Proposal Penelitian Herpetofauna - Kelompok 6 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN PRAKTIKUM RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR PENGARUH FAKTOR BIOTIK DAN ABIOTIK TERHADAP JUMLAH INDIVIDU KADAL KEBUN (Eutropis multifasciata) DI HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I



Oleh: KELOMPOK 6 Farah Fadlilah



(20/461992/KT/09375)



Irfani Inas Andyna Putri P.



(20/462004/KT/09387)



Muhammad Daffa Rizka Ramadhan



(20/462021/KT/09404)



Tegar Pradita Putra



(20/462062/KT/09445)



Wahyu Dwi Arifiyani



(20/462068/KT/09451)



LABORATORIUM PENGELOLAAN SATWA LIAR DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2022



DAFTAR ISI DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………



i



BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………… 1 1.1. Latar Belakang………………………………………………………………………….



1



1.2. Rumusan Masalah………………………………………………………………………



3



1.3. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………….



4



1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………………………...



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………. 5 2.1. Kadal Kebun (Eutropis multifasciata).............................................................................. 5 2.1.1. Klasifikasi………………………………………………………………………… 5 2.1.2. Morfologi…………………………………………………………………………. 6 2.1.3. Perilaku…………………………………………………………………………… 6 2.1.4. Persebaran………………………………………………………………………… 6 2.2. Habitat…………………………………………………………………………………... 7 2.2.1. Faktor Biotik……………………………………………………………………… 7 2.2.1.1. Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon)................................. 8 2.2.1.2. Tutupan Tajuk………………………………………………………………. 8 2.2.1.3. Tumbuhan Bawah…………………………………………………………... 9 2.2.1.4. Kepadatan Semak…………………………………………………………... 9 2.2.1.5. Volume daun………………………………………………………………... 9 2.2.2. Faktor Abiotik……………………………………………………………………. 10 2.2.2.1. Suhu dan Kelembaban……………………………………………………... 10 2.2.2.2. Ketinggian………………………………………………………………….. 10 2.2.2.3. Kelerengan…………………………………………………………………. 11 2.2.2.4. Air………………………………………………………………………….. 11 2.2.2.5. Tutupan Substrat…………………………………………………………… 12 2.2.2.6. Ketebalan serasah…………………………………………………………... 12 BAB III LANDASAN TEORI………………………………………………………………… 14 3.1 Landasan Teori………………………………………………………………………….. 14



i



3.2 Hipotesis………………………………………………………………………………... 15 BAB IV METODE PENELITIAN…………………………………………………………… 16 4.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan Data…………………………………………………. 16 4.2. Alat dan Bahan………………………………………………………………………… 16 4.2.1. Alat di Lapangan………………………………………………………………… 16 4.2.2. Bahan di Lapangan………………………………………………………………. 17 4.3. Pengambilan Data……………………………………………………………………… 18 4.3.1. Jumlah Individu kadal kebun (Eutropis multifasciata)…………………………... 18 4.3.2. Faktor Biotik……………………………………………………………………... 18 4.3.2.1 Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon)……………………. 18 4.3.2.2 Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah……………………………………… 19 4.3.2.3 Kepadatan semak…………………………………………………………… 20 4.3.2.4 Penutupan Volume daun……………………………………………………. 21 4.3.3. Faktor Abiotik…………………………………………………………………… 22 4.3.3.1 Suhu dan kelembaban……………………………………………………… 22 4.3.3.2 Kelerengan…………………………………………………………………. 22 4.3.3.3 Ketinggian lokasi…………………………………………………………… 23 4.3.3.4 Jarak ke sumber air…………………………………………………………. 23 4.3.3.5 Tutupan Substrat (serasah, kayu rebah, batu dan tanah kosong).................... 23 4.3.3.6 Ketebalan serasah…………………………………………………………... 23 4.4. Metode Analisis………………………………………………………………………... 24 4.4.1 Jumlah Individu Kadal Kebun…………………………………………………... 24 4.4.2. Faktor Biotik……………………………………………………………………... 24 4.4.2.1. Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon)................................ 24 4.4.2.2. Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah……………………………………... 24 4.4.2.3. Kepadatan semak…………………………………………………………... 25 4.4.2.5. Penutupan Volume daun…………………………………………………… 25 4.4.3. Faktor Abiotik…………………………………………………………………… 25 4.4.3.1 Suhu dan kelembaban……………………………………………………… 25 4.4.3.2 Kelerengan…………………………………………………………………. 25



i



4.4.3.3 Ketinggian lokasi…………………………………………………………... 25 4.4.3.4 Jarak dari sumber air……………………………………………………….



25



4.4.3.5. Tutupan substrat…………………………………………………………...



26



4.4.3.6. Ketebalan serasah…………………………………………………………



26



4.4.4 Analisis Statistik………………………………………………………………...



26



DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...



28



i



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awalnya, Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan tanah kritis yang mulai dibangun sejak tahun 1966 (Soeseno, 2004). Hutan ini dibentuk dalam sistem petak untuk memudahkan pengelolaannya. Petak-petak di Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki perbedaan dalam hal kondisi lingkungannya. Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan hutan yang menjadi habitat bagi satwa liar dengan berbagai jenis vegetasi di dalamnya. Terdapat 4 tipe habitat yang dianalisis berdasarkan faktor-faktor vegetasi tiap tipe penggunaan lahan yaitu tipe agroforestry, tipe semak belukar, tipe hutan tua dengan tanaman keras, dan tipe hutan muda dengan sistem campuran (Ghozali, 2006 dalam Purnomo dkk., 2012). Beragam vegetasi berupa pepohonan yang dapat tumbuh di wilayah Hutan Pendidikan Wanagama I ini memperbesar potensi hutan sebagai area yang sesuai bagi beberapa jenis herpetofauna disini. Herpetofauna merupakan kelompok hewan yang terdiri dari reptil dan amfibi (Yuliany, 2021). Menurut Mahendra dkk, (2017) keduanya dikelompokkan karena memiliki kemampuan tubuh yang membutuhkan panas dari lingkungannya atau disebut dengan berdarah dingin (ectothermic). Hewan berdarah dingin suhu tubuhnya kira-kira sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Potensi dari kelompok hewan ini jarang diketahui dan dianggap mengganggu oleh masyarakat sehingga keberadaannya cenderung terabaikan. Namun, perlu diketahui bahwa herpetofauna memiliki peran penting dalam ekosistem maupun ekologi, yaitu sebagai bioindikator lingkungan karena ia merupakan predator hama dan serangga yang merugikan manusia (Duelman dan Trueb, 1976 dalam Qurniawan dkk., 2012). Menurut Awheda dkk., (2015) dalam Kartika dkk., (2021) yang dimaksud dengan bioindikator adalah suatu organisme atau komunitas yang dapat menginformasikan kualitas suatu lingkungan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Keberadaan kadal di suatu tempat merupakan indikator terhadap melimpahnya keanekaragaman hayati (Kurniati, 2001). Hutan Pendidikan Wanagama I yang didominasi



