Referat Multipel Trauma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LEMBAR PENGESAHAN



Nama Mahasiswa



: Soraya Alamudi



NIM



: 030.11.277



Bagian



: Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti



Periode Kepaniteraan



: 10 november – 17 desember



Judul Referat



: Multiple Trauma



Pembimbing



: dr. David, SP.OT



Jakarta, 20 November 2016 Pembimbing,



dr. David,Sp.OT



KATA PENGANTAR



Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan izinNya penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada dr. David, Sp,OT



yang telah



membimbing penyusun dalam mengerjakan laporan kasus ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun. Penyusun sadar laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.



Jakarta, 20 November 2016



Soraya Alamudi



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................



1



KATA PENGANTAR ...................................................................................



2



DAFTAR ISI .................................................................................................



3



BAB I



PENDAHULUAN ..................................................................



4



BAB II



TINJAUN PUSTAKA ...............................................................



5



2.1 Definisi ...............................................................................



5



2.2 Macam-macam trauma .......................................................



5



2.3 Mekanisme Trauma ............................................................



7



2.4 Patofisilogi Trauma ............................................................



9



2.5 Aspek Molekuler pada Trauma ..........................................



12



2.6 Dampak Sistemik dari Trauma ...........................................



14



2.7 Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan ...................



15



2.8 Manifestasi Klinis ..............................................................



15



2.9 Sistem Penilaian traum ......................................................



16



2.10 Manajemen trauma ..........................................................



21



2.11 Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma ...............



31



2 12 Prioritas dan Timing pembedahan pada pasien Multiple Trauma ............................................................................



32



2.13 Rehabilitasi ......................................................................



33



2.14 outcome ............................................................................



34



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................



36



BAB I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya bidang transportasi. Majunya transportasi mengakibatkan mobilitas penduduk ikut meningkat. Namun kemajuan ini juga mempunyai dampak negatif yaitu semakin tingginya angka kecelakaan. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di negara-negara tersebut sering tidak disertai dengan peningkatan kuantitas serta kualitas infrastruktur penunjang, misalnya ketersediaan jalan, regulasi transportasi yang baik, fasilitas keamanan suatu kendaraan, serta sistem edukasi mengenai tata cara berlalu lintas yang baik dan benar. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan tingginya angka kejadian kecelakaan di negara-negara miskin dan berkembang. Kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab terbanyak terjadinya cedera di seluruh dunia. Bagian tubuh yang paling sering terkena cedera adalah Anggota gerak bawah (kaki), sedangkan cedera kepala merupakan cedera yang paling serius. Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh 4 faktor yaitu faktor pemakai jalan, faktor pengemudi, faktor pejalan kaki, dan faktor kendaraan. WHO pada tahun 2002 mengestimasi 1,2 juta orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya dan 50 juta orang yang mengalami luka-luka. Pada tahun 2001 cause specific death rate (csdr) kecelakaan lalu lintas pada perempuan di Indonesia yaitu 18 per 100.000 penduduk dan pada laki-laki 71 per 100.000 penduduk.1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Multiple trauma atau yang biasa disebut polytrauma adalah cedera pada minimal dua sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. 2 Secara lebih khusus, multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung. Multiple trauma mempunyai konseskuensi yang serius terhadap pasien dan apabila pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup serius dan akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di rumah, tempat pekerjaan, dan masyarakat. 3 2.2 Macam-macam Trauma a



Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang Trauma dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta



aktivitas olahraga yang berbahaya sehingga cedera pada beberapa bagian ini. Trauma yang dapat terjadi adalah seperti berikut: • Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan pasien apnue. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi, paralisis hipotonus tungkai atas dan bawah serta syok batang otak. • Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang bilateral pada tapak tulang servikal C2. • Cedera kompresi dan cedera dislokasi pada Tulang belakang torak dan lumbar . • Spondilosis servikal



• Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi pada tulang servikal. b



Trauma toraks



Trauma toraks dibagi menjadi dua yaitu cedera dinding toraks dan cedera paru. a). Cedera dinding torak seperti berikut: • Patah tulang rusuk • Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’ • Flail chest • Open ‘sucking’ pneumothorax b). Cedera pada paru adalah seperti berikut: • Pneumotoraks • hematorak • Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema • Kontusio pulmonal c



