REFERAT Diagnosis Ruam Pada Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT DIAGNOSIS RUAM PADA ANAK



Disusun Oleh : Debora Chara Lizki 2165050022



Pembimbing : dr. Ava Lanny Kawilarang, Sp.A



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 30 MEI – 06 AGUSTUS 2022 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2022



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan anugerah-Nya saja, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Diagnosis Ruam pada Anak” yang dikerjakan dalam memenuhi dan menyelesaikan tugas di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong pada Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak periode 30 Mei – 06 Agustus 2022 RSUD Cibinong, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Referat ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai perbedaan serta persamaan diagnosis ruam yang terjadi pada anak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini tak lepas dari bimbingan, dukungan, dan bantuan baik moril maupun materi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ava Lanny Kawilarang, Sp.A, selaku pembimbing penulisan referat ini. Dan juga teman-teman yang telah memberikan ide dan masukan mengenai penulisan referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak.



Cibinong, 17 Juli 2022



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….i DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii BAB I PENDAHULUAN……...………………………………………………………………1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA……………………………..…………………………………1 I.1. Infeksi Bakteri…………………………………………….…………………...…..3 I.2. Infeksi Virus…………………………………………….……………………...….7 I.3. Infeksi Parasit……………………………..……………………………………...22 I.4. Penyakit Imunonologi………...…..……………………………………..…….…28 I.5. Miliaria………………………………………………………………………...…44 BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………..…………46 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...49



ii



BAB I PENDAHULUAN



Ruam pada anak sulit dibedakan karena merupakan manifestasi penyakit yang sering muncul dari berbagai penyakit, dan memiliki bentuk morfologik yang mirip satu sama lain. Ruam pada kulit muncul akibat proses lokal maupun sistemik yang disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, parasit, penyakit terkait imun (alergi, autoimun, reaksi obat), dan miliaria. Klasifikasi penyakit eksantema pada awal abad ke 20 didasarkan pada urutan kejadian dalam masa perkembangan anak, seperti rubeola/ measles/ morbilli sebagai first disease, demam scarlet sebagai second disease, rubella/ German measles sebagai third disease, erythema infectiosum sebagai fifth disease, roseola sebagai sixth disease. Namun klasifikasi ini tidak lagi digunakan karena ada >50 penyebab ruam pada kulit. 1,2,3 Untuk mendiagnosis penyakit dengan manifestasi ruam kulit pada anak perlu pemeriksaan terhadap bentuk, lokasi, pola perkembangan dari ruam tersebut, dan gejala lain yang menyertai. Pada penelitian ditemukan 126 pasien anak yang menderita meningococcemis, 66 diantaranya dibawa karena timbul ruam makulopapular. Gambaran klinis ruam yang tidak khas pada suatu penyakit dapat terjadi, seperti 88 dari 103 pasien anak yang menderita eksantema subitum dengan hasil uji serologi positif terhadap Human Herpesvirus-6 yang didiagnosis sebagai campak dan rubela. 3,4 Manifestasi ruam kulit juga dapat menunjukkan proses sistemik yang biasanya disertai gejala lainnya seperti demam.4,5 Demam dengan ruam dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik morfologi menjadi ruam makulopapular, eritema generalisata difus, vesikular, pustular, pethechiae, dan purpura. Ruam makulopapular sering muncul pada penyakit eritema multiform, measles, rubella, exanthem subitem, eritema infektiosum, infeksi enterovirus, pityriasis rosea, demam scarlet, erupsi obat, dan toxic erythema neonatorum. Eritema generalisata difus sering terjadi pada Staphylococcal scalded skin syndrome, toxic shock syndrome, penyakit Kawasaki. Ruam vesicular varisela, herpes simpleks, herpes zoster, impetigo, hand-foot-mouth disease, infeksi virus parvo. Ruam urtikaria biasanya muncul pada penyakit infeksi enterovirus, infeksi Epstein-barr, dan alergi. Erupsi nodular muncul pada eritema nodosum, erisipelas. Purpura dan petekie merupakan ruam hemoragik yang biasa timbul meningococcemia, sepsis, infeksi virus Epstein-barr, infeksi cytomegalovirus, measles, rubella, demam reumatik, sistemik lupus eritematosus. 5 1



Urtikaria menjadi diagnosis paling banyak pada anak-anak yaitu sebanyak 22,17% dan kasus anafilaksis paling sedikit dilaporkan pada anak-anak yaitu sebanyak 0,5% kasus.6 Dermatitis atopik salah satu penyakit kulit inflamasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan 50% terdiagnosis pada 1 tahun awal kehidupan dan 85% pada usia 5 tahun.7 20,7% dari 174 dilaporkan menderita alergi antibiotik dan menimbulkan ruam.8 Henoch-Schonlein purpura (HSP) merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada 10-20 dari 100.000 anak tiap tahunnya dengan manifestasi kulit tersering adalah purpura, namun dapat menimbulkan bula dengan prevalensi 2% pada pasien HSP anak.9 Penyakit reumatik juga memberikan manifestasi ruam pada kulit, seperti sistemik lupus eritematosus sebanyak 18%, artrtitis rematik (15%), artritis psoriasis (13%).10 Ruam kulit juga dapat menjadi penanda kegawatdaruratan, dimana terdapat 3,3% kasus emergensi mengeluhkan penyakit kulit. 11 24.324 anak yang masuk kasus emergensi memberikan manifestasi pada kulit.6 Ruam dengan kegawatdaruratan adalan fasciitis nekrolisis, toxic epidermal necrolysis syndrome, staphylococcal scalded skin syndrome, sindrom steven-johnson.6,11 Fasciitis nekrolisis sering terjadi akibat toxic shock syndrome yang disebabkan oleh infeksi invasif S. pyogenes. Insidensi infeksi bakteri tersebut berkisar antara 0,3 – 4,8 per 100.000 kasus.12 Selain itu, penyakit Kawasaki juga memiliki insidensi yang meningkat, 5 – 10 dari 100.000 anak dibawah 5 tahun menderita penyakit Kawasaki dengan insiden paling tinggi di negara Asia. Penyakit Kawasaki sering muncul pada pada usia 6 bulan sampai 5 tahun dengan rasio laki-laki paling banyak dibanding perempuan yaitu 1,5 : 1. 13 Maka dari itu, penting bagi penulis dan klinisi untuk mengetahui perbedaan-perbedaan penyakit dengan manifestasi ruam kulit agar memberikan diagnosis dan terapi yang tepat.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



II.1 Infeksi Bakteri 



Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) Staphylococcal scalded skin syndrome atau penyakit ritter adalah penyakit kulit



berupa bula superfisial yang disebabkan toksin eksfoliatif S. aureus. SSSS sering ditemukan pada bayi, sedangkan pada anak-anak dan orang dewasa didapatkan pada individu dengan kondisi penurunan fungsi ginjal. Insidens SSSS adalah 0,9 – 0,56 kasus per 1.000.000 penduduk dengan angka mortalitas pada bayi dan anak 60%. Insidens pada laki-laki maupun perempuan memiliki rasio yang sama.14 S. aureus grup 2 tipe 3A, 3B, 3C, 55, dan 71 memproduksi eksotoksin A dan B yang dapat menyebar secara hematogen sampai ke stratum granulosum epidermis. Eksotoksin tersebut bekerja secara lokal dengan cara berikatan dan memcah desmoglein 1 yang berfungsi untuk memediasi adhesi keratinosit dengan stratum granulosum. Kerusakan tersebut dapat membentuk bula dan menyebkan lapisan deskuamasi. Membran mukosa dan epidermis lapisan dalam terdapat desmoglein 3 yang mampu mengkompensasi lisisnya desmoglein 1, sehingga SSSS tidak menimbulkan manifestasi pada membran mukosa dan epidermis basal. 15



Gambar 1. a. eritema difus periorificial, b. bula yang pecah, c. bula berisi serum, d. deskuamasi (Costa S et al, Australian Journal of Dermatology, 2020)



3



Lesi yang muncul biasanya jauh dari letak infeksi primer. Sumber infeksi primer dapat berasal dari konjungtivitis, faringitis, otitis media, area sirkumsisi, omfalitis, impetigo, selulitis, dan pustulosa. Waktu inkubasi SSSS adalah 1 – 10 hari sampai menimbulkan gejala. Gejala prodromal SSSS biasanya malaise, iritabilitas, demam, dan gangguan makan. SSSS muncul pertama kali dengan eritroderma dan kulit keriput seperti kertas tissue pada daerah lipatan (fleksural) dan periorificial. Beberapa jam kemudian, pada area eritem tersebut akan melepuh dan membesar membentuk bula yang berisi cairan jernih sampai pus. Bula berdinding tipis, mudah pecah, dan membentuk deskuamasi. Terdapat tanda Nikolsky pada SSSS, yaitu adanya pemisahan epidermis ketika diberikan tekanan ringan pada daerah sekitar bula. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal. 16







Demam Tifoid Demam tifoid (demam enterik) adalah infeksi akut sistem pencernaan yang



disebabkan Salmonella typhi atau S. paratyphi A, B, C. Penularan demam tifoid melalui fecal-oral dari makanan minuman yang terkontaminasi atau dapat kontak langsung dengan feses, urin atau sekret penderita demam tifoid. Kasus demam tifoid banyak ditemukan pada negara-negara berkembang dan daerah tropis dengan angka kejadian 21 juta dan 700 kasus kematian. Prevalensi demam tifoid di Indonesia sekitar 350 – 810 dari 100.000 penduduk.17 Sebanyak 4% pasien demam tifoid asimptomatik menjadi karier kronis selama sekitar 1 tahun.18 Bakteri Salmonella berkembang biak di ileum dan jejunum yang selanjutnya menginvasi sel epitel usus halus (Sel M), lamina propia, dan plak payer. Bakteri akan difagositosis oleh makrofag di lamina propia. Di dalam makrofag, bakteri dapat berkembang biak dan masuk ke dalam darah (bakterimia I). Bakterimia I dianggap sebagai masa inkubasi selama 7 – 14 hari. Invasi ke plak payer menyebabkan bakteri masuk ke folikel limfoid intestine dan aliran limfe mesenterika, serta melewati sistem retikuloendotelial. Di hati dan limpa, bakteri berkembang di sinusoid hati dan akan masuk ke sirkulasi darah (bakterimia II). Bakterimia II menyebabkan hiperaktivasi makrofag sehinga terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin. Dapat terjadi hiperplasia plak payer pada minggu pertama, jika terus berlanjut dapat menjadi nekrosis



4



pada minggu kedua. Selanjutnya akan timbul ulkus pada minggu ketiga yang dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi. 17-19



Gambar 2. Rose spot demam tifoid Manifestasi klinis demam tifoid adalah demam yang meningkat perlahan saat menjelang sore sampai malam hari dan turun pada siang hari, demam menetap pada minggu kedua. Gejala lain yang dialami tidak spesifik seperti sakit kepala, anoreksia, myalgia, atralgia, nausea, nyeri perut, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardi relatif, lidah kotor, hepatomegali, splenomegali, nyeri tekan abdomen, dan rose spot. Rose spot adalah lesi makulopapular eritema dengan diameter 2 – 4 mm pada perut dan dada yang muncul pada 5 – 30% kasus, namun tidak terlihat pada pasien dengan kulit gelap.17,19







Demam Scarlet20,21 Demam scarlet merupakan penyakit infeksi bakteri Streptococcus pyogenes



yang menyebabkan faringitis dan infeksi kulit berupa ruam. Penyakit ini sering terjadi pada usia 5 – 15 tahun. Penyakit ini meningkat pada dekade terakhir, berdasarkan laporan terdapat 23.000 kasus di Vietnam dan 100.000 kasus di China. Di United Kingdom, dari September 2015 – April 2016 dilaporkan terdapat 12.906 kasus.



5



Penularan penyakit ini melaui droplet (batuk atau bersin) dan bakteri tersebut berkolonisasi di mukosa nasofaring dan kulit. Setelah itu bakteri akan berikatan dengan matriks ekstraselular (fibronectin, kolagen, dan laminin) dan menginvasi sel epitel. S. pyogenes melepaskan eksotoksin pirogenik (toksin eritrogenik) tipe A, B, C yang dapat menginduksi respon inflamasi lokal dan sistemik. Toksin yang masuk ke sirkulasi sistemik menyebabkan respon hipersensitifitas tipe IV dengan manifestasi klinis ruam scarlatiniform (sandpaper). Ruam muncul ditandai dengan adanya garis pastia, yaitu garis petechial merah/ merah muda di lipatan kulit akan muncul 1 – 2 hari setelah faringitis pertama kali di leher dan axilla, selanjutnya akan menyebar ke tubuh, wajah, telapak tangan dan kaki 3 – 4 hari setelah faringitis. Pada hari 7 – 10 setelah faringitis, ruam akan hilang dan akan terjadi deskuamasi.



