Referat Trauma Maksilofasial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, kurangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentae yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Beradsarkan studi yang dikakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Kegawatdaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial.



Penatalaksanaan



kegawatdaruratan



pada



trauma



maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup dasar yang berguna menurunkan tingkat kecelakaan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami kegawatdaruratan.(1) Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk waktu penyembuhanya. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebnih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu. Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat manapun (1).



1.2 Tujuan 1. Manfaat Teroritis Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah kajian tentang trauma maksilofasial. 2. Manfaat Praktis Hasil penulisan referat ini dapat digunakan sebagai masukan bagi: a. Penulis Dapat



mengembangkan



dan



mengasah



kemampuan



dalam



penulisan referat, serta dapat meningkatkan pengetahuan tentang trauma maksilofasial. b. Institusi Sebagai bahan dasar atau referensi untuk pengembangan penulisan selanjutnya.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Trauma Maksilofasial Cedera atau trauma pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk (2). Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulangtulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibula (2).



2.2 Anatomi Maksilofasial Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia (2). Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan daerah frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur Le Fort II dan III terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah (2).



Gambar 1. Anatomi maksilofasial(2)



Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata (2).



a. Bagian Hidung terdiri atas : 1. Os Lacrimale Merupakan tulang yang titpis dan tulang terkecil pembentuk wajah. Os Lacrimale berada di lateral dan posterior Os Nasale. Os Nasale berisi fossa lacrimale dan saccus lacrimale. 2. Os Nasale Merupakan tulang yang mudah patah, kedua tulang hidung membentuk batang hidung. Ke atas dihubungkan dengan tulang frontal oleh sutura frontonasalis, ke bawah berartikulasi dengan tulang maksila, ke belakang melekat dengan perpendikuler dan os ethmoid.



3. Concha nasal inferior Lebih inferior dari concha nasal medial os etmoid. Concha nasal inferior merupakan tulang yang terpisah, dan bukan bagian dari os ethmoid. Concha nasal inferior merupakan tulang pembentuk bagian dari dinding lateral inferior rongga hidung. 4. Vomer Merupakan tulang segitiga didasar rongga hidung yang berartikulasi dengan lamina perpendiculas os ethmoid pada bagian superior. Pada bagian inferior berartikulasi dengan kedua os maxilla dan os palatinum. Vomer membentuk bagian inferior septum nasal.



b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : 1. Tulang zigomatikus (os zygomaticus) Membentuk tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar orbita. Tulang zigoma berhubungan antara tulang frontal, sfenoid dan maksila, kemudian dihubungkan dengan temporal. Di medial bersendi dengan maksila, di lateral dengan processus zygomaticus ossis temporalis membentuk arcus gigomaticus, arkus ini yang menentukan dimensi anteroposterior dan tonjolan pipi. 2. Tulang maksila (os maxilaris) Kedua tulang maksila (maksila kiri dan kanan) merupakan bagian utama dari wajah bagian tengah (mid face), membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian dasar orbita. Bersama palatum merupakan penyangga dari gigi atas. Mempunyai rongga udara yang paling besar di bagian maksilofasial, rongga berbentuk piramid yang dilapisi mukosa disebut sinus maksilaris. Rongga ini berhubungan dengan hidung dan berfungsi



sebagai



resonator



udara.



Tempat



keluamya



saraf



infraorbitalis dan pembuluh darah infraorbitalis. Bersama dengan tulang zigoma, frontal, etmoid, sisi medial nasal membentuk rongga mata. Di posterior tulang maksila bergabung dengan tonjolan pterigoid



