Refarat Hipertofi Adenoid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk segitiga yang terletak pada dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk cincin Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah sesuai dengan perkembangan usia. Adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi. Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum nasi ke orofaring akan mengalami penyempitan dan dapat mengakibatkan sumbatan pada koana dan mulut tuba eustachius. Hipertrofi adenoid, terutama pada anak- anak, muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan. Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Secara klinis dapat ditemukan tanda-tanda, seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea, fasies adenoid, mendengkur dan gangguan telinga tengah. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole sewaktu fonasi, sementara pemeriksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit dilakukan dan tidak dapat menentukan ukuran adenoid. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral. Pemeriksaan tersebut dianggap paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid dan perbandingan ukuran adenoid dengan sumbatan jalan napas.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Adenoid Jaringan limfoid nasofaring dan orofaring tersusun atas adenoid, tubal tonsils, lateral bands, tonsil palatina, dan tonsil di lidah. Terdapat juga beberapa jaringan limfoid di dinding faring posterior dan ventrikel laring. Struktur ini membentuk sebuah cincin yang disebut cincin Waldeyer sesuai dengan nama ahli anatomi Jerman yang menemukannya. Adenoid atau tonsil faring merupakan sebuah massa di jaringan piramidal yang memiliki dasar yang terletak di dinding nasofaring posterior dan apeks yang menusuk ke arah septum nasi. Permukaan adenoid berlapis-lapis dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun tidak disertai kompleks kripta seperti yang terdapat pada tonsil palatina. Jaringan epitelnya adalah epitel pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi oleh folikel limfoid.5,6



Gambar 1. Anatomi adenoid



Suplai darah berasal dari arteri palatina asenden yakni cabang arteri fasialis, arteri faringeal asenden, cabang faringeal dari arteri maxillaris interna, arteri canalis pterygoid, dan cabang cervical asenden dari arteri trunkus thyrocervicalis. Drainase vena melalui plexus faring dan plexus pterygoideus yang akan mengalirkan darah ke vena fasialis dan jugularis interna. Saraf yang menginvervasi berasal dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus. Pengaliran limfatik dilakukan ke nodus retropharyngeal dan upper deep cervical node.



2.2 Definisi Hipertrofi Adenoid Gangguan jaringan limfoid nasofaring (adenoid) cenderung paralel dengan gangguan tonsil di kerongkongan. Hipertrofi dan infeksi dapat terjadi secara terpisah tetapi sering terjadi bersama; infeksi biasanya primer. Struktur adenoid yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring, terutama pada dinding posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan terbentuk massa dengan berbagai ukuran. Massa ini dapat hampir mengisi ruang nasofaring, mengganggu saluran udara yang melalui hidung, mengobstruksi tuba eustachii, dan memblokade pembersihan mukosa hidung. 2.3 Etiologi Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16 kehamilan. Secara fisiologis, normalnya pada saat lahir nasofaring dan adenoid banyak di temukan organisme yang terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang



mulai



aktif



setelah



lahir.



Organisme-organisme



tersebut



adalah



lactobacillus, streptococcus anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia. Flora normal yang ditemukan pada adenoid antara lain streptococcus alfa-hemolyticus, corynebacterium, staphylococcus, neisseria, micrococcus dan stomatococcus.7 Etiologi hipertrofi adenoid dapat diringkas menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Hipertrofi adenoid biasanya



asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. Etiologi pembesaran adenoid sebagian besar disebabkan oleh infeksi yang berulang pada saluran nafas bagian atas pola pertumbuhan normal untuk jenis jaringan. Jarang sekali hipertrofi terjadi karena infeksi



tenggorokan



berulang



oleh



virus



influenza,



streptococcus,



mononukleosis, dan difteri.7 2.4 Patogenesis Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang menfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada epitel kripta, folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen. Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara.



Gambar 2. Pembesaran adenoid dan proses obstruksi Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius (gambar 2) yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.



