Proposal PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ARSITEKTUR BANGUNAN GEREJA SUMBER KASIH DI KELURAHAN KANDAI, KECAMATAN KENDARI, KOTA KENDARI



PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI



Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Proposal Penelitian Pada Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo



OLEH LA ODE MUHAMAD ILHAM N1B1 15 110



FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2019



HALAMAN PERSETUJUAN Telah selesai diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk dipertahankan di depan panitia Seminar/Ujian Proposal penelitian pada Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo. Judul Proposal



: Arsitektur Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai, Kecamatan Kendari, Kota kendari.



Nama Mahasiswa



: La Ode Muhamad Ilham



Stambuk



: N1B1 15 110 Kendari, September 2019 Menyetujui:



Pembimbing I



Pembimbing II



Dr. H. Ishak Kadir, ST., MT NIP. 19690214 199512 1 001



Salniwati, S.Pd.,M.Hum NIP. 19880810 201504 2 002



Mengetahui; Ketua Jurusan Arkeologi



Dr. Syahrun, S. Pd.,M.Si. NIP. 19780818 200812 1 001



DAFTAR ISI



Halaman SAMPUL HALAMAN PERSETUJUAN ...........................................................................



ii



DAFTAR ISI........................................................................................................



iii



BAB I PENDAHULUAN....................................................................................



1



1.1.Latar Belakang ........................................................................................



1



1.2.Rumusan Masalah...................................................................................



7



1.3.Tujuan Penelitian ....................................................................................



7



1.4.Manfaat Penelitian ..................................................................................



8



BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP, DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................



9



2.1.Tinjauan Pustaka ....................................................................................



9



2.2.Landasan Konsep ...................................................................................



14



2.2.1. Arsitektur Kolonial di Indonesia………....………….…….....



16



2.2.2. Arsitektur Gereja.........................................................................



19



2.2.3. Fungsi Utama Gereja...................................................................



22



2.3.Kerangka Pikir .......................................................................................



23



BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................



26



3.1.Jenis Penelitian.......................................................................................



26



3.2.Lokasi Penelitian....................................................................................



26



3.3.Teknik Pengumpulan Data.....................................................................



27



3.3.1. Studi Pustaka...............................................................................



27



3.3.2. Observasi.....................................................................................



27



3.3.3. Wawancara..................................................................................



28



3.3.4. Dokumentasi ...............................................................................



28



3.4.Teknik Analisis Data..............................................................................



29



3.4.1. Analisis Stilistik ..........................................................................



29



3.4.2. Analsis Morfologi .......................................................................



29



3.4.3. Analisis Arsitektural....................................................................



30



3.5. Interpretasi.............................................................................................



30



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Arsitektur adalah bagian dari kebudayaan manusia berkaitan dengan berbagai segi kehidupan antara lain: seni, teknik, ruang/tata ruang, geografi dan sejarah. Oleh karena itu ada beberapa batasan dan pengertian tentang arsitektur, tergantung dari segi mana memandangnya. Dari segi seni, arsitektur adalah seni bangunan termasuk di dalamnya bentuk dan ragam hiasnya. Dari segi teknik, arsitektur adalah sistem mendirikan bangunan termasuk proses perancangan, konstruksi, struktur, dan dalam hal ini juga menyangkut aspek dekorasi dan keindahan. Dari segi sejarah, kebudayaan, dan geografi, arsitektur adalah ungkapan fisik dan peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan waktu tertentu. Arsitektur sudah ada sejak adanya usaha manusia untuk melindungi dirinya dari alam ataupun gangguan makhluk hidup lain baik binatang maupun manusia dari kelompok lain. Sejak itu hingga sekarang dan masa akan datang, arsitektur akan selalu berkembang dalam bentuk semakin kompleks, sejalan dengan perkembangan peradaban dan budaya termasuk ilmu pengetahuan, teknologi dan tuntutan kebutuhan manusia (Sumalyo, 2004). Kajian mengenai arsitektur dalam arkeologi telah banyak dilakukan terutama yang berupa tinggalan bangunan, tinggalan ini dapat dilihat dari masa Pra-sejarah, Hindia Belanda, Hindu-Budha, Islam, dan kolonial,. Pada masa penjajahan Belanda



Indonesia mengalami pengaruh barat dalam beebagai segi kehidupan termasuk kebudayaan. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan bangunan (Sumalyo, 1993). Ciri khas bangunan kolonial Belanda pada awal abad 20 memiliki bentuk yang unik. Perpaduan antara arsitektur modern Eropa dan arsitektur Nusantara yang beriklim tropis basah mempengaruhi bentuk suatu karya arsitektur hingga menghasilkan ciri yang unik. Perpaduan bentuk tersebut biasanya selalu memasukan unsur-unsur tradisional kedalam bentuk arsitekturnya. Sebagai akibatnya bentuk kolonial Belanda di Nusantara memiliki ciri yang berbeda dengan bangunan yang ada di Belanda (Sumalyo, 1993). Sejarah Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia pada hakekatnya merupakan bagian integral dari sejarah perkembangan arsitektur Indonesia. Arsitektur Kolonial di Indonesia menurut Sumalyo (1993), merupakan fenomena budaya yang unik, karena terjadi percampuran budaya antara pendatang dengan kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam. Pengaruh percampuran budaya yang dibawa oleh bangsa Belanda pada arsitektur bangunan dan bentuk kota yang ada di Indonesia merupakan gaya dan konsep arsitektur yang sedang berkembang di benua Eropa pada masa tersebut. Gaya dan konsep arsitektur tersebut disesuaikan dengan iklim tropis dan ketersediaan bahan di Indonesia, sehingga diperoleh bentuk baru yang menyerupai bentuk di negara mereka. Bentuk yang lahir dari percapuran budaya pada masa tersebut lebih dikenal dengan gaya Arsitektur Kolonial. Arsitektur Kolonial Belanda tersebar luas hampir diseluruh wilayah Nusantara. Kolonialisasi yang dilakukan oleh



