskopi direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien infertilitas dengan kecurigaan peritoneal superficial endometriosis dengan keluhan nyeri moderat sampai berat dan menginginkan kehamilan melalui program teknologi reproduksi berbantu (TRB)(11). Jadi, keputusan untuk melakukan tindakan operasi di antara pasien infertilitas sebaiknya memperhatikan ada atau tidak adanya keluhan nyeri dan juga tingkat keluhan nyeri pada pasien (10).



2)



JANGAN MELAKUKAN PROSEDUR OPERASI pada endometrioma berukuran kecil (diameter endometrioma < 4 cm) pada pasien infertil yang menjalani program IVF dengan tujuan meningkatkan peluang kehamilan



Hasil dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa endometriosis ovarium/ endometrioma menggangu respon ovarium terhadap hiperstimulasi dan juga mengganggu folikulogenesis(10, 14). Berbagai ukuran endometrioma, baik yang berukuran besar maupun kecil (diameter < 4 cm), dapat menurunkan fungsi ovarium (15, 16). Penurunan fungsi dan respon ovarium yang terjadi pada pasien dengan endometrioma diketahui dari kadar AMH pasien yang lebih rendah dibandingkan wanita normal. Kadar AMH serum pada pasien dengan kista endometriosis diketahui sedikit lebih rendah daripada wanita normal, terutama bila lesi endometriosis terdapat pada kedua ovarium(17, 18). Operasi kista endometriosis seringkali menjadi pilihan terapi yang dipilih oleh banyak klinisi untuk mengobati pasien endometriosis. Namun, apakah semua kista endometriosis memerlukan tindakan operasi? Fakta memperlihatkan bahwa tindakan operasi kista endometriosis yang dilakukan sebelum pasien menjalani program IVF ternyata dapat menurunkan respon ovarium sehingga pasien cenderung memerlukan dosis stimulasi ovarium yang lebih tinggi, tetapi tindakan operasi tersebut diketahui tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap angka kehamilan (19). Keberhasilan program IVF sangat dipengaruhi oleh respon ovarium terhadap stimulasi yang diberikan sehingga penting sekali untuk mempertimbangkan pilihan terapi yang akan kita berikan kepada pasien terhadap respon ovarium atau



116



The 4th Bandung Meet the Expert 117 cadangan ovarium pasien di masa mendatang, terutama jika pasien menginginkan kehamilan di masa mendatang. Klinisi harus memiliki pertimbangan yang benar ketika hendak memutuskan perlu atau tidaknya tindakan operasi pada kista endometriosis berukuran kecil (diameter < 4 cm) dengan memperhatikan potensi risiko yang bisa terjadi pada pasien. Tindakan operasi untuk eksisi kista endometriosis berukuran kecil (diameter < 4 cm) sebelum pasien menjalani program IVF diketahui berhubungan dengan: a. Kebutuhan gonadotropin yang lebih besar b. Kadar estrogen perifer yang rendah; c. Penurunan jumlah folikel; d. Jumlah oosit yang lebih rendah saat ovum pick up Namun, eksisi kista endometriosis berukuran kecil tidak berpengaruh terhadap peluang kehamilan (20-23). Eksisi endometrioma berukuran kecil, yang dilakukan sebelum pasien menjalani program IVF, sangat TIDAK DIANJURKAN, terutama pada kasus operasi berulang atau kista endometriosis bilateral (6). Tetapi, operasi eksisi kista wajib dilakukan bila: a. Ada temuan sonografik yang mencurigakan; b. Kista endometriosis disertai keluhan nyeri dengan tingkat nyeri moderat atau berat (10).



3)



Jangan melakukan prosedur operasi pada wanita asimptomatik dan simptomatik dengan lesi endometriosis susukan dalam (deep endometriotic lesion) yang sedang tidak merencanakan kehamilan, dan pemberian terapi obat-obatan telah cukup efektif untuk mengatasi keluhan dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien



Operasi eksisi kista deep endometriosis tercatat dapat menimbulkan risiko komplikasi pascaoperasi sebesar 3-10%. Komplikasi yang ditemukan dapat berupa:



117



Proceeding Book 118 a. Trauma pada kantung kemih, usus, dan ureter b. Disfungsi saraf pada usus dan kantung kemih (neurogenic bowel, neurogenic bladder); c. Pembentukan rectovaginal fistula dan anastomotic dehiscence pada beberapa kasus bedah colorectal (24). Terdapat fakta bahwa endometriosis susukan dalam (deep invasive endometriosis) pada 9 dari 10 wanita ternyata tidak mengalami perkembangan sehingga pelaksanaan eksisi lesi endometriosis susukan dalam yang tidak kompleks (misal: lesi tidak menyebabkan ureteral stenosis atau bowel stenosis) pada wanita penderita tanpa keluhan nyeri, atau keluhan nyeri dapat diatasi secara efektif dengan pemberian terapi obat-obatan, dirasa tidak tepat untuk dilakukan, terutama bila kehamilan bukan menjadi permasalahan (25). Penatalaksanaan endometriosis susukan dalam (deep endometriosis) sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi serta kebutuhan pasien (individualized), antara lain dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: a. Presentasi klinis pasien; b. Tingkat keparahan gejala atau keluhan; c. Lokasi dan derajat endomtriosis; d. Keinginan untuk memiliki keturunan; e. Usia pasien; f. Efek samping pengobatan; g. Angka komplikasi pembedahan; h. Risiko rekurensi; i. Biaya yang akan dikeluarkan; j. Harapan atau keinginan pasien (26).



Endometriosis susukan dalam (deep endometriosis) diyakini jarang yang bersifat asimptomatik, namun endometriosis susukan dalam pada 2/3 kasus tercatat masih dapat diatasi secara efektif dan aman melalui pemberian obatobatan hormon (27). ASRM pada 2014 juga mendukung untuk memaksimalkan



118



The 4th Bandung Meet the Expert 119 penggunaan obat-obatan hormon untuk terapi endometriosis susukan dalam (10). Operasi eksisi endometriosis susukan dalam wajib dilakukan pada beberapa kasus, seperti hydroureteronephrosis dan sub-occlusive bowel stenosis (complicated deep endometriosis) dan pada wanita dengan endometriosis susukan dalam simptomatik yang mendambakan kehamilan alami atau wanita penderita endometriosis susukan dalam dengan peluang kehamilan yang rendah pada program IVF (5). Operasi lesi deep endometriosis terkait adanya keluhan nyeri diketahui memberi dampak positif bagi pasien. Direkomendasikan untuk melibatkan disiplin ilmu lain, seperti urologis dan ahli bedah kolorektal, untuk penatalaksanaan lesi deep endometriosis (5, 10). Pasien dengan endometriosis pada usus diketahui mengalami perbaikan keadaan setelah menjalani operasi eksisi lesi endometriosis(28). Akan tetapi, operasi yang dilakukan tidak tepat atau bersifat non radikal akan kurang efisien dalam mengurangi rasa nyeri atau bahkan dapat memperburuk nyeri pada usus (29). Obat-obatan yang digunakan untuk terapi deep endometriosis bersifat simptomatik, tidak menyembuhkan penyakit, dapat menimbulkan efek samping yang tidak diketahui atau bahkan efek samping negatif(10). Meskipun terapi bedah laparoskopi pada pasien infertil dengan endometriosis dapat meningkatkan peluang kehamilan, terdapat efek-efek dari tindakan operasi yang belum diketahui secara pasti sehingga tindakan bedah tidak bisa dilakukan pada semua kasus endometriosis. Pilhan terapi bedah pada pasien endometriosis dianggap tepat untuk dilakukan pada pasien-pasien yang tidak bisa diobati dengan terapi obat-obatan atau terapi konvensional dan pasien mendambakan terjadinya kehamilan.



SARAN: Klinisi harus berkoordinasi dengan pasien untuk menentukan keputusan akhir mengenai pilihan terapi yang akan dijalani oleh pasien, apakah pilihan terapi berupa penggunaan obat-obatan jangkan panjang atau operasi. Informasi mengenai kelebihan, kekurangan, dan efek samping setiap pilihan terapi harus disampaikan kepada pasien secara lengkap, detil, dan tidak menimbulkan bias informasi.



119



Proceeding Book 120 3. JANGAN MEREKOMENDASIKAN FOLLOW UP PEMERIKSAAN SERUM CA-125 (ATAU BIOMARKER LAINNYA) Penggunaan biomarker perifer (seperti CA-125 baik dalam plasma, urin, serum, dan/atau biomarker pada jaringan endometriosis, darah haid, atau cairan uteri) untuk diagnosis endometriosis tidak direkomendasikan oleh Eurpean Society of Human Reproductive (ESHRE) (5). Belum ada biomarker yang dapat secara konsisten memenuhi kriteria untuk digunakan sebagai uji diagnostik, baik untuk mendeteksi endometriosis dalam rongga panggul atau untuk membedakan endometrioma dari massa ovarium jinak lainnya(30). Pengukuran kadar CA-125 serum untuk memantau perkembangan endometriosis pada pasien yang tengah menerima terapi obat biasa digunakan pada praktik klinis, namun prosedur ini tidak didukung oleh data penelitian yang kuat. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pemeriksaan CA125 serum tidak menunjukkan efektivitas yang signifikan untuk mendeteksi rekurensi endometriosis pascaoperasi (31). Tabel 1 menunjukkan sensitivitas dan spesivisitas pemeriksaan CA-125 serum terhadap beberapa parameter, seperti rekurensi endometriosis, rekurensi nyeri, dan pemeriksaan fisik yang tidak normal (31). Tabel 1. Sensitivitas dan spesivitas pemeriksaan CA-125 serum pada pasien endometriosis(31) Sensitivitas Spesivisitas (%)



(%)



Rekurensi endometriosis



15



100



Rekurensi nyeri



71



80



Pemeriksaan fisik yang tidak normal



82



41



Penggunaan biomarker CA-125 sebagai modalitas untuk memantau respon pasien terhadap terapi pengobatan, yang meliputi progresivitas penyakit dan rekurensi endometriosis serta nyeri, masih menjadi perdebatan(10). Selain itu, belum terdapat data mengenai hasil pengukuran CA-125 serum pada pasien yang menerima terapi estrogen-progestin atau progestin sehingga pemeriksaan CA-125 belum bisa digunkan sebagai modalitas yang efektif untuk memantau perkembangan endometriosis atau untuk menilai efektivitas terapi pengobatan endometriosis(32).



120



The 4th Bandung Meet the Expert 121 Tindak lanjut pada pasien endometriosis dengan bentuk penyakit yang tidak kompleks (tanpa stenosis usus atau obstructive uropathy) dan tanpa massa adneksa yang mencurigakan sebaiknya didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan ultrasonografi. Pemeriksaan biomarker serum sebagai pemeriksaan tambahan tidak secara konsisten dapat memperbaiki penatalaksanaan endometriosis. Pemeriksaan biomarker serum kurang menguntungkan pasien, bahkan cenderung akan menambah pengeluaran pasien dan dapat menjadi beban bagi pasien (32). Hasil pemeriksaan CA-125 yang menunjukkan > 35 U/ml akan manambah beban dan kecemasan pasien karena pasien biasanya akan diminta untuk melakukan berbagai pemeriksaan dan tes lanjutan, bahkan beberapa klinisi akan meminta pasien untuk menjalani prosedur pemeriksaan laparoskopi diagnostik yang sebetulnya tidak diperlukan(33).



4. JANGAN “MENINGGALKAN” PASIEN YANG TELAH MENJALANI PROSEDUR OPERASI ENDOMETRIOMA TANPA MEMBERIKAN TERAPI PASCAOPERASI JANGKA PANJANG Pasien yang telah menjalani operasi eksisi endometriosis berisiko mengalami rekurensi, sedikitnya setelah 6-12 bulan pascaoperasi. Angka kejadian rekurensi pada pasien yang telah menjalani operasi kista endometriosis kurang lebih mencapai angka 10% per tahun (34). Perlu dilakukan usaha untuk mencegah operasi berulang karena rekurensi endometriosis. Operasi kista endometriosis yang kedua kalinya diketahui dapat mengakibatkan kerusakan terhadap ovarium sehingga menyebabkan penurunan cadangan ovarium yang selanjutnya akan menurunkan peluang kehamilan secara alami. Berdasarkan suatu meta-analisis dari berbagai penelitian komparatif diketahui bahwa risiko rekurensi endometrioma pascaoperasi pada pasien yang menerima kontrasepsi oral dalam jangka panjang adalah sebesar 0.12 (95% CI: 0.05-0.29) dibandingkan dengan pasien yang tidak pernah menerima kontrasepsi oral (35). Artinya, pemberian kontrasepsi oral pascaoperasi kista endometriosis secara signifikan menurunkan risiko rekurensi. Inhibisi ovulasi menggunakan kontrasepsi oral atau progestin diketahui dapat menurunkan risiko rekurensi kista endometriosis. Kontrasepsi oral yang digunakan untuk menghambat ovulasi dapat berupa kontrasepsi oral siklik atau kontinu. Hasil penelitian yang dilakukan secara acak dan beberapa review memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan angka rekurensi kista yang



121



Proceeding Book 122 signifikan di antara pasien yang menerima kontrasepsi oral secara siklik ataupun secara kontinu (36, 37). Kontrasepsi oral secara kontinu diketahui memiliki hasil yang lebih baik untuk mengatasi dismenore (37). Perlindungan terhadap rekurensi endometriosis yang didapatkan dari penggunaan kontrasepsi oral akan hilang ketika pasien menghentikan penggunaan kontrasepsi oral (33). Ketika ovulasi mulai kembali terjadi, pasien akan kembali terpapar oleh risiko pertumbuhan endometriosis setiap bulannya. Risiko ini dapat diterima bila pasien mendambakan kehamilan secara alami, namun perlu dilakukan tindakan pencegahan tersier terutama pada pasien yang mendambakan kehamilan di masa mendatang, kecuali bila terdapat kontraindikasi atau pasien tidak dapat mentoleransi penggunaan kontrasepsi oral dan progestin. Berbagai panduan internasional menyarankan penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama setelah tindakan operasi eksisi kista endometriosis untuk menurunkan risiko rekurensi lesi endometriosis dan keluhan nyeri terkait endometriosis(3, 5, 6). Ketika hendak memberikan terapi obat-obatan kepada pasien penderita endometriosis, klinisi sebaiknya mempertimbangkan keamanan dari penggunaan jangka panjang obat-obatan yang akan diresepkan. Selain itu, kliniisi juga perlu mempertimbangkan aspek ekonomis dari terapi obat yang akan dipilih karena terapi obat-obatan cenderung dilakukan dalam jangka waktu yang panjang sehingga diperlukan obat dengan efektivitas yang baik, dengan efek samping minimum, dan harga yang relatif murah. Jangan meresepkan obat-obatan yang tidak dapat digunakan untuk pengobatan jangka panjang atau sebagai lini pertama pengobatan bila obat-obatan tersebut tidak aman digunakan dan menghabiskan banyak biaya; atau bila estrogen-progestin atau progestin terbukti tidak efektif, tidak dapat ditoleransi, atau memiliki kontraindikasi. Jenis obat-obatan yang pada saat ini dapat digunakan untuk mengobati endometriosis, antara lain estrogen-progestin, progestin, agonis GnRH (5). Jenis obat-obatan tersebut diketahui dapat dengan baik mengendalikan berbagai keluhan terkait endometriosis, obat-obatan tersebut bersifat tidak kuratif dan biasanya berbagai gejala akan kembali muncul bila pengobatan dihentikan. Wanita penderita endometriosis harus menjalani pengobatan dalam jangka panjang dan kontinu untuk menekan gejala dan risiko rekurensi. Pengobatan dapat dihentikan bila pasien menginginkan terjadinya kehamilan (27). Pengobatan pasien endometriosis sebaiknya dilakukan secara personal dan disesuaikan dengan harapan pasien dan tujuan jangka panjang pengobatan sehingga klinisi



122



The 4th Bandung Meet the Expert 123 harus dapat memiliki jenis obat yang memiliki efektitas yang baik dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Kontrasepsi hormonal dan progestin merupakan jenis obat yang memiliki tingkat keamanan, efektivitas, dan toleransi yang paling baik untuk mengobat gejala-gejala endometriosis dibandingkan jenis obat lainnya sehingga kedua jenis obat tersebut dianggap sangat cocok untuk penggunaan jangka panjang (3, 6, 23). Berikut ini adalah beberapa keuntungan dari penggunaan progestin untuk pengobatan endometriosis: 1. Progestin dapat digunakan pada wanita dengan gangguan metabolik ataupun penyakit kardiovaskular yang memiliki kontraindikasi dengan estrogenprogestin dan; 2. Progestin mampu membatasi risiko rekurensi dismenore pascaoperasi (38, 39).



