Referat Nyeri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



HALAMAN JUDUL



NYERI



Disusun oleh: Nursarah Salsabila Khansa, S.Ked



04084822124013



Pembimbing: dr. Maipe Aprianti, Sp.An



KSM ANESTESI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2021



2



HALAMAN PENGESAHAN Referat Judul: NYERI Oleh: Nursarah Salsabila Khansa, S.Ked



04084822124013



Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian



Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas



Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Mei – 9 Juni 2021.



Palembang,



Mei 2021 Pembimbing



dr. Maipe Aprianti, Sp.An



3



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkah dan rahmat-Nya referat berjudul “Nyeri” ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini dibuat demi memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik di KSM Anestesi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 24 Mei – 9 Juni 2021. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Maipe Aprianti, Sp.An karena bimbingannya referat ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.



Palembang,



Mei 2021



Penulis



4



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL



1



HALAMAN PENGESAHAN



2



KATA PENGANTAR



3



DAFTAR ISI



4



BAB I PENDAHULUAN



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



7



2.1. Nyeri



7



2.2.1



Definisi



7



2.2.2



Epidemiologi



7



2.2.3



Etiologi dan Faktor risiko



8



2.2.4



Jalur Nyeri



12



2.2.5



Fisiologi Nyeri



13



2.2.6



Mekanisme Patologi Nyeri



15



2.2.7



Penilaian Nyeri



16



2.2.8



Tatalaksana



18



BAB III KESIMPULAN



20



DAFTAR PUSTAKA



21



5



BAB I PENDAHULUAN



Nyeri dapat dideskripsikan secara berbeda-beda bagi setiap individu. Nyeri merupakan pengalaman subjektif yang meliputi aspek sensori dan emosional. Ini merupakan fenomena multifaktorial yang dipengaruhi oleh kerusakan jaringan, psikologi, sosiokultural, dan lingkungan tiap individu 1 (Kothare et al., 2017). Nyeri dapat berbeda dalam dalam intensitas, kualitas, durasi, dan penyebarannya2. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI, 2018) nyeri adalah suatu gejala penyakit yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi seseorang, baik secara fisik maupun mental, sehingga menimbulkan ketegangan/stress berkepanjangan. Secara sederhana, nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan, kompleks, yang merupakan respon terhadap trauma jaringan dan berhubungan dengan proses inflamasi akut. Nyeri tipe ini berlangsung kurang dari 2 minggu. Nyeri akut merupakan “tanda” untuk memberitahu tubuh bahwa ada sesuatu yang salah terhadap tubuh, hal ini dapat membantu tubuh untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. Nyeri dikatakan kronis jika sudah berlangsung lebih dari 2 minggu. Banyak kondisi nyeri kronis yang berlangsung lama dan menetap3. Nyeri juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi (nosiseptif dan neuropatik), etiologi, dan area yang dipengaruhi. Kemampuan untuk mendeteksi stimulus nyeri berbahaya merupakan fungsi penting dari sistem saraf terhadap lingkungan yang berubah-ubah untuk mengantisipasi, merencanakan, bereaksi, dan beradaptasi. Nyeri dapat menjadi patologis ketika sudah tidak berperan sebagai sistem peringatan akut, tetapi menjadi



6



kronis dan mengganggu. Sensitasi perifer dan sentral diketahui sebagai elemen yang berperan penting dalam perubahan nyeri patologis. Perubahan perjalanan nyeri dapat mengakibatkan hipersensitivitas, hyperalgesia, dan alodinia4.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Nyeri 2.2.1 Definisi Nyeri secara umum didefinisikan sebagai sensasi yang tidak menyenangkan.



Nyeri



merupakan



satu



kesatuan



yang



multidimensional karena mencakup kualitas sensoris, kognitif, motivasi dan afektif. Nyeri selalu subjektif dan setiap individu dapat mendeskripsikan



nyeri



secara



berbeda-beda5.



