Referat Keloid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



REFERAT ILMU PENYAKIT BEDAH KELOID



Oleh : Tawang Handayani 132011101068 Pembimbing: dr. Ulfa Elfiah, M. Kes, Sp.BP-RE



disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Ilmu Bedah di RSD dr.Soebandi Jember



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2017



ii



DAFTAR ISI



Halaman HALAMAN SAMPUL .................................................................................



i



DAFTAR ISI ................................................................................................



ii



BAB 1. PENDAHULUAN ...........................................................................



1



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................



2



2.1 DEFINISI...................................................................................... .....



2



2.2 ANATOMI...................................................................................... ...



2



2.3 EPIDEMIOLOGI................................................................................



3



2.4 ETIOLOGI...................................................................................... ...



4



2.5 PATOGENESIS.............................................................................. ...



4



2.6 KELOID DAN PARUT HIPERTROFIK...........................................



10



2.7 PENATALAKSANAAN...................................................................



11



2.8 PROGNOSIS............................................................................... .......



22



BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................



23



DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................



24



ii



1



BAB 1. PENDAHULUAN



Keloid adalah kelainan kulit yang terjadi akibat deposisi kolagen secara berlebihan selama proses proliferasi penyembuhan luka. Deposisi kolagen terus terjadi karena sintesis kolagen jauh lebih hebat dibanding degradasinya, sehingga sebenarnya keloid bersifat menyerupai tumor jinak.[1] Keloid tumbuh melebihi batas luka, tidak terjadi regresi spontan dan memiliki kecenderungan rekuren setelah tatalaksana medikamentosa ataupun pembedahan.[2] Lokasi predisposisi keloids yaitu bahu, dinding dada anterior, dan daun telinga.[3] Estimasi insidensi parut keloid yaitu 15% hingga 20% pada populasi kulit hitam, Hispanik, dan Oriental.[4] Keloid lebih sering terjadi pada AfricanAmerican, Asian-American, Latin-American, dan etnis lain dengan pigmen gelap.[5] Keloid cenderung terjadi pada individu berkulit gelap yang memiliki kecenderungan keluarga dan tidak pada usia ekstrem.[3] Di lain sisi, keloid tidak ditemukan pada populasi albino yaitu kondisi dimana tidak didapatkan atau sedikit terdapat pigmen melanin.[4] Saat ini untuk penanganan parut diketahui ada sekitar 25 modalitas dengan berbagai pendekatan.[6] Pilihan yang banyak seperti ini menunjukan bahwa modalitas yang ada belum sepenuhnya dapat memuaskan. Secara umum, respon terapi sangat bervariasi. Disamping itu faktor rekurensi juga menjadi pertimbangan dalam memilih terapi. Saat ini injeksi kortikosteroid dan gel silikon adalah metoda nonbedah yang direkomendasi dan didukung evidence based yang memadai.[6] Kombinasi terapi juga merupakan pilihan terbaik, yang dipercaya dapat memberikan hasil yang optimal.



2



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA



2.1



DEFINISI Alibert, pada tahun 1806, menamai parut abnormal ini dengan cheloide,



berasal dari bahasa Yunani chele yang berarti, capit kepiting, untuk mendeskripsikan pertumbuhan lateral dari jaringan menuju kulit sekitarnya.[5] Keloid adalah kelainan kulit yang terjadi akibat deposisi kolagen secara berlebihan selama proses proliferasi penyembuhan luka. Deposisi kolagen terus terjadi karena sintesis kolagen jauh lebih hebat dibanding degradasinya, sehingga sebenarnya keloid bersifat menyerupai tumor jinak.[1] Keloid tumbuh melebihi batas luka, tidak terjadi regresi spontan dan memiliki kecenderungan rekuren setelah tatalaksana medikamentosa ataupun pembedahan.[2]



2.2



ANATOMI Kulit terdiri atas dua lapisan; epidermis yang tipis dan lapisan yang lebih



tebal yaitu dermis (Gambar 2.1). Di bagian dalam dermis terdapat lemak subkutan. Kulit manusia memiliki dua tipe: kulit dengan rambut dan kulit glabrous (tanpa rambut). Kulit glabrous dapat ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki serta memiliki epidermis yang lebih tebal. Epidermis terdiri atas empat lapisan; stratum korneum, stratum granulosum, stratum spinosum, and stratum basal. Pada kulit glabrous, lapisan tambahan (stratum lucidum) berada di antara stratum korneum dan stratum granulosum. Epidermis mengandung keratinosit, melanosit, sel-sel Langerhans dan sel-sel Merkel. Dermis dibagi menjadi dermis papilar superfisial dan dermis retikular yang terletak lebih dalam. Dermis mengandung fibroblas, sel-sel mast, histiosit, monosit, limfosit, dan sel-sel Langerhans. Integritas dermis dipertahankan oleh matriks penyangga yang mengandung substansi dasar dan dua tipe serat protein: kolagen, yang memiliki daya regang yang besar dan membentuk konstituen mayor dari dermis, dan elastin, yang menyusun hanya sebagian kecil dermis. Pelengkap



3



kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebaseous, dan kelenjar apokrin serta ekrin juga terdapat pada dermis.



