Referat Jiwa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TERAPI KOGNITIF PADA SKIZOFRENIA DENGAN CONTOH KASUS



Pembimbing : Dr. dr. Rusdi Maslim, Sp. KJ, M.Kes



Disusun oleh : Aisyah Novita (2014-061-035)



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA PERIODE 30 NOVEMBER 2015 – 9 JANUARI 2016 JAKARTA



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu Skhizein yang berarti terpisah dan Phren yang berarti pikiran. Skizofrenia diartikan sebagai sindroma klinis dari berbagai, namun sangat mengganggu, psikopatologi yang melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek-aspek lain dari perilaku.1 Tanda dan gejala yang timbul dapat berbeda pada waktu yang berbeda, seperti adanya halusinasi intermiten, kemampuan melakukan fungsi sosial yang bervariasi, atau gejala gangguan mood yang hilang timbul selama perjalanan penyakit skizofrenia World



Health



Organization



(WHO)



menyatakan



bahwa



skizofrenia



menempati urutan ke-10 penyakit non-fatal yang paling banyak diderita di dunia.2 Prevalensi skizofrenia seumur hidup adalah sebesar 1%, artinya artinya satu dari seratus penduduk dunia akan mengalami skizofrenia selama waktu hidupnya. Prevalensi skizofrenia sama antara pria dan wanita, onset usia pada laki-laki adalah 10-25 tahun dan pada wanita usia 25-35 tahun. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, epidemiologi skizofrenia adalah 1,4 per mil penduduk sampai 1,4 persen Tata laksana yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia berupa farmakologi dan non farmakologi. Agen farmakologi seperti anti psikosis digunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan zat kimiawi, sedangkan terapi non farmakologi seperti psikoterapi berguna untuk mengatasi masalah non biologis. Terapi skizofrenia memberikan hasil yang lebih baik dengan terapi kombinasi antara keduanya dibandingkan hanya diberikan salah satu (farmakologis atau non farmakologis) saja. Terapi kognitif adalah suatu sistem psikoterapi yang didasarkan pada teori gangguan emosi (Beck, 1967). Berdasarkan kalimat tersebut yang mana disebutkan bahwa terapi kognitif adalah suatu psikoterapi, dipikirkan apakah terapi kognitif dapat berguna bagi pasien Skizofrenia dan bagaimana cara melakukan terapi kognitif terhadap pasien Skizofrenia. Pada penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Gould et al dan Pilling et al dikonfirmasi bahwa teknik-teknik yang dilakukan dalam terapi kognitif pada gejala positif dan negatif terdapat kemanjuran. Semua intervensi yang dilakukan dalam penelitian tersebut merupakan tambahan dari terapi medikasi. Berdasarkan hasil dari penelitian2



penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagai dokter, dapat dipelajari bagaimana melakukan terapi kognitif untuk membantu pasien dengan Skizofrenia tidak hanya dari segi medikasi tetapi juga dari segi psikoterapi dengan terapi kognitif dan dari hal ini pula judul dari referat ini yang mana adalah ‘Terapi Kognitif pada Skizofrenia’ dipilih.



1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Mengetahui bagaimana melakukan terapi kognitif pada pasien Skizofrenia 1.2.2. Tujuan Khusus 



Mengetahui apa itu terapi kognitif







Mengetahui bagaimana melakukan pendekatan dengan pasien Skizofrenia dengan gejala-gejalanya







Mengetahui bagaimana dan cara melakukan terapi kognitif







Mengetahui apakah terapi kognitif dapat diterapkan pada pasien dalam kasus



3



BAB II RINGKASAN PUSTAKA DAN KASUS 2.1. Ringkasan Pustaka 2.1.1. Skizofrenia 2.1.1.1. Definisi Skizofrenia1 Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis psikopatologis yang bervariasi, melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Manifestasi yang timbul bervariasi untuk pasien dan waktu yang berbeda, namun dampak yang ditimbulkan biasanya cukup berat dan terjadi dalam jangka waktu yang lama. Skizofrenia ditandai berbagai gejala yang menyebabkan penyimpangan isi pikir, bahasa, dan persepsi sehingga menimbulkan perilaku tidak normal. Skizofrenia juga sering ditandai adanya gejala psikosis, seperti mendengar suara atau delusi.



2.1.1.2. Epidemiologi Skizofrenia Skizofrenia memiliki prevalensi yang sama antara wanita dan pria tetapi berbeda pada onset usia penderita. Onset usia pada laki-laki adalah 1025 tahun dan pada wanita usia 25-35 tahun. Prevalensi skizofrenia pada penggunaan zat paling tinggi didapatkan pada pengguna alkohol. Penggunaan obat-obatan lain seperti ganja, amfetamin, kokain, dan obat sejenis lainnya juga meningkatkan timbulnya gejala psikotik.



2.1.1.3. Etiologi Skizofrenia Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya skizofrenia adalah: a) Genetik Genetik memiliki peranan dalam menyebabkan skizofrenia paranoid. Kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia meningkat apabila orang tersebut memiliki hubungan biologis dengan pasien skizofrenia, tergantung pada seberapa dekat hubungan tersebut. Pada kembar monozigot, kemungkinan mengalami skizofrenia adalah sebesar 50%. Angka ini empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan bila skizofrenia terjadi pada kembar dizigot atau keluarga inti. Peranan genetik ini berkurang apabila skizofrenia dialami oleh kerabat jauh. Data yang ada menunjukkan bahwa meskipun genetik berperan menyebabkan skizofrenia, seseorang yang 4



rentan terhadap skizofrenia tidak akan mengalami penyakit ini tanpa adanya faktor lain seperti lingkungan. Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan antara usia ayah dengan perkembangan skizofrenia, di mana anak yang lahir dari ayah yang berusia lebih dari 60 tahun lebih rentan mengalami gangguan ini. Hipotesis menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena spermatogenesis pada pria berusia tua cenderung memiliki kerusakan epigenetik yang lebih besar dibandingkan pria berusia muda.



b) Faktor biokimia 



Hipotesis dopamin Hipotesis menyatakan bahwa skizofrenia merupakan akibat dari aktivitas dopamin yang berlebihan. Teori ini berasal dari dua observasi, yaitu (1) potensi dan efikasi obat antipsikotik (seperti dopamine receptor antagonist) berhubungan dengan kemampuan obat tersebut dalam berperan sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2; (2) obatobatan yang bekerja meningkatkan aktivitas dopaminergik, seperti kokain dan amfetamin adalah psikotomimetik. Teori dasar ini tidak dapat menjelaskan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan oleh pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang berlebihan, atau kombinasi keduanya. Jaras dopamin mana yang dilalui dalam otak juga tidak diketahui, meskipun umumnya jaras mesolimbik dan mesokortikal adalah yang paling umum dilalui. Neuron-neuron dopaminergik pada jaras ini diproyeksikan dari badan sel di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Pelepasan dopamin yang berlebihan pada pasien skizofrenia berhubungan dengan gejala positif psikosis. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) pada reseptor dopamin menunjukkan adanya peningkatan reseptor D2 pada nukleus kaudatus pasien skizofrenia yang tidak mengonsumsi obat.







Serotonin Hipotesis juga menyatakan bahwa pelepasan serotonin yang berlebihan menyebabkan gejala positif dan negatif pada skizofrenia. 5



Aktivitas antagonis serotonin oleh klozapin dan antipsikosis generasi kedua dalam mengurangi gejala positif pada pasien kronis. 



Norepinefrin Anhedonia (penurunan kemampuan dalam merasakan kesenangan) merupakan gejala prominen skizofrenia. Degenerasi neuronal selektif pada sistem norepinefrin berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia ini, namun biokimia dan farmakologi yang mendasari hal ini belum dipahami secara jelas.







GABA Neurotransmiter inhibitor γ-aminobutyric acid (GABA) berperan dalam patofisiologi skizofrenia berdasarkan penemuan adanya penurunan neuron GABA pada hipokampus pasien skizofrenia.







Neuropeptida Neuropeptida seperti substansi P dan neurotensin, terletak dalam neurotransmitter katekolamin dan indolamin dan mempengaruhi aksi dari



neurotransmitter



tersebut.



