REFERAT OCD Luciana Leonard (C014202275) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN



REFERAT DAN LAPORAN KASUS AGUSTUS 2021



REFERAT: GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF DI MASA PANDEMI COVID-19 LAPORAN KASUS PSIKOTIK: SKIZOFRENIA YTT (F20.9) LAPORAN KASUS NON PSIKOTIK: GANGGUAN DEPRESIF BERULANG, EPISODE KINI SEDANG DENGAN GEJALA SOMATIK (F33.11)



Luciana Leonard C014202275 RESIDEN PEMBIMBING: dr. Dewi Nofianti



SUPERVISOR PEMBIMBING: dr. Saidah Syamsuddin, Sp. KJ



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2021



LEMBAR PENGESAHAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa: Nama



: Luciana Leonard



Stambuk



: C014202275



Judul Refarat



: Gangguan Obsesi Kompulsif di Masa Pandemi Covid-19



Judul Laporan Kasus Psikotik



: Skizofrenia YTT (F20.9)



Non Psikotik



: Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang Dengan



Gejala Somatik (F33.11) adalah benar telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan tugas referat dan laporan kasus ini dengan judul di atas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.



Makassar, 5 Agustus 2021



Supervisor Pembimbing



Residen Pembimbing



(dr. Saidah Syamsuddin, Sp. KJ)



(dr. Dewi Nofianti)



ii



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................ii DAFTAR ISI.................................................................................................................iii KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv BAB I



PENDAHULUAN........................................................................................ 1



BAB II



PE,MBAHASAN......................................................................................... 2



2.1 Definisi.............................................................................................................. 2 2.2 Epidemiologi..................................................................................................... 2 2.3 Etiologi.............................................................................................................. 3 2.4 Manifestasi Klinis.............................................................................................. 6 2.5 Diagnosis........................................................................................................... 7 2.6 Diagnosis Banding........................................................................................... 11 2.7 Tatalaksana...................................................................................................... 12 2.8 Hubungan Gangguan Obsesif Kompulsif dengan Pandemi Covid-19............ 16 2.9 Prognosis.......................................................................................................... 16 BAB III



KESIMPULAN........................................................................................... 18



DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 19 LAPORAN KASUS..................................................................................................... 22



iii



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan rahmat-NYA, penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Gangguan Obsesif Kompulsif di Masa Pandemi Covid-19” sebagai salah satu tugas dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kedokteran Jiwa. Penulis menyadari bahwa referat ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bimbingan, kerjasama, serta bantuan moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih secara tulus dan ikhlas. Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga dapat menjadi bahan introspeksi dan motivasi bagi penulis ke depannya. Akhir kata, penulis berharap semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Makassar, Agustus 2021



Luciana Leonard



iv



BAB I PENDAHULUAN Gangguan obsesif kompulsif mencakup pola obsesi atau kompulsi yang berulang-ulang, atau kombinasi keduanya. Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide yang terus-menerus timbul dan mengganggu yang menimbulkan kecemasan sehingga menyebabkan terjadinya kompulsi atau dorongan-dorongan untuk melakukan tingkah laku tertentu secara berulang dan tidak dapat dikontrol.1,2 Gejala obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan pola gejala kontaminasi, keraguan patologis, pikiran mengganggu dan simetri. Kekhawatiran tersebut sukar dihindari karena terjadi pada hampir segala aktivitas sehari-hari. Individu dengan dengan kondisi ini menyadari irasionalitas obsesi dan kompulsi yang dialami dimana kondisi ini bersifat egodistonik yaitu perilaku yang tidak diinginkan.1 Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap kesehatan mental terutama pada individu dengan gangguan obsesif kompulsif dan telah menimbulkan kekhawatiran khusus karena kecenderungan mereka untuk merespons bahaya dan ketidakpastian. Rekomendasi untuk menjaga hygiene dalam konteks pandemi dapat meningkatkan keperahan penyakit, terutama mereka yang memiki ketakutan obsesif terhadap kontaminasi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa Covid-19 dikaitkan dengan perburukan klinis pada individu dengan gangguan obsesif kompulsif serta munculnya obsesi dan kompulsi baru.3-7 BAB II



