Referat Diabetes Melitus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT DIABETES MELITUS



DISUSUN OLEH Tommy Darmasaputra



( 112015185 )



PEMBIMBING Dr. Suryantini, Sp.PD



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 16 MEI –30 JULI 2016 RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN UDARA ESNAWAN ANTARIKSA 1



Bab I Pendahuluan



Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya.1 Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut. World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Berdasarkan Diabetes Federation 2014, Indonesia menempati posisi ke-5 negara dengan jumlah diabetes tertinggi, yakni 9,1 juta jiwa dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Dengan fakta tersebut, Diabetes Federation memproyeksikan pada 2030, terdapat sekitar 21 juta penduduk Indonesia yang menderita diabetes. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang merupakan penyandang diabetes tipe 1 di seluruh Indonesia. “Data ini diperkirakan merupakan puncak gunung es sehingga jumlah penderita yang sesungguhnya di populasi tentu lebih banyak lagi yang masih belum terdeteksi.2 Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional. Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik 2



mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan pembuluh darah tungkai bawah.3 Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti. Tujuan a



Tujuan Umum Tujuan umum digunakan untuk membahas tentang penyakit diabetes mellitus secara



menyeluruh. b Tujuan Khusus 1 Mengetahui tentang penyakit diabetes mellitus. 2 Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit diabetes mellitus. 3 Mengetahui penanganan dan pencegahan yang tepat dari penyakit diabetes mellitus. Metode Pembahasan diambil dari berbagai tinjauan pustaka baik dari buku teks atau jurnal.



Bab II 3



Tinjauan Pustaka



1. DEFINISI Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Menurut WHO, diabetes melitus adalah penyakit kronis dimana terdapat defisiensi terhadap produksi insulin yang disebabkan oleh faktor turunan atau yang didapat. Defisiensi tersebut mengakibatkan konsentrasi dari glukosa dalam darah untuk meningkat yang bisa merusak sistem organ dalam tubuh kita, terutama pembuluh darah dan saraf. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.1 2. KLASIFIKASI 1. Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes tipe 1 (sebelumnya dikenal sebagai insulin-dependent) di mana pankreas gagal dalam memproduksi insulin, yang penting untuk kelangsungan hidup. Tipe 1 berkembang paling sering pada anak-anak dan remaja.4. Terjadi destruksi sel , umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Terjadi melalui proses imunologik atau idiopatik. Kekerapan di negara barat  10%, di negara tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran klinis biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.3 2. Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes tipe 2 (dahulu disebut non-insulin-dependent) yang dihasilkan dari ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan baik terhadap aksi insulin yang dihasilkan oleh 4



pankreas. Tipe 2 diabetes jauh lebih umum dan mewakili sekitar 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia. Tipe 2 sering terjadi pada orang dewasa. 4 DM tipe 2 merupakan jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 tahun.3 3. Diabetes melitus tipe lain A. Defek genetik fungsi sel  - Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α (MODY 1) - Glukokinase (MODY 2) - HNF-1α (MODY 3) - Insulin promoter factor (IPF-1 ; MODY 4) - HNF-1 (MODY 5) - Neuro D1 (MODY 6) - DNA Mitokondria - Subunit dari ATP-sensitive potassium channel - Proinsulin ata`u insulin - Pengatur pancreatic islet yang lain seperti KLF11, PAX4, BLK, GATA4, GATA 6, SLC 2A2 (GLUT2), RFX6, GLIS3. B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, Leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, sindrom lipodistrofi. C. Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulus, mutase pada karoboksil ester lipase. D. Endokrinopati: akromegali, sindroma cushing, glukagonoma, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma. E. Karena obat atau zat kimia: glukokortikoid, vacor, pentamidin, asam nikotinat, diazoxid, -adrenergic agonis, tiazid, kalsineurin, dan penghambar mTOR, hidantoin, asparaginase, α-interferon, protease inhibitor, antipsychotics, epinefrin..