Perubahan



pada



mekanisme



neuropeptida dapat memfasilitasi, menghambat, atau mengubah sistem neuronal tersebut. 



Glutamat Pensiklidin,



antagonis



glutamat



memberikan



gejala



akut



menyerupai skizofrenia. 



Asetilkolin dan nikotin Penelitian postmortem pada skizofrenia menunjukkan penurunan reseptor



muskarinik



dan



nikotinik



pada



kaudatus-putamen,



hipokampus, dan area tertentu pada korteks prefrontal. Reseptor ini memegang peranan dalam regulasi sistem neurotransmitter yang terlibat dalam kognisi, yang terganggu pada skizofrenia.



c) Neuropatologi Pada



abad



ke-20,



peneliti



telah



mampu



menemukan



dasar



neuropatologis pada skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan basal 6



ganglia, termasuk neuropatologis atau abnormalitas neurokimia pada korteks serebral, talamus, dan batang otak. Penurunan volum otak pada skizofrenia terjadi akibat penurunan densitas akson, dendrit, dan sinaps yang memediasi fungsi asosiatif otak. Densitas sinaps paling besar adalah saat berusia satu tahun, kemudian akan menurun pada awal pubertas hingga mencapai jumlah saat dewasa. Perubahan neuropatologi pada skizofrenia dapat dilihat pada hal sebagai berikut: 



Ventrikel serebral Pemeriksaan CT Scan pada pasien skizofrenia menunjukkan pembesaran ventrikel ketiga dan lateral, serta penurunan volum korteks. Penurunan volum substansia grisea korteks terjadi pada fase awal penyakit dan hingga saat ini belum dapat dipastikan apakah lesi tersebut bersifat progresif atau tidak seiiring berkembangnya penyakit.







Penurunan kesimetrisan Terdapat ketidaksimetrisan pada beberapa area otak penderita skizofrenia,



termasuk



lobus



temporal,



frontal,



dan



oksipital.



Ketidaksimetrisan ini diduga terjadi sejak dalam kandungan dan merupakan indikasi lateralisasi otak selama masa perkembangan. 



Sistem limbik Penelitian postmortem pada otak pasien skizofrenia menunjukkan penurunan ukuran pada area amigdala, hipokampus, dan girus hipokampus. Hipokampus tidak hanya mengecil tetapi juga fungsinya menjadi abnormal karena gangguan transmisi glutamat. Disorganisasi neuron pada hipokampus juga tampak pada jaringan otak pasien skizofrenia



dibandingkan



pada



orang



yang



tidak



mengalami



skizofrenia. 



Korteks prefrontal Berdasarkan



penelitian



postmortem



ditemukan



adanya



abnormalitas pada korteks prefrontal pasien skizofrenia. Gambaran radiologi juga menunjukkan adanya defisit fungsional pada area korteks prefrontal.



7







Talamus Beberapa penelitian pada talamus menunjukkan adanya penciutan volum atau pengurangan neuron, terutama subnukleus. Terdapat penurunan jumlah neuron pada nukleus medius dorsalis yang mempunyai hubungan timbal balik dengan korteks prefrontal. Pada pasien skizofrenia, jumlah neuron total berkurang sebesar 30-45% dan penurunan ini tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat antipsikosis.







Ganglia basalis dan serebelum Peran ganglia basalis dan serebelum dalam menyebabkan skizofrenia terlihat dari (1) banyak pasien skizofrenia menunjukkan gerakan-gerakan abnormal meskipun mereka tidak mengonsumsi obatobatan yang menyebabkan gangguan gerak. Gerakan abnormal yang dilakukan seperti cara berjalan yang aneh, wajah menyeringai, dan stereotipik; (2) Gangguan gerak yang melibatkan ganglia basalis (seperti penyakit Huntington, Parkinson) merupakan gangguan yang paling sering berhubungan dengan psikosis. Penelitian neuropatologis menunjukkan adanya kehilangan sel atau pengurangan ukuran globus palidus dan substansia nigra, selain itu ditemukan juga adanya peningkatan jumlah reseptor D2 pada kaudatus, putamen, dan nukleus akumbens.



d) Sirkuit neural Gangguan pada jaras dopaminergik korteks prefrontal menyebabkan terjadinya gangguan pada prefrontal dan sistem limbik yang dapat menimbulkan gejala positif dan negatif. Data dari penelitian menunjukkan bahwa disfungsi dari sirkuit cingulatum basal ganglia talamokortikal anterior mempengaruhi timbulnya gejala psikosis positif, sedangkan disfungsi dari sirkuit dorsolateral prefrontal menyebabkan timbulnya gejala negatif. e) Metabolisme otak Penelitian menunjukkan bahwa molekul spesifik pada otak, seperti fosfomonoester dan inorganik fosfat pada pasien skizofrenia lebih rendah dibandingkan pada yang tidak menderita skizofrenia. Selain itu, konsentrasi 8



dari N-asetil aspartat, marker dari neuron yang berada di hipokampus dan lobus frontalis lebih rendah pada pasien skizofrenia. f)



Psikoneuroimunologi Beberapa kelainan imunitas memiliki hubungan dengan skizofrenia, kelainan tersebut berupa penurunan produksi sel T interleukin-2, berkurangnya respon limfosit, kelainan reaksi selular dan humoral terhadap neuron, serta adanya antibodi antibrain.



2.1.1.4. Model Kognitif Skizofrenia3 Model yang digunakan untuk menjelaskan skizofrenia didasarkan pada biologik, sosial dan konseptualisasi psikologis. Model biologis telah ditekankan pada penyebab fisik dari penyakit yang meliputi ketidaknormalan pada struktur dan fungsi yang disebabkan oleh genetik, trauma lahir, perkembangan abnormal atau infeksi virus. Model sosial difokuskan pada pengaruh lingkungan yang meliputi kemiskinan, pengaruh perkotaan dan budaya, keluarga dan tekanan sosial. Model psikologis melihat dari berbagai macam sudut pandang, sering mempertimbangkan kerumitan dari hubungan interpersonal. Tidak satupun dari model ini yang secara universal diterima dikarenakan semuanya memiliki keterbatasan dalam menjelaskan bukti penelitian yang tersedia. Vulnerability Stress Model of Psychosis Gejala psikosis, termasuk yang ada pada skizofrenia, muncul dari kombinasi kerentanan : 



Biologis, termasuk genetik







Sosial, termasuk tinggal pada lingkungan perkotaan







Psikologis, yang mungkin : bias ekstrenalisasi, kecenderungan untuk mengambil



keputusan,



kesulitan



untuk



mengambil



peran,



kepercayaan tentang diri yang negatif atau membingungkan Dengan stres yang berarti pada individu oleh karena tipe, keparahan, hubungan atau possible implications yang mungkin diperkuat oleh ketakutan menjadi ‘gila’ dan stigmatisasi.



9



2.1.1.5. Diagnosis Skizofrenia4 Kriteria diagnostik PPDGJ-III 



Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) : a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau -



“thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan



-



“thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh



b. -



suatu kekuatan tertentu dari luar; atau -



“delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar



-



“delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergeakan tubuh/aggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus)



-



“delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat



c. halusinasi auditorik : -



suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau



-



mendiskusi perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atai



-



jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh



d. waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya 10



perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas menusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain) 



Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus ada secara jelas : e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus. f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dn stupor h. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.







Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)







Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (selfabsorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.



Pola perjalanan penyakit Perjalanan gangguan skizofrenik dapat diklasifikasikan dengan menggunakan kode 5 karakter berikut:



11



F20.x0 Berkelanjutan F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif F20.x2 Episodik dengan kemunduran stabil F20.x3 Episodik berulang F20.x4 Remisi tak sempurna F20.x5 Remisi sempurna F20.x8 Lainnya F20.x9 Periode pengamatan kurang dari 1 tahun Subtipe F20.0 Skizofrenia Paranoid 



memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia







sebagai tambahan : o halusinasi dan/atau waham harus menonjol; a. suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing) b. halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol c. waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence, atau passitivity, dan keyakinan dikejar-kejar beraneka ragam, adalah yang paling khas o gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata dan tidak menonjol



F20.1 Skizofrenia Hebefrenik/Disorganized 



Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia







Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)







Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu, dan senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis



12







Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan : -



perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary) dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan



-



afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inapropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (selfsatisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap tinggi



hati



(lofty



manner),



tertawa



menyeringai



(grimaces),



mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases); -



proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren







Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waha mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucination). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita menunjukkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.