Gambar 2.1 Penampang melintang kulit[7]



2.3



EPIDEMIOLOGI Estimasi insidensi parut keloid yaitu 15% hingga 20% pada populasi kulit



hitam, Hispanik, dan Oriental.[4] Keloid lebih sering terjadi pada AfricanAmerican, Asian-American, Latin-American, dan etnis lain dengan pigmen gelap.[5] Keloid cenderung terjadi pada individu berkulit gelap yang memiliki kecenderungan keluarga dan tidak pada usia ekstrem.[3] Di lain sisi, keloid tidak ditemukan pada populasi albino yaitu kondisi dimana tidak didapatkan atau sedikit terdapat pigmen melanin.[4] Keloid dapat terjadi pada usia berapapun,tetapi biasanya diantara usia 10 dan 30 tahun, dan cenderung jarang pada usia sangat muda dan sangat tua.[8] Lokasi predisposisi keloids yaitu bahu, dinding dada anterior, dan daun telinga[3] (Gambar 2.2). Tegangan permukaan dan densitas kelenjar sebasea merupakan salah satu karakteristik yang dihipotesiskan membentuk keloid pada lokasi-lokasi tersebut.



4



A



B



C



Gambar 2.2 Lokasi tersering keloid pada tubuh. (A) Bahu, (B) daun telinga, (C) dan dinding dada anterior[3].



2.4



ETIOLOGI Beberapa etiologi keloid telah dikemukakan (Gambar 2.3), meliputi:



predisposisi genetik, hormonal, dan faktor endokrin, adanya benda asing pada situs luka, infeksi, terdapat tegangan pada lingkungan lokal luka, delayed healing, fase



inflamasi



memanjang,



dan



interaksi



epithelial–mesenchymal



yang



abnormal[9].



Gambar 2.3 Faktor-faktor yang mungkin terlibat pada patogenesis keloid[9]



2.5



PATOGENESIS Berikut ini adalah beberapa hipotesis mengenai pembentukan dan



pertumbuhan keloid[3].



5



1.



Perubahan Lingkungan Faktor Pertumbuhan Jaringan parut pada keloid disebabkan karena bertambahnya aktivitas faktor



pertumbuhan (transforming growth factor-β dan platelet-derived growth factor) dan perubahan dari matriks ekstraseluler (fibronektin, asam hialuronat, dan biglycan).



2.



Perbedaan Faktor Pertumbuhan Transforming growth factor (TGF)-β dan platelet-derived growth factor



merupakan faktor-faktor pertumbuhan yang secara normal diproduksi selama fase proliferasi dari penyembuhan luka. Aktivitas dari kedua faktor tersebut abnormal secara signifikan pada keloid. Fibroblas keloid telah meningkatkan sensitivitas terhadap regulasi TDF-β serta mengakibatkan disfungsi pada regulasinya. Areaarea yang mengalami peningkatan proliferasi dan deposisi kolagen pada jaringan keloid telah meningkatkan kadar dari TGF-β. Demikian pula, fibroblas keloid memiliki empat hingga lima kali lipat kenaikan kadar reseptor dari plateletderived growth factor, dan efek pertumbuhannya sinergis dengan TGF-β.



3.



Perbedaan Matriks Ekstraselular Komponen



dari



matriks



ekstraselular



meregulasi



aktivitas



faktor



pertumbuhan. Matriks ekstraselular dari keloid adalah abnormal, dengan peningkatan kadar fibronektin dan proteoglikan tertentu serta penurunan kadar asam hialuronat. Fibronektin dan asam hialuronat merupakan protein yang diekspresikan selama proses penyembuhan luka normal, dan disfungsi regulasi mereka pada keloid berkontribusi terhadap fenotip fibrotik. Biglycan dan decorin merupakan proteoglikan yang mengikat fibril kolagen dan mempengaruhi arsitektur kolagen. Keloid memiliki produksi berlebih atas proteoglikanproteoglikan tersebut, menghasilkan matriks ekstraselular dan arsitektur kolagen yang tidak terorganisir. Mengapa terdapat abnormalitas lingkungan faktor pertumbuhan pada keloid? Terdapat tiga konsep atas perubahan lingkungan tersebut. Konsep pertama, interaksi antara epithel dan mesenkim memiliki peran mendasar pada patogenesis



6



keloid. Studi menggunakan keratinocyte-fibroblast dengan sistem kultur in vitro menunjukkan bahwa keratinosit keloid dapat menginduksi fenotip keloid pada fibroblas normal. Selanjutnya, perubahan histologis pada epidermis dari parut abnormal in vivo berkorelasi dengan aktivitas fibroblas dermal. Konsep kedua, jalur proliferatif yang aktif pada sel-sel fetal dan tidak aktif pada dewasa kemungkinan muncul kembali pada keloid. Tidak seperti fibroblas kulit dewasa normal, jaringan fetal dan keloid dapat bertahan dan berproliferasi pada in vitro di lingkungan yang rendah serum. Konsep ketiga, hipoksia pada jaringan keloid dapat memicu pengeluaran faktor pertumbuhan angiogenik, delayed wound maturation, dan peningkatan produksi kolagen oleh fibroblas. Hipoksia tampaknya disebabkan oleh pertumbuhan endotel berlebih baik secara penutupan parsial maupun total dari lumen microvessel pada keloid.



4.



