Buku Prof Gofar PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ABDUL GOFAR SASTRODININGRAT



NEUROSURGERY LECTURE NOTES



2012



USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://usupress.usu.ac.id  USU Press 2012 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 979 458 641 2 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Abdul Gofar Sastrodiningrat Neurosurgery Lecture Notes / Abdul Gofar Sastrodiningrat – Medan: USU Press, 2012



Chief Editor : Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K) Ilustrator : Donny Luis Ahmad Brata Rosa A Tok Cover Designer : Gatot Aji Prihartomo xiii, 928 p.: ilus. ; 29 cm. Bibliografi, Indeks. ISBN: 979-458-641-2



Percetakan: USU PRESS - MEDAN Isi buku diluar tanggung jawab percetakan Sponsor Pencetakan: PT. KALBE FARMA TBK



KATA PENGANTAR Sebaik-baik teman sepanjang waktu, adalah buku ................... Quraish Shihab



Bermula dari catatan kuliah yang diberikan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU, para perawat, residen bedah dan residen bedah saraf, dan ceramah-ceramah sejak 1985 sampai saat ini (2012) akhirnya terkumpul berbagai catatan kuliah dengan bermacam-macam judul yang semuanya berada dalam ruang lingkup Ilmu Bedah Saraf. Kumpulan kuliah ini telah memberikan inspirasi untuk merangkumnya dalam sebuah buku catatan kuliah. Sebagaimana layaknya catatan kuliah, maka buku ini jelas bukan sebuah ‘textbook’ atau buku ajar, tetapi benar-benar ‘lecture notes’ yang sumber isinya berasal dari berbagai buku ajar, jurnal-jurnal kedokteran, simposium dan kongres. Neurosurgery Lecture Notes bukanlah sebuah judul yang disengaja berbahasa Inggeris, tetapi begitulah istilah popularnya di kampus untuk menyebutkan sebuah catatan kuliah. Untuk selanjutnya dalam ‘catatan kuliah’ ini akan dipakai secara bebas istilah-istilah bahasa Inggeris yang tidak dapat diterjemahkan atau yang merupakan istilah baku yang dianut secara internasional dan memang telah dipahami benar artinya dikalangan dunia kedokteran khususnya bedah saraf di Indonesia. Terminologi dalam bahasa Inggeris ‘dibiarkan’ tetap dalam bahasa Inggeris, karena pada terjemahan yang ‘dipaksakan’ terasa sangat janggal, bahkan ada kemungkinan memberikan makna yang berbeda atau sulit diterjemahkan kembali kedalam bahasa inggeris. Oleh karena itu, beberapa judul dan sub-judul tetap dalam bahasa Inggeris, untuk memudahkan pembaca mencari bandingan kepustakaan pada buku-buku yang berbahasa Inggeris. Sejak berdirinya IPDS Ilmu Bedah Saraf di Fakultas Kedokteran USU pada akhir 2008 , telah terfikir bagaimana caranya membuat intisari dari kelompok-kelompok penyakit bedah saraf, sehingga terkumpul pengetahuan dasar ilmu bedah saraf klinik yang mutlak harus dikuasai oleh residen bedah saraf. Tabulasi Matriks Global didalam Buku Panduan yang memuat kelompok-kelompok penyakit bedah saraf telah memberikan panduan garis besar dari penyakit-penyakit yang harus dikuasai selama berlangsungnya pendidikan spesialisasi bedah saraf. Pada penulisan kembali rangkuman perkuliahan ini, sengaja diikut sertakan para residen bedah saraf sebagai kontributor-kontributor untuk mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber kepustakaan, buku ajar, jurnal ilmiah dan sumber-sumber lain di internet, agar mereka turut berkecimpung didalam ilmu yang harus mereka kuasai. Sama halnya dalam Youmans Neurological Surgery 6th edn, vol.1,2,3,4. Philadelphia : ELSEVIER SAUNDERS 2011, terdapat diantara kontributor, 2 orang Senior Resident, 11 orang Chief Resident, 66 orang Resident, dan 2 orang Medical Student. Kumpulan tulisan ini kemudian dibaca dan dikaji kembali keabsahannya dan di edit, setelah itu baru diputuskan untuk diterbitkan. Didalam buku Neurosurgery Lecture Notes ini kami mendapat sumbangan tulisan-tulisan yang sangat berharga dari kontributor – kontributor utama , para guru besar dan para spesialis bedah saraf yang telah sangat berpengalaman dalam ilmu bedah saraf. Tulisan-tulisan mereka, kami kelompokkan didalam bab ‘Advanced Topics in Neurosurgery’. Kepada kontributor-kontributor utama ini kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Dengan adanya Neurosurgery Lecture Notes ini, diharapkan semua bahan-bahan kuliah yang bersifat pengayaan pada tiap-tiap semester sudah terkumpul dalam sebuah buku, sehingga memudahkan baik bagi residen maupun bagi supervisor yang harus memberikan kuliah. iii



Rangkuman tulisan dalam ‘Neurosurgery Lectures Notes’ ini dimaksudkan untuk dipakai dikalangan sendiri, walaupun demikian kami dengan senang hati akan menerima semua saran dan kritikan dari manapun demi untuk perbaikan kualitas isi ‘Neurosurgery Lecture Notes’. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada PT. KALBE FARMA TBK yang menjadi sponsor dalam pencetakan buku ini.



Medan, April 2012



Prof.Dr.Abdul Gofar Sastrodiningrat,SpBS(K)



iv



KONTRIBUTOR UTAMA Dr. Beny Atmaja Wiryomartani, SpBS Staf Senior Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran - RSUP. Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Prof. DR. Dr. Sri Maliawan, SpBS Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah, Denpasar



Prof. DR. Dr. Zainal Muttaqien, SpBS Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro - RSUP. Dr. Kariadi, Semarang



Prof. DR. Dr. Iskandar Japardi, SpBS(K) Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Prof. Dr. Adril Arsyad Hakim, SpS., SpBS(K) Staf Senior Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



DR.Dr. Julius July, SpBS Staf Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan - RS.Siloam, Karawaci Tangerang



Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K) Ketua Program Studi Ilmu Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Rr. Suzy Indharty, Mkes., SpBS Staf Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



v



KONTRIBUTOR Dr. Sony G.R. Saragih Chief Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr.Sabri Ibrahim Senior Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Donny Luis Senior Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Gatot Aji Prihartomo Senior Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Muhammad Chairul Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Michael Norman Jusman Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Ahmad Brata Rosa Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Disfahan Sinulingga Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Andre Marolop Siahaan Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan vi



Dr. Thomas Tommy Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Ade Ricky Harahap Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Muhammad Fadhli Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Abdurrahman Mouza Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Alvin Abrar Harahap Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Steven Tandean Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Marsal Risfandi Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. T. Yose Mahmuddin Akbar Resident Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP.H.Adam Malik, Medan



vii



To my wife and my son Dr.Muhammad Ichsan Sastrodiningrat, and my Residents who had carried the message



viii



DAFTAR ISI PART I: ADVANCED TOPICS IN NEUROSURGERY Neurotransmitter Beny Atmadja Wiryomartani ............................................................................................................................... 3 Excitatory Amino Acid Excitotoxicity Abdul Gofar Sastrodiningrat.............................................................................................................................. 19 Endoscopic Third Ventriculostomy Sri Maliawan...................................................................................................................................................... 31 Neuroendoscopy Julius July ........................................................................................................................................................... 37 Epilepsy Surgery in Indonesia: Achieving Better Result with Limited Resources Zainal Muttaqin ................................................................................................................................................. 54 Indications and Presurgical Evaluation For Epilepsy Surgery Zainal Muttaqin ................................................................................................................................................. 62 Neuroimaging in Epilepsy : MRI evaluation in Refractory Complex Partial Epilepsy Zainal Muttaqin ................................................................................................................................................ 72 Overview Meningioma: Histology and Molecular Biology Iskandar Japardi ................................................................................................................................................ 80 Supraclavicular Approach on Brachial Plexus Injury Adril Arsyad Hakim .......................................................................................................................................... 103 Cerebral Revascularization. Extracranial – Intracranial by-pass Surgery Rr.Suzy Indharty .............................................................................................................................................. 109



PART II: BASIC NEUROSURGERY CEREBRAL TRAUMA Traumatic Brain Injury : Primary Brain Damage, Secondary Brain Damage, Management and Neuro Critical Care Abdul Gofar Sastrodiningrat............................................................................................................................ 125 Chronic Subdural Hemorrhage Sonny G. R Saragih, Abdurrahman Mouza, Marsal Risfandi ......................................................................... 185



ix



SPINE SPINE TRAUMA SPINE TRAUMA : Arguments toward better care and patients safety Abdul Gofar Sastrodiningrat .............................................................................................................. 205 Cervical Spine Trauma Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat .......................................................................................... 210 Thoracolumbar Trauma Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat .......................................................................................... 243 SPINE TUMOR Spine Tumors Donny Luis, Sabri Ibrahim .................................................................................................................. 267 Extradural Benign Tumor Donny Luis, Gatot Aji Prihartomo ..................................................................................................... 271 Epidural Malignant Tumors Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningart .......................................................................................... 278 Intradural Extramedullary Benign Tumors Donny Luis, Sabri Ibrahim .................................................................................................................. 293 Intradural Extramedullary Malignant Tumors Donny Luis, Gatot Aji Prihartomo ...................................................................................................... 319 Intramedullary Tumors Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat .......................................................................................... 312 DEGENERATIVE DISEASE OF THE SPINE Concept of Disc Degeneration and Regeneration Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat .......................................................................................... 327 Ossification Of The Posterior Longitudinal Ligament Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat .......................................................................................... 345 Cauda Equina Syndrome Sonny G. R Saragih, Gatot Aji Prihartomo, Michael Norman Jusman .............................................. 353 Degenerative Disorder of the Cervical Spine Donny Luis, Sabri Ibrahim, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat ......................... 368 Degenerative Disorders of the Thoracic Spine Donny Luis, Sabri Ibrahim, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat ......................... 396 Degenerative Disorder of The Lumbar Spine Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat .......................................................................................... 409



x



CEREBRAL TUMOR En Plaque Meningioma Sonny G.R.Saragih ........................................................................................................................................... 439 Parasagital and Falx Meningioma Sonny G.R.Saragih, Iskandar Japardi ............................................................................................................... 447 Petroclival Meningioma Sonny G. R. Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ........................................................................................ 459 Tentorial Meningioma Sonny G. R Saragih, Iskandar Japardi ............................................................................................................. 480 Low Grade Glioma Andre Marolop Siahaan, Sony G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ...................................................... 488 High Grade Glioma Andre Marolop Siahaan, Adril Arsyad Hakim .................................................................................................. 497 Fibrous Dysplasia Ahmad Brata Rosa, Iskandar Japardi .............................................................................................................. 505 Medulloblastoma Sabri Ibrahim, Donny Luis, Muhammad Fadhli, Adril Arsyad Hakim .............................................................. 511 Oligodendroglioma Ahmad Brata, Sonny G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ..................................................................... 523 Ependymoma Thomas Tommy, Abdul Gofar Sastrodiningrat ................................................................................................ 528 Pontine Glioma Sonny G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ............................................................................................ 537 Metastatic Cerebral Tumor Sabri Ibrahim, Iskandar Japardi ....................................................................................................................... 586 Histiocytosis X Sonny G. R. Saragih, Abdul Gofar Sasrodiningrat, ....................................................................................... 598



CEREBRAL INFECTION Cerebral Abscess Sonny G. R. Saragih, Steven Tandean, Marshal Risfandi, Abdul Gofar Sastrodiningrat ............................... 597



xi



Cerebral Tuberculoma Sabri Ibrahim, Sonny G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat .................................................................... 619 Toxoplasmosis Michel Norman Jusman, Sonny G.R.Saragih, Rr.Suzy Indharty ...................................................................... 638 Cerebral Aspergillosis Donny Luis, Muhammad Fadhli, Alvin Abrar Harahap, Abdul Gofar Sastrodiningrat .................................... 649 Neurocysticercosis Michael Norman Jusman, T. Yose Mahmuddin Akbar, Rr.Suzy Indharty ....................................................... 660



PEDIATRIC NEUROSURGERY Hydrocephalus In Children Sabri Ibrahim, Ahmad Brata Rosa, Ade Ricky Harahap .................................................................................. 671 Hydrancephaly Gatot Aji Prihartomo,Disfahan Sinulingga ..................................................................................................... 683 Porencephaly Thomas Tommy, Rr.Suzy Indharty .................................................................................................................. 687 Dandy Walker Malformation Andre MP.Siahaan,Thomas Tommy, Disfahan Sinulingga, Adril Arsyad Hakim ............................................ 691 Chiari Malformation Donny Luis, Disfahan Sinulingga, Adril Arsyad Hakim .................................................................................... 704 Craniosynostosis Ahmad Brata Rosa, Sonny G.R. Saragih, Adril Arsyad Hakim ......................................................................... 721 Neural Tube Defect: Schizencephaly, Lissencephaly, Holoprosencephaly Thomas Tommy, Donny Luis, Iskandar Japardi .............................................................................................. 735 Encephalocele, Myelomeningocele, Spina Bifida Oculta Thomas Tommy, Rr.Suzy Indharty .................................................................................................................. 740 Occult Spinal Dysraphism Sonny G. R Saragih, Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ....................................................................... 747



NEUROVASCULAR Carotid-Cavernous Fistula Muhammad Chairul, Rr. Suzy Indharty........................................................................................................... 767



xii



Arterio Venous Malformation Sabri Ibrahim, Sonny G.R. Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat .................................................................... 773 Intracranial Aneurysm Muhammad Chairul, Sabri Ibrahim, Rr.Suzy Indharty ..................................................................................... 807 Spontaneous Intracerebral Hemorrhage Michael Norman Jusman, Muhammad Fadhli, Abdul Gofar Sastrodiningrat ................................................. 820



PERIPHERAL NERVE Carpal Tunnel Syndrome Disfahan Sinulingga, Adril Arsyad Hakim ........................................................................................................ 833 Peripheral Nerve Injury Marsal Risfandi, Ade Ricky Harahap, Adril Arsyad Hakim............................................................................... 846 Peripheral Nerve Tumor Sonny G.R.Saragih, Ahmad Brata Rosa, Andre Marolop Siahaan, Abdul Gofar Sastrodiningrat .................... 855



MISCELLANEOUS Intracranial Pressure Donny Luis, Michael Norman Jusman ............................................................................................................. 887 Normal Pressure Hydrocephalus Gatot Aji Prihartomo ....................................................................................................................................... 896 Pain Syndrome Marshal Risfandi, Abdul Gofar Sastrodiningrat.............................................................................................. 908 Neurocutaneous Syndrome (Phakomatoses) Sonny R. G. Saragih, Donny Luis, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat ............................. 922



INDEKS ............................................................................................................................................................. 958



xiii



PART I



ADVANCED TOPICS IN NEUROSURGERY



1



2



Neurosurgery Lecture Notes



NEUROTRANSMITTER Beny Atmadja Wiryomartani Jenis Komunikasi Antar Neuron Ada 2 mekanisme untuk penghantaran impuls diantara neuron, yaitu melalui komunikasi: - secara elektrik pada gap junction. - secara kimia melalui celah sinaps dengan aksi dari neurotansmitter dan neuromodulator. Istilah sinaps dikenalkan oleh Sherington pada permulaan abad ke 20. Sinaps Elektrik Sinaps elektrik tidak hanya didapatkan di jaringan saraf, tapi juga di antara otot jantung dan otot polos dan antara epithel sel hati. Pada sinaps elektrikal, sitoplasma pada pre dan post-sinaps sel selalu berhubungan melalui gap junction melalui lubang di membran sel, sedang gap diantara sel ini berjarak 36 nm. Karena transmisi sinaps melalui aliran ion, maka tidak didapatkan penundaan sinaps seperti pada sinap kimia. Serabut pre-sinaps harus besar agar arus yang dihasilkan cukup untuk menggunakan channel voltage ini, sehingga arus dapat mengalir melalui gap junction dan menghasilkan aksi potensial pada sel post-sinap, yang seharusnya lebih kecil.



Arus melalui sinaps elektrik dapat dipelajari pada sinaps motor yang besar pada crayfish (udang karang}, dimana serabut pre-sinaps jauh lebih besar dari serabut post-sinapnya. Pada perekaman di pre dan post-sinaps didapatkan bahwa penghantaran ini sangat cepat dibandingkan dengan penghantaran kimia. Arah penghantaran impuls ini searah/unidirectional/rectifying, sedangkan pada organisme lain bersifat bidirectional atau nonrectifying. Impuls pada nonrectifying disebut juga transmisi elektrikal. Keuntungan dari sinaps elektrik ini menyebabkan transmisi/penghantaran yang sangat cepat .



Gambar 1a. Gap junction. (a) Neurites dari dua sel dihubungkan oleh sebuah gap junction. (b) Pada pembesaran tampak connexons, yaitu channel protein yang menjembatani sitoplasma dari kedua sel. Ion dan molekulmolekul kecil dapat lewat pada kedua arah melalui channelchannel ini.



Gambar 1. Gap junction



Sinaps Kimia Komunikasi diantara neuron dapat bersifat positif dan negatif. Pelepasan neurotransmitter (NT) pada ujung dari saraf dan difusinya melalui celah sinaps (120-200 A⁰) harus cepat dan sangat spesifik dan sensitif dalam pengaturan penghantaran antar neuron. Efek NT pada pengikatan dimembran postsinaps dapat bersifat eksitasi atau inhibisi, tergantung dari polarisasi yang terjadi di membran post-sinaps tersebut. Eksitasi NT menurunkan



3



Neurosurgery Lecture Notes



polarisasi melewati membran (depolararisasi), hingga mempercepat potensial pada post-sinaps. Sedang inhibitor NT, meninggikan polarisasi (hyperpolarisasi) dan mencegah penghantaran aksi potensial. Spesifitas dari suatu NT tertentu (apakah itu eksitasi atau inhibisi) mempunyai sifat tertentu dari NT itu sendiri. Tetapi tergantung juga dari sifat reseptor dan jaras transaksi yang berpasangan. Jadi suatu NT mempunyai potensial untuk menimbulkan respons biologik yang berbeda tergantung dari spesifitasya sistim neuron tersebut. Pada tulisan ini dibahas macam dan fungsi dari beberapa NT yang berada di SSP.



4. Dapat dihilangkan dari celah sinaps dengan di reuptake dan degradasi dan menonakifkan bahan NT oleh enzim tertentu.



Gambar 1b. Celah sinaps



Persyaratan Neurotransmitter Meskipun banyak bahan kimia yang berada di SSP, tidak semuanya bersifat NT, ada juga yang bersifat NM [neromodulator]. NM adalah suatu bahan kimia yang mempunyai sifat tidak mempunyai aktifitas merubah membran potensial post-sinaps, tapi membantu fungsi dari suatu NT. Jadi bila tidak ada NT, NM sendiri tidak akan menyebabkan post-sinaps membran bereaksi. Macam-macam mekanisme kerja NM, misalnya dapat mengganggu menempelnya NT pada reseptor atau memperbanyak pengikatan NT pada reseptor post-sinap. NM juga dapat mempengaruhi sintesa, pelepasan, degradasi/penghancuran dan penyimpanan dari NT. Empat syarat bahan yang termasuk NT : 1. Adanya bahan tersebut di pre-sinaps. 2. Dilepaskan. 3. Mempunyai respon yang spesifik pada post-sinaps. 4



Gambar 2. Struktur Neuron



Gambar 3. Hubungan Sinaps di SSP: a) Axodendritic; b) Axosomatic; c) Axoaxonic



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 7. Pelepasan neurotransmitter



Gambar 4. Komponen dari Sinap Kimia



Gambar 8. Tahap-tahap transmisi pada Sinaps Kimia Gambar 5. Macam-macam bentuk dan ukuran sinaps



Gambar 6. Perbedaan membran pre-sinaps dan post-sinaps



FUNGSI DAN STRUKTUR DARI SINAPS Setelah pelepasan dari NT dari pre-sinaps, NT ini harus berdifusi pada post-sinaps membran dimana dia berikatan dengan reseptor yang sesuai. Jarak diantara pre-sinaps dan post-sinaps yang disebut cleft / celah antara 150-200 A⁰, menyebabkan penghantaran sinyal lebih cepat. Pada pre-sinaps terminal ujung axon, molekul NT yang kecil seperti amino biogenic dan AA disintesakan disini. Sebaliknya neuropeptides yang terutama disintesa di perikaryon dan diangkut keujung terminal axon. Untuk molekul NT yang 5



Neurosurgery Lecture Notes



kecil, ujung saraf / axon berisi enzim yang diperlukan untuk sintesa dan degradasi. Karena cepatnya perputaran dari NT ini, pre-sinaps ujung saraf ini mempunyai kapasitas metabolisme yang tinggi. Pada penelitian terakhir menunjukkan banyaknya mitokondria diujung pre-sinaps tapi mempunyai bentuk yang lebih kecil. NT ini dikemas dalam betuk vesikel dan disimpan diujung saraf. Fungsi vesikel untuk penyimpanan dan untuk pencegahan degradasi dari NT. Sebuah vesikel dapat berisi lebih dari sebuah NT atau NM, yang semuanya dilepaskan dicelah sinaps karena stimulasi saraf. Juga didapatkan enzim pada vesikel tersebut, misal enzim dopamine beta hydroxylase yang mengubah dopamine menjadi norepineprine, berada dan disimpan dalam vesikel bersama ujung saraf noradrenalin. Jadi proses sintesa dan penyimpanan dari NT terjadi di ujung saraf yang berperanan untuk terjadinya metabolisme dan inaktifasi. Enzim degradasi NT dan NM berada di ujung pre-sinaps suatu axon saraf, misal ujung saraf yang berisi cholinergic juga berisi acetylcholinesterase, yang dilepaskan pada celah sinaps, untuk meng-nonaktifkan NT yang dilepaskan. Ujung saraf yang berisi catecholamine yang spesifik, dibagian luarnya berisi enzim mitokondria, monoamine oxidase, yang menyebabkan de-aminase yang akhirnya NT tadi tidak aktif. Selanjutnya enzim yang menginakifasikan NT tersebut bekerja dengan cara melakukan re-uptake.



Gambar 9. Dua macam sinaps kimia



Biogenic norepinephrine,



6



amine NT (dopamine, epinephrine and 5-hyroxy-



trptramine) semuanya dihilangkan dari celah sinaps untuk dianbil kembali secara cepat ke ujung saraf, dikemas dalam bentuk vesikel atau dinonaktifkan oleh enzim monoamine oxidase. Reseptor pada post-sinap berupa: - ionotropic receptor (ligand-gate ion channel) yang bersifat cepat. - metabotropic receptor (G protein-coupled receptor) yang bersifat lambat. Neurotransmitter di Susunan Saraf Pusat - Classical AA : Glutamatee Aspartate. GABA Glycine - MonoAmine : Acethlcholine Dopamine Norepinephrine Epinephrine Serotoninr(5 HT) Indolamine Yang lain NM, phenylethylamine(alfamethyl-phenylethylamine = amphetamine), tyramine, octopamine(sebagai NT di udang) dan tryptamine. Peptide Opioids Dynorpins Endorpins Enkephalins Tachykinins Substance P Hormones Cholecystokin Somatostatin. Tabel 1. Neurotransmitter yang banyak didapatkan di Susunan Saraf Pusat AMINO ACIDS AMINES PEPTIDES GammaAcetylcholine Cholecystokinin (CCK) AMINObutyric (Ach) acid (GABA) Glutamatee Dopamine (DA) Dynorphin (Glu) Glycine (Gly) Epinephrine Nacetylaspartyglutamatee (NAAG) Histamine Neuropeptida Y Norepinephrine Somatostatin (NE) Serotonin (5Substance P HT) Thyrotropin-releasing hormone Vasoactive intestinal polypeptide (VIP)



Neurosurgery Lecture Notes



Fungsi NT merubah membran postsinaps menjadi depolarisai atau repolarisasi, jadi NT dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. BIOGENIC AMINE Biogenic Amine (catechol dan indole amines) analog dengan phenylethylamine atau indole amine, dapat bersifat exitatory atau inhibisi : 1. Dopamine 2. Norepinephrine 3. Epinephrine 4. 5-Hidroxytryptamine 5. Neuromodulator yang lain, misalnya phenylethylamine (alfapmethylphenyllethamine/amphetamine), tyramine, octopamine dan tryptamine.



1. Parkinson disebabkan degenarasi dari neuron dopaminergic di substansia nigra sehingga terdapat pengeluaran dopamine yang menurun di striatum. Adanya alphasynuclein fibrils merupakan prinsip terbentuknya Lewy bodies yang merupakan tanda patologi utama untuk Parkinson. 2. Schizophrenia (mesolimbic area ), peninggian DA receptor, dan obat-obat antipsychotic melakukan blokade pada D2 receptor. 3. Tourette syndrome- dopamine reuptake deficit. Norephinephrine (NE) berperan pada depresi. Penurunan kadar NE di SSP berhubungan dengan depresi dan menghalangi reuptake NE, merupakan suatu obat anti depresan. 5-Hydroxytryptamine (5-HT, serotonin) berperan dalam: 1. Depresi karena kekurangan 5-HT, di SSP berhubungan dengan depresi (inhibisi reuptake) dari serotonin secara selektif ( SSRI: selective serotonin reuptake inhibitor) adalah suatu anti depresan. 2. Kerja dari LSD, menghalangi 5-HT receptor pre-sinaps di raphe nucleus. 3. Yang lain: schizophrenia dan sakit kepala migraine.



Gambar 10. Sintesa dari cathecholamine dari tyrosine



FUNGSI BIOGENIC AMINES Dopamine (DA) berperan untuk gerakan dan gangguan tingkah laku.



Gambar 10. Sintesa serotonin dari tryptopan



7



Neurosurgery Lecture Notes



Acetylcholine Acetylcholine bersifat excitatory, berhubungan dengan pengaturan gerakan di perifer (neuromuscular junction) dan tingkah laku di SSP. Penurunan acetylcholine di korteks dan hippocampus pada penyakit Alzheimer dan penurunan dari enzim sintesa choline acetyltransferase.



Gambar 12. Amino acids neurotransmitter



Gambar 11. Neuropharmacology of cholenergic synaptic transmission



AMINO ACID Gama-Aminobutyric acid (GABA) merupakan NT inhibisi yang terbanyak di SSP . Penurunan GABA menyebabkan kejang-kejang. Benzodiazepines digunakan untuk epilepsi . NT dalam bentuk asam amino yang lain yang bersifat inhibitor, adalah: glycine, taurine, dan betaalanine. Glutamatee suatu NT utama yang bersifat excitatory. Pada keadaan stroke dan cedera kepala banyak sekali glutamatee yang dikeluarkan dan pada jangka panjang menyebabkan kerusakan otak. NMDA receptor berfungsi untuk mengatur Ca+ dan Na+ channel.



8



Gambar 13. Synthesis and metabolism of GABA



PURINERGIC Adenosine adalah diantara sekumpulan reseptor khusus yang berada di hippocampus, menambah aktifitas cAMP (cyclic adenosine monophosphate dan adenyl cyclase. Adenosine triphospate(ATP) dapat bersifat sebagai NT atau NM. PEPTIDES Didapat banyak macam peptide misalnya: Cholecystokinin Asp-Tyr-Met-Gly-Trp-Met-Asp-Phe Ekephalin: Tyr-Gly-Gly-Phe-Leu atau Met Peptida berperan sebagai NT atau NM. Biasanya dikemas dan dilepaskan dari simpanan vesikel ke celah sinaps bersama dengan NT lain yang bermolekul kecil, misalnya vesikel NE dan DA biasanya berisi cholecystokinin (CCK) dan GABA kadang-kadang berhubungan dengan CC, somatostatin, atau neuropeptide Y.



Neurosurgery Lecture Notes



BIOKIMIA AMINOBIOGENIC Sintesa cathecolamine Neurotransmiter catecholamine berperan penting pada pengaturan beberapa proses baik di perifer maupun di susunan saraf pusat, disintesa diotak, neuron simpatis dan sel chromafin. Pada neuron, sintesa dari 3 macam neurotransmitter catecholamine (dopamine, norepinephrine, dan epinephrine terjadi terutama di presinaptic ujung saraf. Reaksi biokimia yang dimulai dari precusor AA : Phenylalanine tampak pada gambar dibawah ini: Gambar 15. Dopamine Projection System in the Brain



Gambar 14. Sintesa dari catecholamine



Tyrosine Hydroxylase Sintesa dari catecholamine dimulai dengan menggunakan enzim tyrosine hydroxylase. Bahan untuk enzim tyrosine, sudah berada didalam SSP. Hanya kira-kira 2% dari tyrosine yang masuk kedalam SSP melewati BBB yang diubah menjadi neurotransmiter catecholamine. Reaksi ini berlangsung melalui mekanisme ping-pong yang membutuhkan kofaktor pteridine yaitu: tetrahydrobiopterin. Enzim ini didapatkan hanya di terminal cathecolamine dan berada sebagai jenis ikatan pada membran maupun enzim yang terlarut. Enzim tyrosine hydroxylase adalah enzim yang terbatas untuk sintesa catecholamine karena aktifitasnya secara umum kurang lebih 100 sampai 1000 lebih rendah dari enzim lain dalam melakukan reaksi biosintesa dan dalam keadaan fisiologik 2 (dua) bahan, tyrosine dan tetrahydrobiopterin mungkin tidak tersaturasi. Aktifitas tyrosine hydroxylase dapat mengatur transkripsi atau post transkripsi dan pada akhirnya menghambat dari hasil akhir produksinya. Beberapa rangsangan termasuk stress, rangsang listrik dan obat menyebabkan percepatan fosforilasi dari tyrosine hydroxylase. Pengaturan fosforilasi milik dari hidroksilasi dengan mengubah kinetik yang khas dari enzim. Kemungkinan untuk mengikat tetrahydrobiopterin meningkat 3 kali dari 200 mikroM menjadi 80 mikroM, jadi 30% bertambah pada Vmax. Sebagai tambahan untuk mengikat pada hasil akhir inhibisi, norephinephrine adalah bertambah hampir 8x dari 6 menjadi 45 mikroM. Beberapa macam dari kinase bertanggung jawab 9



Neurosurgery Lecture Notes



untuk fosforilasi termasuk cAMP-dependent protein kinase A(PKA) dan kinase CAM. Fosforilasi dari tyrosine hydroxylase, yang meninggikan aktifitas enzim menjadi perhatian penting pada pengaturan aktifitas enzim secara cepat (short term). Sebaliknya penambahan transkripsi dari gen untuk tyrosine hydroxylase , termasuk beberap faktor, secara umum penting untuk mempertahankan kerja enzim secara lama. L-Aromatic Amino-Acid decarboxylase. Enzim ke 2 pada perjalanan untuk sintesa dari catecholamine adalah L-Aromatic amino acid . Meskipun secara literatur disebut dopa decarboxylase, nama ini sebetulnya tidak benar karena mengikatkan asam amino L-dopa pada enzim. Pada kenyataannya enzim ini lebih tidak selektif dan mampu melakukan decarboxylase dari beberapa macam aromatic asam amino. Ini menyatukan tyrosine pyridoxal phosphate sebagai kofaktor, dan aktifitas hydroxylase banyak didapatkan pada ujung saraf catecholamine. Sebaliknya, tidak seperti tyrosine hydroxylase ,decarboxylase ini tidak secara selektif berada di ujung saraf . Sintesa Neurotransmitter Dopamine, Norepinephrine, dan Epinepine Dopamine beta-hydroxylase Dopamine beta-hydroxylase bertanggung jawab untuk merubah dopamine ke norephinephrine dan tidak terdapat di ujung saraf dopaminergic. Dopamine beta-hydroxylase adalah glycoprotein berisi 2 sampai 4 residu Cu2+ pada tiap molekul enzim. Ini membutuhkan molekul oksigen dan aktifitas ascorbic acid. Kira-kira 90% dari enzim ini terikat di membran yang berada di ujung saraf dan sisanya di vesikel cathecholamine. Didalam perikarya perbandingan dari 2 spesies ini kira-kira 50:50. Enzim ini relatif tidak spesifik hingga derivat dari phenylethylamine termasuk phenylethylamine dan tyramine dapat terhydrolisa. Karena enzim ini tersimpan di vesikel, enzim dilepaskan ke celah secara exocytosis.



10



Phenylethanolamine N-Methyltransferase (PNMT) PNMT adalah enzim yang terlarut yang bertanggung jawab untuk mengubah norepinephrine menjadi epinephrine. PNMT menggunakan S-adenosyl methionine sebagai donor methyl dan berada di bagian akhir sinaps. Transkripsi ini diatur oleh cortisol , yang meningkatkan ekspresi dari gen. Jadi steroid mempunyai potensi untuk meningkatkan konsentrasi norephineprine baik pada perifer maupun SSP dengan pengaturan sintesa PNMT. Inaktifasi dari Neurotransmitter Cathecholamine Reuptake dari cathecholamine. Jalan utama untuk menonaktifkan cathecholamine adalah dengan mengambil kembali ke pre-sinaps terminal. Pengambilan alih cathecholamine kearah presynaps dikenal dengan uptake-I, ditandai dengan sistim saturable, streospesifik dan sistim transpor ikatan kuat. Sebaliknya uptake ke glia dan sel lain diklasifikasikan ke uptake-II, ditandai dengan ikatan yang lambat. Uptake-I membutuhkan nonesterified m- atau p-OH pada cincin aromatik untuk transportasinya, sehingga transpor hasil Omethylasi ( hasil COMT, lihat bawah) tidak dibawa kembali ke ujung saraf. Transpor dari cathecholamine membutuhkan energi sehingga sensitif terhadap temperatur, pH, dan quabain. Inhibitor yang secara selektif pada uptake-I dipakai untuk pengobatan antidepresant (tricyclic anti depresant). Enzim Degradasi Cathecholamine Meskipun pengambilan kembali cathecholamine bertanggung jawab untuk membuang dan meng-inaktif-kannya dari celah sinaps, enzim degradasi terjadi di ujung saraf dan astrosit disekitarnya. Ada 3 enzim yang bertanggung jawab untuk katobolisme cathecholamine: - Monosmine oxidase - Cathechol-O-methyltransferase - Phenolsulfotrasferase.



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 16. Proses biokimia yang mengatur ujung saraf noradrenaline



Gambar 17. Norepinephrine Projection System in the Brain



Monoamine oxidase (MOA) MOA adalah enzim yang bertanggung jawab untuk degradasi NT cathecholamine. Dua macam dari enzim telah diisolasi dari X



chromosome. Bentuk A yang melakukan deaminase dari dopamine, norephinephrine dan 5hydraxytryptophane, yang secara selektif berada di neuron. Bentuk B yang melakukan deaminasi dari dopamine, norephineprine dan phenylalanine yang secara selektif berada di astrosit. Kedua bentuk dari MAO berada di luar membran mitokondria dan berisi covalent ikatan flavin adenine dinucleide (FAD) sebagai kofaktor. Untuk reaksi butuh energi dan kinetik yang terjadi melalui mekekanisme reaksi ping-pong. Inhibitor secara selektif untuk MAO A dan B telah ditemukan. Inhibitor bentuk A untuk antidepresan, sedang dalam bentuk B untuk Parkinson. MAO banyak didapatkan di CNS, dan kira-kira 80% inhibitor dari seluruh jumlah aktifitas enzim oleh MAO inhibisi dibutuhkan agar pengobatan berhasil. Seperti terlihat pada gambar 18. (Metabolisme norepinephrine), aldehyde dibuat dari deaminasi biogenic amine oleh MAO , selanjutnya di oxidasi oleh aldehyde dehydrogenase untuk berhubungan dengan carboxylic acid atau direduksi menjadi alkohol melalui kerja dari aldehyde reductase. Oksidasi menjadi asam lebih sering terjadi di perifer, sedang reduksi dari metabolisme deaminasi dari norephineprine, 3-4 dihydrophenylacetaldehyde, lebih sering berkurang di CNS untuk menghasilkan produk glycol, 3-4 dihydroxyphenylethyleneaglycol. Cathecol-O-Methyltransferase(COMT) berada di SSP baik sebagai ikatan dimembran maupun enzim yang larut. Kedua bentuk dari enzim berasal dari gen yang sama, dengan spesies yang menempel pada membran memiliki ekor hidrofobik pada ujung akhir yang ke 3^ yang bertanggung jawab terhadap penempelan pada membran. Perbedaan pada post-translasi yang dimiliki oleh gen yang sama menghasilkan 2 (dua) spesies. Bentuk yang menempel pada membran, yang bisa berada di neural, memiliki kemampuan besar tapi lemah untuk V max untuk cathecholamine, dibandingkan dengan enzim yang terlarut, dan terutama di astrosit. Bentuk yang terlarut biasanya terdiri dari dalam bentuk COMT yang primer karena dia memiliki V max yang tinggi sehingga mempunyai kemampuan yang besar untuk methylasi cathecholamine. Sedangkan pada keadaan fisiologis konsentrasi dari cathecholamine,



11



Neurosurgery Lecture Notes



dalam bentuk ikatan dengan membran pada otak manusia lebih aktif pada 2 (dua) spesies tersebut. Kedua bentuk dari COMT tersebut menggabungkan S-adenosylmethionine sebagai donor methyl dan kedua nya mempunyai kemampuan yang luas, karena kemampuannya untuk methylasi secara mudah pada bahan cathecol. Inhibitor yang secara selektif pada perifer dari COMT, yang tidak menembus BBB telah dikembangkan untuk pengobatan Parkinson. Seperti digambarkan pada gambar 18, baik pada cathecholamine dan hasil setelah deaminasi melalui methylasi oleh COMT. Hasil methylasi- 3 adalah hasil utama bentuk metabolisme ini, meskipun bentuk 4 juga dihasilkan pada percobaan invivo. Methylasi dari baik kelompok hydroxyl menyebabkan inaktifasi dari neurotransmitter ini.



berperanan besar pada inaktifasi dari NT cathecholamine, tapi memiliki afinitas yang tertinggi (kira-kira 1 µM) dari enzim yang lain untuk bahan aktif dari neurotransmitter ini. Berbagai bentuk dari PST ini didapatkan pada otak manusia dan terletak pada lokasi tertentu dari neuron. Bentuk M dari PST secara khusus memilih sulfate NT cathecholamine. PST ini menggunakan 3^-phosphoadenosin-5^phosphosulfate sebagai donor sulfat. Peranan dan kerja dari PST untuk meng-inaktif-kan NT cathecholamine belum sepenuhnya diketahui.



Gambar 19. Reaksi catalyse dari Phenosulfotransferase



Gambar 18. Metabolisme dari norephinephrine



Phenosulfotransferase (PST), lihat gambar 19, meskipun tidak merupakan enzim yang 12



Sintesa 5-Hydrosytryptamine Amine indole,5-hydroxytryptamin(5-HT), adalah NT yang penting untuk pengaturan macammacam tingkah laku dan kelainan perifer. Seperti halnya cathecholamine, sintesa 5-HT terjadi terutama di serotonic diujung pre-sinaps di otak. 5HT diikat pada protein khusus yang disimpan di vesikel dan dilepaskan dengan cara exocitosis. Hanya sekitar 1-2 % dari total 5-HT didalam tubuh didapatkan di SSP. Langkah dari biosintesa dari 5-HT digambarkan pada gambar 20. (Sintesa dan degradasi dari 5-hydroxytryptamine)



Neurosurgery Lecture Notes



keadaan fisiologik konsentrasi enzim ini tidak bergabung dengan tryptopan atau tetratetrahydrobioptin dan transport dari asam amino ini ke SSP mungkin sangat terbatas untuk menghasilkan 5-HT. Aktifitas tryptophan hydroxylase diatur pada tingkat transkripsi dan tidak pada tingkat penghambatan hasil akhir. Enzim ini dapat juga diaktifkan dan melakukan phosphorilasi pada Ser-58 oleh PKA. L-Aromatic Amino Acid Decarboxylase. Bentuk L-Aronatic Amino Acid Decarboxylase yang melakukan decarboxylate 5-HT terletak di 5-HT ujung saraf. Akhir-akhir ini dapat dilakukan cloning dan menunjukan persamaan pada bentuk enzim yang bertanggung jawab untuk decarboxilase L-dopa. Inaktifasi dari 5-hydroxytryptamnie. 5-HT reuptake pada neuron. Seperti pada NT cathecholamine, reuptake (pengambilan kembali) dari 5-HT pada serotonic pre-sinaps pada ujung saraf adalah cara yang tersering untuk inaktifasi. Membran pembawa 5HT mudah mengikat, yang tergantung pada transport Na⁺ dan memiliki kira-kira 50% persamaan dengan transpor dopamine dan norephineprine. Hambatan untuk reuptake 5-HT secara selektif oleh chlorimipramini, paroxetine , sertraline dan fluoxetine digunakan untuk pengobatan antidepresan dan untuk gangguan obsesive-compulsive disorder.



Gambar 20. Sintesa dan degradasi dari 5-hydroxytryptamine



Tryptopan Hydroxylase Fungsi dari tryptophan hydroxylase sama dengan fungsi tyrosine hydroxylase yaitu menghambat langkah untuk sintesa 5-HT. Seperti halnya tyrosine hydroxylase, tryptophan hydroxylase juga menggabungkan tetrahydrobiopterin sebagai kofaktor. Pada



Enzim degradasi 5-Hydroxytryptamine. Jalan utama untuk degradasi 5-HT seperti tampak pada gambar 21 dan 22, adalah melalui bentuk A dari MAO, yang secara selektif berada di pre-sinaps ujung saraf. Penghambatan secara selektif dari bentuk A dari MAO diduga sebagai yang bertanggung jawab terhadap kerja antidepresan dari monoamine oxidase inhibitors (MAOIs). Akhir-akhir ini MAOIs digunakan diklinik secara irreversible menghambat oxidasi dan relatif tidak spesifik dan menghambat kedua bentuk MAO secara seimbang. Bentuk baru yang sangat selektif dari inhibitor MAO yang reversible, saat ini dipakai untuk pengobatan depresi.



13



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 21. Metabolisme dan reaksi biosintesa lain dari 5-HT



Gambar 22. Serotonin Projection System in the Brain



Reaksi lain 5-HT juga merupakan precursor untuk hormon pineal melatonin. Untuk membuat melatonin, 5-HT mula-mula di acetylasi oleh enzim N-acetyl transferase, kemudian di methylasi oleh indole amnie-O-methyltransferase. Acetylasi oleh N-acethyltransferase adalah dengan cara terbatas untuk menghasilkan melatonin, dan ekspresi ini ditambah oleh cAMP karena adanya sinar. Daily circadian rythm (biological clock) tetap berlangsung meskipun tidak ada rangsang sinar, sedangkan kadar N-acethyltransferase diatur oleh pola circadian yang dihasilkan oleh nucleus suprachiasma hypothalamus .



14



Sejak beberapa tahun diketahui peran penting dari melatonin pada pengaturan peran fisiologi, patofisiologi dan proses endokrin. Melatonin diketahui berpengaruh pada macammacam proses fisiologi termasuk kontrol oleh hypothalamus atau ritme circardian, pengaturan temperatur, kematangan sexual, sistim imunitas dan pengaturan fungsi reproduksi dan kawin musim pada binatang. Paling sedikit ada 3 receptor yang sudah dikenal pada permukaan sel, yaitu Mel 1a, dan Mel 1b yang ada pada mammalia sedang Mel 1c didapat di burung. Mel 1a dan Mel 1b reseptor memperlihatkan persamaan sampai 60% berada pada 7 lipatan daerah di membran sel. Membran reseptor ini berhubungan dengan guanine nucleotide Gi dan menekan aktifitas adenylate cyclase. Sebagai tambahan, melatonin pada konsentrasi yang tinggi secara farmakologik adalah sangat poten untuk free radical scavengger, mampu untuk pencegahan stres oksidatif pada sistim biologis. Interaksi dengan spesies oksigen yang sangat reaktif pada sel dipermudah karena melatonin larut dalam lemak dan menembus membran plasma. Sintesa dan Degradasi dari Acetylcholine Peran dari acetylcholine sebagai NT sudah dikenal sejak permulaan abad ke 20. Fungsi fisiologik dan peran sistim biokimia untuk pengaturan telah banyak diketahui. Neurotoxin yang banyak dipakai pada perang dunia ke 1 sampai sekarang, adalah untuk menghalangi fungsi acetylcholine. Banyak penyakit yang berhubungan dengan gangguan fungsi acetylcholine. Penyakit myasthenia gravis syndrome, Hutington, Alzheimer familial dysautomia, Lambert-Eaton myasthenic syndrome semuanya karena gangguan fungsi acetylcholine. Syntehesa dan Pengumpulan Acetylcholine. Mesin biologi yang diperlukan untuk mensintesa dan men-degradasikan acetylcholine berada di pre-sinaps saraf cholinergic. Enzim yang terlibat pada pembentukan NT ini adalah choline acetyltransferase. Choline acetyltransferase berada di cystosol dan membran vesikel sinaps pada ujung



Neurosurgery Lecture Notes



saraf. Meskipun kebanyakan transfer berada di cytosol, ikatan dengan membran mempunyai aktifitas yang spesifik dan berperan lebih fisiologis secara invivo.



Gambar 23. Biosintesa dari acetylcholine



Bentuk acetylcholine di ujung akhir suatu sinaps dikemas dan disimpan didalam vesikel dan dilepaskan secara exocitosis. Sintesa baru acetylcholine terjadi bila didahului oleh rangsang . Sintesa aceylcholine diujung saraf diangkut dikumpulkan dalam vesikel transpor pembawa yang khusus yang gen-nya berada di intron dari gen choline acetyltransferase. Hal ini diperlukan untuk pengaturan sintesa dan penumpukan dari NT ini. Penggabungan dari choline untuk choline acetyltransferase agak rendah, memiliki aKm hampir 1mM. Jadi pada keadaan fisiologik, enzim ini tidak terlarut di SSP. Karena itu kadar choline dibatasi dan aktifitas enzim diduga diatur oleh transpor choline ke SSP. Ikatan transpor yang tinggi dari choline di SSP adalah spesifik untuk ujung akhir dari saraf acetylcholine, dan 50-80% yang diangkut digunakan untuk sintesa acetylcholine. Selain choline yang dibawa kedalam otak, sumber utama dari choline didalam neuron adalah dari hydrolisa phosphatdicholine. Hasil akhir dihambat oleh acethylcholine dapat juga diatur oleh aktifitas choline acethyl transferase didalam otak. Degradasi Acetylcholine. Tidak seperti NT yang berasal dari biogenic amine yang fungsinya di inaktifkan di celah sinaps oleh proses aktif reuptake neuronal, acethylcholine susah dibawa kembali ke unjung membran sel presinaps menyeberangi membran karena daya transpor yang rendah. Jadi acethylcholine di inaktifkan terutama secara difusi sederhana atau degradasi oleh acethylcholineesterase di celah sinaps sendiri. Diperkirakan acetylcholine dilepaskan ke celah sinaps dalam 2 milidetik. Cholinesterase yang bertanggung jawab untuk melakukan hydrolase



acetylcholine dibagi menjadi 2 (dua) kategori: Acetyholinesterase dan butyrylatau pseudocholinesterase. Karena aktifitas yang tinggi dan spesifik, diduga acetylcholinesterase berfungsi aktif untuk suatu esterase di otak manusia. Beberapa bentuk dari acetyolcholinesterase berbeda kelarutannya, cara penempelan pada membran, dan struktur ke 3 dimensi-nya pada ujung neuron. Penelitian terakhir menunjukan berbagai bentuk dari enzim ini berasal dari gen yang sama tapi berbeda pada proses mRNA. Choline yang dibentuk di celah sinaps setelah hidrolisa dari acetylcholine dibawa kembali keujung saraf kemudian digabungkan untuk membuat acetylcholine. Penghematan choline penting karena terbatasnya sintesa acetylcholine sedangkan 50% dari choline yang terbentuk diambil kembali oleh neuron.



Gambar 24. Degradasi dari Acetylcholine



Gambar 25. Acetylcholine Projection System in the Brain



Sintesa dan degradasi dari GABA. GABA merupakan NT yang terutama bersifat sebagai inhibisi/penghambat di SSP, didapatkan dalam konsentrasi Milimolar. Seperti sudah disebutkan sebelumnya mempunyai fungsi bermacam-macam untuk kelainan neurologis dan psikologis, termasuk penyakit Hutington, alkoholism, tardive dyskinesia, schizophrenia, anxiety, dan penyakit Parkinson. Karena NT ini bersifat sebagai inhibisi utama, xenobiotic yang



15



Neurosurgery Lecture Notes



mengganggu sintesa GABA dapat menimbulkan kejang pada manusia. Sintesa GABA diotak dibentuk dengan cara yang diklasifikasikan sebagai GABA shunt. GABA merupakan molekul bermuatan listrik pada pH fisiologik dan tidak menembus BBB. Karena itu didalam otak harus dibentuk dari sintesa melalui decarboxylase dari glutamate. Kemudian dilanjutkan oleh GAD (glutamic acid decarboxylase) suatu enzim yang didapatkan di GABAminergic secara tersendiri di ujung saraf.



Gambar 26. Sintesa GABA



Gambar 26.(Sintesa GABA) diatas menggambarkan asam glutamate dihasilkan oleh –oxoglutarate transaminsase, suatu enzim y -ketoglutarate, yang terbentuk di Krebs, menjadi asam glutamate. GABA yang dihasilkan kemudian dirubah menjadi succine semialdehyde, yang dapat masuk kembali ke siklus Krebs dan dimetabolisme menjadi asam succinine oleh enzim succinic semialdehyde dehydrogenase. Pada manusia telah diketahui ada 2 (dua) macam gen yang berdekatan/mirip untuk membuat GAD, pada SSP, dan keduanya hanya di matangkan oleh kofaktor pyridoxal phosphat, sehingga aktifitas GAD diatur oleh adanya kofaktor ini. Keberadaan dari kofaktor ini pada suatu observasi, kalau terdapat defiensi dari Vitamin B6 dapat menyebabkan kejang pada anak. Degradasi dari GABA. Bekerjanya GABA dibsinaps dihancurkan pada waktu dibawa kembali pada ujung saraf atau di astrosit, dengan cara proses Na⁺ dependent. Mekanisme ini diduga yang utama untuk penghancuran GABA di sinaps karena belum ditemukannya mekanisme lain. Setelah diambil kembali di ujung saraf atau astosit, enzim yang bertanggung jawab untuk meng-inakifkan adalah GABA transaminase (GABA-T). Enzim ini bersama dengan mitokondria merubah GABA menjadi 16



succinic semialdehyde dan pada



proses ini ketoglutaric untuk membentuk kembali glutamate . Seperti halnya GAD, GABA-T membutuhkan pyridoxal phosphate sebagai kofaktor. Sedangkan tidak seperti GAD enzim ini dimatangkan oleh kofaktor dan didapatkan diluar SSP. Aktifitas enzim tidak di atur oleh kadar pyridoxal phosphate,tapi -ketogluterate. Didalam SSP kebanyakan GABA-T berhubungan dengan mitokondria non-neuron, terutama di astrosit. Sebagai akibatnya GABA yang diambil kembali oleh ujung saraf di gabungkan kembali, sedang yang diambil oleh astrosit diubah menjadi succinic semialdehyde, yang kemudian masuk ke siklus Krebs dan akhirnya menjadi glutamate. Glutamate yang terbentuk di glia sel kemudian dimetabolisme menjadi glutamine oleh enzim manganese-dependent yaitu glutamin synthase, yang di SSP berada di astrosit. Glutamine yang dihasilkan oleh sel kemudian diangkut kembali ke neuron. Reseptor untuk GABA ada 2 macam yaitu GABA a dan GABA b. GABA a berada di post-sinaps yang merupakan reseptor utama di SSP, yang menyatu dengan channel Cl-. Tempat khusus pada reseptor ini mampu secara selektif mengikat barbiturate, benzodiazepine dan picrotoxin. Barbiturate diduga mengaktifkan channel Cl- secara langsung sedangkan benzodiazephine mengikat pada bagian allosterik sehingga menyebabkan kemampuan mengikat GABA 10 kali lebih banyak. Sebaliknya reseptor GABA b adalah pasangan heterodimer ke G-protein, menyebabkan penurunan pembentukan cAMP. Reseptor GABA b adalah pre-sinaps primer yang menyebakan masuknya Ca2+ menurun, sehingga mengurangi pelepasan NT. Terdapat juga post-sinaps reseptor untuk inhibisi GABA b yang membuka K+ channel. Sintesa dan degradasi dari Glutamate. Glutamate dan aspartat banyak didapatkan di SSP yang merupakan NT excitatory (EAA, excitatory amino acids) yang kuat. L-Glutamatee di sintesa di ujung saraf yang berasal dari glukosa melalui siklus Krebs dan oleh -oxoglutarate. Juga dihasilkan oleh sel glia melalui kerja dari



Neurosurgery Lecture Notes



glutaminase, yang merubah glutamine menjadi glutamatee. Penyimpanan glutamate di sinaps vesikel di ujung axon dan dilepaskan oleh proses exocytic yaitu bila ada Ca-dependent. Kerja dari glutamate dihentikan secara cepat oleh sistim transpor baik ke pre-sinaps ujung axon atau ke sel glia. Ada 3 sistim transpor glutamatee di SSP, 2 diantaranya berhubungan dengan pengambilan glutamate oleh glia. Didalam glia sel, glutamate dirubah menjadi glutamine oleh enzim glutamine synthetase. Glutamine dari astrosit kemudian diambil kembali oleh ujung axon terdekat untuk diubah kembali menjadi glutamate. Terdapat banyak reseptor untuk glutamate dan aspartate di otak. Glutamate reseptor dibagi menjadi : - reseptor ionotropik yang berisi chanel ion sebagai bagian dari reseptor protein, dan - reseptor metabotropik yang berhubungan dengan G-Protein. Ada 3 macam reseptor ionotropik untuk glutamate yaitu: NMDA (N-methyl-D-aspartate), 2(aminomethyl)phenylacetic acid AMPA dan kainate . NMDA reseptor penting diperhatikan karena permeabilitas untuk Ca⁺ dan tergantung dari voltase. NMDA harus mengikat glutamate dan glycine sebelum menjadi aktif. Sekarang jelas bahwa pelepasan glutamate atau aspartat yang berlebih akan menyebabkan kematian sel karena penempelan pada reseptor ini. Sebagai contoh pada penderita dengan stroke kerusakan neuron disebabkan karena pelepasan glutamate yang berlebih sehingga menyebabkan aksi neurotoxic. Sintesa dan degradasi dari Glycine. Glycine bukan merupakan asam amino (AA) esensial, tapi berperanan penting sebagai NT inhibitor atau neuromodulator SSP. Precursor untuk glycine adalah serine, yang merupakan bentuk reversible dari reaksi folate – dependent yang dikatalisa oleh enzim serine transhydroxymethylase. Cara kerja dari glycine di sinaps berakhir dengan pengambillan kembali di ujung saraf melalui sistim pengangkutan yang cepat. Ada 2 macam protein transpor untuk glycine yang telah berhasil di cloning yang satu berada di neuron dan yang lain di sel glia. Reseptor untuk



glycine yang berada di neuron yang telah dicloning, berasal dari gen yang hampir sama dengan superfamili dari reseptor untuk GABA dan acetylchomine. NEUROPEPTIDES Banyak peptida yang telah dapat di-isolasi pada akhir-akhir ini yang termasuk dalam kriteria NT. Secara fisiologik dan fungsional konsentrasi dari neuropeptide ini 2 - 3 kali lebih sedikit dari biogenic amine dan molekul kecil NT yang telah dibicarakan diatas. Tidak seperti molekul kecil NT , neuropeptide disintesa di badan-sel /soma, yang berisi mesin biokimia, termasuk ribosome dan aparatus Golgi, yang diperlukan untuk pembuatan protein setelah post-translation.



Gambar 27. Sintesa neuropeptide dan transport



Neuropeptide di-sintesa di rough endoplastic reticulum sebagai bahan inaktif precursor dan disebut sebai prohormon. Protein ini dikemas sebagai vesikel dan dibawa secara berurutan ke cis, medial dan trans dari aparatus Golgi, yang selanjutnya dimodifikasi setelah post17



Neurosurgery Lecture Notes



translation. Berbagai struktur dan perubahan kimia terjadi pada tiap neuropeptide, termasuk didalamnya proteolysis, glycosylation, phosphorylation dan sulfation. Setelah suatu proses, peptide dikemas didalam vesikel pada jaringan trans-Golgi dan dibawa ke axon ke ujung saraf. Hambatan ke ujung axon dengan bahan anti mikrotubul seperti misalnya colchicines menyebabkan penumpukan didalam badan sel / soma. Setelah dibawa ke ujung saraf neuropeptide dikumpulkan dalam bentuk vesikel di pre-sinaps dan dilepaskan ke celah sinaps dan biasanya bersamaan dengan NT klasik yang bermolukul kecil. Peptide kemudian di hancurkan oleh peptidedase lain yang berada di celah atau di cairan sekitarnya. Pelepasan neuropeptide di pre-sinaps diujung saraf sama dengan pelepasan NT yang bermolukul kecil yaitu adanya pengaruh ion Ca2+ yang masuk. Tidak didapatkan proses inaktif dengn cara mengambil kembali neuropeptide yang sudah dilepaskan dan penggabungan dari peptide yang ada . Jadi terjadi proses yang terus menerus untuk membentuk peptide untuk mempertahankan



18



konsentrasi di ujung saraf/axon. Pengaturan untuk tetap berfungsi secara aktif pembuatan neuropeptide tergantung pada tiap langkah prosesnya mulai dari transkripsi,translasi dan modifikasi setelah post-translasi. Bila langkah ini terganggu akan menyebabkan aktifitas neuropeptide di SSP maupun di saraf tepi tidak berfungsi dengan baik. Gangguan sintesa dari neuropeptide karena racun dapat mnyebabkan fungsi neuron di SSP atau saraf tepi tidak berfungsi, DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. A Longstaff . Instant notes Neuroscience. BIOS Scientific Publishers Limited,2000. 2. Jackson Beatty. Principals of Behavioral Neuroscience. Brown & Benchmark Publishers, 1995. 3. Malcolm Slaughter. Basic concept in neuroscience : a student’s survival guide. McGraw-Hill, 2002. 4. Mark R, Rosenzweig S, Marc Breedlove,Neil V. Watson. Biological Psychology 4th edn. Library of Congress Cataloging-in-Publiction Data, Sinauer Assosiation ,2005. 5. Richard M Restak MD.Receptors. A Batman Books, 1995.



Neurosurgery Lecture Notes



EXCITATORY AMINO ACID EXCITOTOXICITY Abdul Gofar Sastrodiningrat PENDAHULUAN Excitatory potency (kemampuan merangsang) dari amino acid glutamate dan aspartat telah dikenal lebih dari lima puluh tahun yang lalu. L-glutamate suatu neurotransmitter utama yang sangat mudah ‘terangsang’ di jaringan otak mammalia dan dapat bersifat cytotoxic pada kondisi tertentu. Efek patologik dari excitatory amino acid (EAA) dinamakan exitotoxicity 1 . Pada saat ini telah dikenal benar bahwa exogenous dan endogenous agonist dari EAA reseptor dapat menyebabkan kematian sel CNS. Penelitian menunjukkan bahwa glutamate-induced cell death disebabkan oleh aktivasi ionotropic glutamate receptors dalam jumlah besar. Reseptor pada postsinaps berupa: - ionotropic receptor (ligand-gate ion channel) yang bersifat cepat. - metabotropic receptor (G protein-coupled receptor) yang bersifat lambat. Pandangan bahwa aktivasi dari ionotropic EAA receptors yang berbeda dapat menyebabkan exitotoxic cell death didukung oleh penelitianpenelitian berikutnya terhadap mekanisme ion yang menjadi dasar excitotoxicity. Telah dibuktikan bahwa calcium loading memegang peranan penting dalam neuronal cell death setelah dilakukan stimulasi yang kuat terhadap ionotropic glutamate receptors 2,3. Sejak itu, keterlibatan ion homeostasis dysregulation dan disfungsi pada calcium signaling, banyak diteliti. Perihal cara terjadinya cell death, glutamate-induced neuronal cell death , sejak awal telah terbukti merupakan suatu bentuk necrosis berdasarkan tampilan morfologiknya. Saat ini ada bukti yang menarik bahwa kegagalan dari extracellular glutamate homeostasis, dapat mengakibatkan cara-cara kematian sel yang berbeda dengan fitur morfologi dan biokimiawi baik sebagai apoptosis ataupun sebagai necrosis tergantung dari beratnya insult, dimana ‘fulminant insult’ akan menyebabkan ‘rapid energy failure’



karena kurangnya ionic homeostasis, sehingga terjadi necrosis 4,5,6,7,8. EKSITOTOKSISITAS DARI EAA 9 EAA yang terkumpul karena trauma adalah sumber utama dari cytotoxic edema . Neurotransmitter ini, salah satunya glutamate akan mengikat reseptornya, mengaktivasi dan membuka membrane channels. Glutamate excitotoxicity adalah suatu proses yang berlangsung secara automatis yang memicu banyak mekanisme intraselular yang merugikan.



Gambar 1. Presynaptic neuron melepaskan glutamat pada synaps. Glutamat kemudian mengikat AMPA dan NMDA reseptor di postsynaptic neuron dan mengaktivasi berbagai pathways. Dikutip dari : Rovner SL. Hold That Thought. C&EN September 3, 2007 Volume 85, Number 36 pp. 13-20 Available at http://pubs.acs.org/cen/coverstory/85/8536cover.html on 4th Agustus 2011



Setelah traumatic brain injury (TBI) terdapat pelepasan langsung EAA dalam jumlah banyak, terutama glutamat dan aspartat dari ujung saraf presynaps dan astrosit-astrosit kedalam ruang ekstraselular. Proses ini dimulai tatkala EAAs 19



Neurosurgery Lecture Notes



mengikat postsynaps receptor yang sesuai yaitu NMDA dan AMPA. Aktivasi dari ion channel – ion channel ini menyebabkan konsentrasi Ca2+ dan Na+ intraselular meningkat, yang diikuti secara pasif oleh Cl- dan air.



Gambar 3. Glutametergic excitotoxicity dan intracellular secondary injury proses. Dikutip dari Youmans Neurological Surgery 6th Ed, Vol 4, Elsevier Sauders Philadelphia 2011.p.3313 i



Gambar 2. Pelepasan Glutamat ke postsynaps dan ke astrosit. Dikutip dari :Syntichaki P, Tavernarakis N. The biochemistry of neuronal necrosis: rogue biology? Nature Reviews Neuroscience 2003;4:672



Kombinasi dari volume intraselular dan Ca yang berlebihan ini menyebabkan organelle swelling, plasma membrane swelling, nekrosis, dan apoptosis, dan menyebabkan aktivasi enzymenzym yang bersifat destruktif, seperti phopholipase, calpain, caspase dan nitric acid synthase [NOS]. Calpains men-degradasi-kan cytoskeleton dan mengaktivasi caspases (yang mencetuskan apoptosis) langsung dan tidak langsung melalui aktivasi Bax di mitochondria, caspases pada gilirannya mampu mengaktivasikan calpain dalam suatu umpan balik yang positif. Secara bersamaan suatu caspase-independent apoptotic pathway juga di aktivasi, dimana apoptosis-inducing factor (AIF) dilepaskan dari intermembrane space mitochondria (gambar 3) 2+



20



Gambar 4. Struktur mitochondria. Dikutip dari Inter membrane space. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Intermembrane_space on 3rd August 2012



AIF kemudian bermigrasi ke nukleus dan menyebabkan chromatin condensation dan DNA fragmentation. Nitric acid, yang diproduksi oleh nitric acid synthase, dengan cara yang sama dapat merusak DNA. Kerusakan DNA meng-aktivasi poly (adenosine diphosphat ribose) polymerase (PARP) yang menyebabkan pelepasan AIF melalui aktivasi calpain dan kemudian aktivasi Bax (gambar 3). Peningkatan kadar calcium intraselular juga mencetuskan pelepasan glutamate-containing exocytotic vesicles, dengan demikian secara berkesinambungan menyebarkan proses-proses yang menyebabkan kerusakan. RELEVANSI KLINIK DARI NEUROTOKSISITAS EAA Banyak penelitian menunjukkan bukti bahwa eksitotoksisitas terlibat dalam: cedera otak



Neurosurgery Lecture Notes



akut, pada kondisi patofisiologik setelah status epilepticus, trauma mekanik atau iskemia9. Glutamate excitotoxicity tampaknya terlibat secara parsial dalam banyak penyakit-penyakit neurodegeneratif. EPILEPSI Penelitian histopatologik pada penderitapenderita yang mengidap penyakit epilepsi kronik mengungkapkan bahwa daerah-daerah tertentu dari otak menunjukkan perubahan struktural dimana terdapat kehilangan neuron yang parah dan gliosis yang reaktif10. Epilepsi lobus temporalis pada manusia merupakan penjelasan terbaik bagi proses patologi otak penderita epilepsi, dimana terjadi sklerosis dari hippocampus yang meluas ke amygdala dan gyrus parahippocampus, dan disebut sebagai ‘mesial temporal sclerosis’, ‘hippocampal sclerosis’, atau ‘Ammon’s horn sclerosis’. Mesial temporal sclerosis adalah hilangnya neuron-neuron dan terbentuknya jaringan parut dibagian dalam dari lobus temporalis, biasanya berhubungan dengan cedera otak tertentu . SEIZURE



HYPOXIA



HYPOGLYCEMIA



70% dari penderita epilepsi lobus temporalis mempunyai mesial temporal sclerosis. Mesial temporal sclerosis dapat diperburuk oleh seranganserangan kejang. Adanya kerusakan otak telah dibuktikan setelah terjadinya epileptiform activity yang berkepanjangan dengan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit, yang dinamakan status epilepticus (SE) 11. Satu hal yang penting ialah, hilangnya sel-sel neuron setelah SE tidak disebarkan secara merata dibagain-bagian (subfields) hippocampus, luasnya kerusakan berturut-turut CA1 > CA4 > CA3 > CA2, jadi tampak perbedaan kerentanan terhadap SEinduced cell death. (CA adalah Cornu Ammonis, daerah anatomik pada hippocampus).



TRAUMA



DEPOLARIXATION



ENERGY DEPLETION



DAMAGE



RELEASE



UPTAKE



LEAKAGE



EXTRACELLULAR GLUTAMATE



TOXICITY



Diagram1. Glutamate meng-induksi acute CNS injury. Skema klasik ini menggambarkan bahwa seizure, hypoxia, hypoglycemia dan trauma mempunyai mekanisme yang sama dalam cedera akut. Aktivitas excitatory dari transmitter glutamate dihubungkan dengan efek toxic-nya (excitotxicity). Dikutip dari : Gillessen T,Budd SL, Lipton SA. Exitatory Amino Acid Excitotoxicity. In : Alzheimer ed. Molecular and Cellular Biology of Neuroprotection in the CNS. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow : Kluwer Academic / Plenum Publishers 2002.p 3-40



Kerusakan otak karena cedera traumatik, infeksi, tumor otak, kekurangan oksigen atau kejang-kejang yang tidak terkontrol dikira merupakan sebab terbentuknya jaringan parut terutama di hippocampus, bagian dari lobus temporalis. Daerah tersebut akan menjadi atrofi, neuron-neuron mati, dan terbentuk jaringan parut. Kerusakan ini dikira merupakan penyebab yang signifikan dari epilepsi lobus temporalis. Faktanya,



Gambar 5. Anatomi hippocampus dikutip dari The Temporal Lobe & Limbic System.John R. Hesselink, MD, FACR available at : http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm on August 7, 2012



Pada epilepsi hewan percobaan dengan menggunakan chemoconvulsant-induced atau electrical stimulation-induced SE, tampak pola-pola kerusakan otak yang sama 12,13. Penelitian yang ditujukan untuk pengamatan perubahan ultrastruktur menunjukkan bahwa sifat-sifat tertentu dari kerusakan sel seperti misalnya pembengkakan dendrit dan soma, adalah independen (tidak berhubungan) dengan mekanisme yang dipakai untuk menimbulkan SE 14. Bukti dari keterlibatan EAA-mediated excitotoxicity pada SE-induced neuronal death timbul dari berbagai-bagai penelitian. Pertama, tampilan morfologik dari kerusakan sel setelah SE sama dengan kerusakan setelah aplikasi lokal atau



21



Neurosurgery Lecture Notes



sistemik dari glutamic receptor agonist Lglutamate, NMDA atau kainate 14. Kedua, pemberian ionotropic glutamate receptor antagonist yang menghambat excitotoxic cell death pada kultur neuron dapat mencegah kematian sel yang ditimbulkan oleh epileptiform activity 15,16. Terlepas dari bukti-bukti adanya excitotoxicity pada epilepsi, terdapat perdebatan yang seru mengenai cara kematian sel. Terdapat bukti-bukti yang memperkirakan terjadinya necrotic dan apoptotic cell death setelah aktivasi EAA receptor, secara patologik adalah relevan. Baru-baru ini, beberapa laporan menambahkan bukti keterlibatan apoptotic pathway pada epilepsy-associated neuronal cell death 17 . Sebagai kesimpulan, cara kematian sel pada SE-induced brain pathology mungkin sebagai akibat dari intensitas dan lamanya (duration) aktivasi glutamate receptor, akan terjadi pergeseran dari apoptotic death ke necrotic death sesuai dengan bertambahnya intensitas dan lamanya aktivasi reseptor. CEDERA OTAK TRAUMATIK Setelah terjadi trauma kepala, cedera otak mekanik dapat diikuti oleh perubahan-perubahan sekunder yaitu ‘metabolic’ glutamate leaks (kebocoran glutamat) yang tidak terkontrol dari sitoplasma neuron yang menyebabkan excitotoxic damage terhadap neuron disekitarnya. Meskipun demikian, dibandingkan penelitian terhadap mekanisme yang mendasari kerusakan sel pada epilepsi, penelitian pada cedera traumatik sangat jarang dan lebih sedikit bukti-bukti mengenai keterlibatan cara kematian sel. Beberapa penelitian memperkirakan, bahwa pelepasan EAA dari sitoplasma kedalam ruang ekstraselular dan bioenergetic failure serta ultrastructural damage dapat dikurangi oleh NMDA antagonist, hal ini menunjukkan adanya eksitotoksisitas.18,19,20 Penelitian-penelitian lain menunjukkan aktivasi caspase enzymes, internucleosomal DNA fragmentation dan induction of immediate early genes, menunjukkan adanya proses apoptosis. Pada penelitian neonatal model of traumatic brain injury, eksitotoksisitas yang terjadi menunjukkan adanya proses apoptosis dan necrosis. Necrosis terjadi lokal pada tempat impact dalam waktu 4 jam setelah insult, sedangkan cedera apoptosis



22



sekunder terjadi diantara 6-24 jam ditemukan disekitar daerah primary necrosis.21 Pada model penelitian ini, cedera sekunder lebih berat daripada cedera primer, menimbulkan dugaan bahwa apoptosis lebih luas daripada necrosis.



Gambar 6. Simplified schematic representation of the initiation and regulation of neuronal apoptosis after traumatic brain injury (TBI). Dikutip dari : Zhang et al. Critical Care 2005 9:66 doi:10.1186/cc2950. Available at http://ccforum.com/content/9/1/66/figure/F1 on 9th August 2012



HIPOKSIA - ISKEMIA Pada beberapa kondisi iskemia lokal dan global, neuron kehilangan glukosa dan oksigen, menyebabkan bioenergetic failure, dan penurunan ion gradients di seluruh membran plasma. Hal ini menyebabkan depolarisasi membran plasma yang menyebabkan peningkatan pelepasan glutamate melalui synaps22,23,24. Lebih lanjut, osmotic cell swelling yang terjadi karena influx dari Na⁺, Cl⁻ dan H₂O dapat mengakibatkan ruptur membran plasma dan pelepasan lebih lanjut dari cytoplasmic glutamate kedalam ruang ekstraselular. Ringkasnya, hipoksia/iskemia mengakibatkan peningkatan sekunder konsentrasi glutamat ekstraselular 24. Sebagaimana telah dibahas diatas, acute CNS insult menyebabkan peningkatan glutamat ekstraselular dan mengakibatkan exitotoxic damage. Keterlibatan eksitotoksisitas pada hipoksia/iskemia didukung oleh observasi bahwa NMDA-type glutamate receptor antagonist memperkecil /mengurangi kematian neuron pada



Neurosurgery Lecture Notes



iskemia serebral hewan percobaan 25. Namun, keadaan lingkungan yang sesungguhnya pada manusia berbeda dengan hewan percobaan.



Gambar 6. Fundamental role of the Rip2/caspase-1 pathway in hypoxia and ischemia-induced neuronal cell death. Dikutip dari : Zhang W, et al. PNAS 2003;100:16012-16017. Available at http://www.pnas.org/content/100/26/16012/F7.expansion.ht ml on 9th August 2012



mengangkutnya bersama dengan ion lain disepanjang membran sel. Setelah glutamat dilepaskan karena terbentuknya aksi potensial, transporter glutamat dengan cepat memindahkannya dari ruang ekstraselular, untuk menjaga agar konsentrasinya tetap rendah, dengan demikian mengakhiri transmisi sinaptik30. Tanpa aktivitas transporter glutamat, glutamat akan bertambah banyak dan akan membunuh sel-sel dalam suatu proses yang disebut excitotoxicity, dimana sejumlah besar glutamat bertindak sebagai racun/toksin terhadap neuron dengan mencetuskan sejumlah biochemical cascades.. Aktivitas dari transporter glutamat juga memungkingkan glutamat mengalami daur ulang untuk pelepasan berikutnya. Transporter glutamat juga mengangkut aspartat, dan terdapat di hampir semua jaringan perifer seperti tulang, jantung, hati dan testis. Mereka memperlihatkan stereoselectivity terhadap L-glutamate tetapi juga mengangkut baik L- aspartat maupun D-aspartat.



Selain konsep yang sudah diterima mengenai eksitotoksisitas yang berhubungan dengan kematian sel, terdapat beberapa bukti bahwa neuron dapat mengalami apoptosis setelah kejadian iskemia 26 (gambar 6). Diantara beberapa biochemical markers dari apoptosis, DNA fragmentation 27,28 dan activation of caspase-3 29 telah diobservasi pada cerebral ischemia hewan percobaan. Selain itu, penggunaan caspaseinhibitor menyebabkan pengurangan ukuran infarct (infarct size) dan penurunan kematian sel (cell death) pada kultur neuron setelah trauma. EXCITATORY AMINO ACID TRANSPORTER (EAAT) Excitatory amino-acid transporters (EAATs), juga dikenal sebagai glutamate transporters, merupakan anggota keluarga neurotransmitter transporters. EAATs berfungsi untuk menghentikan excitatory signal dengan menghilangkan (reuptake) glutamat dari sinaps neuron dimasukkan kedalam neuron lain dan neuroglia. EAATs adalah transporter sekunder yang terikat pada membran yang secara superficial menyerupai ion channels. Transporter ini berperan penting dalam mengatur konsentrasi glutamat di ruang ekstraselular dengan



Gambar7. Proses pengangkutan glutamat oleh transporter glutamat. Dikutip dari : Human Excitatory Amino Acid Transporters: Synthesis of Novel Subtype Selective Ligands. Tri Hien Viet Huynh Department of Medicinal Chemistry Faculty of Pharmaceutical Sciences University of Copenhagen Universitetsparken 2, 2100 Copenhagen Denmark.



Aktivitas yang berlebihan dari transporter glutamat dapat menimbulkan kadar glutamat sinaps tidak adekuat dan mungkin terlibat dalam schizophrenia dan penyakit-penyakit mental lainnya. 23



Neurosurgery Lecture Notes



Selama proses-proses seperti iskemia dan traumatic brain injury, aksi / tugas glutamat mungkin gagal, sehingga mengarah ke penumpukan glutamat yang bersifat toksis. Bahkan, aktivitas mereka juga dapat benar-benar terbalik karena jumlah yang tidak memadai dari adenosin trifosfat untuk memberikan power pada ATPase pumps, sehingga mengakibatkan hilangnya electrochemical ion gradient. Karena arah dari transport glutamat bergantung kepada ion gradient, maka transporter ini akan melepaskan glutamat bukan memindahkannya, sehingga terjadi neurotoksisitas sebagai akibat aktivasi yang berlebihan dari reseptor glutamat 31 . Hilangnya Na+-dependent glutamate transporter EAAT2 dikira berhubungan dengan penyakit-penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer’s disease, Huntington’s disease dan ALS parkinsonism dementia complex. Juga degenerasi dari motor neurons pada penyakit amyotrophic lateral sclerosis telah dikaitkan karena hilangnya EAAT2 dari penderita-penderita penyakit otak dan medulla spinalis32.



Gambar 8. Disebelah kanan gambar, glutamat yang berlebihan, karena glutamate uptake yang menurun melalui glutamate transporter, menyebabkan peningkatan Ca2+ influx didalam neuron, dan menyebabkan peningkatan oxidative dan metabolic stress. Dikutip dari : Ross CA, Cleveland DW. Intercellular miscommunication in polyglutamine pathogenesis. Nature Neuroscience 2006; 9:1205-1206



PERAN REACTIVE OXYGEN SPECIES PADA EKSITOTOKSISITAS Spesies oksigen reaktif (ROS) yang dihasilkan oleh mitokondria diproduksi sebagai 24



produk sampingan dari metabolisme oksidatif yang normal. Nasib spesies ini diatur oleh sejumlah faktor yang berbeda dari jaringan ke jaringan pada mamalia dan mungkin terlibat dalam patogenesis penyakit. ROS juga bertindak sebagai bahan yang penting pada proses-proses yang menjadi aktif didalam sel-sel yang mengalami apoptosis. Pembentukan dari ROS ini belum sepenuhnya dapat dimengarti. Bukti keterlibatan ROS dalam excitotoxic cell damage timbul dari penelitian-penelitian yang menunjukkan peningkatan produksi O2- 34 setelah terjadi stimulasi yang berlebihan terhadap ionotropic glutamate receptor dan dari penelitianpenelitian yang menggunakan radical scavengers atau inhibitor dari formasi ROS tertentu. Penelitian-penelitian ini dengan tegas memperlihatkan bahwa bila ROS dihilangkan, akan menyebabkan redaman terhadap glutamate receptor-induced cell death35.



Gambar 9. Menunjukkan free radicals (orange) sangat tidak stabil dan bereaksi cepat dengan molekul-molekul lain, mencuri elektron agar menjadi stabil. Kerusakan oksidatif dari ROS, seperti O2-, H2O2, atau OH-, dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel (vertical cell). Dikutip dari : Reactive Oxygen Species and Antioxidant Defense Mechanisms in the Oral Cavity: A Literature Review. Symone M. San Miguel, DMD, PhD;1 Lynne A. Opperman, PhD;2 Edward P. Allen, DDS, PhD;3 and Kathy K.H. Svoboda, PhD4. Available at http://www.dentalaegis.com/cced/2011/02/reactive-oxygenspecies-and-antioxidant-defense-mechanisms-in-the-oralcavity on 9th August 2012.



Telah dijelaskan sebelumnya beberapa proses Ca+- dependent yang meningkatkan produksi ROS endogen, semuanya diasumsikan



Neurosurgery Lecture Notes



terlibat dalam excitotoxic cell death setelah terjadi aktivasi terhadap NMDA receptor. Sebagaimana yang telah dijelaskan, Ca+ loading kedalam mitochondria merupakan salah satu mekanisme penting untuk produksi ROS dalam kondisi yang berhubungan dengan eksitotoksisitas35. Selain mekanisme ini, aktivasi terhadap Ca+- dependent phopholipase A2 juga tampak setelah aktivasi terhadap NMDA receptor; dan katabolisme asam arakidonat yang dirilis oleh lipoxygenase dan cyclooxygenase , terlibat dalam excitotoxicity seiring dengan produksi ROS. Secara umum ROS dapat menimbulkan kerusakan ganda terhadap protein, lemak, karbohidrat dan nucleic acids, sehingga merusak fungsi-fungsi sel. Peningkatan produksi ROS dengan demikian merupakan ancaman yang potensial terhadap homeostasis selular dan kelangsungan hidup neuron bila produksi ROS tidak diimbangi oleh kemampuan mekanisme antioksidan endogen (tabel 1).



adanya aktivasi caspases pada stroke hewan percobaan. Inhibisi terhadap caspases secara umum oleh injeksi intracerebroventricular dengan N-benzyloxycarbonyl-Val-Ala-Aspfluoromethylketone (z-VAD.FMK) atau inhibisi selektif terhadap caspase-3 oleh Nbenzyloxycarbonyl-Asp-Glu-Val-Aspfluoromethylketone (z-DEVD.FMK) mengurangi volume infark iskemik sebanyak 60% 37. Caspase inhibitors ini tetap aktif walau diberikan beberapa jam setelah insult, menjadikan mereka lebih aktif daripada blokade NMDA receptor oleh MK-801. Sementara morfologi dari proses kematian sel-sel iskemik tidak sepenuhnya sesuai dengan ‘clasical’ apoptosis, dan in-vivo excitotoxic injury menyebabkan neurodegerasi dalam rangkaian apoptosis-necrosis, dan penelitian terhadap inhibitor-inhibitor caspase jelas menunjukkan adanya peran apoptosis pada iskemia.



Tabel 1. Characteristic of reactive oxygen species. Dikutip dari : Gillessen T, Samanta L, Budd and Stuart A.Lipton. Excitatory Amino Acids Neurotoxicity. In : Alzheimer C. Ed. Molecular and Cellular Biology of Neuroprotection in the CNS. New York: Kluwer Academic / Plenum Publishers 2002 : 3-40 Reactive Oxygen Symbol Characteristics Species Suoeroxide anion O2Good reductant, poor oxidant Hydroxyl radical -OH Highly reactive, small diffusion range Hydrogen H2O2 Oxidant, high peroxide diffusion range



EKSITOTOKSISITAS, CALCIUM LOADING dan APOPTOSIS Sebuah kemajuan yang besar dalam eksitotoksisitas timbul karena pengartian bahwa neuron-neuron dapat mengalami kematian karena proses apoptosis. Sebagai reaksi terhadap eksitotoksisitas, neuron mengaktivasi apoptosis dengan membongkar dirinya sendiri, termasuk DNA, cytoskeleton, dan produksi ATP. Sementara dalam situasi neurologik akut seperti pada stroke, sel-sel didaerah inti iskemik cepat mati oleh proses nekrosis, paling tidak pada hewan percobaan, selsel pada daerah penumbra akan mati juga tetapi menunjukkan marker – marker apoptosis, seperti oligonucleosomal DNA damage 36. Bukti lebih lanjut dari apoptosis pada excitotoxicity terbukti dari



Gambar 10. Intracellular calcium and excitotoxicity. Gambar ini meng-ilustrasikan berbagai proses intraselular yang dapat dicetuskan oleh peningkatan konsentrasi calcium intraselular didadalam neuron yang mengalami exictotoxicity. Dikutip dari : The Role of Excitotoxicity in Neurodegenerative Disease: Implications for Therapy . Adam Doble. Neuroscience Dept., Tri 109, Rhône-Poulenc Rorer S. A., 20, Avenue Raymond Aron, 92165 Antony, France. Available at http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S016372589 8000424 on 15/08/2012



Apoptosis juga merupakan ciri dari kematian neuron pada penyakit-penyakit neurodegeneratif. Fragmentasi DNA juga telah di deteksi pada contoh pemeriksaan postmortem pada penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, penyakit Huntington dan ALS. Akan tetapi, adanya fragmentasi DNA tidak menjamin bahwa kematian 25



Neurosurgery Lecture Notes



sel itu oleh proses apoptosis, fragmentasi DNA dapat dipengaruhi oleh keadaan ante mortem hypoksia 38. Baru-baru ini, peneliti-peneliti lain menemukan molekul-molekul apoptotik seperti caspase, BclXL pada penyakit Alzheimer. Pada saat ini secara umum telah diterima pendapat bahwa neuron loss pada penyakit-penyakit neurodegeneratif kronik di mediasi oleh apoptosis38. KEY SIGNALING PLAYERS IN NEURONAL APOPTOSIS Caspases adalah pusat untuk induksi kematian sel saraf 39. Aktivitas caspase pada key intracellular substrate, termasuk protease zymogen yang lain, menjadikan caspase sebagai primary executioner pada program kematian sel. Dari 14 macam caspase, dapat dibagi menjadi 2 grup fungsional, kelompok yang memprakarsai apoptosis dengan menerima initiating signals, dan kelompok yang mempengaruhi pembongkaran sel . Kelompok yang menerima atau yang memadukan apoptotic signals (caspase-8, -10, -2, -9) membelah (cleave) dan meng-aktivasi downstream effector casapases (caspase-3, -7, -6). Kemungkinan langkah terakhir yang reversible dalam kematian neuron adalah aktivasi dari caspase-340, walaupun pasti ada caspase-independent mechanism. Seperti telah dibahas sebelumnya, petide inhibitor of caspase-3 menghalangi kematian neuron dalam berbagai situasi. Kepentingan utama dari caspase-3 pada neuron tampak jelas pada tikus yang caspase-3 – deficient yang ukuran otaknya menjadi dua kali lipat lebih besar, yang mengurangi apoptosis dan premature death.



Gambar 11. Gambar yang menunjukkan beberapa corak dari cedera apoptosis pada neuron41.



26



Setelah insult yang relatif ringan oleh glutamate pada NMDA reseptor (meng-inisiasi Ca2+ influx yang berlebihan dan menimbulkan produksi NO dan O2- membentuk ONOO-), membran potensial dari mitochondria untuk sementara mengalami depolarisasi dan juga terjadi penurunan sementara ATP, tetapi ini tidaklah cukup untuk melumpuhkan the pumps, sehingga tidak terjadi necrosis.Sebaliknya terjadi peralihan permeabilitas mitochondria, sehingga mitochondria kemudian membengkak. Caspases, Bcl-2 dan Bcl-XL yang berlokasi di membran mitochondria dapat mempengaruhi/menganggu peralihan permeabilitas mitochondria. Di neuron, pada saat sintesa ATP pulih kembali, cytochrome c dilepaskan dari mitochondria. Bersama-sama dengan apoptotic protease activating factor-1 (Apaf-1) dan dATP/ATP, cytochrome c mencetuskan aktivasi caspase-9 dan kemudian pada gilirannya caspase-3, menyebabkan apoptosis. Mitochondria tampak menyediakan hubungan antara initiator caspases dan downstream effector caspase (lihat gambar 11). Pada nonneuronal cells, mitochondria telah terbukti mempercepat aktivasi dari effector caspase dengan melepaskan proapoptotis molecules, seperti cytochrome c 41, apoptotic inducing factor42, dan SMAC diabolo 43. Pada saat ini dalam sistim neuron hanya pathway yang digunakan oleh cytochrome c yang telah dipahami sepenuhnya. Cytochrome c mencetuskan aktivasi pada caspase-9 yang seterusnya memecah (cleave) caspase-3, -6, -7 44.. Pelepasan cytochrome c dari mitochondria telah memperoleh banyak perhatian sebagai suatu komitmen terhadap apoptosis 45. Walau bagaimanapun, pelepasan cytochrom c dari mitochondria tidak mencukupi untuk apoptosis neuron 46 dan microinjection of cytochrome c kedalam sympathetic neuron tidak mengarah ke kematian pada keadaan dimana tidak terdapat rangsangan tambahan. Oleh karena itu, cytochrome c membutuhkan faktor-faktor lain untuk memulai caspase cascade. Faktor-faktor ini, Apaf-1, dATP, dan pro-caspase-9 bersama-sama dengan cytochrome c secara kolektif di kenal sebagai apoptosome. Caspase-9 yang telah diproses kemudian mampu memecah (cleave) caspase-3. Terdapat ketidakpuasan yang tinggi



Neurosurgery Lecture Notes



mengenai mekanisme pelepasan proapoptotic factors dari mitochondria. Ketidakpuasan itu meliputi : 1. Transport oleh pore-forming Bcl-2 family proteins misalnya Bax 2. Pembukaan (opening) dari permeability transition pore (PTP) pada inner mitochondrial membrane yang mengarah ke ruptur outer mitochondrial membrane. 3. Transport coupled to the voltage dependent anion channel pada outer mitochondrial membrane.



Gambar 12. Peranan mitochondria sebagai key player didalam apoptosis dan modulasi oleh viral proteins. Anggota pro-apoptotia Bcl-2 (bax dan Bak) mendorong pelepasan mitochondrial apoptogenic factors (cytochrome c, Smac/Diablo, Omi/HtrA2) kedalam cytosol, terlibat dalam aktivasi caspases. Dikutip dari : Mitochondrial localization of viral proteins as a means to subvert host defense. Céline Castanier, Damien Arnoult. INSERM U1014, Hôpital Paul Brousse, Bâtiment Lavoisier, 14 avenue Paul Vaillant Couturier, 94807 Villejuif cedex, France.Université Paris-Sud. Available at : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S016748891 0002259 on 15/08/2012



Hal-hal diatas masih merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab, karena pelepasan cytochrome c dari mitochondria akhirnya akan mengakibatkan disfungsi mitochondria dan defisit energi. Penelitian pada nonneuronal cell menunjukkan bahwa membran potensial mitochondria dipertahankan olah hidrolisis ATP setelah terjadi pelepasan cytochrome c. Pelepasan cytochrome c dari mitochondria dapat dirangsang oleh beberapa caspases dan oleh anggota-anggota pro-apoptotic Bcl-2 family : Bid dan Bax 47. Sebaliknya, survival factors dapat



beraksi mencegah pelepasan cytochrome c , misalnya channel activity dari Bax dapat dihalangi oleh anti-apoptotic Bcl-2 family seperti Bcl-2 atau Bcl-xL dan biasanya, Apaf-1 dapat diasingkan pada membran oleh Bcl-xL, dan bila tidak ada cytochrome c, Apaf-1 tidak dapat berinteraksi dengan pro-caspase-9. Sementara itu peranan dari signaling molecules pada neuronal apoptosis telah dipelajari secara luas didalam cell culture models, data invivo dari apoptotic pathway sangat jarang. Walaupun demikian, beberapa dari key signaling molecules pada apoptosis telah ditemukan setelah peristiwa iskemia, misalnya pelepasan cytochrome c, Fas/TNFR, Bax, phospho-JNK dan caspase-9. Pemrakarsa apoptosis pada neuron ada bermacammacam, termasuk penarikan faktor trofik, dan signaling melalui trans-membran ‘death’ receptor seperti Fas/TNFR family dan juga intrinsic signaling pathways yang memantau overload dari ROS, Ca2+, dan H⁺. In vitro kematian neuron dapat ditimbulkan dengan berbagai cara : axotomy, excitotoxins, trophic deprivation, dan lain-lain. Rangsangan yang bermacam-macam ini telah menunjukkan bahwa sesungguhnya neuron banyak sekali mengandung apoptotic signaling pathways. Excitotoxicity telah dapat dicapai pada kultur dari primary neuron dengan menggunakan baik direct insult misalnya, activation of glutamate receptors atau dengan secondary insult misalnya dengan Aβ (amyloid peptide), hypoxia, dsb. Contoh reaksi yang berbeda-beda ini (various paradigms) yang pada akhirnya over-stimulate glutamate receptors dan semuanya mengakibatkan aktivasi dari caspase. Upstream dari caspase walau bagaimanapun adalah excitotoxic insult, dapat secara simultan meng-aktifkan lebih dari satu pathways. Sebagaimana telah didiskusikan terlebih dahulu, over-stimulation terhadap NMDA receptors mengakibatkan influx calcium. Calcium pada konsentrasi tinggi ( >500 nM ) (secara tidak tepat meng-aktivasi banyak enzym) dikumpulkan didalam nucleus, endoplamic reticulum, dan mitochondria, dan sebagai gangguan umum terhadap cell’s ionic homeostasis menyebabkan pengurasan energi dalam jumlah besar karena sel mencoba untuk mengusir calcium yang berlebihan. Semua kejadian ini dapat dapat memicu neuron kearah apoptosis. Dari berbagai penelitian dan literatur, hal-hal



27



Neurosurgery Lecture Notes



dibawah ini menunjukkan beberapa dari pathways tersebut secara serentak diaktivasi oleh excitotoxic entry of calcium. Mitochondria otak yang terisolasi bila terkena calcium dalam konsentrasi tinggi akan melepaskan citochrome c. Karena itu aktivasi NMDA receptors yang berlama-lama (prolonged) pada kultur neuron dan kemudian diberi calcium dalam jumlah besar (loading) dapat menyebabkan pelepasan cytochrome c dari mitochondria diikuti oleh aktivasi caspase-348. Dalam keadaan excitotoxicity, cytochrome c dilepaskan dari mitochondria, di hadapan anggota lain dari apoptosome, merupakan sinyal langsung untuk apoptosis. Terpisah dari mitochondrion sebagai key player dalam apoptosis neuron, endoplasmic reticulum (ER) tampaknya berpartisipasi dalam apoptotic signaling. ER mengatur sel respons terhadap stres dan kadar calcium intrasellular. Pengobatan pada cultured neuron dengan glutamate atau thapsigargin menimbulkam ekspresi caspase-12 pada ER outer membrane. Halini mengakibatkan cleavage dan activation dari cytosolic caspase-349. Sebagaimana telah dibahas, glutamate receptor activation juga akan mengaktivasi Ca2+dependent cysteine protease calpain. Calpain inhibitor, tampaknya paling tidak sama efektifnya dengan caspase inhibitor didalam mencegah kematian neuron dan DNA fragmentation dan telah dibuktikan mengurangi kematian sel neuron yang disebabkan oleh hipoksia50. Activated pathways yang seiring termasuk p38MAP kinase dan c-jun N-terminal kinase atau stressed activated kinase (JNK/SAPK)nyang mempromosikan kematian sel 51. SAPK/JNK diaktivasi oleh tyrosine kinase dan peningkatan calcium intrasellular, dan pada primary striatal culture, pemberian glutamate akan meningkatkan phosphorylation dari substansinya cjun dan peningkatan aktivitas JNK 52. Glutamate telah terbukti mengaktivasi p38MAP kinase pada rat granule cerebellar neurons dan inhibisi terhadap p38MAP kinase telah terbukti melindungi in vitro neuron-neuron ganglia retina dari NMDAinduced apoptosis 53. Kerusakan DNA merupakan pencetus yang umum untuk apoptosis dibanyak jaringan dan didalam mature nervous system, p53 penting



28



untuk kematian neuron sebagai response terhadap DNA damage, iskemia dan excitotoxicity. Akhirakhir ini, signaling pathway yang bertanggung jawab dalam memicu p53-dependent neuronal apoptosis harus dijelaskan dan melibatkan cell cycle deregulation dan juga aktivasi dari JNK pathway. KESIMPULAN Banyak bukti telah terkumpul menunjukkan bahwa aktivasi yang berlebihan terhadap EAA receptor oleh primary excitatory amino acid L-glutamate dibawah kondisi patofisiologik atau intoksikasi dengan exogenous agonist menyebabkan excitotoxic cell death. Studi pada arus ion dalam kondisi excitotoxicity telah mengungkapkan bahwa ke-tidak-seimbangan Na+ dan Cl- gradient serta Ca2+ overloading terlibat dalam kematian sel. Ion calcium memegang peran penting dalam EAA neurotoxicity, karena intracellular messenger ini mampu mengaktivasi banyak sinyal-sinyal enzimatik dan nonenzimatik dan jalur-jalur eksekusi yang berperan dalam kematian sel neuron. Ada bukti kuat bahwa modus kematian sel neuron yang mengalami excitotoxicity bervariasi apakah menjadi proses necrosis atau apoptosis, tergantung pada berat ringannya insult. Pada saat ini, berbagai mekanisme yang terlibat dalam necrosis dan berbagai signaling dan jalurjalur eksekusi (execution pathways) yang terlibat dalam apoptosis telah terbukti meyakinkan. DAFTAR KEPUSTAKAAN 1.



2. 3. 4.



5. 6.



7.



Olney JW, Misra CH, de Gubareff T. Cysteine-S-Sulfate: Brain damaging metabolite in sulfite oxydase deficiency. J Neuropathol Exp Neurol 1975;34(2):167-177 Choi DW. Glutamate neurotoxicity in cortical cell culture in calcium dependent. Neurosci Lett 1985;58(3):293-297 Choi DW. Ionic dependence of glutamate neurotoxicity. J Neurosci 1987;7(2):369-379 Ankarcrona M, Dybbukt JM, Bonfoco E, et al. Glutamateinduced neuronal death: A succession of necrosis or apoptosis depending on mitochondrial function. Neuron 1995;15(4):961-973 Choi DW. Ichemia-induced neuronal apoptosis. Curr Opin Neurobiol 1996;6(5):667-672 Gottron FJ, Ying HS, Choi DW. Caspase inhibition selectively reduces the apoptptic component of oxygenglucose deprivation-induced cortical neuronal cell death. Mol Cell Neurosci 1997;9(3):159-169 Bonfoco E, Krainc D, Ankarcrona M, et al. Apoptosis and necrosis: Two distinct events induced, respectively, by



Neurosurgery Lecture Notes



8.



9.



10. 11.



12.



13. 14. 15.



16.



17.



18.



19.



20.



21.



22.



23.



mild and intense insult with N-methyl-D-aspartate or nitric oxide / superoxide in cortical cell culture. Proc Natl Acad Sci USA 1995;92(16):7162-7166 44Kure S, Tominaga T, Yoshimoto T, et al. Glutamate triggers internucleosomal DNA cleavage in neuronal cells. Biochem Biophys Re Commun 1991;179(1):39-45 Zacko JC, Hawryluk GWJ, Bullock MR. Neurochemical Pathomechanism in Traumatic Brain Injury. In: Winn HR ed., Youmans Neurological Surgery 6thedn. Vol.4. ELSEVIER SAUNDERS (Philadelphia) 2012:p.3305-15 Choi DW. Glutamate neurotoxicity and diseases of the nervous system. Neuron 1988;1(8):623-634 Margerison JH, Corsellis JH. Epilepsy and the temporal lobes. A clinical, electroencephalographic and neuropathological study of the brain in epilepsy, with particular referance to the temporal lobes. Brain 1066;89(3):499-530 Sagar HJ, Oxbury JM. Hippocampal neuron loss in temporal lobe epilepsy: corelation with early childhood convulsion. Ann Neurol 1987;22(3):334-340 Corsellis JH, Bruton CJ. Neuropathology of status epilepticus in humans. Adv Neurol. 1983;34:129-139 Hauser WA. Status epilepticus: Frequency, etiology, and neurological sequelae. Adv Neurol 1983;343-14 DiGiorgio CM, Tomiyasu U, Gott PS, et al. Hippocampal pyramidal cell loss in human status epilepticus. Epilepsia 1992;33(1):23-27 Olney JW, deGubareff T, Sloviter RS. “Epileptic” brain damage in rats induced by sustain electrical stimulation of the perforant path.II. Ultrastructural analysis of acute hippocampal pathology. Brain Res Bull 1983;10(5):699712 Turski WA, Cavalheiro EA, Bortolotto ZA, et al. Seizures produced by pilocarpine in mice: A behavioral, electroencephalographic and morphological analysis. Brain Res 1984;321(2):237-253 Clifford DB, Olney JW, Maniotis A, et al. The functional anatomy and pathology of lithium-pilocarpine and high dose pilocarpine seizures. Neuroscience 1987;23(3):953968 Ben-Ari Y. Limbic seizure and brain damage produced by kainic acid: mechanism and relevance to human temporal epilepsy. Neuroscience 1985;14(2):375-403 Olney JW, Collins RC, Sloviter RS. Exitotoxic mechanism of epileptic brain damage. In:Delgado-Esqueta AV, Ward AA eds. Basic Mechanism of Epilepsies. New York: Raven Press,1986:857-877 Clifford DB, Olney JW, Benz AM, et al. Ketamine, phencyclidine, and MK801 protect against kainic acidinduced seizure-related brain damage. Epilepsia 1990;31(4):382-390 Clifford DB, Zorumski CF, Olney JW, Ketamine and MK801 prevent degeneration of thalamic neurons induced by focal cortical seizures. Exp Neurol 1989;105(3):272-279 Simon RP, Swan JH, Griffith T, et al. Blockade of Nmethyl-D-aspartate receptors may protect against ischemic damage in the brain. Science 1984; 226(4676):850-852



24.



25.



26.



27.



28.



29.



30.



31.



32.



33.



34.



35. 36.



37.



38.



39. 40.



41.



Wieloch T. Hypoglycemia-induced neuronal damage prevented by an N-methyl-D-aspartate antagonist. Science 1985;230(4726):681-683 Benveniste H. The excitotoxin hypothesis in relation to cerebral ischemia. Cerebrovasc Brain Metab Rev 1991;3(3):213-245 Martin LJ, Al Abdulla NA, Brambrink AM, et al. Neurodegeneration in neurotoxicity, global cerebral ischemia, and target deprivation: A perspective on the contribution apoptosis and necrosis. . Brain Res Bull 1998;46(4):281-309 Linnik MD, Zobrist RH, Hatfield MD. Evidence supporting a role for programmed cell death in focal cerebral ischemia in rat. Stroke 1993;24(12):2002-2008 MacManus JP, Buchan AM, Hill IE, et al. Global ischemia can cause DNA fragmentation indicative of apoptosis in rat brain. Neurosci Lett 1993;164(1-2):89-92 Namura S, Zhu J, Fink K, et al. Activation and cleavage of caspase-3 in apoptosis induced by experimental cerebral ischemia, J Neurosci 1998;18(10):3659-3668 Zou JY, Crews FT (2005). "TNF alpha potentiates glutamate neurotoxicity by inhibiting glutamate uptake in organotypic brain slice cultures: neuroprotection by NF kappa B inhibition". Brain Res. 1034 (1-2): 11–24. Kim AH, Kerchner GA, Choi DW (2002). "Chapter 1, Blocking Excitotoxicity". In Marcoux, Frank W. CNS neuroprotection. Berlin: Springer. pp. 3–36. Yi JH, Hazell AS (2006). "Excitotoxic mechanisms and the role of astrocytic glutamate transporters in traumatic brain injury". Neurochem. Int. 48 (5): 394–403 Budd SL, Castliho RF, Nichols DG. Mitochondrial membrane potential and hydroethidine-monitored superoxide generation in cultured cerebellar ganules cells. FEBS Lett 1997;415(1);21-24 Castilho RF, Ward MW, Nichols DG. Oxidative stress, mitochondrial function, and acute glutamate excitotoxicity in cultured cerebellar granule cells. J Neurochem 1999;72(4):1394-1401 Bondy SC, Lee DK. Oxidative stress induced by glutamate receptor agonist. Brain Res 1993;610(2):229-233 Li Y, Chopp M, Jiang N et al. Induction of DNA fragmentation after 10 to 120 minutes of focal cerebral ischemia in rats. Stroke 1995; 26(7):1252-1257 Hara H, Friedlander RM, Gagliardini V et al. Inhibition of interleukin 1 beta converting enzym family proteases reduces ischemic and excitotoxic cell damage. Proc Natl Acad Sei USA 1997; 94(5):2007-2012 Drache B, Diehl GE, Beyreuther K et al. Bcl-xL- specific antibody labels activated microglia associated with Alsheimer’s disease and other pathological states. J Neurosci Res 1997;47(1):98-108 Pettmann B, Henderson CE. Neuronal cell death. Neuron 1998;20(4):633-647 Villa P, Kaufmann SH, Earnshaw WC. Caspases and caspase inhibitor. Trends Biochem Sei 1997;22(10):388393 Kluck RM, Bossy-Wetzel E, Green DR et al. The release of cytochrome c from mitochondria : a primary site for Bcl-



29



Neurosurgery Lecture Notes



42.



43.



44.



45.



46.



47. 48.



30



2 regulation of apoptosis. Science 1997;275(5303):11321136 Susin SA, Zamzami N, Castelo M et al. Bcl-2 inhibits the mitochondrial release of an apoptogenic protease. J Wxp Med 1996;184(4):1331-1341 Du C, Fang M, Li Y et al. Smac, a mitochondrial protein that promotes cytochrome c-dependent caspase activation by eliminating IAP inhibition. Cell 200;102(1):33-42 Li P, Nijhawan D, Budihardjo I et al. Cytochrome c and dATP-dependent formation of Apaf-1/caspase-9 complex initiates an apoptotic protease cascade. Cell 1997;91(4):479-489 Shimizu S, Narita M, Tsujimoto Y. Bcl-2 family proteins regulate the release of apoptogenic cytochrome c by the mitochondrial channel VDAC. Nature 1999;399(6735):48487 Rosse T, Oliver R, Monney L et al. Bcl-2 prolongs cell survival after Bax-induced release of cytochrome c. Natur 1008;391(6666):496-499 Zamzami N, Susin SA, Marchetti P et al. Mitochondrial control of apoptosis. J Exp Med 1996;183(4):1533-1544 Lautjens CM, Bui NT, Sengpiel B et al. Delayed mitochondrial dysfunction in excitotoxic neuron death:



49.



50.



51.



52.



53.



cytochrome c release and a secondary increase in superoxide production. J Neurosci 2000;20(15):57155723 Nakagawa T, Zhu H, Morishima N et al. Caspase-12 mediates endoplasmic-reticulum-specific apoptosis and cytotoxicity by amyloid-beta. Nature 2000;403(5765):98103 Wang KK, Nath R, Posner A et al. An alphamercaptoacrylic acid derivative is a selective non peptide cell-permeable calpain inhibitor and its neuroprotective. Proc Natl Acad Sei USA 1996;93(13):6687-6692 Harper SJ, LoGrasso P. Signalling for survival and death in neurones: the role of stress-activated kinase, JNK, and p38. Celln Signal 2001;13(5):29-310 Schwarzschilld MA, Cole RL, Hyman SE. Glutamate, but not dopamine, stress-activated protein kinase in a glutamate-induced AP-1 –mediated transcription in striatal neurons. J Neurolsci 1997;17(10);3455-3466 Kikuchi M, Tenneti L, Lipton SA. Role of p38 mitogenactivated protein kinase in axotomy-induced apoptosis of rat retinal ganglion cells. J Neurolsci 2000;20(13):5037-5044



Neurosurgery Lecture Notes



ENDOSCOPIC THIRD VENTRICULOSTOMY Sri Maliawan PENDAHULUAN Terapi tradisional atau konvensional pada hidrosefalus adalah implantasi ventricular shunt system ( VP shunt, VA shunt), dengan konsekwensi adanya komplikasi seperti malfungsi dan infeksi. Siapapun yang mengerjakan terapi konvensional tersebut, komplikasi tidak bisa dicegah. Keberhasilan ETV sangat tergantung dari pemilihan pasien, komplikasi umumnya hanya terjadi pada mereka yang mengerjakan prosedur ini pada 100 kasus pertama. Setelah itu kemungkinan komplikasi sangat kecil sehingga ETV saat ini menjadi terapi pilihan pertama pada obstuktif hidrosefalus. Insiden hidrosefalus Insiden hidrosefalus adalah 2 permil dari lahir hidup (Tashiro, 1998). Prevalensi 1-1.5%, insiden hidrosefalus congenital berkisar antara 0,91,8 permil lahir hidup ( berkisar antara 0,23,5/1000 lahir hidup) ( Greenberg, 1994). Kalau tidak diterapi akan meninggal atau cacat berat. Tahun 1992 sampai 2006 di Bali dan Nusa Tenggara didapatkan 812 hidrosefalus, insiden 10 permil, rata-rata 4 pasien perbulan (dinas kependudukan Propinsi Bali 2006). SEJARAH SINGKAT VENTRICULOSTOMY Pertama kali ventriculoscopy diperkenalkan oleh Walter E. Dandy tahun 1900 untuk terapi penderita hidrosefalus, dialah orang pertama yang menggunakan endoskopi primitif untuk melakukan plexectomy pada pasien dengan communicating hydrocephalus, kemudian juga mengembangkan subfrontal approach untuk membuka dasar ventrikel III, tindakan ini disertai mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Tahun 1923 William Mixter seorang ahli urologi pertama kali mengerjakan ETV dengan menggunakan urethroscope. Tracy J. Putnam meminjam urethroscope-nya kemudian memodifikasi sehingga memadai sebagai ventriculoscope yang bisa digunakan untuk



kauterisasi plexus choroideus pada anak dengan hidrosefalus. Akan tetapi dengan ditemukannya Valve-regulated shunt system dan dianggap teknik ini sederhana, maka VP-shunt dianggap sebagai sukses besar hampir selama 30 tahun. Peristiwa ini menyebabkan ETV tidak berkembang. Pada tahun 1947 H.F. McNickle memperkenalkan percutaneous ETV yang menurunkan angka komplikasi dan meningkatkan angka keberhasilan. Tahun 1970 diperkenalkan adanya leukotome untuk melebarkan perforasi pada dasar ventrikel III tanpa mengakibatkan trauma pada struktur sekitarnya. Dengan berkembangnya fiberoptic dan teknologi pembuatan lensa bisa dibuat neuroendoscope yang kecil, dimana ujungnya bisa diatur, disertai resolusi optik yang baik sehingga ETV menjadi pilihan pertama untuk terapi hidrosefalus obtruktif dengan keberhasilan 50-94%.1 SELEKSI PASIEN Pasien sudah didiagnosa dengan hidrosefalus baik klinis maupun imaging (CT scan atau MRI),ventrikel lateralis kanan dan kiri melebar, ventrikel III melebar. Pada irisan sagital jelas terlihat jarak yang cukup antara clivus dan arteri basilaris (BA) dibawah dasar ventrikel III sehingga endoscope aman bisa masuk ke ventrikel III, dan memungkinkan untuk bergerak aman tanpa resiko mencederai dinding lateral ventrikel III.1,2 Umur dibawah 6 bulan, hidrosefalus non obstruktif , sudah pernah dipasang VP-shunt, dan meningitis merupakan kontraindikasi relatif pada ETV. ETV pada bayi kurang dari 6 bulan, slitlike ventrikel, mantel korteks yang tipis, dan communicating hydrocephalus angka keberhasilannya rendah. Sistim ventrikel yang kecil atau slitlike ventrikel yang disebabkan oleh pemasangan VP-shunt sebelumnya, dapat diatasi dengan melakukan ETV. Pada communicating hydrocephalus selalu ada perbedaan tekanan intraventricular dengan tekanan ruang subarachnoid sehingga ETV masih bisa dilakukan dengan success rate 40-70% .3,4



31



Neurosurgery Lecture Notes



INSTRUMENTASI Ada bermacam alat yang bisa digunakan untuk ETV penulis lebih menekankan untuk satu macam alat saja, sampai betul-betul familiar dengan alat tersebut. 1. Endoscope dengan diameter A 4.2 mm channel Neuroendoscope (Medtronic, Inc., Minneapolis,MN), disposable endoscope dengan 13 cm rigid shaft dengan 2.1 mm working channel. 2. Kontrol panel. Yaitu rak berisi video camera dan optical coupler, xenon light source, video recorder dan printer. 3. Irigasi gunakan cairan ringer hangat. 4. Ventricular cannula no. 14 French. 5. Bugbee wire. Untuk penetrasi dasar ventrikel dengan cauter monopolar. 6. Balloon catheter. No 3. French Fogarty balloon catheter.



Fornix sepasang bentuknya seperti huruf C, merupakan efferent-output bundles yang menghubungkan hippocampus dengan mammillary bodies.



1



3 2



Gambar 2. Foramen monro 1. Foramen monro 2. Plexus choroideus 3. Vena thalamostriata



Gambar 1. ETV di RSUP.Sanglah, Denpasar



ANATOMI ENDOSKOPI DARI VENTRIKEL III Sangat penting untuk familiar dengan anatomI dari sIstIm ventrikel, foramen Monro paling sering pertama kali terlihat, sepasang foramen yang menghubungkan ventrikel lateralis dengan ventrikel III , caput nucleus caudatus letaknya dilateral dan septum pellucidum letaknya di medial. Plexus choroideus kalau diikuti akan menuju foramen monro. Vena septum pellucidum letaknya di anteromedial, meneruskan aliran darah vena ke vena thalamostriata yang letaknya di posteriolateral pada tepi belakang dari foramen monro, kemudian menuju vena cerebri interna yang berjalan pada tela choroidea dari ventrikel III. 32



Begitu endoscope memasuki ventrikel III ada patokan yang harus dipikirkan yaitu dinding lateral terdiri dari duapertiga anterior thalamus dan hypothalamus yang berhubungan dengan substansia grisea dari dasar ventrikel III. Tepi lateral kiri dan kanan ventrikel III dihubungkan oleh band of grey matter dari masa intermedia. Tepi belakang terdiri dari pineal body, habenular commisura, commisura posterior dan aquaductus cerebri. Aquaductus cerebri merupakan saluran yang menghubungkan ventrikel III dengan ventrikel IV, panjangnya 15 mm dan diameternya 1mm. Dasar ventrikel III dibentuk terutama oleh nulei hypothalamus, ada beberapa resesus dan prominence yang bisa digunakan sebagai patokan (landmarks), dianterior ada resessus opticus, chiasma opticum, resessus infundibularis (infundibulum), tuber cinerium, dan mammilary bodies. Pada mayoritas kasus dasar ventrikel III (tuber cinerium) tipis dan translusen. Dibawah dasar ventrikel III terletak fossa interpeduncularis (cysterna pontis). Dimana cairan likwor serebrospinalis akan dialirkan dari ventrikel III ke fossa interpeduncularir dengan endoskopi.



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 4. Prinsip ETV Gambar 3. Dasar ventrikel III 1. Dasar (floor) ventrikel III 2. Corpus mamillaris (dorsal) 3. Infundibulum (ventral)



PROSEDUR ETV 5,6,7 Keberhasilan ETV sangat tergantung dari pemahaman dan pengenalan anatomi dari sistim ventrikel dan variasinya pada hidrosefalus. Setelah anestesi umum pasien tidur terlentang dengan kepala posisi netral dan dengan bantalan donat (doughnut pillow). Kepala kemudian ditinggikan 30 derajat untuk mencegah keluarnya likwor berlebihan dan masuknya udara. Burr hole diameter 6-10 mm ditempatkan 3cm dilateral midline didepan sutura coronaria ditempat dimana foramen monro normal, ventrikel lateral yang lebih lebar atau disebelah kanan. Duramater dibuka berbentuk elip kemudian insersi no 14 French peel-away catheter dipakai untuk canulasi ventrikel lateral, arahnya pada proyeksi anterior posterior kearah canthus medialis mata ipsilateral dan pada proyeksi lateral kearah meatus acusticus externus, kemudian stylet dibuka, endoskop dipasang dan di insersi dengan gentle tanpa traction atau trauma pada otak. Jarak ratarata foramen monro dari duramater adalah 6cm pada orang dewasa , pada anak kurang dari itu. Beberapa ahli bedah saraf menyukai endoskop yang fleksibel tetapi penulis lebih suka yang rigid.



Kemudian foramen monro di identifikasi dan endoskop didorong memasuki ventrikel III, dasar ventrikel III kira-kira 9 cm dari dura mater, ini sangat bervariasi tergantung umur dan beratnya hidrosefalus. Mammilary bodies dan infundibulum di identifikasi. Kadang bisa dilihat jelas arteri basilaris (BA) melalui dasar ventrikel yang tipis atau translusen.



Gambar 5. Anatomi dasar ventrikel III



Pada sat ini ahli bedah saraf harus memutuskan dengan penuh keyakinan untuk melakukan fenestrasi dengan menggunakan Bugbee wire tanpa atau dengan monopolair electrocoagulation didepan BA pada dasar ventrikel III antara mammilary bodies dan 33



Neurosurgery Lecture Notes



infundibulum, kemudian bugbee wire diangkat, Fogarty catheter ukuran 3 French dimasukkan kedalam lubang tadi kemudian balloon catheter di kembangkan dengan 0,2 ml normal saline, untuk melebarkan lubang tersebut yang akan melebar sampai 5 mm, hati-hati kalau balloon mengembang dibawah stoma yang kalau ditarik bisa terjadi perdarahan. Membran arachnoid (Liliequist membrane) yang terlihat akan menghalangi aliran likwor, di fenetrasi dengan fogarty catheter. Pastikan bahwa sudah terjadi free flow likwor dengan memastikan tidak ada membrane arachnoid yang menghalangi. Jangan terlalu agresif mengexplorasi cistern prepontine karena bisa merusak perforating arteries atau cabangcabangnya, cukup bisa terlihat BA dan kadang hyphopyseal stalk terlihat jelas.



Setelah endoskop dilepas semua maka spongostan, atau surgicell dipakai menutup lubang burrhole, galea dijahit dengan vicrylR, kulit dengan monofilament nylon atau staples. Kalau ada perdarahan intraventricular dipasang EVD (external ventricular drainage) dan dipertahankan 1-2 hari. Pasien yang sebelumnya menggunakan shunt bisa dibuka dan observasi selama 3-5 hari. Kalau masih ada tanda tanda tekanan intracranial yang meningkat bisa dilakukan lumbal punksi dan keluarkan likwor kira-kira 10-20cc, bisa diulang 2 kali selama 2minggu. Kalau tidak ada perbaikan dianggap gagal dan dipasang shunt.



Gambar 7. Fogarty catheter



Sesudah stoma terbentuk akan terlihat ada undulasi dari tepi stoma yang menandakan aliran sudah memadai. Ada satu kasus ulangan ETV ternyata stoma masih terbuka tetapi Liliquist membrane belum terbuka , setelah difenestrasi pasien akhirnya bebas shunt. Untuk fenestrasi dasar ventrikel bisa menggunakan endoskop itu sendiri, laser, bipolar, dan monopolar cauterization.



Gambar 8. Monopolar cauterization



34



Gambar 9. Arteri basilaris dan cabang-cabangnya di cisterna prepontis



PERAWATAN PASCA OPERASI 8,9,10 Pasien diobservasi di ruang intensif selama 1 hari, kemudian keruang perawatan biasa dan bisa dipulangkan hari ke 2 atau 3. Kalau dilakukan CT scan kepala sebelum dipulangkan, mayoritas pasien tidak terjadi perubahan yang berarti dibandingkan pasien yang menggunakan shunt. Saat dipulangkan pasien harus sudah bebas dari nyeri kepala dan pada bayi fontanella mayor harus lembek dan tidak tegang. Pasien yang sebelumnya dilakukan VP-shunt kadang perlu waktu sampai 10 hari untuk menyesuaikan jalur penyerapan likwor yang baru dan kalau perlu pasang EVD. Idealnya setelah 2 bulan dilakukan MRI atau CT scan yang biasanya sudah terlihat sistim ventrikel mulai menyempit dam edema periventricular sudah menghilang.



Neurosurgery Lecture Notes



Jangan lupa menggunakan elastic bandage yang diatur sedemikian rupa sehingga bentuk kepala tidak pipih dan kalau dirawat dengan teratur bisa mengecilkan kepala dengan signifikan. ETV dianggap gagal kalau setelah 2 minggu masih ada tanda klinis tekanan intrakranial tinggi dan telah dilakukan lumbal punksi 2 kali.



Gambar 10. Pasca ETV dengan elastic bandage



KEBERHASILAN ETV Keberhasilan 40%-100% ( Van Gelder et al.,2005 dan Bergsneider et al., 2006). Keberhasilan 100% ( Singh et al.,2003; Gaab., 1998; Decq., 2000 dan Van Aalst et al., 2002). Prediksi keberhasilan 7 Berbagai laporan keberhasilan (success rate) dari ETV dilaporkan , dengan hasil yang berbeda, untuk memprediksi siapa kandidat yang akan berhasil dengan ETV maka Kulkarni AV et all menyusun ETVSS (endoscopic third ventriculostomy success scor). Disusun seperti tabel dibawah ini. Tabel 1. Calculation of ETVSS



ETVSS angkanya berkisar antara 0 sampai 90, angka tersebut secara kasar menunjukkan keberhasilan ETV setelah 6 bulan pasca operasi, misalnya bayi umur 8 bulan dengan aquaductus stenosis dan belum pernah dipasang shunt maka skornya adalah 30 + 30 +10 = 70 jadi kemungkinan sukses tanpa kegagalan dalam 6 bulan adalah 70% Untuk memudahkan maka pasien dibedakan berdasarkan High ETVSS ( 80-90), Moderate ETVSS ( 50-70) dan Low ETVSS ( scor dibawah 40). Hasil tersebut diatas didapatkan dengan menganalisa 15 paper tentang ETV dimana success rate dari ETV adalah 31,3% - 92,3% dan ketika ke 15 paper itu dianalisa dengan predicted ETVSS success scornya adalah antara 41,3% - 85,4% , hasilnya sangat signifikan. KOMPLIKASI 1. Infeksi 2. Kebocoran likwor dari tempat insisi. 3. Meninggal Pada 184 kasus yang dikerjakan penulis , meninggal 1 orang karena perdarahan, infeksi luka operasi 2 orang, meningitis 1 orang dan kebocoran sementara 3 orang. Delapan pasien tidak bisa dilakukan ETV oleh karena ventrikel III tidak bisa diidentifikasi (Imposibility of ETV 4,3%). Perdarahan intraventricular biasanya terjadi pada 100 kasus pertama ( learning curve).11 KESIMPULAN ETV harus dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada semua hidrosefalus obstruktif dan sebagian besar hidrosefalus non obstruktif. Sekali berhasil berarti bebas dari pemasangan VP-shunt. Dalam kasus tertentu bisa mengobati etiologi dari hidrosefalus, bisa biopsi atau melakukan koreksi penempatan ventrikular cateter. Rendahnya persentase kegagalan dan komplikasi bisa merupakan pilihan pertama untuk semua jenis hidrosefalus dan hanya melakukan shunt pada pasien yang tidak bisa dilakukan ETV



35



Neurosurgery Lecture Notes



KEPUSTAKAAN 1.



2.



3.



4. 5.



6.



7.



36



Garton HJ, Kestle JR, Cochrane DD, Steinbok P. A costeffectiveness analysis of endoscopic third ventriculostomy. Neurosurgery 51:69–78, 2002 Gorayeb RP, Cavalheiro S, Zymberg ST. Endoscopic third ventriculostomy in children younger than 1 year of age. J Neurosurg 100 (5 Suppl Pediatrics):427–429, 2004 Goumnerova LC, Frim DM. Treatment of hydrocephalus with third ventriculocisternostomy: outcome and CSF flow patterns. Pediatr Neurosurg 27:149–152, 1997 Jones RF, Stening WA, Brydon M. Endoscopic third ventriculostomy. Neurosurgery 26:86–92, 1990 Kulkarni AV, Drake JM, Kestle JR, Mallucci CL, Sgouros S, Constantini S. Predicting who will benefit from endoscopic third ventriculostomy compared with shunt insertion in childhood hydrocephalus using the ETV Success Score. Clinical article. J Neurosurg Pediatr 6:310– 315, 2010 Kulkarni AV, Drake JM, Mallucci CL, Sgouros S, Roth J, Constantini S : Endoscopic third ventriculostomy in the treatment of childhood hydrocephalus. J Pediatr 155:254–259, e1, 2009 Kulkarni AV, Cambrine JR, Browd SR . Use of the ETV Success Score to explain the variation in reported



8.



9.



10.



11.



endoscopic third ventriculostomy success rates among published case series of childhood hydrocephalus. J Neurosurg Pediatrics 7: 143 - 146, 2011. Maliawan S, Asadul AI, Mahadewa T. The Clinical improvement between ventriculoperitoneal shunt and endoscopic third ventriculostomy. World Federation of Neurosurgical Societies, 13th Interim Meeting / The 12th Asian-Australian Congress of Neurological Surgeons. November 18-22. EP18-6-1. 2007. Maliawan S, Sunaka K, Kari K. Hidrosefalus. Dexa Medika Jurnal Kedokteran dan Farmasi, No 1 Vol.19 Januari – Maret. 40-48. 2006. Maliawan S, Golden N, Mahadewa,T. Endoscopic 3rd Ventriculostomy versus VP-Shunt in: Annual Scientific Meeting of Indonesian Society of Neurological Surgeons in Conjunction with The World Federation of Neurological Societies (WFNS). Nusa Dua, Bali – Indonesia, 42. 2006. Maliawan S. Perbandingan Tehnik ETV dengan Vp Shunting pada Hidrosefalus Obtruktif: perbaikan klinis dan perubahan Interleukin -1β, interleukin-6, dan Neural growth Factor Cairan Serebrospinalis. Jurnal Penyakit Dalam. Vol.9 No1, Januari 2008.



Neurosurgery Lecture Notes



NEUROENDOSCOPY Julius July SEJARAH ENDOSCOPY Endoscopy mula-mula digunakan dalam bidang kedokteran untuk memeriksa organ berongga seperti rektum, pharynx dan kandung kemih (Litynski GS,1999; Modlin IM et al.,2004). Aplikasi endoscopy dalam bidang bedah saraf pertama kali digunakan untuk sistem ventrikel. Victor Darwin Lespinasse (1878-1946) adalah orang yang pertama kali menggunakan cystoscope untuk melakukan koagulasi terhadap pleksus choroid untuk mengobati hidrosefalus. Dia melakukan tindakan tersebut terhadap 2 anak, satu meninggal setelah tindakan, dan satu hidup selama 5 tahun pasca operasi(Grant JA,1996). Walaupun Lespinasse yang pertama kali melakukan tindakan neuro endoscopy untuk mengobati hidrosefalus, tetapi Walter Dandy yang diterima secara luas sebagai ‘Bapak Neuro-endoscopy’, mungkin disebabkan Lespinasse adalah seorang ahli urologi. Dandy melakukan tindakan endoscopy untuk hidrosefalus pertama kali tahun 1922 (Abbott R,2004). Kemudian detail prosedur dan hasilhasilnya baru Dandy laporkan pada tahun 1932, dia menyimpulkan bahwa tindakan ventrikulostomie untuk mengangkat choroid pleksus sebagai tindakan untuk mengobati hidrosefalus, sama baiknya dengan craniotomy transcortical transventrikuler (Dandy W,1932). Laporan ini mengawali perkembangan endoscopy dalam bidang bedah saraf. Hingga saat ini berbagai bentuk endoscopy telah dikembangkan, dengan sumber pencahayaan yang lebih baik. Penggunaan fiber optic untuk pencahayaan dan transmisi gambar yang lebih baik dikembangkan oleh Karl Storz (1911-1996) dan mulai dipatenkan tahun 1965 (Linder TE et al, 1997). Penggunaan fiber optic tersebut memungkinkan sumber cahaya yang tidak menimbulkan panas berlebihan sehingga tidak menyebabkan kerusakan jaringan. Gambar yang dihasilkan juga lebih baik, dengan kombinasi kamera yang sangat sensitif, maka gambar yang dihasilkan mendekati ketajaman penglihatan mata. Walaupun gambar yang dihasilkan baik, tetapi



dimensi gambar dari endoscopy saat ini masih 2 dimensi, tidak memberikan informasi tentang kedalaman pandangan (the depth of vision). Beberapa tahun terakhir, tengah dikembangkan endoscopy tiga dimensi yang memberikan gambar seperti mikroskop. Alat ini belum diproduksi secara luas dan masih mahal. Endoscopy tiga dimensi ini merupakan masa depan bedah endoscopy dalam berbagai spesialisasi.



ENDOSCOPY INTRAVENTRIKEL Endoscopy intraventrikel mengawali penggunaan endoscopy dalam bidang bedah saraf. Untuk melakukan endoscopy intraventrikel, sebaiknya kita memahami orientasi anatomi intraventrikel yang dapat dilihat melalui endoscope. Saat ini penggunaan neuro endoscopy untuk kelainan intraventrikel sudah merupakan suatu rutinitas yang dilakukan di berbagai institusi. Salah satu yang paling banyak dilakukan adalah Endoscopic third ventriculostomy (ETV) untuk obstruktif hydrosefalus. Tindakan ETV ideal dilakukan untuk berbagai sebab obstruktif hydrosefalus seperti aquaductus stenosis, perdarahan kecil yang menutupi aquaduct, tumor di tectum atau regio pineal yang menutupi aquaduct, tumor pada ventrikel IV, atau darah yang menutupi ventrikel IV. Prinsipnya adalah membuka jalan baru bagi aliran cairan serebrospinal (CSS) melalui dasar ventrikel III (Gambar 1 ). Untuk menentukan tempat masuknya, kita perlu memahami proyeksi jalur yang akan ditempuh untuk mencapai dasar ventrikel III. Biasanya kita menggunakan titik 2-3 cm lateral dari garis tengah (rujukannya : sutura sagitalis) dan 1 cm di anterior dari sutura coronaria. (Gambar 2) Titik tersebut bisa diambil sisi kiri maupun sisi kanan, tergantung operator disisi mana dia lebih nyaman bekerja (kebiasaan). Umumnya kebanyakan ahli bedah memilih sisi kanan. Jika kita menggunakan mesin neuro navigasi, maka proyeksi titik masuk dapat di rancang sesuai dengan pasien. Prinsipnya adalah menghubungkan 2 titik untuk 37



Neurosurgery Lecture Notes



membentuk garis. Titik pertama adalah target yang akan dicapai, dalam hal ini adalah dasar ventrikel III. Titik kedua adalah foramen Monro. Sehingga, jika ditarik garis hingga permukaan, maka akan kita dapatkan titik masuk yang paling ideal (Gambar 3).



FM



x



* T



Gambar 1. Memperlihatkan bahwa adanya tumor pada fossa posterior (T), membendung aliran CSS dari ventrikel III sehingga ventrikel III (*) dan ventrikel lateral melebar. Demikian juga dengan foramen Monronya (FM) melebar. Dasar ventrikel III terlihat menipis (anak panah). ETV adalah membuat pintu baru antara ventrikel III (*) dengan cisterna prepontine (x) dengan menembus dasar ventrikel III. Sehingga aliran CSS yang seharusnya melalui aquaductus sylvius, dialihkan ke cisterna prepontine.



>>



3



>>



2 1



Gambar 3. Cara menentukan titik masuk yang paling ideal untuk ETV adalah dengan sistem ‘ 2 titik’. Titik pertama adalah target yang akan dicapai, yaitu dasar ventrikel III (1), dan titik kedua adalah foramen Monro (2). Jika ditarik garis dari titik 1 ke titik 2, lalu diproyeksikan ke permukaan kulit, maka akan diperoleh titik masuk (3). Contoh MRI T1 ini merupakan kasus wanita 44 tahun dengan hydrosefalus non komunikans karena adanya kista di tektal plate yang menekan aquaductus sylvius.



SC



SS



Gambar 2. Terlihat lokasi burr hole (lingkaran putih) yang biasa ditempatkan, 2-3 cm lateral dari garis tengah, dengan rujukan sutura sagitalis (SS). Lalu 1 cm di anterior sutura coronaria (SC).



38



Posisi pasien disesuaikan dengan kebiasaan orientasi operator. Bisa dilakukan dalam posisi netral, atau miring ke satu sisi. Sebaiknya operator membiasakan diri dengan satu posisi, agar orientasi dalam ventrikel tetap diingat dan terbiasa. Setelah penentuan titik masuk diukur dengan baik, maka daerah tersebut dipersiapkan dan ditandai. Tindakan antisepsis dilakukan sebagaimana pada operasi lain. Insisi bisa bervariasi, lazy ‘S’, linier, maupun tapal kuda. Sebaiknya insisi mempertimbangkan ekspose sutura sagitalis dan sutura coronaria untuk orientasi anatomi. Burr hole ditempatkan pada lokasi yang sudah ditetapkan, dan dikonfirmasi dengan orientasi anatami yang ada.



Terdapat berbagai variasi sistem endoscopy yang dapat digunakan. Semua sistem tersebut baik digunakan, yang lebih penting adalah orientasi anatomi operator dan kenyamanan operator terhadap sistem yang digunakan. Pelaksanaan operasi juga menyesuaikan dengan sistem yang digunakan, ada yang menggunakan holder, dimana holder tersebut berperan sebagai



Neurosurgery Lecture Notes



tangan ke tiga bagi operator, sehingga kedua tangan operator bebas melakukan manuver lain. Tetapi ada kekurangan dalam hal ini, bahwa setiap perubahan, membutuhkan waktu untuk merubah posisi holder ke posisi yang diinginkan. Sistem yang lain, tangan operator atau asistent memegang scope, sehingga posisi terus dapat disesuaikan dengan pandangan yang ingin dilihat operator selama operasi. Hal ini membutuhkan tangan pemegang scope yang stabil. Jika scope dipegang oleh asisten, maka asisten harus bisa memahami dan menyesuaikan dengan lapangan pandang yang ingin dilihat oleh operator.



Anatomi Intraventrikel Saat insersi scope dilakukan, harus dipastikan bahwa arah ke ventrikel lateral sudah benar. Umumnya insersi 2-3 cm sudah harus mencapai ventrikel lateral, terlebih lagi jika korteksnya lebih tipis karena hydrosefalus. Jika insersi 2-3 cm belum mencapai ventrikel, maka harus dievaluasi ulang, apakah jalurnya (path) sudah benar. Sebab jika jalurnya salah dan diteruskan dapat menyebabkan komplikasi pada pasien.



For



VS



PCho V Th



Gambar 4. Orientasi intraventrikel, gambar foramen Monro sebelah kiri. Terlihat vena septal (VS), vena thalamostriata (V Th), dan pleksus choroid (PCho) yang bermuara ke foramen Monro. Dinding depan foramen Monro adalah fornix (For).



