RANGKUMAN BUKU Prof Puruhito Wida [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RANGKUMAN BUKU AJAR PRIMER ILMU BEDAH TORAKS, KARDIAK, DAN VASKULER Oleh : Khusnatul Mawaddah Arief 011613143017 Periode Online : 5-6 September 2021 1. TORAKS 1.1 Aspek Pembedahan Toraks Berikut beberapa aspek yang akan dihadapi di bidang BTKV: a. Aspek diagnostik Diagnosis sangat penting untuk menentukan indikasi pembedahan. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan antara lain radiografi, endoskopi, patologi dan sitologi, faal paru dan jantung, serta pemeriksaan lab rutin. b. Aspek prabedah Dasar pada prabedah adalah adanya gangguan faal paru pada pasien. Persiapan yang dapat dilakukan antara lain fisioterapi, inhalasi bronkodilator, atau senam nafas. Setelah pembedahan toraks dapat terjadi 3 kemungkinan pada perubahan faal paru ; perubahan faal paru relatif, penurunan faal paru permanen, dan peningkatan faal paru. c. Aspek teknik pembedahan Hal yang penting dalam pembedahan ada 2 yaitu: -



Kamar bedah (O.K) Ukuran standar 40m2, aseptik, alat-alat bedah, bahan-bahan allograft, meja operasi yang mobile, peralatan bedah VATS



-



Teknik pembedahan Tindakan sesuai “terminologi fungsi” sehingga meminimalisir perdarahan massif serta penutupan luka selapis demi lapis sesuai anatomi



d. Perawatan pascabedah -



Biasanya selama 4-5 hari



-



48 jam jika tanpa komplikasi



-



Pasien pascatorakotomi dipantau di ICU atau ROI yang meliputi: 



Pompa hisap, oksigen, nebulizer, tensimeter, monitor elektronik







Respirator, CPR, dan alat-alat bedah minor







Pengawasan ketat oleh 1,5-2 perawat terutama hemodinamik dan pernafasan pasien







Pemberian antibiotik, analgesik, sedatif, kardiak, vitamin







Tempat tidur yang dapat diatur posisinya sesuai kebutuhan pasien







Menjaga airway pasien tetap bersih dan bebas obstruksi dengan



e. Aspek rehabilitasi Tergantung dari penyakit serta komplikasi selama intrabedah hingga pascabedah. 1.2 Anatomi bedah dan fisiologi pernafasan 1.2.1 Anatomi toraks Rongga toraks (cavum thoracis) dibatasi oleh diafragma dibagian bawah (inferior) dan regio colli sekitar batas atas insisura jugularis. Terdiri dari : a. Paru-paru Paru kanan terdiri dari 3 lobus : -



Superior



-



Medius



-



Inferior



Paru kiri terdiri dari 2 lobus : -



Superior



-



Inferior



b. Mediastinum Dibagi menjadi 3 bagian anatomis bedah : -



Anterior superior



-



Medius



-



Posterior



Pintu rongga toraks dibagi menjadi : a. Pintu atas : “thoracic inlet” b. Pintu bawah : -



Ventral : costae VII s.d IX yang tergabung pada arcus costae



-



Posterior : vertebra torakal XII



-



Lateral : batas bawah costae XII



-



Anterior : processus xyphoideus



Dalam pembedahan toraks terdapat garis-garis anatomis di toraks anterior :



a. Anterior : sternotomi medial (garis tengah sternum) b. Lateral : linea axillaris anterior (lateral m. pectoralis major), line axillaris medius (puncak aksila), linea axillaris posterior (m. latissimus dorsi) -



Torakotomi posterolateral : yang dipotong hanya m. latissimus dorsi



-



Torakotomi anterior : m. pectoralis



c. Area pre-kordial : proyeksi dari jantung ke dinding toraks anterior 1.2.2



Dinding toraks



a.



Costae : terdiri dari 12 pasang. -



Costae I-V : melekat pada vertebrae yang bersesuaian dan di sebelah anterior ke sternum



-



Costae VI-XI : tulang rusuk palsu (costae spuria). Melekat di anterior ke kartilago costae di atasnya



b.



Costae XII : melayang karena tidak berartikulasi di anterior Otot-otot : ruang interkostalis ada 11 yang tersi oleh m. interkostalis eksternus dan internus



Otot yang penting dalam torakotomi adalah sebagai berikut : 1. M. latissimus dorsi -



Origo : prosessus spinosus vertebrae torakal bawah dan vertebrae lumbal atas, sakrum, dan krista iliaka



-



Insersi : humerus atas



2. M. serratus anterior -



Origo : anterolateral costae I-IX



-



Insersi : scapulae



3. M. teres mayor -



Normalnya tidak dipotong pada insisi toraks



-



Scapulae menuju humerus



4. M. trapezius -



Sebagian menutupi m. teres mayor dan m. latissimus dorsi di posterior



-



Triangulus auskultatorius : celah segi costae dan otot



5. M. serratus anterior 6. M. pektoralis mayor 7. M. pektoralis minor 8. M. obliqus abdominalis eksternus 9. M. trapezius di posterior dinding dada dan paraspinosus



10. M. rhomboideus mayor dan minor 11. M. paraspinosus atau m. erektor spina 1.2.3 



Proses pernafasan inspirasi : proses aktif karena kontraksi otot interkostal -> rongga toraks mengembang -> tekanan negatif -> udara mengalir dari luar ke dalam.







ekspirasi : proses pasif karena elastisitas paru dan relaksasi otot interkostal -> rongga toraks mengempis -> tekanan positif -> udara mengalir ke luar.



1.2.4 



Anatomi paru dan pleura Paru-paru Paru kanan terdiri dari 3 lobus : -



Superior



-



Medius



-



Inferior



Lobus superior dan medial dengan lobus inferior dipisahkan fisura mayor. Sedangkan lobus superior dan medius dipisahkan fisura minor. Paru kiri terdiri dari 2 lobus : -



Superior



-



Inferior



Kedua lobus ini dipisahkan fisura interlobaris. 



Hilus pulmonis Hilus ini terletak di pertengahan permukaan mediastinum pada setiap paru dekat tepi posterior. - Hilus paru kanan terletak pada sisi posterior vena kava superior dan inferior - Hilus paru kiri terletak antara arkus aorta dan aorta desenden. Komposisi struktur yang berada di dalam hilus adalah : - 2 vena pulmonalis di anterior. - arteri pulmonalis di tengah - bronkus serta percabangannya di posterior







Pembuluh darah paru



-



Vaskularisasi sistemik yang melibatkan paru : arteri pulmonalis membawa darah ke paru –> kapiler pada dinding alveolus –> vena pulmonalis –> mengikuti arteri dan bronkus di hilus –> muara di atrium kiri



-



Vaskularisasi paru : arteri bronkialis –> vaskularisasi kelenjar bronkus, dinding bronkus –> masuk ke dinding bronkus –> plexus kapiler –> vaskularisasi lapisan muskularis –> masuk lebih dalam membentuk plexus –> vaskularisasi lapisan mukosa –> vena-vena kecil –> muara vena pulmonalis







Pleura Merupakan membran serosa tipis yang menyelubungi paru dan struktur di sekitarnya. Terdiri dari : - pleura viseralis : menutupi permukaan paru - pleura parietalis : menutupi permukaan dalam dinding dada, diafragma, dan mediastinum. Ruang potensial antara kedua lapisan ini disebut rongga pleura. Didalam rongga tersebut dihasilkan cairan pleura dari sirkulasi sistemik (keseimbangan tekanan onkotik dan osmotik) dan direabsorbsi oleh sistem limfatik.



1.2.5



Fisiologi pernafasan Tekanan intrapleura dipertahankan oleh gaya tarik menarik antara dinding dada yang cenderung mengembang dan paru-paru yang cenderung kolaps. Tekanan intrapleura normalnya -2 cmH20 (basis) hingga -8 cmH20 (apeks) pada kondisi akhir ekspirasi normal dan posisi tegak. Sedangkan ketika inspirasi maksimal tekanan intrapleura dapat mencapai -25 hingga -35 cmH20. Fisiologi pertukaran gas oleh paru Transportasi oksigen ke jaringan tubuh oleh arteri sangat dipengaruhi oleh hemoglobin.



1.3 Trauma Toraks



1.3.1 Patofisiologi, mekanisme dan manajemen trauma pada toraks Trauma pada toraks sering yang terjadi perdarahan akan menyebabkan penurunan hemoglobin, sehingga akan menyebabkan hipoksia jaringan. Dibutuhkan terapi transfusi sebagai salah satu terapi utama. Gangguan ventilasi dan perfusi juga dapat timbul pada trauma toraks. Bila pada alveoli



terdapat ventilasi tanpa perfusi maka terjadi dead space,



sebaliknya jika perfusi tanpa ventilasi maka terjadi shunting, misal pada kasus ARDS. Patofisiologi trauma toraks 



Pneumotoraks Dinding toraks terbuka karena suatu trauma sehingga pleura parietalis juga terbuka, maka tekanan intrapleural yang negatif akan menyedot udara luar masuk dan menyebabkan paru collaps.







Emfisema mediastinum Masuknya udara dari bronkus keluar ke bawah daerah kulit akibat robekan bronkus.







Flail-chest Bergeraknya satu segmen rongga dada berlawanan (paradoksal) terhadap gerakan nafas karena patah tulang iga pada beberapa tempat dan bersifat kominutif.







Hematotoraks/hemotoraks Penumpukan darah dalam rongga toraks akibat robeknya pembuluh dalam kavum toraks.







