Psikososial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Aspek psikologi dari pekerjaan telah menjadi subjek penelitian sejak 1950 (Johnson, 1996; sauter at al., 1998). Awalnya psikologi hanya ditujukan padahambatan pekerja untuk beradaptasi terhadap aturan kerja daripada terha dap potensi bahaya dari karakteristik lingkungan kerja yang mungkin dirasakan pekerja (Gardell, 1982). Tetapi, dengan penelitian lingkungan kerja psikososial dan psikologi kerja pada tahun 1960 (Johnson & Hall, 1996) fokus pembahasan telah beralih dari perspektif individu ke arah pengaruh dari aspek lingkungan kerja terhadap kesehatan. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu upaya perlindungan yang ditujukan kepada semua potensi yang dapat menimbulkan bahaya , agar tenagakerja dan orang lain yang ada di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat.Potensi yang dapat menimbulkan bahaya dapat berasal dari mesin, lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja dan proses produksi. K3 melihat hazard dan risk dengan tujuan me-manage atau mengendalikan hazard dan risk tersebut untuk meminimalisasiterjadinya injury atupun accident. The internasional labour organizational (1986), mendefinisikan bahaya kerja (work hazard) adalah suatu sumber potensi kerugian atau suatu situasi yang berhubungan dengan pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja yang berpotensi menyebabkan kerugian/gangguan.



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Psikososial Terdapat sebuah sumber yang mendefinisikan psikososial sebagai faktorfaktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial seseorang, atau interaksi dengan orang lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang, baik menghambat atau justru berdampak positif (Djohan, 2006). Menurut seorang ahli psikoanalisa bernama Erik H. Erikson, tahapan perkembangan psikososial seseorang berlangsung melalui delapan tahap. Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa anak-anak yang menjadi dasar pembentukan kepribadian seseorang, tahap kelima terjadi pada masa remaja, dan tiga tahap terakhir terjadi pada masa dewasa dan usia tua. Setiap tahap dalam perkembangan psikososial memiliki dua komponen, yakni komponen yang baik dan komponen yang tidak baik Erikson mengatakan bahwa faktor sosial turut berpengaruh terhadap perkembangan hidup manusia (Nurdiansyah, 2011). Menurut undang-undang kesehatan dan praktik kedokteran (2009) masalah psikososial merupakan masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial. Oleh karena itu, masalah atau bahaya psikososial dapat terjadi sebagai akibat atau dampak negatif dari adanya proses interaksi sosial seseorang yang buruk. Sebaliknya, psikososial dapat menimbulkan dampak positif jika proses interaksi sosial seseorang tergolong baik. Dampak negatif dari psikososial merupakan salah satu jenis bahaya yang berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan di tempat kerja (Jeyaratnam dan Koh, 2009: 14). Menurut Kementerian Kesehatan (2011), faktor psikososial dapat mengakibatkan perubahan dalam kehidupan individu, baik bersifat psikologis maupun sosial yang mempunyai pengaruh cukup besar sebagai faktor penyebab terjadiya gangguan fisik dan psikis pada diri individu tersebut. Faktor psikososial sering tidak disadari kehadirannya oleh para pekerja. Kajian mengenai faktor psikososial di tempat kerja juga masih belum banyak dilakukan. Adapun pembahasan mengenai psikososial masih belum menyeluruh, meskipun telah



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



diketahui bahwa aspek-aspek yang ada di dalamnya cukup bervariasi. Salah satu contoh penelitian yang ada mengenai hubungan antara dukungan sosial yang merupakan faktor psikososial dengan kejadian stres kerja pada perawat di salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta (Almasitoh, 2011). Pada sebuah buku berjudul Ultra Metabolisme dikatakan bahwa faktor psikososial merupakan salah satu faktor pemicu stres, yang berarti merupakan sebuah peristiwa sosial atau psikologis yang membuat seseorang tertekan (Hyman, 2006: 158). Diketahui pula bahwa psikososial berpotensi menyebabkan gangguan muskuloskeletal dan penyakit psikosomatis yang menjadi penyebab meningkatnya penyakit akibat hubungan pekerjaan (Irwandi, 2007). Dari beberapa pernyataan yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa dampak negatif dari psikososial tidak hanya berupa stres kerja. Beberapa contoh faktor psikososial dalam kehidupan individu berkaitan dengan peran dan harapan dari pekerjaan, keluarga, dan kegiatan komunitas (Bastable, 2002: 130). Sumber lain menyebutkan ada beberapa stresor psikososial yang layak dipertimbangkan antara lain: pekerjaan, hubungan, situasi keuangan, anak-anak, kelainan psikologis (depresi, kegelisahan, dan lain-lain), rendahnya rasa percaya diri, kondisi dunia (masalah di lingkungan tempat tinggal, situasi politik internasional, dan lain-lain). Stresor psikososial merupakan penyebab stres yang berasal dari risiko bahaya potensial psikososial (Kementerian Kesehatan, 2011). Sedangkan Kementerian Kesehatan (2011) menyebutkan beberapa contoh faktor psikososial yang ada di tempat kerja meliputi: bekerja dalam shift, beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan, tidak jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja. Adapun berbagai variasi faktor psikososial dari berbagai sumber pada dasarnya tetap mempunyai ruang lingkup yang sama yakni berkaitan dengan kondisi psikologi dan sosial seseorang. Proses Adaptasi Tubuh terhadap Kehadiran Faktor Psikososial Gangguan kesehatan akibat faktor psikososial tidak terjadi secara langsung setelah paparan pertama. Para pekerja akan mengalami gejala setelah mendapatkan pajanan secara terus-menerus dan melalui proses adaptasi yang terdiri dari tiga