F. Infeksi: rubella kongenital, CMV, coxackievirus. G. Imunologi (jarang): sindrom ‘Stiff-person’, antibody anti reseptor insulin. H. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM (sindrom Wolfram’s, Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, ataxia Friedreich, chorea Hungtinton, sindrom Laurence Moon Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi).1,3 4. Diabetes melitus gestasional Diabetes yang mulai timbul atau mulai diketahui selama kehamilan.3 2. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin



5



disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.1 Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembunggelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.1 Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.1 Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca



6



sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.1 Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel



tidak hanya



disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor



7



yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.1



8



Exocytosis secretory



Dinamika Sekresi Insulin 9



Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.1 Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.1 Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar



10



dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.1 Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.1



11



IGT



Basal



Second Phase



Type 2DM



First-Phase                 0              5             10            15            20           25         30  ( minute )   Intravenous glucose stimulation



Insulin Secretion



Gambar 2. Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta.1



12



Aksi Insulin Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.1 Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.1 Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.1



13



1. binding ke reseptor,



2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa



meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali kesuasana semula. Gambar 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan perifer.1 Efek Metabolisme dari Insulin Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.1 Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP)



14



yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum).1 Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin sensitizer ).1 Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).1 Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.1 Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama 15



mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.1 Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.1



Patogenesis Diabetes melitus tipe 1 DM tipe 1 merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan imunologi, yang ujungnya menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dan defisiensi insulin. DM tipe 1 dapat muncul pada umur berapapun, paling banyak berkembang sebelum umur 20 tahun. Insiden DM tipe 1 meningkat 3-4% per tahun untuk alasan yang tidak tentu. Diabetes melitus Tipe 1 adalah hasil dari kehancuran sel beta secara autoimun dan pada sebagian besar, tapi tidak semua, individu memiliki bukti adanya reaksi autoimun. Individu dengan kerentanan genetik memiliki massa sel beta yang normal pada waktu lahir namun mulai kehilangan sel beta disebabkan karena kerusakan autoimun yang terjadi selama bulan-bulan hingga tahun. Proses autoimun diduga dipicu oleh stimulus infeksi atau lingkungan dan didukung oleh molekul spesifik sel-beta. Pada mayoritas kasus, penanda imunologi muncul setelah terjadi peristiwa yang memicu, tetapi sebelum diabetes terlihat secara klinis. Massa sel beta kemudian mulai menurun, dan sekresi insulin mengalami gangguan, meskipun toleransi glukosa normal 16



masih dipertahankan. Tingkat penurunan sel beta bervariasi pada masing-masing individu, dengan beberapa pasien secara cepat berkembang menjadi diabetes secara klinis dan beberapa berlangsung secara lambat. Ciri atau gejala diabetes tidak terlihat dengan jelas sampai sebagian besar sel beta rusak (70 - 80%). Pada titik ini, sel beta yang tersisa tidak cukup lagi untuk mempertahankan tolerasia glukosa. Kejadian yang memicu transisi dari intoleransi glukosa menjadi diabetes yang nyata sering dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan insulin, misal terjadi selama infeksi atau pubertas.



Gambar 4. Kurva massa sel beta terhadap umur.3 Patogenesis Diabetes melitus tipe 2 Diabetes tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hati yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas, khususnya visceral atau pusat, sangat umum pada diabetes melitus tipe 2. Pada tahap awal kelainan, toleransi glukosa masih dalam batas normal, meskipun ada resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya dengan mengeluarkan insulin lebih banyak. Seiring dengan peningkatan resistensi insulin dan kompensasi lewat hiperinsulinemia, pankreas pada individu tertentu



tidak



dapat



mempertahankan



keadaan



hyperinsulinemic.



Toleransi



Glukosa



terganggu(TGT), ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, dan kemudian memburuk. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan diabetes dengan gambaran hiperglikemia pada saat puasa.4



17



Gambar 5. Kurva sensitivitas insulin terhadap sekresi insulin.3



3. DIAGNOSIS DIABETES MELITUS Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnosis DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. (Serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive).1 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM.1 Gejala khas dari DM terdiri dari: 



Polidipsia







Poliuria 18







Polifagia







Berat badan turun tanpa sebab yang jelas



Gejala tidak khas DM diantaranya



Lemas







Kesemutan







Luka yang sulit sembuh







Gatal







Mata kabur







Disfungsi ereksi(pria)







Prruritus vulva (wanita)







Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal 1 kali saja cukup untuk menegakan diagnosis







Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal



Kriteria diagnosis DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl atau 2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (puasa sedikitnya 8 jam) atau 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (mengunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa yang dilarutkan didalam air. Cara pemeriksaan TTGO menurut WHO tahun 1994:1 



Tiga hari sebelumnya makan seperti biasa.







Kegiatan jasmani cukup, tidak terlalu banyak.







Puasa semalam, selama 10-12 jam.







Glukosa darah puasa diperiksa.







Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum selama / dalam waktu 5 menit.



19







Diperiksa glukosa darah 1(satu) jam dan 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.



Selama pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.3 Interpretasi dari pemeriksaan glukosa darah menurut American Diabetes Association: Glukosa plasma



Glukosa plasma 2



puasa(mg/dl)



jam TTGO(mg/dl)



Normal



200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney disease.3



3.