Setelah masuk ke ventrikel lateral, maka orientasi ventrikel akan membantu kita menuju



sasaran yang dituju. Landmark anatomy yang harus dilihat adalah anatomi disekitar foramen Monro (Gambar 4). Pada sisi medial dapat dilihat vena septal, kemudian sisi lateral terlihat vena thalamostriata. Kedua vena tersebut akan bermuara ke foramen Monro, pleksus choroid melewati foramen tersebut pada sisi posterior menuju atap ventrikel III. Ukuran foramen Monro mengalami dilatasi pada kasus hydrosefalus sehingga memudahkan insersi scope melewatinya. Setelah melalui foramen Monro, pandangan akan langsung tertuju pada dasar ventrikel III. Scope yang telah melewati foramen Monro harus dalam posisi stabil, jika banyak perubahan sudut, dapat mencederai struktur disekitar foramen Monro. Struktur tersebut antara lain: 1. Vena septal, terletak pada sisi medial foramen Monro, jika terjadi cedera atau robekan vena septal, maka dapat menyulitkan operator karena perdarahan dalam ventrikel akan mengganggu pandangan melalui scope. 2. Vena Thalamostriata, terletak pada sisi lateral posterior foramen Monro, mengurus drainage darah vena dari thalamus dan corpus striatum. jika terjadi cedera pada vena ini, maka dapat terjadi kongesti atau bahkan infark berdarah pada thalamus dan corpus striatum. Pasien akan menderita hemiplegia, gangguan menelan, hemihipestesia, atau bahkan pasien tidak bangun pasca operasi. 3. Fornix, terletak pada bagian anterior superior foramen Monro, jika terjadi cedera pada fornix, maka dapat terjadi gangguan memory jangka panjang (Tsivilis et al.,2008). Pada dasar ventrikel III, akan terlihat struktur seperti payudara yang disebut corpus mammillaris (Gambar 5). Pada sisi anteriornya dapat dilihat adanya lekukan seperti sumur dangkal yang disebut recessus infundibularis. Segitiga yang dibentuk oleh kedua korpus mamilary dan recessus infundibularis merupakan zona untuk melakukan ETV. Sebaiknya dilakukan pas pada bagian tengah dari segitiga tersebut (tanda * pada gambar 5).



39



Neurosurgery Lecture Notes



Cm



*



Gambar 5. Dasar ventrikel III, terlihat bayangan corpus mammillaris (Cm), ventrikulostomie dilakukan (*), kemudian dilebarkan dengan fogarty catheter no 3G.



dengan mudah dapat dilihat jika foramen Monronya lebar atau menggunakan scope yang bersudut (Contohnya Scope Oi 12о). Saat melakukan perforasi dasar ventrikel III, sebaiknya dalam penglihatan imaginer operator bisa membayangkan ada struktur apa saja dibalik dasar ventrikel III. Hal ini penting untuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi. Struktur yang dapat ditemukan di caudal dari dasar ventrikel III antara lain, basilar tip, nervus III pada kedua sisi, dan pons. (Gambar 7) Prinsip dasar dari ETV adalah membuat hubungan antara ventrikel III dengan cisterna prepontine, jadi semua struktur yang terletak dalam cisterna prepontine sebaiknya ada dalam penglihatan imaginer operator.



P Cli N III



BA PCA



Gambar 6. Struktur dalam lingkaran kuning akan cedera karena perubahan sudut scope pada foramen Monro. Hal ini menyebabkan cedera fornix. Demikian juga dengan arah posterior, jika kita berusaha mencapai dinding kista, ada kemungkinan scope akan mencederai struktur dalam lingkaran putih. Contoh MRI T1 ini merupakan kasus wanita 44 tahun dengan hydrosefalus non komunikans karena adanya kista di tektal plate yang menekan quaductus sylvius.



Pada bagian anterior dari recessus infundibularis, dapat terlihat recessus chiasmatic, tetapi struktur ini tidak perlu rutin diidentifikasi, sebab sudut yang dibentuk saat kita mencoba melihat orientasi ini, sering menyebabkan scope mencederai fornix. (Gambar 6) Recessus chiasmatic 40



Pons



Gambar 7. Gambaran anatomi cisterna prepontine setelah dilakukan third ventrikulostomie. Terlihat arachnoid membrane pada dasar cisterna prepontine sangat tebal. Pada kasus ini , anak 3 tahun dengan kista arachnoid suprasella yang menyebabkan hydrosefalus. Cisterna prepontine telah terdistensi lama. BA = basilar artery; PCA=posterior cerebral artery; N III= nervus III; P Cli= posterior clinoid.



Saat melakukan perforasi dasar ventrikel III, dapat terjadi cedera terhadap berbagai struktur yang seharusnya dapat dihindarkan. Struktur tersebut antara lain: 1. Corpus mammillaris, jika terjadi cedera pada struktur ini, maka pasien mengalami gangguan episodic memory recall , gangguan memory baru (Tsivilis et al.,2008).



Neurosurgery Lecture Notes



2.



Infundibulum, merupakan penghubung antara hipothalamus dan hipofise posterior (hypothalamohypophyseal tract) yang bertanggung jawab terhadap pelepasan oksitosin dan anti diuretic hormon. jika terjadi cedera pada recessus infundibulum, maka bisa terjadi diabetes insipidus pada pasien. 3. Basilar tip, jika terjadi cedera pada basiler tip, maka bisa terjadi perdarahan hebat yang mungkin berakhir dengan kematian pasien. Sebab untuk kontrol perdarahan pada operasi endoscopy, sangat sulit dilakukan dalam hal ini. Pandangan scope juga akan tertutup oleh darah dan pendarahan yang terjadi bisa bersifat massif dengan tekanan tinggi dari arteri basilaris. Ini merupakan komplikasi yang paling ditakutkan operator saat melakukan ETV. 4. Nervus occulomotorius (N III), jika terjadi cedera pada nervus ini, maka penderita akan mengalami parese nervus III berupa ptosis, dilatasi pupil (mata jadi silau), dan gangguan gerak bola mata. 5. Pons, jika terjadi cedera pada pons maka penderita akan mengalami defisit neurologis berupa gangguan motorik extremitas hingga penurunan kesadaran. Perawatan perioperatif terhadap pasien yang dilakukan ETV sebaiknya diawasi untuk tandatanda hydrosefalus. Banyak laporan kasus menyebutkan bahwa, setelah dilakukan ETV, sewaktu-waktu dapat terjadi hydrosefalus akut. Mungkin hal ini disebabkan oleh ventriculostomy yang menutup kembali karena lapisan arachnoid yang tumbuh. Biasanya ditandai oleh muntahmuntah, sakit kepala dan penurunan kesadaran yang berlangsung progresif dalam waktu singkat. Pasien tersebut harus segera dilakukan diversi CSS, jika terlambat akan fatal.



Indikasi Lain Endoscopy Intraventrikel Tumor-tumor intraventrikel yang disertai dengan hidrosefalus merupakan indikasi yang baik untuk endoscopy intraventrikel, terutama tumor yang hanya membutuhkan sampel biopsy untuk diagnostic, seperti germinoma, dll. Beberapa ilustrasi kasus yang merupakan indikasi dilakukan ETV dan biopsy dengan endoscopy antara lain:



1. Laki-laki 42 tahun, dengan penglihatan ganda yang disusul dengan penglihatan makin kabur selama 3 bulan terakhir. Kepala terasa berat, kadang disertai mual dan muntah. Pemeriksaan funduskopi terlihat papil edema bilateral. Hasil pemeriksaan MRI kepala dengan kontras (gambar 8).



Gambar 8. MRI sagital T1 kontras memperlihatkan hidrosefalus dengan massa didinding posterior ventrikel III yang menekan aquaductus sylvius. Pada pasien ini perlu dilakukan ETV dan biopsy diagnostik. Berdasarkan prinsip 2 titik, maka dibutuhkan dua titik masuk yang berbeda, untuk ETV (merah) dan biopsy (kuning). Prinsip ini harus selalu diterapkan untuk endoscopy intraventrikel.



2. Anak usia 3 tahun, belum bisa berjalan mandiri. Tungkai bisa digerakkan, mampu berjalan dengan bantuan, cederung tidak seimbang. Anak tersebut cenderung tidak mau menapakkan kedua kakinya kelantai sehingga berjalan selalu menjinjit. Lingkar kepala diatas 95 percentil. Sudah dicoba dilakukan pemasangan VP shunt di negara tetangga, tetapi kelihatannya tidak ada perubahan yang dihasilkan. Hasil evaluasi MRI kepala terlihat pada gambar 9 dan 10. Shunt yang dipasang tidak berhasil masuk kedalam kista, terjepit diantara kista dan dinding ventrikel.



41



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 10. Kiri: MRI T2 potongan axial, mengkonfirmasi dinding kista (panah). Kanan: Gambaran intraoperatif, dinding kista tebal, dilakukan cystostomy dengan menggunakan gunting lalu dilebarkan.



Gambar 9. MRI sagital T1 terlihat adanya kista arachnoid suprasella dengan ekstensi hingga ventrikel lateral dan agenesis corpus callosum.



Setelah cystostomie dilakukan, scope dimasukkan lebih dalam, akan terlihat dasar ventrikel III, lalu dilakukan juga ETV. Setelah ETV dilakukan, terlihat seperti gambar 7. Arachnoid pada cisterna prepontine sangat tebal dan menghalangi aliran CSS sehingga harus dibuka untuk jalannya CSS. (Gambar 11).



Gambar 11. Kiri atas: membran arachnoid tebal pada cisterna prepontine. Walaupun sudah dilakukan ETV, tetapi membran ini menghalangi aliran CSS. Kanan atas: dengan forcep, membran tersebut dibuka. Kiri bawah: lubang pada membran arachnoid dilebarkan dengan fogarty kateter no 3G, terlihat balon fogarty dikembangkan dengan NaCl fisiologis. Kanan bawah: pada bagian inferior, masih ada satu lapis membran arachnoid yang perlu dibuka agar CSS dapat mengalir.



42



Neurosurgery Lecture Notes



Setelah dilakukan cystostomie, secara bertahap anak tersebut memperlihatkan perbaikan. Berjalan mandiri 6 bulan pasca operasi, menapakkan kaki dengan normal. Follow up MRI juga memperlihatkan perbaikan. 3. Laki-laki dewasa muda, 28 tahun. Mengalami gangguan prilaku yang semakin hari semakin memberat. Sering gelisah, sakit kepala, dan mata yang progresif memburuk. Hasil pemeriksaan MRI kepala terlihat massa pada suprasella yang mengisi bagian anterior ventrikel III. Saat dilakukan biopsi, terlihat massa tumor intraventrikel (Gambar 12). Hasil histopatologi menunjukkan suatu germinoma.



Gambar 12. Kiri: intraventrikel terlihat massa tumor merah keabuan.Kanan: dilakukan biopsy pada massa yang menempati foramen Monro



Komplikasi endoscopy intraventrikel Komplikasi yang mungkin terjadi pada endoscopy intraventrikel, selain cedera terhadap struktur disekitar jalan masuk dan jalur yang dilalui oleh scope, juga dapat terjadi infeksi dan gangguan elektrolit seperti cerebral salt wasting syndrome (CSWS), syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) atau bahkan diabetes insipidus (DI) jika terjadi cedera pada infundibulum. Perdarahan yang signifikan pada prosedur intraventrikel dapat menyebabkan hidrosefalus, oleh sebab itu sedapat mungkin hindarkan perdarahan selama endoscopy intraventrikel. Irigasi dengan NaCl fisiologis dapat membantu pandangan melalui scope dan membersihkan darah yang masuk ke intraventrikel.



ENDOSCOPY UNTUK OPERASI SKULLBASE Penggunaan endoscopy untuk operasi skullbase dimulai oleh Guiot tahun 1963 untuk operasi transphenoid, tetapi operasi tersebut



dibatalkan karena pencahayaan yang tidak baik (Liu et al, 2001). Kemudian dengan perbaikan dalam sistem pencahayaan, pada tahun 1992 Jankowski dkk., melaporkan tindakan pure endoscopic transphenoidal approach untuk daerah sella (Jankowski et al.,1992). Setelah itu Jho dan Carrau, seorang dokter bedah saraf dan seorang dokter THT, mereka berkerja di Universitas Pittsburgh Medical Center, dikenal sebagai pioner dalam pure endoscopic endonasal transphenoid untuk adenoma hipofise (Cappabianca P dan de Divitiis E, 2004). Sejak saat itu, banyak nama-nama besar telah bermunculan mempopulerkan pure endoscopic endonasal transphenoid, antara lain Cappabianca, Diviitis, Laws, Gentili, Kassam, dll. Saat ini approach tersebut telah banyak diadopsi diberbagai institusi dan merupakan tindakan yang rutin dilakukan sebagai bagian dari pengobatan adenoma hipofise. Lebih kurang 10-15% kasus tumor intrakranial merupakan adenoma hipofise. Presentasi kasus terbanyak adalah macroadenoma (diameter > 1cm), hanya sebagian kecil pasien (data di RS Siloam), 10-20% kasus yang datang ke praktek dengan mikroadenoma (diameter < 1cm). Data ini sedikit berbeda dengan laporan dari luar negeri yang menyebutkan bahwa 50% dari kasus yang didiagnosa ditempat praktek adalah mikroadenoma. Perbedaan ini mungkin memberikan implikasi yang berbeda terhadap praktek bedah saraf di Indonesia saat ini. Belum ada data secara nasional yang dapat dijadikan rujukan untuk jumlah adenoma hipofise. Sebagai gambaran dasar, jumlah kasus pembedahan secara Endoscopic Endonasal Transphenoid surgery (selanjutnya disebut EETSS) di RS Siloam Lippo Village (satu institusi) didapatkan bahwa dari 186 kasus, terdapat 18 kasus fungsional adenoma (9 kasus prolaktinoma, 1 kasus Cushing’s disease, dan 8 kasus acromegali). Sebagian besar kasus (168) merupakan non fungsional, 9 kasus apopleksi pituitary, 3 kasus craniopharyngioma intrasella yang awalnya diduga suatu adenoma dengan riwayat apopleksi atau degenerasi kistik, dan 2 kasus mucocele terinfeksi yang menyebabkan ptosis satu sisi. Terdapat 2 kasus pada kelompok non fungsional dengan gambaran atypical, MIB-1



43



Neurosurgery Lecture Notes



indeks > 3%. Kedua kasus ini langsung dilakukan radiasi pasca operasi. Variasi Tehnik Operasi Terdapat beberapa variasi dalam pelaksanaan operasi pure endoscopy endonasal transphenoid. Mulai dari posisi pasien, ada yang lebih senang dengan posisi semi fowler, supine dengan kepala dimiringkan 15-30 derajat ke sisi kanan, atau ada yang melakukannya dari over head dengan monitor endoskopic pada sisi tungkai pasien. Semua ini sama baiknya, tergantung kepada kebiasaan dan orientasi operator. Pelaksanaan operasi pun berbeda-beda, ada yang memegang scope dengan tangan kiri dan tangan kanan aktif melakukan operasi, dibantu dengan kontinyu suction menggunakan silastic tube (suction tube no 10). Tehnik ini yang selalu digunakan penulis dalam operasi ini. Beberapa keuntungan dengan cara operasi ini adalah scope langsung dikendalikan oleh operator. Memungkinkan manuver pandangan yang cepat, terhadap target operasi yang ingin dicapai. Sedangkan kerugiannya adalah operator hanya memiliki satu tangan yang efektif melakukan tindakan bedah. Selang kontinyu suction membantu operator untuk membersihkan lapangan operasi dari darah. Jika dibutuhkan dua tangan untuk melakukan manipulasi bedah, maka cara ini kurang baik. Ada juga yang melakukan dengan scope dipegang oleh asisten operasi, lalu operator menggunakan tehnik dua tangan (bimanual). Bisa juga menggunakan scope holder, dan operator menggunakan tehnik dua tangan. Kekurangan dengan penggunaan scope holder adalah operator harus perlu merubah posisi scope holder jika sudut pandang operasi yang diinginkan berubah. Demikian juga dengan asisten yang memegang scope, asisten operasi harus menyesuaikan diri dengan keinginan operator sehingga operasinya lancar. Penulis sedapat mungkin hanya menggunakan satu lubang hidung (one nostril) sebab pasca operasi lebih nyaman bagi pasien karena masih bisa bernafas dengan lubang hidung sisi lainnya. Sebagian ahli bedah lebih senang menggunakan dua lubang hidung, dengan menembus septum bagian posterior (binostril).



44



Argumennya bahwa alat operasi memiliki lebih banyak ruang gerak di dalam hidung. Penulis juga tidak membuang konka media, hanya dilakukan lateralisasi. Jika konka media dibuang akan lebih banyak ruang di intranasal. Semua variasi tehnik ini disesuaikan dengan kebiasaan dan kenyamanan operator. Gambaran Klinis Penderita Adenoma Hipofise Penyempitan lapangan pandang adalah keluhan yang paling banyak ditemukan saat konsultasi pertama (>80%). Gangguan lapangan pandang ini bisa asimetris, lebih parah pada satu sisi, bahkan buta pada satu mata. Banyak penderita yang pernah berobat ke dokter mata, lalu akhirnya dirujuk ke dokter bedah saraf. Jarang pasien datang dengan parese N III dan VI (4 dari 186 kasus), dan hal ini tidak selalu ditentukan oleh ukuran tumor maupun ekstensi tumor. Pada dua dari 4 kasus tersebut, ukuran tumornya hanya berkisar 1-2 cm tanpa ekstensi ke lateral, salah satunya terdapat gambaran apopleksi subakut (gambaran MRI). Dua kasus yang lain merupakan mucocele di sinus sphenoid yang terinfeksi dengan destruksi dasar sella, satu diantaranya memperlihatkan ekstensi ke lateral. Jadi gangguan otot ekstraokular yang disebabkan oleh adenoma hipofise, tidak selalu disebabkan oleh ekstensi ke lateral (sinus cavernosus) Hanya terdapat 9 kasus prolaktinoma dari 186 kasus serial bedah di RS Siloam (sampai Mei 2012). Tetapi sebenarnya, dalam praktek jumlah prolaktinoma yang ditemukan bisa lebih banyak. Sebagian besar kasus prolaktinoma yang memperlihatkan respon baik terhadap obat minum (bromocriptin atau cabergoline) akan terus diobati dengan pemberian obat. Indikasi operasi untuk prolaktinoma sebenarnya terbatas, semua kasus prolaktinoma sebaiknya diberikan obat minum terlebih dahulu, jika respon dan toleransi pasien baik, sebaiknya obat minum diteruskan. Pasien yang tidak toleransi terhadap obat minum, atau tumor tidak mengecil dengan obat, merupakan indikasi untuk pembedahan. Pasien dengan kadar prolaktin 150 - 500 ng/dl memiliki kesempatan sembuh dan tidak butuh obat dikemudian hari, hal ini juga merupakan indikasi yang baik untuk pembedahan. Jika prolaktin > 500 ng/dl, usaha



Neurosurgery Lecture Notes



pembedahan jarang menyembuhkan, sebab sering ditemukan penetrasi sel tumor pada dinding sella. Prolaktin yang tinggi menyebabkan serangkaian gejala, paling sering adalah amenorrhea pada wanita yang belum menopause, impotensi pada pria, galaktorhea, dan infertilitas. Kadar prolaktin < 150 belum dapat disebut sebagai prolaktinoma, sebab peningkatan kadar ini bisa disebabkan oleh stalk effect. Cushing’s disease disebabkan oleh peninggian ACTH (Adeno Corticotropic Hormone ) yang dihasilkan oleh hipofise anterior. ACTH tiba pada zona fasikularis kelenjar adrenal dan memicu pembentukan serta pelepasan kortisol. Peningkatan kortisol yang berlebihan akan menyebabkan serangkaian gejala seperti obesitas, deposit lemak pada punggung (buffalo hump), supraclavicula, wajah bulat (moon facies), mudah lebam pada kulit, striae, dan jangka panjang menyebabkan osteoporosis (Gambar 13).



Gambar 13. Gambaran pasien Cushing’s disease (sumber: Cushing’s Disease. July J, Wahjoepramono EJ. Medical Progress June 2009 36:265-269)



Belum ada obat yang mampu menanggulangi kelainan ini, oleh sebab itu cushing’s disease merupakan indikasi kuat untuk pembedahan. Masalahnya adalah kelainan ini sering disebabkan oleh tumor yang sangat kecil hingga sulit terlihat pada MRI. Jika tumor terlihat jelas pada MRI, maka pembedahan ditujukan langsung kepada tumornya. Jika tumor tidak terlihat pada MRI, maka perlu ditentukan bagian kiri atau kanan yang akan dilakukan hypophysectomy parsial. Untuk itu, kadang-kadang perlu dilakukan Sinus transversus venous blood sampling untuk diperiksa ACTHnya. Dengan tehnik endovaskuler saat ini, pengambilan darah ini dengan rutin dapat dilakukan. Disamping itu, untuk persiapan pembedahan, kita juga perlu mengetahui



topologi hipofise dalam sekresi hormon (Gambar 14).



® July J



Gambar 14.Topologi hipofise dalam sekresi hormon



Presentasi pasien dengan adenoma hipofise juga bisa berupa gangguan elektrolit yang berulang-ulang. Empat kasus (di RS Silaom) datang dengan hiponatremi yang berulang, lalu dari pemeriksaan hormonal menunjukkan hipokortisol. Hasil MRI ditemukan adenoma hipofise, rata-rata ukurannya 1 cm, dan tidak disertai gangguan lapangan pandang (kampimetri normal). Rata-rata tiga bulan setelah pembedahan, semua pasien tersebut tidak membutuhkan substitusi hormonal lebih lanjut. Delapan kasus dengan acromegali, semua pasien menunjukkan kadar GH dan IGF-1 yang tinggi. Gejala yang ditemukan antara lain, frontal bossing, jari tangan dan kaki besar-besar (Gambar 15), sering sekali pasien mengeluh sulit menemukan ukuran sepatu yang nyaman, ukuran sepatu terus meningkat. Ukuran lidah besar (macroglossia). Nyeri sendi, hipertensi dan umumnya glucose intolerance. Pada MRI sering dapat kita tentukan lokasi tumornya, berbeda dengan penyakit Cushing. GH secreting adenoma (penyakit acromegali), ekstensi tumor pada umumnya ke bawah (sinus sphenoid), menyebabkan erosi tulang dan penetrasi pada mukosa sinus. Mukosa sinus dan mukosa hidung umumnya tebal dan mudah berdarah. Satu dari 8 kasus acromegali, disertai dengan TSH yang tinggi sehingga juga memperlihatkan gejala-gejala thyrotoksikosis. Adenoma yang menghasilkan TSH jarang ditemukan. 45



Neurosurgery Lecture Notes



jika kita menanyakan secara detail, sebagian besar dari mereka akan menyatakan bahwa memang pernah ada episode ‘sakit kepala dan mata rasanya lebih buram/ atau seperti ada selaput’, lalu selang beberapa hari membaik kembali.



Pemeriksaan Laboratorium Idealnya semua pasien diperiksa hormonnya sebelum pengobatan (termasuk pembedahan), kemudian setelah pengobatan diperiksa kembali untuk evaluasi (Tabel 1). Table 1. Pemeriksaan Hormon Hormon Prolaktin



Gambar 16. Terlihat ciri-ciri khas pasien dengan acromegali, frontal bossing, rahang dan hidung yang lebar, jari-jari kaki besar-besar.



Tiga pasien yang sebelumnya diperkirakan adalah adenoma, tetapi saat operasi ternyata adalah craniopharyngioma. Ketiga kasus ini keseluruhan tumor terletak dibawah diafragma sella, tidak ada ekstensi ke lateral. Ketiga kasus ini datang dengan tanda-tanda panhypopituitarism, sebelum operasi sudah menunjukkan tanda-tanda diabetes insipidus (DI). Jadi pada kasus dengan DI dan ditemukan massa pada sella, harus selalu dipikirkan craniopharyngioma. Apopleksi hipofise biasanya datang dengan sakit kepala, jika ukuran perdarahan cukup besar akan menyebabkan efek massa dengan gangguan visus yang mendadak (2 kasus). Pada kasus yang demikian sebaiknya segera dilakukan dekompresi. Bisa juga presentasi apopleksi berupa krisis adrenal, hingga pasiennya mengalami penurunan kesadaran. Walaunpun dalam literatur telah disebutkan bahwa apopleksi dapat menyebabkan penekanan langsung pada hipothalamus dan menyebabkan hidrosefalus, tetapi dalam serial di rs Siloam belum pernah ditemukan hal ini. Banyak juga apopleksi yang terjadi tanpa disadari oleh pasien, dan hanya diketahui melalui MRI. Tetapi



46



Interpretasi Nilai normal 25-150 ng/ml (obat penekan < 25ng/ml prolaktin, hypothyroid primer, stalk effect)* Kortisol (0800- Meningkat pada cushing 6-18 µg/dl 0900) syndrome, menurun pada hipoadrenalism ACTH Meningkat pada cushing’s 10-60 pg/ml (0800-0900) disease IGF-1 Meningkat pada acromegali / IGF-1: 0.31-1.4 GH gigantisme U/ml Menurun pada hypopituitarism GH : 2 cm pada ekstensi sagital. Pada saat kapsul tersebut turun, pasien sering merasakan lapangan pandang semakin baik.



Pemeriksaan untuk persiapan operasi Persiapan sebelum operasi mencakup pemeriksaan jantung, paru dan keadaan co-morbid lainnya, melibatkan rekan sejawat dalam bidang terkait. Lalu konseling dengan anesthesia.



Persiapan malam sebelum operasi Pemberian preparat hidrocortison (® Solucortef) dilakukan untuk menghindarkan pasien dari hipokortisol selama operasi berlangsung dan pasca operasi. Diberikan 100 mg pada sore hari 19.00 dan pagi hari 07.00 sebelum operasi. Tidak diperlukan persiapan khusus untuk preparasi hidung. Antibiotika profilaksis diberikan dalam 1 jam sebelum operasi.



Persiapan saat di ruang operasi



Gambar 17. Potongan coronal MRI T1 kontras memperlihatkan hubungan tumor dengan Chiasma optic (panah merah).



Jika pneumatisasi sinus sphenoid tidak baik, maka diperlukan alat pandu saat membuka sinus sphenoid, seperti navigasi atau X ray. Pneumatisasi sinus sphenoid yang baik merupakan penuntun bagi ahli bedah untuk mencapai dasar sella. Jika menggunakan navigasi, maka diperlukan



Setelah pasien dibius, lubang hidung dibersihkan dengan kapas lidi yang direndam dalam larutan betadin dan aqua steril 1:1. Kedua lubang hidung dibersihkan. Jangan menggunakan betadin gargle karena mengandung alkohol sehingga iritasi terhadap mukosa dan menyebabkan mukosa sembab dan hipersekresi. Selalu dipersiapkan dinding abdomen jika diperlukan lemak untuk mengganjal sella. Posisi kepala dalam keadaan netral, boleh menggunakan penopang kepala (tapal kuda) maupun diatas meja dengan ‘donat’ biasa. Kepala boleh difiksasi secucupnya dengan mikropore atau sejenisnya. (Gambar 18)



47



Neurosurgery Lecture Notes



cavernosus, dan diatasnya terdapat chiasma optik, arteri cerebri anterior, dll. (Gambar 20) A2



A2



A com Optic Chiasm



Gambar 18. Kiri: Persiapan abdomen jika diperlukan ganjalan lemak, Kanan: Posisi kepala diatas penopang kepala (tapal kuda), posisi netral, difiksasi secukupnya dengan mikropore.



TEKNIK ENDOSCOPY ENDONASAL TRANSPHENOID Dalam transisi tehnik operasi dari operasi mikroskopik ke operasi endoskopi transphenoid, dapat dipermudah dengan membaginya dalam 3 tahapan, yaitu tahapan nasal, tahapan sphenoid dan tahapan sella (Gambar 19).



IC Siphone



Stalk



IC



Hipofise



Clivus



Gambar 20. Gambaran endoscopic sella dan sekitarnya, pada disesksi kadaver



Tahapan Nasal Pada tahapan nasal, dilakukan orientasi anatomi nasal untuk menentukan bagian-bagian seperti konka inferior, konka media, konka superior, septum nasi, choane, recesus sphenoethmoidalis, dan kadang-kadang dapat kita lihat ostium sinus sphenoid. Ostium tidak selalu dapat dilihat dengan mudah, karena pada variasi anatomi tertentu letaknya sangat lateral atau tertutup mukosa hidung yang tebal. Pemberian adrenalin pada cottonoid yang ditamponkan pada hidung dapat membantu menciutkan konka dan mukosa hidung (gambar 21). Gambar 19. Tiga tahapan dalam operasi endoskopi endonasal transphenoid untuk adenoma hipofise.



Setiap tahapan memiliki pedoman yang harus dipenuhi sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Pedoman tersebut adalah landmark anatomi yang harus di identifikasi terlebih dahulu. Seperti sebuah ‘game’ dimana untuk menuju ke tahap selanjutnya, kita harus mencari landmark-2 anatomi terlebih dahulu, sehingga operasi tidak salah orientasi. Sebab orientasi yang salah bisa berakibat fatal dan berakhir dengan kematian pasien. Jika kita perhatikan bahwa hipofise terletak dalam ruangan yang sempit, sisi kiri dan kanan dibatasi oleh arteri carotis interna, sinus



48



MT M M



NS



IT Gambar 21. Anatomi intra nasal yang perlu di-identifikasi (MT=konka media; IT= konka inferior; NS= septum nasi; MM=meatus medius). Tampon adrenalin diletakkan diantara konka media dan septum nasi.



Neurosurgery Lecture Notes



SER NS



MT 1 cm



tersebut merupakan septum, lalu drillling pada daerah ini akan menyebabkan perdarahan hebat dari cedera carotis. Oleh sebab itu, variasi septum pada tahap ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan tahapan berikutnya. Jika exposenya sangat terbatas, maka evakuasi tumor menjadi tidak efektif, sisa tumor akan banyak dan sering menyebabkan perdarahan paska operasi. Kadangkadang disertai dengan perburukan visus atau lapangan pandang.



C Gambar 22. Landmark untuk drilling membuka sinus sphenoid, 1 cm di rostral dari choane (C). (NS= septum nasi; SER= resesus sfenoetmoidalis; MT=konka media)



Pada tahapan nasal ini, permulaan drilling untuk membuka sinus sphenoid dilakukan pada bagian garis tengah (dekat septum nasi), 1 cm dirostral dari choane. Titik ini umumnya akan setentang dengan kaki konka superior. Sebelum dimulai dengan drilling, mukosa dikoagulasi terlebih dahulu. (Gambar 22) Drilling menggunakan diamond 4 mm, dimulai dari garris tengah hingga sinus sphenoid terbuka. Setelah sinus sphenoid terbuka, maka drilling dilakukan dari dalam keluar dari sinus sphenoid. Kecepatan putaran drill akan menghasilkan panas yang merupakan hemostatik yang baik bagi jaringan lunak yang ada. Pada tahap ini, penggunaan continuous suction menggunakan selang suction no 10 akan sangat membantu membersihkan lapangan operasi dari darah dan asap yang dihasilkan dari drill.



Gambar 23. Gambaran endoscopik intrasphenoid, setelah septum sinus sphenoid di drill. (PS= planum sella; OCR= optico carotid recess; Sept=septum sphenoid; SF= sellar floor; CP= carotid protuberans; C=clivus)



D



Tahapan Sphenoid Saat memasuki sinus sphenoid, maka tahapan operasi telah beralih ke tahapan sphenoid. Pada tahapan sphenoid dapat ditemukan variasi septum sinus sphenoid yang bermacam-macam. Antisipasi terhadap arah dan bentuk septum ini sebaiknya dipelajari terlebih dahulu dari pemeriksaan radiologi pre operasi. Jika bentuk septum dan variasi septum tidak diketahui, maka exposenya menjadi sangat terbatas karena operator takut dan menganggap dinding tersebut merupakan carotid protuberans. Sebaliknya jika operator menganggap carotid protuberans



CP



S C



Gambar 24. Sesudah drilling dasar sella, terlihat duramater (D). (CP=carotid protuberans; C=Clivus; S=septum sinus sphenoid)



49



Neurosurgery Lecture Notes



Hal-hal yang perlu diidentifikasi pada tahapan sphenoid dapat dilihat pada gambar 23. Ekspose pada gambar 23, merupakan gambaran ideal yang dapat dicapai sebelum melanjutkan ke tahapan sella. Pada tahap ini, dasar sella di drill, dimulai dari garis tengah. Sering sekali tulangnya sudah sangat tipis karena erosi oleh tumor. Drilling dilakukan secara sirkumferensial, kadang menggunakan kombinasi dengan kerison punch 1 mm (Gambar 24).



Tahapan Sella Tahapan sella dimulai dari duramater yang ter-ekspose (Gambar 24). Dengan menggunakan pisau telescopic, maka dura dibuka, bisa bentuk bintang, bentuk X, curve, dll. Semua sama baiknya tergantung kebiasaan operator. Setelah duramater dibuka dengan pisau, akan terlihat tumor (Gambar 25).



Tumor DS



Tumor



Gambar 25. Kiri: konsistensi tumor yang klasik ditemukan, lunak. Kanan: kadang dapat ditemukan batas tumor yang jelas dengan diafragma sella. (DS= diafragma sella)



Setelah tumor bersih, maka umumnya diafragma sella akan turun dan perdarahan umumnya akan berhenti karena proses autotampon. Hal ini tidak akan terjadi jika ada kebocoran LCS. Oleh sebab itu, sedapat mungkin proses pengangkatan tumornya dilakukan sehalus mungkin.



Diafragma sella



Gambar 26. Kiri: diafragma sella turun, terlihat bayangan LCS disisi lainya. Kanan: setelah ganjal lemak



50



Pada kasus ini sebaiknya dilakukan ganjal lemak karena diafragma sella terlihat protrusi ke sinus sphenoid. (Gambar 26)



MONITORING PASCA OPERASI Monitoring pasca operasi cukup dilakukan di ruang biasa, kecuali ada penyakit penyerta yang membutuhkan monitoring di ICU. Monitoring pasca operasi secara umum, juga mencakup jumlah produksi urine, visus dan lapangan pandang, serta ada tidaknya epistaksis. Perlu diwaspadai juga tanda-tanda perdarahan yang tidak terlihat lewat hidung, oleh sebab itu penggunaan fibrin glue tidak perlu rutin digunakan. Kadang-kadang rembesan perdarahan yang terjadi tidak keluar tetapi memenuhi intrasella, atau bahkan bisa menyebabkan efek massa yang menekan chiasma dan hipothalamus. Biasanya ditandai dengan sakit kepala berat dibelakang mata, lapangan pandang menyempit, visus memburuk, dapat disertai muntah. Kasus demikian perlu segera dilakukan CT scan untuk konfirmasi, dan jika ada efek massa maka perlu dilakukan dekompresi ulang. Jika operasi dilakukan dengan gentle, jarang diikuti oleh diabetes insipidus. Hindarkan koagulasi terhadap kapsul tumor yang berlebihan, karena kelenjar hipofise yang normal umumnya membentuk kapsul tumor. Pasca operasi pengawasan produksi urine dilakukan setiap jam, jika produksi urine >200 cc/jam selama 3-4 jam berturut-turut, maka perlu segera dilakukan pemeriksaan elektrolit. Pemeriksaan radiologi pasca operasi dapat dilakukan segera setelah operasi (dalam 48 jam) terutama untuk menilai ada tidaknya perdarahan dan sisa tumor. Pemeriksaan lanjutan sebagai Baseline untuk evaluasi jangka panjang dapat dilakukan 3 bulan pasca operasi. Sering sekali kapsul tumor turun secara bertahap setelah operasi (Gambar 27). Evaluasi hormonal dapat dilakukan 1-2 minggu pasca operasi, kecuali GH dan IGF-1. Pemeriksaan GH dan IGF-1 segera dilakukan 24-48 jam setelah operasi, dan hasilnya akan memberi petunjuk keberhasilan operasi dalam mengontrol kelebihan produksi hormon tersebut. Beberapa hormon membutuhkan substitusi hingga beberapa bulan, tetapi ada juga yang membutuhkan



Neurosurgery Lecture Notes



substitusi jangka panjang. Umumnya gonadotroph membutuhkan substitusi jangka panjang.



Satu kasus empty sella syndrome yang terjadi 6 bulan setelah operasi. Satu kasus delayed epistaksis yang terjadi setelah 3 minggu pasca operasi, ada kemungkinan karena mukosanya rapuh dan terinfeksi, terjadi pada kasus acromegali.



SET ALAT ENDOSCOPIC SKULLBASE Pre operasi



Pasca operasi hari I



3 bulan pasca operasi Gambar 27. Perbandingan MRI T1 kontras potongan koronal, sebelum operasi, pasca operasi hari I, dan 3 bulan setelah operasi (terlihat kapsul tumor turun)



KOMPLIKASI YANG DIHADAPI Infeksi pasca operasi ditemukan pada 16 kasus, umumnya terjadi pada minggu kedua. Pasien akan mengeluh mencium bau busuk. Cukup diberikan antibiotika selama 2 minggu, biasanya dari golongan quinolon. Kebocoran LCS (pada 21 kasus) terjadi jika kapsul tumornya tipis dan tidak menempel kuat ke dinding sekitarnya. Dilakukan lumbal drain selama 4-5 hari. Satu kasus dengan perdarahan (1/180), tetapi dapat di kontrol. Tidak ditemukan cedera terhadap nervus optic, tidak ditemukan cedera terhadap Extra occulomotor nerve, satu mortalitas karena penyakit jantung, satu kasus meningitis dan membaik dengan pengobatan antibiotika. Rata-rata lama perawatan di rumah sakit 4 hari , hanya 13 kasus yang mebutuhkan perawatan ICU pasca operasi. Biasanya karena penyakit penyerta dan umumnya hanya satu malam di ICU.



Susunan set alat endoscopic skullbase paling basic yang dibutuhkan untuk adenoma hipofise sebenarnya tidak banyak. Light source yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh bidang urology, gynaecology, bedah digestive, THT dan lain-lain. Hanya set basic endoscopic skullbase saja yang dibutuhkan untuk melakukan operasi adenoma hipofise (Gambar 28).



Gambar 28. Set basic endocopic skullbase yang digunakan untuk adenoma hipofise.



ENDOSCOPIC EXPANDED SKULLBASE APPROACH Jika kita telah mahir melakukan pure endoscopic endonasal transphenoid untuk adenoma hipofise, maka dapat dikembangkan ke endoscopic expanded approach, bisa ke arah anterior, bisa ke arah clivus. Lesi pada midline dapat dicapai dengan teknik ini.



A2



A2 A Com



A1



I



Chiasma optic Stalk Pituitary



Gambar 29. Gambaran anatomi anterior skullbase setelah arachnoid dibersihkan.



51



Neurosurgery Lecture Notes



Jika anterior skullbase dibuka, maka struktur yang dapat dilihat seperti gambar 29. Scope dimasukkan lebih dalam, arachnoid dibuka lebih jauh kita akan melihat pangkal stalk. Chiasma optic lebih jelas terlihat, pada bagian rostral chiasma terlihat kompleks A com. Jika scope kita masukkan lebih jauh ke dalam, maka kita akan melihat kompleks basilar tip (Gambar 30). Pada bagian rostral terlihat mammillary body. Dasar ventrikel III dibuka dari bawah (Gambar 31)



Pituitary



Pleksus vena



IC siphon



IC



Gambar 32. Gambaran pleksus vena setelah tulang clivusnya di drill habis.



MB



MB P1



P com



PCA



SCA



SCA BA



Jika dura pada clivus dibuka, maka akan tampak gambaran basilar artery didepan pons (Gambar 33). Gambaran ini terlihat pada endoscopic endonasal transphenoid transclival approach.



P2 III



Gambar 30. Anatomi kompleks basilar tip.



Pituitary



*



Pons BA Gambar 33. Gambaran transclival, terlihat pons dengan basilar artery didepannya.



DAFTAR PUSTAKA



Gambar 31. Dasar ventrikel III dibuka dari bawah. (*)



Jika scope diarahkan ke inferior dari sella, maka akan terlihat clivus. Dilakukan drilling tulang clivus secara perlahan, sebelum dura dicapai, akan terlihat warna kebiruan pada kadaver yang diwarnai. Ini merupakan pleksus vena (Gambar 32)



52



1. Cappabianca P, de Diviitiis E: Endoscopic endonasal transsphenoidal surgery. Surg Neurol 62:227-233,2004. 2. Jankowski RD, Auque J, Simon C, Marchal JC, Hepner H, Wayoff M: Endoscopic pituitary tumor surgery. Laryngoscope 102:198-202,1992. 3. July J, Junus J, Wahjoepramono EJ. Pituitary Adenomas and The Transphenoidal Approach. In Nader R, Berta S, Levy M, Gragnaniello C, and Sabbagh A (Eds). Neurosurgery Tricks of the Trade. Chapter 39. Thieme, New York, 2012 (In Press) 4. July J, Wahjoepramono EJ. Cushing’s Disease: How to Recognize and Cure. Medical Progress 36(6):265-269, 2009.



Neurosurgery Lecture Notes



5. Liu JK, Das K, Weiss MH, Laws ER Jr, Couldwell WT. The history and evolution of transsphenoidal surgery. J Neurosurg 95:1083-1096,2001. 6. Litynski GS: Endoscopic surgery: the history, the pioneers. World J Surg 23:745–753, 1999



7. Modlin IM, Kidd M, Lye KD: From the lumen to the laparoscope. Arch Surg 139:1110–1126, 2004 8. Tsivilis D, Vann SD, Denby C, Roberts N, Mayes AR, Montaldi D, Aggleton JP. A disproportionate role for the fornix and mammilary bodies in recall versus recognition memory. Net Neurosci 11:834-42, 2008.



53



Neurosurgery Lecture Notes



EPILEPSY SURGERY IN INDONESIA: ACHIEVING BETTER RESULT WITH LIMITED RESOURCES Zainal Muttaqin ABSTRACT Background: Even with modern medication, 30 to 40% of epilepsy patients will be intractable and this condition leads to cognitive and psychosocial decline, resulting in worse quality of life and higher mortality. With 0.5-0.6% prevalence, there will be about 1.5 million epileptic in Indonesia, about 440.000 will be intractable, and 220.000 of them are potential candidates for epilepsy surgery (ES). A decade has passed since the first ES performed on July 1999, and the number increases every year reaching 35-47 ES per year in 2007-2009. Despite the excellent result shown, all of these ES were still performed in Semarang (Diponegoro University) while the patients were from all part of Indonesia. The major reason behind the unavailability of ES in most part of the country should be discussed for the sake of future development of ES in Indonesia. Material: Epilepsy surgery was started in July 1999 with anterior temporal lobectomy for a 34 Y-old female with left mesial temporal sclerosis (MTS) causing a long standing intractable seizures. The number of cases increases every year. Until the end of 2009, there were 238 cases of epilepsy surgery, including 212 anterior temporal lobectomies. Among these, 106 cases had been follow up more than 36 months, and evaluated for surgical results. Method: To evaluate the patient’s selection and the presurgical evaluation, we divide the ES cases into the first 5 years (56 cases) and the recent 5 years ( 182 cases). But for the purpose of evaluating surgical results, only those with at least 36 months postoperative follow-up were included (106 cases) and grouped into those operated before or after the age of 25 Y-old (group A and group B), and into those operated before or after the length of epilepsy of 10 years (group I and group II). Results: For the first five years-period, decision to operate were based on MRI and routine interictal EEG in 54 out of 56 TLE cases. One patient had long-term ictal EEG and another had subdural grid EEG implanted, since MRI in both patients showed visually normal MRI. For the last five years, decision to operate were based on MRI and routine EEG in 91 out of 156 TLE cases. Long term ictal EEG were performed in 46 patients, subdural grid EEG in 10 patients, PET study in 7 patients, and EcoG in 2 patients. The overall seizure free (SF) rate were 70.75%, but if grouped according to patient’s age at surgery (less than or over 25 Y-old ), the SF rates were 75.4% vs 66.04% respectively. So did if grouped according to length of disease (less than or more than 10 years), the SF rates were 78.72% vs 64.40% respectively. Conclusion: MRI plays very important role to decide the side of the epileptic temporal side, but this role is decreasing as it was 96.4% during the beginning five years to become 58.34% for the last five years. This means that we are working on more difficult epilepsy cases recently. SF rate was significantly higher for those who was operated at younger age and for those with shorter duration of epilepsy. This means that surgery should be offered earlier for those intractable TLE patients with obvious focus on MRI. Introduction Despite the availability of modern antiepileptic drugs (AEDs), up to 30-40% of epilepsy patients continue to have seizures1,2 and approximately half of these are potential candidates for surgery3. Complex partial seizures with seizure focus mostly in the temporal lobe



54



made up most of these intractable cases4. Surgery to abolish seizures or epilepsy surgery (ES) is recommended for mesial temporal lobe epilepsy (MTLE), which is possibly the most common form of human epilepsy and the most refractory to AEDs 5-7 . Approximately 65% patients are seizure free (SF) after surgery, while another 21% improved 8,9.



Neurosurgery Lecture Notes



The first randomized controlled trials on patients with refractory epilepsy 10 has shown that in temporal lobe epilepsy (TLE), surgery is superior to optimized AED therapy, with more than 64% SF with surgery and 8% SF with medical therapy. In TLE, the surgical procedure is a standardized anterior temporal lobectomy (ATL) including amygdalo-hippocampectomy. Magnetic resonance imaging (MRI) is currently the best imaging modality for patient with partial epilepsy1114 . Visual MRI has the capability to identify mesial temporal sclerosis (MTS) in 80-90% of patients, and nearly 90% patients will be SF after ATL 15-19. Quantitative MRI studies, showing unilateral volume loss, further improves the sensitivity of detecting epileptogenic temporal lobe 20-21. The volumetric MRI is particularly useful in patients with bilateral hippocampal atrophy, subtle unilateral atrophy, and symmetrically appearing hippocampi 21-22. Assuming an epilepsy prevalence rate similar to elsewhere at 0.5-0.6%, there are about 1.5 million people with epilepsy (PWE) in the 230 million Indonesia’s populations. Among them, about 440,000 are likely to be refractory to AEDs and half of them, about 220,000 may benefit from ES. Surgery to abolish seizures had been performed at Diponegoro University (Dr. Kariadi) and Telogorejo Hospitals in Semarang for a decade. Until December 2009, there were 238 cases of ES, including 212 temporal lobectomies. Surgical indications and presurgical evaluations were compared first half period (1999-2004) and the second half (2005-2009). For the purpose of evaluating the results of ES, only those with followup at least 36 months were included. There were 106 TLE cases grouped according to their age at surgery and length of epilepsy before surgery. Despite the excellent results shown by ES elsewhere, including those reported from Semarang23, there is still underutilization of ES as an effective method to abolish seizures, especially in developing countries. Wieser and Silfvenius 24 revealed that in 1999 only 26 out of 142 developing countries had at least one center performing ES, despite the fact that developing countries are home of around 90% of the PWE worldwide. India, with a population of over 1 billion, has had around



1200 cases of ES, performed at two major centers25. Malaysia, with 25.3 million population estimates about 3000 surgical candidates and only 105 ES had been performed at Hospital UKM, Kuala Lumpur 26. The situations in Indonesia is more or less mirrors the scenario in these developing countries. The major reasons behind the unavailability of ES in most part of the country, and the future direction to overcome this ‘surgical gap’ will be discussed. Materials and methods Until the end of 2009, there were 238 cases of ES, ages 3 - 48 year- old, consisted of 136 males and 102 females. Among these, there were 212 TLE cases, and 106 of them had post-operative follow-up more than 36 months, and evaluated for surgical results. Data showed that the number of ES is growing quickly from about 10 patients a year in the first five years to become around 40 patients a year in the recent five years (Fig.1). From the patient’s educational level, it is found that very high proportion (53%) of them who finished high school or even college, while only 28% were really left behind or under educated (Fig. 2). All patients underwent a standardized ATL as mentioned elsewhere (Fig. 3). So that all kind of pre-surgical evaluations were performed to decide the epileptic side of the temporal lobe. Patients were divided into the first five years, from 1999 to 2004 (56 cases) and the recent five years, from 2004 to 2009 (156 cases), and both groups were compared in types of pre-surgical evaluation, especially regarding the role of MRI in deciding which side of the temporal lobe to be operated. The seizure elimination rate were evaluated based on Engel’s outcome scale as follows: Class I: seizure free or free of disabling seizures; Class II: not more than two attacks per year; Class III : Seizure frequency decreases at least more than 75%, and Class IV: Seizure frequency decreases less than 75% 27. ES were regarded as beneficial for those with Engel’s Class I-III 4,28. For the purpose of evaluating surgical results, only those with at least 36 months postoperative follow-up were included (106 cases). In order to elucidate the effect of age at surgery, and the



55



Neurosurgery Lecture Notes



length of epilepsy before surgery, they were grouped into those operated before the age of 25 (Group A) and those operated after the age of 25 (Group B), and into those operated when the length of epilepsy were less than 10 years (Group I), or after the length of epilepsy is more than10 years (Group II). Simple statistical methods (student t test) were applied to compare between Group A and Group B and between Group I and Group II.



the length of epilepsy was less than 10 years (Fig. 6). Surgical complications were epidural empyema in 5 cases, which needed surgical debridement to remove infected bone flaps, temporary hemiparesis in one case related to coagulation of branch of choroidal artery which recovered after three months of rehabilitation, and depression in three cases which needed psychiatric consultation and one even had a suicide attempt.



Results



Discussion Surgery to abolish seizures had never been performed before the year of 1999, so that we had to start with good and typical MTLE cases which will show good surgical results. Patients with typical MTLE semiology whose MRI showed unilateral hippocampal sclerosis/ MTS were selected. We performed 56 ES during the first five years, and 96.4% were based simply on seizure semiology and the presence of unilateral epileptogenic lesion on MRI. Zentner et al 4 has shown that MRI’s sensitivity reaches 98.7% for neoplastic lesion, 76.6% for non-neoplastic lesions such as cavernous angioma, and 69.2% for MTS/ hippocampal sclerosis. For the recent five years, there were only 58.34% of our ES cases which were based simply on seizure semiology and MRI. Decreasing role of MRI for deciding the epileptic side of the temporal lobe means that we are currently working on more difficult epilepsy cases, which were left behind during our first five years. These difficult cases with doubtful MRI laterality needed other modalities to decide exactly the side of the epileptic focus, and long-term ictal EEG and invasive subdural grid EEG would be the modalities of choice, performed in 56 out of 65 or 86.15% of difficult cases at our centers. Routine interictal EEG with 30 minutes recording didn’t do much help since 60% showed bilateral interictal discharges despite good outcome after unilateral temporal lobectomy 29-32. Lateralized interictal discharges is seen in only 41% patients 32. Interictal discharges may also incorrectly letaralize the temporal foci in 10-20% patients 18,19,33. The discharges from medial temporal lobe may have been propagated to the lateral cortex of the opposite sides resulting in



There were 56 TLE cases operated during the first five years period (1999-2004), and 54 of them (96.4%) were operated based on semiology of TLE, routine interictal electroencephalography (EEG), and anatomic MRI evaluation. Their MRI showed MTS in 50 cases, Temporal lobe glioneuronal tumor in 3 cases, and hemispheric hemiatrophy in one case. The other two cases had normal MRI, the so called MRI negative cases, and decision on the epileptic side of the temporal lobe were based on long term EEG in one case, and invasive subdural grid EEG in the other case. ES were performed on 156 TLE cases during the recent five years period (2004-2009). Besides epilepsy semiology, anatomic MRI plays a role in the decision of the epileptic temporal side in only 91 cases of them (58.34%). It means that the other 65 cases showed doubtful MRI laterality, or visually normal MRI. These cases were operated based on long term ictal EEG in 46 cases, invasive subdural grid EEG in 10 cases, direct cortical monitoring during surgery or electro-corticography (ECoG) in 2 cases, and 28-Fluorodeoxy Glucose Positron Emission Tomography (FDG-PET) study in the 7 cases. For those with follow up period of at least 36 months (106 cases), the overall SF rate was 70.75% (Fig. 4). Comparison between Group A and Group B showed that the number of Engel’s Class I (free of disabling seizures) were significantly higher (75.4% versus 66.4%) for those operated at the age of less than 25 year-old (Fig. 5). Similar result were seen when comparing Group I and Group II, which showed significantly higher number of SF rate (78.72% versus 64.40%) for those operated when



56



Neurosurgery Lecture Notes



incorrect localization 34,35. Using long-term ictal EEG with video monitoring, accurate localization of the epileptic foci is possible in 65-70% of TLE patients 34,35 . Engel’s Outcome Scale 27 is the most widely used reference for the results of ES. According to Engel’s criteria, all of our patients were Class I to III, means that all benefited from the surgery. Those with Engel’s Class I gained most from ES, which in our cases reached 70.75% for those with follow up at least 36 months. This result is consistent with others, where 65-75%, patients achieve seizure freedom after anterior temporal lobectomy with amygdalo-hippocampectomy and another 20% has meaningful improvement 27, 36-40. Wyler AR 28 reported that the probability of SF reached 90% after one year, and increased to 94% after two years. So that evaluation at the end of 2nd postoperative year is a good predictor of the long-term seizure outcome. Our data regarding patient’s level of education had eliminated one social stigma pretending that people with epilepsy (PWE) are usually ‘left behind’ or under educated. More than half of our 238 operated cases finished high school or even university, while the under educated ones only 28%. For PWE with good level of education hoping to start a professional career will be much disturbed by even a very rare seizure, occurring once is several years. Our studies has shown that ES can achieve good results in developing countries with limited resources, as also reported by Chinvarum 41 and Srikijvilaikul 42 from Thailand, and Panda 43 from South India. Delay in surgery results in psychosocial, educational, and vocational problems which are difficult to overcome even though the seizures have been eliminated by surgery 44,45. Our results also showed that the SF rate is significantly higher in those operated at a younger age, and those whose length of disease is shorter. This means that surgery is not the last treatment modality for epilepsy, after everything else had failed. So that simple and non-invasive pre-surgical evaluation such as MRI with specific protocol should be justified for PWE showing typical temporal lobe semiology or other localizationrelated semiology, and ES should be offered earlier



for TLE or other partial/ localization-related epilepsy with obvious focus on MRI. Because of these reasons, there should be early identification of medically refractory epilepsy and prompt referral for surgical treatment 46. Based on economic cost, it has been shown that in a developing country like India or Indonesia, onetime successful surgery is almost five times less expensive than a lifetime of unsuccessful medical treatment 47. Recent studies had elucidated several biological basis for refractoriness, such as the presence of structural abnormalities, particularly MTS/hippocampal sclerosis and cortical dysplasia 48-50 . Therefore, besides its role for detecting the epileptic side of the temporal lobe, MRI has an important role in identifying those partial epilepsy cases that will finally become intractable. Even with 0.5 Tesla MRI, the rate of detection of temporal lobe pathology related to epilepsy reached 79%, while MTS alone was detected in 59% cases 51. Future Direction of Epilepsy Surgery in Indonesia Despite the fact that developing countries are home of around 90% of people with epilepsy in the world 24, only 26 of 142 developing countries had at least one epilepsy surgery center. As shown from the situations in India 25, with only two major centers performing ES, and in Malaysia 26, with only one center, there is still wide ‘surgical gap’ between the number of intractable epilepsy cases based on epidemiological data and the number of actual ES performed every year. Absence of epilepsy surgery facilities in most part of the country, such as in Indonesia, is one of the major reasons behind the lack of awareness among referring physicians and even neurologists about the benefits of ES. In situations that they are far from understanding about ES and almost never been exposed or having contact with any ES case, their fears about surgery are exaggerated. This lack of awareness thereby leads to non-referrals or delayed referrals. Data from our 238 surgical cases shows the mean duration of suffering from intractable epilepsy before being operated was around 15 years. But, these patients who were operated even after 15 years were the more fortunate ones, compared to tens of thousands



57



Neurosurgery Lecture Notes



who never heard about ES. The majority of PWE who were finally being operated at our center were self-referred and they knew about ES from the mass media, including internet, or hearing other patient’s ‘surgical experiences’. On the other hand, all the new and expensive antiepileptic drugs (AEDs) are extensively marketed, in spite of the fact that the chance of new AEDs, including levetiracetam, will control these intractable patients is at best around 16% 52, as compared to 70-90% with ES 15-19. Therefore, to popularize epilepsy surgery, the protocols should be simplified so that it might be implemented in centers with limited resources. The largest portion of epilepsy surgery burden in developing countries such as Indonesia is TLE, predominantly related to MTS. Of the 238 ES performed in Semarang for the past ten year, 212 (89.1%) were TLE underwent anterior temporal lobectomies. As shown by our experience during the first five years (1999-2004), almost all intractable epilepsy cases were operated based simply on seizure semiology and MRI study. There is no difficult pre-surgical evaluation needed at all. The presence of unilateral temporal lobe lesion with concordant seizure semiology is a good indication for ES with good results 23. The hardware for performing an ES would be any neurosurgical center with microneurosurgical facilities, staffed with well trained epilepsy surgeon and epileptologist. These ‘primary’ epilepsy surgery centers, capable of performing surgery for simple TLE cases, should be present at least one in each province in Jawa (each has more than 30 million population), and one for any large islands in the archipelago. It will be perfect if these centers were also equipped with good MRI and EEG for routine examinations. Of course that Semarang (Diponegoro University Hospital) should be one larger ‘secondary’ epilepsy center capable of performing surgery and presurgical evaluations for more difficult epilepsy cases such as shown by our experiences during the recent five years (2004-2009). This referral ES center should be equipped with a high resolution MRI, long-term Video EEG, and facilities for invasive EEG monitoring, and supported by complete epilepsy team consisted of neurologist,



58



child neurologist, psychiatrist, and psychologist, and rehabilitation specialist.



Fig. 1. The number of operated epilepsy cases is increasing every year, reaching 35-47 cases per year during the last three years



Fig. 2. People with Epilepsy (PWE) does not always ‘left behind’ or under –educated, in fact 55% finished at least High School or Higher education, and only 27% does undereducated



Therefore, in regards to surgery for TLE, it is imperative that hospitals planning to be a ‘primary’ epilepsy surgery centers ensure that their appointed neurosurgeons are adequately trained by joining as many ES related activities as possible in Semarang. The two centers actively performing ES in India train a minimum of 10 neurosurgeons every year to serve in various parts of the country. Even if only half of them could finally initiate ES, it would result in significant growth of Epilepsy Surgery services across the country. The future would be that epilepsy surgery will be part of a



Neurosurgery Lecture Notes



comprehensive management of epilepsy in all part of Indonesia, and at least every neurosurgery service in the setting of a teaching hospital should be capable of performing surgery for simple epilepsy cases such as TLE caused by MTS/ hippocampal sclerosis. The question “is this patient intractable?” will someday be changed into “does the patient has a surgically amenable epileptogenic lesion in the brain?”, since delayed referral to ES centers means ‘lost of years’ 53,54.



Class I : % 75,4 VS 66,04%



Fig. 5. Comparison between Group A (operated at age < 25 year-old), and Group B (operated at age > 25 year-old). There’s a statistically significant difference in seizure free rate of 75.04% for Group A versus 66.04% for Group B Fig. 3. Surgery for TLE is a standardized Anterior Temporal Lobectomy, so that the purpose of pre-surgical evaluation is to decide the epileptic side of the temporal lobe, and MRI plays a very important role



Class I : 78,72% VS 64,40%



Fig. 6. Comparison between Group I ( operated when length of epilepsy is < 10 years) and Group II (operated when length of epilepsy is > 10 years). There’s also a statistically significant difference in seizure free rate of 78.72% for Group I versus 64.40% for Group II



REFERENCES Fig. 4. The overall outcome of 106 cases with follow up at least 24 months. In relation to length of epilepsy before surgery. Although the Engel’s Class I (free from disabling seizures) reaches 70.75% but there’s a trend that the number of Class II and Class III results increases as the length of epilepsy is longer



1.



2. 3.



Cockerell OC, Johnson AL, Sander JWAS, Hart YM, and Shorvon SD. Remission of Epilepsy: results from the national general practice study of epilepsy. Lancet 1995; 346: 140-4. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Eng J Med 2000; 342: 314-9. Engel J Jr, Shewmon DA. Overview: who should



59



Neurosurgery Lecture Notes



4.



5. 6.



7.



8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



16.



17. 18.



19.



60



beconsidered a surgical candidate? In: Engel J Jr, ed: Surgical treatment of the epilepsies. 2nd Ed. New York: Raven Press, 1993: 23-34. Zentner J, Hufnagel A, Wolf HK, et al. Surgical treatment of temporal lobe epilepsy; clinical, radiological, and histopathological findings in 178 patients. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995; 58: 666-73. Engel J Jr. Current concept: surgery for seizures. N Eng J Med 1996; 334: 647-52. Engel J. Jr. Etiology as a risk factor for medically refractory epilepsy: a case for early surgical intervention. Neurology 1998; 51: 1243-4. Schmidt D, Bertram E, Ryvlin P, Luders HO. The impact of temporal lobe surgery on cure and mortality of drugresistant epilepsy: summary of a workshop. Epilepsy Res 2003; 56: 83-4. Engel J.Jr, Wiebe S, French J, et al. Practice parameter. Temporal lobe and localized neocortical resections for epilepsy. Report of the Quality Standards Subcommittee with the American Academy of Neurology in Association with the American Epilepsy Society and the American Association of Neurological Surgeons. Neurology 2003; 60: 538-47. McIntosh AM, Wilson SJ, Berkovic SF. Seizure outcome after temporal lobectomy: current research practice and findings. Epilepsia 2001; 42: 1288-307. Wiebe S, Blume WT, Girvin JP, Eliasziw M. A randomized controlled trial of surgery for temporal lobe epilepsy. N Eng J Med 2001; 345: 311-8. Dowd CF, Dillon WP, Barbaro NM, et al. Magnetic resonance of intractable complex partial seizures: pathologic and electroencephalographic correlation. Epilepsia 1991; 32: 454-459 Brooks BS, King DW, Gammal TE, et al. Magnetic resonance imaging in patients with intractable complex partial epileptic seizures. AJNR Am J Neuroradiol 1990; 11: 93-9. Jabbari B, Gunderson CH, Wippold F, et al. Magnetic resonance imaging in partial complex epilepsy. Arch Neurol 1986; 43: 869-72. Tien RD, Felsberg GJ, Castro CC, et al. Complex partial seizures and mesial temporal sclerosis, evaluation with Fast Spin Echo magnetic resonance imaging. Radiology 1993; 189: 835-42. Jack CR Jr, Sharbrough RW, Cascino GD, Hirschorn KA, O’Brien PC, Marsh WR. MRI-based hippocampal volumetry: correlation with outcome after temporal lobectomy. Ann Neurol 1992; 31:138-46. Spencer SS, McCarthy G, Spencer DD. Diagnosis of medial temporal lobe seizure onset: relative specificity and sensitivity of quantitative MRI. Neurology 1993; 43: 2117-2435 Cascino GD. Neuroimaging in partial epilepsy: structural MRI. J Epilepsy 1998; 11: 121-9. Cascino GD, Trenerry MR, So EL, et al. Routine EEG and TLE: relation to long-term EEG monitoring, quantitative MRI, and operative outcome. Epilepsia 1996; 37: 651-6. Radakhrisnan K, So EL, Silbert PL, et al. Predictors of anterior temporal lobectomy for intractable epilepsy: a



20.



21.



22.



23.



24. 25.



26. 27.



28. 29.



30.



31.



32.



33.



34.



35.



36.



37.



multivariate study. Neurology 1998; 51: 465-71. Cascino GD, Jack CR, Parisi JE, et al. MRI-based hippocampal volumetric studies in TLE: pathological correlation. Ann Neurol 1991; 30: 31-36 Cendes F, Arruda F, Dubeau F, Gotman J, Andermann F, Arnold D. Relationship between mesial temporal atrophy and ictal and interictal EEG findings: results of 250 patients (abstract). Epilepsia 1995; 36: (Supp l4): 23. Cambier DM, Cascino GD, So EL, Marsh WR. Video-EEG monitoring in patients with hippocampal atrophy. Acta Neurol Scand 2001; 103: 231-7. Muttaqin Z. Surgery for temporal lobe epilepsy in Semarang, Indonesia: The first 56 patients with follow up longer than 12 months. Neurology Asia 2006; 11: 31-36 Wieser HG, Silfvenius H. Overview: epilepsy surgery in developing countries. Epilepsia 2000; 41(Suppl 4): S3-S9. Sanyal SK. Relieving the burden of intractable epilepsy in India and other developing countries: the case for two tier epilepsy centers. Neurology Asia 2007; 12 (Supplement 2): 23-28 Selladurai BM. Epilepsy Surgery service in Malaysia. Neurology Asia 2007; 12: (Supplement 2): 39-41 Engel J Jr, van Ness P, Rasmussen TB, et al. Outcome with respect to epileptic seizures. In: Engel J Jr, ed: Surgical treatment of epilepsies. 2nd Ed. New York: Raven Press, 1993: 609-21. Wyler AR. Surgical Treatment on temporal lobe epilepsy. Neurosurg Quarterly 1992; 4: 214-32. Gloor P, Olivier A, Ives J. Prolonged seizure monitoring with stereotactically implanted depth electrodes in patients with bilateral interictal temporal epileptic foci: how bilateral is bitemporal epilepsy? Adv Epileptology 1980; 10: 83-8. So N, Gloor P, Quesney LF, Jones Gotman M, Olivier A, Andermann F. Depth electrode investigations in patients with bitemporal epileptiform abnormalities. Ann Neurol 1989; 25: 423-31. So N, Olivier A, Andermann F Gloor P, Quesney LF. Results of surgical treatment in patients with bitemporal epileptiform abnormalities. Ann Neurol 1989; 25: 432-9. Holmes MD, Dodrill CB, Ojemann LM, Ojemann GA. Five year outcome after epilepsy surgery in non-monitored and monitored surgical candidates. Epilepsia 1996; 37: 748-52. Velloglu SK, Ozmenoglu M, Komsuoglu SS. EEG investigation of TLE. Clin Electroencephalogr 1997; 28: 121-6. Die WB, Najen I, Mohammed A, et al. Interictal EEG, hippocampal atrophy, and cell densities in Hippocampal sclerosis associated with microscopic cortical dysplasia. J Clin Neurophysiol 2002; 19: 157-62. Gilliam F, Bowling S, Bilir E, et al. Association of combined MRI, interictal EEG, and ictal EEG results with outcome and pathology after temporal lobectomy. Epilepsia 1997; 38: 1315-20. Sperling MR, O’Connor MJ. Comparison of depth and subdural electrodes in recording temporal lobe seizures. Neurology 1989; 39: 1290-301. Sakai Y, Nagano H, Sakata A, et al. Localization of



Neurosurgery Lecture Notes



38.



39.



40.



41.



42.



43.



44. 45.



epileptogenic zone in TLE by ictal scalp EEG. Seizure 2002; 11: 163-8. Murro AM, Park YD, King DW, et al. Use of scalpsphenoidal EEG for seizure localization in TLE. J Clin Neurophysiol 1994; 11: 216-9. Wieser HG, Siegel AM, Yasargyl GM. The Zurich amygdalo-hippocampectomy series: A short up-date. Acta Neurochir 1990; 50 (Suppl): 122-7. Hirsch LJ, Spencer SS, Spencer DD, et al. Criteria for and Results of Temporal Lobectomy in patients with Independent bilateral temporal lobe seizure onsets on depth EEG. Epilepsia 1989; 30: 703. Chinvarun Y, Sakulnamaka S. Temporal lobe epilepsy surgery with limited resources: Outcome and economic considerations. Neurology Asia 2004; 9 (Supp 1): 126 Srikijvilaikul T, Bunyarattavej K, Deesudchit T, et al. Outcome after temporal lobectomy for hippocampal sclerosis: Chulalongkorn Comprehensive Epilepsy Program experiences. Neurology Asia 2004; 9 (Supp 1): 127 Panda S, Radhakrishnan K, Sarma PS. Mortality in surgically versus medically treated patients with medically refractory temporal lobe epilepsy. Neurology Asia Cramer JA. Quality of life for people with epilepsy. Neurologic Clinics 1994; 12(1): 1-13 Sillanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Longterm prognosis of seizures with onset in childhood. N Eng J



46. 47.



48.



49.



50.



51.



52.



53. 54.



Med 1998; 338: 1715-22. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Engl J Med 2000;342: 314-9. Radhakrishnan K, Rao MB. Is epilepsy surgery possible in countries with limited resources? Epilepsia 2000; 41(Suppl 4):S31-4 Tasch E, Cendes F, Li LM, Dubeau F, Andermann F, Arnold DL. Neuroimaging evidence of progressive neuronal loss and dysfunction in TLE. Ann Neurol 1999; 45: 568-76. Semah F, Picot M-C, Adam C, et al. Is the underlying cause of epilepsy a major prognostic factor for recurrence? Neurology 1998; 51: 1256-62. Perucca A, Beghi E, Dulac O, Shorvon S, Tomson T. Assessing risk and benefit ratio in antiepileptic drug therapy. Epilepsy Res 2000; 41: 107-39. Muttaqin Z. Neuroimaging in epilepsy: MRI evaluation in complex partial seizures. Neurology Asia 2007; 12 (Supplement 1): 97 Kinirons P, McCarthy M, Doherty CP, Delanty N. Predicting drug-resistant patients who respond to addon therapy with levetiracetam. Seizure 2006 Jun 9; [Epub ahead of print]. Trevathan E, Gilliam F. Lost Years: delayed referral for surgically treatable epilepsy. Neurology 2003; 61: 432-3. Yoon HH, Kwon HL, Mattson RH, Spencer DD, Spencer SS. Long term seizure outcome in patients initially seizurefree after resective epilepsy surgery. Neurology 2003; 61: 445-50.



61



Neurosurgery Lecture Notes



INDICATIONS AND PRESURGICAL EVALUATION FOR EPILEPSY SURGERY Zainal Muttaqin Introduction Despite AED treatment, up to 30-40% of epilepsy patients continue to have seizures1,2 Approximately half of these patients are potential candidates for surgical treatment3. Complex partial seizures, with epileptogenic focus mostly in the temporal lobe made up most of these intractable cases4. The first randomized controlled trial on patient with refractory epilepsy5, comparing surgery versus optimized antiepileptic drug (AED) treatment, had proven that, in temporal lobe epilepsy, surgery is superior (more than 64% seizure free) than optimized AED therapy (only 8% seizure free). Even there is lack of epidemiological data about epilepsy in Indonesia, but the prevalence rate will not be too far from that of our neighbouring countries, which is around 3.9/1000 to 5.6/1000 (meta analysis of 20 studies)6. With 0.5% prevalence rate and population of more than 220 millions, then about 1.1 million people in Indonesia has epilepsy. Among them, about 276,000 to 386,000 are likely to be refractory, and half of them, around 138,000 to 193,000 with poorly controlled epilepsy who might benefit from surgical intervention. Nevertheless, especially in developing countries, there appears to be an extraordinary underutilization of this effective alternative treatment for this common and seriously disabling neurological disorder7. There are different opinions on how to define ‘refractory epilepsy’, should the criteria includes numbers of drugs tried, dose of drugs, duration of treatment etc. Many adult epilepsy centers define medical intractability as persistent seizures despite 2 years and 2 maximally tolerated AED) trials8,9,10 The biological basis and risk factors of intractability have also been well studied recently, so that the practical criteria of refractory epilepsy should also evolved much, and neuroimaging played a very significant role in defining best candidate for resective surgery 11, 12, 13. 62



Patients with medically intractable epilepsy will face many problems, such as high seizure frequency, prolonged seizures, and episodes of status epilepticus which may lead to a cognitive decline. A long period of imperfect seizure control produces disturbed psychosocial and vocational functions leading to unsatisfactory quality of life 14,15,16 . They are usually treated with multiple AEDs, which in combination may produce sedative and behavioral toxicity 17,18. Mortality rate in patient with drug-resistant epilepsy is reported as high as 5 times that of general population19,20,21,22,23. Epilepsy patient were usually referred for the possibility of surgical management when the medication had really been failed, with the consequences of psychosocial, educational, and vocational problems which are difficult to overcome even the seizure had been eliminated by surgery. The question is whether we can identify early those patients whose epilepsy would likely become intractable, or whether this intractability might be prevented. Clinical practice of delaying referral for surgically treatable epilepsy, or considering surgery as the last treatment option, aren’t acceptable anymore and are causing ‘lost of years’ as mentioned by Trevathan E and Yoon HH, et al 24,25. Surgery had been performed for 82 epilepsy patients in our institution, consist of partial or localization-related epilepsy in 76 and generalized epilepsy in 6. Among those with partial epilepsy, 74 cases were temporal lobe epilepsy receiving a stardardized anterior temporal lobectomy. The decision on the side of the epileptic temporal lobe were based on MRI lesion (mostly hippocampal sclerosis and/ or atrophy) in 70, on invasive subdural EEG in one, on ictal sphenoidal EEG in one, on long term video EEG in one, and on PET study in one. In order to define the reasonable and acceptable indication for epilepsy surgery, and the reliable, scientifically acceptable, and with



Neurosurgery Lecture Notes



presently available pre-surgical work-up, understanding recently available evidences on refractory epilepsy, its long-term complication, and on surgery for epilepsy (Level of Evidence 1 and 2), and the practices of epilepsy surgery in our institution will be helpful. Refractory epilepsy and its long-term consequences Patient with refractory epilepsy are usually treated with multiple AEDs, which in combination may produce sedative and behavioral toxicity 17,18. High seizure frequency, prolonged seizures, and episodes of status epilepticus may lead to a cognitive decline 14,15. A long period of imperfect seizure control produces disturbed psychosocial functioning leading to unsatisfactory quality of life such as poor academic achievement, diminished self-esteem, low rates of marriage, dependent behaviour, and restricted lifestyle 15,16. There is 2-3 fold increased death rate found in epilepsy population 19, 26, 27, 28. In subgroup of patient with drug-resistant epilepsy, the mortality rate is even as high as 5 fold that of general population 20, 21, 22, 23, 29 . Refractory epilepsy is progressive and selfperpetuating condition. Recurrent seizures, particularly those involving limbic structures, are recognized to cause disturbances in neuronal function independent of underlying pathology 30,31,32 . There is characteristic patterns of neuronal loss and mossy fiber sprouting in human TLE 31. There is long-lasting changes in excitatory and inhibitory neurotransmitter receptors and ion channels, and these alterations may lead to a deleterious combination of disinhibition and hyperexcitability. Some of these changes may be related to the phenomenon of secondary epileptogenesis. So that a primary epileptogenic lesion is able to induce epileptiform behaviour in an initially normal cell population, creating a ‘mirror focus’ which in time becomes an independent epileptogenic focus 34,35. Advance in neuroimaging allowed documentation of hippocampal neuronal loss following prolonged



febrile seizures, and progressive hipocampal atrophy in chronic refractory temporal lobe epilepsy by serial MRI 36,37,38. A long history of seizures prior to epilepsy surgery is associated with higher risk of relapse, supporting the occurrence of secondary epileptogenesis in unresected tissue as a result of recurrent seizures 37,38,39. And there is also correlation between increasing duration of epilepsy and/or number of seizures with more severe neuronal loss and dysfunction in TLE 39, 40. Advances in epilepsy research have elucidated several biological basis of refractoriness, such as the presence of certain structural abnormalities, particularly mesial temporal or hippocampal sclerosis and cortical dysplasia 41,42,43, changes related to selective neuronal loss in the CA1 and CA4 regions with gliosis and mossy fiber sprouting causing hyperexcitable state and disinhibited neuronal network found in hippocampal sclerosis 44,45,46,47 , ion channelopathies 48,49,50, and autoimmunity 51,52,53. Increasing number of channelopathies, including mutations in ligandgated and voltage-gated ion channels are being identified in human genetic epilepsies. So that mutation in ion channels may play a role in the genesis of refractory epilepsy by altering response to AEDs 48,49,50. There is potential role of autoimmunity in the manifestation and control of epilepsy. Autoantibodies to glutamic acid decarboxylase, which catalyses the conversion of glutamate to GABA, have been detected in patients with drug-resistant epilepsy 51,52,53. Based on all the evidences on refractory epilepsy, prevention of or at least early indentification of those patients at risk of developing refractory epilepsy is mandatory, so that effective therapeutic measures may be applied. In children and adolescent especially, effective therapeutic intervention, such as successful surgical intervention, will prevent the deleterious effect of seizures on developing brain, reducing the adverse educational and social impact of intractable epilepsy, and enhancing the quality of life.



63



Neurosurgery Lecture Notes



Fig 1 a: M 28, with CPS, medically controlled, MRI showed the presence of venous angioma at the right posterior hippocampus (1998)



Fig 1 b: A follow up MRI in 2004, when the epilepsy became intractable, showed more severe atrophy of the right hemisphere, especially the right temporal lobe



Early identification of refractory epilepsy Clinical prediction model designed by Children’s hospital of Philadelphia suggested that the presence of early risk factor for epilepsy or a temporal lobe MRI abnormality is linked to a poor response to initial AED trials, with only 16% of children becoming seizure free (54, 55). Conversely, absence of early risk factors and normal findings in MRI scan were linked to a better outcome, with 62% of children becoming seizure free. Studies have shown factors related most with refractoriness, such as underlying structural abnormality, high number/frequency of seizures, and abnormal EEG findings (8, 56) A recent long term study of 470 adolescents and adults with newly diagnosed epilepsy, 47% become seizure-free on the first AED, 13% on a second monotherapy, but only 1% on the third monotherapy. So that the probability of achieving seizure-free declined rapidly and progressively after the first two monotherapy treatment 56,57,58. Hospital-based studies of adults with partial seizures indicate that patients who have persistent



64



seizures despite an initial AED trial have only a 12% to 14% chance of complete seizure control with alternate AED monotherapy, and a 3% to 11% chance with AED polytherapy 56,59,60. Criteria for defining ‘refractory epilepsy’ should includes numbers of drugs tried, dose of drugs, duration of treatment etc. Many adult epilepsy centers define medical intractability as persistent seizures despite 2 years and 2 maximally tolerated AED trials 8,61,62. But if the 2-year outcome can be predicted early, and if the 2-year outcome reflects the longer-term outcome, then perhaps temporal lobectomy could be considered even erlier than 2 years after epilepsy onset in some patients. Wiebe et al. (5) in a randomized controlled trial (LoE I), comparing surgery and optimized medical therapy, using a rigorous methodology and intent-to-treat analysis, has proved that in temporal lobe epilepsy, surgery is superior (more than 64% seizure free) than optimized medical therapy (only 8% seizure free) for 12 months. Those who is older with longer duration of preoperative epilepsy was more likely to relaps,



Neurosurgery Lecture Notes



and longer preoperative illness predicted poorer outcome (25, 25). So that considering epilepsy surgery as the last treatment option for patient with partial epilepsy, or refusing early referral for epilepsy surgery seemed justified 20 years ago and subjective requirement of intractability prior to referral for a presurgical evaluation is not acceptable anymore. The question “is this patient intractable?” should be changed to “does this patient potentially have a surgically treatable epilepsy?” for all patients with partial epilepsy who fail two AEDs. And in patient with resectable brain abnormality, particularly hippocampal sclerosis and cortical dysplasia, the failure of two first-line AEDs as monotherapy due to lack of efficacy should prompt the consideration of epilepsy surgery.



Surgery for TLE and pre-surgical evaluation (literature review) Surgical treatment to abolish seizures is recommended for mesial temporal lobe epilepsy, which possibly the most common form of human epilepsy and the most refractory to AEDs 63,64,65. It is well known that approximately 65% of patients are seizure free after surgery with continued medical treatment, while 21% were improved, and 14% were not improved 66,67. A randomized controlled trial (LoE I), comparing surgery and optimized medical therapy, using a rigorous methodology and intent-to-treat analysis, has proved that in temporal lobe epilepsy, surgery is superior (more than 64% seizure free) than optimized medical therapy (only 8% seizure free) 5.



Fig 3. Standardized anterior temporal lobectomy (including amygdalohippocampectomy for patients with Temporal Lobe Epilepsy (from Wiebe et al, 2001)



Fig 2: the presence of mesial temporal sclerosis (non lesional epilepsy or other lesional pathologies (cavernoma, cortical dysplasia, or tumorous lesions) identifies those patients who will become intractable sometime in the future



Mesial



In TLE the surgical procedure is a standardized anterior temporal lobectomy including amygdalohippocampectomy, so that all pre-surgical evaluation should be directed to finding out the epileptic side of the temporal lobe. Pre-surgical evaluation should then be started with noninvasive procedures such as routine interictal scalp EEG and structural MRI, while functional imaging such as SPECT, f-MRI, and PET might be performed as needed. In mesial temporal sclerosis, it is common that routine EEG evaluation shows bilateral interictal discharges despite good outcome after unilateral temporal lobectomy 68,69,70,71, and lateralized findings will be found in only 41% patient 72, even 65



Neurosurgery Lecture Notes



long term EEG monitoring could not lateralize the seizure onset in 25-30% of the recorded seizures 73. The reason for the presence of this ‘mirror’ focus is the tendency of an actively discharging epileptiform region to induce similar paroxysmal behaviour in the homologous contralateral side 74. It is also possible that interictal epileptiform discharges (IEDs) may incorrectly lateralize the temporal seizure foci in 10-20% patients75,76,77. The pathophysiology of this contralateral IEDs is that discharges from medial part are propagated to the lateral cortex of the same and opposite sides. And the side showing leading ictal activity is not necessarily the site of epileptic origin 78,79. However, using scalp-sphenoidal, multiple ictal EEG recording, accurate localization is possible in 6570% TLE patients 80. And Video EEG for 1-2 hour for outpatient with refractory epilepsy, will confirm the diagnosis in 80% cases 81. Amongst several different pre-surgical evaluation, combination of MRI and 2 hour, sleep-deprived EEG is best and cost-effective outpatient evaluation to determine surgical eligibility, and 77-83% showed positivepredictive value 82. MRI is presently the best imaging modality for patient with partial or localization related-epilepsy 83,84,85,86 . Zentner J, et al. 4 has shown that MRI’s sensitivity reaches 98.7% for neoplastic lesions, 76.6% for non-neoplastic lesions (cavernous malformation, etc), and 69.2% for Mesial Temporal Sclerosis (MTS) or Hippocampal Sclerosis (HS), while its specificity reaches 87% for neoplastic lesions, 53% for MTS or HS, and 34% for others. More specific study on patients with MTS/HS has proven that visual MRI identifies changes of MTS in 80-90% cases, and nearly 90% patients with HS will be seizure free after anterior temporal lobectomy 11,12,13,75,76 . It means that identification of MTS/ HS on MRI is a reliable indicator of the epileptic temporal lobe and a predictor of favourable outcome after temporal lobectomy. Quantitative MRI studies, showing unilateral volume loss, will correctly identified the epileptic temporal lobe in Mayo clinic serien (n= 109) 88, and in Montreal Neurological Institute series (n= 106) 87. This volumetric MRI is useful in cases of bilateral hippocampal atrophy, subtle unilateral atrophy, and symmetric appearing hippocampi 88,89. And



66



patients with MTS, temporal IEDs, and clinical symptomatology consistent mith MTLE, may be considered for operation without ictal EEG recording 89. Results of epilepsy surgery were grouped according to Engel’s criteria 88 into 4 categories: (I). seizure free or aura only, (II). no more than two disabling seizure attacks in a year, (III). the attack decreased more than 75% of preoperative level, and (IV). the attack decreased less than 75%. Patients had benefit from the operation if he/ she falls into group I-III 4,90. Surgical morbidity and/ or complication reaches 5-10%, mainly infection and neurological deficit either temporary or permanent 4,91,92. Hemiparesis might be related to the disturbance of branches of middle cerebral artery, anterior choroidal artery, or direct injury to the cerebral peduncle, while visual field deficit might be due to injury of the optic tract. These neurological deficits become permanent in 1.7% patients 91. Other morbidity includes short-term memory disturbances either verbal (dominant side) or non-verbal (nondominant side), but this memory disturbances were observed pre-operatively in 30% of chronic TLE patients 92. Surgery for TLE and pre-surgical evaluation (private cases) Since July 1999 surgery had been performed for 82 epilepsy patients in our institution (RS Dr.Kariadi and RS Telogorejo, Semarang), consist of 74 with temporal lobe epilepsy (TLE) receiving anterior temporal lobectomy, 2 with extra-temporal lobe epilepsy receiving lesionectomy plus multiple subpial transection, and 6 with generalized tonicclonic epilepsy with drop attack receiving callosotomy. All patients had MRI (at least 0.5 Tesla), and routine scalp interictal EEG. Intracranial subdural grid EEG and sphenoidal lead EEG were performed in every patients. Wada test or intracarotid sodium amobarbital (amytal) injection were performed in about half of the patients with epileptogenic foci in the dominant temporal lobe. Psychological evaluation, including SPM and WAIS tests were performed for patients operated during the last two years.



Neurosurgery Lecture Notes



Fig 4. 56 TLE patients who underwent surgery, age distribution and length of epilepsy before surgery. Note that most were operated when length of disease is less than 20 years



In patients with partial or localization related epilepsy (n=76), MRI examination revealed hippocampal sclerosis and/ or atrophy in 66, hemispheric hemiatrophy in one, hippocampal calcification in one, cavernoma in one, temporal lobe tumor in three, normal MRI in two, and focal cortical dysplasia in two (all were extratemporal). The temporal lobe tumors were pleomorphic xantho-astrocytoma (PXA) of the hippocampus in one, and Disembryoblastic Neuroepithelial tumor (DNT) of the temporal neocortex in two. So that the MRI pathology in 66 out of 74 TLE patients were hippocampal sclerosis and/ or atrophy. The side of the epileptic temporal lobe or the operated side were based the side of MRI lesion in 70 patients, sphenoidal lead EEG (sleep deprived, 6 hours recording) in one, and invasive subdural grid EEG in one, long term video EEG in one, and PET study in one. Among our TLE cases, 56 patients had their post-operative follow-up 12- 76 months, and their seizure elimination rate were reported here. Preoperatively, these patients had seizure attack between 1-2 to 6-10 times monthly despite 2-4 antiepileptic medications (AEDs) in combination. All of them received anterior temporal lobectomy with (54) and without amygdalo-hippocampectomy



(2 cases with DNT of the lateral neocortex). The results were evaluated both from seizure elimination rate according to Engel’s criteria, and their psychosocial improvements as reported by their family member(s). Seizure free were seen on 41 cases (Engel Ia), aura only in 5 cases (Engel’s Ib), six cases had no more than 2 attacks a year (Engel’s II) and seizure frequency decreased more than 75% in 4 cases (Engel’s III). All patients were better socialized according to the family member(s), especially the younger and the highly educated ones. Three patients had postoperative depression that needed psychiatric consultation for about 3 postoperative months, one had temporary contralateral hemiparesis which resolved completely in 3 months, and five others had wound infection which needs removal of the bone flap. Patients were asked to continue their AEDs as before for at least 6 post-operative months before re-evaluation in performed. Those with two or more AED polytherapy whose post-operative course were excellent (Engel’s class I) and has enough self confidence, had one AED eliminated. Patients with Engel’s class I were asked to try to taper-off their AEDs after one post-operative years, and 31 out of 46 patients had stopped taking AEDs.



67



Neurosurgery Lecture Notes



independently by neurologist blinded of the patients’ clinical and MRI results. The results showed that pre-operative EEG was ipsilateral to the epileptic temporal lobe only in 35%, while 60% of cases showed bilateral epileptiform activity, and one patient (5%) even contralateral to the resected temporal lobe.



Fig 5. Result of surgery in 56 TLE cases with follow up 12-76 months, in relation to length of disease. 46 patients (82.14%) were Engel’s Class I (seizure Free). Note that the number of Class II and Class III patients tend to increase as the disease is longer



Fig 6. For those with Class I results, AEDs were tapered and stopped after 6-12 months post operative. There were 31 patients who is now AED free. The graph shows that the percentage of patien ts who would be AED Free is smaller if the disease is longer.



To evaluate the concordance of preoperative EEG (routine scalp, interictal EEG, recorded for 30 minutes) laterality with the epileptic side of the temporal lobe, the EEG results of 20 patients rendered seizure free (Engel’s class I) for more than 12 months were evaluated 68



Proposal for the indication and pre-surgical evaluation for epilepsy surgery as follows : Resective surgery (lobectomy and lesionectomy): 1. Partial or localization related epilepsy, especially temporal lobe epilepsy related to hippocampal sclerosis and / or atrophy, with persistent seizures despite 2 years and 2 maximally tolerated AED trials. Question “is this patient intractable?” should be changed to “does this patient potentially have a surgically treatable epilepsy?” for all patients with partial epilepsy who fail two AEDs 2. Certain structural abnormalities, particularly mesial temporal or hippocampal sclerosis and cortical dysplasia are more likely to produce pharmacoresistant epilepsy than other pathologies. So that in these patients, failure of two first-line AEDs as monotherapy due to lack of efficacy should prompt consideration of epilepsy surgery. Disconnection surgery: 1. Callosotomy should be reserved for those with refractory cases related to bilateral cortical dysplasia, for generalized tonicclonic seizures without respectable epileptogenic focus, including drop attack, tonic, and atonic seizures. Also for refractory complex partial seizures which is not candidate for temporal lobectomy. 2. Multiple subpial trnansection may be performed alone or in combination with focus resection if the seizure focus or the lesion involving eloquent cortical area. 3. Hemispherotomy, for catastrophic epilepsy in children with hemispheric syndromes, such as hemimegalencephaly, polymicrogyria, Ras mussen Encephalitis,



Neurosurgery Lecture Notes



Sturge-Weber syndrome, and Congenital Porencephaly. Pre-surgical evaluation: 1. Careful clinical evaluation, including seizure semiology 2. MR imaging, at least 0.5 T, with specialized protocol (structural MRI ). Quantitative MRI (hippocampal volumetry, or T2 relaxometry), and MR spectroscopy are needed for patients with visually normal hippocampus or those with bilateral sclerosis. 3. Routine EEG, improved with sleepdeprivrd, scalp-sphenoidal electrodes aiming at the occurrence of seizures during the recording. A 2 hours recording with video EEG is preferred. 4. Long-term-ictal EEG with video recording, aimed to record several seizures, for those with doubtful laterality and those with discordant results of non-invasive evaluations 5. Invasive intracranial EEG should be reserved for cases with normal MRI or those with bilateral temporal lesion, if long-term ictal EEG failed to find the epileptic foci. 6. Other examination such as neuropsychological evaluation and Wada test should be done as supporting but not decisive tool. References 1.



2.



3.



4.



5.



Cockerell OC, Johnson AL, Sander JWAS, Hart YM, and Shorvon SD. Remission of Epilepsy: results from the national general practice study of epilepsy. Lancet 1995; 346: 140-144 Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. New England Journal of Medicine 2000; 342: 314-319 Engel JJr, Shewmon DA. Overview: who should be considered a surgical candidate? In: Engel j.Jr. ed. Surgical treatment of the epilepsies, 2nd ed. New York, NY. Raven Press 1993: 23-34 Zentner J, Hufnagel A, Wolf HK, et al. Surgical treatment of temporal lobe epilepsy; clinical, radiological, and histopathological findings in 178 patients. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995; 58: 666-673 Wiebe S, Blume WT, Girvin JP, Eliasziw M. A randomized controlled trial of surgery for temporal lobe epilepsy. New England Journal of Medicine 2001; 345: 311-318



6. 7.



8. 9.



10.



11.



12.



13. 14. 15. 16.



17.



18.



19.



20.



21.



22.



23.



24.



25.



Hui LH. Epidemiology of Epilepsy. Asia Oceania Epilepsy Congress (Abstract) Bangkok, August 2004 Engel J.Jr. The timing of surgical Intervention for Mesial Temporal Lobe Epilepsy: a plan for a randomized clinical trial. Arch Neurol 1999; 56: 1338-1341 Perucca E. Pharmacoresistance in epilepsy: how should it be defined? CNS Drugs 1998; 10: 171-179 Regesta G, Tanganelli P. Clinical aspects and biological bases of drug-resistant epilepsies. Epilepsy Research 1999; 34: 109-122 Hermanns G, Noachtar S, Tuxhorn I, Holtausen H, Ebner A, Wolf P. Systematic testing of medical intractability for carbamazepine, phenytoin and Phenobarbital or pirimidone in monotherapy in patients considered for epilepsy surgery. Epilepsia 1996; 37: 675-679 Jack CR Jr, Sharbrough RW, Cascino GD, Hirschorn KA, O’Brien PC, Marsh WR. MRI-based hippocampal volumetry: correlation with outcome after temporal lobectomy. Ann Neurol 1992; 31: 138-146 Spencer SS, McCarthy G, Spencer DD. Diagnosis of medial temporal lobe seizure onset: relative specificity and sensitivity of quantitative MRI. Neurology 1993; 43: 2117-2124 Cascino GD. Neuroimaging in partial epilepsy: structural MRI. J Epilepsy 1998; 11: 121-129 Devinsky O. Patients with refractory seizures. New England Journal of Medicine 1999; 334: 1565-1670 Cramer JA. Quality of life for people with epilepsy. Neurological Clinics 1994; 12: 1-13 Sillanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Long-term prognosis of seizures with onset in childhood. New England Journal of Medicine 1998; 338: 1715-1722 Vermeulen J, Aldenkamp AP. Cognitive side-effects of chronic antiepileptic drug treatment: a review of 25 years of research. Epilepsy Research 1995; 22: 65-95 Kwan P, Brodie MJ. Neuropsychological effects of epilepsy and antiepileptic drugs. Lancet 2001; 357: 216222 Leestma JE, Walczac T, Hughes JR, Kalelkar MB, Teas SS. A prospective study on sudden unexpected death in epilepsy. Ann Neurol 1989; 26: 195-203 Earnest MP, Thomas GE, Eden RA, Hossack KF. The sudden unexplained death syndrome in epilepsy: demographic, clinical, and postmortem features. Epilepsia 1992; 33: 310-316 Harvey AS, Nolan T, Carlin JB. Community-based study of mortality in children with epilepsy. Epilepsia 1993; 34: 597-603 Sillanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Long-term prognosis of seizures with onset in childhood. New England Journal of Medicine 1998; 338: 1715-1722 Opeskin K, Harvey AS, Cordner SM, Berkovic SF. Sudden unexpected death in epilepsy in Victoria. J Clin Neurosci 2000; 7: 34-37 Trevathan E, Gilliam F. Lost Years: delayed referral for surgically treatable epilepsy. Neurology 2003; 61: 432433 (Editorial) Yoon HH, Kwon HL, Mattson RH, Spencer DD, Spencer SS. Long term seizure outcome in patients initially seizure-



69



Neurosurgery Lecture Notes



26. 27. 28.



29.



30.



31.



32.



33. 34.



35.



36.



37.



38.



39.



40.



41.



42.



43.



70



free after resective epilepsy surgery. Neurology 2003; 61: 445-450 Cockerell OC. The mortality of Epilepsy. Current Opinion in Neurology 1996; 9: 93-96 Tomson T. Mortality in Epilepsy. J Neurol 2000; 247: 1521 Pedley TA, Hauser WA. Sudden death in epilepsy: a wake-up call for management. Lancet 2002; 359:17901791 Nashef L, Fish DR, Garner S, Sander JW, Shorvon SD. Sudden death in epilepsy: a study if incidence in a young cohort with epilepsy and learning difficulty. Epilepsia 1995; 36: 1187-1194 Liu Z, Mikati M, Holmes GL. Mesial temporal sclerosis: pathogenesis and significance. Pediatric Neurology 1995; 12: 5-16 Blumcke I, Beck H, Lie AA, Wiestler ED. Molecular neuropathology of human mesial temporal lobe epilepsy. Epilepsy Research 1999; 36: 205-223 Glass M, Dragunow M. Neurochemical and morphological changes associated with human epilepsy. Brain Research Reviews 1995; 21: 29-41 Sutula TP, Hermann B. Progression in mesial temporal lobe epilepsy. Annals of Neurology 1999; 45: 553-555 Sutula TP, Cavazos JE, Woodard AR. Long-term structural and functional alterations induced in the hippocampus by kindling: implications for memory dysfunction and the development of epilepsy. Hippocampus 1994; 4: 254-258 Coulter DA. Chronic epileptogenic cellular alterations in the limbic system after status epilepticus. Epilepsia 1999; 40 (suppl.1): S23-S33 Vanlandingham KE, Heinz ER, Cavazos JE, Lewis DV. Magnetic resonance imaging evidence of hippocampal injury after prolonged febrile convulsions. Annals of Neurology 1999; 43: 411-412 O’Brien TJ, So EL, Meyer FB, Parisi JE, Jack CR. Progressive hippocampal atrophy in chronic intractable TLE. Annals of Neurology 1999; 45: 526-529 Van Paesschen W, Connelly A, King MD, Jackson GD, Duncan JS. The spectrum of hippocampal sclerosis: a quantitative MRI study. Annals of Neurology 1997; 41: 41-51 Kalviainen R, Salmenpera T, Partanen K, Vainio P, Riekkinen P, Pitkanen A. Recurrent seizures may cause hippocampal damage in TLE. Neurology 1998; 50: 13771382 Tasch E, Cendes F, Li LM, Dubeau F, Andermann F, Arnold DL. Neuroimaging evidence of progressive neuronal loss and dysfunction in TLE. Annals of Neurology 1999; 45: 568-576 Semah F, Picot M-C, Adam C, et al. Is the un derlying cause of epilepsy a major prognostic factor for recurrence? Neurology 1998; 51: 1256-1262 Perucca A, Beghi E, Dulac O, Shorvon S, Tomson T. Assessing risk and benefit ratio in antiepileptic drug therapy. Epilepsy Research 2000; 41: 107-139 Stephen LJ, Kwan P, Brodie MJ. Does the cause of localization-related epilepsy influence response to



44.



45. 46.



47.



48.



49. 50. 51.



52.



53.



54.



55. 56.



57.



58. 59.



60.



61.



62.



antiepileptic drug treatment? Epilepsia 2001; 42: 357362 Pringle CE, Blume WT, Munoz DG, Leung LS. Pathogenesis of Mesial Temporal Sclerosis. Canadian Journal of Neurological Scielces 1993; 20: 184-193 Lothman EW. Seizure circuits in the hippocampus and associated structures. Hippocampus 1994; 3: 286-290 Liu Z, Mikati M, Holmes GL. Mesial temporal sclerosis: pathogenesis and significance. Pediatric Neurology 1995; 12: 5-16 Blumcke I, Beck H, Lie AA, Wiestler ED. Molecular neuropathology of human mesial temporal lobe epilepsy. Epilepsy Research 1999; 36: 205-223 Wallace RH, Wang DW, Sing R, et al. Febrile seizures and generalized epilepsy associated with a mutation in the Na channel B1 subunit gene SCN1B. Nature Genetics 1998; 19: 366-370 Steinlein OK. Idiopathic epilepsies with a monogenic mode of inheritance. Epilepsia 1999; 40 (suppl.3): 9-11 Bentar MG. Calcium channelopathies. Quarterly Journal of Medicine 1999; 92: 133-141 Palace J, Lang B. Epilepsy: an autoimmune disease? Journal of Neurology, Neurosurgery and psychiatry 2000; 69: 711-714 Peltola J, Kulmala P, Isojarvi J, et al. Autoantibodies to glutamic acid decarboxylase in patients with therapyresistant epilepsy. Neurology 2000; 55: 46-50 Kwan P, Sills GJ, Kelly K, Butler E, Brodie MJ. Glutamic acid decarboxylase autoantibodies in controlled and uncontrolled epilepsy: a pilot study. Epilepsy Research 2000; 42: 191-195 Dlugos DJ, Krohner M, Zhao H, Clancy RR. Response to AED therapy in childhood tempopral lobe epilepsy: implications of early risk factors and MRI findings. Epilepsia 1998; 39(suppl 6): 159-160 Dlugos DJ. The early identification of candidates for epilepsy surgery. Arch Neurol 2001; 58: 1543-1546 Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. New England Journal of Medicine 2000; 342: 314-319 Kwan P, Brodie MJ. Refractory Epilepsy: a progressive, intractable, but preventable condition? Seizure 2002; 11: 77-84 Kwan P, Brodie MJ. Epilepsy after the first drug fails: substitution or add-on? Seizure 2000; 9: 464-468 Schmidt D, Richter K. Alternative single anticonvulsant drug therapy for refractory epilepsy. Annals of Neurology 1986; 19: 85-87 Mattson RH, Kramer JA, Collins JF, et al. Comparisons of carbamazepine, phenobarbital, phenytoin and pirimodone in partial and secondarily generalized tonic clonic seizures. New England Journal of Medicine 1985; 313: 145-151 Regesta G, Tanganelli P. Clinical aspects and biological bases of drug-resistant epilepsies. Epilepsy Research 1999; 34: 109-122 Hermanns G, Noachtar S, Tuxhorn I, Holtausen H, Ebner A, Wolf P. Systematic testing of medical intractability for carbamazepine, phenytoin and Phenobarbital or



Neurosurgery Lecture Notes



63. 64.



65.



66.



67.



68.



69.



70.



71.



72.



73.



74.



75.



76.



pirimidone in monotherapy in patients considered for epilepsy surgery. Epilepsia 1996; 37: 675-679 Engel J.Jr. Current concept: surgery for seizures. New England journal of Medicine 1996; 334: 647-652 Engel J. Jr. Etiology as a risk factor for medically refractory epilepsy: a case for early surgical intervention. Neurology 1998; 51: 1243-1244 Schmidt D, Bertram E, Ryvlin P, Luders HO. The impact of temporal lobe surgery on cure and mortality of drugresistant epilepsy: summary of a workshop. Epilepsy Research 2003; 56: 83-84 Engel J.Jr, Wiebe S, French J, et al. Practice parameter. Temporal lobe and localized neocortical resections for epilepsy. Report of the quality standards Subcommittee with the American Academy of Neurology in Association with the American Epilepsy Society and the American Association of Neurological Surgeons. Neurology 2003; 60: 538-547 McIntosh AM, Wilson SJ, Berkovic SF. Seizure outcome after temporal lobectomy: current research practice and findings. Epilepsia 2001; 42: 1288-1307 Gloor P, Olivier A, Ives J. Prolonged seizure monitoring with stereotactically implanted depth electrodes in patients with bilateral interictal temporal epileptic foci: how bilateral is bitemporal epilepsy?. Adv Epileptology 1980; 10: 83-88 So N, Gloor P, Quesney LF, Jones Gotman M, Olivier A, Andermann F. Depth electrode investigations in patients with bitemporal epileptiform abnormalities. Ann Neurol 1989; 25: 423-431 So N, Olivier A, Andermann F, Gloor P, Quesney LF. Results of surgical treatment in patients with bitemporal epileptiform abnormalities. Ann Neurol 1989; 25: 432439 Holmes MD, Dodrill CB, Ojemann LM, Ojemann GA. Five year outcome after epilepsy surgery in non-monitored and monitored surgical candidates. Epilepsia 1996; 37: 748-752 Velloglu SK, Ozmenoglu M, Komsuoglu SS. EEG investigation of TLE. Clinical Electroencephalography1997; 28: 121-126 Pataraja E, Luger S, Serles W, et al. Ictal EEG in unilateral mesial temporal lobe epilepsy. Epilepsia 1998; 39: 608614 Die WB, Najen I, Mohammed A, et al. Interictal EEG, hippocampal atrophy, and cell densities in Hippocampal sclerosis associated with microscopic cortical dysplasia. J Clin Neurophysiology 2002; 19: 157-162 Cascino GD, Trenerry MR, So EL, et al. Routine EEG and TLE: relation to long-term EEG monitoring, quantitative MRI, and operative outcome. Epilepsia 1996; 37: 651656 Radakhrisnan K, So EL, Silbert PL, et al. Predictors of anterior temporal lobectomy for intractable epilepsy: a multivariate study. Neurology 1998; 51: 465-471



77.



78.



79.



80.



81.



82.



83.



84.



85.



86.



87.



88.



89.



90.



91. 92.



Gilliam F, Bowling S, Bilir E, et al. Association of combined MRI, interictal EEG, and ictal EEG results with outcome and pathology after temporal lobectomy. Epilepsia 1997; 38: 1315-1320 Sperling MR, O’Connor MJ. Comparison of depth and subdural electrodes in recording temporal lobe seizures. Neurology 1989; 39: 1290-301 Sakai Y, agano H, Sakata A, et al. Localization of epileptogenic Zone in TLE by ictal scalp EEG. Seizure 2002; 11: 163-168 Murro AM, Park YD, King DW, et al. Use of ScalpSphenoidal EEG for seizure localization in TLE. Journal of Clinical Neurophysiology 1994; 11: 216-219 Chayasirisobhon S, Griggs L, Westmoreland S, Kim CS. The usefulness of one to two hour video EEG monitoring in patients with refractory seizures. Clinical Electroencephalography 1993; 24: 78-84 Dellabadia J Jr, Bell WL, Keyes JW,Jr, et al. Assessment and cost comparison of sleep-deprived EEG, MRI and PET in the prediction of surgical treatment for epilepsy. Seizure 2002; 11: 303-309 Dowd CF, Dillon WP, Barbaro NM, et al. Magnetic resonance of intractable complex partial seizures: pathologic and electroencephalographic correlation. Epilepsia 1991; 32: 454-459 Brooks BS, King DW, Gammal TE, et al. Magnetic resonance imaging in patients with intractable complex partial epileptic seizures. AJNR Am J Neuroradiol 1990; 11: 93-99 Jabbari B, Gunderson CH, Wippold F, et al. Magnetic resonance imaging in partial complex epilepsy. Arch Neurol 1986; 43: 869-872 Tien RD, Felsberg GJ, Castro CC, et al. Complex partial seizures and mesial temporal sclerosis, evaluation with Fast Spin Echo magnetic resonance imaging. Radiology 1993; 189: 835-842 Cascino GD, Jack CR, Parisi JE, et al. MRI-based hippocampal volumetric studies in TLE: pathological correlation. Ann Neurol 1991; 30: 31-36 Cendes F, Arruda F, Dubeau F, Gotman J, Andermann F, Arnold D. Relationship between mesial temporal atrophy and ictal and interictal EEG findings: results of 250 patients (abstract). Epilepsia 1995; 36: (suppl 4): 23 Cambier DM, Cascino GD, So EL, Marsh WR. Video-EEG monitoring in patients with hippocampal atrophy. Acta Neurol Scand 2001; 103: 231-237 Engel J.Jr., van Ness P, Rasmussen TB, et al. Outcome with respect to epileptic seizures. In: Engel J.Jr. (ed). Surgical treatment of the epilepsies. 2nd ed. Raven Press, New York, 1993, pp.609-621 Wyler AR. Surgical treatment of temporal lobe epilepsy. Neurosurg Quarterly 1992; 4: 214-232 Levesque MF. En bloc anterior temporal lobectomy for temporolimbic epilepsy. In: Rengachary S and Wilkins RH (eds.) Neurosurgical Operative Atlas Vol. 1 Williams and Wilkins, Chicago 1991



71



Neurosurgery Lecture Notes



NEUROIMAGING IN EPILEPSY : MRI EVALUATION IN REFRACTORY COMPLEX PARTIAL EPILEPSY Zainal Muttaqin ABSTRACT Background Epilepsy surgery have extensively been applied for the treatment of partial or localization-related epilepsy, especially for temporal lobe epilepsy, with beneficial effect. This advances were influenced by the availability of magnetic resonance imaging (MRI) which allowed patients with refractory partial epilepsy to be separated into two groups: those with substrate-directed (those whose MRI showed one or more potentially epileptogenic structural abnormalities), and those with non-substrate-directed disease. The major pathological entities in substrate-directed disease include mesial temporal sclerosis (MTS), primary brain tumor, vascular anomaly, and malformations of cortical development (MCDs). A 0.5 Tesla MRI unit was installed since January 2000 at Dr. Kariadi Hospital, Semarang. In order to evaluate the diagnostic yield of this MRI unit for epilepsy patients, results of MRI examinations performed during 2000-20002, on 97 medically refractory partial epilepsy, mostly temporal lobe epilepsy cases, are reported here. Patients and methods Since January 2000 to December 2002 there were 97 patients with complex partial seizures, mostly suspected as having temporal foci, who visited or being referred to our private practice. All of them had seizure attacks (with or without secondary generalization) ranged between 1-2 to 6-10 times monthly despite the administration of 2-4 different AEDs in combination. MRI scan was performed using 0.5 Tesla (Tomikon, Bruker, France) unit at Dr. Kariadi Hospital. Regular horizontal and coronal scan, T1 and T2 weighted image, were taken for the whole brain, while evaluation of the temporal lobe were performed using an oblique coronal, and horizontal thin slice, using T2 weighted image and fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) sequences. Horizontal images are acquired parallel, and coronal images perpendicular to the major axis of the hippocampus. Hippocampal sclerosis is diagnosed based on the presence of one or more of the following: hippocampal atrophy, increased signal on T2 weighted-image, and loss of definition of its internal structure. Contrast agent, Gd-DTPA enhanced, T1 WI was selectively performed for cases suspected as having tumorous lesions or vascular anomaly. Results Among the 97 cases of medically refractory partial complex epilepsy, MTS or hippocampal sclerosis was seen in 58 cases (59.8%) (two cases were bilateral), malformation of cortical development (MCD) in 4, tumorous lesion in 4, hemiatrophy in 4, angioma in 5, arachnoid cyst in one, and normal MRI in 21 patients. Patients with tumorous lesions, the final histopathology were Dysembryoplastic Neuroepithelial Tumor (DNT) of the lateral temporal neocortex in two, Pleomorphic Xanthoastrocytoma of the hippocampus in one, and grade II astrocytoma in one. Patients with vascular anomalies were arteriovenous malformation (AVM) of the posterior hippocampus in one, frontal lobe AVM in two, venous angioma of the hippocampus in one, and cavernous angioma of the hippocampus in one. The patients with MCDs were unilateralhemispheric cortical heterotopia in one, polymicrogyria in one, and focal cortical dysplasia in two. Conclusion Even with our presently available 0.5Tesla MRI unit, MTS and other lesional pathologies were detected in 76/97 or 78.3% cases, and 58 of these 76 or 76.3% were MTS. The presence of structural brain abnormalities inherently put the patient at higher risk of becoming pharmacologically refractory. It means 72



Neurosurgery Lecture Notes



that MRI study might identify early and differentiate those patients whose disease will some time become intractable. With the advances and excellent results reported in epilepsy surgery, and the poor long-term prognosis of intractable epilepsy, it should be justified to perform MRI examination for all partial or localization-related epilepsy patients. In these patients with structural brain abnormalities either lesional (MTS) or non-lesional pathologies, failure of two first-line AEDs due to lack of efficacy or poor tolerability, is enough to consider referring the patient for pre-surgical evaluation regarding epilepsy surgery. Key words : Neuroimaging, Epilepsy, Hippocampal Sclerosis INTRODUCTION Neurosurgical procedures have been increasingly applied for the treatment of epilepsy with beneficial effect, especially for partial or localization-related epilepsies (1,2). This recent advances were much influenced by the introduction of magnetic resonance imaging (MRI) in epilepsy. MRI has proved to be superior in sensitivity and specificity compared with computed tomographic (CT) scan in identifying the intra-axial structural abnormalities associated with partial epilepsy (3,4,5). The multiplanar capability of MRI without bone artefact, especially for mediobasal temporal lobe near the skullbase, have been proven to be useful in identifying potential surgical candidates and tailoring the presurgical evaluation (6-10) . MRI has allowed these patients with refractory partial epilepsy to be separated into two groups: those with substrate-directed (those whose MRI showed one or more potentially epileptogenic structural abnormalities that may be coexistence with the epileptogenic zone), and those with non-substrate-directed disease (3,11). The major pathological entities in substrate-directed disease include mesial temporal sclerosis (MTS), primary brain tumor, vascular anomaly, and malformations of cortical development (MCDs). MTS is also named non-lesional while the latter three are named lesional epilepsy. Lesional epilepsy mostly related to the presence of intraaxial foreign-tissue lesions or epileptogenic structural alterations such as tumorous lesions, vascular malformations, and MCDs (7,8,9,10,11). MTS and/ or hippocampal atrophy is the most common pathology found in medial temporal lobe epilepsy (MTLE) (8,9), while the neocortical (extrahippocampal) epilepsy may be extra-temporal or lateral temporal neocortical seizures (6,7,10,11).



Patients with MTS and lesional pathology are considered to have a surgically remediable epilepsy, because the majority of patients will be seizure-free after epilepsy surgery (4,11,12,13,14). And preoperative evaluation in patient with substratedirected partial epilepsy is designed to determine the epileptogenicity of the MRI-identified structural abnormalities. A 0.5 Tesla MRI unit was installed since January 2000 at Dr. Kariadi Hospital, Semarang. In order to evaluate the diagnostic yield of this MRI unit for epilepsy patients, results of MRI examinations performed during 2000-20002, on 97 medically refractory partial epilepsy, mostly temporal lobe epilepsy cases, are reported here. PATIENTS AND METHODS Since January 2000 to December 2002 there were 120 epilepsy cases who visited or were referred to the author for the persistence of seizures despite years of adequate antiepileptic medications (AEDs). Clinically, from the seizure semiology, 97 of the patients were complex partial seizures, mostly suspected as having temporal foci, and included in this study. All of them had 2-4 different AEDs in combination, and the seizure attacks (with or without secondary generalization) ranged between 1-2 to 6-10 times monthly. MRI scan was performed using 0.5 Tesla (Tomikon, Bruker, France) unit at Dr. Kariadi Hospital. Regular horizontal and coronal scan, T1 and T2 weighted image, were taken for the whole brain, while evaluation of the temporal lobe were performed using an oblique coronal, and horizontal thin slice, using T2 WI and fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) sequences. Horizontal images are acquired parallel, and coronal images perpendicular to the major axis of the hippocampus is important for the evaluation of the



73



Neurosurgery Lecture Notes



amygdalo-hippocampal complex (15,16,). (see figure 1 and 2)



Fig.1: mesial structures of the temporal lobe (HIP: hippocampus, AMG: amygdala, FG: fusiform gyrus, PHG: parahippocampal gyrus, ERC: entorhinal cortex)



Fig. 2: specific slices for the evaluation of the temporal lobe and mesial temporal structures



RESULTS Among the 97 cases of medically refractory partial complex epilepsy, MTS or hippocampal sclerosis was seen in 58 cases (59.8%) (two cases were bilateral), cortical dysplasias in 4, tumorous lesion in 4, hemiatrophy in 4, angioma in 5, arachnoid cyst in one, and normal MRI in 21 patients. Hippocampal sclerosis is diagnosed radiologically based on the presence of one or more of the following: hippocampal atrophy, increased signal on T2 weighted-image or decreased signal on T1 weighted-image, and loss of definition of its internal structure (15,16,17), while proton density scan using a long TR and short TE is useful in the differentiation of brain pathology from cerebrospinal fluid. The contrast between the lesion and CSF is further improved by a FLAIR pulse 74



sequence. Contrast agent, Gd-DTPA enhanced T1 WI was selectively performed for cases suspected as having tumorous lesions. DISCUSSION Mesial Temporal Sclerosis (MTS) Complex partial seizures (CPS) with epileptic foci mostly located at the medial temporal lobe (mesial side or hippocampal side) forms the largest portion of medically intractable epilepsy cases, and this group gains most from surgery (16,18,19,20). Histopathological changes in MTS and/ or hippocampal atrophy are shown as neuronal loss and glial proliferation particularly in the CA1 and CA4 regions of the hippocampal formation, which is located in the mesial side of the temporal lobe. The surgical treatment in patients with MTLE is typically substrate directed (19) and the high degree of specificity of unilateral MTS to indicate correctly the epileptic side of the temporal lobe has been confirmed (14,21,22). So that MR identification of the presence of sclerosis and/ or atrophy is highly decisive, and more than 90% of patients with unilateral MRI-identified MTS and concordant epileptiform discharges experience an excellent operative outcome, i.e., seizure free, auras only, or non disabling seizures (14,21,23). Visual inspection of MRI (qualitative MRI, as in our cases) will allow detection of almost 90% of MTS cases (9,24), while volumetric studies (MRI Vol) may provide objective and quantitative evidence for the presence of subtle unilateral atrophy, or bilateral symmetric atrophy (25, 26,27,28,29). Using the presently available 0.5Tesla MRI unit, with visual inspection of T2 WI and FLAIR sequences of the oblique-coronal and horizontal thin slices of the mediobasal temporal region, MTS and/or hippocampal atrophy were detected in 58/97 or 59.8% cases, two of them were bilateral. Visual inspection showed normal MRI images in 21/97 or 21.6% cases, and this doesn’t mean that there is no sclerosis in these patients. MRI with higher magnetic field strength, 1.5Tesla or higher, has shown higher detection rate for MTS (21,22,23,28,29) . And in TLE, even for cases with visually normal MRI, neuropathological studies have microscopically proven the presence of MTS (17,21,25) . (figure 3 and 4)



Neurosurgery Lecture Notes (35,38,39)



Fig. 3: Mesial sclerosis seen as relative hyperintensity and/ or volume loss of the hippocampus



Fig. 4: Hitopathology of MTS shown as neuronal cell loss, especially at CA1 and CA4 regions, and its replacement by glial cell as seen in GFAP stain



Malformations of Cortical Developments (MCDs) Final organization of the cortical mantle is the result of a series of pre-natal developmental processes (proliferation, migration, and cell differentiation). Disturbances of any of these processes either caused by genetic defect or noxious environmental influence usually results in malformation of cortical development (MCD), which is strongly related to epilepsy. Among cases of intractable epilepsy, 8-12% are associated with MCDs (30,31); while MCDs was found in 14-26% of children underwent epilepsy surgery (32,33). The pathological features of MCDs depend largely on the timing of the defect in the developmental processes and on its cause (34). Modern neuroimaging techniques are increasingly able to show MCDs in vivo, revealing that they are more common than previously suspected (35,36,37). However, even high resolution MRI fails to detect many malformations, and 2050% will only be recognized by careful neuropathological examination following surgery



. MRI sequence needed for detection of the MCD is axial double spin echo of the entire brain, coronal T2 weighted-image and Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) (40). For extra temporal epilepsy, acquired slices should be made parallel and perpendicular to the bicomissural lines, and three-dimensional T1 weighted image, volume fast field echo are sometimes obtained (40). To detect MCD, the following features should be assessed: gyration anomalies, focal thickening of the cortex, blurring of the grey-white matter junction, abnormal signal intensity in cortex and subcortical white matter, and focal hypoplasia (40). The MCDs have been classified by localization and distribution of the pathological lesions: generalized or diffuse lesion, unilateral lesion, and focal lesion (41). The generalized lesions include lissencephaly, band heterotopias or “double cortex”, subependymal heterotopia, and megalencephaly. Hemimegalencephaly is a unilateral cortical developmental malformation. Focal lesions include focal cortical dysplasia (FCD), polymicrogyria, schizencephaly, and focal subcortical heterotopia. And FCD is the most common form of MCDs considered for surgical resection (42). Our four cases were all extratemporal lobe epilepsies; consist of polymicrogyria in one, unilateral hemispheric cortical heterotopia in one, and FCDs in two. (figure 5 and 6)



Fig. 5: Diffuse hemispheric cortical heterotopia (a) and Polymicrogyria of left sylvian fissure (b)



Fig. 6: Focal cortical dysplasia (FCD) of the left frontal operculum



Tumorous lesions Tumors taken from intractable epilepsy patients can be divided into mixed neuroglial or



75



Neurosurgery Lecture Notes



mixed glial tumors (ganglioglioma, dysembryoplastic neuroepithelial tumor or DNT, oligoastrocytoma, pilocytic astrocytoma, and pleomorphic xanthoastrocytoma), various grades of glioma (astrocytoma, oligodendroglioma, glioblastoma), and hamartomas such as vascular malformations (43,44,45). The most commonly found glial neoplasm in patients with chronic seizure disorders is low-grade gliomas (45). Recent evidences highlighted coexistence of tumors and cortical dysplasia, and most common is coexistence of mixed neuroglial tumors (ganglioglioma or DNT) and Focal Cortical Dysplasia (43,44). So that it is very important to think about it during clinical evaluation. MRI has been confirmed to be a reliable and accurate indicator of foreign-tissue pathology, and its sensitivity reaches 100% for tumorous lesion and vascular malformations (10,45,46) . Neoplasms characteristically produce a prominent increase in T1 and T2 relaxation times of tissue. And T2 weighted images are most sensitive in revealing foreign-tissue lesions. GadoliniumDTPA enhanced MRI scans will be useful to differentiate edema from tumor, but most tumors associated with chronic partial seizures are lowgrade glial neoplasm that is associated with little edema and variable mass effect (7,10,45,46).



Fig. 7: Glial tumor related to chronic seizures, epilepsy is the sole symptom of these patients



MRI is highly sensitive to identify neoplasm, but histologically non-specific. Approximately 8090% of patients undergoing complete resection of the low-grade neoplasm and the epileptogenic cortex are rendered seizure free (6,47,48). We found one MTLE related Pleomorphic Xanthoastrocytoma (PXA), two cases of DNT of the lateral temporal neocortex, and one frontal astrocytoma. Gd-DTPA enhanced T1 WI was performed in all these cases, and weak enhancement were seen in the cases of with PXA and one DNT only. (figure 7 and 8). 76



Fig. 8: Dysembryoplastic Neuroepithelial Tumor of the temporal neocortex (extrahippocampal)



Arteriovenous Malformations The most important neocortical cerebral vascular malformations in patients with pharmacologically refractory partial epilepsy are the arterio-venous malformations (AVMs), including angiographically occult lesions (cavernous angioma or cavernoma) (6,49,50). And seizures might be the only clinical symptom associated with an AVM or cavernous angioma (11,50) . On MRI, AVM is associated with the presence of signal void phenomena of the feeding and draining vessels, while cavernoma has a characteristic appearance on T2 weighted image as region with increased signal intensity (showing met hemoglobin) surrounded by area of decreased signal intensity (representing hemosiderin ladden macrophages (49). Histologically, AVM is composed of enlarged feeding arteries, a tangle of dysplastic vessels (the nidus), and dilated draining veins, while cavernous angioma consist of dilated, tightly packed, capillary like vessels with virtually no intervening brain tissue (6,49). The most sensitive neuroimaging for an AVM is angiography, but Computed Tomography (CT) will also permit detection and characterization of most AVM, except small and superficially located AVM (49). MR generally better shows angiographically evident AVMs than by CT, especially when imaged with Spin Echo (SE) technique they typically exhibit a signal void on all sequences. This signal void, serpentine or tubular shaped feeding arteries and draining veins will highly be visible against the brighter background of brain parenchyma on long repetition time or TR (T2 weighted images). In most cases, the nidus appears as a solitary tangle of vessels with variable amounts of intervening brain tissue (49). These signal void structures might be confused with calcification and could easily be differentiated and confirmed with flow-sensitive SE or GRE sequences (49). MR is particularly valuable in the occult cerebral vascular malformation, since



Neurosurgery Lecture Notes



these lesions may not be visualized on angiography and on CT. Their characteristic features have been found to become more prominent as the magnetic field strength increases, if standard SE sequences are employed (49). In two studies, less than half of the lesions demonstrated at 1.5 T was apparent at 0.35 T or less) (49,50). The classic high field MR appearance of the lesions results from a mixture of blood at different stages of degradation, calcification, and reactive changes of the brain parenchyma (49). Central portions that are bright on both T1 and T2-weighted images indicating the presence of extra-cellular met hemoglobin, surrounded by hemosiderin deposit which is markedly hypointense on T2-weighted image. Perifocal hyperintensity seen on T2-weighted image only corresponds to edema, while calcification that would appear very hyperdense on CT seen as mild hypointensity on MR.



Fig. 9: Cavernous angioma of the hippocampus, large (a) and small (b) in epilepsy patients



Fig. 10: Dural arterio-venous malformation of the right posterior hippocampal area



Our angioma related partial epilepsy cases were three TLEs (related with AVM in one, cavernous angioma in one, and venous angioma in one), and two AVM-related frontal lobe seizure. The case with cavernous angioma showed ‘onion ring’ layers of hematoma with different ages, and the cases with AVM and venous angioma all showed signal void serpentine like lesions representing high flow feeding and draining vessels of the angiomas. Angiographic studies were performed and confirmed the presence of AVMs in the case of posterior temporal AVM and the two cases of frontal lobe epilepsy. (figure 9 and 10) CONCLUSION Even with our presently available 0.5Tesla MRI unit, MTS and other lesional pathologies were detected in 76/97 or 78.3% cases, and 58 of these 76 or 76.3% were MTS. The presence of structural brain abnormalities inherently put the patient at higher risk of becoming pharmacologically refractory (51). It means that MRI study might identify early and differentiate those patients whose disease will some time become intractable. The recently published randomized controlled trial on epilepsy (52) clearly shows the superiority of surgery (64% seizure-free) compared with optimized medical treatment (8% seizure-free). With the advances and excellent results reported in epilepsy surgery (52,53), and the poor long-term prognosis of intractable epilepsy with the increased mortality and risk of sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP) (54), it should be justified to perform MRI examination for all partial or localization-related epilepsy patients. This MRI examination should preferably be performed with higher magnetic field strength (possibly 1.5Tesla) MRI unit, and specific protocol for identifying MTS and MCDs should be applied. In these patients with structural brain abnormalities either lesional or non-lesional pathologies, failure of two first-line AEDs due to lack of efficacy or poor tolerability, is enough to consider referring the patient for presurgical evaluation regarding epilepsy surgery (51). For TLE patients, since the surgical procedures is a standardized anterior temporal lobectomy, all presurgical evaluations should be directed to find the epileptic side of the temporal lobe. So that if the



77



Neurosurgery Lecture Notes



visual MRI could not differentiate the epileptic temporal lobe, other examinations such as two hours ictal EEG monitoring, with scalp-sphenoidal EEG become extremely important.



16.



17.



DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



4.



5. 6.



7.



8.



9.



10.



11.



12. 13.



14.



15.



78



Goldring S: Surgical treatment of epilepsy in children. In: Engel J Jr. (ed): Surgical treatment of the epilepsies. New York, Raven Press, 1987, 445-465 Maehara T, Shimizu H, Oda M, Arai N: Surgical treatment in Children with medically intractable epilepsy: Outcome related to surgical procedures. Neurol Med Chir 1996; 36: 305-309 Bergen D, Bleck T, Ramsey R, et al. Magnetic Resonance Imaging as a sensitive and specific predictor of neoplasm removed for intractable epilepsy. Epilepsia 1989; 30: 310-321 Cascino GD. Commentary: how has neuroimaging improved patient care? Epilepsia1994: 35 (suppl6): s 103-107 Cascino GD: Neuroimaging in partial epilepsy: Structural MRI. J Epilepsy 1998; 11: 121-129 Boon PA, Williamson PD, Fried J, et al: Intracranial, intraaxial space occupying lesions in patients with intractable partial seizures: An anatomical, neuropsychological, and surgical correlation. Epilepsia 1991; 32: 467-476 Cascino GD: Neuroimaging in Neocortical Epilepsies: Structural Magnetic Resonance Imaging. In: Williamson PD, Siegel AM, Roberts DW, et al (eds.) Advances in Neurology vol 84, Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins, 2000, 377-389 Brooks B, King D, El Gammal T, et al: Magnetic Resonance Imaging in patients with intractable complex partial seizures. AJNR Am J Neuroradiol 1990; 11: 93-99 Berkovic S, Anderman F, Olivier A, et al: Hippocampal sclerosis in temporal lobe epilepsy demonstrated by MRI. Ann Neurol 1991; 29: 175-182 Kuzniecky R, Cascino G, Palmini A, et al: Structural Neuroimaging. In: Engel J Jr.(ed). Surgical treatment of the epilepsies, 2nd ed. New York, Raven Press, 1993: 197 Cascino GD, Kelly PJ, Sharbrough FW, Hirschorn KA. Long-term follow-up of stereotactic lesionectomy in partial epilepsy: predictive factors and electroencephalographic results. Epilepsia 1992; 33: 639-644 Fried I: Anatomic temporal lobe resection for temporal lobe epilepsy. Neurosurg Clin North Am 1993; 4: 233-242 Jack CR Jr, Sharbrough FW, Cascino GD, et al: MRI based hippocampal volumetry: correlation with outcome after temporal lobectomy. Ann Neurol 1992; 31: 138-146 Cascino GD, Trennery MRF, So EL, et al: Routine EEG and temporal lobe epilepsy: Relation to long-term EEG monitoring, quantitative MRI, and operative outcome. Epilepsia 1996; 37: 651-656 Cascino GD, Jack CR, Parisi JE, et al: MRI in the presurgical evaluation of patients with frontal lobe epilepsy and children with temporal lobe epilepsy: pathologic correlation and prognostic importance. Epilepsy Res 1992; 11: 511-59



18.



19.



20.



21.



22.



23.



24.



25.



26.



27.



28.



29.



30.



31.



Elwes RDC, Dunn G, Binnie CD, Polkey CE: Outcome following resective surgery for temporal lobe epilepsy: A prospective follow up study of 102 consecutive cases. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1991; 949-952 Li LM, Fish DR, Sisodiya SM, et al: High resolution MRI in adult with partial or secondary-generalized epilepsy attending a tertiary referral unit. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995; 59: 3384-387 Wieser HG, Siegel AM, Yasargyl GM: The Zurich amygdalo-hippocampectomy series: A short up date. Acta Neurochir (suppl) 1990; 50: 122-127 Engel J Jr, van Ness P, Rasmussen TB, et al: Outcome with respect to epileptic seizures. In: Engel J Jr (ed) : Surgical treatment of epilepsies 2nd ed., New York, Raven Press 1993 pp. 609-621 Spencer DD: Strategies for focal resection in medically intractable epilepsy. Epilepsy Res 1992 (Suppl 5): 157168 Gilliam F, Bowling S, Bilir E, et al. Association of combined MRI, interictal EEG, and ictal EEG results with outcome and pathology after temporal lobectomy. Epilepsia 1997; 38: 1315-1320 Trenerry MR, Jack CR Jr, Cascino GD, et al. MRI hippocampal volumes and memory before and after temporal lobectomy. Neurology 1993; 33: 1800-1805 Radhakrishnan K, So EL, Silbert PL, et al. Predictors of anterior temporal lobectomy for intractable epilepsy: A multivariate study. Neurology 1998; 51: 465-471 Jackson GD. Visual analysis in mesial temporal sclerosis. In: Cascino GD, Jack CR Jr, eds. Neuroimaging in epilepsy: principles and practice. Boston: Butterworth-Heinemann 1996: 73-110 Cascino GD, Jack CR, Parisi JE, et al: Magnetic resonance imaging-based hippocampal volumetric studies in temporal lobe epilepsy: pathological correlation. Ann Neurol 1991; 30: 31-36 Jack CR Jr, Sharbrough FW, Twomey CK, et al. Temporal lobe seizures: Lateralization with MR volume measurement of hippocampal formation. Radiology 1990; 176: 205-209 Jack CR Jr, Sharbrough FW, Cascino GD, Hirschorn KA, O’Brien PC, Marsh WR. MRI-based hippocampal volumetry: Correlation with outcome after temporal lobectomy. Ann Neurol 1992; 31: 138-146 Spencer SS, McCarthy G, Spencer DD: Diagnosis of medial temporal lobe seizure onset: relative specificity and sensitivity of quantitative MRI. Neurology 1993; 43: 2117-2124 Lencz T, McCarthy G, Bronen R, et al: Quantitative MRI of the hippocampus in temporal lobe epilepsy. Ann Neurol 1992; 31: 629-637 Polkey CE: Cortical dysplasia; resective surgery in children. In: Guerrini R Andermann F, Canapicchi R, et al : Dysplasias of cerebral cortex in epilepsy. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1996 pp. 435-439 Wyllie E, Comair YG, Kotagel P, et al: Seizure outcome after epilepsy surgery in children and adolescent. Ann Neurol 1998; 44: 740-748



Neurosurgery Lecture Notes



32.



33.



34. 35.



36.



37.



38.



39. 40.



41.



42.



43.



Barkovich AJ, Kuzniecky RI, Dobyns WB, et al: A Classification scheme for malformation of cortical development (Review). Neuropediatrics 1998; 27: 59-63 Raymond AA, Fish DR, Sisodiya SM, et al: Abnormalities of gyration, heterotopias, tuberous sclerosis, FCD, microdysgenesis, dysembryoplastic neuroepithelial tumor (D-net) and dysgenesis of the archicortex in epilepsy. Clinical, EEG, and neuroimaging features in 100 adult patients (Review). Brain 1995; 118: 629-660 Shorvon S: Magnetic Resonance Imaging of cortical dysgenesis. Epilepsia 1997; 38 Suppl 10.: 13-18 Barkovich AJ, Kuzniecky RI, Dobyns WB: Radiologic classification of Malformations of Cortical Development (Review). Curr opinion Neurol 2001: 14: 145-149 Kuzniecky RI, Barkovich AJ: Pathogenesis and pathology of focal malformations of cortical development and epilepsy (Review). J Clin Neurophysiol 1996; 13: 468-480 Spreafico R, Battaglia G, Arcelli P, Palmini A, et al: Cortical dysplasia: An immunocytochemical study of three patients. Neurology 1998;50: 27-36 Tassi L, Colombo N, Garbelli R, et al: Focal Cortical dysplasia: neuropathologiocal subtypes, EEG, Neuroimaging, and Surgical Outcome. Brain 2002; 125: 1719-1732 Arai N: Cortical dysplasia in surgical pathology of intractable epilepsy. Neuropathology 1999; 19: 229-232 Wolf HK, Wellmer J, Muller MB, et al: Glioneuronal malformative lesions and Dysembryoplastic neuroepithelial tumor in patients with chronic pharmaco-resistant epilepsies. J Neuropathol Exp Neurology 1995; 54, 245-254 Kuzniecky RI. Magnetic resonance imaging in cerebral developmental malformations and epilepsy. In: Cascino GD, Jack CR Jr, eds. Neuroimaging in epilepsy: principles and practice. Boston: Butterworth-Heinemann 1996; 5163 Palmini A, AndermannF, Olivier A, et al. Focal neuronal migrational disorders and intractable partial epilepsy: Results of surgical treatment. Ann Neurol 1991; 30: 750757 Arai N, Shimizu H, Maehara T, Oda M: Surgical pathology of intractable epilepsy: coexistence of cortical



44.



45.



46.



47. 48.



49.



50.



51.



52.



53.