bangsa Belanda di Indonesia menghasilkan banyak sekali tinggalan berupa bangunan yang bergaya arsitektur Kolonial. Arsitektur kolonial di Indonesia adalah bentuk budaya yang khas. Terkait dengan periode perkembangan arsitektur dan wilayahnya, perwujudan bentuk baru dalam karya arsitektur di berbagai tempat di Indonesia memiliki perbedaan dan ciri khas tersendiri. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut mencakup masalah-masalah yang berhubungan dengan perbedaan kepercayaan asal, ideologi, serta berkaitan juga dengan seni budaya masyarakat setempat. Percampuran dua unsur arsitektur tersebut menghasilkan bentuk khas yang tidak terdapat di Eropa maupun Indonesia ( Handinoto, 2008). Kearifan lokal telah menjadi dasar pada dua arsitekur kolonial, namun dengan tampilan berbeda. Gaya Neo-Klasik yang sedang populer saat itu (gaya Eropa, tampilan monumental) menjadi juga memperhatikan alam/budaya lokal . Sampai saat ini, arsitrktur kolonial Belanda masih banyak terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya (Handinoto, 2010: 24). Pemandangan kota dengan bangunan-bangunan megah yang mewakili zamanya, menjadikan suatu daya tarik wisata. Namun banyak juga bangunan yang bernilai sejarah dan budaya tinggi digerogoti oleh kepentingan komersial dan digantikan oleh arsitektur modern yang mengikuti selera internasional. Hasilnya, kota yang seragam dan monoton (Danisworo, 1999: 104). Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh barat dalam berbagai sendi kehidupan termasuk kebudayaan, hal tersebut dapat dilihat dari bentuk



kota dan bangunan. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa para pengelola kota dan para arsitek Belanda, sedikit banyak menerapkan konsep lokal dan tradisional dalam merencanakan pengembangan, pemukiman, dan bangunan. Hal tersebut tercermi n pada arsitektur dari tinggalan arkeologi yaitu peninggalan Belanda (Heryanto, 2015:180-181). Bangunan purbakala dari masa kolonial dalam bentuk arsitektur salah satunya berupa bangunan gereja. Gereja memiliki fungsi sebagai tempat peribadatan yang diperuntukan bagi umat kristen. Bangunan gereja dalam kajian ilmu arkeologi termasuk ke dalam kategori fitur. Keberadaan gereja sebagai produk hasil penjajahan kolonial penting penting bagi bagi ilmu arkeologi karena dapat memberikan informasi mengenai sejarah kebudayaan manusia serta pendukung produk kebudayaan pada masa lalu. Selain keberadaan bangunan gereja juga menjadi bukti sejarah masuknya agama Kristen ke Indonesia. Pemahaman yang menyeluruh terhadap kepurbakalaan kolonial dalam hal ini bangunan dapat memberikan informasi penting mengenai cara hidup manusia pada masa lalu. Hal ini sesuai dengan tujuan arkeologi yang berupaya mengukapkan cara manusia hidup dan berinteraksi pada masa lalu. Bangunan dan setiap komponen pendukung bangunan yang ada di dalamnya dalam pandangan konsep tiga wujud kebudayaan kebudayaan fisik. Dengan kata lain dapat juga dikatakan sebagai wujud kebudayaan yang paling nyata/konkret (Koentjaraningrat, 1990: 186-188). Gereja Sumber Kasih menjadi objek dalam penelitian ini merupakan gereja yang didirikan pada tahun 1928 untuk umat beragama Kristen Protestan. Gereja ini



berlokasi di Kelurahan Kandai, Kota Kendari. Bangunan gereja berbatasan dengan Masji Raya Kota Lama sebelah Utara, Gereja Oikumene sebelah Selatan, PT. Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) sebelah Barat, dan Pelabuhan Wanci pada sebelah Timur. Secara keseluruhan denah gereja berbentuk persegi panjang. Gedung gereja didirikan diatas rangka beton karena tanah yang dipakai untuk pondasi kurang keras dan terletak di bibir jurang yang rawan longsor. Bangunan gereja membujur dari arah Barat Daya dengan pintu dengan pintu masuk utama ke arah Barat. Seperti pada umumnya gereja Protestan, Gereja Sumber Kasih berada di sudut barat daya bangunan utama gereja. Pintu kayu model terbuka tengah berada tepat di depan bagian tengah. Dinding bagian utara dilengkapi dengan tiga jendela kaca serta tiga lubang ventilasi di atas jendela. Gereja ini dibangun pada tahun 1928, tetapi telah mengalami penggantian bahan asli, seperti atap sirap yang berganti menjadi seng, atau teras yang sekarang sudah dilapisi dengan tegel moderen. Beberapa tahapan renovasi bangunan sudah dilakukan tetapi bentuk bangunan utama dan menara tetap dipertahankan. Sekarang, pengelolaan gereja masuk dalam lembaga Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Gereja dengan ukuran jauh lebih besar yang berada di selatan Gereja Sumber Kasih merupakan Gereja baru ( Kemedikbud, 2018). Jika dilihat dari bentuk bangunannya arsitektur gereja ini sangat dipengaruhi oleh arsitektur Nusantara atau lebih tepatnya bentuk arsitektur tropis, walaupun gereja ini dibangun pada masa penjajahan belanda namun bentuk arsitektur gereja ini sangant dipengaruhi oleh arsitektur yang yang ada di Indonesia, hal ini dapat di lihat dari bentuk atap gereja yang mempunyai bentuk atap plana, bentuk atap ini bukan



merupakan gaya arsitektur yang datang dari Belanda atau di negara Eropa lainnya. Hal ini mungkin dikarenakan perbedaan iklim dan curah hujan sangat tinggi di Kota Kendari sehingga gereja memiliki bentuk plana. Arsitektur kolonial Belanda yang terdapat pada gereja ini hanya berupa menara yang terletak di depan gereja. Menara gereja memeiliki kesamaan bentuk dengan gereja kolonial Belanda lainya yang ada di Kota Jakarta yaitu Gereja Emmanuel. Terjadinya akulturasi arsitektur pada Gereja Sumber Kasih menciptakan bentuk bangunan yang unik dan memiliki ciri tersendiri yang tidak terdapat pada gereja kolonial Belanda lainnya seperti pada Kota Jakarta, Makkasar, Medan, Semarang, Malang dan kota-kota lainnya yang di Indonesia. Ciri arsitektur lainya dari gereja ini yang tidak dipengaruhi arsitektur kolonial Belanda adalah ornamen dan ragam hias gereja, ornamen dan ragam hias gereja lebih dipengaruhi ciri arsitektur yang terdapat di Indonesia hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dan ideologi pada masyarakat setempat pada saat pembangunan Gereja Sumber Kasih sehingga bentuk gereja ini lebih condong pada arsitektur Nusantara. Berdasarkan hasil observasi, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mendalam di Gereja Sumber Kasih didasari oleh beberapa alasan, diantaranya adalah: Pertama, Gereja Sumber Kasih merupakan merupakan gereja peninggalan kolonial Belanda yang ada di Kota Kendari, dimana gaya arsitektur gereja ini sangat kental dengan arsitektur Nusantara Walaupun dibangun pada masa kolonial Belanda, sehinnga sangat menarik untuk dilakukan penelitian secara mendalam mengenai gaya arsitektur gereja ini. Kedua, Penelitian secara mendalam mengenai Gereja Sumber