dari tulang sfenoid. Struktur tulang maksila kuat dan tebal di pilar lateralnya, sedangkan pada bagian tengah dan depan tipis (rata-rata hanya 0,5 mm). 3. Tulang madibula (os mandibula) Terdiri dari kondilus, prosesus koronoideus, ramus, angulus dan korpus yang bergabung menjadi simfisis mandibula. Korpus berbentuk tapal kuda dan bertemu dengan ramus masing-masing sisi pada angulus mandibula. Foramen mentale dapat dilihat di bawah gigi premolar kedua, dari lubang ini keluar arteri, vena dan nervus alveolaris inferior. Pinggir atas korpus mandibula disebut pars alveolaris. Pada orang dewasa berisi 16 lubang untuk akar-akar gigi. Tulang mandibula menonjol dan membentuk kontur wajah, artikulasi dengan dasar tengkorak melalui kondilus yang bertumpu pada fossa glenoidalis



dan



membentuk



temporomandibular



joint



(TMJ).



Mandibula dari aspek fungsinya merupakan gabunghn tulang berbentuk “L” bekerja untuk mengunyah dengan dominasi terkuat m.temporalis yang berinsersi di sisi medial pada ujung prosesus koroideus dan mmasseter yang berinsersi pada sisi lateral angulus dan ramus mandibula. m. pterogoideus berinsersi pada sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. m. masseter bersama m. temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakan mandibula dalam proses menutup mulut. M. Pterigoid berperan untuk membuka mandibula.



Facial Danger Zone Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.



Gambar 2. Facial Danger Zones



2.3 Epidemiologi Trauma Maksilofasial Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah trauma maksilofasial dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat trauma terjadi di negara berkembang (2). Pasien pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan trauma maksilokranial. Di Indonesia, pasien trauma maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus (2).



2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan penggunaan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial



(3)



. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab



tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 74,3 % fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, kecelakaan kerja,dan akibat senjata api (3)



. Penyebab pada orang Dewasa



Persentase (%)



Kecelakaan lalu lintas



40-45



Penganiayaan / berkelahi



10-15



Olahraga



5-10



Jatuh



5



Lain-lain



5-10



Penyebab pada Anak



Persentase (%)



Kecelakaan lalu lintas



10-15



Penganiayaan / berkelahi



5-10



Olahraga (termasuk naik sepeda)



50-65



Jatuh



05-10



2.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (3).



2.5.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah Luka adalah kerusakan anami, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (3): 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab: a. Eksoriasi b. Luka sayat, luka robek, luka bacok c. Luka bakar d. Luka tembak 2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan 3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.



Penilaian awal dan penatalaksanaan Evaluasi dan penanganan cedera jaringan lunak secara dini mutlak perlu untuk mendapatkan hasil kosmetik dan fungsional yang memuaskan dalam rekontruksi wajah. Pemeriksaan fisik awal termasuk evaluasi lengkap dari seluruh luka meskipun jika perlu dilakukan anestesi lokal ataupun umum. Perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan luas cedera pada daerah-daerah di sekitar mata daerah nasolakrimalis di dekat ataupun melibatkan saraf facsialis dan disekitar duktus parotis. Semua jaringan harus ditangani dengan sangat hati-hati dan semua benda asing dikeluarkan dengan irigasi memakai garam steril mungkin diperlukan penyikatan dengan sikat bedah untuk mencegah pembentukan tato yaitu bilamana debris ataupun kotoran telah melekat dalam kulit. Debridement wajah harus dibuat seminimal mungkin. Karena wajah yang kaya suplai darah, maka fragmenfragmen kecil jaringan akan mati pada bagian tubuh lainnya dapat bertahan hidup pada wajah. Laserasi harus dijahit menurut lapisan



anatomi diulai pada bagian dalam luka dengan benang yang dapat diserap dan diteruskan hingga ke permukaan dimana dibuat jahitan subkutan berupa jahitan permanen ataupun benang yang dapat diserap jahitan subkutikular ataupun kulit yang permanen dapat dipakai untuk menutup kulit dan perlu diangkat. Penutupan kulit perlu dilakukan dengan cermat dan halus agar parut minimal. Setelah ditutup maka laserasi wajah dapat disokong dengan plester penutup kulit selama beberapa minggu atau bulan untuk meminimalkan pembentukan jaringan parut. Untuk memberikan antibiotik tergantung pada kasusnya apakah terkontaminasi tertunda



ditutup



dan



pertimbangan



lainnya.



