Resume Teori Keagenan Dari Buku Prof. Gudono [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN MATA KULIAH TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY)



Disusun Oleh: Nuzulul Khaq (W10020001)



MAGISTER AKUNTANSI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2020



TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY) Teori keagenan (The Agency Theory) dikembangkan pada tahun 1970-an dari tulisan Jensen dan Meckling. Konsep-konsep dari teori keagenan bermacam-macam dan memiliki sejarah yang panjang , teori ini dipengaruhi oleh beberapa konsep misalnya oleh pemikiran mengenai konsep biaya transaksi Ronald H.Coase (1937), teori property right , konsep pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian (Berle dan Means,1932) dan filsafat utilitarisme (Ross 1973) . a. Coase dan Biaya Transaksi Ekonomi biasanya lebih tertarik melihat ekosistem secara makro, para ekonomi dulu lebih condong membahas tentang mekanisme pasar yang berjalan otomatis, elastis dan responsif dalam mengatur mekanise harga dan distribusi barang serta jasa pada masyarakat (Coase 1937). Coase melihat ada dua dunia yaitu pertama dunia di luar perusahaan dimana mekanisme transfer barang dalam kehidupan masyarakat ditentukan secara otomatis oleh penawaran dan permintaan dipasar dan kedua di dalam perusahaaan dimana transfer barang dilakukan melalui koordinasi produksi . Meski pasar berjalan dengan otomatis tetapi perlu juga diperlukan perusahaan (organisasi) karena dengan memakai organisasi sebagian besar biaya transaksi dengan mekanisme pasar tersebut bisa dihilangkan (dihemat). Ada bermacam-macam biaya transaksi melalui mekanisme pasar, seperti misalnya biaya negosiasi dan ketidakpastian. Coase mengakui bahwa di dalam mekanisme pasar biaya-biaya ini diusahakan dikurangi, namun tidak bisa dihilangkan. Prof.Knight berpendapat bahwa pengelolaan produksi melalui perusahaan juga ada biayanya. Coase berpendapat bahwa manakala sebuah perusahaan semakin besar maka terjadi decreasing return to the entrepreneur function.



b. Berle dan Means : Masalah Tata Kelola (Governance) Biaya keagenan (agency costs) akan rendah atau bahkan tidak ada manakala master tidak menggunakan buruh sama sekali untuk mengelola usahanya. Dengan tidak adanya buruh master tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memonitor. Satu-satunya biaya keagenan yang muncul dalam situasi ini adalah jika master memaksakan diri



mengelola usahanya padahal dia tidak memiliki kemampuan. Berle dan Means (1932) adalah penulis pertama yang memberi perhatian atas masalah pemisah antara pemilik dengan manajemen yang mengelola perusahaan sehari-hari khususnya diperusahaan dengan jumlah pemilik yang tersebar luas. Berle dan Means dalam tulisannya “The Modren Corporation and Private Property “, mengajukan tesis ‘Hegemoni Manajerial’ yaitu bahwa diperusahaan yang besar dan modren dengan kepemilikan yang tersebar, manajemen eksekutif mengambil alih kendali dan menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemilik. Dalam struktur kepemilikan atas perusahaan yang sangat tersebar masing-masing pemilik hanya memiliki proporsi hak kepemilikan yang sanagt kecil dan hal tersebut akan mengurangi insentif mereka untuk mengawasi manajemen secara efektif ( Fama dan Jensen,1983) .Akibatnya manajemen akan meminimalkan upaya produktif mereka serta memberi organisasi tempat mereka bekerja dan para pemiliknya return yang sekecil mungkin. Untuk memahami kerangka pikir Berle dan Means terlebih dahulu harus memahami situasi bisnis pada tahun-tahun saat The Modern Corporation and Private Property ditulis. Di amerika serikat dari tahun 1890-an sampai menjelang tahun 1920-an dikenal dengan era financial capital di mana perusahaan-perusahaan raksasa bermunculan dan kelompok baru yang disebut manajemen eksekutif muncul. Sebagai konsekuensinya tentu saja sekelompok kecil pemegang saham mayoritas yang lama tidak lagi memegang kekuasaan mayoritas dankepemilikan menjadi lebih tersebar. Dari kajia atas 200 perusahaan nonkeuangan pada tahun 1929 Berle dan Mean menemukan bahwa 44 persen diantaranya tidak ada yang dikuasai oleh individu yang memiliki share kepemilikan diatas 20 %. Ketentuan 20% ini merupakan batas yang mereka anggap syarat minimal untuk bisa mengendalikan perusahaan.Fenomena ini bagi Berle dan Means menjadi semacam perebutan kekuasaan (usurpation) oleh manajer dimana kepentingan para manajer tersebut tidak perlu harus sesuai sejalan dengan kepentingan para pemiliknya. Menurut Berle dan Means melindungi hak milik pemegang saham tidak bisa ditawar-tawar dan dia menyarankan diterapkannya konsep shareholder supremacy untuk melindungi hak-hak pemegang saham. Proposal Berle dan Means untuk mengobati efek negatif pemisahan kepemilikan dari kontrol harus