Gambar 3. Ruam demam scarlet (NHS)



Gambar 4. Strawberry-like tongue (Sahu M et al, N Engl J Med, 2021)



Manifestasi klinis berupa faringitis akut yaitu demam tinggi, nyeri tenggorokan, nyeri saat menelan, nyeri perut, malaise, mual, muntah, pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan fisik didapatkan strawberry-like tongue yang diawali dengan selaput putih pada lidah, papilla hiperplasia, dan tampak papul eritem, tidak nyeri, dan tidak berkonfluens yang seperti ampelas (sand paper). Ruam muncul secara bilateral dari leher ke ekstremitas.



6



II.2 Infeksi Virus 



Rubeola/ Measles/ Morbili/ Campak22 Campak merupakan infeksi virus golongan Paramyxovirus



yang menular



melalui droplet dan masuk melalui saluran napas. Penyakit ini bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terdapat 145.700 kematian di dunia akibat campak. Insidensi campak tahun 2017 di Indonesia adalah 5,6 per 100.000 penduduk dengan Banten sebagai daerah paling banyak kasus campak. Campak banyak menyerang anak usia pra-sekolah dan SD. Usia 1 – 4 tahun terdapat 3383 kasus, 5-9 tahun 3591 kasus. Vaksin campak dari tahun 2000 – 2013 telah mencegah 15,6 juta kematian dengan angka kematian sebesar 145.700 pada tahun 2013. Pada tahun 2017 terdapat 35.307.148 anak yang telah diimunisasi vaksin measles dan rubella (MR) dan cakupan imunisasi mencapai 87,33% sejak kampanye imunisasi campak dan rubella tahun 2017-2018. Virus akan melekat dan bereplikasi pada sel epitel saluran napas. Setelah itu menyebar ke kelenjar limfe regional. Viremia primer akan disusul dengan multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial. Hari ke 5 – 7 terjadi viremia sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran napas. Pada hari ke 11 – 14, virus berada di darah, saluran napas, dan organ lainnya. Dan pada hari ke 15 – 17 virus akan berkurang.



Gambar 5. Campak pada punggung anak (Koleksi Watney) Masa inkubasi campak sekitar 8 – 12 hari. Gejala klinis terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium prodromal, eksantem, dan penyembuhan. Stadium prodromal berlangsung 2 – 4 hari yang ditandai dengan demam tinggi, malaise, coryza (radang



7



akut membran mukosa hidung), konjungtivitis, batuk, pilek. Pada stadium ini dapat muncul tanda kolpik spots yaitu enantema mukosa buccal (bercak tidak teratur, kecilkecil, dan warna merah terang dengan noda putih keabuan di tengahnya) pada hari ke2 atau ke-3 demam dan bertahan kurang lebih 12 jam. Selanjutnya stadium eksantem akan muncul ruam makulopapular dengan penyebaran dimulai dari wajah sampai ke ekstremitas dan bertahan selama 6 – 7 hari. Pada hari ke 2 – 3 setelah muncul ruam, demam memuncak hingga 40oC. Ruam berangsur menghilang setelah 3 – 4 hari dan berubah menjadi kecoklatan dalam 7 – 10 hari, inilah yang disebut sebagai stadium penyembuhan.







Rubella Rubella atau german measles adalah infeksi yang disebabkan togavirus genus



Rubivirus. Penyakit ini menular melalui droplet dengan waktu inkubasi 14 – 21 hari. Penderita dapat menularkan rubella dari 1 minggu sebelum gejala muncul sampai 7 hari setelah ruam muncul. Rubella saat kehamilan terutama saat trimester pertama dapat menyebabkan abortus atau congenital rubella syndrome (CRS). Sebelum ada vaksin rubella, penyakit ini menjadi pandemik dari tahun 1962 – 1965. Kasus rubella dari 1969 – 1989 menurun 99,6% dan kasus sindrom rubella kongenital turun 97,4%. Dilaporkan 100.000 kasus di dunia, terutama pada daerah yang tidak mendapat vaksin rubella. Tahun 2018 terdapat 2186 kasus di Jepang. Kejadian rubella sama antara laki-laki dan perempuan dan biasa menyerang usia 5 – 9 tahun.23 Virus rubella menginfeksi dan bereplikasi pada sel nasofaring dan jaringan limfoidnya, serta sistem saluran napas atas. Viremia muncul 5 – 7 hari setelah inokulasi dan tersebar ke banyak organ, seperti kulit, kelenjar getah bening, menyebar melalui plasenta. Ruam makulopapular muncul 2 – 8 hari setelah viremia. Infeksi transplasental dapat merusak sel sehingga menyebabkan gangguan pendengaran, kerusakan ocular, dan abnormalitas kardiovaskular pada fetus. Malformasi pada fetus dapat terjadi dengan risiko paling tinggi 90% pada usia < 11 minggu. Semakin meningkatnya usia gestasi, semakin rendah terjadinya malformasi fetus. 23



8



Gambar 6. Ruam rubella Manifestasi klinis biasanya ringan dengan ruam biasanya muncul sebagai gejala utama. Gejala prodromal rubella adalah demam, anoreksia, mual, muntah, malaise, letargi coryza, batuk, sakit kepala, konjungtivitis, nyeri tenggorokan, myalgia, dan limfadenopati. Limfadenopati terjadi pada kelenjar getah bening retroauricula, suboccipital, cervical posterior yang dapat muncul 1 minggu sebelum ruam muncul dan bertahan beberapa minggu. Pada 20% kasus, petekie dapat muncul pada pallatum mole (forchheimer spots). Ruam makulopapular eritema muncul pertama kali pada wajah menyebar secara kaudal ke leher dan ekstremitas. Setelah itu ruam menjadi generalisata dalam waktu 24 jam. Ruam bertahan 3 hari dan akan menghilang sesuai pola ruam muncul. Nyeri pada sendi dapat muncul pada anak dan laki-laki dewasa, namun sering pada wanita dewasa. Nyeri sendi banyak terjadi pada sendi jari, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala lain yang dapat muncul adalah testalgia atau orchitis.24







Roseola Infantum25,26 Roseola infantum (exantem subitum) adalah infeksi virus yang disebabkan oleh



Human Herpes Virus 6 dan 7 (HHV-6 & HHV-7), virus entero, virus adeno, dan virus parainfluenza tipe 1. Paling banyak menyerang anak usia 7 – 13 bulan dan 90% kasus pada anak usia < 2 tahun. Rasio roseola sama pada laki-laki dan perempuan. Roseola termasuk ke dalam self-limiting disease yang menular melalui droplet dengan waktu inkubasi 10 – 15 hari. Replikasi HHV terjadi di leukosit dan kelenjar saliva saat infeksi primer. Kadar metalloproteinase 1 dalam serum dengan infeksi HHV-6 dapat merusak blood brain



9



barrier (BBB) yang dapat menyebabkan kejang demam. Virus akan berinteraksi dengan CD46 dan berfusi melalui membrane sel. Replikasi virus paling efektif terjadi dalam sel CD4+.



Gambar 7. Erupsi maculopapular roseola infantum (Bıçakçı, Z et al, J Pediatr Inf, 2017) Manifestasi klinis berupa demam tinggi selama 3 – 5 hari yang tidak diketahui penyebabnya yang dapat turun tiba-tiba dan diikuti dengan munculnya ruam makulopapular eritem. Ruam berwarna merah terang, kadang pucat pada kulit putih, dan tidak berkonfluens. Beberapa ruam memiliki halo pucat di sekitarnya. Ruam tidak gatal maupun nyeri yang muncul pertama kali pada leher dan menyebar ke seluruh tubuh. Ruam akan menetap selama 2 – 3 hari dan biasanya keadaan klinis pasien sudah membaik. Selain itu, sebelum ruam muncul biasanya muncul gejala infeksi pernapasan akut, malaise, konjungtivitis, edema periorbital, coryza, inflamasi membran timpani, limfadenopati, anoreksia, ubun-ubun menonjol, diare, mual dan muntah.



10







Varisela



Varisela atau cacar air adala infeksi primer virus varicella zoster atau human herpes virus 3 dengan masa inkubasi 10 – 21 hari. Varisela amat menular namun jarang memberikan komplikasi pada individu yang imunokompeten. Kematian dapat terjadi pada pasien imunokompromais. Infeksi virus ini dapat menyerang seluruh kelompok usia dengan proporsi tertinggi pada usia < 10 tahun dan puncak kejadian varisela pada usia 5 – 9 tahun. Varisela dapat terjadi pada neonates dengan tingkat risiko kematian sebesar 20 – 31%. Penularan varisela melalui droplet maupun kontak langsung dari lesi kulit. Viremia terjadi pada masa prodromal sehingga transmisi virus dapat terjadi pada fetus intrauterin atau melalui transfusi darah. Pasien dapat menularkan penyakit selama 24 jam sebelum lesi kulit timbul, sampai semua lesi timbul krusta/keropeng, biasanya 7-8 hari. Seumur hidup seseorang hanya satu kali menderita varisela. Serangan kedua mungkin berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster.27 Virus VZV masuk tubuh melalui mukosa saluran nafas bagian atas atau orofaring. Replikasi virus terjadi di kelenjar getah bening regional selama 2 – 4 hari yang diikuti dengan viremia primer. Selanjutnya akan terbentuk IgA, IgM, dan IgG anti-varicella zoster. Virus akan berkembang di sel retikuloendotelial. Viremia kedua akan terjadi 1 minggu kemudian.27



Gambar 8. Lesi varisela pada neonatal berupa papul, vesikel, dan krusta (Prasetya D, CDK291, 2020) Manifestasi klinis varisela ditandai dengan munculnya demam, malaise ringan, dan ruam yang dapat muncul bersamaan. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, ruam 11



dapat didahului oleh demam selama 2 – 3 hari sebelumnya, menggigil, malaise, nyeri kepala, anoreksia, dan gejala infeksi pernapasan akut. Lesi kulit akan muncul 24 – 48 jam setelah masa inkubasi berupa makula kecil eritematosa atau papul yang kemudian menjadi vesikel (fase vesikuler terjadi dalam waktu 8 – 12 jam) berdinding tipis, superfisial, dan terlihat seperti tetesan air. Vesikel yang pecah akan mengering membentuk krusta pada hari ke-6. Krusta akan lepas dalam waktu 1 – 3 minggu. Penyebaran varisela awalnya muncul pada kulit kepala, wajah, badan, dan selanjutnya menyebar ke ekstremitas, serta dapat terjadi pada mukosa mata, mulut, faring, dan laring. Lesi pada mukosa lebih cepat pecah dan membentuk ulkus dangkal. Lesi akan mengalami penyembuhan dengan skars hipopigmentasi dan jaringan parut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. 27-29 Varisela neonatal diklasifikasikan sebagai berikut:29 -



Sindrom varisela fetal: infeksi varisela primer pada ibu pada minggu ke-7 – 28 kehamilan. Infeksi ini menyebabkan beran badan lahir rendah, lesi kulit varisela sejak lahir, abnormalitas ocular (katarak, korioretinitis, sindorm Horner), kelainan sistem saraf pusat (kejang, atrofi kortikal, dan hypoplasia anggota gerak



-



Varisela neonatal dini: infeksi varicella zoster intrauterine, terjadi pada 12 hari pertama kehidupan. Bayi lahir dari ibu yang menderita varisela pada 5 hari sebelum hingga 2 hari setelah persalinan memiliki risiko tinggi mengalami varisela neonatal karena antibodi terkait varisel belum ditransmisikan dari ibu ke janin



-



Varisela post natal: terjadi paparan saat persalinan atau kontaminasi setelah lahir yang dapat dilihat setelah usia > 12 hari



Berikut adalah kriteria diagnostik varisela neonatal:29 -



Adanya varisela maternal selama kehamilan



-



Adanya lesi kulit varisela



-



Bukti infeksi varisela zoster intrauterine (PCR, IgM spesifik) atau adanya bukti infeksi zoster pada awal kehidupan bayi



