Rabies [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN KEPUSTAKAAN RABIES



Pembimbing: dr. S. Abidin, Sp.A Disusun Oleh : Nadia Fernanda 030.13.133



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSAL DR. MINTOHARDJO JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 1 OKTOBER – 8 DESEMBER 2018



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan ringkasan kepustakaan yang berjudul “Rabies”. Penyakit ini hampir tersebar diseluruh dunia, prevalensi terbanyak di benua Asia dan Afrika dan 30-60% terjadi pada anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia, 25 dari 34 provinsi tertular rabies, paling banyak di Sulawesi Utara (2013-2015). Ini merupakan penyakit zoonis, dimana penyebarannya melalui gigitan atau saliva hewan yang terinfeksi seperti anjing, kera, kelelawar, rubah dan serigala. Gejala khas penyakit ini adalah hidrofobia dan aerofobia. Cepat tanggapnya penanganan berupa pencucian luka, pemberian serum anti rabies dan vaksin anti rabies akan menentukan prognosis dari penyakit ini.



Jakarta, Oktober 2018



Nadia Fernanda 030.13.133



i



LEMBAR PENGESAHAN



RINGKASAN KEPUSTAKAAN DENGAN JUDUL “RABIES” Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSAL DR. Mintohardjo Jakarta Periode 1 Oktober – 8 Desember 2018



Jakarta, Oktober



2018



dr. S. Abidin, Sp.A



ii



DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR …..…………………………………………………….



i



LEMBAR PENGESAHAN …..…………………………….……………….



ii



DAFTAR ISI ……………………………………………………………….…



iii



BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….



1



1.1 Latar belakang .............................................................................................



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................



2



2.1 Definisi .....................................................................................................



2



2.2 Etiologi .....................................................................................................



2



2.3 Epidemiologi .............................................................................................



3



2.4 Patogenesis ...............................................................................................



5



2.5 Gejala Klinis .............................................................................................



7



2.6 Diagnosis .....................................................................................................



9



2.7 Diagnosis Banding ...................................................................................... 14 2.8 Penatalaksanaan .......................................................................................... 11 2.9 Komplikasi .................................................................................................. 16 2.10 Pencegahan ................................................................................................ 16 2.11 Prognosis ................................................................................................... 17 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran



....................................................................................... 18



............................................................................................... 18



.......................................................................................................... 18



DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19



iii



BAB I PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun mati karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO, 2008). Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia dibawah 15 tahun. Angka kematian akibat rabies di India rata-rata 20.000 kasus/tahun, Vietnam adalah rata-rata 9.000 kasus/tahun, Filipina 200-300 kasus/tahun dan Indonesia rata-rata 131 kasus/ tahun (5 tahun terakhir).1 Di Indonesia, sebanyak 25 dari 34 provinsi tertular rabies. Provinsi bebas rabies antara lain Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Tahun 2014 tercatat 42.958 kasus GHPR (gigitan hewan penderita rabies), paling banyak di provinsi Bali yaitu 21.161 kasus, diikuti NTT 5.340 kasus dan Sulawesi Utara 3.601 kasus. Kasus kematian karena rabies (Lyssavirus) turun dari 195 pada tahun 2009 menjadi 81 tahun 2014. Di Bali, rabies tersebar di seluruh pulau dengan insidens tertinggi di 2 Kabupaten, yaitu Denpasar dan Badung. Insidens yang tinggi berkaitan dengan kepadatan manusia dan anjing. Banyak kasus rabies tidak terdiagnosis karena umumnya korban tidak atau terlambat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Kesalahan saat anamnesis akan menyebabkan misdiagnosis dengan penyakit neurologis lain.3 Penyakit rabies di Indonesia masih merupakan penyakit hewan yang penting dan termasuk ke dalam penyakit hewan menular strategis prioritas karena berdampak terhadap sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Kejadian rabies pada hewan maupun manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian (case fatality rate 100%) sehingga akibat penyakit ini menimbulkan rasa takut dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat. Selain itu rabies juga mengakibatkan kerugian secara ekonomi pada daerah tertular di antaranya biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya perawatan pasca pajanan. Dan sampai sekarang belum ada obat yang efektif untuk pengobatan penyakit rabies.4