Setiap



individu



merasakan nyeri berbeda-beda, tergantung pada intensitas, kualitas, durasi, dan penyebarannya2. Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri dapat didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such damage”. Nyeri dapat berguna sebagai alarm untuk memberitahu bahwa ada sesuatu yang salah pada tubuh. Saat adanya “alarm” tersebut, individu yang merasakan nyeri mau tidak mau akan mengistirahatkan bagian tubuh yang terasa nyeri tersebut dan terkadang akan mencari bantuan medis6. Menurut Kemkes RI (2018) nyeri adalah suatu gejala penyakit yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi seseorang, baik secara fisik maupun mental, sehingga menimbulkan ketegangan/stress berkepanjangan. 2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko



8



Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos, elektrik, neoplasma (jinak dan ganas), perdangan (inflamasi), ganguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah serta yang terakhir adalah trauma psikologis7. 2.2.3 Klasifikasi Secara klinis nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.



Nyeri



juga



dapat



diklasifikasikan



berdasarkan



patofisiologinya, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (tissue damage) yang akan mengaktivasi dan menyensitisasi nosiseptor. Sedang nyeri neuropatik disebabkan oleh adanya lesi atau kerusakan saraf (nerve damage) baik perifer maupun sentral. Nyeri neuropatik dapat dijumpai pada penderita diabetes, infeksi (herpes zoster), kompresi saraf, trauma saraf, “channelopathies”, dan penyakit autoimun8. a. Nyeri akut Nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius akibat kerusakan jaringan, proses penyakit, maupun fungsi abnormal otot atau organ viseral. Nyeri akut selalu bersifat nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi mendeteksi, melokalisasi, dan membatasi kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif berfungsi membangkitkan refleks menghindar (withdrawal reflex) untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif terjadi sebelum adanya kerusakan jaringan dan bersifat protektif untuk mempertahankan keutuhan tubuh kita. Karena jarak antara nyeri nosiseptif berubah menjadi nyeri akut hanya beberapa detik dan mekanismenya pun sama, maka di dalam klinik nyeri nosiseptif selalu diidentifikasikan dengan nyeri akut8. Bentuk umum yang paling umum dari nyeri akut adalah nyeri



9



pascatrauma, pascabedah, dan nyeri persalinan serta nyeri yang terkait dengan penyakit medis akut, seperti infark miokard, pankreatitis, batu ginjal, dll. Nyeri akut selalu diikuti dengan respons stres neuroendokrin sistemik yang sebanding dengan intensitas nyeri. Ketika nyeri menetap setelah penyembuhan usai, nyeri akut berubah menjadi nyeri kronis. Ada 2 jenis nyeri akut, seperti nyeri somatik jika berasal dari jaringan soma dan nyeri viseral jika nyeri berasal dari organ viseral (jantung, ginjal, usus, dll) 8. 



Nyeri somatik Nyeri akibat input nosiseptif pada bagian luar tubuh. Nyeri somatik dapat berasal dari kulit, ligamentum, tendon, otot, sendi, dan tulang. Nyeri somatik dapat dibagi lagi menjadi nyeri somatik superfisial dan dalam. Nyeri somatik superfisial terjadi jika input nosiseptif berasal dari jaringan kulit, subkuta, atau dinding mukosa. Gejala nyerinya sangat khas, lokalisasinya sangat jelas (dapat ditunjuk dengan telunjuk), dan digambarkan sebagai sensasi yang tajam, menusuk, dan berdenyut8. Nyeri somatik dalam, jika nyeri berasal dari otot, tendon, sendi, atau tulang. Nyeri somatik dalam terasa tumpul, dan lokalisasinya kurang jelas. Selain itu, intensitas nyeri serta lama perlangsungan stimulus dapat memengaruhi daerah lokalisasinya. Seperti nyeri akibat luka ringan pada sendi akan terlokalisasi pada siku, tetapi luka berat atau berkepanjangan pada siku sering menyebabkan nyeri pada seluruh lengan8.







Nyeri viseral



10



Nyeri yang berasal dari organ internal mayor. Viseral adalah organ tubuh yang terletak di dalam rongga tubuh seperti rongga abdomen dan rongga toraks. Nyeri akut viseral disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi abnormal



yang



mengenal



organ



internal



atau



pembungkusnya (seperti pleura parietal, perikardium, dan peritoneum).