12







Herpes Zoster Herpes zoster merupakan reaktivasi dari virus varicella zoster laten di ganglia



sensoris pada individu yang pernah terpajan sebelumnya yang menimbulkan erupsi vesikular akut. Reaktivasi varicella zoster meningkat seiring bertambahnya usia sehingga kasus herpes zoster jarang terjadi pada anak. Herpes zoster terjadi pada anak dengan riwayat infeksi primer intrauterin, anak imunokompromais, dan anak yang terinfeksi varisela pada tahun pertama kehidupan. Insidens herpes zoster pada anak 42 – 262,1 per 100.000 anak dalam 1 tahun. Insidens pada usia 0 – 14 tahun adalah 0,45/1000. Kasus herpes zoster sering dilaporkan pada anak usia > 5 tahun (< 10%) dan pada usia < 15 tahun sebesar 5%.30 Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varisela. Virus masih dapat ditemukan pada lesi vesikular, namun penularannya lebih rendah dibanding varisela. Penularan herpes zoster terjadi secara kontak langsung atau pada kasus herpes zoster diseminata dapat melalui airborne. Virus varisela pada infeksi primer akan menuju ke ujung saraf sensoris dan diangkut melalui berkas saraf sensoris ke sel ganglion. Setelah itu virus akan dorman dan menjadi infeksi laten di neuron. Reaktivasi dapat terjadi pada saat sistem imun individu rendah (imunitas sel T spesifik varicella zoster) akibat penuaan, penyakit (HIV atau keganasan), imunosupresif, dan sistem imunitas seluler yang imatur. Kemudian akan terjadi replikasi virus dan menyebar di ganglion yang dapat menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan. Virus akan menyebar melalui berkas saraf sensoris dan dilepas dari ujung saraf sensoris ke kulit sesuai dermatom. 30



Gambar 9. Tampak vesikel bergerombol multiple dengan dasar eritem di perut dan punggung kanan31



13



Gambar 10. Herpes zoster oftalmikus dengan tanda Hutchinson Gejala klinis diawali dengan gejala prodromal selama 1 – 3 minggu sebelum lesi kulit muncul, berupa nyeri radikuler, parestesia, malaise, nyeri kepala, dan demam. Gejala prodromal jarang terjadi pada anak. Lesi kulit awalnya berupa eritema yang menjadi papul multipel berkelompok. Selanjutnya terbentuk vesikel dengan dasar eritem berkelompok tersusun herpetiformis, berbatas tegas, bersifat unilateral, terdistribusi secara dermatomal (1 – 3 dermatom), bermula dari sentral ke perifer yang biasanya tidak melewati garis tengah tubuh. Vesikel dapat pecah lalu mengering menjadi krusta dan sembuh dalam 1 – 3 minggu. Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening area yang terkena disertai nyeri. Herpes zoster pada cabang oftalmikus saraf trigeminus dapat menyebabkan keratitis dan uveitis. Herpes zoster oftalmikus terjadi jika cabang nasosiliaris terinfeksi dan terdapat tanda Hutchinson.30,31







Herpes Simpleks Herpes simpleks disebabkan oleh herpes simplex virus 1 dan 2 (HSV 1 dan HSV



2). HSV 1 menyebabkan lesi pada orofasial, sedangkan HSV 2 menyebabkan lesi pada genital. Penularan HSV 1 dapat melalui lesi kulit yang terlihat, sehingga lebih mudah ditularkan dibanding HSV 2 yang ditularkan melalui kontak genital. Sedangkan 14



penularan HSV pada neonatus biasanya melalui transmisi transplasental, jalan lahir ibu yang terinfeksi HSV, atau kontak langsung dengan lesi HSV. Pada daerah dengan kondisi sosial ekonomi rendah didapatkan 1 dari 5 anak memiliki antibody terhadap HSV 1. 18% anak balita di US terinfeksi HSV 1, sedangkan di Afrika terdapat 35% balita yang terinfeksi. Infeksi HSV 1 banyak terjadi pada perempuan yang dapat bersifat asimptimatis atau subklinis. Di seluruh dunia, kasus herpes simpleks pada neonatus paling banyak disebabkan oleh HSV 2 (75%). Insiden infeksi HSV 2 pada neonatus adalah 1 : 3.000 – 20.000 kelahiran hidup. Penularan pada neonatus adalah > 40% pada infeksi herpes genital pertama pada ibu.32 HSV menginfeksi neonatus secara transplasental melalui vili korionik atau melalui jalan lahir. Virus masuk melalui kulit atau mukosa dan bereplikasi pada sel epidermis dan dermis. Selanjutnya virus akan berfusi untuk melakukan replikasi DNA. Dari sel epitel, HSV dapat menginfeksi saraf sensoris atau otonom regional dan menyebar melalui akson saraf menuju ke neuron sehingga infeksi HSV bersifat laten. Herpes labial menyebabkan infeksi laten pada ganglion trigeminal, sedangkan herpes genital pada ganglion pudendal. Keadaan imunodefisiensi dapat menyebabkan reaktivasi dari infeksi laten.32 Infeksi HSV neonatus diklasifikasan berdasarkan gejala klinis atau organ yang terlibat, yaitu HSV diseminata, infeksi HSV pada sistem saraf pusat, dan infeksi HSV pada kulit, mata dan mukosa. HSV diseminata melibatkan banyak organ seperti hati, paru-paru, adrenal, otak, mata, ginjal dan kulit. Infeksi ini memiliki angka mortalitas yang tinggi. Gejala muncul pada hari ke 4 – 5 setelah lahir, berupa kejang, distress pernapasan, ikterus, perdarahan, syok, dan eksantema dengan vesikel. 20 – 40% HSV diseminata tidak disertai vesikel. Infeksi SSP akibat HSV menunjukkan gejala ensefalitis seperti kejang fokal atau generalisata, letargi, iritabilitas, tremor, suhu tubuh tidak stabil, ubun-ubun menonjol, dan gejala pyramidal. 30 – 40% kasus tidak ditemukan vesikel. Pada kultur cairan serebrospinal menunjukkan pleiositosis dan kadar protein meningkat.



15



Gambar 11. Herpes simpleks pada kulit



Gambar 12. Herpes simpleks diseminata



dan mukosa mulut



(Ansary MA, Science Photo Library)



Infeksi HSV pada kulit, mata dan mukosa ditandai dengan adanya vesikel berbatas tegas berkelompok yang awalnya berada pada tempat kontak dengan virus kemudian menjalar ke tempat lain. Vesikel dengan dasar eritema dapat berkonfluens berkembang menjadi bula dan pustule. Vesikel/ bula/ pustul dapat pecah dan menjadi krusta. Dapat juga terbentuk ulkus akibat nekrosis jaringan. Lesi pada mata dapat berupa keratokonjungtivitis dan menjadi korioretinitis, katarak serta lepasnya retina. Lesi pada mukosa mulut terjadi pada 10% kasus berupa vesikel, jika pecah menjadi ulkus. Gejala prodromal berupa demam atau hipotermia, letargi, anoreksia, dan iritabilitas. 32,33







Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) Virus dengue penyebab demam berdarah mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN-1,



DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti betina. Kasus DBD banyak ditemukan di negara tropis dan subtropis. Insidensi DBD di Indonesia tahun 2020 adalah 40 per 100.000 penduduk dengan kasus paling tinggi terjadi di Bali. Kasus kematian karena DBD pada 2020 sebanyak 747 kematian (Profil Kesehatan Indonesia, Kemenkes, 2020). Infeksi primer virus dengue adalah infeksi pertama dengan serotipe tertentu dan biasanya memberikan manifestasinya ringan. Infeksi berikutnya dengan serotipe yang 16



berbeda dikenal sebagai infeksi sekunder dan dapat menyebabkan manifestasi yang berat seperti DBD atau sindrom syok dengue (DSS). Seteleh terinfeksi dengan serotipe tertentu, individu menjadi kebal terhadap reinfeksi dengan serotipe yang sama. Namun infeksi dengan serotipe yang berbeda dapat terjadi karena kekebalan heterolog jangka waktunya pendek.34 DBD memiliki 3 fase, yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan



Grafik 1. Fase DBD (WHO, 2009) Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO, 1997 adalah pasien dengan 2 gejala klinis dan 2 gejala laboratorium, yaitu sebagai berikut. 35 -



Demam tinggi mendadak selama 2 – 7 hari



-



Hepatomegali



-



Syok (takikardia, perfusi jaringan buruk yang ditandai dengan nadi lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah)



-



Manifestasi perdarahan (minimal uji torniket positif)



-



Jumlah trombosit < 100.000/µl



-



Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%) atau bukti kebocoran plasma lainnya seperti asites, efusi pleura, kadar protein/ albumin/ kolesterol serum rendah



17



Gambar 13. A. Lesi maculopapular, B. Lesi morbiliformis, C. Lesi petekie ( Hsin-Wei Huang et al, Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, 2016)



Gambar 14. Lesi seperti pulau-pulau putih di antara eksantema Manifestasi klinis DBD lainnya dapat ditemukan nyeri seluruh tubuh, myalgia, athralgia, nyeri retroorbital, sakit kepala, nyeri abdominal, mual, muntah, anoreksia, dan ruam pada kulit. Ruam kulit pasien infeksi virus dengue muncul pada fase demam. Ruam awalnya muncul sebagai eritema pada wajah yang bertahan sekitar 24 – 48 jam akibat dilatasi kapiler. Selanjutnya ruam makulopapular atau erupsi morbiliformis dapat muncul pada hari ke 3 – 6 dan biasanya tidak mengenai telapak tangan dan kaki. Ruam berupa petekie, purpura, ekimosis akibat pecahnya pembuluh darah juga dapat muncul pada tangan, lengan, kaki, dan mulut pada hari ke 4 – 5 setelah onset demam. Pada fase konvalesen dapat muncul eritema konfluens generalisata dengan petekie dan terbentuk ruam seperti “white islands in a sea of red”. Ruam konvalesen biasanya disertai dengan pruritus dan bermula dari dorsum tangan dan kaki, menyebar ke ekstremitas, dan punggung. Manifestasi pada mukosa dapat terjadi injeksi siliar/ konjungtiva, vesikel pada palatum mole, eritema dan krusta pada bibir dan lidah.34,36



18







Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD)37 HFMD disebabkan oleh enterovirus (Coxsackievirus A16 dan Enterovirus 71)



yang biasa menyerang bayi, anak < 10 tahun, dan jarang terjadi pada orang dewasa. Semua enterovirus memberikan gejala ringan, kecuali Enterovirus 71 yang dapat menyebabkan kelainan neurologis dan kematian. Penularan HFMD melalui fecal-oral dan sekret saluran napas. HFMD banyak ditemukan pada negara-negara tropis dan subtropis. Masa inkubasi penyakit ini 3 – 6 hari. Replikasi virus terjadi di faring dan usus (sel M) yang diikuti dengan multiplikasi di jaringan limfoid (tonsil, plak payeri, kelenjar limfe regional). Penyebaran ke kelenjar limfe berlangsung dalam 24 jam diikuti oleh viremia primer sehingga menyebabkan penyebaran ke sistem retikuloendotelial. Infeksi klinis dapat terjadi jika terus terjadi replikasi dan viremia sekunder ke organ target seperti SSP, jantung, dan kulit.



Gambar 15. Lesi kulit HFMD (Kashyap RR et al, J Clin Exp Dent, 2015) Manifestasi klinis HFMD berupa sindrom yang terdiri dari stomatitis vesikuler dan lesi kutaneus pada ekstremitas. Diawali dengan demam non-spesifik yang ringan, terdapat nyeri menelan, dan anoreksia. Vesikel muncul setelah 1 – 2 hari dari onset demam di pipi, gusi, dan tepi lidah. Akan terjadi lepuhan kecil merah dan berubah menjadi ulkus. 1 – 2 hari setelahnya akan muncul lesi papulovesikular di kulit (telapak tangan, jari-jari kaki dan tangan, telapak kaki, bokong, alat kelamin, dan tungkai). Terdapat halo eritem tipis di sekitar vesikel. Lesi dapat berdarah tanpa rasa gatal dan nyeri. Gejala atipikal seperti meningitis aseptik, ensefalitis, myelitis akut transversal, sindrom Guillain-Barre, dan ataksia cerebellar akut dapat muncul.



19







Pityriasis Rosea38,39 Pityriasis rosea (PR) adalah penyakit exantem self-limiting disease yang



disebabkan oleh reaktivasi human herpesvirus (HHV-6 atau HHV-7). Insidensi PR banyak terjadi pada usia 10 – 35 tahun dan jarang terjadi pada usia < 10 tahun. Perempuan dan ibu hamil lebih sering terkena PR dibanding laki-laki. Pada populasi kulit hitam memiliki lesi kulit yang berbeda seperti lesi lebih banyak pada kulit kepala dan wajah, serta terjadinya perubahan pigmen post-infeksi.