dipahami dalam konteks bahwa pandangan mereka sangat dipengaruhi paham yang berkembang pada zaman itu bahwa ‘ private property’ termasuk perlindungan hak-hak pemilik serta maksimalisasi laba masih merupakan paradigma yang dominan. Dalam pandangan Berle dan Means tidak semua orang setuju dengan pandangan mereka , dan praktik proposal Berle dan Means ini diterapkan setengah hati banyak orang justru kembali kepasar sebagai solusi , kemungkinan take-over dan sistem kompensasi berbasi kinerja lebih banyak diterima sebagai alat untuk mendisiplinkan manajer yang tidak efesien. Adanya depresi besar ( Great Depression) tahun 1929 oleh banyak kalangan disebut sebagai dampak dari hilanggnya kepercayaan publik pada perilaku manajer yang ugal-ugalan dan tidak transparan dalam menyajikan laporan keuangan. c. Teori Keagenan ( Agency Theory ) Teori keagenan dibangun sebagai upaya untuk memahami dan memecahkan masalah yang muncul manakala ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan kontrak . kontrak yang dimaksud adalah kontrak antara prinsipal seperti pemberi kerja,misalnya pemegang saham atau pimpinan perusahaan dengan agen penerima perintah misalnya manajemen atau bawahan. Pandangan teori keagenan pada hakikatnya dibangun dengan memperluas teori yang dibahas dalam karya-karya Coase, Berle, dan Means . Dalam konteks ini agency costs merupakan biaya atau cost of governance yang terjadi manakala solusi organisasi adalah yang dipilih untuk mendistribusikan barang dan jasa dalam masyarakat .Coase, Berle dan Means telah menyoroti perilaku oportunistik manajer sebagai akibat kepemilikan saham perusahaan yang tersebar dan corporate law yang memberi kekuasaan terlalu besar pada manajemen yang merugikan pemegang saham. Namun begitu pandanagn Berle dan Means masih terbatas pada hubungan antara manajemen dan pemegang saham. Konteks permasalahan prinsipal agen di dalam teori keagenan tidak terbatas pada manajemen vs pemilik saja, melainkan bisa siapapun selama kedua pihak terikat dalam kontrak dan hubunganmereka bisa diposisikan sebagai hubungan prinsipal dengan agen sehingga konteks hubungan prinsipal agen relevan untuk hubungan-hubungan anatar pemilik vs manajemen , pimpinan puncak vs bawahan , kreditur vs manajemen dan pemerintah dan perusahaan .