Hanya



beberapa



organ



yang



dapat



menimbulkan rasa nyeri yang dalam ini karena adanya perbedaan persarafan organ. Organ visera yang memiliki nosiseptor,



yaitu



saraf



sensorik



yang



dapat



mentransmisikan nyeri ke otak setelah cedera, dapat mengakibatkan nyeri visera yang dalam bila terluka. Gambaran klinis nyeri viseral adalah8: 



Nyeri viseral hanya bisa ditimbulkan oleh beberapa organ viseral







Tidak berhubungan dengan cedera pada organ viseral







Merupakan nyeri rujukan dari organ lain, nyeri yang terkait dengan proses penyakit yang melibatkan peritoneum atau pleura di sekitar diafragma bagian tengah dirujuk ke leher dan bahu, sedangkan nyeri dari proses penyakit yang mengenai permukaan parietal di daerah diafragma perifer dirujuk ke dada atau dinding perut bagian atas







Bersifat difus dan tidak terlokalisasi, biasanya pada garis tengah (tidak dapat ditunjuk dengan telunjuk tapi dengan telapak tangan)







Disertai dengan refleks otonomik dan motorik yang berlebihan sehingga pasien nampak sakit berat disertai dengan gejala mual, muntah, berkeringat, serta



11



perubahan tekanan darah dan nadi b. Nyeri kronis Nyeri kronis merupakan nyeri yang menetao melampaui proses penyakit akut atau melebihi waktu penyembuhan nromal, yang biasanya berlangsung 3 hingga 6 bulan. Nyeri kronis dapat berasal dari nyeri nosiseptif, neuropatik, maupun campurannya, dimana faktor psikologis lingkungan dan sosial memainkan peran utama. Pasien dengan nyeri kronis sering kali memiliki respons stres neuroendokrin yang kurang atau tidak ada, tetapi memiliki gangguan tidur dan emosional yang menonjol. Nyeri neuropatik secara klasik bersifat serangan (paroxysmal) dan tertusuk tajam (lacinating) atau seperti terbakar. Ciri khas dari nyeri neuropatik adalah jika ditemukannya 2 macam gejala secara bersamaan, yakni gejala hipolgsia dan hiperalgesia. Jika diikuti dengan hilangnya inpur sensorik ke dalam sistem saraf pusat, maka disebut nyeri deaferensasi. Jika sistem simpatis memainkan



peran



utama,



disebut



sebagai



symphatically



maintained pain8. Nyeri kronis dapat dijumpai pada gangguan muskuloskeletal kronis, gangguan viseral kronis, lesi saraf perifer, akar saraf, atau ganglion akar dorsalis (termasuk neuropatik diabetik, kausalgia, nyeri phantom, dan nyeri pasca-herpes), lesi pada sistem saraf pusat (stroke, cedera pada medula spinalis, dan multipel sklerosis),



dan



musculoskeletal



nyeri



kanker.



(misalnya



Nyeri



rheumatoid



pada



gangguan



arthritis



dan



osteoarthritis) secara primer bersifat nosiseptif, sedangkan nyeri yang terkait dengan gangguan saraf perifer atau sentral bersifat neuropatik. Nyeri yang terkait dengan beberapa gangguan, misalna kanker dan sakit punggung kronis (terutama setelah



12



pembedahan), merupakan campuran antara nosiseptif dan neuropatik8.



2.2.4 Jalur Nyeri Empat proses fisiologi yang terlibat dalam nyeri adalah transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi8. 1. Transduksi adalah proses di mana stimulus noksius, yang berinteraksi pada nosiseptor perifer, dikonversikan menjadi aktivitas elektrik, sehingga menghasilkan potensial aksi dan diteruskan sebagai impuls saraf 2. Konduksi adalag proses penghantaran impuls saraf sepanjang neuron orde pertama untuk mencapai sinaps dengan saraf orde kedua 3. Transmisi adalah penghantaran informasi pada sinaps antara neuron orde pertama dan neuron orde kedua di kornu dorsalis medulla spinalis 4. Persepsi adalah pengalaman sadar dan aktual dan nyeri, baik sensorik (lokasi, karakter, dan diskriminasi) maupun aspek emosional 5. Modulasi adalah proses yang mengakibatkan nyeri yang dirasakan tidak sebnading dengan besarnya stimulus noksius. Banyak faktor dapar memodulasi jalur stimulus respon nyeri Jalur asendes merupakan jalur konduksi stimulus noksius dari perifer ke korteks serebri. Jalur asendes terdiri atas tiga jalur saraf8. 1. Neuron orde pertama adalah saraf yang berjalan mulai dari perifer (kulit, ruling, ligamentum, otot, dan visera lain)