54.



malformations and tumor lesion. Neuropathology 1996; 16: S.287 Oda M, Arai N, Maehara T, et al: Brain tumors in surgical pathology of intractable epilepsies, with special reference to cerebral dysplasias. Brain Tumor Pathology 1998; 15: 41-51 Britton J, Cascino GD, Sharbrough FW, et al: Low-grade glial neoplasm and intractable partial epilepsy: efficacy of surgical treatment. Epilepsia 1994; 35: 1130-1135 Russell DS, Rubinstein LJ” Pathology of tumors of the nervous system. Baltimore, Williams and Wilkins, 1989, pp. Cascino GD. Epilepsy and brain tumors: implications for treatment. Epilepsia 1990; 31: S37-44 Britton J, Cascino GD, Sharbrough FW, Kelly PJ. Lowgrade glial neoplasm and intractable partial epilepsy: efficacy of surgical treatment. Epilepsia 1994; 35: 11301135 Dodick D, Cascino GD, Meyer FB: Vascular malformations and intractable epilepsy: outcome after surgical treatment. Mayo Clin Proc 1994; 69: 741-745 Friedland RJ, Bronen RA. Magnetic resonance imaging of neoplastic, vascular, and indeterminate substrates. In: Cascino GD, Jack CR Jr, eds. Neuroimaging in epilepsy: principles and practice. Boston, Butterworth-Heinemann, 1996; 29-50 Kwan P, Brodie MJ. Refractory epilepsy: a progressive, intractable but preventable condition? Seizure 2002; 11: 77-84 Wiebe S, Blume WT, Girvin JP, Eliaziw M. A randomized controlled trial of surgery for temporal lobe epilepsy. N Engl J Med 2001; 345: 311-318 Engel J Jr, Wiebe S, French J, et al. Practice parameter: temporal lobe and localized neocortical resections for epilepsy. Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology, in association with the American Epilepsy Society and the American Association of Neurological Surgeons. Neurology 2003; 60: 538-547 Sperling MR, Feldman H, Kinman J, Liporace JD, O’Connor MJ. Seizure control and mortality in epilepsy. Ann Neurol 1999; 46: 45-50



79



Neurosurgery Lecture Notes



OVERVIEW MENINGIOMA: HISTOLOGY and MOLECULAR BIOLOGY Iskandar Japardi Meningiomas are perhaps the most fascinating brain tumors in Neurosurgery (Peter M. Black)



I. Pendahuluan Frekuensi kasus meningioma diperkirakan sekitar 30 % dari seluruh tumor intra kranial primer, dengan insidensi per tahun diperkirakan 45/100.000 individu. Rasio perempuan : laki laki sekitar 2 : 1, sementara pada meningioma spinal predileksi perempuan : laki laki mencapai 10 : 1, terutama di daerah thorakal. Meningioma high grade atau sub tipe yang jarang umumnya dijumpai pada usia anak dan jenis kelamin laki laki. 1, 2 Diklasifikasikan menurut kriteria WHO, meningioma umumnya adalah lesi jinak (WHO Grade I), sedangkan sebagian kecil lagi merupakan varian grade II dan III WHO, yang berhubungan dengan resiko tinggi rekurensi dan survival time yang lebih pendek. Mutasi dari gen NF2 dan kehilangan kromosom 22q, berhubungan dengan inisiasi meningioma. Sehubungan dengan peningkatan tumor grading, sering dijumpai perubahan molekuler, namun demikian gen yang relevan masih harus di identifikasi. 1 Secara klinis meningioma umumnya berhubungan dengan tanda tanda peningkatan tekanan intra kranial secara bertahap. Nyeri kepala dan kejang sering di jumpai, sedangkan simtom yang lain dan defisit neurologis bergantung kepada lokasi dan ukuran massa tumor. Pada MRI umumnya isointense dan sangat menyangat kontras. 1, 2 Paparan radiasi merupakan salah satu penyebab meningioma yang sudah dapat dibuktikan, dan ada peranan potensial dari sex hormone, terutama reseptor progesteron, walaupun sampai saat ini belum dapat dibuktikan. Al Mefty dkk menemukan terdapatnya periode masa laten yang panjang pada high dose radiation induced meningioma, hal ini didukung beberapa penelitian yang lain yang menyatakan periode laten tersebut dapat melebihi periode 10 tahun. 3



80



Penyebab yang sudah pasti dan terutama dijumpai pada penderita usia muda tanpa predileksi jenis kelamin ialah NF Type 2. Meningioma (disamping Schwannoma) merupakan manifestasi utama pada kelainan autosom dominan ini, yang disebabkan mutasi germline pada gen NF2 di kromosom 22q12. Hal yang cukup menarik adalah mutasi pada gen NF2 tidak dijumpai pada dural hemangiopericytoma, yang dianggap sebagai varian klasik meningioma. 4 Meningioma juga dilaporkan dijumpai pada beberapa kelainan sindrom herediter, termasuk Cowden, Gorlin, Li-Fraumeni, Turcot, Gardener, Von Hippel Lindau, Proteus syndrome serta Multiple Endocrine Neoplasia type I, walaupun sampai saat ini belum dapat diputuskan apakah hal tersebut bersifat kausal atau koinsidental. 1 Teknik baru dari genom global dan analisa transcryptomer dan model percobaan meningioma terkini memberikan pemahaman mutakhir tentang aspek biologi meningioma dan akan membantu identifikasi patogenesitas yang mungkin dapat menjadi target bagi pendekatan terapeutik pada masa yang akan datang. 1, 5 II. Klasifikasi Histopatologi II. 1. Karakteristik Klinis dan WHO Grading Meskipun sebagian besar meningioma merupakan lesi jinak, secara mengejutkan tumor ini memiliki spektrum klinis dan histologis yang sangat luas dan jenis jenis tertentu memiliki resiko tinggi rekurensi, bahkan setelah reseksi komplit. Pada beberapa kasus yang sangat jarang, meningioma bersifat ganas. 1 Klasifikasi meningioma WHO bertujuan memprediksi secara lebih baik karakteristik klinis meningioma yang beragam, berdasarkan sistem grading histologis berbasis korelasi klinikopatologis yang secara statistik dianggap bermakna. 6, 7



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 1. Klasifikasi WHO



Tabel 2. Grading histologis WHO.



Dikutip dari Riemenschneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054 Dikutip dari Riemenschneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054



Gambar 1. Histopatologi meningioma WHO Grade I. A. Meningothelial B. Fibrous C. Transitional D. Psammomatous E. Angiomatous F. Microcytic G. Secretory H. Lymphoplasmacyt Rich I. Metaplastic. Dikutip dari Riemenschneider MJ, et al. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054



81



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 2. Histopatologi Meningioma Grade II WHO. A. Atypical Meningioma dengan peningkatan aktifitas mitotic B. Clear Cell C. Chordoid. Dikutip dari Riemenschneider MJ, et al. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054



Gambar 3. Histologi Meningioma Grade III WHO. A. Anaplastik Meningioma B. Rhabdoid C. Papillary. Dikutip dari Riemenschneider MJ, et al. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054



Data literatur menyatakan dari seluruh sub tipe meningioma, 1-11% adalah kasus meningioma maligna. Angka insidensi yang bervariasi ini merefleksikan belum adanya kriteria keganasan yang sepenuhnya disepakati para ahli, terlepas dari klasifikasi WHO yang rutin di revisi. Jaaskelainen dan kemudian Rohringer berusaha mengklasifikasikan grading tumor meningioma secara numerikal, tetapi sebagian ahli mengganggap terlalu subjektif dan sangat jarang dipergunakan. Kriteria grading meningioma tidak didefenisikan pada kriteria WHO 1979 dan revisi WHO 1990. Pada revisi WHO 2000 terdapat 6



kriteria yang menjadi acuan, yaitu: hiperselularitas, abnormalitas struktur (atau “sheeting”menurut beberapa ahli), pleomorfisme nuclear, indeks mitotik, tumor nekrosis dan tumor invasi. Menurut WHO revisi 2000, meningioma atipikal didefenisikan sebagai setidaknya terdapat 4 mitosis/10 hpf (high power fields) atau 3 dari 4 kriteria berikut: peningkatan selularitas, rasio nucleus-sitoplasma yang tinggi, nucleolus yang prominen dan struktur yang tidak berpola atau pertumbuhan sheet-like ataupun nekrosis. Mitotik dan invasi tidak termasuk kriteria atipikal. 7



Gambar 4. Kriteria histopatologi kasus meningioma atypical. H: Hiperselularitas P: Pattern abnormality N: Necrosis fokal, gambaran nuclear pleomorphism (panah kanan), HE-40X. Dikutip dari Sekerci Z, Ugurluoglu O, Colpan E. Evaluation of Forty-Five Atypical and Malignant Meningioma Cases: Over the 12-Years Follow-Up Period. Turkish Neurosurgery 2004;14:12-20



82



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 5. Gambaran tipikal dan atipikal mitotik pada kasus meningioma maligna. Dikutip dari Sekerci Z, Ugurluoglu O, Colpan E. Evaluation of Forty-Five Atypical and Malignant Meningioma Cases: Over the 12-Years Follow-Up Period. Turkish Neurosurgery 2004;14:12-20



Gambar 6. Invasi pada jaringan otak (kiri) dan duramater (kanan). Dikutip dari Sekerci Z, Ugurluoglu O, Colpan E. Evaluation of Forty-Five Atypical and Malignant Meningioma Cases: Over the 12-Years Follow-Up Period. Turkish Neurosurgery 2004;14:12-20



WHO berdasarkan kriteria histologis membagi meningioma ke dalam 4 kelompok: benigna, atipikal, anaplastik dan sarkomatosa. Secara klinis WHO mengkombinasikan meningioma anaplastik dan sarkomatosa kedalam 1 kelompok yang disebut meningioma maligna. Sebagian ahli menganggap penggabungan tersebut tidak bermanfaat secara klinis dan tidak membedakan antara meningioma anaplastik dan sarkomatosa. Sebagian ahli bahkan menganggap meningioma tipe hemangiopericytoma sebenarnya tidak termasuk sub tipe meningioma. Hal ini sesuai dengan revisi WHO yang menggolongkan



hemangiopericytoma ke dalam kelompok tumor yang asalnya tidak jelas (tumor of uncertain origin).7 Meningioma atipikal masih merupakan topik perdebatan yang menimbulkan kontroversi, sebagian ahli menyatakan sifat biologis tumor tidak dapat diprediksi menggunakan analisa histopatologi. Penelitian Sekerci dkk menyimpulkan meskipun malignant meningioma dianggap lebih ganas daripada meningioma atipikal, tidak ada perbedaan bermakna menyangkut survival time pada kedua sub tipe. 7, 8



83



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 3. Klasifikasi WHO 2007 dengan kode ICD-10. Tumor of the meninges Tumors of the meningothelial cells Meningioma 9530/0 Meningothelial 9531/0 Fibrous (fibroblastic) 9532/0 Transsitional (mixed) 9537/0 Psammomatous 9533/0 Angiomatous 9534/0 Microcystic 9530/0 Secretory 9530/0 Lymphoplasmacyte-rich 9530/0 Chordoid 9538/1 Clear cell 9538/1 Atypical 9539/1 Papillary 9538/3 Rhabdoid 9538/3 Anaplastic 9530/3 Dikutip dari Scheithauer BW. Development of the WHO Classification of Tumors of the Central Nervous System: A Historical Perspective. Brain Pathology 2009;19:551-564



Gambar 7. Parasagital Atypical Meningioma. Dikutip dari Sakr SA, Salem M. Atypical meningioma: Clinicopathological analysis of a new WHO classification. Pan Arab Journal of Neurosurgery 2011;15:36-41



Pemeriksaan klinikopatologis pada kasus meningioma telah memberikan keuntungan terhadap penemuan beberapa marker molekuler



84



seperti misalnya vimentin dan EMA (epithelial membrane antigen). Keberadaan molekul tersebut sebagian besar merefleksikan selularitas arachnoid cap cell, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai asal dari meningioma. 7 90% kasus meningioma merupakan tumor benigna (WHO grade I), 6-8% kasus meningioma atipikal (WHO grade III), 1-2% merupakan kasus meningioma malignan anaplastik (WHO grade IV) dan selebihnya adalah tipe lain dari meningioma grade II dan III. Meskipun secara histopatologi gambaran nekrosis, nucleolus prominen, pleomorfisme nuclear, indeks mitotik dan indeks proliferasi dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan rekurensi, prediktor sifat suatu tumor secara morfologis belum cukup mendetail diketahui. Dan meskipun secara patologi berbagai kriteria morfologi, histopatologi dan parameter biologi dapat menentukan grading meningioma, perbedaan antara clear benign, border benign dan meningioma atipikal masih merupakan permasalahan mendasar. Para peneliti, seiring perkembangan pesat teknologi molekuler semakin memahami pentingnya marker progresifitas malignansi pada kasus meningioma anaplastik. 9 Rekurensi dijumpai pada sekitar 10-20% kasus meningioma yang telah dilakukan tindakan reseksi total. Rekurensi tersebut tidak hanya terjadi pada kasus yang secara histopatologi terbukti agresif, tetapi juga pada kasus benign (WHO grade I-II). Sampai saat ini belum ada parameter yang dapat memprediksi kemungkinan relaps suatu kasus meningioma. Selain faktor usia dan grading histopatologi, beberapa parameter mungkin berguna sebagai prediktor rekurensi, misalnya status ploidy DNA dan fraksi siklus sel. Berbagai penelitian mempelajari abnormalitas sitogenetik yang terjadi pada meningioma. Beberapa metode dan teknik molekuler kontemporer (misalnya fluorescence in situ hybridization/FISH) disamping teknik sitogenetika konvensional berkembang dengan pesat. Penelitian Maillo dkk menunjukkan 77% kasus meningioma disertai abnormalitas pada 1 atau lebih kromosom. Kromosom 22 pada hampir seluruh kasus, kromosom Y pada kebanyakan penderita meningioma berjenis kelamin laki laki dan kelainan kromosom 1, 14 dan kromosom x pada penderita perempuan. Penderita dengan



Neurosurgery Lecture Notes



kelainan kromosom 1, 9, 10, 11, 14, 15, 17, kromosom sex dan gain kromosom 22 dikaitkan dengan resiko tinggi terjadinya relaps. Kombinasi histopatologi, faktor usia dan abnormalitas kromosom 14 kemungkinan merupakan variabel independen terbaik untuk memprediksi relaps free survival pada kasus meningioma. 10.



Gambar 8. Molecular signature kasus meningioma berdasarkan comparative genomic hybridization dan copy number aberration. Dikutip dari Carvalho LH, Smirnov I, McDermott MW et al. Molecular signatures define two main classes of meningiomas. Molecular Cancer 2007:1-10



Penelitian Carvalho dkk meneliti profil genomik dan ekspresi gen ke 3 grading WHO (benign, atipikal dan maligna) dan mengelompokkan klasifikasi molekuler berdasarkan proliferasi menjadi 2 kelompok saja. Penelitian tersebut menunjukkan meningioma atipikal tidak memiliki keunikan molekuler spesifik. Profil molekuler hanya terdiri dari profil jinak atau ganas yang berkorelasi dengan manifestasi klinis yang mungkin timbul. 11



Berbagai enzim proteolitik telah lama diajukan sebagai faktor prognosis untuk menentukan disease-free dan overall survival pada kasus kanker, dikaitkan dengan sifat metastase dan keinvasifan massa tumor. Enzim metalloprotease stromelysin seperti halnya enzim lisosomal cysteine cathepsin B dan L telah banyak diteliti sebagai marker keinvasifan kasus meningioma atipikal. Kadar cathepsin B meningkat secara bermakna pada kasus borderline benign tumor dibandingkan kasus clear benign meningioma. Cathepsin L kurang selektif sebagai marker diagnostik untuk membedakan histomorfologi kasus benign tetapi invasif serta histomorfologi kasus clear benign dan hanya dapat membedakan atipikal dan clear benign meningioma. Pada proses apoptosis, cathepsin D merupakan protektor sel sel tertentu terhadap interferon dan tumor necrosis factor α. Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa cathepsin D memiliki peran pada p53-dependent apoptosis. Suatu hipotesis menyatakan aktifasi caspase menstimulasi cathepsin D, yang akan menginduksi produksi procathepsin B. 12, 13 Roberg mendemonstrasikan pelepasan cathepsin D merupakan hal yang esensial pada proses awal apoptosis. Sivaparvati dkk pertama kali melaporkan hubungan paralel antara peningkatan malignansi astrocytoma dan glioblastoma dengan cathepsin L. Dolenc dkk mendapati kadar cathepsin L yang cukup rendah pada tipe transisional meningioma (tampilan histopatologi bersifat transisional antara tipe meningothelial dan fibrous meningioma) dibanding tipe jinak yang lainnya, meskipun hal ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya. Penelitian Strojnik dkk tidak menemukan variasi kadar cathepsin L pada sub tipe meningioma benigna. Pada saat ini telah semakin jelas bahwa kadar cathepsin lebih berhubungan dengan lokalisasi tumor intra kranial dan didapati kadar yang paling tinggi pada meningioma parasagital dan convexitas, yang secara klinis juga terbukti lebih agresif. Gottschalk dkk meneliti beberapa marker prognostik potensial dan membagi kasus meningioma berdasarkan imunoreaktifitas cathepsin D mulai dari grade I (tanpa tanda malignansi) hingga grade IV (maligna dengan perubahan sarkomatosa fokal). 13



85



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 9. Staining imunohistokimia cathepsin L dan indeks proliferasi antibody MIB-1. A. Benign meningioma (tipe transisional), imunolabel cathepsin L berupa titik coklat kehitaman, berlokasi pada lisosom B. Meningioma atipikal dengan imunolabel cathepsin berlebihan pada lisosom C. staining imunohistokimia antibody MIB-1. Dikutip dari Dolenc V, Trinkaus M, Vranic et al. Cathepsin L In Human Meningiomas. Radiol Oncol 2003; 37(2):89-99. Tabel 4. Ekspresi Cathepsin D menurut grading histopatologi WHO



Dikutip dari Casila EA, Prayson RA, Abramovich CM, et al. Immunohistochemical Expression of Cathepsin D in Meningiomas. Am J Clin Pathol 2003;119:123-128



86



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 10. Immunostaining positif cathepsin D pada meningioma grade I (kiri) dan staining negatif pada meningioma grade III (kanan). Dikutip dari Casila EA, Prayson RA, Abramovich CM, et al. Immunohistochemical Expression of Cathepsin D in Meningiomas. Am J Clin Pathol 2003;119:123-128



Penelitian Inoue dkk (2008) yang menginisiasi sel meningioma pada hewan percobaan menghasilkan ZIC family zinc finger proteins. Protein ZIC dipercayai memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan hewan. Pada manusia, mutasi pada gen ZIC dikaitkan dengan berbagai kelainan congenital, misalnya holoprosencephaly (disgenesis medial forebrain) dan Dandy-Walker malformation. Pada hewan percobaan, protein ZIC dijumpai pada



primitive meninx (precursor sel meningeal). Gen ZIC telah diketahui sebagai marker molekuler kasus meduloblastoma (sangat selektif pada over ekspresi ZIC4), tetapi ZIC1, ZIC2 dan ZIC3 merupakan marker molekuler baru pada kasus meningioma. Pola ekspresi ZIC protein mungkin dapat menentukan origin kasus meningioma (yang sampai saat ini dipercayai berasal dari arachnoid cap cell). 14, 15



Gambar 11. Analisa real time PCR menggunakan ZIC protein. Aruga J, Nozaki Y, Hatayama M, Expression of ZIC family genes in meningiomas and other brain tumors a research article, BMC Cancer, 2010:1-10



87



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 12. Immunoscreening meningioma benigna menggunakan anti ZIC antibody poliklonal CXY. A-B: Meningothelial meningioma C-D: Fibrous meningioma E-F: Transitional meningioma, dengan tanda karakteristik whorl (panah) G-H: Psammomatous meningioma, dengan gambaran psammoma bodies (panah putih) A, C, E, G: pewarnaan hematoxylin-eosin B, D, F, H: pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibody CXY. Dikutip dari Aruga J, Nozaki Y, Hatayama M. Expression of ZIC family genes in meningiomas and other brain tumors, a research article. BMC Cancer 2010:1-10



Gambar 13. Deteksi imunoreaktifitas ZIC-like pada malignant meningioma. A-C: meningioma atipikal dengan perubahan blastik parsial, D-I: meningioma anaplastik dengan pola nekrosis geografik A: pewarnaan hematoxylin-eosin B, C, D, F, H, J: imunohistokimia dengan antibodi CXY E, G: imunohistokimia dengan vimentin I, K: imunohistokimia dengan antibodi anti EMA. Dikutip dari Aruga J, Nozaki Y, Hatayama M. Expression of ZIC family genes in meningiomas and other brain tumors, a research article. BMC Cancer 2010:1-10



88



Neurosurgery Lecture Notes



II. 2. Molekuler Genetik Meningioma Monosomi dari kromosom 22 adalah kelainan genetik yang paling sering dijumpai pada meningioma, dan merupakan kelainan sitogenetik yang pertama kali di deskripsikan pada solid tumor. Zhang dan Zankl pertama kali melaporkan monosomi tersebut pada tahun 1972 pada saat konsep onkogen dan tumor supresor gen belum ditemukan. Sekitar ½ dari kasus meningioma memiliki kehilangan genetik yang melibatkan kromosom 22q12. 2, NF 2 diidentifikasi sebagai gen utama di regio kromosom ini dengan mutasi yang teridentifikasi pada hampir semua kasus NF2 yang disertai meningioma, dan pada 50% kasus meningioma sporadik. Akan tetapi kemaknaan klinis kehilangan komplit atau parsial copy kromosom 22 belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Penelitian Maillo dkk (2003) menunjukkan gain kromosom 22 (bukan kasus meningioma dengan monosomi kromosom 22) yang disertai karyotipe hiperdiploid terbukti menunjukkan outcome klinis yang buruk. 1, 10, 16, 17 Produk gen NF2 berasal dari family 4.1 protein, yang berhubungan dengan produk struktural integral membran dari cytoskeleton. Gen ini menunjukkan banyak kesamaan dengan protein ezrin, radixin dan meosin (protein ERM), sehingga dinamakan Merlin (Meosin, ezrin dan radixin like protein). Merlin juga dikenal sebagai schwannomin sehubungan dengan peran nya dalam pathogenesis schwannoma. 18 Selain mutasi NF2 dengan kehilangan ekspresi merlin, family protein 4.1 yang lain juga mengalami downregulation pada kasus meningioma. Kehilangan protein 4.1B (DAL-1) dan ekspresi nya merupakan hal yang sering dijumpai pada setiap grade meningioma. 18, 19 Penelitian terkini menduga bahwa protein 4.1B berfungsi sebagai tumor suppressor dengan mengaktifasi sinyal Rac-1 dependent c-jun-NH2kinase. Sebagai catatan, TSLC1-suatu gen yang asli nya mengalami delesi pada Kanker Paru tipe Non Small Cell, dan berhubungan erat dengan protein 4.1B, juga mengalami penurunan level ekspresi pada kasus high grade meningioma. 19



Gambar 14. Protein 4.1 dan familI ERM protein. Dikutip dari Tsukita S, Yonemura S. Lesson from ERM Protein. J Biol Chem 1999, 34507-34509



Gambar 15. Karyogram tipikal meningioma grade I dengan monosomi 22. Dikutip dari Zhang KD. Meningioma: A Cytogenetic Model Of A Complex Benign Human Tumor, Including Data On 394 Karyotyped Cases. Cytogenet Cell Genet 2001;93:207–220



Gambar 16. Karyogram tipikal meningioma grade III dengan delesi kromosom 1p dan karakteristik kehilangan kromosom sekunder. Dikutip dari Zhang KD. Meningioma: A Cytogenetic Model Of A Complex Benign Human Tumor, Including Data On 394 Karyotyped Cases. Cytogenet Cell Genet 2001;93:207–220



89



Neurosurgery Lecture Notes



Selain itu protein 4.1 R, anggota famili yang lain, juga sering dijumpai mengalami downregulation pada kasus meningioma dan terbukti menghambat pertumbuhan sel meningioma in vitro. Oleh karena itu, proses pertumbuhan meningioma diduga berhubungan erat dengan inaktifasi satu atau lebih anggota family protein 4.1. 18, 19 Profil genomik dapat memberikan tambahan bermanfaat dengan bias minimal terhadap klasifikasi histopatologi tradisional kasus



meningioma dan dapat menjadi dasar pemeriksaan genetic untuk menentukan inisiasi dan progresifitas suatu neoplasma. Hal yang cukup penting adalah adanya perbedaan yang sangat bermakna antara meningioma multipel tipe familial dan sporadik. Hal ini menunjukkan bahwa profil genomik sangat dibutuhkan dalam penentuan diagnosis banding kasus yang dicurigai meningioma multipel dan juga impilkasi klinis penentuan resiko dan prediksi terjadinya meningioma yang bersifat familial. 20



Gambar 17. Profil genomik meningioma multipel familial dan sporadic menggunakan analisa MLPA (multiplex ligation dependent probe amplification). Dikutip dari Shen Y, Nunes F, Rachamimov AS, et al. Genomic Profiling Distinguishes Familial Multiple And Sporadic Multiple Meningiomas. BMC Medical Genomics 2009:1-12



90



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 5. Tumor Supressor Gen pada meningioma



Dikutip dari Pham MH, Giannotta SL, Chen TC. Molecular Genetics Of Meningiomas: A Systematic Review Of The Current Literature And Potential Basis For Future Treatment Paradigm. Neurosurg Focus 2011;30:1-9 Tabel 6. Oncogen Meningioma



Dikutip dari Pham MH, Giannotta SL, Chen TC. Molecular Genetics Of Meningiomas: A Systematic Review Of The Current Literature And Potential Basis For Future Treatment Paradigm. Neurosurg Focus 2011;30:1-9 Tabel 7. Meningioma signaling pathway



Dikutip dari Pham MH, Giannotta SL, Chen TC. Molecular Genetics Of Meningiomas: A Systematic Review Of The Current Literature And Potential Basis For Future Treatment Paradigm. Neurosurg Focus 2011;30:1-9



91



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 18. Model sitogenetik meningioma. Dikutip dari Zhang KD. Meningioma: A Cytogenetic Model Of A Complex Benign Human Tumor, Including Data On 394 Karyotyped Cases. Cytogenet Cell Genet 2001;93:207–220



92



Neurosurgery Lecture Notes



II. 3. Alternatif Putative Tumor Supressor Gen pada Kromosom 22q Konsep etiologi molekuler meningioma telah dikenal sejak tahun 1971 melalui Knudson’s two-hit hypothesis. Teori ini menyatakan proses inisiasi tumorogenesis meningioma pada sebagian besar kasus meningioma diawali oleh mutasi gen NF2. Mutasi tersebut kemudian diikuti kehilangan alel yang lainnya pada kromosom 22, baik komplit ataupun parsial. 21 Meskipun gen NF2 merupakan gen yang paling banyak bermasalah dan merupakan tumor supressor yang paling penting pada kromosom 22, frekuensi delesi pada lokasi kromosom ini jauh melampaui mutasi NF2 pada meningioma. Selain



itu juga telah dilaporkan delesi intertisial pada kromosom 22 yang tidak melibatkan gen NF 2 pada kasus multiple meningioma. Beberapa kandidat gen yang diduga terlibat antara lain gen BAM 22, MN1, LARGE dan gen INII. 22 Penelitian molekuler juga telah mendapatkan adanya bukti yang kuat bahwa gen gen yang disebut diatas, diduga terlibat dalam fase awal tumoregenesis meningioma. Sebagai contoh, pada atipikal dan anaplastik meningioma, mutasi gen NF2 yang timbul persentase nya sama dengan meningioma WHO grade I. Hal ini menunjukkan bahwa gen NF2 terlibat dalam proses inisiasi, tetapi bukan dalam progresifitas. 1, 17, 22



Gambar 19. Brain tumor stem cell putative precursor. Vescovi A L, Galli R, Reynolds BA et al. Brain Tumor Stem Cell, Cancer Nature Review, 2006;6:425-436



93



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 20. Losses dan gain pada meningioma menggunakan comparative genomic hybridization dengan loss of heterozygosity yang telah teridentifikasi pada kromosom 22 maupun NF tipe 2. Dikutip dari Khan J, Harada T, Meltzer PS. Detection of Gains and Losses in 18 Meningiomas by Comparative Genomic Hybridization. Cancer Genet Cytogenet 1998;103:95–100



94



Neurosurgery Lecture Notes



Meningioma yang diinduksi radiasi diperkirakan jauh lebih agresif dibanding lesi sporadik spontan. Hal ini diduga mungkin berkaitan dengan over ekspresi VEGF sehubungan dengan pertumbuhan cepat massa tumor. Pola vaskularisasi, rekurensi lokal dan metastase hematogenik paralel dengan aktifasi telomerase dan alternatif putative gen yang terlibat dalam kontrol siklus sel (p53, Fas dan p RB). Pada kasus radiation induced meningioma proses up regulation yang diduga berhubungan dengan peningkatan grading histologis dan rekurensi, sebagai konsekuensi terjadinya mutasi, meskipun mungkin pada beberapa kasus tidak didapati kelainan gen yang menyertai. Over ekspresi wildtype p53 akan mengaktifkan sistem onkogenik Fas/FasL melalui mekanisme anti apoptotik, fenomena angiogenik dan aktifasi sistem telomerase, dengan akibat agresifitas dan malignansi pada kasus meningioma. 3, 23 PS6K adalah suatu onkogen putatif yang berlokasi pada kromosom 17q23 dan merupakan serine/threoninekinase encoder yang sub unit ke 6 fosforelasi ribosomnya adalah bagian dari insulin receptor signal transduction pathway. PS6K terlibat dalam regulasi messenger RNA translation, sintesa protein, progresifitas siklus sel dan ukuran besar sel. Analisa komparatif hibridisasi genomik telah mengidentifikasi amplifikasi kromosom 17q23 pada sebagian kasus meningioma, terutama pada kasus dengan tampilan histology yang agresif. Amplifikasi PS6K juga telah dilaporkan pada kasus kanker payudara (keganasan yang dipicu ketidakstabilan hormon, seperti halnya disangkakan pada kasus meningioma). 24



Gambar 21. Amplifikasi PS6K menggunakan mikroskop fluorescence. A. Benign meningioma tanpa amplifikasi PS6K B. Meningioma Anaplastik kadar tinggi amplifikasi PS6K. Dikutip dari Cai DX, Scheithauer BW, James CD. PS6K Amplification Characterizes a Small Subset of Anaplastic Meningiomas. Am J Clin Pathol 2001;115:213-218



Gambar 22. Inisiasi dan progresi molekuler meningioma. Dikutip dari Riemenschneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054



Namun demikian kelainan genetik yang terkait dengan meningioma anaplastik melibatkan proses yang sangat kompleks, dengan melibatkan berbagai proses delesi dan amplifikasi.



Gambar 23. Kompleksitas molekuler Meningioma Anaplastik yang melibatkan pathway p RB dan P53. Dikutip dari Riemenschneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054



Kehilangan kromosom 1p merupakan abnormalitas ke 2 tersering di jumpai pada kasus meningioma. 2 target utama terletak dan melibatkan lokasi 1p33-34 dan 1p36. Mapping terbaru mempersempit overlapping delesi pada kromosom 1p33-34. Beberapa kandidat gen pada kromosom 1p telah di screening, termasuk TP73, CDKN2C, RAD54L dan ALPL. Namun demikian, tidak satu pun dari gen tersebut menunjukkan perubahan struktural yang konsisten, sehingga 95



Neurosurgery Lecture Notes



memerlukan penelitian lebih lanjut. 1 Sebagai catatan, penelitian terkini terhadap DNA Metilasi dari promoter multiple yang berhubungan dengan CpG island pada kasus meningioma mendapati peningkatan kadar aberrant methylation promoter pada tumor dengan kehilangan kromosom 1p. 1 Penelitian Zhang dkk berhasil membuktikan korelasi komplit antara kehilangan pada kromosom 1p dengan pengurangan jumlah dan aktifitas alkaline phosphatase. 16 Target gen putative yang berlokasi pada kromosom lain yang mengalami delesi pada kasus meningioma advance juga telah di teliti secara rinci. Kehilangan kromosom 9p merupakan salah satu contoh dengan gen spesifik, yaitu CDKN2A, ARF dan CDKN2B. Oleh karena delesi kromosom 10 sering dijumpai pada kasus high grade meningioma, gen PTEN pada kromosom 10q23 juga telah dipelajari secara intensif. Namun demikian ternyata mutasi hanya didapati pada beberapa



kasus jarang dan tidak dijumpai delesi homozygous.1 Lengan panjang kromosom 17 juga akhir akhir ini menimbulkan minat para peneliti oleh karena dilaporkan cukup sering dijumpai pada kasus meningioma atipikal, terutama amplifikasi 17q21. Dua penelitian independen meneliti peranan RPS6KB1 sebagai kandidat onkogen, meskipun beberapa peneliti menyatakan gen lain pada kromosom 17q mungkin jauh lebih penting. 1 Pada saat ini perkembangan tehnik profiling gen berkembang sangat pesat dan memungkinkan screening simultan ribuan gen pada 1 massa tumor. Pada kasus malignant glioma klasifikasi berbasis ekspresi gen berkorelasi lebih baik terhadap prognosis dibandingkan klasifikasi histologis. Hal ini menunjukkan di masa depan profil ekspresi gen akan memegang peranan sangat penting untuk diagnostik, ataupun kombinasi histologis-molekuler terhadap klasifikasi meningioma. 1, 22



Gambar 24. Ekspresifitas Alkali Phosphatase pada grading meningioma. A-C: WHO grade I, dengan pewarnaan hematoxylin eosin D-F: WHO grade II, dengan reaktifitas histokimia G-J: WHO grade III, dengan pemeriksaan imunohistokimia. Dikutip dari Zhang KD. Meningioma: A Cytogenetic Model Of A Complex Benign Human Tumor, Including Data On 394 Karyotyped Cases. Cytogenet Cell Genet 2001;93:207–220



96



Neurosurgery Lecture Notes



III. Target Molekuler Terapi Reseptor androgen di ekspresikan pada 69% wanita dan 31% laki laki, tetapi peranannya dalam pertumbuhan tumor masih belum jelas sampai saat ini. Mahmood dan Alvarez melaporkan bahwa jenis kelamin laki laki predominan pada kasus meningioma atipikal dan maligna. Faktor predominan ini dikaitkan dengan aktifitas reseptor progesteron. Hal ini berbeda dengan penelitian Jaaskelainen yang mendapati tidak adanya predominasi yang bermakna. 8, 17 Meningioma juga menunjukkan receptor ekspresif dari PDGF, VEGF, EGFR, glukokortikoid, dopamine dan somatostatin. Reseptor tersebut mengekspresikan messenger RNA pada setiap famili PDGF, termasuk PDGF A, PDGF B dan PDGFR β. Reseptor tersebut bersifat aktif, dimana onkogen Ras menjadi messenger perantara bila PDGFR β diaktifasi. Relevansinya berhubungan dengan dikembangkannya obat obatan PDGF receptor blocker (misalnya Gleevec). VEGF berperan penting dalam pertumbuhan dan peritumoral edema. Dibandingkan dengan faktor lokasi, ukuran ataupun keterlibatan sistem vena, VEGF mungkin merupakan faktor yang paling penting terkait edema perifokal di sekitar massa tumor meningioma. 17 Meningioma mensekresikan parathormone peptide-related (PTHrP), yang diduga menyebabkan kalsifikasi pada beberapa kasus meningioma. Reseptor prolaktin pada meningioma di duga berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan tumor. Beberapa data penelitian juga menunjukkan beberapa kasus meningioma bersifat poliklonal (sel tumor yang berbeda dapat bersifat



sama secara fenotipik), yang meningkatkan kemungkinan meningioma berasal dari arachnoid cap cell, dapat dan sangat mungkin di stimulasi oleh hormon estrogen. 17 Meskipun saat ini perkembangan sangat pesat di jumpai dalam tehnik pembedahan, terapi radiasi dan radiosurgery, tetap dijumpai kasus kasus meningioma rekuren dan refrakter terhadap terapi konvensional. Kemoterapi terbukti efektifitasnya minimal dan terapi hormon sampai saat ini terbukti tidak efektif. Pemahaman biomolekuler yang masih cukup lemah merupakan hambatan dalam pengembangan produk terapi. 1, 17 Penggunaan target sel terapi yang semakin pesat pada kasus malignan glioma pada masa depan kemungkinan dapat di implementasikan bagi kasus meningioma rekuren. Diharapkan penelitian penelitian tingkat molekuler akan menghasilkan terapi novel yang akan memperbaharui penatalaksanaan tradisional dan akan menghasilkan terapi yang efektif pada kasus meningioma high grade dan rekuren. 1 Ad/g TRAIL (tumor necrosis factor related apoptosis inducing ligand) merupakan vektor adenovirus yang menunjukkan ekspresi GFP (glial fibrillary protein) dan TRAIL tersebut berada dibawah kendali human telomerase reverse transcriptase promoter (h TERT). Beberapa penelitian telah menunjukkan Ad/g TRAIL memiliki efektifitas terapi pada kasus kanker paru, payudara dan saluran cerna. Penelitian Li dkk (2011) berhasil mendemonstrasikan efektifitas antitumor Ad/g TRAIL menggunakan xenograft M6 dan U87 secara in vitro maupun in vivo, baik pada kasus high grade glioma maupun malignant meningioma. 25



Gambar 25. Analisa western blot terapi Ad/g TRAIL menggunakan β-actin sebagai kontrol dan gambaran mikroskop fluorescence pada uji ekspresi gen in vitro Ad/g TRAIL pada sel meningioma maligna M66. Dikutip dari Li JT, Ashley WW, Murad F, et al. Targeting Different Types Of Human Meningioma And Glioma Cells Using A Novel Adenoviral Vector Expressing Gfp-Trail Fusion Protein From Htert Promoter. Cancer Cell International 2011:1-14



97



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 26. Evaluasi in vivo menggunakan TUNEL (Terminal deoxynucleotidyl transferase- dUTP nick end labeling) assay pada jaringan meningioma dan glioma maligna. A-B: diterapi dengan Ad/CMV-GFP (Adenoviral vector with cytomegalo virus promoter) C-D: diterapi dengan Ad/gTRAIL. Dikutip dari Li JT, Ashley WW, Murad F, et al. Targeting Different Types Of Human Meningioma And Glioma Cells Using A Novel Adenoviral Vector Expressing Gfp-Trail Fusion Protein From Htert Promoter. Cancer Cell International 2011:1-14



Gambar 27. Target Sel Terapi pada Meningioma. Dikutip dari Norden AD et al. Targeted Drug Therapy for Meningioma. Neurosurg Focus 2007;23:1-12



98



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 8. Potensial target molekuler terapi pada kasus meningioma



Dikutip dari Norden AD et al. Targeted Drug Therapy for Meningioma. Neurosurg Focus 2007;3:1-12



Meningioma juga terbukti merupakan target ideal terhadap somatostatin receptor scintigraphy dengan 111In-DTPA octreotide. Akan tetapi efektifitas terapi radioreceptor menggunakan radiolabeled analog somatostatin



177Lu-DOTA octreotat terutama pada kasus meningioma yang disertai metastase masih memerlukan penelitian intensif dalam bidang kedokteran nuklir dan aplikasi biomolekuler. 26, 27



99



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 30. Pemeriksaan PET Scan pasca terapi 177Lu- DOTAoctreotate, tampak akumulasi radiopeptide pada lesi metastase.Dikutip dari Sabet A, Ahmadzadehfar H, Herrlinger U. Successful Radiopeptide Targeting Of Metastatic Anaplastic Meningioma: Case Report. Radiation Oncology 2011:1-3



Ilustrasi Kasus Laki laki, 59 tahun dengan keluhan kejang berulang, pemeriksaan



Gambar 28. Pemeriksaan FDG PET Scan menunjukkan massa intracranial dengan multipel metastase pada paru. Dikutip dari Sabet A, Ahmadzadehfar H, Herrlinger U. Successful Radiopeptide Targeting Of Metastatic Anaplastic Meningioma: Case Report. Radiation Oncology 2011:1-3



Gambar 29. Pemeriksaan Scintigrafi menunjukkan massa multiple meningioma dan lesi metastase pada paru. Dikutip dari Sabet A, Ahmadzadehfar H, Herrlinger U. Successful Radiopeptide Targeting Of Metastatic Anaplastic Meningioma: Case Report. Radiation Oncology 2011:1-3



100



Gambar 31. MRI menunjukkan lesi multipel intra cranial. Dikutip dari koleksi pribadi penulis



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 32. Dilakukan reseksi massa tumor yang terletak superficial. Dikutip dari koleksi pribadi penulis



Gambar 33. Hasil PA menunjukkan gambaran sel meningothel dengan inti multipel dan pleomorfik disertai gambaran kromatin kasar, sesuai dengan Rhabdoid meningioma (WHO grade III). Dikutip dari koleksi pribadi penulis



Daftar Pustaka 1.



2.



3.



4. 5. 6.



7.



8.



9.



Riemenschneider MJ, Perry A, Reifenberger G, Histological Classification and Molecular Genetic of Meningioma. Lancet Neurol 2006;5:1045-1054 Dumitrescu GF, Turliuc D, El Husseini M et al. Posterior fossa meningiomas: Correlation between site of origin and pathology. Romanian Neurosurgery 2010;3:327-338 Azab WA, Al Awadi YA, Razek MSZA. Radiation-induced meningioma. Pan Arab Journal of Neurosurgery 2011;15:67-71 Hill JR, Kuriyama N, Kuriyama H et al. Molecular Genetics of Brain Tumors. Arch Neurol 1999;56:439-441 Norden AD, Drappatz J, Wen PY. Targeted Drug Therapy for Meningioma. Neurosurg Focus 2007;23:1-12 Scheithauer BW. Development of the WHO Classification of Tumors of the Central Nervous System: A Historical Perspective. Brain Pathology 2009;19:551-564 Sakr SA, Salem M. Atypical meningioma: Clinicopathological analysis of a new WHO classification Pan Arab Journal of Neurosurgery 2011;15:36-41 Sekerci Z, Ugurluoglu O, Colpan E. Evaluation of FortyFive Atypical and Malignant Meningioma Cases: Over the 12-Years Follow-Up Period. Turkish Neurosurgery 2004;14:12-20 Ragel BT, Jensen RL. Molecular genetic of meningioma. Neurosurg Focus, 2005;19:1-8



10.



11.



12. 13.



14.



15.



16.



17. 18.



Maillo A, Orfao A, Morales F. New Classification Scheme for the Prognostic Stratification of Meningioma on the Basis of Chromosome 14 Abnormalities, Patient Age, and Tumor Histopathology. J Clin Oncol 2003; 21:3285-3295 Carvalho LH, Smirnov I, McDermott MW et al. Molecular signatures define two main classes of meningiomas. Molecular Cancer 2007:1-10 Dolenc V, Trinkaus M, Vranic et al. Cathepsin L in human meningiomas. Radiol Oncol 2003; 37 (2):89-99. Casila EA, Prayson RA, Abramovich CM et al. Immunohistochemical Expression of Cathepsin D in Meningiomas. Am J Clin Pathol 2003;119:123-128 Inoue T, Ogawa M, Mikoshiba K, Aruga J. Zinc deficiency in the cortical marginal zone and meninges results in cortical lamination defects resembling those in type II lissencephaly. J Neurosci 2008;28:4712-4725 Aruga J, Nozaki Y, Hatayama M. Expression of ZIC family genes in meningiomas and other brain tumors a research article. BMC Cancer 2010:1-10 Zhang KD. Meningioma: A cytogenetic model of a complex benign human tumor, including data on 394 karyotyped cases. Cytogenet Cell Genet 2001;93:207– 220 Black P, Morokoff A, Zauberman J et al. Meningiomas: Science and Surgery. Clin Neurosurg 2007;54:91-99 Tsukita S, Yonemura S. Lesson from ERM Protein. J Biol Chem 1999, 34507-34509



101



Neurosurgery Lecture Notes



19.



20.



21.



22. 23.



102



Pham MH, Giannotta SL, Chen TC. Molecular genetics of meningiomas: A systematic review of the current literature and potential basis for future treatment paradigm. Neurosurg Focus 2011;30:1-9 Shen Y, Nunes F, Rachamimov AS et al. Genomic profiling distinguishes familial multiple and sporadic multiple meningiomas. BMC Medical Genomics 2009:112 Khan J, Harada T, Meltzer PS. Detection of Gains and Losses in 18 Meningiomas by Comparative Genomic Hybridization. Cancer Genet Cytogenet 1998;103:95– 100 Vescovi A L, Galli R, Reynolds BA et al. Brain Tumor Stem Cell. Cancer Nature Review 2006;6:425-436 Pistolesi S, Boldrini L, Gisfredi S, De Leso K, Cammaci T, Canniglia M. immunohistochemical and molecular study



24.



25.



26.



27.



of radiation induced multiple meningiomas with pleural and pulmonary metastasis. Tumor 2004;90:328-332 Cai DX, Scheithauer BW, James CD. PS6K Amplification Characterizes a Small Subset of Anaplastic Meningiomas. Am J Clin Pathol 2001;115:213-218 Li JT, Ashley WW, Murad F, et al. Targeting Different Types of Human Meningioma and Glioma Cells Using a Novel Adenoviral Vector Expressing Gfp-Trail Fusion Protein From Htert Promoter. Cancer Cell International 2011:1-14 Sabet A, Ahmadzadehfar H, Herrlinger U. Successful radiopeptide targeting of metastatic anaplastic meningioma: Case report. Radiation Oncology 2011:1-3 Bartolomei M, Bodei L, De Cicco C, et al. Peptide receptor radionuclide therapy with (90) Y-DOTATOC in recurrent meningioma. Eur J Nucl MedMol Imaging, 2009;36 (9):1407-1416



Neurosurgery Lecture Notes



SUPRACLAVICULAR APPROACH on BRACHIAL PLEXUS INJURY Adril Arsyad Hakim Penyebab utama dari cedera pleksus brachialisis supra klavikula adalah trauma yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas, cedera olahraga, dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan yang mengakibatkan stretch injury. 1-4 Tabel 1. Indikasi Supraclavicular Approach.5 Dikutip dari : Kim DH, Chang SD, Kline DG: Supraclavicular Approach to Brachial Plexus Surgery. In: Sekhar L, Fessler RG: Atlas of Neurosurgical Techniques: Spine and Peripheral Nerves. New York: Thieme 2006.p.907-913 Indikasi supraclavicular approach pada penanganan cedera pleksus brachialis Traction injury Cedera tajam dengan laserasi Cedera penetrasi dari luka tembak atau fragmen metal Cedera iatrogenik Cedera injeksi pada prosedur anestesi lokal Cedera kompresi (thoracic outlet syndrome) Cedera obstetric (birth palsy) Nerve sheath tumor Tumor metastase Cedera radiasi Tabel 2. Kontraindikasi supraclavicular approach pada penanganan cedera pleksus brachialis.5 Dikutip dari : Kim DH, Chang SD, Kline DG: Supraclavicular Approach to Brachial Plexus Surgery. In: Sekhar L, Fessler RG: Atlas of Neurosurgical Techniques: Spine and Peripheral Nerves. New York: Thieme 2006.p.907-913 Kontraindikasi supraclavicular approach pada penanganan cedera pleksus brachialis Brachial plexitis Transient radiation plexopathy Multiple pseudomeningocele pada myelogram



Keuntungan dari supraclavicular approach pada penanganan cedera pleksus brachialis adalah kemampuannya untuk mengakses seluruh pleksus servikal dan radiks mulai C5 sampai T1, nervus spinal beserta trunkus dan cabangnya, nervus phrenicus, dorsal scapula, long thoracic dan suprascapula; prosedur ini juga memungkinkan untuk eksplorasi nervus spinal accessory. Prosedur ini juga memungkinkan akses yang baik terhadap divisi anterior dan posterior dari pleksus brachialis, dan juga nervus musculocutaneous, subscapular, thoracodorsal,



aksila, radius, ulna, medianus, pectoral medial dan pectoral lateral. Kerugian dari supraclavicular approach adalah kesulitan untuk akses ke roots, trunks, atau branch dari pleksus brachialis yang terletak dibawah klavikula atau segmen distal dari pleksus brachialis, tanpa memperluas insisi untuk diseksi infra klavikula. ANATOMI Pleksus brachialis terbentuk dari gabungan ramus ventral dari C5, C6, C7, C8 dan T1. Segmen supraclavicula dari pleksus brachialis termasuk nervus spinal C5 sampai T1 dan ketiga trunkus dari pleksus, sementara divisi anterior dan posterior terletak dibawah klavikula. Lateral cord, posterior cord dan medial cord terletak pada infraklavikula, yang merupakan cabang awal dari saraf utama yang mempersarafi ekstremitas atas. Saraf spinal atau roots dari pleksus, pada awalnya adalah cabang radiks sensori multipel yang berasal dari radiks dorsal, dan biasanya terdiri dari satu cabang radiks motorik dari medula spinalis. Ganglion dari radiks dorsal terletak pada level intraforaminal, dimana kedua radiks bersatu membentuk nervus spinal. Cabang posterior utama menuju otot paraspinal dan cabang anterior yang besar mempersarafi pleksus brachialis. Saraf spinal C5 berjalan ekstraforaminal pada sisi lateral dari muskulus scalenus, disini saraf C5 bersatu dengan C6, berjalan antara otot scalenus anterior dan media untuk membentuk trunkus superior dari pleksus. Nervus scapula dorsalis muncul dari level proksimal dari C5, pada sisi lateral mempersarafi long thoracic nerve, dan ke arah medial dari muskulus scalenus mempersarafi levator scapula. Dorsal scapular nerve berjalan pararel dengan arteri skapula sepanjang batas medial dari skapula untuk mempersarafi muskulus rhomboid. Long thoracic nerve muncul dari permukaan dorsal dari C6 dekat dengan batas dari trunkus superior dan juga menerima kontribusi dari



103



Neurosurgery Lecture Notes



C5 dan C7. Saraf ini berjalan posterior ke pleksus brachialis, kemudian turun ke lateral dan distal ke dinding dada untuk mempersarafi muskulus serratus anterior.



6



Gambar 1. Diagram skematik dari pleksus brachialisis. Dikutip dari : Chen N, Yang LJS, Chung KC: Anatomy of the brachial plexus. In : Practical management of pediatric and adult. Elsevier Saunders 2012; 1:3-12



C5 juga mempersarafi cabang dari saraf phrenicus, berjalan anterior ke pleksus brachialis pada batas lateral dari muskulus scalenus anterior. Nervus muskulus subclavia muncul dari permukaan anterior trunkus superior dan ke anterior melewati bagian bawah dari pleksus, mempersarafi otot subclavia. Nervus suprascapula berasal dari bagian posterolateral dari trunkus superior dan berjalan dibawah posterior belly dari omohyoid, sejajar dengan pembuluh darah subscapula, berjalan distal melewati scapular notch untuk mempersarafi muskulus supraspinatus dan muskulus infraspinatus. Saraf spinal C7 keluar dari sisi posterior tepi medial muskulus scalenus anterior untuk membentuk trunkus media. Saraf spinal C8, bersama dengan T1, membentuk trunkus inferior, yang terletak dibawah arteri subclavia dan pada puncak muskulus scalenus posterior dan media. Trunkus media dan trunkus inferior tidak memiliki cabang. Trunkus dari pleksus brachialis terletak dalam posterior cervical triangle, dibatasi oleh batas posterior dari muskulus 104



sternocleidomastoideus, batas anterior dari trapezius, dan batas superior dari klavikula. Trunkus media memiliki kaliber yang lebih kecil dibandingkan dengan trunkus media dan trunkus inferior.



Gambar 2. Anatomi dari pleksus brachialisis.7 Dikutip dari : Salcman. M, Heros. RC, Laws ER, Sonntag VKH : Surgery of perpheral nerve. In : Kempe’s Operative Neurosurgery, 2nd edn. Springer 2004.p.163-217



Arteri vertebra berasal dari arteri subclavia, naik ke anterior menuju trunkus inferior untuk memasuki foramen transversarium dari C6. Cabang kecil dari pembuluh darah mensuplai saraf spinal dan anastomosis dengan vaskularisasi medula spinalis. Arteri transversus servikal dan suprascapula dari trunkus thyrocervical berjalan ke lateral melewati permukaan anterior dari pleksus brachialisis bawah dan anastomosis dari cabang arteri ascending cervical dan deep cervical arteries, membentuk divisi anterior dan posterior. Teknik Pembedahan Anestesi dan Posisi Pasien1 Operasi pleksus brachialis membutuhkan waktu yang lama, oleh karena itu pembiusan dilakukan dengan general anesthesia. Neuromuskular blocker yang biasa digunakan untuk induksi tidak digunakan pada fase awal diseksi, sehingga perekaman stimulasi elektrik intra operatif untuk mencatat efek kontraksi otot dapat dilakukan dengan baik. Anestesi lokal sebaiknya dihindari untuk mencegah kemungkinan blokade konduksi saraf yang dapat menjadi bias pada saat perekaman potensial aksi saraf intra operatif.



Neurosurgery Lecture Notes



Pasien berbaring pada posisi supine dengan kepala diletakkan pada circular roll, menjauhi sisi operasi. Bahu pasien diganjal pada scapula ipsilateral dengan bantal kecil. Dilakukan elevasi 200 dari meja operasi untuk membantu meminimalisasi perdarahan. Seluruh bagian atas dari ekstremitas atas difiksasi dengan tangan ekstensi pada papan disamping meja operasi. Ahli bedah harus dapat melakukan manipulasi posisi lengan untuk meningkatkan ekspos lapangan operasi. Kedua kaki dipersiapkan untuk graft nervus suralis. Penggunaan tourniquet jarang diperlukan, penggunaan yang lama dapat mengakibatkan iskemik jaringan dan cedera saraf.



Diseksi2 Setelah dilakukan insisi kulit, lapisan tipis dari otot platysma diinsisi tajam. Posterior cervical triangle dibatasi oleh batas posterior otot sternocleidomastoideus pada sisi medial, batas anterior dari otot trapezius pada sisi lateral, dan klavikula di bagian inferior. setelah dilakukan insisi tajam pada fascia, lemak supraclavicula disisihkan ke lateral dari otot sternocledomastoideus.



Insisi1,4 Setelah dilakukan marker pada lapangan operasi dengan desain crosshatch lines, dilakukan insisi dengan blade nomor 10 untuk membuat insisi oblik sepanjang batas posterior dari muskulus sternocleidomastoid menuju bagian medial dari klavikula.



Gambar 4. Triangles of the neck.6 Dikutip dari : Chen N, Yang LJS, Chung KC: Anatomy of the brachial plexus. In : Practical management of pediatric and adult. Elsevier Saunders, 2012.p.3-12



Gambar 3. Eksplorasi dari pleksus brachialisis: insisi supraklavikular. Gambar memperlihatkan : 1. Posisi pasien untuk eksposur supraklavikular dari pleksus brachialisis proksimal. 2. Sebuah inisi sepanjang 6 cm dibuat 2 cm diatas dan paralel terhadap klavikula.7 Dikutip dari : Salcman. M, Heros. RC, Laws ER, Sonntag VKH : Surgery of perpheral nerve. In : Kempe’s Operative Neurosurgery, 2nd edn. Springer 2004.p.163-217



Insisi kemudian dibuat melengkung sehingga menjadi sejajar dengan klavikula dan diteruskan sampai bagian proksimal dari deltopectoral groove. Garis marker ini sebaiknya memanjang dibawah klavikula menuju axilary crease, sehingga akses ke pleksus brachialisis segmen infra klavikula dapat tercapai bila diperlukan.



Tabel 3. Posterior cervical triangle.5 Dikutip dan disarikan dari : Kim DH, Chang SD, Kline DG: Supraclavicular Approach to Brachial Plexus Surgery. In: Sekhar L, Fessler RG: Atlas of Neurosurgical Techniques: Spine and Peripheral Nerves. New York: Thieme, 2006.p.907-913 Posterior cervical triangle Medial Lateral Inferior



Batas posterior otot sternocleidomastoid Batas anterior dari otot trapezius Klavikula



Cabang dari pleksus supraclavicula di servikal dan vena jugularis diidentifikasi dan disisihkan ke arah lateral. Sewaktu melakukan diseksi bagian atas dari cervical posterior triangle, manuver pembedahan dilakukan berhati hati untuk tidak mencederai spinal accessory nerve yang keluar pada midpoint dari batas posterior dari muskulus sternocleidomastoideus. Bagian posterior dari otot omohyoid dipisahkan dan ditarik ke arah 105



Neurosurgery Lecture Notes



lateral setelah ditandai dengan jahitan, manuver ini berguna untuk membantu aproksimasi otot kembali. Setelah lapisan lemak pada posterior cervical triangle telah disisihkan dari tepi muskulus sternocleidomastoid dan klavikula, dapat dijumpai arteri dan vena sevikal transversus yang melewati pleksus ini, kemudian diligasi dan dipisahkan.



Gambar 5. Eksplorasi dari posterior cervical triangle. Gambar memperlihatkan : 1. Hubungan dari nervus phrenicus terhadap muskulus scalenus anterior. 2. Long thoracic nerve, terbentuk dari cabang C5, C6, dan C7, muncul diantara serat dari muskulus scalenus medial. 3. Cabang nervus servikal 5 dan 6 bertemu dan bersatu membentuk trunkus superior. 4. Cabang nervus servikal 7 muncul dari belakang lateral rim muskulus scalenus anterior untuk membentuk trunkus media begitu melintasi muskulus scalenus medial. 5. Trunkus inferior dibentuk oleh penyatuan antara servikal 8 dan cabang pertama dari thoracic nerve dan ini tidak terlihat pada eksplorasi supraklavikular. Stuktur ini ditopang di bagian posterior oleh fascia Sibson yang terletak di belakang dan biasanya diantara arteri subklavia.7 Dikutip dari : Salcman. M, Heros. RC, Laws ER, Sonntag VKH : Surgery of perpheral nerve. In : Kempe’s Operative Neurosurgery. 2nd edn. Springer 2004.p.163-217



Pada saat muskulus sternocleidomastoideus diretraksi ke arah medial, dapat dijumpai nervus phrenicus yang berjalan sepanjang batas superolateral pada permukaan dari muskulus scalenus anterior. Nervus phrenicus merupakan tanda anatomi penting untuk melokalisasi nervus spinal C5, yang bergabung dengan C6 untuk membentuk trunkus superior pleksus brachialis. Stimulator saraf, di setting pada 1mA, dapat digunakan untuk menstimulasi nervus phrenicus, yang akan mengakibatkan kontraksi ipsilateral dari hemidiafragma. Nervus phrenikus didiseksi dan dimobilisasi ke arah medial dengan vascular loop di sekeliling saraf sehingga trunkus superior dari pleksus brachialis dapat didiseksi. 106



Gambar 6. Pada transclavicular approach, seluruh trunkus dari pleksus brachialisis akan eksposed. Trunkus inferior terletak jauh di bawah arteri subklavia. Pada sisi lateral iga pertama, dimana dapat teraba pulsasi, trunkus terletak di atas dan di belakang dari bagian awal arteri aksilaris dimana arteri ini terbagi menjadi divisi anterior dan posterior. Divisi posterior bersatu menjadi posterior cord, yang merupakan origin dari nervus aksilaris dan radialis. Lateral cord dibentuk oleh divisi anterior dari trunkus superior dan media sepanjang sisi lateral arteri aksilaris. Ini merupakan awal dari persarafan musculocutaneus (tidak terlihat pada gambar) dan bagian lateral dari nervus medianus. Medial cord merupakan kelanjutan divisi anterior dari trunkus inferior dan membentang sepanjang pinggir medial dari arteri aksilaris. Saraf ulnaris dan bagian medial dari saraf medianus berasal dari cord ini.7 Dikutip dari : Salcman. M, Heros. RC, Laws ER, Sonntag VKH : Surgery of perpheral nerve. In : Kempe’s Operative Neurosurgery, 2nd edn. Springer 2004.p.163-217



Tanda anatomi penting lainnya adalah identifikasi ramus servikal transversus yang keluar dari batas posterior muskulus sternocleidomastoideus, mengelilingi otot ini dan dapat diikuti ke arah proksimal untuk identifikasi C4 yang pada sisi inferiornya terdapat nervus spinal C5. Diseksi proksimal dari nervus C5 sering membutuhkan reseksi dari prosesus tranversus dengan high-speed drill atau dengan Kerrison punch no 2. Pleksus vena di sekitar nervus spinal yang berada dekat dengan foramen membutuhkan hemostasis yang sangat berhati-hati dengan



Neurosurgery Lecture Notes



bipolar dan Gelfoam thrombin atau surgicel. Diperlukan perhatian khusus saat melakukan diseksi C5 pada level foramen untuk mencegah cedera pada nervus scapula dorsal, yang percabangannya akan membentuk long thoracic nerve. Long thoracic nerve berasal dari permukaan dorsal dari nervus spinal C6, dan juga menerima inervasi dari C5 dan C7. Saraf ini berjalan menembus muskulus scalenus dan berjalan posterior ke arah pleksus brachialis dan terus ke arah inferior untuk menginervasi muskulus serratus anterior pada dinding dada. Saraf ke subclavia berasal dari aspek anterior dari trunkus superior pleksus brachialis. Saraf ini tidak memiliki signifikansi klinis, kecuali asalnya yang merupakan percabangan dari nervus phrenicus. Selama diseksi sepanjang aspek posterolateral dari trunkus superior, nervus supraclavicula dapat diidentifikasi dan dipisahkan dari trunkus. Saraf ini berjalan ke arah scapular notch, setinggi klavikula, arteri dan vena suprascapula. Saraf spinal C7 keluar dari batas antara muskulus scalenus anterior dan media dibawah saraf spinal C5 dan C6. Untuk meningkatkan ekspos pada trunkus media dan saraf spinal C7, muskulus scalenus anterior sering direseksi dengan preservasi nervus phrenicus. Saraf spinal C8 dan T1 terletak pada posterior dari arteri subclavia. Bagian lateral dari insersi muskulus sternocleidomastoideus pada klavikula dilepaskan, kemudian dilakukan retraksi dari arteri subclavia ke arah inferior dengan menggunakan retraktor vena, manuver ini dapat mencapai ekspos yang lebih luas terhadap C8 dan T1, dan trunkus inferior dari pleksus brachialis. Manuver ini dilanjutkan dengan reseksi muskulus scalenus anterior, eksisi Sibson’s dan mobilisasi arteri subclavia dengan menggunakan Penrose drain yang dilingkarkan mengelilingi arteri. Perhatian ekstra harus diberikan pada saat diseksi saraf spinal T1. Struktur yang dapat mengalami cedera pada saat melakukan manuver ini adalah arteri vertebra, ganglion cervicothoracic (stellate ganglion), apeks dari pleura, dan duktus thoracic pada saat melakukan diseksi pada sisi kiri. Bila terjadi cedera pada pleura pada saat diseksi



saraf spinal T1, dapat dilakukan penjahitan pleura dengan silk 4-0 dan ventilasi terkontrol dari ahli anestesi. Foto thorax X-ray perlu dipertimbangkan pada saat intra operatif dan bila terdapat pneumothoraks yang signifikan harus dilakukan insersi chest tube. Pada regio supraclavicula tidak terdapat percabangan saraf yang berasal dari trunkus media atau bawah dari pleksus brachialis. Diseksi klavikula dilakukan dengan memisahkan otot subclavius, arteri dan vena diligasi dan direseksi. Divisi anterior dan posterior dari ketiga trunkus pleksus brachialis terletak dibawah klavikula. Donor Nerve Graft Harvesting2 Sumber paling umum untuk donor graft saraf adalah nervus suralis yang berasal dari kedua ekstremitas bawah. Dilakukan insisi longitudinal pada mata kaki antara tendon Achilles dan maleolus lateral ke atas menuju fosa poplitea. Saraf ini terletak pada subkutis betis kaki. Dapat diambil graft saraf sepanjang 25 cm pada masing-masing kaki. Surgical repair1,2,4 Laceration Transeksi atau cedera laserasi akut pada pleksus sebaiknya segera dieksplorasi dan dilakukan repair saraf. Eksplorasi akut dan jahitan end to end (neurorrhaphy) pada cedera pleksus brachialis supraclavicula yang diakibatkan laserasi tajam memiliki outcome pembedahan yang baik. Penetrating Gun Shoot Wound Kebanyakan cedera penetrasi, seperti luka tembak, mengakibatkan lesi complete atau incomplete, dan sebagian kecil mengalami kerusakan fisik total. Jika setelah beberapa bulan tidak dijumpai reinervasi, maka perlu dilakukan eksplorasi dan pemeriksaan serta perekaman nerve action potential (NAP) intra operatif. Jika tidak dijumpai NAP, maka segmen dari lesi direseksi dan diperbaiki dengan jahitan end to end, atau bila diperlukan menggunakan graft saraf. Stretch Injury Hampir semua traction injuries tidak mengakibatkan avulsi atau tertariknya elemen saraf. Kebanyakan cedera adalah lesi pada 107



Neurosurgery Lecture Notes



kontinuitas, bersamaan dengan kerusakan struktur internal dan pembentukan massa neuroma. Diseksi sebaiknya diperluas ke proksimal dan distal dari segmen saraf yang cedera. Perkaman NAP intra operasi pada lesi penting dilakukan untuk menentukan disrupsi internal dari fasikulus dan untuk menilai luas regenerasi saraf. Lesi dengan kontinuitas yang baik (intak) dan memiliki NAP yang positif sebaiknya tidak direseksi setelah neurolisis eksternal dilakukan untuk membebaskan saraf dari jaringan parut fibrotik padat yang mengelilinginya. Neuroma yang besar yang disertai dengan tidak adanya NAP merupakan indikasi untuk disrupsi internal dari fasikulus. Fasikulus ini direseksi dengan blade 15 tajam sampai dijumpai pola fasikular normal pada potongan melintang masing-masing ujung saraf yang direseksi. Jahitan nylon 8-0 atau 9-0 digunakan untuk melakukan interfascicular graft repair. Sangatlah penting untuk menilai jumlah graft saraf yang akan digunakan, panjang graft dan meminimalisasi ketegangan saraf yang direkonstruksi. Panjang dari celah saraf dapat diperpendek dengan memobilisasi saraf. Ini dapat dilakukan dengan memperluas diseksi saraf secara longitudinal, mobilisasi sendi, dan tranposisi saraf. Kebanyakan stretch injury dari pleksus brachialis supraclavicula tidak dapat diperbaiki dengan jahitan langsung. Graft saraf interfascicular autologous diperlukan untuk memperbaiki nerve



108



gap setelah reseksi bagian saraf dengan gambaran NAP negatif. Jika saraf spinal yang avulsi teridentifikasi, dibutuhkan diseksi proksimal pada level foramen untuk menentukan stump potensial untuk repair graft saraf. Jika terjadi avulsi utuh dari radiks, dan ujung proksimal tidak memungkinkan untuk graft saraf secara langsung, maka dibutuhkan neurotization dengan menggunakan spinal accessory nerve distal atau dari saraf intercostal ke saraf muskulocutaneous. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.



5.



6.



7.



Kline DG, Hackett ER, Happel LH. Surgery for lesions of the brachial plexus. Arch Neurol 1986;43:170-181 Kline DG. Perspectives concerning brachial plexus injury and repair. Neurosurg Clin N Am 1991;2:151-164 Lusk MD, Kline DG, Garcia CA. Tumors of the brachial plexus. Neurosurgery 1987;21:439-453 Kline DG, Hudson AR. Nerve Injuries. Operative Results for Major Nerve Injuries, Entrapments, and Tumors. Philadelphia: WB Saunders Company 1995 Kim DH, Chang SD, Kline DG. Supraclavicular Approach to Brachial Plexus Surgery. In: Sekhar L, Fessler RG, eds. Atlas of Neurosurgical Techniques: Spine and Peripheral Nerves. New York: Thieme 2006.p.907-913 Chen N, Yang LJS, Chung KC. Anatomy of the brachial plexus. In: Chung KC, Yang LJ, McGillicuddy JE, eds. Practical management of pediatric and adult brachial plexus palsies. New York Elsevier Saunders 2012 Salcman M, Heros RC, Laws ER, Sonntag VKH. Surgery of perpheral nerve. In : Salcman M, Heros RC, Laws ER Jr, Soontag VKH, eds. Kempe’s Operative Neurosurgery, 2nd edn. Vol2. New York, Berlin : Springer 2004.p.163-217



Neurosurgery Lecture Notes



CEREBRAL REVASCULARIZATION EXTRACRANIAL – INTRACRANIAL BY-PASS SURGERY Rr. Suzy Indharty PENDAHULUAN Stroke iskemik merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab kematian dan disabilitas ketiga terbesa.1 Kebanyakan stroke terjadi akibat pembentukan bekuan yang menghambat aliran darah pada arteri intrakranial. Penatalaksanaan farmakologi seperti plasminogen intravena dapat diberikan jika pasien datang dalam waktu 4-5 jam setelah onset. Prosedur endovaskuler seperti trombolitik intra-arterial, trombolitik mekanis, dan embolektomi dapat digunakan sebagai tambahan pada penderita stroke dengan sumbatan arteri besar.3 Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar intervensi pada stroke iskemik adalah dengan medis atau endovaskuler. Intervensi bedah yang paling sering dilakukan adalah carotid endarterectomy pada penderita stroke iskemik yang terjadi akibat plak atherosclerotik pada stenosis arteri carotis interna servikal yang berat (70%-99%). Pembedahan dengan bypass dilakukan pada stroke iskemik yang terjadi akibat permasalahan hemodinamik, yaitu pada suatu proses kronis yang secara progresif mengurangi aliran darah otak (Cerebral Blood Flow, CBF) tanpa adanya kompensasi berupa sirkulasi kolateral. Pada tahun 1967, Donaghy dan Yasargil melakukan bypass arteri temporal superfisialis dengan arteri serebri media (Superficial temporal artery-middle cerebral artery, STA-MCA) menggunakan teknik bedah mikro.4 Setelah itu, penggunaan teknik revaskularisasi mulai banyak digunakan. Pada tahun 1985, hasil dari International Cooperative Study of Extracranial-Intracranial (EC-IC) bypass menyatakan bahwa peranan prosedur ini dalam mencegah stroke rekuren masih dipertanyakan.5 Setelah itu, banyak ahli bedah saraf yang tidak lagi melakukan prosedur ini, terlebih lagi karena perkembangan neuroradiologi intervensi, seperti



percutaneous transluminal dilatation (PTA) dan stenting. Saat ini, beberapa penelitian terakhir telah membuktikan kegunaan prosedur bypass untuk mencegah stroke. Ditambah lagi dengan bukti keterbatasan teknik endovaskuler. Ini menyebabkan prosedur bypass kembali marak dilakukan oleh ahli bedah saraf. DASAR PEMIKIRAN Oklusi atau stenosis arteri serebral yang bermakna kebanyakan disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gambaran klinis yang diakibatkannya beragam, mulai Transient Ischemic Attack (TIA) sampai stroke, bergantung seberapa berat penurunan aliran darah otak regional (regional cerebral blood flow, rCBF). Manifenstasi klinis dan perubahan patofisiologi yang terjadi bergantung pada sirkulasi kolateral yang terbentuk. Pada Positron Emission Tomography (PET), daerah dengan gangguan hemodinamik akibat oklusi akan terlihat dengan gambaran oenurunan CBF dengan peningkatan fraksi ekstraksi oksigen tanpa disertai penurunan derajat metabolisme otak. Fenomena ini dikenal dengan istilah misery perfusion. Hal yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada single-photon emission computed tomography (SPECT). Rekurensi iskemia otak terjadi dengan insiden 30-40% dalam lima tahun pertama. Klijn dkk (1997) dalam sebuah studi literatur melaporkan peningkatan resiko stroke pada penderita oklusi karotis yang simtomatik.6 Prosedur bypass akan meningkatkan CBF sampai sekitar 10%. Peningkatan ini dianggap sudah cukup untuk mencegah iskemia otak rekuren akibat gangguan hemodinamik. Japanese EC-IC Trial Study (JET) menunjukkan kegunaan prosedur bypass pada pencegahan stroke, terutama pada penderita dengan CBF 300 mg% dan tekanan darah diastol > 110 mmHg merupakan kontraindikasi relatif. Pembedahan dapat dilakukan jika nilai sudah normal.



TEKNIK PEMBEDAHAN Pengaturan tekanan darah harus dilakukan dengan ketat untuk mencegah iskemia otak perioperatif. Sebelum induksi, dilakukan pemasangan kateter intraarteri dan Mean Arterial Pressure dipertahankan untuk tetap di bawah 100 mmHg. Monitoring intraoperatif somatosensory evoked potential dan electroencephalogram harus selalu dilakukan untuk mendeteksi gangguan perfusi korteks yang memerlukan penyesuaian tekanan darah. Pada akhirnya, dilakukan barbiturate-induced burst suppression selama operasi untuk mengurangi laju metabolisme otak.11 1. Pembedahan Bypass pada Sirkulasi Anterior 1.1. Teknik Operasi Bypass STA-MCA Standar Dalam anestesi umum, kepala difiksasi dengan Mayfield apparatus pada posisi supine. Bahu sedikit ditinggikan supaya planun skuama temporalis berada paling puncak. Dalam memposisikan pasien, venous return dan patensi endotracheal tube harus selalu diperhatikan. Arm rest harus digunakan. Diseksi STA Dengan menggunakan US Doppler, operator harus mencari posisi STA cabang parietal dan frontal. Dilakukan insisi question mark dan diseksi STA 111



Neurosurgery Lecture Notes



dengan diameter 1 mm pada skin flap. STA dapat juga didiseksi dengan insisi linear dengan panjang 8-10 cm. Arteri didiseksi dengan mengikutkan jaringan periadventisia. Otot temporal kemudian dipotong sesuai dengan arah serabut otot kemudian skuama temporal divisualisasi.



Gambar 3. Kulit ditandai sesuai aliran STA cabang frontal dan parietal (kiri). STA terlihat setelah diseksi (kanan). Dikutip dari koleksi pribadi penulis.



Craniotomy Craniotomy dilakukan pada 6 cm kranial dari meatus akustikus eksternus. Titik ini merupakan proyeksi ujung Sylvian fissure, tempat cabang-cabang MCA berdiameter 1 mm keluar menuju korteks. Cabang-cabang MCA ini antara lain arteri angularis, arteri parietal posterior, atau arteri temporalis posterior. Ketiga arteri ini dapat digunakan sebagai resipien pada anastomosis end to side dengan STA sebagai donor.



Gambar 4. Bypass STA-MCA standar. (A) Diseksi STA dari skin flap. Cabang frontal dapat diikutkan ke dalam flap jika diperlukan. (B) Diseksi STA cabang parietal dengan insisi linear. (C) Bypass STA-MCA dengan kraniotomi kecil, bagian pusat diletakkan 6 cm kranial dari porus akustikus eksternus.10



112



Metode alternatif yang dapat digunakan adalah melakukan navigasi berdasarkan CT Angiography 3D atau MR Angiography untuk menentukan target arteri kortikal.13 Sebuah burr hole ditempatkan pada kaudal dari sutura skuamosa. Dari burr hole ini, dibuat bone flap seluas 3 cm ke arah kranial supaya arteri kortikal yang disebutkan sebelumnya tetap dapat didiseksi.14 End To Side Anastomosis Setelah arakhnoid dibuka, dilakukan diseksi sepanjang 1 cm pada arteri kortikal berdiameter 1 mm di lapangan operasi. Cabang-cabang kecil dari arteri tersebut dikoagulasi dan dipotong. Kemudian diletakkan penahan dari karet antara korteks dengan pembuluh darah yang telah didiseksi. Setelah itu, segmen arteri yang telah didiseksi ditutup dengan mini clip pada ujung proksimal dan distal, dilanjutkan dengan arteriotomi longitudinal atau elips sepanjang 1-1,5 mm pada permukaan superior. Ujung STA yang telah didiseksi didekatkan pada arteri resipien. Panjang STA dilebihkan untuk memungkinkan prosedur anastomosis secara keseluruhan serta mencegah torsio dan strangulasi. Kemudian dilakukan irigasi lumen dengan larutan heparin (1000-2500 IU/100 cc NaCl 0,9%). Jaringan periadventisia pada ujung distal disisihkan untuk persiapan anastomosis. Dilakukan pemotongan ujung distal supaya diameter arteri tersebut sesuai dengan ujung arteri resipien. Anastomosis end to side dilakukan dengan 8 interrupted suture menggunakan monofilamen nilon berukuran 10.0. Diperlukan 20-30 menit untuk melakukan prosedur ini dan gangguan aliran darah dalam waktu ini masih dapat diterima serta tidak membahayakan teritori otak yang diperdarahi arteri ini. Pada penderita MMA, terutama anak-anak, arteri kortikal biasanya berdiameter 0,5 mm sehingga bypass dapat dilakukan dalam 6 buah suture menggunakan monofilamen berukuran 11.0. Setelah anastomosis dipastikan kompeten, mini clip dibuka satu per satu mulai dari sisi arteri kortikal. Jika tidak ada kebocoran, penahan dari karet dibuka. Patensi dinilai dengan US Micro Doppler atau teknik lain seperti Fluorescence



Neurosurgery Lecture Notes



angiography, thermal clearance Peltier, stack, atau infrared probe.



Gambar 5 STA-MCA anastomosis. (a) Anastomosis dilakukan dengan nylon 11-0. (b-c). End-to-side anastomosis. Dikutip dari: Matsumura N, Hayashi N, Kamiyama H, Kubo M, Shibata T, Okamoto S, Horie Y, Hamada H, Endo S. Microvascular anastomosis at 30-50× magnifications (super-microvascular anastomosis) in neurosurgery. Surg Neurol Int 2011;2:6



antibiotik intavena diberikan setidaknya 1 kali setelah operasi. Aspirin dapat diberikan lagi 24 jam sesudah pembedahan. Terapi antikoagulan oral dapat diberikan lagi 1 minggu setelah operasi. Patensi bypass dinilai kembali dengan US Doppler. Hemodinamik setelah operasi dinilai dengan angiografi. Water PET dilakukan 2-3 bulan sesudah operasi. 1.2. STA-ACA Bypass Bypass ini awalnya diindikasikan pada penderita MMA dengan gangguan hemodinamik pada teritori ACA. Cabang STA pada frontal dianastomosis dengan middle internal frontal artery (MIFA) pada sudut medial korteks frontal anterior dari sutura koronaria. Ujung frontal dari STA harus cukup panjang untuk mencapai garis tengah. Jika hal itu tidak dapat tercapai, dilakukan interposition graft menggunakan segmen cabang parietal STA. Selain itu, MIFA dan ujung frontal dapat juga dihubungkan dengan vena temporal superfisial atau vena savena distal.15



Penutupan Craniotomy Bekas jahitan ditutup dengan oxycellulosa. Duramater diaproksimasi, tidak perlu sampai watertight, tetapi udara sebaiknya diganti dengan NaCl 0,9% sebanyak mungkin. Penjepitan STA harus dihindari saat pemasangan tulang dan penutupan kulit. Pemasangan drain subgaleal maupun epidural tidak harus selalu dilakukan. Managemen Peri- dan Intraoperatif Penggunakan antikoagulan dan aspirin harus dihentikan setidaknya 3 hari sebelum pembedahan. Pasien tidak boleh dalam keadaan dehidrasi. Pada penderita MMA, CBF dengan Diamox loading harus sudah selesai setidaknya 48 jam sesudah pembedahan. Periode hemodinamik serebral yang tidak stabil yang ditandai dengan TIA berulang, terutama pada penderita MMA, harus ditatalaksanai terlebih dahulu dengan pemberian dexamethasone. Pembedahan dilakukan setelah keadaan stabil. Pembedahan dilakukan dalam general anesthesia dengan mempertahankan pCO2 pada 40 mmHg. Tekanan darah sesudah operasi dipertahankan pada tekanan normal, dengan sistol di bawah 160 mmHg. Pemberian antiepilepsi sebagai profilaksis tidak diperlukan, tetapi



Gambar 6. Bypass STA-ACA. PAda MMA, STA-ACA dapat dikombinasikan dengan STA-MCA. 10



1.3.



Bypass pada Sirkulasi Posterior Indikasi bypass pada sirkulasi posterior tidak jauh berbeda dengan sirkulasi anterior, yaitu untuk mencegah rekurensi stroke teritori vertebrobasilar pada kasus aterosklerosis dengan gangguan hemodinamik. STA-SCA Bypass Bypass ini dilakukan pertama kali oleh Ausman pada 1978.16 Setelah induksi dan intubasi, dilakukan pemasangan drainase spinal untuk



113



Neurosurgery Lecture Notes



mengurangi retraksi lobus temporal. Kepala dan badan diposisikan serupa dengan posisi pada bypass STA-MCA. Cabang parietal dari STA didiseksi dengan insisi kulit linear sampai mencapai pinggir pembuluh darah dengan panjang lebih dari 10 cm. Insisi kulit kemudian diperpanjang posterokaudal sampai bagian posterior prosesus mastoid. Dilakukan craniotomy temporal dengan ukuran lebih dari 4 cm. Ujung anterior craniotomy adalah arkus zigomatikus, ujung posterior pada perhubungan sinus sigmoid dan transversus, dan ujung kaudal di atas porus akutikus eksternus.



Gambar 7. Bypass STA-SCA. (A) Insisi dan craniotomy. (B). Exposure STA melalui subtemporal approach dan pengukuran aliran STA melalui ultrasonic flow probe. (C). Bypass sudah dilakukan pada STA-SCA. Dikutip dari Amin-Hanjani S, Alaraj A, Charbel FT: EC-IC bypass for posterior circulation ischemia, in Abdulrauf SI, ed. Cerebral Revascularization: Techniques in Extracranial-to-Intracranial Bypass Surgery. Philadelphia: Elsevier 2011.p.175-184.



Basis temporal dan bagian luar dari piramid dibor menuju sisi kaudal supaya lapangan operasi cukup luas. Mastoid air cell dapat dibuka sebagian, tetapi harus kembali ditutup dengan bone wax dengan fasia saat penutupan craniotomy. Tujuan semua prosedur ini adalah menghindari retraksi lobus temporal yang berlebihan dan



114



meminimalisasi cedera vena labbe. Insisi kecil dibuat pada tentorium sejauh 1 cm medial dari hubungan sinus sigmoid dan transversus supaya permukaan serebelum dapat divisualisasi dengan optimal. Insisi diperpanjang sampai ujung tentorium sejauh 1 cm posterior dari perlekatan tentorium dengan ujung piramid. Prosedur ini dilanjutkan dengan membuka sisterna perimesensefalik untuk memvisualisasi bagian proksimal SCA dan bagian SCA yang berjalan dengan nervus troklear. Tidak ada satu pun cabang SCA yang dibuang saat prosedur anastomosis. Selanjutnya, prinsip operasi sama dengan prinsip end to side anastomosis pada bypass STA-MCA.1



Gambar 8. Anastomosis STA-SCA kiri. A. Anastomosis dilakukan melalui subtemporal. Setelah duramater diuka, lobus temporal dinakkan sampai tentorial edge terlihat. B dan C. Tentorial edge dibuang agar SCA dan N-IV terlihat. . D dan E. Setelah SCA terlihat, ujung STA yang terganggu dibebaskan dari fascia hingga sepanjang 7-8 mm. Ujung STA dpotong. Dilakukan craniotomy dengan panjang sesuai ukuran SCA. Anastomosis dilakukan dengan nylon 10.0 A., artery; A.Ch.A., anterior choroidal artery; Bas., basilar; Car., carotid; Caud., caudal; CN, cranial nerve; P.C.A., posterior cerebral artery; P.Co.A., posterior communicating artery; Rost., rostral; S.C.A., superior cerebellar artery; S.T.A., superficial temporal artery; Temp., temporal; Tent., tentorial; Tr., trunk. Dikutip dari : Kawashima M, Rhoton AL. Surgical Anatomy of EC-IC Bypass Prosedure. In: Abdulrauf SI (editor). Cerebral Revascularization. Philadelphia: Elsevier 2011.p.193



Neurosurgery Lecture Notes



Bypass OA-PICA Bypass OA-Pica dilakukan pertama kali oleh Khodadad pada tahun 1976.18 Insisi berbentuk curve linear dari proyeksi topografi OA sampai bagian medial prosesus mastoid. Diseksi OA biasanya dilakukan dengan diameter 1,5 mm dan dilakukan anastomosis dengan caudal loop PICA setelah craniotomy unilateral suboccipital. Diseksi OA sangat sulit karena ada banyak cabang OA yang berjalan pada jaringan lemak subkutis di perifer dan lapisan otot bagian dalam. Posisi paling optimal adalah posisi duduk. Khodadad melaporkan banyak komplikas setelah operasi jika dilakukan dengan posisi ini, tetapi literatur terbaru menyatakan bahwa posisi duduk menyebabkan lapangan operasi menjadi lebih bersih tanpa penumpukan CSF atau darah, meskipun harus dengan dukungan neuroanestesi yang kompeten.



Gambar 10. Anastomosis OA-PICA. A-C. Pedicle graft (sisi kanan). Ddan E. Arterial interposition graft. A-C Setelah diseksi OA selesai, duramater suboccipital dibuka agar caudal loop PICA terlihat. Kemudian, pembuluh darah tersebut dibebaskan dari arachnoid. Ujung OA kemudian dipotong. Pembuluh darah yang menjadi recipient dipersiapkan dengan meletakkan clip temporer. Dilakukan craniotomy yang sesuai dengan panjang PICA yang dipersiapkan. Anastomosis dengan OA dilakukan menggunakan interrupted 10-0 nylon sutures. A., artery; Cond., condyle or condylar; Occip., occipital; P.I.C.A., posterior inferior cerebellar artery; Post., posterior; Suboccip., suboccipital; Trans., transverse; V., vein; Vert., vertebral. Dikutip dari: Elhammady MS, Morcos JJ: Occipital artery to PICA bypass. In: Abdulrauf SI, ed. Cerebral Revascularization – Evolving Techniques in Extracranial to Intracranial Bypass Surgery, 1st edn. Philadelphia: Elsevier, Inc. 2011



Gambar 9. Diseksi OA. Dikutip dari Amin-Hanjani S, Alaraj A, Charbel FT. EC-IC Bypass for Posterior Circulation Ischemia. Dikutip dari: Elhammady MS, Morcos JJ. OA-PICA Bypass. In: Abdulrauf SI (editor). Cerebral Revascularization. Philadelphia: Elsevier 2011.p.136



Kepala difiksasi dengan Mayfield apparatus pada posisi duduk, 30o diputar menuju sisi operasi dan fleksi sampai 20o. OA dideteksi dengan US Doppler. Kemudian dilakukan insisi kulit linear di atas OA dan dilanjutkan dengan diseksi OA sampai sudut medial prosesus mastoid. Skuama oksipital divisualisasi dengan menguakkan otot nuchal. Dilakukan craniotomy suboccipital paramedian dengan diameter 4-5 cm menuju foramen magnum 115



Neurosurgery Lecture Notes



diikuti kondilektomi parsial. Duramater kemudian dibuka secara longitudinal dan visualisasi dural ring arteri vertebra dapat dilakukan. Hemilaminektomi C1 tidak perlu dilakukan. Lapisan arakhnoid sisterna magna dibuka pada sudut lateral. Tonsil serebeli kemudian diangkat. Loop caudal PICA dengan diameter 1 mm akan naik ke atas. Bypass OA-SCA dan OA-PCA dengan Supracerebellar Transtentorial Approach Diseksi OA dilakukan sepanjang mungkin setelah membuat insisi linear dengan cara yang sama seperti di atas. Dilakukan craniotomy paramedian, kemudian dibuat sebuah rongga antara tentorium dan serebelum dengan mengorbankan 1 atau 2 bridging vein di antaranya. Setelah itu, dilakukan drainase CSF untuk memperbesar rongga tersebut dengan membuka lapisan arakhnoid sisterna basal. Tentorium diinsisi dari tengah ke arah tentorial notch. Prosedur ini memungkinkan lapangan operasi menjadi luas dan memperoleh cabang PCA pada korteks yang akan menjadi arteri resipien di sekitar sudut girus parahippocampal dan girus lingual. Cabang SCA dapat ditemukan bersamaan dengan nervus toklear pada sisi anterior lobulus quadrangularis. Insisi tentorium juga dilakukan pada bypass SCA untuk memperluas lapangan operasi.



Gambar 11. Bypass OA-SCA dan OA-PCA. ilustrasi prosedur bypass dengan kraniotomi suboksipital paramedian. tentorium diinsisi pada kedua prosedur. SCA dan cabangnya ditemukan pada sudut anteroposterior dari lobus quadrangularis. arteri temporal posterior dan cabangnya ditemukan pada perhubungan gyrus parahipokampal dengan gyrus lingual pada tempat insisi tentorium. 10



116



Anastomosis bypass menuju PCA dilakukan pada arteri temporal posterior, sehingga PCA sendiri tidak tersentuh. Komplikasi seperti hemiperesis dan hemianopsia dapat dihindari. Operasi ini juga dilakukan dalam posisi duduk. Posisi ini menyebakan lapangan operasi menjadi lebih bersih tetapi meningkatkan resiko emboli udara. 1.4. High Flow Bypass Bypass yang dijelaskan di atas adalah low flow bypass. Aliran darah pada low flow bypass setelah operasi hanya sebesar 10-20 ml/menit. Aliran darah dapat ditingkatkan sampai 100 ml/menit dengan menggunakan high flow bypass. Peningkatan ini terutama bergantung pada diameter resipien, bukan hanya pada diameter donor atau interposition graft. Donor atau interposition graft yang berdiameter besar dapat diperoleh dengan menggunakan vena savena atau arteri radialis. Dalam pengambilan graft, harus diketahui bahwa panjang graft yang dialiri darah akan bertambah sampai 30% dibandingkan graft tanpa aliran darah. High flow graft digunakan pada: 1. Antara arteri intrakranial supraaorta, antara lain arteri karotis komunis dan arteri subklavia, seperti pada subclavian steal syndrome. 2. Bypass C5 dan C2 pada aneurisma ICA bagian cavernous yang sangat besar.19 3. Arteri subklavia, arteri karotis komunis, atau arteri karotis eksterna menuju C2 atau M2, seperti pada aneurisma ICA atau MCA yang sangat besar. Metode standar adalah menggunakan microsuture dengan monofilament berukuran 8-0 sampai 10-0 setelah menutup arteri resepien selama 30 menit. Oklusi temporer dalam jangka waktu tersebut masih dapat diterima jika dilakukan dalam general anesthesia dengan hemodinamik yang terkontrol dan pemberian neuroprotektor, seperti manitol dan barbiturat. Graft Vena Savena dan Graft Arteri Radialis Vena savena biasanya didiseksi pada sisi



Neurosurgery Lecture Notes



medial tungkai bawah dengan insisi dimulai dari maleolus medialis menuju sudut medial sendi lutut. Bagian vena savena distal lebih baik untuk diambil dibandingkan vena savena pada paha atas karena diameternya lebih cocok dengan arteri intrakranial. Sesudah didiseksi dengan panjang yang cukup, cabang-cabang arteri yang kecil dikoagulasi dan dipotong.



Gambar 12. Graft arteri radialis. Dikutip dari Sweeney JM, Sasaki-Adam DM, Abdulrauf SI. Radial Artery Harvest for Cerebral Revascularization – Technical Pearls. In: Abdulrauf SI (editor). Cerebral Revascularization. Philadelphia: Elsevier 2011.p.193



Cabang-cabang arteri yang cukup besar diligasi dengan benang. Darah yang tersisa pada lumen vena dikeluarkan dengan mengisi segmen dengan larutan heparin. Vena dipreservasi dengan sedikit menariknya menggunakan clip pada kedua ujung. Kulit ditutup lapis demi lapis dan dibalut dengan sedikit penekanan. Katup-katup vena dapat saja ditemui pada graft. Katup ini tidak perlu dibuang karena graft akan diletakkan sesuai dengan arah aliran darah. Anastomosis graft dapat dilakukan pada arteri subklavia, arteri karotis komunis, arteri karotie eksterna bagian proksimal atau C5 (setelah perosektomi anterior) dan ujung distal C2 (setelah clinoidectomy anterior), MCA bagian M2 atau M3 (setelah membuka Sylvian fissure). Graft vena ini juga dapat digunakan pada low flow bypass. Graft arteri radialis juga dapat digunakan sebagai high flow bypass. Diameter ujung arteri radialis sesuai dengan M2 (diameter 2-2,5 mm).



Toleransi dinilai dengan Allen Test. Graft dapat diambil sampai sepanjang 20 cm tanpa mengganggu aliran darah menuju lengan dan tangan. Dibandingkan dengan graft vena savena, berikut adalah keuntungan dan kelemahan graft arteri radialis: 1. Anastomosis arteri lebih mudah dilakukan karena dinding arteri lebih rigid dibandingkan dinding vena. 2. Torsion dan kinking graft dapat dihindari. 3. Diseksi graft dapat lebih mudah dilakukan. 4. Panjang graft relatif terbatas. 5. Karena graft merupakan arteri, aterosklerosis dapat terjadi. HASIL JANGKA PANJANG DAN KOMPLIKASI Antara tahun 1993 dan 2007 di Departemen Bedah Saraf Universitas Zurich dilakukan revaskularisasi pada 203 pasien dengan perincian 277 prosedur mikrovaskuler, 93 kasus atherosclerosis, 47 kasus MMA, 57 kasus aneurisma, dan 6 kasus tumor basis cranii. Kebanyakan revaskularisasi dilakukan pada teritori MMA, 34 kasus pada teritori ACA, dan 13 kasus pada teritori sirkulasi posterior. Angiografi untuk menilai patensi dilakukan pada 87% kasus dan rekurensi stroke dilaporkan sebesar 2%.14 Komplikasi dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu 1. Komplikasi iskemia 2. Komplikasi perdarahan 3. Komplikasi jantung paru 4. Komplikasi minor, seperti gangguan penyembuhan luka, infeksi, rhinorrhea CSF, kejang epilepsi. Beberapa perhatian khusus harus dilakukan sehubungan beberapa hal Hidrasi yang baik. Salah satu hal penting pada persiapan perioperatif adalah hidrasi yang baik. Gabungan hemokonsentrasi dengan perfusi yang rendah dapat memperberat gangguan rheology dan memperbesar resiko ischemia.10 Normotensi. Hipertensi maupun hipotensi sesudah operasi tidak boleh terjadi. Hipertensi akan memicu terjadinya perdarahan intraserebral dan hipotensi akan memicu terjadinya iskemia otak.10



117



Neurosurgery Lecture Notes



Normocapnea. Hipercapnea dan hipocapnea harus selalu dihindari terutama pada penderita MMA. pCO2 intraoperatif dipertahankan pada 40 mmHg. Diamox loading test merupakan prosedur yang sederhana dan sudah cukup untuk menentukan kelainan hemodinamik, tetapi dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolic dan hipovolemia. Bypass sebaiknya ditunda setidaknya sampai 48 jam setelah tes.10 Komplikasi seperti subdural hematoma terjadi pada kasus infarct berukuran besar disertai penumpukan udara subdural. Penumpukan udara ini akan berkembang menjadi efusi subdural yang menjadi darah jika diberikan antiplatelet. Karena itu, setelah duramater ditutup, sebaiknya dilakukan pengisian dengan NaCl 0,9%. 10 EVIDENCE BASED PERANAN EC-IC PADA PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIA Usaha untuk menyediakan aliran darah otak alternatif pertama kali dilakukan oleh German dan Taffel (1939). Mereka menempatkan pedikel M. temporalis pada korteks otak monyet yang pembuluh darah karotis dan vertebralnya sudah ditutup dan melaporkan bahwa monyet yang bertahan hidup adalah monyet dengan pedikel otot pada korteks.20 Pada tahun 1942, Kredel pertama kali melakukan prosedur ini pada tiga orang penderita stroke iskemia dan melaporkan perbaikan klinis sesudah operasi pada ketiga pasien tersebut. Namun, teknik ini ditolak pada dekadedekade berikutnya karena angiogram post operasi tidak menunjukkan aliran darah kolateral melalui graft.21 Pada tahun 1951, C.Miller Fish mengajukan postulat bahwa prosedur bypass arteri ekstrakranial menuju intrakranial mungkin menjadi alternatif terapi penyakit pembuluh darah akibat oklusi.22 EC-IC arterial bypass sendiri pertama kali dilakukan oleh Yasargil dan Donaghy pada tahun 1966, dengan menyambungkan STA menuju MCA pada anjing. Tidak lama sesudahnya, Yasargil berhasil melakukan prosedur yang sama pada manusia. Prosedur ini kemudian semakin banyak digunakan pada stroke iskemia.23 Pada masa awal, satu-satunya laporan adalah seri kasus retrospektif dalam jumlah kecil yang dilaporkan oleh Sundt et al pada tahun 1977.



118



Mereka melakukan penelitian retrospektif pada 56 pasien yang menjalani bypass STA-MCA atas indikasi yang beragam, antara lain: TIA, orthostatic iskemia, stroke progresif, dan bypass aneurisma. Banyak sekali bias yang ada pada seri ini, mulai dari seleksi kasus sampai standar penatalaksanaan yang berbeda. Sebelum tahun 1973, dilaporkan patensi graft hanya sebesar 25% dan sesudah tahun 1974, patensi mencapai 95%. 24



Gambar 13. Timeline EC-IC bypass.23



Dengan berkembangnya evidence-based medicine, kebutuhan mengenai data dan efektivitas sebuah prosedur semakin banyak. Pada tahun 1977, editorial Stroke memperkenalkan penelitian EC-IC bypass yang pertama, yaitu International Cooperative Study of ExtracranialIntracranial Bypass Trial (EC-IC Bypass Trial). Fletcher H. McDowell, editor Stroke saat itu, menuliskan hal sebagai berikut:25 “Too often surgical treatment for a particular condition gains enthusiasm and wide use before any clear evidence of effectiveness. This problem has been particularly evident in the field of atherosclerotic vascular disease involving the treatment of its cardiac and cerebral complications. The recent suggestions for extracranial/intracranial arterial anastomosis in the prevention and treatment of stroke have without question a logical basis. This is especially true when atherosclerosis in cerebral vessels lies distal to the surgically accessible portion of the internal carotid artery. Anastomosis of the superficial temporal artery to the middle cerebral artery or one of its branches to improve vertebral circulation in such



Neurosurgery Lecture Notes



situations is beginning to be carried out frequently in a number of centers across the United States. In an effort to determine the effectiveness of this therapy 20 major medical centers in the United States and three centers outside the United States have joined together in a collaborative study of this therapy” Pada tahun 1985, hasil EC-IC Bypass trial dilaporkan. Di antara 1377 penderita yang ikut ke dalam penelitian ini, 714 penderita (52%) mendapat terapi medis (aspirin setiap hari dan kontrol hipertensi dengan agresif) dan 663 penderita (48%) mendapat EC-IC bypass sebagai tambahan terapi medis. 26 Secara acak, dilakukan anastomosis end-toside antara STA atau a. occipital dengan cabang kortikal MCA. Hampir 70% penderita datang dengan gangguan neurologi. Kebanyakan penderita (59% pada kelompok medis dan 58% pada kelompok bedah) menderita oklusi ICA.26 EC-IC bypass trial melaporkan tidak ada perbedaan bermakna sehubungan rekurensi stroke, morbiditas, dan mortalitas antara kelompok medis dengan kelompok bedah.26 Sesudah laporan penelitian ini, prosedur EC-IC pada stroke iskemia menjadi jarang dilakukan.23 Kritik utama terhadap EC-IC bypass trial adalah bahwa penelitian tersebut dilakukan pada penderita yang dipilih berdasarkan kelainan anatomis, bukan fisiologi. Penentuan akibat dari oklusi pembuluh darah terhadap aliran darah otak tidak dapat dinilai hanya dengan angiogram. Beberapa ahli berpendapat bahwa prosedur ini akan memberikan keuntungan pada penderita dengan oxygen extraction ratio (OER) tinggi dan keadaan underperfusion yang berat. OER sendiri dinilai dengan positron emission tomography, suatu teknik pencitraan yang belum ada saat uji tersebut dimulai. Selain itu, prosedur bypass dilakukan oleh ahli bedah saraf dengan kemampuan yang beragam, mulai dari ahli bedah yang hanya mendapat pendidikan kursus singkat selama dua hari, ahli bedah yang baru saja melakukan sepuluh prosedur operasi, sampai ahli bedah yang betulbetul terlatih.23 Hampir 25 tahun sesudahnya, dilakukan studi Carotid Occlusion Surgery Study Randomized



Trial (COSS) untuk menilai efektivitas EC-IC bypass untuk mencegah stroke iskemia berulang. Inklusi adalah penderita TIA atau stroke iskemia pada teritori arteri karotis dengan onset di bawah 120 hari. Dilakukan PET pada tempat yang sudah ditunjuk. Pendertia dengan rasio OEF regional >1,13 dibagi ke dalan dua kelompok, yaitu kelompok medis dan kelompok bedah. Hasil akhir klinis dinyatakan dalam kejadian stroke berulang dan kematian dalam 30 hari. 27 Studi ini diakhiri sebelum jumlah sampel terkumpul lengkap. Pada awalnya, angka rekurensi pada kelompok medis diperkirakan mencapai 40% dan 24% pada kelompok bedah dengan perkiraan sampel 372 orang. Setelah sampel mencapai 195 orang, perbandingan rekurensi antara kedua kelompok tidak jauh berbeda, yaitu 21% pada kelompok bedah dan 22,7% pada kelompok medis. Terjadi kesalahan dalam perkiraan besar sampel. Selain itu, PET kontrol hanya dilakukan pada kelompok bedah, tidak pada kelompok medis. Penelitian ini sendiri tidak berhasil menunjukkan perbedaan hasil akhir klinis yang signifikan antara kelompok medis dengan kelompok bedah. 28 Setelah EC-IC bypass trial dilaporkan pada tahun 1985, revaskularisasi oklusi carotis menjadi sangat dibatasi pada penderita dengan gejala refrakter setelah mendapat terapi medis maksimal sekalipun. Walaupun COSS juga tidak dapat menyediakan bukti untuk memperluas indikasi bedah, penulis yakin bahwa tindakan EC IC Bypass akan menguntungkan pada populasi tertentu. Fungsi kognitif dan fungsional merupakan hal lain yang harus diteliti. Penelitian lebih lanjut harus dilakukan. 28 DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



Chimowitz MI, Lynn MJ, Howlett-Smith H, Stern BJ, Hertzberg VS, Frankel MR, Levine SR, Chaturvedi S, Kasner SE, Benesch CG, Sila CA, Jovin TG, Romano JG. Warfarin-Aspirin Symptomatic Intracranial Disease Trial Investigators: Comparison of warfarin and aspirin for symptomatic intracranial arterial stenosis. N Engl J Med 2005;352:1305-1316. Furlan A, Higashida R, Wechsler L, Gent M,Rowley H, Kase C, Pessin M, Ahuja A, Callahan F, Clark WM, Silver F, Rivera F. Intraarterial prourokinase for acute ischemic stroke. The PROACT II study: a randomized controlled trial. Prolyse in Acute Cerebral Thromboembolism. JAMA 1999;282:2003-11. Broderick JP: Endovascular therapy for acute ischemic



119



Neurosurgery Lecture Notes



4.



5.



6.



7.



8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



120



stroke. Stroke 2009;40(3 Suppl.):S103-s106. a argil MG, Donaghy RMP, Fisch UP, Hardy J, Malis LI, Peerless SJ, Zingg M, Borer WJ, Littmann H, Voellmy HR. Microsurgery applied to neurosurgery. Stuttgart: Georg Thieme 1969. The EC/IC Bypass Study Group. Failure of extracranialintracranial arterial bypass to reduce the risk of ischemic stroke. Results of an international randomIzed trial. N Engl J Med 1985;313:1191-1200 Yonekawa Y, Fandino J, Taub E. Surgical therapy. In: Fisher M, Bogousslavsky J, eds. Current review of cerebrovascular disease, 4th ed. Philadelphia: Current Medicine 2001.p.219-232 JET Study Group. Japanese EC-IC Bypass Trial (JET Study): The second interim analysis. Surg Cerbr Stroke (Jpn) 2002;30:434-437 Yonekawa Y, Khan N. Moyamoya disease. In: Barnett HJM, Bogousslavsky J, Meldrum H, eds. Ischemic stroke. Advances in neurology.Vol. 92. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2003.p.113-118 Matsushima Y, Fukai N, Tanaka K, et al. A new surgical treatment of moya- amoya disease in children: A preliminary report. Surg Neurol 1981;15:313-320 Yonekawa Y. Brain Revascularization by ExtracranialIntracranial Arterial Bypass. In: Sindou M, ed. Practical Handbook of Neruosurgery from Leading Neurosurgeon. Vol 1. New York: Springer 2009.p. 355-381. Rodriguez-Hernandez A, Josephson AS, Langer D, Lawton MW. Bypass for the Prevention of Ischemic Stroke. World Neurosurgery 2011; 76(65):S72-S79. Yonekawa Y, Khan N. Moyamoya disease. In: Barnett HJM, Bogousslavsky J, Meldrum H, eds. Ischemic stroke. Advances in neurology vol 92. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2003.p.113-118. Kikuta K, Takagi Y, Fushimi Y, Ishizu K, Okada T, Hanakawa T, Miki Y, Fukuyama H, Nozaki K, Hashimoto N. “Target bypass”: A method for preoperative targeting of a recipient artery in superficial temporal artery-tomiddle cerebral artery anastomoses. Neurosurgery 2006;59(4)(Suppl 2): ONS320-ONS327. Yonekawa Y. Prevention of relapsing cerebral ischemia by the EC–IC by- pass : Reevaluation of results of the EC– IC bypass international cooperative study and those of our cases. Shinkei Shinpo (Jpn) 1988;32: 320-327. Tanaka K, Yonekawa Y, Satou K, Katagiri K, Kouno H. STA-



16.



17.



18.



19. 20.



21.



22. 23.



24.



25. 26.



27.



28.



ACA anastomosis with interposed vein graft: A case report. No Shinkei Geka 1992;20:171-176. Ausman JL, Diaz FG, De Los Reyez RA, Pearce JE, Schronitz CE, Pak H. Microsurgery for atherosclerosis in the distal vertebral and basilar arteries. In: Rand RW, ed. Microneurosurgery. St.Louis: CV Mosby 1985.p.497-510. Yonekawa Y, Frick R, Roth P, Taub E, Imhof HG. Laboratory training in microsurgical techniques and microvascular anastomosis. Oper Tech Neurosurg 1999;2:149-158. Yonekawa Y. Posterior fossa revascularization – indication, technique and results. The Mt. Fuji Workshop on CVD 1988;6:71-6. Fukushima T. Operative technique of the skull base bypass. Jpn J Neurosurg 1992;1:41-47. German W, Taffel M. Surgical Production of Collateral Intracranial Circulation. Proc Soc Ex Biol Med 1939;42:349-353 Kredel F. Collateral cerebral circulation by muscle graft. Technique of operation with report of 3 cases. South Surg 1942;10:235-244. Fisher M. Occlusion of the internal carotid artery. AMA Arch Neurol Psychiatry 1951;65:346-377. Gigante PR, Kellner CP, Connoly ES. EC-IC Bypass Evidence. In: Abdulrauf SI, ed. Cerebral Revascularization. Philadelphia: Elsevier 2011.p.218 Sundt TM Jr, Siekert RG, Piepgras DG. Bypass surgery for vascular disease of the carotid system. Mayo Clin Proc 1976;51:677-692. McDowell FH. The extracranial/intracranial bypass study. Stroke 1977;8:545. Failure of extracranial-intracranial arterial bypass to reduce the risk of ischemic stroke : Results of an international randomized trial. The EC/IC Bypass Study Group. N Engl J Med 1985;313:1191-1200. Powers WJ, Clarke WR, Grubb RL, Videen TO, Adams Jr HP, Derdeyn CP. Extracranial Intracranial Surgery for Stroke Prevention in Hemodynamic Cerebral Ischemia The Carotis Occlusion Surgery Study Randomized Trial. JAMA 2011;306(18):1983-1992. Amin-Hanjani S, Barker FG, Charbel FT, Connolly ES, Morcos JJ, Thompson G. Extracranial-Intracranial Bypass for Stroke—Is This the End of the Line or a Bump in the Road? Neurosurgery 2012;71:557–561.



Neurosurgery Lecture Notes



PART II



BASIC NEUROSURGERY



121



Neurosurgery Lecture Notes



122



Neurosurgery Lecture Notes



CEREBRAL TRAUMA



123



Neurosurgery Lecture Notes



124



Neurosurgery Lecture Notes



TRAUMATIC BRAIN INJURY : Primary Brain Damage, Secondary Brain Damage, Management and Neuro Critical Care Abdul Gofar Sastrodiningrat INTRODUCTION Didalam pembicaraan sehari-hari, kita menggunakan istilah Head Injury dan Traumatic Brain Injury (TBI) untuk satu pengartian yang sama. Padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut diatas secara komprehensif berbeda. Dengan istilah TBI, permasalahan utama hanya mencakup cedera pada jaringan otak, sedangkan pada istilah Head Injury, kecuali cedera jaringan otak, juga mencakup cedera pada tulang tengkorak dan kulit kepala. Untuk selanjutnya didalam catatan kuliah ini akan dipergumakan istilah TBI dan Head Injury untuk pengartian yang sama.TBI didefinisikan sebagai cedera pada kepala sebagai akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tembus (penetrating injury) atau tenaga aselerasi / tenaga deselerasi yang menyebabkan gangguan fungsi otak sementara atau permanen1. Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau menetap. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan, setiap tahun di Amerika Serikat paling tidak 1.4 juta orang mengalami TBI ; dari jumlah ini kira-kira 1.1 juta orang ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat Darurat, 235.000 dirawat di rumah sakit dan 50.000 meninggal dunia. Penyebab utama dari kematian yang berhubungan dengan TBI adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan/perkelahian (assaults). Klasifikasi mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasienpasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS) , Trauma Score, Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran



pasien TBI dan untuk memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 1315. TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8.



PATHOPHYSIOLOGY TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat cedera otak primer (primary brain damage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari responses ini ada yang bersifat neuroprotective. BIOMECHANICAL CHARATERISTICS OF NEUROTRAUMA FROM BRAIN MOVEMENT DURING IMPACT Subdural Hemorrhage (SDH) dan Diffuse Axonal Injury (DAI) keduanya merupakan hal yang lebih mematikan daripada lesi otak yang lain pada TBI2. Gennarelli memperkirakan bahwa SDH disebabkan olah short duration and high amplitude of angular accelerations, sedangkan DAI disebabkan oleh longer duration and low amplitude of coronal accelerations 3 Dengan menggunakan collision test pada cadaver, Löwenhielm meng-hipotesa-kan bahwa putusnya bridging veins pada kepala terjadi setelah pergerakan anteroposterior rotations 4 Houlbourne menjelaskan bagaimana gesekan terjadi pada otak, menunjukkan bahwa rotational acceleration forces merupakan penyebab utama kerusakan pada otak5 Ommaya dan Gennarelli memperkirakan bahwa acceleration-deceleration forces menyebabkan mechanical strains. Cedera ini dapat terjadi bila kepala terputar melalui ruangan dan mendadak dihentikan oleh benda yang solid, misalnya tanah (ground) atau bila kepala bergerak misalnya bila seorang petinju dipukul wajahnya6 125



Neurosurgery Lecture Notes



Acceleration-Deceleration Forces Bila seorang pengendara sepeda motor bergerak dengan kecepatan 40 km/jam lalu ditabrak dari belakang oleh mobil tepat pada arah yang sama dengan kecepatan 80 km/jam, maka kecepatan pengendara sepeda motor akan bertambah misalnya menjadi 60 km/jam. Artinya terjadi percepatan (acceleration). Perhatikan pergerakan otak terhadap tengkorak (kepala). Pada saat kecepatan kepala menjadi 60 km/jam, jaringan otak masih tetap pada kecepatan 40 km/jam, baru dalam seperseratus sekian detik otak bergerak mengikuti kecepatan 60 km/jam. Terjadi gesekan antara otak dan tengkorak (kepala), sebagai akibat acceleration force. Deceleration Force merupakan kebalikan dari Acceleration Force. Acceleration-Deceleration Forces dapat terjadi dalam gerakan (movement) antero-posterior atau gerakan sagittal (sagittal impulse), gerakan coronal (lateral impulse) , dan gerakan axial (axial impulse). AccelerationDeceleration Forces juga terjadi bila kepala terputar terhadap leher ( rotation acceleration force) atau bila perputaran kepala berada pada bidang melengkung (angular acceleration force). Acceleration force, Deceleration force, Rotation Acceleration force dan Angular Acceleration force dapat berkombinasi dan dapat terjadi kesemua arah pada saat terjadinya trauma.



Gambar 1. Dynamic loading. Dikutip dari : Koleksi pribadi penulis



Static and Dynamic Loading Ditinjau dari beban atau tenaga (force) yang menimpa kepala pada saat trauma berlangsung, dikenal adanya static loading dan dynamic loading.



126



Static loading adalah tenaga yang menimpa kepala yang berlangsung relatif lambat (lebih dari 200 msec). Jepitan atau remukan pada kepala adalah akibat dari static loading, seperti yang terlihat pada peristiwa gempa bumi, gedung yang runtuh, dan kecelakaan yang melibatkan mesinmesin. Static loading dapat menyebabkan fraktur pada kalvarium dan fraktur dasar tengkorak. Karena tenaga yang menimpa kepala berlangsung relatif lambat, biasanya kesadaran akan terlindungi, akan tetapi bila intensitas tenaga tersebut tinggi, dapat menyebabkan kompresi jaringan otak yang berat dan kerusakan jaringan otak yang fatal. Dynamic loading adalah jenis tenaga mekanik yang lebih sering didapatkan pada TBI. Dynamic loading berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 50 msec. Dynamic loading ada dua jenis yaitu impulsive loading dan impact loading. Impulsive loading terjadi bila kepala bergerak secara tidak langsung misalnya karena pukulan pada bagian tubuh lainnya atau pukulan diwajah pada olah raga tinju. Akibatnya akan terjadi pergerakan otak didalam tengkorak dan terjadi gesekan antara jaringan otak dan permukaan dalam tengkorak. Kecelakan-kecelakaan mobil dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan high acceleration force tanpa kepala atau wajah mengalami kontak langsung . Pada kasus yang lebih buruk, dapat terjadi fraktur dasar tengkorak yang fatal dengan cedera kranioservikal. Shaken baby syndrome juga merupakan contoh dynamic loading. Impact loading merupakan jenis yang lebih sering didapat dari bentuk dynamic loading. Impact loading lebih kompleks biasanya sebagai akibat kombinasi dari contact force dan inertial force (head motion). Reaksi dari kepala terhadap berbagai impact tergantung pada objek yang menimpa kepala. Misalnya, inertial effects mungkin minimal bila kepala dicegah untuk tidak bergerak pada saat dipukul. Pada situasi ini, cedera yang terjadi adalah akibat dari contact phenomena. Contact phenomena dapat menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak. Getaran yang menjalar pada tengkorak dan parenkim otak dapt menyebabkan cedera perdarahan dan kontusio7



Neurosurgery Lecture Notes



Contact Injury Contact injury seperti fraktur linear, sematamata disebabkan oleh contact phenomena bukan karena inertial force (head motion) atau acceleration force. Inertial Injury (Head motion Injury) Inertial loading pada kepala baik karena impact loading atau impulsive loading akan menyebabkan cedera yang disebut acceleration-deceleration injury.



PRIMARY BRAIN DAMAGE Semua cedera yang terjadi baik contact injury maupun inertial injury adalah suatu primary brain damage. Pada beberapa buku tentang cedera kepala terdapat perbedaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai secondary brain damage. Beberapa penulis secara sederhana menempatkan intrakranial hematoma, cerebral edema, hipoksia dan hipotensi sebagai suatu bentuk secondary brain damage. Beberapa penulis lain beranggapan bahwa intrakranial hematoma merupakan primary brain damage, karena merupakan akibat langsung dari trauma pada kepala, baik melalui static loading maupun dynamic loading (impulsive loading atau impact loading). Cerebral edema dan peningkatan tekanan intrakranial merupakan reaksi jaringan otak terhadap keadaan patologik yang terjadi karena trauma, oleh karenanya disebut sebagai intracranial insult. Keadaan hipoksia dan hipotensi merupakan reaksi sistem tubuh terhadap terhadap keadaan patologik yang terjadi karena trauma pada jaringan otak, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu systemic insult. Oleh karena itu baik intracranial insult maupun systemic insult bukanlah merupakan secondary brain damage. Secondary brain damage yang dibahas didalam Neurosurgery Lecture Notes ini adalah persepsi dari berbagai penulis yang menganggap secondary brain damage adalah reaksi-reaksi pada level sel atau molecular sebagai akibat dari primary brain damage, dimana ditemukan berbagai reaksi yang mengarah ke apoptosis dan beberapa reaksi lain bertindak sebagai neuroprotektif.



Cerebral Contusion Cerebral contusion dapat merupakan akibat dari focal impact atau diffuse acceleration-deceleration forces. Aksentuasi gelombang yang menyebar dari daerah impact dapat merusak jaringan otak yang berada dibawahnya. Bila tekanan atau tegangan itu melampaui batas-batas toleransi jaringan otak dan pembuluh darahnya maka akan terjadi kerusakan jaringan otak dan sistem pembuluh darahnya, disebut sebagai direct cerebral contusion (coup contusion, yaitu kontusio langsung dibawah tempat impact). Hal ini sering tampak pada kontusio yang terjadi dibawah fraktur (fracture contusion). Kontusio juga dapat berhubungan dengan diffuse injury dan paling sering berlokasi di ujung frontal (frontal pole), permukaan orbital dari lobus frontalis, ujung temporal (temporal pole), dan permukaan inferior dan permukaan lateral dari lobus temporalis. Kontusio sering multipel dan berhubungan dengan lesi-lesi lain, seperti SDH, EDH dan DAI. Kontusio dapat terlokalisir pada cortex atau dapat meluas lebih dalam melibatkan substansia alba. Cedera kontusio dapat meluas ke permukaan otak dan mungkin berhubungan dengan SAH. Cedera pada pembuluh darah otak terutama melibatkan kapiler-kapiler. Kerusakan pembuluh darah yang lebih besar pada daerah impact dapat mengakibatkan SDH akut atau ICH.



Gambar 2. Cerebral contusion. Diktutip dari Image from CDROM Neuropathology. Ellison D, Love S, et al. (eds). London: Mosby International,1998



Sebuah kontusio otak yang khas terdiri dari perdarahan dibagian sentral bercampur dengan daerah non-hemorrhagic necrosis dan jaringan otak yang sebagian rusak dan edema. Dengan berkembangnya waktu daerah sentral ini akan 127



Neurosurgery Lecture Notes



dikelilingi oleh zone of peri-contusional edema. Dalam beberapa kasus, didalam kontusio otak dapat berkembang traumatic ICH. Didaerah sentral kontusio, tidak terdapat aliran darah, dan aliran darah akan berkurang di zone of peri-contusional edema, disini terdapat kerusakan autoregulation (vasoparalysis) , sehingga daerah perifer dari suatu kontusio akan rentan terhadap perfusi jaringan yang berkurang karena menurunnya mean arterial pressure (MAP), atau peningkatan tekanan intrakranial atau vasokontriksi yang terjadi akibat hipocapnia karena hiperventilasi8 Suatu kontusio dapat berkembang secara progresif volumenya, dalam beberapa jam setelah cedera. Komponen perdarahan dapat menjadi meluas karena penggabungan dari beberapa perdarahan kecil-kecil atau karena perdarahan sekunder yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah9. Kontusio juga dapat berkembang didaerah sentral dan daerah pericontusional zone. Sel-sel parenkim otak yang sebagian telah rusak baik di sentral ataupun di pericontusional zone dapat membengkak karena terjadi cytotoxic edema. Pada daerah nekrotik dari kontusio, makromolekul berdegradasi menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga terjadi peningkatan osmolalitas jaringan, menyebabkan cairan berpindah dari kompartemen intravaskular ke jaringan kontusio yang nekrotis (osmolar edema). Pembengkakan pada daerah sentral kontusio akan menyebabkan kompresi pada pericontusional zone dan mengakibatkan keadaan menjadi lebih iskemik. Pembengkakan ini akan mencapai maksimum dalam waktu 48 jam – 7 hari setelah cedera10. Cerebral Laceration Cerebral laceration menyerupai cerebral contusion, perbedaanya dari cerebral contusion ialah pia-arachnoid pada permukaan yang terlibat trauma menjadi rusak. Laserasi pada lobus frontalis dan lobus temporalis biasanya berhubungan dengan lesi-lesi lain, seperti ICH dan SDH akut . Kombinasi ini dinamakan ‘burst frontal lobe’ atau ‘burst temporal lobe’ dan SDH yang terjadi disebut ‘complicated SDH’. Cerebral laceration juga dapat terjadi karena cedera tembus (penetrating injury) misalnya pada



128



fraktur depresi bila bagian tajam dari fragmen tulang menembus jaringan otak dan merusak piaarachnoid . Diffuse Axonal Injury



Gambar 3. Diffuse Axonal. Dikutip dari : TBI. Johns Hopkins Patology available at: http://pathology.jhu.edu /department/ divisions/neuropathology/traumatic-brain-injury.cfm on 22/04 /2012



Lebih dari 40 tahun yang lalu, penelitian neuropatologik menunjukkan bahwa pengumpulan/penimbunan axoplasmic retraction balls didaerah dimana axon putus, terutama sekali ditemukan pada serabut-serabut bermyelin yang besar, pada penderita-penderita yang tidak sadar sejak kejadian cedera , dan kemudian meninggal. Retraction balls ini ditemukan dalam jumlah banyak/padat diserabut-serabut substantia alba, lebih kurang 25% dari penderita cedera kepala berat11. Diffuse brain injury dapat terjadi tanpa impact forces tetapi tergantung pada inertial forces yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan beberapa oleh trauma karena jatuh atau karena perkelahian. Inertial forces adalah akibat dari perputaran kepala yang cepat (rapid head rotational motion) yang menyebabkan deformasi substansia alba dan menyebabkan DAI, biasanya disebut juga sebagai Shearing Brain Injury. Cedera ini biasa disebut sebagai diffuse , tetapi melihat pola-pola cedera axon di substansia alba lebih tepat disebut multifocal, dan terjadi di substansia



Neurosurgery Lecture Notes



alba dibagian dalam maupun di subcortical, terutama sekali didaerah garis tengah termasuk splenium dari corpus callosum dan batang otak. Pada low dan moderate DAI, biasanya tidak ditemukan keadaan patologik makro pada pemeriksaan radiologis, tetapi pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan tanda-tanda keadaan patologik DAI, yaitu banyaknya axon-axon yang membengkak dan putus. Pada DAI yang berat, keadaan patologik axon diikuti oleh robekan jaringan dan perdarahan intraparenkimal. Tenaga mekanik utama yang berhubungan dengan terjadinya DAI adalah rotational acceleration force dari otak dimana terjadi pergerakan tiba-tiba dari kepala (tanpa halangan) pada saat terjadinya trauma. Inertial loading pada otak akan menyebabkan gesekan (shear), tarikan (tensile) dan regangan tekanan (compressive strain) didalam jaringan otak sehingga terjadi deformasi jaringan otak. Didalam aktifitas normal sehari-hari, jaringan otak bersifat elastis terhadap regangan dan dapat kembali kebentuknya semula. Akan tetapi sebaliknya, bila tegangan (strain) terjadi dengan cepat seperti pada tabrakan mobil, jaringan otak bersifat agak kaku dengan demikian terjadi uniaxial strecth atau tarikan dalam arah memanjang (tensile elongation) yang akan menyebabkan cedera pada axonal cytoskeleton12. Dalam hal ini, khususnya cedera mekanik terhadap Na-channel menyebabkan masif influx dari Natrium sehingga terjadi pembengkakan axon. Natrium-influx juga memicu Ca-influx yang masif sehingga menambah kerusakan pada axon cytoskeleton dan cedera lebih lanjut akan terjadi karena proses Calcium-mediated proteolysis. Kerusakan axon cytoskeleton menyebabkan kerusakan transport dan penumpukan axonal transport proteins didalam axon yang membengkak. Pada bagian proksimal axon akan terjadi Wallerian degeneration, sedangkan pada bagian distalnya, axon berdegenerasi menjadi fragmen-fragmen dan menghilang, sehingga serabut-serabut afferen menjadi hilang. Akibat fungsional dari keadaan ini adalah terjadi kejang (seizure) karena hilangnya efek inhibisi, juga terjadi spastisitas, penurunan fungsi intelektual, dan pola-



pola tingkah laku yang aneh. Bila Wallerian degeneration luas, banyak neuron akan rusak, otak menjadi atrofi dengan ventriculomegaly, dan keadaan yang paling buruk adalah vegetative stage13. Acute Subdural Hematoma Akut SDH lebih kurang 20% merupakan komplikasi pada TBI dan mempunyai hasil akhir yang buruk pada penderita TBI berat. Komplikasi ini hampir selalu disebabkan oleh ruptur dari pembuluh-pembuluh darah pada permukaan otak :  Ruptur dari bridging veins  SDH yang berasal dari arteri  Ruptur dari pembuluh-pembuluh kecil di parenkim dan perdarahan yang berasal dari kontusio Ruptur dari Bridging Veins Jenis SDH yang paling sering adalah akibat dari robekan dari vena-vena yang melintas ruang subdural dari permukaan otak ke sinus sagittalis superior pada saat kranium mengalami deselerasi yang cepat karena mendapat tenaga gesekan (shear force) dengan amplitudo yang relatif rendah. Keadaan ini biasanya terjadi pada peristiwa jatuh dari keadaan berdiri dan kepala terbentur pada benda keras (solid object) misalnya lantai atau pada boxing injuries. Pada keadaan-keadaan tersebut terjadi rotational acceleration force pada kepala. Walaupun begitu, tidaklah sepenuhnya dapat dipahami,mekanisme dimana low-pressure venous bleeding dapat terhimpun membentuk hematoma sehingga mampu menyebabkan kompresi pada otak. Fakta lain yang penting ialah vena-vena ini berhubungan dengan sinus sagittalis superior,dan tetap terbuka , tidak tertekan oleh hematoma. Subdural Hematoma yang berasal dari arteri Apa yang disebut sebagai ‘classic burst lobe injury’, ditandai dengan adanya SDH, polar contusion, ICH dan edema pada hemisphere, merupakan akibat dari suatu polar contusion yang luas, yang ‘meledak’ melalui pia mater dan terkumpul di ruang subdural.



129



Neurosurgery Lecture Notes



Penggabungan dan Ruptur dari perdarahan pembuluh darah parenkim Jenis hematoma serupa ini sering ditemukan bila ada gangguan proses pembekuan sebagai akibat dari terapi antikoagulan atau pemakaian clotting factors ( disseminated intravascular coagulation DIC). SDH ini biasanya berdampingan dengan ICH yang cukup besar, dan sering kambuh setelah evakuasi. Penggunaan recombinant factor VII dapat mengatasi gangguan proses pembekuan pada pasien ini.



Gambar 4. Head CT-Scan : Akut SDH berupa image hiperdens berbentuk cekung di frontoparietal kiri dengan midline shift. Dikutip dari : Wagner AL. Imaging in Subdural Hematoma. Medscape Reference. Available at http://medscape.com/fullsize/migrated/553/862/ar553862.fig .1.gif on 22/04/2012



Ada dua jenis akut traumatik SDH. Pada akut traumatik SDH yang berhubungan dengan kontusio dan laserasi, SDH terbentuk didekat jaringan otak yang cedera, sering berhubungan dengan ‘severe diffuse primary brain damage’ dan pasien-pasien ini sudah tidak sadar sejak cedera terjadi. Sering akut SDH berhubungan melalui jaringan otak yang mengalami kontusio atau laserasi dengan suatu ICH. Kompleks SDH dengan kontusio atau laserasi serebri dan ICH yang berdekatan, disebut sebagai ‘burst lobe’. Lobus temporalis dan lobus frontalis adalah bagian-bagian otak yang sering terkena. Pasien-pasien dengan ‘burst lobe’ sering menunjukkan ‘delayed neurological deterioration’ dalam waktu 3 – 4 hari setelah cedera, karena edema jaringan otak yang cedera.



130



Bentuk kedua dari akut SDH ialah yang berhubungan ruptur dari bridging veins atau kadang-kadang berhubungan dengan pecahnya arteri-arteri pada permukaan otak . Cortical bridging veins didalam ruang subarachnoid mempunyai ketebalan yang sama, sedangkan diruang subdural ketebalan pembuluh tidak sama. Ini merupakam predisposisi untuk terjadi perdarahan di ruang subdural ketimbang diruang subarachnoid. Pada beberapa kasus akut SDH, terdapat sedikit atau sama sekali tidak ada cedera jaringan otak, pasien-pasien ini akan mengalami ‘lucid interval’ sebelum jatuh ke defisit neurologik, sama seperti pada kasus-kasus EDH tertentu. Sayangnya, memburuknya keadaan neurologik sering berlangsung cepat, sehingga pasien-pasien ini tidak lebih baik daripada pasien-pasien yang hematomanya hanya merupakan perluasan cedera otak primer yang berat. Ruptur bridging veins pada akut SDH ditemukan sebanyak 13% dari TBI yang fatal, pada Glasgow series. Telah terbukti bahwa bridging veins sangat rentan terhadap angular acceleration forces dan 73% dari akut SDH terjadi karena jatuh atau perkelahian, bila terjadi short duration, high-strain rate loading. Hanya 11% akut SDH terjadi pada kecelakaan mobil, dimana angular acceleration forces berlangsung lebih lama dan tidak sering menyebabkan ruptur bridging veins 14. Mortalitas yang dilaporkan pada akut SDH bervariasi antara 30% - 70%, angka mortalitas rendah didapatkan pada pasien yang dioperasi dalam waktu 4 jam setelah terjadi cedera kepala. Beratnya cedera yang mendasari TBI menentukan hasil akhir, walaupun operasi dikerjakan dengan cepat, Hasil akhir yang buruk berhubungan dengan adanya cedera otak iskemik yang merupakan underlying condition dari hematoma. Evakuasi SDH dapat menghilangkan global ischemia. Walaupun begitu efek massa dan kompresi hemisfer bukan satu-satunya faktor penting ; edema pada hemisfer yang berada dibawah SDH sering terjadi walaupun hematomanya tipis. Aktivasi yang berlebihan dari exitatory neurotransmitter receptors, terutama Glutamatergic N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptor, dapat menyebabkan cedera neuron yang tidak dapat dibedakan dari nekrosis iskemik.



Neurosurgery Lecture Notes



Tindakan operasi pada akut SDH adalah decompressive hemicraniectomy dengan mutlak membuang bagian lateral dari sphenoid wing agar terjadi dekompresi maksimal pada batang otak 15 Chronic Subdural Hematoma14 Suatu SDH dikatakan kronik, bila ditemukan 2-3 minggu setelah terjadi cedera kepala. Kebanyakan pasien berusia lanjut, atau pecandu alkohol dan atrofi serebri tampaknya merupakan predisposisi yang penting. Lesi bilateral ditemukan pada 15% 20% dari seluruh kasus. Cedera kepala biasanya ringan dan hampir separuh dari semua kasus bahkan menyatakan tidak mengalami cedera kepala. Penyebab pasti dari SDH kronik biasanya tidak diketahui, walaupun sering dihubunghubungkan dengan ruptur dari bridging veins.



EDH terjadi 2% dari seluruh cedera kepala dan lebih dari 15% dari cedera kepala yang fatal. Bekuan darah paling banyak ditemukan di daerah temporoparietal (73%) dimana arteri menigea media dan vena-vena mengalami kerusakan (putus) biasanya sebagai akibat fraktur tulang temporal. Sebelas persen (11%) dari hematoma didapatkan di fossa kranial anterior (anterior meningeal artery), 9% didaerah parasagittal (sinus sagittalis), dan 7% di fossa posterior (occipital meningeal artery dan sinus-sinus transversus dan sigmoid), 10% - 40% EDH merupakan perdarahan vena sebagai akibat robekan sinus duramater, vena emissaria atau pelebaran vena (venous lakes) di duramater. Kebanyakan EDH yang berasal dari sinus terdapat pada anak-anak dan tidak berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak. Pada anak-anak dibawah usia 2 tahun, duramater sangat melekat pada tulang tengkorak dan arteri meningea media tidak berada dalam alur tulang temporal, sehingga EDH jarang didapat pada anak dibawah usia 2 tahun. Sering sekali cedera awal ringan kemudian penderita mengalami lucid interval (20% dari seluruh kasus). Sepertiga bagian dari kasus EDH berhubungan dengan cedera jaringan otak seperti, akut SDH, kontusio dan laserasi, sehingga pasien tidak mengalami lucid interval, dan sudah tidak sadar sejak kejadian trauma.



Gambar 5. Kronik Subdural hematoma. Dikutip dari : Dr A C Downie, Victoria Infirmary, Glasgow. Available http://www.radiology.co.uk/srs-x/tutors/cttrauma/ tutor.htm on 16/04/2012



Suatu otak yang atrofi dapat menyebabkan pembentukan SDH tanpa ada tekanan intrakranial yang meningkat, walaupun bertentangan, distorsi otak sering begitu hebat, sehingga walaupun SDH sudah dievakuasi , otak tetap tertekan dibawah duramater. Neuroimaging membuktikan bahwa akut SDH yang kecil sering menghilang dan tidak berkembang menjadi kronik SDH. Epidural Hematoma14 EDH didefinisikan sebagai darah yang berada diruang epidural. Bila tebal hematoma lebih dari 1 cm dan volumenya lebih dari 25 ml , EDH akan menunjukkan gejala-gejala klinis. Pada kasus-kasus yang fatal, volume perdarahan paling tidak 100 ml.



Gambar 6. Skema kejadian EDH. Dikutip dari : Rockswold GL, Pheley PJ. Patients who talk and deteriorate. Ann Emerg Med 1993;22:1004-1007.



131



Neurosurgery Lecture Notes



EDH klasik yang terletak ditemporal akan mendorong jadingan otak kearah medial sehingga terjadi herniasi uncus. Uncus akan menekan nervus okulomotor sehingga pupil yang ipsilateral dengan hematoma akan melebar dan tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya, pupil yang kontralateral reaksinya tetap normal (refleks consensual). Traumatic Subarachnoid Hemorrhage14 Traumatic Subaracnoid Hemorrhage (tSAH) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada TBI fatal, walaupun pada kebanyakan kasus TBI, adanya tSAH tidak begitu bermakna. Bagaimanapun, suatu tSAH yang bermakna biasanya berhubungan dengan kontusio kortikal dan laserasi atau traumatic rupture dari arteri intrakranial dan bridging veins. Akumulasi darah mungkin begitu masif sehingga merupakan suatu space occupying lesion. tSAH dapat merupakan tanda bagi hasil akhir yang buruk, dan dapat menyebabkan vasospasme dan iskemia seperti halnya pada SAH karena ruptur aneurysma. Suatu basal SAH masif dan fatal, bukan karena ruptur aneurysma dapat terjadi karena perkelahian (assaults), penderita akan meninggal dengan cepat. Ruptur arteri vertebralis adalah penyebab yang paling sering pada cedera jenis ini. Ruptur arteri vertebralis dapat terjadi di :  Ekstrakranial 28.8 %  Intrakranial 50%  Junction zone 21.2% Sequelae dari tSAH , dapat berupa :  Acute hydrocephalus, akibat obstruksi lintasan CSF, tergantung pada derajat perdarahan dan terlibatnya arteri basilaris  Meningkatnya frekuensi cerebral vasospasm dan meningkatnya cedera iskemik sekunder seperti yang tampak pada penelitian angiography dan transcranial doppler ultrasound.  Terjadinya adhesive arachnoiditis yang kemudian menyebabkan communicating hydrocephalus yang progresif (jarang terjadi).



