Rangkuman Buku Prof Satya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN DAN TANGGAPAN Tentang TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI Dalam Buku HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK DI INDONESIA



Oleh : Ahmad Fajri Wibowo 1806156462 Nomor Urut : 2 Hukum Kekayaan Intelektual (Sore) Mata Kuliah : Politik Hukum Dosen : Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.



PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2019



RINGKASAN1



HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK A. Transaksi Politik Menuju Demokrasi 1. Dari



Otoritarianisme



ke



Demokrasi:



Kemunculan



Negara-Negara



Demokrasi Baru Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh militer sehingga munculah diktator. Negara-negara yang tadinya otoriter, pada akhirnya berubah menjadi demokrasi dikarenakan oleh kebosanan akan masyarakatnya yang ditindas. Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal dari dan untuk rakyat. Dalam memajukan negara yang telah beralih ke demokrasi masih harus ada rekonsiliasi dengan masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Negara totaliter merupakan negara dengan sebuah sistem politik yang melebihi bentuk kekuasaan negara, dimana negara mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat. Ada 2 (dua) rezim totaliter yang dikenal pada abad ini, yaitu : pemerintahan Nasional – Sosialisme (NAZI), Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman; dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922-1953), yang kemudian menyebar ke negara lain di Eropa Timur, Cina, Korut, dan Indocina.



Ringkasan buku “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia” halaman 97 – 246, dengan penulis Satya Arinanto 1



2. Reposisi Hubungan Sipil – Militer Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi maka diperlukan adanya suatu pemisahan hubungan antara sipil dan militer, membangun kekuasaan wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama. 3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim Sebelumnya Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut dengan transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut Solon adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk. Langkah ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemerikasaan pegadilan yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus diperhatikan. 4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer Dalam paradigma baru ada yang disebut sebaga kelompok reformis yang menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi untuk mendominasi kursi pemerintahan. Pada kenyataan



yang ada, pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil. B. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik 1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan Steven Biko adalah seorang pemimpin gerakan kulit hitam yang kharismatik, ia ditangkap di pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan di dalam pos tersebut dan kemudian meninggal dengan mulut berbusa dan penuh luka bekas pukulan di pos tersebut sekitar 1 (satu) bulan dari waktu penahanannya. Dua puluh tahun kemudian, para polisi yang berada pada pos tempat Steven Biko dianiaya meminta pengampunan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Namun, hal tersebut hanya bisa dikabulkan apabila mereka menceritakan segala tindakan mereka kepada Steven Biko. Konstitusi Transisi Afrika Selatan mengabulkan permintaan mereka dengan memperhatikan segala aspek yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan maka tidak akan ada habisnya. 2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi Sealnjutnya, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki Biko mengajukan tuntutan kepada pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum sebelum para pelaku tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan



mendalilkan bahwa kewenangan komisi untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila diberlakukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven Biko dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan jujur dan pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik. 3. Perspektif Hukum Internasional Pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, pemberian amnesti kepada pembunuh Steven Biko merupakan inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Begitu juga dengan negara-negara domestik lebih memilih penghukuman dari pada amnesti karena sudah memiliki hukum yang sah untuk menjatuhkan hukuman daripada upaya untuk pembalasan dendam. Masyarakat internasional dapat dengan sendirinya menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip inward looking versus kelompok yang mengutamakan prinsip outward looking. Outward looking adalah semua ketentuan dari badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Inward Looking adalah keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep kedaulatan negara.