F20.2 Skizofrenia Katatonik 



Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia







Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinis: a. stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara) b. gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang dipengaruhi oleh stimuli eksternal) c. menampilkan posisi tubuh tertentu



13



d. negativisme e. rigiditas f. fleksibilitas cerea / waxy flexibility g. gejala-gejala lain seperti “command automatism” dan pengulangan kata serta kalimat-kalimat F20.3 Skizofrenia Tak terinci (Undifferentiated) 



Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia







Tidak memnuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik







Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pascaskizofrenia



F20.4 Depresi Pasca-skizofrenia 



Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau : a. pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini b. beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya) dan c. gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu







Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3)



F20.5 Skizofrenia Residual 



Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua : a. gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk 14



b. sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia c. sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia d. tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institutionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut F20.6 Skizofrenia Simpleks 



Diagnosis skizofrenia simleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari -



gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik dan



-



disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial







Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub tipe skizofrenia lainnya.



F20.8 Skizofrenia Lainnya F20.9 Skizofrenia YTT 2.1.1.6. Manifestasi klinis Skizofrenia2 Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendiagnosis skizofrenia adalah: 1. Riwayat pasien 2. Gejala yang ditimbulkan oleh pasien berbeda seiring dengan berjalannya waktu 3. Perhatikan bagaimana edukasi, intelektual dan budaya pasien Tanda dan gejala premorbid Tanda dan gejala premorbid muncul sebelum fase prodromal dari penyakit. Perbedaan antara tanda dan gejala premorbid dan prodromal 15



adalah, premorbid muncul sebelum proses penyakit dimulai sedangkan prodromal adalah saat penyakit berlangsung. Tanda premorbid tipikal dari skizofrenia adalah pasien memiliki kepribadian skizoid/skizotipal seperti pendiam, pasif, introvert, pada masa kanak-kanak hanya memiliki sedikit teman dan pada saat remaja tidak memiliki teman dekat. Beberapa orang dewasa, dapat muncul onset mendadak obsesif kompulsif sebagai gambaran prodromal. Saat pasien dirawat pertama kali, kadang hal ini dianggap sebagai awal mula penyakit, tetapi gejala dan tanda telah muncul beberapa bulan atau tahun lalu. Tanda yang muncul dapat berupa gejala somatik seperti sakit kepala, otot-otot tegang, kelemahan, dan masalah pencernaan. Diagnosis awal dapat berupa malingering, chronic fatigue syndrome, atau kelainan somatisasi. Keluarga dan teman menyadari, bahwa pasien berubah dan tidak dapat menjalankan fungsi sosial maupun pekerjaannya dengan baik. Pada fase ini pasien akan mulai muncul ide-ide abstrak, filosofi, dan pertanyaanpertanyaan religius. Tanda dan gejala prodromal tambahan adalah kelakuan kacau, afek abnormal, pembicaraan, ide-ide serta pengalaman yang kacau/aneh. Pemeriksaan status mental 1.



Deskripsi umum: Penampilan pasien skizofrenia beragam, mulai dari disheveled, agitasi,



teriak-teriak hingga diam dan tidak bergerak sama sekali. Selain itu, pasien dapat menjadi banyak bicara dan menunjukkan postur tubuh yang aneh. Tingkah laku dapat berupa agitasi/violent yang merupakan respon dari halusinasi yang dialami pasien. Lainnya adalah kecerobohan yang ganjil atau kekakuan pada pergerakan tubuh. Kelainan gerak yang bisa terjadi adalah tics, stereotoipi, mannerism, atau echopraxia. 2.



Mood, perasaan dan afek: Dua gejala afektif pasien skizofrenia adalah penurunan responsif emosi



sampai terjadi anhedonia dan juga emosi yang berlebihan atau emosi yang tidak sesuai. Halusinasi yang sering terjadi adalah halusinasi auditorik, halusinasi lainnya dapat terjadi tapi lebih jarang dan bersifat tidak khas. Ilusi dapat muncul pada fase aktif/fase prodromal/ remisi.



16



3.



Pikiran: Isi pikir biasanya berhubungan dengan kelainan dari kepercayaan



pasien dan interpretasi dari suatu stimuli. Waham adalah contoh nyata dari gangguan isi pikir, dan biasanya waham yang timbul adalah persecutory, grandiose, religious atau somatik. Pasien juga merasa bahwa lingkungan luar mengontrol pikiran dan kelakuan pasien atau sebaliknya bahwa pasien yang mengontrol lingkungan luar seperti matahri terbit. Pasien juga memiliki preokupasi dengan esoteric, abstrak, simbolik, psikologis atau filosofi. Loss of ego boundaries menjelaskan bahwa pasien merasa televisi, koran, memiliki hubungan dengan dirinya (ideas of referrence). Arus pikir yang ada pada pasien skizofrenia adalah asosiasi longgar, inkorensia, tangensial, sirkumstansial, neologism, echolalia, verbigeration, word salad dan mutism. Proses pikir terlihat dari bagaimana cara pasien berbicara, menulis, dan menggambar. Kelainan proses piker yang dapat ditemukan adalah flight of ideas, bloking, gangguan atensi, miskin isi pikir, lemahnya



gangguan



sirkumstansial.



abstrak,



perservation,



over



inclusion,



dan



Thought control adalah kekuatan dari luar yang



mempengaruhi pikiran dan perasaan pasien. Thought broadcasting adalah keadaan dimana pasien merasa orang lain dapat membaca pikiran pasien dan menyebarkannya melalui televisi atau radio. Penderita skizofrenia dapat mengalami agitasi dan gangguan dalam mengendalikan impuls. Pasien juga dapat menjadi impulsif terhadap seseorang. Beberapa contoh tindakan impulsif adalah bunuh diri (suicide) dan membunuh orang lain (homicide) yang muncul sebagai respon dari halusinasi ataupun waham. Orientasi pada penderita skizofrenia umumnya tidak terganggu. Bila terdapat gangguan orientasi maka gangguan organik pada otak dapat menjadi penyebabnya. Memori penderita skizofrenia juga biasanya intak ataupun terdapat defisiensi minor. Gangguan kognisi menjadi level prediktor keparahan dari skizofrenia. Gangguan kognisi dapat beruapa gangguan atensi, fungsi eksekutif, working memory, dan episodic memory. Gangguan kognisi ini menjadi target dari terapi farmakologi dan psikososial. Insight dari pasien skizofrenia biasanya buruk. Reliabilitas dari pasien skizofrenia tidak kurang



17



dari pasien psikiatri lainnya, tetapi untuk verifikasi informasi yang diberikan pasien diperlukan informasi dari sumber lainnya.



2.1.1.7. Terapi Skizofrenia Farmakoterapi Antipsikotik dapat mengurangi gejala psikotik dan menurunkan kejadian relaps. 70% pasien yang diterapi dengan anti psikotik mencapai remisi. Obat yang digunakan untuk mengobati skizofrenia sangat bervariasi tetapi semuanya memiliki kapasitas sebagai antagonis reseptor dopamin di otak. Anti psikotik dapat dikategorikan dalam dua grup utama yaitu anti psikotik generasi pertama atau antagonis reseptor dopamin dan anti psikotik generasi kedua atau serotonin dopamin antagonis (SDAs). Fase terapi pada Skizofrenia dapat dibagi menjadi:  Terapi pada psikosis akut Terapi pada fase akut difokuskan untuk mengurangi gejala psikotik yang paling berat. Fase ini berlangsung selama 4 sampai 8 minggu. Skizofrenia akut berkaitan dengan agitasi berat, yang dapat diakibatkan karena gejala lain seperti delusi yang menakutkan, halusinasi, kecurigaan dan penggunaan stimulan. Pasien



dengan



benzodiazepine.