Agency Problem : Adverse Selection vs Moral Hazard Ada dua macam bentuk masalah keagenan terdapat dalam hubungan antara prinsipal dan agen , yaitu 1) Pilihan buruk , pilihan buruk terjadi manakala prinsipal tidak mengetahui mengenai kemampuan agen dan oleh sebab itu mereka bisa terjerumus membuat pilihan yang buruk mengenai agen. Misalnya pemilik perusahaan tidak tahu apakah calon manajer yang akan dia kerjakan betul-betul memiliki keahlian yang dia perlukan. 2) Bencana moral terjadi manakala kontrak sudah disetujui oleh prinsipal dan agen namun pihak agen yang sadar memiliki keunggulan (informasi) tidak memenuhi persyaratan kontrak tersebut. Bencana moral ini terjadi dalam kasus perusahaan asuransi dimaan orang yang telah membeli asuransi karena sadar perilakunya sehari0hari tidak terdeteksi oleh perusahaan asuransi cenderung tidak hatihati. Tampak sekali bahwa baik pada massalah adverse selection ataupun Bencana moral faktor information assymetry memainkan peranan penting. George Akerlof pada tahun 1970 membahas masalah asimetri informasi ia membahas tentang jika terjadinya interaksi antara heterogenitas mutu dan asimetri informasi maka terjadi kondisi notrade equilibrium dimana barang yang berkualitas bagus ditarik dari pasar atau tidak diperdagangkan. Keadaan tersebut terjadi karena pada saat mutu produk dipasar bervariasi dan para pembeli tidak memiliki informasi tentang mana produk yang berkualitas bagus artinya adanya simetri informasi para penjual barang dan jasa bermutu jelek akan membanjiri pasar. Employment Contract Dengan kondisi agen yang oportunistik , memiliki informasi yang lebih banyak daripada prinsipal dan memiliki kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan prinsipal, masalah mendaar dari teori keagenan adalah bagaimana caranya agen bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Salah satu mekanisme yang sering digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menerapkan employment contract yang didalamnya mengandung sistem kompensasi yang tepat untuk manajemen.



Mengingat



kesulitan



dalam



pembuatan



kontrak



maka,



Milgrom



dan



Roberts(1992) menyarankan pembuatan kontrak dengan mempertimbangkan empat prinsip yaitu : 1. The Informativeness Principle yaitu indikator apapun selama itu bisa menunjukkan upaya yang dikeluarkan oleh agen sebaiknya dimasukkan dalam kontrak kompensasi. 2. The Incentive Intensity Principle yaitu intensitas insentif yang optimal tergantung beberapa faktor : laba inkremental yang dihasilkan dari tiap peningkatan upaya, presisi dalam mengukur aktivitas , toleransi risiko pihak agen dan sensitivitas agen terhadap imsentif 3. The Monitoring Intensity Principle yaitu prinsip ini melengkapi prinsip nomor dua dalam arti intensitas insentif yang optimal juga terkait dengan monitoring yang optimal. 4. The Equal Compensation Principle yaitu kegiatan yang dinilai sama oleh prinsipal pada dasarnya harus bernilai sama. d. Model Dilema Keagenan Permasalahan keagenan bisa ditunjukkan dengan model , berikut model yang dirancang sesuai dengan alur pikir : 1. Agen adalah rasional dalam arti memiliki informasi yang cukup lengkap dan memaksimalkan fungsi utilitasnya sendiri 2. Prinsipal berusaha memotivasi agen agar mengeluarkan effort yang besar dengan cara memberi reward pada agen. Tujuan prisipal ini untuk mendapatkan output yang optimal dari agen juga tercapai 3. Reward untuk agen tergantung pada output yang dia hasilkan dan output tersebut tergantung pada jumlah usaha yang dia keluarkan dalam model 4. Agen memiliki target tertentu dalam arti dia hanya mau bekerja jika reward yang dia terima dari prinsipal. e. Asumsi-asumsi dalam Teori Keagenan Mukherjib dan Kroll (2001) menyatakan ada dua asumsi dalam teori keagenan. Pertama, asumsi mengenai masalah oportunisme, oportunisme adalah sifat suka mengejar keuntungan sendiri dengan memakai akal bulus. Asumsi



kedua teori keagenan adalah bahwa agen tidak menyukai resiko. Oleh sebab itu, jika peneliti bidang teori keagenan menemukan agen yang netral ataupun suka dengan resiko akan dianggap pengecualian (Jensen dan Meckling, 1976). Miller (2005), berpendapat ada enam asumsi dalam teori keagenan yaitu : 1.



