REFERAT Cardiac Arrest - ROSC Kurnia Halim [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT / NON CASE CARDIAC ARREST



Disusun Oleh : dr. Kurnia Halim



Pembimbing : dr. Tubagus Yuli Rohmawanur, Sp.An



PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMKIT TK. IV 03.07.01 KENCANA SERANG BATCH IV PERIODE FEBRUARI 2021 – FEBRUARI 2022



1



LEMBAR PENGESAHAN



Nama Asal Universitas Judul kasus Diajukan Dipresentasikan



: : : : :



Kurnia Halim Universitas Tarumanagara Cardiac Arrest 19 Maret 2021



Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal



…………………………………..



Mengetahui,



Pembimbing



dr. Tubagus Yuli, Sp.An



2



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmatNya kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi UKP yang di seminarkan dalam rangkaian kegiatan Program Internship Dokter Indonesia. Dalam penulisan laporan kasus ini penulis telah mendapat banyak bantuan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada : 1.



dr. Tubagus Yuli, Sp.An dan dr. Eling Handayani selaku pembimbing dokter internship di Rumkit Tk. IV Kencana Serang.



2.



Rekan – rekan dokter intership yang hadir dalam presentasi kasus.



Penulis menyadari bahwa laporan kasus



yang disusun ini juga tidak luput dari



kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.



Serang, 19 Maret 2021



Penulis



3



BAB I PENDAHULUAN Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.1,2 Henti jantung adalah suatu keadaan bila jantung berhenti berkontraksi dan tidak memompa darah. Henti jantung merupakan kegawatan medik yang paling akut yang dihadapi oleh staf medik yang sering tidak menunjukkan tanda-tanda awal sebelumnya.3 Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali yang merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekuat. 1,2 Menurut



American Heart



Association bahwa



rantai kehidupan



mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali Namun, pada beberapa keadaan tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan henti jantung yang telah berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi kerusakan otak yang permanen.1 Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan pertolongan yang berarti bagi pasien.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Cardiac Arrest Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak.1 Cardiac arrest dikatakan juga sebagai penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.1,2 2.2 Epidemiologi Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari surat kematian beberpa rumah sakit, didapatkan bahwa kejadian henti jantung mendadak terjadi sekitar 15% dari semua kematian di negara-negara Barat (330.000 per tahun di Amerika Serikat). Analisi dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa risikonya tiga kali lebih besar pada laki-laki (12,3%) dibandingkan perempuan (4,2%). Namun perbedaan gender ini menghilang setealh pasien melampaui usia 85 tahun.1,2 2.3 Etiologi Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan listrik di dalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama jantung tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama jantung abnormal, yang biasa kita sebut dengan aritmia. Terdapat banyak tipe dari aritmia, jantung dapat berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak. Ketika aritmia terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi.4,5 Secara garis besar penyebab henti jantung dibagi menjadi 2 yaitu penyebab yang 5



bersumber dari kardiak yang meliputi penyakit arteri koroner, arterosklerosis, penyakit jantung kongenital, inflamasi miokardial dll. Sedangkan yang bersumber dari non kardiak adalah perdarahan, emboli pulmonal, penyakit paru, gangguan elektrolit, perdarahan subarakhnoid, overdosis obat dll. Sedangkan faktor resiko terjadinya henti jantung sendiri meliputi riwayat IMA, penurunan fungsi ventrikel kiri, usia, hipertensi, peningkatan kadar kolesterol, kurangnya aktivitas fisik, perokok, pecandu alkohol, diabetes dll.4 Terdapat juga pembagian yang mengakatan bahwa secara umum henti jantung disebabkan oleh malfungsi sistem kelistrikan jantung yang dimanifestasikan melalui 4 irama jantung yang tidak normal, diantaranya adalah fibrilasi ventrikular (VF), takikardi ventrikel (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistole.5 a.