C. Pengalaman Beberapa Negara 1. Beberapa Negara Amerika Latin Menurut O’Donnell ada beberapa kelompok karakteristik transisi politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan, yaitu heterogenitas yang lebih tinggi di Amerika Latin daripada Eropa Selatan, memenuhi kategori otoriterisme birokratis, dan memiliki unsur-unsur patrimonialis. 2. Beberapa Negara Non-Amerika Latin Di Yunani, pada tanggal 21 April 1967 suatu kelompok perwira militer tingkat menengah yang disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana menteri George Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan mengembalikan Yunani ke arah demokrasi. Di Spanyol, pada tahun 1939 Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara totaliter dengan tujuan untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat. Namun, pada tahun 1980-an, rezim totaliter di Spanyol tersebut diganti dengan rezim yang demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. KEADILAN TRANSISIONAL A. Pengantar 1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru Masyarakat demokrasi yang baru berusaha untuk memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun. Timbul pertanyaan apakah



masyarakat menghukum penguasanya yang lama atau membiarkannya. Namun, biasanya beberapa bangsa hanya menutup mata terhadap masa lalunya yang kacau. Menurut Daan Bronkhorst, ada beberapa hal yang perlu dibahas dalam konteks keadilan pada masa transisi, yaitu, kebenaran, rekonsiliasi, dan keadilan. Meskipun demikian, peran keadilan lebih banyak menimbulkan perdebatan dari pada kebenaran dan rekonsiliasi. Komisi-komisi pada sekitar 40 (empat puluh) negara yang dibentuk untuk menuntaskan masalah masa lalu yang otoriter menunjukan bahwa pentingnya konsepsi keadilan transisional. 2. Empat Permasalahan Utama : Politik Memori Menurut Ruti G. Teitel , jika suatu negara yang otoriter sudah berubah ke arah demokrasi maka permasalahannya sekarang adalah bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa lampau karena berkaitan dengan masa depan negara, antara lain: (1) Bagaimanakah pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya? (2) Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif? (3) Apakah – jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal? (4) Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?



3. Beberapa Wacana tentang Transitology dan Consolidology Sehubungan dengan kedua subdisiplin tersebut, Schmitter melihat adanya kemungkinan terjadinya kontradiksi di antara tahapan-tahapan dan proses perubahan rezim dan ilmu-ilmu semu yang mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Menurut Schmitter, seorang transitologis yang beralih menjadi seorang konsolidologis, secara pribadi harus membuat suatu pergeseran epistemologis agar dapat mengikuti perubahan-perubahan tingkah laku yang para aktornya sendiri sedang mengalami atau menjalaninya. Schmitter juga memberi pandangan dalam bentuk 11 (sebelas) refleksi mengenai consolidology. Sebenarnya jumlah refleksi ini dari segi gagasan pokok tidak sampai sebelas, namun jumlah tersebut menjadi sebelas setelah Schmitter melakukan pengembangan terhadap unsur-unsur sebelumnya. B. Konteks Internasional pada Waktu Transisi 1. Internasionalisasi Permasalahan Permasalahan internasionalisasi pada waktu transisi antara lain, membersihkan suatu kelompok besar dari pada mantan pejabat komunis dan kolaboratornya, dan menurut Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing didorong untuk memainkan suatu peranan baik dalam bentuk pemberian pelindungan bagi mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk diadili.



2. Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif Konsep penengah dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional. Hukum Internasional berguna untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif (azas berlaku surut). 3. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda Menurut Lawrence Weschler dalam bukunya yang membahas mengenai penyelesaian masalah dengan para penyiksa adalah secara retrospektif, penyiaran kebenaran sampai kepada tahap tertentu untuk menebus penderitaan korban bekas suatu rezim. Sedikitnya, sampai pada batasa tertentu ini adalah untuk menjawab dan menghargai para korban tersebut, yang merupakan pembuktian terbalik bagi para penyiksa yang berpura-pura untuk menuntut sesuatu. Secara prospektif, penyiaraan kebenaran menggunakan banyak cara yang halus dalam hal menuntut paar pelaku kejahatan kemanusiaan. 4. UU Lustrasi Cekoslovakia Pada bulan Februari 1948 Cekoslovakia, komunis melakukan atau mendesak pemerintahan koalisi untuk mundur dan komunis mengambil kekuasaan tersebut. Rezim komunis mengambil kekuasaan tersebut. Rezim komunis di Cekoslovakia tersebut memaksakan suatu sistem pemerintahan yang sama dengan Uni Soviet dimana partai melakukan kontrol terhadap negara. Pada tahun 1950-an, kelompok Nasionalis Borjuis membersihkan pemerintahan