1



PEMBAHASAN 2.1 Definisi Gangguan obsesif kompulsif mencakup pola obsesi atau kompulsi yang berulang-ulang, atau kombinasi keduanya. Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide yang terus-menerus timbul dan mengganggu dan tidak diinginkan dan dapat menimbulkan penderitaan maupun kecemasan sedangkan kompulsi adalah perilaku atau tindakan mental yang dilakukan secara berulang dan tidak dapat dikontrol sebagai respon terhadap obsesi seseorang.1,2 2.2 Epidemiologi Gangguan obsesif kompulsif menjadi gangguan mental paling sering keempat di seluruh dunia. Prevalensi dari gangguan obsesif kompulsif sekitar 2.3% terutama selama masa remaja dengan usia rata-rata onset umur 19-20 tahun. Beberapa



penelitian



menunjukkan



bahwa



gangguan



obsesif



kompulsif



mempengaruhi wanita sedikit lebih tinggi dibanding pada pria. Pandemi Covid-19 berdampak signifikan dalam terjadinya perburukan klinis dan munculnya obsesi dan kompulsi baru pada individu dengan ganggun obsesif kompulsif.3,8



2.3 Etiologi



2



A. Faktor Biologis a. Neurotransmitter -



Serotonin Serotonin adalah neurotransmitter yang penting dalam regulasi anxietas



(cemas) karena serotonin membawa efek kepuasan yaitu berupa relaksasi, kesenangan dan penyimpanan memori. Adanya gangguan pada reseptor serotonin (SERT) akan menyebabkan gangguan penghantaran impuls di sinaps dan menyebabkan wujudnya perasaan ketidakpuasan dalam diri individu.9 Sebuah studi menunjukkan bahwa gejala obsesif kompulsif berkurang dengan pemberian clomipramine antidepresan trisiklik, yang merupakan inhibitor reuptake serotonin (SRI) yang kuat. Penelitian lain menunjukkan bahwa serotonin reuptake agonis metachlorophenyl-piperazine memperburuk gejala obsesif kompulsif pada beberapa pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan gangguuan obsesif kompulsif, atau mereka yang menunjukkan gejala obsesif kompulsif, mungkin memiliki disregulasi yang menghambat pelepasan atau pensinyalan serotonin berkelanjutan.10 -



Dopamin Neurotransmiter dopamin juga berperan pada gangguan obsesif kompulsif.



Sebuah studi telah menunjukkan bahwa pemberian agonis dopamin (terjadi peningkatan neurotransmitter dopamin) menyebabkan eksaserbasi gejala obsesif kompulsif, sementara penghambat dopamin telah efektif digunakan dalam



3



pengobatan beberapa gangguan spektrum obsesif kompulsif termasuk pada sindrom Tourette.10 b.



Neuroanatomi Hasil penyelidikan elektrofisiologis mendapatkan bahwa gangguan obsesif



kompulsif berlaku karena terjadinya abnormalitas di neuron. Pekermbangan neuroanatomi yang abnormal menyebabkan hiperaktivitas di daerah orbitofrontalsubkortikal pada pasien anak-anak dan remaja. Sebuah laporan menunjukkan gangguan obsesif kompulsif berkembang kerena terdapatnya trauma pada kepala. Terdapat dua komponen yang penting dalam menghubungkan impuls di basal ganglia yaitu korteks orbitofrontal dan girus cingulate anterior. Kerusakan pada kedua korteks dan girus menyebabkan kehilangan impuls untuk mendeteksi error dan mengakibatkan perilaku atau perbuatan yang berulang-ulang.1 B. Faktor Genetik Sekitar 45 – 65% gangguan obsesif kompulsif diduga berkaitan erat dengan faktor genetik. Pada percobaan tikus dan manusia adanya mutasi NMDA berpengaruh terhadap peningkatan perilaku kompulsif. Mutasi pada subunit NMDA "NR2" berkaitan dengan ketakutan akan kontaminasi dan perilaku kompulsifnya.11,12 C. Faktor Psikososial Selain daripada faktor genetik dan biologis faktor psikososial menjadi salah satu peran penting dalam gangguan obsesif kompulsif. Beberapa studi prospektif mengatakan terdapat hubungan antara gangguan obsesif kompulsif dengan adanya



