Referat Hepatitis Virus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT HEPATITIS VIRUS



Disusun Oleh :



Dian Ayu Stephanie Lavi 406148013 Pembimbing :



dr. Dyani Kusumowardhani, Sp. A



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSPI SULIANTI SAROSO PERIODE 31 AGUSTUS – 7 NOVEMBER 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA



Referat Hepatitis Virus



HALAMAN PENGESAHAN Penyusun



: Dian Ayu Stephanie Lavi (406148013)



Perguruan Tinggi



: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara



Bagian



: Ilmu Kesehatan Anak



Periode



: 31 Agustus – 7 November 2015



Judul



: Hepatitis Virus



Pembimbing



: dr. Dyani Kusumowardhani, Sp. A



Telah diperiksa dan disetujui tanggal : Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSPI Prof. Dr. Suliyanti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara



Mengetahui, Pembimbing Referat



dr. Dyani Kusumowardhani, Sp. A



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



2



Referat Hepatitis Virus



KATA PENGANTAR



Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan kuasaNya yang dilimpahkan kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Hepatitis Virus“. Tugas referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara periode 31 Agustus – 7 November 2015 di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi para pembacanya. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 



     



dr. Dyani Kusumowardhani, Sp.A sebagai pembimbing dr. Dedet Hidayat, Sp.A dr. Desrinawati, Sp.A dr. Dewi Murniati, Sp.A dr. Ernie Setyawati, Sp.A dr. Rismali Agus, Sp.A dr. Sri Sulastri, Sp.A Saya menyadari bahwa tugas referat ini jauh dari sempurna dan untuk itu saya



mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga tugas laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, atas segala perhatian dan dukungannya, saya ucapkan terima kasih.



Jakarta, 10 Oktober 2015



Penyusun



BAB I



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



3



Referat Hepatitis Virus PENDAHULUAN



Hepatitis adalah terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut .(1) Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dengan hati sebagai organ target utama, dengan kerusakan berupa inflamasi dan atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel mononuklear. Terdapat 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberikan gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Kecuali virus hepatitis G yang memberikan gejala klinis sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis , penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis, atau karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E dan G adalah virus RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B, D dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.(1)



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



4



Referat Hepatitis Virus



BAB II HEPATITIS A



Pendahuluan Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania, dan Amerika Selatan. Lebih dari 75% anak yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A (HAV) dalam bentuk subklinis.



(1)



Pada anak yang terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis (simtomatis), sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi 80% penderita simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat terjadi bentuk yang berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune trigger, dan manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering



terjadi



pada



penderita



defisiensi



glucose-6-phosphate



dehydrogenase (G6PD), efusi pleura dan pericardial, gangguan neurologis, vaskulitis, dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul karena adanya kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.



(1)



Virologi HAV



adalah virus



RNA 27-nm nonenvelope,



termasuk



genus



Hepatovirus, famili Picornavirus. HAV bersifat termostabil (-20C sampai 56C), tahan asam (pH 3.0), dan tahan terhadap empedu sehinga mudah menyebabkan



transmisi



fekal



oral.



Kerusakan



hepar



yang



terjadi



disebabkan oleh mekanisme imun yang diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya hepatitis kronis atau persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka panjang terhadap re-infeksi.



(1,2)



Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada karier, infeksi Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



5



Referat Hepatitis Virus HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV matur yang sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses.



(1,2)



Epidemiologi Di negara berkembang yang masih endemis HAV, seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak berusia 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Penelitian seroprevalensi di Yogyakarta tahun 1997 menunjukkan 30-65% pada umur 4 sampai 37 tahun. Pada tahun 2008 terjadi outbreak di sekitar kampus Universitas Gajahmada yang menyerang lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedagang kaki lima yang berada di sekitar kampus. Di Negara maju prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang.



(1)



Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia lebih tua, diikuti konsekuensi timbulnya gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis ringan atau subklinis, sedangkan infeksi pada dewasa memberi gejala yang lebih berat.



(1)



Patogenesis HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit, dan melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses replikasi ini tidak terjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV diikat oleh Imunoglobulin Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



6



Referat Hepatitis Virus A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak sebagai mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada hepatosit. Selain IgA, fibronektin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV. Dari hepar HAV dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum timbulnya gejala klinis maupun laboratoris. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum sepenuhnya dapat dijelaskan,



namun



menyimpulkan



bukti



adanya



secara



suatu



langsung



mekanisme



maupun



tidak



langsung



imunopatogenetik.



Tubuh



mengeliminasi HAV dengan melibatkan proses netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi oleh interferon dan apoptosis oleh sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte / CTL).



(1,2)



Gejala Klinis Gejala muncul secara mendadak yaitu panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu: 1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari) 2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih. Gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya 10 kali nilai normal, koagulopati dan ensefalopati.