1



vegetasi homogen memungkinkan penyebaran penyakit akibat serangga sangat cepat. Contohnya pada tegakan Jati yang banyak ditemui berbagai jenis hama serangga, antara lain ulat Dichorocis punctiferalis dan Pagyda salvalis, serta jenis serangga Gargara carinata, Gargara flavocarinata, Gargara pulchella, dan Leptocentrus vicarius (Irwanto, 2006). Salah satu jenis reptil yang banyak ditemukan di Indonesia berasal dari ordo Squamata (Amri dkk., 2015). Ordo Squamata terdiri dari berbagai jenis ular dan kadal dengan karakteristik yang berbeda-beda (Das, 2010). Salah satu spesies dari ordo Squamata adalah kadal kebun (Eutropis multifasciata) (Das, 2010). Kadal kebun (Eutropis multifasciata) sendiri termasuk ke dalam famili scincidae serta jenis ini memiliki ukuran tubuh sekitar 5 sampai 32 cm (Dewi dkk., 2020). Kadal kebun di Hutan Pendidikan Wanagama I lebih sering terlihat di tepi sungai Oyo dan menjadi salah satu mangsa yang berpotensi dimakan ular (Nurhayati, 2018). Eutropis multifasciata dapat hidup di dalam berbagai habitat seperti di atas tanah atau di pohon serta menyukai tempat yang cenderung lembab dan memiliki serasah yang tebal (Rahma, 2021). Di Hutan Pendidikan Wanagama I, didapati produksi serasah tertinggi berasal dari tegakan akasia (13,36 ton/ha), kemudian eboni (7,44 ton/ha), mahoni (6,23 ton/ha), jati (5,7 ton/ha), eucalyptus (5,6 ton/ha), gmelina (4,12 ton/tra), dan yang terakhir gamal (2,98 ton/ha) (Supriyo dkk., 2012 dalam Supriyo dkk., 2013). Keberhasilan suksesi di Hutan Pendidikan Wanagama I membuat habitat bagi fauna termasuk arthropoda tanah menjadi melimpah sehingga bisa dijadikan makanannya (Muhibbuddin dkk., 2019). Menurut Puspitaningrum (2009), kadal kebun merupakan pemangsa jenis-jenis arthropoda seperti serangga, cacing, dan belalang. Jenis ini sangat berperan dalam rantai makanan sebagai konsumen tingkat kedua dan menjadi sumber pakan bagi konsumen tingkat ketiga (Irwanto dkk., 2019). Keberadaan sumber air seperti Sungai Oyo memiliki pengaruh dengan kelembaban, kawasan yang lebih dekat dengan sumber air biasanya memiliki tingkat kelembapan yang lebih tinggi. Wilayah dengan kelembaban tinggi suhunya cenderung optimal. Untuk beraktivitas dengan optimal, kadal kebun perlu menjaga suhu tubuhnya dengan melakukan mekanisme termoregulasi. Termoregulasi adalah proses yang melibatkan mekanisme homeostatis yang mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran



2



normal, yang dicapai dengan mempertahankan keseimbangan antara panas yang dihasilkan dalam tubuh dan panas yang dikeluarkan (Brooker, 2008). Eutropis multifasciata lebih sering melakukan aktivitas overt basking di atas pohon, paving, tanah, dan batu (Dewi dkk., 2020). Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Subeno (2022) Hutan Pendidikan Wanagama I dalam persebaran jumlah kadal kebun masih belum merata antar petak, perbedaan jumlahnya terlihat pada saat musim kemarau dan penghujan. Sebaran kadal kebun dapat ditemukan di Hutan Pendidikan Wanagama I pada semua petak. Akan tetapi, pada musim yang berbeda jumlahnya juga berbeda. Pada musim kemarau ditemukan jumlah individu kadal kebun sebanyak 35 dan musim penghujan ditemukan 25 individu. Alikodra (1990) menjelaskan bahwa perbedaan keanekaragaman dapat terjadi karena terdapatnya perbedaan dalam struktur vegetasi dalam masing-masing habitat sehingga akan menyebabkan variasi sumber pakan yang ada dalam habitat tersebut. Struktur vegetasi juga akan mempengaruhi penutupan tajuk dan ketebalan seresah suatu kawasan dan berdampak pada habitat kadal kebun. Ketidakmerataan jumlah sebaran bisa jadi dikarenakan kondisi habitat yang berbeda antar petak. Hal itu disebabkan karena lokasi yang disukai kadal kebun memiliki kriteria sendiri yang dapat diketahui faktor biotik dan abiotik antar petak yang mempengaruhi preferensi habitat kadal kebun. Semakin terpenuhi kebutuhan satwa, keberadaannya semakin melimpah. Dengan demikian, perlu diketahui mengenai faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) di Hutan Pendidikan Wanagama I. 1.2. Rumusan Masalah Kadal kebun memiliki peran penting dalam ekosistem maupun ekologi, yaitu sebagai bioindikator lingkungan karena ia merupakan predator hama dan serangga yang merugikan. Hutan Pendidikan Wanagama I didominasi oleh vegetasi homogen yang memungkinkan adanya penyebaran penyakit yang cepat. Ketidakmerataan jumlah populasi individu kadal kebun di Hutan Pendidikan Wanagama I yang disebabkan oleh perbedaan



3



faktor biotik dan abiotik antar petak diduga dapat mempengaruhi preferensi habitat kadal kebun. Semakin terpenuhi kebutuhan satwa, keberadaannya pun semakin melimpah. Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.



Bagaimana estimasi jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) yang ditemukan di Hutan Pendidikan Wanagama I?



2.



Bagaimana kondisi faktor biotik dan abiotik di Hutan Pendidikan Wanagama I?



3.



Bagaimana pengaruh faktor biotik dan abiotik yang ada di Hutan Pendidikan Wanagama I terhadap jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata)?



1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka diperoleh tujuan dari penelitian yaitu terdiri dari: 1.



Mengestimasi jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) yang ditemukan di Hutan Pendidikan Wanagama I.



2.



Mendeskripsikan kondisi faktor biotik dan abiotik di Hutan Pendidikan Wanagama I.



3.



Mengidentifikasi pengaruh faktor biotik dan abiotik yang ada di Hutan Pendidikan Wanagama I terhadap jumlah kadal kebun (Eutropis multifasciata).



1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan membawa manfaat berupa: 1.



Bagi khalayak umum : menambah wawasan mengenai kondisi faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata).



2.



Bagi peneliti: memberikan informasi terbaru mengenai



kadal kebun (Eutropis



multifasciata) dan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya. 3.



Bagi pengelola: menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengelola dalam pengelolaan habitat satwa liar khususnya mengenai kadal kebun (Eutropis multifasciata) di Hutan Pendidikan Wanagama I.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1.Kadal Kebun (Eutropis multifasciata) Kadal kebun merupakan jenis kadal yang berlimpah dan memiliki persebaran populasi sangat luas (Shea dkk., 2018). Dalam ekosistem, kadal memiliki peran sebagai bioindikator kesehatan lingkungan (Ewert dkk., 2004). Dalam IUCN redlist, jenis ini masuk dalam kategori Least Concern (LC) (Shea dkk., 2018). 2.1.1. Klasifikasi Kadal kebun memiliki klasifikasi sebagai berikut (Shea dkk., 2018): Kingdom



: Animalia



Filum



: Chordata



Kelas



: Reptilia



Ordo



: Squamata



Famili



: Scincidae



Genus



: Eutropis



Spesies



: Eutropis multifasciata



2.1.2. Morfologi



Gambar 1. Kadal kebun (Eutropis multifasciata) sumber: www.researchgate.net Karakteristik kadal kebun yaitu memiliki punggung berwarna coklat zaitun dengan jalur coklat gelap bertepi terang atau kekuningan di sisi badannya. Kadal jantan dewasa memiliki kerongkongan berwarna merah terang dan terkadang



5



berbintik gelap, sedangkan pada kadal betina kerongkongannya berwarna krem tak berpola. Kemudian kadal kebun ini memiliki perut berwarna putih kehijauan. (Das, 2010). Kadal kebun memiliki tubuh kekar, sisik kepala kasar dan memiliki sisik punggung berlunas tiga. Kadal ini juga memiliki moncong pendek, 43 tulang belakang dan 17 lamellae yang berada di bawah jari kaki (Origia dkk., 2012). 2.1.3. Perilaku Aktivitas harian kadal dapat mencerminkan lingkungan termal lokal, seperti halnya perbedaan suhu lingkungan di habitatnya. Aktivitas harian kadal kebun dikelompokkan menjadi tujuh, antara lain overt basking, covert basking, cooling, shuttling, foraging, moving, dan agresi. Overt basking dan covert basking merupakan aktivitas berjemur di bawah sinar matahari dengan seluruh tubuh kadal terkena paparan sinar matahari (overt) dan tidak seluruh tubuhnya terkena paparan sinar matahari karena ada bagian tubuh yang ditutupi substrat (covert). Cooling merupakan aktivitas diam pada tempat yang tidak terkena sinar matahari. Shuttling yaitu aktivitas termoregulasi dengan gerakan berpindah. Foraging yaitu aktivitas kadal kebun dalam



mencari



makan



dan memakan makanan, baik sambil



bergerak ataupun diam. Moving yaitu aktivitas berpindah tempat dan agresi yaitu berkelahi. (Melville dan Swain, 1997 dalam Dewi dkk., 2020). 2.1.4. Persebaran Kadal kebun (Eutropis multifasciata) merupakan famili Scincidae yang penyebarannya hampir tersebar di seluruh Indonesia dan banyak dijumpai pada kawasan yang terbuka atau terganggu yang tertutup oleh serasah (Das, 2004). Menurut Shea dkk. (2018), kadal kebun di Indonesia tersebar di Sumatera, Anamba, Natuna, Riau, Kepulauan Mentawai, Kalimantan, Jawa, Bali, Sunda, Maluku, Sulawesi, Halmahera, Kepulauan Sulu dan Togian. Kadal kebun sering ditemukan di balik serasah, batang pohon yang sudah mati, dan di balik bebatuan. Kadal ini dapat ditemukan di sekitar persawahan, perkebunan dan semak belukar (Hoeve, 1992 dalam Muslim, 2018).