Efek samping dari penggunaan progestin untuk terapi endometriosis pada beberapa pasien dengan karakteristik tertentu juga harus dipertimbangkan, misal: Progestin dengan properti androgenik tidak cocok diberikan pada pasien endometriosis dengan kecenderungan kulit berjerawat dan seboroik (seborrhea). Biaya pengobatan juga harus menjadi bahan pertimbangan untuk memilih pilihan terapi obat untuk endometriosis. GnRH agonis sebaiknya tidak digunakan sebagai pilihan terapi lini pertama meskipun memiliki efektivitas yang baik terhadap gejala nyeri panggul (40). Penggunaan GnRH agonis dalam jangka panjang tidak direkomendasikan karena dapat menciptakan kondisi hipoestrogen yang massif, terutama bila digunakan pada wanita kelompok usia muda yang belum mencapai puncak kepadatan tulang (41). Penggunaan GnRH agonis yang dikombinasikan dengan hormonal add-back therapy dapat mencegah penurunan massa tulang tanpa menurunkan efektivitasnya (42).



123



Proceeding Book 124 5. JANGAN MEREKOMENDASIKAN CONTROLLED OVARIAN STIMULATION (COS) DAN INTRAUTERINE INSEMINATION (IUI) PADA WANITA INFERTIL DENGAN ENDOMETRIOSIS DENGAN DERAJAT Stimulasi ovarium terkontrol/ controlled ovarian stimulation (COS) dengan tindakan inseminasi intrauterin/ intrauterine insemination (IUI) tidak direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien endometriosis dengan derajat manapun karena beberapa alasan (10), antara lain: •



Inseminasi intrauterin yang selama ini telah digunakan sebagai salah satu terapi infertilitas, apapun indikasi infertilitasnya, ternyata sampai saat ini masih dipertanyakan (10). Berdasarkan panduan terbaru yang dikeluarkan oleh NICE pada 2017 diketahui bahwa IUI yang dilakukan sebagai terapi infertilitas akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit sehingga dianggap tidak efektif untuk diterapkan sebagai terapi infertilitas(6). Disebutkan bahwa IUI sebaiknya dipertimbangkan hanya untuk kondisikondisi yang tidak terkait dengan infertilitas, seperti masalah terkait HIV, donasi semen, dan gangguan seksual (43).







Hasil review sistematik dan meta-analisis memperlihatkan bahwa IUI yang diterapkan pada pasien endometriosis ternyata kurang efektif (44). Keberhasilan IUI yang dilakukan pada pasien endometriosis tahap awal mengalami penurunan sampai 50% (44). Penelitian lain menunjukkan bahwa peluang kehamilan pasien endometriosis pada siklus pertama IVF ditemukan lebih tinggi daripada peluang kehamilan yang dapat dicapai oleh pasien endometriosis setelah menjalani 6 kali prosedur IUI(45) .







Inseminasi intrauterin (IUI) dengan stimulasi ovarium terkontrol/ controlled ovarian stimulation (COS) meningkatkan risiko rekurensi endometriosis. Kejadian rekurensi endometriosis pascainseminasi secara signifikan lebih tinggi daripada setelah IVF (46, 47).



Jadi, Inseminasi intrauterin (IUI) dengan stimulasi ovarium terkontrol sebaiknya jangan dilakukan pada pasien endometriosis dengan derajat manapun karena risiko peningkatan rekurensi endometriosis (10).



124



The 4th Bandung Meet the Expert 125 KESIMPULAN Penatalaksanaan pasien endometriosis sebaiknya tidak bersifat overuse, baik itu penggunaan terapi obat ataupun tindakan pembedahan untuk menghindari dampak klinis negatif pada pasien di kemudian hari dan juga menekan biaya pengobatan yang tidak diperlukan. Terapi harus disesuaikan dengan kondisi pasien, adanya keluhan nyeri, dan harapan untuk hamil. Jangan melakukan prosedur diagnostik endometriosis yang “berlebihan”, yang pada akhirnya akan merugikan pasien baik secara klinis, psikis, maupun ekonomis.



DAFTAR PUSTAKA 1. Janssen EB, Rijkers AC, Hoppenbrouwers K, Meuleman C, D’Hooghe TM. Prevalence of endometriosis diagnosed by laparoscopy in adolescents with dysmenorrhea or chronic pelvic pain: a systematic review. Hum Reprod Update. 2013;19(5):570-82. 2. Harel Z. Dysmenorrhea in adolescents and young adults: an update on pharmacological treatments and management strategies. Expert Opin Pharmacother. 2012;13(15):2157-70. 3. Leyland N, Casper R, Laberge P, Singh SS, Sogc. Endometriosis: diagnosis and management. J Obstet Gynaecol Can. 2010;32(7 Suppl 2):S1-32. 4. Brosens I, Gordts S, Benagiano G. Endometriosis in adolescents is a hidden, progressive and severe disease that deserves attention, not just compassion. Hum Reprod. 2013;28(8):2026-31. 5. Dunselman GA, Vermeulen N, Becker C, Calhaz-Jorge C, D’Hooghe T, De Bie B, et al. ESHRE guideline: management of women with endometriosis. Hum Reprod. 2014;29(3):400-12. 6. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Clinical Guidelines Endometriosis: diagnosis and management 6 September 2017 [Available from: http:nice.org.uk/guidance/ng7. 7. Saridogan E. Adolescent endometriosis. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2017;209:46-9. 8. Zannoni L, Forno SD, Paradisi R, Seracchioli R. Endometriosis in Adolescence: Practical Rules for an Earlier Diagnosis. Pediatr Ann. 2016;45(9):e332-5.



125



Proceeding Book 126 9. Bedaiwy MA, Barker NM. Evidence based surgical management of endometriosis. Middle East Fertility Society Journal. 2012;17:57-60. 10. ETIC Endometriosis Treatment Italian Club. When more is not better: 10 ‘don’ts’ in endometriosis management. An ETIC position statement. Human Reproductive Open. 2019:1-15. 11. Duffy JM, Arambage K, Correa FJ, Olive D, Farquhar C, Garry R, et al. Laparoscopic surgery for endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2014(4):CD011031. 12. Jacobson TZ, Duffy JM, Barlow D, Farquhar C, Koninckx PR, Olive D. Laparoscopic surgery for subfertility associated with endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2010(1):CD001398. 13. Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine. Treatment of pelvic pain associated with endometriosis: a committee opinion. Fertil Steril. 2014(101):927–35. 14. Sanchez AM, Vigano P, Somigliana E, Panina-Bordignon P, Vercellini P, Candiani M. The distinguishing cellular and molecular features of the endometriotic ovarian cyst: from pathophysiology to the potential endometrioma-mediated damage to the ovary. Hum Reprod Update. 2014;20(2):217-30. 15. Benaglia L, Somigliana E, Vercellini P, Abbiati A, Ragni G, Fedele L. Endometriotic ovarian cysts negatively affect the rate of spontaneous ovulation. Hum Reprod. 2009;24(9):2183-6. 16. Ferrero S, Scala C, Tafi E, Racca A, Venturini PL, Leone Roberti Maggiore U. Impact of large ovarian endometriomas on the response to superovulation for in vitro fertilization: A retrospective study. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2017;213:17-21. 17. Somigliana E, Marchese MA, Frattaruolo MP, Berlanda N, Fedele L, Vercellini P. Serum anti-mullerian hormone in reproductive aged women with benign ovarian cysts. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2014;180:142-7. 18. Goodman LR, Goldberg JM, Flyckt RL, Gupta M, Harwalker J, Falcone T. Effect of surgery on ovarian reserve in women with endometriomas, endometriosis and controls. Am J Obstet Gynecol. 2016;215(5):589 e1- e6. 19. Demirol A, Guven S, Baykal C, Gurgan T. Effect of endometrioma cystectomy on IVF outcome: a prospective randomized study. Reprod Biomed Online. 2006;12(5):639-43.



126



The 4th Bandung Meet the Expert 127 20. Brink Laursen J, Schroll JB, Macklon KT, Rudnicki M. Surgery versus conservative management of endometriomas in subfertile women. A systematic review. Acta Obstet Gynecol Scand. 2017;96(6):727-35. 21. Nickkho-Amiry M, Savant R, Majumder K, Edi-O’sagie E, Akhtar M. The effect of surgical management of endometrioma on the IVF/ICSI outcomes when compared with no treatment? A systematic review and meta-analysis. Arch Gynecol Obstet. 2018;297(4):1043-57. 22. Tao X, Chen L, Ge S, Cai L. Weigh the pros and cons to ovarian reserve before stripping ovarian endometriomas prior to IVF/ICSI: A meta-analysis. PLoS One. 2017;12(6):e0177426. 23. Hamdan M, Dunselman G, Li TC, Cheong Y. The impact of endometrioma on IVF/ICSI outcomes: a systematic review and meta-analysis. Hum Reprod Update. 2015;21(6):809-25. 24. Vercellini P, Crosignani PG, Abbiati A, Somigliana E, Vigano P, Fedele L. The effect of surgery for symptomatic endometriosis: the other side of the story. Hum Reprod Update. 2009;15(2):177-88. 25. Fedele L, Bianchi S, Zanconato G, Raffaelli R, Berlanda N. Is rectovaginal endometriosis a progressive disease? Am J Obstet Gynecol. 2004;191(5):153942. 26. Lebovic DI. Endometriosis: surgical management of pelvic pain. UpToDate 2016. 27. Vercellini P, Buggio L, Berlanda N, Barbara G, Somigliana E, Bosari S. Estrogenprogestins and progestins for the management of endometriosis. Fertil Steril. 2016;106(7):1552-71 e2. 28. De Cicco C, Corona R, Schonman R, Mailova K, Ussia A, Koninckx P. Bowel resection for deep endometriosis: a systematic review. BJOG. 2011;118(3):28591. 29. Berlanda N, Vercellini P, Fedele L. Endometriosis: treatment of rectovaginal and bowel disease. UpToDate 2016. 2016. 30. Nisenblat V, Bossuyt PM, Shaikh R, Farquhar C, Jordan V, Scheffers CS, et al. Blood biomarkers for the non-invasive diagnosis of endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2016(5):CD012179. 31. Fedele L, Arcaini L, Vercellini P, Bianchi S, Candiani GB. Serum CA 125



127



Proceeding Book 128 measurements in the diagnosis of endometriosis recurrence. Obstet Gynecol. 1988;72(1):19-22. 32. Parazzini F. Ablation of lesions or no treatment in minimal-mild endometriosis in infertile women: a randomized trial. Gruppo Italiano per lo Studio dell’Endometriosi. Hum Reprod. 1999;14(5):1332-4. 33. Vercellini P, Somigliana E, Daguati R, Vigano P, Meroni F, Crosignani PG. Postoperative oral contraceptive exposure and risk of endometrioma recurrence. Am J Obstet Gynecol. 2008;198(5):504 e1-5. 34. Koga K, Takamura M, Fujii T, Osuga Y. Prevention of the recurrence of symptom and lesions after conservative surgery for endometriosis. Fertil Steril. 2015;104(4):793-801. 35. Vercellini P, S DEM, Somigliana E, Buggio L, Frattaruolo MP, Fedele L. Longterm adjuvant therapy for the prevention of postoperative endometrioma recurrence: a systematic review and meta-analysis. Acta Obstet Gynecol Scand. 2013;92(1):8-16. 36. Muzii L, Maneschi F, Marana R, Porpora MG, Zupi E, Bellati F, et al. Oral estroprogestins after laparoscopic surgery to excise endometriomas: continuous or cyclic administration? Results of a multicenter randomized study. J Minim Invasive Gynecol. 2011;18(2):173-8. 37. Muzii L, Di Tucci C, Achilli C, Di Donato V, Musella A, Palaia I, et al. Continuous versus cyclic oral contraceptives after laparoscopic excision of ovarian endometriomas: a systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol. 2016;214(2):203-11. 38. Abou-Setta AM, Houston B, Al-Inany HG, Farquhar C. Levonorgestrel-releasing intrauterine device (LNG-IUD) for symptomatic endometriosis following surgery. Cochrane Database Syst Rev. 2013(1):CD005072. 39. Petraglia F, Hornung D, Seitz C, Faustmann T, Gerlinger C, Luisi S, et al. Reduced pelvic pain in women with endometriosis: efficacy of long-term dienogest treatment. Arch Gynecol Obstet. 2012;285(1):167-73. 40. Brown J, Pan A, Hart RJ. Gonadotrophin-releasing hormone analogues for pain associated with endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2010(12):CD008475. 41. Bedaiwy MA, Allaire C, Alfaraj S. Long-term medical management of



128



The 4th Bandung Meet the Expert 129 endometriosis with dienogest and with a gonadotropin-releasing hormone agonist and add-back hormone therapy. Fertil Steril. 2017;107(3):537-48. 42. Surrey ES. Gonadotropin-releasing hormone agonist and add-back therapy: what do the data show? Curr Opin Obstet Gynecol. 2010;22(4):283-8. 43. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.Fertility: Assessment and Treatment for People with Fertility Problems. National Institute for Health and Care Excellence (NICE): Guidance; 2013. 44. Hughes EG. The effectiveness of ovulation induction and intrauterine insemination in the treatment of persistent infertility: a meta-analysis. Hum Reprod. 1997;12(9):1865-72. 45. Dmowski WP, Pry M, Ding J, Rana N. Cycle-specific and cumulative fecundity in patients with endometriosis who are undergoing controlled ovarian hyperstimulation-intrauterine insemination or in vitro fertilization-embryo transfer. Fertil Steril. 2002;78(4):750-6. 46. van der Houwen LE, Schreurs AM, Schats R, Heymans MW, Lambalk CB, Hompes PG, et al. Efficacy and safety of intrauterine insemination in patients with moderate-to-severe endometriosis. Reprod Biomed Online. 2014;28(5):590-8. 47. D’Hooghe TM, Denys B, Spiessens C, Meuleman C, Debrock S. Is the endometriosis recurrence rate increased after ovarian hyperstimulation? Fertil Steril. 2006;86(2):283-90.