4



isolasi sosial, kekerasan fisik, emosional negatif dan depresi sebagai salah satu faktor komorbit.11 D. Faktor Tingkah Laku Menurut teori, obsesi adalah stimulus yang terkondisi. Sebuah stimulus yang relatif netral diasosiasikan dengan rasa takut atau cemas melalui proses pengkondisian responden yaitu dengan dihubungkan dengan peristiwa–peristiwa yang menimbulkan rasa cemas atau tidak nyaman.1 Kompulsi terjadi dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menyadari bahwa perbuatan tertentu dapat mengurangi kecemasan akibat obsesif, orang tersebut mengembangkan suatu strategi penghindaran aktif dalam bentuk kompulsi atau ritual untuk mengendalikan kecemasan tersebut. Secara perlahan, karena efikasinya dalam mengurangi kecemasan, strategi penghindaran ini menjadi suatu pola tetap dalam kompulsi.1 E. Faktor Kepribadian Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan kepribadian obsesifkompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid; dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.1,11



5



2.4 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis gangguan obsesif kompulsif adalah berbagai. Tipe obsesi yang paling umum adalah terkait dengan kontaminasi, keraguan patologis, disfungsi somatik, agresi dan dorongan seksual yang berlebihan. Tipe klasik dari kompulsi adalah termasuk memeriksa, mencuci, menghitung, pertanyaan yang sering dan sikap yang perfeksionis. Aktivitas yang berulang ini adalah berfungsi untuk menhilangkan rasa cemas yang dipicu oleh pikiran yang obsesif.2 Kebanyakan dari anak anak yang menderita gangguan obsesif kompulsif ditemukan manifestasi klinis yang bersifat patologis dan bervariasi baik dari gejala yang ringan hingga gejala yang berat sehinggakan anak tersebut tidak yakin dengan pemahamannya sendiri. Antaranya adalah sikap memeriksa sesuatu hal yang terlalu kerap, perasaan takut melukai orang lain, obsesi yang berkaitan dengan kematian atau dorongan seks yang berfungsi untuk menghindari peristiwa yang mengerikan.2 -



Obsesif: 1. Pikiran, ide atau gambaran yang tidak terkendali dan persisten yang terjadi berkali-kali. 2. Penderita tidak dapat menjauhkan diri dari ide tersebut walaupun setelah berusaha berkali-kali. 3. Pikiran yang tidak masuk akal dan tidak mempunyai arti yang valid. 4. Terjadinya perasaan yang tidak nyaman seperti ketakutan, keraguan, perasaan malu atau obsesi yang mendorong ke arah kesempurnaan.



6



5. Penderita mengambil waktu yang lama dan menganggu dalam kegiatan penting atau berharga misalnya berpatisipasi dalam kegiatan sosial, melakukan pekerjaan, menyelesaikan tugas dan pergi ke sekolah. -



Kompulsif: 1. Perilaku yang berulang berutujuan untuk membebaskan diri dari pikiran obsesi penderita. 2. Orang dengan obsesif kompulsif menganggapnya hanya sebagai solusi yang sementara untuk menyingkirkan obsesi mereka karena tidak ada cara yang lebih baik untuk mengatasinya atau melarikan diri. 3. Penderita berusaha menghindari diri dari situasi yang dapat memicu obsesi mereka. 4. Dibutuhkan banyak waktu dan mempengaruhi aktivitas penting seharian.