Trauma abdominal



Trauma abdominal terjadi apabila terjadi cedera pada bagian organ dalam dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut: •Cedera yang dapat terjadi pada kuadran kanan abdomen adalah seperti cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal kanan • Cedera yang dapat terjadi pada kuadran kiri abdomen adalah seperti cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri. • Cedera pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter, salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum. • cedera juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu cedera penis dan skrotum. d



Tungkai atas Trauma tungkai atas adalah apabila terjadi benturan hingga menyebabkan cedera dan



putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari. e



Tungkai bawah Cedera yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain



ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki. 3



2.3 Mekanisme trauma Berdasarkan mekanismenya, terdapat trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor dan trauma tajam yang biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan. Trauma yang terjadi seringkali melibatkan beberapa regio tubuh. Pada multipel trauma, sering terjadi perdarahan yang akan mengakibatkan kematian. Selain itu, pada multipel trauma juga terjadi keadaan hipoperfusi dan asidosis serta koagulopati yang juga akan meningkatkan mortalitas pasien multipel trauma. 4 Pengetahuan mengenai mekanisme trauma akan dapat membantu dokter bedah dalam memperkirakan masalah dan cedera khusus yang dapat terjadi pada pasien multiple trauma sehingga diagnsosis dan tindakan dapat dilakukan dengan lebih efektif. 5  Klasifikasi Cedera Spinal6



Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut: Cedera fleksi: cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, kemudian dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra sehingga mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera seperti ini dapat dikategorikan sebagai cedera yang stabil; Cedera fleksi-rotasi: beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior (terkadang juga dapat melukai prosesus artikularis) lalu, cedera ini akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini digolongkan sebagai cedera yang paling tidak stabil; Cedera ekstensi: cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolumna vertebra dalam posisi fleksi, maka ce dera ini masih tergolong stabil; Cedera kompresi vertikal (vertical compression): cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture; Cedera robek langsung (direct shearing): cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen



 Patofisiologi Spinal Cord Injury Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.6 Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi. Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau system muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari, jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami



tetraplegia



dengan



keterbatasan



menggunakan



jari



tangan,



meningkat



kemandiriannya. pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.



 Manifestasi Klinis6 Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari saraf pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang dapat lebih lama.Tandanya adalah kelumpu han flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. Sindrom spinal cord bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera spinal cord sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran klinis berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral spinal cord. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. Kerusakan tulang



belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan reflex bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis. Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. Klien yang mengalami cidera spinal cord khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Meskipun gambaran klinis tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan, namun secara umum jika seseorang mengalami spinal cord injury, maka mereka akan mengeluh: nyeri mulai dari leher sampai bawah, kehilangan fungsi (misalnya: tidak dapat menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh, sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi hilang timbul, geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di jari dan tangan, kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh, inkontinensia urin yang mungkin disebabkan karena kelumpuhan saraf, kesulitan berjalan dengan keseimbangan, sulit bernafas setelah cedera, tidak berfungsinya saraf pada kepala atau tulang belakang. Tabel.1. Mekanisme Trauma dan Cedera yang Diantisipasi 5 Mekanisme Kecelakaan mobil Benturan pada jendela mobil



Cedera yang diantisipasi Cedera kepala, fraktur tulang wajah, fraktur tulang tengkorak, fraktur tulang leher



Benturan pada Kemudi mobil



Cedera deselerasi pada thorak, termasuk kontusio otot jantung, rupture aorta, kontusi paru, fraktur tulang sternum, flail chest dan hemopneumothorax Cedera abdomen bagian atas termasuk liver dan lien, rupture diafragma, serta