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus RNA beruntai negatif berbentuk peluru yang memiliki selubung pembungkus dari genus Lyssavirus (bahasa Yunani “lyssa” yang berarti mengamuk atau kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas dan manusia. Rabies berasal dari bahasa Latin “rabere” yang artinya marah, menurut bahasa Sansekerta “rabhas” yang berarti kekerasan.1,2 Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva hewan yang telah terinfeksi. Virus ini berkembang biak dalam kelenjar air liur. Sangat peka terhadap pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol dan lain-lain. Sistem yang diserang adalah sistem saraf (clinical encephalitis) yang dapat bersifat paralitik/furious dan glandula salivarius (mengandung sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva).5 2.2 ETIOLOGI Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus rabies adalah partikel berdiameter 180 nm (panjang), 75 nm (lebar) dan 10 nm panjang spike (duri). Karakteristik utama virus rabies ini adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA dengan ukuran 12 kb dan tidak bersegmen.6 Struktur tubuh virus rabies terdiri dari beberapa unsur penyusun utama, terdiri dari;6 a.



RNA (2-3%), pada bagian tengah struktur tersebut terdapat genom dari virus yang berupa protein RNA yang berbentuk helix yang tunggal, tidak bersegmen dan mempunyai polaritas yang negatif.



b.



Protein (67-74%), terdapat lima penyusun protein utama yaitu Nucleoprtein (N), Phosphoprotein (P), Matrix Protein (M), Glycoprotein (G) dan 2



Polymerase (L). Semua virus termasuk species Lyssavirus mempunyai dua komponen utama yaitu inti dari rantai heliks (ribonucleoprotein core (RNP)) dan Amplop yang menutupinya. Didalam RNP, genom RNA diselimuti oleh Nucleoprotein (N) sedangkan untuk protein penyusun struktur virus lain seperti, Phosphoprotein (P) and polymerase (L) merupakan salah satu komponen penyusun yang berhubungan dengan RNP. Glycoprotein (G) merupakan protein penyusun permukaan virus yang berbentuk spike atau duri berjumlah kurang lebih 400 duri dari virus ini sedangkan protein (M) bertanggung jawab sebagai struktur penyusun Amplop dan membungkus RNP. c.



Lemak (20-26%)



d.



Karbohidrat (3%)



Gambar 1. Struktur Virus Rabies 2.3 EPIDEMIOLOGI Penyakit rabies endemik di semua benua, kecuali Antartika. Namun 95% kasus rabies dilaporkan dari benua Asia dan Afrika. Menurut World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Diperkirakan 55.000 orang didunia meninggal akibat rabies setiap



3



tahunnya dan menurut WHO lebih dari 99% kasus rabies pada manusia terjadi akibat dari gigitan anjing yang terinfeksi.4 Rabies ditularkan oleh anjing, sebagian besar menjangkiti masyarakat pedesaan berstatus ekonomi rendah, terutama anak-anak dengan mayoritas kematian manusia (80%) terjadi didaerah pedesaan, dimana kesadaran dan akses terhadap profilaksis pasca pajanan yang tepat jumlahnya terbatas atau tidak ada.4 Di Indonesia sebanyak 86 orang meninggal karena rabies pada tahun 2016. saat ini terdapat 9 provinsi di Indonesia dinyatakan sebagai daerah bebas rabies, sedangkan sebanyak 24 provinsi lainnya masih endemis.4 Rabies di Indonesia dilaporkan pertama kali oleh Esser pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh E.V. de Haan pada seorang anak di Kabupaten Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia.4 Hewan-hewan utama yang menularkan rabies (HPR=Hewan Penular Rabies) pada umumnya berbeda untuk setiap benua.1 a.



Eropa: rubah dan kelelawar;



b.



Timur Tengah: serigala dan anjing;



c.



Afrika: anjing, mongoose dan antelop;



d.



Asia: anjing dan monyet;



e.



Amerika Utara: rubah, sigung, rakun dan kelelawar;



f.