Kasih sangat penting untuk dilakukan guna membantu mengenali hal-hal yang terjadi pada masa lalu, terutama yang tercermin pada bangunan gereja tersebut. Oleh karena itu, memahami bentuk arsitektur Gereja Sumber Kasih merupakan salah satu topik penelitian yang menarik. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka judul penelitian ini adalah “Arsitektur Bangunan Gereja Sumber Kasih Di Kelurahan



Kandai, Kecamatan



Kendari, Kota Kendari. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengukapkan tiga permasalahan yaitu: 1. Bagaimana karakteristik bangunan Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai? 3. Bagaimana gaya arsitektur bangunan Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai? 1.3 Tujuan Penelitian Dari permasalahan yang telah diajukan diatas maka tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk dapat menjelaskan karakteristik bangunan Gereja Sumber Kasih. 2. Untuk dapat menjelaskan faktor yang mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai.



3. Untuk mendeskripsikan gaya arsitektur yang terdapat pada Gereja Sumber Kasih. 1.4 Manfaat Penelitian a.



Manfaat Teoritis Dengan memahami dan memecahkan permasalahan di atas, diharapan output dari



kajian ini dapat memberi kontribusi terhadap penulisan-penuliasan sejarah bidang arkeologi, khususnya sejarah arsitektur pada masa kolonial Belanda di Kota Kendari. b. Manfaat Praktis Agar dapat menjadi acuan terhadap stakeholder dalam upaya penataan kawasan tanpa mengasinkan keberadaan bangunan-bangunan bersejarah, sehingga tercipta sebuah kota modern yang menjunjung nilai tinggi sejarah dan bernuansa kota kuno, selain itu juga diharapkan dapat berkontribusi terhadap dunia pendidikan di Indonesia terutama di Kota Kendari.



BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP, DAN KERANGKA PIKIR



2.1 Tinjauan Pustaka Sebagai sebuah tinjauan pustaka dan referensi pada penelitian ini, peneliti mengambil probalistik dari beberapa penelitian tentang arsitektur gereja diantaranya penelitian yang dilakukan penelitian relevan lainya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tornado Gregorius Silitonga (2011) dengan judul“ Gaya Bangunan Gereja Pniel Di Pasar Baru, Jakarta”. Dalam penelitian ini Tornado Gregorius Silitonga telah menyimpulkan hasil penelitianya bahwa beberapa gaya bangunan yang terdapat diGereja Pniel diantaranya gaya Romanesque, Gotik, Art Nouveau, Art & Craft, Modern, serta gaya tradsional Jawa. Penerapan Elektisme terlihat jelas pada bangunan Gereja Pniel. Percampuran gaya bisa terjadi karena berbagai hal, di antaranya: mencari gaya yang terbaik, adaptasi tehadap iklim dan budaya di Indonesia, dan berbagai faktor lainnya. Pemakaian atap limasan tidak ditemui pada bangunan yang bergaya Romanesque pada umumnya. Penggunaan atap limasan memiliki suatu fungsi tertentu. Curah hujan yang cukup tinggi di wilayah Nusantara lebih tepat penggunaanya dibandingkan dengan penggunaan atap datar yang biasa diaplikasikan oleh bangunan-bangunan bergaya Romanesque.



Beberapa komponen arsitektur yang terdapat pada Gereja Pniel juga memiliki kesamaan dengan beberapa bangunan kolonial yang dibangun pada awal abad ke-20. Komponem yang dimaksud tidak dikenali sebagai komponen yang berasal dari Eropa. Komponen atap tritisan yang terdapat pada Gereja Pniel memiliki arti fungsional. Pemakaian atap tritisan berfungsi sebagai penyesuain terhadap cuaca di daerah tropis. Hal ini dikarenakan bentuk atap tidak dapat melindungi secara baik bangunan dari terpaan panas dan hujan. Pemakaian atap tritisan berfungsi sebagai penghalang sianar matahari di saat cuaca panas, sedangkan pada musim penghujan, komponen tersebut berfungsi sebagai penglang tampiasan hujan masuk daklam ruangan. Penelitian yang dilakukan oleh Tornado Gregorius Silitonga dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki kesamaan kerena sama-sama membahas gaya arsitektur pada Gereja namun pada objek yang berbeda. Penelitian relevan pernah dilakukan Alwin Suryono dkk (2012) dengan judul “Pelestarian Arsitektur Gereja Katedral Peninggalan Kolonial Belanda Di Kota Bandung”. Dalam penelitian ini Alwin Suryono dkk menyimpulkan bangunan Gereja Katedral Bandung adalah bangunan Cagar Budaya yang memiliki makna kultural amat baik dan letaknya strategis di Kota Bandung. Elemen arsitekturnya ialah: 1). Aspek bentuk: selubung bangunan megah, sakral, indah; tata ruang bertema salib gotik yang indah, nyaman dan sakral. 2). Aspek fungsi: dinding selubung berfungi struktur utama dan penyerap bising/lembab; plafon bergaya Gotik berperan sebagai elemen akustik dan keindahan; jendela-jendela sebagai sumber penerangan alami dan elemen estetik tema Gotik; menara lonceng dan ornamen salib sebagai simbol