6



2.2.Habitat Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar (Alikodra, 1990). Suatu habitat harus mampu menyediakan makanan, air, dan memberikan perlindungan. Alikodra (2002) menyebutkan bahwa kuantitas dan kualitas pakan dapat mempengaruhi kesejahteraan satwa, sehingga kekurangan pakan dan keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menyebabkan satwa berpindah (migrasi), terutama satwa ektoterm seperti reptil yang pergerakannya sangat dipengaruhi oleh suhu. Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung yang digunakan oleh jenis-jenis 65 reptil untuk tempat penyesuaian terhadap perubahan suhu (thermal cover), sehingga hilangnya vegetasi juga menyebabkan hilangnya sumber pakan dan tempat berlindung bagi reptil (Alikodra, 2002). Kadal kebun menempati berbagai habitat antara lain dataran rendah, pegunungan tropis kering, hutan lembab, hutan sabana, hutan kayu putih, perkebunan kopi, lahan pertanian, riparian, kebun, dan tanah desa (Kaiser dkk., 2011). Selain itu, kadal kebun mudah ditemukan di lokasi yang dekat dengan air seperti di sekitar persawahan dan di pinggir kolam (Hoeve, 1992 dalam Muslim, 2018). Kadal kebun adalah kadal terestrial diurnal yang sering bersembunyi di bawah kulit kayu, di tumpukan tanaman yang membusuk, dan di lubang pohon (Bain dan Hurley, 2011). Kadal kebun (Eutropis multifasciata) sering ditemukan di balik serasah, batang pohon yang sudah mati, serta bebatuan (Findua dkk., 2016). Menurut Cox dkk (1998), kadal kebun merupakan reptil yang memakan berbagai jenis invertebrata dan dapat berasosiasi di sekitar pemukiman manusia. Jenis ini merupakan pemakan serangga termasuk kelabang (Das, 2010), kecoak, isopoda, laba-laba (Bullock dan Medway, 1966 dalam Shea dkk., 2018) dan jangkrik (Shea dkk., 2018). 2.2.1. Faktor Biotik Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik manusia, tumbuhan maupun hewan yang secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, produsen, konsumen dan dekomposer (Irwan, 2014).



7



Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi, individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer yang akan saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam membentuk suatu sistem yang menunjukkan kesatuan (Bessy, 2016). 2.2.1.1. Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon) Struktur tegakan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter serta kelas tajuk (Daniel dkk., 1995 dalam Junaedi dkk., 2015). Struktur tegakan ini terdiri dari struktur vertikal dan struktur horizontal. Untuk mengetahui struktur vertikal, setiap individu pohon dalam petak ukur akan dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi atau lapisan stratum, sedangkan struktur



horizontal



dicari dengan



mengelompokkan setiap individu



berdasarkan kelas diameternya (Onrizal dkk., 2005) dengan kerapatannya dan berdasarkan pola penyebaran individu jenis yang ada di suatu wilayah. Pola penyebaran individu jenis yang dimaksud adalah tingkat pertumbuhan pohon, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Kelompok kadal kebun (Eutropis multifasciata) banyak melakukan aktivitasnya di tempat terbuka dan semak-semak kering (Jepri dkk., 2019). Petak-petak di Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki struktur dan kerapatan vegetasi yang beragam. Menurut Putra (2011), petak 5 terdiri dari beberapa hutan tanaman, petak 6 didominasi gamal dan akasia dengan banyak tumbuhan bawah, petak 7 memiliki banyak secang dan perimbun, petak 13 memiliki banyak tumbuhan bawah dan pohon dengan tajuk yang rapat, petak 14 terdiri dari beberapa tanaman pertanian dengan beberapa jenis pohon dan rerumputan, petak 16 didominasi secang dan rumput, serta petak 18 didominasi tanaman pertanian dan beberapa pohon dengan dengan kerapatan jarang. 2.2.1.2.Tutupan Tajuk Penutupan tajuk merupakan persentase areal tertutup oleh proyeksi vertikal



tajuk-tajuk



pohon



(Helms, 1998).



Kadal kebun (Eutropis



multifasciata) banyak ditemukan di kawasan yang terbuka (Das, 2004).



8



Artinya memiliki tutupan tajuk yang tidak tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan kadal kebun yang dijumpai sedang berlari atau berjemur di bawah sinar matahari untuk menyeimbangkan metabolisme tubuhnya (Das, 2010 dalam Fatmawati dkk., 2021) 2.2.1.3.Tumbuhan Bawah Menurut Kunarso dan Fatahul (2013), tumbuhan bawah yaitu semua vegetasi yang bukan pohon dan tidak dapat tumbuh menjadi tingkatan pohon. Tumbuhan bawah adalah komunitas tumbuhan yang berfungsi sebagai pelindung lantai hutan. Famili Scincidae menjadikan tumbuhan bawah sebagai tempat berlindung sama halnya seperti serasah. Banyak sedikitnya tumbuhan bawah akan mempengaruhi suhu dan kelembaban kawasan yang berpengaruh juga pada kehadiran kadal (Pough, 1998). 2.2.1.4.Kepadatan Semak Semak merupakan jenis tanaman yang berukuran kecil dan rendah, berkayu atau hanya cabang utamanya yang berkayu (Azrai dan Erna, 2015). Pertumbuhan semak cenderung merambat atau melebar. Kepadatan (density) semak dapat didefinisikan sebagai jumlah individu suatu spesies semak per satuan luas area yang digunakan dalam suatu daerah vegetasi tertentu. Kepadatan semak diduga berpengaruh terhadap kepadatan herpetofauna terestrial (Hidayat, 2014). Kelompok famili Scincidae banyak melakukan aktivitas pada kawasan terbuka dan semak-semak yang kering (Adha dkk., 2015).. 2.2.1.5.Volume daun Menurut Indriyanto (2006), volume daun adalah susunan vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung yang digunakan oleh jenis-jenis reptil untuk tempat penyesuaian terhadap perubahan suhu (thermal cover), sehingga hilangnya vegetasi menyebabkan juga hilangnya sumber pakan dan tempat berlindung bagi reptil (Alikodra, 2002).



9



2.2.2. Faktor Abiotik Faktor abiotik merupakan komponen lingkungan yang terdiri atas bukan makhluk hidup atau segala sesuatu yang tidak bernyawa (Irwan, 1992). Komponen abiotik atau lingkungan abiotik suatu organisme dapat menentukan keberadaan organisme tersebut (Hariyanto dkk., 2019). Goin dan Goin (1971) menjelaskan bahwa berbagai faktor abiotik seperti suhu, kelembaban, kelerengan, ketebalan serasah, dan jarak dari sumber air, merupakan salah satu yang sangat mempengaruhi kegiatan dan pola tingkah laku dari herpetofauna. 2.2.2.1.Suhu dan Kelembaban Makhluk amfibi dan reptilia adalah makhluk berdarah dingin, yang memerlukan penyesuaian terhadap suhu lingkungan yang ada (Eprilurahman, dkk., 2009). Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu lingkungannya (Alikodra, 2002). Pada satwa eksoterm, suhu sangat mempengaruhi terhadap fungsi fisiologis dan perilaku satwa tersebut (Lin dkk., 2019). Suhu menjadi faktor lingkungan yang sangat penting bagi reptil yang merupakan satwa ektothermal, yaitu mengatur suhu tubuhnya melalui lingkungan sekitarnya (Irvin dkk., 2003). Kelembaban



merupakan



persentase jumlah



air



dalam udara



(Hariyanto, 2019). Kelembaban yang stabil juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan reptilia untuk bereproduksi (Lestari dkk., 2015). Kisaran suhu dan kelembaban optimal bagi reptilia terutama jenis kadal berturut-turut adalah 27ᵒC - 31ᵒC dan 70%-90% (Zug dan Kaiser, 2013), sedangkan menurut Indrioko dkk. (2008), kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I, memiliki rerata suhu 27,7 derajat celcius



dan rerata



kelembaban 80-90 %. 2.2.2.2.Ketinggian Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin tinggi kedudukan suatu tempat, temperatur udara di tempat tersebut akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya semakin rendah kedudukan suatu tempat, temperatur udara akan semakin tinggi. Menurut Shea dkk (2018),



