Refarat RDN Alifya Regina D.F - K1A115003 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK



REFERAT



FAKULTAS KEDOKTERAN



JULI 2020



UNIVERSITAS HALU OLEO



Respiratory Distress of Newborn



Oleh : Alifya Regina Dwi Fortuna K1A1 15 003



PEMBIMBING dr. Miniartiningsih Sam, M.Kes, Sp.A DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2020



RESPIRATORY DISTRESS OF NEWBORN Alifya Regina Dwi Fortuna, Miniartiningsih Sam A. PENDAHULUAN Kegawatan napas pada neonatus merupakan masalah yang dapat menyebabkan henti napas bahkan kematian sehingga dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Gangguan pernapasan merupakan salah satu alasan paling umum bayi di rawat pada unit perawatan intensif neonatal. 15 % bayi cukup bulan dan 29% bayi premature di rawat pada unit perawatan intensif neonatal. Terdapat beberapa faktor penyebab gangguan pernapasan seperti prematuritas, terdapat mekonim pada air ketuban, persalinan sesar, kehamilan dengan diabetes, korioamnionitis pada ibu, oligohidroamnion dan kelainan struktur paru-paru. Apapun penyebabnya jika tidak dikenali dan ditangani dengan cepat, gangguan pernapasan dapat meningkat menjadi kegagalan pernapasan dan henti jantung paru. Karena itu sangatlah penting untuk mengenali tanda-tanda dan gejala gangguan pernapasan, membedakan dengan berbagai penyebab lain dan memulai strategi manajemen untuk mencegah komplikasi yang signifikan ataupun kematian pada bayi. 1,2 Apabila hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ



1



lain karena hipoksia dan iskemi dan hal ini dapat menyebabkan kematian neonatus. 2 B. Definisi Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir merupakan suatu keadaan meningkatnya kerja pernapasan yang ditandai dengan beberapa hal berikut seperti takipnea (frekuensi pernapasan lebih dari 60-80 kali/ menit), retraksi dada (cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal ) dan atau di bawah sternum (sub sterna) selama inspirasi). Retraksi suprasternal menunjukkan adanya obstruksi jalan napas atas. Bayi yang bernapas dengan cepat bertujuan untuk mempertahankan ventilasi dalam menghadapi penurunan volume tidal. Bayi ketika mengalami kesulitan pernapasan mencoba mempertahankan volume paru-paru dengan pertukaran gas yang memadai dengan cara menutup sebagian glotis selama ekspirasi. Bayi yang memiliki gangguan pernapasan lebih lanjut menunjukkan tanda-tanda tambahan seperti sianosis, gasping, choking, apnea dan stridor. 3,4 C. Epidemiologi Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir merupakan masalah tersering sehingga seorang bayi dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). 15 % bayi cukup bulan dan 29 % bayi prematur dari bayi prematur yang terlambat dirawat mengalami gangguan pernapasan yang signifikan, bahkan lebih tinggi pada bayi yang lahir sebelum usia 34 minggu.1



2



Setiap tahunnya di seluruh dunia diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama kehidupan. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 78,5% dari kematian neonatal terjadi pada umur 0-6 hari (masa neonatal). Selain itu penurunan presentase angka kematian neonatal juga terbilang sulit yaitu 20/1.000 kelahiran hidup pada SDKI tahun 2002-2003 hanya 19/1.000 kelahiran hidup pada SDKI tahun 2012. Penyebab kematian utama pada neonatus adalah gangguan atau kelainan pernapasan 35,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,3%, kelainan darah/ikterus 5,6 %, post mature 2,8%, dan kelainan kongenital 1,4%.5 D. Etiologi Terdapat



beberapa



faktor



yang



menjadi



penyebab



gangguan



pernapasan pada bayi yaitu:4 1. Obstruksi jalan napas a. Nasal atau nasofaringeal: obstruksi koana, edema nasalis, ensefalokel. Bayi baru lahir bernapas dengan hidung dan dapat menunjukkan gejala distress respirasi apabila ada sesuatu yang menyumbat lubang hidung (mukus atau masker yang menutupi saat dilakukan terapi sinar). b. Rongga mulut : makroglosi atau mikrognati. c. Leher: strauma kongenital dan higroma kistik d. Laring: laryngeal web, stenosis subglotik, hemangioma, paralisis medulla spinalis dan laringomalasia. 3