Amerika Selatan: anjing dan kelelawar



4



Gambar 2. Kasus Rabies pada Manusia yang Ditularkan Melalui Anjing Tahu 2010-2014 (WHO) 2.4 PATOGENESIS Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin dapat menghambat secara efektif transport akson tipe cepat tersebut. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus



5



telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi.7 Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi dalam selubung, sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan membentuk virus baru yang menginfeksi inang yang lainnya, kemudian melanjutkan diri bergerak secara sentripetal sebagai sub viral, tanpa nukleoplasmid menuju jaringan otak. Setelah melewati medula spinalis virus akan menginfeksi tegmentum batang otak dan nukleus selebelaris batang otak



selanjutnya



virus



akan



menyebar



ke



sel



purkinye



serebelum,



diencephalon, basal ganglia dan akhirnya menuju hipokampus terjadi lebih lambat dengan girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi. Virus rabies tidak bisa menginfeksi sel granuler pada girus dentatus yang sebagian besar mengandung reseptor AMPA dan Kainate.7 Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistim limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenai sistem limbik dimana berfungsi erat dengan pengontrolan dan kepekaan emosi. Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistim limbik ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut aferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar sel saraf terjadi pada kelenjar ludah dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk ke susunan saraf pusat (lokasi gigitan). Gambaran yang paling



6



menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.7



Gambar 3. Patogenesis Virus Rabies 2.5 GEJALA KLINIS a.



Manifestasi Klinis pada Manusia Gejala prodomal biasanya non spesifik berlangsung 1-4 hari dan ditandai



dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, gejala gangguan saluran pernafasan, dan gejala gastrointestinal. Gejala prodomal yang sugestif rabies adalah keluhan parestesia, nyeri, gatal, dan atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang kemudian akan meluas ke ekstremitas yang terkena tersebut. Sensasi ini berkaitan dengan multiplikasi virus pada ganglia dorsalis saraf sensorik yang mempersarafi area gigitan dan dilaporkan pada 50-80% penderita.8 Setelah timbul gejala prodromal, gambaran klinis rabies akan berkembang menjadi salah satu dari 2 bentuk, yaitu ensefalitik (furious) atau paralitik (dumb). Bentuk ensefalitik ditandai aktivitas motorik berlebih, eksitasi, agitasi, bingung, halusinasi, spasme muskular, meningismus, postur epistotonik, kejang dan dapat timbul paralisis fokal. Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia dan aerofobia, tampak saat penderita diminta untuk mencoba minum dan meniupkan udara ke wajah penderita. Keinginan untuk menelan cairan dan rasa ketakutan berakibat



7



spasme otot faring dan laring yang bisa menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia timbul akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang otak saraf penghambat nukleus ambigus yang mengendalikan inspirasi. Pada pemeriksaan fisik, temperatur dapat mencapai 39°C. Abnormalitas pada sistem saraf otonom mencakup pupil dilatasi ireguler, meningkatnya lakrimasi, salivasi, keringat, dan hipotensi postural. Gejala kemudian berkembang berupa manifestasi disfungsi batang otak. Keterlibatan saraf kranial menyebabkan diplopia, kelumpuhan saraf fasial, neuritis optik, dan kesulitan menelan yang khas. Kombinasi salivasi berlebihan dan kesulitan dalam menelan menyebabkan gambaran klasik, yaitu mulut berbusa. Disfungsi batang otak yang muncul pada awal penyakit membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya.8 Bentuk paralitik lebih jarang dijumpai. Pada bentuk ini tidak ditemukan hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas, dan kejang. Gejala awalnya berupa ascending paralysis atau kuadriparesis. Kelemahan lebih berat pada ekstremitas tempat masuknya virus. Gejala meningeal (sakit kepala, kaku kuduk) dapat menonjol walaupun kesadaran normal. Pada kedua bentuk, pasien akhirnya akan berkembang menjadi paralisis komplit, kemudian menjadi koma, dan akhirnya meninggal yang umumnya karena kegagalan pernafasan. Tanpa terapi intensif, umumnya kematian akan terjadi dalam 7 hari setelah onset penyakit.8 b.



Manifestasi Klinis pada Hewan Dimulai dengan gejala prodromal tidak spesifik seperti lemah dan malas.