spiritual. 3). Aspek makna: bangunan berproporsi tinggi, menara lonceng, lambang salib merupakan elemen-elemen bermakna spiritual (kini terganggu dengan adanya bangunan tinggi-besar di persil sebelah); selubung bangunan Gotik bermakna sejarah. Makna kultural Gereja ini terletak pada nilai-nilai arsitektural, kekriyaan, keteknikan dan simbolik. Nilai sejarah pada gaya arsitektur Neo-Gotik, sedangkan nilai kelokalan kurang berperan. Elemen-elemen arsitektur tersebut masih utuh, asli, kokoh, hanya ada kerusakan kecil, kotor, lembab, dan berkarat. Maka tindakan pelestarianya adalah Preservasi, yaitu mempertahankan bangunan dan mencegah kerusakan tanpa perubahan, melalui perawatan rutin dan pengendalian lingkungan berupa tanaman penyerap polusi dan peneduh berdaun jarum. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Alwin Suryono lebih merujuk pada pelestarian Gereja Katedral di Kota Bandung, sedangkan dalam penelitian ini tidak membahas pelestarian Gereja melainkan lebih menjabarkan keseluruhan arsitektur Gereja Sumber Kasih. Penelitian relevan pernah dilakukan Andrew Huwae (2013) dengan judul “ Salib di ujung Timur Nusa Leasa: Gereja Ebenhaezer, Tinggalan Kolonial di Desa Sila-Leinitu Kecamatan Nusalaut.



Dalam penelitian ini Andrew Huawe



menyimpulkan Gereja Ebenhaezer berbentuk empat persegi panjang dan mempunyai ruang tambahan di sebelah belakang sebagairuang persiapan yang biasa disebut sebagairuang konsistori, sering digunakan jugasebagai tempat pertemuan maupun tempatpenyimpanan peralatan. Dipandang darisegi tata ruang di dalam gereja Ebenhaezer,diketemukan bahwa tata ruang dibagi berdasarkan status, baik status itu



menyangkut kedudukan seseorang ditengah pemerintahan maupun status didalam jemaat gereja. Hal ini dapat diperjelas oleh tiga tata ruang yang terdapat di dalam bangunan gereja Ebenhaezer, yaitu tata ruang tempat ibadah, tata ruang konsistori dan tata ruang halaman, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1). Mimbar utama dan mimbar tambahan berada di bagian selatan, dimana letak mimbar tambahan tepat di bawah atau di depan mimbar utama. Mimbar utama dan tambahan terbuat dari kayu eboni, khusus mimbar tambahan, bentuknya polos atau tidak ada pola hias. Namun mimbar utama berbentuk persegi delapan dan dilengkapi dengan kanopi berpola hias matahari (dalam kepercayaan agama suku di Maluku, matahari dianggap sebagai upu l ani t e atau penguasa langit). Mimbar utama ditopang oleh fondasi setinggi 1,75 M dan tinggi mimbar sendiri berukuran 110 M. (2). Tempat duduk khusus untuk para majelis, keluarga pendeta, keluarga raja dan keluarga staf saniri (pemerintahan desa), serta pemuka masyarakat. Letak tempat duduk para majelis bersama keluarganya berada di sebelah selatan, letaknya persis disamping kanan mimbar utama atau berada dibagian depan dari anggota jemaat gereja lainnya. Tempat duduk dari para pelayan gereja berbentuk bangku, dengan ukuran panjang 4, 25 M dan dibatasi dengan susunan kayu tipis berbentuk pagar sebagai pembatas tanpa pola hias. Sedangkan tempat duduk staf saniri dan raja terletak di bagian utara. Posisi tempat duduk raja dan staf saniri beserta keluarganya berada di bagian utara. Tempat duduk para saniri berada di bagian kanan bawah tempat duduk raja, juga dibatasi dengan susunan kayu tipis berbentuk pagar, dengan ukuran panjang 3, 06 M. Sedangkan tempat duduk raja dan keluarga mendapat porsi istimewa



(kedudukannya lebih tinggi dari para jemaat lainnya), sebagai tanda penggolongan strata tertinggi dalam masyarakat. Tempat duduk raja dan keluarga berbentuk undakan yang terdiri dari dua baris, dengan motif hias mahkota pada bagian atasnya, serta berukuran panjang 2, 32 M. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Andrew Huwae lebih merujuk pada fungsi dari bangunan Gereja Ebenheazer, sedangkan persamaan dalam penelitian ini sama-sama membahas arsitektur dan karateristik arsitektur. Penelitian relevan pernah dilakukan Muhammad Andi Rajab (2018) dengan judul “Analisis Arsitektur bangunan Kolonial eks Kantor Bupati Kolaka Pertama, Kelurahan Latambaga, Kecamatan Latambaga, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara”. Dalam penelitian ini Muhammad Andi Rajab menyimpulkan Bangunan eks Kantor Bupati Kolaka Pertama merupakan salah satu tinggalan kolonial Belanda yang berada di kawasan sejarah Kolaka terdapat bangunan rumah jabatan, penjara zaman Jepang, serta mercusuar. Bangunan ini dahulu digunakan sebagai kantor penyebrangan setelah itu berpindah tangan ke pihak ASDP dan sampai sekarang masih sekarang pihak ASDP sebagai rumah dinas pegawai. Bangunan Kolonial eks Kantor Bupati Kolaka Pertama memiliki karakteristik yang sangat bervariasi dangat sederhana seperti pada tampak depan bangunan yang terdapat pintu, jendela, dan ventilasi udara yang memiliki bentuk dan pola yang sama sedangkan pada jendela bagian Timur bangunan yang beriorientasi arah Selatan dan Utara bangunan.



Bangunan ini dahulu digunakan sebagai gedung perkantoran pada zaman Belanda yang ditandai dengan karakter bangunan Kolonial eks Kantor Bupati Kolaka Pertama, bangunan memanjang sama sisi dan terdapat pula pintu utama pada sisi tengah bangunan yang memiliki teras, jendela, dan pintu bagunan yang memiliki karakter yang sama bertujuan untuk memaksimalkan udara yang masuk bentuk atap limas dan plana. Berdasarkan hasil analsis bangunan Kolonial eks Kantor Bupati Kolaka Pertama dapat diketahui bahwa bangunan ini di pengaruhi oleh gaya arsitektur Belanda pada periode tahun 1920 sampai tahun 1940-an, hal tersebut mencerminkan dari arah hadap Barat dan Timur, pada jedela, pintu, ventilasi udara bangunan yang berukuran besar bertujuan untuk memaksimalkan udara yang masuk kedalam ruangan bangunan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Andi Rajab lebih merujuk pada fungsi dari bangunan eks Kantor Bupati Kolaka Pertama, sedangkan persamaan dalam penelitian ini sama-sama membahas arsitektur dan karateristik arsitektur. 2.2 Landasan Konsep Pengertian arsitektur merupakan bagian dari kebudayaan manusia dan berkaitan dengan segi kehidupan, yaitu: seni, teknik, ruang, letak/geografi dan sejarah. Jika ditinjau dari segi seni, arsitektur adalah seni bangunan, seperti bentuk dan dekorasinya. Dari segi teknik, arsitektur dapat diartikan sebagai sistem dalam mendirikan sebuah bangunan, baik dalam proses perancangan, konstruksi dan struktur, maupun nilai estetikanya. Sedangkan dari segi ruang, arsitektur adalah upaya