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



fase sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2011): Fase 1: reaksi kewaspadaan (alarm reaction). Tubuh mulai mengenali paparan sebagai ancaman. Pada fase ini akan terjadi peningkatan produksi berbagai macam hormon seperti hormon adrenalin dan hormon kortison. Selain itu, terjadi perubahan koordinasi dalam sistem saraf pusat dan seluruh sistem berubah siaga dalam waktu cepat sehingga mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, jantung berdebar-debar, serta darah mengalir cepat. Fase 2: reaksi perlawanan (resistancy reaction). Tubuh akan berupaya melawan pajanan yang ada. Jika paparan berlangsung lama secara terus-menerus, tubuh tidak akan mampu mengatasinya karena keterbatasan kemampuan dan waktu penyesuaian yang terbatas. Fase 3: reaksi kehabisan tenaga (exhaustion reaction). Mekanisme pertahanan tubuh berangsur menurun dan terjadi kelelahan sehingga muncul gangguan fisik. Gangguan Kesehatan Akibat Dampak Negatif dari Faktor Psikososial Berbagai macam gangguan kesehatan akibat dampak negatif dari faktor psikososial berpotensi dirasakan oleh para pekerja di tempat kerja. Kementerian Kesehatan (2011) menyebutkan setidaknya ada enam masalah kesehatan sebagai akibat dari faktor psikososial di tempat kerja, antara lain: 1.



Stres Akibat Kerja National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) mendefinisikan stres akibat kerja sebagai respon fisik dan emosional berbahaya yang timbul apabila tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan atau kebutuhan pekerja (Kementerian Kesehatan, 2011). Stres di tempat kerja bukan merupakan fenomena baru. Penyebab dasar terjadinya stres di tempat kerja dipicu oleh berbagai alasan. Adanya perubahan ekonomi dan kemajuan teknologi yang pesat justru semakin menambah tekanan para pekerja untuk menghasilkan lebih banyak produk dalam waktu yang lebih singkat. Sebanyak dua dari tiga pekerja di suatu perusahaan mengaku mengalami stres kerja. Terdapat pula prakiraan klaim yang harus dikeluarkan perusahaan sebesar $200 milyar per tahun akibat stres kerja berupa masalah



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



absen, keterlambatan, kejenuhan, produktivitas yang semakin rendah, angka keluar-masuk tinggi, kompensasi pekerja, dan peningkatan biaya asuransi kesehatan (National Safety Council, 2003: 6). Stres akibat



kerja mempunyai



gejala-gejala



sebagai berikut



(Kementerian Kesehatan, 2011):  Gejala fisiologis berupa otot tegang, jantung berdebar-debar, perut mual, dan keringat dingin.  Gejala psikologis berupa mudah marah, emosi meledak-ledak, serta mudah panik.  Gejala psikosomatik berupa gangguan muskuloskeletal (nyeri otot, kram), gangguan sistem pernapasan (asma, spasmus bronchitis), gangguan kardiovaskuler (migrain, hipertensi), gangguan kulit (eksim, jerawat), gangguan kelenjar endokrin (hipertiroid, diabetes, infertilitas), gangguan sistem saraf (neurostenia), gangguan mata (glaucoma), gangguan gastrointestinal (gastritis, peptic ulcer, diare), gangguan genitourinarial (dismenorhea, gangguan haid).  Gejala perilaku berupa absensi, menghindari interaksi atau komunikasi dengan orang lain, menghindari hal-hal yang biasa disukai, sulit tidur, perubahan kebiasaan makan, banyak merokok, gangguan tidur, tidak masuk kerja, serta penurunan prestasi kerja. 2.



Burn Out (Kelelahan Berat/ Kejenuhan) Burn out merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan kelelahan berat yang prosesnya bertahap dan dalam responnya terhadap stres maupun ketegangan fisik, mental, dan emosional yang berkepanjangan, melepaskan diri dari pekerjaan dan hubungan bermakna lainnya. Akibatnya, karyawan akan mudah mengalami sinisme, kebingungan, perasaan yang terkuras, merasa tidak memiliki sesuatu lagi untuk memberi, serta produktivitas menurun. Berikut contoh penyebab burn out yang berkaitan dengan faktor psikososial (Kementerian Kesehatan, 2011):  Merasa hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada otoritas dalam melaksanakan pekerjaannya.