Gambar 16. Erupsi maculopapular pada leher dan tubuh dengan skuama (Ermertcan AT et al, Iran J Pediatr, 2010) Manifestasi klinis dapat diawali dengan gejala prodromal seperti demam, malaise, muntah, penurunan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, iritabilitas, nyeri kepala, gejala sistem pencernaan dan pernapasan. Lesi kulit PR awalnya muncul plak eritem soliter berukuran 2 – 4 cm dengan skuama/ kolaret dipinggirnya dan tepi meninggi yang disebut sebagai herald patch atau mother patch. 1 – 2 minggu kemudian diikuti dengan erupsi sekunder berupa lesi papuloskuamosa bentuk oval atau bulat dengan distribusinya simetris mengikuti Langer’s line pada batang tubuh sehingga membentuk gambaran “pohon natal” dan juga menyebar pada ekstremitas proksimal. Lesi oral dapat muncul pada 16% kasus pasien Kaukasian berupa tanda perdarahan, erosi atau ulkus, makula eritematosa, annular eritematosa, dan plak eritematosa. PR dapat memberikan gambaran lesi yang tidak khas (atipikal) berdasarkan morfologi, ukuran, jumlah, distribusi, lokasi, keparahan gejala dan perjalanan penyakitnya. Lesi atipikal secara morfologi dapat berupa vesikel, purpura, hemoragik, atau urtikaria 20



dengan ukuran yang bervariasi. Distribusinya juga dapat ditemukan pada wajah, axilla, dan inguinal. PR marginata dan circinate memiliki ukuran plak yang besar dan terlokalisasi pada regio axilla dan inguinal. Terdapat nyeri dan sensasi terbakar pada PR irritate, terutama saat pengobatan topikal diaplikasikan. PR dapat menunjukan gambaran psoriaasiformis dan krusta. Penyakit ini dapat bertahan 2 – 6 minggu dan sembuh dengan sendirinya.



21



II.3 Infeksi Parasit 



Skabies40 Skabies (kudis/ gudig/ budug) adalah penyakit kulit yang disebabkan kutu



Sarcoptes scabiei. Penyakit ini banyak terjadi pada daerah tropis dan subtropis dengan angka kejadian 130 juta orang di dunia tahun 2014 (WHO). Skabies menyerang seluruh ras dan kelompok umur, namun lebih sering terjadi pada anak dan remaja. Prevalensi skabies di Indonesia tahun 2014 adalah 7,4 – 12,9% dan masih menjadi salah satu penyakit menular. Faktor yang mempengaruhi skabies adalah keterbatasan air bersih, perilaku kebersihan yang buruk, dan kepadatan penghuni rumah. Penyakit ini banyak terdapat di asrama, panti asuhan, pesantren, dan pengungsian. Siklus hidup S. scabiei terdiri dari telur, larva, nimfa, dan tungau dewasa. Tungau betina dewasa akan berjalan di permukaan kulit dan melekatkan diri di permukaan kulit menggunakan ambulakral. Selanjutnya terbentuk lubang dan tungau membuat terowongan di stratum korneum yang biasanya dilakukan malam hari sambil tungau bertelur/ mengeluarkan feses. Tungau dapat bertahan selama 30 – 60 hari. Diagnosis skabies ditegakkan jika ada 2 tanda dari 4 tanda kardinal, yaitu gatal pada malam hari (pruritus nokturna), gejala terjadi pada sekelompok orang yang tinggal berdekatan, terbentuknya terowongan garis lurus atau berkelok dengan panjang 2 cm berwarna putih/ abu-abu (kunikulus) di tempat predileksi (sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, umbilicus, bokong, perut bagian bawah, areola mammae, genital eksterna), dan ditemukan S. scabiei.



Gambar 17. Lesi skabies pada bayi dan anak < 4 tahun (Riebenbauer K, JPEDS, 2022)



Skabies menyebabkan gatal yang muncul 4 – 6 minggu setelah infestasi pertama, bila terjadi re-infestasi gejala dapat muncul dalam 2 hari. Rasa gatal memberat 22



pada malam hari sehingga mengganggu tidur pasien. Pemeriksaan fisik akan ditemukan lesi kulit berupa papul, vesikel, urtika, dan lesi sekunder (erosi, ekskoriasi, krusta). Dapat ditemukan lesi kunikulus (terowongan) putih atau abu-abu yang lurus/ berkelokkelok sepanjang 1 – 10 mm di tempat predileksi. Pada bayi, lansia, pasien imunokompromais, lesi dapat menyerang seluruh permukaan tubuh. Pada varian skabies Norwegian dapat ditemukan lesi plak hiperkeratotik di tangan dan kaki, kuku jari tangan dan kaki distrofik, serta skuama generalisata. Biasanya tidak gatal.







Kandidiasis Mukokutan Paling sering disebabkan oleh Candida albicans atau genus kandida lainnya.



Beberapa spesies kandida adalah flora normal pada tubuh, sehingga ketika menyebabkan penyakit disebut sebagai pathogen oportunistik. C. albicans sering menyebabkan infeksi pada neonatus berupa kandidiasis orofaring, ruam popok, dan kandidiasis kongenital. Kolonisasi kandida di rongga mulut dilaporkan tersering saat usia minggu ke empat kelahiran sebanyak 79%, tetapi dapat ditemukan pada hari pertama kelahiran yaitu sebanyak 7% dan usia satu minggu 4 setelah kelahiran sebanyak 37%.41 Interaksi kandida dan flora normal kulit lainnya mengakibatkan persaingan dalam mendapatkan nutrisi seperti glukosa. Mekanisme imunitas seluler dan humoral tahap pertama timbulnya kandidiasis kulit dan mukosa adalah menempelnya kandida pada sel epitel disebabkan adanya interaksi antara glikoprotein permukaan kandida dengan sel epitel. Selanjutnya kandida mengeluarkan zat keratinolitik (fosfolipase), yang menghidrolisis fosfolipid membran sel epitel. Bentuk pseudohifa kandida juga mempermudah invasi jamur ke jaringan kemudian di dalam jaringan kandida mengeluarkan faktor kemotatik neutrofil yang akan menimbulkan reaksi radang akut.41 Infeksi kandidiasis juga dapat menjadi kronis yang biasanya muncul pada anakanak. Infeksi ini bersifat rekuren dan kambuhan pada mukokutan dan kuku. Kronisitas kandidiasis dapat disebabkan karena peningkaran sikotin inflamasi (TNF-α, IL-6, IL10) dan penurunan IL-4 & IL-5. Reaksi berlebihan dari sitokin inflamasi terhadap antigen kandida dapat menurunkan respon protektif tipe 1 sehingga terjadi inflamasi yang persisten. Selain itu dilaporkan bahwa penurunan produksi IL-23 menyebabkan



23



penurunan fungsi limfosit Th-17 dan IL-17 sehingga menyebabkan kandidiasis menjadi kronis.42 Faktor predisposisi kandidiasis adalah faktor mekanik (trauma, oklusi lokal, kelembapan, maserasi, bebat oklusif), faktor nutrisi (avitaminosis, defisiensi zat besi, malnutrisi), faktor perubahan fisiologis, faktor penyakit sistemik (sindroma Down, acrodermatitis, enteropatika, diabetes melitus, hipoadrenalisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme), imunodefisiensi, dan faktor iatrogenik (kateter, jalur intravena, radiasi x-ray, obat kortikosteroid, agen imunosupresif, antibiotik). 41,42



Gambar 18. Kandidiasis orofaring dan ruam popok dengan pustul satelit (Kane KS et al, Color nd atlas & synopsis of pediatric dermatology, 2009) Gejala kandidiasis orofaring dapat asimptomatik. Lesi yang muncul berupa lesi putih dan tebal pada mukosa bukal, gusi, dan lidah yang tampak seperti “cheesy” atau pseudomembran. Kerokan lesi dapat menyebabkan dasar merah, erosi, bahkan berdarah. Ruam popok pada bayi mengenai kulit yang lembab seperti lipatan paha, pantat dan genitalia. Lesi berupa makula eritem warna merah terang, berbatas tegas dengan papul/ pustul satelit. Penularan biasanya didapat dari feses yang terinfeksi jamur menularkan ragi ke kulit di sekitar anus. Kandidiasis kongenital disebabkan infeksi ascending dari vagina ibu, inokulasi langsung saat persalinan, atau intrauterin. Benda asing intrauterus (intrauterine device, jahitan servikal) meningkat risiko kandidiasis kongenital. Manifestasi klinis muncul saat hari pertama kelahiran berupa erupsi eritematosa papulovesikular generalisata dan deskuamasi yang muncul pada wajah, badan, telapak tangan & kaki, dan mukosa oral. 41



24



Gambar 19. Kandidiasis kongenital pada usia 3 hari tampak pustul (Mallory SB et al, Illustrated manual of pediatric dermatology diagnosis and management, 2005)



Sedangkan pada kandidiasis mukokutan kronis dapat ditemukan eritema difus dan edema pada wajah, serta fotofobia dan mata berair selama 1 bulan. Diatas eritema terdapat pustule dan krusta, lesi tidak nyeri maupun hiperemis, dan tidak ada lesi lain sebelumnya. Gejala lainnya dapat ditemukan plak putih pada mukosa oral & genital, angular cheilitis, alopesia dan paronikia (kuku menebal, rapuh, dan berubah warna menjadi hiperpigmentasi). Tidak ada gejala infeksi respirasi maupun gastrointestinal sebelumnya.42,43



Gambar 20. Kandidiasis mukokutan kronis; A. eritema difus dan edema dengan hiperpigmentasi dan krusta, B. kandidiasis oral (Sasidharanpillai S et al, Indian J Paediatr Dermatol, 2018)







Tinea (Dermatofitosis)44 Tinea merupakan infeksi superfisialis pada kulit (stratum korneum), kuku, dan



rambut yang disebabkan oleh jamur Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Penularan dermatofitosis melalui 3 cara, yaitu secara antropofilik (manusia ke 25



manusia), zoofilik (hewan ke manusia), geofilik (tanah ke manusia). Infeksi dermatofita melalui 3 langkah yaitu perlekatan pada keratinosit, penetrasi di antara sel dan pembentukan respon host. Tinea dapat menginfeksi seluruh usia, namun prevalensi paling tinggi pada anak usia pra-remaja. Insidensinya meningkat pada daerah tropis dan subtropis karena iklim yang lembab. Prevalensi pasien dermatofitosis di Rumah Sakit Islam Aisiyah Malang dari Januari-Desember 2017 menyebutkan tinea korporis merupakan jenis dermatofita tersering dan pada kelompok anak usia < 15 tahun menjadi kasus kedua terbanyak.45 Gejala dermatofitosis didasasarkan pada jaringan yang terinfeksi. -



Tinea kapitis Terjadi pada kulit dan rambut kepala yang sering disebabkan genus Microsporum yang ditandai dengan kulit bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi kerion. 3 tanda khas dari tinea kapitis adalah grey patch ringworm, kerion, dan black dot ringworm. Grey patch ringworm dimulai dengan papul merah kecil di sekitar rambut yang melebar membentuk bercak kemudian menjadi pucat dan bersisik. Rambut menjadi abu-abu, mudah patah/ dicabut, kepala terasa gatal. Akan terjadi alopesia akibat semua rambut terserang jamur sehingga disebut sebagai grey patch. Kerion lebih sering terlihat jika disebabkan oleh Microsporum canis dan gypseum. Lesi pada kepala berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang padat di sekitarnya. Jaringan parut akan menetap sehingga menjadi alopesia. Black dot ringworm sering disebabkan Trychophyton tonsurans dan violaceum. Rambut menjadi mudah patah pada muara folikel sehingga meninggalkan ujung rambut hitam yang penuh dengan spora. Ujung rambut tersebut memberikan gambaran black dot.



Gambar 21. Tinea kapitis; a. grey patch, b. black dot, c. kerion, d. variasi pustular (Bhat YJ et al, Indian Derm Online Journal, 2017) C



d



26



-



Tinea kruris Gejala tinea kruris adalah rasa gatal hebat pada lipat paha, perineum, bokong dan genitalia. Ruam berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan tepi aktif yang terdiri dari pustule atau papul, terdapat central healing, dan skuama di atasnya. Jika infeksi kronik terbentuk makula hiperpigmentasi dengan skuama.



