Referat Diabetes Melitus Tipe 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3 BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 21 BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 24 BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 30 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 31



BAB I PENDAHULUAN Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2) merupakan suatu kelompok peyakit metabolik dengan ciri khas hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1,2 Resistensi insulin adalah salah satu penyebab DM tipe 2 dimana tubuh tidak dapat merespon insulin. Keadaan insulin tidak bekerja dengan baik terjadi terus menerus dapat meningkatkan kadar gula darah yang diikuti dengan pelepasan insulin lebih banyak lagi. Hal ini dapat menguras tenaga pankreas dalam memproduksi insulin sehingga semakin lama insulin yang dihasilkan semakin sedikit dan akan menyebabkan kadar gula darah semakin tinggi (hiperglikemia).3 Diabetes menjadi masalah kesehatan utama yang telah mencapai kekhawatiran. Sekarang ini, hampir setengah miliar jiwa hidup dengan diabetes di seluruh dunia. 3Dalam beberapa tahun terakhir, diabetes terdaftar sebagai penyebab utama kematian ketujuh di Amerika Serikat. Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa diabetes bertanggung jawab atas hampir 5 juta kematian di seluruh dunia, terhitung 14,5% dari semua penyebab kematian secara global pada orang dewasa usia 20-79 tahun dan lebih dari 75% orang dengan diabetes tinggal di negara berpenghasilan menengah ke bawah.1 Penderita diabetes memiliki risiko tinggi sejumlah masalah kesehatan serius yang mengancam jiwa. Hal ini berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan kematian. Kadar glukosa darah yang terus-menerus tinggi menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mempengaruhi jantung, mata, ginjal, dan saraf serta mengakibatkan berbagai komplikasi. 8Dengan demikian, pembahasan mengenai DM tipe 2 lebih lanjut diperlukan agar dapat memberikan pengetahuan dan perlunya usaha penanggulangan DM tipe 2 khususnya dalam upaya pencegahan.4 Seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas pada anak dan remaja, terjadi pula peningkatan prevalensi berbagai komplikasi obesitas, termasuk Diabetes Melitus Tipe-2 (DM tipe-2), pada anak dan remaja. Awitan DM tipe-2 pada anak dan remaja paling sering ditemukan pada dekade ke-2 kehidupan dengan median usia 13,5 tahun dan jarang terjadi sebelum usia pubertas. DM tipe-2 pada anak dan remaja banyak berasal dari keluarga dengan riwayat DM tipe-2.5,6 Faktor risiko DM tipe-2 terutama adalah obesitas dan riwayat keluarga dengan DM tipe-2. Faktor risiko lainnya adalah berat badan lahir rendah (kecil masa kehamilan)



dan status gizi buruk (IMT rendah) pada usia 2 tahun. Gambaran klinis anak dan remaja dengan DM tipe-2 bisa bervariasi dari hiperglikemi tanpa gejala yang ditemukan pada skrining atau pemeriksaan fisik rutin sampai koma ketoasidosis (25% pasien) atau status hiperosmolar hiperglikemik yang bisa meningkatkan risiko mortalitas.1,7 Pengelolaan DM



tipe-2 pada anak dan remaja membutuhkan penanganan



komprehensif terutama perubahan gaya hidup yang meliputi pengaturan diet dan aktivitas fisik, serta terapi obat-obatan dan insulin. Konsensus nasional DM Tipe-2 ini dibuat untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis serta mengelola DM Tipe-2 pada anak dan remaja.8



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2) yang dikenal sebagai non insulin dependent



diabetes melitus (NIDDM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat resistensi serta defisiensi insulin, hingga kelainan sekresi insulin.2,9DM tipe 2 muncul akibat adanya interaksi faktor genetik dan lingkungan yang dapat menyebabkan penurunan fungsi sel β yang bermanifestasi klinis sebagai hiperglikemia. DM tipe 2 sangat berkaitan dengan resistensi dan kelainan sekresi insulin dikarenakan proses inflamasi dan stres metabolik.10 2.2