13



sampai mencapai kornu dorsalis medulla spinalis 2. Neuron orde kedua (disebut neuron sekunder) adalh saraf yang berjalan mulai dari kornu dorsalis, menyeberang ke kornus dorsalis sisi kontralateral, lalu naik menuju ke thalamus dan area otak lainnya. Neuron orde kedua bersinaps di nucleus thalamus dengan neuron orde ketiga 3. Neuron orde ketiga (disebut juga neuron tersier) adalah saraf yang berjalan mulai dari thalamus, berakhir melalui kapsula interna dan korona radiatas, sampai ke girus post-sentral di korteks serebri



Gambar x. jalur nyeri 2.2.5 Fisiologi Nyeri



14



Pengalaman nyeri melibatkan serangkaian proses neurofisiologis yang disebut nosisepsi. Mekanisme nyeri mencakup 4 proses yang dikenal dengan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi terjadi di sepanjang jalur nosiseptif, pada proses ujung saraf aferen akan mengubah stimulus menjadi impuls nosiseptif. Transmisi merupakan proses dimana stimulus yang sudah diubah menjadi impuls nosiseptif akan disalurkan menuju medula spinalis dan otak. Proses modulasi terjadi pada semua tingkatan, dari perifer, spinal, hingga supraspinal dengan pengaturan naik atau turun. Hasil dari transduksi, transmisi, dan modulasi akan menghasilkan suatu persepsi nyeri9. Tiga serabut saraf utama yang terlibat dalam mekanisme nyeri adalah serabut saraf A-beta, A-delta, dan C. Serabut saraf A-beta dan A-delta memiliki myelin, sedangkan serabut saraf C tidak memiliki myelin, selain itu serabut saraf A-beta dan A-delta memiliki kecepatan konduksi yang lebih cepat dibandingkan dengan serabut saraf C. Serabut saraf A-delta dan C akan berakhir di kornu dorsalis pada medula spinalis, walaupun semua serabut saraf nyeri akan berujung di kornu dorsalis, rute untuk mencapai titik akhir ini bervariasi. Setelah mencapai medula spinalis, serabut saraf ini akan terbagi menjadi 2 cabang, yaitu cabang asending dan desending10. Ada berbagai tingkatan dari sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat dalam transmisi nyeri, seperti korda spinalis (supraspinal), batang otak (midbrain, medula oblongata dan pons), dan regio kortikal (korteks serebral). Kornu dorsalis pada medula spinalis memainkan peran penting dalam mengintegrasikan beberapa input yang masuk ke medula spinalis, termasuk neuron aferen primer dan jaringan interneuron lokal, dan juga bertanggung jawab untuk cabang desending dari pusat supraspinal9.



15



Pada cabang asending, neuron aferen primer bertanggung jawab untuk menyampaikan sinyal “berbahaya” yang diterima ke kornu dorsalis pada medula spinalis, dengan begitu sinyal ini akan diteruskan ke thalamus mencapai korteks somatosensorik melalui jalur spinotalamikus, dengan demikian memberikan informasi tentang tempat



dan



intensitas



dari



stimulus



yang



diterima.