Anti



agitasi psikotik



diberikan yang



tertapi



diberikan



anti berupa



psikotik



dan



haloperidol,



fluphenazine, olanzapine, atau ziprasidone. Pemberian secara injeksi intramuscular untuk memberikan efek yang cepat. Setelah diberikan injeksi anti psikotik pasien akan menjadi lebih tenang tetapi tidak menimbulkan efek sedasi. Benzodiazepine juga efektif untuk psikosis akut. Lorazepam dapat diberikan secara oral maupun intramuscular. Pemberian lorazepam ini dapat mengurangi jumlah pemberian anti psikotik yang dibutuhkan untuk mengontrol pasien psikotik. 



Terapi selama stabilisasi dan fase maintenance Tujuan pada fase ini yaitu untuk mencegah berulangnya gejala psikotik



dan membantu memperbaiki fungsional pasien. Pada fase ini, pasien dalam kondisi yang relatif untuk remisi dengan satu gejala psikotik yang minimal.



18



Pasien stabil yang di berikan anti psikotik rumatan memiliki angka relaps yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dihentikan pengobatannya.



Non-farmakoterapi 



Terapi Psikososial Terapi psikososial memiliki berbagai macam metode untuk



meningkatkan kemampuan bersosialisasi, self-sufficiency, keterampilan praktis, dan komunikasi interpersonal dengan penderita skizofrenia. Tujuannya adalah memampukan pasien yang memiliki penyakit berat untuk berkembang secara sosial dan keterampilan bekerja sehingga pasien dapat menjalani hidup independen. Terapi ini dapat dilakukan di rumah sakit, klinik rawat jalan, pusat kesehatan jiwa, di rumah maupun panti sosial. 



Terapi Keterampilan Sosial Pelatihan keterampilan sosial ini kadang-kadang merujuk pada



terapi perilaku. Selama pemberian farmakoterapi, terapi ini dapat secara langsung mendukung dan bermanfaat bagi pasien. Sebagai tambahan pada pasien skizofrenia dengan gejala psikotik, gejala yang mudah dilihat dapat mempengaruhi cara pasien untuk membangun relasi dengan orang lain, termasuk diantaranya seperti tidak ada kontak mata, respon yang aneh, ekspresi wajah yang janggal, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak tepat. Terapi perilaku ini menunjukkan perilaku-perilaku ini melalui rekaman video kepada pasien dan juga orang lain, terapi dengan role playing, dan memberikan pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus yang memerlukan latihan. Pelatihan keterampilan sosial dapat menurunkan angka relaps. 



Terapi Keluarga Pasien skizofrenia biasanya pulang dalam keadaan remisi parsial



sehingga dibutuhkan peran keluarga untuk memberikan terapi. Terapi berfokus pada situasi saat ini termasuk identifikasi dan menghindari situasi yang berpotensi menjadi masalah. Anggota keluarga harus mendukung keluarganya yang memiliki skizofrenia untuk memulai lagi aktivitas teratur secepatnya, dengan mengabaikan gangguan yang dialami dan penyangkalan akan beratnya gangguan yang dialami. Terapis juga membantu pasien dan



19



keluarganya untuk mengerti mengenai skizofrenia dan diskusi mengenai episode



psikotiknya.



Pendekatan



terapi



keluarga



dapat



membantu



mengurangi stress dan coping pasien dalam kehidupan sehari-harinya. Terapi harus mengendalikan emosi keluarga, emosi yang berlebihan dapat menganggu proses penyembuhan pasien. 



Terapi komunitas asertif



Pasien mendapat 1 tim multidisipliner yang terdiri dari pemimpin kasus, psikiatris, perawat, dokter umum, dan lainnya. Tim tersebut mendampingi pasien 24 jam setiap harinya selama 1 minggu. Hal ini meliputi pemberian obat ke rumah, mengawasi kesehatan mental dan fisik, kemampuan sosial, dan hubungan pasien- keluarga. 



Terapi kelompok



Terapi kelompok pada penderita skizofrenia difokuskan pada rencana kehidupan pasien, masalah, dan hubungan pasien. Kelompok dapat bersifat behavior-oriented, psychodynamically/insight oriented, atau suportif. Terapi kelompok dapat mengurangi masalah isolasi sosial, meningkatkan keakraban pasien, dan meningkatkan daya realita pasien skizofrenia. Kelompok yang bersifat suportif menunjukkan efek yang lebih baik pada pasien skizofrenia. 



Cognitive behavioral therapy (CBT)



CBT telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk meningkatkan kognitif pasien,



mengurangi



distraktibilitas,



dan



memperbaiki



kemampuan



mengambil keputusan pasien. Terapi ini lebih efektif pada pasien yang memiliki tilikan baik. 



Psikoterapi individu



Beberapa penelitian menunjukkan psikoterapi individu terbukti dapat membantu dan dapat dilakukan bersamaan dengan terapi farmakologi. Dalam psikoterapi pasien skizofrenia, kepercayaan pasien terhadap pengobatan sangat diperlukan. Hubungan emosional antara terapis dan pasien dan perilaku terapis dapat diinterpretasikan oleh pasien dan mempengaruhi hasil terapi. Beberapa dokter dan peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien untuk membentuk ikatan dengan terapi dapat memprediksikan hasil yang akan didapatkan.



20



Dalam



konteks



hubungan



professional,



fleksibilitas



sangat



dibutuhkan untuk membangun relasi dengan pasien. Contohnya seperti makan bersama dengan pasien, duduk di lantai, jalan-jalan, makan di restoran, memberi dan menerima hadiah, bermain tenis meja, mengingat ulang tahun pasien, atau hanya duduk dalam diam bersama pasien. Tujuan utamanya adalah untuk menyampaikan ide kepada pasien bahwa terapis dapat dipercaya, ingin memahami keadaan pasien dan mencoba untuk melakukan hal itu, dan yakin pada kemanusiaan pasien tanpa peduli seberapa terganggunya, merasa dimusuhi atau keanehan pasien pada saat itu. 



Terapi personal



Terapi personal merupakan psikoterapi yang fleksibel dan saat ini merupakan terapi individual untuk penderita skizofrenia. Tujuannya untuk meningkatkan penyesuaian personal dan sosial dan mencegah terjadinya relaps. Terapi personal merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan latihan



relaksasi,



psikoedukasi,



refleksi



diri,



kesadaran



diri



dan



mengeksplorasi kerentanan individu terhadap terjadinya stres. Pasien yang menerima terapi personal menunjukkan perbaikan pada penyesuaian sosial dan memiliki angka relaps yang rendah selama 3 tahun dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima terapi personal. 



Dialectical Behavior Therapy



Terapi ini menggunakan kombinasi antara terapi kognitif dan teori perilaku yang dapat diberikans ecara individual maupun kelompok. Terapi ini terbukti bermanfaat pada kondisi borderline dan mungkin memiliki manfaat pada penderita skizofrenia. Terapi ini menekankan pada perbaikan keterampilan interpersonal dengan adanya terapis yang aktif dan empati. 



Vocational Therapy



Beberapa metode digunakan untuk membantu pasien dalam mencapai kembali keterampilan lama yang dimiliki dan mengembangkan keterampilan yang baru. Program dalam terapi ini adalah pelaksanaan lokakarya, kelompok kerja, kerja part-time atau program transisi tenaga kerja. 



Integrasi terapi medis dan psikososial



Pada metode ini penggunaan farmakoterapi dikombinasikan dengan terapi psikososial (nonfarmakoterapi). Pada beberapa penelitian didapatkan hasil



21



bahwa kombinasi kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan hasil yang lebih baik.