2. Trakhea: trakheomalasia, fistula trakheosofagus, stenosis trachea dan stenosis bronkhial 3. Penyebab pulmonal: a. Aspirasi mekonium dan darah b. Respiratory distress syndrome atau penyakit membrane hyaline c. Atelektasis d. Kebocoran udara: Pneumothoraks, pneumomediastinum, emfisema pulmonal interstitial. e. TTN (Transient Tachypnea of Newborn) f. Pneumonia, Pneumonia hemoragik g. Kelainan



kongenital:



intratorakal,



agnesia



hernia atau



diafragmatika,



hipoplasia



paru,



kista



atau



emfisema



tumor lobaris



kongenital. h. Efusi. 4. Penyebab non pulmonal Setiap keadaan yang menyababkan aliran darah ke paru meningkat atau menurun menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen meningkat dan penurunan jumlah sel darah merah yang menyebabkan distress respirasi. a. Gagal jantung kongestif b. Penyakit metabolic: asidosis, hipoglikemi, hipokalsemia, c.



Hipertensi pulmonal menetap: persistence pulmonary hypertension



d. Depresi neonatal 4



e. Syok f. Polisitemia



:



jumlah



sel



darah



merah



yang



menyebabkan



meningkatnya viskositas darah dan mencegah sel darah merah denagan mudah masuk ke dalam kapiler paru. g. Hipotermia h. Bayi dari ibu dengan DM i. Perdarahan susunan saraf pusat E. Klasifikasi Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir dapat diklasifikasikan berdasarkan berat ringannya gangguan napas tersebut yang terdiri dari:4 Frekuensi napas



Gejala tambahan



Frekunsi> 60 kali / Dengan



gangguan napas Sianosis sentral dan



menit



tarikan



Klasifikasi



dinding



dada atau merintih saat ekspirasi Atau frekuensi



> Dengan



Sianosis



90 kali/menit



Gangguan napas sentral



atau tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi



Atau kali/menit








Sianosis sentral



90 Tanpa



Tarikan



kali/menit



dinding Gangguan



napas



dada atau merintih sedang saat ekspirasi atau



Frekuensi napas 60- Tanpa



sianosis sentral Tarikan dinding



90 kali/menit



dada atau merintih saat ekspirasi atau Gangguan



Frekuensi napas 60- Dengan



sianosisi sentral Sianosis sentral



90 kali/menit



Tarikan



Tanpa



napas



ringan



dinding Kelainan jantung



dada atau merintih congenital Tabel 1. Klasifikasi gangguan napas (Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2008) Evaluasi gawat napas dengan skor Downes:4 Pemeriksaan Frekuensi napas Retraksi Sianosis



0 < 60 kali/menit Tidak ada retraksi Tidak ada sianosis



1 2 60-80 kali/menit >80 kali/menit Retraksi ringan Retraksi berat Sianosis hilang Sianosis menetap



Air Entry



Udara masuk



dengan O2 Penurunan



Merintih



Tidak merintih



udara masuk masuk Dapat didengar Dapat



6



walaupun diberi O2 ringan Tidak ada udara didengar



dengan stetoskop Tabel 2. Skor Downes (Buku Ajar Neonatologi IDAI, 2008) Skor total



Diagnosis



1-3



Sesak napas ringan



4-5



Sesak napas sedang



≥6



Sesak napas berat



tanpa alat bantu



F. Patomekanisme Penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir multisistemik dan beragam. Penyebab pulmonal mungkin berhubungan dengan perubahan selama perkembangan paru normal atau transisi ke kehidupan ekstrauterin. Penyakit pernapasan dapat terjadi akibat kelainan perkembangan yang terjadi sebelum atau sesudah kelahiran. Malformasi perkembangngan awal bayi baru lahir seperti trakeoesofageal fistula, bronkopulmonalis sequestration (massa abnormal jaringan paru tidak terhubung ke pohon trakeobronkial), dan kista bronkogenik (percabangan



abnormal



pohon



trakeobronkial).