Benturan pada Dashboard



cedera pancreaticoduodenal Dislokasi hip, fraktur hip, fraktur femur,



Sabuk pengaman yang tidak sesuai



fraktur acetabulum Fraktur tulang midlumbar, cedera organ



Tahanan oleh 3 point seatbelt



berongga Fraktur costa,



clavicula,



sternum;



kontusio paru Terjepitnya bagian bawah tubuh oleh Crush injury, fraktur pelvis, fraktur kendaraan



ekstremitas



Tabrakan dari belakang



syndrome Cedera hiperekstensi dari tulang cervical, termasuk



bawah,



fraktur



dan



compartment



central



cord



syndrome Jatuh Jatuh dalam posisi supine



Secara



umum



berpotensi



untuk



menyebabkan axial dan appendicular skeletal injury Trombosis



arteri



renal



akibat



dari



Jatuh dalam posisi prone



robekan pada lapisan tunika intima Cedera deselerasi pada thorak



dan



Jatuh dengan kepala dibawah Jatuh dalam keadaan berdiri



abdomen Cedera kepala dan cedera cervical Fraktur calcaneus, fraktur thoracolumbar, fraktur pelvis, fraktur pada ekstremitas bawah



Kecelakaan pada pejalan kaki Kecepatan rendah , dewasa Kecepatan rendah , anak-anak Kecepatan tinggi Trauma Tajam Periorbital Leher bagian anterior



Fraktur tibial plateau, cedera ligamen lutut Cedera kepala, thorak, dan abdomen Cedera multiorgan yang mengancam jiwa Penetrasi intracranial Hematom retrofaring yang berpotensi menyumbat airway



Thoraks



Cedera esophagus Cedera jantung dan pembuluh darah besar



Bokong Senapan



Cedera rectum dan peritoneum Cedera pada area di sekitar luka masuk



Lain-lain Strangulasi



Cedera laring, fraktur hyoid, cedera arteri



carotid Cedera pada area lokal epigastric atau Hematom duodenal abdomen



kuadran



kanan



atas



(misalnya bicycle handlebar)



2.4 Patofisiologi Trauma Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada tubuh penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak serta untuk mengeliminasi jaringan yang terinfeksi. 6 Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin (tumor necrosis faktor-α), interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins, nitric oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway (complement, histamine, bradykin). Ketika mediator-mediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen sel-sel sistem imun innate dan adaptive untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di jaringan yang terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal menjadi sistemik yang kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome atau SIRS. 6 Kriteria Diagnostik sepsis menurut ACCP/SCCM th 2001 dan International Sepsis Definitions Conference, Critical Care Medicine, th 2003 :  Variabel Umum o Suhu badan inti > 380 C atau 9O;/menit



o Tachipnea o Penurunan status mental o Edema atau balance cairan yang positif > 20ml/kg/24 jam o Hiperglikemia > 120 mg/dl pada pasien yang tidak diabetes.  Variable Inflamasi o WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature o Peningkatan plasma C-reactive protein o Peningkatan plasma procalcitonin  Variabel Hemodinamik o Sistolik < 90mmHg atau penurunan sistolik . 40>mmHg dari sebelumnya. o MAP 70% o Cardiak Indeks >3,5 L/m/m3  Variable Perfusi Jaringan o Serum laktat > 1mmol/L o Penurunan kapiler refil  Variable Disfungsi Organ o PaO2 / Fi O2 0,5 mg/dl o INR >1,5 atau APTT > 60 detik o Ileus



o Trombosit < 100.000mm3 o Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4mg/dl) SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang tinggi sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan meningkatkan kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik akan menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai dengan muscle wasting, kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein. Keadaan hipermetabolik ini akan disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang tinggi akan menyebabkan terjadinya burn out. 6



Gambar 1. Respon Inflamasi Pasca Trauma SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme sel dan microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat maka akan menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi berupa disfungsi beberapa organ tubuh, yaitu 6 : 1. Disfungsi otak : delirium 2. Disfungsi paru-paru : hipoksia



3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema 4. Disfungsi ginjal : oligouria 5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus 6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia 7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap sistem imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan multiple organ dysfunction syndrome (MODS). MODS kemudian akan menyebabkan terjadinya multiple organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian. 6 Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan alveolar-capillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke rongga alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS. 6 2.5 Aspek Molekular pada Trauma Pasca trauma, dalam tubuh pasien akan terjadi perubahan yang dinamis pada respon hemodinamik, metabolik, dan imun yang dipengaruhi oleh mediator endogen atau yang disebut dengan sitokin. Proses inflamasi tersebut merupakan bagian dari respon fisiologis tubuh terhadap suatu trauma. Respon tubuh tersebut akan menimbulkan SIRS yang kemudian akan diikuti dengan compensatory anti-inflammatory response syndrome (CARS). Pada proses inflamasi, terjadi keseimbangan antara efek positif dari inflamasi dengan potensi dari proses tersebut untuk menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Bila proses inflamasi tersebut berlebihan maka pasien akan memasuki malignant systemic inflammation (moderate atau severe SIRS) yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya ARDS dan MODS. 6 Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya MODS, antara lain adalah sebagai berikut