dalam memenuhi kebutuhan ruang manusia untuk melakukan berbagai aktifitas. Jika ditinjau dari segi sejarah dan letak/geografi, arsitektur adalah peninggalan sejarah pada suatu daerah dalam batasan waktu dan tempat tertentu. (Sumalyo, 1997). Menurut Marcus Pollio Vitruvius (1548) arsitektur adalah kesatuan dari kekuatan/kekokohan (firmitas), keindahan (venustas), dan kegunaan/fungsi (utilitas). Menurut Francis DK Ching (1979) arsitektur membentuk suatu tautan yang mempersatukan ruang, bentuk, teknik dan fungsi. Menurut Amos Rapoport (1981) arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari sekedar fisik, tapi juga menyangkut pranata-pranata budaya dasar. Pranata ini meliputi: tata atur kehidupan sosial dan budaya masyarkat, yang diwadahi dan sekaligus memperngaruhi arsitektur. Sedangkan menurut Y.B. Mangunwijaya (1992) arsitektur sebagai vastuvidya (wastuwidya) yang berarti ilmu bangunan. Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur tropis merupakan representasi konsep bentuk yang dikembangkan berdasarkan respon terhadap iklim yang dialami oleh Negara Indonesia yaitu tropis lembab. Konsep arsitektur tropis, pada dasarnya adalah adaptasi bangunan terhadap iklim tropis, dimana kondisi tropis membutuhkan penanganan khusus dalam desainnya. Pengaruh utama berasal dari kondisi suhu tinggi dan kelembaban tinggi,



dimana pengaruhnya ada pada tingkat kenyamanan ketika pengguna berada dalam ruangan. Tingkat kenyamanan seperti tingkat sejuk udara dalam bangunan, oleh aliran udara, adalah salah satu contoh aplikasi konsep bangunan tropis. Meskipun konsep bangunan tropis selalu dihubungkan dengan sebab akibat dan adaptasi bentuk (tipologi) bangunan terhadap iklim, banyak juga interpretasi konsep ini dalam tren yang berkembang dalam masyarakat; sebagai penggunaan material tertentu sebagai representasi dari kekayaan alam tropis, seperti kayu, batuan ekspos, dan material asli yang diekspos lainnya. (Lippsmeier, 1994). 2.2.1 Arsitektur Kolonial di Indonesia 2.2.1.1 Arsitektur Indische Empire (Abad 18-19) Arsitektur Indische Empire style di Indonesia menurut Handinoto (2008), diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat dia bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811). Indische Empire (gaya Imperial) adalah suatu gaya arsitektur yang berkembang pada pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad ke19. Gaya arsitektur Indische Empire Style pada mulanya muncul di daerah pinggiran kota Batavia (Jakarta), munculnya gaya tersebut sebagai akibat dari suatu kebudayaan Indische Culture yang berkembang di Hindia Belanda. Indische secara harfiah berarti “Indies” atau Hindia. Kebudayaan Indische adalah percampuran kebudayaan Eropa, Indonesia dan sedikit kebudayaan dari orang China peranakan, Milano dalam Handinoto (2012). Mengungkapkan ciri-ciri arsitektur Indische Empire antara lain: Denahnya berbentuk simetris penuh, ditengah terdapat “central room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. “central room” tersebut berhubungan



langsung dengan teras depan dan teras belakang (voor galerij dan achter galerij). Teras tersebut biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani (Doric, Ionic, Corinthian). Dapur, kamar mandi/WC, gudang dan daerah service lainnya merupakan bagian yang terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada dibagian belakang. Kadang-kadang disamping bangunan utama terdapat paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu. Kalau rumah tersebut berskala besar biasanya terletak pada sebidang tanah yang luas dengan kebun di depan, samping dan belakang. 2.2.1.2 Arsitektur Transisi (1890-1915) Menurut Handinoto (2012), arsitektur transisi di Indonesia berlangsung sangat singkat, arsitektur transisi berlangsung pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 antara tahun 1890 sampai 1915. Peralihan dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh perubahan dalam masyarakatnya. Modernisasi dengan penemuan baru dalam bidang teknologi dan perubahan sosial akibat dari kebijakan politik pemerintah kolonial pada saat itu mengakibatkan perubahan bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur. Perubahan gaya arsitektur pada zaman transisi atau peralihan (antara tahun 1890-1915) dari gaya arsitektur “Indische Empire” menuju arsitektur “Kolonial modern” sering terlupakan. Ciri-ciri arsitektur transisi menurut Handinoto (2012), antara lain: denah masih mengikuti gaya Indisch Empire simetri penuh, pemakaian teras keliling pada denahnya masih dipakai dan ada usaha untuk menghilangkan kolom gaya Yunani pada tampaknya. Gevel-gevel pada arsitektur Belanda yang terletak ditepi sungai



muncul kembali, ada usaha untuk memberikan kesan romantis pada tampak dan ada usaha untuk membuat menara (tower) pada pintu masuk utama,seperti yang terdapat pada banyak gereja Calvinist di Belanda. Bentuk atap pelana dan perisai dengan penutup genting masih banyak dipakai dan ada usaha untuk memakai konstruksi tambahan sebagai ventilasi pada atap (dormer). 2.2.1.3 Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940) Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern merupakan sebuah protes yang dilontarkan oleh Arsitek-arsitek Belanda sesudah tahun 1900 atas gaya Empire Style. Arsitek Belanda yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur Empire Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di Belanda. Arsitektur Modern memiliki ciri-ciri denah lebih bervariasi, sesuai dengan anjuran kreatifitas dalam arsitektur modern. Bentuk simetri banyak dihindari, pemakaian teras keliling bangunan sudah tidak dipakai lagi, sebagai gantinya sering dipakai elemen penahan sinar. Berusaha untuk menghilangkan kesan tampak arsitektur gaya “Indische Empire” (tampak tidak simetri lagi), tampak bangunan lebih mencerminkan “Form Follow Function” atau “Clean Design”. Bentuk atap masih didominasi oleh atap pelana atau perisai, dengan bahan penutup genting atau sirap. Sebagian bangunan dengan konstruksi beton, memakai atap datar dari bahan beton yang belum pernah ada pada jaman sebelumnya. fitur yang membentuk dan membedakan sebuah individu. Karakter dapat dipahami sebagai satu atau sejumlah ciri khas yang terdapat



