Asuhan Keperawatan Ablasio Retina [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN ABLASIO RETINA



Disusun Oleh: 1. Femy Lia Utami



(PO.71.20.4.16.009)



2. Lenny Alfiani



(PO.71.20.4.16.018)



3. Rheviani Atrisha



(PO.71.20.4.16.027)



4. Tri Wulandari



(PO.71.20.4.16.036)



Dosen Pembimbing: Sukma Wicaturatmashudi., M.Kep., Sp.KMB



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG D-IV KEPERAWATAN 2019/2020



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya makalah ini yang merupakan salah satu syarat mengikuti mata kuliah Keperawatan Kritis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan terima kasih yang sebesar– besarnya kepada tim penulis, semua rekan-rekan yang ikut membantu demi terwujudnya makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan ini sangat kami harapkan.



Palembang,



Agustus 2019



Penulis



DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina dapat menyebabkan cacat penglihatan atau kebutaan yang menetap. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap. Sesungguhnya antar kedua lapisan ini tidak terdapat pelengketan sehingga merupakan titik lemah yang potensial. Ablasio retina dapat terjadi melalui 3 mekanisme: 1. Penimbunan cairan subretina; sebagai akibat keluarnya cairan pembuluh darah retina dan koroid (extra vasation) 2. Tarikan oleh jaringan fibrotik di dalam badan kaca 3. Pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vireous) yang masuk melalui hole, yaitu masuknya badan kaca cair melalui lobang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina yang terlepas dari epitel pigmen. B. Rumusan Masalah 1. Apa anatomi fisiologi retina ? 2. Apa definisi Ablasio Retina ? 3. Apa klasifikasi Ablasio retina ? 4. Bagaimana gejala klinis dari Ablasio Retina ? 5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang dari Ablasio Retina ? 6. Apa saja penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Ablasio Retina ? 7. Apa saja komplikasi pada penderita Ablasio Retina ? 8. Bagaimana patofiologi dari Ablasio Retina 9. Bagaimana asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada penderita Ablasio Retina ?



C. Tujuan



1. Mengetahui anatomi fisiologi Retina 2. Mengetahui definisi Ablasio Retina



3. Dapat menjelaskan klasifikasi Ablasio Retina 4. Dapat memahami Bagaimana gejala klinis dari Ablasio Retina 5. Mampu menjelaskan pemeriksaan fisik dan penunjang pada penderita Ablasio Retina 6. Mengetahui apa saja penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita pasien Ablasio Retina 7. Mampu menyebutkan komplikasi Ablasio Retina 8. Mampu menjelaskan patofisiologi Ablasio Retina 9. Dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada penderita Ablasio Retina



BAB II PEMBAHASAN A. Anatomi Fisiologi Retina Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh tiga jaringan yaitu sklera, jaringan uvea, dan lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membrane neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi ransangan pada saraf optic dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina.



Gambar 1. Anatomi Mata



Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsang cahaya. Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sistem temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan membrana Bruch, koroid, dan sklera. Retina menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah makula terdapat fovea yang secara klinis merupakan cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Retina berbatas dengan koroid dengan sel epitel pigmen retina dan terdiri atas lapisan:



1. Lapisan epitel pigmen 2. Lapisan fotoreseptor merupakan lesi terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut. 3. Membran limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi. 4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan batang. 5. Lapisan pleksiform luar merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal. 6. Lapis nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller. 7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion. 8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua, 9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah saraf optik. 10. Membran limitan interna, merupakan membrane hialin antara retina dan badan kecil. Retina mendapatkan suplai darah dari dua sumber yaitu koriokapiler yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mensuplai sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri retina sentralis yang mensuplai dua per tiga sebelah dalam



Gambar 2. Lapisan Pada Retina



Mata berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan



serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan ossipital. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik). B. Definisi Ablasio Retina Ablasio berasal dari bahasa Latin yang artinya pembuangan atau terlepasnya salah satu bagian badan. Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina dengan dari sel epitel retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan structural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap. Pada mata normal, retina sensorik yang utuh tertahan melekat ke epitel pigmen oleh adanya tarika oleh epitel terhadap ruang kedap air diantara keduanya. Apabila terdapat robekan retina, gerakan bola mata yang cepat dan rotasi bola mata mendadak dapat menimbulkan gaya inersi yang cukup besar untuk menimbulkan pelepasan retina. C. Klasifikasi Ablasio retina Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi: 1. Ablasio Retina Regmatogenosa a. Definisi Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti diskontuinitas atau istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid. Ablasio



regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan korpus vitreum posterior. b. Klasifikasi Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan patogenesis, morfologi dan lokasi. Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi, (1) Tears, disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di superior dan lebih sering di temporal daripada nasal, (2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina, dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior daripada inferior, dan lebih berbahaya dari tears. Berdasarkan morfologi, dibagi menjadi, (1) U-tearsm, terdapat flap yang menempel pada retina di bagian dasarnya, (2) incomplete U-tears, dapat berbentuk L atau J, (3) operculated tears, seluruh flap robek dari retina, (4) dialyses: robekan srtkumferensial sepanjang ora serata, (5) giant tears.