1. Macrophage theory: adanya peningkatan produksi sitokin dan mediator lain oleh activated macrophage. 2. Microcirculatory theory: adanya syok hipovolemik yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen ke jaringan dan fenomena reperfusi yang kemudian dapat menyebabkan MODS. 3. One and two hit theories: cedera awal yang berat dan syok dikatakan sebagai first hit, yang akan menyebabkan terjadinya SIRS yang cukup berat yang kemudian mengaktivasi sistem imun innate, termasuk makrofag, leukosit, natural killer cell, serta migrasi sel inflamasi yang diperkuat oleh interleukin-8 (IL-8) dan komponen komplemen (C5a dan C3a). Ketika stimulus menjadi berkurang dan pasien seharusnya mengalami resolusi, adanya secondary insult atau second hit akan menyebabkan reaktivasi SIRS yang kemudian akan menimbulkan late MODS. Secondary insult yang dimaksud misalnya adalah pembedahan dan sepsis. 7 Bagan one and two hit theory dapat dilihat pada gambar 2.



Gambar 2. One and Two Hit Theory 2.6 Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit)



Terjadinya respon inflamasi pasca trauma merupakan bagian dari reaksi fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal (derajat trauma) serta faktor internal (predisposisi genetik seseorang).6 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator inflamasi terjadi segera setelah terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang berperan penting dalam proses inflamasi pasca trauma, jenis sitokin tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat suatu trauma dengan kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 dalam plasma pasien dengan injury severity score ≥25 .6



Tabel 2. Sitokin yang Berperan dalam Inflamasi Pasca Trauma6. Pengukuran sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan klinis. Awalnya dikatakan bahwa kadar sitokin primary inflammatory, yaitu tumor necrosis faktor α (TNF-α) dan Interleukin 12 (IL-12), mempunyai korelasi dengan derajat perdarahan awal serta keadaan nonsurvival setelah mengalami ARDS dan MODS. Kemudian terdapat beberapa penelitian yang bertentangan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya .6 Selain terjadi imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien pasca trauma juga terjadi imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan interferon berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi yang kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan kandungan enzim lisosom. 6 Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan MODS. Diantara trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan meningkatnya risiko untuk outcome



yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur femur berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup signifikan. 6 2.7 Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit) Seorang pasien multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat kemudian akibat dari second hit, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang termasuk second hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi pembedahan. Dengan adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep damage control surgery yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap unstable patient yang berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi pascatrauma. Second hit merupakan additive terhadap first hit dan bila kombinasi kedua hal tersebut cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada tubuh pasien serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MODS dan ARDS. 6 2.8 Manifestasi Klinis 6 1. Laserasi, memar,ekimosis 2. Hipotensi 3. Tidak adanya bising usus 4. Hemoperitoneum 5. Mual dan muntah 6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pada arteri karotis) 7. Nyeri 8. Pendarahan 9. Penurunan kesadaran 10. Sesak 11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent 12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal 13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan retroperitoneal 14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis



15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe 2.9 Sistem Penilaian trauma Terdapat tiga tipe sistem penilaian trauma. Tipe pertama berdasarkan anatomi; tergantung deskripsi cedera. Tipe kedua berdasarkan fisiologi; didapat dari observasi dan pengukuran tandatanda vital untuk menentukan tingkat penurunan fisiologis akibat cedera. Tipe ketiga adalah kombinasi sistem penilaian anatomis dan fisiologis.