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



 Kurangnya pengakuan atau reward atas pekerjaan yang baik.  Ketidakjelasan fungsi atau tugasnya.  Terlalu menuntut atau mempunyai harapan yang lebih terhadap tempat dia bekerja.  Melakukan pekerjaan yang monoton.  Bekerja dalam suasana tegang. Selain faktor pekerjaan, gaya hidup seseorang juga berpengaruh terhadap kelelahan saat bekerja karena (Kementerian Kesehatan, 2011):  Bekerja terlalu banyak atau berat tanpa diimbangi dengan waktu untuk bersantai atau hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan yang lain.  Menjadi seseorang yang mempunyai banyak figur bagi orang lain. Mengambil cukup banyak tanggung jawab tanpa bantuan orang lain.  Kurang waktu tidur.  Hubungan yang kurang baik dengan orang terdekatnya, seperti keluarga.  Mempunyai



beberapa



kecenderungan



kepribadian:



perfeksionis,



pesimistis dalam melihat diri sendiri dan dunia, kebutuhan untuk berada pada posisi atas, keraguan untuk mendelegasikan kepada orang lain, serta keinginan untuk selalu menjadi yang tertinggi atau terbaik. Beberapa gejala burn out antara lain: kecemasan dan depresi, sikap sinis, sikap selalu curiga, penggunaan alkohol dan obat terlarang, penampilan terlalu percaya diri, serta berulang-ulang merasa sakit secara fisik dengan masalah sakit kepala, perut, masuk angin, dan lain sebagainya. Berikut empat tahapan burn out (Kementerian Kesehatan, 2011): 1) Phase 1: Kelelahan fiisk, mental, dan emosional. 2) Phase 2: Merasa malu dan penuh keraguan, serta semua hal terasa sulit. 3) Phase 3: Sinisme dan perasaan tidak nyamanberkepanjangan. Pada fase ini seseorang hanya ingin dibiarkan sendiri, tidak punya energi atau merasa tidak punya kepentingan lagi terhadap hal yang biasa dilakukan. 4) Phase 4: Merasa jadi orang yang gagal, tidak berdaya, dan berada dalam krisis yang ditandai denganputus asa, kesal, marah, dan frustasi, serta kehilangan minat atau motivasi yang mendorong untuk mengambil peran



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



tertentu dalam pekerjaan atau kehidupan. 3.



Ansietas (Gangguan Cemas/ Gangguan Ansietas Menyeluruh) Pada gangguan ansietas ini, pasien akan memperlihatkan gejala fisik yang berkaitan dengan ketegangan, seperti: sefalgia, jantung berdebar keras, insomnia. Selain gejala-gejala tersebut, terdapat ciri lain yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik, antara lain (Kementerian Kesehatan, 2011):  Ketegangan mental (cemas, bingung, rasa tegang atau gugup, konsentrasi menurun).  Ketegangan fisik (gelisah, sefalgia, tremor, tidak bisa santai).  Muncul gejala fisik (pusing, berkeringat, denyut jantung cepat, mulut kering, nyeri perut). Gejala-gejala tersebut bisa berlangsung selama berbulan-bulan dan sering muncul kembali bagi beberapa orang yang mempunyai rasa kekhawatiran secara kronik.



4.



Gangguan Penyalahgunaan Napza dan Alkohol Seseorang diketahui telah mengalami penyalahgunaan napza atau alkohol jika ditemukan tiga/ lebih gejala di bawah selama satu tahun:  Adanya keinginan atau dorongan yang kuat untuk menggunakan zat adiktif.  Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat terlarang.  Keadaan putus zat secara fisiologis ketika dilakukan penghentian penggunaan zat dengan menunjukkan gejala yang khas.  Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan zat adiktif yang diperlukan untuk memperolek efek yang sama ketika biasanya diperoleh dengan dosis yang lebih rendah.  Sering mengabaikan minat terhadap hal lain akibat penggunaan zat adiktif.  Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari efek merugikan yang ditimbulkan bagi kesehatan



5.



Depresi Depresi didefinisikan sebagai perasaan yang sedih dan kehilangan minat



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



terhadap segala sesuatu. Pada kondisi sedih, beberapa jenis neurotransmitter akan mengalami perubahan dan terjadi pemindahan intraneuronal di otak, yang kemudian akan menyebabkan hilangnya fungsi neuron tertentu dan hambatan berlebih terhadap hubungan dalam synaps. Kondisi ini bisa disebabkan oleh faktor risiko yang sama dengan penyebab stres kerja. Gejalagejala yang ditimbulkan antara lain (Kementerian Kesehatan, 2011): 1) Gejala utama: afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah (energi menurun). 2) Gejala lain: a.



Menurunnya konsentrasi dan perhatian.



b.



Rasa kepercayaan diri atau harga diri berkurang.



c.



Merasa tidak berguna dan selalu merasa bersalah.



d.



Gagasan bunuh diri.



e.



Tidur terganggu.



f.



Nafsu makan berkurang.



g.



Pandangan masa depan yang suram dan pesimis.



3) Tanda-tanda:



6.



a.