132



Traumatic Intracerebral Hemorrhage14 Traumatic intracerebral hemorrhage (ICH) di definisikan sebagai hematoma dengan diameter 2 cm atau lebih, tidak berhubungan dengan permukaan otak. Patogenesis dari ICH disebabkan oleh deformasi atau ruptur dari intrinsic blood vessels (single atau multipel) pada saat terjadi trauma. Traumatik ICH sering multipel dan berhubungan dengan SDH (28%), dengan EDH (10%) dan dapat timbul pada daerah yang tampaknya normal pada CT-Scan yang dibuat sesudah terjadi cedera. Sepertiga sampai separuh dari pasien ICH, tidak sadar pada saat dirawat dan sampai 20% menunjukkan klasik lucid interval sebelum terjadi koma. Pasien dengan koma yang dalam, dan hematoma yang besar mempunyai mortalitas yang tinggi. Hematoma yang besar, bertindak sebagai space occupying lesion dan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi transtentorial. Penelitian hewan menunjukkan adanya hipoperfusi disekitar hematoma dan iskemia hemisfer ipsilateral. Pemeriksaan neuroimaging menunjukkan bahwa traumatik ICH berkembang dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah trauma dan mungkin tidak tampak pada CT-Scan pada saat segera setelah kejadian trauma. Delayed Traumatic Intracerebral Hematoma (DTICH) merupakan penyebab yang sering dari secondary neurological deterioration setelah cedera kepala, dan peningkatan yang progresif dari ukuran ICH mencapai 51% dari pasien, pada pemeriksaan ulang 24 jam pertama. DTICH dapat terjadi pada pasien dengan TBI berat atau pada pasien dengan TBI yang relatif ringan. ICH dapat ditemukan beberapa jam, beberapa hari atau beberapa minggu setelah trauma16. Traumatic Intraventricular Hemorrhage14 Intra ventricular hemorrhage (IVH) sering ditemukan pada penderita cedera kepala yang tidak survive mencapai rumah sakit. Sering tidak mungkin menentukan sumber perdarahan, tetapi perdarahan mungkin disebabkan robekan pada vena-vena kecil pada dinding ventrikel, robekan pada corpus callosum, septum pellucidum dan fornix atau robekan pada plexus choroideus. Telah diperkirakan bahwa dilatasi yang tiba-tiba pada



Neurosurgery Lecture Notes



sistem ventrikel pada saat impact mengakibatkan deformasi dan ruptur pada pembuluh-pembuluh vena subependymal. LeRoux dan kawan-kawan17 melaporkan 43 pasien dengan traumatic IVH yang secara prospektif ditemukan dalam satu tahun. Kebanyakan adalah korban cedera sepeda motor dan menderita cedera kepala berat. Terdapat hanya IVH saja pada 2 penderita. Kontusio superfisial dan perdarahan subarachnoid merupakan kelainan yang paling sering ditemukan bersama-sama IVH. Pada 25 penderita didapatkan darah dalam satu atau kedua ventrikel lateralis. Pada 4 penderita didapatkan darah dalam ventrikel 3 dan ventrikel 4. Pada 14 penderita didapatkan darah didalam semua ventrikel. Ditemukan 3 ICH dan berhubungan dengan ventrikel lateralis yang berdekatan, dan 14 perdarahan di ganglia basalis, separuhnya berhubungan ventrikel lateralis yang berdekatan. Ekstra aksial hematoma lebih sering ditemukan bila hanya ventrikel-ventrikel lateralis yang berdarah, sedangkan perdarahan corpus callosum dan perdarahan batang otak lebih sering ditemukan bila semua ventrikel berdarah. Hidrosefalus akut jarang ditemukan, dan EVD hanya diperlukan oleh 4 penderita. ICP meningkat > 15 mmHg pada 46% penderita. Jumlah hematoma berbanding terbalik dengan GCS (makin banyak IVH, makin turun GCS) tetapi tidak dengan ICH. IVH menandakan hasil akhir yang buruk. Hanya separuh dari pasien yang berada dalam keadaan independent pada follow-up selama 6 bulan. IVH setelah trauma tumpul pada kepala merupakan hal yang jarang ditemukan dan merefleksikan beratnya cedera kepala. Pola dari lesi-lesi yang berdampingan dengan IVH memberikan ramalan bahwa perluasan IVH berhubungan dengan arah tenaga trauma yang menimpa kepala. Pada saat ini terdapat beberapa scorring system pada IVH, yang digunakan untuk evaluasi berat ringannya IVH. Tetapi scorring system IVH ini lebih banyak dipakai pada kasus spontaneous intraventricular hemorrhage daripada IVH pada TBI, walaupun penelitian awal oleh LeRoux dan kawan-kawan adalah pada kasus-kasus traumatic IVH.



LeRoux Score for intraventricular Hematoma18 Score for each ventricle  1 = trace of blood  2 = less than 50% filled  3 = more than 50% filled  4 = completely filled and expanded Calculation : LeRoux Score = right ventricular score + left ventricular score + 3th ventricular score + 4th ventricular score Pada ICH < 30 ml (small volume ICH) dan LeRoux score > 8 dalam waktu 24 jam setelah serangan, mempunyai dampak negatif terhadap deep spontaneous intraparenchymal cerebral hemorrhage of small volume18



Skull Fractures14 Linear skull fracture Linear skull fracture semata-mata terjadi karena efek kontak yang terjadi sekunder terhadap impact. Pergerakan kepala dan akselerasi tidak memegang peranan dalam terjadinya fraktur. Ketika tengkorak terkena impact pada daerah yang luas, dapat terjadi deformasi (perubahan bentuk) dari tengkorak dengan inward and outward bending. Dengan impact yang lebih ringan atau bila tengkorak lebih elastis seperti misalnya pada bayi, inward and outward bending pada tengkorak terjadi tanpa fraktur. Akan tetapi lekukan kedalam yang lebih kuat pada tengkorak yang lebih dewasa atau kaku akan menyebabkan linear fracture. Linear skull fracture yang terjadi pada tulang temporal dapat memutuskan arteria meningea media yang berjalan didalam sebuah alur pada tulang temporal, sehingga terjadi EDH. Impact forces dapat menyebarkan ‘stress wave’ melalui tulang disekitarnya dan menyebabkan fraktur tengkorak jauh dari daerah impact. Jadi, fraktur didasar tengkorak dapat terjadi sebagai akibat dari impact pada atap tengkorak. Depressed Skull Fracture14 Bila tenaga impact disebarkan melalui daerah yang relatif kecil, misalnya pukulan oleh palu, fragmen-fragmen dapat terpisah dari kranium dan terodorong kedalam sampai kedalaman yang sama atau lebih dari tebalnya tengkorak, terjadilah fraktur depresi tengkorak. Dura yang terletak dibawahnya dapat mengalami robekan. Jaringan otak dibawahnya dapat mengalami kontusio. Fragmen-fragmen fraktur dapat juga merobek duramater dan menembus jaringan otak sehingga 133



Neurosurgery Lecture Notes



jaringan otak keluar dari robekan duramater (prolaps serebri).



menyebabkan kematian.



SECONDARY BRAIN DAMAGE Skull Base Fracture. Terutama disebabkan oleh direct impact atau penyebaran ‘stress wave’ melalui tengkorak sebagai akibat remote impact. Basilar fracture dapat juga terjadi sebagai akibat impact terhadap tulang-tulang wajah14.



Mechanism of Secondary Brain Damage Sebagai konsekuensi dari initial mechanical impact terhadap jaringan otak, cerebral metabolism, blood flow dan ion homeostasis akan berubah untuk beberapa jam sampai beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan.



Anterior skull base fracture Bila fraktur terjadi diatas atap orbita maka darah yang berasal dari tulang dapat masuk kedalam rongga orbita yang dalam beberapa waktu akan menimbulkan ecchymosis disekitar mata, yang disebut sebagai raccon’s eyes atau panda’s eyes atau bril hematoom (bahasa Belanda). Fraktur tepat didaerah crista galli akan merusak serabut serabut nervus olfactorius sehingga mungkin dapat menyebabkan hiposmia atau anosmia. Disamping dari celah fraktur dapat mengalir darah dan likuor serebrospinal (CSF) , masuk kerongga hidung dan keluar dari hidung (rhinorrhoea).



Secondary Ischemic Neurological Damage Inflamasi dan mekanisme cytotoxic pada cedera sering merupakan produk dari iskemia. Iskemia dapat dianggap sebagai faktor yang paling penting yang berhubungan dengan secondary damage setelah cedera otak awal. Focal injuries membentuk zona dimana CBF sangat berkurang yang mungkin merupakan faktor untuk terjadinya ischemic neuronal necrosis16. Diperkirakan bahwa antara 60%-90% pasien yang mengalami cedera kepala berat dan meninggal, menunjukkan ischemic brain damage post mortem. Konsep delayed secondary neurological damage setelah cedera kepala juga didukung oleh ‘lucid interval’ statistik. Diantara 30% - 40% pasien dengan cedera kepala berat dan meninggal, kadang-kadang, pada suatu saat akan menunjukkan suatu periode lucid, cukup untuk menuruti perintah atau berbicara. Ini berarti bahwa primary impact tidaklah cukup berat untuk melumpuhkan fungsi otak secara keseluruhan, karena itu perlu menekankan pentingnya secondary damage. Pemantauan menunjukkan bahwa hampir 70% dari pasien-pasien dengan cedera kepala berat menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial selama perawatan di ICU sesuai / konsisten dengan konsep delayed secondary neurological damage. CBF yang menurun akan menyebabkan kerusakan jaringan otak.



Middle skull base fracture Fraktur pada fossa media dapat terjadi pada sella tursica dan merusak kelenjar hipofisa. Pada fase akut mungkin akan terjadi diabetes insipidus sebagai akibat gangguan sekeresi ADH. Fraktur pada fossa media juga dapat menyebabkan robekan pada arteri carotis interna didaerah sinus cavernosus, keadaan ini akan menimbulkan bendungan vena terutama pada daerah mata yang sepihak dengan arteri karotis interna yang robek. Dari luar mata akan tampak merah dan terasa sangat nyeri, bila diletakkan stetoskop diatas kelopak mata, akan terdengar bruit. Fraktur juga dapat terjadi di apex os petrosum sehingga darah dan CSF akan keluar dari rongga telinga (otorrhoea), atau tampak ecchymosis dibelakang telinga yang dikenal dengan Battle’s sign. Posterior skull base fracture Fraktur yang berbahaya adalah bila garis fraktur melintas foramen magnum, kemungkinan ‘stress wave’ akan disebarkan melalui batang otak, sehingga terjadi cedera batang otak yang



134



Intracellular and Molecular Mechanism During Secondary Brain Injury Selama periode secondary brain injury, dilepaskan glutamate, Ca²⁺, dan laktat dalam konsentrasi yang tinggi, dan diproduksi cytokines yang mengarah ke inflammatory response (reaksi inflamasi), yang semuanya membantu terjadinya



Neurosurgery Lecture Notes



kerusakan jaringan. Kerusakan homeostasis dalam hal suplai energi dan oksigen akan menyebabkan aktifasi berbagai sistem. Cedera akan merubah faktor-faktor apoptosis dan antiapoptosis seperti caspases, bax dan bcl2. Demikian juga immediate early gene misalnya c-fos, c-jun dan jun B, dan inflammatory marker seperti interleukins dan heat shock proteins. Cell Membrane and Ion Channels Secara umum ‘voltage-gated channels’ bertautan erat secara fungsional dengan sodium/potassium ATPase pump. Kebanyakan jenis dari ion-channel bertautan dengan specific agonistgated receptors, dan yang lainnya bertautan didalam sel dengan second messenger systems seperti adenylate cyclase dan G proteins. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa astrocytes adalah excitable (dapat dirangsang), memiliki ionchannels, dan dapat mengalami depolarisasi, walaupun dalam tingkat yang lebih kecil dibandingkan dengan neuron. Tampaknya sebagian besar dari voltage-sensitive dan agonist-gated ion channels juga sensitif terhadap transient mechanical deformation (deformasi mekanik sementara) yang terjadi karena shearing forces (tenaga gesekan). Beberapa dari ion channels ini tetap bocor (leaky) beberapa jam setelah deformasi mekanik. Lebih lanjut. Penelitian menunjukkan bahwa kultur mono layer neuron dan astrocyte tumbuh pada flexible plastic membrane, yang dengan air jet impulse akan mengalami deformasi yang cepat, mengalami rapid calcium entry dan selanjutnya kematian neuron, dengan mengeluarkan laktat dan kalium kedalam media kultur. Data-data ini menunjukkan bahwa agonist dependent ion channels sangat sensitif terhadap deformasi mekanik dengan konsekwensi meningkatnya kebocoran karena struktur mereka yang kompleks. Astrocyte dikenal berfungsi sebagai potassium uptake buffers, mempunyai kapasitas dapat melakukan take up potassium secara cepat dari ruang ekstraselular. Akan tetapi hal ini dapat menyebabkan astrocyte swelling, yang merupakan tanda ultrastruktur dari acute cerebral ischemia dan focal cerebral contusion, dan hal ini sering terlihat pada percobaan trauma pada hewan.



Second Messenger System and Neurotrauma Cyclic AMP adalah second messenger system yang sudah dikenal dan termasuk jenis molekul besar terletak didalam neuronal membrane atau dekat dengan permukaan dalamnya, didalam cytoplasma, dan bertindak sebagai perantara (mediator) dalam banyak reaksi-reaksi selular. Karena ukuran molekulnya yang besar dan kompleks, mereka rentan terhadap shear injury. Cyclic AMP menunjukkan bahwa mereka menghalangi proses apoptosis dari cerebellar granule cells didalam media rendah K⁺. Intracellular Mechanism Di daerah-daerah yang berdekatan dimana iskemia tidak berada dalam level kritis, berbagaibagai proses dapat terjadi yang akhirnya mengarah ke kerusakan dan kematian. Secara spesifik, glutamate neurotoxicity mungkin memegang peranan dalam secondary ischemic damage (kerusakan iskemik sekunder). Hypoxia-related neuronal depolarization telah terbukti meningkatkan kadar glutamate ekstraselular, melalui peristiwa increased release (peningkatan pelepasan) dan decreased uptake (pengurangan penyerapan) dari glutamate. Kadar tinggi yang abnormal dari glutamate mengaktifasi berbagai reseptor yang dapat menyebabkan depolarisasi membran sel, sehingga terjadi aktifasi pada voltage-dependent Ca²⁺channels. Suatu influx dari Ca²⁺ dapat menyebarkan glutamate neurotoxicity dalam bentuk umpan balik yang positif dengan merangsang lebih lanjut pelepasan transmitter glutamate. Calcium Dalam beberapa menit setelah trauma, terjadi peningkatan yang cepat dan masif dari free Calcium ions. Salah satu perspektif yang baru ialah mengenai bagaimana Ca²⁺masuk kedalam sel setelah terjadi peregangan karena trauma, proses ini diberi nama mechanoporation. Mechanoporation di definisikan sebagai timbulnya ‘transient defect’ pada membran sel, yang terjadi karena deformasi mekanik. Pori yang terjadi secara mekanis ini diperkirakan akan berada sementara atau menetap, bila menetap akan menyebabkan kebocoran membran dalam waktu



135



Neurosurgery Lecture Notes



lama. Menurut Gennarelli19 ion-ion di dorong oleh proses difusi melalui pori-pori masuk kedalam sel dan ion Ca²⁺ masuk karena tingginya Ca²⁺ di ekstraselular. Kalsium juga dapat masuk kedalam sel melalui beberapa saluran yang terbuka oleh berbagai mekanisme, termasuk voltage- dependent channel opening yang disebabkan oleh deformasi mekanik pada membran sel dan ion channels, juga adanya agonist-dependent channel opening yang di mediasi oleh pelepasan neurotransmitter substances dalam jumlah banyak ke cairan ekstraselular (extracellular fluid, ECF) Glutamate Peningkatan konsentrasi amino acid L-glutamate didalam cerebral ECF , suatu neurotransmitter yang paling merangsang, dan menyebabkan aktifasi glutamate receptors telah dijelaskan oleh banyak peneliti , setelah terjadi TBI, SAH dan pada berbagai cerebral ischemic insult 20 . Pelepasan glutamate yang terlihat segera setelah trauma mungkin terjadi oleh depolarisasi membran yang disebabkan oleh deformasi temporer dari transmembrane pore proteins. Kejadian ini pada gilirannya dapat meng-induksi pelepasan glutamate oleh neuron-neuron lain yang mengalami depolarisasi. Pelepasan masif dari glutamate setelah TBI, bersamaan dengan potassium efflux (pelepasan Kalium) dari sel, tampaknya akan memperhebat astrocytic glycolysis, sehingga sangat mempengaruhi konsentrasi glucosa dan laktat ekstraselular. Fundamental faktor yang me-mediasi efek excitotoxic dari glutamate tampaknya adalah kadar kalsium intraselular yang berlebihan , karena Ca-influx yang berlebihan melalui N-methyl-Daspartate receptor linked channels. Aktifasi dari intracellular calcium dependent enzymes seperti endonuclease, lipase, dan protease dapat mencetuskan cascade yang berbahaya dalam metabolisme intraselular dan peningkatan produkproduk toxic seperti free radicals. Free Radical Generation and Hydrogen ions Free radicals adalah molekul – molekul ion yang sangat reaktif (highly reactive ionic molecules) yang membawa ‘unpaired electron’ (elektron yang tidak berpasangan) pada kulitnya yang paling luar.



136



‘Unpaird electron’ ini menyebabkan aktifitas kimiawi yang tinggi. Free radicals adalah produk sampingan yang normal dari metabolisme oksidatif didalam mitochondria dan mereka mempunyai peran fisiologik yang penting misalnya ‘signaling’ dan ‘polymorphonuclear leukocyte-mediated destruction of bacteria’ (penghancuran bakteria yang melibatkan polymorphonuclear-leucocyte). Reactive Oxygen Species (ROSs) secara alamiah (sudah menjadi sifatnya) berbahaya dan berkontribusi pada banyak penyakit yang melibatkan susunan saraf pusat, termasuk diantaranya Parkinson’s disease, Alzheimer’s disease, Multiple Sclerosis, dan Amyotrophic Lateral Sclerosis. ROSs juga merupakan kontributor yang penting pada secondary injury dan diproduksi dini setelah neurotrauma. Sesungguhnya, banyak proses-proses secondary injury yang menyebabkan produksi dari free radicals, dan pada gilirannya, free radicals memberikan umpan balik yang positif yang meningkatkan aktifitas dari banyak prosesproses yang berbahaya. Jumlah yang berlebihan dari free radicals setelah TBI dapat menhancurkan semua komponen sel, termasuk protein, karbohidrat, nucleic acids dan lipids, menghambat fungsi mereka dan akhirnya berakhir dengan kematian sel. Otak diperkirakan sangat sensitif terhadap ROSs karena mengandung konsentrasi yang tinggi dari polyunsaturated fatty acids, yang mudah rusak akibat stres oksidatif. Selain itu, otak mengandung sedikit antioxidant dibandingan dengan organ lain. Di dalam otak, neuron sangat sensitif karena hanya sedikit mengandung glutathione dibandingkan dengan selsel susunan saraf pusat yang lain. Berbagai-bagai spesies free radicals yang berbeda dibentuk setelah trauma. Superoxide (O2⁻) akan diproduksi bila rantai transport elektron mitochondria dikacaukan / diputuskan, sama halnya bila bila nicotinamide adenine dinucleotide phospate (NADPH) oxidase menjadi rendah terutama pada proses inflamasi, demikian juga halnya pada xanthine oxidase, dan cytochrome P450-dependent oxygenase. NO merupakan spesies yang penting, yang diproduksi dari arginin oleh family NOSs. Baik O⁻₂ maupun NO keduanya relatif inert tetapi interaksi-nya menghasilkan peroxynitrite (ONOO⁻), merupakan oxidant yang



Neurosurgery Lecture Notes



poten. Kebanyakan free radicals bekerja lokal tetapi superoxide dan hydrogen peroxide dengan mudah dapat melintas memberan sel dan dapat menyebabkan kerusakan yang jauh (remote damage). Gangguan fungsi mitochondria merupakan kontributor utama dalam menghasilkan free radicals, tetapi free radicals di hasilkan juga dengan berbagai cara/proses. ROSs juga dibentuk sebagai produk sampingan dari inflamasi dan peningkatan kadar kalsium intraselular. Bradykinin dibentuk pada awal setelah cedera saraf (nerve injury) dalam suatu proses yang dikatalisasi oleh kallikrein, mengaktifasi phospholipase A₂ yang kemudian membelah membrane phospholipids untuk menghasilkan arachidonic acid. Metabolisme arachidonic acid berikutnya dapat menghasilkan spesies-spesies free radicals. Lebih lanjut, kadar kalsium yang meningkat secara menyolok setelah trauma akan mengaktifasi NOS dan NADPH oxidase. Sel-sel inflamasi seperti microglia dan macrophages mengandung enzym-enzym , mereka membentuk dan melepaskan ROSs setelah trauma, dengan demikian berkontribusi pada oxidative damage (kerusakan oxidatif). Free radicals juga dibentuk bila terdapat free ferrous iron yang dilepas oleh pemecahan eritrosit setelah kejadian trauma. Free iron ini bertindak sebagai katalisator pada reaksi Haber-Weiss, yang menghasilkan hydroxyl radicals dari hydrogen peroxide dan superoxide. O⁻₂ + Fe³⁺  O₂ + Fe²⁺ H₂O₂ + Fe²⁺  OH⁻ + OH⁺ Fe³⁺ O⁻₂ + H₂O₂  O₂ + OH⁻ + OH Lipid peroksidasi berhubungan dengan kerusakan sawar darah-otak (Blood Brain Barrier,BBB), dengan demikian mengarah ke vasogenic edema dan potensial untuk kerusakan otak lebih lanjut melalui peningkatan tekanan intrakranial. Juga merupakan permasalahan, pyruvate dehidrogenase sangat rentan oksidasi dan inaktifasi. Karena enzyme ini adakah satu-satunya jembatan antara metabolime anaerobik dan metabolisme aerobik, kerusakan enzyme ini akan membatasi kemampuan otak membentuk ATP.



Beberapa enzym endogen biasanya memberikan perlindungan terhadap kerusakan oxidatif. Superoxide dismutase (SOD) merubah superoxide menjadi hydrogen peroxide. Glutathione peroxidase dan Catalase dapat menguraikan hydrogen peroxidase menjadi air (H₂O) dan molekul oksigen dengan menggunakan glutathione. Sebagaimana yang dapat diduga, kadar kalsium intraselular dapat meng-inaktifasi enzyme-enzyme ini. Stress Proteins Sebuah kelompok yang paling penting adalah apa yang disebut sebagai heat shock proteins (Hsp). Hsp adalah molekul-molekul yang sangat dilindungi dari kerusakan. Hsp melaksanakan berbagai fungsi penting dalam translokasi protein, melakukan perakitan (assembly) dan pembongkaran (disassembly) protein. Karena fungsi ini Hsp disebut sebagai molecular chaperone, melindungi sel-sel dari stres lingkungan yang merusak. Pada nontressed cells, Hsp didapatkan dalam konsentrasi rendah, sedangkan pada stressed cells, Hsp berkumpul dalam konsentrasi yang tinggi. Heat response ditimbulkan oleh berbagai stimulus, diantaranya thermal, chemical dan physical stress.Hsp diberi nama sesuai dengan perkiraan berat molekulnya. 70 kDa heat shock-related proteins merupakan sebuah ‘keluarga’ dari molecular chaperone yang mengatur proses selular baik dalam kondisi normal ataupun dalam kondisi stres. Walaupun dianggap khas sebagai sebagai protein intrasellular, telah dilaporkan bahwa HSp dapat dikeluarkan dari sel. Lebih lanjut beberpa peneliti mengira bahwa Hsp yang beredar dapat terlibat dalam modulasi dalam immune system dan respon in vivo terhadap stres. Didalam otak, Hsp70 ditimbulkan oleh berbagai stimulus yang patologik, seperti iskemia, excitotoxic insult, dan inflammatory responses, yang merupakan faktorfaktor penentu utama pada TBI. Peningkatan Hsp70 dikira memegang peranan dalam cell survival (kelangsungan hidup sel) dan recovery (penyembuhan) setelah cedera otak. Selain itu, konsentrasi Hsp70 yang tinggi dalam waktu 20 jam pertama setelah primary injury, tampaknya merupakan biomarker yang sensitif bagi hasil akhir yang fatal. Upregulation dari Hsp70 akan



137



Neurosurgery Lecture Notes



meningkat selama kejadian cedera neuron dan tampaknya terlibat dalam mekanisme cellular repair dan cytoprotection. Upregulation dari Hsp70 juga dapat berfungsi sebagai sebuah marker dalam proses cedera neuron. Inflammatory Response Peristiwa-peristiwa neuroinflammatory merupakan ‘delayed responses to TBI’ dan tampaknya menampilkan peran ganda yang bertentangan, mempromosikan kerusakan otak disatu pihak dengan melepaskan bahan-bahan neurotoxic, sedangkan di pihak lain mendukung perbaikan/reparasi jaringan yang cedera yang mengandung antigens dan pathogens, seperti virus dan bakteria. Penumpukan polymorphonuclear leucocytes terjadi pada jaringan otak yang cedera dalam waktu 24 jam setelah cedera akut dan mereka melekat pada kapiler-kapiler darah dalam beberapa menit setelah trauma21. Tiga puluh enam jam sampai 48 jam setelah cedera akut, ditemukan macrophages dan mengeluarkan banyak faktor termasuk cytokines. Cytokines adalah bahan vasoactive yang telah terbukti meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menimbulkan pembentukan edema dan dapat mempunyai efek cytotoxic langsung pada sel-sel glia dan sel-sel neuron. Salah satu cytokine, ‘tumor necrosis factor α’ (TNFα) di ‘upregulated’ pada TBI hewan percobaan dalam 1 -6 jam setelah cedera. Respons yang cepat ini dikira disebabkan oleh sintesa TNFα dari sel-sel utama susunan saraf pusat (glia dan neuron) bukan oleh systemic inflammatory cells. TNFα memerankan peranan penting dalam cell growth regulation, immunomodulation, inflammation dan auto immune process. Lebih jauh, TNFα dan interleukin-1 β (IL-1 β) mendesak terjadinya efek yang merugikan melalui edema dan delayed neuronal death 22. CELL DEATH23 Nomenclature of Cell Death Seiring waktu, sangat sulit untuk menarik kesimpulan pasti pada reaksi saraf terhadap trauma karena inkonsistensi dalam penggunaan terminologi kematian sel. Oleh karena itu, pengartian mengenai mekanisme cell death, terutama necrosis dan apoptosis, adalah inti diskusi



138



dalam reaksi saraf terhadap trauma. Salah satu pesan yang berlaku dari Nomenclature Committee on Cell Death (NCCD 2009)) ialah harus memakai lebih dari satu metodologi sebelum menghubungkan jenis tertentu kematian sel dengan peristiwa tertentu. Juga jelas (setidaknya dengan informasi yang tersedia saat ini) bahwa meskipun menerapkan standar nomenklatur lebih ketat, jalur kematian sel yang berbeda mungkin tidak sepenuhnya dapat dibedakan satu sama lain. Sering kali mekanisme apoptosis dan nekrosis dapat bekerja sama untuk mengeksekusi kematian sel melalui proses enzim yang terlibat dalam morfologi tersebut. NCCD mengenal empat modalitas yang berbeda dari kematian sel : (1) Apoptosis, (2) Autophagy, (3) Necrosis, dan (4) Cornification (tidak dibahas disini karena terjadi pada kulit). Ada juga bentuk atipikal dari kematian sel yang relevan dengan TBI disebutkan oleh NCCD. Proses - proses ini menggabungkan fitur dari modalitas yang diakui / dikenal, tetapi tidak menjamin sebuah klasifikasi yang berbeda dari kematian sel, dan ada situasi di mana fitur campuran dari tiga modalitas utama ditunjukkan, termasuk jalur TBI yang biasa disebutkan seperti excitotoxicity dan degenerasi wallerian. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sebuah hubungan kontinyu, ada diantara apoptosis dan nekrosis dan bahwa nasib sel akhirnya adalah hasil dari lingkungan mikro yang dinamis, regional, dan berkembang disebabkan oleh TBI. Nekrosis mungkin lebih cenderung pada cedera parah sedangkan apoptosis memainkan peran lebih besar pada cedera yang lebih ringan setelah TBI. Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat kalsium intraseluler yang rendah menyebabkan apoptosis sedangkan tingkat kalsium intraseluler tinggi menyebabkan nekrosis. Penelitian sebelumnya juga telah menjelaskan bahwa neuron menjalani kematian sel nekrotik , menyusut dengan pewarnaan Nissl, menjalani vacuolization, dan memperlihatkan bahan eosinofilik. Pengamatan ini telah didukung dengan ditemukannya neuron nekrotik terisolasi di neokorteks, otak kecil, dan lapisan C1 dan C3 piramidal dari dentate hilus dari hippocampus pada banyak penelitian hewan dan manusia setelah TBI. Sebuah kunci penentu



Neurosurgery Lecture Notes



apakah mungkin sel memiliki pasokan energi misalnya ATP. Apoptosis adalah suatu proses yang tergantung pada energi. Karena salah satu ciri yang menonjol dari TBI adalah kerusakan mitokondria, konsentrasi ATP dapat habis terpakai dan mekanisme kematian sel mungkin bergeser dari apoptosis ke nekrosis. Kehilangan neuron yang awalnya melalui proses apoptosis dapat berubah menjadi nekrosis jika lingkungan mikro setempat menopang kerusakan mitokondria yang mengakibatkan penurunan konsentrasi ATP intraseluler. Secara umum dapat diterima bahwa kontusio, berpasangan dengan iskemia yang berdekatan dengan lesi, pasti menyebabkan nekrosis lokal dengan kematian apoptotik sel yang tersebar. Kesimpulan ini didukung oleh pengamatan morfologi dengan mikroskop elektron pada manusia dan hewan yang menunjukkan perubahan saraf yang sesuai dengan nekrosis (pembengkakan mitokondria dan sel, inti pyknotic, dan sitoplasma yang bervacuola) pada periode awal pasca trauma, terutama setelah focal TBI . Mekanisme ini tampaknya akan bertahan, setidaknya sebagian, pada tahap subakut dan kronis dari cedera, seperti diperlihatkan oleh peningkatan ukuran lesi kortikal sejalan berkembangnya waktu. Autophagic Cell Death23 Kematian sel autophagic ditandai oleh penyerapan bahan sitoplasma dengan autophagosomes. Fitur morfologi meliputi : 1. Tidak adanya kondensasi kromatin (sebagai lawan apoptosis). 2. Adanya vacuolisasi sitoplasma 3. Tidak mempunyai hubungan dengan phagocytes (berbeda dengan apoptosis) Necrosis21 Nekrosis secara morfologis ditandai dengan peningkatan volume sel (oncosis), pembengkakan organel, dan ruptur membran plasma dengan kehilangan isi intraseluler. Bukti yang diperoleh menunjukkan bahwa nekrosis tidak hanya sebuah proses pasif yang tidak terkontrol tetapi diatur melalui kaskade kejadian yang mirip dengan bentuk lain dari kematian sel. Reaksi-reaksi biokimia yang potensial menunjukkan indikasi



kematian sel nekrotik di TBI meliputi aktivasi calpains dan cathepsins. Apoptosis21 Fitur-fitur morfologi apoptosis adalah pembulatan dari sel, retraksi pseudopoda, pengurangan volume selular (pyknosis), kondensasi kromatin, fragmentasi inti (karyorrhexis), sedikit atau tidak ada modifikasi ultra organel sitoplasma, membran plasma melepuh (blebbing), dan ditelan oleh phagocytes yang memang sudah ada disana. Untuk dapat diklasifikasikan sebagai apoptosis, beberapa fitur harus hadir seiring dengan penampilan proses enzimatik atau biokimia terkait, seperti aktivasi famili Bcl-2 protein, fragmentasi DNA, dan mitochondria transmembrane dissipation (hilangnya mitochondria transmembran). Apoptotic cell death mempunyai peranan yang menonjol pada diffuse TBI. Sel-sel apoptosis terlihat pada cortex, diencephalon, dan hippocampus, seperti yang ditunjukkan oleh tes – tes biokimia yang sugestif dan kemudian didukung melalui pewarnaan TUNEL (terminal transferase deoxynucleotidyl dUTP-biotin nick end labeling). Penyelidikan sebelumnya telah memberi kesan bahwa beberapa sel menampilkan karakteristik baik dari apoptosis maupun nekrosis dan memperlihatkan bentuk hibrida dari kematian sel, disebut necroptosis atau aponecrosis. Pentingnya membedakan berbagai bentuk kematian sel, berkisar dua isu utama. Obat tertentu telah menunjukkan dapat memblokir mekanisme apoptosis (ZVAD, minocycline, dan siklosporin antara lain). Kedua, karena kematian sel apoptosis lambat dalam berkembang, pengobatan mungkin lebih mudah dimulai sebelum proses apoptosis telah menjadi tak terelakkan. Setidaknya, dua obat baru, Solvay SL334 dan Neuren NZ, dapat mengatasi mekanisme apoptosis sebagian, dan mulai di evaluasi dalam uji klinis. Sebelumnya, Kerr dan kawan-kawan24 menjelaskan ada 2 jenis kematian sel (cell death): pertama yang disebut cell necrosis, yang terjadi sebagai akibat cedera dan menyebabkan inflamasi; yang lain ialah apoptosis adalah jenis perkembangan yang normal dengan beberapa karakteristik yang berbeda. Kerr menjelaskan perubahan-perubahan morfologik yang terjadi



139



Neurosurgery Lecture Notes



selama perkembangan kematian sel pada apoptosis , ialah : cell shrinkage, membrane blebbing, chromatin condensation, dan DNA fragmentation. Perubahan-perubahan ini sangat berbeda dengan yang ditemukan selama peristiwa kematian sel yang disebabkan oleh nercrosis, dimana sel-sel dan organel-nya cenderung untuk membengkak dan kemudian ruptur. Dari penemuan-penemuan ini, dapat dijadikan patokan/dalil bahwa sel-sel mempunyai kemampuan untuk menghancurkan diri sendiri melalui aktivasi suatu intrinsic cellular suicide program , bila mereka tidak diperlukan lagi atau mengalami kerusakan yang hebat. Pengakuan bahwa apoptosis adalah suatu proses fisiologik yang normal adalah hasil dari penelitian genetik pada nematoda Caenorhabditis elegans. Kematian neuron dan kematian sel-sel otak setelah TBI diduga terdiri dari primary cell death yang disebabkan oleh destruksi mekanik, dan secondary or delayed cell death, yang disebabkan oleh beberapa cascade patologik yang diprakarsai oleh trauma. Pada manusia, cascade ini terutama adalah ischemia, excitotoxicity, dan inflammation, salah satu dapat mencetuskan apoptosis. Walaupun demikian, mekanisme biomekanikal dan molekular yang sempuna sampai saat ini tidak seluruhnya dapat dipahami. Apoptosis dapat diikuti dengan metoda TUNEL (terminal desoxynucleotidyl-transferase-mediated dUTP nick end labeling). Label TUNEL hanya mencermikan DNA yang mengalami fragmentasi, tidak perduli bagaimana dan mengapa DNA terfragmentasi, dengan demikian tidak memiliki kekhususan untuk apoptosis. Cara lain untuk mendeteksi apoptosis, ialah dengan memonitor degradasi dari poly (ADP-Ribose) polymerase dengan memakai antibodi yang sesuai atau melalui perubahan-perubahan membrane phopholipids. Namun, penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa keparahan cedera dapat menentukan jenis kematian neuronal, yaitu apoptosis atau nekrosis. GENETICS REGULATION OF APOPTOSIS THE ONCOSUPRESSOR Gene p53 Apoptosis dapat ditimbulkan oleh oncosuppressor protein p53. DNA binding protein ini, walaupun waktu paruh-nya pendek, 5 – 20



140



menit, berfungsi dalam genome surveillance, DNA repair, dan sebagai transcription factor. Protein p53 akan mematikan sel-sel yang telah menderita kerusakan DNA. Mekanisme bagaimana p53 menginduksi apoptosis, sebagian besar belum diketahui. Namun, p53 adalah suatu direct transcriptional activator terhadap bax gene, dan sebuah transcriptional repressor terhadap Bcl-2 gene25,26. Pada unstressed cells, level p53 rendah. Protein ini didapatkan dalam bentuk inactive dan latent dan memerlukan modifikasi untuk menjadi aktif. Konsentrasinya dapat ditingkatkan karena tingkat inisiasi dari p53 meningkat oleh aktivasi DNA yang rusak. Peningkatan konsentrasi p53 adalah proporsional terhadap luasnya kerusakan DNA, dimana oncosuppressor protein ini berfungsi sebagai DNA transcription factor. Bax, anggota dari Bcl-2 protooncogene family dan redox-related genes, adalah target transkripsi utama dari p53 , pada proses apoptosis neuron. Bax, dikira berfungsi membuat saluran (channels) pada membran mitochondria. Bila aktif, saluran-saluran ini memungkinkan pelepasan cytochrome c dari mitochondria ke cytosol. Pada kultur sel-sel neuron, aktivasi bax-dependent dan aktivasi caspase-3, merupakan kunci penentu pada apoptosis yang di-induksi oleh p53. CALPAINS21 Calpains telah terbukti terlibat dalam proses apoptosis dan nekrosis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, TBI berat menyebabkan calcium influx secara berlebihan, yang menyebabkan aktifasi calpains, yang kemudian mencetuskan kerusakan cytoskeletal dan permeabilitas membran melalui pembelahan substrat sasaran. Calpains dan caspases akan membelah spectrin pada titik tertentu dan menghasilkan produk disosiasinya yang karakteristik berdasarkan berat mereka. Produk-produk pembelahan tertentu disebut spectrin breakdown products (SBDPs) dan termasuk SBDP - 120 (dari pembelahan caspase), SBDP - 145 (pembelahan calpain), dan SBDP - 150 (lebih menunjukkan aktivitas umum protease). SBDPs berkali-kali telah terbukti ditemukan setelah TBI pada manusia dan hewan. Kenyataannya, kehadiran SBDPs sekarang secara rutin digunakan untuk memverifikasi (membuktian) kejadian



Neurosurgery Lecture Notes



calpain-mediated spectrin proteolysis (CMSP). Selain itu, ada percobaan yang sedang berlangsung, studi klinis 'Banyan biomarker', untuk menentukan apakah SBDPs secara klinis bisa berguna sebagai biomarker untuk tahapan-tahapan dari TBI. CASPASES21 Caspases adalah anggota lain dari cysteine protease family yang diaktivasi oleh TBI. Caspases memiliki peran integral dalam kematian neuron di seluruh gangguan SSP, termasuk iskemia, produksi radikal bebas, radiasi, iskemia dan TBI. Caspase adalah keluarga besar yang terdiri dari 14 protein dan terbagi menjadi dua kategori fungsional, yaitu activator caspases dan executioner caspases. Trauma pada SSP menyebabkan autocleavage dan activation dari caspase-8, atau caspase-9, atau keduanya. Initiator caspase ini kemudian mengaktifasi executioner caspase-3, yang bertindak kearah yang berlawanan dan mendorong terjadinya apoptosis melalui berbagai mekanisme,



termasuk pelepasan cytochrome c, pemecahan antiapoptotic regulators, pemecahan dan aktifasi dari fragmentasi DNA endonuclease, dan pemecahan elemen-elemen cytoskeletal actin dan spectrin pada Blood Brain Barrier (BBB). Peningkatan aktifitas caspase-3 tampak. Peningkatan aktivitas caspase-3 telah terbukti terlibat setelah cedera otak fokal dan difus pada hewan dan manusia. Strategi pengobatan menggunakan teknik yang bervariasi untuk menekan aktivitas caspase (yaitu, inhibitor, transgenik) telah memberikan perlindungan terhadap neuron dalam percobaanpercobaan focal TBI dan diffuse TBI. Secara umum, caspase bertindak ‘downstream’ dari tindakan calpains dan lebih terkait erat dengan apoptosis. Apoptosis dapat terjadi melalui caspase-dependent pathways atau caspase-independent pathways yang kemudian mengarah ke aktifasi caspase-3 dan apoptosis – the intrinsic and extrinsic pathways.



21



Gambar 7. Glutamatergic excitotoxicity dan intracellular secondary injury process . Glutamatergic excitotoxicity adalah sebuah proses yang berlangsung dengan sendirinya dan memicu banyak proses intraselular yang berbahaya. Proses-proses ini dimulai ketika glutamate terikat kepada sebuah postsynaptic N-methyl-D-aspartat receptor (NMDA), yang menyebabkan peningkatan kadar Calcium intraselular. Kejadian ini menyebaban aktifasi dari destructive enzyme seperti phospholipases, proteases, calpains, caspases, dan nitric oxide synthase. Calpains mengalami degradasi, cytoskeleton dan meng-aktifasi caspases (yang mencetuskan apoptosis) langsung atau tidak langsung melalui aktifasi Bax di mitochondria. Caspases pada gilirannya dapat meng-aktifasi calpain dalam suatu positive feedback loop. Pada kejadian paralel, suatu caspase-independent pathway juga diaktifasi dimana apoptosis-inducing factor (AIF) dilepaskan dari intermembrane space mitochondria. AIF kemudian bermigrasi ke nucleus dan menyebabkan kondensasi (pengentalan) chromatin dan fragmentasi DNA. Nitirc oxide, yang diproduksi oleh Nitric oxide synthase, dengan cara yang sama dapat merusak DNA. Kerusakan DNA akan meng-aktifasi poly (adenosine diphosphat ribose) polymerase (PARP), yang menginduksi pelepasan ATP melalui calpain dan aktivasi Bax. Peningatan calcium intraselular juga mencetuskan pelepasan glutamate-containing exocytotic vesicle, dengan demikian melangsungan dan meyebarkan proses yang merusak ini. Dikutip dari : Zacko JC, Hawryluk GWJ, Bullock MR. In: Win HR, ed. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.4. Philadelphia : Elsevier Saunders 2011.p.3305-3324



141



Neurosurgery Lecture Notes



Intrinsic Pathways of Caspase-Dependent Apoptosis 21 Intrinsic pathway diawali oleh proses intraseluler patologis (seperti kerusakan DNA atau gangguan integritas dari membran mitochondria) yang dibawa oleh pemicu apoptosis (misalnya, kekuatan mekanik, aktivitas protease, peningkatan protein proapoptotic seperti Bax atau Bak). Peningkatan permeabilitas membran bagian luar akan memperkenankan pelepasan beberapa protein dari ruang intermembran kedalam sitoplasma. Kebanyakan dari protein yang dilepas ini mempunyai pre-apoptotic function, termasuk diantaranya cytochrome c, Smac/Diablo, HtrA2



21



(Omi), AIF, dan DnaseG. Cytochrome c kemudian meng-induksi apoptosis melalui kejadian-kejadian cascade berikut ini. Dengan hadirnya ATP, cytochrome c akan mengikat dan meng-aktifasi apoptosis protease-activating-protein-1 (Apaf-1). Bersama-sama, senyawa ini (cytochromec/Apaf-1) akan mengaktifasi caspase-9 ; caspase-9 kemudian memecah bentuk proenzyme dari caspase-3, yang mengarah pada aktivasi dan apoptosis berikutnya. Untuk apoptosis dapat berlangsung, inhibitor dari apoptosis proteins harus dibuat tidak aktif. Hal ini dapat dicapai bila dilepaskan Smac/Diablo dari mitochondria.



Gambar 8. Intrinsic and extrinsic caspase-dependent pathways . Apoptosis dapat diawali oleh external and internal signal yang mengarah ke suatu final common pathway. The extrinsic pathway dapat di-aktivasi bila ‘death ligands’ seperti Fas/CD95 atau tumornecrosis factor-α (TNF-α) terikat kepada death factor yang sesuai . Pada pengikatan dari ligand, sebuah adaptor protein seperti misalnya fas-associated death domain (FAAD) direkrut. Hal ini menyebabkan aktifasi caspase-8. The intrinsic pathway di-prakarsai oleh proses patologik intraselular, seperti DNA damage atau peningkatan level dari proapoprotic proteins misalnya Bax atau Bak (Bcl-2 family of proteins). Proses-proses ini mencetuskan pelepasan cytochrome c dari mitochondria, yang kemudian mengikat dan meng-aktivasi apoptosis protease-activating protein-1 (Apaf-1); pada gilirannya, Apaf-1 dapat mengikat dan meng-aktifasi caspase-9. Active caspase-8 atau caspase-9 dapat membelah caspase-3, yang kemudian mencetuskan apoptosis. The extrinsic pathway terhubung dengan intrinsic pathway oleh intermediate protein Bid yang menyebabkan pelepasan Bax/Bak-dependent dari protein mitochondria. Untuk berlangsungnya proses apoptosis, inhibitor of apoptosis protein (IAP) harus dibuat tidak aktif. Hal ini dapat dicapai oleh pelepasan Smac/Diablo dari mitochondria. Dikutip dari : Zacko JC, Hawryluk GWJ, Bullock MR. In: Win HR, ed. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.4. Philadelphia : Elsevier Saunders 2011.p.3305-3324



142



Neurosurgery Lecture Notes



Extrinsic Pathways of Caspase-Dependent Apoptosis 21 Pada extrinsic pathway, activated death ligands (Fas/CD95, TNF-α1) mengikat reseptor yang sesuai dan menghasilkan oligomerisasi dari apoptotic death receptor dengan inisiasi berikutnya sesuai dengan urutan peristiwa (lihat gambar 7). Kemudian death receptor membentuk sebuah kompleks dengan adapter proteins, misalnya fasassociated death domain (FADD), untuk menginduksi autolytic activation dari caspase-8. Caspase-8 akhirnya akan meng-aktivasi caspase-3. Proses ini tidak dianggap memerlukan induksi gen atau sintesis protein, keduanya diperlukan untuk proses intrinsik. Caspase-Independent Apoptosis21 Caspase-Independent apoptosis juga telah diajukan dan umumnya terlibat protein mitokondria yang tidak memerlukan aktivitas caspase untuk aktivasi mereka. Menentukan dari semua mekanisme caspase-independent dan bagaimana mereka menimbulkan atau memodulasi apoptosis masih dalam evaluasi. Bcl-2 FAMILY of PROTEINS21 Telah jelas bahwa neuronal response terhadap TBI, terutama berkaitan dengan kematian sel, dan tidak mengikuti urutan kejadian yang kaku. Penelitian in-vivo terus mengungkapkan keterkaitan yang dinamis diantara banyak mediator-mediator , termasuk B-cell lymphoma-2 (Bcl-2) proto-oncogene family. Family ini telah dibuktikan berpartisipasi baik pada necrosis maupun apoptosis pada beberapa model dari cedera SSP, termasuk manusia dan experimental TBI. Keluarga besar protein ini terbagi menjadi kelompok-kelompok prodeath (misalnya Bax, Bad) dan prosurvival (misalnya Bcl-2 dan Bcl-xL) berdasarkan aktifitas enzimatik mereka. Bila membicarakan apoptosis, akan sangat membantu untuk mengkategorikan faktor-faktor yang memprakarsai (initiate), mengatur (modulate), atau mengeksekusi (execute) kematian sel. Family Bcl-2 sangat terlibat erat dalam modulasi dari intrinsic dan extrinsic pathways dari caspase-dependent apoptosis dan melayani baik



promosi ataupun inhibisi apoptotic cell death, seperti yang sudah dijelaskan pada gambar 6. Tampak jelas bahwa suatu hubungan yang kompleks dan dinamik terdapat diantara keluarga Bcl-2 protein setelah TBI. Pengartian yang tepat mengenai pola-pola ekspresi keluarga protein ini belum terlaksana sampai saat ini. Misalnya, penelitian telah menunjukkan terjadi peningkatan maupun penurunan ekspresi kelompok prosurvival setelah experimental diffuse TBI. Suatu contoh bagaimana kelompok ini mempengaruhi kematian sel secara rinci adalah sebagai berikut : setelah terjadi picuan yang sesuai, seperti misalnya ekspresi p53 setelah TBI, maka ekspresi Bax di upregulated dan selanjutnya terjadi translokasi dari sitoplasma ke dalam mitokondria, di mana Bax menginduksi pelepasan cytochrome c. Kejadian ini juga terjadi pada focal model of brain injury. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, cytochrome c kemudian mengikat Apaf-1 dan meng-aktifasi caspase yang terlibat dalam apoptosis. Cernak dan kawan-kawan menunjukkan proses ini terjadi pada diffuse TBI. Sebuah contoh akhir dari keterlibatan Bcl-2 family dalam menyokong apoptotic death setelah trauma adalah proapoptotic member Bid. Dalam suatu penelitian focal TBI, melalui cortical impact model of injury, ditemukan peningkatan Bid cleavage, selanjutnya akan meng-aktifasi initiator enzyme caspase-8 dan caspase-9 untuk mendukung terjadinya apoptosis. Kontras terhadap Bax, kelompok prosurvival dapat secara langsung atau tidak langsung memengaruhi proapoptotic signaling pathways. Yang dan kawan-kawan memperlihatkan bahwa overexpression Bcl-2 didalam membran luar mitochondria memfasilitasi cell survival dengan mencegah pelepasan cytochrome c, dan dengan demikian menghalangi aktifasi caspase-3. Dengan menggunakan suatu transgenic strain dari tikus yang overexpressing Bcl-2, Nakamura dan kawankawan meng-konfirmasikan adanya neuronal protective ability yang diberikan oleh Bcl-2. Fitur yang sama telah ditujukkan oleh animal model and human head injury. Selanjutnya Bcl-2 dan anggota keluarga yang serupa secara indirect dapat mengubah suatu critical pore-forming function dari kompleks/senyawa ini dan menghalangi pelepasan cytochrome c. Dalam hal ini, Bcl-2 membentuk



143



Neurosurgery Lecture Notes



sebuah heterodimer dengan Bax, dan senyawa ini menggangu Bax-generated release of cytochrome c. Dapat juga terjadi dimana penurunan ekspresi Bcl-2 dikaitkan dengan kecenderungan untuk kematian sel. Selain keterlibatan keluarga Bcl-2 protein didalam caspase-mediated apoptosis, Tsujimoto dan Shimizu juga telah menjelaskan suatu hubungan antara MPTP (1-methyl-4-phenyl1,2,3,6-tetrahydropyridine) regulation dan keluarga Bcl-2 family proteins. Keluarga Bcl-2 protein telah terlokalisasi pada membran luar mitochondria dan dapat me-regulasi MPTP dan permeabilitas membran luar. Dua prosurvival member dari keluarga ini , Bcl-2 dan Bcl-xL telah dibuktikan secara langsung menghambat aktifitas voltagedependent anion channel component dari MPTP, sehingga menghalangi MPT. MPTP (1-methyl-4phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine) adalah



neurotoxin precursor untuk MPP+, yang menyebabkan gejala permanen dari Parkinson's disease dengan merusak dopaminergic neurons di substantia nigra otak. THE ROLE of GENDER Perbedaan-perbedaan penting terdapat dalam berbagai aspek dari TBI. Wanita lebih sedikit menderita TBI dibandingkan laki-laki dan biasanya lebih tua pada saat terjadi cedera. Perbedaan jenis kelamin dalam respon fisiologik terhadap TBI makin sering dibicarakan. Perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan perbedaan sex , mungkin melibatkan kehadiran Y chromosome atau lingkungan hormonal yang berbeda. Perbedaanperbedaan anatomi dan fisiologi sex terdapat baik pada otak yang tidak cedera atau otak yang cedera.



PRIMARY DAMAGE



Apoptosis Necrosis



Neuronal Cell Death Gambar 7. Patofisiologi Traumatic Brain Injury. Dikutip dari koleksi pribadi penulis



144



SECONDARY DAMAGE



Neurosurgery Lecture Notes



Dalam keadaan tanpa cedera, wanita mempunyai aliran darah hemisfer yang lebih tinggi dan volume cortex yang lebih besar daripada lakilaki. Lebih lanjut, steroid pad ovarium dikenal mempunyai efek yang kompleks dan penting pada transkripsi gen dan neuronal excitability. Otak lakilaki dan otak wanita mengalami insult yang sama dalam pola yang berbeda sebagai akibat dari perbedaan – perbedaan dasar ini. Setelah cedera, otak wanita kurang rentan terhadap terhadap edema. Selain itu, neuron wanita kurang rentan terhadap insult in vitro. Makin banyak referensi , yang menunjukkan bahwa ada perbedaan jenis kelamin penting dalam konsekuensi molekular pada TBI . Perbedaanperbedaan ini telah diteliti dalam konteks manfaat estrogen dan progesteron. Sangat menarik, baik estrogen maupun progesteron dianggap mempunyai sifat-sifat neuroprotektif. Estrogen terbukti meningkatkan CBF dan mempunyai efek antioxidant. Estrogen juga memberikan proteksi terhadap iskemia dan ini mungkin berasal dari antagonisme langsung terhadap NMDA reseptor. Progesteron mempunyai reseptor diseluruh SSP dan dapat mengurangi edema, lipid peroksidasi, excitotoxicity, dan neuronal loss dan meningkatkan ambang kejang (seizure threshold). Pemberian progesteron secara random pada wanita dan lakilaki dalam penelitian TBI, secara signifikan menurunkan mortalitas. Baik estrogen maupun progesteron dapat mempunyai efek yang berbahaya. Progesteron dapat memperhebat tissue swelling dan estrogen menurunkan ambang kejang. Tidak jelas, apakah wanita akan menjadi lebih baik, lebih buruk atau sama saja dengan laki-laki terhadap TBI.



MANAGEMENT MILD BRAIN INJURY Walaupun diangggap sebagai kondisi yang tidak memerlukan operasi , Mild Brain Injury (MBI) adalah kondisi yang paling sering dihadapi oleh spesialis bedah saraf. Banyak nama yang diberikan pada MBI, diantaranya mild head injury (MHI), mild traumatic brain injury (MTBI) dan concussion. MBI pernah dianggap sebagai suatu perubahan fungsi yang bersifat sementara dan tidak mengakibatkan gangguan struktural atau gangguan fungsional,



pada saat ini diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dan pada beberapa kasus mengarah ke gangguan kognitif dalam waktu lama, depresi dan demensia27. Definition Pemahaman kita tentang MBI dibatasi karena banyaknya definisi yang dipakai sebagai akibat dari apresiasi kita yang berkembang dari gangguan tersebut. Terlepas dari frekuensi MBI, tidak ada kesepakatan yang seragam mengenai sifat dasar dari penyakit ini, dan kriteria yang tidak sesuai yang dipakai oleh berbagai disiplin dalam menegakkan diagnosa. Secara historis, MBI di-definisikan sebagai ‘sebuah trauma yang menyebabkan perubahan sementara fungsi neurologik tanpa kelainan makroskopik atau mikroskopik di otak atau gejala sisa jangka panjang’. Kondisi ini dianggap sepenuhnya dapat kembali ke keadaan semula (completely reversible) dan terkait erat dengan kehilangan kesadaran dalam waktu singkat. Keyakinan bahwa MBI selalu dapat kembali kekeadaan semula dan tidak mempunyai akibat jangka panjang, pada saat ini sudah ditinggalkan. Berdasarkan dari informasi-informasi baru, sebuah simposium internasional dilangsungkan pada tahun 200128,29 dan sebuah konsensus definisi dari MBI diusulkan sebagai berikut : ‘ a complex pathophysiological process affecting the brain, induced by traumatic biomechanical forces, with several common features that incorporate clinical, pathological, and biomechanical constructs that may be used in defining the nature of concussive head injury’. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Mild Traumatic Injury Workgroup secara konseptual mendefinisikan MBI sebagai : ‘Suatu cedera pada otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau acceleration-deceleration forces yang menyebabkan salah satu atau lebih dari kondisi-kondisi berikut ini : 1. Setiap periode ‘kebingungan sementara’ (transient confusion) yang diamati atau dilaporkan sendiri, disorientasi, gangguan kesadaran, disfungsi memori sekitar saat cedera, atau kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.



145



Neurosurgery Lecture Notes



2. Tanda-tanda neurologik atau disfungsi neuropsikologik, nyeri kepala, pusing, mudah marah (irritability), lelah atau gangguan konsentrasi. Literatur saat ini menunjukkan adanya kesepakatan umum mengenai variabel-variabel yang menentukan diagnosa TBI, termasuk diantaranya: 1. Skor GCS awal pada waktu masuk dirawat 2. Lamanya masa tidak sadar 3. Tidak ditemukan gejala-gejala neurologik fokal 4. Lamanya Post traumatic amnesia (PTA). Kebanyakan peneliti menyimpulkan bahwa MBI adalah: 1. GCS awal 13 – 15 2. Loss of consciousness < 20 menit 3. Abscence of focal neurological deficit 4. PTA < 24 hours Classification / Grading Scales Grading Scales yang paling banyak dipakai adalah yang menyertakan 3 (tiga) macam pemeriksaan: 1. Glasgow Coma Scale 2. Length of unconsciousness 3. Length of PTA GCS diciptakan untuk melakukan penilaian bentuk-bentuk yang lebih berat dari cedera otak dan dipakai segera setelah terjadi trauma untuk menggambarkan tingkat kesadaran berdasarkan reaksi motorik, reaksi verbal dan reaksi mata. Beratnya cedera kemudian dibagi dalam berbagai tingkatan. Mild brain injury (MBI) sesuai dengan GCS 13 – 15. Moderate brain injury sesuai dengan GCS 9 – 12. Severe brain injury sesuai dengan GCS 3 – 8. Dengan sendirinya klasifikasi MBI (GCS 13 – 15) telah lama dikenal memiliki sejumlah besar gambaran klinis patologis yang heterogen. Selain itu, banyak pasien mempunyai orientasi yang baik pada waktu penilaian pertama dengan demikian mendapat skor GCS yang tinggi. Permasalahan yang serius kemudian timbul dalam menerapkan / mengaplikasikan GCS didalam penilaian terhadap MBI. Versi yang diperluas dari GCS (yang disebut GCS-E), dirancang dengan mengukur lamanya PTA



146



dan mencantumkannya setelah GCS, dipisahkan dengan tanda titik-koma30. GCS dihitung sebagaimana biasanya, sedangkan skor amnesia ditambahkan sesudahnya untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai MBI. Skor amnesia diperiksa langsung pada saat pasien tiba di bagian gawat darurat, pemeriksaan kedua tidak lebih cepat dari 24 jam setelah trauma, dan pemeriksaan ketiga tidak lebih cepat dari i (satu) minggu setelah trauma. Bila ada pemeriksaan ke-empat, biasanya dilaksanakan pada outpatient. Penggunaan GCS-E pada penilaian lamanya PTA menunjukkan bahwa makin lama amnesia sesudah TBI berhubungan dengan kejadian yang lebih besar dari keluhan pusing (dizziness), depresi, gangguan kognitif pada minggu-minggu pertama setelah cedera. Hasil ini menunjukkan bahwa GCS-E adalah sarana yang berguna untuk memprediksi gejalagejala yang berhubungan dengan mild TBI. Tabel 1. Amnesia Scale Portion of the Glasgow Coma Scale – Extended (GCS-E) In applying GCS-E, the GCS is first scored in the usual way. The amnesia scale is then applied, and the amnesia score entered after the colon so that it will not be mistaken for a decimal with numeric value. Thus, a patient with a GCS of 15 and with no posttraumatic amnesia (PTA) would have a GCS-E of 15;7 and a patient with a GCS of 13 and amnesia of more than 1 hour would be scored 13;5 Score 7 No amnesia: client can remember impact, can remember falling and striking a solid surface, etc 6 Amnesia for 30 minutes or less: client regained consiousness while still in vehicle, in street at scene of incident, etc Amnesia of ½ h – 3 h: remembers beeing loaded into 5 ambulance, in ambulance on way to hospital, arriving at emegency room, admision to ward, etc Amnesia of 3 to 24 h: determine duration by content of the first memory, which will be of an event in the ward or of a hospital procedure 3 Amnesia of 1 to 7 d 2 Amnesia of 8 to 30 d 1 Amnesia of 31 to 90 d 0 Amnesia > 30 mo X Cannot be scored,e.g., can speak but responses are inappropriate or unintelligible, cannot speak because unconscious, intubated, facial fractures, etc. Source : Data from Nell V, Yates DW, Kruger J. An extended Glasgow Coma Scale (GCS-E) with enhanced sensitivity to mild brain injury. Arch Phys Med Rehabil 2000;81(5):614-617 4



Neurosurgery Lecture Notes



Loss of consciousness (LOC) juga sering dipakai untuk mengukur beratnya MBI, dengan LOC tidak lebih dari 20 – 30 menit, diartikan sebagai ‘mild TBI’, LOC diantra 30 menit dan 6 jam adalah ‘moderate TBI’, kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam, dianggap ‘severe TBI’. Penting sekali untuk diingat, seorang pasien tidak perlu kehilangan kesadaran dalam menderita MBI – sebuah salah paham (misconception) yang menyebabkan kekeliruan diagnosa MBI pada sejumlah pasien.Selain itu, penelitian akhir-akhir ini menunjukkan, walaupun LOC merupakan gejala yang paling dramatis dari MBI, mungkin bukan prediktor yang baik untuk fungsi neurologik jangka pendek atau jangka panjang, yang membuat keterlibatannya dalam evaluasi beratnya cedera kepala menjadi kontroversial. Sarana akhir yang sering dipakai sebagai ukuran pengganti terhadap beratnya cedera adalah didapatkannya retrograde PTA dan anterograde PTA. Gambaran klinis dari ‘diffuse brain injury’ adalah retrograde PTA yang dimulai pada saat trauma terjadi dan selama trauma terjadi. Retrograde PTA berlangsung beberapa menit yang kemudian menyusut hingga beberapa detik. Karena adanya pemulihan ini, estimasi lamanya retrograde PTA bervariasi dalam waktu pengukuran setelah cedera dan kurang mencerminkan keparahan cedera. Mild Brain Injury Theory Salah satu dari aspek yang paling menarik pada MBI adalah LOC yang dramatis namun bersifat sementara yang terdapat pada beberapa pasien. Ada 5 teori mengenai MBI : The Vascular Hypothesis Vascular hypothesis menyatakan bahwa hilangnya kesadaran dan fungsi-fungsi yang lain setelah concussion adalah karena terjadinya peristiwa cerebral ischemia yang berlangsung singkat atau sebagaimana kadang-kadang dilukiskan sebagai cerebral anemia. Teori ini merupakan salah satu teori yang paling tua mengenai concussion, berdasarkan pada suatu mekanisme seperti vasospasm atau vasopralysis, reflex stimulation, pengeluaran darah dari kapiler, dan yang paling umum, obstruksi atau penahanan



terhadap CBF seteleh terjadi kompresi jaringan otak. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan sementara ICP setelah terjadi benturan/pukulan pada kepala29. Permasalahan utama pada teori ini adalah membran potensial, dan karena itu, fungsi-fungsi neuron dapat dipertahankan walaupun terjadi penghentian dalam suplai darah. Jadi, LOC yang segera terjadi pada waktu cedera kepala, tidaklah dapat dijelaskan dengan baik. Bila proses iskemik memang mendasari patofisiologi concussion, seharusnyalah terjadi berbagai kejadian penurunan produksi energi. Teori ini sudah usang dan ditinggalkan. The Reticular Hypothesis Reticular theory merupakan teori yang diterima pada 50 tahun terakhir ini. Pada pertengahan abad 20, ada bukti yang signifikan untuk melibatkan batang otak sebagai tempat utama dari concussion. Batang otak mengandung berbagai sistem yang berhubungan dengan MBI, termasuk pengontrolan tekanan darah, denyut jantung, CBF , berbagai refleks yang bergantung pada integrasi berbagai inti di batang otak, keseimbangan, mual dan muntah, muscle flaccidity, dan dilatasi pupil. Apa yang tidak dapat dijelaskan pada hubungan MBI dengan batang otak ialah LOC yang sering ditemukan pada MBI. Missing link ini ditemukan dengan didapatkannya reticular activating system (RAS) yang tersebar secara merata sepanjang mesencephalon.Dasar dari teori ini adalah tenaga yang menyebabkan gangguan serebral akan melumpuhkan sementara, mengganggu, atau menekan aktifitas polysynaptic pathway didalam batang otak termasuk RAS. Hal ini akan mengarah ke stupor atau coma. Sekali jalur ini menjadi operasional lagi, korteks dapat diaktifkan kembali dan kontrol dapat kembali terhadap mekanisme penghambatan oleh bagian medial thalamus . Kemudian terjadi pengembalian kesadaran dan responsiveness31 . Walaupun reticular hypothesis memberikan penjelasan yang mudah tidak saja mengenai hilangnya kesadaran tetapi juga untuk bermacammacam gejala motorik dan autonomik yang mungkin terjadi setelah MBI, sesungguhnya masih memiliki keterbatasan.



147



Neurosurgery Lecture Notes



Penemuan pada pemeriksaan EEG setelah MBI, tidak dapat dijelaskan oleh teori ini. RAS biasanya melakukan pengawasan penghambatan terhadap fungsi pacu jantung dari bagian medial thalamus . Jika RAS sementara dinonaktifkan, maka inti thalamus bagian medial akan bebas untuk mengkoordinasikan dan meng-sinkron-kan high altitude cortical rhythms menjadi lebih lambat. Bila MBI untuk sementara melumpuhkan RAS, maka EEG yang terekam dari cortex diduga akan menunjukkan jenis relatively low-frequency highvoltage type, tetapi dalam hal ini tidak terjadi. Selain itu, walaupun disfungsi RAS dapat menjelaskan muscle flaccidity dan reflex paralysis yang terjadi setelah MBI, tetapi tidak menjelaskan awal gerakan-gerakan kejang yang sering tampak pada manusia dan hewan. Traumatic amnesia tidak dapat dijelaskan dengan baik oleh teori ini. The Centripetal Hypothesis Centripetal theory menyatakan bahwa rotational forces yang tiba-tiba menyebabkan shearing strains and stress ( gesekan dan tekanan) didalam otak segera setelah terjadi beban mekanik (mechanical loading) yang ‘memutuskan’ serabut-serabut saraf secara centripetal. Bila gaya (force) dan resultan beban mekaniknya relatif kecil, maka ‘disconnection’ of nerve fibers hanya fungsional, jadi sifatnya reversible. Hal ini terbatas pada permukaan otak. Bila beban mekanik bertambah, shearing and tensile strains (gesekan dan tarikan) menembus lebih dalam ke otak , dan ‘nerve disconnection’ menjadi kerusakan struktural ketimbang fungsional sehingga menjadi irreversible. MBI sesungguhnya adalah sebuah tahapan kumpulan gejala klinik yang terjadi setelah cedera kepala dimana tingkat keparahan kesadaran disebabkan oleh rentetan gesekan mekanik terhadap otak yang bekerja secara centripetal sehingga menyebabkan gangguan fungsional dan struktural. Pada kasus-kasus ringan, pengaruh ini hanya pada permukaan otak, dan meluas kedalam pada kasus-kasus yang berat, mempengaruhi diencephalic-mesencephalic core. Teori ini menunjukkan bahwa MBI berada pada sisi yang lebih rendah dari spektrum yang sama dengan DAI32.



148



Bila cedera kepala ringan maka hanya subcortex atau diencephalon yang akan ‘putus hubungan ‘ dengan cortex, dan menyebabkan confusion dan amnesia tetapi tidak menyebabkan LOC. Bila tenaga lebih kuat maka mesencephalon akan ‘putus hubungan’ dengan cortex lalu menyebabkan LOC. Sama halnya, ‘putus hubungan’ antara batang otak dan RAS dengan tenaga yang besar, akan menyebabkan LOC dan paralisis. Teori ini memprediksikan bahwa LOC selalu sebagai akibat dari kerusakan cortex dan subcortex. Teori ini dianggap sebagai perluasan dari reticular theory. Pada kedua teori ini, mekanisme LOC adalah kerusakan dari RAS. Kelemahan teori ini ialah hanya cedera berat yang menyebabkan LOC, padahal kenyataannya banyak cedera ringan mengalami LOC. Teori ini juga tidak menjelaskan mengenai kejadian kejang yang dapat terjadi pada trauma akut. Pontine Cholinergic System Hypothesis Pontine Cholinergic System Hypothesis menyatakan bahwa tenaga yang berhubungan dengan MBI meng-aktifasi suatu inhibitory cholinergic system yang terletak dibagian dorsal pontine tegmentum. Daerah ini dipenuhi oleh cholinoceptive dan cholinergic cells dan pathway dan aktifasinya menekan berbagai reaksi perilaku (behavior responses) yang dikira meng-indikasi-kan LOC. Teori ini sangat mirip dengan reticular theory , kecuali pada pontine cholinergic system hypothesis, bahwa concussion berhubungan dengan aktifasi dari suatu inhibitory system. Sedangkan pada reticular theory didasarkan atas depresi dari suatu activating system 33. Walupun teori ini telah kehilangan popularitasnya, mungkin ada satu nilai yang dapat menarik perhatian ialah mekanisme aksi concussion, awalnya melibatkan keadaan eksitasi serebral yang kuat ketimbang depresi aktifitas neuronal. The Convulsive Hypothesis Convulsive theory dari MBI adalah salah satu dari sedikit teori yang tidak berpusat pada RAS. Pendukung-pendukung teori ini menyatakan, sejak gejala-gejala MBI menunjukkan kemiripan yang kuat dengan bangkitan kejang epileptik, maka



Neurosurgery Lecture Notes



adalah suatu asumsi yang masuk diakal bahwa proses patologik yang sama mendasari kedua hal diatas. Kedua kondisi menunjukkan LOC sesaat, yang biasanya berlangsung tidak lebih dari beberapa menit. Mengikuti kejadian ini, terjadi periode-periode rasa mengantuk (drowsiness), disorientasi, dan letargi yang lamanya berbedabeda. Pada teori ini, energi yang ditransfer ke otak oleh trauma akan menyebabkan functional deafferentiation pada cortex sebagai akibat depolarisasi yang ditimbulkan secara mekanik dan pelepasan tenaga yang bersamaan dari neuron kortikal31. Teori ini didukung oleh beberapa penemuan. Telah dibuktikan bahwa evoked potentials (Ep) dan EEG yang direkam segera setelah MBI adalah sama dengan yang diperoleh setelah induksi dari suatu aktifitas kejang umum. Teori ini kompatibel dengan data-data neurofisiologik MBI dan dapat menjelaskan traumatic amnesia, gangguan autonomik, dan berbagai kumpulan gejala-gejala dari postconcussion syndrome lebih memadai dari saingan-saingannya. Selain itu, gejala-gejala dari minor concussion seperti transient amnesia atau confusion sering secara menyolok sama seperti efek dari kejang petit mal. Biochemical Markers Sebuah neurochemical cascade terjadi setelah MBI, yang menyebabkan banyak perubahan pada level selular. Cascade ini menyebabkan beberapa serum marker dari cedera otak yang mungkin berguna dalam diagnosa dan pengelolaan MBI. Cascade yang kompleks ini dimulai dengan axonal stretching dan cedera dari neuronal membrane yang menyebabkan peningkatan dari kalium ekstraselular. Hal ini dapat menyebabkan depolarisasi neuron dan pelepasan excitatory neurotransmitters. ‘Neurotransmitter storm’ ini, diikuti oleh suatu ‘suppressed state’ yang menyeluruh di jaringan otak. Selama periode ini, membrane pump di-aktifasi dan terdapat peningkatan pemakaian glukosa. Pada tahap cascade ini, terdapat juga peningkatan produksi dan penumpukan laktat, yang dapat meningkatkan kepekaan jaringan saraf terhadap ancaman lebih lanjut34 .



Setelah MBI, terdapat juga penurunan sementara CBF dan aktifasi reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA). Metabolisme oksidatif menjadi terganggu karena perubahan-perubahan ini , juga terjadi calcium influx kedalam sel dan terjadi penumpukan di mitochondria. Akibatnya terjadi energy failure dan microtubule breakdown. Produksi energi lebih jauh akan terganggu karena penurunan magnesium. Terdapat beberapa perubahan lebih lanjut, terjadi penurunan inhibitory neurotransmitter seperti GABA, yang dapat menurunkan seizure threshold (ambang kejang) dan hilangnya cholinergic neuron di prosencephalon (forebrain) sehingga menyebabkan gangguan neurotransmisi yang mungkin akan menyebabkan kesulitan dalam belajar dan proses ingatan. Penggunaan serum marker dari cedera otak untuk mendiagnosa dan menilai cedera intrakranial telah diteliti secara luas pada pasien-pasien dewasa dan dalam jumlah yang lebih sedikit, diteliti juga pada anak. Telah di-hypothesakan bahwa setelah dilepaskan dari jaringan otak, bahan-bahan kimia ini masuk kedalam cerebrospinal fluid (CSF) dan serum melalui blood-brain barrier (BBB) yang menjadi semipermeable untuk sementara, setelah terjadi ‘insult’. Kehadiran dari biochemical markers ini dapat diukur dari beberapa jam sampai beberapa hari setelah mereka masuk kedalam CSF atau serum dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan biomechanical markers setelah TBI adalah indikator yang sensitif dan spesifik untuk cedera dan hasil akhir penderita35. Bebarapa biochemical markers terkait dengan MTBI (Tabel 2) , seperti S100B proteins, neuron specific enolase (NSE), dan cleaved tau protein (CTP). Ada 2 (dua) markers yang tampaknya sangat potensial dalam MBI, protein S100B dan NSE dapat diukur dengan menggunakan rapid enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) yang menggunakan kurang dari 250 μL serum. Protein S100B adalah salah satu dari marker yang paling banyak diteliti. S100B adalah major low affinity calcium binding protein didalam astrocytes, dan penelitian menunjukkan bahwa S100B adalah marker dari astrocyte injury or death (ke-cedera-an atau kematian astrocyte). Fungsi fisiologiknya tidak sepenuhnya dimengarti tetapi penelitian



149



Neurosurgery Lecture Notes



menunjukkan bahwa pelepasan S100B protein menghambat synaptic plasticity dengan mengikat reseptor-reseptor pada neuron36. Serum half-life dari protein S100B adalah 112 menit, akibatnya peningkatannya setelah TBI sangat cepat tetapi bersifat sementara. Konsentrasi serum protein S100B yang dikeluarkan dalam waktu 6 jam pada cedera kepala merupakan prediktor yang sangat kuat terhadap keadaan patologik intrakranial dan hasil akhir-nya. Telah ditetapkan sebagai tanda pengenal yang baik pada kerusakan otak primer, kerusakan otak sekunder dan stroke, dan telah ditemukan berkorelasi dengan hasil akhir jangka pendek yang kurang menguntungkan. Penelitian pada pasien-pasien dewasa menunjukkan bahwa peningkatan serum protein S100B pada cedera otak lebih sensitif dari pemeriksaan CT-Scan. Beberapa penelitian mengira bahwa mungkin ada sumber ekstrakranial dari S100B, walaupun validitas dari metoda penelitiannya masih diperdebatkan. Tabel 2. Characteristic of Several Biochemical Markers Biochemical Location Serum Sensitivity to Marker Half-Life Hemolysis NeuronNeurons, 24 h Yes specific platelets, red enolase (NSE) blood cells S100B Astrocytes, 112 min No bone marrow, fat Myelin-basic Myelin 12 h No protein (MBP) Source : Data from Berger RP, Kochnek PM, Pierce MC. Biochemical markers of brain injury: could they be used as diagnostic adjuncts in cases of inflicted traumatic brain injury? Child Abuse Negl 2004;28(7):739-754



NSE adalah glycolytic enzym yang terutama terlokalisir di sitoplasma dari neuron. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa NSE dapat diukur didalam serum setelah TBI pada semua level keparahan dan merupakan sebuah marker untuk kematian neuron. Peningkatan konsentrasi NSE dalam CSF dan serum juga ditemukan pada orangorang dewasa dengan berbagai kondisi neurologik non-traumatik, termasuk diantaranya Creutzfeldt – Jakob disease, Parkinson Disease, cervical spondylosis, dan hypoxia. Yang penting , NSE terdapat juga di eritrosit dan trombosit, sebagaimana halnya di neurons. Jadi hanya non150



hemolyzed sample yang dapat dianalisa. Selain itu, NSE mempunyai half-life yang panjang (24 jam), yang dapat menjelaskan mengapa serum level NSE sering tidak sesuai dengan dengan beratnya TBI. Myelin-basis protein (MBP) adalah salah satu dari dari dua protein yang paling banyak terdapat pada myelin di susunan saraf pusat dan mungkin berguna sebagai marker pada MBI. Walaupun penelitian mengenai MBP setelah MBI terbatas, literatur menunjukkan bahwa peningkatan serum MBP adalah spesifik untuk ICH dan TBI berat. Serum MBP mempunyai half-life yang sangat panjang, puncak konsentrasi pada 72 jam setelah cedera dan dapat tetap tinggi sampai 2 minggu setelah TBI37. Kehadirannya yang lama didalam serum mungkin merupakan keuntungan sebagai sarana screening untuk pasien-pasien MBI yang asymptomatic dimana konsentrasi serum NSE dan protein S100B sudah tidak lagi ter-deteksi. Karena konsentrasi MBP memuncak lebih lambat dari NSE atau protein S100B, maka dapat dipakai membantu menentukan timing of injury bila digunakan dalam panel bersama-sama marker yang lain. The brain-specific fraction of creatinine phosphokinase (CPK-BB) telah juga menunjukkan sebagai marker MBI yang potensial. Tetapi tidak satu marker-pun yang dapat diterima sebagai suatu test yang dapat diandalkan untuk MBI. Management of MBI Secara umum, tujuan utama pada pengelolaan fase akut adalah mengenal ada tidakya kelainan yang harus dioperasi dengan memakai sarana screening (pemeriksaan neurologik, pengamatan yang lama,pemeriksaan radiologik dan imejing). Suatu penelitian terhadap kualitas perawatan cedera kepala di 41 rumah sakit di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kebanyakan terjadinya ‘preventable mortality’ (kematian yang dapat dicegah) disebabkan karena keterlambatan diagnosa terhadap pasien yang mengalami penurunan kesadaran yang pada awalnya tampak hanya mengalami cedera ringan38. Jadi pada tahap cedera seperti ini, pengelolaan harus terfokus kepada perluasan intrakranial hematoma dan pada pencegahan post concussion symptoms yang menetap.



Neurosurgery Lecture Notes



Pada beberapa buku disebutkan bahwa tidak semua MBI harus dilakukan Head CT-Scan. Pada pasien-pasien, diperiksa Head Injury Severity Scale (HISS). Pada pasien dengan kategori minimal (GCS 15 with no LOC) tidak memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak memerlukan pemeriksaan Head CT-Scan kecuali terdapat faktor-faktor resiko. Pada pasien (dengan penilaian HISS) termasuk kedalam mild group, bila CT scan negatif , pasien dapat dipulangkan dengan beberapa instruksi . Risk factors meliputi, pengobatan dengan antikoagulan atau hemofili, fraktur tengkorak, posttraumatic seizure, penderita hydrocephalus dengan vp-shunt, trauma ganda. Tabel 3. Head Injury Severity Scale (HISS) HISS Category Minimal Mild Moderate Severe



Clinical characteristic GCS = 15, no LOC GCS = 14-15, brief LOC or amnesia (12 dan 12. MRI juga merupakan alat yang penting pada pasien moderate TBI dan mampu menunjukkan lebih banyak lesi daripada CT. Pada suatu penelitian, 80% dari yang dirawat dengan mild TBI atau moderate TBI menunjukkan MRI yang abnormal38. Korelasi dari ukuran lesi di frontal dan temporal dikaitkan dengan menurun-nya fungsi neuropsikologik lobus frontalis dan temporalis. Management of Moderate TBI Prehospital Sebelum tiba di rumah sakit, protokol ATLS harus diterapkan dengan perhatian utama pada ABC, ini sangat penting didalam mencegah hipoksia dan hipotensi. Hipoksia dan hipotensi telah terbukti mempengaruhi prognosa penderita TBI. Dua puluh sembilan persen (29%) pasien moderate TBI memerlukan intubasi39. Acute care Setelah stabilisasi hemodinamik, pemeriksaan fisik dan neurologik yang menyeluruh, dilakukan CT-Scan untuk meng-evaluasi keadaan patologik intrakranial. The European Brain Injury Consortium (EBIC) menemukan abnormalitas sebanyak 87% pada pasien-pasien dengan GCS 25 ml



3



Evacuated mass lesion Nonevacuated mass lesion



Any lesion surgically evacuated



4



High –or mixed-density lesion >25 ml, Not surgically evacuated



Abbreviation : CT, computed tomography; MLS, midline shift. Dikutip dari: Jallo J, Loftus CM. Neurotrauma and Critical Care of the Brain



Pada tahun 1975 Jennett dan Bond memperkenalkan Glasgow Outcome Scale (GOS) untuk penilaian standar terhadap hasil akhir setelah cedera dan pemulihan50. Skala ini bersama-sama dengan skala-skala yang lain sering dipakai untuk menentukan efektifitas terapi yang dipilih sehingga sangat menolong dalam penelitian cedera otak. Secara umum, prosedurnya ialah membagi dua / melakukan dikotomi lima peristiwa dari GOS menjadi dua kategori : unfavorable dan favorable. Unfavorable outcome meliputi kategori : death, vegetative state dan severe disability. Favorable outcome meliputi : moderate disability dan good recovery. Prosedur dikotomisasi ini, bagaimanapun, mengurangi kepekaan GOS untuk mendeteksi efek pengobatan dan dapat dianggap secara klinis tidak tepat51. Adalah sangat mungkin bahwa sensitivitas dari penelitian dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan lebih baik urut-ututan alami dari GOS, dengan menghubungkan hasil akhir yang



5



Death Persistent vegetative state: Patients who remain unresponsive and speechless for weeks to months Severe disability (conscious but disabled): Patients who are dependent for daily support by reason of mental or physical disability, usually a combination of both Moderate disability (disabled but independent): Independent in so far as daily life is concerned. Patients can travel by public transportation and work in a sheltered environment. Disabilities include varying degrees of dysphasia, hemiparesis, or ataxia, as well as intelectual and memory deficits and personality changes Good recovery: Resumption of normal life. Can have minor neurological or psychological deficits. Social hasil akhir should be included in the assessment.



Source: Jennett B, Bond M. Assessment of hasil akhir after severe brain damage. Lancet 1975;1(7905):480-484 Tabel 9. The Extended Glasgow Outcome Scale



1 2 3 4 5 6 7 8



Death Vegetative state Lover sever disability Upper severe disability Lower moderate disability Upper moderate disability Lower good recovery Upper good recovery



Source : Maas AI, Marmarou A, Murray CD, Teasdale SG, Steyerberg EW. Prognosis and clinical trial design in traumatic brain injury: theIMPACT Study. J Neurotrauma 2007;24(2):232-239



Menurut definisi, hasil akhir setelah TBI adalah multifactorial, dan haruslah ditekankan bahwa GOS hanyalah sebuah ukuran global. Berbagai penelitian dalam TBI telah mengikutsertakan berbagai-bagai metoda pengukuran, seperti



155



Neurosurgery Lecture Notes



Barthel Index, Neuropsychological Test, Quality of Life. Mechanism of Injury and Pathophysiology Sedikit sekali yang dapat dikerjakan untuk menolong primary brain injury, cedera pada otak yang terjadi pada saat impact. Hanya pencegahan melalui program kesehatan masyarakat yang terfokus pada pendidikn (misalnya peraturan memakai helm) yang dapat menekan kejadian dan keparahan cedera otak. Tindakan pengobatan saat ini terutama terfokus pada pencegahan dan pembatasan dari secondary brain damage. Telah diterima secara luas bahwa primary brain injury , sering melalui impact, menumbuhkan rantai peristiwa yang mengarah pada kerusakan sel yang sedang berlangsung dan dikenal sebagai secondary brain damage (kerusakan otak sekunder). Disinilah, pada tingkat biokimiawi, dimana para dokter dapat melakukan intervensi dengan obat-obatan. Penelitian dasar telah mengenal beberapa senyawa yang potensial bersifat neuroprotektif. Selain proses patofisiologik intrinsik, secondary damage dapat dimulai dan dibuat menjadi parah oleh secondary systemic and intracranial insults54. Secondary insult terhadap otak akan mengarah ke penurunan pengiriman oksigen ke sel-sel dan penurunan metabolisme , menyebabkan iskemia dan kematian sel-sel otak lebih lanjut. Reversible secondary insult yang paling dikenal adalah hipotensi, hipoksia, dan peningkatan tekanan intrakranial karena adanya lesi massa. Early Prognostic Factors in Severe Traumatic Brain Injury Evidence-based analysis yang dilakukan oleh Brain Trauma Foundation (BTF;2000) dan metaanalysis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti IMPACT (2007) memberikan bukti-bukti kuat dalam mendukung prediktor (faktor-faktor penentu) pada TBI. BTF guidelines memfokuskan pada GCS, usia, reaksi pupil, hipotensi dan gambaran CT scan. Penelitian IMPACT juga menyoroti pentingnya pemeriksaan laboratorium sebagai prediktorprediktor, dan melaporkan analisa multivariat terhadap nilai-nilai predictive relatif dari berbagai parameter.



156



Glasgow Coma Scale Nilai GCS awal yang diperiksa setelah resusitasi hemodinamik telah terbukti sebagai faktor penentu hasil akhir pada TBI berat, dimana skor yang paling rendah adalah yang paling buruk. Terutama skor motorik telah terbukti sebagai komponen yang paling dapat diandalkan dari GCS , dalam pengartian mengandung nilai prognostik. Rangsang nyeri yang dipakai untuk memperoleh skor ini pada pasien koma harus merupakan standar dan konsisten. Penekanan pada supraorbital dan pada nail bed, dapat diterima sebagai cara untuk menimbulkan rangsang yang nyeri. Bila skor GCS awal ditentukan dengan baik, tidak dipengaruhi oleh tindakan-tindakan medik prehospital atau intubasi, hampir 20% dari pasien dengan GCS yang terburuk akan survive, dan 8-10% akan memperoleh fuctional survival (GOS 4 – 5)55. Pada 2006, Davis et al, mengevaluasi nilai predictive dari field GCS (fGCS) versus arrival GCS (aGCS) skor. Walaupun secara umum mereka menemukan hubungan positif antara fGCS dan aGCS, penelitian mereka membuktikan bahwa penurunan 2 angka atau lebih diantara fGCS dan aGCS sangat menetukan mortalitas dan memerlukan prosedur bedah saraf56. Penelitian IMPACT menemukan hubungan yang erat diantara skor motorik dan penilaian ‘GOS 6 bulan’ khususnya disemua bidang penelitian (odds ratio [OR] = 1.74 to 7.48). Komponen eye dan verbal juga mempunyai hubungan yang erat dengan GOS. Age Age (usia) adalah suatu independent predictor yang paling kuat dari hasil akhir TBI. Peningkatan usia berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk. Banyak penelitian yang memfokuskan pada analisa threshold values dan berbagai penelitian mendokumentasikan threshold values, bervariasi dari umur 30 – 60 tahun. Penelitian IMPACT dengan tegas manyatakan bahwa hubungan antara umur dan hasil akhir adalah hubungan yang berkelanjutan dan mengenai seluruh titik yang berbeda pada GOS. Hubungan ini dapat juga diperkirakan dengan fungsi linier, yang dapat dianggap lebih tepat dan informatif daripada pendekatan kategoris bertahap yang diadopsi pada



Neurosurgery Lecture Notes



penelitian sebelumnya. Efek merugikan dari bertambahnya usia pada hasil akhir TBI tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh peningkatan frekuensi penyakit sistemik dan hematoma intraserebral pada pasien yang lebih tua. Pupillary Diameter and Light Reflex Diameter pupil dan pupilloconstrictor reflex adalah dua parameter pada cedera otak yang telah diteliti dalam hubungannya dengan prognosis. Ada bukti class I evidence yang menyokong bahwa bilateral fixed (no constriction to bright light) dan dilated (> 4 mm) pupils mempunyai >70% positive predictive value untuk hasil akhir yang buruk (GOS 1 dan 2)57. BTF membuat rekomendasi sebagai berikut :  Pupillary light reflex untuk setiap mata harus dipakai sebagai sebuah prognostic factor.  Lamanya dilatasi dan fiksasi pupil harus didokumentasikan  Ukuran pupil > 4 mm direkomendasikan sebagai ukuran dari ‘dilated pupil’  Pupil yang ‘fixed’ harus dianggap sebagai tidak ada respon constrictor terhadap cahaya terang.  Bila ukuran pupil asimetri, harus dicatat perbedaannya, mana yang lebih besar dari yang lainnya.  Hipotensi dan hipoksia harus dikoreksi sebelum menilai pupil untuk menentukan prognosa.  Trauma orbita langsung, harus disingkirkan  Pupil harus dinilai kembali setelah pembedahan hematoma intrakranial Penelitian IMPACT lebih jauh membenarkan hubungan yang erat antara pupil yang abnormal dan hasil akhir. Odds ratio untuk kematian (death) pada dua pupil yang tidak reactive hampir 3 (tiga) kali lebih besar daripada satu reactive pupil. Kekuatan prognosis (prognostic strength) dari reaktifitas pupil dalam mem-prediksi hasil akhir, jauh lebih kuat daripada GCS atau skor motorik. Hypotension Hipotensi adalah salah satu prediktor paling kuat bagi hasil akhir TBI58, yang lainnya adalah usia (age), intracranial (CT) diagnosis, pupillary diameter and reactivity, dan postresuscitation GCS score. Hipotensi diartikan bila tekanan darah



sistolik < 90mmHg, dan data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) menunjukkan bahwa suatu episode hipotensi berhubungan dengan dua kali lipat mortalitas dan peningkatan morbiditas yang signifikan. Secara statistik, hipotensi telah dibuktikan sebagai faktor independen dari beberapa faktor utama lainnya, termasuk age (usia), hipoksia, dan ada atau tidaknya trauma berat pada sistem organ yang lain. Selain itu, nilai prediksi positif bagi hasil akhir yang buruk meningkat menjadi 79% bila hipotensi berkombinasi dengan hipoksia, tidak seperti prediktor hasil akhir yang lain, hipotensi dapat dimodifikasi oleh perubahan-perubahan dalam praktek kedokteran, misalnya pencegahan melalui resusitasi yang agresif setelah TBI. Computed Tomography Scan Features Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, gambaran CT scan dapat dipakai sebagai pengukur prognosa pada cedera kepala berat (severe TBI). Gambaran abnormal dari CT awal tampak pada lebih kurang 90% penderita cedera kepala berat, dan keadaan patologik yang ditemukan pada CT berhubungan dengan prognosa yang lebih buruk. Pada pasien-pasien dimana gambaran CT awal negatif, prognosa biasanya dihubungkan dengan beratnya cedera ekstrakranial. Gambaran CT yang negatif tidak menyingkirkan peningkatan tekanan intrakranial, dan lebih kurang 40% dari pasien dengan CT awal negatif akan mendapat kelainan patologik yang signifikan. Seperti telah disinggung sebelumnya, gambaran CT yang karakteristik yang menunjukkan nilai prognostik pada TBI adalah status dari sisterna basalis (tebuka atau tertekan atau tidak) , adanya midline shift (> 5 mm), adanya tSAH dan kuatitasnya, dan adanya mass lesion. Management of Severe Brain Injury Terdiri dari :  Prehospital Management  Emergency Service Assessment and Treatment  Neurosurgical Assessment and Intervention Bagian ini tidak akan dibahas disini karena merupakan bagian dari pelatihan Advanced



157



Neurosurgery Lecture Notes



Trauma Life Support (ATLS) dimana hampir semua residen sudah menguasainya. Intensive Care Unit Management and the Prevention of Secondary Insult The Guidelines for the Management of Severe Brain Injury yang awalnya diterbitkan oleh Brain Trauma Foundation (BTF) terakhir direvisi tahun 2007, pada saat tulisan ini dibuat telah ada revisi tahun 2012 tetapi belum diterbitkan, bersamasama dengan European Brain Injury Consortium (EBIC) guidelines yang diterbitkan pada tahun 1997, menolong memberikan petunjuk bagaimana menangani penderita-penderita TBI berat. Tema umum dari guidelines ini adalah mencegah terjadinya secondary insult, menghentikan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak, memberikan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan. BTF guidelines adalah rekomendasi berbasis bukti yang diformulasikan dari tinjauan berbagai penelitian yang ada. Setiap rekomendasi berdasarkan bobot kualitas dari penelitian tersebut. Pada guidelines yang baru, rekomendasi di kategorikan sebagai level I, II atau III berdasarkan nilai bukti pada penelitian-penelitian tersebut. Kategori level ini menggantikan istilah terdahulu : I = standard, II = guideline, dan III = option. Sebagaimana yang dapat kita bayangkan, pertimbangan etika membatasi kemampuan untuk melakukan randomized prospective studies (penelitian prospektif acak) pada aspek-aspek tertentu pada penanganan pasien, dan dengan demikian kurangnya bukti-bukti mempengaruhi power hampir pada semua rekomendasi tersebut. Kekurangan pada rekomendasi level I menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut terhadap TBI. Berbeda dengan TBI, EBIC guidelines dikembangkan berdasarkan sensus dan pengalaman para ahli. Blood Pressure and Oxygenation Sebagaimana telah disinggung sebelumnya blood pressure and oxygenation, merupakan prediktor kuat dari morbiditas dan mortalitas setelah cedera otak berat. Walupun pertimbangan etika membatasi prospective randomized studies melakukan evaluasi akibat dari hipotensi dan hipoksia, terdapat bukti yang baik bahwa episode hipotensi ditentukan sebagai SBP < 90 mmHg dan



158



hipoksia ditentukan sebagai PaO₂ < 60 mmHg atau SaO₂ < 90%, dapat mempunyai efek yang besar terhadap hasil akhir. Rekomendasi saat ini (level II) adalah memonitor tekanan darah dan menghindari hipotensi (SBP < 90 mmHg). Penelitian IMPACT membuktikan bahwa tidak ada efek ambang (threshold) yang jelas untuk tekanan darah sistolik 90 mmHg, demikian juga pada nilai-nilai yang lain59. Hubungan antara tekanan darah dan hasil akhir adalah berkesinambungan baik dengan tekanan darah yang lebih rendah atau tekanan darah yang lebih tinggi , keduanya berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk. Walaupun observasi ini tidak mengarah langsung ke rekomendasi yang kuat pada penanganan tekanan darah yang lebih rendah, hal ini menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 90 mmHg dapat ditentukan sebagai batas minimum absolut, tetapi nilai yang lebih tinggi mungkin lebih disukai. EBIC guidelines merekomendasikan mencapai dan mempertahankan tekanan darah sistolik 120 mmHg sesegera mungkin. Sekali lagi, rekomendasi BTF berdasarkan bukti pada literatur yang secara konsisten telah menunjukkan bahwa suatu episode hipotensi yang direkam tunggal < 90 mmHg merupakan salah satu dari lima prediktor hasil akhir yang paling kuat pada TBI berat. Definisi hipotensi ini berdasarkan pada norma-norma statistik pada orang dewasa, dan penurunan tekanan darah dibawah nilai ini berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan peningkatan mortalitas dua kali lipat sebagaimana yang ditunjukkan oleh kasus-kasus di Traumatic Coma Data Bank (TCDB). Titik akhir (endpoint) dari resusitasi tekanan darah harus ditentukan oleh penelitian prospektif. Tekanan darah mempengaruhi Cerebral Perfusion Pressure (CPP) dengan demikian mempengaruhi hasil akhir. Dapat disimpulkan, dengan mempertahankan tekanan darah pada nilai yang lebih tinggi, akan meningkatkan CPP, kita dapat memperbaiki hasil akhir. Sampai saat ini belum ada penelian prospektif acak didalam literatur yang menyokong hal ini. Dengan demikian, rekomendasi BTF hanya menetapkan angka untuk dihindari tetapi bukan tujuan terapi seperti yang diberikan oleh EBIC.



Neurosurgery Lecture Notes



Sehubungan dengan oksigenasi, rekomendasi BTF (level III) adalah terus menerus memonitor oksigenasi dan menghindari hipoksemia seperti yang ditentukan PaO₂ < 60 mmHg atau SaO₂ < 95%, rekomendasi ini berdasarkan pada penelitian bahwa terdapat peningkatan mortalitas bila oksigenasi berada dibawah level kritis ini. EBIC merekomendasikan pengaturan ventilasi untuk mencapai PaCO₂ 30 – 35 mmHg, PaO₂ > 75 mmHg, dan SaO₂ > 95%.



cerebral perfusion, adalah CPP diperoleh dengan mengurangkan mean arterial pressure (MAP) dengan ICP. Untuk memperoleh rekaman CPP yang kontinyu, harus dilakukan monitoring kontinyu terhadap tekanan darah dan ICP.Pengurangan CPP < 50 mmHg berhubungan hasil akhir yang buruk. Bahwa CPP ditentukan oleh MAP dan ICP, maka kita dapat memperoleh atau mengatur nilai CPP dengan meningkatkan MAP atau merendahkan ICP. CPP = MAP – ICP



Indications for Intracranial Pressure Monitoring Telah diketahui benar bahwa penderitapenderita TBI berat berada dalam keadaan terancam terhadap intracranial hypertension (ICH). ICH dan pengurangan CPP < 50 mmHg telah terbukti berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk setelah cedera. Rekomendasi BTF saat ini, untuk ICP monitoring (level II) adalah memonitor semua pasien TBI berat yang dapat diselamatkan (GCS 3 – 8 setelah resusitasi) dan dengan CT scan yang abnormal. Abnormal CT ialah yang menunjukkan hematoma, kontusio, edema, herniasi atau sisterna basalis yang terkompresi. Selain itu, ICP monitoring dapat diindikasikan (level III) pada pasien-pasien dengan CT scan normal bila dua atau lebih ditemukan hal-hal berikut ini pada saat dirawat : usia > 40 tahun, motor posturing (unilateral atau bilateral) atau SBP < 90 mmHg. Banyak pilihan teknologi dalam memonitor ICP, saat ini yang direkomendasikan adalah, sebuah ventricular catheter yang dihubungkan ke pengukur tekanan (eksternal) sebagai cara yang paling akurat, dapat diandalkan dan murah untuk memonitor ICP. Ventriclar catheter mempunyai keuntungan tambahan, dapat menurunkan ICP dengan mengalirkan CSF. Metoda monitoring lain dapat merupakan pilihan bagi pasien tertentu, karena hampir tidak mungkin memasukkan kateter EVD pada pasien dimana ventrikelnya sangat tertekan/sempit. Intracranial Pressure Threshold ICP normal pada orang dewasa adalah 5-15 mmHg. Bila ICP meningkat maka cerebral perfusion akan berkurang. Pengurangan cerebral perfusion akan menyebabkan secondary injury, oleh penurunan oksigenasi jaringan. Pengukuran



Pada ICP lebih tinggi dari normal maka otak berada dalam resiko untuk herniasi, jadi merupakan hasil akhir yang lebih buruk. Oleh karena itu, rekomendasi untuk ICP limit, diatas mana suatu tindakan/pengobatan harus dimulai harus ditentukan. Guidelines saat ini dalam menentukan threshold (ambang) adalah berdasarkan suatu tinjauan kepustakaan. Walaupun nilai absolut atau ‘herniation pressure’ dimana bakal terjadi herniasi belum ada, tindakan harus dimulai bila ICP > 20 mmHG (level II). Dalam menentukan bagaimana cara terbaik untuk menolong pasien, harus difikirkan kombinasi dari berbagai faktor (level III). Nilai ICP bersama-sama gambaran klinik dan tampilan CT scan, semuanya memegang peranan. Herniasi dapat terjadi pada ICP < 20 mmHg (misalnya pada epidural hematoma yang besar). Jadi, sangat penting untuk segera mengatasi pasien yang menunjukkan pembesaran pupil dengan lesi massa pada CT scan, terlepas dari nilai ICP-nya. EBIC tidak menentukan suatu set point pada saat mana ICP harus ditanggulangi, namun konsensusnya ialah bila ICP berada pada 20 – 25 mmHg harus dilakukan tindakan, terutama pada masa awal setelah TBI. Mereka menentukan bahwa sebelum tindakan memulai terapi yang mengarah ke ICP, seperti sedasi, CSF drainase, terapi osmotik dan lain-lain, sangat penting memeriksa gangguangangguan yang ditunjukkan oleh monitor dan mengatasi gangguan-gangguan ekstrakranial. Cerebral Perfusion Pressure Threshold Selain menetapkan pedoman bagi pengelolaan ICP, BTF juga menetapkan sebuah rekomendasi dalam hal optimasi CPP. CPP mempengaruhi



159



Neurosurgery Lecture Notes



perfusi karena berkaitan dengan aliran darah serebral. Seperti yang kita ketahui, otak mempunyai kemampuan untuk memelihara aliran darah dengan demikian mengatur perfusi jaringan melalui berbagai macam tekanan. Kontrol ini dikenal sebagai cerebral autoregulation . Pada cedera otak, cerebral autoregulation mengalami gangguan. Telah dikemukakan bahwa melalui peningkatan MAP (artinya peningkatan CPP) melalui ekspansi volume dan penggunaan obatobat hemodinamik seperti dopamin dan epinefrin kita dapat mencapai hasil akhir yang lebih baik. Teori ini telah diuji dalam beberapa penelitian dan meskipun jelas bahwa CPP harus dipertahankan diatas minimum 50 mmHg (level III) efek sistemik negatif seperti acute respiratory distress syndrome (ARDS), terjadi lebih sering pada pasien-pasien dimana CPP dipertahankan pada nilai yang dibuat tinggi (artificial high value) > 70 mmHg (level II). Pasien-pasien dengan ARDS, rata-rata, mempunyai nilai ICP yang lebih tinggi , yang sering tidak mempan terhadap pengobatan, dan pasien-pasien ini mempunyai hasil akhir yang lebih buruk. Rekomendasi saat ini, bukanlah mempertahankan CPP secara buatan (artificial) pada nilai yang tinggi > 70 mmHg dengan ekspansi volume dan obat-obat vasopresor, karena risiko toksisitas sistemik dan ARDS (level II). Nilai CPP < 50 mmHg harus dihindari karena hal ini berhubungan dengan iskemia dan hasil akhir yang lebih buruk (level III). Sasaran CPP yang harus dipertahankan adalah nilai 50 – 70 mmHg (level III). Telah dikemukakan bahwa sasaran terapi haruslah mempertahankan CPP > 60 mmHg untuk mencegah penurunan dibawah 50 mmHg. Pada pasien-pasien dengan autoregulation yang utuh dapat mentolerir nilai CPP > 70 mmHg. Rekomendasi EBIC untuk mempertahankan CPP 60 – 70 mmHg adalah sesuai dengan temuan-temuan BTF. Hyperosmolar Therapy Ketika ICP > 20 mmHg dan refrakter terhadap first-line control efforts (upaya pengontrolan lini pertama) seperti pengalihan aliran CSF, menaikkan kepala tempat tidur 30 derajat, mempertahankan kontrol ventilasi PCO₂ kira-kira 35 mmHg, maka obat-obat hiperosmolar dapat dipakai untuk merendahkan ICP. Mannitol dan HTS (hypertonic



160



saline) adalah dua obat hiperosmolar yang sering dipakai untuk mengontrol ICP. Mannitol telah dipakai lebih dari 30 tahun dan mempunyai efek yang menuntungkan pada ICP, CPP, CBF, metabolisme otak, hasil akhir jangka pendek dari TBI. Walaupun mekanisme kerja mannitol telah banyak diselidiki, efek menurunkan ICP pada manusia, tidak sepenuhnya dapat dipahami. Efek mannitol tampaknya ada dua. Awalnya, mannitol bekerja sebagai rheologic agent dengan meningkatkan volume plasma, merendahkan hematokrit, dan memungkinkan perubahan bentuk (deformation) lebih banyak. Efek ini menyebabkan penurunan ICP dan peningkatan CBF. Mannitol juga bertindak sebagai ‘osmotic agent’ bekerja menarik cairan dari sel-sel yang membengkak, dengan demikian menurunkan ICP dengan mengurangi edema serebri. Daya menurunkan ICP dari mannitol berkurang pada pemakaian yang kontinyu, dan dosis bolus tampaknya lebih unggul daripada infus yang kontinyu, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian yang baik pada manusia yang merekomendasikan dosis optimal. Dosis mannitol 0.25 – 1 g/kg secara klasik telah dipakai dengan hasil yang baik dalam merendahkan ICP. Suatu penelitian pada tahun 2007 membuktikan bahwa dosis bolus (diberikan dalam bentuk infus selama 20 menit) 0,5 g/kg mannitol, efektif dalam menurunkan ICP sampai 30 mmHg tanpa mengorbankan oksigenasi otak 60. Mannitol dapat menyebabkan gagal ginjal, dan pemakaiannya harus dihentikan bila osmolalitas serum melebihi 320 mOsm/L. Mannitol juga dapat menimbulkan penurunan tekanan darah sehingga merendahkan CPP. Penggunaan mannitol sebelum penempatan alat monitor ICP dan sebelum resusitasi cairan yang adekuat harus dibatasi. Dalam beberapa hal dimana pasien menunjukkan tanda-tanda herniasi dan/ atau deteriorasi neurologik, tidak disebabkan oleh hal-hal lain, pemakaian mannitol dapat dianjurkan (level III). Hypertonic saline (HTS) juga dapat dipakai untuk menurunkan ICP. Tidak seperti mannitol, HTS tidak menyebabkan penurunan tekanan darah sehingga pemakaiannya pada trauma mungkin lebih aman dari mannitol. HTS dikira menurunkan ICP melalui mobilisasi osmotik dari cairan serebral melalui



Neurosurgery Lecture Notes



blood-brain barier (BBB) yang utuh. Selain itu, HTS dikira mempunyai efek neuroprotective yang kuat dengan mengurangi perlekatan lekosit pada otak yang cedera. HTS mungkin membatasi inlammatory response yang merusak. Dosis optimal dan rencana pemberian HTS masih belum ditentukan. Beberapa studi kasus telah menyinggung efek yang menguntungkan pada pemberian bolus dosis tinggi 7.2 – 10 % HTS pada pasien dengan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap terapi mannitol. Saat ini, pemakaian HTS pada TBI adalah rekomendasi level III. Di institusi penulis, dipakai 7.5% HTS 2 ml/kg bolus untuk mengontrol ICP. Hyperventilation Efek menurunkan ICP pada hiperventilasi yang agresif PaCO₂ < 25 mmHg telah dipakai dalam pengobatan hipertensi intrakranial dan TBI untuk beberapa dekade. Mekanisme kerja yang menurunkan ICP telah dibuktikan melalui vasokonstriksi serebral. Vasokonstriksi serebral menurunkan CBF, dengan demikian mengurangi pengiriman oksigen ke otak. Pada TBI, perfusi serebral memang telah turun dan penurunan CBF lebih lanjut, akan mengarah ke iskemia jaringan otak. Hasil akhir yang lebih buruk telah terbukti pada pasien dimana hiperventilasi profilaksis telah dipakai dalam penanganan ICP. Hiperventilasi profilaksis tidak direkomendasikan oleh BTF guidelines (level II). Bila pasien berada dalam keadaan kritis dan terancam herniasi, bagaimanapun, hiperventilasi dapat digunakan jangka pendek untuk menurunkan ICP. Lebih baik menghindarkan hiperventilasi pada 24 jam pertama setelah TBI karena pada saat itu, CBF telah menurun secara kritis (level III). Bila dipakai hiperventilasi, teknologi untuk mengukur pengiriman oksigen ke otak (brain oxygen delivery) seperti jugular venous oxygen saturation (SJO₂) atau brain tissue oxygen partial pressure (BtpO₂) , mungkin terbukti bermanfaat. Hypothermia Therapy Baru-baru ini ada bukti bahwa profilaksis hipotermia 32⁰-35⁰ C dapat memberikan efek menguntungkan, dalam hal memberikan hasil akhir yang baik (GOS score) dibandingkan terhadap kontrol yang normothermic bila dipakai pada TBI



(level III). Secara statistik belum teridentifikasi. Pengguaan profilaksis hipotermia hanya merupakan suatu opsi dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat memberikan rekomendsai yang kuat. Anesthetics, Analgesics and Sedatives Pemakain obat-obatan sepeti morfin, midazolam, dan propofol dalam penanganan ICP di ICU telah menjadi sangat biasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Obat-obat ini menurunkan ICP dengan mengurangi agitasi dan nyeri, menurunkan tekanan darah dan memungkinkan penyesuaian yang lebih baik dengan mechanical ventilation. Propofol adalah obat bius yang memiliki dua keistimewaan sebagai sedatif dan hipnotik, mempunyai onset yang cepat dan kerja jangka pendek. Dapat dihentikan sementara bila akan melakukan pemeriksaan neurologik, sehingga mendapat popularitas yang tinggi dalam penanganan pasien-pasien TBI. Propofol juga menurunkan metabolisme serebral, sehingga penggunaan oksigen di otak juga menurun dan diyakini mempunyai sifat neuroprotektif. Penggunaan propofol bukanlah tanpa resiko, pemakaian dosis tinggi yang berkelanjutan terkait dengan morbiditas dan motalitas yang signifikan. Popofol Infusion Syndrome terkait dengan hiperkalemia, hepatomegali, lipemia, metabolik asidosis, gagal jantung, rhabdomyolysis dan gagal ginjal yang menyebabkan kematian. Pemakaian propofol pada TBI adalah rekomendasi level III. Baik propofol maupun sedatif hipnotik yang lain tidak terbukti mengurangi mortalitas atau memperbaiki hasil akhir. Barbiturat seperti pentobarbital, telah dipakai dalam penanganan ICP sejak beberapa dekade. Obat-obat ini mengurangi ICP dan metabolisme serebral, dan dikira mempunyai efek neuroprotektif. Pemakaiannya terkait dengan efek sistemik negatif seperti hipotensi dan komplikasikomplikasi jantung yang potensial. Pasien-pasien yang mendapat barbiturat mempunyai kejadian infeksi yang tinggi dan rentan terhadap pneumonia, ulkus dekubitus, juga DVT. Karena pasien pada dasarnya di bawah anestesi umum, usus tidak dapat dimanfaatkan untuk pemberian makanan, pasien harus menerima makanan secara



161



Neurosurgery Lecture Notes



parenteral. Pemakaian pentobarbital untuk profilaksis, mengarah ke peningkatan mortalitas dan hasil akhir yang lebih buruk. Pemakaian pentobarbital untuk profilaksis tidak direkomendasikan oleh BTF. Pada pasien-pasien yang ICP-nya refrakter terhadap pembedahan dan pemberian medikamentosa secara maksimal, pemberian pentobarbital dapat dipakai sebagai usaha terakhir. Sangat penting bagi pasien-pasien ini berada dalam keadaan hemodinamik yang stabil sebelum dan selama pemberian pentobarbital. Monitoring jantung secara invasif seperti Swan-Ganz katerisasi dapat menolong perawatan yang optimal. Antiseizure Prophylaxis Serangan kejang setelah TBI dapat diklasifikasikan sebagai early (terjadi dalam waktu 1 minggu setelah cedera) atau late (terjadi setelah 7 hari). Pemakaian profilaksis obat antiepilepsi untuk kedua kondisi diatas, haruslah dengan mempertimbangkan efek samping sistemik yang membahayakan. Telah dibuktikan pemakaian rutin phenytoin mengurangi kejadian posttraumatic seizure (PTS) awal dengan sedikit resiko efek samping. Pemakaian untuk 1 minggu setelah trauma, direkomendasikan oleh BTF (level II). Menarik, bahwa PTS awal tidak berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk. Kebanyakan spesialis bedah saraf merasa bahwa berkurangnya (early) PTS awal merupakan keuntungan karena mencegah ICP spikes dan akibat-akibat buruk lainnya dari serangan epilepsi. Phenytoin loading dose = 10 -20 mg / kg IV Bolus phenytoin dapat menyebabkan hipotensi. Phenytoin hanya diberikan setelah resusitasi cairan. Phenytoin maintenance dose 100 mg orally or iv every 8 hours. Pemakaian phenytoin berkelanjutan lebih dari 1 minggu berhubungan dengan meningkatnya kejadian efek samping. Pemakaian phenytoin tidak berhubungan dengan banyaknya kejadian late PTS. Pemakaian phenytoin dan anti epilepsi yang lain, tidak direkomendasikan kecuali bila penderita mendapat epilepsy. Steroids Satu-satunya rekomendasi BTF level 1 dalam penanganan cedera otak berat ialah tidak 162



merekomendasikan pemakaian steroid. Rekomendasi ini dibuat untuk menghalangi international multicenter trial untuk mengevaluasi manfaat methylprednisolone pada penderitapenderita TBI. CRASH (Coticosteroid Randomization After Significant Head Injury) Trial, dihentikan setelah ada data sementara lebih dari 5 tahun yang membuktikan peningkatan resiko kematian setelah 2 minggu (21% versus 18%, relative risk [RR]=1.18) pada steroid group (p=0.0001). Walaupun ada bukti dari CRASH Trial, beberapa peneliti masih melakukan evaluasi terhadap potensi neuroprotektif dari steroid jenis lain pada TBI hewan.



Surgical Management Epidural Hematoma Epidural hematoma (EDH) berkembang diantara duramater dan tabula interna dari tulang tengkorak. EDH dapat berasal dari arteri atau vena atau dari perdarahan tulang yang fraktur. EDH klasik (salah satu yang paling mematikan) timbul dari fraktur yang berhubungan dengan pecahnya arteri meningea media yang terletak dalam dalam alur pada tulang temporal yang tipis. Meluas karena tekanan arteri, EDH akan terus berkembang. Nonarterial EDH dapat terjadi pada tempat yang sama, tapi risiko tinggi yang diberikan oleh gumpalan yang berasal dari arteri dan ketidakmampuan kita untuk dengan mudah membedakan lesi tekanan rendah dibandingkan lesi tekanan tinggi selalu sangat mempengaruhi pengelolaan EDH di daerah temporal tersebut. Venous EDH dapat terjadi karena ruptur venavena yang menjembatani antara duramater dan sinu-sinus ekstradural (misalnya sphenopalatine sinus pada ujung temporal), bila sebuah sinus venosus serebral mengalami laserasi, misalnya sinus transversus atau sinus sagittalis maka darah masuk kedalam ruang epidural. Ini adalah hematoma dengan tekanan rendah dan kecil kemungkinannya untuk menjadi luas, tetapi tidak ada gejala-gejala yang dapat diandalkan yang dapat digunakan untuk menilai prediksi tersebut. Jadi, lesi ini harus dianggap berbahaya. EDH yang sematamata timbul dari perdarahan fraktur tengkorak seringkali sedikit dan sering tidak meluas bila tidak



Neurosurgery Lecture Notes



ada kerusakan pada sinus yang berdekatan atau terdapat koagulopati. Juga penanganan nonoperatif yang beradasarkan pada hasil tindakan stabilisasi, harus didukung oleh pemeriksaan serial imaging. Lucid interval yang klasik (yang sesunguhnya hanya ditemukan pada sebagian kecil kasus EDH) terjadi bila penderita pulih dari kehilangan kesadaran yang singkat karena benturan terhadap kepalanya dan kemudian menurun kesadarannya karena peningkatan tekanan intrakranial atau efek massa. Morbiditas dari EDH timbul dari kompressi terhadap jaringan otak dibawahnya. EDH biasanya tidak berhubungan dengan kerusakan parenkim otak dibawahnya, sehingga diagnosa dini dan pembedahan akan sangat berhasil. Mortalitas dan morbiditas, mencerminkan langsung derajat kesadaran pada saat pembedahan, dengan mortalitas 0% pada pasien-pasien yang sadar penuh, dari 27% pada pasien-pasien dengan classic lucid interval sampai lebih dari 50% pada pasien-pasien yang tidak penah sadar kembali. Hal i ini telah menyebabkan meningkatnya mortalitas sekitar 9% dengan tindakan bedah yang agresif. Tabel 10. Class III (Practice options) Evidence Regarding the Indications for Surgery for Epidural Hematomas Indications for 1. An EDH > 30 cc should be surgically surgery evacuated regardless of the patient’s GCS Score 2. An EDH < 30 cc and with < 15 mm thickness and with < 5 mm midline shift in patients with a GCS Score > 8 without focal deficit can be amanged nonoperatively with a serial CT scanning and close neurological observation in a neurostgical center. Timing It is strongly recommeded that patients with an acute EDH in coma (GCS Score < 9) with anisocoria undergo surgical evacuation as soon as possible Methods There are insufficient data to support one surgical treatment method. However, craniotomy provides a more complete evacuation of the hematoma. Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.255-272



The Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury hanya mampu mengidentifikasi class III evidence berkenaan dengan indikasi pembedahan pada EDH.dengan demikian, mereka hanya memberikan rekomendasi tindakan pada level option (level III). Rekomendasi ini diperlihatkan pada Tabel 10. Seperti pada kebanyakan lesi-lesi intrakranial, data dari indikator pembedahan pada EDH sangat membingungkan karena sebagian dari penelitian pasien yang akan dioperasi, berdasarkan kriteria yang tidak konsisten atau tidak jelas. Dengan demikian, guidelines berdasarkan analisa studi yang menjelaskan, 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil akhir yang baik atau buruk pada pasien-pasien yang ditangani dengan pembedahan. 2. Hasil akhir dari pasien-pasien yang awalnya dipilih untuk tindakan nonoperatif, termasuk ciri-ciri dari pembedahan yang tertunda. Bias dalam seleksi pasien pada penelitian mengenai pengelolaan tindakan operasi di analisa oleh Servadei et al56. Faktor-faktor yang ditemukan signifikan dengan regression analysis adalah midline shift > 5 mm atau clot thickness > 15 mm. Suatu penelitian pada anak dengan model statistik yang sama juga menemukan dua parameter diatas plus volume hematoma, menjadi prediksi untuk pembedahan (tetapi mereka tidak memberikan nilai-nilai ambang (threshold values). Prediktor untuk hasil akhir yang baik pada kelompok pasien dengan tindakan pembedahan, disajikan pada tabel 11. Termasuk tidak adanya tanda-tanda herniasi transtentorial, GCS awal yang tinggi. Prediktor untuk hasil akhir yang buruk adalah abnormalitas pupil, GCS yang rendah, hematoma yang luas, midline shift > 10 mm, hilangnya gambaran sisterna basalis, pembedahan yang tertunda, dan adanya lesi intrakranial yang lain. Keterlambatan pembedahan meningkatkan mortalitas pada pasien-pasien dalam keadaan koma (GCS < 9).



163



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 11. Patient Outcome of Surgical Treatment



Predictors of Good Outcomes No signs of transtentorial herniation (e.g., abnormal pupillary abnormality, motor posturing Minimal duration of such signs when present Higher score



admission



GCS



Predictors of Poor Outcomes Pupillary abnormality



Lower Glasgow Coma Scale or GCS motor subscale score Large hematomas Midline shift > 10 mm Compression or elimination of basal cisterns Presence of ather intracranial lesions



Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.255-272



Laporan dari pasien-pasien yang dikelola tanpa operasi, seleksi pasien cenderung ke arah mereka dengan efek massa minimal pada sisterna basalis atau midline shift, ketebalan < 12-30 mm, GCS skor yang lebih tinggi (GCS > 12) dan volume lesi < 30 cc. Juga terdapat ‘strong bias’ terhadap pengelolaan pasien nonoperatif dengan lesi di fossa media, dan tidak ada penelitian terhadap pasien nonoperatif yang berada dalam keadaan koma. Prediktor dari hasil akhir yang baik bagi pasien yang tidak dioperasi termasuk diantaranya, tidak ada gejalagejala herniasi transtentorial , tidak ada midline shift atau midline shift yang minimal, ketebalan bekuan darah < 15 mm, dan sisterna basalis yang tampak jelas. Subdural Hematoma Subdural hematoma adalah lesi intrakranial yang paling banyak berhubungan dengan tindakan pembedahan karena trauma. Enam puluh enam (66%) sampai 80% berada dalam koma, pupil abnormal terdapat pada sepertiga sampai setengah dari seluruh kasus SDH. Mekanisme cedera pada umumnya adalah kecelakaan lalu lintas pada orang-orang dewasa 18 – 40 tahun, bagi mereka yang berumur lebih dari 65 tahun, mekanismenya karena jatuh. Subdural hematoma terletak diantara permukaan otak dan duramater. Etiologi yang



164



paling sering ialah, biasanya adalah ruptur dari ‘bridging veins’ atau perdarahan dari parenkim otak, kontusio dan intraserebral hematoma. Meskipun SDH dapat terjadi dalam keadaan terisolasi, bahkan tidak berhubungan dengan darah di subarachnoid, SDH sering berhubungan dengan kerusakan (yang mendasarinya) pada jaringan otak. Sesungguhnya SDH sendiri tidak bertanggung jawab terhadap hasil akhir, melainkan kerusakan pada substansi otak. Dengan demikian, walaupun evakuasi dari SDH yang meluas dapat menyelamatkan nyawa karena mengontrol ICP, tidaklah definitif seperti halnya evakuasi EDH dalam mencapai hasil akhir yang baik. Mortalitas tetap tinggi 52% - 60% dari semua pasien SDH yang memerlukan pembedahan. The Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury hanya mampu mengenal tidak lebih dari class III evidence mengenai indikasi pembedahan terhadap SDH. Dengan demikian mereka hanya mampu memberikan rekomendasi tindakan pada option level. Beberapa faktor yang berkorelasi dengan hasil akhir dari SDH, termasuk usia, status, perjalanan GCS skor, status pupil, komorbiditas akut dan kronik, dan gambaran CT (termasuk midline shift, kompresi terhadap sisterna basalis, ketebalan hematoma dan adanya lesi intrakranial yang lain seperti kontusio atau perdarahan subarachnoid). Sayangnya sangat sulit memisahkan gejala-gejala keadaan patologik yang dapat diperbaiki dari tanda-tanda sederhana keparahan cedera untuk kemudian menentukan yang mana dari temuantemuan itu yang paling baik untuk dilakukan pembedahan. Meskipun menarik, penelitianpenelitian yang menentukan indikasi operasi dengan post hoc fashion, hanya dapat dipakai secara terbatas karena dibingungkan oleh faktorfaktor penilaian klinis yang tidak jelas dan tidak mempunyai hubungan yang solid antara keputusan bedah dan hasil akhir yang lebih baik. Dengan demikian kita tidak memiliki bukti yang kuat mengenai manfaat operasi pada pasien-pasien SDH yang berat, yang memenuhi persyaratan umum untuk operasi tetapi tidak memenuhi persyaratan ilmiah. Kita memiliki bukti yang lebih baik pada pasien-pasien yang berada dalam kondisi yang lebih baik.



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 12. Subdural hematoma (SDH) characteristics Most common trauma-related surgical intracranial mass lesion 66 – 80% present in comatose state 33 – 50% present with pupillary abnormalities Mechanism of injury :  Commonly road traffic accident in those between 18 – 40 years of age  Falls in those 65 or older Location : lies between brain and duramater Most common etiologies :  Ruptures of vessels beidging subdural space  Bleeding from parenchymal injuries (most common : contusions, intracerebral hematomas SDH is not solely responsible foe adverse outcome, but rather damage to the brain substance is more important – that is why evacuations is not as definitive as in epidural hematoma Mortality remains as high as 52% Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.255-272



Tabel 13. Class III (Practice Options) Evidence regarding the Indications for Surgey for Subdural Hematomas Indication for An acute SDH with thickness surgery >10 mm or midline shift >5 mm on CT Should surgically evacuated, regardless of the patient’s GCS score All patients with SDH in coma (GCS score 1 cm’ tidak ditentukan secara ilmiah. Elevation (pengangkatan) fraktur depresi tidak tampak penting dalam merubah kejadian epilepsi pasca trauma pada fraktur depresi tertutup (simple depressed fracture). Menghindarkan infeksi sangat penting, penggunaan antibiotika sangat efektif pada luka terbuka, Bila operasi dilakukan cukup cepat, kejadian infeksi tampaknya tidak meningkat dengan penggantian segmen tulang secara primer (langsung diganti dengan acrylic atau bahan lain), walaupun terdapat kontaminasi yang jelas 61,62,63. Laporan ini merubah tradisi tindakan yang mengutamakan debridement terlebih dahulu baru kranioplasti dikemudian hari.



167



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 17. Class III (Practice Options) Evidence regarding the Indications for Surgery for Depressed Skull Fractures Indications for Patients with open (compound) skull surgery fractures depressed greater than the thickness of skull should undergo operative intervention to prevent infection Patients with open (compound) depressed skull fracture may be treated nonoperatively if there is no clinical or radiologic evidence of dural penetration, significant intracranial hematoma, depression > 1 cm, frontal sinus involvement, gross cosmetic deformity, wound infection, pneumocephalus, or gross wound contamination Timing



Nonoperative management of closed (simple) depressed skull fractures is a treatment option



Methods



Elevation and debridement is recommended as the surgical method of choice Primary bone fragment replacement is a surgical option in the absence of wound infection at the time of surgery



All management strategies for open (compund) depressed fracture should include antibiotics Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York Suttgart: Thieme 2009.p.255-272



Posterior Fossa Mass Lesions Lesi fossa posterior hanya sedikit ditemukan pada trauma, tapi menjadi bermasalah karena sifat alaminya yang berbahaya dan kita tidak mempunyai teknik monitoring yang adekuat yang dapat dipakai memantau kompartemen fossa posterior. Berlawanan dengan situasi di supratentorial, efek massa di fossa posterior sering mencetuskan deteriorasi neurologik yang permanen karena volume kompartemennya yang sempit dan sangat dekat dengan batang otak. Dengan demikian tanda-tanda awal dari gangguan neurologik seperti meningkatnya rasa nyeri kepala atau rasa mengantuk, tidak dapat dipakai untuk menentukan intervensi bedah. Tanpa kemampuan untuk mengukur ICP di fossa posterior, kita hanya mempunyai anatomical marker, sebagai satusatunya pedoman. 168



The Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury, hanya mampu mengidentifikasikan class III evidence mengenai indikasi pembedahan pada fossa posterior; rekomendasi untuk tindakan pembedahan hanya pada option level. Kepustakaan seluruhnya terdiri dari penelitian class III, semuanya merupakan data yang dikumpulkan secara retrospektif. Oleh karena kejadian akut yang terbanyak pada fossa posterior adalah EDH, semua penelitian paling banyak ditujukan pada EDH. Selain itu, hampir semua publikasi membicarakan faktor-faktor yang terkait dengan deteriorasi neurologik dan kematian. Kesulitan dalam mengontrol kontribusi variabelvariabel pembaur seperti penyajian GCS dan lesi supratentorial yang terkait, semuanya melemahkan analisa mengenai hasil akhir. Tabel 18. Class III (Practice Options) Evidence Regarding the Indications for Surgery for Posterior Fossa Mass Lesions Indications for Patients with mass effect in computed surgery tomography (CT) scan or with neurological dysfunction or deterioration referable to the lesion should undergo operative intervention. Mass effect on CT scan is defined as distortion , dislocation, or obliteration of the fouth ventricle, compression or loss of visualization of basal cisters, or the present of obstructive hydrocephalus Patients with lesions and no significant mass effect on CT and without signs of neurological dysfunction may be managed by close observation and serial imaging Timing



Methods



In patients with indications for surgical intervention, evacuation should be performed as soon as possible because this patient can deteriorate rapidly, thus worsening their prognosis



Suboccipital craniectomy is the predominant methods for evacuation of posterior fossa mass lesions and is therefore recommended Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York Suttgart: Thieme 2009.p.255-272



Neurosurgery Lecture Notes



Sebagaimana telah dinyatakan diatas, rekomendasi untuk intervensi bedah adalah adanya efek massa pada CT scan. Untuk EDH, temuan kualitatif seperti adanya hidrosefalus atau deformasi ventrikel IV tampaknya berkorelasi dengan perbaikan hasil akhir dengan pembedahan. Walaupun tidak ada definisi kualitatif mengenai surgical mass effect, volume massa > 10 cc, ketebalan > 15 mm, dan shift > 5 mm, cukup mewakili parameter-parameter untuk EDH akut. Indikator untuk pembedahan SDH dan lesi parenkim lebih tidak jelas, karena kelangkaan penelitian dibidang ini. Tetapi, hematoma dengan diameter > 3 cm, gambaran ventrikel IV yang tidak jelas, atau ada hidrosefalus, dianjurkan tindakan pembedahan. Secara kualitatif, adanya efek massa terhadap ventrikel IV dan sisterna basalis atau hidrosefalus obstruktif, dapat dijadikan indikator pembedahan bagi seluruh lesi di fossa posterior. Outside the Evidence Report Untuk EDH prosedurnya cukup mudah, bila tidak terkait dengan sinus-sinus yang utama. Evakuasi hematoma dan antisipasi terhadap hal-hal lain harus definitif. Bila terkait dengan sinus, maka fasilitas transfusi harus sudah tersedia dan ekspos terhadap sinus dari semua jurusan bila mungkin harus bisa. Jelas keutuhan sinus harus dijaga. Pada kasus yang relatif stabil, mungkin CT venography dapat berguna untuk perencanaan operasi. Sebaiknya setiap ahli bedah setiap saat memikirkan kemungkinan perdarahan sinus. Bila terjebak situasi pada perdarahan sinus, pada situasi tertentu otot sangat berguna sebagai ‘tampon’ menghentikan perdarahan sinus. Dekompresi akut pada SDH atau lesi parenkim di fossa posterior merupakan contoh dari neurosurgical damage control. Efek massa terhadap ventrikel IV dan batang otak harus di buang dan dijaga agar tidak terulang. Tidak ada kepustakaan yang memberi petunjuk bagaimana cara mengatasi lesi yang berkembang atau edema yang bertambah di fossa posterior, oleh karena itu, dekompresi dan duraplasty sangat di rekomendasikan. Hendaknya difikirkan perlu tidaknya melakukan extenal ventricular drainage, sebelum dan sesudah operasi pada fossa posterior.



Penetrating Brain Injury Cedera otak tembus meliputi luka tembak peluru, atau melalui pecahan peluru atau benda asing lainnya yang terjadi baik pada kelompok militer maupun penduduk sipil. Pada Neurosurgery Lecture Notes ini tidak akan dibicarakan mengenai patofisiologi dan gambaran kliniknya. Disini akan disajikan dua tabel yang menggambarkan penetrating brain injury. Tabel 19. Penetrating Brain Injury Include Bullets wound, shrapnel, stab injuries,etc.: intentionalinterpersonal, self inflicted or accidental circumstances, in civilian or military setting Case mortality



Approximately 94%



Civilian setting rates



Military = 16 – 25% ; Civilian = 54 – 61% ; Variations due to differences in transport logistics and triage , as well as physics and circumstances of injuries



vs



military mortality



Decision to operate based on



Clinical course ; Status of entry (and exit) wounds ; Presence of hematomas (mass effect) ; Presence of herniation ; Intracranial pressure



Wound management



Simple wounds – irrigated and closed at bedside Complex wounds – more formal surgical approach, stressing the importance of watertight closure of healthy tissue



Infecton control



Coverage with broad spectrum antibiotics in all patients Avoidence or elimination of cerebrospinal leakage



Vascular Injury



Angigraphic study recommended, particularly when vascular injury is suspected (e.g.,wound trajectory through or near sylvian fissure, supraclinoid carotid, cavernous sinus, or major venous sinus, substantial or otherwise or other unexplained subarachnoid hemorrhage , or delayed hematoma)



Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York Suttgart: Thieme 2009.p.255-272



169



Neurosurgery Lecture Notes



NEURO CRITICAL CARE Tujuan dari neurocritical care dalam pengelolaan pasien-pasien cedera susunan saraf pusat (SSP) adalah untuk mencegah dan atau mengurangi cedera sekunder pada SSP, sekaligus mengoptimalkan parameter fisiologik yang sering kacau pada pasien-pasien yang kritis. Pada akhirnya, neurointensivist tidak hanya berurusan dengan hal-hal yang khas dari cedera SSP, tetapi juga paru, jantung, infeksi dan komplikasi yang lain yang biasa terjadi di ICU.



Gambar 8. Penetrating brain injury. Dikutip dari : koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU – RSUP.H.Adam Malik) Tabel 20. Class III (Practice Options) Evidence Regarding the Indications for Surgery for Penetrating Brain Injury  Treatment of small entrance bullet wounds to the head with local wound care and closure in patients whose scalp is not devitalized an have no ‘significant’ pathologic finding is recommended.(Note: The term ‘significant’ has yet to be clearly defined. However, the volume and the location of brain injury, evidence of mass effect, e.g., displacement of the midline 5 mm or compression of basilar cisterns from edema or hematoma, and the patient’s clinical condition all pertain to significance)  Treatment of more extensive wounds with non viable scalp, bone, or dura with more extensive debridement before primay closure grafting to secure a watertight wound is recommended. In patients with significance fragmentation of the skull, debridement of the cranial wound with either craniectomy or craniotomy is recommended  In the presence of significant mass effect, debridment of necrotic brain tissue and safely accessible bone fragments is recommended. Evacuation of intracranial hematomas with signicant mass effect is recommended  In the absence of significant mass effect , surgical debridement of the missile tract in the brain is not recommended based on class III evidence that outcomes are not measurably worse in patients who do not have aggressive debriddement. Routine surgical removal of fragments lodged distant from the entry site and reoperation solely to remove retained bone or missile fragments are not recommended  Repair of an open-air sinus injury with watertight closure of dura is recommended. Clinical circumstances dictate the timing of the repair. Any repairs requiring duraplasty can be at the discretion of the surgeon as to material used for closure.  Surgical correction is recommended for cerebrospinal fluid (CSF) leaks that do not close spontaneously, or are refaractory to temporary CSF diversion. Dring the primary surgery, every efforts should be made to close the dura and prevent CSF leaks.