Luka



yang



terkontaminasi luas atau luka yang mencapai tulang perlu diatasi dengan antibiotik (3).



2.5.2 Trauma Jaringan Keras Wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :



(3)



1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika : a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus. b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula



Gambar 4. A. yang biasa kearah inferomedial. B. Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis



2. Berdasarkan Tipe fraktur : a. Fraktur simpel i. Merupakan misalnya



fraktur pada



sederhana,



kondilus,



liniear



yang



koronoideus,



tertutup



korpus



dan



mandibula yang tidak bergigi. ii. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi. b. Fraktur kompoun i. Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. ii. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.



c. Fraktur komunisi i.



Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.



ii.



Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.



d. Fraktur patologis Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar



dan



penyakit



tulang



sistemis



sehingga



dapat



menyebabkan fraktur spontan.



3. Perluasan tulang yang terlibat a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk ) 4. Konfigurasi ( Garis fraktur ) b. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. c. Oblique ( miring ) d. Spiral ( berputar ) e. Komunisi ( remuk ) 5. Hubungan antar Fragmen a. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat b. Undisplacement, bisa terjadi berupa : i. Angulasi / bersudut ii. Distraksi iii. Kontraksi iv. Rotasi / berputar v. Impaksi / tertanam



Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivus



a. Fraktur Nasal Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum. Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari depan akan menyebabkan fraktur sederhanan pada tulang hidung yang kemudian dapat menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat menekan hanya salah satu tukang hidung namun dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi empat. Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat trauma pada hidung atau wajah, antara lain: -



Epistaksis



-



Perubahan bentuk hidung



-



Obstruksi jalan napas Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto



sinusparanasal posisi Waters dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya. Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (3)



:



1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah 2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah 3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh 4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum 5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan



Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Nasal (3).



Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang dapat dilakukan ialah (4): 1. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia lokal dengan sedasi ringan. Indikasi: a. Fraktur sederhana tulang hidung b. Fraktur sederhana septum hidung Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena pada waktu tersebut oedem yang terjadi mungkin sangat sedikit.



2. Reduksi terbuka, dilakukakn dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum. Indikasi: a. Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung b. Fraktur septum terbuka c. Fraktur dislokasi septum kaudal d. Persisten deformitas setelah reduksi tertutup



b. Fraktur Zigoma Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa communited fracture dan mungkin memiliki ekstensi sepanjang dasar dari rongga orbita atau rima orbita (4). Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolan pada pipi dibawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan fraktur tripod atau trimalar. Gejala dari fraktur zigoma antara lain adalah (4): 1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma) 2. Diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata 3. Edema periorbita dan ekimosis 4. Perdarahan subkonjungtiva 5. Enoftalmus 6. Ptosis 7. Karena kerusakan saraf infra-orbita 8. Terbatasnya gerakan mandibula 9. Emfisema subkutis 10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum



Penanggulangan fraktur tulang zigoma (4): 1. Reduksi tidak langsung dari tulang zigoma Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan



melalui sulkus



gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukan di belakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang zygoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil yang baik. 2. Reduksi terbuka dari tulang zigoma Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka dengan menggubakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkontruksi dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak bola mata.



c. Fraktur arkus zigoma Arkus zigoma merupakan bagian dari sub unit wajah yang dikenal sebagai zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang dengan tengkorak. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koroid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi (4). Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat dari arkus dapat ditanggualngi dengan melakukan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada



arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zigoma preurikuler (4). d. Fraktur Maksila dan Le Fort Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (5). Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (5): a. Le Fort I Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul. b. Le Fort II Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita.



Fraktur



kemudian



berlanjut



sepanjang



zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.



sutura



c. Le Fort III Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui



sutura



frontozygomatic.