Rabies dapat berkembang menjadi rabies yang ganas atau rabies yang tenang. Kematiannya umumnya disebabkan kelumpuhan pernafasan dan akan timbul dalam waktu 7- 10 hari setelah gejala prodromal.8 Pada rabies yang tenang, anjing tampak senang bersembunyi di tempat yang gelap dan dingin, serta tampak letargi. Dapat ditemukan kelumpuhan otot tenggorokan yang tampak dari banyaknya air liur yang keluar karena sulit menelan. Bisa juga ditemukan kejang-kejang singkat.8 Pada rabies yang ganas, terdapat perubahan sifat dan perilaku hewan. Hewan yang awalnya jinak menjadi ganas, tidak menuruti perintah pemiliknya lagi, dapat 8



menyerang manusia terutama adanya rangsang cahaya dan suara, suka menggigit apa saja yang dijumpai. Suara akan menjadi parau, mudah terkejut, gugup, air liur banyak keluar, ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara kedua paha. Anjing kejang-kejang, kemudian menjadi lumpuh, dan akhirnya mati.8 2.6 DIAGNOSIS Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit dan kurang bisa dipercaya, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu hidrofobia dan aerofobia. Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dikerjakan:3,9 a.



Darah rutin Dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000-13000/mm) dan penurunan hemoglobin serta hematokrit.



b.



Urinalisis Dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.



c.



Mikrobiologi Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.



d.



Histologi Dapat ditemukan tanda patognomonik berupa badan Negri (badan inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu. Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada selsaraf (neuron) sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen danvirus tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus)



9



atau kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbit). e.



Serologi DFA Testing and RT-PCR melalui biopsi kulit, Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction (RTPCR) dalam saliva.



f.



Cairan serebrospinal Rabies (Rapid



Virus–Specific



Antibodies



dalam



serum



dan



LCS



fluorescent focus inhibition test/RFFIT), dapat ditemukan



monositosis sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal. Namun, pada pemeriksaan laboratorium, yang merupakan gold standar untuk diagnosis rabies adalah pemeriksaan dengan teknik fluorescent antibody (FA). D e t e k s i n u k l e o k a p s i d d e n g a n E L I S A m e r u p a k a n t e s y a n g c e p a t d a n juga dapat digunakan maupun dilakukan pada survei epidemiologi.



10



Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang Rabies 2.7 DIAGNOSIS BANDING Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi didaerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.3,9 Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatureaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus.1,3,9



11



Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, statusmental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.1,3,9 Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, Japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1:200-1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virusakan membantu diagnosis.1,3,9 Diagnosa



banding



dalam



kasus



pasien



suspek



rabies



meliputi



banyak penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpes virus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.1,6 2.8 TATALAKSANA Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies. Angka kematian sebesar 100% pada orang yang tidak divaksin. Pasien dengan klinis rabies perlu dirawat di rumah sakit dengan terapi simptomatik dan paliatif berupa analgesik dan sedatif, serta ditempatkan di ruangan khusus yang gelap dan tenang.3 Penyakit rabies dapat dicegah melalui manajemen pasca-pajanan hewan tersangka/rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/ imunoglobulin), dan imunisasi aktif/ vaksinasi pasca-pajanan. Tidak ada kontraindikasi untuk terapi pasca-pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi, dan immunocompromised. Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum anti-rabies



(SAR)



ditentukan



menurut



tipe



luka 12



gigitan.3



Tabel 2. Indikasi Pemberian VAR dan SAR Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:8 Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki. Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja.