Epidemiologi DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi, yaitu sebanyak



90%-95% dari seluruh kasus diabetes yang ada dan penderitanya merupakan penduduk di negara yang berpenghasilan menengah ke bawah.3,9Perkiraan jumlah penderita diabetes di seluruh dunia pada tahun 2017 terdapat 415 juta jiwa dengan rata-rata terjadi pada usia 20-79 tahun.8Pada tahun 2019, terdapat 463 juta jiwa di seluruh dunia menderita diabetes. Keadaan ini diperkirakan akan mencapai 578 juta jiwa pada tahun 2030, dan 700 juta jiwa pada tahun 2045. Duapertiga dari penderita diabetes tinggal di daerah perkotaan dan 3 dari 4 diantaranya termasuk usia kerja. Lebih dari 4 juta orang berusia 20-79 tahun meninggal karena diabetes pada tahun 2019. Presentase orang dengan diabetes yang tidak terdiagnosis DM tipe 2 saat sebanyak lebih dari 50%.3 DM tipe 2 paling umum terjadi pada orang dewasa, tetapi bisa juga terjadi pada remaja dan anak-anak.9Peningkatan prevalensi obesitas di masa kecil telah menyebabkan munculnya DM tipe 2 pada anak-anak dan dewasa muda. Di Amerika Serikat, prevalensi DM tipe 2 pada remaja usia 10-19 tahun lebih tinggi pada remaja India-Amerika dan orang kulit hitamdibandingkan remaja kulit putih.11 Prevalensi DM tipe 2 meningkat secara global. Peningkatan ini dipengaruhi oleh bertambahnya usia, perubahan sosial-ekonomi, dan urbanisasi yang mengarah ke sedentary lifestyle dan konsumsi makanan tidak sehat yang berkaitan dengan obesitas.3,1 Wanita lebih sering terkena DM tipe 2 dari semua kelompok. 3Kejadian DM tipe 2 pada wanita di Timur Tengah lebih tinggi daripada pria. Wania lebih berisiko mengindap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang indeks massa tubuh yang besar untuk mengarah ke obesitas. Sedangkan di Eropa prevalensi diabetes lebih tinggi pada



pria daripada wanita.4Namun, saat ini di seluruh dunia banyak melaporkan prevalensi diabetes pada pria dan wanita itu sama.1 Indonesia dengan jumlah orang dewasa yang menderita diabetes berusia 20-79 tahun, pada tahun 2019 ada sekitar 10,7 juta penduduk Indonesia yang menderita diabetes melitus sehingga menduduki peringkat ke-7 di dunia dan diprediksikan pada tahun 2045 akan menduduki peringkat ke-8 dengan 16, 6 juta jiwa.3 DM tipe-2 dapat terjadi pada semua ras, tetapi terdapat prevalensi yang lebih besar pada keturunan Eropa non kulit putih, misalnya pada keturunan kulit hitam Afrika, Amerika Utara, Hispanik-Amerika, Asia, Asia Selatan dan penduduk pulau Pasifik. Di Hongkong, 90% dari diabetes pada anak dan remaja adalah DM tipe-2, di Taiwan 50%, dan hampir mendekati 60% di Jepang. Di Amerika Serikat dan Eropa hampir semua anak dan remaja dengan DM tipe-2 mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas persentil 85 sesuai usia dan jenis kelamin, namun di Jepang, 15% anak DM tipe-2 tidak obes; di Taiwan 50% tidak obes. Rasio laki-laki dan perempuan bervariasi antara 1:4-1:6 di Amerika Utara hingga 1:1 di Asia dan Libia. Di Amerika dan Eropa, anak dan remaja dengan DM tipe-2 banyak berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah sementara di Cina dan India lebih banyak ditemukan pada keluarga kaya.3,12



2.3



Patofisiologi DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada



awalnya tampak terdapat resistensi dari sel sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikat insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif



terhadap



insulin



atau



akibat



ketidaknormalan



reseptor



insulin



instrinsik.Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel βdengan menurunya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.13



Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2.14 DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulinsecara normal.Resistensi insulin banyak terjadi akibat obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada awal perkembangan DM tipe 2 sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi



insulin,sehingga akhirnya



penderita memerlukan insulin



eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.15 2.4



Faktor Risiko Faktor Resiko Diabetes Melitus:



1.