10



kadal kebun dapat ditemukan pada ketinggian 0 sampai 1800 mdpl, sedangkan Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki ketinggian berkisar antara 115-205 mdpl dengan topografi yang beragam, mulai dari datar, berbukit-bukit, hingga berlereng (Nurjanto dkk., 2016). 2.2.2.3.Kelerengan Kelerengan adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) dan jarak datar suatu lahan. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan persen (%) dan derajat (°). Informasi spasial kelerengan mendeskripsikan kondisi permukaan lahan, seperti datar, landai, atau kemiringannya curam (Budiyanto, 2004). Semakin tinggi kelas kelerengannya menunjukkan keadaan di lapangan semakin curam. Semakin curam kelerengan maka kerapatan vegetasi semakin rendah (Pough, 1998). Pada penelitian Qurniawan dkk (2012) yang dilakukan di Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, kadal kebun ditemukan pada kawasan dengan kelerengan 15-40%. Hal tersebut sejalan dengan Ernawati (2016) yang menyebutkan bahwa Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki kelerengan 30%, sehingga dimungkinkan dapat menjadi habitat yang sesuai bagi kadal kebun. 2.2.2.4.Air Herpetofauna sangat menyukai tempat-tempat yang dekat dengan badan air. Air mempengaruhi pemilihan mikrohabitat bagi beberapa jenis reptil dengan pergerakan yang sempit. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kwatrina dkk (2018), air merupakan faktor pembatas bagi herpetofauna dalam penyebarannya dikarenakan hewan darat tidak bisa mendapatkan air dengan mudah seperti hewan air. Di Hutan Pendidikan Wanagama I, terdapat Sungai Oyo yang merupakan salah satu sumber air yang mengalir sepanjang tahun (Ernawati, 2016). 2.2.2.5.Tutupan Substrat Substrat dan



mikrohabitat merupakan tempat yang biasanya



digunakan untuk menapak oleh herpetofauna yang terdiri dari amfibi dan



11



reptil, sehingga berdasarkan kemampuan tersebut dikelompokan menjadi ”habitat specialists” dan ”non-specialists” (Mistar, 2003 dalam Sardi dkk., 2014). Tutupan substrat terdiri dari kayu rebah, seresah, tanah berbatu, serta tanah kosong (Brundrett dkk., 1996). Wanger dkk (2009) menyatakan ketebalan dan kedalaman serasah dapat memengaruhi keanekaragaman jenis, karena beberapa jenis reptil khususnya famili Scincidae yang memanfaatkan serasah untuk mencari makan dan berlindung dari pemangsa. Batu merupakan suatu zat yang padat, keras, dan tahan lama. Batu yang digunakan sebagai tempat berlindung memiliki ukuran yang sesuai dengan ukuran tubuh reptil itu sendiri. Tempat berlindung ini digunakan untuk menyesuaikan suhu tubuh reptil dengan suhu lingkungan disekitarnya dan berlindung dari suhu yang terlalu ekstrim (Irvin dkk., 2003). Robohnya kayu-kayu dapat membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah (Hamidun dan Dewi, 2014). Menurut Maser dkk (1988), jumlah akumulasi jatuhan kayu atau dahan mati merupakan struktur penting habitat untuk meningkatkan keanekaragaman vertebrata terestrial. Jumlah akumulasi jatuhan kayu atau dahan mati digunakan herpetofauna sebagai tempat kawin, bersarang, tempat berlindung dan tempat mencari makan (Whiles dan Grubaugh, 1996). Sementara itu, tanah kosong berperan menjadi salah satu penentu kehadiran dan kepadatan hewan yang hidup di tanah karena dapat mempengaruhi suhu yang terbentuk di permukaan tanah (Suin, 1997). 2.2.2.6.Ketebalan serasah Menurut Bari dkk (2018), jenis reptil yang hidup pada permukaan tanah (terestrial) memiliki pola penggunaan ruang yang cenderung tetap. Hal tersebut menyebabkan sering ditemukannya beberapa reptil di serasah, lantai hutan, celah-celah batu ataupun diantara banir kayu pada siang hari untuk berjemur atau mencari mangsa. Kadal menggunakan tanah sebagai penutup telurnya dan bagian atasnya ditutupi dengan serasah. Ketebalan serasah yang digunakan kadal bermacam-macam (Karunarathna et al., 2009). Menurut



12



penelitian yang telah dilakukan oleh Faz dkk (2019), kadal kebun mendominasi wilayah dengan ketebalan serasah 7 cm.



13



BAB III LANDASAN TEORI 3.1



Landasan Teori Kadal kebun (Eutropis multifasciata) merupakan hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Kadal kebun berperan sebagai bioindikator kesehatan lingkungan, karena tingkat kepekaan yang tinggi terhadap kondisi habitatnya. Kadal ini berperan sebagai konsumen tingkat kedua pada rantai makanan, Selain itu, jenis fauna ini juga berfungsi sebagai pengendali hama serangga di lingkungannya. Oleh karena itu, keberadaan kadal kebun sangatlah penting sebagai penyeimbang ekosistem. Kadal kebun banyak ditemukan di lantai hutan karena membutuhkan tutupan semak dan tumbuhan bawah untuk berlindung. Banyak sedikitnya tumbuhan bawah akan mempengaruhi suhu dan kelembaban kawasan tersebut. Selain tumbuhan bawah, kadal kebun dipengaruhi oleh penutupan tajuk karena jenis tersebut termasuk satwa heliothermal yang mengambil panas lingkungan langsung dari panas cahaya matahari sehingga membutuhkan intensitas cahaya yang besar untuk berjemur. Salah satu habitat kadal kebun adalah Hutan Pendidikan Wanagama I. Keberhasilan suksesi di Hutan Pendidikan Wanagama I dengan melimpahnya serangga yang ada memberikan ancaman yang nyata terkait serangan terhadap vegetasi pohon. Ditambah lagi dominasi vegetasi homogen, memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit yang begitu cepat. Keberadaan kadal kebun di Hutan Pendidikan Wanagama I cukup penting dalam mengendalikan populasi serangga, meskipun dampaknya tidak besar. Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan hutan sekunder dengan kondisi vegetasi yang homogen dengan karakteristik tanah berbatu dan dialiri oleh Sungai Oyo yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Keberadaan sumber air seperti Sungai Oyo akan berpengaruh terhadap kondisi fisik lingkungan disekitarnya, salah satunya yaitu kelembaban. Kawasan yang lebih dekat dengan sumber air biasanya memiliki tingkat kelembaban yang lebih tinggi. Kawasan dengan kelembaban yang tinggi memiliki suhu yang tergolong optimal. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap keberadaan kadal kebun karena menyukai tempat lembab dan kondisi intensitas cahaya matahari yang cukup.



14



Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) di Hutan Pendidikan Wanagama I. 3.2



Hipotesis Pada penelitian ini didapat hipotesis sebagai berikut: Ho: Jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) di Hutan Pendidikan Wanagama I tidak dipengaruhi faktor abiotik dan biotik. Ha: Jumlah individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) di Hutan Pendidikan Wanagama I dipengaruhi faktor abiotik dan biotik.



