Referat Ablasio Retina [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



ABLASIO RETINA (RETINAL DETACHMENT)



Oleh: Putu Frydalyasa Yudhi A. NPM: 16710165



Pembimbing: dr. Siswi Hapsari, Sp.M



KEPANITRAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD DR. MOH SALEH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2017



LEMBAR PENGESAHAN Referat ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas pada kepanitraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.



Disahkan, Hari



:



Tanggal



:



Mengetahui, Dokter Pembimbing,



dr. Siswi Hapsari, Sp.M



ii



KATA PENGANTAR



Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan referat dengan judul “Ablasio Retina (Retinal Detachment).” Referat ini penulis susun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo. Dalam menyelesaikan referat ini, tentu tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Amarusmana, Sp.M dan dr. Siswi Hapsari, Sp.M selaku pembimbing SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo. Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini sehingga masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap referat ini bermanfaat bagi para pembacanya khususnya rekan rekan sejawat dokter muda yang sedang menjalani stase di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar kedepannya referat ini bisa lebih sempurna. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat beberapa kesalahan dalam referat ini. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.



Probolinggo, 12 Juni 2017



Penulis iii



DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................................



i



Lembar Pengesahan ........................................................................................



ii



Kata Pengantar ...............................................................................................



iii



Daftar Isi .........................................................................................................



iv



Bab I Pendahuluan .......................................................................................



1



1.1 Latar Belakang....................................................................................



1



1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................



2



1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................



2



Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................



3



2.1 Anatomi Mata......................................................................................



3



2.2 Anatomi Retina ...................................................................................



7



2.3 Histologi Retina ..................................................................................



9



2.4 Fisiologi Retina ..................................................................................



10



2.5 Ablasio Retina ....................................................................................



12



2.5.1



Definisi ...................................................................................



12



2.5.2



Etiologi ...................................................................................



13



2.5.3



Epidemiologi ..........................................................................



13



2.5.4



Patogenesis .............................................................................



14



2.5.5



Klasifikasi ...............................................................................



15



2.5.6



Gambaran Klinis .....................................................................



19



2.5.7



Pemeriksaan ............................................................................



21



2.5.8



Diagnosa Banding ..................................................................



22



2.5.9



Penatalaksanaan ......................................................................



23



2.5.10 Komplikasi .............................................................................



26



2.5.11 Prognosis ................................................................................



26



Bab III Kesimpulan ........................................................................................



28



Daftar Pustaka ................................................................................................



29



iv



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Pasien dengan ablasio retina (retinal detachment) sering datang ke dokter



umum, unit gawat darurat, atau dokter spesialis mata setelah penurunan penglihatan sentral. Penundaan ini sangat disayangkan karena apabila diketahui lebih awal dan perbaikan di awal akan memberikan hasil yang lebih baik yaitu sedikit penurunan penglihatan atau tanpa kehilangan penglihatan. Begitu detachment meluas melintasi fovea (makula sentral), gangguan penglihatan permanen hampir tak terelakkan (Kwong K. dan Luff, 2008). Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan neurosensorik retina dari epitel pigmen retina yang mendasarinya. Ruang potensial “ruang subretinal” antara kedua lapisan ini ditutup oleh epitel pigmen retina yang secara aktif memompa cairan melintasi retina dan masuk ke dalam koroid. Interdigitasi seluler dan matriks ekstraseluler memberikan adhesi tambahan. Ablasio retina terjadi ketika satu robekan pada retina, sehingga vitreous dapat memasuki ruang subretina dan cairan menumpuk di ruang subretinal (Kwong K. dan Luff, 2008). Ablasio retina dengan robekan (rhematogenous retinal detachment) dapat terjadi secara spontan akibat adanya robekan idiopatik di retina perifer, tetapi dapat juga timbul didahului tindakan intra okuler seperti operasi katarak, filtering surgery, penyuntikan intravitreal, dan vitrektomi. Insidens ablasio retina setelah operasi katarak secara kumulatif adalah 0,9% dalam 4 tahun setelah operasi dan meningkat menjadi 1,3% setelah 10 tahun postoperasi. Adanya kondisi tertentu



1



seperti robekan kapsul posterior, miopia tinggi dan riwayat trauma meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina setelah operasi (Simanjuntak, 2009). Ablasio retina (retinal detachment) merupakan salah kegawatdaruratan yang terjadi pada retina dan dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan, untuk mengetahui lebih dalam mengenai ablasio retina, faktor predisposisi, patogenesis dan penatalaksanaannya maka akan dibahas lebih dalam referat ini. 1.2



Rumusan Masalah 1. Apa faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ablasio retina? 2. Bagaimana patogenesis dari ablasio retina? 3. Bagaimana gambaran klinis dari ablasio retina? 4. Bagaimana penatalaksanaan dari ablasio retina?