13



Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka gunakan VAR dan SAR. Penanganan Luka Luka gigitan/jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan sabun/deterjen minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptik (povidon iodine, alkohol 70%, dll). Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin (misalnya luka lebar, dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan situasi. Bila akan diberi SAR, penjahitan harus ditunda beberapa jam (>2 jam), sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan baik. Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum mencapai ujung serabut saraf posterior dan virus mudah mati dengan sabun/deterjen. Penanganan luka saja terbukti dapat mengurangi risiko rabies pada penelitian hewan.3 Imunisasi Pasif RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung virus pada luka, memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul. Pemberian tidak diperlukan jika vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya. Indikasi SAR adalah pada luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka di area banyak persarafan (muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki), dan kontak air liur di mukosa/selaput lendir.3 Ada dua jenis SAR yaitu dari serum manusia dan kuda, keduanya direkomendasikan oleh WHO. Dosis dihitung sesuai berat badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka, lalu sisanya diinjeksi secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau anterolateral paha). Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena terkadang menimbulkan reaksi anafilaktik. Injeksi harus dilakukan pada area yang jauh dari area injeksi vaksin, karena dapat menekan produksi antibodi. Pada luka berat dan multipel (biasa pada anak-anak), dilakukan pengenceran dengan normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi seluruh luka. SAR dapat diberikan sekali atau hingga hari ketujuh 14



setelah vaksinasi. Setelah hari ketujuh vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi karena antibodi yang diinduksi vaksin dianggap telah ada. Sayangnya, SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.3



Tabel 3. Pemberian HRIG dan PERIG Imunisasi Aktif Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan tujuan menginduksi munculnya antibodi penetral rabies. Indikasi pemberian VAR adalah adanya kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak dapat diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi 14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif. VAR diberikan secara IM di deltoid atau paha anterolateral, tidak diberikan di otot gluteal karena produksi antibodi rendah. Efek samping vaksin meliputi reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik ringan seperti nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%), gangguan sistem saraf seperti sindrom Guillain-Barre (GBS) ataupun reaksi sistemik serius sangat jarang terjadi. Pada gigitan berulang (re-exposure) dalam 3 bulan sampai 1 tahun, VAR diberikan 1 kali dan bila >1 tahun, harus diberi VAR lengkap.3



Tabel 4. Vaksinasi Pasca Pajanan Menurut Rekomendasi WHO 2.9 KOMPLIKASI Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan 15



intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas



hormon



antidimetik



(SAHAD),



disfungsi



otonomik



yang



menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.1 2.10 PENCEGAHAN Tujuan pengendalian rabies di Indonesia sesuai deklarasi ASEAN tahun 2012 meliputi: Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020, mencegah kematian dan menurunkan pajanan rabies, serta mempertahankan daerah bebas rabies berkelanjutan.3 Upaya pengendalian rabies di Indonesia hingga saat ini meliputi: vaksinasi, respons cepat dan observasi hewan tersangka rabies, KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi), surveilans, eliminasi anjing selektif, manajemen populasi anjing, pembangunan fasilitas untuk kontrol rabies kontrol, dan manajemen pascapajanan pada manusia. Beberapa indikator pemantau upaya pengendalian rabies, antara lain: jumlah kasus GHPR, penatalaksanaan kasus gigitan (post-exposure treatment), dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.3 Vaksinasi anjing massal (cakupan minimal 70%) dinilai sebagai strategi paling hemat biaya dan efektif untuk mencegah rabies pada manusia. Sejak 2010, dilakukan vaksinasi massal anjing di Bali, hasilnya jumlah kasus rabies pada manusia menurun sebesar 90% pada tahun 2010-2012 dan pada anjing menurun sebesar 86% pada tahun 2011. Pemerintah Indonesia juga telah menyediakan vaksin pasca-pajanan untuk manusia di berbagai fasilitas kesehatan area endemik, salah satunya di provinsi Bali.3 Vaksinasi Pra-Paparan (pre-exposure prophylaxis) Vaksin rabies terbuat dari virus rabies inaktif dan tidak menyebabkan rabies. Jenis vaksin meliputi human diploid cell vaccine (IM dosis 1 mL), purified chick 16



embryo cell vaccine (IM dosis 1 mL), dan purified vero cell vaccine (IM dosis 0,5 mL). CDC dan WHO merekomendasikan pemberian vaksin pra-pajanan pada orang yang secara kontinu bagi yang sering atau berisiko tinggi terpajan virus rabies, seperti: pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja kontak hewan penular, wisatawan, penjelajah gua, penduduk area endemik, dll.3 Jadwal vaksinasi pra-pajanan adalah 3 dosis intramuskuler/intradermal (Tabel 1). Injeksi dilakukan secara IM pada orang dewasa dan anak ≥2 tahun di otot deltoid, sedangkan anak