129



Proceeding Book 130



APAKAH INFERTILITAS DIATAS TIGA TAHUN HARUS MENJALANI LAPAROSKOPI? Ruswana Anwar Divisi Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi KSM/Departmen Obstetri & Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Unpad Bandung



Introduksi Diagnosis unexplain infertility, digunakan bagi pasangan yang menjalani penanganan infertilitas bila didapatkan fungsi ovulasi normal, kedua tuba paten dan hasil analisis sperma menunjukan hasil normal. Dengan angka kejadian sebesar 10-20%. Penanganan yang dilakukan meliputi berbagai pilihan yang tersedia, mulai dari penanganan ekspektatif, pemberian obat-obat hiperstimulasi terkontrol dan program IVF. Istilah yang lebih tepat digunakan adalah subfertilitas, ditemukan beberapa pasangan yang pada akhirnya mengalami kehamilan tanpa intervensi, yaitu sebesar 27%, dengan manajemen ekspektatif1



Unexplained Infertility Unexplained infertility didiagnosa, bila pasangan belum berhasil hamil setelah 12 bulan mencoba untuk terjadi konsepsi dan telah menjalani evaluasi tanpa menemukan penyebab untuk infertilitasnya2. Evaluasi menyeluruh harus meliputi :



130







Ovulasi adekuat, menggunakan kadar serum progesterone lebih dari 3ng/ml







Potensi tuba dan kontur uterus yang normal, seperti hasil yang didapat dari HSG, HyCoSy, atau laparoskopi.







Hasil sperma analisa yang baik yang menunjukan adanya 15 juta sperma per mililiter, motilitas 32% dan mempunyai morfologi normal lebih dari 4%.



The 4th Bandung Meet the Expert 131 •



Mempunyai cadangan ovarium yang cukup, baik dengan kadar FSH hari ke-3 (kurang dari 10 mIU/mL), clomiphene challenge test (kadar FSH hari ke 3 dan ke 10 kurang dari 10), AMH lebih dari 0.9 ng/mL atau AFC lebih dari 4



Apakah pasien dengan infertilitas setelah tiga tahun harus menjalani laparoskopi ? Untuk menjawab hal ini, sebagian besar ahli fertilitas menyadari bahwa laparoskopi bukan komponen utama untuk evaluasi infertilitas yang menyeluruh karena, biayanya yang mahal dan biasanya akan merubah pendekatan penanganan. Laparoskopi diperuntukan untuk seleksi kasus pada infertilitas wanita dengan riwayat nyeri pelvik yang berat, terkait dengan suatu endometriosis. Sebagian kecil ahli fertilitas berpandangan bahwa, laparoskopi merupakan komponen penting untuk menilai infertilitas yang menyeluruh karena laparoskopi dapat mengidentifikasi adanya adhesi peritoneal dan lesi endometriosis yang sebelumnya belum terdeteksi. Dari suatu penelitian retrospektif yang besar yang melibatkan 495 pasangan infertil dengan ovulasi normal, HSG normal dan analisis sperma normal, hasil laparoskopi menunjukan 31% mempunyai adhesi pelvis dan kelainan pada tuba (10 %) atau endometriosis (21%) (247). Pada suatu penelitian terpisah lainnya, melihat analisis cost benefit menyimpulkan bahwa pada pasangan dengan uji fertilitas awal normal, laparoskopi dapat mendeteksi adanya endometriosis dan adhesi peritoneal yang kemudian dilakukan manajemen ekspektatif akan lebih optimal dari segi biasa bila dibandingkan dengan tanpa laparoskopi diikuti inseminasi atau superovulasi dan inseminasi atau IVF3. Terdapat berbagai kombinasi penyebab infertilitas yang saling memperberat misalnya gangguan perkembangan folikel/tidak ovulasi, fungsi oosit, gangguan dukungan fase luteal, dan fungsi sperma. Pada beberapa pasangan dengan unexplained infertility, nilai analisis sperma untuk konsentrasi dan mortilitas berada pada batas bawah nilai normal4. Hiperstimulasi terkontrol dengan menginduksi perkembangan lebih dari satu folikel matang persiklus diikuti dengan hubungan terjadwal atau dilakukan inseminasi, sering digunakan untuk mengobati unexplain infertility. Penggunaan obat2 injeksi akan dapat meningkatkan jumlah folikel dominan yang tersedia untuk fertilisasi selain akan memperbaiki disfungsi ovulasi subklinis5. Dengan



131



Proceeding Book 132 tindakan inseminasi, akan lebih terjamin sejumlah sperma yang cukup melewati barier servik. Kerugian pemberian obat-obatan dengan gonadotropin dan inseminasi meliputi mahalnya obat, sindroma hiperstimulasi ovarium dan tingginya kehamilan ganda. Tingkat keberhasilan IVF pada pasien usia ≤ 40 tahun adalah sebesar 25-43%6.



Infertilitas pada Wanita Keberhasilan kehamilan dipengaruhi jarak antara sperma dan oosit serta perjalanan embrio menuju kavum uteri. Kelainan pada tuba falopi, uterus, serviks, atau vagina dapat mempengaruhi fertilitas wanita. Penyakit tuba atau peritoneum ditemukan pada 20% wanita pasangan infertil. Teknik pembedahan dapat dilakukan untuk kasus-kasus : (1) blokade tuba bilateral, (2) blokade tuba proksimal, (3) ditemukannya hidrosalping sebelum memulai siklus fertilisasi in vitro (IVF), dan (4) reanastomosis tuba7,8. Penyakit inflamasi pelvis, infeksi Chlamydia trachomatis, apendisitis, riwayat abortus septik, dan riwayat pembedahan pelvis atau tuba merupakan penyebab penting terjadinya kelainan tuba. Endometriosis seringkali menyebabkan adhesi peritoneum dengan ovarium yang kemudian akan menyebabkan kelainan anatomis pada tuba. Angka kejadian infertilitas tuba dilaporkan sebesar 12%, 23%, dan 54% setelah 1, 2, dan 3 kali episode penyakit inflamasi pelvis9Banyak studi telah menemukan bahwa tingginya titer antibodi klamidia berhubungan dengan penyakit tuba yang ditemukan pada saat laparoskopi10. Pada sebuah studi populasi, penemuan antibodi klamidia berhubungan kuat dengan infertilitas tuba11. Sekitar 1% - 4% wanita usia 18-26 tahun terinfeksi klamidia12. Walau klamidia merupakan penyebab utama kerusakan tuba di Amerika Utara dan Eropa, tuberkulosis merupakan penyebab utama oklusi tuba distal pada wanita di India Utara dan Nepal13. Pada daerah dengan kasus tuberculosis yang tinggi, evaluasi pemeriksaan polymerase chain reaction pada spesimen biopsi endometrium dapat mengidentifikasi wanita dengan tuberculosis14. Riwayat ruptur apendiks juga akan meningkatkan risiko terjadinya infertilitas tuba15. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, tiga jenis pemeriksaan patensi tuba yang paling umum adalah HSG, HyCoSy, dan laparoskopi. American College of Radiologist menyarankan dilakukannya HSG untuk mendiagnosis penyakit tuba16. Keuntungan dari HSG adalah kecilnya sumber daya yang digunakan, dapat menunjukkan bentuk dari kavum uteri, dan dapat meningkatkan fekundabilitas



132



The 4th Bandung Meet the Expert 133 dengan mengubah lingkungan peritoneum. Kerugian utama dari HSG adalah diperlukannya alat fluoroskopi, menyebabkan nyeri ketika prosedur dilakukan, serta tidak dapat mendeteksi penyakit peritoneum seperti endometriosis dan adesi ovarium. Selain itu, jika HSG menunjukkan oklusi tuba proksimal, maka tes konfirmasi perlu dilakukan dengan laparoskopi. Pemeriksaan tambahan ini diperlukan karena sekitar 15% kasus oklusi tuba proksimal ternyata disebabkan oleh spasme tuba yang merupakan kondisi fisiologis dan bukan merupakan kondisi anatomi yang permanen. HSG biasanya dilakukan pada hari ke 9 dengan pemberian doksisiklin 2x1 selama 5 hari. Banyak rumah sakit mempersiapkan wanita untuk HSG dengan memberikan antiprostaglandin seperti ibuprofen, segera sebelum tindakan. Risiko infeksi setelah HSG adalah sebesar 1%17. Banyak studi melaporkan bahwa setelah HSG, fekunditas meningkat dalam 12-24 bulan. Sebagai contoh, sebuah uji klinis membandingkan wanita dengan infertilitas yang sebagian secara acak dilakukan HSG dengan media kontras berbasis minyak serta sebagian lagi tanpa intervensi. Setelah 24 bulan, angka kehamilan ditemukan sebesar 58% pada kelompok HSG dan 41% pada kelompok tanpa intervensi (P = 0,03) 16.Fekundabilitas setelah HSG ditemukan mirip pada HSG dengan media kontras berbasis minyak ataupun yang terlarut air. Pada sebuah uji klinis, 175 wanita secara acak dilakukan HSG menggunakan zat kontras yang berbasis minyak dan solubel air. Zat kontras berbasis minyak memberikan resolusi gambaran mukosa tuba yang lebih baik. Angka kehamilan pasca tindakan ditemukan serupa pada kedua kelompok tersebut18. Keuntungan utama laparoskopi dibandingkan HSG dalam segi diagnostik adalah laparoskopi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dalam mendiagnosis penyakit periteoneum dan ovarium. Selain itu, laparoskopi juga dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis dan dapat digunakan untuk menangani kelainan yang ditemukan pada saat tindakan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, infeksi klamidia sering menjadi penyebab kerusakan tuba. Sebuah strategi baru dalam mengelompokkan wanita infertil ke dalam kelompok risiko tinggi dan rendah untuk kejadian oklusi tuba adalah melalui pengukuran antibodi anti-klamidia. Untuk wanita infertil tanpa atau dengan sedikit titer antibodi klamidia, angka kerusakan tuba yang ditemukan pada laparoskopi atau HSG adalah sebesar 5%, sedangkan wanita infertil dengan titer antibodi klamidia yang tinggi, angka kerusakan tuba yang ditemukan pada laproskopi atau HSG adalah sebesar 35%19. Pada wanita infertil dengan titer antibodi klamidia yang tinggi, kerusakan tuba juga ditemukan lebih lebih berat



133



Proceeding Book 134 dibandingkan dengan wanita dengan titer rendah atau tanpa antibodi. Hal yang menarik adalah, wanita dengan tuba falopi paten yang seropositif antibiodi klamidia memiliki fekundabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita seronegatif20. Hingga pemeriksaan antibodi anti klamidia dalam mendiagnosis wanita infertil dengan kelainan tuba lebih terstandarisasi, maka HSG atau HyCoSy masih tetap menjadi pemeriksaan lini pertama dalam evaluasi patensi tuba21. Terapi pembedahan untuk infertilitas akibat penyakit tuba ditemukan lebih berhasil apabila penyakit terlokalisasi pada bagian distal tuba. Fimbioplasty merupakan lisis adhesi fimbria atau dilatasi striktura fimbria. Neosalpingostomy merupakan prosedur pembuatan bukaan tuba baru pada kasus oklusi tuba falopi distal. Dlugi, dkk22. mengevaluasi angka kesuksesan fimbrioplasti dan neosaplingostomi unilateral dan bilateral pada 113 wanita dengan infertilitas tuba. Secara garis besar, kedua prosedur ini berhubungan dengan angka kehamilan pasca tindakan sebesar 0,026. Angka yang serupa ditemukan oleh Canis, dkk23. Pada studi ini, faktor-faktor yang menurunkan tingkat keberhasilan terapi pembedahan antara lain : pembedahan berulang, riwayat kehamilan ektopik, adanya adhesi pelvis, dan serologi klamidia positif. Setelah pembedahan tuba, pasangan dapat mencoba untuk dapat mengalami konsepsi secara alami. Jika dilihat secara kumulatif, sekitar 50% pasien mempunyai prognosis baik setelah dilakukan pembedahan tuba distal yang kemudian mengalami kehamilan, akan tetapi sekitar 10% kehamilan yang terjadi merupakan kehamilan ektopik. Faktor klinis yang berhubungan dengan keberhasilan terapi pembedahan tuba distal adalah diameter tuba yang lebih kecil dari 30 mm, adanya fimbria yang masih terlihat, tidak adanya adhesi pelvis, tidak adanya adhesi ovarium, usia wanita < 35 tahun, dan kondisi cadangan ovarium yang baik23. Pada wanita dengan infertilitas tuba, oklusi tuba proksimal terjadi pada 20% kasus. Penyebab oklusi tuba proksimal antara lain : debris mukus, spasme uterotubal junction, atau adanya oklusi. Oklusi seringkali disebabkan oleh fibrosis yang berhubungan dengan salpingitis isthmica nodosa, penyakit inflamasi pelvis, adenomiosis, atau fibroid. Kemajuan pesat dalam penanganan oklusi tuba proksimal yang berhubungan dengan infertilitas adalah teknik guidewire ujung fleksibel untuk mengembalikan patensi bagian proksimal tuba falopi24. Dalam sebuah studi rekanalisasi kateter fluoroskopik trans-servikal, rekanalisasi berhasil dilakukan pada 47 dari 65 tuba (72%). Dari 41 wanita dengan tuba terbuka pasca tindakan, 9 di antaranya tercatat mencapai kelahiran hidup (22%), 4 mengalami kehamilan ektopik (10%), dan 1 wanita mengalami kehamilan namun terjadi abortus25.



134



The 4th Bandung Meet the Expert 135 Untuk wanita infertil dengan penyakit tuba, penanganan dengan fertilisasi in vitro akan memberikan angka kehamilan sebesar 30% pada siklus pertama penanganan. Beberapa studi menunjukkan bahwa hidrosalping menurunkan angka kehamilan pada fertilisasi in vitro26,27.Cairan pada hidrosalping mungkin mengandung faktor toksik yang menurunkan tingkat implantasi embrio atau memiliki efek toksisitas langsung pada embrio. Sebuah meta-analisis dari tiga uji terkontrol melaporkan bahwa salpingektomi laparoskopi pada kasus hidrosalping sebelum fertilisasi in vitro akan meningkatkan angka kehamilan sebesar 75% dibandingkan tanpa tindakan28. Pada sebuah penelitian, 204 wanita secara acak dilakukan salpingektomi sebelum fertilisasi in vitro dibandingkan dengan fertilisasi in vitro tanpa salpingektomi sebelumnya29. Angka kelahiran hidup sebesar 29% pada wanita yang dilakukan salpingektomi sebelum fertilisasi in vitro dan 16% pada wanita yang langsung dilakukan fertilisasi in vitro (P < 0,05). Salpingektomi laparoskopi perlu dipertimbangkan pada seluruh wanita dengan hidrosalping sebelum dilakukan fertilisasi in vitro. Hal yang menarik adalah, pada wanita infertil dengan 1 tuba paten dengan diameter normal dan 1 tuba terblokade dengan hidrosalping, terapi pembedahan tuba dengan hidrosalping ternyata berhubungan dengan angka kehamilan spontan yang lebih baik30. Cara lain selain salpingektomi pada kasus hidropsalping sebelum fertilisasi in vitro adalah dengan penggunaan klip pada ujung proksimal tuba untuk mencegah cairan dari hidrosalping masuk ke kavum uteri yang akan menganggu interaksi embrio-endometrium31,32.