2.5 Diagnosis Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Ke-5 (DSM-5), kriteria diagnosis untuk gangguan obsesif kompulsif sebagai berikut : A. Adanya obsesi, kompulsi maupun keduanya, di mana obsesif ditandai dengan 1. Pikiran, keinginan, dan gambaran yang persisten dan rekuren yang dialami dalam waktu tertentu, gangguan ini sangat instrusif dan tidak diinginkan, dan dapat menyebabkan individu tersebut mengalami kecemasan dan penderitaan. 2. Individu yang mencoba untuk mengabaikan atau menekan pikiran, keinginan dan gambaran tersebut, atau menetralkannya dengan beberapa pikiran dan aksi lain (dengan melakukan kompulsi).



7



Kompulsif ditandai dengan adanya : 1. Perilaku repetitif (contoh: mencuci tangan, menata sesuatu, mengecek sesuatu) atau aksi mental (contoh: berdoa, menghitung, mengulang kata) yang membuat individu tersebut harus melakukan obsesinya atau menurut ke peraturan yang harus dia terapkan. 2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau mengurangi kecemasan atau kesusahan, atau mencegah beberapa peristiwa atau situasi yang ditakuti; Namun, perilaku ini atau tindakan mental tidak terhubung secara realistis dengan apa yang dirancang untuk dinetralkan atau mencegah, atau berlebihan. Catatan: Pada anak kecil, mereka mungkin tidak dapat mengeluarkan pikirannya maupun mengucapkan dengan jelas tujuan dari perilaku ini atau tindakan mental ini.2 B. Gejala obsesi dan kompulsi sangat membuang-buang waktu (contoh: memakan waktu lebih dari 1 jam/hari) atau menyebabkan distress klinis atau gangguan sosial ditempat kerjanya, atau area-area lain. C. Gejala obsesif-kompulsif tidak diakibatkan oleh efek fisiologis (contoh: drug abuse, obat-obatan) atau kondisi medis lain. D. Gangguan ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mental lain (contoh: cemas berlebihan seperti pada gangguan cemas menyeluruh; preokupasi dengan penampilan, seperti pada body dysmorphic disorder; mencabut rambut seperti pada trikotilomania; skin-picking seperti dalam ekskoriasi; stereotipik seperti dalam gangguan pergerakan stereotipik; perilaku makan khusus seperti dalam 8



gangguan makan; preokupasi akan sesuatu seperti dalam substance-related dan gangguan adiktif; dorongan dan fantasi seks seperti dalam gangguan parafilik; impuls yang disruptif seperti dalam ganggauan konduksi impuls; perenungan rasa bersalah seperti dalam gangguan depresi berat; thought insertion atau delusi persepsi dalam skizofrenia dan gangguan psikotik; atau perilaku repetitif dalam gangguan autisme).2 Ditentukan jika: - Dengan wawasan yang baik atau adil: Individu tersebut mengenali gangguan obsesif-kompulsif itu mungkin tidak benar. - Dengan wawasan yang buruk: Individu menganggap keyakinan gangguan obsesif-kompulsif mungkin benar adanya. - Dengan absennya wawasan / keyakinan delusional: Individu sangat yakin akan hal itu keyakinan gangguan obsesif-kompulsif adalah benar. - Tic-related: ketika individu memiliki tic gangguan atau riwayat dari gangguan tic.2 Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, pedoman diagnostiknya sebagai berikut : a. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut. b. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita. c. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut : 9



1. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri 2. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawam, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita 3. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti maksud diatas) 4. Gagasan, bayangan pikiran atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive). d. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama periode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala derpresif umumnya dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu. Diagnosis gangguan obsesifkompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif-kompulsif tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.