1.3



Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ablasio retina. 2. Untuk mengetahui patogenesis dari ablasio retina. 3. Untuk mengetahui gambaran klinis dari ablasio retina. 4. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari ablasio retina.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Anatomi Mata



Gambar 2.1 Anatomi Mata (Sumber: Netter, F.H, 2014) Pembagian anatomi mata terdiri dari (Riordan-Eva, 2009): 1. Orbita Rongga orbita secara skematis digambarkan sebagai piramida dengan empat dinding yang mengerucut ke posterior. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak paralel dan dipisahkan oleh hidung. Volume orbita dewasa kira-kira 30 mL dan bola mata hanya menempati sekitar seperlima bagian rongga. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Batas anterior rongga orbita adalah septum orbitale, yang berfungsi sebagai pemisah antara palpebral dan orbita. 3



2. Bola mata Bola mata orang dewasa normal hampir bulat, dengan diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm. 3. Konjungtiva Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera yang melekat longgar ke septum orbital di fornix dan melipat berkali-kali (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva juga menyokokng pergerakan bola mata dan menghasilkan lapisan air mata prakornea yang merata yang dihasilkan oleh sel-sel goblet pada lapisan epitel superfisialisnya. 4. Sklera dan Episklera Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Struktur kolagen dan jaringan elastin yang membentang di sepanjang foramen sklera posterior, membentuk lamina kribosa, yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus. Bagian luar sklera terdapat sebuat lapisan yang disebut episklera. Selain sebagai pelindung, episklera juga mengandung banyak pembuluh darah untuk mendarahi sklera. 5. Kornea Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya, bersifat jernih, transparan, permukaan licin, dan berfungsi sebagai pelindung mata. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda; lapisan epitel (yang berbatas dengan lapisan epitel konjungtiva 4



bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Kornea dinutrisi oleh aqueous humor, pembuluh darah limbus, dan air mata. 6. Iris Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, masing-masing berisi aqueous humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator sehingga iris dapat mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Iris mendapat nutrisi dari pendarahan yang dibawa oleh circulus major iris. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares. 7. Corpus Ciliare Corpus ciliare secara zona terbagi atas dua zona yaitu: zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata yang terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena verticosa dan zona posterior yang datar. 8. Koroid Koroid adalah segmen posterior uvea yang terdiri dari tiga lapis pembuluh koroid yang makin dalam semakin besar lumennya. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare. Pembuluh darah koroid juga berfungsi untuk mendarahi bagian luar dari retina. 9. Lensa Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avascular, tak berwarna dan hampir transparan. Lensa terdiri atas air (65%) dan protein (35%). Lensa memiliki tebal 4 mm dan diameter 9 mm yang dilapisi suatu membrane 5



semipermeable yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Posisi lensa dipertahankan oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula Zinii. 10. Aqueous Humor Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare. Setelah memasuki bilik mata belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan. 11. Sudut bilik mata depan Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengeluaran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata meninggi atau glaucoma. 12. Retina Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina menerima darah dari koriokapilaris yang mendarahi sepertiga luar retina dan cabang-cabang arteria centralis retinae yang mendarahi dua pertiga dalam retina. 13. Vitreus Vitreus adalah suatu bahan gelatin yang jernih dan avascular yang membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Sekitar 99% komponen vitreus adalah air dan sisa 1% adalah asam hialuronat dan kolagen, yang



6



memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air. 2.2



Anatomi Retina Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung



sel-sel kerucut, yang berfungsi untuk penglihatan warna, dan sel-sel batang yang terutama berfungsi untuk penglihatan hitam dan putih dan penglihatan di dalam gelap. Bila sel batang ataupun kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan melalui lapisan sel saraf yang berurutan dalam retina itu sendiri, dan, akhirnya ke dalam serabut nervus optikus dan korteks serebri (Guyton dan Hall, 2007). Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membrane Bruch, koroid, dan sclera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina, seperti yang terjadi pada ablasi retina. Namun pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina pada ablasi retina dapat dibatasi.Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sclera, yang meluas ke taji sclera. Dengan demikian, ablasi koroid akan meluas melampaui ora serrata, di bawah pars plana dan pars plicata. Permukaan dalam retina berhadapan dengan vitreous (Riordan-Eva, 2009).