Hipotesis Pergantian Kolagen Regulasi abnormal dari keseimbangan kolagen mengarah pada timbulnya



tampilan seperti keloid, massa kolagen besar yang dapat dibedakan dari parut normal (Gambar 2.4). Kandungan kolagen pada keloid meningkat dibanding parut normal. Berkas-berkas kolagen lebih tebal dan bergelombang, serta terdapat nodul kolagen pada level mikrostruktural. Rasio kolagen tipe I hingga tipe III meningkat secara signifikan pada keloid dibanding kulit normal atau parut. Perbedaan ini dihasilkan dari kontrol pada level pretranskripsional dan posttranskriptional. Kolagen sebagian besar dihasilkan oleh fibroblas dan sel endotel. Fibroblas keloid memiliki kapasitas lebih besar untuk berproliferasi karena memiliki ambang yang lebih rendah untuk memasuki fase S dan memproduksi lebih banyak kolagen secara otonom. Matriks metalloproteinase dan inhibitornya (tissue inhibitors of matrix metalloproteinases) memiliki peran kunci pada pembentukan keloid. Kolagen didegradasi oleh kolagenase yang diproduksi oleh fibroblas dan sel inflamasi. Enzim yang menghambat atau mendegradasi kolagen menghasilkan kadar regulasi tambahan untuk kolagen. Konsentrasi dari kolagenase inhibitor, α-globulins dan



7



aktivator plasminogen activator inhibitor-1, secara konsisten meningkat baik pada sampel keloid in vitro dan in vivo, dimana kadar dari enzim degradatif sering menurun. Selanjutnya, aktivitas matriks metalloproteinase berbeda antara keloid dan fibroblas normal, dan perbedaan ini tampaknya mempengaruhi fenotip secara langsung. Karena kolagen mendominasi pada tampilan fenotip dari keloid, metabolisme keloid dan terutama modulasi dari matriks metalloproteinase berperan sebagai target yang bernilai dari intervensi terapeutik.



Gambar 2.4 Spektrum penyembuhan luka normal hingga abnormal yang menghasilkan keloid[9]



5.



Hipotesis Tegangan Tegangan mekanis ditempatkan pada luka yang mengalami penyembuhan



mengakibatkan orientasi yang tidak sejajar dari formasi kolagen dan menghasilkan keloid. Tegangan mekanis membuat proliferasi dari fibroblas dan sintesis kolagen. Studi secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa tegangan tidak hanya meningkatkan produksi kolagen tetapi juga mengatur arsitektur dan orientasi kolagen, serta mempengaruhi remodeling dermal. Kolagen berorientasi tegak lurus terhadap kontraksi otot; maka dari itu, insisi tegak lurus terhadap serat otot secara teori akan sembuh dengan orientasi kolagen natural. Bukti anekdot menunjukkan bahwa insisi paralel terhadap skin tension lines jarang membentuk parut abnormal, dimana hal tersebut sering berlokasi pada pergerakan sendi. Pembentukan keloid dan parut hipertrofik dapat diminimalisir dengan penggunaan jahitan subkutikuler yang dapat diserap daripada jahitan interrupted yang nonabsorbable, sehingga membatasi trauma jahitan terhadap kulit. Selain itu,



8



parut abnormal jarang terjadi pada pasien lansia, dimana karakteristik kulitnya memiliki tension yang buruk. Hipotesis ini menyatakan bahwa gaya tegangan yang tidak sejajar membuat parut tidak normal. Tanpa bukti yang objektif, terdapat ketidaksetujuan mengenai apakah lokasi tersering dari keloid yaitu daun telinga dan dinding dada di bawah tegangan atau tidak. Meskipun tegangan merupakan determinan yang penting pada hasil akhir parut, hal tersebut mungkin lebih berperan pada patogenesis parut hipertofi daripada keloid.



6.



Disfungsi Imun Genetik Respon imun abnormal terhadap trauma kulit yang diwariskan dapat



menyebabkan keloid. Hal ini karena keloid diasosiasikan dengan subtipe human leukocyte tertentu. Keloid cenderung terjadi pada individu berkulit gelap, dan kecenderungan familial menunjukkan pola pewarisan. Pasien yang mengidap keloid secara tidak proporsional memiliki insidensi tinggi terhadap alergi dan peningkatan kadar serum immunoglobulin E. Beberapa studi menunjukkan trend pola kadar serum komplemen, immunoglobulin G, dan immunoglobulin M pada pasien dengan keloid. Hal ini menunjukkan keadaan imun sistemik secara genetik merupakan predisposisi pembentukan keloid. Pertumbuhan keloid, yaitu fase inisial yang lambat diikuti dengan pertumbuhan sekunder yang lambat, menunjukkan peristiwa reaksi imun lokal. Penggunaan material monofilament suture pada penutupan insisi operasi menghasilkan parut abnormal



yang lebih sedikit



dibandingkan jahitan



multifilamen, diduga disebabkan karena inflamasi lokal yang lebih sedikit. Eksplan keloid yang aktif tumbuh, kemudian diberikan pada tikus yang memiliki sistem imun yang rendah, pada mulanya tumbuh namun mengalami regresi meskipun terdapat revaskularisasi. Regresi keloid pada tikus mendukung teori respon imun sistemik mengatur pertumbuhannya sebelum eksplantasi.



9



7.