Aktivitas fisik kurang,



2.



Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative),



3.



Etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American, Pacific Islander),



4.



Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG),



5.



Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi),



6.



Kolesterol HDL 250 mg/dL,



7.



Wanita dengan sindrom polikistik ovarium,



8.



Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu (GDPT),



9.



Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) Berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m2),



10.



Riwayat penyakit kardiovaskular.16



11.



Umur berisiko untuk menderita intolerasi glukosameningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.



12.



Konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.



13.



Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM Tipe 2.16,2



2.5



Diagnosis Diagnosis diabetes mellitus berdasarkan gejala dibagi menjadi dua bagian: 1. Gejala khas: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria(banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. 2. Gejala tidak khas: Lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.2 Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali



saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis juga dapat ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis berikut:16 Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 1 .



Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/ dL (11,1 mmol/L)



Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. 2 .



Atau Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/ dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam



3



Glukosa plasma 2 jam pada TTGO '200 mg/dL (1 1,1 mmol/L)



.



TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik



dilakukan pada mereka yang menunjukkan



gejala DM, sedangkan pemeriksaan



penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.16,18 Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.16



Gambar 2.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl) Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):16 1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. 2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. 3. Diberikan beban glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.



4. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. 5. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa. 6. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu: 1. < 140 mg/dL = normal 2. 140-< 200 mg/dL = toleransi glukosa terganggu 3. > 200 mg/dL = diabetes



Gambar 2.3 Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi Glukosa 2.6



Tatalaksana Tujuan Tatalaksana



-



Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.



-



Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.



-



Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.17 Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama



beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.17 1.



Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah



terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.17 2.



Terapi Nutrisi Medis Tujuan terapi nutrisi medis untuk orang dewasa dengan diabetes adalah:



1.



Untuk mempromosikan dan mendukung makan sehat pola, menekankan berbagai makanan padat nutrisi yang sesuai ukuran porsi, untuk meningkatkan kesehatan keseluruhan



2.



Untuk memenuhi kebutuhan gizi individu berdasarkan preferensi pribadi dan budaya, melek kesehatan dan berhitung,akses ke makanan sehat, kemauan dan kemampuan untuk melakukan perubahan perilaku, dan hambatan untuk berubah



3.



Menjaga kesenangan makan dengan memberikan pesan yang tidak menghakimi tentang pilihan makanan



4.



Untuk menyediakan individu dengan diabetes dengan alat praktis untuk pengembangan pola makan yang sehat daripada berfokus pada nutrisi makro individu, zat gizi mikro, atau tunggal makanan Terapi nutri medis disampaikan oleh ahli diet terdaftar menunjukkan penurunan



A1C sebesar 0,3-1% untuk orang dengan diabetes tipe 1 (35-37) dan 0,5–2% untuk diabetisi tipe 2. 16 Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat



Individu



dengan



diabetes



harus



menggantikan



karbohidrat



olahan



dan



menambahkan gula dengan biji-bijian utuh, polong-polongan, sayuran, dan buah-buahan. Konsumsi minuman yang dimaniskan dengan gula dan produk "rendah lemak" ditambahkan gula harus dicegah. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat total 30



: Obes II



* WHO WPR/IASO/IOTF dalam the Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment, Kebutuhan kalori/hari untuk menuju ke berat badan normal: 1. Berat badan kurang , kebutuhan kalori sehari: 40-60 kal/kg BB 2. Berat badan normal, kebutuhan kalori sehari: 30 kal/kg BB 3. Berat badan lebih, kebutuhan kalori sehari: 20 kal/kg BB 4. Obesitas, kebutuhan kalori sehari: 10-15 kal/kg BB.17 3.



