Proposal - Tresia Aulia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DONGGALA



PROPOSAL



TRESIA AULIA P 101 18 004



PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2021



PERSETUJUAN UJIAN PROPOSAL PENELITIAN



Judul



: Hubungan Faktor Lingkungan dan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Donggala



Nama



: Tresia Aulia



Stambuk



: P 101 18 004



Proposal ini telah kami setujui untuk selanjutnya melakukan ujian proposal sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir pada Fakultas Kesehatan Masyarakat.



Palu,



2021



Mengetehui, Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako Koordinator,



Pembimbing



(Rasyika Nurul Fadjriah, S.KM., M.Kes) NIP. 198907162014042001



(Dilla Srikandi Syahadat, S.KM., M.Kes) NIDN: 007019002



i



DAFTAR ISI



PERSETUJUAN UJIAN PROPOSAL PENELITIAN ....................................... i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii DAFTAR TABEL................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi DAFTAR ARTI SIMBOL DAN SINGKATAN ............................................... vii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8 2.1 Balita .................................................................................................... 8 2.2 ISPA ..................................................................................................... 9 2.3 Faktor Risiko ISPA pada Balita ......................................................... 16 2.4 Kerangka Teori................................................................................... 31 BAB III KERANGKA KONSEP ....................................................................... 32 3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ............................................. 32 3.2 Alur Kerangka Konsep ....................................................................... 34 3.3 Definisi Oprasional dan Kriteria Objektif .......................................... 34 3.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................ 37 BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 38 4.1 Jenis Penelitian ................................................................................... 38 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 38 4.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 38 4.4 Pengumpulan Data ............................................................................. 39 4.5 Teknik Pengambilan Sampel .............................................................. 40 4.6 Analisi dan Penyajian Data ................................................................ 40



ii



DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42 PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN .................................................... 47 KUESIONER ....................................................................................................... 48 TABEL SINTESA ............................................................................................... 51



iii



DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tanda & Gejala ISPA berdasarkan Kelompok Usia ............................. 12 Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks (BB/U) ................................................................................................................... 27 Tabel 2.1 Tabel Sintesa Penelitian ........................................................................ 51



iv



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1 Kerangka Teori .................................................................................. 31 Gambar 3.2 Alur Kerangka Konsep ...................................................................... 34



v



DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran 1



: Kuesioner Penelitian



vi



DAFTAR ARTI SIMBOL DAN SINGKATAN



Simbol/Singkatan



Arti Simbol/Singkatan



%



Satuan Persen Kurang dari Lebih dari Kurang dari atau sama dengan Lebih dari atau sama dengan Berat Badan Centimeter Karbon monoksida Denver Developmental Screening Test Foreign Body Aspiration Gram Household Food Security Survey Module Indeks Massa Tubuh Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kementrian Kesehatan Kurang Energi Protein Kesehatan Ibu dan Anak Kartu Menuju Sehat Laryngotracheobronchitis Meter persegi Oksigen Derajat Celcius Republik Indonesia Rumah Sakit Standar Devisiasi Tinggi Badan United Nations Children's Fund World Human Organization



< > ≤ ≥



BB cm CO2 DDST FBA g HFSSM IMT ISPA KEMENKES KEP KIA KMS LTB m2 O2 o C RI RS SD TB UNICEF WHO



vii



BAB I PENDAHULUAN



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerja sama antardaerah (Ridwan Amiruddin, 2012). Salah satu penyakit menular adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), ISPA adalah penyakit yang paling umum terjadi di seluruh dunia yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. ISPA sering disebabkan oleh virus, banyak dari agen penyebab mudah ditularkan dari manusia ke manusia dan dengan demikian sering menyebabkan epidemi. ISPA adalah penyebab tunggal kematian terbesar pada anak-anak di seluruh dunia (Mahawati et al., 2021). Program pemberantasan ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu Pneumonia dan bukan Pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu Pneumonia berat dan Pneumonia tidak berat. Hampir semua kematian ISPA pada anak-anak umumnya adalah infeksi saluran bagian bawah (pneumonia) oleh karena itu infeksi saluran bagian bawah (pneumonia) memerlukan perhatian yang besar oleh karena angka kasus kematiannya (case fatalityrate) tinggi dan pneumonia merupakan infeksi yang mempunyai andil besar dalam morbiditas maupun mortalitas di negara berkembang (Wuri Ratna Hidayani, 2020) . Berdasarkan data WHO, prevalensi anak di bawah 5 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan ISPA diperkirakan 20% dan 90% diantaranya disebabkan oleh pneumonia. Penderita ISPA khususnya pneumonia menyumbang 15% dari semua kematian anak dibawah 5 tahun dan menewaskan sebanyak 808.694 anak pada tahun 2017. Tingkat mortalitas penyakit ISPA sangat tinggi pada balita, anak-anak dan orang lanjut usia 1



terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah (WHO, 2019). Menurut Krishnan et al.(2015) menyatakan bahwa sekitar 85-88% dari episode penderita ISPA adalah Infeksi Pernapasan Atas Akut sedangkan sisanya adalah Infeksi Saluran Pernapasan Bawah. Prevalensi kejadian ISPA di Indonesia pada tahun 2019 sebesar 3,55%. Gambaran kasus ISPA berdasarkan umur terbanyak ditemukan pada umur 1-4 tahun sebanyak 313.749 kasus sedangkan angka kematian yang disebabkan oleh kejadian ISPA terbanyak terjadi pada kelompok 1-4 tahun sebanyak 300 kasus (Kemenkes RI, 2020). Berdasarkan data Kemenkes RI 2019 prevalensi ISPA di Sulawesi Tengah mencapai angka 5,19% (Kemenkes RI, 2020). Angka penemuan kasus di Sulawesi Tengah mengalami penurunan dalam 3 tahun terakhir yakni tahun 2017 sebesar 66,72%, tahun 2018 sebesar 60,25% dan tahun 2019 sebesar 52,3%, terdapat 13 dari 14 Provinsi/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah yang angka penemuan kasusnya masih belum mencapai target (90%) yaitu Morowali Utara sebesar 5,4%, Morowali sebesar 16,2%, Banggai Kepulauan sebesar 19,4%, Buol sebesar 28,8%, Touna sebesar 37,1%, Poso sebesar 40,4 %, Toli-toli sebesar 48,6%, Sigi sebesar 50,2%, Parimo sebesar 51,4%, Donggala sebesar 52,8%, Banggai Laut sebesar 62,4% dan Kota Palu sebesar 83,7%. (Dinas Kesehatan Sulteng, 2020). Kabupaten Donggala merupakan salah satu Kabupaten/Kota yang melaporkan jumlah kasus ISPA setiap tahunnya. Tercatat jumlah kasus ISPA yang ditemukan pada tahun 2017 sebanyak 72,5% kasus, pada tahun 2018 sebanyak 59,6% kasus, pada tahun 2019 mengalami peningkatan sebanyak 62,5% kasus dan angka kasus tersebut mengalami penurunan kembali pada tahun 2020 sebanyak 42,8% kasus. Berdasarkan data dari 16 Pusksesmas di Kabupaten Donggala, Puskesmas Donggala memiliki jumlah prevalensi terbanyak yakni sebesar 47,18%, Puskesmas Lembasada sebesar 54,24%, dan Puskesmas Tompe sebesar 47,68% (Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala, 2021). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di salah satu Puskesmas di Kabupaten Donggala



2



yaitu Puskesmas Donggala. Data kasus ISPA mengalami fluktuasi dari 3 tahun terakhir, pada tahun 2018 tercatat 1.206 kasus, pada tahun 2019 tercatat 1.561 kasus sedangkan pada tahun 2020 mengalami penurunan namun tidak signifikan yakni sebanyak 1.544 kasus. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala (2021), kasus ISPA mengalami penurunan, tetapi masih menjadi penyebab utama morbiditas di Kabupaten Donggala selama 3 tahun tertakhir sebelum penyakit Hipertensi dan Gastritis. Menurut hasil waawancara yang dilakukan ke pengelola program ISPA menyebutkan bahwa ISPA di wilayah kerja Puskesmas Donggala penyebab terjadinya penurunan kasus ISPA karena seluruh kasus ISPA telah ditangani oleh tenaga kesehatan serta pemberian imunisasi dasar lengkap pada tahun 2019 mencapai 73,0%. Pemberian imunisasi dasar lengkap dapat memberikan peranan yang cukup penting untuk mencegah kejadian ISPA sedangkan salah satu faktor penyebab masih tingginya angka kasus ISPA di Kabupaten Donggala adalah status gizi balita dan faktor lingkungan. Gizi yang baik umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran pernafasan (Notoatmodjo, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wiwin, Syaiful and Rasimin(2020), menyatakan bahwa status gizi balita merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p value = 0,011. Selain status gizi balita ISPA sangat erat kaitannya dengan lingkungan fisik rumah. Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat, berisiko besar terhadap kejadian ISPA. Balita menjadi kelompok yang paling berisiko terkena infeksi ISPA karena balita menghabiskan waktunya lebih banyak di dalam rumah serta daya tahan tubuh balita masih lemah dibandingkan dengan orang dewasa (Supit, 2016). Lingkungan fisik rumah tempat keluarga berkumpul dan berlindung tidak sehat maka berisiko