Hipotesis Reaksi Sebum Keloid dapat timbul dari reaksi imun terhadap sebum. Injuri dermal yang



menyebabkan terpaparnya unit pilosebaseous ke sirkulasi sistemik, dan pada individu yang memiliki limfosit T sensitif terhadap sebum, terjadi respon imun yang dimediasi oleh sel. Pelepasan sitokin, terutama interleukin dan and TGF-β, menstimulasi kemotaksis sel mast dan produksi kolagen dari fibroblas. Seiring menyebarnya keloid, unit-unit pilosebaseous pada tepi lokasi injuri dirusak, lalu prosesnya menyebar. Keloid lebih sering terjadi pada lokasi anatomis dengan konsentrasi kelenjar sebaseous yang tinggi, seperti dinding dada, bahu, dan area pubis, serta jarang pada lokasi dengan kelenjar sebaseous yang sedikit, seperti telapak kaki dan telapak tangan. Hipotesis reaksi sebum menjelaskan mengapa individu dengan dua insisi identik dapat terjadi satu keloid dan satu parut normal. Hipotesis reaksi sebum juga menjelaskan mengapa hanya manusia, satu-satunya mamalia dengan kelenjar sebaseous sejati, terjangkit keloid. Pesien dengan keloid menunjukkan reaksi kulit yang positif pada antigen sebum intradermal dan cenderung memiliki resultan weal yang lebih besar daripada pasien tanpa kecenderungan keloid. Lebih lanjut, keloid dapat membentuk imunisasi lanjutan dengan



kulit



yang



autolog dan



vaksin



sebum



dapat



dengan



sukses



mendesensitisasi pasien dari rekurensi keloid setelah eksisi.



8.



Melanin[4] Peningkatan konsentrasi melanin mengakibatkan penurunan pH sehingga



lebih asam. Berkurangnya pH menurunkan kapasitas enzim kolagenase untuk mendegradasi kolagen sehingga terjadi akumulasi kolagen. Insidensi keloid pada individu dengan kulit gelap disebabkan oleh jumlah melanin yang lebih tinggi yang mengganggu keseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka.



10



2.6



KELOID DAN PARUT HIPERTROFIK Respon parut abnormal terbagi menjadi dua kategori utama: parut



hipertrofik dan keloid. Parut dalam kategori ini akan bervariasi baik dalam perjalanan klinisnya maupun respon terhadap terapi[10]. Parut hipertrofik didefinisikan sebagai parut yang meninggi namun tidak melebihi tepi lesi, sering terjadi regresi spontan setelah injuri inisial dan jarang mengalami rekurensi setelah eksisi bedah (Gambar 2.5). Sebaliknya, keloid melebar melebihi tepi lesi, berkembang seiring waktu, dan tidak terjadi regresi spontan, dan sering terjadi rekurensi setelah eksisi (Gambar 2.5). Berikut adalah perbedaan keloid dan parut hipertrofik (Tabel 2.1).



Tabel 2.1 Kriteria klinis dan histologis dari keloid dan parut hipertrofik[11]



11



Gambar 2.5 (A) Parut hipertrofik pada pria Afrocaribbean. (B) Keloid single site pada wanita Afrocaribbean tanpa riwayat keluarga dengan keloid. (C–H) Wanita Afrocaribbean yang memiliki riwayat keluarga dengan keloid, tampak keloid pada multipel situs anatomis[8].



2.7



PENATALAKSANAAN Saat ini untuk penanganan parut diketahui ada sekitar 25 modalitas dengan



berbagai pendekatan[6]. Pilihan yang banyak seperti ini menunjukan bahwa modalitas yang ada belum sepenuhnya dapat memuaskan. Secara umum, respon terapi sangat bervariasi. Disamping itu faktor rekurensi juga menjadi pertimbangan dalam memilih terapi. Saat ini injeksi kortikosteroid dan gel silikon



12



adalah metoda nonbedah yang direkomendasi dan didukung evidence based yang memadai[6]. Kombinasi terapi juga merupakan pilihan terbaik, yang dipercaya dapat memberikan hasil yang optimal.



1.



Steroid Steroid intralesi (triamcinolone) merupakan yang paling efektif paling



banyak digunakan untuk mengobati keloid. Triamcinolone acetonide intralesi, merupakan terapi first-line untuk keloid. Triamcinolone menghambat proliferasi dari fibroblas normal dan fibroblas keloid, menghambat sintesis kolagen, meningkatkan produksi kolagenase, dan menurunkan kadar kolagenase inhibitor. Bekerja melalui reseptor fibroblas glukokortikoid, steroid juga menginduksi perubahan ultrastruktural pada sintesis kolagen yang meningkatkan organisasi dari serat-serat kolagen dan degenerasi karakteristik nodul kolagen keloidal. Efek samping, meliputi atrofi subkutaneous,telangiektasis, dan perubahan pigmen, terjadi pada sekitar setengah dari pasien yang diobati dengan triamcinolone tetapi seringkali reda tanpa intervensi. Efek sistemik dari steroid (Cushing’s



syndrome)



secara



umum



tidak



terjadi



dengan



pengobatan



triamcinolone intralesi, tetapi pernah ada laporan pada kasus yang jarang.



2.



Bedah Eksisi bedah pada keloid secara umum menghasilkan rekurensi lesi. Eksisi



bedah keloid sendiri secara konsisten menunjukkan hasil yang buruk, dengan rekurensi 40-100%. Eksisi simple dipercaya menstimulasi sintesis kolagen tambahan, menghasilkan pertumbuhan kembali yang lebih cepat dan sering membentuk keloid yang lebih besar. Eksisi subtotal dengan undermining lateral telah dilaporkan hasil akir membaik dan rekurensi yang lebih sedikit (Gambar 2.6). Karena tepi dari parut keloid berperan sebagai bidai luka dan meredakan ketegangan, stimulus untuk sintesis kolagen menurun. Secara umum, jahitan dilepas secepat mungkin dan intradermal, penutupan subkutikular lebih disukai, untuk menghindari bekas jahitan yang kemudian



13



membentuk keloid. Jika penutupan primer tidak mencukupi, luka dapat ditutup dengan flap, autograft, atau komposit allograft, termasuk Integra.