Gambar 3. Morfologi Robekan Pada Ablasio Retina Regmatogenosa



Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi, (1) oral, berlokasi pada vitreous base, (2) post oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan eguator, (3) eguatorial, (4) post eguatorial: di belakang eguator (S5) macular, di fovea. c. Patogenesis Ablasio jenis ini terjadi akibat adanya rhegma atau robekan pada lapisan retina sensorik (full thickness) sehingga cairan vitreus masuk ke dalam ruang subretina. Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan retina melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan retina. Tekanan yang mempertahankan perlekatan retina, antara lain tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor aktif. Hal yang mempertahankan perlekatan retina yaitu (1) Tekanan intraokuar memiliki tekanan hidrostatk yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. (2) Koroid memiliki tekanan onkotik yang lebih tinggi karena mengandung substansi yang lebih dissolved dibandingkan vitreus. (3) Pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid. Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan adanya kelemahan di retina



perifer dengan faktor predisposisi nya yaitu degenerasi. synchysis, yaitu pada traksi vitreoretina dinamik, terjadi likuefaksi dari badan vireus yang akan berkembang menjadi lubang pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea. Cairan synchytic masuk melalu lubang ke ruang retrohialoid. Akibatnya terjadi pelepasan permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus akan menjadi kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD with collapse (acute PVD). Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD (posterior vitreal detachment). Robekan yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U, berlokasi di superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer.



Gambar 4. Vitreous Syneresis



Kebanyakan robaekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut dapat berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai macam degenerasi, antara lain: 



Degenerasi lattice Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan, sindrom Stickler, sindrom Ehler-Danlos. Ditandai dengan bentuk retina yang sha rply demarcated, circumferentially orientated spindle shaped areas. Biasanya terdapat bilateral dan lebih sering di daerah temporal dan superior.







Degenerasi snailtrack Degenerasi mi berbentuk snowflakes atau white frost like appearance.







Degenerasi retinoschisis



Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori retina menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan vitreus. Kejadian ini banyak berhubungan dengan hipermetrop. 



“White-with-pressure”, “White-without-pressure”.



Gambar 5. Degenerasi Vitreoretinal



d. Gejala Klinis Gejala utama yang ditimbulkan adalah fotopsia akibat stimulasi mekanik pada retina. Fotopsia muncul dalam kurun waktu 24-48 jam setelah terjadinya robekan retina. Fotopsia dapat diinduksi oleh gerakan bola mata. Pasien akan merasa dapat melihat lebih jelas pada malam hari. Biasanya fotopsia terdapat di bagian temporal perifer dari lapangan penglihatan. Pada ablasio bagian supratemporal yang menyebabkan terangkatnya macula, maka akan terjadi penurunan tajam penglihatan yang mendadak. Keluhan lain yang khas adalah, Sloater, adanya bayangan gelap pada vitreous akibat retina yang robek, darah dan sel epitel pigmen retina yang masuk ke badan vitreus. Kekeruhan vitreus ini terbagi atas 3 tipe, yaitu, (1) Wess ring, floater yang soliter terdri dari annulus yang terlepas dari vitreus. (2) Cobwebs, disebabkan oleh kondensasi serat kolagen di korteks vitreus yang kolaps. (3) Pancaran seketika berupa titik hitam atau merah yang biasanya mengindikasikan perdarahan vitreus akibat robekan pembuluh darah retina. Black curtain, defek lapang penglihatan dirasakan oleh pasien mulai dari perifer yang lama-lama hingga ke sentral. Keluhan ini dapat saja tidak muncul di pagi hari karena cairan subretina diabsorbsi secara spontan pada saat malam hari. Arah munculnya defek membantu dalam menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral mungkin dikarenakan keterlibatan fovea. Selanjutnya melalui pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya Marcus Gunn pupil, tekanan intraokular yang menurun, iritis ringan, adanya gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan



retina pada funduskopi. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang terlepas bergoyang.



Gambar 6. Tobacco Dust



e. Tatalaksana Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk melepaskan traksi vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada. Penutupan robekan dilakukan dengan melakukan adhesi korioretinal di sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral buckling. Penempatan implan diletakkan dalam kantung sklera yang sudah dreseksi yang akan mengeratkan sclera dengan retina f. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmantosa antara lain: 



Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun, usia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi







Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2.







Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah seseorang yang menderita rabun jauh.







Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada yang fakia.







Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi







Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina dalam banyak kasus.







Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without or occult pressure, acquired retinoschisis Berbagai factor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina, yang



menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan tersebut dan akan memisahkan retina dari epitel pigmen retina. Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan penglihatan yang kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di depan mata (floaters) akibat dari degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat riwayat fotopsia (seperti melihat kilasan cahaya) pada lapangan penglihatan karena iritasi retina oleh pergerakan vitreous. Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya retina mengenai makula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama.



Gambar 7. Ablasio Retina Regmatogenosa



2. Ablasio Retina Non Regmatogenosa a. Ablasio Retina Eksudatif 1) Definisi



Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab ablasio retina eksudatif yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodos dan karena penyakit mata yang meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), penyakit vaskular (central serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma (melanoma maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi intraokuler. Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina regmatogenosa dengan: 



Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi







Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan bisa menunjukkan gangguan pigmentari







Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat adanya neovaskularisasi.







Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena pengaruh gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina eksudatif.







Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak transparan sedangkan ablasio retina eksudatif lebih opak.



Gambar 8. Ablasio Retina Eksudatif



2) Etiologi Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara spontan, dengan trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik, CVD, VogtKoyanagi-Harada syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid artritis, atau kelainan vaskular. Ditandai dengan adalanya akumulasi cairan pada



ruang subretina dimana tidak terjadi robekan retina dan traksi. Asal cairan ini dari pembuluh darah retina, atau koroid, atau keduanya. Hal ini dapat terjadi pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma pada retina, epitel berpigmen, dan koroid dimana cairan bocor keluar pembuluh darah dan terakumulasi di bawah retina. Selama epitel berpigmen mampu memompa cairan yang bocor ini ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang subretina dan tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika proses berlanjut dan aktivitas pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika aktivitas epitel berpigmen berkurang karena hilangnya epitel berpigmen atau penurunan suplai metabolik (seperti iskemia), kemudian cairan mulai berakumulasi dan terjadi ablasio retina. Tipe ablasio retina ini dapat juga disebabkan oleh akumulasi darah pada ruang subretina (ablasio retina hemoragika. Penyakit radang dapat menyebabkan ablasio retina serosa termasuk skleritis posterior, oftalmia simatetik, penyakit Harada, pars planitis, penyakit pembuluh darah vaskular. Penyakit vaskular adalah hipertensi maligna, toksemia gravidarum, oklusi vena retina, penyakit Coat, penyakit angiomatosa retina, dan pembentukan neovaskularisasi koroid. 3) Patogenesis Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa adanya robekan retina ataupun traks pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran pembuluh darah sehingga berkumpul di bawah retina. Hal ini terjadi terutama bila pompa epitel terganggu akibat berbagai hal. 4) Gejala Klinis Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada vitritis. Defek lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan oftalmologi, ablatio retinae eksudatif memiliki bentukan yang konveks dengan permukaan yang halus dan berombak. Retina yang terlepas bersifat mobile sehingga menimbulkan fenomena shifting fluid. Leopard spots yaitu area subretinal yang mendatar setelah terjadi ablatio retinae. 5) Penatalaksanaan Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Pada kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti pada penyakit Harada dan Skleritis posterior maka pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika disebabkan oleh keganasan, maka terapi radasi dapat dilakukan. Pada



korioretinopati bulosa sentral serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi argon. Pada infeksi diberikan antibiotik." Kelainan vaskular dapat diterapi dengan laser, krioterapi, aviterktomi. 6) Komplikasi Dapat terjadi glukoma neovaskular dengan ptisis bulbi. b. Ablasio Retina Traksi 1) Definisi Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi Ablasio retina traksi dihubungkan dengan kondisi-kondisi seperti, retraksi jaringan parut post trauma terutama akibat trauma penetrasi, retinopati diabetik proliferatif, retinitis proliferans post hemoragik, retinopati prematuritas, retinopati sel sabit. Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa. Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR). Pada PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus akan membentuk membran. Kontraksi dari membran tersebut akan menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau berkembang menjadi ablasio retina traksi.



Gambar 9. Ablasio Retina Traksi



2) Etiologi Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati diabetes proliferative, retinopathy of prematurity, proliferative sickle cell retinopathy. 3) Patogenesis Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan epitel di sepanjang daerah vascular yang kemudian dapat menyebar ke bagian retina midperifer dan makuh. Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata. Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke area proliferasi fibrovaskular yang tidak sempurna. Selanjutnya terjadi kontraksi progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan vitreoretina yang apabila menyebabkan traksi pembuluh darah baru akan menimbulkan perdarahan vitreus. Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi, (1) Traksi tangensial, disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada bagian retina dan distorsi pembuluh darah retina. (2) Traksi anteroposterior, disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang memanjang dari retina bagian posterior. (3) 'Traksi bridging disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang akan melepaskan retina posterior dengan bagian lainnya atau arkade vaskular. 4) Gejala Klinis Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan defek lapang pandang biasanya timbul lambat. Melalui pemeriksaan oftalmologis akan didapati bentukan yang konkaf dengan tanpa adanya robekan, dengan elevasi retina tertinggi di daerah traksi vitreoretinal. Pompa oleh retina akan menurun sehingga tidak terjadi turn over cairan. 5) Terapi Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen penyebab traksi. Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan retinotomi dengan penyuntikan perfluorokarbon untuk meratakan permukaan retina.