Rasa lelah yang terus-menerus bahkan saat istirahat.



b.



Hilangnya rasa senang yang biasa dinikmati.



c.



Mulai menarik diri dari interaksi sosial.



Gangguan Somatoform Akibat Kerja Gangguan somatoform didefinisikan sebagai sekumpulan gangguan yang memiliki gejala fisik, seperti nyeri, mual, dan pusing namun secara medis tidak ditemukan secara jelas apa penyebabnya. Gangguan ini bukan merupakan gangguan buatan atau gangguan purapura yang disadari. Pasien yang menderita gangguan somatoform akan mengalami penderitaan emosional



dan



keluhan



somatik



yang



sangat



mengganggu



karena



penyebabnya tidak bisa dihilangkan begitu saja dengan perawatan medis (Kementerian Kesehatan, 2011). Biasanya, gejala akan muncul dalam waktu tiga bulan setelah peristiwa traumatis yang dialami. Penderita akan terlihat menghindari atau



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



tampak mati rasa, cemas, bahkan menunjukkan reaksi emosional yang hebat jika diingatkan kembali atau dihubungkan dengan peristiwa tersebut. Selain itu, penderita gangguan ini sering mengalami flashback atau mimpi buruk tentang traumanya, emosi menjadi tidak stabil, mudah marah atau sedih, mudah merasa takut, sulit berkonsentrasi, bahkan sampai mengalami gangguan memor. Pada dasarnya, gejalagejala tersebut tidak selalu dirasakan oleh penderita namun akan muncul jika terdapat hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa. Sebagai contohnya adalah korban perkosaan yang merasa takut luar biasa saat mendengar berita mengenai kasus perkosaan (Kementerian Kesehatan, 2011). Untuk dapat dipastikan sebagai gangguan somatoform, biasanya penderita akan mengalami (Kementerian Kesehatan, 2011):  Berbagai macam keluhan-keluhan fisik yang tidak diketahui secara pasti apa penyebabnya dan sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.  Tidak mau menerima penjelasan dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhan yang dialami.  Mengalami disabilitas fungsi dalam keluarga dan masyarakatakibat sifat keluhan-keluhan serta dampak dari perilakunya. Faktor-faktor Pembentuk Psikososial Banyak



sumber



yang



mendefinisikan



faktor-faktor



pembentuk



psikososial. Berbagai macam penelitian mengungkapkan definisi yang berbeda namun pada dasarnya memiliki aspek yang hampir sama. Karasek dkk. (1998) mengidentifikasikan lima aspek utama yang membangun kerangka psikososial, yaitu: decision latitude (kebebasan dalam mengambil keputusan), physical demands (tuntutan fisik), psychological demands (tuntutan psikologi), social support (dukungan sosial), organizational



level



(mutu organisasi), job



dissatisfaction (ketidakpuasan pekerjaan), dan job insecurity (ketidakamanan dalam bekerja). Faktor pembentuk psikososial secara utuh juga dikembangkan oleh Tage Sondergard Kristensen dan Vilhelm Borg dari Danish National Institute for Occupational Health di Copenhagen. Artikel penelitian mengenai pengembangan



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



COPSOQ I menjadi COPSOQ II dikeluarkan pada tahun 2010 (Kristensen, 2010). Dari perkembangan tersebut diperoleh beberapa penambahan aspek penting yang terkait dengan psikososial. Pada kuesioner COPSOQ II, terdapat 3 jenis kuesioner yaitu: short questionnaire, medium questionnaire, dan long questionnaire. Perbedaan masing-masing kuesioner adalah banyaknya komponen faktor yang dianalisis. Faktor-faktor yang tercakup di dalamnya antara lain: demands at work (tuntutan di tempat kerja), work organization and job contents (organisasi kerja dan konten pekerjaan), interpersonal relations and leadership (hubungan interpersonal dan kepemimpinan), work individual interface (bekerja antarmuka individu), values at workplace level (nilai-nilai di level tempat kerja), health and well-being (kesehatan dan kesejahteraan), personality (kepribadian), offensive behaviours (perilaku ofensif) (Pejtersen dkk, 2010). Bekerja antarmuka Individu Faktor ini membahas mengenai seberapa baik organisasi kerja sesuai dengan kebutuhan dan komitmen individu, yang berhubungan dengan keseimbangan kehidupan kerja dan keamanan kerja. Terdapat 4 komponen yang terdapat pada faktor ini, yaitu: ketidakamanan dalam bekerja, kepuasan kerja, konflik kerjakeluarga, dan konflik keluarga-pekerjaan. Ketidakamanan dalam bekerja berhubungan dengan gambaran kondisi kenyamanan pekerja di tempat kerja serta untuk mengetahui apakah terdapat ancaman yang mengganggu mereka di tempat kerja. Kepuasan kerja berkaitan dengan rasa puas yang dirasakan pekerja terhadap pekerjaannya. Konflik kerja-keluarga berkaitan dengan pengaruh pekerjaan terhadap masalah keluarga di rumah. Konflik keluarga-pekerjaan berkaitan dengan pengaruh masalah rumah tangga terhadap produktivitas pekerja di tempat kerja (Pejtersen, 2010). Keseimbangan kehidupan kerja sering kali terkait dengan konflik kerjakeluarga, yang mana pada beberapa penelitian tertentu dapat berdampak buruk pada kesehatan pekerja seperti burnout dan tekanan psikologis atau rendahnya kesejahteraan psikologis. Sedangkan dalam hal keamanan kerja berhubungan dengan persepsi pekerja dari ancaman kehilangan pekerjaan dan masa kerja