A



B



C



Gambar 2.6 Foto serial dari eksisi subtotal large keloid pada telinga kiri. Preoperatif (A), setelah eksisi (B), dan postoperatif setelah penutupan primer (C).



Eksisi bedah dapat dilakukan ekstra lesi atau intra lesi (Gambar 2.7). Terdapat hipotesis bahwa eksisi intra lesi dengan underminig lateral menghasilkan tepi luka keloid yang berperan sebagai bidai dan mengurangi tensile stress, kemungkinan



mengurangi stimulus peningkatan sintesis kolagen. Sebaliknya,



sebuah studi patologis yang meninjau spesimen keloid dan menghubungkannya dengan follow-up pasien 6-12 bulan mengungkapkan bahwa eksisi yang tidak lengkap diasosiasikan dengan angka rekurensi yang lebih besar, sehingga dipilih pendekatan ekstra lesi[12]. Tidak terdapat studi klinis membandingkan efektivitas antara eksisi intra lesi versus ekstra lesi yang tersedia saat ini.



Gambar 2.7 Ilustrasi tipe eksisi bedah pada keloid (Fermo)



Untuk keloid yang memanjang dapat dieksisi dengan teknik Z-plasty, Wplasty, atau dengan teknik geometric broken line closure (GBLC)[1]. Teknik Z-



14



plasty berguna untuk memperpanjang parut dengan mengubahnya dari parut yang melintang atau melawan relaxed skin tension lines (RSTL), menjadi parut yang paralel dengan garis lipatan kulit (Gambar 2.8). Teknik W-plasty berguna untuk menyamarkan parut yang panjang lurus serta tidak paralel dengan RSTL (Gambar 2.9). Teknik GBLC juga dapat digunakan untuk parut yang panjang yang tidak paralel dengan RSTL, namun memiliki tepi parut yang ireguler (Gambar 2.10).



Gambar 2.8 Z-plasty. (a) Eksisi parut, insisi lateral dan menandai area undermining. (b) Transposisi area segitiga. (c) Penutupan luka.



Gambar 2.9 W-plasty. (a) Eksisi elips di sekitar parut. Garis bantu menunjukkan ujung dari garis zigzag. (b) Skalpel ditorehkan pada garis zigzag. Parut telah dieksisi. (c) Tampilan setelah reseksi area triangular. Dilakukan undermining pada tepi luka. (d) Penutupan luka.



15



Gambar 2.10 GBLC. (a) Penandaan insisi kulit. Pembentukan geometris yang identik pada kedua sisi parut (not mirror images). (b) Eksisi kulit hingga subdermis. (c) Undermining tepi luka. (d) Penutupan luka.



3.



Radiasi Terapi radiasi secara efektif mengurangi angka rekurensi keloid.



Penggunaannya dibatasi oleh resiko teoritis menginduksi malignansi. Terapi radiasi sebagai tambahan terhadap eksisi keloid memiliki angka keberhasilan 6599% pada follow-up jangka panjang, dengan hasil yang lebih baik daripada metode bedah saja. Terapi radiasi biasanya diberikan segera setelah eksisi keloid, menggunakan terapi yang difraksinasi dengan dosis total 10-15 Gy. Radiasi dari keloid merusak fibroblas secara langsung dan mempengaruhi struktur kolagen. Pada studi in vitro menunjukkan bahwa radiasi meningkatkan laju apoptosis pada fibroblas keloid dan fibroblas normal, membangun kembali keseimbangan populasi sel. Perubahan pigmentasi kulit dan ulserasi kadang-kadang terjadi dan seringkali menghilang tanpa pengobatan. Dehisensi luka tidak tampak pada awal postoperatif radioterapi keloid. Radioterapi dikontraindikasikan pada pasien pediatri dan wanita hamil, serta pada lokasi yang dibawahnya terdapat struktur viseral. Meskipun resiko teoritis akan kanker dan beberapa kasus yang terdokumentasi, tidak terdapat asosiasi dari terapi radiai untuk keloid dengan karsinogenesis pada multiple large clinical trials, dengan total ribuan pasien.



16



4.



Gel Silikon Gel silikon efektif pada managemen keloid, meskipun mekanisme kerjanya



tidak diketahui. Penggunaan gel silikon, terutama sebagai lembaran, dibatasi oleh kepatuhan pasien setiap hari. Penggunaan gel silikon baik sebagai gel topikal atau impregnated elastic sheet membutuhkan penutupan pada parut selama minimal 12 jam per hari, dan idealnya 24 jam per hari kecuali ketika kulit sedang dibersihkan. Gel silikon dapat digunakan sendiri atau sebagai adjuvan setelah eksisi dan efektif setelah 4-6 bulan dari pengobatan. Penggunaan gel silikon menghasilkan penyembuhan yang lebih cepat dan dapat digunakan dengan eksisi laser karbon dioksida untuk mengurangi rekurensi. Gel silikon berperan sebagai membran impermeabel yang menjaga kulit terhidrasi, berfungsi analog seperti stratum korneum. Efek samping gel silikon termasuk maserasi kulit, erosi, ruam, dan pruritus, semua mereda dengan pemindahan gel untuk beberapa hari diikuti dengan aplikasi kembali. Gel silikon nyaman, tetapi membutuhkan kepatuhan pasien dan aplikasi jangka panjang yang dapat penuh tantangan pada lokasi yang mobile dan meiliki sudut, seperti leher.