VT (ventricular tachycardia) tanpa nadi VT tanpa nadi menunjukkan adanya aktifitas kelistrikan yang terorganisasi



pada ventrikel miokard. Ada beberapa faktor pada tingkat organ (misalnya, ketidakseimbangan tekanan otonom jantung), tingkat jaringan (reentry, wave break, and action potential duration alternans), tingkat seluler (triggered activity dan automaticity) dan tingkat subselular (abnormal aktivasi atau deaktivasi saluran ion) yang terlibat dalam terjadinya VT atau VF pada kondisi yang berbeda. Sebuah blok anatomis atau fungsional dalam penjalaran impuls dapat menciptakan sirkuit dengan depan gelombang yang melingkar di sekitarnya dan mengakibatkan VT. Mekanisme lain seperti gelombang istirahat (wave break) dan tabrakan (collisions) juga terlibat dalam menghasilkan VF dari VT. Sementara pada tingkat sel meningkatnya eksitasi atau penurunan cadangan repolarisasi dari kardiomiosit dapat mengakibatkan aktivitas ektopik (triggered activity dan automaticity), yang berkontribusi terhadap VT dan inisiasi VF. Pada tingkat subselular, gangguan intraseluler aliran Ca2+, gangguan intraseluler aliran K+ (terutama pada iskemia), atau mutasi mengakibatkan disfungsi dari saluran 6



natrium (Na+ channelopathy) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya VT dan VF.5 Gambaran EKG dari VT seperti pada gambar 2.1 dibawah



7



Karakteristiknya meliputi6: 1. Frekuensi : 150-200 x/menit 2. Gelombang P: biasanya tenggelam dalam kompleks QRS; bila terlihat, tidak selalu mempunyai pola yang sesuai dengan QRS. Kontraksi ventrikel tidak berhubungan dengan kontraksi atrium. 3. Kompleks QRS: mempunyai konfigurasi yang sama dengan PVC, lebar dan aneh, dengan gelombang T terbalik. Denyut ventrikel dapat bergabung dengan QRS normal, menghasilkan denyut gabungan 4. Hantaran: berasal dari ventrikel, dengan kemungkinan hantaran retrograde ke jaringan penyambung dan atrium 5. Irama: biasanya regular, tetapi dapat juga terjadi takikardi ventrikel irregular



Gambar 1.1 Ritme EKG Ventricular tachicardia6 b.



VF (ventricular fibrillation) VF menunjukkan adanya aktifitas kelistrikan yang tidak terorganisasi.



Selama ventricular fibrillation (VF), ventrikel (bilik jantung lebih rendah) sehingga tidak mampu berdenyut secara normal. Sebaliknya, jantung bergetar sangat cepat dan tidak teratur. Ketika kondisi ini terjadi menyebabkan jantung akan memompa sedikit darah atau tidak ada darah yang mengalir ke tubuh.5



8



Gambaran EKG dari VF seperti pada gambar 2.2 dibawah. Karakteristiknya meliputi6: 1. Irama: Tidak teratur 2. Frekuensi: Tidak dapat dihitung 3. Gelombang P : Tidak ada 4. Interval PR : Tidak ada 5. Gelombang QRS : Tidak dapat dihitung, bergelombang & tidak teratur



Gambar 1.2 Ritme EKG Ventricular fibrilation6 c.



PEA (pulseless electric activity) PEA



menunjukkan



sekumpulan



irama



jantung



yang



heterogen



terorganisasi yang dihubungkan dengan tidak adanya aktifitas mekanik dari ventricular (Neumar et al., 2010). PEA terjadi pada seorang yang memiliki aktivitas kelistrikan jantung terorganisasi namun tidak teraba adanya denyut. Secara fisiologis didefinisikan sebagai suatu depolarisasi elektrik pada jantung dalam kondisi tidak adanya pemendekan miosit jantung yang sinkron. Ada beberapa penyebab termasuk hipoksia yang signifikan, asidosis, hipovolemia berat, tension pneumotoraks, ketidakseimbangan elektrolit, overdosis obat, sepsis, infark miokard besar, emboli paru masif, tamponade jantung, hipoglikemia, hipotermia, dan trauma.