Latihan Jasmani Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu



selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.16



Gambar 2.4 Aktivitas Sehari-hari 4.



Terapi Farmakologi Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan



jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat Hipoglikemik Oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: a.



Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.



1)



Sulfonilurea



Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 2)



Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan



penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. b.



Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.



1)



Tiazolidindion Tiazolidindion (pioglitazon) mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan



meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. c.



Penghambat glukoneogenesis (metformin).



1)



Metformin Obat



ini



mempunyai



efek



utama



mengurangi



produksi



glukosa



hati



(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. d.



Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).



1)



Acarbose Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga



mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. e.



DPPIV inhibitor. Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan



oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Sekresi GLP1



menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.17 Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuairespons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal - Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan - Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan - Metformin: sebelum /pada saat / sesudah makan - Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama - Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. - DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan. Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.17 Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.17



Secara keseluruhan tatalaksana diabetes mellitus tipe 2 dapat dilihat pada Algoritme pengelolaan DM tipe 2 (Konsensus Perkeni 2015):



Kriteria Pengendalian DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.16



Gambar 2.5 Target Pengendalian DM Penyulit Diabetes Mellitus Penyulit Akut 1)



Ketoasidosis diabetik (KAD) Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar



glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. 2)



Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200



mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat.Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.16 3)



Hipoglikemia Hipoglikemia dan cara mengatasinya: Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/Dl. Bila



terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik



(berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intravena.Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa.Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.17 Penyulit Menahun 1)



Makroangiopati Pembuluh darah jantungpenyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang



diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpagejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainanyang pertama muncul.Selainitu juga terjadi pada pembuluh darah otak17 2)



Mikroangiopati: Retinopati diabetik dan Nefropati diabetik harus memiliki kendali glukosa dan



tekanan darah yang baik untuk mengurangi risiko Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risikoterjadinya nefropati. 3)



Neuropati Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa



hilangnya sensasi distal.Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan amputasi.Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.17 2.7 1.



Pencegahan Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki



faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat



badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer. 2.



Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit



pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes. 3.



Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah



mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.17 2.8



Prognosis Diabetes melitus tipe 2 tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan status



metaboliknya seperti KGDS dan HbA1C. Berdasarkan The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), lebih dari 5000 pasien dengan diabetes tipe 2 yang ditindaklanjutin hingga 15tahun, mereka yang berada dalam kelompkk perawatan secara intensif memiliki tingkat perkembangan komplikasi mikrovaskular yang jauh lebih rendah daripada pasein yang menerima perawatan standar. Hasil menunjukkan, setiap penurunan 1% dari HbA1C akan menurunkan resiko komplikasi sebesar 3%. Sehingga upaya mencegah komplikasi menahun dari diabetes tergantung pada usia penyandang diabetes,fasilitas perawatan dan motivasi berobat untuk memonitor status kesehatan secara rutin.20



BAB III LAPORAN KASUS 3.1



Identitas Pasien



Nama



: Athifa Fitrtiyya



Usia



: 10 Th, 11 bl 25 hr



Jenis Kelamin



: Perempuan



Suku



: Aceh



Agama



: Islam



Alamat



: Aceh Besar



No CM



: 1-23-51-51



Tanggal Masuk



: 21 Juli 2020



Tanggal Periksa



: 24 Juli 2020



3.2



Anamnesis



Keluhan utama



: Sesak Napas



Keluhan tambahan



: Mual, nyeri perut



Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan sesak napas sejak sabtu siang, sesak memberat sejak ± 5 jam SMRS. Pasein juga mengalami mual sejak tadi sore. BAB ada ± 6 jam SMRS dengan konsistensi : keras. BAK terakhir saat tiba di IGD menurut keluarga banyak. Riwayat penyakit dahulu



:



DM type 2 sejak Januari 2020 Riwayat pengobatan



:



Levemir lalu diganti metformin 1x500 mg Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada keluarga yang DM Riwayat kehamilan



:



Anak ke-2 dari 2 bersaudara, lahir secara pervaginam di RS dgn BBL 3.4 kg, tidak ada rawat di NICU, selama hamil ibu tidak ada sakit Riwayat persalinan