Tamponade perikardium/tamponade perikardium Pengumpulan darah pada rongga perikardium karena trauma jantung sehingga terjadi pendesakan jantung.



Mekanisme dan manajemen trauma toraks 1. Menentukan arah dan asal trauma. 2. Melihat dan melakukan langkah diagnostik singkat a. keadaan umum



b. status lokalis c. pemeriksaan fisik toraks d. X-foto toraks Tindakan bedah darurat dan diagnostic 



Hematotoraks : pungsi dengan jarum besar no.14 pada ICS VII di anterior aksilaris line dalam posisi berbaring.







Trauma tusuk toraks : - Bila benda masih tertancap pada penderita, hemodinamik dan respiratorik stabil, segera persiapan torakotomi eksploratif setelah dilakukan resusitasi ABC. - Bila benda sudah dicabut waspadai gangguan hemodinamik dan respiratorik, segera resusitasi ABC dan torakotomi eksploratif.







Emfisema kutis dan mediastinum : mediastinotomi







Patah tulang iga : diagnostik dengan “maneuver” menekan sternum ke dorsal dengan tepi tangan saat penderita berbaring. Akan terasa nyeri lebih hebat pada fraktur terutama saat inspirasi. Terapi dapat dilakukan operasi fiksasi costae







Trauma jantung : perikardiosentesis dengan menusukkan jarum drainase melalui titik Larrey yaitu titik sebelah kiri xyphoid ke arah pertengahan klavikula kanan. Jarum kemudian didorong perlahan sesuai arah jantung dan segera keluar darah dari pungsi.



Tindakan-tindakan bedah dasar dalam penyelamatan trauma toraks : 



Resusitasi dengan ABC untuk semua kasus.







Pneumotoraks tension → pemasangan kontra ventil







Pneumotoraks atau hematotoraks → pemasangan drain toraks







Tamponade perikardium → perikardiosentesis







Emfisema



mediastinum



atau



subkutis



mediastinum dan/atau insisi multiple 1.3.2 Manajemen kegawatdaruratan kardiotoraksik







pemasangan



drain







Jantung : hipertensi, aritmia, gagal jantung, iskemia miokard







Paru : ARDS, gangguan respirasi, ventilasi, kegawatan toraks, edema paru.



Hipertensi -



Penyebab : SSP, gagal jantung kiri, faal ginjal, aneurisma torakal, HT sekunder.



-



Terapi : antihipertensi (nitrat). Pada pasien kritis dianjurkan hidralazine, nifedipine, fentolamin, diuretik, atau ACE inhibitor



Sindroma koroner akut 



Klinis : nyeri dada akut dengan gambaran ECG ST elevasi pada STEMI dan tidak ada elevasi pada NSTEMI.



1.3.4



Trauma paru ARDS/distres respirasi akut -



Penyebab : trauma paru (tajam/tumpul)



-



Tindakan : WSD, fiksasi kosta, dukungan respirasi



-



Konservatif : antibiotik, bronkodilator, nebulizer, infus sesuai protokol trauma.



-



Monitoring : WSD, gejala penumotoraks tensi, tanda vital



Teknologi ventilasi mekanik -



Indikasi : ventilasi tidak adekuat, oksigenasi tidak adekuat, hiperventilasi dengan TIK meningkat.



-



Tujuan : untuk mencegah terjadinya asidosis respiratorik.



-



Indikasi umum : PaCO2 > 50 mmHg dan pH < 7,25



1.4 Penyakit infeksi paru 1.4.1 Abses paru & empiema dan infeksi jamur Abses Paru Pembentukan kavitas yang mengandung nanah atau pus akibat nekrosis jaringan paru karena proses infeksi. -



Manifestasi klinis : malaise, anoreksia, batuk bersputum, dan demam, Gejala setelah kavitasi berupa sputum banyak dan purulent



-



Pemeriksaan fisik : perkusi tumpul pada area dengan konsolidasi, jika kavitasi besar maka perkusi timpani dan bunyi nafas amforik.



-



Diagnostik : kultur sputum dan foto rontgen dada untuk melihat gambaran khas kavitasi dengan air fluid level.



Empiema Toraks Terdapat nanah dalam rongga pleura terkait infeksi paru yang dapat menumbulkan pembentukan pus. Infeksi Jamur Terbagi menjadi patogenik dan oportunistik (pada immunocompromised). Indikasi pembedahan : kerusakan parenkim, fokus infeksi yang persisten, lesi nodul, serta muncul sequelae infeksi. Aspergillosis : infeksi jamur dengan insidens tertinggi pembedahan infeksi jamur paru. Terdapat 3 subtipe, yaitu: 1. Aspergilloma (70-80%) 2. Invasive pulmonarry aspergillosis 3. Noninvasif bronchial allergic disease 1.4.2



Bedah tuberkulosis paru Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium sp. 



Klinis : batuk non porduktif pada awal, kemudian menjadi produktif, demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan. Gejala lanjutan adalah hemoptisis.







Diagnostik persiapan prabedah Mencegah terjadinya kontaminasi karena pembiusan yang membutuhkan intubasi dan ventilasi yang berisiko transmisi. o Pemeriksaan sputum pagi 3 hari berturut-turut o Pemeriksaan tes Gafky o Pemeriksaan tuberculin o Pemeriksaan radiologis o Pemeriksaan tes faal paru







Penatalaksanaan prabedah



1. Medikamentosa : OAT fase utama 2 bulan dan fase lanjutan 4-7 bulan. 2. Bedah diperlukan untuk : diagnostik, kuman M.tuberculosis resisten pengobatan, kavitas paru, Gafky tidak pernah bisa negatif, destruksi lobus, hemoptisis masif, fistula bronkopleural persisten, stenosis bronkus, infeksi sekunder aspergillosis, dan komplikasi pembedahan TBC sebelumnya. Strategi pembedahan: - Pemberian OAT adekuat selama 2-3 bulan preoperatif - Pembedahan untuk menghilangkan fokus infeksi tersisa - Obliterasi adanya kelainan pada rongga pleura - Pemberian kembali OAT adekuat. 



Teknik pembedahan TBC paru 1. Dekortikasi : mengelupas pleural peel sehingga paru dapat mengembang dan terjadi obliterasi rongga pleura tanpa adanya pneumotoraks. o Indikasi : pleural peel, keganasan pleura, empiema yang terlokulasi. o Syarat : kultur pus sebaiknya negatif atau masih sensitif antibiotik, produksi pus minimal >100 ml/hari, terjadi organisasi jaringan peel, dan minimal 4-6 minggu setelah fase purulen. o Prosedur pembedahan : anestesi umum dengan ETT double lumen dan pengempisan paru. Jika setelah operasi parenkim paru tidak dapat melebihi 2/3 volume toraks → torakoplasti. 2. Torakoplasti



:



tindakan



collapse



therapy



yang



bertujuan



mengobliterasi rongga pleura. Tindakan ini dikerjakan jika masih terdapat rongga sisa (dead space) lebih dari 1/3 volume hemitoraks. Torakoplasti dikerjakan dalam 3 tahap. Tahap 1 mengangkat iga I-III, tahap 2 iga IV-V, dan tahap 3 iga VI,VII. 1.5 Tumor organ toraks 1.5.1



Keganasan pada paru : karsinoma bronkogenik







Kelompok risiko tinggi :



- usia > 40 tahun, perokok aktif, laki-laki - perokok pasif - bekerja di lingkungan yang mengandung zat karsinogen   1.5.2 



Gejala : batuk lama yang tidak sembuh. Diagnostik : pemeriksaan dahak dan foto rontgen Patologi, patofisiologi, dan patogenesis karsinoma bronkogenik Patologi



1. Non small cell lung carcinoma (NSCLC) 75% - Karisnoma sel skuamosa - Adenokarsinoma : jenis tipe terbanyak - Karsinoma sel besar tidak berdiferensiasi 2. Small cell lung carcinoma (NSCLC) 25% Mayoritas tumbuh pada daerah sentral. Penampakan mikroskopis oat-like appearance. Pertumbuhan tumor sangat cepat dan dapat membesar hingga menekan bronkus utama. Metastase jauh dan cepat. 3. Tumor neuroendokrin - tumor karsinoid tipikal - tumor karsinoid atipikal - karsinoma neuroendokrin sel besar 4. Karsinoma lainnya - Karsinoma adenoskuamosa - Karsinoma sarkomatoid 



Presentasi Klinis Kanker Paru



-



Gejala pulmonal : batuk, dyspnea, wheezing dan stridor, hemoptisis, dan abses paru



-



Gejala nonpulmonal : tergantung letak, ukuran, dan struktur yang terpengaruhi.







Pemeriksaan Diagnostik Non-invasif



-



Foto rontgen : untuk menentukan operabilitas. Standar pemeriksaan proyeksi AP dan lateral. Kecurigaan lesi ganas jika massa besar, batas tidak jelas spikulasi, tanda invasi atau destruksi iga, dan pelebaran mediastinum. Kecurigaan lesi jinak jika massa kecil dengan batas tegas.



-



CT scan : menentukan lokasi, besar, dan bentuk dari massa tumor serta mendeteksi invasi tumor terhadap struktur sekitarnya seperti vertebra, dinding dada, atau iga.



-



MRI : menilai massa tumor yang menempel pada vertebra, kanalis spinalis, dan pembuluh darah.



-



PET : metastasis KGB, rekurens, atau respons terhadap terapi medikamentosa.



-



Sitologi sputum: sputum pagi selama 3 hari berturut-turut. Sensitif apabila letak tumor di sentral.