Operasi Endoskopi Fertilitas Hasil normal pemeriksaan histerosalpingografi tidak menggambarkan fungsi tuba normal yaitu fungsi untuk menangkap oosit pada fimbrie tuba atau transportasi gamet dan embrio oleh sel epitel silia. Keadaan tersebut berpengaruh pada proses transport sperma dan telur. Pada 20-70% pasangan infertilitas dengan hasil HSG normal, temuan laparoskopi menunjukan adanya kelainan intra pelvik baik adhesi perituba dan endometriosis33. Endometriosis menginduksi perubahan inflamasi kronik intrapelvik, menyebabkan gangguan mobilitas sperma, fertilisasi dan perkembangan embrio. Jika tidak ada temuan spesifik saat laparoskopi, pasangan infertil disarankan untuk mengikuti program IVF. Operasi laparoskopi pada pasien unexplained infertility dapat memperbaiki kehamilan bila ditemukan adanya endometriosis ringan atau adhesi perituba yang teridentifikasi yang dapat diperbaiki. Shimizu et al, membandingkan keberhasilan



135



Proceeding Book 136 kehamilan pada unexplained infertility setelah dilakukan operasi laparoskopi yang dilanjutkan dengan pengobatan infertilitas. Pada kelompok laparoskopi, ditemukan endometriosis sebesar 62,7 %, adhesi di daerah adnexa sebesar 7,8 % dan ditemukan endometriosis dengan adhesi sebesar 11,8%, setelah dilakukan laparoskopi, 31,4 % wanita mengalami kehamilan spontan. Di lain pihak, setelah dilakukan in vitro fertilisasi (IVF), tingkat kehamilan kumulatif pada kedua kelompok mencapai 60% dalam1 tahun pengobatan. Oleh karena itu pada wanita usia muda dengan unexplained infertility yang menginginkan kehamilan spontan, operasi laparoskopi merupakan salah satu pilihan34. Franjine, et al memperlihatkan efikasi laparoskopi fimbrioplasti. Pada penanganan unexplained infertility pada pasien usia ≤ 35 tahun. Tindakan fimbrioplasti akan mendilatasi dan memperluas area permukaan fimbriae tuba dengan membuka lumen beberapa kali menggunakan alat khusus. Dalam 1 tahun pengamatan pasca tindakan, pasien dengan unexplained infertility yang menjalani laparoskopi fimbrioplasti mempunyai tingkat kehamilan kumulatif tanpa IVF secara signifikan lebih tinggi dibandingkan hanya menjalani laparoskopi diagnostik saja (51,5%) versus (28,8%, dengan P=0,02).



Gambar 1 Tingkat kehamilan kumulatif setelah dilakukan laparoskopi operatif pada pasien dengan Unexplained infertility 35



136



The 4th Bandung Meet the Expert 137 Dilain pihak tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pasien dengan usia ≥ 35 tahun. Wanita dengan usia kurang ≤ 35 tahun, pada kelompok yang dioperasi mempunyai tingkat kehamilan yang secara signifikan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (22,7% versus 13,3%, p=0.06) (35). Salpingoskopi atau falloposkopi dapat menilai berbagai kelainan intratubal seperti adhesi, perubahan lipatan mukosa atau adanya febris. Salpingoskopi umumnya dilakukan dengan menggunakan balon kateter untuk menangani obstruksi tuba proksimal atau stenosis. Dechaud et al, meneliti perbedaan tingkat kehamilan spontan pada pasien unexplained infertility yang dilakukan HSG atau laparoskopi, dengan kelompok unexplained infertility yang tidak dilakukan falloposkopi. Pada kelompok unexplained infertility tanpa kelainan intratubal yang dibuktikan dengan falloposkopi, tingkat kehamilan lebih tinggi yaitu sebesar 28,6 % dan 33,3 % dalam 4 bulan dan 24 bulan pengamatan. Gamet dan embryo mengalir dalam saluran tuba, difasilitasi oleh aliran cairan tuba, perbedaan suhu . zat-zat kimia tertentu, hormone, steroid ovarium, kontraksi miosalping dan pergerakan silia. Pada kasus unexplained infertility, sering terjadi gangguan pada, interior slauran tua seperti hilangnya lipatan mukosa tuba atau adanya adhesi atau gangguan pembuluh darah atau debris. (gambar 2)



Gambar 2 Hasil Salpingoskopi, Lumen tuba 35



137



Proceeding Book 138 Salpingitis merupakan penyebab utama gangguan yang merubah struktur interior tuba, bakteri seperti : Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Neisseria gonorrhea, C. trachomatis, dan Mycobacterium tuberculosis, dapat menimbulkan salpingitis dengan gejala klinis nyeri perut bawah dan adanya demam pada periode awal. Meskipun demikian Salpingitis oleh N. gonorrhea, C. trachomatis, atau M. tuberculosis memberikan gejala lebih ringan dan beralih menjadi Salpingitis kronis. Pada infeksi C. trachomatis akan berakibat rusaknya mikrofili sel epitel dan silia yang dapat dicegah dengan pemberian antibiotik. Pada kasus Salpingitis kronis, peradangan meluas ke stroma subkutan tuba dan menyebabkan stenosis. Pemeriksaan dengan Salpingoskopi dapat menunjukan hilangnya lipatan mukosa tuba, adanya adhesi, gangguan aliran darah atau adanya debris di dalam lumen (Gambar 2). Keputusan apakah harus dilaparoskopi dan kapan dilakukan untuk diagnosis dan penganan endometriosis pada wanita dengan infertilitas sesuai dengan Practice Committee of the American Society of Reproductive Medicine yang menyatakan bahwa laparoskopi harus dipertimbangkan untuk digunakan sebelum menerapkan penanganan empiris yang agresif terkait pembiayaan dan risiko potensial yang terjadi. Laparoskopi diikuti dengan expectant management merupakan pilihan pada wanita usia muda yang mengalami unexplain infertility, terutama pada kelompok yang tidak meneruskan penanganan fertilitasnya. Pelayanan fertilitas bersifat elektif, dan sebagian besar tidak dijamin pihak asuransi untuk di Indonesia. Oleh karena itu, faktor nonmedis seperti biaya pengobatan, jasa medis dan spesialisasi Dokter, akan mempengaruhi pilihan penanganan. Penelitian di Eropa menemukan bahwa operasi lebih efektif dari segi biaya dibandingkan IVF pada pasien dengan endometriosis stadium awal. Tetapi, IVF direkomendasikan pada kasus endometriosis stadium berat36. Penelitian yang bersifat randomized clinical trial (RCT) menunjukan untuk stadium endometriosis III/IV tindakan operasi, lebih baik sebelum dilakukan program IVF37. Penanganan infertilitas dengan algoritma yang standar, merupakan pilihan untuk keadaan klinis tertentu. Akan tetapi, penanganan secara medisinal terkait dengan faktor kendala pembiayaan dan risiko kehamilan ganda serta tidak terdiagnosanya endometriosis. Dampak endometriosis terhadap fekunditas dan terhadap pengobatan fertilitas pada wanita dengan endometriosis baik dioperasi maupun tidak dioperasi, belum sepenuhnya dimengerti. Meskipun sudah diakui secara umum bahwa endometriosis mengganggu fertilitas, peranan laparoskopi



138



The 4th Bandung Meet the Expert 139 pada penanganan rutin pasangan dengan infertilitas yang belum terjelaskan masih kontroversial. Endometriosis tingkat lanjut memengaruhi fekunditas bahkan pada pasien yang menerapkan teknologi reproduksi38. Penelitian randomized prospective clinical trial untuk menilai luaran dua pilihan pendekatan penanganan pada pasien dengan unexplained infertility;apakah operasi laparoscopi (baik diagnostic/ therapeutic) atau langsung dilakukan program TRB(teknologi reproduksi berbantu). Pasien berjumlah 423 orang dengan hasil analisa semen normal, hasil HSG baik dan ovulasi teratur baik dengan melalui pemeriksaan ultrasonografi dan pengukuran kadar hormone, dengan profile hormon normal yang kemudian dibagi menjadi dua grup. Grup pertama dengan stimulasi ovarium terkontrol dan inseminasi selama 3 siklus, bila gagal diteruskan dengan IVF ICSI. Pada grup dua dilakukan laparoskopi baik untuk diagnosis maupun untuk terapi. Data keberhasilan kehamilan diamati pada kedua keompok. Hasil penelitian, pada grup 1 sebanyak 86 kasus (41.95%) berhasil hamil, 26 kasus (12.6%) melalui inseminasi intrauteirn ( IUI). Dan 60 kasus (29.26%) melalui ICSI. Pada grup II, laparoscopi menunjukan adanya endometriosis derajat minimal sampai mild pada 68 kasus (31.1%), endometriosis derajat moderate sampai berat pada 36 kasus (16.5%) yang kemudian dilakukan adhesiolisis dan eksisi ablasi implant endometriosis, dengan tingkat keberhasilan kehamilan setelah 1 tahun pengamatan sebesar 55.88% (38 kasus), yang 38.9% (14 kasus) diantaranya pada derajat endometriosis berat. Adanya adhesi periadneksa dan adhesi pelvis ditemukan pada 33 kasus (15.1 %) yang dikelola dengan adhesiolisis dengan keberhasilan kehamilan terjadi pada 18 kasus (54.5%), lainnya ditemukan adanya hypoplasia tuba pada 27 kasus (12.3%), dan 54 kasus (24.7%) masih belum diketahui penyebabnya tetap unexplained. Pada expectant management kasus kasus tersebut menghasilkan kehamilan pada 22.2% (6 kasus), dan 14.8% (8 kasus) secara berturut turut. Secara umum, tingkat kehamilan pada grup II sebesar 84 kasus (38.53%). OHSS terjadi pada 3 kasus, kehamilan ganda 13 kasus, abortus pada 6 kasus di grup satu, dua kehamilan ektopik pada grup 2. Seluruh kasus laparoskopi tidak terjadi komplikasi.



Kesimpulan Laparoskopi pada pasien dengan unexplained infertility diatas tiga tahun memberikan temuan diagnostik dan upaya perbaikan yang sangat berguna pada



139



Proceeding Book 140 keseluruhan kasus, memungkinkan terjadinya kehamilan spontan sebanding dengan hasil teknologi reproduksi berbantu secara bersamaan dan menghindari masalah psikologis, fisik dan masalah pembiayaan terkait teknologi reproduksi berbantu.



Reference : 1. Steures P, van der Steeg JW, Hompes PG, Habbema JDF, Eijkemans MJ, Broekmans FJ, et al. Intrauterine insemination with controlled ovarian hyperstimulation versus expectant management for couples with unexplained subfertility and an intermediate prognosis: a randomised clinical trial. The Lancet. 2006;368(9531):216-21. 2. Caburet S, Arboleda VA, Llano E, Overbeek PA, Barbero JL, Oka K, et al. Mutant cohesin in premature ovarian failure. New England Journal of Medicine. 2014;370(10):943-9. 3. Moayeri SE, Lee HC, Lathi RB, Westphal LM, Milki AA, Garber AM. Laparoscopy in women with unexplained infertility: a cost-effectiveness analysis. Fertility and sterility. 2009;92(2):471-80. 4. Guzick DS, Carson SA, Coutifaris C, Overstreet JW, Factor-Litvak P, Steinkampf MP, et al. Efficacy of superovulation and intrauterine insemination in the treatment of infertility. New England Journal of Medicine. 1999;340(3):17783. 5. Guttmacher AF. Factors affecting normal expectancy of conception. Journal of the American Medical Association. 1956;161(9):855-60. 6. Wilcox AJ, Weinberg CR, O’Connor JF, Baird DD, Schlatterer JP, Canfield RE, et al. Incidence of early loss of pregnancy. New England Journal of Medicine. 1988;319(4):189-94. 7. Practice Committee of the American Society for Reproductive M. Role of tubal surgery in the era of assisted reproductive technology: a committee opinion. Fertility and sterility. 2015;103(6):e37-e43. 8. Gomel V. Reconstructive tubal microsurgery and assisted reproductive technology. Fertility and sterility. 2016;105(4):887-90. 9. Weström L. Incidence, prevalence, and trends of acute pelvic inflammatory disease and its consequences in industrialized countries. American journal of



140



The 4th Bandung Meet the Expert 141 obstetrics and gynecology. 1980;138(7):880-92. 10. Akande VA, Hunt LP, Cahill DJ, Caul EO, Ford WCL, Jenkins JM. Tubal damage in infertile women: prediction using chlamydia serology. Human reproduction. 2003;18(9):1841-7. 11. Hubacher D, Lara-Ricalde R, Taylor DJ, Guerra-Infante F, Guzmán-Rodríguez R. Use of copper intrauterine devices and the risk of tubal infertility among nulligravid women. New England Journal of Medicine. 2001;345(8):561-7. 12. Miller WC, Ford CA, Morris M, Handcock MS, Schmitz JL, Hobbs MM, et al. Prevalence of chlamydial and gonococcal infections among young adults in the United States. Jama. 2004;291(18):2229-36. 13. Levison JH, Barbieri RL, Katz JT, Loscalzo J. Hard to conceive. New England Journal of Medicine. 2010;363(10):965-70. 14. Jindal U, Verma S, Bala Y. Favorable infertility outcomes following antitubercular treatment prescribed on the sole basis of a positive polymerase chain reaction test for endometrial tuberculosis. Human Reproduction. 2012;27(5):1368-74. 15. Mueller BA, Daling JR, Moore DE, Weiss NS, Spadoni LR, Stadel BV, et al. Appendectomy and the risk of tubal infertility. New England Journal of Medicine. 1986;315(24):1506-8. 16. Johnson N, Kwok R, Stewart A, Saththianathan M, Hadden W, Chamley L. Lipiodol fertility enhancement: two-year follow-up of a randomized trial suggests a transient benefit in endometriosis, but a sustained benefit in unexplained infertility. Human reproduction. 2007;22(11):2857-62. 17. Stumpf PG, March CM. Febrile morbidity following hysterosalpingography: identification of risk factors and recommendations for prophylaxis. Fertility and sterility. 1980;33(5):487-92. 18. De Boer A, Vemer H, Willemsen W, Sanders F. Oil or aqueous contrast media for hysterosalpingography: a prospective, randomized, clinical study. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 1988;28(1):658. 19. SEIBEL MM, KAMRAVA M, McARDLE C, TAYMOR ML. Ovulation induction and conception using subcutaneous pulsatile luteinizing hormone-releasing hormone. Obstetrics & Gynecology. 1983;61(3):292-8.