7



Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabangcabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluoresens. Secara histologist, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina secara sentrifugal. Di tengah makula, 4 mm lateral dari diskus optikus terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus. Gambaran histologi fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang tajam, foveola memberikan ketajaman visual yang optimal. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong cenderung paling besar di makula (Riordan-Eva, 2009). Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar, dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga dalam retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan 8



terhadap kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubanglubang. Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina (Riordan-Eva, 2009). 2.3



Histologi Retina Retina memiliki 10 lapisan (Gambar 2.1), mulai dari sisi dalamnya, adalah



sebagai berikut (Riordan-Eva, 2009): 1) Membran limitans interna 2) Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus. 3) Lapisan sel ganglion 4) Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar 5) Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal. 6) Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor 7) Lapisan inti luar sel fotoreseptor 8) Membrane limitans eksterna 9) Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut 10) Epitel pigmen retina.



9



Gambar 2.2. Lapisan-lapisan retina (Sumber: Riordan-Eva, 2009)



Gambar 2.3. Histologi Lapisan Retina (Sumber: Mescher, A.L., 2010) 2.4



Fisiologi Retina Sesudah melewati susunan lensa mata dan selanjutnya melalui humor



vitreus, cahaya memasuki retina dari sebelah dalam; jadi, cahaya itu akan melewati sel-sel ganglion, lapisan pleksiform, dan lapisan nukleus sebelum 10



akhirnya sampai pada lapisan batang dan kerucut yang terletak di sepanjang sisi luar retina. Jarak yang ditempuh ini merupakan ketebalan yang besarnya beberapa ratus micrometer, tajam penglihatan jelas berkurang karena perjalanan melalui jaringan non-homogen ini (Guyton dan Hall, 2007). Baik sel batang maupun kerucut mengandung bahan kimia yang akan terurai bila terpajan cahaya dan, dalam prosesnya, akan merangsang serabutserabut saraf yang berasal dari mata. Bahan kimia peka cahaya di dalam sel batang disebut rhodopsin; bahan kimia peka cahaya di dalam sel kerucut disebut pigmen kerucut atau pigmen warna, memiliki komposisi sedikit berbeda dari rodopsin. Sel-sel fotoreseptor pada retina, mampu mengubah rangsang cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan pada akhirnya ke korteks pengelihatan oksipital. Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga meningkat di pusat makula, dengan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan pengelihatan warna yang baik karena banyaknya jumlah sel kerucut disana. Kedua peran tersebut memerlukan pencahayaan ruang yang terang sementara retina sisanya terutama digunakan untuk melihat gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik). Penglihatan skotopik seluruhnya diperantara oleh fotoreseptor sel batang. Penglihatan siang hari terutama oleh fotoreseptor kerucut, sore atau senja diperantarai oleh kombinasi sel batang dan kerucut, dan pengelihatan malam oleh fotoreseptor batang. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan penting dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara 11



koroid dan retina, membran basalis sel-sel epitel pigmen retina membentuk lapisan dalam membran bruch, yang juga tersusun atas matriks ekstraseluler khusus dan membran basalis korikapilaris sebagai lapisan luarnya (Guyton dan Hall, 2007). Bila sudah mengabsorbsi energi cahaya, rodopsin segera terurai dalam waktu sepersekian detik. Penyebabnya adalah fotoaktivasi elektron pada bagian retinal dari rodopsin. Foton mengaktivasi elektron pada bagian 11-cis retinal pada rodopsin, hal ini menimbulkan pembentukan metarodopsin II, yang merupakan bentuk aktif rodopsin, merangsang perubahan elektrik dalam sel batang yang kemudian menghantarkan bayangan penglihatan ke sistem saraf pusat dalam bentuk potensial aksi menjalarkan sinyal ke lapisan pleksiform luar, tempat sel batang dan sel kerucut bersinaps dengan sel bipolar dan sel horizontal. Sel horizontal, yang menjalarkan sinyal secara horizontal pada lapisan pleksiform luar dari sel batang dan sel kerucut ke sel bipolar. Sel bipolar yang menjalarkan sinyal secara vertical dari sel batang, sel kerucut, dan sel horizontal ke lapisan pleksiform dalam, tempat sel-sel itu bersinaps dengan sel ganglion dan sel amakrin. Sel amakrin akan menjalarkan sinyal dalam dua arah, baik secara langsung dari sel bipolar ke sel ganglion atau secara horizontal dalam lapisan pleksiform dalam dari akson sel bipolar ke dendrit sel ganglion atau sel amakrin lainnya. Sel ganglion akan menjalarkan sinyal keluar dari retina melalui saraf optik ke dalam otak (Guyton dan Hall, 2007). 2.5