A Sistem Penilaian Anatomis Sistem penilaian ini telah digunakan secara luas dalam studi epidemiologi. Jika digunakan tersendiri, hubungan dengan dampak lebih rendah dibandingkan jika dikombinasi dengan sistem penilaian fisiologis.  Abbreviated Injury Scale (AIS) AIS bertujuan untuk mendeskripsikan suatu cedera dan tidak didesain untuk memprediksi outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Pada AIS suatu cedera diranking pada skala 1-6 seperti pada tabel. Setiap cedera pada tubuh pasien diberi AIS grade. 12 AIS merupakan dasar dari penghitungan Injury Severity Score yang kemudian banyak diaplikasikan untuk menilai derajat keparahan suatu trauma. Usaha untuk menyimpulkan derajat keparahan suatu trauma pada pasien multiple trauma merupakan hal yang sulit sehingga terdapat beberapa scoring system alternatif yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan .6 Injury 1 2 3 4 5 6 Tabel 3.



AIS score Minor Moderate Serious Severe Critical Unsurvivable



 ISS ISS merupakan suatu anatomical scoring system yang dapat memberikan skor pada pasien dengan multiple trauma. Setiap cedera diberi AIS score dan dialokasikan ke salah satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala, wajah, thorak, abdomen, ekstremitas (termasuk pelvis), serta struktur eksternal). Hanya AIS score yang tertinggi di masing-masing regio tubuh yang digunakan. Kemudian dari AIS score tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. Dengan kata lain ISS adalah jumlah kuadrat dari AIS score tertinggi pada tiga regio tubuh yang mengalami cedera terparah. ISS mempunyai rentang antara 1-75. Seseorang dikatakan mengalami multiple trauma bila ISS ≥ 16. Contoh penghitungan ISS dapat dilihat pada tabel 2. ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang diperhitungkan hanya berjumlah tiga, yang masig-masing berasal dari tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah, sehingga akan terjadi underscoring bila pada pasien tersebut terdapat lebih dari satu cedera yang signifikan pada satu regio tubuh dan atau lebih dari tiga regio tubuh. ISS hanya memperhitungkan satu cedera per regio tubuh sehingga tidak mampu untuk mengevaluasi cedera multipel yang terjadi pada regio tubuh yang sama sehingga derajat keparahan suatu trauma sering salah diperkirakan. Selain itu ISS hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis. ISS juga memerlukan perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS score. 6



Tabel 4. Contoh Penghitungan ISS  AP AP diperkenalkan oleh Copes, dkk. pada tahun 1990.8 AP tidak luas digunakan, mungkin karena perhitungan yang rumit.7



 MESS Mangled Extremity Severity Score (MESS) adalah instrumen penilaian yang didesain untuk memprediksi kemampuan hidup/ bertahan dari anggota gerak yang cedera. Angka diberikan pada keparahan cedera, iskemi anggota gerak, syok, dan usia. Nilai ≥7 memprediksi dibutuhkan amputasi.8



b. Sistem Penilaian Fisiologis  GCS Jika nilai anatomis menilai komponen cedera yang statis, nilai fisiologis menilai komponen dinamis yang akut. Contoh sistem penilaian fisiologis yang sering digunakan dan sederhana adalah Glasgow Coma Score (GCS). Sistem ini merupakan sistem penilaian fisiologis pertama dan diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett. Nilai membuka mata, respons verbal, dan motorik dijumlah; nilai berkisar antara 3 dan 15 (Tabel 6). Perhitungan GCS cepat dan sederhana, dan pengulangan perhitungan dapat menginformasikan perkembangan atau perburukan pasien. Akan tetapi penilaian ini bersifat subjektif pada beberapa kasus. Respons verbal pasien yang terintubasi dan trakeostomi atau respons membuka mata pada pasien dengan pembengkakan wajah berat tidak dapat dinilai, sehingga membatasi penggunaan GCS. Pada anak-anak, perhitungan GCS mengalami modifikasi. GCS adalah metode yang diakui untuk cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan ringan (GCS 13-15), sedang (GCS 9-12), atau berat (GCS 3-8). Nilai rendah menggambar kan cedera yang lebih berat dan memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi. 9,10