2.1.2. Definisi Terapi Kognitif Terapi kognitif merupakan sebuah cara untuk mencoba mengenali dan kemudian memahami pemikiran yang berjalan bersamaan dengan perasaan pasien. Pada dasarnya terapi kognitif melibatkan percakapan dengan perawat, dokter, psikolog atau orang-orang terlatih lainnya tentang kekhawatiran dan keprihatinan dan mencoba untuk memahaminya dengan lebih baik. Hal ini dilakukan agar terdapat kemungkinan untuk melihat secara berbeda dimana mungkin terdapat alternatif terhadap kesimpulan yang didapat dari hal-hal yang meyebabkan penderitaan.3 2.1.3. Terapi Kognitif pada Skizofrenia3 2.1.3.1. Bukti Efektifitas Kognitif Terapi pada Skizofrenia Terapi ini didasarkan pada pendekatan terapi terhadap gejala-gejala Skizofrenia dan ditargetkan pada gejala individual seperti delusi dan halusinasi. Pada studi yang dilakukan oleh Sensky et al, 2000, dikatakan bahwa pada akhir terapi, dimana dilakukan terapi kognitif selama 9 bulan, responden menunjukkan perbaikan dari gejala depresi serta gejala positif dan negatif. Gumley dan kolega juga menyatakan terdapat keuntungan positif pada pasien relaps dengan terapi ini. Gould et al dan Pilling et al dikonfirmasi bahwa teknik-teknik yang dilakukan dalam terapi kognitif pada gejala positif dan negatif terdapat kemanjuran. Semua intervensi yang dilakukan dalam penelitian tersebut merupakan tambahan dari terapi medikasi.



2.1.3.2. Intervensi Dini, Relasi Terapeutik dan Assessment Intervensi dini mungkin dapat mengurangi kerusakan pada situasi sosial dan kepercayaan diri dari pasien. Dipercaya bahwa pasien berhak menerima pengobatan sedini mungkin untuk meminimalisasi penderitaan (distress) dan ketidakmampuan (disability). Langkah pertama dalam melakukan terapi psikologis adalah pengembangan dari kepercayaan dan kerja sama. Tanpa hal ini, terapi tidak memungkinkan. Hal-hal yang perlu 22



diperhatikan pada relasi terapeutik meliputi engagement, langkah, pendekatan tanpa konfrontasi. Dalam engagement yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bahasa yang baik dan pantas, mengetahui tingkat pemahaman pasien, mengembangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam terapi, dan membuat pasien meninggalkan sesi dengan sudut pandang baru, perasaan terlindungi dan pertemanan dimana dibutuhkan topik yang tidak mengancam, empati, dukungan, penerimaan, kesabaran, tidak mengonfrontasi, dan tanpa persetujuan terhadap kepercayaan pasien yang meliputi waham dan halusinasi. Kadang disela-sela dapat dilakukan pembicaraan santai untuk memelihara dan menambah ikatan dengan pasien. Assessment/penilaian



membutuhkan



keinginan,



perhatian



dan



pengalaman dalam kerja sama dengan pasien, dan merupakan satu-satunya jalan untuk mengerti kehidupan mereka dan masalah yang mereka hadapi. Jadi,



penilaian



mengembangkan



berguna



untuk



rumusan



mengerti



berdasarkan



latar model



belakang



seseorang,



stress-kerentanan,



menginformasikan pilihan intervensi dan mengembangkan dasar untuk mengukur perubahan. Penilaian tidak pernah berhenti sampai terapi itu sendiri selesai. Penilaian lengkap pada pasien meliputi pemahaman terhadap riwayat pribadi (kelahiran, perkembangan awal, pendidikan, pekerjaan, hubungan, riwayat keluarga, penggunaan zat/obat-pbatan tertentu, masalah dengan hukum), sosial, medis (kesehatan/penyakit terdahulu), dan juga kesehatan mental maupun masalah dan gejala yang ada. Penilaian tidak hanya bisa didapat dari pasien namun juga dapat diperoleh dari keluarga, teman, tetangga, petugas medis, rekam medik psikiatri sebelumnya. Perlu diketahui juga onset dari gejala dan penyakitnya, apa saja dan bagaimana gejalanya serta bagaimana perasaan pasien terhadap dirinya dan juga pemahaman tentang penyakitnya. Perlu pula ditanyakan faktor-faktor yang memotivasi pasien dan tujuan hidup atau cita-citanya.



2.1.3.3. Rumusan Kasus Individual dan Perencanaan Terapi Rumusan kasus berkembang dari proses penilaian dan kadang membimbing. Rumusan kasus memberikan kerangka kerja dari yang mana untuk mengembangkan intervensi terapeutik dan pembangunannya sendiri dapat berupa terapeutik. Penyediaan cara untuk memahami berbagai elemen 23



pada kehidupan seseorang yang telah bercampur dan menimbulkan permasalahan saat ini dapat memberikan atau kadang tidak, dukungan untuk mengatasinya. Apa yang termasuk dalam rumusan yang disajikan kepada pasien memerlukan pertimbangan. Untuk beberapa orang, diagram sederhana yang menghubungkan stres dengan kerentanan mungkin dapat berguna. Hal ini dapat dijelaskan dengan menunjukan, menggunakan diagram, bahwa beberapa orang memiliki tingkat kerentanan yang sangat rendah namun tingkat stres yang tinggi sehingga mereka menjadi sakit (A), yang mana lainnya dapat begitu rentan dengan tingkat stres yang rendah dan menyebabkan kesakitan (B).



Stres



Stres tinggi – Krentanan rendah (A)



Kerentanan tinggi – Stres rendah (B)



Kerentanan Mengerti latar belakang pasien adalah langkah pertama, yang meliputi : 



Faktor predisposisi atau kerentanan : segala persoalan yang mungkin membuat seseorang menjadi lebih sensitif terhadap stres dan secara spesifik yang menyebabkan penyakit psikotik







Faktor pencetus : segala pengalaman yng berhubungan yang secara segera membuat pasien mengalami kesakitan







Faktor yang mengekalkan/mengabadikan : segala persoalan yang membuat pemulihan penuh menjadi lebih sulit dan kekambuhan yang lebih mungkin terjadi







Faktor pelindung : kekuatan yang mana dapat membantu penyembuhan (akal budi, hubungan, minat, bakat)



Selanjutnya



mengenali



masalah



sekarang



yang



dilanjutkan



dengan



menjelaskan pikiran, perasaan dan perilaku yang mendominasi dan yang



24



berhubungan dengan penyakit dan yang terakhir mengidentifikasi masalah yang mendasari dan hal ini merupakan hal yang sulit yang dapat memunculkan delusi dan perilaku. Berikut adalah contoh dari rumusan : (sensitif psikosis)



Faktor Predisposisi (riwayat keluarga positif, riwayat dpresi, dll)



Faktor Pencetus (tidak dapat mengatasi masalah disekolah)



Faktor Pengekal (sedikit teman, mencoba terlalu keras, dll)



Faktor Pelindung (dukungan keluarga, intelegensi baik)



Masalah Sekarang (orang-orang membicarakan dirinya, sulit berkonsentrasi, dll) Pikiran (merasa tidak pantas, diragukan, dapat mengambil pikiran orang lain)



Perasaan (tertekan, cemas, kadang marah)



Sosial (teman-teman pergi, tinggal bersama keluarga)



Tindakan (mengisolasi diri, kemarahan kepada orang terdekat, dll)



Fisik (merasa digerakkan oleh kekuatan dari luar, tidak tidur saat malam hari)



Persoalan yang mendasari (pekerjaan di masa depan, hubungan)



2.1.3.4. Psikoedukasi dan Normalisasi Kunci



agar



klien



dapat



mengerti



kesakitan



dan



pengalaman



membingungkan yang muncul pada Skizofrenia adalah psikoedukasi berdasarkan rumusan kasus. Sebuah bentuk spesifik dari psikoedukasi adalah normalisasi yang mana gejala-seperti suara-suara dan paranoia- yang muncul sebagai abnormal dan dihubungkan dengan ‘kegilaan’ didiskusikan. Psikoedukasi telah bertahun-tahun menjadi kunci dari program terapeutik. Psikoedukasi terbukti berguna membantu pasien dan perawatnya untuk mengetahui apa yang salah dengan mereka, apa diagnosisnya, dan bagaimana perkembangan kondisinya.



25



Psikoedukasi individual membantu pasien untuk merasa didengarkan dan dimengerti dan pendekatan ini menambah kefektifannya. Pada awal proses penilaian, pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebaiknya ditanyakan : 



Apa yang anda ingin ketahui atas apa yang terjadi pada anda?