10



e. Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.13 2.6 Diagnosis Banding Gangguan obsesif kompulsif dapat didiagnosis banding dengan beberapa gangguan lainnya, seperti: 1. Gangguan kecemasan Pikiran yang berulang, perilaku menghindar, dan permintaan berulang kepastian yang juga dapat terjadi pada gangguan kecemasan. Namun pikiran berulang yang muncul pada gangguan kecemasan umum (yaitu, kekhawatiran) biasanya tentang masalah kehidupan nyata, sedangkan obsesi pada gangguan obsesif kompulsif biasanya tidak melibatkan masalah kehidupan nyata dan dapat mencakup konten yang aneh dan irasional, apalagi, kompulsi sering hadir dan biasanya terkait dengan obsesi.2 2. Gangguan depresi mayor Pada gangguan depresi mayor, pikiran biasanya sesuai dengan suasana hati dan tidak harus dialami sebagai sesuatu yang mengganggu atau menyusahkan; apalagi, perenungan tidak terkait dengan kompulsi, seperti yang biasa terjadi pada gangguan obsesif kompulsif.2 3. Gangguan dismorfik tubuh



11



Pada gangguan dismorfik tubuh, obsesi dan kompulsi hanya terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan fisik.Sedangkan pada gangguan obsesif kompulsif, pikiran obsesi dan prilaku kompulsi bisa mencakup banyak hal.2



4. Gangguan Tic dan Gerakan stereotip Gangguan Tic bersifat tiba-tiba, cepat, berulang, gerakan motorik nonrhythmic atau vokalisasi (misalnya, mata berkedip, kliring tenggorokan). Gerakan stereotipik adalah perilaku motorik yang berulang, tampaknya didorong, dan tidak berfungsi (misalnya, membenturkan kepala, tubuh goyang, menggigit sendiri). Tics dan gerakan stereotip biasanya kurang kompleks dari kompulsi dan tidak ditujukan untuk menetralkan obsesi. Namun, membedakan antara tics kompleks dan kompulsi bisa jadi sulit. Padahal kompulsi biasanya didahului oleh obsesi, tics sering didahului oleh sensorik firasat mendesak. Beberapa orang memiliki gejala gangguan obsesif kompulsif dan gangguan tic kedua diagnosis mungkin diperlukan.2 5. Gangguan Psikotik Beberapa penderita gangguan obsesif kompulsif memiliki wawasan yang buruk atau bahkan mengalami delusi keyakinan gangguan obsesif kompulsif. Namun, mereka memiliki obsesi dan kompulsi (yang membedakannya kondisi dari gangguan delusi) dan tidak memiliki ciri-ciri skizofrenia atau gangguan skizoafektif (misalnya, halusinasi atau gangguan pikiran formal).2



12



2.7 Tatalaksana A. Psikoterapi Salah satu terapi yang dapat digunakan yakni cognitive behavior therapy (CBT). CBT bertujuan untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan tentang masalah yang dihadapi. Teknik intervensi ini mampu membantu subjek untuk menurunkan perilaku obsesif kompulsif. Adapaun tahapan dalam CBT adalah sebagai berikut14: -



Teknik Relaksasi, merupakan tahap pembuka yang berisi kegiatan membangun kenyamanan bagi subjek. Subjek diberi kesempatan untuk belajar meregangkan dan mengendurkan otot serta belajar memperhatikan perbedaan antara rasa tegang dan rileks.



-



Teknik



Cognitive



Restructuring,



bertujuan



untuk



mengurangi



tingkat



kecemasan subjek yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran negatif dan menggantikannya dengan pemikiran-pemikiran yang lebih positif. -



Teknik Exposure with Response Prevention, dalam tahap ini subjek dihadapkan pada keyakinan bahwa subjek harus melakukan perilaku yang dilakukannya dengan waktu yang lama secara berulang-ulang, namun subjek dicegah untuk tidak melakukan perilaku tersebut. Jika subjek mampu mencegah untuk tidak melakukan perilaku yang dilakukannya dengan waktu yang lama secara berulang-ulang dan ternyata sesuatu yang mengerikan tidak terjadi. Hal ini dapat membantu dalam mengubah keyakinan subjek terhadap perilaku yang dilakukannya dengan waktu yang lama secara berulang-ulang.