2.5 Diagnosis 2.5.1 Anamnesis Pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya datang dengan keluhan rhinore, kualitas suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing), mendengkur, bisa terjadi gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten) dan facies adenoid.3,4 Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius serta gejala umum. Akibat sumbatan koana maka pasien akan bernapas lewat mulut sehingga terjadi a. Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi tinggi dan sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus dentalis inferior hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus atas lebih menonjol ke depan). b. Wajah penderita kelihatannya seperti anak yang bodoh, dan dikenal sebagai facies adenoid. c. Mouth breathing juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan kelembabannya kurang, sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan bagian bawah. d. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.



Gambar 3. Facies adenoid Secara umum telah diakui bahwa anak-anak dengan pembesaran adenoid memiliki karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini terdiri dari: (1) postur bibir yang terbuka dengan gigi insisivus atas yang onjol serta bibir me atas yang lebih pendek; (2) hidung yang kurus, maksilla yang sempit dan hipoplastik, alveolar atas yang sempit, dan high-arched palate. Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi cross bite dan open bite. Pada penelitian yang lebih terperinci dan hati-hati yang dilakukan oleh LinderAronson (1970) menunjukkan hubungan yang sangat erat antara mouth breathing, pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta maksilla. Alasan alternatif adalah bahwa kelainan rahang atas ini didapat dari variasi normal (Tulley, 1964). Sangat mungkin bahwa ukuran normal adenoid pada inherited hypoplastic maxilla akan meningkatkan gejala yang tidak terdapat pada maksilla normal. Hubungan kausatif antara pembesaran adenoid dan kelainan maksilla tidak pernah diteliti.4 Pernapasan mulut dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala yang paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya selama tidur, terutama bila anak tidur terlentang, bila mendengkur, kemungkinan juga terjadi. Dengan adanya hipertrofi adenoid yang berat, selama siang hari mulut juga akan



terbuka, dan



membran mukosa mulut serta bibir menjadi kering. Nasofaringitis kronis dapat terjadi secara konstan ada, atau sering berulang. Kualitas suara berubah menjadi suara hidung, serak. Pernapasan sangat menusuk hidung, indra pengecap serta penciuman pun terganggu. Batuk yang mengganggu dapat muncul terutama di malam hari, akibat dari drainase nanah ke dalam faring bawah atau iritasi laring dengan udara inspirasi yang belum dipanasi dan dilembabkan oleh aliran melalui hidung. Gangguan pendengaran lazim dijumpai. Otitis media kronis dapat terkait dengan hipertrofi adenoid yang terinfeksi dan blokade orifisium tuba eustachii. Pernapasan mulut kronis memberi kecenderungan lengkungan palatum tinggi, sempit, dan mandibula memanjang. Seringkali ada rujukan dari ortodontis untuk melakukan pemeriksaan obstruksi hidung dan adenoidektomi.4 Sejumlah kecil anak kecil dengan pembesaran adenoid (juga tonsil) yang nyata tidak mampu bernapas dengan mulut selama waktu tidur. Mereka mendengus dan mendengkur keras dan sering menampakkan tanda-tanda kegawatan pernapasan, seperti retraksi interkostal dan pelebaran lubang hidung. Anak ini berisiko mengalami insufisiensi pernapasan (hipoksia, hiperkapnea, asidosis) selama waktu tidur. Apnea obstruktif saat tidur dapat terjadi, dan pada beberapa dari anak ini berkembang hipertensi arteri pulmonalis dan akhirnya, kor pulmonale. Pembesaran jaringan limfoid saluran pernapasan atas dengan akibat kor pulmonale telah dihubungkan dengan hipersensitivitas susu sapi dalam sejumlah anak pada umur prasekolah. Anak yang amat gemuk (misalnya sindrom Prader-Willi) dan pada anak dengan lidah besar atau terletak sebelah posterior (misalnya sindrom Pierre Robin) dapat juga berkembang obstruksi saluran pernapasan atas pada saat tidur, sehingga menyerupai sindrom hipertrofi adenoid. Penderita sindrom Down sering menderita makroglosia, pembesaran tonsil, dan anomali dasar tengkorak, yang membuatnya rentan terhadap obstruksi. 2.5.2 Pemeriksaan Fisik Langsung: 



Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum molle di retraksi.







Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu



mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena palatum molle yang negatif Tidak langsung: 



Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring dinamakan rhinoskopi posterior.







Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat. Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi nasal



kebanyakan tidak dapat dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang dilakukan dengan rinoskopi anterior dapat terlihat normal atau dapat menunjukkan peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti (hiperemis atau kebiruan) di



konka. Murray (1972) menunjukkan korelasi positif antara pembesaran adenoid dan kongesti nasal pada pemeriksaan rinoskopi anterior, dan ketika hubungan ini mungkin saja benar pada beberapa orang anak, hal ini juga tampak pada gambaran rinoskopi anterior anak-anak dengan rinitis alergi. Pada beberapa anak, pemeriksaan nasofaring dengan kaca laring dapat mengidentifikasi adenoid yang besar. Akan tetapi, pada beberapa orang anak pemeriksaan dengan kaca laring ini tidak mungkin dilakukan. Cara yang paling mungkin untuk mengidentifikasi ukuran adenoid ini adalah dengan menggunakan foto lateral. Foto radiologi ini akan memberikan pengukuran absolut dari adenoid dan juga dapat memberikan taksiran hubungannya dengan ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik untuk menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal. 2.5.3 Pemeriksaan penunjang a. Foto polos (4,5) Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos true lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan ukuran nasofaring dan massa adenoid dua dimensi. Namun, Holmberg dan LinderAronson (1979) menemukan hubungan yang signifikan antara ukuran adenoid yang diukur pada foto kepala lateral dan adenoid yang diukur secara klinis menggunakan nasofaringoskopi. Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi. 4 Terdapat beberapa metode untuk mengukur besar adenoid, antara lain yang pernah diteliti adalah:10 1. Ketebalan adenoid Ketebalan adenoid, seperti yang dideskripsikan oleh Johannesson, didefinisikan sebagai jarak yang diukur (mm) tegak lurus dari tuberkel faring di basis cranii ke



puncak adenoid dengan menggunakan cavum x-ray. Skema ditunjukkan oleh gambar 4 dan 7C.11



Gambar 4. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring (adenoid), NF: nasofaring 2. Rasio jalan napas dan palatum molle Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh Cohen dan Konak, merupakan perbandingan antara lebar kolom udara (AC) antara palatum dan titik kelengkungan tertinggi adenoid dan ketebalan palatum molle (SfP; 10 mm di bawah palatum durum atau 5 mm pada anak < 3 tahun) dengan menggunakan cavum x-ray. Adenoid disebut sebagai kecil, ketika kolom udara lebih sempit daripada ketebalan palatum; medium, ketika kolom udara sempit namun lebih lebar dari setengah tebal palatum; dan besar, ketika kolom udara lebih sempit dari setengah tebal palatum. Skema ditunjukkan oleh gambar 5 dan 7B. Sementara itu, Cohen dan Konak mengkategorikan adenoid ke dalam 3 kelompok berdasarkan perhitungan pada skema, yakni: 9,12 Kecil



: AC/ fP ≥ 1,0



Medium



: 0,5 ≤ AC/SfP < 1,0



Besar



: AC/ fP < 0,5



Gambar 5. Metode Cohen dan Konak. A. Pengukuran dilakukan 10 mm dari posterior nasal spine B. Gambaran adenoid yang besar. 3. Rasio adenoid-nasofaring (rasio A/N) Rasio adenoid-nasofaring, yang diusulkan oleh Fujioka dkk, didefinisikan sebagai rasio antara ketebalan adenoid (A) dengan nasofaring (N) dengan menggunakan cavum x-ray. Di mana A adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang tegak lurus ke puncak tonsil faring (adenoid); dan N adalah jarak antara bagian posterosuperior dari palatum durum dan tepi anterior dari sinkondrosis sfenooksipital. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7A. Adapun kategori menurut Fujioka adalah:13 A/N ≤ 0,8



: normal



A/N > 0,8



:



pembesaran



Gambar 6. Skema adenoid-nasofaring menurut Fujioka dkk. A: adenoid, N: nasofaring.