9



PEA merupakan kondisi patofisiologi yang lebih kompleks karena tidak adanya kontraksi mekanik lengkap meskipun kelanjutan dari depolarisasi listrik. Komponen listrik ditandai dengan otomatisasi yang abnormal, biasanya terlihat pada tingkat ventrikel lambat dengan kompleks QRS lebar4,5. d.



Asistole



Asistole menunjukkan tidak adanya aktifitas kelistrikan ventrikel dengan atau tanpa aktifitas kelistrikan atrial.5



Gambar 1.3 Ritme EKG Asistole6 Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik (perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan yang mempengaruhi jantung, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan. Penyebab



lain



cardiac



arrest



adalah



tamponade



jantung



dan



tension



pneumothorax.4,5 Selain itu juga disebabkan adanya komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, renjatan dan edema paru, emboli paru (karena adanya penyumbatan aliran darah paru), aneurisma disekans (karena kehilangan darah intravaskular), hipoksia dan asidosis (karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat).4,5



10



2.4 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran; napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas); tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri; dan tidak ada denyut jantung. Henti jantung dapat datang secara tiba–tiba dan berat, sehingga penderita tidak sadar apa yang dialaminya. Akan tetapi tidak jarang gejala henti jantung berawal dari yang ringan, berupa nyeri ringan atau ketidaknyamanan pada dada. Korban yang mengalaminya sering tidak menyadari ia mendapat henti jantung dan menunggu lama sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari pertolongan. Di bawah ini adalah tanda dan gejala yang sering muncul pada henti jantung7: Tanda-tanda cardiac arrest menurut yaitu7: a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara, tepukan di pundak ataupun cubitan. b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan pernafasan dibuka. c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis). 2.5 Diagnosa Serangan jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak adanya pulsasi terutama pada arteri karotis . Dalam kebanyakan kasus pulsasi karotis adalah standar untuk mendiagnosis serangan jantung, tetapi kurangnya pulsasi (khususnya di pulsasi perifer) mungkin diakibatkan oleh kondisi lain (misalnya shock).4



11



2.6 Penatalaksanaan Henti jantung (Cardiac arrest) merupakan keadaan yang berbahaya yang dapat menyebabkan kematian. Tujuh puluh persen dari pasien henti jantung yang berada diluar rumah sakit (Out-of-hospital cardiac arrests/OHCAs) terjadi di rumah, dan sekitar 50% tidak mendapat pertolongan atau tidak diketahui. Pasien yang mengalami OHCA mengandalkan masyarakat untuk memberi pertolongan. Prognosis OHCA ini menjadi sangat buruk, dimana hanya 10.8% dari pasien dewasa yang mengalami henti jantung tanpa kasus trauma yang mendapatkan penatalaksanaan resusitasi dari tim penyedia layanan medis darurat (Emergency Medical Services/EMS) dan bertahan hingga dibawa ke rumah sakit.1 Berbeda dengan OHCAs, In-hospital cardiac arrest (IHCA) atau henti jantung yang berada di rumah sakit memiliki prognosis yang lebih baik yakni 22.3% hingga 25.5% dari semua kasus yang dapat bertahan.1 BLS (Basic Life Support) merupakan prinsip dasar untuk menghentikan serta menyelamatkan seseorang dari keadaan henti jantung. Aspek-aspek yang menjadi dasar dari BLS ini yaitu pengenalan segera keadaan henti jantung, dan aktivasi system respon emergensi, early CPR (Cardiopulmonary Resusication), defibrilasi menggunakan AED (Automated External Defibrillator).1,8



12



2.6.1



Resusitasi Jantung Paru (RJP)



Cardiopulmonary resuscitation (CPR) / Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan. BLS membebaskan jalan napas, diikuti dengan ventilasi bantuan dan ketersediaan dari sirkulasi. Tujuan utama resusitasi adalah untuk mengembalikan denyut jantung dan mengembalikan fungsi sirkulasi, serta memberikan bantuan dasar untuk mempertahankan hidup. Umumnya pasien yang memerlukan resusitasi jantung paru ditemukan dalam tiga keaadaan yaitu1,8: 1.