3. Ablasio Retina Campuran antara Regamatogenosa dengan Traksional. Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian menyebabkan robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan ikat atau fibrovaskular dapat mengakibatkan robekan retina dan menyebabkan kombinasi ablatio retinae regmatogenosa-traksional. D. Gejala Klinis Pertimbangkan pasien yang khas mengalami ablasio retina, seperti pasien dengan miopia tinggi dengan usia berkisar 50 tahun, baik laki-laki ataupun perempuan, yang tibatiba mengalami gejala “flashes dan floaters”, yang biasanya terjadi secara spontan atau sesaat setelah menggerakkan kepala. Lakukan penggalian secara lebih detail terhadap gejala yang dialami. 1. Flashes (Photopsia) Ketika ditanya, pasien biasanya menjawab gejala ini bisa terjadi sepanjang waktu, tetapi paling jelas saat suasana gelap. Gejala ini cenderung terjadi terutama sebelum tidur malam. Kilatan cahaya (flashes) biasanya terlihat pada lapangan pandang perifer. Gejala ini harus dibedakan dengan yang biasanya muncul pada migrain, yang biasanya muncul sebelum nyeri kepala. Kilatan cahaya pada migrain biasanya berupa garis zig-zag, pada tengah lapangan pandang dan menghilang dalam waktu 10 menit. Pada pasien usia lanjut dengan defek pada sirkulasi vertebrobasilar dapat mendeskripsikan tipe lain fotopsia, yakni kilatan cahaya cenderung muncul hanya saat leher digerakkan setelah membungkuk. 2. Floaters Titik hitam yang melayang di depan lapangan pandang adalah gejala yang sering terjadi, tetapi gejala ini bisa menjadi kurang jelas pada pasien gangguan cemas. Tetapi jika titik hitamnya bertambah besar dan muncul tiba-tiba, maka ini menjadi tanda signifikan suatu keadaan patologis. Untuk beberapa alasan, pasien sering menggambarkan gejala ini seperti berudu atau bahkan sarang laba-laba. Ini mungkin karena adanya kombinasi gejala ini dan kilatan cahaya. Kilatan cahaya dan floaters muncul karena vitreus telah menarik retina, menghasilkan sensasi kilatan cahaya, dan sering ketika robekan terjadi akan terjadi perdarahan ringan ke dalam vitreus yang menyebabkan munculnya bayangan bintik hitam. Ketika kedua gejala ini muncul, maka mata harus diperiksa secara detail dan lengkap hingga ditemukan dimana lokasi robekan retina. Terkadang,



robekan kecil dapat menyebabkan perdarahan vitreus yang luas yang menyebabkan kebutaan mendadak. 3. Shadows Saat robekan retina terjadi, pasien seharusnya segera mencari pengobatan medis dan pengobatan efektif. Namun beberapa pasien tidak segera mencari pengobatan medis atau bahkan malah mengabaikan gejala yang dialami. Memang dalam beberapa saat gejala akan berkurang, tetapi dalam kurun waktu beberapa hari hingga tahunan akan muncul bayangan hitam pada lapangan pandang perifer. Jika retina yang terlepas berada pada bagian atas, maka bayangan akan terlihat pada lapangan pandang bagian bawah dan dapat membaik secara spontan dengan tirah baring, terutama setelah tirah baring pagi hari. Kehilangan penglihatan sentral atau pandangan kabur dapat muncul jika fovea ikut terlibat. 4. Penurunan tajam penglihatan Penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang tekah berlanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat. 5. Ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah bola mata dan akhirnya menutup pandangan. E. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan menyeluruh diindikasikan pada kedua mata. Pemeriksaan pada mata yang tidak bergejala dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab dari ablasio retina pada mata yang lainnya. 1. Lakukan pemeriksaan segmen luar untuk menilai tanda-tanda trauma 2. Periksa pupil dan tentukan ada atau tidaknya defek pupil aferen 3. Periksa ketajaman penglihatan 4. Periksa konfrontasi lapangan pandang 5. Periksa metamorfopsia dengan tes Amsler grid 6. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat ada atau tidaknya pigmen pada vitreus (Shafer’s sign) 7. Periksa tekanan bola mata



8. Lakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi (pupil harus dalam keadaan dilatasi) Pada oftalmoskopi, retina yang terlepas akan terlihat putih dan edema dan kehilangan sifat transparansinya. Pada ablasio regmatogen, robekan retina berwarna merah terang dapat terlihat. Biasanya muncul pada setengah bagian atas retina pada region degenerasi ekuator. Pada ablasio tipe traksi, ablasio bullosa akan terlihat bersamaan dengan untaian retina berwarna abu-abu. Pada tipe eksudatif akan terlihat adanya deposit lemak massif dan biasanya disertai dengan perdarahan intraretina. Pada pemeriksaan Ultrasound mata, jika retina tidak dapat tervisualisasi karena katarak atau perdarahan, maka ultrasound A dan B-scan dapat membantu mendiagnosis ablasio retina dan membedakannya dengan ablasio vitreus posterior. USG dapat membantu membedakan regmatogen dari non regmatogen. Pemeriksaan ini sensitif dan spesifik untuk ablasio retina tetapi tidak dapat membantu untuk menentukan lokasi robekan retina yang tersembunyi. F. Penatalaksanaan Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah mengembalikan kontak antara neurosensorik retina yang terlepas dengan RPE dan eliminasi kekuatan traksi. Berbagai metode operasi yang akan dilakukan bergantung dari lokasi robekan, usia pasien, gambaran fundus, dan pengalaman ahli bedah. Pembedahan dibagi ke dalam dua kategori, yakni: 1. Konvensional : melibatkan eksplan material ke rongga bola mata 2. Vitrektomi : pembuangan vitreus, menurunkan gaya traksi. Vitreus kemudian digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade robekan. a. Scleral Buckling Pembedahan Scleral buckling adalah metode pendekatan ekstraokuler dengan membuat lekukan pada dinding mata untuk mengembalikan kontak dengan retina yang terlepas. Sebuah silikon dengan konfigurasi yang sesuai diposisikan dengan jahitan pada sklera bagian luar di atas lekukan buckle dinding bola mata. Proses perlengketan kembali ini dapat diperkuat oleh drainase cairan subretina, meskipun manuver ini tidak dibutuhkan pada semua kasus. Robekan tunggal ditangani dengan cryotherapy atau terapi laser untuk menjamin penutupan permanen. Angka keberhasilan scleral buckling untuk melekatkan kembali retina dan memulihkan penglihatan terbilang tinggi. Penelitian terbaru yang melibatkan 190 mata, angka keberhasilan metode ini mencapai 89% untuk



operasi tunggal. Komplikasi cryotherapy adalah vitreoretinopathy proliferative (PVR), uveitis, cystoid edema makula, perdarahan intraokular, dan nekrosis chorioretinal. Komplikasi operasi scleral buckling adalah iskemia (segmen anterior dan posterior), infeksi, perforasi, strabismus, erosi atau ekstrusi eksplan, mengerutnya makula, katarak, glaukoma, vitreoretinopathy proliferative (4%), dan kegagalan (5-10%). Scleral buckling memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Prognosis visual akhir tergantung pada keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika makula terlepas.



Gambar 10. Scleral Buckling



Gambar a) menunjukkan tamponade di jahit pada permukaan luar sklera. Gambar b) menunjukkan lubang retina yang kelihatan. Gambar c) menunjukkan tamponade pada tempatnya. Pita silikon menekan spons silikon dibawahnya sehingga dapat memposisikan lapisan sensorik dan RPE kembali menyatu.



Gambar 11. Prosedur Scleral Buckling



b. Pneumatic Retinopexy Pada metode ini, gas inert atau udara diinjeksi ke dalam vitreus. Dengan cara ini, retina akan terlekat kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau sesudah injeksi gas atau koagulasi laser dilakukan di sekitar defek retina setelah perlekatan retina. Metode ini



sangat cocok digunakan pada kondisi ablasio dengan satu robekan retina pada bagian atas perifer fundus (arah jam 10 hingga jam 2).



Gambar 12. Pneumatic Retinopexy



c. Pars Plana Vitrektomi (PPV) Dengan operasi menggunakan mikroskop, korpus vitreus dan semua traksi epiretina dan subretina dapat disingkirkan. Retina kemudian dilekatkan kembali



dengan



menggunakan cairan perfluorocarbon dan kemudain digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade retina. Operasi kedua dibutuhkan untuk membuang minyak silikon. Kelebihan dari teknik ini adalah mampu melokalisasi lubang retina secara tepat, eliminasi kekeruhan media, dan terbukti dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak, penyembuhan langsung traksi vitreus, dan membuang serat-serat pada epiretina dan subretina. Namun, teknik ini membutuhkan peralatan mahal dan tim yang berpengalaman, membuat kekeruhan lensa secara perlahan, kemungkinan dilakukannya operasi yang kedua untuk membuang minyak silikon, dan pemantauan segera setelah operasi.