Jalur



spinotalamikus terletak pada white matter di medula spinalis dan terbagi menjadi 2 bagian, lateral dan anterior, yang memiliki fungsi berbeda. Bagian lateral jalur spinotalamikus fokus kepada transmisi dari rasa nyeri dan sensasi suhu, sedangkan bagian anteriornya membawa informasi yang berhubungan dengan sentuhan kasar dan tekanan kuat ke thalamus di otak9. 2.2.6 Mekanisme Nyeri Patologis Nyeri menjadi patologis bila melampaui fungsinya sebagai sistem peringatan akut dan dapat menjadi kronis dan mengganggu. Nyeri patologis biasanya berlangsung lebih dari 3-6 bulan, melampaui proses cedera dan penyembuhan, memiliki efek merugikan yang lebih besar dari efek protektifnya, dan dapat melibatkan perubahan kompleks dari tingkat molekuler, seluler, dan neural. Meskipun prosesnya belum dipahami sepenuhnya, terdapat beberapa konsep dalam perubahan nyeri menjadi patologis yaitu sensitasi perifer dan sentral11. 1. Sensitasi perifer Setelah terjadi lesi saraf perifer, gangguan regenerasi atau perubahan fungsi dapat terjadi. Neuron sensorik dapat menjadi



sensitif



secara



abnormal



dan



menyebabkan



terjadinya aktivitas patologis, eksitabilitas abnormal, dan peningkatan sensitivitas terhadap stimulus kimia, suhu, dan



16



mekanik. Kondisi ini disebut sensitasi perifer. Beberapa sel yang terlibat seperti makrofag, sel mast, platelet, endotel, fibroblast, dan sel imun lainnya yang bereaksi terhadap jejas jaringan atau inflamasi. Sel-sel tersebut menghasilkan beberapa faktor seperti sitokin (IL-6, TNF Alfa, leukemia inhibiting factor (LIF)), nerve growth factor (NGF), histamin, bradikinin, prostaglandin E2, ATP, adenosin, dan proton. Ujung sel nosiseptor juga melepaskan substansi P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) yang berkaitan dengan inflamasi neurogenik dan sensitisasi perifer11. 2. Sensitasi sentral Sensitisasi ini terjadi akibat peningkatan stimulus dari nosiseptor ke aferen. Hal ini menyebabkan peningkatan eksitabilitas sinaps yang bersifat reversibel. Manifestasi sensitasi sentral berupa hipersensitivitas pada pasien fibromialgia, osteoarthritis, dan nyeri neuropati11. 2.2.7 Penilaian Nyeri 



Anamnesis Anamnesis pada pasien nyeri meliputi riwayat medis sebelumnya, tinjauan secara sistem organ, pengobatan yang dijalani, riwayat keluarga, dan riwayat sosial11. Pasien ditanyakan mengenai karakteristik nyeri, berapa lama durasi nyeri, dimana lokasi nyeri, bagaimana distribusinya, kualitas nyeri (tajam, menusuk, seperti terbakar, berdenyut, gatal, dll), intensitas nyeri, gejala yang menyertai (seperti mual, muntah, demam, dll), serta faktor yang menyebabkan nyeri11.







Pemeriksaan fisik



17



Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, melihat keadaan umum pasien, memeriksa leher, thorax dan lumbal, abdomen, pelvis, ekstremitas, vaskular perifer (perubahan CRP, limfadema), neuro-psikiatri (perubahan status mental, gangguan saraf, ekspersi wajar, kontak mata, kooperatif selama pemeriksaan, perubahan mood), status lokalis (integritas kulit, perubahan kulit, deformitas, dll) 11. 



Penilaian dengan alat terstandardisasi Penilaian ini dapat menggunakan alat penilaian nyeri unidimensional atau multidimensional. Untuk penilaian unidimensional dapat menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS), Facial Pain Scale (FPS), Verbal Rating Scale (VRS), sedangkan untuk multidimensional ada McGill Pain Questionnaire (MPQ), DN4, Pain Disability Indeks (PDI), Brief Pain Inventory (BPI),



Back



Catastrophizing



Depression Scale



Inventory



(PCS),



(BDI),



Coping



Pain



Strategies



Questionnaire (CSQ) 11. Pada penilaian nyeri unidimensional menerangkan intensitas dari nyeri. NRS menggunakan skala numer 1-10, VAS menggunakan garis 10 atau 100 mm dari tidak nyeri hingga sangat nyeri, FPS itu menggunakan ekspresi wajah, dan VRS menggunakan deskriptor verbal berupa nyeri ringan, sedang, dan berat11. Penilaian



nyeri



multidimensional



dapat



menunjukkan



intensitas dan kualitas nyeri. MPQ terdapat 20 pertanyaan, parameternya adalah kualitas dan lokasi nyeri, pada DN4 terdapat 4 pertanyaan untuk mengukur nyeri neuropati, PDI memiliki 7 pertanyaan untuk mengukur kerusakan dan