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



mereka di masa yang akan datang. Pada penelitian Gallie dkk (1998) dan Artazcoz dkk (2005) dalam Eurofound (2012) dijelasakan bahwa pekerja dengan status sosial ekonomi rendah akan lebih rentan terhadap efek dari ketidakamanan kerja karena umumnya mereka memiliki jumlah tabungan dan aset yang lebih rendah untuk mengkompensasi kehilangan pekerjaan, serta keterampilan dan pendidikan yang lebih rendah akan ikut berperan dalam mengurangi masa kerja mereka di masa depan. Sama halnya dengan konflik kerja-keluarga, efek yang ditimbulkan dari rasa ketidakamanan ini akan berdampak pada kondisi mental yang buruk (Eurofound, 2012). Pada penelitian Prestiana dan Putri (2013) diketahui bahwa faktor psikologi berupa internal locus of control dan job insecurity (ketidakamanan dalam bekerja) berhubungan dengan kejadian burn out pada guru honorer sekolah dasar negeri di Bekasi Selatan. Pada penelititan tersebut diketahui bahwa internal locus of control dengan kejadian burn out mempunyai hubungan negatif. Sedangkan job insecurity mempunyai hubungan positif terhadap kejadian burn out pada guru honorer sekolah dasar negeri di Bekasi Selatan. Penelitian lain dari Alteza dan Hidayati (2011) diketahui bahwa konflik kerjakeluarga dapat mengakibatkan efek psikologi yang berbahaya bagi diri pekerja sendiri maupun bagi lingkungan sosial di sekitarnya. Pada penelitian lain ditemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi (Seniati, 2006). Kepribadian Faktor personality mencakup 5 komponen dalam kuesioner COPSOQ II, yaitu: keyakinan diri, makna hubungan, pengendalian masalah, pengendalian selektif, dan pengendalian untuk berhenti. Pada faktor ini dapat diketahui gambaran tingkat kepercayaan diri responden serta kemampuan mereka dalam memecahkan masalah tidak terduga atau kesulitan dalam hidup (Pejtersen, 2010). Penelitian Prestiana dan Purbandini (2012) menunjukkan bahwa faktor psikososial berupa efikasi diri (self efficacy) mempunyai korelasi yang tinggi terhadap kejadian kejenuhan kerja (burn out) pada perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi. Dari hasil penelitian didapatkan hasil koefisien korelasi sebesar r = -0,470 dan tingkat signifikansi 0,003 (p < 0,05). Artinya semakin tinggi tingkat self



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



efficacy seorang perawat maka semakin rendah tingkat burn out-nya. Pada penelitian lain diketahui bahwa keterlibatan kerja, komitmen organisasi dan lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap keyakinan diri (self-efficacy), yang selanjutnya mempengaruhi motivasi kerja karyawan (Damarstuti, Djastuti, dan Yuniawan, 2010). Pada akhirnya, motivasi kerja dapat menyebabkan dampak lebih lanjut terhadap kondisi fisik atau psikis karyawan. Perilaku Ofensif Faktor ini meliputi 7 komponen yang terdapat pada kuesioner COPSOQ II, yaitu: pelecehan seksual, ancaman kekerasan, kekerasan fisik, intimidasi (bullying), godaan yang tidak menyenangkan, konflik dan pertengkaran, gosip dan fitnah. Pada faktor ini akan tergambarkan berbagai macam perilaku negatif yang mungkin diterima karyawan di tempat kerja, baik dari sesama rekan kerja maupun pihak manajemen (Pejtersen, 2010). Perilaku bullying di tempat kerja jarang mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Perilaku ini cenderung bertujuan untuk mengintimidasi atau merendahkan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian pada sebuah rumah sakit di Batusangkar, diketahui terdapat sebanyak 69,4% perawat mengalami bullying dan 71,4% perawat mengalami penurunan motivasi kerja. Dari hasil tersebut diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan negatif antara perilaku bullying dan motivasi kerja pada perawat (Zonedy, 2014). Selain pem-bully-an, kerap kali terjadi eksploitasi fisik berupa pelecehan seksual dan eksploitasi ekonomi berupa waktu kerja sampai malam hari, serta tidak terpenuhinya hak-hak pekerja perempuan seperti faktor keselamatan dan hak untuk cuti. Hal ini sering terjadi pada pekerja sales promotion girls (SPG) pada industri rokok dan minuman (Lestari, 2012).