Gambar 13. Tiga Port Pars Plana Vitrektomi (Ppv)



Penanganan ablasio retina regmatogen dilakukan dengan tindakan pembedahan dengan teknik scleral buckling atau pneumatic retinopexy. Pada kedua teknik ini dilakukan cryotherapy atau laser terlebih dahulu untuk membentuk adhesi antara epitel pigmen



dan sensorik retina. Sedangkan penanganan utama untuk ablasio traksi adalah operasi vitreoretina dan bisa melibatkan vitrektomi, pengangkatan membran, scleral buckling dan injeksi gas atau minyak silikon intraokuler. G. Kompilkasi Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan tangan atau persepsi cahaya adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina yang melibatkan macula. Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih lanjut.” Berdasarkan waktu maka : 1. Komplikasi awal setelah pembedahan: a. Peningkatan TIO b. Glaukoma c. Infeksi d. Ablasio koroid e. Kegagalan pelekatan retina f. Ablasio retina berulang 2. Komplikasi lanjut a. Infeksi b. Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola mata c. Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina) d. Diplopia e. Kesalahan refraksi f. Astigmatisme H. Patofisiologi Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata yang matur dapat



berpisah . Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio regmatogenosa). Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina, misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional). Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio retina eksudatif) Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya robekan retina atau lubang retina. Sering terjadi pada miopia, pada usia lanjut, dan pada mata afakia. Perubahan yang merupakan faktor prediposisi adalah degenerasi retina perifer (degenerasi kisi-kisi/lattice degeration), pencairan sebagian badan kaca yang tetap melekat pada daerah retina tertentu, cedera, dan sebagainya. Perubahan degeneratif retina pada miopia dan usia lanjut juga terjadi di koroid. Sklerosis dan sumbatan pembuluh darah koroid senil akan menyebabkan berkurangnya perdarahan ke retina. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada miopia karena teregangnya dan menipisnya pembuluh darah retina. Perubahan ini terutama terjadi di daerah ekuator, yaitu tempat terjadinya 90% robekan retina. Terjadinya degenerasi retina pada mata miopia 10 sampai 15 tahun lebih awal daripada mata emetropia. Ablasi retina delapan kali lebih sering terjadi pada mata miopia daripada mata emetropia atau hiperopia. Ablasi retina terjadi sampai 4% dari semua mata afakia, yang berarti 100 kali lebih sering daripada mata fakia. Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada mata miopia satu dasawarsa lebih awal daripada mata normal. Depolimerisasi menyebabkan penurunan daya ikat air dari asam hialuron sehingga kerangka badan kaca mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan sebagian dan ablasi badan kaca posterior. Oleh karenanya badan kaca kehilangan konsistensi dan struktur yang mirip agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan retina pada epitel pigmen lagi. Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik perlekatan vireoretina. Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah sekeliling radang atau daerah sklerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi katarak intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan mata bahkan akan lebih kuat lagi. Sekali terjadi robekan retina, cairan akan menyusup di bawah retina sehingga neuroepitel akan terlepas dari epitel pigmen dan koroid.



BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Merupakan tahap awal dari landasan proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu, pengumpulan data, pengelompokan data, dan perumusan diagnosis keperawatan. 1. Identitas pasien Meliputi nama, umur untuk mengetahui angka kejadian pada usia keberapa, jenis kelamin untuk membandingkan angka kejadian antara lak i- laki dan perempuan, pekerjaan untuk mengetahui apakah penderita sering menggunakan tenaga secara berlebihan atau tidak. 2. Riwayat penyakit sekarang Pada pengkajian ini yang perlu dikaji adanya keluhan pada penglihatan seperti penglihatan kabur, melihat kilatan—kilatan kecil, adanya tirai hitam yang menutupi area penglihatan, adanya penurunan tajam penglihatan. 3. Riwayat penyakit dahulu Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien yang berhubungan dengan timbulnya ablasio retina yaitu adanya miopi tinggi, retinopati, trauma pada mata. 4. Riwayat penyakit keluarga Adakah anggota keluarga lain yang mengalami penyakit seperti yang dialami pasien dan miopi tinggi. 5. Riwayat psikososial dan spiritual Bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitar sebelum maupun sesudah sakit. Apakah pasien mengalami kecemasan, rasa takut, kegelisahan karena penyakit yang dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping mekanisme untuk menyelesaikan masalah yang dihadapnya. 6. Pola-pola fungsi kesehatan Masalah yang sering muncul pada pasien dengan post ablasio retina apabila tidak terdapat komplikasi, adalah sebagai berikut : a. Pola persepsi dan tata laksana hidup