negaranya dari komunis dan para pengikutnya, lebih dari 100.000 (seratus ribu) tahanan politik dipenjara dan dipekerjakan di kamp-kamp perburuhan dan sisanya ada yang dibunuh oleh kekuatan pemerintah yang berkuasa. Proses transisi di Negara ini menggunakan sistem Uni Soviet juga. Namun, perekonomian ambruk lalu program ekonomi yang baru pun didiskusikan. Lalu pada Januari 1968 terjadilah reformasi demokrasi dan ekonomi tapi usaha tersebut sia-sia dikarenakan Cekoslovakia kembali diduduki oleh rezim komunis yaitu Uni Soviet, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, dan Bulgaria yang menginvasi mereka. Paham komunis kembali diberlakukan di negara tersebut. Hal tersebut mengakibatkan munculnya pemerintahan baru yang dengan cepat melawan warisan-warisan ketidakadilan dari rezim komunis. Pada tanggal 4 Oktober 1991 diberlakukanlah Law on Lustration. Yang bertujuan untuk mengungkapkan



kasus



100,000



(seratus



ribu)



tahanan



politik



yang



diidentifikasikan komunis dan memberikan amnesti kepada 200,000 (dua ratus ribu) orang lainnya. Law on Lustration selanjutnya di review kembali di Mahkamah Konstitusi Cekoslovakia atas kritikan dari ILO (International Labor Organization) karena telah melanggar undang-undang tersebut. Dalam hal lustrasi ini Uhde menyatakan bahwa tingkat pelanggaran dan kejahatan yang telah dilakukan melawan hak, hak asasi manusia, dan kehidupan menjadi lebih tinggi dari pada beberapa hukum yang akan menyelesaikannya.



5. Akibat yang Lebih Signifikan dan Empat Skenario Pascakomunis Empat skenario pascakomunis, antara lain; (1) suatu negara pascakomunis secara gradual bertransformasi menjadi suatu negara demokrasi pluralis yang stabil; (2) Dari suatu sistem otoritarian; (3) skenario ketiga secara esensial tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana pemerintah berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah; (4) skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnnya dideskripsikan. Skenario-skenario ini ditetapkan adalah dengan tujuan agar sebagai pengelompokan negara-negara komunis, dikarenakan ada lebih dari 30 (tiga puluh) negara yang pernah mengalami rezim otoriter (komunis) jadi tidak mungkin dilakukan penelitian terhadap negara-negara tersebut. C. Keadilan dalam Masa Transisi Politik 1. Pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat dua pandangan yang saling berhadapan. Yakni, pandangan kelompok realis versus kelompok idealis, dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang pembangunan demokrasi. Keadilan transisional adalah keadilan yang diasosiasikan dengan konteks ini dan keadaan-keadaan politik. Transisi mengimplikasikan pergeseran-pergeseran paradigma dalam konsepsi keadilan. Karenanya, fungsi hukum menjadi secara mendalam dan secara inheren berlawanan azas (paradoxical).



2. Hukum Hanyalah Suatu Produk dari Perubahan Politik Pengistimewaan terhadap salah satu urutan pelaksanan pembangunan didasarkan pada adanya bias disiplin atau generalisasi dari pengalamanpengalaman nasional tertentu terhadap norma-norma universal. Karenanya hal ini terdapat di dalam teori politik dimana pandangan yang dominan tentang bagaimana transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan dimana perubahan politik harus dilakukan terlebih dahulu. Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam konteks penyeimbangan kekuasaan. Hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik. Suatu negara apabila kondisi politiknya berubah maka hukumnya akan berubah juga. Jadi hukum adalah suatu alat untuk melegitimasi kekuasaan. Berbagai kepentingan menjadi satu dan kepentingan nasional lah yang ada pada suatu hukum. 3. Tergantung pada Hubungan Antara Hukum dan Politik Dalam penyusunan teori liberal, yang dominan dalam hukum internasional dan politik, hukum pada umumnya dipahamis sebagai mengikuti konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik. Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebagaiman kelompok realis menekankan pada kalian yanng erat antara hubungan hukum dan politik. Menurut Moh.