15



BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan Data Pengambilan data dilaksanakan di berbagai petak di Hutan Pendidikan Wanagama I, Desa Banaran, Kecamatan Playen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta pada tanggal 5 November 2022. Menurut Afafi dkk (2022), Hutan Pendidikan Wanagama I secara administratif terletak dalam wilayah Kecamatan Playen dan Patuk Gunungkidul dan secara geografis terletak antara 75°3’25’’ dan 110°33’3” Bujur Timur dan antara 7°53’25’’ dan 7°54’52’’ Lintang Selatan. Hutan Pendidikan Wanagama I terbagi menjadi 6 petak yang membujur dari barat ke timur terdiri dari petak 5, 6, 7, 13, 14, dan 16.



Gambar 2. Hutan Pendidikan Wanagama I 4.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan data di lapangan di antaranya adalah : 4.2.1. Alat di Lapangan Alat yang dibutuhkan dalam pengambilan data di lapangan di antaranya adalah : a. Alat tulis, untuk menulis data yang diperoleh di lapangan.



16



b. Tally Sheet, sebagai tempat mencatat data yang diperoleh di lapangan. c. Roll Meter, untuk pengukuran di lapangan. d. Pita meter, untuk mengukur diameter pohon. e. Klinometer, untuk mengukur kelerengan. f. Sling-psychrometer, untuk mengukur suhu dan kelembaban. g. GPS, untuk keperluan navigasi di lapangan. h. Kompas, untuk menentukan arah mata angin. i. Tabung okuler, untuk mengambil data tutupan tajuk dan tumbuhan bawah. j. Tongkat sepanjang 1 meter, untuk mengambil data kepadatan semak. k. Kisi 1x1 meter, untuk menentukan tutupan substrat. l. Penggaris, untuk mengukur ketebalan serasah m. Kamera, untuk membantu proses dokumentasi di lapangan. n. Buku panduan herpetofauna, untuk membantu dan memudahkan dalam identifikasi herpetofauna di lapangan. o. Peta Hutan Pendidikan Wanagama I, untuk membantu menentukan lokasi pengambilan data di lapangan. 4.2.2. Bahan di Lapangan Bahan yang dibutuhkan di dalam proses pengambilan data di lapangan di antaranya adalah : a. Individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) di Hutan Pendidikan Wanagama I. b. Faktor biotik dan abiotik kadal kebun (Eutropis multifasciata) yang dijabarkan dalam tabel sebagai berikut: Faktor Biotik Habitat 1. Kerapatan vegetasi ● Kerapatan Semai ● Kerapatan Pancang ● Kerapatan Tiang ● Kerapatan Pohon 2. Tutupan tajuk 3. Tutupan tumbuhan bawah



17



Faktor Abiotik Habitat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Suhu Kelembaban Kelerengan Ketinggian lokasi Tutupan substrat Ketebalan serasah Jarak dari sumber air



4. Kepadatan semak 5. Tutupan volume daun 4.3. Pengambilan Data 4.3.1. Jumlah Individu kadal kebun (Eutropis multifasciata) Pengambilan data jumlah individu kadal kebun yang dilakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I menggunakan metode kuadrat sampling. Kuadrat sampling adalah sebuat petak ukur dengan ukuran 10m x 10m yang diletakkan pada lokasi yang telah ditentukan (Kusrini, 2008). Cara ini kurang efektif dilakukan pada habitat yang memiliki penutupan tanah yang rapat serta lokasi-lokasi yang terjal karena sulitnya meletakkan kuadrat secara acak (Bismark, 2011). Menurut Kusrini (2008), pengamatan jumlah individu kadal kebun dilakukan dengan asumsi: 1. Hewan tidak meninggalkan kuadrat akibat terganggu oleh aktivitas pengambilan sampel sebelum hewan tersebut dihitung, 2. Kuadrat dapat ditempatkan secara acak, 3. Kuadrat menghasilkan data yang independen.



Gambar 3. Desain kuadrat sampling 4.3.2. Faktor Biotik 4.3.2.1 Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon) Pada pengambilan data kerapatan vegetasi digunakan pengambilan data menggunakan metode Nested Sampling. Nested sampling adalah petak contoh yang berukuran



besar



mengandung



sub petak contoh



yang



lebih kecil sesuai dengan tingkat pertumbuhannya (Hotden dkk., 2014).



18



Pada lokasi pengamatan, yaitu Petak 5 Hutan Pendidikan Wanagama I, akan ditempatkan petak ukur nested plot secara random sebanyak 13 plot. Pengambilan data dilakukan dengan menjelaskan tingkat pertumbuhan semai (A) dengan petak ukur berukuran 2x2 m, tingkat pertumbuhan pancang (B) dengan petak ukur berukuran 5x5 m, tingkat pertumbuhan tiang (C) dengan petak ukur berukuran 10x10 m, dan tingkat pertumbuhan pohon (D) digunakan petak berukuran 20x20 m (Soerianegara dan Indrawan, 2002). Data yang diambil berupa data jenis, jumlah individu tiap jenis, diameter, dan tinggi pohon.



Gambar 4. Plot Metode Nested Sampling 4.3.2.2 Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah Data



tutupan



tajuk



dan



tumbuhan



bawah



diambil



dengan



menggunakan metode Protocol Sampling. Metode protocol sampling adalah petak ukur berbentuk lingkaran dengan diameter (d) 22,6 m atau jari-jari (r) 11,3 m (Noon, 1981). Pengamatan dilakukan pada dua arah garis transek (utara-selatan dan barat-timur). Pada masing-masing transek, dibuat titik sejumlah 10 sebagai titik pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan melihat keberadaan tajuk atau tumbuhan bawah pada tabung okuler. Jika terdapat tajuk atau tumbuhan bawah yang menutupi persilangan benang lebih dari 50% pada tabung okuler, maka pada tally sheet ditulis “+”. Sedangkan, apabila tidak terdapat tajuk dan tumbuhan bawah yang menutupi, maka ditulis “-“ (Noon, 1981).



19



Gambar 5. Desain Protocol sampling



Gambar 6. Bentuk tabung okuler



Gambar 7. Penentuan nilai “+” dan “-” 4.3.2.3 Kepadatan semak Kepadatan semak diketahui dengan menggunakan metode shrub density yang dilakukan dalam plot metode protocol sampling dengan menggunakan tongkat sepanjang 1 meter. Tongkat dibawa berjalan secara horizontal dengan ketinggian di bawah 1,5 meter dari dua arah transek, yakni utara-selatan dan barat-timur. Semak yang terkena tongkat kemudian dicatat jenis dan jumlahnya (Noon, 1981).



20



Gambar 8. Shrub density 4.3.2.4 Penutupan Volume daun Pengambilan data penutupan volume daun dilakukan dengan menggunakan density board. Pengukuran dilakukan dari ketinggian yang terbagi ke dalam empat interval yaitu interval satu pada ketinggian 0-0.3 m, interval dua pada ketinggian 0.3-1 m, interval tiga pada ketinggian 1-2 m, dan interval empat pada ketinggian 2-3 m. Density board diletakkan pada empat arah mata angin yang dilihat oleh satu orang pengamat dari jarak 11,3 m atau di titik pusat petak ukur (Noon, 1981). Dari titik pusat tersebut dihitung jumlah kotak tiap interval yang tertutup oleh vegetasi. Data yang diambil dalam metode ini adalah jumlah kotak hitam putih pada density board yang tertutup oleh daun.