141



Proceeding Book 142 20. Steiner AZ, Diamond MP, Legro RS, Schlaff WD, Barnhart KT, Casson PR, et al. Chlamydia trachomatis immunoglobulin G3 seropositivity is a predictor of reproductive outcomes in infertile women with patent fallopian tubes. Fertility and sterility. 2015;104(6):1522-6. 21. Medicine PCotASfR. Optimal evaluation of the infertile female. Fertility and sterility. 2006;86(5 Suppl 1):S264. 22. Dlugi AM, Reddy S, Saleh WA, Mersol-Barg MS, Jacobsen G. Pregnancy rates after operative endoscopic treatment of total (neosalpingostomy) or near total (salpingostomy) distal tubal occlusion. Fertility and sterility. 1994;62(5):91320. 23. Canis M, Mage G, Pouly JL, Manhes H, Wattiez A, Bruhat MA. Laparoscopic distal tuboplasty: report of 87 cases and a 4-year experience. Fertility and sterility. 1991;56(4):616-21. 24. Sulak PJ, Letterie GS, Hayslip CC, Coddington CC, Klein TA. Hysteroscopic cannulation and lavage in the treatment of proximal tubal occlusion. Fertility and sterility. 1987;48(3):493-4. 25. Thurmond AS, Burry KA, Novy MJ. Salpingitis isthmica nodosa: results of transcervical fluoroscopic catheter recanalization. Fertility and sterility. 1995;63(4):715-22. 26. Johnson N, van Voorst S, Sowter MC, Strandell A, Mol BWJ. Surgical treatment for tubal disease in women due to undergo in vitro fertilisation. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2010(1). 27. Surgeons PCotASfRMicwTSoR. Salpingectomy for hydrosalpinx prior to in vitro fertilization. Fertility and Sterility. 2008;90(5):S66-S8. 28. Johnson N, Mak W, Sowter M. Laparoscopic salpingectomy for women with hydrosalpinges enhances the success of IVF: a Cochrane review. Human Reproduction. 2002;17(3):543-. 29. Strandell A, Lindhard A, Waldenström U, Thorburn J, Janson P, Hamberger L. Hydrosalpinx and IVF outcome: a prospective, randomized multicentre trial in Scandinavia on salpingectomy prior to IVF. Human Reproduction. 1999;14(11):2762-9. 30. Sagoskin AW, Lessey BA, Mottla GL, Richter KS, Chetkowski RJ, Chang AS, et al. Salpingectomy or proximal tubal occlusion of unilateral hydrosalpinx



142



The 4th Bandung Meet the Expert 143 increases the potential for spontaneous pregnancy. Human reproduction. 2003;18(12):2634-7. 31. Kontoravdis A, Makrakis E, Pantos K, Botsis D, Deligeoroglou E, Creatsas G. Proximal tubal occlusion and salpingectomy result in similar improvement in in vitro fertilization outcome in patients with hydrosalpinx. Fertility and sterility. 2006;86(6):1642-9. 32. Darwish AM, El Saman AM. Is there a role for hysteroscopic tubal occlusion of functionless hydrosalpinges prior to IVF/ICSI in modern practice? Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 2007;86(12):1484-9. 33. Tanahatoe SJ, Hompes PG, Lambalk CB. Investigation of the infertile couple: should diagnostic laparoscopy be performed in the infertility work up programme in patients undergoing intrauterine insemination? Human Reproduction. 2003;18(1):8-11. 34. Shimizu Y, Yamaguchi W, Takashima A, Kaku S, Kita N, Murakami T. Long‐ term cumulative pregnancy rate in women with unexplained infertility after laparoscopic surgery followed by in vitro fertilization or in vitro fertilization alone. Journal of Obstetrics and Gynaecology Research. 2011;37(5):412-5. 35. Kuroda K, Brosens JJ, Quenby S, Takeda S. Treatment strategy for unexplained infertility and recurrent miscarriage: Springer; 2018. 36. Philips Z, Barraza-Llorens M, Posnett J. Evaluation of the relative costeffectiveness of treatments for infertility in the UK. Human Reproduction. 2000;15(1):95-106. 37. Garcia-Velasco JA, Mahutte NG, Corona J, Zúñiga V, Gilés J, Arici A, et al. Removal of endometriomas before in vitro fertilization does not improve fertility outcomes: a matched, case–control study. Fertility and sterility. 2004;81(5):1194-7. 38. Barnhart K, Dunsmoor-Su R, Coutifaris C. Effect of endometriosis on in vitro fertilization. Fertility and sterility. 2002;77(6):1148-55.



143



Proceeding Book 144



UPAYA HOSPICE HOME CARE UNTUK PARA WANITA LANSIA Djamhoer Martaadisoebrata Divisi ObGinSos, Dep Obstetri Ginekologi, FKUP/RSHS



Pendahuluan Yang dimaksud dengan lansia itu adalah perode penutup dalam rentang hidup seseorang, dimulai dari umur 60 tahun sampai meninggal yang ditandai dengan perubahan yang bersifat fisik dan psikis yang semakin menurun. Menjadi tua itu adalah suatu peristiwa alamiah yang tidak bisa dihindari. Bagaimanapun majunya ilmu dan bioteknologi, peristiwa penuaan itu akan terus berlangsung. Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB), jumlah masyarakat lansia diseluruh dunia, saat ini, kurang lebih sekitar 400 juta orang atau 8.89 %. Tren ini akan terus bertambah, sehingga diperkirakan pada tahun 2030, jumlahnya akan menyentuh angka 1.4 miliar jiwa atau kurang lebih 16 % dari total populasi manusia di dunia. Kenaikan populasi lansia disertai dengan perubahan kesehatan dunia. Pada abad ke 20 menurut World Health Organization(WHO), risiko penyakit di dunia didominasi oleh penyakit menular seperti penyakit infeksi dan parasit(Communicable Diseases). Namun tren ini berubah pada abad ke 21 ketika penyakit menular tidak lagi menjadi masalah utama. Perubahan gaya hidup di abad ini menyebabkan penyakit jantung, diabetes dan kanker(Non Communicable Diseases) menjadi menyebab utama kematian di dunia. Perubahan ini terjadi juga pada kelompok lansia, terutama mereka yang hidup di negara berkembang. Bagaimana dengan masyarakat lansia di Indonesia? Keadaannya tidak jauh berbeda. Untuk pria, angka harapan hidup, naik dari 68.89 tahun pada tahun 2010 menjadi 69.30 tahun pada tahun 2018. Sedangkan untuk wanitaangka harapan hidup meningkat dari 71.83 menjadi 73.19 tahun.



144



The 4th Bandung Meet the Expert 145 Upaya pemerintah dalam menangani lansia ini dapat dilihat pada GBHN 1993 dan 1998, tetapi dibandingkan dengan negara maju, upayanya untuk menberikan kesejahteran wanita lansia ini, masih banyak tertinggal. Walaupun tiap kurun waktu mempunyai permasalahannya masing-masing, tetapi untuk kelompok lansia perlu mendapat perhatian khusus, karena : 1. Secara demografi, jumlah kelompok lansia setiap tahun, makin banyak dan memerlukan penanganan yang khusus. 2. Dengan meningkatnya kesetaraan gender, makin banyak wanita yang berkarya, berprestasi dan menjabat kedudukan yang penting di ranah publik, di samping peran domestiknya, termasuk mereka yang sudah lansia. Mereka perlu dukungan pelayanan khusus untuk menjaga QOL-nya agar kinerja dan prestasinya dapat dipertahankan selama mungkin. 3. Dengan adanya globalisasi, masuk pula budaya materialistik dan budaya yang mengagungkan kecantikan dan kemudaan, sehingga terjadilah trasnformasi budaya yang merugikan, termasuk dalam menanggapi masalah lansia. 4. Proses menuju lansia adalah suatu peristiwa alamiah, tetapidisertai dengan permasalahan dalam bentuk keluhan dan gangguan, baik berupa fisik, psikis sosial maupun spiritual. Hal ini semua memerlukan penanganan yang holistik dan humanistik.



Secara fisik, wujud mereka tampak lebih tua, dimulai dari gen, sel, jaringan dan organ yang diikuti dengan penurunan fungsi. Dilihat dari segi psikisnya, mereka juga mulai jadi pelupa, mudah tersingggung, cemas dan sering mengalami depresi. Pada saat mereka mulai menua, waktunya bersamaan dengan anakanaknya mulai dewasa. Mereka merasa tidak tergantung pada ibunya. Karena mereka mempunyai kesibukan sendiri, maka waktu kebersamaan antara ibu dan anak makin jarang dan sangat terbatas. Hal ini menyebabkan si ibu merasa tidak diperhatikan lagi oleh anak-anaknya, seperti sarang burung yang kosong karena anak-anak burung sudah bisa terbang. Situasi ini disebut sebagai The Empty Nest Syndrome1. Kalau fenomena ini dikaitkan dengan kurangnya atau hilangnya daya tarik, rasa cemas dan dipresinya akan lebih besar lagi. Dengan berkurangnya tenaga fisik dan terganggunya psikis, maka kegiatan sosialnya akan terbatas juga, terutama kegiatan di ranah publik. Sebagian besar dari wanita lansia, saat ini sudah pensiun.



145



Proceeding Book 146 Ketiga kegiatan di atas, fisik, psikis dan sosial, semua berkaitan dengan kehidupan di dunia. Bagaimana dengan segi spiritualnya? Menurut Elson(2002), spiritual adalah suatu usaha dalam mencari arti kehidupan adanya Tuhan, bahkan terjadi juga pada orang-orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Sedang menurut Akhir Yani(2000), spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungan dengan Pencipta. Banyak wanita, termasuk wanita lansia, khususnya wanita Timur, pada saat mereka mengalami penuaan, mereka mulai berfikir tentang sesuatu yang bersifat spiritual, khususnya tentang agama. Sepertinya mereka ingin lebih sering dan lebih intensif dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Dengan sikap demikian, mereka merasa lebih nyaman, puas dan bahagia. Dengan gambaran yang negatif di atas, nampaknya wanita lansia akan mengalami penurunan QOL-nya, kecuali dalam aspek spiritualnya. Untuk wanita Indonesia, pada umumnya, mereka menganggap lansia itu adalah peristiwa alamiah yang harus dijalani oleh setiap manusia. Bagi mereka, proses penuaan itu tidak dianggap sebagai hilangnya kecantikan, melainkan sebagai pematangan untuk menjadi Wanita Bijaksana. Muka keriput dan badan yang mulai bongkok, tidak menyebabkan mereka merasa malu atau terhina. Kita tahu, banyak daerah di Indonesia, di mana wanita lansia mempunya kedudukan yang terhormat. Dari segi spiritual, mereka menganggap bahwa menjadi lansia, adalah sesuatu yang patut disyukuri, oleh karena telah diberi umur yang panjang, kesempatan untuk bertaubat dan beribadah dan melakukan amal saleh. Oleh karena itu, wajar bagi mereka yang berpandangan demikian, proses lansia, tidak disertai dengan gejolak yang mengkhawatirkan, terutama dari segi psikis dan sosial. Tetapi perlu diperhatikan, bahwa akibat globalisasi, saat ini, banyak wanita Indonesia yang hidupnya ke-Barat-Baratan dengan segala konsekuensinya, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar, berpendidikan tinggi, menduduki jabatan tinggi, berkiprah di ranah publik dan berpolapikir sekuler. Tetapi, sebetulnya hidup secara Barat itu, tidak ada salahnya, asal mereka bisa dan mau mempertahankan budaya Timur, terutama dalam kehidupan beragama. Kita mengetahui juga bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak bangsa Indonesia, termasuk wanitanya, banyak berkecimpung dalam kehidupan beragama, khususnya agama Islam, baik secara habluminallah maupun



146



The 4th Bandung Meet the Expert 147 habluminannas. Ini berlaku untuk yang hidup di kota besar maupun di pedesaan. Salah satu cirinya adalah dengan makin banyaknya wanita berbusana Islam, yaitu Ber-Jilbab. Kita juga mengetahui bahwa saat ini, banyak wanita Indonesia yang berpendidikan tinggi yang berkiprah di dunia Akademisi sebagai Guru Besar dan Doktor. Atau bekerja sebagai Profesional sebagai Dokter, Insinyur, Ekonom maupun Sarjana Hukum. Kita juga tahu bahwa banyak wanita yang diangkat menjadi Pejabat Negara, antara lain menjadi.Menteri. Dalam Kabinet Jokowi yang pertama, dari 38 Menteri, delapan di antaranya Wanita, sebagian sudah masuk lansia.



Sikap para pakar biologis mengenai wanita lansia, sampai sekarang masih kontroversial,ada yang bersikap positif dan ada pula yang negatif. Sikap positif seperti yang diungkapkan oleh salah seorang pakar, mengatakan bahwa peristiwa yang sifatnya alamiah seperti lansia, tidak begitu saja dapat di “Medikalisasi”, tetapi perlu diimbangi dengan penanganan aspek psikososialnya melalui pendekatan yang Holistik, yaitu Biopsikososial yang merupakan integrasi dari Biologi, Psikologi dan Sosial. Sedangkan World Health Organization2 berpendapat bahwa menopause termasuk lansia adalah bagian dari proses penuaan yang normal dan tidak memerlukan intervensi terapi rutin, kecuali bila ada indikasi. Mereka yang bersikap negatif, menganggap lansia itu sebagai suatu “Defisiensi Estrogen” yang menyebabkan keluhan fisik, psikis dan sosial. Hal ini merupakan pembenaran terhadap tindakan klinik, antara lain, melalui upaya Terapi Sulih Hormon, sementara aspek psikososialnya, kurang di perhatikan. Sikap para dokter yang bersifat “Clinical Oriented” ini, dimanfaatkan benar oleh produsen farmasi, sehingga terjadi promosi yang berlebihan yang pada gilrannya mempengaruhi masyarakat, terutama para wanita.



Kedua sikap tersebut adalah kontroversial yang mungkin dapat merugikan para wanita, termasuk lansia. Kalau sikap itu dianggap kontroversial, apakah bisa diadakan penyesuaian atau konsensus?



147



Proceeding Book 148 Di atas telah dijelaskan bahwa bila wanita lansia tidak diberikan dukungan, baik fisik, psikis maupun sosialnya, ada kemungkinan QOL-nya akan menurun. Apa yang dimaksudkan dengan QOL itu? Dalam kepustakaan dunia kita kita menemukan berbagai definisi tentang QOL ini, antara lain yang diungkapkan dalam Wikepedia3 yang berbunyi :



Quality of Life(QOL) is the general well being of individual and societies.



Sedangkan menurut WHO4, definisi QOL adalah sebagai berikut :



Persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan keprihatinan.



Kalau dikaitkan dengan kesehatan, terminologi yang digunakan adalah Health Related Quality of Life(HRQOL)5. Bisa bersifat individu atau pada tingkat masyarakat. James A Walter6, pernah membuat definisi tentang QOL yang berkaitan dengan kesehatan yang berbunyi sebagai berikut :



The world of quality should prefer to relitionship that exist between the medical condition of the patient, on one hand, and the patient’s ability to pursue human purposes. The purposes are understood as the material, social, moral and spiriual values that transcend physical biological life. The quality reffered is the quality of relation and not a property or attribute. Thus, it is for the patients to judge that they have QOL. It means that the patients themself would evaluate that, based on medical condition, they are able to pursue values important to them at some qualitative acceptable level.