Tanpa denyutan nadi tapi masih ada pernapasan



2.



Adanya denyut nadi tapi tanpa pernapasan



3.



Tanpa denyut nadi dan pernapasan



13



1) Henti Jantung Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung. 3,6 Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.3,6 Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali 3,6



14



a. Fase RJP Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:6 1) Fase 1 Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar. Terdiri dari : C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru. A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka. B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat. 2) Fase 2 Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan : D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan. E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes. F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. 3) Fase 3 Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support). G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen. H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.



15



H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang. 6 Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2015, berbanding dengan 2010. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut :1 1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan pernafasan. 2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS 3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak terlatih 4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum breathing. 5) Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga terdapat sirkulasi spontan. 6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR. 7) Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers. 8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan. 9) Rekomendasi mengandali



untuk chest



mempunyai compression,



pasukan airway



yang



serentak



management,rescue



breathing, rhythm detection dan shock.



Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang 16



tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan memulakan CPR, ini akan mengurangi



survival rate korban tersebut. Chest



compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam CPR kerana perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.1 Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan “chain of survival” pada kondisi HCA maupun OHCA.1



17



Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA1



Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien dewasa.



18



Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa1



Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1) Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.



19



Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus



memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.1 2) Resusitasi Jantung Paru dini Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah: 



Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali / menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya interval kompresi dada.1







Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas (remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.1







Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:



20



Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa 1







Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah setiap kompresi.1







Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.1







Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.1







Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.1 21







Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal, Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan1







Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit. Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan



pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.1 RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.1 3) Alat defibrilasi otomatis AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba, lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock diberikan bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang, atau korban mulai bergerak.1



22



4) Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan ini seperti yang tercantum pada tabel 2.



23



Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi1



Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi



menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.1



24



Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang Penolong1



25



Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang Penolong1



26



27



2.6.2 Terapi Obat Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat antiarrhythmic mungkindapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut dapat digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, untuk menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut.9 Setiap agen memiliki indikasi khusus, namun kebanyakan berupa inotropic negatif - jelas tidak diinginkan dalam tindakan resusitasi. Lignocaine, bretylium, amiodarone dan magnesium adalah agen yang paling sering digunakan. Terdapat kurangnya bukti berbasis manusia mengenai efektivitas obat-obat tersebut, mencerminkan kesulitan dalam melakukan studi klinis yang berarti dalam tindakan resusitasi.9 1. Penting : a. Adrenalin : Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan pada pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan disaksikan. Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa dan beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor alfa adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat memberikan perbaikan klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan dengan pemberian dengan dosis standar.4 Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang kembali setiap 2 siklus berakhir). Dosis yang diberikan untuk dewasa 28



adalah 0.5-1.0 mg secara intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada anakanak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera mungkin. Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu dikombinasikan dengan vasopressin.9,10 b.



Amiodaron Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik. farmakologik



Amiodaron yang



sendiri



kompleks.



memiliki Penelitian



farmakokinetik menunjukkan



dan bahwa



pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian vasopressor dan terapi defibrillator.9 Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam.9 29



Pemberian amiodaron ini juga dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron



memiliki



efek



hipotensi



dan bradikardi,



sehingga



pemberiannya perlu diperhatikan.9,10 c. Natrium Bikarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mmol/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan hyperkalemia, terapi asidosis metabolik yang sudah terdokumentasi, terapi pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protracted arrest (lebih dari 15 menit). Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah alkalosis



metabolik,



hypokalemia,



hypernatremia,



hyperosmolar.