21



Gambar 9. Density board 4.3.3. Faktor Abiotik Faktor abiotik dapat berupa suhu, kelembaban, kelerengan, jarak dari sumber air, dan tutupan substrat. 4.3.3.1 Suhu dan kelembaban Pengambilan



data



suhu



dan



kelembaban



menggunakan



sling-psychrometer yang dilakukan di titik pusat Protocol Sampling. Sling psychrometer sering digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban. Alat tersebut terdiri dari dua termometer gelas, di mana sensing bulb dari salah satu termometernya dibungkus kain basah, sehingga dapat mengukur suhu basah, sedangkan termometer yang lainnya dapat mengukur suhu kering (Sunandar dkk, 1999). Satuan suhu yang diperoleh berupa (°C). Sedangkan, satuan kelembaban yang diperoleh berupa (%) yang didapat dari skala perpotongan antara suhu basah dan suhu kering 4.3.3.2 Kelerengan Pengambilan data kelerengan menggunakan alat klinometer dengan satuan derajat (angka disebelah kiri) atau persen (angka di sebelah kanan) (Purnama dkk., 2016). Pengukuran dilakukan pada setiap titik plot pada 4



22



arah yang berbeda (Utara, Timur, Selatan, Barat). Nilai kelerengan yang diambil adalah nilai kelerengan terbesar yang diperoleh. Satuan untuk variabel yaitu persen (%). 4.3.3.3 Ketinggian lokasi Pengambilan data ketinggian lokasi menggunakan GPS (Global Positioning System) dengan fitur elevation point. Pengukuran langsung di lapangan menggunakan GPS akan menghasilkan data titik-titik ketinggian dengan koordinat lokasi-nya (Indarto dan Prasetyo, 2014). 4.3.3.4 Jarak ke sumber air Pengambilan data jarak dari sumber air menggunakan GPS (Global Positioning System) dengan menentukan jarak yang disajikan dalam satuan meter dari titik plot pengamatan ke lokasi sumber air, yaitu sungai oyo. 4.3.3.5 Tutupan Substrat (serasah, kayu rebah, batu dan tanah kosong) Pengambilan data dilakukan dengan pembuatan kotak berukuran 1x1 m yang diletakkan pada 4 arah mata angin di dalam kuadrat sampling. Tutupan substrat (serasah, batu, dan kayu rebah) dilihat secara subjektif menurut pengamat berapa persentase substrat yang menutupi plot persegi tersebut.



Gambar 10. Desain Plot Pengambilan Data Penutupan Substrat 4.3.3.6 Ketebalan serasah Pengambilan data ketebalan serasah dilakukan di dalam petak ukur kuadrat dengan menggunakan penggaris. Dari titik ikat ditarik jarak 1 meter pada empat arah mata angin lalu diukur ketebalan serasahnya dengan satuan cm.



23



4.4. Metode Analisis 4.4.1 Jumlah Individu Kadal Kebun Analisis data jumlah individu kadal kebun dilakukan dengan melakukan tabulasi. Tabulasi adalah perhitungan data dan memasukkannya ke dalam sebuah tabel berdasarkan kategori tertentu (Santoso, 2003). Tabulasi dilakukan pada data jumlah dan jenis yang telah diambil. 4.4.2. Faktor Biotik 4.4.2.1. Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon) Data struktur vegetasi dianalisis dengan diketahui masing-masing jumlah dan jenis individu pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada tiap plot. Hasil dihitung dan dinyatakan dalam bentuk tabel. Kerapatan vegetasi dihitung pada masing-masing tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Setiap jenis vegetasi dihitung kerapatannya dengan rumus (Alikodra, 1990) : ● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑖



=



● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔 = ● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔



=



● 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛



=



𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑖 2𝑥2 𝑚 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔 5 𝑥 5𝑚 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔 10𝑥10𝑚 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 20𝑥20 𝑚



4.4.2.2. Tutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah Tutupan tajuk dan tumbuhan bawah dihitung dari banyaknya tanda “+” yang diperoleh pada masing-masing titik pengamatan. Menurut Noon (1981), data penutupan tajuk dan tumbuhan bawah dihitung dengan menggunakan rumus: %𝑝𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 =



𝑃 𝑛



× 100%



Keterangan: P : jumlah tanda “+” yang diperoleh pada tabung okuler n : jumlah titik pengamatan



24



4.4.2.3. Kepadatan semak Data kepadatan semak dianalisis menggunakan rumus: 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘 =



𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘 2 𝑥 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑜𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑥 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑎𝑙𝑢𝑟



Keterangan : Panjang tongkat : 1 meter Panjang jalur



: 22,6 meter



4.4.2.5. Penutupan Volume daun Nilai



dari



volume



daun



diolah



menggunakan



rumus



(Coulloudon, 1999): 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑢𝑛 =



𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛



× 100%



Keterangan : ●



Interval 0-0.3 m



: 15 kotak







Interval 0.3-1 m



: 35 kotak







Interval 1-2 m



: 50 kotak







Interval 2-3 m



: 50 kotak



4.4.3. Faktor Abiotik 4.4.3.1 Suhu dan kelembaban Data suhu dan kelembaban disajikan dalam tabel dan dijelaskan secara deskriptif kualitatif. Satuan setiap variabel yaitu untuk suhu menggunakan satuan (°C) dan kelembaban (%). 4.4.3.2 Kelerengan Data kelerengan disajikan dalam tabel dan dijelaskan secara kualitatif. Satuan untuk variabel yaitu persen (%). 4.4.3.3 Ketinggian lokasi Data ketinggian lokasi disajikan dalam tabel dan dijelaskan secara kualitatif. Satuan untuk variabel yaitu mdpl. 4.4.3.4 Jarak dari sumber air Data jarak dari sumber air dinyatakan dalam meter (m) dan disajikan dalam tabel serta dijelaskan secara kualitatif.



25



4.4.3.5. Tutupan substrat Substrat yang diambil dalam kegiatan penelitian berupa serasah, batu, kayu rebah, dan tanah kosong. Nilai tutupan dari masing-masing substrat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini



kemudian



dirata-ratakan: S=



𝑃 𝑁



x 100%



Keterangan : S : Tutupan Substrat P : Jumlah terlihatnya jenis substrat dalam kotak N : Jumlah total kotak dalam plot 4.4.3.6 Ketebalan serasah Ketebalan serasah diperoleh dari hasil pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan penggaris di masing-masing titik. Nilai ketebalan serasah yang dihitung dari setiap arah mata angin kemudian dirata-rata dengan menggunakan rumus : 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎ℎ =



𝐾𝑆 𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎 + 𝐾𝑆 𝑡𝑖𝑚𝑢𝑟 + 𝐾𝑆 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑡 + 𝐾𝑆 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑡𝑎𝑛 4



4.4.4 Analisis Statistik Analisis pengaruh faktor abiotik dan biotik dilakukan menggunakan analisis regresi dengan metode General Linear Model (GLM) (Wijaya, 2009). Analisis regresi merupakan suatu bentuk analisis statistik yang menggambarkan hubungan antara satu variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen (variabel penjelas/bebas) (Subandriyo, 2020). Variabel dalam analisis regresi terdiri dari variabel terpengaruh (dependent) dan variabel mempengaruhi (independent). Jumlah individu cinenen pisang sebagai variabel dependen (Y) dan faktor biotik-abiotik sebagai variabel independen (X). Sebelum dilakukan analisis regresi pada kedua variabel, dilakukan uji saphiro-wilk untuk mengetahui kesesuaian data distribusinya normal atau tidak normal. Jika data berdistribusi normal, maka dilakukan analisis regresi linear model multivariate, tetapi jika data tidak normal, maka dilakukan analisis regresi Generalized Linear Model (GLM). Generalized Linear Model (GLM)



26



digunakan untuk mengetahui pengaruh dari jenis vegetasi, tutupan tumbuhan bawah, penutupan tajuk, dan kerapatan vegetasi serta faktor abiotik suhu, kelembaban, dan jarak dari sumber air (Zahro dkk., 2018) terhadap kehadiran kadal kebun di Hutan Pendidikan Wanagama I. Analisis regresi dilakukan menggunakan software R-studio. Dilakukan uji regresi linear berganda dengan persamaan sebagai berikut (Natawiria, 2010): y = a + b1x1+ b2x2+…..+ b27x27 Keterangan: y



= Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)



a



= Konstanta (nilai y’ apabila x1, x2…..x27 = 0)



b



= Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)



x1 dan x2 = Variabel independen



27



DAFTAR PUSTAKA Adha Rilascka, Jabang Nurdin, Djong Hon Tjong. 2015. Komposisi Kadang (Squamata:Sauria) Pada Hutan Konservasi PT. Tidar Kerinci Agung. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas dan Ekologi Tropika Indonesia. Hal 80-87. Afafi, S. N., Supartha, K. I., Fatmawati, H., Sari, N. H. E., Rissaldy, J. D., Al-Husna, F. Y., Himawan, F. D., Aulia, M., Ardiansyah, M. B., dan Mulayana, B. 2022. Simpanan Karbon Tegakan Jati Mega di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Wanagama, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Galam, 2(2): 67-76. Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB Alikodra H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Amri, S., Bachrun N., dan Sarma S. 2015. Keanekaragaman Jenis Reptil Ordo Squamata Di Kawasan Hutan Lindung Gunung Semahung Desa Sebatih Kecamatan Sengah Temilaka Kabupaten Landak. Jurnal Lestari. 3(1): 30-34. Azrai, Eka Putri dan Erna Heryanti. 2015. Biodiversitas Tumbuhan Semak Di Hutan Tropis Dataran Rendah Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat. Prosiding Semirata bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura Pontianak. Hal. 403-408. Bain, R. H. and M. M. Hurley. 2011. A biogeographic synthesis of the amphibians and reptiles of Indochina. Bulletin of the American Museum of Natural History. 360: 1-138. Bari, Z., Nurdjali, B., & Nugroho, J. Keanekaragaman Jenis Reptil di Cagar Alam Raya Pasi Gunung Poteng Kota Singkawang Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari, 6(1). Bessy, E. 2016. Penerapan Metoda Pembelajaran Diskusi Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Biologi Dengan Materi Pokok Ekosistem Dan Komponen Pendukungnya Bagi Siswa Kelas X Semester II SMA N 5 Kota Ternate. Jurnal Pendidikan. 14(1): 375- 382. Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keanekaragaman Jenis Pada Kawasan Konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Budiyanto, E. 2004. Sistem Informasi Geografis Menggunakan MapInfo. Yogyakarta: Andi Offset.