Kalau dikaitkan dengan kata lansia, definisi di atas itu mengandung tiga pengertian, yaitu :



148



The 4th Bandung Meet the Expert 149 1. Yang dimaksud dengan medical condition itu adalah LANSIA-nya sendiri. 2. Bahwa wanita lansia itu QOL-nya menurun karena ada keluhan. 3. Yang menentukan QOL itu adalah PASIEN-nya sendiri dan bersifat SUBJEKTIF.



Kalau seseorang divonis bahwa umurnya hanya tinggal beberapa bulan lagi dan orang itu mempunyai QOL yang rendah, hal initidak mudah yang diterima semua orang, oleh karena itu perlu upaya yang disebut Hospice Care, suatu perawatan Paliatif bagi pasien menjelang ajal7. Untuk meringankan penderitaan orang-orang semacam itu segala upaya penyembuhan tidak mungkin lagi. Karena itu berbagai fasilitas kesehatan menyediakan perawatan paliatif. Ada beberapa jenis perawatan paliatif, yang paling disarankan bagi pasien dengan penyakit parah adalah Hospice Care. Yang termasuk penyakit parah itu, antara lain, kanker dalam stadium terminal, penyakit jantung, paru-paru dan diabetes yang lanjut. Menurut dr Adityawati8 dari Yayasan Kanker Indonesia, Hospice Care adalah pelayanan paliatif yang suportif dan terkoordinasi, bisa disiapkan di rumah atau di rumah sakit dengan memberi pelayanan fisik, psikologis, sosial dan spiritual untuk pasien yang menunggu ajal dan keluarganya. Kalau dilakukan di rumah sakit, maka ruang perawatan akan dibuat senyaman mungkin seperti di rumah sendiri. Pada kebanyakan pasien dengan penyakit parah, tujuan perawatan paliatif itulebih ditujukan untuk memperpanjang harapan hidup dan bukan untuk mengobati penyakitnya. Menurut Dr Muhamad Ali Apriansyah9, SpPD, K-Psi, FINASIM, pelayanan paliatif juga sudah dilaksanakan di RSUP Dr Moh Husni, Palembang. Menurutnya, pelayanan paliatif adalah pelayanan interdisiplin yang memfokuskan pelayanannya kepada peningkatan kualitas hidup(QOL) dari pasien yang menderita penyakit serius. Komponen inti dari perawatan paliatif meliputi penilaian dan penatalaksanaan gejala fisik dan psikologi, identifikasi dan bantuan untuk krisis spiritual, penerapan pola komunikasi yang efektif untuk merumuskan dan mencapai tujuan akhir perawatan, memberi bantuan dalam pengambilan keputusan medis yang kompleks, dan koordinasi perawatan yang dilakukan oleh orang/keluarga terdekat, klinisi, pembimbing rohani dan pekerja sosial. Pada waktu dahulu, pelayanan paliatif, lebih ditujukan kepada pasienpasien kanker, tetapi dengan berjalannya waktu, kondisi penyakit kronik progresif



149



Proceeding Book 150 lainnya seperti gagal jantung, penyakit paru obstruktif menahun, gagal ginjal kronik, stroke dan HIV/AIDS juga memerlukan perawatan ini. Di negara maju, 70% dari kematian berasal dari penyakit-penyakit tersebut. Seperti diketahui, mereka yang memerlukan perawatan paliatif melalui Hospice Care itu, mempunyai QOL yang rendah. Keadaan ini berlaku juga pada wanita lansia. Karena itu, dapat dimengerti bahwa upaya perawatan paliatif melalui Hospice Care, dapat digunakan juga pada wanita lansia. Seperti telah diterangkan di atas, banyak wanita lansia yang mengalami gangguan fisk, psikis dan sosial.Berarti mengalami penurunan pada QOL-nya. Dalam hal ini harus ada upaya untuk memperbaiki keadaan fisik, psikis dan sosialnya. Kalau perlu diberikan konsuling untuk spiritualnya. Menurut falsafah ilmu Obstetri Ginokologi Sosial10, setiap pelayanan kesehatan selalu mempunyai dua tujuan, yaitu : 1. Pertama, ditujukan kepada penyakit atau keluhannya agar bisa hilang penyakitnya atau paling sedikit berkurang keluhannya. 2. Kedua, ditujukan kepada orangnya, dalam hal ini, wanita lansia, agar wanita tersebut mendapat kenyamanan dan kepuasan baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritualnya. Untuk tujuan pertama digunakan istilah CURE, sedangkan untuk tujuan kedua digunakan istilah CARE. CURE bagi wanita lansia merupakan upaya untuk memperbaiki fisiknya melalui : 1. Pengaturan gizi yang seimbang, di antaranya mengurangi kafein, gula dan garam. 2. Membatasi lemak, serta menambah vitamin, mineral dan fitoestrogen. 3. Di samping, dianjurkan untuk berolah raga aerobik secara teratur, istarahat dan tidur yangcukup. 4. Kalau perlu ditambah dengan Terapi Sulih Hormon. CARE, utamanya, bertujuan untuk memberikan konseling agar keluhan psikis, sosial dan spiritualnya, bisa berkurang atau hilang sama sekali.



150



The 4th Bandung Meet the Expert 151 Seperti telah dikatakan di atas, bahwa sikap para pakar medis dalam menghadapi wanita lansia itu, bersifat kontroversial. Oleh karena itu harus diadakan kesepakatan atau konsesus. Yang dimaksudkan dengan konsensus di sini adalah upaya Hospice Home Care berupa Perawatan Paliatif, untuk mengurangi keluhan fisik, psikis dan spiritualnya, yang pada gilirannya akan meningkatkan QOL-nya.



Kesimpulan 1. Lansia adalah suatu peristiwa alamiah yang harus dijalani oleh semua orang, termasuk wanita. 2. Wanita lansia di Indonesia bisa menjadi masalah besar karena jumlahnya makin lama makin banyak dan banyak di antara mereka yang bertugas di ranah publik, baik sebagai akademisi, profesional maupun pejabat negara. 3. Sikap para pakar biomedis dalam menghadapai wanita lansia, bersifat kontroversial, oleh karena itu perlu diambil kesepakatan atau konsensus agar tidak merugikan. 4. Konsensusnya adalah dalam bentuk Hospice Home Care atau Perawatan Paliatif. 5. Perawatan Paliatif yang semula digunakan untuk menangani orang-orang yang berpenyakit parah, sekarang bisa digunakan untuk menangani wanita lansia. 6. Dilihat dari ilmu Obstetri Ginekologi Sosial, Perawatan Paliatitif itu tidak banyak berbeda dengan upaya CURE dan CARE yang proporsional.



Rujukan 1. Mayo Clinic. Empty Nest Syndrome : Tips for coping. 2. WHO. Menopause. http://en.wikipedia.org./wiki/Menopause. 3. Wikipedia. Quality of Life. http://en.wikepedia.org/wiki/Quality of Life. 4. World Health Organization. (1997). WHOQOL: Measuring Quality of Life. http://www.who.int.mental_health/media/68.pdf. 5. BMJ Group blogs. Quality of Life and health related quality of life – is there a difference? 27 Jan 2014.



151



Proceeding Book 152 6. Walter JA. Quality of Life in Health C Allocation: Encyclopedia of Bioethics, Rev.Ed. 1995, Simon and Schuster and Prentice Intrnational. 7. http://www.suara.com/health/2018/08/24/155935/hospice-care-per. 8. Dr Adityawati, M Biomedic http://www.suara.com/health/2018/08/24/15593/ hospice-care-per. 9. Dr Muhammad Ali Apriansyah, SpPD, K-Psi, FINASIM. “WORLD HOSPICE & PALLIATIVE CARE DAY 2018” BERDAMAI DENGAN KONDISI. 10. Martaadisoebrata D. Perkembangan Obstetri Ginekologi Sosial. Buku Obstetri Ginekologi Sosial. Wawasan, Kebijakan dan Kompetensi. Ed. I, 20.



152



The 4th Bandung Meet the Expert 153



PERANAN SpOG DALAM TATALAKSANA KANKER ENDOMETRIUM STADIUM AWAL Siti Salima



I. PENGERTIAN DAN EPIDEMIOLOGI Kanker endometrium adalah tumor ganas epitel primer pada jaringan endometrium. Jenis kanker ini biasanya memiliki diferensiasi glandular dan berpotensi untuk menginvasi miometrium hingga metastasis jauh. Kanker endometrium merupakan jenis kanker yang menempati urutan keenam kanker pada perempuan dan urutan kedua belas di dunia. Sebanyak 290.000 kasus baru kanker endometrium ditemukan pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 5% dari total kasus kanker pada perempuan. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memiliki insidensi kanker endometrium tertinggi. Pada tahun 2012, insidensi kanker endometrium di Eropa mencapai 13,6 per 100.000 perempuan. Risiko terjadinya kanker endometrium meningkat seiring dengan peningkatan usia dan mayoritas didiagnosis setelah menopause. Lebih dari 90% kasus kanker endometrium terjadi pada perempuan berusia lebih dari 50 tahun, dengan median 63 tahun. Kanker endometrium terdapat dua subtipe berdasarkan patologi, yaitu tipe I (endometriod) yang berhubungan dengan hormon estrogen, dan tipe II (non-endometrioid) yang tidak berhubungan dengan hormon estrogen. Setiap subtipe memiliki perubahan genetik yang spesifik, tipe I (endometrioid) terjadi mutasi PTEN, PIK3CA, K-RAS dan CTNNBI (β-catenin), sedangkan tipe II (nonendometrioid) terutama serosa dan clear cell ditandai dengan mutasi p53 dan kromosom yang tidak stabil.



153



Proceeding Book 154 II. FAKTOR RISIKO A. Indeks Massa Tubuh (IMT) yang tinggi meningkatkan tingkat kejadian/ incidens rate dan risiko kematian pada kanker endometrium. B. Usia menarche kurang dari 12 tahun. C. Usia menopause lebih dari 55 tahun. D. Nullipara. E. Infertilitas. F. Penggunaan estrogen jangka panjang (terapi pengganti estrogen: risiko meningkat 2-20 kali bergantung pada durasi penggunaan). G. Penggunaan tamoxifen (agonis estrogen di tulang dan jaringan endometrium) meningkatkan risiko 6-8 kali. H. Perempuan dengan Lynch syndrome atau Hereditary NonPolyposis Colon Cancer (HNPCC). I.



Perempuan dengan riwayat kanker endometrium pada keluarga di usia kurang dari 50 tahun, riwayat kanker payudara atau ovarium sebelumnya, riwayat radiasi pelvis, dan hiperplasia endometrium (risiko meningkat 10 kali lipat).



J.



Perempuan dengan Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) meningkatkan risiko 4 kali lipat.



K. Diabetes melitus tipe 2, minimal dengan 2 gejala sebagai berikut : HbA1c > 6.5%, kadar gula darah puasa ≥126 mg/dl; kadar gula darah 2 jam pp ≥200 mg/dl.



III. DIAGNOSIS A. Anamnesis



Faktor predisposisi: overweight atau obesitas, rangsangan estrogen terus menerus, sindrom metabolik, gaya hidup sedentari, infertilitas, menarche dini, menopause terlambat (>52 tahun), nulipara, siklus anovulasi, pengobatan tamoxifen, dan hiperplasia endometrium. Faktor yang melindungi terhadap penyakit ini: pil kontrasepsi, kontrasepsi hormonal.



154



The 4th Bandung Meet the Expert 155 Gejala dan tanda: perdarahan uterus abnormal (80-90%) berupa metrorhagia pada periode perimenopause maupun perdarahan pascamenopause.



B. Pemeriksaan Fisik



• Uterus berbentuk dan berukuran normal atau lebih besar dari normal • Cervix biasanya licin atau mungkin juga terdapat proses • Parametrium biasanya masih lemas • Biasanya pada adneksa tidak terdapat massa



C. Pemeriksaan Penunjang



• Ultrasonografi / SIS (Saline Infusion Sonography). • Pippele (mikrokuret). • Kuretase bertingkat. • Sitologi Endometrium (Endoram). • Histeroskopi diagnostik dengan atau tanpa biopsi terarah. • Pemeriksaan Imaging: USG (transvaginal dan/atau transrektal dan abdominal), MRI, dan SIS membantu menilai invasi ke miometrium, pembesaran kelenjar getah bening pelvik dan paraaortik, invasi ke adneksa maupun ke parametrium. • Pemeriksaan Ca 125 jika terdapat invasi ke adneksa, atau kecurigaan kanker ovarium.



D. Diagnosis Banding •



Kanker serviks







Kanker ovarium







Kanker korpus uteri



155



Proceeding Book 156 IV. STADIUM DAN KLASIFIKASI KANKER ENDOMETRIUM. A. Klasifikasi Kanker Endometrium Berdasarkan Subtipe Bokhman Tabel 1. Klasifikasi dan Karakteristik Kanker Endometrium berdasarkan subtipe Bokhman. Tipe I



Tipe II



Gambaran klinis yang Sindrom metabolik, obesitas, Tidak ada menyertai hyperlipidemia, hiperglikemia, dan peningkatan konsentrasi estrogen Ekspresi reseptor hormon



Positif (estrogen dependent).



Negatif (non-estrogen dependent)



Tipe histologi



Endometrioid Grade I –II (diferensiasi baik-sedang)



Non-endometrioid (serosa, clear cell carcinoma)



Adenokarsinoma



Endometrioid grade III (diferensiasi buruk)



Distribusi



85%



15%



Mutasi genetik



Kras, PTEN, MLH1



P53, erbB2



Prognosis



Baik (angka kesintasan selama Buruk (angka kesin5 tahun ialah 85%) tasan selama 5 tahun ialah 55%)



B. Klasifikasi Stadium Kanker Endometrium Tabel 2. Klasifikasi kanker endometrium menurut FIGO dan TNM berdasarkan karakteristik operatif dan histologi. Stadium FIGO



156



Kategori TNM



Tumor primer tidak dapat dinilai



-



TX



Tidak ada bukti adanya tumor primer



-



T0



Karsinoma in situ



-



Tis



Tumor terbatas pada korpus uteri



I



T1



Tidak ada invasi atau invasi 8 hari



Volume (jumlah perdarahan perbulan)



Berat atau ringan



Didefinisikan secara subjektif



203



Proceeding Book 204 Perdarahan menstruasi berat (PMB) Pendarahan menstruasi berat (PMB) adalah sub-kategori PUA dan memiliki pendekatan yang berpusat pada wanita untuk penegakan diagnosisnya. Alihalih menggunakan pengukuran objektif berupa volume, yang secara tradisional didefinisikan sebagai > 80 mL / siklus menggunakan metode alkalin-hematin atau menggunakan skor PBAC (Pictorial Blood Assessment Chart), NICE mendefinisikan HMB sebagai kehilangan darah menstruasi yang berlebihan (menstrual blood loss [MBL]) yang mengganggu fisik, kualitas sosial, emosional dan / atau material kualitas hidup lainnya. Beberapa penulis telah menemukan korelasi yang baik antara kehilangan darah subyektif dan aktual.7



Demografis PUA adalah suatu kondisi yang umum ditemui dan sering melemahkan kondisi wanita di seluruh dunia. Hal ini memiliki implikasi klinis dan menghabiskan biaya yang tinggi untuk sistem perawatan kesehatan. Fibroid uterus, penyebab umum PUA, diperkirakan menelan biaya sebesar $5,9 hingga $34,4 miliar per tahun di Amerika Serikat. PUA menyerang 14-25% wanita dalam kelompok usia reproduktif yang menghasilkan sebagian besar rujukan dokter umum di dalam NHS.8 Audit PMB baru-baru ini oleh Royal College of Obstetricians and Gynecologists (RCOG), menilai hasil dan pengalaman pasien di Inggris dan Wales, melaporkan bahwa dalam 1 tahun pasca rujukan, hanya 30% wanita (termasuk yang dikelola dengan operasi) ‘puas’ (atau lebih baik) pada prospek gejala menstruasi yang masih berlanjut, seperti yang dialami saat ini, selama 5 tahun ke depan.1,9 Dengan demikian, masalah menstruasi merupakan kebutuhan dari area klinis yang tidak terpenuhi.