Pengukuran Faktor Psikososial a) JCQ (Job Content Questionnaire) JCQ merupakan sebuah kuesioner yang digunakan untuk menilai faktor psikososial dari sebuah pekerjaan. Terdapat lima skala utama yang digunakan pada JCQ, yaitu: decision latitude (kebebasan dalam mengambil



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



keputusan), physical demands (tuntutan fisik), psychological demands (tuntutan psikologi), social support (dukungan sosial), organizational level (mutu organisasi), job dissatisfaction (ketidakpuasan pekerjaan), dan job insecurity (ketidakamanan dalam bekerja). Semua skala tersebut digunakan untuk level mikro, dimana mempunyai tujuan untuk menganalisis karakteristif pekerjaan, seperti: menilai risiko relatif dari paparan yang diterima individu pada tempat kerja yang berbeda dengan penyakit akibat kerja yang berhubungan,



stres



psikologi,



penyakit



jantung



koroner,



penyakit



muskuloskeletal, dan kelainan organ reproduksi. Pada JCQ (Job Content Questionnaire) terdapat variasi pilihan sebanyak empat jawaban, yaitu: 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju (Karasek dkk, 1998). b) PSS (Perceived Stress Scale) PSS merupakan instrumen psikologi untuk mengukur persepsi stres yang paling sering digunakan. Item skala yang terdapat di dalamnya dapat menggambarkan tingkat stres yang sedang dihadapi oleh seseorang, mencakup seberapa tidak terprediksikannya, seberapa tidak bisa dikontrolnya, dan seberapa beratnya beban yang dirasakan oleh responden dalam hidupnya. Semua item yang terdapat pada PSS ini sangat mudah dimengerti karena berisi pertanyaan-pertanyaan umum yang sering dialami. Pada kuesioner PSS (Perceived Stress Scale) terdapat variasi pilihan sebanyak lima jawaban, yaitu: 0 = tidak pernah, 1 = hampir tidak pernah, 2 = kadang-kadang, 3 = cukup sering, 4 = sangat sering (Cohen, 2015).



c)



Life Event Scale Kuesioner life event scale merupakan salah satu tools yang dapat digunakan untuk mengukur stres kerja dengan cara megobservasi perubahanperubahan perilaku dan berisi mengenai intensitas pengalaman psikologis, fisiologis, dan perubahan fisik yang dialami dalam peristiwa kehidupan seseorang. Kelebihan dari kuesioner ini antara lain: dianggap paling



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



manageable, biayanya murah, dapat digunakan untuk meneliti ilmu sosial dan perilaku dan dapat memprediksi kemungkinan menjadi stres karena suatu penyakit. Sedangkan kekurangannya adalah terdapat banyak pertanyaan di dalamnya. Kuesioner life event scale ini berisi 75 pertanyaan yang berisi tentang intensitas gejala psikologis, fisiologis, dan perubahan fisik. Terdapat 5 variasi pilihan jawaban, yaitu: 0 = tidak pernah, 1 = jarang, 2 = kadangkadang, 3 = sering, 4 = setiap hari. Untuk indikator penilaian 0-70 dikatakan tidak mengalami stres sedangkan ≥ 71 mengalami stres (Rivai, 2014). d) HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) Kuesioner HARS merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengukur kecemasan seseorang yang didasarkan pada munculnya gejala pada individu yang mengalami kecemasan. Terdapat 14 item penilaian kecemasan yang terdapat pada HARS, diantaranya: perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik (otot-otot), gejala sensorik, gejala kardiovaskuler, gejala pernapasan, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, dan tingkah laku pada wawancara (Nursalam, 2004). Terdapat 5 variasi pilihan jawaban, yaitu: 0 = tidak ada (tidak ada gejala dari pilihan yang ada), 1 = ringan (satu gejala dari pilihan yang ada), 2 = sedang (kurang dari separuh dari pilihan yang ada), 3 = berat (separuh atau lebih dari pilihan yang ada), 4 = sangat berat (semua gejala ada). Untuk indikator penilaian, skor < 14 berarti tidak ada stres, skor 14-20 berarti stres ringan, skor 21-27 berarti stres sedang, skor 28-41 berarti stres berat, skor 42-56 berarti stres berat sekali (Maier, 1988). e) COPSOQ (The Copenhagen Psychosocial Questionnaire) II COPSOQ



II



merupakan



kuesioner



yang



digunakan



untuk



mengevaluasi faktor psikososial yang ada di tempat kerja. Kuesioner ini melalui perkembangan sejak tahun 2010 di Denmark setelah sebelumnya dikenal dengan sebutan COPSOQ I. Terdapat tujuh faktor penting yang terdapat pada COPSOQ II, yaitu: demands at work (tuntutan di tempat kerja),