Bagaimana hal ini dijelaskan padamu sebelumnya?







Bagaimana perasaan anda terhadap hal ini?







Apa artinya ini untuk anda?



Tiga komponen dari tilikan yang telah digambarkan : 



Menerima kebutuhan terapi







Menerima bahwa dirinya memiliki penyakit







Menerima bahwa suara-suara atau delusi berasal dari dirinya sendiri



Normalisasi merupakan sebuah proses yang mana pikiran, perilaku, mood dan pengalaman dibandingkan dan dimengerti dalam hal pikiran, perilaku, mood dan perasaan serupa yang dihubungkan dengan individu-individu lain yang tidak terdiagnosis sebagai orang sakit terutama penyakit mental. Berikut adalah tujuan dari normalisasi : 



Untuk mendukung pengertian terhadap fenomena psikologis yang juga menyerupai gejala Skizofrenia







Mengurangi ketakutan ‘menjadi gila’







Memfasilitasi reatribusi terhadap halusinasi dan alternatif menjelaskan delusi







Meningkatkan kepercayaan diri







Mengurangi isolasi dan perasaan terisolasi







Mengurangi stigma oleh orang lain (keluarga, teman, tetangga, publik) dan diri sendiri



Pada hubungannya dengan psikosis, ada beberapa situasi yang secara spesifik stres dapat menjadi penyebab gejala pasikosis beberapa merupakan pengalaman, yang lain merupakan keadaan yang tidak biasa namun dapat dimengerti. Berikut adalah keadaan ‘normal’ dimana gejala psikosis dapat muncul : 



Keadaan kehilangan







Ketakutan 26







Trauma







Organik seperti induksi obat, keracunan, demam, dll







Kematian, kehilangan yang menyebabkan misidentifikasi







Halusinasi hipnogogik dan hipnopompik







Kerasukan



Risiko dari normalisasi mungkin dapat menjadi meminimalisasi masalah secara tidak baik. Lebih umumnya, penerimaan terhadap pendengaran suarasuara dapat diartikan menjadi ‘hanya terus dan hidup’ dengan hal-hal itu. Risiko dari normalisasi meliputi minimalisasi atau kegagalan untuk menghadapi konsekuensi atau perkembangan kepercayaan yang ‘jika itu adalah pikiran saya bukan dari orang luar yang mengatakannya, saya pasti sangat jahat’. Kepercayaan ini, harus dijelaskan dan setelahnya dapat ditangani.



2.1.3.5. Intervensi pada Delusi Pengertian tradisional dari delusi adalah kepercayaan yang salah dengan



ketentuan yang mutlak meskipun bukti bertentangan dan diluar



jangkauan dari latar belakang sosial, pendidikan, budaya, keagaamaan seseorang (Hamilton, 1984). Dan setelahnya berdasarkan bukti-bukti penelitian, maka didefinisikan bahwa delusi merupakan sebuah kepercayaan (mungkin salah) yang hebat pada sebuah rangkaian dari sebuah persetujuan (Turkington et al, 1996). Tidak terlalu berbeda dengan ide-ide yang sangat bernilai dan kepercayaan normal. Ide-ide tersebut dipertahankan tanpa bukti namun dapat diubah ketikan sebuah bukti diselidiki. Pengertian terhadap kejadian awal yang memicu perkembangan sebuah delusi adalah sangat penting. Dalam beberapa keadaan, hal ini harus didapatkan dari keluarga, teman-teman atau menelaah rekam medis lama. Klien akan menjelaskan secara



rutin kejadian dalam hidupnya yang



pengaruhnya sangat parah dan menyebabkan penderitaan seperti perceraian, kematian pasangan, menyaksikan pembunuhan atau sexual abuse, kecelakaan serius, dll. Mungkin juga terdapat stres minor seperti meninggalkan rumah untuk kuliah atau perubahan jam kerja dari siang ke malam, yang mana untuk beberapa orang sangatlah rentan. 27



Pada beberapa orang, onset dari penyakit mereka secara jelas pada pikiran mereka, sedangkan yang lainnya sulit, bahkan tidak bisa, atau mungkin tidak ingin mengingatnya. Saat kejadian dapat secara jelas diingat dan tidak meyebabkan penderitaan, penjelasan rinci dapat diperoleh. Ketika seseorang seperti tidak ingin mengingatnya, ada baiknya untuk memeriksa kemungkinan ‘apakah hal tersebut sangat tidak nyaman untuk diingat? Mungkin kita dapat kembali lagi nanti, saat anda telah siap.’ Sementara keraguan dapat merefleksikan ketidaknyamanan atau ingatan yang menyakitkan, klien juga dapt merasa paranoid, curiga terhadap motif yang digunakan, atau malu jika mereka memiliki tilikan dan berpikir mereka tampak bodoh. Kapanpun



pendekatan



langsung



mungkin



dilakukan



untuk



mendapatkan informasi yang relevan, tanyakan dari pertanyaan berikut ini yang cukup beralasan sebagai titik awal : 



Kapan masalah tersebut dimulai?







Kapan pertama kali anda berpikir...?







Kapan terakhir kali anda merasa sehat?







Kapan pertama kali anda mengunjungi dokter tentang masalah ini?







Kapan anda pertama kali pergi ke psikiater tentang masalah ini?







Kapan pertama kali anda dirawat?



Kadang



beberapa rangkaian kejadian akan dijelaskan, mungkin meniti



kembali pada masa kanak-kanak dan mungkin juga bukan pengalaman psikotik, hal ini penting untuk membuat rumusan. Klien mungkin memilih untuk menjelaskan pengalaman yang terbaru yang mungkin berhubungan dalam berbagai cara dengan episode psikotik klien sekarang atau klien mungkin mengenali kejadian menyedikan atan membingungkan yang spesifik. Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa cerita klien cukup lengkap? Kadang klien akan membiarkan anda mengetahui bahwa apa yang telah diceritakannya semuanya berhubungan/relevan. Bagaimana menumukan hubungan antara kejadian penggerak, kepercayaan dan konsekuensi? ABC framework dapat digunakan dalam area terapi kognitif untuk membantu mengklarifikasi hubungan antara kejadian dan kepercayaan dan dapat digunakan untuk membedakan kejadian penggerak, kepercayaan dan konsekuensi yang seringkali membingungkan yangmanan orang-orang lompat 28



dari A ke C tanpan mempertimbangkan kepercayaan. Pada keadaan ini, pikiran negatif lainnya mungkin timbul dan efeknya berbeda pada tiap individu, yang diantaranya : 



Personalisasi







Abstrak selektif (getting things out of context)







Lompat pada kesimpulan







Minimalisasi







Maksimalisasi







Overgeneralisasi







Beralasan dikotomus (berpikir all or nothing)



Cara melawan/berdebat delusi : 



Menelaah isi dari delusi







Menerapkan sifat asli dari delusi







Mendiskusikan bukti-bukti, termasuk efek samping obat







Pertimbangkan untuk berdiskusi tentang apa yang orang lain pikirkan







Pikirkan pertimbangan-pertimbangan lain ‘apa ada kemungkinan lain’







Telaah dan selidiki saran teoritis, namun jangan berharap klien untuk melakukannya







Observasi segala perkembangan



2.1.3.6. Intervensi pada Halusinasi Halusinasi diartikan oleh model kognitif sebagai pikiran otomatis yang dirasakan oleh klien yang berasal dari luar (diluar pikirannya). Kecenderungan eksternalisasi dikombinasikan dengan kejadian yang menekan dan paparan pada keadaan yang berhubungan pengalaman ini. Halusinasi dapat dipertahankan dengan perilaku aman (menghindar) juga dengan penjelasan disfungsional (iblis yang berbicara pada saya), dan afek tingkat tinggi (penderitaan yang parah sebagai respon dari isi suara-suara). Working with Auditory Hallucinations