Klasifikasi PUA PALM-COEIN Terdapat sembilan kategori utama, Polip; Adenomiosis; Leiomioma; Keganasan (Malignancy) dan Hiperplasia; Koagulopati (Coagulopathy); Disfungsi ovulasi (Ovulatory dysfunction); Endometrium; Iatrogenik; dan Tidak terklasifikasikan (Not otherwise classified). Secara umum, komponen kelompok PALM adalah entitas diskrit (struktural) yang dapat diidentifikasi secara visual dengan teknik pencitraan dan / atau histopatologi, sedangkan kelompok COEIN terkait dengan entitas yang tidak didefinisikan oleh pencitraan atau histopatologi (non-struktural).3



204



The 4th Bandung Meet the Expert 205 Istilah “DUB”, yang sebelumnya digunakan sebagai diagnosis ketika penyebab lokal maupun struktural tidak dapat ditentukan untuk PUA, harus ditinggalkan. Wanita-wanita ini umumnya memiliki satu atau kombinasi dari kondisi koagulopati, kelainan ovulasi, atau kelainan endometrium primer, dan kondisi terakhir ini paling sering menjadi gangguan primer atau sekunder pada hemostasis endometrium lokal.4



Polip (PUA-P) Polip endometrium merupakan proliferasi epitel yang timbul dari stroma dan kelenjar endometrium. Mayoritas penderita tidak menunjukkan gejala. Prevalensi polip endometrium yang dilaporkan sangat bervariasi bergantung pada definisi polip, metode diagnostik yang digunakan, dan populasi yang diteliti. Polip dapat terjadi pada endometrium atau endoserviks.1



Adenomiosis dan PUA (PUA-A) Adenomiosis didefinisikan sebagai keberadaan kelenjar endometrium dan stroma ektopik di miometrium, meskipun hingga saat ini masih menjadi suatu entitas yang kurang dipahami. Prevalensi adenomiosis sulit dipastikan karena variasi yang luas dalam kriteria diagnostik baik dengan modalitas pencitraan maupun histologi. Diperkirakan konfirmasi histologis dari adenomiosis berkisar antara 5-70% dari pasien yang menjalani histerektomi.



Leiomioma dan PUA (PUA-L) Fibroid uterus (mioma, leiomioma) adalah tumor jinak yang paling umum ditemukan pada wanita usia reproduktif dan terdapat pada hampir 80% dari semua wanita usia 50 tahun. Hubungan antara PUA dan fibroid sangat kompleks dan masih kurang dipahami, karena wanita dengan fibroid dapat tidak mengalami gejala. Terdapat korelasi antara PUA dan tingkat distorsi dan penetrasi rongga rahim yang terkait dengan fibroid. Fibroid submukosa dianggap paling sering berkaitan dengan PUA / PMB.



Keganasan dan hiperplasia (PUA-M) Hiperplasia dan keganasan endometrium adalah penyebab potensial penting dari PUA dan harus dipertimbangkan pada hampir semua wanita usia reproduktif. Setelah diidentifikasi, patologi keganasan dan hiperplasia harus diklasifikasikan lebih lanjut menggunakan sistem WHO atau FIGO yang sesuai. Di Inggris, kanker endometrium adalah kanker paling umum keempat pada wanita. Secara historis, kanker endometrium jarang terjadi pada wanita pramenopause; Namun, dengan meningkatnya obesitas dan prevalensi sindrom metabolik,



205



Proceeding Book 206 rangkaian proses keganasan endometrium yang didorong oleh faktor endokrin telah meningkat secara signifikan dalam hal frekuensi.



Koagulopati (PUA-C) Bukti kuat telah menunjukkan bahwa sekitar 13% wanita dengan PMB memiliki gangguan hemostasis sistemik yang dapat dideteksi secara biokimiawi, paling sering adalah penyakit von Willebrand. Pendekatan terstruktur untuk anamnesis seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dapat mengidentifikasi 90% wanita dengan gangguan sistemik hemostasis. PMB dapat terjadi akibat penggunaan obat antikoagulan seperti warfarin, heparin, dan heparin dengan berat molekul rendah. Terdapat gangguan pembentukan “sumbatan” atau gumpalan yang memadai dalam lumen vaskular. Awalnya FIGO MDC menentukan bahwa jenis PUA iatrogenik ini harus ditempatkan dalam kategori AUB-C. Pembaruan pada tahun 2018 dari sistem klasifikasi FIGO, PALM-COEIN telah memindahkan PUA yang terkait dengan antikoagulasi ke dalam kategori “AUB-I”. 3



Disfungsi ovulasi (PUA-O) Disfungsi ovulasi (anovulasi) seringkali bersifat sekunder akibat adanya gangguan lain yang mengakibatkan fluktuasi hormon seperti sindrom ovarium polikistik, hipotiroidisme, hiperprolaktinemia, stres mental, obesitas, anoreksia, penurunan berat badan, atau olahraga ekstrem. Disfungsi ovulasi sering terjadi pada titik ekstrem usia reproduksi: remaja dan menopause. Dalam beberapa kasus, fluktuasi hormon mungkin bersifat iatrogenik, yang disebabkan oleh steroid seks atau obat-obatan yang memengaruhi metabolisme dopamin. Pembaruan tahun 2018 dari sistem klasifikasi FIGO, PALM-COEIN merekomendasikan bahwa terapi yang mengganggu sumbu H-P-O dan terkait dengan AUB, sekarang ditempatkan dalam kategori “AUB-I”.



Endometrial (PUA-E) PUA yang terjadi dalam konteks uterus normal secara struktural dengan siklus menstruasi teratur tanpa adanya koagulopati cenderung mewakili gangguan endometrium primer dari mekanisme yang mengatur hemostasis endometrium lokal. Tes yang dapat mengukur kelainan tersebut saat ini belum tersedia.



206



The 4th Bandung Meet the Expert 207 Iatrogenik (PUA-I) Perdarahan endometrium tidak terjadwal yang terjadi selama penggunaan terapi steroid seks disebut sebagai “pendarahan terobosan (breakthrough bleeding [BTB])” dan merupakan komponen utama dari klasifikasi ini. Sangat mungkin bahwa banyak episode perdarahan yang tidak terjadwal atau BTB terkait dengan penurunan kadar hormon sirkulasi bersifat sekunder karena masalah kepatuhan seperti konsumsi yang terlewat, tertunda, atau tidak menentu, penggunaan antikonvulsan dan antibiotik (misalnya Rifampin dan griseofulvin) dan merokok. Hal ini dapat mengurangi kadar steroid dalam kontrasepsi karena adanya peningkatan metabolisme hati. Banyak wanita mengalami bercak atau pendarahan vagina yang tidak terduga dalam 3-6 bulan pertama penggunaan levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) dan harus dikonseling dengan tepat. Memang, semua metode kontrasepsi tunggal progestin berkaitan dengan episode perdarahan tidak terjadwal pada 20% pengguna dan semua wanita harus diberikan konseling mengenai efek samping ini. Antidepresan trisiklik (misalnya amitriptilin dan nortriptiline) dan fenotiazin memengaruhi metabolisme dopamin dengan mengurangi penyerapan serotonin dan menyebabkan penurunan inhibisi pelepasan prolaktin. Hal ini dapat menyebabkan anovulasi dan konsekuensi terjadi PUA. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa PUA terkait dengan penggunaan antikoagulan, saat ini obat-obatan tersebut juga termasuk dalam kategori ini sesuai dengan pembaruan klasifikasi FIGO, PALM-COEIN 2018.4



“Belum” diklasifikasikan [AUB-N; direvisi pada tahun 2018 menjadi “tidak” diklasifikasikan] Entitas seperti endometritis kronis, malformasi arteriovenosa; atau perdarahan dari bekas luka operasi caesar atau isthmocoele dapat dikaitkan dengan atau berkontribusi pada PUA / PMB. Tabel 3. Terminologi yang Telah Ditinggalkan Menorrhagia Metrorrhagia Dysfunctional Uterine Bleeding (DUB) Epimenorrhea dan Epimenorrhagia Hipomenorrhea dan Hipermenorrhea Polimenorrhea dan Polimenorrhagia Menometrorrhagia Oligomenorrhea



207



Proceeding Book 208 Tabel 4. Mengidentifikasi Wanita dengan PUA-C Anamnesis terstruktur—positif jika:



(a) Pendarahan menstruasi yang berlebihan sejak menarche, atau (b) Terdapat riwayat salah satu dari—perdarahan postpartum, perdarahan terkait operasi, atau perdarahan terkait dengan perawatan gigi, atau



(c) Terdapat riwayat dua atau lebih dari—memar lebih dari 5 cm sekali atau dua kali / bulan, epistaksis sekali atau dua kali / bulan, perdarahan gusi yang sering, riwayat keluarga dengan gejala perdarahan.



Tabel 5. Daftar Riwayat pada Wanita dengan PUA Riwayat pada Wanita dengan PUA Riwayat Menstruasi



Gejala Penyerta



Riwayat Seksual dan Reproduktif



• Kalender menstruasi (frekuensi, durasi, volume, keteraturan) • Durasi gejala PMB / PUA • Berdampak pada kualitas hidup (QoL) • Perdarahan intermenstrual • Pendarahan pasca koitus • Umur saat menarche (jika relevan)



• Nyeri selama haid (dismenore) • Nyeri panggul kronis • Keputihan yang tidak normal • Gejala tekanan (sembelit, frekuensi buang air kecil)



• Paritas dan mode kelahiran • Memerlukan preservasi kesuburan • Memerlukan kontrasepsi • Infeksi Menular Seksual (IMS) • Riwayat apusan serviks



Riwayat Personal



Riwayat Keluarga



• Merokok • Venous Thromboem• Konsumsi alkohol bolic events (VTE) • Gangguan sistemik • Kanker • Riwayat obat (farmakolo- • Gangguan hemostasis gis dan rekreasional) • Faktor pekerjaan • Penambahan atau penurunan berat badan belakangan ini • Penapisan koagulopati (Tabel 4)



208



The 4th Bandung Meet the Expert 209 Pendekatan Tatalaksana PUA Anamnesis terstruktur dan gejala terkait lainnya dapat menunjukkan potensi penyebab yang mendasari PUA. Hal ini mungkin dapat merepresentasikan penyebab struktural (PUA-L, PUA-P, PUA-A), PUA iatrogenik (PUA-I), dan gangguan ovulasi (PUA-O). PUA-M harus selalu dipertimbangkan terutama pada wanita dengan peningkatan IMT, diabetes, hipertensi, PCOS, usia> 45 tahun, nulliparitas, menopause terlambat, pajanan estrogen terus-menerus, penggunaan tamoxifen, riwayat keluarga berupa kanker payudara, kanker usus besar, kanker endometrium misalnya sindrom Lynch atau faktor risiko lain untuk kanker endometrium. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, AUB-C juga dapat didiagnosis dengan riwayat yang terstruktur. Tabel 5 merangkum riwayat yang sesuai pada wanita yang mengalami AUB.1,8



Rangkaian Pemeriksaan pada PUA / PMB Tabel 6 merangkum rangkaian pemeriksaan pada wanita dengan PUA / PMB sesuai dengan pedoman NICE terkini.10



Tatalaksana PUA / PMB Tatalaksana pada wanita dengan AUB / HMB sangat kompleks dengan melibatkan interaksi antar beberapa faktor. Tatalaksana yang dapat dilakukan termasuk diantaranya perawatan konservatif (periode pengamatan), perawatan medis atau bedah (terapi eksisi dan non-eksisi), bergantung pada usia pasien, paritas, penyebab perdarahan, morbiditas yang menyertai, keinginan untuk menjaga kesuburan, dampak pada kualitas hidup dan preferensi pasien. Tatalaksana non-farmakologis: Penjelasan yang lengkap mengenai penyebab PUA sangat penting dan eksklusi patologis akan menghilangkan ketakutan dan memberikan ketenangan, sehingga wanita dapat memilih untuk hanya memantau siklus menstruasi mereka menggunakan kalender menstruasi. Pemantauan menjadi lebih mudah dengan banyaknya “aplikasi” yang tersedia di gawai pintar modern hari ini. Olahraga teratur dan pemeliharaan indeks massa tubuh yang sehat (IMT) harus direkomendasikan karena IMT yang lebih tinggi sering berkaitan dengan PUA-O. Olahraga dan diet sehat juga akan membantu membatasi anemia



209



Proceeding Book 210 defisiensi besi, meningkatkan kadar energi dan meningkatkan kualitas hidup. Tatalaksana farmakologis: Gambar 1 menyajikan pendekatan yang disederhanakan untuk wanita yang mengalami PUA / PMB dan Tabel 7 memberikan ringkasan metode farmakologis yang umum digunakan untuk mengobati wanita dengan PUA / PMB.