B. Farmakoterapi 13



Clomipramine merupakan obat yang paling efektif dari obat golongan trisiklik oleh karena paling bersifat “serotonin selective” dan masih dianggap sebagai “first line drug” dalam pengobatan terhadap gangguan obsesif kompulsif. Apabila banyak efek samping dari penggunaan obat golongan trisiklik pada pasien dengan gangguan obsesif koompulsif, maka terapi dapat beralih ke golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)15. 1. Golongan trisiklik Clomipramine dapat diberikan mulai dari dosis rendah yakni 25-50 mg/hari (dosis tunggal pada malam hari, waktu paruh 10-20 jam). Pemberian dosis dinaikkan secara bertahap dengan penambahan 25 mg/hari, sampai tercapai dosis efektif yang mampu mengendalikan sindrom obsesif kompulsifnya (biasanya sampai 200-300 mg/hari) dan sangat bergantung pada toleransi penderita terhadap efek samping obat. Apabila pemberian terapi akan dihentikan maka pengurangan dosis harus secara “tapering off” agar tidak terjadi kekambuhan dan kesempatan yang luas untuk menyesuaikan diri. Efek samping obat yang dapat timbul yakni mulut kering, konstipasi, sukar berkemih, edema dan tremor. Pada keadaan overdosis dapat terjadi intoksikasi trisiklik dengan gejala-gejala: eksitasi sistem saraf pusat, hipertensi, hiperpireksia,



konvulsi,



toxic



confusional



disorientation)15,16 2. Golongan SSRI



14



state



(confusion,



delirium,



Obat anti obsesif kompulsif SSRI yang dapat diberikan yakni sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluoxetine, dan citalopram. Efek samping obat yang dapat timbul yakni mual, sakit kepala hingga penurunan fungsi seksual15,16



Tabel 1. Sediaan dan Dosis Obat Golongan SSRI Nama Sediaan Dosis anjuran Sertraline Tab 50 mg 50-150 mg/hari Paroxetine Tab 20 mg 40-60 mg/hari Fluvoxamine Tab 50 mg 100-250 mg/hari Fluoxetine Cap 10,20 mg 20-80 mg/hari Citalopram



Tab 20 mg Tab 20 mg



40-60 mg/hari



Perhatian Khusus15: -



Pengobatan gangguan obsesif kompulsif biasanya berjangka waktu lama. Hal ini perlu dijelaskan kepada penderita dan keluarganya, disamping menunjang kepatuhan berobat, juga karena harga obatnya cukup tinggi dan jumlah dosis yang digunakan juga agak tinggi.



-



Penting sekali disertai terapi perilaku untuk pengobatan terhadap gangguan obsesif kompulsif, agar penderita dapat mencapai taraf perbaikan yang optimal dan mempercepat pengurangan dosis obat. Pengurangan dosis obat harus bertahap (tapering off).



-



Sangat hati-hati pada penderita usia lanjut atau penderita dengan penyakit organik yang sulit menerima efek samping obat (penyakit jantung, pembesaran prostat, glaukoma, dll)



-



Dengan dosis obat yang relatif tinggi, penderita harus menghindarkan mengendarai kendaraan atau menjalankan mesin yang membutuhkan perhatian penuh, risiko kecelakaan menjadi besar.



15



-



Sangat tidak dianjurkan penggunaan obat anti-obsesif kompulsif pada wanita hamil atau menyusui.