-



Pemeriksaan Diagnostik Invasif o Fine needle aspiration (FNA) : lesi perifer yang tidak menempel pada pembuluh darah besar. o Bronkoskopi : kanker paru, staging, dan assesment dari bronchial tree. o Mediastinoskopi : gold standard KGB mediastinum superior o Video assisted thoracoscopy surgery (VATS) : diagnostik, sampling KGB mediastinum, terapetik reseksi paru secara anatomikal. o Torakotomi eksploratif : pengambilan sampel jaringan sulit, merupakan jalan terakhir sekaligus terapi definitive.







Staging Berdasarkan klasifikasi TNM. T untuk menjelaskan ukuran dan ekstensi tumor. N untuk menjelaskan keadaan kelenjar getah bening, dan M untuk menjelaskan metastasis. 1. Clinical-TNM (cTNM) : anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik non-invasif dan invasif. 2. Revisi hasil cTNM : operasi/pembedahan 3. pathologic-TNM (pTNM) : histopatologis







Manajemen nodul soliter Nodul paru soliter adalah massa tunggal asimtomatis berukuran < 3 cm pada parenkim paru. - Membandingkan hasil rontgen terbaru dengan lama.



- Terapi konservatif : massa tidak berubah dalam dua tahun terakhir, gambaran radiologis lesi jinak, pasien infeksi TB atau lain yang membaik setelah diberikan antibiotik 1 bulan, dan pasien berisiko tinggi jika dilakukan pembedahan. - Terapi pembedahan 



Prosedur pembedahan karsinoma paru Umumnya lobektomi, bilobektomi atau pneumonektomi. Reseksi segmen terbatas pada tumor yang perifer soluter.



1.5.3



Tumor dinding toraks Tumor dinding toraks 85% terjadi pada kosta.







Osteokondroma Tumor jinak tersering yang menyerang jaringan kartilaginosa pada daerah sendi sternokosta. Biasanya asimtomatis dan ditemukan secara tidak sengaja melalui foto toraks.







Tumor desmoid Tumor jinak fibromatosis. Dalam perspektif bedah tumor desmoid lebih baik digolong sebagai tumor primer maligna sehingga margin reseksi harus adekuat agar tidak terjadi rekurensi.







Kondrosarkoma Sarkoma tulang dada terbanyak yang berasal dari anterior iga. Penampakan klinis dan radiologis dari well-differentiated kondrosarkoma sering menyerupai kondroma.







Pemeriksaan Penunjang : MRI, FNA, biopsi insisional atau eksisional.







Tindakan : timor jinak dengan simple excision, dan ganas dengan wide excision.



1.6



Kelainan-kelainan organ intratoraks



1.6.1



Kelainan pleura/dinding toraks







Kelainan kongenital dinding dada



o Pektus ekskavatum (funnel chest) Depresi sternum mulai derajat ringan hingga jelas terlihat.



Indikasi pembedahan : faktor kosmetik, gejala penekanan jantung seperti artimia, sesak, angina (indikasi absolut). Idealnya pembedahan dilakukan sebelum usia 5 tahun. Teknik pembedahan : reseksi kartilago kosta dan marlex mesh , teknik Ravitch, Prosedur Nuss Komplikasi bedah : nyeri daerah permasangan steel bar, rekurensi, pneumotoraks, infeksi sekunder o



Pektus karinatum Disebut juga pigeon’s breast, sternum mengalami penonjolan karena malformasi bentuk (outward curve) di daerah kartilago kosta iga-iga inferior iga IV-VIII. Pembedahan : koreksi deformitas dengan manipulasi pada sternum dan stabilisasi sternum.



o



Sindroma Poland payudara tidak ada, hipoplasi jaringan subkutan, hipoplasi otot-otot pektoralis mayor dan minor, dan kadang disertai absennya kartilago kosta dan/atau iga 2, 3, dan 4; atau iga 3,4,dan 5.



1.6.2 



Trakea dan bronkus Trakea



o Anatomi bedah Organ menyerupai tabung yang berawal dari kartilago krikoid di leher setinggi vertebra servikal VI dan berakhir sebagai karina di mediastinum medius setinggi batas atas vertebra torakal V. Trakea terdiri atas cincin karilago inkomplit yang melingkar di bagian anterior dan lateral, posterior merupakan jaringan membran muskuler. Pembagian zona menurut Monson : - Zona 1 : daerah dari kartilago krikoid hingga klavikula - Zona 2 : daerah dari kartilago krikoid hingga angulus mandibula - Zona 3 : daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii o Pembedahan trakea 1. Trauma trakea Trauma laringotrakea jarang ditemukan namun mengancam jiwa.



-



Penyebab : trauma tumpul, tajam, tembak, inhalasi, dan aspirasi benda asing maupun iatrogenik.



-



Indikasi pembedahan : obstruksi jalan nafas yang memerlukan trakeostomi, emfisema subkutis yang tidak terkontrol, laserasi mukosa luas, paralisis pita suara, deformitas yang jelas, fraktur laring multipel dengan penggeseran kartilago tiroid atau krikoid, dan terdapatnya cedera lain seperti trauma esofagus atau hematom yang meluas.



-



Tatalaksana bedah trauma trakea - rekonstruksi langsung end to end, dengan atau tanpa stent - transplantasi jalan nafas dengan bahan homograft; allograft yang dipreservasi beku. 2. Keganasan trakea Tumor primer trakea jarang namun mayoritas maligna. Tumor sekunder lebih sering yang umumnya berasal dari paru, payudara, atau esofagus.



-



Klasifikasi 2/3 dari tumor primer trakea adalah karsinoma sel squamous (KSS) dan karsinoma adenoid kistik (KAK). Tumor sekunder yang menginvasi trakea terutama berasal dari keganasan kelenjar tiroid yang menyebar secara langsung.



-



Pembedahan : reseksi tumor tiroid beserta trakea lalu rekonstruksi.



o Kelainan trakea kongenital 1. Stenosis trakea kongenital Penyempitan diameter lumen trakea yang biasanya terjadi pada bagian bawah trakea. Gejala distres pernafasan saat usia 1 bulan. Diagnostik : rontgen, CT scan, dan bronkoskopi. Pembedahan : trakeostomi, lalu tindakan definitif setelah anak cukup besar. 2. Cincin vaskuler kelainan kongenital pada pembuluh darah pada mediastinum yang mengakibatkan kompresi dan stenosis pada trakea. - Arkus aorta ganda : aorta asenden terbagi dua yang mengelilingi trakea dan esofagus dan kemudian kembali menyatu membentuk aorta desenden. Diagnostik : foto barium meal dan CT scan.



Tatalaksana : torakotomi anterior, kemudian memotong cabang arkus aorta terkecil, dan memotong ligamentum arteriosum. - Arkus aorta di kanan dapat menyebabkan kompresi pada trakea karena PDA atau ligamentum arteriosum yang menyilang trakea. Diagnostik : foto barium meal. Tatalaksana : melepaskan jeratan vaskuler melalui torakotomi kiri. - Sindroma kompresi arteri inominata terjadi akibat penekanan trakea di sebelah anterior karena letak arkus aorta kiri yang abnormal, dan arteri inominata keluar dari sebelah posterior dan lateral arkus aorta yang kemudian menyilang trakea di anterior. Biasanya gejala tampak saat bayi apneu ketika makan. Pemeriksaan diagnostik dilakukan bronkoskopi, dan CT scan dengan kontras. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah pembedahan melalui torakotomi kanan, dan dilakukan pemindahan letak arteri inominata dengan menarik ke anterior dan menjahitkannya ke sternum. 2



- Pulmonary artery sling adalah kelainan dimana arteri pulmonalis kiri berasal dari arteri pulmonalis kanan, dan kemudian berjalan melingkari bronkus utama kanan dan trakea sebelum sampai ke hilus paru kiri. Gejala tampak sejak bulan pertama. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah reimplantasi arteri pulmonalis kiri ke arteri pulmonalis komunis dengan menggunakan sirkulasi ekstrakorporeal.



3



Kelainan trakea dapatan



4



Fistula trakeo-esofagal



5



Penyebab fistulasi trakeoesofagal beragam mulai dari neoplasma, trauma, infeksi, dan iatrogenik. Gejala klinis yang ditemukan adalah adanya makanan pada saluran pernafasan atau saat batuk, pneumonia berulang. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah pemeriksaan telan barium dan bronkoskopi.



6



Trauma paska intubasi endotrakeal



7



Kerusakan karena tindakan intubasi pada trakea dapat mengakibatkan granuloma, striktur, trakeomalasia, fistulatrakeo-esofagal, dan fistula trakeo-inominata.



8



Striktur trakea merupakan kelainan tersering pada trauma paska intubasi. Striktur dapat terjadi pada level stoma dan cuff. Keduanya terjadi akibat pembentukan jaringan sikatriks sebagai respon terhadap perlukaan trakea.



9



Trakeomalasi terjadi ketika perlukaan mukosa mengalami metaplasia dan penipisan kartilago. Area ini kemudian akan kolaps dan membentuk pseudostenosis.



10



Fistula trakeo-esofagal terjadi pada penderita yang mendapat tube cuff bersamaan dengan pemasangan NGT dalam waktu yang lama.



11



Fistula trakeo-inominata terjadi bila pemasangan trakeostomi terlalu inferior, dan tube akan menekan ke daerah yang terdapat arteri inominata.