4. Persentase oklusi jalan napas Persentase oklusi jalan napas yang diukur dengan lateral neck soft tissue radiographs (LNXR), yang dinilai sebagai rasio tebal adenoid yang didefinisikan oleh Johanneson dengan jarak dari tuberkel faring di basis cranii ke permukaan superior dari palatum molle. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 7D. Adapun klasifikasi menurut persentase oklusi jalan napas, yang juga ditunjukkan oleh gambar 8, adalah: Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari jalan napas nasofaring Grade II: Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari jalan napas nasofaring Grade III: Adenoid sebesar 50% hingga 75% dari jalan napas nasofaring Grade IV: Besar adenoid lebih dari 75% jalan napas nasofaring.



Gambar 7. Metode untuk menilai pembesaran adenoid pada lateral neck radiography A. Rasio adenoid dan nasofaring oleh Fujioka dkk B. Rasio jalan napas dan palatum molle oleh Cohen dan Konak C. Ketebalan adenoid oleh Johannesson D. Persentase oklusi jalan napas, diukur dari rasio ketebalan adenoid dan jarak tuberkel faring-permukaan superior palatum molle.



Gambar 8. Foto sefalograf lateral pada 3 anak dengan mouth breathing kronis, gambar menunjukkan perbedaan tingkatan obstruksi jalan napas yang dihubungkan dengan ukuran adenoid. A. Grade I pada anak perempuan usia 12 tahun 3 bulan. B. Grade II pada anak laki-laki usia 4 tahun 4 bulan. C. Grade III anak usia 4 tahun 9 bulan yang juga memiliki morfologi khas gigi dan long face syndrome. 5. Faring Superior Faring superior, yang didefinisikan oleh McNamara (gambar



9), adalah jarak



terpendek (mm) antara satu titik pada batas superior palatum molle dan satu titik pada tepi tonsil faring (adenoid). McNamara pun mengkategorikannya ke dalam dua kategori jalan napas, yakni:21 Non obstructive



: SP > 5 mm



Apparently obstructi e



: SP ≤ 5 mm



Gambar 9. Skema faring superior menurut McNamara. Foto cavum x-ray sering digunakan oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan, ketika ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik lateral. Walaupun hal ini merupakan dua jenis foto yang berbeda, foto ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengevaluasi jalan napas nasofaring.



Namun penilaian ukuran adenoid dengan menggunakan foto polos lateral dianggap kontroversial, bahkan manfaatnya untuk penentuan adenoidektomi pada beberapa kasus juga dipertanyakan. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Mlynarek dkk, menunjukkan bahwa persentase oklusi jalan napas yang menggunakan foto lateral memiliki korelasi yang tinggi bila dihubungkan dengan gejala klinis penderita. Bila seluruh sistem pengkategorian dibandingkan, metode pengukuran dari McNamara memiliki kemampuan yang paling baik dalam hal subyektivitas pemeriksa, dan dimungkinkan untuk tidak terjadi kesalahpahaman antar pemeriksa. Meskipun demikian terdapat korelasi signifikan antara volume adenoid absolut yang ditemukan pada saat pembedahan dengan skor obstruksi nasal,



hasil



pemeriksaan



radiologis. Bagaimanapun



juga,



metode



sefalometrik, dengan pengukuran adenoid dan lebar jalan napas post nasal yang hati-hati perlu dilakukan, sesuai dengan pengalaman pemeriksa. Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan dengan hati-hati. Perubahan posisi pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan foto, memiliki efek yang signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring, seperti ditunjukkan oleh gambar 10. Oleh karena itu, foto dua dimensi dapat menjadi sangat tidak akurat untuk mendeteksi pembesaran adenoid dan dapat menyebabkan perbedaan pendapat antar pemeriksa.