Gambar 22. Tinea kruris (Saraswati N et al,



Gambar 23. Tinea korporis ekstensif (Elfaituri



Indian Journal of Paediatr Derm, 2020) -



SS, J Clin Dermatol Ther, 2017)



Tinea korporis Infeksi jamur dermatofita pada daerah kulit selain kulit kepala, inguinal, telapak tangan dan kaki. Lesi berupa makula eritematosa berbentuk bulat, batas tegas, dengan vesikel dan papul di tepinya (tepi meninggi dan aktif). Di bagian tengah terdapat central healing. Lesi dapat bergabung menjadi satu sehingga memberikan gambaran tepi polisiklik. Dapat terlihat erosi dan krusta akibat garukan karena jamur menyebabkan gatal yang hebat.



27



II.4 Penyakit Imunologi 



Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)46,47 SSJ/ NET merupakan kegawatdaruratan dermatologis yang disebabkan oleh



reaksi hipersensitivitas berkaitan dengan penggunaan obat, infeksi, genetik, keganasan, dan idiopatik. SSJ/ NET ditandai dengan nekrosis jaringan epidermis ekstensif sehingga terjadi pengelupasan pada kulit dan mukosa. Angka kejadian SSJ/ NET mencapai 1 – 10 kasus per 1.000.000 per tahun dimana 20% kasusnya adalah pediatrik. Angka kematian SSJ adalah 4,8 – 9%, SSJ/ NET 19,4 – 29%, dan NET 14,8 – 48%. NET lebih sering terjadi pada perempuan dan SSJ sering pada laki-laki. Obat-obatan menjadi penyebab paling sering pada penyakit ini. Obat yang dapat menimbulkan SSJ/ NET adalah penisilin dan derivatnya, streptomisin, sulfonamid, tetrasiklin, anakgesik/antipiretik, digitalis, hidralazin, barbiturate, kinin antipirin, chlorpromazine, karbamazepin dan jamu-jamuan. Infeksi yang bisa menginduksi SSJ/ NET seperti infeksi virus (herpes simpleks, cytomegalovirus, HIV, Coxsackie, influenza, hepatitis, smallpox, mumps, Epstein-Barr dan enterovirus), infeksi bakteri (Streptokokus grup A beta hemolitik, difteri, brucellosis, lymphogranuloma venerum, mikobakteria, Mycoplasma pneumonia, rickets, tularemia, tifoid), infeksi jamur (kokidiodomikosis, dermatofitosis, histoplasmosis), dan infeksi parasit (malaria, trikomoniasis). Gen yang menyebabkan SSJ/ NET adalah human leukocyte antigen. Keganasan seperti karsinoma Hodgkins, limfoma, myeloma, dan polisitemia juga dapat menginduksi penyakit ini. Reaksi hipersensitivitas yang terjadi adalah reaksi sitotoksik (CD8) terhadap keratinosit yang menyebabkan apoptosis berupa pelepasan sel epidermis dari lapisan papilaris dermis pada epidermal-dermal junction. Interaksi Fas-FasL, jalur Perforin/Garanzym B, dan Granulysin adalah jalur yang menginduksi apoptosis sel epidermis. Individu kelompok asetilator lambat (hepar tidak dapat detoksifikasi metabolit obat), imunokompromais (HIV), pasien tumor otak yang menjalani radioterapi bersamaan dengan obat antipileptik rentan mengalami SSJ. SSJ dan NET dibedakan berdasarkan luas area pelepasan kulit, morfologi lesi primer, distribusi, dan gejala sistemik. Luas area pelepasan kulit SSJ < 10%, SSJ/ NET 10 – 30%, dan NET > 30%. Pada SSJ dan SSJ/ NET lesi primer dapat berwarna merah 28



kehitaman atau lesi target atipikal dan distribusinya terisolasi. Sedangkan NET lesi primer dapat berupa plak eritem berbatas tidak tegas, pelepasan lapisan epidermis, lesi merah kehitaman, atau lesi target atipikal. Lesinya jarang terisolasi dan paling banyak berkonfluens pada seluruh tubuh dibanding SSJ dan SSJ/ NET. Ketiga penyakit ini melibatkan mukosa (paling sering mulut dan genital) berupa eritema, edema, bula, ulkus, nekrosis, dan pseudomembran pada mata, mulut, genital, tenggorokan, saluran napas dan gastrointestinal. Dapat menyebabkan gejala sistemik, namun SSJ dapat tidak menunjukkan gejala sistemik.



Gambar 24. A. Eritema multiform, B. SSJ, C. SSJ/ NET, D. NET (Chen CB et al, MIMB, 2022) Gejala klinis SSJ/ NET dibagi menjadi 2 fase, yaitu: -



Fase akut: terjadi 8 minggu setelah terpapar obat dengan gejala awal tidak spesifik seperti demam, dan flu like syndrome. Selanjutnya lesi primer akan muncul disertai rasa terbakar yang simetris pada wajah, bagian atas tubuh dan bagian atas ekstremitas. Bagian distal lengan dan tungkai biasanya tidak terkena. Lesi awal tampak makula eritem hingga merah kehitaman, purpura, bentuk irregular yang dapat berkonfluens. Kemudian akan berkembang menjadi papul, vesikel, bula, plak urtikaria yang tidak gatal. Lesi tipikal (patognomonik) memberi gambaran seperti target (2 zona warna pada bagian sentral atau inti tampak vesikel, purpurik, atau nekrotik; zona ini dikelilingi oleh makular eritema), sedangkan lesi atipikal seperti eritema multiform (3 zona berbentuk cincin konsentrik). Lesi awal dimulai pada wajah dan dada yang selanjutnya menyebar simetris ke arah luar. Paling sering di telapak tangan, telapak kaki, dorsum tangan, ekstensor ekstremitas bawah. Lesi terasa nyeri saat disentuh. 3 -5 hari kemudian terjadi pelepasan lapisan epidermis



29



dan terbentuk bula rapuh dan ruptur. Pemeriksaan nikolsky’s sign positif di area sekitar lesi, namun tidak spesifik. Lapisan kulit mati menyebabkan infeksi sekunder yang dapat menimbulkan jaringan parut. Area lesi yang luas akan mengakibatkan nyeri hebat, kehilangan cairan dan protein yang masif, electrolyte imbalance, resistensi insulin, status hiperkatabolik, infeksi dan bakteremia, syok hipovolemik dengan gagal ginjal, dan gagal multi organ. Reepitelisasi terjadi 1 – 3 minggu. Keterlibatan pada mata meliputi lesi konjungtiva ditandai hiperemia, sekret purulen, erosi, kemosis, fotofobia, dan lakrimasi; selain itu, terdapat edema kelopak mata, terbentuk membran atau pseudomembran pada mata hingga erosi kornea, pada kasus berat dapat terjadi lesi sikatrik, symblepharon, ulkus kornea, dan uveitis anterior. -



Fase akhir: gejala sisa berupa perubahan pigmen kulit, komplikasi mata (mata kering, trikiasis, symblepharon, distikiasis, kebutaan, entropion, ankyloblepharon, lafgotalmus, ulkus kornea) dan distrofi kuku.







Eritema Multiform48,49 Eritema multiform (EM) adalah erupsi akut yang rekuren atau persisten pada



kulit dan mukosa dengan beberapa bentuk lesi kulit akibat reaksi hipersensitivitas dan merupakan self limiting disease. EM dapat diinduksi oleh infeksi virus herpes simpleks sehingga didiagnosis sebagai herpes associated erythema multiforme (HAEM), sedangkan jika diinduksi oleh obat didiagnosis sebagai druig induced erythema multiforme (DIEM). Mycoplasma pneumoniae menjadi penyebab EM pada 10% kasus. Vaksin juga diketahui dapat menginduksi EM walaupun insidensinya rendah. EM juga ditemukan pada penyakit autoimun, leukemia, limfoma, karsinoma sel renal, adenokarsinoma gaster. Penyakit ini dibedakan menjadi 2 berdasarkan keterlibatan membrane mukosa menjadi EM mayor (mukosa terlibat) dan EM minor. Insidensi EM < 1% dan sering terjadi pada usia dewasa muda (>40%). EM dibedakan dengan SSJ berdasarkan luas penyebaran, distribusi, morfologi lesi dan keparahan penyakitnya. Lesi SSJ sering berbentuk makula yang tersebar lebih luas dibanding EM d banyak terjadi pada batang tubuh serta penyebaran ke membrane mukosa lebih banyak. SSJ lebih mengancam nyawa lidibanding EM.



30



Gambar 25. EM pada anak usia 3 tahun (Neri I et al, Archives of Disease in Childhood, 2016) Gen human leukocyte antigen menjadi faktor predisposisi terjadinya EM. Diketahui reaksi imun terhadap gen polymerase DNA HSV menjadi dasar terjadinya EM. DNA HSV dibawah ke sel keratinosit & lapisan sel spinosum dan terjadi upregulasi ekspresi sel Langerhans-HSV ke sel endotel sehingga adhesi meningkat dan terjadi respon inflamasi pada kulit. Gejala prodromal muncul 1 minggu atau lebih sebelum lesi muncul. Gejala ini tidak menonjol, seperti demam, malaise dan myalgia, namun pada EM mayor sering terjadi. Manifestasi tipikal dari EM diawali dengan makula merah muda atau merah yang dapat berubah menjadi plak yang gatal dan rasa terbakar, 3 – 5 hari kemudian lesi akan berubah menjadi berbagai bentuk lesi. Lesi khas EM berupa lesi target/ iris (“bull’s eye”) yaitu bula sentral atau area pucat yang dikelilingi garis edema eritem yang konsentris. Pada EM minor, lesi inisial berupa papul yang membesar dan membentuk lesi target. Selanjutnya akan membentuk patch atau lesi anular yang berkonfluens. Sering terjadi pada ekstensor ekstremitas, namun dapat terjadi juga pada tubuh. Sedangkan lesi EM mayor tampak pada 20 – 60% kasus dan berupa edema yang berkembang menjadi erosi superfisial dengan pseudomembran. Lesi pada mukosa sering pada bibir dan mukosa mulut, lidah, dan labial. Makula eritem, edema, dan plak hiperkeratosis berkembang menjadi bula hemoragik profunda dan lesi erosif. Bibir bengkak disertai bercak darah yang menjadi krusta adalah ciri khas EM pada oral. EM rekuren dapat terjadi karena reaktivasi HSV dan sering terjadi pada anak laki-laki. Sedangkan EM persisten terjadi bersamaan dengan penyakit inflamasi gastrointestinal, keganasan, dan infeksi. 31







Urtikaria50 Urtikaria merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan erupsi kulit yang



timbul mendadak dan/ atau disertai angioedema yang disebabkan oleh degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast dapat diperantarai sel IgE, oleh induksi langsung agen penyebab, atau idiopatik. Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus. Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (6 minggu) dan urtikaria kronis. Urtikaria kronis terjadi pada 3% anak dan 4,5 – 15% kasus urtikaria akut. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia rata-rata 40 tahun). di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sel mast yang teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan mediator lain seperti platelet activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya mediator-mediator ini akan menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, ekstravasasi plasma, serta migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil, makrofag, dan sel T. Banyak teori etiologi urtikaria seperti faktor psikosomatis, alergi makanan tipe 1, autoreaktivitas dan autoimun, peran IgE.



Gambar 26. A. Urtikaria pada lengan, B. Angioedema pada mata (Kaplan AP, Synopsis, 2014) Gejala klinis urtikaria ditandai dengan peninggian kulit yang mendadak dengan eritema disekitarnya, terasa gatal dan sensasi terbakar, umumnya menghilangan dalam 24 jam. Sedangkan angioedema ditandai dengan edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak, dapat berwarna kemerahan atau warna lain,



32



sering disertai edema membran mukosa. Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dan menghilang setelah 72 jam.