Ablatio Retina



2.5.1 Definisi



12



Ablatio retinae (retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik, yakni lapisan fotoreseptor dan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen retina dibawahnya (Fletcher, E.C. et al., 2009). Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada penderita ablasio retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasio retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopi, dan proses degenerasi retina lainnnya (Ilyas, 2015). 2.5.2 Etiologi Berbagai keadaan dan penyakit yang dapat menimbulkan ablasio retina yaitu (Ilyas, 2008): - High myopia - Aphakia atau pseudophakia - Trauma - Kehilangan vitreous saat operasi - Retinal breaks - Lattice retinal degeneration - Glaukoma - Adanya riwayat keluarga yang mengalami retinal detachment 2.5.3 Epidemiologi Kalau berbicara tentang ablasio retina biasanya dihubungkan dengan pemisahan retina yang terjadi karena adanya robekan pada retina (idiopathic rhegmatogenous serous detachment). Keadaan ablasi retina pada kedua mata biasanya sekitar 12-30%. Insidens 8,9/100.000 (Ilyas, 2008). Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio retina regmatogenosa. Kemungkinan ini akan meningkat pada pasien yang memiliki 13



miopia tinggi, telah menjalani operasi katarak; terutama jika operasi ini mengalami komplikasi kehilangan vitreous; pernah mengalami ablasio retina pada mata kontralateral; dan baru mengalami trauma mata berat (James B.,2003). 2.5.4 Patogenesis Ruang potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan rongga vesikel optik embrionik. Kedua jaringan ini melekat longar pada mata yang matur dan dapat terpisah. Jika terjadi satu robekan pada retina, sehingga vitreous yang mengalami likuifikasi dapat memasuki ruang subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio retina regmatogenosa). Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina (misal seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional)). Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruang subretina akibat proses eksudatif, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio retina eksudat) (James B.,2003). Robekan pada retina paling sering berkaitan dengan onset ablasio vitreous posterior. Ketika gel vitreous terpisah dari retina, traksi yang dihasilkan (traksi vitreous) menjadi lebih terlokalisasi dan lebih besar. Kadang cukup untuk menyebabkan robekan retina. Kelemahan retina perifer dasar seperti degenerasi latis, meningkatkan kemungkinan terbentuknya robekan ketika vitreous menarik retina. Orang dengan miopia tinggi memiliki peningkatan risiko yang bermakna akan ablasio retina yang berkembang (James B.,2003). Tears merupakan robekan yang disebabkan oleh tarikan membrane vitreoretinal, robekan ini terbanyak didapatkan pada daerah temporo superior. Hole yang disebabkan oleh chronic



14



atrophy dari lapisan sensoris retina seringkali berbentuk bulat atau lonjong, predikleksi lokasi terbanyak juga di temporo superior (Budiono S. et al., 2013).



Gambar 2.4. a) Mata normal dengan badan vitreous yang utuh; b) Mata dengan ablasio retina regmatogenosa. Traksi vitreous menyebabkan robekan di retina sehingga cairan memasuki ruang subretina, sehingga terjadi detachment. (Sumber: Feltgen dan Walter, 2014) 2.5.5 Klasifikasi Ablasio retina diklasifikasikan menjadi 2 yaitu (Budiono S. et al., 2013): 1. Ablasio Retina Regmatogenosa (Rhegmatogenous Retinal Detachment (RRD) Pada ablasio retina regmatogenosa ditandai dengan pemutusan (suatu “regma”) total (full-thickness) retina sensorik, traksi vitreus derajat bervariasi, dan mengalirnya vitreus cair melalui robekan (break) pada retina yang 15



menyebabkan masuknya cairan yang berasal dari vitreus yang mencair (liquefaction) di antara lapisan sensoris retina dan epitel pigmen retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid (Budiono S. et al., 2013; Fletcher, E.C. et al., 2009; Ilyas, 2015).