Gambar 10. Foto polos leher lateral yang dilakukan pada anak yang sama dengan gambar 7, namun dengan mulut terbuka. Tampak perbedaan penampang adenoid.



b. CT Scan dan MRI CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor. Gambaran hipertrofi adenoid yang terdapat pada CT scan dan MRI adalah gambaran densitas/intensitas rendah tanpa adanya central midline cyst (gambar 11).



Gambar 11. MRI dan CT scan nasofaring. A. potongan axial MRI T1 pada nasofaring B. potongan sagittal CT scan yang menunjukkan soft tissue shadow pada nasofaring c. Endoskopi Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid, infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk menyingkirkan penyebab lain dari



obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid



diklasifikasikan



menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana adenoid grade I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari koana, grade III ketika mengisi dua per tiga hingga obstruksi koana yang hampir lengkap dan grade IV adalah obstruksi koana sempurna.20



Gambar 12. A. Gambaran endoskopi adenoid pada orang dewasa B. Gambaran CT scan potongan aksial pada pasien yang sama, menunjukkan adenoid yang kontak dengan konka inferior 2.7 Penatalaksanaan Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk infeksi kronis adenoid. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman yang mengalami resistensi pada penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekurensi.



Indikasi adenoidektomi adalah: 1. Sumbatan •



Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut







Sleep apnea







Gangguan menelan







Gangguan berbicara







Kelainan bentuk wajah dan gigi (facies adenoid)



2. Infeksi •



Adenoiditis berulang/kronik







Otitis media efusi berulang/kronik







Otitis media akut berulang 3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas



Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan "manfaat dan risiko". Keadaan tersebut antara lain: 1. Gangguan perdarahan 2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat 3. Anemia 4. Infeksi akut yang berat 2.8 Komplikasi Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli konduktif. Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab terpenting dari obstructive sleep apnoea syndrome, khususnya ketika terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi jalan napas bagian atas, antara lain seperti anomali kraniofasial, maupun micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.



2.9 Prognosis Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat diatasi. Otitis media persisten kronik Maw and Speller, Paradise menunjukkan bahwa sekitar 30-50% terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy. Sinusitis kronik Studi dari Lee and Rosenfeld pada tahun 1997, menunjukkan bahwa sinusitis kronik tidak berkurang meskipun telah dilakukan pengangkatan adenoid. Namun penelitian yang lain tetap menunjukkan adanya resolusi gejala sinusitis setelah pengangkatan adenoid. Obstruksi jalan napas Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala obstruksi nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan sendirinya.



BAB III KESIMPULAN 1. Hipertrofi adenoid adalah pembesaran adenoid yang tidak fisiologis yang biasanya disebabkan oleh inflamasi kronik. 2. Hipertrofi adenoid biasanya disertai keluhan rhinore, kualitas suara yang berkurang, chronic mouth breathing, mendengkur, obstructive sleep apnea, tuli konduktif dan facies adenoid. 3. Foto radiologi dapat memberikan pengukuran absolut dari adenoid dan juga dapat memberikan taksiran hubungannya dengan ukuran jalan napas. 4. Foto radiologi dapat menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal atau tidak. 5. Foto cavum x-ray sering digunakan oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan, sementara ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik lateral. 6. Pengukuran jalan napas dengan menggunakan foto lateral memiliki korealsi yang tinggi bila dihubungkan dengan gejala klinis penderita hipertrofi adenoid. 7. Bila seluruh sistem pengkategorian dibandingkan, metode pengukuran dari McNamara memiliki kemampuan yang paling baik dalam hal subyektivitas pemeriksa. 8. CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor.