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



work organization and job contents (organisasi kerja dan konten pekerjaan), interpersonal relations and leadership (hubungan interpersonal dan kepemimpinan), work individual interface (bekerja antarmuka individu), values at workplace level (nilai-nilai di level tempat kerja), health and wellbeing (kesehatan dan kesejahteraan), personality (kepribadian), offensive behaviours (perilaku ofensif). COPSOQ II ini memiliki 3 versi yaitu long version, medium length version, dan short version. Perbedaan dari ketiganya yaitu dari jumlah pertanyaan yang ada. Walaupun demikian, pengguna diberikan kebebasan dalam menggunakan kuesioner dengan versi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan (Pejtersen, 2010). 1. COPSOQ II long version biasanya digunakan untuk penelitian dengan jumlah 141 pertanyaan dan 30 pengukuran. 2. COPSOQ II medium length version biasanya digunakan untuk lingkungan kerja profesional dengan jumlah 95 pertanyaan dan 26 pengukuran. 3. COPSOQ II short version biasanya digunakan untuk pengukuran di tempat kerja dengan jumlah 44 pertanyaan dan 8 pengukuran. COPSOQ II menggunakan skala likert untuk menyediakan respon dari pertanyaan terkait psikososial. Skala likert yang digunakan biasanya skala 4atau 5. Semua pertanyaan diberi rentang nilai 0-100. Apabila menggunakan skala 5, nilainya adalah 0, 25, 50, 75, dan 100 sedangkan jika menggunakan skala 4 maka penilaiannya adalah 0, 33,3, 66,7, dan 100. Semakin besar nilainya menunjukkan hal yang baik dan juga sebaliknya. Walaupun ada beberapa pertanyaan yang mengandung makna negatif (Kristensen, 2010).



f)



DASS (Depression Anxiety Stress Scale) DASS (Depression Anxiety Stress Scale) merupakan instrumen penelitian yang biasa digunakan untuk mengukur tiga masalah kesehatan akibat pekerjaan, yaitu: depresi, kecemasan, dan stres. DASS terdiri dari 42 item pertanyaan dengan masing-masing skala berisi 14 item. Skala



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



depresimeliputi: dysphoria, putusasa, devaluasi hidup, sikap meremehkan diri, kurangnya minat/keterlibatan, anhedonia, dan inersia. Skala kecemasan meliputi gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif dari mempengaruhicemas. Skala stres sensitif terhadap tingkat kronis non-spesifik gairah, seperti: kesulitan santai, gairah saraf, dan menjadi mudah marah/gelisah, mudah tersinggung/over-reaktif dan tidak sabar. Terdapat 4 skor penilaian terhadap masing-masing skala, yaitu: 0 = tidak pernah, 1 = jarang, 2 = sering, 3 = selalu (Damanik, 2006). Pencegahan Dampak Negatif dari Faktor Psikososial Menurut Kementerian Kesehatan (2011) terdapat beberapa tahapan dalam mencegah bahaya sebagai dampak negatif dari faktor psikososial di tempat kerja, yaitu: a.



Pencegahan Primer Pencegahan primer ditujukan bagi kelompok atau populasi yang bukan termasuk ke dalam kelompok berisiko. Pencegahan ini berfungsi untuk mengurangi risiko gangguan psikiatrik yang dilakukan dengan cara promosi atau edukasi mengenai suatu bahaya kesehatan terkait jenis pekerjaan yang dilakukan. Misalnya melakukan penyuluhan terkait dampak negatif dari faktor psikososial.



b.



Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dilakukan ketika pekerja sudah dicurigai mengalami penyakit namun belum sampai parah atau fatal. Pencegahan ini bertujuan untuk mengurangi lama penyakit dan mempercepat proses penyembuhannya. Sebagai contohnya adalah edukasi terhadap kelompok perokok mengenai bahaya kesehatan akibat rokok.



c.



Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan kepada kelompok yang telah mengalami gangguan stres akibat kerja atau gangguan kesehatan lain terkait psikososial yang diupayakan untuk dipulihkan kesehatannya. Pencegahan ini meliputi



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



konseling, pengobatan klinis, dan rehabilitasi mental. Cara pencegahan secara umum dapat dilakukan dengan cara (Kementerian Kesehatan, 2011): 1.



Menghilangkan stresor kerja: menerapkan desain yang ergonomis, pengendalian kognitif (konseling, psikoterapi), kegiatan relaksasi (olahraga, rekreasi), kegiatan sosial, peningkatan gairah kerja (lingkungan yang harmonis, upah yang memadai, lingkungan yang nyaman), metode penanganan terhadap stres (relaksasi, menghindari rokok, berfikir positif, pemeriksaan kesehatan).



2.



Pelayanan promotif: 



KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang masalah psikososial dan kesehatan jiwa melalui berbagai macam media kesehatan seperti poster, leaflet, penyuluhan, dan media audiovisual.







Penyuluhan mengenai kebiasaan buruk seperti penyalahgunaan napza, merokok, serta mengkonsumsi alkohol.