Bagaimana persepsi pasien tentang hidup sehat, dan apakah dalam melaksanakan talaksana hidup sehat penderita membutuhkan bantuan orang lain atau tidak. b. Pola tidur dan istirahat Dikaji berapa lama tidur, kebiasaan disaat tidur dan gangguan selama tidur sebelum pelaksanaan operasi dan setelah palaksanaan operasi. Juga dikaji bagaimana pola tidur dan istirahat selama masuk rumah sakit. c. Pola aktifitas dan latihan Apa saja kegiatan sehari-hari pasien sebelum masuk rumah sakit. Juga ditanyakan aktifitas pasien selama di rumah sakit, sebelum dan setelah pelaksanaan operasi. d. Pola hubungan dan peran Bagaimana hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya. Apakah peranan pasien dalam keluarga dan masyarakat. Juga ditanyakan bagaimana hubungan pasien dengan pasien lain dirumah sakit,sebelum dan setelah pelaksanaan operasi. e. Pola persepsi dan konsep diri Bagaimana body image, harga diri, ideal diri, dan identitas diri pasien. Apakah ada perasaan negatif terhadap dirinya. Juga bagaimana pasien menyikapi kondisinya setelah palaksanaan operasi. f. Pola sensori dan kogntif Bagaimana daya penginderaan pasien. Bagaimana cara berpikir dan jalan pikiran pasien. g. Pola penanggulangan stress Bagaimana pasien memecahkan masalah yang dihadapi dan stressor yang paling sering muncul pada pasien. 7. Pemeriksaan a. Status kesehatan umum Bagaimana keadaan penyakit dan tanda-tanda vitalnya. b. Pemeriksaan mata Pemeriksaan pada mata dibagi berdasarkan segmen-segmen, yaitu :



Pemeriksaan segmen anterior : 



Adanya pembengkakan pada palpebrae atau tidak, biasanya pada klien post operasi ablasio retina, palpebraenya akan bengkak.







Keadaan lensa, bila tidak ada konplikasi lain, maka keadaan lensanya adalah jerih.







Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang telah masuk rumah sakit akan melebar sebagai akibat dari pemberian atropin.







Kamera Okuli Anteriornya biasanya dalam.







Bagaimana keadaan konjungtivanya, biasanya pasien post operasi akan mengaami hiperemi pada konjungtivanya.



Pemeriksaan segmen posterior: 



Corpus vitreum ada kelainan atau tidak.







Ada atau tidak pupil syaraf optiknya.



Pemeriksaan diagnostic: 



Visus, untuk mengetahui tajam penglihatan, adakah penurunan atau tidak dan untuk mengetahui sisa penglihatan yang masih ada. Pengujian ini dengan menggunakan kartu snelen yang dibuat sedemikian rupa sehingga huruf tertentu yang dibaca dengan pusat optik mata membentuk sudut 508 untuk jarak tertentu. Pada ablasio retina didapatkan penurunan tajam penglihatan.







Fundus kopi, untuk mengetahui bola mata seperti warna retina, keadaan retina, reflek dan gambaran koroid.



B. Analisa Data Setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian data tersebut dikelompokkan dan dianalisis. Data tersebut dikelompokkan menjadi dua jenis. Yang pertama adalah data subyektif, yaitu data yang diungkapkan oleh pasien dan data obyektif, yaitu data yang didasarkan pada pengamatan penulis. Data tersebut dikelompokkan berdasarkan peranannya dalam menunjang suatu masalah, dimana masalah tersebut berfokus kepada pasien dan respon yang tampak pada pasien. C. Diagnosa Keperawatan 1. gangguan persepsi panca indera (penglihatan) berhubungan dengan ablasio retina



2. resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina 3. resiko cedera berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan 4. Nyeri berhubungan dengan tekanan intraokuler meningkat (TIO) D. Rencana Asuhan Keperawatan No



Diagnosa



Hasil Noc :



Hasil Nic :



Tujuan/Kriteria Evaluasi 1.



Gangguan



Tujuan/Kriteria Evaluasi Mandiri :



persepsi panca Perilaku



kompensasi



indera



penglihatan



(penglihatan)



Indikator :



Definisi :



Mengompensasikan defisit



Perubahan



sensori



dalam jumlah memaksimalkan maupun







penglihatan  dengan







indera



disertai



Catat reaksi pasien terhadap rusaknya penglihatan (misal, depresi, menarik diri, dan menolak kenyataan)







yang diterima yang



Gunakan pencahayaan yang cukup untuk aktivitas yang sedang dilakukan



pola yang tidak rusak



rangsangan



Pantau gejala dari semakin buruknya



Menerima



pasien



reaksi



terhadap



rusaknya penglihatan 



Bantu



pasien



dalam



menetapkan



dengan



menetapkan tujuan yang baru untuk



penyusutan,



belajar bagaimana “melihat” dengan



pelebihan,



indera yang lain.



penyimpangan







atau gangguan tanggapan



Andalkan penglihatan pasien yang tersisa sebagaimana mestinya







Berjalan satu dua langkah di depan



terhadap



pasien, dengan siku pasien berada di



rangsangan



sikumu



tersebut.