:



Pasien merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara. Lahir cukup bulan secara normal dengan berat badan lahir 3300 gram. Saat lahir pasien segera menangis,



tidak ada riwayat sianosis dan ikterik. Tidak ada riwayat pecah ketuban dini saat kelahiran. Pasien diberikan injeksi vitamin K setelah lahir. Setelah lahir pasien tidak ada riwayat dirawat di NICU. Riwayat imunisasi Imunisasi dasar lengkap



:



Riwayat nutrisi : Selama sakit hanya makan sedikit dan pantang semua makanan 3.3



Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi vital sign, status antropometri, status general



dan status neurologis. a.



Vital Sign



Keadaan umum Nadi



: Sadar : 129 x/menit



Respiratory Rate



: 60 x/menit, isi cukup



Temperatur



: 36,7 C



o



Sp. O2 b.



: 95-100% Status Antropometri



Berat Badan



: 34 kg



Tinggi Badan



: 139cm



Lingkar Kepala



: 53 cm



Lingkar lengan atas



: 22 cm



HA



: 10 bulan



TB/U



: 96%



BB/U



: 94 %



BB/PB



: 100%



Kesan c.



: Normal Status general



Mata



: Konjungtiva palpebra inf anemis (-)



Telinga



: Normotia



Hidung



: secret (-)



Mulut



: sianosis(-)



Tenggorokan



: Tonsil Hiperemis (-/-), T1 – T1 Faring Hiperemis (-)



Leher



: Pemb. KGB (-)



Paru



: simetris, vesikuler, ronki dan wheezing(-)



Jantung



: BJ1>BJ2, bising tidak ada



Abdomen



: simetris, supel, organomegaly (-), perstaltik normal, nyeri tekan tidak ada



Ekstremitas



: akral hangat, CRT< 2s



KGDS



: 454 mg/dl



3.4



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium



Tabel 3. 1 Hasil pemeriksaan darah rutin 21 Juli 2020 Jenis pemeriksaan (satuan)



Hasil



Nilai Rujukan



Satuan



Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit



14.6 41 5,7 17.800* 454.000*



12-15 37-42 4.2-5,4 4.500-10.500 150.000-450.000



g/dL % 6 3 10 /mm 3 /mm 3 /mm



MCV MCH MCHC



72 25



80-100 27-31



36



32-36



fL Pg %



RDW LED Eosinofil Basofil Netrofil batang Netrofil segmen Limfosit Monosit Retikulosit



16.7 9 912 02 0 0 77 17 6



11.5-14.5 7.2-11.1 0-3 0-6 0-2 2-6 50-70 20-40 2-8



% mm/jam % % % % % % %



Tabel 3.2 Hasil laboratorium tanggal 21 Juli 2020 di RSUDZA Jenis pemeriksaan Diabetes Glukosa Darah Puasa Hematologi Diabetes Hb-A1c Analisis Gas Darah pH pCO2 pO2



Hasil



Nilai Rujukan



Satuan



168



60-110



mg/dL



14.80



6,5%.16 Pasien didiagnosis KAD+DM karena pasien mengalami yaitu polifagi, polidipsi, penurunan berupa



berat



poliuri,



ditambah



gejala



gejala



klasik



DM



sistemik berupa lemah dan



badan yang drastis dalam waktu 4 minggu serta gejala neurologi



kesemutan



ekstremitas inferior. Pasien juga memiliki riwayat keluarga



yang menderita diabetes mellitus. Gula Darah Sewaktu (GDS) pasien lebih dari 200 mg/dL. Pada urin pasien juga ditemukan glukosa dalam jumlah yang signifikan. Usia pasien termasuk kategori anak-anak (20 kg



1500 ml + 20 ml/kg setiap kgBB diatas 20 kg



Pada



pasien,



pemberian



insulin



awal yaitu dengan insulin regular drip



dengan dosis 0,1 U/kgBB/jam. Hal ini sesuai dengan teori yaitu jenis insulin yang diberikan adalah insulin reguler/rapid dengan



dosis



0,05-0,1 unit/kgBB/jam



(contoh pengenceran 5 unit insulin reguler dalam 50 mL NaCl 0,9%, 1 mL= 0,1 unit insulin). Pada penderita yang sensitif terhadap insulin maka dapat diberikan dosis yang



lebih



rendah



insulin bolus tidak dianjurkan edema



serebri.