3



besar akan menimbulkan berbagai penyakit pada balita salah satu penyakit ISPA. Hal ini dikarenakan lingkungan rumah yag tidak sehat akan menjadi tempat bakteri dan virus tumbuh dan berkembang yang akan terpapar dengan balita. Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukuan oleh Jayanti, Ashar and Aulia (2017), bahwa ventilasi rumah dan pencahayaan merupakan faktor yang berhubungan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,002). Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi kejadian ISPA antara lain kondisi lantai, dinding, ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan, kepadatan hunian kamar tidur yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko kejadian ISPA (Direktoral Jenderal Kemenkes RI, 2010). Salah satu bagian rumah yang terabaikan adalah adanya ventilasi dalam kamar tidur. Tidak cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk bakteribakteri penyebab penyakit (Notoatmodjo, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bungsu, Indah and Ishak (2020) di Kalimantan Selatan menyatakan bahwa luas ventilasi merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p value = 0,002. Kepadatan hunian dapat menimbulkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan dan diikuti peningkatan karbon dioksida (CO2) kadar oksigen yang menurun dapat berdampak pada penurunan kualitas udara dalam rumah sehingga daya tahan tubuh penghuninya berkurang dan terjadinya pencemaran bakteri dengan mudah kemudian menimbulkan penyakit saluran pernapasan seperti ISPA (Sari, 2018). Berdasarkan penelitian Harto (2020), kepadatan hunian merupakan faktor yang berhubungan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p value = 0,000. Menurut Mila Sari (2020) lantai rumah yang terbuat dari plester kasar pada saat kering menghasilkan debu dan tidak kedap air sehingga menjadi lembab. Jenis lantai rumah dapat mempengaruhi penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar kesehatan merupakan media



4



yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab, keadaan lantai perlu diplester dan akan lebih baik apabila dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Triandriani and Hansen (2019), menyatakan bahwa lantai rumah merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p value = 0,015. Faktor risiko yang secara umum dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah keadaan sosial ekonomi, pencemaran udara dan asap rokok. Pada keluarga yang merokok, secara statistik balitanya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan balita dari keluarga yang tidak merokok (Hilmawan, Sulastri and Nurdianti, 2020). Perokok pasif mempunyai efek buruk lebih besar daripada perokok aktif, ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh perokok disebut asap utama, dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap utama (Direktoral Jenderal Kemenkes RI, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nur, Syamsul and Imun (2021) menunjukkan bahwa kebiasaan merokok orang tua atau anggota keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Panambungan Kota Makassar tahun 2020. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Faktor Lingkungan dan Status Gizi pada Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Donggala”. 1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yakni bagaimana hubungan faktor lingkungan dan



5



status gizi pada kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Donggala. 1.3



Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan dan status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Donggala. 1.3.2



Tujuan Khusus 1.



Untuk menganalisis hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Donggala.



2.



Untuk menganalisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Donggala.



3.



Untuk menganalisis hubungan lantai rumah dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Donggala.



4.



Untuk menganalisis hubungan perilaku merokok orang tua dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Donggala.



5.



Untuk menganalisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Donggala.



1.4



Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan terkait dengan hubungan lingkungan fisik dan status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita, serta dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk pengembangan penelitian terkait di masa yang akan datang. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan atau sumber informasi bagi keluarga orang tua balita yang mengalami



6



ISPA



agar



dapat



meningkatkan



kesehatan



serta



mencegah



komplikasi yang berlanjut.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Balita 2.1.1 Pengertian Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun. Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun. Balita merupakan kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup Dinas Kesehatan



(Saidah



and



Dewi,



2020).



Usia



balita



dapat



dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan batita (2-3 tahun) dan golongan prasekolah (3-5 tahun) sedangkan menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan, sumber lain mengatakan bahwa usia balita adalah 1-5 tahun (Adriani and Wirjatmadi, 2016). 2.1.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Balita 1. Perkembangan Balita Menurut Adriani and Wirjatmadi (2016), hasil tumbuh kembang fisik adalah bertambah besarnya ukuran-ukuran antropometri dan gejala atau tanda lain pada rambut, gigi, otot, kulit serta jaringan lemak, darah dan lain-lain. Terdapat 4 parameter perkembangan melalui DDST (Denver Developmental Screening Test) yang dipakai dalam menilai perkembangan anak balita, yaitu: a. Personal Social (Kepribadian atau tingkah laku sosial) Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. 8



b. Fine Motor Adaptive (Gerakan motoric halus) Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan Gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi cermat. c. Language (Bahasa) Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. d. Gross Motor (Perkembangan motorik kasar) Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh. 2. Pertumbuhan Balita Penilaian



tumbuh



kembang



meliputi



evaluasi



pertumbuhan fisis (kurva atau grafik berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar dada dan lingkar perut), evaluasi pertumbuhan gigi geligi, evaluasi neurologis dan perkembangan sosial serta evaluasi keremajaan (Adriani and Wirjatmadi, 2016). 2.2