Gambar 2.5. Ablasio retina dengan dua lubang berbentuk U. H lubang retina; F menutupi flap (menjembatani arteri menstabilkan flap di puncaknya); Panah margin lubang (Sumber: Feltgen dan Walter, 2014). Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya ablasio retina regmatogenosa yaitu (Kwong K. dan Luff, 2008): a. Usia b. Myopia c. Operasi katarak d. Trauma e. Degenerative retinal lesions f. Stickler’s syndrome g. Juvenile-X-linked retinoschisis 16



h. Marfan’s syndrome Ablasio retina regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan vitreus posterior dan berhubungan dengan miopia, afakia, degenerasi lattice, dan trauma mata. Letak pemutusan retina bervariasi sesuai dengan jenisnya, robekan tapal kuda paling sering terjadi di kuadran superotemporal, lubang atrofik di kuadran temporal, dan dialysis retina di kuadran inferotemporal (Fletcher, E.C. et al., 2009). Ablasi retina akan memberikan gejala terdapatnya gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Terdapatnya riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan. Ablasi retina yang berlokasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara mendadak pada ablasi retina bila lepasnya retina mengenai makula lutea (Ilyas, 2015). Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang-kadang terdapat pigmen di dalam badan kaca, pupil terlihat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskular glaucoma pada ablasi yang telah lama (Ilyas, 2015). 2. Ablasio Retina Non Regmatogenosa (Non Rhegmatogenous Retinal Detachment) a. Ablasio Retina akibat Traksi (Tractional Retinal Detachment) Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan oleh membrane vitreoretinal. Membran tersebut terbentuk pada kasus-kasus: Proliferative



Diabetic



Retinopathy, 17



Proliferative



vitreoretinopathy,



Retinopathy of Prematurity, Sickle Cell Retinopathy, Retinal vein occlusion & penetrating posterior segment trauma (Kwong K. dan Luff, 2008). Traksi ini disebabkan oleh pembentukan membran vitreosa, epiretina atau subretina yang terdiri atas fibroblast dan sel glia atau sel epitel pigmen retina. Dibandingkan dengan ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina akibat traksi memiliki permukaan yang lebih konkaf dan cenderung lebih terlokalisasi, biasanya tidak meluas ke ora serata. Pengobatan ablasi akibat tarikan di dalam kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam badan kaca dengan tindakan yang disebut vitrektomi (Budiono S. et al., 2013; Fletcher, E.C. et al., 2009; Ilyas, 2015).



Gambar 2.6 Tampilan makroskopis mata dengan daya tarik vitreous pada retina yang belum menghasilkan lubang retina. Panah putih: traksi vitreous; panah hitam: titik adhesi vitreous ke retina (Sumber: Feltgen dan Walter, 2014) b. Ablasio Retina Eksudatif (Exudative Retinal Detachment) Ablasio retina eksudatif ablasi yang terjadi akibat masuknya cairan yang berasal



dari



choriocapillary



ke



18



rongga



subretina



dengan



cara



menembus/melewati lapisan epitel pigmen retina yang rusak. Pada umumnya terjadi pada kasus-kasus (Kwong K. dan Luff, 2008): a. Inflamasi (uveitis, scleritis) b. Hidrostatik (Hipertensi malignan, toxaemia pada kehamilan) c. Neoplastik (choroidal melanoma, haemangioma, metastasis) d. Vaskular (Coat’s disease, retinal makroaneurisma) e. Maculopati



(degenerasi



neovaskular



makula,



central



serous



choroidoretinopathy) f. Penyakit kongenital (nanophthalmos, optic disc pit) Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang. 2.5.6 Gambaran Klinis Gejala yang sering dikeluhkan penderita adalah (PDT, 2006): 1.



Floaters (terlihatnya benda melayang-layang), yang terjadi karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu sendiri.