Reattribution of Auditory Hallucinations







Mengklarifikasi sumber suara







Bekerja dengan reatribusi







Mendiskusikan



fenomena



untuk mengkonfirmasi bahwa hal tersebut bukan ilusi atau 29



dengan penjelasan klien terhadap pendengaran suara 



waham referensi 



dan mengetesnya



dapat didengar orang lain, dan



Secara kolaborasi



cek bila perlu/rekam)



menghasilkan kemungkinan







lain yang menjelaskan dan mengetesnya 



 











Temukan kepercayaan



dari



asal suara 



Gunakan buku harian suara



Diskusikan



kepercayaan



terhadap asal suara



untuk mengetahui pemicu dan







Cari penjelasan



fluktuasi







Tujuan adalah untuk klien



Bekerja secara sistematis



dapat



membuat strategi coping



kemungkinan



suara-suara



Mengurangi hubungan dengan



tersebut



pikirannya



afek yang dapat



sendiri



mengeksaserbasi 



Memeriksa persepsi klien (apa







mempertimbangkan



adalah



Jika mereka merespon bahwa



Mengurangi perilaku aman



suara-suara



jika klien mengalami gejala



pikiran mereka, hubungkan



yang bertahan



dengan : mimpi buruk, ingatan



Menggunakan respon rasional



yang



dan bekerja dengan trauma



keadaan



yang berhubungan atau



halusinasi



gunakan normalisasi



orang



Mengklarifikasi segala skema



pengalaman tersebut



tersebut



mengganggu tertekan, dan



bukan



emosi, normal



penjelasan



lain



terhadap



yang berhubungan 



Berikan sesi dorongan



Beberapa klien melakukan pendekatan yang sangat pasif dan terpisah dengan pengalaman mendengar sura-suara. Kadang mereka merasa cukup menyerah, tidak memberikan respon terhadap suara-suara dan menyerah terhadap strategi coping dan menghindari perasaan marah terhadapnya namun sering merasa sangat ketakutan dan tertekan dengan pengalaman itu. Sikap yang ditunjukkan klien terhadap suara-suara adalah faktor penentu dari penderitaan yang ditimbulkan. Orang-orang yang merasa dirinya 30



merupakan korban yang tidak berdaya dari tekanan supernatural biasanya sangat menderita dan kesakitan. Setelah seseorang dapat menyatakan kepercayaannya terhadap suara-suara (seperti : aku tidak berdaya), pendekatan yang lembut dapat digunakan, meliputi : 



Mendaftar bukti yang berhubungan dengan apa yang suara katakan







Bekerja dengan bagaimana cara suara-suara mengganggu kerja fungsional







Menggunakan rangkaian ide-ide yang terkait dengan kejadian ‘normal’ dengan obsesi







Panduan citra (mengampil posisi suara, respon terhadap suara atau vice versa)







Menjabarkan ciri positif







Bertindak melawan skema (misal : menunjukkan kompetensi saat suara mengatakan seseorang tidak berguna)



Contoh strategi mengatasi halusinasi auditorik : 



Kontrol perilaku : mandi air hangat, berjalan-jalan, berolah raga, relaksasi, dll







Sosialisasi : berteman, menceritakan pada orang terpercaya, dll







Perawatan kesehatan mental : medikasi, hubungi pekerja kesehatan







Perilaku simptomatik : tidak dianjurkan (mabuk, memukul, berteriakteriak)







Kontrol kognitif : distraksi (main komputer, menonton TV, mendengarkan musik, dll), fokus (biarkan suara dan relaks), mengguanakan



normalisasi



(jelaskan



bahwa



ini



berasal



dari



Skizofrenia) 



Memulai untuk tegas terhadap suara-suara dan melakukan dialog



Jika terdapat halusinasi lain seperti halusinasi visual maka terapi meliputi : 



Menjelaskan dengan tepat tentang fenomena tersebut







Menggunakan buku harian atau pengingatan kembali secara rinci







Menelaah arti dan hubungan dari pengelihatan seseorang tersebut







Mengunakan pendekatan berdasarkan rumusan untuk mengertinya



31



2.2. Kasus Nn. I, wanita, 18 tahun, dibawa oleh pamannya ke RS Duren Sawit karena pasien marah-marah, mengamuk pada tetangga, berperilaku kacau sejak 2 minggu SMRS. Keluhan ini dikatakan oleh keluarga pasien mulai muncul sejak pasien diduga tidak teratur meminum obat jiwanya kurang lebih 1 bulan SMRS. Pasien marah-marah kepada keluarga dan tetangga pasien tanpa alasan yang jelas dan juga menciumi mobil di parkiran RS tempat ibunya dirawat. Pasien mengatakan ia mendengar suara-suara yang tidak jelas namun menyeramkan di telinganya. Suara tersebut membuat pasien merasa ketakutan. Pasien juga mengatakan mendengar suara nyanyian yang tidak hilang dan tidak ada sumbernya dan sangat mengganggu dirinya. Pasien juga mengaku melihat penampakan makhluk halus. Pasien juga yakin bahwa seorang lelaki yang sedang menyukai dirinya galak terhadap dirinya dan berbicara keras seperti marah-marah pada dirinya. Sebelumnya, pasien pernah berobat gangguan jiwa satu tahun yang lalu dengan gejala yang sama dan dilakukan rawat jalan dan berobat teratur. Obat terakhir yang diminum adalah Risperidon tab 1 mg, 2 x 1 tab / hari, Trihexyphenidyl tab 1 mg, 2 x 1 tab / hari, Clozapine tab 6,25 mg, 1 x 1 tab / hari sampai akhirnya 2 bulan SMRS saat ibu pasien masuk rumah sakit dan pasien sibuk mengurus ibunya. Pada pemeriksaan status mental ditemukan: 1. Mood



: iritabel



2. Afek



: terbatas



a. Ekspresi wajah: cukup baik b. Intonasi suara: cukup c. Gerakan tangan: tidak terdapat gerakan tangan involunter d. Postur tubuh: baik e. Keserasian: serasi 3. Pembicaraan



: spontan, lancar, artikulasi jelas, kecepatan



berbicara normal, volume suara cukup 4. Gangguan persepsi : a. Ilusi



: Tidak ditemukan



b. Halusinasi



: 



Halusinasi auditorik



32



Pasien



mengatakan



mendengar



suara-suara



seperti orang bernyanyi, suara musik, suara berisik mengobrol tanpa ada sumbernya, juga suara-suara menyeramkan yang membuat pasien takut (suara menyeramkan)  Halusinansi visual Pasien



mengatakan



makhluk



halus



melihat



disekitarnya



penampakan seperti



kepala



buntung dan orang gantung diri, dan akan menghilang dengan sendirinya c. Depersonalisasi



: Tidak ditemukan



d. Derealisasi



: Tidak ditemukan



5. Pikiran



:



Proses pikir / bentuk pikiran: 



Produktivitas



: cukup







Kontinuitas



: menjaab sesuai pertanyaan



Isi pikiran 



Waham -



Waham refrensi : pasien yakin bahwa lelaki yang menyukainya galak dan berkata kasar pada dirinya sehingga pasien tidak suka dan takut dengan lelaki tersebut







Preokupasi



: tidak ditemukan







Ide bunuh diri



: tidak ditemukan







Obsesi



: tidak ditemukan







Pengendalian impuls tidak terganggu, tilikan pasien derajat 4. Pasien dapat dipercaya. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.