Dermatitis Atopik Dermatitis atopik (DA) atau eczema adalah inflamasi kronik-residif pada kulit



yang diturunkan secara genetik dan sering terjadi pada bayi dan anak. Prevalensi DA pada anak-anak sebanyak 15 – 20% (2.000.000 anak di 100 negara), sedangkan pada usia dewasa sebanyak 1 – 3%. Onset terjadinya DA sering pada anak-anak dari lahir sampai usia 5 tahun dan sembuh sebelum usia dewasa. 51 Pada pasien dengan DA terdapat mutase gen filagrin yang mengganggu pembentukan protein untuk sawar kulit. Fungsi sawar epidermis yang terganggu menyebabkan gangguan permeabilitas dan pertahanan terhadap mikroorganisme. Kandungan



ceramide



dan



lipid



stratum korneum



menyebabkan tingginya



transepidermal water loss (TEWL). Korneosit pada pasien DA juga lebih kecil dibanding pada kulit normal. Keseluruhan tersebut menyebabkan bahan iritan, allergen, mikroba mudah masuk ke dalam kulit. Mikroorganisme S. aureus sering membuat koloni pada pasien DA (90%). Respons imun bawaan terjadi defek sehingga lebih mudah terinfeksi mikroorganisme. IL-4, IL-5 dan TNF diketahui merangsang pelepasan IgE.52 Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka terdapat dua kriteria, yaitu kriteria mayor (pruritus/gatal, dermatitis kronis atau kambuhan, lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak-anak, lesi pada fleksor dan likenifikasi pada anak yang lebih besar dan dewasa, riwayat atopik pada diri pasien atau keluarga) dan kriteria minor (Onset dini setelah usia 2 bulan Xerosis, atau kekeringan kulit, iktiosis, hiperlinearis palmaris, keratosis pilaris, lipatan infraorbital Dennie Morgan, katarak subkapsular anterior, keratoconus, eksim puting susu, kepucatan atau eritema wajah, dermititis non spesifik pada tangan dan kaki, infeksi kulit). 51,52



33



Gambar 27. Dermatitis atopik pada bayi dengan onset usia 6 bulan (A-E) dan dewasa (F-J) (Esaki H et al, Journal of Allergy and Clin Immunol, 2016) Gambaran klinis pasien DA bergantung pada usia pasien. Pada bayi (0 – 2 tahun), lesi biasanya akut eksudatif (plak eritematosa, papulovesikulosa) yang gatal dengan predileksi pada wajah dan ekstensor ekstremitas. Sedangkan pada anak sampai usia pubertas, kulit tampak kering (xerosis) yang bersifat kronis dan mengenai daerah fleksor ekstremitas, pergelangan tangan & kaki, leher dan periorbita. Terjadi penebalan dan plak ekskoriasi. Pada usia dewasa, lesi lebih kering dan dapat ditemukan likenifikasi dengan predileksi pada permukaan fleksor ekstremitas, tangan dan kaki. Pasien akan merasa gatal yang muncul sepanjang hari dan memberat saat malam hari sehingga mengganggu waktu tidur. Bekas garukan akan memberikan lesi sekunder seperti papul, erosi, ekskoriasi, dan menjadi likenifikasi pada proses kronis. Pada pasien DA juga dapat ditemukan gejala rhinitis alergi dan asma. 52,53







Dermatitis Kontak54 o



Dermatitis Kontak Alergi



Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah merupakan penyakit kulit akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV yang diinduksi oleh adanya kontak dengan alergen. Alergen paling sering yang menimbulkan DKA adalah logam, pewangi, antibiotik topikal, pengawet, dan emolien. Jumlah kejadian DKA pada anak dan dewasa sama. Prevalensi DKA pada anak adalah 16,5%, namun banyak kasus yang tidak dilaporkan. DKA sering pada anak usia > 10 tahun dan jenis kelamin perempuan. Sedangkan pada usia < 10 tahun sering terjadi pada anak laki-laki.



34



Pada DKA terjadi 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Fase sensitisasi dimulai dengan kontak alergen pada kulit. Alergen penetrasi melalui stratum korneum dan berikatan dengan sel Langerhans. Sel tersebut dibawa melalui limfatik ke kelenjar getah bening regional untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan tersebar melalui pembuluh darah dan ke epidermis. Fase elitisasi dimulai ketika terjadi pajanan ulang alergen yang sama pada individu. Sel Langerhans akan membawa antigen ke sel T spesifik yang sudah terbentuk sebelumnya, sehingga menginduksi proses proliferasi sitokin inflamasi. DKA fase akut ditandai dengan pruritus, papul eksematosa, plak eritema, edema, vesikel atau bula, dan krusta. Kontak berulang menyebabkan plak eritematosa menjadi likenifikasi dengan hiperkeratosis, fisura, dan perubahan pigmen. DKA pada anak sering terjadi pada kepala, leher, tangan dan kaki. Pada bayi perlu diperhatian pada area popok, karena sering terkena DKA. Sedangkan pada pasien dewasa sering terjadi pada kaki dan bibir. Morfologi DKA dapat atipikal, seperti purpura atau pustular.



Gambar 28. Dermatitis kontak alergi dan iritan (Hebert A et al, Journal of Clin Med, 2015)



o Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah kerusakan sel epidemis secara langsung akibat bahan iritan toksik yang mengaktivasi sistem imun bawaan sehingga terjadi respon inflamasi lokal. 80% kasus dermatitis kontak merupakan DKI. Konsentrasi/ kadar, jumlah/ volume bahan iritan menentukan keparahan DKI. Bahan iritan seperti air, sabun, desinfektan, sarung tangan, shampoo, cairan asam/ basa, wol, debu, tanah, dan kertas. Faktor pathogen utama DKI adalah kerusakan barrier kulit, perubahan sel epidermis, dan pelepasan mediator inflamasi dari keratinosit. Asam atau basa kuat bersifat toksis terhadap keratinosit epidermal dan merusak barrier epitel karena



35



kehilangan lipid. Kerusakan barrier epitel dapat meningkatkan permeabiltas terhadap iritan bahkan allergen. Kerusakan epitel juga dapat terjadi pada pajanan bahan iritan lemah yang berulang. Kerusakan keratinosit dapat menginduksi sitokin inflamasi sehingga mengaktivasi sel Langerhans, sel dendritik, dan sel endothelial. Bahan iritan dapat langsung dikenali sebagai sinyal berbahaya oleh TLRs dan Nod-like receptors yang mengaktivasi inflamasi dan jalur NFkB. Sel tersebut melepaskan kemokin yang merekrut neutrophil, limfosit, makrofag, dan sel mast ke epidermis. Manifestasi klinis yang menonjol pada DKI adalah rasa terbakar dan nyeri, gatal jarang terjadi. DKI dibagi menjadi akut, subakut, dan kronis berdasarkan waktu inkubasi setelah terpajan bahan iritan. DKI akut berkembang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah terpapar oleh asam/ basa kuat dengan gambaran klinis seperti luka bakar, yaitu eritema, edema, dan terdapat vesikel. DKI subakut menunjukkan skuama. Sedangkan DKI kronis berkembang dari hari sampai minggu akibat bahan iritan lemah dengan gambaran klinis terdapat likenifikasi. DKI biasanya terbatas pada tempat kontak terpajan.







Psoriasis Psoriasis merupakan inflamasi kronis yang menyerang kulit, kuku, dan sendi



pada 2 – 3,5% populasi global. Onset psoriasis dimulai saat anak fase (8 – 11 tahun) akhir dan dewasa muda. Psoriasis lebih sering terjadi pada anak perempuan dan ras Kaukasian.



Pemicu terjadinya psoriasis adalah stress psikososial, infeksi



Streptococcus, obesitas, trauma mekanis, obat -obatan (lithium, beta blocker, antimalaria) dan riwayat keluarga dengan psoriasis. Anak-anak yang menderita psoriasis memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap obesitas, diabetes mellitus, hipertensi, arthritis remaja, penyakit Crohn (CD), dan gangguan kejiwaan. 55,56 Ekspresi IL-17 dan IL-22 pada pasien anak berbeda dibanding pada pada pasien dewasa. Psoriasis pada anak mengekspresikan sel T IL-22 lebih banyak dan IL-17 lebih sedikit. Kedua sel T tersebut mempengaruhi kaskade inflamasi sehingga terjadi proliferasi keratinosit, imunitas bawaan aktif, peningkatan polimorfonuklear, sel CCR6+ dan efek sinergis pro-inflamasi. Alel HLA-Cw dan lokus PSORS1 juga diketahui bertanggung jawab atas terbentuknya lesi psoriasis. Lingkungan inflamasi menyebabkan proliferasi sel endotel vascular dan sekresi faktor pro-angiogenik. 36



Trauma (mekanis atau iritan) pada kulit dapat menginduksi terjadinya lesi psoriasis (fenomena Koebner) dengan bentuk lesi isomorfik. 55



Gambar 29. Psoriasis pada bayi, anak, dan dewasa (Lee A et al, Paediatr Psoriasis, 2015) Bentuk lesi psoriasis adalah plak atau papul eritematosa dengan skuama dan hiperkeratosis. Pada bayi lesi lebih tipis, tidak terlalu merah, dan skuama lebih tipis. Kulit kepala, dahi, wajah, regio post-auricula, peri-umbilikal, bokong, dan area popok. Pada bayi lesi psoriasis berupa kulit kepala bersisik (“cradle cap”), ruam popok



37



persisten dan resisten terhadap pengobatan dengan lesi merah terang berbatas tegas yang melibatkan area lipatan inguinal. Dapat pula ditemukan pada siku dan wajah. Pada anak usia sekolah dasar, psoriasis tampak dengan lesi plak atau papul eritema persisten dengan skuama pada lutut dan siku, beberapa pada kulit kepala, ankle, regio postauricula dan infra-auricula. Biasanya lesi tidak terlalu meninggi, hiperkeratosis, dan berbatas tegas seperti lesi pada pasien dewasa. Telapak kaki dan tangan juga terdapat fisura dan ujung jari kemerahan. Psoriasis sering terjadi pada wajah anak, berupa plak kronik, blefaritis, cheilitis, atau garis lurus yang memanjang dari garis frontal hingga pertengahan dahi. Lesi pada genital gatal, nyeri, vulva eritema atau plak eritema pada skrotum, penis dan perianal. Sedangkan pada anak yang lebih tua dan pasien dewasa, lesi menjadi lebih tebal dan jelas. Psoriasis yang berat dapat melibatkan kuku, kuku terangkat



(onikolisis),



perubahan warna



(‘salmon



patches’),



dan



menebal



(hiperkeratosis subungual).56







Penyakit Kawasaki57 Penyakit Kawasaki atau sindrom Kawasaki disebabkan oleh vakulitis akut



sistemik dan menyebabkan kelainan pada membran mukosa, kulit dan kelenjar. Penyakit Kawasaki yang tidak ditangani dapat menyebabkan kelainan arteri koroner jantung. Biasanya mengenai anak usia < 5 tahun. Prevalensi penyakit ini paling banyak di negara Jepang dimana insidensinya 264,8 per 100.000 anak usia < 5 tahun pada tahun 2012. Insiden penyakit Kawasaki yang mengalami hospitalisasi di Asia dan Pulau Pasifik adalah 30,3 per 100.000 anak usia < 5 tahun dengan rasio anak laki-laki dengan perempuan adalah 24,2 : 16,8. 5% kasus sindrom koroner akut berasal dari aneurisma arteri koroner akibat penyakit Kawasaki. Penyebab penyakit Kawasaki masih belum diketahui secara pasti, namun diketahui bahwa melibatkan respon imun. Meskipun penyebabnya belum diketahui pasti, aktivasi sistem imun, tingginya neutrofil, aktivasi IL-1, IL-6 dan jalur sinyal TNF yang ditemukan pada penyakit Kawasaki. Pada 1 minggu setelah onset demam, sel T dan sel pro-inflamasi ditemukan pada sirkulasi, serta dapat mengalami perbaikan jika diberikan Imunoglobulin Intravena (IVIG). Komplikasi pada jantung bermula dari nekrosis arteritis akibat proses neutrofilik dalam 2 minggu setelah onset demam.



38



Gambar 30. Gambaran klinis penyakit Kawasaki, A. Ruam maculopapular, eritroderma difus, atau lesi seperti eritema multiform, B. Injeksi konjungtiva bulbar, C. Cheilitis, lidah strawberry, D & E. Eritema dan edema plantar & palmar, F. Limfadenopati servikal unilateral, G. Aneurisma arteri koroner, H. Aneurisma arteri perifer (McCrindle et al, Circulation, 2017)



Kriteria diagnosis penyakit Kawasakit adalah adanya demam ≥ 5 hari dan terdapat ≥ 4 dari 5 gejala berikut. 1. Bibir pecah-pecah dan eritema, lidah strawberry, dan/ atau eritema mukosa orofaring 2. Injeksi konjungtiva bulbar bilateral tanpa eksudat 3. Ruam: maculopapular, eritroderma difus, atau atau lesi seperti eritema multiform 4. Eritema dan edema pada tangan dan kaki pada fase akut dan/ atau deskuamasi periungual pada fase subakut 5. Limfadenopati servikal (≥ 1,5 cm), biasanya unilateral Demam 4 hari dengan bengkak dan kemerahan pada tangan dan kaki dapat menegakkan diagnosis penyakit Kawasaki. Demam biasanya tinggi > 39 oC dan remiten, dengan ketiadaan terapi demam akan berlanjut selama 1 – 3 minggu. Demam akan turun 36 jam setelah terapi IVIG. Pada fase akut, eritema pada telapak kaki dan tangan kadang disertai rasa nyeri. Deskuamasi pada jari diawali dari regio periungual dalam 2 – 3 minggu setelah onset demam. 1 – 2 bulan setelah onset demam akan muncul alur melintang di kuku (garis Beau). Ruam muncul 5 hari setelah onset demam berupa erupsi makulopapular, 39



eritroderma skarlatiniformis, dan lesi seperti eritema multiform yang tersebar ekstensif pada tubuh, ekstremitas dan inguinal. Urtikaria dan erupsi mikropustul juga pernah dilaporkan. Ruam dapat didahului dengan deskuamasi. Pada fase akut dapat muncul bentuk psoriasis dengan bentuk plak dan pustul. Dermatitis atopik baru juga dapat muncul selama fase subakut. Bula, vesikel dan petekie jarang terjadi dan harus dicari kemungkinan dari penyakit lain.