Fibroid dan PUA / PMB Penyebab PUA / PMB yang sangat umum adalah fibroid (mioma, leiomioma). Fibroid uterus adalah tumor jinak yang paling umum ditemukan pada wanita usia reproduktif. Meskipun histerektomi menawarkan solusi permanen untuk keluhan PUA / HPB, sebagian besar fibroid simtomatik terlihat pada wanita yang lebih muda yang menginginkan preservasi uterus dan/atau kesuburan dan oleh karena itu perawatan medis memiliki peran penting dalam hal ini. Kemungkinan, terapi medis yang paling penting untuk pengelolaan fibroid dalam beberapa tahun terakhir adalah modulator reseptor progesteron selektif (SPRM). SPRM memberikan efek antagonis progesteron parsial spesifikjaringan dan bertindak pada reseptor progesteron dalam endometrium dan jaringan miometrium yang mendasarinya. Ulipristal asetat (UPA) adalah satusatunya SPRM yang secara khusus disetujui dan dikomersialkan hingga saat ini untuk pengelolaan fibroid uterus simtomatik. UPA mengontrol PMB pada lebih dari 90% wanita, dengan penurunan perdarahan secara keseluruhan mirip dengan penggunaan agonis GnRH tetapi memiliki onset amenorea yang lebih cepat (biasanya dalam 10 hari). Kadar estradiol dipertahankan pada rentang fase pertengahan folikuler selama pengobatan sehingga mengurangi gejala menopause. UPA memang menyebabkan perubahan endometrium jinak yang digambarkan sebagai PAEC (modulator reseptor progesteron terkait perubahan endometrium). Perubahan ini dapat dikembalikan setelah penghentian pengobatan. Penggunaan UPA telah ditinjau pada bulan Februari 2018 oleh Badan Obat Eropa (EMA) dan Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan (MHRA) karena adanya delapan laporan gangguan hati yang serius, termasuk kasus gagal hati yang membutuhkan transplantasi hati, yang dilaporkan di Eropa pada wanita yang menggunakan UPA untuk fibroid uterus. Pedoman MHRA terbaru pada Agustus 2018 setelah penyelesaian tinjauan EMA tersedia dilaman ini - https://www.gov. uk/drug-safety-update/esmya-ulipristalacetate-and-risk-of-serious-liver-injury-



210



The 4th Bandung Meet the Expert 211 new-restrictions-to-useand-requirements-for-liver-function-monitoring-beforeduringand-after-treatment. Indikasi terbatas dan kontraindikasi baru untuk penggunaan UPA (Agustus 2018) di Inggris dirangkum dalam Tabel 8. Vilaprisan adalah SPRM terbaru yang saat ini tengah diteliti. Tabel 6. Rangkaian Pemeriksaan pada Wanita dengan PUA sesuai Pedoman NICE Rangkaian Pemeriksaan pada Wanita dengan PUA / PMB Tipe



Pemeriksaan Spesifik Indikasi



Pemeriksaan Hitung jenis darah darah lengkap



Pemeriksaan baseline untuk eksklusi anemia



Profil tiroid



Pada wanita dengan gejala gangguan tiroid



Penapisan koagulasi



Pada wanita yang memiliki PMB sejak awal haid atau mereka yang memiliki riwayat personal atau keluarga yang menunjukkan gangguan koagulasi



Profil hormon wanita Tidak dilakukan secara rutin Serum ferritin Histologi



Tidak dilakukan secara rutin



Sampel endometrium Dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan hiperplasia endometrium dan/atau kanker. NICE (2018) mengusulkan unutk menghindari blind endometrial sampling dan sebaiknya dilakukan dalam konteks histeroskopi.



Pencitraan



Ultrasonografi



Ultrasonografi (transvaginal) adalah metode yang lebih disukai untuk menyingkirkan kelainan struktural misalnya fibroid, atau adenomiosis. Jika tidak disetujui, USG transabdominal atau magnetic resonance imaging (MRI) harus dijadwalkan.



211



Proceeding Book 212 Histeroskopi



NICE (2018) menyarankan bahwa tiap wanita harus direkomendasikan untuk menjalani histeroskopi rawat jalan yang dilakukan secara vaginoskopis dalam konteks “melihat dan mengobati”, jika riwayat mereka menunjukkan adanya fibroid submukosa, polip atau patologi endometrium sebagai penyelidikan lini pertama.



Tatalaksana Non-Bedah untuk PUA / PMB Ablasi endometrium (generasi kedua) dan reseksi endometrium transservikal (TCRE), merupakan metode non-eksisi untuk mengobati PUA / PMB dan menawarkan alternatif selain histerektomi pada wanita yang tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan kesuburan. Kedua prosedur tersebut efektif dengan tingkat kepuasan yang tinggi. Meskipun histerektomi dikaitkan dengan waktu operasi yang lebih lama, periode pemulihan yang lebih lama dan tingkat komplikasi pasca operasi yang lebih tinggi, metode ini menawarkan solusi permanen dari perdarahan menstruasi berat. Terapi non-eksisi untuk fibroid meliputi; Embolisasi Arteri Uterus (UEA). Magnetic Resonance Imaging dipandu Ultrasonografi Frekuensi Tinggi (MRgFUS), Radiofrequency Volumetric Thermal Ablation (RFVTA), Ligasi Arteri Uterus Laparoskopis atau Vaginalis, Termomiolisis Laparoskopi, dan Laparoskopi Cryomyolysis.



Tatalaksana Bedah untuk PUA / PMB Topik ini di luar bahasan ruang lingkup artikel ini untuk penyebab individual PUA / PMB (penyebab struktural PALM), namun ringkasan singkat disajikan pada Tabel 9.



212



The 4th Bandung Meet the Expert 213 Tabel 7. Tatalaksana Farmakologis untuk PUA Terapi



Bukti Aman Guna



Asam traneksamat (TXA)



40% -50% pengurangan pendarahan menstruasi per siklus. Terapi anti fibrinolitik bekerja lebih baik dalam memerbaiki kondisi perdarahan menstruasi daripada terapi medis lainnya, kecuali jika dibaandingkan dengan levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS). Tidak ada bukti bahwa terdapat peningkatan efek samping (termasuk sumbatan bekuan darah yang mengancam jiwa) dibandingkan dengan plasebo atau terapi lain untuk PMB. TXA sangat berguna pada wanita yang menginginkan kehamilan segera atau untuk mereka yang tidak dapat menjalani pengobatan hormonal. Obat ini hemat biaya dan meningkatkan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan.



Obat anti-inflamasi non-steroid (NSAIDs)



Manfaatnya tidak banyak; meskipun perdarahan memang berkurang, secara proporsional merka masih akan memiliki PMB objektif. Kemungkinan efek gastrointestinal lebih kecil pada asam mefenamat dibandingkan dengan NSAID lainnya. Efektivitas NSAID dapat dilampaui oleh asam traneksamat dan LNG IUS. NSAID dapat bermanfaat pada wanita yang disertai oleh dismenore.



Levonorgestrelreleasing intrauterine system (LNG-IUS)



Penurunan signifikan pada perdarahan dari baseline pada wanita dengan PMB, termasuk wanita dengan fibroid tanpa distorsi rongga rahim dibandingkan dengan terapi oral standar. Lebih efektif daripada terapi medis oral dan menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik (QoL). Tidak seefektif histerektomi dalam mengurangi perdarahan tetapi dengan peningkatan kualitas hidup yang setara. Peran LNG-IUS sebagai terapi untuk PMB pada tataran primer dibandingkan dengan terapi medis lainnya ditunjukkan oleh studi ECLIPSE.



Progestogen siklik (mis. Medroksiprogesteron asetat atau Norethisteron)



Progestogen yang diberikan dari hari ke 15 atau 19 hingga hari ke 26 dari siklus tidak memberikan keuntungan dibandingkan terapi medis lainnya. Terapi progestogen selama 21 hari (hari 5-26) dari siklus menghasilkan penurunan volume perdarahan menstruasi yang signifikan (hingga 80%), meskipun pilihan terapi ini kurang dapat diterima dibandingkan dengan LNG-IUS.



213



Proceeding Book 214



214



Pil kontrasepsi oral kombinasi (COCP)



COCP dapat mengontrol siklus dan mengurangi perdarahan menstruasi (hingga 50%), tetapi tidak ada data yang cukup untuk menentukan nilainya dibandingkan dengan obat lain. COCP dapat digunakan secara trifase atau trisiklus untuk mengurangi jumlah episode perdarahan menstruasi menjadi 3-4 kali per tahun. Kriteria UKMEC dapat digunakan untuk menilai kesesuaian (http://www.fsrh.org/ukmec/).



Progestogen injeksi, mis. depot medroksiprogesteron asetat



Injeksi progestogen dosis tinggi secara intramuskular atau subkutan (mis., Depot medroksiprogesteron asetat [DMPA]) dapat menginduksi amenorea hingga 50% dari penggunanya. Para wanita mungkin akan mengalami penurunan kepadatan mineral tulang sementara dengan penggunaan jangka panjang namun bersifat reversibel.



Gonadotropinreleasing hormone agonists (IM, SC atau intranasal)



Memiliki efikasi yang sangat baik, dengan tingkat amenorea hingga 90%. Namun, berkaitan dengan efek samping menopause yang sangat signifikan akibat defisiensi estrogen yang membatasi penggunaan rutin atau sementara. Batasan efek samping ini dapat dicapai dengan terapi penggantian hormon ‘tambahan’ (HRT, mis. Tibolone) yang biasanya diberikan setelah 6 bulan penggunaan.



Pil progestron tunggal (POP atau Minipill)



POP berkaitan dengan perdarahan yang tidak teratur dan tidak terduga dan biasanya tidak direkomendasikan sebagai pengobatan utama untuk PUA kecuali terapi lain gagal atau dikontraindikasikan. Desogestrel yang mengandung POPs dapat memberikan pengobatan yang efektif pada beberapa wanita.



Tatalaksana spesifik terhadap keluhan



Topik mengenai perawatan untuk masing-masing penyebab PUA / PMB, mis. AUB-C dikelola menggunakan DDVAP dan / atau asam traneksamat, di luar ruang lingkup pembahasan artikel ini



PUA akut (nongestasional)



Meskipun bukti yang terpercaya masih terbatas pada kelompok wanita ini, namun sejauh ini, baik COCP dan medroksiprogesteron asetat memiliki efek yang serupa.



The 4th Bandung Meet the Expert 215 Tabel 8. Indikasi Terbatas dan Kontraindikasi Baru untuk Penggunaan UPA (Agustus 2018) di Inggris Indikasi



Pemantauan Fungsi Hati



• UPA diindikasikan untuk perawatan intermiten gejala fibroid uterus sedang hingga berat pada wanita usia reproduktif yang tidak memenuhi syarat untuk operasi



• Sebelum memulai terapi apapun: lakukan pemeriksaan fungsi hati; jangan memulai UPA pada wanita dengan baseline alanine transaminase (ALT) atau aspartate aminotransferase (AST) lebih dari 2 kali batas atas normal [ULN]



• UPA diindikasikan untuk satu siklus perawatan pra-operasi dengan gejala fibroid uterus sedang hingga berat pada wanita dewasa usia reproduksi



• Selama 2 siklus terapi UPA pertama: lakukan pemeriksaan fungsi hati setiap bulan.



• Perawatan UPA harus dimulai dan diawasi oleh dokter yang berpengalaman dalam diagnosis dan perawatan fibroid uterus



• Untuk siklus terapi lebih lanjut: lakukan pemeriksaan fungsi hati sekali sebelum tiap siklus baru dan jika terdapat indikasi secara klinis.



• UPA dikontraindikasikan pada wanita dengan gangguan hati



• Di akhir tiap siklus perawatan: lakukan pemeriksaan fungsi hati setelah 2-4 minggu. Hentikan perawatan UPA dan pantau wanita dengan ALT atau AST lebih dari 3 kali batas normal; pertimbangkan perlunya perujukan kepada spesialis hepatologi.



215



Proceeding Book 216



216



The 4th Bandung Meet the Expert 217 Tabel 9. Terapi Bedah untuk PUA Penyebab PUA / PMB



Terapi Pembedahan



Polip



Avulsi (umumnya polip servikal) Reseksi atau pengangkatan histeroskopis



Adenomiosis



Adenomiomektomi Histerektomi



Leiomioma (fibroid)



Miomektomi Histerektomi Pertimbangkan pra-perawatan dengan analog GnRH atau SPRM



Keganasan



Seringkali kombinasi dari operasi eksisi radikal +/- radioterapi +/- kemoterapi atau operasi paliatif.



Simpulan PUA adalah suatu kondisi yang umum ditemukan dan berdampak negatif pada kualitas hidup wanita di seluruh dunia dan memiliki implikasi klinis serta biaya tinggi untuk sistem perawatan kesehatan. Akronim PALM-COEIN dapat digunakan sebagai dasar perawatan; dan dapat meningkatkan pemahaman tentang penyebab PUA, dan dengan demikian akan memfasilitasi proses anamnesis, pemeriksaan, investigasi dan tatalaksana selanjutnya secara efektif. Tersedia berbagai pilihan pengobatan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan keinginan preservasi rahim / kesuburan, untuk mengurangi kegagalan pengobatan, meningkatkan tingkat kepuasan dan menghindari kebutuhan untuk operasi eksisi besar.



DAFTAR PUSTAKA 1. Chodankar R, Critchley HOD. Abnormal uterine bleeding (including PALM COEIN classification). Obstetrics, Gynaecology and Reproductive Medicine. 2019;29(4):98-104. 2. Mishra D, Sultan S. FIGO’s PALM-COEIN Classification of Abnormal Uterine Bleeding: A Clinico-histopathological Correlation in Indian Setting. J Obstet Gynaecol India. 2017;67(2):119-25.



217



Proceeding Book 218 3. Munro MG, Critchley HO, Broder MS, Fraser IS, Disorders FWGoM. FIGO classification system (PALM-COEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age. Int J Gynaecol Obstet. 2011;113(1):313. 4. Munro MG, Critchley HOD, Fraser IS, Committee tFMD. The two FIGO systems for normal and abnormal uterine bleeding symptoms and classification of causes of abnormal uterine bleeding in the reproductive years: 2018 revisions. International Journal of Gynecology & Obstetrics. 2018;143(3):393-408. 5. Maybin JA, Critchley HOD. Menstrual physiology: implications for endometrial pathology and beyond. Human Reproduction Update. 2015;21(6):748-61. 6. Toz E, Sanci M, Ozcan A, Beyan E, Inan AH. Comparison of classic terminology with the FIGO PALM-COEIN system for classification of the underlying causes of abnormal uterine bleeding. Int J Gynaecol Obstet. 2016;133(3):325-8. 7. Kouides PA, Conard J, Peyvandi F, Lukes A, Kadir R. Hemostasis and menstruation: appropriate investigation for underlying disorders of hemostasis in women with excessive menstrual bleeding. Fertility and Sterility. 2005;84(5):1345-51. 8. Khrouf M, Terras K. Diagnosis and Management of Formerly Called “Dysfunctional Uterine Bleeding” According to PALM-COEIN FIGO Classification and the New Guidelines. J Obstet Gynaecol India. 2014;64(6):388-93. 9. National Heavy Menstrual Bleeding Audit. London: The Royal College of Obstetricians and Gynaecologist; 2014. 10. Whitaker L, Critchley HOD. Abnormal uterine bleeding. Best practice & research Clinical obstetrics & gynaecology. 2016;34:54-65.



218



The 4th Bandung Meet the Expert 219



PERAN VITAMIN D DALAM INFERTILITAS Anita Rachmawati



Pendahuluan Vitamin D adalah suatu hormone steroid yang disintesis terutama oleh kulit dengan paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dikonversi menjadi 25OH-D oleh hepatic 25-hydroxylase dan kemudian dikonversi oleh 1α-hydroxylase di ginjal menjadi bentuk aktif 1,25OH-D. enzim renal 1α-hydroxylase juga ditemukan di jaringan lain, seperti ovarium, otak, prostat, dan kolon, yang memungkinkan sintesis lokal bentuk aktif vitamin D. Aksi biologis vitamin D dimediasi oleh reseptor vitamin D (VDR). Reseptor vitamin D teridentifikasi tidak hanya di jaringan yang meregulasi kalsium, seperti usus, tulang, dan kelenjar paratiroid, tetapi juga di banyak organ reproduksi, seperti ovarium (terutama sel granulosa), uterus, plasenta, testis, hipotalamus, dan hipofise. Ekspresi VDR di berbagai jaringan tersebut menimbulkan dugaan peran vitamin D pada fungsi reproduksi. Defisiensi vitamin D ternyata cukup banyak dialami perempuan, bahkan di negara tropis yang kaya akan sinar matahari. Insufisiensi atau defisiensi vitamin D dilaporkan terjadi pada 58% hingga 91% perempuan dengan infertilitas. Defisiensi vitamin D ditentukan bila kadar serum 25OH-D