12



Tumor Trakea



13



Pemeriksaan diagnostik :



14



- Foto rontgen dada proyeksi AP, dan lateral dengan sentrasi servikal



15



- fluoroskopi, untuk mendapatkan informasi keadaan pita suara



16



- CT scan, untuk melihat ekstensi/invasi tumor ke struktur di sekitarnya dan pembesaran KGB



17



- MRI



18



- Foto telan barium, untuk melihat adanya ekstensi ke esofagus



19



- Bronkoskopi, dapat sebagai diagnostik, dan terapeutik.



20



Tatalaksana



21



Pada tumor jinak dapat dilakukan simple resection, mengangkata trakea sirkumferensial sebatas pinggir tumor. Pada tumor ganas dilakukan resection dengan pengangkatan trakea sirkumferensial dengan minimal 2 cm berjarak dari pinggir tumor.



22



Setelah itu dilakukan end to end anastomosis pada pungtum trakea proksimal dan distal.



23



Penyempitan trakea karena sebab lain



24



Struma intratorakal yang menyebabkan penyempitan trakea secara kronis tetapi ditandai secara akut karena edema trakea oleh



suatu pencetus. Tatalaksana yang



dilakukan adalah strumektomi. 25



Manajemen trauma trakeo-bronkial



26



Patologi saluran nafas atas



27



- Kontusio laringotrakea



28



- Edema



29



- Hematom



30



- Avulsi



31



- Fraktur dan dislokasi kartilago tiroid, krikoid, serta trakea



32



Cedera ikutan



33



Cedera servikal harus dicurigai pada trauma trakeobronkial hingga terbukti tidak ditemukan. Selain itu cedera kepala tertutup serta cedera maksilofasial juga sering menyertai. Sedangkan pada trauma tajam perlu dilakukan evaluasi cedera lain seperti trauma vaskuler, esofagus, dan trauma toraks.



34



Presentasi klinis



35



Gejala yang sering didapatkan pada trauma trakeobronkial adalah sesak nafas, batuk, batuk darah, emfisema subkutis, sianosis, dan gangguan suara. Tanda pasti jika ada kebocoran udara atau suara mendesis pada lokasi trauma. Pada trauma tembus mungkin dapat dilihat namun pada trauma tumpul dapat berupa kulit leher yang terangkat ketika batuk.



36



Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas, luka dan penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartialgo tiroid, krepitasi daerah laringotrakea, emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.



37



Setiap trauma trakea memerluka eksplorasi. Fuhrman membuat klasifikasi trauma laring menjadi lima grup, sebagai berikut :



38



- Grup I : trauma endolaringela ringan tanpa fraktur



39



- Grup II : edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada ekspos tulang rawan, fraktur nondisplaced



40



- Grup III : edema berat robekan mukosa dengan ekspos tulang rawan. Fraktur displaced pada CT scan



41



- Grup IV : perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan



42



- Grup V : teruputusnya laringotrakeal komplet



43



Pemeriksaan diagnostik



44



- Foto toraks dan servikal saat kegawatan telah terkendali



45



- Bronkoskopi



46



- Esofagoskopi pada trauma tajam



47



- Arteriografi



48



- CT scan



49



Manajemen jalan nafas



50



Pengamanan jalan nafas bisa dilakukan dengan pemasangan guedel, krikotiroidektomi, trakeostomi, pemasangan orotracheal tube, endotracheal tube (ETT). Pada trauma tumpul trakeostomi lebih disarankan, selain itu trakeostomi hanya dikerjakan apabila intubasi endotrakea gagal. Pada trauma tajam, tindakan intubasi orotrakea cukup aman. Secara umum penderita harus dipastikan jalan nafas yang adekuat, pemberian oksigen, serta penentuan apakah perlu pemeriksaan penunjang atau langsung pembedahan.



51



Manajemen terapi definitif



52



Tatalaksana definitif trauma laring berdasarkan derajat berat traumanya. Grup I dan II tidak memerlukan operasi, sedangkan grup III,IV, dan V memerlukan tindakan operasi. Semua penderita sebelum dioperasi dilakukan pemasangan NGT.



53



Selain tindakan pembedahan, terapi non-bedah juga dapat dilakukan pada pasien dengan jalan nafas adekuat, terproteksi oleh refleks penderita sendiri atau dengan endotracheal tube diantaranya:



54



- Observasi ketat di ICU dan bronkoskopi



55



- Terapi antihistamin untuk mencegah iritas mukosa lebih lanjut mukosa laring dari asam lambung.



56



- Intubasi dengan tube kecil



57



- Kortikosteroid dalam beberapa jam setelah trauma



58



1.6.3 Esofagus



59



Esofagus secara anatomi bedah dibagi menjadi 3 segmen :



60



- servikal : leher – apertura jugulum



61



- torakal : akhir trakea – kardia



62



- kardia : esofagus menjelang masuk lambung



63



Karena letak esofagus lebih ke arah kanan, ancangan bedah esofagus adalah melalui torakotomi kanan.



64



Kelainan jinak esofagus



65



Gastroesophageal reflux disease / GERD



66



GERD adalah keadaan refluks makanan/minuman yang sudah ditelan dan refluks kembali ke mulut dengan rasa asam karena asam lambung lebih dari 2 kali dalam seminggu. GERD merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadi Barret’s esophagus. Upaya pengobatan GERD terutama adalah medikamentosa anti refluks. Apabila tidak menunjukkan hasil maka dapat dilakukkan terapi bedah vagotomi selektif dan fundoplikasi.



67



Barret’s esophagus



68



Barret esophagus adalah suatu kelainan dimana jaringan pembatas esofagus tergantikan oleh jaringan yang mirip jaringan intestinum. Kelainan ini bersifat metaplasia yang walaupun bersifat jinak namun secara klinis ganas. Seseorang dengan BE memiliki risiko 30 x lebih besar untuk menjadi adenokarsinoma esofagus. Usia penderita BE ratarata sekitar 50 tahun. Pada penderita BE dengan displasia berat maka harus diberikan terapi profilaksis esofagektomi.



69



Diagnosis BE biasanya dilakukan dengan endoskopi dan biopsi pada pasien GERD yang berusia lebih dari 40 tahun karena biasanya asimtomatik. 1% pasien BE akan menjadi adenokarsinoma esofagus, dan tidak dapat dideteksi hingga timbul gejala. Pembedahan BE dilakukan jika pasien mengalami disfagia dan masih dapat menerima pembedahan



70



Divertikulum Zenker



71



Divertikulum zenker adalah divertikel esofagus pada daerah cricopharyngeal yang sering terjadi pada usia tua dengan keluhan disfagia dan muntah. Penyebab penyakit ini adalah disfungsi otot cricopharyngeal dan otot esofagus atas, sehingga mengalami penurunan compliance. Terapi pembedahan untuk divertikulum zenker adalah melakukan miotomi sfingter esofagus atas dan otot cricopharyngeal disertai divertikulektomi. Khusus untuk divertikel berukuran kurang dari 2 cm dapat dibiarkan, namun jika lebih dari 2 cm dilakukan divertikulektomi.



72



Pembedahan Karsinoma Esofagus



73



Penyebab karsinoma esofagus 95% merupakan KSS selain itu juga adenokarsinoma. KSS dikaitkan dengan konsumsi alkohol dan rokok, sedangan adenokarsinoma esofagus dikaitkan dengan GERD. Gejala paling sering adalah kesulitan menelan yang bertahap mulai makanan setengah padat hingga cair saja. Selain itu dapat muncul gejala nyeri retrosternal yang sering makin memburuk setelah makan. Karena esofagus memiliki jaringan serosa sedikit, penyebaran dapat terjadi dengan cepat ke area sekitar jika jaringan tumor telah menembus dinding otot.



74



Staging karsinoma esofagus



75



Staging dapat dilakukan dengan CT scan karena dapat melihat metastasis jauh di toraks dan abdomen. Diagnostik lain yang dapat digunakan adalah endoskopi dengan ultrasonografi atau EUS dengan ketepatan status T sebesar 90%. Torakoskopi dan laparotskopi juga dapat dilakukan untuk menentukan deskriptor N meskipun harus dengan anestesi umum dan lama pemeriksaan 3 jam, lalu pasien harus MRS selama 2-3 hari.



76



Seleksi penderita dan persiapan bedah esofagus



77



Persiapan utama adalah nutrisi dan respirasi. Pasien dengan albumin kurang dari 20% harus mendapatkan perhatian.Untuk mencegah esofagitis dapat juga dilakukan jejunostomi paska bedah. Pemerisksaan FEV1 dan jantung juga harus dievaluasi.



78



Teknik pembedahan dan manajemen bedah



79



Ancangan umum yang dipakai adalah transtorasik dan transhiatal. Torakotomi kanan atas akan dapat melakukan anastomosis esofagus bagian atas serta antomososi sepertiga



bagian bawah pada daerah gastro-esofageal (GEJ) dengan teknik Ivor-Lewis. Ancangan transhiatal dilakukan dengan sayatan leher untuk melakukan anastomosis daerah leher. Secara dasar, bedah reseksi esofagus dilakukan secara esofagektomi en-bloc dengan reseksi radikal sepanjang 10 cm dari batas proksimal dan distal dari tumor. 80



Perforasi esofagus



81



Perforasi esofagus jarang terjadi kecuali sebab iatrogen. Bila terjadi perforasi, getah penceraan akan mudah masuk ke mediastinum karena esofagus dikelilingi oleh jaringan lunak yang longga, dan akan menyebabkan mediastinitis serta sepsis. Diagnosis perforasi esofagus dapat ditegakkan apabila muncul gejala nyeri dada, febris, emfisema subkutis, atau pneumotoraks setelah dilakukan tindakan. Metode diagnostik yang cukup baik pada perforasi esofagus adalah esofagogram dengan kontras yang larut air pada posisi terlentang.