Dikutip dari: Chesnut RM. Scientific Surgical Management. In: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York Suttgart: Thieme 2009.p.255-272



170



Initial Management of the Traumatic Brain – Injured Patients Pada saat pasien TBI tiba di ICU, mereka sudah dievaluasi di IGD dan telah mendapat pengobatan atau tindakan dasar di IGD. Setibanya di ICU adalah bijaksana untuk melakukan evaluasi kembali terhadap pasien. Secara keseluruhan evaluasi pasien pada saat tiba di ICU meliputi perhatian terhadap ABC termasuk kondisi servikal, pemeriksaan fisik ulang, mempelajari ulang semua hasil pemeriksaan radiologik dan imejing, dan pemeriksaan laboratorium. Penting untuk mengetahui apakah pasien pernah mengalami episode hipoksia dan/atau hipotensi, karena biasanya sering tidak tercatat pada medical record. Managing Hypoxia and Hypotension Hipoksia dan hipotensi yang berkepanjangan dalam semua bidang kedokteran jelas menyebabkan akibat-akibat yang buruk . Episode hipoksia dan/ atau hipotensi bukanlah suatu hal yang tidak biasa dalam perawatan pasien sakit berat dan dapat terjadi pada saat intubasi endotracheal, pada proses sedasi, dan sebagai akibat primer dari cederanya sendiri. Dampak buruk dari secondary insult ini terhadap hasil akhir setelah TBI telah dikenal sejak 30 tahun yang lalu. Miller et al pada tahun 1978 melaporkan suatu prospective cohort dari 100 pasien dengan TBI berat. Kejadian-kejadian yang merugikan yang dievaluasi pada penelitian ini termasuk hipotensi, hipoksia, anemia, dan hiperkarbia, setiap keadaan tadi berhubungan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hipotensi pada penelitian ini didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP) dibawah 95 mmHg. Sayangnya, hipotensi tidak di



Neurosurgery Lecture Notes



analisa secara independen dari faktor-faktor lain , sehingga harus dilakukan penelitian lain untuk mengklarifikasikan dari tiap-tiap faktor tersebut pada hasil akhir dari pasien TBI64. Informasi yang pasti diperoleh dari suatu penelitian prospektif terhadap 717 pasien TBI oleh Chesnut et al54. Mereka mengevaluasi efek hipotensi terhadap hasil akhir pasien-pasien TBI, dan menemukan hipotensi sebagai prediktor independen untuk hasil akhir yang buruk. Suatu episode hipotensi sendiri cukup untuk menaikkan mortalitas dua kali lipat dan meningkatkan morbiditas. Penelitian itu juga menemukan pada pasien yang mendapat koreksi untuk hipotensi sebelum sampai di IGD menunjukkan keadaan yang lebih daripada pasien yang tidak dikoreksi hipotensi-nya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hipotensi dan hipoksia mempunyai dampak buruk terhadap hasil akhir pasien TBI. Pencegahan dan koreksi terhadap episode hipotensi atau hipoksia harus sudah dilakukan pada fase pre-hospital dan pada waktu di IGD. Pengawasan terhadap kemungkinan berulangnya episode hipotensi atau hipoksia harus tetap dilakukan selama di ICU dan perawatan diruangan, bila terjadi hipotensi atau hipoksia harus diantisipasi secara agresif untuk mengatasinya. Managing Intracranial Hypertension Hipertensi intrakranial yang refrakter merupakan konsekwensi yang memperihatinkan pada TBI berat, karena tekanan intrakranial (ICP) yang tinggi dan menetap akan mengarah ke gangguan tekanan perfusi otak (CPP), penurunan aliran darah otak (CBF), iskemia, herniasi otak, dan kematian. Tujuan pengelolaan ICP ialah mempertahankan global dan regional CBF agar memenuhi kebutuhan metabolisme dari otak yang cedera dan mencegah cedera otak sekunder karena perfusi yang buruk. Untuk mencapai ini, secara historis para dokter memfokuskan pada apa yang disebut pendekatan vertikal (vertical approach), dimana tujuannya meng-optimalkan ICP, kadang-kadang dengan merugikan faktor-faktor lain yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Alternatif-nya, ada pendirian suatu institusi, yang bertujuan mengoptimalkan CPP. Kedua cara ini akan dibahas



kemudian memberikan solusi pendekatan lain yang lebih ‘horizontal’ dalam pengelolaan peningkatan ICP. The Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury dari Brain Trauma Foundation (BTF) dan American Association of Neurological Surgeons (AANS) tahun 2007, telah meninjau penelitian yang ada, kemudian merekomendasikan bahwa CPP harus dipertahankan pada 50 – 70 mmHg dan menjaga ICP dibawah 20 mmHg. Banyak faktor-faktor yang mempunyai dasar patologi yang berbeda, mempunyai kontribusi pada peningkatan ICP. Menggunakan suatu pendekatan sistematik yang berkembang dalam tingkat intensitas, dari ‘low tech’ ke ‘high tech’. Para dokter harus mengatasi elevasi ICP yang mengikuti algoritma horizontal untuk mengatasi masalahmasalah tertentu. Bila masalah yang mendasari berkontribusi terhadap kenaikan ICP dapat diketahui dan diatasi, pasien mungkin tidak memerlukan tindakan agresif, misalnya monitor ICP menunjukkan peningkatan karena kepala pasien terputar kesamping, hanya dengan meluruskan kepala dan leher untuk meningkatkan aliran vena, akan mengatasi peningkatan ICP. Selain itu, menaikkan kepala tempat tidur 30-35 derajat dapat memberikan efek yang sama. ICP dapat meningkat secara sekunder bila terdapat agitasi, hipoksia, dan atau nyeri, masalah ini harus di ketahui dan diatasi.Faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ICP dan tidak mudah diatasi, termasuk outflow obstruction (mungkin dari IVH), lesi massa, iskemia dan atau serebral edema. Obstruksi mungkin dapat diatasi dengan external ventricular drainage (EVD) dengan drainase sesuai dengan kebutuhan, iskemia dapat diatasi dengan CBF melalui peningkatan tekanan darah, hiperemia dapat diatasi dengan vasokonstriktor dan lesi massa diatasi dengan operasi. Pengelolaan serebral edema dan terapi osmotik dilakukan secara individual. Aspek multifaktorial dari hipertensi intrakranial memberikan kesan bahwa pengelolaannya harus secara individual atau secara horizontal daripada secara vertical dan hirarkis.



171



Neurosurgery Lecture Notes



A



Gambar 9. (A) VERTICAL dan (B) HORIZONTAL 65. Pendekatan terhadap pengelolaan peningkatan ICP. HTS = Hypertonic Saline Dikutip dari : Adeoye OM, Shutter LA. Neurological Critical Care. In: Jallo J, Loftus CM, eds.Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.294-306



B



Dikutip dari : Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery, 6th edn. Vol.4. Philadelphia: Elsevier Saunders 2011



Cerebral Edema and Osmotic Therapy Using Mannitol and Hypertonic Saline Serebral edema secara klasik digambarkan sebagai vasogenic atau cytotoxic/cellular . Vasogenic edema dikira disebabkan oleh kerusakan sawar darah otak (BBB) yang menyebabkan akumulasi cairan di ekstraselular. Cytotoxic edema dianggap mencerminkan akumulasi cairan



172



intraselular yang berkelanjutan sebagai akibat dari kematian sel. Mekanisme serebral edema setelah TBI sangat sulit dipahami. Secara historis, dikira terutama adalah vasogenic edema. Akan tetapi, penelitian dengan MRI, memberikan kesan bahwa edema setelah TBI kenyataannya adalah selular. Beberapa penemuan baru-baru ini dalam ilmu dasar telah menemukan sekelompok keluarga



Neurosurgery Lecture Notes



protein dinding sel yang dikenal sebagai aquaporins, yang dikira sangat penting dalam pengaturan difusi cairan otak65. Walaupun penelitian ini merupakan hal yang menjanjikan sebagai target masa depan didalam pengobatan dan pencegahan terhadap serebral edema, pengelolaan saat ini masih mengikuti beberapa prisip-prinsip dasar. Terapi osmotik telah digunakan sebagai tindakan/pengobatan terhadap efek massa serebral dan hipertensi intrakranial sejak tahun 1960 dan tetap merupakan andalan sampai saat ini. Bahan osmotik yang ideal harus tetap berada didalam ruang intravaskular,dan bukan yang melalui BBB, dengan demikian menarik cairan intraselular dan ekstraselular kedalam ruang intravaskular, dengan demikian mengurangi serebral edema. Mannitol secara historis merupakan bahan osmotik yang paling banyak dipergunakan untuk pengobatan edema dan tekanan intrakranial yang meninggi dan perawatan gawat darurat saraf. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mannitol menurunkan ICP pada penderita-penderita TBI, tetapi sayangnya belum ada penelitian acak yang menunjukkan mannitol memperbaiki hasil akhir penderita TBI. Karena akibat-akibat tertentu dari terapi mannitol, HTS menjadi alternatif terhadap mannitol untuk pengobatan edema dan peningkatan ICP setelah TBI dan kedaruratan penyakit saraf lainnya. Mannitol telah menunjukkan efektifitas dalam menurunkan ICP pada TBI. Keuntungan potensial dari manitol sebagai agen osmotik yang disukai meliputi: permeabilitas relatif terhadap BBB yang utuh, efek menurunkan blood viscosity sehingga menurunkan resistensi mekanik, dan mudah didapat, serta pengalaman yang lama dalam penggunaannya. Namun, mannitol memang mempunyai efek samping yang berkaitan pada penderita TBI. Mannitol dengan mudah melintas BBB yang rusak dan berkumpul di jaringan otak, berpotensi menarik kembali cairan kedalam otak dan menyebabkan rebound hipertensi intrakranial. Mannitol juga diekskresikan dalam keadaan utuh (tidak berubah) , yang awalnya merupakan volume expander kemudian dapat menyebabkan diuresis hebat, berpotensi mengarah ke hipotensi dan



menurunkan CPP, yang dapat mengarah ke secondary injury pada penderita TBI. HTS mempunyai beberapa keuntungan dengan memperhatikan efek-efek yang merugikan dari mannitol. Sehingga, HTS memperoleh dukungan yang meningkat dalam pemakaian untuk pengobatan serebral edema dan hipertensi intrakranial. HTS awalnya dipakai sebagai cairan resusitasi pada penderita korban trauma,. Walaupun tidak ditemukan manfaat dari HTS 7.5% pada semua pasien dalam penelitian ini, suatu analisa pada subgroup menunjukkan perbaikan hasil akhir pada penderita TBI. Penelitian selanjutnya terfokus pada pengobatan peningkatan ICP dan edema pada TBI, memberikan hasil yang menjanjikan. Manfaat teoritis dari HTS terhadap mannitol termasuk fakta bahwa HTS kurang permeable terhadap BBB yang utuh daripada mannitol , HTS bertindak sebagai volume expander yang kelanjutan tanpa meneybabkan diuresis dan mungkin mempunyai sifat immunomodulator yang menguntungkan yang menekan inflamasi. Selanjutnya, Vialet et al menunjukkan bahwa HTS effektif dalam menurunkan ICP pada kasus-kasus yang refrakter terhadap terapi mannitol66. Sayangnya, penelitian yang hanya terhadap 20 pasien ini adalah penelitian terbatas yang terbesar dalam membandingkan mannitol dan HTS pada pengelolaan peningkatatan ICP, dan tidak membandingkan dosis equiosmolar dari mannitol dan HTS. Juga, penelitian-penelitian HTS yang berbeda memakai berbagai konsentrasi dari 1.9 – 29% dari formulasi NaCl yang mengandung dextran dan/atau natrium asetat telah dipakai dalam berbagai penelitian, membuat perbandingan menjadi sulit. Jadi, lebih banyak penelitian yang diperlukan untuk pengobatan hipertensi intrakranial, dan formulasi HTS yang optimal dan metode pemberian infus perlu diklarifikasikan. Summary Peningkatan ICP, merupakan komplikasi yang paling serius pada TBI berat. Pendekatan terhadap pengelolaan harus sistematik dan konsisten. Pasien harus diperhitungkan secara individual, dan ICP yang lebih tinggi pada beberapa pasien dapat



173



Neurosurgery Lecture Notes



ditoleransi bila CPP adekuat. CPP sebesar 50 – 70 mmHg cenderung cukup, dan ICP harus dipertahankan dibawah 20 mmHg. Mannitol atau HTS dapat dipakai dalam pengobatan peningkatan ICP sebagaimana tampak pada gambar 8. Neurointensivist harus tetap waspada dan perlu mengarahkan perawatan pasien dalam kerjasama yang erat dengan ahli bedah saraf. Walupun tidak terbukti efektif, barbiturate coma dan decompressive hemicraniectomy harus dipertimbangkan pada pasien-pasien dimana tindakan-tindakan medis yang agresif telah gagal. Tabel 21. Comparison of Hypertonic Saline and Mannitol Parameter Hypertonic Mannitol Saline Volume Volume Initially expands, but epander cause diuresis and hypotension Serum osmolality



Increased



Increased



Crossing Bloodbrain barrier



Less likely



More likely



Impact on ICP



Similar reduction



Similar reduction



Impact on CPP



Maintains CPP



May reduces CPP due to hypotension/diuresis



Immunomodulation



May decrease No significant effect inflammation Dikutip dari : Adeoye OM, Shutter LA. Neurological Critical Care. In: Jallo J, Loftus CM, eds.Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.294-295 Tabel 22. Options for Management of Intracranial Pressure Initial Treatment Plan  Secure airway and provide oxygenation, ventilation, and intravenous fluids during trauma resuscitation  Maintain SaO₂ > 90% , SBP > 90% , and PaCO₂ 30 – 40 mmHg  Avoid hypotension: Increase MAP to maintain CPP > 60 mmHg  Obtain CT scan of brain as indicated  Initiate ICP/ventriculostomy monitoring per indication : GCS ≤ 8 after initial resuscitation with an abnormal CT on admission(i.e.,hematoma,contusion,edema, or compressed basal cisterns) deem to have survivable brain injury GCS ≤ 8 after initial resuscitation in patient with a normal CT and 2 or more of the following : age > 40 years, unilateral or bilateral posturing, SBP < 90 mmHg



174



Standard Admission Neurointensive Care (NICU) goals  Assure head and neck allignment: Position head of bed 20 – 30 degrees (as appropriate for spine status)  Retape endotracheal tape (avoid tapping at back or neck)  Careful monitoring to maintain : SaO₂ > 90%, PCO₂ 38 – 44 mmHg, ICP < 25 mmHg, CPP > 60 mmHg, temprature 36 - 37⁰C, glucose 80 – 110 mg/dL  Ensure sedation and analgesia goals are met  If ventriculostomy in place, keep clamped to allow continuous ICP monitoring NICU Interventions for ICP elevations:  Treatment options for unprovoked ICP elevation of > 20 mmHg that persists > 5 minutes. Intervention should be initiated based on clinical situation and potential etiology of ICP elevation  Therapeutic intervention for signs of acute herniation : Bolus of mannitol (0.25 – 1.0/kg) or 3% NaCl (250 ml). Maintain serum Osmo < 320 mOsm/L and euvolemia Hyperventilation to PaCO₂ < 35 mmHg  Therapeutic intervention for raised ICP Increased sedation and analgesia as tolerated (maintain CPP > 60 mmHg) If ventriculostomy in place, drain 5 – 10 ml cerebrospinal fluid Maintain CPP > 60 mmHg, use vasopressors as needed Mannitol 0.25 – 1 g/kg or 3% NaCl to achieve a goal of Na⁺ 145 – 155 (maintain serum osmo < 320 mOsm/L and euvolemia Mild hyperventilation to PaCO₂ 33 – 38 mmHg (maintain PbtO₂ > 20 mmHg) Hypothermia to 33 - 34⁰C Decompressive hemicraniectomy Barbiturate coma with EEG monitoring to confirm burstsupression  Diagnostic interventions : Consider repeating a brain CT scan to assess for structural lesions EEG for possible seizure PbtO₂ : brain tissue oxygenation. Dikutip dari : Adeoye OM, Shutter LA. Neurological Critical Care. In: Jallo J, Loftus CM, eds.Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.294295



Managing Nonneurological Issues for TBI Patients in Intensive Care Pasien sakit parah sering sering mendapat intubasi endotrachel, ventilasi mekanik, sedasi kimiawi, dan tidur terikat selama perawatan di ICU, juga memakai pipa makan oral atau nasal, central venous catheter, bladder catheter, kantung rektal, dan monitor-monitor invasif lainnya, untuk memantau hemodinamik dan status fisiologik. Pengelolaan pasien ini sangat kompleks, dan pasien-pasien ini terutama rentan untuk mendapat infeksi yang berhubungan dengan perawatan di ICU.



Neurosurgery Lecture Notes



Ventilator Management and Ventilator Associated Pneumonia Gagal pernafasan adalah disfungsi nonneurologik yang paling sering didapat pada pasien TBI berat. Meskipun begitu, hanya sedikit penelitian yang menilai pengelolaan ventilator pada penderita-penderita TBI. Percoban akhir-akhir ini telah mulai memfokuskan pada pernafasan mekanik setelah TBI dan efek ventilasi mekanik pada hasil akhir. Sebuah penelitian prospektif melakukan random pada 21 penderita TBI pada volume control ventilation dan zero positive endrespiratory pressure (ZEEP) versus 8 cm H₂O positive end-respiratory pressure (PEEP), setelah 5 hari dalam ventilasi mekanik, pernafasan mekanik abnormal ditunjukkan oleh kelompok ZEEP dan tampaknya dapat dicegah pada level menengah oleh ZEEP. Dampak yang mungkin terjadi pada hasil akhir pasien, tetap belum diketahui. Pada penelitian prospektif observasional terhadap 137 pasien yang memang hanya menderita TBI dengan ventilasi > 24 jam, 31% menderita cedera paru akut (acute lung injury, ALI), dan ALI adalah prediktor mortalitas yang independen dan prediktor hasil akhir neurologik yang buruk. Saat ini, kerja ventilasi yang terbaik untuk meng-optimalkan pernafasan mekanik dan meminimalkan ALI belum diketahui dan memerlukan percobaan-percobaan klinik. Ventilator associated pneumonia (VAP), sesuatu yang umum dan banyak berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas pada penderita sakit parah . Angka kejadian (incidence rate) dari VAP diperkirakan 10 – 25% dengan angka mortalitas 10 – 40%. Disamping itu, lama tinggal (length of stay) dan biaya (cost) juga meningkat pada pasien yang mendapat VAP. Vap digolongkan sebagai early (< 4 hari) dan late (≥ 4 hari) berdasarkan pada lamanya ventilasi mekanik. Early VAP harus diberi antibiotika yang mencakup komunitas organisme yang khas (kuman yang paling sering ditemukan). Antibiotika yang sesuai mungkin mencakup golongan macrolides (misalnya azthromycin) dan sefalosporin generasi ke-3 (misalnya ceftriaxone). Late VAP harus diasumsikan /dianggap disebabkan oleh hospital-acquired organisms yang mempunyai potensi resistensi, dalam keadaan seperti ini, harus dipakai antibiotika dengan spektrum yang lebih luas.



Secara empiris, cakupan gram-positive dari methycillin-resistant Staphylococcus aereus dan Vancomysin danggap sesuai ; cakupan gram negatif harus mencakup Pseudomonas aeruginosa ; beberapa antibiotika yang sesuai termasuk cefepime, gentamycin, tobramycin, imipenem, dan piperacillin/tazobactam. Pada sebuah penelitian cohort prospektif observasional terhadap 60 penderita TBI denganVAP, Zygun dan kawan-kawan67 melaporkan suatu VAP dengan resiko lebih tinggi terdapat pada pasien-pasien dengan politrauma dibandingkan dengan pasien-pasien yang hanya menderita TBI saja (isolated TBI). Mereka juga melaporkan ventilasi mekanik yang lebih lama, lebih lama dirawat di ICU dan lamanya tinggal dirumah sakit (length of hospital stay, LOS) dan lebih banyak trakeostomi pada penderitapenderita TBI yang mendapat VAP daripada penderita-penderita tanpa VAP. Strategi pencegahan terhadap VAP terfokus pada mengurangi kolonisasi kuman pada daerah orofaring dan mengurangi resiko aspirasi dari orofaring dan isi lambung. Dalam suatu penelitian klinis acak terhadap 86 pasien-pasien ICU, Drakulovic dan kawan-kawan membandingkan posisi tempat tidur yang semirecumbent (setengah miring) dan supine (terlentang) dan menentukan kejadian (incidence) VAP. Secara mikrobilogik, pneumonia ditemukan sebanyak 5% pada kelompok recumbent dibandingkan dengan 23% pada kelompok supine, tetapi tidak terdapat perbedaan pada mortalitas68. Bagaimanapun, intervensi yang murah dan sederhana ini dapat memberikan hasil yang dramatis terhadap morbiditas pasien dan harus dikerjakan secara rutin, juga meninggikan kepala tempat tidur. Sucralfate juga telah terbukti merendahkan resiko VAP dibandingkan dengan pemakaian H2blockers yang dipakai untuk profilaksis stress-ulcer. Dengan demikian sucralfate harus dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan resiko rendah terhadap perdarahan gastrointestinal. Dengan menggunakan The Center for Disease Control and Prevention (CDC) for the Prevention of Nosocomial Pneumonia dan secara agresif 175



Neurosurgery Lecture Notes



memelihara disiplin perawat, dapat menurunkan kejadian VAP 12.8% infeksi pada 1000 ventilation days. Dalam mencari kriteria untuk penderita TBI siapa yang memerlukan trakeostomi, Gurkin et al melakukan penelitian retrospektif terhadap penderita TBI sampai 6 tahun kebelakang, digunakan logistic regression anlysis untuk mengidentifikasi GCS score < 8 ; Injury Severity Score ≥ 25 ; ventilator days > 7 sebagai prediksi untuk melakukan trakeostomi. Mereka menyarankan melakukan early tracheostomy untuk menurunkan morbiditas dan LOS69. Tabel 23. Antibiotic Recommendations for VentilatorAssociated Pneumonia VAP < 4 days (presumed- VAP ≥ 4 days (presume community acquired) hospital-acquired) Azithromycin plus thirdVancomycin or linezolide for generation cephalosporins methacillin resistence (ceftriaxon, Cefotaxime, Staphylococcus aureus plus ceftazidime) anti pseudomanal agents listed below: Third-generation  Aminoglycoside quimolones (levofloxasin, (tobramycin, gentamicin moxifloxasin)  Fourth generation cephalosporins,e.g.: Amoicillin-Sulbactam cefepime  Carbapenem e.g.: imipenem Ertapenem  Piperacillin - tazobactam Dikutip dari Adeoye OM, Shutter LA. Neurological Critical Care. In: Jallo J, Loftus CM, eds.Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009.p.294-295



Tabel 24. Patients to Be Considered for Early (< 7 days) tracheostomy Glasgow Coma Score ≤ 8 Injury Severity Score ≥ 25 Anticipited length of mechanical ventilation > 7 days Source :  Gurkin SA, Parikshak M, Kralovic KA, Horst HM. Agarwal V, Payne N. Indicator for tracheostomy in patients with btraumatic brain injury. Am Surg 2002;68:324-328  Ahmed N, Kuo YH.Early versus late tracheostomy in patients with severe traumatic head injury. Surg Infect(Larchmt) 2007;8:343-347



Catheter-Related Infections in TBI Central venous catheter (CVC) sering dipakai di ICU untuk mengalirkan cairan, nutrisi, obat-obatan, 176



dan memonitor keadaan hemodinamik. Infeksi dari CVC merupakan komplikasi yang paling sering dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan lama tinggal dirumah sakit (LOS). Catheter-related blood stream infection (CBSI) berhubungan dengan angka mortalitas dari 10 – 20%, perpanjangan hari rawat, dan biaya medis sampai US.$.10,000 selama perawatan rumah sakit. Pasien di ICU menderita penyakit yang cukup parah, sehingga CVC diperlukan sebagai bagian dari perawatan pasien. Walaupun lokasi jugular dan subclavia belum pernah dibandingkan, bukti yang ada memberi kesan kejadian thrombosis dan infeksi lebih rendah pada lokasi subclavia. Antimicrobial impregnated catheter juga telah dicoba dan dilaporkan menurunkan kejadian CBSI, tetapi karena harganya mahal, antimicrobialcoated catheter, dicadangkan bila kejadian infeksi > 2%. Kateter harus ditempatkan di tempat yang steril dibawah pengawasan ketat, tindakan ini telah terbukti menurunkan angka CBSI dan biaya. Chlorhexidine sebagai desinfectant sebelum pemasangan CVC telah terbukti lebih baik ketimbang alkohol dan iodine dalam mencegah CBSI. Venous Thromboembolism Prophylaxis and Treatment in TBI Trombosis vena sering terjadi pada pasien yang sakit parah dan dapat berkontribusi pada morbiditas pasien dan hasil akhir yang buruk karena menyebabkan pulmonary embolism (PE). Diperkirakan 20% dari penderita TBI berat tanpa profilaksis akan mendapat deep venous thrombosis (DVT). Namun, dibuat perbedaan antara relevant DVT dan irrelevant DVT. Pada umumnya diyakini bahwa DVT yang ditemukan pada vena-vena didaerah betis, tidak menyebabkan keadaan klinis yang signifikan dan buruk, tetapi bekuan darah pada vena-vena yang lebih proksimal lebih mungkin menyebabkan PE. Emboli paru telah dilaporkan terjadi < 1% pada penderita TBI selama perawatan dirumah sakit. Namun, ancaman potensial terhadap kehidupan dan pemakaian antikoagulan yang beresiko tinggi pada penderitapenderita cedera intrakranial, membuat



Neurosurgery Lecture Notes



pencegahan DVT diprioritaskan pada pengelolaan penderita TBI berat di ICU. Pencegahan terhadap DVT dapat dicapai baik dengan mechanical compression atau secara farmakologik dengan obat-obat heparinoids. Belum ada randomized control trials yang membandingkanan kedua modalitas ini untuk pencegahan DVT pada TBI dan kelainan patologik intrakranial lainnya untuk hal ini. Suatu penelitian prospektif observasional melakukan evaluasi pada pneumatic compression device untuk pencegahan DVT pada 523 pasien-pasien bedah saraf, 89 diantranya menderita TBI, angka DVT 0% pada TBI, dan 3.8% pada penelitian lain. Penelitian prospektif observasional yang lain, mengevaluasi pemakaian enoxaparin dalam 24 jam tiba di IGD pada 150 pasien. Walaupun angka DVT hanya 2%, protokol penelitian ini diubah, enoxaparin dimulai 48 jam setelah dirawat karena perdarahan yang memerlukan kraniotomi pada 2 dari 24 pasien. Walupun pencegahan DVT tetap merupakan bagian dari pengelolaan TBI di ICU, sedikit sekali buktibukti yang ada yang dapat menjadi petunjuk bagi para dokter. Penulis merekomendasikan pemakaian pneumatic compression devices pada awal dirawat di rumah sakit dan kemudian menambahkan obat-obat heparin dalam waktu 24 jam dan setelah dilakukan CT Scan kepala yang menunjukkan intrakranial hematoma yang tidak bertambah. Guidelines saat ini, memberikan rekomendasi class III untuk pemakaian pneumatic compression device dan / atau heparinoids untuk pencegahan DVT. Transfusion in TBI Konsep mempertahankan hemtokrit > 30% setelah TBI mempunyai sedikit bukti pendukung . Dalam suatu analisa subgroup dari 67 pasien dengan TBI sedang sampai berat dari multicenter, randomized, controlled Transfusion Requirement in the Critical Care (TRICC) trial, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam 30-day mortality, ICU LOS, atau hospital LOS antara pasien-pasien dengan sasaran hemoglobin 7 – 9 g/dL dibandingkan dengan sasaran hemoglobin 10 – 12 g/dL. Yang menyolok, saat ini ada bukti bahwa transfusi dapat mengarah ke immunomodulation dan ALI, dan berhubungan dengan peningkatan



morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien trauma. Oleh karena itu, pengelolaan saat ini harus membatasi transfusi kecuali ada tanda-tanda gangguan fisiologik yang jelas dalam status volume, status hemodinamik, temuan-temuan EKG, penyakit-penyakit serebrovaskular dan tekanan oksigen otak (cerebral oxygen tension). Nutrition in TBI Sangat sedikit data mengenai dampak nutrisi spesifik pada pasien-pasien TBI. Dalam suatu penelitian acak terkontrol yang membandingkan dampak dari early parenteral nutrition (dalam waktu 7 hari) terhadap delayed enteral nutrition (dalam waktu 2 minggu) pada 38 pasien TBI, early parentral group mempunyai peningkatan kelangsungan hidup, positive nitrogen balance, dan albumin yang lebih tinggi daripada delayed enteral nutrition group. Peneliti-peneliti menyimpulkan bahwa early total parenteral nutrition mempunyai dampak yang menguntungkan setelah TBI. Namun pada penelitian selanjutnya oleh kelompok yang sama pada 51 pasien-pasien TBI, menemukan tidak ada perbedaan pada full enteral atau parenteral nutrition dalam waktu 3 hari setelah cedera, memberikan kesan bahwa keuntungan pada penelitian pertama mungkin hanya disebabkan kekurangan gizi pada kelompok 2 minggu70. Untuk mencapai dukungan nutrisi yang penuh, dengan kecenderungan memperoleh hasil akhir 6 bulan yang lebih baik, guidelines pada saat ini merekomendasikan memulai pemberian nutrisi dalam waktu 72 jam setelah cedera. Jalan pemberian dan formulasi dari nutrisi tambahan masih diperdebatkan. Untuk mempertahankan nitrogen balance yang adekuat, jumlah protein > 15% direkomendasikan bagi semua formulasi enteral. Walupun cabang rantai asam amino memperbaiki hasil akhir, pada pasien-pasien sepsis dan pemberian glutamine dipercayai menekan angka infeksi, penemuan ini belum dikonfirmasikan untuk pasien-pasien TBI. Hiperglikemia telah dikenal berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk. Masih diperdebatkan apakah hiperglikemia merupakan marker terhadap beratnya penyakit atau sebagai faktor penyebab buruknya hasil akhir.



177



Neurosurgery Lecture Notes



Rekomendasi saat ini ialah mempertahankan glukosa serum dibawah 200 mg/dL. Neurological Syndromes Falcine or Cingulate Herniation Pergeseran lateral dari cerebral hemisphere dapat menekan cingulate cortex berada dibawah falx serebri. Hal in akan menyebakan kompresi pada arteri serebri anterior (ACA), vena serebri magna dan jaringan disekitarnya, sehingga memperburuk iskemia dan edema yang sudah ada. Infark pada daerah ACA dapat menyebabkan kelemahan pada ektrimitas bawah, kehilangan sensasi sensorik, penurunan perancangan motorik, apraxia, abulia atau kinetic mutism, transcortical motor aphasia, dan inkontinensia. Kompresi terhadap vena serebri magna dapat menyumbat aliran darah vena dari daerah otak yang lebih dalam dan dapat menyebabkan peningkatan ICP. Uncal or Tentorial Herniation Adanya lesi yang berkembang didaerah lobus temporalis atau fossa temporalis dapat menggeser hippocampus dan uncus dari lobus temporalis kearah garis tengah. Keadaan ini menimbulkan gejala-gejala klasik deteriorasi karena herniasi. Nervus cranialis III dan arteri serebri posterior (PCA) terperangkap diantara uncus dan ujung tentorium. Dilatasi dari pupil yang ipsilateral merupakan yang pertama ditemukan, dan dapat terjadi infark di oksipital karena kompresi terhadap PCA. Akhirnya batang otak yang berdekatan akan tertekan kearah ujung tentorial yang kontralateral. Kompresi terhadap pedunkulus serebri yang kontralateral akan menyebabkan hemiparesis pada sisi yang sama dengan lesi massa (Kernohan’s notch syndrome). Central or Transtentorial Herniation Herniasi sentral dari hemisfer serebri melalui tentorial notch menyebabkan pergeseran kebawah dari batang otak. Cabang-cabang perforantes bagian medial dari arteri basilaris akan mengalami regangan , menyebabkan gangguan perfusi pembuluh darah. Iskemia pada batang otak akan menyebabkan perubahan dari tingkat kesadaran (penurunan respon dan agitasi yang tidak dapat dijelaskan). Dapat terjadi paralisis nervus VI sebagai



178



akibat pergeseran (displacement) dan kompresi terhadap saraf VI pada ligamentum petrosum kearah caudal. Foraminal Herniation Pergeseran kearah caudal dari struktur–struktur di supratentorial dan fossa posterior dapat menyebabkan turunnya jaringan dibawah foramen magnum. Kompresi terhadap medullary cardiac center dan repiratory center dapat mengancam nyawa.



Gambar 10. Jenis-jenis herniasi. Dikutip dari Brain Herniation. Wikipedia, the free encyclopedia. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/Brain_herniation on 27/042012 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Uncal herniation (Tentorial herniation) Central herniation (Transtentorial herniation) Falcine herniation (Cingulate herniation) Transcalvarial herniation Upward herniation Foraminal herniation



Seizures in TBI Serangan kejang setelah TBI dapat terjadi pada saat cedera (immediate seizure), atau dalam minggu pertama karena komplikasi akut dari cedera (early seizure), atau beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah cedera dalam bentuk posttraumatic seizure disorder (delayed seizure). Diantara penderita-penderita TBI, 2% mendapat serangan kejang (dapat dalam bentuk immediate, early atau delayed), jumlah ini bervariasi secara luas tergantung dari beratnya cedera.Pada penderita TBI berat, data memperkirakan 12% mendapat early seizure. Antiepileptic drug (AED) secara rutin dipakai untuk pengobatan posttraumatic seizure disorder, tetapi pertanyaan yang paling sering timbul dari segi klinis adalah apakah perlu memberikan AED profilaksis pada pasien TBI pada masa /periode



Neurosurgery Lecture Notes



cedera akut dan sampai berapa lama setelah cedera. Pola-pola praktis bervariasi luas, tetapi penelitian guidelines belum lama ini memberikan bimbingan untuk para dokter. Dalam suatu penelitian randomized, doubleblind, placebo controlled trial terhadap 404 penderita, penderita TBI berat yang diobati selama 1 tahun dengan placebo atau phenytoin dimulai dalam 24 jam setelah cedera . Kadar phenytoin serum dipertahankan pada therapeutic range. Setelah 7 hari cedera, 3.6% dari pasien yang diberikan phenytoin mendapat serangan kejang, dibandingkan dengan 14.2% pasien yang diberikan placebo (risk ratio 0.27 ; p < 0.001). Diantara hari ke 8 dan pada akhir tahun pertama 21.5% dari kelompok phenytoin mendapat serangan kejang dibandingkan dengan 15.7% dari kelompok placebo. Pada ahir tahun kedua, 27.5% dari kelompok phenytoin dan 21.1% dari kelompok placebo mendapat serangan kejang. Peneliti menyimpulkan bahwa phenytoin profilaksis mempunyai efek yang menguntungkan dalam mengurangi serangan kejang, hanya bermanfaat pada minggu pertama setelah TBI berat. Dalam suatu penelitian prospektif obervasional terhadap 94 penderita TBI sedang sampai beratdengan monitoring EEG secara terus menerus selama 14 hari setelah cedera. Convulsive and nonconvulsive seizure terjadi pada 22% pasien, dengan status epilepticus terjadi pada enam pasien. Lebih dari separuhnya adalah nonconvulsive seizure dan didiagnosa berdasarkan semata-mata pada EEG saja. Enam pasien dengan status epilepticus, semuanya meninggal dibandingkan dengan angka mortalitas 24% pada kelompok nonconvulsive. Serangan kejang akan terjadi walaupun diberikan AED awal, dan mempertahankan dosis dan pemeliharaan konsentrasi obat yang adekuat. Rekomendasi saat untuk mencegah serangan kejang pada TBI berat, ialah memberikan obat sedini mungkin setelah diagnosa TBI dan diteruskan untuk 7 hari, sebagai refleksi dari penelitian diatas. Pituitary Dysfunction and Electrolyte Abnormalities Kelenjar hipofise posterior terlibat dalam pengaturan keseimbangan cairan. Sindrom dari



cedera pada bagian posterior kelenjar hipofise sudah sangat dikenal dan biasanya timbul awal setelah TBI. Termasuk diantaranya Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) dan Diabetes Insipidus (DI). Abnormalitas neuroendokrin dari bagian anterior hipofise tidak akan tampak sampai beberapa bulan setelah cedera. Bagian anterior hipofise melepaskan beberapa hormon yang mempengaruhi pertumbuhan, kelenjar adrenal, organ-organ produksi, dan fungsi tiroid. Cedera hipofise akan memberikan gejala-gejala yang berhubungan dengan akibatnya pada target organ. Defisiensi growth hormone secara klinis pada orang dewasa mungkin tidak tampak (silent), akan tetapi delayed bone maturation dan pertumbuhan yang terlambat akan tampak pada anak-anak. Konsentrasi hormon adrenokortikotropin yang rendah dapat mengakibatkan stress-related fatique, hipotensi, demam dan gangguan kognitif. Hilangnya hypothalamic dopamine inhibition dapat menyebabkan hiperprolaktinemia dan galactorrhea, anovulation, gynecomastia dan impotensi. Hypogonadism terjadi sebagai akibat dari defisiensi gonadotropin dan menyebab penurunan libido, impotensi , amenorrhea, dan hilangnya tanda-tanda kelamin sekunder. Fungsi kelenjar tiroid mengatur metabolisme, dan setiap cedera pada hypothalamic-pituitary axis dapat menyebabkan hypothyroidism. Gejala-gejalanya meliputi kelambatan kognitif, cold intolerance, kelelahan, dan anemia. Kerusakan total hypothalamic-pituitary axis, mengakibatkan panhypopituitarism dan disfungsi dari semua sistem. Faktor-faktor yang menybabkan disfungsi neuroendocrine setelah cedera otak termasuk trauma yang mempengaruhi lobus frontal, fraktur basis tengkorak, dan cedera berat dengan > 24 jam posttraumatic anamnesia (PTA). Kecurigaan terhadap disfungsi bagian anterior hipofise, sangat tinggi pada pasien-pasien dimana terdapat hipotensi, kehilangan berat badan, kelelahan, kehilangan libido, atau depresi yang tidak dapat dijelaskan. Pemeriksaan penunjang harus terdiri dari pemeriksaan urin, osmolalitas serum, Thyroxin (T4), dan T3 uptake test. Serum pooled testosteron



179



Neurosurgery Lecture Notes



(rata-rata tiga samples) , TDH, growth hormone, FSH, LH, Cortisol. Gangguan natrium adalah hal yang biasa di ICU dan normal sodium balance tergantung pada banyak faktor. Renin-angiotensin-aldosteron system memelihara/mempertahankan renal sodium, resorpsi air dan merangsang rasa haus. ADH disekresikan dengan peningkatan osmolalitas dan hipovolemia menurunkan ekskresi ginjal dari free water. TBI dapat merubah sistem keseimbangan ini yang mengakibatkan baik hiponatremia atau hipernatremia. Hiponatremia adalah abnormalitas natrium yang paling sering ditemukan dengan angka sekitar 9% 71 . Hal ini terjadi sebagai respon terhadap tiga sindrom yang berbeda : syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH), cerebral salt wasting (CSW), dan psychogenic polydipsia.



hipovolemia, high urine output, osmolalitas serum yang normal atau meningkat. Pengobatan harus terfokus ke hidrasi (penambahan cairan) dan pemberian natrium. Pada saat ini, conivaptan (suatu arginin vasopressin antagonist ) sedang diteliti pada populasi pasien untuk pengobatan dengan hiponatermia dalam euvolemia atau hipervolemia73.



Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH) SIADH adalah penyebab hiponatremia yang paling sering ditemukan setelah TBI. Angka kejadian antara 2 – 5% dengan laporan tertinggi adalah 33% pada TBI berat72. Berbagai mekanisme dapat mendorong pelepasan ADH, termasuk diantaranya peningkatan ICP, hipercapnia, disfungsi hipothalamus, perubahan reaksi terhadap osmoreseptor, dan obat-obatan. Kriteria klinis SIADH adalah hiponatremia dengan normovolemia, osmolalitas serum rendah, urine output rendah, natrium urin tinggi, osmolalitas urin > osmolalitas serum, konsentrasi ADH tinggi. Pengobatan terutama melalui restriksi cairan dan pencegahan terhadap cairan hipotonik intravena. Pada kasus yang lebih berat atau refrakter terhadap pengobatan, demeclocycline (300 mg setiap 6 jam), fluorocortisone (0.1 – 0.2 mg sehari), HTS (500 cc selama beberapa jam) atau pemberian garam oral atau melalui pipa lambung. Cerebral Salt Wasting (CSW) Hiponatremia pada minggu kedua setelah TBI mungkin disebabkan oleh CSW. Mekanisme ini mungkin berhubungan dengan pelepasan atrial naturetic factor dan renal sodium loss. Gambaran klinis terdiri dari hiponatremia dengan



180



Tabel 25. Comparison of Clinical Findings in Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) and Cerebral Salt Wasting PARAMETER SIADH CSW Serum sodium Decreased Decreased Serum osmolality



Decreased



Normal - increased



Urine sodium



Increased



Increased



Urine output



Decreased



Increased



Volume status



Normovolemia



hypovolemia



Body weight Icreased Decreased Dikutip dari: Jallo J, Loftus CM, eds. Neurotrauma and Critical Care of the Brain. New York, Stuttgart: Thieme 2009



Diabetes Indipidus Diabetes Insipidus, relatif jarang setelah TBI, tetapi dapat dilihat pada penderita-penderita cedera berat atau kerusakan pada hypothalamicpituitary axis yang menyebabkan sekresi ADH yang inadekuat. Pasien akan menunjukkan hipernatremi dengan poliuri, polidipsi, hipovolemia, peningkatan osmolalitas serum, dan osmolalitas urin yang rendah. Diabetes insipidus bereaksi baik terhadap pemberian pitressin, vasopressin, dan penambahan cairan. Iatrogenic Hypernatremia Pemakaian mannitol dan furosemid atau HTS pada pengelolaan ICP dapat menyebabkan peningkatan natrium serum. Kehilangan cairan melalui endotracheal tube atau trakeostomi, demam atau keringat, dapat meningkatkan natrium. Phenytoin, captopril, naloxone (opiod antagonist), dan ethanol dapat menghambat sekresi ADH. Pemberian makanan secara enteral dapat mengandung konsentrasi natrium yang tinggi. Salah satu faktor ini dapat menyebabkan iatrogenic hypernatremia. Koreksi dapat dicapai



Neurosurgery Lecture Notes



dengan menyesuaikan pemberian cairan dan elektrolit. Other Electrolyte Abnormalities Pengaturan kalium dapat dipengaruhi setelah cedera otak. Banyak mekanisme dapat menyebabkan hipokalemia. Sekresi aldosteron sebagai akibat stress fisik mengarah ke peningkatan ekskresi kalium. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis pernapasan, yang mendorong kalium intraselular dan menurunkan kadarnya dalam serum. Diet, mual, muntah dan obat-obatan seperti diuretik, mannitol, antibiotika, atau kortikosteroid dapat menyebabkan hipokalemia. Gejala-gejala klinis hipokalemia antara lain abnormalitas kondisi jantung, kelemahan dan hiporefleksi. Pengobatan harus difokuskan terhadap penyebab dasarnya dan pemberian kalium. Hiperkalemia biasanya merupakan akibat asidosis metabolik, gagal ginjal, atau hypoadrenalism. Pemberian glukosa atau insulin akan meningkatkan absorpsi selular dari kalium. Hipomagnesemia dapat disebabkan oleh ekskresi urin yang berlebihan, alkalosis, sepsis, diuretik, dan aminoglikosida. Hubungan antara magnesium dan kalsium memberikan kesan bahwa hipomagnesemia meningkatkan resiko dari secondary injury dengan memperburuk calciumrelated excitotoxicity. Gejala-gejala klinis antara lain, kelemahan, tetani, hiperefleksia, dan perubahan kognitif. Pemberian makanan enteral atau parenteral dapat dipakai untuk pengobatannya. Dysautonomia Lonjakan catecholaminergic setelah pembedahan dapat mengakibatkan suatu hyperdynamic cardiovascular state dengan hipertensi, tachycardia and peningkatan cardiac output. Walaupun hyperdynamic cardiovascular state dapat mereda, posttraumatic hypertension dapat bertahan terus. Cedera terhadap hypothalamic periventricular nucleus dapat mengganggu regulasi tekanan darah. Cedera terhadap orbitofrontal cortex dapat mengganggu vagal activity dan cardiovascular sympathetic tone. Betablocker dapat merupakan pengobatan yang efektif dapat menolong meng-kontrol setiap reflex tachycardia. Alpha-adrenergic agonist, calcium



channel blockers, dan angiotensin-converting enzymes, dapat juga dipakai, tetapi vasodilator harus dihindarkan karena secara potensial dapat menyebababkan hipotensi, sehingga menurunkan perfusi otak. Hipertermia, memerlukan penyelidikan terhadap kemungkinan infeksi, tetapi pada beberapa pasien, sumber infeksi mungkin tidak akan ditemukan dan peningkatan suhu dapat bertahan walaupun telah diberikan antibiotika yang adekuat. Allergi terhadap phenytoin merupakan salah satu penyebabnya. Demam yang asalnya ‘sentral’ juga harus diperhitungkan. Hal ini dapat berupa demam yang sedang, atau demam dengan suhu yang tinggi dan berfluktuasi. Koordinasi dari pengaturan suhu dicapai di hipothalamus, dan kerusakan pada hipothalamus dapat mengakibatkan respon suhu yang abnormal. Pengobatan terutama adalah pemberian antipiretik dan cooling blankets. Propanolol dan bromocriptine dilaporkan efektif pada pengobatan terhadap demam sentral yang persisten. Beberapa serial penelitian menunjukkan gabapentin berpotensi untuk mengatasi demam sentral73. DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



4.



5. 6.



7.



8.



Marr AL, Coronado VG, eds. Central Nervous System Injury. Data Ssubmission Standard-2002. Atlanta: Center for Disease Control and Prevention, National Control for Injury Prevention and Control 2004 Gennarelli TA, Thibault LE, Adams JH, Graham DI, Thompson CJ, Marcincin RP. Diffuse axonal injury and Traumatic coma in the primate. Ann Neurol 1982;12(6):564-574 Gennarelli TA. Head injury in man and experimental animals; clinical aspect Acta Neurochir Suppl (Wien) 1983; 32:1-13 Löwenhielm P. Strain tolerancceof the vv.cerebri sup.(bridging veins) calculated from head-on collision test with cadavers. Z.Rechtsmed 1974;75(2):131-144 Holbourne AS. Mechanics of Head Injury. Lancet 1943;2: 438-441 Ommaya AK, Gennarelli TA. Cerebral concussion and traumatic unconsciousness: Correlation of experimental and clinical observations of blunt head injuries. Brain 1973;97(4):633-654 Meany DF, Olvey SE, Gennarelli TA. Biomehanical Basis of Traumatic Brain Injury. In: Winn HR. Ed. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.4. Philadelphia: ELSEVIER Saunders 2011.p.3277-3279 Kent D, Yundt KD, Diringer MD. The use of hyperventilation and its impact on cerebral ischemia in



181



Neurosurgery Lecture Notes



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



16.



17. 18.



19.



20.



21.



22.



the treatment of traumatic brain injury. Crit Care Clin 1997;13(1): 163-184 Yamaki T, Hirakawa K, Ueguchi T, Tenjin H, Kuboyama T, Nakagawa Y. Chronological evaluation aof acute traumatic intracerbral hematoma. Acta Neurochir (Wien) 1990;103:112-115 Liau LM, Becker DP. Pathology and pathophysiology of head injury. In: Youman JR, ed. Neurological Surgery, 4th edn, Vol.3. Philadelphia: WB Saunders 1996.p.15491594 Adam JH, Doyle D, Ford I, Gennarelli TA, Graham DI, McLellan DR. Diffuse axonal injury in head injury: Definition, diagnosis, and grading. Histopathology 1989;15(1):49-59 Smith DH, Wolf JA, Lusardi TA, Lee VM,Meany DF. High tolerance and delayed elastic response of cultured axons to dynamic stretch injury. J Neurosci 1999;19(1):42634269 Adam JH, Doyle D, Ford I, Gennarelli TA, Graham DI, McLellan DR. Diffuse axonal injury in head injury: Definition, diagnosis, and grading. Histopathology 1989;15(1):49-59 Blumbergs PC. Neuropathology of Traumatic Brain Injury. In Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol 4. Philadelphia : ELSEVIER SAUNDERS 2011.p.3288-3304 Sughrue ME, Potts MB, Stiver SI, Manley GT. Trauma Flap : Decompressive Hemicraniectomy. In: Jandisl R, McCormick PC, Black PM eds. Core Techniques in Operative Neurosurgery. Philadelphia : ELSEVIER SAUNDERS 2011.p.70-74 Bullock R, Maxwell WL, Graham DI, Teasdale GM, Adam JH. Glial swelling following human cerebral contusion: An ultrastructural study. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1991;54(5):427-434 Gennarelli TA. The Spectrum of traumatic axonal injury. Neuropathol Appl Neurobiol 1996;22(6):509-513 Fineman I, Hovda DA, Smith M, Yoshino A, Becker DP. Concussive brain injury is associated with a prolonged accumulation of Calcium : A 45Ca autoradiographic study. Brai Res 1993;624(1-2):94-102 Soares HD, Hicks RR, Smith D, McIntosh TK. Inflammatory leucocytic recruitment and diffuse neuronal degeneration are separate pathological processes resulting from traumatic brain injury. J Neurosci 1995;15(12):8223-8233 Goodon CR, Merchant RS, Marmarou A, Rice CD, Mars JT, Young HF. Effect of murine recombinant interleukin-1 on brain oedema in the rat. Acta Neurochir Suppl (Wien) 1990;51:268-270 Zacko JC, Hawryluk GWJ, Bullock MR. Neurochemical Pathomechanism in Traumatic Brain Injury. In Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery 6th edn. Vol 4. Philadelphia : ELSEVIER SAUNDERS 2011.p.3318-3324 Kerr JF, Wyliie AH, Currie AR. Apoptosis: A biological phenomenon with wide-ranging implifications in tissue kinetics. Br J Cancer 1972;26(4):239-257



23.



24.



25.



26.



27.



28.



29. 30.



31.



32. 33.



34.



35. 36.



37.



38.



182



Miyashita T, Reed JC. Tumor suppressor p53 is a direct transcriptional activator of human bax gene. Cell 1995;80(2):293-299 Miyashita T, Krajewski S, Krajewska M, Wang HG, Lin HK, Liebermann DA, Hoffman B, Reed JC. Tumor suppressor p53 is a regulator of bcl-2 and bax gene expression in vitro and in vivo. Oncogene 1994;9(6):1799-1805 Guskiewicz KM, Marshal SW, Bailes J, McCrea M, Harding HP Jr, Matthews A, Mihalik JR, Cantu RC. Association between recurrent concussion and late-life cognitive impairment in retired professional football players. Neurosurgery 2005;57(4):719-726 Aubry M, Cantu R, Dvorak J, Graf-Bauman T, Johnston K, Kelly J, Lovell M, McCrory P, Meeuwisse W, Schamasch P. Concussion in Sport Group. Summary and agreement statement of the 1st International Symposium on Concussion in Sport, Vienna 2001. Clin J Sport Med 2 002;12(1):6-11 McCrory P, Johnston K, Meeuwisse W, Aubry M, Cantu R, Dvorak J, Graf-Bauman T, Kelly J, Lovell M, Schamasch P. Summary and agreement statement of the 2nd International Symposium on Concussion in Sport, Praque 2004. Br J Sport Med 2005;39(4):196-204 Nell V, Yates DW, Kruger J. An extended Glasgow Coma Scale (GCS-E) with enhanced sensitivity to mild brain injury. Arch Phys Med Rehabil 2000;81(5):614-617 Shaw NA. The Neurophysiology of concussion. Prog Neurobiol 2002;67(4):281-344 Omaya AK, Gennarelli TA. Cerebral concussion and traumatic unconsciousness: correlation of experimental and clinical observations of blunt head injuries. Brain 1974:97(4):633-654 Saija A, Hayes RL, Lyeth BG, Dixon CE, Yamamoto T, Robinson SE. The Effect of concussive head injury on central cholinergic neurons. Brain Res 1988:452(12):303-311 Giza CC, Hovda DA. The Neurometabolic cascade. J Athl Train 2001;36(3):228-235 Ingebrigtsen T, Waterloo K, Jacobsen EA, Langbakk B, Rommer B. Traumatic Brain Damage in minor head injury: relation of serum S-100 protein measurements to magnetic resonance imaging and neurobehavioral outcomr. Neurosurgery 1999;45(3):468-475 Berger RP, Kochnek PM, Pierce MC. Biochemical markers of brain injury: could they be used as diagnostic adjuncts in cases of inflicted traumatic brain injury? Child Abuse Negl 2004;28(7):739-754 Thomas DG, Palfreyman JW, Ratcliffe JG. Serum-myelinbasic-protein assay. Lancet 1978;1(8086):113-115 Klauber MR, Marshall RF, Luerssen TG, Frankowski R, Tabaddor K, Eisenberg HM. Determinants of head injury mortality : importance of the low risk patients; Neurosurgery 1989;24(1):31-35 Levin HS, Williams DH, Eisenberg HM, et al. Serial MRI and neurobehavioural findings after mild to moderate closed head injury; J Neurol Neurosurg Psychiatry 1992;55(4):255-262 Brain Trauma Foudation. The American Society of Neurological Surgeons. The Joint Section of Neurotrauma



Neurosurgery Lecture Notes



and Critical Care. Prognosis and Management of Severe Traumatic Brain Injury. J Neurotrauma 2000;17:56-57 39. Sarajuuri JM, Kaipio M-L, Koskinen SK, Niemela MR, Servo AR, Vilkki JS. Outcome of a comprehensive neurorehabilitations program for patients with traumatic brain injury. Arch Phys Med Rehabil 2005;86:2296-2302 40. Sarajuuri JM, Kaipio M-L, Koskinen SK, et al. Outcome of a comprehensive neurorehabilitations program for patients with traumatic brain injury. Arch Phys Med Rehabil 2005;86:2296-2302 41. Stein SC, Ross SE. Moderate head injury: a guide to initial management. J Neurosurg 1992; 77:561-564. 42. Poon WS, Zhu XL, Ng SCP, Wong GKC. Predicting one year clinica hasil akhir in traumatic brain injury (TBI) at the beginning of rehabilitation.Acta Neurochir Suppl (Wien) 2005; 93:207-208 43. Teasdale G, Jennett B. Assessment of Coma and impaired consciousness: a practical scale. Lancet 1974;2(7872):8184 44. Sastrodiningrat G. Skala Koma Glasgow sebagai indeks diagnostik pada trauma kapitis. Majalah Kedokteran Bandung 1987; XIX(4):241-242 45. Narayan RK, Willberger JE, Povlishock JT. Neurotrauma. New York: McGraw-Hill Health Professional Division ; 1996: xxiv,1558 46. Marshall L, Marshall SB, Klauber ML, et al. A New classification of head injury base on computerized tomography. J Neurosurg 1992;9(Suppl 1):5287-5292 47. Jennett B, Bond M. Assessment of outcome after severe brain damage. Lancet 1975;1(7905):480-484 48. Maas AI, Marmarou A, Murray CD, Teasdale SG, Steyerberg EW. Prognosis and clinical trial design in traumatic brain injury: the IMPACT Study. J Neurotrauma 2007;24(2):232-239 49. Murray GD, Barer D, Choi S, et al.Design and analysisnphase III trials with ordered hasil akhir scale: the concept of the sliding dichotomy.J Neurotrauma 2005;22(5):511-517 50. Wilson JT, Pettigrew LE, Teasdale GM. Structured interviews for the Glasgow Outcome Scale and the Extended Glasgow Outcome Scale: guidelines for their use. J Neurotrauma 1998;15(8):573-585 51. Chesnut RM, Marshal RF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain injury in determining hasil akhir from severe brain injury. J Trauma 1993;34(2):216-222 52. The Brain Trauma Foudation. The American Association of Neurological Surgeons.The Joint Section of Neurotrauma and Critical Care. Glasgow Coma Scale Score. J Neurotrauma 2000;17(6-7):563-571 53. Davis DP, Serrano JA, Vilke GM, et al.The predictive value of field versus aarival Glasgow Coma Scale score and TRISS calculations in moderate-to-severe traumatic brain injury.J Neurotrauma 2000;60(5):985-990 54. Butcher I, Maas Ai, Lu J, et al. Prognostic value of dermographic characteristic in traumatic brain injury: result from the IMPACT study, J Neurotrauma 2007;24(2):259-269



55.



Hukkelhoven CW, Rampen Aj, Maas AI, et al. Some prognostics models for traumatic brain injury wer not validJ Clin Epidemiol 2006;59(2):132-143 56. Huang YH, Deng YH, Lee TC, Chen WF. Rotterdam Computed Tomography Score as a Prognosticator in Head-Injured Patients Undergoing Decompressive Craniectomy. Neurosurgery 2012;71(1):80-85 57. Maas AI, Hukkenhoven CW, Marshall LF, Steyerberg EW. Prediction of outcome in traumatic brain injury with computed tomographic characteristics: a comparison between the computed tomographic classification and combinations of computed tomographic predictors. Neurosurgery 2005;57(6):1173-1182 58. Butcher I, Maas Ai, Lu J, et al. Prognostic value of admission blood pressure in traumatic brain injury: result from the IMPACT study. J Neurotrauma 2007;24(2):294302 59. Sakowits OW, Stofer JF, Sarrafzadef AS, Unterberg AW, Kiening KL. Effect of mannitol bolus administration on intracranial prssure, cerebral extracellular metabolites and tissue oxygention in severely head-injured patients. J Trauma 2007; 62(2):292-298 60. Wong CW.Criteria for conservative treatment of supratentorial acute subdural hematomas. Acta Neurochir (Wien) 1995; 135(1-2):38-43 61. Servadei S, Faccani G, Roccella P, et al. bAsymptomatic extradural hematomas: result of a multicenter study of 158 in minor head injuryActa Neurochir (Wien) 1089;96(1-2):39-45 62. Blankenship JB, Chadduck WM, Boop FA. Repair of compund depressed skul farcturein children with replacement of bone fragments. Pediatr Neurosurg 1990;16(6):297-300. 63. Miller JD, Sweet RC, Narayan R, Becker DP. Early insult to the injured brain. JAMA 1978; 240:439-442 64. Warth A, Simon P, et al. Expression pattern ofthe water channel aquaporin-4 in human gliomas is associated with blood brain barrier disturbance but not with patient survival. J Neurosci Res 2007;85:1336-1346 65. Vialet R, Albanese J, Thomachot L, et al.Isovolume hypertonic solutes (sodium chloride or mannitol) in the treatment of refractory posttraumatic intracranial hypertension: 2 ml/kg 7.5% saline is more effective than 2 ml/kg 20% mannitol. Crit Care Med 2003;31:1683-1687 66. Zygun DA, Zuege DJ, Boiteau PJ, et al.Ventilatorassociated pneumonia in severe traumatic brain injury. Neuro Crit Care 2006;5:108-114 67. Drakulovic MB, Torres A, Bauer TT, Nicholas JM, Ferrer M.Supine body position as a risk factor for nosocomial pneumonia in mechanically ventilated pasients:a randomized trial.Lancet 1999;354:1851-1858. 68. Gurkin SA, Parikshak M, Kralovich KA, Horst HM, Agarwal P, Payne N.Indicators for tracheostomy in patients with traumatic brain injury.Am Surg 2002;68:324-328 69. Young BT, Ott L, Twyman D, et al.The effect of nutritional support on outcome from severe brain injury. J Neurosurg 1987;67:668-676



183



Neurosurgery Lecture Notes



70.



71.



184



Bacic L, Gluncic I, Gluncic V.Disturbances in plasma sodium in in patients with war head injury.Mil Med 1999;164:214-217 Vingerhoets F, de Tribolet N.Hyponatremia hypoasmolarity in neurosurgical patients.’Appropriate seceretion of ADH’ and ‘Cerebral salt wasting syndrome’. Acta Neurochir (Wien) 1988;91:50-54



72. 73.



US. National Insitute of Health.Available at www.clinicaltrials.gov. Accessed September 27,2007 Baguley IJ, Heriseanu RE, Gurka JA, Nordenbo A, Cameron ID. Gabapentin in the management of dysautonomia following severe traumatic brain injury: a case series. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2007;78:539541



Neurosurgery Lecture Notes



CHRONIC SUBDURAL HEMORRHAGE Sonny G. R. Saragih, Michael Norman Jusman, Abdurrahman Mouza, Iskandar Japardi PENDAHULUAN Chronic subdural hemorrhage (CSDH) merupakan salah satu kelainan yang cukup sering dihadapi dalam bidang bedah saraf dan mayoritas terjadi pada kelompok usia lanjut. Insidensi CSDH dalam literatur berkisar antara 1. 72 per 100. 000 kasus hingga 7. 35 per 100. 000 kasus. Meskipun demikian, baik etiologi, patofisiologi serta pengelolaan kasus CSDH ini masih kontroversial. Sekitar 30% - 50% kasus CSDH tidak dijumpai adanya riwayat trauma. Keterlibatan faktor koagulasi dan angiogenesis menjadi alasan mengapa topik ini dibicarakan terpisah dengan topik trauma.1, 2, 3



kemudian menimbulkan kekeliruan konsep untuk kurun waktu yang lama. Trotter kemudian mengajukan teori trauma terhadap bridging vein sebagai etiologi dan mengemukakan istilah ‘subdural haemorrhagic cyst’, sejak saat itu trauma memegang peranan penting dalam hal patogenesitas. 4, 5 DEFINISI CSDH ialah kumpulan darah diantara duramater dan lapisan arachnoid yang terjadi > 21 hari dan telah mengalami proses enkapsulasi dan pengenceran. Berdasarkan periode waktu, perdarahan subdural dibagi menjadi perdarahan subdural akut, subakut dan kronis. 3, 4, 6, 7 Tabel 1. Kategori SDH.



Jenis Perdarahan Subdural Perdarahan subdural akut Perdarahan subdural subakut Perdarahan subdural kronis



Periode waktu ditemukan/di diagnosa < 3 hari 4 – 21 hari > 21 hari



Dikutip dari : Adhiyaman V,Asghar M,Ganeshram N,Bhowmick BK, Chronic Sub Dural Hematoma in the elderly. Postgrad Med J 2002;78:71-75



Gambar 1. Rudolf Ludwig Karl Virchow, bapak patologi modern. Dikutip dari : Weigel R, Schmiedek P, Krauss JK. Concept of Neurosurgical Management of Chronic Subdural Haematoma: Historical perspective. Br J Neurosurg 2004;18:8-18



FAKTOR RESIKO DAN PREDISPOSISI CSDH sering dijumpai pada penderita usia tua, dimana usia berhubungan dengan reduksi volume otak dan peningkatan luas rongga subdural. Hal ini akan menyebabkan peregangan bridging veins dan rawan terhadap trauma, bahkan trauma yang ringan (trivial trauma). 1,5,7 Disamping faktor usia dan trauma, koagulopati dan riwayat penggunaan antikoagulan seperti warfarin, dan heparin, alcohol dan epilepsi juga dapat mencetuskan terjadinya CSDH. Tekanan intrakranial yang rendah akibat pasca pemasangan shunt juga dapat menyebabkan terjadinya CSDH. 1,3,5



CSDH pertama kali dikemukakan oleh Johan Jacob Wepfer pada akhir abad ke 17. Rudolf Virchow pada tahun 1857 menggunakan istilah ‘pachymeningitis haemorragica interna’ yang



PATOFISIOLOGI Patogenesis CSDH merupakan kontroversi selama puluhan dekade dan masih diperdebatkan hingga saat ini8. Pada tahun 1863, Virchow



185



Neurosurgery Lecture Notes



pertama kali mengajukan reaksi inflamasi kronis pada meningen sebagai penyebab CSDH. Pada tahun 1914, Trotter mengajukan trauma sebagai faktor etiologi 4 . Pada tahun 1932, Gardner dan kemudian Zolinger dan Gross mengajukan teori Gradient osmotik (yang didukung penelitian Suzuki). Teori ini menyatakan proses perluasan hematom diakibatkan oleh aliran masuk cairan plasma didalam gumpalan hematom, yang ditimbulkan oleh osmolalitas yang lebih tinggi. Hal ini akan menyebabkan tekanan tinggi intra kapsular dan akan mengakibatkan ruptur pembuluh darah kapiler dan pendarahan intra kapsul, yang akan meningkatkan tekanan onkotik dan menarik lebih banyak cairan intra kapsul 4, 9. Teori ini menimbulkan perdebatan panjang dan ditentang oleh penelitian Weir dkk, dimana penelitiannya bertujuan untuk menurunkan tekanan di dalam hematom (dengan cara menginsersikan sub dural drain), siklus ini akan terinterupsi dan akan mengakibatkan fibrosis membran, yang akan menyebabkan absorbsi cairan. Pada saat ini teori Gradient Osmotic hampir tidak dianut lagi 9 . Putamen dan Cushing (1925) menerangkan bahwa perdarahan berulang dari membran luar yang melekat pada duramater akan menyebabkan perluasan hematom progresif sebab fibrinogen telah digunakan untuk membentuk membran luar diikuti proses pengenceran gumpalan darah. Tetapi penelitian Ito dkk (1976) menyatakan proses degradasi fibrinogen menjadi FDP (fibrinogen degradation product) diakibatkan oleh reaksi hiperfibrinolisis lokal, sehingga cairan sub dural hematom umumnya tidak membentuk clot 9 (gumpalan darah). Penelitian Watanabe dkk (1972) mendemontrasikan perluasan CSDH eksperimental sesuai dengan ketebalan lapisan makropapiler dan juga derajat kebocoran yang timbul . 10 Pada tahun 1983, Yamashima dkk, dengan mengunakan mikroskop elektron menyelidiki struktur makropapiler, atau yang disebut sinusoid pada membran luar CSDH. Mereka menyatakan endothelial gap junction dari sinusoid tersebut memegang peranan penting pada proses kebocoran darah, mengakibatkan aktifitas fibrinolitik. Endothelial gap junction sering kali dijembatani oleh platelet dan berperan



186



mengurangi perdarahan mikro tersebut, serta mengurangi ukuran hematom. Proses terbentuknya endothelial gap Junction sampai saat ini belum dipahami, tetapi diduga peningkatan tekanan hidrostatik intraluminal atau kontraksi endothelial dapat menginduksi pemisahan sel-sel endothel yang berdekatan10 Pada tahun 1987 Giuffre menyatakan faktor hormonal, disamping faktor mekanik hematogenik dan vasogenik, juga memegang peranan dalam patogenesis CSDH9. Drapkin (1991) mengajukan suatu perspektif patofisiologi yang lebih dinamis. Teori ini menyatakan keberadaan produk lisis eritrosit pada rongga subdural sebagai konsekuensi dari ruptur bridging veins kortikal akan menginduksi respon inflamasi lokal dan siklus perdarahan-fibrinolisis, proses ini melibatkan proses terjadinya neo membran dan neo kapilarisasi. Proses ini dapat mengakibatkan pertambahan akumulasi cairan. Keseimbangan antara proses rebleeding dan absorbsi akan menentukan ukuran dan tendensi apakah hematom tersebut akan mengalami resorbsi atau perluasan hematom9. Hirashima dkk (1995) menyatakan infiltrasi eosinofil pada membran berhubungan dengan perdarahan pada kapsul. Peningkatan kadar mediator inflamasi PAF (Platelet Activating Factor) plasma dan peningkatan kadar Ig G Anti PAF dijumpai pada kasus CSDH , tetapi tidak pada kasus trauma kepala . Aktifitas PAF Acetylhidrolase lebih rendah pada kasus CSDH dibanding akut SDH. Sebagai tambahan , PAF terlokalisir di pembuluh darah sinusoid pada membran luar. Marker biokimia ini menunjukan PAF memegang peranan dalam patogenesis CSDH. 11 Sistem kallikrein-kinin adalah sistem yang terdiri dari prekallikrein, kallikrein, molecular kininogen [ high molecular weight (HMW) Kininogen] dan bradikinin. Hasil akhir dari sistem ini merupakan sebuah mediator kuat yang akan meningkatkan permeabilitas vaskular dan merangsang vasodilatasi dan migrasi leukosit. Sistem kallikrein-kinin berkaitan erat dengan fibrinolisis dan juga koagulasi, yang juga diduga mempunyai peran penting dalam pembentukan CSDH. 12



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 2. Diagram fungsional dari kallikrein-kinin system dan hubungan dengan fibrinolisis dan sistem koagulasi. Dikutip dari : Hirosuke F, et al. Kallikrein-kinin system in chronic subdural haematomas : its role in vascular permeability and regulation of fibrinolysis and coagulation. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995;59:388-394



Gambar 3. Chronic Subdural hematoma dengan lapisan membran internal dan eksternal. Dikutip dari : Hara M, et al. Possible Role of Cyclo Oxygenase-2 in Developing of Chronic Sub Dural Hematoma. J Med Dent Sei 2009;56:101-106



Penelitian Vaquero dkk (2002) telah mendemontrasikan neo membran eksternal mengandung sel-sel plasma dan makrofag yang memproduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth



Factor) dan β-FGF (beta Fibroblast Growth Factor) dalam kadar tinggi, keduanya dikenal sebagai angiogenic factor . PDGF (Platelet Derived Growth Factor) didapati lebih rendah kadarnya didalam kapsul dibanding plasma, konsekuensinya CSDH dapat dianggap sebagai penyakit angiogenik dimana fenomena peradangan sub akut memengang peranan yang penting 9 Whitfield menyatakan secara garis besar dijumpai 2 mekanisme patogenesitas, baik itu kombinasi ataupun tidak, yaitu : 13 1. Acute Subdural Hematoma yang tidak dievakuasi (dalam pengartian volume akut SDH dan imejing tidak menunjukkan indikasi operasi) dapat berkembang menjadi chronic subdural hematoma. Saat acute subdural hematoma mengalami proses maturasi, akan terbentuk inflammatory membrane yang akan membungkus gumpalan darah tersebut. Perdarahan minor yang berulang dari struktur neovaskular dapat mengakibatkan perluasan hematom, sebagai tambahan 187



Neurosurgery Lecture Notes



proses perdarahan akut yang mengalami proses pencairan beberapa hari setelah perdarahan awal. Proses perpindahan cairan yang dikendalikan oleh perbedaan gradient osmotic yang diakibatkan produk fibrinolisis didalam hematom, telah diajukan sebagai dasar perluasan hematom dalam pengalihan proses akut ke kronis subdural hematoma. 2. Proses pembentukan higroma subdural sekunder akibat robekan pada membran arachnoid mengakibatkan akumulasi CSF pada rongga subdural. Perdarahan minor berulang dari membran pembungkus yang akan berakumulasi di dalam cairan isi kantung akan mengakibatkan proses



perluasan higroma yang akan terkonversi menjadi CSDH. Dijumpainya beta trace protein, suatu marker CSF spesifik pada sebagian kasus CSDH dan keseluruhan kasus hygroma sesuai dengan hipotesis ini. Selain teori Hiperfibrinolisis, Yu Sik Shim dkk pada tahun 2007 mengajukan teori mekanik yang menyatakan cedera berkelanjutan pada pembuluh darah sinusoid rapuh yang baru terbentuk, kemungkinan diakibatkan pulsasi otak dan perubahan posisi kepala, mengakibatkan perdarahan berulang pada kapsul luar, yang mengakibatkan lesi perdarahan di bagian dalam kapsul tidak mengalami penggumpalan dan meluas secara perlahan-lahan. 10



Gambar 4. Patofisiologi terbentuknya Chronic Subdural hematoma.Dikutip dari : Whitefield P, et al. Management of Chronic Subdural Hematoma. ACNR 2008;8(5):12-15



188



Neurosurgery Lecture Notes



BIOLOGI MOLEKULER Investigasi secara ultrastruktural mengklarifikasikan bahwa pembuluh darah kecil pada membran mempunyai endhothelial fenestration dan gap junction yang longgar, selain itu CSDH juga berhubungan dengan regulasi dari koagulasi dan fibrinolisis yang tidak seimbang. Kombinasi dari pembuluh darah kecil yang rapuh dan pembuluh darah permeabel dengan koagulopati telah diyakini sebagai salah satu penyebab CSDH 14. Patogenesis dari CSDH kemungkinan juga berhubungan dengan adanya aktifitas vascular endothelial growth factor (VEGF) yang didasari dengan pengamatan pada cairan CSDH yang mengandung konsentrasi tinggi dari cytokine tersebut. VEGF dapat merangsang angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas dari pembuluh darah yang immature pada membran luar, dikarenakan aktifitas dari VEGF berhubungan dengan angiogenesis dan kebocoran vaskular pada kondisi fisiologis maupun pada kondisi patologis. Keterlibatan dari VEGF pada mekanisme patofisiologi pada saat ini sudah cukup jelas, tetapi sumber dan mediator dari aktifitas VEGF masih merupakan masalah yang diperdebatkan14. Nanko pada tahun 2009, meneliti tentang mekanisme induksi VEGF pada CSDH dengan mengukur kadar VEGF pada cairan hematom dan serum pasien menggunakan teknik ELISA, dan menyimpulkan bahwa kadar VEGF yang sangat tinggi pada cairan CSDH berhubungan dengan patofisiologi lesi ini, serta diinduksi oleh pelepasan HIF-1α 14. Hara dkk mengukur IL-6, IL -8, VEGF dan PGE2 , serta menganalisis korelasi PGE2 dengan interval dari trauma hingga tindakan pembedahan, dan menunjukan bahwa terdapat korelasi linier dan bermakna antara kosentrasi PGE2 pada cairan CSDH, mulai dari interval trauma hingga tindakan pembedahan. Kadar PGE2 , yang tinggi diduga mereflesikan peningkatan aktivitas COX-2, dengan demikian, sebagai kesimpulan COX-2 mungkin memegang peranan penting pada proses terjadinya CSDH. 15 Hypoxia-inducible factor (HIF)-1 adalah faktor integral transcriptional heterodimer terhadap respons yang disebabkan oleh hipoksia. Salah satu fungsi dari HIF-1 adalah untuk merangsang angiogenesis melalui regulasi



transkripsi dari VEGF. HIF-1 mengandung subunit α dan β, dimana keduanya mengandung basic helix loop dan diperlukan untuk mengikat DNA . Subunit HIF-1 β selalu aktif, tetapi aktifitas dari sub unit HIF-1 α yang akan menentukan akftifitas dari HIF-1 yang diregulasi oleh oksigen. Sub unit HIF-1 α akan didegradasi oleh proteasom, termasuk prolinehydrocyclase-2 dan Von Hippel-Lindauubiquitin ligase complex pada kondisi normoxic 14 Penelitian terkini menemukan adanya penemuan VEGF pada beberapa sel di membran terluar, termasuk sel endotel, fibroblas dan juga sel inflamasi. Selain itu strong positive staining untuk HIF-1α menunjukan ada nya hubungan yang signifikan antara VEGF dan HIF-1 α pada membran terluar CSDH. Dengan hasil tersebut diduga HIF-1 α merupakan salah satu faktor yang mengaktifkan VEGF pada CSDH. Pada sisi yang lain aktifitas pada HIF-1α pada membran terluar CSDH lebih bersifat difus dan berbeda dari jaringan tumor. Pada jaringan tumor tidak ditemukan HIF-1α pada area perivascular.14 Penelitian Wang dkk pada tahun 2010 yang meneliti tentang kadar matrix metalloproteinase (MMP) -2 dan MMP-9 pada kasus subdural efusi (higroma) mengunakan gelatin-zymography menunjukan bahwa subdural efusi merupakan faktor resiko untuk terjadinya CSDH , dimana MMP memegang peranan penting terutama pada membran luar dari hematom. 16 Penelitian Abdul Muneer dkk pada tahun 2012 menyimpulkan bahwa MMP yang dirangsang oleh alkohol merupakan penyebab utama tidak berfungsinya sawar darah otak yang disebabkan oleh degradasi protein VEGFR-2 dan aktifasi dari caspase-1 atau pelepasan dari IL-1β. 17 MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis terjadi setelah beberapa minggu atau beberapa bulan pasca trauma. Sekitar 30-50 % kasus CSDH tidak dijumpai riwayat trauma. Pasien mungkin datang dengan satu atau lebih gambaran klinis berikut: 3, 5, 14 - Tanda peningkatan tekanan intrakranial : Sakit kepala, mual, muntah, gangguan tingkat kesadaran dan papil edema



189



Neurosurgery Lecture Notes



-



-



Defisit neurologis fokal akibat penekanan jaras saraf: Hal ini tergantung pada lokasi hematoma subdural (contoh hemiparese, disfasia pada hematoma temporal dominan dan gangguan sensoris dan motorik). Secara klinis deficit neurologis, sering termasuk perubahan tingkat kesadaran , dapat berfluktuasi dalam hal keparahahan nya sehingga mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Kejang : fokal atau generalisata



perbedaan pola densitas, intensitas dan membran sebagai dampak deposit hemosiderin19, 20, 21. Posisi slice merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Seluruh CT dan MRI transverse didapatkan secara paralel terhadap vertex, dengan sudut yang sama. Ketebalan slice pada MRI tidak identik, namun demikian mengingat pengukuran dilakukan pada potongan transverse (vertikal terhadap kalvaria) ketebalan slice tidak memiliki pengaruh terhadap ketebalan hematoma19, 20.



Tampilan klinis penderita sangat bervariasi dan dapat menyerupai kelainan neurologis yang lain, yang terkadang sulit diprediksi, sehingga CSDH mendapat julukan “ The Great Neurological Imitator”1 Subdural Hematoma Chronic pada Infant (Infantile Chronic Subdural Hematoma) Infantile CSDH merupakan suatu entitas klinis tersendiri. Trauma jalan lahir merupakan penyebab yang sering dijumpai , tetapi dalam banyak kasus riwayat anamnesis sering kali inadekuat untuk menegakan riwayat trauma secara pasti. 5 Dijumpai pada ± 10 % kasus penyiksaan anak dan “shaken baby syndrome”, dan dapat menyebabkan laserasi bridging veins tanpa adanya bukti trauma eksternal. Trauma sub dural umumnya bilateral pada 85% kasus dan umumnya dijumpai di daerah permukaan dorsolateral lobus frontoparietal. 5, 18 Manifestasi dini yang dapat dijumpai pada infantile CSDH adalah pembesaran kepala akibat sutura yang belum menutup. Gejala umumnya tidak spesifik dan sering berupa gelisah, iritabilitas dan gangguan tumbuh kembang. 3, 5, 18 IMEJING CSDH dapat memberikan gambaran densitas hipo-isodense ataupun densitas campuran pada CT-scan. Tampilan MRI jauh lebih kompleks. Perdarahan akut dan sub akut mengikuti pola intensitas perdarahan intra parenkim pada MRI , tetapi menimbulkan tampilan yang berbeda pada fase kronis oleh karena tidak adanya sawar darah otak pada ruang subdural. Tampilan Chronic Subdural Hematoma dengan perdarahan berulang juga akan menimbulkan



190



Gambar 5, perbedaan gambaran CSDH pada Head ct-scan (A, B) dan MRI ( C, D), garis hitam lurus menunjukan ukuran ketebalan hematoma . Dikutip dari : Senturk S, et al. CT and MRI of Chronic Subdural Haematomas: A Comperative Study. Swiss Med Wkly 2010;140:335-340



DIFFUSE TENSOR IMAGING (DTI) DTI merupakan pemeriksaan mikrostruktur dan arsitektur white matter tract, termasuk pyramidal tract yang menampilkan prinsip diffuse yaitu mean diffusivity (MD) dan Fractional Anisotrophy (FA); dalam pengukuran kelemahan motorik. 22 Kim dan yamada menyatakan penurunan nilai FA pada DTI tidak mengambarkan kerusakan langsung pada jaras motorik, tetapi mengambarkan penekanan akibat vasogenik oedema dan mass effect , dan bersifat reversible. 22



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 6. A. CT scan pada CSDH B. MRI pada CSDH C dan D : Regio bilateral pyramidal Track dari cerebral peduncle, C. Mapping FA (Fractional Anisotropia) D. apparent Difussion coefficient map. Dikutip dari : Yokohama K, et al. Diffusion Tensor Imaging in Chronic Subdural Hematoma:Correlation Between Clinical Sign and Fractional Anisotropy in The Pyramidal Tract. Am J Neuroradiol 2008;29:159-163



PENATALAKSANAAN OPERASI Tindakan pembedahan pada kasus CSDH merupakan topik yang kontroversial, meskipun dalam 20 tahun terakhir ini Burr hole craniostomy adalah teknik yang paling banyak dianut. Banyak teknik lain yang juga digunakan antara lain: Twist Drill Craniostomy, craniostomy, craniotomy, craniectomy, partial membranectomy dan berbagai variasi dan modifikasi . Beberapa diantaranya tidak digunakan secara luas dan semakin jarang dipraktekkan. Sampai saat ini banyak protokol operasi masih menjadi subjek perdebatan di kalangan ahli bedah saraf. 6, 23, 24 Terdapat 3 teknik operasi utama yang dianut dalam penanganan kasus CSDH, yaitu 23-28:



- burr hole craniostomy - single burr hole / simple drainage : small /large hole - two burr holes / twice burr holes / twin burr holes Burr Holes Satu atau dua burr hole Craniostomy dengan sistem drainase tertutup merupakan teknik penanganan utama yang paling banyak dianut di berbagai institusi bedah saraf internasional dalam waktu 20 tahun terakhir. Single burr hole memiliki keuntungan dalam hal waktu operasi yang lebih cepat dan kurang invasif dibanding twin burr hole, namun kurang efisien untuk irigasi, terutama pada kasus dengan multiple septa /cavitas dan hematom



191



Neurosurgery Lecture Notes



yang cukup tebal. Tetapi Yamamoto dkk 1,8 mendemonstrasikan bahwa single burr hole cukup adekuat untuk melakukan drainase dan irigasi pada kasus multiple septa/cavita, dan menyimpulkan bahwa cavitas tersebut saling berhubungan, sehingga mempermudah proses washout hematom. Nagakuchi dkk 24 menyatakan cathether tip yang diinsersi di daerah frontal memberikan outcome yang lebih baik pada penerapan single burr hole dengan drainase sistem tertutup dan irigasi. Two burr hole craniostomy sangat berguna untuk mengevakuasi hematoma dengan cara irigasi berulang. Penelitian Kuroki dkk23,24 yang membandingkan angka rekurensi pada teknik operasi two burr holes craniostomy dengan sistem tertutup dan sistem drainase sangat tertutup/strict closed system drainage , menyatakan adanya keterkaitan dengan proses rekurensi, meskipun hal ini masih menimbulkan perdebatan. Twist Drill Craniostomy 6, 29 Pertama kali digunakan untuk mendiagnosis SDH oleh Cone pada tahun 1996. Prosedur yang sama digunakan oleh Rand kemudian Tabbador dan Schulman untuk menangani kasus subdural efusi. Rychlicky dkk dan Horn Dkk menyatakan bed side Percutaneus drilling dengan drainase tertututup layak menjadi operasi lini pertama, mengingat sifat non invasif metode ini dibanding yang lain, kemungkinan pneumocephaly minimal dan angka kesembuhan yang cukup baik pada pasien usia tua. Tetapi banyak kalangan yang tidak sependapat.



Twist drill Craniostomy awalnya dianggap tindakan minimal invasif dibanding teknik yang lain, mengingat pembuatan lubang pada tengkorak < 1 / 2 cm , walaupun demikian irigasi melalui lubang yang sangat kecil tersebut adalah sangat sulit dan kurang efektif. Teknik ini awalnya didesain untuk mendekompresi otak secara lambat untuk menghindari perubahan tekanan otak secara cepat dan tiba-tiba, yang dapat memberikan komplikasi perdarahan parenkim otak.



Gambar 7. Percutaneus Bed Side Twist Drill Craniostomy dgn Hand Drill 3 mm (Lokal Anestesi) diikuti insersi Kanula no. 14 G dgn Spontaneus Efflux. Dikutip dari : Reinges MHT,Hasselberg I,Rohde V,Kuker W,Gilsbach JM. Prospective analysis of bedside percutaneous subdural tapping for the treatment of chronic subdural haematoma in adults. J Neurol Neurosurg Psychiatry, 2000;69:40-47



Craniotomy dengan atau tanpa membranectomy6, 23, 25-28 Teknik formal craniotomy masih merupakan teknik yang valid meskipun saat ini semakin jarang digunakan dan sering dianggap sebagai penanganan lini ke dua terutama pada kasus-kasus rekuren. Umumnya dilakukan partial membranectomy, dimana membran yang melekat ke jaringan otak dipertahankan untuk mencegah resiko perdarahan yang tidak terkontrol.



Gambar 8. Foto Schaedel Post operasi A. One Burr Hole Craniostomy B. Two Burr Hole Craniostomy C. Small Craniotomy. Dikutip dari : Moore AJ, Newel DW. Neurosurgery : Principle and Practice. Singapore: Springer Verlag 2005.p.369-378



192



Neurosurgery Lecture Notes



Berdasarkan Patogenesis CSDH, perluasan hematoma diakibatkan oleh reaksi hiperfibrinolisis lokal. Proses ini merupakan penyebab likuifaksi / pencairan gumpalan subdural hematoma dan perdarahan mikro yang berulang dari pembuluh darah sinusoid pada membran parietal, sehingga penatalaksanaan ditujukan untuk mengeluarkan cairan subdural semaksimal mungkin (yang mengandung zat fibrinolisis) melalui irigasi yang adekuat dan prinsip ini jauh lebih penting dibanding tindakan eksisi parsial dari membran CSDH. Krausse dkk melaporkan suatu systematic review tentang prinsip penanganan bedah kontemporer pada kasus CSDH dan menyimpulkan suatu evidence based review sebagai berikut : 31-32 Burr hole Craniostomy dan Twist Drill Craniostomy adalah prosedur yang lebih aman Burr Hole Craniostomy dan Craniotomy adalah prosedur yang paling efektif Burr Hole Craniostomy merupakan tindakan dengan komplikasi yang paling minimal Drainase mengurangi resiko rekurensi pada Burr Hole Craniostomy Drain yang diinsersikan di regio frontal mengurangi rekurensi Irigasi tidak meningkatkan resiko infeksi Burr hole Craniostomy lebih efektif mengatasi rekuren hematom dibanding Twist Drill Craniostomy - Craniotomy sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir KOMPLIKASI POST OPERASI Komplikasi post operasi antara lain, kejang, perdarahan intra cerebral (dijumpai pada 0, 7%-5% kasus), kegagalan untuk re expanding dan atau reakumulasi cairan subdural, tension 3 pneumocephaly dan subdural empyema . Pada ± 60 % penderita usia tua (rata rata 75 tahun), dekompresi yang cepat berhubungan dengan hiperemia korteks dibawah kapsul hematom, yang dapat berhubungan dengan komplikasi Intracerebral hematoma (ICH) ataupun fokus kejang. 3



KONSERVATIF Terapi konservatif yang pernah dilaporkan adalah osmotherapy, steroid dan bahkan radioterapi, namun efektifitas klinisnya sangat minim , karena tidak adanya penelitian yang cukup untuk mendukung kegunaanya. Hanya terapi dexamethasone yang cukup banyak di back up oleh penelitian ekperimental 9. 33 Cara kerja dari dexamethasone/ steroid dalam membantu resorbsi dari CSDH belum diketahui secara pasti. Dexamethasone diduga berperan dalam aksi stabilisasi membran. Glover dan Labbadie menyatakan steroid menghambat permeabilitas membran protein dan mengurangi ukuran CSDH. Dasar therapi dexamethasone adalah efek anti inflamasi dalam mencegah neo membran dan neo kapiler dengan menghambat mediator inflamasi seperti limfokin dan prostaglandin, serta menstimulasi inhibitor inflamasi, misalnya lipocortin9,



Gambar 9 Pasien yang diterapi konservatif dengan pemberian Low Dose Dexamethasone B. CT Evaluasi setelah 5 minggu menunjukan gambaran resorbsi hematom. Dikutip dari : Adeleye AO. Non Operative Treatment of Chronic Sub Dural Hematoma. Indian J Neurot 2009;6:68-70



193



Neurosurgery Lecture Notes



Selain itu glukokortikoid juga dapat menginduksi sekresi inhibitor plasminogen yang dapat mengurangi siklus perdarahan berulang dan lisis gumpalan darah, juga diduga memegang peranan dalam menurunkan kadar VEGF yang menghambat proses angiogenesis abnormal. 9 Secara empiris, penderita dengan kontraindikasi untuk dilakukan tindakan operasi ditindak lanjuti dengan pemberian kortikosteroid dan atau terapi hiperosmolar . 9,



indikasi klasik penderita dengan manajemen konservatif 9, 33: - Kasus asimtomatik atau minimal simtom - Lesi radiologis minimal - Kontra indikasi tindakan operasi Adeleye menyatakan pada kasus yang diseleksi dengan baik, dexamethasone dapat menjadi pilihan non bedah yang memberikan hasil cukup baik. 33



Tabel 2. Beberapa Penelitian tentang penatalaksanaan konservatif.



Dikutip dari : Delgado Lopez PD et al. Dexamethasone treatment in Chronic Subdural Hematoma. Neurocirurgia 2009;20:246-359



194



Neurosurgery Lecture Notes



RESOLUSI SPONTAN CSDH Pada tahun 1981 Kawano dan Suzuki menyatakan modifikasi otot polos pada sel-sel membran luar memegang peranan dalam resolusi CSDH, mengingat sel memproduksi kolagen yang akan memperkuat membran dan mengurangi fragilitasnya34. Nakamura dkk menyatakan penurunan aktifitas fibrinolitik berperanan dalam terjadinya resolusi spontan37. Lee dkk pada tahun 2000 mengajukan hipotesis maturasi neo membran dan stabilisasi neo vaskuler akan mengakibatkan terjadinya resolusi spontan 34.



Gambar 10. Axial MRI Pada hari ke 19 (a), 44 (b) dan 135 (c) menunjukanpengurangan volume hematom. Dikutip dari : Goksu E. Spontaneus Resolution of a Large Chronic Sub Dural Hematom : A Case Report and Review of the Literature. Turkish Journal of Trauma and Emergency Surgery 2009;15:95-98



REKURENSI PASCA BEDAH CSDH diketahui memiliki angka rekurensi yang bermakna, sekitar ± 5-30%. Banyak literatur



mengungkapkan angka rekurensi, terkadang tanpa berpedoman pada kriteria rekurensi. Terdapat banyak kriteria rekurensi, dimana para pakar masih saling berbeda pendapat35. Hyuck dkk35 mengajukan kriteria rekurensi CSDH sebagai berikut : - Rekurensi dini yaitu timbulnya kembali gejala atau reakumulasi hematom setelah pembedahan dalam 3 bulan, tanpa membedakan lokasi, volumenya atau operasi berulang. - Rekurensi lambat, yaitu timbulnya kembali atau perluasan dari hematom yang persisten lebih dari 3 bulan setelah pembedahan. Kriteria rekurensi yang paling sederhana yaitu reakumulasi hematom pada daerah pasca operasi dan timbulnya kembali gejala neurologis. Walau demikian timbulnya gejala klinis tersebut belum tentu membantu dalam mendiagnosa kasus rekurensi. Cairan sisa dapat dideteksi oleh CT-scan pada 80% kasus, dimana mayoritas asimtomatik dan secara klinis tidak bermakna. Sangat sulit membedakan reakumulasi hematom dengan incomplete removal. Sampai saat ini belum ada standar kriteria rekurensi yang diakui secara luas35 .



Tabel 3. Beberapa kriteria rekurensi.



Dikutip dari : Hyuck JO et al. Post Operative Course dan reccurence of Chronic Sub Dural Hematoma. J Korean Neurosurg Soc 2010;48:518-523



195



Neurosurgery Lecture Notes



Embolisasi Arteri Meningea Media pada Kasus Rekuren36 Angka rekurensi pasca operasi CSDH pada literatur ±5-30 %, dimana angka tersebut cenderung meningkat pada penderita dengan koagulapati ataupun atrophy otak. Beberapa metode teknik operasi telah dilakukan untuk mengatasi rekurensi, antara lain, Ommaya drain, subduro-peritoneal shunt, membranectomy dan perforasi septum melalui endoskopi.. Saat ini penanganan ditujukan terutama pada penanganan sumber perdarahan, sehingga lebih efektif. Hal ini mengingat banyaknya kasus pada usia tua dan operasi berulang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas,sehingga penanganan diusahakan seminimal mungkin . Embolisasi arteri meningea media pada kasus CSDH rekuren pertama kali dilakukan oleh Mandai dkk pada tahun 2000. Tanaka dkk melakukan super selective angiography pada arteri meningea media penderita CSDH dan mendapatkan dilatasi difus MMA (middle meningeal artery) serta tampilan jaringan vaskular abnormal, yang diduga menunjukkan gambaran makropapiler pada membran luar. Tanaka juga menyimpulkan ada nya 3 tipe pembuluh darah ( capiller like, arteri dan vena kecil) yang berpenetrasi ke duramater dan berhubungan dengan MMA , menunjukkan MMA menjadi suplai pada membran luar dan mempengaruhi perluasan CSDH. Oklusi MMA dapat menghentikan suplai darah ke membran luar dan mencegah perluasan hematom dan timbulnya rekurensi . Mino dkk (2010) melakukan embolisasi pada 4 kasus CSDH rekuren dan memberikan outcome yang cukup baik.



PROGNOSA Riaz ur Rehman menyatakan two burrhole craniostomy tanpa subdural drain memberikan outcome yang sangat memuaskan yaitu 86, 6% dengan GOS (Glasgow Outcome score) 5 (sembuh tanpa kecacatan yang berarti) dengan angka mortalitas 6.6%. Outcome terutama dipengaruhi oleh status neurologi pada saat diagnosa ditegakkan. Prognosa lebih baik pada penderita yang ditindak lanjuti dengan pembedahan. Mortalitas dan morbiditas lebih tinggi pada penderita usia tua, alkoholismus dan kasus rekuren. 37 Sambavisan yang mengumpulkan 2300 kasus CSDH dalam periode 30 tahun (sejak 1966) menyatakan sejak tahun 1968 telah melakukan craniotomy dengan subdurogaleostomy di daerah temporal dan menghindari membranectomy untuk mengurangi resiko perdarahan intra operatif , mendapati penurunan rekurensi yang bermakna dengan mortalitas hanya 0.5 %38.



Gambar 11. Super Selektif Angiografi menunjukkan gambaran vaskuler abnormal di sekitar percabangan Arteri Meningea Media. Dikutip dari : Mino M, at all. Efficacy of Middle Meningeal Artery Embolization in Treatment of Refractory Chronic Sub Dural Hematoma. Surg Neurol Int 2010;1:78



Gambar 12. Pemeriksaan CT Scan menunjukan lesi hipodense di regio frontotemporal parietal kanan. Dilakukan tindakan Twin burr hole dengan penrose drain (open method).Tampak gambaran cairan khas seperti oli(dark motor oil). Dikutip dari: Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU-RSUP.H. Adam Malik



196



ILUSTRASI KASUS 1. Laki-laki ,65 th, dengan riwayat trauma kepala 2 bulan sebelumnya.



Neurosurgery Lecture Notes



2. Perempuan, 54 th, dengan penurunan kesadaran,riwayat kecelakaan lalu lintas 3 bulan sebelumnya.



Gambar 13. Dilakukan Twin burr hole dengan penrose drain (open method).Incisi pada puncak irisan tapal kuda(horse shoe). Dikutip dari : Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU- RSUP. H.Adam Malik



3. Anak laki-laki, 3 th, dengan penurunan kesadaran,riwayat VP-Shunt, CT scan: bilateral kronik SDH.



Gambar 14. Dilakukan tindakan craniotomy dan twin burr hole dengan penrose drain (open method),Pada saat duramater dibuka tampak trabekulasi intra kapsular. Dikutip dari : Koleksi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP. H. Adam Malik



4. Anak laki-laki, 40 hari, terjatuh dari ayunan 3 hari sebelumnya, dengan penurunan kesadaran



Gambar 15. Tampak lesi hipodense di region frontotemporoccipital kanan. Dilakukan tindakan twin burr hole craniostomy dengan tube drain (closed method). Dikutip dari : Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USURSUP.H.Adam Malik



5. Laki-laki, 59 th, dengan riwayat kecelakaan lalu lintas 1 bulan sebelumnya.



Gambar 16. Dilakukan Craniotomy dengan partial membranectomy. Dikutip dari: Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H. Adam Malik



197



Neurosurgery Lecture Notes



6. Laki-laki usia 57 tahun dengan riwayat telah dilakukan Twin burr hole craniostomy di RS luar, 1 minggu sebelum masuk dirawat.



2.



3.



4.



5. 6. 7.



8.



9. Gambar 17. Diagnosa: CSDH rekuren, dilakukan capsulectomy. Dikutip dari : Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



7. Laki-laki usia 56 tahun dengan keluhan riwayat trauma 2 bulan sebelumnya dengan luka robek di regio parietal kanan (tidak terawat).



10.



11.



12.



13. 14.



15.



16.



17.



18. Gambar 18. Diagnosa: Subdural Empyema,dilakukan Capsulectomy. Dikutip dari : Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



DAFTAR PUSTAKA 1.



198



Adhiyaman V, et al. Chronic Sub Dural Hematoma in the elderly. Postgrad Med J 2002;78:71-75



19.



20. 21.



Letarte P. The brain. In: Feliciano DV, Mattox KL, Moore EE, eds. Trauma. 6th ed. New York: McGraw Hill Professional; 2008.p.397-418. Chronic Subdural Hematoma. In: Greenberg MS ed. Handbook of Neurosurgery, 6th edn, New York, Thieme 2006.p.674-677 Weigel R, Schmiedek P, Krauss JK. Concept of Neurosurgical Management of Chronic Subdural Haematoma: Historical perspective, Br J Neurosurg 2004;18:8-18 Kaye AH. Essential Neurosurgery, 3rd edition, Australia, Blackwell Publishing 2005.p.56-63 Moore AJ, Newel DW. Neurosurgery Principle and Practice. Springer Verlag Singapore 2005.p.369-378 Selladurai B, Reilly P. Initial Management of Head Injury, A Comprehensive Guide.Australia McGraw Hill 2007.p.231-244 Lee JK, et al. Chronic Subdural hematoma: A Comparative Study of Three Types of Operative Procedures.J Korean Neurosurg Soc 2009;46:210-214 Delgado Lopez PD, et al. Dexamethasone treatment in Chronic Subdural Hematoma, Neurochirurgia 2009;20:246-359 Hirashima Y, et al. Etizolam an Anty-anxiety Agent Attenuates Reccurence of Chronic Subdural HematomaEvaluation by CT. Neurol Med Chir(Tokyo) 2002:42:53-56 Shim YS. What are the causative factor for a slow progressive enlargement of a chronic subdural hematoma? Yonsei Medical Journal 2007; 48.(2):210-217 Hirosuke F, et al. Kallikrein-kinin system in chronic subdural haematomas : its role in vascular permeability and regulation of fibrinolysis and coagulation. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995;59:388-394 Whitefield P, et al. Management of Chronic Subdural Hematoma. ACNR 2008;8(5):12-15 Nanko N, et al. Involvement of Hypoxia-Inducible Factor A and Vascular Endothel Growth Factor in the mechanism of Developmental of Chronic Subdural Hematoma. Neurol Med Chir(Tokyo) 2009;49:379-385 Hara M, et al. Possible role of cyclo oxygenase-2 in developing of chronic subdural hematoma. J Med Dent Sei 2009;56:101-106 Wang ZF, Lino DG, Role of matrix metallo proteinase in transformation of subdural effusion into chronic subdural hematoma. J South Med Univ 2010;0(5):1188-1190 Abdul M, et al. The mechanisms of cerebral vascular dysfunction and neuroinflammation by MMP-mediated degradation of VEGFR-2 in alcohol ingestion. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2012;32(5):1167-1177 Clemetson CAB. Capilary fragility as a cause of subdural hemorhage in infant. Med Hypotheses Res 2004;1:121129 Senturk S, et al. CT and MRI of Chronic Subdural Haematomas: A Comperative Study. Swiss Med Wkly 2010;140:335-340 Igbaseimokumo U. Brain CT Scan in Clinical Practice, London Springer Verlag 2009:23-35 Marchan PJD, Hayman, Carrier DA, et al. CT of Closed Head Injury. In: Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock J,



Neurosurgery Lecture Notes



22.



23.



24.



25.



26.



27.



28.



29. 30.



eds. Neurotrauma. New York: McGraw Hill 1996.p.137150 Yokohama K, et al. Diffusion tensor imaging in chronic subdural hematoma:correlation between clinical sign and fractional anisotropy in the pyramidal tract. AJNR Am J Neuroradiol 1998;29:159-163 Lee JY, at al. Various surgical treatment of chronic subdural hematoma and outcome in 172 patients: Is membranectomy necessary? Surg Neurol 2004;61:523528 Hong JH, et al. One vs two burr hole craniostomy in surgical treatment of chronic subdural hematoma. J Korean Neurosurg Soc 2009;:46:87-92 Rychlicki F, et al. Percutaneus twist drill craniostomy for the treatment of chronic sub dural hematoma. Acta Neurochir(Wien) 1991;7(2):38-41 Connoly ES, McKhannll GM, Huang J, et al eds. Fundamentals of Operative Tehniques in Neurosurgery. Canada:Thieme 2002.p.568-574 Jandial R, McCormick PC, Black PM eds. CoreTehniques in Operative Neurosurgery. Philadelphia: ELSEVIER Saunders 2011.p.70-74 Albright AL, Pollack IF, Adelson PD eds. Operative Tehniques in Pediatric Neurourgery. New York: Thieme 2011.p.15-26 Loftus CM ed. Neurosurgical Emergencies, 2nd edition.New York : Thieme 2008.p.60-63 Marcus H. Prospective analysis of bedside percutaneous subdural tapping for the treatment of chronic subdural



31.



32. 33.



34.



35.



36.



37.



38.



haematoma in adults . J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;69:40-47 Weigel R, Scmiedek P, Krauss JK. Outcome of contemporary surgery for chronic subdural hematoma: Evidence Based Review. J Neurol Neurosurg Pschyciatry 2003;74:937-943 Pollock BE. Guiding Neurosurgery by Evidence.Basel: Karger 2006.p.171-196 Adeleye AO. Non operative treatment of chronic sub dural hematoma. Indian Journal of Neurotrauma 2009; 6:68-70 Goksu E. Spontaneus resolution of a large chronic sub dural hematom : A Case Report and Review of the Literature, Turkish Journal of Trauma and Emergency Surger 2009; 15:95-98 Hyuck JO, et al. Post operative course dan reccurence of chronic sub dural hematoma J Korean Neurosurg Soc 2010; 48:518-523 Mino M, at all. Efficacy of middle meningeal artery embolization in treatment of refractory chronic subdural hematoma. Surg Neurol Int 2010;1:78 Rehman RU,Khattak A,Azam F,Alam W,Anayatullah, Outcome of chronic sub dural hematoma patients treated by two burr holes method, Gomal Journal of Medical Science, 2010; 8(2):161-165 Sambasivan M, An overview of chronic subdural hematoma: experience with 2300 cases. Surg Neurol 1997;47(5):418-422



199



Neurosurgery Lecture Notes



200



Neurosurgery Lecture Notes



SPINE



201



Neurosurgery Lecture Notes



202



Neurosurgery Lecture Notes



SPINE TRAUMA



203



Neurosurgery Lecture Notes



204



Neurosurgery Lecture Notes



SPINE TRAUMA : Arguments Toward Better Care And Patients Safety Abdul Gofar Sastrodiningrat KLASIFIKASI DAN PENANGANAN CEDERA SPINAL Trauma spinal torakolumbal dan servikal adalah diantara yang paling sering didapat dari kejadian cedera muskulosketal. Klasifikasi dan penanganan dari fraktur spinal masih merupakan suatu area kontroversi pada bedah tulang punggung masa kini. Terlepas dari banyaknya publikasi mengenai topik ini, masih belum ada evidence based level 1 dan level 2 yang dapat menyokong berbagai tindakan. Selain itu, bertumpuk-tumpuknya sistim klasifikasi, tidak satupun yang dapat diterima secara universal. Klasifikasi Denis, walaupun banyak dianut, mungkin terlalu sederhana dan gagal mengenal banyak polapola fraktur. Sebaliknya Klasifikasi Ferguson dan Allen dan AO terlalu kompleks1,2. Pada saat ini diperlukan argumentasi untuk mendapatkan suatu cara penanganan yang lebih baik dan meningkatkan keselamatan pasien. CEDERA TORAKOLUMBAL Semenjak Bohler pertama kali menjelaskan cedera torakolumbal ditahun 1929 tidak satu klasifikasipun yang dapat diterima secara universal. Selain itu klasifikasi yang terdahulu tidak mampu memberikan pengarahan tindakan dan memprediksi hasil akhir terhadap pola cedera tertentu. Vaccaro et al1 memperkenalkan Thoracolumbar Injury Classification and Severity Score (TLICS) dalam usaha memperoleh sistim yang relevan. Sistim baru ini dalam beberapa hal unik. TLICS memfokuskan pada tiga karakteristik dari cedera : morfologi, integritas dari kompleksitas ligamentum posterior (posterior ligamentous complex [PLC]), dan defisit neurologik. Sebuah nilai diberikan pada setiap kategori berdasarkan tingkat keparahan, dan jumlah total menentukan tindakan sekaligus memprediksi hasilnya. Morfologi cedera merupakan salah satu dari : (1) cedera kompresi – 1 point, (2) burst injury – 2 point, (3) cedera rotasi / translasi – 3 point, (4) cedera distraksi – 4 point.



Defisit neurologik : (1) tidak ada kelainan – 0 point, (2) cedera radiks – 2 point, (3) cedera komplit – 2 point, (4) cedera inkomplit – 3 point, (5) cedera cauda equina – 3 point. Integritas dari kompleksitas ligamentum posterior (PLC), terdiri dari: ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, kapsul sendi facet dan ligamentum flavum. Cedera terhadap PLC menyebabkan instabilitas dan memerlukan tindakan operasi. Cedera PLC paling baik dideteksi dengan pemeriksaan MRI. Integritas dari kompleksitas ligamentum posterior diberi nilai : (1) Utuh (intact) – o point, (2) dicurigai cedera – 2 point, (3) cedera – 3 point. Penilaian diambil satu point dari tiap kategori, kemudian dijumlahkan. Perolehan ≤ 3 point – tidak dioperasi. Empat (4) point – mungkin operasi, mungkin tidak operasi, tergantung dari keadaan klinis. Perolehan ≥ 5 – point, akan mendapat manfaat bila dioperasi. Selain mengarahkan apakah operasi atau tidak operasi, TLICS juga memberikan petunjuk surgical approach. Secara umum, defisit neurologik inkomplit dengan kompresi dari elemen-elemen bagian anterior spinal, harus di-approach dari anterior untuk memungkinkan dekompresi langsung. Sedangkan kerusakan integritas PLC, memerlukan posterior approach untuk stabilisasi den menciptakan kembali ‘posterior tension band’. Bila didapatkan kompresi anterior dengan defisit neurologik dan cedera PLC, maka diperlukan kombinasi anterior approach dan posterior approach. Keuntungan dari klasifikasi baru ini adalah sederhana. Walaupun begitu, masih tetap tidak adanya standar evidence-based yang dapat dipakai sebagai guidelines untuk penanganan cedera torakolumbal. The Spine Trauma Study Group (STSG), sepakat unuk menetapkan 3 faktor yang paling penting dalam penanganan cedera torakolumbal adalah : morfologi cedera, defisit neurologik dan integritas PLC. Ada suatu konsensus umum dalam



205



Neurosurgery Lecture Notes



penanganan beberapa pola-pola cedera. Misalnya penderita tanpa defisit neurologik dan integritas PLC yang baik, dapat ditangani konservatif dengan pemasangan brace. Sedangkan penderita dengan gangguan integritas PLC tanpa defisit neurologik memerlukan posterior approach. Bila didapatkan defisit neurologik komplit, maka tindakan dekompresi tidak diperlukan dan tindakan ditujukan untuk memperbaiki alignment dan stabilisasi tulang punggung. Pada cedera dengan integritas PLC baik, dapat dilakukan anterior approach atau posterior approach3 Ada beberapa prinsip-prinsip tindakan yang ditekankan oleh STSG. Fraktur-fraktur torakolumbal sering ditemukan bersama anterior neural compression. Oleh karena itu, dekompressi paling abik dicapai melalui anteror approach. Tetapi posterior approach mempunyai keuntungan tertentu, karena lebih dikenal oleh spine surgeons, dan mengelakkan membuka rongga abdomen dan menghindari pembuluh-pembuluh darah besar. Posterior approach juga lebih baik, terutama pada kasus-kasus ‘high thoracic injury’ dan ‘low lumbar injury’, dimana posisi pembuluh-pembuluh besar menghalangi fiksasi anterior4 Circumferential procedures diperlukan pada kasus-kasus dengan cedera neurologik inkomplit bersamaan dengan gangguan integritas PLC. Dekompresi harus didahulukan terhadap stabilisasi, kecuali pada cedera distraksi dan cedera translasi, dimana stabilisasi posterior harus dikerjakan terlebih dahulu, baru dekompresi anterior, bila diperlukan4. Masih ditemukan morbiditas yang signifikan dengan operasi-operasi terbuka seperti diatas. Kehilangan darah baik pada prosedur anterior ataupun prosedur posterior, lebih dari 1000 ml, sementara kejadian infeksi 0.7% pada anterior approach dan 3.1% pada posterior approach. Keadaan ini menyebabkan berkembangnya operasi minimal invasif untuk dekompresi dan stabilisasi, seperti endoskopi untuk approach anterior dan fiksasi percutaneus untuk posterior approach. Teknik endoskopi telah terbukti mengurangi : kehilangan darah intraoperatif, nyeri perioperatif, waktu mobilisasi dan lama hari rawat di rumah sakit. Walaupun begitu, didapatkan



206



‘steep learning curve’ pada prosedur ini dan hasil akhir jangka panjang tetap tidak berubah. Jumlah kasus yang ditangani dengan endoskopi masih sedikit sekali bila dibandingkan dengan kasus-kasus ‘open surgery’. Sama halnya dengan ‘percutaneus posterior approach’, dapat mengurangi kehilangan darah, infeksi dan lama operasi. Sebuah penelitian menunjukkan open surgery versus ‘percutaneus posterior approach’ untuk stabilisasi fraktur torakolumbal, tidak menunjukkan perbedaan bermakna untuk hasil akhir fungsional selama 5 tahun. Baru-baru ini telah dijelaskan sebuah teknik untuk ‘lumbar burst fracture’ dengan posterior corpectomy melalui insisi 2 keyhole dengan menggunakan mikroskop bedah. Teknik ini dapat menghindarkan komplikasi yang ditemukan pada anterior approach dan juga menghindarkan elemen-elemen spinal posterior dengan diseksi paravertebral yang minimal. CEDERA SERVIKAL Hanya 2%-3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi potensi untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana terjadi dua-pertiga dari semua fraktur servikal dan tiga-perempat dari semua dislokasi servikal. Seperti halnya dengan torakolumbal, klasifikasi dari cedera servical subaxial masih merupakan permasalahan besar, sering klasifikasi memfokuskan pada mekanisme cedera, dan tidak memperhatikan stabilitas ligament-ligament dan defisit neurologik. Baru-baru ini sebuah sistim klasifikasi juga telah dikembangkan, sama halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit neurologik dan integritas discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk penanganan pada cedera servikal6 Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal : kompresi, distraksi, dan rotasi / translasi, dengan memeberikan skor angkaangka yang meningkat sesuai dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal



Neurosurgery Lecture Notes



ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC. Sebaliknya, ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal. Total skor ≤ 3 ditangani nonoperatif, sedangkan skor ≥ 5 memerlukan intervensi bedah. Apakah pada cedera spinal subaxial akan dilakukan pembedahan anterior atau posterior masih merupakan perdebatan. Posterior approach secara biomekanik lebih kokoh bila dipakai untuk stabilisasi cedera posterior primer. Juga memungkinkan untuk reduksi langsung pada elemen-elemen posterior; posterior approach merupakan approach yang sudah dikenal baik oleh para ahli bedah, dan mempunyai high union rate. Tetapi ditemukan angka infeksi luka yang tinggi dan bersangkutan dengan progressive kyphotic deformity bila terdapat lesi pada bagian anterior. Para pendukung operasi anterior, menghindar dari prone position, dan mendukung dekompresi langsung pada herniasi diskus, melindungi segmen sagittal ; oprerasi anterior mempunyai high fusion rate. Fiksasi anterior secara biomekanik lebih inferior dari operasi posterior. Pada operasi anterior dapat terjadi dysphagia dan suara serak (hoarseness). Secara umum cedera DLC paling baik di approach melalui lokasi dimana terdapat cedera jaringan lunak yang maksimal. Defisit neurologik sering membutuhkan anterior approach karena merupakan approach langsung untuk dekompresi 1. Sebagaimana halnya pada vertebra torakolumbal, STSG menginginkan SLIC mengembangkan evidence-based treatment algorythm untuk pola-pola cedera pada tulang servikal subaxial. Salah satu pola itu ialah meningkatnya frekwensi cedera hiperekstensi pada penderita spondylosis servikalis usia lanjut. Pada penderita ini, walupun tidak ditemukan cedera morfologi dan DLC yang utuh, mereka telah menderita cedera neurologik inkomplit dan kompresi medulla spinalis. Sehingga skor rata-rata



adalah 4. Walaupun beberapa ahli merekomendasikan untuk perawatan nonoperatif, bila pemeriksaan neurologik stabil atau membaik, kebanyakan kita akan menyetujui bahwa tindakan operasi dapat dibenarkan. Sebagaimana halnya dengan tulang torakolumbal, cervical burst fracture dengan kompresi neurologik, harus dikelola dari anterior, untuk memperoleh dekompresi langsung terhadap kanalis spinalis. Bila elemen-elemen posterior utuh, maka strut grafting dan anterior plating akan memberikan stabilitas yang adekuat3. Cedera distraksi adalah akibat dari cedera hiperekstensi atau cedera hiperfleksi. Pada cedera hiperekstensi, approach ditentukan oleh dimana DLC yang rusak. Pada hiperekstensi, ALL dan diskus mengalami cedera, dengan demikian sebaiknya ditangani dengan anterior disectomy dan fusi. Cedera ini juga dapat dipengaruhi dengan adanya ankylosing spondylosis (AS) atau diffuse idiophatic skeletal hyperostosis (DISH). Kondisi ini dapat menyebabkan fusi tulang servikal secara sirkumferensial sehingga tulang servikal bersifat seperti tulang panjang bila mengalami fraktur. Sehingga walaupun mengalami pergeseran (displacement) yang minimal, cedera ini akan menyebabkan extreme instability, dan memerlukan fiksasi anterior dan posterior. Cedera distraksi sebagai akibat hiperfleksi menyebakan kerusakan posterior DLC yang bermanifestasi sebagai unilateral facet subluxation atau bilateral perched facets, dan pola dari kerusakan DLC akan menentukan approach operasi. Bila materi diskus bergeser kedalam kanalis spinalis maka dilakukan approach anterior dengan dekompresi langsung diikuti oleh reduksi, interbody graft dan fiksasi dengan plat. Bila diskus utuh, ahli bedah dapat memilih approach anterior atau approach posterior. Cedera translasi atau rotasi merupakan pola morfologik yang paling parah dan biasanya berhubungan dengan cedera DLC yang hebat. Dengan demikian skor SLIC sudah 6 sebelum menentukan cedera neurologik, penderita ini harus dioperasi. Cedera ini di manifestasikan oleh unilateral atau bilateral facet fracture dislocation atau subluksasi. Bila tidak ada fraktur korpus vertebra, diperlukan approach anterior, bila diskus



207



Neurosurgery Lecture Notes



bergeser kedalam kanalis spinalis. Bila diskus tidak bergeser kedalam kanal, ahli bedah dapat memilih approach anterior atau approach posterior. Bila berhubungan dengan burst fracture, diperlukan analisa pola-pola cedera yang lebih signifikan. Hal ini sering terlihat sebagai fraktur yang besar atau kecil pada anterior lip corpus vertebra rostral yang dikenal sebagai tear drop (bila fraktur kecil) atau quadrangular (bila fraktur besar). Pola-pola ini biasanya berhubungan cedera jaringan lunak yang parah, sering memerlukan approach anterior dan posterior1,3. Tulang servikal memang mempunyai prisipprinsip penanganan yang unik. Masih ada beberapa kontroversi menyangkut traksi servikal untuk mereduksi fraktur faset atau dislokasi. Perdebatan berkisar apakah perlu dilakukan pemeriksaan MRI sebelum reduksi karena adanya potential risk terhadap cedera neurologik karena akan mendorong herniasi diskus ke medulla spinalis pada saat maneuver reduksi. Sampai saat ini belum ada laporan mengenai cedera medulla spinalis yang permanen pada pasien yang sadar, kooperatif, neurologik baik, yang mendapat reduksi tertutup dengan traksi servikal. Pada umumnya reduksi tertutup dapat dilakukan sebelum pemeriksaan MRI pada penderita yang sadar dan kooperatif. Subjek kontroveri yang lain, tidak ekslusif untuk tulang servikal adalah pemakaian methylprednisolone. Lebih dari satu dekade, methylprednisolone dosis tinggi diberikan pada penderita cedera spinal akut berdasarkan Nastional Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS). Barubaru ini bermunculan banyak kritik berkenaan dengan metodologi dan kesimpulan dari NASCIS, dan pemakaiannya yang berkesinambungan pada cedera spinal akut telah menimbulkan banyak pertanyaan3. Cedera servikal bagian atas (upper cevical spine injuries) merangkum semua cedera dari occiput sampai C2. Cedera oksipitoservikal relatif jarang karena sebagian besar penderita tidak survive dari cedera awal. Cedera servikal atas sangat tidak stabil dan harus segera dipakai halo vest secepat mungkin, dan menjaga agar tidak terjadi traksi. Fusi oksipitoservikal merupakan tindakan definitif pada cedera sevikal atas. Teknik untuk instrumentasi posterior servikal atas, terdiri



208



dari : pemasangan C1 lateral mass screws, C2 pedicle, pars/isthmus screws, atau laminar screws, dan C1-2 transarticular screws7. Transarticular screws walaupun memberikan rigid fixation dan high fusion rate, mempunyai kesulitan teknis yang sangat tinggi dan resiko cedera arteri vertebralis. Kenyataannya suatu abberant course dari arteri vertebralis terjadi pada 23% penderita. C2 pedicle screws juga memberikan resiko cedera arteri vertebralis pada foramen transversarium. Pars/isthmus screws mungkin lebih aman, walaupun begitu masih potensial mencederai arteri vertebralis karena screws ini mengikuti pola lintasan yang sama dengan pedicle screws. Selain itu pars screws relatif pendek, karena itu tidak memberikan rigid fixation seperti yang tampak pada transarticular screws dan pedicle screws. Intralaminar screws menghindari resiko cedera arteri vertebralis dan merupakan opsi ‘penyelamatan’ yang rasional setelah pedicle screws gagal. Tetapi intralaminar screws tidaklah tanpa resiko.



Gambar 1. Pedicle and pars screws sedikit berbeda pada starting points dan lintasannya . Starting point dari pedicle screw (A) lebih kearah cephalad daripada pars screw, sedangkan pars screw (B) mulai lebih caudal dan menuju ke cephalad. Medial/lateral starting point terbaik ditentukan intraoperative dengan palpasi manual dari batas medial pedicle/pars menggunalan sebuah nerve hook atau Penfield 4 dissector8. Dikutip dari : Helgeson MD, Lehman RA JR, Dmitriev AE, Kang DG, Sassao RC, Tannoury C, Riew KD. Accuracy of the freehand technique for 3 fixation methods in C-2 vertebrae. Neurosurg Focus 2011;31(4):E11



Neurosurgery Lecture Notes



Suatu ventral cortical breech akan menempatkan medulla spinalis dalam bahaya. Mengingat ruang yang tersedia bagi medulla spinalis pada level ini, walaupun jarang, akan merupakan komplikasi yang berpotensi merugikan. Teknik untuk instrumentasi oksipital, terdiri dari enam (6) bicortical screws pada tulang yang paling tebal digaris tengah oksiput, demikian juga pada C1-occiput transarticular fixation.



Penanganan trauma spinal masih merupakan kontroversi, sebagian besar karena tidak adanya konsensus mengenai klasifikasi cedera dan pola pola penanganan yang tepat. Sistim klasifikasi yang dibahas dalam tulisan ini berusaha menyederhanakan dan men-standar-kan klasifikasi cedera dan menciptakan algoritma tindakan. Hal ini diharapkan akan mengarah ke komunikasi dan pengertian cedera spinal pada semua level pendidikan magang untuk mencapai penanganan dan keselamatan pasien yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3. Gambar 2. Menunjukkan violation kurang dari 2mm pada ventral cortex dengan C-2 lamina screw 8. Dikutip dari : Helgeson MD, Lehman RA JR, Dmitriev AE, Kang DG, Sassao RC, Tannoury C, Riew KD. Accuracy of the freehand technique for 3 fixation methods in C-2 vertebrae. Neurosurg Focus 2011;31(4):E11



4.



5.



6.



7.



Vaccaro AR, Kim DH, Brodke DS, Harris M, Chapman JR, Schild-hauer T, Routt ML, Sasso RC. Diagnosis and management of thoracolumbar spine fractures. J Bone Joint Surg Am 2003;85:2456-2470 Vaccaro AR, Lim MR, Hurlbert RJ, Lehman RA Jr, Harrop J, Fisher DC, et al. Surgical decission making for unstable thoracolumbar spine injuries. J Spinal Disord Tech 2006;19:1-10 Vaccaro AR, Lim MR, Hurlbert RJ, Lehman RA Jr, Harrop J, Fischer DC, et al.Surgical decission making for unstable thoracolumbar spine injuries. J Spinal Disord Tech 2006;19:1-10 Wang PG, Vaccaro AR. Thoracolumbar fracture: Posterior instrumentation using distraction and ligamentotaxis reduction. J Am Acad Orthop Surg 2007;15(11):695-701 Vaccaro AR, Hurlbert RJ, Patel AA, et al. Spine Trauma Study Group: The subaxial cervical spine injury classification system. Spine 2007;32:2365-2374. Vaccaro AR, Lim JR, Lee JY. Indication for surgery and stabilization technique of the occipito-cervical junction. Injury 2005;36:S-B44–S-B53 Helgeson MD, Lehman RA JR, Dmitriev AE, Kang DG, Sassao RC, Tannoury C, Riew KD. Accuracy of the freehand technique for 3 fixation methods in C-2 vertebrae. Neurosurg Focus 2011;31(4):E11



Gambar 3. Menunjukkan critical violation dari foramen transversarium pada penempatan C-2 pars screw. Dikutip dari : Helgeson MD, Lehman RA JR, Dmitriev AE, Kang DG, Sassao RC, Tannoury C, Riew KD. Accuracy of the freehand technique for 3 fixation methods in C-2 vertebrae. Neurosurg Focus 2011;31(4):E11



209



Neurosurgery Lecture Notes



CERVICAL SPINE TRAUMA Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat



TRAUMA SERVIKAL PENILAIAN SERVIKAL PADA TRAUMA Cedera akut vertebra dan medula spinalis merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan pada trauma. Oleh karena itu, penilaian



210



dan penatalaksanaan terhadap vertebra, medula spinalis, dan radiks membutuhkan pendekatan sistematik terintegrasi pada manajemen pasien trauma.1



Neurosurgery Lecture Notes



5. Tentukan level motorik pada sisi kanan dan kiri tubuh 6. Tetapkan level sensorik dan motorik final. 7. Hitung skor motorik dan sensorik 8. Tentukan level neurologis (segmen paling kaudal yang memiliki fungsi normal) 9. Kategorikan cedera medula spinalis sebagai cedera complete atau incomple, berdasarkan ASIA impairment scale. (Incomplete = masih terdapat fungsi motorik/sensorik pada level S4-S5) 10. Tentukan zona dengan preservasi parsial (ekstensi kaudal dari segmen yang memiliki inervasi parsial)



Gambar 1. Klasifikasi dari The American Spinal Injury Association (ASIA) untuk cedera medula spinalis dan ASIA impairment scale merupakan cara yang sangat berharga untuk pemetaan defisik motorik dan sensorik.



Untuk menentukan level defisit neurologis ASIA, ada sepuluh langkah yang perlu diperhatikan: 1. Penilaian 10 otot indeks pada kedua sisi, lima pada lengan dan lima pada tiga 2. Penilaian pinprick dan sentuhan ringan pada 28 dermatom bilateral 3. Pemeriksaan colok dubur untuk penilaian sensorik dan motorik 4. Tentukan level sensorik sisi kanan dan kiri tubuh



EPIDEMIOLOGI Kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak ke-4 di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, dengan jumlah kematian 50 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya. Cedera medula spinalis, cenderung terjadi pada populasi laki-laki usia muda. Dengan perbandingan 3-20 kali lebih sering dibanding pada perempuan.2 Walaupun fraktur servikal mencakup 2030% dari seluruh keseluruhan kasus fraktur spinal, cedera medula spinalis servikal terjadi lebih dari 50% pada keseluruhan kasus. Sejak 1920 dilaporkan terdapat 4-8% sedera spinal servikal yang bersamaan dengan cedera kepala. Tingkat keparahan cedera kepala dilaporkan memiliki korelasi positif dengan cedera servikal .1,3



4



Gambar 2. Anatomi servikal atas. Dikutip dari Boos N, Aebi M. Servikal Spine Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.825-882



211



Neurosurgery Lecture Notes



uncovertebral joint



4



Gambar 3. Anatomi servikal bawah Boos N, Aebi M. Servikal Spine Injuries in Spinal Disorder. New York. Springer 2006.p.825-882



Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dari cedera medula spinalis (35-45%), dan regio servikal merupakan segmen yang paling sering terlibat. Pada kelompok usia yang lebih tua, 70% kasus cedera medula spinalis diakibatkan oleh karena terjatuh.1 Insiden cedera spinal pada usia anak dilaporkan 1,8 kasus per 100.000 populasi, dengan 80% kasus terjadi pada usia lebih dari 10 tahun. Cedera spinal servikal terjadi pada level yang berbeda-beda sesuai kelompok usia. Walaupun 75% cedera terjadi dibawah level C4, namun pada kelompok usia dibawah 8 tahun, cedera servikal terjadi pada level C3 ke atas. Cedera pada servikal atas bersifat fatal, dimana atlanto-occipital dislocation (AOD) dihubungkan dengan mortalitas sebesar 70-100%. Perbedaan anatomi servikal anak dan dewasa merupakan penyebab utama perbedaan pola cedera. Anak-anak memiliki rasio relatif kepala yang lebih besar dibandingkan dengan tulang servikal dan struktur pendukungnya, yang mengakibatkan pusat gravitasi yang lebih tinggi pada regio kranioservikal.1 Anak berusia lebih dari 11 tahun memiliki pola cedera yang mirip dengan pada dewasa dimana cedera lebih sering terjadi pada segmen C4 ke bawah. Cedera occipital yang diakibatkan oleh pengembangan airbag merupakan cedera spesifik pada pada anak kecil yang menumpang mobil.5 PENATALAKSANAAN CEDERA SPINAL SERVIKAL AKUT Pada setiap kecurigaan cedera medula spinalis, semua penderita harus diasumsikan 212



mengalami cedera servikal yang tidak stabil sampai terbukti sebaliknya. Insufisiensi pernafasan harus dicurigai pada setiap pasien yang mengalami cedera servikal. Hipoventilasi dapat terjadi sebagai akibat paralisis otot interkosta, pada cedera setentang C3-5 dapat terjadi cedera pada nervus phrenicus yang mengakibatkan kelumpuhan diafragma. Ventilasi yang inadekuat pada pasien yang mengalami tetraplegi merupakan indikasi untuk dilakukannya intubasi dini.6 Proses evakuasi pasien dengan cedera servikal harus memperhatikan imobilisasi yang baik dengan menjaga alignment dari vertebra. Keadaan khusus yang perlu diperhatikan antara lain pada keadaan kebakaran, pasien dalam kendaraan, pasien tenggelam, pasien yang mengenakan helm. Setibanya di instalasi gawat darurat, dapat dilakukan serial x ray skeletal, vertebra, toraks dan pelvis sesuai dengan indikasi. Perlu diperhatikan bahwa 11% fraktur yang berhubungan dengan cedera kepala dan medula spinalis tidak terdeteksi pada penilaian awal di IGD. Perlu diketahui juga bahwa cedera servikal sangat sering berhubungan dengan cedera di bagian lain dari tubuh. Pemeriksaan penunjang yang lebih canggih seperti CT Scan atau MRI dapat dilakukan setelah pasien secara medis telah stabil. Penilaian status neurologis pada pasien dengan intoksikasi alkohol, penurunan kesadaran membutuhkan pengamataan yang cermat.1,7 Cedera pada medula spinalis terjadi karena peregangan, kerusakan struktur, penekanan aliran darah, atau penekanan. Beberapa jenis mekanisme cedera berhubungan dengan temuan neurologis



Neurosurgery Lecture Notes



khusus pada pemeriksaan fisik. Hemiseksi medula spinalis yang biasanya diakibatkan oleh trauma tembus dikenal sebagai sindrom Brown Sequard. Pada sindrom ini dijumpai disosiasi sensori kontralateral (nyeri dan suhu) dengan preservasi sensori perabaan halus. Pada sisi ipsilateral dijumpai gangguan propriosepsi dan kelumpuhan motorik dibawah lesi. Diantara sindrom medula spinalis incomplete, sindrom Brown-Sequard memiliki prognosa yang terbaik, dimana 90% pasien akan mengalami pemulihan klinis yang disertai dengan kontrol sfingter yang baik.1,2



Gambar 4. Incomplete spinal cord syndromes: Central cord syndromes. Dikutip dari: Nowak DD, Lee JK, Gelb DE, Poelstra KA, Ludwig SC. Central Cord Syndrome. J Am Acad Orthop Surg December 2009;17:756-765.



Central cord syndrome sering terjadi pada pasien berusia tua yang mengalami cedera hiperekstensi akut, dimana pasien-pasien ini memiliki kelainan komorbid stenosis spinal. Pasien dengan sindrom ini akan mengalami kelemahan tipe lower motor neuron pada ekstremitas atas dan kelemahan tipe upper motor neuron. Pada pasienpasien ini dapat terjadi berbagai derajat gangguan sensorik, gangguan sfingter merupakan temuan klinis yang sering dijumpai. Hanya setengah dari pasien tersebut yang akan mengalami pemulihan. 2,6 Gejala ini sering dideskripsikan sebagai ‘man in a barrel phenomenon’. Sebagaimana tampak pada topografi traktus sensorik dan motorik dari medula spinalis servikal diatas, traktus servikal terletak dominan pada medial dan traktus lumbosakral pada sisi lateral. Hal ini menjelaskan mengapa rasa kebas dan kelemahan lebih nyata dijumpai pada lengan daripada di kaki, terutama pada fases awal proses penyakit.8



Gambar 5. Incomplete spinal cord syndromes: Anterior cord syndrom. Dikutip dari: SPINAL CORD INJURY. Available at : http://what-when-how.com/neuroanaesthesia-andneurointensive-care/anaesthesia-for-spinal-surgeryneuroanaesthesia-part-1/ on 05/09/2012



Anterior cord syndrome terjadi pada pasien yang mengalami cedera hiperekstensi dan kompresi vertikal; cedera ini dikenal juga sebagai ‘anterior spinal artery syndrome’. Infark medula spinalis pada daerah yang disuplai oleh arteri spinalis anterior, yaitu funikulus anterior dan funikulus lateral, diduga sebagai mekanisme utama. Pasien mengalami gangguan motorik, sensasi suhu dan nyeri; sementara propriosepsi dan diskriminasi dua titik tidak mengalami gangguan (tidak terjadi kerusakan pada funikulus lateral). Sindrom ini memiliki prognosa paling buruk diantara sindrom medula spinalis incomplete lainnya. Hanya 10-20% yang mengalami pemulihan.7



Gambar 6. Incomplete spinal cord syndromes: Brownsequard syndrome Incomplete spinal cord syndromes: 8 Central cord syndromes. Dikutip dari: Steinmetz MP, Anderson PA, Patel R, Resnick DK. Anatomy and Pathophysiology of Spinal Cord Injury. In: Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders 2008.p.:11-20



Brown-Sequard syndromes terjadi pada pasien yang menderita hemiseksi medula spinalis, dapat juga diakibatkan oleh penekanan langsung 213



Neurosurgery Lecture Notes



oleh massa yang terletak pada lateral dari medula spinalis. Sindrom ini mengenai kolumna dorsalis, traktus kortikospinal dan traktus spinothalamikus pada sisi ipsilateral. Sebagai akibatnya gambaran klinis yang dijumpai berupa kelemahan ipsilateral, kehilangan sensasi propriosepsi dan getaran pada sisi ipsilateral, dan gangguan sensasi nyeri dan suhu pada sisi kontralateral lesi. Pasien dengan sindrom ini memiliki kemungkinan pemulihan yang paling besar dibandingkan incomplete spinal cord syndromes lainnya.



pada kerusakan struktural utama seperti fraktur vertebra, dislokasi, dan cedera saraf atau medula spinalis.