Garis



fraktur



kemudian



memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.



Gambar 4. Klasifikasi Le Fort (5).



Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada



cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches (5). Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi struktur yang stabil adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila. Prinsip ini tampak sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien dengan fraktur luas. Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini berupa (5): a. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi. b. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan pemasangan kawat baja atau mini plate. c. Fiksasi denga pin. Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna.



e. Fraktur Tulang Orbita Fraktur maksila sangat erat hubunganya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Orbita dibentuk oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma, tulang maksila, tulang lakrimal, tulang etmoid, tulang sphenoid dan tulang palatina (6).



Gambar 5. Fraktur Orbital (6). Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler, syaraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang kesemuanya ini berguna untuk menyokong fungsi mata. Orbita merupakan pelindung bola mata terhadap pengaruh dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola mata dilindungi oleh palpebra. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata, berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita (6).



Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa (6): 1. Enoftalmus 2. Eksoftalmus 3. Diplopia 4. Asimetris pada muka Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma. 5. Gangguan saraf sensoris Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infraorbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infraorbitalis sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rima orbita. f. Fraktur Mandibula Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis. Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan



gigi,



ketidakmampuan



mengunyah,



gangguan



salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (7).



Gambar 7. Lokasi fraktur mandibula(8)



Diagnosis



fraktur



mandibula



tidak



sulit,



ditegakan



berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut (8): a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveoralis inferior menjadi rusak. d. Maloklusi,



adanya



fraktur



mandibula



sangat



serng



menimbulkan maloklusi e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi f. Rasa nyeri saat menguyah g. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada jaringan lunak. Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simpel dan praktis.



Mandibula dibagi menjadi 7 regio (8): a. Badan atau korpus mandibula b. Simfisis mandibula c. Angulus mandibula d. Ramus mandibula e. Prosesus koronoid f. Prosesus kondilus g. Prosesus alveolaris



Fraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada regio mandibula ini. Frekuensi tersering terjadinya fraktur ialah prosesus konsilus kemudian diikuti oleh korpus mandibula, angulus mandibula, simfisis mandibula, prosesus alveolaris, ramus mandibula dan prosesus koronoid (8). Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian mendibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung gelihi atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai batang-batang lengkung ligasi dengan kawat. Batangbatang lengkung ini memiliki kait kecil yang dpat menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan lengkung gigi atas ke lengkung gigi bawah. Fraktur mandibula lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat atau pelat secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang lengkung (8).



Manifestasi Klinis Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa : 1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula. 2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. 3. Rasa nyeri pada sisi fraktur. 4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. 5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur. 6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran. 7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. 8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan. 9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris. 10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.



2.6 Penegakan Diagnosis 1. Anamnesa Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir,



dan



peristiwa



seputar



cedera.



Aspek



yang



perlu



dipertimbangkan adalah sebagai berikut (8): a. Bagaimana mekanisme cedera? b. Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk waktu berapa lama? c. Apakah



terdapat



gangguan



penglihatan?



Kilatan



cahaya,



fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? d. Apakah pasien mengalami tinitus atau vertigo? e. Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? f. Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas cairan dari hidung atau telinga? g. Apakah pasien memiliki kesulitan membuka atau menutup mulut? h. Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? i. Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? j. Apakah ada daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?



2. Pemeriksaan Fisik Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. b. Luka tembus. c. Asimetris atau tidak. d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. e. Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.



f. Cedera kelopak mata. g. Ecchymosis, epistaksisi. h. Defisit pendengaran. i. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas



Palpasi 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis. 6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. 7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema. 8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.



9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak. 10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal. 13. Periksa



untuk



laserasi



liang



telinga,



kebocoran



cairan



serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign). 14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas. 15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. 16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit. 19. Meraba



seluruh



bahagian



mandibula



dan



sendi



temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.



20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.