82



Terapi utama pada perforasi esofagus adalah torakatomi eksploratif kemudian melakukan pembukaan luar dari lapisan mukosa dan muskularis, dan kedua ujung perforasi harus terlihat jelas dan dilakukan penjahitan dengan benang 4/0 yang absorbable atau memakai stapler. Untuk menguatkan jahitan direkomendasi melakukan jahitan tambahan matras pada jaringan fasia atau otot. Untuk perforasi distal dilakukan torakotomi kiri, sedangan pergorasi proksimal dilakukan torakotomi kanan.



83



Perawatan paska bedah dilakukan dengan memonitor terjadinya sepsis pada 48 jam pertama.



84 85



1.6.4 Mediastinum dan perikardium



86



Mediastinum



87



Mediastinum dibagi secara menjadi :



88



- Kompartemen anterior superior : yang memanjang dari manubrium sterni hingga diafragma



89



- Kompartemen viseral (media) yang dibatasi thoracic inlet di superior dan diafragma di inferior.



90



- Kompartemen paravertebral dimulai bagian anterior korpus vertebra ke sulkus paravertebra.



91



Tumor mediastinum



92



Tumor mediastinum adalah semua massa yang ada pada struktur yang normalnya ditempati mediastinum. Jika lesi berasal dari luar mediastinum atau vaskuler maka



dianggap tumor mediastinum palsu. Pada orang dewasa lesi mediastinum terbanyak pada anterior, sedangkan pada anak lesi posterior yang terbanyak. 93



Diagnostik tumor mediastinum



94



Non Invasif



95



- Foto rontgen toraks proyeksi PA dan lateral.



96



- CT scan



97



- MRI yang dapat menentukan invasi tumor, serta untuk penderita gagal ginjal yang tidak bisa menggunakan kontras.



98



- USG untuk membedakan masa kistik dan solid



99



- Pemeriksaan nuklir untuk



beberapa kondisi seperti gangguan dari tiroid,



pheochromocytoma, atau membedakan limfoma dan lesi jinak. 100 - Pemeriksaan marker biologi dilakukan khususnya pada pasien usia muda dengan lesi di kompartemen anterior 101 Invasif 102 Dalam beberapa keadaan seperti tumor yang tidak masif, aneurisma aorta, atau tumor yang kaya pembuluh darah FNA tidak boleh dikerjakan sebelum dipastikan jenisnya karena risiko perdarahan atau penyebaran sel ganas. 103 - Biopsi insisional atau eksisional jika terdapat adenopati 104 - Fine needle aspiration 105 - Mediastinoskopi 106 - Video torakoskopi 107 - Torakotomi 108 - Sternotomi 109 Presentasi klinis tumor mediastinum 110 Lebih dari setengah lesi mediastinum asimtomatik (jinak) dan ditemukan insidentil. Pada lesi ganas dapat ditemukan gejala dan lebih cenderung terjadi pada anak. Gejala tersering adalah keluhan kardiorespirasi, rasa berat di dada, disfagia, dispnea, sindroma vena kava, hemoptisis, dan sianosis. Beberapa gejala merupakan sindroma khas seperti myastenia gravis (timoma), aplasia eritrosit, hipogamaglobunemia, penyakit Hodgkin, dan penyakit von Recklinghausen dengan neurofibroma. 111 Pembedahan 112 Tumor mediastinum dengan batas jelas dapat dilakukan pembedahan langsung tanpa didahului biopsi/FNA, dan dilakukan ekterpasi total (in-toto). Pada tumor dengan batas



tidak jelas maka diperlukan diagnostik pra bedah dengan biopsi atau FNA dan dapat dilakukan kemoterapi prabedah sebelum dilakukan eksisi total. 113 Pembedahan tumor anterior dapat dilakukan dengan sayatan anterior transsternal atau torakotomi anterior kanan atau kiri atau clam-shell incision. Pada tumor posterior dapat dilakukan torakotomi posterior. Sedangkan pada tumor tengah memerlukan torakotomi eksplorasi yang lebih luas. 114 Massa kompartemen mediastinum anterior-superior 115 1. Timoma 116 Timoma adalah neoplasma primer terbanyak yang berlokasi di kompartemen mediastinum anterior-superior. Insidens terbanyak pada dekade usia III-V. Timoma menyebabkan defisiensi dari reseptor asetilkolin yang menyebabkan ketidakmampuan dan kegagalan otot berkontraksi. 117 Gejala klinis : 118 - 25-50% asimtomatis 119 - Gejala yang sering dikeluhkan : nyeri dada yang tidak jelas, batuk, dan dyspnea 120 - Gejala konstitusi : lemah, demam, berat badan menurun, dan edema tungkai. 121 Diagnosis : 122 Foto rontgen, CT scan, dan bronkospi dapat dilakukan. Kemudian dapat dilakukan biopsi jaringan. 123 Staging Masaoka 124 Staging masaoka merupakan sistem yang digunakan hingga saat ini untuk menentukan terapi. 125 - Stage I : Berkapsul utuh secara makroskopis, tanpa adanya invasi ekstrakapsul secara mikroskopis. 126 - Stage IIa



: Invasi secara makroskopis ke mediastinal fat atau pleura



127 - Stage IIb



: Invasi secara mikroskopis di luar kapsul



128 - Stage III



: Invasi ke struktur/organ di dekatnya (perikardium, pembuluh darah



besar, paru) 129 - Stage IVa



: Metastasis ke pleura atau perikardium



130 - Stage IVb



: Metastasis limfogen atau hematogen



131 Tatalaksana 132 - Prinsip terapi timoma adalah pemberian AChE inhibitors, terapi imunomodulasi, dan plasmafaresis



133 - Terapi pembedahan timektomi dilakukan jika ada pembesaran kelenjar timus. Strategi timektomi berdasarkan stage adalah : 134 - Stage I : pembedahan reseksi saja 135 - Stage II : pembedahan + adjuvant therapy (50Gy radiotherapy + Cisplatin base kemoterapi) 136 - Stage III dan IV : neoadjuvant therapy (30Gy) + pembedahan + adjuvant therapy (2024Gy radioterapi + Cisplatin base kemoterapi) 137 Myastenia gravis 138 Myastenia gravis atau MG adalah kelainan autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR). MG lebih banyak terjadi pada peremuan dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Gejala MG akan berkurang atau hilang apabila jaringan timus dibuang dengan pembedahan. 139 Presentasi Klinis 140 Gejala utama dari MG adalaha kelemahan otot yang terbagi menjadi 4 grade oleh Osserman. Diagnosis dapat ditegakkan melalui tes exercise otot okular dan bulbar yang mengalami kelemahan dan membaik jika beristirahat, setelah itu pasien disuntikkan 8 mg edrophonium secara IV dan akan terjadi perbaikan yang nyata dari kelemahan otot mata. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah repetitive nerve stimulation, antibodi antireseptor asetilkolin, atau EMG. 141 Tatalaksana 142 - Obat asetilkolinesterase untuk meningkatkan jumlah asetilkolin pada NMJ, namun tidak mempengaruhi perjalan penyakit. Obat yang sering digunakan adalah piridostigmin. 143 - Short term immunotherapy 144 - Plasmafaresis untuk membuang antibodi AchR dari peredaran darah dan dapat bertahan selama beberapa minggu hingga 2 bulan. Indikasi dilakukan plasmafaresis adalah myastenial krisis atau persiapan operasi. Myastenial krisis : dilakukan 2-3 kali seminggu dalam 2 minggu. Persiapan operasi : dilakukan 1-2 kali beberapa hari sebelum jadwal operasi. 145 - Imunoglobulin intravena 146 - Long term imunoterapi seperti pemberian steroid oral yaitu prednison dengan dosis ditingkatkan bertahap hingga 60 mg/hari selama 1 tahun sebelum dipikirkan untuk timektomi lalu ditappering off.



147 - Tatalaksana Bedah : Timektomi diindikasi untuk semua pasien MG berdasarkan pertimbangan epidemiologi dimana terjadi perbaikan gejala MG setelah dilakukan timektomi. Timektomi tidak boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Terdapat beberapa prosedur timektomi



yaitu simpel (reseksi timus), extended (reseksi timus+jaringan



lemak di mediastinum anterior), dan radical (reseksi timus+seluruh jaringan lemak mediastinum termasuk skeletonized pembuluh darah besar dan struktur lain). 148 Limfoma 149 Limfoma adalah jenis tumor terbanyak dari lesi mediastinum, namun sebagian besar sekunder dari kelainan sistemik (Hodgkin, non-Hodgkin, dan limfoblastik limfoma) dan hanya 10% yang merupakan tumor primer. Insiden tertinggi didapatkan pada dekade ke III dan IV, dan lebih sering pada wanita. Agresifitas limfoma tergantung pada grade histologinya. Pada dewasa predominan grade low-intermediate, sedangkan pada anak predominan limfoma non-Hodgkin high grade. 150 Presentasi Klinis 151 Gejala yang muncul berdasarkan ukuran dan lokasi tumor. Gejala kompresi seperti nyeri dada, rasa penuh, nafas pendek, atau batuk dapat dialami pada lesi besar. Demam, keringat malam, menggigil, dan malaise juga dapat ditemukan. Sindroma vena kava superior juga sering didapatkan pada 60% pasien limfoma. 152 Tatalaksana 153 Pembedahan pada limfoma dilakukan untuk pemastian diagnosis seperti biopsi kelenjar servikal, sternotomi, torakotomi, VATS, atau mediastinoskopi. Tatalaksana pilihan untuk limfoma berdasarkan jenisnya : 154 - Limfoma Hodgkin : kemoterapi regimen MOPP, atau ABVD 155 - Limfoma Non Hodgkin : regimen CHOP dengan tambahan radioterapi. 156 Castleman’s disease 157 Castleman’s disease adalah kelainan dimana terjadi proliferasi limfoid tanpa etiologi yang jelas. Manifestasi klinisnya dapat berupa terlokalisasi pada 90% pasien, dan multisentris. Gejala yang dialami berupa demam, fatigue, berat turun, dan anemia hemolitik. Pada tipe multisentris gejala lebih berat seperti limfadenopati generalisata dan hepatosplenomegali. 158 Diagnostik 159 Pemeriksaan CT scan dapat ditemukan massa di mediastinum yang umumnya dikelilingi limfadenopati. Pemeriksaan biopsi jaringan eksisional juga sangat penting untuk memastikan diagnosis.