2.8



Hubungan Gangguan Obsesif Kompulsif dengan Pandemi Covid-19 Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap kesehatan mental terutama



pada individu dengan gangguan obsesif kompulsif dan telah menimbulkan kekhawatiran khusus karena kecenderungan mereka untuk merespons bahaya dan ketidakpastian.3,4 Studi oleh Fontenelle & Miguel di tahun 2020 menyatakan rekomendasi untuk menjaga hygiene dalam konteks pandemi dapat meningkatkan keperahan penyakit, terutama mereka yang memiki ketakutan obsesif terhadap kontaminasi. Sejumlah besar penelitian telah melaporkan bahwa COVID-19 telah meningkatkan keparahan gejala umum, serta obsesi dan kompulsi terkait kontaminasi.17-19



Sebuah penelitian oleh Benatti, et.al tahun 2020 melaporkan bahwa Covid-19 dikaitkan dengan perburukan klinis pada individu dengan gangguan obsesif kompulsif serta munculnya obsesi dan kompulsi baru. Respons stres dan kecemasan yang disebabkan oleh pandemi saat ini mungkin merupakan mekanisme dasar yang penting yang menyebabkan eksaserbasi gejala di antara mereka yang menderita gangguan obsesif kompulsif selama pandemi saat ini. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, serta kesusahan secara umum, sebelumnya telah terbukti terkait dengan eksaserbasi gejala obsesif kompulsif.20



16



2.9



Prognosis Prognosis gangguan obsesif kompulsif menunjukkan bahwa umumnya



gangguan ini akan berlangsung kronik. Bahkan, tanpa intervensi kondisi ini dapat berlangsung sampai puluhan tahun. Gejala obsesif kompulsif dapat semakin memberat terutama akibat peningkatan stress dan kecemasan selama masa pandemi Covid-19. Terdapat bukti epidemiologi yang menunjukkan bahwa umumnya pasien dengan gangguan obsesif kompulsif menunda sampai ≤11 tahun sebelum mencari pertolongan medis.2,20,21



BAB III KESIMPULAN Gangguan obsesif kompulsif mencakup pola obsesi atau kompulsi yang berulang-ulang, atau kombinasi keduanya. Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide yang



17



terus-menerus timbul dan mengganggu yang menimbulkan kecemasan sehingga menyebabkan terjadinya kompulsi atau dorongan-dorongan untuk melakukan tingkah laku tertentu secara berulang dan tidak dapat dikontrol. Penyebab terjadinya gangguan obsesif kompulsif dapat disebabkan oleh beberapa faktor yakni faktor biologis, genetik maupun faktor psikososial. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis atau gejala yang dialami oleh pasien. Terapi pada gangguan obsesif kompulsif dapat dilakukan melalui psikoterapi yakni cognitive behavior therapy dan farmakoterapi berupa pemberian obat-obat golongan trisiklik dan SSRI. Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap kesehatan mental, terutama pada individu dengan gangguan obsesif kompulsif dapat terjadi perburukan klinis serta munculnya obsesi dan koompulsi baru.



DAFTAR PUSTAKA



18



1.



Saddock BJ, Saddock VA. Obsessive Compulsive Disorder. In:



Kaplan Saddock’s Sypnopsis of Psychiatry. New York. Volume 1. 2017: 418426



2.



American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical



Manual of Mental Disorder 5th ed. England: American Psychiatric Publishing; 2013: 235-242.



3.



Pan K.Y., Kok A.A., Eikelenboom M., Horsfall M., Jörg F.,



Luteijn R.A. The mental health impact of the COVID-19 pandemic on people with and without depressive, anxiety, or obsessive-compulsive disorders: A



19



longitudinal



study



of



three



Dutch



case-control



cohorts. The



Lancet



Psychiatry. 2021;8(2):121–129. doi: 10.1016/S2215-0366(20)30491-0.



4.



Chatterjee S.S., Malathesh Barikar C., Mukherjee A. Impact of



COVID-19 pandemic on pre-existing mental health problems. Asian Journal of Psychiatry. 2020; 51 doi: 10.1016/j.ajp.2020.102071



5.



Fontenelle L.F., Miguel E.C. The impact of COVID‐19 in the



diagnosis and treatment of obsessive‐compulsive disorder.  Depression and Anxiety. 2020; 37:510–511. doi: 10.1002/da.23037.



6.