DAFTAR PUSTAKA 1. M. Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi. Rasio AdenoidNasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid. J Indon Med Assoc. 2013; 63:21-6 2. Havas T, Lowinger D. Obstructive adenoid tissue: an indication for powered- shaver adenoidectomy. Arch Otolaringol Head Neck Surg. 2002; 128(7):789- 91 3. Ballenger JJ. 1994. Penyakit hidung, tenggorok, kepala dan leher jilid satu edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; p. 347-9. 4. John H, David C. Tonsils and adenoids. In: Scott-Brown WG, Kerr AG. Paediatric otolaryngology (Scott Brown’s otolaryngology) 6 th ed. Oxford: Butterworth-Heinemann. p.1-15. 5. Goeringer GC, Vidic SD. The Embryogenesis and Anatomy of Waldeyer’s ring. Otolaryngology Clinics of North America 1987;20(2):207-217. 6. Gordon Shields, Ronald Deskin. 2002. The Tonsils and Adenoids in Pediatric Patients. Diakses dari pada tanggal 18 Oktober 2013 pukul 20.00 WIB 7. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :Head and



Neck Surgery-Otolaryngology.



Bailey



BJ editor. Philadelphia:



Lippincott Williams& Wilkins. 2001:979-991 8. Richard E Behrman, Robert M Kliegman, Hal B Jenson. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed. Philadelphia: W. B. Saunders Co. 9. Cohen D, Konak S. The evaluation of radiographs of the nasopharynx. Clin Otolaryngol. 1985;10:73–8. 10. Alex Mlynarek, Marc A. Tewfik, Abdulrahman Hagr. Lateral Neck Radiography versus Direct Video Rhinoscopy in Assessing Adenoid Size. The Journal of Otolaryngology. 2004;33:360–6. 11. Johannesson S. Roentgenologic investigation of the nasopharyngeal tonsil in children of different ages. Acta Radiol. 1968;7:299–5



12. Edmir Américo Lourenço, Karen de Carvalho Lopes, Álvaro Pontes Jr. Comparison



between



radiological



and



nasopharyngolaryngoscopic



assessment of adenoid tissue volume in mouth breathing children. Rev Bras Otorrinolaringol. 2005; 71:23–8 13. Fujioka M, Young LW, Girdnay BR. Radiographic evaluation of adenoidal size in children: adenoidal-nasopharyngeal ratio. AJR Am J Roentgenol. 1979;133:401–4. 14. Mohammed Wahba. Adenoids grades. Diakses dari radiopaedia.org pada tanggal 18 Oktober 2013 pukul 21.00 WIB 15. Mariana de Aguiar Bulhões Galvão, Marco Antonio de Oliveira Almeida. Comparison



of



two



extraoral



radiographic



techniques



used



for



nasopharyngeal airway space evaluation. Dental Press J. Orthod. 2010; 15:2176–4 16. Britton PD. Effect of respiration on nasopharyngeal radiographs when assessing adenoidal enlargement. J Laryngol Otol. 1989;103:71–3. 17. Maw AR, Jeans WD, Fermando DCJ. Inter-observer variability in the clinical radiological assessment of adenoid size, and the correlation with adenoid volume. Clin Otolaryngol. 1981;6:317–22. 18. Karodpati N, Shinde V, Deogawkar S, Ghate G. Adenoid Hypertrophy in Adults



-



A



Myth



or



Reality.



WebmedCentral



OTORHINOLARYNGOLOGY 2013;4(3):WMC004079 19. H. Ric Harnsberger et al. 2004. Diagnostic Imaging: Head and Neck 1 st ed. Utah: Amirsys Inc. 20. Nyildirim, M Sahan, Y Karslioglu. Adenoid Hypertrophy in Adults: Clinical and Morphological Characteristics. The Journal of International Medical Research. 2008; 36: 157–5 21. McNamara JA Jr. A method of cephalometric evaluation. Am J Orthod. 1984;86(6):449-69. 22. Murilo Fernando Neuppmann Feres, Helder Inocêncio Paulo de Sousa. Reliability of radiographic parameters in adenoid evaluation. Braz J Otorhinolaryngol. 2012;78(4):80-90