Referat Diabetes Melitus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT “DIABETES MELITUS”



DISUSUN OLEH : Jenia Andromi



1102010



Novi Septiani



1102010210



PEMBIMBING : dr. Henny K Koesna, Sp.PD dr. Seno M Kamil, Sp.PD dr. Dinny G Prihadi, Sp.PD. M.Kes



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSUD SOREANG OKTOBER 2014 1



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa didalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Diabetes melitus suatu kelompok penyakit metabolik dengan kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam 4. WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawai akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insiden dan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Berdasarkan data badan pusat statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi Diabetes Mellitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural 7,2% maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetes didaerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar,dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa Diabetes Melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas sumberdaya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah sebaiknya ikut serta dalam usaha penaggulangan Diabetes Mellitus,khususnya dalam upaya pencegahan 6.



BAB 2



2



Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6. 2.2 Epidemiologi Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari 6 .



3



2.3 Klasifikasi Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, yaitu : 1. Diabetes Melitus Tipe 1 DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup 2 . 2. Diabetes Melitus Tipe 2 DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun 2. 3. Diabetes Melitus Tipe lain a. Defek genetik pada fungsi sel beta b. Defek genetik pada kerja insulin c. Penyakit eksokrin pankreas d. Endokrinopati e. Diinduksi obat atau zat kimia f. Infeksi g. Imunologi 2 . 4. DM Gestasional



2.3 Faktor Risiko Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : - Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus - Umur.Risiko untuk menderita prediabetes meningkat seiring dengan meningkatnya usia. - Riwayat pernah menderita Diabetes Mellitus gestasional



4



-



Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding bayi yang lahir dengan BB normal.



Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : -



Berat badan lebih



-



Kurang aktifitas fisik



-



Hipertensi



-



Dislipidemia



-



Diet tak sehat. Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2



Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes : - Penderita polycictic ovary syndrome (PCOS) - Penderita sindroma metabolik 6 .



2.4 Etiologi Diabetes Tipe 2 Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa 3. 2.5 Patofisiologi 2.5.1 Diabetes melitus tipe 1 Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi padasel beta pankreas karena 5



mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I terjadi lebih sering pada pembawaantigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini terdapat disposisi genetik. Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada anak-anak 5. 2.5.2 Diabetes Melitus tipe 2 Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang berkurang terhadap insulin.Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak seimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasiasam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan sensitifitas insulin.Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak 5.



6



2.5.3 Diabetes tipe lain Defisiensi insulin relatif juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi genetik, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pankreatitis dengan kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di selbeta. Diabetes mellitus ditingkatkan oleh



peningkatan



pelepasan



hormonantagonis,



diantaranya



somatotropin



(pada



akromegali), glukokortikoid (pada penyakitCushingatau stress), epinefrin (pada stress), progestogen dan kariomamotropin (padakehamilan), ACTH, hormon tiroid dan glukagon. Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormon yang telah disebutkan di atas sehingga



meningkatkan



manifestasi



diabetes



mellitus.



Somatostatinoma



dapat



menyebabkan diabetes karena somatostatin yang diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin 5 . 2.6 Manifestasi Klinis Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 2 . 2.7 Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,ataupun kapiler tetap dapat



dipergunakan dengan memperhatikan angka-



angkakriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer 6. 2.7.1. Diagnosis diabetes melitus Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: 



Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 7







Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita 2.



Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL denganadanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 gr glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaaninimemiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulangulangdandalam



praktek



sangat



jarang



dilakukankarena



membutuhkan



persiapan



khusus.Apabilahasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkanke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atauglukosa darah puasa terganggu (GDPT) 2. Keterangan: 1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGOdidapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). 2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL 2.



8



Tabel 3. Kriteria diagnosis DM



Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaanpenyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkangejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untukmengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif 2. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien denganDiabetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT danGDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari 2. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar 2.



9



Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis diabetes melitus.



Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untukmenentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosadarah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosisdiabetes melitus, TGT, dan GDPT 2.



10



2.8 Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes.



2.8.1 Tujuan penatalaksanaan 



Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.







Jangka



panjang:



mencegah



dan



menghambat



progresivitas



penyulit



mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. 



Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku 2.



Pilar penatalaksanaan DM 1. Edukasi 2. Terapi gizi medis 3. Latihan jasmani 4. Intervensi farmakologis



Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu



(2-4



minggu).



Apabila



kadar



glukosa



darah



belum



mencapai



sasaran,



dilakukanIntervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan 2.



a.



Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk



dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai haltentang edukasi dibahas lebih 11



mendalam di bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus 2.



b. Terapi Nutrisi Medis 



Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).







Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.







Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin 2.



A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat 



Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.







Pembatasan karbohidrat total 250 mg/dl. Kadar glukosa mencerminkan derajat kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran darah ginjal berkurang dan menurunnya ekskresi glukosa. Diuresis osmotik akibat hiperglikemia menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi, dan hiperosmolaritas (umumnya sampai 340 mOsm/kg) 2. 2. Keton Tiga benda keton utama adalah : betahidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Kadar keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat sampai 30 mM/L (nilai normal adalah sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat, namun berbeda dengan keton lainnya aseton tidak berperan dalam terjadinya asidosis.



20



Betahidroksibutirat dan asetoasetat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD ringan) sampai 15:1 (KAD berat) 2. 3. Asidosis. Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di bawah 15 mEq/l dan pH arteri di



bawah



7,3. Keadaan ini terutama disebabkan



oleh penumpukan



betahidroksibutirat dan asetoasetat di dalam serum 2. 4. Elektrolit. Kadar natrium serum dapat rendah, normal, atau tinggi. Hiperglikemia menyebabkan masuknya cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Hal ini menyebabkan hiponatremia walaupun



terjadi



dehidrasi



dan



hiperosmolaritas.



Hipertrigliseridemia



dapat



juga



menyebabkan menurunnya kadar natrium serum. Kadar kalium serum juga dapat rendah, normal, dan tinggi. Kadar kalium mencerminkan perpindahan kalium dari sel akibat asidosis dan derajat kontraksi intravaskuler. Karena hal di atas dan hal lain, kadar kalium yang normal atau tinggi tidak mencerminkan defisit kalium tubuh total sesungguhnya yang terjadi sekunder akibat diuresis osmotik yang terus menerus. Kadar kalium yang rendah pada awal pemeriksaan harus dikelola dengan cepat. Kadar fosfat serum dapat normal pada saat masuk rumah sakit. Seperti halnya kadar kalium kadar fosfat tidak mencerminkan defisit tubuh yang sesungguhnya, walaupun terjadi perpindahan fosfat intraseluler ke ruang ekstraseluler, sebagai bagian dari keadaan katabolik. Fosfat kemudian hilang melalui urin akibat diuresis osmotik 2. Lain-lain Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30 mg/dl. Lekosit sering meningkat setinggi 15.000-20.000/ml pada KAD, maka dari itu tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya bukti adanya infeksi. Amilase serum dapat meningkat. Penyebabnya tidak diketahui, mungkin berasal dari pankreas (namun tidak terbukti ada pankreatitis) atau kelenjar ludah. Transaminase juga meningkat 2.



21



KRITERIA DIAGNOSIS Penderita dapat didiagnosis sebagai KAD bila terdapat tanda dan gejala seperti pada kriteria berikut ini : 



Klinis : riwayat diabetes melitus sebelumnya, kesadaran menurun, napas cepat dan dalam (kussmaul), dan tanda-tanda dehidrasi.







Faktor pencetus yang biasa menyertai, misalnya : infeksi akut, infark miokard akut, stroke, dan sebagainya.