33



BAB III PEMBAHASAN Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa jangka panjang yang memiliki gejala-gejala dan diagnosis yang diperoleh dari kriteria yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya. Seperti yang diketahui, bahwa terapi pada Skizofrenia sendiri yang utama adalah terapi medikasi dengan anti-psikosis. Namun sebagai tambahan dan penguat terapi medikasi dapat dilakukan psikoterapi salah satunya Terapi Kognitif. Terapi kognitif sendiri dibuat berdasarkan dari trias kognitif yaitu kepercayaan seseorang tentang dirinya, personal world/dunia pribadi-termasuk orang-orang yang ada dalam hidupnya, dan masa depan. Terapi kognitif ini dilakukan secara terstruktur antara pasien dan terapis yang mana menyangkut masalah yang dihadapi sekarang dan resolusi terhadap masalah tersebut.1 Awalnya terapi kognitif lebih digunakan pada pasien dengan depresi atau cemas, dimana pasien dan terapis akan mendiskusikan apa yang dipikirkan pasien dan bagaimana perasaannya terhadap keadaan sekarang. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, terapi kognitif ini mulai dipakai juga pada pasien dengan gejala psikotik dan juga pasien-pasien yang memiliki gejala positif dan negatif. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan terapi kognitif, salah satunya adalah keadaan seimbang dimana keterbukaan pembicaraan harus sama dengan berkata-kata cukup dan tidak membingungkan pasien. Fokus ke permasalah pasien yang didiskusikan memanglah penting namun harus dipikirkan pula waktu dan cara yang tepat untuk mengarahkan pembicaraan menuju masalah pasien. Pada awal dilakukan pendekatan dengan pasien dimana harus dibuat suatu ikatan kepercayaan antara terapis dan pasien. Pasien haruslah merasa nyaman dan merasa seperti punya teman, agar pasien lebih mudah untuk berbicara. Perlu digali secara pelan dan hati-hati untuk menemukan faktor kerentanan pada pasien, masalah apa saja yang dihadapi pasien, apa saja yang mengganggu pikiran pasien. Perlu diketahui apa saja faktor-faktor pencetus yang membuat pasien jatu dalam keadaan sekarang. Sangat perlu mengetahui apa yang pasien pikirkan tentang dirinya, apakah pasien ingin mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, bagaimana perasaan pasien saat ini tak lepas juga perasaan-perasaan terdahulu, apakah pasien merasa ada yang salah dengan dirinya. Perlu dilakukan tarik-ulur dalam pembicaraan dengan pasien. Hal ini dikarenakan tidak selalu pasien bisa langsung terbuka membicarakan masalahnya. 34



Bahkan pasien tidak merasa bahwa ia membutuhkan terapi, sehingga perlu diketahui bagaimana dan apa yang pasien rasakan pada dirinya. Jika pasien mengaku mendengara suara-suara/mengalami halusinasi, harus digali bagaimana suara-suara tersebut mempengaruhi pasien, apa yang dikatakan oleh suara tersebut dan bagaimana perasaan pasien saat mendengar suara tersebut, bagaimana cara pasien mengatasi suara-suara tersebut apakah suara-suara tersebut muncul dalam keadaan tertentu, dimana keadaan tertentu ini/faktor pemicu harus dicari dan perlu diketahui asal suara tersebut, apakah pasien mengetahui bahwa asal suara tersebut adalah pikirannya sendiri. Jika pasien memiliki keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak sesuai dengan norma-budaya-sosial, tidak perlu secara terburu-buru mengatakan bahwa hal tersebut salah, melainkan harus meneliti dari sudut pandang pasien yang dibandingkan dengan orang lain. Terapi kognitif dapat diterapkan pada pasien dalam contoh kasus. Pasien dalam kasus ini memiliki tilikan 4 dimana ia mengetahui bahwa dirinya memiliki gangguan jiwa. Kerja sama antara pasien dan terapis dapat dilakukan. Pasien mengatakan bahwa ia merasa terganggu karena mendengar suara-suara yang tidak jelas asalnya dan juga ia ingin sembuh dari penyakitnya karena pasien ingin sekali bekerja untuk membantu keluarganya. Pasien telah menerima pengobatan dan melewati masa akut dimana gejala psikotik sudah berkurang. Pasien juga cukup baik dalam berbicara dan bercerita. Pasien cukup terbuka untuk menceritakan masalahmasalah yang dihadapinya sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mau menerima kehadiran para petugas kesehatan. Pasien mengatakan ia tidak ingin kalah dari masalah-masalah yang mengganggu pikirannya dan ia juga masih dalam usia yang sangat produktif. Pasien juga mendapatkan dukungan dari keluarganya yang mana merupakan salah satu sumber motivasi pasien untuk mengatasi penyakitnya. Namun untuk mencoba melakukan terapi kognitif seperti yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya belum dapat dilakukan pada pasien, dikarenakan pasien sudah siap untuk pulang dalam hari yang dekat sehingga pertemuan dengan pasien hanya 2 kali. Pada pasien ini, sebelumnya, oleh petugas kesehatan, telah didiskusikan tentang masalah yang mengganggu pikiran pasien dan tentang suara-suara yang didengar oleh pasien. Dilakukan 10 sesi dengan frekuensi 2x/minggu. Dalam mengikuti sesi ini, pasien mengaku sudah dapat lebih baik mengatasi gangguan yang dialami olehnya sehingga ia merasa sangat senang mendapat terapi seperti ini.



35



Kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapi dalam terapi kognitif seperti munculnya keadaan-keadaan dimana kadang apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang direncanakan dan diharapkan. Jika dihadapkan pada pasien dengan tilikan yang sangat buruk, dapat dilakukan sesi secara reguler selama 10-15 menit sebanyak 2-3 kali perminggu dimana tujuan dan fokus adalah pada pengembangan hubungan dan kepercayaan. Terapis haruslah secara hati-hati merencanakan struktur pada tiap sesi tanpa mencoba untuk melakukan terlalu banyak sampai pasien memiliki kontrol yang cukup dan merasa cukup percaya untuk bekerja pada kesulitannya.3 Diharapkan terapis memiliki sikap yang sabar dan dengan cara perlahan, terbuka dan empati dan biarkan pasien. Hal ini berlaku pada setiap pasien, dimana membuat hubungan yang baik antara pasien-terapis pada awal sesi, dapat membuahkan hasil yang lebih baik dan juga mendapatkan penjelasan yang lebih akurat dari pasien tentang keadaannya serta keterbukaan pasien untuk menerima terapi, mengikuti saran atas apa yang baik pada dirinya dikemudian hari.



36



BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis psikopatologis yang bervariasi, melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Kerentanan setiap orang berbeda-beda dalam perkembangannya menimbulkan gejala. Hal ini dapat ditelaah dari faktor biologis, sosial dan psikologis, serta mencari tahu faktor pemicu seperti adakah masalah-masalah yang mengganggu pikiran dan perasaan seseorang. Terapi Skizofrenia dapat berupa farmakologis dan non-farmakologis dimana terapi non-farmakologis salah satunya adalah psikoterapi dan yang khususnya dibahas terapi kognitif. Terapi kognitif merupakan sebuah cara untuk mencoba mengenali dan kemudian memahami pemikiran yang berjalan bersamaan dengan perasaan pasien. Pada terapi kognitif banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan untuk memperoleh hasil yang baik dikemudian hari seperti membangun kepercayaan antara pasien dan terapis, bersikap empati, menjadi pendengar yang baik, bersikap terbuka dan mepersilahkan pasien untuk berbicara sekenanya untuk menciptakan suasana nyaman. Terapi kognitif dapat digunakan untuk mengenali halusinasi dan bagaimana cara untuk mengatasinya, mengenali delusi, mengatasi gejala negatif dan positif, dan terlebih lagi, bersama-sama dengan pasien saling memahami pemikiran dan perasaan agar pasien dapat mengenali dan mengatasi dengan mandiri permasalahan dalam dirinya. Dan bahwa disamping pentingnya terapi medikasi, psikoterapi yang dapat dilakukan seperti terpai kognitif adalah juga bagian yang penting dalam mengusahakan prognosis yang baik bagi pasien



4.2. Saran Terapi kognitif memang sudah nyata dilakukan oleh berbagai instansi dalam mengatasi gangguan jiwa termasuk Skizofrenia. Untuk dikemudian hari, baik sekali apabila terapi ini dicoba dilakukan pada pasien yang terdiagnosis Skizofrenia, karena terapi ini dapat membuat pasien menyadari dan melihat jalan alternatif lain terhadap masalah yang dihadapinya dan untuk mencari cara mengatasinya.



37



DAFTAR PUSTAKA 1. Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/clinical Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 1504 p. 2. WHO | Schizophrenia [Internet]. WHO. [cited 2015 Dec 7]. Available from: http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/ 3. Kingdon DG, Turkington D. Cognitive therapy of schizophrenia. Guilford Press; 2005. 4. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1st ed. Jakarta; 1993.



38