ISPA 2.2.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan kondisi umum yang menyerang Sebagian besar masyarakat pada waktu tertentu. Seluruh dinding sistem pernafasan dilaoisi oleh mukosa yang saling berhubungan sehingga jika terjadi infeksi akan mudah menular ke bagian saluran pernafasan atas lainnya (Maryani and Kristiana, 2018). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) juga dikenal sebagai common cold merupakan proses penyakit yang bisa sembuh sendiri (self-limiting disease) dengan gejala utama adalah rinore dan hidung tersumbat, demam terkadang ada atau demam ringan dan beberapa manifestasi klinis lainnya. Anak kecil berisiko tinggi terkena ISPA



9



karena kurangnya kekebalan dari infeksi sebelumnya dan kontak dekat dengan orang lain yang terkena ISPA (Mahawati et al., 2021). ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulant atau berurutan. Menurut Lim dalam mengatakan bahwa ISPA juga merupakan penyakit yang sembuh sendiri dengan durasi 5 hari (Pitriani and Sanjaya, 2020). 2.2.2 Etiologi Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyabab ISPA antara lain adalah dari genus Streotikokus,



Pneumokokus,



Korinebakterium.



Virus



Hemofillus,



penyebab



ISPA



Bordetelia adalah



dan



golongan



Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Pitriani and Sanjaya, 2020). Beberapa virus cenderung menghasilkan infeksi terutama di saluran pernafasan bagian atas (Rhinovirus, Coronavirus dan Adenovirus), sementara yang lain juga dapat mengganggu saluran pernafasan bagian bawah dengan tingkat keparahan yang bervariasi (Adenovirus, RSV, Metapneumovirus, Influenza Dan Parainfluenza) (Mahawati et al., 2021). Dewasa ini perubahan pada mikroorganisme penyebab ISPA mengakibatkan perubahan pada sistem imun penderita, polusi lingkungan dan pemakaian antibiotic yang tidak sesuai, hingga mengakibatkan perubahan ciri dan peningkatan patogenitas bakteri (Siburian, 2019). Terjadinya ISPA tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu kondisi lingkungan (polutan udara seperti asap rokok dan asap bahan bakar memasak, kepadatan anggoata keluarga, kondisi ventilasi rumah kelembaban, kebersihan, musim, suhu), ketersediaan dan efektifitas pelayanan kesehatan serta langkahlangkah pegahan



10



infeksi untuk pencegahan penyebaran (vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi), faktor penjamu



(usia,



kebiasaan



merokok,



kemampuan



penjamu



menularkan infeksi, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh pathogen lain, kondisi kesehatan umum) dan karakteristik pathogen (cara penularan, daya tular, faktor virulensi misalnya gen, jumlah atau dosis mikroba). Kondisi lingkungan yang berpotensi menjadi faktor firiko ispa adalah lingkungan yang banyak tercemar oleh asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, asap hasil pembakaran serta benda asing seperti mainan plastik kecil (Rosana, 2016). 2.2.3 Manifestasi Klinis Gejala ISPA biasanya berkembang 2-3 hari setelah terjadi infeksi virus. Menurut Mahawati et al (2021), gejala ISPA antara lain: •



Bersin







Hidung tersumbat







Rinorea







Tenggorokan sakit atau gatal







Mata berair







Batuk non produktif sesekali







Demam







Kurang nafsu makan Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang



sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii hingga bronchitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum, gejala umum ISPA meliputi demam, batuk dan sering juga nyeri tengorokkan, coryza dan sesak nafas (Siburian, 2019). Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan antara lain: ISPA ringan bukan pneumonia, ISPA 11



sedang pneumonia dan ISPA berat pneumonia berat. Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA ringan. Batasan ISPA berat untuk bayi kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi napasnya cepat (60 x/menit atau lebih) atau adanya gejala tarikan dinding dada yang kuat (Hersoni, 2019). Tabel 2.1 Tanda & Gejala ISPA berdasarkan Kelompok Usia Kelompok Usia



< 2 Bulan



Klasifikasi



Tanda Penyerta Selain Batuk dan atau Sukar Bernafas



Pneuomonia



Nafas cepat ≥60 x/m atau tarikan kuat



Berat



dinding dada bagian bawah ke dalam



Bukan



Tidak ada nafas cepat dan tidak ada



Pneomonia



tarikan dada bagian bawah ke dalam



Pneumonia



Tarikan dinding dada bagian bawah



Berat



ke dalam (chest indrawing) Nafas cepat sesuai golongan usia



2 Bulan