5.



Pressure Therapy Pressure therapy setelah eksisi cukup efektif dengan efek samping minimal.



Pressure therapy merupakan terapi yang efektif untuk keloid dan telah ditemukan penggunaan secara luas sebagai tambahan pada postoperatif untuk keloid daun telinga. Angka nonrekurensi dari eksisi yang diikuti dengan pressure therapy pada daun telinga melebihi 80%. Mekanisme pressure therapy belum diketahui. Karena tegangan mempengaruhi produksi kolagen, beberapa keuntungan terapeutik dari pressure yaitu perubahan wound tension. Mekanisme lainnya yaitu pressureinduced ischemia yang memicu degradasi kolagen dan memodulasi aktivitas fibroblas. Pressure therapy merupakan terapi yang simpel dan sangat efektif, dengan efek samping minimal. Pressure garments sering digunakan pada body scar pressure therapy (Gambar 2.11). Karena luasnya radius dinding dada, pressure garments biasanya menghasilkan tekanan yang rendah pada area ini, dan tekanan akan lebih rendah



17



lagi pada area konkaf, seperti mid-sternum. Tekanan yang tepat dan efektifdapat dicapai dengan inflatable pressure garment pada dinding dada[13] (Gambar 2.12).



Gambar 2.11 Bagian konkaf menjadi konveks setelah expander dikembangkan. (A) Pressure garment konvensional; (B) The inflatable pressure garment.



Gambar 2.12 Pasien pria dengan keloid dinding dada yang diterapi dengan eksisi bedah, radioterapi, dan inflatable garment pressure. (A) Preoperatif; (B) 8 bulan setelah operasi, parut menjadi datar, halus, dan hampir tidak terlihat.



6.



Laser Terapi laser telah dianjurkan tetapi belum menunjukkan efektivitasnya pada



tatalaksana keloid. Laser karbon dioksida telah dilaporkan dapat menurunkan kehilangan darah, menurunkan nyeri postoperatif, dan parut yang lebih sedikit. Namun, eksisi dengan laser karbon dioksida sendiri menghasilkan hasil yang tidak terlalu baik, dengan lebih dari 50% angka rekurensi. Beberapa peneliti mengkombinasikan laser karbon dioksida dengan modalitas lain termasuk interferon, triamcinolone, dan gel silikon, dan dilaporkan angka kesuksesan mirip dengan insisi skalpel dengan terapi adjuvan masing-masing. Pada beberapa studi, keloid berespon terhadap 585-nm flashlamp-pumped pulsed-dye laser dengan efektivitas melampaui 75% dan morbiditas minimal pada beberapa pasien. Mekanisme dari flashlamp-pumped pulsed-dye laser yaitu



18



termolisis selektif pada molekul hemoglobin, yang menghasilkan kerusakan mikrovaskular dan nekrosis koagulatif, dan pada akhirnya hipoksia jaringan; laser dapat juga menyebabkan disasosiasi serat-serat kolagen. Masalah utama dari 585nm flashlamp-pumped pulsed-dye laser yaitu melanin merupakan kompetitor chromophore. Maka dari itu, flashlamp-pumped pulsed-dye laser kehilangan efektivitasnya pada individu berkulit gelap, yang beresiko keloid.



7.



5-Fluorouracil 5-fluorouracil intralesi merupakan terapi eksperimental untuk keloid telah



menunjukkan potensial pada uji preliminary. 5-Fluorouracil merupakan antimetabolit yang menghambat proliferasi fibroblas dan dengan sederhana memperbaiki parut keloid. 5-Fluorouracil telah sukses digunakan untuk menghambat parut postsurgikal pada glaukoma. Efek samping jarang ditemukan, termasuk iritasi kulit superfisial tanpa perubahan hematologis yang tampak.



8.



Interferon Interferon intralesi merupakan terapi eksperimental dengan efek samping



sistemik besar. Efektivitasnya pada tatalaksana keloid belum dapat ditunjukkan. Interferons adalah sitokin yang disekresi terutama oleh limfosit T-helper yang memproduksi profil antifibrotik. Interferon-β dan interferon-α2b telah digunakan sebagai terapi eksperimental pada keloid. Interferon-α2b memiliki efek yang lebih komprehensif terhadap enzim yang memodulasi kadar kolagen. Tidak seperti modalitas terapi keloid yang lain, interferon intralesi menghasilkan efek sistemik yang merugikan. Gejala seperti flu yang bergantung pada dosis, termasuk pireksia, pusing, dan nyeri otot, dapat berkembang setelah terapi. Pasien dapat diobati maupun diberikan profilaksis dengan asetaminofen untuk meredakan gejala.



9.