Kemudian



kehamilan,



malformasi parenkin paru, termasuk malformasi adenomastoid kistik kongenital atau



hipoplasia



pulmonal



dari



hernia



diafragma



kongenital



atau



oligohidroamninon berat. Penyakit pernapasan yang lebih umum seperti Transient Tachypnea of Newborn (TTN), Respiratory Distress Syndrome (RDS), Pneumonia Neonatal, Meconium Aspiration Syndrome (MAS) dan hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir (PPHN), yang merupakan hasil dari komplikasi selama periode transisi prenatal ke postnatal. Paru-paru belum



7



sepenuhnya berkembang sampai usia 2 hingga 5 tahun karena itu penyakit akibat perkembangan paru masih bisa terjadi setelah lahir.1 Adapun patogenesis dari penyebab distress pernpasan yang menjadi penyebab tersering adalah sebagai berikut:6 1. Meconium Aspiration Syndrom (MAS) MAS adalah sindrom atau kumpulan berbagai gejala klinis dan radiologis akibat janin atau neonatus menghirup atau mengaspirasi mekonium. Mekonium yang terhirup dapat menutup sebagian atau seluruh jalan napas neonatus. Mekonium dapat juga terperangkap dalam jalan napas neonatus saat ekspirasi sehingga mengiritasi jalan napas dan menyebabkan kesulitan bernapas. Mekonium diduga sangat toksik bagi paru karena berbagai macam cara. Sulit menentukan mekanisme terjadinya SAM tetapi diduga melalui mekanisme obstruksi mekanik saluran napas, pneumonitis kimiawi, dan vasokontriksi pembuluh darah vena.6,9 a. Obstruksi mekanik Mekonium yang kental dapat menyebabkan obstruksi mekanik total atau parsial. Pada saat bayi mulai bernapas, mekonium bergerak dari saluran napas sentral ke perifer. Partikel mekonium yang terhirup ke dalam saluran pernapasan bagian distal menyebabkan obstruksi dan atelektasis sehingga terdapat area yang tidak terjadi ventilasi dan perfusi sehingga menyebabkan hipoksemia. Obstruksi parsial menghasilkan dampak katup bola atau ball valve effect yaitu udara yang terhirup dapat 8



memasuki alveoli tetapi tidak dapat keluar dari alveoli. Hal ini akan mengakibatkan air tapping di alveoli dengan gangguan ventilasi dan perfusi yang dapat mengakibatkan sindrom kebocoran udara dan hiperekspansi, risiko terjadinya pneumotoraks sekitar 15-33%.6 b. Pneumonitis Mekonium diduga mempunyai dampak toksik secara langsung yang diperantarai oleh proses inflamasi. Dalam beberapa jam neutrofil dan makrofag telah berada di alveoli , saluran napas besar dan parenkim paru. Dari makrofag akan dikeluarkan sitokin seperti TNF α, TNF- 1β dan interleukin-8 yang dapat langsung menyebabkan gangguan pada parenkim



paru



atau



menyebabkan



kebocoran



vaskuler



yang



mengakibatkan pneumonitis toksik dengan perdarahan paru dan edema. Mekonium mengandung berbagai zat seperti asam empedu yang apabila dijumpai dalam air ketuban akan menyebabkan kerusakan langsung pembuluh darah tali pusat dan kulit ketuban, serta mempunyai dampak langsung vasokontriksi pada pembuluh darah umbilical dan plasenta.6 c. Vasokonstruksi pulmonal Kejadian MAS berat dapat menyebabkan komplikasi hipertensi pulmonal persisten. Pelepasan mediator vasoaktif seperti eikosanoids, endotelin-1 dan prostaglandin E2 (PGE2) sebagai akibat adanya mekonium dalam air ketuban diduga mempunyai peran dalam terjadinya hipertensi pulmonal. 6 9



2. Respiratory distress syndrome / penyakit membran hialin Patofisiologi RDS ditandai dengan perubahan mekanisme paru (menurunnya komplains, penurunan kapasitas, residu fungsional dengan instabilitas alveolar yang cenderung kolaps, atelektasis, asidosis dan hipoksia). Usaha napas diperberat dengan menurunnya aliran volume atau hipoekspansi paru dan peningkatan dead space.7 Pada RDS komponen surfaktan normal namun tidak dapat membentuk myelin tubular. Hal ini dapat disebabkan oleh defisiensi lipid dan protein surfaktan yang penting untuk membentuk monolayer fungsional. Surfaktan dihasilkan oleh pneumosit tipe 2 yang terdiri dari 90% lipid dan 10% protein pada usia gestasi 24-28 minggu. Protein surfaktan terdiri dari 4 jenis yaitu SP-A, SP-B, SP-C, SP-D sedangkan kandungan lipid utama pada surfaktan adalah phosphatidylcholine dan phosphatidylglycerol. Fosfolipid membentuk lapisan yang penting untuk mempertahankan tegangan permukaan alveoli saat terjadi kompresi. Fungsi surfaktan adalah untuk mengurangi tegangan permukaan cairan yang melapisi alveolar dan mempertahankan integritas struktural alveoli.7 Penurunan surfaktan menyebabkan peningkatan usaha napas untuk ekspansi paru pada setiap napas dan meningkatkan kemungkinan kolaps alveolar pada akhir ekspirasi. Pasien RDS akan mengalami atalektasis, ketidaksesuaian antara ventilasi-pervusi yang berakhir menjadi hipoksemia dan asidosis respiratori. Saat bernapas, stress pada alveoli dan bronkiolus 10