Pemberian natrium bikarbonat kontraindikasi pada kasus asidosis intraseluler karena dapat semakin memperparah asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium bikarbonat masuk kedalam sel. Natrium bikarbonat dan adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan bersamaan karena dapat saling menginaktivasi, mengendap, dan menyumbat jalur intravena.9,10 d. Sulfat Atropin : Sulfas atropine meningkatkan konduksi atrioventricular dan automatisitas nodus sinus dengan efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus bradikardia yang disertai dengan hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala yang berhubungan dengan iskemia miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai terapi pada seconddegree heart block, third-degree heart block, dan irama idioventricular



30



lambat. Namun Atropin tidak  lagi  direkomendasikan untuk digunakan  rutin dalam pengelolaan pulseless electrical activity (PEA)/asistol. Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. 9 Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa adalah 0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3- 5 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus takikardia setelah resusitasi.9 e. Lidokain: Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang biasanya digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Pemberian lidokain tidak dapat meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak berhubungan dengan perbaikan klinis pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan amiodaron, efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam pencapaian ROSC pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon terhadap RJP, defibrilasi, dan vasopressor Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis awal diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi. Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi, dan asistol.9



31



f. Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel. Magnesium tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien dengan henti jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga pemberian magnesium tidak direkomendasikan. 11 Magnesium diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia, henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes. 9,11 Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas.11 g. Kalsium Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal. Kalsium



biasanya



diberikan



pada



pasien



dengan



hiperkalemia,



hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker. 11 Kalsium sangat



diperlukan



pada



kasus



henti



jantung



karena



disosiasi



elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.10,11 Sumber lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan angka survival rate di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.9, Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.11



32



BAB III KESIMPULAN Henti Jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah



jantung untuk



memberi kebutuhan



oksigen ke otak dan organ vital lainnya Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%). Pengiriman O2 hemoglobin



ke otak



tergantung pada curah



(Hb), saturasi



jantung,



kadar



Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.



Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali. Penatalaksanaan dari henti jantung (cardiac arrest) ini adalah resusitasi jantung paru dimana tujuan utama resusitasi adalah untuk mengembalikan denyut jantung dan mengembalikan fungsi sirkulasi serta memberikan bantuan dasar untuk mempertahankan hidup pasien dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart Assosiation.



Amerikan Heart Assosiation merevisi



pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2015. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khusus untuk petugas kesehatan.



33



DAFTAR PUSTAKA 1. AHA. (2015). Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC 2. CPR Guidelines, Mary Fran Hazinski, editor, American Heart Association, 2010 3. Smith, K. K., Gilcreast, D., & Pierce, K. (2008). Evaluation of staff’s retention of ACLS and BLS skills. Resuscitation, 78(1), 59–65. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2008.02.007 4. Hollenberg, J. (2008). OUT-OF-HOSPITAL CARDIAC ARREST A study on factorsassociated with cardiopulmonary rescucitation, earlydefibrilation and survival. Elanders, Stockholm. 5. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W., & McNally, B. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122(18 Suppl 3),S729-67. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.110.970988 6. Brunner, L., Suddarth, D., & Smeltzer, S. (2010). Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 7. Cameron, P., Brown, A., & Little, M. (2015). Textbook of Adult Emergency Medicine (4th ed.). London: Churchill Livingstone Elsevier. 8. Mäkinen, M., Niemi-Murola, L., Kaila, M., & Castrén, M. (2009). Nurses’ attitudes towards resuscitation and national resuscitation guidelines-Nurses hesitate to start CPR-D. Resuscitation, 80(12), 1399–1404. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2009.08.025 9. Paradis N, Halperin HR, Kern KB. et al. Cardiac Arrest : The Science and Practice of Resuscitation Medicine, 2nd Edition, Cambridge, 2007 10. Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New York: Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013. 11. Australian Resuscitation Council. ANZCOR Guideline 11.5 – Medications in Adult Cardiac Arrest. 2016



34



35