160 Tatalaksana 161 - Tipe terlokalisasi : Pembedahan eksisional 162 - Tipe multisentris : kemoterapi agresif 163 Tumor sel germinal 164 Tumor sel germinal merupakan 10-15% dari seluruh tumor mediastinum. Tumor maligna terutama ditemukan pada pria pada dekade ketiga usia, sedangkan tumor matur ditemukan berimbang. Klasifikasi tumor germinal terbagi 3 yaitu teratoma yang umumnya jinak, lalu seminoma dan non- seminoma yang bersifat maligna. 165 Teratoma 166 Angka kejadian teratoma berimbang pada pria dan wanita, dan merupakan 60% dari tumor sel germinal mediastinum. Tumor ini dapat berisi jaringan kulit, tulang, kartilago atau jaringan neruovaskuler. Sepertiga dari pasien asimtomatik, namun dapat bergejala jika terjadi infeksi pada tumor dan sebagian isi kista keluar ke rongga pleura, perikardium, atau bronkus. Demam, nyeri dada, dan dyspnea juga dapat terjadi. Diagnostik dengan pemeriksaan radiologi dapat ditemukan kalsifikasi berbentuk gigi, tulang, atau rambut. Tatalaksana pilihan dalah pembedahan saja. 167 Seminoma 168 Seminoma merupakan 40-50% dari seluruh tumor sel germinal ganas yang lebih sering terjadi pria dan terjadi pada usia ketiga atau keempat. Gejala yang sering dikeluhkan adalah nyeri, dyspnea, dan batuk. Diagnostik seminoma dapat dilakukan pemeriksaan tumor marker. Kadar b-HCG dan alfaprotein normal pada sebagian besar pasien dan sedikit yang meningkat. Seminoma tumbuh lambat dan jarang bermetastasis serta sangat sensitif dengan radioterapi. Tatalaksana seminoma bergantung pada metastasis. Seminoma tanpa metastasis dilakukan pembedahan reseksi dan dilanjutkan radioterapi, sedangkan seminoma dengan metastasis dilakukan kemoterapi berbasis cisplatin dan dilanjutkan pembedahan untuk mengangkat sisa massa tumor. 169 Non seminoma 170 Insiden non seminoma lebih banyak terjadi pada pria muda (20-40 tahun) dan lebih sedikit dibanding seminoma. Tumor tumbuh sangat cepat. Gejala yang dirasakan berupa nyeri dada, dyspnea, batuk, demam, malaise, penurunan berat badan, serta gejala penekanan pada organ di dekatnya. 85-95% penderita datang dengan metastasis saat datang. Diagnostik dengan pemeriksaan kadar b-HCG mengalami kenaikan >500 mg/ml, dan alfafetoprotein juga dapat meningkat. Dengan pemeriksaan CT scan dapat ditemukan gambaran massa tumor mediastinum anterior dengan densitas heterogen.



Tatalaksana pilihan adalah kemoterapi berbasis cisplatin, dan dapat diberikan radioterapi, diikuti pembedahan untuk mengangkat tumor sisa. 171 Massa kompartemen media 172 Kista bronkogenik 173 Kista bronkogenik merupakan lesi tersering pada kelompok tumor kistik mediastinum. Lokasi kista terutama pada daerah dekat trakea, bronkus utama, dan karina. Kista bronkogenik umumnya bersifat jinak. Diagnostik dengan pemeriksaan CT scan dapat ditemukan lesi hipodens di mediastinum media. Terapi utama kista bronkogenik adalah pembedahan reseksi. Indikasi dilakukanya reseksi jika didapatkan gejala penekanan, infeksi pada kista, atau diagnostik. 174 Kista esofagal 175 Kista esofagal adalah lesi kistik yang tumbuh pada jaringan para esofagus. Jarang didapatkan hubungan dengan lumen esofagus. Diagnosis melalui pemeriksaan CT scan atau EUS. Terapi adalah tindakan pembedahan reseksi. 176 Kista neuroenterik 177 Kista neuroenterik terjadi pada 5-10% kista yang berasal dari foregut dan berkaitan dengan kelainan kongenital pada vertebra. Kista neuroenterik terdiri atas elemen ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Umumnya muncul pada bayi berusia kurang dari 1 tahun. Diagnosis ditegakan melalui CT scan dapat ditemukan gambaran massa kistik pada mediastinum yang disertai kelainan vertebra. Tatalaksana adalah tindakan pembedahan reseksi. 178 Lesi kompartemen posterior 179 Tumor neurogenik 180 Tumor neurogenik berasal dari jaringan embrional sel kritsta yang ditemukan pada sekeliling ganglia spinalis. Tumor neurogenik terutama terjadi pada anak-anak dan 50% merupakan lesi maligna. Sedangkan pada dewasa hanya 15% yang bersifat ganas. Hampir semua tumor berlokasi pada sulkus paravertebralis dan menempel pada nervus interkostalis. Gejala sebagian besar pasien asimtomatis, kemudian nyeri dada, batuk atau suara serak akibat penekanan tumor pada syaraf di dekatnya. Diagnostik dapat diketahui dengan pemeriksaan rontgen, CT scan didapatkan massa bulat dengan densitas homogen di samping vertebrae, dan pemeriksaan MRI untuk melihat invasi tumor ke foramen neuralis. 181 Neurofibroma/Neurilemoma (Schwannoma)



182 Tumor selubung syaraf terdiri dari neurofibroma dan schwannoma. Tumor selubung syaraf sering disertai dengan neurofibromatosis multipel (penyakit von Recklinghausen) pada 25-40%. Sebagian besar tumor bersifat jinak, dan dapat terjadi transformasi keganasan pada sebagian kecil. Diagnostik dapat dilakukan pemeriksaan rontgen toraks, CT scan, dan MRI. Tatalaksana pada tumor selubung syaraf adalah operasi reseksi, dan jika terdapat invasi intraspinalis dilakukan operasi dengan dokter bedah syaraf dan radioterapi paska operasi. 183 Lesi mediastinum lainnya 184 Feokromositoma 185 Feokromositoma tidak menimbulkan gejala penekanan, namun didapatkan gejala hipertensi, diabetes, dan hipermetabolisme karena sifat tumor yang menghasilkan epinefrin dan/atau norepinefrin. Diagnostik dengan pemeriksaan laboratorium urin didapatkan kadar epinefrin > 50 mg/24 jam, kadar vanilylmandelic acid >2-9 mg/dL; atau kadar norepinefrin >150 mikrogram/24 jam. Pemeriksaan CT scan penting dilakukan karena dengan foto rontgen seringkali tidak ditemukan massa. Tatalaksana pilihan adalah pembedahan reseksi dan sebelum operasi diberikan terapi medikamentosa alfablocker, dan betablocker selama 1-2 minggu. 186 Tiroid substernal 187 Tiroid substernal adalah kelainan dimana tiroid terletak ektopik pada substernal. Umumnya tiroid substernal merupakan ekstensi massa tiroid di leher. Pada 2/3 penderita mengeluhkan massa pada leher bagian bawah yang tidak menimbulkan gejala. Dyspnea dan disfagia juga dapat dikeluhkan. Diagnostik



dengan pemeriksaan foto rontgen



servikal proyeksi PA dan lateral, CT scan, dan thyroid scan. Tatalaksana pilihan adalah pembedahan reseksi/eksterpasi dengan insisi servikal. 188 Mediastinitis 189 Mediastinitis adalah infeksi yang terjadi pada mediastinum. Etiologi dapat berasal dari infeksi descending, infeksi paskaoperasi, atau pasca trauma. 190 Mediastinitis akut pasca operasi 191 Mediastinitis pasca operasi sternotomi terjadi pada 0,5-3% pasien operasi jantung. Bakteri patogen utama dalah S.epidermidis dan S.aureus. Diagnostik dapat ditemukan instabilitas sternum, luka operasi terinfeksi melalui pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan tanda infeksi dapat ditemukan demam, takikardi, dan leukositosis. Diagnosis pasti dapat dilakukan aspirasi pus pada substernal. Tatalaksana mediastinitis dilakukan dengan langkah (1) primary debridement and closure jika tidak ada infeksi sistemik dan fokus