Membiasakan



olahraga,



meluangkan



waktu



rekreasi,



serta



memperbanyak kegiatan keagamaan. Berdasarkan faktor-faktornya, psikososial dapat ditanggulangi dengan cara sebagai berikut: 1)



Tuntutan di tempat kerja Menurut Anwarsyah (2012), tuntutan pekerjaan berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan kerja karyawan. Pada salah satu kasus di Jepang diketahui bahwa terdapat beberapa pekerja yang menghabiskan waktu bekerja lebih dari 60 jam selama seminggu, lembur yang berlebihan dengan waktu kerja lebih dari 50 jam setiap bulan, serta bekerja pada saat liburan dengan waktu lebih dari setengah dari liburan tetap mereka (Uehata, 1991). Sedangkan waktu maksimal yang diperkenankan untuk bekerja selama satu hari adalah 8 jam atau 40 jam selama seminggu (UU No. 13 Tahun 2003). Tuntutan kerja yang sedemikian rupa dapat dicegah dengan cara menyesuaikan antara kapasitas kerja karyawan dengan beban kerja yang dikerjakan. Penyesuaian ini dapat mengacu pada standar nasional maupun



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



internasional yang ada. Sehingga apabila ditemukan tuntutan kerja berlebih dapat dikurangi sesuai dengan kemampuan yang seharusnya. 2)



Organisasi kerja dan konten pekerjaan Untuk mengatasi kemungkinan kebijakan atau otoritas yang buruk di tempat kerja, pekerja dapat melakukan advokasi kepada pemimpin perusahaan untuk menyuarakan aspirasi mereka (Wiryawan, 2015). Advokasi bisa dilakukan dengan cara aksi, namun dalam batas yang tidak anarkis. Dengan adanya advokasi ini, diharapkan terdapat perubahan kebijakan baru dari pihak organisasi yang sesuai dengan harapan para pekerja.



3)



Hubungan interpersonal dan kepemimpinan Salah satu cara agar hubungan interpersonal dengan pihak manajemen dapat selalu terjaga adalah dengan pemberian reward terhadap karyawan. Pemberian reward yang dilakukan sebagaimana mestinya dapat membentuk rasa percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001). Selain itu, gaya kepemimpinan seorang pemimpin juga turut berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yang diciptakan. Apabila terjadi konflik dalam sebuah organisasi, peran manajemen sangat dibutuhkan untuk mengatasi konflik yang terjadi karena dampak dari konflik tersebut akan berimbas pada kinerja dan efektifitas pekerjaan diperusahaan. Peran tersebut dapat dilakukan dengan cara menjalin komunikasi yang baik dengan para pekerja (Anwar, 2015).



4)



Bekerja antarmuka individu Seringkali para pekerja merasa tidak aman ketika bekerja karena adanya suatu konflik. Banyaknya karakter individu bisa memicu berbagai permasalahan karena perbedaan pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut, peran manajemen sangat penting untuk menjalin komunikasi yang baik antara para pekerja (Anwar, 2015).



5)



Nilai-nilai di level tempat kerja



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



Kepercayaan dan komitmen seorang pekerja sering kali terlihat dari kinerja yang dilakukan sehari-hari. Dari penelitian Reza (2010) diketahui bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Untuk mewujudkan kepercayaan tinggi dari pekerja, perlu diterapkan gaya kepemimpinan yang adil dan merakyat.



Artinya



seorang



pemimpin



perusahaan



harus



bisa



mendengarkan aspirasi karyawannya. Sedangkan peningkatan motivasi kerja salah satunya adalah dengan pemberian reward sesuai dengan hasil kerja yang dilakukan (Geller, 2001). 6)



Kesehatan dan kesejahteraan Diketahui bahwa dukungan sosial dan tuntutan pekerjaan berhubungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan di tempat kerja (Marchira, Wirasto, dan Sumarni, 2007 dan Anwarsyah, 2012). Terciptanya dukungan sosial di tempat kerja salah satunya dapat dipengaruhi oleh peran manajemen. Manajemen secara tidak langsung dapat menciptakan sebuah kondisi yang bisa membuat para pekerja merasa saling membutuhkan dan menjaga (Anwar, 2015). Sedangkan tuntutan kerja dapat diatasi dengan cara menyesuaikan antara kapasitas kerja dengan beban kerja yang dibebankan terhadap pekerja.



7)



Kepribadian Kepribadian berhubungan dengan keyakinan dan pengendalian diri ketika bekerja. Agar menumbuhkan kepribadian yang positif dibutuhkan motivasi yang baik dari pihak manajemen. Dari sebuah penelitian diketahui bahwa komitmen organisasi dan lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap keyakinan diri (self-efficacy) (Damarstuti, Djastuti, dan Yuniawan, 2010). Oleh karena itu, peran manajemen sangat penting dalam memberikan motivasi kerja terhadap karyawan sebagai langkah awal dalam meningkatkan keyakinan diri mereka.



8)



Perilaku ofensif Pencegahan terhadap adanya perilaku ofensif yang menyimpang di tempat kerja dapat dilakukan dengan menjalankan komitmen organisasi



Nama: Chalista Rahma Paramitha NIM: A2A219005 LJ FKM KELAS 5B



untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku tindakan tersebut. Diketahui bahwa organisasi memiliki keputusan atau otoritas yang kuat terhadap sebuah kebijkan perusahaan (Eurofound, 2012).