Pasien



menjadi 0,1x68= cc/jam.



yaitu karena



sebesar akan



0,05 unit/kgBB/jam. Pemberian meningkatkan



risiko terjadinya



memiliki berat badan 68 kg sehingga pemberian insulin



6,8 U/jam atau kecepatan pemberian



insulin



yaitu



7



Pasien diberikan insulin kerja pendek yaitu Novorapid 10 UI dalam NaCl



0,9% 100 ml via syringe pump dengan kecepatan 7 cc/jam. Insulin diberikan hingga terjadi



perbaikan



klinis



dan laboratorium. Perbaikan laboratorium ditandai



dengan pH >7,3; bikarbonat >15 mEq/L dan atau



anion



gap



mendekati



normal.23,29



BAB V KESIMPULAN Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh selbeta pankreas dan atau ganguan fungsiinsulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll), penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malamhari) nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat, mudah lelah, dan kesemutan. Menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa>126 mg/dl. DM tipe 2 memiliki proporsi 10-20% dari seluruh kasus diabetes pada anak. Peningkatan Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 ditimbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes melitus dalam keluarga, Obesitas, BBLR, kurang aktivitas, status gizi buruk, riwayat DM pada kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa>126 mg/dl. Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan pemilihan obat oral hiperglikemik dan insulin serta modifikasi gaya hidup seperti diet dan olahraga teratur untuk menghindari komplikasi mikrovaskular.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Powers AC, Niswender KD, Molina CE. Diabetes Mellitus: Diagnosis, Classification, and Pathophysiology. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2018. p. 2850–9.



2.



PERKENI. Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia



2015



[Internet].



PB.



Perkeni;



2015.



Available



from:



https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://pbperkeni.or.id/ wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-dan-PencegahanDiabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI2015.pdf&ved=2ahUKEwjy8KOs8cfoAhXCb30KHQb1Ck0QFjADegQIBhAB&u sg=AOv 3.



International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas [Internet]. 9th ed. 2019. Available from: http://www.idf.org/about-diabetes/facts-figures



4.



Wass JAH, Stewart P. Oxford Textbook of Endocrinology and Diabetes. 2nd ed. United Kingdom: Oxford University Press; 2011.



5.



Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013 [Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Badan Penelitian



dan



Pengembangan



Kesehatan;



http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Pokok



2013. Pokok



Available Hasil



from:



Riskesdas



Indonesia 2013.pdf 6.



Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riskesdas 2018 [Internet]. Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan;



2018.



Available



from:



http://dinkes.babelprov.go.id/sites/default/files/dokumen/bank_data/20181228



-



Laporan Riskesdas 2018 Nasional-1.pdf 7.



International Diabetes Federation. Type 2 Diabetes. 2020; Available from: https://www.idf.org/aboutdiabetes/type-2-diabetes.html



8.



Cho NH, Shaw JE, Karuranga S, Huang Y, da Rocha Fernandes JD, Ohlrogge AW, et al. IDF Diabetes Atlas: Global estimates of diabetes prevalence for 2017 and projections for 2045. Diabetes Res Clin Pract [Internet]. 2018;138:271–81. Available from: https://doi.org/10.1016/j.diabres.2018.02.023



9.



World Health Organization. Classification of Diabetes Mellitus 2019 [Internet]. Geneva; 2019. Available from: https://www.who.int/health-topics/diabetes



10.



American Diabetes Association. Classification and Diagnosis of Diabetes: Standards of Medical Care in Diabetes 2019. Stand Med Care Diabetes [Internet].