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



9



Referat Hepatitis Virus Pengobatan



meliputi



istirahat



dan



pencegahan



terhadap



bahan



hepatotoksik, misalnya asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah: (1) pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dL atau waktu sejak dari icterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.



(1,2)



Pencegahan Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu: perbaikan higiene makanan-minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi



pasien



(sampai



dengan



2



minggu



sesudah



timbul



gejala).



Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan immunoglobulin (IG), dan imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta, dan Avaxim)



(1,2)



Imunisasi pasif Indikasi pemberian imunisasi pasif 1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita 2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau keluarganya menderita hepatitis A 3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita Hepatitis A 4. Individu dari Negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada usia dibawah 2 tahun Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



10



Referat Hepatitis Virus yang ikut berperan sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun Dosis IG 0.02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0.06 ml/kgBB



untuk



perlindungan



selama



5



bulan



diberikan



secara



intramuskular dan tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenisitas vaksin HAV tidak terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.



(1)



Tabel 1. Dosis Imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah Kejadian Sebelum paparan Saat paparan Setelah paparan



Lama perlindungan dalam



Dosis IG



bulan (ml/kgBB) Jangka pendek (1-2) 0.02 Jangka panjang (3-5) 0.06 0.02 Sumber: Buku Ajar Gastroenterologi – Hepatologi



IDAI Imunisasi aktif Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix dan Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan Vaqta tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.



(1,2)



Tabel 2. Dosis Havrix yang dianjurkan



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



11



Referat Hepatitis Virus Umur



anak Dosis (EL.U) Volume



(tahun) 2-18 >18



(mL) 720 1440



Jumlah



Waktu



dosis



dalam



bulan 0.5 2 0.6-12 1.0 2 0.6-12 Sumber: Buku Ajar Gastroenterologi – Hepatologi



IDAI Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik rata-rata anti-HAV pada Vaqta lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20mIU/l pada Havrix dan 10mIU/l pada Vaqta mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi mencapai 88% dan 99% pada Havrix, 95% dan 100% pada Vaqta pada bulan ke 1 dan ke 7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi. Walaupun



(1)



jarang,



kemungkinan



reaksi



anafilaksis



harus



diperhitungkan. Seperti pada vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi



pernah



dilaporkan



(sindrom



Guillain-Barre,



transverse



myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.



(1)



Indikasi imunisasi aktif: 1. Individu yang akan bekerja ke Negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi 2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak 3. Homoseksual 4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang mengidap Hepatitis C kronis 5. Peneliti HAV 6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah



transplantasi



hati,



karena



kemungkinan



mengalami



hepatitis fulminan meningkat. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



12



Referat Hepatitis Virus 7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX) Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat.



(1)



Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi berbeda tempat penyuntikannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.



(1)



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



13



Referat Hepatitis Virus



BAB III HEPATITIS B Pendahuluan Pada



tahun



1965,



Blumberg



dan



rekan-rekannya



di



Philadelphia



menemukan antibodi pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang Aborigin Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai antigen Australia yang sekarang telah diketahui sebagai HBsAg



(1)



Virologi Virus Hepatitis B (VHB) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular pada manusia. Selain manusia, human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42nm dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap dengan diameter 42nm, partikel bulat berdiameter 22nm, dan partikel batang dengan lebar 22nm dengan panjang bervariasi sampai 200nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcAg) yang membungkus DNA, DNA polymerase, transcriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



14



Referat Hepatitis Virus adalah hepatitis e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pancreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya infeksi.



(1,2)



Epidemiologi WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak maupun horisontal di antara anak kecil. Sebagai contoh di daerah pedesaan Senegal (Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur 2 tahun, 50% pada umur 7 tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah dengan endemisitas sedang-tinggi antara 8-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua, ditularkan secara horisontal pada masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat gigi, pisau cukur atau berciuman, dan kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tato. Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2.5-36.2%.



(1)



Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar 90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan vertikal dapat terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal. HBV tidak selalu didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikhawatirkan adalah luka pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari ibu pengidap HBV yang Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



15



Referat Hepatitis Virus mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai risiko tertular hampir sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI). (1)



Patogenesis Di Indonesia, jalur penularan infeksi HBV (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi



tertinggi



terdapat



pada



serum.



Infeksi



terjadi



apabila



seseorang mendapat paparan terhadap cairan tubuh orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa.