Retinoid Retinoid, sebuah terapi eksperimental, telah menunjukkan respon pada uji



klinis terbatas, tetapi belum ada penerimaan umum pada praktik klinis. Vitamin A



19



topikal dan intralesional serta turunan retinoidnya meningkatkan penyembuhan luka baru dan memicu regresi jaringan parut patologis. Dua uji klinis menunjukkan respon signifikan pada keloid yang diberikan 0.05% asam retinoat topikal dua kali per hari selama tiga bulan. Retinoid meningkatkan proliferasi epidermal dan menghambat proliferasi fibroblas sehingga menggeser proses penyembuhan ke arah regenerasi yang normal. Data studi in vitro menunjukkan bahwa retinoid dapat memodulasi proliferasi dari fibroblas normal dan fibroblas keloid serta produksi kolagen. Menariknya, retinoid juga menekan produksi sebum, dimana sebum dapat berperan dalam patogenesis keloid. Efek samping yang ditimbulkan termasuk fotosensitivitas, iritasi kulit pada 50%, dan sedikit atrofi kulit pada 10% pasien.



10.



Terapi lainnya Berikut ini adalah strategi tambahan pada manajemen keloid. a.



Calcium Channel Blocker Injeksi intralesi phenylalkylamine antagonis reseptor channel kalsium



setelah eksisi keloid telah menunjukkan hasil awal yang menjanjikan pada tiga uji klinis. Verapamil intralesi juga secara sukses telah digunakan pada salah satu dari uji tersebut dengan pressure therapy dan pada uji lainnya dengan silikon topikal. Tidak ada efek samping signifikan yang dilaporkan pada uji klinis verapamil intralesi tersebut. Mekanisme aksi mungkin melibatkan inhibisi dari reaksi-reaksi kalsium dependen yang terlibat pada produksi matriks ekstraselular serta peningkatan degradasi matriks ekstraselular.



b.



Cryosurgery Cryosurgery menggunakan pendinginan dan penghangatan kembali



pada jaringan secara berulang dan cepat, menghasilkan kematian sel dan sloughing jaringan. Efektivitas cryosurgery pada keloid telah dilaporkan berkisar dari 50-85%, dengan pendataran yang moderate dan meredakan simtomatik. Tidak seperti eksisi bedah, cryosurgery juga memilki efek



20



benefisial langsung pada kolagen koloid, menghasilkan perbaikan organisasi serat kolagen. Cryotherapy dapat menyebabkan hipopigmentasi atau depigmentasi.



c.



Antihistamin Antagonis histamin, terutama yang spesifik terhadap resseptor subtipe



H1, dapat meredakan rasa terbakar dan gatal yang diasosiasikan dengan keloid dan dapat memodulasi ukuran keloid. Pruritus pada keloid kemungkinan dihasilkan dari degranulatsi sel mast dan pelepasan histamin. Histamine dapat juga berkontribusi pembentukan keloid melalui stimulasi sintesis kolagen.



d.



Penicillamine, β-Aminopropionitrile, dan Colchicine Penicillamine dan β -aminopropionitrile merupakan inhibitor lysyl



oxidase yang mengganggu ikatan silang kolagen, sehingga kolagen lebih rentan terhadap kolagenase. Agen oral ini digunakan bersamaan dengan kolkisin, yang meningkatakan aktivitas kolagenase. Strategi ini mengubah rasio collagen turnover dengan memanipulasi enzim ekstraselular. Pada rangkaian kasus kecil, tidak terdapat kekambuhan keloid setelah 18 bulan dan tidak terdapat efek samping yang terdokumentasi.



e.



Terapi Eksperimental Beberapa terapi eksperimental lainnya untuk parut abnormal telah



dicoba dalam laporan kasus tunggal atau percobaan kecil, beberapa diantaranya kemungkinan akan dilakukan investigasi lebih lanjut. Terapiterapi ini termasuk bleomycin, imiquimod, dan cyclosporine.



11.



Terapi Kombinasi Manajemen yang paling efektif untuk keloid menggunakan terapi



kombinasi, umumnya eksisi dengan terapi adjuvan.



21



a.



Bedah dan Steroid Eksisi dengan skalpel pada lesi diikuti dengan injeksi triamcinolone (10



mg per centimeter linier) pada bed luka, seringkali dengan suntikan berulang saat follow-up, merupakan manajemen yang paling berhasil untuk keloid. Angka kesembuhan melebihi 80% telah dilaporkan secara konsisten menggunakan regimen kombinasi ini. Efek samping yang sama ditemukan pada terapi steroid saja (atrofi, telangiektasias, dan perubahan pigmen) dapat dilihat pada terapi kombinasi ini, dan cenderung reda dengan sendirinya.



b.



Laser Karbon Dioksida dan Steroid Eksisi keloid menggunakan laser karbon dioksida diikuti injeksi steroid



post operatif pada bed luka membuat tingkat penyembuhan sebanding dengan eksisi skalpel yang diikuti injeksi steroid. Penggunaan laser karbon dioksida telah dilaporkan menghasilkan penurunan nyeri post operatif.



c.



Bedah dan Terapi Radiasi Eksisi dengan radioterapi post operatif yang segera dapat digunakan



pada keloid tanpa struktur viseral dibawahnya, terutama ekstremitas. Terapi kombinasi ini membuat tingkat penyembuhan berkisar antara 65-99%, dengan efek samping (perubahan pigmen dan ulserasi) minimal. Terapi radiasi tidak boleh digunakan pada terapi keloid populasi anak-anak atau wanita hamil, karena resiko teoritis malignansi.



d.



Bedah dan Anting Kompresi Eksisi keloid daun telinga diikuti penggunaan anting kompresi



menghasilkan tingkat penyembuhan melebihi 80%, dengan efek samping minimal. Regimen kombinasi ini merupakan metode yang lebih dipilih pada manajemen keloid cuping telinga.