pada individu atau kelompok tertentu yang dapat digunakan untuk membedakan individu atau kelompok tersebut dari individu atau kelompok lainnya. Menurut Fajarwati (2011), karakter dari sebuah objek arsitektur merupakan keberagaman atau kekhasan yang tersusun menjadi ciri-ciri objek arsitektural atau susunan elemen dasar yang terangkai sehingga membuat objek tersebut mempunyai kualitas atau kekhasan yang membedakan dengan objek lain. 2.2.2 Arsitektur Gereja Kata gereja berasal dari Bahasa Portugis, yaitu “igreja” yang diambil dari Bahasa Latin “eklesia” yang berarti kumpulan orang-orang percaya (Indra, 1999:175). Arti kata gereja kemudian dibagi menjadi dua, yaitu: (1). Perkumpulan semua orang yang dipanggil untuk percaya kepada Tuhan Yesus Kristus; dan [2]Bangunan ibadah atau wadah untuk menerima sakramen bagi umat Kristen. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono, 2008:761), Kristen didefinisikan sebagai nama agama yang disampaikan oleh Kristus (Nabi Isa). Aliran yang dianut oleh Gereja Kristen Jawa ialah Kristen Protestan. Kata Protestan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penganut Protestantisme yang merupakan aliran dalam agama Kristen yang terpisah dari Gereja Katolik Roma pada Zaman Reformasi (abad ke-16) yang dipelopori oleh Marthin Luther. 2.2.2.1 Periode Arsitektur Gereja Menurut Keane (1998), sejarah Arsitektur Kristen Awal dimulai pada masa kerajaan Romawi dan berkembang secara bertahap pada periode tertentu. Pada abad ke-1 sampai abad ke-4, ajaran Kristen yang diberitakan Yesus Kristus di tengah



bangsa Yahudi mengalami banyak penolakan yang mengakibatkan para pengikutNya mati sebagai martir. Karena hidup dalam masa pengejaran, pengikut Kristen lalu mengadakan kebaktian dalam tempat yang tersembunyi, yaitu katakombe. Katakombe merupakan pemakaman yang terletak di Bawah tanah. Pada tahun 313 SM, Kaisar Konstantin mulai mengakui adanya agama Kristen melalui Deklarasi Milan. Mulai saat itu agama Kristen menjadi agama resmi negara dan gedung-gedung ibadah banyak dibangun. Saat itu bangunan gereja mengambil bentuk basilica, yaitu bentuk bangunan yang berfungsi sebagai gedung pertemuan dan gedung pengadilan Romawi. Untuk menyesuaikan dengan kegiatan peribadatan, maka basilica mulai dimodifikasi. Modifikasi itu dilakukan pada pilar, dinding, dan apse yang dibuat berhiaskan mozaik dan fresco Kristiani. Ruang ibadah dibuat menyerupai bahtera yang disebut naos, gereja menghadap ke timur sebagai pengharapan kedatangan mesias. Pada masa pemerintahannya, Konstan-tin memindahkan ibukota kekaisaran ke Byzantium, sebuah kota di wilayah Romawi Timur. Di wilayah Romawi Timur kemudian didirikan gereja yang memiliki ciri khas, yaitu denah memusat dan atap kubah. Puncak dari kejayaan Arsitektur Byzantium diwujudkan oleh Gereja Hagia Sophia pada tahun 532-537di Konstantinopel, Yang masih ada hingga saat ini. Gaya Romanesque muncul setelah Romawi mengalami zaman kegelapan selama ratusan tahun. Ciri-ciri dari Arsitektur Romanesque ialah penggunaan busur lengkung sebagai penghubung antar kolom yang berjajar rapat, ketinggian ruang cenderung mencolok dibandingkan dengan lebarnya, bentuk denah mengadopsi



bentuk salib, dan dinding-dindingnya dipenuhi ukiran/lukisan yang menggambarkan kisah dalam Alkitab. Arsitektur Gotik kemudian muncul menggantikan gaya Romanesque. Jika gaya Romanesque yang berkesan kokoh disebut “benteng Allah”, maka gaya Gotik yang terlihat ringan, runcing, tinggi, dan cantik disebut sebagai “istana surga”. Selama 400 tahun, Arsitektur Gotik dianggap sebagai puncak keberhasilan kesenian arsitektur gereja. Menurut keyakinan umatKristen, Allah dipahami hadir dimana saja seperti cahaya. Oleh karena itu, cahaya dihayati sebagai sifat ilahi. Cahaya matahari kemudian dibiarkan masuk ke dalam interior gereja dan didesain secara estetis yang disebut dengan struktur diafan, artinya tembus cahaya. Yang terkenal dari gaya Arsitektur Gotik ialah konsep cahaya dengan pemakaian kaca bergambar yang disebut stained glass sebagai pencerahan mistik. Pada abad ke-15, arsitektur mulai mengalami peralihan pada masa Renaissance. Bangunan gereja yang paling menonjol saat itu ialah Gereja St. Petrus di Roma, Italia, yang dibangun pada tahun 1506-1626. Arsitektur Renaissance kemudian berakhir dan digantikan oleh gaya Barok dan Rokoko. Gaya ini memiliki ciri khas berupa ornamen/ukiran yang rumit dan memenuhi semua bidang yang ada. Pada abad ke-20, Revolusi Industri membawa banyak perubahan dan perkembangan. Prinsip-prinsip yang digunakan pada arsitektur gereja zaman modern memiliki pertimbangan-pertimbangan dari aspek kegunaan (utility), kesederhanaan (simplicity), keluwesan (flexibility), kedekatan (intimacy), dan keindahan (beauty).