(1,2)



Bayi dari ibu dengan HBsAg positif berisiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV paling sering terjadi pada bayi dengan ibu HBeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada trimester tiga kehamilan. Faktorfaktor yag berkaitan langsung dengan keadaan HBsAg positif pada bayi, antara lain:



(1)



1. Titer HBsAg ibu 2. Status HBeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HBeAg negative karier memiliki risiko sebesar 20%) 3. DNA HBV positif pada serum ibu 4. HBsAg positif pada darah plasenta 5. Saudara kandung dengan HBsAg positif Sembilan puluh delapan persen transmisi terjadi pada saat proses kelahiran, diduga melalui ingesti darah maternal oleh bayi pada saat proses kelahiran. Meskipun demikian, transmisi virus dapat terjadi in-utero melalui kebocoran plasenta (2%). HBeAg dapat menembus plasenta dari ibu ke fetus. Belum ditemukan bukti bahwa menyusui merupakan salah satu rute transmisi HBV.



(1)



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



16



Referat Hepatitis Virus Bayi yang terinfeksi HBV dari ibu dengan HBsAg positif tidak akan menunjukkan manifestasi infeksi HBV secara serologis sampai berumur 13 bulan. Meskipun infeksi HBV perinatal memiliki manifestasi klinis yang minimal, akan tetapi 90% bayi dengan HBsAg positif akan menderita hepatitis kronis atau keadaan karier kronis. Hal ini diduga disebabkan karena sistem imun bayi yang belum matur. Hepatitis fulminan dapat terjadi pada transmisi perinatal ini, meskipun jarang terjadi (1-2%). Bayi yang terinfeksi juga memiliki risiko tinggi menderita hepatitis B kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler.



(1,2)



Risiko terinfeksi HBV tidak hanya pada periode perinatal saja, namun bayi yang rentan juga berisiko terinfeksi HBV dari anggota keluarga yang lain. Infeksi postnatal dapat terjadi di lingkungan yang banyak dijumpai karier HBsAg dan rendahnya vaksinasi.



(1)



Virus Hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas seluler terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HBeAg, pada permukaan sel yang bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan



pada



mengandung



manifestasi



HBsAg



dapat



ekstrahepatik. menimbulkan



Komples



imun



poliarteritis



yang



nodosa,



glomerulonephritis membranosa, polimialgia, vaskulitis dan sindroma Guillain-Barre. Mekanisme



(1)



timbulmnya



infeksi



kronis



mungkin



disebabkan



oleh



gangguan imunologis sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



17



Referat Hepatitis Virus kronis. Infeksi HBV umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi diatas umur 3 tahun. Gejala Klinis



(1)



(1)



1. Hepatitis Akut Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati, dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula, dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya



mulai



timbul



saat



8



minggu



setelah



infeksi



dan



berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi. 2. Hepatitis kronis Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau



bergejala



ringan



dan



tidak



spesifik.



Peningkatan



kadar



aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



18



Referat Hepatitis Virus aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis



dan



IgM



anti-HBc.



Namun



gejala



klinis



ini



tidak



berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan. 3. Gagal hati fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas. 4. Pengidap sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah (1) membaik (anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%. Diagnosis



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



19



Referat Hepatitis Virus Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klnis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis.



(1,2)



Tabel 4. Penanda serologis infeksi HBV Antigen HBsAg HBeAg



Interpretasi Sedang infeksi Proses



Bentuk klinis Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis dan Hepatitis akut, hepatitis



replikasi



sangat menular Antibodi Anti-HBs Anti-HBc total



Resolusi infeksi Sedang infeksi



kronis Kekebalan atau Hepatitis akut, hepatitis



pernah infeksi



kronis, penanda kronis,



IgM anti-HBc



kekebalan Infeksi akut atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis



Anti-HBe



kronis yang kambuh kronis Penurunan aktivitas Penanda



kronis,



replikasi



kekebalan



Infeksi HBV



Hepatitis akut, hepatitis



Pemeriksaan molekular PCR DNA HBV Hibridisasi DNA HBV



Replikasi



aktif



kronis, penanda kronis dan Hepatitis akut, hepatitis



sangat menular kronis Sumber: Buku Ajar Gastroenterologi – Hepatologi IDAI Pengobatan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



20



Referat Hepatitis Virus Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT >10 kali nilai normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah.



Hanya



penderita



kronis



dengan



peningkatan



kadar



aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.



(1,2)



1. Interferon alfa Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar



untuk



dekompensasi



penderita hati



hepatitis



(asites,



B



kronis



ensefalopati,



dengan



gejala



koagulopati,



dan



hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA HBV)



serta



Kontraindikasi



peningkatan penggunaan



kadar



aminotransferase



interferon



adalah



serum.



neutropenia,



trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu. Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis, neurologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya autoantibodi, antibodi anti-interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



21



Referat Hepatitis Virus diabetes, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bacterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek neurologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi,



kejang,



koma,



penurunan



pendengaran,



tinnitus,



vertigo, penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri. Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai, selesai pengobatan, dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 1040%



penderita



memerlukan



pengurangan



dosis,



dan



5-10%



pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia. Keberhasilan



pengobatan



dipengaruhi



oleh



(1)



tingginya



kadar



transaminase serum, relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta adanya gambaran hepatitis



kronis-aktif



pada



biopsi.