2. Fotopsia (kilatan cahaya) tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya. 3. Gangguan lapang pandang. 4. Melihat seperti tirai. 5. Visus menurun tanpa disertai rasa sakit. Gejala subjektif:



19



Penderita akan mengeluhkan seperti adanya selaput yang seperti tabir mengganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatan akan menurun (Ilyas, 2015). Dengan anamnesis dapat diketahui bahwa banyak penderita sering merasakan melihat adanya kilatan-kilatan cahaya (fotopsia) pada mata yang menderita ablasi beberapa hari sampai beberapa minggu sebelumnya (Ilyas, 2008). Gejala objektif: Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadangkadang terlihat pembuluh darah seperti terputus-putus (Ilyas, 2015). Gambaran koroid yang normal tidak tampak. Terlihat retina yang berlipat-lipat, yang berubah-ubah bentuknya bila kepala digerakkan. Lipatan ini menetap bila disebabkan tarikan oleh badan kaca, walaupun kedudukan kepala berubah. Pembuluh darah menjadi berwarna lebih gelap, berkelok-kelok dan tampak tidak dalam satu dataran (Ilyas, 2008). Lubang atau robekan di retina dapat ditetapkan dengan melihat refleks merah daripada koroid di retina yang lepas yang berwarna abu-abu. Ablasi lebih sering terdapat di daerah temporal atas dibandingkan dengan di tempat lain. Robekan retina berbentuk ladam kuda sering terdapat di temporal atas dengan basis di bagian depan. Robekan bundar kecil dapat ditemukan dimana saja terutama di daerah tepi. Robekan bulan sabit yang tunggal terdapat di kuadran bawah terutama di tepi (Ilyas, 2008).



20



Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina (ablasio retina bulosa), didapatkan pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Satu robekan pada retina terlihat agak merah muda karena pembuluh darah koroid dibawahnya. Mungkin didapatkan debris terkait pada vitreous yang terdiri dari darah (perdarahan vitreous) dan pigmen, atau kelopak lubang retina (operculum) dapat ditemukan mengambang bebas (James B.,2003). 2.5.7 Pemeriksaan Pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan terjadinya ablasio retina adalah melakukan pemeriksaan fundus okuli dengan cara (PDT, 2006): 1. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata: -



Tropicamide 0,5%; 1%, ditetesi 3 kali setiap 5 menit, kemudian ditunggu 20-30 menit.



-



Phenylephrine 10%.



2. Setelah pupil midriasis, fundus okuli dapat diperiksa dengan: a. Oftalmoskop direk: -



Pembesaran bayangan 14 kali.



-



Bayangan tegak.



-



Hanya dapat diperiksa bagian posterior.



-



Tidak stereoskopis.



b. Oftalmoskop indirek binocular: -



Pembesaran bayangan 4 kali.



-



Bayangan terbaik.



-



Dapat diperiksa sampai retina bagian perifer, kalau perlu dapat ditambah dengan indentasi sklera. 21



-



Terlihat strereoskopis



-



Digunakan lensa 55 mm:  16 dioptri: bayangan besar, lapang pandang sempit  20 dioptri: bayangan lebih kecil, lapang pandang luas. Selain untuk pemeriksaan, alat ini juga dipakai pada waktu operasi ablasi retina.



c. Lensa kontak Goldmann-3-mirror dengan biomikroskop: -



Pembesaran 10-16 kali.



-



Dengan anastesi lokal: tetracaine 0,5%



-



Diberi Methyl Cellulosa (CMC 2%, Methocel 2%) untuk lubrikasi lensa kontak.



-



Dapat diperiksa sampai retina bagian perifer. Selain untuk pemeriksaan, alat ini juga dipakai untuk fotokoagulasi retina (dengan Laser).



d. Lensa Hruby dengan biomikoskop. Kekuatan lensa: -55 dioptri, hanya untuk pemeriksaan bagian sentral dari fundus okuli. e. Lensa +78D, +80D, +90D dengan biomikroskop, dapat untuk evaluasi fundus okuli sampai perifer. 3. Ditentukan lokalisasi ablasio retina (75% temporal atas). 4. Dicari dan ditentukan lokalisasi dari semua robekan retina. Harus diperiksa kedua mata, karena ablasio retina merupakan penyakit mata yang cenderung bilateral. 2.5.8 Diagnosa Banding 22