KONTROVERSI PEMBERIAN STEROID Pemberian steroid masih merupakan kontroversi pada penatalaksanaan cedera medula spinalis. Walaupun beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa naloxone dan glucocorticoid tidak efektif dalam penatalaksanaan cedera medula spinalis, beberapa studi menunjukkan hasil sebaliknya. The Second National Acute Spinal Cord Injury Study (NASCIS 2) melalui studi acak tersamar ganda, menunjukkan bahwa dosis tinggi methylprednisolone berhubungan dengan outcome neurologi yang baik dibandingkan dengan plasebo dan naloxone. Jika terapi tidak dapat dimulai pada 8 jam pertama sesudah cedera, pemberian steroid tidak ada gunanya. Methylprednisolone sodium succinate (MPSS) inisial diberikan secara bolus intravena 30mg/kg diberikan selama 15 menit, 45 menit kemudian diikuti dengan pemberian 5,4 mg/kg perjam per infus secara kontinu. Jika terapi diberikan dalam 3 jam pertama, terapi dilanjutkan sampai 23 jam berikutnya; dan bila terapi dilakukan 3-8 jam setelah cedera, terapi diteruskan sampai 47 jam berikutnya (total 48 jam).9



Grade III



ASSESMENT RECOMENDATION The Neck Pain Task Force mengeluarkan rekomendasi manajemen klinis dari pasien dengan nyeri leher yang diterima di unit emergensi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan trauma tumpul pada leher. The Neck Pain Task Force merekomendasikan assesmen klinis yang terbagi dalam empat kategori10 Pada grade I, keluhan dapat berhubungan dengan kekakuan atau nyeri leher, tetapi tidak dijumpai keluhan neurologis yang signifikan. Tidak dijumpai gejala atau tanda serius yang mengarah



214



Kategori cedera leher tumpul berdasarkan Neck Pain Task Force10 Grading of blunt neck injuries Grade I



Nyeri leher tidak disertai patologi serius dan hanya tidak mengakibatkan gangguan terhadap aktifitas sehari-hari



Grade II



Nyeri leher tidak disertai patologi serius, tetapi mengganggu aktifitas sehari-hari Nyeri leher disertai gejala penekanan saraf



Grade IV



Nyeri leher disertai dengan tanda kelainan struktural utama



Pada grade II, keluhan nyeri leher berhubungan dengan gangguan kehidupan sehari hari, tetapi tidak menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada kerusakan struktur penting atau penekanan radiks. Gangguan terhadap aktifitas sehari-hari bisa diperoleh dengan kuisioner. Pada grade III, keluhan nyeri leher berhubungan dengan tanda defisit neurologis yang signifikan seperti penurunan refleks tendon, kelemahan, dan atau defisit sensorik. Tanda klinis ini merupakan indikasi adanya malfungsi saraf spinal atau medula spinalis. Rasa nyeri atau kebas yang tidak disertai dengan temuan neurologis lain dan kelainan imejing servikal, tidak dapat dikategorikan sebagai grade III. Pada grade IV dijumpai keluhan nyeri leher dan/atau kelainan lain, sementara klinisi menjumpai tanda atau gejala yang mengindikasikan kerusakan struktural utama. Setiap kategori neck pain membutuhkan pemeriksaan dan manajemen yang berbeda. The Neck Pain Task Force menyarankan algoritma untuk penalatalaksanaan dan pemeriksaan penunjang pasien dengan cedera tumpul servikal. Pasien dengan kecurigaan trauma tumpul leher yang mengalami penurunan kesadaran, intoksikasi, dan cedera penting lain merupakan kelompok resiko tinggi mengalami fraktur atau dislokasi. CT scan servikal sebaiknya dipertimbangkan bila tersedia. Pasien sadar (GCS 15) dan pasien stabil sebaiknya menjalani skrining berdasarkan kriteria NEXUS atau Canadian C-Spine Rule.



Neurosurgery Lecture Notes



11



Gambar 7. Canadian C-Spine Rule (MVC motor vehicle collision, ED emergency department) Dikutip dari : Stiell IG, Wells GA, Vandemheen KL, Clement CM, Lesiuk H, De Maio VJ, Laupacis A, et al. The Canadian C-spine rule for radiography in alert and stable trauma patients. JAMA 2001;286:1841–1848



Pasien yang termasuk dalam kelompok risiko rendah (Grade I dan II) tidak membutuhkan investigasi radiologi dan dapat diyakinkan untuk menerima perawatan suportif Pasien yang tidak termasuk dalam kriteria resiko rendah (NEXUS, CSpine Rule) harus menjalani pemeriksaan foto polos tiga proyeksi atau CT scan servikal. Jika setelah prosedur foto polos masih dijumpai kecurigaan, pasien sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan Bila tidak dijumpai nyeri radikular atau tanda neurologis, dan jika foto polos servikal dan/atau CT scan dapat menyingkirkan adanya fraktur atau dislokasi, pasien sebaiknya dikelompokkan sebagai grade I atau II. Pasien yang pada foto polos servikal atau CT scan yang menjunjukkan tanda fraktur atau dislokasi vertebra, atau dijumpainya tanda redikular (penurunan deep tendon refleks, kelemahan dan/atau defisit sensorik), sebaiknya dirujuk ke spesialis spine.



Foto fleksi/ekstensi, x ray 5 proyeksi, dan MRI servikal tidak menambah informasi klnis yang berarti pada manajemen emergensi cedera tumpul leher pada pasien yang tidak mengalami fraktur, dislokasi atau tanda radikular.10 Pada tahun 2001, diterbikan algoritma Canadian C-Spine Rule ,yang memiliki sensitivitas tinggi, yang digunakan untuk panduan imejing pada pasien trauma yang sadar dan stabil. Algoritma ini memiliki sensitifitas 100% dalam mengidentifikasi 151 pasien yang mengalami cedera servikal. NEXUS (National Emegency X-radiography Utilization Study) mengembangkan kriteria pengambilan keputusan yang memungkinkan identifikasi pasien yang memiliki kemungkinan rendah untuk cedera servikal.12 Kriteria tersebut adalah:  Tidak ada pembengkakan midline pada servikal  Tidak ada defisit neurologis  Kesadaran penuh  Tidak dijumpai riwayat intoksikasi  Tidak ada nyeri, atau cedera lain yang dapat



mengalihkan nyeri (distracting Injury)



215



Neurosurgery Lecture Notes



RADIOIMEJING Foto Polos Foto polos merupakan imejing dasar pada pasien yang dicurigai menderita cedera servikal. Indikasi dilakukannya foto polos servikal antara lain adalah nyeri lokal, deformitas, krepitus, edema, perubahan status mental, disfungsi neurologis, cedera kepala dan multipel trauma. Serial foto servikal lengkap terdiri dari foto lateral, anteroposterior, open mouth view, dan oblique film. Pillar view, swimmer’s view, dan studi dinamik merupakan foto tambahan yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan evaluasi yang penuh dari cedera. 46



Gambar 10 . Posterior cervical line (Swischuk line) membedakan pseudosubluksasi dengan instabilitas patologis pada saat translasi C2 pada C3 tampak pada foto x ray lateral fleksi. Swischuk’s line ditarik antara korteks anterior dari arkus posterior dari C1 dan C3, dan stabilitasnya dinilai dari hubungannya dengan arkus posterior dari C2. Dikutip dari koleksi gambar anatomi Departemen Bedah Saraf FK.USU.



Gambar 8. Hubungan normal dari servikal lateral. 1,prosesus spinosus; 2,spinolaminar line; 3,posterior vertebral body line; 4,anterior vertebral body line. Dikutip dari koleksi gambar anatomi Departemen Bedah Saraf FK-USU.



Gambar 11 . Malalignment Swischuk’s line menunjukkan adanya subluksasi C2 pada C3. Dikutip dari: The line of Swischuk. Available at: http://www.accessem.com/loadBinary.aspx?fileName=schw1_ c044f003t.jpg on 05/09/2012



Gambar 9. Lateral View. 1) Anterior vertebral line 2) Posterior vertebral line 3) Spinolaminal line 4) Interspinous line. Dikutip dari: Diagnostic Imaging Pathways. Cervical Spine Series. Available at : http://www.imagingpathways.health.wa.gov.au/Includes/DIP Menu/normal_musculoskeletal/image.html on 05/09/2012



216



Foto lateral digunakan untuk menilai allignment tulang servikal, kelainan tulang, kelainan diskus intervertebralis, dan jaringan lunak. Temuan seperti swelling prevertebra dapat menjadi temuan satu-satunya pada pasien cedera akut. Foto anteroposterior, walaupun berguna untuk evaluasi lima vertebra servikal bagian bawah dan vertebra torakal atas; memiliki keterbatasan karena bayangan yang bertumpang tindih dengan mandibula dan occiput.1,46



Neurosurgery Lecture Notes



Open mouth view memberikan proyeksi anteroposterior dari vertebra servikal atas. Dengan membuka mulut, bayangan mandibula tidak lagi tampak diatas C1-2, dan oleh karena itu dapat dinilai dengan baik. Dengan proyeksi ini, alignment coronal dari atlas dan axis, posisi dens axis, fraktur Jefferson dapat dinilai. Keterbatasan teknik ini adalah pada keadaan dijumpainya cedera fasial. Foto oblik berguna untuk identifikasi prosesus uncinate dari corpus vertebra, lamina, pedikel,



foramen intervertebra, massa articular, dan sendi inter facet. Untuk evaluasi lengkap, dibutuhkan foto oblik bilateral. Pillar view memungkinkan visualisasi langsung pada lateral mass. Sebagai tambahan, dens dapat dinilai bila foto open mouth tidak memungkinkan atau inadekuat. Foto swimmer projection merupakan cara lain untuk mengevaluasi cervicothoracic junction bila bahu pasien menutupi servikal bawah walaupun sudah dilakukan traksi tangan.1,46



Gambar 12. ADI (Atlanto-Dens Interval) dan SAC (Space Available for the Cord) digunakan untuk evaluasi instabilitas atlanto axial. Wackenheim clivus canal laine digunakan untuk evaluasei cedera atlantooccipital. Puncak odontoid normal berada di sebelah posterior dari garis ini. McRae dan McGregor line digunakan untuk evaluasi impresi basilar. Powers ratio merupakan perbandingan BC/OA. Nilai normalnya adalah 0,7-1. Nilai lebih besar mengindikasikan adanya dislokasi atlanto occipital, dan nilai lebih kecil mengindikasikan subluksasi posterior. A. Atlas B.Basion C.Arkus posterior dari atlas O.Opisthion. Dikutip dari koleksi gambar anatomi Departemen Bedah Saraf FK-USU. Tabel 1. Parameter pengukuran pada imejing servikal normal. Dikutip dari: Graber MA, Kathol M. Cervical Spine Radiographs in the Trauma Patient. Am Fam Physician 1999;59(2):331-342



Measurable Parameters of Normal Cervical Spines Parameter Predental space C2-C3 pseudosubluxation Retropharyngeal space Angulation of spinal column at any single interspace level Cord dimension



Adults 3 mm or less 3 mm or less Less than 6 mm at C2, less than 22 mm at C6* Less than 11 degrees



Children 4 to 5 mm or less 4 to 5 mm or less ⅓ to ⅔ vertebral body distance anteroposteriorly Less than 11 degrees



10 to 13 mm



Adult size by 6 years of age



217



Neurosurgery Lecture Notes



Foto fleksi-ekstensi sering dianjurkan untuk evaluasi integritas ligamen pada pasien tanpa defisit neurologis setelah mengalami trauma. Foto ini dikontraindikasikan pada pasien dengan defisit neurologis, tanda pasti fraktur, pasien tidak stabil, riwayat penurunan kesadaran, intoksikasi alkohol dan juga setelah pemberian analgetik dosis tinggi. Seiring kemajuan teknologi MRI, foto ini semakin ditinggalkan.1,46 CT Scan Pada saat ini CT scan merupakan metode pilihan untuk melakukan evaluasi trauma spinal akut. Dengan CT scan, tulang vertebra dapat divisualisasikan dengan sangat baik, pecahan tulang kecil yang masuk ke kanalis spinalis dapat dinilai dengan baik. Hal ini sangat berguna pada evaluasi fraktur C1-2 oleh karena subtipe fraktur sangat sulit dilakukan dengan menggunakan foto polos saja. Program komputer untuk membentuk imejing CT scan 3 dimensi sangat membantu dalam pemahaman fraktur yang kompleks. Sensitifitas CT scan jauh lebih superior dibandingkan dengan foto polos (98% vs 52%), sehingga beberapa penulis menganjurkan penggunaan CT scan sebagai pemeriksaan wajib pada pasien yang dicurigai menderita cedera spinal servikal. Kelemahan teknik imejing ini adalah karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan pencitraan.1 Myelografi Prosedur ini dilakukan dengan memberikan kontras intratekal, diikuti dengan foto polos atau CT scan, sehingga didapatkan gambaran medula spinalis, rongga sub arachnoid, dan radiks. Myelografi dapat menunjukkan massa intramedula atau ekstramedula, obstruksi dari cairan serebrospinal, avulsi radiks, robekan dura, dan syringomyelia post traumatic. Namun demikian hanya sedikit sekali informasi yang didapatkan mengenai patologi intrinsik dari medula spinalis pada cedera akut. Myelografi juga merupakan prosedur invasif yang memiliki komplikasi cedera medula spinalis, perdarahan intra spinal, reaksi alergi terhadap kontras.46



218



Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI memiliki sensitifitas yang kurang dalam mendeteksi tulang dibanding CT scan, disamping itu prosedur MRI juga membutuhkan waktu yang lebih lama, dan membutuhkan pasien berada dalam keadaan yang diam. MRI lebih superior dalam mendeteksi jaringan lunak; hematom epidural spinal, perdarahan intra medula, kontusio medula spinalis, encephalomalacia, edema medula spinalis, struktur ligamen penunjang.14 Angiografi Dengan perkembangan teknik CT angiography (CTA) dan MR angiography (MRA), visualisasi sttuktur vaskular kini dapat dinilai dengan lebih baik dan semakin non invasif dibandingkan dengan angiografi tradisional. MRA direkomendasikan oleh beberapa penulis, tetapi teknik ini memiliki kelemahan dalam mendeteksi spasme dan pecahan tulang kecil. Oleh karena kebanyakan pasien telah menjalani pemeriksaan CT scan, penambahan sekuensi angiografi relatif lebih mudah. CTA memiliki sensitifitas 97,7% dan spesifitas 100%.



Gambar 13. CT Angiografi dengan rekonstruksi 3D pada perempuan 28 tahun menunjukkan diseksi arteri karotis interna yang disertai pseudoaneurysm. Dikutip dari: Stuhlfaut JW et al: Impact of MDCT Angiography on the Use of Catheter Angiography for the Assessment of Cervical Arterial Injury After Blunt or Penetrating Trauma. Am J Radiol 2005;185:1063–1068



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 13. Algoritma untuk menentukan teknik imejing yang tepat pada situasi trauma akut. Dikutip dari France JC. Radiographic Imaging of the Traumatically Injured Spine: Plain Radiographs, Computed Tomography, Magnetic Resonance Imaging, Angiography, Clearing the Cervical Spine in Trauma Patients. In: Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders 2008;5:37-56



KLASIFIKASI CEDERA SPINAL SERVIKAL Sampai saat ini, belum ada klassifikasi yang dapat diterima secara universal untuk fraktur atau dislokasi servikal. Beberapa sistem klasifikasi berfokus pada cedera neurologis tanpa analisa tulang ataupun cedera jaringan lunak. Sementara sistem lain membagi cedera berdasarkan kelainan jaringan lunak ataupun cedera vertebra tanpa



menilai mekanisme cedera. Sementara lainnya berfokus pada mekanisme cedera saja. Konsep Dua Dan Tiga Kolom Konsep dua kolom spinal membantu untuk menentukan stabilitas spinal torakolumbal. Kolom anterior terdiri dari ligamen longitudinal anterior, corpus vertebra, diskus intervertebra, dan ligamen 219



Neurosurgery Lecture Notes



longitudinalis posterior; kolom posterior terdiri dari semua struktur tulang dan ligamen yang berada disebelah posterior dari ligamen longitudinal posterior.



Gambar 14. Perbedaan konsep dua kolom dan konsep tiga 15 kolom . Dikutip dari Denis F. The three column spine and its significance in the classification of acute thoracolumbar spinal injuries. Spine 1983;8:817-831



Denis kemudian menciptakan konsep tiga kolom dengan menambahkan kolom media (middle column). Middle column terdiri dari sepertiga posterior dari corpus vertebra, dan ligamen. Posterior column terdiri dari pedikel, lamina, prosesus spinosus, prosesus artikularis, dan kapsul ligamen yang berhubungan. Walaupun konsep tiga kolom didesain untuk fraktur torakolumbal, namun konsep dua atau tiga kolom dapat membantu pemahaman biomekanik cedera spinal servikal.15



kolom posterior. Kompresi vertikal disebut axial loading, terjadi bila adanya daya yang mengenai puncak kepala dan vertebra servikal berada dalam keadaan netral. Daya diteruskan melalui tengkorak dan occipital condyle ke arah tulang servikal dan mengakibatkan burst fracture. Fraktur Jefferson merupakan cedera yang diakibatkan oleh kompresi vertikal.1 STABILITAS SPINAL SERVIKAL Konsep abstrak dari stabilitas spinal sering sulit dipahami dan diaplikasikan pada situasi klinis aktual. Untuk menetapkan definisi stabilitas dari vertebra, beberapa faktor harus dipertimbangkan, termasuk mekanisme cedera, besar dan arah daya, tampilan radilogis dari lesi, struktur anatomi yang terlibat, dan status neurologis dari pasien. Secara klinis stabilitas dari spinal servikal diasumsikan sebagai. (1) tidak ada pergeseran atau deformitas yang akan diakibatkan oleh beban fisiologis; (2) deformitas atau pergeseran abnormal tidak akan terjadi selama masa penyembuhan; (3) cedera atau kompresi dari elemen spinal tidak terjadi dan tidak akan terjadi dengan beban fisiologis.1,16 Tabel 2. Temuan radiologi pada fraktur servikal menurut 17 Clark dkk. RADIOGRAPHIC SIGNS OF CERVICAL SPINE TRAUMA



.



Gambar 15. Konsep tiga kolom menurut Denis Dikutip dari koleksi gambar anatomi Departemen Bedah Saraf FK-USU.



Hiperfleksi diakibatkan oleh rotasi kearah depan dari kepala yang biasanya dibatasi oleh dagu yang membentur dinding dada. Mekanisme trauma seperti ini mengakibatkan daya distraksi pada elemen posterior dan daya kompresi pada kolom anterior (korpus vertebra dan diskus). Cedera hiperekstensi sebaliknya melibatkan daya yang membentur kening atau kepala dan mengakibatkan rotasi ke arah belakang. Pada mekanisme trauma ini, terjadi distraksi kolom anterior dan kompresi 220



Tabel 3. Kriteria Instabilitas C0-C1-C2 menurut White dan Panjabi. Dikutip dari: White A, Panjabi M. Clinical Biomechanics of the Spine. Philadephia: JB Lippincot 1990. 0 >8 Axial rotation C0-C1 to one side >1 mm Translation of basion to dens top (noemal 4-5 mm) on flexion/extension >4 mm C1-C2 translation measurement >7 mm Bilateral overhang C1-C2 0 >45 Axial rotation C1-C2 to one side 3,5 mm



2 2 2



Relative sagittal plane rotation > 11 degrees Positive stretch test



2 2



Nerve root damage Abnormal disk narrowing Dangerous loading anticipated



1 1 1



Score of 5 or greater indicate clinical instability.



REKOMENDASI TERAPI Tabel 5. Rekomendasi terapi pada penatalaksanaan fraktur servikal Recommendation for Treatment (Dikutip dari : Fehling M, Perrin RG: The timing of surgical intervention in the manatement of spinal cord injury: A systematic review of clinical evidence. Spine 31(suppl 11):S28-S35,2006) LEVEL OF CLASS OF DETAILS RECOMMENDATION EVIDENCE Standards I No standards regarding role and timing of decompression in acute spinal cord injury Guidelines II Early surgery (3,5 mm movement on flexion-extension) Radiographic evidence of C1-C2 hypermobility with an anterior dens interval of >3,5 mm Fixed atlantoaxial rotatory abnormality DEVELOPMENTAL ANOMALIES / COMORBIDITIES Clinical or radiographic evidence of rheumatoid arthritis imaging evidence of a multilevel Klipple-Feil anomal, basilar invagination, Arnold-Chiari malformation, ankylosing spondylitis, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis, a spear-tackler’s spine, or occipital-C1 assimilation



240



Spinal Cord Injury Without Radiographic Abnormality (SCIWORA) Cedera ini dijelaskan pertama kali oleh Pang dan Wilberger. SCIWORA lebih sering terjadi pada anak-anak, disebabkan oleh mobilitas yang lebih besar dari kompleks osteoligamen pada kelompok pediatri. Kombinasi dari belum berkembangnya otot servikal pada anak-anak dan proporsi kepala yang relatif lebih besar memberikan kontribusi terhadap cedera ini. Mekanisme cedera adalah bervariasi, mulai dari hiperekstensi, fleksi, fleksi-ekstensi, distraksi, dan benturan langsung. Defisit neurologis sering dijumpai, disebabkan transeksi parsial atau complete dari medula spinalis. Dengan berkembangnya MRI, pada imejing sering dijumpai cedera ligamen dan medula spinalis, oleh karena itu istilah SCIWORA tidaklah sepenuhnya tepat.45 DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



4. 5.



6. 7.



8.



9.



Vollmer DG, Eichler ME, Jenkins AL III. Assesment of the Servikal Spine After Trauma. In : Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery Vol.3, 6th edition. Philadelphia: Elsevier 2011.p.3166-3185 Marshall LF, Knowlton S, Garfin SR, et al. Deterioration following spinal cord injury: A multicenter study. J Neurosurg. 1987;66:400-404 Tator C. Epidemiology and general characteristics of the spinal cord injured patient. In: Benzel E, Tator C, eds. Contemporary Management of Spinal Cord Injury. Park Ridge, IL: American Association of Neurological Surgeons; 1995:9-20 Boos N, Aebi M. Servical Spine Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.825-882. Holly LT, Kelly DF, Counelis GJ, et al. Servikal spine trauma in children: a review. Neurosurg Focus 2002;96:285-291 Ducker TB. Treatment of spinal cord injury. N Engl J Med 1990;322:1459-1461 Bohlman HH. Acute fractures and dislocations of the servikal spine: An analysis of threee hundred hospitalized patients and review of the literature. J Bone Joint Surg Am 1979;61:1110-1142 Steinmetz MP, Anderson PA, Patel R, Resnick DK. Anatomy and Pathophysiology of Spinal Cord Injury. In Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders 2008.p.11-20 Bracken MB, Shepard MJ, Holford TR, et al. Administration of methylprednisolone for 24 or 48 hours or tirilazad mesylate for 48 hours in the treatment of acute spinal cord injury. Results of the third National Acute Spinal Cord Injury Randominzed Controlled Trial. National Acute Spinal Cord Injury Study. JAMA 1997;277:1597-1604



Neurosurgery Lecture Notes



10.



11.



12.



13.



14.



15.



16. 17. 18.



19.



20.



21.



22. 23.



24. 25.



Guzman J, Haldeman S, Carroll LJ, Carragee EJ, Hurwitz EL, Peloso P, Nordin M, Cassidy JD, Holm LW, Cote P, van der Velde G, Hogg-Johnson S. Clinical practice implications of the Bone and Joint Decade 2000–2010 Task Force on Neck Pain and Its Associated Disorders. FromConcepts and findings to recommendations. Spine 2008;33 (Suppl):S199–S213 Stiell IG, Wells GA, Vandemheen KL, Clement CM, Lesiuk H, De Maio VJ, Laupacis A, Schull M, McKnight RD, Verbeek R, Brison R, Cass D, Dreyer J, Eisenhauer MA, Greenberg GH, MacPhail I, Morrison L, Reardon M, Worthington J. The Canadian C-spine rule for radiography in alert and stable trauma patients. JAMA 2001;286:1841–1848 Hoffman JR,MowerWR,Wolfson AB, Todd KH, Zucker MI. Validity of a set of clinical criteria to rule out injury to the cervical spine in patients with blunt trauma. National Emergency X-Radiography Utilization Study Group. N Engl J Med 2000;343:94–99 Quinnan SM, Gabos PG. Imaging Modalities of the Traumatically Injured Pediatric Spine. In Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders 2008.p.500-508 Benzel EC, Hart BL, Ball PA, et al. Magnetic resonance imaging for the evaluation of patients with occult servical spine injury. J Neurosurg 1996;85:824-829 Denis F. The three column spine and its significance in the classification of acute thoracolumbar spinal injuries. Spine 1983; 8:817-831 White A, Panjabi M. Clinical Biomechanics of the Spine. Philadephia: JB Lippincot 1990. Clark WM, Gehweiler JA, Laib R. Twelve significant signs of cervical spine trauma. Skeletal Radiol 1979;3:201–5 Le AX, Delamarter RB. Classification of cervical spine trauma. In Vaccaro AR, ed. Fractures of the Cervical, Thoracic, and Lumbar Spine. New York: M. Dekker 2003.p.103-115. Brunette DD, Rockswold GL. Neurologic recovery following rapid spinal realignment for complete servikal spinal cord injury. J Trauma. 1987;27:445-447 Johnson RM, Hart DL, Simmons EF, et al. Servikal orthoses: A study comparing their effectiveness in restricting servikal motion in normal subjects. J Bone Joint Surg Am 1977;59;332-339. Jeanneret B, Magerl F. Primary posterior fusion C1/2 in odontoid fractures: indications,technique, and results of transarticular screw fixation. J Spinal Disord 1992;5:464– 475 Levine AM, Edwards CC. Fractures of the atlas. J Bone Joint Surg Am 1991;73:680-691 Dickman CA, Hadley MN, Browner C, et al. Neurosurgical management of acute atlas-axis combination fractures: a review of 25 cases. J Neurosurg 1989;70:45-49. Wood-Jones F. The ideal lesion produced by judicial hanging. Lancet 1913;1:53-54 Grogono B. Injuries of the atlas and axis. J Bone Joint Surg Br 1954;36:397-410



26.



27.



28.



29.



30.



31.



32.



33.



34.



35.



36.



37.



38.



39.



40.



41.



42.



Garber JN. Abnormalities of the atlas and axis vertebra – congenital and traumatic. J Bone Joint Surg Am 1964;46:1782-1791 Schneider RC, Livingstone KE, Cave AJ, Hamilton G: “Hangman’s fracture” of the cervical spine. J Neurosurg 1965;22:141-154 Hadley MN, Dickman CA, Browner C, et al. Acute axis fractures: a review of 229 cases. J Neurosurg 1989;71:642-647 Spitzer WO, Skovton ML, Salmi LR, et al. Scientific monograph of the Quebec Task Force on Whiplash Associated Disorders: redefining whiplash and it’s management. Spine 1995;20(8 Suppl):1S-73S Wilmink JT, Patijn J. MRI imaging of alar ligament in whiplash associated disorders: An observer study. Neuroradiology 2001;43:859-863 Howard RP, Bowles AP, Guzman HM, Krenrich SW. Head, neck, and mandible dynamics generated by ‘whiplash’. Accid Anal Prev 1998;30:525-534 Throckmorton GS. Quantitative calculation of temporomandibular joint reaction forces—II. The importance of the direction of the jaw muscle forces. J Biomech 1985;18:453-461 Sterner Y, Toolanen G, Gerdle B, Hildingsson C. The Incidence of whiplash trauma and the effects of different factors on recovery. J Spinal Disord Tech 2003;16:195199 Yoganandan N, Knowles SA, Maiman DJ, Pintar FA. Anatomic study of the morphology of human cervicalfacet joint. Spine 2003;167:2317-2323 Dall’Alba PT, Sterling MM, Treleaven JM, et al. Cervical range of motion discriminates between asymptomatic persons and those with whiplash. Spine 2001;26:20902094 Nebel K, Stude P, Ludecke C, et al. C-interactive pressure algesimetry of post-traumatic neck pain after whiplash injury. Cephalalgia 2005;25:205-213 Borchgrevink G, Smevik O, Haave I. MRI of cerebrum and cervical column within two days after whiplash neck sprain injury. Injury 2001; 28:331-335 National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Information Network: Facts and Figures at a Glance. Birmingham University of Alabama at Birmingham 2003. Ki Farhadi HF, Vincent F, Fehlings MG. Cervical Spine Injuries in Athlete. In Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC: Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008;.p.112-118 Torg JS, et al:Cervical cord neurapraxia. Classification, patomechanics, morbidity and management guidelines. J Neurosurg 1997;87:843-850. Torg JS, Ramsey-Emrhein JA. Suggested management guidelinesfor participation in collision activities with congenital, developmental, or postinjury lesions involving the cervical spine. Med Sci Sports Excer 1997;29:S256-272. Cantu RC. The cervical spinal stenosis controversy. Clin Sports Med 1998;17:137-146



241



Neurosurgery Lecture Notes



43.



44.



242



Cantu RC. Stinger, transient quadriplegia, and cervical spinal stenosis. Return to play criteria. Med Sci Sports 1997;29:S233-235 Vaccaro AR, Klein G.R., Ciccoti M, et al: Return to play criteria for the athlete with cervical spine injuries



45.



resulting in stinger and transient quadriplegia/paresis. Spine J 2002;2:351-356 Pang D,Wilberger J. Spinal cord injury without radiographic abnormalities in children. J Neurosurg 1982;57:114-129.



Neurosurgery Lecture Notes



THORACOLUMBAR TRAUMA Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat Fraktur torakolumbal lebih sering terjadi pada laki-laki (2/3) daripada perempuan (1/3) dan puncak usia kejadian ini adalah antara 20-40 tahun.1 Hampir 160.000 pasien per tahun mengalami cedera kolumna spinalis di Amerika Serikat. Kebanyakan kasus ini terjadi pada regio servikal dan lumbal (L3-5). Antara 15-20% fraktur



traumatik terjadi pada thoracolumbal junction (T11 - L2), sementara 9016% terjadi pada regio torakal (T1-10).2 Sekitar 50-60% fraktur torakolumbal mengenai transisi T11-L2, 25-40% mengenai verteba torakal dan 10-14% mengenai vertebra lumbal dan sacrum.3



Gambar 1. Gambaran skematik perbandingan morfologi vertebra servikal, torakal dan lumbal. Dikutip dari: Fast A, Goldsher D. Anatomy of the Spine. Navigating the Adult Spine. New York: Demos Medical Publishing. New York 2007.p.1-8



243



Neurosurgery Lecture Notes



Mekanisme Cedera Pada saat cedera, beberapadaya dapat terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan kerusakan struktural pada struktur spinal. Mekanisme cedera yang paling sering terjadi adalah: kompresi aksial, fleksi/ distraksi, hiperekstensi, rotasi, shear.1



Gambar 2. Gambaran skematik dari orientasi sendi facet, pada vertebra servikal, torakal dan lumbal. Dikutip dari: Fast A, Goldsher D. Anatomy of the Spine. Navigating the Adult Spine. New York: Demos Medical Publishing. New York 2007.p.1-8



Kerentanan transisi torakolumbal untuk mengalami fraktur memiliki korelasi anatomi: transisi dari kifosis torakal yang rigid menjadi lordosis lumbal yang lebih mobil pada T11-12. Iga torakal terbawah memiliki stabilitas yang kurang pada ‘thoracolumbar junction’ dibandingkan pada regio torakal rostral karena tidak berhubungan dengan sternum dan mengambang bebas. Sendi facet dari regio torakal memiliki orientasi coronal, sehingga membatasi fleksi dan ekstensi dan memiliki resistensi terhadap translasi anteroposterior yang substansial.2 Pada regio lumbosakral sendi facet memiliki orientasi alignment yang lebih sagital, yang mana hal ini meningkatkan derajat potensial fleksi dan ekstensi; membatasi rotasi dan lateral bending. Cedera medulla spinalis terjadi pada sekitar 10-30% fraktur spinal traumatik.4 Pada fraktur torakolumbal (T1-L5) terjadi defisit neurologis sebesar 22-35,8%.5,,6



244



Kompresi Aksial Pada saat axial loading pada tubuh terjadi dengan daya fleksi anterior pada vertebra torakal yang kifotik, daya ini akan mengakibatkan kerusakan endplate diikuti oleh kompresi korpus vertebra.7 Tergantung pada energi yang terlibat, axial load dapat mengakibatkan burst fracture yang complete ataupun incomplete, misalnya fraktur vertikal dengan pergeseran sentripetal.8,9 Elemen posterior biasanya intak; walaupun demikian dengan kompresi yang berat, disrupsi yang signifikan dari elemen ini dapat terjadi.kombinasi antara daya kompresif axial dengan daya kompresif eksentrik yang mengarah ke anterior (inti dari nukleus pulposus), secara tipikal dikenal sebagai fraktur kompresi berbentuk baji. Penyebab tersering adalah kecelakan lalu lintas bermotor dan terjatuh dari ketinggian, diikuti dengan cedera yang berhubungan dengan olahraga dan aktifitas rekreasional. Pada populasi yang lebih tua fraktur kompresi pada tulang yang osteoporosis dengan trauma energi rendah merupakan penyebab yang paling sering.7-9 Fleksi / Distraksi Daya fleksi mengakibatkan kompresi eksentrik dari corpus vertebra dan diskus; daya ini memberikan tekanan pada elemen posterior. Bila terjadi fraktur kompresi baji anterior yang melebihi 40-50%, harus diasumsikan terjadi ruptur dari ligamen posterior dan kapsul sendi facet.1 Pada cedera fleksi/ distraksi, aksis dari fleksi bergeser ke arah anterior, dan keseluruhan kolom vertebra, struktur tulang dan ligamen posterior akan mengalami daya regangan yang besar. Daya ini dapat mengakibatkan: lesi tulang murni / lesi osteoligamen campuran / lesi jaringan lunak murni. Distraksi akan mengakibatkan disruptur horizontal pada elemen posterior dan atau anterior. Fraktur distraksi yang mengenai tulang pertama kali



Neurosurgery Lecture Notes



dijelaskan oleh Chance. Lesi ini melibatkan fraktur horizontal, yang dimulai dari prosesus spinosus, lamina, prosesus transversus, dan pedikel, dan mencapai korpus vertebra. Tergantung dari aksis dari fleksi, korpus vertebra dan diskus dapat mengalami ruptur dan terkompresi ke arah anterior. Walaupun banyak kecelakaan yang mengakibatkan terjadinya fleksi anterior yang signifikan, secara tipikal penyebab dari cedera tipe ini adalah korban kecelakaan lalu lintas yang menggunakan sabuk pengaman. Cedera ini berhubungan dengan tingginya lesi organ berongga, secara tipikal usus halus, kolon atau lambung, tetapi cedera pankreas dapat juga terjadi.1,10,11 Hiperekstensi Daya ekstensi terjadi pada saat bagian atas dari batang tubuh terhempas ke arah posterior. Hal ini mengakibatkan pola cedera yang signifikan yang berlawanan dengan apa yang tampak pada cedera fleksi. Daya regangan akan terjadi pada sisi anterior, sementara kompresi terjadi pada elemen posterior. Mekanisme ini berakibat ruptur dari anterior ke posterior dan dapat mengakibatkan fraktur prosesus spinosus, lamina, dan facet. Cedera yang melibatkan ligamen anterior merupakan pola cedera yang sangat tidak stabil.30 Cedera Rotasional Baik daya kompresif dan mekanisme fleksi distraksi dapat terjadi bersamaan dengan daya rotasional dan mengakibatkan dislokasi fraktur rotasional. Dengan meningkatnya daya rotasional, terjadi ruptur ligamen dan kapsul facet yang akan memicu terjadinya disrupsi elemen anterior dan posterior. Cedera ini merupakan cedera yang sangat tidak stabil. Daya rotasi dapat lebih lanjut dikombinasikan dengan shearing forces dan mengakibatkan jenis fraktur yang paling tidak stabil (slice fractures, Holdsworth). Pasien sering mengalami luka yang luas dan memar pada seluruh punggung.13 Shear Force Shear forces mengakibatkan disrupsi ligamen yang sangat berat dan dapat mengakibatkan pergeseran vertebra anterior,



posterior atau lateral. Jenis yang paling sering terjadi adalah spondylolisthesis anterior yang biasanya mengakibatkan cedera medulla spinalis complete.7 KLASIFIKASI Cedera vertebra sangat beragam. Hal yang paling penting untuk pemahaman dan penatalaksanaan dari cedera ini adalah evaluasi stabilitas dan instabilitas. Walau demikian belum ada batasan yang tegas mengenai stabilitas dari cedera spinal. Beberapa sistem klasifikasi dari cedera spinal telah diperkenalkan berdasarkan morfologi fraktur semata dan berbagai konsep stabilitas lainnya. White dan Panjabi menjelaskan definisi instabilitas sebagai berikut: Hilangnya kemampuan dari tulang belakang untuk menanggung beban fisiologis dalam menjaga hubungan antara vertebra sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kerusakan ataupun iritasi terhadap medulla spinalis dan radiks, tidak dijumpai potensi deformitas atau nyeri dari perubahan struktural. Beban fisiologis memiliki pengertian sebagai beban yang diterima vertebra pada saat aktifitas normal.14 Pada saat ini tidak ada klasifikasi yang digunakan secara umum untuk cedera torakolumbal, walau demikian klasifikasi dari cedera tujuan cedera spinal adalah bertujuan untuk membedakan antara fraktur stabil dan fraktur tidak stabil.1 Klasifikasi Denis Kolom media menjadi bagian yang penting pada klasifikasi cedera spinal berdasarkan klasifikasi Denis, yang secara luas digunakan di Amerika Serikat. Denis membagai kolom vertebra menjadi kolom anterior, media dan posterior. 15 Kolom anterior terdiri dari ventral longitudinal ligament (VLL), anulus fibrosus anterior, dan setengah anterior dari corpus vertebra. Kolom media terdiri dari ligamen longitudinal posterior, anulus fibrosus dorsal dan setengah posterior dari korpus vertebra. Kolom posterior terdiri dari lamina, ligamen prosesus spinosus, ligamentum flavum dan juga sendi facet.1,15



245



Neurosurgery Lecture Notes



Denis mempertimbangkan kolom media sebagai struktur kunci. Cedera yang relevan pada kolom media merupakan kriteria yang esensial untuk instabilitas. Menurut klasifikasi Denis, ruptur dari kompleks ligamen posterior akan mengakibatkan ketidakstabilan bila terjadi disrupsi yang bersamaan pada PLL dan anulus dorsal. Walau demikian kolom media tidak didefinisikan dengan jelas baik secara anatomi maupun biomekanik, misalnya bagian kolom media yang menahan daya kompresi dan bagian ligamentum yang menahan daya distraksi. Walaupun konsep tiga kolom semakin digunakan dengan luas oleh karena sederhana dan dan mencakup hampir semua semu pola cedera. Denis membedakan cedera mayor dan minor: cedera minor termasuk fraktur dari prosesus spinosus, tranversus dan articular. Sementara cedera mayor dibagi menjadi fraktur kompresi, burst fractures, fleksi-distraksi, dan fraktur dislokasi.15



Compression



Burst



Gambar 1. Klasifikasi Denis untuk fraktur torakolumbal. Dikutip dari koleksi gambar anatomi Departemen Bedah Saraf FK-USU.



Klasifikasi AO Klasifikasi AO/ASIF (Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen/Association for the Study of Internal Fixation) diperkenalkan oleh Magerl dkk. pada 1994.3 Klasifikasi ini semakin diterima secara luas sebagai gold standard dalam dokumentasi dan penatalaksanaan cedera dari vertebra. Klasifikasi AO adalah berdasarkan teori dua kolom sebagai mana dijelaskan oleh Holdsworth13 dan Kelly dan Whitesides.16 Klasifikasi AO memandang vertebra terdiri dari dua kolom pendukung yang secara fungsional terpisah. Kolom 246



anterior terdiri dari korpus vertebra dan diskus intervertebra yang menerima daya pada saat terjadinya kompresi. Kolom posterior terdiri dari pedikel, lamina, sendi facet, dan kompleks ligamen posterior; kolom ini menerima daya saat terjadi regangan atau distraksi.3,13,16 Berdasarkan sistem klasifikasi AO yang umum, cedera dikelompokkan sesuai tingkat keparahan kedalam tiga tipe:3 Type A : cedera kompresi Type B : cedera fleksi/distraksi Type C : cedera rotasional



Gambar 3. Klasifikasi fraktur spinal torakolumbal berdasarkan Magerl / AO spine, tipe A (kompresi). Dikutip menurut Magerl F, Aebi M, Gertzbein SD, Harms J, Nazarian S. A comprehensive classification of thoracic and lumbar injuries. Eur Spine J 1994;3:184–201



Cedera tipe A merupakan akibat dari kompresi yang diakibatkan axial loading (misalnya fraktur kompresi dan burst fracture). Cedera tipe B merupakan cedera dengan mekanisme fleksiekstensi yang mengenai kolom anterior dan atau kolom posterior. Cedera tipe C merupakan mekanisme cedera kompresi atau fleksi ekstensi yang dikombinasikan dengan daya rotasional pada bidang horizontal (misalnya fraktur dislokasi



Neurosurgery Lecture Notes



dengan komponen rotasi). Setiap tipe kemudian diklasifikasikan dalam tiga kelompok mayor sesuai dengan tingkat keparahannya dan secara lebih lanjut lagi dapat dibagi ke dalam sub grup dan spesifikasinya.3



Gambar 4. Klasifikasi fraktur spinal torakolumbal berdasarkan Magerl / AO spine, tipe B: Fleksi / Distraksi . Dikutip dari: Magerl F, Aebi M, Gertzbein SD, Harms J, Nazarian S (1994) A comprehensive classification of thoracic and lumbar injuries. Eur Spine J 1994;3:184–201



Setelah simple impaction fracture (A1), cedera paling sering berikutnya adalah tipe burst fracture yang dapat dibagi lagi menjadi tiga sub grup mayor. Kriteria morfologi yang paling penting dalam menetapkan stabilitas berdasarkan klasifikasi AO adalah cedera pada ligamen dan diskus. Klasifikasi ini penting karena adanya berbagai tingkatan derajat stabilitas pada fraktur. Fraktur dianggap stabil bila terbukti tidak ada cedera ligamen atau diskus, misalnya pure impaction fracture (Tipe A1). Perubahan struktural pada vertebra dalam beban fisiologis tidak terjadi. Fraktur yang sedikit tidak stabil menunjukkan kerusakan parsial pada ligamen dan diskus intervertebra, tetapi sembuh dalam penatalaksanaan fungsional tanpa deformitas



nyata dan tanpa tambahan defisit neurologis. Cedera ini merupaka tipe yang sering terjadi (tipe A3), termasuk dalam kategori ini adalah ‘burst fracture’ superior incomplete (A3.1.1). Fraktur yang sangat tidak stabil terjadi pada cedera ligamen dan diskus intervertebralis, sebagaimana terjadi pada fraktur tipe (A3, B dan C)1,3



Gambar 5. Klasifikasi fraktur spinal torakolumbal berdasarkan Magerl / AO spine, tipe C: Rotasi . Dikutip dari: Magerl F, Aebi M, Gertzbein SD, Harms J, Nazarian S. A comprehensive classification of thoracic and lumbar injuries. Eur Spine J 1994;3:184–201



Presentasi Klinis Penilaian klinis dari pasien dengan dugaan trauma spinal memerlukan identifikasi dari tiga faktor utama: cedera spinal, defisit neurologis, cedera non spinal yang bersamaan.1 Cedera Spinal Penatalaksanaan dan manajemen pasien dengan multipel trauma yang mengancam nyawa dan pasien dengan cedera spinal murni adalah berbeda. Pada kasus multipel trauma, sepertiga pasien mengalami cedera spinal. Keterlambatan diagnosa pada fraktur torakolumbal terjadi pada 247



Neurosurgery Lecture Notes



19-23% kasus, dimana diagnosa cedera torakolumbal ditegakkan setelah pasien 17 meninggalkan unit gawat darurat. Keterlambatan diagnosa pada fraktur torakolumbal sering dihubungkan dengan kondisi pasien yang tidak stabil yang membutuhkan prosedur prioritas yang lebih tinggi dari pada foto vertebra torakolumbal. Dengan perkembangan CT scan multislice, angka misdiagnosa menjadi jauh berkurang. Multiple ‘burst fracture’ terjadi pada 10-34% kasus.18



plateau yang terjadi akibat melompat dari ketinggian berhubungan dengan ‘burst fracture’. Cedera sternum yang terjadi akibat kekerasan secara tidak langsung, hampir selalu berhubungan dengan cedera kolom spinal yang berat.21



Defisit Neurologis Pemeriksaan neurologi yang terdokumentasi baik dan akurat merupakan hal yang sangat penting. Dengan pemeriksaan yang tidak akurat dan tidak lengkap pada berbagai jenis dan tingkatan defisit neurologis pada pasien, perkembangan dan perburukan keadaan klinis pasien menjadi tidak jelas. Pada perkembangan defisit neurologis yang progesif, penilaian urgensi tindakan pembedahan atau dekompresi menjadi kabur. Salah satu pemeriksaan klinis yang penting adalah penilaian sacral sparing dimana temuan klinis ini menunjukkan lesi yang incomplete dan berhubungan dengan prognosa yang lebih baik. Cedera Non Spinal Yang Bersamaan Sekitar sepertiga dari seluruh cedera spinal memiliki cedera non spinal yang bersamaan. Cedera non spinal lain yang paling sering terjadi adalah cedera kepala (26%), cedera torak (24%), cedera tulang panjang (23%). Satu cedera non spinal ditemukan pada 22% kasus, dua cedera non spinal yang bersamaan dijumpai pada 15% kasus, dan 10% pasien mengalami tiga atau lebih cedera. Kebanyakan fraktur vertebra melibatkan servikal bawah (29%) dan batas torakolumbal (21%). Delapan puluh dua persen fraktur torakal dan 72% fraktur lumbal memiliki cedera lain yang bersamaan dibandingkan dengan 28% pada fraktur servikal bawah.1,19 Terdapat hubungan antara cedera fleksi pada spinal lumbal (tipe Chance) dan cedera abdominal pada seat belt injury.20 Beberapa mekanisme cedera spesifik dan pola fraktur merupakan pertanda cedera spinal yang bersamaan. Fraktur dari calcaneus atau tibial



248



Gambar 6. The load-sharing classification of spinal fractures. Dikutip dari koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK-USU.



Anamnesa Anamnesa dari pasien yang menderita cedera torakolumbal biasanya jelas. Gejala utama adalah: nyeri, kelumpuhan, defisit sensorimotor, disfungsi miksi dan defekasi. Anamnesa sebaiknya mencakup penilaian yang detail dari cedera, misalnya jenis trauma (high / low energy), mekanisme cedera (kompresi, fleksi distraksi, hiperekstensi, rotasi, shear injury). Fraktur dari vertebra torakolumbal biasanya terjadi akibat



Neurosurgery Lecture Notes



trauma dengan energi kuat seperti kecelakaan lalu lintas atau terjatuh dari ketinggian. Aktifitas rekreasional sering berhubungan dengan cedera spinal, misalnya naik kuda, ski, snowboarding, paralayang. Setiap penderita yang mengalami trauma dengan energi kuat harus dicurigai menderita cedera spinal sampai terbukti sebaliknya. Sebaliknya fraktur kompresi sering terjadi pada orang tua dengan tulang yang osteoporotik, cedera ini biasanya melibatkan energi trauma yang rendah. Pada penilaian status neurologis, anamnesa harus detail dan mencakup: waktu onset, dan perkembangan defisit neurologis (tetap, progresif, membaik).1 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemeriksaan fisik pasien dengan multipel trauma yang tidak sadar, adalah sulit untuk diinterpretasikan dengan baik. Oleh karena 30% pasien yang mengalami trauma multipel juga mengalami cedera spinal, pemeriksaan seluruh sistem vertebra sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan Fisik Seperti pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan cedera servikal, fokus penting dari pemeriksaan fisik adalah penilaian fungsi vital dan defisit neurologis. Tujuannya adalah untuk mengamankan fungsi vital, yang dapat terganggu pada pasien dengan trauma multipel dan pada pasien dengan cedera medulla spinalis. Cedera sekunder pada medulla spinalis yang diakibatkan oleh hipotensi dan oksigenasi jaringan yang inadekuat harus dicegah dengan manajemen yang sesuai. Medulla spinalis biasanya berakhir pada level L1 pada dewasa dan kadang-kadang L2 pada beberapa pasien. Oleh karena itu fraktur pada ‘thoracolumbar junction’ dapat bermanifestasi dengan tanda dan gejala yang bermanifestasi. Cedera pada regio ini dapat mengenai:  Medula spinalis distal, yang mengakibatkan paraplegia complete / incomplete  Conus medularis, yang mengakibatkan malfungsi sistem vegetatif  Kauda ekuina  Radiks torakolumbal Penilaian antara paraplegia complete atau incomplete pada pasien yang mengalami defisit



neurologis, merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan prognosis, oleh karena 60% pasien yang memiliki lesi incomplete berpotensi untuk mengalami perbaikan. Pada fraktur torakolumbal, gambaran klinis dari shock neurogenik complete tidak akan terjadi karena hanya bagian kaudal dari sistem simpatis saja yang dapat mengalami kerusakan.1 Penilaian spinal shock adalah penting karena spinal shock dapat mengganggu keseluruhan fungsi neural, oleh karena itu berpengaruh terhadap keputusan jenis tindakan dan waktu memulai terapi. Fraktur torakolumbal dapat mengakibatkan kerusakan parasimpatis yang terletak pada conus medullaris. Cedera ini akan mengakibatkan disfungsi miksi, defekasi, dan disfungsi seksual. Pada cedera kauda equina, atau yang bersamaan dengan conus medullaris, dijumpai distribusi yang lebih difus dari parestesia pada ekstremitas bawah, kelemahan dan penurunan refleks. Radikulopati dapat diidentifikasi sebagai perubahan sensorik dengan pola segmental, yang tidak selalu bersamaan dengan kelemahan motorik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dokumentasi dari fungsi neurologis ini harus akurat dan lengkap. Protokol ASIA telah menjadi penilaian standar dari pemeriksaan ini. Inspeksi dan palpasi dari vertebra bertujuan untuk menilai dan identifikasi: laserasi, memar ecchymoses pada kulit; luka terbuka; pembengkakan; hematoma; alignment vertebra, celah antara korpus vertebra.1 PENJAJAKAN DIAGNOSTIK Studi Imejing Pemeriksaan radiologis merupakan ekstensi dari pemeriksaan fisik untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis dan untuk dokumentasi tingkat keparahan cedera. Pada pasien yang sadar penuh, tidak mengalami cedera lain, tidak dalam pengaruh obat, alkohol dan tidak mengalami defisit neurologis; maka kepentingan studi imejing adalah berdasarkan gejala klinis. Tidak dijumpainya nyeri punggung dan pembengkakan dapat mengeksklusikan cedera torakolumbal.22 Studi imejing modern seperti CT dan MRI secara substansial meningkatkan kemampuan



249



Neurosurgery Lecture Notes



diagnosis cedera tulang, diskus dan ligamen. Walau demikian foto polos masih membantu, karena memungkinkan penilaian cepat dari deformitas tulang.22 Adalah penting untuk mengingat bahwa setiap studi imejing statis adalah ‘snapshot’ pada waktu tersebut, dimana gambar diambil setelah trauma mayor telah mengenai struktur spinal. Sehingga derajat pergeseran spinal yang



sebenarnya yang terjadi semasa cedera mungkin tidak terungkapkan. Kebanyakan imejing ini juga diambil pada posisi pasien berada dalam keadaan pronasi, dimana posisi ini merupakan posisi yang sangat sedikit menerima beban fisiologis, dan oleh karena itu dapat menimbulkan penilaian yang salah untuk keparahan dan instabilitas dari cedera spinal.22



Gambar 8. ASIA Impairment Scale, metoda penilaian neurologis standar pada cederatorakolumbal



250



Neurosurgery Lecture Notes



   Gambar 9. Imejing fraktur torakolumbal; a.pelebaran jarak interpedikular menunjukkan burst fracture dan berkurangnya tinggi korpus bilateral (skoliosis);b. Asimetri dari allignment spinal; c. kifosis segmental d.disrupsi dinding posterior korpus dan dislokasi dari fragmen dorsoapikal. Dikutip dari: Boos N, Aebi M, eds. Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.883-924



Imejing Standar Pada kebanyakan institusi, radiografi anterior-posterior dan lateral dari keseluruhan vertebra merupakan studi imejing standar setelah cedera spinal. Jika dijumpai kecurigaan klinis dari cedera spinal, foto polos harus didapatkan. Imejing yang didapatkan pada saat pasien dalam keadaan pronasi sangat mungkin melewatkan deformitas kifosis. Foto yang diambil pada saat pasien dalam keadaan berdiri dapat menunjukkan kemungkinan gangguan integritas dari struktur posterior dibawah axial loading. Foto atau imejing yang diambil dalam keadaan emergensi adalah tidak adekuat. Krueger23 dkk menyarankan untuk dilakukannya CT scan pada pasien dengan fraktur pada prosesus transversus, karena CT scan dapat mendeteksi cedera yang memiliki potensi serius. Saat melakukan analisa foto polos, beberapa poin dibawah ini adalah tanda yang perlu dipertimbangkan dan dicari pada foto anteroposterior:1  Berkurangnya ketinggian korpus vertebra (misalnya, deformitas skoliosis)  Perubahan jarak interpedikular horizontal dan vertikal  Struktur posterior yang tidak simetris  Luksasi dari artikulasi costotranversus  Fraktur oblik atau tegak lurus dari elemen dorsal  Jarak interspinosus yang iregular Pada foto lateral, hal yang diinvestigasi adalah:1  Profil sagital  Derajat kompresi korpus vertebra



Interupsi atau pembengkakan posterior dari corpus vertebra Dislokasi dari fragmen dorsoapical Tinggi dari celah intervertebra



garus



CT Scan Ada peningkatan kecenderungan manajemen trauma, khususnya manajemen multipel trauma, untuk menyingkirkan kemungkinan cedera viseral dengan penggunaan CT scan toraks, abdomen dan pelvis.77 Pada review sistematik dari literatur multipel trauma, banyak penulis yang menyarankan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT scan setelah pasien berada dalam keadaan stabil, dikarenakan sensitifitas CT scan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan foto polos. Perbandingan sensitifitas kedua alat imejing ini adalah 58% kontra 97%; dan spesifitas sebesar 93% kontra 99%.1



Gambar 10. Imejing fraktur torakolumbal. A.Penekanan kanalis spinalis oleh fragment tulang yang retropulsi. B.Fraktur subluksasi C.Fraktur luksasi berat D.Rekonstruksi CT 3D menunjukkan fraktur rotasi (lesi tipe C). Dikutip dari: Boos N, Aebi M, eds. Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.883-924



Magnetic Resonance Imaging Pada pasien dengan defisit neurologis, MRI direkomendasikan sebagai sarana imejing untuk investigasi lesi medulla spinalis atau kompresi medulla spinalis yang mungkin terjadi oleh karena fragmen fraktur atau hematoma epidural. Pada pasien tanpa defisit neurologis MRI dari torakolumbal biasanya tidak dibutuhkan pada fase akut. MRI dapat membantu dalam menetukan integritas dari struktur ligamen posterior dan oleh karena itu dapat membedakan antara fraktur tipe A dan B. Untuk tujuan ini, sekuens T2 berguna untuk menentukan adanya edema.



perlu



251



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 11. Penilaian fraktur dengan MRI: a.MRI T2weighted menunjukkan subluksasi fraktur dengan penekanan diskus, intensitas sinyal MRI menunjukkan penekanan medulla spinalis; b.pincer fracture (anak panah hitam), joint effusion 1 (anak panah putih). Dikutip dari : Vollmer DG, Eichler ME, Jenkins Al III. Assesment Of The Servical Spine After Trauma. In: Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery Vol.3, 6th edn. Philadelphia: Elsevier 2011.p.3166-3185



TERAPI NON OPERATIF Penatalaksanaan pasien cedera spinal ‘pre hospital’ dapat meningkatkan outcome pada pasien dengan cedera spinal. Pada tahapan ini, pengetahuan dan kewaspadaan tim penolong, penalataksanaan protokol ATLS, sistem transportasi pasien memegang peranan yang penting. Sasaran utama dari penatalaksanaan cedera torakolumbal adalah sama dengan cedera servikal, yaitu: mengembalikan alignment spinal, preservasi atau perbaikan fungsi neurologis, pemulihan stabilitas spinal, dan mencegah kerusakan sekunder. Penatalaksanaan ini harus memberikan lingkungan biologis dan biomekanik yang memungkinkan pemulihan jaringan lunak dan tulang yang akurat dan pada akhirnya menciptakan kolom spinal yang stabil dan bebas nyeri. Tujuan dari penatalaksanaan ini harus diikuti dengan risiko morbiditas yang minimal. Oleh karena itu keuntungan utama dari terapi non operatif dari fraktur torakolumbal adalah mencegah komplikasi yang berkaitan dengan operasi seperti infeksi, cedera neurologis iatrogenik, komplikasi kegagalah instrumentasi, komplikasi pembiusan. Hubungan antara deformitas kifosis post traumatik dan nyeri punggung kronik tidak dijelaskan dengan baik pada literatur. Kebanyakan klinis beranggapan bahwa deformitas kifosis pada daerah torakolumbal berhubungan dengan outcome klinis yang jelek.1 Tabel 1. Indikasi untuk terapi non operatif: Dikutip dari: Boos N, Aebi M, eds. Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.883-924 Favorable indications for non-operative treatment Pure osseous lesions Absence of neurological deficits Only mild to moderate pain on mobilization



Gambar 12. Algoritma terapi berdasarkan Scoliosis Research Society Injury Severity Score. Pasien dengan skor ≤3 merupakan kandidat terapi non operatif. Pasien dengan skor ≥5 memiliki fraktur yang tidak stabil, dan sebaiknya dipertimbangkan untuk terapi operatif. Pasien dengan skor 4 dapat diterapi baik dengan operatif maupun non operatif. Dikutip dari: Vibert BT,Garfin SR. Management of Traumatic Thoracic Compression and Burst Fracture. In : Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders 2008.p.343-350



252



Absence of malalignment Absence of gross bony destruction Absence of osteopenia / osteoporosis



Terapi Steroid pada Cedera Medulla Spinalis Kontroversi penggunaan terapi steroid pada penatalaksanaan cedera medulla spinalis torakolumbal sebagai mana telah dijelaskan sebelumnya, masih kontroversial. Konsensus umum yang dianut untuk penggunaan terapi steroid dosis tinggi dipandang sebagai suatu terapi opsional pada trauma spinal



Neurosurgery Lecture Notes



pada pasien usia muda, tetapi bukan menjadi panduan baku.24 Modalitas terapi non operatif Terapi non operatif masih merupakan terapi yang efektif pada mayoritas fraktur torakolumbal, dan harus dipertimbangkan sebagai pilihan terapi dalam penatalaksanaan pasien. Indikasi penatalaksanaan konservatif pada fraktur torakolumbal adalah: lesi tulang murni, tidak dijumpainya gangguan alighment, tidak dijumpainya kerusakan tulang yang berat, hanya mengakibatkan nyeri ringan pada saat mobilisasi, tidak dijumpainya osteopenia/ osteoporosis.24 Terdapat tiga metoda utama pada terapi non operatif, yaitu reposisi dan stabilisasi dengan ‘cast’, terapi fungsional dan penggunaan korset tanpa reposisi, terapi fungsional tanpa korset. Walau demikian terapi fungsional tanpa korset tidak dapat dipalikasikan pada semua jenis fraktur, sementara secara dasar semua fraktur dapat diterapi dengan reposisi dan formal casting (Böhler Bohler technique).1 Functional Bracing Magnus25 menyarankan terapi fungsional dini tanpa reposisi. Menurut konsep pemikirian dari studinya, fraktur torakolumbal cenderung untuk kembali mengalami deformitas semula. Oleh karena itu reposisi mungkin tidak dibutuhkan. Konsep terapi fungsional dimulai dengan fase berbaring pada posisi pronasi di tempat tidur, dan bila diperlukan, dengan lordotic support. Waktu imobilisasi di tempat tidur tergantung pada tipe fraktur. Fase terapi berikutnya terdiri dari fisioterapi untuk menambah kekuatan otot, mobilisasi pada kolam air, mobilisasi dengan three point orthesis untuk mencegah fleksi dan memastikan pasien berada dalam keadaan tegak. Pasien dapat pulang setelah terapi selama 3 minggu. Pengobatan rawat jalan diteruskan selama 3-4 bulan lagi, terapi fisik untuk memperkuat mobilitas tulang belakang dimulai setelah tampak



bukti radiologis dari konsolidasi fraktur, yaitu setelah 3-4 bulan.



Gambar 13. Berbagai contoh thoracolumbar brace, dan pemakaiannya. Dikutip dari: Truumees E. Bracing for Thoracolumbar Trauma. In: Kim DH, Ludwig SC, Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier Saunders 2008.p.279-310



TERAPI PEMBEDAHAN Prinsip Umum Fraktur torakolumbal yang tidak stabil merupakan indikasi untuk terapi pembedahan, terapi pembedahan memungkinkan: mobilisasi dini dari pasien, mengurangi nyeri, memfasilitasi perawatan pasien atau mobilisasi (terutama pada pasien trauma multipel), cepat kembali bekerja, mencegah komplikasi neurologis lanjut. Tabel 2. Indikasi untuk terapi pembedahan. Dikutip dari: Boos N, Aebi M, eds. Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.883-924 INDICATIONS FOR SURGICAL TREATMENT Absolute



Relative



Incomplete paraparesis Progressive neurological deficit Spinal cord compression w/o neurological deficit Fracture dislocation Severe segmental kyphosis 0 (>30 ) Predominan ligamentous injuries



Pure osseous lesions Desire for early return to regular activities Avoidance of secondary kyphosis Concomitant injuries (thoracic, cerebral) Facilitating nursing in paraplegic patients



253



Neurosurgery Lecture Notes



Walau demikian, studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal pemulihan neurologis (Frankel Score) dan perbedaan substansial pada pemulihan jangka panjang antara terapi operatif dan non operatif.26 Temuan ini valid pada fraktur kompresi yang relatif stabil, misalnya fraktur A1 dan A2 sesuai klasifikasi AO. Namun studi-studi yang dilakukan sering menggabungkan tipe fraktur secara cohort tanpa diferensiasi secara lanjut, yang mengakibatkan hasil yang inkonklusif. Pada ‘burst fracture’ sering terdapat berbagai derajat penyempitan kanalis spinalis yang mempengaruhi risiko cedera neurologis. Oleh karena itu defisit neurologis yang progresif dengan gangguan pada kanalis spinalis yang substansial merupakan indikasi untuk dekompresi dan stabilisasi. Status neurologis, stabilitas spinal, derajat deformitas dari segmen yang cedera, dan cedera yang berhubungan merupakan hal yang paling relevan yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan terapi operatif atau non operatif pada pasien dengan fraktur vertebra torakolumbal. Indikasi absolut terapi pembedahan adalah: paraparese incomplete, defisit neurologis progresif, kompresi medulla spinalis, fraktur dislokasi, kifosis segmental >300, cedera ligamen yang predominan. Sementara indikasi relatif adalah: lesi tulang murni, keinginan pasien untuk cepat kembali ke aktifitas sehari-hari, menghidari kifosis sekunder, cedera lain yang bersamaan (toraks, cerebral), membantu perawatan pada pasien paraplegi.1 Dengan tidak adanya bukti ilmiah kelas I dan II untuk kebanyakan jenis fraktur, panduan terapi pada fraktur torakolumbal masih tetap kontroversial, namun pendekatan pragmatis yang digunakan pada setiap sentra trauma mungkin membantu. Dekompresi Medulla Spinalis Keparahan dari cedera medulla spinalis berhubungan dengan kekuatan dan durasi dari daya kompresi, perpindahan energi kinetik. Banyak model pada binatang percobaan termasuk primata 254



yang menunjukkan perkembangan yang memuaskan sesudah dilakukannya dekompresi awal. Walau demikian studi ini tidak dapat diterapkan secara langsung pada pasien dengan cedera medulla spinalis akut. Beberapa studi juga menunjukkan pemulihan fungsi neurologis setelah dekompresi yang tertunda dari medulla spinalis (bulanan sampai tahunan). Perbaikan fungsi neurologis dengan dekompresi tertunda pada pasien dengan cedera medulla spinalis servikal atau torakolumbal menunjukkan bahwa kompresi medulla spinalis merupakan penyebab penting yang mengakibatkan disfungsi neurologis. Walaupun banyak studi klinis tidak mendukung konsep bahwa pembedahan tidak meningkatkan defisit neurologis, kebanyakan peneliti merekomendasikan dekompresi dini pada kasus cedera medulla spinalis incomplete dan kompresi persisten dari struktur neurogenik.27 Waktu yang tepat untuk tindakan pembedahan Waktu yang tepat untuk tindakn pembedahan masih kontroversial sampai saat ini. Walaupun ada studi yang menunjukkan bahwa tindakan dekompresi dini yang dilakukan 3 involvement (C3-T1) mm and/or >11˚ angulational difference Structural correlate Cervical fusion adjacent to the (i.e. herniated nucleus target level pulposus, cervical spondylosis) Failed conservative Previous surgery/fracture at level therapy of 6 weeks target Age between 20 and Known allergy to omplant materials 70 years No contraindications Severe spondylosis (bridging osteophytes, disc height loss > 50%, and absence of motion 40)



TDA memiliki kelebihan dibandingkan ACDF dalam outcome jangka pendek. TDA mempertahankan kemampuan tubuh melakukan pergerakan segmental. Meskipun demikian, belum ada data yang sungguh-sungguh membuktikan bahwa TDA mampu mencegah degenerasi segmen vertebra yang berdekatan.



LAMINEKTOMI POSTERIOR Laminektomi pada tulang servikal pertama kali dilakukan oleh Sir Victor Horsley (1857-1916) untuk mengobati tumor yang menyebabkan myelopati.1 Indikasi laminektomi antara lain untuk mengobati beberapa kelainan sebagai berikut: 1. Myelopati servikal pada beberapa level 388



2. Penekanan struktur saraf yang lebih dominan di bagian posterior 3. CSM pada pasien lanjut usia yang memiliki penyakit pemberat sistemik lainnya 4. CSM yang masih memiliki lordosis servikal yang baik



Gambar 22. Elevasi muskulus paraspinal dengan menggunakan electrocauter dan Cobb elevator. Dikutip dari: Kim SH, Hong SK. Posterior Approach to Middle and Low Cervical Spine. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.69-72



Pada pasien yang berusia lanjut yang memiliki penyakit pemberat sistemik lainnya dan menderita CSM yang menekan medulla spinalis pada beberapa level, maka laminektomi merupakan prosedur yang dinilai cukup cepat dan efektif untuk memperbaiki defisit neurologis. Bila terjadi kifosis, tindakan laminektomi tidak memiliki efektifitas yang baik karena medulla spinalis tidak dapat digeser ke posterior menjauhi osteofit atau diskus yang menekan medulla spinalis dari sisi anterior. Hasil yang baik dan memuaskan diperoleh pada 56-85% pasien yang menjalani prosedur laminektomi. Perluasan laminektomi ke arah lateral tidak boleh dilakukan hingga melebihi 50% facet joint. Pemotongan facet joint lebih dari 50% dapat menyebabkan gangguan stabilitas sendi dan membuat tulang belakang menjadi tidak stabil dan kifosis. Pada laminektomi di beberapa level dapat menyebabkan tulang belakang servikal menjadi kurang stabil apabila facet joint dibuang sebanyak 25%. Dalam keadaan ini diperlukan fusi tulang belakang.88 LAMINEKTOMI DAN FUSI MENGGUNAKAN INSTRUMENTASI Salah satu kerugian dari laminektomi adalah deformitas dan instabilitas paska operasi yang dapat menimbulkan resiko perburukan



Neurosurgery Lecture Notes



neurologis. Keterbatasan laminektomi ini dapat diatasi dengan memasang instrumentasi untuk tujuan fusi tulang belakang. Fiksasi untuk tujuan fusi ini paling sering digunakan lateral mass screw. Dengan melakukan teknik yang sesuai maka resiko terjadinya komplikasi cedera terhadap arteri vertebralis dan radiks saraf dapat dihindari. Alternatif lain adalah menggunakan fiksasi pedicle cervical screw. Penggunaan pedicle screw ini jarang digunakan karena pada kelainan degeneratif, kualitas tulang pada umumnya dinilai masih baik. Fiksasi menggunakan pedicle screw ini bisa digunakan untuk melakukan koreksi kifosis.89



FORAMINOTOMI POSTERIOR Foraminotomi posterior digunakan untuk mengatasi penekanan radiks saraf servikal. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Frykholm90 dan kemudian dikembangkan oleh Scoville dan Murphey.91 Meskipun hasil dari teknik ini dilaporkan cukup baik, pada saat ini teknik tersebut sudah mulai ditinggalkan karena keterbatasannya mengatasi penekanan saraf yang berada di sisi anterior.



Gambar 23. Technique of posterior foraminotomy (Frykholm) The spine is exposed by a unilateral posterior approach. Tubular retractors allow collateral damage to the neck muscles to be minimized. a A high-speed diamond burr is used to create a keyhole laminotomy exposing the exiting nerve root. b After resection of the ligamentum flavum, epidural veins may become visible which may require coagulation (lowenergy bipolar). c The exiting nerve root can gently be lifted cranially to expose the underlying pathology (disc herniation, spur). d The disc herniation or spur can be removed with a rongeur or curette. Dikutip dari : Leonardi M,



Boos N. Degenerative Disorders of the Cervical Spine. In. Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.429-480



Sebagian besar ahli bedah lebih memilih anterior approach untuk melakukan discectomy dan osteophytectomy yang dilanjutkan dengan interbody fusion. Foraminotomi posterior masih menjadi teknik pilihan pada kasus CSR yang disebabkan oleh stenosis di resesus lateralis dan herniasi diskus lateralis. Otot-otot leher memiliki reseptor-reseptor proprioseptif yang mengirimkan sinyal aferen langsung ke organ vestibular dan saraf-saraf optik yang bekerja sama untuk mengendalikan posisi tubuh. Apabila otot-otot leher ini mengalami kerusakan seperti setelah tindakan operasi, maka dapat menyebabkan nyeri leher persisten paska operasi. Pada saat ini mulai dikembangkan teknik minimally invasive untuk mengurangi cedera pada otot-otot leher (mengurangi pelepasan otot-otot ekstensor leher dari tempat perlekatannya di lamina dan prosesus spinosus). Burke dan Caputy92 melaporkan bahwa dengan teknik mikroendoskopi, akses operasi dapat ditempuh melalui otot-otot di leher yang hanya memerlukan tindakan pemisahan dan dilatasi yang minimal terhadap otot-otot tersebut. Boehm dkk93 menggunakan lapangan kerja dengan diameter 11 mm untuk visualisasi di daerah interlaminar dan facet. Dengan teknik tersebut ia juga melaporkan outcome paska operasi yang cukup baik. Clarke dkk93 melaporkan bahwa teknik foraminotomi posterior memiliki angka komplikasi yang rendah, baik pada segmen yang terlibat atau pada segmen yang berdekatan.



ANTERIOR CERVICAL MICROFORAMINOTOMY (ACMF) Teknik ACMF dikembangkan dengan tujuan untuk preservasi semaksimal mungkin sisa diskus dalam celah intervertebralis. Terdapat dua teknik ACMF: transuncal (TU) approach klasik, dan upper vertebral transcorporeal (UVTC) approach. Teknik transuncal approach klasik membutuhkan diseksi



389



Neurosurgery Lecture Notes



aspek lateral dari diskus intervertebra, oleh karena itu dapat mengakibatkan instabilitas. UVTC approach dikembangkan untuk meminimalisasi kerusakan pada sisa diskus intervertebra dan oleh karena itu mencegah akselerasi perubahan degeneratif dari spinal servikal. Indikasi AMCF adalah  Radikulopati servikal unilateral yang tidak responsif setelah lebih dari 3 bulan terapi konservatif  Studi imejing menunjukkan gambaran patoanatomi yang sesuai dengan kondisi klinis  Tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya  Tidak memiliki stenosis spondilotik yang signifikan yang mengakibatkan penekanan medulla spinalis



Gambar 24. Variasi teknik pada ACMF (A).Transuncal approach pada C5-6. (B).Upper vertebral transcorporeal approach pada C6-7. Dikutip dari: Kim SH, Hong SK. Posterior Approach to Middle and Low Cervical Spine. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.69-72



Gambar 25. ACMF: transuncal approach. Dikutip dari: Kim SH, Hong SK. Posterior Approach to Middle and Low Cervical Spine. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.89-95



390



Neurosurgery Lecture Notes



LAMINOPLASTI Beberapa komplikasi paska operasi seperti gangguan stabilitas tulang belakang, kifosis, dan resiko kerusakan medulla spinalis mendorong ahli bedah di Jepang untuk mengembangkan teknik laminoplasti tulang servikal.94



Gambar 26. Foraminotomy pada UVTC approach. Dikutip dari: Kim SH, Hong SK. Posterior Approach to Middle and Low Cervical Spine. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.69-72



Keuntungan teknik laminoplasti antara lain: 1. Kemampuan untuk memperluas kanalis spinalis 2. Memberikan perlindungan terhadap medulla spinalis 3. Menjaga stabilitas tulang belakang 4. Mengurangi resiko terjadinya adjacent segment degeneration Hirabayashi94 memperkenalkan teknik operasi baru yang disebut expansive open-door laminoplasty. Teknik ini telah banyak digunakan pada saat ini. Teknik alternatif lain yang menyerupai teknik tersebut adalah French open-door laminoplasty yang diperkenalkan oleh Hoshi dan Kurokawa.95 Meskipun telah banyak modifikasi yang diciptakan oleh beberapa kalangan, tetapi konsep dasar modifikasi teknik tersebut mengikuti salah satu dari kedua teknik diatas. Ratcliff dan Cooper96 melaporkan bahwa outcome neurologis dan perubahan allignment tulang belakang hasilnya sama antara laminektomi dengan laminoplasti. Pasien-pasien yang dilakukan laminoplasti menunjukan keterbatasan ruang gerak (range of motion/ ROM) di bagian servikal sama seperti laminektomi dan fusi.



Gambar 27. Posisi relatif Radiks terhadap diskus pada segmen vertebra C4-7. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



391



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 28. Laminoplasty techniques. A. Expansive open-door laminoplasty according to Hirabayashi [127]. The opened lamina is fixed with a suture through the inferior articular process. B. Hemilateral open-door laminoplasty with interposition of a bone graft and fixation according to Itoh [137]. C. Alternative fixation with an AO small fragment reconstruction plate. D. French opendoor laminoplasty according to Hoshi and Kurokawa [129]. Intraspinous insertion of a bone block and fixation with a suture or cerclage wire. Dikutip dari : Leonardi M, Boos N. Degenerative Disorders of the Cervical Spine. In. Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.429-480



DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



4.



5.



392



Tan TC, Black PM. Sir Victor Horsley (1857–1916): Ppioneer of neurological surgery. Neurosurgery 2002; 50:607–611 Rao R. Neck pain, cervical radiculopathy, and cervical myelopathy: Pathophysiology, natural history, and clinical evaluation. Instr Course Lect. 2003;52:479-488. Salemi G, Savettieri G, Meneghini F, et al. Prevalence of cervical spondylitic radiculopathy: A door-to-door survey in a Silican municipality. Acta Neurol Scand 1996;93:184188. Wainner RS, Gill H. Diagnosis and nonoperative management of cervical radiculopathy. J Orthop Sports Phys Ther 2000;30:728–744. Leonardi M, Boos N. Degenerative Disorders of the Cervical Spine. In: Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.429-480.



6.



7.



8.



9.



10. 11.



Shedid D, Benzel EC. Cervical spondylosis anatomy: pathophysiology and biomechanics. Neurosurgery 2007;60:S7–S13. Boden SD,McCowin PR, Davis DO, Dina TS,Mark AS,Wiesel S. Abnormal magnetic resonance scans of the cervical spine in asymptomatic subjects. A prospective investigation. J Bone Joint Surg Am 1990;72:1178–1184. Rao RD, Currier BL, Albert TJ, Bono CM,Marawar SV, Poelstra KA, Eck JC. Degenerative cervical spondylosis: clinical syndromes, pathogenesis, and management. J Bone Joint Surg Am 2007;89:1360–1378. Chen C, Lu Y, Kallakuri S, Patwardhan A, Cavanaugh JM. Distribution of A-delta and C-fiber receptors in the cervical facet joint capsule and their response to stretch. J Bone Joint Surg Am 2006;88:1807–1816. Ferlic DC. The nerve supply of the cervical intervertebral disc in man. Bull Johns Hopkins Hosp 1963;113:347–351. McLain RF. Mechanoreceptor endings in human cervical facet joints. Spine 1994;19:495–501.



Neurosurgery Lecture Notes



12.



13.



14.



15.



16.



17.



18.



19.



20.



21. 22. 23.



24.



25.



26.



27.



Radhakrishnan K, Litchy WJ, O’Fallon WM, Kurland LT. Epidemiology of cervical radiculopathy. A populationbased study from Rochester, Minnesota, 1976 through 1990. Brain 1994;117(2):325–35. Mochida K, KomoriH, Okawa A,Muneta T,HaroH, Shinomiya K (1998) Regression of cervical disc herniation observed on magnetic resonance images. Spine 1998;23:990–995 Rydevik B, Garfin S. Spinal nerve root compression. In: Szabo RM (ed). Nerve root compression syndromes: diagnosis and treatment. New York: Slack Medical 1989.p.247–261. Humphreys SC, Hodges SD, Patwardhan A, Eck JC, Covington LA, Sartori M. The natural history of the cervical foramen in symptomatic and asymptomatic individuals aged 20–60 years as measured by magnetic resonance imaging. A descriptive approach. Spine 1998;23:2180–2184. Van Zundert J, Harney D, Joosten EA, Durieux ME, Patijn J, Prins MH, Van KleefM. The role of the dorsal root ganglion in cervical radicular pain: diagnosis, pathophysiology, and rationale for treatment. Reg Anesth Pain Med 2006;31:152–167. Wainner RS, Gill H. Diagnosis and nonoperative management of cervical radiculopathy. J Orthop Sports Phys Ther 2000;30:728–744. Dadashev VY,Rodts GE: Treatment of Disk and Ligamentous Disease of the Cervical Spine. In. Winn HR, ed. Youman Neurological Surgery, 6th edn. Philadelphia: Elsevier Saunders 2011;278:2859-2875. O’Laoire SA, Thomas DG. Spinal cord compression due to prolapse of cervical intervertebral disc (herniation of nucleus pulposus). Treatment in 26 cases by discectomy without interbody bone graft. J Neurosurg 1983;59:847– 853. Ono K, Ebara S, Fuji T, Yonenobu K, Fujiwara K, Yamashita K. Myelopathy hand. New clinical signs of cervical cord damage. J Bone Joint Surg Br 1987;69:215– 219. Brandt T. Cervical vertigo – reality or fiction? Audiol Neurootol 1996;1:187–196. GalmR, Rittmeister M, Schmitt E. Vertigo in patients with cervical spine dysfunction. Eur Spine J 1998;7:55–58. Kiray A, Arman C, Naderi S, Guvencer M, Korman E. Surgical anatomy of the cervical sympathetic trunk. Clin Anat 2005;18:179–185. Zhou HY, Chen AM, Guo FJ, Liao GJ, Xiao WD. Sensory and sympathetic innervation of cervical facet joint in rats. Chin J Traumatol 2006;9:377–380. Hasvold T, Johnsen R. Headache and neck or shoulder pain – frequent and disabling complaints in the general population. Scand J Prim Health Care 1993;11:219–224. Van Zundert J, Harney D, Joosten EA, Durieux ME, Patijn J, Prins MH, Van Kleef M. The role of the dorsal root ganglion in cervical radicular pain: diagnosis, pathophysiology, and rationale for treatment. Reg Anesth Pain Med 2006;31:152–67. Ellenberg MR, Honet JC, TreanorWJ. Cervical radiculopathy. Arch PhysMed Rehabil 1994;75:342–352.



28.



29.



30.



31. 32.



33.



34.



35.



36.



37. 38.



39.



40.



41. 42.



43.



44.



45.



Rubinstein SM, Pool JJ, van TulderMW, Riphagen, II, de VetHC. A systematic review of the diagnostic accuracy of provocative tests of the neck for diagnosing cervical radiculopathy. Eur Spine J 2007;16:307–319. Denno JJ,Meadows GR. Early diagnosis of cervical spondylotic myelopathy: A useful clinical sign. Spine 1991;16:1353–1355. Lunsford LD, Bissonette DJ, Zorub DS. Anterior surgery for cervical disc disease. Part 2: Treatment of cervical spondylotic myelopathy in 32 cases. J Neurosurg 1980;53:12–19. Salvi FJ, Jones JC,Weigert BJ. The assessment of cervicalmyelopathy. Spine J 2006;6:182S–189S. Good DC, Couch JR,Wacaser L. “Numb, clumsy hands” and high cervical spondylosis. Surg Neurol 1984;22:285– 291. Viikari-Juntura E. Interexaminer reliability of observations in physical examinations of the neck. Phys Ther 1987; 67:1526 1532. Viikari-Juntura E, Porras M, Laasonen EM. Validity of clinical tests in the diagnosis of root compression in cervical disease. Spine 1989; 14:253-257. Magee DJ. , Cervical Spine. In: Orthopedic Physical Assessment. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company 1997. Glaser JA, Curie JK, Bailey KL et al. Cervical spinal cord compression and the Hoffman sign. Iowa Orthop J 2001; 21:49-52. Clark CR. Cervical spondylotic myelopathy: history and physical findings. Spine 1988;13:847–849. Lunsford LD, Bissonette DJ, Zorub DS. Anterior surgery for cervical disc disease. Part 2: Treatment of cervical spondylotic myelopathy in 32 cases. J Neurosurg 1980;53:121–9. Bambakidis NC, Feiz-Erfan I, Klopfenstein JD, Sonntag VK (2005) Indications for surgical fusion of the cervical and lumbar motion segment. Spine 30:S2–6. Matsumoto M, Fujimura Y, Suzuki N, Nishi Y, Nakamura M, Yabe Y, Shiga H. MRI of cervical intervertebral discs in asymptomatic subjects. J Bone Joint Surg Br 1998;80(1):19-24. Burrows EH. The sagittal diameter of the spinal canal in cervical spondylosis. Clin Radiol 1963;14:77–86. EdwardsWC, LaRocca H. The developmental segmental sagittal diameter of the cervical spinal canal in patients with cervical spondylosis. Spine 1983; 8:20–27. Hayashi H, Okada K, Hamada M, Tada K, Ueno R. Etiologic factors ofmyelopathy. A radiographic evaluation of the aging changes in the cervical spine. Clin Orthop Relat Res: 1987;214:200–209. Payne EE, Spillane JD. The cervical spine; an anatomicopathological study of 70 specimens (using a special technique) with particular reference to the problem of cervical spondylosis. Brain 1957;80:571–596. EdwardsWC, LaRocca H. The developmental segmental sagittal diameter of the cervical spinal canal in patients with cervical spondylosis. Spine 1983;8:20–27.



393



Neurosurgery Lecture Notes



46.



47.



48.



49.



50.



51.



52.



53.



54.



55.



56.



57.



58.



59.



60.



394



Pavlov H, Torg JS, Robie B, Jahre C. Cervical spinal stenosis: determination with vertebral body ratio method. Radiology 1987;164:771–775. Torg JS, Pavlov H, Genuario SE, Sennett B, Wisneski RJ, Robie BH, Jahre C. Neurapraxia of the cervical spinal cord with transient quadriplegia. J Bone Joint Surg Am 1986;68:1354–1370. White AA 3rd, Johnson RM, PanjabiMM, Southwick WO. Biomechanical analysis of clinical stability in the cervical spine. Clin Orthop Relat Res 1975;109:85–96 White AP, Biswas D, Smart RL, Haims A, Grauer GM. Utility of flexion-extension radiographs in evaluating the degenerative cervical spine. Sine 2007;32:975-979 Pfirrmann CW, Binkert CA, Zanetti M, Boos N, Hodler J. Functional MR imaging of the craniocervical junction. Correlation with alar ligaments and occipito-atlantoaxial joint morphology: A study in 50 asymptomatic subjects. SchweizMedWochenschr 2000;130:645–651. PfirrmannCW, Binkert CA, Zanetti M, Boos N,Hodler J. MRmorphology of alar ligaments and occipitoatlantoaxial joints: study in 50 asymptomatic subjects. Radiology 2001;218:133–137. Ohshio I, Hatayama A, Kaneda K, Takahara M, Nagashima K (1993) Correlation between histopathologic features and magnetic resonance images of spinal cord lesions. Spine 1993;18:1140–1149. Bednarik J, Kadanka Z, Vohanka S, Novotny O, Surelova D, Filipovicova D, Prokes B. The value of somatosensory andmotor evoked evoked potentials in pre-clinical spondylotic cervical cord compression. Eur Spine J 1998;7:493–500. Saal JS, Saal JA, Yurth EF. Nonoperative management of herniated cervical intervertebral disc with radiculopathy. Spine 1996;21:1877–1883. Persson LC, Moritz U, Brandt L, Carlsson CA. Cervical radiculopathy: pain, muscle weakness and sensory loss in patients with cervical radiculopathy treated with surgery, physiotherapy or cervical collar. A prospective, controlled study. Eur Spine J 1997; 6:256–266. Heckmann JG, Maihofner C, Lanz S, Rauch C, Neundorfer B. Transient tetraplegia after cervical facet joint injection for chronic neck pain administered without imaging guidance. Clin Neurol Neurosurg 2006;108:709711. Muro K, O’Shaughnessy B, Ganju A. Infarction of the cervical spinal cord following multilevel transforaminal epidural steroid injection: case report and review of the literature. J Spinal Cord Med 2007;30:385–388. Scanlon GC, Moeller-Bertram T, Romanowsky SM, Wallace MS. Cervical transforaminal epidural steroid injections: more dangerous than we think? Spine 2007;32:1249–1256. Peloso P, Gross A,Haines T, Trinh K, Goldsmith CH, Aker P (2005)Medicinal and injection therapies for mechanical neck disorders. Cochrane Database Syst Rev 2005;(3):CD004250 Niemisto L, Kalso E, Malmivaara A, Seitsalo S, Hurri H. Radiofrequency denervation for neck and back pain: a systematic review within the framework of the Cochrane



61.



62.



63. 64. 65. 66.



67. 68.



69.



70.



71.



72.



73.



74.



75.



76.



77.



78.



Collaboration Back Review Group. Spine 2003;28:1877– 1888. Fouyas IP, Statham PF, Sandercock PA. Cochrane review on the role of surgery in cervical spondylotic radiculomyelopathy. Spine 2002;27:736–747. Yonenobu K. Cervical radiculopathy and myelopathy: when and what can surgery contribute to treatment? Eur Spine J 2000;9:1–7. Carette S, Fehlings MG. Clinical practice. Cervical radiculopathy. N Engl J Med 2005;353:392–399. LaRocca H. Cervical spondylotic myelopathy: natural history. Spine 1988;13:854–855. Lees F, Turner JW. Natural history and prognosis of cervical spondylosis. Br Med J 1963; 2:1607–1610. Robinson RA, Smith GW. Anterolateral cervical disc removal and interbody fusion for cervical disc syndrome. Bull Johns Hopkins Hosp 1955;96:223. Cloward RB. The anterior approach for removal of ruptured cervical disks. J Neurosurg 1958;15:602–617. Bohlman HH, Emery SE, Goodfellow DB, Jones PK. Robinson anterior cervical discectomy and arthrodesis for cervical radiculopathy. Long-term follow-up of one hundred and twenty-two patients. J Bone Joint Surg (Am) 1993;75-A:1298–1307. Cauthen JC, Kinard RE, Vogler JB, Jackson DE, DePaz OB, Hunter OL, Wasserburger LB, Williams VM. Outcome analysis of noninstrumented anterior cervical discectomy and interbody fusion in 348 patients. Spine 1998;23:188– 92. Emery SE, Fisher JRS, Bohlman HH. Three-level anterior cervical discectomy and fusion. Radiographic and clinical results. Spine 1997;22:2622–2625. Floyd T, Ohnmeiss D. A meta-analysis of autograft versus allograft in anterior cervical fusion. Eur Spine J 2000;9:398–403. Aebi M, Zuber K,Marchesi D. Treatment of cervical spine injuries with anterior plating. Indications, techniques, and results. Spine (Suppl) 1991;16:S38–S45. Bohler J, Gaudernak T. Anterior plate stabilization for fracture-dislocations of the lower cervical spine. J Trauma 1980;20:203–205. CasparW, Barbier DD, Klara PM. Anterior cervical fusion and Caspar plate stabilization for cervical trauma. Neurosurgery 1989;25:491–502. Wang JC,McDonough PW, Kanim LE, Endow KK, Delamarter RB. Increased fusion rates with cervical plating for three-level anterior cervical discectomy and fusion. Spine 2001;26:643–646; discussion 646–647. Bolesta MJ, Rechtine GR, 2nd, Chrin AM(2000) Threeand four-level anterior cervical discectomy and fusion with plate fixation: a prospective study. Spine 2000;25:2040–2044; discussion 2045–2046. Mummaneni PV, Haid RW, Rodts GE, Jr. Combined ventral and dorsal surgery for myelopathy and myeloradiculopathy. Neurosurgery 2007;60:S82–S89. Hacker RJ. A randomized prospective study of an anterior cervical interbody fusion device with a minimum of 2 years of follow-up results. J Neurosurg 2000;93:222– 226.



Neurosurgery Lecture Notes



79.



80.



81.



82.



83.



84.



85.



86.



87.



Sakou T, Miyazaki A, Tomimura K, Maehara T, Frost HM (1979) Ossification of the posterior longitudinal ligament of the cervical spine: subtotal vertebrectomy as a treatment. Clin Orthop Relat Res:58–65. Swank ML, Lowery GL, Bhat AL, McDonough RF. Anterior cervical allograft arthrodesis and instrumentation: multilevel interbody grafting or strut graft reconstruction. Eur Spine J 1997;6:138–143. Hilibrand AS, Fye MA, Emery SE, Palumbo MA, Bohlman HH. Increased rate of arthrodesis with strut grafting after multilevel anterior cervical decompression. Spine 2002;27:146–151. Savolainen S, Rinne J, Hernesniemi J. A prospective randomized study of anterior single-level cervical disc operations with long-term follow-up: surgical fusion is unnecessary. Neurosurgery 1998;43:51–55. Verbiest H. A lateral approach to the cervical spine: technique and indications. J Neurosurg 1968;28:191– 203. Hakuba A. Trans-unco-discal approach. A combined anterior and lateral approach to cervical discs. J Neurosurg 1976;45:284–291. Jho HD. Microsurgical anterior cervical foraminotomy for radiculopathy: a new approach to cervical disc herniation. J Neurosurg 1996;84:155–160. SaringerW, Nobauer I, ReddyM, TschabitscherM, Horaczek A. Microsurgical anterior cervical foraminotomy (uncoforaminotomy) for unilateral radiculopathy: clinical results of a new technique. Acta Neurochir (Wien) 2000;144:685–94. Orr RD, Postak PD, Rosca M, Greenwald AS. The current state of cervical and lumbar spinal disc arthroplasty. J Bone Joint Surg Am 89 Suppl 2007;3:70–75.



88.



89.



90.



91. 92.



93.



94.



95.



96.



Nowinski GP, Visarius H, Nolte LP, Herkowitz HN. A biomechanical comparison of cervical laminaplasty and cervical laminectomy with progressive facetectomy. Spine 1993;18:1995–2004. Abumi K, Kaneda K, Shono Y, Fujiya M. One-stage posterior decompression and reconstruction of the cervical spine by using pedicle screw fixation systems. J Neurosurg 1990;90:19–26. Frykholm R. Cervical nerve root compression resulting from disc degeneration and root-sleeve fibrosis. A clinical investigation. Acta Orthop Scand (Suppl) 1951;160:1– 149. Scoville WB. Types of cervical disk lesions and their surgical approaches. JAMA 1966;196:479–481. Burke TG, Caputy A. Microendoscopic posterior cervical foraminotomy: a cadaveric model and clinical application for cervical radiculopathy. J Neurosurg 2000;93:126–129. ClarkeMJ, Ecker RD, Krauss WE, McClelland RL, Dekutoski MB. Same-segment and adjacent-segment disease following posterior cervical foraminotomy. J Neurosurg Spine 2007;6:5-9. Hirabayashi K, Satomi K (1988) Operative procedure and results of expansive open-door laminoplasty. Spine 1988;13:870–876. Hoshi K, Kurokawa T, Nakamura K, Hoshino Y, Saita K,Miyoshi K. Expansive cervical laminoplasties – observations on comparative changes in spinous process lengths following longitudinal laminal divisions using autogenous bone or hydroxyapatite spacers. Spinal Cord 1996;34:725–728. Ratliff JK, Cooper PR . Cervical laminoplasty: A critical review. J Neurosurg 2003;98:230–238.



395



Neurosurgery Lecture Notes



DEGENERATIVE DISORDER OF THE THORACIC SPINE Donny Luis, Sabri Ibrahim, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat PENDAHULUAN Herniasi diskus kebanyakan terjadi pada usia dekade keempat dan keenam dan sedikit didominasi oleh laki-laki. Herniasi diskus di daerah torakal lebih jarang terjadi dibandingkan herniasi di daerah lumbal atau servikal. Hal ini disebabkan karena mobilitas di daerah torakal sangat terbatas, diskus intervertebralis di daerah ini kecil, dan cukup stabil karena ada tulang-tulang costae. Insiden herniasi diskus intervertebralis torakalis berkisar antara 7% hingga 37%. Dari angka tersebut, hanya 0.25% hingga 0.57% saja yang menimbulkan gejala (simptomatik). Herniasi diskus intervertebralis torakalis dapat menimbulkan gangguan neurologis berupa rasa nyeri, gangguan sensorik, gangguan defekasi, gangguan berkemih, disfungsi seksual, paraparesis atau paraplegia.1



Gambar 1. Potongan melintang vertebra torakalis. Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Gambar 2. Anatomi suplai perdarahan pada medulla spinalis level torakal. Drawings illustrate the arteries of the spinal cord and spine. (a) The thoracolumbar segment of the spinal cord is vascularized by branches of the thoracoabdominal aorta via the intercostal and lumbar arteries. (b) The intercostal or lumbar artery arises from the aorta and divides into anterior and posterior branches. The posterior branch subdivides into the radiculomedullary artery, the muscular branch, and the dorsal somatic branch. The radiculomedullary artery further subdivides into the anterior and posterior radiculomedullary arteries. Dikutip dari : Yoshioka K et al. Radiographics 2003;23:1215-1225. Available at: http://radiographics.rsna.org/content/23/5/1215/F2.expansion.html on 05/09/2012



396



Neurosurgery Lecture Notes



SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI Penatalaksanaan awal terhadap kompresi medulla spinalis terbatas pada laminektomi sederhana. Middleton dan Teacher melakukan prosedur thoracic discectomy pertama kali pada tahun 1991 pada pasien laki-laki yang mengalami paraplegia.1 Kasus herniasi diskus pertama yang ditangani secara operatif dilaporkan pada 1922 oleh Adson (sebagaimana dijelaskan oleh Zeidman dkk) yang melakukan laminektomi dan 2 pengangkatan diskus. Mixter dan Barr3 melaporkan tiga kasus dari herniasi diskus torakal yang mengalami ruptur pada 1934. Dua dari pasien ini mengalami mielopati transversa paska operasi, dan pasien yang satu lagi mengalami sedikit perbaikan setelah beberapa waktu. Defisit neurologis yang signifikan setelah laminektomi dari herniasi diskus torakal diperkirakan sebagai akibat dari kombinasi insufisiensi vaskular dan kontusio mikro yang diakibatkan oleh manipulasi medulla spinalis.2



Gambar 3. Kompresi radiks oleh herniasi diskus torakalis. Dikutip dari: TAGMED. The Facts about herniated disc. Available at : http://www.sosherniateddisc.com/the-factsabout-herniated-discs.html on 05/09/2012



Tindakan operasi untuk menangani diskus intervertebralis di daerah torakal pada awalnya meliputi laminektomi posterior dan total discectomy. Prosedur-prosedur tersebut dilaporkan banyak menimbulkan komplikasi perburukan defisit neurologis (18% hingga 66%) dan kematian (14% hingga 50%). Komplikasi ini disebabkan oleh cedera medulla spinalis akibat retraksi dural sac yang berlebihan sewaktu operasi. Dengan



morbiditas dan mortalitas yang tinggi tersebut, beberapa ahli bedah mengembangkan anterior approach, anterolateral dan posterolateral approach yang dinilai lebih aman dan lebih efektif. MANIFESTASI KLINIS Anamnesa terhadap pasien yang mengalami HNP torakal tergantung dengan beratnya herniasi dan lamanya penekanan. Herniasi diskus yang cukup besar dapat menyebabkan penekanan pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraparesis yang progresif. Penekanan yang berlangsung perlahan-lahan dapat menyebabkan gejala-gejala yang menyerupai myelopati servikal. Perbedaannya adalah ekstremitas atas tidak terganggu. Gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan di daerah torakal antara lain:4  Nyeri punggung yang terlokalisir  Nyeri yang menjalar seperti ikat pinggang (sabuk)  Nyeri semakin berat pada saat batuk atau bersin  Gangguan gaya berjalan (gait)  Defisit sensorik yang tidak mengikuti distribusi dermatom  Kelemahan motorik pada ekstremitas inferior Nyeri merupakan keluhan utama pasien datang untuk berobat ke dokter. Lokasi nyeri terjadi di bagian belakang dan di garis tengah (57% hingga 88%) dan mengikuti distribusi dermatom pada 9% hingga 57% pasien. Nyeri yang mengikuti distribusi dermatom bersifat hilang timbul dan terjadi pada satu sisi. Gejala berikutnya yang paling sering dikeluhkan pasien adalah gangguan sensorik yang mengikuti pola radikular (39% hingga 100%). Gangguan sensorik dermatom relatif jarang terjadi karena distribusi dermatom bersifat tumpang tindih (overlapping).Selain gejala nyeri dan radikulopati, gejala myelopati juga dapat dikeluhkan pada 9% hingga 100% pasien. Kelemahan motorik terjadi pada 41% hingga 100% pasien, gangguan defekasi dan berkemih terjadi pada 18% hingga 78%.4 Pasien yang mengalami herniasi diskus di level C7-T1 atau di level T1-2 pernah dilaporkan 397



Neurosurgery Lecture Notes



memiliki tanda Horner’s syndrome. Presentasi yang jarang terjadi antara lain dysesthesia pada sisi medial lengan atas yang sering keliru dengan gejala infark miokard, angina, diseksi aorta torakalis, atau tumor bronkogenik. Herniasi diskus intervertebralis torakalis dengan lokasi far lateral dapat menimbulkan gejala sakit pinggang (flank pain). Beberapa sindrom medulla spinalis seperti BrownSequard syndrome dapat terjadi apabila herniasi diskus menekan dari sisi lateral medulla spinalis. Anterior spinal artery syndrome dapat terjadi apabila herniasi diskus menekan medulla spinalis dibagian sentral dan menekan arterli spinalis anterior. Conus medullary syndrome dapat terjadi apabila herniasi diskus menekan konus medullaris di daerah peralihan thoracolumbal. PEMERIKSAAN RADIOLOGI Beberapa ahli berpendapat bahwa pemeriksaan gold standard herniasi diskus intervertebralis torakal (terutama yang telah mengalami kalsifikasi) adalah CT scan myelografi dan post-myelografi. Dengan pemeriksaan ini akan tampak adanya indentasi yang disebabkan oleh massa ekstradural yang menekan dural sac pada level diskus. CT scan post-myelografi dapat menunjukan perbedaan pada masing-masing struktur tulang dengan jaringan-jaringan penunjang yang telah mengalami kalsifkasi dan medulla spinalis. 12% herniasi diskus intervertebralis menunjukan kalsifikasi didalam kanalis spinalis. Gambaran ini menunjukan bahwa telah terjadi ekstensi herniasi diskus ke dalam kanalis spinalis. CT myelografi seperti halnya MRI memiliki angka false positive sebesar 13.5% dalam mendiagnosis herniasi diskus intervertebralis torakalis yang simptomatik. 1 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan herniasi diskus intervertebralis torakalis diilustrasikan pada gambar 1 diatas. Pengobatan non-operatif digunakan sebagai modalitas pengobatan pertama, kecuali herniasi diskus tidak menyebabkan keluhan nyeri yang mengganggu atau defisit neurologis. Intervensi bedah diindikasikan apabila dijumpai gejala penekanan medulla spinalis dan pada pemeriksaan fisik dijumpai myelopati, kelemahan



398



motorik, gangguan defekasi dan berkemih, atau disfungsi seksual. Intervensi bedah juga diindikasikan apabila terjadi nyeri radikular atau nyeri punggung yang sangat berat. Pasien-pasien yang mengalami nyeri ringan atau nyeri dengan intensitas sedang yang refrakter dengan pengobatan konservatif juga merupakan kandidat yang baik untuk dilakukan operasi. Tujuan pengobatan konservatif sebenarnya adalah untuk memberikan kesempatan diskus yang mengalami herniasi untuk diresorbsi dan memberikan kesempatan saraf yang meradang untuk sembuh.1,4



Gambar 4. Alur penatalaksanaan Back Pain atau Radicular Pain. Dikutip dari : Ghostine S, Samudrala S, Johnson JP. Treatment of Thoracic Disk Herniation. In: Win HR, ED. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.3.Philadelphia: Elsevier Saunders 2011.p.2911-2916



Pemeriksaan MRI dan foto polos vertebrae torakalis harus dilakukan dalam mengelola pasien yang mengalami nyeri punggung didaerah torakal. MRI dilakukan untuk mengetahui adanya lesi intrinsik dan ekstrinsik pada medulla spinalis yang memerlukan tindakan operatif. Foto polos di daerah torakal dilakukan untuk menyingkirkan adanya neoplasma, proses infeksi, atau fraktur-



Neurosurgery Lecture Notes



fraktur yang tidak stabil. Apabila pada pemeriksaan MRI dan foto polos tidak dijumpai adanya kelainan, maka pengobatan konservatif diberikan untuk pasien yang masih dapat mentoleransi keluhan nyeri punggungnya.1,4 PENGOBATAN NON-OPERATIF Pengobatan non operatif meliputi penggunaan imobilisasi dengan hyperextension brace, steroid, obat-obat antisteroid non inflamasi, analgetik golongan lain, penyuntikan steroid ke ruang epidural.



Gambar 7. Ilustrasi Penyuntikan facet joint. Dikutip dari: The Spine Institute Northwest. Interventional Spinal Injection Technique. Available at :http://www.spineinstitutenorthwest.com/wpcontent/uploads/2012/01/injection3.jpg on 05/09/2012



Gambar 5. Ilustrasi penyuntikan steroid ke dalam ruang epidural. Dikutip dari: The Spine Institute Northwest. Interventional Spinal Injection Technique. Available at : http://www.spineinstitutenorthwest.com/wpcontent/uploads/2012/01/injection1.jpg on 05/09/2012



Gambar 6. Ilustrasi selective nerve block. Dikutip dari: The Spine Institute Northwest. Interventional Spinal Injection Technique . Available at : http://www.spineinstitutenorthwest.com/wpcontent/uploads/2012/01/injection2.jpg on 05/09/2012



Apabila pasien tidak menunjukan perbaikan setelah pengobatan medikamentosa selama 2 hingga 3 minggu, dan apabila pada pemeriksaan MRI masih menunjukan herniasi diskus yang menekan radiks saraf, maka pasien tersebut perlu dilakukan tindakan operasi. CT myelografi dilakukan pada semua pasien yang memiliki gambaran kalsifikasi intradural pada foto polos atau apabila dibutuhkan informasi adanya osteofit atau elemen tulang di bagian posterior.1 TINDAKAN OPERASI Surgical approach yang digunakan untuk tindakan operasi herniasi diskus dibagi menjadi tiga, yaitu anterior approach, posterior approach dan posterolateral approach. Prosedur-prosedur yang termasuk dalam posterior approach antara lain adalah dorsal laminectomy dan transpedicular approach. Prosedur-prosedur yang termasuk dalam posterolateral approach antara lain costotransversectomy dan lateral extracavitary approach serta lateral parascapular approach.5 Pilihan teknik bedah yang digunakan pada herniasi diskus torakal tergantung apda lokasi dan luasnya herniasi, dan juga kondisi umum dari



399



Neurosurgery Lecture Notes



pasien. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada operasi herniasi diskus torakalis adalah:  Medulla spinalis tidak dapat mentoleransi retraksi yang disebabkan oleh paparan herniasi diskus  Herniasi biasanya keras (mengalami kalsifikasi) dan sulit diangkat  Korpektomi mungkin dibutuhkan untuk mengangnkan fragmen yang mengalami dislokasi  Kepastian pengangkatan total dihalangi oleh lapangan pandang yang sempit  Reseksi tulang membutuhkan instrumentasi yang khusus







Lokalisasi level target yang tepat sulit dilakukan



Tabel 1. Pilihan pembedahan pada herniasi diskus torakalis. Dikutip dari: Leonardi M, Boos N. Disc Herniation and Radiculopathy. In: Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.418-512 POSTEROLATERAL ANTERIOR APPROACHES TRANSTHORACIC APPROACHES Costotransversectomy Anterior transpleural Lateral extracavitary Thoracoscopic Transverse arthropediculectomy Transfacet pedicle-sparing



Gambar 8. Luas bidang operasi dari dekompresi torakal anterior yang dimungkinkan pada berbagai prosedur pembedahan. Coklat,costotransversectomy; oranye, anterior transthoracic decompression; kuning, extracavitatory approach.Dikutip dari: Maiman DJ, Larson SJ. Lateral Extracavitatory Approach to the Thoracic and Lumbar Spine. In: Brown CL, ed. AANS Neurosurgical Atlas Vol.2. Chicago:The American Association of Neurological Surgeons 1992.p.145-153



MENENTUKAN LEVEL OPERASI



Gambar 9. Jenis surgical approach yang digunakan untuk manajemen HNP torakal. Dikutip dari : Ghostine S, Samudrala S, Johnson JP. Treatment of Thoracic Disk Herniation. In: Win HR, ED. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.3.Philadelphia: Elsevier Saunders 2011.p.2911-2916



400



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 2 . Pro dan Kontra terhadap berbagai Approach untuk Torakal Discectomy. Ghostine S, Samudrala S, Johnson JP. Treatment of Thoracic Disk Herniation. In: Win HR, ED. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.3.Philadelphia: Elsevier Saunders 2011.p.2911-2916 APPROACH Laminectomy



PROS Simple to perform



Transpedicular



Simple to perform Minimally invasive Good for lateral disk; may be used for paracentral disk with poor visualization Extrapleural Good for lateral disks; may be used for paracentral disks with better visualization than transpedicular approach Extrapleural Best visualization of midline structures among posterior and posterolateral approaches Access to multiple levels Adequate exposure to resect multilevel OPLL Allows fusion if needed Best visualization of large midline calcified or soft herniated disks Access to multile levels Adequate exposure to resect multilevel OPLL Access for fusion if needed Best visualization of large midline calcified or soft herniated disks Access to multiple levels (up to three) Minimally invasive



Costotransversectomy



Lateral extracavitary



Tranthoracic (open)



Thoracoscopic



CONS High morbidity and mortality Limited exposure Difficult to visualize ventral dural sac Difficult to dissect midline calcified disks Limited exposure for multilevel OPLL Difficult to visualize ventral dural sac Difficult to dissect midline calcified disks Limited exposure for multilevel OPLL Limited visualization of ventral dural sac Painful Potentially higher risk for radicular artery injury leading to spinal cord infarction



Painful Potential morbidity Need for chest tube



Limited exposure for multiple OPLL Need to chest tube Steep learning curve



Gambar 10. Berbagai teknik operasi HNP torakal 1) laminectomy; 2a) transpedicular and transfacetal approach, 2b) transversoarthropediculectomy; 2c) costotransversectomy; 3a) lateral thoracotomy; 3b) lateral extracavitary approach; and 4) transthoracic approach. Dikutip dari: Mulier S, Debois V. Thoracic Disc Herniations:Transthoracic, Lateral, or Posterolateral Approach? A Review. Surg Neurol 1998;49:599–608



401



Neurosurgery Lecture Notes



POSTERIOR APPROACH Posterior thoracic laminectomy merupakan approach yang diperkenalkan pertama kali untuk melakukan thoracic diskectomy. Teknik ini memiliki kelemahan dalam memberikan eksposur yang baik pada herniasi diskus yang terjadi di garis tengah (midline). Disamping itu, teknik ini memerlukan retraksi dural sac yang cukup kuat.70% sampai 90% herniasi diskus di torakal yang menyebabkan penekanan terhadap medulla spinalis dan saraf spinalis terjadi di daerah sentral atau parasentral. Oleh sebab itu, teknik ini memerlukan retraksi dural sac yang cukup kuat. Teknik ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 45% pasien yang menjalani prosedur laminektomi dilaporkan mengalami perburukan neurologis atau tidak memperoleh manfaat operasi sama sekali. Saat ini, posterior approach merupakan kontraindikasi untuk penanganan herniasi diskus torakalis yang terjadi di garis tengah (midline).5,6 Teknik alternatif lain adalah transpedicular approach. Teknik ini memberikan eksposur yang cukup baik terhadap herniasi diskus yang terjadi di daerah parasentral dengan retraksi terhadap dural sac yang minimal dan menghindari diperlukannya pemotongan facet. Foramen neuralis yang terlibat dibebaskan/ diperluas dengan memotong separuh sisi medial facet inferior tulang vertebrae yang berada di atasnya dan sisi medial facet superior bersama dengan sisi superior pedikel tulang vertebrae yang berada dibawahnya. Akses operasi dibuat dengan melakukan drilling menggunakan high-speed diamond drill pada sisi posterior inferior tulang vertebrae yang berada dibawah diskus yang terlibat, termasuk juga endplate dan sisi lateral diskus. Akses yang dibuat harus cukup besar untuk mendorong material diskus tanpa harus melakukan manipulasi terhadap dural sac.1,7 Transpedicular approach dilaporkan memberikan hasil yang cukup memuaskan baik pada diskus yang sudah keras dan mengalami kalsifikasi maupun diskus yang memiliki konsistensi lunak di daerah lateral dan sentro-lateral. Approach ini masih belum cukup baik untuk mengatasi herniasi diskus yang lokasinya di sentral. Fusi jarang diperlukan pada teknik ini karena facet dan kolumna anterior, ligamentum longitudinale anterior dan posterior tidak dirusak. Ada satu



402



laporan kasus yang melaporkan terjadinya fraktur kompresi pasca operasi yang menggunakan transpedicular approach. Approach ini dapat dilakukan dengan bantuan alat endoskopi dengan lapangan kerja operasi melalui tube yang minimaly invasive.7



Gambar 11. Prosedur costotransversectomy. (A). Pedicle ditandai dengan tanda titik biru, yang terletak pada perpotongan pars interarticularis, prosesus transversus, dan lamina. Bujur sangkar hitam mewakili luas daerah yang akan direseksi. (B, C) Bagian dari sendi facet medial, pedikel rostral dan kaudal diangkat, kemudian radiks diidentifikasi. Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



POSTEROLATERAL APPROACH Pada costotransversectomy approach, prosesus transversus dan ujung proksimal caput tulang costae dipotong sehingga terbentk eksposur terhadap sisi di garis tengah duramater ventralis secara langsung. Hulme melaporkan hasil yang baik menggunakan costotransversectomy approach untuk melakukan thoracic diskectomy. Lateral extracavitary dan lateral parascapular approach memerlukan eksposur diseksi terhadap struktur yang berada di sisi lateral yang lebih luas dibandingkan dengan costotransversectomy approach. Teknik ini memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap struktur di garis tengah yang sangat bermanfaat untuk melakukan pemasangan cages atau vertebrectomy pada kasus-kasus infeksi, neoplasma atau trauma. Lateral extracavitary approach yang diperkenalkan oleh Maiman dkk memerlukan pemotongan caput tulang costae dan 8 cm dari ganglion radiks dorsalis.8,9



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 12. Extracavitary approach (A).Hockey stick incision (B).Drilling dan pengangkatan pedicle, demikian juga endplate superior dan inferior. (C).Caput dan collum costae pada batas lateral diskus diangkat. Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Nervus interkostalis perlu dipotong 3 cm distal dari ganglion radiks dorsalis. Akses ke sisi posterior korpus vertebrae dibuat melalui drilling dan membuang diskus yang telah mengalami kalsifikasi serta osteofit. Tindakan ini dilakukan untuk melakukan dekompresi terhadap duramater. Lateral extracavitary approach memberikan hasil yang memuaskan dalam melakukan thoracic diskectomy. Teknik ini memungkinkan ahli bedah untuk melakukan approach ekstrapleural ke elemen anterior tanpa memerlukan pemasangan thoracic tube. Dengan teknik ini juga memungkinkan ahli bedah untuk melakukan pemasangan instrumentasi anterior atau posterior bila memang diperlukan. Modifikasi lateral extracavitary approach dikembangkan dengan tujuan menghindari struktur neurovaskular. Hal ini mencegah terjadinya neuralgia interkostalis atau anestesia dolorosa akibat pemotongan nervus interkostalis atau infark medulla spinalis akibat cedera pada arteri radikularis.10



Gambar 13. (A). Pleura parietal didiseksi dari caput costae dan celah diskus. (B).batas caput costae yang direseksi (C).Ujung proksimal costae direseksi dengan pneumatic drill untuk eksplorasi dinding lateral dari pedikel dan foramen neural. Endplate inferior juga di-drill. (D).Bagian diskus yang mengalami herniasi diangkat melalui defek yang telah dibuat (E).Setelah dekompresi total medulla spinalis tidak lagi mengalami penekanan. Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU.



Extracavitory approach dapat dilakukan dengan teknik minimally invasive menggunakan METRx tube (Medtronic Sofamor Danek, Memphis, TN) dan menggunakan endoskopi. Teknik ini diperkenalkan oleh Lidar dkk.11 Costotransversectomy dan Extracavitary approach merupakan teknik yang termasuk merusak struktur facet, oleh sebab itu perlu dilakukan pemasangan fusi tulang belakang. Fusi ini perlu dilakukan terutama pada level torakal dibagian bawah, karena pada level ini tidak memiliki struktur pendukung tulang costae.1



403



Neurosurgery Lecture Notes



tulang vertebrae yang berada di atasnya, kecuali pada tulang costae pertama, ke-11 dan ke-12. Pada anterior lateral approach, sisi posterior diskus dan foramen neuralis berada sejajar dan dibelakang caput tulang costae. Dengan mengetahui anatomi tersebut, maka caput tulang costae harus dibuang melalui drilling supaya terbentuk akses menuju diskus yang mengalami herniasi dan foramen neuralis.



Gambar 14. Teknik minithoracotomy. (A).Intercostal technique. (B).Window technique (C).Open-door technique (D).Sliding technique. Dikutip dari: Jahng TA, Kim CH. Discectomy after posterior and posterolateral approach. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.233-240



ANTERIOR APPROACH Anterior approach lebih disukai untuk menangani herniasi diskus yang terjadi di daerah sentral dan parasentral, terutama pada diskus yang telah mengalami kalsifikasi dan masuk ke intraspinal. Teknik ini memungkinkan ahli bedah untuk melakukan diseksi terhadap diskus yang berada di sisi anterior tanpa melakukan manipulasi atau retraksi yang berlebihan pada duramater. Pada daerah T11-L1, struktur diafragma akan mengganggu lapangan operasi operator. Dalam hal ini diperlukan retraksi terhadap diafragma. Pada level ini diperlukan retroperitoneal approach untuk membebaskan diafragma atau menggunakan thoracoscopic approach. Approah melalui sisi kanan pasien pada level costae ketiga dilakukan untuk melakukan transthoracic approach pada level torakal bagian atas. Sedangkan pada thoracoscopic approach dapat dilakukan pada kedua sisi pada level T2 hingga T12. Sisi operasi tergantung dari bagian mana yang paling banyak mengalami kerusakan.12 Pemahaman mengenai anatomi sangat penting sebelum melakukan tindakan operasi. Setiap tulang costae memiliki hubungan artikulasi / persendian dengan sisi superior dan posterior level vertebrae yang setara dan sisi posterior inferior 404



Gambar 15. Lateral approach dan anterolateral approach dari vertebara torakal setelah torakotomi. Dikutip dari: Jahng TA, Kim CH. Discectomy afterPosterior and Posterolateral Approach. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul :Koonja Publishing Inc 2010.p.233-240



Beberapa ligamen yang akan dijumpai antara lain ligamentum kapsularis, ligamentum intertransversus, ligamentum kostotransversus, dan ligamentum radiata. Ligamentum radiata melekat pada ujung caput tulang costae seperti jaring-jaring ke tulang vertebrae yang berada pada level diatasnya. Ligamentum kostotransversus menghubungkan caput tulang costae dengan prosesus transversus, sedangkan ligamentum kapsularis menghubungkan bagian ventral prosesus transversus ke bagian dorsal artikulasi tulang costae.



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 16. Anterolateral approach. (A).Pedikel direseksi dengan rongeur Kerrison untuk memberikan akses yang adekuat pada kanalis spinalis. (B).High speed drill digunakan untuk reseksi sepertiga atas dan sepertiga medial dari pedikel. (C).Tampak herniasi diskus yang menekan dura. (D).Setelah dekompresi, fragmen diskus telah dibuang. Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



405



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 17. Trans thoracic discectomy: Caput costae dan pedicle diangkat, sehingga tampak permukaan lateral dari dura. Untuk eksporasi permukaan ventral dari dura, ahli bedah harus melakukan korpektomi parsial atau korpektomi total. Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Sebuah insisi kurvilinear dibuat setelah melakukan identifikasi level yang hendak dioperasi melalui fluoroskopi atau neuronavigasi, mengikuti perjalan tulang costae. Struktur otot dipisahkan dengan kauter. Lapisan subperiosteal dibebaskan lalu tulang costae dipotong dengan mempertahankan struktur neurovaskular yang melekat pada tulang tersebut. Pemisahan lapisan subperiosteal ini dilakukan dengan menggunakan Cobb dan Doyen elevator. Retraktor kemudian dipasang untuk memasuki rongga thoraks. Salah satu paru (ipsilateral) dikempiskan dengan menggunakan ETT double lumen, dan rongga pleura kemudian dibuka.13 Setelah itu dilakukan skeletonisasi caput tulang costae dengan kauter dan high-speed diamond drill



406



hingga tampak pedikel dan foramen neuralis. Pedikel kemudian ditipiskan dengan high-speed drill hingga tampak duramater dan selubung saraf. Sisi posterior tulang vertebrae dibiarkan untuk menghindari cedera pada dural sac. Diskus yang mengalami herniasi dibuang dengan menggunakan kuret dan ligamentum longitudinael posterior dibuang dan dipisahkan dari dural sac. Tulang kortikal posterior ditinggalkan. Diskus yang mengalami herniasi, ligamentum longitudinale posterior dan korteks posterior tulang vertebrae kemudian dibuang menggunakan Kerrison roungeur atau pituitary roungeur. Setelah itu dilakukan pemasangan chest tube dan pasien segera di weaning pasca operasi.1



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 19. Posisi pasien untuk thoracoscopic surgery. Dikutip dari: Sohn MJ, Ryoo YJ. Thoracoscopic Discectomy and Fusion. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul.Koonja Publishing Inc 2010.p.241-250 Gambar 18. Graft iga ditempatkan dengan tetap menyisakan celah di antara graft iga dan posterior longitudinal ligament Dikutip dari: Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



THORACOSCOPIC DISCECTOMY Thoracoscopy surgery merupakan teknik minimal invasive yang diperkenalkan oleh Mack dkk13 di Amerika Serikat dan Rosenthal dkk14 di Jerman. Teknik ini dikembangkan untuk mengurangi morbiditas, lama rawatan dan nyeri pasca operasi. Teknik ini memungkinkan operator untuk melakukan manuver pada diskus pada kedua sisi dari level T5-6 sampai T11-12. Beberapa ahli bedah lebih memilih open thoracic approach karena lebih terbiasa dan banyak digunakan oleh ahli bedah. Teknik open thoracic approach ini dapat digunakan untuk melakukan vertebrectomy terhadap beberapa level untuk kasus-kasus neoplasma atau infeksi yang memerlukan instrumentasi dan fusi, kasus herniasi diskus intervertebralis yang besar, dan fraktur yang tidak stabil yang memerlukan tindakan instrumentasi dan fusi.1



Gambar 20. Surgical trajectory pada thoracoscopic anterolateral approach, yang memungkinkan ahli bedah untuk mencapai seluruh bagian ventral dari medulla spinalis dan dua. Dikutip dari: Sohn MJ, Ryoo YJ: Thoracoscopic Discectomy and Fusion. Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.241-250



407



Neurosurgery Lecture Notes



dan fluoroskopi intraoperasi atau dengan neuronavigasi. Herniasi diskus yang tidak terambil total biasanya terjadi pada garis tengah dan pada herniasi diskus yang mengalami kalsifikasi.1,15 DAFTAR PUSTAKA 1.



2. Gambar 21.Thorascosopic Discectomy Fusion Dikutip dari: Sohn MJ, Ryoo YJ: Thoracoscopic Discectomy and Fusion. Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.241-250



HASIL DAN KOMPLIKASI OPERASI Hasil tindakan thoracic diskectomy pada pasien yang menderita myelopati tergantung dari durasi dan berat ringannya myelopati sebelum operasi. Pasien yang mengalami myelopati ringan dengan onset yang baru memiliki peluang yang lebih baik untuk mengalami perbaikan atau pemulihan. Hasil yang baik hampir dijumpai pada seluruh teknik, kecuali teknik laminektomi. Tingkat perbaikan pada pasien yang mengalami myelopati berkisar antara 71% hingga 97%. Sedangkan untuk nyeri punggung dan nyeri radikular, nilai perbaikan berkisar antara 67% sampai 94%.1 McCormick dkk melakukan pengamatan terhadap seluruh teknik-teknik yang disebutkan diatas beserta komplikasi dari masing-masing teknik.15 Dari pengamatannya tersebut tidak dijumpai adanya komplikasi neurologis maupun non-neurologis yang bermakna diantara masingmasing teknik yang berbeda kecuali pada teknik laminektomi. Tidak ada perbedaan bermakna dalam kejadian infeksi, pneumonia, emboli paru dan neuralgia interkostalis serta kebocoran CSF diantara masing-masing teknik. Instabilitas tulang belakang lebih banyak dipengaruhi oleh predisposisi preoperatif dan bukan dipengaruhi oleh teknik operasi yang dipilih. Kejadian salah level dapat dihindari dengan menggunakan pemeriksaan foto polos preoperasi atau menggunakan pemeriksaan lain seperti CT scan



408



3.



4.



5. 6. 7. 8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



Ghostine S, Samudrala S, Johnson JP. Treatment of Thoracic Disk Herniation. In: Win HR, ED. Youmans Neurological Surgery, 6th edn.Vol.3.Philadelphia: Elsevier Saunders 2011.p.2911-2916 Zeidman SM, Rosner MK, Poffenbarger JG. Thoracic disc disease, spondylosis, and stenosis. In: Benzel EC, Stillerman CV, eds.The Thoracic Spine. St. Louis: Quality Medical 1999.p.297–303 Mixter WJ, Barr JS. Rupture of the intervertebral disc with involvement of the spinal canal. N Engl J Med 1934;211:210–215 Leonardi M, Boos N. Disc Herniation and Radiculopathy. In: Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.418512 Stillerman CB, Weiss MH. Management of thoracic disc disease. Clin Neurosurg 1991;38:325-352 Kalfas I. Laminectomy for thoracic spinal canal stenosis. Neurosurg Focus 2000;9(4):E2 Bilsky M. Transpedicular approach for thoracic disc herniations. Neurosurg Focus 2000;9(4):E3 Fessler RG, Dietze DD, MacMillan M, et al. Lateral parascapular extrapleural approach to the upper thoracic spine. J Neurosurg 1991;75:349-355 Maiman DJ, Pintar FA. Anatomy and clinical biomechanics of the thoracic spine. Clin Neurosurg 1991;38:296-324 Lifshutz J, Lidar Z, Maiman D. Evolution of the lateral extracavitary approach to the spine. Neurosurg Focus 2004;16(1)E12 Lidar Z, Lifshutz J, Bhattacharjee S, et al. Minimally invasive, extracavitary approach for thoracic disc herniation: technical report and preliminary results. Spine J 2006;6:157-163 Bartels RH, Peul WC. Mini-thoracotomy or thorascopic treatment for medially located thoracic herniated disc. Spine 2007;32:581-584 MackMJ, Regan JJ, McAfee PC, Picetti G, Ben-Yishay A, Acuff TE (1995) Video-assisted thoracic surgery for the anterior approach to the thoracic spine. Ann Thorac Surg 59:1100–6 Rosenthal D, Rosenthal R, de Simone A (1994) Removal of a protruded thoracic disc using microsurgical endoscopy. A new technique. Spine 19:1087–91 McCormick WE, Will SF, Benzel EC. Surgery for thoracic disc disease. Complication avoidance: Overview and management. Neurosurg Focus 2000;9(4):E13



Neurosurgery Lecture Notes



DEGENERATIVE DISORDER OF THE LUMBAR SPINE Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ANATOMI Kelengkungan Normal Kolumna Vertebra Pada proyeksi anteroposterior, tulang belakang orang dewasa tampak berbentuk lurus. Tetapi pada proyeksi lateral, vertebra memiliki 4 pola kelengkungan, yang disebut kelengkungan normal (normal curves). Segmen servikal dan lumbal memiliki kelengkungan lordosis, sementara segmen torakal dan sacral memiliki kelengkungan kifosis. Kelengkungan dari tulang belakang meningkatkan kekuatannya, menyerap tekanan pada vertebra pada saat berjalan dan membantu melindunginya dari fraktur. Pada saat tiga bulan sesudah lahir, pada saat bayi mulai belajar menegakkan kepalanya, terbentuklah lordosis servikal. Kemudian pada saat bayi belajar duduk, berdiri dan berjalan, terbentuk lordosis lumbal. Kelengkungan pada torakal dan sacral disebut sebagai kelengkungan primer (primary curves) karena kelengkungannya telah terbentuk mulai dari awal perkembangan fetus. Sementara kelengkungan servikal dan lumbal disebut sebagai kelengkungan sekunder (secondary curves) karena terbentuk belakangan, setelah beberapa bulan sesudah kelahiran. Semua kelengkungan vertebra telah berbentuk pada usia 10 tahun. Walau demikian kelengkungan sekunder dapat berkurang secara progresif pada usia tua.1 Segmen tulang belakang pada awal perkembangan berjumlah 33 buah. Seiring perkembangan anak, beberapa ruas vertebra pada regio sacral dan coccygeal bersatu, sehingga pada saat dewasa kolumna vertebra dewasa berjumlah 26 buah. Vertebra lumbal (L1-L5) merupakan tulang non fusi dari vertebra yang terbesar dan terkuat, dimana beban berat tubuh semakin meningkat pada ujung inferior dari tulang belakang. Dua buah superior articular facet dan dua buah inferior articular facet berada pada posisi dimana pedikel dan lamina bertemu satu sama lain. Superior articular facet membentuk artikulasi sendi sinovial dengan inferior articular facet dari tulang



vertebra yang berada satu level diatasnya. Rongga yang terbentuk dari hubungan articular facet tersebut disebut foramen intervertebralis, yang merupakan tempat berjalannya saraf spinalis yang berasal dari medulla spinalis.



Gambar 1.Anatomi Vertebra. Proyeksi anterior/posterior menunjukkan bagian dari kolom vertebra B. Proyeksi lateral kanan menunjukkan empat kelengkungan vertebra. Dikutip dari : Putz R, Pabst R. In : Suyono J, ed. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 20th edn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997;(2):2



Gambar 2. Kelengkungan vertebra pada fetus dan dewasa. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



409



Neurosurgery Lecture Notes



Kontinuitas tulang vertebra dipertahankan oleh adanya diskus intervertebralis, facet joint, dan ligamentum spinalis. Anterior longitudinal ligament (ALL) berjalan disepanjang permukaan anterior korpus vertebrae dan berfungsi untuk penahan sumbu tubuh sewaktu melakukan gerakan fleksi. Ligamentum ini melekat pada annulus fibrosus diskus vertebralis. Facet joint berperan dalam menahan berat badan ketika melakukan gerakan ekstensi tulang belakang. Sedangkan diskus intervertebralis menahan berat badan pada waktu posisi berdiri.



Gambar 3 . Proyeksi lateral vertebra lumbal dan diskus intervertebral. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



ANATOMI EKSTERNAL DARI MEDULLA SPINALIS2 Medulla spinalis berbentuk silindris, sedikit mendatar pada bidang anterior dan posterior. Pada orang dewasa medulla spinalis terbentang mulai dari medulla oblongata sampai batas superior vertebra lumbal dua. Pada bayi baru lahir medulla spinalis mencapai vertebra lumbal tiga atau empat. Pada empat tahun pertama medulla spinalis dan vertebra sama-sama berkembang. Pemanjangan medulla spinalis berhenti pada usia empat atau lima tahun, tetapi pertumbuhan tulang belakang terus berlanjut. Oleh karena itu pertumbuhan medulla spinalis tidak mencapai panjang yang sama dengan kolumna vertebra pada dewasa.2 Panjang dari medulla spinalis dewasa berkisar 42-45 cm, dengan diameter kira-kira 2 cm pada mid torakal. Diameter medulla spinalis lebih panjang pada regio servikal dan lumbal, dan 410



terkecil pada ujung inferior. Pembesaran medulla spinalis pada segmen superior, intumesensia servikalis, terbentang mulai level C4 sampai T1. Nervus dari / menuju ekstremitas atas berasal dari bagian ini. Pembesaran medulla spinalis pada bagian inferior, intumesensia lumbalis, terbentang mulai T9 sampai T12. Saraf dari / menuju ekstremitas inferior beralsal dari intumesensia lumbalis. Pada sisi inferior dari intumesensia lumbalis, medulla spinalis berahir sambil membentuk bangun kerucut yang disebut conus medullaris pada level di bawah diskus intervertebra L1 atau L2. Serabut saraf yang berasal dari conus medullaris disebut filum terminale. Saraf spinal merupakan jaras penghubung antara medulla spinalis dan bagian tertentu dari tubuh. Medulla spinalis tampak bersegmensegmen karena terdapat 31 pasang saraf spinal yang keluar dari foramen intervertebra. Namun sesungguhnya tidak terdapat segmentasi yang jelas, untuk kepentingan praktis penamaan nervus spinal diberikan berdasarkan segmen dimana mereka terletak. Oleh karena medulla spinalis lebih pendek dibandingkan dengan kolumna vertebra, saraf yang berasal dari lumbal, sacral, dan coccygeal tidak keluar dari kolumna vertebra pada level yang sama dengan level sewaktu saraf ini keluar dari medulla spinalis. Radiks dari saraf spinal membentuk sudut ke inferior pada kanalis vertebralis, dan pada ujung medulla spinalis sekumpulan serabut saraf membentuk struktur seperti ekor kuda sehingga disebut cauda equina. Dua berkas axon, disebut radiks (roots), menghubungkan setiap saraf spinal dengan satu segmen dari tubuh melalui berkas axon yang lebih kecil, disebut rootlets. Radiks (root) dorsal dan rootlet hanya mengandung axon sensorik yang menerima sensasi dari reseptor pada tubuh. Setiap radiks dorsal memiliki pembesaran yang disebut dorsal root ganglion terdiri dari badan sel dari neuron sensorik. Radiks ventral dan rootlet mengandung axon dari neuron motorik, yang menyampaikan informasi dari CNS ke efektor (otot dan kelenjar). Radiks anterior dari saraf spinal L1-L4 membentuk pleksus lumbal. Tidak seperti pleksus brachialis, pada pleksus lumbalis terdapat



Neurosurgery Lecture Notes



percampuran saraf yang minimal. Pada kedua sisi dari L1-4, pleksus lumbalis berjalan oblik keluar diantara caput profundus dari psoas mayor dan muskulus lumborum quadratus anterior. Dari sini



pleksus brachialis kemudian bercabang membentuk saraf perifer yang mempersarafi dinding abdomen anterolateral, genital eksterna, bagian dari ekstremitas bawah.