22



e.



Bedah dan Gel Silikon Eksisi keloid diikuti aplikasi lembaran gel silikon hingga 24 jam per



hari selama empat hingga enam bulan menghasilkan angka bebas kekambuhan melebihi 80%. Efek samping dari regimen terapi ini meliputi iritasi kulit yang minor dan terkadang maserasi. Kepatuhan pasien sering menjadi kendala.



f.



Bedah dan 5-Fluorouracil Injeksi 5-fluorouracil pada bed luka setelah eksisi keloid merupakan



terapi eksperimental yang menghasilkan angka penyembuhan melebihi terapi yang hanya dilakukan eksisi saja. Regimen ini memiliki efek samping yang jarang, termasuk iritasi kulit.



Hanya sedikit studi dengan level of evidence yang tinggi sebagai referensi pada protokol atau standard therapy tatalaksana parut. Pada sebuah review evaluasi terapi keloid selama 25 tahun, 83% evaluasi terapi keloid merupakan level 4 evidence dalam bentuk case series, cohort study atau low quality nonrandomized controlled trial[6]. Hanya 17% yang memenuhi kriteria level 2 dimana randomized controlled trial evidence terkait evaluasi dari silicone-based therapy atau terapi steroid. Silicon-based merupakan terapi keloid yang memiliki tingkat quality evidence tertinggi.



2.8



PROGNOSIS Prognosis



bervariasi



tergantung



tatalaksana



yang



digunakan



dan



kecenderungan seseorang untuk menghasilkan parut abnormal. Saat ini, terapi kombinasi merupakan pilihan terbaik yang dapat memberikan hasil optimal[6]. Kombinasi dapat berupa terapi bedah dengan modalitas non bedah, maupun kombinasi antara sesama terapi non bedah. Individu dengan kulit gelap serta memiliki riwayat keluarga dengan keloid memiliki prognosis yang lebih buruk.



23



BAB 3. KESIMPULAN



Keloid adalah kelainan kulit yang terjadi akibat deposisi kolagen secara berlebihan selama proses proliferasi penyembuhan luka. Keloid tumbuh melebihi batas luka, tidak terjadi regresi spontan dan memiliki kecenderungan rekuren setelah tatalaksana medikamentosa ataupun pembedahan. Lokasi predisposisi keloids yaitu bahu, dinding dada anterior, dan daun telinga. Keloid cenderung terjadi pada individu berkulit gelap yang memiliki kecenderungan keluarga dan tidak pada usia ekstrem. Saat ini untuk penanganan parut diketahui ada sekitar 25 modalitas dengan berbagai pendekatan. Pilihan yang banyak seperti ini menunjukan bahwa modalitas yang ada belum sepenuhnya dapat memuaskan. Secara umum, respon terapi sangat bervariasi. Disamping itu faktor rekurensi juga menjadi pertimbangan dalam memilih terapi. Saat ini injeksi kortikosteroid dan gel silikon adalah metoda nonbedah yang direkomendasi dan didukung evidence based yang memadai. Kombinasi terapi juga merupakan pilihan terbaik, yang dipercaya dapat memberikan hasil yang optimal.



24



DAFTAR PUSTAKA



1. Sjamsuhidajat dan R. Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC. 2. Paul, S. P. 2017. The Use of Zigs and Zags to Reduce Scarring over “Keloid Triangles” during Excisional Surgery: Biomechanics, Review and Recommendations. Surgical Science, 8(06): 240. 3. Al-Attar, A., Mess, S., Thomassen, J. M., Kauffman, C. L., & Davison, S. P. 2006. Keloid pathogenesis and treatment. Plastic and reconstructive surgery, 117(1): 286-300. 4. Perdanakusuma, D. S. 2006. The Effect of Melanin Concentration on Collagen Accumulation in Keloid. Folia Medica Indonesiana, 42(4): 218227. 5. Butler, P. D., Longaker, M. T., & Yang, G. P. 2008. Current progress in keloid research and treatment. Journal of the American College of Surgeons, 206(4): 731-741. 6. Perdanakusuma, D. S. 2013. Scars, The Surgeons’ Overlooked Threat From Hero to Zero. Jurnal Plastik Rekonstruksi, 2(3). 7. Thorne, C. H. 2013. Grabb and Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 8. Bayat, A., Arscott, G., Ollier, W. E. R., Mc Grouther, D. A., & Ferguson, M. W. J. 2005. Keloid disease: clinical relevance of single versus multiple site scars. British journal of plastic surgery, 58(1): 28-37. 9. Shih, B., Garside, E., McGrouther, D. A., & Bayat, A. 2010. Molecular dissection of abnormal wound healing processes resulting in keloid disease. Wound repair and regeneration, 18(2): 139-153. 10. Burd, A., & Huang, L. 2005. Hypertrophic response and keloid diathesis: two very different forms of scar. Plastic and reconstructive surgery, 116(7): 150e157e. 11. Seifert, O., & Mrowietz, U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Archives of dermatological research, 301(4): 259-272. 12. Fermo, L., Bellomo, N., & Lumenta, D. B. 2011. Assessment of surgical strategies for addressing keloids: An optimization problem. Computers & Mathematics with Applications, 62(6): 2417-2423.



25



13. Liu, S., Song, K. X., & Wang, Y. B. 2017. Inflatable pressure garment device for pressure therapy after chest wall keloid operation and radiotherapy.