Pemeriksaan Penunjang a. Wajah Bagian Atas : 1. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D). 2. CT-scan aksial koronal. 3. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala b. Wajah Bagian Tengah : 1. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D). 2. CT scan aksial koronal. 3. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles). c. Wajah Bagian Bawah : 1. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D. 2. Panoramic X-ray. 3. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi : i. Posteroanterior (Caldwells). ii. Posisi lateral (Schedell). iii. Posisi towne.



Penatalaksanaan Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara sistematis, dititikberatkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma. 1. Apakah Pasien dapat bernapas ? Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak. 2. Curiga adanya Fraktur Mandibula. Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bagian tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi. Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan 3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang. Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi. 4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan. Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan. 5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk. Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.



6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah. Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis ke satu sisi. Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara. Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial : a. Memperbaiki jalan napas. b. Mengontrol perdarahan. c. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna. d. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma 7. Pemeriksaan Intra Oral. Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti : Mandibular floating, Maxillar floating, Zygomaticum floating. Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut. Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.



DAFTAR PUSTAKA



1. Soepardi, A. Trauma Muka dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed. 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 2. Reksoprodjo. Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara. 2008 3. Bailey. Ilmu Bedah Gawat Darurat Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2011 4. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Ed 3. Media Aesculapius. 2014 5. Sjamsuhidajat, S. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2015 6. Oetomo, K. Trauma Maxillofacial dalam: Bedah Gawat Darurat. Surabaya: RSUD Haji. 2010 7. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Penerjemah: Purwanto dan Basoeseno.Jakarta: EGC; 1996. 221-263. 8. Raymond J. Fonseca. Oral and maxillofacialtrauma. 4th edition. St. Louis, Missouri.Saunders. 2013. part II. chap 4. 9. Engin DA, Alper GS, Erdal K, Cemil K, Fevzi Y, Evvah K, Tamer D, Muge S. Assessment of maxillofacial trauma in emergency department. WJES. Turkey. 2014; 9: 13. 10. Zollman FS. Manual of traumatic brain injury management. New York: Demos Medical; 2011. 25-31. 11. Corrigan J, Selassie A, Orman J. The epidemiology of traumatic brain injury. J Head Trauma Rehabil. 2010; 25: 72-80. 12. Satyanegara. Ilmu bedah saraf. Edisi V. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2014.322. 13. Greenberg MS. Handbook of neurosurgery 7th edition. Canada: Thieme; 2010. 297-306.



14. Francis B. Quinn. Melinda Stoner Quinn. Basilar Skull Fractures [Internet]. Grand Rounds Presentation. The University of Texas Medical Branch in Galveston. Journal of Otolaryngology; 2013 [cited 2015 July 13].



Available



from



Netlibrary:



https://www.utmb.edu/otoref/Grnds/basilar-skull-fx-2013-12/basilarskull-fx-2013-12.pdf. 15. Tseng WC, Shih HM, Su YC, Chen HW, Hsiao KY, Chen IC. The association between skull bone fractures and outcomes in patients with severe traumatic brain injury. The Journal of Trauma. 2011; 71: 16111614. 16. Katzen JT, Jarrahy R, Eby JB, Mathiasen RA, Margulies DR, Shahinian HK. Craniofacial and skull base trauma. The Journal of Trauma Injury, Infection, and Critical Care. 2003; 54: 1026-1034. 17. Peter WB, Barry E, Rainer S. Maxillofacial trauma and esthetic facial reconstruction. 2nd edition.St. Louis, Missouri.Saunders; 2013. 28-58. 18. Bell RB, Dierks EJ, Homer L, Potter BE. Management of cerebrospinal fluid leak associated with craniomaxillofacial trauma. J Oral Maxillofacial Surgery. 2004; 62(6): 676-84. Nancy P. American college of surgeon. Head injury. Advance Trauma Life Support. 9th edition. Chicago. 633 N. Saint Clair Street; 2012. 176-235.