infeksi, (2) delayed primary closure jika sternum viable tapi subkutan tidak, (3) penutupan dengan flap jika sternum tidak viable, dan (4) pemberian antibiorik selama 68 minggu. 192 Sindroma vena kava superior 193 Sindroma vena kava superior terjadi ketika terdapat obstruksi vena kava superior akibat kompresi eksternal, invasi direk, atau trombosis. Penyebab utama obstruksi terbanyak adalah massa maligna dengan jenis tumor tersering adalah karsinoma bronkogenik. Presentasi klinik dapat berupa gejala edema, batuk, dyspnea, orthopnea, wajah sianotik, suara serak, stridor, disfagia, kongesti nasal, dan sakit kepala dan memberat dengan berbaring, membaik dengan posisi tegak. Diagnosis SVKS cukup dipastikan melalui tanda-tanda bendungan vena kava superior. Pemeriksaan CT scan, venografi, serta biopsi tumor juga dapat dilakukan. 194 Modalitas Terapi 195 - Terapi konservatif (simtomatis) 196 - Radioterapi : terapi pilihan untuk SVKS yang disebabkan karsinoma bronkogenik dan limfoma. 197 - Kemoterapi atau kombinasi dengan radioterapi pada SCLC atau limfoma. 198 - Pembedahan bypass pada jenis massa tumor jinak. 199 - Intervensi endovaskuler dengan pemasangan stent intraluminal melewati obstruksi. 200 Perikardium 201 Perikardium adalah kantong dua lapis yang melapisi jantung yaitu perikardium viseral dan parietal yang saling berhubungan dan diantaranya terbentuk rongga perikardium. Dalam kondisi normal sejumlah kecil cairan (5-50 ml) memisahkan kedua lapisan ini. 202 Efusi perikardium 203 Efusi perikardium adalah penumpukan cairan dalam rongga perikardium dapat berupa transudat, eksudat, atau darah. Etiologi efusi dapat bermacam-macam dan keganasan adalah kausa utama. Gejala klinis yang terjadi pada efusi perikardium adalah akibat gangguan venous return dan pengisian ventrikel sehingga terjadi penurunan CO, dan hipotensi atau dikenal tamponade jantung. Gejala yang dapat ditemukan berupa dyspnea, batu, orthopnea, dan nyeri dada. Trias Beck untuk tamponade jantung yaitu hipotensi, distensi vena jugular, dan bunyi jantung menjauh. Diagnostik dapat dilakukan dengan pemeriksaan EKG, rontgen toraks, ekokardiografi, CT scan, dan MRI. Tatalaksana darurat dari efusi perikard yang sering dilakukan dalah subxyphoid pericardial window,



namun pada dasarnya mayoritas dapat sembuh sendiri, dan pada efusi yang berulang dan persisten dianjurkan melakukan perikardial sklerosis. 204 Perikarditis konstriktif 205 Perikarditis konstriktif merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh proses inflamasi kedua perikardium, dan menyebabkan penebalan perikardium yang kemudian meneka ventrikel. Semua hal yang dapat menyebabkan perikarditis akut dapat menyebabkan perikarditis konstriktif kecuali demam rematik. Gejala klinis baru timbul beberapa tahun setelah fase akut. Gejala yang paling sering adalah fatigue disertai dyspnea atau orthopnea. Dari pemeriksaan fisik dapat didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali dengan atau tanpa edema perifer, serta efusi pleura. Diagnostik yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan protein darah, foto toraks, EKG, ekokardiografi, kateterisasi jantung, CT scan, dan MRI. Tatalaksana perikarditis konstriktif adalah tatalaksana konservatif sesuai penyebab, diuretik dosis kecil, analgetik, dan pembatasan aktivitas. Untuk terapi definitif dapat dilakukan perikardiektomi. 206 Kista & lipoma perikardium 207 Kista perikardium adalah keadaan dimana pada perikardium terdapat kantongan berisi cairan perikardium atau dapat juga mengalami degenerasi lipomatous menjadi lipoma perikardium. Gejala klinis hanya berupa keluhan penekanan bila tidur miring atau berubah gerakan. Tatalaksana tumor jinak adalah dengan pembedahan eksterpasi. 208 1.6.5 Penyakit paru kongenital 209 Emfisema lobar kongenital 210 Emfisema lobar kongenital adalah kelainan kongenital paru terbanyak dari seluruh kelainan kongenital paru. Hal ini terjadi akibat obstruksi katup satu arah pada bronkus segmental atau lobar yang menghasilkan inflasi dan terperangkapnya udara di bagian distal sehingga terjadi ekspansi rongga udara pada segmen atau lobus paru. Area predileksi pada lobus superior kiri. Gejala yang dialami bervariasi, mulai dari gejala minimal karena kompensasi hingga distres nafas beberapa hari setelah lahir. Diagnostik emfisema kongenital sudah cukup sebagai konfirmasi melalui pemeriksaan foto rontgen dan didapatkan area radiolusen serta mediastinal shift ke kontralateral. CT scan dapat dilakukan untuk memperlihatkan faktor kausa, dan bronkoskopi diagnotik bila dicurigai akibat jeratan pembuluh darah. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah intervensi bedah lobektomi pada kasus yang mengancam nyawa. Jika etiologinya adalah kelainan



kardiovaskuler maka dilakukan koreksi jantung kongenital, dan dilanutkan reseksi area emfisema jika tidak membaik. 211 Kista paru kongenital 212 Kista paru kongenital terjadi karena terperangkapnya sebagian jaringan paru dan bronkus sejak pertumbuhan. Biasanya terjadi lebih sering unilateral, pada lobus di sebelah bawah. Diameter kista >1 cm, lokasi di perifer paru dan selalu mempunyai hubungan dengan struktur trakeobronkial. Manifestasi klinis berupa distres pernafasan, infeksi, dan sepsis sejak kecil. Diagnostik yang dapat dilakukan adalah foto rontgen tegak akan ditemukan lesi kistik yang masih berhubungan dengan saluran nafas, berisi cairan/pus (air fluid level), dan dapat terlihat gambaran penumonia di sekitar kista. Tatalaksana definitif adalah tindakan operasi. Bayi yang tidak memiliki manifestasi berat dapat ditunggu selama satu tahun. Prosedur reseksi yang dianjurkan adalah lobektomi yang didahului dengan drainase kista dengan WSD. 213 Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM) 214 CCAM adalah tumor jinak paru yang terdiri atas displasia bronkiolus akibat pertumbuhan mesenkimal abnormal yang terjadi pada minggu I-VI usia gestasi. Hampir seluruh CCAM terjadi pada satu lobus dan predileksi pada lobus bawah. Terdapat 3 tipe CCAM berdasarkan ukuran kista yaitu makrositik, mix, dan mikrositik. Gejala tersering pada CCAM adalah distres nafas akibat kompresi paru normal dan hipoplasi jaringan paru sekitar defek, mediastinal shifting ke kontralateral dapat terjadi sehingga dapat menyebabkan



distres



kardiorespirasi.



Dalam



kandungan



CCAM



juga



dapat



menyebabkan hydrops paru. Bayi dengan CCAM besar selalu mengalami distres pernafasan, sedangkan CCAM kecil mungkin tidak ditemukan distres pernafasan namun dapat mengalami infeksi pernafasan berulang, feeding problem, keterbatasan aktivitas, dan gagal tumbuh. Diagnostik CCAM dapat dideteksi dengan USG kehamilan, foto rontgen dada, dan CT scan. Tatalaksana dilakukan dengan tindakan bedah reseksi dengan lobektomi meskipun tidak menunjukkan gejala. Pada bayi dengan CCAM berat dan disertai hidrops paru dapat diberikan pilihan terapi berupa intervensi saat janin, terminasi kehamilan, atau tidak diberikan terapi. 215 Sekuestrasi Paru 216 Sekuestrasi paru adalah kelainan kongenital dimana terdapat massa paru embrional yang tidak berfungsi. Suplai darah massa paling sering berasal dari cabang aorta abdominalis, Biasa terjadi pada lobus bawah dan bersifat unilobar. Terdapat dua macam SP yaitu ekstralobar yang terpisah dari jaringan paru, dan intralobar yang berada di dalam



parenkim paru. Gejala klinis yang terjadi yaitu batu kronis, pneumonia berulang, abses paru, dan hemotoraks. Diagnostik yang dapat dilakukan adalah foto rontgen didapatkan konsolidasi, dan USG dapat ditemukan pembuluh darah aberrant infradiafragma. Tatalaksana SP intralobar adalah reseksi segmental hingga pneumonektomi, dan memotong hubungan dengan trakeobronkial dan pembuluh darah. Untuk SP ekstralobar dilakukan eksisi massa dan pemotongan pembuluh darah. 217 Kista bronkogenik 218 Kista bronkogenik atau bronchogenic cyst (BC) merupakan jaringan paru nonfungsional dengan percabangan abnormal. Karakteristik bervariasi tergantung pada kapan terbentuknya saat perkembangan embrional. Gejala klinis yang sering dialami adalah infeksi, batuk, wheezing, demam, atau hemoptosis dan dapat terjadi gejala penekanan. Diagnostik didapatkan melalui pemeriksaan foto rontgen, CT scan, atau USG. Untuk membedakan BC dengan abses adalah gejala klinis yang ringan, serta gambaran radiologis yang persisten setelah antibiotik. Tatalaksana untuk BC adalah reseksi bedah melalui torakotomi, VATS, atau sternotomi. Antibiotik preoperatif dapat diberikan jika didapatkan gejala infeksi. 219 1.6.6 Kelainan diafragma 220 Hernia diafragmatika 221 Hernia diafragmatika terbagi menjadi kongenital dan dapatan. Kongenital terdiri atas Bochdalek dan Morgagni, sedangan hernia dapatan yaitu sliding hernia dan hernia paraesofagal. 222 Hernia Bochdalek 223 Hernia yang terjadi ketika didapatkan defek pada bagian posterolateral diafragma akibat kegagalan penutupan kanal pleuroperitoneal. 85% kejadian terjadi pada sisi kiri. Akan terjadi herniasi organ-organ abdomen ke rongga toraks dan mengganggu perkembangan paru (hipoplasia paru). Gejala klinis bergantung pada beratnya hipoplasia paru, jika berat dapat mengancam nyawa dalam hitungan jam-hari setelah kelahiran. Pada yang lebih ringan dapat asimtomatik hingga distres pernafasan. Diagnostik hernia dapat dideteksi dengan USG intrauterin, dan dikonfirmasi dengan rontgen didapatkan organ viscera yang berada di rongga toraks. Tatalaksana dilakukan terapi distres nafas saat lahir hingga stabil, kemudian dapat dilakukan torakotomi untuk penjahitan primer diafragma pada defek kecil, dan menggunakan postesis untuk defek yang besar. 224 Hernia Morgagni