2.2.2.2 Perkembangan Arsitektur Gereja di Indonesia Gereja-gereja di Indonesia yang dibangun pada tahun 1900-1930 cenderung menggunakan gaya eklektik, sesuai dengan langgam yang sedang digemari di Eropa saat itu. Namun, pada daerah-daerah terpencil, para misionaris justru berusaha mengadaptasi unsur-unsur tradisional setempat, sehingga muncul bangunanbangunan gereja yang menggunakan bentuk arsitektur tradisional (Priatmojo, 1989: 41). 2.2.3 Fungsi Utama Gereja Sitompul (1993:223-226) menyatakan bahwa pesan dan makna yang terkandung pada arsitektur gereja tidak lepas dari hubungan arsitektur dengan tiga fungsi utama gereja, yaitu persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia), dan pelayanan (diakonia). Pertemuan gereja sebagai persekutuan antara manusia dengan Tuhan dilakukan di dalam ruang kebaktian, sehingga ruang ini dianggap kudus dan sakral. Secara konseptual, fungsi kesaksian pada arsitektur gereja ditekankan pada simbolisasi kegiatan yang terjadi pada gereja dan elemen-elemen fisik pada gereja, untuk memberitakan firman Tuhan. Ruangan dan kegiatan yang terjadi di dalamnya dibuat untuk dapatvmenyiarkan,v secara langsung maupun tidak langsung, semangat Kristiani bagi orang yang mengapresiasinya. Gereja mempunyai tugas atau fungsi pelayanan agar manusia semakin dekat dengan Tuhan. Pelayanan adalah simbol kasih Tuhan untuk mengasihi semua orang. Berkembang pesatnya peradaban manusia menuntut peran gereja yang lebih besar



untuk melayani semua manusia. Pelayanan kepada seluruh umat manusia ini yang menjadi misi gereja. 2.3 Kerangka Pikir Dalam kerangka pikir ini menjelaskan tentang kerangka berpikir dalam penelitianyang dilakukan. Kerangka pikir tersebut dibuat dengan sedemikian rupa agar penyusunan proses penelitian tampak jelas. Adapun judul penelitian ini adalah arsitektur Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai, Kecamatan Kendari, Kota Kendari. Salah satu langkah dalam penelitian ini adalah melakukan studi literatur terhadap arsitektur gereja kolonial Belanda serta survey langsung pada gereja, adapun permasalahan pada Gereja Sumber Kasih tersebut, dengan mempunyai permasalahan bentuk karakteristik dan faktor yang mempengaruhi serta gaya arsitektur bangunan Gereja Sumber Kasih. Untuk menjawab permasalahan di atas melakukan melakukan observasi untuk memperoleh data keletakan objek, kemudian langkah selanjutnya melakukan identifikasi pada bangunan untuk mengetahui karakteristik dengan menggunakan metode analisis stilistik, untuk mengungkap permasalahan pada karakteristik bentuk bangunan gereja. Untuk menjawab permasalahan pada faktor yang mempengaruhi bentuk bangunan Gereja Sumber Kasih tersebut, penelitian dimulai dengan dengan observasi dan mengumpulkan data yang berasal studi pustaka. Dalam hal ini, sumber sejara (arsip), jurnal, skripsi, tesis, serta wawancara serta data pendukung sehingga dapat mengungkap faktor yang mempengaruhi bentuk bangunan gereja.



Untuk menjawab Permasalahan pada bentuk arsitektur bangunan gereja, penelitian dimulai dengan observasi untuk memperoleh data kemudian akan dilakukan pengukuran pada setiap sudut bangunan dan pemetaan untuk mendapatkan denah gereja. Kemuadian akan dilakukan dokumentasi pada ornamen gereja kemudian



melakukan



perbandingan



dengan



penelitian



sebelumnya



untuk



mengungkap bentuk arsitektur gereja, dengan menggunakan metode analisis morfologi dan analisis arsitektural untuk mengungkap permasalahan tersebut sehinnga menghasilkan kesimpulan terhadap arsitektur Gereja Sumber Kasih dalam penulisan.



Bagan Kerangka Pikir Arsitektur Gereja Sumber Kasih Di Kelurahan Kandai, Kecamatan Kendari, Kota Kendari



Data Pustaka ▪ Dokumen Sejarah ▪ Skripsi ▪ Jurnal



Data Lapangan ▪Survei ▪Deskripsi ▪Pengkuran ▪Dokumentasi



Rumusan masalah: 1. Untuk dapat menjelaskan karakteristik bangunan Gereja Sumber Kasih. 2. Untuk dapat menjelaskan faktor yang mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan Gereja Sumber Kasih di Kelurahan Kandai. 3. Untuk mendeskripsikan gaya arsitektur yang terdapat pada Gereja Sumber Kasih.



Konsep:



Analisis:



▪ Arsitektur



▪ Stlistik ▪ Morfologi



▪ Arsitektur Tropis



▪ Arsitektural



Hasil Penelitian



BAB III METODE PENELITIAN



3.1 Jenis Penelitian Untuk dapat mengkaji permasalahan secara rinci, lengkap, dan akurat diperlukan suatu pendekatan permasalahan lewat pemilihan bentuk yang tepat. Menurut Aslam Samhudi (986: 36) bahwa “Ketiga bentuk tersebut adalah pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan kombinasi kualitatif dan kuantitatif. Ketiga pendekatan tersebut memiliki perbedaan yang mendasar, yakni terletak pada teknik dan proses pelaksanaannya”. Sesuai dengan permasalahan dan teori yang telah disusun dalam penelitian ini, maka peneliti memakai metode penelitian diskriptif kualitatif yaitu data yang dikumpulkan dan dianalisa berupa kata–kata tertulis atau lisan dari informan dan perilaku yang diamati secara holistik, wawancara, dokumentasi, gambar, pencatatan lapangan, dan bukan angka–angka. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Kandai, Kecamatan Kendari, Kota Kendari. Secara letak geografis Kelurahan Kandai memiliki batasbatas: Timur-Kelurahan Kendari Caddi dan Kelurahan Kampung Salo, BaratKecamatan Kendari Barat, Utara-Kelurahan Jati Mekar, dan Selatan-Teluk Kendari. Secara astronomis Kelurahan Kandai terletak antara 3̊58’27’ dan 4̊ 58’28’ lintang Selatan, dan antara 122̊ 34’55’ dan 122̊ 35’16, bujur Timur. (BPS Kota Kendari, 2018: 7).