Kumar A., Somani A. Dealing with Corona virus anxiety and



20



OCD. Asian Journal of Psychiatry.  2020; 51 doi: 10.1016/j.ajp.2020.102053.



7.



Benatti B., Albert U., Maina G., Fiorillo A., Celebre L., Girone N.



What happened to patients with obsessive compulsive disorder during the COVID-19 pandemic? A multicentre report from tertiary clinics in northern Italy. Frontiers in Psychiatry.  2020; 11: 720.



8. al. Prevalence



Taher,



of



T.M.J.,



Al-fadhul,



obsessive-compulsive



S.A.L.,



disorder



Abutiheen,



(OCD)



A.A. et



among



Iraqi



undergraduate medical students in time of COVID-19 pandemic. Middle East Curr Psychiatry 28, 8 (2021). https://doi.org/10.1186/s43045-021-00086-9



21



9.



Barnett, J.H, Xu, 2011. Cognitive effects of genetic variation in



monoamine neurotransmitter system: A population-bsed study of COMT, MAOA and 5HTTLPR. American Journal of Medicial Genetics, Part B: Neuropsychiatric Genetics.



10.



Karpinski M., Mattina G.F., Steiner M. Effect



of Gonadal Hormones on Neurotransmitters Implicated in the Pathophysiology of Obsessive-Compulsive Disorder: A Critical Review. Neuroendocrinology 2017;105:1-16. https://doi.org/10.1159/000453664



22



11. 12.



Krebs G, Heyman I. Obsessive-compulsive



disorder in children and adolescents. Arch Dis Child. 2015 May;100(5):495-9.



Sheshachala



K,



Narayanaswamy



JC.



Glutamatergic augmentation strategies in obsessive-compulsive disorder. Indian J Psychiatry. 2019 Jan;61(Suppl 1): S58-S65. 



13.



Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis



Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas  PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya



23



14.



Risna Amalia. Cognitive Behavior Therapy



Untuk Menurunkan Perilaku Obsesif Kompulsif Pada Remaja. UNWAHA Jombang, 26 Oktober 2019. ISSN : 2654-3184



15. 16.



Maslim,



R.



(2007).



Panduan



Praktis



Penggunaan Klinis Obat Psikotropika. Jakarta Ed.3: 50-55.



Gunawan, G.S. 2016. Farmakologi dan Terapi .



Edisi 6. Jakarta: FKUI, 175-177.



24



17.



Abba-Aji A., Li D., Hrabok M., Shalaby R.,



Gusnowski A., Vuong W. COVID-19 pandemic and mental health: Prevalence and correlates of new-onset obsessive-compulsive symptoms in a Canadian province. JMIR



Public



Health



and Surveillance. 2020;17(19):6986.



doi:



10.2196/preprints.19648.



18.



Davide P., Andrea P., Martina O., Andrea E.,



Davide D., Mario A. The impact of the COVID-19 pandemic on patients with OCD: Effects of contamination symptoms and remission state before the quarantine



in



a



preliminary



naturalistic



Research. 2020;291 doi: 10.1016/j.psychres.2020.113213.



25



study. Psychiatry



19.



Knowles K.A., Olatunji B.O. Anxiety and



safety behavior usage during the COVID-19 pandemic: The prospective role of contamination



fear. Journal



of



Anxiety



Disorders.  2021;77 doi:



10.1016/j.janxdis.2020.102323. 



20.



Rosso G., Albert U., Asinari G.F., Bogetto F.,



Maina G. Stressful life events and obsessive–compulsive disorder: Clinical features and symptom dimensions. Psychiatry Research. 2012; 197:259–264. doi: 10.1016/j.psychres.2011.10.005.



26



21.



Albert U, Dell’Osso B, Maina G. Towards



Italian guidelines for the pharmacological treatment of Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) in adults: a preliminary draft. Evidence based Psychiatric Care 2019;5:21–9.



https://www.evidence-based-psychiatric-care.org/wp-



content/uploads/2019/06/04_Albert.pdf



27