Tabel 5 Sistem penilaian GCS dan pediatrik GCS  TS Trauma Score (TS) pertama kali diperkenalkan oleh Champion, et al, pada tahun 1981.8 Rentang nilai TS berkisar dari 1 (prognosis buruk) hingga 16 (prognosis baik). TS direvisi menjadi RTS (Revised Trauma Score) dengan menghilangkan penilaian ekspansi respirasi dan waktu isi kapiler karena sulit dinilai, terutama malam hari. 11  RTS Diperkenalkan oleh Champion, et al, (1983), sistem ini paling banyak digunakan sebagai sistem penilaian fisiologis. Sistem ini menggabungkan nilai GCS dengan laju respirasi dan tekanan darah sistolik. RTS lebih sensitif daripada TS. Terdapat dua tipe, untuk triase dan penelitian. RTS triase digunakan sebagai instrumen tenaga kesehatan pra-rumah sakit untuk membantu memutuskan apakah pasien trauma harus dibawa ke fasilitas pelayanan primer atau ke pusat trauma. Untuk tenaga kesehatan rumah sakit, RTS membantu memutuskan tingkat respons yang diaktifkan. RTS ≤11 berhubungan dengan mortalitas 30% dan harus segera dibawa ke pusat trauma. 12



Tabel 6



Skor Kombinasi Salah satu contoh skor kombinasi adalah Trauma Injury Severity Score (TRISS), yang mengkombinasikan faktor anatomi (ISS) dan fisiologis (RTS) untuk mengukur derajat keparahan suatu trauma serta memasukkan faktor usia untuk memprediksi prognosis pasien trauma 6. Untuk memprediksi prognosis pasien trauma, formula TRISS adalah sebagai berikut :



Ps : Probabilitas hidup b : b0 + b1(RTS) + b2(ISS) + b3(Age Index) Koefisien b0-b3 terdapat pada tabel 4



Tabel 7 koefisien TRISS Age Index adalah 0 bila pasien berumur kurang dari 54 tahun atau 1 bila pasien berumur 55 tahun atau lebih. TRISS mempunyai beberapa kelemahan, antara lain akurasi yang moderat untuk memprediksi prognosis pasien trauma dan tidak mempertimbangkan faktor komorbid seperti penyakit jantung, penyakit paru, serta penyakit lainnya6.



2.10 Manajemen trauma  TRIASE Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase : A. Multiple Casualties Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu. B. Mass Casualties Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu. Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal : A Label hijau Penderita tidak luka . Ditempatkan di ruang tunggu untuk dipulangkan B Label kuning Penderita hanya luka ringan. Ditempatkan di kamar bedah minor UGD. C Label merah Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD dan disiapkan dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD apabila sewaktu-waktu akan dilakukan operasi D Label biru Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD disiapkan untuk masuk intensive care unit atau masuk kamar operasi. E Label hitam Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah.



 Primary survey and resucitation Primary Survey A. Airway dengan kontrol servikal 1. Penilaian a. Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi 2. Pengelolaan airway a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal inline immobilisasi b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c. - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal - Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabel 1 ) 3. Fiksasi leher 4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. 5. Evaluasi Kebutuhan



untuk



airway Tidak sadar



perlindungan Kebutuhan untuk ventilasi Apnea • Paralisis neuromuskuler



Fraktur maksilofasial



• Tidak sadar Usaha nafas yang tidak adekuat • Takipnea • Hipoksia • Hiperkarbia



Bahaya aspirasi



• Sianosis Cedera kepala



• Perdarahan



membutuhkan hiperventilasi singkat, bila



• Muntah – muntah Bahaya sumbatan



terjadi penurunan keadaan neurologis



• Hematoma leher



tertutup



berat



yang



• Cedera laring, trakea • Stridor Tabel 8



B Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi 1. Penilaian a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tandatanda cedera lainnya.



d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e. Auskultasi thoraks bilateral 2. Pengelolaan a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask c. Menghilangkan tension pneumothorax d. Menutup open pneumothorax e. Memasang pulse oxymeter 3. Evaluasi C. Circulation dengan kontrol perdarahan 1. Penilaian a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal b. Mengetahui sumber perdarahan internal c. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. e. Periksa tekanan darah 2. Pengelolaan a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA). d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat. e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. f. Cegah hipotermia 3. Evaluasi



D. Disability 1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tandatanda lateralisasi 3. Evaluasi dan Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation. E. Exposure/Environment 1. Buka pakaian penderita 2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat. Resusitasi Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam. Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal: 1. Respon cepat - Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance - Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah - Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan - Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan 2. Respon sementara - Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah - Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif - Konsultasikan pada ahli bedah 3. Tanpa respon - Konsultasikan pada ahli bedah - Perlu tindakan operatif sangat segera - Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard - Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya



Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia, dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol. Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di ICU. Ada tiga tahap damage kontrol : Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk : • Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru • Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal • Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non surgical bleeding) • Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis. Ujung-ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu. • Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.