28



Brooker, C. 2008. Ensiklopedia Keperawatan (edisi bahasa Indonesia), alih bahasa Andry hartono et al. Jakarta:FEC. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, dan N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra: ACIAR Monograph. Coulloudon, B., Eshelman, K., Gianola, J., Habich, N., Hughes, L., Johnson, C., Shaver, P. 1999. Sampling vegetation attributes: interagency technical reference. Colorado: Bureau of Land Management’s National Applied Resource Sciences Center. Cox M, P. Dijk, J. Nabhitabhata, K. Thirakhupt. 1998. A Photographic guideto snakes and other reptiles of peninsular malaysia, singapore and thailand. london, sidney, singapore. Journal. New Holland Publishers Ltd. Das, I. 2004. A Pocket Guide. The Lizards of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Sdn Bhd. Kota Kinabalu. Das, I. 2010. A Field Guide to the Reptiles of South-east Asia. London: New Holland. Dewi , N. P., Yuni, L., & Suaskara, I. B. 2020. Aktivitas Harian Kadal Eutropis multifasciata pada Habitat Kebun di Dataran Rendah di Desa Peguyangan, Denpasar – Bali. Jurnal Biologi Udayana, Vol. 24(2) : 107-114. Eprilurahman, R., M. F. Hilmy, dan T. F. Qurniawan. 2009. Studi Keanekaragaman Reptil dan Amfibi di Kawasan Ekowisata Linggo Asri, Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Berkala Penelitian Hayati (Journal of Biological Researchers), 15 (1):93-97. Eprilurahman, R., Hastin A. A., Suwarno H., Donan S. Y., Trijoko., Ratna S. R., FX. Sugiyo P., dan Iman A. M. 2018. Kekayaan Fauna Gianyar, Bali: Udang, Ikan, Amfibi, Reptil, Burung dan Mamalia. UGM Press. Yogyakarta. Ernawati, J. 2016. Jejak Hijau Wanagama. Jakarta: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit



(GIZ)



GmbHm



Forests



and



Climate



Change



Programme



(FORCLIME). Ewert, J.P., John E. Cooper, Tom Langton, Gilbert Matz, Kathryn Reilly, dan Helen Schwantje. 2004. Working Party For The Preparation Of The Fourth Multilateral Consultation Of Parties To The European Convention For The Protection Of Vertebrate Animals Used For Experimental And Other Scientific Purposes (Ets 123). 8th Meeting of the Working Party. Strasbourg.



29



Fatmawati, N. A., Dewi, B. S., Rusita, Fitriana, Y. R., Febryano, I. G. 2021. Keanekaragaman Jenis Reptil di Laboratorium Lapang Terpadu, Universitas Lampung. Jurnal Rimba Lestari, Vol. 1 (2). Findua, A. W., Hariyanto, S., dan Nurcahyani, N. 2016. KEANEKARAGAMAN REPTIL DI REPONG DAMAR PEKON PAHMUNGAN PESISIR BARAT (STUDI KASUS PLOT PERMANEN UNIVERSITAS LAMPUNG). Jurnal Sylva Lestari, 4(1): 51-60. Faz, F. H., Kusrini, M. D., dan Kartono, A. P. 2019. Kelimpahan, Komposisi, dan Ukuran Kadal di Berbagai Habitat Berbeda pada Ekoton Hutan Nantu, Provinsi Gorontalo. Zoo Indonesia, 28(1): 33-45. Goin, C.J., dan Goin O. B. 1971. Introduction to Herpetology. San Francisco: WH Freeman and Company. Hamidun, M.S. dan Dewi Wahyuni K. B. 2014. Habitat, Niche, Dan Jasa Lingkungan Penyusun Utama Vegetasi Kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto. Laporan Akhir Penelitian Fundamental. Universitas Negeri Gorontalo. Hariyanto, S., B. Irawan, N. Moehammadi, T. Soedarti. 2019. Lingkungan Abiotik. Surabaya: Airlangga University Press. Helms, John A. 1998. The Dictionary Of Forestry. America : Society of American Foresters. Hidayat, Riski. 2014. Pengaruh Kondisi Lingkungan Fisik Dan Penutupan Vegetasi Terhadap Kepadatan Herpetofauna Pada Habitat Terestrial. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hotden., Khairijon., dan Isda, M. N. 2014. Analisis Vegetasi Mangrove Di Ekosistem Mangrove Desa Tapian Nauli I Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. JOM FMIPA.Volume 1 No. 2. Jepri Noperese, Ari Hepi Yanti, Tri Rima Setyawati. 2019. Inventarisasi Jenis-Jenis Kadal (Sub Ordo Sauria) di Kawasan Hutan Primer, Hutan Sekunder dan Pemukiman di Desa Parek Kacamatan Air Besar Kabupaten Landak. Jurnal Protobiont. Vol. 8 (2) : 62 – 68. Kartika, N. A., Dewi, B. S., Rusita., Fitriana, Y. R. 2021. Keanekaragaman dan Kesamarataan Reptil pada Beberapa Tipe Habitat di Universitas Lampung. Jopfe Journal, Vol. 1 (2).



30



Karunarathna S. D.M.S., & Bandara N.I. Amila Chanaka. 2009. The Ovipositional Behaviour of the Endemic Whistling Lizard Calotes liolepis Boulenger, 1885 (Reptilia: Agamidae) in the Knuckles Forest Region of Sri Lanka. Acta Herpetologica. 4(1): 47- 56 Kurniati H. 2001. Analisis ekologi relung intraspesifik kadal Sphenomorphus variegates ditinjau dari mangsa alaminya. Zoo Indonesia. 28: 8-11. Indarto dan Prasetyo, D. R. 2014. Pembuatan Digital Elevation Model Resolusi 10m dari Peta RBI dan Survei GPS dengan Algoritma ANUDEM. Jurnal Keteknikan Pertanian, 2(1): 55-63. Indrioko, S., Naiem M., Danarto S., Winarni W. W., dan Ratnaningrum Y.W.N. 2008. Dinamika Biologi



Reproduksi



Beberapa



Provenan



Cendana



(Santalum



album



Linn.,SANTALACEAE) di Wanagama I, Gunungkidul. Laporan Penelitian. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Irvin M, Westbrooke M dan Gibson M. 2003. Ecological Effects of Repeated Low-Intensity Fire on Reptile Populations in South-Eastern Australia of a Mixed Eucalypt Foothill Forest. Research Report No. 65. Victoria: Fire Management. Irwan, Z. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Irwan, Z. 2014. Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Bumi Aksara. Jakarta. Irwanto, R., Lingga, R., Pratama, R., dan Ifafah, S. A. 2019. Identifikasi Jenis-Jenis Herpetofauna Di Taman Wisata Alam Gunung Permisan, Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Journal Of Science Education, 3(2): 106- 113. Junaedi, A., Hidayat, A. 2015 Struktur dan Komposisi Vegetasi di Areal Bekas Tebangan berdasarkan Zone Kelerengan. Jurnal Hutan Tropis, Vol. 3 (1): 91-98. Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) Dan Eucalyptus (Eucalyptus Pellita) Pada Kawasan Hutan Wanagama I. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kaiser. H., Carvalho, V.L., Ceballos, J., Freed, P., Heacox, S., Lester, B., Richards, S.J., Trainor, C.R., Sanchez, C. dan O'Shea, M. 2011. The herpetofauna of Timor-Leste: a first report. Zookeys. 109: 19-86.