18



gangguan dengan keluarga dan kehidupan sosial, BPI memiliki 32 pertanyaan untuk melihat intensitas nyeri dan gangguan kapasitas fungsional, BDI memiliki 21 pertanyaan digunakan untuk mengukur mood depresif, PCS memiliki 13 pertanyaan digunakan untuk menilai katastropik terkait nyeri, dan CSQ memiliki 10 pertanyaan digunakan untuk strategi koping untuk nyeri kronik11. 



Pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan diagnostik dilakukan sebagai pelengkap dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium meliputi darah perifer lengkap, elektrolit, kreatinin, vitamin D, folat, dan B12, enzim hati, urinalisis, penanda autominum. Pemeriksaan radiologi juga diperlukan, yaitu rontgen, CT Scan, MRI, bone scan, dan myelografi. Kecurigaan ke arah gangguan otot terkadang diperlukan elektromyografi. Prosedur diagnostik lainnya meliputi: blok saraf diagnostik, diskografi lumbar, blok epidural diferensial, blok bidang abdominis transversus11.



2.2.8 Tatalaksana Manajemen nyeri menurut WHO dapat menggunakan “three step analgesic ladder”12: 1. Langkah



awal



untuk



mengatasi



nyeri



hendaknya



menggunakan obat analgesic non opioid (nyeri ringan). 2. Bila masih tetap nyeri, naik ke tangga/langkah kedua yaitu menambahkan obat opioid lemah (nyeri sedang). 3. Bila nyeri masih menetap maka sebagai langkah ketiga disarankan memakai opioid kuat (nyeri berat).



19



Pada setiap langkah pada “three step analgesic ladder”, bila perlu dapat ditambahkan adjuvant. Pemberian analgesic pada nyeri akut dan kronis menggunakan “three step analgesic ladder” berbeda. Pada nyeri akut, pemberian analgesic pertama dimulai dari tangga nomor 3, pada pasien dengan nyeri akut yang datang ke UGD, pemilihan analgesic pertama adalah opioid. Untuk nyeri kronis, pemberian analgesic dimulai dari tangga pertama yaitu NSAID. Untuk terapi yang dapat diberikan12: 



Asetaminofen Merupakan obat analgesic dan antipiretik yang dapat dipakai secara oral dan intravena. Contohnya adalah parasetamol11.







Obat antiinflamasi nonsteroid Diclofenac, naproxen, ketorolac, dan meloxicam merupakan obat lini pertama untuk nyeri nosiseptif seperti arthritis, gout, metastasis tulang, atau cedera jaringan akut. NSAID bekerja di perifer dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang mengubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi (tromboksan dan prostaglandin. Selain itu NSAID bekerja di sentral mencegah hyperalgesia dengan menghambat mediator inflamasi yang diproduksi akibat cedera jaringan. NSAID bekerja dalam setengah hingga beberapa jam setelah pemberian



dan



umumnya



diberikan



secara



oral



dan



intravena11. 



Opioid Analgesic opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat, terutama pada bagian viseral. Penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus



20



nyeri kronis non-keganasan. Opioid lemah contohnya adalah codein. Sedangkan untuk opioid kuat dapat digunakan morphine, pethidine, dan fentanyl11. Obat-obat adjuvant yang dapat digunakan adalah: 



Kortikosteroid: memiliki efek anti inflamasi.







Anti konvulsan: bermanfaat untuk meringan nyeri neuropatik.







Anti



depresan:



bermanfaat



untuk



mengurangi



nyeri



neuropatik. 



Neuroleptic: bermanfaat untuk membantu sindrom nyeri kronis.







Psikosimultan: digunakan untuk mengurangi sedasi yang diakibatkan oleh opioid.