Tahap II : Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk : • Mengatasi hipotermi (rewarming) • Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik • Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik bila hipotermia telah diatasi. • Memperbaiki gagal paru dan ginjal. Tahap III : • Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin • Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi. • Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup kembali bila keadaan telah memungkinkan. Tambahan pada Primary Survey dan Resusitasi A. Pasang EKG 1. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi 2. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia B. Pasang kateter uretra 1. Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan kateter urine 2. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH, jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada bagian bedah 3. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine



4. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal dan hemodinamik penderita 5. Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anakanak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi C. Pasang kateter lambung 1. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric tube. 2. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena bahaya aspirasi bila pasien muntah. D. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah, Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan laboratorium darah. E. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST 1. Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen. 2. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary survey. 3. Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus dilakukan. Secondary survey Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definiti. Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil. Komponen dari survei sekunder adalah: 1. Riwayat cedera 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Tes diagnostik lebih lanjut



5. Evaluasi ulang 2.11 Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacement sesuai dengan protokol Advanced Trauma and Life Support / ATLS. Bila dengan cara konservatif tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan immediate life-saving surgery. 6 Untuk penanganan awal digunakan konsep damage control, yaitu kontrol terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta penutupan luka atau rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU, yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila kondisi pasien memungkinkan . Untuk algoritma penanganan pasien multiple trauma dapat dilihat pada gambar 3.



Gambar 3 Initial assessment dan penatalaksanaan pada pasien Multiple Trauma 2.12 Prioritas dan Timing pembedahan pada pasien Multiple Trauma Pada pasien multiple trauma, keputusan untuk memilih cedera yang akan ditangani terlebih dahulu dapat menjadi sulit, terutama bila cedera tersebut berbahaya dan dapat menyebabkam gangguan hemodinamik. Ketika cedera yang berbeda memerlukan tindakan spesialisasi yang berbeda maka dapat menimbulkan perbedaan pendapat mengenai prioritas tindakan yang akan dilakukan. Penelitian mengenai epidemiologi mortalitas pada pasien trauma serta pengalaman



klinis yang dimiliki dapat memilah cedera tertentu yang sangat fatal dan harus menjadi prioritas untuk ditangani dibandingkan cedera lainnya. Terkadang pada cedera tertentu dapat dilakukan tindakan pembedahan dini tanpa dilakukannya prosedur diagnostik yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa. Cedera-cedera yang dimaksud adalah penetrating thoracic injury yang mengakibatkan cardiac tamponade, open arterial injury, dan trauma pelvis. Adanya perdarahan yang terus-menerus disertai syok yang resisten terhadap resusitasi pada area thorak, abdomen, atau pelvis merupakan indikasi untuk dilakukannya tindakan pembedahan 6. Timing untuk melakukan pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien serta respon pasien terhadap resusitasi awal 3. Timing untuk pembedahan dapat dilihat pada tabel 8



Tabel 9. Timing untuk Pembedahan 3 2.13 Rehabilitasi Rehabilitasi pada pasien multiple trauma harus dimulai sedini mungkin. Pada pasien multiple trauma dengan cedera kepala, rehabilitasi bertujuan untuk memfasilitasi stimulasi terhadap fungsi kognitif dari pasien. Sebelum dilakukan rehabilitasi sebaiknya dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tersebut sudah tidak dalam pengaruh dari obat sedatif 6. Pada rehabilitasi pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera pada sistem muskuloskeletal maka rehabilitasi bertujuan untuk melatih mobilisasi dari ekstremitas yang mengalami cedera. Saat perawatan di bangsal, rehabilitasi dilakukan dengan latihan aktif oleh pasien tersebut serta diawasi oleh trained physiotherapist. Sering terjadi ketakutan pada pasien saat melakukan mobilisasi, hal tersebut memerlukan penjelasan yang baik dari dokter bedah