terminalis terjadi akibat usaha repetitiv untuk membuka kembali alveoli yang kolaps dan distensi berlebih pada alveoli yang terbuka. Tekanan ini dapat merusak struktur paru, sehingga terjadi kebocoran debris proteinaseosa ke jalan napas. Debris ini dapat semakin mengganggu fungsi surfaktan sehingga menyebabkan gagal napas. 7 3. Transient tachypnea of newborn Transient tachypnea of newborn adalah gangguan pernapasan dini pada bayi cukup bukan dan bayi mendekati cukup bulan (late preterm) yang disebabkan oleh gangguan pembersihan cairan paru janin. Biasanya di dalam rahim ruang udara janin dan kantung udara diisi cairan. Agar pertukaran gas efektif terjadi setelah lahir cairan ini harus dibersihkan dari ruang alveolar. Pada akhir kehamilan dan sebelum kelahiran klorida chanel dan pengaliran cairan di epitel paru dibalik sehingga penyerapan cairan mendominasi dan cairan dikeluarkan dari paru-paru. Proses ini dipengaruhi oleh persalinan sehingga persalinan sebelum taksiran meningkatkan resiko retensi cairan paru janin. Faktor-faktor yang meningkatkan pembersihan cairan paru termasuk penggunaan kortikosteroid antenatal, kompresi thorax janin yang diakibatkan kontraksi uterus, dan pelepasan adrenalin janin dalam persalinan yang meningkatkan serapan cairan paru.1 G. Diagnosis Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun dengan analisa gas darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks oksigenasi 11



akan menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi dengan gangguan napas harus hati-hati atau waspada karena dapat terjadi bayi dengan gejala pernapasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan napas (misalnya asidosis metabolik, DKA = diabetik ketoasidosis dan sebaliknya gangguan napas berat dapat juga terjadi pada bayi tanpa gejala distres respirasi (hipoventilasi sentral akibat intoksikasi obat atau infeksi)). Penilaian yang hati-hati berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian secara serial tentang kesadaran, gejala respirasi, Analisis Gas Darah dan respon terhadap terapi dapat merupakan kunci yang berarti untuk menentukan perlunya intervensi selanjutnya.4 1. Anamnesis Anamnesis



tentang



riwayat keluarga,



maternal,



prenatal



dan



intrapartum diperlukan, antara lain hal-hal dibawah ini:4 a. Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium, infeksi: pneumonia, displasia pulmoner, trauma persalinan sungsang, kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susanan saraf pusat, paralisis nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal, tali pusat menumbung. Bayi lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia). b. Gangguan



SSP:



tangis



melengking,



trauma,miastenia. 12



hipertoni,



flasiditas,



atonia,



c. Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain: anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika, paralisis erb (paralisis nervus frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal obstruktif, meningkatnya diameter anterior posterior paru, hipoplasi paru, trakeoesofageal fistula) d. Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan, partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat yang berlebihan. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang biasa ditemukan yaitu : 4 Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti : a. Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan gejala menonjol. b. Sianosis c. Retraksi d. Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung. e. Air ketuban bercampur mekonium atau bewarna hijau-kekuningan pada tali pusat. f. Abdomen mengempis (scaphoid abdomen). 3. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi pada bayi dengan gangguan pernapasan : 4 13



a. Bayi Kurang Bulan : Paru bayi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga alveoli b. Depresi



neonatal



(Kegawatan



neonatal)



:



aspirasi



mekonium,



pneumotoraks c. Bayi dari ibu DM : terjadi respirasi distres akibat kelambatan pematangan paru d. Bayi lahir dengan operasi sesar : bayi yang lahir dengan operasi sesar dapat mengakibatkan keterlambatan absorpsi cairan paru (TTN) e. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air ketuban yang berbau busuk dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis f. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium mungkin mengalami aspirasi mekonium 4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan , yaitu:4 a. Analisis gas darah 1) Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai dengan PaCO2 > 50 mmHg, PaO2< 60 mmHg atau saturasi oksigen arterial < 90%. 2) Dilakukan pada bayi baru lahir yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20 menit. Darah arterial lebih dianjurkan.