Gambar 4. Anatomi pleksus lumbosacral. Proyeksi anterior/posterior menunjukkan bagian dari kolom vertebra B. Proyeksi lateral kanan menunjukkan empat kelengkungan vertebra. Dikutip dari : Putz R, Pabst R. Lumbosacral plexus. In : Suyono J, ed. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 20th edn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997



Gambar 5.Ilustrasi skematik Pleksus Lumbosacralis. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USURSUP.H.Adam Malik



411



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 6. Distribusi saraf dari pleksus lumbal dan pleksus sakral. Dikutip dari : Putz R, Pabst R. Distribusi saraf dari pleksus lumbal dan pleksus sakral. In : Suyono J, ed. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 20th edn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997



DISKUS INTERVERTEBRA Diskus intervertebra terletak antara korpus vertebra mulai dari C2 sampai sacrum, dan 412



memiliki ketinggian kira-kira 25% dari tinggi korpus vertebra. Setiap diskus memiliki cincin fibrous pada bagian luar, yang disebut annulus fibrosus dan



Neurosurgery Lecture Notes



pada bagian tengah terdiri dari material lembut, seperti bubur, dan sangat kenyal. Diskus membentuk persendian yang sangat kuat, sehingga memungkinkan berbagai pergerakan tubuh dan menyerap daya (shock). Dalam keadaan tertekan, diskus menjadi mendatar dan melebar. Sepanjang hari diskus terus terkompresi sehingga pada malam hari seseorang menjadi sedikit memendek. Sementara saat tidur terdapat lebih sedikit tekanan, sehingga pada saat bangun seseorang menjadi sedikit lebih tinggi. Seiring dengan pertambahan usia nucleus pulposus mengeras dan menjadi kurang elastis. Penyempitan diskus dan penekanan oleh vertebra akan mengakibatkan berkurangnya tinggi tubuh seiring dengan pertambahan usia.3 Diskus intervertebralis di daerah lumbal yang mengalami proses degenerasi memiliki inervasi dan vaskularisasi yang lebih banyak. Annulus bagian anterior dan lateral mendapat inervasi dari saraf-saraf otonom. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukan bahwa anulus bagian luar memiliki inervasi sedangkan anulus bagian dalam dan nukleus tidak memiliki inervasi sama sekali.4,5 Vertebral end plate juga memiliki pola inervasi yang sama dengan diskus. Cabang meningeal dari nervus spinalis yang dikenal dengan nervus sinuvertebral rekuren memberikan inervasi disekitar diskus. Saraf ini berasal dari ganglion radiks dorsalis dan memasuki foramen untuk menjadi dua bagian, yaitu cabang major ascending dan cabang lesser descending. Dari pengamatan hewan percobaan, inervasi aferen pada saraf sinuvertebral tersebut berasal dari rami communicantes beberapa ganglion radiks dorsalis superior dan inferior.6 ALL juga mendapat inervasi aferen dari cabang-cabang saraf yang berasal dari ganglion radiks dorsalis. PLL mendapat inervasi dari serabut nosiseptif cabang major ascending nervus sinuvertebral. Saraf ini juga mempersarafi anulus fibrosus bagian luar yang berada didekatnya. Vaskularisasi interosseus berasal dari arteri lumbalis yang merupakan aliran langsung dari aorta untuk memberikan pasokan ke korpus vertebrae



dan lapisan tulang rawan di vertebral end plate. Diskus menerima pasokan makanan melalui proses difusi kapiler yang berasal dari cartilaginous end plate.7 PATOFISIOLOGI Diskus intervertebralis yang memiliki komponen fibrokartilaginosa merupakan shock absorber yang sangat efektif yang mampu mendistribusikan gaya yang diterimanya secara merata keseluruh intervertebral end plate. Nukleus pulposus berasal dari sel-sel yang berasal dari primitive notochord. Nukleus pulposus terdiri dari proteoglikan dan water gel yang tertampung oleh serabut-serabut elastin dan kolagen tipe II. Proteoglikan adalah molekul hidrofilik bermuatan negatif yang memiliki rantai cabang protein yang terikat pada gugus oligosakarida. Proteoglikan juga disebut dengan istilah glycosaminoglycans yang juga memiliki struktur chondroitin dan kolagen. Aggrecan merupakan proteoglikan utama pada diskus intervertebralis yang memiliki kadar keratin sulfat dan chondroitin sulfate yang tinggi. Proses pengikatan sulfat dari molekul ini akan menciptakan molekul bermuatan negatif yang memiliki daya osmotik. Daya osmotik ini diperlukan untuk menarik air dalam jumlah yang banyak masuk kedalam diskus. Kadar air didalam diskus inilah yang memungkinkan diskus berfungsi sebagai shock-absorber. Ketika diskus mendapat beban, maka air akan keluar dari diskus, dan gaya yang diterima dibagian lateral diatasi oleh serabutserabut kolagen yang dimiliki annulus fibrosus. Ketika diskus tidak menerima beban, gradien osmotik antara diskus dan plasma menyebabkan air masuk kembali kedalam diskus. Berkurangnya kadar oksigen yang berlangsung kronis kedalam sel-sel yang berada didalam nukleus pulposus dapat menyebabkan sel tersebut menjadi sangat rentan terhadap kadar glukosa yang sedikit, sehingga membuat sel-sel ini menjadi mudah mati. Sel-sel didalam diskus memiliki kemampuan untuk melakukan remodelling adaptif terhadap stress yang diterimanya sehari-hari. Matriks akan disintesis, dihancurkan dan 413



Neurosurgery Lecture Notes



dikembalikan lagi oleh bantuan enzim-enzim matrix metalloproteinase (MMP).



Gambar 7. Mikroskopis dari diskus intervertebralis kelinci. Anulus Fibrosus, zona transisi, nucleus pulposus (NP). Dikutip dari: Ball JR, Hurlbert J. Concepts Of Disk Degeneration And Regeneration. In Winn HR, ed. Youman Neurological Surgery. 8 6th edn. Phil;adelphia: Elsevier Saunders 2011.p.2752-2762



Proses penuaan ditandai oleh berkurangnya kandungan proteoglikan dan air didalam nukleus. Dengan demikian kemampuan diskus untuk mendistribusikan berat badan semakin berkurang. Pada saat yang sama juga terjadi kelemahan pada annulus fibrosus sehingga kemampuannya untuk menahan beban di bagian lateral diskus menjadi semakin berkurang. Ketika annulus mengalami kehilangan kekuatannya sedangkan diskus masih memiliki kemampuan untuk meregang, maka pada saat inilah resiko terjadinya herniasi semakin tinggi (pada dekade ketiga hingga dekade kelima). Setelah seseorang mulai memasuki usia lima puluh tahun, kemampuan diskus untuk meregang semakin berkurang, sehingga insiden herniasi diskus mulai berkurang meskipun kekuatan anulus fibrosus terus mengalami kemunduran.9



Gambar 8. Ilustrasi herniasi diskus intervertebralis pada penampang sagital dan aksial. Dikutip dari: Columbia Neurosurgeons. Department of Neurosurgery. Available at : http://www.columbianeurosurgery.org/wpcontent/2009/11/sc.gif on 23/08/2012 dan Bodywork Resource. Available at: http://www.bodyworkresource.com/blog/wpcontent/uploads/2011/06/discherniation.jpg on 24/08/2012



414



RADIKULOPATI Patofisiologi dari radikulopati yang disebabkan herniasi diskus masih belum dipahami dengan baik. Pada dekade terakhir, berbagai perkembangan penting telah didapatkan untuk pemahaman yang lebih baik dari radikulopati yang disebabkan oleh herniasi diskus. Studi-studi terkini menunjukkan adanya peranan deformitas mekanis dan iritasi kimia.3 Deformitas Mekanik Faktor-faktor deformitas mekanik yang mengakibatkan gangguan pada radiks disebabkan oleh gangguan aliran darah, edema, kompresi langsung, ketidakseimbangan aliraran CSF, dan level kompresi (tunggal atau multipel). Olmarker 10 dkk melalui percobaan pada kauda equina babi percobaan, mendemonstrasikan adanya hubungan signifikan antara tekanan darah sistemik dan tekanan yang dibutuhkan untuk menghentikan aliran darah pada arteriol radiks.3,10 Olmarker11 dkk lebih lanjut menunjukkan onset cepat dari kompresi memicu efek yang lebih nyata dibandingkan dengan kompresi yang perlahan pada level yang sama. Mereka berpendapat perbedaan ini mungkin berhubungan dengan edema intraneural yang terbentuk diluar zona kompresi. Hal ini juga mengindikasikan transportasi nutrisi dapat terganggu pada kompresi yang sangat lemah dan difusi dari jaringan sekitarnya membutuhkan suplai nutrisi yang lebih baik, termasuk CSF yang mungkin tidak dapat berkompensasi sempurna pada setiap gangguan aliran darah intraneural.3,11 Pada studi sesudahnya Takayashi12 dkk menunjukkan kompresi pada level ganda dari kauda equina dapat mengakibatkan gangguan aliran darah, tidak hanya pada tempat kompresi, tetapi juga pada segmen saraf yang berada diantara dua tempat kompresi, bahkan dengan tekanan yang sangat lemah. 3,12 Pada 1947, Inman dan Saunders13 menyadari bahwa konsep yang menyatakan sciatica hanya disebabkan oleh penekanan radiks tidak berdasarkan bukti eksperimental. Dalam studi klinis pada pasien dengan herniasi diskus, Smyth dan Wright14 melapisi nylon strip di sekitar radiks yang terlibat dan membebaskannya. Dengan



Neurosurgery Lecture Notes



cara ini mereka dapat menunjukkan bahwa radiks yang terlibat masih tetap hipersensitif. Kemudian, Kuslich15 dkk mendemonstrasikan cara yang lebih tidak traumatik dan menyimpulkan bahwa hanya radiks yang terlibat saja yang menyebabkan sciatica, sementara radiks yang tidak terkompresi atau tidak teregang sama sekali tidak hipersensitif dan menyebabkan nyeri.



Gambar 9. Patofisiologi radikulopati. Dikutip dari Leonardi M, Boos N: Disc Herniation and Radiculopathy. In: Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin:Springer 2008.p.418-512



Observasi klinis ini diikuti dengan model in vivo yang menunjukkan bahwa ligasi dari radiks tidak mengakibatkan nyeri. Rasa nyeri lebih ditimbulkan oleh radiks yang diligasi dengan material yang iritan. Faktor kimia yang berasal dari benang chromic catgut disimpulkan memainkan peranan dalam patofisiologi dan perkembangan radikulopati lumbal.16 Iritasi Kimia Iritasi kimia memiliki peranan penting dalam sciatica. Keterlibatan iritasi sebagai patofisiologi sciatica telah dicurigai selama bertahun-tahun. Bukti pertama dari faktor inflamasi nucleus pulposus diperkenalkanoleh McCarron17 dkk. Pada percobaan dengan anjing, mereka memaparkan material nucleus pulposus pada rongga epidural, manuver ini mengakibatkan efek inflamasi. Olmarker18 dkk pada model babi percobaan menunjukkan bahwa paparan nucleus pulposus autologus pada rongga epidural, tanpa kompresi mekanik, dapat menginduksi cedera jaringan saraf.



Mereka menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh efek kandungan biokimia secara langsung dari komponen nukleus pulposus pada serabut saraf yang mengakibatkan perubahan struktur, mikrovaskular dan reaksi inflamasi jaringan saraf. Diskus yang mengalami proses degeneratif memiliki kandungan MMP, nitric oxide (NO), prostaglandin E2 (PGE2) dan interleukin 6 (IL-6) yang tinggi. NO dilepaskan pada waktu terjadi hydrostatic loading. NO membuat sintesis proteoglikan berkurang.19 Pada studi berikutnya Olmarker20 dkk menunjukkan paparan nucleus pulposus pada rongga epidural dapat mengakibatkan reaksi proinfamasi sebagaimana diindikasikan dengan leukotaxis dan peningkatan permeabilitas vaskular, mengakibatkan peningkatan tekanan cairan endoneurial dan menurunkan aliran darah pada ganglia radiks dorsal dan memicu perubahan morfologis yang ditunjukkan kerusakan minor axon dan cedera sel schwann. Struktur yang terikat membran dan material dari sel nukleus pulposus bertanggung jawab terhadap perubahan axonal yang memiliki ciri cedera myelin, peningkatan permeabilitas vaskular dan koagulasi intravaskular. Efek ini secara efisien dapat diblok oleh methylprednisolone.3,21 Sitokin Proinflamasi TNF memainkan peranan dominan dalam patofisiologi sciatica. Berbagai sitokin proinflamasi telah diteliti misalnya hidrogen, nitric oxide (NO), phospolipase (PL) A2 dan E2, tumor necrosis factor, interleukin (IL)-1q dan IL-6. Dari mediator-mediator inflamasi ini, TNF memainkan peranan yang dominan dalam kaskade yang memicu gejala sciatica. Olmarker dkk pertama kali menunjukkan bahwa TNF berhubungan dengan efek induksi nucleus pulposus terhadap herniasi diskus dan radikulopati.22 TNF eksogen juga mengakibatkan perubahan neuropatologi dan defisit neurologis yang menyerupai studi eksperimental dengan herniasi diskus yang dipaparkan pada radiks. Terapi anti TNF merupakan pendekatan yang menarik dalam terapi radikulopati. Antibodi selektif terhadap TNF dapat membatasi efek yang merugikan dari 415



Neurosurgery Lecture Notes



paparan nukleus pulposus pada radiks. Lebih lanjut lagi, inhibisi selektif dari TNF dapat mencegah perubahan histologis yang diinduksi oleh nukleus pulposus pada radiks.23 Peneliti yang sama mendemonstrasikan bahwa peningkatan dalam konsentrasi TNF yang dipaparkan pada radiks menginduksi allodynia dan respon hyperalgesia.24 Walau penemuan eksperimental ini menyokong aplikasi inhibitor TNF dalam praktek klinis untuk terapi sciatica, studi acak tidak mendemonstrasikan hasil yang menggembirakan dalam terapi ini.3,25 GENETIK8 Tabel 1. Gen yang memiliki hubungan potensial dengan degenerasi diskus pada manusia. Dikutip dari: Genes with Potential Association with MRI - Demonstrated Disk Degeneration in Human. NCBI Entrez Gene . Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?db=gene on 23/08/2012 GENE GENE PRODUCT CHROMOSOME COL1A1 COL9A2 COL9A3 COL11A2 IL1A IL1B IL6 VDR AGC1/ACAN MMP3 CILP



Collagen I α1 subunit Collagen IX α2 subunit Collagen IX α3 subunit Collagen XI α2 subunit Interleukin -1 α Interleukin - 1β Interleukin 6 Vitamin D Receptor Aggrecan Matrix Metalloproteinase3 Cartilage Intermediate Layer Protein



17q21.33 1p33-p32 20q13.3 6p21.3 2q14 2q14 7p21 12q13.11 15q26.1 11q22.3 15q22



Peranan faktor genetik dalam patogenesis penyakit diskus degeneratif telah mendukung pencarian gen kandidat. Salah satu diantara studi gen yang paling ekstensif dilakukan adalah gen reseptor vitamin D (VDR pada kromosom 12q13.11). Empat studi pada tiga populasi etnis yang berbeda menunjukkan hubungan antara VDR dan degenerasi diskus pada MRI. Studi ini mendapatkan hubungan yang lebih kuat pada pasien-pasien muda. Vitamin D dilaporkan memiliki peran penting dalam sintesa proteoglycan, polimorfisme reseptor dapat mempengaruhi kualitas dari matriks diskus. Sub unit gen COL2A1 dan gen IGF mungkin memiliki peran signifikan yang berhubungan dengan pembentukan kolagen tipe II α1. 416



Herniasi diskus juga dapat diturunkan secara familial (34% hingga 61%). Alel-alel yang diperkirakan berperan dalam herniasi diskus ini antara lain haplotype kolagen, IL-1β, aggrecan triplet-repeat polymorphism. Sciatica terutama terjadi pada individu yang memiliki haplotype IL-6. KLASIFIKASI Skala Pfirmann digunakan untuk menilai derajat degenerasi diskus intervertebralis dari pemeriksaan MRI. Skala tersebut terdiri dari 4 grade sebagai berikut: - Grade 1: Tinggi diskus normal, nukleus dan anulus dapat dibedakan dengan mudah, diskus memiliki struktur internal yang terang - Grade 2: Tinggi diskus normal, nukleus dan anulus dapat dibedakan dengan mudah, diskus memiliki struktur internal yang inhomogen - Grade 3: Tinggi diskus normal atau sedikit memendek, nukleus dan anulus mulai sulit dibedakan, tetapi bentuk anulus masih dapat terlihat, diskus berwarna keabuabuan dengan struktur internal yang inhomogen. - Grade 4: Tinggi diskus bisa normal atau sudah mulai memendek; nukleus dan anulus sudah sulit dibedakan, diskus berwarna abu-abu kehitaman dengan struktur internal yang inhomogen. Herniasi diskus juga diklasifikasikan berdasarkan lokasi herniasinya, klasifikasinya adalah sebagai berikut: 1. Median 2. Posterolateral 3. Lateral (intra-/ ekstraforaminal) Sebagian besar herniasi diskus terjadi di sisi posterolateral. Hal ini disebabkan karena ligamentum longitudinale posterior paling lemah dibagian ini. Herniasi mediolateral merupakan jenis herniasi yang cukup sering dijumpai. Sedangkan herniasi diskus pada sisi lateral merupakan jenis herniasi yang paling jarang dijumpai (3-12%).27 Herniasi diskus lumbal dibagi menjadi dua berdasarkan penetrasinya terhadap struktur anulus posterior dan ligamentum longitudinale. Herniasi diskus dapat diklasifikasikan menjadi sebagai



Neurosurgery Lecture Notes



berikut: 1. Contained 2. Non-contained Contained disc mengandung arti bahwa diskus masih dibungkus baik oleh serabut anular luar atau ligamentum longitudinale posterior, menekan jaringan yang berada diruang epidural. Sedangkan non-contained disc mengandung arti bahwa isi diskus memiliki hubungan langsung dengan jaringan yang berada di ruang epidural. Perbedaan ini perlu dilakukan untuk kepentingan tindakan minimally invasive mana yang lebih tepat untuk dilakukan seperti tindakan chemonucleolysis atau percutaneous disc decompression. Klasifikasi yang saat ini paling sering dipakai adalah klasifikasi yang berdasarkan morfologi pada MRI.28 Definisi penonjolan diskus (disc bulging) masih menjadi permasalahan. Hal ini terutama disebabkan oleh temuan pasien asimptomatik sebesar 51%. Klasifikasi herniasi diskus yang simptomatik dengan yang asimptomatik tidak banyak membantu. Ekstrusi diskus yang cukup besar yang membuat penekanan pada kanalis spinalis yang cukup lebar dapat tidak menimbulkan keluhan apapun (asimptomatik). Sedangkan protrusi diskus yang minimal pada kanalis spinalis yang sempit dapat menimbulkan gejala defisit sensorimotor yang bermakna.



Boos dkk29 menunjukan bahwa pembeda/ diskriminator terbaik untuk membedakan antara herniasi diskus yang simptomatik dengan yang asimptomatik adalah gangguan pada radiks saraf. Dora dkk30 mengatakan bawah herniasi diskus yang simptomatik sangat tergantung dari ukuran kanalis spinalis.



Gambar 10. Klasifikasi Pfirrman untuk derajat penekanan radiks: no contact, contact, deviation, compression. Dikutip dari: Pfirrmann CW, Dora C, Schmid MR, Zanetti M, Hodler J, Boos N. MR image-based grading of lumbar nerve root compromise due to disk herniation: reliability study with 31 surgical correlation. Radiology 2004;230:583–588



Gambar 11. Klasifikasi hernisi diskus lumbal. Dikutip dari Masaryk TJ, Ross JS, Modic MT, Boumphrey F, Bohlman H,Wilber G. Highresolution MR imaging of sequestered lumbar intervertebral disks. AJR Am J Roentgenol 1988;150:1155–1162.



417



Neurosurgery Lecture Notes



melokalisir nyerinya dengan tepat sesuai dengan level yang terkena. Keluhan utama penderita yang mengalami herniasi diskus adalah nyeri punggung bawah atau tungkai atas. Nyeri ini bisa tercetus akibat riwayat trauma sebelumnya, tetapi sebagian besar penderita tidak mampu menunjukan titik nyerinya dengan pasti. Seiring dengan perjalanan proses penyakit, nyeri mulai menjalar ke panggul, bokong dan tungkai bawah. Nyeri ini dapat disertai dengan paresthesia ataupun kelemahan motorik. Nyeri semakin memburuk pada posisi duduk, berdiri, mendorong, menarik, berputar (twisting) atau menunduk pada satu sisi (bending). Gambar 12. Ilustrasi lokasi herniasi diskus lumbal; 1.Central, 2.Parasentral, 3.Foraminal, 4.Extraforaminal. Dikutip dari Masaddi AK. Management of lumbar diskus herniations and degeneratif disease of lumbar spinal. In:Sindou M,ed. Practical Handbook Of Neurosuregery from Leading Neurosurgeons. Vol 3. New York:Springer 2009.p.61-77.



Presentasi Klinis Anamnesis Sebagian besar penderita HNP lumbal berusia 30 hingga 50 tahun. Keluhan bisa disertai nyeri punggung bawah atau tidak. Seringkali pasien mengeluh episode nyeri punggung akut yang menjalar ke salah satu tungkai bawah yang berlangsung dalam beberapa jam atau beberapa hari. Bila gejala-gejala tersebut berlangsung kronis, maka pasien biasanya hanya mengeluh nyeri tungkai bawah. Gejala kardinal dari herniasi diskus yang simptomatik adalah: 1. Nyeri radikular pada tungkai 2. Gangguan sensorik 3. Kelemahan motorik Degenerasi diskus tidak sama dengan nyeri punggung bawah atau herniasi diskus. Paajanen melaporkan bahwa ada 35% individu normal yang menunjukan diskus yang mengalami degeneratif pada pemeriksaan MRI. Miller melakukan pengamatan pada kadaver yang diautopsi, mendapatkan bahwa insidens terjadinya degenerasi diskus setelah seseorang berusia 50 tahun adalah 50%. Apabila seseorang mengeluhkan nyeri punggung bawah dan gambaran MRI yang tidak normal, maka sekitar 80% pasien dapat



418



Gambar 13. Lokasi dermatom penjalaran nyeri. Putz R, Pabst R. Lokasi dermatom penjalaran nyeri. In : Suyono J, ed. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 20th edn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997



Herniasi yang terjadi pada sisi posterolateral sering terjadi. Herniasi ini kemungkinan diakibakan oleh penipisan PLL di daerah perifer, yang kemudian menekan radiks



Neurosurgery Lecture Notes



saraf. Pada herniasi diskus L4-5 akan menyebabkan penekanan pada radiks saraf di L5. Dermatom L4 berjalan dari sisi anterior paha dan menyilang ke sisi medial mata kaki (ankle). Dermatom L5 berjalan dari sisi posterior panggul ke sisi posterior paha, tungkai bawah dan kaki. Dermatom S1 berjalan dari sisi posterior paha dan tumit, dan dapat menimbulkan sensasi kebas pada kaki sisi lateral dan plantar. Gejala-gejala ini harus disesuaikan dengan distribusi dermatom dan miotom dari radiks saraf yang terlibat untuk membantu menegakkan diagnosis. Beberapa temuan klinis yang lain yang jarang terjadi antara lain: 1. Paresthesia disepanjang dermatom yang terlibat 2. Nyeri radikular yang muncul setelah bersin atau diprovokasi dengan penekanan 3. Nyeri berkurang pada posisi supine dengan sendi panggul dan sendi lutut difleksi 4. Serangan nyeri punggung yang akut Gejala yang muncul pada anak-anak dan remaja berbeda dengan gejala yang muncul pada orang dewasa. Pada anak-anak atau remaja, keluhan yang sering dijumpai antara lain: 1. Nyeri punggung merupakan gejala yang paling dominan 2. Nyeri radikular atau pseudoradikular pada tungkai 3. Kekakuan pada otot-otot harmstring 4. Kesulitan untuk mengangkat sesuatu 5. Gangguan pada gaya berjalan Sebagian kecil pasien mengalami herniasi diskus yang ringan menekan struktur kauda ekuina. Penekanan terhadap struktur ini menyebabkan cauda equina syndrome yang terdiri dari gejalagejala sebagai berikut: 1. Nyeri pada punggung dan tungkai yang sangat mengganggu 2. Kebas dan kelemahan pada ekstremitas inferior 3. Gangguan berkemih 4. Inkontinensia paradoksal 5. Inkontinensia alvi



Sebenarnya cukup mengherankan mengapa sebagian besar pasien tidak mengeluhkan masalah gangguan berkemih. Hal ini mungkin dikarenakan pasien tidak mengetahui hubungan gangguan berkemih dengan masalah punggungnya. Dari sebab itu, pada pasien-pasien seperti ini perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi berkemih dan defekasi. Pada onset akut, pasien seringkali mengeluhkan kesulitan buang air kecil. Seiring bertambahnya distensi pada kandung kemih, pasien akan mengalami inkontinensia paradoksal yang disebabkan oleh retensi urin. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan klinis pasien yang mengalami nyeri radikular di tungkai meliputi pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan sensorik dermatom dan kekuatan otot pada ekstremitas inferior. Pemeriksaan neurologis juga harus meliputi pemeriksaan sensorik di daerah perianal (saddle anesthesia) dan tonus sphincter ani. Pasien-pasien yang mengalami herniasi diskus biasanya memiliki hasil pemeriksaan sebagai berikut: 1. Lasegue yang positif (straight leg raising) sign (L4-S1) 2. Reversed Lasegue yang positif (L2-4) 3. Crossed Lasegue test 4. Vertebral shift 5. Restricted spinal movement (tidak spesifik) Pemeriksaan Lasegue sangat penting untuk mengetahui adanya radikulopati. Definisi pemeriksaan Lasegue ini bervariasi diantara beberapa kepustakaan. Sebagian besar kepustakaan tidak mengatakan bahwa nyeri radikular merupakan kriteria untuk menyatakan bahwa pemeriksaan Lasegue positif. Pemeriksaan Lasegue dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai ketika pasien mengangkat tungkai ipsilateral. Nyeri radikular pada tungkai harus dibedakan dengan nyeri non radikular (yang sering ditandai dengan kekakuan otot harmstring). Nyeri radikular pada tungkai biasanya muncul pada waktu melakukan fleksi panggul sebesar 10 sampai 70 derajat. Pemeriksan Lasegue kontralateral yang positif paling spesifik untuk herniasi diskus. Pemeriksaan



419



Neurosurgery Lecture Notes



ini menandakan bahwa herniasi diskus yang terjadi cukup besar sehingga menyebabkan penekanan di struktur saraf yang berada di kontralateralnya. Reverse Lasegue test atau femoral stretch test menyebabkan regangan pada radisk saraf di L2, L3 dan L4. Pemeriksaan Lasegue yang positif memiliki sensitivitas sebesar 72-97% tetapi kurang spesifik (11-66%). Pemeriksaan crossed Lasegue yang positif memiliki sensitivitas 23-42% dan spesifitas yang lebih spesifik yaitu 85-100%. Gejala khas pada pasien yang berusia anak-anak dan remaja adalah: 1. Kekakuan pada otot-otot hamstring 2. Gerakan tulang belakang yang sangat terbatas



pemeriksaan foto polos adalah berkurangnya ketinggian diskus. Gambaran ini tidak dapat digunakan sebagai indikator adanya kelainan pada level yang bersangkutan. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI merupakan modalitas pemeriksaan diagnostik yang paling baik untuk menilai adanya kelainan degeneratif pada diskus. Dibandingkan dengan CT scan, MRI memiliki keunggulan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan ini tidak mengandung radiasi 2. Visualisasi yang baik terhadap struktur konus medullaris atau kauda ekuina 3. Penilaian terhadap berat ringannya degenerasi diskus 4. Penilaian yang lebih baik terhadap penekanan saraf MRI juga lebih unggul dibandingkan dengan CT scan untuk melakukan evaluasi pasca operasi. MRI dapat membedakan antara jaringan parut dengan herniasi diskus rekuren. Hingga saat ini masih banyak perdebatan mengenai peranan kontras untuk tujuan meningkatkan akurasi diagnostik. Pemberian kontras gadolinium-DTPA secara intravena dapat membantu klinisi untuk membedakan antara fibrosis epidural dengan herniasi diskus yang rekuren setelah dilakukan operasi. Meskipun demikan, MRI dinilai kurang sensitif untuk melihat adanya penekanan radiks saraf yang diakibatkan oleh struktur tulang.34



Gambar 14. Ilustrasi tes Lasegue (straight leg test) pada gambar A dan cross leg test pada gambar B. Apabila pada tes Lasegue menimbulkan rasa nyeri, maka kemungkinan besar nyeri tersebut diakibatkan oleh kelainan diskus. Apabila tes Laseque diatas tidak menimbulkan nyeri, sedangkan cross leg test menimbulkan rasa nyeri, maka kemungkinan terdapat penekanan nervus ischiadicus oleh otot piriformis didalam rongga pelvis. Dikutip dari: Oxford University Press. Available at: http://www.backpain-guide.com/Chapter_Fig_folders/ Ch07_Symptoms_Folder/Ch7_Images/07-2_Sciatica_v_Pir.jpg on 23/08/2012



Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan radiologi foto polos (rontgen) Pemeriksaan foto polos tidak dapat menunjukan adanya herniasi diskus dan penyebab radikulopati dengan baik. Petunjuk yang dapat diperoleh dari 420



Gambar 15. a. T2 weighted sagittal MR image showing a large disc extrusion at the level of T10/11 with significant compression of the spinal cord. b. T2 weighted axial MR image demonstrating the severe spinal canal obliteration with compression and deformation of the spinal cord. Dikutip dari : Cassar-Pullicino VN. MRI of the ageing and herniating intervertebral disc. Eur J Radiol 1998;27(3):214-228



Neurosurgery Lecture Notes



Akurasi diagnosis dengan menggunakan MRI (dan modalitas radiologi yang lain) menjadi kurang bermakna dengan adanya herniasi diskus yang asimptomatik.35 Prevalensi herniasi diskus yang tidak menimbulkan keluhan (asimptomatik) berkisar antara 0% (sekuesterasi) hingga 67% (protrusi) tergantung dari populasi yang diamati dan klasifikasi/ definisi dari herniasi diskus yang digunakan pada pengamatan tersebut.36 Pada anak, protrusi diskus yang ringan harus dibedakan dengan slipped vertebral apophysis yang seringkali terjadi di batas inferior korpus vertebral L4 dan pada batas superior tulang sakrum. Seringkali pada MRI T1WI tampak adanya interposisi jaringan yang terhubung dengan diskus intervertebralis. Diskus intervertebralis yang berada didekatnya biasanya menunjukan intensitas yang berkurang.37 Sepertihalnya pada tulang belakang lumbal perubahan struktur diskus juga sering dijumpai didaerah thoracal. Perubahan ini juga sering tidak menimbulkan keluhan apapun bagi para penderitanya. Pada pemeriksaan MRI, 73% dari 90 individu yang asimptomatik memiliki kelainan diskus pada satu level atau lebih. Kelainan ini dapat berupa herniasi diskus (73%), penonjolan diskus/ disc bulging (53%), robekan anulus fibrosus (58%) dan perubahan bentuk tulang belakang (29%). Pada penelitian ini membuktikan bahwa prevalensi iregularitas struktur anatomi cukup tinggi.38 Disc Herniation and Radiculopathy CT Scan Teknologi CT scan saat ini memungkinkan klinisi untuk melakukan rekonstruksi pencitraan dengan beberapa dimensi bidang (multiplanar). Beberapa pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap pemeriksaan MRI karena penggunaan pacemaker, dan implant yang terbuat dari logam, kini dapat dilakukan pemeriksana CT scan yang dikombinasi dengan CT myelografi. CT myelografi dilakukan untuk melihat kondisi radiks saraf. Forristall dkk mengamati gambaran MRI dan CT myelografi pada 25 pasien yang dicurigai mengalami herniasi diskus dan direncanakan operasi.39 Dibadingkan dengan temuan selama prosedur operasi, MRI memiliki tingkat akurasi



sebesar 90.3% dibandingkan dengan CT myelografi sebesar 77.4%.40 Penelitian lain yang membandingkan myelografi melalui CT dan MRI pada 80 pasien yang mengalami sciatica monoradikular, menemukan bahwa sebagian besar informasi diperoleh dari hasil pemeriksaan CT scan, diikuti dengan pemeriksaan MRI dan myelografi. Sebagai kesimpulan, baik CT scan maupun MRI cukup bernilai untuk memberikan informasi bagi para klinisi dan merupakan pemeriksaan radiologi pilihan untuk pasien yang dicurigai menderita herniasi diskus lumbalis.40 Tehnik Selective nerve root blocks (SNRB) pertama kali diperkenalkan oleh Macnab pada tahun 1971 sebagai suatu uji diagnostik untuk menilai pasien-pasien yang secara klinis menunjukan adanya iritasi terhadap radiks saraf tetapi tidak terbukti melalui pemeriksaan radiologi. SNRB pada saat ini dilakukan untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik.41 Tujuan diagnostik SNRB diindikasikan pada kasuskasus sebagai berikut: 1. Nyeri radikular tungkai yang equivocal atau nyeri lengan yang atipikal 2. Perbedaan antara perubahan morfologi dengan gejala klinis pasien 3. Keterlibatan beberapa radiks saraf spinalis 4. Gangguan yang disebabkan oleh failed back surgery syndrome Beberapa penelitian menunjukan bahwa SNRB sangat membantu pada kasus-kasus yang meragukan. Hilangnya nyeri pada tungkai setelah SNRB (respon positif), maka prosedur SNRB tersebut memiliki sensitivitas 100% mendiagnosis adanya keterlibatan radiks saraf akibat protrusi diskus dengan positive predictive value 75-95% pada kasus stenosis foramen neuralis.42,43 Pemeriksaan Neurofisiologi Pemeriksaan neurofisiologi tidak memberikan nilai diagnostik apapun terhadap pasien yang mengalami gejala radikular ataupun yang memiliki gambaran kelainan pada pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan neurofisiologi dapat digunakan untuk membedakan kelainankelainan sebagai berikut:



421



Neurosurgery Lecture Notes



1. Penekanan saraf perifer dengan penekanan radiks 2. Beberapa gangguan neuropati lainnya 3. Gejala klinis yang menunjukan keterlibatan pada beberapa level Pemeriksaan urologi Pasien yang mengalami nyeri punggung yang berat dan sciatica seringkali disertai dengan kesulitan mengosongkan kandung kemihnya. Keluhan ini menjadi dasar bagi para klinisi untuk mencurigai adanya lesi pada struktur di kauda ekuina. Dalam hal ini, pemeriksaan USG atau pemeriksaan terhadap adanya retensi urin perlu dilakukan. Retensi urin kurang dari 50 mL menyingkirkan adanya lesi pada kauda ekuina apabila pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal (sensasi perianal yang baik dan tonus sphincter ani yang normal). Apabila hasil pemeriksaan neurologis meragukan, maka perlu dilakukan pemeriksaan uroflowmetry. Pemeriksaan uroflow yang normal dan tidak terbuktinya retensi urin pada seseorang, maka lesi akut pada kauda ekuina dapat disingkirkan. Diagnosis banding Slipped vertebral apophysis pada anak harus dibedakan dengan herniasi diskus. Cincin apophysis pada anak merupakan titik lemah selama anak berada pada masa pertumbuhan. Cincin ini dapat mengalami migrasi atau dislokasi. Hal ini dipercaya akibat material diskus menggeser cincin posterior apophysis dari tulang belakang dan kemudian menyebabkan gejala. Takata dkk.44 membagi kelainan ini menjadi tiga tipe: 1. Pemisahan ringan pada seluruh batas luar 2. Fraktur avulsi korpus vertebrae hingga pada batas terluar 3. Fraktur terlokalisir Pasien-pasien yang menunjukan sindrom radikular yang khas jarang disebabkan oleh kelainan-kelainan diluar tulang belakang. Kleiner dkk melalui pengamatan yang dilakukannya terhadap 12125 pasien yang dirujuk ke ahli tulang 422



belakang selama 7 tahun, mendapatkan bahwa ada 12 pasien yang mengalami radikulopati atau neuropati pada ekstremitas bawah yang disebabkan oleh kelainan diluar tulang belakang. Penyebab-penyebab diluar tulang belakang yang dimaksud antara lain tumor ganas pada sembilan pasien, hematoma pada satu pasien, aneurisma arteri obturatorius pada satu pasien dan neurileloma nervus ischiadicus pada satu orang pasien. Pada sepertiga kasus tersebut, operasi dilakukan berdasarkan diagnosis yang keliru.45 PENGOBATAN KONSERVATIF Pengobatan konservatif meliputi pemberian analgetik (golongan NSAID, golongan narkotik, dan muscle relaxant), modifikasi gaya hidup atau aktivitas sehari-hari, akupuntur, transcutaneous electrical nerve stimulation, fisioterapi dan olahraga. Apabila nyeri tetap muncul, maka dapat dilakukan tindakan penyuntikan kortikosteroid epidural atau transforaminal. Apabila dalam 6 bulan pengobatan konservatif gagal mengatasi nyeri, atau dijumpai perburukan defisit neurologis seperti gangguan pencernaan, gangguan berkemih dan gangguan seksual, maka diperlukan tindakan operatif terhadap pasien tersebut. Tabel 2. Indikasi untuk dilakukannya tindakan konservatif pada HNP. Favorable indications for nonoperative treatment  Sequestrated disc  Small herniation herniation  Young age  Mild disc degeneration  Minor neural  Mild to compromise moderate sciatica



Pengobatan konservatif meliputi: 1. Tirah baring (kurang dari 3 hari) 2. Analgetik 3. Obat-obatan antiinflamasi 4. Fisioterapi Sciatica akut dapat terjadi cukup berat pada pasien yang tidak mobilisasi. Tujuan paling utama dalam pengobatan adalah mengurangi



Neurosurgery Lecture Notes



keluhan nyeri dan bertahap meningkatkan aktifitas. Dalam hal ini perlu juga meyakinkan pasien bahwa gangguan ini sifatnya benign. Tirah baring tidak boleh lebih dari 3 hari.46 Obat-obatan antiinflamasi bertujuan untuk mengatasi proses inflamasi yang terjadi. Fisioterapi pada fase akut difokuskan untuk mengurangi rasa nyeri yang diakibatkan oleh perubahan posisi. Setelah fase akut, latihan atau olahraga yang baik adalah olahraga memperkuat otot-otot punggung. Olahraga seperti ini tidak memicu nyeri pada tungkai. Perjalanan penyakit seperti ini biasanya berbeda pada sciatica yang berat yang disertai defisit sensorimotor. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Balague dkk. terhadap 82 pasien dengan sciatica akut diikuti selama 3, 6 dan 12 bulan setelah pengobatan konservatif. Sepertiga dari pasien yang diamatinya dilakukan tindakan operasi dalam waktu 1 tahun. Pemulihan gejala dan tanda klinis terjadi pada 3 bulan pertama.47 Blok radiks saraf dan blok epidural Terapi kortikosteroid yang diberikan secara epidural pada pasien yang mengalami sciatica hanya berdasarkan pengalaman.48 Rute transforaminal dapat diberikan langsung ke radiks saraf yang mengalami gangguan. Penyuntikan ini dilakukan dengan bantuan fluoroskopi. Hilangnya rasa nyeri dialami segera dan efek tersebut bertahan selama 3 hari. Pasien yang memiliki gejala radikulopati dan defisit sensorimotor yang minimal dapat diberikan injeksi kortikosteroid dengan tehnik ini hingga resolusi herniasi diskus terjadi. Buttermann dkk melakukan penelitian prospektif dan tidak tersamar terhadap pasien yang dilakukan penyuntikan steroid atau discectomy setelah gagal menjalani pengobatan konservatif selama 6 minggu.49 Dari penelitian tersebut, pasien yang telah menjalani discectomy mengalami perbaikan gejala lebih cepat dengan angka keberhasilaan terapi sebesar 92-98%. Hanya 42-56% dari 50 pasien yang menerima penyuntikan steroid secara epidural menunjukan respons yang baik.49 Carette dkk melaporkan hasil penelitian tersamar ganda dengan randomisasi terhadap 158 pasien yang menderita sciatica akibat hernia nukleus pulposus.50 Pasien yang telah menerima penyuntikan methylprednisolone asetat secara



epidural tidak menunjukan respons yang baik setelah periode 3 bulan dibandingkan dengan kelompok pasien yang menerima pengobatan placebo.50 Penelitian lain melakukan pengamatan terhadap 55 pasien yang menderita nyeri radikular lumbal dengan bukti adanya penekanan radiks saraf pada pemeriksaan radiologis. Pada pasien tersebut dilakukan SNRB dengan bupivacaine atau bupivacaine yang dikombinasi dengan betamethasone. Dari 27 pasien yang telah menerima penyuntikan bupivacaine, sembilan diantaranya diputuskan untuk tidak perlu menjalani tindakan dekompresi. Jumlah ini dibandingkan dengan 22 dari 28 pasien yang telah menerima penyuntikan bupivacaine yang dikombinasi dengan betamethasone.51 Sebagai kesimpulan, penyuntikan dengan metode SNRB menggunakan kortikosteroid memberikan efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan penyuntikan menggunakan bupivacaine saja. Dengan tindakan ini, maka pasien terhindar dari perlunya tindakan dekompresi selama periode 13 hingga 28 bulan pasca penyuntikan. TEKNIK OPERASI PENENTUAN WAKTU OPERASI Sindrom kauda ekuina, walaupun masih menjadi perdebatan, secara umum disepakati sebagai keadaan emergensi untuk tindakan dekompreasi. Kotsuik52 menyatakan bahwa dekompresi emergensi tidak perlu dilakukan bila pemulihan gejala terjadi dalam waktu kurang dari 6 jam. Sebuah meta analisa53 dari outcome pembedahan dari 322 pasien yang mengalami sindrom kauda ekuina akibat herniasi diskus lumbalis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pasien yang menjalani operasi dalam 24 jam pertama dibandingkan dengan pasien yang menjalani operasi pada kurun waktu 24-48 jam. Perbaikan signifikan dari defisit sensorik dan motorik dijumpai pada pasien yang menjalani operasi di bawah 48 jam pertama dibandingkan dengan pasien yang menjalani operasi 48 jam setelah timbulnya sindrom kauda ekuina. Lebih lanjut, studi tersebut juga mencatat bahwa nyeri pinggang pre operatif berhubungan dengan



423



Neurosurgery Lecture Notes



outcome yang lebih buruk dalam fungsi miksi dan defekasi.3,53 McCulloch54 menyatakan bahwa intervensi bedah pada pasien dengan gejala radikulopati akut yang tidak responsif terhadap manajemen konservatif harus dilakukan dalam waktu kurang dari 3 bulan untuk mencegah perubahan patologis kronis pada radiks. Pada studi prospektif yang dilakukan oleh Rothoerl55 dkk, mereka mencatat pasien yang menderita gejala herniasi diskus lebih dari 60 hari secara statistik memiliki outcome yang



lebih buruk. Ia merekomendasikan untuk tidak memperpanjang terapi konservatif lebih dari 2 bulan. Terapi konservatif yang berkepanjangan pada pasien yang membutuhkan pembedahan berhubungan dengan outcome yang lebih buruk.3,54,55



INDIKASI PEMBEDAHAN Indikasi pembedahan dapat dilihat dari tabel berikut ini.



Tabel 3. Indikasi tindakan bedah pada HNP. Dikutip dari Leonardi M, Boos N: Disc Herniation and Radiculopathy. In. Boos N, Aebi M: Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.418-512



SURGICAL ANATOMI



Gambar 16. Vaskularisasi daeral lumbal. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



424



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 16. Penampang aksial daerah lumbal. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



CHEMONUCLEOLYSIS Chemonucleolysis merupakan injeksi chymopapain intradiskus secara perkutaneus. Pada 1963, Smith56 menjelaskan terjadinya resorbsi diskus setelah injeksi chemopapain. Peranan chemonucleolysis sebagai alternatif pembedahan masih kontroversial karena komplikasi yang walaupun jarang namun bersifat serius severti transverse dan paraplegia.57,58 Chemonucleolysis merupakan teknik minimal invasif satu-satunya yang yang efektif pada studi acak prospektif. Sebuah meta analisa menunjukkan bahwa chymopapain lebih efektif dibandingkan dengan plasebo. Tetapi pembedahan disektomi memberikan hasil klinis yang lebih baik.59 Pada analisa ini, hampir 30% pasien yang menjalani chemonucleolysis akan membutuhkan operasi disektomi dalam waktu 2 tahun.60,61



Gambar 17. Posisi pasien, ahli bedah dan asisten pada percutaneous approach. Gambar 16. Penampang aksial daerah lumbal. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Percutaneous posterolateral approach memungkinkan evakuasi material diskus dan dekompresi radiks tanpa harus masuk ke kanalis spinalis dan merusak prosesus artikularis dan ligamentum flavum. Luas dari ablasi atau evakuasi fragmen diskus yang bermigrasi adalah terbatas pada prosedur ini, seleksi pasien yang sesuai sangat penting untuk keberhasilan aplikasi teknik ini. Celah diskus L5-S1 lebih sulit dicapai karena dibatasi oleh krista iliaka.



PERCUTANEOUS TECHNIQUES Teknik ini memiliki beberapa keuntungan teoritis dibandingkan dengan pembedahan terbuka, antara lain adalah  Kerusakan kolateral terhadap otot punggung lebih sedikit  Masa rawatan rumah sakit lebih singkat  Pembentukan jaringan parut lebih sedikit  Secara kosmetik lebih superior



Gambar 18. Triangular working zone. Batas medial: dura; batas anterolateral oleh radiks, batas inferior oleh segmen lumbal dibawahnya. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



425



Neurosurgery Lecture Notes



AUTOMATED PERCUTANEOUS LUMBAR DISCECTOMY Automated percutaneous lumbar discectomy (APLD) dan laser discectomy merupakan teknik perkutaneus yang memberikan dekompresi struktur saraf secara tidak langsung. 62 Kedua prosedur tersebut dilakukan pada pasien dengan herniasi diskus dengan tipe contained disc. Angka keberhasilan teknik ini berkisar 55%-85%. Studi menunjukkan microdiscectomy memberikan outcome yang lebih memuaskan dibandingkan dengan APLD.3,62,63



ENDOSCOPIC DISCECTOMY Kambin64 pada 1988 mempublikasikan pandangan discoscopic dari herniasi diskus. Herniasi diskus dapat diangkat secara endoskopi perkutaneus melalui midline atau posterolateral approach. Prosedur endoskopi telah berkembang dari discectomy tak langsung menjadi eksisi langsung fragmen diskus yang mengalami ekstrusi dengan visualisasi langsung. Pengembangan teknologi dan instrumentasi lebih lanjut oleh Kambin dan Yeung65 memungkinkan dekompresi secara langsung dari radiks. Teknik tersebut memungkinkan prosedur foraminotomy, osteophytectomy, dan sequesterectomy secara uniportal.3,64,65



ekuina, flavectomy total dan laminektomi diperlukan sebelum ekstraksi fragment diskus.3 MICRODISCECTOMY Teknik microsurgical discectomy 67 diperkenalkan oleh Caspar dan Williams68 pada akhir 1970. Penggunaan mikroskop operasi untuk eksplorasi radiks yang tertekan memiliki beberapa keuntungan teoritis. Manfaat terpenting penggunaan teknik ini adalah menjaga pandangan tiga dimensi dari kedalaman luka spinal. Disektomi mikroskopik juga memberikan pencahayaan dan pembesaran lapangan operasi yang lebih baik, disamping itu lapangan operasi yang lebih kecil mengakibatkan pemulihan yang lebih singkat.69,70 Studi EMG menunjukkan bahwa penggunaan mikroskop mengakibatkan iritasi radiks yang lebih minimal.71



STANDARD LIMITED LAMINOTOMY Saat ini disektomi standar terdiri dari eksplorasi unilateral dari interlaminar window dan flavectomy parsial untuk mencapai dura dan radiks dan juga diskus intervertebra. Teknik alternatif yang digunakan adalah dengan menggunakan loop dan headlight untuk meningkatkan visualisasi.3,66 Teknik yang lebih ekstensif mencakup pengangkatan ligamentum flavum bilateral dan laminektomi parsial dapat dilakukan pada herniasi diskus masif dan pada pasien dengan stenosis kanalis spinalis kongenital. Ekstraksi fragmen diskus berukuran besar dari celah kecil pada ligamentum flavum dapat mengakibatkan peningkatan cepat tekanan intratekal dan dapat mengakibatkan perburukan neurologis. Pada sindrom kauda



426



Gambar 19. Interlaminar approach. Pasien diposisikan supine dengan abdomen bebas, dengan tekanan intra abdomen minimal. Identifikasi level yang tepat. a. Interlaminar approach dengan retraktor tubular. b. insisi ligamentum flavum dengan pisau atau Kerrison ronguer. c. Flavectomy parsial, identifikasi radiks dan herniasi diskus. d. Dekompresi diskus intervertebra. Reseksi anulus meningkatkan resiko herniasi rekuren. Dikutip dari : Leonardi M, Boos N: Disc Herniation and Radiculopathy. In. Boos N, Aebi M: Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Springer. Berlin 2008.p.418-512



Neurosurgery Lecture Notes



Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai teknik yang lebih baik antara microdiscectomy dan standard limited 72,73 laminotomy. Belum ada studi yang meyakinkan yang dapat membuktikan keunggulan dari salah satu teknik di atas.3,74 McCulloch mencatat bahwa outcome dari disektomi lumbal nampaknya tidak tergantung dari penggunaan mikroskop dan lebih tergantung dari pemilihan pasien dan teknik pembedahan.75 Teknik mikroskopik digunakan untuk terapi herniasi diskus lateral (extracanalicular) yang dengan visualisasi yang superior, sehingga memungkinkan dekompresi nervus spinal atau ganglion dan ekstraksi fragmen diskus. Teknik ini memungkinkan reseksi minimal dari tulang dan sendi facet dan risiko cedera minimal terhadap struktur saraf.76



POSTERIOR APPROACH TO THE LUMBAR SPINE



Gambar 21. Posisi pasien pada posterior approach. (A).Prone position. (B).Knee chest position. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Gambar 22. (A,B). Posterior lumbar interbody fusion. Dikutip dari: Minimally Invasive Spine Surgery Lumbar Discectomy / Spine Fusion, Interbody Fusion/Herniated Disc. Available at: http://www.lowbackpain.com/surgery. lumbdecompfusion.htm on 23/08/2012



Gambar 20. Extraforaminal approach. Extraforaminal approach sama dengan interlaminar approach, menggunakan retraktor tubular. a. Eksplorasi dari facet joint, isthmus dari lamina dan prosesus transversus superior dan inferior. b. Reseksi dari pinggir lateral inferior dari isthmus dengan highspeed burr kadang diperlukan untuk eksplorasi yang lebih baik. c. Eksplorasi dari radiks saraf, ekstraksi dari fragmen bebas. d. Dekompresi dari diskus intervertebra mungkin dibutuhkan untuk membebaskan radiks saraf pada kasus protusi diskus atau kompresi radiks saraf. Dikutip dari : Leonardi M, Boos N: Disc Herniation and Radiculopathy. In. Boos N, Aebi M: Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Springer. Berlin 2008;18:418-512



THE MIDLINE APPROACH FOR LUMBAR DISCECTOMY



Gambar 23. Tahapan pada midline approach untuk disektomi lumbal. A.Retraksi dan elevasi otot paravertebra. B.Struktur vertebra setelah periosteum dan otot para vertebra disisihkan, sesuai urutan nomor 1, 2, 3. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



427



Neurosurgery Lecture Notes



dkk, O’toole82 dkk dan Stephen82 dkk melaporkan teknik minimally invasive far lateral microendoscopic discectomy (MED) dengan menggunakan retraktor tubular dan sistem endoskopi. Teknik ini memerlukan reseksi tulang yang lebih sedikit dan memberikan visualisasi langsung pada foramen neural. Walau demikian banyak ahli bedah yang tidak familiar dengan teknik ini.80



Gambar 24. Midline Approach pada Diseksi Lumbal (A,B).Reseksi bagaian superfisial ligamentum flavum. (C).Tiga metoda memasuki ruang epidura (1) via midline (2) peeling and disection (3) dari sisi kaudal ligamen. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-



Gambar 26. Paramedian Approach, Identifikasi foramen neural dan sendi facet. Level operasi ditentukan dengan fluoroskopi, Insisi langsung dibuat 4-5 cm dari midline, dan 1,5 cm pada sisi lateral dari regio isthmus. Dikutip dari: Hood RS. Extreme Lateral Lumbar Disc Herniation. In:Brown CL, ed. AANS Neurosurgical Atlas Vol.1. Chicago: The American Association of Neurological Surgeons 1992.p.440-444



Gambar 25. (A). Dilakukan laminektomi dengan menggunakan kerrison punch, ujung kerrison harus pararel atau menjauhi dural sac ataupun radiks. (B). Evakuasi fragmen diskus yang protrusi (C). Sewaktu operasi, ahli bedah harus selalu memiliki orientasi kedalaman diskus untuk mencegah cedera pembuluh darah besar yang mematikan. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.



DISCECTOMY FOLLOWING THE PARAMEDIAN APPROACH Beberapa teknik operasi telah diperkenalkan untuk manajemen herniasi diskus far lateral. Teknik-teknik ini mencakup medial facetectomy, transfars technique with extraforaminal exposure, total facetectomy, intertransverse approach, extraforaminal appraoch, anterolateral retroperitoneal approach dan kombinasi dari teknik-teknik tersebut. Pada saat ini paramedian approach merupakan teknik yang sering digunakan. Watkins77 mendeskripsikan paraspinal approach yang kemudian dimodifikasi oleh Wiltse dan Spancer.78 Maron dkk79 dan Giuseppe dkk memodifikasi approach para spinal dengan memotong otot para spinal dengan tetap mempertahankan sendi facet.79,80 Greiner-Perth81 428



Gambar 27. Discectomy pada paramedian approach. Ligamen intertranversus dibebaskan dari bagian superior prosesus tranversus dibawahnya (A).Identifikasi radiks, cabang arterial, dan herniasi diskus. (B).Reseksi tulang berbentuk bulan sabit (crescent shaped) pada aspek superior dari isthmus dan bagian bawah dari prosesus tranversus kranial. (C). Identifikasi radiks, kemudian dilindungi dengan blunt hook. (D). Dilakukan discectomy. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Neurosurgery Lecture Notes



ENDOSCOPIC LUMBAR DISCECTOMY Tujuan dari discectomy lumbal dengan metoda endoskopi adalah untuk mengangkat fragmen herniasi diskus dengan panduan endoskopi. Cara klasik untuk mencapai diskus ini adalah melalui Kambin’s triangle (posterolateral approach). Berdasarkan lokasi fragmen, posterolateral approach divagi menjadi transforaminal approach dan extraforaminal approach. Bila krista iliaka menghalangi akses pada L5/S1 melalui segitiga Kambin, ahli bedah dapat menggunakan interlaminar approach dari midline. Jenis anestesi tergantung kenyamana ahli bedah; tetapi untuk prosedur yang aman, anestesi lokal dengan sedasi ringan dapat membantu monitor respon pasien.83



Gambar 28. Akses endoskopi pada HNP lumbal. Trajectory pada transforaminal approach dan extraforaminal approach. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



ini dapat dikombinasikan dengan posterior pedicle screw fixation untuk menambah kekuatan fusi.85



Gambar30. Setelah laminektomi (A).Dura diretraksi ke arah medial dengan retraktor dura, blade no 15 digunakan untuk eksisi anulus 1 cm (B).Fragmen diskus diangkat dengan pituitary forceps. (C).Reamer distractor dimasukkan ke celah 0 diskus dan diputar 90 untuk memperlebar celah diskus. (D).Kuretase dengan angled currete atau round screaper untuk mempersiapkan graft atau cage yang akan diinsersikan. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Gambar 29. A.Pada diskus ekstaforaminal, dilakukan insersi 0 kanula sekitar 45 . (B).Evakuasi fragmen diskus. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



POSTERIOR LUMBAR INTERBODY FUSION Posterior lumbar interbody fusion (PLIF)merupakan teknik bedah yang memberikan fusi dari dua vertebra yang berdekatan dengan isnsersi graft dan berbagai variasi cage ke dalam diskus intervertebralis. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Cloward84 pada 1943. Fusion rate dari teknik ini dilaporkan mencapai 95% dengan hasil yang baik sampai memuaskan. Teknik



Gambar 31. Prosedur Fusi (A,B).Iliac crest bone graft. Insisi dilakukan 8 cm pada sisi lateral dari spina iliaca superior. (C,D,E).Insersi cage. Celah diskus yang tersisa diisi dengan tulang autograft. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



429



Neurosurgery Lecture Notes



ANTERIOR LUMBAR INTERBODY FUSION AND TOTAL DISC REPLACEMENT Dasar dan tahapan operasi pada anterior lumbar interbody fusion (ALIF) dan total disc replacement (TDR) adalah sama. Namun TDR membutuhkan ekspos retroperitoneum dan celat prevertebral yang lebih besar, karena diskus artifisial secara umum berukuran lebih besar daripada cage.86



Biasanya dilakukan insisi transverse pada level L5S1. Di atas level ini, insisi kulit dapat dibuat vertikal atau pun transverse. Insisi kulit dibuat sepanjang 68 cm tergantung ukuran tubuh. Setelah eksplorasi peritoneum, dilakukan diseksi retroperitoneal. Arah diseksi tergantung level operasi. Pada L5-S1, diseksi dari kanan lebih disukai, karena pleksus hipogastrikus dapat dengan mudah didiseksi dari kanan ke kiri. Di atas level L5-S1, vena iliaka komunis biasanya terletak pada sisi kanan, oleh karena itu lebih disukai approach dari sisi kiri.86



Gambar 32. Ilustrasi posisi pasien pada ALIF (A).The Da Vinci Position (B). Alternative position. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Gambar 34. (A). Visual axis ahli bedah pada L5-S1. (B).Pleksus hypogastric superior pada area paravertebral. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Gambar 33. Ekstensi dekompresi lumbal anterior yang dimungkinkan pada prosedur bedah. Coklat:laminektomi/transpedicular, Oranye:dekompresi anterior transabdominal, kuning:extracavitary approach. Dikutip dari: Hood R: Extreme Lateral Lumbar Disc Herniation. In Brown CL. Ed. AANS Neurosurgical Atlas. Chicago: American Association of Neurological Surgeons 1992.p.440-444



Visual axis operator sebaiknya pararel dengan celah diskus target atau korpus vertebra. Marker kulit dibuat sesuai dengan proyeksi kulit dari proyeksi lateral fluoroskopi (disc line).



430



Gambar 35. A. Arah diseksi retroperitoneum B. Diseksi retroperitoneum mencapai struktur midline. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



Neurosurgery Lecture Notes



Setelah ruang retroperitoneal terbuka, peritoneum dan organ intraperitoneal disisihkan ke arah vental dengan retraktor Dever. Identifikasi mukulus psoas, ureter, ginjal, dan aorta. Bagian anterolateral diskus dapat diraba di bawah muskulus psoas. Muskulus psoas kemudian didiseksi ke arah dorsal sehingga tampak korpus vertebra atau diskus.86



A B



Gambar 36. Anterior transperitoneal approach (A).Retraksi organ intraabdominal (B).Insisi peritoneum. (C).Eksplorasi area prevertebra. (D).Diseksi tumpul pembuluh darah dan pleksus saraf. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



C



D



Gambar 37. (A). Pembuluh darah utama pada struktur prevertebra. (B).Mobilisasi pembuluh darah utama. (C).Ligasi ascending lumbal vein. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



LATERAL RETROPERITONEAL APPROACH Lateral retroperitoneal approach dapat memberikan akses terhadap vertebra lumbal mulai L1-L5. Pasien dalam posisi lateral dekubitus standar, level operasi ditentukan dengan fluoroskopi. Dibuat insisi oblik sepanjang 6-8 cm diantara batas iga terbawah dan krista iliaka.



Gambar 38. Lateral retroperitoneal approach (A).Posisi pasien dan insisi (B).Diseksi retroperitoneal (C).Ligasi Pembuluh darah segmental (D).Ekplorasi diskus dan discectomy. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



TOTAL DISC REPLACEMENT Teknik pembedahan detail untuk total disc replacement berbeda-beda tergantung prosthesis yang digunakan, tetapi annulotomy, discectomy, preparasi endplate, distraksi celah diskus, pengukuran dan implantasi dari prosthesis adalah sama. Setiap langkah pembedahan sebelum insersi prosthesis pada dasarnya sama dengan ALIF. Salah satu langkah terpenting dalam TDR adalah menjaga orientasi midline, karena penempatan prosthesis yang terlalu ke midline, akan mengakibatkan 431



Neurosurgery Lecture Notes



mobilitas yang sub optimal dari prosthesis. Proyeksi anteroposterior dari fluroskopi intraoperatif harus didapatkan dengan akurat sebelum membuat marker dan / atau isnsersi midline pin pada korpus vertebra. Midline harus direkonfirmasi sebelum insersi prosthesis. Annulotomy dapat dilakukan dengan dua cara: flap annular dan reseksi annular. Diskus sebaiknya dibersihkan seluruhnya, termasusk annulus lateral dan posterior.86



Gambar 41. Tahapan operasi pada minimally invasive lumbar interbody fusion (A).Dilator tubular dipasang ke arah diskus target dengan panduan fluoroskopi, difiksasi pada lamina. (B).Pedicle screw dipasang pada sisi kontralateral, kemudian celah diskus dibersihkan dan dipreparasi untuk insersi cage. (C).Insersi cage,diikuti dengan (D).pemasangan pedicle screw untuk memperkuat fusi lumbal. (Dikutip dari: Minimally Invasive Spine Surgery Lumbar Discectomy / Spine Fusion, Interbody Fusion/Herniated Disc. Available at: http://www.lowbackpain.com/surgery. lumbdecompfusion.htm)



Gambar 39. Ilustrasi total disc replacement dengan anterior fixation. Dikutip dari : Koleksi gambar anatomi Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU



MINIMALLY INVASIVE LUMBAR INTERBODY FUSION



Gambar 40. Prosedur minimally invasive lumbar interbody fusion dilakukan dengan panduan fluoroskopi. Dikutip dari: Minimally Invasive Spine Surgery Lumbar Discectomy / Spine Fusion, Interbody Fusion/Herniated Disc. Available at: http://www.lowbackpain.com/surgery. lumbdecompfusion.htm on 28 August 2012



432



COMPLETE DISCECTOMY VERSUS SEQUESTRECTOMY Perdebatan mengenai luas disektomi terus berlanjut. Williams menganjurkan teknik tanpa laminektomi atau kuretase dari celah diskus, preservasi epidural fat, dan perforasi tumpul dari annulus fibrosus daripada insisi scalpel dengan tujuan meminimalisasi reherniasi dan reaksi adhesi.87,88 Pada studi acak prospektif, Thome89 mencatat eksisi radikal dari diskus tidak memberikan keuntungan signifikan dibandingkan dengan pengangkatan fragmen sekuester diskus saja. KOMPLIKASI Komplikasi intraoperatif yang sering terjadi adalah tindakan eksplorasi dengan level yang keliru. Kesalahan level operasi terjadi pada 4,5 dalam 10.000 prosedur operasi. Faktor risiko terjadinya kesalahan level ini antara lain usia pasien (diatas 55 tahun) dan patologi pada level diatas L5-S1. Komplikasi intraoperatif yang juga dapat terjadi adalah cedera iatrogenik pada



Neurosurgery Lecture Notes



duramater, pembuluh darah dan struktur retroperitoneal. Kebocoran duramater terjadi pada 7,6% prosedur operasi lumbal dan 15,9% prosedur revisi.3 Komplikasi paska operasi meliputi tidak berkurangnya keluhan nyeri, berulangnya keluhan nyeri, dan infeksi. Berulangnya keluhan nyeri dapat diakibatkan oleh herniasi diskus rekuren atau pembentukan jaringan parut di ruang epidural. Nyeri juga dapat disebabkan oleh tethering radiks saraf oleh jaringan parut. Herniasi diskus rekuren didefinisikan sebagai munculnya kembali nyeri pada level yang sama setelah 6 bulan bebas nyeri. Angka tindakan revisi dilaporkan sebesar 5% - 11%. Secara umum komplikasi operasi dapat digolongkan sebagai komplikasi dini dan komplikasi lanjut.3 Tabel 4. Komplikasi-komplikasi operasi HNP. Dikutip dari Leonardi M, Boos N: Disc Herniation and Radiculopathy. In. Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.418-512 Early complication Late complication (5-20%) Nerve root injuries or (0,5 – 1 Wrong level surgery increasing neurologic %) deficit Insufficient disc removal Cerebrospinal fluid leaks (0,8 -7,3 Recurrent herniation Infections %) Unrecognized additional Great vessels or (0 -2 %) nerve root compromise intestinal injuries (0 – 0,04 Nerve root injury %) Insufficient decompression of cocomitant spinal stenosis Spondylolisthesis Extravertebral



7. 8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



16.



17.



DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



4. 5.



6.



Derrickson B, Tortora GJ, eds. The Skeletal System: The Axial Skeleton. Principles of Anatomy and Physiology, 12th edn. 2008.p.198-234. Derrickson B, Tortora GJ, eds. The Spinal Cord and Spinal Nerves. Principles of Anatomy and Physiology, 12th ed. 2008.p.460-494 Leonardi M, Boos N. Disc Herniation and Radiculopathy. In. Boos N, Aebi M, eds. Spinal Disorders. Fundamentals of Diagnosis and Treatment. Berlin: Springer 2008.p.418512 Coppes MH, Marani E, Thomeer RT, et al: Innervation of “painful” lumbar discs. Spine 1997;22:2342-2350 Freemont AJ, Peacock TE, Goupille P, et al. Nerve ingrowth into diseased intervertebral disc in chronic back pain. Lancet 1997;350:178-181 Morinaga T, Takahashi K, Yamagata M, et al. Sensory innervation to the anterior portion of lumbar intervertebral disc. Spine 1996;21:1848-1851



18.



19.



20.



21.



Bogduk N, Tynan W, Wilson AS. The nerve supply to the human lumbar intervertebral discs. J Anat 1981;132:39-56 Ball JR, Hurlbert J. Concepts Of Disk Degeneration And Regeneration. In Winn HR, ed. Youman Neurological Surgery, 6th edn. Vol.2. Philadelphia: Elsevier Saunders 2011;270:2752-2762 Adams MA, McNally DS, Dolan P. ’Stress’ distributions inside intervertebral discs. The effects of age and degeneration. J Bone Joint Surg Br 1996;78:965-972 Olmarker K, Myers RR, Kikuchi S, Rydevik B. Pathophysiology of nerve root pain in disc herniation and spinal stenosis. Kirjassa: Herkowitz HN, Dvorak J, Bell G, Nordin M, Grob D, toim. The lumbar spine. 3. painos. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2004.p.11– 31. Olmarker K, Rydevik B, Hansson T, Holm S. Compressioninduced changes of the nutritional supply to the porcine cauda equina. J Spinal Disord 1990;3:25–29 Takahashi K, Olmarker K, Holm S, Porter RW, Rydevik B. Double-level cauda equina compression: an experimental study with continuous monitoring of intraneural blood flow in the porcine cauda equina. J Orthop Res 1993;11:104–109 Inman V, Saunders J. Anatomicophysiological aspects of injuries to the intervertebral disc. J Bone Joint Surg 1947;29A:461–475 Smyth MJ, Wright VJ. The classic: Sciatica and the intervertebral disk. An experimental study. Clin Orthop 1977;129:9–21 Kuslich SD, Ulstrom CL, Michael CJ. The tissue origin of low back pain and sciatica: a report of pain response to tissue stimulation during operations on the lumbar spine using local anesthesia. Orthop Clin North Am 1991;22:181–187 Kawakami M, Weinstein JN, Spratt KF, Chatani K, Traub RJ, Meller ST, Gebhart GF. Experimental lumbar radiculopathy. Immunohistochemical and quantitative demonstrations of pain induced by lumbar nerve root irritation of the rat. Spine 1994;19:1780–1794 McCarron RF, Wimpee MW, Hudkins PG, Laros GS. The inflammatory effect of nucleus pulposus. A possible element in the pathogenesis of low-back pain. Spine 1997;12:760–794 Olmarker K, Rydevik B, Nordborg C. Autologous nucleus pulposus induces neurophysiologic and histologic changes in porcine cauda equina nerve roots. Spine 1993;18:1425– 1432 Kang JD, Stefanovic-Racic M, McIntyre LA, et al. Toward a biochemical understanding of human intervertebral disc degeneration and herniation. Contributions of nitric oxide, interleukins, prostaglanding E2, and matrix metalloproteinases. Spine 1007;22:1065-1073 Olmarker K, Blomquist J, Stromberg J, Nannmark U, Thomsen P, Rydevik B. Inflammatogeni properties of nucleus pulposus. Spine 1995;20:665–669 Olmarker K, Byrod G, CornefjordM, Nordborg C, Rydevik B. Effects of methylprednisolone on nucleus pulposusinduced nerve root injury. Spine 1994;19:1803–1808



433



Neurosurgery Lecture Notes



22. Olmarker K, Larsson K. Tumor necrosis factor alpha and nucleus-pulposus-induced nerve root injury. Spine 1998;23:2538–2544 23. Murata Y, Onda A, Rydevik B, Takahashi K, Olmarker K. Selective inhibition of tumor necrosis factor-alpha prevents nucleus pulposus-induced histologic changes in the dorsal root ganglion. Spine 2004;29:2477–2484 24. Murata Y, Onda A, Rydevik B, Takahashi I, Takahashi K, Olmarker K. Changes in pain behavior and histologic changes caused by application of tumor necrosis factoralpha to the dorsal root ganglion in rats. Spine 2006;31:530–535 25. Korhonen T, Karppinen J, Paimela L, Malmivaara A, Lindgren KA, Bowman C, Hammond A,KirkhamB, Jarvinen S,Niinimaki J, Veeger N, HaapeaM, Torkki M,TervonenO, Seitsalo S, Hurri H. The treatment of disc-herniationinduced sciatica with infliximab: oneyear follow-up results of FIRST II, a randomized controlled trial. Spine 2006;31:2759–2766 26. Pfirrmann CW, Metzdorf A, Zanetti M, Hodler J, Boos N. Magnetic resonance classification of lumbar intervertebral disc degeneration. Spine 2001;26:18731878 27. Reulen HJ, Pfaundler S, Ebeling U. The lateral microsurgical approach to the “extracanalicular” lumbar disc herniation. I: A technical note. Acta Neurochir (Wien) 1987;84:64–67 28. Masaryk TJ, Ross JS, Modic MT, Boumphrey F, Bohlman H,Wilber G. High-resolution MR imaging of sequestered lumbar intervertebral disks. AJR Am J Roentgenol 1988;150:1155–1162 29. Boos N, Rieder R, Schade V, Spratt KF, Semmer N, Aebi M. 1995 Volvo Award in clinical sciences. The diagnostic accuracy of magnetic resonance imaging, work perception, and psychosocial factors in identifying symptomatic disc herniations. Spine 1995;20:2613–2625 30. Dora C, SchmidMR, Elfering A, Zanetti M,Hodler J, BoosN. Lumbar disk herniation:do MR imaging findings predict recurrence after surgical diskectomy? Radiology 235:562– 567 31. Pfirrmann CW, Dora C, Schmid MR, Zanetti M, Hodler J, Boos N. MR image-based grading of lumbar nerve root compromise due to disk herniation: reliability study with surgical correlation. Radiology 2004;230:583–831 32. Masaryk TJ, Ross JS, Modic MT, Boumphrey F, Bohlman H,Wilber G. High-resolution MR imaging of sequestered lumbar intervertebral disks. AJR Am J Roentgenol 1988;150:1155–1162 33. Masaddi AK. Management of lumbar diskus herniations and degeneratif disease of lumbar spinal. In:Sindou M, ed. Practical Handbook Of Neurosuregery from Leading Neurosurgeons. Vol 3. New York: Springer 2009.p.61-77. 34. Floris R, Spallone A, Aref TY, Rizzo A, Apruzzese A, Mulas M, Castriota Scanderbeg A,Simonetti G. Early postoperative MRI findings following surgery for herniated lumbardisc. Part II: A gadolinium-enhanced study. Acta Neurochir (Wien) 1997;139:1101–1107 35. Boos N, Rieder R, Schade V, Spratt KF, Semmer N, AebiM. 1995 Volvo Award in clinical sciences. The diagnostic



434



36.



37.



38.



39.



40. 41.



42.



43.



44.



45.



46.



47.



48. 49.



50.



51.



accuracy of magnetic resonance imaging, work perception, and psychosocial factors in identifying symptomatic disc herniations. Spine 1995;20:2613–2625. Weishaupt D, Zanetti M, Hodler J, Boos N. MR imaging of the lumbar spine: prevalence of intervertebral disk extrusion and sequestration, nerve root compression, end plate abnormalities, and osteoarthritis of the facet joints in asymptomatic volunteers. Radiology 1998;209:661–666 Ikata T,Morita T, Katoh S, Tachibana K,MaokaH. Lesions of the lumbar posterior end plate in children and adolescents. An MRI study. J Bone Joint Surg Br 1995;77:951–955 Wood KB, Garvey TA, Gundry C, Heithoff KB. Magnetic resonance imaging of the thoracic spine. Evaluation of asymptomatic individuals. J Bone Joint Surg Am 1995;77:1631–1638 Forristall RM, Marsh HO, Pay NT. Magnetic resonance imaging and contrast CT of the lumbar spine. Comparison of diagnostic methods and correlation with surgical findings. Spine 1988;13:1049–1054 Herzog RJ. The radiologic assessment for a lumbar disc herniation. Spine 1996;21:19S–38S Macnab I. Negative disc exploration. An analysis of the causes of nerve-root involvement in sixty-eight patients. J Bone Joint Surg Am 1971;53:891–903 Weiner BK, Fraser RD. Foraminal injection for lateral lumbar disc herniation. J Bone Joint Surg Br 1997;79:804– 807 van Akkerveeken PF. The diagnostic value of nerve root sheath infiltration. Acta Orthop Scand Suppl 1993;251:61– 63 Takata K, Inoue S, Takahashi K, Ohtsuka Y. Fracture of the posterior margin of a lumbar vertebral body. J Bone Joint Surg Am 1988;70:589–594 Kleiner JB, Donaldson WF, 3rd, Curd JG, Thorne RP. Extraspinal causes of lumbosacral radiculopathy. J Bone Joint Surg Am 1991;73:817–821 van TulderMW, Koes B,Malmivaara A. Outcome of noninvasive treatmentmodalities on back pain: an evidencebased review. Eur Spine J 15 Suppl 2006;1:S64–S81 Balague F, Nordin M, Sheikhzadeh A, Echegoyen AC, Brisby H, Hoogewoud HM, Fredman P, Skovron ML. Recovery of severe sciatica. Spine 1999;24:2516–2524 Leonardi M, Pfirrmann CW, Boos N. Injection studies in spinal disorders. Clin Orthop Relat Res 2006;443:168–182 Buttermann GR. Treatment of lumbar disc herniation: epidural steroid injection compared with discectomy. A prospective, randomized study. J Bone Joint Surg Am 2004;86A:670–679 Carette S, Leclaire R,Marcoux S,Morin F, BlaiseGA, StPierre A, Truchon R, Parent F, Levesque J, Bergeron V, Montminy P, Blanchette C. Epidural corticosteroid injections for sciatica due to herniated nucleus pulposus. N Engl J Med 1997;336:1634–1640 Riew KD, Yin Y, Gilula L, Bridwell KH, Lenke LG, Lauryssen C, Goette K. The effect of nerve-root injections on the need for operative treatment of lumbar radicular pain. A prospective, randomized, controlled, double-blind study. J Bone Joint Surg Am 2000;82A:1589–1593



Neurosurgery Lecture Notes



52. Kostuik JP, Harrington I, Alexander D, Rand W, Evans D. Cauda equina syndrome and lumbar disc herniation. J Bone Joint Surg Am 1986;68:386–391 53. Ahn UM, Ahn NU, Buchowski JM, Garrett ES, Sieber AN, Kostuik JP. Cauda equina syndrome secondary to lumbar disc herniation: a meta-analysis of surgical outcomes Spine 2000;25:1515–1522 54. McCulloch JA. Focus issue on lumbar disc herniation: macro- and microdiscectomy. Spine 1996;21:45S–56S 55. Rothoerl RD, Woertgen C, Brawanski A. When should conservative treatment forlumbar disc herniation be ceased and surgery considered? Neurosurg Rev 2002;25:162–165 56. Smith L. Enzyme dissolution of the nucleus pulposus in humans. JAMA 1964;187:137–140 57. Brown MD. Update on chemonucleolysis. Spine 1996;21:62S–68S 58. Muralikuttan KP, Hamilton A, Kernohan WG, Mollan RA, Adair IV. A prospective randomized trial of chemonucleolysis and conventional disc surgery in single level lumbar disc herniation. Spine 1992;17:381–387 59. Gibson JN, Grant IC,Waddell G. The Cochrane review of surgery for lumbar disc prolapse and degenerative lumbar spondylosis. Spine 1999;24:1820–1832 60. Simmons JW, Nordby EJ, Hadjipavlou AG. Chemonucleolysis: The state of the art. Eur Spine J 2001;10:192–202 61. Smith L. Enzyme dissolution of the nucleus pulposus in humans. JAMA 1964;187:137–140 62. Maroon JC, Onik G, Sternau L. Percutaneous automated discectomy. A new approach to lumbar surgery. Clin Orthop 1989;238:64–70 63. Gibson JN, Grant IC,Waddell G. The Cochrane review of surgery for lumbar disc prolapseand degenerative lumbar spondylosis. Spine 1999;24:1820–1832 64. Kambin P, Zhou L. History and current status of percutaneous arthroscopic disc surgery. Spine 1996;21:57S–61S 65. Yeung AT, Tsou PM. Posterolateral endoscopic excision for lumbar disc herniation: Surgical technique, outcome, and complications in 307 consecutive cases. Spine 2002;27:722–731 66. Spengler D. Lumbar discectomy. Results with limited disc excision and selective foraminotomy. Spine 1982;7:604– 607 67. Caspar W. A new surgical procedure for lumbar disc herniation causing less tissue damage through a microsurgical approach. Adv Neurosurg 1977;4:74–81 68. Williams RW. Microlumbar discectomy: a conservative surgical approach to the virgin herniated lumbar disc. Spine 1978;3:175–182 69. Andersson GB, Deyo RA. History and physical examination in patients with herniated lumbar discs. Spine 1996;21:10S–18S 70. Kahanovitz N, Viola K, Muculloch J. Limited surgical discectomy and microdiscectomy. A clinical comparison. Spine 1989;14:79–81



71. SchickU,Dohnert J, Richter A, Konig A,VitzthumHE (2002) Microendoscopic lumbar discectomy versus open surgery: an intraoperative EMG study. Eur Spine J 2002;11:20–26 72. McCulloch JA. Focus issue on lumbar disc herniation: macro- and microdiscectomy. Spine 1996;21:45S–56S 73. Silvers HR. Microsurgical versus standard lumbar discectomy. Neurosurgery 1988;22:837–841 74. Gibson JN, Grant IC,Waddell G. The Cochrane review of surgery for lumbar disc prolapse and degenerative lumbar spondylosis. Spine 1999;24:1820–1832 75. McCulloch JA. Focus issue on lumbar disc herniation: macro- and microdiscectomy. Spine 1996;21:45S–56S 76. Reulen HJ, Pfaundler S, Ebeling U. The lateral microsurgical approach to the “extracanalicular” lumbar disc herniation. I: A technical note. Acta Neurochir (Wien) 1987;84:64–67 77. Watkins MB. Posterolateral fusion in pseudoarthrosis and posterior element defects of the lumbosacral spine. Cline Orthop 1964;35:80-84 78. Maroon JC, Kopitnik TA, Schulhof LA, Alba A, Wilberger JE: Diagnosis and microsurgical approach to far-lateral disc herniation in the lumbar spine. J Neurosurg 1990;72:378382 79. Greiner-Perth R, Bohm H, Allam Y. A new technique for the treatment of lumbar far lateral disc herniation: technical note and preliminary results: Eur Spine J 2003;12:320-324 80. Cho SM, Cho YJ. Discectomy Following the Paramedian Approach. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Koonja Publishing Inc, Seoul 2010;41:335-340 81. O’toole JE, Eichholz KM, Fessler RG. Reported minimally invasive far lateral microendoscopic discectomy for extraforaminal disc herniation at the lumbosacral junction: Cadaveric dissection and technical case report. The Spine Journal 2007;7:414-421 82. Stephen M, Sanjay D, Praveen VM, Adam SK. Minimally invasive approach to extraforaminal disc herniation at the lumbosacral junction using on operating microscope: Case series and review of the literature. Neurosurg Focus 2008;25(2):1-5 83. Choi BK, Sung KH. Endoscopic Lumbar Discectomy. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.351-358 84. Cloward RB. The treatment of ruptured lumbar intervertebral discs by vertebral body fusion. J Neurosurg 1953;10:154-168 85. Kim YJ, Jin BH. Posterior Lumbar Interbody Fusion. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.359-364. 86. Shim CS, Park CK. Anterior Lumbar interbody Fusion and Total Disc Replacement. In Zhang HY, ed. Surgical Atlas of Spine. Seoul: Koonja Publishing Inc 2010.p.365-371 87. Williams RW. Microlumbar discectomy: a conservative surgical approach to the virgin herniated lumbar disc. Spine 1978;3:175– 182



88. Williams RW. Microlumbar discectomy. A12-year statistical review. Spine 1986;11:851–852 89. Thome C, Barth M, Scharf J, Schmiedek P. Outcome after lumbar sequestrectomy compared with microdiscectomy: a prospective randomized study. J Neurosurg Spine 2005;2:271–278



435



Neurosurgery Lecture Notes



436



Neurosurgery Lecture Notes



CEREBRAL TUMOR



437



Neurosurgery Lecture Notes



438



Neurosurgery Lecture Notes



EN PLAQUE MENINGIOMA Sonny G.R. Saragih Meningioma is the soul of Neurosurgery................. Ossama Al Mefty



PENDAHULUAN Istilah en plaque meningioma cukup sering terdengar di dunia bedah saraf. Diagnosa en plaque meningioma sering kali berdasarkan pada gambaran hiperostosis pada CT scan kepala. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan bahwa tidak semua lesi hiperostosis pada tulang kepala identik dengan en plaque meningioma. En Plaque dan En Masse Meningioma Terminologi “En Plaque” pertama kali dikemukakan oleh Cushing dan Eisenhardt sebagai “flat spreading carpet of tumor” pada tahun 1938. Cushing dan Eisenhardt pertama kali memperkenalkan istilah “meningioma en masse” dan “meningioma en plaque” untuk menggambarkan konfigurasi tumor (globular dan flat). Meningioma en plaque merupakan suatu subgroup morfologis yang merupakan lesi carpet/sheet like tipis yang menginfiltrasi duramater dan terkadang menginvasi tulang sehingga memberikan gambaran hiperostosis. Penyakit ini perlu dibedakan dengan kelainan lain seperti fibrous dysplasia, osteosarkoma, osteoma, lesi metastasis dan tumor tulang kepala lainnya.1,2 Hiperostosis pada En Plaque Meningioma Meskipun meningioma en plaque memiliki sifat invasif ke dalam tulang, tumor ini termasuk kategori WHO grade I. Insidensinya diperkirakan 24% dari seluruh jenis meningioma intrakranial. Hiperostosis dijumpai pada 4% hingga 5% meningioma. Hiperostosis ini terjadi akibat invasi sel-sel tumor kedalam lapisan diploe dan haversian canal. Teori tersebut telah dideskripsikan oleh Brissaud dan Lerebaullet pada tahun 1903. Cushing menyatakan sel sel meningioma menstimulasi osteoblast. Freedman dan Forster menyatakan pertumbuhan tulang terjadi karena sel tumor ini berhubungan dengan fibroblast, osteoblast dan osteoclast. Hiperostosis bisa terletak berjauhan dengan lokasi tumor, terutama pada tumor yang



terletak di sphenoid ridge. Mekanisme dari fenomena ini masih belum diketahui dengan baik. Ada pendapat berbeda dari Kolodny, yang menyatakan bahwa hiperostosis pada tumor ini bukan disebabkan oleh invasi tumor, tetapi disebabkan oleh stimulasi sel-sel osteoblast, yang diakibatkan karena stasis dan dilatasi pembuluh darah setempat. 2,3 Proses invasi tumor kedalam tulang diduga akibat emboli tumor melalui pembuluh darah ataupun ekstensi langsung melalui duramater. Pada umumnya tumor ini tidak hipervaskuler. Hiperostosis yang terjadi tidak sebanding dengan massa tumor yang relatif lebih kecil. Hiperostosis yang timbul hampir selalu bersifat sklerotik. Perubahan awal umumnya terbatas pada tabula interna, tetapi lama kelamaan proses hiperostosis sklerotik ini menjadi homogen dan difus, sehingga struktur jaringan tulang tidak dapat dikenali lagi pada waktu diagnosis ditegakkan.2,3 En plaque meningioma paling sering dijumpai di daerah sphenoid ridge, kalvaria dan tulang belakang. Tumor ini menunjukkan gambaran pertumbuhan “collar/sheet like” pada duramater, suatu hal yg membedakannya dengan tampilan globular meningioma. Sinonim yang banyak digunakan pada kepustakaan adalah sphenoid wing mengingioma, en plaque dan sphenoorbital meningioma.1,2,3,4 Hiperostosis sering dijumpai 23-44% kasus meningioma secara umum. Gambaran hiperostosis mencerminkan adanya infiltrasi whorl dan syncytia dari sel-sel meningothelial. Gambaran hiperostosis dapat mudah terlihat pada CT scan atau foto rontgen kepala, tetapi komponen tumor itu sendiri tidak tervisualisasi dengan baik oleh modalitas pencitraan tersebut. 2,3,5 Dural lucent layer Kalsifikasi dapat terjadi pada meningioma en plaque yang telah menginfiltrasi rongga subdural. Infiltrasi ini mengakibatkan metaplasia 439



Neurosurgery Lecture Notes



duramater bagian dalam. Lapisan duramater yang berasal dari sel mesothelial dapat mengalami metaplasia dan kalsifikasi dan osifikasi di daerah falx dan tentorium. Lapisan duramater yang berada diantara bagian tulang yang mengalami hiperostosis dan lapisan subdural (atau massa intradural) yang mengalami kalsifikasi dinamakan dural lucent layer. 2,5,6 Dural lucent layer merupakan gambaran khas dari meningioma en plaque. 6



Gambar 3. Klasifikasi Lesi kalvaria berdasarkan CT Scan. Dikutip dari: Yalcın O, Yıldırım T, Kızılkılıc O, Hurcan CE, Koc Z, Aydın V, Şen O, Kayaselcuk F. CT and MRI findings in calvarial non-infectious lesions. Diagn Interv Radiol 2007;13:68-74 Gambar 1. Trias Hiperostosis, Subdural Ossifikasi dan Dural Lucent Line Dikutip dari Regina Elena National Cancer Institute. Brain Tumors. Extraaxial Tumors.Meningioma. Available at : http://www.neurosurgery-ire.it/eng/index.shtml on 12/09/2012



Gambar 2. A. Dural Lucent Line pada foto Schedel. B,C. Dural Lucent Line pada bone window CT Scan. Dikutip dari Kim KS, Rogers LF, Lee C. The dural lucent line: characteristic sign of hyperostosing meningioma en plaque. Am J Roentgenol 1983;141(6):1217-21



440



Gambar 4. A. Karakteristik En Plaque/Carpet like Meningioma pd T1 MRI Contrast. B. Tabula Interna Irreguler : En Plaque. C,D. En Masse/Globular Meningioma. Dikutip dari : Talacchi A, Corsini F, Gerosa M. Hyperostosing meningiomas of the cranial vault with and without tumor mass. Acta Neurochir 2011;153:53–61



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 5. Calvarial Hiperostotic Meningioma. Dikutip dari Talacchi A,Corsini F, Gerosa M. Hyperostosing meningiomas of the cranial vault with and without tumor mass. Acta Neurochir 2011;153:53–61



Gambar 6. Pola Hiperostosis : 1.Normal 2.Homogen 3.Tipe Periosteal 4.Pola 3 lapis,hipodensitas diploe 5.Tipe Diploic. Kim KS, Rogers LF, Lee C. The dural lucent line: characteristic sign of hyperostosing meningioma en plaque. Am J Roentgenol 1983;141(6):1217-21



Gambar 7. Spheno Orbital Meningioma dengan Exopthalmos. Dikutip dari : Scarone P, Leclerg D, Robert G. Long-term results with exophthalmos in a surgical series of 30 sphenoorbital meningiomas. J Neurosurg 2009;111(5):1069-1077



Exophthalmos pada en plaque meningioma Perubahan struktur tulang pada en plaque meningioma akan menyebabkan gejala dan tanda klinis yang diakibatkan penekanan struktur jaringan sekitarnya. Proptosis merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai. Invasi tumor dan hiperostosis ke daerah orbita menyebabkan pendorongan bola mata kearah depan, tidak pulsatil dan tidak nyeri. Beberapa kasus menunjukan keterlibatan duramater yang luas dengan gambaran angioinvasif.2,7,8 En masse sphenoid wing meningioma juga dapat meluas ke jaringan sekitarnya, seperti sinus kavernosus, klinoid anterior, fisura orbitalis superior dan fossa temporalis. Angka kejadian nya sekitar 18-20% dari seluruh meningioma intrakranial, 2% dari tumor orbita dan 40% menunjukan gambaran hiperostosis. Exopthalmos juga dapat dijumpai pada tumor yang melibatkan sphenoid wing.8 KLASIFIKASI Banyak ahli pada saat ini membedakan spheno orbital en plaque meningioma dengan sphenoid wing meningioma yang mengalami hyperostosis. Guiot dkk membagi dua kategori spheno-orbital meningioma berdasarkan atas perbedaan patologi dan presentasi klinis. Tipe pterional/external menunjukan gelaja dominan berupa exophthalmos dan gangguan visus. Tipe internal umumnya memberikan gambaran klinis komprresi nervus optikus. Exopthalmos terjadi pada 49-100% kasus en plaque. Sammartino menjelaskan bahwa exophthalmos dapat terjadi akibat invasi langsung dan invasi melalui sinus kavernosus.7,8 441



Neurosurgery Lecture Notes



Scarone dkk membagi Spheno orbital meningioma menjadi Tipe A (osseus predominan) dan Tipe B (melibatkan struktur intra dural dengan manifestasi awal gangguan visus). Ke 2 tipe ini dapat berbeda asalnya (intra osseus pada tipe A dan dural pada tipe B);sesuai dengan hipotesis Guiot pada tahun 1966.8 Meningioma dengan tampilan klinis berupa benjolan pada scalp, lesi osteolitik dan massa soft tissue menunjukkan sifat tumor yang cenderung agresif. Pemeriksaan CT scan dan MRI sangat bermanfaat dalam mengevaluasi ekstensi extra dural dan keterlibatan kalvaria. Hal ini menentukan seberapa luas tindakan reseksi yang akan dilakukan serta prognosis pre- dan post-operasi.8 TERAPI Pembedahan merupakan modalitas terapi utama. Tujuan utama dari tindakan operasi adalah penanganan exopthalmos dan perbaikan visus. Dekompresi dan osteotomi tulang periorbita dapat memberikan koreksi exophthalmos yang memuaskan. Reseksi total sulit dilakukan pada tumor yang meluas ke apeks orbita, fissura orbitalis superior (pada tipe A dan tipe B) dan sinus kavernosus (tipe B). tindakan operasi ulang atau radiasi hanya dilakukan pada kasus rekuren yang memang terbukti secara radiologis.7,8,9



Gambar 8. Penanganan Exopthalmos dengan explorasi periorbita dengan infra orbital fat plug setelah dilakukan duraplasty. Dikutip dari : : Scarone P, Leclerg D, Robert G. Long-term results with exophthalmos in a surgical series of 30 sphenoorbital meningiomas. J Neurosurg 2009;111(5):10691077



442



Primary Intra Osseus Meningioma Primary Intra Osseus Meningioma merupakan sub type dari primary extra dural meningioma, dengan insidensi 1-2% dari seluruh kasus meningioma.10 Pada dasarnya meningioma merupakan tumor primer intradural yang berlokasi di ruang subdural. Meningioma ekstradural merupakan meningioma yang berlokasi di luar duramater (kulit,nasopharing dan leher). Sebagian besar intra osseus meningioma berasal dari tulang kranium dan sebagian kecil dilaporkan terjadi pada tulang mandibula.10 Meningioma yang berasal dari kompartemen subdural memiliki berbagai macam istilah, seperti meningioma ektopik, meningioma sekunder, meningioma ekstra kalvaria, meningioma kutaneus dan meningioma ekstra kranial, meningioma ekstradural dan primary extra neuroaxial meningioma. Meningioma ekstradural yang berasal dari tulang kalvaria disebut juga intradiploic atau intra-osseus meningioma.10,11 Tabel 1. Klasifikasi Primary Extra Dural Meningioma. Dikutip dari : Elder JB, Atkinson R, Zee C, Chen TC. Primary intraosseous meningiomas. Neurosurg Focus 2007;23:1–9. Type Description Subclassification I purely extracalvarial Nor applicable II Purely calvarial B (skull base) C (convexity) III Calvarial with extracalvarial B (skull base) extension C (convexity) Adapted from Lang and colleagues, 2000



Gambar 9. Primary Intra Osseus Meningioma. Dikutip dari Elder JB, Atkinson R, Zee C, Chen TC. Primary intraosseous meningiomas. Neurosurg Focus 2007;23:1–9.



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 10. A. B. Fibrous Dysplasia,Groundglass matrix appearance dan kalsifikasi globular en masse.Dikutip dari: Elder JB, Atkinson R, Zee C, Chen TC. Primary intraosseous meningiomas. Neurosurg Focus 2007;23:1–9. C. Osteolityc En Plaque Sphenoid Ridge. Dikutip dari : Baek J, Young-Dae Cho Y, Yoo J. An Osteolytic Meningioma en Plaque of the J Korean Neurosurg Soc 2008;43(1):34-36



443



Neurosurgery Lecture Notes



ILUSTRASI KASUS Dikutip dari : Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik. Perempuan 50 tahun dengan keluhan benjolan pada mata kiri dan exopthalmos .



Gambar 11. Pada pemeriksaan CT-scan kepala didapati: Gambar A. CT Scan menunjukkan gambaran karakteristik ground-glass appearance dengan tabula interna yang tidak rata. Gambar B. Gambaran sphenoorbital meningioma dengan exopthalmos. Gambar C. Gambaran karakteristik flat/carpet spreading like tumor menyokong diagnosis en plaque meningioma. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran USU-RSUP.H.Adam Malik



444



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 12. A. Makroskopis tumor, tampak tulang yang mengalami hiperostosis. (B, C) Pada pemeriksaan histopatologi didapati gambaran mikroskopis sesuai dengan Meningothelial Meningioma (WHO grade I). Dikutip dari koleksi kasus Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran USU-RSUP.H.Adam Malik



Gambar 13. Perempuan 33 tahun dengan keluhan buta,CT scan menunjukkan gambaran klasik globular meningioma(en masse) dan hidrosefalus. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran USU-RSUP.H.Adam Malik



445



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 13. A. B. Durante operasi en masse meningioma. C. Tampak tumor terangkat intoto. D. Histopatologi dari jaringan tumor, sesuai dengan meningothelial meningioma. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran USURSUP.H.Adam Malik



DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



3.



4.



5.



446



Cushing H, Eisenhardt L. Meningioma of the sphenoidal ridge. In: Meningiomas: Their Classification, Regional Behaviour, Life History and Surgical End Results. New York: Hafner Publishing 1969;p.342-359. LI Yong, SHI Ji-tong, AN Yu-zhi, ZHANG Tian-ming, FU Jidi, ZHANG Jia-liang, ZHAO Ji-zong. Sphenoid wing meningioma en plaque: report of 37 cases. Chinese Medical Journal 2009;122(20):2423-2427 Talacchi A,Corsini F, Gerosa M. Hyperostosing meningiomas of the cranial vault with and without tumor mass. Acta Neurochir 2011;153:53–61 Gupta SK, Mohindra S, Radotra BD, Khosla VK. Giant calvarial hyperostosis with biparasagittal en plaque meningioma. Neurology India 2006;54:210-212 Yalcın O, Yıldırım T, Kızılkılıc O, Hurcan CE, Koc Z, Aydın V, Şen O, Kayaselcuk F. CT and MRI findings in calvarial non-infectious lesions. Diagn Interv Radiol 2007;13:68-74 Kim KS, Rogers LF, Lee C. The dural lucent line:



6.



7.



8.



9.



characteristic sign of hyperostosing meningioma en plaque. AJR Am J Roentgenol. Dec 1983;141(6):121721 Oya S, Sabe B, Lee JH. Sphenoorbital meningioma: Surgical technique and outcome. J Neurosurg 2011;114:1241–1249 Scarone P, Leclerg D, Robert G. Long-term results with exophthalmos in a surgical series of 30 sphenoorbital meningiomas. J Neurosurg 2009;111(5):1069-1077 Baek J, Young-Dae Cho Y, Yoo J. An Osteolytic J Korean Neurosurg Soc 2008;43(1):34-36 Elder JB, Atkinson R, Zee C, Chen TC. Primary intraosseous meningiomas. Neurosurg Focus 2007;23:1– 9. Yener U, Bayrakli F, Vardereli E, Sav A, Peker S. Intradiploic Meningioma. Mimicking Calvarial Metastasis: Case Report. Turkish Neurosurgery 2009; 19:3:297-301.



Neurosurgery Lecture Notes



PARASAGITAL and FALX MENINGIOMA Sonny G.R.Saragih, Iskandar Japardi “Parasagital Meningioma is the most interesting and characteristic of all”. . Harvey W. Cushing-The Meningioma (Dural Endothelioma) , 1922



PENDAHULUAN 1, 2 Cushing dan Louise Eisenhardt mendefenisikan parasagital meningioma sebagai tumor yang mengisi sudut parasagital, tanpa adanya jaringan otak diantara massa tumor dan sinus sagitalis superior. Massa tumor berasal dari dinding lateral sinus, tetapi dapat juga memiliki perlekatan pada permukaan falx. Cushing dalam bukunya Meningiomas yang dipublikasikan pada tahun 1938 menyatakan bahwa kriteria utama tumor falx primer adalah “tersembunyinya” massa tumor secara komplit oleh korteks otak di sekitarnya. Massa tumor berasal dari falx cerebri, dan secara tipikal tidak melibatkan sinus sagitalis, kecuali jika ukurannya terlalu besar, atau menyebar secara en plaque. Falx meningioma umumnya bilateral, sesuai dengan pertumbuhan tumor melalui falx, membentuk massa globular lainnya pada sisi kontra lateral. Meningioma yang melibatkan sinus sagitalis superior dan duramater konveksitas sekitarnya dinamakan parasagital meningioma. KLASIFIKASI Cushing dan Eisenhardt mengklasifikasikan tumor falx bagian bawah secara terpisah, sementara Elsberg dan Olivecrona menyatukan parasagital meningioma dengan falx meningioma. Yasargil membagi falx meningioma menjadi tipe outer dan inner. Outer type berasal dari frontal (anterior atau posterior) , central parietal dan regio occipital. Inner type berasal dari sinus sagitalis inferior. 1



Gambar 1. Parasagital dan Falx Meningioma. Dikutip dari Sang BC, Chae YK, Chul KP, et al. Falx Meningiomas : Surgical Results and Lessons Learned from 68 Cases. J Korean Neurosurg Soc 2007;42:276-80



Gambar 2. Bilateral anterior parasagital meningioma. Dikutip dari Sugita K, ed. Microneurosurgical Atlas, Tokyo : Springer-Verlag 1985.p.208-212



Gambar 3. Unilateral dan Bilateral Falx Meningioma. Dikutip dari Sugita K, ed. Microneurosurgical Atlas. Tokyo : SpringerVerlag 1985.p.208-212



447



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 4. Parasagital meningioma dengan invasi sinus sagitalis superior. Dikutip dari: Meningiomas involving the major dural sinuses: management of the sinus invasion. In :Sindou M, ed. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer 2009.p.169-180



Gambar 5. Deep Parasagital Falx meningioma. (A) potongan coronal. (B) potongan sagital. Dikutip dari Salcman M, Heros RC, Laws ER, Sonntag VKH, eds. Kempe’s Operative Neurosurgery Vol. 1, 2nd edn. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2004.p.121-142



Gambar 6. Falx meningioma dengan total sinus oklusi, feeder arteri berasal dari arteri carotis externa. Dikutip dari Westphal M, Tonn JC, Lamszus K. Meningiomas and Meningeal Tumors. In : Westphal M, Rutka JT, Tonn JC, Grossman SA, eds. Neuro-oncology of CNS Tumor. New York, Berlin Heidelber: Springer-Verlag 2006.p.81-102



448



Gambar 7. Klasifikasi Meningioma berdasarkan invasi Sinus. Tipe I-meningioma melekat pada permukaan luar dinding sinus Tipe II-invasi lateral resesus Tipe III-Invasi dinding ipsilateral Tipe IV-Invasi dinding ipsilateral dan atap ke 2 sinus Tipe V-sinus oklusi total, tetapi dinding sinus kontralateral bebas Tipe VI-Invasi total. Dikutip dari Sindou M, Hallacq P. Venous reconstruction in surgery of meningiomas invading the sagittal and transverse sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:57-65



Falx meningioma cukup sering berbentuk dumbell, ekstensif ke aspek medial pada ke 2 hemisfer. Dapat dibagi atas tipe anterior, medial dan posterior, tergantung pada asalnya di falx cerebri. Tipe anterior berekstensi dari dasar fossa frontal ke sutura coronaria, tipe medial dari sutura coronaria ke sutura lambdoidea dan tipe posterior dari lambdoid ke torcular herophili. 2 Lokasi meningioma intra kranial yang paling sering adalah di regio parasagital, baik yang berasal dari dinding sinus sagitalis superior, atau dari falx cerebri (falcine) , yaitu sekitar 25 %. Insidensi falx meningioma 5-7 kali lebih jarang dari parasagital meningioma. 8



Neurosurgery Lecture Notes



Parasagital and falx Convexity Sphenoidal wing Olfactory groove Suprasellar Posterior fossa Ventricle Optic sheath



25 20 20 12 12 9 1, 5 0, 5



Gambar 8. Persentase Meningioma berdasarkan lokasi. Dikutip dari Kaye AH, ed. Essential Neurosurgery, 3rd edn. Carlton : Blackwell Publishing 2005.p.93-108



GAMBARAN KLINIS 8, 9, 10, 11, 12 Tumor parasagital sering berasal dari 1/3 posterior dan sering memberikan gejala epilepsi fokal dan paresis, umumnya pada tungkai bawah dan kaki yang berlawanan oleh karena keterlibatan korteks motorik dari aspek medial lobus frontal posterior. Tumor yang berasal dari anterior umumnya bilateral, dengan gejala peningkatan tekanan intra kranial. Oleh karena tumor ini melibatkan lobus frontal, dapat terjadi simtom pseudopsikiatri, gangguan memori dan intelegensia serta perubahan perilaku. Inkontinensia urine terkadang juga dijumpai pada massa tumor frontal yang berukuran besar, terutama bila bilateral. Tumor pada falx posterior umumnya melibatkan regio parieto occipital dan dapat menimbulkan keluhan homonimus hemianopsia. Jika massa tumor berada diatas fissure calcarina, lebih berdampak pada kuadran inferior, tetapi jika massa tumor berada dibawah calcarina, maka kuadran atas lebih predominan. Korteks anterior cingulatum terlibat dalam proses belajar dan emosional, vokalisasi, motivasi dan emosi. Oleh karena itu efek massa tumor atau pun komplikasi operasi yang mencederai area cingulatum dapat mengakibatkan gangguan perilaku, akinetik mutism, depresi, gangguan inisiasi motorik, pengurangan respon terhadap nyeri dan gangguan bersosialisasi ke lingkungan sekitar. Korteks cingulatum posterior berhubungan dengan sikap motorik yang lebih kompleks. Kelemahan motorik, afasia, ataksia, dysmetria dan gangguan keseimbangan postural dapat timbul pada lesi atau cedera cortex cingulatum posterior.



DANGER POINT : THE VEINS13 Pengetahuan yang baik tentang anatomi pembedahan dan fisiologi sistem vena intra kranial merupakan hal penting yang bersifat prinsipil. Vena utama yang berbahaya secara klasik adalah sinus duramater mayor, deep cerebral vein, dan beberapa vena superficial dominan, misalnya vena Labbe. Pembedahan pada kasus meningioma yang menginvasi sinus merupakan suatu dilema, membiarkan massa tumor tersisa dengan resiko rekurensi yang tinggi, atau melakukan total removal dengan resiko merusak sistem sirkulasi vena otak. Pada saat ini pada kasus meningioma dengan sinus yang patent, dianjurkan untuk dilakukan reseksi massa tumor diluar dinding sinus dengan koagulasi, atau radiosurgery adjuvant untuk sisa massa tumor. Pada kasus dengan oklusi sinus komplit, sebagian besar ahli menganjurkan en block removal dari segmen yang terinvasi. Pengetahuan konvensional menyatakan bahwa tindakan reseksi komplit dari sinus yang terinvasi “tidak cukup berbahaya” oleh karena adanya sistem vena kolateral. Penting untuk di ingat bahwa hal ini belum tentu benar. Pemahaman tradisional yang juga cukup banyak dipercayai ialah angka rekurensi yang akan semakin rendah bila lebih sedikit massa tumor yang di tinggalkan. Sebenarnya Simpson melaporkan bahwa reseksi total disertai eksisi perlekatan duramater yang akan menurunkan angka rekurensi (6%) , dibandingkan total reseksi dengan koagulasi (16%) atau tanpa dilakukan tindakan pada perlekatan duramater (29%) . Pada kasus invasi sinus dengan sinus kolateral intact, reseksi dari dinding sinus harus ditindak lanjuti dengan patching defek untuk mempertahankan aliran balik vena. Pada saat sinus teroklusi total oleh massa tumor, permasalahan yang timbul adalah mengembalikan sirkulasi dengan melakukan bypass. Sindou et al menganjurkan reseksi total dengan rekonstruksi sistem vena. Dalam laporannya, Sindou mendapati 3 kasus meninggal pada kasus dengan oklusi sinus total (dari 100 serial kasus dengan invasi sinus) setelah dilakukan reseksi en block, komplikasi fatal akibat oedema cerebri.



449



Neurosurgery Lecture Notes



Keterangan gambar: 1. superior sagittal sinus 2. inferior sagittal sinus 3. torcular herophili 4. transverse sinus 5. sigmoid sinus 6. jugular bulb 7. v. internal jugular 8. v. superficial cortical 11. v. superficial middle cerebral 12. v. septal 13. v. thalamostriate 14. v. internal cerebral



15. 16. 20. 21. 24. 26. 29. 30. 31. 48.



great cerebral vein of Galen basal vein of Rosenthal v. anterior caudate v. terminal straight sinus. sinus cavernosus. superior petrosal sinus. inferior petrosal sinus. sinus occipital v. posterior pericallosal



Gambar 9. Potongan sagital anatomi Sistem Vena. Dikutip dari: Borden NM, ed. 3D Angiographic Atlas of Neurovascular Anatomy and Pathology. Cambridge University Press, Cambridge 2007.p.25-26



Keterangan gambar: 1. superior sagittal sinus 3. torcular herophili 4. transverse sinus 5. sigmoid sinus 6. jugular bulb 10. vein of Labbé 11. v. superficial middle cerebral 24. straight sinus 25. sphenoparietal sinus 26. cavernous sinus 27a. anterior intercavernous sinus 27b. posterior intercavernous sinus 28. clival venous plexus 29. superior petrosal sinus 30. inferior petrosal sinus 31. occipital sinus 32. marginal sinus 51. v. superior ophthalmic



Gambar 10. Anatomi sistem vena, penampang axial. Dikutip dari Borden NM, ed. 3D Angiographic Atlas of Neurovascular Anatomy and Pathology, Cambridge University Press, Cambridge 2007.p.25-26.



450



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 11. Drainase Vena Predominan. Bila ke 2 lateral sinus berkembang dengan baik (bagian atas) , hambatan pada 1 sisi secara teori dapat di toleransi (bagian atas dan tengah) . Bila hanya bagian sebelah lateral sinus yang mendrainase SSS dan 1 lagi melalui straight sinus (paling sering dijumpai) , hambatan pada sisi yang lain beresiko tinggi pada hemisfer, struktur vena dalam dan vena Labbe’. Dikutip dari: Sindou M, ed. The Dangerous Intra Cranial Veins. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer 2009.p.71-84



Gambar 12. Variasi sistem Vena Superficial. (A) Drainase anterior vena Sylvian superficial predominan (B) SSS predominan, post central vein endrainase sebagian besar teritori vena Sylvian superficial melalui anastomose vena Trolard (C) Lateral sinus predominan, mendrainase hampir keseluruhan teritori vena Sylvian superficial melalui vena Labbe. Dikutip dari Dikutip dari: Sindou M, ed. The Dangerous Intra Cranial Veins. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer 2009:71-84



451



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 13. Deep Cerebral Vein dan Landmark Intra Ventricular venous confluens (DSA fase Vena , lateral view) . Sindou M, ed. The Dangerous Intra Cranial Veins. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer 2009.p.71-84



Intra ventricular venous confluens (lingkaran) dibentuk oleh konfluens dari vena septal (2), vena caudatus (3, 4) dan vena thalamostriata (5). Konfluens tersebut akan berdrainase ke vena cerebri interna. Konfluens ini berposisi di sekitar foramen Monroe. Vena Basilaris (B) berdrainase ke Vena Galen (G)



Gambar 14. Vena vena superficialis Supra Tentorial yang terlibat dalam approach skull base. Sindou M, ed. The Dangerous Intra Cranial Veins. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer 2009.p.71-84



Grup vena middle afferent frontal veins, inferior cerebral vein (Labbe’ system) dan Sylvian



452



veins. Ke 3 grup vena ini dihubungkan oleh 3 segitiga, yaitu : 1. Segitiga yang berhubungan dengan frontal veins (FV) dengan landmark : interventricular venous confluence (lingkaran) , bregma (B) dan anterior limit dari anterior cranial fossa (A) 2. Segitiga yang berhubungan dengan grup inferior cerebral vein (ICV) yang dibatasi oleh interventricular confluens, torcular (T) dan foramen jugulare (J) 3. Segitiga yang berhubungan dengan grup anterior sylvian (ASV) yang dibatasi oleh interventricular confluens, landmark anterior cranial fossa (A) dan foramen jugulare (J) . Approach skull base tumor harus selalu mempertimbangkan drainase vena yang prominent dan vital ini. IMEJING2, 6, 8, 9 MRI dengan kontras merupakan standar kunci pemeriksaan, efektif untuk menentukan batas batas tumor. Penyangatan kontras pada duramater dapat mengindikasikan invasi duramater, atau gambaran hiperemis di sekitarnya. MRA (Magnetic Resonansce Angiography) memberikan tambahan informasi yang sangat berguna tentang keterlibatan sistem vena. Fase Vena dengan pengisian bilateral sinus sagitalis dibutuhkan untuk mengevaluasi patensi dan gambaran jalur kolateral Fase arteri sangat bermanfaat dalam memprediksi tingkat kesulitan diseksi tumor dari jaringan otak. Bila feeder arteri yang terlibat dengan resiko perdarahan yang cukup banyak, dapat dilakukan embolisasi pre operasi untuk menekrosiskan sebagian massa tumor dan mengurangi resiko perdarahan intra operatif. MRA memiliki keterbatasan dalam memvisualisasi vaskularisasi dan hemodinamik massa tumor, sehingga sebaiknya dilakukan pemeriksaan DSA (Digital Substract Angiography) transfemoralis untuk rekonstruksi detail massa tumor pre operatif. Selektif Bilateral Internal dan External Carotid Substract Angiografi (Four Vessels Angiography) bermanfaat dalam menentukan supply dural, kortikal dan piamater. Proyeksi oblique akan menunjukkan lintasan sinus sagitalis



Neurosurgery Lecture Notes



superior dan berbagai kemungkinan derajat oklusi yang timbul, mulai dari oklusi sederhana, kompresi massa tumor dengan penyempitan lumen, defek intra luminal, sampai gambaran total oklusi. Oklusi total dapat diperkirakan dari sinus yang tidak tervisualisasi atau dengan di dapatinya gambaran channel vena kolateral. Pola drainase vena dan gambaran kolateral yang dijumpai sangat penting dalam menentukan approach operasi yang akan dilakukan, untuk meminimalisir komplikasi kerusakan vena yang dapat berakibat fatal.



A



B



Gambar 15. (A) Gambaran Angiografi oklusi sinus mid sagital. (B) Gambaran Angiografi Oklusi total posterior SSS dan terbentuknya vena kolateral. Dikutip dari Sindou M, Hallacq P. Venous Reconstruction in Surgery of Meningiomas Invading the Sagittal and Transverse Sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:57-65



Gambar 16. Gambaran DSA dengan mixed feeder dan supply dari cabang pial-cortical Anterior Cerebral Artery. Dikutip dari Sindou M, Hallacq P. Venous Reconstruction in Surgery of Meningiomas Invading the Sagittal and Transverse Sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:57-65



PEMBEDAHAN Prinsip operasi pada parasagital 14 meningioma menurut Ojemann: 1. Pasien diposisikan dengan scalp diatas massa tumor berada pada titik yang paling tinggi. Pada kasus meningioma letak sebelah anterior suturae coronaria, penderita posisi supine dan dilakukan incisi bicoronal. Untuk tumor di daerah mid sagital, pasien dalam posisi semi lateral. Semi sitting position dianjurkan untuk tumor yang melibatkan 1/3 sagital posterior. 2. Incisi untuk tumor anterior adalah bicoronal, tumor setentang sutura coronaria menggunakan incisi horse shoe yang mengarah ke depan, sedangkan tumor di daerah mid sagital menggunakan incisi horse shoe yang melewati garis tengah. Pada tumor di daerah posterior digunakan incisi horse shoe yang mengarah ke inferior. Flap kulit harus cukup besar untuk expossure yang adekuat. 3. Flap tulang dibuat 2 cm melewati garis tengah berlawanan dengan massa tumor. Jika diprediksi akan muncul masalah perdarahan, flap tulang dapat dibuat menjadi 2 bagian, 1 di daerah convexitas, 1 lagi melewati sinus sagitalis/bridging. 4. Jika memungkinkan duramater dibuka 1 cm dari batas tumor . Jika sinus direncanakan untuk direkonstruksi, sebaiknya lumen tetap terbuka sebelum ligasi di simpul. Pada beberapa kasus Ojemann mendapati massa tumor pada lumen sinus, melampaui pinggir batas massa tumor yang kelihatan secara makroskopis. Jika tumor hanya meliputi tepi sinus, duramater di eksisi beberapa millimeter sejajar dengan sinus, meninggalkan sebagian kecil massa tumor yang tidak dapat di reseksi. 5. Jika diperlukan dapat dilakukan intra tumoral debulking, untuk mengurangi retraksi otak pada jaringan otak sekitarnya. Kapsul tumor di identifikasi secara hati hati. Dilakukan diseksi arachnoid dan perlekatan dengan sinus, otak dilindungi dengan cottonoid. 6. Pada lesi 1/3 anterior, umumnya dapat dilakukan total removal, termasuk sinus sagitalis superior anterior dan falx cerebri, bahkan jika sinusnya belum terobliterasi. Pada lesi mid sagital, total removal dapat dilakukan jika sinusnya oklusif. Jika hanya tepi sinus yang



453



Neurosurgery Lecture Notes



terlibat, sinus dapat dibuka dan residual tumor dieksisi, untuk kemudian ditutup secara progresif dengan jahitan continous. Pada massa tumor di posterior sagital dan ekstensif menginvasi sinus yang belum terobliterasi, massa tumor dibiarkan tersisa pada dinding sinus.



Gambar 17. Prinsip operasi menurut Ojemann. Dikutip dari Ojemann RG. Management of Meningiomas. Clin Neurosurg 1992;40:321-83



Gambar 18. Teknik Reseksi Ojemann pada kasus invasi sinus. Dikutip dari Ojemann RG. Management of Meningiomas. Clin Neurosurg 1992;40:321-83



Pada meningioma yang menginvasi sinus, tindakan pembedahan memakai teknik reseksi Ojemann. Teknik reseksi Ojemann diuraikan berikut ini. 14 A. Duramater di eksisi sekitar 1 cm dari batas tumor, dilakukan diseksi arachnoid dan korteks disekitar kapsul tumor 454



B. Duramater di eksisi paralel dengan sinus sagitalis meninggalkan sedikit massa tumor yang melekat pada sinus, dilakukan intra tumoral debulking dengan kauter C. Kapsul tumor direfleksikan dan dibebaskan dari korteks yang dilindungi dengan cottonoid/ watches D. Tepi sinus dibuka beberapa millimeter untuk membebaskan massa tumor yang melekat pada sinus, kemudian sinus dijahit dengan jahitan continous. Andrew et al melaporkan lebar sinus sagitalis superior (SSS) pada manusia berkisar antara 4, 3-9, 9 mm, dengan tinggi +/- 3, 6-6, 8 mm. Trauma, tumor, trombosis dan komplikasi iatrogenik akibat operasi merupakan penyebab utama obstruksi SSS. Obstruksi tersebut, terutama bila akut, akan memprovokasi perubahan fisiologis yang mengancamnyawa, seperti hambatan arus balik vena yang akan menyebabkan cerebral edema dan tekanan tinggi intra kranial. Seiring kemajuan teknik bedah mikro, rekonstruksi vena menjadi semakin memungkinkan. Kapp dkk pertama kali menggunakan autogenous vena safena magna untuk merekonstruksi SSS pada tahun 1971. Marks dkk melakukan operasi bypass SSS pada tahun 1986. Sakaki dkk pada tahun 1986 pertama kali melakukan rekonstruksi vena kortikal menggunakan silicon tube. Pada saat ini bahan utama yang digunakan untuk repair pembuluh darah adalah vena safena magna, vena superficialis di daerah leher dan pembuluh darah artificial seperti dacron dan polytetrafluoroethylen, yang lebih memadai untuk diameter arteri, sementara untuk sistem vena dan sinus duramater lebih ideal menggunakan silicon tube. Silikon merupakan elastic high polymer, berasal dari molekul organik dan anorganik. Karakteristiknya antara lain merupakan bahan kimia yang cukup stabil, tidak beracun, hidrofobik kuat dan cukup dapat ditoleransi oleh tubuh. Dibanding bahan materi yang lain, silicon tube tidak bersifat trombotik, reaksi penolakan jaringan cukup minimal, reaksi hiperplasia granulasi minimal, compliance yang cukup baik dan memiliki derajat patensi yang cukup tinggi. Rekonstruksi Vena sebaiknya dilakukan pada semua kasus dengan invasi sinus, bahkan



Neurosurgery Lecture Notes



pada sinus yang terobliterasi komplit (Sindou dan Hallacq) . Pada beberapa kasus, bagian sinus yang terobliterasi tidak bisa sekedar direseksi, oleh karena seringnya jalur vena kolateral tercederai pada saat dilakukan reseksi massa tumor. 4, 7, 14 Patch dapat dilakukan dengan menggunakan duramater atau fascia sebagai donor, By pass tidak boleh menggunakan bahan protesis, harus menggunakan vena autolog yang berasal dari vena safena atau vena jugularis externa. Sindou dan Hallacq mendapati rekonstruksi dengan gore tex mengalami trombosis beberapa minggu pasca operasi. Jika SSS direseksi komplit, tidak mungkin untuk melakukan end to end anastomose, tetapi tube-like graft, vena autogenous ataupun pembuluh darah artificial dapat digunakan untuk merekonstruksi sinus. Patensi bergantung kepada tekanan sistem vena duramater. Tidak adanya patensi jangka panjang bukan berarti rekonstruksi vena tidak bermanfaat atau gagal, tetapi merupakan dampak oklusi progresif dari repair vena yang membutuhkan waktu bagi terbentuknya channel vena 4, 7 kompensatif. Sindou dan Hallacq merekomendasikan guideline penanganan invasi sinus oleh massa tumor berdasarkan tipe infiltrasi sinus, yaitu: 7 - Tipe I : Eksisi lapisan luar, membersihkan duramater dari sisa massa tumor dan koagulasi perlekatan pada duramater. - Tipe II : Mereseksi fragmen tumor intra lumen dan melakukan repair defek dengan patch fascia atau duramater - Tipe III : Reseksi dinding sinus, melakukan repair dengan patch - Tipe IV : Repair dengan patch atau rekonstruksi dengan graft vena safena atau vena jugularis externa. - Tipe V-VI : Rekonstruksi/Vena bypass Tindakan Endovasculer merupakan prosedur minimal invasif dengan pemasangan stent sebagai alternatif pilihan. Hunt dkk melaporkan tindakan angioplasty dan pemasangan stent secara endovascular di daerah sinus yang mengalami trombosis pada penderita dengan papiledema dan visual loss , dengan outcome perbaikan fungsi visual dan perbaikan edema discus opticus. 16



Gambar 19. Tehnik rekonstruksi Sindou-Hallacq pada 47 kasus. Dikutip dari Sindou M, Hallacq P. Venous Reconstruction in Surgery of Meningiomas Invading the Sagittal and Transverse Sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:5765



Gambar 20. Graft sinus. Dikutip dari Sindou M, Hallacq P. Venous Reconstruction in Surgery of Meningiomas Invading the Sagittal and Transverse Sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:57-65



Gambar 21. Sinus repair menggunakan falx cerebri. Dikutip dari Sindou M, Hallacq P. Venous Reconstruction in Surgery of Meningiomas Invading the Sagittal and Transverse Sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:57-65



455



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 22. Tehnik Patching menggunakan fascia temporalis. R:Roof SSS LW:lateral wall SSS S:surgicell F:falx P:patch fascia. Dikutip dari : Alvernia J. Sindou M. Surgical techniques for complete resection of torcular, transverse and Sigmoid meningiomas. Digital poster. Congress of Neurological Surgeons 56th Annual Meeting, Chicago Illinois October 712,2006.



Gambar 25. Venous By Pass Tehnique menggunakan vena safena magna dan vena jugularis externa, Dikutip dari : Dikutip dari : Alvernia J. Sindou M. Surgical techniques for complete resection of torcular, transverse and Sigmoid meningiomas. Digital poster. Congress of Neurological Surgeons 56th Annual Meeting, Chicago Illinois October 7-12,2006.



Gambar 23. Teknik rekonstruksi sinus menggunakan kateter Fogarty. Dikutip dari: Salcman M, Heros RC, Laws ER, Sonntag VKH, eds. Kempe’s Operative Neurosurgery. Vol. 1. 2nd edn. New York, Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag, 2004.p.121142



Gambar 24. Silicone tubing. Dikutip dari: Ma J, Song TQ, Muhumuza ME, Zhao WP, Yang SY, Bai JW, Yang HX. Reconstruction of the superior sagittal sinus with silicone tubing. Neurosurg Focus 2002;12:1-4



456



Gambar 26. Tampilan retrograde venogram dan pemasangan stent dengan evaluasi 2 tahun kemudian. Dikutip dari: Ganesan D , Higgins NP, Burnet NG, et al. Stent placement for management of a small parasagittal meningioma :Technical Note. J Neurosurg 2008;108:377–381



Neurosurgery Lecture Notes



ILUSTRASI KASUS Laki-laki, 30 th, dengan keluhan nyeri kepala dan monoparese ringan tungkai kanan



Laki laki 54 tahun dengan riwayat operasi pengangkatan meningioma pada tahun 2005.



Gambar 27. Massa tumor pada 1/3 tengah sinus sagitalis superior, feeding artery berasal dari pericalosal dan caloso marginal kiri. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU-RSUP.H.Adam Malik Gambar 34.Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI penampang coronal menunjukkan massa parasagital dengan invasi sinus sagitalis superior.Tampak gambaran dural tail pada MRI penampang sagital.Ditegakkan diagnosis Meningioma Rekuren.Dilakukan operasi redebulking.dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP H.Adam Malik



Gambar 28. (A, B, C) durante operasi pengangkatan tumor. Dengan incisi horse shoe dan transkortikal approach. Tampak tumor terangkat ± 95%. (D) Hasil histopatologi sesuai dengan Meningothelial Meningioma. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USURSUP.H.Adam Malik



Gambar 35.Hasil PA menunjukkan gambaran pseudovaskuler(kiri) dan pseudopapiler(kanan) sesuai dengan gambaran Meningioma Malignant tipe Papiler(WHO grade III) dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP H.Adam Malik



DAFTAR PUSTAKA 1. 2.



3. 4.



5.



Gambar 29. Gambaran MRI evaluasi pasca operasi menunjukkan total tumor removal. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu bedah Saraf FK USU/RSHAM.



6.



Al Mefty O. Meningioma. New York : Raven Press 1991.p.329-361 Sang BC, Chae YK, Chul KP, et al. Falx Meningiomas : Surgical Results and Lessons Learned from 68 Cases. J Korean Neurosurg Soc 2007;42:276-280 Sugita K, ed. Microneurosurgical Atlas. Tokyo : SpringerVerlag 1985.p.208-212 Sindou M, ed. Meningiomas involving the major dural sinuses: management of the sinus invasion. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon.Vol.1. Wien New York: Springer Wien 2009.p.169-180 Salcman M, Heros RC, Laws ER, Sonntag VKH, eds. Kempe’s Operative Neurosurgery, Vol. 1, 2nd edn. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2004.p.121-142 Westphal M, Tonn JC, Lamszus K. Meningiomas and Meningeal Tumors. In : Westphal M, Rutka JT, Tonn JC,



457



Neurosurgery Lecture Notes



Grossman SA, eds. Neuro-oncology of CNS Tumor. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2006.p.81-102 7. Sindou M, Hallacq P,.Venous Reconstruction in Surgery of Meningiomas Invading the Sagittal and Transverse Sinuses. Skull Base Surgery 1998;8:57-65 rd 8. Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3 edn. Carlton : Blackwell Publishing 2005.p.93-108 9. Oyama H, et al. Surgical results of parasagittal and falx meningioma. Nagoya J Med Sci 2012;74:211-216 10. Skudas G, Tamasauskas A. Prognosis of the surgical treatment of parasagittal meningioma. Medicina 2002;38: 1089–1096 11. Tahta K, Cirak B, Pakdemirli E, Suzer T, Tahta F. Postoperative mutism after removal of an anterior falcine meningioma. J Clin Neurosci 2007;14:793–79 12. Tun K, et al. Foot drop as a result of parasagital bilateral meningioma. Turkish Neurosurgery 2006;16(2):94-96



458



13. Sindou M, ed. The Dangerous Intra Cranial Vein . Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. New York, Berlin, Heidelberg : Springer Wien 2009:71-84 14. Ojemann RG. Management of meningiomas. Clin Neurosurg 1992;40:321-83 15. Ma J, Song TQ, Muhumuza ME, Zhao WP, Yang SY, Bai JW, Yang HX. Reconstruction of the superior sagittal sinus with silicone tubing. Neurosurg Focus 2002;12:1-4 16. Ganesan D , Higgins NP, Burnet NG, et al. Stent placement for management of a small parasagittal meningioma: Technical Note. J Neurosurg 2008;108:377–381 17. Alvernia J. Sindou M. Surgical techniques for complete resection of torcular, transverse and Sigmoid meningiomas. Digital poster. Congress of Neurological Surgeons 56th Annual Meeting, Chicago Illinois October 712,2006.



Neurosurgery Lecture Notes



PETROCLIVAL MENINGIOMA Sonny G.R. Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat Petroclival meningioma is the most formidable of all meningiomas ................... Ossama Al-Mefty



PEDAHULUAN Petroclival Meningioma, menurut Ossama Al-Mefty adalah kasus meningioma yang paling sulit, sementara Fukushima juga menyatakan petroclival meningioma tetap merupakan kasus skull base tumor yang paling sulit, oleh karena keterlibatan saraf cranial multipel dan struktur vaskuler yang terlibat, ditambah perlengketan massa tumor ke batang otak. Yasargil juga menyatakan sebelum era microneurosurgery, kasus tumor petroclival pada umumnya dianggap kasus lethal1, 2, 3, 4, 5.



Halopeau pada tahun 1874 pertama kali membuat suatu laporan kasus petroclival tumor dan menggunakan istilah “Goutiere Basilaire”. Kemudian Harvey Cushing dan Louise Eisenhardt menggunakan istilah “Gassero Petrossal Group”, dan menyatakan origin tumor berasal dari synchondrosis spheno-occipital. 1, 4, 6, 7 Sampai dengan saat ini, defenisi anatomi dari petroclival meningioma masih banyak mengandung perdebatan dan kontroversi, terutama oleh karena kerumitan dari struktur anatomi yang terlibat pada regio petroclivus. 1, 4, 8



Gambar 1. Anatomi Petroclival. Dikutip dari: Spetzler F, David CA. Petroclival Meningiomas. Barrow Quarterly 1999;15:1-7



459



Neurosurgery Lecture Notes



Dorello’s Canal dan Gruber Ligament 10, 11 Meskipun secara mikro anatomi dianggap sangat penting, sampai dengan saat ini masih banyak pertentangan dan perdebatan tentang batas batas Dorello’s Canal dan Gruber’s Ligament. Gruber, pada tahun 1859 pertama kali mendeskripsikan tentang Dorello’s Canal dan mendefenisikan kanal ini sebagai terowongan osteofibrous yang berlokasi diantara ligamentum petrosphenoidal dan apex tulang petrosus, berisi nervus VI dan sinus petrosal inferior. Dorello, pada thn 1905 dan Vail, pada thn 1922 juga mempelajari anatominya secara khusus, dan sejak saat itu, kanal dan ligament ini dianggap memegang peranan penting dalam kasus nervus VI palsy. Vinco Dolenc berpendapat bahwa kanal tersebut mengalami ekstensi dari tempat masuk nervus VI ke dalam ruangan inter duramater, sampai ke sinus cavernosus. Felix Umansky adalah orang pertama yang melakukan penelitian mikro anatomi terhadap Dorello’s Canal pada thn 1991. Umansky menyatakan bahwa sinus petrosal inferior tidak berada di dalam kanal tersebut. Tsitsopoulous pada thn 1996 menyatakan Dorello’s Canal merupakan ruangan dibawah Gruber’s ligament dan diantara apex petrosus dan clivus. Kanal tersebut berada di dalam ruang duramater , diantara lipatan duramater area petroclival, dan konfluens sinus cavernosus, arteri basilaris dan sinus petrosus inferior.



Gambar 2. Gruber’s Ligament dan Dorello’s Canal. Dikutip dari: Umansky F, Elidan J, Valarezo A. Dorello's canal: A microanatomical study. J Neurosurg 1991;75:294-298



Berdasarkan struktur dan topografi anatomi dasar tengkorak, petroclival tumor adalah 460



tumor yang terletak 2/3 superior clivus sampai dengan area medial trigeminal nerve. 1, 4 Al-Mefty menggunakan terminologi “Petrossal Meningioma” dan membagi lokasi anatomi berdasarkan letak anterior atau posterior dari Internal Auditory Canal. 1, 2, 3, 4, 5 Untuk kepentingan approach operasi, Laligam Sekhar kemudian membagi Clivus ke dalam regio : - Upper Clivus : diatas titik perpotongan Trigeminal Nerve Root, termasuk dorsum sella - Mid Clivus : dari N. V sampai dengan N. IX - Lower Clivus : dibawah N. IX Sekhar juga membagi petrous ridge berdasarkan letak medial dan lateral dari Internal Auditory Canal. 4



Gambar 3.Konsep anatomi baru Central Cavity. Central Cavity (kiri) adalah ruangan yang dikelilingi oleh tempat masuk nervus cranialis II-XII. Kelompok cranial nerves tersebut adalah : 1. hanya nervus opticus 2. nervus oculomotor s/d nervus abduscen 3. nervus fasialis, nervus cochlearis dan nervus vestibularis 4. nervus glossopharyngeus s/d nervus hipoglosal (kanan). Dikutip dari Kawase T, Adachi K, Yoshida K, Yazaki T, Onozuka S. ABC Surgical Risk Scale for skull base meningioma: A new scoring system for predicting the extent of tumor removal and neurological outcome. J Neurosurg 2009;111:1053-1061



KLASIFIKASI Oleh karena definisi anatomi yang masih banyak menimbulkan perdebatan, klasifikasi petroclival tumor belum seragam dikalangan para ahli. 1, 4 Castellano dan Rugerrio, berdasarkan kasus operasi Olivecrona pada thn 1953 1, 4, 8 mengklasifikasikan petroclival tumor atas : - Cerebellar Convexity - Posterior Surface Petrous Bone - Clivus - Foramen Magnum



Neurosurgery Lecture Notes



Pada tahun 1980, Yasargil menggunakan istilah “Basal Posterior Fossa Meningioma” dan membaginya atas : 1, 4 - Clival - Sphenopetroclival - Foramen Magnum - CPA group Al-Mefty kemudian menambahkan Meckel’s cave meningioma ke dalam klasifikasi dan mengeksklusikan CPA dan foramen magnum meningioma. 1 Takeshi Kawase kemudian membagi petroclival tumor berdasarkan ekstensi tumor, menjadi 4:



- Pure Clival Type - Spheno-Clival Type - Petroclival Type Peter Black mengajukan klasifikasi berdasarkan keterlibatan struktur anatomi keterlibatan massa tumor, merupakan sistem pembagian yang paling banyak dianut pada saat ini (didukung banyak anggota WFNS) 4 : - Type A : Petroclival - Type B: Sphenopetroclival - Type C: Clival - Type D: Petrous Apex - Type E : Meckel’s Cave



Tabel 1. Klassifikasi Peter M. Black. Dikutip dari Al-Mefty O. Overview of Petroclival Meningiomas. In: Pamir MN, Black PM, Fahlbusch R, eds. Meningioma : A Comprehensive Text. Philadelphia : Saunders Elsevier 2010.p.477-489



461



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 4. Gambaran MRI meningioma petroclival menurut klasifikasi Peter black. Peter Black membagi meningioma petroklival menjadi 5 tipe. Type A : Petroclival (gambar A); Type B : Sphenopetroclival (gambar B); Type C : Clival (gambar C); Type D : Petrous Apex (gambar D); Type E : Meckel’s cave (gambar E). Dikutip dari Al-Mefty O. Overview of Petroclival Meningiomas. In: Pamir MN. Black PM, Fahlbusch R, eds. Meningioma : A Comprehensive Text. Philadelphia : Saunders Elsevier 2010.p.477-489



Sampai dengan tahun 1967, petroclival meningioma dianggap sebagai kasus unoperable. Sampai dengan tahun 1970 dilaporkan hanya 1 kasus yang dapat dilakukan total removal. Sementara itu Cherington dan Sneck1 menyatakan 1 year survival rate pasca diagnosis hanya sebesar 25%. Pada tahun 1977 , Akira Hakuba melaporkan 44 kasus, 31 kasus dilakukan tindakan operasi, 17 pasien meninggal dalam 26 hari post operasi, 3 kasus meninggal 18 bulan pasca biopsy dan hanya 3 kasus dapat dilakukan total removal(6 kasus pada laporan berikutnya). Yasargil menekankan bahwa masalah khusus dalam penanganan kasus petroclival adalah invasi tumor pada dasar tulang tengkorak.1 Madjid Samii pada awalnya menggunakan istilah posterior pyramid meningioma dan



462



memperkenalkan Retrosigmoid Supra Meatal approach pada tahun 19821,6,7. Al-Mefty secara konsisten menggunakan Presigmoid Transtentorial approach pada periode 1982-1989, melaporkan 18 kasus yang dilakukan tindakan operasi, dimana 15 kasus dilakukan total tumor removal, dengan angka mortalitas 0 %. Sampai dengan periode 2003, AlMefty telah mengerjakan 196 kasus petroclival dengan hanya 10 % kasus dengan partial removal dan mortalitas pembedahan 0 %. 5 Al-Mefty menekankan pentingnya operasi total removal 1 tahap, mengingat resiko perlengketan duramater jika dilakukan operasi bertahap. Al-Mefty juga menekankan pentingnya preservasi vena Labbe pada saat membuka tentorium dan anatomi Liliequist’s membrane pada saat dilakukan diseksi1, 2, 3, 4, 5, 12.