Tindakan agen akan memengaruhi hasil yang didapatkan oleh prinsipal.



2.



Karena prinsipal tidak bisa melihat tindakan agen, maka prinsipal harus menggunakan outcome sebagai indikasi tindakan agen.



3.



Preferensi agen tidak sama dengan preferensi prinsipal.



4.



Prinsipal adalah aktor yang rasional



5.



Baik prinsipal maupun agen sama-sama memahami rasionalitas agen



6.



Prinsipal memiliki bargain power tatkala menetapkan kontrak dengan agen



f. Teori Keagenan VS Transaction Cost Economics Dalam hal ini biaya transaksi merupakan satu karya yang mengilhami teori keagenan namun berbeda dengan teori keagenan yang menekankan pada dampak ketimpangan informasi antara prinsipal dengan agen yang berakibat pada timbulnya agency costs, teori biaya transaksi justru menganggap bahwa antar pelaku pasar yang sama-sama mengutamakan kepentingannya sendiri. Didalam teori biaya transaksi biaya-biaya yang terjadi berkaitan dengan penciptaan dan distribusi barang dan jasa hanya ada dua yaitu biaya produksi dan biaya transaksi . Biaya transaksi tersebut tergantung pada apakah pilihannya adalah mekanisme pasar atau hierarki. Menurut



Williamson



pilihan



terhadap



pasar/hierarki



dalam



rangka



meminimalkannya biaya transaksi dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu frekuensi transaksi, ketidakpastian dan asset specifity.Misalnya, jika transaksi sangat sering atau jika kepastian pasokan material dari pasar sangat rendah, maka solusi dengan pasar akan mahal karena jumlah negoisasi dalam rangka menemukan harga yang tepat akan sangat tinggi. Kedua teori ini pun memiliki beberapa persamaan, pertama keduanya berasumsi bahwa para pelaku ekonomi adalah mengejar kepentingannya sendiri dan juga opportunistik, kedua kedua teori ini sama-sama mencari pemecahan yang optimal



lebih tepatnya adalah minimalisasi biaya berkaitan hubungan antara dua belah pihak. g. Teori Keagenan VS Teori Pengelolaan Teori pengelolaan adalah teori yang relatif lebih baru dibandingkan dengan teori keagenan (Donaldson,1990).Kedua teori ini sama-sama membahas masalah tata kelola atas amanah yang diberikan oleh prinsipal kepada agen, namun keduanya banyak berbeda dari sisi asumsi model of man khususnya mengenai agen yang mereka gunakan. Model of man yang melandasi teori keagenan adalah faktor yang mengejar kepentingannya sendiri dan selalu memaksimalkan keuntungan pribadinya. Model of man dalam teori pengelolaan adalah faktor yang memiliki motivasi instrinsik untuk maju. Dalam teori pengelolaan manajer mungkin saja melakukan kegiatan yang tidak atau kurang rewarding karena dia merasa pekerjaan tersebut sudah menjadi tugasnya. h. Teori Keagenan VS Teori Kontinjensi Struktural Burn dan Stalker (1961) menyatakan bahwa cara pengelolaan (struktur) organisasi yang paling tepat untuk digunakan tergantung (kontinjen) pada kondisi yang dihadapi organisasi tersebut. Menurut teori kontinjensi struktural dalam situasi dimana terdapat task uncertainty yang cukup besar maka struktur organik lebih tepat. Teori kontinjensi struktural selalu ada opsi yang terbaik tergantung pada keadaan faktor-faktor lain yang terkait. Dalam teori keagenan solusi dengan struktural organik yang sifatnya banyak memberi kebebasan kepada agen akan selalu tidak tepat karena akan memberi peluang agen melakukan shirking dan membuat kegiatan monitoring ataupun pemberian saksi kepada agen menjadi sulit.