14



3) Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri. 4) Menggambarkan



gambaran



asidosis



metabolik



atau



asidosis



respiratorik dan keadaan hipoksia. 5) Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi saluran napas bawah. 6) Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme anaerobik. 7) Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale. 8) Pulse Oxymeter digunakan sebagai cara non invasip untuk memantau saturasi oksigen yang dipertahnkan pada 90-95%. b. Elektrolit 1) Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolik untuk hiperkapnea kronik 2) Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya hipoglikemia 3) Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahan tubuh: hipokalemia, hipokalsemia, dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan kontraksi otot. c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia kronik. 15



d. Pemeriksaan radiologi atau pencitraan 1) Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH, menunjukkan gambaran retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkogram udara (air bronchogram) dan paru tidak berkembang. 2) Gambaran air bronchogram yang menonjol menunjukkan bronkiolus yang menutup latar belakang alveoli yang kolaps. 3) Gambaran jantung yang samar mungkin normal atau membesar. 4) Kardiomegali mungkin merupakan akibat asfiksia prenatal, maternal diabetes, PDA, berhubungan dengan kelainan jantung bawaan atau pengambangan paru yang buruk. Gambaran ini mungkin akan berubah dengan pemberian terapi surfaktan secara dini atau terapi indometasin dengan ventilator mekanik. 5) Gambaran radiologik PMH ini kadang tidak dapat dibedakan secara nyata dengan pneumonia. 6) Pemeriksaan transiluminasi toraks dilakukan dengan cara memberi iluminasi atau sinar yang terang menembus dinding dada untuk mendeteksi adanya penumpukan abnormal misalnya pneumotoraks. Pemeriksaan radiologik toraks ini berguna untuk membantu konfirmasi ada tidaknya pneumotoraks dan gangguan parenkimal seperti pneumonia atau PMH. 7) Di samping itu pemeriksaan radiologi toraks juga berguna untuk:



16







Evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera misalnya: malposisi pipa endotrakeal, adanya pneumotoraks.







Mengetahui adanya hal-hal yang berhubungan dengan gangguan atau gagal napas seperti berikut:







Penyakit fokal atau difus (misal: pneumonia, acute respiratory distress syndrome (ARDS), hiperinflasi bilateral, pengambangan paru asimetris. Efusi pleura, kardiomegali)







Bila terjadi hipoksemia tetapi pemeriksaan foto toraks normal, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit jantung bawaaan tipe sianotik, hipertensi pulmonal atau emboli paru.



gambaran pemeriksaan radiologik pada toraks.4 Derajat I



Berat/ringan Ringan



Temuan pada pemeriksan radiologik toraks Kadang normal atau gambaran granuler,



II



Ringan-



homogen, tidak ada air bronchogram Seperti tersebut di atas ditambah gambaran air 17



III



Sedang Sedang-Berat



bronchogram Seperti di atas ditambah batas jantung menjadi



IV



Berat



tidak jelas “white lung” : paru putih menyeluruh



Tabel 3. Gambaran Pemeriksaan Radilogi pada Toraks (Sumber : Buku Ajar Neonatologi IDAI) H. PENATALAKSANAAN Penanganan pada bayi berdasarkan derajat gangguan napas, yaitu:4 1. Gangguan napas ringan Beberapa bayi cukup bulan (BCB) yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tachipneu of The Newborn (TTN), terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus, gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik. a. Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya b. Bila dalam pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya, terapi untuk kemungkinan sepsis dan tangani gangguan napas sedang atau berat. c.



Berikan asi bila bayi mampu menghisap. Bila tidak, berikan asi peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum.



d.



Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 3060x/menit. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi 18



napas menetap antara 30-60x/menit, tidak ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan, bayi dapat dipulangkan. 2. Gangguan napas sedang a.



Lanjutkan pemberian O2 dengan kecepatan sedang



b.



Bayi jangan diberikan minum



c.



Jika ada tanda berikut (suhu aksiler 39ºC, air ketuban bercampur mekonium, dan riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (>18 jam) ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotik (ampicilin dan gentamicin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis



d.



Bila suhu aksiler>34-36,5ºC atau 37,5-39ºC tangani untuk masalah suhu abnormal dan ulang setelah 2 jam.



e.