2019;42(1):513–28. Available from: https://doi.org/10.2337/dc19-S002 11.



Forouhi NG, Wareham NJ. Epidemiology of diabetes. Medicine (Baltimore) [Internet].



2014;42(12):698–702.



Available



from:



http://dx.doi.org/10.1016/j.mpmed.2014.09.007 12.



Ramadhan N, Marissa N. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Berdasarkan Kadar HbA1c di Puskesmas Jaya Baru Kota Banda Aceh. SEL. 2015;2(2):49–56.



13.



Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In: Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012. p. 1259–74.



14.



Zheng Y, Ley SH, Hu FB. Global aetiology and epidemiology of type 2 diabetes mellitus and its complications. Nat Rev Endocrinol [Internet]. 2017;14:88–98. Available from: http://dx.doi.org/10.1038/nrendo.2017.151



15.



Fatimah RN. Diabetes Melitus Tipe 2. J Major. 2015;4(5):93–101.



16.



Aru W. Sudoyo. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Imu Penyakit Dalam. 2014. 2575-2584 p.



17.



Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Perkeni. 2015.



18.



American Diabetes Association. American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary Recommendation from NDEI. Natl Diabetes Educ Initiat. 2016;39(1):1–46.



19.



American Diabetes Association. Standard medical care in diabetes 2016. J Clin Appl Res Educ. 2016;



20.



Intensive blood-glucose control with sulphonyureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS). UK Prospect Diabetes Study (UKPDS) Lancet [Internet]. 1998;837–53. Available from: https://doi.org/10.1016/S0140-6736(98)07019-6



21. Wolfsdorf



J,



Craig



ME,



Daneman



D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al.



Global IDF/ ISPAD guideline for diabetes in



childhood and



adolescent.



International Diabetes Federation. 2011; 70-81. 22. Salvodelli



SD, Farhat SCL, Manna TD. Alternative



diabetic ketoacidosis



in



a



Brazilian



management



of



pediatric emergency department.



Diabetol Metab Synd. 2010;2:1-9. 23. Chua



AR,



Schneider



H,



Bellomo



R. Bicarbonate



in



ketoacidosis-a systematic review. Ann Intensive Care. 2011; 1:1-12.



diabetic



24. Sacks DB, Arnold M, Bakris GL. guidelines and



recommendations



Position statement executive summary: for



laboratory analysis in the diagnosis



and management of diabetes mellitus. Diabetes Care. 2011; 341419-1423. 25. Wolfsdorf JI. The International Society of Pediatric Diabetes guidelines



for



management



guidelines need to be modified. 26. Rabbone



Pediatr



I, Joseph I, Wolfsdorf,



Management Similiarities



in Children and



and



Differences



of



and



diabetic ketoacidosis: do the



Diabetes.



Hanas



Adolescent



2014. 15(4):277-286.



R. Diabetes



Adolescent. in Research



ISPAD into



Ketoacidosis versus ISPED: Childhood–Onset



Diabetes. Springer. 2017; 11-19. 27. Davis SM, Maddux AB, Alonso GT, Okada CR, Mourani PM, Maahs DM.



Profound hypokalemia



associated



with



severe diabetic



ketoacidosis. Pediatr Diab. 2016; 17(1):61-5. 28. Cherubini



V,



Pintaudi



Chiumello G, et al. Severe Year



in



Italian



B,



Rossi



Hypoglycemia



MC, Lucisano G, Pellegrini F, and



Ketoacidosis Over



One



Pediatric Population with Type 1 Diabetes Mellitus: A



Multicenter



Retrospective Observational



Study.



Nutr



Metab Cardiovasc Dis NMCD. 2014; 24: 538-46. 29. Marigliano



M,



Mprandi



D’Annunzio G, et al.



A,



Diabetic



Maschio



M, Costantini S, Contreas G,



Ketoacidosis



Family History and Class II HLA Genotypes. Feder Endocrine Soc. 2013; 168:107-111.



at



Diagnosis: Role of



Eur J



Endocrinol/Eur