225 Hernia yang terjadi ketika defek diafragma daerah retrosternal anterior namun kejadiannya sangat jarang. Hernia morgagni lebih sering terjadi pada sisi kanan. Gejala klinis dapat asimtomatik jika defek kecil, namun jika besar dapat terjadi distres pernafasan akibat efek penekanan massa. Diagnostik yang dapat dilakukan adalah rontgen toraks, CT scan, dan barium enema untuk mendapatkan organ yang mengalami herniasi. Tatalaksana hernia morgagni adalah dengan pembedahan dan mengembalikan organ-organ herniasi dengan ancangan yang biasa digunakan adalah abdominal. 226 Hernia hiatal/acquired 227 Hernia hiatal terjadi ketika didapatkan defek pada hiatus diafragmatikus. Terdapat dua macam hernia hiatal yaitu sliding hernia dan hernia paraesofagal. Hernia hiatal merupakan penyebab kelainan anatomi utama pada penyakit GERD. 228 Sliding Hernia 229 Hernia dimana daerah gastroesophagal junction dapat masuk (sliding) ke dalam mediastinum melalui hiatus esofagus. Normalnya gastroesophagal junction terletak di inferior hiatus, namun pada keadaan yang meningkatkan tekanan intra-abdominal seperti mengejan atau batuk, gastroesophagal junction dapat masuk ke hiatus dan berada diatas. Gejala klinis berupa refluks dari isi gaster ke bagian esofagus 1/3 distal yang menyebabkan esofagitis hingga striktur jika dalam waktu lama. Gejala-gejala GERD juga dapat terjadi. Diagnostik yang dapat dilakukan adalah barium meal 24 jam dan didapatkan



pengosongan



lambung



melambat,



pelebaran



esofagal



distal.



Cinefluorography dan esofagoskopi juga dapat dilakukan. Tatalaksana medikamentosa adalah obat-obatan anti refluks, sedangkan untuk bedah dapat dilakukan adalah fundoplikasi. 230 Hernia paraesofagal 231 Hernia yang terjadi akibat kelemahan membran frenoesofagal di sebelah anterolateral esofagus. Gejala sebagian besar pasien asimtomatik, kecuali jika terjadi komplikasi pada organ viseral yang mengalami herniasi seperti volvulus dan perdarahan. Distres pernafasan juga dapat terjadi akibat penekanan massa. Diagnostik yang dapat dilakukan dalah rontgen toraks, barium enema untuk pemastian diagnosis, endoskopi, dan fungsi esofagus. Tatalaksana utama adalah pembedahan rekonstruktif. 232 Paralisis diafragma 233 Paralisis diafragma terutama disebabkan trauma nervus frenikus setelah tindakan pembedahan. Paralisis umumnya unilateral dan akan mengakibatkan penurunan kapasitas paru. Pada orang dewasa biasanya tidak berat, namun pada anak atau bayi



dapat mengancam nyawa. Paralisis sering disertai atelektasis paru hemitoraks yang terkena. Gejala terutama adalah distres pernafasan. Diagnostik yang dapat dilakukan adalah rontgen toraks dimana tampak diafragma lebih tinggi, dan fluoroskopi juga dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis. Tatalaksana terdiri dari konservatif jika tanpa gejala, dan pembedahan plikasi diafragma jika terdapat distres pernafasan. 234 Eventerasio diafragma 235 Suatu kelainan kongenital dimana diafragma menipis karena terganggunya proses pertumbuhan serabut otot sehingga akan terjadi elevasi dari sebagian atau seluruh diafragma ke rongga toraks. Kelainan ini relatif stabil pada saat bernafas. Gejala klinis bergantung ukuran penipisan, jika luas bisa asimtomatik, namun jika luas dapat menimbulkan distres nafas ringan hingga berat. Diagnostik dapat ditegakan melalui penemuan elevasi hemidiafragma pada rontgen toraks, dan fluoroskopi. Tatalaksana terdiri atas konservatif dan pembedahan dengan plikasi diafragma. 236 Tumor diafragma 237 Tumor diafragma jarang ditemukan. Biasanya berjenis mesotelial dan umumnya jinak. Jika didapatkan gejala, hampir pasti merupakan tumor ganas dan fibrosarkoma merupakan jenis tersering. Gejala klinis yang dialami berupa nyeri saat bernafas, dan kadang disertai sesak dan batuk. Diagnostik dapat dilakukan CT scan. Tatalaksana yang dilakukan adalah wide excision dan kemudian ditutup menggunakan material membran prostesis. 238 Ruptur diafragma 239 Ruptur diafragma hampir semua diakibatkan trauma tumpul, dan sebagian kecil trauma tusuk. Ruptur diafragma lebih sering pada sisi kiri, karena efek proteksi hepar pada sisi kanan.



Trauma



tumpul



akan



menyebabkan



peningkatan



mendadak



tekanan



intraabdomen sehingga terjadi ruptur. Gejala klinis yang didapatkan adalah distres nafas, perlemahan suara nafas pada sisi terkena, terabanya organ intraabdomen pada pemasangan chest tube, bising usus pada auskultasi dada, dan gerakan paradoksal abdomen ketika bernafas. Diagnostik dapat dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, CT scan, USG, dan VATS. Tatalaksana utama adalah pembedahan dengan torakotomi jika hanya ruptur dan tidak ada perlukaan organ intra abdomen. Jika diyakini ruptur dan perlukaan organ maka dilakukan insisi torakoabdominal. Dan jika diyakini hanya perlukaan organ abdomen tanpa ruptur diafragma maka dilakukan laparotomi dahulu, kemudian jika didapatkan ruptur diafragma dilanjutkan torakotomi. 240 1.7 Teknik dasar torakotomi



241 1.7.1 Drainase kavum toraks 242 Drainase kavum toraks adalah tindakan invasif dengan memasukkan selang atau tube ke dalam rongga torask melalui ruang interkostalis untuk mengeluarkan benda-benda, udara, atau cairan yang terkumpul dala paru. 243 Indikasi pemasangan : (1) pneumotoraks >20%, (2) pneumotoraks akibat trauma, (3) hematotoraks derajat sedang-berat. (4) fluidotoraks hebat, (5) chylotoraks, (6) efusi pleura maligna, (7) emfiema toraksis yang kental, (8) abses paru, dan (9) pasca torakotomi. 244 Teknik pembedahan 245 (1) Tindakan aseptik pada lapangan operasi dan pemberian anestesi, kemudian tentukan lokasi pemasangan dren berdasarkan teknik yang digunakan, teknik Buelau atau Monaldi. 246 (2) Membebaskan jaringan bawah kulit dengan gunting jaringan hingga terdengar suara hisapan yang artinya pleura parietal sudah terbuka 247 (3) Drain dimasukkan ke arah kraniolateral kira-kira hingga ujungnya di bawah apeks pada teknik Buelau, atau masukkan ke arah kaudolateral hingga ujungnya di pertengahan rongga toraks pada teknik Monaldi. Kedudukan dren dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto rontgen. 248 (4) Dren diikat dengan benang pengikat berputar ganda dan diakhiri simpul hidup. 249 Fiksasi pipa dren pada dinding toraks



250 251 Gambar 1. fiksasi pipa dren pada dinding toraks dengan teknik plester yang mengambang 252 Pipa dren yang sudah terfiksasi diklem terlebih dahulu kemudian dihubungkan dengan sistem drenase/botol penampung. Sistem drainase atas beberapa macam, yaitu : 253 (1) Sistem satu botol dan dua botol negatif yang menciptakan tekanan negatif fisiologis pada kavum pleura sesuai dengan gerakan nafas dengan mekanisme water seal menghisap rongga pleura.



254 (2) Sistem dua botol dengan hisapan kontinu dimana tekanan negatif rongga pleura diatur dengan hisapan aktif dari pompa penghisap, dan dapat diatur besar tekanan negatifnya dalam tekanan manometer botol kedua. 255 (3) Sistem tiga botol yang merupakan gabungan sistem (1) dan (2) dimana setiap botol berfungsi dalam modus water seal. 256 (4) Sistem disposable yang merupakan sistem tiga botol untuk pemakaian sekali saja. 257 Perawatan pasien dengan drainase toraks 258 (1) Pasien diposisikan setengah duduk ±30o 259 (2) Sistem drainase dalam keadaan rapi, sehingga dapat diamati dengan jelas 260 (3) Pipa difiksasi ke tubuh 261 (4) Monitor sekret yang keluar lancar dan tidak terjadi pembuntuan 262 (5) Foto toraks AP setiap hari untuk melihat keaadaan paru dan posisi dren. 263 (6) Perhitungan jumlah sekret yang keluar tiap harinya. 264 (7) Fisioterapi nafas pasien 265 (8) Koreksi jika ada kelainan drainase 266 Pencabutan dren toraks 267 Indikasi pencabutan : (1) sekret sudah serous dan jumlahnya per 24 jam