Alasan pemilihan lokasi di Gereja Sumber Kasih karena gereja ini merupakan satu-satunya gereja peninggalan kolinial Belanda yang ada di Kota Kendari yang mempunyai gaya arsitektur, yang sangat kental dengan pengaruh arsitektur Eropa sehinnga sangat menarik untuk dilakukan penelitian secara mendalam mengenai gaya arsitektur gereja ini, selain itu keberadaan Gereja Sumber Kasih terancam pembangunan Kota Kendari dimana sewaktu-waktu gereja ini bisa dibongkar seperti bangunan bersejarah lainnya. Gereja Sumber Kasih tempatnya sangat strategis karena terletak di kawasan kota lama yang mempunyai nilai tinggi sejarah serta keunikanya karena letak gereja ini berdekatan dengan Masjid Agung Kota Kendari dan mayoritas masyarakat di Kelurahan Kandai beragama muslim. 3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Studi Pustaka Studi pustaka merupakan data sekunder yang digunakan sebagai acuan terdahulu sebelum melakukan penelitian, saat melakukan penelitian, maupun setelah penelitian selesai(pembuatan laporan). Studi pustaka diperoleh dari literatur buku, arsip daerah, arsip negara dan juga dari suatu data piktorial berupa peta, foto-foto, maupun denah. Dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder yang mampu mendeskripsikan lebih lanjut mengenai Gereja Sumber Kasih. 3.3.2 Observasi Observasi adalah melakukan pengamatan pada obyek penelitian secara mendetail dan mencermati segala sesuatu pada obyek yang sekiranya dapat menunjang penelitian kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana terjadi



pada keadaan yang sesungguhnya. Sesuai dngan pendapat Suharsimi Arikunto (1993: 128) bahwa“ Kegiatan observasi meliputi kegiatan pemusatan terhadap obyek yang menggunakan seluruh aspek indera”. Pengamatan pada obyek penelitian sangat mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian dan kemampuan peneliti. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subyek sehingga juga memungkinkan pula untuk peneliti menjadi sumber data. 3.3.3 Wawancara Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu mengenai sesuatu dalam merekontruksi kejadian, organisasi, motivasi, kepedulian dan lain sebagainya dalam suatu kebulatan yang dialami pada masa lalu, dan memproyeksikannya untuk dialami pada masa yang akan datang. Menurut H.B. Sutopo (1996: 24) bahwa“ Dengan wawancara maka akan dapat menggali tentang informasi secara mendalam atau disebut indeep interviewing”. Wawancara bersifat terbuka yaitu wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku dan dipakai untuk menangkap data (informasi) baik secara aksplisit maupun tacit. Eksplisit adalah realitas yang diungkapkan informan melalui bahasa, sedangkan tacit adalah informan mengetahui realitasnya. 3.3.4 Dokumentasi Selain beberapa sumber data di atas, peranan dokumantasi sangat penting untuk mendukung tingkat keakuratan data. Hal ini untuk menjelaskan kondisi sesungguhnya di lapangan dan dapat disajikan dalam laporan penelitian dalam bentuk



gambar atau foto. Dokumentasi dalam bentuk foto mampu menghasilkan data dalam bentuk deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi – segi subyektif. Hasil foto sering dianalisis secara induktif yaitu untuk menentukan kaidah umum dari sebuah penelitian. 3.4 Teknik Analisis Data 3.4.1 Analisis Stilistik Analisis stilistik adalah analisis yang digunakan untuk menunjukan perkembangan bentuk gaya arsitektur dalam satu periode. Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi aspek dekoratif dan ragam hias bangunan. Pada tahap analisis ini dapat memberikan gambaran mengenai bentuk gaya arsitektur pada Gereja Sumber Kasih serta gambaran mengenai aspek dekoratif dan ragam hias pada bangunan Gereja Sumber Kasih, analisis ini untuk menjawab rumusan masalah pada karakteristik dan bentuk arsitektur gereja Sumber Kasih. 3.4.2 Analisis Morfologi Analisis morfologi dilakukan dengan mencari persamaan bentuk pada bangunan Gereja Sumber Kasih dengan bentuk-bentuk pada arsitektur yang berkembang di Eropa. Hal ini penting dengan melihat arsitek yang membangun Gereja Sumber Kasih adalah biro arsitek yang berasal dari Belanda. Sehingga dapat dikenali secara jelas bahwa pengaruh bangunan yang ada pada Gereja Sumber Kasih berasal dari Eropa. Selain itu perbandingan juga dilakukan dengan mencari persamaan bentuk dengan bangunan-bangunan kolonial yang ada di Sulawesi Tenggara secara khusus dan Indonesia secara umum pada masa yang sama yaitu dari



akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Selain memperoleh perbandingan bentuk, diharapkan dengan melihat perkembangan yang terjadi dari masa ke masa juga dapat terlihat kecenderungan gaya yang diterapkan pada Gereja Sumber Kasih. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan berbagai gaya bangunan yang terdapat di Eropa dan Indonesia anatara akhir abad ke-19 hingga awal ke-20 (Silitonga, 2011). 3.4.3 Analisis Arsitektural Analisis arsitektural adalah analisis yang digunakan untuk mengamati keseluruhan bentuk bangunan Gereja Sumber Kasih. Bentuk-bentuk arsitektural antara lain tekstur, material, pemisahan, antara cahaya dan bayangan, warna, merupakan perpaduan dalam menentukan mutu atau jiwa penggambaran ruang. Mutu arsitektur akan di tentukan keahlian seorang perancang dalam menggunakan dan menyatukan unsur-unsur tadi, baik dalam pembentukan ruang dalam (interior) maupun ruang-ruang luar (eksterior) di sekeliling bangunan gereja. Analisis ini digunakan untuk menjawab permasalahan bentuk Arsitektur Gereja Sumber Kasih. 3.5 Interpretasi Interpretasi atau penasiran data dilakukan untuk mengukapkan data hasil analisis guna untuk mancapai tujuan penelitian. Pada tahap ini seluruh data yang dikumpulkan yaitu pengumpulan data dari sumber-sumber penelitian terdahulu serta penelitian yang berkaitan dengan kajian penelitian mengenai arsitektur Gereja Sumber Kasih. Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang menggambarkan karakteristik dan bentuk arsitektur Gereja Sumber Kasih.