Lupus Eritematosus Sistemik58



Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi multisistem kronis akibat autoimun. LES pada anak berkembang secara agresif pada berbagai organ mayor seperti ginjal, otak, dan pembuluh darah sehingga memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding pada pasien dewasa. Kasus ini jarang terjadi pada anak, terdapat 15 – 30% kasus LES anak dari seluruh kasus LES. Insidensi LES adalah 0,3 – 0,9 per 100.000 anak dan prevalensinya 3,3 – 8,8 per 100.000 anak. Onset LES pada anak banyak pada usia 11 – 12 tahun dan sangat jarang pada anak usia < 5 tahun. LES sering terjadi pada perempuan dan pada kelompok ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan Amerika. Penyakit ini disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor genetik, mekanisme epigenetik dan faktor lingkungan. LES dianggap sebagai hilangnya toleransi pada individu yang rentan secara genetik dengan perkembangan menjadi autoimun yang dipicu oleh faktor lingkungan dan infeksi. LES meningkat pada kembar monozigot dan riwayat keluarga dengan LES. Terdapat mutasi gen yang menyebabkan defisiensi C1q dan C4. Sinar ultraviolet B, infeksi, dan toksin menjadi pemicu terjadinya LES atau eksaserbasi LES. LES dikaitkan dengan berkurangnya metilasi dan fosforilasi DNA yang dapat meningkatkan hilangnya toleransi sel T dan sel B. Gen pada kromosom X, estrogen, dan hormone lainnya memperpanjang autoreaktivitas limfosit, dan mutase dari kromosom X dikaitkan dengan LES. Antinuklear antibodi (ANA) yang terbentuk diikuti dengan anti-double-stranded DNA, antibodi antifosfolipid, anti-Smith, dan antiribonucleoprotein yang menyebabkan peningkatan autoantibodi dan overproduksi sitokin inflamasi. Selanjutnya terjadi disregulasi sistem imun adaptif dan bawaan. Gejala klinis LES adalah demam, penurunan berat badan, atralgia, artritis, fotosensitivitas, ruam malar (butterfly rash), penyakit ginjal, anemia, serositis, nyeri 40



kepala, dan gejala gastrointestinal. Ruam pada LES berupa ruam malar yaitu eritema yang menetap, rata atau menonjol pada daerah malar yang gatal atau nyeri dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial, serta dipresipitasi paparan sinar matahari. Ruam lain yang dapat muncul berupa purpura, bercak diskoid (plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular), alopesia (frontal), fenomena Raynaud, dan atau ulkus di mukosa (tidak nyeri). Artritis atau atralgia terjadi pada sendi-sendi kecil tangan dan kaki yang dapat menyebabkan deviasi ulnar (Jaccoud arthropathy).



Gambar 31. Ruam malar pada LES



Gambar 32. Ruam diskoid pada LES



(Harry O et al, JPEDS, 2018) Myositis dan nyeri otot dapat terjadi karena peningkatan enzim otot. Gejala pada hematologik berupa leukopenia, trombositopenia, anemia dengan uji Coombs positif. Gangguan pada organ lain adalah lupus nefritis, pericarditis, pleuritis, endocarditis, myocarditis, gangguan neuropsikiatri (sakit kepala, gangguan mood, kejang, psikosis, chorea), gangguan gastrointestinal (nyeri perut dan anoreksia). Untuk menegakkan diagnosis LES, maka harus dijumpai ≥ 4 kriteria dari 11 kriteria menurut American Rheumatology Association (ARA) Tahun 1997. Jika hanya dijumpai 3 kriteria dengan salah satu kriteria berupa uji ANA positif, maka dapat didiagnosis sebagai LES.



41



Berikut adalah 11 kriteria ARA tahun 1997.







Henoch Schonlein Purpura (HSP)59 Henoch schonlein purpura (HSP) merupakan vaskulitis sistemik pembuluh



darah kecil di kulit akibat kelainan imunologik (IgA) yang disertai dengan gangguan pada sendi, ginjal, saluran gastrointestinal, dan organ lain. HSP dapat mengenai semua umur, namun paling sering pada anak usia sekolah terutama usia 2 – 11 tahun dengan insidensi 9 per 100.000 anak per tahun dan paling banyak menyerang laki-laki dibanding perempuan. Etiologi pasti HSP belum diketahui, namun beberapa faktor seperti infeksi (S. pyogenes, S. aureus, Mycoplasma), obat-obatan, makanan, imunisasi, keganasan dan autoimun dikaitkan dengan terbentuknya kompleks antigen antibodi dan deposisi kompleks imun IgA pada pembuluh darah kecil. Hal tersebut menyebabkan agregasi 42



neutrofil yang menimbulkan inflamasi dan vaskulitis. Pasien biasanya datang dengan 4 keluhan klasik yaitu ruam purpura yang dapat dipalpasi pada panggul dan ekstremitas bawah, poli-atralgia, nyeri perut, dan penyakit ginjal (hematuria dan proteinuria). Kriteria diagnosis HSP ditegakkan bila terdapat 2 dari 4 kriteria berdasarkan American Collage of Rheumatology adalah sebagai berikut. -



Pupura yang dapat dipalpasi tanpa trombositopenia



-



Munculnya gejala awal dibawah usia 20 tahun



-



Nyeri perut



-



Granulosit pada dinding vena (biopsy)



Gambar 33. Purpura palpabel pada ekstremitas bawah (Kodumuri P et al, JPRAS, 2008) Sedangkan berdasarkan European League against Rheumatism (EuLaR) atau Pediatric Rheumatology European Society (PRES), diagnosis HSP dapat ditegakkan dengan gejala purpura palpabel ditambah dengan 1 kriteria dari 4 kriteria, yaitu: 60 -



Nyeri abdomen difus



-



Deposisi IgA pada biopsy



-



Artritis atau atralgia



-



Penyakit ginjal (proteinuria dan/atau hematuria)



43



II.5 Miliaria61 Miliaria (miliaria ekrin/ ruam panas/ biang keringat/ ruam keringat) adalah kondisi dimana kelenjar keringat ekrin terhambat sehingga keringat masuk kembali ke dermis atau epidermis yang menyebabkan ruam berupa vesikel berisi keringat di bawah kulit. Kondisi ini dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin, namun bayi dan anak-anak berisiko tinggi mengalami obstruksi kelenjar keringat karena ductus ekrin yang belum matur. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah iklim yang hangat, lembab, banyaknya produksi keringat, penggunaan produk oklusi pada kulit pseudohipoaldosteronisme



tipe



I



(patch obat



(resistensi



transdermal,



mineralokortikoid),



pakaian ketat), sindrom



Morvan



(hiperhidrosis), dan obat (bethanechol, klonidin, neostigmin). Miliaria diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan kedalaman obstruksi saluran keringat, yaitu kristalina, rubra, dan profunda. Miliaria kristalina adalah oklusi pada ductus di stratum korneum yang sering terjadi pada 4,5 – 9% neonatus dengan insidensi pada usia ≤ 2 minggu dan pada usia dewasa yang berpindah tempat ke iklim hangat. Miliaria rubra adalah oklusi ductus pada lapisan subcorneal epidermis yang sering muncul pada neonatus usia 1 – 3 minggu dan pada usia dewasa yang tinggal di iklim panas dan lembab. Miliaria profunda adalah oklusi ductus di dermal-epidermal junction (dermis papilaris) muncul pada orang yang mengalami miliaria rubra berulang atau baru terekspos dengan iklim hangat.



Gambar 36. Miliaria profunda Gambar 34. Miliaria



Gambar 35. Miliaria rubra



kristalina kongenital



dengan pustule (Patrizi A,



(Haas N et al, JAAD,



Clin Derm, 2016)



2002) 44



Bentuk miliaria dapat berupa vesikel, papul dan pustul. Miliaria kristalina berupa vesikel superfisial berukuran 1 – 2 mm dengan lapisan superfisial yang tipis yang mudah pecah. Biasanya tidak ditemukan tanda radang dan sering pada tubuh, leher, dan kepala. Vesikel akan bertahan selama beberapa hari dan hilang setelah lapisan kulit yang dangkal terkelupas. Miliaria rubra tampak tanda radang yaitu berupa papul eritema, vesikel dan pustul (miliaria pustulosa). Pada kondisi ini pasien akan merasa gatal dan nyeri yang memburuk jika pasien berkeringat. Sering terjadi pada inguinal, aksila, leher, tubuh, dan ekstremitas. Sedangkan miliaria profunda berupa papul besar, keras, sewarna kulit yang tidak terpusat di sekitar folikel. Erupsi dapat disertai rasa gatal atau asimptomatik yang sering terjadi pada tubuh. Lengan dan kaki dapat terlibat. Ruam muncul selama beberapa menit hingga jam setelah berkeringat dan hilang dalam 1 jam setelah keringat berhenti.



45



BAB III KESIMPULAN



Ruam pada anak sulit dibedakan karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit. Ruam kulit dapat menunjukkan suatu penyakit primer pada kulit atau merupakan manifestasi dari penyakit sistemik. Penyakit sistemik dengan ruam biasanya merupakan penyakit gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera. Untuk mendiagnosis penyakit dengan ruam kulit perlu memperhatikan kekhasan lesi berupa bentuk, lokasi, pola perkembangan, dan gejala lain yang menyertai. Penyebab penyakit pada ruam adalah infeksi (bakteri, virus, parasit), penyakit imunologi, dan miliaria. Infeksi bakteri yang dapat menimbulkan ruam adalah staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS), demam tifoid, dan demam scarlet. Lesi pada SSSS berupa eritroderma dan gambaran seperti kertas tissue pada daerah lipatan dan orifial yang akan menjadi bula berdinding tipis yang mudah pecah, berisi cairan jernih sampai pus dan membentuk deskuamasi. Tanda Nikolsky positif pada SSSS. Lesi rose spot pada dada dan perut khas pada demam tifoid. Sedangkan pada demam scarlet dapat ditemukan papul eritem, tidak berkonfluens, membentuk gambaran sand paper, muncul secara bilateral dari leher ke ekstremitas, dan terdapat strawberry-like tongue. Rubeola (measles/ campak) merupakan infeksi virus pada saluran napas yang menyebar ke kulit dimulai dengan koplik spots pada hari ke 2 – 3 demam, 12 jam kemudian akan muncul ruam maculopapular dengan penyebaran sentrifugal yang bertahan selama 6 – 7 hari, kemudian demam akan berangsung menghilang dalam waktu 7 – 10 hari setelahnya. Sedangkan pada rubella (campak German) terdapat limfadenopati dan ruam maculopapular eritem muncul pertama kali pada wajah dan menyebar secara generalisata dalam waktu 24 jam. Ruam pada rubella bertahan selama 3 hari dan menghilang. Roseola infantum ditandai ruam muncul setelah demam turun berupa ruam maculopapular eritem berwarna merah terang, kadang pucat pada kulit putih, tidak berkonfluens, dan memiliki halo pucat di sekitarnya. Ruam muncul pertama kali pada leher dan menyebar ke seluruh tubuh dan menetap selama 2 – 3 hari. Manifestasi varisela berupa demam dan ruam yang dapat muncul secara bersamaan, ruam berupa makula kecil atau papul yang muncul pada kulit kepala, wajah, badan dan selanjutnya ke ekstremitas lalu berkembang menjadi vesikel berdinding tipis, superfisial, 46