maupun physiotherapist mengenai tujuan dari mobilisasi tersebut yaitu untuk mempertahankan mobilitas sendi serta untuk mencegah terjadinya osteoporosis yang disebabkan oleh imobilisasi 6. 2.14 Outcome Outcome pada pasien multiple trauma dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lain derajat trauma, lokasi cedera, umur pasien, adanya kondisi penyerta pada pasien, serta penatalaksanaan pada pasien tersebut. Kematian karena trauma terjadi pada salah satu dari tiga periode waktu (Trimodal Death Distribution). Puncak pertama dari kematian adalah kematian yang terjadi beberapa detik atau menit setelah kejadian yang biasanya disebabkan oleh laserasi otak, cedera batang otak, cedera spinal cord level tinggi, serta cedera jantung dan aorta. Kematian puncak kedua terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah trauma yang disebabkan oleh perdarahan subdural dan epidural, hemopneumothoraks, rupture limpa, laserasi hati, cedera pelvis, serta cedera lainnya dengan perdarahan yang masif. Kematian puncak ketiga terjadi beberapa hari atau minggu setelah trauma yang disebabkan oleh sepsis dan MOF. Pada pasien multiple trauma tanpa cedera kepala dan dilakukan perawatan di rumah sakit yang memadai, mortalitasnya adalah kurang lebih 10%, sedangkan pada pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera kepala mortalitasnya adalah kurang lebih 30%. Trauma thorak, cedera solid abdominal organ serta fraktur lebih. Mortalitas pada pasien berumur tua lebih tinggi daripada pasien berumur muda. Tingkat mortalitas pada pasien berumur tua adalah 42,3%. Adanya penurunan fungsi fisiologik, berkurangnya physiologic reserve, serta adanya kondisi penyerta merupakan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap lebih tingginya mortalitas pada pasien berumur tua dibandingkan dengan pasien berumur muda. Selain masalah gangguan fisik, pada pasien yang mengalami trauma juga dapat mengalami gangguan psikis pasca trauma, yaitu post traumatic stress disorder (PTSD) serta depresi. Pada penelitian oleh Suliman et al disebutkan bahwa keluhan dan gejala PTSD dan depresi pada pasien multiple trauma lebih berat daripada pasien yang mengalami single trauma. 6



DAFTAR PUSTAKA 1. Butcher N, Balogh Z J, The definition of poltrauma: the need for international consensus.J.Care Injured.2009:s12,Rengachary SS, Ellenbogen RG:2005 2. Trentz, O.L. Polytrauma: Pathophysiology, priorities, and management. In T.P. Ruedi, W.M. Murphy editors. AO Principle of Fracture Manegement. Ed 2. AO Publishing, New York.2000; Pp 661-670 3. James C E, Corry R J dan Perry J F. Principles of Basic Surgical Practice A.I.T.B.S.Publisher and Distributers. 2000. 4. Brohi K,et al. Acute Traumatik Coagulopathy : Initiated by Hypoperfusion Modulated Through the Protein C Pathway? J.Trauma.2007;245. 5. Pratama N A. Cut Off Gap Score sebagai kejadian Multiple Organ Dysfunction Syndrome Berdasarkan kadar Sitokin IL-6 pada pasien Cedera Muskuloskeletal Mayor dengan Multiple Trauma.Denpasar.Universitas Udayana;2015. 6. Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms, clinical neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol. 2001;24:254–64. 7. Pohlman TH. Trauma scoring systems. Medscape Reference [Internet]. 2014 [cited 2015 Feb



27].



Avaiable



from:



http://emedicine.medscape.com/article/434076-



overview#showall 8. Kingston R, O’Flanagan SJ. Scoring system in trauma. Irish J Med Sci. 2000; 169(3): 168-72. 9. Rehn M, Perel P, Blackhall K, Lossius HM. Prognostic models for the early care of trauma patients: A systematic review. Scand J Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 2011; 19(17): 1-8. 10. Ozoilo KN. Measurement of the magnitude of injury: A review of the trauma scoring systems. Jos J Med. 2012; 6(2): 19-26.



11. Jennings P. A critical appraisal of revised trauma score. J Emerg Primary Health Care 2004; 2(2): 1-9. 12. Songer T. Measuring injury severity. University of Pittsburgh [Internet]. [cited 2015 Feb 27]. Available from: http://www.pitt.edu/~epi2670/severity/severity.pdf