Mahfud



Mahmudin,



di



Indonesia



berdasarkan



penelitiannya



menyimpulkan bahwa ada intervensi antara politik terhadap hukum. dalam



realitanya, hukum tidak steril dalam pembentukannya. Politik sering berperan dalam pembuatan dan pelaksanaannya. D. Dilema Penerapan Aturan Hukum 1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan Pada masa transisi politik timbul suatu dilema dalam hal penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan pada rezim yang menggantikan. Pertanyaan yang muncul adalah dalam hal apa yang membawa rezim masa lalu ke pengadilan. Dalam periode ini, mahkamah-mahkamah konstitusi (constitutional courts) yang baru didirikan telah memikul bebas institusional yaitu bagaimana menetapkan suatu sistem hukum yang rule of law. Dalam beberapa konteks berpindah kepengadilan, terutama pada mahkamah-mahkamah konstitusi. 2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para Mantan Kolaborator Nazi Di jerman ada 2 (dua) ahli hukum yang saling bertolak belakang dalam hal penghukuman terhadap para mantan kolaborator Nazi, yaitu: Hart dan Fueller. Hart menganut aliran positivisme hukum yang menyatakan bahwa seluruh hukum yang masih berlaku wajib dilaksanakan sebelum ada ketentuan-ketentuan hukum baru. Jadi, walaupun tidak bermoral tetap harus dijalankan. Sedangkan menurut Fueller peraturan yang menghukum para Nazi tersebut adalah hukum yang baru dibuat berdasarkan demokrasi karena putusnya hubungan dengan rezim otoriter maka putus pula hubungan hukum Nazi tersebut. Penyelesaian



masalahnya, akhirnya pemerintahan Jerman memakai cara Fueller untuk menghukum para kolaborator Nazi tersebut.



TANGGAPAN



Setelah saya membaca buku Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia khususnya sub-bab Transisi Politik Menuju Demokrasi pada dasarnya hal tersebut tidak terelepas pada HAM dan bagaimana penyelesaiannya. Terdapat 2 (dua) hukum dalam menghukum para pelaku kejahatan tersebut antara lain adalah hukum yang berlaku pada zaman rezim tersebut berkuasa dan hukum yang baru dibuat pada masa transisi.2 Terdapat beberapa hal yang memicu perubahan dari negara totaliter menjadi negara demokratis yaitu diantaranya (1) terjadinya penguatan kelompok reformis sehingga mendorong pemerintah negara menjadi demokratis (2) adanya negosiasi antara rezim berkuasa dengan kelompok oposisi (3) adanya campur tangan dari Amerika Serikat dalam menjatuhkan rezim otoriter dan menggantikannya dengan pemimpin baru yang demokratis dan dipilih rakyat. Demokrasi sejatinya adalah terselenggaranya pemerintahan sebuah negara yang kedaulatannya bersumber dari rakyat, dikelola oleh rakyat dan bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.3 Namun, untuk memenuhi tujuan untuk menjadi negara demokrasi tidaklah mudah, karena pada dasarnya perubahaan tersebut membutuhkan waku yang tidak singkat dan juga sangat berketergantungan pada partisipasi



2



Satya Arinanto, Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. 4. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm. 241 3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982), hlm. 50.



masyarakat. Pada masa peruban seperti ini pada umumnya juga terjadi banyak masalah, diantaranya benturan masyarakat sipil dan penguasa. Namun benturan tersebut biasanya akan menimbulkan gerakan solidaritas masyarakat yang tinggi untuk mencapai tujuan sebagai negara yang demokratis. Hal tersebut selaras dengan apa yang pernah disampaikan Jimly Ashidiqie, yaitu Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.4 Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu sama lain. Tidak ada rezim otoritarian yang bisa dianggap monolitik, dan juga tidak ada kekuatan-kekuatan lainnya yang memperjuangkan demokrasi yang dapat dianggap seperti itu. Perbedaan-perbedaan dapat ditarik antara demokrasi dan poliarki, antara demokratisasi dan liberalisasi, antara transisi dengan konsolidasi, antara kaum garis-keras dengan kaum garis-lunak atau para



4



10.



Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm.



akomodasionis dalam koalisi otoritarian, dan antara kaum maksimalis, moderat dan oportunis dalam koalisi yang mendukung liberalisasi.5 Dalam catatan tambahan perkuliahan politik hukum oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., mengenai Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, bahwa dalam konteks hukum, masalah transisi ini antara lain memunculkan terminologi transitional justice (keadilan transisional). Keadilan transisional adalah keadilan dalam masa transisi politik. Dalam perspektik Ruti G. Teitel, konsepsi keadilan dalam periode bersifat luar biasa dan konstrukti. Hal ini secara bergantian dibentuk oleh, dan merupakan inti dari, transisi politik. Konsepsi keadilan yang timbul bersifat kontekstual dan parsial. Apa yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang adil bersifat tidak pasti dan dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang dan hal ini didasarkan atas informasi dari ketidakadilan sebelumnya. Respon-respon terhadap pemerintahan yang represif memberikan arti terhadap rule of law.6 Dengan berbagai cara, HAM telah menjadi pusat dari revolusi demokratis yang telah menyentuh setiap bagian dari belahan dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Walaupun arus demokrasi telah mengalir dengan cepat, demokrasi-demokrasi yang muncul masih menghadapi hambatan-hambatan yang menakutkan dalam menegakkan aturan-aturan hukum dan membentuk jaminan yang kokoh terhadap HAM. Pemerintahan-pemerintahan yang demokratis ini seringkali merupakan ahli waris dari



5 6



Satya Arinanto,Op.Cit., hlm. 101-102 Ruti G. Teitel, Transitional Justice, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 6.



rezim-rezim diktator yang mempraktekkan berbagai pelanggaran HAM berat seperti eksekusi di luar hukum, orang hilang, penyiksaan sistematis, dan penahanan rahasia.7 Problematika yang dihadapi oleh negara-negara demokratis baru ini adalah bagaimana mereka harus memperlakukan pihak-pihak yang telah melakukan berbagai kejahatan tersebut dalam rezim yang lama. Kesulitan yang muncul dalam mencapai suatu solusi yang adil yang dapat diterima oleh masyarakat yang telah lama menderita dan yang mengarahkan kepada kedua pihak, baik pihak yang melakukan pembunuhan maupun pihak yang menutup-nutupi perbuatan tersebut. Bagaimanapun pedihnya penderitaan para korban yang kemudian membuat mereka menuntut keadilan, para pengambil keputusan tetap harus menimbang-nimbang resiko untuk memulai suatu proses yang bisa menakutkan pihak militer atau kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kaitan dengan orde sebelumnya sangat berpotensi untuk merusak transisi politik menuju demokrasi.8 Transisi bermakna peralihan. Yang dimaksud dengan peralihan adalah adanya perubahan dari keadaan tertentu menuju keadaan lain yang dicita-citakan atau diharapkan. Transisi selalu dihubungkan dengan demokrasi, yang berarti adanya sebuah peralihan dalam upaya menciptakan kondisi negara yang tidak atau kurang menjunjung tinggi demokrasi menuju keadaan yang lebih mengedepankan atau menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Negara yang menjunjung tinggi