31



Kunarso, A. dan Fatahul Azwar. 2013. Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah Pada Berbagai Tegakan Hutan Tanaman Di Benakat, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 10(2): 85-98. Kusrini, M. D. 2008. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, Indonesia. Kwatrina, R. T., Yanto S., dan Panji M. 2018. Keanekaragaman Spesies Herpetofauna Pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan Di Lanskap Perkebunan Sawit : Studi Kasus di PT. BLP Central Borneo. Journal of Natural Resources and Environmental Management. 9(2): 304-313. Lestari E., Soendjoto A. M., dan Dharmono D. 2015. Reptilia di Kawasan Wisata Air Terjun Bajuin, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Universitas Lambung Mangkurat 2015 “Potensi, Peluang, dan Tantangan Pengelolaan Lingkungan 103 Lahan Basah Secara Berkelanjutan”. Lambung Mangkurat University Press. Banjarmasin. Lin, T., Tai-Yu C., Hsin-Lin W., Romain R., dan Shu-Ping H. 2019. Low Cold Tolerance of The Invasive Lizard Eutropis multifasciata Constrains Its Potensial Elevation Distribution In Taiwan. Journal of Thermal Biology. 82(2019): 115-122. Mahendra, R. A., Zabrina, J., Amin, M. H. F. 2017. Inventarisasi Herpetofauna di Pemandian Air Panas Cangar. Artikel Pemakalah Paralel, p-ISSN: 2527-533X. Maser, C., Tarrant, R., Trappe, J., dan Franklin, J.F. 1988. From the Forest to the Sea: A Story of Fallen Trees. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-229. 153p. Muhibbuddin Abdillah, Wuri Handayani, Tatag Bagus Putra Prakarsa. 2019. Keanekaragaman Famili Arthropoda Tanah Di Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama Kabupaten gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Biosilampari:Jurnal Biologi, 1(2): 59 - 64. Muslim, T., Rayadin, Y., dan Suhardiman, A. 2018. PREFERENSI HABITAT BERDASARKAN DISTRIBUSI SPASIAL HERPETOFAUNA DI KAWASAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT SINGLURUS PRATAMA, KALIMANTAN TIMUR. Jurnal AGRIFOR, 17(1): 175-188. Natawiria, Asep Suryana, dan Riduwan. 2010. Statistika Bisnis. Alfabeta. Bandung.



32



Noon, B.R. 1981. Techniques for sampling avian habitats. pp. 42-52. In: The use of multivariate statistics in studies of wildlife habitat. Capen, D.E. (ed). U.S. Department of Agriculture, Forest Service, General Technical Report RM-87. Rocky Mountain Forest and Range Experiment Station, Fort Collins, CO. Nurhayati, A., Sukiya. 2018. Keanekaragaman dan Distribusi Ular di Taman Hutan Raya Bunder, Gunungkidul, Yogyakarta. Jurnal Prodi Biologi. Vol. 7 (1): 44-57. Nurjanto, H.H., Supriyo, H., Widyastuti, S.M., Kabirun, S., Johan, E., & Matsue, N. 2016. Smectite Under Heavy Clay Soils Development at FRE Wanagama Forest Area. Malaysian Journal of Soil Science, Vol. 20(3): 1–18. Onrizal, Kusmana, C., Saharjo, B. H., Handayani, I. P., Kato, T. 2005. Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Kerangas Bekas Kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Jurnal Biodiversitas, Vol. 6 (4): 263–265. Origia, K., Novarino, W., dan Tjong, D. H. 2012. Jenis-Jenis Kadal (Sub-Ordo Sauria) di Hutan Harapan Jambi. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 1(1): 86-92. Pough, F. H, R.M. Andrews, J.E.Cadle, M. L. Crump, A. H. Savitzky, dan K. D. Wells. 1998. Herpetology. New Jersey: Prentice-Hall,Inc. Purnama, H., Jumani, dan Biantary, M. P. 2016. Inventarisasi Distribusi Tegakan Puspa (Schima wallichii Korth) Pada Berbagai Tipe Kelerengan Di Kebun Raya Unmul Samarinda (Krus) Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal AGRIFOR, 15(1): 55-64. Purnomo, D.W., dan Usmadi, D. 2012. Pengaruh Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam Menentukan Nilai Konservasi Kawasan Rehabilitasi di Hutan Wanagama I dan Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia, 8(2): 255-267. Putra, M. A. (2011). Studi Keanekaragaman Jenis Burung pada Berbagai Petak Di Wanagama I Gunung Kidul. Yogyakarta: UGM. Rahma , S. (2021). Pemanfaatan Kadal (Eutropis multifasciata) Sebagai Obat Alergi Gatal Oleh Masyarakat Sumber, Kabupaten Cirebon. Jurnal Bio-Lectura, 8(2) . Qurniawan, T. F., Addien, F. U., Eprilurahman, R., Trijoko. 2012. Eksplorasi Keanekaragaman Herpetofauna di Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Jurnal Teknosains, Vol. 1 (2): 71-143.



33



Sardi, M., Erianto & Siahaan, S. 2014. Keanekaragaman Herpetofauna Di Resort Lekawai Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari, 2(1). Shea, G., Allison A., Tallowin O., McGuire J., Iskandar D., Cai B., Wang Y., Yang J., dan Shang, G. 2018. Eutropis multifasciata. The IUCN Red List of Threatened Species 2018:e.T195295A2376842.http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2018-2.RLTS.T195295 A2376842.en. Soerianegara I dan A Indrawan. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soeseno (2004) Sejarah Wanagama I. Penyunting. Atmosoedarjo, H.S., Pramoedibyo, R.I.5., Ranoeprawiro, S. 2004. Dari Bukit-bukit Gundul Sampai Wanagama I. Yayasan Sarana Wana Jaya Yogyakarta. Hal 7-9. Subandriyo, B. 2020. Analisis Korelasi dan Regresi. Badan Pusat Statistik. Subeno. 2022. Draft Laporan Inventarisasi Burung Herpet di Wanagama. Tidak dipublikasikan. Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara. Sunandar, H., dan Tjitro, S. 1999. Pengujian, Pengaturan dan Penyeimbangan dalam Sistem Pengkondisian Udara. Jurnal Teknik Mesin, 1(1): 30-36. Supriyo, H., Prehaten, D., & Figyantika, A. 2013. Soil Properties Of Eight Forest Stands Resulted from Rehabilitation of Degraded I,and on The Tropical Area for Almost A Half Century. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol.20(3): 294-302. Wanger T. C., Saro A., Iskandar D. T., Brook B.W., Sodhi N. S., Clough Y., dan Tscharntke T. 2009. Conservation value of cacao agroforestry for amphibians and reptiles in Southeast Asia: combining correlative models with follow-up field experiments. Journal of Appied Ecology. 46:823–832. Whiles MR, Grubaugh JW. 1996. Importance of coarse woody debris to southern forest herpetofauna. In: McMinn, J.W., Crossley, Jr., D.A. (Eds.), Biodiversity and Coarse Woody Debris in Southern Forests. Proceedings of the Workshop on Coarse Woody Debris in Southern Forests: Effects on Biodiversity. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. SE-94, pp. 94–100.



34



Wijaya, T. 2009. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yuliany, E. H. 2021. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna (Ordo Squamata) di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tropis Mangsang-Kepayang, Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati, Vol. 6 (2): 111-119. Zahro, J., Caraka, R. E., dan Herliansyah, R. 2018. Aplikasi Generalized Linear Model pada R. Innosain. Yogyakarta. Zug, G. R. dan Kaiser. 2013. A New Species of Four-toed Skink (Squamata: Scincidae: Carlia peronii species group) from Pulau Sukur, Indonesia, and Biogeographic Notes on The Herpetofauna of Flores and Komodo. Proceedings of the Biological Society of Washington : January 2014, Vol. 126, No. 4, pp. 379-392.



35