1. Retinoskisis



: terlihat lebih transparan



2. Separasi koroid



: - terlihat lebih gelap - dapat melewati ora serrata



3. Tumor koroid (melanoma koroid) : perlu pemeriksaan USG. 2.5.9 Penatalaksanaan Terdapat dua teknik bedah utama untuk memperbaiki ablasio retina adalah ekternal (pendekatan konvensional) dan internal (pembedahan vitreoretinal). Prinsip utama pada kedua teknik ini adalah menutup robekan penyebab pada retina dan memperkuat perlekatan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina dengan cara menginduksi inflamasi di daerah tersebut dengan pembekuan local menggunakan cryoprobe atau laser. Pada pendekatan eksternal, robekan ditutup dengan menekan sklera menggunakan plomb silicon yang diletakkan eksternal. Ini menghilangkan traksi vitreous (James B.,2003).



Gambar 2.7 Sponge di bawah 2 lubang. Karena cyrocoagulation, tepi lubang tampak lebih putih daripada bagian retina lainnya. Dari perspektif ini spons, dijahit secara eksternal ke serpihan, dapat dilihat secara tidak langsung tampak sebagai cekungan retina (Sumber: Feltgen dan Walter, 2014)



23



Pada pendekatan internal, vitreous diangkat dengan pemotongan bedah mikro khusus yang dimasukkan ke dalam rongga vitreous melalui pars plana (Pars Plana Vitrectomy (PPV), tindakan ini menghilangkan traksi vitreous pada robekan retina, menghilangkan tarikan oleh membrane vitreoretinal serta untuk lebih mudah mendekatkan retina dan melakukan prosedur-prosedur berikutnya (James B.,2003, Budiono S. et al, 2013). Pemasangan scleral buckle (local buckle atau encircling) yang disertai prosedur tambahan seperti drainage cairan subretina, cryotherapy dan pneumatic retinopexy. Cairan dapat dialirkan melalui penyebab robekan retina, dan laser atau krioterapi digunakan pada retina sekitar. Tamponade internal temporer diberikan dengan menyuntikkan gas fluorocarbon inert ke dalam rongga vitreous (Pneumatic Retinopexy). Penyuntikan ini akan menutup lubang dari dalam dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Penyuntikan untuk menutup robekan retina dan menempelkan kembali retina membuat sikatrika khorioretina tanpa pemasangan scleral buckle). Pasien harus mempertahankan postur kepala tertentu selama beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina (James B.,2003, Budiono S. et al, 2013).



24



Gambar 2.8 Scleral buckling. Pada gambar ditunjukkan spons silicon (panah lurus) dan silicone band (panah). Band silikon melingkar memampatkan spons silikon yang mendasari (yang bersentuhan dengan sklera), sehingga menghasilkan aposisi yang mendasari epitel pigmen retina dan lapisan sensorik retina (panah melengkung) (Sumber: Lane et al., 2003).



Gambar 2.9. Gambar menunjukkan penggunaan tamponade udara intraokular bersamaan dengan scleral buckling untuk perawatan ablasio retina (Sumber: Lane et al., 2003)



Gambar 2.10 Vitrektomi dalam ablasio retina. A) Tampilan mata eksternal dengan 3 port akses. 1: port untuk vitrektomi dan cahaya; 2: port untuk cairan intraocular. B) Tampilan intraocular. Retina disambungkan, di tengah cairan hitam (perfluorodecalin) dituangkan untuk membantu menjaga retina yang bersebelahan dengan membran dasar. Tanda panah putih menandai margin gelembung cairan intraocular; panah hitam menunjukkan lubang retina (Sumber: Sumber: Feltgen dan Walter, 2014) 25