Jamal Benomar, “Justice After Transition”, dalam Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations, (Washington D.C: United States Institute of Peace Press, 1995), hlm. 32. 8 Ibid., 7



demokrasi menurut Schumpeter adalah di mana untuk mencapai keputusan politik, yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.9 Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Scmitter berpendapat bahwa transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim yang lain. Transisi dibatasi oleh dimulainya proses perpecahan rezim autoritarian oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan beberapa alterntif revolusioner.10 Pada tahun 1998 Indonesia mengalami masa reformasi, sebelumnya selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto yang dinilai otoriter. Melalui gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa, pada akhirnya pemerintahan orde baru jatuh. Jatuhnya pemerintahan orde baru ini membawa korban yang tidak sedikit, akan tetapi realtif lebih mulus dibandingkan tumbangnya rezim-rezim otoriter di negaranegara lain yang seringkali menimbulkan revolusi dan pertumpahan darah serta



9



Samuel P. Hunington, Gelombang Demokratiasi Ketiga, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001) hlm. 4-5 10 O’Donnell, Guillermo, Dkk, (eds) terj., Transisi Menuju Demokrasi: Tujuan Berbagai Persepektif, (Jakarta: LP3ES, 1993) hlm. 6 Merekea juga menilai, sudah jadi ciri masa kini yakni tidak menentunya aturan main politik. Hal itu disebabkan bukan hanya aturan itu berubah terus menerus dalam masa transisi itu tetapi juga karena aturan main itu dipertarungkan antara elite politik. Menurut mereka, selama masa transisi bila memang ada aturan-aturan yang efektif, cenderung berada dalam genggaman pemerintah otoriter. Biasanya, penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya untuk menentukan aturan dan hak-hak yang dalam kondisi demokrasi yang mantap dipagari oleh perundang-undangan. Oleh karena itu, penguasa akan berusaha memodifikasi aturan itu demi kepentingan dirinya. Dalam ketidakpastian inilah menurut Schmitter, banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan. Muncullah politisi-politisi instan yang berkarakter pragmatis kaena hanya ingin mendapatkan keuntungan dari kencangnya tarikantarikan kepentingan elit.



mengakibatkan perang saudara juga perpecahan seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Selatan. Reformasi tahun 1998 merupakan masa transisi di Indonesia, yang mana pada masa transasi tersebut banyak hal yang perlu dibenahi yaitu sebagai berikut: 1. Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada hukum, menetapkan pemisahan kekuasaan (kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas militer; 2. Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran, panitia pertahanan, ombudsman parlemen); 3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan seterusnya; 4. Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilan pengadilan khusus yang berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer); 5. Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas militer yang tinggi;



6. Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuan-ketentuan dasar konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya memerlukan; 7. Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan bersama (termasuk pertahanan), serta media yang bebas dan beragam; 8. Elit militer dan elite politik yang kompeten 9. Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil maupun militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi kewajiban, memikul tanggung jawab, dan menerima pembatasan-pembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut pada militer. Sebaliknya, personil militer hendaknya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dengan bangga dalam batasan-batasan hukum yang diberikan).11 Pada dasarnya kesembilan poin tersebut diatas secara bertahap telah dilakukan Indonesia pada masa transisi pasca reformasi. Akan tetapi, dibalik semua perubahan tersebut masih terdapat beberapa masalah yang sampai saat ini masih mengganjal. Seperti diantaranya yaitu adanya tuntutan dari masyarakat untuk mengadili pejabatpejabat atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan pada rezim Orde Baru yang mana masih belum tuntas seuruhnya. Penuntutan terhadap mantan Presiden



11



Dietrich Genschel, Politik Militer dalam Transisi demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kontras, 2003), hlm. 20



Soeharto atas dasar korupsi, kolusi, dan nepotisme, sampai dengan akhir hayatnya tidak dapat dijangkau oleh hukum. Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya Indonesia juga mengalami pergantuan rezim antara yang otoriter dan demokratis yang merupakan suatu kondisi transisional suatu bangsa. Secara umum, Indonesia telah berhasil melalui masa transisi dengan cukup baik. Namun, daripada itu masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang mungkin tidak akan terselesaikan khususnya permasalahan HAM dan juga KKN yang dilakukan sebelum reformasi Indonesia tahun 1998.