Bila suhu masih belum stabil, atau gangguan napas belum ada perbaikan, ambil sampel darah dan berikan antibiotik untuk terapi kemungkinan besar sepsis



f.



Jika suhu normal teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal, ulangi tahapan tersebut diatas



g.



Bila tidak ada tanda-tanda sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.



19



h.



Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang) kurangi terapi O2.



i.



Pasang pipa lambung, berikan asi peras setiap 2 jam



j.



Apabila tidak diperlukan lagi pemberian O2, mulailah melatih bayi menyusu.



k.



Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minum baik dan tidak ada alasan bayi tetap tinggal di RS, bayi dapat dipulangkan.



3. Gangguan napas berat a.



Pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang



b.



Tangani dengan kemungkinan besar sepsis



c.



Bila bayi menunjukan tanda perburukan atau terdapat sianosis sentral, naikkan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika gangguan napas bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun pemberian O2 100%, bila memungkinkan segera rujuk ke rumah sakit rujukan.



d.



Jiak gangguan napas masih menetap setelah 2 jam, pasang pipa lambung untuk mengosongkan cairan lambung dan udara.



e.



Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari apakah ada tanda perbaikan



20



f.



Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi napas menurun, tarikan dinding dada berkurang dan warna kulit membaik) kurangi pemberian O2, mulailah pemberian asi peras melalui pipa lambung.



g.



Pantau terus perkembangan bayi.



I. Diagnosis Banding 1. Kelainan sistem respirasi a. Obstruksi saluran napas atas : atresia koana, web laringeal, higroma, laringo/trakheomalasia, sindrom pierre robin. b. Pneumotoraks, atelektasis, perdarahan paru, efusi pleura, palsi nervus prenikus. c. Malformasi kongenital misalnya fistula thrakeoesofageal, hernia diafragmatika, emfisema lobaris, malformasi kistik adenomatoid 2. Sepsis 3. Sistem kardiovaskuler seperti penyakit jantung bawaan, gagal jantung kongesti, patent ductus arteriosus, syok. 4. Gangguan metabolik seperti keadaan yang dapat menyebabkan asidosis, hipo/hipertermia, gangguan keseimbangan elektrolit, hipoglikemia. 5. Gangguan sistem syaraf pusat seperti perdarahan, depresi farmakologik, “drug withdrawal” malformasi.8 J. Prognosis



21



Prognosis gangguan napas pada bayi baru lahir tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas tersebut. Prognosis baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoglikemia yang lama.4 K. Pencegahan 1. Perhatian langsung harus diberikan untuk mengantisipasi dan mengurangi komplikasi dan juga harus diupayakan strategi pencegahan persalinan kurang bulan semaksimal mungkin. 2. Pemberian terapi steroid antenatal harus diberikan kepada ibu yang terancam persalinan kurang bulan. 3. Melakukan resusitasi dengan baik dan benar. 4. Diagnosis dini dan pengelolaan yang tepat terutama pemberian surfaktan bila memungkinkan. 4



Daftar Pustaka 1. Rauter, Moser, Baack. 2014. Respiratory Distress in the Newborn. Pediatrics in Review. Vol. 35, No. 10. 2. Hermansen C., Mahajan A. 2015. Newborn Respiratory Distress. American family physican. Vol. 92, No. 11. 22



3. Hany Aly. 2004. Respiratory Disorder in the Newborn: Identification and Diagnosis. Pediatrics in Review Vol. 25, No. 6. 4. Kosim, M.S. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Keempat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 5. Agrina M.F., Toyibah A., Jupriyono. 2017. Tingkat Kejadian Respiratory Distress Syndrom Antara BBLR Preterm dan BBLR Dismatur. Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia. Vol. 3, No. 2. 6. Kosim M.S. 2009. Infeksi Neonatal Akibat Air Ketuban Keruh. Sari Pediatri. Vol. 11, No. 3. 7. Silvia Suminto. 2017. Peranan Surfaktan Eksogen pada Tata Laksana Respiratory Distress Syndrome Bayi Prematur. Continuing Professional Development. Vol. 44, No. 8. 8. Leigh R. Sweet et all. 2017. Respiratory Distress in the Neonate. Elsevier. Vol. 35. 6506-6517. 9. Anindita A.Y., Hidayah D., Hafidh. 2018. Profil Sindrom Aspirasi Mekonium pada Bayi Baru Lahir di RSUD Dr. Soetrasno Rembang. Smart Medical Journal. Vol. 1, No. 2.



23