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 5. “Al-Mefty approach” (Presigmoid Retrolabyrinthine Transtentorial). Dikutip dari Al-Mefty O, Smith RR. Petrosal Approach for Petroclival Meningioma. Neurosurgery 1988;22:510-517



Gambar 6. Incisi kulit dan area craniotomy. Dikutip dari Al-Mefty O, Schenk M P, Smith RR. Presigmoid Transtentorial approach. AANS Operative Neurosurgical Atlas 1991.p.339-350



463



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 9. Ligasi sinus petrosal inferior dan preservasi vena Labbe. Dikutip dari Al-Mefty O, Schenk MP, Smith RR. AANS Operative Neurosurgical Atlas 1991.p.339-350 Gambar 7. Surgical Landmark. Dikutip dari Sincoff EH, McMenomey SO, Delashaw JB. Posterior transpetrosal approach: Less is more. Neurosurgery 2007;60:53-59



.



Gambar 10. Incisi tentorium Dikutip dari Sekhar L, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Techniques. Brain. New York : Thieme 2006.p.695-711



Gambar 8. Bone drilling, preservasi vena Labbe dan incisi tentorium. Dikutip dari Sincoff EH, McMenomey SO, Delashaw JB. Posterior transpetrosal approach: Less is more. Neurosurgery 2007;60:53-59



464



Gambar 11. Identifikasi brain stem dan massa tumor. Dikutip dari Sekhar L, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Techniques. Brain. New York : Thieme 2006.p.695-711



Neurosurgery Lecture Notes



.



Gambar 12. Identifikasi massa tumor dan nervus cranialis Dikutip dari : Al-Mefty O, Schenk MP, Smith RR. AANS Operative Neurosurgical Atlas 1991.p.339-350



Gambar 13. Membran Liliequist. Dikutip dari Al-Mefty O, Smith RR. Petrosal approach for petroclival meningioma. Neurosurgery 1988;22:510-517



VARIASI APPROACH PETROCLIVAL TUMOR



Gambar 15. Variasi approach, proyeksi sagital. Dikutip dari: Ammerman JM,Lonser RR. Oldfield EH. Posterior subtemporal transtentorial approach to intraparenchymal lesions of the anteromedial region of the superior cerebellum. J Neurosurg 2005;103:783–788



Gambar 14. Variasi approach, proyeksi axial. Dikutip dari: Bambakidis N, Spetzler R, Deshmukh V, et al. Combined Skull Base Approach to The Posterior Fossa:Tehnical Note. Neurosurg Focus 2005;19:1-9



465



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 2. Seleksi approach terhadap tumor petroclival. Dikutip dari Sekhar L, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Techniques. Brain. New York: Thieme 2006.p.695-711



Subtemporal Approach Merupakan modifikasi Hartley-Krause procedure (Extra dural sub temporal approach), yang diperkenalkan pada thn 1892 dan awalnya di tujukan untuk tindakan ganglionectomy. Di populerkan oleh Charles George Drake, pada awal nya di disain untuk kasus ruptur basilar aneurisma. 8



Gambar 17. Subtemporal approach, positioning. Dikutip dari : Ammerman JM,Lonser RR. Oldfield EH. Posterior subtemporal transtentorial approach to intraparenchymal lesions of the anteromedial region of the superior cerebellum. J Neurosurg 2005;103:783–788



Gambar 16. Hartley-Krause Procedure. Dikutip dari: Hitselberger WE, Horn KL, Hankinson H, Brackmann DE, House WF. The middle fossa trans petrous approach for petroclival meningioma. Skull Base Surgery 1993;3:130-136



466



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 18. Sub temporal approach. Dikutip dari : Salcman M, Heros RC, Sonntag VKH, eds. Kempe’s Operative Neurosurgery, 2nd edn. Vol.1. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2004.p.205-214



Gambar 19. Sub temporal approach exposure. Dikutip dari : Salcman M, Heros RC, Sonntag VKH, eds. Kempe’s Operative Neurosurgery, 2nd edn. Vol.1. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2004.p.205-214



Evolusi Trans Petrosal Approach1, 4, 8 1892 : Hartley and Krause procedure (Extra Dural Sub Temporal approach) yang kemudian menjadi dasar modifikasi middle fossa approach 1897 : Stieglitz melakukan transtentorial approach pada kasus CPA tumor 1904 : Frankel dan Hunt melakukan Suboccipital approach dikombinasikan dengan Translabyrinthine approach 1913 : Morrison dan King melakukan Subtemporal approach dengan ligasi sinus transversus dikombinasikan dengan Translabyrinthine approach 1928 : Naffziger melakukan Supra tentorial occipital approach kombinasi dengan Suboccipital craniectomy dengan ligasi sinus transversus 1931 : Eagleton pertama kali mengeksplorasi posterior fossa melalui apex petrosus 1939 : Bailey melakukan unilateral occipital transtentorial approach dengan ligasi dan reanastomose sinus transversus 1960 : William House, seorang ahli THT, memperkenalkan middle fossa approach melalui internal auditory canal 1969 : Michael Glasscock, seorang ahli THT menggunakan middle fossa approach untuk mengekspos petrosal carotid artery dan menggunakan teknik ini untuk melakukan ligasi arteri carotis. Area untuk expossure arteri carotis tersebut kemudian dikenal sebagai Glasscock Triangle 1977 : Akira Hakuba memodifikasi Morrison dan King approach dan kemudian menjadi dasar Cranio Orbito Zyangomatic/COZ approach 1982 : Al-Mefty secara konsisten menggunakan Presigmoid retrolabyrinthine transtentorial approach(atau dalam istilah Al-Mefty disebut trans petrosal approach) dalam menangani tumor petroclival.



Gambar 20. Varian posterior Sub Temporal approach, identifikasi vena Labbe: Dikutip dari : Ammerman JM,Lonser RR. Oldfield EH. Posterior subtemporal transtentorial approach to intraparenchymal lesions of the anteromedial region of the superior cerebellum. J Neurosurg 2005;103:783–788



467



Neurosurgery Lecture Notes



gravitasi, sehingga intra operatif tidak diperlukan retraktor. - Dibanding Retrosigmoid approach, memperpendek jarak kerja +/- 2 cm dan memungkinkan operator bekerja pada posisi di depan batang otak. Anterior Petrosal Approach/APA4 Dikenal juga sebagai Partial Labyrinthectomy Petrous Apicectomy Approach(PLPA), extended middle fossa approach atau Kawase approach. Takeshi Kawase pertama kali memperkenalkan APA dengan limited bone resection untuk mempertahankan fungsi pendengaran pada kasus aneurisma basilar pada tahun 1985. APA kemudian di indikasikan untuk kasus tumor petroclival pada tahun 1990. WFNS kemudian merekomendasikan APA pada tahun 1999. Takeshi Kawase mengindikasikan APA pada kasus clival tumor dan spheno-clival tumor. Dikenal juga sebagai “Craniotomy 6 cm”. Kawase menyatakan prinsip APA adalah expossure dari foramen spinosum dan explorasi Meckel’s cave (tempat fiksasi nervus trigeminal).



Gambar 21. Trans Petrosal approach: Dikutip dari: Spetzler RF, David CA. Petroclival Meningiomas. Barrow Quarterly 1999;15:1-7



Keuntungan Trans Petrosal approach (menurut WFNS)4 : - Meminimalisir retraksi otak - Memperpendek jarak kerja +/- 3 cm dan memberikan expossure yang cukup baik terhadap bagian terdalam dasar tengkorak dengan jarak pandang langsung - Memberikan akses lapangan operasi yang lebih luas dibandingkan subtemporal dan retrosigmoid approach - Memperbesar kemungkinan operasi diselesaikan dalam 1 tahap saja - Minimal atau tidak diperlukan retraksi cerebellum, dibandingkan dengan retrosigmoid ataupun suboccipital approach - Dengan positioning yang adekuat memungkinkan cerebellum dan pons mengalami retraksi secara alamiah akibat



468



Gambar 22. Anterior Petrosal approach/Craniotomy 6 cm. Dikutip dari Al-Mefty O. Overview of Petroclival Meningiomas. In: Pamir MN. Black PM, Fahlbusch R, eds. Meningioma : A Comprehensive Text. Philadelphia : Saunders Elsevier 2010.p.477-489



Neurosurgery Lecture Notes



.



Gambar 23. Apex Petrosus Dikutip dari Kawase T. How to Perform Transpetrosal Approaches. In: Sindou M, ed. Practical Handbook of Neurosurgery From Leading Neurosurgeon. Vol 1. Wien, New York : Springer 2009.p.233-242



Gambar 26. 11 Skull Base Triangle: Dikutip dari Fukushima T. Management of cavernous sinus lesion. In: Sindou M, ed. Practical Handbook of Neurosurgery From Leading Neurosurgeon. Vol 1. Wien, New York : Springer 2009.p.129154



Middle Fossa Approach



Gambar 24. Explorasi Meckel’s cave. Dikutip dari: Kawase T. How to Perform Transpetrosal Approaches. In: Sindou M, ed. Practical Handbook of Neurosurgery From Leading Neurosurgeon. Vol 1. Wien, New York : Springer 2009.p.233242



Gambar 27. Extra Dural approach melalui mid fossa, identifikasi petrous carotid artery dan nervus II-III: Dikutip dari Rhoton AL. The Temporal Bone and Transtemporal approach. Neurosurgery 2000;47:211-265



Gambar 25. Kawase Triangle (Posteromedial triangle). Dikutip dari Rhoton AL. The Temporal Bone and Transtemporal approach. Neurosurgery 2000;47:211-265



469



Neurosurgery Lecture Notes



fissure proceeding inferiorly. Dikutip dari Spetzler RF, David CA. Petroclival Meningiomas, Barrow Quarterly, 1999;15:1-7.



.



Gambar 28. Mastronadi dan Sameshima’s Rule of 2 fans Dikutip dari: Mastronardi L, Sameshima T, Fukushima T. Extra Dural Middle Fossa Approach, Proposal of a Learning Method : The Rule of 2 Fans. Skull Base: An Interdisciplinary Approach 2006;16:181-186



Mastronadi dan Sameshima memodifikasi mid fossa approach, menganjurkan extra dural approach berdasarkan koridor operatif dan landmark anatomi nervus V, VII dan VIII (rule of 2 fans). Teknik ini juga dapat digunakan pada combined petrosal dan anterolateral transcavernous approach. Keuntungan utamanya adalah diseksi extra dural, meminimalisir retraksi lobus temporalis , menghindari transposisi nervus cranialis dan cedera arteri carotis. Kesulitan nya berhubungan dengan rumitnya anatomi daerah petroclival pada proyeksi fossa media. 23



Gambar 30. Variasi modifikasi FTOZ. Dikutip dari: Balasingam V, Mc =Menomey SO, Delashaw JB, et al. FrontotemporalOrbitozygomatic Approach. Neurosurg Q 2005;15:113-121



Frontotemporo Orbito Zygomatic approach(FTOZ)/C O Z / OZO :



Gambar 29. Cranio Orbito Zygomatic approach. 1, base of the zygomatic arch; 2, lateral zygoma; 3, medial zygoma; 4, orbital roof; 5, from inferior orbital fissure proceeding posteriorly; and 6, from superior orbital



470



Gambar 31. Trans Sylvian approach setelah dilakukan COZ. Dikutip dari Spetzler R F, David C A. Petroclival Meningiomas. Barrow Quarterly, 1999;15:1-7



Neurosurgery Lecture Notes



Posterior Petrosal Approach :



Combined Petrosal Approach



Gambar 34. Combined Petrosal approach. Dikutip dari : Sekhar L, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Techniques, Brain. New York: Thieme 2006.p.695-711



Gambar 32. Trans Labyrinthine dan Trans Cochlear Petrosectomy approach. Dikutip dari : Sincoff EH, Mc Menomey SO, Delashaw JB. Posterior transpetrosal approach: Less is more. Neurosurgery 2007;60:53-59



Gambar 33. Posterior Petrosal Approach. Dikutip dari AlMefty O. Overview of Petroclival Meningiomas. In Pamir NM, Black PM, Fahlbush R, eds. Meningioma : A Comprehensive Text. Philadelphia: Saunders Elsevier 2010.p.477-489



Gambar 35. Perbandingan antara Anterior dan Posterior Trans Petrosal approach. Dikutip dari: Kawase T. How to Perform Transpetrosal Approaches In: Sindou M, ed. Pactical Handbook of Neurosurgery From Leading Neurosurgeon. Vol 1. Wien, New York : Springer Wien 2009.p.233-242 GPN Greater petrosal nerve, CH cochlea, LB labyrinth, IAM internal auditory meatus, V trigeminal nerve



471



Neurosurgery Lecture Notes



Para Petrosal Retrolabyrinthine Combined Approach/Fukushima Approach



A



B



C



Gambar 36. (A, B) Posisi dan insisi kulit Para Petrosal Retrolabyrinthine Combined Approach/Fukushima Approach. (C) SNL :superior nuchal line, INL: inferior nuchal line, Mastoid triangle: A. Outer triangle, B. Inner triangle C. Macewen’s triangle/suprameatal triangle). Dikutip dari Fukushima T. Management of cavernous sinus lesion. In: Sindou M ed. Practical Handbook of Neurosurgery From Leading Neurosurgeon. Vol 1. Wien, New York : Springer 2009.p.129-154



472



Neurosurgery Lecture Notes



Retrosigmoid Approach



Gambar 37. Retrosigmoid (“coin”) approach. Dikutip dari: Tatagiba M, Acioly MA. Retrosigmoid approach to the posterior and middle fossae . In: Ramina R, Aguiar PHP, Tatagiba M eds. Samii’s Essentials in Neurosurgery. Berlin, Heidelberg: Springer 2008.p.137-154



473



Neurosurgery Lecture Notes



Far Lateral Approach :



Gambar 38. Far lateral approach dan preservasi arteri vertebralis. Dikutip dari: Spetzler RF, David CA. Petroclival Meningiomas. Barrow Quarterly 1999;15:1-7



Combined Approach (Supra-Infra Tentorial):



Gambar 39. Combined approach dengan subtemporal-suboccipital craniotomy. Dikutip dari: Spetzler RF, David CA. Petroclival Meningiomas. Barrow Quarterly 1999;15:1-7



474



Neurosurgery Lecture Notes



Combined-combined approach (Combined approach and Far Lateral) :



Gambar 40. Combined-combined approach. Dikutip dari : Bambakidis N, Spetzler R, Deshmukh V, et al. Combined skull base approach to the posterior fossa: Technical Note. Neurosurg Focus 2005;19:1-9



Extreme Lateral Approach :



Gambar 41. Extreme lateral approach: Dikutip dari: Bambakidis N, Spetzler R, Deshmukh V et al. Combined skull base approach to the posterior fossa, Technical Note. Neurosurg Focus 2005;19:1-9



475



Neurosurgery Lecture Notes



Total Petrosectomy :



Gambar 42. Total Petrosectomy : radikal mastoidectomy dan complete labyrinthectomy. Dikutip dari: Sekhar L, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Techniques, Brain. New York: Thieme 2006:695-711



ABC Surgical Risk Score 25 Lokasi deep seated kasus skull base meningioma dan kemungkinan keterlibatan neurovascular maupun perlekatan pada batang otak,merupakan penyulit dalam pengambilan keputusan penatalaksanaan yang ideal dan optimal. Pilihan tersebut mencakup pembedahan, radiasi ataupun observasi. Jika pembedahan adalah tindakan yang terpilih, kemampuan dan pengalaman ahli bedah yang bersangkutan adalah hal yang bersifat mutlak. Diperlukan suatu protokol yang dapat memprediksi resiko tindakan pembedahan tersebut, terutama untuk memprediksi kemungkinan ekstensi reseksi tumor, serta antisipasi kemungkinan outcome neurologis suatu kasus yang akan dihadapi. Protokol yang praktis dan aplikatif akan memberikan keuntungan kepada ahli bedah dan pasien, terutama dalam hal pengambilan keputusan yang rasional dan meminimalisir komplikasi pasca operasi. Kawase dkk mengajukan suatu sistem skoring berdasarkan attachment size dan arterial involvement(A), brainstem contact(B) dan central cavity, dan menamakan protokol tersebut sebagai 476



ABC score. Kawase dkk juga memperkenalkan konsep anatomi baru yang dinamakan central cavity berdasarkan keterlibatan saraf kranialis yang kompleks pada dasar tengkorak. Pemeriksaan MRI T2 cukup bermakna untuk mengevaluasi keterlibatan arteri dan kontak massa tumor terhadap batang otak. Keterlibatan arteri memberikan gambaran flow void intra tumoral.Kontak batang otak terhadap massa tumor dapat di deteksi dengan menilai visualisasi ruang CSF diantara batang otak dan massa tumor maupun gambaran perifokal edema. Sekhar, seperti halnya Kawase menyatakan diseksi massa tumor pada keadaan tersebut akan merusak permukaan batang otak dan resiko cedera arteri basilaris akibat perlengketan massa tumor. Nilai skor total adalah 12 poin, dengan kategori grade I(0-4 poin), grade II(5-7 poin) dan grade III(812 poin). Penelitian Kawase dkk mendapatkan gross total resection pada sebagian besar kasus grade I, 90% near total resection pada kasus grade II dan hanya tindakan sub total resection pada kasus grade III.



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 3.ABC Surgical Risk Score



Dikutip dari Kawase T, Adachi K, Yoshida K, Yazaki T, Onozuka S. ABC Surgical Risk Scale for skull base meningioma: A new scoring system for predicting the extent of tumor removal and neurological outcome. J Neurosurg 2009;111:1053-1061



Gambar 44.Hubungan antara grading ABC score dan resektabilitas massa tumor Dikutip dari Kawase T, Adachi K, Yoshida K, Yazaki T, Onozuka S. ABC Surgical Risk Scale for skull base meningioma: A new scoring system for predicting the extent of tumor removal and neurological outcome. J Neurosurg 2009;111:1053-1061



ILUSTRASI KASUS Laki-laki 18 th, dengan keluhan utama buta sejak 2 bulan sebelum masuk RS; diawali dengan nyeri kepala selama lebih kurang 2 thn. Penderita dirawat dengan parese N. VII tipe sentral dan lower cranial nerves palsy.



Gambar 43. Aplikasi ABC Surgical Score pada kasus Petroclival Meningioma (A).Nilai skor total 10(Grade III) (B). MRI T2 menunjukkan gambaran perifokal edema(anak panah) menunjukkan kontak massa tumor pada batang otak (C). Encasement massa tumor terhadap arteri basilaris(panah) dan infiltrasi foramen jugularis(panah bengkok) (D). MRI T1 menunjukkan gambaran keterlibatan arteri cerebelar anterior inferior/AICA dan infiltrasi internal auditory canal (E)Tampak gambaran keterlibatan arteri vertebralis pada penampang sagital (F)Gambaran imejing pasca operasi. Ukuran perlekatan massa tumor +/- 5 cm. Dilakukan tindakan sub total removal (Simpson grade IV), 2 tahap(combined petrosal dan suboccipital approach)dengan komplikasi abducen dan facial nerve palsy. Tumor residual ditindaklanjuti dengan tindakan gamma-knife surgery Dikutip dari Kawase T, Adachi K, Yoshida K, Yazaki T, Onozuka S. ABC Surgical Risk Scale for skull base meningioma: A new scoring system for predicting the extent of tumor removal and neurological outcome. J Neurosurg 2009;111:1053-1061



Gambar 46 . Imejing menunjukkan petroclival meningioma. Dikutip dari kumpulan kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H-Adam Malik



477



Neurosurgery Lecture Notes



5.



6.



7.



8.



9. 10. Gambar 47. (A, B, C) intra operatif, dengan approach subtemporal dan retrosigmoid approach. Tampak masa tumor padat dengan sebagian komponen kistik (D) Makroskopis tumor yang terangkat. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



11.



12. 13.



14. 15.



16.



17.



Gambar 48. Gambaran histopatologi jaringan tumor, sesuai dengan gambaran psammomatous meningioma. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.



4.



478



Al-Mefty O. Meningioma. New York : Raven Press 1991.p.517-538 Al-Mefty O, Smith RR. Petrosal approach for petroclival meningioma. Neurosurgery 1988;22:510-517 Al-Mefty O, Schenk M P, Smith RR. Presigmoid transtentorial approach. AANS Operative Neurosurgical Atlas 1991.p.339-350 Al-Mefty O. Overview of Petroclival Meningiomas. In : Pamir MN, Black PM, Fahlbush R eds. Meningioma : A Comprehensive Text. Philadelphia: Saunders Elsevier 2010.p.477-489



18.



19.



20.



21. 22.



Al-Mefty O. How to perform cranio-orbital zygomatic approaches. In : Sindou M, ed. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon, 2nd edn.Vol.1. Wien, New York: Springer 2009.p.99-115 Ramina R, Fernandes YB, Neto MC. Petroclival meningiomas: Diagnosis, Treatment and Results. In: Ramina R, Aguiar PHP, Tatagiba M, eds. Samii’s Essentials in Neurosurgery. Berlin, Heidelberg : Springer 2008.p.121-154 Samii M, Ammirati M. Presigmoid sinus approach to petroclival meningioma. Skull Base Surgery 1992;2:124129 Hitselberger WE, Horn KL, Hankinson H, Brackmann DE, House WF. The middle fossa transpetrous approach for petroclival meningioma. Skull Base Surgery 1993;3:130136 Spetzler RF, David CA. Petroclival Meningiomas. Barrow Quarterly 1999;15:1-7 Umansky F, Elidan J, Valarezo A. Dorello's canal: A microanatomical study. J Neurosurg 1991;75:294-298 Tsitsopoulos PD, Tsonidis CA, Petsas GP, Hadjiioannou N, Njau SN, Anagnostopoulos IV. Microsurgical study of the Dorello's canal. Skull Base Surg 1996;6:181–185. Brasil A, Schneider F. Anatomy of Liliequist Membrane. Neurosurgery 1993;32(6):956-60 Sincoff EH, McMenomey SO, Delashaw JB. Posterior transpetrosal approach: Less is more. Neurosurgery 2007;60:53-59 Sekhar L, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Techniques. Brain. New York : Thieme 2006.p.695-711 Ayberk G, Ozveren MF, Aslan S, Yaman ME, Yaman O, Kayaci S, Tekdemir I. Subarachnoid, subdural and interdural spaces at the clival region: An anatomical study. Turkish Neurosurgery 2011; 21(3):372-377 Bambakidis N, Spetzler R, Deshmukh V, et al. Combined skull base approach to the posterior fossa: Tehnical Note. Neurosurg Focus 2005;19:1-9 Mandelli C, Porras L, López-Sánchez C, Sicuri GM, Lomonaco I, García-Martínez V. The partial labyrinthectomy petrous apicectomy approach to petroclival meningioma : A Quantitative Anatomic Comparison With Other Approaches to the same region. NeurocirugÍa 2008;19(2):133-142 Ammerman JM,Lonser RR, Oldfield EH. Posterior subtemporal transtentorial approach to intraparenchymal lesions of the anteromedial region of the superior cerebellum. J Neurosurg 2005;103:783–788 Kempe LG. Clivus Meningioma. In : Salcman M, Heros RC, Laws ER JR, Sonntag VKH. Kempe’s Operative Neurosurgery 2nd edn.Vol.1. New York, Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag 2004.p.205-214 Kawase T. How to Perform Transpetrosal Approaches. Sindou M ed. Practical Handbook of Neurosurgery From Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer-Verlag 2009.p.233-242 Rhoton AL. The Temporal Bone and Transtemporal Approach. Neurosurgery 2000;47:211-265 Mastronardi L, Sameshima T, Fukushima T. Extra Dural Middle Fossa Approach-Proposal of a Learning Method :



Neurosurgery Lecture Notes



The Rule of 2 Fans. Skull Base: An Interdisciplinary Approach 2006;16:181-186 23. Balasingam V, Mc Menomey SO, Delashaw JB, et al. Frontotemporal-Orbitozygomatic Approach. Neurosurg Q , 2005;15:113-121 24. Tatagiba M, Acioly MA. Retrosigmoid Approach to the Posterior and Middle Fossae. In : Ramina R, Aguiar PHP,



Tatagiba M, ed. Samii’s Essentials in Neurosurgery. Berlin, Heidelberg: Springer 2006.p.137-154 25. Kawase T, Adachi K, Yoshida K, Yazaki T, Onozuka S. ABC Surgical Risk Scale for skull base meningioma: A new scoring system for predicting the extent of tumor removal and neurological outcome. J Neurosurg 2009;111:1053-1061



479



Neurosurgery Lecture Notes



TENTORIAL MENINGIOMA Sonny G.R. Saragih, Iskandar Japardi Cardiac surgery is like basketball , need three or four physicians, Neurosurgery is a single man operation, its not mathematics, physics or computer. It requireS concentration, quiet and precision . . . Takanori Fukushima



PENDAHULUAN Cushing dan Eisenhardt pertama kali menganggap torcular meningioma sebagai suatu entitas tersendiri pada tahun 1935. Setelah mempertimbangkan hubungan anatomi diantara 12 kasus pribadinya dengan torcular, falx dan tentorium, Cushing membagi area peritorcular menjadi 4 kuadran. Sejak saat itu berbagai klasifikasi anatomi (diantaranya Tentorial, Posterior Third Parasagital, Falcotentorial dan Posterior Fossa) membuat berbagai terminologi yang tumpang tindih dan sulit dilacak di literatur. 1, 2, 3



Meningioma posterior fossa diperkirakan sekitar 9% dari meningioma intra cranial. Sekitar 36% dari kasus meningioma intra cranial dan 30% dari posterior fossa meningioma, berasal dari tentorium cerebelli. 1 Tentorium cerebelli merupakan duplikasi duramater yang menutupi permukaan atas cerebellum dan menyokong lobus occipital, memisahkan kompartemen supra dan infra tentorial. Tentorium bagian posterior melekat pada permukaan dalam tulang occipital, pada tonjolan transversus. Pada bagian anterolateral melekat pada tulang temporal pars petrosus, mencakup sinus petrosal superior dikedua sisi. Bagian anterior melekat pada procesus clinoid anterior dan posterior. Daerah medial (incisura tentorii) adalah daerah anatomi mesencephalon. Falx cerebelli merupakan procesus segitiga dural yang kecil, yang menonjol di daerah midline dari bagian bawah tentorium. Permukaan atas tentorium berhubungan dengan bagian bawah falx cerebri didaerah midline, setentang straight sinus. Sinus ini menerima drainase vena dari vena Galen dan sinus sagitalis inferior pada apex tentorium dan berhubungan pada bagian posterior dengan sinus transversus pada ke 2 sisi dan dengan sinus sagitalis superior dari bagian atas, setentang torcular herophili. 1, 2, 3, 4 480



Incisura Tentorii dibagi atas bagian anterior, yang terletak di depan brainstem, bagian medial di lateral brainstem dan bagian posterior di belakang brainstem. Struktur anatomi yang berkaitan dengan incisura tentorii dapat diliputi oleh massa tumor dan beresiko mengalami kerusakan intra operatif. Preservasi anatomi sangat penting pada saat diseksi arachnoid dan dinding lateral sisterna ambient, interpeduncular, crural dan chiasmatic. 1, 3 Bagian anterior Incisura Tentorii merupakan struktur neurovascular yang paling penting, melibatkan nervus oculomotor, vena basalis, arteri communicating posterior, arteri choroidal anterior, segmen P1 dan P2 cabang arteri cerebri posterior serta arteri cerebellar superior. Nervus trochlear, arteri choroidal anterior, segmen P2 arteri cerebri posterior, arteri cerebellar superior dan vena Rosenthal merupakan struktur neurovascular di ruang incisura media. Preservasi nervus trochlear yang berukuran kecil dan berlokasi dibawah tentorium merupakan hal yang sangat penting, terutama pada approach sub temporal ataupun transpetrosal. 1, 3



Gambar 1. Vaskularisasi Tentorium. Dikutip dari Sindou M, Alvernia JE. Results of attempted radical tumor removal and venous repair in 100 consecutive meningiomas involving the major dural sinuses. J Neurosurg 2006;105: 514-525



Neurosurgery Lecture Notes



Sisterna ambien menyambung ke bagian posterior dengan sisterna quadrigeminal, yang merupakan sisterna utama pada ruang incisura posterior. Ruangan ini merupakan struktur pembentuk regio pineal dan berhubungan dengan anterior falcotentorial meningioma. 5 Supply arteri pada tentorium berasal dari arteri tentorial basal (arteri Bernasconi-Cassinari) , yang merupakan cabang dari truncus meningohipophiseal. 5, 6



jaringan otak, jaringan vascular dan nervus cranialis) . Hal ini menjadi dasar pertimbangan Cushing dan Eisenhardt dalam monograph tentang meningioma pada topik cerebellar. Klasifikasi tumor ini sangat berguna dalam menentukan pemilihan approach tehnik operasi yang sistematis dan prediksi kemungkinan komplikasi pasca operasi. 1, 5 Kenichiro Sugita memperkenalkan istilah Posterior Skull Base Meningioma dan 7 mengklasifikasikankan atas : 1 Medial tentorial meningioma. Sub divisi : anterior, medial dan posterior 2 Lateral tentorial meningioma. Sub divisi : anterior, medial dan posterior 3 Falcotentorial (parastraight sinus) meningioma. 4 Paraconfluence sinus meningioma. 5 Paratransverse sinus meningioma. 6 Clival meningioma. 7 Clivopyramidal meningioma. 8 Clivopyramidotentorial meningioma. 10 Pyramidal (parasigmoid sinus) meningioma. 11 Cerebellar (surface) meningioma. 12 Foramen magnum meningioma. Laligam Sekhar menggunakan istilah Posterior Fossa meningioma, dan membaginya atas 6 sub tipe. Tabel 1. Klasifikasi tentorial meningioma meurut Laligam Sekhar dikutip dari Sekhar L N, Fessler RG, Atlas of Neurosurgical Tehnique : Brain. New York: Thieme 2006.p.495-506



Gambar2. Sirkulasi vertebro-basiler. Dikutip dari Borden NM. 3D Angiographic Atlas of Neurovascular Anatomy and Pathology. Cambridge University Press, Cambridge 2007.p.23



KLASIFIKASI Klasifikasi meningioma tentorial, seperti juga klasifikasi meningioma yang lain, memiliki keterbatasan oleh karena pola dan gambaran yang tidak konsisten, ekstensi perlekatan duramater, arah pertumbuhan massa tumor dan potensi invasi struktur anatomi yang lain (duramater, tulang,



Berbagai klasifikasi telah diajukan oleh para ahli, tetapi klasifikasi yang diajukan oleh Yasargil merupakan sistem yang paling akurat berdasarkan anatomi pembedahan. 8, 9



481



Neurosurgery Lecture Notes



SURGICAL APPROACH



Gambar 3. Modified Yasargil Classification. Dikutip dari Seifert V, Basiouni H in Black P M, Pamir M N, Fahlbusch R, eds. Meningiomas : A Comprehensive Text. Philadelphia : Elsevier Saunders 2010.p.519-527



Untuk kepentingan praktis dan kemudahan anatomis, Peter Black menggunakan modifikasi klasifikasi Yasargil dan membagi massa tumor menjadi 8 : 1. T1- T2 (medial “incisural” meningioma) 2. T3 T8 (falcotentorial meningioma) 3. T4 (paramedian “intermediate” meningioma) 4. T5 ( peritorcular/torcular meningioma) 5. T6 T7 ( lateral tentorial meningioma) Pada kasus meningioma yang berasal dari peritorcular area, dapat di klasifikasi lebih lanjut atas3 ; - Infra Tentorial : melekat pada tepi bawah torcular, permukaan inferior tentorium, sinus transversus dan straight sinus - Supra tentorial : melekat pada tepi atas torcula, permukaan superior tentorium, sinus transversus dan melibatkan sinus sagitalis superior - Giant tumor : ekstensi ke supra dan infra tentorium Menurut Ojemann, dari sudut pandang klinis, Falcotentorial tumor sebaiknya dibagi 2, yaitu 2: 1. Medial Tumor, yang melibatkan tepi tentorial, posterior dan lateral tumor. 2. Tumor yang melibatkan baik falx maupun tentorium.



482



Gambar 4. Three Quarter Prone Position / Park Bench. (1, 2) Bilateral Supra Tentorial Craniotomy (3) Sub Occipital Craniectomy. Dikutip dari : Sekhar LN, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Technique, Brain. New York : Thieme 2006.p.495-506



Gambar 5. Variasi surgical Approach pada pembedahan Tentorial meningioma . A. Petrossal approach B. Supra tentorial inter hemispheric approach C. Supra Infra Tentorial approach D. Cranio Orbito Zyangomatic approach. Dikutip dari : Sekhar LN, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Technique, Brain. New York : Thieme 2006.p.495-506



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 6. Proyeksi Supra Tentorial dan Supra Cerebellar Infra Tentorial. Dikutip dari : Sekhar LN, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Technique, Brain. New York : Thieme 2006:495506



anatomis berbeda secara bermakna, dan hal ini berkorelasi dengan kesulitan operasi dan outcome penderita. Petroclival meningioma origin berasal dari area sebelah medial nervus trigeminal dan umumnya hanya mempunyai 1 lapis arachnoid yang memisahkan dari brainstem, yang umumnya melekat dengan erat, sehingga secara teknis sangat sulit untuk dilakukan total reseksi. Medial tentorial meningioma dilain pihak, berasal dari tepi tentorium, yang merupakan pertemuan antara sisterna interpeduncular, crural dan ambient, sesuai dengan pertumbuhan massa tumor akan mendorong lapisan multiple arachnoid kearah depan dan akan menunjukkan demarkasi batas yang tegas antara brain stem dan cranial nerves, sehingga secara teori menggambarkan tindakan reseksi tumor “lebih tidak beresiko” jika dibandingkan kasus petroclival meningioma. 5, 9, 10,11



Gambar 7. Unilateral Occipital Supra Tentorial approach. Dikutip dari Alvernia JE, Mbabuike N, Ware ML. Occipital Craniotomy in Jandial R, McCormick P, Black PM, eds. Core Technique in Operative Neurosurgery. Philadelphia : Elsevier Saunders 2011.p.65-69



Meskipun medial tentorial ring meningioma tampak sangat mirip dengan petroclival atau sphenopetroclival meningioma pada pemeriksaan imaging, namun secara



Tentorial Fold Meningioma 5 Dari perspektif pembedahan , tentorial fold meningioma merupakan kasus tumor dengan entitas yang unik. Tumor ini melibatkan kompartemen supra dan infra tentorial dan sering melibatkan kontak langsung dengan sinus cavernosus, nervus cranialis dan mesencephalon. Reseksi komplit merupakan tantangan tersendiri dan dapat berakibat fatal. Secara anatomis , ujung anterior tentorium melekat pada apex petrosus dan anterior-posterior clinoid. Perlekatan ini membentuk 3 lapisan duramater : anterior, posterior petroclinoid dan lapisan interclinoid, membentuk segitiga oculomotor (Hakuba triangle) . Berdekatan dengan segitiga tersebut terdapat struktur vital neurovascular, seperti : nervus III, nervus IV, arteri carotis interna , arteri cerebri posterior dan ateri choroidalis anterior, yang menyebabkan operasi di daerah ini tergolong beresiko tinggi. Tumor pada daerah ini terkadang melibatkan bagian basal dari mesencephalon, atau ekstensi ke sinus cavernosus. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai strategi pembedahan dikembangkan di daerah anterior inner tentorial ring, yang membentuk bagian dari tentorial fold. Tumor tentorial fold merupakan lesi skull base, deep seated.



483



Neurosurgery Lecture Notes



.



Gambar8. Klasifikasi Tentorial Fold Meningioma Tipe 1. Berasal dari bagian dorsal tentorial fold, Tipe 2. Ekstensi ke bagian anterior middle fossa, Tipe 3. Kombinasi tipe 1 dan 2. Dikutip dari Hashemi M, Schick U, Hassler W, Hefti M. Tentorial meningiomas with special aspect to the tentorial fold: management, surgical technique, and outcome. Acta Neurochir (Wien) 2010;152(5):827-834



Pilihan approach operasi adalah pterional, unilateral subtemporal dan combined subtemporalpterional approach. Tumor tipe 1 di akses melalui subtemporal approach untuk kontrol dini mid fossa dan brain stem. Vena Labbe di identifikasi dan dipreservasi. Retraksi temporal lobe, identifikasi massa tumor, piece meal removal dan koagulasi, visualisasi tepi tentorium. Expossure arteri carotis dan nervus oculomotor pada bagian rostral. Pada bagian caudal dibawah tentorial, nervus trochlearis yang pada umumnya di liputi massa tumor, dipreservasi. Kemudian tentorial dura di belakang tempat masuk nervus trochlearis dipisahkan searah apex petrosus. Bagian prepontine dan perimesencephalic dapat di jangkau dan massa tumor di kuretase. Pada bagian rostral, nervus oculomotor dapat melekat erat dengan massa tumor dan sulit untuk dilakukan diseksi, oleh karena tidak adanya lapisan arachnoid. Tumor diantara arteri carotis dan nervus oculomotor direseksi secara piece meal. Artery communicating posterior dan choroidalis anterior di expose dan di pisahkan dari massa tumor. Untuk tumor tipe II, approach pilihan adalah pterional. Sylvian Fissure secara rutin dibuka, untuk expossure arteri cerebri media dan arteri carotis interna. Setelah dilakukan debulking, bagian anterior dari tentorial fold dan struktur neurovascular vital (arteri carotis interna, arteri choroidalis anterior, arteri cerebri posterior, chiasma opticum, nervus II, III dan IV) dibebaskan dari massa tumor. Dilakukan incisi pada tentorial 484



fold dari arah frontal ke occipital, pembebasan massa tumor dan koagulasi tempat perlekatan duramater. Review literature kasus tentorial meningioma mengindikasikan bahwa reseksi komplit tanpa resiko serius struktur anatomi eloquent area, adalah tidak mungkin. Sugita menyatakan meskipun perkembangan pesat semakin berkembang pada tehnik operasi dan approach operasi skull base, meningioma tentorial tetap merupakan kasus yang secara teknis dan anatomis sangat menuntut keahlian operator. Sekhar menekankan pada keterbatasan reseksi kasus vascular encasement, menyebabkan tidak dapat dilakukan diseksi piamater. 1, 3, 4 Meskipun masih kontroversial, berdasarkan bukti bahwa radiasi setelah reseksi sub total meningkatkan lokal kontrol dan progression free survival 95% > 7 tahun dengan modalitas Stereotactic Radio Surgery , demikian juga dengan tambahan terapi yang cukup menjanjikan seperti terapi radionuclide peptide like, modalitas tersebut merupakan variasi pilihan yang layak untuk dipertimbangkan. 1, 5



Gambar 9. Koridor Operatif area incisura tentorii dan Pineal region : A. Transtentorial B. Infratentorial Supra Cerebellar. C. Subchoroidal D. dan E. Combined approach Dikutip dari: Ojemann RG. Management of Meningioma. Clinical Neurosurgery 1992;40:321-383



Neurosurgery Lecture Notes



Ojemann menyatakan hal penting yang perlu ditekankan pada saat operasi adalah2 : 1. Subtemporal approach digunakan pada kasus tumor yang melibatkan tepi medial insisura, dengan preservasi vena Labbe dan meminimalisir retraksi lobus temporal. 2. Combined Supra-Infra Tentorial approach digunakan untuk posterolateral tentorial meningioma. Pada tumor dengan ukuran yang tidak terlalu besar cukup memungkinkan utk melakukan elevasi lobus occipital dan melakukan reseksi melingkari massa tumor 3. Pada beberapa kasus mungkin perlu dilakukan ligasi sinus petrosal inferior 4. Bila sinus transversus encased dengan massa tumor , dapat dilakukan reseksi,



terutama bila dari pemeriksaan angiografi sinus kontralateral terbukti intact. Al Mefty dan Abdul Rauf menyatakan bahwa reseksi tumor tentorial meningioma secara tradisional dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Perkembangan dalam tehnik microneurosugery dan skull base approach telah semakin memperbaiki outcome operasi dan semakin memungkinkannya dilakukan reseksi total. Monitoring intra operatif (brainstem, cranial nerves dan somatosensorik evoked potensial) , minimalisir retraksi otak intra operatif, preservasi struktur neurovascular, penutupan duramater secara watertight dan penggunaan vascularized pericranial dan flap otot temporalis untuk rekonstruksi skull base, merupakan elemen prinsipil dalam reseksi lesi pada lokasi anatomi yang sulit ini. 1, 3



ILUSTRASI KASUS 1. Perempuan, 48 th, dengan keluhan nyeri kepala kronis.



Gambar 10. CT scan menunjukkan massa tumor di daerah occipital kiri, melekat pada falx cerebri. (A, B) Gambaran CT Scan kepala dengan kontras. (C, D) MRI kepala dengan kontras. T1 kontras menunjukkan falcotentorial meningioma tipe Paramedian. (T4). Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



485



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 13. CT Scan kepala evaluasi pasca operasi. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USURSUP.H.Adam Mlaik



2. Perempuan 71 tahun dengan keluhan nyeri kepala kronis



Gambar 11. Tidak dijumpai adanya oklusi sinus pada MRA. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik Gambar 14. MRI menunjukkan falcotentorial tipe paramedian dengan ujung anterior tumor melekat ke dorsal incisura tentorii. Dikutip dari: Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FKUSU-RSUP.H.Adam Malik



Gambar 12. A. Posisi pasien dengan mengunakan teknik Unilateral Occipital Supra Tentorial approach. B, tampak makroskopis jaringan tumor yang terangkat ± 95%. C, D. Histopaologi jaringan tumor sesuai dengan Clear Cell Meningioma. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



486



Gambar 15. A, B. Operasi pengangkatan tumor. C Makroskopis masa tumor, tumor terangkat ± 95%. D. Histopatologi jaringan tumor sesuai dengan Meningothelial Meningioma. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



Neurosurgery Lecture Notes



Hashemi M, Schick U, Hassler W, et al. Tentorial meningiomas with special aspect to the tentorial fold: Management, surgical technique, and outcome Acta Neurochir 2010: 152(5):827-834 6. Sindou M, Alvernia JE. Results of attempted radical tumor removal and venous repair in 100 consecutive meningiomas involving the major dural sinuses. J Neurosurg 2006;105:514-525 7. Sugita K, ed. Microneurosurgical Atlas. Tokyo : SpringerVerlag 1985.p.214-232 8. Seifert V, Basiouni H. Tentorial and Falcotentorial Meningiomas. In : Pamir MN, Fahlbusch R, Black PM, eds. Meningiomas : A Comprehensive Text. Philadelphia: Elsevier Saunders 2010.p.519-527 9. Sanai N, McDermott MW. Occipital Transtentorial Approach. In: Jandial R, McCormick P, Black PM, eds. Core Tehnique in Operative Neurosurgery. Philadelphia : Elsevier Saunders 2011.p.65-69 10. Quinones-Hinojosa A, Chang EF, McDermott MW. Falcotentorial meningiomas: Clinical, neuroimaging, and surgical features in six patients. Neurosurg Focus 2003;14:1-7. 11. Gusmão S, Oliveira MM, Arantes A, Ulhoa TH, Morato EG. Occipital bi-transtentorial/falcine approach for falcotentorial meningioma. Arq Neuropsiquiatr 2006;64 (1) :136-138 5.



Gambar 16. MRI kepala potongan T1 axial dan T1 sagital pasca operasi, tidak tampak tumor residual. Dikutip dari koleksi kasus Departemen Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



DAFTAR PUSTAKA 1.



2. 3. 4.



Bassiouni H, Hunold A, Asgari S, et al. Tentorial meningiomas: clinical results in 81 patients treated microsurgically. Neurosurgery 2004;55(1):108–116 Ojemann RG. Management of meningioma. Clin Neurosurg 1992;40:321-383 Sekhar LN, Fessler RG. Atlas of Neurosurgical Technique,Brain. New York : Thieme 2006:495-506 Sindou M. Meningiomas involving the major dural sinuses: Management of the sinus invasion. In: Sindou M, ed. Practical Handbook of Neurosurgery from Leading Neurosurgeon. Wien, New York : Springer 2009:669-681



487



Neurosurgery Lecture Notes



LOW GRADE GLIOMA Andre Marolop Siahaan, Sony G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat PENDAHULUAN Saat ini ada beberapa pertentangan sehubungan penatalaksanaan pasien dengan low grade glioma (LGG), pada bahasan ini akan dibatasi pada WHO Grade II Glioma. Kemajuan pengetahuan mengenai biologi tumor, neuroimejing, dan paradigma pengobatan telah memungkinkan ahli bedah saraf untuk melakukan pendekatan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai penyakit ini dan sifat alamiahnya. Namun, masih banyak kontroversi yang belum dapat dipecahkan. Strategi diagnostik yang sebelumnya dianut, seperti pencitraan MR struktural dan biopsi stereotaktik terlihat memberikan hasil yang variatif sehubungan sensitivitas, spesifisitas, dan kesalahan pengambilan sampel. Paradigma sehubungan pembedahan juga mengalami pergeseran. Kejang yang terkait dengan LGG dianggap menjadi penentu kualitas hidup. Terapi adjuvant juga masih belum memberikan kejelasan. Keseluruhan hal di atas menentukan penatalaksanaan LGG pada era ini. 1 Tabel 1. Grading glioma menurut WHO (2007). Dikuti dari: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Burger PJ, Jouvet A, Bernd W, Scheithauer BW, Kleihues P. The 2007 WHO Classification of Tumours of the Central Nervous System. Acta Neuropathol 2007;114:97–109. Astrocytic tumor I II III IV Subependymal giant cell astrocytoma  Pilocytic astrocytoma   Pilomyxoid astrocytoma  Diffuse astrocytoma  Pleomorphic xanthoastrocytoma   Anaplastic astrocytoma   Glioblastoma  Giant cell glioblastoma  Gliosarcoma  Oligodendroglial tumor Oligodendroglioma Anaplastic oligodendroglioma







Oligoastrocytic tumor Oligoastrocytoma Anaplastic oligoastrocytoma







488











EPIDEMIOLOGI Insidensi LGG adalah sekitar 15% di antara tumor otak primer dewasa. Tumor ini lebih banyak ditemui pada ras Caucasia dan terjadi pada kelompok usia yang lebih muda (dekade ke-4) dibandingkan penderita high grade glioma (dekade ke-6). Walaupun LGG terdistribusi secara menyeluruh terutama pada regio supratentorial, beberapa area menjadi predileksi, yaitu insula dan area motorik tambahan. Berbeda dengan pada anak, tumor ini sangat jarang ditemui pada cerebellum, batang otak dan medulla spinalis pada orang dewasa. Kebanyakan pasien pertama kali datang dengan fungsi neurologi yang baik, dan kejang merupakan keluhan utama yang paling banyak ditemui (80%). Satu-satunya faktor resiko definitif dari LGG adalah paparan pada beam of ionizing radiation. Faktor genetik tidak memberikan peranan bermakna pada perkembangan LGG, walaupun tumor ini lebih banyak ditemui pada pasien dengan neurofibromatosis tipe- 1 dan Li-Fraumeni syndrome. Sekitar 15-20% dari penderita NF-1 menderita LGG pada nervus opticus, chiasma opticus, dan hypothalamus (optic pathway gliomas).1 Etiologi LGG pada orang dewasa sangat tidak jelas dan mungkin bersifat multifaktoral. Beberapa faktor, seperti genetik, infeksi, dan imunologi telah dibahas sebagai faktor penyebab. Penggunaan telepon seluler juga mulai diajukan sebagai etiologi, meskipun sampai saat ini belum ada bukti yang mendukungnya.1 KLASIFIKASI Histologi tumor tetap menjadi standar WHO untuk menentukan derajat dan subtipe glioma. Seperti seluruh tumor otak primer, klasifikasi glioma ditentukan berdasarkan jenis sel yang predominan dan dikelompokkan menurut gambaran mitosis, ada atau tidaknya nekrosis, nuclear atypia, dan proliferasi sel endotel. Walaupun lesi WHO grade I dan II dikelompokkan



Neurosurgery Lecture Notes



menjadi LGG, gambaran klinis keduanya sangat berbeda, dan bahasan ini dibatasi pada oligodendroglioma, astrocytoma, dan oligoastrocytoma pada orang dewasa. Pada astrositoma derajat II menurut WHO, selularitas sedikit meningkat dan terkadang disertai atypia nuclear. Mitosis, proliferasi endotel, dan nekrosis tidak ditemui (walaupun sedikit aktivitas mitotic pada specimen yang besar masih diperbolehkan). Berdasarkan itu, ada tiga subkelompok glioma, yaitu fibrillary, gemistocytic, atau protoplasmic, walaupun kegunaan pengelompokan glioma sehubungan prognosis menurut karakteristik di atas masih belum jelas. Fibrillary astrocytoma, jenis yang paling banyak ditemui, menunjukkan gambaran selularitas rendah dengan nuclear atypia yang minimal. Gemistocytic astrocytoma secara histologi memberikan gambaran badan sel yang bulat, eosiniphilic, dan berkilat. Kelompok ini lebih sering mengalami peningkatan derajat menurut histologi (menjadi Grade III atau IV) dibandingkan kelompok LGG lain. Protoplasmic astrocytoma merupakan kelompok yang paling jarang ditemui.1



Gambar 1. Histopatologi astrocytoma (A), oligodendroglioma (B), dan oligoastrocytoma (C). H&E, Pembesaran x40. Dikutip dari : Snai N, Chang S, Berger MS. Low-grade gliomas in adults: A review. J Neurosurg 2011;115:948-965



Oligodendroglioma terjadi pada white matter dan korteks hemisfer serebri dan menunjukkan pola monoton pada mikroskop cahaya disertai beberapa nodul dengan selularitas yang relatif meningkat. Inti sel oligodendroglioma bulat dan regular. Pada sediaan paraffin, akan terlihat halo di sekeliling inti. Gambaran “fried egg” ini merupakan gambaran khas, dan sebenarnya merupakan artefak akibat fiksasi dengan formalin, sehingga tidak terlihat pada frozen section, smear, atau specimen yang difiksasi dengan cepat.1 Oligoastrocytoma merupakan kelompok yang dikenal sebagai bagian dari LGG, meskipun batasan tegas mengenai kelompok ini belum ada dan sangat bergantung pada subjektivitas ahli patologi. Secara histologi, tumor ini ditandai



dengan gabungan pola sel, sebagian oligodendroglioma, dan sebagian lagi diffuse astrocytoma. Sampai saat ini, belum ada panel immunohistokimia yang menjadi standar untuk membedakan oligoastrocytoma dengan kelompok LGG lain.1 PENANDA MOLEKUL DAN GENETIK Kemajuan pengetahuan mengenai molekuler dari LGG telah memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyakit ini. Ada beberapa penanda (marker) biologis yang berhubungan dengan low-grade glioma. Tabel 2. Penanda biologi LGG. Dikutip dari: Sanai N, Chang S, Berger MS. Low-grade gliomas in adults: A review. J Neurosurg 2011;115:948-965 Penanda



Hubungan



p53



Tumor supresor gen akan terganggu pada kebanyakan LGG yang mengalami transformasi menjadi high grade Pengatur negative dari p53. Gangguan terjadi pada awal LGG Pengatur siklus sel penghambat MDM2. Gangguan terjadi pada awal LGG



MDM2 p14 PDGF



Platellet derived growh factor, terkait dengan oligodendroglioma secara tipikal



Kodelesi 1p/19q



Penanda genetik oligodendroglioma. Keduanya hilang pada 50%-80% kasus



MGMT



DNA repair protein. MGMT yang termetilasi memperkirakan respon LGG terhadap temozolamide Tumor suppressor gen. Terganggu pada LGG yang beresiko untuk mengalami transformasi



PTEN PGDS



tenascin-C



Metabolit dari asam arachidonat. Berhubungan dengan progresi malignan LGG dan survival yang buruk Matriks glikoprotein ekstrasel, kemungkinan menjadi penanda ada atau tidaknya invasi LGG



GEJALA KLINIS Pasien dengan LGG datang dengan tanda dan gejala yang terkait dengan infiltrasi langsung pada parenkim otak. Walaupun onset gejala sering samar, kejang merupakan gejala yang paling sering terjadi, pada sekitar 80% kasus. Hal ini kemungkinan terjadi karena lokasi tumor yang superfisial. Kebanyakan pasien tetap asimtomatik bahkan jika terjadi efek massa. Efek lokal tumor, seperti edema, perdarahan, dan hipertensi 489



Neurosurgery Lecture Notes



intrakranial jarang terjadi. Gejala klinis lain yang jarang terjadi adalah nyeri kepala, lethargy, dan perubahan kepribadian.1 FAKTOR PROGNOSIS Walaupun outcome pasien LGG sangat heterogen, beberapa faktor klinis dianggap menjadi prediktor prognosa. Sebuah sistem skoring prognostik perioperatif yang dikembangkan oleh UCSF mendasarkan prognostik pada empat faktor (1 nilai untuk setiap faktornya), yaitu: 1) Lokasi tumor pada daerah yang dianggap merupakan eloquent area. 2) Karnofsky 50 tahun, dan 4) diameter tumor maksimal >4 cm. 1 Secara umum, harapan hidup penderita oligodendroglioma adalah 10-15 tahun, lebih baik dibandingkan astrocytoma, 5-10 tahun. Gemistocytic astrocytoma, subkelompok dari astrocytoma grade II, lebih cenderung mengalami transformasi. Tumor yang besar, glioma nonlobar, dan menyeberang garis tengah dikaitkan dengan harapan hidup yang lebih rendah dan kecenderungan transformasi yang lebih besar. 1 PENCITRAAN RADIOIMEJING Walaupun MR 3 -Tesla sudah semakin banyak ditemui, MR 1,5 -Tesla masih merupakan gold standard untuk diagnosis LGG. LGG akan terlihat sebagai lesi homogen isointense atau hipointense pada T1 dan hiperintense pada T2. Epicenter astrocytoma umumnya berada pada white matter, sementara oligodendroglioma umumnya lebih pada permukaan. Penyangatan kontras jarang ditemui, tetapi pernah dilaporkan pada oligodendroglioma (25%-50%). Kalsifikasi terlihat pada 20% lesi dan tampak sebagai gambaran fokus dengan sinyal T1 yang tinggi dan T2 yang rendah. Edema vasogenik dan efek massa jarang ditemui karena sifat tumor ini yang tumbuh perlahan. LGG yang besar akan melibatkan 3 lobus otak atau lebih, meskipun ini jarang terjadi (gliomatosis serebri). 3 Diffuse tensor imaging sudah terbukti menjadi tambahan bermakna dalam hal pencitraan struktural, baik dalam perencanaan sebelum operasi maupun navigasi intraoperasi. Perubahan jaras fungsional (functional pathway) di sekitar lesi tidak hanya mempengaruhi pendekatan operasi,



490



tetapi juga menentukan batas reseksi. Modalitas lain seperti fMR dan magnetoencephalography dapat dilakukan sebelum operasi. Walaupun demikian, teknik ini tetap kurang teliti pada daerah dengan fungsi kompleks, seperti mapping process bicara, karena sensitivitas (PET 75%; fMR 81%) dan spesifisitas (PET 81%; fMR 53%) pada daerah ini masih suboptimal. Dalam identifikasi jalur proses bicara selama operasi, pemetaan melalui stimulasi langsung selama operasi tetap menjadi gold standard. Pencitraan MR selama operasi adalah teknologi lain yang dapat mempengaruhi outcome pembedahan LGG. Melalui panduan langsung selama operasi, lokasi dan batas tumor lebih mudah ditentukan. Penelitian pada pasien yang menjalani reseksi LGG dengan panduan MR selama operasi menunjukkan hasil yang lebih baik.3



Gambar 2.Radioimejing Low Grade Glioma. Laki-laki, 45 tahun, dengan keluhan utama kejang dalam 6 bulan. Neurologi tidak ada kelainan. Gambaran CT menunjukkan lesi hipodense pada frontal kanan, tidak menyangat kontras gadolinium pada MR Imaging dan bersifat high signal pada T2. Setelah dilakukan biopsi, didapati suatu Oligodendroglioma (WHO Grade II). Dikutip dari: Koleksi kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU-RSUPH.Adam Malik



Suatu lesi tidak dapat dianggap sebagai LGG hanya berdasarkan sifatnya yang tidak menyangat kontras. Pada pasien dengan lesi supratentorial dengan gambaran menyerupai LGG, MRI struktural memiliki derajat false-positive yang tinggi, mencapai 50%, dalam memprediksikan gambaran histopatologi. Resiko anaplasia pada lesi yang tidak menyangat kontras meningkat secara bermakna seiring usia pasien. Karena itu, diagnosa jaringan harus dilakukan secepatnya.3 Teknologi MRI struktural selanjutnya difokuskan pada lokasi dan batas LGG preoperative. Perpindahan molekul air mikroskopik pada jaringan tumor memberikan gambaran jaringan yang meliputi gangguan struktur, selularitas tumor, dan edema vasogenik. Diffusion-weight MRI menilai



Neurosurgery Lecture Notes



jaringan pada tingkat mikroskopik dengan mengukur pergeseran Brownian dari molekul air. Perolehan data dengan gradient dari 3 arah memungkinkan penghitungan koefisien difusi, sementara perolehan data dengan gradient dari 6 arah atau lebih memungkinkan penghitungan koefisien difusi dan nilai fraksional anisotropi. Ditemui perbedaan koefisien difusi dan nilai fraksional anisotropi yang bermakna antara penderita oligodendroglioma dengan astrocytoma, sementara oligoastocytoma berada di antara keduanya. 3 Teknik imejing fisiologis juga menambah dimensi baru pada diagnosa dan terapi LGG. Proton MR Spectroscopy adalah modalitas baru yang mengidentifikasi tingkat metabolism seluler. Ada lima kelas molekul yang umumnya diobservasai pada spectrum otak, yaitu: N-acetylaspartate, choline (baik bebas maupun berikatan), creatine dan phosphocreatine, laktat, serta lemak. Dengan MR-spectroscopy, gambaran klasik LGG adalah choline yang dominan (menggambarkan



peningkatan sintesis membran) dengan intensitas N-acetylaspartate yang rendah (menggambarkan penurunan elemen saraf), tanpa adanya lemak atau laktat (menggambarkan ketiadaannya nekrosis atau hipoksia. Lemak atau laktat akan meningkat pada high grade glioma). Peningkatan choline mungkin berhubungan dengan densitas seluler dan proliferasi sel, sehingga menjadi daerah target utama biopsi. Teknik 3D yang baru diperkenalkan memungkinkan menilai metabolik seluruh bagian otak secara kuantitatif, dengan hasil yang sesuai dengan regio hiperintens pada T2 dan perluasan tumor pada jalur white matter. MR spektroskopi 3D juga berpotensi mampu menilai aktivitas proliferasi LGG dan mengidentifikasi sifat klinis yang lebih agresif. Bukti yang mendukung hal tersebut belum banyak, tetapi MR Spectroscopy cukup efektif untuk memonitor dan follow up pasien dengan kecurigaan LGG. Pada beberapa institusi MR Spectroscopy juga dapat digunakan untuk membedakan nekrosis akibat radiasi dengan perkembangan tumor.3



Gambar 3. Pencitraan LGG Fisiologi, pada oligodendroglioma (A), Oligoastrocytoma (B), dan Astrocytoma (C). Apparent Diffusion Coefficient (ADC) menunjukkan white matter yang normal (hijau), daerah pink menunjukkan suatu oligodendroglioma, dan daerah biru menunjukkan astrocytoma. MRI Fisiologi juga dapat mengidentifiasi gambaran histologi dengan indeks Choline-to-NAA (CNI), fat spin echo (FSE), FLAIR, dan normalized MR Perfusion (nPH). Dikutip dari:: Snai N, Chang S, Berger MS. Low-grade gliomas in adults: A review. J Neurosurg 2011;115:948-965



491



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 4 MR Spectroscopy LGG. Single voxel, proton spectra dari 20 pasien dengan Astrocytoma Gr. II (Garis tegas adalah ratarata, daerah abu-abu merupakan standar deviasi. Ditemui peningkatan colin dan penurunan NAA (yang masih dapat terlihat). Laktat sering terlihat pada pasien-pasien ini sebagai puncak terbalik. Dikutip dari: Price SJ. Advances in imaging low-grade gliomas. In: Schramm J, ed. Low Grade Glioma. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien : Springer-Verlag 2010



Penilaian cerebral blood volume relative (CBVR) menggunakan dynamic-susceptibilityweighted perfusion contrast-enhanced MR imaging (DSC-MR) menunjukkan hubungan bermakna dengan sifat tumor dan harapan hidup pasien. CBVR menunjukkan daerah dengan vaskularisasi tumor yang meningkat dan berkaitan erat dengan ekspresi vascular endothelial growth factor. Pada kebanyakan low grade astrocytoma, ditemui sedikit peningkatan CBVR dibandingkan jaringan normal (1,5). Peningkatan CBVR (1,75-2,0) mengindikasikan tumor yang lebih agresif dan sering mendahului suatu penyangatan kontras. Pengukuran CBVR LGG juga berhubungan dengan waktu progresi tumor, sehingga DSC-MRI kemungkinan dapat digunakan untuk memprediksi resiko transformasi. Sebaliknya, low grade oligodendroglioma menunjukkan nilai CBVR yang meningkat.3 Kuantifikasi (pengukuran) metabolism tumor dengan radiologi tidak hanya mampu mengidetifikasi transformasi LGG, tetapi juga dapat digunakan sebagai pemandu biopsi stereotaktik. Pada PET menggunakan F-fluorodeoxyglucose (FDG), LGG terlihat sebagai gambaran hipometabolik, sangat berbeda dengan high grade astrocytoma. Sebaliknya, ambilan asam amino yang diberi penanda radioisotope meningkat pada sekitar dua per tiga LGG dan peranannya sebagai faktor prognosis masih dalam penelitian.3



Gambar 5. Perfusion Imaging LGG. Wanita 61 tahun, datang dengan kejang fokal pada tangan kiri. Gambar (a) menunjukkan lesi yang tidak menyangat kontras pada regio insula kanan. Perfusion imaging menunjukkan rCBV rendah pada tumor ini (nilai 1,3). Biopsi memperlihatkan tumor ini sebagai astrocytoma Grade II. Pasien tetap dalam keadaan progression free selama 4 tahun. Dikutip dari : Price SJ. Advances in imaging low-grade gliomas. In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien:Springer-Verlag 2010 Tabel 3 Perbandingan oligodendroglioma dan astrocytoma berdasarkan radiologi. Dikutip dari : Price SJ. Advances in imaging low-grade gliomas. In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35.Wien: SpringerVerlag 2010 Modalitas MRI Konvensional Perfusion MRI Diffusion MRI MR Spectroscopy FDG-PET



492



Astrocytoma vs. Oligodendroglioma Sulit dibedakan. Penyangatan kontras lebih umum ditemui pada oligodendroglioma rCBV rendah pada astrocytoma, meningkat pada oligodendroglioma ADC menurun pada oligodendroglioma dibandingkan astrocytoma Peningkatan Cho yang lebih tinggi pada oligodendroglioma dibandingkan astrocytoma Hipometabolisme lebih bermakna pada astrocytoma



Neurosurgery Lecture Notes



BIOPSI DAN PENGGUNAAN IMEJING METABOLIK SECARA TERINTEGRASI Pilihan tindakan pembedahan pada LGG terbatas pada biopsi atau reseksi. Stereotactic needle biopsi dapat memperoleh jaringan untuk keperluan diagnostik, tetapi dengan resiko kesalahan pengambilan sampel. Pada sebuah studi terbaru, overgrading dari tumor WHO Grade II terjadi pada 11% kasus dan undergrading dari glioma dengan WHO grade III terjadi pada 28%. Karena itu, diagnosis histopatologi berdasarkan jaringan yang didapat dari biopsi stereotaktik memiliki resiko ketidakakuratan yang signifikan, terutama pada tumor dengan aktivitas proliferasi rendah atau mixed glioma. Saat ini, indikasi biopsi pada sangkaan LGG adalah: 1) lesi diffuse, seperti gliomatosis dan 2) pasien yang tidak dapat menjalani operasi defenitif karena alasan medikamentosa.3



Gambar 6. Wanita 18 tahun dengan nyeri kepala persisten dalam 1 tahun terakhir. Tidak ada defisit neurologi lain. Pada CT scan (a), terlihat lesi hiperdense ganglia basar kanan. Pada T1 (b), lesi terlihat heterogen, percampuran isointense dengan hipointense. Setelah pemberian kontras (c), lesi tidak menyangat kontras. Pada T2 (d), bagian hipointense pada T1 terlihat hiperintense. Kemudian dilakukan reseksi massa tumor. Durante operasi, terlihat gambaran lesi keabu-abuan dan hipervaskuler (e). Histopatologi (f) menunjukkan gambaran angioglioma. Dikutip dari: koleksi pribadi Prof.Dr.Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K)



Integrasi biopsi stereotaktik dengan modalitas radiologi yang baru menunjukkan kemungkinan peningkatan sensitivitas dan spesifisitas biopsi LGG. Penggunaan data metabolik tambahan dalam pemilihan target biopsi dapat meningkatkan efikasi diagnosis. Panduan dapat dilakukan dngan FDG, I-methyl-C-methionine, FET,



F-choline, dan C-choline PET, atau thallium SPECT. Teknik ini dapat meningkatkan akurasi sampai 80100%, namun dengan beberapa resiko, seperti paparan radiasi, waktu yang lebih lama, resolusi anatomi buruk, kerumitan teknologi, dan biaya. Sebagai alternative, H-MR Spectroscopy merupakan penelitian noninvasive dan sensitif yang dapat dilakukan saat MRI rutin. Pada LGG, akurasi teknik ini dapat mencapai 100%.3 PEMBEDAHAN DAN LUAS RESEKSI Dalam 2 dekade terakhir ini, bukti dari kepustakaan mendukung bahwa reseksi LGG yang lebih luas berhubungan dengan harapan hidup yang lebih baik. Selain harapan hidup yang lebih baik, reseksi LGG yang lebih agresif juga mempengaruhi resiko transformasi LGG, sehingga muncul hipotesis bahwa intervensi pembedahan dapat menghambat penyebab penyakit ini. Hubungan ini tidak hanya ditemui pada kelompok LGG hemisferik, tetapi juga pada LGG yang terbatas pada subregio tertentu, seperti insular LGG. Pada sebuah tinjauan pada 16 literatur yang dipublikasikan sejak 1990 sampai tahun 2010, 8 penelitian di antaranya menunjukkan luasnya reseksi sebagai prediktor signifikan dari 5-year survival dan 5-year-progression-free survival.4 Pada kepustakaan modern, analisis terbesar yang menggunakan kuantifikasi (penghitungan) volumetric menunjukkan keuntungan sehubungan harapan hidup pada hemisferik LGG, bahkan sampai 10 tahun. Reseksi yang lebih agresif memberikan harapan hidup yang lebih besar secara bermakna dibandingkan tindakan debulking sederhana. Pada pasien yang menjalani gross-total-resection, 10-year survival rate mencapai 100%, tetapi survival rate menurun tajam jika reseksi hanya mencapai 40%. Pada reseksi 100%, resiko mortalitas juga menurun dibandingkan reseksi 50%. Survival secara umum tidak dipengaruhi oleh sisa tumor, bahkan bila volume yang tersisa hanya sekitar 10 cc. Walaupun penelitian lain juga menggambarkan hubungan reseksi yang lebih luas dengan outcome yang lebih baik, tidak ada data yang mendukung reseksi tumor sampai cubic centimeter yang terakhir, suatu teknik yang memerlukan pemetaan canggih. 4



493



Neurosurgery Lecture Notes



TRANSFORMASI HISTOLOGI LGG (PENINGKATAN DERAJAT) Peningkatan derajat histologi LGG merupakan kondisi khusus yang harus mendapat perhatian karena ini menyebabkan prognosis semakin memburuk secara dramatis. Dalam penelitian 15 tahun terakhir, transformasi terjadi pada 17%-73% kasus LGG, menggambarkan suatu variabilitas yang tinggi. Waktu terjadinya transformasi juga tidak jelas karena pada laporan yang ada, rentang waktu adalah 2,1 tahun sampai 10,1 tahun. Pada LGG hemisfer, volume tumor preoperative yang lebih besar berhubungan dengan malignant progression-free survival yang lebih singkat. Ini menunjukkan kemungkinan bahwa tumor dengan ukuran besar memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat, dan kembali tumbuh cepat pada keadaan reseksi gross-total atau berlanjut tumbuh dengan cepat pada reseksi subtotal. Kecepatan pertumbuhan tumor diteliti pada 143 kasus LGG orang dewasa. Hasil penelitian ini menunjukkan rerata survival 5,6 tahun berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan 8 mm/tahun dan rerata survival 15 tahun terlihat pada tumor dengan kecepatan pertumbuhan di bawah 8 mm/tahun. Interval transformasi akan semakin memanjang bila reseksi semakin luas dilakukan. Ini menjadi dasar utama perubahan konsep reseksi agresif dari glioma, melawan validitas prosedur biopsi sederhana dan pendekatan observasi.4 PEMETAAN JARAS FUNGSIONAL Prinsip dasar bahwa survival akan meningkat bila reseksi dilakukan dengan luas harus disertai dengan kemungkinan hilangnya fungsi sesudah reseksi radikal. Reseksi yang lebih luas bukan hanya difasilitasi oleh teknik neuronavigasi berdasarkan MRI, tetapi juga oleh tractography berdasarkan diffuse tensor imaging. Pada studi terakhir yang melibatkan 238 pasien glioma yang menjalani operasi dengan atau tanpa DT imaging, gangguan motorik postoperative ditemui pada 32,8% kontrol, dan hanya 15,3 % kelompok studi. Pada kasus LGG dalam penelitian ini, teknologi ini terbukti memaksimalkan reseksi dan mengurangi morbiditas. 4



494



Perkiraan daerah kortikal fungsi bahasa melalui kriteria anatomi klasik tidak adekuat karena vaiabilitas individual, gangguan topografi otak karena tumor, dan kemungkinan adanya suatu reorganisasi fungsional melalui mekanisme plastisitas. Temuan pada penelitian stimulasi area bahasa menunjukkan adanya variabilitas yang bermakna antar individu. Pada area bahasa lobus temporal, jarak dari temporal pole menuju area fungsi bahasa dapat variatif, mulai 3-9 cm. Mekanisme plastisitas neural juga memegang peranan penting. Kemampuan otak untuk mereorganisasi dirinya sendiri sangatlah penting pada proses penyembuhan sesudah cedera SSP. Lesi seperti LGG dapat memicu perubahan bentuk fungsional dalam jumlah besar. Reorganisasi ini kemungkinan menjelaskan mengapa LGG pada daerah eloquent sering tidak menimbulkan defisit neurologi.4 Lebih lagi, karena jaringan fungsional dapat berada pada nidus tumor, prinsip standar debulking tumor tidak selalu aman. Pada serial kasus terbesar yang menggunakan mapping bahasa intraoperative, 4 dari 243 pasien yang bertahan hidup tetap menderita defisit bahasa, baru bahkan dalam 6 bulan setelah pembedahan. Di antara seluruh kasus LGG pada penelitian ini, reseksi total berhasil dilakukan pada 51,6% kasus.4 PEMBEDAHAN UNTUK MENGONTROL KEJANG Kejang memegang peranan penting dalam kualitas hidup penderita LGG sesudah operasi. Pasien dengan LGG supratentorial lebih cenderung menderita kejang daripada pasien dengan high grade astrocytoma. Pasien dengan LGG juga menderita sejumlah gangguan neuropsikologi yang dipicu oleh keparahan epilepsy dan intensitasnya. Patofisiologi yang mendasari kejang epileptik pada penderita LGG maih belum jelas diketahui, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan kejang dipicu oleh jaringan otak di sekitar tumor, bukan dari tumor itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan bebas kejang adalah reseksi total, riwayat kejang sebelum operasi di bawah 1 tahun, dan kejang parsial yang tidak sederhana. Sebagai akibatnya, banyak ahli bedah menggunakan intraoperative electrocorticography untuk mengidentifikasi dan memfasilitasi reseksi fokus



Neurosurgery Lecture Notes



kejang. Karena LGG sering bersifat difus dengan batas tidak tegas, kecenderungan untuk reseksi subtotal menjadi tinggi, sehingga diperlukan pemetaan secara independen dengan tujuan reseksi daerah epileptogenik multipel untuk kontrol kejang yang optimal. Beberapa penelitian membandingkan penderita glioma yang menjalani “lesionectomy” dengan pasien yang mendapat “pembedahan kontrol kejang” yang didefenisikan sebagai pengangkatan daerah mesial temporal atau lobus frontal otak. Hasilnya menunjukkan kontrol kejang berhasil dilakukan pada 95% pasien yang juga mendapat pembedahan kontrol kejang, dibandingkan dengan pasien yang hanya menjalani “lesionectomy” (50%).5 Lesi pada struktur mesiotemporal sering menyebabkan epileptogenic pada daerah yang sama. Pada pasien ini, gambaran atropi hippocampus ada MRI merupakan prediktor keberhasilan reseksi tumor dalam hal kontrol kejang, sehingga lobektomi temporal ditambah amygdalohippocampectomy dengan corticography selama operasi diindikasikan. Bila pasien sudah bebas kejang setelah operasi, maka rekurensi kejang berhubungan dengan progresivitas tumor. Walaupun belum dapat dijelaskan, alternatif pembedahan untuk pengontrolan kejang yang lebih ekstensif dilakukan dengan stereotactic radiosurgery pada tumor mesiotemporal. Durasi kejang yang lebih lama merupakan faktor prognostik negatif untuk kontrol kejang sesudah operasi. Ini semakin menekankan pentingnya intervensi secepatnya dengan bedah mikro. Intervensi secepatnya ini akan menghalangi terbentuknya fokus kejang multipel, yang diketahui akan terbentuk saat pasien tetap kejang tanpa kontrol yang baik selama beberapa tahun. Selain itu, perlu ditekankan bahwa pada pasien dengan kejang sesekali (1-2 kali per tahun) atau pada pasien dengan kejang terkontrol memakai obat antiepilepsi, keuntungan penggunaan elektrokortikografi selama operasi belum jelas.5 TERAPI ADJUVAN LGG Penentuan terapi adjuvant LGG masih diperdebatkan dan terutama didasarkan pada defenisi faktor prognosis. Pada pasien LGG resiko rendah, observasi masih merupakan pilihan terapi,



tetapi pada pasien yang beresiko mengalami progresi cepat dan transformasi histopatologi, terapi optimal masih belum jelas. Pada suatu penelitian prospektif , rekurensi dilaporkan tinggi pada kelompok dengan diameter tumor > 4cm, jenis histologi astrositoma/oligoastrositoma, dan residu tumor > 1 cm.1 KEMOTERAPI DENGAN TEMOZOLAMIDE DAN PCV Peranan kemoterapi pada LGG masih belum jelas. Beberapa penelitian terbaru menguji peranan kemoterapi dengan PCV atau temozolamide pada pasien yang didiagnosis dengan LGG sebelum reseksi tumor dilakukan. Pada beberapa institusi, penggunaan temozolamide sebelum reseksi dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup, kontrol kejang yang lebih baik, dan progresi tumor yang rendah. Perbandingan kemoterapi sebelum reseksi dengan radioterapi masih dalam penelitian. Karena itu, masih bersifat kontroversional apakah kemoterapi sebelum reseksi harus diberikan pada pasien LGG, walaupun bila tumor sangat besar atau disertai defisit neurologi, strategi ini dapat menjadi pilihan.1 Untuk kemoterapi methylating agent, temozolamide, data pada penelitian awal menyimpulkan bahwa respon terbaik akan diberikan oleh penderita oligodendroglioma dan mixed oligoastrocytoma. Hilangnya heterozigositas 1p/19q secara signifikan berhubungan dengan respon terhadap temozolamide. Pada penelitian EORTC yang melibatkan 26971 pasien yang mendapat terapi temozolamide lini pertama, dilaporkan response rate sebesar 50% pada penderita oligodendroglioma rekuren. Dengan penggunaan temozolamide berkepanjangan, response rate adalah sebesar 30% dengan progression-free rate sebesar 56,7%.1 Di antara uji kemoterapi PCV, studi RTOG meneliti 9802 penderita LGG resiko tinggi (usia >40 tahun atau reseksi subtotal) yang mendapat radioterapi dengan atau tanpa pemberian PCV. Setelah dilakukan stratifikasi dari usia, histologi, nilai Karnofsky, serta ada atau tidaknya penyangatan kontras, pasien dibagi dua, dengan kelompok perlakuan radioterapi saja (54 Gy) atau radioterapi diikuti 6 siklus PCV dengan dosis



495



Neurosurgery Lecture Notes



standar. Dengan rerata follow up selama 4 tahun, tidak ada bukti kegunaan penggunaan PCV, bahkan pada kelompok LGG resiko tinggi.1 TERAPI RADIASI Radiasi kebanyakan digunakan pada pasien sesudah operasi. Regimen radiasi standar pada low grade astrocytoma adalah 45-54 Gy, dibagi dalam fraksi-fraksi 1,8-2,0 Gy. Penelitian EORTC yang melibatkan 22845 pasien menunjukkan kegunaan radioterapi segera sesudah operasi dalam hal progression free-survival (5,3 tahun berbanding 3,4 tahun), tetapi tidak dengan harapan hidup secara umum. Faktor yang mempengaruhi waktu terapi radiasi berhubungan dengan kecepatan progresi dan kemungkinan toksisitas lambat pada jaringan otak. Dosis radioterapi yang tinggi (>45-50 Gy) juga gagal membuktikan perbaikan outcome dan dihubungkan dengan toksisitas lambat. Lebih lagi, keuntungan yang didapat dari kontrol tumor pada radioterapi awal tidak berguna lagi bila dibandingkan toksisitas lambat. Selain radioterapi terfraksi, stereotactic radiosurgery juga pernah dilakukan dan dianggap potensial berguna, walaupun belum ada data yang mendukung strategi ini selain yang berasal dari serial kasus kecil dan retrospektif. Sampai saat ini, belum ada bukti pasti yang mendukung apakah radioterapi bermanfaat sesudah biopsi atau reseksi LGG subtotal.6 PARADIGMA TERAPI BARU Pada era modern, penatalaksanaan LGG lebih bersifat agresif dan multimodal. Penilaian awal dimulai dengan MRI anatomis untuk menentukan batas dan perluasan infiltrasi tumor. Begitu kecurigaan mengacu pada suatu LGG, lesi difus dinilai dengan modalitas imejing fisiologis yang memungkinkan biopsi stereotaktik pada daerah tumor dengan derajat yang lebih tinggi. Jika histopatologi menunjukkan suatu gambaran tumor derajat III atau IV, lesi diterapi sebagai high-grade astrocytoma dengan radiasi dan kemoterapi. Jika



496



secara histologi tumor merupakan secara LGG, pemberian temozolamide disarankan, tanpa memandang status 1p/19q.6 Untuk lesi fokal, yang didefenisikan sebagai massa yang ditemui pada 1 atau 2 lobus dan memiliki batas yang tegas pada FLAIR, gabungan pencitraan fisiologis, fungsional, dan DT Tractography sebaiknya dilakukan sebelum reseksi. Jika kejang pasien juga mendapat perhatian, yaitu kelompok yang refrakter dengan obat antiepilepsi, electrocorticography selama operasi dapat dilakukan, Pencitraan perioperative juga mengidentifikasi perluasan tumor elokuensi. Pada tumor eloquent dimana perluasan reseksi 50% diantisipasi, pencitraan intraoperative harus dilakukan. 6,7 DAFTAR PUSTAKA 1. Sanai N, Chang S, Berger MS. Low-grade gliomas in adults: A review. J Neurosurg 2011;115:948-965 2. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Burger PJ, Jouvet A, Bernd W, Scheithauer BW, Kleihues P. The 2007 WHO Classification of Tumours of the Central Nervous System. Acta Neuropathol 2007;114:97–109 3. Price SJ. Advances in imaging low-grade gliomas. In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien : Springer-Verlag 2010 4. Fava LBE, Carrabba G, Papagno C, Gaini SM. Present day’s standards in microsurgery of low-grade gliomas. In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien : Springer-Verlag 2010 5. Kurzwelly D, Herrlinger U, Simon M. Seizures in patients with low-grade gliomas – incidence, pathogenesis, surgical management, and pharmacotherapy. In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien : Springer-Verlag 2010 6. Baumert BG, Stupp R. Is there a place for radiotherapy in low-grade gliomas? In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien : Springer-Verlag 2010 7. Whittle IR. What is the place of conservative management for adult supratentorial low-grade glioma? In: Schramm J, ed. Advances in Technical Standards in Neurosurgery. vol. 35. Wien : Springer-Verlag 2010



Neurosurgery Lecture Notes



HIGH GRADE GLIOMA Andre Marolop Siahaan, Adril Arsyad Hakim PENDAHULUAN Glioma maligna merupakan tumor ganas susunan saraf pusat yang paling banyak ditemui pada orang dewasa. Keganasan yang termasuk kelompok ini adalah anaplastic astrocytoma, (WHO grade III), glioblastoma multiforme (WHO grade IV), dan gliosarkoma. Setelah mendapat terapi optimal sekalipun, survival adalah 2 tahun pada glioblastoma dan 2-5 tahun pada anaplastic glioma. Astrositoma maligna memiliki sifat dasar yang invasif dan infiltratif sehingga reseksi sulit dilakukan. Pada tahun 1930, Walter Dandy melakukan hemisferektomi pada bagian otak yang mengalami keganasan ini dan melaporkan rekurensi pada sisi kontralateral. Perkembangan teknologi imejing seperti intraoperative imagingguide stereotactic, Magnetic resonance imaging (MRI) fungsional, cortical mapping, dan MRI intraoperatif sangat memegang peranan dalam penatalaksanaan kasus ini. Walaupun perkembangan ini sangat membantu untuk memperluas reseksi tumor, survival (kelangsungan hidup) belum berubah secara signifikan.1 EPIDEMIOLOGI Astrositoma Anaplastik (AA) dan Glioblastoma Multiforme (GBM) Tumor ganas susunan saraf pusat (SSP) hanya mencakup 2% di antara seluruh keganasan, tetapi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang sangat bermakna. Sekitar 43.800 kasus baru tumor jinak dan tumor ganas intrakranial didagnosis di Amerika Serikat setiap tahun. Di antara seluruh penderita ini, 12.760 penderita akan meninggal. Insiden tumor otak adalah 14,8 per 100.000 penderita setiap tahun, setengah di antaranya dengan gambaran histologi ganas. AA paling banyak terjadi pada dekade usia keempat, sementara GBM paling banyak terjadi pada usia 65-74 tahun. GBM lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 1,5:1.



Gliosarkoma ditemui pada 2-8% di antara seluruh kasus GBM (WHO grade IV). Gejala klinis dan prognosis kelainan ini sama dengan GBM. Meis dkk melaporkan tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin, survival, lokasi tumor, dan ukuran tumor antara GBM dan gliosarkoma. Kebanyakan kasus gliosarkoma terjadi antara usia 40-60 tahun, dengan usia rerata 53 tahun. Gliosarkoma lebih banyak terjadi pada pria, dengan perbandingan 1,8:1.1 GEJALA KLINIS AA dan GBM sering terjadi pada hemisfer serebri. Tumor ini dapat terjadi primer maupun setelah transformasi low grade Astrocytoma (WHO grade II). AA cenderung berkembang menjadi GBM. Seperti GBM, rekurensi AA juga sering terjadi pada batas reseksi tumor, bahkan setelah gross total resection (GTR) dilakukan. Tanda dan gejala sering tidak spesifik. Sakit kepala yang progresif dan persisten, terutama pada pagi hari, merupakan gejala utama penyakit ini. Penderita akan datang dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial yang disertai mual dan muntah, pandangan kabur atau berganda, dan mengantuk. Gejala di atas sering disertai kelemahan ekstraokuler, papilledema, kelainan pupil, dan penurunan kesadaran. Lebih dari satu per tiga penderita GBM mengalami kejang. Defisit neurologi bergantung pada lokasi dan perluasan infiltrasi tumor.1 Lokasi primer gliosarkoma yang paling sering adalah lobus temporal, tetapi lesi ini dapat juga terjadi di parietal, frontal, dan oksipital. Gliosarkoma cenderung terjadi pada perifer disertai dengan dural attachment. Jack dkk menemukan bahwa gliosarkoma cenderung menginvasi duramater dengan asupan vaskuler berasal dari duramater dan piamater. GBM dan gliosarkoma dapat menyebar ke jaras cairan serebrospinal, saraf kranialis, leptomeninges, dan medulla spinalis. Metastasis gliosarkoma ekstrakranial juga lebih sering terjadi, dengan



497



Neurosurgery Lecture Notes



insiden 15-30%. Jaringan metastasis biasanya terdiri dari sel glia dan sarcoma.1 Gejala klinis gliosarkoma tidak berbeda dengan glioblastoma, bergantung lokasi tumor dan ada tidaknya peningkatan tekanan intrakranial. Gejala yang paling banyak ditemui adalah nyeri kepala dan hemiparesis. Tanda yang paling sering adalah kelemahan fokal, defek lapangan pandang, papilledema, dan disfasia. 1 RADIOLOGI Saat ini, MRI merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis tumor otak. Computed Tomography (CT) digunakan untuk membedakan lesi dengan perdarahan, kalsifikasi, atau daerah infark di otak. Begitu ditemui kecurigaan massa pada CT kepala, MRI digunakan untuk identifikasi massa karena dapat menilai jaringan lunak dengan lebih baik. Batas tumor dan keutuhan dari sawar darah otak dapat diketahui dengan melihat sifat penyangatan kontras. T1 dan T2 weighted MRI dapat mendeteksi tumor otak dengan sensitivitas tinggi serta memberikan gambaran mengenai efek massa, edema, perdarahan, nekrosis, dan peningkatan tekanan intrakranial. High grade glioma pada T1 akan terlihat sebagai lesi hipointense ireguler dengan tingkat penyangatan kontras dan tingkat edema yang bervariasi. Penyangatan kontras berbentuk cincin pada daerah ireguler yang menyerupai nekrotik merupakan penanda khas suatu glioblastoma. Meskipun demikian, AA dan Gliobalastoma sekalipun dapat terlihat sebagai lesi yang tidak menyangat kontras terutama pada orang tua. Penyangatan kontras sendiri juga dapat terjadi pada low grade glioma. MRI fungsional dapat digunakan untuk menentukan lokasi daerah eloquent, seperti korteks motor, daerah Broca, daerah Wernicke, dan korteks visual. Pada bulan pertama setelah radioterapi, lesi akan terlihat menyangat kontras akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah setelah radioterapi. Fenomena ini disebut pseudoprogression. Sulit untuk membedakan pseudoprogression dengan progresi yang sebenarnya, bahkan dengan pencitraan canggih sekalipun.1 MR spectroscopy dapat digunakan untuk membedakan tumor dengan stroke, trauma lama,



498



radionekrosis, infeksi, dan multiple sclerosis. Fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET) akan menunjukkan gambaran hipermetabolisme pada high grade astrocytoma dan ambilan FDG oleh massa tumor sudah terbukti memiliki nilai prognostik. 1



Gambar 1. MRI Glioblastoma. Laki-laki 57 tahun dengan keluhan nyeri kepala. Pada T1, tampak gambaran heterogen pada frontoparietal kanan (A). Lesi tampak menyangat kontras pada dinding lesi (B). Pada FLAIR, tampak gambaran edema perilesi yang luas (C). Dikutip dari Koleksi Kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik



Gambaran gliosarkoma tidak berbeda dengan infiltrating glioblastoma pada CT Scan. Gliosarkoma akan memberikan gambaran massa hiperdens berbatas tegas yang heterogen atau ring enhancement yang ireguler. Kebanyakan gliosarkoma terjadi di superfisial dengan dasar duramater. Edema vasogenik terjadi pada hampir seluruh kasus gliosarkoma. Hipodensitas pada bagian tengah yang terjadi akibat nekrosis jarang terlihat pada gliosarkoma. Pada MRI T-1 dengan kontras, terlihat penyangatan kontras difus dan inhomogen atau berbentuk cincin yang ireguler. Gliosarkoma cenderung berbatas tegas dengan tampilan inhomogen disertai gambaran kistik dan edema vasogenik di sekitarnya. Pada T2, seluruh tumor memberikan sinyal dengan intensitas intermediate disertai edema di sekitarnya. Dwyer dkk berpendapat bahwa gliosarkoma harus disertakan sebagai diagnosa diferensial pada seluruh tumor intraaksial yang mengenai permukaan duramater dan lebih hipointens dibandingkan neoplasma lain pada T2.1 PATOLOGI DAN PATOGENESIS Berdasarkan klasifikasi WHO (2007), pada AA terjadi peningkatan selularitas dengan pleomorfisme, atypia nucleus, dan mitosis. Sementara itu, GBM ditandai dengan proliferasi



Neurosurgery Lecture Notes



pembuluh darah dengan gambaran pseudopalisade (gambar 2). Pada gliosarkoma, terlihat gambaran sarcoma.2



Gambar 2. Histopatologi high-grade astrocytoma. Anaplastic astrocytoma (a) ditandai dengan peningkatan selularitas, pleomorfisme inti sel, dan mitosis (tanda panah). Glioblastoma multiforme ditandai dengan nekrosis (*) dan/atau proliferasi vaskuler (tanda panah). Dikutip dari Sathornsumetee S, Reardon DA. High Grade Astrocytoma. In: Norden AD, Reardin DA, Wen, PYC, eds. Primary Central Nervous System Pathogenesis and Therapy. Boston: Springer 2011.p.195-231.



High grade astrocytoma (HGA) memiliki karakteristik keganasan seperti proliferasi yang tidak terbatas, resistensi terhadap apoptosis, kemampuan menghindari sinyal sistem imunitas, menginvasi jaringan, dan kemampuan angiogenesis. HGA terdiri dari sel tumor dan bagian stroma yang heterogen. Kemajuan teknologi genom telah mempermudah identifikasi karakteristik keganasan ini. Pada sebuah penelitian, diketahui bahwa GBM dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan profil ekspresi gen, yaitu proneural, proliferative, dan mesenkimal.2 Pada kelompok proneural, neurogenesis terjadi pada usia muda dengan kromosom yang intak, dan prognosis yang lebih baik. Tipe proliferative dan mesenkimal terjadi pada usia tua ditandai dengan abrasi genetik, seperti amplifikasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) atau hilangnya phosphatase and tensin homolog (PTEN), serta prognosis yang buruk. Ada dua faktor transkripsi, yaitu C/EBP-β dan STAT3 (Signal Transducer and activator of transcription-3) yang berperan sebagai inisiator dan regulator transformasi sel punca saraf menjadi mesenkim. Pada sebuah evaluasi genom penderita tumor ini, ditemui gangguan pada CDKN2A (50%), TP53 (40%), EGFR (37%), PTEN (30%), neurofibromatosis (NF)1 (15%), CDK4 (14%), retinoblastoma (RB)1 (12%), dan isocitrate



dehydrogenase (IDH)1 (11%).2 Studi yang dilakukan oleh The Cancer Genome Atlas (TCGA) juga menemukan kelainan genetik seperti reseptor tyrosine kinase/RAS/PI3K (88%), P53 (87%), and RB (78%). Penelitian ini memperlihatkan bahwa gangguan EGFR, NF1, dan PDGFRA/IDH1 menjadi dasar pembagian GBM menjadi subtype klasik (proliferatif), mesenkimal, dan proneural. Respon terhadap radiasi dan kemoterapi akan ditemui pada subtype klasik (EGFR) dan subtype mesenkimal (NF1). Subtipe proneural tidak memberikan respon terhadap radiokemoterapi.2



Gambar 3. Gangguan molekuler pada astrositoma. Glioblastoma sekunder (GBM) terjadi akibat transformasi maligna dari low grade astrocytoma atau anaplastic astrocutoma. Tipe yang lebih umum, GBM primer, terjadi tanpa diawali dengan low grade tumor. Pada analisis gen, terlihat perbedaan abrasi genetic antara keduanya. Dikutip dari Sathornsumetee S, Reardon DA. High Grade Astrocytoma. In: Norden AD, Reardin DA, Wen PYC, eds. Primary Central Nervous System Pathogenesis and Therapy. Boston: Springer 2011.p.195-231.



Penelitian lain yang melibatkan 501 penderita glioma membuktikan adanya gangguan 7 gen (POLD2, CYCS, MYC, AKR1C3, YME1L1, ANXA7, dan PDCD3) yang terjadi akibat abrasi kromosom rekuren yang kemudian menyebabkan gangguan regulasi sinyal.2 GBM dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. GBM primer didiagnosa tanpa adanya LGG yang mendahuluinya. Tipe ini mencakup 90% di antara seluruh GBM. Tipe kedua, GBM sekunder, terjadi akibat transformasi dari tumor dengan WHO grade II dan grade III. Pada LGG (WHO grade II) umumnya terjadi mutasi tumor 499



Neurosurgery Lecture Notes



suppressor gene (TP53) dan/atau overekspresi reseptor platelet-derived growth factor (PDGF). Transformasi LGG menjadi AA berkaitan dengan adanya gangguan pada gen pengatur siklus sel yang lain, seperti hilangnya 11p dan/atau 19q, amplifkasi atau overekspresi cyclin-dependent kinase (CDK4/6) dan human double minute 2 (HDM2), hilangnya cyclin-dependent kinase inhibitor (p16INK4A/CDKN2A), dan mutasi gen retinoblastoma (RB1). Transformasi menuju GBM (GBM sekunder) berhubungan dengan delesi kromoso 10, mutasi PTEN, hilangnya delesi gen colorectal cancer (DCC), dan amplifikasi atau mutasi PI3K. GBM sekunder cenderung terjadi pada penderita yang lebih muda. Kelainan genetik GBM sekunder relatif sama dengan GBM primer, seperti hilangnya PTEN, delesi atau mutasi cyclindependent kinase inhibitors dan amplification dari HDM2 or CDK4.2 Beberapa kelainan genetik ini menyebabkan gangguan regulasi sinyal transduksi. Misalnya,



mutasi EGFR dan NF1 dapat meningkatkan aktivitas jalur RAS-mitogen-actibated protein kinase (MAP3). Aktivitas PI3K yang berlebihan dapat terjadi akibat hilangnya PTEN, regulator negatif fungsi PI3K, mutasi PI3K, atau amplifikasi AKT. Pengetahuan mengenai kelainan molekuler dan genetik ini akan menjadi dasar terapi moleculartargeted. Penderita dengan mutasi NF1 mungkin memberikan respon bila diberikan terapi inhibitor RAF atau MEK.2 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan Umum dengan Medikamentosa Medikamentosa banyak digunakan untuk mengontrol tanda dan gejala. Klinisi harus memprhatikan beberapa hal seperti edema peritumoral, kejang, fatigue, tromboemboli vena, dan gangguan kognitif. Pemilihan obat antiepilepsi harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari interaksi obat.



Gambar 4. Transduksi pada high grade astrocytoma dan terapi target. Sel astrositoma maligna dan sel endotel yang terkait sering mengalami aktivasi akibat beberapa reseptor tyrosine kinase (RTK), seperti epidermal growth factor receptor (EGFR), vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR), dan platelet-derived growth factor receptor (PDGFR), hepatocyte growth factor/cMET receptor, fibroblast growth factor receptor (FGFR), dan insulin-like growth factor receptor (IGFR). Pengikatan ligan ke reseptor ini menyebabkan receptor dimerization and phosphorylation (P). Ini memyebabkan aktivasi beberapa sinyal transduksi intrasel yang meregulasi transkripsi beberapa protein yang memberikan kontribusi penting terhadap malignansi. Beberapa protein di antaranya terlihat pada gambar ini, seperti RAS, RAF, mitogen-activated protein extracellular regulated kinase (MEK), extracellular-regulated kinase (ERK; juga dikenal dengan mitogen-activated protein kinase, MAPK), phosphatidylinositide-3kinase (PI3K), AKT, mammalian target of rapamycin (mTOR), dan protein kinase C (PKC). AMPA-R, alpha-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazolepropionic acid receptor; BMP, bone morphogenic proteins; CHK, checkpoint kinases; GDP, guanine diphosphate; GTP, guanine triphosphate; HDAC, histone deacetylase; HIF, hypoxia-inducible factors; NF1, neurofibromin; PIP2, phosphatidylinositol-(4,5)-bisphosphate; PIP3, phosphatidylinositol-(3,4,5)-trisphosphate; PLC, phospholipase C; PTEN, phosphatase and tensin homolog; STAT3, signal transducer and activator of transcription-3. Dikutip dari Sathornsumetee S, Reardon DA. High Grade Astrocytoma. In: Norden AD, Reardin DA, Wen PYC, eds. Primary Central Nervous System Pathogenesis and Therapy. Boston: Springer 2011.p.195-231.



500



Neurosurgery Lecture Notes



Kebanyakan obat antiepilepsi, seperti phenytoin dan carbamazepine, menginduksi enzim sitokrom P-450 hepar sehingga meningkatkan kecepatan metabolisme obat kemoterapi. Karena itu, obat antiepilepsi yang tidak menginduksi enzim hepar, seperti levetiracetam, menjadi pilihan utama saat ini. Yang masih menjadi kontroversi saat ini adalah apakah antiepilepsi tetap diberikan pada penderita tanpa riwayat kejang. American Academy of Neurology mengeluarkan suatu panduan yang menyatakan bahwa pemberian antiepilepsi rutin sebagai profilaksis pada penderita tanpa riwayat kejang tidak terbukti berguna.1 Antiepilepsi profilaksis mungkin diperlukan dalam 1 minggu sesudah pembedahan karena insiden kejang sesudah operasi relatif tinggi ditemui.3 Edema peritumoral sering diterapi dengan kortikosteroid seperti dexamethasone. Meskipun demikian, pemakaian kortikosteroid dalam waktu panjang dapat menyebabkan Cushing’s syndrome dan miopati. Kortikosteroid juga menyebabkan imunosupresi, sehingga penderita tumor yang mendapat kortikosteroid beresiko terkena infeksi Pneumocystis jiroveci. Karena itu, antibiotika profilaksis sering diberikan walaupun belum terbukti berguna. Kortikosteroid juga menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti osteoporosis dan fraktur kompresi. Pemberian preventif vitamin D, suplemen kalsium, dan bifosfonat sebaiknya dilakukan.1 Pembedahan Tujuan utama pembedahan glioma maligna adalah mendapatkan jaringan untuk diagnostik dan mengurangi efek massa karena imejing tidak mampu memprediksi derajat dan jenis tumor secara akurat. Kegunaan GTR pada malignant astrocytoma masih belum jelas. Meskipun reseksi dapat dilakukan hingga 99% tumor terangkat, sisa 1% sudah cukup untuk menyebabkan rekurensi. Reseksi luas sulit dilakukan karena tumor ini sering bersifat invasif, menginfiltrasi, dan melibatkan daerah eloquent.1 Membatasi reseksi pada daerah yang terlihat abnormal secara makroskopik tidak cukup untuk mencegah defisit fungsional. Glioma dapat menginvasi jarigan otak tanpa mengganggu fungsi otak normal. Teknik mapping fungsional



memungkinkan perluasan reseksi tanpa merusak korteks yang fungsional. Namun, reseksi tumor akan menyebabkan pergeseran otak sehingga perencanaan sebelum operasi menjadi tidak akurat lagi.1 Sebuah penelitian prospektif acak pada berbagai pusat penelitian membandingkan pembedahan standar dengan reseksi yang dipandu senyawa fluorescence, 5-aminolevulinic acid (ALA). 5-ALA adalah prekursor jalur sintesis hemoglobin. Pemberian senyawa ini beberapa jam sebelum operasi akan menyebabkan akumulasi molekul protoporfirin IX (PpIX) pada sel tumor. Di bawah cahara biru-violet, tumor akan kelihatan berwarna merah. Teknik ini memungkinkan identifikasi jaringan tumor dengan lebih baik. Reseksi total dan survival yang baik lebih banyak terjadi pada kelompok yang dipandu dengan 5-ALA, disertai harapan hidup yang lebih tinggi. 4



Gambar 5. (A) Mikroskop cahaya durante operasi reseksi parsial (L) parietal GBM pada laki-laki berusia 79 tahun. (B) Cahaya biru-violet pada lapangan operas yang sama (C) Panduan radiologi menunjukkan lokasi tititk fokus mikroskop selama prosedur. Dikutip dari Roberts DW, Valdés PA, Harris BT, Hartov A, Fan X, Ji S, Leblond F, Tosteson TD, Wilson BC, Paulsen KD. Glioblastoma Multiforme Treatment with Clinical Trials for Surgical Resection (Aminolevulinic Acid). Neurosurg Clin N Am 2012;23:371–377.



Carmustine Wafers Polifeprosan 20 dengan carmustine, dikenal juga dengan BCNU implant (Gliadel; Eisai, NJ, USA) banyak digunakan pada penderita GBM. Pemberian carmustine wafer setelah reseksi yang dilanjutkan dengan terapi radiasi berhubungan



501



Neurosurgery Lecture Notes



dengan pertambahan harapan hidup selama 2,3 bulan sampai 3 tahun, terutama pada kelompok usia muda dengan lesi yang kecil. Gangguan penyembuhan luka, infeksi post operasi (15-28%), peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang merupakan efek samping Carmustine yang umum ditemui.5



Gambar 6. Pemberian Carmustine wafer setelah reseksi tumor. Dikutip dari Quinones-Hinojosa A, Kosztowzski T, Brem H. Malignant Astrocytoma: Anaplastic Astrocytoma, Glioblastoma Multiforme, Gliosarkoma. In: Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery, 6th edn. Vol.2.. Philadelphia: Sauders 2011.p.1327-1340.



Pengaruh Luas Reseksi terhadap Hasil Akhir Klinis Lacroix dkk berpendapat bahwa reseksi lebih dari 98% berhubungan dengan survival yang lebih baik secara signifikan. Buckner dkk serta Laws dkk juga berpendapat bahwa harapan hidup pada penderita yang ditatalaksana dengan reseksi tumor lebih baik dibandingkan biopsi saja.1 Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan oleh McGirt dkk melaporkan survival setelah GTR akan lebih baik dibandingkan near total resection. Reseksi luas tumor memungkinkan mengurangi tumor sampai titik dimana terapi adjuvant menjadi lebih efektif.1 Radiasi Terapi radiasi telah menjadi pilihan utama pada tumor ini. Radioterapi biasanya diberikan secara lokal sampai sejauh 2-3 cm dari batas dengan dosis total 58-60 Gy, dibagi menjadi fraksi 1,8-2 Gy setiap hari dalam 5 hari seminggu selama 6-6,5 minggu. Pemberian radioterapi sering dikombinasikan dengan kemoterapi. Radioterapi diberikan pada fase awal sesudah operasi (sekitar



502



2-4 minggu sesudah reseksi). Penundaan radioterapi sampai 6 minggu sesudah operasi tidak memperburuk hasil akhir. 6 Sebuah seri penelitian menunjukkan bahwa involved-field radiotherapy (IFRT) memiliki efektivitas yang sama dengan whole brain radiotherapy, tetapi dengan toksisitas yang lebih rendah. Karena itu, IFRT menjadi standar penatalaksanaan saat ini. Namun, muncul keterbatasan yang bermakna sehubungan pemberian radioterapi. Misalnya, dosis terbesar radioterapi yang masih dalam batasan aman dapat bertambah bila diberikan bersamaan dengan bevacizumab. Selain itu, muncul permasalahan menganai volume jaringan otak yang betul-betul diinfiltrasi oleh tumor. Walaupun CT dan MRI telah meningkatkan efektivitas pemberian IFRT, modalitas ini tidak dapat menentukan batas tumor mikroskopis. CT dan MRI dengan kontras juga tidak dapat membedakan tumor aktif dengan radionekrosis. MR Spectroscopy merupakan modalitas yang dapat menjadi pilihan. 7 Pseudopregression Banyak ahli neuroonkologi pada dekade sebelumnya menemukan adanya peningkatan penyangatan kontras pada MRI otak yang dibuat segera setelah radioterapi. Beberapa peneliti berpendapat bahwa gambaran ini terkait kerusakan sawar darah otak akibat terapi. Karena itu, MRI pertama harus ditunda sampai 4-6 minggu setelah radiasi.7 Fenomena ini kembali diteliti akhir-akhir ini. Peningkatan terjadi pada sepertiga pasien. Beberapa di antaranya mengalami perburukan beberapa bulan setelah akhir radioterapi. Pada tahun 2006, Chamberlain dkk menemukan fenomena ini terjadi pada pasien yang mendapat radioterapi dan temozolamide sekaligus. Reseksi kembali dilakukan pada seluruh penderita simtomatik dengan penyakit yang progresif. Setelah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, didapati bahwa separuh di antaranya menunjukkan gambaran cedera setelah pengobatan. Dalam seri ini, pseudoprogression ditemui pada 58% kasus dalam tiga bulan pertama setelah menyelesaikan radioterapi concomitant dengan temozolamide.7



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 7. Penderita astrocytoma grade 2 (tanpa penyangatan) mendapat pembedahan diikuti 18 siklus temozolamide. Pasien tersebut kemudian diberikan radioterapi sampai 54 Gy dengan dosis 1,8 Gy per fraksi. Sesudah radioterapi, terlihat penyangatan yang sesuai dengan gambaran progresi. Sesudah 9 bulan, lesi ini menghilang dengan sendirinya. (A) MR kontras, T1 sebelum radioterapi. (B) MRI kontras T1 empat bulan setelah radioterapi, menunjukkan pseudoprogression. (C) setelah 9 bulan, tampak resolusi pseudoprogression pada T1- MR kontras. Dikutip dari Robins HI, Lassan AB, Khuntia D. Therapeutic Advance in Malignant Glioma: Current Status and Future Prospects. Neuroimag Clin N Am 2009;19:647–656



Penelitian lain menemukan bahwa insiden pseudoprogression dapat mencapai 64%. Teknik pencitraan lain seperti proton MRSI, perfusion MRI, fluorodeoxyglukosa-PET dan diffusion-weighted MRI dapat membedakan penyakit yang progresif dengan pseudoprogression, tetapi diagnosis defenitif tetap harus ditegakkan berdasarkan gambaran histopatologi. 7 Komplikasi neurologi yang diinduksi oleh radiasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: akut, early delayed, dan delayed.8 Tabel 1. Komplikasi radioterapi. Dikutip dari: Colen CB, Allcut E. Quality of Life and Outcomes in Glioblastoma Management. Neurosurg Clin N Am 2012;23:507–513. Stadium



Waktu



Akut



Menit sampai hari



Early delayed Late delayed



2 minggu – 4 bulan 4 bulan – 24 tahun



Gejala Klinis Peningkatan tekanan intrakranial Rasa mengantuk, somnolens dementia



Ada dua hal yang harus menjadi pertimbangan klinisi saat memberikan radioterapi. Penderita dengan GBM besar, terutama dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial, sebaiknya diberikan dosis kecil per fraksi (maksimal 200 cGy setiap fraksi). Kedua, setiap penderita yang menjalani radiasi otak sebaiknya diberikan kortikosteroid (8-16 mg dexamethasone setiap hari) jika peningkatan tekanan intrakranial sudah menimbulkan gejala, setidaknya 24 jam sebelum terapi radiasi diberikan.8



Kemoterapi Kemoterapi adjuvant dengan nitrosurea tidak berguna secara klinis, hanya meningkatkan harapan hidup sampai 1 tahun pada 90 45 40 15 2/3 menurut beberapa ahli) . Diagnosa banding imejing DIPG antara lain : 1. Malignant Non Glial tumor (PNET) 2. Non Malignant tumor (ganglioglioma, hamartoma) 3. Infark 4. Infeksi 5. Proses demyelinisasi Fokal midbrain tumor juga iso-hipointense pada T1 dan hiperintense pada T2. Lesi yang melibatkan tectum sangat jarang menyengat kontras, sedangkan peritectal dan tegmental tumor umumnya menyengat kontras. Dorsally exophytic tumor memberikan gambaran lesi hipointense berbatas tegas pada T1 dan hiperintens pada T2. Berbeda dengan tumor brainstem yang lain , penyengatan kontras yang tegas dan hydrocephalus cukup sering dijumpai. Cervicomedullary tumor memberikan gambaran yang sama dengan tumor brainstem yang lain, hipointense pada T1 dan hiperintense pada T2. Umumnya massa tumor ekstensi ke ventrikel IV. Klasifikasi berdasarkan sistem imejing MRI telah terbukti berguna dalam menentukan prognosis dan efikasi terhadap intervensi pembedahan (walaupun sebagian ahli tidak menyatakan imejing lebih superior dibanding tindakan biopsi dalam hal diagnosis). Penelitian serial menunjukkan keseragaman buruknya prognosis pada kasus DIPG dan outcome yang lebih baik pada jenis tumor non difus yang lain (kandidat ideal untuk pembedahan). Berkovich et al (1990) menyatakan beberapa parameter imaging yang secara statistik bermakna sebagai faktor prognosis yaitu lokasi, derajat pembesaran brainstem dan infiltrasi difus. Lesi fokal dan tumor dengan tampilan kistik memberikan outcome yang lebih baik. Tumor nekrosis dan hydrocephalus tidak merupakan pegangan prognosis. Moghrabi (1995) menyatakan penyangatan kontras juga bukan merupakan faktor prognosis. Peningkatan contrast enhancement mungkin merupakan indikator progresifitas tumor. Beberapa penelitian belakangan menunjukkan karakteristik radiologis tersebut,



546



baik sebagai diagnostik maupun evaluasi MRI post radiasi tidak menunjukkan korelasi yang bermakna dengan survival rate pada kasus DIPG. Kurangnya kekuatan prediktor menyangkut MRI menimbulkan pertanyaan akan kegunaan MRI rutin post radiasi sebagai interpretasi menyangkut korelasi progresifitas klinis. Oleh karena itu sangat dimungkinkan peranan tehnik radiologis yang baru di masa yang akan datang, termasuk imejing fungsional seperti MR Spectroscopy dan PET scan untuk kepentingan evaluasi maupun prognosis.



Gambar 15. MR Spectroscopy. Dikutip dari : Gupta N, Banerjee A, Kogan DH, eds. Pediatric CNS Tumor, 2nd edn. New York,Berlin,Heidelberg : Springer-Verlag 2010.p.49-66



Gambar 16. Diffuse Tensor Imaging (DTI). Dikutip dari : Donaldson SS, Laningham F, Fisher PG. Advances Toward an Understanding of Brainstem Gliomas. J Clin Oncol 2006;24(8):1266-1272



Neurosurgery Lecture Notes



V. 1. Klasifikasi Banyak klasifikasi yang telah digunakan untuk kasus tumor batang otak. Pada awal nya sistem pembagian di dasari pada hasil pemeriksaan CT Scan dan observasi bedah. Pada saat ini klasifikasi menggunakan MRI sebagai imejing standar. Seluruh sistem klasifikasi mengkategorikan tumor berdasarkan epicenter (difus atau fokal) dan karakteristik imejing.



Klasifikasi yang paling sederhana membagi tumor menjadi 2 kelompok (fokal atau difus) tanpa mempertimbangkan epicenter massa tumor. Klasifikasi yang lebih kompleks membagi tumor berdasarkan lokasi, pola pertumbuhan tumor dan ada atau tidak nya hydrocephalus ataupun perdarahan. 18



Tabel 4. Sistem Klasifikasi dari brainstem tumor. Dikutip dari Jallo GI, Roonprapunt C, Epstein F. brainstem gliomas. Annals of Neurosurgery 2003;3(1):1-17



Current management of



547



Neurosurgery Lecture Notes



.



Gambar 17. Diffuse Intrinsic Pontine Glioma Dikutip dari Nejat F, El Khasab M, Rutka JT . Initial Management of Childhood Brain Tumors: Neurosurgical Considerations. Journal of Child Neurology 2008;23(10): 1136-1148



VI. Penatalaksanaan Terapi pilihan pada kasus tumor batang otak bergantung kepada tipe tumor tersebut ( difus atau non difus) . Radioterapi konvensional sampai saat ini masih merupakan standar penanganan. Peranan kemoterapi, radiosensitizer, dan agen biologis lainnya masih belum jelas sepenuhnya dan memerlukan penelitian lebih lanjut 1, 3, 18,21.



.



Gambar 18. Focal Midbrain Glioma Dikutip dari Gupta N, Banerjee A, Kogan DH. Pediatric CNS Tumor, 2nd edn. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2010.p.49-66



Gambar 21. Algoritme Penanganan. Dikutip dari Jallo GI, Roonprapunt C, Epstein F. Current management of brainstem gliomas. Annals of Neurosurgery 2003;3(1):1-17



.



Gambar 19. Dorsally Exophytic Tumor Dikutip dari : Westphal M, Rutka JT, Tonn JC, Grossman SA, eds. Neurooncology of CNS Tumor. New York, Berlin, Heidelberg : Springer- Verlag 2006.p.407-414



Gambar 20. Cervicomedullary Tumor. Dikutip dari: Donaldson SS, Laningham F, Fisher PG, eds. Advances Toward an Understanding of Brainstem Gliomas. J Clin Oncol 2006;24: 1266-1272



548



VI. 1. Pembedahan Pada saat ini, tindakan bedah tidak lagi memegang peranan baik dalam hal menegakkan diagnosa ataupun penatalaksanaan kasus DIPG. Laporan Albright yang mewakili CCG (Children’s Cancer Group) pada tahun 1993, merekomendasikan MRI untuk menggantikan biopsi dalam penegakan diagnosis DIPG. Proposal Albright tersebut pada saat ini telah secara universal di terima. Pada beberapa kasus yang dilakukan stereotactic biopsi, hasil patologi terutama adalah high grade glioma, hanya 1, 2, 3 sebagian kecil low grade (WHO Grade II) . Temuan MRI umumnya spesifik dan temuan histologis tidak mempengaruhi penatalaksanaan kasus. Reseksi yang bermakna merupakan hal yang tidak mungkin, oleh karena tumor ekstensif difus sampai ke white matter tract yang melintasi batang otak, sehingga reseksi tidak akan memberikan keuntungan terhadap survival penderita. Meskipun hydrocephalus cukup sering di jumpai pada saat diagnosis ditegakkan,



Neurosurgery Lecture Notes



umumnya derajat ringan dan dapat ditangani dengan pemberian steroid, sehingga pemasangan shunt sangat jarang diperlukan. 1, 3, 18, 19 Pada tipe non difus, terutama midbrain fokal tumor , umumnya cukup asesibel dengan pembedahan stereotaktik. Banyak kasus tidak memerlukan terapi tambahan, bahkan setelah reseksi sub total. Reseksi ekstensif pada kasus dorsal exophytic tumor dapat memperpanjang progression-free survival tanpa memerlukan terapi tambahan, tetapi masih belum jelas jika tindakan pembedahan tersebut memberikan perbaikan dibanding radiasi lokal konvensional. Lesi pada tectum tidak membutuhkan tindakan reseksi ataupun biopsi, cukup pemasangan shunt ataupun tindakan endoscopic third ventriculostomy, diikuti dengan observasi ketat. Penderita umumnya stabil selama bertahun tahun ataupun dekade, dan jarang memerlukan radiasi. 1, 18 VI. 2. Radiasi Terapi standar pada kasus DIPG masih berupa fraksinasi external beam radioterapi. Dianjurkan agar segera dilakukan 24-48 jam setelah diagnosis DIPG ditegakkan. Dosis standar radiasi adalah 54-60 Gray (Gy) , diberikan harian dengan dosis 1, 8-2 Gy selama +/- 6 minggu. Hiperfraksinasi external radioterapi/HFRT merupakan rejimen dengan total dosis 64 Gy atau lebih, diberikan 2 x sehari dengan dosis fraksinasi lebih kecil (+/- 1 Gy) , selama lebih dari 6 minggu. Radiasi hiperfraksinasi ini pada awal nya di disain untuk kasus DIPG, oleh karena efek transient respon pada radiasi standar dan usaha untuk memberikan efek booster radiasi. 1 Mandell et al (1999) melakukan penelitian randomized clinical trial (RCT) fase III membandingkan antara radiasi hiperfraksinasi dengan radiasi konvensional dan melaporkan bahwa secara statistik tidak terbukti bermakna, baik dalam progression free survival ataupun overall survival. Median waktu kematian 8, 5 bulan pada penderita dengan dosis radiasi standar dan 8 bulan pada penderita yang dilakukan radiasi hiperfraksinasi sampai dengan dosis 70, 2 Gy. Freeman et al (1996) bahkan melaporkan adanya efek samping yang bermakna pada follow up jangka



panjang penderita yang di terapi dengan radiasi hiperfraksinasi. 1 Belakangan ini juga dilakukan terapi rejimen hipofraksinasi yang diberikan selama 3 minggu. Radiasi hipofraksinasi dikatakan cukup aman dibanding rejimen radiasi lainnya (Janssens et al, 2009) , meskipun sampai saat ini belum menjadi standar terapi. 3 Meskipun secara fakta terapi radiasi memberikan perbaikan klinis dan neurologis yang bermakna , 90% penderita akan mengalami perburukan klinis dalam rentang 2 tahun pasca diagnosa ditegakkan.1 Tabel 5. Hasil Prospektif Study Radiasi Hiperfraksinasi. Dikutip dari Dikutip dari Gupta N, Banerjee A, Kogan D H, eds. Pediatric CNS Tumor, 2nd edn. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2010.p.49-66



.



Tabel 6. Beberapa Protokol Kemoradiasi Dikutip dari : Jansen MHA, van Vuurden DG, Vandertop WP, Kaspers GJL, Diffuse Intrinsic Pontine Glioma : A Systematic Up Date on Clinical Trial and Biology. Elsevier Cancer Treatment Review 2011.p.1-94.



VI. 3. Kemoterapi Peranan kemoterapi pada kasus DIPG masih memberikan hasil yang mengecewakan, sebagian ahli berpendapat tumor ini merupakan tipe tumor Kemoresisten. Berbagai kemoterapi terbukti tidak menunjukkan efikasi yang bermakna, termasuk Cysplatin (Sexauer et al, 1985) , PCNU (Allen et al, 1987) , Ifosfamide (Heideman et al, 1995), Topotecan (Blaney et al, 1996) dan



549



Neurosurgery Lecture Notes



Temozolamide/TMZ (Broniscer et al, 2005)



1, 3, 21,



22, 23, 24



Uji Klinis CCG-945 yang dilakukan pada tahun 1985 – 1990 (8 in 1 Regiment) merupakan salah satu uji klinis dengan sampel terbanyak (172 kasus) dan menjadi salah satu penelitian yang paling banyak di review di literatur. Protokol rejimen menggunakan kombinasi pembedahan, radioterapi dan kemoterapi pasca radiasi, yang terdiri atas prednisone, CCNU/Lomustine dan vincristine atau kombinasi lomustine, vincristine, hidroxyurea, procarbazine, cisplatine, cytosine dan dacarbazine. Rejimen kompleks ini diberikan 2 siklus sebelum dan sesudah radiasi. Methylprednisolon ditambahkan untuk mengurangi cerebral Oedema. Menurut Finley et al (1995) 5 years survival rate pada protokol ini hanya sekitar 36 +/- 6%. 1, 3, 25 Uji Klinis Fase III CCG-943 yang membandingkan antara radioterapi dengan kombinasi Vincristine, CCNU dan Prednisone menunjukkan kegagalan kemoterapi adjuvant



dalam memberikan keuntungan survival yang bermakna. Uji Klinis Fase II dari POG (Pediatric Oncologi Group) yang memberikan preiradiasi kemoterapi cysplatine dan cyclophosphamide hanya memberikan median survival 9 bulan dan overall 2 years survival sebesar 14%. Uji klinis CCG9941 dengan rejimen pre radiasi cysplatine, etoposide dan cyclophosphamide juga memberikan hasil yang mengecewakan. 3, 25, 26 Suatu Literatur Review uji klinis fase II yang mengkombinasikan dosis tinggi cysplatine/ cytarabine/etoposide, cysplatine/ cyclophosphamide, mustin/vincristine/prednisolon/ procarbazine dan thiotepa/etoposide atau busulfan/ thiotepa dengan autologues bone marrow rescue juga menunjukkan respon yang buruk. 27 Tamoxifen dan obat-obatan lain untuk memodifikasi respon biologis juga menunjukkan kegagalan. 28 Kombinasi temozolamide dan radiasi juga tidak memperbaiki survival rate kasus DIPG, hal ini berbeda secara bermakna dengan hasil pada kasus glioblastoma multiforme. 23, 24



Tabel 7. Beberapa Uji Klinis DIPG. Dikutip dari : Westphal M, Rutka JT, Tonn JC, Grossman SA, eds. Neuro-oncology of CNS Tumor. New York, Berlin, Heidelberg : Springer-Verlag 2006.p.407-441



550



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 22. Protokol Uji Klinis HIT 91. Dikutip dari Wagner S et al, High-dose Methotrexate Prior to Simultaneous Radiochemotherapy in Children with Malignant High-grade Gliomas, Anticancer Res 2005;25:2583-2588



Gambar 23. Protokol Kemoterapi Uji Klinis CCG-9941. Dikutip dari : Polack IF, et al. Preradiation Chemotherapy in Primary HighRisk Brainstem Tumors: Phase II Study CCG-9941 of the Children’s Cancer Group. J Clin Oncol 2002;20: 3431-3437



Sampai saat ini variasi tunggal ataupun kombinasi dengan berbagai cara (neo adjuvant, adjuvant ataupun concurrent/concomitant dengan radiasi) terbukti gagal memberikan perbaikan yang bermakna pada kasus DIPG. Response rate berkisar antara 0-20%. Bahkan pasien yang diberikan rejimen concurrent dengan cysplatin dan radiasi hiperfraksinasi memberikan outcome yang lebih buruk jika dibandingkan dengan terapi radiasi hiperfraksinasi saja. (Freeman, 2000) . 1, 3 Beberapa zat yang diberikan concomitant dengan maksud sebagai radiosensitizer, cukup



menarik minat para ilmuwan, tetapi sejauh ini tidak memberikan tambahan keuntungan bagi penderita. Dua zat radiosensitizer non sitotoksik saat ini sedang dipelajari, carbogen inhale (radiosensitizer potensial dari tumor hipoksik) dan motexafin gadolinium (suatu metalloporfirin dengan aktifitas radiosensitizer berbasis deplesi enzyme repair DNA). Uji klinis carbogen dihentikan setelah 10 sampel disebabkan minimnya efikasi zat tersebut. Uji klinis motexafin masih berlangsung dan belum dapat di evaluasi. 1



551



Neurosurgery Lecture Notes



.



Gambar 24. Protokol Uji Klinis POG grup Dikutip dari : Freeman C, Korones DN, Fisher PG, et al. Treatment of Children With Diffuse Intrinsic Brain Stem Glioma With Radiotherapy, Vincristine and Oral VP-16: A Children’s Oncology Group Phase II Study. Pediatr Blood Cancer 2007;1-5



.



Gambar 25. Protokol Uji Klinis OSAC-101 Dikutip dari : Massimino M, Bode U, Biassoni V, Fleischhack G. Nimotuzumab for pediatric diffuse intrinsic pontine gliomas. Expert Opin Biol Ther 2011;11(2):247-256



552



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 26. Protokol Uji Klinis CCG-9883. Dikutip dari: Finlay JL, Dunkel IJ. High-dose chemotherapy with autologous stem cell rescue for brain tumors. Critical Reviews in Oncology-Hematology 2002;41:197–204



Gambar 27. Protokol Uji Klinis PBTC-033. Dikutip dari: Luo Y, Luo YP, Donawho CK. ABT-888, an OrallyActive Poly (ADP-Ribose) Polymerase Inhibitor that Potentiates DNA-Damaging Agents in Preclinical Tumor Models. Clin Cancer Res 2007;13:2728-2737.



Gambar 28. Uji Klinis CDX-110 / ACT III. Dikutip dari : Lai RK, Reardon DA, Green J, et al. Long-term Follow-up of ACT III: A Phase II Trial of Rindopepimut (CDX-110) in Newly Diagnosed Glioblastoma plus Bevacizumab, ACT III study group, presented at 2011 SNO Annual Scientific Meeting and 2012 ASCO Annual Meeting



553



Neurosurgery Lecture Notes



VI. 4. Metronomic Chemotherapy 36 Pada saat ini FDA (Food and Drug Administration) dan sebagian ilmuwan menganggap metronomik chemotherapy sebagai modalitas terapeutik ke 4 setelah pembedahan, radiasi dan kemoterapi. Rejimen ini disebut metronomik atau “low-dose chemotherapy” dan membuka paradigma baru penggunaan anti angiogenesis. Kemoterapi metronomik pada prinsipnya mengubah jadwal dan dosis pemberian rejimen kemoterapi dengan mengoptimalkan aktifitas anti angiogenik dari kemoterapi konvensional.



Tabel 8. Metronomic Chemotherapy (Folkman Lab). Dikutip dari : Folkman M J, Browder T, Kieran M W, et al. A Feasibility Trial of Antiangiogenic (Metronomic) Chemotherapy in Pediatric Patients With Recurrent or Progressive Cancer. J Pediatr Hematol Oncol 2005;27:573–581



Pada saat ini agen anti angiogenesis baru seperti PTK 787, AZD2171, RAD OO1, BMS 275291, CCI-779, ZD 6474, PxD 101, ABT 510, VEGF Trap dan lain lain sedang dalam penelitian uji klinis fase I dan II. 36



Gambar 29. Kemoterapi Metronomik vs Kemoterapi . konvensional Dikutip dari : Pasquier E et al. Moving Forward nd with Metronomic Chemotherapy: Meeting Report of The 2 International Workshop on Metronomic and Anti Angiogenic Chemotherapy in Paediatric Oncology. Translational Oncology 2011;4:203–211



Kemoterapi metronomik ini dipelopori oleh pakar terapi molekuler Judah Folkman dan Timothy Browder dari Dana Farber Harvard Cancer Center, yang memulai uji klinis pada tahun 2002. Berbagai kemajuan dalam terapan biomolekuler, penelitian stem cell, gene therapy, target sel therapy dan pemahaman yang semakin mendalam tentang EGFR, VEGF, PDGF serta pro dan anti angiogenik semakin menegaskan penting nya peranan antiangiogenesis dalam penatalaksanaan kasus DIPG.



554



VI. 5. Imunoterapi Kanker Pemahaman tentang Imunoterapi pada saat ini banyak mengalami perubahan pesat terkait kemajuan molekuler yang berkembang sangat pesat. Tetapi prinsip dasar pengembangannya telah diketahui oleh para ilmuwan klasik berpuluh tahun yang lalu. Paul Ehrlich yang dahulu terkenal dengan teori dasar imunologi “side-chain theory” pada tahun 1909 telah mengajukan hipotesis bahwa sistem imun dapat mengenali dan melindungi tubuh dari sel sel kanker, dengan penggunaan ligand spesifik yang menargetkan mekanisme efektor sitotoksik poten terhadap sel tumor. Penelitian terutama berfokus pada antibodi bispesifik yang fokus menargetkan ulang sel efektor dari sistem imun (imunoterapi) dan sistem target carier (misalnya liposom atau polimer) untuk drug delivery berbasis nanoteknologi pada kemoterapi advance dan bioterapi yang menargetkan fusi protein sitotoksik38



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 30. Konsep Imunoterapi dan Kemoterapi. Dikutip dari : Biomedical Engineering University of Stuttgart Pharmainfo. net



Gambar 31. Klasifikasi Cancer Immunotherapy. Dikutip dari : Johnson T S, Munn DH, Maria BL. Modulation of Tumor Tolerance in Primary Central Nervous System Malignancies. Clin Dev Immunol 2012; 2012: 937253. Published online 2012 January 24. doi: 10.1155/2012/937253



Beberapa penelitian imunologi molekuler yang sedang memasuki uji klinis fase I dan II antara lain : Recombinant Immunotoxin 8H9scFv-PE 38, Interleukin-1β dan sel glioma LN-229, T cell mediated HSV1-TK dan immunostimulator Flt3L, EGFRvIII Dendritic Cell Vaccine/CDX-110 dan autologues Heat Shock Protein Vaccine (HSPPC-96) . Pada saat ini penelitian gene therapy berkembang sangat pesat dan teknik stem cell rescue yang dikaitkan dengan imunoterapi dan vaksin tumor otak (dendritic cell vaccine) memberikan harapan yang menjanjikan. 38 Istilah Immune Privilege digunakan untuk menjelaskan defisiensi atau defek pada respon imun adaptif yang menggambarkan tidak adanya tumor-specific immune responses. Pada kebanyakan kasus, tumor otak malignan seringkali cenderung untuk resisten terhadap kemoradiasi, sehingga perkembangan imunologi molekuler pada saat ini terutama diarahkan untuk mencari respon imun yang efektif terhadap proses malignansi. Bahkan pada fase awal tumorogenesis, pada saat proses turnover sel yang tinggi, tumor-shared “self” antigen memiliki potensi untuk mengaktifasi sistem imun yang non aktif. Meskipun sistem immune privilege sangat kompleks, tetap memungkinkan untuk memanipulasi sel limfosit dan myeloid. Pemahaman yang lebih baik tentang CNS tumor-specific tolerogenic mechanism pada masa depan akan berperan penting pada angka survival, terutama dikaitkan dengan strategi multi modalitas terapi. Infiltrating microglia, makrofag dan astrocyt membentuk suatu microenvironment stromal milieu dan akan mempertahankan toleransi terhadap tumor melalui berbagai mekanisme, termasuk sekresi immune suppressive cytokine, growth factor, supresi respon sel T lokal dan rekrutmen sel T regulator. Vaksinasi tumor otak yang memanfaatkan sistem imun terutama di dasari pada prinsip mengatasi mekanisme tolerogenik tersebut. Penggunaan vaksinasi dengan kombinasi multi modalitas rejimen kemoimunoterapi pada masa yang akan datang, diharapkan dapat memaksimalkan potensi tinggi imunoterapi pada kasus tumor ganas otak dengan resistensi kemoradiasi. 39



555



Neurosurgery Lecture Notes



Tabel 9. Mekanisme Immune Privilege. Dikutip dari : Johnson T S, Munn DH, Maria BL. Modulation of Tumor Tolerance in Primary Central Nervous System Malignancies. Clin Dev Immunol. 2012; 2012: 937253. Published online 2012 January 24. doi: 10.1155/2012/937253



Gambar 32. Tumor environment. Dikutip dari : Johnson T S, Munn DH, Maria BL. Modulation of Tumor Tolerance in Primary Central Nervous System Malignancies. Clin Dev Immunol. 2012; 2012: 937253. Published online 2012 January 24. doi: 10.1155/2012/937253



.



Gambar 33. Dendritic Cell dan NK cell . Dikutip dari Smyth MJ, Hayakawa Y, Takeda K, et al. New aspect of natural killer cell surveillance and therapy of cancer. Nature Reviews Cancer 2002;2: 850-861



556



Neurosurgery Lecture Notes



Gambar 34. HSPPC-96. Dikutip dari : Nicchitta CV. Reevaluating the role of heat-shock protein–peptide interactions in tumour immunity. Nature Reviews Immunology 2003;3: 427-432



VI. 6. Gene Therapy Dalam dekade terakhir dijumpai kemajuan pesat dalam teknologi genomik berbasis DNA dan RNA, termasuk gene expression arrays, single nucleotide polymorphism (SNP) gene-mapping arrays, serta high throughoutput next-generation sequencing untuk mengukur ekspresi dan copy gen serta mutasi genetika. Teknologi ini memungkinkan screening ribuan gen secara simultan, termasuk berbagai signaling pathway yang dihubungkan dengan biologi molekuler high grade astrocytoma pada kasus DIPG. Penelitian experimental terhadap kegunaan terapi gen pada kasus tumor otak merupakan kasus yang banyak menarik perhatian para ilmuwan di kalangan ahli bedah saraf. Strategi terapeutik melibatkan struktur DNA, virologi dan atau keterlibatan gen secara molekuler. Kemajuan impresif dalam bidang basic virology dan biologi molekuler sangat pesat dalam 2 dekade terakhir. Meskipun terapi gen belum mampu memberikan angka kesembuhan yang cukup bermakna pada kasus DIPG, kemungkinan dan harapan sangat terbuka di masa yang akan datang, terutama dengan berkembangnya teknologi nanopartikel untuk diagnosis dan terapi molekuler. 42, 43



Gambar 34. Basic Gene Therapy : A. transkripsi, modifikasi post transkripsi dan translasi B. replacement gene therapy C. ”suicide gene therapy” D. antisense therapy. Dikutip dari: Engelhard HH. Gene therapy for brain tumors: The fundamentals dan Scientific Up Date. Surg Neurol 2000;54: 17



VII. Prognosis Setelah radiasi, sebagian besar anak umumnya mengalami perbaikan gejala klinis. Rentang median remisi klinis setelah radiasi komplit adalah 4-6 bulan. Respons klinis dan radiologis tidak dapat memprediksi durasi remisi. Prediktor prognosis buruk termasuk : - Usia kurang dari 2 tahun - Multiple Cranial Nerve Palsy - Perburukan klinis yang cepat setelah diagnosa ditegakkan Secara keseluruhan, anak yang menderita DIPG memiliki prognosis cukup buruk, sebagian besar kasus meninggal dalam 1 tahun atau kurang pasca diagnosis. Terapi paliatif merupakan esensi penatalaksanaan. 1, 3



557



Neurosurgery Lecture Notes



VII. 1. Molecular Prognosis Beberapa marker prognostik molekuler telah diidentifikasi pada pediatric high grade glioma, termasuk diantaranya protein p53, MIB-1 dan inaktivasi gen PTEN. Sampai saat ini prognostik molekuler independen yang paling kuat signifikansi nya adalah over expresi protein p53. Over ekspresi ini lebih sering di jumpai pada GBM (58%) dibanding Anaplastik Astrocytoma (26%). Penderita dengan over ekspresi p53 memiliki



prognosis yang lebih jelek (5 years progression free survival 17+/- 6 % dan Overall survival 20% +/- 6% , p value