Neuropati diabetic 30



Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.3 



Rentan infeksi Adanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah.



Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi. Infeksi yang banyak terjadi antara lain:3     



Infeksi saluran kemih (ISK) Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru Infeksi kulit: furunkel, abses Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi Infeksi telinga: otitis eksterna maligna ISK merupakan infeksi yang sering terjadi dan lebih sulit dikendalikan. Dapat



mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman penyebab yang sering menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan Klebsiella. Infeksi jamur spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses renal. Pruritus vagina adalah manifestasi yang sering terjadi akibat infeksi jamur vagina. Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh: streptokokus, stafilokokus, dan bakteri batang gram negatif. Infeksi jamur pada pernapasan oleh aspergillosis, dan mucormycosis juga sering terjadi. Penyandang diabetes lebih rentan terjangkit TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada, memperlihatkan pada 70% penyandang diabetes terdapat lesi paru-paru bawah dan kavitasi. Pada penyandang diabetes juga sering disertai dengan adanya resistensi obat-obat Tuberkulosis. Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya 31



melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Angka kejadian periodontitis meningkat pada penyandang diabetes dan sering mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga kebersihan rongga mulut dengan baik merupakan hal yang penting untuk mencegah komplikasi rongga mulut. Pada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering kali tidak terdeteksi sebagai penyebab infeksi. 



Kaki diabetic







Disfungsi ereksi



6. PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS Kriteria pengendalian Diabetes Melitus:1 BAIK Glukosa darah(mg/dl) -puasa -2 jam posrandial HbA1.c(%) Kol. Total(mg/dl) Kol.LDL(mg/dl) Kol.HDL(mg/d;) Triglserida(mg/dl) Tekanan Darah



80-100 80-144 10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup.1 Selain itu terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasein DM yang memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan). Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DM Tipe1 atau DM Tipe 2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat 42



dihentikan. Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan mengetahui mekanisme tersebut, maka telah dipahami bahwa hak ikat pengobatan DM adalah menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan.1 Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang seusai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal, selain insulin prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glukosa darah basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut turun.1



Gambar 12. Inisial terapi insulin injeksi harian multipel pada pasien DM Tipe 1



Gambar 13. Regimen suntikan insulin multipel 43



Gambar 14. Algortima pengelolaan DM Tipe 2.



44



Bab III Penutup



Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional . Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia . Patogenesis diabetes mellitus memlibatkan faktor –faktor genetik, biomolekuler, imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes mellitus memerlukan penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan kematian dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti penyakit makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya. Diagnosa dini sangatlah penting dalam menentukan prognosis. Karakteristik yang dapat diambil sebagai tolak ukur dalam mendiagnosis adalah ditemukannya hasil gula darah yangg abnormal yang diperiksa beberapa kali kecuali disertai gejala klinis yang klasik. Penyakit diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh dokter serta petugas medis lainnya. Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan kadar gula darah, melakukan perawatan luka dan mengatur diet makanan yang harus dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar gula darah. Selain itu dokter juga berperan secara preventif yaitu dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes melitus untuk meningkatkan pemahaman pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi DM akut dan kronik frekuensinya masih sangat tinggi di Indonesia, karena kesadaran/ kepatuhan penderita masih rendah, tenaga medis yang belum memadai dalam pencegahan primer, sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS belum memadai dan merata. Prinsip penatalaksanaan dari DM adalah mencapai dan mempertahankan kadar gula darah normal. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran kadar glukosa darah belum juga tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani. 45



Daftar Pustaka 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.. Jilid III. Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1880-95. 2. Persi. Prevalensi Diabetes Mellitus di Indonesia. 2008. Diunduh dari http: //pdpersi.co.id 3. Kasper DL, Hauser SL, Lameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. McGraw Hill Education; 2015. p.2399 - 430. 4. WHO. Diabetes factsheets. Dikutip 11 Juli 2016. Diundur hari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ 5. Ari S. Eckman, MD, Division of Endocrinology and Metabolism, Johns Hopkins School of Medicine, Baltimore, MD.Insulin C-peptide. Medline plus. Dikutip 3 December 2010. Dapat di akses di : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003701.htm 6. Executive Summary: Standards of Medical Care in Diabetes - 2010. American Diabetes Association.



Dikutip



11



Juli



2016.



Diunduh



dari



:



http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/S4.extract 7. Boon, Nicholas AW, Brian. Davidson’s Principles and Practice of Medicine. 20th Edition. Elsevier; 2006. 8. Price S. Wilson L. Patofisologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005.



46