Robekan retina yang tidak berhubungan dengan cairan subretina diterapi secara profilaksis dengan laser (slit lamp laser photocoagulation atau indirect ophtalmoscope laser photocoagulation) dan cryoprobe yang menginduksi inflamasi dan meningkatkan adhesi antara retina di sekitar robekan dan epitel pigmen sehingga mencegah ablasio retina. Selalu penting untuk memeriksa retina perifer pada mata kontralateral karena robekan atau ablasio retina simtomatik juga bisa didapatkan pada mata ini (James B.,2003). 2.5.10 Komplikasi Komplikasi dan efek samping yang timbul dari prosedur menggunakan scleral buckling biasanya secara klinis terjadi perubahan refraksi, infeksi, intrusion dan extrusion dari elemen buckling-nya, strabismus, glaukoma, edema makula, sensitivitas kornea berkurang, pelepasan koroid dan nyeri okular persisten. Choroidal detachment, di mana cairan terakumulasi di ruang suprakoroidal yang memisahkan koroid dari sklera, adalah komplikasi yang paling umum terjadi pada 23%-44% kasus. Biasanya bermanifestasi dalam 24-48 jam pertama dan secara spontan bisa kembali normal dengan sendirinya dalam waktu sekitar 2 minggu. Erosi sklera biasanya merupakan komplikasi jangka panjang dan lebih sering terjadi karena elemen karet silikon yang keras. Menambahkan spons silikon lentur di bawah pita melingkar meminimalkan risiko terjadinya erosi sklera. Terjadinya detachment berulang setelah pelepasan buckle dapat terjadi sekitar 45%, komplikasi ini terjadi kurang dari 6 bulan setelah operasi (Lane et al., 2003). 2.5.11 Prognosis



26



Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula terlepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Namun, bagian penting penglihatan dapat kembali pulih dalam beberapa bulan. Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati proliferative, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih lanjut. Prosedur vitreoretinal yang rumit dapat mempertahankan penglihatan namun dengan hasil penglihatan yang buruk (James B., 2003).



27



BAB III KESIMPULAN 1.



Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan neurosensorik retina dari epitel pigmen retina yang mendasarinya. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina yaitu: high myopia, aphakia atau pseudophakia, trauma, kehilangan vitreous saat operasi, retinal breaks, lattice retinal degeneration, glaukoma dan adanya riwayat keluarga yang mengalami retinal detachment.



2.



Patogenesis terjadinya ablasio retina yaitu jika terjadi satu robekan pada retina, sehingga vitreous yang mengalami likuifikasi dapat memasuki ruang subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio retina regmatogenosa). Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina (misal seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional)). Bila cairan berakumulasi dalam ruang subretina akibat proses eksudatif menyebabkan ablasio retina eksudatif.



3.



Gambaran klinis yang ditunjukkan akibat adanya ablasio retina yaitu floaters (terlihatnya benda melayang-layang), yang terjadi karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu sendiri, fotopsia (kilatan cahaya) tanpa adanya sumber cahaya di 28



sekitarnya, gangguan lapang pandang, melihat seperti tirai dan visus menurun tanpa disertai rasa sakit. 4.



Penatalaksanaan dari ablasio retina adalah pembedahan. Teknik bedah yang bisa digunakan yaitu Pars Plana Vitrectomy (PPV), Pemasangan scleral buckle, cryotherapy dan pneumatic retinopexy. DAFTAR PUSTAKA



Budiono, Sjamsu, Trisnowati T.S., Moestidjab, dan Eddyanto. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP). Surabaya: Airlangga University Press hal. 260-262. Feltgen, Nicolas dan Peter Walter. 2014. Rhegmatogenous Retinal Detachment-an Ophthalmologic Emergency. Dtsch Arztebl Int; 111(1-2): 12-22. Fletcher, Emily C., N.H Victor Chong, dan Debra J. S. 2009. Retina. Dalam Buku Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: ECG hal 18514. Guyton A.C. dan J.E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta EGC. Hal. 654-67. James, B. 2003.



Ablasio retina. Oftalmologi. Edisi Kesembilan. Erlangga:



Ciracas Jakarta hal 117-121. Ilyas, Sidarta dan Sri Rahayu Y. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta hal. 192-195, 289. Ilyas, Sidarta, Muzakkir T., Salamun dan Zainal A. 2008. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta hal. 101-102. Kwong K., dan A.J. Luff. 2008. Management of retinal detachment: a guide for non-ophthalmologist. BMJ Volume 336 hal. 1235-40. Lane, John I., Robert E.W., Robert J.W., dan Colin A.M. Retinal detachment: imaging of surgical treatments and complications. Published online.



29



Mescher, A.L. 2010. Junquiera’s Basic Histology Text & Atlas 12th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Netter, F.H. 2014. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: ECG. PDT. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. Hal. 106-109. Riordan-Eva, Paul. 2009. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Buku Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: ECG hal 1-14. Simanjuntak, Gilbert WS. 2009. Surgical Result of Pseudophakic Retinal Detachment in Cikini Hospital-School of Medicine Christian University of Indonesia Jakarta. Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol.7. No.2 Desember 2009.



30