Laboratorium : - hiperglikemia (glukosa darah > 250 mg/dl). - asodosis (pH < 7,3, bikarbonat < 15 mEq/l). - ketosis (ketonuria dan ketonemia) 6.



Penatalaksanaan : Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi : - Koreksi terhadap : o Dehidrasi o Hiperglikemi o Gangguan keseimbangan elektrolit - Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus - Follow up yang ketat



Terapi cairan : Pasien dewasa : Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil dan dapat menerima suplemen Kalium oral 8.



22



Terapi Insulin : Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ ). Pada pasien pediatric, diberikan infus RL berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam. Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (36 UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi. Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi. Pengukuran langsung terhadap b hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama pengobatan, b-OHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena. Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri. Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD. Pada



KAD



ringan,



RI



dapat



diberikan



baik



secara



subkutan



maupun



intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat. Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau intramuskuler 8.



23



Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi : - Penurunan kadar glukosa plasma - Bicarbonat serum



18 mEq/l



- pH darah vena > 7,3 Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa darah³ 300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan jadwal dosis multiple menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma 8.



Kalium : Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas normal (4 – 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l, untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan 8.



Bikarbonat : Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 – 7.1, yang diberi terapi bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH darah.Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana pH darah menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan 50 mmol natrium bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi 24



kalium dalam cairan infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya, pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih < > 155 mEq/l 8.



Fosfat : Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi prospektif tidak menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat pada penderita KAD. Namun untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan kadar fosfat serum 8.



25



26



5.



Koma Hiperosmolar Non Ketotik Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%



tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedangkan pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia 2.



Kriteria diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah : ·



Hiperglikemia > 600 mg%



·



Osmolalitas serum > 350 mOsm/ kg



·



pH > 7,3



·



Bikarbonat serum > 15 mEq/L



·



Anioan gap normal



Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik : Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik sangat membantu untuk membedakan dengan ketoasidosis diabetic. Kadar glukosa darah > 600 mg%, aseton negative, dan beberapa tambahan yang perlu diperhatikan : adanya hipertermia, hiperkalemia, azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN): kreatinin = 30 : 1 (normal 10:1), bikarbonat serum > 17,4 mEq/l. (Wahyu, 2012) Bila pemeriksaan osmolalitas serum belum dapat dilakukan, maka dapat dipergunakan formula :



27



28



Tabel 1 : Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik Ketoasidosis Diabetik



Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik



Glukosa Plasma (mg/dl) pH arteri



> 250



> 250



> 250



> 600



7,25-7,30



7,00-



> 7,30



320



(mEq/l)



Osmolalitas



serum Bervariasi



efektif (mOsm/kg) Anion gap



> 10



> 12



>12



100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2 jam ,dengan protocol sesuai diatas ,bila GDs >200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 % 6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap 4 jam ,dengan protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 % 7) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut ,slinding scale setiap 6 jam : GD ---- RI ( mg/dL ) (unit, subkutan ) 350 20



8) bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti ; adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila penyebabnya insulin ) 9) bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mgper 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan kesadaran 8. 30



a.



Penyulit menahun



1.



Mikroangiopati Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis 



Retinopati Diabetik Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.



Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik proliferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan retina 3. 



Nefropati Diabetik Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada



minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney disease 3. 



Neuropati diabetik Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi



distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah 31



diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun 2 .



2.



Makroangiopati 



Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama



untuk merekayangmempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM 



Pembuluh darah tepi Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi



dengangejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul 2.



32



DAFTAR PUSTAKA



1. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196. 2. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 : PERKENI 2011. 3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi KonsepKlinis Proses-proses PenyakitEdisi 6. Jakarta: EGC. 2005. 4. Rani Aziz. A, dkk. Panduan Pelayanan Medik,edisi II,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2006. Hal 9-14. 5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas BerwarnaPatofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 6. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: IPD FKUI. 2006. 7. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JilidIII, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia. 8. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920.



33