Dalam manajemen nyeri, terutama pada nyeri kronik nonkanker perlu diperhatikan faktor psikososial yang dapat memperberat nyeri dan mengganggu fungsi. Manajemen psikologis yang dapat dilakukan meliputi edukasi pasien dan keluarga, cognitive behavioral therapy (CBT), relaksasi/meditasi, modifikasi perilaku, dan penatalaksanaan gejala komorbid psikiatri seperti ansietas dan depresi11.



21



BAB III KESIMPULAN



Nyeri merupakan satu kesatuan multidimensional karena mencakup kualitas sensoris, kognitif, motivasi dan afektif. Nyeri selalu subjektif dan setiap individu dapat mendeskripsikan nyeri secara berbeda-beda tergantung pada intensitas, kualitas, durasi, dan penyebarannya. Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos, elektrik, neoplasma (jinak dan ganas), perdangan (inflamasi), ganguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah serta yang terakhir adalah trauma psikologis. Secara klinis nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologinya, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Ada beberapa jalur fisiologi nyeri yaitu transduksi, konduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Nyeri akut yang menetap dapat menjadi nyeri kronis bila tidak diberikan tatalaksana yang adekuat. Penilaian nyeri dapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian dengan alat terstandardasi, dan pemeriksaan diagnostic. Tatalaksana nyeri berdasarkan WHO menggunakan “three step analgesic ladder” berdasarkan nyeri ringan, sedang dan berat. Jika nyeri ringan dapat diberikan obat analgesic non opioid seperti OAINS, nyeri sedang dapat diberikan opioid lemah, dan nyeri berat dapat diberikan opioid. Pada manajemen nyeri juga perlu memerhatikan faktor psikososial yang dapat memperberat nyeri dan mengganggu fungsi.



22



DAFTAR PUSTAKA



1. Kothare, H. et al. (2017) ‘Comparison of pain tolerance in different age group in community dwelling normal healthy adults’, 8(10), pp. 554–559. 2. Bahrudin, M. (2018) ‘Patofisiologi Nyeri (Pain)’, Saintika Medika, 13(1), p. 7. doi: 10.22219/sm.v13i1.5449. 3. Chapman, C. R. and Vierck, C. J. (2017) ‘The Transition of Acute Postoperative Pain to Chronic Pain: An Integrative Overview of Research on Mechanisms’, Journal of Pain. Elsevier Inc, 18(4), pp. 359.e1-359.e38. doi: 10.1016/j.jpain.2016.11.004. 4. Guyton, A. C. and Hall, J. E. (2010) of Medical. 12th edn, Physiology. 12th edn. 5. Kumar, K. H. and Elavarasi, P. (2016) ‘Definition of pain and classification of pain disorders’, Journal of Advanced Clinical & Research Insights, 3(June), pp. 87–90. doi: 10.15713/ins.jcri.112. 6. Hylands-White, N., Duarte, R. V. and Raphael, J. H. (2017) ‘An overview of treatment approaches for chronic pain management’, Rheumatology International.



Springer



Berlin



Heidelberg,



37(1),



pp.



29–42.



doi:



10.1007/s00296-016-3481-8. 7. Fahmi R. Tinjauan Pustaka Nyeri. Univ Muhammadiyah Malang. 2015;11– 37. 8. N. Margarita Rehatta, Elizeus Hanindito, Aida R. Tantri, Ike S. Redjeki, R. F. Soenarto, D. Yulianti Bisri, A. M. Takdir Musba MIL. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks KATI-PERDATIN. 2019. 9. Yam, M. F. et al. (2018) ‘General pathways of pain sensation and the major neurotransmitters involved in pain regulation’, International Journal of Molecular Sciences, 19(8). doi: 10.3390/ijms19082164.



23



10. Steeds, C. E. (2016) ‘The anatomy and physiology of pain’, Surgery (United Kingdom). Elsevier Ltd, 34(2), pp. 55–59. doi: 10.1016/j.mpsur.2015.11.005. 11. Liwang, Ferry, et al. 2020. Kapita Selekta Kedokteran. Depok: Penerbit Media Aesculapius 12. Anekar AA, Cascella M. WHO Analgesic Ladder. [Updated 2021 May 18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554435/