Dari



beberapa



penelitian



didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibody anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibody anti-HBs. Timbulnya anti-HBe dan hilangnya DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.



(1)



2. Analog nukleosida Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



22



Referat Hepatitis Virus Lamivudin, famsiklovir, dan adenovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar



23%.



Pada



penderita



memperbaiki skor Child-Pugh.



dekompensasi



hati,



lamivudine



(1)



Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati, penderita dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir.



(1)



Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB



memberi



respons



yang



signifikan



terhadap



virus.



Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudin tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudin saja.



(1)



Pencegahan Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi. Saat ini program imunisasi masal HBV dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi masih terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981 adalah derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi, pemurnian, dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin ini mempunyai imunogenitas dan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



23



Referat Hepatitis Virus efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989. Saat ini ada 10 produk vaksin rekombinan.



(1,2)



Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit hemodialisis), dan penderita penyakit darah. (1,2)



Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HBeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberikan perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi



maka



nilai



titer



antibody



juga



turun.



Lebih



tua



umur,



serokonversi makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat menyuntikkan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot.



(1,2)



1. Uji saring sebelum vaksinasi Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0,1-20% dengan anti-HBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HBsAg negative saat melahirkan) dan anak-anak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring, dan imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



(1)



24



Referat Hepatitis Virus 2. Pemeriksaan paska vaksinasi Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi. Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HBsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.



(1)



3. Penanganan nonresponder Untuk pada nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak muncul atau anti-HBsnya kurang dari 10 mIU/mL, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para nonresponder ini dapat diberikan (1)



pemberian



vaksin



yang



mengandung



pre-S2-HBsAg,



(2)



pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari responder. Untuk penderita dialisis yang respon imunologisnya



sangat



rendah



hal-hal



tersebut



diatas



kurang



bermandaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal, diberi vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis.



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



(1)



25



Referat Hepatitis Virus



BAB IV HEPATITIS C



Pendahuluan Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian Hepatitis paska transfusi. Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20-30% penderita yang terinfeksi Virus Hepatitis C sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah, lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia. Teknik pemeriksaan anti-HCV, yaitu suatu uji yang sensitif dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



(1)



26



Referat Hepatitis Virus



Virologi HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30-60 nm, dengan panjang 9.4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino. (1,2)



RNA HCV terdiri atas bagian-bagian: 1. 5’ noncoding region 2. Gen yang mengkode core protein 3. Gen yang mengkode envelope protein 4. Gen yang mengkode protein nonstructural (NS1 sampai NS5) 5. 3’ noncoding region Saat ini telah ditemukan 6 grup HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat



banyak.



Pemberian



tatanama



HCV



membandingkan persentase kesamaan nukleotida.



adalah



dengan



cara



(1,2)



Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh sesorang penderita HCV dapat ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya.



(1)



Akibat dari heterogenitas tersebut adalah:



(1)



1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus. 2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotip I dan infeksi dengan beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat 3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti pada genotipe 1 dan 4



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



27



Referat Hepatitis Virus 4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis 5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap tipe Epidemiologi



(1)



1. Prevalensi Survei epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0.5-25%. Di Amerika Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1.8% dari seluruh populasi. Untuk anak dibawah usia 12 tahun, seroprevalensinya adalah 0.2%, dan untuk usia 12-18 tahun seroprevalensi sebesar 0.4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1.3% untuk seluruh populasi; sampai usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai penambahan umur. Sebelum skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti-HCV, insidensi hepatitis paska transfusi adalah 5-16% dengan pemeriksaan C100-3 assay, insidensinya turun menjadi 2-3%. Dengan perbaikan skrining melalui penambahan pemeriksaan anti NS-3, maka 99% darah donor pengidap HCV dapat dketahui. 2. Penularan Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas darimana sumber infeksinya. Walaupun dapat mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang terjadi. Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara penularannya. Penularan melalui transfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual, lebih banyak terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui kontak keluarga adalah rendah. Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Sulianti Saroso Periode 27 Oktober 2015 – 7 November 2015



28



Referat Hepatitis Virus yang paling sering dijumpai pada anak. Dibawah ini diuraikan cara penularan virus hepatitis C. Pemaparan terhadap darah dan produk yang berasal dari darah Cara penularan paling efisien adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit dengan darah penderita HCV, misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produk-produknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius dengan suntikan intravena. (1,2)



Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar 5-13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan



bagi



golongan



berisiko



tinggi



untuk



menjadi



donor



dan



dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor, angka tersebut turun menjadi 1.5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining donor, angka kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1.0% pada awalnya dan akhirnya menjadi