terlihat seperti tetesan air. Vesikel akan berubah menjadi pustul dan membesar membentuk delle. Vesikel/ pustule yang pecah menjadi krusta. Lesi juga dapat muncul pada mukosa sehingga dapat terbentuk ulkus. Sedangkan pada reaktivasi virus varisela (herpes zoster), ruam awalnya eritema lalu menjadi papul multiple berkelompok yang selanjutnya membentuk vesikel dengan dasar eritema berkelompok tersusun herpetiformis, berbatas tegas, bersifat dan terdistribusi secara dermatomal yang bermula dari sentral ke perifer. Herpes simpleks menunjukkan vesikel dengan dasar eritema yang berkonfluens lalu berkembang menjadi bula dan pustule. Vesikel/ bula/ pustule yang pecah menjadi krusta dan nekrosis jaringan membentuk ulkus. Penyakit DBD dapat memberikan manifestasi ruam hemoragik seperti purpura, petekie atau ekimosis. Selain itu, ruam maculopapular atau erupsi morbiliformis dapat muncul pada hari ke 3 – 6. Pada masa konvalesen, dapat muncul eritema konfluens generalisata dengan petekie atau terbentuk ruam seperti “white islands in a sea of red”. Ruam konvalesen biasanya disertai dengan pruritus dan bermula dari dorsum tangan dan kaki, menyebar ke ekstremitas, dan punggung. Pada penyakit HFMD, ruam berupa vesikel yang muncul pada pipi, gusi, dan tepi lidah. Setelahnya akan muncul lesi papulovesicular di kulit tangan dan kaki dengan halo eritem tipis di sekitar vesikel. Lesi dapat berdarah tanpa rasa gatal dan nyeri. Lesi khas pada ptyriasis rosea adalah terbentuknya herald patch atau mother patch diikuti dengan erupsi sekunder berupa lesi papuloskuamosa bentuk oval atau bulat dengan distribusinya simetris mengikuti Langer’s line pada batang tubuh sehingga membentuk gambaran “pohon natal” dan ekstremitas proksimal, Predileksi skabies berada pada area kulit yang tipis dengan ruam berupa papul, vesikel, urtika, kunikulus, dan lesi sekunder (erosi, ekskoriasi, krusta). Ruam disertai rasa yang sangat gatal, terutama pada malam hari. Infeksi jamur kandida pada mukokutan biasanya menyebabkan ruam popok berupa makula eritem warna merah terang, berbatas tegas dengan papul/ pustul satelit. Sedangkan ruam kandidiasis kongenital adalah erupsi eritematosa papulovesicular generalisata dan deskuamasi yang muncul pada wajah, badan, telapak tangan & kaki, dan mukosa oral. Ruam kandidiasis mukokutan kronis berupa eritema difus dan edema pada wajah, serta diatas eritema terdapat pustul dan krusta. Gejala pada kulit dapat disertai dengan gejala pada mukosa (plak putih “cheesy” atau pseudomembran) dan kuku (paronikia). Dermatofitosis memberikan gambaran sesuai lokasi jamur menginfeksi. Pada tinea kapitis, memberikan gambaran grey patch ringworm, kerion, dan black dot ringworm. Pada tinea korporis dan kruris, lesi berupa makula eritematosa berbentuk bulat, batas tegas, dengan vesikel 47



dan papul di tepinya (tepi meninggi dan aktif). Di bagian tengah terdapat central healing dan atasnya terdapat skuama. Lesi dapat bergabung menjadi satu sehingga memberikan gambaran tepi polisiklik. Ruam dapat menjadi penanda terjadinya penyakit imunologi yang gawat darurat seperti SSJ/ NET, penyakit Kawasaki, dan lupus eritematosus sistemik. Eritema multiform saat ini dibedakan dengan SSJ/ NET berdasarkan bentuk lesi, penyebarannya, dan keparahannya. Henoch schonlein purpura juga merupakan penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi pada banyak organ, namun tidak sebanyak lupus eritematosus sistemik. Penyakit yang melibatkan sistem imun namun tidak mengancam nyawa adalah urtika, dermatitis atopik, dan dermatitis kontak (alergi dan iritan). Ruam lainnya yang tidak membahayakan dan tidak melibatkan respon inflamasi sistemik adalah miliaria.



48



DAFTAR PUSTAKA 1. Schellack N. Skin rashes in children. S Afr Pharm J. 2011;78(1):13-22. 2. Rahayu T, Tumbelaka AR. Gambaran klinis penyakit eksantema akut pada anak. Sari Pediatri. 2002;4(3):104-13. 3. Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin R, Cherry JD, editor. Textbook of pediatric infectious diseases. Volume 1. Edisi ketiga. WB Saunders Company. Philadelphia, 1992; 755-82. 4. Tumbelaka AR. Karakteristik klinis pasien anak dengan eksantema [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2006. 5. Kang JK. Febrile illness with skin rashes. Infect Chemother. 2015;47(3):155-66. 6. Sathishkumar D, Udhayakumar P, Adhikari DD, George R. Pediatric cutaneous emergencies and their outcome. IDOJ. 2019;10(6);650-6. 7. Fishbein AB et al. Update on atopic dermatitis: diagnosis, severity assessment, and treatment selection. J Allergy Clin Immunol Pract. 2020 January; 8(1): 91–101. 8. Shaffer AD et al. It’s a rash: antibiotic allergies in the modern era of antibiotic stewardship. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2021 April;143:110638. 9. Zheng C, Childers J, Rabinovich E, Nazareth-Pidgeon K. Recurrent henochschönlein purpura with bullous rash and pulmonary nodules. Pediatric Rheumatology. 2020;18:40 10. Demirkan FG et al. Towards a combined pediatric rheumatology dermatology clinic: one-year experience. North Clin Istanb. 2021;8(1):37–41. 11. Haggerty J, Grimaldo F. A desquamating skin rash in a pediatric patient. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019;3(2):112-114. 12. Carvalho HT, Fioretto JR, Ribeiro CF, Laraia IO, Carpi MF. Diagnosis and treatment of streptococcal toxic shock syndrome. Rev Bras Ter Intensiva. 2019;31(4):586-591. 13. Dietz SM et al. Dissecting Kawasaki disease: a state-of-the-art review . Eur J Pediatr. 2017;176:995–1009. 14. Brazel M et al. Staphylococcal scalded skin syndrome and bullous impetigo. Medicina. 2021;57:1157. 15. Hidayati AN, dkk. Seri dermatologi dan venerology infeksi bakteri di kulit. Surabaya: Airlangga University Press, 2019. 16. Leung AKC et al. Staphylococcal-scalded skin syndrome: evaluation, diagnosis, and management. World Journal of Pediatrics. 2018;14:116–120 17. Levani Y, Prastya AD. Demam tifoid: manifestasi klinis, pilihan terapi dan padangan dalam Islam. Al-Iqra Medical Journal: Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran. 2020;3(1):10-16. 18. Bhandari J, Thada PK, DeVos E. Typhoid Fever. [Updated 2022 May 8]. In: StatPearls [Internet]. 19. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI. Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam Tifoid. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. 20. Basetti S et al. Scarlet fever: a guide for general practitioners. London Journal of Primary Care. 2017;9(5):77–79. 21. Pardo S, Perera TB. Scarlet Fever. [Updated 2022 May 1]. In: StatPearls [Internet]. 22. Halim RG. Campak pada anak. CDK. 2016;43(3):186-9. 23. Leung AKC, Hon KL, Leong KF. Rubella (German measles) revisited. Hong Kong Medical Journal. 2019;25(2):134-41. 24. Lanzieri T et al. Rubella. CDC. 2021. 49



25. Bıçakçı Z et al. Evaluation of Roseola Infantum Cases in Terms of Demographic Properties and Laboratory Values. J Pediatr Inf. 2017; 11(2): e53-e59. 26. Mullins TB, Krishnamurthy K. Roseola Infantum. [Updated 2021 Jul 10]. In: StatPearls [Internet]. 27. Nurhayati RH. Manajemen varisela neonatal. CDK.2019;46(11):672-4. 28. Trihono PP, dkk. Best practices in pediatrics. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta; 2013. 29. Prasetya D. Varisela neonatal. CDK. 2020;47(10):738-41. 30. W Putra MS. Herpes zoster di kelompok pediatrik. CDK. 2021;48(1):12-5. 31. Pandaleke TA, dkk. Herpes zoster pada anak – laporan kasus. Jurnal Biomedik. 2018;10(1):66-9. 32. Siskadewi NWS. Infeksi herpes simpleks virus pada neonatus. Bali: Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar; 2016. 33. Allen UD et al. Prevention and management of neonatal herpel simplex virus infections. Canadian Paediatric Society. 2020. 34. Thomas EA, John M, Kanish B. Mucocutaneous manifestations of dengue fever. Indian J Dermatol. 2010 Jan-Mar; 55(1): 79–85. 35. Samsi KMK, Phangkawira E, Samsi TK. Perbandingan kemampuan kriteria WHO 1997 dan klasifikasi DENCO dalam diagnosis dan klasifikasi infeksi dengue. Sari Pediatri. 2011;12(5):335-41. 36. Huang HW et al. Clinical significance of skin rash in dengue fever: A focus on discomfort, complications, and disease outcome. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 2016;9(7):713–718. 37. Guerra AM, Orille E, Waseem M. Hand Foot And Mouth Disease. [Updated 2022 May 10]. In: StatPearls [Internet]. 38. Drago F et al. Pityriasis rosea: a comprehensive classification. Dermatology. 2016;232:431–437. 39. Mondal A, Brahma PVSVPHS, Mukherjee. Pityriasis rosea among pediatric patients: A cross-sectional, institution based study. Journal of Pakistan Association of Dermatologists. 2022;32(1):96-102. 40. Kurniawan M, Ling MSS, Franklind. Diagnosis dan terapi skabies. CDK. 2020;47(2):104-7. 41. Kusumaputra BH, Zulkarnain I. Penatalaksanaan kandidiasis mukokutan pada bayi. BIKKK. 2014;26(2):139-45. 42. Sasidharanpillai et al. Chronic mucocutaneous candidiasis. Indian Journal of Paediatric Dermatology. 2018;19(3):248-50. 43. T Kumar S, Scott JX, George R. Chronic mucocutaneous candidiasis in a child. Chronic Mucocutaneous Candidiasis. 2005;71(6):432-3. 44. Harlim A. Penyakit jamur kulit. Jakarta: Pertemuan Ilmiah Tahunan PDUI Jaya. 2017. 45. Nurindi FS, Oktarlina RZ. Terapi farmakologis tinea korporis pada anak. Medula. 2020;10(1):760-6. 46. Frantz, R.; Huang, S.; Are, A.; Motaparthi, K. Stevens–johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: a review of diagnosis and management. Medicina. 2021;57:895. 47. Dewi CC. Tinjauan atas stevens-johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis. CDK. 2019;46:55-9. 48. Trayes KP et al. Erythema multiforme: recognition and management. AAFP. 2019;100(2):82-8.



50



49. Hasan S, dkk. Erythema multiforme: a recent update. Biomed. & Pharmacol. J. 2018;11(1):167-70. 50. Siannoto M. Diagnosis dan tatalaksana urtikaria. CDK. 2017;44(3):190-4. 51. Susanto PM, Makagiansar LB. Tatalaksana dermatitis atopik pada anak. Jurnal Medika Hutama. 2022;3(2):2248-60. 52. Movita T. Tatalaksana dermatitis atopik. CDK. 2014;41(11):828-31. 53. Evina B. Clinical manifestations and diagnostic criteria of atopic dermatitis. J Majority. 2015;4(4):23-30. 54. Harlim A. Buku ajar ilmu Kesehatan kulit dan kelamin penyakit alergi kulit. Jakarta: FK UKI; 2016. 55. Kim, H.O.; Kang, S.Y.; Kim, J.C.; Park, C.W.; Chung, B.Y. Pediatric Psoriasis: From New Insights into Pathogenesis to Updates on Treatment. Biomedicines. 2021;9:940. 56. Lee A, Fischer G. A common skin disorder with potential multisystem implications MedicineToday. 2015;16(9):45-50. 57. McCrindle BW et al. Diagnosis, treatment, and long-term management of kawasaki disease. Circulation. 2017;135:e927–e999. 58. Harry O, Yasin S, Brunner H. Childhood-onset systemic lupus erythematosus: a review and update. JPEDS. 2018;196:22-30. 59. Alfarra Y. Penatalaksanaan kasus purpura henoch-schönlein pada anak. Jurnal Wiyata. 2021;8(2):164-73. 60. Sonawane VB et al. Henoch-schonlein purpura in child: a case report and review of the literature. Int J Contemp Pediatr. 2021 Jan;8(1):193-196 61. Guerra KC, Toncar A, Krishnamurthy K. Miliaria. [Updated 2021 Aug 13]. In: StatPearls [Internet].



51