Kolaborasi : 



Rujuk



pasien



dengan



masalah



penglihatan ke agen yang sesuai 



Gunakan resep obat mata dengan benar



Pendidikan kesehatan







Beri informasi bagi keluarga/pasien pentingnya menciptakan lingkungan rumah yang aman bagi pasien



2.



Resiko infeksi



Tujuan



Definisi :



Evaluasi :



Peningkatan







/



Kriteria Mandiri : 



Klien bebas dari tanda



sistemik dan lokal



dan gejala infeksi







Monitor hitung granulosit, WBC



Mendeskripsikan







Monitor kerentanan terhadap infeksi



organisme



proses



penularan







Batasi pengunjung



patogen



penyakit, faktor yang







Pertahankan tehnik aspesis pada pasien



resiko 



masuknya



mempengaruhi







yang beresiko 



Pertahankan tehnik isolasi jika perlu



penatalaksanaannya







Ispeksi kondisi luka / insisi bedah



Menunjukkan







Dorong masukan nutrisi yang cukup



untuk







Dorong masukan cairan



timbulnya







Dorong pasien untuk istirahat







Instruksikan pasien untuk minum



penularan



serta



kemampuan mencegah infeksi 



Jumlah leukosit dalam



antibiotik sesuai resep



batas normal 



3.



Monitor tanda dan gejala infeksi



Kolaborasi



Menunjukkan perilaku







Laporkan kecurigaan infeksi



hidup sehat







Laporkan kultur positif



Resiko cidera



Kriteria hasil :



Definisi :







Klien



terbebas



Mandiri : dari  



Lingkungan yang nyaman bagi klen



Suatu kondisi



cidera



individu yang 



Klien mampu mampu 



Pantau lingkungan yang membahayakan



beresiko untuk



menjelaskan



mata



mengalami



mencegah cidera



cidera sebagai 



Menggunakan fasilitas 



Pindahkan benda-benda berbahaya dan



akibat



kesehatan yang ada



beresiko



kondisi lingkungan



dari



cara 







Identifikasi kebutuhan keamanan klien



Gunakan penerangan yang cukup



Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih







yang



mengenali 



Mampu



berhubungan



perubahan



dengan



kesehatan



status



terjangkau Pendidikan kesehatan : 



sumber-simber adaptif



Posisikan tempat tidur agar mudah



Ajarkan klien bagaimana berpindah



dan



untuk meminimalisir trauma 



pertahanan



Ajarkan keluarga tentang faktor resiko yang berkontribusi pada jatuh dan bagaimana mengurangi resiko jatuh



4.



Nyeri



Kriteria hasil :



Definisi :







Mampu



Pain management : mengontrol







Lakukan pengkajian nyeri secara



Pengalaman



nyeri (tahu penyebab



komprehensif



termasuk



sensori



nyeri,



karakteristik,



durasi,



dan



mampu



emosional



menggunakan



yang



nonfarmakologi untuk



tidak



tehnik



menyenangkan



mengurangi



terkait dengan



mencari bantuan) 



kerusakan



Melaporkan



lokasi, frekuensi,



kualitas dan faktor presipitasi 



nyeri,



Tentukan tingkat kebutuhan pasien yang dapat memberikan kenyamanan pada pasien dan rencana keperawatan



bahwa







Menyediakan informasi tentang nyeri,



jaringan aktual



nyeri berkurang dengan



contoh penyebab nyeri, bagaimana



atau potensial,



menggunakan



terjadinya,



atau



manajemen nyeri



ketidaknyamanan



yang



digambarkan dalam



hal







Tanda



vital



dalam







rentang normal



lingkungan



yang



dapat



mempengaruhi nyeri seperti suhu



kerusakan tersebut.



Kontrol



mengantisipasi



ruangan, pencahayaan dan kebisingan 



Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan interpersonal)







Ajarkan



tentang



tehnik



non



farmakologi 



Anjurkan untuk istirahat/tidur yang adekuat untuk mengurangi nyeri



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya lapisan sensoris retina dari lapisan epitel pigmen retina. Dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu ablatio rhegmatogen, ablatio oleh karena tarikan dan ablatio eksudatif. Ablasio retina terjadinya karena adanya robekan retina atau lubang retina, miopia, usia lanjut, dan mata afakia.Gejala terjadi dengan penurunan drastis pandangan dan bayangan benda dapat terlihat seperti titik-titik membentuk jaring laba-laba.Permasalahan ini dapat di atasi dengan penatalaksanaan medis yaitu prosedur laser, pembedahan dan Krioterapi transkleral.



DAFTAR PUSTAKA Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Ed 4 Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi kedua. Jakarta: BPFKUL. 2002.